TINJAUAN PUSTAKA
Ergonomi (ergonomics) berasal dari kata Yunani, yaitu ergo yang berarti kerja
dan nomos yang berarti hukum, dimana ergonomi sebagai disiplin keilmuan
yang mempelajari manusia dalam kaitan dengan pekerjaannya. Istilah
ergonomi lebih sering digunakan oleh beberapa negara Eropa Barat dan
Amerika, istilah ini lebih dikenal sebagai Human Factors Engineerings atau
Human Engineering (Wignjosoebroto, 2003). Istilah ergonomi didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari tentang aspek-aspek manusia dalam
lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, engineering,
manajemen dan desain peralatan (Nurmianto, 2008).
1. Gunakan tenaga seefisien mungkin, beban yang tidak perlu harus dikurangi
atau dihilangkan, perhitungkan gaya berat yang mengacu pada berat badan
dan bila perlu gunakan pengungkit sebagai alat bantu.
4
3. Panca indera dapat dimanfaatkan sebagai alat kontrol, bila susah harus
istirahat (jangan dipaksa) dan bila lapar atau haus harus makan atau minum
(jangan ditahan).
Ergonomi juga dapat digunakan dalam menelaah sistem manusia dan poduksi
yang kompleks. Dapat ditentukan tugas-tugas apa yang diberikan kepada
tenaga kerja dan yang mana kepada mesin. Dibawah ini dikemukakan
beberapa prinsip ergonomi sebagai pegangan, antara lain : (Suma’mur, 2009)
2. Dari sudut otot sikap duduk yang paling baik adalah sedikit membungkuk.
Sedangkan dari sudut tulang duduk yang baik adalah duduk tegak agar
punggung tidak bungkuk dan otot perut tidak lemas. Maka dianjurkan
memilih sikap duduk yang tegak yang diselingi istirahat dan sedikit
membungkuk.
5
6. Macam gerakan yang kontinu dan berirama lebih diutamakan, sedangkan
gerakan yang sekonyong-konyong pada permulaan dan berhenti dengan paksa
sangat melelahkan. Gerakan ke atas harus dihindarkan, berilah papan
penyokong pada sikap lengan yang melelahkan. Hindarkan getaran-getaran
kuat pada kaki dan lengan.
8. Kemampuan seseorang bekerja seharinya adalah 8-10 jam, lebih dari itu
efisien dan kualitas kerja sangat menurun.
6
bekerja sebagai bagian dari masalah kesehatan. Pada saat itu Trackrah
mengamati seorang penjahit yang bekerja dengan posisi dan dimensi kursi-
meja yang kurang sesuai secara antropometri, serta pencahayaan yang tidak
ergonomis sehingga mengakibatkan menbungkuknya badan dan iritasi
indera penglihatan.
b. F.B. Gilbreth, U.S.A., 1911
Gilbreth juga mengamati dan mengoptimasi metoda kerja, dalam hal ini
lebih mendetail dalam Analisa Gerakan dibandingkan dengan Taylor.
Dalam bukunya Motion Study yang diterbitkan pada tahun 1911 ia
menunjukkan bagaimana postur membungkuk dapat diatasi dengan
mendesain suatu sistem meja yang dapat diatur turun-naik (adjustable).
7
f. Perang Dunia Kedua, England dan U.S.A
8
a. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan
cedera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental,
mengupayakan promosi dan kepuasan kerja.
9
2.5 Aplikasi Ergonomi di Tempat Kerja
a. Sikap Kerja
1. Sikap Duduk
Sikap duduk yang paling baik yaitu tanpa pengaruh buruk terhadap
sikap badan dan tulang belakang adalah sikap duduk dengan sedikit
lordosa (sikap tulang punggung ke depan) pada pinggang dan sedikit
mungkin kifosa (sikap duduk ke belakang) pada punggung. Sikap
10
demikian dapat dicapai dengan kursi dan sandaran punggung yang
tepat. Dengan begitu otot punggung terasa enak (Santoso, 2004).
