Diajukan kepada :
dr. Intan Rahayu, Sp.S
Disusun oleh :
Shinta Dian Maharani
20120310213
Disusun oleh:
Shinta Dian Maharani
20120310213
Mengetahui,
Dokter Pembimbing
Abstrak
Merokok mempunyai efek negatif pada banyak penyakit yang sejauh ini masih dibawah
penelitian pada individu dengan epilepsi; dengan demikian peranan ini tidak jelas pada populasi
umumnya dengan epilepsi. Metode penelitian yang peneliti gunakan adalah retrospective pilot
study pada laki-laki dengan epilepsi untuk menentukan the smoking rate dan hubungannya
dengan kontrol kejang yang menggunakan analisis univariate untuk memperhitungkan odds
ratios (ORs) dan juga menggunakan analisis multi-variate logistic regression model.
Pada penelitian ini sampel individu perokok yang digunakan terbagi atas tiga klasifikasi
yaitu never smoker, current smoker (at least 1 cigarette per day in past 6 months) dan former
smoker (smoking stoppd by the tome of the study).
The smoking rate pada sampel peneliti dari 278 individu adalah 25,5%, dimana itu lebih
rendah dari smoking rate populasi masyarakat China laki-laki adalah 52,1%. Pada penelitian ini,
peneliti menggunakan dua klasifikasi epilepsi, yang pertama klasifikasi epilepsi focal atau
generalized termasuk berdasar dari asal topografi (temporal, frontal, parietal dan occipital).
Klasifikasi yang kedua adalah tipe kejang yang dominan pada individu (generalized tonic-clonic
seizure/ GTCS, myoclonic seizure/ MS, complex partial seizure/ CPS, simple partial seizure/
SPS, dan secondary generalized tonic-clonic seizure/ SGTCS).
Pada analisis univariate dari kedua klasifikasi, menunjukkan bahwa efek dari merokok
secara statistik adalah tidak signifikan terhadap kontrol kejang pada epilepsi. Menimbang dari
penggunaan obat-obatan sebagai medikasi epilepsi juga membiaskan hasil penelitian. Pada
multiple logistic regression analysis model berdasar pada jumlah medikasi, level dosis, usia
pasien (diantara perbedaan usia dari sampel, the smoking rate juga dapat berbeda), status
merokok (ya atau tidak) dan secara terpisah menggunakan kedua klasifikasi. Peneliti menghitung
koefisien dan mengevaluasi apakah merokok sebagai protective factor untuk kontrol kejang pada
seseorang dengan epilepsi.
Dari penelitian ini nampaknya menunjukkan bahwa merokok dapat berpotensial dalam
kontrol kejang meskipun confounders memerlukan eksplorasi terperinci pada tinjauan dari
potensial efek kesehatan jangka panjang. Replikasi pada sampel yang lebih besar dibutuhkan
sebagaimana pada case control studiesuntuk menguraikan persoalan ini.
1. Pendahuluan
Merokok adalah masalah kesehatan dunia. Terdapat angka prevalensi yang tinggi pada
populasi, banyak studi yang sudah menggali tentang efeknya pada kesehatan selama beberapa
tahun ini. Pada beberapa penyakit, merokok mempunyai efek negatif contohnya pada
inflammatory bowel diseases itu dapat menjadi faktor pelindung.
Beberapa aspek dari merokok pada orang dengan epilepsi telah dilakukan
penyelidikan. Banyak studi menganggap angka prevalensi umum dari merokok pada
orang dengan epilepsi lebih baik dibanding efek dari merokok. Pada beberapa studi, the
smoking rates pada orang dengan epilepsi selalu lebih tinggi dibandingkan pada populasi
keseluruhan, dengan luarannya sekitar 21,8% sampai 38,8%; the smoking rates pada
orang dengan epilepsi juga lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan penyakit kronis
lainnya. The smoking rates juga tinggi pada orang dengan resistensi obat epilepsi. Studi
terbary, bagaimanapun menunjukkan angka yang menurun.
