Anda di halaman 1dari 15

Buah Pikiran Para Perancang Masa Depan

Arsitektur Bicara
Studi Literatur Mengenai Arsitektur Kontekstual
kon·teks·tu·al /kontékstual/ a berhubungan dng konteks

kon·teks /kontéks/ n 1 Ling bagian suatu uraian atau kalimat yg dapat mendukung atau
menambah kejelasan makna; 2 situasi yg ada hubungannya dng suatu kejadian: orang itu
harus dilihat sbg manusia yg utuh dl — kehidupan pribadi dan masyarakatnya;

Sedangkan menurut Bill Raun;

Kontekstual menekankan bahwa sebuah bangunan harus mempunyai kaitan dengan


lingkungan (bangunan yang berada di sekitarnya). Keterkaitan tersebut dapat dibentuk
melalui proses menghidupkan kembali nafas spesifik yang ada dalam lingkungan (bangunan
lama) ke dalam bangunan yang baru sesudahnya.

Maka, arsitektur kontekstual menurut pemahaman saya adalah sebuah metode perancangan
yang mengkaitkan dan menyelaraskan bangunan baru dengan karakteristik lingkungan
sekitar.

Gerakan pengusung paham arsitektur kontekstual sendiri muncul dari penolakan dan
perlawanan terhadap arsitektur modern sebagai ikon gaya internasional yang antihistoris,
monoton, bersifat industrialisasi, dan kurang memerhatikan kondisi bangunan lama di
sekitarnya. Sehingga, kontekstualisme selalu dihubungkan dengan kegiatan konservasi dan
preservasi karena berusaha mempertahankan bangunan lama khususnya yang bernilai historis
dan membuat koneksi dengan bangunan baru atau menciptakan hubungan yang simpatik,
yang akan menghasilkan sebuah kontinuitas visual.

Lalu, bagaimana penerapan kontekstualisme itu dalam sebuah bentuk desain arsitektur?

Arsitektur & penciptaan ruang dan tempat (spaces and places).

Ruang (space) pada dasarnya terbentuk dari titik yang bergerak menjadi garis, yang lalu
bergerak dan membentuk sebuah bidang, dan akhirnya bertemu dengan bidang lain sehingga
menghasilkan sebuah ruang tiga dimensi. Sedangkan tempat (place) merupakan ruang yang
dihidupkan oleh interaksi atau kegiatan manusia.

Ruang yang baik ditentukan oleh kualitas lingkungan di sekelilingnya. Temperatur, matahari,
angin, dan kelembaban sangat mempengaruhi nyaman atau tidaknya ruang tersebut, yang
tentunya menjadi berpengaruh terhadap kegiatan manusia di dalamnya. Kualitas ruang yang
baik akan membuat manusia betah berkegiatan, sehingga akhirnya ruang tersebut hidup dan
menjadi sebuah ’tempat’ yang lebih dari layak.
Namun selain hal tersebut di atas, yang tidak kalah penting dalam menciptakan sebuah
’tempat’,—contohnya adalah ruang publik di kawasan perkotaan—adalah tiga potensi
strategis yang disebut sebagai Three Theories of Urban Spatial Design; yaitu massa dan
ruang (figure), jejalur atau keterhubungan (linkage), dan tempat (place). Kualitas sebuah
ruang publik dipengaruhi oleh bentuk dan tatanan ruang, dan juga harus dapat dicapai dengan
mudah melalui jaringan infrastruktur yang jika dirancang dengan benar akan menghasilkan
ruang berkegiatan yang tak hanya nyaman, tetapi juga membentuk perilaku positif bagi
manusia di dalamnya. Selain itu, konteks budaya, sejarah, dan ekologi juga perlu diperhatikan
dengan menyatukan bentuk, detail, ornamen yang unik sesuai nilai sosial, budaya dan
persepsi visual; sehingga menghasilkan ruang publik yang memiliki karakteristik lokal.

