Anda di halaman 1dari 30

PAPER

INTEGRASI NASIONAL SEBAGAI KEBUTUHAN MUTLAK


BANGSA INDONESIA
Paper ini bertujuan untuk memenuhi tugas dalam perkuliahan
Pendidikan Kewarganegaraan
Pengampu: IGB Wirya Agung, S.Psi., MBA

Disusun Oleh
Nama Kelompok VIII

I DEWA GEDE YOGA PARAMARTHA (1608511038)


IDA BAGUS MANTERA ANINDYAGUNA (1608511039)
MURDIANA SAFIRA MONICA (1608511040)
RAHMANINDYA MARSA DERISA (1608511041)
DEWA AYU DIAN NATA DEWI (1608511042)

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
BALI
2016

1
LEMBAR VERIFIKASI

PAPER
INTEGRASI NASIONAL SEBAGAI KEBUTUHAN MUTLAK
BANGSA INDONESIA

Paper ini bertujuan untuk memenuhi tugas dalam perkuliahan


Pendidikan Kewarganegaraan

Oleh:
Nama Kelompok VIII

I Dewa Gede Yoga Paramartha (1608511038)


Ida Bagus Mantera Anindyaguna (1608511039)
Murdiana Safira Monica (1608511040)
Rahmanindya Marsa Derisa (1608511041)
Dewa Ayu Dian Nata Dewi (1608511042)

Program Studi Kimia


Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Udayana

Disetujui dan diverfikasi oleh

Bukit Jimbaran, 21 September 2016


Dosen Pengampu,

(I Gusti Bagus Wirya Agung, S.Psi.,MBA)

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang
Hyang Widi Wasa, karena berkat rahmat beliau kami dapat menulis paper yang
berjudul “Integrasi Nasional Sebagai Kebutuhan Mutlak Bangsa Indonesia”
dapat terselesaikan tepat waktu
Makalah ini kami susun dengan segala daya dan upaya yang ada,
termasuk bantuan dan bimbingan serta sumbangan masukan dari semua pihak
yang diberikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Kami menyadari
bahwa makalah yang kami buat jauh dari kata sempurna, baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Maka dari itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat diperlukan. Semoga paper yang kami buat dapat
bermanfaat dan memberi inspirasi bagi semua pihak yang membaca.

Denpasar, 21 September 2016

3
DAFTAR ISI

COVER ...............................................................................................................1
LEMBAR VERIFIKASI ..................................................................................... 2
KATA PENGANTAR ........................................................................................ 3
DAFTAR ISI .......................................................................................................4
BAB.I PENDAHULUAN ................................................................................... 5
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 5
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................6
1.3 Tujuan .................................................................................................6
1.4 Batasan Permasalahan ........................................................................6
BAB.II PEMBAHASAN .................................................................................... 7
2.1 Landasan Teoritis ...............................................................................7
1. Pengertian Integrasi Nasional ....................................................... 7
2. Pentingnya Intergrasi di Tengah Pluralisme Bangsa .................... 8
3. Potensi Konflik dalam Masyarakat Indonesia .............................. 9
4. Strategi Integrasi Indonesia .......................................................... 10
5. Mewujudkan Integrasi Nasional Indonesia ..................................12
2.2 Pembahasan ........................................................................................ 14

BAB.III KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 17


3.1 Kesimpulan ......................................................................................... 17
3.2 Saran ...................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 18


LAMPIRAN ........................................................................................................19

4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah integrasi nasional merupakan persoalan yang dialami hampir
semua negara, terutama negara-negara yang usianya masih relatif muda.Hal
ini disebabkan karena mendirikan negara berarti menyatukan orang-orang
dengan segala perbedaan menjadi satu entitas kebangsaan baru yang
menyertai berdirinya negara tersebut.
Sejak proklamasi kemerdekaan sampai sekarang, Indonesia masih
menghadapi persoalan bagaimana menyatukan penduduk untuk menjadi satu
entitas baru yang dinamakan bangsa Indonesia, mengingat, Indonesia
memiliki kekayaan alam, budaya, suku, adat, dan bahasa yang sangat
beragam. Pluralisme ini membawa dua dampak sekaligus, yakni positif dan
negatif.Positifnya, keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia terjamin,
sebab masyarakat dapat memanfaatkan serta mengelola kekayaan alam dan
budayaIndonesia untuk kesejahteraan rakyat.Di lain pihak, pluralisme bangsa
menimbulkan dampak negatif yakni berupa timbulnya konflik atar kelompok
dalam masyarakat, baik konflik yang berlatarbelakang kesukuan, agama,
konflik karena kesalahpahaman budaya, dan semacamnya.
Dalam sejarah tercatat beberapa kali Indonesia mengalami usaha
disintegrasi bangsa, antara lain Gerakan Aceh Merdeka, G30S/PKI, Operasi
Papua Merdeka, Kerusuhan Anti Tionghoa, dan Tragedi Sampik. Di masa
sekarang, konflik masih terus terjadi meski tidak sebanyak saat awal
kemerdekaan.Ini berarti masyarakat perlu menyadari bahwa integrasi nasional
dalam arti sepenuhnya tidak mungkin diwujudkan dan konflik di antara
sesama warga bangsa tidakdapat dihilangkan sama sekali, sekalipun dengan
berjalannya waktu. Hal inimenyimpulkan bahwa, persoalan integrasi nasional
masih belum tuntas.
Namun kita harus tetap melakukan upaya untuk meminimalisir konflik
yang terjadi dengan menanamkan dan mewujudkan pemahaman toleransi dan
kebhinekaan tanpa mengurangi nilai-nilai dari perbedaan itu sendiri.

5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan beberapa masalah
antara lain:
1. Apa yang dimaksud dengan Integrasi Bangsa?
2. Bagaimana pentingnya integrasi ditengah pluralisme bangsa Indonesia?
3. Bagaimana potensi konflik dalam masyarakat Indonesia.
4. Bagaimana strategi integrasi Indonesia saat ini?
5. Bagaimana mewujudkan Integrasi Nasional Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Integritas Nasional.
2. Mengetahui pentingnya integrasi ditengah pluralisme bangsa.
3. Mengetahui bagaimana potensi konflik dalam masyarakat Indonesia.
4. Untuk memahami strategi integrasi Indonesia saat ini.
5. Memahami langkah-langkah mewujudkan Integrasi Nasional Indonesia.
D. Batasan Permasalahan
Agar tulisan ini lebih terarah dan terfokus serta tidak meluas, penulis
membatasi isi tulisan pada peninjauan mengenai kondisi integrasi nasional
baik menengok pada tinjauan sejarah maupun praktik kekinian serta upaya
penanganan dalam konteks nasional, yang disempurnakan dengan teori
beberapa ahli.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan Teori
1. Pengertian Integrasi Nasional
Integrasi nasional adalah upaya menyatukan seluruh unsur suatu
bangsa dengan pemerintah dan wilayahnya (Saafroedin Bahar,
1998).Mengintegrasikan berarti membuat untuk atau menyempurnakan
dengan jalan menyatukan unsur-unsur yang semula terpisah-pisah.
Menurut Howard Wrigins (1996), integrasi berarti penyatuan bangsa-
bangsa yangberbeda dari suatu masyarakat menjadi suatu keseluruhan
yang lebih utuh atau memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang
banyak menjadi satu bangsa.
Myron Weiner (1971) memberikan lima definisi mengenai
integrasi, yaitu:
a. Integrasi menunjuk pada proses penyatuan berbagai kelompok budaya
dan sosial dalam satu wilayah dan proses pembentukan identitas
nasional, membangun rasa kebangsaan dengan cara menghapus
kesetiaan pada ikatan-ikatan yang lebih sempit.
b. Integrasi menunjuk pada masalah pembentukan wewenang kekuasaan
nasional pusat di atas unit-unit sosial yang lebih kecil yang
beranggotakan kelompok-kelompok sosial budaya masyarakat tertentu.
c. Integrasi menunjuk pada masalah menghubungkan antara pemerintah
dengan yang diperintah. Mendekatkan perbedaanperbedaan mengenai
aspirasi dan nilai pada kelompok elit dan massa.
d. Integrasi menunjuk pada adanya konsensus terhadap nilai yang
minimum yang diperlukan dalam memelihara tertib sosial.
e. Integrasi menunjuk pada penciptaan tingkah laku yang terintegrasi dan
yang diterima demi mencapai tujuan bersama.
Sejalan dengan definisi tersebut, Myron Weiner membedakan 5
(lima) tipe integrasi yaitu integrasi nasional, integrasi wilayah, integrasi
nilai, integrasi elit-massa, dan integrasi tingkah laku (tindakan integratif).

