PENDAHULUAN
63
Suatu kenyataan bahwa perubahan kebudayaan dalam suatu masyarakat
dapat berpengaruh pada perkembangan arsitektur suatu daerah. Hal ini terbukti
dalam ungkapan “arsitektur adalah cerminan budaya”. Pengertian diatas mau
menegaskan bahwa arsitektur erat kaitannya dengan budaya. Sehingga ketika
kebudayaan berubah, maka arsitekur pun akan ikut berubah pula. Seperti halnya
yang terjadi pada kebudayaan dan arsitektur masyarakat suku Naibobe di kampung
adat Nansean, Kecamatan Insana, Kabupaten Timor Tengah Utara.
Lewat studi Antropologi Vernakular dan hasil wawancara dengan para tua
adat setempat, tim penulis menemukan bahwa modernisasi dan globalisasi sungguh
membawa perubahan dalam pola kehidupan masyarakat suku Naibobe, namun
sebagai manusia yang berbudaya justru mayarakat mereka tetap memelihara
karakter dari kebudayaan yang ada yakni Kejujuran, kesederhanaan, kebenaran,
cinta, iman dan keindahan yang menjadi “Roh” yang terungkap baik dalam
kebudayaan maupun arsitektur masyarakat suku Naibobe. Hal ini ditegaskan dalam
nasihat agung Thomas Aquinas bahwa Keindahan adalah pancaran kebenaran.
(Mangun Wijaya, 2013)
Masyarakat suku Naibobe sebagian besar penganut agama katolik. Selain itu
juga, mereka sangat mencintai adat istiadat dan kebiasaan yang diwariskan oleh
para leluhur. Disetiap rumah adat yang ada di Nansean masih dijumpai “Hau Teas”
yang merupakan tiang kurban/persembahan untuk para leluhur.
Dalam kehidupan sosial masyarakat Nansean arsitektur telah mengalami perubahan,
namun budaya dan adat istiadat masyarakat di Desa Nansean yang ramah dan
harmonis masih tetap terjaga. Begitu pula dengan rumah adatnya, ada beberapa
perubahan dalam penggunaan material, namun fungsi dan bentuk dari rumah adat
tersebut masih tetap dipertahankan. Hal ini dapat dijumpai pada rumah adat Suku
Naibobe yang merupakan salah satu suku yang ada di kampung adat Nansean.
63
1.2 IDENTIFIKASI MASALAH
1.4.1 Tujuan
Ada beberapa tujuan dari studi lapangan ini, diantaranya:
Untuk mengetahui kebudayaan dan kehidupan masyarakat suku Naibobe di
kampung adat Nansean.
Untuk mengetahui perkembangan pola kehidupan dan budaya masyarakat
suku Naibobe.
63
1.4.2 Sasaran
Sasaran dalam penelitian ini yaitu :
Agar memahami kebudayaan dan kehidupan masyarakat suku Naibobe di
kampung adat Nansean.
Agar nilai-nilai sosial budaya Suku Naibobe dipahami dan dihargai sebagai
warisan leluhur yang memiliki harkat dan martabat tinggi.
Agar pengetahuan tentang nilai sosial budaya dan arsitektur Suku Naibobe
menjadi suatu panduan dalam ilmu pendididikan, khususnya antropologi
vernakular.
1.4.3 Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui budaya dan kehidupan yang dimiliki
oleh masyarakat suku Naibobe di kampung adat Nansean sehingga walaupun
mengalami perubahan tradisi dan arsitekturnya, data keasliannya telah diketahui dan
didokumentasikan lewat studi antropologi vernakular ini.
63
1.6.1 Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan makalah ini, metode yang digunakan dalam pengumpulan data,
yaitu :
Data Primer
Data primer merupakan data yang secara langsung diperoleh dengan
63
Sistematika Penulisan Makalah ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisikan latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah,
tujuan, sasaran dan manfaat penelitian, ruang lingkup/batasan, metodologi dan
sistematika penulisan makalah ini.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA/LANDASAN TEORI
Bab ini menguraikan mengenai teori - teori yang berkaitan dengan pengetahuan
Antropologi dan Arsitektur Vernakular, teori pengetahuan perubahan kebudayaan
dan arsitektur Vernakular, teori pengetahuan tentang modernisasi dan globalisasi
dalam bidang kebudayaan dan arsitektur, serta teori pengetahuan norma dan
gagasan
BAB III : TINJAUAN ARSITEKTUR DAWAN/ATONI DI NANSEAN
Dalam bab ini berisikan lokasi studi, fisik dasar, sosial budaya dan arsitektur suku
Naibobe di kampung adat Nansean.
BAB IV : ANALISA
Bab ini menguraikan mengenai nilai-nilai dan konsep-konsep sosial budaya, konsep-
konsep arsitektur, dinamika perkembangan sosial budaya dan dinamika
perkembangan arsitektur suku Naibobe di kampung adat Nansean.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab berisi kesimpulan dan saran dari hasil studi lapangan antropologi
vernakular.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
63
1.1 ANTROPOLOGI ARSITEKTUR VERNAKULAR
63
1.1.3 Pengertian Arsitektur Vernakular
Secara etimologis kata Verna berasal dari bahasa latin yang artinya home
born slave (Nuttgents,1993). Kata Vernakular juga berasal dari vernaculus (latin)
berarti asli (native). Dalam ilmu bahasa (Linguistik), bahasa vernakular mengacu
pada penggunaan bahasa untuk waktu, tempat atau kelompok lokal/tertentu.
Dalam kebudayaan khususnya arsitektur, terminologi tersebut merujuk pada jenis
kebudayaan atau arsitektur yang berlaku ditempat tertentu/lokal (tidak meniru dari
tempat lain). Dengan demikian kebudayaan vernakular dapat diartikan sebagai
kebudayaan asli yang dimilki oleh suatu masyarakat yang tumbuh dari kondisi sosial
serta masih bersifat sederhana (Humble), merujuk pada karya manusia/penduduk
biasa (under priviledged, common people), dianut secara berkesinambungan
beberapa generasi, yang mencakup arsitektur, bahasa, seni dan musik.
Selain itu, ada juga pendapat para ahli mengenai arsitektur vernakular, yaitu :
Menurut Papanek (1995), arsitektur vernakular merupakan pengembangan
dari arsitektur rakyat yang memiliki nilai ekologis, arsitektonis dan alami
karena mengacu pada kondisi alam budaya dan masyarakat lingkungannya.
Sementara menurut Oliver (1997), dalam arsitektur vernakular terdapat saling
pengaruh antara unsur alam/lingkungan dengan budaya masyarakatnya.
Menurut Turan dalam buku Vernacular Architecture
Arsitektur vernakular adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari
arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat etnik dan berjangkar pada tradisi
etnik, serta dibangun oleh tukang berdasarkan pada pengalaman (trial and
error), menggunakan teknik dan material lokal.
Menurut Romo Mangunwijaya
Arsitektur vernakular itu adalah pengejawentahan yang jujur dari tata cara
kehidupan masyarakat dan merupakan cerminan sejarah dari suatu tempat.
Menurut Paul Oliver dalam bukunya yang berjudul Enclycopedia of Vernacular
architecture of the World
63
Mendefinisikan arsitektur vernakular sebagai suatu kumpulan rumah dan
bangunan penunjang lain yang sangat terkait dengan tersedianya sumber –
sumber dari lingkungan.
Menurut Yuliyanto Sumalyo dalam bukunya berjudul Arsitektur Modern
Vernakular artinya bahasa setempat; dalam arsitektur istilah ini dapat
digunakan untuk menyebutkan bentuk-bentuk yang menerapkan unsur-unsur
budaya, lingkungan termasuk iklim setempat yang diungkapkan dalam bentuk
fisik arsitektural, seperti tata letak, struktur, detail-detail bagian ornament dan
lain sebagainya. (Jeraman, Philipus.2018:Draf Kuliah Antropologi Arsitektur
Vernakular)
63
semua pandangan, pikiran, kebendahan, kemahiran, nilai – niali hidup, dan
organisasi sosial tertentu yang didapatkan melalui suatu proses pengalaman,
proses belajar, dan karena tidak sekedar naluri semata (Jeraman,
Philipus.2018:Draf Kuliah Antropologi Arsitektur Vernakular).
