Anda di halaman 1dari 11

4 Cara Penulisan Judul yang Benar

Rasibook Penerbit 3/19/2017 edit naskah menulis

Dalam menulis judul, baik itu judul buku atau pun judul bab pada buku tersebut,
kadang-kadang ada juga penulis yang belum mengetahui cara penulisan judul yang
benar:

Berikut cara penulisan judul yang benar:


1. Setiap kata pada judul diawali dengan huruf kapital atau huruf besar. Akan tetapi ada
pengecualian, silakan lihat poin berikutnya.

2. Gunakan huruf kecil semua pada kata yang sifatnya partikel, yaitu kata penghubung
(konjungsi), kata depan (preposisi), dan kata seruan perasaan (interjeksi)
Contohnya pada kata berikut: dari, ke, di, pun, pada, kepada, jika, maka, agar, supaya,
hingga, sebagai, terhadap, karena, yang, dll.

3. Gunakan huruf kapital di awal setiap kata ulang yang katanya sama.
Contohnya: Undang-Undang, Orang-Orang, Teman-Teman, dll.

4. Gunakan huruf kapital hanya di awal kata pertama pada kata ulang yang berubah
bunyi dan juga kata ulang berimbuhan.
Contoh kata ulang berubah bunyi: Sayur-mayur, Lauk-pauk, dll.
Contoh kata ulang berimbuhan: Terbirit-birit, Kejar-mengejar, Tergopoh-gopoh, Kejar-
mengejar, Berlari-lari, dll.

Lalu bagaimana contohnya untuk judul yang berupa kalimat?

Pelajari selengkapnya di Panduan Rahasia Edit Naskah

Masih banyak sekali ilmu yang perlu dipelajari dan juga dipraktekkan dalam mengedit
naskah.

Sekarang, ada Panduan yang berisi informasi tentang ilmu edit naskah dari mulai
pengetahuan dasar tentang edit naskah, pedoman eyd lengkap, kata baku dan tidak baku,
dan yang paling penting ada juga teknik rahasia edit naskah.

Di bagian teknik rahasia edit naskah berisi informasi tentang bagaimana mengedit naskah
dengan lebih cepat dan tepat.

Tentang panduan tersebut bisa dipelajari di www.editnaskah.com


Cara Penulisan Judul yang Benar Sesuai
dengan PUEBI
14 October 2017 Lisa

Apa saja yang diperlukan untuk membuat tulisan yang menarik? Sebagian dari kita mungkin
menjawab rangkaian narasi, pilihan diksi, alur penceritaan, bahkan kepadatan riset. Tetapi,
bagian yang tidak kalah penting adalah mencantumkan judul yang tepat. Ibarat sampul, judul
adalah rangkaian kalimat di bagian paling atas karya tulis kita, dan di sanalah pembaca bisa
mulai menilai mutu tulisan kita.

Judul yang tepat tidak hanya membutuhkan rangkaian kalimat yang unik, menarik, dan
kontekstual, tetapi juga rapi dan sesuai kaidah. Tata penulisan yang amburadul hanya akan
membuat calon pembaca merasa penulis tidak memiliki kredibilitas atau kemampuan yang
terpercaya, sehingga jangankan lanjut membaca, melirik lagi saja belum tentu berkenan.

Nah, agar terhindar dari kesalahan tersebut, simak penjelasan cara penulisan judul yang tepat
menurut Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) berikut:

1. Setiap Huruf di Awal Kata Ditulis Dengan Huruf Kapital

Ada beberapa ragam cara penulisan judul, di antaranya adalah menulis keseluruhan huruf dengan
huruf kapital (contoh: ANAK PERAWAN DI SARANG PENYAMUN). Cara itu tidak salah,
tetapi menimbang dari segi kerapian, banyak yang lebih memilih cara konvensional. Cara
penulisan judul yang benar adalah menulis setiap awal kata dengan huruf kapital, terutama huruf
pada kata paling depan (perhatikan: Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Ronggeng Dukuh Paruk).
Aturan ini berlaku untuk hampir semua jenis kata termasuk nama, tempat, sifat, keterangan.
Namun, ada beberapa pengecualian yang akan dijelaskan pada poin-poin berikut.