11
Gambar 1. Sikap Duduk
12
ketidakstabilan dari tulang belakang sehingga timbul proses degeberasi yang
dapat menimbulkan keluhan sakit/pegal di daerah pinggang. Apabila hal ini
tidak dikoreksi, maka gangguan kesehatan tersebut akan menyebabkan
penyakit/kelainan dan akhirnya menurunkan kemampuan melakukan
aktivitas (Abeysekera, 2002).
Pembuatan bangku dan meja kerja yang buruk atau mesin merupakan
penyebab kerja otot statis dan posisi tubuh yang tidak alamiah. Maka syarat-
syarat bangku kerja yang benar adalah sebagai berikut (Manuaba, 2000):
a. Tinggi area kerja harus sesuai sehingga pekerjaan dapat dilihat dengan
mudah dengan jarak optimal dan sikap duduk yang enak. Makin kecil
ukuran benda, makin dekat jarak lihat optimal dan makin tinggi area
kerja.
13
b. Pegangan, handel, peralatan dan alat-alat pembantu kerja lainnya harus
ditempatkan sedemikian pada meja atau bangku kerja, agar gerakan-
gerakan yang paling sering dilakukan dalam keadaan fleksi.
c. Kerja otot statis dapat dihilangkan atau sangat berkurang dengan
pemberian penunjang siku, lengan bagian bawah, atau tangan. Topangan-
topangan tersebut harus diberi bahan lembut dan dapat di sesuaikan,
sehingga sesuai bagi pemakainya.
Diukur dari lantai sampai pada permukaan atas dari bagian depan alas
duduk. Ukuran yang dianjurkan 38-48 cm. Tinggi alas duduk harus
sedikit lebih pendek dari jarak antara lekuk lutut dan telapak kaki.
Diukur pada garis tengah alas duduk melintang. Lebar alas duduk harus
lebih besar dari lebar pinggul. Ukuran yang diusulkan adalah 44- 48 cm.
d. Sandaran pinggang
Bagian atas dari sandaran pinggang tidak melebihi tepi bawah ujung
tulang belikat, dan bagian bawahnya setinggi garis pinggul.
14
e. Sandaran tangan
Jarak antara tepi dalam kedua sandaran tangan (harus lebih lebar dari
pinggul dan tidak melebihi lebar bahu).
2. Sikap Berdiri
Selain sikap kerja duduk, sikap kerja berdiri juga banyak ditemukan di
perusahaan. Sikap kerja berdiri merupakan sikap kerja yang posisi tulang
belakang vertikal dan berat badan tertumpu secara seimbang pada dua
kaki. Sikap kerja berdiri dapat menimbulkan keluhan subjektif dan juga
kelelahan bila sikap kerja ini tidak dilakukan bergantian dengan sikap
kerja duduk (Darlis, 2009). Ukuran tubuh yang penting dalam bekerja
dengan posisi berdiri adalah tinggi badan berdiri, tinggi bahu, tinggi siku,
tinggi pinggul, panjang lengan. Bekerja dengan posisi berdiri terus
menerus sangat mungkin akan mengakibatkan penumpukan darah dan
beragai cairan tubuh pada kaki dan ini akan membuat bertambahnya biola
berbagai bentuk dan ukuran sepatu yang tidak sesuai, seperti pembersih
15
(clerks), dokter gigi, penjaga tiket, tukang cukur pasti memerlukan sepatu
ketika bekerja (Santoso, 2004).
Apabila sepatu tidak pas maka sangat mungkin akan sobek dan terjadi
bengkak pada jari kaki, mata kaki, dan bagian sekitar telapak kaki. Sepatu
yang baik adalah yang dapat manahan kaki (tubuh) dan kaki tidak
direpotkan untuk menahan sepatu, desain sepatu harus lebih longgar dari
ukuran telapak kaki dan apabila bagian sepatu dikaki terjadi penahanan
yang kuat pada tali sendi (ligaments) pergelangan kaki, dan itu terjadi
dalam waktu yang lama, maka otot rangka akan mudah mengalami
kelelahan (Santoso, 2004).
