Destialisma
Staf Peneliti pada BPTP Bali
ABSTRAK
Pembuatan minyak kelapa murni (Virgin Coconut oil) dapat dilakukan melalui beberapa cara,
diantaranya melalui cara fermentasi, secara mekanis atau dengan penambahan asam. Pengkajian penggunaan
asam cuka untuk melihat pengaruhnya terhadap rendemen minyak kelapa murni yang dihasilkan telah dilakukan
laboratorium di BPTP Bali pada bulan Juni 2005. Pengkajian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak
lengkap (RAL) dengan 4 ulangan. Perlakuan yang diterapkan adalah penambahan asam cuka sebanyak: 1) 1%, 2)
2%, 3)3%, 4)4% dan 5)5% dari total krim santan. Paramater yang diamati adalah berat awal kelapa, jumlah krim
santan yang terbentuk, jumlah minyak kelapa murni yang diperoleh, jumlah minyak goreng yang diperoleh,
jumlah total minyak yang diperoleh dan jumlah rendemen minyak yang diperoleh. Hasil pengkajian menunjukkan
penggunaan asam cuka menghasilkan rendemen minyak kelapa murni rata-rata sebesar 5.96% dengan rendemen
tertinggi 7.02% diperoleh dari perlakuan dengan penambahan asam cuka sebanyak 1%. Sementara rendemen
minyak total yang diperoleh relatif cukup tinggi, yaitu mencapai rata-rata 19.52 persen dengan rendemen tertinggi
diperoleh dari perlakuan dengan penambahan asam cuka sebanyak 2 persen yang menghasilkan rendemen sebesar
20.69 persen. Selain itu juga diperoleh minyak goreng.
Kata kunci : penggunaan asam cuka, minyak kelapa murni
PENDAHULUAN
Hasil penelitian dari beberapa ahli ahir-ahir ini menunjukkan bahwa minyak kelapa
merupakan minyak yang tersehat dibandingkan minyak-minyak lainnya. Hal ini menepis isu
yang selama ini beredar bahwa minyak kelapa adalah penyebab penyakit aterosklerosis
(Penyumbatan pembuluh darah) (Kompas, 2004). Akan tetapi minyak kelapa yang dimaksud
adalah minyak kelapa murni (Virgin Coconut Oil).
Minyak Kelapa Murni (virgin coconut oil) adalah minyak yang dibuat dengan
menggunakan bahan baku kelapa segar berupa santan atau parutan kelapa yang diproses
dengan perlakuan mekanis dan pemakaian panas minimal. Cara ini dimaksudkan untuk
mempertahankan struktur bahan kimia tanaman yang terjadi secara alami. Ciri-ciri minyak
kelapa murni ini adalah bening (tidak berwarna), memiliki aroma dan rasa khas buah kelapa
(Alam Syah, 2005).
Rindengan dan Novarianto (2004), menyatakan bahwa terdapat berbagai cara untuk
membuat minya kelapa murni. Salah satu cara pembuatan minyak kelapa murni yang banyak
dilakukan saat ini adalah dengan fermentasi. Proses fermentasi dimaksudkan untuk dapat
mengekstrak minyak dari dalam santan. Untuk itu perlu terlebih dahulu mengatur kondisi
awal sehingga proses fermentasi dapat berlangsung dengan sempurna. Salah satu cara yang
dapat dilakukan adalah menambahkan asam kedalam santan sebelum fermentasi
berlangsung. Dengan demikian diharapkan ekstraksi minyak dalam santan dapat terjadi
secara optimal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh penambahan asam
cuka terhadap rendemen produksi minyak kelapa murni yang dihasilkan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 360
Seminar Nasional 2005
Pengkajian dilakukan dengan metode Rancangan Acak Lengkap (Steel and Torrie,
1991) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Sebagai perlakuan adalah jumlah asam cuka yang
ditambahkan kedalam santan yaitu masing-masing: 1) 1%, 2) 2%, 3) 3%, 4) 4% dan 5)5%
dari total krim santan.
Parameter yang diamati adalah berat awal kelapa, jumlah santan kental (krim) yang
terbentuk, jumlah minyak kelapa murni, jumlah minyak goreng dan jumlah minyak total
yang diperoleh serta rendemen minyak kelapa murni, minyak goreng dan minyak total yang
diperoleh.
Pengukuran variable jumlah santan kental (krim) dan jumlah minyak yang diperoleh
dilakukan dengan cara langsung mengukurnya dengan gelas ukur dan timbangan. Sementara
Rendemen dihitung dengan rumus:
Ulangan
Penambahan Asam cuka Jumlah
1 2 3 4
1% 660 660 650 650 2,620
2% 660 660 650 650 2,620
3% 660 660 650 650 2,620
4% 660 660 650 650 2,620
5% 660 660 650 650 2,620
Rata-rata 660 660 650 650 655
Sumber : Hasil pengamatan
Dari tabel 1. terlihat bahwa rata-rata berat kelapa yang digunakan adalah 655 gram
per buah. Jumlah ini relatif besar, mengingat jenis kelapa yang digunakan adalah jenis
"kelapa dalam" yang memang merupakan jenis kelapa yang pada umumnya dipakai untuk
pembuatan minyak. Pada umumnya kelapa dalam jenis yang besar (Grade A) memiliki berat
daging buah antara 500 – 750 gram per butirnya. Selain memiliki daging yang tebal dan
berwarna putih bersih. Di Bali pada umumnya banyak tumbuh jenis kelapa dalam dan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 361
Seminar Nasional 2005
turunannya. Bahkan salah satu sumber plasma nutfah „kelapa dalam‟ berasal dari Bali dan
dikenal dengan nama
"Kelapa Dalam Bali", kelapa jenis ini terkenal mengandung kadar minyak cukup
tinggi. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Balitka bekerjasama dengan IPB
didapatkan bahwa kadar minyak dari kelapa dalam lokal cukup tinggi, yaitu berkisar antara
59.63 – 60.37% pada umur panen 11 -12 bulan (Rindengan dan Novarianto, 2004)
Ulangan
PenambahanAsam cuka Jumlah
1 2 3 4
1% 460 410 410 340 1,620
2% 600 430 390 360 1,780
3% 500 420 460 360 1,740
4% 510 410 410 380 1,710
5% 460 467 480 270 1,677
Rata-rata 506 427 430 342 426
Sumber : Data primer yang diolah
Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah krim rata-rata yang diperoleh sebesar 426 ml.
Santan hasil pemerasan perutan kelapa adalah sistem emulsi sementara antara minyak
dengan air. Winarno (2002) mengatakan, bila emulsi sementara dibiarkan maka partikel-
pertikel minyak akan kembali bergabung dan memisahkan diri dari molekul air. Dengan
pendiaman selama 4 jam, maka emulsi santan akan mengalami pemisahan menjadi dua fase
yang berbeda yaitu fase krim dan fase skim. Skim yang didominasi oleh air akan menempati
bagian bawah, sedang krim yang didominasi oleh partikel yang mengandung minyak akan
naik ke permukaan (Dean, 1960).
Jumlah krim santan yang diperoleh tergantung pada kandungan minyak yang
terdapat dalam kelapa. Semakin banyak kandungan minyak, maka krim yang terbentuk akan
semakin banyak. Akan tetapi untuk menghasilkan krim santan yang tinggi diperlukan
kemampuan untuk mengeluarkan/mengekstraknya dari kelapa parut. Kemampuan
mengekstrak ini dipengaruhi oleh penggunaan air hangat dan kekuatan memeras. Air hangat
akan lebih mampu mengekstrak santan dibanding air dingin karena air hangat lebih dapat
melarutkan lemak. Sementara tenaga yang kuat akan lebih mampu mengekstrak krim santan
dari parutan kelapa dibandingakan tenaga yang kurang kuat.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 362
Seminar Nasional 2005
Jumlah minyak kelapa murni yang diperoleh disajikan dalam Tabel 3. Dari Tabel 3.
terlihat bahwa rata-rata jumlah minyak kelapa murni yang diperoleh adalah sebanyak 39.06
ml per kelapa. Jumlah minyak kelap murni ini belum memadai karena Rindengan dan
Novarianto (2004) menyebutkan bahwa 1 liter minyak kelapa murni dapat diperoleh dari 10
– 17 butir kelapa. Akan tetapi dari proses ini, didapatkan hasil sampingan berupa minyak
goreng.
Tabel 3. Jumlah Minyak Kelapa Murni yang Diperoleh (ml) Kelapa
Ulangan
Perlakuan Jumlah
1 2 3 4
1% 57 28 12 88 184,00
2% 60 72 9 26 167,00
3% 53 47 25 16 141,00
4% 67 35 11 43 156,00
5% 66 29 5 35 134,00
Jumlah 303 210 61 207 781,00
Rata-rata 61 42 12 41 39.06
Sumber : Data primer yang diolah
Ulangan
Perlakuan Jumlah
1 2 3 4
1% 78 105 57 103 342,00
2% 112 60 103 101 376,00
3% 65 88 100 114 367,00
4% 70 105 107 96 378,00
5% 71 45 105 94 315,00
Jumlah 396 403 472 507 1.777,00
Rata-rata 79 81 94 101 88,85
Sumber : Data primer yang diolah
Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah minyak goreng yang diperoleh adalah
sebanyak 88.85 ml per kelapa.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 363
Seminar Nasional 2005
Seperti terlihat pada Tabel 5. rata-rata jumlah minyak total yang diperoleh adalah
sebanyak 128 ml per kelapa atau mencapai kurang lebih 3.84 liter per 30 butir kelapa.
Jumlah ini sedikit diatas rata-rata minyak yang diperoleh melalui suatu penelitian di Balitka,
dimana masih 30 butir kelapa menghasilkan 37.5 liter minyak (Rindengan dan Novarianto,
2004)
KESIMPULAN
Uji statistik menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan atas perlakuan
penambahan cuka terhadap rendemen minyak yang dihasilkan.
Dari Pengkajian diperoleh rendemen produksi minyak kelapa murni rata-rata sebesar
5.95%, dengan rendemen tertinggi sebesar 7.03% diperoleh dari perlakuan penambahan
asam cuka 1%. Rendemen ini belum optimal, akan tetapi dari proses ini diperoleh hasil
samping berupa minyak goreng.
Total minyak diperoleh mencapai rendemen rata-rata sebesar 19.52%. rendemen
tertinggi total minyak sebesar 20.69% diperoleh dari perlakuan dengan penambahan asam
cuka 2%. Jumlah ini relatif tinggi dibandingkan dengan cara pembuatan minyak biasa yang
dilakukan selama ini.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 364
Seminar Nasional 2005
DAFTAR PUSTAKA
Alam Syah, A.N., 2005. Virgin Coconut Oil, Minyak Penakluk Aneka Penyakit. Agromedia
Pustaka. Jakarta
Dean, R.S. 1960. Modern Colloid. D. Van Nostrand Company Inc., New York
Johannes, H. 1974. Kimia Koloid dan Kimia Permukaan. Universitas Gajah Mada,
Jogyakarta
Kompas. 29 Juli 2001. Minyak Kelapa Oke. Diakses dari "http://www.kompas.com" Selasa,
2 Nopember 2004
Rindengan, B dan Hengki N. 2004. Pembuatan dan Pemanfaatan Minyak Kelapa Murni.
Penebar Swadaya, Jakarta
Steel, R.G.D and Torrie. 1994. Prinsip dan Prosedur Statistik. Diterjemahkan oleh Bambang
Sumantri. Edisi Kedua. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 365
Seminar Nasional 2005
Destialisma
Staf Peneliti pada BPTP Bali
ABSTRAK
Berbagai starter dapat digunakan untuk pembuatan minyak kelapa dengan teknik fermentasi. Dengan
ketersediaannya yang cukup banyak dan hampir tidak memiliki nilai ekonomis, air kelapa dapat dimanfaatkan
sebagai starter bagi pembuatan minyak kelapa dengan cara fermentasi. Pengkajian untuk melihat pengaruh
penggunaan starter air kelapa terhadap rendemen minyak kelapa yang dihasilkan telah dilakukan di BPTP Bali
pada bulan Juni 2005. Pengkajian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4
ulangan. Perlakuan yang diterapkan adalah penambahan starter air kelapa sebanyak: 1) 5%; 2) 7.5%; 3)10%;
4)12.5%; dan 5)15% dari total krim santan. Paramater yang diamati adalah berat awal kelapa, jumlah krim santan
yang terbentuk, jumlah blondo yang diperoleh, jumlah minyak kelapa serta rendemen yang diperoleh. Secara
statistik, hasil pengkajian menunjukkan bahwa jumlah penambahan starter air kelapa yang digunakan tidak
berpengaruh nyata terhadap rendemen minyak yang dihasilkan. Rendemen rata-rata yang diperoleh adalah
sebesar 21.86% dengan rendemen tertinggi sebesar 22.75% diperoleh dari perlakuan dengan penambahan starter
air kelapa sebanyak 12.5%.
Kata Kunci : Minyak kelapa, fermentasi, starter, air kelapa, rendemen
PENDAHULUAN
Minyak kelapa merupakan produk utama yang paling sering dibuat oleh petani
kelapa. Secara tradisonal pembuatan minyak kelapa dilakukan dengan mengektraksi minyak
dari santan kelapa dengan pemanasan sehingga diperoleh minyak dan ampas minyak.
Minyak kelapa yang diperoleh dikenal dengan sebutan minyak kelentik. Ciri-ciri minyak
kelentik adalah berbau khas minyak kelapa dan berwarna jernih hingga berwarna agak
kekuningan (Setiaji dan Sugiharto, 1981). Namun pembuatan minyak dengan cara tradisonal
ini memiliki kelemahan yaitu banyak menghabiskan kayu api/bahan bakar, karena proses
pemasakannya berlangsung cukup lama (kurang lebih 3 jam untuk 10 butir kelapa).
Perbaikan teknologi yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelemahan pembuatan
minyak secara tradisonal ini adalah melalui teknik fermentasi (Rindengan dan Novarianto,
2004). Fermentasi adalah suatu proses ekstraksi minyak dari santan segar yang dilakukan
dengan penambahan starter. Starter yang mengandung senyawa pemecah protein akan
memecah emulsi dalam santan sehingga minyak sebagian terektraksi, sementara sebagian
lagi tetap harus diektraksi dengan menggunakan panas. Akan tetapi, berbeda dengan
pembuatan minyak tradisonal, penggunaan panas dalam proses fermentasi ini jauh lebih
sedikit karena santan yang dipanaskan sudah berupa krim santan (santan kental) dan tidak
lagi bercampur dengan air yang sengaja ditambahkan untuk mengeluarkan santan dari kelap
parut. Selain itu minyak yang dihasilkan dengan cara ini biasanya memiliki mutu lebih baik
dan warna lebih jernih.
Salah satu jenis starter yang dapat digunakan dalam pembuatan minyak kelapa
adalah air kelapa. Air kelapa merupakan media tumbuh yang baik bagi mikroba terutama
dari kelompok bakteri (Ketaren dan Jatmiko, 1985). Air kelapa mengandung senyawa karbon
dan nitrogen yang dibutuhkan bagi pertumbuhan mikroba. Mikroba-mikroba ini kemudian
akan merubah gula dalam air kelapa menjadi senyawa asam yang akan menyebabkan minyak
terektraksi.
Tujuan
Tujuan pengkajian adalah untuk melihat pengaruh penambahan starter air kelapa
terhadap rendemen produksi minyak kelapa yang dihasilkan melalui proses fermentasi.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 366
Seminar Nasional 2005
Metodologi
Pengkajian dilakukan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali pada
bulan Juni 2005. Bahan Baku yang digunakan adalah kelapa tua yang berumur kurang lebih
10 –12 bulan yang ditandai dengan kulit yang sudah berwarna kecoklatan dan air kelapa.
Alat yang digunakan adalah golok, alat pencungkil kelapa, alat pemarut, saringan, baskom,
ember transparan, panci, gelas ukur, botol dan wajan penggoreng.
Rancangan percobaan yang dipakai adalah Rancangan Acak Lengkap (Steel and
Torrie, 1991) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Sebagai perlakuan adalah jumlah air kelapa
yang ditambahkan sebagai starter yaitu masing-masing: 1) 5%; 2) 7.5%; 3) 10%; 4) 12.5%;
dan 5)15% dari total krim santan.
Parameter yang diamati adalah berat awal kelapa, jumlah santan kental (krim) yang
diperoleh, jumlah blondo yang diperoleh, jumlah minyak yang diperoleh dan rendemen
minyak yang diperoleh.
Pengukuran variable jumlah santan kental (krim), jumlah minyak dan jumlah blondo
yang diperoleh dilakukan dengan cara langsung mengukurnya dengan gelas ukur dan
timbangan. Sedang Rendemen minyak diukur dengan rumus :
Ulangan
Penambahan Air Kelapa Jumlah
1 2 3 4
5% 701 701 701 701 2.804
7,50% 701 701 701 701 2.804
10% 701 701 701 701 2.804
12,50% 701 701 701 701 2.804
15% 701 701 701 701 2.804
Jumlah 3.505 3.505 3.505 3.505 14.020
Rata-rata 701 701 701 701 701
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 367
Seminar Nasional 2005
Dari tabel 1. terlihat bahwa rata-rata berat kelapa yang digunakan adalah 701 gram
per kelapa. Besarnya berat awal kelapa ini adalah disebabkan jenis kelapa yang digunakan
adalah jenis „kelapa dalam‟. Kelapa Dalam sangat cocok digunakan dalam pembuatan
minyak karena jenis „kelapa dalam‟ terkenal mengandung kadar minyak cukup tinggi, yaitu
sekitar 59.63 – 60.37% (Rindengan dan Novarianto, 2004). Pada umumnya „kelapa dalam‟
jenis besar (Grade A) memiliki berat daging buah antara 500 – 750 gram per butirnya. Di
Bali banyak tumbuh jenis kelapa dalam dan turunannya. Bahkan salah satu sumber plasma
nutfah „kelapa dalam‟ berasal dari Bali dan dikenal dengan nama „Kelapa Dalam Bali‟.
Ulangan
Penambahan Air Kelapa Jumlah
1 2 3 4
5% 510 392,0 400 600 1.902,00
7,50% 280 437,0 400 435 1.552,00
10% 420 234,0 400 330 1.384,00
12,50% 410 400,0 390 480 1.680,00
15% 415 446,0 400 570 1.831,00
Jumlah 2.035 1.909,0 1.990 2.415 8.349,00
Rata-rata 407 381,8 398 483 417,45
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 368
Seminar Nasional 2005
Minyak diperoleh dari ekstraksi krim santan. Krim santan adalah emulsi tetap
(permanen emulsi) antara minyak dan air. Molekul minyak terdispersi dalam molekul air
dengan kelilingi oleh lapisan protein. Untuk dapat mengeluarkan minyak dari lapisan
proteinnya maka lapisan protein ini harus dapat diputus atau dibuka. Cara-cara yang dapat
dilakukan untuk memecah emulsi adalah dengan melalui pemanasan atau penggunaan asam
(Suhadijono dan Syamsiah, 1987; Johanes, 1974).
Fermentasi yang dilakukan dengan menggunakan substrat air kelapa akan
menyebabkan minyak terektraksi. Air kelapa merupakan media yang sangat baik bagi
pertumbuhan mikroba. Dengan didiamkan selama kurang lebih 4 jam, mikroba yang hidup
dalam air kelap akan memfermentasi gula menjadi asam. Asam ini akan menurunkan pH
krim santan menjadi sekitar 4.5. Pada pH ini protein mencapai titik iso elektrik dan
menyebabkan lapisan protein yang melingkupi minyak terputus sehingga minyak keluar dan
naik ke permukaan. Krim santan akan terpisah menjadi minyak, blondo dan air kelapa.
Tidak semua minyak dapat terekstrak oleh asam. Sebagian besar minyak tetap
berada dalam emulsi yang berupa blondo. Untuk mengektrak minyak dari blondo dilakukan
pemanasan. Dengan pemanasan lapisan protein yang melindungi minyak akan terpecah dan
minyak akan keluar meninggalkan emulsinya.
Ulangan
Penambahan Air Kelapa Jumlah
1 2 3 4
5% 32,60 34,30 32,40 44,40 143,70
7,50% 25,50 26,30 41,40 39,80 133,00
10% 38,40 20,40 30,80 49,00 138,60
12,50% 22,70 23,90 25,00 53,40 125,00
15% 30,80 33,50 29,00 27,20 120,50
Jumlah 150,00 138,40 158,60 213,80 660,80
Rata-rata 30,00 27,68 31,72 42,76 33,04
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 369
Seminar Nasional 2005
Pada Tabel 5, terlihat bahwa rendemen teringgi sebesar 22.75 persen dihasilkan oleh
perlakuan penambahan air kelapa sebanyak 12.5% dari total krim. Sedang rendemen rata-
rata produksi adalah sebesar 21.86%.
Secara statistika perlakuan penambahan jumlah starter air kelap tidak berpengaruh
nyata terhadap rendemen minyak kelapa yang diperoleh. Akan tetapi produksi minyak
kelapa dengan memakai starter air kelapa dengan cara fermentasi menghasilkan rendemen
produksi yang layak untuk dilakukan, karena menghasilkan rendeman yang relatif tinggi
dibandingkan dengan pembuatan minyak dengan cara tradisional. Selain itu produksi ini juga
mampu menghemat penggunaan bahan bakar, karena hanya memerlukan pemanasan
sebentar saja.
KESIMPULAN
Meski tidak berpengaruh nyata secara statistik, produksi minyak kelapa dengan
menggunakan starter air kelapa secara fermentasi mampu menghasilkan rendemen rata-rata
yang cukup tinggi yaitu sekitar 21.86%. Hasil rendemen tertinggi sebesar 22.75 persen
diperoleh dari perlakuan dengan penambahan air kelapa sebanyak 12.5% dari total krim
santan. Produksi minyak kelapa dengan cara fermentasi juga layak secara ekonomis karena
mampu menghemat bahan bakar yang diperlukan selama proses pemanasan.
DAFTAR PUSTAKA
Dean, R.S. 1960. Modern Colloid. D. Van Nostrand Company Inc., New York
Johannes, H. 1974. Kimia Koloid dan Kimia Permukaan. Universitas Gajah Mada,
Jogyakarta
Ketaren, S dan B. Jatmiko. 1985. Daya Guna Hasil Kelapaa. Agro Industri Press, Bogor
Rindengan, B dan Hengki N. 2004. Pembuatan dan Pemanfaatan Minyak Kelapa Murni.
Penebar Swadaya, Jakarta
Setiaji, B dan E. Sugiharto. 1981. Pembuatan Minyak Kelapa Dengan Cara Fermentasi.
“Warta Pergizi Pangan Vol. 2 No. 1”. Pergizi Pangan Cabang Jogyakarta.
Jogyakarta.
Steel, R.G.D and Torrie. 1994. Prinsip dan Prosedur Statistik. Diterjemahkan oleh Bambang
Sumantri. Edisi Kedua. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Suhadijono dan S. Syamsiah. 1987. Pembuatan Minyak Kelapa Dengan Cara Fermentasi.
Lanjutan Simposium Bioproses dalam Industri Pangan. Tanggal 13 – 14 Januari
1997 di Jogyakarta. PAU Pangan dan Gizi UGM. Liberty, Jogyakarta
Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 370
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian Pola Pertanaman Konservasi Ladang Rendah Risiko di Daerah Tangkapan
Air Bendungan Tilong. selama 6 bulan (Desember 2003 – Juni 2004) Tujuan penelitian adalah a) mengetahui
tingkat efisiensi penggunaan lahan dengan penerapan pola pertanaman ladang di daerah tangkapan air Bendungan
Tilong dan b) mendapatkan model pola pertanaman ladang rendah risiko dalam hal mempertahankan daya
dukung lahan dan sosial ekonomi di kawasan tangkapan air Bendungan Tilong. Rancangan Percobaan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 blok dan 3 perlakuan. Perlakuannya adalah : 1)
Pola petani : tumpangsari jagung + kacang nasi + labu yang ditanam dengan jarak yang tidak teratur, (2) Pola
perbaikan 1 : tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro yang ditanam searah garis kontur dan (3) Pola
perbaikan 2 : tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro // rumput yang ditanam searah garis kontur.
Simpulan hasil penilitian ini adalah 1) Secara ekonomi pola pertanaman perbaikan 2 (tumpang sari jagung +
kc.nasi + labu // lamtoro // rumput) memiliki nilai LER tertinggi, namun karena memiliki risiko tinggi maka perlu
dikombinasikan dengan pola perbaikan 1 dan pola petani dengan proporsi 27,4% disarankan untuk diusahakan
dengan pola perbaikan 2, sekitar 27% pola introduksi 1 dan 9,6% disarankan mengusahakan dengan pola petani
dan sisanya dibero, dan 2) Pola perbaikan 1 dan 2 mudah diterima petani di kawasan ini karena komoditi yang
dimasukkan dalam pola pertanaman adalah komoditi yang sudah biasa diusahakan petani dan yang memiliki
multi fungsi sebagai tanaman konservasi, bahan pakan ternak dan juga sebagai sumber pendapatan.
Kata kunci : Pola pertanaman, ladang, risiko, pengaruh, sosial-ekonomi, bendungan Tilong, daerah tangkapan
air.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki curah hujan yang sangat rendah
untuk kebutuhan usahatani. Menurut klasifikasi Oldeman, tipe iklim di NTT adalah D3 - E4
yang berarti agak kering sampai kering. Disamping iklim kering, tipe lahan usahataninya
adalah lahan kering semi ringkai. Lahan kering yang sangat luas merupakan faktor pembatas
alamiah bagi manusia di NTT dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan pangannya (Kepas,
1985).
Luas lahan kering di NTT jauh lebih luas dari lahan basah. Berdasarkan Peta Zona
Agro Ekologi (ZAE) skala 1 : 250.000, diketahui bahwa total luas lahan basah di NTT hanya
43.412 ha (0,9 %) sedangkan luas lahan kering di NTT mencapai 4.691.588 ha atau dengan
kata lain, luas lahan kering mencapai 99,1 % dari luas total lahan di NTT. Sebagai daerah
yang di dominasi oleh lahan kering, masalah pertanian yang dominan dihadapi petani di
wilayah ini adalah rendahnya kesuburan tanah, ketidak pastian curah hujan serta tingginya
suhu udara yang juga menyebabkan tinggi evaporasi transpirasi yang semuanya
menyebabkan tingginya risiko usahatani di wilayah ini (Basuki dkk, 1997 dan Kepas, 1985).
Usaha-usaha yang dilakukan untuk memenuhi kekurangan air pada musim kemarau
adalah dibangunnya jebakan-jebakan air, embung-embung dan bendungan sehingga masalah
kekurangan air ini dapat diminimalkan. Bendungan Tilong, di Desa Oelnasi, Kecamatan
Kupang Tengah, Kabupaten Kupang adalah salah satu contoh usaha yang telah dilakukan
untuk maksud tersebut, disamping keperluan yang lain seperti pariwisata, air minum, air
irigasi dan tata hidrologi air tanah (Anonimous, 1998).
Usahatani ladang yang dipraktekkan petani di daerah tangkapan air Bendungan
Tilong merupakan salah satu usahatani yang memiliki risiko. Risiko tersebut karena petani
selalu dihadapkan pada berbagai hal antara lain berfluktuasi hasil yang diperoleh, variasi
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 371
Seminar Nasional 2005
curah hujan dan penurunan kesuburan tanah yang pada akhirnya berpengaruh pada
penurunan pendapatan petani yang cenderung tidak stabil dari tahun ke tahun.
Keberlanjutan usahatani di daerah tangkapan air Bendungan Tilong dan umur
bendungan serta kualitas air di bendungan tersebut dapat dipertahankan melalui tindakan
minimalisasi erosi dan sedimentasi yang terjadi pada daerah tangkapan air, misalnya
penerapan pola pertanaman yang memperhatikan aspek konservasi di samping aspek
produksi, ekonomi dan sosial (Manwan, 1993).
Namun belum ada informasi yang rinci tentang pengaruh pola pertanaman berisiko
rendah terhadap kondisi sosial ekonomi petani di daerah tangkapan air Bendungan Tilong
Oleh karena itu penelitian dengan judul Pola Pertanaman Ladang Rendah Risiko dan
Pengaruhnya Terhadap Komponen Geofisik dan Sosial Ekonomi di Daerah Tangkapan Air
Bendungan Tilong perlu dilakukan.
Tujuan Penelitian
a. Menganalisis efisiensi penggunaan lahan secara ekonomi dengan penerapan pola
pertanaman perladangan di daerah tangkapan air Bendungan Tilong.
b. Mendapatkan model pola pertanaman rendah risiko dalam mempertahankan daya
dukung lahan dan sosial ekonomi di kawasan tangkapan air Bendungan Tilong.
METODE PENELITIAN
Perancangan Percobaan
Rancangan Percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan 3 blok dan 3 perlakuan. Percobaan dimaksud diletakkan di 3
wilayah yaitu masing-masing pada wilayah hulu DAS Tilong (Desa Tunbaun), wilayah
tengah DAS Tilong (Desa Bokong) dan wilayah wilayah bawah DAS Tilong (Desa Oelnasi).
Perlakuannya terdiri atas :
1. Pola petani : tumpangsari jagung + kacang nasi + labu yang ditanam dengan jarak yang
tidak teratur.
2. Pola perbaikan 1 : tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro yang ditanam searah
garis kontur.
3. Pola perbaikan 2 : tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro // rumput yang
ditanam searah garis kontur.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 372
Seminar Nasional 2005
dengan kendala : Σ Cj Xj = λ
dimana : V adalah varians
Xj adalah perlakuan j
Xk adalah perlakuan k
σjk adalah covarians dari perlakuan j dan k
Σ Cj Xj = λ adalah tingkat keuntungan tertentu sebesar λ yang rendah risiko tetapi
memiliki keuntungan lebih dari sebelumnya
c. Respons petani terhadap pola yang diuji, diukur secara kualitatif dengan menggunakan
quesioner dengan teknik Diskusi Kelompok Terarah (DKT).
Analisis data
Data kuantitatif dihitung dengan Analisis of Variance (Anova) untuk melihat
pengaruh perlakuan terhadap perubahan komponen geofisik lahan dan bila terdapat
perbedaan yang nyata, akan dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil pada taraf
kepercayaan 95% (BNT 5%) dengan bantuan program komputer MicroQUASP versi 3,02.
Model matematika dari Rancangan Acak Kelompok (Steel and Torrie, 1993) adalah :
Yij = μ + τij +βij + єij
dimana :
Y = nilai pengamatan hasil percobaan
μ = nilai rerata (mean) harapan
τ = pengaruh faktor perlakuan
β = pengaruh faktor blok
є = pengaruh galat (experiment error)
i = nilai ke i
j = nilai ke j
Data ekonomi dianalisis dengan pendekatan Model Programing Berisiko serta
dengan cara Minimization of Total Absolut Deviation (MOTAD) untuk mengukur tingkat
risiko dari masing-masing pola usahatani. Pemecahan kedua model ekonomi tersebut
dengan menggunakan bantuan soft ware “Lindo 6 dan Gino (1997)”, serta data kualitatif
(data sosial budaya) dianalisis secara deskriptif.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 373
Seminar Nasional 2005
Nilai LER dari pola pertanaman tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro dan
pola pertanaman tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro // rumput nyata lebih besar
dibandingkan pola petani yaitu masing-masing 1,18 atau meningkat 13,6 % dam 1,2 atau
meningkat 17,1 %. Namun nilai LER pola tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro //
rumput tidak berbedanyata dengan pola tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro.
Lebih tingginya nilai LER pola tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro // rumput
menunjukkan bahwa kompetisi antar tanaman lamtoro, rumput, kacang nasi, labu dan jagung
tidak saling merugikan bahkan mungkin terjadi hubungan mutualistik antara tanaman sereal
(jagung) dan rumput-rumputan dengan tanaman legum (kacang nasi dan lamtoro).
Daun tanaman jagung dan labu tidak mendapat persaingan memperoleh sinar
matahari dengan daun tanaman lantoro dan rumput karena daun tanaman lamtoro relatif
kecil-kecil sehingga penetrasi sinar matahari dapat mencapai pertanaman yang lebih rendah.
Tanaman jagung dan rumput memiliki perakaran serabut di permukaan tanah sementara
tanaman legum memiliki perakaran jauh ke dalam tanah dan memiliki bintil akar yang
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 374
Seminar Nasional 2005
mampu memfiksasi N bebas dari udara. Hal ini sama seperti yang dikemukakan oleh Ofori
dan Stern (1987), bahwa kombinasi tanaman sereal dengan tanaman legum adalah kombinasi
yang terbaik karena relatif kecil kompetisi antar komponen tanaman dalam memperoleh
sinar matahari dan unsur hara.
Secara ekonomi, penambahan komoditi lamtoro dan rumput yang ditanam searah
kontur, memberikan tambahan pendapatan pada petani di Desa Tunbaun disamping
keuntungan memperbaiki kondisi kesuburan tanah.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 375
Seminar Nasional 2005
Secara statistik pola tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro // rumput tidak
nyata berbeda dengan pola tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro namun dalam
jangka panjang pola ini memiliki keuntungan karena pertanaman rumput yang dimasukkan
dalam pola pertanaman berperan sebagai penahan aliran air permukaan sehingga mencegah
terjadinya erosi sehingga dapat mempertahankan kandungan bahan organik tanah, unsur hara
dan partikel-partikel tanah. Hal ini sama seperti yang dikemukakan oleh Kartasapoetra
(2000), yaitu tanaman rumput yang dimasukkan dalam pola pertanaman mempunyai
manfaat: a) daunnya sebagai hijauan pakan ternak, b) bagian tanaman di atas permukaan
tanah melindungi tanah dari pukulan langsung air hujan, c) barisan tanamannya menahan
aliran permukaan dan d) perakarannya memperbesar infiltrasi air hujan dan memperbesar
resistensi dan kekompakan tanah.
Analisis Risiko
Usaha produksi pertanian merupakan bisnis yang mengandung risiko. Risiko yang
mungkin dihadapi petani antara lain perubahan harga jual produk pertanian yang
menyebabkan fluktuasi pendapatan petani dari tahun ke tahun, risiko penurunan kesuburan
tanah dan risiko bencana alam serta berbagai gangguan lainnya.
Ada beberapa konsep mengenai pengukuran pendapatan petani yaitu (1) pendekatan
mikro dengan cara menjumlahkan perkalian hasil panen dengan harga (farm gate price)
ditambah hasil lain dari luar usaha tani, (2) pendugaan pendapatan berdasarkan pengeluaran
rumah tangga hasil survey, (3) pendapatan usahatani yang berasal dari masing-masing
komoditi dari satu pola pertanaman. Penelitian ini menggunakan konsep ketiga yaitu
pendapatan diperoleh dari sumbangan semua komoditi dalam pola pertanaman (Barhiman,
2000).
Berdasarkan perhitungan linier progreming (LP) dari data penelitian, tingkat risiko
dari pola pertanam yang diuji dapat dilihat dari variansnya. Variansnya menerangkan
besarnya risiko, jika variansnya besar, pola pertanaman yang dipakai memiliki risiko yang
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 376
Seminar Nasional 2005
Pola petani adalah pola pertanaman yang memiliki risiko paling kecil secara
ekonomi, namun pola ini memiliki risiko kerusakan lingkungan yang sangat besar (laju erosi
tanah paling besar) karena itu penanaman pola petani perlu dipertimbangkan untuk
mencegah kerusakan lingkungan.
Dalam menjalankan usaha pertanian dengan risiko ekonomi tinggi dapat
menyebabkan ketidak-pastian pendapatan petani atau gangguan ketersediaan pangannya
selama setahun. Oleh karena itu perlu dicarikan proporsi pola pertanaman yang rendah
risiko secara ekonomi tapi juga rendah risiko terhadap kerusakan lingkungan hidup.
Salah satu cara mengatasi masalah ini dengan mencari proporsi penerapan pola
pertanaman yang dapat dijalankan oleh petani sehingga selain menekan risiko, namun dapat
meningkatkan pendapatan petani dan mengantisipasi kerusakan lingkungan hidup.
Dengan menggunakan program komputer linear programing dapat dihitung proporsi
pola pertanaman yang dapat diterapkan petani di wilayah ini dengan cara menurunkan gross
margin (GM) secara bertahap sebanyak 10% dengan alat analisis Quadratic Risk Programing
(QRP) pada program Gino dan Minimization of Total Absolute Deviation (MOTAD) dalam
program Lindo. Untuk menghitung QRP dibutuhkan matriks ragam peragam yang
diperlihatkan pada Tabel 5.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 377
Seminar Nasional 2005
Tabel 5. Matriks Ragam peragam GM dari beberapa pola pertanaman pada wilayah daerah tangkapan air
Bendungan Tilong MT. 2003/2004.
Pola pertanaman X1 X2 X3
X1 2538,62 - 1790,97 3846,88
X2 - 1790,97 5007,97 - 8008,70
X3 3846,88 - 8008,70 25246,98
Keterangan : X1 = Pola petani Tumpang sari jagung+ kc.nasi+labu
X2 = Tumpang sari jagung+ kc.nasi+labu//lmatoro//rumput
X3 = Tumpang sari jagung+ kc.nasi+labu//lmatoro//rumput
Data pada Tabel 5 di atas, digunakan untuk menyusun persamaan matematik dalam
format Gino dan Lindo. Untuk perhitungan QRP dalam program Gino disusun persamaan
matematik sebagai berikut :
MODEL :
MIN= 2538.62*X1^2 + 5107.97*X2^2 + 25246.98*X3^2 – 2*1798.97*X1*X2 +
2*3846.88*X1*X3 – 2*8008.70*X2*X3 ;
1160.8*X1 + 1639.6*X2 + 1994.1*X3 = 50554.65 ;
X1 + X2 + X3 < 40 ;
64*X1 + 65*X2 + 71*X3 < 1800 ;
–X1 + X2 – X3 , 0 ;
X1 > 0 ;
X2 > 0 ;
X3 > 0 ;
END
dan untuk perhitungan MOTAD dengan program Lindo, persamaan matematiknya disusun
sebagai berikut :
MIN 1) Z1 + Z2 + Z3 + Z4 + Z5 + Z6 + Z7 + Z8 + Z9 ;
SUBJECT TO
2) 1160.8*X1 + 1639.6*X2 + 1994.1*X3 = 50554.65 ;
3) X1 + X2 + X3 <= 40 ;
4) 64*X1 + 65*X2 + 71*X3 <= 1800 ;
5) –X1 + X2 – X3 , 0 ;
6) – 8.26*X1 – 11.57*X2 + 182.4*X3 + Z1 >= 0 ;
7) 49.61*X1 – 88.67*X2 + 62.7*X3 + Z2 >= 0
8) 60.13*X1 – 105.98*X2 + 161.2*X3 + Z3 >= 0
9) 49.83*X1 + 12.72*X2 - 31.2*X3 + Z4 >= 0
10) – 74.77*X1 + 49.02*X2 - 129.1*X3 + Z5 >= 0
11) – 7.67*X1 + 12.02*X2 + 179.2*X3 + Z6 >= 0
12) – 4.97*X1 + 137.52*X2 - 255.7*X3 + Z7 >= 0
13) 12.53*X1 – 2.58*X2 - 16.6*X3 + Z8 >= 0
14) – 76.47*X1 – 2.48*X2 - 152.9*X3 + Z9 >= 0
END
Dengan menurunkan nilai GM-nya maka solusi yang ditawarkan dengan kedua
program komputer tersebut seperti terlihat pada Tabel 6.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 378
Seminar Nasional 2005
Tabel 6. Hasil analisis penurunan risiko usahatani di kawasan daerah tangkapan air Bendungan Tilong dengan
menggunakan MOTAD dan QRP
Model
No. Pola Pertanaman A B C
analisis
1. GM 50.556,4 50.000,0 45.000,0
2. V (Juta Rp.) M 14.843,7 10.714,7 2.751,5
Q 16.226.992,9 11.884.999,3 1.106.895,1
3. X1 (ha) M 0,0 0,0 4,8
Q 0,0 0,0 4,8
4. X2 (ha) M 0,0 2,9 13,5
Q 0,0 2,9 13,5
5. X3 (ha) M 25,4 22,6 8,7
Q 25,4 22,6 8,7
Keterangan : M = MOTAD (Minimization of Total Absolut Deviation)
Q = Quadratic Risk Programing
A, B, C = Pengurangan GM secara bertahap sebanyak 10 %
X1, X2, X3 = Pela pertanaman yang dikaji
Dari Tabel 6, terlihat bahwa relatif sama solusi yang ditawarkan dengan program
MOTAD maupun dengan program QRP yaitu apabila nilai GM tertinggi sebasar 50.556,40
pada pola pertanaman jagung + labu + ubi kayu // lamtoro // rumput seluas 50 ha.
Sedangkan dengan menurunkan risiko yaitu dengan cara menurunkan nilai GM dari 50.556.4
ke nilai GM 50.000, ternyata disarankan pola pertanaman jagung + labu + ubi kayu //
lamtoro // rumput diusahakan seluas 22,6 ha dan pola pertanaman jagung + labu + ubi kayu
// lamtoro seluas 2,9 ha. Bila risiko diturunkan lagi dengan nilai GM sebesar 45.000 ternyata
disarankan pola jagung + labu + ubi kayu // lamtoro // rumput ditanam hanya seluas 8,7 ha
sedangkan pola jagung + labu + ubi kayu // lamtoro disarankan diusahakan sebanyak 13,5 ha
dan pola petani seluas 4,8 ha.
Berdasarkan perhitungan risiko di atas, maka dari luas lahan 50 ha di wilayah daerah
tangkapan air Bendungan Tilong disarankan untuk diusahakan dengan pola jagung + ubi
kayu + labu // lamtoro diusahakan paling banyak yaitu seluas 13,7 ha, diikuti oleh pola
jagung + ubi kayu + labu // lamtoro // rumput seluas 13,5 ha dan pola petani masih tetap
disarankan dengan luas tanam 4,8 ha dan sisa seluas 18 ha disarankan untuk diberokan.
Aspek Sosial
Aspek sosial budaya yang dibahas dalam tulisan ini adalah respons dan harapan-
harapan para petani di desa tempat percobaan ini dilaksanakan. Hasil diskusi dengan 20 – 30
petani dari masing-masing desa disajikan dalam Tabel 7.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 379
Seminar Nasional 2005
Tabel 7. Respons dan harapan petani di Desa Tunbaun, Bokong dan Oelnasi terhadap pola pertanaman yang
diuji.
Tabel 7 menunjukkan bahwa petani di desa Bokong dan Oelnasi sudah terbiasa
membersihkan lahan dengan cara tebas bakar. Cara persiapan lahan ini menyebabkan
menurunkan kandungan bahan organik dan nitrogen serta mematikan tumbuhan yang sudah
ada sehingga tingkat penutupan vegetasi di kedua daerah ini sangat kurang. Rendahnya
penutupan tanah oleh vegetasi dapat berakibat pada meningkatnya laju erosi tanah.
Alasan utama para petani menerapkan pola petani adalah karena pola ini sudah
diterapkan sejak lama dan belum mengenal pola pertanaman lain. Dengan diperkenalkannya
pola pertanaman baru, para petani di ketiga desa memberikan respons posistif dengan
menerima pola ini dan ingin melanjutkannya. Komoditi yang dimasukkan dalam pola
pertanaman karena tidak banyak perbedaan dengan pola petani, umumnya diterima serta
lamtoro dan rumput sangat disenangi karena dapat dijadikan hijauan pakan ternak. Khusus
di desa Oelnasi, introduksi lamtoro dan rumput sangat disukai karena dapat menyediakan
pakan ternak yang sudah sulit diperoleh di wilayah ini.
Para petani mengharapkan penerapan yang lebih luas dan diperkenalkan kepada
petani lain secara meluas bahkan di desa Bokong dan Oelnasi mengharapkan dilakukan plot
percontohan agar dapat dilihat dan dipelajari oleh petani lainnya.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 380
Seminar Nasional 2005
Kesimpulan
Berdasarkan data hasil penelitian, hasil analisis dan pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa :
a. Untuk meningkatkan kesuburan tanah serta memperkecil erosi yang terjadi di daerah ini,
penerapan pola pertanaman tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro // rumput
searah garis kontur.
b. Secara ekonomi pola pertanaman tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro //
rumput memiliki nilai LER tertinggi, namun karena memiliki risiko tinggi maka perlu
dikombinasikan dengan pola petani dan untuk lahan seluas 50 ha, disarankan untuk
diusahakan dengan pola jagung + ubi kayu + labu // lamtoro diusahakan paling banyak
yaitu seluas 13,7 ha, diikuti oleh pola jagung + ubi kayu + labu // lamtoro // rumput
seluas 13,5 ha dan pola petani masih tetap disarankan dengan luas tanam 4,8 ha dan
sisanya diberokan.
c. Pola perbaikan mudah diterima petani di kawasan ini karena komoditi yang dimasukkan
dalam pola pertanaman adalah komoditi yang sudah biasa diusahakan petani dan yang
memiliki multi fungsi sebagai tanaman konservasi namun juga sebagai sumber
pendapatan.
Saran
Perlu disusun rencana pengembangan pertanian terpadu di kawasan daerah tangkapan
air Bendungan Tilong dengan menerapkan pola pertanaman yang produktif, ekonomis,
rendah resiko dan ramah lingkungan agar dapat memperbaiki kesuburan lahan pertanian dan
mencegah terjadinya sedimentasi di Bendungan Tilong.
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 381
Seminar Nasional 2005
Barhiman S. 2000. Keputusan Petani dan Risikonya Dalam Memilih Pola pertanaman,
Studi Kasus Desa Oesao. Laporan Penelitian Kerjasama Antara Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Fakultas
Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang. 77 hal.
Brown L. R, 1992. Tantangan Masalah Lingkungan Hidup. Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta. 123 hal.
Basuki, T., da-Silva H, Wirdahayati R.B., A. Bamualim dan Subandi, 1997. Karakterisasi
zona agroekolosi (AEZ) di Nusa Tenggara Timur. Proyek PPSUNT/BPTP Naibonat,
Kupang. 39 hal.
Francis Ch. A. 1986. Multiple Cropping System. Macmillan Publishing Company. New
York. 370 hal.
Haryati U. Dan A. Dariah, 2000. Peranan Tanaman Penguat Teras Dalam Sistem Usahatani
Konservasi di Lahan Kering Daerah Aliran Sungai Cimanuk Hulu dalam Alternatif
Teknologi Konservasi Tanah. Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil
Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Hal 239-252.
Hazell P. B. R. and R. D. Norton, 1986. Mathematical Programming for Economic
Analysis in Agriculture. Macmillan Publishing Company. Hal. 76-109.
Kusnadi, 2004. Kajian Dampak Degradasi lahan Terhadap Perubahan Komponen
Lingkungan Geofisik di Sub DAS Baki Kabupaten Kupang. Thesis. Program
Pascasarjana Universitas Nusa Cendana. Kupang. 109 hal.
Mahfudz, 2001. Peningkatan Produktivitas lahan Kritis Untuk Pemenuhan Pangan Melalui
Usahatani Konservasi. Makalah Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana / S3, Institut
Pertanian Bogor. www.google.com, Jurnal Penelitian Pertanian. Vol. 19 / No. 3 /
2001. 13 hal.
Manwan, I. 1993. Strategi dan langkah operasional penelitian tanaman pangan berwawasan
lingkungan. Proseding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta/Bogor
23-25 Agustus 1993. Hal. 65-97.
Petrus F., 2001. Erosi dan Kandungan Sedimen dalam Aliran Sungai pada Berbagai
Simulasi Tataguna Lahan. Thesis. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya.
Malang. 370 hal.
Rahim S. E., 2000. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka pelestarian Lingkungan
Hidup. Bumi Aksara. 231 hal.
Reijntjes C., B. Haverkort dan A. Waters-Bayer, 2003. Pertanian Masa Depan. Pengantar
untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Penerbit kanisius. 250
hal.
Steel R. G. D. and J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan
Biometrik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Tala‟ohu, S.H., B.R. Prawirodiputra dan F.Agus, 1999. Produksi Hijauan Pakan Ternak
yang Ditanam Dalam Strip dalam Alternatif Teknologi Konservasi Tanah. Prosiding
Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Hal 253-261.
Wahid P., I. Las dan K. Dwijanto. 1993. Konsep Dasar Pendekatan Pengembangan lahan
Kering Berwawasan Lingkungan di Kawasan Timur Indonesia. Makalah pada
Lokakarya Status dan Pengembangan lahan Kering di Indonesia, Mataram 16-18
November 1993. 32 hal.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 382
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Pengkajian Sistem Usahatani Pada Lahan Kering Marjinal dilakukan di Desa Sumberkima, Kecamatan
Gerokgak, Kabupaten Buleleng melibatkan dua kelompok tani koperator dengan 115 petani koperator.
Pengkajian diarahkan pada perbaikan pola usahatani menjadi produktif dan konservatif, memaksimalkan
sumberdaya yang ada. Kegiatan yang dilakukan meliputi perbaikan pola tanam dengan paket teknologi budidaya
maupun pemanfaatan air embung yang lebih optimal dengan pertanaman yang memiliki nilai ekonomis
tinggi seperti bawang merah, bawang putih, kacang panjang dan semangka. Untuk pengolahan limbah ternak
sapi dilakukan dengan pembuatan pupuk organik kascing dengan menggunakan cacing tanah (Lumbriscus
rubellus). Hasil pengkajian menunjukkan dengan penerapan teknologi introduksi menghasilkan jagung 4,90
ton/ha, kacang tanah 0,90 ton/ha, sedangkan pertanaman secara tumpangsari jagung dan kacang tanah
memberikan hasil jagung antara 2,1-2,5 ton/ha dan kacang tanah 0,76 - 0,79 ton/ha. Pelaksanaan demplot jagung
dan kacang tanah di Sumberkima mampu memberikan produksi yang lebih tinggi dari cara petani yaitu hasil
jagung meningkat dari 3,0-3,5 ton/ha menjadi 5,2 ton/ha, sedangkan kacang tanah meningkat dari 0,9 ton/ha
menjadi 1,4 ton/ha. Selain itu pengenalan pola tumpangsari dapat dipakai acuan untuk pengembangan lebih
lanjut.
Kata kunci : lahan kering, embung dan jagung
PENDAHULUAN
Bali luasnya 5.632,86 km2 (0,29%) dari luas Indonesia dengan penduduk lebih
kurang 2,9 juta jiwa, 49,4 mata pencaharian dalam sektor pertanian. Lahan produktif di
Propinsi Bali berkurang, disebabkan berkembangnya sektor Industri pariwisata, dan
penggunaan lainnya yang menyebabkan berkurangnya hasil pertanian. Lahan kering
/marjinal di Bali terletak bagian Timur dan Utara, luas 2.181,19 km (38,7 ). Rata- rata
curah hujan 1.400 – 1.700 mm/ tahun musim penghujan 4-5 bulan. Maret (Statistik Pertanian
Propinsi Bali 1991).
Pengelolaan lahan untuk memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah pada lahan
agar usaha pertanian dapat terus-menerus dilaksanakan dengan tanpa merusak kelestarian
lingkungan (Suwardjo, 1982). Pengelolaan yang kurang memadai akan menimbulkan
gangguan keseimbangan sumber daya alam sehingga degradasi kualitas akan dipercepat
(Soeryani, 1980).
Kebutuhan bahan pangan pokok semakin lama semakin meningkat dengan
meningkatnya pertambahan penduduk serta kurangnya diversifikasi makanan. Salah satu
alternatif adalah menangani lahan marjinal dengan baik, melalui budidaya tanaman dan
ternak, penyediaan air, konservasi lahan dan rehabilitasi lahan akan menjadi kan lahan yang
produktif.
Hasil Farm Record Keeping (FRK) pengkajian tahun 2000 memberikan gambaran
dengan penerapan pola tanam tanaman pangan dan pemeliharaan yang lebih intensif mampu
meningkatkan pendapatan petani 119% dibandingkan dengan sebelum pengkajian, hasil
yang dicapai pada tahun ketiga meningkat yaitu 285% di Kelompok Tani Abdi Pertiwi, dan
148% di Kelompok Tani Tirta Nadi (Suprapto dkk., 2001).
Kendala usahatani lahan marginal kurangnya ketersediaan air dan kurusnya unsur
hara pada lahan tersebut. Demikian pula pemilikan lahan yang sempit dengan musim tanam
yang pendek dan curah hujan yang tidak menentu sangat membatasi peningkatan intensitas
penggunaan lahan, serta kurangnya modal, pengetahuan dan keterampilan petani sangat
berpengaruh dalam merubah perilaku petani yang masih subsisten. Penerapan pola
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 383
Seminar Nasional 2005
usahatani terpadu dengan memperhatikan kelestarian lahan sangat diperlukan. Pola integrasi
antara tanaman dan ternak serta konservasi lahan dengan sentuhan teknologi yang tepat akan
dapat memberikan nilai tambah bagi petani dan merubah wawasan petani dalam
meningkatkan taraf hidupnya. Tujuan pengkajian adalah mengintroduksikan teknologi pola
tanam tanaman pangan dan hortikultura di lahan marjinal. Memanfaatkan air embung
dengan tanaman sayuran bernilai ekonomis tinggi. Memperbaiki dan mengembangkan
teknologi konservasi pada lahan marginal. Introduksi pengolahan limbah ternak menjadi
pupuk kascing. Mempercepat proses adopsi teknologi oleh petani.
Metode Analisis
(1) Data yang dikumpulkan pada pengkajian SUT meliputi data agronomi (pertumbuhan dan
hasil), serta dilakukan analisis (B/C ratio, Titik impas produksi dan biaya produksi) dari
masing-masing kegiatan; (2) Kegiatan SIT data yang dikumpulkan meliputi data
pertumbuhan, komponen hasil, dan hasil per hektar disesuaikan dengan rancangan percobaan
yang digunakan. Analisa yang dilakukan yaitu analisa sidik ragam, apabila perlakuan
berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Analisa regresi dilakukan
untuk mengetahui model persamaan hasil dengan perlakuan yang diuji; (3) Tabulasi data
dilakukan terhadap data yang diperoleh dari PRA dan FRK pada petani koperator kemudian
dianalisa menurut jenis data.
Prosedur Pelaksanaan
Pengkajian ini merupakan pengkajian lanjutan, pekerjaan yang dilaksanakan
sebagai berikut : (a) Pelaksanaan PRA untuk mengetahui data dasar lokasi pengkajian; (b)
Penerapan pola tanam meliputi pola usahatani tanaman pangan dan hortikultura. Jagung di
tanam dengan jarak tanam 75 x 40 cm dan kacang tanah 40 x 20 cm dengan 2 biji per
lubang. Pada pola tumpangsari jarak tanam jagung 200 x 40 cm. Dosis pupuk digunakan
yaitu 200 kg Urea/ha, 50 kg SP-36/ha, dan 50 kg KCl/ha (jagung), dan 50 kg Urea/ha, 50 kg
Sp-36/ha, dan 50 kg KCl/ha untuk kacang tanah. Pada semangka jarak tanam 2,5 m x 1,0 m
dengan 2 tanaman/lubang, pupuk kandang 2 kg/lubang tanam dan 200 kg Urea/ha, 150 kg
Sp-36/ha, 150 kg KCl/ha. Kacang panjang jarak tanam yaitu 60 x 40cm 2 tan/lubang,
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 384
Seminar Nasional 2005
Bawang merah ditanam pada musim kemarau di Kelompok Tani Abdi Pertiwi
memberikan rata-rata hasil 90,5 kg/are kering susut bobot 20%, sedangkan pertanaman
bawang putih dipanen pada pertengahan bulan September memberikan hasil 78 kg/are berat
basah. Pertanaman pada musim kemarau memanfaatkan air embung sehingga luasan tanam
berkisar 100 m2 – 500 m2.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 385
Seminar Nasional 2005
Kesimpulan
1. Dengan penerapan teknologi introduksi memberikan hasil jagung lebih dari 4,9 ton/ha,
dan kacang tanah lebih dari 0,90 ton/ha.
2. Pemanfaatan air embung pada musim kemarau untuk tanaman bernilai ekonomis tinggi
memberikan hasil bawang merah 90,5 kg/are dan bawang putih 78 kg/are.
3. Pelaksanaan Demplot di Desa Sumberkima mampu meningkatkan hasil jagung dan
kacang tanah sehingga dapat dijadikan acuan untuk pengembangan lebih lanjut.
4. Pelaksanaan PRA bertujuan untuk mempelajari wilayah untuk selanjutnya dapat
melibatkan masyarakat di dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program.
Saran
Untuk pengembangan lahan kering di Buleleng barat perlu dilakukan secara terpadu
antara peternakan dengan pertanian dan kehutanan sehingga sistim usahatani pada lahan
kering berlangsung baik.
DAFTAR PUSTAKA
Statistik Pertanian Propinsi Bali. 1991. Kantor Wilayah Departemen Pertanian Propinsi
Bali. 165 hal.
Soeryani, M. 1980. Berbagai Masalah Lingkungan Sebagai Tantangan Terhadap Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi. Ceramah Umum Pusat Studi Lingkungan UNSOED
Purwokerto, 29 Maret 1980. Tidak dipublikasikan.
Suwardjo. 1982. Pengelolaan Lahan Kering di daerah Transmigrasi. Prosiding Usahatani
Lahan Kering. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.
Direktorat Perluasan Tanaman. Jakarta. Hal. 12 – 16.
Suprapto, dkk. 2001. Laporan Hasil Pengkajian Lahan Marginal di Buleleng – Bali.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 386
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Sejak tahun 1970-an (era pembangunan jangka panjang tahap I) focus perhatian pembangunan
pertanian telah banyak dicurahkan pada teknologi lahan-lahan beririgasi. Belakangan disadari bahwa lahan-lahan
kering menyimpan potensi produktivitas yang sangat besar dalam mendukung ketahanan pangan. Dengan
demikian akhir-akhir ini banyak pengkajian difokuskn pada penciptaan teknologi tepat guna untuk
memberdayakan lahan-lahan kering. Teknologi integrasi ternak dan tanaman diprediksi cocok mendukung
pemberdayaan potensi local untuk dikembangkan pada lahan-lahan kering yang terintegrasi dengan berbagai
jenis komoditas tanaman. Dalam makalah ini dibahas aspek kebijakan strategis dalam memberdayakan lahan-
lahan kering melalui peningkatan produksi ternak, pengolahan limbah ternak dan tanaman untuk membuat pupuk
organic kascing, aplikasi pupuk organic kascing untuk meningkatkan produktivitas tanaman serta upaya-upaya
konservasi lahan dan air. Strategi yang diterapkan melalui pemberdayaan keterpaduan sistem holistic yang saling
memberikan nilai tambah terhadap setiap komponen produksi.
Kata kunci : strategi, lahan kering, teknologi, integrasi, ternak, tanaman, konservasi, ramah lingkungan.
PENDAHULUAN
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 387
Seminar Nasional 2005
Petheram, 1999). Konsep ini mengharapkan agar terjadi suatu keseimbangan alamiah yang
menekankan pada aspek konservasi sumberdaya, menekan dampak negatif, memelihara
keseimbangan lingkungan, meningkatkan efisiensi dengan pemanfaatan / mengembalikan
bahan organik ke dalam tanah serta meningkatkan rasa percaya diri petani terhadap
profesinya bahwa pertanian adalah sumber pendapatan yang sarat dengan makna kehidupan
(Kartini, 2000; Kariada, et. al., 2004). Sementara menurut Kallsen (2005) konsep pertanian
berkelanjutan yang ramah lingkungan mengacu pada spek-aspek: (a) mampu mencapai
keterpaduan siklua biologi alamiah dan kontrolnya; (b) mampu melindungi dan memperbaiki
kesuburan tanah dan sumberdaya alam; (c) mampu meningkatkan manajemen pemanfaatan
sumberdaya pertanian; (d) mampu menekan bahan-bahan yang tidak dapat diperbaharui dan
menekan biaya input; (e) mampu meningkatkan pendapatan petani, serta mampu mengurangi
dampak negatif terhadap kesehatan, keamanan pangan, kualitas air serta lingkungan. Paper
ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang stategi pengembangan pertanian
berkelanjutan yang ramah lingkungan dengan menekankan pada spek-aspek pemberdayaan
potensi local.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 388
Seminar Nasional 2005
serta secara simultan membenahi teknologi introduksi melalui berbagai kajian-kajian kecil
yang mampu mendukung aktivitas integrasi. Beberapa langkah operasional meliputi :
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 389
Seminar Nasional 2005
Diberikan cacing
tanah
Untuk mengetahui komposisi nutrisi pupuk organic kascing, maka telah dilakukan
analisis kimia dengan hasil sebagai berikut (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil analisis kimia tanah dan pupuk kompos di dusun Pemuteran Candikuning Baturiti Tabanan,
Data-data di atas menunjukkan bahwa kadar nutrient pupuk organic kascing adalah
sangat baik apabila diaplikan ke dalam tanah akan mampu meningkatkan pH tanah serta
mampu melepaskan beberapa unsure-unsur nutrisi yang terjerap, misalnya Al-P. Sementara
menurut Kartini (1999) kandungan unsure hara pupuk kascing adalah N (1.99%), P (3.92%),
K (0.69 %), S (0.92%), Cu (0.045 %) dan Fe (0.081 %) serta mengandung zat tumbuh
(Auksin) yang mampu merangsang pertumbuhan akar dengan baik. Dengan kondisi seperti
maka pupuk kascing sangat baik diaplikasikan pada tanam-tanaman pangan maupun
perkebunan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 390
Seminar Nasional 2005
Tingginya hasil yang ditunjukkan oleh perlakuan pupuk kascing diakibatkan oleh
komposisi unsur hara yang dikandung oleh pupuk kascing cukup baik (Tabel 1). Unsur hara
yang dikandung ini sangat sesuai dengan kebutuhan tanaman sayuran yang membutuhkan
kation-kation makro maupun mikro seperti di atas. Komposisi unsur yang dikandungnyapun
sangat berimbang sehingga ketersediaan unsur hara yang siap diabsorpsi oleh akar pada fase
generatif akan terpenuhi terutama pada saat fase-fase absorpsi nitrogen dalam pembentukan
akar, batang dan daun (Soepardi, 1974). Sementara pada pemberian pupuk kimia (NPK)
justru memperlambat ketersediaan unsur hara akibat dari sifat fisik tanah di lokasi
pengkajian adalah teksturnya berpasir yang berarti aerasinya sangat baik. Pupuk kimia
Nitrogen akan mudah mengalami leaching/pencucian, demikian pula P dan K akan menjadi
tidak berimbang karena faktor N yang berkurang
Beberapa data pengkajian yang dilakukan di tempat lain seperti di lahan kering
daerah pinggiran perkotaan tentang pengkajian pupuk organic kascing terhadap sifat fisik
tanah dengan komoditi kacang panjang menunjukkan terjadinya peningkatan pH tanah, C-
organik dan produksi (Tabel 3).