63
Dalam kelompok yang kedua, Rapoport menyebut bangunan primitif dan
bangunan vernakular sebagai bagian yang utama, sementara arsitektur modern
menjadi kasus spesial untuk kelompok pertama. Berangkat dari taksonomi ini,
Rapoport kemudian membedakan bangunan vernakular atas “pre-industrial
vernacular” dan “modern vernacular”. Kategori yang pertama lebih menunjuk pada
buah evolusi bangunan primitif, sementara yang kedua lebih berasosiasi pada
komunitas masyarakat yang melatarbelakangi kehadiran bangunan vernacular
tersebut.
Arsitektur tradisional (vernakular) Nusa Tenggara Timur, bukanlah arsitektur
yang mandeg, melainkan arsitektur yang dinamis dan senantiasa berkembang dari
waktu ke waktu. Perkembangan arsitektur tersebut secara umum dapat dipengaruhi
oleh 2 faktor utama, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang
mempengaruhi perkembangan arsitektur vernakular, antara lain sebagai berikut :
Pergeseran atau perkembangan kebudayaan
Perkembangan IPTEKS
Penemuan baru (material baru)
Perubahan waktu (jaman)
Program pembangunan (kepariwisataan serta sarana dan prasarana
transportasi). Sedangkan faktor internal yang mempengaruhi perkembangan
arsitektur vernakuler adalah
Penyusuaian terhadap material baru
Mempertahankan gengsi karena adanya daya saing
Material lokal mulai mengalami defisit
63
Modernisasi merupakan proses perubahan kultural dan sosio-ekonomis
dimana masyarakat-masyarakat sedang berkembang memperoleh sebagian
karakteristik dari masyarakat industri barat. Penggunaan kata masyarakat industri
menunjukkan bahwa proses modernisasi adalah sebuah proses perubahan dari
tradisional menuju modern. Modernisasi mencakup suatu proses transformasi total
kehidupan bersama yang tradisional atau pramodern dalam artian teknologis serta
organisasi sosial ke arah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri Negara-
negara barat yang stabil. Modernisasi suatu masyarakat adalah suatu proses
transformasi/suatu perubahan masyarakat dalam segala aspeknya. Secara
sederhana modernisasi adalah suatu upaya untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan dunia masa kini.
Pengertian Globalisasi Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari
kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan
Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai
ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum
memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition),
sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya
sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan
membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain,
mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan
menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat. Theodore
Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada
tahun 1985.
Jan Aart Scholte (Scholte,2002), melihat bahwa ada beberapa definisi yang
dimaksudkan orang dengan globalisasi:
Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan
internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan
identitasnya masingmasing, namun menjadi semakin tergantung satu sama
lain.
63
Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas
antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa,
maupun migrasi.
Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal
material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas
dapat menjadi pengalaman seluruh dunia. universalisasi dengan semakin
menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.
Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi
dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga
mengglobal.
Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan
keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih
mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global
memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara.
Norma adalah aturan – aturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang
berlaku di suatu lingkungan tertentu. Lingkungan, sosial (kemasyarakatan) dan
budaya (etnis atau suku) dalam arsitektur vernakular. Konsekuensi dari pengertian
arsitektur sebagai bagian atau cermin dari kebudayaan, maka arsitektur harus
tunduk terhadap pengertian kebudayaan. sehingga norma merupakan alat
pengontrol sekaligus sebagai pengikat agar bentuk yang merupakan gagasan tadi
dapat bertahan sebagai ekspresi dari masyarakat pemiliknya.
Gagasan yang berorientasi pada kebersamaan ini dimanifestasikan dalam
berbagai aspek kehidupan manusia termasuk dalam berarsitektur. Gagasan tersebut
diekspresikan pda bentuk fisik arsitektur (pola ruang luar, tata ruang dalam, struktur
bangunan, ornamen dan dekorasi, dll). Dengan kata lain bentuk fisik arsitektur
merupakan ekspresi dari suatu gagasan. Dengan demikian bentuk menjadi lambang
atau simbol dari gagasan.
63
Unsur Bentuk Pada Ranah Fisik. Beberapa referensi tentang arsitektur
vernakular mengemukakan bahwa salah satu karakter arsitektur vernakular adalah
bentuk. Pendapat ini terungkap antara lain menurut Fischer (1953), Morgan (1965),
Rapoport 23 (1969), Waterson (1991), Schefold (1997), Oliver (1997). Bentuk dapat
dikatakan sebagai media komunikasi untuk menyampaikan makna dan seorang
arsitek umumnya menggunakan bentuk untuk mengungkapkan maksud kepada
masyarakat. Agar komunikasi tersebut dapat diterima dengan baik maka bentuk juga
harus dapat terdefinisikan dengan baik. Hal tersebut membuat bentuk mempunyai
peran yang lahir dari fungsi, simbol, geografis maupun teknologi.
Menurut Alexander (1977), bentuk yang bagus itu bukan hanya indah, tetapi
juga bisa cocok dengan keadaan sekitarnya, bukan hanya memikirkan bangunan itu
saja, tetapi harus memikirkan konteksnya. Juga harus ada alasan dibalik kemunculan
dari bentuk yang ada kemudian. Unsur yang paling menonjol adalah bentuk
sehingga sesuai dengan temuan bahwa unsur bentuk sebagai salah satu unsur dari
arsitektur vernakular. Bentuk ini bisa dipahami dari wujudnya, warna, tekstur,
maupun proporsinya.
BAB III
TINJAUAN ARSITEKTUR DAWAN/ATONI DI NANSEAN
63
3.1 LOKASI STUDI
Penetapan pemilihan lokasi studi adalah tempat yang memiliki rumah adat
beserta perkampungan adatnya yang masih terjaga, yakni kampung Nansean.
Kampung ini merupakan wilayah bagian dari Desa Nansean, Kecamatan Insana,
Kabupaten Timor Tengah Utara. Timor Tengah Utara merupakan salah satu
kabupaten dari 22 kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur yang secara geografis
terletak antara 9˚02’ 48” LS dan antara 124˚04’02” BT - 124˚46’ 00” BT.
Lokasi Studi
63
menyebut diri mereka dengan sebutan Atoni Ainan. Suku-suku yang ada di Nansean
meliputi suku Taboy, Amasanan, Saunoah, Am’una, Amafnini, Amtonis, Amsabnani,
Naibobe dan Amfios.
Atoni Ainan ini dikenal sebagai atoin kuan (orang kampung/udik) dan lebih
sering disebut sebagai atoin nassi/atoin fui (orang hutan). Penyebutan itu
dikarenakan atoni ainan dalam kurun waktu yang cukup lama bermukim dan
berkebun di selatan wilayah kerajaan Insana yang keseluruhan wilayahnya dikelilingi
hutan yang hingga saat ini masih sangat terjaga.
Meskipun sudah di lokalisasikan dalam satu kawasan setingkat diatas
kampung yakni desa, namun kebiasaan, tingkah laku, norma dan adat-istiadat belum
terlepas dari kehidupan mereka sehingga tim penulis memakai kata KAMPUNG
sebagai pengganti dalam penyebutan DESA NANSEAN.
3.2.1 IKLIM
63
pada bulan Mei sampai Juni setelah selesai panen biasanya dimanfaatkan untuk
membangun tempat tinggal terutama renovasi rumah adat dan berbagai acara
seperti perkawinan dan sebagainya.
Lokasi Studi
3.2.2 TOPOGRAFI
63
Gambar 3.4 Hutan kayu putih, sebagai pembatas kampung adat Nansean
dan desa-desa tetangga. (Sumber: Dokumen Pribadi, 2018)
3.3.1 ASAL-USUL
63
SUKU NAIBOBE
Suku Naibobe merupakan salah satu dari Sembilan suku besar di
Kampung Adat Nansean. Suku yang mendiami seperempat bagian penduduk
Nansean ini asal-mulanya dari Inggris. Nenek moyang suku Naibobe adaalah
Nai Nobane dan Be’i Bit Lu’. Mereka datang melalui laut Abudenok atau tasi
mone (laut laki), dengan menunggangi be’e (buaya), tiba di Liurai-Malaka.
Keduanya lalu melanjutkan perjalanan dengan mengendarai seekor kuda
namanya anin bobe (angin Bobe) ke Oekusi, Timor Leste.
Dari Oekusi, mereka ke Maubesi lalu ke Ainan bagian Tuatnopa,
Sanam-Apunas lalu ke Fatu Snapa. Dalam kurun waktu yang begitu lama,
keluarga besar suku Naibobe dipindahkan dari Fatu Snapa ke Anain sebab
terjadi peperangan antara Naibobe dan prajurit Raja Sonbai karena tidak
memasukkan upeti kepada Benu Sila dan Banu Sila, bangsawan Liurai Sonbai
di Noemuti. Pada masa itu belum ada Kerajaan Insana.
