Anda di halaman 1dari 2

Titik Balik : Dokter dengan Sejuta Mimpi

Hari Selasa, tanggal 19 Oktober 1993 adalah hari dimana ibuku melahirkan anak pertamanya ke dunia.
Pada pukul 08.00 WITA RS Budi Utama menjadi saksi tangis, doa, dan harapan ayah dan ibu kepada bayi
perempuan kecil yang diberi nama : Fitrah Qolbina. Dua kata yang berasal dari bahasa Al Quran, Fitrah : Suci;
Qolbina : Hati kami. Terlepas dari terjemah kata yang tersirat, ayah menyisipkan arti namaku sebagai kesucian
buah hati kami yang saat ini masih ku amin kan sebagai doa agar aku selalu diberi hati yang suci oleh Tuhan.
Aku tumbuh besar dari perpaduan suku Bugis-Jawa. Ayahku berasal dari sebuah desa kecil, Slatri, Kabupaten
Brebes, Jawa Tengah sedangkan ibu berasal dari ibu kota tempat kelahiranku, Palu, Provinsi Sulawesi Tengah.
Kata ibu aku adalah bayi prematur akibat ketuban pecah dini dengan berat lahir rendah sehingga aku harus
mendapat perawatan intensif dalam inkubator sebelum akhirnya diperbolehkan pulang oleh dokter.

Tiga tahun berselang kelahiranku, aku dan keluarga hijrah ke Mataram, ibu kota Provinsi Nusa
Tenggara Barat karena mengikuti pindah dinas ayah yang bekerja sebagai PNS di salah satu kantor pajak.
Pekerjaan ayah otomatis membuat kami menjadi keluarga nomaden. Begitupun ibu yang juga bekerja sebagai
PNS. Mataram menjadi kota kelahiran adikku, Muhammad Dzulfahmi Ismail pada tanggal 21 April 1996. Aku
menjadi kakak dari bayi laki-laki yang diharapkan ayah menjadi orang yang terpuji, cerdas, dan berbakti
kepada orang tua mengikuti dua nama Nabi yang disematkan dalam namanya.

Ayah berperan besar dalam hal pendidikan sejak aku kecil hingga aku tamat sekolah dasar. Hampir
setiap malam aku belajar bersama ayah. Aku diperkenalkan lebih dahulu huruf-huruf hijaiyah mulai umur 3
tahun sebelum aku mengenal abjad sehingga pada usia 4,5 tahun aku sudah bisa membaca Al Quran dan mulai
menghapal surat-surat pendek. Kata ayah Fitrah kecil adalah anak hiperaktif yang cepat tanggap dan kuat
menghapal saat belajar. Karena selalu memperhatikan minat dan potensiku itu lah, ayah berani menaruh
harapan besar bahwa putri kecilnya kelak akan menjadi seorang dokter.

Dua tahun kemudian aku mengenyam bangku sekolah pertamaku di TK Aisiyah, Kendari, Provinsi
Sulawesi Tenggara. Kami kembali mengikuti kepindahan Ayah seperti tahun-tahun sebelumnya. Rumahku
hanya berjarak kurang lebih 500 meter dari kantor ayah. Setelah pulang dari TK aku diharuskan belajar
membaca, menulis, dan berhitung bersama ayah di kantor. Begitu seterusnya hingga aku lanjut bersekolah di
SD N 01 tahun 1998. Tidak hanya itu, ayah mendaftarkanku di sekolah dengan pendidikan agama, Madrasah
Ibtidaiyah (MI) dengan jam belajar pukul 14.00 – 17.00. Sehingga bisa ditebak aku jarang memiliki waktu
bermain bersama anak-anak sebaya di lingkungan rumahku. Ayah memang mendidikku dengan keras sejak aku
kecil. Masih lekat dalam ingatan bagaimana ayah memarahiku jika aku menyalakan TV dan tidak
memperbolehkanku bermain dengan sembarang teman. “Nanti kamu ketularan yang jelek-jelek”, begitulah
ayahku. Meski saat itu aku sedih karena belum mengerti alasan kenapa ayah begitu keras terhadapku, sistem
pendidikan ayah inilah yang membuatku menjadi murid berprestasi. Aku tidak pernah lepas dari rangking
pertama di kelas, SD maupun MI. Hingga menjadi lulusan termuda wisuda khatam Qur’an se-Kota Kendari.