2. Proses Kerja
16
kelelahan, kemampuan kerja dan produktivitas kerja. Anthropometri juga
dapat ditentukan dalam seleksi penerimaan tenaga kerja, misalnya orang
gemuk tidak cocok ditempat pekerjaan yang bersuhu tinggi, pekerjaan
yang memerlukan kelincahan, dll. Data anthropometri dapat digunakan
untuk mendesai pakaian, tempat kerja, lingkungan kerja, mesin, alat kerja
dan sarana kerja serta produk-produk untuk konsumer (Nurmianto, 2008).
4. Mengangkat Beban
17
b. Kondisi lingkungan kerja yaitu keadaan medan yang licin, kasar, naik
turun dll.
c. Keterampilan bekerja
d. Peralatan kerja beserta keamanannya
Sekali-sekali 40 15 15 10-12
18
b. Untuk memulai gerakan horizontal maka digunakan momentum berat
badan. Metoda ini termasuk 5 faktor dasar, yaitu posisi kaki yang benar,
punggung kuat dan kekar, posisi lengan dekat dengan tubuh,
mengangkat dengan benar, menggunakan berat badan.
19
3. Gaya Berlebih (Excessive Force) : Pergerakan tubuh dengan penuh tenaga,
usaha fisik yang berlebih-menarik, memukul, dan mendorong. Kurangi
gaya dalam menyelesaikan pekerjaan, disain ulang pekerjaan, tambah
pekerja, gunakan bantuan mesin.
4. Postur Janggal (Awkward Posture): Meperpanjang pencapaian dengan
tangan, twisting, berlutut, jongkok. Postur janggal lawan dari posisi netral.
Disain pekerjaan dan peralatan yang dapat menjaga posisi netral. Posisi
netral tidak semestinya memberikan tekanan pada otot, tulang sendi,
maupun syaraf.
5. Posisi Tidak Bergerak (Stationary Positions): Terlalu lama diam dalam
satu posisi, menyebabkan kontraksi otot dan lelah. Disain pekerjaan untuk
menghindari posisi tidak bergerak; berikan kesempatan untuk merubah
posisi.
6. Tekanan Langsung Berlebih (Excessive Direct Pressure): Tubuh kontak
langsung dengan permukaan keras atau ujung benda, seperti ujung meja
atau alat. Hindari tubuh berpijak pada permukaan yang keras seperti meja
dan kursi. Perbaharui peralatan atau sediakan bantalan; seperti pulpen
ergonomis, keset untuk berdiri.
7. Pencahayaan yang inadekuat (Inadequate Lighting) : Sumber atau level
dari pencahayaan yang terlalu terang atau gelap. Setel pencahayaan yang
pas, hindari pencahayaan langsung dan tak langsung yang dapat
mengakibatkan kerusakan mata. Gunakan sekat cahaya silau, tirai untuk
jendela.
20
2. Handling heavy loads over long periods of time (Penyakit degenerative
khususnya pada lumbar tulang belakang): Mengenakan alat-alat berat
secara manual. Solusinya kurangi masa beban dan jumlah penanganan
setiap harinya.
3. Frequently repeated manipulation of object (Lelah dan perubahan struktur
otot): Mengetik terlalu lama dan sousinya kurangi frequensi pengulangan.
4. Working in unfavorable posture (Gangguan pada tulang dan unsur-unsur
otot): Bekerja sambil jongkok, atau tangan diatas bahu. Solusinya bekerja
dengan tubuh yang tegak dan tangan dekat dengan tubuh.