Maka pertanyaan pertama telah terjawab: kontekstualisme dalam terminologi arsitektur


diterapkan dalam perancangan sebuah bangunan atau ruang di dalam kota, sehingga kota
tersebut akan memiliki ciri khas (karakteristik) tersendiri yang pada akhirnya akan
menghasilkan sebuah city branding yang unik dan tidak dapat dimiliki kota lain.

“The most significant argument of the art of city making is that a city should not seek to be
the most creative city IN the world (or region/state)—it should strive to be the best and most
imaginative city FOR the world. That is why city making is an ethical foundation.”

—Charles Landry

Arsitektur dan konteks kehidupan kota, yang berisi kajian karakteristik sosial,
ekonomi, dan fisik lingkungan kota dalam kaitannya dengan desain arsitektur.

Arsitektur, sebagai objek yang tidak berdiri sendiri—melainkan menjadi satu kesatuan
harmonis dengan sekitarnya, menjadi satu kesatuan jaringan secara sosial, ekonomi, maupun
lingkungan; yang menjadi tumpuan kehidupan perkotaan saat ini. Demikian juga dengan
arsitektur kota, yang merupakan jaringan, anyaman ruang dan bangunan yang bertumpuk
dalam rentang waktu dan irisan berbagai kepentingan. Beberapa elemen dirubah, dibuang,
diganti, ditimpa atau disandingkan dengan elemen baru dan akan terus berlanjut.

Peter Calthorpe dan William Fulton dalam buku The Regional City menjabarkan asas yang
disebut sebagai Principle of Diversity, Conservation, and Human Scale; bahwa,

“These alternative principles apply equally to the social, economic, and physical dimensions
of communities. For the example, the social implications of human scale may mean more
police officers walking a beat rather than hovering overhead in a helicopter; the economic
implications of human scale may mean economic policies that support small local business
rather than major industries and corporations, and the physical implication of human scale
may be realized in the form and detail of building as they relate to street.”

Sehingga dapat kita simpulkan bahwa asas-asas ini dapat membentuk pondasi kawasan baru
dan etika desain di lingkungankota.

Arsitektur kontekstual dan proses pencarian bentuk, berisi analisis dan eksplorasi
ragam konsep desain yang menunjukkan keterkaitan antara bentuk arsitektur dan
konteks lingkungan perkotaan.
Sering orang beranggapan kontekstualisme hanya berusaha meniru bangunan lama sehingga
terlihat sama pada bangunan baru atau hanya untuk memopulerkan langgam historis
arsitektur tertentu. Namun, sebenarnya tidaklah seperti itu.

Bila melihat definisi sebelumnya, secara umum ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, kondisi bangunan lama yang bisa dilihat dari bentuk, material, dan skala bangunan.
Kedua, karakter dan jiwa tempat bangunan tersebut berada yang bisa dilihat dari motif atau
pola desain setempat. Dari beberapa hal tersebut dapat dijabarkan beberapa pendekatan
desain arsitektur kontekstual yang bervariasi atau tidak sekadar meniru. Berikut ini terdapat
beberapa contoh eksplorasi desain yang mengacu kepada arsitektur kontekstual:

Pertama, mengambil motif-motif desain setempat, seperti bentuk massa, pola atau irama
bukaan, dan ornamen desain yang digunakan.

Salah satu contoh pendekatan ini adalah rumah-rumah di Rumah-rumah tersebut merupakan
bangunan baru yang mengadaptasi gaya Renaisans yang ingin menggantikan bangunan lama
yang hancur saat Perang Dunia II. Kontinuitas visual terlihat dari bentuk massa dan irama
bukaan atau jendela.

Kedua, menggunakan bentuk-bentuk dasar yang sama, tetapi mengaturnya kembali sehingga
tampak berbeda.
Hal ini dapat terlihat dari desain bangunan Butterfield
House di Kota New York. Keterkaitan visual bangunan apartemen tersebut dengan
bangunan di sekitarnya dapat dilihat dari penggunan elemen balkon, namun sudah dengan
penyelesaian desain berbeda. Bangunan lama mempunyai bentuk bukaan yang datar pada
balkon, sedangkan pada Butterfield House, bentuk bukaan pada balkon terlihat melengkung
dan menonjol ke luar. Walaupun terdapat perbedaan desain pada balkon, kedua bangunan
tetap terlihat menyatu karena memiliki bentuk dasar atau pola yang sama.