Setelah itu, mereka diserang lagi untuk yang kedua kalinya sehingga
mereka harus pindah dari Anain ke Fatu Oe. Penyebab perpindahan yang
terus-menerus disebabkan lokasi bermukim mereka pada waktu itu masih
ditempat terbuka dan mudah untuk diakses oleh musuh. Meo atau panglima
perang yang menjaga suku Naibobe bernama meo Masu Seol Bae Musu.
Tahun 1964 dengan adanya desa gaya baru, masyarakat dikumpulkan disatu
tempat yang dikenal dengan Sipi Lete. Pada tahun 1997 mulai muncul
transmigrasi lokal, masyarakat suku Naibobe pindah ke Nansean di bagian
Tain Muit sampai saat ini. (Hasil wawancara dengan Bapak Mikhael Kolo,
salah satu tua adat suku Naibobe pada tanggal 21 Agustus 2018).
63
Gambar 3.4 Peta existing kompleks ume leu suku Naibobe
(sumber: google earth)
63
Gambar 3.5 Rumah adat suku Naibobe
(sumber: dokumen pribadi, 2018)
Adat istiadat masyarakat suku Naibobe hingga saat ini masih menjadi salah
satu tradisi yang awet dan terjaga meski sedikit mengalami perubahan akibat
hempasan arus globalisasi sebagai perubahan zaman. Bertahannya tradisi ini karena
dipayungi slogan adat suku Naibobe;
”hai nonno lof kan lia neu manas, kan fuf neu ulan, kan noe neu betis, niun
met oe ponet”
“Adat kami tak akan lekang oleh panas, tak akan lapuk karena hujan,
63
dipindah tidak layu, dibasuh habis air”.
Kelekatan adat istiadat bagi masyarakat suku Naibobe tidak hanya dengan
keberadaan rumah adatnya saja tetapi nilai-nilai tradisi sukunya sebagai titipan
leluhur yang bukan sebatas diketahui tapi wajib diwariskan. Suatu penyadaran besar
yang tumbuh dan mengakar pada diri mereka itu senantiasa dialiri norma serta
berbagai pantangan. Hal ini menjadikan mereka sebagai masyarakat yang selektif
dengan tradisi-tradisi baru.
Walaupun demikian, kepatuhan akan norma adat bukanlah tameng untuk
menolak tradisi lain tapi digunakan sebagai kendaraan yang mengikuti zaman
dengan tetap mengikuti jalur selektifitas. Kenyataan itu terlihat jelas dalam tradisi
suku Naibobe yang banyak ditemukan perpaduan adat istiadat dan kebiasaan lain
yang memiliki keharmonisan tersendiri sekaligus keunikan untuk dikaji lebih
mendalam.
Adat istiadat dan tradisi yang menjadi kekhasan suku Naibobe meliputi;
pembangunan rumah adat (ume leu), lumbung (lopo), rumah tinggal (ume kobas),
berkebun (meup lele), penyerahan atau pemasukan upeti kepada raja (tama’
maus), tutur adat (takanab), kelahiran hingga pemberian nama (tapoen liana),
kematian hingga pemakaman (mates/maten), perkawinan (matsaos), berburu
(tapoa), bertenun (teun/tenus), pantangan (nunni), lambang suku (malak), sunat
(helet) dan pendidikan (skol).
63
Tahap perencanaan, biasanya sebelum enam bulan pengerjaan.
Awalnya, kepala suku atau penjaga rumah adat akan memberitahu nefu hala
(amaf-amaf/tua-tua adat para pendamping) untuk meyiapkan lokasi, mencari
hau mtasa (kayu merah) utuh untuk ni aina (tiang induk) dan ni ana (tiang
penopang) serta hau teas (hau monef; istilah untuk orang biboki) dari kayu
nikis. Kayu-kayu ini hanya boleh diamati dan diperiksa kelayakannya, tidak
boleh dipotong apalagi diberitahu keberadaannya.
Setelah dua atau tiga bulan berikutnya, mereka yang ditugaskan akan
datang melaporkan perkembangan hasil penacriannya. Apabila sudah
disetujui kepala suku, disepakatilah hari, minggu dan bulan tertentu untuk
memulai pengerjaan. Amaf-amaf ditugaskan lagi untuk mengumumkan
kepada kolo-manu (anggota suku) soal hasil yang disepakati. Anggota suku
ditugaskan untuk nantinya membawa beras 1kg, seekor ayam merah jantan
yang sudah bisa berkokok dan berjambul, satu botol sopi, jagung satu kuda
(istilah orang ainan untuk jumlah jagung 312 puler) yang nantinya
dibarterkan dengan babi merah jantan.
Material yang wajib dibawa terdiri dari suaf (usuk) dari hau lasi,
tampani (reng) dari ranting cemara berdiameter 5-7 cm, non sekko dari kok
naba, jenis tumbuhan dengan batang berdiameter 2-5 cm dengan panjang
±7 meter, sifat kayunya elastis. Non sekko merupakan kumpulan dari 10-15
batang kok naba yang digabungkan lalu diikat berbentuk lingkaran dengan
diameter disesuaikan dengan diameter rumah adat. Biasanya dipasang dari
bagian dalam sebagai tempat dudukan usuk dan penguat konstruksi rangka.
Kemudian, humusu (alang-alang) sebagai material penutup atap.
63
Kayu tidak boleh dipotong pada musim hujan, tetapi pada bulan-bulan
tertentu seperti Mei, Juni, Juli dan Agustus atau pada bulan-bulan yang tidak
terdapat huruf R. Hal ini untuk mengurangi kadar air dan menghindari
kerusakan kayu akibat fufuk atau dimakan rayap sehingga kayu yang
digunakan bisa bertahan lebih lama.
63
berdiri tiang induk, dipancanglah ni ana (tiang penyanggah/penopang) yang
jumlahnya berdasarkan jumlah oe leu dan hau leu atau berdasarkan jumlah
amaf-amaf pendamping. Posisi tiang-tiang anak harus membentuk pola
lingkaran yang mengandung makna ‘kesatuan’. Tinggi tiang dari tanah
berkisar 1 sampai 1,2 meter, sedangkan tiang induk dipancang dengan
mengarah ke lokasi oe leu yang dianggap sebagai nenuk-ma’tanek atau
sumber kekuatan dengan tinggi 6-7 meter.
Setelah tiang penopang dan tiang induk berdiri, dipasanglah non niufa
diatas cabang-cabang tiang anak yang melingkar mengikuti pola tiang-tiang
tersebut yang diikat menggunakan peppe (bilahan tangkai daun lontar)
sebagai alat sambung. Berikutnya, dipasang nete bifo (kayu bubungan
penghubung tiang Liurai-Sonbai) lalu mulai menghubungkan pasangan suaf
(usuk) yang masing-masing ujungnya telah dilubangi dan yang lainnya dibuat
meruncing kemudian dikaitkan lalu diikat.
Berikutnya, dipasanglah tampani (reng) sebagai tempat melekatnya
humusu (sebagai penutup atap). Pemasangannya dilakukan oleh dua orang
atau lebih dengan berlawanan arah. Ujung dari pertemuan tampani tidak
boleh selisih sebab dianggap sebagai kemarahan para leluhur. Apabila ada
keselisihan dalam proses pemasangan, maka tampani yang telah terpasang
wajib dibongkar untuk diulangi dari awal dengan mengadakan ritual dengan
mempersembahkan ayam jantan merah sebagai wujud permohonan maaf.
Jarak antar tampani ± 30cm.
Tahap selanjutnya, dipasangnya non seko sebagai stabilisator antar
jurai. Setelah melewati tahap-tahap ini, sampailah pada proses pengatapan.
Humusu yang diikat setebal tangan manusia itu disusun secara berjejer lalu
diikat diikat dengan peppe pada tampani. Dilakukan secara berulang hingga
tertutup sampai bubungan.
Diatas bubungan, dijadikan tempat duduk kepala suku yang
memegang tua nakaf (arak yang terbuat dari cairan lontar) yang diisi dalam
tuke (pengganti botol dari bambu). Arak tersebut akan diberikan pada orang
pertama yang lebih cepat mencapai bubungan karena cara mengatapnya
63
yang cepat dan lincah. Selanjutnya, diletakkan tobes sebagai penutup
bubungan.
