Living Document
KATA SAMBUTAN
Puja dan puji syukur perlu kita panjatkan kehadirat Allah SWT.
Atas hikmat dan rahmat-Nya Naskah Akademik Kebijakan Transmigrasi
2015-2019 ini dapat selesai disusun secara tepat waktu dan tanpa ada
hambatan apapun.
Naskah ini disusun atas dasar semangat dan kebutuhan untuk
melakukan perubahan saat ini dan di masa depan, pemenuhan
ekspektasi publik, dan akomodasi berbagai gagasan kritis-kreatif
tentang ketransmigrasian. Tentu saja, kita berharap moga-moga semua
gagasan dan konsep yang telah dirumuskan di dalam naskah ini dapat
terwujud, sehingga kerja-kerja intelektual yang telah dilakukan benar-
benar memberikan manfaat bagi semua.
Dengan kaidah-kaidah metodologis penulisan ilmiah, tim
penyusun naskah ini telah bekerja keras melakukan analisis dan
interpretasi terhadap berbagai gagasan dan aspirasi publik tentang
ketransmigrasian yang saat ini berkembang. Berbagai forum telah
diselenggarakan untuk menghimpun bahan dan masukan, baik dialog-
Living Document
fungsional peneliti, pejabat structural dan para staf, di lingkungan
Puslitbangtrans, Balitfo.
KATA PENGANTAR
Sejarah transmigrasi di Indonesia telah memperlihatkan, bahwa
dalam usianya yang lebih dari satu abad (lebih dari seratus tahun
sejak tahun 1905) transmigrasi mampu bertahan sebagai program
pemerintah. Meskipun Kabinet pemerintahan silih-berganti, namun
transmigrasi tetap bertahan, baik sebagai program pembangunan
maupun sebagai nomenklatur kelembagaan birokrasi.
Sejarah transmigrasi, yang sudah sangat panjang, merupakan
bukti bahwa transmigrasi memang selalu diperlukan bagi Indonesia,
untuk membangun negeri berkepulauan, penuh dengan ketimpangan,
baik ketimpangan hasil ekonomi, pembangunan, antar wilayah, desa
kota, maupun ketimpangan persebaran penduduknya.
Maka kedudukan transmigrasi kedepan akan semakin kuat,
bukan saja sebagai pembangunan negeri Indonesia, sebagai bagian
dari pelaksanaan amanat Undang-Undang, tetapi juga sebagai jalan
alternatif bagi sebagian masyarakat untuk memperbaiki taraf hidupnya.
Kita semua boleh menyadari, bahwa transmigrasi adalah
pelaksanaan amanat UUD 1945, untuk mencapai Indonesia yang
Living Document
berbagai perangkat perundangan, dalam mencapai tujuan berbangsa
dan bernegara. Hal ini berarti bahwa kedepan transmigrasi akan tetap
dibutuhkan, dipertahankan dan dilaksanakan.
Dengan menyadari semua itu, maka pada tahun 2013 ini,
Puslitbang Transmigrasi berkepentingan untuk menyusun sebuah
Naskah Akademik tentang Arah Kebijakan Transmigrasi 2015-2019,
sebagai dokumen kebijakan, yang diharapkan dapat menjadi dasar
bagi penyusunan kebijakan strategis dan praktis pada kurun tersebut.
Kerja keras telah dilakukan oleh Tim Penyusun dari Puslitbangtrans,
yang terdiri dari para Peneliti, Pejabat Struktural, dan para staf. Hasil
kerja telah terwujud dalam sebuah karya besar yang dapat dan haraus
dibaca oleh semua pihak. Tentu saja, sebagai Kepala Puslitbangtrans,
kami wajib memberikan penghargaan, terima kasih, dan atensi yang
sebesar-besarnya kepada mereka yang telah memberikan jasa-jasa
intelektual guna penyelesaian penyusunan Naskah ini. Semoga semua
yang telah diberikan menjadi kebaikan bagi semua.
DAFTAR ISI
KATA SAMBUTAN i
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
BAB 1 PENDAHULUAN 1
BAB 2 URGENSI TRANSMIGRASI BAGI INDONESIA:
Landasan Filosofis, Historis-Sosiologis dan Yuridis 11
A. LANDASAN FILOSOFIS 12
B. LANDASAN HISTORIS 17
C. LANDASAN YURIDIS 25
BAB 3 LINGKUNGAN STRATEGIS 29
A. LINGKUNGAN GLOBAL 30
1. Kesepakatan MDGs 30
2. Kesepakatan AFTA 32
3. Kesepakatan APEC 33
4. Komitmen Terhadap Forum G-20 34
B. LINGKUNGAN NASIONAL 35
1. Ketimpangan Demografis 35
2. Ketimpangan Wilayah 41
Living Document
3. Ketahanan Pangan 42
4. Ketersediaan Energi 46
5. Ketenagakerjaan, Kemiskinan dan
Pengangguran 49
6. Perluasan Kesempatan Kerja 54
7. Iklim Investasi 56
8. Lingkungan Hidup 58
Living Document
3. Kelembagaan yang Menangani Urusan
Ketransmigrasian 141
a. Dasar Pertimbangan 141
b. Arah Kebijakan 142
4. Kebijakan berdasarkan Hasil Penelitian,
Pengembangan dan Data serta Informasi 143
a. Dasar Pertimbangan 143
b. Arah Kebijakan 143
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Rencana Tindak Pembangunan Jangka Menengah
2010-2014 Program Pembangunan Kawasan
Transmigrasi 77
Tabel 2. Rencana Tindak Pembangunan Jangka Menengah
2010-2014 Program Pengembangan Masyarakat
dan Kawasan Transmigrasi 79
Tabel 3. Realisasi Penempatan Transmigrasi Menurut Jenis
Transmigrasi Tahun 2010-2014 84
Tabel 4. Skenario Penataan Persebaran Kekuatan Ekonomi
Dan Persebaran Penduduk di Wilayah Nusantara 105
Tabel 5. Sub Urusan Pemerintah Bidang Ketransmigrasian 139
Tabel 6. Hubungan Misi dan Sasaran Strategis
Ketransmigrasian 150
Living Document
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Profil Persebaran Penduduk 1930-2010 3
Gambar 2. Peta Ilustrasi Ketimpangan Populasi 4
Gambar 3. Peta Ilustrasi Ketimpangan Ekonomi 4
Gambar 4. Floods in Java 2000-2008 39
Gambar 5. Landsudes in Java 2000-2008 39
Gambar 6. Peta Strategis Ketransmigrasian 152
Living Document
Bab I
PENDAHULUAN
Pengertian transmigrasi dalam UU No. 29 Tahun 2009 adalah
perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan
kesejahteraan dan menetap di kawasan transmigrasi yang
diselenggarakan oleh Pemerintah. Interpretasi terhadap definisi
tersebut bahwa pembangunan transmigrasi pada dasarnya merupakan
suatu upaya untuk merekayasa ruang atau wilayah agar mempunyai
nilai tambah dan daya tarik bagi penduduk untuk mendatanginya,
bertempat tinggal di dalamnya, dan untuk bekerja-berusaha guna
peningkatkan kesejahteraan. Masyarakat transmigrasi, baik para
pendatang ataupun masyarakat (penduduk lokal), yang berada di
satuan-satuan permukiman dalam kawasan transmigrasi, merupakan
entitas kehidupan sosial sebagai subyek, pionir, sekaligus pemanfaat
pembangunan transmigrasi.
Pembangunan transmigrasi telah berhasil menciptakan wilayah-
wilayah baru berbasis komoditas unggulan, baik sebagai pusat
pertumbuhan baru, maupun sebagai pendukung pusat pertumbuhan
yang telah ada, sehingga mempercepat pembangunan daerah. Melalui
1
Sumber: Data PusdatinTrans (2010).
2
Hasil penelitian Najiyati et al. (2005, 2006) bahwa sebanyak 2.115.309 Kepala
Keluarga telah ditempatkan, kesejahteraan transmigran meningkat dibandingkan
kehidupan di daerah asal sebelumnya, dan kesempatan kerja yang diciptakan tidak
hanya terbatas pada sektor pertanian, tetapi juga sektor-sektor non pertanian
lainnya baik di hulu maupun hilirnya.
belum ada, maka dokumen RKT itu digunakan sebagai masukan dalam
penyusunan RTRKP.
Dari sisi pembangunan kependudukan, transmigrasi akan
Living Document
tetap memperhatikan masalah-masalah kependudukan sebagai
basis perencanaan pembangunan. Di samping sebagai bagian dari
pembangunan kewilayahan (spasial), transmigrasi masih akan menjadi
bagian dari pembangunan kependudukan, yang oleh karenanya harus
mempertimbangkan isu-isu kependudukan, seperti kuantitas, kualitas,
serta mobilitas dan persebaran penduduk, sebagai basis perencanaan
pembangunan3 .
Salah satu isu penting dalam ranah kependudukan yang menjadi
persoalan nasional adalah ketimpangan persebaran penduduk, berupa
fenomena aglomerasi demografis. Hingga saat ini Indonesia masih
menghadapi persoalan aglomerasi penduduk di Indonesia Bagian
Barat, yang dicirikan dengan jumlah penduduk Indonesia yang berada
di Pulau Jawa lebih dari separuhnya (58%). Aglomerasi ini relatif tidak
berubah sejak tahun 1930 hingga saat ini, padahal luas Pulau Jawa tidak
lebih dari 7% wilayah Indonesia. Selengkapnya lihat tabel 1, berikut.
Wolfgang Fengler. 2009. Indonesia’s Economic Geography and Fiscal Decentralization: 10 Years after Designing the Big Bang.
Luas pulau Jawa sekitar 7% dari seluruh luas daratan Indonesia JOBS FOLLOW
Ditempati Sekitar 60% dari Total penduduk Indonesia
Kontribusi
1/7/2014 Pulau Jawa Menyumbang 59% PDRB nasional
harry hs PEOPLE 7
4
Sumber: World Bank (2011).
Fenomena ini terjadi tidak lain dari pembangunan yang bias pada
jobs follow people, berupa semakin deras dan besarnya arus urbanisasi
ke wilayah perkotaan tertentu di wilayah Barat Indonesia. Fenomena
Living Document
yang berkelanjutan memicu munculnya perangkap bagi negara-
negara berpenghasilan menengah untuk naik menjadi kelompok
berpenghasilan tinggi. Dengan kata lain, upaya untuk menebar
kekuatan ekonomi melalui transmigrasi menjadi kurang optimal
dengan adanya fenomena jobs follow people.
Di Indonesia ada fenomena yang menjadi ancaman dan membuat
stagnansi pendapatan per kapita penduduk bagi negara-negara
berkembang Asia yang telah sukses meningkatkan pendapatannya dari
kelompok rendah ke kelompok menengah (US $ 2.000 – 6.000), yaitu
meningkatnya populasi usia lanjut, masifnya arus urbanisasi, serta
terganggunya etika lingkungan yang tidak mampu meredam dampak
pembangunan terhadap kerusakan planet. Kekhawatiran ini semakin
beralasan bila dikaitkan dengan fenomena urbanisasi yang begitu
kuat, yaitu migrasi desa-kota tidak lain sebagai akibat dari adanya
kemiskinan perdesaan dan meningkatnya upah perkotaan5 .
Seperti diketahui, bahwa jumlah penduduk Indonesia saat ini telah
berada pada peringkat ke 4, setelah Cina, India, dan Amerika Serikat.
Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 237.6 juta jiwa6 , disertai
dengan fenomena pertumbuhan yang sangat cepat, persebaran yang
tidak seimbang, kualitas yang rendah, dan komposisi yang sebagian
besar berusia muda. Karakteristik demografis Indonesia dicirikan
oleh dominasi (64% atau 151 juta jiwa) kelompok usia produktif (15-
59 tahun). Dengan karateristik yang demikian, pada periode (2020-
2030) Indonesia diperkirakan segera memasuki window of opportunity,
sehingga dapat memanfaatkan bonus demografi dalam pembangunan
sepanjang dapat memenuhi semua persyaratan7 .
5
Sumber Haruhiko Kuroda (ADB 2011).
6
BPS Tahun (2010).
7
Bonus demografi adalah suatu kondisi ketika struktur penduduk suatu negara
dicirikan oleh beban penduduk yang harus ditanggungnya (kelompok anak-anak
dan lansia) lebih kecil dari 50 %, atau porsi kelompok usia produktif lebih besar
dibandingkan dengan beban yang harus ditanggungnya, sehingga kondisi pada
periode ini merupakan modal dasar bagi peningkatan produktivitas ekonomi dan
pengembangan pasar domestik.
Living Document
kesehatan, dan fasilitas publik menjadi krusial. Tantangan pada
tahun 2014–2019 terdapat hal-hal penting seperti hadirnya ASEAN
Economic Community (AEC) yang efektif berlaku Desember 2015 dan
pelaksanaan Agenda Pembangunan Dunia Pasca-MDGs 2015. Dengan
semakin terbukanya pasar global menjadikan konsumen di wilayah
perdagangan bebas tersebut tidak lagi membedakan pasar domestik
atau pasar internasional dalam memperoleh barang dan atau jasa yang
dibutuhkan dengan harga yang bersaing8 . Implikasi selanjutnya di
wilayah tersebut akan terjadi fenomena: (1) konsumsi global dengan
pendapatan lokal; (2) berlakunya hukum satu harga untuk barang dan
atau jasa yang ditawarkan; dan (3) pemenang akan menguasai pasar.
Konsensus global tentang Millenium Develelopment Goals (MDGs)
akan berakhir pada tahun 2015, Sebagai kesepakatan pembangunan
internasional, MDGs telah mendorong negara-negara anggotanya
untuk memajukan berbagai aspek pembangunan. Seperti diketahui,
ada 8 (delapan) tujuan dari Pembangunan Millenium (MGDs), yang
telah disepakati para pemimpin dunia pada pertemuan puncak PBB
tahun 2000, dengan target-target spesifik pemecahan masalah terkait
dengan ketransmigrasian, yaitu: (1) pengentasan kemiskinan, (2)
pendidikan, (3) kesetaraan gender, (4) kesehatan anak dan ibu, (5)
stabilitas lingkungan, dan (6) kemitraan global untuk pembangunan.
Lebih jauh dari itu menyongsong kedepan, pembangunan transmigrasi
juga diletakkan dalam kaidah-kaidah Sustainable Development Goals
(SDGs), sebagai wujud dari pasca-MDGs. Kaidah-kaidah tersebut
satu sama lain terkait antara dinamika kependudukan dengan aspek
keadilan sosial, masalah lingkungan, dan pembangunan ekonomi.
Dengan adanya perubahan-perubahan pada ranah pemikiran
dan wacana ketransmigrasian, serta tantangan dan situasi eksternal,
maka pemahaman baru transmigrasi yang lebih inklusif dan
Living Document
periode 2015-2019.
Living Document
Bab II
URGENSI TRANSMIGRASI BAGI INDONESIA:
Landasan Filosofis, Historis-Sosiologis
dan Yuridis
Pemikiran filosofis, historis, sosiologis dan yuridis transmigrasi
jelas akan memperkukuh kedudukan dan urgensi transmigrasi
bagi Indonesia. Gagasan tentang hakikat (filsafat) transmigrasi
memberikan legitimasi secara logis bahwa transmigrasi, baik secara
semantis maupun substansial, adalah bagian dari sunnatullah. Karena
itu pikiran-pikiran jernih tentang transmigrasi perlu terus digali agar
transmigrasi tidak kehilangan makna hakikinya, baik bagi masyarakat
sebagai pelaku dan pemanfaat (beneficiaries), maupun bagi pemerintah
sebagai agen pembangunan.
Sementara itu, sosiologi transmigrasi sebagai fenomena khas
Indonesia, telah diakui dan dirasakan oleh masyarakat, sebagai sarana
[alternatif] pemecahan masalah ketiadaan pekerjaan, sekaligus
pencapaian kesejahteraan. Transmigrasi telah begitu popular, dikenal
masyarakat, karena jasa-jasanya dalam membentuk komunitas/
masyarakat, yang bermukim di desa-desa baru di berbagai belahan
negeri ini. Banyak entitas kehidupan sosial-ekonomi dan kultural, yang
terbentuk melalui transmigrasi, yang kini telah maju dan berkembang.
A. Landasan Filosofis
Living Document
bergerak berputar-melingkar seperti spiral, dalam keabadian, tidak
berpermulaan dan tidak berkesudahan. Tidak ada hakikat lain bahwa
hakikat itu sendiri adalah gerak (pergerakan) atau perpindahan, yang
pada dasarnya merupakan suatu perubahan ke arah yang lebih baik.
Jika disepakati bahwa yang ada adalah gerak, pertanyaan yang
muncul adalah, kemanakah tujuan dari setiap gerak segala sesuatu
di alam semesta ini?. Filsafat teleology (filsafat tentang tujuan),
berpandangan bahwa tujuan gerak adalah kesempurnaan, peremajaan,
pengejawantahan kembali, revitalisasi atau hidup kembali11 .
Jadi, gerak atau perpindahan, adalah hukum semesta, atau hukum
alam [Sunnatullah]. Tuhan menciptakan benda-benda (bumi dan
benda-benda angkasa lainnya) dalam keadaan bergerak, berpindah
dari satu ruang ke ruang lain, agar semua benda tersebut terus dan
tetap bergairah, menghirup angkasa luas tanpa batas, sehingga dengan
gerak itu maka segala sesuatu menjadi mungkin.
Manusia adalah makhluk bagian dari alam semesta, karena itu ia
juga terikat dengan hukum alam, hukum gerak. Secara eksistensial,
gerak manusia pertama adalah gerak pertumbuhan fisik, dari
pembuahan [janin], kelahiran, kekanakan, ketuaan, hingga kematian.
Gerak kedua adalah keruangan, yaitu gerak manusia sebagai penghuni
semesta (bumi) atau benda langit, yang berpindah dan berputar dalam
poros dan orbitnya, dalam tata surya maupun dalam galaksi. Gerak
ketiga adalah gerak atomis, yaitu gerak seluruh organ dan sel tubuh,
metabolism, sirkulasi darah, pergantian sel, dan napas kehidupan
itu sendiri. Gerak keempat adalah gerak sosial dan spasial, yaitu
perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain, dan satu kondisi ke
kondisi lain, dan seterusnya. Dengan kata lain, manusia adalah bagian
dari makhluk semesta yang selalu bergerak. Gerak adalah hakikat
dasar dari segala sesuatu sebagai bagian dari semesta.
Living Document
manusia memiliki kehendak bebas, dan karena itu mempunyai
tanggung jawab atas apa yang dikerjakannya. Paham ini menempatkan
manusia pada posisi bebas, untuk memilih menjadi baik atau
buruk. Manusia diberi instrumen organik berupa akal dan pikiran,
kemampuan untuk membedakan dan mengambil resiko atas pilihan-
pilihan dalam hidupnya, dan Tuhan tidak lagi melakukan intervensi
terhadap alam, gerak, nasib, dan usaha manusia. Tuhan mencipta
alam dilengkapi dengan hukum-hukum, siapa yang patuh akan hukum-
Nya akan mendapat keberuntungan, siapa yang melanggar hukum
mendapat resiko bagi dirinya. Dengan kehendak bebas (free will)-nya,
manusia dapat memilih jalan mana yang akan ditempuh, dan karena
itu manusia mempunyai tanggung jawab atas pilihan jalan hidupnya.
Transmigrasi menempatkan posisi filosofisnya pada pandangan
Self-determination, sehingga konsekuensi filosofisnya adalah bahwa
manusia pada dasarnya makhluk yang memiliki kuasa atas dirinya, atas
lingkungan dan alam semesta. Maknanya adalah bahwa alam semesta
diciptakan untuk kemaslahatan umat manusia. Dengan demikian,
kawasan transmigrasi sebagai bagian dari alam semesta dibangun
dan dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat transmigrasi.
Selanjutnya bila masyarakat transmigrasi tidak mampu mengelola
ruang beserta sumber kekayaan alam yang ada di dalamnya untuk
kawasan transmigrasi, justru menjadi sumber bencana.