7
2. Pentingnya Integrasi di tengah Pluralisme Bangsa
Masyarakat yang terintegrasi dengan baik merupakan harapan bagi
setiap negara.Sebab integrasi masyarakat merupakan kondisi yang
diperlukan bagi negara untuk membangun kejayaan nasional demi
mencapai tujuan yang diharapkan. Ketika masyarakat suatu negara
senantiasa diwarnai oleh konflik, maka negara akan mengalami banyak
kerugian, baik secara fisik materiil maupun secara mental spiritual. Ini
berarti, negara yang senantiasa diwarnai konflik akan sulit untuk
mewujudkan kemajuan. Integrasi masyarakat yang sepenuhnya memang
tidak mungkin diwujudkan, karena setiap masyarakat di samping
membawakan potensi integrasi juga menyimpan potensi konflik atau
pertentangan.Persamaan kepentingan, kebutuhan untuk bekerjasama, serta
konsensus tentang nilai-nilai tertentu dalam masyarakat, merupan potensi
yang mengintegrasikan. Sebaliknya perbedaan-perbedaan yang ada dalam
masyarakat seperti perbedaan suku, agama, budaya,dan perbedaan
kepentingan menyimpan potensi konflik, terlebih apabila perbedaan-
perbedaan itu tidak dikelola dan disikapi dengan cara dan sikap yang tepat.
Kegagalan dalam mewujudkan integrasi masyarakat berarti kegagalan
untuk membangun kejayaan nasional, bahkan dapat mengancam
kelangsungan hidup bangsa dan negara yang bersangkutan.
Pentingnya integrasi dalam kehidupan masyarakat masa kini
berkaitan dengan kepedulian masyarakat bangsa terhadap keberadaan
bangsanya.Ditengah pluralisme bangsa, integrasi penting diwujudkan
untuk mempersatukan jutaan pulau dengan ratusan juta penduduk, budaya,
adat, agama dan kebiasaan berbeda. Tanpa adanya integrasi, suatu bangsa
dalam hal ini bangsa Indonesia, tidak akan dapat bertahan melawan
dirinya sendiri. Masyarakat perlu menyadari bahwa pluralitas bukanlah
penghalang dalam mewujudkan negara “impian” namun kekayaan budaya
sudah semestinya menjadi salah satu aset terbesar bangsa.Dalam
praktiknya, perwujudan integrasi bangsa bukanlah persoalan
mudah.Sebagaimana kita ketahui bahwa nilai-nilai kedaerahan dan agama
masih menjadi dasar pemikiran mayoritas masyarakat.Paham toleransi dan

8
kebhinekaan sangat penting ditanamkan tanpa mengurangi nilai-nilai
kedaerahan, namun sebaliknya dimanfaatkan sebagai penyeimbang guna
menerima adanya pluralitas.
3. Potensi Konflik dalam Masyarakat Indonesia
Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang diwarnai oleh
keanekaragaman, harus disadari bahwa masyarakat Indonesia menyimpan
potensi konflik yang besar, baik konflik yang bersifat vertikal maupun
bersifat horizontal.Konflik vertikal dimaksudkan sebagai konflik antara
pemerintah dengan rakyat, termasuk di dalamnya adalah konflik antara
pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.Sedangkan konflik horizontal
adalah konflik antarwarga masyarakat atau antarkelompok yang terdapat
dalam masyarakat.
Apabila kita melihat dari sudut pandang kondisi ekonomi,
kecenderungan terjadinya disintegrasi semakin besar ketika antara satu
daerah dengan daerah lain yang saling terpisah menunjukkan kondisi
kemajuan sosial ekonomi yang jauh berbeda. Singkatnya, terjadi
kesenjangan sosial yang tinggi antar daerah tersebut. Kesenjangan iniakan
memunculkan kecemburuan dimana daerah yang kondisinya “terbelakang”
merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu, untuk
menghindari terjadinya disintegrasi, pemerintah perlu melaksanakan
pembangunan yang merata di seluruh wilayah untuk mewujudkan
kemajuan yang seimbang antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah adanya daerah-daerah
yang merasa terpencil dan terisolasi dari daerah lainnya. Kondisi ini secara
tidak langsung mengidikasikan sulitnya pembangunan di daerah tersebut
baik dari segi ekonomi, pendidikan dan sosial hanya karena faktor teknis
misalnya jarak.Keadaan yang demikian disebabkan oleh minimnya sarana
transportasi dan komunikasi.Sehingga, potensi konflik, keinginan untuk
memisahkan diri, usaha-usaha disintegrasi bukan lah hal yang
mengherankan.Maka dari itu, perlu dilakukan pembangunan dan
pemerataan guna meminimalisir kemungkinan-kemungkinan yang
memecah belah bangsa.

9
Menurut Stedman (1991:373), penyebab konflik kedaerahan antara
lain:
a. Krisis pemerintahan nasional, baik karena persoalan suksesi maupun
jatuh bangunnya pemerintahan karena lemahnya konstitusi.
b. Kegagalan lembaga-lembaga negara menengahi konflik, baik yang
melibatkan unsur-unsurr masyarakat maupun lembaga lembaga negara.
c. Pembatasan partisipasi politik warga negara di daerah-daerah.
d. Ketidakadilan distribusi sumber daya ekonomi nasional dan sulitnya
akses masyarakat di daerah terhadap sumber daya tersebut.
e. Rezim yang tidak responsif terhadap tuntutan warga negara dantidak
bertanggungjawab terhadap rakyatnya.
Di samping konflik vertikal diinternal pemerintah, konflik
horizontal juga kerap hadir, baik konflik yang berlatarbelakang
keagamaan, kesukuan, antarkelompok dan golongan yang muncul dalam
bentuk kerusuhan, perang antarsuku, pembakaran rumah-rumah ibadah,
dan sebagainya. Sebagai contoh kita dapat menengok kasus yang terjadi di
Poso, Sampit, Ambon, kasus di Lombok, dan tempat-tempat lain.
Terjadinya konflik horizontal biasanya juga merupakan akumulasi dari
berbagai faktor baik faktor kesukuan atau etnis, agama, ekonomi, sosial,
dan sebagainya.Apa yang tampak sebagai kerusuhan yang
berlatarbelakang agama bisa jadi lebih terkait dengan sentimen etnis atau
kesukuan, begitu juga dengan konflik yang tampak dengan latar belakang
etnis atau keagamaan sebenarnya hanya merupakan perwujudan dari
kecemburuan sosial.
4. Strategi Integrasi Indonesia
Masalah integrasi nasional sejatinya dialami oleh semua negara,
terutama negara-negara berkembang.Dalam usianya yang relatif muda
dalam membangun negara bangsa (nation state), ikatan antara kelompok-
kelompok yang berbeda dalam negara masih rentan dan mudah tersulut.Di
samping itu masyarakat di negara berkembang umumnya memiliki ikatan
primordial yang masih kuat.Kuatnya ikatan primordial menjadikan
masyarakat lebih terpancang pada ikatan-ikatan primer yang lebih sempit

10
seperti ikatan keluarga, ikatan kesukuan, ikatan sesama pemeluk agama,
dan sebagainya.Padahal, untuk mewujudkan integrasi nasional,
membutuhkan ikatan yang lebih luas dan melawati batas-batas
kekeluargaan, kesukuan, dan keagamaan yang kemudian karena ikatan
primordial menjadi sulit untuk diwujudkan.
Dalam upaya mewujudkan integrasi bangsa, ada beberapa strategi
yang mungkin dapat diterapkan yaitu:
a. Strategi Asimilasi
b. Strategi Akulturasi
c. Strategi Pluralis
Ketiga strategi tersebut berkaitan dengan seberapa banyak
penghargaan yang diberikan terhadap unsur-unsur perbedaan itu
sendiri.Strategi asimilasi, akulturasi, dan pluralisme masing-masing
menunjukkan penghargaan yang secara gradual berbeda dari yang paling
kurang hingga yang paling besar dalam rangka mewujudkan integrasi
bangsa.
a. Strategi Asimilasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, asimilasi berarti
penyesuaian (peleburan) sifat asli yang dimiliki dengan sifat
lingkungan sekitar. Dalam konteks kebudayaan, asimilasi mengarah
pada proses percampuran dua macam kebudayaan atau lebih menjadi
satu kebudayaan yang baru, di mana dengan percampuran tersebut,
masing-masing unsur budaya melebur menjadi satu sehingga dalam
kebudayaan yang baru tidak tampak lagi identitas budaya
pembentuknya.
Ketika suatu negara menerapkan asimilasi sebagai strategi
mewujudkan integritas, berarti negara mengupayakan agar unsur-unsur
budaya yang ada dalam negara itu benar-benar melebur menjadi satu
dan tidak lagi menampakkan identitas budaya kelompok atau budaya
lokal.Dengan demikian tampak bahwa upaya mewujudkan integrasi
nasional dilakukan tanpa menghargai unsur-unsur budaya lokal dalam
masyarakat.Dalam konteks perubahan budaya, asimilasi memang bisa