Ketiga, melakukan pencarian bentuk-bentuk baru yang memiliki efek visual sama atau
mendekati yang lama.

Contoh pendekatan ini adalah New Housing di Zwolle, Belanda. Pencarian bentuk-bentuk
baru pada bangunan terlihat pada penggunaan atap gable dengan versi lebih modern.

Keempat, mengabstraksi bentuk-bentuk asli (kontras). Dalam arsitektur kontekstual


hubungan yang simpatik tidak selalu ditunjukkan dengan desain harmonis yang biasanya
dicapai dengan penggunaan kembali elemen desain yang dominan yang terdapat pada
bangunan lama. Hubungan simpatik tersebut bisa dicapai dengan solusi desain yang kontras.
Bentuk-bentuk asli pada bangunan lama tidak digunakan langsung, namun bisa
diabstraksikan ke dalam bentuk baru yang berbeda.

Contohnya, desain bangunan Woll Building, Carlton Gardens, dan St James, London.
Elemen bukaan pada bangunan lama yang memiliki ukuran kecil, diabstraksikan pada
bangunan baru dengan bentuk lebih besar dan transparan dengan tetap menjaga pola-pola
atau ritme dari bukaan pada bangunan lama.
Tapi terlepas dari penjabaran arsitektur kontekstual dan teori-teori yang sudah berseliweran
sejak lama (dan sejak lama pula hanya menjadi referensi tanpa dikaji dan dipertanyakan
kembali); bagaimana ia bisa diterapkan tergantung dari bagaimana kita berargumen melalui
gambar dan permainan kata, bukan?

KONTEKSTUAL
(kuliah 3)

 Respons desain terhadap konteks bentuk


tapak
Bentuk tapak bermacam-macam, ada yang berada pada:

1. Lahan sudut/ hoek


2. Lahan antara
3. Lahan kantong
4. Topografi dan kontur
Setiap karakter bangunan pada lahan spesifik memiliki tipologi tertentu.

LAHAN SUDUT:

Persimpangan merupakan pertemuan dua jalan, dan sering menimbulkan


pemandangan yang kurang menarik. Hal ini merupakan masalah visual yang harus

diperhatikan oleh perancang. Persimpangan merupakan area yang penting dan dapat
dijadikan sebagai tanda yang berfungsi untuk memperkaya kesan visual pada
lingkungan dan tata ruang suatu kota. Sehingga keberadaan persimpangan sering
dijadikan unsur yang penting karena berkaitan erat dengan keindahan dan
penempatan ornamen-ornamen.

Macam-macam bentuk persimpangan:

1. Persimpangan yang terbentuk oleh sudut negatif


Pada persimpangan yang negatif, kesan yang terasa lebih berat ke dalam
sehingga menimbulkan makna sebagai ruang kosong. Ruang kosong ini sering
menjadi lokasi ideal untuk halaman yang batasnya sering dipagar. Bangunan
pada lokasi ini dikelilingi oleh halaman yang luas di dalam lingkungan berpagar.
Makna persimpangan yang terjadi kurang sesuai dengan penataan untuk
persimpangan suatu jalan, karena terlihat pagar dan tanaman lebih mendominasi
keberadaan persimpangan.
2.Persimpangan yang terbentuk oleh sudut pada jalan

Adapun tipologi dari persimpangan yang terbentuk oleh sudut pada jalan terdiri
dari

tiga tipologi, yaitu

a. Angular Street Corner


b. Curved Street Corner
c. Towered Street Corner

Tipologi sudut pada jalan

Sumber:Cliff Moughtin, “Urban Design Ornamen And Decoration

3.Persimpangan yang terbentuk oleh sudut pada lapangan


terbuka
Tipologi sudut lapangan terbuka

Sumber:Cliff Moughtin, “Urban Design Ornamen And Decoration

 Konteks terhadap lingkungan


Brent C Brolin dalam bukunya Architecture in Context (1980) menjelaskan,
kontekstualisme adalah kemungkinan perluasan bangunan dan keinginan
mengaitkan bangunan baru dengan lingkungan sekitarnya.