Dengan menempatkan manusia pada posisi supremasi atas alam,
dan memandang manusia memiliki kebebasan, tanggung jawab, dan
moralitas dalam menjalankan kehidupan di atas bumi ini, maka nasib
buruk manusia, kemalangan, dan juga kemujuran tidak lain adalah
konsekuensi sosial-logis dari jalan yang dipilih manusia itu sendiri,
baik itu cara berpikir, berbuat, atau pilihan-pilihan sadar atas nilai-
nilai atau ukuran-ukuran yang dianut. Demikian sebaliknya, nasib baik
dan keberuntungan manusia juga diperoleh melalui cara-cara berpikir
dan tindakannya yang positif.
13
Sumber: Ali Syariati: Alhajj: Mizan, Bandung [1993]
Living Document
masyarakat besar, serta rnunculnya bangsa-bangsa, sistem budaya,
agama-agama, dan pembangunan di muka bumi. Itulah mengapa,
teks-teks dalam Al-Qur’an juga menggambarkan hijrah secara jelas
sebagai salah satu upaya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik
bagi orang-orang yang secara kultural dan ekonomik tersisih, dan
sebagai cara untuk memperoleh kenikmatan yang lebih besar dan
perubahan kondisi kehidupan di dunia. Ketika teks-teks Kitab Suci
berbicara tentang hijrah (transmigrasi), maka hijrah selalu dilukiskan
sebagai “mencari penghidupan yang lebih baik di muka bumi”, “keluar
dari suatu negeri” (bedol desa) atau “lingkungan yang secara sosio-
kultural dan ekonomik tidak lagi memungkinkan bagi individu untuk
berkembang”14 .
B. Landasan Historis
Transmigrasi di Indonesia telah berjalan selama lebih dari satu
abad. Transmigrasi di Indonesia telah memiliki sejarah panjang. Sebagai
program pembangunan yang khas Indonesia, awalnya merupakan
program politik etis Pemerintah Hindia Belanda, dengan memberikan
kesempatan bagi penduduk miskin Jawa, untuk bekerja sebagai buruh
di perkebunan swasta di Sumatera. Program ini dinamakan kolonisatie,
yang dimulai sejak tahun 1905. Selama tahun 1905 hingga 1941,
sejumlah besar penduduk telah dipindahkan ke Lampung dan Sumatera
Bagian Selatan. Setelah kemerdekaan, Pemerintah Indonesia, dengan
menggantikan istilah kolonisatie dengan transmigrasi, melanjutkan
Living Document
program ini dengan cara-cara yang relatif sama.
Antara tahun 1905-1941, pemerintah Hindia Belanda secara
keseluruhan telah memindahkan sekitar 200 ribuan jiwa dari Jawa ke
luar Jawa. Namun, selama kurun waktu yang sama, penduduk Pulau
Jawa meningkat dari 30 juta menjadi 45 juta jiwa. Sementara itu,
program pemindahan penduduk pada masa-masa berikutnya sudah
dirintis. Para pemimpin Republik Indonesia, di masa awal proklamasi,
walaupun mengritik kesalahan penjajah dan tidak mengakui apa yang
telah dicapai program kolonisatie, tetap menyelenggarakan program
yang sama. Akan tetapi, dengan alasan berkonotasi “pejoratif”, istilah
kolonisatie pada tahun 1947 digantikan dengan kata “transmigrasi15”
Transmigrasi diselenggarakan Pemerintah pasca kemerdekaan
atas alasan-alasan: Demografis (ketimpangan penduduk Indonesia),
ideologis (persatuan dan kesatuan bangsa), ekonomis (pengentasan
kemiskinan), politis (pemerataan pembangunan antar-wilayah), dan
kultural, yaitu terjadinya akulturasi dalam hubungan lintas etnis, bagi
masyarakat lokal dan pendatang dalam setting budaya masyarakat
Indonesia yang plural.
Transmigrasi merupakan salah satu program khas Pemerintah
Indonesia, yang diselenggarakan dalam bentuk pemindahan
(perpindahan) penduduk secara besar-besaran dari dan keluar pulau
Jawa, Madura, Bali, dan Lombok, untuk bekerja sebagai petani. Selama
masa Orde Baru, atau sebelum tahun 2000-an, program transmigrasi
pernah dilaksanakan secara besar-besaran untuk menangani problem
kemiskinan perdesaan Jawa.
Dari waktu ke waktu, sejarah transmigrasi diwarnai beberapa
perubahan baik dari sisi aturan legal, kebijakan dan paradigma, serta
orientasi pragmatis pelaksananya. Sejak masa pra-Pelita hingga kini,
setidaknya ada 4 (empat) kategori “generasi transmigrasi”, yang dapat
dijelaskan sebagai berikut.
15
Patric Levang (1998).
Living Document
Ketentuan Pokok Transmigrasi). Ciri utama transmigrasi generasi ini
adalah pemindahan penduduk secara besar-besaran dari dan keluar
Pulau Jawa, Madura, Bali (Jambal), dan Lombok, dengan sepenuhnya
biaya ditanggung pemerintah. Tema-tema utama transmigrasi saat
itu adalah pengurangan kepadatan penduduk Jawa dan kelangkaan
penduduk luar Jawa. Pola usaha dan permukiman transmigrasi hampir
seluruhnya dibangun dengan orientasi pengembangan pertanian
(padi-sawah) baik lahan basah maupun lahan kering. Produk akhir
transmigrasi generasi ini adalah kesatuan-kesatuan sosial, atau
komunitas-komunitas administratif desa, yang dalam jangka panjang
telah terbukti mampu memberikan kontribusi terhadap perkembangan
wilayah dan ekonomi regional sebagai pusat-pusat produksi pertanian
dan menjadi wilayah belakang (hinterland) dari kota-kota yang
secara tradisional sudah ada di wilayah provinsi yang bersangkutan.
Komunitas desa-desa eks transmigrasi umumnya berskala besar, dan
berkembang pesat baik secara politis maupun administratif.
Generasi Kedua, adalah transmigrasi yang dilaksanakan di masa
Pelita IV hingga berakhir di akhir tahun 1990-an (Pelita VII). Dalam era
ini transmigrasi ditandai salah satunya oleh keterlibatan pihak swasta
untuk berinvestasi di sektor perkebunan. Sekalipun pola usaha tanaman
pangan (padi sawah) masih dipertahankan, pola-pola kemitraan
perkebunan dalam bentuk Perusahaan Inti Rakyat (PIR-Trans)
dikembangkan secara besar-besaran. Program transmigrasi mendapat
berkah dengan dikucurkannya dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia) kepada swasta, sehingga banyak swasta yang kemudian
berinvestasi membangun perkebunan sawit dan karet dalam bentuk
PIR-Trans. Tema-tema demografis transmigrasi di era ini kemudian
ditinggalkan, karena efek-efek pengurangan penduduk di daerah asal
(Jambal) ternyata tidak tercapai. Transmigrasi kemudian dilakukan
dengan orientasi pengembangan wilayah di daerah. Maka lahirlah
UU No. 15 tahun 1997 (tentang Ketransmigrasian, sebagai pengganti
UU Nomor 3 tahun 1972). Secara konseptual, orientasi transmigrasi
generasi kedua bukan lagi membangun komunitas administratif desa
Living Document
Transmigran Penduduk Setempat (TPS), dan dengan dengan porsi dan
komposisi yang lebih seimbang, bahkan lebih besar. Hal ini dilakukan
dengan pertimbangan perlindungan hak-hak masyarakat lokal agar
tidak terjadi marginalisasi, karena mereka adalah pemilik teritorial
atau daerah kebudayaan, masyarakat penerima, atau bahkan sebagai
pemberi lahan untuk lokasi pembangunan.
Di medio KIB jilid I tahun 2006, keluar Inpres 6 yang
menginstruksikan antara lain tentang perlunya menyempurnakan
UU 15/1997 agar transmigrasi dapat berperan lebih berarti dalam
Pembangunan Nasional, dengan harus mempertimbangkan kejelasan
peran pemda dalam otonomi daerah, peningkatan peranserta
masyarakat termasuk badan usaha, serta rencana tata ruang sebagai
dasar perencanaan. Pada tahun 2009, UU No. 29/2009 disahkan
sebagai perubahan (amandemen) atas UU No. 15/1999. Banyak
tugas baru yang diamanatkan dalam UU tersebut. Transmigrasi di
era Kabinet SBY jilid II, di bawah kepemimpinan Menteri Muhaimin
Iskandar, dihadapkan pada tuntutan perubahan kebijakan dan strategi
implementasi transmigrasi, sebagai pelaksanaan amanat UU tersebut.
Salah satu tugas baru transmigrasi, sesuai amanat UU No. 29/2009,
adalah menempatkan kawasan transmigrasi yang di dalamnya
terdapat Kawasan Perkotaan Baru (KPB), sebagai satu kesatuan sistem
pengembangan ekonomi wilayah.
Membangun KPB, tidak lain dimulai dengan membangun dan
mengembangkan kawasan. Hal ini berarti bahwa transmigrasi
kedepan masih tetap berorientasi pengembangan wilayah, yang bukan
saja sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, tetapi sekaligus juga
sebagai kawasan-kawasan yang memiliki fungsi-fungsi perkotaan baru
atau mempunyai ciri fungsi perkotaan baru, di daerah-daerah luar
Pulau Jawa, Madura dan Bali.
Era baru transmigrasi akan menjadi transmigrasi generasi
keempat, yaitu transmigrasi yang mendapat tugas lebih kompleks,
yaitu: Pertama, merencanakan infrastruktur kawasan transmigrasi
Living Document
dalam wilayah permukiman baru, atau dengan memfasilitasi
perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain di wilayah
Indonesia, transmigrasi diselenggarakan dalam konteks kemajemukan
Indonesia, baik kemajemukan suku bangsa, agama dan regional. Dalam
konteks kemajemukan suku-suku bangsa, transmigrasi pada dasarnya
merupakan jalan untuk mempertemukan berbagai varian suku-bangsa
yang berbeda tersebut, sehingga tidak lagi terjadi isolasionisme
kultural.
Dalam konteks kemajemukan agama dan kepercayaan,
transmigrasi perlu mengembangkan sikap keberterimaan (tolerance)
di antara komunitas-komunitas agama yang berbeda dalam sebuah
komunitas baru. Dengan demikian, transmigrasi berkaitan erat
dengan penciptaan hubungan lintas-budaya (cross-cultural relation)
di antara beragam kelompok budaya dan suku-bangsa. Transmigrasi
merupakan salah satu upaya pemerintah menciptakan peluang
kerja dan berusaha bagi masyarakat. Lokasi-lokasi transmigrasi
sebagian telah menjadi daya tarik bagi terjadinya mobilitas penduduk,
merangsang perkembangan daerah dan kegiatan perekonomian,
sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik transmigran
maupun masyarakat sekitar.
Pembukaan daerah baru melalui pembangunan transmigrasi, jelas
mengundang dan mengandung konsekuensi hubungan lintas-etnik,
baik yang berciri integratif, maupun yang berpotensi disintegratif.
Transmigrasi berekonsekuensi positif jika penempatan transmigran
yang plural secara etnik dan kultural itu berakhir secara harmonis,
dan integratif melalui proses akulturasi. Berkonsekuensi negatif
jika penempatan transmigrasi berciri disintegratif dan disharmonis,
jika permukiman transmigrasi menjadi arena pertarungan antar-
kelompok etnik dan agama, atau menjadi ajang kekerasan antar sesama
transmigran atau transmigran dengan masyarakat setempat.
Konsep ideal masyarakat transmigrasi, atau masyarakat
yang dibangun melalui transmigrasi, adalah masyarakat di mana
Living Document
adalah kelompok-kelompok masyarakat dari “lapisan bawah”, baik itu
petani, buruh, nelayan, pengrajin, pekerja seks, maupun pekerja kasar,
dari daerah-daerah perdesaan dari daerah pengirim. Kelompok lain
yang masuk ke dalam komunitas transmigrasi, adalah masyarakat atau
penduduk sekitar permukiman baru, yang dikenal sebagai Transmigran
Penduduk Setempat (TPS). Pemberian kesempatan bagi masyarakat
sekitar (setempat) untuk menjadi transmigran, dilakukan atas dasar
“asas” bahwa transmigrasi berwawasan lingkungan, dan berbasis etika
politik, dengan melibatkan “golongan pribumi” atau masyarakat lokal
(indegenous people), sebagai peserta atau transmigran, untuk juga
tinggal-menetap di unit-unit permukiman baru transmigrasi.
Sebagai program pembangunan Pemerintah Indonesia, transmigrasi
pernah mengalami masa gemilang dan masa-masa suram. Tingkat
keberhasilannya sama dengan tingkat kegagalannya. Keberhasilan
dan atau kegagalan program transmigrasi, berkaitan erat dengan
persepsi publik pengamat, yang secara sederhana dapat dipetakan
kedalam dua kubu, yang pro dan yang kontra. Dalam pandangan yang
pro, misalnya dari kalangan birokrasi Pemerintah, transmigrasi selalu
dipandang sukses, terutama dalam hal pembentukan daerah-daerah
baru, pembukaan dan pemanfaatan sumber daya lahan secara lebih
produktif, dan bahkan dalam hal pengentasan kemiskinan16.
C. Landasan Yuridis
Landasan hukum di sini diartikan sebagai peraturan baku
yang merupakan dasar bagi penyelenggaraan transmigrasi sejalan
dengan perkembangannya. Transmigrasi awalnya dilaksanakan oleh
Badan Koordinasi Penyelenggara Transmigrasi yang telah dibentuk
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 56 tahun 1958, dianggap
sebagai Badan Koordinasi Penyelenggara Transmigrasi. Sejak itu,
beberapa landasan hukum penyelenggaraan transmigrasi adalah
sebagai berikut.
Living Document
pengarahan mobilitas penduduk untuk mendukung pembangunan.
Living Document
Bab III
LINGKUNGAN STRATEGIS
Lingkungan strategis suatu negara-bangsa, umumnya terus
mengalami perubahan dan perkembangan, baik pada tataran global,
regional, maupun nasional. Perubahan-perubahan tersebut jelas
sangat berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara. Banyak hal yang dapat dipengaruhi oleh perubahan
lingkungan strategis, antara lain: aturan main atau persyaratan dalam
berbagai jenis hubungan, baik antar-kelembagaan, perdagangan dunia,
maupun dalam hal tata cara pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya alam, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hal yang sama juga terjadi pada kondisi lingkungan strategis
pembangunan Indonesia, seperti lingkungan strategis negara-negara
Asia Tenggara (ASEAN), dan lingkungan strategis negara-negara
Asia Pasifik atau APEC. Lingkungan strategis nasional pun sangat
berpengaruh terhadap perkembangan dan kemajuan nusantara, yang
tentunya tidak terlepas dari perkembangan politik, ekonomi, sosial
budaya dan Hankam dalam negeri. Perkembangan lingkungan strategis
yang semakin dinamis tersebut merupakan perkembangan penting yang
harus sejak dini diantisipasi oleh para stakeholders pembangunan.
A. Lingkungan Global
1. Kesepakatan MDGs
Living Document
Lingkungan yang mempengaruhi konsensus global tentang
Millenium Develelopment Goals (MDGs) akan berakhir pada tahun
2015. Sebagai kesepakatan pembangunan internasional, MDGs telah
mendorong negara-negara anggotanya untuk memajukan berbagai
aspek pembangunan. Seperti diketahui, ada 8 (delapan) tujuan dari
pembangunan millenium (MGDs), yang telah disepakati para pemimpin
dunia pada pertemuan puncak PBB tahun 2000, dengan target-target
spesifik pemecahan masalah, yaitu: (1) pengentasan kemiskinan, (2)
mencapai pendidikan dasar untuk semua, (3) kesetaraan gender, (4)
menurunkan angka kematian balita, (5) meningkatkan kesehatan ibu,
(6) stabilitas lingkungan, (7) penurunan angka penderita HIV/AIDS dan
penyakit menular lain, dan (8) kemitraan global untuk pembangunan.
Namun demikian, MDGs belum cukup sebagai kekuatan pendorong
bagi negara pihak yang terkait dalam keanggotaannya untuk mengatasi
masalah-masalah domestiknya. Kesepakatan tersebut telah menjadi
tanggung jawab bersama semua negara dan diharapkan pasca 2015
perjuangan melawan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan
pada intinya dapat ditata kembali.
Menjelang berakhirnya masa konsesus MGDs, kini dunia tengah
mulai memikirkan dan mencurahkan perhatian pada post 2015
development (pembangunan pasca 2015). Sebagai negara peserta,
Indonesia berkesempatan untuk dapat mewarnai proses perumusan
agenda-agenda pembangunan pasca 2015, bersama negara-negara
lain dan badan-badan PBB. Peran aktif Pemerintah diperlukan untuk
menjamin bahwa kebijakan internasional tersebut bukan saja sesuai
dengan kebutuhan negara-negara berkembang, tetapi juga dapat
memperkuat agenda pembangunan nasional yang benar-benar dapat
menyejahterakan masyarakat.
Gagasan awal tentang prinsip-prinsip agenda pembangunan
pasca 2015, adalah; Pertama, Inklusif; bahwa kesepakatan
agenda pembangunan pasca 2015 harus dengan tegas memuat
penghormatan dan perlindungan kepada kebhinekaan dan prinsip
non-diskriminasi. Proses penyusunan dan pelaksanaan kesepakatan
Living Document
politik merupakan titik temu kepentingan antara negara maju dan
negara berkembang serta miskin. Dengan kata lain, tidak boleh hanya
merupakan kepentingan negara maju atau negara miskin. Ketiga,
Akuntabilitas; bahwa sasaran post 2015 harus memuat perubahan
dan perbaikan keadaan di tingkat nasional dan global. Pada tingkat
nasional terjadi penurunan indeks ketimpangan (gini ratio); terjadi
kenaikan HDI (human development index), dan pada tingkat global,
misalnya, terjadi penurunan kasus, jumlah dan besaran penghindaran
pajak oleh MNCs. Pada tingkat global lainnya adalah pemenuhan ODA
0,7% GNI (pendapatan) oleh sebagian besar negara-negara OECD
(Organization for Economic Co-operation and Development) pada tahun
2020.
Hal yang tidak kalah penting adalah dalam agenda pembangunan
pasca 2015, bahwa peran masyarakat sipil perlu diakui sebagai
Non-State Actor (Aktor di luar Negara). Sebagaimana dalam Busan
Outcome Document Pasal 22, disebutkan bahwa masyarakat sipil
adalah aktor pembangunan yang memiliki peran penting dalam
pemberdayaan masyarakat, dan penggalakan pendekatan pemenuhan
hak-hak (pendekatan pembangunan berbasis hak). Dengan demikian
setidaknya ada sebelas agenda yang akan digagas dan diajukan dalam
pembangunan pasca 2015 , yang diistilahkan dengan “The World We
Want” Development Agenda, yaitu: (1) Dinamika kependudukan, (2)
Pengurangan kemiskinan dan kesamaan (equity), (3) Kesehatan,
(4) Pendidikan, (5) Pertumbuhan perkotaan dan pemekerjaan, (6)
Ketahanan pangan dan gizi, (7) Kecukupan sumberdaya air, (8)
Kecukupan dan efisiensi energi, (9) Kelestarian lingkungan, (10)
Konflik dan fragility, dan (11) Tata kelola (governance).
Berdasarkan perjalanan pembahasan persiapan pembangunan
pasca 2015, disimpulkan bahwa pembangunan pasca 2015 adalah
Study, 2013
2. Kesepakatan AFTA
ASEAN Free Trade Area (AFTA) adalah kawasan perdagangan
bebas ASEAN, artinya tidak ada hambatan tarif perdagangan (karena
bea masuk hanya 0-5%), atau hambatan non tarif bagi negara-negara
anggota ASEAN, melalui skema CEPT-AFTA. AFTA merupakan wujud
dari kesepakatan negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu
kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing
ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai
basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta
penduduknya.19
Tujuan AFTA adalah: (1) Meningkatkan perdagangan di tingkat
ASEAN (intra-ASEAN trade); (2) Merangsang pertumbuhan penanaman
modal langsung (foreign direct investment); dan (3) Membuat
kawasan regional ASEAN sebagai tempat produksi yang kompetitif.