Tahap berikutnya adalah pemasangan nabbit sebagai pengapit dinding.
Pengapit terdiri dari dua, yakni pengapit bawah dan pengapit atas yang
dipasang dari bagian dalam dan diikat dengan peppe dan akasia sebagai jenis
kayu yang dipakai. Selanjutnya dipasang dinding hingga mengisi semua celah
antar tiang dengan hanya menyisahkan nessu bife (pintu untuk perempuan)
dan nessu atoni (pintu untuk laki-laki). Material dinding yang dipakai adalah
bebak. Bebak dipasang dari bagian dalam kemudian diapit lagi menggunakan
kayu akasia.
3
63
6 7
4 5
Gambar 3.5 Material pembentuk rumah adat suku Naibobe
(Sumber: Dokumen pribadi)
Keterangan:
1. tani (tali)
2. non niufa
3. suaf (usuk)
4. ni ana (tiang anak)
5. bena (papan)
6. tampani (reng)
7. neffo (ring balk)
63
dan penyelenggara). Cabang yang kedua diyakini sebagai adat istiadat
sedangkan yang paling pendek merujuk pada pemerintahan.
63
1 3
2
Keterangan:
1. Melambangkan uis neno (Tuhan penguasa langit)
2. Melambangkan adat istiadat suku Naibobe
3. Melambangkan para leluhur
4. Fatu bena tempat menyimpan persembahan
5. Fatu bena tempat untuk menyembelih hewan kurban
6. Bakki sebagai pondasi dari hau teas
Pembangunan lumbung (lopo) dan makna filosofinya
63
Lopo dalam tradisi orang ainan difungsikan sebagai tempat
penyimpanan hasil panen, busana adat (sebagai harta karun tertinggi), alat-
alat musik tradisional dan berbagai anyaman. Lebih dari sekadar khasanah,
lopo hadir membawa filosofi ruang dengan simbolisasi tersirat yang hanya
bisa dipahami dengan kepekaan rasa akan pengulangan (sequence) aktivitas
didalamnya.
Di tempat inilah awal mulanya tamu diterima lalu disuguh dengan siri
dan pinang sebagai ucapan selamat datang. Orang dawan meyakini bahwa
sebelum memasuki rumah tinggal, terlebih dahulu melewati lopo sehingga
hal-hal yang dianggap ‘panas’ yang dibawa dari luar dapat dan boleh
tertinggal.
Pada masing-masing tiang lopo, terdapat papan bulat yang melingkari
masing-masing tiang. Diatas papan ini disimpan batu-batu pelat tempat jiwa
para leluhur berada. Diyakini bahwa mereka yang datang dan berada dalam
lopo, dengan sendirinya akan ‘didinginkan’ dari ‘panas’ yang dibawa dari luar
oleh leluhur yang berada dalam lopo tersebut.
Lopo juga biasanya dijadikan tempat tidur bagi kaum laki-laki untuk
menjaga kaum wanita dan anak-anak didalam rumah. Dilihat dari segi
fungsinya, lopo seolah-olah sudah menjadi pengganti ruang tamu. Oleh sebab
itu, banyak dijumpai ragam hias, ornamen dan berbagai lukisan yang
dipajang ditiang-tiang lopo.
Didalam lopo terdapat dua balai-balai dari papan dengan tinggi yang
berbeda. Balai-balai yang paling tinggi biasanya dibagian kanan sebagai
tempat duduknya kaum laki-laki sedangkan yang paling rendah merupakan
balai-balai untuk kaum perempuan yang ditempatkan dibagian kiri dari arah
masuk kedalam lopo.
Proses pembangunan lumbung berbeda dengan ume leu. Lopo pada
umumnya tidak disakralkan urutan proses pembuatannya tapi tetap diadakan
ritual walaupun hewan kurbannya tidak disyaratkan. Arah hadap lopo
biasanya diorientasikan ke jalan raya atau pintu gerbang. Jarak dengan
63
rumah tinggal tidak boleh dekat ataupun terlalu jauh. Bila terlalu dekat
dengan rumah ataupun pohon-pohon peneduh, memungkinkan tikus untuk
dengan mudah menjangkau bangunan. Keberadaan lopo pun tidak boleh
terlalu jauh sehingga mudah dan cepat diakses dari rumah tinggal (ume
kobas).
63
- Kok naba yang nanti dipakai sebagai non sekko
- Ranting kayu cemara atau bambu sebagai tampani
- Ne’sat, bambu belah untuk penutup lantai loteng
- Humusu sebagai material penutup atap
- Nefu sut sebagai penahan balok-balok lantai
- Nefu tunis sebagai pengapit nesat
Tahap pengerjaan
Pembangunan lopo biasanya dikerjakan secara bergotong-royong
bersama tetangga, kerabat suku ataupun keluarga. Dimulai dengan
menancapkan keempat tiang pada masing-masing lubang yang telah
disediakan terlebih dahulu. Setelah dipastikan kekokohan dan
keseimbangannya, dipasanglah keempat papan kayu pada masing-masing
tiang. Berikutnya dinaikkan nefu sut yang terdiri dari dua batang pohon kayu
merah diatas keempat tiang yang ujung dari tiang-tiang tersebut sudah
dibuatkan cabang untuk dudukannya.
Tahap selanjutnya adalah pemasangan nefu tunis sebagai tempat
diletakkannya ne’sat lalu diapit lagi menggunakan nefu tunis. Lalu
lingkarkannya non sekko dengan pola kbubu (bulat) melewati ujung masing-
masing nefu tunis. Berikutnya didirikan tiang-tiang induk yang ditancapkan
pada nefu tunis dibagian lantai lopo. Kemudian dipasangnya nete bifo, suaf
dan tampani.
Bagian selanjutnya adalah proses pengatapan dengan sistem yang
kurang lebih sama dengan cara pengatapan ume leu. Setelah itu, dipasanglah
tobes sebagai penandaan selesainya pengatapan. Tobes biasanya terbuat dari
jenis-jenis kayu yang lunak seperti kapok. Terakhir dari semua pengerjaan
ditandai dengan ritual yang dilansungkan dalam lumbung baru dengan
menyembelih seekor ayam jantan merah. (hasil wawancara dengan Bapak
Silvester Atini Naibobe, 19 Oktober 2018).
63
Gambar 3.8 Ruang dalam lopo suku Naibobe.
(sumber: dokumen pribadi, 2018)
63
tradisi orang ainan sebagai atoni afuatab (penuh hormat) dan atoni anelat
(rendah hati).
Balai-balai dalam setiap ruang tidur biasanya memakai empat tiang
bercabang dari pohon akasia yang ditanam dalam tanah dengan ketinggian
yang sama ±50 cm dari permukaan tanah. Alasnya menggunakan bilahan
bambu (nesat) yang dibentang memanjang mengikuti ukuran balai-balai
tersebut. Balai-balai bambu ini dikenal orang ainan dengan istilah hala nesat.
Selain dijadikan rumah tinggal, ume kobas digunakan untuk
menyimpan pakaian sehari-hari. Sedangkan pakaian adat dan barang-barang
berharga lainnya disimpan diatas lopo. Ume kobas sebagai rumah modern
yang berdinding, dengan memiliki dua buah pintu dan berjendela. Kedua
pintu ini berada ditengah sebagai sumbu yang membagi ume kobas menjadi
dua bagian yang sama. Pintu depan (neus matfa) biasanya berukuran lebih
lebar dari pintu belakang (neus kotef).
63
Berkebun (meup lele)
63
Gambar 3.9 Labu kuning, turis, sorgum dan kapas sebagai tanaman perkebunan
Suku Naibobe
(sumber: elangnusantara.wordpress.com)
Alat-alat berkebun yang lazim digunakan oleh orang ainan terdiri dari parang
(benas) dan kapak (fanni). Ada dua jenis parang yang dikenal dengan sebutan ben
ainaf dan ben an happi. Ben ainaf (parang induk) bentuknya pendek dan lebar,
dipakai orang ainan untuk menebang pohon-pohon yang berukuran sedang. Ben an
happi (parang anak) hanya dipakai untuk jenis pohon yang berukuran kecil dan
lunak. Sedangkan fanni dikhususkan untuk pohon-pohon yang batangnya besar dan
keras seperti pohon beringin (nunuh).