11
saja terjadi dengan sendirinya oleh adanya kondisi tertentu dalam
masyarakat.Tetapi, jika dilihat dari perspektif demokrasi, upaya yang
demikian dapat dikatakan kurang demokratis dalam mewujudkan
integrasi nasional.
b. Strategi Akulturasi
Akulturasi adalah proses percampuran dua macam kebudayaan
atau lebih sehingga memunculkan kebudayaan yang baru, di mana ciri-
ciri budaya asli pembentuknya masih tampak dalam kebudayaan baru
tersebut. Dengan demikian berarti bahwa kebudayaan baru yang
terbentuk tidak “melumat” semua unsur budaya
pembentuknya.Apabila akulturasi menjadi strategi integrasi yang
diterapkan oleh pemerintah, berarti negara mengupayakan adanya
identitas budaya bersama namun tidak menghilangkan seluruh unsur
budaya kelompok atau budaya lokal. Dengan demikian tampak bahwa
upaya mewujudkan integrasi nasional dilakukan dengan tetap
menghargai unsur-unsur budaya kelompok atau budaya lokal,
walaupun penghargaan tersebut dalam kadar yang tidak terlalu besar.
Jika ditinjau dari sudut padang demokrasi, cara ini dapat dikatakan
cukup demokratis dalam mewujudkan integrasi nasional.
c. Strategi Pluralis
Paham pluralis adalah paham yang menghargai adanya perbedaan
dalam masyarakat.Paham pluralis pada dasarnya memberikan
kesempatan kepada seluruh unsur kebudayaan untuk tetap eksis.
Dengan strategi pluralis, diharapkan masyarakat dapat memiliki
pandangan multikulturalisme dan kesadaran bahwa setiap kebudayaan
memiliki kedudukan dan nilai yang sama sehingga seluruhnya berhak
memiliki kesempatan utnuk berkembang.
5. Mewujudkan Integrasi Nasional Indonesia
Salah satu persoalan yang dialami oleh negara-negara berkembang
termasuk Indonesia dalam mewujudkan integrasi nasional adalah masalah
primordialisme yang masih sangat kuat.Di mana hal tersebut menjadi
salah satu penyebab sulitnya mewujudkan integrasi nasional di

12
Indonesia.Namun demikian harus tetap diyakini bahwa nasionalisme
sebagai karakter bangsa jelas diperlukan pada era kemerdekaan sebagai
kekuatan untuk menjaga eksistensi, sekaligus mewujudkan taraf peradaban
yang luhur, kekuatan yang tangguh, dan terciptanya negara-bangsa yang
besar.Nasionalisme sebagai karakter bangsa semakin diperlukan dalam
menjaga harkat dan martabat Indonesia di era globalisasi.
Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang diwarnai oleh berbagai
keanekaragaman, harus disadari bahwa masyarakat Indonesia menyimpan
potensi konflik yang sangat besar.Sejak awal berdirinya negara Indonesia,
para pendiri negara menghendaki persatuan di negara ini diwujudkan
dengan menghargai terdapatnya perbedaan di dalamnya.Artinya bahwa
upaya mewujudkan integrasi nasional Indonesia dilakukan dengan tetap
memberi kesempatan kepada unsur-unsur perbedaan yang ada untuk dapat
tumbuh dan berkembang secara bersama-sama. Proses pengesahan
Pembukaan UUD 1945 oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang
bahannya diambil dari Naskah Piagam Jakarta, dan di dalamnya terdapat
rumusan dasar-dasar negara Pancasila, menunjukkan pada kita betapa
tokoh-tokoh pendiri negara pada waktu itu menghargai perbedaan-
perbedaan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Para
pendiri negara rela mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang ada
demi membangun sebuah negara yang dapat melindungi seluruh rakyat
Indonesia.Sejalan dengan itu dipakailah semboyan Bhinneka Tunggal Ika,
yang artinya walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu adanya.Dengan
semboyan Bhineka Tunggal Ika tersebut segala perbedaan dalam
masyarakat ditanggapi bukan sebagai keadaan yang menghambat
persatuan dan kesatuan bangsa, melainkan sebagai kekayaan budaya yang
dapat dijadikan sumber pengayaan kebudayaan nasional kita.
Untuk mewujudkan masyarakat yang menggambarkan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika, sangat diperlukan pandangan atau wawasan
multikulturalisme. Multikulturalisme adalah pandangan di mana setiap
kebudayaan memiliki nilai dan kedudukan yang sama dengan kebudayaan
lain, sehingga setiap kebudayaan berhak mendapatkan tempat

13
sebagaimana kebudayaan lainnya. Perwujudan dari multikulturalisme
adalah kesediaan orang-orang dari kebudayaan yang beragam untuk hidup
berdampingan secara damai.Di sini diperlukan sikap hidup yang
memandang perbedaan di antara anggota masyarakat sebagai hal yang
wajar dan tidak menjadikan perbedaan tersebut sebagai alasan untuk selalu
berkonflik. Di samping itu perlu memandang kebudayaan orang lain dari
perspektif pemilik kebudayaan yang bersangkutan, dan bukan memandang
kebudayaan orang lain dari perspektif dirinya sendiri. Oleh karena itu
multikulturalisme menekankan pentingnya belajar tentang kebudayaan-
kebudayaan lain dan mencoba memahaminya secara penuh dan empatik
sehingga dapat menghargai kebudayaan-kebudayaan lain di samping
kebudayaannya sendiri. Dari hal tersebut Indonesia akan lebih mudah
mewujudkan integrasi nasional demi terbentuknya masyarakat yang damai
dan tentram.
B. Pembahasan
Untuk memudahkan pembahasan dan mempersempit ruang lingkup
pembicaraan, maka penulis akan mengangkat salah satu topik yang cukup
populer, baik dalam tinjauan sejarah maupun praktik kekinian. Topik tersebut
yakni keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia berkaitan dengan "Kerusuhan
Mei 1998, Harga Yang Harus Dibayar Oleh Etnis Tionghoa" dan praktik
kekinian yang tampak pada kisruhnya rentetan acara pemilihan gubernur DKI
Jakarta tahun 2017 dimana salah satu calon gubernur merupakan etnis
Tionghoa.
Jika kita menengok sejarah dan berbicara mengenai peristiwa disintegrasi
dalam konteks kesukuan, kita tentu dapat melihat representasi yang jelas pada
peristiwa dibalik kerusuhan Mei 1998.Kerusuhan Mei 1998 tepatnya terjadi
pada 13-15 Mei 1998 di Jakarta.Pemicunya diduga akibat dua hal, pertama,
penembakan terhadap empat akivis mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998.
Kedua, krisis finansial asia sehingga menimbulkan kritik bagi pemerintah orde
baru. Namun, dibalik cerita agungnya reformasi Indonesia, tersimpan kisah
kelam bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Mungkin, pribahasa “Gajah sama
bejuang, pelanduk mati di tengah-tengah” adalah ibarat yang tepat untuk

14
menggambar,an kondisi etnis Tionghoa sebagai “Tumbal Reformasi”. Etnis
Tionghoa yang sejatinya tidak tahu menahu dan tidak peduli dengan aksi
demo mahasiswa bahkan tidak mengerti siapa yang mengkudeta siapa
akhirnya menjadi korban. Pada Mei 1998, terjadi penganiayaan, pemerkosaan,
pembakaran rumah dan toko dari Etnis Tionghoa.
Apabila kita tarik jauh maka kita akan sampai pada fakta bahwa
pemerintah pada zaman itu seolah pasrah melihat rakyatnya dizolimi. Akibat
kasus ini banyak negara mengecam keras pemerintah Indonesia yang dianggap
gagal dalam melindungi warga negaranya.Beberapa negara yang menunjukkan
aksi simpatik antara lain, Singapura, Amerika, Taiwan, dan Malaysia.
Sayangnya pada waktu itu, pemerintah komunis Tiongkok tidak mengambil
sikap apapun dan malaj bertindak acuh dengan alasan bahwa yang
bersangkutan bukan warga negaranya.
Hingga sekarang masih banyak pertanyaan seputar tragedi Mei 1998 yang
menjadi misteri dan dapat kembali dipertanyakan sebagai who and why.Who
atau siapa, yakni siapa dalang yang menggerakkan massa (provokasi) yang
akhirnya menyebabkan kerusuhan Mei 1998? Why atau mengapa, mengapa
seolah-olah terjadi pembiaran oleh pemerintah terhadap kasus penganiayaan,
pemerkosaan dan pelecehan pada waktu itu?
Jawabannya sampai saat ini masih belum bisa ditentukan. Yang pasti
dalam catatan sejarah bangsa Indonesia saat ini, kerusuhan Mei 1998 semata-
mata adalah untuk menggulingkan 32 tahun kekuasaan orde baru dan untuk
memperoleh era reformasi seperti yang kita nikmati hari ini yang
latarbelakangi oleh krisis moneter asia pada saat itu.
Setelah 16 tahun berlalu, yakni pada tahun 2014, Jakarta akhirnya
dipimpin oleh perwakilan etnis minoritas yang pada suatu masa pernah
menjadi “korban”.Tetapi sepertinya titik terang ini bukannya tanpa
gangguan.Pada rentetan pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2017 terjadi
banyak konflik yang berkaitan dengan SARA.Beredar rumor bahwa
masyarakat ibukota tidak terima jika mereka memiliki pemimpin yang berasal
dari etnis yang berbeda.Kasus inipun berbuntut panjang dan merembet pada
kasus-kasus lain seperti Sengketa Tanah Rumah Sakit Sumber Waras ataupun