5. Static muscular load (Aktivitas otot yang tiada jeda dan memungkinkan
overload): Bekerja di confined space dan solusinya relaksasi otot.
6. Muscular inactivity (Hilang kapasitas fungsional otot, tendon, tendon, dab
tulang): Duduk lama tanpa adanya pergerakan dan solusinya sesekali
berdiri, peregangan otot, olahraga.
7. Monotonous repetitive manipulations (Keluhan tidak spesifik pada bagian
ekstremitas atas): Pekerjaan berulang pada otot yang sama tanpa adanya
relaksasi dan solusinya jeda aktivitas dan kerja.
8. Application of vibration (Disfungsi sistem syaraf, menghambat aliran
darah, penyakit degenerative): Menggunakan hand-tool, duduk diatas
kendaraan yang bergetar dan solusinya gunakan alat serta tempat duduk
yang meredam getaran.
9. Physical environmental factor (Interaksi dengan beban mesin serta
penambahan resiko): Mengangkat es batu dengan tangan terbuka dan
solusinya menggunakan sarung tangan.
10. Psychosocial factors (Peningkatan tegangan fisik, meningkat pada ketidak
hadiran dalam bekerja): Penentuan keputusan yang rendah dalam bekerja,
dukungan sosial yang rendah solusinya rotasi kerja, motivasi kerja,
pengurangan faktor negative dalam sosial
21
Secara garis besar, faktor-faktor ergonomi yang menyebabkan resiko MSDs
dapat dipaparkan sebagai berikut:
a. Repetitive Motion
Repetitive Motion atau melakukan gerakan yang sama berulang-ulang. Resiko
yang timbul bergantung dari berapa kali aktivitas tersebut dilakukan, kecepatan
dalam pergerakan atau perpindahan, dan banyaknya otot yang terlibat dalam
kerja tersebut. Gerakan yang berulang-ulang ini akan menimbulkan ketegangan
pada syaraf dan otot yang berakumulatif. Dampak resiko ini akan semakin
meningkat apabila dilakukan dengan postur/posisi yang kaku dan penggunaan
usaha yang terlalu besar.
b. Awkward Postures
Sikap tubuh sangat menentukan sekali pada tekanan yang diterima otot pada
saat aktivitas dilakukan. Awkward postures meliputi reaching, twisting,
bending, kneeling, squatting, working overhead dengan tangan mauoun lengan,
dan menahan benda dengan posisi yang tetap. Sebagi contoh terdapat
tekanan/ketengan yang berlebih pada bagian low back seperti aktivitas
mengangkat benda yang dilakukan pada gambar.
c. Contact stresses
Tekanan pada bagian tubuh yang diakibatkan karena sisi tepi atau ujung dari
benda yang berkontak langsung. Hal ini dapat menghambat fungsi kerja syaraf
maupun aliran darah. Sebagai contoh kontak yang berulang-ulang dengan sisi
yang keras atau tajam pada meja secara kontinu.
d. Vibration
Getaran ini terjadi ketika spesifik bagian dari tubuh atau seluruh tubuh kontak
dengan benda yang bergetar seperti menggunakan power handtool dan
pengoperasian forklift mengangkat beban.
e. Forceful exertions (termasuk lifting, pushing, pulling)
Force adalah jumlah usaha fisik yang digunakan untuk melakukan pekerjaan
seperti mengangkat benda berat. Jumlah tenaga bergantung pada tipe pegangan
22
yang digunakan, berat obyek, durasi aktivitas, postur tubuh dan jenis dari
aktivitasnya.
f. Duration
Durasi menunjukkan jumlah waktu yang digunakan dalam melakukan suatu
pekerjaan. Semakin lama durasinya dalam melakukan pekerjaan yang sama
akan semakin tinggi resiko yang diterima dan semakin lama juga waktu yang
diperlukan untuk pemulihan tenaganya.
g. Static Posture
Pada waktu diam, dimana pergerakan yang tak berguna terlihat, pengerutan
supplai darah, darah tidak mengalir baik ke otot. Berbeda halnya, dengan
kondisi yang dinamis, suplai darah segar terus tersedia untuk menghilangkan
hasil buangan melalui kontraksi dan relaksasi otot. Pekerjaan kondisi diam yang
lama mengharuskan otot untuk menyuplai oksigen dan nutrisi sendiri, dan hasil
buangan tidak dihilangkan. Penumpukan Local hypoxia dan asam latic
meningkatkan kekusutan otot, dengan dampak sakit dan letih.
