Anda di halaman 1dari 2

LEPO KIREK

HEWOKLOANG, MAUMERE, SIKKA, NTT

Lepo Kirek merupakan rumah panggung yang pernah ditinggali oleh Raja Iwang Gete, yang terletak
di Hewokloang, Maumere, Flores. Rumah Raja ini merupakan rumah panggung yang dibangun oleh
Raja Hi’eng dan adik laki-lakinya yang bernama Bogin, sekitar 600an tahun yang lalu , tepatnya di
kampung Hewokloang. Raja Hi’eng yang adalah penghuni pertama tempat itu membangun
rumahnya dengan bantuan dari adiknya dan warga dari kampong tetangga. Rumah ini dibangun
sebagai tempat tinggal Raja Iwang Gete, yaitu Raja Hi’eng sendiri beserta keluarganya.

Lepo Kirek yang pada awalnya merupakan rumah panggung yang memiliki tinggi kolom kayu 15
meter dari permukaan tanah ini, memiliki tujuh bubungan dan dua belas ruangan. Tetapi, setelah
rumah ini direnovasi untuk menjaga keawetannya maka, tersisa delapan ruangan dan tingginya
hanya mencapai 7 meter. Mulai dari pendopo untuk menyelesaikan masalah masyarakat umum, lalu
ruang tamu untuk tamu-tamu terhormat, lalu kamar utama untuk tempat sesajen dan penyimpanan
barang-barang pusaka, lalu kamar untuk para tamu, ruang makan, dua kamar tidur, dan dapur di
bagian paling belakang. Sebelumnya, setiap tiang di rumah itu di ukir dengan bentuk yang unik,
karenanya rumah itu disebut Lepo Kirek (rumah penuh ukiran). Setelah perenovasian, yang tersisa
adalah ukiran benda-benda pusaka dibagian daun pintu masuk rumah itu. Bangunan aslinya
menggunakan bahan-bahan dari alam seperti batang pohon nangka (tiang, rangka-rangka rumah
,kuda-kuda, lantai, dan mirrplat), daun alang-alang (penutup atap), batang-batang buluh (gording),
dan bamboo (dinding). Proses pembuatan bahan dan pembangunannya pun menggunakan cara
tradisional, dimana tiang-tiangnya dibentuk menggunakan alat tradisional yaitu parang dan kapak.
Papan dan balok dari rumah itu diperoleh dengan cara dipotong dan permukaanya dihaluskan
menggunakan parang (senjata tradisional).

Agar menjaga peninggalan sejarah akan rumah itu maka, rumah itu direnovasi oleh penjaga sekaligus
pemilik rumah itu. Meskipun telah direnovasi, bentuk awal rumah itu tetap ada hanya diganti
beberapa konstruksi yang sudah lapuk seperti dinding, lantai, penutup atap, kusen pintu dan
jendela, tangga, dan diberi plafon dari anyaman bambu dan balok kayu nangka untuk plafon di
bagian pendoponya. Konstruksi yang digunakan dalam perenovasian tersebut merupakan bahan-
bahan yang diperoleh secara modern seperti pondasi beton, dinding beton, lantai ubin, dan seng
untuk atapnya. Ada beberapa bagian dari rumah ini yang belum pernah diganti sejak rumah ini
berdiri, salah satunya kolom kayu pohon nangka yang berada dikamar utama yang umurnya sekitar
600an tahun. Perenovasian rumah ini pun memakan biaya yang sangat banyak.

Selain sebagai tempat tinggal yang nyaman, rumah ini pun bisa bertahan dari bencana alam seperti
gempa bumi dan angin, karena menggunakan bahan yang kuat baik sebelum maupun sesudah
renovasi. Meskipun telah direnovasi, nilai estetis dan budaya dari rumah ini tetap terjaga. Dimana,
rumah panggung ini masih menggunakan anyaman bambu (gedek) bermotif sebagai pelapis dinding
dan plafon, serta kolom dari kayu pohon nangka. Pada daun pintu masuk diberi ukiran benda-benda
pusaka yang tersimpan didalam rumah tersebut. Selain itu, suhu didalam rumah itu pun terasa
dingin.

Meski demikian, rumah ini pun memiliki kekurangan. Karena pada awalnya rumah ini dibangun
menggunakan bahan alam kering, maka rumah ini mudah terbakar. Selain itu, struktur bangunan ini
pun tidak bertahan lama, dan tidak tahan terhadap serangan rayap. Maka dari itu, dalam jangka
waktu yang lama, struktur rumah ini bisa saja lapuk. Tetapi, setelah direnovasi rumah ini masih
memiliki unsure kayu dan anyaman bambu (gedek) pada dinding dan plafon yang mudah terbakar.
Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk membangun rumah itu pun relative mahal dan proses
pengerjaanya pun memakan waktu yang cukup lama.

Sejak dahulu, masyarakat daerah Sikka sudah bisa membangun bangunan, baik itu rumah maupun
istana. Pembangunan pada waktu itu lebih dikenal dengan istilah Laba Lepo Sorong Woga. Mereka
belum mengenal istilah arsitektur, tetapi mereka memiliki budaya merancang dan membangun
rumah. Cara dan proses yang mereka gunakan masih benar-benar tradisional dan terikat dengan
adat dan budaya mereka. Seiring perkembangan teknologi, bahan dan proses perancangan diperoleh
dengan cara modern dan mudah. Akan tetapi, untuk perancangan rumah Lepo Kirek ini jika
dilakukan zaman sekarang maka, dibutuhkan analisa lebih teliti dari berbagai unsure, salah satunya
unsure adat. Dimana masyarakat daerah Sikka ini, masih memiliki kepercayaan akan hal-hal mistis
dan mereka menggangapnya benar-benar berpengaruh dalam proses pembangunan.

Dari hal ini, disimpulkan bahwa perpaduan antara teknologi modern dan budaya tradisional dalam
pembangunan, bisa menghasilkan suatu karya yang tidak hanya unik dan memenuhi persyaratan
suatu karya arsitektur, tetapi juga bisa menjaga kebudayaan asli daerah Sikka. Sehingga dalam
proses pembangunan, bangunan itu bisa dijadikan contoh karya arsitektur yang mengandung
unsure tradisional dan unsure modern. Dan dengan menggabungkan kedua unsure tersebut maka,
akan menghasilkan karya arsitektur yang bisa mencirikhaskan masyarakat daerah Sikka yang kaya
akan budaya.

NAMA ANNA MARIA SELVIANA


NIM 023160003
PRODI ARSITEKTUR

Anda mungkin juga menyukai