15
“perang” di media sosial antara salah seorang calon gubernur dengan beberapa
tokoh tanah air.
Akhirnya, penyelesaian dari masalah ini adalah milik masyarakat
sendiri.Masyarakat lah yang bisa menilai kebenaran dan pada akhirnya
memilih.Seperti hal nya integrasi bangsa, sejatinya ditentukan oleh
masyarakat, karena masyarakat yang menjalankan, memiliki pemikiran dan
menerima. Multikulturalisme adalah paham mutlak di Indonesia, sudah
sepantasnya paham kebhinekaan dan toleransi ditanamkan sejak dini tidak
hanya kepada anak-anak bangsa tapi juga seluruh masyarakat yang senantiasa
membawa nama besar bangsa ini.

16
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat
menyimpulkan beberapa hal, yaitu:
1. Masalah integrasi nasional merupakan persoalan yang dialami hampir
semua negara, terutama negara-negara yang usianya masih relatif muda.
Hal ini disebabkan karena mendirikan negara berarti menyatukan orang-
orang dengan segala perbedaan menjadi satu entitas kebangsaan baru yang
menyertai berdirinya negara tersebut.
2. Integrasi nasional adalah upaya menyatukan seluruh unsur suatu bangsa
dengan pemerintah dan wilayahnya (Saafroedin Bahar, 1998).
Mengintegrasikan berarti membuat untuk atau menyempurnakan dengan
jalan menyatukan unsur-unsur yang semula terpisah-pisah.
3. Potensi konflik di Indonesia berkaitan dengan konflik vertikal dan
horizontal yang dipicu utamanya oleh multikulturalisme.
4. Strategi pemecahan konflik yang dapat diterapkan meliputi strategi
Alukturasi, Asimilasi dan Pluralis.
B. Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan berdasarkan permasalahan yang telah
dijabarkan adalah:
1. Integrasi Nasional diharapkan dapat ditingkatkan oleh kaum muda, karena
dengan adanya gerakan integrasi nasional, bangsa Indonesia dapat menjadi
bangsa yang lebih baik dan bersatu.
2. Multikulturalisme merupakan hal yang mutlak di Indonesia, sehingga
semua warga negara harus dapat menerima dan menjujung perbedaan
sebagai sebuah kekayaan bukan halangan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Kaelan; Zubaidi, Achmad, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan


Tinggi berdasar SK Dirjen Dikti No 43/DIKTI/KEP/2006, Paradigma,
Yogyakarta.
Kaelan, MS, Penerbit Paradigma, Yogyakarta, Edisi Pertama, 2012.
Bagir, Zainal Abidin, 2011, Pluralisme Kewargaan, Arah Baru Politik
Keragaman di Indonesia, Mizan dan CRCS, Bandung-Yogyakarta.
http://www.tionghoa.info/kerusuhan-mei-1998-harga-yang-harus-dibayar-oleh-
etnis-tionghoa/
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/05/20/058772617/peringatan-darurat-
militer-aceh-aktivis-ingatkan-kasus-ham
http://www.kompasiana.com/yntwlndr/problematika-integrasi-nasional-dan-
masyarakat-adat-di-indonesia_5620363534937380048b4567

18
LAMPIRAN
Kerusuhan Mei 1998, Harga Yang Harus Dibayar Oleh Etnis Tionghoa

Di bulan Mei ini adalah hari-hari bersejarah yang kelam bagi


etnis TIONGHOA di Indonesia akibat kasusKERUSUHAN 13-15 Mei 1998 di
Jakarta. Seperti yang kita ketahui bersama, etnis Tionghoa menjadi korban
utama kekerasan yang terjadi pada peristiwa itu, dimana ketika rumah, toko,
perusahaan dan aset milik kaum Tionghoa dibakar dan isinya dijarah; termasuk
pemerkosaan, penganiayaan dan pelecehan terhadap ratusan wanita etnis
Tionghoa kala itu. Seperti dikutip dari situs Wikipedia dan berbagai media
blog/website referensi lain, disimpulkan bahwa Kerusuhan yang terjadi pada Mei
1998 terjadi awalnya karena :
1. Penembakan terhadap para aktivis mahasiswa Trisakti pada 12 Mei
1998 yang mengakibatkan 4 mahasiswa tewas dan puluhan lainnya mengalami
luka-luka akibat melakukan aksi demo Krisis Moneter di Indonesia.
2. Krisis Finansial Asia sehingga menimbulkan kritik kepada pemerintahan
waktu itu (Orde Baru).
Namun ternyata yang paling dirugikan dari rentetan peristiwa ini sebenarnya
adalah etnis Tionghoa yang sejatinya tidak tahu menahu, bahkan tidak mau ambil
pusing soal aksi demo para mahasiswa ini (yang bermaksud untuk menggoyang
pemerintahan pada waktu itu).Etnis Tionghoa juga sebenarnya tidak mau pusing
siapa yang mengkudeta siapa, atau siapa yang mengerahkan pasukan, dsb.Yang
kita tahu kita hanya ingin hidup aman dan tentram di Negeri ini; tetapi faktanya
justru kita yang “dikorbankan” sebagai tumbal reformasi?Ibarat
pribahasa “Gajah sama gajah berjuang, pelanduk mati di tengah-tengah”.Ya,
etnis Tionghoa pada waktu itu benar-benar menjadi korban kerusuhan; dimana
yang seharusnya “berperang” adalah rakyat sipil (diwakili mahasiswa, juga
sebagian provokator*) dan negara (diwakili aparat keamanan), tapi akhirnya
menjadi bias.
Jika ditarik lebih jauh lagi maka sedikit banyak akan menyinggung 2 tokoh elite
politik yang saat ini masih aktif dalam dunia perpolitikan; dimana pada waktu itu
masing-masing memegang posisi tertinggi dalam jajaran militer (memegang
tongkat komando tentara). Anehnya sebagai aparat keamanan (apalagi tentara

19
yang harusnya lebih keras), mereka seperti terlihat melongo dan pasrah saja
melihat rakyatnya di zolimi seperti itu, serta hanya sibuk mengawal gedung
DPR/MPR. Sampai saat ini, beberapa pertanyaan seputar tragedi kerusuhan Mei
1998 masih menjadi misteri, diantaranya adalah :

1. Kemana aparat keamanan militer pada waktu kerusuhan itu (menurut sumber,
kerusuhan yang terjadi selama 30 jam, polisi dan tentara sempat menghilang di
sejumlah daerah) ?
2. Mengapa sampai terjadi pembiaran (penjarahan dan pembakaran rumah,toko
dan perusahaan milik etnis Tionghoa, serta yang paling parah adalah
pemerkosaan, penganiayaan dan pelecehan terhadap wanita etnis Tionghoa
(disertai pengrusakan alat kelamin dan bagian tubuh lainnya, dimutilasi, bahkan
dibakar hidup-hidup), yang mengakibatkan gangguan psikis (gangguan kejiwaan)
yang sangat luar biasa bagi para korban hingga saat ini; bahkan banyak yang
berujung pada aksi bunuh diri atas rasa keputus asaan?
3. Siapa yang menggerakkan massa (melakukan provokasi) yang menyebabkan
kerusuhan SERENTAK di beberapa kota besar Indonesia (diantaranya Jakarta,
Surabaya, Bandung, Medan, dsb) ?

Tampak seorang pendemo kerusuhan Mei 1998


Akibat kasus ini, banyak Negara yang pada waktu itu ikut mengecam
keras Pemerintahan Indonesia yang dianggap gagal dalam melindungi warga
negaranya, diantaranya negara Singapura, Taiwan, Amerika Serikat, Malaysia
dan Thailand. Berikut beberapa aksi simpatik Negara-Negara tersebut :
1. Pemerintah Singapura >> Menyatakan Bandara Internasional Changi terbuka
1×24 jam dan sewaktu-waktu siap menerima kedatangan korban kerusuhan.
2. Pemerintah Taiwan >> Menyampaikan protes keras kepada pemerintah
Indonesia, bersamaan dengan itu mengirim pesawat penumpang untuk
mengangkut para korban kerusuhan.
3. Pemerintah Amerika >> Mengizinkan “permohonan perlindungan” para korban
keturunan Tionghoa, bersamaan itu mengirim kapal perangnya ke Indonesia untuk

20
mengangkut sejumlah besar korban kerusuhan.
4. Pemerintah Malaysia >> Meminta Komite HAM PBB menyelidiki peristiwa
pembunuhan dan pemerkosaan bergilir ditengah kerusuhan yang dialami oleh
kaum perempuan keturunan Tionghoa di Indonesia, serta menyerahkan hasil
penyelidikan kepada Pengadilan Kejahatan Internasional untuk diadili.

