Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gigi Tiruan Sebagian Lepasan

1. Definisi Gigi Tiruan Sebagian Lepasan

Menurut (Martanto, 1981:4) gigi tiruan sebagian (protesa

sebagian/partial denture) ialah suatu protesa yang mengganti satu atau lebih

dari satu gigi yang disangga sebagian besar oleh gusi. Protesa ini

dipertahankan pada tempatnya dengan cangkolan (clasp, klammer). Gigi

tiruan sebagian lepasan merupakan setiap alat yang dapat dipasang dan

dikeluarkan oleh pasien yang menggantikan satu elemen gigi atau lebih,

secara sebagian atau seluruhnya dengan tujuan untuk memperbaiki fungsi

geligi bersamaan dengan geligi yang masih ada (Battistuzzi, dkk, 1996:16).

Gambar 2.1 Gigi Tiruan Sebagian Lepasan


(Sumber: https://dental55.com/category/prostodontik-gigi-tiruanpalsu/)

2. Fungsi Gigi Tiruan Sebagian Lepasan

Menurut (Ramadhan, Ardyan Gilang, 2010:7-8), fungsi dari gigi

tiruan sebagian lepasan diantaranya ialah fungsi pengunyahan, berbicara

(diperlukan untuk mengeluarkan bunyi ataupun huruf-huruf tertentu seperti

6
7

huruf T, V, F, D, dan S), estetik, serta menjaga kesehatan rongga mulut dan

rahang.

3. Bagian-bagian Protesa Sebagian Lepasan

a. Elemen Gigi Tiruan

Menurut Anton Margo, elemen gigi tiruan merupakan bagian gigi

tiruan sebagian lepasan yang berfungsi menggantikan gigi asli yang

hilang. Seleksi gigi tiruan kadang-kadang merupakan tahap yang

cukup sulit dalam proses pembuatan protesa, kecuali pada kasus

dimana masih ada gigi asli yang bisa dijadikan panduan atau

mungkin sudah dilakukan rekaman pra-ekstrasi gigi (pre-axtraction

record). Walaupun demikian, seleksi ukuran dan bentuk sering pula

menjadi sulit karena ruangan yang tersedia sudah tak sesuai lagi,

umpamanya karena migrasi atau rotasi gigi tetangganya (Gunadi,

dkk, 1991:206).

Dalam seleksi elemen ada metode untuk pemilihan gigi anterior

dan posterior serta faktor-faktor yang harus diperhatikan, yaitu:

1) Pemilihan Gigi :

a) Bentuk Gigi

Menurut Brodbelt dkk. 1984, belum banyak bukti bahwa

bentuk gigi insisif pertama yang terbalik adalah sesuai

dengan bentuk wajah, akan tetapi metode ini sering

digunakan. Menurut Young 1954, mengemukakan bahwa

seseorang yang memiliki wajah berbentuk persegi dan rahang

lebar, memerlukan gigi yang bentuknya juga persegi dan


8

tampak kuat. Gigi berbentuk segitiga dengan kontur

membulat lebih cocok untuk wanita. Selain itu menurut Frush

dan Fisher 1959, usia juga menjadi faktor penentu bentuk

gigi tiruan (MacGregor dan Watt 1992:134).

b) Ukuran

Menurut Cesario dan Latta (1984), dalam penelitiannya

didapatkan lebar rata-rata gigi anterior adalah 9,03 mm.

Tidak ada gigi insisif pertama yang lebarnya kurang dari 7,8

mm (MacGregor dan Watt 1992:135). Sedangkan menurut

Anton Margo, untuk gigi posterior pada kasus sadel berujung

tertutup, ukuran mesio-distal sesuai dengan panjang daerah

tak bergigi. Pada umumnya jumlah elemen akan sesuai

dengan jumlah gigi yang hilang, dan dapat ditentukan dengan

mudah, kecuali pada kasus dimana telah terjadi migrasi. Bila

semua gigi posterior telah hilang, dipakai patokan jarak dari

tepi distal gigi kaninus ke bagian mesial retromolar pad,

sebagai ukuran gigi belakang (Gunadi, dkk, 1991:213).

c) Tekstur Permukaan

Menurut Anton Margo, secara estetik dalam proses

pembuatan gigi hendaknya diperhatikan adanya garis retak,

groove dan sebagainya. Semua ini akan tampak lebih hidup.

Hal ini sangat penting pada pembuatan elemen unilateral,

dimana dituntut kemiripan dengan gigi asli yang masih di

sebelahnya (Gunadi, dkk, 1991:210).