Beberapa laporan menunjukkan bahwa merokok atau nikotin dapat berpengaruh negatif
terhadap kejang dan epilepsi. Terdapat studi yang menyimpulkan bahwa anak-anak dari
perempuan yang merokok memiliki luaran yang lebih tinggi untuk kejadian kejang demam,
meskipun studi lain belum mengkonfirmasi hal tersebut. Wanita dengan epilepsi telah terbukti
menaikkan angka kejadian kontraksi yang prematur dan kelahiran yang prematur. Yang
kemudian memicu terjadinya kejang menunjukkan bahwa merokok mungkin dapat menjadi
sebuah faktor yang memicu untuk factor-faktor lain seperti medication withdrawn dan
kurangnya kuantitas tidur.
Rendahnya angka kepatuhan terhadap regimen obat mungkin bersamaan pada remaja.
Dalam sebuah studi prospective oleh perawat cohort diikuti selama lebih dari 20 tahun,
merokok saat ini dikaitkan dengan peningkatan risiko kejang (RR 2.60, 95% CI 1.53–4.42),
dan masa lalu merokok dikaitkan dengan peningkatan risiko dari epilepsi (RR 1.46, 95% CI
1.01–2.12).
Merokok juga dapat mempengaruhi konsentrasi obat dalam serum. Banyak studi
menyatakan bahwa perokok mungkin memiliki konsentrasi obat yang rendah pada serum
dibanding bukan perokok ketika menggunakan obat yang sama (seperti lamotrigine (LTG)
dimana merokok terkait dalam perubahan enzim hati. Nikotin, sebagai komponen utama
dalam rokok, juga telah menunjukkan untuk menurunkan ambang batas pada kejadian kejang
threshold pada hewan.
Sebaliknya, nikotin telah dikonfirmasi sebagai pencegah dan mempunyai efek
pengobatan pada kasus epilepsi herediter yang langka (autosomal dominant nocturnal frontal
lobe epilepsy [ADNFLE). Yang paling spesifik mutasi gen pada ADNFLE ini terkait dengan
fungsi dari reseptor asetilkolin nikotinik.
Orang dengan epilepsi pada keluarga dengan ADNFLE yang merokok atau
menggunakan potongan nikotin lebih baik secara keseluruhan terhadap kontrol kejang
dibandingkan mereka yang tidak. Namun, studi tentang sporadic nocturnal frontal lobe
epilepsy tidak mampu untuk menentukan peran dari merokok. Studi lain menunjukkan bahwa
potongan nikotin digunakan dalam video EEG untuk memonitoring peningkatan durasi dari
orang dengan epilepsi yang dirawat inap sebagai pemantau kejadian kejang yang terekam.
Saat ini terdapat beberapa bukti tidak langsung untuk merokok dan nikotin yang memiliki efek
yang menguntungkan pada kntrol kejang.
Dari data 2015 diketahui bahwa pada umumnya luaran dari merokok pada populasi
China adalah 27,7% (52,1% adalah laki-laki dan 2,7% adalah wanita). Luaran merokok
diantara orang dengan epilepsi di China belum dapat dipastikan. Peneliti membidik untuk
menyelidiki peran dari merokok pada orang dengan epilepsi di China.
2. Material dan Metode
Kami memiliki bank data klinis untuk orang-orang dengan epilepsi di pusat kami. Bank
data harus memasukkan data dari semua orang yang secara rutin hadir. Data termasuk
informasi kontak dan demografi seperti nama, jenis kelamin, usia, profil pendidikan, status
pernikahan dan jumlah anak. Data klinis yang tercatat termasuk diagnosis, EEG,
neuroimaging, jenis kejang, frekuensi kejang terkini, profil obat dan fase epilepsi.
Pembentukan bank data telah disetujui oleh Komite Etika Rumah Sakit China Barat dan
persetujuan tertulis selalu diberikan oleh individu sebelum datanya dikumpulkan.
Pada bulan November 2015, kami menghubungi laki-laki yang terdapat pada bank data
melalui telepon untuk menanyakan status merokok mereka (seperti di bawah). Hanya mereka
di bank data sebelum November 2014 yang dihubungi untuk menghindari individu yang baru
terdiagnosis epilepsy. Hanya laki-laki yang dimasukkan dalam studi percontohan ini karena
sebagian besar perokok di China adalah laki-laki. Kami mengeluarkan orang dengan riwayat
ketidakpatuhan dan mereka yang didiagnosis akhirnya bukan epilepsi. Kami juga
mengeluarkan pasien yang baru didiagnosis (sulit untuk mengevaluasi kontrol kejang mereka
dalam waktu singkat) dan epilepsi simtomatik.