Tahap-tahap meup lel feu bagi orang ainan khususnya masyarakat suku
Naibobe adalah sebagai berikut:
Nonno Banne
Merupakan tahap awal meup lel feu dimana pada tahap ini semua laki-laki
anggota suku pergi mengecek netto atau lokasi bagian hutan yang akan
dijadikan kebun.
Tas Matta
Setibanya di lokasi, masing-masing menuju hutan bekas kebun nenek-
moyang mereka yang sudah ditinggalkan bertahun-tahun lamanya. Sejak
kecil, orang tua biasanya membawa anak lakinya untuk menunjukkan tanah
milik mereka disetiap netto yang merupakan warisan oleh para pendahulu.
Batas kebun (nakat) biasanya berupa tumpukan batu (faut matupu), pagar
dari susunan batu yang dibuat memanjang (bakki), sungai (nono’) atau
pohon-pohon besar yang sengaja tidak ditebang tapi hanya dipangkas
rantingnya.
Setelah itu, dibuat tulisan lambang suku (malak) pada batang pohon
berukuran besar sebagai tanda bahwa telah ada orang lain yang akan
membuka kebun baru ditempat ini. Adapun tanda lain berupa hasil tebangan
beberapa pohon. Istilah penandaan ini dikenal dengan sebutan tas matta.
Lef Nono
63
Adalah tahap dimulainya proses penebangan pohon-pohon
menggunakan benas dan fanni. Sebelum memasuki tahap ini, terlebih dahulu
dilakukan ritual dengan menyembelih ayam jantan merah sebagai kurban
kepada penjaga kebun itu di ainuana.
Ainuana atau tempat bersemayamnya uis naijan (Tuhan atas tanah)
biasanya berupa batu besar yang berada ditengah-tengah kebun. Ritual itu
sebagai permohonan ijin sehingga dalam rutinitas pembuatan kebun tersebut
tidak ditemukan hal-hal yang mencelakakan dan fanni benas kaisan pas ma
nbeok (kapak dan parang tidak bengkok).
Proses penebangan dimulai dari pohon-pohon yang berukuran kecil,
terutama bambu. Hal ini dimaksudkan agar pohon-pohon besar ketika
ditebang tidak tersangkut. Tahap ini biasanya memakan waktu kurang lebih
tiga hingga empat minggu tergantung dari luas kebunnya.
Tanene’ hau ana’
Selesai proses penebangan, dipotonglah ranting-ranting pohon menjadi
bagian yang lebih kecil yang dikenal dengan istilah tanene hau ana.
Berikutnya hanya menunggu ranting tersebut kering.
Mnotos
Satu bulan kemudian setelah ranting pohon yang telah ditebang sudah mulai
kering, kepala suku mengeluarkan instruksi dengan menentukan hari
diadakannya pembakaran massal atau mnotos pada kebun mereka. Pola
pembakarannya mengelilingi kawasan yang sudah ditebang. Hanya beberapa
orang yang ditugaskan untuk membakar dibagian dalam dengan sudah
terlebih dahulu disiapkan jalan keluarnya.
Tsifo Nopo
Pada tahap ini, semuanya kembali berkumpul disuatu tempat yang disebut
tokko untuk mengadakan ritual kepada uis naijan sebagai rasa syukur karena
semua prosesi mnotos berjalan dengan lancar. Dikurbankannya sapi dan
beberapa ayam jantan sebagai bukti rasa syukur mereka.
Ta’ tuak
63
Keesokan harinya setelah mnotos, para lelaki kembali ke kebunnya masing-
masing untuk memeriksa dan memastikan kalau semua pepohonan yang
telah ditebang sudah habis terbakar. Apabila masih tersisa beberapa
tumpukan yang tidak sempat terbakar, maka tumpukan itu dipotong menjadi
bagian yang lebih kecil lagi lalu dibakar. Proses ini dikenal dengan ta ‘tuak.
Sanne
Setelah tahap ta’ tuak selesai, dibuatlah pondok (sanne) sebagai
tempat peristirahatan sementara ketika berada dikebun. Ada dua tipe Sanne
yang dikenal orang ainan yakni tipe sanne pele dan sanne bijae saha’. Sanne
pele’ merupakan pondok yang paling sederhana dengan atap berbentuk
miring. Lain halnya dengan sanne bijae saha yang bentuknya sedikit rumit
dengan pembuatannya yang cukup lama. Atapnya berbentuk pelana. Material
penutup atap menggunakan daun gewang. Kelebihan material ini antara lain;
mudah didapat dan proses pengatapannya yang lebih cepat dibandingkan
alang-alang.
Sanne biasanya didirikan pada lokasi yang paling tinggi dalam kebun
tersebut. Tujuannya supaya mudah untuk mengontrol hasil tanaman dari
ancaman binatang-binatang yang biasanya merusak dan memakan hasil
tanaman. Alasan tidak didirikan sanne ditempat terendah dalam kebun karena
tempat itu biasanya menjadi tempat yang stabil, tidak mudah longsor dan
tentunya adalah tempat yang paling subur.
Senat
Ketika memasuki musim hujan, kebun yang sudah bersih tersebut mulai
ditanami dengan berbagai tanaman seperti jagung, labu kuning, sorgum dan
kacang-kacangan. Setelah jagung tumbuh setinggi lutut orang dewasa, baru
ditananami umbi-umbian seperti singkong, kentang, kapas dan talas. Untuk
kapas tidak ditanam tetapi dihambur saja biji-bijinya diseluruh bagian kebun.
Tofas
tofas atau tofa dilakukan saat semua jenis tanaman tumbuh. Biasanya hanya
sekali tofa dalam sekali panen. Alat yang digunakan berupa tofa dengan dua
bentuk yang berbeda. Ada yang berupa pelat dengan lebar ±5cm-10cm
63
dikhususkan untuk jenis tanah yang bebatuan dan berupa pelat dengan lebar
lebih dari 10cm.
Mnah Feu
Mnah feu merupakan salah satu tradisi atoni ainan yang masih
dilestarikan hingga saat ini. Tata cara yang dilakukan sebagai wujud
persembahan kepada uis neno (Tuhan atas langit) karena telah memberikan
hujan secukupnya sehingga tanamannya bisa tumbuh dengan subur,
persembahan kepada uis naijan (Tuhan atas tanah) atas kebaikan hatinya
yang dia berikan lewat puler-puler jagung dan umbi-umbian yang besar,
banyak dan melimpah. Mnah feu juga sebagai wujud rasa berterima kasih
kepada leluhur sebagai afe manikin ma oetene (pemberi dingin dan
kesejukan) dan sebagai apaot ma anikit (penjaga dan penghalang) dari
berbagai macam gangguan dan ancaman kepada pemilik kebun.
Sekta
Sekta merupakan tahap memanen hasil tanaman yang sudah siap untuk
dipanen. Puler jagung yang sudah kering dan buah labu yang sudah matang
dipetik, diisi dalam bakul (oko) lalu disusun rapih didalam sanne. Setelah
dipastikan semua hasil panen sudah diamankan, selanjutnya dipindahkan ke
lopo menggunakan bikase (kuda). Sesampainya di lopo, puler-puler jagung
tersebut diikat terlebih dahulu baru disimpan diatas lopo. Puler jagung yang
63
besar dipisahkan lalu diikat pada non sekko sebagai persiapan bibit untuk
musim tanam berikutnya.
Berburu (tapoa)
Bentangan hutan ainan yang luas menjadi habitat bagi binatang liar
seperti rusa, babi hutan, monyet,sapi liar, tupai dan sebagainya. Sehingga
tidak mengherankan bila orang ainan sangat pandai dalam hal berburu
(tapoa). Mereka sebagai pemasok daging terbaik dan terbanyak di wilayah
Insana dan sekitar.
o Non tui lalan; mengecek dan memastikan jalan yang biasa dilalui oleh
binatang buruan seperti rusa dan sapi liar.
63
o Poa’; mereka yang merupakan sisa dari yang bukan akenat, mulai
memasuki hutan dengan menggunakan anjing mereka masing-masing
untuk mencari dan mengusir keluar binatang-binatang buruan
tersebut. Para pengusir (apoat) harus berusaha sedemikian rupa
sehingga binatang-binatang tersebut berlari melewati tui lalan. Saat
tembakannya mengenai sasaran, akenat harus memberitahukan
teman-temannya dengan teriakan isyarat atau meniup peluitnya.
o Helet ma batis
(Hasil wawancara dengan Bapak Blasus Leu, tokoh adat suku Naibobe
yang ahli dalam hal berburu).