9

d) Warna

Gigi insisif pertama adalah warna yang paling muda, dan

makin kearah belakang gigi semakin berwarna gelap. Pada

gigi rahang bawah mengikuti pola yang sama, tetapi masing-

masing gigi tampak lebih gelap warnanya dibandingkan

dengan antagonisnya. Pemilihan gigi tiruan juga dapat

dilakukan dengan cara memeriksa gigi pasien yang masih ada

dengan menggunakan cahaya matahari (tidak menggunakan

lampu penerang) dan dicocokkan pada petunjuk warna/shade

guide (MacGregor dan Watt, 1992:138-139).

e) Bahan

Menurut Anton Margo, Gigi posterior dapat dipilih dari

bahan porselen, plastik (resin akrilik) atau logam. Jenis bahan

tersebut dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan (Gunadi,

dkk, 1991:213-215).

b. Basis Gigi Tiruan

Basis gigi tiruan (dasar atau sadel) menurut Anton Margo,

merupakan bagian yang menggantikan tulang alveolar yang sudah

hilang, dan berfungsi mendukung gigi (elemen) tiruan (Gunadi,

dkk, 1991:215).

1) Macam-Macam Basis Gigi Tiruan:

a) Basis Dukungan Gigi

Menurut Anton Margo, pada basis dukungan gigi, tekanan

oklusal secara langsung disalurkan kepada gigi penyangga


10

melalui kedua sandaran oklusal. Selain fungsi tadi, basis

bersama-sama elemen tiruan berfungsi pula mencegah

migrasi horisontal gigi tetangga, serta migrasi vertikal gigi

antagonis. Pada pembuatan protesa gigi belakang, faktor

estetik merupakan hal sekunder, sebaliknya dari gigi tiruan

anterior (Gunadi, dkk, 1991:216).

b) Basis Berujung Bebas/Dukungan Jaringan

Menurut Anton Margo, bagian basis yang berdekatan dengan

gigi penyangga akan mendapat dukungan darinya, sedangkan

bagian yang jauh akan didukung jaringan linggir sisa yang

berada dibawah gigi tiruan. Dukungan jaringan ini penting,

agar supaya tekanan kunyah dapat disalurkan ke permukaan

yang lebih luas, sehingga tekanan per satuan luas mejadi

lebih kecil (Gunadi, dkk, 1991:217).

c) Basis Dukungan Kombinasi

Pada kasus berujung bebas, menurut Anton Margo, gigi

tiruan mendapat dukungan kombinasi antara jaringan dan

gigi, karena pada salah satu ujung sadel seperti ini tidak ada

gigi lagi. Semua kasus semacam ini hendaknya diusahakan

mendapat dukungan kombinasi, karena itu gigi penyangga

yang masih ada perlu dipertahankan selama mungkin

(Gunadi, dkk, 1991:141).


11

c. Cengkeram Kawat

Menurut Anton Margo, cengkeram kawat merupakan jenis

cengkeram yang lengan-lengannya terbuat dari kawat jadi (wrought

wire). Di Indonesia, sebagaimana halnya di negara-negara

berkembang jenis cengkeram kawat masih sering digunakan,

karena protesa resin masih sering dibuat. Kawat jadi yang sering

dipakai biasanya terbuat dari kawat Aloi Khrom Nikel yang

berbentuk bulat dengan garis tengah 0,7 mm untuk gigi anterior

dan premolar serta 0,8 mm untuk gigi molar (Gunadi, dkk, 1991:

161).

Selain itu, Anton Margo juga menyatakan adanya kawat jenis baja

tahan karat (stainles steel). Jenis terakhir ini tersedia dalam bentuk

jadi dan tinggal mengadaptasikan saja pada permukaan gigi

penyangga. Kawat jadi yang akan digunakan sebagai cengkeram

harus kuat, permukaannya licin dan mengkilat, tahan terhadap

pengaruh dalam mulut, seperti tak berkarat, tak memberi rasa dan

netral. Cengkeram kawat dibentuk dengan cara

membengkokkannya dengan tang cengkeram (Gunadi, dkk,

1991:161).

1) Syarat-Syarat Cengkeram Kawat:

a) Kontak cengkeram dengan permukaan gigi penyangga

merupakan kontak kontinu dan berupa kontak garis bila

penampangnya bulat dan kontak bidang bila penampangnya

setengah bulat.
12

b) Lengan retentive cengkeram harus melewati garis survai,

biasanya 1-2 mm di atas tepi gingiva.

c) Sandaran dan badan tidak boleh mengganggu oklusi maupun

artikulasi.

d) Ujung lengan cengkeram harus dibulatkan dan tidak boleh

menyentuh gigi tetangga dan melukai jaringan lunak.

e) Pada permukaan cengkeram tak boleh ada tanda bekas tang.

Tanda ini menunjukkan buruknya manipulasi pembengkokan,

sehingga akan mempengaruhi daya tahan cengkeram atau

cengkeram akan mudah patah.