Manfaat AFTA bagi Indonesia antara lain: (1) Terbukanya peluang
pasar yang semakin besar dan luas bagi produk Indonesia, karena
jumlah penduduk ASEAN sebesar ± 500 juta dan tingkat pendapatan
18
The Report of the High-Level Panel of Eminent Persons on Post-2015 Development
Agenda. A New Global Partnership: Eradicate Poverty and Transform Economies
Through Sustainable Development. United Nations, 2013
19
Samriyah.files.wordpress.com/2013/01/asean-free-trade-area.docx, diunduh 30
Nopember 2013
Living Document
negara-negara ASEAN; (5) Pilihan konsumen atas jenis/ragam produk
yang tersedia di pasar domestik semakin banyak dengan tingkat harga
dan mutu tertentu; (6) Kerjasama dalam menjalankan bisnis semakin
terbuka karena pelaku bisnis dapat beraliansi dengan pelaku bisnis
lain di lingkup negara anggota ASEAN.
Tantangan AFTA bagi Indonesia adalah kurang siapnya sumber
daya manusia Indonesia dalam berinovasi, dan belum maksimalnya
Pemerintah dalam menyediakan infrastruktur dasar wilayah. Dengan
kondisi demikian, maka pelaku bisnis Indonesia dituntut untuk terus-
menerus meningkatkan kemampuan dalam menjalankan bisnisnya
secara lebih profesional guna memenangkan kompetisi terhadap
produk-produk yang berasal dari negara-negara anggota ASEAN
lainnya. Selain itu, pelaku bisnis Indonesia juga dituntut dapat
memenangkan kompetisi, baik dalam memanfaatkan peluang pasar
domestik maupun pasar negara-negara anggota ASEAN lainnya.
3. Kesepakatan APEC
Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) merupakan forum kerja
sama ekonomi lingkar Pasifik yang didirikan di Canberra, Australia pada
tahun 1989. APEC saat ini beranggotakan 21 negara, yaitu Australia,
Brunei Darussalam, Kanada, Cili, China, Hong Kong-China, Indonesia,
Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Filipina,
Papua New Guinea, Rusia, Singapura, Thailand, China Taipei, Amerika
Serikat, dan Vietnam.
APEC bertujuan untuk mencapai Bogor Goals, yaitu terciptanya
liberalisasi perdagangan dan investasi di kawasan Asia Pasifik sebelum
tahun 2010 untuk negara-negara anggota yang tergolong Ekonomi
Maju, dan sebelum tahun 2020 untuk negara-negara anggota yang
tergolong Ekonomi Berkembang. Dalam mencapai Bogor Goals,
APEC melandaskan kerjasama yang dibangun pada tiga pilar, yaitu
liberalisasi perdagangan dan investasi, fasilitasi bisnis, dan kerjasama
ekonomi dan teknik (ECOTECH). KTT APEC 2011 diselenggarakan
di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat pada tanggal 12-15 November
Living Document
Krisis ekonomi serupa pernah dialami kawasan Asia tahun
1997. Namun, krisis ini memiliki pengaruh yang lebih besar sehingga
memerlukan penanganan yang lebih menyeluruh dan kerjasama
negara-negara di dunia. Krisis ekonomi dan keuangan global telah
menghambat proses pembangunan terutama di negara-negara Least
Developed Countries serta telah menyebabkan kemunduran pencapaian
MDGs.
Peran Indonesia dalam setiap KTT G-20 senantiasa memajukan
kepentingan negara berkembang serta menjaga terciptanya sistem
perekonomian global yang inklusif dan berkelanjutan (antara lain,
usulan pembentukan global expenditure support fund, menghindari
pembahasan exit strategy paket stimulus fiskal yang dapat merugikan
negara-negara berkembang, dan mendorong tercapainya konsensus
selaku bridge builder).
Manfaat konkret Indonesia berpartisipasi aktif dalam G-20 yaitu:
(1) Indonesia masuk anggota baru Financial Stability Forum (FSF) yang
merupakan standart setting body bagi sistem keuangan; (2) Indonesia
mendapatkan Defered Drawdown Option (DDO) dari Bank Dunia, ADB,
Jepang dan Australia bagi program pengentasan kemiskinan dan
infrastruktur yang menjadi model GESF; (3) G-20 yang merupakan
pemegang saham terbesar di ADB berkomitmen untuk meningkatkan
permodalan ADB untuk mendorong pembangunan kawasan Asia; (4)
Negara maju berkomitmen untuk memberikan peningkatan kapasitas
bagi pengembangan sektor keuangan di negara-negara berkembang;
(5) Manfaat non keuangan yakni, G-20 berkomitmen menjamin dan
melindungi hak pekerja migran.
B. Lingkungan Nasional
1. Lingkungan Hidup
Spektrum persoalan lingkungan hidup sangat luas, baik
yang bersifat global, maupun yang bersifat nasional dan lokal. Isu
Living Document
secara efektif mulai tahun 2007. Isi utama Protokol ini adalah upaya
pengurangan emisi enam gas (CO2, Metana, Dinitrooksida, CFC, Klor, dan
Brom) yang mengakibatkan kenaikan suhu global. Pada tahun 2008-
2012 akan diadakan pengukuran sistematis balance pengeluaran dan
penyerapan gas-gas ini pada semua negara yang telah menandatangani
Protokol ini. Contoh, penyebab dan dampak lingkungan global:
a. Pemanasan Global: Pemanasan Global/Global Warming pada
dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global
dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca yang
disebabkan oleh meningkatnya emisi gas karbondioksida, metana,
dinitrooksida, dan CFC sehingga energy matahari tertangkap
dalam atmosfer bumi. Dampak bagi lingkungan biogeofisik
antara lain adalah: pelelehan es di kutub, kenaikan mutu air laut,
perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan
iklim, punahnya flora dan fauna, migrasi fauna dan hama penyakit.
Dampak bagi aktiitas sosial ekonomi masyarakat: gangguan pada
pesisir dan kota pantai, gangguang terhadap prasarana fungsi
jalan, pelabuhan dan bandara. Gangguan terhadap pemukiman
penduduk, ganggungan produktifitas pertanian. Peningkatan
resiko kanker dan wabah penyakit.
b. Penipisan Lapisan Ozon: Dalam lapisan statosfer pengaruh
radiasi ultraviolet, CFC terurai dan membebaskan atom klor.
Klor akan mempercepat penguraian ozon menjadi gas oksigen
yang mengakibatkan efek rumah kaca. Beberapa atom lain yang
mengandung brom seperti metal bromide dan halon juga ikut
memeperbesar penguraian ozon. Dampak bagi makhluk hidup
antara lain adalah lebih banyaknya kasus kanker kulit melanoma
yang bisa menyebabkan kematian, meningkatkan kasus katarak
pada mata dan kanker mata, menghambat daya kebal pada manusia
(imun), penurunan produksi tanaman jagung, serta kenaikan suhu
udara dan kematian pada hewan liar.
c. Hujan Asam merupakan proses revolusi industri mengakibatkan
timbulnya zat pencemaran udara. Pencemaran udara tersebut bisa
Living Document
2000 2003
2006 2008
2000 2003
ed ed
ed ed
2006 2008
ed
ed ed
ed
20
Hayes, C. Adrian. Population and Climate Change in Indonesia: Mobilizing for a
Sustainable Future. UNFPA-Indonesia, 2011.
21
The Royal Society Science Policy Centre Report 01/12. People and the Planet. The
Royal Society Science Policy. London, 2012.
Living Document
2. Ketimpangan Demografis
Indonesia saat ini masih menghadapi persoalan kependudukan.
Ketimpangan persebaran penduduk merupakan salah satu masalah,
baik persebaran antarpulau, antarpropinsi, maupun antardesa-kota
telah lama menjadi isyu strategis pembangunan nasional. Aglomerasi
demografis di wilayah barat Indonesia ini terjadi sebagai akibat dari
politik investasi dan pembangunan, yang mendorong pembangunan
wilayah dan industrialisasi lebih dipusatkan di wilayah Jawa dan
Sumatera.
Konsentrasi penduduk di wilayah barat Indonesia (Jawa dan
Sumatera), telah menjadi persoalan pembangunan, yaitu pusat
pemerintahan, informasi, transportasi, ekonomi, dan berbagai fasilitas
publik lebih terkonsentrasi dan lebih banyak berada di wilayah barat.
Konsekuensinya adalah, penduduk di wilayah-wilayah lain cenderung
bermigrasi, dan akhirnya akan terus semakin terjadi terkonsentrasi
(terpusat), yang kemudian menjadi kontra produktif bagi upaya-upaya
pemerataan pembangunan antar wilayah.
Aglomerasi demografis di wilayah Barat Indonesia juga terjadi
sebagai akibat langsung dari warisan pembangunan kolonial, yang
menjadikan Jawa sebagai episentrum pemerintahan dan aktivitas
ekonomi Hindia-Belanda. Sementara Pemerintah Indonesia merdeka
tidak melakukan rekonstruksi dan koreksi secara menyeluruh terhadap
paradigma pembangunan kolonial tersebut. Pemerintah sebelum
reformasi (1966-1998), yang ditopang stabilitas politik dan pinjaman
modal asing begitu besar, sebenarnya berkesempatan menciptakan
ekuilibrium pembangunan nasional, namun sayangnya justru terjebak
pada model ekonomi pertumbuhan dan “mengabaikan” pada aspek
pemerataan, baik pemerataan antargolongan maupun antarwilayah.
Investasi di Jawa terus dipacu, dengan tanpa diikuti oleh akselerasi
pembangunan di wilayah lain, terutama di wilayah timur Indonesia.
3. Ketimpangan Wilayah
Pertumbuhan ekonomi nasional selama masa pra-reformasi,
seperti tercermin dalam indikator tingginya GNP, ternyata tidak dengan
sendirinya berimplikasi terhadap pemerataan pertumbuhan yang
seimbang antarwilayah, terutama antara Kawasan Barat Indonesia
(KBI) dan Kawasan Timur(KTI). Perkembangan antardaerah
memperlihatkan kecenderungan bahwa daerah-daerah di Pulau
Jawa umumnya mengalami perkembangan ekonomi lebih cepat
dibandingkan dengan daerah di luar Jawa. Dengan kata lain, proses
Living Document
dengan KTI.
Kebijakan pembangunan yang justru telah memperlebar
kesenjangan antarwilayah, telah membawa implikasi berlapis, bukan
saja pada aspek demografis, tetapi juga pada aspek pembangunan
sektoral dan daerah. Berbagai program pembangunan pemerintah
tidak berjalan secara optimal, karena tidak ditopang oleh kebijakan
pemerataan investasi. Transmigrasi, pengentasan kemiskinan,
swasembada pangan, maritim, dan sistem transportasi nasional,
merupakan beberapa contoh yang tidak bisa berjalan secara optimal,
karena tidak didukung oleh keseimbangan pembangunan infrastruktur,
SDM, dan distribusi modal antara Jawa dan luar Jawa.
Selama ini pilihan strategi pembangunan yang mengedepankan
pertumbuhan ekonomi telah memberikan kemajuan di berbagai
bidang. Namun, pendekatan pembangunan yang terkonsentrasi di
wilayah maju atau Kawasan Barat Indonesia (Pulau Jawa, Sumatera)
dan bersifat ekstraktif terhadap sumberdaya tidak terbarukan
(non renewable) masih menyisakan disparitas atau ketimpangan
antardaerah. Kebijakan dan strategi pembangunan ekonomi di masa
lalu juga telah merubah struktur ekonomi dan mencapai tingkat
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Di lain pihak perubahan
tersebut hanya terjadi pada tingkat nasional, sedangkan pada level
daerah, ternyata tidak semua daerah memperoleh manfaat dari strategi
tersebut.
Masalah mendasar ketimpangan ekonomi tersebut adalah karena
potensi ekonomi (SDA, SDM, aksesibilitas) yang tidak sama. Terdapat
beberapa wilayah yang tidak mempunyai kelimpahan SDA, tetapi
dilakukan intervensi (investasi, infrastrukur) dan didorong untuk
menjadi kawasan industri sebagai pusat pertumbuhan. Secara nyata
ketimpangan antarwilayah terjadi antara perdesaan dan perkotaan,
antara pulau Jawa dengan luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia
dan Kawasan Timur Indonesia antara pusat pertumbuhan dan
kawasan perbatasan, antara wilayah pedalaman dan pesisir, termasuk
di dalamnya pulau-pulau kecil yang tersebar di berbagai wilayah.
Living Document
dengan daerah maju; (2) kepadatan penduduk yang relatif rendah dan
kondisinya tersebar; serta (3) miskin sumberdaya alam dan manusia.
Oleh karena itu, perlu penanganan yang terintegrasi dari semua
sektor terkait dan pemerintah daerah untuk mengembangkan wilayah
tersebut.
Selain daerah tertinggal, beberapa wilayah di Indonesia juga
berbatasan langsung dengan negara tertangga. Di bagian utara,
wilayah Sumatera dan Kalimantan berbatasan dengan empat negara
yaitu Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam. Selain itu, wilayah
Sulawesi juga berbatasan dengan negara Filipina. Di bagian Timur,
wilayah Papua berbatasan dengan Negara Papua Nugini dan di
bagian selatan wilayah Nusa Tenggara berbatasan langsung dengan
Negara Timor Leste dan Australia. Permasalahan yang muncul di
beberapa wilayah perbatasan, khususnya di Kalimantan adalah
masih tertinggalnya pembangunan di wilayah perbatasan Indonesia
dibandingkan negara tetangga (Malaysia), serta pandangan tentang
daerah perbatasan sebagai halaman belakang sehingga bukan menjadi
prioritas pembangunan.
Salah satu kebijakan untuk mengurangi ketimpangan antarwilayah
adalah melalui upaya pengembangan ekonomi daerah, selain
bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam rangka
peningkatan daya saing ekonomi daerah, juga untuk memeratakan
pembangunan serta memperkecil ketimpangan pembangunan
antarwilayah Jawa-luar Jawa, antarprovinsi, antarkabupaten/kota, dan
juga antardesa-kota secara berkeadilan melalui peningkatan daya saing
daerah. Melalui pembangunan secara terpadu dalam satu wilayah,
proses pembangunan daerah yang digerakkan oleh pengembangan
ekonomi daerah umumnya diawali dengan pengembangan pusat-pusat
pertumbuhan, baik yang bersifat lokal, kemudian berkembang ke skala
regional maupun nasional dan internasional, melalui tahapan-tahapan
yang dimulai dengan pusat pertumbuhan lokal, pengembangan klaster
komoditas industri sampai akhirnya terjadi proses aglomerasi di
satu wilayah, yang selanjutnya memberikan efek pengganda bagi
4. Ketahanan Pangan
Saat ini, Indonesia tengah mengalami ketahanan pangan yang
rapuh, ditandai salah satunya oleh keharusan untuk mengimpor beras
dan kedele dalam jumlah besar. Pada tahun 2010 jumlah penduduk
Indonesia sudah mencapai 235 juta jiwa dan akan terus bertambah dari
tahun ke tahun. Penduduk yang besar ini akan membawa implikasi
terutama dalam penyediaan pangan disamping permasalahan
pendidikan dan lapangan pekerjaan. Karena pangan adalah kebutuhan
dasar manusia yang dibutuhkan setiap hari, maka pangan merupakan
komoditas strategis. Isu politis dapat muncul karena adanya
kelangkaan dan naiknya harga pangan, khususnya komoditas beras.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan dan demi menjaga ketersediaan
beras dalam negeri, maka jalan pintas yang diambil pemerintah adalah
membuka kran impor beras.
Ironis, bila dikaitkan dengan Indonesia sebagai negara agraris,
namun untuk komoditas ubi kayu saja masih harus didatangkan
dari negara luar walau ubi kayu bukan merupakan makanan pokok
masyarakat Indonesia pada umumnya. Data memperlihatkan bahwa
hingga bulan April 2012, Indonesia telah mengimpor beras sebanyak
834 ribu ton dengan nilai seluruhnya sebesar US$ 456 juta atau Rp 4,24
triliun. Pada bulan April, di mana tengah panen raya di Indonesia, terjadi
impor beras sebesar 63 ribu ton dengan nilai US$ 35 juta (Hida.R.E,
2012). Tingginya nilai impor beras Indonesia karena permintaan yang
tidak seimbang dengan hasil produksi beras nasional. Bila kran import
tidak dibatasi atau bahkan ditutup dan program diversifikasi pangan
tidak berjalan, maka diprediksikan Indonesia akan kekurangan pangan.
Living Document
adalah melakukan diversifikasi pangan secara konsisten dengan
pangan lokal sumber karbohidrat. Beberapa kebijakan yang telah
dikeluarkan harus sudah saatnya dijalankan sesuai sasaran yang
hendak dicapai, seperti Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2009 tentang
Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis
Sumber Daya Lokal. Dalam Perpres ini telah ditindaklanjuti dengan
terbitnya Peraturan Gubernur di 22 provinsi dan Peraturan Bupati/
Walikota di 30 daerah (Kompas, 2011). Walau program diversifikasi
pangan sampai sekarang terus dipromosikan oleh pemerintah, namun
belum memberikan efek yang berarti bagi masyarakat Indonesia.
Di tengah kesulitan untuk meningkatkan produksi pangan,
terutama beras, justru terjadi alih fungsi lahan pertanian ke non
pertanian yang terus terjadi, diantaranya untuk kawasan industri,
perumahan dan lain-lain. Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan
mengingat kebutuhan pangan Indonesia terutama beras terus
meningkat. Disisi lain, produksi pangan juga menghadapi tantangan
seperti adanya perubahan iklim global.
Saragih 2009, mengatakan bahwa penduduk Indonesia pada
tahun 2035 diperkirakan akan bertambah menjadi 2 kali lipat dari
jumlahnya sekarang, atau menjadi kurang lebih 400 juta jiwa. Dengan
meningkatnya pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, terjadi pula
peningkatan konsumsi/kapita untuk berbagai pangan. Akibatnya,
dalam waktu 35 tahun yang akan datang Indonesia memerlukan
tambahan ketersediaan pangan yang lebih dari 2 kali jumlah
kebutuhan saat ini. Produksi beras pada tahun 2010 adalah 32,65
juta ton, sementara kebutuhan beras pada tahun 2010 sebesar 36,77
juta ton, sehingga terjadi defisit sekitar 4,12 juta ton beras. Demikian
pula untuk tahun 2015 dan 2020 diprediksi terjadi kekurangan beras
sebanyak 5,8 juta ton pada tahun 2015, dan meningkat menjadi 7,49
juta ton pada tahun 2020.
Adanya alih fungsi lahan sawah terutama di Jawa yang tidak
terkendali, dapat menyebabkan ancaman terhadap stabilitas ketahanan
pangan nasional. Dalam periode 1981-1999 konversi lahan sawah
nasional mencapai 1.628 ribu ha, dimana sekitar 61,6% terjadi di Jawa.
Sebagian besar lahan sawah yang terkonversi tersebut pada mulanya
beririgasi teknis atau setengah teknis dengan produktivitas tinggi.
Living Document
Bahkan jika dilihat pada 3 tahun terakhir atau periode 1999-2002
menunjukkan peningkatan konversi lahan sawah rata-rata sekitar
187.720 ha/tahun (Saragih, 2009). Perhatian Pemerintah terhadap
hal ini diwujudkan dengan menetapkan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 tentang
Ketahanan Pangan.
Ketahanan pangan diartikan sebagai terpenuhinya pangan dengan
ketersediaan yang cukup, tersedia setiap saat di semua daerah, mudah
memperoleh, aman dikonsumsi dan harga yang terjangkau. Hal ini
diwujudkan dengan bekerjanya sub sistem ketersediaan, sub sistem
distribusi dan sub sistem konsumsi. Penganekaragaman pangan
merupakan suatu hal yang harus ditingkatkan sejalan dengan teknologi
pengolahan, yang bertujuan menciptakan kesadaran masyarakat untuk
mengkonsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang.
Pada Pasal 1 UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, disebutkan
bahwa definisi pangan adalah “segala sesuatu yang berasal dari
sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,
peternakan, perairan dan air baik yang diolah yang diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia”.