Pantangan (nunni)
Pantangan (nunni) masing-masing suku berbeda. Suku Naibobe pantang
untuk memakan daging tupai, daging anjing, pucuk beringin yang biasa
dijadikan sayur dan tidak menggunakan ranting pohon kapok maupun pohon
beringin untuk dijadikan kayu api. Apabila dengan sengaja melanggar
pantangan ini, maka orang tersebut dalam waktu yang cepat akan meninggal.
Ketika melanggar pantangan, harus cepat mengaku kepada penjaga rumah
adat untuk meminta maaf kepada leluhur dengan membunuh ayam jantan
merah.
63
dapur agar tidak mengeluarkan bau. Keesokan harinyanya, tali pusar tersebut
dibawah oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan pakaian adat
lengkap untuk disimpan diatas pohon kusambi. Pasangan yang dipilih ini
biasanya memiliki keahlian dalam bidang tertentu terutama dalam seni. Orang
ainan meyakini bahwa biasanya bayi akan mewarisi sifat dari kedua orang
tersebut.
Sesampainya dipohon kusambi, laki-laki memanjat pohon tersebut lalu
disimpannya lalla’ pada salah satu cabang. Dibawah pohon kusambi,
perempuan yang tadinya menggendong lalla’ menari dan bernyanyi dengan
riang menunggu laki-laki turun dari pohon. Keduanya lalu kembali ke rumah si
bayi. Setibanya dirumah, kedua orang ini menyuguhkan siri-pinang kepada
sanak keluarga yang sudah menunggu sebagai tanda bahwa telah selesai
disimpan pusar bayi tersebut.
Hari berikutnya, merupakan momen untuk memberikan nama kepada
sang bayi. Pemberian nama lazimnya menggunakan nama-nama arwah dari
leluhur kedua orang tua bayi tersebut. Pada malam sebelum dilaksanakan
prosesi ini, leluhur yang ingin namanya disandangkan pada anak tersebut
akan datang pada kedua orang tuanya lewat mimpi.
Nama-nama leluhur suku Naibobe diantaranya; Funan, Bone, Safe,
Atini dan Laki. Tahap pemberian nama ini dilakukan oleh dua orang
perempuan berpakaian adat lengkap yang duduk berhadapan dengan kedua
kakinya diluruskan kedepan sedangkan sang bayi disimpan diantara
bentangan kaki salah seorang dari mereka dengan kepala menghadap kearah
jari-jari kaki.
Kedua perempuan tersebut mulai memainkan peran mereka dengan
salah satunya seolah mencari bayi untuk dibeli. Setelah mencapai
kesepakatan, si pembeli menanyakan nama bayi tersebut. Lalu perempuan
yang berperan sebagai ibu kandung si bayi meyebutkan nama yang sudah
terlebih dahulu diberitahu oleh orang tua bayi yang diperoleh dari mimpi.
Tahap yang terakhir, si bayi dimandikan menggunakan air pemali dari
ibu kandungnya. Hal itu sekaligus menaikkan nono atau adat yang dianut ibu
63
sang bayi sebab sang ayah belum berhak menaikkan adatnya karena belum
membayar mahar atau belis sebab adat suku dawan pada umumnya
mengikuti garis keturunan ibu. (Hasil wawancara dengan Maria tefa, tokoh
perempuan suku Naibobe).
Matsaos (perkawinan)
Sistem perkawinan orang ainan biasanya dijodohkan oleh keluarga atau orang
tua sejak masih anak-anak. Orang tua dari laki-laki akan menuju kerumah
orang tua perempuan sebagai silahturahmi sekaligus permintaan kesepakatan
dari orang tua sang perempuan untuk dijodohkan.
Terjemahannya:
A: “Saya datang dengan tujuan untuk membeli babi”
B: “Saya punya babi tapi masih kecil, belum sampai waktunya untuk dijual”
A: “Meskipun belum besarpun biarkan saya untuk menandai salah satunya
terlebih dahulu”
A: “Mau diberikan tanda pada yang hitam atau yang putih?”
B: “Biar yang putih saja”
A: “Baik”.
63
Tahap ini dikenal dengan istilah no’ nessu atau ketuk pintu. Ketuk pintu
sebagai penanda bahwa pasangan ini telah menikah. Setelah dalam kurun
waktu tertentu dan pasangan tersebut telah memiliki anak, dilaksanakanlah
tahap selanjutnya yakni toes tua’ .
Toes tua’ (tuang sopi) sebagai makna pengganti air susu ibu bagi
orang tua kandung sang perempuan. Mahar yang dibawa berupa loet petak
(uang perak), loet likton (uang ringgit) dan sapi. Tahap selanjutnya setelah
toes tua’ adalah tsea’ bife feu. Pada tahap ini, laki-laki menaikkan nonno atau
adatnya kepada istri beserta anak-anak yang sudah dibagi terlebih dahulu
dalam kesepakatan di waktu tis tua’.
Sang perempuan beserta anak-anak yang mengikuti adat ayahnya
dikeluarkan dari rumah adat sang perempuan menuju rumah adat sang laki-
laki dengan berbagai ritual dan tari-tarian. Ketika sudah memasuki rumah
adat sang laki-laki, tidak diperbolehkan lagi untuk masuk ke rumah adat
aslinya.
Bertenun (teun/tenus)
Tradisi menenun bagi kaum perempuan merupakan warisan yang wajib
dipelajari dan dilestarikan oleh warga suku Naibobe. Dengan menggunakan
bahan kapas (abas) serta bahan pewarna berupa hukki (kunyit), tau no’o
(daun taru) dan alat-alat tenun seperti ikke, sutti, kubi, nekna, aitsa, siaba,
ut, pua paun, niu na, para perempuan dapat menghasilkan beti dan tais
(pakaian adat). Tempat menenun biasanya menggunakan lumbung atau
dibuatkan tempat khusus berupa sanne.
63
Gambar 3.10 Tradisi menenun oleh suku Dawan pada umumnya.
(sumber: ulinulin.com)
3.3.3 KESENIAN
63
dengan keinginan kita. Alat-alat musik di atas masih di gunakan sampai saat ini.
Gambar 3.9 Gong dan gendang merupakan alat musik suku Naibobe.
(sumber: bukantrik.com)
3.3.3.2 Seni Tari
Jenis tarian yang masih dilestarikan masyarakat setempat hingga saat ini
antara lain; Tarian Perang/Tarian Ronggeng (Bso’ot), tarian Bidu (Bilut) dan Tarian
Bonet. Tarian ini biasa di pentaskan di luar rumah atau pada tempat terbuka ketika
diadakan upacara adat,upacara perkawinan dan upacara peneriamaan tamu.
63
Gambar 3.10 Tarian Ronggeng dan Bidu
(sumber:Maubesi.blogspot)
63
Busana yang lazim dikenakan pada tari-tarian ini biasa mengunakan busana adat,
meliputi:
- Petno’o; Mahkota.
- Kikis / Sabaul none ; baju yang terbuat dari kumpilan uang logam.
- Foke; Gelang kaki.
- Suni; Klewang.
- Aluk; Tas
- Mollo; Kalus.
- Niti; Gelang tangan.
- Passu noni; Ikat pinggang.
- Pilu; Pengikat kepala.
Sunni
Pet No’o
Passu none
nit
Bet Aluk
Bet ana’
Buk Haef
63
Jenis seni kriya yang masih dikembangkan oleh masyarakat suku Naibobe
adalah ayaman dan tenun ikat.
1). Jenis ayaman, meliputi:
Nahe; Tikar
Oko; Bakul
Tu’as; ayaman tempat ketupat
Pese; Kipas
Ti’o; Tempat siri bagi laki-laki
Kabi / Okomama; Tempat siri bagi perempuan
Tupa; Nyiru
Kohe; Tempat menyimpan buku
Kulat; Sejenis kohe yang biasa dipakai sebagai tas penyimpananbekal
Taka; Wadah penyimpanan beras, jagung, kacang dan sejenisnya yang
memiliki penutup
Kol keta; Sangkar ayam yang terbuat dari daun lontar dan daun gewang.
Ayaman-ayaman ini menggunakan dua jenis bahan yakni daun gewang dan daun
lontar. Biasanya hasil anyaman di sipan di atas lumbung, rumah tinggal dan rumah
adat.
Gambar 3.12 Tio dan Kabi, tempat menyimpan sirih dan pinang.
(sumber: threadsoflife.com).
63
tenun Lote
tenun Ikat / Futus.