Kami mengumpulkan data tentang status merokok sebagai perokok tidak pernah
merokok, perokok saat ini (setidaknya 1 batang rokok per hari dalam 6 bulan terakhir), dan
mantan perokok (merokok dihentikan pada saat penelitian). Untuk perokok dan mantan
perokok, jumlah tahun merokok tercatat. Kami juga melakukan uji Fagerström of Nicotine
Dependence (FTND) pada perokok saat ini. Ini termasuk 6 pertanyaan, dan kami menghitung
tingkat ketergantungan nikotin individu dengan menambahkan nilai semua item bersamaan.
Perokok dengan nilai total lebih rendah dari 6 dianggap memiliki tingkat ketergantungan
nikotin rendah sampai sedang dan mereka dengan tingkat yang sama atau lebih tinggi dari 6
dianggap memiliki tingkat ketergantungan nikotin yang tinggi.
2.1. Klasifikasi epilepsi
Individual diklasifikasikan berdasarkan penilaian klinis yaitu memiliki epilepsi fokal
atau umum, dan berdasarkan tipe kejang yang dominan. Epilepsi fokal atau umum termasuk
kategori seperti epilepsi lobus temporal, epilepsi lobus frontalis, epilepsi lobus parietalis,
epilepsi lobus oksipital dan epilepsi umum. Untuk jenis kejang yang dominan, individu
dikelompokkan sebagai memiliki kejang umum tonik klonik (GTCS), kejang mioklonik (MS),
kejang parsial sederhana (SPS), kejang parsial kompleks (CPS) dan kejang umum tonik
sekunder (sGTCS).
2.2. Angka luaran merokok dan kontrol kejang
Agar lebih sederhana kami mengklasifikasikan profil kontrol kejang ke dalam kontrol
kejang yang memuaskan dan kontrol kejang yang tidak memuaskan. Kami mengeluarkan
individu dalam fase pemeliharaan Tipe 2 yang mengalami kejang dalam satu tahun tanpa
perubahan obat karena alasan untuk tidak ada perubahan meskipun sudah diberikan
pengobatan. Mereka mungkin kurang terpengaruh oleh kejang mereka dan memutuskan untuk
tidak meningkatkan dosis obat atau mereka mungkin memiliki epilepsi yang resistan terhadap
obat atau mereka mungkin sering mengalami kejang tetapi menolak untuk mengambil lebih
banyak obat untuk efek samping yang mengkhawatirkan. Kedua situasi ini tidak dianggap
sebagai kontrol kejang yang memuaskan atau tidak memuaskan. Kontrol kejang yang
memuaskan didefinisikan sebagai fase pemeliharaan tipe 1, fase obat yang dikurangi dan tidak
ada obat. Kontrol kejang yang tidak memuaskan didefinisikan sebagai berada di fase aktif.
Semua data kami diproses dalam versi SAS 9.4 (SAS Institute, Cary, NC, USA). Tingkat
merokok dihitung berdasarkan seluruh kohort dan kedua klasifikasi. Untuk kategori berbeda
dalam suatu klasifikasi, kami juga membandingkan perbedaan tingkat merokok dengan chi-
square untuk menentukan apakah tingkat merokok berbeda di antara kategori.
Profil kontrol kejang di bawah setiap kategori klasifikasi dibandingkan dengan
perhitungan odds ratio [OR]. Misalnya, pada epilepsi lobus temporal menggunakan klasifikasi
epilepsi fokal atau umum, kami menghitung jumlah individu yang merokok dengan kontrol
kejang yang memuaskan, mereka yang merokok dengan kontrol kejang yang tidak
memuaskan, mereka yang tidak merokok dengan kontrol kejang yang memuaskan dan mereka
yang tidak merokok dengan kontrol kejang yang tidak memuaskan; sehingga kita bisa
menghasilkan OR dan juga mengidentifikasi signifikansi statistiknya. Kami melakukan hal
yang sama untuk semua kategori dalam 2 sistem klasifikasi yang berbeda.
2.3. Analisis multi-variable untuk merokok dan epilepsi
Profil kontrol dalam individu terutama didasarkan pada obat anti epilepsi (AED),
sehingga obat dianggap sebagai faktor pembaur dalam analisis kami. Kami hanya
mengkategorikan jumlah obat sebagai obat yang sama atau kurang dari 2 dan lebih dari 2 obat.