Tetapi sungguh ironis, Pemerintah komunis Republik Rakyat


Tiongkok (China) malah mengambil sikap tidak melaporkan, tidak mengecam
dan tidak mencampuri segala urusan dalam negeri Indonesia. Menurut pemerintah
China pada saat itu mengatakan, orang Tionghoa di Indonesia telah menjadi
Warga Negara Indonesia, maka apa yang terjadi di Indonesia segalanya adalah
urusan dalam negeri Indonesia. Padahal jika dilihat dari sisi keterikatan emosional
dan kedekatan suku bangsa, Negara China lah yang seharusnya menjadi pembela
nomor satu.
Atas terjadinya peristiwa tersebut, pemerintah Indonesia yang hanya atas desakan
Negara-Negara sahabat akhirnya membentuk Tim Gabungan Pencari
Fakta (disingkat TGPF) yang dibentuk sebagai tim penyelidik untuk mengusut
kasus Kerusuhan Mei 1998. Meski begitu, kelanjutan dari kasus ini, seperti siapa
oknum-oknum yang harus bertanggung jawab atas kerusuhan Mei 1998 ini masih
belum diungkap. Pemerintah selama belasan tahun ini tampaknya tidak pernah
serius dalam menindaklanjuti dengan proses hukum soal laporan investigasi dari
TPGF (menurut informasi kasus ini sudah sampai tingkat Kejaksaan Agung tapi
seperti dipeti es kan), dimana dalam laporannya, ternyata terdapat lebih dari 1800
orang tewas selama kekacauan selang tanggal 13-15 Mei 1998! Hal ini jelas bisa
memunculkan spekulasi publik bahwa ini adalah bentuk Operasi
Militer terselubung pemerintah kala itu*.Maka itu pemerintah enggan untuk
memperpanjang masalah ini.
Setelah 16 tahun berlalu, akhirnya Jakarta dipimpin oleh perwakilan etnis
minoritas yang pada waktu itu “dizolimi” oleh etnis mayoritas pribumi, dijadikan
tumbal politik demi reformasi, etnis Tionghoa! Mungkin ini adalah takdir?Tidak
ada yang tahu.Semoga dengan ini bisa membuka langkah kedepannya bagi pihak
pengusut (korban) untuk mencari keadilan di negeri ini.

http://www.tionghoa.info/kerusuhan-mei-1998-harga-yang-harus-dibayar-oleh-
etnis-tionghoa/
Kenapa orang Bali di perantauan jadi sasaran?
Dua kerusuhan yang menimpa orang Bali perantauan (migran) dalam kurun waktu
empat bulan tentu mengundang perhatian. Ada apa dengan warga perantauan asal
Bali?
Kejadian pertama pada akhir Oktober 2012 di Lampung Selatan.Empat belas
orang meninggal akibat kerusuhan itu.Rumah-rumah penduduk Bali yang
bermukim di Desa Balinuraga dibakar, termasuk rumah ibadah.Tidak terhitung

21
kerugian material akibat kerusuhan yang kabarnya disulut persoalan sangat sepele
ini.
Hingga kini, tidak pernah ada kejelasan apa yang sesungguhnya menjadi
penyebab kerusuhan. Kita mungkin harus menunggu ada sebuah penelitian
mendalam dan serius mengapa terjadi konflik di daerah ini.Yang jelas, kerusuhan
ini diselesaikan dengan perdamaian.Namun, perdamaian ini terasa sumir.Pihak
penyerang maupun korban sepakat untuk tidak saling menuntut.Selain itu mereka
sepakat untuk ‘menjaga keamanan, ketertiban, kerukunan, keharmonisan,
kebersamaan, dan perdamaian antarsuku.’
Tentu kemarahan dan kepedihan tidak akan hilang begitu saja. Karenanya tidak
ada jaminan konflik serupa tidak akan berulang.
Kerusuhan sama berulang. Kali ini meledak di Sumbawa Besar antara penduduk
lokal etnis Semawa dengan penduduk perantauan asal Bali.Kabarnya, toko
Dinasti, sebuah toko lumayan besar untuk ukuran daerah setempat, dijarah.Hotel
Tambora yang berdampingan dengan Toko Dinasti juga dibakar.Beberapa
suratkabar memberitakan rumah-rumah milik orang Bali juga dibakar, toko-toko
dijarah, dan rumah ibadah dirusak.Tidak ada korban jiwa dalam kerusuhan ini.
Penyebabnya pun sepele.Ada dua orang menjalin cinta.Yang pria adalah polisi
dari Bali.Yang perempuan mahasiswi penduduk lokal.Kebetulan mereka
berboncengan dan kecelakaan.Keluarga perempuan curiga bahwa telah terjadi
pemerkosaan sebelumnya.Masyarakat pun panas.Mereka mengadili dengan
caranya sendiri.
Kerusuhan kali ini membangkitan ingatan akan kerusuhan di tahun 1980.
Penyebab kerusuhan ketika itu adalah perkelahian antara pemuda dari etnik
Semawa dengan pemuda Bali.Ada pula yang menyebutkan kerusuhan bermula
dari banyaknya kawin lari antara pemuda Bali dengan gadis etnik Semara.Ada
juga berita bahwa pemicunya adalah ditemukannya bungkusan berisi daging babi
di Mesjid.Tentu, mudah untuk mengaitkan daging babi dengan orang Bali.
Tetapi penyelidikan mendalam yang dilakukan kemudian menyatakan bahwa
kerusuhan itu karena politik lokal — persaingan untuk menjadi bupati.
Dua kerusuhan yang menimpa orang Bali perantauan dalam kurun waktu empat
bulan tentu menimbulkan pertanyaan. Ada apa dengan orang Bali perantauan?
Mengapa orang Bali yang menjadi sasaran?Bukankah orang Bali dikenal sebagai
peratau yang tidak agresif, yang low-profile?Kenapa mereka disasar?
Kalau pertanyaan ini diajukan kepada saya, terus terang, jawaban saya adalah,
“tidak tahu!” Akan tetapi pengalaman saya belajar dan meneliti kekerasan
komunal dan kekerasan atas nama agama selama ini mungkin bisa dipakai untuk
(paling tidak) membikin dugaan tentang apa yang terjadi.
Sasaran
Setiap kekerasan komunal pasti memiliki korban.Korban paling besar selalu
diderita oleh kelompok sasaran atau target kerusuhan. Namun, masalahnya:
masyarakat itu terdiri dari berbagai macam kelompok tetapi hanya kelompok
tertentu yang menjadi sasaran. Pertanyaannya kemudian: mengapa?