Jenis bahan yang digunakan dalam pembuatan tenun ikat antara lain kapas
(Abas), tumbuhan Taru (Taun), kemiri (Fenu), kapur (Ao), kunyit (Huki). Alat yang
digunakan terdiri dari senu Neakna dan Monaf. Fungsi dari tenun ikat ini sebagai
pakaian sekaligus selimut biasanya kaum perempuan menenun di tempat terbuka
seperti lopo.
63
Nilai-nilai yang menjadi kebudayaan dengan ciri dan kekhasan suku Naibobe
antara lain:
Nilai religius
Kepercayaan akan adanya uis neno (Tuhan atas langit), uis
naijan (Tuhan atas tanah) dan jiwa yang hidup para be’i na’i (leluhur )
diwujudkan dalam bentuk ritual-ritual dengan berbagai macam
pantangan yang penuh kesakralan.
Uis neno diyakini sebagai Tuhan Yang Maha Tinggi dan tak
terjangkau (uis amnanut) dan Tuhan pencipta dan penyelenggara
(amoet apakaet). Uis naijan sebagai Tuhan penjaga dan pelindung (uis
apaot ma abilut) sedangkan be’i na’i sebagai penuntun hidup (alut).
Be’i na’i juga diyakini sebagai perantara manusia dengan uis neno.
Nilai kesenian
Kesenian sebagai wujud tertinggi yang muncul sebagai kehalusan dan
kesantunan akan budi manusia. Orang Insana pada umumnya dan
Naibobe khususnya dikenal dengan masyarakat malile ba’e (suka seni).
Hal itu terbukti dengan masyarakatnya yang pada .umumnya hebat
dalam memainkan alat musik tradisional dan lincah dalam menari.
Usapi toe insana, insansa malile ba’e : pohon kusambi bercabangkan
Insana, Insana yang suka seni.
Bahasa
Bahasa merupakan nilai yang paling awal dikenal oleh masyarakat.
Uab meto (bahasa dawan) adalah bahasa yang digunakan dalam
berkomunikasi dan bersosialisasi antar anggota suku. Uab meto atau
uab laban hingga saat ini masih bertahan namun kata-kata tinggi yang
biasa digunakan dalam berpantun atau berkomunikasi dalam forum
yang formal sudah mulai dilupakan.
Organisasi sosial
63
Struktur adat dalam suku Naibobe adalah sebagai berikut:
Kepala suku; biasanya sudah merupakan keturunan nenek
moyangnya yang dahulunya menjadi pemimpin suku tersebut.
Orang yang menjadi pemimpin suku tersebut harus mempunyai
kharisma dan jiwa kepemimpinan yang tidak ditemukan pada
anggota suku lain. Ciri lainnya seperti kerendahan hati, adil dan
bijaksana.
Penjaga rumah adat; merupakan saudari dari kepala suku. Dialah
yang memegang kunci rumah adat dan menjaga harta karun dari
suku tersebut yang tersimpan didalam rumah adat.
Kolo-manu
Sebutan bagi masyarakat biasa. Merekalah sebagai anggota suku
yang hidup berdampingan dengan kepala sukunya.
Sistem ekonomi
Sistem perekonomian didalam masyarakat suku Naibobe hanya dengan
memanfaatkan hartanya untuk dibarterkan. Setelah belasan tahun
kemerdekaan Indonesia, baru mulai mengenal rupiah sebagai alat
yang digunakan untuk bertransaksi dipasar. Mulai saat itu pula
masyarakat mulai memasarkan berbagai jenis anyaman, tenunan dan
binatang piaraannya untuk diuangkan.
Sistem teknologi
Teknologi yang digunakan pada umumnya masih bersifat sederhana.
Untuk membersihkan kebun, biasanya menggunakan tofa dan parang.
Bahan-bahan untuk menenun masih memanfaatkan bahan yang
didapatkan dari alam.
3.4 ARSITEKTUR
63
3.4.1 Tapak
Pola permukiman
Dalam wawancara lanjutan dengan Bapak Silvester Atini Naibobe
menjelaskan bahwa permukiman awal Suku Naibobe berpola
mengelompok/tanean (cluster) dengan rumah adat dan rumah kepala suku
berada ditengah-tengah permukiman. Sedangkan di bagian pinggir
dikhususkan untuk tempat tinggal para meo dalam suku tersebut. Rumah
adatnya tetap menghadap pada oe leu (air pemali). Untuk membedakan
rumah adat dengan rumah tinggal anggota suku biasanya ditekankan dan
diperbanyak pada ragam hiasnya. Adanya transmigari lokal pada tahun 1997
sebagai awal masyarakat ainan bermukim mengikuti pola yang sudah dibuat
terlebih dengan pola linear mengikuti jalan raya.
63
dibuatlah dua pintu gerbang dengan bagian timur menuju ke Desa
Susulaku sedangkan bagian barat menuju ke Desa Letneo.
Rumah adat suku Naibobe berbentuk bulat (kbubu) dengan berukuran lebih
besar dan lebih tinggi dari rumah tinggal. Karena bentuknya bulat maka
rumah adat ini lebih dikenal dengan istilah ume kbubu.
Gambar 3.4.2 Tipologi rumah adat suku Naibobe yang berbentuk bulat.
(sumber: Dokumen pribadi, 2018).
Filosofi bentuk bulat pada ume kbubu sebagai satu kesatuan pikiran dan
hati (nekaf mese ma ansaof mese) antar anggota suku dan sebagai suku
yang cinta damai. Masyarakat suku Naibobe meyakini bahwa bangunan yang
bentuknya bulat akan mudah mencapai kesepakatan dan solusi dari sebuah
masalah apabila musyawarahnya dilakukan didalam bangunan tersebut.
3.4.4 Struktur dan konstruksi
63
Sistem struktur bangunan baik ume tola, lopo maupun ume kobas pada
umumnya tiang-tiang penyanggah menggunakan sistem jepit atau ditanam.
Sedangkan perkuatan antara tiang dan balok diikat menggunakan peppe.
3.4.5 Material
Material yang digunakan pada konstruksi rumah adat dan lopo terdiri
dari jenis kayu yang memiliki kekuatan dan keawetan tertentu seperti; hau
lasi, pohon cemara atau kasuari, kok naba, kayu merah, kayu putih, mahoni
dan mopuk (mopuk kelapa, lontar, gewang dan pinang).
Material penutup atap menggunakan daun gewang dan daun alang-
alang. Material-material ini biasanya dikeringkan terlebih dahulu hingga kadar
airnya berkurang sehingga tidak mudah dimakan rayap. Penggunaan material
kayu biasanya dipakai secara utuh baik itu tiang, balok maupun usuk dengan
hanya mengupas kulitnya saja.
Kayu-kayu yang digunakan dalam konstruksi rumah adat hanya
tumbuh pada hutan tertentu sehingga hutan tersebut biasanya dijadikan
sebagai hutan larangan. Masyarakat dilarang untuk berkebun disekitar atau
didalam hutan tersebut. Apabila melanggar aturan tersebut, maka harus
menerima sanksi atau hukum adat dengan memberi makan tokoh-tokoh adat
dengan menyembelih sapi sebagai bentuk permohonan maaf kepada leluhur.
Hutan itu hanya boleh ditebang pohonnya untuk keperluan rumah adat.
Keberadaan ragam hias banyak dijumpai pada pintu masuk, tiang anak
dan tiang induk rumah adat berupa ukiran atau pahatan menyerupai manusia,
tumbuhan, binatang dan benda langit seperti bulan dan bintang. Sedangkan
di lopo, ragam hiasnya biasanya dijumpai pada keempat tiangnya berupa
pahatan motif tumbuhan dan binatang.
Untuk suku Naibobe sendiri, ragam hias yang ditemukan berupa ukiran
manusia, buaya dan bintang sebagai simbol kedatangan leluhur mereka
dengan mengendarai buaya dari arah bintang kejora. Dalam lanjutan
penjelasan Bapak Silvester menyatakan bahwa dahulunya rumah adat suku
Naibobe kaya akan ragam hias. Namun, setelah masuknya para misionaris di
63
pulau Timor khususnya di ainan, seluruh rumah adat dibakar karena dianggap
sebagai penyembahan berhala.
Gambar 3.4.6 Ukiran pada dinding dekat pintu masuk rumah adat
(sumber: Dokumen pribadi, 2018)
BAB IV
ANALISA
Sosial budaya sebagai suatu totalitas dalam tatanan nilai dan tata laku
manusia dalam masyarakat yang menjadi ciri khas masyarakat itu sendiri.