Banyak definisi tentang ketahanan pangan, namun yang sering
diacu: Pertama, Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 yaitu,
kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah
maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Kedua, USAID
(United states Agency for International Development), 1992: Kondisi
ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses secara fisik dan
ekonomi untuk memperoleh kebutuhan konsumsinya untuk hidup
sehat dan produktif. Ketiga, FAO (Food and Agriculture Organization),
1997, ketahanan pangan adalah situasi dimana semua rumah tangga
mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh
pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak
beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut.
Living Document
FAO konsep ketahanan pangan mencakup ketersediaan yang memadai,
stabilitas dan akses terhadap pangan-pangan utama. Determinan dari
ketahanan pangan dengan demikian adalah daya beli atau pendapatan
yang memadai untuk memenuhi biaya hidup.
Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan
UU RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, ada 4 komponen yang
harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu: (1)
Kecukupan ketersediaan pangan; (2) Stabilitas ketersediaan pangan
tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun; (3)
Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan; dan (4) Kualitas/
keamanan pangan.
Tidak hanya aspek jumlah yang perlu diperhatikan, namun
aspek lain seperti mutu pangan, kontinyuitas ketersediaan dan
keterjangkauannya juga diperhatikan. Dilihat dari sisi kualitas,
kontinyuitas dan keterjangkauannya (aspek harga) ini berarti bahwa
konsepsi ketahanan pangan mengandung isi keadilan. Amanat yang
terkandung dalam pengertian tesebut adalah pangan yang baik
harus tersedia secara berkesinambungan hingga ke segenap lapisan
masyarakat. Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri
atas sub sistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi.
Hasil akhir dari sistem tersebut adalah stabilitas antara pasokan
pangan, distribusi dan kemudahan akses masyarakat terhadap pangan
serta pemanfaatan pangan termasuk di dalamnya pengaturan menu
dan distribusi pangan dalam keluarga. Indikator dari kebaikan sistem
ketahanan pangan tercermin dalam status gizi masyarakat dengan
indikator utama adalah status gizi anak balita. Indikator ini dipilih
karena anak-anak merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan
dan paling cepat terkena dampak dari buruknya sistem ketahanan
pangan di suatu daerah.
5. Ketersediaan Energi
Kondisi keenergian Indonesia saat ini masih memiliki banyak
tantangan. Besarnya ketergantungan energi Indonesia terhadap
Living Document
oleh masyarakat, akan diusahakan agar elektrifikasinya ditingkatkan
(ketersediaan listrik sampai ke desa-desa, maupun di daerah terpencil).
Pengembangan sumber energi alternatif sebagai usaha untuk
membatasi konsumsi sumber energi tak terbarukan seperti minyak
bumi dan batubara, serta yang paling penting, mengurangi pencemaran
lingkungan dan efek negatif pada sumber daya alam seperti air,
udara, hutan, dan lain-lain. Keuntungan lain dengan meningkatkan
penggunaan sumber energi alternatif akan menciptakan lapangan
kerja baru sehingga mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Potensi energi alternatif yang dapat dimanfaatkan di Indonesia
iantara lain:
(a) Tenaga Nuklir; dari hasil survei yang dilakukan pada tahun 2007
menunjukkan, sekitar 14% pasokan listrik dunia dipenuhi oleh
pembangkit listrik tenaga nuklir.
(b) Energi Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui
proses fotosintetik, baik berupa produk maupun buangan. Contoh
biomassa antara lain adalah tanaman, pepohonan, rumput, ubi,
limbah pertanian, limbah hutan, tinja, dan kotoran ternak. Selain
digunakan untuk bahan primer pembuatan serat, bahan pangan,
pakan ternak, minyak nabati, bahan bangunan dan sebagainya,
biomassa juga digunakan sebagai sumber energi (bahan bakar).
Sumber energi biomassa mempunyai beberapa kelebihan,
antara lain merupakan sumber energi yang dapat diperbaharui
(renewable) sehingga dapat menyediakan sumber energi secara
berkesinambungan (suistainable).
(c) Gas Alam; yang sekarang ini telah menjadi sumber energi alternatif
yang banyak digunakan masyarakat dunia untuk berbagai
keperluan, baik untuk perumahan, komersial maupun industri.
Dari tahun ke tahun penggunaan gas alam selalu meningkat. Hal ini
karena banyaknya keuntungan yang didapat dari penggunaan gas
alam dibanding dengan sumber energi lain. Energi yang dihasilkan
gas alam lebih efisien. Tidak seperti halnya minyak bumi dan batu
bara, penggunaannya jauh lebih bersih dan sangat ramah lingkungan
sehingga tidak menimbulkan polusi terhadap lingkungan. Selain
Living Document
itu, gas alam juga mempunyai beberapa keunggulan lain, seperti
tidak berwarna, tidak berbau, tidak korosif, dan tidak beracun.
(d) Panas bumi; adalah sumber energi alternatif yang ekonomis, dapat
diandalkan dan ramah lingkungan. Panas bumi juga merupakan
sumber energi yang dapat diperbarui sehingga bebas dari isu
kelangkaan. Panas bumi adalah energi yang diekstraksi dari panas
yang tersimpan di dalam Bumi. Energi panas bumi ini berasal
dari aktivitas tektonik di dalam bumi yang terjadi sejak planet
ini diciptakan. Panas ini juga berasal dari panas matahari yang
diserap oleh permukaan bumi. Energi ini telah dipergunakan
untuk memanaskan (ruangan ketika musim dingin atau air)
sejak peradaban Romawi, namun sekarang lebih populer untuk
menghasilkan energi listrik. Sekitar 10 Gigawatt pembangkit listrik
tenaga panas bumi telah dipasang di seluruh dunia pada tahun
2007, dan menyumbang 0,3% total energi listrik dunia.
(e) Tenaga air atau hydropower; adalah energi yang diperoleh dari air
yang mengalir. Pada dasarnya, air di seluruh permukaan bumi ini
bergerak atau mengalir. Tenaga air yang memanfaatkan gerakan
air biasanya didapat dari sungai yang dibendung. Pada bagian
bawah bendungan tersebut terdapat lubang-lubang saluran air.
Pada lubang-lubang itu terdapat turbin yang berfungsi mengubah
energi kinetik dari gerakan air menjadi energi mekanik yang dapat
menggerakan generator listrik. Energi listrik yang berasal dari
energi kinetik air disebut hydroelectric. Energi ini menyumbang
sekitar 715 ribu MW atau sekitar 19% kebutuhan listrik dunia.
Bahkan di Kanada, 61% dari kebutuhan listrik negara berasal dari
hydroelectric. Tenaga air juga merupakan sumber energi terbarukan
sekaligus ramah lingkungan karena tidak menghasilkan limbah.
(f) Sumber energi tenaga angin; Angin juga dapat diolah menjadi
sumber energi alternatif. Melalui penggunaan baling-baling atau
kincir, tenaga angin disalurkan ke dalam turbin dan diolah menjadi
listrik. Kebanyakan tenaga angin moderen dihasilkan dalam bentuk
listrik dengan mengubah rotasi dari pisau turbin menjadi arus
Living Document
air. Tenaga angin digunakan dalam ladang angin skala besar untuk
penghasilan listrik nasional dan juga dalam turbin individu kecil
untuk menyediakan listrik di lokasi yang terisolir. Tenaga angin
banyak jumlahnya, tidak habis-habis, tersebar luas, bersih, dan
merendahkan efek rumah kaca. Pada tahun 2005, terdapat ribuan
turbin angin yang beroperasi dengan kapasitas total 58.982 MW,
yang 69% di antaranya berada di Eropa. Jerman merupakan
produsen terbesar tenaga angin dengan 32% dari total kapasitas
dunia pada 2005.
(g) Tenaga Matahari atau tenaga surya adalah energi yang didapat
dengan mengubah panas matahari melalui peralatan tertentu
menjadi sumber pembangkit daya. Tenaga matahari kini umum
digunakan sebagai pembangkit listrik dalam bentuk pembangkit
listrik tenaga surya (PLTS) adalah pembangkit listrik yang mengubah
energi matahari menjadi energi listrik. Pembangkitan listrik bisa
dilakukan dengan dua cara, yaitu secara langsung menggunakan
photovoltaic dan secara tidak langsung dengan pemusatan energi
matahari. Photovoltaic mengubah secara langsung energi cahaya
menjadi listrik menggunakan efek fotoelektrik. Sedangkan
pemusatan energi matahari menggunakan sistem lensa atau cermin
dikombinasikan dengan sistem pelacak untuk memfokuskan energi
matahari ke satu titik untuk menggerakkan mesin kalor.
(h) Energi gelombang laut adalah energi yang dihasilkan dari pergerakan
gelombang laut menuju daratan dan sebaliknya. Beberapa negara
di dunia, seperti Jerman dan Jepang, sudah memanfaatkan energi
tersebut untuk menghasilkan listrik dan mendistribusikannya ke
rumah-rumah. Pemanfaatan energi gelombang laut juga ramah
lingkungan, tidak seperti BBM yang menimbulkan polusi udara.
Namun, memang tidak dipungkiri bahwa pengadaan alat untuk
merealisasikan pembangkit listrik tenaga gelombang laut mahal
dan sangat sulit perawatannya. Selain itu, masalah lain dalam
memperluas penggunaan pemanfaatan energi ini adalah dampak
negatif yang akan terjadi pada lingkungan laut. Pembangkit
121,2 juta orang. Jumlah penduduk yang bekerja mencapai 114,0 juta
orang. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mencapai 5,92 persen,
jumlah ini menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia
tinggi.
Living Document
Bagi Pemerintah, persoalan kemiskinan tidak semata-mata
persoalan politis dan gengsi negara di percaturan internasional, tetapi
menyangkut tanggung jawab negara terhadap pemenuhan hak setiap
warga negara untuk hidup secara layak, sejahtera dan terbebas dari
masalah kemiskian. Pasal 39 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup
tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Undang
Undang No 13 Tahun 2011 tentang Fakir Miskin menyebutkan bahwa
fakir miskin berhak untuk memperoleh derajad kehidupan yang layak.
Oleh sebab itu, program penanggulangan kemiskinan menjadi stategis
untuk selalu dikaji dan disempurnakan mekanismenya.
Berbagai upaya pembangunan nasional hingga saat ini masih
belum sepenuhnya mampu mengangkat dan memecahkan masalah
kemiskinan. Model-model aksi nasional pengentasan kemiskinan
selama masa dan pasca reformasi, masih belum sepenuhnya efektif
mengangkat golongan miskin baik di perdesaan maupun perkotaan.
Pemecahan dan penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan
sentralistik, seragam dan berskala nasional hasilnya masih belum
optimal. Berbagai proyek pengentasan kemiskinan belum mampu
mengurangi jumlah angka kemiskinan, sehingga jumlah orang miskin
tidak pernah berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan
sebagai masalah nasional tidak dapat hanya diselesaikan oleh
pemerintah melalui berbagai kebijaksanaan pembangunan, tetapi
juga harus menjadi tanggung jawab bersama bagi semua pelaku
pembangunan.
Program penanggulangan kemiskinan secara yuridis diatur dalam
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Program penanggulangan
kemiskinan dilakukan melalui bantuan sosial, pemberdayaan
masyarakat, pemberdayan usaha mikro dan kecil, serta program lain
dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi. Agenda pemerintah
untuk menyejahterakan rakyat dengan menurunkan penduduk miskin
menjadi 7.5% sesuai target MDGs serta memenuhi hak-hak dasar rakyat
seperti memperoleh pekerjaan dan perumahan yang layak, pelayanan
pendidikan dan kesehatan yang memadai, serta pangan yang cukup
Living Document
memerlukan penanganan terintegrasi dari berbagai sektor.
Living Document
maupun permanen. Pekerjaaan temporer umumnya tercipta selama
tahap pembangunan fisik permukiman transmigrasi, sedangkan
pekerjaan yang bersifat permanen tercipta setelah pembangunan fisik
permukiman selesai, dan dilanjutkan dengan kegiatan penempatan
serta pengembangan usaha pokok transmigran.
Berdasarkan sifatnya, pembangunan transmigrasi dapat
menciptakan kesempatan kerja secara langsung (direct employment)
maupun tidak langsung (indirect employment). Pertama, kesempatan
kerja yang tercipta secara langsung; Kesempatan kerja seperti ini
tercipta, baik pada masa pembangunan fisik permukiman maupun
pada masa penempatan dan pengembangan usaha pokok transmigran.
(1) Pada masa pembangunan fisik permukiman, pekerjaan utama yang
tercipta adalah penyiapan lahan, dilanjutkan dengan pembangunan
prasarana dan sarana permukiman. Kesempatan kerja yang tercipta
dalam kegiatan penyiapan lahan meliputi pembukaan lahan (tebas,
tebang, potong, pilah, kumpul, bersih). Sedangkan kesempatan kerja
yang tercipta dalam pembangunan prasarana dan sarana permukiman
meliputi pembangunan jalan, jembatan, gorong-gorong, saluran
drainase dan dermaga (untuk lahan basah). Disamping itu, kesempatan
kerja yang tercipta dalam pembangunan permukiman meliputi
pembangunan rumah transmigran dan jamban keluarga (RTJK),
sarana air bersih (SAB), dan fasilitas umum (kantor permukiman,
balai desa, rumah ibadah, gudang, pustu, rumah kepala unit dan
rumah petugas). (2) Pada masa penempatan dan pengembangan
usaha pokok, pekerjaan utama yang tercipta secara permanen adalah
pengembangan usaha sesuai dengan komoditas unggulan setempat.
Jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan meliputi pengembangan usaha
tani dan kegiatan pendukungnya (non usaha tani), seperti usaha
industri, jasa, dan perdagangan yang terkait dengan komoditas
unggulan yang dikembangkan. Tenaga kerja yang terlibat biasanya
adalah transmigran dan keluarganya.
Kedua, kesempatan kerja yang tercipta secara tidak langsung;
Kesempatan kerja ini tercipta karena adanya dampak pekerjaan utama
yang sering disebut sebagai efek pengganda (multiplier effect), baik pada
masa pembangunan permukiman, maupun pada masa pengembangan
usaha pokok. (1) Pada Masa Pembangunan Permukiman; kesempatan
Living Document
kerja yang tercipta secara tidak langsung adalah pemasok bahan
bangunan, industri kayu, batu bata, batako, genteng, jasa transportasi,
dan pekerjaan pada usaha efek konsumsi; (2) Pada Pengembangan
Usaha Pokok; kesempatan kerja yang tercipta secara tidak langsung
meliputi pekerjaan pada usaha penunjang usaha pokok, baik di
bagian hulu maupun hilir (backward and forward linkages), termasuk
kesempatan kerja karena efek konsumsi dan usaha tambahan
transmigran, seperti usaha warung yang melayani pekerja bangunan,
usaha warung kelontong dan usaha dagang kebutuhan sehari-hari.
Pada umumnya, tenaga kerja yang terlibat adalah penduduk yang
berada di sekitar permukiman transmigrasi dan pendatang dari luar
daerah (termasuk transmigran swakarsa). Dengan demikian, melalui
program transmigrasi diharapkan mampu memberikan kontribusi
nyata bagi penanggulangan kemiskinan dan pengangguran melalui
penciptaan kesempatan kerja baru, utamanya di sektor usaha primer.
8. Otonomi Daerah
Tidak sedikit wacana yang berkembang yang membahas mengenai
masalah yang timbul dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan
otonomi daerah dan permasalahannya secara umum adalah terkait
dengan kelemahan dan kekurangan yang masih terdapat dalam regulasi
yang mengatur mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Undang-
undang tentang pemerintahan daerah hingga saat ini telah mengalami
perubahan hingga beberapa kali dan rencananya masih akan dilakukan
perubahan.
Perubahan regulasi yang terlalu sering dilakukan tersebut
merupakan salah satu indikasi bahwa konsepsi otonomi daerah yang
dilaksanakan bukan hanya sedang mengikuti perkembangan yang
terjadi di masyarakat, melainkan pada dasarnya memang belum
komprehensif dan masih mencari bentuk yang paling tepat. Faktanya
saat ini kita masih membahas persoalan mekanisme pemilihan
Gubernur yang rencananya akan dikembalikan dari pemilihan langsung
menjadi pemilihan tidak langsung atau melalui lembaga perwakilan
Living Document
melaksanakan otonomi daerah. Salah satu indikasinya adalah lemahnya
kemampuan daerah dalam menyusun peraturan daerah yang sesuai
dengan ketentuan. Sejumlah peraturan daerah telah dianulir oleh
Kementerian Dalam Negeri karena dianggap tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dan berpotensi menghambat laju pertumbuhan
ekonomi daerah.
Beberapa hal terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah dan
permasalahannya di daerah, antara lain: lemahnya pemahaman
pemerintah daerah terhadap konsepsi otonomi daerah, dan minimnya
sumber daya manusia yang memadai. Beberapa permasalahan tersebut
telah menjadi wacana yang tidak boleh dipandang sebelah mata dan
harus segera diselesaikan.
Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah merebaknya kasus
korupsi di daerah. Masyarakat luas bisa melihat sendiri melalui media
massa sejumlah Kepala Daerah dan pejabatnya yang menjadi tersangka
kasus korupsi. Wacana ini sebenarnya telah menjadi issu sejumlah
kalangan aktivis pada masa awal pelaksanaan otonomi daerah di
Indonesia.
9. Iklim Investasi
Secara lebih spesifik berdasarkan UU Nomor 25/2007 bahwa
investasi adalah semua kegiatan usaha yang menanamkan modalnya
di Indonesia. Persoalan investasi yang dihadapi Indonesia adalah
banyaknya keluhan dari kalangan dunia usaha tentang sejumlah
hambatan investasi (iklim investasi), baik yang terkait dengan
persoalan kepastian hukum, keterbatasan infrastruktur, keamanan
berinvestasi, dan lain-lain yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.
Untuk meningkatkan aliran investasi, baik yang terkait dengan
Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN), pada saat ini Pemerintah telah dan sedang mengevaluasi
13.520 Peraturan Daerah, serta membatalkan 824 Peraturan Daerah
dalam kerangka menyeimbangkan kecepatan dan kemudahan
22
Kemendagri, 2011
23
Mergonoto, Soedomo. Industrialisasi Indonesia Timur: Dari Perspektif Dunia Usaha
(2013)
Living Document
infrastruktur dasar wilayah merupakan syarat keharusan (necessary
condition) yang perlu mendapat dukungan dari berbagai kalangan,
termasuk dunia usaha nasional dalam mengakselerasi pembangunan
untuk menjamin keberlanjutan pertumbuhan dan pemerataan
pembangunan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan penciptaan
lapangan usaha baru. Namun demikian, tantangan terberat dalam
pembangunan infrastruktur dewasa ini adalah kebutuhan infrastruktur
yang amat tinggi, sementara anggaran yang tersedia dalam APBN
relatif terbatas. Pada tahun 2013, kebutuhan transfer dana ke daerah
berjumlah lebih dari Rp 500 triliun, sehingga Pemerintah mengundang
BUMN dan swasta untuk bekerja sama dengan Pemerintah guna
mempercepat dan memperluas pembangunan infrastruktur. Jika hal
ini tidak dilakukan, maka ekonomi Indonesia yang dewasa ini tumbuh
rata-rata 6 persen, dengan peluang investasi yang amat besar tidak
akan mencapai hasil yang lebih tinggi.
Untuk mendorong pengembangan usaha ekonomi di kawasan
transmigrasi, perlu didukung oleh adanya investasi sebagai pemicu
dalam menumbuh-kembangkan perekonomian kawasan, sehingga
kapasitas usaha dari waktu ke waktu semakin meningkat. Investasi
di kawasan transmigrasi secara umum terbagi menjadi dua kategori,
yaitu investasi berbasis lahan dan investasi berbasis non lahan.