Tabel 3. Pengaruh Beberapa Perlakuan Pupuk Organik Kascing Terhadap pH Tanah, C-Org. Tanah dan
produksi Kacang panjang Dibandingkan dengan Perlakuan NPK
Pupuk NPK
100 6.02 1.14 2.45
Sumber : Kariada, I.K. dan I.B. Aribawa (2004)
Dari data tersebut di atas ternyata perlakuan pupuk organik kascing memberikan
perbaikan terhadap sifat fisik tanah dimana pH dan C-Organik tanah tertinggi diperoleh pada
dosis 7.500 kg/ha masing-masing 6.51 dan 1.67% sementara bila dibandingkan dengan
perlakuan pupuk kimiawi dengan dosis anjuran hanya mampu menghasilkan pH 6.02 dan C-
org tanah 1.14%. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk organic kascing mampu memperbaiki
sifat fisik tanah.
Pengaruh perlakuan pupuk organik kascing dan kombinasinya dengan NPK pada
tanaman cabai merah (hot chili) menunjukkan bahwa jumlah buah yang dihasilkan oleh
perlakuan kascing menunjukkan jumlah terbanyak (Tabel 4). Hal ini diakibatkan oleh selain
pupuk kascing mampu memperbaiki struktur tanah, pupuk ini juga ditengarai mengandung
zat tumbuh auksin, giberelin dan sitokinin (Anonim, 1999).
Tabel 4. Rata-rata Jumlah Buah Cabai per Tanaman di Desa Tonja, Kota Denpasar
Sementara itu, data-data pengkajian pupuk organic kascing pada bawang merah di
daerah pinggiran perkotaan menunjukkan bahwa perlakuan pupuk Kascing dengan dosis 5
ton/Ha memberikan rata-rata hasil yang terbaik untuk seluruh parameter pengukuran.
Produksi yang dicapai mencapai 15.07 ton/Ha (Tabel 5).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 391
Seminar Nasional 2005
Tabel 5. Rata-rata tinggi dan jumlah umbi tanaman bawang merah var. Philippina .
Perlakuan Rata-rata tinggi (cm) Jumlah Umbi per rumpun Produksi (kg/Ha)
P1 (Cara petani) 33.45 9.15 10.69
P2. (NPK 100-50-50) 34.75 10.35 10.80
P3 (Pukan babi 5 t/Ha) 35.50 10.65 11.28
P4 (Kascing 5 t/Ha) 39.35 10.50 15.07
Sumber : Kariada, I.K. 2003
Beberapa data juga diterima dari para pelaku (petani) yang menerapkan pupuk
organic kascing menyatakan bahwa pemberian pupuk kascing mampu meningkatkan
produktivitas secara nyata. (Pan Wilis, 1999) yang menerapkan pupuk kascing pada
mentimun dan padi.
mm/bln
600 558
525
490
500
380 390
400
297
300
197
200 166
82 70 84
100 51
0
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sep Okt Nop Des
Bulan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 392
Seminar Nasional 2005
Sementara rata-rata jumlah hari hujan per bulan disajikan dalam Tabel 7. Nampak
bahwa para petani mengalami kesulitan melakukan budidaya sayuran serta memelihara
ternak sapi potong pada bulan-bulan kering tersebut. Hal ini mengindikasikan pentingnya
menyimpan air dalam embung.
Tabel 7. Rata-rata hari hujan per bulan di Baturiti selama 5 tahun (1998 - 2002).
JHH/bln
25
20 20
19
20 17
16 16
15
11 11 11
10 8 7 8
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Bulan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 393
Seminar Nasional 2005
Dengan kondisi seperti di atas, maka dalam pengembangan pertanian lahan kering
dibutuhkan adanya konsep integrasi ternak sapi potong dan sayuran serta aspek konservasi
sumberdaya air dan tanah melalui penanaman tanaman pakan ternak sehingga sekaligus
sebagai pelindung tanah dan sumber HMT ternak (Gambar 4).
Gambar 4. Konservasi lahan menggunakan penanaman rumput gajah pada setiap galengan lahan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 394
Seminar Nasional 2005
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan lahan kering
untuk tujuan pengembangan pertanian yang ramah lingkungan dibutuhkan adanya konsep
keterpaduan antara berbagai komponen teknologi melalui integrasi ternak dan tanaman serta
memodifikasi faktor-faktor pendukungnya. Di lahan kering, air adalah faktor penghambat
oleh karena itu konservasi sumberdaya air dan tanah sangatlah penting sehinga
pengembangan ternak dan tanaman dapat dilakukan dengan baik. Penerapan pupuk organik
kascing mampu meningkatkan produktivitas dengan baik yang pada akhirnya juga mampu
memberdayakan sumberdaya lahan dari sisi fisik, kimia dan biologinya. Dengan penerapan
pupuk kascing ini maka pertanian ramah lingkungan dapat diwujudkan.
Mandat penelitian pertanian dalam rangka menemukan teknologi dan mempercepat
arus transformasi teknologi ke tingkat pengguna sebaiknya di gali dan berada di sekitar
petani dengan membangun suatu sistem yang holistik, dilaksanakan bersama-sama dengan
petani dengan orientasi peningkatan nilai tambah.
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1999.Pupuk Cacing ternyata Lebih dahsyat. Bisa Dongkrak Produksi 150 Persen.
Kiat berkelit dari Krisis Pupuk Ala Petani Bali. Majalah Agrobis, No. 304 Minggu I
Februari 1999.
Blakely J., and H.D. Bade. 1998. The Science of Animal Husbandry. Fourth Edition. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta
Dresta, I.K. 2003. Hasil diskusi dengan petani yang telah membuat cubang di desa Bonjo
Kintamani Bangli.
Guntoro, S., M. Londra, M. Mastra S. dan Sriyanto. 2001. Pengkajian integrasi
pengembangan ternak dan tanaman kopi. Proyek PAATP - BPTP Bali.
Herry A. H. 1996. Teknologi Bioplus untuk Hewan Ternak. FKH-UNAIR, Surabaya.
Kallsen. 2005. Sustainable Agriculture. Better crops.
Kariada, I.K., I.M. Londra, FX. Loekito, dan I.G. Pastika. 2002. Laporan Akir Pengkajian
Sistim Usaha Tani Integrasi Ternak Sapi Potong dan Sayuran Pada FSZ Lahan
Kering Dataran Tinggi Beriklim Basah. BPTP Bali.
Kariada, I.K. 2003. Laporan Uji Adaptasi Beberapa Jenis Pupuk Terhadap Produksi
Bawang Merah Di Daerah Pinggiran Perkotaan Denpasar. BPTP Bali.
Kariada I.K., Suprio Guntoro dan I.B. Aribawa. 2003. Integrasi Usahatani Sapi Potong
Dengan Sayuran Di Lahan Kering Dataran Tinggi Beriklim Basah
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 395
Seminar Nasional 2005
Kariada, I.K., I.M. Londra, FX. Loekito, dan Nengah Dwijana. 2004. Laporan Akir
Pengkajian Sistim Usaha Tani Integrasi Ternak Sapi Potong dan Sayuran Pada FSZ
Lahan Kering Dataran Tinggi Beriklim Basah. BPTP Bali.
Kartini, N.L. 1994. Penggunaan Kastcing (Kotoran Cacing) Sebagai Pupuk Organik dan
Peranannya Bagi Tanah dan Tanaman. Topik Khusus. Program Pasca Sarjana,
UNPAD. Bandung.
Kartini, N. L. 1999. Pupuk Kascing Siap Antarkan Bali Menuju Pertanian Organik. Majalah
Prima, Minggu ke-3 Februari 1999.
Kartini, L. 2000. Pertanian Organik. Seminar Nasional IP2TP Denpasar.
Mulyadi dan Suprapto. 2000. Prospek embung dalam menunjang kelestarian produksi
pertanian di lahan sawah tadah hujan. Prosiding Seminar Nasional : Pengembangan
teknologi pertanian dalam upaya mendukung ketahanan pangan nasional. BPTP
Bali.
Pan Wilis, 1999. Bertani Padi dan Mentimun dengan Kascing. Majalah Prima, 1999.
Parwati, I.A.., N. Suyasa, S. Guntoro Dan M. Rai Yasa. 1999. Pengaruh Pemberian
Probiotik Dan Laser Punctur Dalam Meningkatkan Berat Badan Sapi Bali. Makalah
Seminar Nasional Peternakan Dan Veteriner, Pulitbang Peternakan Bogor.
Petheram, J. 1989. Farming System Research Development. Post Graduate Study Material.
James Cook University, North Queensland Australia.
Soepardi, G. 1974. Sifat dan Ciri-ciri Tanah 3. Terjemahan H.O. Buckman dan N.C. Brady.
Departemen Ilmu-ilmu Tanah, Faperta IPB Bogor.
Suprapto., I.N. Adijaya., I.K. Mahaputra dan I.M. Rai Yasa. 2000. Laporan Akhir Penelitian
Sistem Usahatani Diversifikasi Lahan Marginal. IP2TP Denpasar. Bali
Suprapto., I.N. Adijaya., dan I.M. Rai Yasa. 2001. Laporan Akhir Penelitian Sistem
Usahatani Diversifikasi Lahan Marginal. BPTP Bali.
Suweta, I.G.P., 1990. Kerugian Ekonomi Oleh cacing Hati pada sapi sebagai Implikasi
Interaksi dalam Lingkungan Hidup pada Ekosistem Pertanian di Pulau Bali.
Disertasi Program Pasca sarjana Universitas Pajajaran Bandung.
Syamsiah, I., P. Wardana, Z. Arifin, dan AM. Fagi. Embung : kolam penampungan air serba
guna. Puslitbang Tanaman Pangan Badan Litbang Pertanian Bogor.
Retno, I.G. 1996. Embung : sumber air lahan kering. Seri usaha tani lahan kering. BPTP
Ungaran.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 396
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Sebagian dari wilayah Kabupaten Lombok Timur tepatnya di Kecamatan Sembalun yang terletak di
sekitar kaki Gunung Rinjani termasuk zone agroekologi lahan kering dataran tinggi dengan ketinggian antara
700 – 1300 mdpl. Mengingat kondisi tersebut maka kendala yang sering dihadapi oleh petani di wilayah
tersebut adalah aspek sosial ekonomi, yang menjadi dasar pertimbangan untuk dikaji lebih jauh dan bagaimana
upaya pemecahannya. Tujuan pengkajian adalah untuk mengetahui kendala sosial ekonomi dan upaya
pemecahannya, sebagai bahan pertimbangan Pemda Lombok Timur dalam menentukan kebijakan. Untuk
mendapatkan pemahaman digunakan pendekatan PRA. Lokasi pengkajian di Desa Sajang, Kecamatan
Sembalun. Waktu pengkajian selama tahun 2004. Teknik pengumpulan data dengan wawancara terhadap FGD
(Focus Group Discussion) dan analisa data secara deskriptif. Hasil yang dicapai (1) kendala sosial ekonomi
usahatani padi dan hortikultura adalah: biaya pengolahan tanah usahatani padi relatif mahal, biaya modal usaha
relatif tinggi, ketersediaan informasi alternatif usahatani yang menguntungkan relatif terbatas, biaya transportasi
komoditi pertanian dan input relatif mahal dan kemampuan petani untuk mengakses lembaga keuangan formal
sangat terbatas; (2) kendala sosial ekonomi usahatani perkebunan adalah: biaya pengawasan tanaman terlalu
tinggi, sistem ijon tanaman perkebunan dan kemampuan petani untuk mengakses lembaga keuangan formal
sangat terbatas; (3) kendala sosial ekonomi usahatani peternakan adalah: ketersediaan informasi harga kurang,
sapi dijual murah karena kebutuhan mendesak dan alternatif sumber pendapatan utama relatif terbatas.
Kata kunci : kendala sosial ekonomi, usahatani, lahan kering dataran tinggi
PEDAHULUAN
METODA PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan permasalahan sosial ekonomi
usahatani tanaman pangan, tanaman hortikultura, tanaman perkebunan, dan peternakan.
Hasil penelitian diharapkan bermanfaat dalam perumusan kebijakan peningkatan
kesejahteraan petani di lahan kering.
Kegiatan ini merupakan hasil dari PRA yang dilaksanakan di salah satu wilayah
agroekosistem lahan kering dataran tinggi yaitu desa Sajang, kecamatan Sembalun,
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 397
Seminar Nasional 2005
kabupaten Lombok Timur, provinsi NTB. Kegiatan dilaksanakan dari bulan Januari
sampai dengan bulan Desember tahun 2004. Data yang diamati adalah kendala sosial
ekonomi pada usahatani sektor Pertanian Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan
dan Peternakan.
Pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam (In-depth Interview) yaitu
teknik pengumpulan data dengan cara mewawancarai secara mendalam tentang obyek
yang diteliti secara focus group discussion (FGD). Data dan informasi kuantitatif
dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif (Siegel, 1972) . Bahan yang
diperlukan untuk melaksanakan kegiatan PRA adalah pedoman focus group discussion.
Alat yang diperlukan adalah alat pencatat data, alat perekam data.
Tanaman Pangan
Biaya pengolahan tanah relatif mahal
Pengolahan tanah di desa Sajang dilakukan dengan menggunakan tenaga ternak sapi.
Biaya pengolahan tanah relatif mahal yaitu mencapai Rp 50.000/pasang/hari. Untuk
membajak lahan 1 ha membutuhkan 6 pasang sapi selama 2 (dua) hari. Sehingga apabila
ditotal maka jumlah biaya pengolahan tanah untuk lahan 1 ha sebesar Rp 600.000 belum
termasuk biaya makan dan minum. Tiap satu pasang sapi minimal membutuhkan 2 (dua)
orang tenaga manusia. Tingginya biaya pengolahan tanah disebabkan semakin terbatasnya
tenaga kerja ternak sapi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka alternatif pemecahan
masalah adalah pola kemitraan sapi dengan pola kadasan kepada penggarap sekaligus dapat
digunakan sebagai tenaga olah tanah.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 398
Seminar Nasional 2005
Tanaman Hortikultura
Biaya pengolahan tanah relatif mahal
Secara umum petani merasakan bahwa biaya tenaga kerja pengolahan tanah untuk
usahatani bawang merah dan bawang putih relatif tinggi. Alternatif pemecahannya adalah
dengan menciptakan pola kemitraan sapi dengan pola kadasan kepada penggarap sekaligus
dapat digunakan sebagai tenaga olah tanah.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 399
Seminar Nasional 2005
Tanaman Perkebunan
Biaya pengawasan tanaman perkebunan relatif tinggi
Biaya pengawasan usahatani perkebunan terutama tanaman panili sangat tinggi.
Petani harus melakukan ronda di kebun panili pada siang dan malam hari untuk menjaga
tanaman panili dari pencurian. Faktor ketersediaan bibit panili yang langkah di desa Sajang
menyebabkan tidak hanya buah panili yang dicuri tetapi juga batangnya diambil untuk
dijadikan bibit. Keadaan ini disebabkan oleh kelangkaan bibit panili dan buah panili
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Faktor keamanan ini menyebabkan panili dipanen
muda. Untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan menumbuh-kembangkan
inovasi modal soaial.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 400
Seminar Nasional 2005
Peternakan
Ketersediaan informasi harga kurang
Penentuan harga jual oleh pemilik ternak maupun penentuan harga dari
pembeli/pedagang dengan ditaksir berdasarkan umur, kondisi fisik ternak. Informasi harga
taksiran tersebut diperoleh petani dari sesama peternak yang sudah pernah menjual ternak
maupun dari pedagang itu sendiri. Informasi harga ternak sapi berdasarkan bobot hidup
ternak belum diketahui oleh sebagian besar peternak. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan
informasi harga ternak sapi berdasarkan bobot hidup sangat kurang dan belum diketahui
petani.
Alternatif pemecahan adalah dengan membangun lembaga data bisnis pertanian di
pedesaan sehingga dengan adanya lembaga ini dapat menyiapkan segala informasi yang
dibutuhkan oleh petani.
KESIMPULAN
1. Biaya pengolahan tanah untuk komoditi tanaman pangan dan hortikultura relatif mahal
dan alternatif pemecahan masalah yang diajukan adalah pola kemitraan sapi dengan pola
kadasan kepada penggarap sekaligus dapat digunakan sebagai tenaga olah tanah.
2. Biaya modal usahatani tanaman pangan, hortikultura dan peternakan relatif tinggi dan
alternatif pemecahan masalah yang diajukan adalah membangun kelembagaan non
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 401
Seminar Nasional 2005
formal dari kelompok yang sudah ada dengan kesepakatan awiq-awiq sebagai dasar
untuk mengikat para petani untuk andil dalam pengembangan modal usaha.
3. Ketersediaan informasi alternatif usahatani tanaman pangan/hortikultura, perkebunan
dan peternakan yang menguntungkan relatif terbatas. Alternatif pemecahannya adalah
dengan membangun lembaga data bisnis pertanian di pedesaan sehingga dapat
menyiapkan segala informasi yang dibutuhkan oleh petani.
4. Biaya transportasi komoditi pertanian tanaman pangan/hortikultura dan harga input
relatif mahal. Langkah strategis untuk mengatasinya adalah dengan membangun jalan
usahatani dari hutan cadangan pangan (HCP) ke desa sehingga biaya angkut hasil
pertanian dapat ditekan dan harga jual hasil pertanian dapat ditperbaiki dengan adanya
jalan pintas tersebut.
5. Kemampuan petani komoditi tanaman pangan/hortikultura/perkebunan untuk mengakses
lembaga keuangan formal sangat terbatas dan biaya pengawasan tanaman perkebunan
relatif tinggi. Antisipasi solusinya adalah dengan menumbuh-kembangkan inovasi modal
sosial. Sedangkan untuk mengatasi kesulitan mengakses lembaga keuangan formal maka
alternatif pemecahannya adalah dengan membangun kelembagaan non formal di
pedesaan.
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 402
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Pengkajian dilakukan di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng pada bulan Desember 2004 di 4
kelompok tani dengan metode FRK. Pengambilan petani sampel secara simple random sampling. Sampel yang
diambil adalah petani koperator dan non-koperator pada masing-masing kelompok tani dengan jumlah 10 petani
koperator dan 10 petani non kooperator, sehingga jumlah keseluruhan sampel adalah 80 orang petani. Adapun
kelompok tani yang dimaksud adalah Kelompok Tani Abdi Pertiwi, Kelompok Tani Bumi Asih, Kelompok Tani
Tirta Nadi dan Kelompok Tani Tunas Harapan Kita. Data yang diambil yaitu data usahatani dan luar usahatani
dari bulan Desember 2003 sampai Desember 2004. Teknologi introduksi pada pengkajian lahan kering di
Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng dapat meningkatkan pendapatan petani sebesar Rp. 3.898.382,- per
hektar. Pengkajian dilahan kering sangat memungkinkan untuk tetap dikembangkan dilihat dari tambahan
keuntungan yang diperoleh petani koperator yang besarnya 152%. Melihat perkembangan yang sedemikian
besarnya, kegiatan pengkajian perlu diperluas agar mempunyai dampak yang lebih luas di masyarakat Kabupaten
Buleleng khususnya di lahan kering.
Kata Kunci : Teknologi introduksi, pendapatan, lahan kering
PENDAHULUAN
Propinsi Bali yang memiliki lahan kering dengan luas 38,73% (± 218.119 ha) dari
luas Propinsi Bali yaitu 563.286 ha, sebagian besar terletak di bagian timur dan utara pulau
Bali (Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Buleleng). Rata-rata curah hujan untuk daerah
ini berkisar antara 1.400 – 1.700 mm/tahun dengan musim penghujan yang pendek ± 4 bulan
yang biasanya terjadi pada bulan November sampai dengan bulan Februari (BPS, 2001 ;
Suprapto, 2003). Periode hujan yang pendek sangat menghalangi petani dalam
meningkatkan produktivitas usahataninya. Setelah semakin terdesaknya lahan produktif oleh
sektor pariwisata, salah satu alternatif adalah dengan pengembangan lahan kering.
Peningkatan produktivitas pertanian sebenarnya dapat dicapai dengan menambah
kuantitas dan meningkatkan kualitas sumberdaya tanah, modal, dan tenaga kerja dengan
memperbaiki lingkungan fisik usahatani dengan menggalakkan penemuan atau penerapan
teknologi baru atau meningkatkan tingkat ketrampilan petani. Nicholson (1991) menyatakan
bahwa pengaruh kemajuan teknologi dalam proses produksi meliputi antara lain sebagai
berikut: (1) kemajuan teknologi akan mempengaruhi penggunaan input secara proporsional,
(2) teknologi akan menyebabkan penggunaan kapital menjadi lebih produktif, (3) teknologi
meyebabkan penggunaan tenaga kerja menjadi lebih produktif. Ketiga jenis pengaruh
teknologi tersebut terhadap penggunaan input akan menggeser fungsi produksi yang pada
gilirannya akan berpengaruh pula pada tingkat penggunaan input (permintaan input) serta
tingkat keuntungan (π) yang diperoleh petani.
Berbagai upaya telah dilakukan dalam usaha peningkatan pendapatan masyarakat
pada lahan kering, diantaranya adalah introduksi teknologi yang sesuai dengan
agroekosistem serta didukung sumberdaya potensi wilayah setempat. Teknologi yang
diitroduksikan sangat perlu dilihat hasil dan manfaat diperoleh petani sebagai pengguna
teknologi. Salah satu metode untuk mengetahui dan menilai (sebagai kontrol) kegiatan
penelitian/pengkajian yaitu dengan jalan melakukan Farm record keeping (FRK). Evaluasi
ekonomi dapat dilakukan sebelum suatu teknologi dilepaskan ke petani (ex ante evaluation)
atau sesudah dilepaskan kepada petani (ex post evaluation), Banta dan Jayasurya (dalam
Sumaryanto, 2004).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 403
Seminar Nasional 2005
METODOLOGI
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 404
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 405
Seminar Nasional 2005
usahatani tanaman anggur menjadi pilihan petani terlihat dari besarnya kontribusi tanaman
anggur terhadap pendapatan petani.
Pada kelompok tani Bumi Asih untuk petani koperator dan non-koperator terlihat
bahwa komoditas tanaman pangan rata-rata cukup bervariasi pada musim tanam I yang
bertepatan dengan musim penghujan komoditas yang diusahakan relatif sama antara petani
koperator dan non koperator namun dengan luasan yang berbeda, demikian halnya dengan
musim tanam II atau awal musim kering, terkecuali pada musim tanam III (musim kering II)
pada petani koperator masih dapat mengusahakan bawang merah dan tanaman anggur pada
lahannya.
Tabel 2. Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga Petani Koperator dan Non-koperator Kelompok Tani Bumi Asih per Luas
Garapan, Kabupaten Buleleng, 2004
Rata-rata pendapatan rumah tangga petani koperator adalah sebesar Rp. 5.237.713,-.
Kegiatan usahatani tanaman pangan dan sayuran, memberikan kontribusi yang lebih besar
terhadap pendapatan keluarga petani dari pada sumber pendapatan lainnya. Pada Tabel 2,
terlihat bahwa petani koperator sebanyak 63,49% dari total pendapatan keluarga petani
berasal dari usahatani tanaman pangan dan sayuran, sedangkan yang lain bersumber dari
tanaman anggur, mangga dan kelapa sebesar 25,51%. Ternak petani lebih banyak berupa
saving, penjualan pada tahun ini rata-rata Rp. 187.000,- dan hanya sebesar 3,57%
berkontribusi terhadap pendapatan keluarga petani, selebihnya dari luar usahatani seperti
buruh tani, buruh bangunan dan pedagang 7,43%.
Sebaliknya pada petani non koperator dengan pendapatan petani sebesar Rp.
2.846.630,- justru kontribusi terbesar adalah dari pendapatan luar usahatani yaitu 36,49%
termasuk yang bersumber dari jasa seperti sopir angkutan umum. Usahatani tanaman pangan
dan sayuran relatif sama dengan tanaman tahunan dengan kontribusi sebesar 25%,
sedangkan dari ternak mempunyai kontribusi yang lebih besar dari petani koperator yaitu
12,82%. Penjualan ternak terbesar terjadi pada saat hari raya dan tahun ajaran baru sekolah
anak-anak. Ternak petani dalam hal ini merupakan dana cadangan untuk kepentingan hal
tersebut diatas.
Kelompok tani Tirta Nadi (Tabel 3) komposisi pendapatan petani koperator hampir
sama dengan kelompok tani Abdi Pertiwi dimana dengan rata-rata pendapatan Rp.
7.102.043,- .Kontribusi terbesar adalah dari tanaman tahunan anggur yaitu sebesar 36,37%,
dari tanaman pangan dan sayur sebesar 27,98%.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 406
Seminar Nasional 2005
Tabel 3. Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga Petani Koperator dan Non-koperator Kelompok Tani Tirta Nadi per Luas
Garapan, Kabupaten Buleleng, 2004
MT I
1. Jagung 0,525 257.860 867.375 1.019.765 0,425 146.600 604.125 604.275
2. Cabai 0,002 2.175 6.063 6.763
3. K. tanah 0,010 8.875 16.375 24.750 0,080 30.775 126.250 130.725
MT II
1. Jagung 0,085 31.550 134.500 228.950
2. B. Merah 0,018 135.690 74.608 311.703
3. K. tanah 0,235 90.300 235.688 750.263
4. K. panjang
MT III
B. Merah 0,016 129.910 42.975 395.565
Jumlah 1.987.495 27,98 1.485.263 42,09
Tan. Tahunan :
1. Anggur 0,075 653.550 588.750 2.582.700 36,37 0,050 237.000 252.750 382.250 10,83
2. Mangga 1.235.000 17.39 380.000 10,77
3. Kelapa 0,00 0,00
4. Rambutan 300.000 4,22 100.000 2,83
5. Mete 475.000 6,69 125.000 3,54
Ternak 315.000 4,44 492.500 13,96
Luar UT 206.848 2,91 563.873 15,98
Total 7.102.043 100 3.528.886 100
Sumber : Data primer diolah
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 407
Seminar Nasional 2005
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa dengan diadopsinya teknologi baru (teknologi
introduksi), terjadi perubahan berupa tambahan variabel cost yang harus disediakan petani,
yaitu :
a. Penggunaan tenaga kerja sebesar Rp. 573.976,-/ha Hal ini adalah karena pada penerapan
teknologi introduksi diperlukan tenaga kerja lebih intensif terutama pada pemupukan,
pengairan, pengendalian hama penyakit tanaman serta pasca panen. Tenaga kerja pria,
wanita, anak-anak dan ternak dikonversikan ke setara pria yaitu 8 jam/HOK dengan
tingkat upah per HOK sebesar Rp. 15.000,-
b. Penggunaan sarana produksi pupuk kimia ataupun pupuk kandang, pestisida yang lebih
banyak serta pembelian benih dari berbagai komoditas yang diusahakan dalam satu
hektar mengakibatkan biaya yang diperlukan juga bertambah.. Tambahan biaya yang
diperlukan sebesar Rp. 788.514,-
c. Bunga kredit yang dibayarkan juga lebih besar yaitu Rp. 245.248,- Dalam hal ini bunga
kredit sebesar bunga Bank yang berlaku yaitu 18% per tahun dari modal lancar yang
dipakai (saprodi dan tenaga kerja).
Secara keseluruhan tambahan biaya yang dikeluarkan diimbangi dengan tambahan
nilai produksinya yaitu sebesar Rp. 5.506.120,- dengan B/C ratio 1,2. Penerapan teknologi
pada usahatani di daerah penelitian juga berpengaruh nyata terhadap penerimaan petani,
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 408
Seminar Nasional 2005
dimana untuk setiap Rp. 1,- tambahan biaya yang dikeluarkan pada berbagai usahatani yang
dilakukan memberikan tambahan penerimaan sebesar Rp. 3,42,- (Incremental B/C Ratio).
Hal ini berarti penerapan teknologi berbagai macam komoditas pada petani cukup layak
untuk dilaksanakan pada lahan kering.
Dalam melihat kemampuan ekonomi suatu teknologi baru dapat diterima oleh
petani, salah satu tolak ukur yang dipakai adalah penerimaan bersih (profit) usahatani harus
30% lebih tinggi dibandingkan dengan teknologi petani (Malian, 2004). Dari Tabel 5,
didapat bahwa tambahan keuntungan sebesar Rp. 3.898.382,- yang berarti terjadi
peningkatan sebanyak 152%, sehingga penerimaan bersih (profit) petani diterima, maka
pengkajian di daerah penelitian dapat diarahkan menuju kelayakan teknologi.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2002. Buleleng Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Buleleng.
Gittinger, J.P, 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Edisi Kedua. Penerbit
Universitas Indonesia. Jakarta.
Malian, A.H, 2004. Analisis Ekonomi Usahatani dan Kelayakan Finansial Teknologi Pada
Sakala Pengkajian. Makalah. Pelatihan Analisa Finansial dan Ekonomi Bagi
Pengembangan Sistem dan Usahatani Agribisnis Wilayah. Pusat Penelitian dan
Pengembanganm Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta
Nicholson, W. 1999. Teori Ekonomi Mikro. Prinsip Dasar dan Pengembangannya. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Sumaryanto, 2004. Survey dan Farm Record Keeping. Makalah. Pelatihan Analisa Finansial
dan Ekonomi Bagi Pengembangan Sistem dan Usahatani Agribisnis Wilayah. Pusat
Penelitian dan Pengembanganm Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang
Pertanian. Jakarta.
Soekartawi, A. Soehardjo, J.L. Dillon dan J.B. Hardaker. 1986. Ilmu Usaha tani dan
Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. Universitas Indonesia. Jakarta.
Sufrianto. 2002. Studi Komparatif Berbagai Pola Tanam Lahan Kering di Kecamatan
Binuang Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan. Tesis S2 Program Studi Ekonomi
Pertanian, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. (Tidak dipublikasikan)
Suprapto, Adijaya, R. Yasa. 2003. Pengkajian Sistem Usaha Tani Agribisnis Tanaman dan
Ternak di Lahan Marginal. Laporan Akhir. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Bali. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian
Suratiyah, K. 2003. Usaha tani. Diktat. Diterbitkan Untuk Kalangan Sendiri. Program Studi
Agribisnis. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 409
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Nilai tukar petani sebagai salah satu indikator tingkat kesejahteraan petani di Nusa Tenggara Barat
cenderung menurun dari 142, 3 pada tahun 1998 menjadi 87, 2 pada tahun 2003. Peningkatan efisiensi dan
produktivitas usaha tani melalui penerapan inovasi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan petani di lahan kering. Fakta menunjukkan hasil penelitian belum terlihat jelas kontribusi yang
bersifat langsung dan signifikan untuk mengatasi berbagai persoalan-persoalan besar pembangunan pertanian di
Indonesia. Hal itu disebabkan oleh kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi yang hasil penelitian cenderung
melambat, bahkan menurun. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya implementasi inovasi hasil
penelitian di tingkat lapang adalah kurang mempertimbangkan preferensi petani terhadap karakteristik inovasi
dan metode petani belajar dalam perencanaan. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis preferensi petani di
lahan kering terhadap karakteristik teknologi; menganalisis preferensi petani terhadap metode belajar. Pendekatan
kualitatif dan metode studi kasus dipergunakan untuk mencapai tujuan penelitian. Data dikumpulkan dengan
metode wawancara mendalam melalui diskusi kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani di lahan
kering mengharapkan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas rumah tangga, meningkatkan keuntungan
uasaha tani sekitar 40 %, biaya produksi yang rendah, sesuai kebiasaan; metode belajar mengalami langsung
merupakan metode yang paling disukai dan; pendekatan komprehensif yang meliputi aspek sumber daya
manusia, kelembagaan, permodalan, infrastruktur, inovasi melalui proses dialogis partisipatif merupakan salah
satu pendekatan pemberdayaan petani di agroekosistem laha kering.
Kata kunci : inovasi, metode, pendekatan pemberdayaan.
PENDAHULUAN
Salah satu program Departemen Pertanian adalah membangun usaha dan sistem
agribisnis. Petani merupakan salah satu pelaku usaha dan sistem agribisnis baik sebagai
pelaku pada subsistem on farm, maupun pada subsistem off farm hulu dan off farm hilir.
Salah satu faktor yang menetukan keberhasilan program tersebut adalah ketersediaan
inovasi teknologi spesifik lokasi yang bermutu pada setiap subsistem agribisnis. Sai‟d et al.
(2001) mengatakan teknologi perannya sangat strategis dalam mentransformasi input
menjadi output pada subsistem on-farm, off-farm hulu maupun pada off-farm hilir.
Keunggulan kompetitif produk-produk pertanian sangat ditentukan oleh kadar teknologi
produk tersebut.
Nilai tukar petani sebagai salah satu indikator tingkat kesejahteraan petani di Nusa
Tenggara Barat cenderung menurun dari 142, 3 pada tahun 1998 menjadi 87, 2 pada tahun
2003 (BAPPEDA NTB, 2004a). Peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha tani melalui
penerapan inovasi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani di
lahan kering.
Fakta menunjukkan hasil penelitian belum terlihat jelas kontribusi yang bersifat
langsung dan signifikan untuk mengatasi berbagai persoalan-persoalan besar pembangunan
pertanian di Indonesia (Saragih, 2004). Hal itu disebabkan oleh kecepatan dan tingkat
pemanfaatan inovasi yang hasil penelitian cenderung melambat, bahkan menurun (Badan
Litbang Pertanian, 2004).
Puspadi (2002) menemukan relative rendahnya adopsi hasil penelitian pertanian
berhubungan dengan: (1) hasil-hasil penelitian tidak sampai kepada para petani atau hasil-
hasil penelitian tersebut, sampai kepada yang bersangkutan, tetapi tidak tepat waktu; (2)
hasil-hasil penelitian tidak sesuai dengan kebutuhan petani untuk memecahkan permasalahan
dalam berusaha tani; (3) metodologi diseminasi hasil penelitian/pengkajian tidak sesuai
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 410
Seminar Nasional 2005
dengan cara petani belajar. (4) petaninya tidak memiliki modal untuk menerapkan teknologi;
dan (5) tidak ada insentif menarik bagi petani mengadopsi teknologi yang diintroduksi.
Masalah penelitian yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana
preferensi petani terhadap karakteristik inovasi dan metode petani belajar yang dibutuhkan
oleh petani.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 411
Seminar Nasional 2005
Tabel 1 menunjukkan PDRB per kapita per tahun petani NTB atas dasar harga
berlaku adalah RP 4 082 697 814 000 atau Rp 145 383 per kapita per bulan pada tahun
2003. Tahun ini BPS menghitung pengeluaran minimal sekitar Rp 145 000 per orang per
bulan sebagai batas kemiskinan (Kompas, 2005 b) dan Bank Dunia menetapkan garis
kemiskinan dengan penghasilan kurang dari 1 dollar AS per hari (sekitar Rp 9 000 sehari)
atau sekitar Rp 270 000 per kapita per bulan (Kompas c).
Kalau indikator kemiskinan pengeluaran minimal sekitar Rp 145 000 per orang per
bulan (asumsi pengeluaran sama dengan pendapatan), sebagai batas kemiskinan
dipergunakan untuk menentukan tingkat kesejahteraan petani NTB disimpulkan bahwa
secara umum penduduk NTB relatif hidup disekitar garis kemiskinan. Faktanya amat banyak
orang hidup dengan taraf sedikit saja di atas batas itu (Kompas, 2005 b). Jika nilai
pengeluaran ditambah Rp 10. 000 maka secara umum petani NTB termasuk golongan
miskin.
Nilai tukar petani dapat dipergunakan sebagi salah satu indikator untuk mengukur
tingkat kesejahteraan petani. Jika nilai tukar petani lebih dari 100, maka diduga terdapat
kelebihan uang cash yang diterima oleh petani jika nialinya kurang dari 100 sebaliknya.
Perkembangan nilai tukar petani tahun 2003 disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan rata-rata nilai tukar petani di Nusa Tenggara Barat tahun 1998-2003 (1993= 100)
Tabel 2 menunjukkan nilai tukar petani di Nusa Tenggara Barat cenderung terus
menurun sejak tahun 1999 dari 179,3 menjadi di bawah 100 sampai tahun 2003 yang artinya
sejak tahun 2000, petani selalu membayar lebih tinggi dari pada harga produk yang diterima.
Hal tersebut mengindikasikan tingkat kesejahteraan petani di NTB relatif rendah sejak tahun
2000-2003.
Berdasarkan hasil analisis Tabel 2 dan 3, 4 disimpulkan bahwa secara umum pada
tahun 2003, petani di Nusa Tenggara Barat sebagian besar hidup disekitar garis kemiskinan.
Tabel. 3. PDRB sektor pertanian , produktivitas kegiatan usaha sektor pertanian per kapita per bulan di
kabupaten Lombok Timur tahun 2003
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 412
Seminar Nasional 2005
Tabel 4. Pengeluaran rata-rata per kapita per bulan pangan, non pangan dan persentase rumah tangga
menurut golongan pengeluaran NTB tahun 2004, Lombok Timur tahun 2003.
NTB Lombok Timur
Pengeluaran Persentase Pengeluaran Persentase
Golongan rata-rata per rumah tangga rata-rata per rumah tangga
pengeluaran (Rp) kapita per bulan menurut kapita per bulan menurut
pangan dan non golongan pangan dan non golongan
pangan (Rp) pengeluaran pangan (Rp) pengeluaran
≤ 30.000 25.752,2 0,02 0,00 0,00
30.000-39.999 36.447,91 0,23 38.475,80 0,16
40.000-59.999 53.095,26 1,66 55.067,87 1,08
60.000-79.999 71.304,07 7,43 72.413,13 7,99
80.000-99.999 90.653,21 14,14 89.729,43 15,04
100.000-149.999 124.013,74 35,15 121.852,24 37,64
150.000-1999.000 172.307,34 19,67 172.965,31 20,40
200.000-2999.999 238.606,75 14,93 234.650,87 12,97
≥ 300.000 442.823,80 6,77 444.073,26 4,72
Sumber: BPS NTB, 2004; BPS Lombok Timur, 2003.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 413
Seminar Nasional 2005
Rhoades dan Bebbington (Winarto, 1999) mengatakan petani adalah pencipta solusi
yang dihasilkannya sendiri guna menghadapi berbagai tantangan dan masalah yang dihadapi,
tidak melulu sebagai pengadopsi teknologi yang diintroduksikan. Selain itu, mereka juga
penguji coba dan pencipta yang secara aktif menyusun strategi. Secara terus menerus mereka
mengevaluasi, menyeleksi dan mengombinasikan berbagai informasi yang diperolehnya dari
berbagai sumber guna memenuhi kebutuhan hidup dan menyesuaikan diri dengan perubahan
yang dihadapinya.
Johnson (1972), Rhoades (1989), Richards (1986), Bentley (Winarto, 1999)
mengatakan petani adalah seorang pengamat dan penguji coba. Goodenough (Winarto, 1999)
mengatakan petani melakukan evaluasi, intepretasi dan menarik kesimpulan tentang apa
yang telah mereka alami di masa lalu dan kini merupakan bagian yang paling signifikan dari
proses pengambilan keputusan dan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak dapat
diprediksi sebelumnya. Dasar evaluasi mereka bukan hanya hasil dari tindakannya sendiri,
melainkan juga strategi rekan-rekannya sehamparan atau yang berlokasi diluar batas
administrasi wilayah tempat tinggal mereka. Variasi strategi di lapangan merupakan sarana
utama petani melakukan perbandingan. Perbandingan merupakan mekanisme penting dalam
mengevaluasi, mengabsahkan dan meningkatkan pengetahuan
Sikap petani terbentuk dari pengalaman melalui proses belajar, seperti melalui
proses belajar kondisioning klasik, proses belajar sosial dan proses belajar mengalami
langsung.
Maryadi (2000) mengatakan dengan merangkum nilai dari berbagai sumber,
kemudian orang mengembangkan sistem nilainya sendiri untuk dianut sendiri. Sistem nilai
adalah ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai atau berharga dalam
kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 1974). Sistem nilai yang dikembangkan sendiri
dan dianut sendiri disebut sistem nilai relatif. Marshall Goldsmith (Kompas, 2001)
menyebutkan ada tiga ciri masyarakat global yang terbentuk akibat proses ekspansi pasar
yaitu diversitas, pembentukan nilai jangka panjang dan hilangnya humanitas. Abdullah
(Kompas, 2001) mengatakan kecenderungan Indonesia masa depan juga begitu. Diversitas
menyebabkan munculnya relativitas nilai secara men- dasar dalam masyarakat. Sistem nilai
absolut tidak lagi bisa dipertahankan. Berubah- nya sistem referensi. Tokoh-tokoh yang
dibangun sejarah lokal menjadi tidak penting karena digantikan oleh tokoh-tokoh yang
dibangun oleh media.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 414
Seminar Nasional 2005
smp
.2
smu
campuran
0.0 sd
pang an
-.2
-.4
Dimension 2
-.6
pt pddkn
-.8 jut
-.4 -.2 0.0 .2 .4 .6
Di me nsi on 1
Canonical normalization
Gambar: 4.3. Hubungan tingkat pendidikan (pddkn) petani dengan jenis usahatani (jut).
dewasa
tua
horti
0.0
muda
pang an
-.5
-1.0
Dimension 2
-2.0 umur
-1.5 -1.0 -.5 0.0 .5 1.0
Dime nsion 1
Canonical normalization
Gambar 4.4. Hubungan antara umur petani dengan jenis usaha tani (jut) yang dikelola.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 415
Seminar Nasional 2005
Teori aksi yang dikembangkan oleh Eckensberger menjelaskan bahwa aksi atau
tindakan seseorang sebagai perilaku kontekstual disebabkan oleh empat hal yang esensi al
dua di antaranya adalah: pertama, perilaku distrukturkan oleh beberapa tujuan masa depan,
dan kedua, ada suatu pilihan di antara cara alternatif untuk mencapai tujuan tersebut. Fromm
(1976) mengungkapkan bahwa watak manusia dapat berubah dalam kondisi sebagai berikut:
pertama, dia sadar akan kondisinya, sedang dalam kondisi ke- kurangan; kedua, dia
mengetahui asal atau penyebab munculnya kondisi yang dirasakan; ketiga, dia tahu bahwa
ada jalan untuk mengatasi kondisi yang dirasakan; dan keempat, dia setuju bahwa untuk
dapat mengatasi kondisi yang dirasakan itu, dia harus mengikuti norma-norma hidup tertentu
dan mengubah praktek hidup yang sekarang. Uraian tersebut menunjukkan bahwa dari
perspektif penyuluhan pertanian untuk mengubah peri laku dan perubahan perilaku tersebut
terjadi kalau sentuhan-sentuhannya bukan hanya pada ranah kognitif dan konatif saja tetapi
yang sangat penting adalah emosinya atau perasaannya dan kepribadiannya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas disimpulkan bahwa ke depan kecenderungan
perilaku usaha tani para petani ke arah komersial, baik pola pemikiran, sikap dan pemilihan
jenis usaha pertanian semakin menguat, terlepas dari latar belakang pendidikan dan umur.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 416
Seminar Nasional 2005
proporsional, maka akan sulit diharapkan terjadinya perubahan perilaku. Sikap seseorang
terbentuk dari pengalaman melalui proses belajar.
Berdasarkan pandangan tersebut di atas, disusun berbagai upaya (penerangan,
pendidikan, pelatihan, komunikasi) untuk mengubah sikap seseorang (Sarwono, 1997).
Proses belajar itu sendiri dapat terjadi melalui proses pengkondisian klasik, proses belajar
sosial yaitu melalui peniruan dari perilaku model dan melalui pengalaman langsung.
Teknologi kedua yang diinginkan petani yaitu teknologi yang dapat menurunkan
biaya atau menekan biaya dan yang dapat meningkatkan keuntungan. Sudah tentu dalam
berusaha setiap orang selalu mengingikan keuntungan yang tinggi. Keuntungan tersebut
dapat dicapai melalui peningkatan produksi sambil disisi lain menekan atau menurunkan
biaya produksi. Untuk mendapatkan keuntungan sudah tentu produksi yang dihasilkan
dibutuhkan oleh pasar. Jadi antara keinginan petani terhadap teknologi yang dapat
meningkatkan keuntungan mempunyai kaitan dengan keinginan petani terhadap teknologi
yang dapat memproduksi hasil yang dibutuhkan pasar dan keinginan petani terhadap
teknologi yang dapat mengurangi kehilangan hasil. Dalam mencapai keuntungan yang
optimal, kehilangan hasil saat panen harus dapat ditekan.
Keinginan petani terhadap teknologi yang dapat menurunkan biaya produksi
merupakan cerminan dari kondisi petani Rarang Selatan dalam mengelola usahataninya.
Sebagian besar petani di desa ini dalam membiayai usahataninya menggunakan modal
pinjaman. Keadaan ini diperparah lagi karena sumber pinjaman petani berasal dari rentenir,
sehingga petani harus menanggung biaya modal yang sangat tinggi. Keinginan ini berkaitan
dengan keinginan petani yang menempati rangking ketiga yaitu sesuai kemampuan dan tidak
merepotkan.
Teknologi yang sesuai dengan kemampuan artinya disesuaikan dengan modal dan
tenaga kerja yang tersedia. Artinya, dalam berusahatani, petani berusaha untuk menggunakan
modal sendiri dan tidak melakukan pinjaman dari pihak lain dengan bunga pinjaman tinggi.
Kemampuan petani untuk membayar tenaga kerja juga sangat terbatas. Dalam hal ini, petani
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 417
Seminar Nasional 2005
berusaha hanya menggunakan tenaga kerja dalam keluarga, tetapi mengingat banyak
pekerjaan dalam suatu usahatani, khususnya usahatani tembakau, menyebabkan petani harus
menggunakan tenaga upahan yang dibayar dari uang yang diperoleh pinjaman. Kondisi ini
sangat disadari petani sehingga petani ingin keluar dari masalah tersebut. Altenatif untuk
mengatasi masalah tersebut yaitu mengaktifkan lembaga keuangan desa dan introduksi
teknologi usahatani berbiaya rendah dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia.
Teknologi yang tidak merepotkan seperti diungkap di atas juga menjadi salah satu
keinginan petani. Ini berkaitan dengan keinginan petani terhadap teknologi yang sesuai
dengan kemampuan. Artinya, dalam berusahatani, petani menginginkan teknologi yang
sederhana yang seusai dengan kemampuan modal dan tenaga kerja dalam keluarga yang
tersedia. Teknologi usahatani yang rumit dan berkonsekuensi terhadap biaya tinggi dan
membutuhkan tenaga kerja yang banyak kurang diinginkan petani.
Keinginan petani terhadap teknologi yang tidak merepotkan diperkuat dengan
keinginan petani terhadap teknologi yang sesuai dengan kebiasaan. Suatu yang sudah
menjadi kebiasaan tidak akan dirasakan sebagai suatu yang merepotkan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 418
Seminar Nasional 2005
Tabel 8. Preferensi petani terhadap media diseminasi teknologi pada agroekosistem lahan kering kabupaten
Lombok Timur, Th. 2004
SKOR Total
JENIS MEDIA Ranking
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 skor
A. MEDIA
3 1 3 1 1 1 1 1 2 3 3 2 23 II
TERCETAK
1. Brosur 3 1 3 1 1 1 1 1 2 3 3 2 23
2. Liptan 3 1 3 1 1 1 1 1 2 3 3 2 23
3. Leaflet 3 1 3 1 1 1 1 1 2 3 3 2 23
4. Poster 3 1 3 1 1 1 1 1 2 3 3 2 23
5. Koran 3 1 3 1 1 1 1 1 2 3 3 2 23
6. Majalah
3 1 3 1 1 1 1 1 2 3 3 2 23
Pertanian
B. MEDIA
1 1 2 2 1 2 2 2 1 1 1 1 17 III
ELEKTRONIK
1. Vidio/Cd 1 1 2 2 1 2 2 2 1 1 1 1 17
2. Film 1 1 2 2 1 2 2 2 1 1 1 1 17
3. Radio 1 1 2 2 1 2 2 2 1 1 1 1 17
4. TV 1 1 2 2 1 2 2 2 1 1 1 1 17
5. Rekaman 1 1 2 2 1 2 2 2 1 1 1 1 17
C. MEDIA TATAP
2 3 1 3 3 3 3 3 3 2 2 3 31 I
MUKA
1. Pertemuan
2 3 1 3 3 3 3 3 3 2 2 3 31
Kelompok
2. Temu Lapang 2 3 1 3 3 3 3 3 3 2 2 3 31
3. Geltek/Demplot 2 3 1 3 3 3 3 3 3 2 2 3 31
4. Ceramah 2 3 1 3 3 3 3 3 3 2 2 3 31
5. Pelatihan 2 3 1 3 3 3 3 3 3 2 2 3 31
6. Studi Banding/
2 3 1 3 3 3 3 3 3 2 2 3 31
Magang
Sumber: Data primer diolah.
KESIMPULAN
Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas disarankan hal-hal sebagai berikut
(1) Perakitan teknologi pertanian sebaiknya memperhatikan latar belakang sosial ekonomi
petani melalui pendekatan partisipatif.
(2) Metode diseminasi untuk menyampaikan hasil-hasil penelitian dan pengkajian sebaiknya
memperhatikan preferensi petani belajar melalui cara belajar mengalami langsung
dengan melibatkan petani dalam semua proses penelitian dan pengkajian
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 419
Seminar Nasional 2005
DAFTAR PUSTAKA
Bailey KD. 1978. Methods of Social Research. The Free Press, A Division of Macmillan
Publishing Co., Inc, New York.
Badan Litbang Pertanian. 2004. Rancangan Dasar Program Rintisan da Akselerasi
Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (PRIMA TANI). Departemen
Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
BAPPEDA NTB 2004. Data Pokok Pembangunan Provinsi Nusa Negara Barat Tahun 2003.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat.
BAPPEDA NTB 2004a. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Nusa Tenggara
Barat Tahun 2003. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kerjasama
BAPPEDA NTB dengan Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat.
BPS NTB. 2003. Nusa Negara Barat Dalam Angka.
BPS Lombok Timur. 2003. Lombok Timur dalam Angka.
BPS 2004a. Sensus Pertanian 2003. Angka Propinsi Hasil Pendaftaran Rumah Tangga
(Angka Sementara). BPS. Jakarta.
BPS NTB 2004b. Statistik Harga Produsen dan Nilai Tukar Petani Propinsi Nusa Tenggara
Barat 2003. BPS Mataram- NTB.
Calne Donald B, 1999. Batas Nalar Rasionalitas dan Perilaku Manusia. Penerjemah Parakitri
T. Simbolon. Kepustakaan Populer Gramedia. 2004. Terjemahan dari Within
Reason-Rasionality and Human Behavior
Fromm E. 1976. Memiliki dan Menjadi Tentang dua Modus Eksistensi. F. Soesilohardo
penerjemah. Penerbit LP3ES, Jakarta. Terjemahan dari: To Have or To Be
Kompas. 2001a. Membuat Desa Memiliki Daya Tarik. Kompas 26 Agustus, 2001:28 (kolom
1-9).
________2001b. Ketika Bocah Pati Memakai Kaus Vieri. Kompas 20 Agustus 2001: 30
(kolom1-9).
Kompas b. Mencoba Berprasangka Baik dengan Strategi Baru. Kompas Sabtu 9 April 2005,
Halaman 38 Kolom (1-4)
Kompas c Kemakmuran Rakyat masih Impian. Sabtu 9 April 2005, Halaman 41 Kolom (1-
4).
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. P.T Gramedia Jakarta
Maryadi. 2000. Eksistensi Agama pada Era Globalisasi. Didalam Maryadi editor.
Tranformasi Budaya, Muhamaddiyah University Press, Surakarta.
Muhadjir N. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi III, Penerbit Rake Sarasin,
Yogyakarta.
Mulyana Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial Lainnya. PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Poerwandari EK. 1998. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Lembaga
Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi, Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, Jakarta.
Puspadi Ketut. 2002. Rekonstruksi Sistem Penyuluhan Pertanian [disertasi] Bogor. Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 420
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 421
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia termasuk desa dengan agroekosistem lahan kering. Wilayah
lahan kering sering diidentikkan dengan kemiskinan karena kondisi sumberdaya yang dimiliki. Hasil penelitian
Ariani (2000) menunjukkan bahwa ketahanan pangan rumah tangga di wilayah lahan kering lebih rendah
dibandingkan dengan ketahanan pangan rumah tangga di wilayah lahan sawah. Tulisan ini bertujuan menganalisis
pola pendapatan dan pengeluaran rumah tangga di lahan kering dihubungkan dengan ketahanan pangan rumah
tangga. Kajian ini dilakukan di Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur pada tahun
2004. Metode pengumpulan data dilakukan melalui diskusi mendalam secara partisipatif. Data yang dikumpulkan
dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa sumber pendapatan rumah
tangga di Desa Sambelia dari berbagai aktivitas usaha di bidang on farm, off farm dan non farm. Sumber
pendapatan utama petani kaya diperoleh dari usaha on farm. Sebaliknya petani dengan lahan garapan sempit dan
rumah tangga yang tidak mempunyai lahan, usaha off farm dan non farm memegang peranan penting sebagai
sumber pendapatan. Pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari ketiga bidang tersebut, prioritas pertama
adalah pengeluaran untuk konsumsi berupa kebutuhan pangan dengan pangsa pengeluaran pangan mencapai 50
persen. Dari pangsa pengeluaran pangan tersebut diketahui bahwa ketahanan pangan rumah tangga relatif
rendah, karena pangsa pengeluaran pangan berhubungan terbalik dengan ketahanan pangan, semakin tinggi
pangsa pengeluaran pangan maka semakin rendah tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Dalam upaya
meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga maka pendapatan rumah tangga harus ditingkatkan antara lain
melalui inovasi teknologi pertanian yang sesuai dengan kondisi wilayah lahan kering.
Kata kunci : pendapatan, pengeluaran, ketahanan pangan, rumah tangga
PENDAHULUAN
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 422
Seminar Nasional 2005
Berdasarkan informasi dan latar belakang di atas, tulisan ini bertujuan untuk
memberikan gambaran tentang sumber-sumber pendapatan, alokasi pendapatan, pola
pengeluaran, dan ketahanan pangan rumah tangga di Desa Sambelia Kecamatan Sambelia
Kabupaten Lombok Timur.
METODE PENELITIAN
Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan pengkajian Pemahanan Pedesaan secara
Partisipatif di Wilayah Poor Farmer Lombok Timur yang dilaksanakan pada tahun 2004.
Kegiatan pengkajian dilakukan di Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok
Timur. Pengumpulan data dilakukan melalui diskusi mendalam secara partisipatif dan
dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif.
1. Pendapatan On Farm
Pendapatan yang bersumber dari usaha on farm mencapai 73,6% dari total
pendapatan sebagian besar berasal dari usahatani tanaman pangan dan hortikultura kemudian
dari sektor peternakan, sedangkan sektor perkebunan belum banyak memberikan kontribusi
terhadap pendapatan petani. Pendapatan dari usahatani tanaman pangan bersumber dari
usahatani di lahan sawah irigasi dan dari lahan kering (tegalan/ladang).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 423
Seminar Nasional 2005
Tanaman Pangan
Dari sektor tanaman pangan sumber pendapatan petani berasal dari hasil panen padi
gogo, padi sawah, jagung dan kacang tanah. Pendapatan yang bersumber dari hasil panen
padi gogo diterima petani antara bulan April dan Mei sedangkan yang berasal dari hasil
panen padi sawah diterima petani dari bulan Januari sampai dengan bulan September.
Periode waktu penerimaan pendapatan yang cukup panjang dari usahatani padi sawah
disebabkan karena saat panen yang tidak seragam sebagai akibat dari waktu tanam yang
tidak bersamaan. Sekitar bulan Maret dan April petani memperoleh pendapatan yang
bersumber dari usahatani jagung dan kacang tanah yang di tanam di ladang sedangkan
pendapatan yang bersumber dari pertanaman jagung dan kacang tanah yang di tanam di
sawah irigasi diterima petani antara bulan Agustus dan September.
Dari uraian diatas sumber pendapatan petani yang bersumber dari sektor tanaman
pangan paling banyak diterima petani pada bulan April. Hal ini terjadi karena pada bulan
tersebut petani yang mengusahakan padi gogo, jagung dan kacang tanah di lahan kering
(tegalan/ladang) bersamaan panen dengan yang mengusahakan padi di lahan sawah irigasi.
Di bulan Oktober, Nopember dan Desember terjadi stagnasi penerimaan pendapatan dari
sektor tanaman pangan karena bulan-bulan tersebut merupakan awal musim hujan yang juga
merupakan awal dari musim tanam.
Peternakan
Sektor peternakan memegang peranan yang cukup penting setelah tanaman pangan
dalam kontribusi pendapatan masyarakat desa Sambelia. Sumber pendapatan dari sektor
peternakan berasal dari hasil penjualan kerbau, sapi, kambing, ayam dan jasa pengolahan
tanah oleh kerbau. Pemeliharaan ternak di desa ini lebih banyak ditujukan untuk pembiakan
dari pada penggemukan. Pendapatan dari peternakan sebesar 10,15% dari total pendapatan
rumah tangga.
Pendapatan masyarakat desa Sambelia yang bersumber dari usaha pemeliharaan
ternak kerbau sebagian besar dari jasa pengolahan tanah dan hanya sebagian kecil dari
penjualan ternak. Sangat jarang pemilik kerbau menjual ternaknya, karena kerbau
mempunyai peran strategis dalam pengolahan tanah dan juga merupakan cerminan status
sosial seseorang di masyarakat dalam segi kekayaan. Pendapatan yang bersumber dari
ternak kerbau sebagai tenaga kerja pengolahan tanah diterima petani pada bulan Oktober
sampai dengan Desember dan meningkat dari dari bulan Januari sampai dengan Maret
Sumber pendapatan dari sektor peternakan lainnya berasal dari hasil penjualan
kambing. Kambing dijual biasanya pada bulan April, Oktober, Nopember dan pada hari raya
Idul Qurban maupun pada saat bulan Maulid. Penjualan kambing yang dilakukan sekitar
bulan April adalah untuk persediaan ongkos panen, sedangkan yang dijual pada bulan
Oktober dan Nopember adalah untuk persediaan biaya mengolah tanah. Kontribusi ayam
buras sebagai sumber pendapatan keluarga dirasakan tidak begitu besar peranannya oleh
petani. Hampir sepanjang tahun petani menjual ayamnya terutama untuk mengatasi
kebutuhan uang tunai yang bersifat mendesak untuk keperluan sehari-hari. Peranan ayam
menjadi cukup penting sebagai salah satu penyangga pendapatan keluarga dimusim kemarau
yaitu saat itu pendapatan yang bersumber dari usaha lainnya sudah mulai berkurang.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 424
Seminar Nasional 2005
sedangkan yang diterima dari bulan Januari sampai dengan April dari jasa sebaga tenaga
kerja panen
Mencari Madu
Usaha mencari madu tidak dapat dilaksanakan sepanjang tahun, biasanya kegiatan
ini menurun di musim hujan. Pendapatan yang bersumber dari usaha mencari madu diterima
petani bulan Oktober sampai dengan Desember dan dari bulan Pebruari sampai dengan
April.
Jasa Ojek
Pekerjaan sebagai tukang ojek dilakukan hampir setiap hari karena ojek merupakan
sarana transportasi utama masyarakat desa Sambelia. Masyarakat yang menjadikan ojek
sebagai salah satu sumber pendapatannya meningkat antara bulan April sampai dengan
September atau pada musim kemarau. Sebaliknya di musim hujan masyarakat yang
menjadikan ojek sebagai sumber pendapatannya mulai berkurang karena sebagian dari
mereka mulai bekerja menggarap sawah dan ladang, disamping karena kondisi jalan tanah
diperkeras di desa Sambelia menjadi licin.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 425
Seminar Nasional 2005
September atau pada musim kemarau dimana saat itu sumber pendapatan dari sektor
pertanian sudah mulai berkurang. Di musim hujan sumber pendapatan dari usaha penjualan
kayu bakar mulai berkurang karena mereka beralih bekerja ke sektor pertanian yang
menjanjikan penghasilan yang lebih baik.
Petani dengan lahan garapan yang luas menjadikan usaha on farm khususnya
tanaman pangan, dan peternakan sebagai usaha utama dan menjadi salah satu sumber
penerimaan pendapatan yang terbesar, menyusul usaha off farm dan non farm. Pendapatan
yang bersumber dari kegiatan off farm dan non farm menempati peringkat yang lebih rendah
dibandingkan dengan yang dari kegiatan on farm. Salah satu kegiatan off farm, yaitu bekerja
menjadi buruh tani sebagai tenaga kerja upahan, kurang mendapat perhatian dari petani yang
memiliki lahan garapan luas. Disamping karena waktunya lebih banyak tersita untuk
kegiatan on farm, juga karena bekerja sebagai buruh tani mengurangi citra mereka sebagai
petani kaya. Sumber pendapatan petani dengan lahan garapan luas dari kegiatan off farm
yaitu dari sewa ternak yang dipergunakan untuk mengolah tanah.
Sebaliknya terjadi pada petani dengan luas lahan garapan sempit atau petani miskin,
usaha dari kegiatan off farm memegang peranan penting sebagai sumber pendapatan. Bekerja
menjadi buruh tani sebagai tenaga kerja upahan merupakan sumber pendapatan terbesar
untuk menunjang kehidupan keluarga. Sumber pendapatan selanjutnya yang menjadi andalan
keluarga petani dengan lahan garapan sempit yaitu dari kegiatan non farm. Menjadi TKI
menjadi tujuan utama petani dengan luas lahan garapan sempit, disamping buruh bangunan,
ojek dan lain sebagainya. Dari usaha on farm, sektor tanaman pangan sebagai sumber
pendapatan menempati urutan setelah off farm dan non farm. Penguasaan faktor produksi
petanian seperti tanah, tenaga kerja dan modal yang relatif rendah oleh petani dengan luas
lahan garapan sempit mendorong mereka melakukan tindakan penyelamatan diri dengan
mencari sumber pendapatan lain. Usaha tanaman pangan oleh petani dengan lahan garapan
sempit (petani miskin) lebih banyak bersifat subsisten untuk ketahanan pangan keluarga.