23
inadekuat dapat merusak salah satu fungsi organ tubuh, seperti halnya
pekerjaan menjahit yang didukung oleh pencahayaan yang lemah
mengakibatkan suatu tekanan pada mata yang lama-lama membuat keruasakan
yang bisa fatal.
i. Other Conditio
Kekurangan kebebasan dalam bergerak adalah dipertimbangkan sebagai faktor
resiko, ketika pekerjaan operator dengan sepenuhnya telah di perintah oleh
orang lain. kandungan kerja dan pengetahuan dipertimbangkan faktor resiko
yang lain, ketiha operator hanya melakukan satu tugas dan tidak memeliki
kesempatan untuk belajar satu macam kemampuan ataun tugas. Faktor
tambahan dimasukkan organisasi asfek sosial, tidak dikontrol gangguan, ruang
kerja, beratnya bagian kerja, dan pembagian waktu kerja.
24
menurun sampai 20 %. Pada saat kekuatan otot mulai menurun maka resiko
terjadinya keluhan otot akan meningkat. Riihimaki et al. (1989) menjelaskan
bahwa umur mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keluhan otot,
terutama untuk otot leher dan bahu, bahkan ada beberapa ahli lainnya
menyatakan bahwa umur merupakan penyebab utama terjadinya keluhan
otot.
2. Jenis Kelamin
Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli tentang
pengaruh jenis kelamin terhadap resiko keluhan otot skeletal, namun
beberapa hasil penelitian secara signifikan menunjukkan bahwa jenis
kelamin sangat mempengaruhi tingkat resiko keluhan otot. Hal ini terjadi
karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih rendah
daripada pria. Astrand & Rodahl (1977) menjelaskan bahwa kekuatan otot
wanita hanya sekitar dua pertiga dari kekuatan otot pria, sehingga daya tahan
otot pria pun lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Hasil penelitian
Betti’e at al. (1989) menunjukkan bahwa rerata kekuatan otot wanita kurang
lebih hanya 60 % dari kekuatan otot pria, khususnya untuk otot lengan,
punggung dan kaki. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Chiang et al.
(1993), Bernard et al. (1994), Hales et al. (1994) dan Johanson (1994) yang
menyatakan bahwa perbandingan keluhan otot antara pria dan wanita adalah
1:3. Dari uraian tersebut di atas, maka jenis kelamin perlu dipertimbangkan
dalam mendesain beban tugas.
3. Kebiasaan Merokok
Sama halnya dengan faktor jenis kelamin, pengaruh kebiasaan merokok
terhadap resiko keluhan otot juga masih diperdebatkan dengan para ahli,
namun demikian, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa
meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan
tingkat kebiasaan merokok. Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi
25
merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang dirasakan.
Boshuizen et al. (1993) menemukan hubungan yang signifikan antara
kebiasaan merokok dengan keluhan otot pinggang, khususnya untuk
pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot. Hal ini sebenarnya terkait erat
dengan kondisi kesegaran tubuh seseorang. Kebiasaan merokok akan dapat
menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga kemampuan untuk
mengkonsumsi oksigen menurun dan sebagai akibatnya, tingkat kesegaran
tubuh juga menurun. Apabila yang bersangkutan harus melakukan tugas
yang menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena
kandungan oksigen dalam darah rendah, pembakaran karbohidrat terhambat,
terjadi tumpukan asam laktat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot.