Pertama, investasi berbasis lahan, dalam hal ini pelaksanaannya telah
diakomodasikan melalui berbagai peraturan, antara lain: (a) Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep.216/Men/2003
tentang Tata Cara Kemitraan Badan Usaha dengan Transmigran Dalam
Pelaksanaan Transmigrasi; (b) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No: PER.03/MEN/III/2008 tentang Peranserta Badan
Usaha Dalam Pelaksanaan Transmigrasi, sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri No: Per.12/Men/2009 yang menitikberatkan
pada regulasi tentang Pemberian Izin Kemitraan; (c) Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No:Kep.214/Men/V/2007
tentang Pedoman Umum Pembangunan dan Pengembangan KTM
di Kawasan Transmigrasi; serta (d) Berbagai Peraturan Daerah
Living Document
kawasan transmigrasi.
Berdasarkan penjelasan di atas problematik investasi di kawasan
transmigrasi masih cukup besar. Investasi belum berkembang optimal
diantaranya karena pelaku usaha (badan usaha swasta) kurang
tertarik untuk menanamkan modalnya di kawasan transmigrasi
akibat terbatasnya infrastruktur dasar wilayah, proses perijinan yang
membutuhkan waktu relatif panjang dan biaya besar, sehingga hal
ini mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Bahkan kondisi ini sering
diperparah oleh adanya tumpang-tindih alokasi lahan usaha, masalah
kepastian hukum, dan keamanan berinvestasi yang kurang terjamin.
Tidak dipungkiri bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah
telah mengeluarkan beberapa kebijakan investasi dan kerjasama
kemitraan antara badan usaha swasta dan petani (transmigran),
disamping juga menyediakan prasarana dan sarana dasar wilayah yang
diharapkan mampu mendukung investasi di kawasan transmigrasi.
Namun, upaya tersebut tampak belum mampu menjawab sepenuhnya
ketertarikan investor untuk masuk ke kawasan transmigrasi. Oleh
karena itu, Pemerintah dan pemerintah daerah dituntut untuk bekerja
lebih professional menemukenali kendala dan faktor-faktor yang
menyebabkan investasi di kawasan transmigrasi kurang berkembang.
Upaya ini perlu dilakukan secara sungguh-sungguh dan hasilnya
diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan penyempurnaan
kebijakan investasi di kawasan transmigrasi dalam rangka mewujudkan
kawasan transmigrasi sebagai pusat pertumbuhan atau mendukung
pusat pertumbuhan yang sudah ada.
Living Document
Bab IV
TELAAHAN TERHADAP
RENCANA STRATEGI TRANSMIGRASI
TAHUN 2010-2014
Telaahan Rencana Strategi Transmigrasi Tahun 2010-2014
ditinjau dari dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJP-N) Tahun 2005-2025; Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJM-N) Tahun 2010-2014; Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) Tahun 2010-2025 Bidang Ketenagakerjaan dan
Ketransmigrasian; dan Review Rencana Strategis Kementerian Tenaga
Kerja dan Ketransmigrasian Tahun 2010-2014.
Living Document
1. Program Pembangunan Kawasan Transmigrasi, dengan kegiatan:
a. Penyediaan Tanah Transmigrasi;
b. Penyusunan Rencana Pembangunan Kawasan Transmigrasi dan
Penempatan Transmigrasi;
c. Pembangunan Permukiman di Kawasan Transmigrasi;
d. Fasilitasi Perpindahan di Kawasan Transmigrasi;
e. Fasilitasi Perpindahan dan Penempatan Transmigrasi;
f. Pengembangan Peran Serta Masyarakat dalam Pembangunan
Transmigrasi.
2. Program Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi,
dengan kegiatan:
a. Penyusunan Rencana Teknis Pengembangan Masyarakat
Transmigrasi dan Kawasan Transmigrasi;
b. Peningkatan kapasitas SDM dan Masyarakat di Kawasan
Transmigrasi;
c. Pengembangan Usaha di Kawasan Transmigrasi;
d. Pengembangan Sarana dan Prasarana di Kawasan Transmigrasi;
e. Penyerasian Lingkungan di Kawasan Transmigrasi.
25
Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun
2010-2014. Buku II Memperkuat Sinergi Antar Bidang Pembangunan Bab IX Wilayah
dan Tata Ruang.
26
lampiran Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2010-2014 (RPJM 2010-2014).
27
Dengan rincian: 14 kawasan di Pulau Sumatera (Provinsi NAD, Sumbar, Riau,
Jambi, Bengkulu, Sumsel, dan Lampung), 10 kawasan di pulau Kalimantan (Provinsi
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan), 12 kawasan pulau
Sulawesi (Provinsi Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan,
dan Sulawesi Tenggara), 1 kawasan di Provinsi Maluku Utara, 1 kawasan di Provinsi
Maluku, 3 kawasan di Provinsi Papua, 1 kawasan di Provinsi NTT, dan 2 kawasan di
Provinsi NTB.
Living Document
Pembangunan transmigrasi dalam periode 2010-2014
diarahkan untuk memberikan kontribusi nyata dalam mewujudkan
“Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan” melalui pembangunan
kawasan transmigrasi menjadi klaster-klaster sistem pengembangan
ekonomi wilayah. Pembangunan kawasan transmigrasi dilaksanakan
dengan:
1. Mengedepankan pembangunan dan pengembangan sumber
daya manusia masyarakat transmigrasi menjadi lebih berkualitas
sebagai modal dasar menghadapi persaingan yang semakin ketat;
2. Memperkuat perekonomian kawasan berbasis keunggulan lokal
menuju keunggulan kompetitif dengan membangun keterkaitan
sistem produksi, distribusi, dan pasar;
3. Mempertegas penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tanah
berdasarkan ketentuan perundang-undangan sebagai aset sosial,
ekonomi, dan budaya yang berkeadilan;
4. Meningkatkan penguasaan, pemanfaatan, dan penciptaan
pengetahuan dan teknologi tepat guna;
5. Membangun infrastruktur yang memadai; dan
6. Melakukan penyempurnaan sistem perencanaan, pemrograman,
dan pelaksanaan pembangunan kawasan transmigrasi terintegrasi
dengan pemugaran permukiman penduduk setempat dalam
satu kesatuan, serta sistem pelayanan dan pengendalian dan
pengawasan28 .
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Ketenagakerjaan dan
28
Living Document
Pada periode 2010-2014, Sasaran yang hendak dicapai pada tahap
ini seperti dibawah ini. Ada 44 KTM yang dibangun menjadi rintisan
mulai periode tahun 2007-2010, terdiri dari 16 KTM yang direvitalisasi
sudah terbangun menjadi arah kemandirian, dan ditargetkan 2015-
2019 menjadi klaster sistem pengembangan ekonomi yang didukung
adanya Kawasan Perkotaan Baru. Sedangkan sisanya 28 KTM diarahkan
untuk memenuhi basic services, kemudian dilanjutkan pemenuhannya
pada tahun 2015-2019.
Dari hasil evaluasi terhadap target pembangunan transmigrasi
periode 2010-2014 terdapat kecenderungan tidak keseluruhan
sasaran dapat tercapai.
Pertama, dari target penyesuaian tata kelola, sampai dengan akhir
periode tahapan. Rencana Peraturan Pemerintah sebagai salah satu
payung hukum penyusunan peraturan pelakanan maupun peraturan
teknis masih belum disahkan sebagai dokumen hukum resmi. Kondisi
tersebut sangat berpengaruh terhadap penyusunan peraturan
pelaksanaan sebagai kerangka kerja maupun penyusunan satuan biaya
setiap kegiatan.
Namun, dibalik keterbataan peraturan pelaksanaan tersebut telah
dilaksanakan sosialisai, konsultasi, pelatihan teknis ketranmigrasian,
workshop dengan para pihak baik di tingkat pusat dan daerah terkait
29
Pengertian revitalisasi, adalah kegiatan atau upaya untuk menghidupkan kembali
kawasan mati, atau mengendalikan dan mengembangkan kawasan untuk menemukan
kembali potensi yang dimiliki ( pernah dimiliki atau seharusnya dimiliki) oleh
sebuah kota, baik dari segi sosio-kultural, sosio-ekonomi, segi fisik alam lingkungan,
sehingga diharapkan dapat memberikan peningkatan kualitas lingkungan kota
yang pada akhirnya berdampak pada kualitas hidup dari penghuninya (Ditjen Tata
Perkotaan dan Perdesaan, 2003).
Living Document
prasarana dan sarana tidak memadai mencakup penurunan kondisi
dan pelayanan parasarana (jalan/jembatan, air bersih, drainase
sanitasi), penurunan kondisi dan pelayanan sarana (pasar, ruang
industri, ekonomi fasilitas sosial dan budaya dan sarana transportasi).
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka tujuan yang
akan dicapai dalam revitalisasi kawasan adalah memberdayakan
daerah dalam usaha menghidupkan kembali vitalitas kawasan untuk
mewujudkan kawasan yang mempunyai daya saing pertumbuhan dan
stabilitas ekonomi lokal, berkeadilan sosial, serta terintegrasi dalam
kesatuan sistem kota.
Untuk mengembangkan kawasan yang mengalami kemerosotan
pertumbuhan mempunyai kendala dan tantangan yang sangat
kompleks. Oleh sebab itu, sebagai suatu program kegiatan harus
dilaksanakan secara bertahap sebagai berikut.
1. Intervensi fisik, merupakan kegiatan pembangunan dan
pengembangan prasarana rangka meningkatkan daya saing
ekonomi kawasan;
2. Rehabilitasi ekonomi, melalui kegiatan penciptaan lapangan
kerja dan pendapatan ekonomi daerah, mengembangakan daerah
usaha dalam stabilitas ekonomi kawasan, mendorong partisipasi
masyarakat, investor dan pemerintah lokal;
3. Revitalisasi sosial dan kelembagaan mendorong partisipasi
masyarakat, investor, dan pemerintah lokal;
Living Document
perencanaan penganggaran tahunan pada saat penyusunan Rencana
Kerja (Renja) Kemnakertrans.
Kedua, dalam perjalanan pelaksanaan program dan kegiatan pada
kurun waktu 2010-2011 telah terjadi berbagai perubahan strategis, di
lingkup internal terjadi perubahan struktur organisasi Kemnakertrans
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor PER.12/MEN/VIII/2010 yang berimplikasi
pada perubahan nomen klaktur unit kerja. Unit kerja Eselon I Ditjen
Pembinaan Penyiapan Pemukiman dan Penempatan Transmigrasi
(P4Trans) berganti nama menjadi Ditjen Pembinaan Pembangunan
Kawasan Transmigrasi (P2KT). Selain pada tingkat Eselon I,
perubahan juga terjadi pada tingkat direktorat, misalnya Direktorat
Fasilitasi Perpindahan Transmigrasi berubah nama menjadi Direktorat
Fasilitasi Penempatan Transmigrasi. Dalam lingkup Ditjen Pembinaan
Pengawasan Ketenagakerjaan, Direktorat Pemberdayaan Pengawasan
Ketenagakerjaan berganti nama menjadi Direktorat Bina Penegakan
Hukum. Ditjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas, Direktorat
Produktivitas menjadi Direktorat Produktivitas dan Kewirausahaan.
Ketiga, terjadi perubahan kebijakan di bidang ketransmigrasian
dengan diterbitkannya UU Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan
Atas UU Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian, yang
secara prinsip mengatur perubahan pendekatan pembangunan
ketransmigrasian.
Keempat, terjadi perubahan dalam penerapan sistem
penganggaran yang diberlakukan sejak tahun 2011. Pada sistem ini
setiap unit kerja Eselon I melaksanakan satu program dan capaiannya
terletak pada tingkatan outcome. Adapun indikator yang digunakan
sebagai pengukur keberhasilan pada level ini adalah Indikator kinerja
utama. Sedangkan, unit kerja Eselon II melaksanakan satu kegiatan
dengan output yang terukur. Dengan kata lain, outcome yang dicapai
oleh unit kerja Eselon I bergantung pada capaian output yang dihasilkan
oleh unit kerja Eselon II.
No Kegiatan Sasaran
Keluaran 2010 2011 2012 2013 2014
1 Fasilitasi Penempatan Terfasilitasinya penempatan Keluarga yang difasilitasi 8.598 8.500 9.000 9.250 9.300
Transmigrasi transmigran perpindahannya ke permukiman
transmigrasi (KK)
2 Pembangunan Terbangunnnya permukiman Sarana yang di bangun (Unit) 11.065 13.221 14.984 15.250 18.897
permukiman dan transmigrasi dan infrastruktur di Prasarana yang dibangun (km) 51 316 426,20 417,15 464,23
infrastruktur kawasan kawasan transmigrasi
transmigrasi
3 Penyediaan tanah Tersedianya lahan untuk Lahan yang tersedia (Ha) 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000
transmigrasi pembangunan kawasan
transmigrasi
4 Penyusunan rencana Tersedianya rencana Rencana pembangunan kawasan 6 Kws 6 Kws 6 Kws 10 Kws 9 Kws
pembangunan pembangunan kawasan transmigrasi (Kawasan)
kawasan transmigrasi transmigrasi
5 Partisipasi Meningkatnya peran serta Lembaga pemerintah yang berpartisipasi 304 115 115 115 115
masyarakat masyarakat dalam dalam pembangunan kawasan
pemabngunan kawasan transmigrasi (Lembaga)
transmigrasi dalam rangka
pembangunan perdesaan Lembaga non pemerintah yang 15 15 28 26 34
berpartisipasi dalam pembangunan
kawasan transmigrasi (Lembaga)
Sumber: Review Rencana Strategis Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Tahun 2010-2014
77
Living Document
Telaahan Terhadap Rencana Strategi Transmigrasi
Tahun 2010-2014
Indikator
No Kegiatan Sasaran
Keluaran 2010 2011 2012 2013 2014
Transmigrasi
1 Pengembangan sarana Berkembangnya sarana dan Jumlah kimtrans/kawasan yang 30/20 31/20 34/20 40/22 40/22
dan prasarana prasarana dipermukiman dikembangkan kawasannya
kawasan, transmigrasi dan kawasan Jumlah kimtrans/kawasan yang 50/20 50/20 49/20 50/22 50/22
transmigrasi dikembangkan prasarananya
Pengembangan usaha Meningkatnya produktivitas Jumlah luasan lahan produktif dan 6.734 / 20.202 7.116/ 12.962 10.242/ 30.726 10.131/ 30.393 10.614/ 31.842
di kawasan transmirasi, lahan dan penerapan produktifitas lahan di permukiman
teknologi tepat guna, transmigrasi (Ha/ton)
berkembangnya jejaring Jumlah kelompok masyarakat 128 162 95 106 119
pemasaran, kelembagaan transmigrasi yang menerapkan
ekonimi yang fungsional dan teknologi pengolahan hasil pertanian
tumbuhnya wirausaha (Kimtrans)
mandiri Jumlah kelembagaan ekonomi yang 46 65 87 100 139
fungsional di kawasan transmigrasi
(Lembaga)
Jumlah kewirausahaan yang 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000
berkembang di kawasan transmigrasi
(orang)
Jumlah kawasan yang 0 0 0 0 2
dipersiapkan/dikembangkan/ terwujud
sebagai agroindustri (Kawasan)
3 Peningkatan kapasitas Meningkatnya kapasitas Jumlah transmigran yang mendapat 50.731 53.171 41.622 49.118 56.719
SDM dan masyarakat masyarakat transmigrasi bantuan pangan dan kesehatan di
dikawasan yang produktif, sehat, terdidik imtrans (KK)
transmigrasi, dan kelembagaan yang Jumlah permukiman transmigrasi/ 155/18 155/18 197/18 255/18 300/18
berfungsi di kimtrans/ kawasan yang mendapat layanan
kawasan transmigrasi sosial budaya/pendidikan, mental
spiritual (Kimtrans/Kawasan)
Jumlah kelembagaan/ pengelola yang 76/18 91/18 22/18 15/18 51/18
terbentuk dan berfungsi di permukiman
transmigrasi/Kawasan
(Lembaga/Kawasan)
Jumlah KK yang mendapat bantuan 50.731 53.171 41.622 49.118 56.719
pendampingan/ pemberdayaan di
Kimtrans (KK)
79
Living Document
80
Living Document
Indikator
No Kegiatan Sasaran
Tahun 2010-2014
E.
Evaluasi Penyelenggaraan Transmigrasi Tahun
2010-2014
Living Document
Evaluasi pembangunan transmigrasi ini dilakukan melalui
pendekatan content analisis, yaitu analisis terhadap pelaksanaan
pembangunan transmigrasi berdasarkan target dan realisasi
pencapaian, dalam periode 2010-201430. Berbagai faktor yang
menyebabkan arahan pembangunan transmigrasi 2010-2014 tIdak
(belum) sepenuhnya dilaksanakan adalah:
Pertama, penyusunan rencana dan program dalam dokumen
Review Rencana Strategi Kementerian Tenaga Kerja dan
Ketransmigrasian 2010-2014 tidak konsisten dengan RPJP 2010-2025
bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian;
Kedua, pelaksanaan transmigrasi selama tahun 2010-2014
kurang konsisten dengan rencana dan program yang tertuang dalam
dokumen Review Rencana Strategi Kementerian Tenaga Kerja dan
Ketransmigrasian 2010-2014;
Ketiga, pembangunan transmigrasi dalam tataran rencana
dan program pada tahun 2010-2014, belum berdasarkan pola pikir
transmigrasi berbasis kawasan, meskipun sudah mempunyai
indikator keluaran kegiatan berupa rencana pengembangan
kawasan transmigrasi. Indikator Kinerja Utama (IKU) yang digunakan
untuk penilaian pelaksanaan Renstra Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Tahun 2010-2014 masih didasarkan atas IKU yang
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor 20 Tahun 2008 yang sesungguhnya diperuntukan bagi Renstra
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahun 2005-2009. IKU
tersebut semata-mata ditetapkan karena tuntutan bahwa sistem
penganggaran harus berbasis kinerja (Anggaran Berbasis Kinerja/
Sumber data utama dalam melakukan evaluasi ini adalah buku dokumen resmi, yaitu
30
Bab-VIII Buku II. Memperkuat Sinergi Antar Bidang Pembangunan Bab IX Wilayah
dan Tata Ruang (lampiran Permen No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nakertrans Tahun 2010-2014), Rencana Pembangunan Panjang
Bidang Ketenagakerjaan dan Bidang Ketransmigrasian serta Rencana Strategis
(Lampiran Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 12 Tahun
2012). Selain itu, juga dianalisis secara mendalam terhadap faktor penghambat dan
dan faktor yang mendorong percepatan pencapaian target program.
Living Document
Permukiman Transmigrasi (Kimtrans) sehingga pengelola Kimtrans
cenderung hanya pada urusan pemberdayaan transmigran yang
pindah, sementara penduduk setempat belum dipahami sebagai bagian
dari tugas pengelola transmigrasi.
Ketujuh, Pelaksanaan pembangunan transmigrasi dengan skema
KTM cenderung dilakukan secara sektoral sehingga belum dipahami
sebagai upaya terpadu pembangunan dan pengembangan wilayah
dalam rangka mewujudkan daya saing. Beranjak dari fenomena
tersebut , maka revitalisasi 16 kawasan sebagai bagian dari 44 kawasan
dengan skema KTM yang dirintis pembangunannya pada periode
2001-2010 menjadi satu kesatuan sistem pengembangan belum dapat
diwujudkan dan karenanya harus ”diluncurkan” penyelesaiannya pada
periode 2015-2019”31 .
Kedelapan, pelaksanaan penempatan transmigran cenderung
bias Transmigrasi Umum (TU). Dalam penyelenggaraan transmigrasi
berbasis kawasan menggunakan cara pandang people follow jobs, yang
artinya penduduk pindah ke kawasan transmigrasi karena adanya
daya tarik kawasan. Dalam konteks ketransmigrasian berarti semakin
meningkatnya Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM). Pada faktanya
jumlah transmigran secara mandiri jauh dari harapan, seperti terlihat
pada Tabel 3 berikut ini.
32
Saraswati Soegiharto dkk, Kajian Pola-Pola Usaha Transmigrasi (Kasus Pola Nelayan),
2013 (belum dipbulikasi)
Living Document
Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian dan Renstra kedepan
sebagai dasar pelaksanaan kegiatan
4. Mempunyai komitmen yang kuat dan konsisten melaksanakan
prinsip-prinsip dan kebijakan sebagaimana tertuang dlam
RPJP bidang ketransmigrasian dalam rangka mewujudkan misi
“Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan”.