Kegiatan on farm usaha tanaman hortikultura dari petani berlahan sempit cukup menarik
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 426
Seminar Nasional 2005
karena menempati urutan ke tiga sebagai sumber pendapatan. Gejala ini berbeda dengan
usaha tanaman hortikultura dari petani dengan lahan garapan luas, dimana usaha tersebut
menempati peringkat ke dua. Ini berarti usaha tanaman hortikultura, terutama dari jenis
sayuran, menjadi andalan petani berlahan sempit di desa Sambelia. Dalam hal ini, dengan
keterbatasan lahan yang dimiliki, petani berlahan sempit di desa Sambelia berusaha
mengoptimalkan fungsi lahannya dengan menanam berbagai jenis komoditas hortikultura
terutama dari jenis sayuran dengan cara memanfaatkan pematang sawah.
Uraian tersebut memberikan gambaran bahwa sumber pendapatan rumah tangga di
Desa Sambelia tertinggi berasal dari kegiatan on farm. Tanpa mengelompokkan petani kaya
dan petani miskin, hasil baseline survey yang dilakukan oleh Iqbal dkk (2004) di desa yang
sama menunjukkan hasil yang senada. Secara agregat kontribusi pendapatan dari kegiatan
on farm di Desa Sambelia mencapai 73,6 persen (Tabel 1).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 427
Seminar Nasional 2005
Tabel 3. Struktur Pengeluaran Rumah Tangga Masyarakat Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia, Kabupaten
Lombok Timur, 2004
Seperti diuraikan di atas, jumlah pengeluaran rumah tangga kaya jauh lebih besar
dibandingkan dengan pengeluaran rumah tangga miskin, baik untuk pengeluaran pangan
maupun untuk pengeluaran non pangan. Perbedaan jumlah pengeluaran untuk kebutuhan
pangan pada kedua jenis rumah tangga tersebut karena perbedaan kualitas dan jumlah
pangan yang dikonsumsi. Rumah tangga petani kaya mengkonsumsi jenis pangan yang lebih
berkualitas, beragam dan dalam jumlah yang lebih memadai dibandingkan dengan yang
dikonsumsi rumah tangga petani miskin. Sedangkan perbedaan pengeluaran non pangan
antara rumah tangga kaya dan miskin terletak pada jumlah biaya yang dikeluarkan untuk
penerangan, bahan bakar untuk memasak, membeli pakaian, biaya pendidikan, biaya
transportasi, pajak kendaraan dan rekreasi seperti dijelaskan dibawah ini.
Sumber penerangan rumah tangga petani kaya diperoleh dari berlangganan PLN
sedangkan petani miskin sumber penerangannya numpang (nyantol) pada listrik petani kaya.
Rumah tangga kaya menggunakan bahan bakar minyak tanah untuk memasak, rumah tangga
miskin menggunakan kayu bakar. Pengeluaran untuk pembelian pakaian oleh rumah tangga
kaya dilakukan setiap triwulan, rumah tangga miskin membeli pakaian setahun sekali. Biaya
pendidikan yang dikeluarkan rumah tangga kaya untuk menyekolahkan anak sampai
perguruan tinggi menjadi lebih besar dibandingkan petani miskin yang hanya mampu
menyekolahkan anak sampai ke sekolah menengah atau lanjutan. Pemilikan kendaraan
bermotor sudah menjadi hal lumrah pada rumah tangga kaya sehingga setiap tahun harus
membayar pajak kendaraan dan membeli bahan bakar, pengeluaran untuk biaya tersebut
tidak pernah dikeluarkan rumah tangga miskin karena tidak memiliki kendaraan bermotor.
Meskipun nilai absolut pengeluaran rumah tangga kaya relatif besar dibandingkan
pengeluaran rumah tangga miskin, namun pangsa pengeluaran pangan kedua rumah tangga
tersebut relatif sama. Dari tabel tersebut menggambarkan bahwa pengeluaran pangan rumah
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 428
Seminar Nasional 2005
tangga mencapai lebih dari 50 persen dari total pengeluaran rumah tangga. Hasil pengkajian
ini hampir sama dengan data baseline survey yang dilakukan oleh Iqbal dkk (2004) di desa
yang sama, dimana pangsa pengeluaran pangan sebesar 56,6 persen.
Pengeluaran rumah tangga terbesar untuk kebutuhan pokok seperti beras dan lauk
pauk. Tingginya pangsa pengeluaran pangan (>50%) menunjukkan ketahanan pangan rumah
tangga di Desa Sambelia relatif rendah. Sebagai pembanding, pangsa pengeluaran pangan
rumah tangga di Amerika Serikat dan Jepang pada tahun 1975 masing-masing 12,76 persen
dan 22,28 persen (Theil dan Clements, 1987 dalam Pakpahan, 1993). Keadaan ini
memberikan gambaran bahwa, tidak seperti di negara maju, pangan masih merupakan
komoditas penting bgi sebagian masyarakat di Indonesia, khususnya masyarakat pedesaan.
KESIMPULAN
1. Sumber pendapatan rumah tangga di Desa Sambelia dari berbagai aktivitas usaha di
bidang on farm, off farm dan non farm. Secara umum sektor pertanian masih tetap
merupakan sumber pendapatan rumah tangga. Sumber pendapatan utama petani kaya
diperoleh dari usaha on farm. Sebaliknya petani dengan lahan garapan sempit dan rumah
tangga yang tidak mempunyai lahan, usaha off farm dan non farm memegang peranan
penting sebagai sumber pendapatan.
2. Pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari ketiga bidang tersebut, prioritas pertama
adalah pengeluaran untuk konsumsi berupa kebutuhan pangan dengan pangsa
pengeluaran pangan mencapai diatas 50 persen. Dari pangsa pengeluaran pangan
tersebut diketahui bahwa ketahanan pangan rumah tangga di Desa Sambelia relatif
rendah. Dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga maka pendapatan
rumah tangga harus ditingkatkan antara lain melalui inovasi teknologi pertanian
termasuk teknologi pasca panen yang sesuai dengan kondisi wilayah lahan kering.
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, M. dan B. Sayaka. 2000. Ketahanan Pangan Rumah tangga Pedesaan (Editor: IW.
Rusastra dkk). Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dalam
Era Otonomi Daerah., hal 135-142.
Iqbal, M., I.S., Anugrah dan D.K.S.Swastika, 2004. Socio-Economic Baseline Survey for
Poor Farmers‟ Income Improvement through Innovation Project (PFI3P). Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Nurmanaf, A.R., 1988. Struktur Pendapatan Rumah tangga Petani padi Sawah di Pedesaan
Sumatera Barat (Editor: F. Kasryno dkk). Prosiding Patanas Perubahan Ekonomi
Pedesaan menuju Ekonomi Berimbang, hal 291-298.
Nurmanaf, A.R., dan SH Susilowati. 2000. Struktur Kesempatan Kerja dan Kaitannya
dengan Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Pedesaan (Editor: IW. Rusastra
dkk). Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dalam Era
Otonomi Daerah., hal 88-93.
Pakpahan, A, P.Srliem dan S.H., Suhartini. 1993. Penelitian Tentang Ketahanan Pangan
Masyarakat Berpendapatan Rendah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Petanian.
Bogor.
Sudaryanto, T., IW. Rusastra and P. Simatupang. 1999. The Impact of Economic Crisis and
Policy Adjusment on Food Crop Development Toward Economic Globalization.
Paper presented on “Round Table Discussion on Food and Nutrition Task Force I:
Food and Agriculture” Pra-WKNPG VII, 8 November 1999. Center For Agro-Socio
Economic Research, Bogor.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 429
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pendapatan dan melihat hubungannya dengan karakteristik
rumah tangga tani di agroekosistem lahan kering Daerah Istimewa Yogyakarta. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode survei dengan pengamatan langsung dilapangan dan wawancara dengan petani
menggunakan daftar pertanyaan. Pemilihan lokasi kabupaten dan kecamatan ditentukan secara purposive
sedangkan penentuan lokasi desa dan sampel petani ditentukan dengan metode random sederhana. Pengambilan
sampel dilakukan di Desa Ponjong, Kec. Ponjong, Kab. Gunungkidul; Desa Wonokerto, Kec. Turi, Kab. Sleman;
Desa Kepuharjo, Kec. Cangkringan, Kabupaten Sleman; dan Desa Terong, Kec. Dlingo, Kab. Bantul. Penelitian
dilakukan selama periode bulan Juni – Nopember 2003. Responden ditentukan sebanyak 23 orang per desa
sehingga total responden sebanyak 92 orang. Data yang terhimpun selanjutnya dianalisis menggunakan statistik
diskriptif dan analisis korelasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan utama rumah tangga tani
berasal dari sektor pertanian yang memberikan kontribusi sebesar 52,57%, sedangkan usaha non pertanian
memberikan sumbangan sebesar 47,43% terhadap total pendapatan keluarga petani. Rata-rata total pendapatan
keluarga petani sebesar Rp 9.913.510,-/tahun yang terdiri dari pendapatan usaha pertanian sebesar Rp
5.211.284,-/tahun dan pendapatan usaha non pertanian sebesar Rp 4.702.226,-/tahun. Pendapatan rumah tangga
petani berhubungan erat dan signifikan dengan sumber pendapatan yang berasal dari usahatani non-tanaman
pangan dan pendapatan yang bersumber dari luar sektor pertanian. Sedangkan usaha sub sektor pertanian
tanaman pangan ternayata bekorelasi negatif dan tidak signifikan terhadap pendapatan rumah tangga petani.
Kata Kunci : pendapatan, karakteristik petani, lahan kering
PENDAHULUAN
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 430
Seminar Nasional 2005
Analisis Data
Untuk analisis karakteristik responden menggunakan statistik deskriptif sedangkan
analisis hubungan tingkat pendapatan keluarga dengan karakteristik petani menggunakan
analisis korelasi Pearson, guna melihat keeratan hubungan antar variabel dimaksud. Secara
matematis persamaan hubungan tersebut dapat ditulis sebagai berikut :
Y f X1, X 2, X 3, X 4, X 5, X 6, X 7
Dimana:
Y = pendapatan rumah tangga petani; X4 = hasil pertanian non tanaman pangan
X1 = Pendidikan formal; X5 = hasil peternakan
X2 = kekosmopolitan; X6 = hasil perikanan
X3 = hasil pertanian tanamanpangan; X7 = pendapatan dari sektor non Pertanian
Ukuran hubungan linier antara varibel independen dan variabel-variabel dependen tersebut
diduga dengan koefisien korelasi Pearson (Walpole, 1995), sebagai berikut:
n n n
n XiYi Xi Y1
i 1 i 1 i 1 Sx
r b
n n 2 n n 2 Sy
2 2
n Xi Xi n Yi Yi
i 1 i 1 i 1 i 1
r = koefisien korelasi.
Ada dua hal dalam penafsiran korelasi yaitu tanda + atau – yang berhubungan
dengan arah korelasi. Nilai koefisien korelasi >0,5 mengindikasikan bahwa hubungan antar
variabel yang diamati cukup kuat dan <0,5 berarti hubungan kedua variabel tersebut lemah.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 431
Seminar Nasional 2005
Karakteristik Responden
Identitas responden
Identitas responden meliputi umur, tingkat pendidikan dan jumlah tanggungan
keluarga disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan Umur, Jumlah Tanggungan Keluarga dan Tingkat Pendidikan Responden di Empat Desa, DI
Yogyakarta, 2003.
Lokasi Penelitian
Uraian Desa Desa Desa Rata-rata
Desa Terong
Wonokerto Kepuhardjo Ponjong
Juml Resp(Org) 23 23 23 23
Umur KK(tahun) 47,40 42,43 40,96 49,96 45,18
Pendidikan :
- Tidak sekolah 0 0 0 0 0
- SD (%) 43,48 39,13 60,87 39,13 45,65
- SLTP (%) 8,70 34,78 17,39 47,83 27,18
- SLTA(%) 30,43 26,09 21,74 8,69 21,73
Perguruan tinggi
- D1 0 0 0 0 0
- D2 (%) 8,70 0 0 0 2,10
- D3 (%) 4,35 0 0 4,35 2,18
- S-1 (%) 4,35 0 0 0 1,08
Tanggungan keluarga (org) 96 79 68 92 84
Umur Responden
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa rata-rata umur responden dari ke 4 desa tersebut
termasuk usia produktif, rata-rata berumur 45,18 tahun dengan umur termuda 24 tahun dan
tertua 67 tahun. Sebaran umur responden lebih banyak didominasi oleh kelompok umur tua
(48 – 55) tahun 47,8% , sedangkan kelompok umur muda (27 – 33 tahun) hanya sebesar 16,
3%, hal ini memperlihatkan bahwa pekerjaan petani banyak dilakukan oleh generasi tua,
sedangkan genarasi muda lebih banyak memilih pekerjaan diluar pertanian. Untuk lebih
jelasnya sebaran responden berdasarkan umur disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Sebaran Responden Berdasarkan Kelompok Umur, di Empat Desa, DI Yogyakarta, 2003.
Tingkat Pendidikan
Sebagian besar tingkat pendidikan responden adalah SD (45,65%) kemudian SLTP
(27,17%), SLTA (21,74%), D-3 (2,17%), D-2 (2,17%) dan S-1 (1,10%). selengkapnya
sebaran tingkat pendidikan responden disajikan pada tabel 3.
Tabel 3. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Empat Desa, DI Yogyakarta, 2003.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 432
Seminar Nasional 2005
Tanggungan Keluarga
Jumlah tanggungan keluarga petani seperti terlihat pada tabel 1 rata-rata adalah 84
orang atau dalam satu keluarga petani responden memiliki tanggungan keluarga antara 3 – 4
orang.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 433
Seminar Nasional 2005
dari usaha pertanian sebesar Rp 5.211.284,-/tahun dan pendapatan usaha non pertanian
sebesar Rp 4.702.226,-/tahun.
KESIMPULAN
1. Pendapatan utama rumah tangga tani di agroekosistem lahan kering DIY berasal dari
sektor pertanian dengan memberikan kontribusi sebesar 52,57%, sedangkan usaha non
pertanian memberikan sumbangan sebesar 47,43% terhadap total pendapatan keluarga
petani di wilayah DIY.
2. Rata-rata pendapatan keluarga petani sebesar Rp 9.913.510,-/tahun yang terdiri dari:
pendapatan usaha pertanian sebesar Rp 5.211.284,-/tahun dan pendapatan usaha non
pertanian sebesar Rp 4.702.226,-/tahun.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 434
Seminar Nasional 2005
3. Pendapatan rumah tangga petani di agroekosistem lahan kering berhubungan erat dan
sigifikan dengan sumber pendapatan yang berasal dari usahatani non-tanaman pangan
dan pendapatan yang bersumber dari luar sektor pertanian. Sedangkan usaha sub sektor
pertanian tanaman pangan ternayata berorelasi negatif dan tidak signifikan terhadap
pendapatan rumah tangga petani.
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 435
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Kelembagaan merupakan salah satu unsur yang memegang peranan penting dalam pembangunan
pertanian di Indonesia. Pendekatan pembangunan yang disamakan dengan pendekatan produksi, melalui cara
budidaya baru tidak dapat memecahkan masalah-masalah pertanian terutama pada sumberdaya petani miskin di
daerah-daerah marginal. Banyak masalah-masalah pertanian yang hanya dapat dipecahkan oleh suatu lembaga.
Sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan teknologi merupakan faktor yang saling terkait dalam pembangunan
pertanian yang dipayungi oleh suatu kelembagaan yang merupakan faktor penggerak sebagai satu kesatuan sistem
dalam pembangunan pertanian. Dalam penerapan teknologi belum ada keseimbangan antara sub sistem
sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan kelembagaan. Pengkajian ini bertujuan menganalisis daya dukung
kelembagaan penunjang pertanian pedesaan dalam pengembangan dan penerapan teknologi pertanian lahan
kering. Pengkajian dilakukan pada tahun 2004 di 5 (lima) desa lahan kering di kabupaten Lombok Timur.
Pendekatan yang digunakan adalah studi kasus. Pengumpulan data dengan teknik diskusi kelompok secara
partisipatif dan wawancara mendalam. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan metode diskritif kualitatif.
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa peranan kelembagaan penunjang pedesaan relatif kurang dalam
mendukung pembangunan dan usaha agribisnis pertanian. Keberadaan lembaga penyuluhan, lembaga produksi
(kelompok tani), lembaga penyedia informasi di pedesaan dan lembaga finansial realtif kurang berfungsi
sehingga manfaat yang dirasakan petani miskin pada wilayah pertanian marginal relatif kurang. Sumberdaya
manusia pertanian lahan kering relatif rendah dan statis dengan kemampuan, pengetahuan dan ekonomi yang
terbatas sehingga kurang mampu mengelola usahatani lahan kering dengan baik. Kondisi tersebut menyebabkan
penerapan teknologi relatif terbatas dan petani cenderung memodifikasi teknologi sesuai kemampuan
pengetahuan, pengalaman, dan permodalan serta disesuaikan dengan kebiasaan-kebiasaan berusahatani setempat.
Penyebaran teknologi pertanian lahan kering yang dilakukan selama ini belum disesuaikan dengan kebutuhan
petani.
Kata kunci: kelembagaan, teknologi, lahan kering
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelembagaan merupakan salaha satu unsur yang memegang peranan penting dalam
pembangunan pertanian di Indonesia. Salah satu rekayasa kelembagaan yang pernah
dilakukan dalam pembangunan pertanian di Indonesia adalah keberhasilan pelaksanaan
program BIMAS pada tahun 1960-an hingga mencapai swasembada beras pada tahun 1984.
Johnson (1985), mengemukakan bahwa sumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi,
dan kelembagaan merupakan empat faktor penggerak dalam pembangunan pertanian. Ke
empat faktor tersebut merupakan syarat kecukupan (sufficient condition) untuk mencapai
suatu tingkat/kondisi pembangunan yang dikehendaki. Artinya kalau salah satu dari
keempat faktor tersebut (misalnya kelembagaan) tidak sesuai dengan persyaratan yang
diperlukan maka tujuan untuk mencapai kondisi tertentu yang dikehendaki (misalnya alih
teknologi dan tumbuhnya usaha agribisnis) tidak akan tercapai.
Pendekatan pembangunan yang disamakan dengan pendekatan produksi, melalui
cara budidaya baru tidak dapat memecahkan masalah dalam negara-negara berkembang
terutama pada sumberdaya petani miskin di daerah-daerah marginal. Disadari bahwa
masyarakat pedesaan adalah sistem yang kompleks dengan dinamika yang khusus dan
interaksi dari pelbagai macam komponen (Badan Litbang Pertanian, 1998).
Masalah-masalah pembangunan pertanian di negara-negara sedang berkembang
bukan semata-mata karena ketidaksiapan petani menerima inovasi, tetapi disebabkan oleh
ketidakmampuan perencana program pembangunan pertanian menyesuaikan program-
program itu dengan kondisi dari petani-petani yang menjadi "klien" dari program-program
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 436
Seminar Nasional 2005
METODOLOGI PENELITIAN
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 437
Seminar Nasional 2005
dalam memahami suatu realita memberikan hasil yang sangat baik. Informasi kualitatif
menjadi sama ilmiahnya dengan data kuantitatif malah sering lebih valid (Mikkelsen, 1999;
Muhadjir, 2000).
Pengkajian dilakukan pada tahun 2004 di 5 (lima) desa lahan kering di kabupaten
Lombok Timur. Pendekatan yang digunakan dalam pengkajian ini adalah studi kasus.
Pengumpulan data dengan teknik diskusi kelompok secara partisipatif (focus group
discussion), wawancara mendalam dan observasi. Pengumpulan data melalui pendekatan
focus group discussion (FGD), yaitu pengembilan data dengan mengumpulkan sejumlah
orang yang dijadikan sebagai informan dengan menggunakan teknik: (1) kelender musiman
kegiatan usahatani; (2) kriteria inovasi yang dibutuhkan; (3) jenis informasi teknologi yang
dibutuhkan; (4) sumber teknologi; (5) mobilitas penduduk dalam mengakses informasi
teknologi; dan (6) analisis kelembagaan dengan diagram Venn.
Data dan informasi kualitatif dianalisis menggunakan metode analisis kualitatif
melalui proses kodefikasi, kategorisasi, interpretasi, pemaknaan, dan abstraksi (Poerwandari,
1998).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 438
Seminar Nasional 2005
Jumlah penggunaan tenga kerja pada wilayah lahan kering dataran rendah maupun
pada lahan kering dataran tinggi hampir sama terutama pada usahatani tanaman tembakau
dan syur-sayuran. Secara umum ketersediaan tenaga kerja untuk kegiatan pertanian realtif
terbatas. Hal ini disebabkan oleh tenaga kerja produktif berumur muda lebih memilih
bekerja di sektor luar pertanian dan menjadi TKI di luar negeri.
Keragaan Kelembagaan
Kelembagaan penunjang pertanian yang ada di pedesaan sangat beragam. Lembaga-
lembaga tersebut meliputi lembaga produksi (kelembagaan tani), lembaga penyedia sarana
produksi (kios-kios pupuk dan obat-obatan serta KUD), lembaga penyuluhan pertanian,
lembaga pelayanan permodalan atau lembaga finansial (Bank, LKP, Koperasi simpan pinjam
dan UPKD), lembaga ketenagakerjaan, lembaga pengolahan hasil pertanian, lembaga
pelayanan jasa mekanisasi dan lembaga pemasaran hasil pertanian.
Lembaga-lembaga penunjang pertanian tersebut hampir terdapat di semua desa yang
menjadi lokasi penelitian. Akan tetapi keberadaan lembaga pertanian tersebut tidak semua
mempunyai daya dukung yang sama dalam program pembangunan pertanian. Daya dukung
kelembagaan adalah besarnya kemampuan kelembagaan untuk mendukung (secara
berkelanjutan) berlangsungnya suatu program pembangunan pertanian. Peranan lembaga-
lembaga itu dalam pembangunan pertanian belum terintegrasi secara baik dalam mendukung
keberlanjutan pembangunan pertanian.
Lembaga-lembaga penunjang pertanian di pedesaan pada wilayah lahan kering
relatif lebih statis dibandingkan dengan yang berada di wilayah lahan basah. Dinamika
lembaga penunjang pertanian pada wilayah lahan kering mempunyai hubungan dengan
dinamika petani lahan kering dalam melakukan aktivitas usahatani. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa daya dukung kelembagaan penunjang pertanian pada wilayah lahan
kering tergolong memiliki daya dukung subsisten dan sub-optimum.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 439
Seminar Nasional 2005
kelembagaan produksi dalam penggunaan teknologi sifatnya tidak statis karena sangat
tergantung pada jenis komoditas yang dinilai oleh mereka mempunyai peluang pasar yang
tinggi.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 440
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 441
Seminar Nasional 2005
oleh pelepas uang atau rentenir yaitu bisa mencapai 100 persen dalam satu musim tanam,
sehingga dikenal dengan istilah bank empat enam artinya meminjam empat bagian
dikembalikan sebesar enam bagian. Pelayan permodalan atau perkreditan berupa saprodi
(bibit/benih, pupuk dan obat-obatan) dari perusahan tembakau relatif terbatas dan tidak
mampu melayani semua petani tembakau. Jangka waktu pinjaman sekitar enam bulan atau
pembayaran dilakukan setelah panen dan langsung diperhitungkan dari hasil penjualan
tembakau di tambah bunga 12,5%.
Ketergantungan petani kepada rentenir dan ijon tidak hanya untuk memperoleh modal
usahatani, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Keterbatasan sumberdaya dan
tidak adanya lembaga keuangan formal yang dapat diakses petani menyebabkan ijon
menjerat petani di segala bidang kehidupan. Untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah
tangga maka segala jenis komoditi pertanian seperti, pisang, panili, kopi dan bahkan anak
sapi yang masih dalam kandungan terpaksa diijonkan petani.
Lembaga Pemasaran
Secara umum pasar untuk hasil pertanian dan peternakan telah tersedia. Jumlah
pedagang yang membeli hasil pertanian baik dari tingkat desa sampai tingkat kabupaten dan
propinsi cukup banyak dan mempunyai jaringan pemasaran yang kuat dalam sistem
pemasaran. Pedagang jagung, tembakau, sayur-sayuran dan pedagang ternak misalnya
mempunyai jaringan yang kuat dalam sistem pemasaran. Volume pembelian dan penjualan
hasil cukup tinggi dengan tingkat harga yang bersaing. Beberapa komoditas tertentu seperti
ternak sapi, bawang putih, bawang merah, jagung, tembakau, kopi, kakao, dan panili telah
bersaing di pasar regional dan internasional.
Komoditas tembakau merupakan salah satu komoditas yang dikembangkan di wilayah
kering dataran rendah (lahan sawah tadah hujan) yang telah membangun pola kemitraan
dengan perusahaan tembakau mulai dari produksi sampai pemasaran hasil yang saling
menguntungkan antara kedua belah pihak.
Petani yang sebagian besar memiliki permodalan yang sangat terbatas
mengharapakan dari pola kemitraan usahatani tembakau ini mendapat dukungan penyediaan
sarana produksi (pupuk dan obat-obatan) dan pemasaran hasil. Namun demikian dalam
hubungan kemitraan ini petani berada pada posisi yang lemah, seperti misalnya dalam
penentuan harga jual yang berdasarkan grade. Keberadaan kelembagaan tani relatif lemah
dan dalam meningkatkan posisi tawar. Hal ini karena semua yang bergerak dalam bisnis
tembakau masing-masing menerapakan strategi untuk mencari keuntungan. Dalam dunia
bisnis bahwa setiap pelaku bisnis akan menerapkan strateginya sendiri untuk memperoleh
keuntungan walaupun itu dilakukan dengan tidak jujur.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 442
Seminar Nasional 2005
KESIMPULAN
1. Penggunaan teknologi yang semakin meningkat maka daya dukung kelembagaan akan
mencapai pada titik optimum, namun lama-kelamaan daya dukungnya akan menurun.
2. Daya dukung kelembagaan pendukung pertanian cenderung bersifat tidak statis karena
sangat tergantung pada perubahan kelembagaan itu sendiri, ruang dan waktu.
3. Daya dukung kelembagaan pertanian sangat tergantung pada potensi kesuburan lahan,
jenis komoditas yang diusahakan dan tingkat penerapan teknologi.
4. Daya dukung kelembagaan pendukung pertanian juga dapat ditentukan oleh faktor luar
pertanian seperti lembaga ketenagakerjaan, pemasaran dan permodalan.
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 443
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 444
Seminar Nasional 2005
Herman Supriadi
Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor
ABSTRAK
Studi identifikasi inovasi teknologi yang dibutuhkan petani dalam upaya revitalisasi pertanian telah
dilakukan di lahan marginal Lombok Timur dalam bulan Nopember 2005. Tujuan dari studi adalah untuk
mengidentifikasi teknologi yang diterapkan petani dan inovasi teknologi yang dibutuhkan untuk memperbaiki
system usahatani dan pendapatan. Studi menggunakan metode pemahaman pedesaan partisipatif secara cepat
(Rapid Participatory Rural Appraisal/RPRA) dengan lokasi Sembalun Lanung (dataran tinggi), Montong Betok
(sawah irigasi) dan Sambelia (lahan kering). Tiga komoditi utama telah diseleksi untuk setiap agroekosistem
yaitu: (a) bawang putih, kubis dan cabe merah di dataran tinggi; (b) tembakau, padi dan sapi di lahan sawah; dan
(c) jagung, kambing dan kacang tanah di lahan kering. Inovasi teknologi yang dibutuhkan petani didasarkan pada
lokasi spesifik dan komoditas yaitu: pengendalian hama penyakit, varietas unggul, pasca panen, agroindustri,
mekanisasi dan konservasi lahan marginal. Teknologi yang dibutuhkan sebetulnya tersedia dan telah
diintroduksikan oleh Badan Litbang Pertanian ke petani. Banyak faktor yang menyebabkan introduksi teknologi
belum diadoposi oleh petani antara lain: (a) kurangnya modal; (b) kurangnya akses terhadap informasi; dan (c)
kurangnya motivasi. Pendekatan terpadu mulai dari perencanaan sampai program aksi pengembangan sistem
usahatani harus dilakukan secara partisipatif.
Kata kunci : inovasi teknologi, revitalisasi pertanian, lahan marginal
PENDAHULUAN
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 445
Seminar Nasional 2005
METODE PENELITIAN
INSTITUSI
TERKAIT PROGRAM
+ AKSI
MASYARAKAT
METODE
R PR A
Gambar 1. Alur Kegiatan Penentuan Kebutuhan Inovasi dan Umpan Balik Penelitian
Teknologi usahatani berbagai komoditas telah banyak dihasilkan oleh Badan Litbang
Pertanian melalui program pengembangan usahatani baik oleh Puslit maupun Balai. Pada
umumnya teknologi yang dianjurkan dapat meningkatkan hasil dan pendapatan
dibandingkan model usahatani petani. Secara lebih rinci hasil identifikasi teknologi dan
inovasi yang dibutuhkan petani dapat dilihat per desa dan per komoditas dominan (Tabel 1).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 446
Seminar Nasional 2005
kubis dan cabe merah. Antara lain khusus untuk bawang putih ada pergantian jenis yang
diusahakan beberapa tahun terakhir, yaitu dari yang berumbi tunggal ke yang berumbi
banyak. Hal ini disebabkan karena jenis umbi tunggal bibitnya mahal dan susah serta
hasilnya lebih rendah dari yang tipe umbi besar (Tabel 1). Masalah utama yang dihadapi
petani adalah busuk umbi dan jamur, dimana serangannya dipengaruhi oleh kondisi cuaca.
Jarak tanam bawang putih kalau menurut teknologi anjuran adalah 15 x 10 cm di tingkat
petani hanya 5 x 10 cm, kemungkinan ini juga penyebab tingginya serangan jamur. Inovasi
yang dibutuhkan pada usahatani bawang putih adalah teknologi pengendalian busuk umbi
dan jamur serta jarak tanam yang tepat (Tabel 1).
Tabel 1. Komoditas Dominan, Permasalahan dan Kebutuhan Inovasi untuk Peningkatan Pendapatan Petani di
Lombok Timur Tahun 2004.
Komoditi
Desa Permasalahan Kebutuhan Inovasi
Dominan
I. Sembalun 1. Bawang 1. Busuk umbi 1. pengendalian penyakit busuk umbi
Lawang putih 2. Jamur dan jamur
3. Cuaca 2. jarak tanam tepat
2. Kubis 1. Penyakit akar gada 1. pengendalian hama
2. Harga rendah 2. penyakit terpadu
3. Busuk buah 3. teknologi benih
4. lembaga keuangan mikro
3. Cabe 1. Produksi melebih permintaan 1. Teknologi pengawetan hasil
merah 2. Harga rendah 2. Teknologi benih
3. Pengendalian hama/
4. penyakit terpadu
5. Lembaga keangan mikro
II. Montong 1. Tembakau 4. Harga rendah 1. Lembaga keuangan mikro tingkat
Betok 1. Ketergantungan modal dari petani
perusahaan mitra 2. Pola kemitraan yang adil
2. Kesuburan tanah menurun 3. Lembaga penyediaan saprodi
3. Iklim yang berubah kelompok tani
4. Penyakit busuk batang 4. Pengendalian hama/penyakit
terpadu
2. Padi sawah 1. Harga rendah 1. Kebijakan harga yang memihak
2. Mutu benih rendah petani
3. Tenaga kerja terbatas 2. Varietas unggul berdaya
3. hasil tinggi
4. Teknologi budidaya yang efisien
3. S a p i 1. Pakan kurang musim kemarau 1. Ransum pakan alternatif musim
2. Penyakit cacingan dan kembung kemaru
2. Jenis unggul yang beradaptasi baik
3. Teknologi penggemukan
4. Fermentasi jerami dan kompos
III. Sembelia 1. Jagung 1. Harga rendah 1. Teknologi pengolahan hasil untuk
2. Sering over produksi diversifikasi produk olahan
3. Ketergantungan modal dari 2. Konservasi lahan
perusahaan 3. Pemupukan berimbang
4. Kesuburan lahan menurun 4. Lembaga keuangan mikro
kelompok tani
2. Kambing 1. Penyakit cacingan 1. Bibit unggul
2. Bibit kurang baik 2. Ransum pakan bahan lokal
3. Sanitasi kandang dan sekitar buruk 3. Kandang sehat
3. Kc. tanah 1. Penyakit layu 1. Pengendalian penyakit layu
2. Pengolahan tanah sulit dan mahal 2. Varietas unggul berbiji kecil
(lahan berbatu) 3. Alat pengolahan tanah di lahan
3. Mutu benih kurang berbatu
4. Penyuluhan kurang efektif 4. Efektivitas penyuluhan
Keterangan: (1) Nomor pada komoditas, permasalahn dan kebutuhan inovasi diurut berdasarkan prioritas pengembangan
usahatani menurut persepsi petani.; (2) Inovasi dimaksud termasuk teknologi baru dan rekayasa sosial ekonomi.
Tanaman kubis akhir-akhir ini banyak terserang penyakit akar gada (Tabel 1).
Penyebaran penyakit cepat sekali karena bersifat soil born (penularan bisa melalui tanah),
sehingga petani kewalahan. Kecuali itu masalah harga kubis yang sangat rendah sering
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 447
Seminar Nasional 2005
petani mengalami kerugian. Petani tidak bisa mengelak dari harga yang ditentukan
pedagang, karena ingin cepat dapat uang dan tidak punya mitra lain. Berdasarkan diskusi
dengan kelompok tani disepakati bahwa inovasi yang dibutuhkan adalah teknologi yang
efektif mengendalikan penyakit akar gada, teknologi benih dan kelembagaan keuangan
mikro tingkat kelompok tani.
Cabe merah merupakan salah satu komoditi andalan masyarakat di dataran tinggi
Sembalun. Masalah harga yang rendah pada waktu over produksi menyebabkan banyak
petani rugi karena masukan (biaya) yang dikeluarkan cukup banyak. Oleh karena itu inovasi
yang dibutuhkan petani adalah bagaimana mengolah hasil yang berlebih menjadi produk
tahan lama (teknologi pengawetan), bagaimana menghasilkan benih bermutu dan cara
pengendalian hama/penyakit (busuk buah) secara efektif terpadu.
Pada tabel 2 dapat dilihat referensi teknologi anjuran yang berbeda dengan teknologi
petani. Dalam hal ini belum ada rekomendasi kelembagaan keuangan mikro dan
pengendalian penyakit yang spesifik tersebut.
Tabel 2. Referensi Teknologi Anjuran dan Teknologi di Tingkat Petani untuk Komoditas Dominan
Agroekosistem Dataran Tinggi Sembalun, Lombok Timur, 2004.
Komoditi Teknologi Anjuran Teknologi Petani
1. Bawang putih
Bibit (kg/ha) 670 (kecil) – 1600 (besar) 650
Bedengan (tinggi) 40 cm 20 cm
Jarak tanam (cm2 ) 10x10 (bibit); 15x10 (besar) 5 x 12 (siung kecil)
Pupuk (kg/ha)
- N-P2O5-K2O-S 200-180-60-142 100 – 67.5 – 50
- Pupuk kandang (t/ha) 10 - 20 1
2. Kubis
Benih Utuh, sehat, murni, unggul, Benih berlabel tanpa sterilisasi
sterilisasi 12 jam
Pengolahan lahan Dalam (40-50) cm Cangkul (20-30) cm
Pupuk: - anorganik - ZA, Urea, SP36, KCl, masing- Urea, NPK, KCL, ZA dosis +
masing 250 kg/ha 50% rekomendasi
- Barate 10-20 kg/ha
- organik 0,5 kg/tanaman Seadanya
Hama/penyakit Terpadu sedini mungkin Semprot tiap minggu 4-6
macam pestisida
3. Cabe merah
Bedengan: - lebar 1.0 – 1.5 m 0.8 m
- tinggi 0.4 m 0.2 m
- jarak 0.5 m 0.3 m
Pupuk
- pupuk kandang (t/ha) 15 Seadanya
- anorganik (kg/ha) Urea 200, SP36 250,KCl 150 ZA 145, SP36 25, KCl 145,
NPK 500
NPK tiap minggu selama 3
bulan
- pengapuran Sebelum tanam Tidak dilakukan
- pengendalian hama/penyakit PHT sesuai kebutuhan Banyak pestisida
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 448
Seminar Nasional 2005
Padi merupakan tanaman strategis untuk ketahanan pangan rumah tangga petani di
Desa Montong Betok. Masalah utama yang dihadapi petani yaitu harga yang dipandang
rendah, mutu benih tidak terjamin, dan tenaga kerja terbatas (Tabel 1). Inovasi yang sesuai
dengan harapan petani antara lain vaietas unggul berdaya hasil lebih tinggi dari IR-64.
Selama ini varietas yang melebihi potensi IR-64 yaitu Fatmawati yang ternyata belum
dikenal petani. Kecuali itu masyarakat mengharapkan teknologi budidaya yang efisien
seperti tabela (tanam benih langsung).
Sapi banyak terdapat di Desa Montong Betok. Masalah utama dalam budidaya
ternak sapi adalah penyakit cacingan, dan sulitnya mencari pakan hijauan, terutama pada
musim kemarau (Tabel 1). Inovasi yang dibutuhkan antara lain bagaimana membuat ransum
pakan alternatif dalam musim kemarau. Selain itu perlu pengendalian penyakit cacingan dan
kembung, jenis unggul baru, teknologi fermentasi jerami untuk pakan dan pengomposan
pupuk kandang.
Tabel 3. Referensi Teknologi Anjuran dan Teknologi di Tingkat Petani untuk Komoditas Dominan
Agroekosistem Berbasis Sawah di Desa. Montong Betok, Lombok Timur, 2004.
Pada Tabel 3 dapat dilihat referensi teknologi anjuran dan teknologi petani untuk ke
tiga komoditas tersebut di Desa Montong Betok. Terlihat bahwa petani cenderung
menggunakan pupuk kurang tetapi pestisida berlebihan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 449
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 450
Seminar Nasional 2005
Referensi teknologi anjuran yang utama dibandingkan teknologi petani untuk ke tiga
komoditas tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Petani menggunakan pupuk relatif sedikit
sesuai kemampuan, pengolahan tanah kurang sempurna dan banyak menggunakan pestisida
pada jagung.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 451
Seminar Nasional 2005
KESIMPULAN
IMPLIKASI KEBIJAKAN
1. Program peningkatan pendapatan petani miskin di lahan marginal sebaiknya tidak hanya
memperhatikan aspek biofisik (kesesuaian lahan) dan teknologi budidaya saja, tetapi
tidak kalah pentingnya adalah perlunya rekayasa kelembagaan sosial ekonomi dan
budaya termasuk pemberdayaan kelompok taninya seperti lembaga keuangan mikro dan
penyediaan saprodi. Permasalahan teknis maupun sosial ekonomi dalam usahatani yang
tidak bisa diatasi oleh petani hendaklah langsung menjadi prioritas intervensi pemerintah
dalam pembangunan pertanian dalam bentuk program pemberdayaan kelompok tani,
menjalin kemitraan yang adil antar petani dan pengusaha, memfasilitasi serta melindungi
kebutuhan petani kecil.
2. Komoditas dominan yang diusahakan oleh petani di berbagai agro ekosistem perlu terus
dikaji permasalahannya dan dicari peluang-peluang untuk peningkatan pendapatan
dengan memperhatikan kondisi perdagangan bebas. Inovasi dari Badan Litbang atau
lembaga penelitian sebaiknya dapat diperhitungkan nilai tambahnya (dapat diprediksi)
dan teruji kelayakannya agar pengguna lebih yakin dalam mengadopsi.
3. Badan Litbang perlu selalu meningkatkan kualitas teknologi dan diseminasinya kepada
masyarakat pengguna agar tidak ketinggalan dengan program aksi pihak swasta yang
lebih proaktif. Berbagai inovasi yang dibutuhkan oleh masyarakat petani perlu dipilah-
pilah mana yang sudah siap untuk diprogram aksikan, mana yang masih perlu diteliti dan
dikaji lebih lanjut oleh lembaga penelitian.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 452
Seminar Nasional 2005
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, M.O. dan E. Basuno. 2000. Improvisasi Indigenous Technology dalam
Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Berkelanjutan. Dalam: Prosiding Seminar
Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa Cipayung 25-27
Juli 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang
Pertanian hal. 151 – 162.
Supriadi, H., E.Lestari, dan D.K. Sadra. 2004. Survei Pendataan Sosial Ekonomi di Daerah
Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin melalui Inovasi di Blora. Laporan
Akhir. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Deptan. 59 hal.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2002. Optimalisasi Pemanfaatan
Sumber Daya Lahan untuk Peningkatan Produksi Pertanian. Dalam: Seminar
Nasional Inovasi Agribisnis 21-22 Mei 2002. Badan Litbang Pertanian.
Syam A., K. Kariyasa dan M.O. Adnyana. 1995. Suitainable Technology Adoption for
Farming System Upland Conservation in Brantas Watershed. A Joint Research
Project of CRIFC and ESCAP.
Rifianto, I. 2005. Mobilisasi Kelompok Tani dan Perencanaan Desa Partisipatip. Petunjuk
Teknis Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI) Jakarta.
FAO. 1994. Farming Systems Development. A Participatory Approach to Helping Small
Scale Farmers. Food and Agriculture Organization ot the United Nations. Rome.
Dixon. J.M., M. Hall, J.B. Hardaker and V. Vyas 1994. Farm and Community in Formation
use For Agricultural Programs and Policies. FAO. Rome.
Dinas Pertanian dan Peternakan. 2005. Penerapan Paket Teknologi Spesifik Lokasi pada
Tanaman Pangan dan Peternakan untuk Meningkatkan Pendapatan Petani Miskin
pada Lahan Marginal. Dinas Pertanian dan Peternakan. Kab. Lombok Timur.
Basuno, E. dan H. Supriadi. 2001. Pengembangan Teknologi Pertanian secara Partisipatif di
Tingkat Regional. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi
Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Dinas Pertanian dan Peternakan. 2005. Penerapan Paket Teknologi Spesifik Lokasi pada
Tanaman Pangan dan Pepeternakan untuk Meningkatkan Pendapatan Petani Miskin
pada lahan marginal. Diperta dan Peternakan. Lombok Timur.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 453
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Lahan marginal dilihat dari aspek luasnya mempunyai potensi untuk pengembangan pertanian, tetapi di
lain pihak permasalahan kemiskinan masih banyak dijumpai di lahan tersebut. Untuk itu perlu adanya upaya
mengoptimalkan pemanfaatannya melalui kajian teknologi pertanian yang telah banyak tersedia dalam rangka
meningkatkan produktivitas lahan tersebut sekaligus berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan petani.
Lahan marginal di Kabupaten Ende dikelompokkan sesuai dengan agroekologi dan basis komoditasnya menjadi 6
kelompok wilayah, yaitu: (1) dataran tinggi berbasis tanaman perkebunan dan pangan/hortikultura; (2) dataran
sedang berbasis tanaman pangan/hortikultura dan perkebunan; dan (3) dataran rendah usahatani lahan basah basis
sawah dan usahatani lahan kering basis tanaman hortikultura/pangan serta tanaman perkebunan. Dari masing-
masing kelompok wilayah secara "purposive sampling" dipilih satu desa yang menjadi objek sumberdata yang
digunakan melalui PRA dan wawancara dengan petani dan "key person". Hasil yang telah diperoleh menunjukkan
bahwa usaha pertanian di Kabupaten Ende merupakan mata pencaharian utama dengan hasil yang diperoleh belum
dapat memenuhi kebutuhan keluarga, disebabkan produktivitasnya yang rendah, sumberdaya manusia petani
terbatas, belum ada pendapatan modal dalam bentuk uang tunai untuk modal kerja usahataninya, saprodi pertanian
terbatas, penguasaan teknologi pertanian oleh petani masih rendah, kelembagaan petani (kelompok tani) masih
tingkat pemula, dan jaringan komunikasi masih terbatas di sekitar kota kabupaten dan kecamatan. Dengan
demikian sangat diperlukan inovasi teknologi pertanian dengan memperhatikan aspek karakteristik sosial budaya
setempat. Masalah lainnya adalah "bergaining position" petani lemah, disebabkan harga ditentukan oleh pedagang
tanpa ada kekuatan tawar dari petani yang sangat memerlukan perhatian serius dari penentu kebijakan. Umumnya
teknologi yang dibutuhkan petani adalah teknologi budidaya secara reguler dengan pengawalan yang
berkesinambungan, karena para petani masih belum memahami arti pentingnya penerapan budidaya yang tepat.
Khusus mengenai tanaman perkebunan (kelapa, kemiri, jambu mete) yang cukup banyak di daerah ini, aspek
penanganan pasca panen sangat memerlukan inovasi teknologi yang sesuai agar nilai tambah produk perkebunan
tersebut dapat diperoleh.
Kata kunci : PRA, teknologi inovasi, produktivitas, lahan marginal, kelompok wilayah.
PENDAHULUAN
Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mempunyai luas wilayah
204.662 km2 dan penduduk sebanyak 231.544 jiwa atau 48.678 KK. (BPS Kabupaten Ende,
2002). Jumlah penduduk akan semakin meningkat dari tahun ke tahun, menyebabkan
permintaan bahan pangan juga semakin meningkat. Data dari Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) Kabupaten Ende ternyata masih terdapat sebanyak 36.612
Kepala Keluarga dari 48.678 KK yang tergolong Kepala Keluarga miskin.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh beberapa hal (Hermanto dkk., 1999), antara lain :
(1) Kemiskinan fisik atau alamiah, sebagai akibat karena sumberdaya alam tidak bisa
mendukung kehidupan masyarakat setempat; (2) Kemiskinan budaya dan kultural, yakni
budaya yang ada bersifat menghambat kemajuan, walaupun potensi sumberdaya alam tidak
miskin; (3) Kemiskinan kelembagaan atau struktural, yakni peraturan-peraturan yang ada,
baik yang tertulis maupun tidak adalah tidak mampu mendorong serta menolong golongan
lemah; dan (4) Kombinasi di antara tiga tipe kemiskinan di atas.
Usaha-usaha pembangunan khususnya pertanian, seharusnya diarahkan pada
masalah kemiskinan dan prioritas, jika tidak akan membuka peluang munculnya masalah
baru yang dapat membahayakan proses dan keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Upaya
mengangkat masalah kemiskinan menjadi prioritas pembangunan, maka perlu mencari faktor
kunci penyebab terjadinya kemiskinan tersebut. Salah satu model yang telah dikembangkan
adalah pemberdayaan petani miskin.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 454
Seminar Nasional 2005
Kelompok Luas Luas lahan Luas lahan Luas lahan Komoditi Komoditi
Wilayah wilayah pertanian TB-TBM TB-TM Tan. Pangan Perkebunan
Dataran (km2) (ha) (ha) (ha) (jenis) (jenis)
Rendah 982,2 27.316 10.549 11.578 4 2
Sedang 701,9 6.319 2.655 2.315 5 3
Tinggi 607,1 6.777 3.736 3.716 2 3
Jumlah 2.291,2 40.412 16.940 17.609 4 3
Sumber : BPS Ende, 2002 dan Distannak Ende, 2003.
Catatan : TB = tanaman perkebunan; TBM = tanaman belum menghasilkan; dan
TM = tanaman menghasilkan
Lahan potensial untuk usaha pertanian tanaman pangan dan hortikultura pada
wilayah dataran sedang mencapai 6319 ha, usahatani dominan adalah campuran dengan
jumlah komoditi yang diusahakan mencapai 5 jenis (tabel 1). Salah satu desa yang termasuk
ke dalam wilayah dataran sedang berbasis tanaman pangan adalah Desa Pora, Kecamatan
Wolojita, disamping desa-desa lainnya.
Prioritas pengkajian pada wilayah lahan marginal di Kabupaten Ende ini, bertujuan
untuk pemberdayaan petani miskin, antara lain (1) mempertahankan pertumbuhan produksi
pangan, (2) intensifikasi lahan yang masih kurang termanfaatkan, (3) meningkatkan nilai
tambah teknologi melalui diversifikasi produk dengan nilai yang lebih tinggi, (4)
meningkatkan akses keluarga tani (terutama wanita tani) ke bahan pangan dengan kandungan
vitamin dan protein yang lebih tinggi, dan (5) teknologi pertanian tepat guna yang dapat
memberdayakan petani miskin.
Tujuan dari kajian ini adalah :(1) mengidentifikasi potensi, kendala dan masalah
serta peluang pengembangan agribisnis lahan marginal di lokasi PFI3P, (2) mengetahui
faktor pendukung dan penghambat pengembangan agribisnis dan analisis pemecahannya,
dan (3) menentukan rumusan program aksi dalam pengembangan agribisnis sebagai bahan
penyusunan program dan pengembangan lahan marginal di lokasi PFI3P. Dengan demikian
output yang diharapkan: (1) karakterisasi potensi, kendala dan masalah serta peluang
pengembangan agribisnis lahan marginal di lokasi PFI3P, (2) informasi data pendukung dan
penghambat pengembangan agribisnis dan pemecahannya, dan (3) rumusan program aksi
dalam pengembangan agribisnis sebagai bahan penyusunan program dan pengembangan
lahan marginal di lokasi PFI3P.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 455
Seminar Nasional 2005
METODOLOGI
Pendekatan
Kajian ini memakai pendekatan pemahaman pedesaan secara partisipatif atau
participatory rural appraisal (PRA).
Analisis Data
Semua data yang diperoleh, dianalisis dan dibahas secara deskriptif terutama: (1)
karakteristik dan deliniasi lokasi, (2) penguasaan dan penggunaan sumberdaya pertanian, (3)
identifikasi teknologi dan permodalan petani, (4) permasalahan pertanian yang dihadapi
petani, (5) inovasi teknologi untuk pemberdayaan petani sesuai sumberdaya petani.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 456
Seminar Nasional 2005
pola tanam satu kali setahun dan sistem penanaman campuran. Disekitar pekarangan petani
memelihara ternak, yaitu : babi, ayam buras, kambing dan sapi.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 457
Seminar Nasional 2005
dibentuk tidak berfungsi optimal untuk kegiatan usahatani, kemungkinan masih tingkat
pemula. Tenaga penyuluh dan frekuensi penyuluhan masih sangat terbatas, sehingga petani
masih sangat jauh dari akses informasi teknologi.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 458
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 459
Seminar Nasional 2005
yang ditentukan oleh pembeli. Kios saprodi belum ada yang melayani keperluan usahatani
(pupuk dan obat-obatan pertanian). Kelompok tani tidak berfungsi dengan baik, hanya
sebatas untuk kegiatan gotong royong. Tenaga penyuluh dan frekuensi penyuluhan masih
sangat terbatas, sehingga proses pemberdayaan petani melalui alih teknologi tidak berjalan
dengan baik. Petani masih sangat jauh dari akses informasi teknologi. Jaringan informasi
radio dan televisi mulai digunakan, tetapi masih terbatas pada beberapa keluarga. Sarana
transportasi desa terutama yang menghubungkan antar dusun dan ke lahan usahatani masih
sangat terbatas. Demikian juga kebutuhan pengairan pada lahan pertanian tidak tersedia.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 460
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 461
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 462
Seminar Nasional 2005
Ternak ayam buras bertelur 2-3 kali/tahun (5-10 butir/per induk), babi beranak 1
kali/tahun (3-10 ekor anak per induk), kambing beranak 3 kali dalam 2 tahun (setiap kali
beranak 1-2 ekor), babi umur 6 bulan dapat dijual Rp.200.000-250.000 per ekor. .
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 463
Seminar Nasional 2005
lebih ditingkatkan. Perbaikan dan pembukaan jalan untuk membuka isolasi pada beberapa
desa yang terisolir dan sulit menjangkaunya.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 464
Seminar Nasional 2005
membersihkan rumput-rumput liar. Produksi jagung 2 ton/ha, padi ladang 1 ton/ha. Jagung
dan padi sebagian besar dimanfaatkan untuk konsumsi rumah tangga.
Kelapa mendominasi lahan dataran, jambu mete, dan kakao ditanam di dataran juga
di lereng-lereng dan diantara rumpun kelapa. Buah kelapa dipakai untuk kopra dan diolah
menjadi minyak kelapa. Budidaya dan pasca panen belum berjalan baik. Petani menjual biji
kakao yang dikeringkan dengan matahari. Panen kelapa 3 kali dalam satu tahun (5-8 butir
kelapa/pohon tiap panen). Untuk medapatkan 1 kg kopra diperlukan 4 butir kelapa dan
minyak kelapa 1 liter dibutuhkan 11 butir kelapa. Produksi jambu mete 5-10 kg/pohon dijual
dalam bentuk gelondongan. Pada pohon yang sudah berumur > 7 tahun produksi gelondong
mete mencapai 10 kg per pohon.
Ternak yang dipelihara meliputi kerbau, sapi, kambing, babi, dan ayam umumnya
masih dipelihara tradisional. Ternak ruminansia (besar dan kecil) dipelihara dengan cara ikat
pindah. Produktivitas ternak rendah, yaitu babi beranak sekali dalam satu tahun, ayam dan
itik bertelur dua kali setahun, dan kambing beranak tiga kali dalam waktu dua tahun.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 465
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 466
Seminar Nasional 2005
Pemeliharaan ternak dilakukan masih tradisional antara lain belum ada upaya
vaksinasi untuk menangani masalah penyakit, teknologi kandang, pemisahan anak, dan
penyediaan pakan yang tepat, sehingga produktivitasnya masih rendah. Ayam buras hanya
mampu berproduksi 10 butir telur dengan periode bertelur 2-3 kali/tahun, sedangkan
kambing beranak 2 – 3 kali dalamn 2 tahun
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 467
Seminar Nasional 2005
Menciptakan lembaga formal yang dapat menyalurkan kredit untuk modal usahatani,
kebijakan harga yang berpihak pada petani. Pembinaan dan pemberdayaan kelompok tani,
sehingga mempermudah proses adopsi inovasi pertanian, meningkatkan aktifitas penyuluhan
(tenaga maupun intensitasnya). Perlu adanya perbaikan/pembukaan jalan pada beberapa
desa yang terisolir dan sulit dijangkau untuk memudahkan petani dalam pengangkutan
keperluan pertanian dan pemasaran hasilnya. Pada daerah berlereng yang rawan longsor
diperlukan sarana penahan longsor. Peningkatan nilai tambah pada hasil panen tanaman
perkebunan diperlukan alat pengering kopra, kacip pemecah gelondongan jambu mete.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan hasil kajian di Kabupaten Ende dapat diperoleh
beberapa kesimpulan, antara lain :
1. Kondisi wilayah Ende umumnya dicirikan oleh wilayah terdiri dari daerah datar,
berbukit hingga bergunung dengan curah hujan rendah (Desember- Maret).
2. Tingkat kemampuan sumberdaya manusia petani dalam kegiatan usahataninya masih
sangat terbatas. Mata pencaharian utama bertani dan hasil usahataninya tidak cukup
memenuhi kebutuhan satu tahun. Petani pada umumnya belum menyiapkan uang tunai
sebagai modal berusahatani. Pemilikan sarana dan alat pertanian (cangkul, linggis, dan
tofa) masih sangat minimum.
3. Akses petani terhadap kelembagaan permodalan lainnya masih sangat terbatas.
Kelompok tani secara operasional di setiap desa sudah ada masih tergolong kelas
pemula. Penyuluhan pertanian masih sangat kurang, baik kunjungan maupun intensitas
dan materi penyuluhan masih belum menyentuh kebutuhan petani.
4. Kondisi jalan utama dan antar dusun masih kurang kondusif terutama waktu musim
hujan, sehingga masih banyak dusun yang sangat sulit dijangkau. Jaringan komunikasi
terbatas di sekitar kota kabupaten dan kecamatan, sedangkan di desa baru sebagian kecil
yang mempunyai televisi dan radio.
5. Komoditas pangan yang diusahakan meliputi padi sawah, padi gogo, jagung,ubikayu,
dan kacang-kacangan. Tanaman perkebunan, yaitu kemiri, kakao, kelapa, kopi,dan
jambu mete. Sedangkan usahaternak yang dipelihara, yaitu : ayam buras, babi, kambing,
dan sapi. Teknologi budidaya petani masih sangat rendah dan tradisional. Pemilikan
pengetahuan dan ketrampilan petani tentang teknologi pertanian masih rendah
mengakibatkan produktivitas komoditas yang dikelola masih rendah. Pemasaran hasil
pertanian terbatas pada tanaman tahunan dan ternak, sedangkan tanaman pangan dan
hortikultura sebagian besar hanya pemenuhan kebutuhan sendiri (subsistence).
6. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani melalui pelatihan-pelatihan teknologi
pertanian terutama budidaya dan pasca panen hasil komoditas pertanian yang dikelola.
Perlu komitmen yang bersifat komprehensif namun holistik dari seluruh partisipan yang
terlibat. Pengadaan dan peningkatan transportasi jalan antar dusun pemukiman di setiap
desa perlu dilakukan.
7. Perlu kebijakan (regulasi) terhadap pemasaran hasil pertanian (bargaining position).
Konservasi lahan yang mempunyai tingkat kemiringan lebih 45 derajat sangat perlu
diupayakan (pembuatan teras) seperti teras vegetatif.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 468
Seminar Nasional 2005
DAFTAR PUSTAKA
BPS Kabupaten Ende. 2000. Ende Dalam Angka Tahun 2002. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Ende.
BPS Kabupaten Ende. 2003. Statistik Pertanian Kabupaten Ende 2002. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Ende
BPS Kabupaten Ende. 2002. Kecamatan Detusoko Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Ende.
BPS Kabupaten Ende. 2002. Kecamatan Ende Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Ende.
BPS Kabupaten Ende. 2002. Kecamatan Nangapanda Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Ende.
BPS Kabupaten Ende. 2002. Kecamatan Wolojita Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Ende.
BPS Kabupaten Ende. 2002. Kecamatan Wewaria Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Ende.
BPMD Kabupaten Ende. 2003. Profil Desa Ndetundora I, 2003. Badan Pemberdayaan
Masyarakat Desa Kabupaten Ende.
BPMD Kabupaten Ende. 2003. Profil Desa Wologai Timur, 2003. Badan Pemberdayaan
Masyarakat Desa Kabupaten Ende.
BPMD Kabupaten Ende. 2003. Profil Desa Pora, 2003. Badan Pemberdayaan Masyarakat
Desa Kabupaten Ende.
BPMD Kabupaten Ende. 2003. Profil Desa Tendarea, 2003. Badan Pemberdayaan
Masyarakat Desa Kabupaten Ende.
BPMD Kabupaten Ende. 2003. Profil Desa Mautenda, 2003. Badan Pemberdayaan
Masyarakat Desa Kabupaten Ende.
Distannak Kabupaten Ende. 2004. Laporan Tahunan Dinas Pertanian dan Peternakan Tahun
2003. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Ende.
Hermanto S. Friatno, A. Mintoro. 1999. Pokok-pokok Pemikiran tentang model penanggulan
kemiskinan nelayan. (Prosiding Kemiskinan di Pedesaan: Masalah dan Alternatif
Penanggulangannya) PSE- Bogor. 1999.
Togatorop, MH, R. Hendayana, W. Sudana, A, Dhalimi, A. Zozali, NA, B. Rachman, A.
Subaidi, A. Saleh, M. Djaeni, I. Priyadi. 2003. Laporan Akhir Pengembangan
inovasi dan diseminasi teknologi pertanian untuk pemberdayaan petani miskin pada
lahan marginal. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 469
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Luas Kabupaten Lombok Timur 2.679,88 km2, terdiri dari daratan 1.605,55 km2 dan lautan 1.074,33
km2. Agroekosistemnya berupa lahan kering dataran rendah, lahan kering dataran tinggi, lahan sawah tadah hujan
dan lahan sawah irigasi baik sederhana, setengah teknis maupun teknis. Dalam kajian ini dibahas sistem
usahatani pada lahan kering dataran tinggi yang berbatasan dengan hutan. Desa Sajang dengan luas ± 4.239 ha,
merupakan salah satu desa yang terleak di Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur yang memiliki
agroekosistem lahan kering dan berbatasan dengan hutan. Tataguna lahan di Desa Sajang dibagi menjadi lahan
sawah irigasi teknis 250 ha, irigasi setengah teknis ± 50 ha; tegalan/ladang 250 ha dan tanah perkebunan rakyat
595 ha; pemukiman ± 17 ha, hutan Taman Nasional Gunung Rinjani ± 100 ha dan hutan lindung 432 ha.
Komoditas tanaman pangan dominan diusahakan petani adalah jagung, bawang merah dan bawang putih;
tanaman perkebunan dominan adalah kopi, vanili dan coklat; ternak yang banyak diperlihara petani adalah sapi
dan ayam buras. Pengkajian ini bertujuan untuk menganalisis sistem usahatani, analisis sistem ketahanan pangan
dan analisis strategi ketahanan pangan rumah tangga serta sisntesis sistem usahatani. Pengkajian dilakukan pada
tahun 2004 di Desa Sajang Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur. Pendekatan pengkajian ini adalah
studi kasus, data dikumpulkan dengan teknik diskusi kelompok secara partisipatif dan wawancara mendalam.
Data terkumpul dianalisis dengan metoda diskriptif kualitatif. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa tidak
terintegrasinya komoditas yang diusahakan kedalam suatu sistem usahatani, lemahnya ketahanan pangan dan
tidak adanya sumber pendapatan mingguan dan bulanan yang dapat diterima secara berkesinambungan dari
usahataninya merupakan penyebab petani kesulitan membiayai usahataninya dan hidupnya sehari-hari.
Kata Kunci: Sistem usahatani, ketahanan pangan, strategi rumah tangga, dan lahan kering
PENDAHULUAN
Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu kabupaten yang menjadi wilayah
Provinsi Nusa Tenggara Barat, dengan luas wilayah 2.679,88 km2 yang terdiri dari daratan
seluas 1.605,55 km2 dan lautan seluas 1.074,33 km2. Posisi geografis Kabupaten Lombok
Timur antara 116° – 117° BT dan 08° – 09° LS. Daerah ini berbatasan dengan Kabupaten
Lombok Tengah dan Lombok Barat di sebelah Barat, Laut Jawa di sebelah Utara, Selat Alas
di sebelah Timur, dan Samudra Indonesia di sebelah Selatan. Secara administratif Lombok
Timur terdiri dari 20 kecamatan, yaitu: Keruak, Jerowaru, Sakra, Sakra Barat, Sakra Timur,
Terara, Montong Gading, Sikur, Masbagik, Pringgasela, Sukamulia, Suralaga, Selong,
Labuhan Haji, Pringgabaya, Suela, Aikmel, Wanasaba, Sembalun, dan Sambelia. Pusat
pemerintahannya di Kota Selong, yang berjarak ± 52 km dari ibu kota Provinsi
NusaTenggara Barat, Mataram (BPS Lombok Timur, 2003).