Mengacu pada kehidupan bermasyarakat yang menekankan pada aspek adat
istiadat dan kebiasaan masyarakat.
Menurut Burnett, kebudayaan adalah keseluruhan berupa kesenian,
moral, adat istiadat, hukum, pengetahuan, kepercayaan dan kemampuan olah
pikir dalam bentuk lain yang didapatkan seseorang sebagai anggota
masyarakat dan keseluruhan bersifat kompleks.
63
Sebagai suatu tradisi yang lahir dari masyarakat tentu memiliki
berbagai dampak terhadap tingkah laku masyarakat itu sendiri. Sosial budaya
hadir dengan membawa dampak yang positif karena sebagai pedoman dalam
hubungan antara manusia dengan komunitasnya, sebagai smbol pembeda
antara manusia dengan makhluk lainnya, sebagai petunjuk tentang cara
berperilaku dalam kehidupan sosial, sebagai modal dasar dalam
pembangunan kehidupan manusia dan sebagai ciri khas masing-masing
kelompok manusia.
Selain memberikan dampak positif, keebudayaan juga memberikan hal
yang negatif terhadap masyarakat seperti menimbulkan kerusakan lingkungan
dan kelangsungan ekosistem alam, mengurangi dan menghilangkan ikatan
bati antar anggota sosial masyarakat serta mengakibatkan kesenjangan sosial
diantar komunitas masyarakat.
Kaitan antar kebudayaan dengan sosial masyarakat adalah bila terjadi
perubahan sosial otomatis kebudayaan dimasyarakat tersebut juga ikut
berubah. Manusia sebagai pencipta dan pengguna kebudayaan tersebut harus
selalu bisa menjaga dan melestarikan apa yang sudah mereka buat.
4.2 Arsitektur
Menurut Abdul Azis Said (2004: 49) dalam draf kuliah yang disusun Ir. Pilipus
Jeraman, MT (dosen arsitektur UNWIRA Kupang) menyatakan bahwa pada semua
kebudayaan tradisional , rumah merupakan karya manusia dalam wujud tiga
dimensional yang dianggap memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan.
Rumah menciptakan ‘ruang khayal’ didalam ruang nyata yang dapat dipergunakan,
tempat yang membatasi ‘sesuatu’ terhadap dunia sekitarnya dan bertujuan
menjadikan manusia sebagai ‘bagian utama’ dari lingkungan sekelilingnya.
Bagi masyarakat tradisional, rumah didirikan, dihuni dan dipergunakan oleh
manusia, bukan sekadar untuk mewadahi kegiatan fisik belaka, yang hanya
mempertimbangkan segi kegunaan praktis semata seperti untuk tidur, bekerja dan
membina keluarga. Bagi mereka, rumah merupakan alam khayal pikiran dalam
wujud nyata yang mewakili alam semesta, Dimana alam pikirannya selalu diliputi
oleh mitos dan bayangan terhadap sesuatu (dewa-dewa) yang mempunyai
kekuatan atau kekuasasan yang mengatur alam ini.
63
Oleh karena itu, membangun sebuah rumah berarti menciptakan sebuah
‘alam kecil’ (mikrokosmos) didalam alam semesta (makrokosmos), sehingga
dianggap memulai hidup baru. Hal inilah yang menjadi konsep dasar dalam setiap
upaya mendirikan suatu bangunan pada masyarakat tradisional. Rumah tradisional
dibeberapa daerah diakui mempunyai banyak signifikansi. Ruang didalam rumah
yang merupakan wadah tiga dimensional, tidak hanya sebagai suatu bagian yang
membatasi ruang dengan sekelilingnya secara fisik, tetapi juga dalam arti
keberadaannya sebagai ruang yang merupakan ungkapan simbolik.
Pada umumnya, arsitektur rumah adat dan rumah tinggal dalam kehidupan
masyarakat budaya Nusa Tenggara Timur memiliki arti dan makna tertentu, baik
secara praktis maupun religious. Para ahlii antropologi, sosiologi dan arkeologi
mengatakan bahwa arsitektur dan penataan rumah-rumah adat dan rumah tinggal
dalam kebudayaan masyarakat budaya Nusa Tenggara Timur berkaitan erat dengan
makna-makna simbolis dan religious.
63
Cepatnya perkembangan jaman dan derasnya arus globalisasi
menjadikan manusia untuk bergerak mengikuti arus tersebut. Pergerakan itu
menimbulkan gesekan antara kebudayaan dengan jaman sehingga terjadi
perubahan yang sangat jelas dalam kebudayaan itu sendiri meskipun tidak
mengalami perubahan secara total.
Kebudayaan baru yang dibawa arus globalisasi tersebut diterima dan
ditiru dalam bentuk perpaduan atau akulturasi. Perubahan-perubahan yang
menyangkut kebudayaan suku Naibobe, antara lain:
Perkawinan/matsaos
Dahulu, untuk menentukan pasangan nikah itu ditentukan oleh orang tua.
Namun setelah dikenalnya handphone genggam, dalam berinteraksi
dengan sesama tidak lagi disekat oleh berbagai aturan dalam adat. Hal ini
memungkinkan terjadinya pernikahan lintas suku dan daerah. Meskipun
demikian, tata cara perkawinan masih tetap disakralkan dengan adat dari
masing-masing pasangan tersebut.
Cara berpakain
Busana orang dulu masih menggunakan beti dan tais sebagai penutup
tubuh mereka. Dengan adanya globalisasi ini, masyarakat mulai mengenal
baju dan celana yang tidak sama sekali merupakan budaya sendiri
melainkan budaya barat yang diadopsi.
Kesenian
Perubahan dibidang kesenian dianggap paling cepat karena berhubungan
langsung dengan tren anak-anak muda. Pada jaman dahulu, upacara adat
maupun perkawinan hanya menggunakan alat-alat musik dan tarian
tradisional. Sekarang sudah mulai dikenal alat-alat musik modern dengan
jenis tari-tarian yang beragam sebagai pengiring saat upacara-upacara itu
diadakan.
63
Pergeseran atau perkembangan kebudayaan
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan sains (IPTEKS)
Penemuan baru (material baru)
Perubahan jaman
Program pembangunan (kepariwisataan serta sarana dan prasarana
transportasi).
63
Disisi lain, norma memiliki peran penting dalam keberlanjutan
(kesinambungan) suatu arsitektur. Pergeseran atau perubahan pada norma
akan berdampak pada pergeseran atau perubahan nilai-nilai/makna pada
arsitektur yang bersangkutan. Dampak lebih lanjut dari pergeseran nilai-
nilai/makna tersebut bukan tidak mungkin akan mengakibatkan terjadinya
perubahan bentuk suatu arsitektur (Jeraman, Pilipus. Draf Kuliah Antropologi
Arsitektur Vernakular, 2018: 35-36)
Secara umum, perubahan atau dinamika perkembangan arsitektur yang
ditemukan dalam rumah adat suku Naibobe yakni fungsi bangunan dan
bentuk tetap tapi bahan atau material mengalami perubahan. Perubahan ini
dapat ditemukan pada penggunaan umpak beton sebagai pengganti umpak
batu.
63
menggunakan material non lokal (material pabrikasi) dianggap sebagai orang
yang mampu secara ekonomi dan status sosialnya meningkat.
Penyebab berikutnya sebagai adaptasi yang keliru terhadap
perkembangan dunia masa kini. Dalam kasus ini penggunaan material baru
memiliki trend baru dengan tanpa mempertimbangkan kelemahan dari
material tersebut. Terbatasnya vegetasi tanaman untuk material bangunan
tertentu seperti alang-alang. Dampak dari kondisi ini secara ekonomis harga
alang-alang relative mahal karena sulit untuk didapatkan.
Peraturan pemerintah juga merupakan salah satu penyebab penggunaan
material pabrikasi. Sebagai contoh, penggunaan tiang-tiang beton pada
bangunan tradisional di NTT dewasa ini terutama disebabkan oleh larangan
penebangan kayu secara bebas oleh Dinas Kehutanan.
Gambar 4.4.2 Tiang beton dan seng pada lopo sebagai bentuk perubahan
penggunaan material alami dengan menggunakan material pabrikasi.
(sumber: dokumen pribadi, 2018).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
63
5.1 KESIMPULAN
63
karena setiap arsitektur tradisional (vernakular) memiliki vitalitas, yakni
kemempuan untuk berevolusi atau berkembang.
5.2 Saran
63