Anda di halaman 1dari 5

PUISI HANTU

Puisi itu sengaja tak ku lagukan


Terikat, menggantung dan nafasnya tertahan
Tak bisa aku memutuskan tali yang membelenggunya
Ia bak roh yang tak diterima di langit dan bumi
Kakinya tak bisa menapak
Siang berganti malam, matahari mencari bulan, bulan mencari matahari
cakrawala pun terus berputar-putar meroda
Puisi ku seolah-olah memaksa keluar dari rantai-rantai yang mengikat nyawanya
Ia tahu bahwa jiwanya tertahan di antara keduanya
Bagaimana jika ia terkatung-katung dilalui udara lembab dan paparan debu usang?
Mungkin hanya menunggu waktu membusukannya
Tapi tidak dengan puisi itu
Ia mati, tetapi sesungguhnya ia tidak mati
Ia hidup, hidupnya setelah bangkit dari matinya
Apakah tak seberharga jika di baca tiap guratannya?
Bilamana orang berfikir sedemikian, apa juga tak berarti yang ku tulis?
Ya, ini lah ketidak tentraman puisi ku.
KEMENANGAN HATI

Sudikah dikau berkerudung hijau memandang ku sejenak wahai jelita nan anggun?
Ya, lihat daku yang penuh raut kekaguman
Mengapa dikau segan melihat daku?
Apa karena gitar usang, baju lusuh dan serpihan luka di hatiku?
Jikalau daku dilahirkan seperti ini, inilah, namun dimanakah layaknya daku untuk dicinta?
Sejak kecil daku jauh akan orangtua
Pahitnya perpisahan merenggutku dalam mimpi yang tak pernah terbangunkan
Tak ada iba dalam hati, terpelihara daku diantara gemerlap lampu penerang jalan
Daku tahu gerangan jelita berkerudung hijau di kala tergelincirnya senja ada di kolong layang
semanggi
Bersama ayah bundamu menjajakan sajian sederhana khas Jakarta
Sekali saja dikau membalas senyumanku, disitulah yang kutunggu
Paras sederhana mu, dibalut kerudung cantik barangkali tak sejajar dengan wajah letih pakaian
lusuh serta gitar usang teman menjemput rezeki ku
Membayangkan dikau jelita dirumah yang penuh kebahagiaan
Wajar bilamana daku iri, tak pernah terbayang tiada harga diri untuk bertahan hidup
Gelapnya hidup berharap dikau jelita jadi cahaya
Hanya bisa memandangmu dari sini, dibawah beton layang semanggi
Ada arti ku telusuri hidup ini, disisi kejamnya hidup masih kutemukan sesuatu yang indah, yaitu
dikau wahai jelita
Daku tak pernah berharap dikau jelita tahu akan keberadaanku yang menyedihkan ini
Setidaknya selalu ada hari dimana dikau jelita merangkul daku bangkit untuk berjuang dalam
hidup
JAKARTA

Inilah surga bagi para pebisnis


Hallo Jakarta, diusia mu jalan empat abad terakhir apa yang telah terjadi?
Ku nikmati udara malam mu beraroma hiruk pikuknya pagi, siang dan malam
Tak henti-henti deru mesin begitupun klakson beradu bersahutan
Disudut gang sempit yang ku yakin orang menyebutnya sarang tikus, berhimpit bilik permanen
dipayungi lampu penerang yang tampak remang
Jakarta, mengapa kau sisakan mereka di mukamu?
Barisan beton-beton pencakar langit, deretan huniah mewah berdiri gagah seakan ingin
menyingkirkan mereka
Jakarta, mengapa tak kau beri tempat juga kau isi perut-perut kosong mereka?
Jutaan dari mereka digilas oleh roda-rodamu karena bertahan hidup
Mereka diinjak oleh para raja dan penguasa, dan mereka memujanya
Hahaha… ironis, Jakarta, apakah raja-raja dan penguasa itu yang memelihara mereka?
Pebisnis makin menaikkan kaki-kaki kotor mereka ke atas meja, sedang si miskin makin sering
melahap nasi aking
Dan mereka selalu dijadikan alas kaki
Mereka menjerit penuh derita, mengapa?
Hanya berak dan kencing saja para raja dan penguasa lakukan, uang sudah masuk jas korupsi
Hukum luluh akan uang, hukum luluh akan Mercy, BMW, Toyota
Hukum meludahi mereka yang tinggal disarang tikus
Demokrasi adalah ujung tai kucing dan anjing!
Mengapa kehidupan Ibu Kota tak seindah dikala malam
Waktu tak akan menunggu untuk Jakarta kembali
Jakarta adalah perubahan, adalah inspirasi
Bukan penderitaan karena hukum dan keadilan
Masihkan kita mengayunkan kaki keatas meja?
Turunkan, sebelum mereka yang menderita mati!

Anda mungkin juga menyukai