2) Keuntungan Pemakaian Cengkeram Kawat

Menurut Anton Margo, keuntungan menggunakan cengkeram

kawat ialah bersifat lentur, retensinya dapat disesuaikan dengan

kebutuhan. Cengkeram ini dapat dibuat dengan diameter lebih

kecil tanpa resiko mudah patah, sehingga dapat memberi efek

estetik yang lebih baik. Indikasi pemakaian lengan retentif

cengkeram kawat lebih luas, misalnya pada gigi penyangga yang

berdekatan dengan basis ujung bebas, miring, lemah atau

banyak gerong (Gunadi, dkk, 1991: 162).

3) Kerugian Pemakaian Cengkeram Kawat

a) Mudah terjadi distorsi. Ada kecenderungan penderita melepas

geligi tiruan dari mulut dengan menarik lengan retentifnya.

Kebiasaan ini memudahkan cengkeram berubah bentuk atau

patah.
13

b) Mudah patah, bila manipulasi pembuatannya kurang hati-hati

sehingga banyak bekas tang pada permukaan kawat.

c) Kelenturan dan tidak dipreparasinya sandaran oklusal kurang

memberi dukungan yang memuaskan sehingga geligi tiruan

seolah-olah menjadi protesa dukungan jaringan. Bila

mendapat tekanan, basis jadi tertekan ke arah jaringan lunak.

Dalam jangka waktu panjang, hal ini menyebabkan

terkupasnya tepi gingiva (gum stripping), gigi jadi goyang

dan makanan mudah terjebak.

4) Macam-Macam Cengkeram Kawat

Secara garis besar, Anton Margo menyatakan adanya dua

kelompok cengkeram kawat, yaitu Cengkeram Oklusal dan

Cengkeram Gingival yang masing-masing terdiri dari beberapa

bentuk. (Gunadi, dkk,1991:163)

a) Kelompok Cengkeram Gingival

Cengkeram yang disebut pula Bar Type Clasp ini berawal

dari basis geligi tiruan atau arah gingiva. Dalam kelompok ini

termasuk bentuk-bentuk cengkeram yang sering digunakan

pada kasus GTSL seperti cengkeram C. Lengan retentif

cengkeram ini membentuk huruf C memeluk leher gigi pada

bagian bukal di bawah kontur terbesar, kawat koil di tanam

dalam plat akrilik (Ardana, Wayan :2011:8).


14

Gambar 2.2
Cengkeram C
(Sumber : Gunadi, 1991)

b) Cengkeram Kawat Oklusal

Bentuk cengkeram oklusal yang sering digunakan pada

pembuatan GTSL antara lain ialah cengkeram Jackson,

Setengah Jackson, dan cengkeram S (Gunadi, dkk,1991 :

163-165):

1. Cengkeram Jackson

Desain cengkeram ini mulai dari palatal/lingual, terus ke

oklusal di atas titik kontak, turun ke bukal dibawah

lingkaran terbesar.

Gambar 2.3
Cengkeram Jackson
( Sumber Gunadi, 1991)

2. Cengkeram Setengah Jackson

Cengkeram ini disebut juga dengan cengkeram satu jari

atau cengkeram C.
15

Gambar 2.4
Cengkeram Setengah Jackson
( Sumber Gunadi, 1991 )

3. Cengkeram S

Berbentuk seperti huruf S, cengkeram ini bersandaran

pada singulum gigi kaninus. Biasa digunakan pada

kaninus bawah, dapat juga digunakan untuk kaninus atas

apabila ruang interoklusalnya cukup.

Gambar 2.5
Cengkeram S
( Sumber Gunadi, 1991 )

B. Desain Gigi Tiruan Lepasan

Pembuatan desain merupakan salah satu tahap penting dan merupakan

salah satu faktor penentu keberhasilan atau kegagalan sebuah gigi tiruan.

Dasar dari desain gigi tiruan berfungsi untuk mengurangi beban, membagi

beban antara gigi dan ridge, serta membagi beban dengan perluasan basis.

Prinsip desain untuk gigi tiruan sebagian lepasan meliputi hal-hal seperti:

harus memperhatikan gigi yang masih ada, oklusi yang harmonis, kebersihan
16

rongga mulut dan pemeliharaannya, ketahanan terhadap berbagai gaya

(retensi dan stabilisasi). Prinsip lainnya ialah adaptasi landasan harus baik

agar distribusi tegangan juga baik, serta merencanakan untuk masa depan

(misalnya gigi tiruan masih dapat digunakan untuk jangka waktu yang lama)

(C Masulili dan Lenggogeny, 2015:126).