22
Untuk menjawabnya, mari kita tengok konstelasi demografis dan bagaimana
orang Bali perantauan dalam komposisi demografis di kedua daerah di mana
kerusuhan ini meletus.
Menurut Sensus Penduduk tahun 2000 (SP 2000), satu-satunya sensus yang
menyajikan data etnik, komunitas Bali perantauan di Lampung jumlahnya sangat
kecil. Dalam sensus terbuka, di mana setiap orang mengidentifikasikan etniknya,
mereka yang mengaku etnik Bali berjumlah hanya 79.612 orang (atau 0,1 persen)
dari 6,646,490 jiwa penduduk Provinsi Lampung.
Saya kira, sepuluh tahun kemudian, jumlah ini tidak berubah.Sekalipun jumlah
penduduk bertambah banyak, komposisinya biasanya relatif ajek. Penduduk
terbesar lampung adalah etnik Jawa (61 persen dari total penduduk) dan kedua
adalah Sunda (8,7 persen). Sementara penduduk ‘asli’ yakni orang Paminggir dan
Pepadun berjumlah masing-masing 6,4 persen dan 4,2 persen dari seluruh
populasi.
Di Kabupaten Lampung Selatan, konstelasinya tidak jauh berbeda. Menurut SP
2000, jumlah etnik Bali di sana hanya 11.937 jiwa (0,1 persen) dari jumlah total
penduduk kabupaten yang 1.132.995 orang itu. Penduduk terbesar di kabupaten
itu adalah orang Jawa (59,2 persen), disusul Sunda (13 persen), dan ketiga adalah
etnik Peminggir, penduduk asli yang berjumlah 10,3 persen dari total penduduk.
Bagaimana keadaan di Kabupaten Sumbawa?Konstelasinya tidak jauh berbeda.
Menurut SP 2000, jumlah etnik Bali disana hanya berjumlah 11.971 orang (2,7
persen) dari seluruh penduduk kabupaten yang saat itu berjumlah 444.116 jiwa.
Penduduk terbesar di kabupaten itu adalah etnik Semawa yang jumlahnya 67
persen dari total penduduk, kedua adalah orang Sasak (13,8 persen), disusul orang
Bugis (3,2 persen), dan orang Jawa (3,0 persen).
Setiap kekerasan komunal selalu mengemukakan isu ‘putera daerah (sons of soil)
melawan pendatang.’Namun, dalam banyak hal sulit untuk menentukan siapa
putera daerah dan siapa pendatang.Banyak orang dikategorikan pendatang
sesungguhnya lahir di dearah itu, tidak bisa berbicara bahasa etnik aslinya, dan
mungkin mengikuti kebudayaan setempat.Namun, mereka tetap berada dalam
kategori pendatang.
Di Lampung Selatan dan di Sumbawa, isu pendatang itu juga mengemuka.
Namun lagi-lagi persoalannya adalah: mengapa hanya pendatang tertentu?
Mengapa bukan pendatang yang lain? Mengapa pendatang Bali dan bukan Jawa,
Sunda, Bugis atau yang lain? Mengapa kerusuhan di Kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah antara tahun 1997-2001 yang menjadi sasaran adalah orang
Madura?Mengapa orang etnik Tionghoa banyak menjadi sasaran kerusuhan dan
kekerasan selama masa Orde Baru dan tidak lagi setelah masa reformasi?
Lagi-lagi di sini mekanisme politik bekerja.Sasaran kerusuhan selalu ditentukan
dengan kalkulasi cermat. Umumnya yang menjadi sasaran adalah etnik minoritas,
yang terlebih dahulu sudah memiliki bingkai prasangka (prejudices). Etnik
minoritas ini mungkin memiliki keunggulan ekonomi dibandingkan rata-rata
penduduk. Peranan mereka pada umumnya sebagai mata rantai terkecil dari pasar
jual beli: sebagai pengecer, sebagai agen transportasi, sebagai pengumpul

23
produksi yang akan dijual kepada agen, dan sebagainya. Mereka menjadi
penghubung terendah dalam struktur ekonomi.Ini yang menyebabkan mereka
berhubungan langsung dengan rakyat setempat tetapi tidak pernah menjadi bagian
daripadanya.
Dari sisi golongan minoritas ekonomi ini juga ada kepentingan untuk memelihara
jaringan pasar hanya di dalam lingkup kelompok etnik mereka sendiri.Ini karena
persoalan kepercayaan (trust) yang pada akhirnya juga menyangkut akses
terhadap kredit dan modal (capital). Orang Bali yang menjadi pedagang hasil
bumi di Lampung, misalnya, berhubungan satu sama lain dengan orang Bali
karena mereka bisa saling meminjamkan duit dan ada kepercayaan bahwa
pinjaman ini akan dikembalikan.
Ini adalah hal yang sangat logis.Di mana-mana ekonomi pasar bekerja atas dasar
kepercayaan (trust). Bank memberikan pinjaman karena percaya bahwa
nasabahnya akan mampu mengembalikan. Hanya saja, jika bank melakukannya
dengan ‘analisis risiko,’ dalam kegiatan ekonomi yang lebih sederhana ini
dilakukan dengan hubungan kekeluargaan dan kelompok etniknya.
Selain itu, golongan yang menjadi sasaran selalu golongan paling rentan dalam
konteks politik lokal. Etnik Madura digambarkan sebagai etnik yang agresif, yang
mau melakukan apa saja untuk bisa berhasil, dan gemar akan kekerasan. Banyak
orang agresif dan melakukan apa saja serta gemar akan kekerasan tetapi tidak
menjadi sasaran kerusuhan. Karena apa? Karena mereka bukan sasaran dan tidak
pernah didefinisikan sebagai sasaran.
Di Lampung juga saya dengar ada prasangka-prasangka terhadap orang Bali
perantuan.Orang Bali sukses menguasai jalur transportasi dan ekonomi hasil
bumi.Mereka benar-benar menjadi mata rantai terendah dalam ekonomi
pasar.Akibatnya, mereka pun bersentuhan dengan rakyat biasa yang menghasilkan
produksi bahan mentah dan tergantung pada jasa mereka untuk
mentransportasikannya ke pasar yang lebih besar.
Sementara, di sisi yang lain, orang Bali perantauan di Lampung tidak memiliki
saluran untuk ikut berpartisipasi dalam politik lokal (sama seperti orang Madura
di Kalimantan sebelum kerusuhan). Akses mereka ke dalam politik bisa jadi
ditutup oleh elite lokal atau karena mereka sendiri tidak berminat.
Ketiadaan akses politik ini mempermudah mereka untuk menjadi sasaran
bilamana ada kefrustasian di tingkat bawah.
Dalam hal ini, orang Bali perantauan mengalami nasib persis dengan etnik
Tionghoa pada masa Orde Baru.Etnik Tionghoa kerap menjadi sasaran kerusuhan
sosial.Namun, kerusuhan anti-Tionghoa itu menjadi sangat jarang pada masa
reformasi.Kini kita melihat kalangan etnik Tionghoa sangat aktif terlibat dalam
politik.Ini yang membikin golongan Tionghoa sulit untuk menjadi sasaran dan
kambing hitam dari kesulitan sosial.Masyarakat menyalahkan semua politisi,
partai politik, atau bahkan negara atas kesulitan ekonomi atau keresahan sosial.
Kini kita lebih sering mendengar ‘negara atau pemerintah yang gagal’ ketimbang
lemparan kesalahan pada etnik Tionghoa.

24
Dalam kerusuhan di Sumbawa tahun 1980, ada analisis bahwa kerusuhan akibat
kecemburuan sosial dari etnik Semawa karena orang Bali menduduki jabatan-
jabatan penting di birokrasi pemerintahan dan BUMN.Orang-orang Bali ini di-
drop dari pemerintah pusat.Menurut saya, analisis macam ini tidak tepat. Karena
mungkin banyak juga orang-orang dari suku lain menjadi dominan dalam
pemerintahan tetapi tidak ada masalah. Misalnya, mengapa jika jabatan itu
dipegang oleh orang Jawa, tidak akan pernah ada masalah?
Analisis kecemburuan sama sekali mengabaikan faktor-faktor politik yang kuat
bekerja dalam setiap kerusuhan. Seperti saya sebutkan di atas, target atau sasaran
kerusuhan dirumuskan dengan kalkulasi cermat.Umumnya ditujukan kepada etnik
minoritas yang tidak memiliki perlindungan politik.
Akibatnya, dalam banyak kasus kita melihat bahwa korban kerusuhan masih
selalu menanggung beban paling berat. Mereka tidak pernah mendapatkan
keadilan atas jiwa yang hilang, tidak ada ganti rugi apapun atas barang milik
mereka yang rusak atau dibakar, mereka harus menandatangani ‘perdamaian’ di
mana mereka seringkali tidak diikutsertakan dalam perumusannya. Sistem hukum
tidak mampu menjangkau para perusuh, yang menjarah, merusak, membakar, dan
bahkan membunuh karena orang-orang ini terlindungi secara politik.
Sisi politik ini juga membikin kita paham mengapa aparat keamanan yang
bersenjata lengkap sering kali berdiam diri dan membiarkan terjadinya
kerusuhan.Aparat keamanan tidak kebal dari situasi sosial dan politik
sekelilingnya.Polisi atau tentara tahu persis bahwa mereka berhadapan dengan
sebuah kekuatan politik.
Partisipasi
Saya sudah menunjukkan bahwa kerusuhan sosial dan kekerasan komunal terjadi
karena faktor politik.Dalam banyak hal elite-elite politik lokal baik yang berkuasa
dan memerintah atau yang sedang mencari kekuasaan dan di luar pemerintahan
turut terlibat. Pada akhirnya, kerusuhan dan kekerasan komunal hanya akan
mengabdi kepentingan dari elite politik.
Ini terlihat tidak saja dalam berbagai kerusuhan dan kekerasan komunal di banyak
negara tetapi juga di Indonesia.Mereka yang mampu menggerakkan massa-rakyat
dengan segera menjadi ‘tokoh masyarakat’ yang ditakuti.Sistem politik demokrasi
elektoral, seperti di India dan Indonesia, mengakui tokoh-tokoh masyarakat ini
karena sangat berperanan dalam memobilisasi suara.Tapi dalam iklim otoriter pun
sesungguhnya ‘tokoh masyarakat’ ini diperlukan.Para diktator dan penguasa-
penguasa otoriter membutuhkan mereka untuk mengontrol massa-rakyat.
Kemudian muncul persoalan lain: Jika kerusuhan sosial atau kekerasan komunal
menguntungkan para elite politik suatu kelompok komunal tertentu, mengapa
massa-rakyat mau mengikuti mereka? Mengapa massa-rakyat kadang mau
mengorbankan diri untuk ‘kepentingan kelompok’-nya padahal itu mungkin tidak
menguntungkan dia?
Di sini para elit juga berperan untuk membingkai (framing) keberadaan massa-
rakyat sebagai kelompok etnik. Ada beberapa cara yang mereka lakukan. Pertama
adalah dengan memompa kebanggaan sebagai kelompok (pride