2. Gunakan Huruf Kecil untuk Preposisi, Konjungsi, dan Interjeksi

Yang dimaksud dengan preposisi adalah kata depan yang diikuti oleh kata lainnya. Dilihat dari
fungsinya, kata ini memiliki fungsi untuk menjelaskan dan memberikan kesinambungan antara
kata sebelum dan kata selanjutnya. Yang termasuk dalam preposisi adalah: di, ke, pada, dalam,
yaitu, kepada, daripada, untuk, bagi, ala, bak, tentang, mengenai, sebab, secara, terhadap, dst.

Contoh judul menggunakan preposisi:

1. Tips Memasak Daging ala Chef Juna


2. Surat dari Praha
3. Anak Perawan di Sarang Penyamun

Sedangkan konjungsi adalah nama lain dari kata sambung. Kata ini memiliki fungsi untuk
menghubungkan kata-kata, kalimat-kalimat, dan ungkapan-ungkapan dan tidak memiliki makna
khusus jika berdiri sendiri. Kata-kata yang termasuk konjungsi termasuk dan, atau, tetapi, ketika,
seandainya, supaya, pun, seperti, oleh, karena, sehingga, bahwa, kalau, untuk, kemudian.

Contoh konjungsi dalam suatu judul:

1. Si Jamin dan Si Johan


2. Dahulu Kaya, kemudian Miskin: Sebuah Antologi Kisah

Terakhir, interjeksi, adalah istilah lain untuk kata seru yang mengungkapkan isi hati dari si
pembicara. Kata ini relatif jarang ditemui pada judul karya-karya tulis serius, tetapi banyak
menjadi pilihan untuk narasi yang bersifat ekspresif. Contoh interjeksi adalah Alhamdulillah,
duh, ih, cih, yuk, wah, wow, amboi, ah, lho, dan lain-lain.

Perhatikan judul-judul berikut:

1. Gaya Busana Adik Alyssa Soebandono Ini Tidak Kalah dengan Kakaknya, lho!
2. Jalan-Jalan ke Maldives, yuk!

Meskipun demikian, ketiga jenis kata partikel tersebut harus tetap ditulis dengan huruf kapital
apabila letaknya di kata pertama sebuah judul, sesuai dengan kaidah awal. Kita bisa menjadikan
sejumlah karya besar sebagai contoh pengecualian ini, termasuk Dari Ave Maria sampai Jalan
Lain ke Roma, Kalau Tak Untung, atau judul-judul berita yang sering kita lihat seperti: Wow,
Lihat Nasib Artis Ini Sekarang!

3. Perhatikan Kaidah Huruf Kapital pada Kata Ulang

Terkadang, kita menemukan kata ulang pada judul yang akan kita gunakan. Untuk mengetahui
cara penulisannya, pertama-tama kita harus mengenali bentuk kata ulang tersebut. Pada dasarnya,
kata ulang bisa didefinisikan sebagai kata yang telah mengalami pengulangan (reduplikasi) pada
kata dasarnya. Kata ulang murni (dwilingga) dan kata ulang semu harus ditulis dengan huruf
kapital di setiap awal kata karena sifatnya yang bisa dibilang tidak mengalami perubahan apapun.
Seperti contoh-contoh berikut:

1. Pengalamanku Menyembelih Biri-Biri di Hari Raya Kurban


2. Hidup Si Kupu-Kupu Malam
3. Sayap-Sayap Kenangan
4. Kecil-Kecil Jadi Manten

Sedangkan bentuk kata ulang sebagian, kata ulang berimbuhan, kata ulang dwipurwa, dan kata
ulang perubahan—semua yang sederhananya sudah mengalami perubahan bentuk—hanya ditulis
kapital pada huruf pertama kata ulang. Seperti pada judul-judul berikut ini:

1. Kapolres Situbondo: Gerak-gerik Ibu Korban Mencurigakan


2. Berjalan-jalan di Kota Surabaya
3. Cerai-berai Negeriku

Secara umum, dalam membuat sebuah judul kita harus memerhatikan bentuk dan tata kalimat
untuk memutuskan mana saja kata yang harus kita beri huruf kapital. Ini penting untuk membuat
susunan kata yang elok dipandang dan terasa rapi, juga menarik. Nah, demikian paparan
mengenai cara penulisan judul yang baik menurut PUEBI. Sedehana, bukan? Selamat berkarya.
Cara Penulisan Judul