4. Kesegaran jasmani
Pada umumnya, keluhan otot lebih jarang ditemukan pada seseorang yang
dalam aktivitas kesehariannya mempunyai cukup waktu untuk istirahat.
Sebaliknya, bagi yang dalam kesehariannya melakukan pekerjaan yang
memerlukan pengerahan tenaga yang besar, di sisi lain tidak mempunyai
waktu yang cukup untuk istirahat, hampir dapat dipastikan akan terjadi
keluhan otot. Tingkat keluhan otot juga sangat dipengaruhi oleh tingkat
kesegaran tubuh. Laporan NIOSH yang dikutip dari hasil penelitian Cady et
al. (1979) menyatakan bahwa untuk tingkat kesegaran tubuh yang rendah,
maka resiko terjadinya keluhan adalah 7,1 %, tingkat kesegaran tubuh
sedang adalah 3,2 % dan tingkat kesegaran tubuh tinggi adalah 0,8 %. Hal
ini juga diperkuat dengan laporan Betti’e et al. (1989) yang menyatakan
bahwa hasil penelitian terhadap para penerbang menunjukkan bahwa
kelompok penerbang dengan tingkat kesegaran tubuh yang tinggi
mempunyai resiko yang sangat kecil terhadap resiko cedera otot. Dari uraian
di atas dapat digarisbawahi bahwa, tingkat kesegaran tubuh yang rendah
akan mempertingi resiko terjadinya keluhan otot. Keluhan otot akan
meningkat sejalan dengan bertambahnya aktivitas fisik.
26
5. Kekuatan Fisik
Sama halnya dengan beberapa faktor lainnya, hubungan antara kekuatan
fisik dengan resiko keluhan otot skeletal juga masih diperdebatkan.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan,
namun penelitian lainnya menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
kekuatan fisik dengan keluhan otot skeletal. Chaffin and Park (1973) yang
dilaporkan oleh NIOSH menemukan adanya peningkatan keluhan punggung
yang tajam pada pekerja yang melakukan tugas yang menuntut kekuatan
melebihi batas kekuatan otot pekerja. Bagi pekerja yang kekuatan ototnya
rendah, resiko terjadinya keluhan tiga kali lipat dari yang mempunyai
kekuatan tinggi. Sementara itu, Betti’e et al. (1990) menemukan bahwa
pekerja yang sudah mempunyai keluhan pinggang mampu melakukan
pekerjaan seperti pekerja lainnya yang belum memiliki keluhan pinggang.
Terlepas dari perbedaan kedua hasil penelitian tersebut di atas, secara
fisiologis ada yang dilahirkan dengan struktur otot yang mempunyai
kekuatan fisik lebih kuat dibandingkan dengan yang lainnya. Dalam kondisi
kekuatan yang berbeda ini, apabila harus melakukan pekerjaan yang
memerlukan pengerahan otot, jelas yang mempunyai kekuatan rendah akan
lebih rentan terhadap resiko cedera otot. Namun untuk pekerjaan-pekerjaan
yang tidak memerlukan pengerahan tenaga, maka faktor kekuatan fisik
kurang relevan terhadap resiko keluhan otot skeletal.
27
otot kaki. Temuan lain menyatakan bahwa pada tubuh yang tinggi umumnya
sering menderita keluhan sakit punggung, tetapi tubuh tinggi tidak
mempunyai pengaruh terhadap keluhan pada leher, bahu dan pergelangan
tangan. Apabila dicermati, keluhan otot skeletal yang terkait dengan ukuran
tubuh lebih disebabkan oleh kondisi keseimbangan struktur rangka di dalam
menerima beban, baik beban berat tubuh maupun beban tambahan lainnya.
Sebagai contoh, tubuh yang tinggi pada umumnya mempunyai bentuk tulang
yang langsing sehingga secara biomekanik rentan terhadap beban tekan dan
rentan terhadap tekukan, oleh karena itu mempunyai resiko yang lebih tinggi
terhadap terjadinya keluhan otot skeletal.