1. Tahap-Tahap Pembuatan Desain

Prinsip pembuatan desain gigi tiruan menurut Freddy Suryatenggara

(Gunadi, dkk, 1995:309), baik yang terbuat dari resin akrilik, maupun

kerangka logam, tidaklah terlalu berbeda. Dalam pembuatan desain

dikenal empat tahap yaitu:

a. Tahap I (Menentukan Kelas Dari Masing-Masing Sadel)

Daerah tak bergigi pada suatu lengkungan gigi dapat bervariasi,

dalam hal panjang, macam, jumlah, letaknya. Semua ini akan

mempengaruhi rencana pembuatan desain gigi tiruan, baik dalam

bentuk sadel, konektor maupun dukungannya. Menurut Applegate,

daerah tak bergigi (DTG) dapat dibagi atas enam kelas (Owen,

2000:57):

1) Kelas I

DTG : Daerah tak bergigi berada di kedua sisi posterior

suatu lengkung rahang (bilateral free end).

2) Kelas II

DTG : Daerah tak bergigi berada pada satu sisi posterior

suatu lengkung rahang (unilateral free end)


17

3) Kelas III

DTG : Suatu daerah tak bergigi dimana gigi tetangga

daerah anterior maupun posterior tidak dapat

memberikan dukungan pada protesa.

4) Kelas IV

DTG : Suatu daerah tak bergigi yang melewati garis

midline.

5) Kelas V

DTG : Daerah tak bergigi dimana gigi tetangga bagian

anterior tidak dapat memberikan dukungan.

6) Kelas VI

DTG : Daerah tak bergigi dimana gigi tetangga sebelah

anterior maupun posterior dapat memberikan

dukungan pada protesa.

b. Tahap II (Menentukan Macam Dukungan Dari Setiap Sadel)

Menurut Freddy Suryatenggara (Gunadi, dkk, 1995:310), bentuk

sadel dari gigi tiruan dibagi dua macam dan dikenal dengan sebutan

sadel tertutup atau paradental (paradental saddle) dan sadel

berujung bebas (free end saddle). Ada tiga pilihan untuk dukungan

sadel paradental, yaitu dukungan dari gigi, dari mukosa, atau dari

gigi dan mukosa (kombinasi). Sebaliknya, untuk sadel berujung

bebas, dukungan bisa berasal dari mukosa, atau dari gigi dan

mukosa (kombinasi). Adapun faktor-faktor yang harus di


18

perhatikan dan dipertimbangkan dalam pembuatan protesa sebagian

lepasan:

1) Keadaan Jaringan Pendukung

Menurut Freddy Suryatenggara, bila jaringan sehat, dukungan

sebaiknya berasal dari gigi, tetapi bila keadaan gigi sudah

meragukan sebaiknya dukungan dipilih dari mukosa. Idealnya

dukungan untuk sadel berujung bebas sebaiknya berasal dari

mukosa untuk mencegah penerimaan beban kunyah yang tidak

seimbang antara gigi dan mukosa, meskipun dukungan

kombinasi masih dimungkinkan dengan syarat gigi yang akan

dijadikan penyangga ini sehat dan baik. Dukungan kombinasi ini

masih dimungkinkan bila jarigan gigi masih sehat dan meskipun

sulit untuk dilaksanakan, harus diusahakan agar tekanan kunyah

tersalur seimbang antara gigi dan mukosa (Gunadi, dkk,

1995:311).

2) Panjang Sadel

Untuk sadel yang pendek dengan gigi tetangga yang kuat Freddy

Suryatenggara menyatakan bahwa, dukungan sebaiknya berasal

dari gigi. Namun, bila sadelnya panjang dan gigi tetangga serta

gigi asli lainnya kurang kuat, untuk rahang atas sebaiknya

dipilih dukungan dari mukosa (Gunadi, dkk, 1995:311).

3) Jumlah Sadel

Freddy Suryatenggara menyatakan, untuk rahang dengan jumlah

sadel multipel perlu diperhatikan keadaan gigi-gigi yang masih


19

ada serta jaringan mukosanya. Pada rahang atas, lebih

dianjurkan dukungan dari mukosa dan upaya semaksimal

mungkin sehingga desain tidak terlalu kompleks (Gunadi, dkk,

1995:311).

4) Keadaan Rahang

Untuk rahang bawah dengan sadel berujung tertutup Freddy

Suryatenggara menyatakan, sebaiknya dipilih dukungan dari

gigi, mengingat lebih kecilnya luas permukaan jaringan mukosa

pada rahang bawah. Sebaliknya, ada tiga pilihan untuk

dukungan pada rahang atas (Gunadi, dkk, 1995:311).

c. Tahap III (Menentukan Macam Penahan)

Menurut Freddy Suryatenggara (Gunadi, dkk, 1995:312), terdapat

dua penahan yaitu penahan langsung (direct retainer) yang

diperlukan untuk setiap gigi tiruan, dan penahan tak langsung

(indirect retainer), yang tidak selalu dibutuhkan. Untuk

menentukan penahan mana yang akan dipilih, maka perlu

diperhatikan faktor:

1) Dukungan dari sadel, hal ini berkaitan dengan indikasi dari

macam cengkeram yang akan digunakan dan gigi penyangga

yang ada atau diperlukan.