25
factor).Kebanggaan sebagai sebuah kelompok etnik.Mungkin juga dilengkapi
dengan kisah sejarah jaman keemaasan, kebanggaan terhadap bahasa dan sastra,
kebanggaan terhadap warisan budaya, dan sebagainya.Setelah reformasi
Indonesia, kebanggaan ini semakin mencolok karena kebangkitan kaum
aristokrasi.Raja-raja dinobatkan, gelar-gelar kembali dipasang, upacara kerajaan
dihidupkan kembali, dewan-dewan adat dibentuk. Bahkan, seperti di Bali, tiba-
tiba ada Raja muncul sekalipun dia tidak memiliki rakyat dan wilayah. Hingga di
sini, pemompaan kebanggaan kelompok sebenarnya adalah sesuatu yang normal
dan sah-sah saja.
Cara kedua adalah dengan menyebarkan ketakutan dan melakukan demonisasi
(penggambaran sebagai pihak yang jahat) kelompok etnik sasaran.Penyebaran
ketakutan ini biasanya berlangsung secara sistematis seperti penyebaran isu-isu
menyesatkan.Penyebaran ketakutan bertujuan untuk memperkuat kelompok ke
dalam.Solidaritas di dalam kelompok pun terbangun dan siap dipergunakan untuk
kekerasan.
Biasanya ketakutan ini dibarengi dengan pembentukan milisi-milisi, laskar-laskar,
dan pasukan-pasukan yang akan membela kelompok etnis tersebut. Milisi atau
laskar-laskar ini kadang tidak terbentuk dengan segera.Ia bisa dibentuk pada saat
kerusuhan sebagai bagian mobilisasi ke dalam kelompok etnik.
Hal ketiga yang biasanya menjadi puncak dari meledaknya kekerasan komunal
adalah penciptaan kondisi psikologis bahwa kelompok penyerang adalah korban
(victimizing factor).Saya melihat ini sebagai faktor penting yang memungkinkan
orang bertindak melebihi batas-batas kemanusiaan.Kondisi psikologis bahwa ‘kita
adalah korban, kita selalu direndahkan, kita diremehkan, dan sebagainya’
membuat semua tindak kekerasan mendapatkan pembenaran (justification).
Perpaduan antara ketakutan bahwa kelompok lain akan menyerang dan perasaan
sebagai korban akan menciptakan kekejaman yang luar biasa. Peristiwa tahun
1965 di Indonesia atau pembantaian etnik Tutsi oleh etnik Hutu di Rwanda pada
tahun 1994 menunjukkan bekerjanya dua faktor ini. Juga kekerasan di Kalimantan
tahun 1997-2001 di mana orang menunjukkan memakan organ tubuh lawannya,
lahir dari pengkondisian secara psikologis bahwa mereka adalah korban dan
tindakan brutal itu bisa dijustifikasi.Faktor-faktor ini tampaknya juga terlihat
dalam kerusuhan di Lampung Selatan dan di Sumbawa.
Epilog
Tidak banyak disadari bahwa pada akhirnya, kerusuhan sosial atau kekerasan
komunal justru menciptakan ikatan ke dalam (kohesi internal) yang jauh lebih
kuat pada satu kelompok etnis dibandingkan dengan sebelum kerusuhan.Inilah
bagian yang paling disukai oleh para elite politik dari sebuah kelompok
etnis.Ikatan ke dalam yang lebih kuat berarti memberikan kekuasaan lebih besar
kepada elite tersebut untuk melakukan kontrol ke dalam kelompok etniknya.
Pada akhirnya ini akan memberikan bargaining power dan akses untuk kekuasaan
lebih besar. Dengan kata lain, dalam banyak kasus, kekerasan komunal
memberikan insentif kepada para politisi untuk mengulanginya. Di India, seperti
kata Paul Brass seorang pengamat kekerasan komunal terkemuka, kekerasan ini
dilakukan berulang-kali setiap menjelang Pemilu. Brass pun menyebut hal ini

26
sebagai ‘institutionalized riots system’ (sistem kerusuhan yang terlembaga).
Dalam sistem ini ada orang-orang yang menjadi ‘riots specialists’ (ahli membikin
kerusuhan) yang dipekerjakan oleh para politisi.
Di atas telah kita lihat bahwa kerusuhan sosial atau kekerasan komunal
diciptakan.Kita juga telah melihat peranan elite, peranan massa-rakyat dan
bagaimana kekerasan sosial berfungsi untuk menciptakan kohesi internal.Asumsi
saya adalah kerusuhan sosial tidak pernah dilakukan secara spontan.Kekerasan
dilakukan dengan kalkulasi matang, mengukur kekuatan, menentukan target, dan
menentukan kapan saat untuk meledakkannya.
Orang Bali perantauan menjadi sasaran bukan karena perasaan cemburu penduduk
lokal, atau karena mereka memiliki pengaruh di dalam pemerintahan (hal yang
kontradiktif – kalau mereka berpengaruh, tentu mereka punya kekuasaan untuk
mencegah terjadinya kekerasan terhadap komunitas mereka, bukan?).Sentimen
anti-Bali di perantauan terjadi karena mereka merupakan sasaran paling lemah,
tidak memiliki perlindungan dalam konstelasi politik lokal setempat.
Terakhir, saya tergoda untuk berefleksi.Adakah kemungkinan kerusuhan sosial
atau kekerasan komunal terjadi di Pulau Bali sendiri, di mana orang Bali
melakukan kekerasan terhadap kelompok etnik yang dikategorikan sebagai
‘pendatang yang merusak’?Kalau melihat dinamika politik Bali, dan melihat
semua persyaratan terjadinya kekerasan komunal, maka kita bisa menyimpulkan
bahwa semua bumbu-bumbu terjadinya kerusuhan sosial itu ada di Bali.
Tentu saja, Bali juga penuh dengan para politisi, baik sedang berkuasa atau
sedang mencari kekuasaan, yang siap mengeksploitasi semua kondisi masyarakat.
Tetapi, saya kira taruhan (stakes) di Bali untuk meledakkan kerusuhan sosial
sangat tinggi. Ekonomi Bali sangat tergantung pada pariwisata yang sangat peka
pada gejolak sosial.Itu mungkin bisa menjadi penahan tidak terjadinya kekerasan
komunal di Bali. Yang banyak terjadi adalah keroyokan pada level-level
komunitas kecil-kecil. Kekerasan sosial yang menyeluruh dengan target etnik
tertentu, mungkin bisa dibendung.
Namun, kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Sebagai orang Bali perantauan saya
hanya bisa berujar.

http://balebengong.net/kabar-anyar/2013/01/28/menelisik-sentimen-anti-bali-di-
perantauan.html

Problematika Integrasi Nasional dan Masyarakat Adat di Indonesia

Sejak awal abad ke-20, struktur masyarakat Indonesia yang masih ke sukuan
mulai tergugat karena munculnya ide nasionalisme dan integrasi dari sekelompok
elit Nusantara (Marzali, 2009).Wacana tentang perwujudan integrasi nasional di
Indonesia telah banyak dibahas dan dicanangkan oleh berbagai pihak termasuk