5. Semakin pentingnya peran sistem manajemen kinerja, maka
penetapan IKU merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu sejak
tahun 2011, sudah dilakukan penyusunan IKU berbasis Balanced
Scorecard (BSC) yang hasilnya sudah disetujui oleh pimpinan
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dengan demikian
IKU berbasis BSC yang sudah disetujui tersebut, agar segera
ditetapkan dengan Peraturan Menteri sebagai dasar antara lain
untuk penyusunan dokumen perencanaan yang disinergikan/
disinkronkan dengan penetapan indikator yang didasarkan pada
pedoman penyusunan Renstra Kementerian/Lembaga Tahun
2015-2019.
Living Document
Bab V
AGENDA KETRANSMIGRASIAN
KE DEPAN
Pemberlakuan UU No. 29/2009, mengharuskan adanya perubahan paradigma
(paradigm shift) transmigrasi, yaitu; “Pembangunan Transmigrasi Berbasis Kawasan.”
Dengan paradigma ini maka transmigrasi tidak boleh lagi dibangun dalam bentuk
permukiman yang single tanpa adanya konektivitas (keterkaitan) baik secara
horisontal dengan permukiman lain di sekitarnya, atau secara vertikal dengan pusat
pertumbuhan yang ada.
Istilah “kawasan” dalam konteks paradigma ini adalah, bahwa suatu wilayah
haruslah dibangun secara terstruktur, atau secara hirarkis, dari ruang terkecil berupa
unit (satuan) permukiman skala kecil (SP), ke skala yang lebih besar yaitu ruang
permukiman yang lebih besar (gabungan lebih dari satu SP menjadi SKP), hingga ruang
permukiman yang lebih besar lagi, yaitu kawasan, yang terdiri atas beberapa SKP.
Dengan demikian, orientasi transmigrasi ke depan bukan lagi membangun satuan-
satuan permukiman yang terisolasi atau berdiri sendiri secara spasial, atau terpencil
secara sosial, tanpa adanya jaringan konektivitas, atau saluran penghubung dari dan ke
dalam permukiman tersebut, dan tanpa adanya garis deliniasi yang menggambarkan
posisi permukiman tersebut dalam satuan permukiman yang lebih besar.
Agenda Ketransmigrasian ke depan intinya adalah mengembangkan ruang
(wilayah), orang (sumber daya masyarakat transmigrasi) dan uang (aktivitas ekonomi
dan peningkatan produktivitas untuk mencapai kesejahteraan).
A. Membangun Ruang-Wilayah
1. Hirarki Ruang-Wilayah
Kawasan transmigrasi kedepan harus dirancang dan dibangun
atas dasar prinsip-prinsip teori pembangunan wilayah, salah satunya
adalah bahwa suatu kawasan dibangun dengan menempatkan pusat-
tepian secara terstruktur yang bersifat hirarkis, dari unit-unit (satuan)
permukiman terkecil hingga lebih besar. Dengan demikian transmigrasi
tidak lagi dibangun dengan pendekatan permukiman skala kecil yang
hanya berorientasi terbentuknya unit-unit administratif setingkat desa
transmigrasi (Satuan Permukiman Transmigrasi).
Struktur kawasan (region) transmigrasi kedepan harus dibangun
atas dasar ciri “fungsional-struktural”, yaitu bentuk hirarki struktur
yang mencerminkan hubungan fungsional, dari skala yang paling kecil
hingga skala yang lebih luas. Dengan ciri tersebut maka diharapkan
pada kurun waktu tertentu unit-unit atau satuan-satuan permukiman
(SP) transmigrasi akan berkembang bukan saja menjadi pusat
pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjadi unit-unit (SP) yang kuat
baik secara ekonomi maupun administratif (berskala desa, kecamatan,
dan atau kabupaten).
Sejak diterapkan UU No. 15/1997 tentang Ketransmigrasian, pada
dasarnya telah ada tuntutan untuk membangun transmigrasi melalui
pendekatan kawasan (dalam bentuk WPT dan atau LPT). Namun pada
tingkat implementasi, banyak lokus transmigrasi yang dibangun dengan
skala kecil, tidak memiliki keterkaitan fungsional (konektivitas) baik
dengan permukiman lain maupun dengan kawasan yang lebih besar.
Bahkan banyak permukiman yang dibangun secara tunggal, terpencil,
dan terpisah dari pusat pertumbuhan yang ada. Sampai dengan
Living Document
transmigrasi ke depan perlu disusun atas dasar prinsip-prinsip teori
pembangunan wilayah tersebut.
Jika konsep istilah WPT dan LPT masih akan digunakan, maka
LPT dibangun sebagai penyangga sebuah pusat, atau berperan sebagai
pendukung pusat yang telah ada. Sementara WPT dirancang dan
dibangun dari awal sebagai embrio terbentuknya sebuah pusat baru.
Pusat di sini dapat berupa kegiatan ekonomi, atau pusat pelayanan
jasa-jasa secara lebih intensif.
Jadi konsep struktur ruang transmigrasi, dalam perspektif
pengembangan wilayah tersebut adalah Wilayah Pengembangan
Transmigrasi (WPT) sebagai wilayah (pusat) pertumbuhan ekonomi,
yang basis penyangganya adalah satuan-satuan permukiman yang
dibangun secara bertahap melalui skim transmigrasi dan termasuk
desa sekitarnya dalam deliniasinya. Sementara Lokasi Permukiman
Transmigrasi (LPT) adalah lokasi-lokasi permukiman transmigrasi
yang dibangun di dalam wilayah penyangga atau desa-desa yang telah
ada guna mendukung pusat yang sudah ada (tidak harus WPT).
Jadi kawasan transmigrasi baik berwujud WPT maupun LPT
merupakan lokus tujuan perpindahan transmigrasi, yang secara
konseptual merupakan sebuah wilayah atau ruang delineatif yang
dibangun dengan struktur hirarkis-nodal. Dalam konsep WPT, struktur
hirarkisnya adalah strata (orde) terkecil berupa satuan permukiman
(SP), dan beberapa SP kemudian diintegrasikan dalam satuan lintas-
SP berupa SKP, dan kemudian beberapa SKP diintegrasikan dalam satu
kesatuan kawasan yang di dalamnya ada satu titik yang dibangun baru
dengan predikat KPB dan berfungsi sebagai pusat pelayanan kawasan.
Sementara LPT merupakan kawasan transmigrasi yang didelineasikan
dan di dalamnya sudah ada titik (atau potensi titik) yang sudah (atau
akan) dipromosikan sebagai pusat pelayanan kawasan, sehingga
keberadaan permukiman desa-desa setempat yang telah ada, bersama-
sama dengan potensi permukiman transmigrasi baru terintegrasi
sebagai satuan-satuan permukiman, dan seterusnya membentuk SKP
Living Document
Strategi kedua, adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang
terutama diupayakan melalui investasi modal (capital invesment)
untuk kegiatan-kegiatan produksi yang berorientasi keluar, dengan
tujuan untuk meningkatkan pasokan dari komoditas yang pada
umumnya diproses dari sumber daya alam lokal. Kegiatan produksi
terutama ditujukan untuk ekspor yang akhirnya akan meningkatkan
pendapatan lokal. Hasil dari kegiatan ini selanjutnya diharapkan akan
menarik kegiatan lain untuk datang ke wilayah tersebut.
Perbedaan dari kedua strategi tersebut terletak pada; bahwa
keuntungan penggunaan supply side strategy adalah prosesnya cepat
sehingga efek yang ditimbulkan cepat terlihat (quick yielding activities),
sebaliknya strategi pertama justru bersifat slow yielding. Namun pada
strategi kedua sering muncul komplikasi permasalahan berupa: (1)
muncul enclave karena keterbatasan kapasitas penduduk setempat
(pengetahuan, keterampilan/keahlian, dan perilaku), sehingga yang
menikmati seringkali hanya kelompok masyarakat tertentu dengan
jumlah terbatas dari luar kawasan, dan (2) sangat peka terhadap
berbagai perubahan ekonomi di luar wilayah (faktor eksternal). Lain
halnya dengan strategi pertama, strategi kedua lebih terfokus pada
pemberdayaan masyarakat di kawasan tersebut (put people first) untuk
dapat menguasai dan memanfaatkan teknologi dalam mengusahakan
dan mendayagunakan sumber daya alam yang ada.
Living Document
dan hirarki kawasan merupakan faktor penting yang dipertimbangan
dalam membangun kawasan transmigrasi di berbagai daerah. Terkait
dengan struktur dan hirarki kawasan transmigrasi, hal ini sejalan
dengan rencana pengembangan wilayah yang telah menggariskan
skenario tata ruang nasional melalui Strategi Nasional Pengembangan
Pola Tata Ruang (SNPPTR) sebagai dasar penyusunan Rencara Tata
Ruang Wilayah Propinsi/Kabupaten (RTRWP/K).
Strategi pemanfaatan ruang nasional berisikan struktur dan
kriteria pengelolaan kawasan lindung dan budidaya, sedangkan dalam
struktur ruang mengidentifikasikan kawasan-kawasan strategis
nasional, sistem kota-kota dan arahan pengembangannya, sistem
transportasi dan infrastruktur utama (pelabuhan laut dan udara).
Selama ini, salah satu kendala dalam percepatan pembangunan
kawasan adalah adanya perencanaan kawasan yang bersifat sektoral.
Idealnya kawasan transmigrasi periode tersebut dipandang sebagai
bentuk pengembangan wilayah dan pembangunan daerah dan
merupakan ruang bersama yang disepakati lintas sektor terkait
dalam merancang program dan kegiatan secara terpadu. Sebaliknya
yang terjadi adalah munculnya kecenderungan ego-sektoral yang
kuat. Dalam arti setiap sektor mempunyai rancangan tata ruang
pembangunan yang berbeda sehingga menyebabkan pengembangan
sistem transportasi, hirarki pusat pelayanan, sistem pengadaan faktor-
faktor produksi sistem pasar tidak terencana secara terintegrasi (Ernan
Rustiadi, 2004).
Meskipun demikian, kawasan-kawasan transmigrasi yang dibangun
melalui pendekatan kewilayahan, dalam kurun waktu relatif panjang
mampu berkembang menjadi pusat pertumbuhan baru, pusat produksi
baru di berbagai daerah. Dalam kerangka pengembangan wilayah,
kawasan transmigrasi dapat berperan menciptakan konektivitas antar
daerah, antara wilayah maju dan wilayah terbelakang. Maupun menjaga
keseimbangan pertumbuhan antar wilayah akibat berkembangnya
aktivitas usaha pokok. Di sisi lain, terbatasnya peraturan perundangan
Living Document
untuk menetap, atau sumberdaya manusia yang kompeten secara
terbatas sebagai aktor pembangunan. Oleh sebab itu, pembangunan
transmigrasi pada dasarnya merupakan bagian integral dari
pembangunan Nasional, Provinsi, Kabupaten, maupun lokal, pada
wilayah-wilayah potensial yang telah ditetapkan.
Kedudukan lokasi transmigrasi pada umumnya merupakan
kawasan belakang (hinterland) dalam bentuk kawasan perkotaan baru
atau bagian dari kawasan perkotaan baru yang bercirikan perdesaaan.
Sebagai kawasan perkotaan baru, kawasan transmigrasi mempunyai
pusat pelayanan perkotaan sebagai pendukung aktivitas produksi,
masyarakat yang kompeten sebagai pelaku penting aktivitas produksi.
Melalui skenario demikian maka kawasan transmigrasi merupakan
hinterland penyedia bahan baku produksi yang berdaya saing.
Sebagai kawasan hinterland yang berciri perdesaan, maka
kedudukan rencana kawasan transmigrasi yang berisikan struktur dan
pola ruang, rencana penyediaan sumberdaya, rencana pengembangan
kawasan, rencana pengembangan usaha, rencana pengembangan
sosial-budaya adalah merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang
Kawasan Strategis dalam lingkup Nasional, Provinsi dan Kabupaten.
Dalam RPJMN 2010-2014, disebutkan bahwa pembangunan
transmigrasi diarahkan pada bidang pembangunan pedesaan dan
bidang pengembangan ekonomi lokal dan daerah untuk mendukung
prioritas nasional dalam pembangunan daerah perbatasan yang
tertinggal, terdepan, terluar dan paska konflik. Oleh karena itu, lokus
pembangunan transmigrasi kedepan, masih perlu diarahkan pada
daerah (wilayah) perbatasan, daerah tertinggal dan daerah pasca
konflik.
Wilayah perbatasan, kedepan perlu dipersepsikan sebagai
beranda depan wilayah NKRI agar tingkat kerawanan perbatasan
Indonesia dengan negara lain ke depan dapat diantisipasi. Sebagai
batas kedaulatan negara, wilayah perbatasan sangatlah penting, karena
itu kebijakan transmigrasi perlu diarahkan ke wilayah ini, baik untuk
Living Document
Papua New Guinea, Timor Leste, dan Australia. Khusus untuk
perbatasan darat, wilayah Indonesia berbatasan langsung dengan tiga
negara tetangga, yaitu Malaysia, Papua New Guinea, dan Timor Leste.
Perbatasan darat antara Indonesia dengan Republik Demokratik
Timor Leste (RDTL) membentang sepanjang 255,4 km meliputi
Kabupaten Belu Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Kota Kupang
di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berbatasan langsung
dengan tiga distrik di Negara Timor Leste, yaitu Maliana, Kovalima
dan Oecusse. Wilayah distrik Oecusse, menjadi daerah enclave yang
terjepit antara Kabupaten Belu dan Kabupaten TTU di Provinsi NTT,
Indonesia. Khusus di Kabupaten Belu, terdapat 9 (sembilan) Kecamatan
meliputi 28 desa yang berbatasan langsung dengan Timor Leste yaitu;
Kecamatan Lasiolat, Raihat, Lamaknen, Lamaknen Selatan, Tasifeto
Timur, Tasifeto Barat, Kobalima, Kobalima Timur, dan Malaka Barat.
Sementara Pos lintas batas darat di Provinsi Papua, belum ada
yang diresmikan. Peraturan dan perjanjian perbatasan yang telah
dibuat meliputi: Undang-Undang RI Nomor 6 tahun 1973, Keputusan
Presiden RI Nomor 27 Tahun 1974, Keputusan Presiden RI Nomor 6
Tahun 1980 dan Pembaharuan Perjanjian Perbatasan dengan Papua
New Guinea (18 Maret 2003).
Namun, ke depan pembangunan transmigrasi perbatasan perlu
diprioritaskan pada perbatasan Indonesia-Malaysia, di mana terdapat
8 (delapan) Kabupaten perbatasan, yaitu 5 Kabupaten di Kalimantan
Barat (Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, dan Putusibau), dan 3
Kabupaten di Kalimantan Timur (Nunukan, Malinau, dan Kutai Barat).
Wilayah perbatasan darat Indonesia-Malaysia berada pada
wilayah Provinsi Kalimantan Barat dengan Negeri Serawak, dan
Propinsi Kalimantan Timur dengan Negeri Sabah. Kedua wilayah
tersebut relatif berhubungan langsung satu sama lain. Kondisinya
berbeda di mana wilayah Malaysia relatif lebih maju dibandingkan
dengan wilayah Indonesia, sehingga terjadi kecenderungan perubahan
orientasi kegiatan sosial ekonomi penduduk dari wilayah Indonesia ke
wilayah Malaysia. Pos lintas batas darat yang telah diresmikan meliputi
24
Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, 2012
Living Document
nasional. Persoalan transmigrasi tidak bisa dipisahkan dengan
persoalan penyediaan dan perolehan tanah, karena disadari bahwa
transmigrasi adalah sektor pembangunan yang berbasis tanah, dan
sangat tergantung pada ketersediaan dan atau penyediaan tanah.
Klausul-klausul kebijakan penyediaan lahan (tanah) untuk
pembangunan transmigrasi antara lain berbunyi: Pasal 23:
menyebutkan: (a) Pemerintah menyediakan tanah bagi penyelenggaraan
transmigrasi. (b) Alokasi penyediaan tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disesuaikan dengan rencana Tata Ruang Wilayah dan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (UU 15/1997].
Pasal 24, Tanah yang diperoleh Pemerintah untuk penyelenggaraan
transmigrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 diberikan dengan
hak pengelolaan (HPL) sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku25 . Dalam hal tanah yang akan diberikan kepada
transmigran dikuasai oleh Badan Usaha, tanah tersebut terlebih dahulu
diserahkan kepada Pemerintah sesuai dengan Peraturan Perundang-
undangan yang berlaku. Tanah yang diperuntukkan (diberikan)
kepada transmigran berstatus hak milik.
Lahan berstatus Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang diberikan
kepada Pemerintah (Kementerian atau Departemen) yang mengurusi
transmigrasi secara yuridis hanya dibenarkan jika digunakan untuk
pembangunan transmigrasi. Dengan kata lain, lahan HPL-Transmigrasi
peruntukannya hanyalah untuk pembangunan transmigrasi, baik untuk
lahan pekarangan dan tapak rumah transmigran, lahan fasilitas umum
dan fasilitas ekonomi, maupun lahan usaha (LU-I dan atau LU-II).
Hak pengelolaan (HPL) adalah hak yang diberikan oleh Badan Pertanahan Nasional
25
kepada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi atas areal yang telah dicadangkan
untuk lokasi permukiman transmigrasi dengan wewenang untuk merencanakan
peruntukan dan penggunaan tanah serta menyerahkan bagian-bagiannya kepada
para transmigran atau instansi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan
transmigrasi. Dalam perkembangannya banyak lokasi HPL yang belum dipergunakan
untuk pembangunan permukiman transmigrasi, dan malah dipergunakan oleh pihak
lain, dikarenakan kurang pengaturan, pemeliharaan, dan pengamanan terhadap HPL
tersebut.
Living Document
Pasal-pasal mengenai penyediaan lahan, sebagaimana dikutip di
atas, adalah pasal-pasal yang tidak diubah dalam UU No. 29/2009,
sehingga masih tetap berlaku, mengikat, dan tetap harus dijadikan
acuan bagi Pemerintah dalam penyediaan lahan transmigrasi.
Masalah pertanahan transmigrasi seringkali muncul di tingkat
hilir, antara lain: Pertama, kekurangan lahan (sehingga pemenuhan
hak normatif lahan bagi transmigran tidak terlaksana), banyak kasus
misalnya transmigran sudah ditempatkan di permukiman baru tetapi
kemudian tidak memperoleh lahan usaha (karena lahan usaha dua
sekalipun ada tetapi “diambil” pihak lain. Kedua, klaim masyarakat adat
setempat terhadap lahan transmigrasi yang telah dibagikan, bahkan
ada yang sudah bersertifikat hak milik; dan Ketiga, dan tumpang tindih
lahan HPL transmigrasi dengan pihak lain, misalnya kasus perijinan
investor.
Dengan demikian maka “struktur persoalan” lahan HPL
transmigrasi, pada umumnya berbentuk konflik antara pemerintah
dengan pihak lain, khususnya masyarakat setempat. Banyak kasus
sengketa atau konflik lahan tersebut yang proses penyelesaiannya
cenderung berlarut-larut.
Kasus konflik pertanahan transmigrasi, atau masalah-masalah
yang timbul dikemudian hari pada lahan-lahan HPL transmigrasi perlu
dilihat dari ranah hulu dan hilir. Banyak hal yang tidak dipertimbangkan
pada ranah hulu, yaitu ketika masa pra-pencadangan dan proses
perolehan.
Oleh karena itu, kedepan pemahaman terhadap kultur tanah
masyarakat lokal (setempat) perlu ditingkatkan, sebagai basis kegiatan
pencadangan dan perolehan, sehingga proses clear and clean benar-
benar dapat dicapai. Tindakan preventif seharusnya dilakukan
pada tahap hulu, yaitu masa pra-pencadangan (penyediaan), masa
pencadangan (sertifikasi), dan proses perolehan (pembebasan hak
penguasaan lokal).
Perhatian dan atau tindakan preventif yang perlu dilakukan di
ranah hulu antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, Pemahaman
Living Document
yang sifatnya partisipatif.