2) Stabilisasi dari gigi tiruan, hal ini berhubungan dengan jumlah

dan macam gigi yang ada dan akan digunakan sebagai

pendukung.
20

3) Estetika, berhubungan dengan bentuk atau tipe cengkeram serta

lokasi dari gigi penyangga.

d. Tahap IV (Menentukan Macam Konektor)

Untuk protesa resin, Freddy Suryatenggara menyatakan bahwa

konektor yang dipakai biasanya berbentuk plat. (Gunadi, dkk,

1995:312-313). Khusus untuk kasus berujung bebas, hal-hal berikut

ini perlu diperhatikan:

1) Perlu diusahakan adanya penahan tak langsung.

2) Desain cengkeram harus dibuat sedemikian sehingga tekanan

kunyah yang bekerja pada gigi penahan jadi seminimal

mungkin.

3) Sandaran oklusal hendaknya diletakkan menjauhi daerah tak

bergigi untuk mendapatkan kestabilan.

4) Perlu dilakukan pencetakan ganda (double impression) dengan

menggunakan bahan Pasta Zn Oxyde atau Rubber Base dan

Hidrokoloid. Cara ini memiliki keuntungan dapat mencetak

bagian yang akan ditempati protesa dengan cermat.

5) Dalam pembuatan desain perlu dipikirkan kemungkinan

perlunya pelapisan atau penggantian basis di kemudian hari, dan

hal ini harus mudah dilakukan.

C. Retensi dan Stabilisasi

1. Retensi

Retensi merupakan ketahanan gigi tiruan terhadap pengangkatannya

dari mulut. Pemeriksaaan retensi dapat dilakukan dengan cara melakukan


21

pemasangan gigi tiruan di dalam mulut, dan mencoba melepaskannya dengan

gaya yang tegak lurus pada bidang oklusal. Bila gigi tiruan dapat bertahan

terhadap gaya tersebut, gigi tiruan mempunyai retensi yang cukup kuat

(MacGregor dan Watt: 1992:54).

2. Stabilisasi

Stabilisasi ialah gerakan yang dapat melawan/menahan gerakan

horizontal, sedangkan gigi tiruan yang stabil ialah gigi tiruan yang selama

berfungsi hanya sedikit bergerak terhadap tulang dibawahnya. Gigi tiruan

tetap pada tempatnya apabila kekuatan retentif yang bekerja pada gigi tiruan

melebihi kekuatan yang menggerakkan, dan gigi tiruan mempunyai dukungan

yang cukup (Basker, RM, 1996:47).

Menurut L.J.B Boucher, stabilisasi juga bisa diperoleh dari lengan

cengkeram kedua (lengan pengmbang) yang terletak pada sisi yang lain dari

elemen penyangga. Hal ini akan menjaga agar setiap gaya yang dibebankan

pada elemen oleh lengan retensi akan dinetralisir oleh gaya yang sama,

sehingga pada saat pemasangan atau mengeluarkan protesa GTSL bagian

retentif akan membengkok, maka lengan menunjang akan menjaga hingga

gaya horizontal yang terjadi tidak dapat memberi beban yang merugikan pada

elemen tersebut (Battistuzzi, dkk, 1996:89).

D. Oklusi

Oklusi adalah kontak antara gigi-gigi yang berantagonis. Hal ini

terlihat jika mandibula dalam keadaan diam maka akan tampak keadaan

oklusi, yakni berkontaknya gigi dari satu rangkaian gerakan mandibula


22

(kontak antara gigi-gigi yang berantagonis). Semakin lengkap gigi-geligi

maka akan semakin efisien oklusinya (Thomson, H, 2007:3).

Adapun fungsi dari oklusi itu sendiri ialah sebagai kontak antara gigi-

geligi dan antara gigi dengan makanan selama fungsi mastikasi. Sedangkan

parafungsi (fungsi yang keliru) ialah kontak yang terjadi antara gigi-gigi yang

berantagonis dalam keadaan mulut kosong. Parafungsi ini sering terjadi pada

saat seseorang menggertak (tapping). Pada seseorang yang kehilangan gigi

antagonis pada waktu yang cukup lama, akan menyebabkan disfungsi oklusi

seperti disfungsi pada sistem mastikasi atau gerak mandibula yang

menimbulkan kelainan atau gangguan dari sistem itu sendiri (Thomson, H,

2007:4).