Landform Kabupaten Lombok Timur dikelompokkan menjadi empat grup fisografi
yaitu grup aluvial, marin, volkan, dan karts yang menghasilkan 15 satuan landform. Bentuk
wilayahnya beragam, mulai dari datar 1.813 ha (1,13%), agak datar 32.309 ha (20,14%),
berombak 33.904 ha (21,14%), bergelombang 23.430 ha (14,60%), berbukit kecil 3.118 ha
(1,94%), berbukit 17.258 (10,76%), bergunung 42.959 ha (26,78%) dan aneka 5.642 ha
(3,51) (Alkusuma, dkk., 2004).
Wilayah datar sampai berombak umumnya terdapat di bagian tengah dan timur, di
Kecamatan Masbagik, Wanasaba, Selong, Keruak, Labuhan Haji, Pringgabaya, dan sebagian
Sambelia. Wilayah bergelombang, dan berbukit kecil umumnya terdapat di sebelah barat
terutama di Sakra, Montong Gading, dan Jerowaru. Wilayah berbukit umumnya terdapat di
bagian selatan (perbukitan karts) dan di bagian utara (lereng tengah volkan G. Rinjani).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 470
Seminar Nasional 2005
Sedangkan wilayah bergunung dijumpai di bagian utara, yaitu lereng atas dan kerucut
volkan.
Data dari kantor statistik pemerintah daerah Kabupaten Lombok Timur (BPS Lotim,
2002), membagi tataguna lahan Kabupaten Lombok Timur menjadi beberapa penggunaan,
yaitu sawah, dibedakan menjadi dua: sawah irigasi 25.527 ha (15,91%) dan sawah tadah
hujan 25.176 ha (15,69%); lahan kering dibedakan menjadi lahan kering berteras 35.852 ha
(22,36%) dan lahan kering tanpa teras 9.398 ha (5,86%); lahan basah untuk penggaraman
dan tambak seluas 1.325 ha (0,82%) dan Taman Nasional berupa hutan primer 24.491 ha
(15,27%); hutan lindung berupa hutan primer dan belukar 33.023 ha (20,58%) dan lain-lain
seluas 5.562 ha (3,51%). Jadi wilayah kabupaten ini sebagian besar berupa hutan dan lahan
kering.
Salah satu desa di Kabupaten Lombok Timur dengan agroekosistem lahan kering,
terletak di daerah pinggiran hutan dengan sistem pertanian berbasis perkebunan adalah Desa
Sajang. Desa ini termasuk wilayah Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur. Desa-
desa lain di kabupaten ini yang memiliki agroekosistem sama dengan Desa Sajang adalah
Sembalun Lawang, Sembalun Bumbung, Montong Betok, Kilang, Perian, Pringgajurang,
Kembang Kuning, Jurit, Tete Batu, Pengadangan, Lenek Daya, Aikmel Utara, Karang Baru,
Sapit, Perigi, Labuhan Lombok, Sambelia, Belanting dan Obel-Obel. Pengkajian ini
bertujuan untuk menganalisis sistem usahatani, analisis sistem ketahanan pangan dan analisis
strategi ketahanan pangan rumah tangga serta sisntesis sistem usahatani
METODOLOGI
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 471
Seminar Nasional 2005
Rata-rata penguasaan lahan sawah tadah hujan relatif sempit 0,10 – 0,25 ha per KK,
penguasaan lahan perkebunan dan lahan untuk tanaman buah-buahan lainnya antara 0,25 –
0,50 ha per KK. Apabila dibandingkan antara luas lahan pertanian dengan jumlah KK yang
bermata pencaharian di bidang pertanian 2.741 rumah tangga maka dapat dipastikan bahwa
penguasaan lahan oleh setiap rumah tangga petani di Desa Sajang adalah relatif sempit.
Sebagian tanah yang ada di Desa Sajang sudah disertifikasi melalui Prona pada tahun 1996
dan 1997 sedangkan sertifikasi tanah melalui proyek IFAD tahun 2001 dan tahun 2002.
Jumlah rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian 1.790 orang, yaitu petani
pemilik 1.200 orang, petani penggarap 110 orang, petani peternak 480 orang dan yang
bekerja sebagai buruh tani ± 950 orang. Sebagian besar buruh tani tidak memiliki dan tidak
menggarap lahan orang lain sehingga sumber pendapatannya hanya bersumber dari menjual
jasa tenaga kerja.
Karakteristik Agroekosistem
Melalui interpretasi Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zona
Agroekologi Kabupaten Lombok Timur Skala 1 : 50.000 yang disusun Alkusuma, dkk
(2003), diketahui luas sebaran lahan kering berdasarkan ketinggiannya di Desa Sajang
seperti tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Sebaran Lahan Kering Berdasarkan Ketinggian di Desa Sajang Kecamatan Sembalun Kabupaten
Lombok Timur.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 472
Seminar Nasional 2005
Tabel 2. Karakteristik lahan di Desa Sajang Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur, 2005.
Luas
Landuse Lereng Ketinggian Land-Form Bhn Induk Relief Solum Drainage Tekstur Ph Tanah Jenis Tanah Kelembaman
(ha)
Lahan Kering Agak Tekstur
3-5 0-400 Aliran Lahar Andesit Berombak Dalam Netral Typic Haplustepts Ustik
Teras 300,16 Cepat/Baik Sedang
Lahan Kering Aluvium Tekstur
3-5 0-400 Kipas Aluvial Berombak Sedang Agak Cepat Netral Typic Haplustepts Ustik
Teras 5,05 Halus Sedang
Lahan Kering Tekstur Agak
3-5 >1200 Aliran Lahar Andesit Berombak Dalam Agak Cepat Typic Ustivitrands Ustik
Tanpa Teras 2,68 Sedang Masam
Lahan Kering Tekstur
8-15 0-400 Aliran Lahar Andesit Bergelombang Sedang Baik Netral Typic Haplustepts Ustik
Tanpa Teras 802,47 Halus
Lahan Kering Tekstur
8-15 400-700 Aliran Lahar Andesit Bergelombang Dalam Baik Netral Typic Haplustepts Ustik
Tanpa Teras 221,34 Halus
Lahan Kering Tekstur Agak
8-15 700-1200 Aliran Lahar Andesit Bergelombang Dalam Baik Typic Ustivitrands Ustik
Tanpa Teras 370,31 Sedang Masam
Lahan Kering Tekstur Agak
8-15 700-1200 Aliran Lahar Andesit Bergelombang Dalam Baik Typic Ustivitrands Ustik
Tanpa Teras 278,84 Sedang Masam
Lahan Kering Tekstur Agak
8-15 700-1200 Aliran Lahar Andesit Bergelombang Dalam Baik Typic Ustivitrands Ustik
Tanpa Teras 0,36 Sedang Masam
Tekstur Agak
Hutan 8-15 700-1200 Aliran Lahar Andesit Bergelombang Dalam Baik Typic Ustivitrands Ustik
407,30 Sedang Masam
Lahan Kering Tekstur Agak Typic
15-30 400-700 Aliran Lahar Andesit Berbukit Dalam Agak Cepat Ustik
Tanpa Teras 450,04 Kasar Masam Ustipsamments
Lahan Kering Tekstur Agak
15-30 >1200 Aliran Lahar Andesit Berbukit Dalam Baik Typic Ustivitrands Ustik
Tanpa Teras 305,16 Sedang Masam
Tekstur Agak
Hutan 15-30 >1200 Aliran Lahar Andesit Berbukit Dalam Baik Typic Ustivitrands Ustik
523,61 Sedang Masam
Tekstur Agak Typic
Hutan 15-30 700-1200 Aliran Lahar Andesit Berbukit Dalam Agak Cepat Ustik
140,54 Kasar Masam Ustipsamments
Lereng
Tekstur
Hutan 30-75 400-700 Volkan Andesit Bergunung Dalam Agak Cepat Netral Typic Haplustands Ustik
5,33 Sedang
Tengah
Tekstur Agak
Hutan >75 >1200 Kaldera Andesit Bergunung Dalam Agak Cepat Typic Hapludands Udik
111,11 Sedang Masam
Lereng Abu Tekstur Agak
Hutan >75 >1200 Bergunung Dalam Baik Humic Udivitrands Udik
654,17 Volkan Atas Volkan Halus Masam
Pemukiman X X Pemukiman X X X X X X X X
7,80
Pemukiman X X Pemukiman X X X X X X X X
0,54
Pemukiman X X Pemukiman X X X X X X X X
5,48
Lahan kering berteras terletak pada elevasi 0-400 m dpl, lahan kering tanpa teras
tersebar pada berbagai elevasi antara 0 – 400 m dpl, 400-700 m dpl, 700 – 1.200 m dpl, dan
di atas 1.200 m dpl. Kelembaban tanahnya ustik, pH tanah dari netral sampai agak masam,
tekstur tanah dari halus, sedang sampai dengan kasar. Drainage lahan kering tanpa teras
tergolong baik sampai agak cepat, sedangkan lahan kering berteras drainagenya bervariasi
dari baik dan agak cepat. Kedalaman tanahnya antara sedang sampai dalam. Landformnya
berupa aliran lahar dengan bahan induk andesit. Bentuk wilayah lahan kering berteras
sebagian besar berombak, sedangkan lahan kering tanpa teras dari bergelombang sampai
dengan berbukit. Kelerengan lahan kering berteras berkisar antara 3-5%, sedangkan yang
tanpa teras bervariasi antara 8-15%, dan antara 15-30%.
Hutan terletak pada ketinggian 400 – 700 m dpl, 700-1.200 m dpl dan di atas 1.200
m dpl. Kelembaban tanahnya udik dan ustik, pH tanah agak masam, tekstur tanah halus,
sedang sampai dengan kasar, drainase tanah baik sampai dengan agak cepat, kedalaman
tanah tergolong dalam. Landformnya kaldera, aliran lahar dan lereng volkan atas dengan
bahan induk andesit dan abu vokan. Relief umumnya bergelombang, berbukit sampai dengan
bergunung dengan kelas kelerengan antara 8-15%, 15-30% dan di atas 75%.
Komplek pemukiman terkonsentrasi di pinggir jalan yaitu sepanjang jalan negara
dan jalan-jalan yang menghubungkan antar dusun. Pemukiman umumnya menempati areal
lahan kering dan daerah pinggiran hutan. Karena letaknya di wilayah lahan kering dan
daerah pinggiran hutan maka agroekosistemnya mengikuti agroekosistem lahan kering dan
hutan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 473
Seminar Nasional 2005
umumnya diusahakan secara tumpangsari dengan sistem strip cropping, mix cropping atau
relay planting. Relay planting merupakan sistem pertanaman dominan yang digunakan
petani. Bawang merah (Philipina) dan bawang putih (Sangga) direlay dengan buncis, kul,
pitsai, dan sawi sedangkan cabe dan tomat ditanam sebagai tanaman strip cropping pada
bawang merah dan bawang putih. Tujuan petani menggunakan sistem pertanaman tersebut
untuk mengoptimalkan penggunaan lahan, mengoptimalkan pendapatan, antisipasi resiko
kegagalan dan mengoptimalkan penggunaan air hujan yang terbatas.
Lahan kering tanpa teras yang dimaksud sebenarnya adalah tegalan (ladang) atau
merupakan areal perkebunan rakyat. Sebagian besar lahan kering tanpa teras dipergunakan
untuk tanaman perkebunan. Kebun umumnya berupa kebun campuran dengan jenis
tanaman: kakao, vanili, kopi, mangga, nangka, pisang, jeruk, aren, dan kelapa.
Perkembangan tanaman perkebunan di desa ini cukup baik, terutama kopi, kakao dan vanili.
Tanaman tersebut ditanam secara tumpangsari oleh para transmigran. Tanaman vanili dan
coklat diperkenalkan oleh Dinas Perkebunan kepada masyarakat Desa Sajang.
Perkembangan areal tanaman vanili bertambah pesat, terutama setelah kedatangan petani
dari Pulau Bali dan petani transmigran Bali dari Desa Celelos Kecamatan Gangga Kabupaten
Lombok Barat ke Desa Sajang yang secara umum memiliki tingkat ketrampilan cukup baik
dibidang teknologi budidaya vanili. Selain tanaman tahunan, di lahan kering tanpa teras yang
berupa tegalan atau ladang diusahakan tanaman semusim, padi. Varietas padi yang ditanam
adalah padi merah jenis lokal berumur 6 bulan. Selain padi, ditanam pula kacang gude,
kecipir, komak, kacang panjang dan lain sebagainya. Tanaman tersebut biasanya ditanam
secara tumpangsari.
Vegetasi yang tumbuh di hutan terdiri atas: bajur, suren, kelokos, rajumas, sentul,
akasia dan lain-lain jenis vegetasi. Diperkirakan karena keberhasilan vanili, kopi dan coklat,
banyak petani yang membuka hutan secara liar untuk dijadikan areal perkebunan. Keadaan
ini harus diantisipasi, untuk menjaga kelestarian Hutan Taman Nasional Gunung Rinjani
yang kaya dengan keanekaragaman hayati, disamping untuk menjaga keseimbangan air.
Ternak yang banyak dipelihara petani adalah sapi dan ayam buras. Ke dua ternak
tersebut dipelihara di pekarangan dengan tingkat teknologi yang masih sederhana. Sapi
umumnya dibuatkan kandang sederhana di belakang atau samping rumah. Pakan umumnya
berasal dari rumput atau limbah hasil pertanian. Petani belum banyak mengenal teknologi
pengawetan pakan ternak atau teknologi pemanfaatan limbah ternak seperti teknologi
pembuatan kompos. Belum berkembangnya kompos di desa ini karena disamping petani
belum banyak mengetahui teknologinya, juga karena kandang kolektif belum berkembang di
desa ini sehingga menyulitkan mengumpulkan kotoran sapi untuk dijadikan bahan baku
dalam pembuatan kompos yang sebenarnya dapat menekan pengeluran petani untuk
pembelian pupuk. Ayam dipelihara tanpa pengandangan, pagi hari diberi pakan dan siang
hari berkeliaran mencari pakan sendiri. Malam hari ayam di masukkan dalam kurungan atau
dibiarkan tidur di dahan pohon sekitar rumah.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 474
Seminar Nasional 2005
Tabel 3. Bulan-bulan penerimaan pendapatan dari setiap jenis komoditas yang diusahakan petani Desa Sajang
Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur, 2005.
Bulan Panen
Aktivitas
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Panen Jeruk
Panen Pisang
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 475
Seminar Nasional 2005
jaminan yang dimiliki petani, belum berfungsinya lembaga keuangan pedesaan dan tidak
adanya skim kredit khusus untuk bidang pertanian dan lemahnya ketahanan pangan petani,
mengalihkan perhatian petani kepada para pengijon untuk mendapatkan uang tunai guna
membeli beras. Sistem ijon berkembang baik di desa ini, karena prosedur peminjaman uang
yang tidak memerlukan birokerasi yang terlalu rumit, cukup dengan modal sosial
kepercayaan dan jabatan tangan maka uang akan segera dicairkan oleh pengijon. Beberapa
jenis tanaman yang sering diijonkan petani untuk membeli kebutuhan sehari-hari terutama
untuk konsumsi beras, adalah vanili, pisang dan anak sapi dalam kandungan. Pinjaman
dalam bentuk beras, pupuk dan pestisida yang pembayaran dilakukan setelah panen (yarnen)
nilainya hampir dua kali lipat dari nilai pinjaman. Hasil panen yang diperoleh praktis
seluruhnya digunakan untuk melunasi hutang, sehingga petani desa ini hidup dari gali lubang
tutup lubang dan menjadi buruh tani di usahataninya sendiri.
Penyebab utama lemahnya ketahanan pangan masyarakat Desa Sajang karena petani
di desa ini sangat sedikit yang menanam padi dan varietas padi yang ditanam adalah varietas
lokal warna merah berumur 6 bulan. Produksi padi ini sangat rendah dibandingkan varietas
unggul baru. Petani masih bertahan menanam padi ini karena kesulitan mendapatkan
varietas unggul padi dataran tinggi berumur pendek dan berdaya hasil tinggi.
Alasan petani menanam padi di lahan kering (tegalan dan ladang) karena jika
ditanam di lahan sawah tadah hujan yang lebih potensial, petani akan kehilangan kesempatan
untuk menanam tanaman sayuran terutama bawang merah dan bawang putih, karena
pertanaman padi membutuhkan waktu 6 (enam) bulan. Disamping karena alasan tersebut,
pertimbangan petani menanam padi di lahan kering dan tidak menanam bawang merah dan
bawang putih di lahan kering adalah untuk memperkecil resiko kerugian apabila terjadi
kegagalan panen karena kekeringan, karena petani menganggap sawah tadah hujan
kondisinya lebih bagus dari tegalan dan ladang. Karena nilai ekonomis bawang merah dan
bawang putih lebih tinggi dari padi maka kedua komoditas ini lebih diperhatikan petani. Ini
berarti bahwa segala sumberdaya yang dimiliki petani diperioritaskan untuk kedua
komoditas tersebut, dan padi bukan merupakan tanaman yang diperioritaskan petani, artinya
sistem usahatani petani Sajang sudah berorientasi pasar atau mengejar keuntungan tetapi
tidak memperhatikan keamanan ketahanan pangannya dengan cara menanam padi secara
lebih intensif.
Hal tersebut diketahui dari tujuan petani menanam bawang merah dan bawang putih
di awal musim hujan bersamaan dengan waktu tanam padi yaitu untuk produksi benih karena
mengejar harga jual yang tinggi. Benih bawang merah dan bawang putih dari Desa Sajang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan benih bawang merah dan bawang putih Desa
Sembalun Lawang dan Sembalun Bumbung yang menanam kedua komoditas tersebut di
musim kemarau I di lahan sawah. Sudah tentu dengan mengusahakan tanaman tersebut pada
awal musim hujan, petani sering berhadapan dengan resiko kegagalan yang cukup besar
karena kelebihan curah hujan dan serangan organisme pengganggu tanaman. Sementara
untuk mengendalikan organisme pengganggu, petani hanya mengandalkan pestisida yang
diaplikasikan secara berkala tanpa memperhatikan ambang batas ekonomi dan diperparah
lagi karena pestisida yang digunakan untuk mengendalikan organisme penggangu dibeli
dengan sistem yarnen sehingga memperbesar biaya produksi, akibatnya pendapatan yang
diterima petani tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Sistem usahatani dengan
orientasi pasar tanpa memperhatikan ketahanan pangan mengakibatkan kerugian yang cukup
besar pada petani dan tidak dapat melepaskan diri dari mata rantai ijon yang selalu membelit.
Penyebab lain lemahnya ketahanan pangan masyarakat Desa Sajang adalah karena
harga komoditas tanaman perkebunan yang diusahakan petani sangat berfluktuasi. Seperti
kita ketahui bahwa kopi, vanili dan coklat merupakan komoditas yang diperdagangkan
secara internasional sehingga harganya sangat dipengaruhi oleh harga perdagangan di tingkat
international. Harga kopi di Indonesia akan jatuh bila kopi di Brazillia membajiri pasaran
dunia, demikian pula dengan vanili, bila panen vanili di Zanzibar berhasil, yang terkenal
dengan kualitas mutu terbaik didunia maka harga vanili di Indonesia akan jatuh. Akibatnya
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 476
Seminar Nasional 2005
pendapatan yang diterima petani kopi, vanili dan coklat sering menjadi sangat rendah dan
tidak cukup untuk membeli kebutuhan pangan pokok beras selama satu tahun.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 477
Seminar Nasional 2005
Tabel 4. Arahan Penggunaan Lahan di Desa Sajang Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur, 2005.
Arahan
Luas
Landuse Lereng Ketinggian Dataran Suhu Solum Kawasan Penggunaan Keterangan
(ha)
Lahan
Pemukiman 13,81 x x x x Pemukiman Pemukiman Pemukiman
Pertanian lahan kering,
Lahan Kering
305,21 3-5 0-400 Rendah Panas Dalam x IV/DFcEa pangan, perkebunan
Teras
musiman
Pertanian lahan kering
Lahan Kering konservasi, tanaman
1.023,81 8-15 0-400 Rendah Panas Sedang x III/DEpFc
Tanpa Teras perkebunan tahunan,
pangan serealia
Pertanian lahan kering,
Lahan Kering perkebunandan
649,51 8-15 700-1200 Tinggi Sejuk Dalam x III/DHpEpHa
Tanpa Teras hortikultura tahunan
dan semusim
Pertanian lahan kering
Lahan Kering tanaman hortikultura
450,04 15-30 400-700 Rendah Panas Dalam x II/DHpEp
Tanpa Teras dan perkebunan
tahunan
Pertanian lahan kering
Lahan Kering
307,84 15-30 >1200 Tinggi Sejuk Dalam x II/DHpEp tanaman hortikultura
Tanpa Teras
dan perkebunan tahuan
III/DJm
Taman
Hutan 407,30 8-15 700-1200 Tinggi Sejuk Dalam Kawasan Hutan lahan kering
Nasional
Konservasi
II/DJm
Taman
Hutan 140,54 15-30 700-1200 Tinggi Sejuk Dalam Kawasan Hutan lahan kering
Nasional
Konservasi
II/DJm
Taman
Hutan 523,61 15-30 >1200 Tinggi Sejuk Dalam Kawasan Hutan lahan kering
Nasional
Konservasi
III/DJm
Taman
Hutan 770,61 >75 >1200 Tinggi Sejuk Dalam Kawasan Hutan lahan kering
Nasional
Konservasi
Sumber: Alkusuma, dkk., 2003 Diolah
Dari landuse Desa Sajang diketahui bahwa lahan kering berteras yang sebenarnya
adalah sawah tadah hujan seluas 305,21 ha dengan tingkat kelerengan dibawah 8%, terletak
pada ketinggian 0 – 400 m dpl dengan rezim suhu panas diarahkan untuk pengembangan
pertanian lahan kering tanaman semusim (IVDFcHaEa). Di daerah ini sebaiknya
dikembangkan pertanian lahan kering tanaman pangan jenis serealia, dan tanaman
perkebunan musiman.
Lahan kering tanpa teras yang sebenarnya adalah tegalan atau ladang seluas 1.023,81
ha karena memiliki kelerangan antara 8 – 15% dan berada pada ketinggian antara 0 – 400 m
dpl sehingga rezim suhunya panas dan kedalaman solum tanah sedang maka diarahkan
untuk pengembangan pertanian lahan kering sistem konservasi (III/DEpFc) dimana sebagai
tanaman pembentuk lorong digunakan tanaman perkebunan tahunan dan sebagai tanaman
pengisi lorong digunakan tanaman pangan jenis serealia.
Lahan kering tanpa teras lainnya yaitu seluas 649,51 ha dengan kelas kelerengan 8 -
15% yang terletak pada ketinggian 700 – 1200 m dpl sehingga rezim suhunya sejuk dan
kedalaman solum tanahnya dalam diarahkan untuk pertanian lahan kering sistem konservasi
(III/DHpEpHa). Sistem yang digunakan adalah alley cropping dengan tanaman pembentuk
lorong dari tanaman tahunan hortikultura dan tanaman perkebunan tahunan dan sebagai
tanaman pengisi lorong digunakan tanaman hortikultura semusim sayuran. Tanaman
hortikultura semusim yang dimaksud disini dapat berupa bawang putih, bawang merah,
buncis, cabe, kacang kapri dan lain sebagainya seperti yang biasa diusahakan petani.
Lahan kering tanpa teras seluas 450,04 ha dengan kelas kelerengan antara 15 – 30%
dan terletak pada ketinggian 400 – 700 m dpl sehingga memiliki rezim suhu panas diarahkan
pada pengembangan pertanian lahan kering sistem konservasi (II/DHpEp). Di daerah ini
karena kelas kelerengan yang dimilikinya sudah tidak layak untuk usaha tanaman semusim.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 478
Seminar Nasional 2005
Tanaman yang dikembangkan di zona ini adalah tanaman hortikultura tahunan dan
perkebunan tahunan.
Lahan kering tanpa teras seluas 307,84 ha dengan kelas kelerengan 15 – 30% dan
berada pada ketinggia lebih dari 1.200 m dpl sehingga memiliki iklim sejuk dan kedalaman
solum tanah dalam diarahkan untuk pengembangan pertanian lahan kering sistem konservasi
(II/DHpEp). Tanaman yang dikembangkan pada zona ini adalah tanaman hortikultura
tahunan dan tanaman perkebunan tahunan yaitu kopi, coklat dan vanili yang telah eksis di
desa tersebut.
Dalam sistem alley cropping selain tanaman perkebunan dan tanaman hortikulturan
tahunan sebagai tanaman pembentuk lorong dapat pula digunakan tanaman pakan ternak.
Dengan pengembangan pakan ternak diharapkan ternak dapat berkembang di desa ini,
Kedepan dengan berkembangnya ternak dapat dikembangkan integrasi tananam dan ternak
(Crop Live Stock = CLS) di daerah dataran tinggi.
Dalam melakukan usahannya, karena kondisinya yang berupa lahan kering sehingga
keberhasilan pertanian di daerah ini sangat ditentukan oleh curah hujan, maka sistem
usahatani yang dilakukan petani haruslah sistem usahatani intensifikasi diversikasi untuk
mengurangi resiko kegagalan. Tanaman yang diusakan petani disusun dalam suatu pola
tumpangsari dengan sistem pertanaman relay planting atau strip cropping dan pertimbangan
waktu panen yang berbeda sehingga dapat menjadi sumber pendapatan yang
berkesinambungan bagi petani.
Usaha penanganan pasca panen untuk coklat dan kopi di Desa Sajang perlu mendapat
perhatian. Mengingat keterbatasan tenaga kerja keluarga maka alat mesin pertanian untuk
penanganan pasca panen perlu diperkenalkan kepada petani Desa Sajang. Demikian pula
halnya dengan alat pengolahan hasil mengingat potensi daerah ini yang cukup baik untuk
pengembangan pisang maka teknologi pengolahan hasil untuk komoditas tersebut perlu
diperkenalkan kepada petani Desa Sajang.
KESIMPULAN
1. Ketahanan pangan masyarakat Desa Sajang (lahan kering dataran tinggi) dengan rezim
suhu sejuk yang memiliki kecenderungan mengembangkan tanaman hortikultura sayuran
dapat ditingkatkan dengan mengintroduksikan varietas unggul padi umur pendek dan
berdaya hasil tinggi.
2. Sistem usahatani intensifikasi diversifikasi merupakan sistem usahatani yang dapat
dikembangkan di lahan kering dataran tinggi yang keberhasilannya sangat ditentukan
oleh curah hujan sehingga resiko kegagalan (kerugian) dapat dikurangi.
3. Intergrasi tanaman tahunan, tanaman semusim, ternak yang saling mendukung dalam
pola Crop Live Stock (CLS) dapat dikembangkan pada sistem usahatani lahan kering
dataran tinggi.
4. Keterbatasan sumber modal yang dapat diakses petani diatasi dengan mengembangkan
kelembagaan keuangan dengan pola skim kredit khusus untuk pertanian dengan
mengaktifkan kelembagaan keuangan yang ada dan memperkuat sistem jaminan yang
dimiliki petani.
5. Dalam rangka antisipasi degradasi lahan karena konversi penggunaan lahan diperlukan
suatu kebijakan yang tegas.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 479
Seminar Nasional 2005
DAFTAR PUSTAKA
Alkusuma, Agus Bambang Siswanto, Adi Hermawan, Asep Iskandar, 2004. Laporan Akhir
Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zone Agro-Ekologi
Skala 1 : 50.000 di Kabupaten Lombok Timur Propinsi Nusa Tenggara Barat. Tahun
Anggaran 2003. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Tanah dan Poor Farmers
Income Improvement Through Inovation Project. Balai Penelitian Tanah. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 2004.
Badan Litbang Pertanian, 2004. Rancangan Dasar Prima Tani (Program Rintisan dan
Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian). Departemen Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jalan Ragunan 29, Pasarminggu,
Jakarta. 2004.
BPS Kabupaten Lombok Timur, 2002. Lombok Timur Dalam Angka. Lombok Timur In
Figures. Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Timur dengan
Bappeda Kabupaten Lombok Timur. 2003.
BPS Kabupaten Lombok Timur, 2003. Lombok Timur Dalam Angka. Lombok Timur In
Figures. Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Timur dengan
Bappeda Kabupaten Lombok Timur. 2003.
Chambers Robert. 1983. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang, Pepep Sudradjat
penerjemah. LP3ES, Jakarta. Terjemahan dari: Rural Development Putting the Last
First.
Hendri Sosiawan, 1997. Metodologi Penyusunan Peta Zona Agroekologi. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat. Kumpulan Materi. Apresiasi Metodologi Analisis Zona
Agroekologi Untuk Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Kerjasama Jurusan
Tanah Fakultas Pertanian Universitas Udayana dan Proyek Pembinaan Kelembagaan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1997
Kesseba AM. 1989. “Technology System for Resource Poor Farmers”. Di dalam Kesseba
AM editor. Technology System for Small Farmers Issues and Options. Westview
Press, Boulder, San Francisco, &London.
Soil Survey Staff. 1998. Keys to Soil Taxonomy, 8th edition 1998. Nasional Resources
Conservation Service, USDA.
Suwardji, Amry Rakman, Sri Tejo Wulan, Badrul Munir., 2003. Rencana Strategis
Pengembangan Wilayah Lahan Kering Provinsi Nusa Tenggara Barat. Tahun 2003 –
2007.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 480
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Sektor pertanian di NTB masih merupakan sektor penting dan strategis karena
potensi sumberdaya alam, kontribusinya dalam menyerap tenaga kerja, dan ketahanannya
dalam menghadapi gejolak dan krisis ekonomi. Selain itu, sektor pertanian adalah sektor
yang sumberdaya alamnya dapat diperbaharui (renewable) seperti: tanaman, ternak, dan
sebagainya sehingga kontinyuitasnya sangat diandalkan dalam mendukung Produk Domestik
Bruto (PDB) dan akhirnya sebagai andalan untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat.
Upaya untuk mendukung pembangunan sektor pertanian di daerah diwujudkan
dengan mendirikan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) di seluruh provinsi di
Indonesia. Pada dasarnya BPTP mempunyai tugas dan fungsi untuk merakit teknologi
pertanian tepat guna spesifik lokasi dan mendiseminasikannya kepada para pengguna.
Namun demikian, dalam aspek yang lebih luas, BPTP merupakan pilar pembangunan
pertanian daerah yang dirancang untuk memecahkan masalah-masalah pembangunan di
daerah, mencari solusi, dan memberikan saran kepada pengambil kebijakan (Pemerintah
Daerah maupun Pemerintah Pusat) mengenai kebijakan pembangunan ke depan.
Dalam rangka mewujudkan tugas dan fungsinya membangun daerah, BPTP perlu
melakukan pengumpulan data, informasi, potensi dan masalah, menganalisis dan
memecahkan permasalahan, memberikan solusi, termasuk saran-saran bagi pengambil
kebijakan. Oleh karena itu lingkup kegiatan BPTP menjadi lebih luas, tidak hanya
menangani hal-hal yang bersifat teknologi, tetapi juga aspek-aspek sosial-ekonomi dan
kebijakan pembangunan pertanian.
Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, maka beberapa kegiatan BPTP NTB
dapat disinergiskan, sehingga menjadi lebih efisien dan efektif. Kegiatan pengumpulan data
base dapat dipakai sebagai bahan evaluasi kinerja pembangunan pertanian, dapat
disinergiskan dengan identifikasi permasalahan, dan dikombinasikan dengan membangun
rencana kerja ke depan dalam bentuk Rencana Induk Pengkajian Pertanian (RIPP).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 481
Seminar Nasional 2005
METODOLOGI
Metoda Analisis
Data dan informasi yang dikumpulkan dianalisis secara agregrasi dan lintas
kabupaten maupun agroekosistem sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Analisis data
dan informasi indikator pembangunan pertanian menggunakan statistika deskriptif (rataan,
pertumbuhan/trend dan lain-lain).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 482
Seminar Nasional 2005
yaitu mencapai 31 persen. Sementara itu pada kurun waktu yang sama, kenaikan harga
terjadi pada hampir semua komoditas peternakan dan produk ternak. Kenaikan harga yang
tinggi terjadi pada komoditas kambing (30,20%), bibit kerbau (21,90%) dan kerbau
(16,59%). Perubahan harga tertinggi pada komoditas kambing yaitu mencapai 30,20 persen
dari harga Rp 263299/ekor pada tahun 2002 menjadi Rp 342813/ekor pada tahun 2003.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 483
Seminar Nasional 2005
persen dari luas areal kopi NTB. Dari data luas areal maka komoditas kopi selain di
Kabupaten Sumbawa, Bima dan Lombok Barat banyak berkembang di Kabupaten Lombok
Tengah dan Lombok Timur. Pada tahun 2002 dari 16.182 ha areal kopi di NTB seluas 6.485
ha (40,08%) terdapat di Lombok Tengah. Pada tahun 2003 areal kopi di Lombok Tengah
menurun sebesar 79,18 persen menjadi 1.350 ha. Di Kabupaten Lombok Timur komoditas
kopi mulai berkembang, selama tahun 2002-2003 terjadi penambahan areal kopi dari 1.684
ha menjadi 2.073 ha atau meningkat 23,16 persen. Apabila dibandingkan antara luas areal
dan produksi kopi di Kabupaten Lombok Timur maka sebagian besar merupakan tanaman
belum menghasilkan.
Produksi jambu mete di Provinsi NTB dari tahun 2002-2003. Daerah sentra
penghasil jambu mete di NTB adalah Lombok Barat, Dompu dan Sumbawa. Pada tahun
2003 luas areal jambu mete di NTB 5.9057 ha, dari luas tersebut sebagian besar terdapat di
Kabupaten Lombok Barat, Dompu dan Bima yaitu 44.593 ha atau 75,51 persen. Selama
tahun 2002-2003 luas areal jambu mete di NTB meningkat dari 55.097 ha menjadi 59.057 ha
atau mengalami pertumbuhan sebesar 7,19%. Peningkatan areal jambu mete terjadi di semua
kabupaten. Namun jika dilihat produksinya, dalam waktu yang sama terjadi penurunan dari
12.983 ton menjadi 11.065 ton atau menurun sebesar 14,78%.
Daerah sentra produksi kakao di NTB adalah Kabupaten Lombok Barat dan Lombok
Tengah. Pada tahun 2003 luas areal dan produksi kakao dari dua kabupaten tersebut
mencapai 81,29 persen dan 98,20 persen dari total areal dan produksi kakao NTB. Dari tahun
2002-2003 secara agregat provinsi terjadi penurunan luas areal kakao sebesar 28,28 persen.
Namun demikian produksi yang dihasilkan mengalami peningkatan sebesar 10,40 persen.
Penurunan areal terjadi di semua kabupaten kecuali di Kabupaten Dompu terjadi
peningkatan. Sementara itu peningkatan produksi hanya terjadi di Kabupaten Lombok Barat.
Daerah pengembangan vanili di NTB adalah Kabupaten Lombok Barat dan Lombok
Timur. Komoditas vanili di Kabupaten Lombok Barat lebih dahulu berkembang
dibandingkan di Kabupaten Lombok Timur. Bahkan selama dua tahun terakhir terjadi
penurunan luas areal vanili di Kabupaten Lombok Barat sebesar 37,53 persen. Sementara itu
di Kabupaten Lombok Timur luas areal vanili meningkat cukup besar sebesar 206,32 persen.
Secara umum luas areal dan produksi vanili di Provinsi NTB mengalami penurunan
dari tahun 2002-2003. Luas areal vanili menurun dari 657,70 ha menjadi 532,85 ha,
sedangkan produksi menurun dari 86,68 ton menjadi 81,17 ton atau menurun sebesar 6,36
persen.
Komoditas tembakau daerah pengembangan terluas terdapat di Kabupaten Lombok
Timur yang mencapai 12.098 ha pada tahun 2003 atau 72,16 persen dari total luas areal
tembakau di NTB. Pada tahun yang sama produksi tembakau Kabupaten Lombok Timur
mencapai 21.972 ton atau 76,81 persen dari produksi tembakau NTB. Berdasarkan data per
kabupaten, luas areal tembakau di Provinsi NTB mengalami penurunan sebesar 6,86 persen.
Sementara itu produksinya meningkat sebesar 4,36 persen. Kecenderungan ini juga terjadi di
Kabupaten Lombok Timur dimana terjadi penurunan luas areal sebesar 0,32 persen dan
produksi meningkat sebesar 15,89 persen.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 484
Seminar Nasional 2005
NTB terlihat dari tingginya populasi kerbau di kabupaten ini dibandingkan dengan
kabupaten lain.
Pada waktu yang sama populasi kambing mengalami peningkatan sebesar 10,95
persen. Peningkatan populasi terjadi disemua kabupaten kecuali di Kabupaten Lombok
Timur mengalami penurunan meskipun relatif kecil (-0,46%). Di Kabupaten Lombok
Tengah kenaikan populasi lebih menonjol dibandingkan di kabupaten lain yaitu mencapai 41
persen.
Populasi ayam buras dan itik menyebar di semua kabupaten di Provinsi NTB. Dilihat
dari populasinya, ayam buras banyak berkembang di Kabupaten Lombok Tengah dan
Lombok Timur. Populasi ayam buras di kedua kabupaten tersebut mencapai 54,08 persen
dari total populasi ayam buras di NTB. Data agregat provinsi selama dua tahun (2002-2003)
menunjukkan adanya kenaikan populasi ayam buras sebesar 4,03 persen. Peningkatan
populasi ayam buras terjadi di semua kabupaten kecuali di Kabupaten Lombok Tengah
terjadi penurunan populasi.
Penurunan populasi itik pada hampir semua kabupaten di Provinsi NTB. Besarnya
penurunan bervariasi, penurunan populasi paling besar terjadi di Kabupaten Sumbawa yaitu
mencapai 76,36 persen. Peningkatan populasi itik hanya terjadi di Kabupaten Lombok Barat
dan Kota Mataram.
Ketahanan Pangan
Produksi gabah Provinsi NTB pada tahun 2003 mencapai 1.422 ribu ton yang
dihasilkan dari 319 ribu ha luas areal panen. Setelah dikurangi susut sebesar 284 ribu ton
maka diperoleh ketersediaan gabah sebanyak 1138 ribu ton atau setara dengan 717 ribu ton
beras. Dengan tingkat konsumsi 127,8 kg/kapita/tahun, berdasarkan jumlah penduduk NTB
tahun 2002 maka kebutuhan beras untuk konsumsi sebesar 527 ribu ton. Dengan demikian
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 485
Seminar Nasional 2005
Padi Ladang
Produktivitas padi ladang mencapai sekitar 29 kw/ha, lebih tinggi dibandingkan
dengan rata-rata produktivitas padi ladang Provinsi NTB dan Kabupaten Sumbawa tahun
2003 (24 kw/ha). Pada tingkat produksi yang dicapai dan harga yang berlaku maka
pendapatan kotor yang diperoleh sebesar Rp 4,2 juta. Dengan total biaya usahatani sebesar
Rp 1.4 juta maka keuntungan petani mencapai sekitar Rp 2,8 juta. Tingkat keuntungan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 486
Seminar Nasional 2005
usahatani padi ladang relatif besar yaitu mencapai 66,8 persen dari penerimaan atau
pendapatan kotor. Jika dibandingkan antara penerimaan yang diterima dan biaya yang
dikeluarkan maka usahatani padi ladang di Kabupaten Sumbawa khususnya di Kecamatan
Labangka menguntungkan. Hal ini terlihat dari nilai imbangan penerimaan kotor dan biaya
(R/C ratio) yang mencapai 2,01.
Jagung
Rataan produksi jagung yang dicapai pada MH 2003/2004 sekitar 4,6 ton per hektar.
Tingkat produktivitas yang dicapai ini jauh di atas data produksi kedelai BPS tahun 2003 di
kabupaten yang sama (2,1 ton per hektar). Dengan harga jual yang diterima petani Rp
516/kg, pada tingkat produksi tersebut penerimaan petani mencapai sekitar 2,4 juta rupiah.
Dari penerimaan usahatani tersebut, sekitar Rp 1,5 juta atau 63 persen merupakan biaya
produksi. Komponen biaya terbesar adalah biaya saprodi, namun demikian besar biaya
saprodi dan biaya tenaga kerja relatif sama yaitu masing-masing 31 persen dan 28 persen.
Tingkat keuntungan usahatani jagung sekitar Rp 2,4 juta dengan R/C sebesar 1,58.
Kacang Hijau
Produksi kacang hijau yang dihasilkan petani mencapai sekitar 4 kw/ha jauh lebih
rendah dibandingkan dengan rata-rata produksi di Kabupaten Sumbawa dan Provinsi NTB
pada tahun 2003 (7,5 Kw/ha). Pada tingkat produksi ini penerimaan kotor petani sekitar Rp
968 ribu. Biaya yang dikeluarkan untuk usahatani kacang hijau per hektar mencapai Rp 627
ribu, maka keuntungan yang diterima petani sebesar Rp 341 ribu. Meskipun dengan
keuntungan relatif kecil (35% dari penerimaan), usahatani kacang hijau menguntungkan
untuk diusahakan dengan R/C 1,54. Dengan tingkat keuntungan tersebut, usahatani kacang
hijau belum dapat digunakan sebagai sumber pendapatan utama keluarga.
Bawang Merah
Besarnya penerimaan usahatani bawang merah per hektar pada MK I 2004, dan MH
2003/2004 masing-masing sekitar Rp 29 juta dan Rp 11 juta. Setelah diperhitungkan biaya
yang dikeluarkan maka keuntungan petani bawang merah sekitar Rp 11 juta pada musim
kemarau dan Rp 4,8 juta pada musim hujan. Sementara itu besarnya imbangan antara
penerimaan dan biaya pada musim kemarau dan musim hujan masing-masing 1, 63 dan 1,78.
Dilihat dari biaya yang dikeluarkan petani, usahatani bawang merah musim kemarau
memerlukan biaya lebih besar dibandingkan musim hujan. Total biaya usahatani bawang
merah musim kemarau dan musim hujan masing-masing sekitar Rp 18 juta dan Rp 6 juta.
Manggis
Usahatani manggis sangat menguntungkan dilihat dari besarnya keuntungan yang
diperoleh maupun prospek pemasarannnya. Total penerimaan kotor selama setahun pada
usahatani manggis sekitar Rp 11 juta. Dengan biaya produksi yang dikeluarkan pada tahun
tersebut sebesar 2,6 juta, maka keuntungan petani manggis sebesar Rp 8,4 juta. Dengan
struktur biaya seperti di atas, usahatani manggis di Kabupaten Lombok Barat sangat
menguntungkan. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya nilai imbangan penerimaan kotor dengan
biaya (R/C ratio) yaitu sebesar 4,26.
Mangga
Penerimaan petani mangga selama setahun sekitar Rp 5,5 juta, dan keuntungan yang
diperoleh mencapai Rp 4,4 juta (80% dari total penerimaan). Total biaya usahatani mangga
yang sudah menghasilkan sebesar Rp 1,1 juta atau 20 persen dapi penerimaan petani.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 487
Seminar Nasional 2005
Kopi
Total penerimaan usahatani kopi di lokasi penelitian sebesar Rp 3,4 juta per hektar
per tahun. Sementara itu biaya yang harus dikeluarkan relatif kecil yaitu Rp 360 ribu atau
10,70 persen dari penerimaan kotor. Biaya terbesar adalah untuk tenaga kerja yaitu sekitar
Rp 240 ribu atau 7,05 persen dari penerimaan kotor. Dengan biaya yang relatif kecil
dibandingkan penerimaan maka nilai imbangan biaya dan penerimaan kotor (R/C ratio) yang
diperoleh sebesar 9,35. Dengan nilai R/C jauh lebih besar dari satu berarti usahatani kopi
setelah mencapai usia produktif sangat menguntungkan.
Mete
Total penerimaan usahatani jambu mete dalam satu tahun sebesar Rp 1,25 juta per
hektar. Dari jumlah tersebut, sebesar 80,25 persen merupakan biaya produksi dan
diantaranya 70,15 persen merupakan biaya tenaga kerja. Keuntungan yang diperoleh selama
setahun dari usahatani jambu mete mencapai sekitar 250 ribu rupiah per hektar tanaman
kelapa. Nilai R/C lebih besar dari satu, menunjukkan bahwa usahatani tersebut
menguntungkan. Dilihat dari besaran keuntungan yang diperoleh, pendapatan dari usahatani
jambu mete tersebut tidak cukup besar apabila digunakan sebagai satu-satunya sumber
pendapatan rumahtangga.
Kakao
Rata-rata produksi kakao yang dihasilkan petani selama setahun 7,48 Kw/ha.
Biasanya petani menjual kakao dalam bentuk biji kering, dengan harga jual yang diterima
pada waktu panen Rp 4754/kg. Dengan tingkat produksi yang dicapai dan tingkat harga yang
diterima tersebut diperoleh penerimaan setahun sebesar 5,4 juta rupiah per hektar.
Keuntungan yang diperoleh petani dari satu hektar tanaman kakao sekitar Rp 3,9 juta dalam
waktu satu tahun. Setelah mencapai usia produktif, usahatani kakao sangat menguntungkan.
Hal ini terlihat dari imbangan biaya dan penerimaan kotor (R/C ratio) yang nilainya jauh di
atas satu yaitu 3,61.
Vanili
Total penerimaan usahatani vanili di lokasi penelitian sebesar Rp 3,1 juta per hektar
per tahun. Sementara itu biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp 2,3 juta atau 75,69
persen dari penerimaan kotor. Biaya terbesar adalah untuk tenaga kerja yaitu 1,9 juta atau
61,11 persen dari penerimaan kotor. Nilai imbangan biaya dan penerimaan kotor (R/C ratio)
yang diperoleh sebesar 1,52. Dengan nilai R/C lebih besar dari satu berarti usahatani vanili
menguntungkan. Besarnya keuntungan yang dicapai petani dalam satu tahun sekitar 600 ribu
rupiah per hektar. Nilai ini relatif kecil apabila usaha tersebut merupakan satu-satunya
sumber pendapatan rumahtangga tanpa ada sumber pendapatan lain.
Sapi Potong
Total biaya usaha penggemukan sapi potong dengan skala usaha satu ekor
memerlukan biaya Rp 805 ribu. Dengan biaya tersebut selama enam bulan penerimaan
mencapai Rp 1,623 juta sehingga keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 818 ribu atau 50
persen dari total penerimaan. Usaha ternak ini sangat menguntungkan dilihat dari nilai R/C
sebesar 2,01.
Kerbau
Output lain yang diperoleh dari usaha ternak kerbau adalah jasa tenaga kerja.
Dengan demikian dalam waktu tersebut penerimaan petani dari nilai ternak dan jasa tenaga
kerja mencapai Rp 16,499 juta. Untuk menghasilkan penerimaan sebesar Rp 16,499 juta
selama setahun diperlukan biaya sebesar Rp 8,075 juta. Komponen biya terbesar merupakan
biaya pembelian induk kerbau yang mencapai 43,33 persen dari total penerimaan. Dengan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 488
Seminar Nasional 2005
struktur penerimaan dan biaya tersebut maka keuntungan petani kerbau mencapai Rp 8,424
juta dan R/C 2,04.
Kambing
Total output yang diperoleh petani selama setahun mencapai Rp 3,046 juta. Input
produksi terdiri dari biaya pembelian pejantan dan induk, kandang dan obat-obatan. Total
input usaha ternak kambing sebesar Rp 1,194 juta atau 39,20 persen dari penerimaan.
Dengan struktur biaya dan penerimaan tersebut maka keuntungan usaha ternak
kambing selama setahun sebesar Rp 1,852 juta. Usaha tersebut menguntungkan dilihat dari
nilai R/C sebesar 2,55.
Ayam Buras
Total biaya produksi usaha ternak ayam buras selama setahun mencapai Rp 1,367
juta atau 65,33 persen dari total penerimaan. Biaya terbesar merupakan biaya bibit ( 28 %)
dan pakan (27 %). Produk utama yang dihasilkan dalam usaha ternak ayam buras adalah
telur konsumsi. Disamping telur konsumsi, usaha ternak melakukan pembibitan untuk
regenerasi induk yang sudah afkir. Hasil analisa menunjukkan penerimaan usaha ternak
ayam selama setahun sekitar Rp 2,093 juta, sehingga keuntungan yang diperoleh mencapai
Rp 726 ribu rupiah dengan nilai R/C sebesar 1,53.
Itik
Hasil analisa usaha menunjukkan bahwa biaya produksi selama setahun yaitu Rp
2,015 juta. Biaya ini sebagian besar merupakan biaya lain Rp 859 ribu (14,59% dari
penerimaan) dan biaya pakan Rp 626 ribu (10,64% dari penerimaan). Penerimaan selama
setahun dari itik jantan, induk, telur dan limbah sebesar Rp 5,889 juta sehingga keuntungan
usaha sebesar Rp 3,874 juta.
KESIMPULAN
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 489
Seminar Nasional 2005
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 490
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Sampai saat ini telah banyak sekali teknologi pertanian yang telah dihasilkan oleh lembaga-lembaga
penelitian. Namun sejauh ini teknologi-teknologi tersebut kurang dirasakan manfaatnya oleh petani
(stakeholder). Oleh sebab itu perlu dukungan sarana penunjang yang diharapkan mampu menjembatani bahkan
mempercepat informasi untuk diterima dan dilaksanakan. Salah satu kelembagaan yang diharapkan mampu
mendukung keberhasilan tersebut antara lain dapat dilakukan melalui pengoptimalan “Klinik Teknologi Pertanian
(Klittan). Wadah ini dapat dijadikan sebagai wadah pertemuan, sosialisasi, sumber informasi bagi petani untuk
memperoleh informasi yang berkaitan dengan sumberdaya pendukung. Untuk mempercepat pemanfaatan
teknologi oleh petani maka strategi yang dapat dilakukan adalah melalui pengoptimalan sumberdaya manusia
(peneliti, penyuluh, litkayasa dan petugas terkait) secara periodik, terjadwal, terstruktur, sesuai kapasitas dan
kapabilitas, sedangkan penunjang seperti sarana dan pra sarana kebijakan, pendanaan, strategi, perencanaan,
struktur, mekanisme pelaksanaan dan pengawasan (controlling).
Kata kunci : Strategi klittan, usahatani.
PENDAHULUAN
Hingga saat ini telah banyak sekali teknologi yang dihasilkan oleh lembaga-
lembaga penelitian namun berdasarkan kenyataan teknologi yang dihasilkan belum
sepenuhnya diaplikasi atau dikembangkan bahkan meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan para petani. Kenyataan ini tergambar dari kondisi rumah tangga petani dan
kesenjangan (gap) antara produktivitas hasil yang dicapai petani dibandingkan dengan
tingkat penelitian.
Beberapa alasan mengapa petani tidak menerapkan teknologi hasil-hasil penelitian
antara lain: 1) teknologi tidak sampai ke petani; 2) teknologi tidak sesuai dengan kebutuhan
petani; 3) teknologi belum dipahami dan diyakini oleh petani; 4) petani kesulitan dalam
mendapatkan sarana produksi yang dianjurkan dan 5) kemampuan modal petani terbatas.
(Paryono, et al. (2002) dalam Paryono, et al. (2004).
Melihat kenyataan tersebut diatas mengindikasikan bahwa telah terjadi walaupun
BPTP sebagai salah satu lembaga penghasil teknologi telah mampu menghasilkan banyak
dan beragam teknologi spesifik lokasi namun juga memiliki tanggung jawab moral apabila
telah terjadi kesenjangan antara penghasil dan pengguna seperti yang disampaikan tersebut
diatas. Namun terlepas dari kondisi tersebut maka beban moral sepenuhnya bukan
merupakan tanggung jawab dari penghasil teknologi karena masih banyak kendala lain
terutama untuk mempercepat pemanfaatannya oleh petani (stakeholder).
Menurut Soethama, et al. (2004) berapa faktor yang menjadi kendala percepatan
pemanfaatan hasil-hasil teknologi di tingkat petani antara lain: a) adanya keterbatasan
pelayanan input produksi; b) keterbatasan modal; c) lemahnya akses petani terhadap
teknologi; d) lemahnya akses petani dalam bidang informasi dan komunikasi; e) keterbatasan
keterlibatan petani di dalam pengembangan teknologi dan tingkat pendidikan. Bahkan oleh
Nggobe, et al. (2004) disampaikan bahwa permasalahan kesenjangan ini bukan disebabkan
oleh ketersediaan teknologi tetapi terletak pada kesesuaian dari teknologi itu sendiri.
Upaya yang dapat dilakukan untuk menjembatani kesenjangan teknologi menuju
terwujudnya kemandirian petani menurut Kindangen, (2004) dapat dilakukan melalui
pembentukan "Klinik Teknologi Pertanian" (Klittan).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 491
Seminar Nasional 2005
Pengertian Klittan
Kata klinik dalam Ensiklopedia Indonesia (1990) berasal dari bahasa Yunani yaitu
"Klinein" yang berarti "bersandar" atau berbaring. Definisi ini cenderung memiliki makna
yang mengarah sebagai tempat untuk orang sakit.
Dalam versi lain Soethama, et al. (2004) mengatakan bahwa kata klinik berasal dari
bahasa perancis yang mengandung arti sebagai tempat praktek pengobatan. Selanjutnya
dalan versi Yunani "Klinikos" atau "Kline" yang berarti tempat tidur. Untuk itu terlepas dari
berbagai etomologi tersebut maka dapat dikatakan bahwa pengertian yang terkandung dalam
kata klinik adalah: sebagai tempat bersandar atau berbaring bagi pasien untuk memperoleh
pelayanan kesehatan seperti diagnosa, terapi dan upaya pencegahan penyakit yang diderita
pasien.
Kaitannya dengan aplikasinya dibidang pertanian maka pengertian klinik dapat
diformulasikan sebagai tempat bertanya, berdiskusi, memecahkan masalah, memperoleh
solusi, serta menindaklanjuti permasalahan yang dihadapi petani.
Menurut Paryono, et al. (2004) yang dimaksud dengan klinik pertanian adalah suatu
rangkaian pelayanan teknologi pertanian untuk membantu masalah dan mengembangkan
usaha pertanian di suatu wilayah tertentu. Jenis teknologi tersebut antara lain produksi
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 492
Seminar Nasional 2005
1. Pendekatan Kelembagaan
a. Institusi/Lembaga terkait
Kelembagaan yang terlibat didalam penyelenggaraan klitan sangat diharapkan untuk
mampu membantu mewadahi, menjembatani, memediasi bahkan motivator baik secara
langsung maupun tidak terhadap kepentingan petani. Keterlibatan lembaga pendukung
sebaiknya bersifat lintas sektoral karena keragaman teknologi, kompleksitas masalah serta
keterbatasan yang melekat pada petani itu sendiri.
Selain Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) sebagai penggagas dan identik
perekayasa teknologi spesifik lokasi, kelembagaan lain yang sangat diharapkan terutama
dalam koordinasi antara lain : Pemerintah Daerah (Pemda), Kelompok Tani, Penyuluh, tokoh
agama, masyarakat maupun adat dan lainnya yang terkait seperti Perbankan, Koperasi
maupun swasta.
Pemerintah Daerah
Bantuan perhatian Pemda sangat diharapkan secara dominan baik sebelum maupun
selama berlangsungnya Klittan. Hal ini untuk mengantisipasi apabila timbulnya kesenjangan
koordinasi antara pelaksana dengan anggota masyarakat (petani) sebagai pemegam otonomi
daerah. Salah satu sumber pendanaan operasional Klittan yang dapat dimanfaatkan antara
lain bersumber dari Pemda menurut Bakrie, et al. (2004).
Jenis bantuan lain yang diharapkan diantaranya pemberian kewenangan berupa
pendelegasian petugas terkait untuk kelancaran klittan dan perhatian terhadap kemudahan
aksessibilitas kelembagaan penunjang seperti: kelompok tani, penyuluhan serta kelembagaan
penyedia sarana produksi.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 493
Seminar Nasional 2005
Kelompok Tani
Kelompok ini merupakan lembaga yang paling dekat dengan petani sekaligus
sebagai perpanjangan tangan dari petani itu sendiri terutama untuk memperoleh aksesibilitas
terhadap informasi dari pihah luar. Kaitannya dengan klitan maka institusi ini diharapkan
berfungsi sebagai menjadi mediator. Apabila anggota kelompok berfungsi dengan baik
maka aksessibilitas mendapatkan informasi yang lebih cepat lebih besar.
Berdasarkan pengalaman Kindangen, (2004) dimana Klittan yang dilaksanakan
BPTP Sulawesi dianggap berhasil karena hingga Mei 2004 telah mampu membangun
sebanyak 25 dengan kategori 6 aktif dan 15 cukup aktif sedangkan sisanya (4 klittan) kurang
aktif akibat kurang aktifnya pengelola dan anggota dengan melakukan 4 jenis kegiatan
seperti Peternakan, perkebunan, tanaman pangan dan pelayanan. Selanjutnya dikatakan
bahkan sejak awal perkembangannya pada tahun 2000 sudah terdapat kelompok tani yang
telah mampu melakukan usaha secara mandiri peternakan ayam ras (2 kali/thn)
pengembangan jagung, padi, kentang dan bunga krisan (2 kali/tahun) serta pelayanan
saprodi, konsultasi dan pelayanan (setiap hari). Bahkan juga mampu membiayai
pembangunan Klittan secara swadaya, pinjaman maupun sewa dari usaha yang dilakukan
secara mandiri.
Penyuluhan
Berdasarkan pengalaman dukungan dari lembaga ini hingga saat ini mutlak masih
sangat mutlak diperlukan untuk membantu penyebaran informasi teknologi di NTT juga
karena merupakan lembaga yang paling dekat dengan petani.
Sejalan dengan otonomi daerah yang kewenangannya berada di pihak Pemda
berimbas pada disfungsi penyuluhan di beberapa daerah termasuk NTT menyebabkan
penyuluhan mengalami stagnasi. Untuk itu kaitannya dengan operasionalisasi pengembangan
Klittan maka perlu tindak lanjut dukungan dalam hal ini koordinasi dengan Pemda sebagai
penentu kebijakan di masing-masing daerah. Hal ini penting untuk diperhatikan karena
dampak dari ketiadaannya bersama-sama dengan petani ditambah dengan letak geografis
antar daerah yang relative membutuhkan pembiayaan dan tenaga yang lebih berdampak
terhadap inefisiensi penyerapan teknologi yang identik dengan kebutuhan petani itu sendiri.
Spesifikasi tenaga yang diperlukan dalam membantu penyelenggaraan diharapkan
disesuaikan dengan spesifikasi fungsionalisasi tenaga pendukung. Hal ini penting karena
tanpa didukung dengan latar belakang tersebut teknologi tidak akan dilakukan secara baik
dan berdaya guna.
Tokoh Agama/Masyarakat/Adat
Kelembagaan ini merupakan salah satu jenis lembaga yang bersifat non institusional
karena disamping berperan sebagai anggota masyarakat juga dianggap sebagai pemimpin
yang diharapkan menjadi panutan, motivator dan teladan terhadap anggota masyarakat dalam
hal ini petani karena ketokohannya tersebut.
Kaitannya dengan operasionalisasi pelaksanaan klittan maka peranan yang sangat
diharapkan yaitu sejak persiapan hingga operasionalisasi terutama dalam hal menggerakkan
dan meyakinkan petani untuk mau menerima inovasi baru kearah perbaikan teknologi yang
diharapkan kearah perbaikan pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga petani dan
keluarganya.
Menurut Benu dan Nuningsih, (1993) bahwa untuk mempercepat ancangan aplikasi
teknologi di NTT maka peran dari salah satu tokoh ini sangat perlu dilibatkan, bahkan
menjadi “Prime Mover” untuk percepatan adopsi teknologi. Peran dari ke tiga kelembagaan
tersebut secara jelas tergambar dari kondisi geografis daerah ini yang memiliki 466 buah
pulau dengan 42 buah berpenghuni (P. Woha, 2001). Oleh karena itu untuk realisasi
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 494
Seminar Nasional 2005
b. Model usaha
Konsultasi
Aktivitas yang dilakukan pada model ini mirip dengan konsultasi yang dilakukan
dibidang kesehatan namun sumber masalah yang dikonsultasikan obyeknya berbeda.
Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan model usaha ini sebaiknya
permasalahan yang dikonsultasikan disesuaikan dengan spesifikasi keilmuan atau
fungsionalisasi penyelenggara klittan. Namun apabila dalam perkembangannya mengalami
kemajuan yang sangat pesat seperti yang dikemukakan Kindangen, (2004) yang menargetkan
pembentukan 5 – 6 Klittan di tiap-tiap kecamatan di Sulut pada tahun 2010 untuk itu
kaitannya dengan pengembangan di NTT yang secara geografis terdiri atas kepulauan maka
perlu perhatian penyelenggara dalam dukungan tenaga konsultas untuk mengantisipasi
kelangkaan tenaga ahli yang sesuai dengan permasalahan yang dihadap petani.
Demonstrasi Plot
Model ini merupakan salah satu wujud memperkenalkan keunggulan suatu
pelaksanaan teknologi terhadap petani di tingkat lapangan sehingga dari pelaksanaan ini
mampu meninmbulkan minat bagi petani untuk mengembangkan dalam skala luas. Namun
yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa selama kegiatan ini berlangsung teknologi
sepenunya dikendalikan oleh peneliti sedangkan petani hanya sebatas melakukan
perbandingan terhadap usahataninya sendiri seperti besarnya penggunaan sarana produksi,
spesifikasi teknologi dan produktivitas hasil dari pelaksanaan demonstrasi plot.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 495
Seminar Nasional 2005
Untuk itu dari pelaksanaan ini pula diharapkan umpan balik (feed back) terhadap
sumber teknologi untuk diperbaiki apabila masih terdapat kelemahan dan selanjutnya apabila
memungkinkan hasil perbaikan tersebut dapat dilakukan bersama dengan petani kalau perlu
menggunakan lahan petani sebagai areal demonstrasi.
Warung Saprodi
Berdasarkan pengalaman bahwa walaupun klittan ini lebih diarahkan sebagai
mediator untuk mendapatkan informasi teknologi namun berdasarkan pengalaman maka
kondisi ini akan bias. Untuk itu perlu diantisipasi dengan tambahan model usaha untuk lebih
mempercepat aksesibilitas dalam hal ini kemudahan membeli sarana produksi seperti bibit,
pupuk, pestisida dan peralatan pendukung.