Karakteristik masyarakat transmigrasi (sosial, budaya dan
ideologi) negara kesatuan perlu dikomunikasikan secara intensif
dengan masyarakat setempat. Komunikasi itu dilakukan sebelum dan
atau proses penentuan lahan untuk lokasi transmigrasi. Komunikasi itu
dapat dilakukan melalui silaturahim tatap-muka (face to face relation),
dengan media focus group discussion (FGD-Kelompok Diskusi Terarah)
atau hadir dalam upacara ritual peralihan dan komunitas adat.
Konsolidasi tanah kedepan bukan saja dilakukan pada Satuan
Permukiman Baru, tetapi pada satuan-satuan permukiman yang
dipugar (SP-Pugar) dan satuan permukiman setempat (tempatan).
Konsolidasi tanah merupakan merupakan aspek penting dalam
pembangunan transmigrasi, yaitu melalui pendekatan partisipasi
masyarakat karena menyangkut kepastian hukum bagi transmigran,
dari sisi kepemilikan aset produksi, khususnya lahan.
26
Kemenpera, 2011
27
Saleh, H. Heriawan dan Tirtosudarmo, R. Spatial Dimensions Of Population And
Socio-Economic Development And Their Implications To Macro And Sustainable
Development (2013)
Living Document
Potential (P) population to
Mega- Metropolita Big City generate urban
metropolitan n (mill)
1. Sumatera A= 1 A= 2 A = 30 +22
(473,5) P= 2 P= 8 P = 23
2. Kalimantan A= 0 A= 0 A= 9 +24
(425,3) P= 3 P= 3 P = 21
3. Sulawesi-Maluku A= 0 A= 0 A = 14 +26 112
(261,9) P= 3 P= 4 P = 13
4. Papua A= 0 A= 0 A= 5 +30
(537,4) P= 3 P= 3 P = 26
5. Bali-Nusa A= 0 A= 1 A= 4 +10
Tenggara P= 1 P= 3 P= 4
(73,7)
6. Java A= 3 A= 4 A = 34 -51
(127,0) P= 2 P= 2 P = 27
Total A=4 A=7 A = 96
P = 14 P = 23 P =114
Scenario of Spatial Distribution on Potential Urban Areas by Region and by Potential Demand (2035)
Remark: 1. if A > P the city needs to be consolidated or reclassified or downgraded
2. If P > A to promote the lower city to be the higher one
3. The number of A includes capital of province, capital of regency, and/or municipality (autonomous city)
4. The great majority of actual big cities outside Java are still under capacity regarding spatial class
Living Document
B. Pembangunan Kependudukan [SDM]
Pembangunan kependudukan mencakup, Pengarahan dan Penataan
Penduduk; Kualitas Sumber Daya Transmigran; Pemanfaatan Bonus
Demografi; Harmonisasi hubungan lintas-kultural; Penguatan Modal
Sosial dan Adaptasi Lingkungan.
Living Document
Definisi Transmigrasi dalam Undang-Undang memang perpindahan
penduduk..dst, tetapi perpindahan dalam hal ini merupakan konsekuensi
logis dari terbangunnya kawasan-kawasan transmigrasi. Dengan
demikian, pembangunan transmigrasi kedepan harus mampu menjadi
arah dan sekaligus tujuan bagi pergerakan penduduk secara spasial. Jadi,
kedepan perpindahan penduduk dalam konteks transmigrasi tidak lagi
diterjemahkan sebagai perpindahan antar-pulau, dari pulau-pulau Jambal
(Jawa-Bali-Madura-dan Lombok) ke pulau-pulau lain, tetapi lebih pada
penataan persebaran penduduk antar kabupaten dalam satu propinsi,
dan atau antar propinsi dalam wilayah NKRI.
Hingga saat ini, terma-terma transmigrasi masih tetap dikaitkan dengan persoalan
28
Living Document
2. Kualitas Sumberdaya Manusia
Agenda Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia, dilakukan agar
transmigrasi didukung oleh kualitas SDM yang mumpuni, dan unggul
baik dari segi pendidikan, dan atau keahlian, dan atau kompetensi
sesuai kebutuhan karakteristik keunggulan lokal, sehingga dapat
mempercepat perkembangan dan kemajuan kawasan dapat terjadi.
Transmigrasi juga perlu memperhitungkan bonus demografi, di dalam
seleksi, rekruitmen dan perlakuan diarahkan pada penduduk usia
produktif, sehingga tidak terjadi masalah di daerah tujuan. Sebaliknya
adanya multiplier effect dari terbangunnya pusat pertumbuhan di
kawasan transmigrasi, maka akan lebih mudah mengisi lapangan kerja
yang tersedia, kesempatan pendidikan yang lebih baik, peningkatan
kesehatan dan kesejahteraan penduduk bertambah.
Living Document
strategis yang malah ditempati tenaga kerja asing.
Permasalah pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) inilah
yang harusnya bisa diselesaikan dari sekarang, jauh sebelum bonus
demografi datang. Jangan sampai hal yang menjadi berkah justru
membawa bencana dan membebani negara atau pemerintah, karena
masalah yang mendasar pada kualitas manusia. Kenyataannya
pembangunan kependudukan seolah terlupakan dan tidak dijadikan
underlined factor. Padahal pengembangan sumber daya manusia
yang merupakan investasi jangka panjang yang menjadi senjata utama
kemajuan suatu bangsa.
Dalam hal ini pemerintah harus mampu menjadi agent of
development dengan cara memperbaiki mutu modal manusia (human
capital), mulai dari pendidikan, kesehatan, kemampuan komunikasi,
serta penguasaan teknologi. Solusi lainnya bisa dengan memberikan
keterampilan kepada tenaga kerja produktif sehingga pekerja tidak
hanya bergantung pada ketersediaan lapangan pekerjaan tapi mampu
menciptakan lapangan pekerjaan itu sendiri. Selain itu pemerintah
juga harus mampu menjaga ketersediaan lapangan pekerjaan, menjaga
aset-aset Negara agar tidak banyak dikuasai pihak asing yang pastinya
akan merugikan dari sisi peluang kerja.
Bukan hanya pemerintah, masyarakat juga harus menjadi
pendukung utama pembangunan mutu manusia dengan cara
menyadari pentingnya arti pendidikan, kesehatan dan aspek-aspek
yang dapat mengembangkan kualitas manusia itu sendiri. Dengan
demikian, bonus demografi ibarat pedang bermata dua. Satu sisi adalah
berkah jika berhasil mengambilnya. Satu sisi yang lain adalah bencana
seandainya kualitas SDM tidak dipersiapkan. Sebuah bangsa yang kuat
harus mempunyai perencanaan, termasuk membangun sumber daya
manusia berkualitas yang akan menjadi daya saing sebuah bangsa.
Sejatinya, perubahan tidak bisa dilakukan dalam sekejap, maka dari itu
pembenahan kualitas manusia harus dimulai dari sekarang.
Living Document
terjadinya disharmoni tersebut, yang disebabkan oleh stereotipe-
etnik (prasangka etnis), etnosentris, religiosentris, dan kecemburuan-
kultural, baik antar-transmigran, maupun antara transmigran dengan
penduduk setempat.
Problematik hubungan lintas etnis, berupa disharmoni,
disintegrasi, dan segala bentuk konflik, dalam pembangunan
transmigrasi perlu dihindari, dan integrasi menjadi agenda yang
perlu diupayakan secara terus-menerus (berkesinambungan) guna
menopang proses pertumbuhan ekonomi, baik pada pada tingkat
lokal maupun regional. Maka pengembangan komunitas transmigrasi
diarahkan pada terjadinya integrasi sosial-budaya.
Living Document
masa lalu, dalam banyak kasus masyarakat dapat mengembangkan
strategi menghadapi perubahan lingkungannya, dengan penguasaan
teknologi yang dipunyai dari masing-masing penduduk yang berada di
kawasan transmigrasi.
29
Heady (1974), yang kemudian lebih umum dikenal sebagai konsep “Agribisnis”
(Saragih, 2010).
Living Document
perlindungan dari sistem perdagangan yang tidak adil;
f. Peningkatan IPTEK pertanian dan pengembangan riset pertanian
melalui pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat dan
spesifik lokasi yang ramah lingkungan; dan
g. Pengembangan lembaga keuangan di wilayah transmigrasi dan
sistem pendanaan yang layak bagi usaha pertanian, antara lain
melalui pengembangan dan penguatan lembaga keuangan mikro/
perdesaan, insentif permodalan dan pengembangan pola-pola
pembiayaan yang layak dan sesuai bagi usaha pertanian.
3. Sistem Insentif
Pembangunan ekonomi lokal di kawasan transmigrasi meliputi
aspek perencanaan, monitoring serta evaluasi perlu didukung oleh
data dan informasi yang akurat dan terkini serta dukungan peraturan
perundang-undangan yang diarahkan agar dapat dihasilkan produk
yang berdaya saing dan mensejahterakan pelaku usaha dalam setiap
sub sistem agribisnis. Peraturan atau kebijakan pemerintah harus
berpihak kepada para pelaku usaha dari setiap sub sistem agribisnis
di kawasan transmigrasi, seperti kemudahan berinvestasi, kemudahan
perijinan dalam berusaha, kemudahan ekspor, melindungi produk
pertanian (secara luas) dalam negeri dari serbuan produk-produk
impor, menghilangkan pungutan ilegal, penyediaan fasilitas modal
yang mudah dan murah, insentif pajak, biaya transportasi yang murah,
jaminan keamanan usaha, infrastruktur, penyediaan fasilitas lembaga
keuangan mikro, Bank untuk usaha pertanian dan sebagainya.
Peraturan atau kebijakan pemerintah harus berpihak kepada
para pelaku usaha dari setiap sub sistem agribisnis dan memberikan
perlindungan terhadap produsen maupun konsumen baik pada
perdagangan di tingkat lokal, nasional maupun internasional.
Living Document
generasi-generasi berikutnya. Oleh sebab itu, pengembangan ekonomi
lokal di kawasan transmigrasi harus mengacu pada prinsip-prinsip
green economy yaitu yang meningkatkan kesejahteraan manusia
dan kesetaraan sosial bagi generasi kini dan mendatang, sekaligus
mengurangi risiko lingkungan secara signifikan .
Sebagai konsekuensi dari prinsip green economy dalam
penyelenggaran transmigrasi, maka pengembangan ekonomi lokal di
kawasan transmigrasi harus mengacu pada komoditas unggulan yang
sesuai dan memberikan kontribusi bagi produksi O2, mendukung
konservasi tanah dan air, serta menggunakan teknologi yang ramah
lingkungan dan sesedikit mungkin memproduksi CO2 sejak aktifitas
penyiapan lahan, penyiapan sarana hingga subsistem pemasaran.
1. Kerjasama-Sinergis Pemerintah-Provinsi-Kabupaten-Kota
Untuk membangun kawasan berikut pusat-pusat pelayanannya
tidak bisa dilaksanakan oleh suatu sektor tertentu tetapi harus
melibatkan sektor lain secara terpadu. Dalam hal pembangunan
kawasan transmigrasi sebagaimana pembangunan sektor lain yang
berbasis kewilayahan harus dipersepsikan menjadi kepentingan
bersama. Oleh karena itu perencanaan kawasan dengan skema-
skema sektoral tertentu pada berbagai jenjang pemerintahan harus
dikoordinasikan oleh Kementerian/Lembaga atau Satker yang
berkewenangan dalam perencanaan pembangunan. Konsekuensi
logis dari pembangunan yang melibatkan multisektor adalah
dalam pembiayaan yang dapat bersumber dari Pemerintah (APBN),
Pemerintah Provinsi (APBD), dan Pemerintah Kabupaten/Kota
(APBD), serta sangat terbuka kemungkinan dana masyarakat termasuk
dunia usaha. Sesuai amanat UU. Nomor 29 Tahun 2009 dan Rancangan
Peraturan Pemerintah tentang ketransmigrasian bahwa koordinasi
dan pengawasan pelaksanaan pembangunan transmigrasi diatur
dengan Peraturan Presiden. Sehubungan dengan itu berbagai macam
skema pembangunan berbasis kewilayahan (seperti agropolitan,
minapolitan, Kawasan Ekonomi Khusus, dan Kawasan Transmigrasi)
sepanjang memenuhi persyaratan perlu dipertimbangkan untuk
diintegrasikan satu dengan yang lainnya menjadi klaster-klaster dalam
kawasan tertentu (konteks lokal menjadi sangat penting, karena perlu
diketahui sejauh mana pemerintah daerah memandang peran program
transmigrasi dalam pembangunan daerah).
2. Komitmen Pusat-Daerah
Komitmen Pusat-Daerah dalam pembangunan dan pengembagan
kawasan transmigrasi diperlihatkan dengan dipilihnya transmigrasi
sebagai sebuah kewenangan pada suatu daerah. Untuk merealisasikan
komitmen dirumuskan pembagian urusan kewenangan dalam
Living Document
sehingga dapat menggambarkan rangkaian proses penyelenggaraan
transmigrasi dan rancangan kelembagaan, kepegawaian dan
ketatalaksanaan. Pembagian urusan ini harus sejalan dengan revisi UU
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah serta revisi PP
nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Kewenangan.
Pembagian peran ini mungkin berbeda dan bervariasi antara satu
daerah dengan daerah lainnya, bergantung pada isu pembangunan lokal
dan aspirasi dan penerimaan (acceptance) pemerintah daerah. Bisa
saja program yang dibutuhkan dan diinginkan daerah adalah semacam
“Transmigrasi Lokal’. Strategi marketing sangat diperlukan. Untuk
itu konteks lokal menjadi sangat penting. Sejauh mana pemerintah
daerah memandang peran program transmigrasi dalam pembangunan
daerah?
Transmigrasi merupakan pembangunan terpadu antar sektor,
artinya transmigrasi tidak akan mencapai tujuannya apabila tidak
didukung oleh kegiatan sektor lainnya. Oleh karenanya, keberhasilan
pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi mensyaratkan
komitmen pengambil kebijakan dan keterlibatan secara aktif sektor-
sektor terkait.
Living Document
Bab VI
KONSEP ARAH KEBIJAKAN
TRANSMIGRASI 2015-2019
Dari berbagai pemikiran yang telah dihimpun, maka diperoleh
suatu intisari (khulasoh) bahwa transmigrasi ke depan [2015-2019]
perlu melakukan penyesuaian strategis, dengan mengubah cara-
pandang (paradigma) dan strategi kebijakan. Karena itu, paradigma
yang dapat diajukan adalah: “pembangunan transmigrasi berbasis
kawasan, dan pembangunan kawasan berbasis kependudukan dan
pengembangan ekonomi lokal”.
Paradigma ini diharapkan dapat mewujudkan transmigrasi sebagai
pendekatan pembangunan yang lebih komprehensif baik secara spasial,
sosial, dan ekonomi. Untuk menginplementasikan konsep transmigrasi
dengan paradigma baru tersebut, dalam periode 2015-2019, perlu
disusun arah-kebijakan yang relevan dan akurat.
Salah satu masalah yang akan dihadapi pada ranah pelaksanaan,
adalah hubungan kelembagaan birokratik, baik hubungan vertikal
Pusat-Daerah, maupun hubungan horisontal lintas-Kementerian. Oleh
karena itu, langkah yang perlu dilakukan adalah: Pertama, peningkatan
pemahaman konseptual transmigrasi Aparat Penyelenggara Pusat
Living Document
PARADIGMA TRANSMIGRASI KE DEPAN:
“Pembangunan Transmigrasi Berbasis Kawasan”, dan
Pembangunan Kawasan Transmigrasi Berbasis Kependudukan, serta
Pengembangan Ekonomi Lokal”.
1. Pemilihan Ruang-Wilayah
a. Dasar Pertimbangan (Rationale):
Pemilihan dan penentuan ruang merupakan kegiatan ranah
hulu yang sangat menentukan (determinan) dalam pencapaian
kesuksesan penyelenggaraan transmigrasi. Prinsip pengembangan
kawasan transmigrasi adalah penciptaan “gula” yang mampu
menarik berbagai macam “semut”.
Hal ini berarti bahwa perwujudan kawasan perkotaan baru
(KPB) di setiap kawasan transmigrasi (sebagaimana diamanatkan
UU No. 29/2009) diharapkan akan dapat menjadi alternatif untuk
mengalihkan arus urbanisasi dari kota-kota metropolitan yang ada,
ke kawasan perdesaan [transmigrasi] yang telah dilengkapi dengan
fungsi-fungsi perkotaan (kota bentukan). Dengan demikian maka
akan terjadi integrasi desa kota sebagai satu kesatuan fungsi (ruang
kehidupan).
Dengan dasar konsep penciptaan “gula”, maka perlu ditekankan
Living Document
bahwa kedepan kawasan-kawasan transmigrasi (berikut kawasan
perkotaan baru) harus dibangun dengan basis komoditas unggulan,
harus menjadi sebuah klaster atau simpul-simpul kegiatan
ekonomi, yang mempunyai inter-konektivitas dengan kawasan–
kawasan lainnya. Konektivitas antarkawasan perlu ditekankan,
karena hal itu merupakan penggerak ekonomi wilayah yang secara
inklusif melibatkan masyarakat transmigrasi sebagai objek, subjek
dan penerima manfaat dari kemitraan bisnis yang dikembangkan
bersama dunia usaha. Jika hal ini dapat terwujud maka kawasan-
kawasan transmigrasi akan menjadi kontributor penting bagi
pembangunan nasional, baik di bidang pangan, energi, perluasan
kesempatan kerja, maupun di bidang penghapusan kemiskinan dan
ketimpangan wilayah
Pengembangan wilayah [kawasan transmigrasi], yang
muaranya untuk menghasilkan daya saing daerah, pada dasarnya
tidak cukup hanya mengandalkan keberadaan [ketersediaan] SDA
(resources endowment), kapasitas SDM, kepemimpinan dan elit
daerah, tetapi juga faktor letak lokasi kawasan transmigrasi yang
dipilih. Karena itu, pemilihan lokasi menjadi sangat penting.
Dalam perspektif sistem ketata-keruangan, kawasan
transmigrasi dapat diskenariokan sebagai alat bagi semua
pemangku kepentingan untuk melakukan transformasi struktur
ekonomi dari sektor primer ke sekunder dan tersier secara
sistematis. Transformasi ini bergerak dari pengembangan usaha
yang berbasis SDA (pertanian) dan sekaligus dilengkapi dengan
upaya peningkatan kapasitas SDM untuk dapat menjadi pelaku
yang handal di sektor selanjutnya. Skenario tersebut dapat beranjak
dengan: (1) pengembangan permukiman transmigrasi yang ada
sepanjang memenuhi persyaratan minimal suatu kawasan, (2)
pengembangan kawasan transmigrasi sebagai PKSN, PKW dan PKL
sesuai dengan potensi wilayah masing-masing, (3) mengembangkan
kawasan transmigrasi sebagai hinterland dari pusat-pusat kegiatan
yang ada (PKN, PKSN, PKW dan PKLP).
Living Document
kawasan transmigrasi baru pada periode 2015-2019, dengan mengacu
pada RPJP (2010-2025) bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian
(Permen No 12/2012), yaitu: “membangun dan mengembangkan 25
kawasan transmigrasi baru berupa WPT/LPT yang diprioritaskan di
Kabupaten daerah tertinggal dan perbatasan”.
Living Document
dinamika perkembangan ekonomi, yang mendorong proses
transformasi struktural berjangka panjang.
Selain pendidikan, adalah aspek kesehatan, yang juga sangat
penting sebagai indikator kualitas sumber daya manusia (SDM).
Kesehatan merupakan bagian dari indikator kesejahteraan
masyarakat. Karena itu, untuk mencapai kesejahteraan, kesehatan
masyarakat perlu menjadi prioritas. Dengan menerapkan prinsip-
prinsip hidup sehat, akan tercapai kesehatan masyarakat, dan
melahirkan generasi sehat yang mampu memberikan kontribusi
optimal bagi membangun. Individu dan masyarakat yang sehat
secara fisik dan batin, akan menjadi kekuatan pendorong kemajuan.