Tahun 2002, aku melanjutkan setengah pendidikan sekolah dasarku di SD N Muktiharjo Kidul 01
Semarang. Di ibu kota provinsi Jawa Tengah ini keluarga kami menetap karena ayah memilih pensiun di kota
yang dekat dengan tanah kelahirannya. Aku senang menikmati perbedaan budaya dan mempelajari hal-hal
baru, termasuk bahasa Jawa. Karena sejak kecil selalu diikutkan berbagai macam lomba, aku berkembang
menjadi murid yang aktif dalam berbagai lomba hingga menyumbang banyak piala untuk sekolah.
Alhamdulillah, prestasiku terus berlanjut hingga aku berhasil masuk salah satu SMP favorit di Semarang tahun
2005, yaitu SMP N 2 Semarang. Keaktifanku dalam bidang non-akademis tidak berhenti, aku mengharumkan
nama sekolah melalui lomba puisi, paduan suara, MTQ, pidato bahasa Inggris, dan dinyatakan sebagai “Putri
SMP N 2 Semarang” pada tahun 2007. Sayangnya, pencapaian akademis dan non-akademisku tersebut belum
bisa mengantarku masuk SMA ter-favorit, SMA N 3 Semarang dengan jalur tanpa tes.

Ya, aku mengahadapi titik balik pertama yang mengubah hidupku pada tahun 2008. Aku belajar bahwa
untuk meraih sebuah impian diperlukan fokus dan konsistensi. Sejak saat itu, aku belajar mati-matian dan
alhamdulillah diterima sebagai siswa SMA N 3 Semarang. Karena pahitnya kegagalan tersebut, aku sadar
bahwa aku tidak bisa bermain-main jika ingin masuk Fakultas Kedokteran dan bertekad masuk kuliah tanpa tes
dengan nilai rapor. Selama 3 tahun bersekolah SMA, aku menarik diri dari berbagai lomba dan organisasi dan
memutuskan fokus mengejar mimpi. Aku bukan Fitrah yang beberapa tahun lalu dikenal warga sekolah
sebagai murid yang aktif dengan berbagai prestasi. Aku sadar bahwa hal tersebut akan menumbuhkan
konsekuensi namun tetap saja aku menempatkan mimpiku sebagai prioritas.

Tuhan menjawab doaku dengan adanya SNMPTN Undangan yang baru dibuka saat tahun akhir
sekolah. Dari dua pilihan yang diberikan, aku memlih Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro sebagai
pilihan satu-satunya. Sesuai pilihan orang tua ku yang menginginkanku berkuliah di Semarang. “Kamu yakin
cuman ngisi satu pilihan saja ? Yakin mau jadi dokter? Ga ada pilihan yang lain ?”. Tidak satu detik pun
kubutuhkan untuk menjawab tanya ibu kala itu. “Iya Bu. Dokter saja. Ga ada yang lain. Fitrah ga tau mau jadi
apa selain Dokter. Ga ada bayangan. Bismillah ya Bu” .

Tujuh tahun berselang, di depan laptop kecil ditemani sejumput kopi hitam, aku mengenang sekelumit
perjuangan ini sebelum akhirnya dikukuhkan menjadi seorang Dokter dengan Sumpah Dokter 7 bulan yang
lalu. Ya, sudah 7 bulan berselang aku resmi menambah dua huruf di depan namaku. Meski saat ini aku masih
menjalankan pengabdian di salah satu daerah terpencil untuk mendapatkan ijin praktik pribadi hingga satu
tahun ke depan. Aku sadar bahwa ini justru merupakan babak baru, pintu dari sekian mimpi yang akan kutulis
untuk aku ikat sebagai doa untuk berjuang. Aku sadar bahwa aku bukanlah berasal dari kalangan keluarga
dokter dan ekonomi kelas atas yang berarti bahwa aku harus berjuang lebih dan mendaki lebih tinggi untuk
dapat memasuki pendidikan spesialistik. Semoga Tuhan memeluk mimpi-mimpiku yang lain: istri shalihah, ibu
profesional sebagai role model keluarga, dosen yang mendidik mahasiswa nya untuk berilmu dan beriman, dan
seorang penulis yang aktif berkarya yang baru saja memulai debut tantangan menulis autobiografinya dari
KMO NON Fiksi periode September ini.

Salam sejuta mimpi,

dr. Fitrah Qolbina

Anda mungkin juga menyukai