Apabila dalam perkembangannya mengalami kemajuan maka dari hasil transaksi
penjualan tersebut dapat digunakan untuk biaya operasionalisasi tenaga pendukung (non
fungsional) sekaligus sebagai tambahan modal usaha.
Penunjang
Model ini merupakan model harapan terakhir apabila Klittan mampu berkembang
dengan baik. Beberapa jenis usaha penunjang yang menjadi alternatif diantaranya usaha
bersama yang dapat mengikutsertakan komoditas di luar pertanian apabila memungkinkan
dengan kata lain disesuaikan dengan kemampuan sumberdaya penyelenggara.
Bahkan berdasarkan pengalaman penyelenggara klittan di Sulut telah terdapat
kelompok tani yang mampu mengembangkan perkebunan panili, pemeliharaan ternak sapi
bahkan pembuatan dodol atau sirup sebagai dampak dari diversivikasi komoditas yang
dilakukan oleh anggota kelompok tani (Kindangen, 2004).
2. Pendekatan Komoditas
Bentuk pendekatan ini sangat mutlak untuk didekati karena kondisi adanya pengaruh
perbedaan agroekosistem dan “political will” dari pemerintah.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Benu, A. dan Retno Nuningsih. 2001. Potensi wilayah dan masalah pembangunan pertanian
di wilayah kering dan sumberdaya kelautan, Kajian Nusa Tenggara Timur.
Prodiding Konfrensi Internasional Pembangunan Pertanian Semi Arid Nusa
Tenggara Timur dan Timor Timur dan Maluku Tenggara, Tanggal 10 – 16
Desember 1995 di Kupang.
Benu, A., H. Ataupah, E.O. Momuat. 1993. Peranan aspek social budaya dalam
pengembangan pertanian lahan kering di NTT. Prosiding Lokakarya Status dan
Pengembangan Lahan Kering di Indonesia. Mataram, 16 – 18 Nopember 1993.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 496
Seminar Nasional 2005
Kario Nelson, Yusuf, Helena da Silva, 2004. Keragaan usahatani jeruk keprok So Edi Nusa
Tenggara Timur. Prosiding seminar hasil-Hasil Penelitian dan Komunikasi JKS di
Nusa Tenggara Timur.
Kindangen, J.G. 2004. Klinik Teknilogi Pertanian (Klittan) sebagai kelembagaan petani
menuju pertanian mandiri. Prosiding Seminar Nasional Klinik Teknologi Pertanian
Sebagai Basis Pertumbuhan Usaha Agribisnis menuju Petani Nelayan
Mandiri.Manado, 9 – 10 Juni 2004.
Nggobe, M., Demas Wamaer, J. Limbongan. 2004. Klinik Teknilogi Pertanian (Klittan)
sebagai kelembagaan petani menuju pertanian mandiri. Prosiding Seminar Nasional
Klinik Teknologi Pertanian Sebagai Basis Pertumbuhan Usaha Agribisnis menuju
Petani Nelayan Mandiri.Manado, 9 – 10 Juni 2004.
Pura Woha Umbu, 2001. Pembangunan Pertanian wilayah kering di Nusa Tenggara Timur.
Prodiding Konfrensi Internasional Pembangunan Pertanian Semi Arid Nusa
Tenggara Timur dan Timor Timur dan Maluku Tenggara, Tanggal 10 – 16
Desember 1995 di Kupang.
Soethama, IKW, Kamandalu, Sudaratmaja, Suprio Guntoro. 2004. Klinik Teknilogi
Pertanian (Klittan) sebagai kelembagaan petani menuju pertanian mandiri. Prosiding
Seminar Nasional Klinik Teknologi Pertanian Sebagai Basis Pertumbuhan Usaha
Agribisnis menuju Petani Nelayan Mandiri.Manado, 9 – 10 Juni 2004.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 497
Seminar Nasional 2005
Lampiran 1. Komoditas pangan unggulan daerah berdasarkan Hasil Analisis Location Quentiot
(LQ) NTT.
Unggulan
No Kabupaten/Kodya
I II III
1 Kupang/Kodya Sorgum Kacang tanah Padi sawah
2 TTS Ubi jalar Jagung Kedelai
3 TTU Kacang tanah Ubi kayu Jagung
4 Belu Kacang hijau Sorgum Jagung
5 Alor Padi ladang Kacang hijau Jagung
6 Lembata Kacang tanah Kacang hijau Pai lading
7 Flores Timur Padi ladang Kcang tanah Jagung
8 Sikka Padi ladang Kacang hijau Kacang tanah
9 Ende Padi ladan Padi sawah Jagung
10 Ngada Kedelai Padi sawah Padi lading
11 Manggarai Padi sawah Ubi jalar Kedelai
12 Sumba Timur Kacang tanah Sorgum Padi sawah
13 Sumba Barat Padi lading Ubi kayu Sorgum
Sumber : Yusuf, et al. (2002).
Lampiran 2. Komoditas pangan unggulan daerah berdasarkan Hasil Analisis Location Quentiot (LQ)
NTT.
Unggulan
No Kabupaten/Kodya
I II III
1 Kupang/Kodya Bawang merah Tomat Cabe
2 TTS Kentang Jeruk Bawang putih
3 TTU Bawang putih Nenas Mangga
4 Belu Bawang putih Mangga Cabe
5 Alor Mangga Jeruk Cabe
6 Lembata - - -
7 Flores Timur Nenas Mangga Jeruk
8 Sikka Cabe Tomat Mangga
9 Ende Kentang Bawang merah Cabe
10 Ngada Kentang Cabe Nenas
11 Manggarai Nenas Bawang merah Cabe
12 Sumba Timur Bawang merah Nangka Cabe
13 Sumba Barat Jeruk Nangka Mangga
Sumber : Yusuf, et al. (2002).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 498
Seminar Nasional 2005
Lampiran 3. Komoditas pangan unggulan daerah berdasarkan Hasil Analisis Location Quentiot (LQ)
NTT.
Unggulan
No Kabupaten/Kodya
I II III
1 Kupang/Kodya Kapuk Pinang Kelapa
2 TTS Kemiri Kapas Tembakau
3 TTU Kemiri Kapuk Pinang
4 Belu Kapas Kemiri Tembakau
5 Alor Kemiri Jambu mente Kelapa
6 Lembata Kemiri Jambu mente Lada
7 Flores Timur Jambu mente Kelapa Lada
8 Sikka Jarak Kakao Lada
9 Ende Cengkeh Kapas Kelapa
10 Ngada Pala Cengkeh Kopi
11 Manggarai Vanili Kopi Pala
12 Sumba Timur Kapuk Kelapa Pinang
13 Sumba Barat Tebu Pinang Tembakau
Sumber : Yusuf, et al. (2002).
Lampiran 4. Komoditas pangan unggulan daerah berdasarkan Hasil Analisis Location Quentiot (LQ)
NTT.
Unggulan
No Kabupaten/Kodya
I II III
1 Kupang/Kodya Ayam ras Ayam kampung Domba
2 TTS Sapi Sapi Kuda
3 TTU Babi Babi Itik
4 Belu Sapi Itik Ayam Kampung
5 Alor Itik Kambing Ayam Kampung
6 Lembata Kambing Babi Kuda
7 Flores Timur Kambing Itik Domba
8 Sikka Itik Kuda Babi
9 Ende Ayam Kampung Itik Kambing
10 Ngada Kerbau Kuda Kambing
11 Manggarai Kerbau Kuda Babi
12 Sumba Timur Kerbau Kuda Sapi
13 Sumba Barat Kerbau Kuda Kambing
Sumber : Yusuf, et al. (2002).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 499
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 500
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 501
Seminar Nasional 2005
ramah lingkungan, pascapanen (grading dan sortasi) masih lemah, dan penggunaan pestisida
melebihi ambang batas (BPP Kecamaan Belik, 2003).
Tabel 1. Produksi Tanaman Semusim di Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, 2003
Tanaman tahunan yang menjadi andalan Kecamatan Belik adalah nanas dan kelapa
deres (produksi gula aren). Tanaman tahunan lainnya yang diusahakan petani adalah pisang,
teh, cengkeh, kelapa, mete, kakao, glagah, kopi, dan nilam. Musim kemarau tidak
mempengaruhi budidaya tanaman tahunan, bahkan pada komoditas cengkeh petani
cenderung meningkatkan produksinya sejalan dengan membaiknya harga. Pemasaran hasil
tanaman tahunan dilakukan pada struktur pasar persaingan sempurna, sedangkan cengkeh
dipasarkan melalui koperasi unit desa (KUD).
Komoditas yang memperoleh perhatian pemerintah daerah dan diarahkan sebagai
komoditas unggulan pada Kawasan Agropolitan Waliksarimadu adalah sapi potong, sesuai
dengan ketersediaan sumberdaya daya hijauan pakan dan kesesuaian iklim. Orientasi
sebagian besar petani (75%) memelihara sapi potong adalah untuk perbibitan, selebihnya
bertujuan penggemukan. Kinerja reproduksi pada usaha perbibitan cukup baik, karena
umumnya ternak melahirkan setiap tahun. Untuk perkawinannya, petani seluruh petani
mengandalkan inseminasi buatan (IB). Petani menyukai IB dengan semen Sapi Simmental,
karena harga bakalannya lebih tinggi dibanding sapi lokal. Pada usaha penggemukan,
jangka waktunya berkisar 4-6 bulan.
Sebagian besar hijauan pakan mengandalkan rumput lapang yang banyak tersedia di
lahan tegalan, perkebunan, dan kehutanan. Jumlah pemberian rumput berkisar 40-45
kg/ekor/hari. Sesuai dengan pola tanam yang ada, tebon jagung beserta janggel-nya banyak
tersedia pada bulan Oktober dan April, dan merupakan alternatif hijauan pakan. Pada saat
puncak musim kering, yakni Agustus dan September, dimana rumput lapang sulit diperoleh,
sumber pakan berserat mengandalkan jerami padi. Disamping hijauan pakan, petani juga
memberikan pakan penguat, berupa ketela pohon, dengan jumlah sekitar 1 kg/ekor/hari.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, sebagai hasil samping dari peternakan sapi
potong, kotoran ternak belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini disebabkan kurangnya
penguasaan teknologi untuk mengoptimalkan pemanfaatannya. Petani umumnya hanya
menimbun kotoran ternak, dan menggunakannya pada saat dibutuhkan, tanpa diproses lebih
lanjut. Petani menginginkan adanya pelatihan pengolahan kotoran dengan teknologi
pengomposan, karena dapat menghasilkan nilai tambah kotoran ternak. Pengembangan
pengomposan di kawasan agropolitan sangat memungkinkan, karena didukung tersedianya
sumberdaya yang potensial, yakni kotoran ternak dan serbuk gergaji.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 502
Seminar Nasional 2005
mengelola usahatani di lahannya sendiri, yang kemudian disebut sebagai pemilik penggarap,
dan mereka yang mengelola usahatani di atas lahan yang disewanya dan disebut sebagai
petani penyewa. Sedangkan buruh tani adalah mereka yang tidak menggarap lahan tetapi
terlibat dalam kegiatan usahatani seperti pengolahan tanah, penanaman, penyiangan, dan
pemanenan.
Aktivitas agribisnis di kawasan agropolitan perlu dukungan inovasi teknologi yang
dihasilkan oleh lembaga penelitian. Hasil inovasi teknologi perlu disampaikan kepada petani
melalui kegiatan penyuluhan pertanian (Syam dan Widjono, 1992). Balai Penyuluh Pertanian
(BPP) di Kecamatan Belik, yang merupakan institusi pemerintah yang mempunyai tugas
pokok alih teknologi pertanian dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia (petani),
didukung oleh 5 orang penyuluh. Jarak terdekat dari kantor BPP ke wilayah binaan sejauh
0,5 km, sedangkan jarak terjauh 15 km. Komponen fasilitas lainnya yang mendukung
kegiatan usahatani seperti disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Fasilitas Penunjang Usahatani yang Terdapat di Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang, Jawa
Tengah, 2003.
No Fasilitas Jumlah
1. Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) 1
2. BRI Unit Desa dan bank lainnya 4
3. Koperasi Unit Desa (KUD) 1
4. Kios saprodi 7
5. Pasar umum 4
6. Wartel 5
Sumber : BPP Kecamatan Belik, 2003
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 503
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 504
Seminar Nasional 2005
pengomposan kotoran sapi dengan baik. Dari ± 3.000 kg bahan baku pembuatan kompos
diperoleh kompos jadi sebanyak 2.000 kg, dan dengan total biaya Rp. 532.000 maka harga
pokok kompos Rp. 266/kg (Tabel 6). Berdasarkan pengamatan, harga jual kompos yang
beredar di pasaran berkisar Rp. 400-Rp.450/kg.
Tabel 5. Kandungan Kompos Kotoran Sapi di Kawasan Agropolitan Waliksarimadu, Pemalang, 2004.
KESIMPULAN
1. Pemberdayaan kelompok tani melalui kegiatan pelatihan dan praktek lapang mampu
meningkatkan ketrampilan anggota dalam menerapkan teknologi. Sedangkan upaya
mediasi yang dilakukan dengan fihak swasta, dapat menjamin ketersediaan sarana
produksi yang dibutuhkan kelompok, khususnya probiotik dan mineral untuk sapi
potong.
2. Introduksi teknologi pengomposan kotoran sapi telah mendorong tumbuhnya usaha
pengomposan skala rumah tangga, ditandai dengan telah diadopsinya teknologi
pengomposan oleh 5 orang petani. Penguasaan teknologi pengomposan kotoran sapi
dapat memicu tumbuhnya usaha agroindustri, khususnya pengomposan di Kawasan
Pengembangan Agropolitan Waliksarimadu.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 505
Seminar Nasional 2005
DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik. 2003. Kabupaten Pemalang dalam Angka. BPS Kab. Pemalang –
Bappeda Kab. Pemalang. Pemalang.
BPP Kecamatan Belik. 2003. Program Penyuluhan Pertanian Kecamatan Belik 2004. BPP
Kecamatan Belik. Pemalang.
Departemen Pertanian. 2003. Panduan Teknis Sistem Integrasi Padi-Ternak, Deptan, Jakarta.
Davis, K. dan J. H. Newstroom. 1985. Human Behaviour at Work : Organization Behaviour,
7th Edition. Mc Graw-Hill International.
Kompas, 7 April 2004. Agropolitan Seharusnya Sejak Dini Lestarikan Lingkungan. Harian
Kompas, Jakarta.
Syam M. dan Widjono. 1992. Keterkaitan Penelitian dan Penyuluhan-Persepsi : Institusi dan
Tata Hubungan Kerja dalam Teknologi dan Embung. Prosiding Perakitan Teknologi
Program Keterkaitan Penelitian dan Penyuluhan. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 506
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Petani menggunakan berbagai sumber informasi untuk mendapatkan inovasi yang diperlukan dalam
mengelola usahataninya. Informasi tentang teknologi dan pemasaran merupakan salah satu faktor penentu kinerja
usahatani yang dilaksanakan oleh petani. Sarana dan prasarana komunikasi telah berkembang begitu cepat,
namun demikian masih banyak pula para petani yang luput dari penyebaran dan penyediaan informasi pertanian.
Berdasarkan hasil survai pendasaran Proyek Peningkatan Pendapatan Petani melalui Inovasi (P4MI) yang
dilaksanakan tahun 2004 di 5 Kabupaten (Temanggung, Blora, Lombok Timur, Ende, dan Donggala), diketahui
bahwa petani memperoleh informasi pertanian dari berbagai sumber baik melalui media maupun komunikasi
tatap muka secara langsung. Media interpersonal baik sesama petani, penyuluh, maupun orang tua masih
merupakan media utama yang paling sering (80-100%) digunakan oleh petani. Sumber informasi melalui media
cetak masih sedikit digunakan, karena terbatasnya ketersediaan informasi melalui media cetak di tingkat petani.
Radio dan televisi merupakan sumber informasi elektronis terbanyak yang digunakan petani dalam memperoleh
informasi pertanian. Fungsi kelembagaan sebagai sumber informasi teknologi pertanian di beberapa lokasi masih
cukup berperan, khususnya untuk lembaga penyuluhan sekalipun persentasenya kecil.
Kata kunci: Informasi pertanian; lahan marjinal; teknologi pertanian.
PENDAHULUAN
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 507
Seminar Nasional 2005
Metodologi
Makalah ini memanfaatkan data hasil studi pendasaran Proyek Peningkatan
Pendapatan Petani melalui Inovasi-P4MI (Poor Farmers’ Income Improvement through
Innovation-PFI3P) tahun 2004 yang dilaksanakan di Kabupaten Blora dan Temanggung
Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Lombok Timur di Provinsi Nusa Tenggara Barat,
Kabupaten Ende di Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan Kabupaten Donggala di Provinsi
Sulawesi Tengah. Responden dalam studi pendasaran adalah petani pemilik lahan maupun
penggarap di lokasi P4MI. Pada setiap kabupaten dipilih secara purposive lima desa contoh
yang masing-masing desa diwawancarai 30 responden. Dengan demikian, seluruh
responden berjumlah 750 orang.
Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan mengelompokkan rumah tangga tani (responden)
berdasarkan besarnya pendapatan perkapita per tahun. Responden berpendapatan rendah
adalah rumah tangga yang pendapatan perkapita pertahunnya di bawah garis kemiskinan
dan responden berpendapatan tinggi adalah rumah tangga tani yang pendapatan perkapitanya
di atas garis kemiskinan. Nilai garis kemiskinan yang digunakan adalah versi Biro Pusat
Statistik (BPS) tahun 2003 untuk masing-masing kabupaten. Kisaran nilai garis kemiskinan
BPS tersebut yang paling rendah Rp 1.025.628,- di Kabupaten Ende dan tertinggi Rp
1.387.764,- di Kabupaten Donggala. Analisis sederhana dilakukan berupa nilai rata-rata,
frekuensi distribusi, dan tabulasi silang, sedangkan uraian deskriptif dilakukan untuk
menjelaskan keterkaitan antar variabel yang diamati.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 508
Seminar Nasional 2005
berbagai disiplin ilmu; pengalaman petani lain; dan informasi terkini mengenai prospek
pasar yang berkaitan dengan sarana produksi dan produk pertanian.
Sarana dan prasarana komunikasi telah berkembang begitu cepat seiring dengan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung proses pemanfaatan
bersama informasi teknologi pertanian. Namun demikian, petani di pedesaan khususnya
yang berada di lahan marjinal masih banyak yang luput dari upaya diseminasi informasi
pertanian yang selama ini diselenggarakan. Di samping itu, informasi yang berkaitan dengan
hasil penelitian dari berbagai disiplin ilmu, sebagian besar juga masih disajikan dalam
bentuk publikasi yang sulit dipahami oleh petani langsung. Mengingat media informasi yang
ada saat ini belum mampu menjangkau petani di pedesaan, diperburuk dengan institusi
kelembagaan yang seharusnya berperan untuk memfasilitasi akses informasi bagi petani juga
belum berfungsi dengan baik, maka petani di pedesaan cenderung memanfaatkan sumber
informasi teknologi pertanian yang terbatas ada di lingkungannya.
Sumber informasi
Kabupaten Sesama Distributor
Orang tua Staf BPTP PPL/Dinas Pedagang
petani saprodi
Kelompok pendapatan rendah
Blora 96.36 88.42 22.50 70.90 33.18 44.06
Temanggung 100 81.52 8.67 72.18 6.30 27.62
Lombok Timur 86.56 79.26 12.78 38.28 19.02 18.50
Ende 86.74 55.47 10.39 48.14 3.90 5.08
Donggala 84.31 53.21 4.52 56.04 8.07 8.56
Rata-rata 90.79 71.57 11.77 57.11 14.09 20.76
Kelompok pendapatan tinggi
Blora 98.88 89.64 17.76 73.68 46.56 35.52
Temanggung 89.36 80.56 11.11 67.74 9.19 32.28
Lombok Timur 73.58 72.40 7.14 44.88 11.32 17.84
Ende 80.63 65.44 27.94 51.98 11.15 11.15
Donggala 91.22 63.22 7.12 64.31 14.76 11.38
Rata-rata 86.74 74.25 14.22 60.52 18.60 21.63
Sumber: Data hasil studi pendasaran P4MI di Kabupaten Blora, Temanggung, Lombok Timur, Ende, dan Donggala TA 2004
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 509
Seminar Nasional 2005
interpersonal lainnya yaitu penyuluh, distributor sarana produksi, dan pedagang (Gambar 1).
Hampir seluruh (90%) responden baik yang berpendapatan rendah maupun tinggi
menyatakan bahwa petani lainnya merupakan sumber informasi utama untuk memperoleh
informasi teknologi pertanian. Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) merupakan sumber
informasi potensial yang juga banyak dimanfaatkan petani untuk memperoleh informasi
teknologi pertanian, khususnya di kabupaten yang masih memiliki Balai Penyuluhan
Pertanian (BPP) seperti di Donggala.
Kemudahan dalam akses informasi teknologi pertanian dari sumber informasi yang
digunakan juga merupakan faktor tingginya pemanfaatan sumber informasi dari sesama
petani, orang tua, dan petugas penyuluh lapangan oleh petani. Sebagian besar (90%) petani
merasakan sangat mudah dan mudah dalam memperoleh informasi teknologi pertanian dari
petani lainnya dan orang tua. Hasil studi ini memperkuat hasil penelitian yang telah
dilaksanakan di Desa Ciherang, Kabupaten Bogor (Mulyandari, 2001) dimana seluruh
(100%) responden (petani) menyatakan bahwa petani lain merupakan sumber informasi
utama untuk membantu kegiatan usahataninya dengan sekitar 95% di antaranya menyatakan
sangat mudah dan mudah dalam akses sumber informasi ke petani lain dibandingkan dengan
penyuluh, distributor sarana produksi, dan pedagang.
Gambar 1. Rataan Sebaran Responden Berdasakan Sumber Informasi Interpersonal untuk Informasi
Teknologi Pertanian.
Namun demikian, untuk jenis informasi pasar, ternyata pedagang merupakan sumber
informasi utama yang mampu melampaui sumber informasi dari sesama petani untuk
kelompok petani kategori pendapatan tinggi (Gambar 2). Hal ini dapat dipahami karena
dalam hal pemasaran produk usahatani, petani akan lebih sering berinteraksi dengan
pedagang daripada dengan penyuluh maupun dengan orang tua. Responden pun sebagian
besar merasakan sangat mudah dan mudah dalam akses informasi teknologi pemasaran
kepada pedagang.
Seperti halnya hasil penelitian Mulyandari (2001), hasil studi pendasaran P4MI juga
menunjukkan bahwa sumber informasi dalam media audio visual dan media cetak sangat
sedikit dijadikan sebagai sumber informasi teknologi pertanian. Kurang dimanfaatkannya
sumber informasi dalam media cetak disebabkan di samping oleh tidak terjangkaunya media
tersebut sampai di tingkat petani juga karena dirasa kurang praktis bagi responden yang tidak
lulus Sekolah Dasar atau bahkan tidak pernah mengikuti pendidikan formal. Sebagian besar
(di atas 85%) responden menyatakan bahwa sumber informasi pertanian dalam media cetak
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 510
Seminar Nasional 2005
belum/tidak cukup tersedia dan belum ada sampai di tingkat pedesaan. Alasan lainnya yang
juga mendasari kurang dimanfaatkannya media ini sebagai sumber informasi adalah tidak
bisa baca, tidak mengerti isinya, dan tidak berminat.
Tabel 2. Persentase Responden Berdasarkan Sumber Informasi Teknologi Pertanian dan Kelompok Pendapatan
untuk kategori media cetak di Lima Kabupaten, Indonesia, 2004.
Sumber informasi
Kabupaten
Koran Majalah/buku Brosur/leaflet/poster
Pendapatan rendah
Blora 8.88 0 0
Temanggung 0 0 1.82
Lombok Timur 2.88 0 0
Ende 1.78 0 0.91
Donggala 5.46 0 4.52
Rata-rata 2.87 3.41 1.45
Pendapatan tinggi
Blora 7.22 0 0
Temanggung 11.05 4.47 1.60
Lombok Timur 6.50 5.80 7.94
Ende 2.86 2.86 2.86
Donggala 4.97 2.58 3.92
Rata-rata 6.24 3.57 3.26
Sumber: Data hasil studi pendasaran P4MI di Kabupaten Blora, Temanggung, Lombok Timur, Ende, dan Donggala TA 2004
yang diolah sesuai kebutuhan.
Sumber: Data baseline survey Kabupaten Blora, Temanggung, Lombok Timur, Ende, dan Donggala TA 2004.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 511
Seminar Nasional 2005
Tabel 3. Persentase Responden Berdasarkan Sumber Informasi Teknologi Pertanian dan Kelompok Pendapatan
untuk Kategori Media Audio-Visual di Lima Kabupaten, Indonesia, 2004..
Sumber informasi
Kabupaten
Radio Televisi Film/ VCD/CD Internet
Pendapatan rendah
Blora 59.32 52.20 0 0
Temanggung 14.16 17.94 0 0
Lombok Timur 16.16 12.86 0 0
Ende 2.61 2.09 0 0
Donggala 9.52 9.29 1.16 0
Rata-rata 17.02 15.89 0.23 0
Pendapatan tinggi
Blora 50.34 31.12 10 8.58
Temanggung 14.62 16.21 0 0
Lombok Timur 17.90 19.96 0 0
Ende 4.40 0 0 0
Donggala 15.23 7.93 2.87 0
Rata-rata 20.03 11.05 2.57 1.72
Sumber: Data hasil studi pendasaran P4MI di Kabupaten Blora, Temanggung, Lombok Timur, Ende, dan Donggala TA 2004.
Sumber informasi dalam audio visual hanya terbatas pada radio dan televisi yang
sudah banyak tersedia di tingkat petani meskipun tingkat pemanfaatannya sebagai sumber
informasi pertanian masih sangat sedikit.(Tabel 3) Radio dan televisi yang dimiliki petani,
sebagian besar hanya digunakan sebagai sarana hiburan. Kurang dimanfaatkannya radio dan
televisi sebagai sumber informasi pertanian disebabkan media tersebut kurang atau bahkan
tidak pernah memberikan informasi pertanian serta responden tidak mengetahui adanya
informasi pertanian yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan usahataninya. Hal ini kita
sadari bahwa saat ini sebagian besar stasiun televisi dan radio belum atau tidak memberikan
siaran khusus untuk mendukung pertanian dan pembangunan pedesaan.
Beberapa petani juga menyatakan bahwa informasi yang berasal dari media radio
sulit dipahami karena sifatnya yang satu arah dan selintas. Untuk di kabupaten tertentu yang
kondisi sosial ekonominya sangat minim sebagian besar (di atas 70%) untuk Ende dan di
atas 50% untuk Donggala menyatakan belum memiliki pesawat televisi maupun radio.
Adapun untuk di tiga kabupaten lainnya, sekitar 30% responden menyatakan tidak memiliki
pesawat televisi atau radio.
Institusi pemerintah (BPPT-LIPI dengan Warintek-nya dan Deptan), maupun
lembaga swasta yang berkaitan dengan layanan informasi pertanian telah mendiseminasikan
informasi pertanian melalui media elektronis berupa website yang dapat diakses secara
online melalui internet maupun dalam media CD dan VCD. Melalui media ini, sumber
informasi pertanian diharapkan dapat menyebarkan informasi pertanian yang dimilikinya
secara cepat dan luas tanpa hambatan geografis dan tidak mengenal out off print. Namun
demikian, untuk jenis sumber informasi yang dikemas dalam media VCD/CD dan internet,
sebagian besar petani masih merasa asing dan tidak mengetahui apabila ada informasi
pertanian yang dikemas dalam media tersebut. Media ini belum memasyarakat di tingkat
petani karena masih dianggap terlalu canggih (sophisticated).
Upaya mempercepat arus informasi teknologi pertanian melalui media elektronis
dalam media VCD/CD, dan internet akan lebih sesuai untuk pengguna antara (petugas dinas
pertanian atau penyuluh pertanian) bukan untuk petani langsung. Hal ini disebabkan oleh
masih dibutuhkannya prasyarat tertentu untuk dapat dimanfaatkannya sumber informasi ini,
misalnya peralatan komputer dan tersedianya jaringan untuk memfasilitasi koneksi kesumber
informasi melalui akses online. Di beberapa kabupaten bahkan instalasi listrik pun masih
juga menjadi salah satu faktor penghambat dalam operasionalisasi perangkat elektronis.
Sumber informasi teknologi pertanian yang dikemas dengan media VCD masih
memungkinkan untuk disampaikan langsung ke petani, karena alat ini sudah mulai tersedia
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 512
Seminar Nasional 2005
di tingkat petani di seluruh kabupaten, meskipun dengan jumlah yang relatif masih sangat
terbatas (sekitar 25% untuk Ende, Donggala dan sekitar 50% untuk Lotim, Temanggung, dan
Blora).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 513
Seminar Nasional 2005
kabupaten yang berfungsi tidak hanya sebagai telecentre, namun juga sebagai one stop shop
untuk pertukaran informasi di mana kontak tani dapat memperoleh informasi yang berguna
dan sesuai dengan inovasi produksi dan pemasaran. Di tempat ini diharapkan kontak tani
memiliki akses terhadap informasi pertanian elektronis dari berbagai sumber secara online
(melalui internet) yang telah dikembangkan melalui jaringan telepon, offline (pangkalan data
dan CD-ROM), maupun konvensional (tercetak). Kesempatan untuk dapat berinteraksi
langsung dengan tenaga ahli, tenaga teknis di bidang pertanian maupun dengan sesama
kontak tani pun terbuka luas untuk peningkatan kualitas usahatani yang dilaksanakannya.
Kondisi ini dapat diwujudkan apabila ada dukungan aktif dari pemerintah kabupaten dan
LSM lokal dalam pengelolaan pusat informasi pertanian dan memfasilitasi petani untuk
akses informasi.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 514
Seminar Nasional 2005
pertanian maupun penyuluh informal dari swasta (misalnya dari LSM atau dari distributor
sarana produksi pertanian). Dalam kasus tertentu, pakar untuk komoditas dengan bidang
permasalahan tertentu dapat didatangkan untuk memberikan bantuan teknis yang
dibutuhkan. Karena target pengembangan akses informasi pertanian berbasis teknologi
informasi hanya sampai di tingkat kabupaten, maka dukungan fisik maupun manajemen dari
pemda setempat untuk keberlanjutan kegiatan pembangunan dan operasionalisasi jaringan
informasi pertanian hingga sampai di tingkat pengguna akhir sangat dibutuhkan.
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 515
Seminar Nasional 2005
Noekman, K. M., dkk. 2005. Survai Pendasaran (Baseline Survey) for Poor Farmers‟
Income Improvement through Innovation Project (PFI3P) di Kabupaten Lombok
Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor, Indonesia.
Rivai, R. S., dan I. S. Anugrah. 2005. Survai Pendasaran (Baseline Survey) for Poor
Farmers‟ Income Improvement through Innovation Project (PFI3P) di Kabupaten
Temanggung, Provinsi Jawa Tengah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor, Indonesia.
Rivai, R.S., dan M. Iqbal. 2005. Survai Pendasaran (Baseline Survey) for Poor Farmers‟
Income Improvement through Innovation Project (PFI3P) di Kabupaten Ende,
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor, Indonesia.
Swastika, D. K. S., dkk. 2005. Survai Pendasaran (Baseline Survey) for Poor Farmers‟
Income Improvement through Innovation Project (PFI3P) di Kabupaten Blora,
Provinsi Jawa Tengah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian, Bogor, Indonesia.
Van den Ban dan Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius. Yogyakarta.
Zakaria, dkk. 2005. Survai Pendasaran (Baseline Survey) for Poor Farmers‟ Income
Improvement through Innovation Project (PFI3P) di Kabupaten Donggala, Provinsi
Sulawesi Tengah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian,
Bogor, Indonesia.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 516
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Hampir seluruh peternak yang memelihara sapi didaerah transmigrasi dengan pertanian lahan kering di
Kabupaten Dompu memelihara ternak dengan sistem potong angkut (cut and carry). Untuk musim kemarau
selain pemberian rumput dan tanaman gulma yang terbatas, hampir seluruh peternak lebih mengandalkan hijauan
pakan yang berasal dari legume pohon seperti lamtoro (Leucaena leucocephala), gamal (Gliricidia sepium), dan
daun-daun pohon lainnya. Disamping itu peternak memberikan pula batang pisang (Musa paradisiaca), batang
papaya (Carica papaya) dan buah semu jambu mete (Anacardia officinale). Walaupun jumlah yang diberikan
relative lebih sedikit bila dibandingkan dengan pemberian pakan hijauan dimusim hujan, akan tetapi kualitas
pakan sapi pada musim kemarau cukup memadai. Kandungan protein kasar pakan yang diberikan pada
pertengahan musim kering berkisar antara 5 - 12% bahan kering dengan variasi pakan terdiri dari rumput, legume
merambat dan gulma pertanian, dengan kecernaan in vitro sekitar 40% bahan kering. Pada pakan yang diberikan
pada puncak musim kering variasi pakan menjadi lebih banyak dengan kandungan protein berkisar dari 5 - 17%,
dengan kecernaan pakan memperlihatkan nilai yang lebih baik dengan kecernaan terendah 37% (rumput) dan
tertinggi 70% (legume pohon). Pemberian air minum setiap hari berkisar antara 10 – 15 liter/ekor/hari.
Kata kunci: Lahan kering, pakan musim kemarau, protein kasar, kecernaan in vitro.
PENDAHULUAN
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 517
Seminar Nasional 2005
20
19
18
16,667 16,458
17
16
15
14
13
12
11
10
July_02 Oct_02
Gambar 1. Grafik rata-rata jumlah pakan hijauan yang diberikan pada ternak (kg segar/ekor/hari)
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 518
Seminar Nasional 2005
Persentase daun dari pakan yang diberikan sepanjang tahun umumnya lebih dari
50%, kecuali pada musim kemarau ketika rumput dan daun-daunan mulai terbatas dan ternak
diberikan pakan hijauan alternatif. Hampir semua bagian daun dari pakan yang diberikan
umumnya dikonsumsi habis dan yang tersisa adalah batang-batang tua yang keras.
70 64 65
60 53.333
50 46.667
40 33.333
30
20
10
7.5
10
0
0
July_02 Oct_02
Gambar 2. Grafik persentase daun pada pakan hijauan yang diberikan pada ternak di musim kemarau.
Pada pertengahan musim kemarau sekitar bulan Juli, ketika rumput mulai sulit
didapatkan, peternak mulai menggunakan Gamal (Gliricidia sepium) dan Lamtoro
(Leucaena leucocephala). Pada puncak musim kemarau sekitar bulan Oktober, selain
memberi Gamal dan Lamtoro, peternak juga memberikan daun pohon-pohonan seperti daun
Nangka (Arthocarpus integra), Sonokeling (Dalbergia latifolia) dan Kesambi (Schleichera
oleosa). Tidak jarang peternak memberikan sapi mereka pakan hijauan yang terdiri dari
100% berupa Lamtoro atau Gamal. Dengan demikian sebenarnya peternak telah menerapkan
pemanfaatan stata ketiga dari konsep tiga strata (STS, Nitis dkk 1989). Selain itu peternak
juga memberikan pakan alternatif yang hanya diberikan dalam keadaan terpaksa seperti
batang pisang (Musa paradisiaca), batang papaya (Carica papaya) dan buah semu jambu
mente (Anacardia officinale). Pemberian pakan jenis ini juga dilaporkan oleh Bamualim dkk
(1994b) dilakukan oleh peternak di pulau lainnya di Nusa Tenggara.
80 75
70
60
50
50
40 35
30
20 15 15
10
10
0 0
0
July_02 Oct_02
Gambar 3. Grafik komposisi pakan yang diberikan pada ternak di musim kemarau (%)
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 519
Seminar Nasional 2005
Pada pertengahan musim kemarau yaitu pada bulan Juli, kandungan protein pakan
berkisar antara 5 – 11% dengan kecernaan sekitar 36 – 43 % bahan kering. Nilai kandungan
protein ini lebih rendah sedikit dibandingkan dengan nilai protein pakan seperti dilaporkan
oleh Bamualim dkk (1994). Hal ini mungkin disebabkan karena pada saat ini kondisi rumput
sudah mulai menurun dengan daun yang mulai mengering dan jumlah batang yang cukup
banyak. Sedangkan pada puncak kemarau yaitu pada bulan Oktober, kualitas pakan dapat
meningkat karena pakan didominasi oleh legum pohon seperti Lamtoro dan Gamal dengan
kandungan protein sekitar 17% dan kecernaan sampai 70%. Sementara walaupun batang
pisang dan buah semu jambu mente memiliki kecernaan yang tinggi tetapi kandungan
proteinnya rendah.
18 17.06
16
Crude protein (%)
14
12 11.058 10.85
10
7.3533 6.83
8 6.3
6 5.0167
4.2967 4.1433
4
2 0 0 0
0
July_02 Oct_02
Gambar 4. Grafik kandungan protein pakan yang diberikan pada musim kemarau (% bahan kering)
18 17.06
16
Crude protein (%)
14
12 11.058 10.85
10
7.3533 6.83
8 6.3
6 5.0167
4.2967 4.1433
4
2 0 0 0
0
July_02 Oct_02
Gambar 5. Grafik kadar kecernaan in vitro pakan yang diberikan pada musim kemarau (% bahan
kering)
Kondisi panas dan kering pada musim kemarau ternyata tidak mempengaruhi jumlah
pemberian air minum kepada ternak. Pada musim ini air minum yang diberikan pada ternak
adalah sekitar 10 – 15 liter/ekor/hari. Jumlah ini tidak berbeda dengan jumlah air yangh
diberikan pada musim hujan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 520
Seminar Nasional 2005
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 521
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Pengkajian dilakukan untuk menganalisis usaha penggemukkan sapi yang dikembangakan oleh petani
peserta penelitian. Penelitian dilakukan di dua lokasi subak yaitu Subak Guama, Tabanan dan Subak Dawan,
Klungkung, dengan melibatkan 40 orang petani ternak, 20 Orang di Subak Guama dan 20 orang di Subak Dawan
dengan rata- rata kepemilikan 2 ekor/KK. Perlakuan yang diberikan adalah pemberian Complet feed sebanyak 2
kg/ekor/hari + 5 ml Biocas/ekor/hari + jerami yang teramoniasi diberikan secara adlib, penelitian ini dilakukan
selama 6 bulan. Untuk melihat pengaruh perlakuan yang diberikan dilakukan penimbangan berat badan sapi
setiap bulan. Parameter yang diamati pada anlisis usahatani ini adalah keuntungan dan kelayakan usaha dengan
B/C ratio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan formulasi ransum tersebut peningkatan berat badan
harian ternak di subak Guama lebih tinggi dari ternak sapi yang ada di subak Dawan masing-masing sebesar 0,62
kg dan 0,41 kg. Sedangkan dari analisa usahatani untuk 2 ekor ternak sapi penggemukkan selama 6 bulan, di
Subak Guama penerimaan yang diperoleh masing-masing sebesar Rp 11.171.040, dan Rp 7.076.800 sedangkan
keuntungan yang diperoleh di Subak Guama sebesar Rp 3.197.640 lebih besar dari keuntungan yang diterima
oleh petani di subak Dawan yang hanya Rp 1.501.400,-. Dari kelayakan usaha kedua lokasi layak untuk
dikembangkan ternak sapi dengan B/C ratio masing-masing 1.40 untuk subak Guama dan subak dawan dengan
B/C ratio 1,27.
Kata Kunci : sapi penggemukkan, biocas, keuntungan, kelayakan usaha
PENDAHULUAN
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 522
Seminar Nasional 2005
dengan 5 bulan musim hujan dan 7 bulan musim kering (daerah iklim E) dengan curah hujan
antara 1000 – 1500 mm pertahun terdapat di Bali Selatan dan Tenggara; sedangkan daerah
dengan 4 bulan musim hujan dan 8 bulan musim kering (daerah Iklim F) dengan curah hujan
antara 800-1300 mm pertahun terdapat di Bali Timur dan Bali Utara. Dengan demikian maka
Bali Timur dan Bali Utara keadaan cuacanya lebih kering jika dibandingkan dengan Bali
Barat, Tengah dan Selatan.
Komoditi pertanian lahan kering dapat berupa tanaman pangan, tanaman perkebunan
dan ternak. Namun karena distribusi sumber alam yang tidak merata dan sumber daya
manusia yang masih terbatas, maka produktivitas dan kelestarian lingkungan pertanian lahan
kering belum menjadi optimal.
Dari 563.286 ha lahan di Bali 63,47% adalah untuk pertanian, 22,28% untuk lahan
alam, 5,91% untuk pemukiman, 5,91 sebagai lahan kritis, 0,61% sebagai danau dan rawa dan
1,23% untuk lain-lain. Dari lahan untuk pertanian tersebut 17,25% untuk sawah, 20,05%
untuk tegalan dan 26,17% untuk perkebunan. Dengan demikian maka pertanian lahan kering
3,68 kali lebih luas dari pertanian lahan basah.
Umumnya pada pertanian lahan kering, petani biasanya menanam palawija (jagung,
kacang-kacangan dan ketela pohon) di waktu musim hujan. Setelah panen, lahan dibiarkan
kosong dan ditumbuhi rumput lokal yang nilai gizinya tidak begitu tinggi untuk ternak.
Meskipun ternak terutama sapi, selalu diintegrasikan dengan pertanian lahan kering ini
namun tidak ada lahan khusus yang disediakan untuk menanam hijauan makanan ternak.
Hanya pada galangan ditanam rumput gajah untuk makanan ternak di waktu musim hujan,
sedangkan semak dan pohon untuk makanan ternak di waktu musim kering. Dengan
persediaan hijauan yang terbatas ini, maka ternak ruminansia sering kekurangan hijauan
makanan ternak, terutama pada waktu musim kering.
Kontribusi peternakan terhadap PDRB pertanian di Bali atas dasar harga berlaku
adalah 77,57% sedangkan atas dasar harga konstan adalah 25,42% (Anonim, 2004)
Sementara itu untuk melihat keberhasilan suatu usaha perlu adanya suatu kajian
usahatani. Usahatani sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh produk di bidang pertanian,
pada akhirnya akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh.
Selisih keduanya merupakan kegiatan bagi usahataninya. Karena dalam kegiatan
usahataninya petani bertindak sebagai pengelola, pekerja dan sebagai penanam modal pada
usahanya maka pendapatan ini digambarkan sebagai balas jasa dari kerjasama faktor-faktor
produksi. Analisa pendapatan usahatani mempunyai kegunaan bagi petani, pemilik faktor
produksi yaitu: (1) menggambarkan suatu kegiatan usaha sekarang; (2) menggambarkan
keadan yang akan datang dari perencanaan atau kegiatan. Secara khusus analisa pendapatan
dapat memberikan bantuan untuk mengukur tingkat keberhasilan usahataninya (Soeharjo,
1996).
Menurut Soedarsono (1973), bagi petani pendapatan merupakan pedoman untuk
menilai apakah usaha keluarganya berhasil atau tidak. Biaya total produksi adalah biaya
tetap total ditambah biaya variabel total. Semakin banyak output yang dihasilkan, semakin
rendah biaya tetap untuk menghasilkan setiap satuan output. Jadi biaya tetap rata-rata
cendrung menurun begitu kuantitas output bertambah. Sedangkan biaya variabel adalah
biaya untuk penggunaan input yang tidak tetap. Semakin banyak memakai input variabel,
maka setiap input ekstra menyumbang output semakin sedikit.
Sekartawi dkk (1986) mendefinisikan penerimaan tunai usahatani (farm receipt)
sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani. Pengeluaran tunai
usahatani (farm payment) didefinisikan sebagai jumlah uang yang dibayarkan untuk
pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Penerimaan tunai usahatani tidak mencakup
pinjaman uang untuk keperluan usahatani. Demikian juga pengeluaran tunai usahatani tidak
mencakup bunga pinjaman dan jumlah pinjaman pokok. Penerimaan tunai dan pengeluaran
tunai usahatani tidak mencakup yang berbentuk benda. Jadi, nilai produk usahatani yang
dikonsumsi tidak dihitung sebagai penerimaan tunai usahatani, dan nilai kerja yang
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 523
Seminar Nasional 2005
dibayarkan dengan benda tidak dihitung sebagai pengeluaran tunai usahatani. Selisih antara
penerimaan tunai usahatani dan pengeluaran tunai usahatani disebut pendapatan tunai
usahatani (farm net cash flow) dan merupakan ukuran kemampuan usahatani untuk
menghasilkan uang tunai.
METODOLOGI PENELITIAN
PXH
Gross B/C =
B
Keterangan :
P = Produksi
H = Harga Produksi
B = Total Biaya
Analisis kelayakan usaha penggemukan sapi digunakan untuk melihat tingkat
pengembalian atas biaya usaha tani yang telah dikeluarkan untuk menerapkan teknologi
introduksi. Apabila Gross B/C > 1, maka usaha tani dianggap layak secara finansial, karena
keuntungan bersih masih lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan.
Teknologi introduksi yang diterapkan pada penggemukan sapi dalam penelitian ini
adalah pemberian 2 kg complete feed + 5 ml Biocas per ekor per hari. Complete feed
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 524
Seminar Nasional 2005
merupakan pakan komplit yang disediakan dipasaran yang merupakan pakan komersial yang
telah mengandung nutrisi yang lengkap.
Sedangkan Biocas merupakan probiotik yang mengandung berbagai mikroba
pemecah serat seperti selulolitik, lipolitik, dan lain-lainnya yang diharapkan dapat membantu
ternak dalam mencerna serat kasar seperti jerami dan pakan hijauan lainnya sehingga mampu
dijadikan bahan-bahan yang lebih bermanfaat. Penggemukan di subak Dawan dengan
pemberian pakan tambahan berupa complete feed dan probiotik Biocas memperoleh
peningkatan berat badan harian mencapai 0,41 kg per ekor per hari dengan berat awal
pemeliharaan 174 kg/ekor.
Tabel 1. Peningkatan rata-rata berat badan/hari, berat badan awal, berat badan akhir pada pola penggemukan
sapi kereman di subak Dawan Klungkung dan Subak Guama Tabanan.
Rata-rata pertambahan
Manajemen Berat badan awal (kg) Berat badan akhir (kg)
Berat badan per hari (kg)
Tek. Rekomendasi 253 366 0,63
Subak Dawan 179 216 0,41
Subak Guama 264 320 0,62
Ket: Teknologi Penelitian : HMT (Hijauan + Jerami Fermentasi) + 2 kg complete feed + 5 ml Biocas per ekor per hari
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 525
Seminar Nasional 2005
Guama telah mampu dilaksanakan dan disebarkan sehingga diminati oleh sebagian besar
anggota subak yang lain.
Sedangkan untuk Analisa Usaha taninya, dalam penelitian ini untuk pemeliharaan 2
ekor ternak yang digemukkan membutuhkan biaya selama pemeliharaan (6 bulan) Rp
752.400,- untuk membiayai pakan tambahan dan probiotik. Sedangkan untuk membiayai
tenaga kerja dibutuhkan Rp 885.000,- selama 6 bulan. Nilai bibit sapi di Subak Guama Rp
6.336.000,- sedangkan di Dawan hanya Rp 3.938.000,- perbedaan ini disebabkan karena
berat badan awal yang berbeda sehingga harga beli juga berbeda (Tabel 2).
Tabel 2. Tingkat Keuntungan dan B/C ratio usahatani ternak sapi kereman di Subak Guama dan Dawan per 2
ekor ternak
Uraaian Subak Guama Subak Dawan
Unit (ekor) 2 2
Harga/kg (Rp), jual 14.200 13.000
Berat Awal Ternak, kg/ekor 264 179
Berat Badan jual (kg/ekor) 375,6 252,8
Penjualan pupuk Kompos (Rp) 504.000 504.000
Penerimaan kotor per (Rp) 11.171.040 7.076.800
Biaya input produksi (Rp) 752.400 752.400
Biaya tenaga Kerja (Rp) 885.000 885.000
Nilai Bibit Awal (Rp) 6.336.000 3.938.000
Keuntungan riil (Rp) 3.197.640 1.501.400
Total biaya/ 2 ekor (Rp) 7.973.400 5.575.400
Keuntungan setahun ( dengan pemeliharaan 2 ekor/6 bulan 6.395.280 3.002.800
sehingga dalam setahun 4 ekor) (Rp)
B/C Ratio 1,40 1,27
Penerimaan per hari/2 ekor (Rp) 17.764 8.341
Dalam hal ini berlaku harga pasar yang menganut aturan semakin berat ternak
tersebut harga per satuan berat semakin mahal. Dengan harga jual tersebut maka keuntungan
yang diperoleh sapi yang dipelihara di Guama adalah Rp 2.693.640,- untuk 2 ekor ternak
dalam jangka waktu 6 bulan sehingga B/C ratio yang dicapai 0,33. (Tabel 2). Sedangkan sapi
kereman yang dipelihara di subak Dawan hanya memperoleh keuntungan Rp. 997.400,-
untuk 2 ekor ternak per 6 bulan dengan B/C ratio 0,17. Keuntungan yang dicapai di Guama
per hari per 2 ekor adalah Rp 14.964,- sedangkan di dawan hanya mencapai Rp. 5.541,-.
Dalam setahun di Guama mampu dipelihara 4 ekor dengan keuntunga mencapai Rp.
5.387.280,- sedangkan di Dawan dalam setahun hanya memperoleh keuntungan Rp.
1.994.800,- Namun demikian keuntungan lain yang dapat diperoleh oleh petani dalam
pemeliharaan ternak ini adalah kotorannya yang dapat dipakai sebagai pupuk. Sehingga
dalam mengelola usaha taninya tidak lagi berpikir untuk membeli kompos untuk
tanamannya.
KESIMPULAN
1 Pemberian pakan tambahan berupa Complete feed dan Biocas pada pakan ternak yang
digemukkan di subak Guama dan Dawan mampu memberikan peningkatan berat badan
harian 0,62 dan 0,41 kg/ekor/hari, sehingga bobot akhir mencapai 375,6 dan
252,8.kg/ekor.
2 Dalam pelaksanaan penelitian ini untuk usatani ternak diperoleh keuntungan mencapai
Rp. 6.395.280 dan Rp. 3.002.800,- dengan B/C ratio 1,40 dan 1,27 masing-masing untuk
subak Guama dan Dawan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 526
Seminar Nasional 2005
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, M.O. dan K. Kariyasa (1995). Model Keuntungan Kompetitif Sebagai Alat
Analisis dalam Memilih Komoditas Pertanian Unggulan. Informatika Pertanian
Vol.5 No.2 Desember 1995. Pusat Penyiapan Program Pertanian. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Jakarta
Anonimous. 2004. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
Darmadja, SGND (1980). Setengah abad peternakan sapi traditional dalam ekosistem
pertanian di Bali
Djagra, IB (1989). Sapi bali betina sebagai tenaga kerja. Buletin ISPI Bali No. I ,th I,
September 1989.
Darmadja, SGND (1990). Prospek sapi Bali dalam kaitannya dengan konsolidasi peternakan
di Indonesia. Kumpulan reprint publikasi tahunan reproduksi 1986-1990. Hal 48 –
65. Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar.
Hardjoutomo, S., A. Wiyono dan A. Husein. 1997. Ketersediaan dan Kebutuhan Teknologi
Veteriner Sapi Potong. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Siregar, AR., P Situmorang., M. Boer., G. Mukti., J. Bestari., dan M. Purba. 1997.
Pengkajian Pemanfaatan Teknologi Inseminasi Buatan (IB) Dalam Usaha
Peningkatan Populasi dan Produktivitas Sapi Potong Nasional di Propinsi Sumatera
Barat.
Suyasa; Suprio Guntoro; Parwati; Suprapto; Widiyazid.S. 1999. Pemanfaatan Probiotik
Dalam Pengembangan Sapi Potong Berwawasan Agribisnis di Bali. Jurnal
pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Volume 2. No. 1. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Bogor.
Suyasa, I Nyoman.; Widiyazid, S.; Suprio Guntoro. 2004. Produktivitas Usatani Berbasis
Lahan Sawah Di Subak Rejasa Tabanan Bali. Prosiding Seminar Integrasi Tanaman
– Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bekerjasam Dengan Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Bali.
Steel, R.G.D, dan J.H Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Diterjemahkan Bambang
Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 527
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Berbagai aktivitas yang bersifat multi aktor dan multi sektor terdapat di wilayah pesisir. Lahan pasir
yang termasuk wilayah pesisir merupakan lahan yang miskin unsur hara, marjinal dan belum banyak
dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya pertanian atau peternakan. Perkembangan di lahan pesisir pantai Provinsi
D. I. Yogyakarta mulai banyak dimanfaatkan untuk kegiatan peternakan, khususnya pembibitan sapi potong.
Tujuan penelitian adalah mengetahui dinamika usaha kelompok tani ternak sapi potong dengan pendekatan
agribisnis di lahan pesisir. Penelitian dilakukan pada bulan Mei – Juni 2005 di kawasan lahan pesisir pantai
selatan Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul. Metode penelitian menggunakan analisis deskriptif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kepemilikan ternak 3,23 ekor/orang, tenaga kerja yang terlibat
meningkat 3,31%, tingkat keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) meningkat 25, 77%, pertumbuhan asset kelompok
selama periode 2002-2004 meningkat sebesar 9,02%.
Kata Kunci : agribisnis, sapi potong, bibit, lahan pesisir
PENDAHULUAN
Peranan ternak sapi sebagai pemasok daging cukup besar. Selama kurun waktu 4
dasawarsa, populasi sapi Indonesia meningkat cukup signifikan, yaitu dari rata-rata 6,69 juta
ekor pada kurun 1961-1970 menjadi lebih dari 11 juta ekor pada tahun 1991-2003. Meskipun
demikian, peningkatan populasi sapi ini tidak dapat mencukupi permintaan daging sapi,
terlihat dari semakin meningkatnya jumlah impor sapi khususnya pasca tahun 1991
(Hermawan, 2005). Pada tahun 1999 hingga 2001 pasokan daging sapi asal impor di
Indonesia telah mencapai 15-22% dari kebutuhan daging sapi (Ditjend Bina Produksi
Peternakan, 2002). Secara nasional pada tahun 2002 kontribusi daging sapi dalam memasok
daging menempati urutan kedua (23%) setelah unggas (56%) (FAPRI, 2004). Kondisi sapi
potong lokal saat ini sangat beragam dan sebagian besar (99%) dikelola dan dikembangkan
dengan pola peternakan rakyat (cow-calf operation) dalam skala usaha kecil dan terintegrasi
dengan kegiatan lain, sehingga fungsi sapi potong sangat kompleks dalam menunjang
kehidupan peternak (Gunawan, 2003). Selanjutnya dikatakan oleh Gunawan (2003) menurut
perhitungan ekonomis, saat ini usaha dengan pola peternakan rakyat memberikan net present
value (NPV) negatif atau sangat kecil. Oleh karena itu, dalam agribisnis peternakan
khususnya dalam penyediaan bibit sapi potong peran peternakan rakyat sangat dominan.
Sistem agribisnis berbasis peternakan mencakup empat subsistem, yaitu: (1)
subsistem agribisnis hulu peternakan; (2) subsistem usaha/produksi peternakan; (3)
subsistem agribisnis hilir peternakan; dan (4) subsistem jasa (Saragih, 2000). Agribisnis
peternakan juga terkait beberapa lembaga, antara lain lembaga produsen, lembaga
konsumen, lembaga profesi, lembaga pemerintahan dan lembaga ekonomi (Handayani dan
Priyanti, 1995). Lembaga - lembaga terkait akan berperan aktif dalam pembinaan, sehingga
dapat mencapai satu sasaran yang sama yaitu sistem usaha agribisnis peternakan yang
berkelanjutan.
Program pengembangan kelompok peternakan berpeluang dalam pengembangan
kekuatan organisasi kelompok melalui kegiatan agribisnis dan jalinan kemitraan yang saling
menguntungkan dengan pihak yang terkait. Usaha berkelompok tersebut mempunyai
dinamika yang bervariasi dari waktu ke waktu. Makalah ini memberikan gambaran dinamika
usaha penyediaan bibit sapi potong dalam sistem agribisnis dari aspek kelembagaan
kelompok tani ternak yang melakukan usaha dalam kawasan peternakan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 528
Seminar Nasional 2005
METODOLOGI
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 529
Seminar Nasional 2005
seluas 3.300 ha yang tersedia di sepanjang pantai selatan Provinsi D.I. Yogyakarta yang
berstatus Sultan Ground (SG) dan Paku Alam Ground (PG) dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas kawasan lahan pasir di
wilayah penelitian yang digunakan untuk kegiatan peternakan kelompok seluas 1 Ha dengan
status Sultan Ground (SG) menggunakan sistem sewa pakai.
Jumlah sapi potong di Kelompok Ternak Pandan Mulyo pada tahun 2004 tercatat
ada 240 ekor induk dewasa dan 16 ekor pejantan dengan jumlah kelahiran pedet 122 ekor.
Status kepemilikan ternak 80% milik sendiri, dan sisanya 20% berstatus menggaduh. Pola
petani dalam pengelolaan ternak sapi potong masih bersifat tradisional yaitu memelihara
ternak hanya sebagai kegiatan sambilan selain pekerjaan pokok di sektor pertanian dan
penambangan pasir. Produksi pupuk organik belum dimanfaatkan oleh anggota dan masih
dipasarkan dalam bentuk olahan. Berdasarkan potensi dan ketersediaan sapi potong di
kawasan lahan pasir pantai Srandakan diperkirakan mampu memproduksi 1.206 ton kotoran
ternak selama setahun, dengan asumsi satu ekor ternak sapi menghasilkan kotoran ternak 9
ton/tahun. Oleh karena itu prospek pengembangan peternakan sapi potong ke arah agribisnis
di tingkat petani sangat berpeluang.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 530
Seminar Nasional 2005
Tabel 2. Perubahan Jumlah Ternak, Kelahiran dan Kematian Pedet Sapi Potong di Kelompok Ternak Pandan
Mulyo, Bantul, 2002-2004.
Jumlah (Ekor)
Uraian Laju Pertumbuhan (%)
2002 2003 2004
1. Jumlah induk 281 217 240 -14,59
2. Jumlah pejantan 17 18 16 -5,88
3. Jumlah dewasa betina 27 20 36 33,33
4. Jumlah dewasa jantan 40 32 31 22,50
5. Jumlah anak betina 43 49 46 6,98
6. Jumlah anak jantan 55 45 75 36,36
7. Jumlah populasi 463 381 444 -4,10
8. Jumlah kelahiran 97 94 122 25,77
Jumlah kematian pedet 0 0 0 -
Jumlah (Orang)
Kategori Laju Pertumbuhan (%)
2002 2003 2004
1. Dewasa pria 133 133 133 0
2. Dewasa wanita 129 131 133 3,10
3. Anak-anak 40 51 46 15,00
Jumlah 302 315 312 3,31
Aspek Permodalan
Aspek kelembagaan kelompok tani sangat bermanfaat dalam meningkatkan akses
anggota ke arah sumber-sumber permodalan. Pihak yang terlibat dalam penguatan modal ke
kelompok Pandan Mulyo antara lain ISM Bogasari, BPLM (Bantuan Permodalan Lunak
Masyarakat) dan PPAP (Pemberdayaan Petani dan Agribisnis di Pedesaan). Modal sendiri
berupa ternak milik anggota dan tambahan modal diperoleh dari iuran hasil penjualan ternak
sebesar Rp 5.000,-/anggota serta penjualan kotoran ternak/pupuk kandang senilai Rp 80.000/
truk setara volume 4 ton. Modal kelompok pada tahun 2004 mencapai Rp 2,084 milyar
sedangkan pinjaman dari bank dan pihak lain masing-masing sebesar Rp 250 juta dan Rp
300 juta (Tabel 4), dengan tingkat pertumbuhan modal selama periode 2002-2004 mencapai
23,97%. Melihat banyaknya masukan berupa modal tambahan merupakan kesempatan yang
baik untuk lebih meningkatkan dinamika kinerja anggota dan pengurus kelompok.
Tabel 4. Perkembangan Modal Usaha Kelompok Ternak Pandan Mulyo, Bantul, 2002-2004.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 531
Seminar Nasional 2005
Pendapatan Kelompok
Pendapatan pokok kelompok berasal dari hasil penjualan ternak dan pupuk kandang
(Tabel 5). Pendapatan kelompok pada tahun 2004 sebesar Rp 565,320 juta dengan kontribusi
90% dari penjualan ternak dan 10% dari penjualan pupuk kandang. Pertumbuhan pendapatan
kelompok selama periode 2002- 2004 mencapai 41,11%.
Tabel 5. PendapatanKelompok Pandan Mulyo dari Penjualan Ternak danPpupuk Kandang, Bantul, 2002-200.4
Uraian Total
Tahun Pupuk kandang pendapatan
Ternak (ekor) Nilai (Rp 000) Nilai (Rp 000) (Rp 000)
(truk)
2002 96 391.000 120 9.600 400.600
2003 161 767.500 124 9.920 777.420
2004 146 554.500 136 10.820 565.320
Jumlah 403 1.713000 380 30.340 1.743.340
Penjualan bibit ternak setiap bulan pada tahun 2005 berkisar 12-28 ekor selama
periode dua bulan terakhir (Mei-Juni). Rata-rata penjualan bibit sapi potong mencapai 15
ekor/bulan dengan harga berkisar Rp 2,5-3,5 juta/ekor. Terobosan untuk membuka akses
pasar belum banyak dilakukan. Sistem penjualan ternak dan pupuk lebih banyak dilakukan di
kandang dengan alasan kemudahan dan efisiensi jarak dan waktu.
Kelembagaan Agribisnis
Kelembagaan agribisnis dibedakan menjadi kelembagaan agribisnis hulu, usaha/
produksi dan hilir, kelembagaan agribisnis hulu antara lain menyangkut aspek sapronak
(sarana produksi ternak) yaitu bibit, pakan dan obat-obatan. Kelembagaan agribisnis usaha
mencakup proses budidaya (lahan, skala usaha, pemilihan bibit, perkandangan, dan IB).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 532
Seminar Nasional 2005
Kelembagaan agribisnis hilir mencakup panen dan pasca panen, pemasaran, akses informasi
pasar dan pembentukan jaringan kelembagaan.