E. Ekstrusi Akibat Kehilangan Gigi

Kehilangan gigi merupakan salah satu perubahan jaringan rongga

mulut. Jika gigi yang hilang tidak segera diganti dapat menimbulkan

kesulitan bagi pasien sendiri, seperti mengunyah makanan, adanya gigi yang

miring atau bergeser, dan ekstrusi (Idawani, Herwanda, Rahmayani,

2013:83). Menurut Haryanto A.G dan Indra S. (Gunadi, dkk:1991:31),

ekstrusi merupakan erupsi berlebihan, dimana struktur periodontal akan

mengalami kemunduran dan hal tersebut terjadi tanpa pertumbuhan tulang

alveolar. Menurut Siti Bahirrah (Bahirrah S., 2004:7), ekstrusi juga dapat

diartikan sebagai pergerakan gigi keluar dari alveolus dimana akar mengikuti

mahkota. Menurut Haryanto A.G dan Indra S., ekstrusi dapat terjadi karena

adanya ruang bekas gigi yang dibiarkan begitu saja sehingga tidak adanya
23

kontak oklusi yang dapat menahan saat mengunyah, akibatnya adalah beban

oklusal pada gigi yang masih ada bertambah (Gunadi, dkk:1991:39).

Menurut Haryanto A.G dan Indra Setiabudi (Gunadi, dkk,

1991:39;41), bila ekstrusi sudah terjadi sedemikian hebatnya hingga

menyentuh linggir alveolar pada rahang lawannya, maka akan terjadi

kesulitan untuk pembuatan protesa di kemudian hari. Pembuatan protesa juga

akan menjadi rumit dan membutuhkan waktu yang lama apabila terjadi

kontak oklusi prematur atau interferensi oklusal, karena gigi yang mengalami

ekstrusi lebih dahulu berkontak sehingga menyebabkan terjadinya peradangan

mukosa jika oklusi prematur diterima oleh sadel, serta dapat menyebabkan

disfungsi otot kunyah dan wajah bila pasien mencoba menghindari kontak

dengan cara merubah pola gerak kunyah.

Gambar 2.6
Ekstrusi
(Sumber https://dentosca.wordpress.com/2011/04/17/hubungan-trauma-
from-occlusion-tfo-dengan-penyakit-periodontal/)

Menurut Siagian, disfungsi otot kunyah tersebut dapat menyebabkan

penurunan efesiensi kunyah apabila ekstrusi tersebut terjadi pada bagian

posterior, dapat menunjukkan usaha otot wajah untuk penutupan berlebih

(over closure), serta dapat menyebabkan kebiasaan mengunyah yang buruk.

Untuk mengatasi hal tersebut dapat menggunakan teknik khusus, yaitu

dengan cara melakukan perluasan basis (Siagian, V: 2016 : 3).


24

Menurut Anton Margo, perluasan basis biasanya dibuat cenderung

menutupi seluas mungkin permukaan jaringan lunak, sampai batas toleransi

pasien. Hal ini sesuai dengan prinsip biomekanik, yaitu gaya oklusal harus

disalurkan ke permukaan seluas mungkin, sehingga tekanan per-satuan luas

menjadi lebih kecil. Hal ini dapat mencegah pergerakan basis sehingga dapat

meningkatkan faktor retensi dan stabilisasi (Gunadi, dkk : 1991:220).

Anton Margo juga menyatakan bahwa pada rahang atas yang

mengalami ekstrusi, akan meningkatkan beban kunyah pada gigi

antagonisnya (rahang bawah). Untuk mengatasi hal tersebut perluasan basis

pada rahang bawah dapat dilakukan dengan cara menutupi retromolar pad

dan meluas ke lateral sampai sulkus bukalis, karena dengan cara ini linggir

sisa akan menjadi lebih stabil (Gunadi, dkk: 1991:221).

F. Torus Palatinus

Hampir seluruh penelitian mengungkapkan bahwa torus palatinus

lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria, dengan rasio 2:1, dan

puncaknya pada usia dewasa muda. Melalui studi yang dilakukan Bukhari

dkk, terhadap 300 pasien yang ada di Indonesia, melalui pemeriksaan palpasi

menunjukan jumlah yang besar pada pasien yang memiliki torus palatinus

(22,3%). Pasien wanita lebih tinggi (54,7%) dibandingkan pasien pria

(45,35%) (Sugianto, David : 2014:3).

