Anda di halaman 1dari 5

MATERI 8

RISK PERCEPTION

8.1 Pengertian Risk Perception


Risk perception didefinisikan sebagai pikiran, kepercayaan, dan konstruk seseorang akan
kejadian-kejadian negatif yang mungkin terjadi pada suatu kejadian (Oltedal, 2004). Selain itu risk
perception dapat dijelaskan juga sebagai hal yang dapat menimbulkan protective behavior (perilaku
perlindungan ataupun perilaku pencegahan) pada individu (Brewer, 2004). Pendapat lain oleh Weber,
Blais, dan Betz (2002) menyatakan bahwa risk perception adalah sekumpulan pikiran yang tidak realistis
terhadap risiko dan pikiran ini terlibat dalam proses pengambilan keputusan, yang pada akhirnya
keputusan ini disebut sebagai perilaku-perilaku berisiko, perilaku yang terlibat didalamnya seperti
berjudi, merokok, mengebut, dan mencontek. Lennart Sjöberg (2004) memberikan padangan lain
mengenai risk perception yaitu penilaian subjektif terhadap kemungkinan terjadinya suatu kecelakaan
dan kecenderungan seseorang peduli akan konsekuensi yang ditimbulkannya. Sedangkan penelitian lain
mengenai risk perception dari sudut pandang teori budaya menyatakan bahwa tidak ada hubungan
antara persepsi tentang risiko terhadap informasi dan pengetahuan yang dimiliki oleh individu. Risk
perception lebih didasari pada kepercayaan dan nilai yang ditanamkan oleh lingkungan sosial pada
individu (Rippl, 2002). Pandangan lain dari Wolff (2012) tentang pengambilan keputusan dan perilaku
berisiko mendapatkan hasil yang berbeda dari penelitian oleh Rippl. Penelitian ini menghasilkan
kesimpulan bahwa perilaku berisiko merupakan hasil integrasi dari faktor kognitif dan juga dari faktor
afektif. Hal ini diperkuat dengan dual model process theory yang menyatakan bahwa pengambilan
keputusan terhadap perilaku-perilaku berisiko terjadi bukan hanya berdasarkan pemikiran rasional saja,
melainkan ada faktor afektif juga yang berperan didalamnya (Machin, 2007). Pendapat lain mengenai
risk perception dikemukakan oleh Inouye. Inouye (2014) mendefinisikan risk perception sebagai 8
kemampuan individu untuk memahami kondisi dari risiko yang akan diterimanya dari perilaku yang
dilakukannya. Definisi utama yang akan dipergunakan dalam mendefinsikan risk perception dalam
penelitian ini adalah definisi yang dikemukakan oleh Rhodes (2010), yaitu risk perception merupakan
pandangan individu mengenai risiko dan manfaat dari perilaku yang dilakukannya.

8.2 Faktor yang Mempengaruhi Risk Perception


Menurut Inouye (2014) ada tiga faktor penyebab atau pembentuk risk perception pada individu. Ketiga
faktor tersebut adalah:

8.2.1 Macro Level


Faktor level makro, yaitu kebudayaan dan lingkungan disekitar individu yang pada akhirnya membentuk
kepercayaan inidividu bahwa risiko yang akan diterima rendah. Contohnya adalah banyaknya pengendara
kendaraan yang menggunakan telepon genggam mereka ketika sedang mengemudi. Karena di
lingkungan sekitar banyak yang melakukan hal ini, maka orang akan mempersepsikan bahwa hal ini
bukanlah yang yang berisiko.

8.2.2 Meso Level


Faktor level meso, yaitu komunitas ataupun lingkungan pertemanan yang menenekan individu untuk
percaya bahwa perilaku berisiko yang dilakukannya adalah perilaku yang tidak berisiko, dalam hal ini
biasanya terjadi pada remaja. Contohnya adalah individu akan mengebut atau membuat manuver yang
berbahaya karena mendapat tekanan dari penumpang (teman).