Kelembagaan agribisnis kelompok ternak Pandan Mulyo disajikan secara lengkap
dalam Tabel 7 berikut ini :
Tabel 7. Kelembagaan Agribisnis Kelompok Ternak Sapi Potong Pandan Mulyo Bantul
Kegiatan Uraian
1. Agribisnis hulu a. Bibit
- Sumber bibit berasal dari anggota dan membeli dari luar kelompok (dikoordinir pengurus).
- Kelompok sudah melakukan pembibitan bekerjasama dengan petugas IB dan instansi terkait.
- Hasil IB yang baik dipergunakan sebagai peremajaan induk.
b. Pakan
- Sumber pakan berasal dari hijauan lokal.
- Jenis pakan yang diberikan berupa rumput gajah, rumput lapang, jerami, jagung, tanaman kacang tanah
(basah/kering), jerami padi.
- Sistem pengeringan pakan antara lain : pengeringan jerami yang ditambah garam saat penumpukan, amoniasi
jerami dan hay (hijauan yang dikeringkan).
- Konsentrat disediakan oleh koperasi kelompok yang didistribusikan melalui seksi pakan.
c. Obat/vaksin
- Sumber penyedia obat/vaksin dari Poskeswan.
- Pengobatan/vaksinasi dari swadaya anggota kelompok bersama Poskeswan melalui Posyanduwan per 35 hari.
2. Agribisnis usaha a. Lahan
- Lahan di kawasan pasir pantai dengan status lahan milik Sultan (Sultan Ground).
- Luas areal lahan untuk kandang kelompok 1 Ha dengan jumlah kandang 134 unit.
b. Skala Usaha
- Skala usaha kelompok dengan jumlah ternak 300-500 ekor.
c. Pembibitan
- Sistem seleksi, dipilih calon induk/induk yang baik untuk kelompok.
- Sistem Culling (pengafkiran induk jelek).
- Peremajaan, umur induk sudah tua atau beranak 5-6 kali.
- Recording, dilaksanakan dengan cara mengetahui dan mencatat asal usul ternak
- Faktor-faktor dalam pemilihan bibit : asal usul ternak/silsilah, bentuk eksterior (bentuk luar), umur ternak,
harga ternak dan lain-lain.
d. Pembuatan kandang, dengan kriteria :
- Lokasi aman (dari pencurian, banjir, kebisingan dll).
- Pemilihan bahan kandang yang murah, kuat dan tersedia di lokasi, arah kandang menghadap ke timur.
- Tidak membahayakan ternak dan peternaknya.
- Lantai kandang dibuat perkerasan dengan kemiringan sesuai rekomendasi.
e. Pakan
- Frekuensi pemberian pakan (HMT) dua kali sehari, ditambah makanan penguat sekali dan air minum selalu
tersedia. Pakan diberikan 10% bobot badan ternak dan konsentrat 1% berat badan ternak.
f. Penyakit
- Penanggulangan penyakit menular dilaksanakan secara preventif dan kuratif
- Langkah preventif dilakukan dengan pemberian vaksin.
- Langkah kuratif melalui kelompok bekerjasama dengan poskeswan setempat.
- Pencegahan dan pengendalian penyakit non menular dtangani sendiri dengan menghubungi dokter hewan.
- Tingkat kematian ternak selama 5 tahun terakhir 0,1%.
d. Inseminasi Buatan (IB)
- Pelaksanaan IB merupakan swadaya anggota dengan tenaga inseminator swasta (mandiri).
3. Agribisnis hilir a. Panen dan Pasca Panen
- Panen meliputi penjualan ternak dan pupuk kandang, pasca panen belum dilaksanakan.
- Pengolahan limbah ternak oleh kelompok, limbah ternak diolah menjadi fine compost, hasil penjualan
merupakan tambahan pendapatan kelompok.
b. Pemasaran
- Pemasaran dilakukan langsung oleh anggota dengan dipandu pengurus.
- Setiap ternak yang terjual, pemilik diwajibkan mengisi kas kelompok Rp 5.000,-.
- Jumlah ternak yang terjual selama 3 tahun terakhir 403 ekor dengan nilai Rp 1,713 milyar.
- Jumlah pupuk yang terjual selama 3 tahun terakhir 380 truk dengan nilai Rp 30,34 juta.
- Penjualan ternak dilaksanakan di wilayah DIY sedangkan pupuk kandang ke luar DIY (Temanggung,
Wonosobo).
c. Jaringan kelembagaan
- Jaringan kerjasama kelompok antara lain dengan BPPH Ciawi Bogor, BPPV Yogyakarta, BATAN
Yogyakarta, BPTP Yogyakarta, PT ISM Bogasari Jakarta, Grass Feed Sleman
- Hubungan kerjasama dilakukan secara tertulis atau tidak tertulis.
- Bentuk kemitraan kelompok antara lain: pemeriksaan kesehatan ternak, pemberian UMMB (Urea Mollases
Multinutrien Block), bantuan penguatan modal bagi kelompok berupa kredit lunak, penyediaan pakan ternak
berupa konsentrat, pengolahan limbah ternak, penelitian pakan, reproduksi dan lain-lain.
- Kelompok aktif mengikuti pelatihan dan menerima magang dari luar.
- Hasil pelatihan yang telah diterapkan antara lain : pembuatan fine compost, waktu, jumlah dan cara pemberian
konsentrat, pembuatan amoniasi jerami, cara penyimpanan jerami kering secara sederhana dan pelaksanaan IB
yang tepat.
- Pengembangan kegiatan tahun 2005 berupa budidaya tanaman lada (100 batang) dan penyediaan konsentrat
itik dan mesin tetas telur (itik) kapasitas 6.000 butir.
Aspek Kelembagaan
Aspek kelembagaan petani terwadahi dalam bentuk koperasi tani “Tani Manunggal”
yang beranggotakan petani yang mengelola kandang ternak dalam kawasan lahan pasir yang
mencakup satu dusun yaitu Dusun Ngentak. Jumlah anggota sampai tahun 2004 sebanyak
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 533
Seminar Nasional 2005
134 orang. Badan hukum Koperasi “Tani Manunggal” terbentuk dengan SK Nomor :
080/BH/KDK/12.1/ IX/ 1999 tertanggal 9 September 1999.
Model pengembangan kelembagaan yang dilakukan petani di lokasi pengkajian
pembibitan sapi potong di lahan pasir adalah kemitraan antara kelompok dengan institusi
terkait. Kemitraan yang dijalin terbagi 2 yaitu permodalan dan kegiatan penelitian/
pengkajian. Kemitraan di bidang permodalan mencakup lembaga swasta yaitu PT ISM
Bogasari, sedangkan lembaga lain misalnya BUMN belum terlibat. Kemitraan di bidang
penelitian/pengkajian diantaranya dengan BPPH Ciawi Bogor, BPPV Yogyakarta, BATAN
Yogyakarta, BPTP Yogyakarta dan Grass Feed Sleman untuk budidaya hijauan pakan.
Melalui model pengembangan kelembagaan kemitraan agribisnis berpeluang besar untuk
peningkatan dan diversifikasi usaha kelompok.
KESIMPULAN
Pengembangan usaha pembibitan sapi potong di kawasan lahan pasir pantai selatan
Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta mengalami
perkembangan yang positif dengan rata-rata kepemilikan ternak 3,23 ekor/orang, tenaga
kerja yang terlibat meningkat 3,31%, tingkat keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) meningkat
25, 77%, pertumbuhan asset kelompok selama periode 2002-2004 meningkat sebesar 9,02%.
Kemitraan di bidang agribisnis sapi potong juga telah terjalin baik meliputi aspek
permodalan dan pengembangan kelembagaan.
DAFTAR PUSTAKA
[BIPP]. Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanian Kabupaten Bantul. 2005. Rencana Kerja
Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan BPP Kecamatan Srandakan Tahun 2005.
Proyek Desentralisasi Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan (DAFEP). BIPP Bantul.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2002. Pemantapan Program Mendesak
Kecukupan Daging 2005. Bahan Rapat Kerja, Ditjend Bina Produksi Peternakan.
Denpasar, Bali.
FAPRI. 2004. World Livestock Outlook Text. Department of Economic. Food and
Agricultural Policy Research Institute. Iowa State University.
Gunawan. 2003. Model dan Strategi Kerjasama Penelitian Agribisnis Sapi Potong dalam Era
Globalisasi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Puslitbang Peternakan.
Handayani, S.W. dan A. Priyanti. 1995. Strategi Kemitraan Dalam Menunjang Agroindustri
Peternakan : Tinjauan Kelembagaan. Prosiding Simposium Nasional Kemitraan
Usaha Ternak. ISPI Bekerjasama dengan Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Hermawan, A. 2005. Respon Ketersediaan (Supply Respond) Ternak Sapi di Indonesia.
Unpublish.
Nazir. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia.
Saragih, B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan : Kumpulan Pemikiran. USESE
Foundation dan Pusat Studi Pembangunan IPB. Bogor.
Singarimbun, M dan S. Effendie. 1989. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta.
Soegiarto. 1976. Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir. Lembaga Oseanologi
Nasional. Jakarta.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 534
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Soetanto (2001) menyatakan bahwa lahan kering di propinsi Nusa Tenggara Barat mencapai luas
1.814.340 ha yaitu 90% dari total luas lahan pertanian. Namun, dalam pengelolannya lahan kering memiliki suatu
kendala-kendala yang menurut para akhli dicirikan oleh kekeringan sementara pada waktu musim kemarau
sedangkan pada waktu musim hujan justru terjadi tingkat erosi yang tinggi karena kondisi permukaan yang
terbuka dan kemiringan lahan yang curam. Untuk memperkecil pengaruh negatif dari kendala tersebut dan
sekaligus meningkatkan produktivitasnya menurut para akhli diperlukan upaya pengelolaan khusus melalui
pendekatan serbacakup yaitu pengelolaan lahan yang menitikberatkan pada keanekaragaman produksi baik
produksi tanaman pangan, perkebunan, pakan, kayu bakar, kayu pertukangan, kotoran ternak. Pengelolaan lahan
demikian merupakan salah satu konsep penerapan pertanian terpadu, berkelanjutan dan ramah lingkungan yang
disebut dengan konsep Low External Input Sustainable Agriculture. Usaha-usaha yang dapat dilaksanakan dalam
upaya meningkatkan produktivitas lahan kering meliputi usaha-usaha peningkatan budidaya tanaman maupun
ternak serta usaha-usaha peningkatan penanganan pasca panen apabila peningkatan produksi telah dapat dicapai.
Usaha-usaha di bidang budidaya antara lain 1) peningkatan penanaman tumpangsari pada lahan perkebunan
seperti kebun kelapa, rambutan, manggis dlsb dengan tanaman pangan atau pakan sebelum kanopi tanaman
perkebunan saling menutup satu sama lainnya; 2) penanaman legum pohon yang tahan kekeringan sebagai
tanaman perintis pada lahan marginal atau lahan tidur melalui sistem pembentukan bank pakan atau dengan
penanaman lorong (alley cropping); 3) meningkatkan tata laksana pemeliharaan ternak ruminansi, khususnya tata
laksana penyediaan dan pemberian pakan dengan tidak mengesampingkan tata laksana yang lain seperti
pemuliabiakan dan pencegahan penyakit. Usaha-usaha peningkatan penanganan pasca panen bertujuan untuk
memberikan nilai tambah kepada sistem produksi yang telah ada seperti penanganan produksi utama dan limbah
atau hasil ikutan. Agar usaha-usaha tersebut diatas dapat diterima atau diadopsi oleh para petani maka perlu
diupayakan pendekatan yang menitikberatkan pada partisipasi petani secara aktif (farmers active participation)
mulai dari identifikasi masalah, perencanaan, implementasi dan analisa (Horne dan Ibrahim, 1996).
Kata kunci: lahan kering, pertanian terpadu, ketahanan pangan, pendekatan partisipatif aktif petani
PENDAHULUAN
Menurut para akhli lahan kering termasuk lahan marginal selain lahan gambut dan
lahan masam lainnya. Lahan kering dicirikan oleh kekeringan sementara pada waktu musim
kemarau sedangkan pada waktu musim hujan justru terjadi tingkat erosi yang tinggi. Hal ini
disebabkan oleh kondisi permukaan yang terbuka serta kemiringan lahan yang curam
(Soetanto, 2001). Lebih lanjut dilaporkan oleh Soetanto bahwa lahan kering di Provinsi Nusa
Tenggara Barat meliputi luas 1.814.340 ha yaitu 90% dari luas lahan pertanian.
Dengan semakin menyempitnya lahan pertanian subur akibat digunakan sebagai
pemukiman, perkantoran, fasilitas umum lainnya maka perlu diupayakan pemanfaatan lahan
kering secara lebih intensif untuk budi daya tanaman pangan, perkebunan dan tanaman
pakan serta peternakan. Perlunya peningkatan produktivitas lahan kering dipicu pula oleh
adanya kondisi gizi buruk di masyarakat, merebaknya penyakit-penyakit seperti busung
lapar, polio, deman berdarah dll yang disebabkan oleh kondisi tubuh yang melemah akibat
kekurangan gizi.
Yudo Husodo (2005) menyatakan bahwa pengembangan subsektor peternakan
memiliki arti penting dipandang dari sudut peningkatan SDM (sumber daya manusia) karena
kualitas SDM sangat ditentukan oleh konsumsi protein hewani yang pada gilirannya
menentukan kualitas pertumbuhan fisik dan kecerdasan bangsa disamping pendidikan dan
layanan kesehatan yang baik. Lebih lanjut dinyatakan bahwa SDM lebih dominan
mempengaruhi kemajuan suatu bangsa dibandingkan kekayaan sumber daya alamnya.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 535
Seminar Nasional 2005
Melalui pengembangan subsektor peternakan yang terkait dengan lahan kering maka
sangat dimungkinkan untuk dapat mengembalikan daerah NTB sebagai gudang ternak
Nasional seperti di tahun tujuh puluhan sehingga swasembada daging serta ketahanan
pangan di daerah ini dapat diwujudkan. Keuntungan lain yang dapat diharapkan adalah
terciptanya lapangan pekerjaan bagi remaja-remaja kita sehingga animo untuk mengais
rejeki di luar negeri (menjadi TKI) yang terkadang tidak selalu menyenangkan menjadi
berkurang.
Pola pengembangan peternakan semacam itu telah diuraikan oleh Ichsan (2001)
sebagai pola pertanian terpadu berbasis ternak dan tanaman keras pada lahan kering. Untuk
dapat melaksanakan pola pertanian demikian diperlukan adanya pendekatan serbacakup
(holistic approach) yaitu suatu pendekatan yang menitikberatkan pada keanekaragaman
produksi seperti produksi pangan, pakan, buah-buahan, ternak, kayu bakar atau kayu
bangunan dan pupuk kandang. Pengelolaan lahan demikian merupakan salah satu konsep
penerapan pertanian terpadu, berkelanjutan dan ramah lingkungan yang menurut para akhli
disebut dengan konsep Low External Input Sustainable Agriculture.
Hampir tidak ada tanaman dapat bertumbuh tanpa adanya nitrogen (N) dan
kebanyakan tanah di daerah tropis telah diketahui memiliki cadangan N rendah. Namun,
tidak demikian halnya dengan tanaman penambat N, mereka semata-mata tidak tergantung
dengan cadangan N dalam tanah tetapi mereka mampu menambatnya melalui simbiosis
dengan mikroba tanah. Oleh karena itu beberapa spesies tanaman penambat N menjadi
penting bagi kelangsungan hidup keluarga pedesaan di daerah tropis sebagai penyedia
berbagai produk dan jasa. Roshetko (2001) melaporkan berbagai fungsi tanaman penambat
N antara lain sebagai sumber kayu api dan arang, pakan, penyubur tanah, kayu bangunan dan
sebagai pangan untuk manusia.
Dengan demikian tanaman panambat N sangat ideal digunakan sebagai tanaman
integrasi dalam sistem pertanian terpadu. Hal ini disebabkan oleh beberapa sifat-sifat yang
menguntungkan seperti 1) memiliki tajuk kecil dan tipis sehingga rawang sinar matahari, 2)
mampu bertunas kembali dengan cepat setelah pemangkasan, 3) memiliki sistem perakaran
yang dalam dengan sedikit percabangan akar lateral dekat permukaan tanah agar tidak
bersaing dengan akar tanaman pertanian, 4) guguran daun dapat terdekomposisi dalam
jumlah tertentu yang dapat menghasilkan unsur hara pada saat unsur hara tersebut diperlukan
dalam daur tanaman pertanian, 5) mampu mengikat N dari udara dan juga dapat
menghasilkan kayu, pakan ternak, obat-obtan dan hasil-hasil lainnya, 6) dapat tumbuh
dengan baik pada lahan dengan keterbatasan-keterbatasan tertentu seperti keasaman tanah,
kekeringan, penggenangan air, angin keras, hama serangga dll. (Lahjie, 2001).
Keberhasilan tumpang sari pada perkebunan kelapa telah dilaporkan oleh beberapa
peneliti seperti Opio (1986) di Samoa Barat dan Liyanage (1984) di Sri Lanka disitasi oleh
Roshetko (2001) yaitu berupa peningkatan buah kelapa sehingga pendapatan menjadi dua
kali lipat dari hasil kelapa. Tanaman tumpang sari yang diusahakan adalah cengkeh, lada
hitam, coklat, kopi dan tanaman semusim lainnya.
Dengan semakin diperlukan peningkatan produksi dan pengelolaan lahan secara
berkelanjutan, maka integrasi tanaman pakan penambat N ke dalam perkebunan kelapa
menjadi makin popular karena tanaman pakan dapat menambah N ke dalam tanah
perkebunan kelapa yang pada umumnya miskin N, terutama pada daerah-daerah pantai
dimana tanahnya didominasi oleh bahan karang yang miskin unsur hara. Pada saat yang
sama tanaman pakan dapat menyediakan hasil-hasil berupa kayu api dan pakan bergizi tinggi
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 536
Seminar Nasional 2005
sebagai pakan tambahan pakan basal sehingga dapat menurunkan tekanan penggembalaan.
Tanaman penambat N yang dipercaya baik pada saat ini digunakan sebagai tanaman
tumpang sari kelapa adalah lamtoro gung (Leucaena leucocephala) dan gamal (Gliricidia
sepium).
Tiga sistem integrasi tanaman pakan ke dalam perkebunan kelapa akan diuraikan
yang dipersiapkan dari buku Agroforestry Species and Technologies oleh Roshetko (2001).
1. Kelapa, coklat dan gamal. Pada sistem ini, gamal menyediakan naungan kepada
tanaman coklat, terutama pada perkebunan kelapa yang baru dibentuk dimana kelapa
yang masih muda usianya tidak menyediakan naungan secara mencukupi untuk tanaman
coklat. Gamal ditanam dari potongan batang dengan jarak tanam 3 x 3 atau 6 x 6 m.
Bilamana gamal dipandang telah cukup menyediakan naungan, maka coklat dapat
ditanam di bawahnya dengan jarak tanam 2 x 2 m. Gamal sebaiknya dipangkas secara
teratur sampai setinggi 2-3 m untuk menyeragamkan tajuk, penghasil pupuk hijau dan
kayu api.
2. Kelapa, gamal dan sapi. Pada sistem ini gamal ditanam dibawah pohon kelapa yang
telah dewasa baik di daerah basah maupun kering. Potongan batang sepanjang 1,5 m
dengan diameter 2,5 cm ditanam dengan jarak tanam 2,0 x 0,9 m dalam dua barisan
tanaman disela-sela tanaman kelapa. Pemangkasan gamal dilaksanakan setelah tanaman
berumur satu tahun setinggi 1 m dan setelah itu setiap enam bulan. Hasil pangkasan
dapat digunakan sebagai pupuk hijau atau sebagai pakan sapi. Bila digunakan sebagai
pupuk hijau maka dilaporkan dapat meningkatkan berat buah kelapa secara significan.
Denikian pula bila digunakan sebagai pakan tambahan untuk sapi (50%/50%) gamal dan
rumput cori (Brachiaria miliformis) dapat menghasilkan tambahan berat badan sapi 700
gr/ekor/hari.
3. Kelapa, lamtoro dan pastura. Pada sistem ini sering kali lamtoro ditanam ke dalam
pastura dibawah pohon kelapa untuk menambah gizi padangan bila dilakungan
penggembalaan. Lamtoro ditanam dalam dua barisan secara rapat (jarak tanam 0,5 x 0,5
m). Untuk memperoleh hasil yang memuaskan disarankan agar penggembalaan
dilakukan secara berrotasi sehingga dapat memberikan kesempatan bagi pertumbuhan
kembali lamtoro secara baik.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 537
Seminar Nasional 2005
(Ichsan, 2001) yang perlu diintegrasikan dengan tanaman pakan dan ternak untuk
meningkatkan pendapatan petani.
Bank pakan biasanya terdiri dari tanaman pohon atau semak dari jenis leguminosa
yang dikelola secara intensif. Menurut para akhli, bank pakan bertujuan untuk menjembatani
kekurangan pakan pada saat musim kemarau yang terjadi setiap tahun. Pada umumnya
ditanam melalui biji pada lahan yang telah dipersiapkan dengan baik. Meskipun demikian
bank pakan dapat juga dibuat melalui penanaman tanaman muda atau stek tetapi karena
diperlukan dalam jumlah banyak maka cara ini tidak praktis. Bilamana menggunakan stek
jarak tanam yang disarankan adalah 50 x 50 cm atau 1 x 1 m. Stek gamal (Gliricidia sepium
) dapdap (Erythrina spp.) biasanya digunakan dalam bank pakan. Bank pakan biasanya
dibuat dalam dua barisan tanaman dengan jarak barisan 50 cm dan jarak antara dua barisan
satu dengan dua barisan yang lainnya adalah 1-1,5 m. Rumput-rumputan biasanya dibiarkan
tumbuh diantara dua barisan satu dengan yang lainnya.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 538
Seminar Nasional 2005
Setelah tersedia hijauan secara mencukupi baik melalui integrasi tanaman pakan
dengan tanaman perkebunan maupun melalui bank pakan maka penggunaannya ditujukan
sebagai pakan tambahan yang bernilai gizi tinggi terhadap pakan basal yang kualitasnya
relatif rendah dengan level pemberian berkisar dari 30 sampai 50% bahan kering.
Penggunaan daun-daunan legum pohon atau semak sebagai suplemen sangat penting baik
pada waktu musim hujan dimana ransum ternak terdiri dari rerumputan yang masih hijau
maupun pada waktu musim kemarua dimana ransum basal ternak terdiri dari rerumputan
yang sudah mongering/limbah pertanian.
Rumput muda yang masih hijau meskipun memiliki kadar N relatif tinggi namun
karena memiliki kelarutan N dalam rumen sangat tinggi maka proporsi bypass proteinnya
rendah. Untuk menurunkan kelarutan N rumput dalam rumen maka diperlukan proteksi,
dimana proteksi dapat dilakukan secara alami oleh tanin yang ada pada daun-daun legum
pohon atau semak tadi. Para akhli melaporkan bahwa legum pohon atau semak memiliki
kadar tanin lebih tinggi dibandingkan legum yang tumbuh rendah. Diperlukan paling sedikit
kadar tanin 4% dari bahan kering legum pohon atau semak agar terbentuk bypass protein
yang optimal pada usus halus ternak ruminansia. Legum tumbuh rendah pada umumnya
mengandung tanin kurang dari 3% dari bahan keringnya. Bypass protein sangat dibutuhkan
bagi ternak yang bertumbuh cepat dan saat laktasi.
Penanganan pasca panen sangat dibutuhkan terutama saat produksi melimpah untuk
menjamin adanya nilai tambah bagi petani. Sebagai contoh pada saat pucak produksi
rambutan, mangga, pisang, nangka dll. harga sangat rendah sehingga petani merugi. Oleh
karena itu penanganan pasca panen tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan kegiatan
produksi lainnya dalam meningkatkan pendapatan petani
KESIMPULAN
Pemberdayaan lahan marginal memerlukan tindakan yang nyata dan segera sebagai
wujud nyata ekstensifikasi pertanian berkenaan dengan semakin menyusutnya luas lahan
pertanian subur akibat dijadikan pemukiman, perkantoran dan fasilitas umum lainnya.
Pemberdayaan dapat diupayakan melalui integrasi tanaman pakan dan ternak dengan
perkebunan lahan kering maupun pembentukan bank pakan pada lahan tidur atau lahan tidur
sementara melalui pendekatan partisipasi aktif petani. Dengan demikian diharapkan
kerawanan pangan/gizi buruk, terutama yang berasal dari protein hewani di daerah NTB
dapat dikurangi.
DAFTAR PUSTAKA
Horne, P. M. and Ibrahim, T. M. 1996. Forage Production for Low and High Input Systems
in SouthEast Asia. In “Small Ruminant Production: Recommendation for
SouthEast Asia “. Proc. of a workshop held in Parapat, North Sumatera, Indonesia,
May 12-15, 1996. Ed.: R. C. Merkel and Tjeppy D. p.: 3-15.
Ichsan, M. 2001. rencana Bisnis Pengembangan perkebunan Jambu Mete di KAPET Bima.
Makalah Seminar Pengembangan Pendidikan Agribisnis pada Era Otonomi
Daerah. LPIU-pasca IAEUP-Universitas Mataram, tanggal 12 Mei 2001.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 539
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 540
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui dampak penelitian dan pengkajian integrasi tanaman dengan
ternak yang diterapkan di kawasan Hutan Kemasyarakatan Desa Bleberan, Kecamatan Playen, kabupaten
Gunungkidul. Survai dilaksanakan bulan Desember 2004 secara purposif pada 30 petani kooperator dan non
kooperator serta membandingkan keadaan petani sebelum dan sesudah pengkajian. Data dianalisis secara
deskriptif. Introduksi teknologi crops livestock systems sudah berlangsung selama dua tahun pada kelompok tani
hutan kemasyarakatan. Hasil survai menunjukkan banyak perubahan yang terjadi pada petani kooperator baik
secara kelembagaan, teknis usahatani, pengelolaan ternak, perubahan fisik lahan maupun sarana transportasi.
Terjalinnya jaringan bisnis hasil pertanian seperti jagung, dan gaplek dengan Bulog dan pedagang luar desa serta
malai rumput hermada dengan swasta (CV. Raditya Multi Jaya). Perubahan perilaku petani nampak pada
beberapa kegiatan kelompok antara lain; pertemuan rutin anggota kelompok tani maupun koperasi dengan
dinamikanya seperti simpan pinjam modal keperluan usahatani (kridit pupuk dan benih serta penjualan pakan
ternak), aset modal koperasi kelompok tani hingga tahun 2004 sebesar Rp. 42.000.000,-. Dampak Litkaji di luar
kawasan binaan antara lain; terbentuknya kelompok tani di Menggoran I dengan beberapa kegiatan antara lain
penggunaan jagung benih unggul, pemanfaatan pakan ternak (complete feed), penanaman rumput hermada untuk
antisipasi pakan ternak di musim kemarau. Kelompok tani dampak mengusulkan izin penggarapan areal hutan
negara melalui dinas Kehutanan dan Perkebunan.
Kata kunci: dampak litkaji, crops livestock systems, lahan kering DIY
PENDAHULUAN
Penerapan sistem usahatani tanaman dan ternak (SUTT), khususnya petani di Jawa
tengah dan Jawa Timur sudah biasa dan lama dikerjakan. Keterkaitan antara tanaman dengan
ternak adalah ciri utama dari SUTT, dimana sebagian besar petani umsumnya menggunakan
limbah tanaman sebagai pakan ternak dan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk untuk
tanaman (Fagi, et al., 2004). Ketersediaan pakan ternak di daerah lahan kering saat musim
kemarau relatif sulit, hal ini dialami petani Gunungkidul hampir sepanjang tahun, sehingga
tidak jarang petani menjual ternaknya hanya untuk membeli jerami padi maupun jerami
jagung dari luar desa, luar kecamatan bahkan luar kabupaten. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian telah menetapkan Program Rintisan dan Akselerasi
Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani) sebagai salah satu program
utamanya untuk lima tahun kedepan (Simatupang, 2004).
Pendirian kelembagaan industri pengolah pakan lengkap di tingkat pedesaan ini
mengacu pada program Prima Tani yakni menganut azas pembentukan dan pengembangan
inovasi AIP (Agribisnis Industrial Pedesaan) yang meliputi 7 prinsip, yaitu; prinsip
kebutuhan, efektivitas, efisiensi, fleksibilitas, manfaat, pemerataan dan keberlanjutan
(Anonimous, 2005). Operasionalisasi dari kelembagaan industri pengolah pakan lengkap
dikelola oleh Koperasi Tani Manunggal dan tenaga yang digunakan adalah anggota
kelompok tani yang diupah sesuai standar setempat. Kelembagaan agroindustri pengolah
pakan ternak yang dikelola Koperasi Tani Manunggal diharapkan dapat mempasilitasi
kebutuhan pakan ternak sapi potong saat musim kemarau, khususnya bagi semua anggota
kelompok tani dan umumnya bagi para petani yang membutuhkan.
Sesuai dengan pendapat Nasution (2002) bahwa, kelembagaan yang mempunyai
peluang untuk mengembangkan agroindustri sebaiknya selain mengusahakan produk
agroindustri memenuhi keinginan konsumen dari aspek kualitas dan kuantitasnya,
pengusahaannya juga harus mampu membela kepentingan petani sebagai produsen dalam
peningkatan nilai tambah dari produk yang dihasilkan. Dengan demikian bentuk
kelembagaan tersebut harus direkayasa dari potensi yang terdapat dalam kelompok-
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 541
Seminar Nasional 2005
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan secara survai dan wawancara semi detail dengan metode
partisipatif, artinya petani secara aktif memberikan informasinya tentang manfaat introduksi
inovasi teknologi sistem integrasi tanaman-ternak. Survai dilaksanakan pada bulan
Desember 2004 secara purposif pada 30 petani kooperator dan non kooperator serta
membandingkan keadaan petani sebelum dan sesudah pengkajian. Data dianalisis secara
deskriptif. Introduksi inovasi teknologi crops livestock systems atau sistem integrasi
tanaman-ternak sudah berlangsung selama dua tahun (tahun 2002 sampai dengan 2004)
pada kelompok tani hutan kemasyarakatan, dusun Menggoran, desa Bleberan, kecamatan
Playen, kabupaten Gunungkidul.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 542
Seminar Nasional 2005
Pola tanam tumpangsari jagung - kacang tanah - ubikayu - jati yang telah berumur 1
tahun dengan memanfaatkan lahan 2/3 bagian untuk komoditas kacang tanah mencapai
tingkat produktivitas yang tinggi. Hasil yang diperoleh dari kacang tanah varietas Komodo,
Lokal yang ditanam di dalam UPK dan varietas Lokal yang ditanam di dalam UHP adalah
2,80 ; 1,76 dan 1,69 ton/ha. Komoditas jagung paling tinggi yaitu 5,3 ton / ha. Sehingga
sumbangan hasil jagung dalam tumpangsari dengan kacang tanah adalah 1/3 x 5,3 ton = 1,77
ton/ha. Komoditas ubikayu paling tinggi dicapai pada tumpangsari dengan kacang tanah
sebesar 11,10 ton/ha. Sehingga sumbangan hasil ubikayu dalam tumpangsari dengan kacang
tanah adalah 1/3 x 11,10 ton = 3,70 ton/ha. Berdasarkan perhitungan sederhana penghasilan
kotor masing-masing model tumpangsari ternyata tumpangsari jagung - kacang tanah -
ubikayu memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan dengan tumpangsari jagung - padi gogo
- ubikayu. Keuntungan masing-masing tumpangsari tersebut adalah Rp 3.817.100 dan Rp
1.432.900/ha, adapun R/C sebesar 1,99 dan 1,39. Sedangkan tumpangsari antara jagung -
kedelai - ubikayu dan jagung - kacang hijau - ubikayu hasilnya rugi dengan R/C masing-
masing 0,99 dan 0,78 (Musofie et al., 2004)
Potensi limbah hasil panen berupa jerami, kulit kacang tanah, tongkol jagung, kulit
kacang kedelai, kulit ubikayu dan biji rumput hermada dapat dimanfaatkan dan diproses
menjadi complete feed. Peningkatan bobot badan harian (PBBH) ternak sapi potong pada
bobot awal dibawah 125 kg setelah pemberian ransum complete feed sebesar 0.636 ± 0.003
kg/ekor/hari dan pola pemberian pakan yang biasa dilakukan petani pada bobot diatas 250 kg
sebesar 0.396 ± 0.028 kg/ekor/hari. Petani dalam mengusahakan ternak sapi potong sebagai
usaha sambilan. Curahan tenaga kerja yang digunakan dalam pengelolaan ternak dengan
pola pemberian ransum complete feed rata - rata 0,5 jam/hari, waktu tersebut hanya dipakai
dalam pemberian pakan, minum dan pembersihan kandang. Sedangkan pola pemberian
ransum non complete feed waktu yang dibutuhkan untuk mengelola ternak rata - rata 2
jam/hari, waktu tersebut digunakan dalam pencarian hijauan pakan, pemberian pakan,
minum dan pembersihan kandang. Penerimaan petani pada pola pemberian ransum complete
feed sebesar Rp 2,525,280 dengan tingkat keuntungan Rp 549,580 (R/C = 1,28) sedangkan
pola petani non kooperator sebesar Rp 4,233,460 tingkat keuntungan sebesar Rp 138,460
(R/C = 1,03). Ditinjau dari nilai efisiensi R/C rasiomenunjukkan bahwa usaha ternak sapi
potong dengan pola pemeliharaan dengan pemberian ransum complete feed sebanyak 3%
bobot badan paling efisien (Soeharsono et al., 2004)
Perubahan tingkat sosial lainnya adalah adanya peningkatan jumlah anggota
kelompok tani HKM, terhitung sejak didirikannya kelompok tani pada tahun 1986 jumlah
anggota hanya 44 orang kemudian tahun 2003 bertambah menjadi 95 orang dan tahun 2004
bertambah 159 orang, serta tahun 2005 sudah menjadi 216 orang. Dinamika kelompok dapat
di tunjukkan dari aktifnya pertemuan rutin anggota kelompok untuk membahas segala
kegiatan yang ada kaitannya dengan penghijauan, kegiatan usahatani dan usahaternak serta
kegiatan manajemen perkoperasian.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 543
Seminar Nasional 2005
Tabel 2. Dampak penerapan inovasi teknologi crops livestock systems di Menggoran, Kecamatan Playen,
Kabupaten Gunungkidul
b. Teknik budidaya - Masih tradisional (padi ditanam - Menggunakan jarak tanam, Tanaman
tanaman tanpa jarak tanam atau sistem pangan benih unggul
ngawu-awu), benih lokal
Pupuk kandang - Tanpa diolah lebih dahulu - Sudah diolah menggunakan probiotik
Fisik:
a. Luas lahan garapan - Lahan milik pribadi, dan garapan - Lahan milik pribadi, dan dapat
relatif sempit tambahan izin dari Bupati untuk
mengelola lahan hutan negara seluas
40 Ha
b. Assesibilitas - Jalan menuju lokasi kawasan - Jalan sudah diperkeras dengan batu
HKM masih tanah
b. Jaringan pasar - Sulit memasarkan hasil panen - Mudah memasarkan hasil panen dan
terjalin jaringan pemasaran dengan
Bulog maupun pedagang dari luar desa
Komunikasi dan Advokasi Komunikasi sangat sulit, tilpon dan Komunikasi lebih mudah dan wartel
Lembaga wartel belum ada sudah ada, banyak mendapat bimbingan
dari BPTP, Dinas Hutbun, Dinas
Peternakan Dinas perekonomian, BPP dan
Dinas terkait
Kelembagaan Petani
Koperasi tani "Tani Manunggal" yang beranggotakan petani yang mengelola
kawasan hutan negara meliputi dua dusun Menggoran I dan Menggoran II. Petani yang
tergabung dalam koperasi merupakan unit-unit kelompok tani - kelompok ternak. Sejumlah 6
sub-unit kelompok tani-ternak di dusun Menggoran II dan 3 unit kelompok tani-ternak di
dusun Menggoran I. Jumlah anggota tahun 2004 sebanyak 160 orang. Badan hukum
Koperasi terbentuk dengan SK yang dikeluarkan oleh Dinas Perekonomian Kabupaten
Gunungkidul pada tanggal 11 oktober 2004 dengan Nomor: 518.011/BH/IX/2004. Bentuk
koordinasi kelembagaan yang ada di dusun Menggoran II, desa Bleberan, kecamatan Playen,
kabupaten Gunungkidul sebagai berikut:
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 544
Seminar Nasional 2005
BPTP
YOGYAKARTA
KOPERASI
TANI
MANUNGGAL
INSTANSI (PETANI HKM) PENGUSAHA
TERKAIT SWASTA
Gambar 1. Model Kelembagaan dan Pola Kemitraan Sistem Integrasi Tanaman-Ternak, di Desa
Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 545
Seminar Nasional 2005
Produk pakan lengkap ini dikelola oleh koperasi untuk keperluan ternak para anggota yang
memerlukan yaitu dengan membeli ke koperasi Rp. 500,- per kilogram.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 546
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Penelitian tentang daya dukung limbah jerami jagung dan kacang tanah telah dilakukan pada bulan
Januari sampai Desember, 2004 di lahan kering Desa Patas, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng Bali.
Tanaman yang dikaji adalah jagung varietas Bisma dan kacang tanah varietas Kelinci. Kedua komoditas ini di
tanam pada bulan Desember selanjutnya di panen pada bulan Maret; dengan luasan masing-masing 50 dan 10 are.
Jagung ditanam dengan jarak 75 x 40 cm dengan dua tanaman per lubang. Tanaman jagung di panen pada umur
85-90 hari setelah tanam (HST). Penanaman kedua (gadu) dilakukan pada bulan April dan di panen Juli. Ubinan
biomass tanaman jagung diamati pada ukuran petak 3,0 meter x 2,0 meter, sedangkan untuk tanaman kacang
tanah dengan ukuran 2,5 meter x 2,5 meter. Penimbangan dilakukan pada saat segar dan setelah dalam bentuk
kering. Pengambilan ubinan dilakukan secara acak pada 10 petani. Biomass kering diperoleh setelah dilakukan
penjemuran selama 7 hari. Parameter yang diamati adalah produksi biomass dari kedua komoditas baik dalam
bentuk segar maupun kering, selanjutnya data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan, dengan
luas tanam 50 are pada MH menghasilkan 2.191,5 kg biomass kering yang cukup untuk memenuhi kebutuhan 5
ekor sapi selama 183 hari atau 4,87 bulan ; sedangkan ketersediaan 1.635 kg biomas kering pada MK hanya
cukup untuk 109 hari atau 3,63 bulan. Pada MH, dengan luas tanam kacang tanah 10 are tersedia 460,8 kg
biomass kering yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pakan 5 ekor induk sapi Bali selama 21 hari ; sedangkan
dengan luasan 5 are pada MK menghasilkan 173,6 kg biomas kering yang cukup untuk 8 hari. Karena
keterbatasan ketersediaan biomas tanaman kacang tanah (pakan bermutu), maka untuk memperbaiki kualitas
pakan yang diberikan, penanaman hijauan pakan ternak bermutu tahan kekeringan seperti penanaman lamtoro,
gamal dan tanaman lainnya yang sekaligus untuk konservasi perlu dilakukan
Kata kunci : limbah jagung dan kacang tanah, sapi Bali, lahan marginal
PENDAHULUAN
Lahan marginal merupakan lahan yang miskin unsur hara, ketersediaan air dan
curah hujan terbatas, solum tanahnya tipis dan tofografinya berbukit-bukit sehingga
produktifitasnya rendah. Dengan kondisi yang demikian ketersediaan pakan ternak sangat
terbatas. Dilaporkan pula bahwa petani pada lahan ini pada umumnya petani kecil dengan
tingkat perekonomian yang lemah dan tingkat pendidikan yang rendah sehingga sangat
berpengaruh terhadap cara berusahatani atau pun beternak (Suprapto, dkk. 1999).
Selama ini program pembangunan pertanian yang bersifat sentralistik dalam
operasionalnya masih bersifat sub sektor (parsial). Akibatnya petani selaku pelaku usahatani
disekat-sekat menjadi petani tanaman pangan, petani hortikultura, petani ternak, petani ikan
dan petani perkebunan. Penyekatan ini membawa dampak negatif terutama pada petani
lahan sempit (kepemilikan lahan 0,1-0,3 Ha), akibatnya aset pertanian yang dimiliki tidak
dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan sumberdaya pertanian tanaman pangan,
perkebunan dan hortikultura dalam bentuk limbah yang dapat digunakan sebagai bahan
pakan ternak merupakan langkah efisiensi usaha serta membuka peluang usaha baru untuk
menghasilkan produk secara ekonomis. (Diwyanto dan Masbulan, 2001 ; Sariubang, dkk.
2000).
Biaya operasional terbesar dalam peternakan adalah biaya pakan dan tenaga kerja.
Dengan jalan mengintegrasikan kegiatan pemeliharaan ternak dengan kegiatan usahatani
lainnya, akan dihasilkan efisiensi biaya produksi yang tinggi. Pakan dari tanaman dapat
berupa residu dan hasil sampingan agroindustri yang dapat digunakan untuk ternak
ruminansia, seperti jerami padi, jerami jagung dan lainnya (Makka, 2004).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 547
Seminar Nasional 2005
Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai Desember 2004, di Desa Patas
Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng Bali. Tanaman yang dikaji adalah jagung
Varietas Bisma dan kacang tanah Varietas kelinci. Kedua komoditas ini ditanam pada bulan
Desember selanjutnya di Panen pada bulan Maret ; dengan luasan masing-masing 50 dan 10
are. Jagung ditanam dengan jarak 75 x 40 cm dengan dua tanaman per lubang. Tanaman
jagung dipanen pada umur 85-90 hari setelah tanam (HST). Penanaman kedua (gadu)
dilakukan pada ulan April dan dipanen Juli.
Ubinan biomassa tanaman jagung diamati pada ukuran petak 3,0 meter x 2,0 meter,
sedangkan untuk tanaman kacang tanah dengan ukuran 2,5 meter x 2,5 meter. Penimbangan
dilakukan pada saat segar dan setelah dalam bentuk kering. Pengambilan ubinan dilakukan
secara acak pada 10 petani. Biomass kering diperoleh setelah dilakukan penjemuran selama
5-7 hari, yang ditandai dengan tidak berubahnya bobot (konstan). Parameter yang diamati
adalah produksi biomass dari kedua komoditas baik dalam bentuk segar maupun dalam
bentuk kering, selanjutnya data dianalisis secara deskriptif.
Ubinan (6,0 m2) (kg) Biomassa basah/50 are Biomassa kering/50 are
Musim
Segar Kering (kg) (kg)
Hujan 10,40 2,63 8.666,7 2.191,5
Kemarau 8,75 1,96 7.290,0 1.640,0
Ternak sapi membutuhkan pakan minimal 10% dari bobot badanya. Limbah jagung
dalam bentuk kering dapat diberikan 30-40% dari jumlah pakan yang diberikan. Karena
kalau diberikan di atas komposisi tersebut menyebakan kandungan gizi yang didapat oleh
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 548
Seminar Nasional 2005
ternak kurang berimbang ; akibatnya ternak akan menerima kelebihan energi namun
mengalami defisiensi protein (Saun, 1991).
Petani di Desa Patas rata-rata memiliki 5 ekor sapi per kepala keluarga (KK)
(Suratmini, et al. 2004). Dengan asumsi bobot badan induk sapi Bali di Desa Patas rata-rata
250 kg, mengkonsumsi hijauan kering sebanyak 3% dari bobot badannya maka mereka
butuh 7,5 kg hijauan kering/ekor/hari. Apabila limbah jagung diberikan dengan komposisi
40% dari seluruh pakan yang diberikan (7,5 kg), maka perlu 3 kg/ekor/hari atau sebanyak 15
kg untuk 5 ekor. Dengan demikian, ketersediaan limbah kering sebanyak 2.191,5 kg pada
musim hujan mampu mencukupi kebutuhan ternak sapi yang ada di sana selama 183 hari
atau 4,87 bulan ; sedangkan ketersediaan pakan 1.635 kg pada musim kering cukup untuk
memenuhi kebutuhan sapi selama 109 hari atau 3,63 bulan.
Pada kondisi riil, di Desa Patas pada musim paceklik pakan (akhir bulan Agustus
sampai pertengahan Nopember) limbah jagung diberikan dengan komposisi 70% ; dengan
demikian maka ketersediaan limbah jagung kering (hay) pada MH cukup untuk memenuhi
kebutuhan pakan 5 ekor sapi (5,25 kg/ekor/hari atau 26,25 kg/5 ekor/hari) selama 83,25 hari
atau 2,8 bulan dan dan ketersediaan saat MK hanya cukup untuk 62,26 hari atau 2,1 bulan.
Memperhatikan kondisi tersebut, dari segi kwantitas, limbah jagung Varietas Bisma
yang dihasilkan dari 50 Are luas tanam, mampu memenuhi kebutuhan pakan sapi di Desa
Patas untuk musim paceklik pakan yang lamanya sekitar 4 bulan (Agustus s/d Nopember)
(Suratmini, et al., 2004). Meskipun demikian, untuk memperbaiki kualitas pakan yang
diberikan, penanaman hijauan pakan ternak bermutu tahan kekeringan masih perlu
dilakukan, seperti penanaman lamtoro dan tanaman lainnya yang sekaligus untuk konservasi
lahan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 549
Seminar Nasional 2005
Ternak sapi membutuhkan hijauan kering sekitar 3% dari bobot hidup, atau sekitar
7,5 kg bila bobot tubuhnya 250 kg. Pemberian hay dari tanaman legum seperti kacang tanah
dianjurkan antara 30 – 50%; dengan demikian untuk 5 ekor induk sapi Bali minimal
membutuhakan 22,5 kg pakan kering (hay) per hari. Memperhatikan kebutuhan pakan
tersebut, maka 460,8 kg biomass kering pada MH cukup untuk memenuhi kebutuhan 5 ekor
sapi selama 21 hari dan 173,6 kg. biomas kering pada MK cukup untuk 8 hari.
Memperhatikan produksi dan kebutuhan biomass tersebut, berarti dengan luas tanam
10 are pada MH dan 5 are pada MK, ternak sapi di Desa Patas Gerokgak masih kekurangan
ketersedian pakan legum dalam waktu 3 bulan (masa paceklik 4 bulan) ; dengan demikian
perluasan penanaman hijauan ini perlu dilakukan baik pada saat MH maupun MK. Selain itu
penanaman HMT unggul seperti lamtoro, gamal atau HMT tahan kering lainnya mutlak
dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan ternak akan pakan bermutu serta untuk perbaikan
konservasi.
Biomass jagung Varietas Bisma yang dihasilkan dari luas panen 50 Are mampu
memenuhi kebutuhan pakan untuk 5 ekor sapi di Desa Patas pada saat musim paceklik
pakan yang lamanya sekitar 4 bulan (Agustus s/d Nopember); akan tetapi ketersediaan
biomass kacang tanah dengan luasan 10 are pada MH dan 5 are saat MK hanya mampu
memenuhi kebutuhan ternak selama 29 hari
Karena keterbatasan ketersediaan biomas tanam kacang tanah (pakan bermutu), maka
untuk memperbaiki kualitas pakan yang diberikan, penanaman hijauan pakan ternak
bermutu tahan kekeringan seperti penanaman lamtoro, gamal dan tanaman lainnya yang
sekaligus untuk konservasi perlu dilakukan.
Ucapan Terimakasih
Terima kasih kami sampaikan kepada manajemen Proyek Pengkajian Teknologi
Pertanian Partisipatif Bali atas pendanaan yang diberikan, demikian pula kepada kelompok
tani ternak Abdi Pertiwi di Desa Patas Kec. Gerokgak Buleleng Bali atas kerjasamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 550
Seminar Nasional 2005
Saun, R.J.V. 1991. Dry Cow Nutrition (The Key to Improving Fresh Cow Performance). In :
The Veterinary Clinics of North America (Food Animal Practice). Dairy Nutrition
Management. Edited by Charles J. Sniffen and Thomas H. Herdt, Vol. 7 No. 2 July
991. W.B. Saunders Company, Harcout Brace Jovanovich Inc. Philadelphia, London,
Toronto, Montreal, Sydney. Hal : 599-620.
Subandi dan Zubachtirodin. 2004. Prospek Pertanaman Jagung dalam Produksi Biomas
Hijauan. Prosiding Seminar Nasional: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marginal
Melalui Inovasi Teknologi Tepat Guna. Hal. 105-110.
Suprapto, I.K.Mahaputra, M.A. T. Sinaga, I.G.A. Sudaratmaja dan M.Sumartini. 1999.
Laporan Akhir Pengkajian SUT Tanaman Pangan di Lahan Marginal. Instalasi
Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar. Bali.
Suratmini, N. P., I.N. Adijaya, I.M. Rai Yasa, I.K. Mahaputra, dan M. Sumartini. 2004.
Laporan Akhir Pengkajian Sistem Usahatani Integrasi Tanaman dan Sapi Bali di
Lahan Marginal. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Denpasar.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 551
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Sebagian besar usaha ternak sapi di Kabupaten Lombok Timur berada dalam penguasaan petani kecil
dengan berbagai keterbatasannya yaitu : pengetahuan, lahan serta modal usaha. Sapi yang dipelihara umumnya
sapi Bali. Pengiriman bibit sapi ke luar daerah secara terus menerus menjadi salah satu penyebab menurunnya
mutu. Bobot jual saat ini berkisar 250-350 kg sementara potensi sapi Bali 450-500 kg. Upaya perbaikan
kualitas mengalami banyak hambatan dengan sistem pemeliharaan yang ada. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pola pemeliharaan dan permasalahan yang dihadapi dalam menghasilkan ternak sapi Bali dan strategi
untuk mengatasi permasalahan. Penelitian dilaksanakan di Desa Rarang Selatan dan Desa Perigi Kabupaten
Lombok Timur, selama tahun 2004. Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik Participatory Rural
Appraisal (PRA). Data yang terkumpul dianalisa secara deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola
pemeliharaan ternak yang masih konvensional sehingga produktivitas ternak sapi rendah. Sumber daya manusia
sebagai pelaku uasaha pada kedua desa rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah. Ketersediaan
pakan alami menjadi andalan petani, belum berkembangnya ekstensifikasi sumber pakan. Keterbatasan
sumberdaya alam serta kondisi iklim menyebabkan seringkali terjadi kekurangan pakan. Demikian pula dengan
manajemen reproduksi yang lemah untuk mendukung usaha ternak yang bersifat sebagai usaha pembibitan
karena adanya pola kadasan atau gaduhan. Kesimpulan sementara bahwa pola pemeliharaan dengan sistem
semi-intensif dimana pakan diberikan berupa rumput alam, leguminosa dan sedikit yang memberikan limbah
pertanian seperti jerami kacang tanah. Perkawinan ternak dilakukan secara alami ketika ternak digembalakan
atau diikat-pindah, sebagian kecil dengan IB. Dengan kondisi penerapan teknologi saat ini, ditemui
permasalahan ketersediaan pakan, sulitnya mendapatkan bibit ternak sapi Bali yang berkualitas baik, calving
interval yang panjang, serta kematian anak sapi yang tinggi. Untuk mengatasi permasalahan, diperlukan adanya
upaya pemberdayaan petani dan meningkatkan sumberdaya manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam
yang ada secara efektif dan efisien. Sistem integrasi tanaman-ternak merupakan strategi yang cukup efektif
didalam penyediaan pakan ternak sepanjang tahun, dan sistem kandang kolektif dapat diterapkan untuk
mendukung penyediaan bibit sapi Bali yang berkualitas.
Kata Kunci : Sapi Bali, lahan kering
PENDAHULUAN
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 552
Seminar Nasional 2005
modal usaha memadai, sehingga manajemen pemeliharaan lebih ditekankan kepada upaya
mempertahankan ternak sebagai fungsi sosial dan tabungan tunai yang dapat dicairkan
sewaktu-waktu diperlukan
Sistem pemeliharaan yang masih semi intensif – tradisonal dalam arti sudah terjadi
sedikit kemajuan pada sistem pemeliharaan dari dilepas atau digembalakan menjadi
dikandangkan pada malam hari sedangkan siang hari diikat-pindah pada kebun atau lahan-
lahan kosong yang tidak ditanami tanaman semusim. Namun dari segi pemeliharaannya
yang masih tradisional, pakan diberikan sepenuhnya berupa hijauan segar seperti rumput
alam, walaupun sebagian kecil telah memanfaatkan limbah pertanian seperti jerami kacang
(pada saat musim panen).
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir terjadi penurunan populasi ternak sapi
hinggan 11,9% (BPS 2003). Pengiriman bibit sapi ke luar daerah secara terus menerus
dalam kurun waktu yang lama bisa mengakibatkan terjadinya penurunan mutu, bobot jual
saat ini berkisar 250-350 kg sementara potensi sapi Bali berkisar 450-500 kg. Perbaikan
kualitas mengalami cukup banyak hambatan dengan sistem pemeliharaan yang ada. Puspadi
dkk., 2004, menyatakan bahwa penurunan produksi sapi Bali di NTB disebabkan oleh faktor
teknis dan sosial. Ditinjau dari faktor teknis, pemeliharaan sapi yang dilakukan peternak
relatif sederhana dengan tingkat penerapan teknologi tepat guna sangat rendah. Kondisi
yang demikian disebabkan oleh faktor sosial masyarakat, dimana belum adanya perubahan
sifat usaha ternak sapi yang masih menganggap sebagai usaha sampingan pada sistem
usahatani secara umum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pemeliharaan dan
permasalahan yang dihadapi dalam menghasilkan ternak sapi Bali pada lahan kering dataran
rendah.
Waktu penelitian :
Penggalian informasi melalui teknik Partisipatory Rural Appraisal (PRA)
dilaksanakan selama tahun 2004.
Lokasi penelitian :
Desa Rarang Selatan Kecamatan Terara dan Desa Perigi Kecamatan Suela,
keduanya berada di wilayah Kabupaten Lombok Timur. Pemilihan lokasi didasarkan pada
pertimbangan prioritas pembangunan pedesaan di lahan kering yang sebagian besar
penduduknya berusaha pada bidang pertanian dan ternak sapi merupakan bagian dari sistem
usahatani.
Metode penelitian
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memahami dan menghayati tujuan kegiatan proyek
perbaikan pendapatan petani miskin melalui inovasi, melalui penggalian informasi untuk
memahami dinamika petani miskin sebagai pelaku pada suatu sistem usahatani pada wilayah
pedesaan di lahan kering/marginal; studi dilaksanakan dengan menggunakan teknik
Participatory Rural Appraisal (PRA) atau Pemahaman Pedesaan secara Partisipatif. Kedua
desa lokasi penelitian yang terpilih, salah satunya adalah ternak sapi khususnya sapi Bali
menjadi subsistem pada usahataninya. Kedua wilayah tersebut memiliki persamaan karena
lahan keringnya sebagian besar berada pada ketinggian yang sama. Perbedaannya terletak
pada topografi desa secara keseluruhan, dan luasan sawah tadah hujan yang ada di wilayah
masing-masing serta Desa Perigi memiliki wilayah Hutan.
Survey langsung di lapangan untuk melihat sumberdaya alam masing-masing desa
dilakukan menggunakan instrumen PRA yaitu: Peta Transek, atas dasar peta desa yang ada.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 553
Seminar Nasional 2005
Data-data yang terkumpul, kemudian dianalisis secara diskriptif. Dilanjutkan dengan desk
study guna melengkapi data-data kualitatif.
Karakteristik Wilayah
Desa Rarang Selatan dan Desa Perigi memiliki beberapa persamaan dan juga
perbedaan. Persamaannya adalah pada pola usahataninya dan pada lahan keringnya.
Sedangkan perbedaan terletak pada kondisi lingkungan biofisiknya dilihat dari topografi
wilayah desa secara keseluruhan ada perberbedaan namun lahan keringnya berada pada
ketinggian yang sama yaitu antara 25 – 400 mdpl. Desa Rarang Selatan memiliki sawah
tadah hujan berada pada elevasi antara 25 – 250 m dpl, kelas kelerengan antara 0 – 3%.
Lahan kering berada pada elevasi 25 – 400 m dpl. Relief tanahnya berbukit kecil dengan
kelerengan antara 15 – 30%. Desa Perigi memiliki lahan sawah berada di ketinggian antara
400-700 m dpl. kelas kelerengan antara 20-30%, lahan kering berada pada elevasi 25-400 m
dpl dan di antara 400 – 700 m dpl. kelerengan bervariasi, yaitu antara 3-5%, 8-12% dan 20-
30%. Hutan pada ketinggian antara 700-1.200 m dpl dan antara 1.200 – 2.250 m dpl.
kelerengan lebih dari 75%.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 554
Seminar Nasional 2005
Seperti yang dituturkan oleh Suwardji dan Tejowulan (2003) yang disitasi oleh
Suwardji, (2004) bahwa walaupun potensi lahan kering di NTB yang cukup besar, lahan
kering yang ada memiliki ekosistem yang rapuh dan mudah terdegradasi apabila
pengelolaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang tepat, topografi umumnya berbukit
dan bergunung, ketersediaan air tanah yang terbatas, lapisan oleh tanah dangkal, mudah
tererosi, teknologi diadopsi dari teknologi lahan basah yang tidak sesuai untuk lahan kering,
infrasturktur tidak memadai, sumberdaya manusia rendah, kelembagaan sosial ekonomi
lemah.
Sumberdaya Manusia
Jumlah penduduk Desa Rarang Selatan adalah ± 5.558 jiwa dengan penduduk usia
produktif (16 – 79 tahun) sebanyak 3.752 jiwa, 750 jiwa diantaranya hanya berpendidikan
Sekolah Dasar. Sekitar 1.338 jiwa adalah bermata pencaharian sebagai petani dan 1.153
jiwa sebagai buruh tani. Sedangkan di Desa Perigi jumlah penduduk sekitar 9.958 jiwa,
dengan penduduk usia produktif 15 – 54 t ahun berjumlah 6.288 jiwa, sebagian besar
penduduk desa berpendidikan rendah. Warga yang belum sekolah 1.399 orang, tidak pernah
sekolah 2.125 orang, SD tidak tamat 2.429 orang, Petani 2.400 orang dan buruh tani 753
orang. Dengan kepemilikan lahan yang sempit rata-rata kepemilikan lahan di Rarang
Selatan antara 0,10 – 0,49 ha, dengan kepemilikan lahan kering ± 0,12 ha. Sedangkan di
Desa Perigi luas kepemilikan hampir sama.
Pola Pemeliharaan
Di kedua Desa Rarang Selatan dan Perigi, ternak sapi yang dipelihara adalah sapi
Bali tersebar di seluruh wilayah masing-masing desa, yang dipelihara oleh petani sebagai
usaha sampingan atau bersifat sebagai tabungan hidup yang sewaktu-waktu dapat diuangkan
saat dibutuhkan. Salah satu sistem usaha yang dilakukan adalah dengan sistem kadasan atau
gaduhan, dengan sistem bagi hasil. Ternak sapi umumnya dipelihara atau dikandangkan
disekitar pekarangan rumah kecuali di Desa Perigi yang memiliki sekitar 6 kandang kolektif
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 555
Seminar Nasional 2005
dengan populasi sapinya berkisar antara 20 -100 ekor. Sedangkan di Desa Rarang Selatan
belum ada sistem pemeliharaan kandang komunal atau kandang kolektif.
Persoalan pakan menjadi permasalahan yang klise dan seringkali menjadi hambatan
bagi pengembangan usaha ternak sapi. Jumlah ketersediaan pakan yang tidak memadai pada
musim kemarau mengharuskan seorang peternak harus mencari hijauan hingga keluar
daerah, seperti wilayah Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Barat yang jaraknya cukup
jauh. Rumput masih menjadi pakan utama ternak sedangkan tanaman leguminosa seperti
turi, lamtoro dan lainnya sebagai pakan alternatif. Biaya yang dikeluarkan untuk mencari
rumput cukup besar berupa biaya transportasi dan bahkan rumputnya juga harus dibeli. Hal
ini sebagai salah satu dampak perubahan sistem pemeliharaan yang dilakukan, sebelumnya
digembalakan atau diikat pindah kemudian menjadi sistem dikandangkan (semi intensif dan
intensif). Pakan harus tersedia sepanjang hari untuk memenuhi kebutuhan ternaknya.
Selain itu dengan makin menyempitnya lahan-lahan umum tempat mencari rumput (padang
penggembalaan), yang selama ini menjadi salah satu sumber pakan bagi ternaknya,
menyebabkan seringkali terjadi pakan pada musim kemarau.
Perubahan sistem pemeliharaan yang berlaku tidak diimbangi oleh sistem
pengelolaan pakannya yang masih bertahan dengan sifat tradisionalnya. Yang selama ini
dikenal adalah mencari rumput, membawanya ke kandang kemudian diberikan pada ternak
untuk dikonsumsi oleh ternaknya. Namun upaya lain untuk mendukung sistem pengelolaan
pakan seperti menanam hijauan pakan ternak atau pemanfaatan limbah pertanian belum
dilaksanakan. Namun bila dilihat sistem usahatani yang ada di dua desa (Rarang Selatan dan
Perigi), keduanya memiliki sumber-sumber pakan yang potensial seperti limbah pertanian
yang berupa jerami.
Ciri-ciri peternakan rakyat yakni skala usaha relatif kecil, merupakan usaha rumah
tangga, merupakan usaha sampingan, menggunakan teknologi sederhana bersifat padat karya
serta berbasis organisasi kekeluargaan (Aziz, 1993 disitasi oleh Yusmichad Y dan Nyak
Ilham, 2005). Usaha peternakan rakyat memiliki posisi yang sangat lemah dan sangat peka
terhadap perubahan. Alternatif pengembangannya adalah dengan melakukan reformasi
modal, penciptaan pasar, sistem kelembagaan dan input teknologi. Menurut Kasryno (1996),
terjadi perubahan struktur penggunaan lahan, dari persawahan menjadi lahan untuk
keperluan sektor non pertanian. Demikian juga tidak menutup kemungkinan adanya
pembukaan lahan-lahan usahatani baru berasal dari padang penggembalaan. Berarti dengan
menyusutnya lahan pertanian, lahan penggembalaan akan berdampak pada penyusutan
populasi ternak.