Menurut Frasgiskos FD dan Wray D, torus palatinus terdapat di

daerah tengah pada palatum durum sepanjang sutura palatinus media dan

dapat meluas ke lateral kiri atau kanan. Terdiri dari berbagai jenis ukuran.
25

Pada torus palatinus yang berukuran besar dapat mengganggu fungsi bicara

dan pengunyahan. Torus palatinus biasanya tidak membutuhkan terapi

khusus, kecuali pada pasien edentulous yang akan memakai gigi tiruan dan

pada pasien yang merasa terganggu fungsi pengunyahan dan fungsi bicaranya

(Fitri, Idul : 2014:32-33).

Gambar 2.7
Torus Palatinus
(Sumber : http://www.healtreatcure.org/mouth/sore-on-roof-of-mouth-
canker-bumps-painful-canker-red-get-rid/)

Berdasarkan ukuran torus palatinus menurut Belsky, dkk dalam

penelitiannya tahun 2003 membaginya menjadi tiga kategori: absen/sedikit

(ukuran <1cm), kecil/ sedang (ukuran 1-2 cm) dan besar (ukuran > 3 cm)

(Utama dan Wulandari, 2013:7). Dalam pembuatan gigi tiruan posterior

dimana terdapat torus palatinus biasanya akan mengganggu kestabilan

maupun retensi pada sebuah protesa jika tidak dilakukan bedah pada torus

tersebut, akan tetapi bedah pada torus tidak selalu dibutuhkan. Adanya torus

dapat juga diatasi dengan teknik khusus agar protesa tetap stabil dan memiliki

retensi yang baik (Idham, Baharuddin, Thalib, 2005:3).

Menurut Valentine (Idham, Baharudin, Thalib, 2005:3;5), Ia

menggambarkan desain gigi tiruan sebagian rahang atas dengan suatu window

midline yang luas. Ini dapat menjadi alternatif pilihan untuk mengatasi torus
26

kecil pada tengah palatum. Teknik ini dapat dilakukan dengan melapisi 2

lapis tinfoil pada daerah torus, guna menyediakan ruang yang tidak

mengakibatkan nyeri dan trauma. Kegiatan ini dapat dilakukan setelah tahap

flasking dan boiling out (Thalib, Idham, 2005:3). Akan tetapi menurut

Lusiana L.B. dan Haryanto A.G (Gunadi, dkk : 1991:125), ada hal lain yang

dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan torus palatinus selain

melakukan teknik tersebut, yakni dapat dilakukan pembebasan plat protesa

sehingga pasien akan merasa nyaman dalam penggunaan protesa tersebut.

G. Prosedur Pembuatan Gigi Tiruan Sebagian Lepasan Akrilik

Tahap – tahap dalam prosedur pembuatan gigi tiruan sebagian lepasan

akrilik di laboratorium ialah :

1. Persiapan Model Kerja

Menurut Itjiningsih, syarat model kerja yang baik ialah bersih dari

nodul dan batas anatomi terbentuk jelas untuk mempermudah saat

pembuatan protesa (Pratiwi, Amelia, 2016:14).

2. Transfer Desain

Menurut Freddy Suryatenggara, sebelum proses pembuatan dimulai,

desain harus digambar pada model kerja (Gunadi, dkk, 1995:381).

3. Pembuatan Bite rim

Menurut (Itjingningsih, 1991:51;57;59), bite rim merupakan pengganti

dari kedudukan gigi dengan media tanggul/galangan gigit/occlusal rim

yang dapat terbuat dari malam, dan berfungsi untuk menentukan

dimensi vertikal. Pembuatan rim ini dapat dilakukan dengan dua cara
27

yaitu dengan menggunakan wax rim former atau dengan lembaran

malam yang digulung. Pembuatan rim untuk rahang atas anterior

dapat dibuat dengan ukuran : tinggi 12mm, lebar 4mm dan posterior

dengan ukuran : tinggi 10-11mm, lebar 6mm dengan perbandingan 2:1

(2 bukal:1palatal). Sedangkan pada rahang bawah untuk bagian

anterior dapat dibuat dengan ukuran : tinggi 12mm, lebar 4mm, dan

posterior dengan ukuran : tinggi 10-11 mm, lebar 5mm dengan

perbandingan 1:1.

4. Pemasangan Model Kerja Pada Okludator

Menurut (Pratiwi, Amelia, 2016:15), okludator merupakan alat yang

digunakan untuk meniru gerakan oklusi sentris. Tujuan penanaman

model pada okludator ini untuk membantu dalam proses penyusunan

elemen gigi tiruan. Penanaman pada okludator yang baik ialah sesuai

denan bentuk oklusi, garis median okludator harus berhimpit dengan

gadir median pada model, bidang oklusal sejajar dengan bidang datar,

serta gips pada model kerja rapih atau tidak menutupi batas anatomi

model kerja.