Cara penulisan judul

1.Judul ditulis dengan huruf kapital semua

EVALUASI PEMBELAJARAN SISWA SMA

2.Atau Huruf awal kata ditulis dengan huruf kapital kecuali

a.Kata depan

(di, ke, dari, pada, dalam, terhadap, dengan ,antara ke, kepada, akan, dan
terhadap,daripada,tentang ,mengenai,hingga,sampai,buat,guna,bagi,untuk,atas)

b.Kata penghubung

(dan,atau,tetapi,hanya,bahwa,agar,ketika,sebelum,sampai,hingga,sebagai,guna,untuk dll)

3.Kata ulang sempurna/utuh diawali dengan huruf kapital semua

Contoh Undang-Undang,Rumah-Rumah , Asas-Asas

4.kata ulang berimbuhan hanya huruf pertama yang menggunakan huruf capital

Menari-nari,Meminta-minta

5.Penulisan judul tidak diakhiri tanda titik

6.Kata depan/kata penghubung yang terletak diawal kalimat ditulis dengan huruf capital

Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma

Latihan

Tulislah judul berikut ini dengan benar!

1. buah unggulan di wilayah-wilayah indonesia

2. Industri rumah tangga dengan pemanfaatan teknologi canggih

3. peranan hukum dalam pembangunan ekonomi

4. hak azazi manusia untuk mendapatkan pendidikan bermutu

5. membandingkan Puisi Indonesia dan Puisi Terjemahan dalam Pembelajaran


6. meningkatkan minat baca cerpen bagi siswa MA di Jakarta

7. memanfaatkan tanaman lidah buaya sebagai obat luka bakar


Mengembalikan Muruah Radio
20 Desember, 2017 - 06:00

OPINI

Achmad Abdul Basith


Dosen Prodi Jurnalistik Fikom Unpad, Praktisi Radio Siaran di Jawa Barat

BARU-BARU ini masyarakat ibu kota dikejutkan dengan matinya seluruh siaran radio pukul
7.45 WIB, pada saat radio sedang banyak-banyaknya didengar (primetime). Sebagian besar
mengira sedang ada gangguan listrik yang menyebabkan radio-radio di Jakarta mati secara
bersamaan. Dalam kebingungan kurang lebih 15 menit itu, tiba-tiba terdengar suara “Emang
enak ga ada radio? Saya Joko Widodo, pendengar radio”. Oh, rupanya matinya radio-radio di
Jakarta secara serentak adalah program kampanye mendengarkan radio yang dimotori oleh
Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional (PRSSSNI) DKI Jakarta. Selain berhasil mengambil
perhatian warga ibu kota, acara ini juga berhasil membuat netizen di Indonesia bereaksi,
sehingga membuat tanda pagar #radioguemati menjadi tranding topic di media sosial twitter.

Radio siaran memang masih menjadi media yang nyatanya belum bisa digantikan oleh media
lain, televisi sekalipun. Memang, pendengar radio sempat turun ketika televisi baru muncul. Tapi
hari ini, angka pendengar radio terus naik. Di Bandung raya pendengar radio menurut survei
Nielsen mencapai 53%, artinya lebih dari setengah penduduk Kota Bandung, Kabupaten
Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Sumedang dan Cimahi tetap mendengarkan radio.

Sejak radio lahir, para ahli menerjemahkan karakteristik radio sebagai media auditif yang
personal dan dapat dinikmati sambil beraktivitas. Itu kekuatan utama radio, yang belum dapat
digantikan di tengah dunia digital yang semakin luar biasa ini. Saat beraktivitas seperti menyetir
mobil, memasak, berolah raga, bahkan berlajar pun radio mampu menjadi teman akrab yang
menemani tanpa mengganggu konsentrasi. Jika masing-masing media fokus pada kekuatan
utamanya, sesungguhnya tidak ada media yang saling mematikan. Maka, radio tidak perlu jadi
“ke tv-tv-an”. Jadilah radio, seperti sejatinya radio.

Perkuat fungsi

Sebagai media massa, radio siaran memiliki fungsi untuk menyampaikan informasi,
mendidik, menghibur, dan memengaruhi. Maka, jika hanya menjalankan fungsinya sebagai
media hiburan, dengan sekadar memutarkan musik, sesungguhnya radio telah kehilangan
marwahnya. Mengembalikan marwah radio, yaitu dengan menjadikan radio tak hanya media
hiburan, tetapi juga menjalankan fungsi lainnya untuk menyampaikan informasi. Kalau hanya
memutarkan musik, apa bedanya radio dengan MP3 player?