Dengan kata lain, kontekstualisme merupakan sebuah ide tentang perlunya


tanggapan terhadap lingkungannya serta bagaimana menjaga dan menghormati jiwa
dan karakter suatu tempat.

Pendapat lain mengatakan bahwa arti knteksual adalah sebagai berikut :

a. Kontekstual berarti Berusaha keras agar ada “kesesuaian” antara pendatang


baru, yaitu bangunan atau karya arsitektur dengan kondisi tapak yang telah ada
sebelumnya
b. Kesesuaian tidak berarti harus sama
c. Kesesuaian yang dimaksud adalah memperkuat, memperbesar, menyelamatkan,
memperbaiki atau meningkatkan kualitas lingkungan yang ada.

Kontekstual merupakan suatu hal yang penting dalam arsitektur, karena


Arsitektur bukanlah obyek yang berdiri sendiri , melainkan harus menjadi satu
kesatuan harmonis dengan sekitarnya, menjadi satu kesatuan jaringan secara sosial ,
budaya maupun ekologis. Keberadaannya harus memberikan keseimbangan , tidak
hanya mengambil tetapi juga memberi.

Berbicara mengenai kontekstualisme, berarti membicarakan suatu bangunan


dalam keterkaitannya dengan lingkungan sekitar. Arsitek sebagai pekerja budaya,
mempunyai peranan penting dalam hal menciptakan lingkungan yang harmoni.
Terkadang, dalam membuat sebuah desain, arsitek banyak dihadapkan dengan
masalah lingkungan sekitar. Kontekstualime merupakan salah satu jawaban bagi
permasalahan-permasalahan tersebut.

Kontekstual, sesuai dengan pengertian diatas, berarti meninkatkan kualitas


lingkungan yang telah ada sebelumnya menjadi lebih baik. Untuk mewujudkan hal
ini, sebuah desain tidak harus selamanya kontekstual dalam aspek form dan fisik
saja, akan tetapi kontekstual dapat pula dihadirkan melalui aspek non fisik, seperti
fungsi, filosofi, maupun teknologi.

Kontekstual pada aspek fisik, dapat dilakukan dengan cara :

1. Mengambil motif-motif desain setempat : bentuk massa, pola atau irama bukaan,
dan ornamen desain.
a. Geometri : standard geometri : persegi, bulat, segitiga, kubus dll.
b. Kompleksitas : derajat kesederhanaan atau daya tarik :
o Bentuk sederhana = regular
o Bentuk yg komolek iregular
c. Orientasi : hubungan bentuk dg horizon, vertikal atau horizontal
2. Menggunakan bentuk-bentuk dasar yang sama, tetapi mengaturnya kembali
sehingga tampak berbeda.
3. Melakukan pencarian bentuk-bentuk baru yang memiliki efek visual sama atau
mendekati yang lama.
4. Mengabstraksi bentuk-bentuk asli (kontras).

Adapun kontekstual dalam aspek non fisik dapat dilakukan melalui


pendekatan fungsi, filosofi, maupun teknologi. Bangunan baru yang didesain
’kontras’ dengan bangunan lama, namun mampu memperkuat nilai historis bangunan
lama justru dianggap lebih kontekstual daripada bangunan baru yang dibuat
’selaras’, sehingga menghilangkan atau mengaburkan pandangan orang akan nilai
historis bangunan lama.