27
pemerintah dan institusi-institusi yang terkait.Perwujudan integrasi nasional ini
menjadi penting karena pada dasarnya, dalam pembangunan nasional dibutuhkan
gerak yang searah dari berbagai pihak dalam sebuah negara untuk mencapai
tujuan-tujuan yang mengarah mada kesejahteraan dan ketentraman
masyarakat.Masalah-masalah etnik yang masih banyak terjadi di Indonesia ini
menjadi tantangan dan ancaman tersendiri bagi terciptanya integrasi nasional
bangsa ini. Berdasarkan gambaran dari J.S Furnival (dalam Suparlan, 2005),
masyarakat majemuk Indonesia cenderung tidak menjadi satu dan tidak merasa
satu, mereka memiliki tradisi kultural sendiri dan memiliki interaksi yang sangat
terbatas dengan kelompok suku lain. Lalu apakah ini hanya di diamkan saja? Pada
dasarnya, perbedaan budaya, cara pandang, dan adat istiadat harus disinergikan
satu sama lain, membangun rasa kebersamaan dalam suatu wilayah, dengan
melepaskan simbol-simbol primordial dari komunitas adat, agar tercapai sebuah
integrasi nasional yang telah dicita-citakan sejak Indonesia belum merdeka.
sebagai konflik horizontal yang aktor utamanya adalah suku-suku yang saling
mempertahankan kepentingannya, nilai, norma, maupun adat budaya etnisnya.
Masalah ini memang tidak dapat dihindari, seperti yang diugkapkan Dahendrof
(dalam Suparlan 2005) bahwa konflik merupakan suatu yang endemik dan selalu
ada dalam kehidupan manusia bermasyarakat.Terdapat banyak sekali konflik
antar suku atau antar komunitas adat yang terjadi di Indonesia.Disini saya
menuliskan dua kasus yang cukup terkenal.Yang pertama adalah kasus yang
terjadi di daerah Sambas, Kalimantan Barat pada tahun 1999, yaitu konflik antara
suku Melayu (Sambas) dengan suku Madura. Konflik ini menyebabkan sekitar
1800 tempat tinggal hancur, banyak nyawa melayang dan kerugian materi atau
infrastruktur yang tidak terhitung, bahkan konflik ini menyebabkan suku Madura
terusir dari wilayah tersebut. Kedua adalah kasus konflik antar etnis yang sering
terjadi di Provinsi Lampung.Karena pada dasarnya, Provinsi Lampung merupakan
daerah tujuan transmigrasi sehingga tidak mengherankan bahwa di wilayah ini
sering terjadi konflik antar etnis. Koflik antar suku yang paling tertanam dan
masih teringat hingga sekarang adalah konflik yang terjadi antara suku Bali
Nuraga dengan etnis Lampung asli di daerah Kalianda Kabupaten Lampung
Selatan pada 27 Oktober 2012 sampai dengan 29 Oktober 2012. Dari pemetaan
Kepolisian Daerah (Polda) Lampung, ada 112 titik potensi konflik di Lampung
sejak 2012 hingga sekarang, 68 di antaranya terdapat dalam bidang politik,
ekonomi, sosial, dan budaya. Dijabarkan bahwa terdapat 18 potensi konflik suku,
agama, ras, dan antargolongan (SARA), 22 potensi konflik sumber daya alam
(SDA), dan 4 potensi konflik terkait batas wilayah (Lampungpost.co). Konflik
antar suku yang berlarut-larut merupakan suatu pelanggaran HAM dan merupakan
bencana bagi negara.Hal ini merupakan salah ancaman bagi terciptanya integrasi
nasional di Indonesia. Mengapa hal ini menjadi ancaman?. Pertama-tama kita
harus memahami, apa makna dari integrasi itu sendiri. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, “integrasi” bermakna sebagai pembauran hingga menjadi
kesatuan. Kata “kesatuan” mengisyaratkan berbagai macam elemen yang berbeda
satu sama lain mengalami proses pembauran. Jika pembaruan telah mencapai

28
suatu perhimpunan, maka gejala perubahan ini dinamai integrasi. Dalam
sosiologi, integrasi sosial berarti proses penyesuaian unsur-unsur yang saling
berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan
masyarakat yang memiliki keserasian fungsi. Dengan demikian, ada dua unsur
pokok integrasi sosial.Unsur pertama adalah pembauran atau penyesuaian,
sedangkan unsur kedua adalah unsur fungsional. Jika kemajemukan sosial gagal
mencapai pembauran atau penyesuaian satu sama lain, maka kemajemukan sosial
berarti disentegrasi sosial (Hendry, 2003). Dapat diketahui bahwa konflik ini pada
dasarnya menjadi penghalang yang nyata bagi terciptanya integrasi nasional pada
masyarakat Indonesia.Bagaimana bisa terjadi pembauran apabila keragaman yang
ada masih dianggap sebagai perbedaan yang dapat sewaktu-waktu menimbulkan
konflik. Perlu adanya kesadaran sikap dan jiwa yang positif dari berbagai pihak
yang terkait dalam pengembangan proses integrasi ini. Menanggapi, Mencegah,
Dan Menyelesaikan Masalah Komunitas Adat Dan Integrasi Nasional : Langkah
Konstruktif Berbagai Pihak Terkait Sebelum membahas mengenai masalah
integrasi nasional, maka harus mengupas terlebih dahulu hal yang mendasari
mengapa integrasi nasional di Indonesia itu sulit untuk tercapai. Banyaknya
konflik antar etnis menyebabkan berbagai dampak yang menghalangi tercapainya
integrasi nasional di Indonesia.Dimulai dari bagaimana setiap etnis yang ada di
Indonesia dapat menyikapi segala problema yang terjadi di lingkungan
mereka.Dengan segala perbedaan yang ada sudah semestinya setiap individu yang
tinggal di negara multietnis mampu berfikir dan bertindak secara bijak dalam
menyikapi segala isu yang ada, menjunjung tinggi toleransi dan musyawarah,
ditambah dengan memanfaatkan kearifan lokal budaya mereka untuk
menyelesaikan segala permasalahan. Kemudian, kita juga harus memahami bahwa
arah integrasi nasional yang diharapkan bukanlah penyatuan berbagai budaya dan
identitas ke dalam satu kultur dan budaya baru, yang menghilangkan budaya
aslinya. Tetapi pada dasarnya integrasi yang diharapkan adalah upaya
membangun rasa kebersamaan dalam suatu wilayah, dengan melepaskan simbol-
simbol primordial dari komunitas adat.Maka dari itu, sudah semestinya integrasi
yang dibangun harus berdasarkan pada kelompok-kelompok etnis atau adat yang
terlibat, bukan desain kelompok ataupun penguasa.Masyarakat harus bersama-
sama membangun kekuatan dan perekat diantara mereka.Nilai-nilai yang menjadi
kekuatan dari jntegrasi ini harus mulai disosialisasikan sejak kecil, internalisasi
nilai-nilai dasar ini sudah harus terbentuk dalam keluarga sejak dini.Penguatan
integrasi sosial kemudian harus diperkuat dalam konteks yang lebih menyentuh
pada kekuasaan, yang kemudian lebih popular dengan integrasi politik.Adanya
hubungan yang baik dengan masyarakat dengan elit politik, yang kemudian bisa
terintegrasi dengan berbagai kebijakan yang menguatkan harmonisasi sosial.
Dalam membangun integrasi sosial yang kuat di tengah masyarakat maka paling
tidak harus didekati dua pendekatan yang mendasar, yakni: faktor struktural dan
kultural (Utami, 2000). Faktor struktural mencakup peran pemerintah dalam
membangun kondisi kehidupan masyarakat yang lebih baik, lebih harmonis dan
lebih memberikan keadilan kepada semua pihak.Tidak lupa memberikan akses
ekonomi, politik dan sosial budaya tanpa kecuali kepada seluruh masyarakat.

29
Sedangkan faktor kultural mencakup kesadaran masyarakat untuk saling
menghormati dan menghargai satu sama lainnya. Membangun sikap adaptasi
masyarakat pada kultur yang berbeda, agar bisa mengurangi ketegangan-
ketagangan yang timbul dalam kehidupan bersama. Pada dasarnya Indonesia
sudah memiliki serangkaian perangkat yang dapat mendukung terciptanya
integrasi nasional, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila, Kebijakan
Pemerintah, ditambah dengan kearifan lokal yang dimiliki setiap etnis yang ada di
Indonesia. Beriringan dengan hal itu, Indonesia juga memiliki berbagai masalah
terkait dengan isu etnis tersebut, contoh nyatanya adalah konflik antar etnis yang
sering terjadi di berbagai daerah dan berdampak bagi stabilitas nasional
Indonesia.Hal ini pula yang menjadikan Integrasi Nasional begitu sulit
diwujudkan di negara ini, ditandai dengan belum terciptanya rasa kebersamaan
dalam suatu wilayah, dengan melepaskan simbol-simbol primordial dari
komunitas adat. Dibutuhkan langkah nyata dari berbagai pihak untuk mengatasi
hal ini, diantaranya dengan berupaya dengan serius untuk mengatasi konflik antar
etnis yang terjadi di daerah, membendung segala hal yang dapat menjadi pemicu
konflik, mengedepankan toleransi dan penanaman nilai-nilai Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, dan pemerintah juga harus mampu menciptakan
kebijakan yang adil dari segi politik, ekonomi, sosial dan budaya, karena pada
dasarnya isu etnis ini merupakan hal yang sangat sensitif terutama di negara
multikultural seperti Indonesia ini. Selain itu, kearifan lokal yang dimiliki oleh
setiap etnis juga harus mampu berkembang dan di transformasikan menjadi nilai-
nilai yang bermanfaat bagi pembangunan karakter bangsa. Karena dengan
karakter bangsa yang kuat, akan membentuk suatu negara yang dapat
menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya, sesuai dengan tujuan negara Indonesia
yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

http://www.kompasiana.com/yntwlndr/problematika-integrasi-nasional-dan-
masyarakat-adat-di-indonesia_5620363534937380048b4567

30

Anda mungkin juga menyukai