8.2.3 Micro Level


Faktor level mikro, yaitu pengetahuan yang dimiliki oleh individu terhadap situasi yang dihapainya. Selain
itu ada juga bias optimisme dalam faktor level mikro ini. Bias optimisme adalah kepercayaan individu
bahwa hal buruk jarang terjadi padanya sehingga ia akan cenderung melakukan perilaku berisiko.
Contohnya adalah keengganan pengendara mengenakan peralatan keamanan seperti helm maupun
sabuk pengaman karena merasa selama ia berkendara, ia tidak mengenakannya, dan selama itu pula ia
tidak pernah mengalami kecelakaan, atupun karena ia percaya kemampuannya mengemudi sudah
mumpuni, jadi ia tidak akan mengalami kecelakaan.

8.3 Teori yang Berkaitan dengan Risk Perception


8.3.1 Protection Motivation Theory

Protection Motivation Theory (PMT) merupakan teori yang dikembangkan oleh Rogers (1975).
Protection Motivation Theory (PMT) adalah teori perilaku yang berfungsi mengembangkan intervensi
untuk mengurangi ancaman pada individu dengan penelitian dan mengintegerasikan konsep psikologis,
sosiologis dan bidang lain yang terkait. Teori ini telah digunakan dalam penelitian dengan dua bentuk,
yaitu:

PMT digunakan sebagai kerangka kerja untuk mengembangkan dan


mengevaluasi komunikasi yang persuasif.
PMT digunakan untuk model sosial kognisi untuk memprediksi perilaku
sehat.
Teori ini mengatakan bahwa peringatan yang menakutkan (fear appeals) mungkin efektif untuk
merubah sikap dan perilaku (Hovlan et al., 1953). Ketakutan dapat menjadi tenaga penggerak yang
memotivasi perilaku trial and error. Jika seseorang menerima informasi yang menakutkan, maka
seseorang akan termotivasi untuk menurunkan kondisi emosional yang tidak menyenangkan. Jika
informasi juga mengandung saran untuk berperilaku tertentu, mengikuti saran merupakan salah satu
cara untuk menurunkan ancaman. Jika saran untuk berperilaku dapat menurunkan ketakutan, maka
perilaku tersebut akan diperkuat dan kemungkinan untuk melakukan perilaku di masa yang akan datang
akan meningkat. Tetapi jika saran tersebut tidak menurunkan ketakutan atau tidak ada saran untuk
melakukan perilaku seperti menghindar atau menyangkal, akan digunakan untuk menurunkan tingkat
ketakutan.

Motivasi untuk melindungi diri bergantung pada empat faktor, yaitu:

Perceived severity (tingkat keparahan), dari kejadian yang menakutkan,


misalnya serangan jantung.
Perceived vvulnerability (tingkat kerentanan), misalnya tingkat
kerentanan seseorang terkena serangan jantung.
Perceived resnponse efficacy (tingkat kemanjuran respon)
Perceived self-efficacy (tingkat kepercayaan diri), kepercayaan diri
individu terhadap satu kemampuan untuk melakukan perilaku
pencegahan yang direkomendasikan.

Gambar 8.1 Konsep Protection Motivation Theory (PMT)

8.3.2 Risk Compensation


Menurut Tohardi, (2002:416) Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya kompensasi
adalah sebagai berikut:

Produktivitas
Pemberian kompensasi melihat besarnya produktivitas yang disumbangkan oleh tenaga
kerja (karyawan) kepada pihak organisasi atau perusahaan.
Kemampuan untuk membayar
Secara logis ukuran pemberian kompensasi sangat bergantung kepada kemampuan
organisasi atau perusahaan dalam membayar gaji atau upah tenaga kerja.
Kesediaan untuk membayar
Berkaitan dengan item dua diatas, maka walaupun organisasi atau perusahaan mampu
untuk membayar kompensasi, maka belum tentu organisasi atau perusahaan tersebut mau
membayar kompensasi dengan layak dan adil.
Penawaran dan permintaan tenaga kerja
Penawaran dan permintaan tenaga kerja cukup berpengaruh terhadap pemberian
kompensasi. Jika permintaan tenaga kerja banyak oleh perusahaan, maka kompensasi
cenderung tinggi, demikian sebaliknya jika penawaran tenaga kerja ke organisasi atau
perusahaan banyak (over supply), maka pembayaran kompensasi cenderung menurun
(rendah).