28
Partisi, yaitu melakukan pemisahan antara sumber bahaya dengan
pekerja, sebagai contoh, memisahkan ruang mesin yang bergetar
dengan ruang kerja lainnya, pemasangan alat peredam getaran, dsb.
Ventilasi, yaitu dengan menambah ventilasi untuk mengurangi
resiko sakit, misalnya akibat suhu udara yang terlalu panas.
2. Rekayasa manajemen
Rekayasa manajemen dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan sebagai
berikut :
Pendidikan dan pelatihan
Melalui pendidikan dan pelatihan, pekerja menjadi lebih memahami
lingkungan
dan alat kerja sehingga diharapkan dapat melakukan penyesuaian
dan inovatf dalam melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap
resiko sakit akibat kerja.
Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang
Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang, dalam arti
disesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja dan karakteristik
pekerjaan, sehingga dapat mencegah paparan yang berlebihan
terhadap sumber bahaya.
Pengawasan yang intensif
Melalui pengawasan yang intensif dapat dilakukan pencegahan
secara lebih dini terhadap kumungkinan terjadinya resiko sakit
akibat kerja. Sebagai gambaran, berikut ini diberikan contoh
tindakan untuk mencegah/ mengatasi terjadinya keluhan otot
skeletal pada berbagai kondisi/aktivitas seperti yang dijabarkan
berikut ini.
1. Aktivitas angkat-angkut material secara manual
Usahakan meminimalkan aktivitas angkat-angkut secara
manual
29
Upayakan agar lantai kerja tidak licin
Upayakan menggunakan alat bantu kerja yang memadai
seperti crane, kereta dorong, pengungkit, dsb.
Gunakan alas apabila harus mengangkat di atas kepala
atau bahu
Upayakan agar beban angkat tidak melebihi kapasitas
angkat pekerja
2. Berat bahan dan alat
Upayakan untuk menggunakan bahan dan alat yang
ringan
Upayakan menggunakan wadah/alat angkut dengan
kapasitas < 50 kg.
3. Alat tangan
Upayakan agar ukuran pegangan tangan sesuai dengan
lingkar genggam pekerja dan karakteristik pekerjaan
(pekerjaan berat atau ringan)
Pasang lapisan peredam getaran pada pegangan tangan
Upayakan pemeliharaan yang rutin sehingga alat selalu
dalam kondisi layak pakai.
Berikan pelatihan sehingga pekerja terampil dalam
mengoperasikan alat
4. Melakukan pekerjaan pada ketinggian
Gunakan alat bantu kerja yang memadai seperti; tangga
kerja dan lift.
Upayakan untuk mencegah terjadinya sikap kerja tidak
alamiah dengan menyediakan alat-alat yang dapat
disetel/disesuaikan dengan ukuran tubuh pekerja.
30
BAB III
SIMPULAN
Berdasarkan teori yang sudah didapatkan maka dapat disimpulkan sebagai berikut
1. Ergonomi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang aspek-
aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi,
fisiologi, engineering, manajemen dan desain peralatan.
31
DAFTAR PUSTAKA
32
Nurmianto, E. 2008. Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Surabaya: PT.
Guna Widya.
Sarmauly, S.R. 2009. Evaluasi Postur Tubuh di Tinjau Dari Segi Ergonomi di
Bagian Pengepakan Pada PT Coca Cola Bottling Indonesia Medan. Skripsi
Teknik Industri. USU. Medan
33
Yuliavanti A, Rianggie F, Rianasari D, Sepsesa L, Wulandari AS, Kartika P, dkk.
2009. Laporan Kunjungan Perusahaan Aspek Ergonomi Kesehatan Kerja di
PT. Bintang Toedjoe. Jakarta: Universitas Trissakti.
34