Selanjutnya, kami mempertimbangkan dosis komparatif dari obat mereka sebagai kecil atau
besar menggunakan definisi dosis obat harian (DDD) di antara AED yang berbeda oleh WHO.
Kami melakukan beberapa model analisis regresi logistik berdasarkan jumlah obat,
tingkat dosis, usia pasien (antara usia yang berbeda dari pasien, tingkat merokok dapat
berbeda), status merokok mereka sebagai ya atau tidak dan secara terpisah menggunakan
kedua metode klasifikasi. Kami menghitung koefisien dan mengevaluasi apakah merokok
merupakan faktor pelindung untuk kontrol kejang pada orang dengan epilepsi.
2.4 Tingkat ketergantungan nikotin dan kontrol kejang
Untuk perokok, kami juga menganalisis tingkat ketergantungan nikotin mereka sebagai
rendah atau tinggi dan dieksplorasi hubungannya dengan kontrol kejang. Kami melakukan tes
Chi square untuk mengidentifikasi apakah tingkat ketergantungan pada nikotin dapat
mempengaruhi profil kontrol kejang. Jika frekuensi yang diharapkan lebih dari 1 tetapi lebih
rendah dari 5, koreksi Yate dilakukan untuk ukuran sampel yang kecil.
3. Hasil
a. Prevalensi dari merokok pada orang dengan epilepsi
i. General data of our cohort and smoking prevalence
Dari 1000 individu yang tercatat pada bank data, 342 adalah laki-laki dan termasuk
kedalam kriteria inklusi; dan sebanyak 64 ter eksklusi. Hanya 2 (0,72%) individuals
stopped smoking. Jadi terdapat 278 individu yang memenuhi dalam kriteria inklusi
penelitian ini; 71 (25,5%) individu adalah current smoker. Sejauh ini prevalensi merokok
pada laki-laki dengan epilepsi pada cohort kami adalah 25.5%, dimana pada orang laki-
laki dewasa China umumnya adalah 52%.
Pada cohort peneliti, 70 individu (25,2%) dengan epilepsi lobus temporal, 41
individu (14,75%) dengan epilepsi lobus frontal, dua dengan epilepsi lobus parietal dan
satu dengan epilepsi lobus occipital dan 164 (59%) dengan epilepsi generalized.
Sehubungan dengan kejang tipe dominan, 218 individu (78,4%) dengan GTCS, dua
dengan MS, 7 dengan SPS, 42 (15%) dengan PCS dan 9 (3,2%) dengan SGTCS. Individu
yang tereksklusi adalah individu dengan epilepsi lobus parietal, epilepsi lobus occipital,
MS dan SPS karena hanya mempunyai angka yang kecil pada cohort peneliti. Peneliti
menyederhanakan klasifikasi sampel yaitu merokok dan tidak merokok yang sesuai dari
status merokok terkini.
ii. Perbedaan smoking rates pada orang dengan perbedaan tipe epilepsi
Untuk setiap faktor dilakukan pendaftaran oleh peneliti, yang pertama kami
menggunakan referensi pada analisis peneliti. Tujuannya adalah untuk memuaskan
profil kontrol kejang. Secara startistik OR N 1 dengan membandingkan dengan
referensi, peluang untuk meningkatkan kontrol kejang. Signifikansi statistik OR N 1
dengan cara yang sebaliknya.
Model regresi logistik ini menunjukkan bahwa merokok sebagai faktor
pelindung dengan OR = 2.46(95% CI 1.17–5.18). Mirip dengan analisis univariate,
merokok masih menjadi faktor pelindung saat mempertimbangkan antara berbagai
profil medikasi untuk pasien.
Pada model peneliti, mengambil lebih sedikit medikasi yang juga terkait
dengan kontrol kejang yang lebih baik. Peneliti berpikir bahwa mengkonsumsi
medikasi kejang korelasinya lebih baik dengan kontrol kejang dan sedikit perubahan
dari resistensi obat. Selain itu, epilepsi pada umumnya biasanya lebih mudah untuk
kontrol dengan obat kejang dari lobus temporal atau lobus frontal.
Sedangkan untuk usia dan dosis obat tidak terdapat hubungannya dengan
kontrol kejang berdasarkan dari data peneliti.
Hui Gao, et al. Smoking Prevalence and Seizure Control in Chines Males with Epilepsy.
Epilepsy and Behavior Journal. China, 2017.