Sehingga, untuk menjadikan sebuah desain kontekstual, bisa dengan


menjadikannya ’selaras’ ataupun ’kontras’ dengan lingkungan sekitar dengan tetap
mengedepankan tujuan dari kontekstual itu sendiri, yaitu menghadirkan ’kesesuaian’,
dalam arti memperkuat, memperbesar, menyelamatkan, memperbaiki atau
meningkatkan kualitas lingkungan yang ada.
Contoh desain bangunan kontekstual:

1. Gedung DPRD Jawa Barat di Jalan Diponegoro. Bangunan tersebut banyak


mengambil motif desain bangunan lama yang bisa dilihat dari elemen atap,
bukaan, dan komposisi massanya.
2. Grand Hotel Preanger di Jalan Asia Afrika Nomor 81. Bangunan tersebut
mengambil bentuk arsitektur Art Deco yang disesuaikan dengan bangunan lama
dengan tambahan fasilitas modern dalam unsur lansekap.
3. Bank Indonesia di Jalan Braga Nomor 108 hampir sama seperti contoh pertama
dalam menyelesaikan desain kontekstualnya.
4. Bank ABN Amro di Jalan Jawa Nomor 1 desain bangunan barunya kontras dengan
bangunan bank yang lama, namun tetap terlihat selaras atau kontekstual karena
di antara kedua bangunan tersebut terdapat sambungan berupa bangunan
peralihan yang transparan.

 Terhadap klimatologis
Pertimbangan desain terhadap faktor:

1. Arah Mata Angin


Akan menentukan:

a. Posisi Bangunan
b. Bentuk gubahan massa
c. Bukaan
2. Arah angin
Akan menentukan:

a. Posisi Bangunan
b. Bentuk gubahan massa
c. Bukaan
3. Iklim tropikal/ 4 musim dan sebagainya
Akan menentukan tipologi bangunan

Arsitek Indonesia saat ini harus mampu menerapkan nilai-nilai kontekstual Indonesia dalam
setiap desain arsitektur. Kontekstual dengan kultur, sosial, lingkungan dan sebagainya agar
relevan dengan rupa bangunan yang didesainnya.

Kontekstual dengan merespon budaya merupakan salah satunya. Ridwan mencontohkan


penggunaan bambu sebagai material bangunan yang banyak digunakan di Jawa Barat,
ternyata bisa dikawinkan dengan modernitas dan desain arsitektur masa kini.

"Ke-Indonesia-an itu harus kita cari. Dari sisi budaya, isu ekonomi juga sangat kontekstual,
atau isu iklim. Kita berlimpah cahaya matahari. Harusnya, penggunaan material bambu
misalnya, dengan isu tropikalitas, kaya cahaya matahari, bisa kita jadikan ide desain yang
kontekstual," ujarnya.
Pengalaman Ridwan membangun gedung sekolah tahan gempa di Padang, Sumatera Barat,
dan museum tsunami di Aceh, misalnya. Ridwan menuturkan, ide desain pada kedua
bangunan tersebut sangat kontekstual dengan isu sosial dan lingkungan yang akhirnya
relevan dengan produk yang dihasilkan.

"Museum tsunami ini menggunakan produk papan gipsum tahan gempa Boral. Ini jelas untuk
merespon kontekstual dengan produk. Terbukti, waktu gempa, sesuai dengan yang
diskenariokan, bangunan ini jadi lokasi penyelamatan. Saya bersyukur, fungsi bangunan yang
dikhayalkan ternyata benar-benar berfungsi," kata Ridwan.

Intinya, lanjut dia, setiap eksperimen para arsitek harus punya nilai kontekstual. Di sisi lain,
pengusaha, khususnya pengembang memberikan dukungan dalam hal aplikasi eksperimen
tersebut. Tak terkecuali peran pemerintah dalam menerapkan kebijakannya.

"Di Jepang itu soal arsitektur bisa solid, antara masyarakat sebagai pengguna, arsitek yang
memiliki pengetahuan, dan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Karena itulah, saya
berharap ketiganya juga bisa kompak di Indonesia," ujarnya. "Sebagai arsitek saya berpesan,
tugas sebagai arsitek jangan hanya sibuk dengan geometri, tapi ada nilai-nilai di luar geometri
itu," pungkasnya.