Tabel 1. Bagan Kecenderungan Populasi Ternak Sapi Bali di Desa Rarang Selatan dan Desa Perigi Kabupaten
Lombok Timur
TAHUN
FENOMENA
1980 - 1985 1990 - 1995 2000 – 2004
Produksi Ternak
Sapi
Desa Perigi
Fenomena yang terjadi di Desa Rarang Selatan dan Desa Perigi hampir sama,
peningkatan produktivitas rendah (hasil penggalian informasi melalui PRA). Pada Grafik 1.
terlihat bahwa populasi sapi Bali di Kabupaten Lombok Timur selama 10 tahun terakhir
menunjukkan terjadinya fluktuasi dari tahun-ketahun, bahkan ada kecenderungan terjadinya
penurunan populasi. Namun bisa dilihat bahwa pemotongan ternak justru selalu meningkat
jumlahnya dan ditambah dengan jumlah pengeluaran ternak ke daerah lain setiap tahunnya.
Banyak hal lain yang dapat menyebabkan produktivitas sapi Bali tidak optimal sehingga
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 556
Seminar Nasional 2005
tidak terjadi peningkatkan populasi yang berarti. Salah satunya adalah pola pemeliharaan
ternak yang selama ini dilakukan oleh petani-peternak di lahan kering. Sistem
pemeliharaannya belum mengarah pada efisiensi penggunaan input untuk menghasilkan
output yang menguntungkan. Kemampuan produksi dari ternaknya belum terukur dengan
baik seperti kuantitas dan kaulitasnya. Selain terjadi penurunan populasi yang disebabkan
oleh kemampuan menghasilkan ternak dalam kurun waktu tertentu dan mendapatkan ternak
yang berkualitas baik terutama dalam memenuhi segmen pasar.
500.000
400.000
Populasi
Jumlah
300.000
Pemotongan
200.000
Pengeluaran
100.000
-
1994
1995
1996
1997
1999
2000
2001
2002
1993
1992
Tahun
Grafik 1. Populasi, jumlah pemotongan dan jumlah pengeluaran ternak selama 10 tahun sapi Bali di
Kabupaten Lombok Timur.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 557
Seminar Nasional 2005
Bulan
Usahatani
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Padi (Lahan sawah tadah
hujan)
2. Jagung
3. Padi gogo
4. Tembakau
5. Peternakan
- Pemeliharaan Sapi
Pola pertanaman di Desa Rarang Selatan dan Desa Perigi umumnya memiliki
kesamaan, pada Tabel 2. pada kalender musiman selama satu tahun terlihat adanya potensi
dan peluang diversifikasi sumber pakan ternak sapi yang berasal dari limbah-limbah
pertanian. Pola usahatani yang dimaksud di atas adalah termasuk pertanaman yang
diusahakan pada lahan-lahan sawah tadah hujan. Potensi sumber-sumber pakan baik dari
lahan-lahan umum maupun lahan usahatani.
Didalam meningkatkan produksi ternak sapi, penyediaan pakan dalam jumlah cukup
dan kualitas yang memadai harus mendapat perhatian yang besar. Dalam penyediaan
hijauan pakan, selain rumput, peranan hijauan yang berasal dari tanaman budidaya, baik itu
sebagai hasil samping (limbah) atau produk utama pertanian adalah cukup penting. Oleh
karena itu, dewasa ini pola integrasi “tanaman-ternak” telah memperoleh perhatian besar dari
pemerintah (Fagi et al., 2004, disitasi oleh Subandi dan Zubachtirodin, 2004).
Sumber Pakan Ternak
Ternak
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 558
Seminar Nasional 2005
hari setelah tanam. Untuk tujuan ini tanaman jagung dipanen dengan cara dipotong
batangnya pada permukaan tanah, kemudian seluruh bagian tanaman dicacah berukuran 5
cm kemudian diproses menjadi hay atau silage. Perlunya penerapan teknologi pengawetan
pakan berupa rumput yang melimpah pada musim hujan atau jerami padi atau kacang tanah
yang cukup banyak saat musim panen.
Reproduksi Ternak
Penangan reproduksi ternak sapi yang diusahakan di Desa Rarang Selatan dan Desa
Perigi umumnya belum ada upaya-upaya yang mengarah pada perbaikan mutu. Walaupun
sifat usaha peternakan sapi di wilayah Kabupaten Lombok Timur umumnya adalah
mengarah pada pembibitan. Namun terbatas pada pemeliharaan induk untuk mendapatkan
anak dalam kurun waktu tertentu. Hal ini didasari oleh kondisi sosial-budaya masyarakat
setempat yaitu adanya pola kadasan atau gaduhan dengan melalui sistem bagi hasil dari anak
yang dilahirkan. Usaha ternak yang mengarah pada pembibitan umumnya lebih cocok
dengan sistem tersebut yaitu pembagian hasil berupa ternak (anak sapi), atau sesuai
kesepakatan.
Pola kadasan atau gaduhan cukup populer terutama pada lingkungan petani kecil
yang disebabkan oleh keterbatasan modal yang dimiliki. Disamping itu kemampuan petani
untuk mengakses lembaga keuangan formal sangat lemah, terutama untuk memenuhi
berbagai persyaratan yang harus dipenuhi, salah satunya adalah kepemilikan jaminan
(sertfikat tanah dsb).
Dalam hal ini permasalahan yang dihadapi oleh petani-peternak adalah jarak beranak
atau calving interval 18 bulan. Kondisi yang demikian menyebabkan baik petani maupun
pemilik ternak yang dikadaskan (digaduhkan) membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
dapat menikmati hasilnya. Sehingga petani membutuhkan adanya kelembagaan perbibitan di
desanya. Namun untuk membangun kelembagaan semacam ini tentu tidak mudah, salah satu
langkah yang bisa ditempuh adalah menggunakan sistem kandang kolektif. Karena sistem
pemeliharaan kandang kolektif merupakan suatu aset sosial artinya umumnya di wilayah
pulau Lombok sudah membudaya, sehingga sistem ini dirasa cukup efektif dalam
menghasilkan bibit ternak yang berkualitas.
Telah dibuktikan dari hasil pengkajian/penelitian yang dilaksanakan oleh BPTP
NTB bekerjasama dengan ACIAR-Australia yang dilaksanakan pada beberapa kandang
kolektif seperti di Desa Kelebuh, Kecamatan Praya Tengah Kabupaten Lombok Tengah.
Dengan menggunakan pejantan unggul dan penerapan waktu kawin yang tepat agar
diperoleh anak sapi yang memiliki kualitas baik. Introduksi terhadap majamen perkawinan
sapi yang menyarankan sapi dikawinkan pada akhir musim hujan sehingga anak diperkirakan
lahir pada awal musim hujan. Hasil yang didapat dengan penerapan waktu kawin yang tepat,
yaitu 96% dari induk dan dara yang ada dikawinkan dengan pejantan terseleksi dengan
service perconception 1.41, tingkat kebuntingannya 94%, Persentase kelahiran 91% dan
berat lahir anak sapi 16.41 ± 2.25 Kg. Disamping itu untuk mengatasi kekurangan pakan
musim kemarau yaitu introduksi manajemen penyapihan, didapatkan hasil yaitu:
menurunnya kegiatan mencari pakan keluar desa hingga dibawah 50%; kondisi tubuh induk
dapat dipertahankan sampai bulan Oktober bila anak disapih pada bulan Mei-Juni;
pertumbuhan bobot badan betina (induk) paska sapih (6-12 bulan) ± 0.24 kg, sedang tanpa
sapih dengan pakan yang lebih baik ± 0.19 kg.
Sementara ini pemilihan bibit ternak (betina) seperti yang dilakukan pada saat petani
membeli ternak dipasaran belum menjamin akan mendapatkan hasil ternak yang baik.
Menurut Mashur dan Muzani (2004), agar usaha pengembangan breeding dapat
menguntungkan petani maka pengembangan model yang perlu dibangun adalah sistem
integrasi tanaman-ternak (semusim atau tahunan), perbaikan manajemen pemeliharaan
(reproduksi) dan penerapan sistem kandang kolektif sebagai basis pengembangan pusat-
pusat pembibitan sapi Bali di pedesaan. Selanjutnya Kedi, (2004), menyatakan bahwa
masalah yang dihadapi dalam upaya integrasi usahatani lahan kering terutama meliputi
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 559
Seminar Nasional 2005
masalah teknis dan sosial-budaya. Baik kegiatan usahatani lahan kering maupun kegiatan
beternak sapi secara ekstensif merupakan kegiatan masyarakat tradisional di Kawasan Timur
Indonesia (KTI). Tidak dapat diingkari bahwa teknik integrasi ternak-tanaman tetap
merupakan suatu budaya intrusif bagi masyarakat tradisional KTI yang belum tersebar luas
sehingga perlu dikaji secara cermat pola dan teknik integrasi yang selaras dengan kondisi
ekologi, sosial dan budaya masyarakat setempat
Menurut Suwardi (2004), bahwa model usahatani yang ingin dikembangkan
hendaknya ditujukan pada peningkatan produktivitas lahan dan pendapatan petani serta
kelestarian lingkungan dalam jangka panjang. Pemilihan tanaman dalam pola usahatani
untuk jangka pendek diarahkan pada kecukupan pangan dan kebutuhan gizi petani serta
dalam jangka panjang ditujukan pada keseimbangan antara kebutuhan pangan dan tanaman
pakan ternak untuk meningkatkan pendapatan. Selanjutnya Kedi (2004), menegaskan bahwa
pendekatan kebijakan pengembangan sektor pertanian pada umumnya cenderung bersifat
teknis dan ekonomis, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Terlepas dari tuntutan
tehno-ekonomi, pada hakekatnya sifat kegiatan usahatani di Indonesia lebih bersifat sosio-
kultural dari pada bersifat tekno-ekonomi. Sifat ini sangat terlihat pada kasus pemeliharaan
ternak sapi sebagai bagian dari dari strategi integratif usahatani pada etnis jawa dimana
ternak sapi lebih sering dipandang sebagai salah satu elemen keluarga tani dari pada sebagai
bagian komplementer dari kegiatan usahatani (Kedi, 2004).
KESIMPULAN
Pola pemeliharaan ternak sapi di Desa Rarang Selatan dan Desa Perigi relatif sama
yaitu ternak dipelihara dengan sistem semi-intensif dengan cara-cara yang masih tradisional.
Pakan yang diberikan berupa rumput alam, leguminosa dan sedikit yang memberikan limbah
pertanian seperti jerami kacang tanah.
Perkawinan ternak dilakukan secara alami ketika ternak digembalakan atau diikat-
pindah, sebagian kecil sudah menggunakan teknologi inseminasi buatan (IB).
Dengan teknologi eksisting yang diterapkannya, menyebabkan munculnya beberapa
permasalahan yaitu ketersediaan pakan pada musim kemarau terbatas, sulitnya mendapatkan
bibit ternak sapi Bali yang berkualitas baik, calving interval yang panjang, serta kematian
anak sapi yang tinggi.
Untuk mengatasi permasalahan usaha ternak sapi sebagai bagian dari sistem
usahatani di lahan kering, diperlukan adanya upaya pemberdayaan petani melalui
pengembangan kelembagaan tani yang optimal guna meningkatkan sumberdaya manusia
dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada secara efektif dan efisien. Kelembagaan
perbibitan diperlukan untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi baik kualitas maupun
kuantitasnya. Berdasarkan perilaku sosial budaya masyarakat setempat maka sistem
kandang kolektif menjadi alternatif pilihan dalam mengatasi permasalahan kualitas ternak
sapi (meningkatkan mutu genetis) selain itu sistem kandang kolektif merupakan modal
sosial yang sangat penting di masyarakat dalam pengembangan usaha perbibitan ternak sapi
Bali.
Sistem integrasi tanaman-ternak merupakan strategi yang cukup efektif didalam
penyediaan pakan ternak sepanjang tahun mengingat usaha ternak sapi merupakan subsistem
usahatani di Desa Rarang Selatan dan Desa Perigi.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 560
Seminar Nasional 2005
DAFTAR PUSTAKA
Hendrawan Sutanto. 2002. Strategi Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya dan Teknologi Tepat
Guna Pertanian untuk Meningkatkan Pendapatan Peternak Sapi Potong. Prosiding
Seminar Nasional. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. Badan Litbang
Pertanian. Departemen Pertanian.
Kedi Suradisastra. 2004. Konteks Ekologi Kultural Kawasan Timur Indonesia dalam
Optimalisasi Lahan Kering. Prosiding Seminar Nasional. Pemberdayaan Petani
Miskin di Lahan Marginal Melalui Teknologi Tepat Guna. BPTP NTB.
Puslitbangsosek. Badan Litbang Pertanian.
Mashur dan A. Muzani. 2004. Prospek Pengembangan Pusat-Pusat Pembibitan Sapi Bali di
Lahan Marginal untuk Mendukung Penyediaan Sapi Bakalan di Nusa Tenggara
Barat. Prosiding Seminar Nasional. Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marginal
Melalui Teknologi Tepat Guna. BPTP NTB. Puslitbangsosek. Badan Litbang
Pertanian.
Puspadi, Ketut., Yohanes G.B., Sri Hastuti, I Made Wisnu W., Prisdiminggo, Kuku Wahyu
W., Sasongko WR. Mashur, 2004. Laporan Pemahaman Pedesaan Secara
Partisipatif di Wilayah Poor Farmer Lombok Timur. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian NTB.
Puspadi, Kt., Yohanes G. B., A. Muzani, Mashur. 2004. Buku Sosial Ekonomi dan
Kelembagaan Tanaman Ternak PRA Draft Bab II : Kearifan Lokal Pola
Pengandangan Ternak Sapi Bali dalam Sistem Usahatani Tanaman-Ternak (Kasus
Nusa Tenggara Barat). Disampaikan pada Workshp Buku Crop Livestock Sistem di
Bogor 25 Mei 2005. Belum diterbitkan.
Puspadi, Kt., Yohanes G. B., A. Muzani, Mashur. 2004. Dalam Makalah berjudul : Peluang
Kelembagaan Kandang Kolektif Sebagai Basis Pengembangan Usaha Agribisnis
Pembibitan Sapi Bali di Nusa Tenggara Barat. Disampaikan pada lokakarya
Kelembagaan Sistem Usahatani Tanaman Ternak (CLS). Denpasar, 30 Desember
2004 – 2 Januari 2005.
Sambutan Gubernur NTB. 2004. Prosiding Seminar Nasional. Pemberdayaan Petani Miskin
di Lahan Marginal Melalui Teknologi Tepat Guna. BPTP NTB. Puslitbangsosek.
Badan Litbang Pertanian.
Subandi dan Zubachtirodin. 2004. Prospek Pertanaman Jagung dalam Produksi Biomas
Hijauan Pakan. Prosiding Seminar Nasional. Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan
Marginal Melalui Teknologi Tepat Guna. BPTP NTB. Puslitbangsosek. Badan
Litbang Pertanian.
Suwardji. 2004. Mencari Skenario Pengembangan Pertanian Lahan Kering yang
Berkelanjutan di Propinsi NTB. Prosiding Seminar Nasional. Pemberdayaan Petani
Miskin di Lahan Marginal Melalui Teknologi Tepat Guna. BPTP NTB.
Puslitbangsosek. Badan Litbang Pertanian.
Yohanes G. Bulu, Sasongko WR., Tanda S Panjaitan dan Sudarto. 2004. Persepsi Petani
Terhadap Kebutuhan Pakan Ternak pada Berbagai Status Fisiologis Ternak Sapi
Bali. Prosiding Seminar Nasional. Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marginal
Melalui Teknologi Tepat Guna. BPTP NTB. Puslitbangsosek. Badan Litbang
Pertanian.
Yumichad Yusdja dan Nyak Ilham. 2004. Tinjauan Kebijakan Pengembangan Agrbisnis
Sapi Potong. Buletin Analisis Kebjakan Pertanian. Puslibangsosek. Badan Litbang
Pertanian. Bogor.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 561
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Penelitian tentang pengaruh penggunaan limbah kopi terfermentasi terhadap produktivitas susu
kambing telah dilaksanakan di Desa Bongancina, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng-Bali dari bulan
Januari sampai Desember 2003. Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan tiga perlakuan
ransum, dan masing-masing perlakuan menggunakan 10 ekor induk kambing Peranakan Etawah (PE) dengan
bobot badan rata-rata 34 kg sebagai ulangan. Perlakuan yang diberikan, yaitu: P1 untuk kelompok kambing
sebagai kontrol (diberikan pakan hijauan saja secara ad libitum), P2 yaitu seperti P1 diberikan pakan tambahan
berupa limbah kopi 100 gram/ekor/hari dan P3 yaitu seperti P2 dengan tambahan pakan berupa Enzim
Phylazim sebanyak 2,5 gram/ekor/hari. Parameter yang diamati meliputi : kandungan gizi limbah kopi,
produktivitas susu (ml/ekor/hari), dan lama laktasi. Data dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan
Duncan Multiple Range Test. Hasil penelitian menunjukkan, fermentor Aspergilus niger dapat meningkatkan
kadar protein limbah kopi dari 8,80 % menjadi 12,43 % dan menurunkan serat kasar dari 18,20 % menjadi 11,05
%. Kambing-kambing pada kelompok P3 memproduksi susu tertinggi, diikuti P2 dan P1 berturut-turut 906, 835
dan 181 ml/ekor/hari, mengalami masa laktasi berturut-turut 16, 14 , dan 10 minggu dan dengan pertumbuhan
anak berurut-turut : 78, 75 dan 59 gram/ekor/hari.
Kata kunci : Limbah kopi, produktivitas, susu, kambing Peranakan Etawah (PE).
PENDAHULUAN
Potensi alam untuk pengembangan kambing di Bali masih cukup besar, terutama
dikawasan sentra perkebunan dan lahan marginal. Di daerah Bali terdapat areal perkebunan
seluas 169.000 ha diantaranya terdiri dari perkebunan kopi (40.000 ha), cengkeh (26.000
ha), mete (15.000 ha) dan kakao (6.223 ha) (Anonimous, 2001). Pada kawasan perkebunan
tersebut petani memelihara kambing, dengan tujuan utama sebagai sumber pupuk, disamping
untuk mendapatkan produksi anak sebagai sumber tambahan pendapatan. Model integrasi
usahatani kambing dengan tanaman industri (kopi, kakao, cengkeh) di Bali sudah
berlangsung cukup lama, yaitu sejak digalakkannya pengembangan kambing PE pada tahun
1980. Namun pola integrasi yang ada masih tradisional, sehingga hasilnya belum optimal.
Meningkatnya produksi tanaman industri akan menghasilkan limbah yang lebih
banyak, dan dengan proses pengolahan, limbah kopi maupun kakao dapat dimanfaatkan
sebagai pakan penguat (Zaenuddin et al. 1995). Penggunaan limbah kopi yang telah
terfermentasi diharapkan akan dapat memacu produktivitas ternak (Kompiang, 2000) serta
mensubstitusi kebutuhan dedak yang selama ini telah banyak digunakan sebagai pakan
penguat, namun harus didatangkan dari luar lokasi dan harganya relatif mahal.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan gizi limbah kopi dan
pengaruhnya terhadap produksi susu, lama laktasi dan pertumbuhan anak kambing.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 562
Seminar Nasional 2005
ditambah pemberian 100 gram/ekor/hari limbah kopi terfermentasi dan P3 yaitu diberikan
pakan seperti P2 ditambah enzim Phylazim sebanyak 2,5 gram/ekor/hari. Pemerahan susu
dilakukan sebanyak 2 kali sehari. Parameter yang diamati meliputi: kandungan gizi limbah
kopi, produktivitas susu kambing (ml/ekor/hari), lama laktasi, dan pertumbuhan anak
kambing. Data dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan Duncan Multiple
Range Test.
Limbah kopi yang diolah untuk pakan penguat kambing adalah bagian daging buah
kopi dan kulit biji yang diperoleh saat proses pembijian. Limbah kopi yang diteliti adalah
limbah kopi Robusta. Limbah kopi sebelum dipergunakan, difermentasi dengan Aspergilus
niger produksi BPTP Bali selama 2 – 3 hari selanjutnya dikeringkan kemudian digiling
hingga berbentuk tepung (Gambar 1 dan 2).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 563
Seminar Nasional 2005
Kandungan Nutrisi
No Bahan
CP (%) CF (%) Fat (%) Ca P
1 Non - fermentasi 8,80 18,20 1,07 0,23 0,02
2 Fermentasi 12,43 11,05 1,05 0,34 0,07
Keterangan : - CP : crude protein (protein kasar)
- CF : crude fibre (serat kasar);
- Ca : kalsium; dan P : Phosfor.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 564
Seminar Nasional 2005
No Parameter P1 P2 P3
1 Produksi susu (ml/hari) 181a 835b 906c
2 Lama laktasi (minggu) 10a 14b 16b
3 Pertumbuhan anak (gram/ekor/hari) 59a 75b 78b
Keterangan : ml : mili liter.
P1 : Kelompok kambing sebagai kontrol (diberikan hijauan saja).
P2 : Kelompok kambing seperti P1 diberi pakan tambahan konsentrat dari limbah kopi sebanyak 100 gram/
ekor/hari.
P3 : Kelompok kambing seperti P2 ditambah enzim Philazim 2,5 gram/ekor/hari.
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 565
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Kemampuan produksi ternak kambing dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan.
Perubahan performan berdasarkan faktor genetis sifatnya tetap sedang pada faktor lingkungan adalah pada
manajemen salah satunya pengelolaan pakannya. Permasalahan yang dihadapi oleh petani-peternak di lahan
kering adalah keterbatasan pakan di musim kemarau baik kualitas maupun kuantitasnya. Keragaman bahan baku
pakan lokal yang tersedia memberikan alternatif pilihan untuk dimanfaatkan secara efisien. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui kualitas dan kuantitas pakan dan persepsi petani terhadap pakan yang diberikan pada
ternak kambing lokal yang dipelihara di lahan kering. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2004 di desa
Sambelia, Kabupaten Lombok Timur. Pengamatan dilakukan pada 15 petani kooperator dan 15 non kooperator.
Data dikumpulkan dengan teknik wawancara terstruktur serta analisa kandungan nutrisi hijauan pakan ternak.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan statistik sederhana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas
dan kuantitas pakan yang diberikan pada ternaknya tergantung pada ketersediaan dan sistem usahatani yang
dilakukannya. Ternak dikandangkan oleh petani kooperator 70,8% dan non kooperator 57%. Konsekuensinya
pakan disediakan setiap hari yang diperoleh dengan sistem cut and carry. Pada musim hujan komposisi rumput
dalam ransum bisa mencapai 100% sedangkan pada musim kemarau berkisar 50-80% selain itu berupa legum
seperti turi dan lamtoro 20-50%. Jerami kacang tanah dan biomas tanaman jagung merupakan pakan alternatif,
95,8% petani kooperator menyatakan menggunakannya dan 52% petani non kooperator menyatakan bahwa pakan
diberikan berdasarkan kualitasnya; yang tujuannya untuk meningkatkan produksi, mempertimbangkan status
reproduksi (induk bunting atau induk menyusui). Kemampuan reproduksi terlihat dari calving interval rata-rata 6
bulan (kooperator) dan 8 bulan (non kooperator); dengan jumlah sekelahiran rata-rata 1,6 anak. Kesimpulan
sementara dinyatakan bahwa dengan status pakan yang diberikan terhadap ternaknya relatif cukup memenuhi
kebutuhan didukung pada persepsi petani dalam memberikan pakan pada ternaknya menunjukkan bahwa
pengembangan usaha ternak kambing dalam sistem usahatani di lahan kering desa Sambelia memungkinkan
untuk dilaksanakan.
Kata kunci: Status pakan, kambing dan lahan kering.
PENDAHULUAN
Populasi kambing di NTB cukup tinggi yaitu 239.225 ekor yang menyebar di
seluruh wilayah terutama di lahan kering. Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu
kabupaten yang memiliki populasi terbanyak yaitu 45.747 ekor atau sekitar 20% dari seluruh
populasi (Dinas Peternakan NTB; BPS, 2002). Lahan marginal mencapai 1,7 juta hektar
sekitar 9,1% berada di wilayah kabupaten Lombok Timur.
Kambing merupakan komoditas yang cukup populer di kalangan masyarakat petani
yang sebagian merupakan salah satu komponen sistem usahatani di lahan kering. Dipelihara
dengan pola semi intensif atau ekstensif yang merupakan usaha sampingan atau bahkan
sebagai tabungan hidup. Oleh Sibanda et al., (1999) yang disitasi oleh Dahlanuddin, (2001)
dikatakan bahwa sebagian besar populasi kambing dimiliki oleh peternak tradisional dengan
usaha kecil. Hasil survei yang dilaksanakan oleh UNRAM bahwa di Pulau Lombok
(Dahlanuddin, 2001) menunjukkan bahwa pemilikan ternak kambing sangat kecil, yaitu 4 –
5 ekor ternak per rumah tangga.
Rendahnya kepemilikan dan produktivitas ternak kambing kemungkinan besar
disebabkan oleh keterbatasan modal peternak dan kemampuan untuk menyediakan sarana
produksi. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian besar peternak masih beranggapan
bahwa memelihara ternak kambing merupakan pekerjaan sambilan. Akibatnya investasi
dalam bentuk waktu, tenaga kerja dan modal yang dialokasikan untuk pemeliharaan kambing
sangat kecil dibandingkan dengan investasi pada usaha lain seperti tanaman pangan
(Dahlanuddin, et. al., 2002). Ternak kambing mempunyai peluang yang besar terhadap
peningkatan pendapatan petani lahan kering melalui perbaikan atau penerapan teknologi
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 566
Seminar Nasional 2005
alternatif (hasil rekayasa) sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas
kambing.
Kemampuan produksi ternak kambing dipengaruhi pada faktor genetis dan faktor
lingkungan. Perubahan performan yang dilakukan melalui upaya penyesuaian kondisi
lingkungan salah satunya adalah perbaikan nutrisi dan pengelolaan pakannya. Keragaman
bahan baku pakan lokal yang tersedia memberikan alternatif pilihan bagi petani-peternak
untuk dimanfaatkan secara efisien.
Menurut Panjaitan dan Tiro, (1996), bahwa ternak kambing merupakan ternak
ruminansia kecil yang mampu beradaptasi dengan baik pada wilayah lahan kering karena
dapat memanfaatkan berbagai sumber tanaman sebagai sumber pakan. Selanjutnya
menurut Djafar, (2004) menyatakan ternak kambing sudah lama diketahui sebagai ternak
yang diusahakan oleh petani miskin oleh karena cocok dipelihara di daerah kering dengan
kualitas tanah yang sangat marginal. Ternak lokal yang telah beradaptasi baik dengan
lingkungan alam dan iklim Indonesia perlu terus dikembangkan menjadi ternak andalan yang
akan memberikan manfaat yang besar bagi peternak kita.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui kualitas dan kuantitas pakan dan persepsi petani terhadap yang
diberikan pada ternak kambing lokal yang dipelihara di lahan kering.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 567
Seminar Nasional 2005
80
Pe r s e n tas e (%)
70
60
50
40
30
20
10
0
n
n
ah
n
ka
ka
ra
nd
la
ng
pu
K o o p e r a to r
pi
ba
da
am
at
em
an
iik
No n K o o p e r a to r
C
ig
ik
D
D
S is t e m p e m e lih a r a a n k a m b in g
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 568
Seminar Nasional 2005
60%
50% 54,7% 50%
50%
40%
30% 25%
20% 15% 19% 13,3%
8,2%
10% 4% 6%
0%
Rumput Turi Gamal Daun- Jerami
Alam daunan Tanaman
Pemanfaatan Gamal sebagai pakan ternak memang masih belum familiar, sehingga
petani jarang yang memberikan gamal untuk ternaknya. Daun-daunan meningkat
pemberiannya pada saat musim kemarau (13,30%) dibanding musim hujan (6%). Pada saat
rumput berkurang maka pakan alternatif yang diberikan petani adalah daun-daunan seperti :
daun nangka, daun kayu banten atau daun mangga.
Rumput alam dan legum seperti turi dan lamtoro merupakan jenis pakan yang
tersedia sebagai pakan ternak kambing di Sambelia. Hijauan pakan seperti rumput terdapat
pada daerah persawahan sedangkan legume terdapat di sekitar lahan pertanian yang
berfungsi sebagai pagar atau yang ditanam khusus sebagai sumber HMT. Menurut Simon
P. Ginting, (2004), menyatakan bahwa pakan lokal adalah setiap bahan baku yang
merupakan sumberdaya lokal yang berpotensi dimanfaatkan sebagai pakan secara efisien
oleh ternak kambing baik sebagai suplemen, konsentrat maupun sebagai pakan dasar.
Selanjutnya dikatakan bahwa keragaman bahan baku pakan ternak yang tinggi menawarkan
fleksibilitas yang tinggi bagi peternak juga menawarkan kompleksitas bagi nutrisionis agar
dapat dimanfaatkan secara efisien.
Tabel 1. Kandungan Nutrisi Hijauan Pakan Ternak Yang Berasal Dari Sambelia.
Kandungan Nutrisi
No. Jenis Hijauan
Protein Kasar (%) Serat Kasar (%) Kalori kal/gr
1. Lamtoro 20,08 17,86 4.362,42
2. Turi 19,97 14,00 4.718,56
3. Rumput 13,77 20,60 3.751,95
Sumber : Data primer diolah. Sampel diambil pada bulan Oktober 2004.
Pada Tabel 1. dapat dilihat bahwa pada saat musim kemarau beberapa jenis hijauan
yang dominan diberikan untuk pakan kambing memiliki kandungan nutrisi yang cukup
baik. Pemberian pakan dilakukan dua kali pada siang hari, sedangkan pada malam hari
ternak tidak diberi pakan. Komposisi rumput dan legum yang diberikan petani sangat
beragam tergantung pada ketersediaan hijauan serta kemampuan petani dalam memilih atau
memperoleh hijauan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 569
Seminar Nasional 2005
Tabel 2. Jenis Hijauan Yang Diberikan Pada Kambing Pada Musim Hujan dan Musim Kemarau
Pada Tabel 2. dapat dilihat bahwa petani kooperator menjadikan rumput sebagai
pakan uatama yang diprioritaskan pemberiannya di musim hujan dan musim kemarau. Pada
musim kemarau jenis pakan selain rumput yang mendominasi adalah turi dan jerami kacang
tanah. Karena pada saat awal musim kemarau sebagian besar petani tengah memanen
tanaman kacang tanah, sehingga saat itu jerami kacang tanah cukup melimpah.
Keragaman jenis bahan pakan dengan tingkat komposisi kimiawi yang fluktuatif
mengindikasikan bahwa sistim pakan yang lebih sesuai adalah pendekatan feed budget yang
bertujuan untuk memaksimalkan penggunaan bahan pakan, terlepas apakah kebutuhan
standar nutrisi ternak terpenuhi atau tidak (feeding Standard), (Simon P. Ginting, 2004)
Tabel 3. Kandungan Nutrisi Ransum Ternak Kambing Yang Diberikan Oleh Petani Kooperator.
Pada Tabel 3. contoh ransum ternak kambing yang diambil dari tempat-tempat
pakan di beberapa kandang, umumnya berupa campuran beberapa jenis hijauan yang
komposisinya terdiri dari rumput alam, legum merambat, jenis semak-semak dan legum
pohon seperti turi dan lamtoro. Namun secara garis besarnya hijauan pakan ternak
ruminansia dikategorikan dalam dua jenis yaitu rumput dan legum. Rumput alam memiliki
komposisi yang lebih tinggi antara 60-80% bahkan mencapai 100%. Makin besar komposisi
rumput dalam ransum maka semakin kecil kandungan proteinnya; demikian sebaliknya
semakin besar komposisi legum dalam ransum maka semakin tinggi proteinnya dan makin
rendah serat kasarnya.
Berdasarkan pola pemberian pakan, kualitas pakan yang diberikan cukup seperti
tercantum pada pada Tabel 3. Dilihat dari komposisi ransumnya, merupakan indikasi
bahwa kandungan nutrisi ransum yang diberikan cukup memenuhi syarat kelayakan sebagai
pakan ternak ruminansia kecil seperti kambing. Yang menjadi pertanyaan sekarang bahwa
apakah dari segi kuantitas sudah cukup tersedia. Pada Tabel berikut ini dapat dilihat sumber
hijauan pakan ternak :
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 570
Seminar Nasional 2005
Lahan
Uraian
Sendiri (%) Orang lain (%) Umum (%)
Musim Hujan
Rumput Alam 12,5 66,7 20,8
Turi 76,7 19 4,3
Lamtoro 34,75 47,2 18,05
Musim Kemarau
Rumput Alam 19,6 65,5 14,9
Turi 67,3 28,85 3,85
Lamtoro 23,3 57,2 19,45
Data Primer yang diolah tahun 2004.
Tabel 4. menunjukkan bahwa rumput alam diperoleh sebagian besar berasal dari
lahan orang lain, terutama lahan persawahan yang terdapat di desa Sambelia. Lahan
pertanian yang berupa sawah milik peternak luasannya relatif kecil rata-rata dibawah 0,25
ha. Walaupun relatif tidak luas tapi dapat ditanami padi 3 kali setahun karena airnya
tersedia. Sebaliknya tanaman turi sebagian besar diperoleh dari lahan milik sendiri, baik dari
lahan pertanian maupun dari lahan pekarangannya. Turi dan legum lainnya ditanam sebagai
pagar di lahan pertanian.
Telah ada upaya penanaman hijauan pakan ternak, dengan mempertimbangkan
kontinuitas usaha ternak. Petani kooperator yang telah memiliki pengetahuan tentang
manajemen pakan, terutama untuk mengantisipasi kekurangan hijauan segar pada saat
musim kemarau; mereka sudah mulai menanam hijauan pakan ternak. Petani non kooperator
belum banyak yang mengadopsi penanaman hijauan pakan ternak namun mereka
mengharapkan pemanfaatan jerami sebagai sumber pakan ternaknya.
Tabel 5. Upaya penyediaan pakan ternak yang mencukupi
Petani kooperator sebagian besar telah mampu menentukan pilihan pada hijauan
yang akan diberikan pada ternaknya berdasarkan kualitasnya. Semula hal itu hanya sekedar
pengetahuan yang berasal dari pengalamannya. Dengan seringnya mendengarkan berbagai
penjelasan mengenai manajemen pakan sehingga petani sudah mulai memahami bagaimana
seharusnya dalam memberikan pakan pada ternaknya. Disamping itu berkaitan dengan
sumberdaya manusianya dimana rata-rata tingkat pendidikan yang rendah. Bisa jadi
pemilihan pakan berdasarkan nalurinya.
Tabel 6. Persepsi petani dalam memberikan pakan pada ternak kambing.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 571
Seminar Nasional 2005
Petani non kooperator yang relatif belum banyak mengetahui tentang teknologi
pemeliharaan ternak kambing dapat dibanding persepsi mereka terhadap manajemen pakan
yang dilakukan dalam memelihara ternaknya.
Produktivitas
Tatalaksana pemberian pakan pada kambing akan menentukan tingkat
produktivitasnya. Oleh karena itu penyediaan pakan ternak harus pula memperhatikan
kualitas, disamping kuantitasnya sedangkan yang dimaksud kualitasnya adalah kandungan
gizi yang terdapat di dalam bahan pakan tersebut (Anonim, 1989 yang disitasi oleh Isbandi,
2002).
Produktivitas pada ternak kambing digambarkan oleh jumlah anak sekelahiran dan
total bobot sapih/induk/kelahiran. Produktivitas kambing yang produknya adalah berupa
daging, kriteria tersebut merupakan hal yang terpenting, tanpa mengabaikan sifat-sifat
lainnya, misalnya komposisi karkas (Subandriyo, 2004).
Dengan pengelolaan yang semestinya potensi produksi yang meningkat dari
kambing cukup tinggi. Kebanyakan akan bergantung apakah nilainya sebagai hewan
piaraan, dan belum mempertimbangkan keekonomisannya. Menyertai sifat-sifat ini adalah
kesuburan reproduksi yang tinggi dan interval waktu generasi yang pendek, yang berarti
bahwa dapat berproduksi 5 bulan setelah perkawinan pertama dan bahwa anak pertama
mungkin terjual dalam waktu kurang dari 1 tahun. Rata-rata kemampuan kambing induk
melahirkan 1,6 ekor. Tingkat produktivitas kambing mencapai 60,87%. Sedangkan rata-rata
tingkat kematian anak sejak lahir hingga umur 1 (satu) bulan mencapai 15%.
KESIMPULAN
Kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan pada ternaknya sangat dipengaruhi
oleh persepsi petani dalam menyediakan dan memberikan pakan. Sumberdaya alam yang
ada cukup mendukung dalam penyediaan hijauan pakan ternak, dimana rumput dan legum
tersedia sepanjang tahun. Pengembangan usaha ternak kambing dalam sistem usahatani
memungkinkan untuk dilaksanakan terutama dalam menunjang pendapatan bagi petani.
Saran-saran
Untuk meningkatkan produksi dan populasi ternak kambing yang dapat menjamin
peningkatan produktivitas ternak kambing secara kontinue maka masih perlu dukungan
teknologi.
Pemberdayaan kelembagaan produksi kambing masih perlu ditingkatkan untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dalam sistem dan usaha agribisnis
ternak kambing.
Pemeliharaan kambing yang dapat dilakukan secara terpadu dalam sistem usahatani
sebagai suatu sistem produksi dimana antara pemeliharaan kambing, pengembangan
pakan hijauan, usahatani tanaman pangan dan pemanfaatan limbah pertanian serta
pengelolaan kotoran ternak menjadi kompos yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk
organik untuk tanaman pangan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Timur., 2002. Lombok Timur Dalam Angka
Tahun 2002, Selong.
Badan Pusat Statistik Propinsi NTB., 2002. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka Tahun 2002,
Mataram.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 572
Seminar Nasional 2005
Badan Pusat Statistik Propinsi NTB., 2003. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka Tahun 2003,
Mataram.
Djafar Makka, 2004. Tantangan dan Peluang Pengembangan Agribisnis Kambing Ditinjau
dari Aspek Pewilayahan Sentra Produksi Ternak. Prosiding Lokakarya Nasional
Kambing Potong. Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Isbandi, Muchi Martawidjaja, Bambang Setiadi dan Achmad Saleh. 2002. Studi
Ketersediaan Pakan Kambing pada Agroekosistem yang Berbeda. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak. Badan
Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.
Simon P. Ginting. 2004. Tantangan dan Peluang Pemanfaatan Pakan Lokal untuk
Pengembangan Peternakan Kambing di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional
Kambing Potong. Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Subandriyo. 2004. Strategi Pemanfaatan Plasma Nutfah Kambing Lokal dan Peningkatan
Mutu Genetik Kambing di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Kambing
Potong. Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Yohanes G. Bulu, Sasongko WR, Ketut Puspadi, Nurul Agustini, Wildan Arief dan Sri
Hastuti. 2004. Sistem Usahatani Ternak Kambing pada Lahan Kering di
Kabupaten Lombok Timur. Laporan Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Nusa Tenggara Barat.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 573
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Nusa Tenggara Barat memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan ternak kambing pada
pertanian lahan kering, serta mempunyai peluang yang besar terhadap tumbuh kembangnya kegiatan usaha
agribisnis di pedesaan. Lahan kering menyimpan berbagai potensi yang cukup besar apabila dikelola dengan baik.
Populasi kambing di NTB pada tahun 2003 mencapai 282.500 ekor, sedangkan di Kabupaten Lombok Timur
tercatat 48.168 ekor. Namun demikian selama tujuh tahun terakhir ini (1997 – 2003) populasi kambing di NTB
mengalami penurunan sebesar 21,4%, sedangkan di Kabupaten Lombok Timur mengalami penurunan cukup
tinggi yaitu sebesar 87,5%. Sebagian besar petani pada wilayah pertanian lahan kering adalah berpenghasilan
rendah dan berpendidikan rendah, sehingga banyak permasalahan-permasalahan yang tidak dapat dipecahkan
secara individu; yang hanya dapat dipecahkan melalui lembaga. Pengkajian ini bertujuan menganalisis model
kelembagaan pengembangan ternak kambing melalui inovasi teknologi pada pertanian lahan kering, yang sesuai
dengan kondisi lingkungan alam, ekonomi, kelembagaan dan sosial budaya masyarakat setempat. Pengkajian ini
dilakukan tahun 2004 pada 7 (tujuh) kelompok tani pembibitan kambing di Desa Sambelia Kabupaten Lombok
Timur. Pendekatan dalam pengkajian adalah pemberdayaan kelembagaan pengembangan ternak kambing
dilakukan secara menyeluruh, partisipatif dan integratif (holistic-participative-integrative approach, HPIA)
dengan menganalisis rumah tangga tani dan hubungan sinergis antara kelembagaan pengembangan ternak
kambing dan sumber teknologi, kelembagaan perantara dan pasar sebagai suatu sistem. Teknik pengumpulan data
adalah melalui diskusi, wawancara dan observasi partisipatif. Data yang dikumpulkan dianalisis secara diskriptif.
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa model kelembagaan pengembangan ternak kambing di lahan kering adalah
kelembagaan produksi ternak kambing yang meliputi kelembagaan pembibitan dan penggemukan yang
disesuaikan dengan kondisi sumberdaya lokal (sosial ekonomi, sosial kelembagaan dan budaya), agroekosistem
dan ketersediaan bahan lokal. Antara pembibitan dan penggemukan Kegiatan penggemukan kambing tidak dapat
dipisahkan dengan kelembagaan pembibitan sehingga merupakan satu kesatuan dalam kegiatan produksi ternak
kambing. Kelembagaan produksi ternak kambing harus didukung oleh ketersediaan teknologi dari sumber
teknologi, dukungan pemberdayaan kelembagaan dari Dinas dan PPL setempat.
Kata Kunci: kelembagaan, ternak kambing, teknologi dan lahan kering.
PENDAHULUAN
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 574
Seminar Nasional 2005
pemeliharaan kambing sangat kecil dibandingkan dengan investasi pada usaha lain seperti
tanaman pangan (Dahlanuddin, et. al., 2002). Menurut Pasandaran et al (1993), bahwa
sumber daya manusia yang berada di wilayah lahan kering berasal dari rumah tangga
berpengahasilan rendah dan juga berpendidikan rendah. Hal ini menyebabkan rendahnya
tingkat adopsi teknologi pada pertanian lahan kering.
Populasi kambing di NTB cukup tinggi yaitu 282.500 ekor pada tahun 2003 yang
menyebar di seluruh wilayah terutama di lahan kering. Populasi kambing di Kabupaten
Lombok Timur pada tahun 2003 (48.168 ekor) dan tahun 2004 meningkat menjadi 54,385
ekor (BPS, 2003; BPS, 2004). Populasi ternak kambing di NTB umumnya dipelihara pada
wilayah lahan kering (Bappeda, 2002). Oleh karena itu ternak kambing mempunyai peluang
yang besar terhadap peningkatan pendapatan petani lahan kering melalui perbaikan atau
penerapan teknologi alternatif (hasil rekayasa) sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
produktivitas kambing.
Masalah-masalah yang dihadapi dalam pengembangan ternak kambing adalah
rendahnya produktivitas dan terbatasnya modal bagi para petani. Peningkatan produktivitas
dapat dilakukan dengan perbaikan manajemen pemeliharaan seperti pemberian pakan,
perkandangan, sistem perkawinan dan kontrol terhadap penyakit, sedangkan upaya
pemecahan masalah kelangkaan modal usahatani dapat dilakukan dengan cara pemberdayaan
lembaga keuangan yang ditumbuhkan secara partisipatif oleh masyarakat pedesaan.
Pengembangan wilayah pertanian lahan kering di NTB dapat berkelanjutan apabila
ada penghargaan terhadap empat jenis sumberdaya utama, yaitu sumberdaya
alam/lingkungan, sumberdaya buatan/ekonomi (termasuk didalamnya teknologi dan
permodalan), sumberdaya kependudukan, dan sumberdaya sosial kelembagaan. Salah satu
masalah utama dalam pengembangan ternak kambing adalah kurang berfungsinya
kelembagaan tani maupun lembaga-lembaga pendukung pertanian lainnya dalam program
pembangunan pertanian. Pengkajian ini bertujuan menganalisis model kelembagaan
pengembangan ternak kambing melalui inovasi teknologi pada pertanian lahan kering, yang
sesuai dengan kondisi lingkungan alam, ekonomi, kelembagaan dan sosial budaya
masyarakat setempat.
METODOLOGI PENELITIAN
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 575
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 576
Seminar Nasional 2005
pengembangan kambing tersebut dapat menjadi informasi dasar bagi pihak terkait dalam
merancang program pengembangan peternakan, bisa dilakukan secara integrasi antara ternak
kambing dengan tanaman jagung dalam suatu konsep agribisnis. Menurut Makka (2004)
bahwa upaya yang ditempuh dapat berupa pengembangan dan aplikasi model-model yang
dapat direplikasi diberbagai wilayah sesuai kondisi agroekosistem dan pola usaha petani
setempat.
Kelembagaan produksi yang dibentuk dalam pengembangan usaha ternak kambing
di lahan kering adalah usaha pembibitan dan penggemukan. Antara kelembagaan produksi
ternak kambing telah mempunyai jaringan dengan lembaga pemasaran ternak. Akan tetapi
kelembagaan produksi belum mampu menyediakan ternak sesuai jumlah dan kulitas ternak
yang diminta pasar. Hal ini disebabkan populasi ternak kambing yang dipelihara masing-
masing anggota kelompok relatif sedikit yaitu berkisar 5 – 7 ekor per rumah tangga.
SUMBER TEKNOLOGI
DUKUNGAN KEBIJAKAN
(BALIT, PUSLIT, BPTP,
PEMERINTAH
PT, SWASTA)
INSTANSI TERKAIT
(DINAS PETERNAKAN
DAN PERTANIAN)
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 577
Seminar Nasional 2005
Masalah kelembagaan merupakan salah satu mata rantai yang terlemah dalam
memajukan peternakan di Indonesia (Makka, 2004). Masalah kelembagaan sangat ditentukan
oleh budaya, adat – istiadat dan nilai yang ada dalam masyarakat setempat. Oleh karena itu
masih sangat perlu dilakukan perubahan sikap dan pola perilaku petani secara terus menrus.
Untuk mendukung keberlanjutan usaha produksi ternak kambing perlu didukung
oleh kelembagaan keuangan formal maupun non formal. Pada tahapan ini petani belum
mempunyai kekuatan untuk mengakses permodalan dari kelembagaan keuangan formal. Hal
ini disebabkan oleh persyaratan dan prosedur peminjaman uang yang diterapkan oleh
lembaga keuangan formal seperti Bank dianggap rumit oleh sebagian besar petani kecil
(Bulu, 2004).
Pemberdayaan kelembagaan pemasaran di tingkat kelompok tani adalah membuka
jaringan pemasaran kambing sehingga membutuhkan dukungan pembinaan. Pemasaran
ternak kambing di Desa Sambelia tidak ada masalah karena telah ada jaringan pemasaran
dan telah tersedia lembaga pemasaran di desa. Namun yang menjadi kendala bagi peternak
bahwa mereka belum mampu memenuhi volume permintaan pasar. Aspek kelembagaan
yang perlu diperhatikan dalam pemberdayaan petani adalah menyengkut perilaku,
kepercayaan antara pelaku pasar, kejujuran, interaksi dan pengambilan keputusan. Dengan
demikian pemberdayaan petani kecil melalui inovasi lebih relevan untuk difokuskan pada
pembinaan kelembagaan sehingga dapat membangun hubungan sinergis antara lembaga-
lembaga ke dalam satu kesatuan sistem produksi.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 578
Seminar Nasional 2005
Perubahan faktor internal individu petani sangat ditentukan oleh perubahan kondisi
faktor eksternal yang berkaitan dengan usaha ternak kambing yang dilakukan. Tingkat
kesulitan komponen teknologi anjuran juga berhubungan dengan kemampuan petani untuk
menerapkan teknologi. Sebagian besar petani menyatakan bahwa komponen teknologi atau
unsur-unsur teknologi yang dianjurkan tidak sulit dan relatif mudah dilakukan namun dalam
penerapan teknologi tersebut sangat tergantung pada ketersediaan tenaga kerja dan modal
yang dimilki.
U sah a P an g an
10
,5 %
12 %
U sah a T ern ak
5 ,6 % 5 ,3 %
P E N D AP AT A N
P E N D AP AT A N
U S AH A
U S AH A
P AN G A N
T E R N AK K eb u tu h an R T ,9 %
48 ,4% 78
K AM B IN G A tau keb u tu h an
se h ari-h ari
3%
34% 5,
K eb u tu h an
L ain n ya
Gambar 2. Aliran permodalan dalam usaha tanaman pangan dan usaha ternak, 2004.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 579
Seminar Nasional 2005
Secara umum permodalan petani lahan kering untuk membiayai usahataninya relatif
sangat terbatas. Sebagian besar sumber permodalan petani lahan kering relatif bervariasi.
Sumber permodalan untuk usaha ternak kambing sebagian besar berasal dari modal sendiri
(45,5%). Sumber pemodalan sendiri untuk usaha ternak kambing dominan berasal dari
usahatani pangan, hortikultura dan perkebunan. Petani yang tidak memiliki modal lebih
adalah dengan meminjam kepada orang tua, famili, dan tetangga berkisar 36% - 41%. Hasil
penjulan kambing yang digunakan untuk usaha pemeliharaa kambing baru mencazpai 5,6%.
Sebagian besar (48,4%) hasil penjulan atau pendapatan dari usaha kambing digunakan untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga/sehari-hari (kebutuhan pangan keluarga). Pendapatan
dari usahatani kambing yang digunakan untuk memnuhi kebutuhan lain seperti biaya
pendidikan, pajak, zakat, dan biaya transportasi.
Pendapatan dari usahatani tanaman pangan yang digunakan untuk usaha pangan
(10,5%), usaha ternak (5,3%), untuk memnuhi kebutuhan rumah tangga (78,9%) dan untuk
pemenuhan kebutuhan lainnya (5,3%) (Gambar 2). Hasil pengkajian ini menunjukkan bahwa
pendapatan petani lahan kering baik dari usaha ternak maupun usahatani pangan lebih
dominan dimanfaatkan untuk memnuhi kebutuhan pangan keluaga. Petani belum melakukan
investasi untuk usaha ternak kambing sebagai sumber pendapatan utama rumah tangga.
Sebagian besar petani masih cenderung memilih usahatani tanaman pangan sebagai sumber
pendapatan utama rumah tangga. Berdasarkan kondisi ini maka pengembangan peternakan
ke depan harus dilakukan secara integarasi dengan usahatani tanaman (tanaman jagung).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 580
Seminar Nasional 2005
Tabel 2. Kelayakan ekonomi usaha ternak kambing pembibitan di Desa Sambelia, 2004.
Kesimpulan
1. Ternak kambing sangat sesuai dikembangkan pada wilayah lahan kering seperti di Desa
Sambelia Kecamatan Sambelia dan wilayah-wilayah lain Kabupaten Lombok Timur
yang mempunyai agroekosistem yang sama atau yang hampir sama.
2. Intervensi teknologi sistem usahatani ternak kambing menunjukkan terjadi perubahan
pola pemeliaharaan kambing dari pemeliharaan ekstensif menjadi semi intensif.
3. Tingkat penerapan teknologi pemeliharaan ternak kambing oleh petani kooperator relatif
meningkat dan lebih baik dibandingkan sebelum dilakukan pengkajian.
4. Model kelembagaan pengembangan ternak kambing adalah kelembagaan produksi
ternak kambing dengan dukungan sumberdaya alam (sumberdaya Lokal), sumber
teknologi seperti BPTP, pemberdayaan oleh PPL, lembaga keuangan baik formal
maupun non formal, pasar serta dukungan kebijakan pemerintah daerah dalam
pengembangan ternak kambing.
5. Penerapan teknologi menunjukkan respon petani/peternak relatif tinggi. Dukungan
pemerintah daerah melalui kebiajakan pengembanan ternak kambing relatif baik.
6. Model pengembangan ternak kambing di lahan kering yang sesuai adalah usaha
pembibitan yang sekaligus dilakukan usaha pembesaran dan penggemukan.
7. Ditinjau dari aspek sosial-ekonomi usaha ternak kambing pembibitan yang dilakukan
oleh petani kooperator memberikan tingkat keuntungan rata-rata mencapai Rp
1.703.863/rumah tangga/tahun dengan nilai indeks B/C Ratio 1,01.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 581
Seminar Nasional 2005
Saran-saran
1. Untuk meningkatkan produksi dan populasi ternak kambing yang dapat menjamin
pemasaran ternak kambing secara kontinue maka masih perlu dukungan teknologi.
2. Pemberdayaan kelembagaan produksi kambing masih perlu ditingkatkan untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dalam sistem dan usaha agribisnis
ternak kambing.
3. Koordinasi dan keterlibatan pihak terkait dalam pemberdayaan petani miskin melalui
sistem usahatani ternak kambing sangat penting dan segera dilakukan guna
mensukseskan program pembangunan pernakan yang sekaligus dapat meningkatkan
pendapatan petani marginal.
4. Untuk mencapai skala ekonomi dan untuk menjamin kontinuetas pendapatan rumah
tangga maka dalam usaha ternak kambing dapat jumlah induk yang dipelihara hingga
mencapai minimal 10 – 20 ekor per rumah tangga.
5. Pemeliharaan kambing yang dapat dilakukan secara terpadu dalam sistem usahatani
tanaman ternak guna meningkatkan nilai tambah.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2003. Panduan Umum Pengkajian dan Diseminasi di BPTP. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian bekerjasama dengan
BP2TP, Bogor.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Timur., 2003. Lombok Timur Dalam Angka
Tahun 2003, Selong.
Badan Pusat Statistik Propinsi NTB., 2003. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka Tahun 2003,
Mataram.
Bambang Setiadi, 2003. Alternatif Konsep Perbibitan dan Pengembangan Usaha Ternak
Kambing. Makalah disampaikan pada sarasehan “Potensi Ternak Kambing dan
Prospek Agribisnis Peternakan”. Bengkulu.
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Lombok Timur. 2002. Statistik Pertanian
Kabupaten Lombok Timur.
Djajanegara, A., dan Artaria Misniwaty. 2004. Pengembangan Usaha Kambing dalam
Konteks Sosial – Budaya Masyarakat. Prosiding Lokakarya Nasional Kambing
Potong. „ Kebutuhan Inovasi Teknologi Mendukung Agribisnis Kambing yang
Berdayasaing”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
Makka Djafar, 2004. Tantangan dan Peluang Pengembangan Agribisnis Kambing Ditinjau
dari Aspek Pewilayahan Sentra Produksi Ternak. Prosiding Lokakarya Nasional
Kambing Potong. „ Kebutuhan Inovasi Teknologi Mendukung Agribisnis Kambing
yang Berdayasaing”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
Sharma, K., J.L. Ogra and N.K. Bhattackarya. 1992. Development of Agro. Silvispasture or
Goats. In.R.R. Lokeshwer (Ed) Research in Goats Indian Experience. CIGR.
Makhdoom, Mathura, India. Pp 66-73.
Bulu, Yohanes G., 2004. Pemberdayaan Petani Melalui Inovasi Sistem Usahatani Ternak
Kambing di Lahan Kering Kabupaten Lombok Timur. Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional “Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Ternak dan Pengembangan
Peternakan Dalam Sistem Usahatani Lahan Kering”. Waingapu, NTT 23 -24
Agudtus 2004. (Prosiding dalam Proses Penerbitan).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 582
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari perkawinan kelompok guna meningkatkan reproduksi rusa
sambar (Cervus unicolor brookei). Penelitian ini dilakukan menggunakan 10 ekor rusa betina dan 3 ekor rusa
jantan umur 8 sampai 10 tahun. Induksi birahi dilakukan menggunakan intravaginal spon yang berisi 450 mg
Medroxy progesterone acetate (MPA), secara intravaginal selama 9 hari. Selanjutnya pada hari yang ke 2 hingga
hari ke 6 setelah spong diambil, rusa betina tersebut dicampur dengan tiga ekor rusa jantan pada tahap ranggah
keras, agar dapat terjadi perkawinan dan kebuntingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa retention rates spon
mencapai 100% yaitu tetap berada di vagina selama 9 hari. Pengamatan vagina pada saat pengambilan spon pada
10 ekor rusa betina tidak ditemukan adanya iritasi atau kelianan akibat pemasangan spon. Hasil stimuli birahi
menunjukkan bahwa setelah 2 hari setelah spon diambil, 3 ekor rusa birahi dan dikawini oleh rusa jantan, pada 3
hari setelah spon diambil, 4 ekor rusa menunjukkan birahi dan dikawini, sedang sisanya 3 ekor tidak teramati.
Namun dari 10 ekor rusa betina tersebut, 1 ekor tidak bunting dan 9 ekor melahirkan normal dengan lama
kebuntingan 235,66 3,60 hari (Means SD) dan dapat berkembang baik hingga lepas sapih. Akhirnya dapat
disimpulkan bahwa teknologi perkawinan kelompok yang dapat menunjang tatalaksana pemeliharaan untuk
mengatur waktu kelahiran, penyapihan, pemberian pakan dan dapat digunakan untuk meningkatkan produksi
rusa.
Kata kunci: Rusa sambar, perkawinan kelompok, tatalaksana pemeliharaan.
PENDAHULUAN
Rusa sambar (Cervus unicolor brookei), termasuk dalam kategori hewan liar dengan
fisik yang relatif besar mempunyai ukuran tubuh yang terbesar dibanding dengan spesies
rusa Indonesia yang lain seperti rusa timor (Cervus timorensis), rusa Bawean (Axis kuhlii),
muncak (Muntiacus muntjak). Rusa sambar yang ada di Pulau Kalimantan, mempunyai
potensi untuk dikembangkan tidak saja penghasil daging yang berkualitas (Venison), tetapi
juga beberapa produk untuk pengobatan tradisional Cina. Produk bahan obat tradisionil Cina
yang telah diproduksi dari hasil tambahan peternakan rusa di Selandia Baru yaitu: royal deer
velvet liqueur, dried deer antler velvet, deer horn and ginseng capsules, Versatile venison
jerky, deer blood powder capsules, deer tails, dried pizzle and sinew (Bellaney, 1993).
Produk peternakan rusa tersebut di export dari Selandia Baru ke Cina, Hongkong, USA,
Taiwan, Jepang dan Australia, yang dapat diandalkan menjadi sumber devisa negara. Dari
gambaran produksi peternakan diatas, rusa sambar mempunyai potensi untuk dikembangkan
di Indonesia sebagai industri peternakan.
Rusa sambar telah dikembangkan dalam penangkaran oleh Dinas Peternakan
Kalimantan Timur dengan menggunakan menejemen peternakan yaitu teknologi pakan,
menejemen petak dengan cara rotasi, penanganan kesehatan dan panen ranggah (Semiadi,
2001). Namun dari hasil penelitian oleh Puslit Biologi LIPI bahwa rusa tersebut mempunyai
reproduktifitas yang rendah dan kematian pra sapih yang tinggi. Reproduktifitas rendah yaitu
jumlah anak yang dilahirkan dari jumlah induk yaitu hanya mencapai 48,8% 16,24%
(means SD) (Semiadi, 2001), dan kematian anak pra sapih sebesar 11,9% (Semiadi, 2001).
Dari data reproduktifitas dan kematian pra sapih tersebut dapat disimpulkan bahwa
produktifitas rusa sambar tersebut relatif rendah.
Kendala reproduktifitas tersebut disebabkan karena pola perkembang biakan rusa
yang bersifat non seasonal polyoestrus yaitu tidak mempunyai musim perkawinan dan dapat
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 583
Seminar Nasional 2005
menunjukkan birahi kembali dan berulang kapan saja kalau tidak bunting sepanjang tahun
(Dradjat, 2000). Bila anak rusa lahir pada musim kering dan ketersediaan hijauan terbatas,
maka kematian pra sapih meningkat. Disamping itu induk dapat mengalami post partum
anoestrus yang panjang, yaitu tidak ada siklus birahi dalam periode waktuselama
ketersediaan makanan terbatas. Oleh karena itu diperlukan teknologi yang dapat digunakan
untuk mengatur kapan sebaiknya kelahiran terjadi pada saat makanan cukup tersedia,
sehingga diperlukan perencanaan kelahiran.
Penelitian ini dilakukan dengan maksud mengembangkan teknologi perkawinan
kelompok, sehingga rusa dapat kawin secara serentak, lahir serentak dan memudahkan
menejemen pemeliharaan, untuk meningkatkan produksi rusa.
Penelitian ini dilakukan pada 10 ekor rusa sambar betina dewasa, umur 8 sampai 10
tahun, yang dipilih dari 49 ekor rusa dengan kriteria pernah beranak, temperamen yang
relatif jinak dan penampilan fisik baik. Rusa-rusa tersebut dipelihara pada petak khusus
terpisah dari rusa yang lain. Tiga rusa jantan yang berada pada fase ranggah keras dipilih
untuk digunakan mengawini rusa betina. Rusa sambar tersebut dipelihara pada peternakan di
UPTD Balai Pembibitan dan Inseminasi Buatan (BPIB) Api-api, Penajam Paser Utara
Kalimantan Timur.
Rusa diberi makan dengan memanfaatkan rumput pada petak pemeliharaan dengan
metoda rotasi dan pakan tambahan dedak sebanyak 0,5 kg/ekor per hari. Sesuai dengan
kebutuhan pengelolaan penangkaran rusa pada UPTD tersebut disiapkan kandang jepit
khusus untuk penanganan rusa. Rusa-rusa tersebut dibiasakan untuk memasuki kandang jepit
sehingga terbiasa dan lama kelamaan stress menjadi minimum. Disamping itu pengelola
kandang di UPTD telah dididik khusus oleh LIPI (Semiadi, 2001) agar stress terhadap rusa
yang disebabkan karena penanganan dapat ditekan serendah mungkin (English, 1992).
Induksi keserentakan birahi dilakukan menggunakan spon diinjeksi 450 mg
Medroxy progesteron acetate (MPA). Spon tersebut dibiarkan kering pada suhu kamar dan
dipasang tali untuk memudahkan pengambilan dari vagina (Dradjat et al., 2001: Zainuri et
al., 2001). Pemasangan spon tersebut dilakukan pada hari 1 (Tabel 1) sebagai berikut: rusa
dimasukkan ke kandang penanganan, dengan menggiring dari petak menuju kandang
pengumpul, selanjutnya satu persatu di masukkan ke kandang penanganan. Setelah rusa
masuk pada kandang penanganan, dinding kiri kandang digeser sehingga rusa terjepit,
selanjutnya lantai kandang penanganan dijatuhkan. Dengan demikian rusa akan tertahan
pada kandang penanganan. Menggunakan aplikator yang telah diulas dengan vaselin, spon
bertali dimasukkan secara intravaginal selama 9 hari.