Kesehatan mencakup spektrum yang luas; dari kesehatan keluarga,
kesehatan reproduksi, hingga kesehatan masyarakat, dari kesehatan
fisik hingga kesehatan mental-spiritual.
Kesehatan keluarga merupakan bagian dari kesehatan
masyarakat yang perlu diperhatikan, mengingat keluarga adalah
bagain terkecil dari masyarakat. Kebutuhan akan terciptanya
keluarga yang sehat, perlu menjadi perhatian masyarakat dan
karena itu masyarakat perlu memiliki pengetahuan dalam
melindungi kesehatan keluarga.
Kesehatan reproduksi sangat penting untuk diberikan kepada
para wanita, terutama para ibu dan remaja yang umumnya
sangat rentan. Pemahaman tentang kesehatan reproduksi perlu
dikuasai masyarakat, mengingat masih banyak wanita yang belum
memahami pentingnya merawat kesehatan ini. Masyarakat di
kawasan transmigrasi ditengarai masih sangat terbatas dalam
menguasai pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi ini. Hal
ini disebabkan oleh kurangnya media yang memberikan informasi
secara menyeluruh dan mendalam tentang kesehatan reproduksi.
Dengan begitu kompleks dan luasnya aspek kesehatan
masyarakat, khususnya masyarakat di kawasan transmigrasi,
maka dipelukan upaya untuk memahaminya secara mendalam
Living Document
pendidikan dan kesehatan, baik di dalam hal sarana fisik maupun
pendampingan sosial.
Living Document
1) Peningkatan fungsi-fungsi pelayanan usaha ekonomi, meliputi
akses permodalan, akses pasar lokal dan regional, peningkatan
sarana-prasarana perhubungan antar dan inter, satuan dan pusat
permukiman;
2) Promosi (iklanisasi), advokasi, dan penyebarluasan informasi peluang
investasi dan pengembangan usaha dengan konsep kemitraan
bisnis yang berkeadilan dan saling menguntungkan di kawasan
transmigrasi;
3) Peningkatan .(penyediaan) infrastruktur pelayanan jasa-jasa dan
penyediaan zona-zona (lapak) bagi usaha kecil menengah (UKM).
4) Penumbuhan wirausahawan dengan basis pola usaha yang
dikembangkan baik sektor primer, skunder dan tertier pada kawasan
transmigrasi
5) Perlindungan dan keberpihakan pada petani dalam proses produksi
melalui sistem agribisnis dan agroindustri dengan sistem insentif
yang dapat mensejahterakan masyarakat dan petani.
6) Penumbuhan kapital sosial (tumbuhnya saling kepercayaan (trust),
saling berinteraksi, taat pada norma yang berkembang, serta
mempunyai jaringan kerja (network) diantara masyarakat yang
berada di kawasan transmigrasi melalui penguatan kelembagaan
yang tumbuh di masyarakat.
1. Kerjasama Pusat-Daerah
a. Dasar Pertimbangan:
Hubungan Pusat-Daerah dalam implementasi transmigrasi
Living Document
sejak dan selama masa reformasi ditandai dengan pola hubungan
yang asimetrik, dengan ketergantungan begitu besar daerah
terhadap Pusat, sehingga beban pusat menjadi semakin berat.
Sementara itu, karakter daerah sendiri sangat beragam dari sisi
potensinya. Ada kemampuan dan kompetensi daerah, tetapi tidak
ada kompetensi untuk melakukannya, sementara ada kemauan
tetapi tidak memiliki kemampuan, baik kemampuan sumber dana
maupun sunber daya aparat pelaksananya.
Mensikapi kondisi keberagaman daerah, maka perlu dilakukan
assesment terhadap daerah-daerah. Selama ini, data base tentang
kondisi dan tingkat kemampuan masing-masing daerah (Provinsi
dan atau Kabupaten/Kota) masih belum dimiliki pusat secara
akurat. Tidak ada perlakuan Pusat terhadap Daerah melalui
negosiasi-negosiasi atas dasar kemampuan daerah, terutama dalam
hal memberikan persetujuan pengajuan program dan anggaran
pembangunan transmigrasi. Pemberian pagu daerah, selama ini,
bukan berdasarkan ketersediaan anggaran daerah, melainkan
masih atas dasar pertimbangan teknis, misalnya ketersediaan lahan
yang ada di daerah tersebut. Jadi, perlu interpretasi ulang atas
klausul kewenangan pilihan.
Saat ini tengah diajukan perubahan UU Pemerintah Daerah,
menyangkut kewenangan dan pembagian urusan dalam
pembangunan transmigrasi. Perubahan yang diusulkan adalah
bahwa pembangunan transmigrasi akan kembali menjadi
kewenangan pusat. Hal ini dilakukan atas dasar pengalaman selama
satu dasawarsa (dekade) kebelakang, di mana penyelenggaraan
transmigrasi mengalami karut-marut di tangan pemerintah
kabupaten kota.
Atas pertimbangan itulah maka saat ini tengah diajukan
perubahan manajemen pembangunan transmigrasi, melalui
revisi UU Otonomi Daerah. Perubahan fungsi-fungsi manajerial
pembangunan transmigrasi ke depan akan terjadi sebagaimana
dalam Tabel 5 berikut.
Living Document
PERENCANAAN Penetapan dan Pencadangan tanah untuk Pencadangan tanah
KAWASAN perencanaan kawasan kawasan transmigrasi untuk kawasan
TRANSMIGRASI transmigrasi lintas Kabupaten/Kota transmigrasi di
dalam 1 (satu) Provinsi Kabupaten/Kota
PEMBANGUNAN • Pembangunan Penataan pesebaran Penataan pesebaran
KAWASAN Satuan Permukiman penduduk yang berasal penduduk yang
TRANSMIGRASI di kawasan dari lintas-Kabupaten/ berasal dari 1 (satu)
transmigrasi Kota dalam 1 (satu) wilayah
• Penataan persebaran Provinsi Kabupaten/Kota
penduduk yang
berasal lintas-
Provinsi
PENGEMBANGAN • Pengembangan Pengembangan Satuan Pengembangan
KAWASAN Satuan Permukiman Permukiman pada tahap Satuan Permukiman
TRANSMIGRASI pada tahap pemantapan pada tahap
penyesuaian kemandirian
• Pengembangan
kawasan transmigrasi
2. Kerjasama Lintas-Kementerian/Lembaga
a. Dasar Pertimbangan:
Kerjasama kelembagaan antar sektor pemerintah
Living Document
(lintas-stakeholder) atau lintas-pemangku kepenting (antar-
kementerian), umumnya masih dalam hal saling pengertian
(mutual understanding), menyangkut kepercayaan dan terutama
pemahaman antar lembaga pemerintah tersebut dalam mencapai
tujuan atau merumuskan tujuan. Ini merupakan cerminan dari
kecenderungan ego-sektoral yang masih mewarnai hubungan
kelembagaan antar pemerintah. Ego-sektoral muncul karena terkait
dengan kinerja lembaga, atau tingkat pencapaian target-target
programatik dan finansial dalam satu kurun anggaran, oleh seuatu
lembaga atau unit kerja. Kinerja juga berkaitan dengan tanggung
jawab, baik finansial, teknis, maupun moral suatu lembaga dalam
menjalankan tuigas dan fungsinya.
Karena itu, kedepan pengembangan kelompok kerja lintas-
sektor dalam suatu progran pembangunan ke depan perlu terus
dilakukan dan ditingkatkan, mengingat ada berbagai keterbatasan
dan kendala yang dihadapi unit-unit kerja pemerintahan. Kendala
tersebut dapat berupa anggaran, SDM, kapasitas, dan sarana
prasarana. Dalam upaya pengembangan kawasan transmigrasi,
perlu dikembangkan kerjasama lintas sektor secara efektif, yang
bukan saja bergerak (bekerja) pada perumusan kebijakan lintas-
sektor, tetapi juga perumusan program dan kegiatan lintas-sektor
yang relevan dengan upaya-upaya perkembangan ekonomi kawasan.
Politik anggaran berbasis sektoral selama ini telah menjadi
faktor kendala, yaitu menjadi pembatas kemampuan sektor untuk
menjalankan fungsi-fungsi program pembangunan, dan persoalan
ini masih belum terpecahkan. Jika kendala finansial pembangunan
zona ekonomi diatasi melalui model kerjasama pemerintah dan
swasta atau Public-Private Partnership (PPP). Maka kendala
finansial pembangunan yang bersumber dari APBN sesungguhnya
dapat diatasi dengan cara joint-budgeting antar [lintas] sektoral,
baik di pusat maupun di daerah.
Gagasan tentang pembiayaan bersama lintas-sektor untuk
pembangunan transmigrasi sesungguhnya telah lama muncul,
namun hingga saat ini masih sulit untuk diterapkan karena
Living Document
Kemendagri, PDT, Perdagangan, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,
Kelautan dan Perikanan, Pertanian, dan Perindustrian), yang
dipayungi oleh ketentuan minimal Peraturan Presiden (Perpres)
tentang Koordinasi dan Pembiayaan Bersama (joint budgeting)
pembangunan berbasis kawasan.
b. Arah Kebijakan:
Living Document
Penyusunan kebijakan bidang ketransmigrasian didasarkan
atas penelitian dan pengembangan yang berbasis ilmu pengetahuan
dan teknologi serta data dan informasi yang mutakhir agar
rumusan kebijakan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu perlu
peningkatan kualitas hasil penelitian dan pengembangan serta data
dan informasi di bidang ketransmigrasian.
b. Arah Kebijakan
Living Document
Bab VII
PENUTUP
Living Document
[M1, SS8, SS10]
5. Pembangunan tahap dua (second stage development) atau
perlakuan ulang terhadap kawasan-kawasan terbangun sejak tahun
2007, hingga 2014, yang diarahkan pada penyediaan dan atau
peningkatan kualitas infrastruktur yang mendukung konektivitas
inter dan antar kawasan, sehingga menjamin dan mendukung
kelancaran [perputaran] arus barang, jasa, modal, dan berbagai
aktivitas ekonomi masyarakat. -> [M3, SS3, SS7, SS8, SS10]
6. Penentuan calon transmigran dari daerah sekitar kawasan, yang
didasarkan atas kriteria tertentu (yang perlu segera disusun),
yaitu kriteria pemenuhan standar kompetensi antara lain; berusia
produktif, berpendidikan minimal SMA/SLTA, berketerampilan
sesuai pola usaha yang dikembangkan. -> [M2, SS2, SS5]
7. Perencanaan sumberdaya kawasan yang harus dilaksanakan pada
T-2 dengan didasarkan atas prinsip-prinsip; penataan persebaran
penduduk di dalam dan di luar kawasan, kesesuaian antara
daya dukung dan tampung, kesempatan kerja, pola usaha, dan
kompetensi yang dibutuhkan, dan berorientasi pada pemanfaatan
bonus demografi. -> [M1, SS5, SS6, SS8, SS10]
8. Model-model perlakuan masyarakat (pelatihan-training)
peningkatan kualitas dan kapasitas (pasca penempatan di
lingkungan baru) di kawasan transmigrasi, yang didisain
sedemikian rupa sehingga dapat mencapai transformasi mental
dan personalitas, mencakup; sikap dan perilaku reseptif, terampil,
berwawasan pluralis-multikulturalis, peningkatan hasrat need-for
achievement (N-Ach), dan toleran, sehingga menjamin pencapaian
transmigran unggul. -> [M2, SS1, SS2, SS3, SS7]
9. Peningkatan kapasitas kelembagaan (institutional capacity
building) bagi kelompok-kelompok yang telah ada melalui fasilitasi
[pemberian bantuan] sarana-sarana aktivitas organisasional yang
diperlukan. -> [M3, SS1, SS3]
Living Document
20. Promosi (iklanisasi), advokasi, dan penyebarluasan informasi
peluang investasi dan pengembangan usaha dengan konsep
kemitraan bisnis yang berkeadilan dan saling menguntungkan di
kawasan transmigrasi. -> [M3, SS1, SS3, SS7, SS10]
21. Peningkatan (penyediaan) infrastruktur pelayanan jasa-jasa dan
penyediaan zona-zona (lapak) bagi usaha kecil menengah (UKM).
-> [M3, SS1, SS3, SS10]
22. Penumbuhan dan penguatan kapital sosial (kepercayaan, norma,
jejaring kerja) diantara masyarakat baik intra dan antar kawasan
transmigrasi -> [M2, SS1, SS2, SS3, SS7, SS10]
23. Penumbuhan wirausahawan dengan basis pola usaha yang
dikembangkan baik sektor primer, skunder dan tertier pada
kawasan transmigrasi. -> [M3, SS1, SS3, SS10]
24. Perlindungan dan keberpihakan pada petani dalam proses produksi
melalui sistem agribisnis dan agroindustri dengan sistem insentif
yang dapat mensejahterakan masyarakat dan petani. -> [M3, SS1,
SS3]
25. Hubungan kerjasama Pusat-daerah, yang dilakukan pada negosiasi-
negosiasi secara setara dana menguntungkan, saling mendukung
sehingga menjamin pelaksanaan program transmigrasi,
menghadapi karakter daerah yang bermacam-macam. -> [M4, SS9,
SS10, SS11]
26. Peningkatan kompetensi aparat Pemda (di bidang urusan
ketransmigrasian) agar menguasai konsep-konsep pembangunan
ketransmigrasian, sekaligus kemampuan praktis penyelenggaraan.
-> [M4, SS9, SS10, SS11, SS12]
27. Advokasi terhadap Pemerintahan Daerah (eksekutif dan legislatif)
agar memberikan share pembiayaan secara signifikan bagi
pembangunan kawasan transmigrasi. -> [M4, SS9, SS10, SS11,
SS12]
28. Peningkatan pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan dan data
serta informasi bidang ketransmigrasian untuk bahan kebijakan
dan program di bidang ketransmigrasian -> [M4, SS9, SS10, SS11,
SS12]
Hubungan misi dan sasaran strategis ini dapat dilihat pada Gambar
5 berikut.
Living Document
Membangun kawasan serta memfasilitasi Mengembangkan kapasitas masyarakat transmigrasi dan
perpindahan dan penempatan transmigran kawasan transmigrasi
Pelanggan
Peningkatan kualitas
perencanaan di bidang
ketransmigrasian
Peningkatan
pembelajaran
Pertumbuhan
Keuangan
PERSPEKTIF PENDUKUNG
TRANSMIGRASI KE DEPAN
Living Document
PARADIGMA:
“Pembangunan Transmigrasi Berbasis Kawasan, serta
Pembangunan Kawasan Transmigrasi Berbasis Kependudukan
dan Pengembangan Ekonomi Lokal”.
VISI:
Mewujudkan masyarakat transmigrasi yang produktif dan
sejahtera di kawasan transmigrasi yang berdaya saing
Living Document
. Dengan demikian maka pengembangan wilayah melalui transmigrasi
ke depan harus didasarkan atas konsep people follow jobs [ada gula
ada semut], sebagai bagian dari upaya pengelolaan penduduk agar
menjadi kekuatan pembangunan. Paradigma ini juga berarti bahwa
pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi ditujukan
untuk mendorong dan mengalihkan sebagaian arus urbanisasi dari
wilayah-wilayah perkotaan yang selama ini terjadi ke dalam kawasan
tersebut.
Transmigrasi mendatang akan menjadi bagian dari pembangunan
wilayah berbasis kependudukan. Dan pembangunan kependudukan
di bidang kualitas melalui transmigrasi dirancang dan dilaksanakan
dalam bentuk pendidikan dan kesehatan. Dalam pembangunan
kependudukan, penekanannya pada link-and-macth antara pendidikan
dan pemekerjaan (employment), dan antara kesehatan dan aktivitas
ekonomi [produktif].
Sebagai bagian dari pembangunan kependudukan, transmigrasi
kedepan perlu mempertimbangkan implikasi-implikasi sosio-kultural
dari mobiltas etnis. Transmigrasi merupakan model pembangunan
yang mempertemukan berbagai varian penduduk [suku-bangsa atau
etnik] yang berbeda. Kawasan transmigrasi dihuni oleh beragam
identitas kultural [etnisitas], yang berinteraksi dalam hubungan lintas-
etnis dan kultural. Dengan kata lain, masyarakat yang terbentuk
melalui transmigrasi adalah masyarakat diaspora yang heterogen dan
plural, baik secara etnik, budaya dan agama, sehingga rentan terhadap
situasi disharmoni (konflik dan segala bentuk ketegangan sosial).
Oleh karena itu, pengembangan komunitas transmigrasi [sebagai
bagian dari pembangunan kependudukan] perlu diarahkan pada
pembentukan sikap dan perilaku yang co-eksistensial (pro-eksistensial)
damai, antar dan lintas-kultural dalam kemajemukan (baik tradisi,
keyakinan agama, ideologi, norma-sosial, maupun nilai-nilai etik).
Implikasi dari hubungan lintas-kultural yang beragam, di samping
potensi konflik dan disharmoni, adalah kebutuhan akan tumbuhnya
Living Document
kependudukan, suatu situasi dinamik perkembangan penduduk
Indonesia sebagai subyek pembangunan.
Living Document
REFERENSI PENDUKUNG
DALAM FORUM KELOMPOK DISKUSI
1. Abdul Aziz Ahmad, 2013. Transmigrasi Sebagai Program
Pembangunan Industri Dan Perdagangandi Pedesaan, pada Diskusi
Terbatas. Puslitbang Ketransmigrasian, Balitfo, Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta.
2. Agus Manshur, 2013. Kontribusi Pemikiran Pengembangan
Kawasan Transmigrasi: Pokok-Pokok Bahasan Terhadap Naskah
Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2015-2019,
pada Workshop Menuju Pembangunan Kawasan Transmigrasi
Berdaya Saing 2015-2019, Bandung, 16 Desember 2013. Puslitbang
Ketransmigrasian, Balitfo, Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. Jakarta.
3. Anharudin, Dewi RN, Anggraini R. 2006. Membidik Arah
Kebijakan Transmigrasi Pasca Reformasi. Jakarta: Puslitbangtrans
Depnakertrans.
4. Anharudin, Priyono, Susilo SRT. 2008. Transmigrasi di Era Kabinet
Indonesia Bersatu. Jakarta: Bangkit Daya Insana.
Living Document
13. Hayu Parasasti, 2013. Arah Kebijakan Pembangunan Transmigrasi
Tahun 2015-2019, disampaikan pada Workshop Badan Penelitian
dan Informasi Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, di Solo, 25
Nopember 2013.
14.
Harry H. Saleh. 2013. Revitalisasi Transmigrasi Mendorong
Daya Saing Daerah: Mendayagunakan Ruang-Memberdayakan
Masyarakat- Mengembangkan Ekonomi Lokal, pada Seminar
Transmigrasi Dalam Perspektif Pengembangan Wilayah,
Kependudukan dan Ekonomi Pedesaan, 4 Desember 2013,
Puslitbang Ketransmigrasian, Balitfo, Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi. Jakarta.
15. Haryati, Soegiharto S, Priyono, Wibowo DP, Purbandini L, Warsono
SH. 2006. Studi Pembangunan Pusat Pertumbuhan. Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
16. Herbert Siagian, 2013. Government Roles Towards Decentralization
In The Next Mid-Term, pada Dikusi Terbatas. Puslitbang
Ketransmigrasian, Balitfo, Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. Jakarta.
17. Oswar Mungkasa, MURP, 2013. Transmigrasi Dalam Perspektif
Ruang, pada Seminar Transmigrasi Dalam Perspektif Pengembangan
Wilayah, Kependudukan dan Ekonomi Pedesaan, 4 Desember 2013,
Puslitbang Ketransmigrasian. Jakarta
18.
Mulyanto 2007. Pengembangan dan Pengukuran Indikator
Pembangunan Daerah di Era Otonomi dan Desentralisasi. Region
2(1). 53-66.
19. Mulyadi Moehsin, 2013. Pengembangan Masyarakat dan Kawasan
Transmigrasi, Pokok-Pokok Bahasan Terhadap Naskah Akademik
Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2015-2019, pada
Workshop Menuju Pembangunan Kawasan Transmigrasi Berdaya
Saing 2015-2019, Bandung, 16 Desember 2013. Puslitbang
Ketransmigrasian. Jakarta