Organisasi karyawan
Organisasi tenaga kerja (karyawan) yang ada di organisasi atau perusahaan seperti
pekerja akan turut mempengaruhi kebijakan besar kecilnya pemberian kompensasi.
Peraturan dan perundang-undangan
Adanya peraturan dan perundang-undangan yang ada akan mempengaruhi kebijakan
perusahaan dalam pemberian kompensasi, misalnya diberlakukannya pemberian upah
minimum regional (UMR).

8.3.3 Situated Rationality Theory


Seseorang memilih untuk mengambil risiko bahwa lebih jelas dari asumsi seorang yang “gila”
secara sederhana atau mencari sensasi. Individu yang berjemur dibawah sinar matahari atau melakukan
tanning beresiko terkena kanker kulit untuk meningkatkan citra tubuhnya. Pekerja mungkin tidak
menggunakan perlengkapan keselamatan pribadi karena lebih nyaman atau mudah dan mungkin tidak
mengikuti prosedur keselamatan kerja untuk melengkapi pekerjaan yang lebih efisien. Struktur bisnis
dan sistem produksi tertanam cenderung memberi penghargaan kebiasaan tidak aman karena potensi
keuntungan pada kompensasi, output dan pengakuan.

8.3.4 Habituated Action Theory


Terlibat dalam perilaku berisiko tinggi berkali-kali tanpa hasil yang negatif sering mengurangi
risiko yang dirasakan terkait dengan perilaku ini. Mereka yang berulang kali melakukan tindakan berisiko
tinggi tanpa konsekuensi buruk akhirnya menjadi tidak peka terhadap risikonya. Misalnya, risiko
overdosis dari suntikan heroin hanyalah "hal sehari-hari" yang diterima pengguna sebagai bagian dari
kebiasaan mereka. Dalam studi keterikatan mereka terhadap ponsel, Weller (2013) menemukan bahwa
mereka yang terbiasa menggunakan ponsel saat mengemudi memiliki persepsi risiko yang lebih rendah
daripada mereka yang memiliki proporsi perjalanan yang lebih rendah saat menggunakan ponsel.
pengambilan risiko dapat menyebabkan lingkaran setan perilaku yang lebih berbahaya jika konsekuensi
negatif tidak terwujud dengan cepat.

8.3.5 Social Action Theory


Konsep dasar pertama dikembangkan dalam teori Max Weber untuk mengamati bagaimana
perilaku manusia berhubungan dengan sebab dan akibat di ranah sosial. Bagi Weber, sosiologi adalah
studi tentang masyarakat dan perilaku dan karena itu harus melihat inti interaksi. Teori tindakan sosial,
lebih dari sekadar posisi fungsional struktural , menerima dan mengasumsikan bahwa manusia
memvariasikan tindakan mereka sesuai dengan konteks sosial dan bagaimana hal itu akan
mempengaruhi orang lain. Bila reaksi potensial tidak diinginkan, tindakan tersebut dimodifikasi sesuai
dengan itu. Tindakan dapat berarti tindakan dasar (tindakan yang memiliki makna ) atau tindakan sosial
lanjutan, yang tidak hanya memiliki makna namun diarahkan pada aktor lain dan menyebabkan tindakan
(atau, mungkin, tidak bertindak ).

8.3.6 Social Control Theory


Pertama kali diperkenalkan oleh Hirschi (1969). Keterhubungan dengan organisasi mendorong
kesesuaian perilaku, yang dapat mengurangi kemungkinan perilaku berisiko tinggi. Koneksi individu dan
afiliasi dengan sekolah atau tempat kerja memiliki pengaruh positif terhadap persepsi risiko. Mampu
berpartisipasi dalam identifikasi bahaya dan berkontribusi terhadap perbaikan keselamatan di tempat
kerja membangun afiliasi dengan sebuah organisasi dan mengarah pada praktek kerja yang lebih aman

Anda mungkin juga menyukai