Makna Leksikal, Kontekstual, Struktural dan Makna Metaforis


Kamis, Januari 12, 2012 Chequita Chiproet 2 comments

Makna Leksikal adalah makna dasar sebuah kata yang sesuai dengan kamus. Makna dasar
ini melekat pada kata dasar sebuah kata. Makna leksikal juga disebut makna asli sebuah kata
yang belum mengalami afiksasi (proses penambahan imbuhan) ataupun penggabungan
dengan kata yang lain. Namun, kebanyakan orang lebih suka mendefinisikan makna leksikal
sebagai makna kamus. Maksudnya makna yang sesuai dengan yang tetera di kamus.
(a) rumah
(b) berumah
contoh yang pertama (a) merupakan kata dasar yang belum mengalami perubahan.
Berdasarkan kamus KBBI makna kata rumah adalah bangunan untuk tempat tinggal.
Sedangkan contoh kedua (b) merupakan kata turunan.

Makna Kontekstual adalah makna yang muncul sesuai dengan konteks kata tersebut
dipergunakan. Artinya, makna tersebut muncul sebagai makna tambahan disamping makna
sebenarnya berupa kesan-kesan yang ditimbulkan oleh sebab situasi tertentu. Misalnya
ungkapan “Dasar kerbau, kerjaannya makan tidur saja” , tentu yang dimaksud kerbau bukan
hewan yang bertanduk, tapi menunjuk pada manusia. Contoh lain ialah kata kursi secara
leksikal maknanya adalah tempat untuk duduk. Kursi pada kalimat “Banyak kursi yang
nilainya puluhan juta saat pemilu” , bermakna jabatan yang diperjualbelikan.

Makna Struktural atau Makna Gramatikal adalah makna yang terbentuk karena
penggunaan kata tersebut dalam kaitannya dengan tata bahasa. Makna gramatikal muncul
karena kaidah tata bahasa, seperti afiksasi, pembentukan kata majemuk, penggunaan kata
dalam kalimat, dan lain-lain.
(a) rumah
(b) berumah
contoh yang kedua (b) mempunyai arti yang berbeda dengan makna yang pertama (a)
meskipun kata dasarnya sama, yaitu rumah. Penambahan prefiks atau awalan pada kata
rumah membuat makna rumah berubah tidak sejedar bangunan untuk tempat tinggal.

Makna Metaforis adalah makna yang ditimbulkan oleh adanya unsur perbandingan di antara
dua hal yang memiliki ciri makna yang sama. Contoh : kata kaki dengan ungkapan kaki
langit, kaki gunung dan kaki meja. Kaki tetap menunjukkan bagian bawah, namun ungkapan
kaki langit bermakna horizon, kaki gunung berarti lembah, dan kaki meja adalah tiang-tiang
penyanggah meja
Pada bagian depan koin terdapat gambar lambang negara yakni Garuda Pancasila, diatasnya
tertulis “Bank Indonesia”. Dibagian tengah tercantum angka nominalnya yaitu “1000” diikuti
dengan tulisan satuan “Rupiah” dibagian bawahnya.

Bagian Depan

Uang logam 1000 Rupiah beremisi tahun 2010 ini, pada bagian belakang bergambar
Angklung dengan latang belakang Gedung Sate yang terdapat di Kota Bandung, Jawa Barat.