Perkembangan teknologi tak mungkin dilawan. Seperti halnya transportasi konvensional yang
dipaksa harus bersaing melawan transportasi online/ daring, radio siaran pun juga demikian.
Radio dihadapkan dengan berbagai layanan aplikasi pemutar musik seperti spotify, joox, guvera,
apple music, maupun media sosial. Apakah pengusaha radio, harus turun ke jalan demonstrasi
menolak kehadiran aplikasi-aplikasi tadi?

Radio harus “kembali” menjadi media massa dan menjalankan semua fungsi kemediaan. Karena
masyarakat perlu mendapatkan manfaat lebih dari frekwensi milik publik yang kini digunakan
oleh radio siaran. Seharusnya, radio siaran menempatkan siaran informasi menjadi bagian
penting. Tidak perlu menjadi radio berita untuk menyiarkan siaran informasi. Jika radio anak
muda, siarkan informasi sesuai dengan format siaran radio anak muda, dengan bahasa yang khas
anak muda. Jika radio siaran dangdut, siarkan informasi dengan cara radio dangdut.

Penagkal hoax

Dalam simpang siur informasi yang beredar di media sosial, media arus utama, termasuk radio
berfungsi sebagai validator pesan. Setelah masa euforia munculnya media sosial, kini secara
perlahan masyarakat kembali kepada radio, tv, dan koran, karena media-media inilah yang tidak
mungkin menyajikan berita hoax. Hal ini sesungguhnya jauh-jauh hari sudah diungkap oleh
Edelman Trust Barometer dalam penelitiannya pada 2012 bahwa “Media massa mainstream
menjadi validator informasi new media dan online”.

Keberadaan media sosial, telah disikapi dengan baik oleh pengelola radio siaran di Indonesia.
Media sosial dijadikan mitra untuk melayani audiens, bukan sebagai pesaing. Sudah banyak
stasiun radio yang memiliki media sosial dengan jumlah followers mencapai ratusan ribu atau
bahkan jutaan. Tentu ini adalah kabar menggembirakan. Tapi perlu diingat, jika radio hanya
sukses menambah follower di media sosial, namun gagal menambah pendengar siaran on air,
sesungguhnya radio telah merugi.

Jadilah lokal

Salah satu kekuatan lain radio siaran yang tak boleh ditinggalkan adalah lokalitas. Semakin lokal
informasi yang disajikan, maka kekuatan informasi untuk menembus khalayak semakin tinggi.
Karena masyarakat merasakan memiliki kedekatan (proximity) dengan konten yang disiarkan.
“Informasi kemacetan di Jalan Cipaganti lebih menarik didengar oleh warga Bandung, dibanding
informasi macet di Jalan M.H. Thamrin Jakarta, kurang lebih begitu contohnya. Sekali lagi, radio
tak perlu jadi ke-tv-tv-an. Saat televisi nasional penuh dengan siaran polemik pergantian salah
satu ketua parpol, maka radio fokus saja untuk memastikan bahwa implementasi kebijakan
bupati atau wali kota di daerah masing-masing sudah berjalan sebagaimana mestinya.

Urusan kedaulatan informasi, radio menjadi garda terdepan. Sampai hari ini, radio lah media
massa yang mampu menjangkau lebih dari 80% wilayah Indonesia. Ini belum mampu dilakukan
oleh media lain. Luasnya jangkauan siaran radio, hingga menembus pelosok merupakan sarana
efektif untuk melakukan komunikasi pembangunan, demi mengejar target menjadi negara maju
pada tahun 2030.

Untuk menghadapi persaingan dan pesatnya perkembangan teknologi, radio tak bisa sendiri.
Perlu upaya bersama di bawah naungan organisasi PRSSNI, yang kini sudah memasuki usia 43
tahun. Organisasi tempat berhimpunnya stasiun radio dan insan radio swasta di Indonesia ini,
harus menjalankan visinya sebagai pagar budaya bangsa, serta media untuk mencerdaskan
bangsa. Seperti yang tertulis dalam lirik mars PRSSNI, “PRSSNI pagarnya budaya bangsa,
menggalang kreasi pemacu karya cipta. PRSSNI mengamalkan Pancasila, berjuang dan bekerja
mencerdaskan bangsa”. Selamat ulang tahun PRSSNI!***

Anda mungkin juga menyukai