5. Pembuatan Cengkeram

Menurut Anton Margo, cengkeram harus didesain berdasarkan

pemelukan, pengimbangan, retensi, dukungan, stabilisasi dan pasifitas

(Gunadi, dkk, 1991:155).

6. Penyusunan Elemen Gigi Tiruan


28

Penyusunan gigi dilakukan secara bertahap yaitu penyusunan gigi

anterior atas, gigi anterior bawah, gigi posterior atas, gigi molar satu

bawah dan gigi posterior bawah lainnya (Itjingningsih, 1991 : 85).

7. Flasking

Flasking adalah suatu proses penanaman model malam dalam suatu

kuvet untuk mendapatkan suatu mould space. Metode flasking dalam

pembuatan gigi tiruan dibagi menjadi dua, yaitu Holding The Casting

dan Pulling The Casting.

a. Pulling The Casting:

Setelah boiling out, model kerja tetap berada pada kuvet bagian

bawah, sedangkan elemen gigi tiruan akan ikut pada kuvet bagian

atas. Adapun keuntungan dari metode ini ialah memudahkan saat

pengulasan separating medium dan pada saat proses packing,

karena seluruh mold terlihat. Sedangkan kerugiannya ialah

peninggian gigitan sering tidak dapat dihindari.

b. Holding The Casting:

Model gigi tiruan berada di kuvet bagian bawah dan seluruh

elemen gigi tiruan ditutup dengan gips, sehingga setelah boiling out

akan terlihat seperti ruang kecil. Pada waktu packing adonan resin

akrilik harus melewati bagian bawah gigi untuk mencapai daerah

sayap. Adapun keuntungan dari holding the casting ialah

peninggian gigitan dapat dicegah. Sedangkan kerugian dari metode

ini yaitu, sulitnya memberikan lapisan separating medium dan

boiling outnya karena tidak dapat dikontrol apakah daerah sayap


29

sudah bersih dari malam atau belum, dan pada saat packing

pengisian resin akrilik ke bagian sayap tak dapat dipastikan telah

terisi penuh (Itjingningsih, 1991 : 153).

8. Boiling out

Boiling out bertujuan untuk menghilangkan wax dari model yang telah

ditanam di kuvet untuk mendapatkan mould space (Itjingningsih,

1991:151).

9. Packing

Packing ialah proses pencampuran antara monomer dan polimer resin

akrilik, kemudian dimasukkan kedalam ruangan yang terdapat pada

kuvet. Ada dua metode packing, yaitu Dry Method dan Wet Method

dimana pada kasus GTSL biasa digunakan teknik Wet Method. Wet

Method merpakan cara mencampur monomer dan polimer di luar mold

dan bila sudah mencapai stadium dough stage baru dimasukkan ke

dalam mold (Itjingningsih, 1991 : 155).

10. Curing

Curing adalah proses polimerisasi antara monomer yang bereaksi

dengan polimernya bila dipanaskan atau ditambah zat kimia lain. Pada

proses curing terdapat dua cara polimerisasi yaitu, secara thermis yang

disebut heat curing dan secara khemis (zat kimia sudah ditambahkan

dalam monomer) yang disebut cold/self curing (Itjingningsih,

1991:163).
30

11. Deflasking

Deflasking ialah proses melepaskan protesa gigi tiruan resin akrilik

dari kuvet dan bahan tanamnya, dengan memotong – motong gips

sehingga model dikeluarkan secara utuh (Itjingningsih, 1991:165).

12. Finishing

Finishing adalah proses membersihkan sisa-sisa bahan tanam dan

proses membuang sisa-sisa resin akrilik pada batas gigi tiruan. Hal ini

bertujuan untuk menyempurnakan bentuk akhir gigi tiruan sesuai

dengan bentuk yang diinginkan (Itjiningsih, 1991: 183).

13. Polishing

Polishing adalah proses pemolesan protesa gigi tiruan. Pemolesan gigi

tiruan bertujuan untuk menghaluskan dan mengkilapkan gigi tiruan

tanpa mengubah konturnya. Untuk resin akrilik, semua guratan dan

daerah kasar harus dibuang menggunakan serangkaian alat-alat abrasif

seperti feltcone dan white brush untuk menghasilkan permukaan gigi

tiruan yang licin dan mengkilap. Alat abrasif ini tidak boleh kering

saat digunakan, harus dibiarkan lembut dan basah untuk mencegah

panas yang berlebihan dari landasan gigi tiruan. Saat penggunaan

white brush, pada permukaan fasial digunakan tekanan seringan

mungkin dan putaran roda serendah mungkin agar tidak merusak

kountur asli, serta untuk permukaan landasan yang menghadap

jaringan tidak boleh dipoles (Itjiningsih, 1991:187-189).

Anda mungkin juga menyukai