Bagian Belakang

Angklung merupakan alat musik tradisional di Indonesia, berasal dari tanah sunda-Jawa
Barat. Terbuat dari bambu dan bunyi khasnya dihasilkan dari benturan badan pipa bambu
yang digoyangkan saat dimainkan. Alat musik yang telah dikenal sejak masa kerajaan Sunda
ini pada mulanya dibuat dan dimainkan bertujuan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi
sehingga tanaman padi rakyat dapat tumbuh subur dengan hasil berlimpah.
Selain itu juga berfungsi sebagai alat penggugah semangat dalam pertempuran dalam masa
penjajahan. Oleh karena itu angklung pernah dilarang penggunaannya pada masa kekuasaan
pemerintahan Hindia Belanda.
Namun setelah itu, angklung semakin menyebar ke berbagai daerah seperti Jawa, Kalimantan
hingga Sumatera. Jadi alasan dipilihnya Angklung sebagai gambar utama pada uang logam
ini bertujuan sebagai salah satu cara untuk melestarikan kebudayaan nasional.

Arsitektur Gedung Sate yang memiliki ornamen tusuk sate pada menara sentralnya tersebut
merupakan hasil karya arsitek Ir. J. Gerber beserta timnya dengan beberapa masukan dari
maestro arsitek Belanda Dr. Hendrik Petrus Berlage, memberikan nuansa tradisional
Nusantara dengan gaya arsitektur Indo-Eropa yang unik dan anggun. Gedung Sate mulai
dibangun pada 27 Juli 1920 untuk pembangunan induk bangunan utama dapat diselesaikan
selama 4 tahun pada bulan September 1924. Di Gedung Sate pada tanggal 03 Desember 1945
telah terjadi peristiwa yang memakan korban tujuh pemuda untuk mempertahankan gedung
dari serangan pasukan Gurkha, untuk mengenang peristiwa tersebut dibuatlah tugu dari batu
diletakkan dihalaman depan Gedung Sate.

Gedung Sate jaman dulu

Kesempurnaan keindahan dan megahnya Gedung ini dilengkapi dengan gedung baru bergaya
konstektual dibangun tahun1977 oleh arsitek Ir. Sudibyo. Sejak tahun 1980, Gedung Sate
dikenal dengan sebutan Kantor Gubenur sebab digunakan sebagai pusat kegiatan
pemerintahan Propinsi Jawa Barat.
Keindahan dan nilai sejarah yang dimiliki Gedung Sate tersebut menjadikannya dipilih
sebagai gambar pada uang logam 1.000 Rupiah sebagai wujud pelestarian tempat bersejarah
dalam kehidupan bangsa Indonesia.
KONTEKSTUALISME

Latar Belakang
Kontekstualisme muncul dari penolakan dan perlawanan terhadap arsitektur
modern yang antihistoris, monoton, bersifat industrialisasi, dan kurang
memperhatikan kondisi bangunan lama di sekitarnya.
Kontekstualisme selalu berhubungan dengan kegiatan konservasi dan
preservasi karena berusaha mempertahankan bangunan lama khususnya yang
bernilai historis dan membuat koneksi dengan bangunan baru atau
menciptakan hubungan yang simpatik, sehingga menghasilkan sebuah
kontinuitas visual.

Definisi Kontekstualisme
Brent C Brolin dalam bukunya Architecture in Context (1980) menjelaskan,
kontekstualisme adalah kemungkinan perluasan bangunan dan keinginan
mengaitkan bangunan baru dengan lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain,
kontekstualisme merupakan sebuah ide tentang perlunya tanggapan terhadap
lingkungannya serta bagaimana menjaga dan menghormati jiwa dan karakter
suatu tempat.
 Kontekstualisme bukan meniru bangunan lama !
 Bagaimana penerapan kontekstualisme dalam sebuah bentuk desain
arsitektur?
Karakteristik Desain Kontekstual
 Bangunan kontekstual tidak berdiri sendiri dan berteriak “Lihatlah
Aku!” tetapi bahkan cenderung menjadi suatu bangunan yang bersifat
latar belakang.
 Teknik mendisain dengan faham Kontekstualisme dapat
dikembangkan untuk dapat memberikan jawaban khususnya untuk
kondisi-kondisi yang bersifat morfologis, tipologis, dan pragmatis
menjadi bersifat pluralistik dan fleksibel.
 Selain itu juga bukan dogmatis rasional atau terlalu berorientasi pada
kaidah-kaidah yang terlalu universal.
Kriteria Kontekstualisme
 Fit (pas) pada lingkungannya
 Merespons lingkungannya
 Menjadi perantara bagi lingkungannya
 Mungkin melengkapi pola implisit dari lay-out jalan atau
memperkenalkan sesuatu yang baru
Beberapa Variasi Pendekatan Desain Kontekstual
 Mengambil motif-motif desain setempat : bentuk massa, pola atau
irama bukaan, dan ornamen desain.
 Menggunakan bentuk-bentuk dasar yang sama, tetapi mengaturnya
kembali sehingga tampak berbeda.
 Melakukan pencarian bentuk-bentuk baru yang memiliki efek visual
sama atau mendekati yang lama.
 Mengabstraksi bentuk-bentuk asli (kontras).
Arsitek yang Menerapkan Kontekstualisme dalam Karyanya
 The Museum of Fine Arts in Boston : Foster & Spencer de Grey
 Lowell's Beaux Arts, Pyramid de Louvre :I M Pei
 Manhattan's Morgan Library : Renzo Piano
 Steven Holl
 Hardy Holzman Pfeiffer
 Tod Williams Billie Tsien
 Justus Dahinden
Kegagalan Arsitektur Menurut Penganut Paham Kontekstualism
 Kurangnya pengertian tentang urban context
 Penekanan yang berlebihan pada obyek dan bukannya pada jaringan
(tissue) antar mereka
 Mendisain dari dalam ke luar dan bukannya dari ruang luar (eksterior)
ke dalam.
PHENOMENOLOGY
A. The phenomenon of place
1. Phenomena :hal yang terdapat di dunia setiap harinya.
2. Place : bentuk concrete dari sekitar, Segala sesuatu yang ada dapat
menentukan karakter sekitar. Tidak hanya terdiri dari sesuatu yang dapat
dilihat tetapi juga terdiri dari sesuatu yang dapat dirasakan.
3. Phenomena yangada dapat menjelaskan space dan karakter yang ada.
4. Phenomenologi memilki pokok- pokok yang mengenai ontologi, psycologi,
ethics, dan estetika.
5. Space
Space artian tiga dimensi yang biasa disebut concrete space yaitu
penglaman sehari hari
6. Karakter
Karakter ditentukan oleh faktor material dan peraturan formal pada suatu
wilayah. Suatu wilayah yang berbeda akan menciptakan karakter yang
berbeda pula.
7. Georg Trakl menjelaskan suatu phenomena dalam kehidupan sebagai
sesuatu yang berisi suatu karakter dan space. Melakukan pendekatan
terhadap fenomena yang terjadi sesuai kejadian yang kongkret.
B. Spirit of place
1. Meliputi keunikan, kekhususan maupun semacam penghargaan terhadap
sebuah tempat
2. Spirit of place mampu memberikan identitas bagi suatu wilayah ‘place’
3. Spirit of place dari sebuah wilayah mampu terbentuk apabila manusia
yang merasakan spirit of place ‘to be dwel’ di tempat tersebut.
4. Faktor yang mempengaruhi spirit of place
1. Orientation = to know where he is
2. Identification= to know how he is in a certain place
3. Orientation dan identification menjadi aspek yang dari sebuah hubungan
antara manusia dengan lingkungan sekitarnya. Tanpa sebuah identification
yang benar maka tidaklah mungkin manusia mengetahui orentasinya.
4. Dalam masyarakat modern orientation lebih diutamankan dan tidak
berjalan seimbang dibanding identification, akibatnya ‘psychologycal sense’
berubah menjadi ‘alienation’ (pengasingan)
Dwell/mendiami/bertempat tinggal
1. Dwell berasal dari kata dvelja yang artinya masih melekat atau
mengingatkan
2. Dwell berarti menjadi nyaman di tempat yang aman
3. Ketika manusia mendiami sebuat tempat maka secara serempak dia berada di
tempat itu dan mampu melihat karakter dari lingkungannya.

Anda mungkin juga menyukai