Pengambilan spon dilakukan pada hari yang ke sembilan (Tabel 1) rusa-rusa tersebut
dimasukkan ke kandang penanganan dan spon yang berada di vagina diambil dengan
menarik tali yang dapat dilihat di vulva. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan secara visual
pada vagina menggunakan speculum, untuk mengetahui apakah ada perubahan, irritasi
permukaan vagina atau radang akibat pemasangan spon.
Perkawinan secara dilakukan dengan mengumpulkan rusa-rusa betina, hari ke dua
setelah intravaginal spong diambil, dengan 3 ekor jantan yang pada saat itu berada pada
kategori ranggah keras. Pengumpulan jantan dan betina dilakukan selama 5 hari dari hari ke
2 hingga hari ke 6 setelah spong diambil (Hari ke 11 hingga 15, Tabel 1).
Pengamatan kelahiran dilakukan 220 hingga 250 hari setelah perkawinan atau hari
ke 230 hingga 260 (Lihat Tabel 1). Rusa-rusa tersebut ditempatkan pada petak tertentu
sehingga birahi, perkawinan, kelahiran dan pemberian pakan dapat dilakukan lebih
terkontrol. Data kelahiran dicatat dengan baik untuk mengetahui keserempakan kelahiran
dan selanjutnya digunakan untuk evaluasi pelaksanaan tatalaksana perkawinan kelompok.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 584
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 585
Seminar Nasional 2005
Dengan perkawinan kelompok, rusa dapat di induksi untuk birahi pada waktu yang
telah ditentukan sehingga kebuntingan terjadi pada waktu yang diharapkan dan kelahiran
pada waktu yang telah direncanakan. Hasil kelahiran pada penelitian tersebut yaitu 9 ekor
atau tingkat kebuntingan 90%, dengan tanggal kelahiran yang pertama dengan yang terakhir
berjarak 10 hari, ke 9 ekor anak lahir selamat. Dilaporkan bahwa kebuntingan hasil kawin
alam pada hewan liar, termasuk rusa dapat mencapai 85-100% sedangkan menggunakan
inseminasi buatan kebuntingan yang dihasilkan hanya mencapai 50-60% (Bainbridge dan
Jabbour, 1998). Hasil penghitungan lama kebuntingan, menunjukkan bahwa pada penelitian
ini rusa lahir dalam kurun waktu tertentu dan relatif serentak dengan lama bunting
235,66 3,60 hari (means SD). Lama bunting rusa Sambar ini ternyata tidak berbeda jauh
dengan lama bunting rusa Axis axis 234,5 3,0 hari (means SD) (English, 1992), Cervus
timorensisi rusa 249 13,4 hari (means SD) (Van Mourik, 1986), Cervus elaphus 239-247
hari (Haigh dan Bowen, 1991). Lama kebuntingan pada rusa sangat bervariasi karena dapat
terjadi embryonic diapause, yaitu embryo berada dalam uterus beberapa waktu berdiam dan
tergantung hidupnya dari uterine milk sebelum terjadi implantasi pada endometrium
(Bainbridge dan Jabbour, 1998).
Perkembang biakan secara alami pada rusa sambar yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan kelahiran dan menyusui pada musim yang tidak menguntungkan
menghasilkan reproduktifitas yang rendah dan kematian anak prasapih tinggi (Semiadi,
2001). Teknologi perkawinan kelompok ini dapat digunakan untuk mengatur perkawinan,
kebuntingan dan kelahiran. Dengan demikian kebuntingan dan kelahiran dapat dihindarkan
untuk terjadi pada musim dimana ketersediaan makanan terbatas. Bila terjadi kelahiran pada
musim dimana ketersediaan makanan terbatas maka kematian anak meningkat, produksi air
susu induk sedikit dan terjadi anestrus pasca melahirkan yang panjang, sehingga dari sisi
ekonomi peternakan rusa akan dirugikan.
Terima kasih diucapkan kepada Kepala Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Timur dan
Staf UPTD BPIB Api-api Penajam Paser Utara Kalimantan Timur.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 586
Seminar Nasional 2005
DAFTAR PUSTAKA
Asher G.W. and Jabbour N.H. (1992) Techniques of oestrus synchronisation and artificial
insemination of farmed fallow deer and red deer. Australian deer farming, 3:9-16.
Asher G.W., Fisher M.W., Fennessy P.F., Mackintosh C.G., Jabbour H.N. and Morrow C.J.
(1993a) Oestrus synchronisation, semen collection and artificial insemination of farmed
red deer (Cervus elaphus) and fallow deer (Dama dama). Animal Reproduction
Science. 33: 241-265.
Argo C. Mc. G., Jabbour H.N., Webb R. and Loudon A.S.I. (1992) Endocrine and ovarian
responses in red and Pere David's deer following superovulation with PMSG and FSH.
Journal of Reproduction and Fertility. :31.
Bainbridge D.R.J. and Jabbour H.N, (1998) Potential of assisted breeding techniques for the
conservation of endangered mamalian species in captivity: a review. The veterinary
record. 143: 159-168.
Bellaney C.F. (1993) Fallow deer velvet and co-product Proceedings of the First World
Forum on Fallow deer farming. Mudgee, NSW. Australia:197-198.
Dradjat A.S, (1990) A study to established methods for improvement of the reproductive
management of dairy cows using milk progesterone enzyme immunoassay. M.Phil.
Thesis. Murdoch University, Australia.
Dradjat A.S, (1996) Artificial breeding and reproductive management in chital deer (Axis
axis).: a model to preserve endangered tropical deer species. PhD Thesis. The
University of Sydney, Australia.
Dradjat A.S, (2000) Fertility diagnosis of timorensis deer (Cervus timorensis) semen during
antler cycle. Prosidings Seminar Nasional Diagnosis Laboratoris, Klinis dan Nutrisi
Veteriner. 48-56.
Dradjat A.S, (2001) Hubungan antara status ranggah dan aktifitas reproduksi pada rusa
bawean (Axis kuhlii) jantan. Buletin Peternakan 25(4): 152-161.
Dradjat A.S., Muzani A., Zaenuri LA., Lukman HY., Rodiah., Syahibuddin R. dan
Sumadiasya L (2001) Penerapan Teknologi perkawinan kelompok pada sapi Bali.
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian. Departeman
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor. Mataram 30-31 Oktober 2001:288-
293.
Dradjat A.S, (2002) Inseminasi buatan pada rusa Indonesia. Prosidings Seminar Nasional
Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna: 156-
162.
English A.W. (1992) Management strategies for farmed chital deer. Proceedings of the
International symposium on biology of deer. editor: Brown R.D. Springer-Verlag New
York Inc. :189-195.
English A.W. and Mulley R.C. (1992) Causes of perinatal mortality in farmed fallow deer
(Dama dama). Australian Veterinary Journal. 69:191-193.
Fennessy P.F., Fisher M.W. and Asher G.W. (1989) Synchronisation of the oestrous cycle in
deer, Proceedings of a deer Course for Veterinarians. New Zealand Veterinary
Association. no 6:29-35.
Fennessy P.F., Fisher M.W., Webster J.R., Mackintosh C.G., Suttie J.M., Pearse A.J. and
Corson I.D. (1986) Manipulation of reproduction in red deer. Proceedings of Deer
Course for Veterinarian. Deer Branch. New Zealand Veterinary Association. No.
3:103-120.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 587
Seminar Nasional 2005
Haigh J.C. and Bowen G., (1991) Artificial insemination of red deer (Cervus elaphus) with
frozen-thawed wapiti semen. Journal of Reproduction and Fertility. 93: 119-123.
Haigh J.C., Dradjat A.S. and English A.W. (1993) Comparison of two extenders for the
cryopreservation of chital (Axis- axis) semen. Journal of Zoo and Wildlife Medicine.
24:454-458.
Jabbour H.N., Marshall V., Argo C., Hooton J. and Loudon A.S.I. (1994) Successful embryo
transfer following artificial insemination of superovulated fallow deer (Dama-dama).
Reproduction, Fertility and Development. 6:181-185.
Monfort S.L., Asher G.W., Wild D.E., Wood T.C., Schiewe M.C., Williamson L.R., Bush M.
and Rall W.F. (1993) Successful intrauterine insemination of Eld's deer (Cervus eldi
thamin) with frozen-thawed spermatozoa. Journal of Reproduction and Fertility.
99:459-465.
Nelson T.A. and Woolf A. (1987) Mortality of white-tailed deer fawns in southern Illinois.
Journal of Wildlife Management. 51 (2):326-329.
Raphael B.L., Loskutoff N.M., Howard J.G., Wolfe B.A., Nemec L.A., Schiewe M.C. and
Kraemer D.C. (1989) Embryo transfer and artificial insemination in suni (Neotragus
moschatus zuluensis). Theriogenology. 31(1):244.
Semiadi G, 2001. Potensi pengembangan peternakan rusa sambar di Kabupaten Paser.
(Laporan hasil penelitian dan pembinaan Fase 1. Lokakarya Pengembangan
Bioteknology Budidaya Rusa Sambar di Kalimantan Timur. Samarinda 6 Nopember
2001.
Van Mourik S. (1986) Reproductive performance and maternal behaviour in farmed Rusa deer
(Cervus (rusa) timorensis). Applied Animal Behaviour Science. 15:147-157.
Zaenuri LA., Dradjat AS., Sumadiasya L. dan Lukman HY. (2001) Sinkronisasi birahi
menggunakan spon berprogesteron dan inseminasi buatan dengan semen segar
pejantan Boer untuk meningkatkan produktifitas kambing lokal. Prosiding Seminar
Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian. Departeman Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian Bogor. Mataram 30-31 Oktober 2001: 293-302.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 588
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Secara umum bahan baku pakan mempunyai sifat cepat rusak, apalagi Indonesia merupakan negara
tropis dengan suhu dan kelembaban yang cukup tinggi. Selama penyimpanan jagung sering tercemar dan rusak
oleh serangga dan jamur. Jamur yang sering ditemukan antara lain Aspergillus spp., Diplodia sp., Fusarium sp.,
Pennicillium sp., Cladosporium sp., Rhizopus sp., dan Trichoderma sp. Jamur-jamur tersebut menghasilkan
mikotoksin seperti jamur Aspergillus sp menghasilkan Aflatoksin dan Okratoksin, jamur Fusarium sp
menghasilkan Fumosin dan Trichothecenes dan jamur Fusarium graminearum menghasilkan Zearalenone.
Aflatoksin dapat menyebabkan kanker hati, aborsi dengan gejala ikutan yang lain, Fumosin menyebabkan
kebengkakan pada paru-paru, Zearalenone dapat menyebabkan kemandulan, Trichothecenes menyebabkan
aborsi (keguguran), imunosupresi bahkan kematian, dan Rubratoksin bersifat racun bagi organ hati. Untuk
mendiagnosis penyakit akibat jamur ini sangat sulit, karena gejalanya kurang spesifik, karena kebanyakan yang
diserang adalah organ dalam. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara pengeringan dan penyimpanan jagung
dengan baik. Untuk menghindari jamur, kadar air pada biji jagung saat penyimpanan sebaiknya tidak lebih dari
14%. Mengingat dampak negatif yang dapat ditimbulkan pada ternak, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan
standardisasi melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia (SNI)
serta Keputusan Presiden (Keppres) No. 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan
Standar Nasional, PP dan Keppres tersebut memberikan dasar hukum bagi pelaksanaan Sistem Standarisasi
Nasional (SSN) yang telah di canangkan pada tahun 1994. Standar Mutu Nasional yang diacu antara lain
mengenai batas toleransi Aflatoksin. Batas toleransi aflatoksin untuk bahan baku pakan non ruminansia berkisar
antara 20 – 50 ppb dan antara 100 – 200 ppb untuk pakan konsentrat ruminansia.
Kata Kunci : Jagung, jamur, mikotoksin, ternak
PENDAHULUAN
Jagung merupakan komoditas pokok kedua setelah beras. Selain merupakan bahan
pangan, jagung juga merupakan bahan baku pakan yang penting. Selama penyimpanan,
jagung dapat terserang oleh serangga, mikro-organisme dan tikus, namun serangga dan
cendawan / jamur merupakan penyebab kerusakan utama. Selain melukai biji, serangga
biasanya sekaligus menyebarkan jamur dengan cara membawa spora jamur pada
permukaan tubuhnya. Selain itu, aktivitas metabolisme serangga dapat menyebabkan
kenaikan kadar air substrat yang selanjutnya memacu pertumbuhan cendawan (Mus, et al.,
2002). Pencemaran jagung dapat terjadi pada saat penyimpanan, juga dapat pula terjadi
karena jamur menyerang tanaman di lapangan. Dilaporkan pula bahwa sampel biji jagung di
lapangan, rumah petani, dan gudang penyimpanan, ada tujuh spesies jamur yang ditemukan,
yaitu : Diplodia sp., Fusarium sp., Pennicillium sp., Cladosporium sp., Rhizopus sp.,
Aspergillus spp., dan Trichoderma sp. Dari ketujuh spesies cendawan tersebut yang dominan
adalah Aspergillus spp (Mus, et al., 2002).
Kerugian akibat pencemaran jamur dan aflaktoksin merupakan masalah yang utama
karena pangan dan pakan serta komponennya banyak dirusak secara fisik dan kimiawi.
Kerusakan fisik terjadi oleh pertumbuhan dan populasi jamur sehingga warna, bentuk dan
bau bahan tersebut berubah, sedangkan kerusakan kimiawi terjadi oleh adanya mikotoksin
dari jamur tersebut. Peluang pencemaran ini cukup besar karena iklim tropis di Indonesia
sangat mendukung (Rachmawati, et al., 2004). Mikotoksin yang terdapat pada biji-bijian
(seperti jagung) dapat muncul ketika kondisi lingkungan menguntungkan, dengan kisaran
suhu antara 4°C sampai dengan 40°C (suhu optimumnya adalah 25°C sampai dengan 32°C)
serta pada kadar air (optimum 18%) dan kelembaban tertentu (optimum pada kelembaban
relative 85% atau lebih) (Suparto, 2004).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 589
Seminar Nasional 2005
Menurut Spainhour dan Posey (1992) terdapat lebih dari 300 jenis mikotoksin.
Mikotoksin merupakan senyawa yang bersifat non polar, mempunyai berat molekul yang
rendah, tahan terhadap perlakuan fisik, kimia dan biologis dengan efek toksik yang sangat
bervariasi (Agus, 2001). Ward (1988) melaporkan bahwa mikotoksin dapat menyebabkan
gangguan kelahiran, aborsi, tremor, kanker, dan kerusakan berbagai organ. Kejadian
mikotoksikosis sering berkaitan dengan musim. Toksin-toksin ini dihasilkan oleh jamur
yang mencemari pakan ternak (jagung, bungkil kacang tanah, kedelai, dan lainnya) dan
bahan baku pakan yang paling sering tersecemar jamur adalah jagung (Wyatt, 1976).
Jamur-jamur tersebut menghasilkan mikotoksin antara lain Aflatoksin dan
Okratoksin oleh jamur Aspergilus sp,, Fumosin dan Trichothecenes oleh jamur Fusarium
sp, dan Zearalenone oleh Fusarium graminearum.
Mikotoksin yang paling sering dilaporkan menyebabkan gangguan kesehatan ternak
antara lain : Aflatoksin (B1, B2, G1, G2), Zearalenone, Fumonisins (FA1, FA2, FB1, FB2, FB3,
FB4), Trichothecenes, Okratoksin dan Rubratoksin (Spainhour dan Posey, 1992) dengan
efeknya pada ternak seperti berikut :
a. Aflatoksin
Aflatoksin diproduksi oleh Aspergilus flavus dan Aspergilus parasiticus.
Merupakan toksin yang paling luas penyebarannya dan paling berbahaya pada bidang
peternakan. Pengaruh toksin ini bervariasi tergantung pada spesies, status fisiologi ternak,
dosis dan lamanya terpapar. Toksin ini dapat menyebabkan kerusakan dan kanker pada hati.
(Jacques, 1988).
Secara umum ternak unggas peka terhadap toksin ini, akan tetapi yang paling peka
adalah anak itik, kalkun dan ayam (Buck et al., 1976 dalam Jacques, 1988). Gejala yang
nampak pada ayam adalah pertumbuhannya lambat, dan konversi pakannya yang buruk.
Selain itu secara patologis terlihat kerusakan pada organ hatinya. Gejala ini biasanya
nampak pada pakan yang mengandung aflatoksin sekitar 1,25-10 mg/kg (Tindall, 1983
dalam Jacques, 1988).
Seperti pada ayam, babi yang menderita aflatoksikosis menunjukkan gejala yang
serupa, yaitu penurunan berat badan, penurunan efisiensi pakan, diare berdarah dan aborsi
pada induk yang sedang bunting (Blevins et al., 1969 dalam Jacques, 1988). Lain halnya
dengan unggas dan babi, ternak ruminansia (sapi) dewasa biasanya kurang peka, kecuali
bila terpapar dalam jangka waktu yang panjang. Secara patologis terlihat organ hatinya
mengalami kerusakan, penampakan luar tubuh yang kurang bagus dan mudah terinfeksi oleh
infeksi sekunder (Buck et al., 1976 dalam Jacques, 1988). Berbeda halnya dengan sapi
dewasa, sapi muda atau pedet lebih peka terhadap aflatoksin. Gejala klinis yang sering
terlihat berupa gangguan pencernaan, ikterus (kekuningan), anemia, penurunan nafsu
makan, penurunan FCR (feed convertion ratio) serta mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang lambat. Dilaporkan pula bahwa induk yang mengkonsumsi pakan yang
tercemar aflatoksin akan mengekskresikan aflatoksin melalui air susu ( 5%) sehingga
menginfeksi anaknya (Spainhour dan Posey, 1992).
Yanuartin (2004) melaporkan bahwa dari tiga daerah di Indonesia pemasok jagung
untuk bahan baku pakan ternak ke PT. Sinta Prima Feedmill, jagung dari Makasar
mengandung aflatoksin tertinggi (218-517 ppb) sedangkan untuk jagung impor, yang
tertinggi adalah dari Thailand (43-82 ppb) (Tabel 1).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 590
Seminar Nasional 2005
Tabel 1. Kadar Aflatoxin (ppb) pada Jagung dari beberapa wilayah di Indonesia dan Jagung Impor, 2003-2004.
b. Okratoksin
Okratoksin dihasilkan oleh jamur Aspergillus ochraceous dan beberapa spesies dari
Penicillium. Babi yang mengkonsumsi pakan yang mengandung 200 ppb Okratoksin selama
tiga bulan, akan menderita penyakit ginjal, penurunan berat badan, penurunan efisiensi
pakan, dan peningkatan angka kematian Jones (1987) dalam Jacques (1988).
Hampir sama halnya dengan babi, gejala pada unggas serupa yaitu mengalami
penurunan berat badan, penurunan efisiensi pakan, kerusakan ginjal, hati, penurunan
produksi telur, penurunan kualitas karkas, anemia serta muncul permasalahan pada kaki
bahkan kematian (Jones, 1987 dalam Jacques, 1988). Kombinasi infeksi antara aflatoksin
dengan Okratoksin dilaporkan memperkuat hambatan terhadap perkembangan daya tahan
tubuh terhadap penyakit pada unggas (Buck, et al., 1976 dalam Jacques, 1988).
Pada sapi bunting, okratoksin menyebabkan abortus, sedangkan pada pedet
menyebabkan kerusakan ginjal. Toksin ini juga bersifat immunosupresif dan karsinogenik
(penyebab kanker) (Spainhour dan Posey, 1992).
c. Fumosins
Fumosin diproduksi oleh jamur Fusarium moniliforme. Toksin ini sering dikaitkan
dengan kejadian penyakit “moldy corn poisoning” atau “penyakit Equine leuco
encephalomalacia (ELEM) pada kuda dan Porcine pulmonary edema hydrothorax
syndrome atau kebengkakan pada paru-paru pada babi) (Spainhour dan Posey, 1992).
d. Zearalenone
Merupakan metabolite estrogenic yang diproduksi oleh Fusarium graminearum
atau Fusarium roseum. Pakan babi yang mengandung zearalenone dengan konsentrasi 0,66-
5,6 ppm dilaporkan dapat menyebabkan gangguan reproduksi (Young et al., 1986 dalam
Jacques, 1988). Pada konsentrasi kurang dari 1 ppm dapat menginduksi kejadian
feminimisasi (kebetinaan bagi hewan jantan) ; dan pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat
menyebabkan gangguan konsepsi, ovulasi, implantasi (perlekatan embrio pada uterus),
perkembangan fetus dan kelangsungan hidup ternak yang baru lahir. Masalah mikotoksin ini
sering ditemukan pada industri peternakan babi (Spainhour dan Posey, 1992).
Gejala klinis akibat toksin ini tergantung pada umur babi. Babi dara pada saat pre
pubertas menunjukkan gejala hiperestrogenisme (gejala kelebihan hormon estrogen) apabila
terpapar pada dosis rendah. Gejala yang terlihat berupa pembengkakan vulva,
perkembangan mammae, kadang-kadang terjadi prolapsus vagina dan rektum pada kasus
yang berat. Pada percobaan terhadap babi bunting dengan pemberian 38 ppm mengakibatkan
penurunan jumlah fetus yang hidup 38-43 hari setelah perkawinan ; dan dengan pemberian
64 ppm menyebabkan semua embrio mati. Berbeda halnya dengan babi dara, babi dewasa
membutuhkan kadar zearalenone yang lebih besar untuk dapat menyebabkan gangguan
reproduksi seperti : bunting semu, melahirkan anak yang lemah, abortus, dan an estrus (tidak
menunjukkan gejala birahi) (Diekman dan Long, 1984 dalam Jacques, 1988).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 591
Seminar Nasional 2005
e. Trichothecenes
Toksin ini diproduksi oleh jamur Fusarium spp. Sama halnya dengan zearalenone,
toksin ini sering dikaitkan dengan pakan dari jagung yang berjamur. Sudah lebih dari 40
jenis toksin Trichothecenes yang diketahui, akan tetapi yang paling paling toksik yaitu
Toksin T2. Toksin ini kerjanya menghambat sintesa protein dan dan DNA (Spainhour dan
Posey (1992).
T2 merupakan toksin yang poten, dimana pada dosis 16 ppm dilaporkan dapat
menyebabkan lambatnya pertumbuhan dan terjadinya lesi-lesi pada mulut ayam pedaging.
Selain terhadap ayam, sapi juga peka, dimana pada konsentrasi 0,1 mg/kg berat badan
mengakibatkan kematian setelah 65 hari infeksi (Buck et al., 1976 dalam Jacques, 1988).
Toksin ini menyebabkan nekrosis dan haemorhagi (perdarahan) pada saluran pencernaan,
menekan proses regenerasi sel darah pada sumsum tulang dan limfa serta berbagai
perubahan pada organ reproduksi. Gejala klinis yang muncul pada ternak antara lain :
penurunan berat badan, penurunan konsumsi dan penggunaan pakan, muntah-muntah, diare,
aborsi, immunosupresi (tertekannya kekebalan tubuh) dan kematian (Spainhour dan Posey,
1992).
f. Rubratoksin
Rubratoksin dihasilkan oleh Penicillium rubrum dan P. purpurogenum. Toksin ini
merupakan hepatotoksin dan menyebabkan perdarahan pada unggas dan hewan monogastrik.
Mikotoksin ini dapat menyebabkan penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi terutama
pada ternak babi dan unggas (Jacques, 1988).
DIAGNOSIS
Mendiagnosis mikotoksikosis sangat sulit, terutama bila hanya berdasarkan gejala klinis saja,
karena keracunan akibat mikotoksin gejalanya tidak begitu spesifik dan tidak dramatis.
Selain itu kejadian penyakit biasanya berjalan dari per akut (sangat cepat) sampai akut
(cepat). Pemeriksaan perlu dilakukan terhadap pakan yang diberikan antara lain dengan
metode “Wood Lamp”. Biasanya jagung yang mengandung aflatoxin akan terlihat berwarna
kuning kehijauan. Selain itu dapat menggunakan metode Enzyme Linked Immuno Sorben
Assay (ELISA) (Spainhour dan Posey, 1992), Thin Layer Chromatography (TLC), High
Performance Liquid Chromatography (HPLC), dan dengan Gas Chromatograpy (GC)
terhadap sampel pakan atau pangan yang dicurigai (Agus, 2001).
Memperhatikan akibat yang ditimbulkan oleh mikotoksin, peternak perlu waspada. Untuk
menjadikan bahan pakan bebas dari pencemaran jamur tentu saja tidak mungkin, oleh
karena itu diperlukan tindakan yang bersifat terpadu. Untuk menghindari jagung, bungkil
kacang, bungkil kedele dari cemaran jamur adalah a) menjaga kadar airnya tidak terlalu
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 592
Seminar Nasional 2005
tinggi (tidak lebih dari 14%), b) menyimpan pada tempat kering/tidak lembab dengan lantai
yang dialasi papan kayu, c) menggunakan zat aktif yang mampu menekan pertumbuhan
jamur (Anonimous, 1997).
Pengobatan terhadap mikotoksikosis dilaporkan tidak efektif. Kadang-kadang
ternak dapat sembuh dengan sendirinya apabila sumber toksin dihilangkan (pemberian
pakan berjamur dihentikan) (Phillips, 1989). Menurut Hamilton (1986) dalam Ward (1988),
rendahnya kandungan protein, lemak, dan vitamin dalam pakan memperparah kejadian
mikotoksikosis. Selain itu, penyakit ini akan dapat diperparah oleh penyakit infeksi yang
lain dan temperatur yang ekstrim.
Mineral Selenium dilaporkan dapat mengurangi pengaruh negatif aflatoksin pada
ayam kalkun dan babi. Pemberian pakan yang mengandung 0,2 sampai 4,0 ppm suplemen
selenium dalam bentuk sodium selenite mampu menurunkan pengaruh negatif aflatoksin B 1
(Ward, 1988) sedangkan terhadap dampak Zearalenone, menurut Kamal, et al. (1980) dapat
dilakukan dengan pemberian niacinamed, niasin, dan triptofan, karena ketiga asam amino
ini dapat menstimulasi kerja enzim-enzim yang berfungsi untuk mendetoksifikasi toksin
tersebut. Sedangkan peneliti lain melaporkan bahwa peningkatan kandungan methionin pada
pakan, dapat menurunkan aflatoksikosis pada ayam broiler (Ward, 1988).
Untuk mengatasi agar mutu pakan tetap terjaga dan sebagai upaya mewujudkan
sistem jaminan mutu di Indonesia, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan standardisasi
melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia
(SNI) serta Keputusan Presiden (Keppres) No. 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan,
Penerapan dan Pengawasan Standar Nasional, PP dan Keppres tersebut memberikan dasar
hukum bagi pelaksanaan Sistem Standarisasi Nasional (SSN) yang telah di canangkan pada
tahun 1994 (Suparto, 2004). Standar Mutu Nasional yang diacu antara lain mengenai batas
toleransi Aflatoksin. Batas toleransi aflatoksin untuk bahan baku pakan non ruminansia
berkisar antara 20 – 50 ppb dan antara 100 – 200 ppb pakan konsentrat ruminansia (Suparto,
2004). Kadar maksmum aflaktoksin untuk ternak non ruminansia berdasarkan SNI adalah
sebagai berikut (Tabel 2).
Tabel 2. Batas Maksimum Kandungan Aflatoksin (PPB) pada Pakan Non Ruminansia berdasarkan Standar
Nasional Indonsia (SNI).
Batas Maksimum
No Jenis Pakan Kandungan Aflaktosin
(ppb)
1 Ayam Ras Petelur (Stater, Grower, Layer) 50
2 Ayam Ras Pedaging (Stater, Finisher) 50
3 Puyuh Petelur (Starter, Grower, Layer) 40
4 Itik Petelur (Starter, Grower, Layer) 20
5 Babi (penggemukan pada semua fase, Induk bunting atau pun menyusui, 50
maupun pejantan)
Sumber : Suparto, D.A.H. 2004.
Pakan konsentrat ternak ruminansia belum diatur pada SNI, selanjutnya diatur
dengan Persyaratan Teknis Minimal (PTM) yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian seperti
berikut (Tabel 3).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 593
Seminar Nasional 2005
Tabel 3. Batas Maksimum Kandungan Aflatoksin (PPB) pada Pakan Ternak Ruminansia berdasarkan
Peryaratan Teknis Minimal (PTM) Pakan Konsentrat Ruminansia.
Batas Maksimum
No Jenis Pakan
Kandungan Aflaktosin (ppb)
1 Konsentrat sapi perah laktasi (Lactating cows) 200
2 Konsentrat sapi perah laktasi produksi tinggi (High producing 200
lactating cows)
3 Konsentrat sapi perah kering bunting (Dry pregnant cows) 200
4 Konsentrat pengganti air susu (Milk replacer) 100
5 Kosentrat pemula (calf stater) 100
6 Konsentrat sapi dara (Heifer) 200
7 Konsentrat sapi pejantan (Bull) 200
8 Konsentrat sapi potong penggemukan (Fattening) 200
9 Konsentrat sapi potong induk (Breeding cattle) 200
Sumber : Suparto, D.A.H, 2004.
Pada Persyaratan Mutu Bahan Baku Pakan (PMBP) yang dikeluarkan oleh
Direktorat Jenderal Peternakan yang tertuang dalam Surat Keputusan Direktorat Jenderal
Peternakan No. 524/TN.250/KPTS/DJP/DEPTAN/1997, disebutkan bahwa jagung sebagai
bahan baku pakan, maksimum mengandung Aflatoksin sebanyak 50 ppb dan Okratoksin
maksimum 5 ppb (Suparto, 2004).
1. Jamur yang sering ditemukan mencemari biji jagung adalah Aspergillus spp., Diplodia
sp., Fusarium sp., Pennicillium sp., Cladosporium sp., Rhizopus sp., dan Trichoderma
sp.
2. Jamur Aspergillus sp menghasilkan Aflatoksin dan Okratoksin, jamur Fusarium sp
menghasilkan Fumosin dan Trichothecenes dan Fusarium graminearum menghasilkan.
Zearalenone.
3. Mikotoksin dapat menyebabkan kanker hati, aborsi dengan gejala ikutan yang lain,
kebengkakan pada paru-paru, imunosupresi bahkan kematian.
4. Untuk mendiagnosis penyakit akibat jamur ini sangat sulit, karena gejalanya kurang
spesifik, karena kebanyakan yang diserang adalah organ dalam. Pencegahan dapat
dilakukan dengan cara pengeringan dan penyimpanan jagung dengan baik. Untuk
menghindari jamur, kadar air pada biji jagung saat penyimpanan sebaiknya tidak lebih
dari 14%.
5. Berdasarkan persyaratan bahan baku pakan pada Persyaratan Teknis Minimal (PTM)
pakan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian, batas toleransi aflatoksin untuk bahan
baku pakan non ruminansia berkisar antara 20 – 50 ppb dan antara 100 – 200 ppb untuk
pakan konsentrat ruminansia.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, A. 2001. Analisis mikotoksin pada bahan pangan dan pakan. Makalah disampaikan
dalam Seminar Nasional Mikotoksin 9 Oktober 2001, di Yogyakarta.
Anonimous, 1997. T2 Toxin. Majalah Ayam Sehat (meningkatkan keterampilan dan
keuntungan peternak). Edisi Mei-Juni 1997. No. 31 Vol. XI. Hal : 15-18.
Jacques, K.A. 1988. Molds : the hidden killer in feeds. Large Animal Veterinarian. July/
August 1988. pp : 43-47.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 594
Seminar Nasional 2005
Muis, A., S. Pakki, dan H. Talanca. 2002. Inventarisasi dan identifikasi cendawan yang
menyerang biji/benih jagung di Sulawesi Selatan. Hasil Penelitian Hama dan
Penyakit. Balitjas, 2002.
Phillips, T. 1989. Hidden damage (recognizing and dealing with an aflatoxin problem).
Large Animal Veterinarian. January/February 1989. pp : 6-7.
Rachmawati,S., A. Lee., T.B. Murdiati., dan I. Kennedy. 2004. Pengembangan Enzyme
Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Teknik untuk Analisis Aflatoksin B1 Pada
Pakan Ternak. Prosiding Seminar Nasional Parasitologi dan Toksikologi Veteriner.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor . Hal : 143-160.
Spainhour, C.B and D. Posey. 1992. Mycotoxins : a silent enemy (what are mycotoxins ?
How can your protect your clients livestock ?). Large Animal Veterinarian,
November/December 1992. pp : 20-25.
Suparto, D.A. 2004. Situasi Cemaran Mikotoksin pada Pakan di Indonesia dan Perundang-
Undangannya. Prosiding Seminar Nasional Parasitologi dan Toksikologi Veteriner.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor . Hal : 131-142.
Ward, N.E. 1988. Nutrional solutions to mycotoxicosis. Large Animal Veterinarian July/
August 1988. pp : 15-16.
Wyatt, R.D. 1976. How to minimize problem in your feed. Poultry. Trib., September:24-27
Yadgini, B. and E.M. Reddy. 1976. Aflatoxicosis in poultry. Poult Advis, April:35-40
Yanuartin, C. 2004. Permasalahan Kualitas Pakan di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional
Parasitologi dan Toksikologi Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. Bogor . Hal : 127- 130.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 595
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Rendahnya tingkat kelangsungan hidup merupakan salah stu masalah utama yang dihadapi nelayan
dalam usaha pembesaran udang karang dalam KJA untuk meningkatkan pendapatannya. Berbagai upaya telah
dilakukan, di antaranya melalui penggunaan shelter buatan dari rumput laut atau dari potongan-potongan bambu.
Penelitian penggunaan shelter buatan, bertujuan menganalisis tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan
udang karang yang dipelihara dalam KJA dengan penggunaan shelter buatan dari pipa paralon. Benih ukuran 7-
30 gr/ekor dipelihara dalam KJA berukuran 2m x 2m x 3m dengan padat tebar 12 - 15 ekor/m2 dari luas dasar
kantong jaring. Udang karang yang dipelihara diberi pakan ikan rucah segar sekali sehari sebanyak 10% dari
berat. Shelter yang terbuat dari pipa paralon ukuran 2 - 2,5 inchi yang dihubungkan dengan kni T diletakkan di
dasar KJA dengan jumlah lubang 24 buah/kantong jaring. Pengamatan dilakukan setiap bulan sekali. Hasil
penelitian menunjukkan tingkat kelangsungan hidup udang karang yang dipelihara dalam KJA yang diberi shelter
dari paralon adalah 88% dengan laju pertumbuhan 3,89%, sedangkan tingkat kelangsungan hidup udang karang
yang diberi shelter dari rumput laut 94,44% dengan laju pertumbuhan harian 2,19%. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan pipa paralon dapat meningkatkan kelangsungan hidup udang
karang yang dipelihara dalam KJA. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan
produksi dan pendapatan nelayan sekaligus menciptakan lapangan kerja dan memanfaatkan waktu luang nelayan
untuk kegiatan produktif. Berkembangnya usaha ini diharapkan akan mendorong tumbuh dan berkembangnya
simpul-simpul agribisnis pedesaan baik sebagai penyedia input maupun pemasaran output serta jasa-jasa
pelayanan lainnya.
Kata kunci: udang karang, shelter buatan, mortalitas
PENDAHULUAN
Usaha pembesaran udang karang dalam keramba jaring apung (KJA) telah
berkembang di kalangan masyarakat nelayan Teluk Ekas maupun di luar kawasan tersebut
sejak tahun 2001. Dalam perkembangannya produktivitas usaha ini masih rendah disebabkan
karena tingginya tingkat kematian (mortalitas). Umumnya kematian udang karang yang
dipelihara dalam KJA terjadi karena kanibalisme. Udang karang memiliki sifat kanibalisme,
sifat ini sering timbul pada udang karang yang sehat. Sasaran pemangsaan adalah udang
karang yang sedang dalam proses ganti kulit (moulting). Udang karang yang baru moulting
badannya masih lembek, berwarna putih kepucatan dan mengeluarkan aroma yang menarik
selera pemangsa. Untuk mencegah terjadinya kanibalisme harus disediakan tempat
persembunyian buatan (artificial shelters). Di alam udang karang mencari tempat-tempat
persembunyian di gua-gua atau liang-liang karang pada saat menjelang moulting untuk
menghindari pemangsaan dari lawan-lawan hidupnya.
Pada usaha pembesaran udang karang dalam KJA, ketersediaan shelter buatan
memegang peranan yang sangat penting dalam upaya meningkatkan kelangsungan hidup
(survival rate) udang karang yang dipelihara. Shelter dari rumput laut dapat memberikan
pertumbuhan yang baik dengan tingkat kelangsungan hidup 73,33% (Nazam dan
Prisdiminggo, 2001). Kelemahan penggunaan rumput laut adalah cepat berkurang karena
rusak atau dimakan oleh organisme pemakan rumput laut, sehingga harus selalu dikontrol
dan ditambah minimal 2 minggu sekali, dan hal ini dianggap merepotkan bagi nelayan.
Shelter dari potongan-potongan bambu juga dapat meningkatkan kelangsungan hidup udang
karang dalam KJA, tetapi bahan ini sering merusak jaring karena gesekannya.
Penelitian penggunaan shelter buatan bertujuan menganalisis tingkat kelangsungan
hidup dan laju pertumbuhan udang karang yang dipelihara dalam KJA dengan penggunaan
shelter dari pipa paralon. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 596
Seminar Nasional 2005
Penelitian dilakukan pada bulan Februari s/d Mei 2005 di Teluk Ekas, Desa
Batunampar, Lombok Timur. Konstruksi KJA dibuat dari bahan yang mudah diperoleh dan
harganya terjangkau oleh nelayan, namun mempunyai usia ekonomis 3-4 tahun. Wadah
pemeliharaan yang digunakan adalah kantong jaring, terbuat dari jaring polyethylen dengan
ukuran mata 0,5 inchi, berukuran 2m x 2m x 3m. Pelampung dari styrofoam dan jangkar
dari beton.
Benih ukuran 7-30 gr/ekor dengan padat tebar 12-15 ekor/m2 dari luas dasar kantong
jaring. Udang karang yang dipelihara diberi pakan ikan rucah segar sekali sehari sebanyak
10% dari berat. Di dasar kantong jaring diletakkan shelter yang terbuat dari pipa paralon
ukuran 2 – 2,5 inchi yang dihubungkan dengan kni T dengan jumlah lubang 24 buah/kantong
jaring. Sebagai pembandingnya digunakan shelter dari rumput laut jenis Gracilaria atau
Eucheuma cottonii sebanyak 15 kg/kantong jaring. Benih yang digunakan berasal dari hasil
tangkapan nelayan di sekitar lokasi penelitian. Jenis udang karang yang dipelihara adalah
jenis udang mutiara ((P. ornatus) dan pasir (P. humarus). Lama pemeliharaan 4 bulan.
Pemeliharaan mencakup pemberian pakan, pembersihan jaring, dan perbaikan jaring yang
bocor serta pengawasan keamanan. Pengamatan dilakukan setiap bulan sekali. Pengamatan
tingkat kelangsungan hidup dilakukan dengan menghitung jumlah udang karang yang masih
hidup pada saat pengamatan; sedangkan laju pertumbuhan dilakukan dengan menimbang
berat total udang karang. Analisis tingkat kelangsungan hidup dihitung dengan rumus
Effendi (1979). Pertumbuhan mutlak dihitung berdasarkan rumus Royce (1972).
Tingkat kelangsungan hidup yang dicapai dengan penggunaan shelter pipa paralon
sebesar 88%, sedangkan dengan penggunaan shelter rumput laut sebesar 94,44%.
Udang karang memiliki sifat kanibalisme, yaitu sifat suka memangsa jenisnya
sendiri. Sifat ini sering timbul pada udang sehat dan tidak sedang ganti kulit. Sasarannya
adalah udang-udang yang sedang ganti kulit (Mujiman dan Suyanto, 1989). Selang beberapa
hari setelah berganti kulit, kerangka kulit luarnya mengeras lagi dan nafsu makannya sangat
kuat (rakus) dan keluar dari tempat persembunyiannya. Dalam keadaan kurang makan, sifat
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 597
Seminar Nasional 2005
kanibalisme akan tampak lebih nyata. Karena itu faktor makanan juga berpengaruh terhadap
tingkat mortalitas udang karang.
Pertambahan Berat
Pertambahan berat rata-rata individu udang karang yang dipelihara dalam KJA
selama 5 bulan pengamatan, dengan penggunaan shelter paralon dan rumput laut, seperti
terlihat pada Gambar 1.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 598
Seminar Nasional 2005
kulit masih lunak, pertumbuhan luar biasa terjadi dengan menyerap sejumlah besar air.
Selang beberapa hari setelah moulting, kerangka kulit luar mengeras lagi dan nafsu makan
meningkat drastis (rakus), kemudian keluar dari tempat persembunyiannya. Pergantian kulit
udang muda lebih sering terjadi dibanding udang dewasa. Pergantian kulit udang karang
muda lebih sering terjadi dibandingkan dengan yang dewasa (Moosa, 1984). Pada udang
karang dewasa P. versicolor dan P ornatus, pergantian kulit terjadi dalam kurun waktu 5
bulan, tetapi bila diberi makan teratur waktunya dapat lebih pendek (Subani, 1984). Karena
itu pada awal masa pemeliharaan mortalitas udang karang lebih tinggi dibanding pada masa
berikutnya. Dengan demikian berdasarkan data hasil pengamatan tersebut belum dapat
dikatakan bahwa penggunaan shelter yang berbeda berpengaruh terhadap pertumbuhan
udang karang.
Kesimpulan
Tingkat kelangsungan hidup udang karang yang dipelihara dalam menunjukkan
perbedaan yang nyata pada pemberian shelter yang berbeda, dimana penggunaan shelter dari
bahan paralon lebih baik dibandingkan penggunaan shelter dari rumput laut.
Laju pertumbuhan udang karang yang dipelihara dalam KJA dengan pemberian
shelter yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
Implikasi Kebijakan
Penggunaan shelter dari paralon dapat disarankan dalam usaha pembesaran udang
karang dalam KJA, karena selain mudah diperoleh, juga memungkinkan usaha ini dapat
dilakukan di tempat lain yang tidak terdapat usaha budidaya rumput laut sepanjang
persyaratan lingkungan lainnya mendukung.
Untuk mengembangkan usaha pembesaran lobster, ketersediaan benih menjadi salah
satu faktor kendala, sehingga perlu penelitian lebih lanjut pembenihan lobster.
DAFTAR PUSTAKA
Effendie, M.I., 1979. Metode Biologi Perikanan. Cetakan Pertama. Yayasan Dewi Sri,
Bogor.
Kittaka, J. and J.D. Booth. 2000. Prospectus Aquacultur. In Phillips B.F and J. Kittaka (Eds).
Spiny Lobster Fisheries and Culture. Fishing News Books. A division of Blackwell
Science.Ltd. Osney Mead, Oxford OX2 0EL : 465-473.
Moosa, K. 1984. Udang Karang (Panulirus spp) dari perairan Indonesia. LON/LIPI. Jakarta.
Mujiman, A. dan S.R. Suyanto. 1989. Budidaya Udang Windu. Ed. Ke-5. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Nazam, M. dan Prisdiminggo. 2001. Kajian Pemeliharaan Lobster dalam KJA di Teluk Ekas,
Desa Batunampar, Lombok Timur. Pros. Seminar Nasional Pengembangan Teknologi
Pertanian. Mataram: 105 – 109.
Royce, W.F., 1972. Introduction to the fishing sciences. Academic Press, Inc., New York –
San Fransisco – London.
Subani, W. 1984. Studi mengenai Pergantian Kulit Udang Barong (Spiny Lobster, Panulirus
spp), kaitannya dengan Hasil Tangkapan. Lap. Pen. Perikanan Laut No.30 Th.1984,
Jakarta : 99-105.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 599
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Variabilitas iklim seperti El Niño Osilasi Selatan (ENOS) mempunyai korelasi yang kuat dengan
kejadian kekeringan dan gagal panen hasil pertanian di lahan tadah hujan pulau Lombok. Kuatnya pengaruh
ENOS itu dapat dilihat dari kejadian kemarau panjang dan kekeringan tahun 1982/1983 dan 1997/1998. Lebih
kurang 8400 ha tanaman padi mengalami kekeringan dan 2000 ha di antaranya mengalami puso pada tahun
1997/1998. Meskipun demikian sampai saat ini belum ada strategi pemerintah yang tepat untuk mengantisipasi
dan mengatasi kekeringan yang disebabkan oleh fenomena tersebut. Para pengambil kebijakan pola tanam
umumnya mengambil keputusan atas dasar persediaan air rata-rata, yang berakibat terjadinya defisit air yang
membawa gagal panen dan gagal panen, terutama di lahan tadah hujan bila fenomena El Niňo melanda wilayah
Indonesia. Suatu model sedang dikembangkan oleh peneliti-peneliti di Universitas Mataram bekerjasama dengan
peneliti dari ACIAR (Australia) dan BPTP NTB untuk membantu para pengambil keputusan dalam menentukan
strategi tanam dengan cepat dan tepat atas dasar jumlah air yang diprakirakan. Model itu memprakirakan jumlah
curah hujan bulanan ataupun musiman, dan sekaligus memilih jenis tanaman dengan resiko gagal panen terendah
Strategi yang ditawarkan untuk lahan tadah hujan dapat berupa menunda penugalan benih padi atau mengganti
tanaman padi dengan tanaman palawija dan sayur-sayuran bila jumlah curah hujan yang diperkirakan tidak
memungkinkan untuk menjamin pertumbuhan tanaman padi secara optimal.
Kata kunci: El Niňo, El-Niňo Osilasi Selatan (ENOS), variasi iklim, kekeringan, model pertanian strategik,
lahan tadah hujan
PENDAHULUAN
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 600
Seminar Nasional 2005
ditafsirkan bahwa telah terjadi kekeringan yang menyebabkan penurunan luas panen pada tahun
tahun El Niňo. Beberapa kejadian El Niño, misalnya tahun 1995/1996 dan 1997/1998 sangat
terasa pengaruhnya pada sistem pertanian di Nusa Tenggara Barat. BPTPH (1999) mencatat
pada El Niño tahun 1997/1998 tersebut terjadi kekeringan seluas 8000an ha di musim tanam
pertama dan lebih kurang 1400 ha diantaranya mengalami puso.
Mempertimbangkan hal-hal tersebut maka perlu ada upaya yang tepat untuk
memaksimalkan manfaat air, terutama pada kondisi curah hujan di bawah normal adalah
dengan memilih sistem managemen tanaman cocok dengan kondisi curah hujan.
Luas tadah lahan di pulau Lombok memcapai luas 17688 ha yang terletak di tiga
kabupaten di Lombok yakni, yakni Lombok Barat (2.641 ha), Lombok Tengah (11.284 ha)
dan Lombok Timur (3763 ha). Berdasarkan kecamatan maka lahan tadah hujan tersebut
terlrtak di kecamatan Sekotong Tengah (2261 ha), Lembar (347 ha), Bayan (33 ha), Praya
Barat dan Praya Baratdaya (4310 ha), Praya Timur (171 ha), Pujut (5050 ha), Janapria (890
ha), Kopang (323 ha), Batukliang (540 ha), Keruak dan Jerowaru (ha), Terare (686 ha), Sakra
(93 ha), Sikur 28 ha, Peringgasila (113 ha) dan Sambelia (118 ha). Lahan tadah hujan
tersebut tergolong dalam jenis tanah Grumusol (Vertisol), Regosol (Entisols, Inceptisol,
Andosol), Mediteran (Cambisol, Alfisol).
Lahan tadah hujan dengan jenis tanah Vertisol di pulau Lombok terutama tersebar di
dataran Tanah Malit di Lombok bagian selatan (Team ITB, 1969), dan sedikit terdapat di
Lombok Timur wilayah kecamatan Sambelia dengan jenis tanah bervariasi. Secara fisik
tanah Vertisols merupakan tanah bertekstur liat (tekstur berat) dengan solum yang relatif
dalam (>1m). Tanah ini bersifat mengembang dan mengkerut sesuai dengan keadaan
lengasnya. Jika basah (musim hujan) sangat lekat dan licin, sedangkan jika kering (musim
kering) retak-retak. Tektur tanah tergolong lempung berat dengan kadar fraksi lempung lebih
besar dari 50% sehingga memiliki kemampuan menyimpan air (water holding capacity)
yang relatif besar. Secara alami tanah tersebut mempunyai pH dan KPK dan kejenuhan basa
yang yang tinggi. Meskipun demkian kadar bahan organiknya umumnya rendah karena
kurangnya opaya pengembalian bahan organik atau terjadinya pengangkutan bahan organik
atau jerami untuk keperluan lain. Kesuburan tanah tergolong sedang dengan kandungan
kalium (K) tinggi akan tetapi N dan P umunya rendah samapi sedang.
Lahan sawah tadah hujan yang bukan Vertisol umumnya termasuk jenis tanah
Alfisol (Mediteran merah kuning) yang biasanya berasosiasi dengan jenis tanah lain
misalnya dengan tanah Vertisol, Kambisol dan Lithosol. Tanah ini ditemukan di daerah
Sambelia, Sakra dan Pringgabaya.. Lahan sawah tadah hujan ini pada tahun 1990an
umumnya merupakan lahan kering, padang pengembalaan atau tegalan, tetapi sekarang
sudah dicetak sehingga berfungsi sebagai lahan sawah tadah hujan.
Lahan sawah tadah hujan di Lombok selatan mempunyai beberapa masalah yang
bermuara pada rendahnya jumlah air tersedia untuk bercocok tanam. Permasalahan pertama
adalah jauhnya letak daerah ini dari sumber air yang terutama berada di sepanjang kaki bukit
Pengunungan Rinjani belahan selatan. Permasalahan kedua adalah daerah Lombok bagian
selatan hampir tidak mempunyai saluran air bawah tanah (aquifer) yang berguna untuk
mentransfer kelebihan air di Lombok bagian utara ke wilayah defisit air di Lombok bagian
selatan. Permasalahan lainnya adalah keadaan curah hujan rata-rata yang lebih rendah dan
terdistribusi tak merata sepanjang tahun. Musim hujan berlansung 3- 4 bulan dan labih
kurang 80% dari curah hujan tahunan jatuh pada bulan-bulan musim hujan itu. Masalah
yang terakhir adalah adanya variasi hujan tahunan yang disebabkan oleh fenomena El Niňo.
Fenomena tersebut umumnya menyebabkan curah hujan berada di bawah normal.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 601
Seminar Nasional 2005
Keberadaan pulau Lombok di daerah khatulistiwa dan diapit oleh dua benua (Asia
dan Australia) dan dua samudera (Samudera India dan Samudera Pasifik) menyebabkan
pulau ini dipengaruhi oleh iklim musiman (moonsonal climate); sedangkan keberadaannya di
antara dua samudera dan pada sabuk khatulistiwa menyebabkan pulau Lombok dipengaruhi
angin pasat timur (easterly trade winds) yang datang dari Samudera Pasifik. Dalam hal ini,
angin dingin dari belahan bumi utara dan selatan akan berhembus ke arah daerah yang lebih
hangat (khatulistiwa). Karena gaya korriolis angin ini mengalami konvergensi dan bergerak ke
arah barat sambil membawa uap air (McDonald dan Partners Asia, 1985; Martyn, 1992).
Pada kondisi normal musim hujan Indonesia, khususnya pulau Lombok dipengaruhi
oleh angin yang berada pada lajur khatulistiwa. Lajur angin ini dinamakan zona konvergensi
inter tropika (the inter tropical convergence zone/ITCZ) yang pada saat belahan bumi bagian
selatan (Benua Australia) mengalami musim panas (Desember s/d. Februari). berada lebih utara,
yaitu berada di antara 170 dan 80 LS (Coll dan Whitaker, 1990). Pemanasan daratan Australia
menyebabkan berkembangnya pusat tekanan rendah yang pada gilirannya menarik udara dari
daerah tropika ke arah Australia. Angin pasat timur yang kaya uap air dari Samudera Pasifik
berbelok ke arah Benua Australia menjadi angin barat laut (north westerly winds) dan
menyebabkan musim hujan di sebagian besar kepulauan Indonesia.
Namun curah hujan di setiap musim hujan tidak sama, melainkan bervariasi tergantung
beda tekanan yang mendorong gerakan angin pasat timur. Angin pasat timur di Pasifik bagian
tengah yang biasanya berhembus ke barat kadamg-kadang berhenti bahkan arahnya berbalik
ke arah timur (Kuhnel et al, 1990). Perubahan arah angin pasat ke timur menimbulkan
penggantian secara besar-besaran rezim curah hujan di daerah tropika, yang menghasilkan
perubahan yang besar dalam sirkulasi atmosfir global yang pada gilirannya memaksa
perubahan cuaca di wilayah Pasifik tropika. Kondisi inilah yang disebut fenomena El Niño
(Coll dan Whitaker, 1990; Musk, 1988).
Cara yang paling umum dilakukan untuk mengukur besarnya pengaruh El Niňo pada
kejadian curah hujan adalah dengan menghubungkan indeks osilasi selatan (IOS) dengan
anomali curah hujan setempat. IOS merupakan selisih dari anomali tekanan atmosfer
permukaan laut di Tahiti (170 S,150 W) dan Darwin (120 S, 131 W), distandarisasi pada
rata-rata nol dan dikalikan 10 kali simpangan baku (normalised Z-score kali 10) (Abawi dan
Dutta, 1998, Allan et al., 1996b).
( PT PD ) x10
IOS
dimana PT dan PD adalah anomali tekanan atmosfer (simpangan dari rerata) di Tahiti dan
Darwin; sedangkan adalah standar deviatsi (SD) dari selisih tekanan. Nilai IOS negatif ini
menunjukkan adanya tekanan udara di atas permukaan laut yang lebih tinggi di Darwin
dibandingkan dengan dengan di Tahiti dan mencerminkan curah hujan di Indonesia berada di
bawah normal. Nilai ekstrem dari osilasi ini dicapai bilamana tekanan udara permukaan laut di
Pasifik tengah lebih rendah dari normal maka tekanan udara permukaan laut di Darwin
cenderung di atas normal. Pasangan suhu permukaan laut (SPL) yang hangat dan osilasi selatan
(OS) biasanya diacu sebagai kejadian ENOS (Hammer dan Nicholls, 1996; Allan et al, 1996a)
Apabila anomali (simpangan baku) dari data runtun curah hujan bulanan, musiman
atau tahunan dihuhubungkan dengan IOS maka diperoleh petunjuk tentang adanya keterkaitan
yang erat antara nilai IOS dan kejadian hujan di pulau Lombok; dimana pada tahun-tahun El
Niňo (IOS secara konsistent negatif) umumnya curah hujan berada jauh di bawah rata-rata
yang diikuti dengan kejadian kekeringan dan panen padi tidak memuaskan. Gambar 1 di
bawah memperlihatkan bahwa dalam rentang waktu 50 tahun (1950-2000) paling tidak
terjadi 18 kali rata-rata hujan di Lombok selatan berada di bawah normal (< 1537 mm), yaitu
terjadi pada tahun-tahun 1951; 1957; 1958; 1961; 1963; 1965/1966, 1969; 1971; 1972;
1976; 1977; 1979; 1982/1983; 1990; 1993; 1994; 1996 dan 1997/1998. Kejadian hujan di
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 602
Seminar Nasional 2005
bawah normal (di bawah rata-rata jangka panjang) tersebut, 10 kali diantaranya (56%)
bertepatan dengan kejadian fenomena El Niño.
Demikian pula kejadian hujan di atas normal (di atas rata-rata jangka panjang)
sebesar 1700 sampai dengan-2500 mm) terjadi 17 kali, yakni terjadi pada tahun 1950; 1952;
1955; 1962;1964; 1968; 1970; 1974;1975; 1977;1978; 1981; 1984; 1988; 1992; 1995 dan
1998, delapan kali diantaranya (53%) berkaitan dengan fenomena La Niña
3000
Curah hujan (mm)
2500
2000
1500
1000
500
1950 1955 1960 1965 1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000
Tahun
Gambar 1. Varaiasi curah hujan tahunan di beberapa lokasi di Lombok bagian selatan
Gambar 2 di bawah menyajikan variasi hujan di awal dan menjelang akhir musim hujan.
Pada triwulanan I (Oktober s/d Desember) terjadi beberapa kali hujan di atas 200 mm,
yang berarti jumlah yang lebih dari cukup untuk memulai bercocok tanam. Tahun
kejadiannya adalah 1950; 1952; 1954; 1955; 1964; 1974; 1975; 1978; 1981; 1987; dan
1992. Sedangkan kejadian hujan di bawah normal (<100 mm) pada triwulan ini terjadi
tahun 1951; 1963; 1969; 1972; 1976; 1977; 1979; 1982; 1986; 1990; 1994; dan 1997.
300
Curah Hujan (mm)
250
200
150
100
50
0
1950 1955 1960 1965 1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000
Tahun
Gambar 2. Variasi hujan triwulanan I dan II selama musim hujan periode 1950 – 2000 di pulau
Lombok
Hujan ekstrim tinggi (>300 mm) selama triwulan II (bulan Januari s/d Maret) terjadi
beberapa kali yakni tahun 1957; 1975; 1984; 1994 dan 1995. Sedangkan ekstrim rendah (<
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 603
Seminar Nasional 2005
180 mm) terjadi tahun 1958; 1961; 1964; 1972; 1973; 1976; dan 1979. Kejadian hujan
ekstrim rendah dan ekstrim tinggi selama periode musim hujan (1950 s/d 1998) di atas
ternyata sebagai besar bertepatan dengan kejadian fenomena El Niño dan La Niña di Pasifik
Tengah
Dari analisis triwulan ini dapat disimpulkan bahwa fenomena El Niño menyebabkan
rendahnya curah hujan bulan Oktober sampai Desember. Hal ini mengindikasikan
tertundanya musim hujan. Sebaliknya fenomena La Niña menyebabkan curah hujan
melampui 200 mm per triwulan dan hal ini mengindikasikan musim hujan yang datang lebih
awal dari keadaan normal. Pada triwulan kedua (Januari s/d Maret) ternyata tinggi rendahnya
curah hujan pada bulan-bulan tersebut kurang berkaitan dengan fenomena ENSO. Hal ini
terbukti dengan fluktuasi hujan di bawah dan di atas normal tidak bersesuaiana dengan
kejadian ENSO.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 604
Seminar Nasional 2005
hujan yang jauh dari pantai dibandingkan dengan stasiun curah hujan yang dekat dengan
pantai
Tabel 1. Prakiraan curah hujan (CH) musiman pada peluang 70% dan awal jatuhnya musim hujan pada kondisi
El Niño (IOS <-5) dan La Niña (IOS >+5
Table 1. menyajikan curah hujan yang diharapkan selama musim tanam pertama (MT
I) bulan November s/d Februari (NDJF) dan curah hujan bulanan yakni bulan Oktober dan
November pada peluang 70% pada kondisi signal IOS rata-rata bulan Juni s/d September di
bawah -5, dan di atas +5. Pada kondisi El Niño curah hujan selama musim tanam umumnya
lebih rendah daripada kebutuhan tanaman padi yang membutuhkan sekira 1000 mm
(Doorenbos dan Pruitt, 1977; Sys et al, 1991). Oleh karena itu tanaman padi kemungkinan
akan mengalami cekaman sekali atau beberapa kali selama musim tanam. Cekaman yang
dialami pada fase vegetatif biasanya dapat disembuhkan dengan tanam ulang atau menyisip
akan tetapi apabila cekaman itu dialami pada fase reproduktif maka efeknya biasanya tak
dapat balik atau tak terobati. Dalam hal ini El Niño sering kali menyebabkan cekaman air
pada fase vegetatif; akan tetapi tidak menutup kemungkinan menyebabkan tanaman
mengalami cekaman air di kedua fase tersebut sehingga menyebabkan gagal panen.
Sebaliknya pada kondisi La Niña (IOS di atas 5) curah hujan secara umum berada dalam
keadaan cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman padi di lahan sawah tadah hujan. Akan
tetapi perlu diwaspadai bahwa curah hujan di atas 200 mm di bulan November dapat
mengganggu pertumbuhan awal padi gogo rancah dan memaksa terjadinya penggenangan
dini.
Oleh karena itu tanaman padi kemungkinan akan mengalami cekaman sekali atau
beberapa kali selama musim tanam. Cekaman yang dialami pada fase vegetatif biasanya
dapat disembuhkan dengan tanam ulang atau menyisip akan tetapi apabila cekaman itu
dialami pada fase reproduktif maka efeknya biasanya tak dapat balik atau tak terobati. Dalam
hal ini El Niño sering kali menyebabkan cekaman air pada fase vegetatif; akan tetapi tidak
menutup kemungkinan menyebabkan tanaman mengalami cekaman air di kedua fase
tersebut sehingga menyebabkan gagal panen. Sebaliknya pada kondisi La Niña (IOS di atas
5) curah hujan secara umum berada dalam keadaan cukup untuk memenuhi kebutuhan
tanaman padi di lahan sawah tadah hujan. Akan tetapi perlu diwaspadai bahwa curah hujan
di atas 200 mm di bulan November dapat mengganggu pertumbuhan awal padi gogo rancah
dan memaksa terjadinya penggenangan dini.
Model tanam strategik yang dinamakan Aciar Cropping Model (ACM) merupakan
model bercocok tanam yang mirip seperti sistem surjan (dam culture), tetapi pada
hakekatnya berbeda dalam desain dan praktek penerapannya. ACM berintikan sistem bedeng
permanen sebagai media tanam, sedangkan jenis tanaman berbeda-beda dari palawija
(jagung, kedelai, kacang tanah) sampai sayur-sayuran (kacang panjang, cabe, tomat dll).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 605
Seminar Nasional 2005
Pemilihan jenis tanaman didasarkan atas kondisi cadangan air dan ekspektasi harga pasar
dari hasil tanaman saat panen. Dengan memperhatikan kondisi cadangan air di lahan tadah
hujan maka paling tidak dapat diadakan dua kali tanam dengan kondisi lengas tanah yang
optimal, dan intensitas tanam dapat diperbanyak hingga empat kali bila lingkungan setempat
mempunyai embung, atau sumur dalam, ataupun mempunyai sistem irigasi tidak jauh dari
lokasi. Petani kita yang biasanya terlalu bergantung pada jenis tanaman padi hingga
menyebabkan petani sering mengalami gagal tanam atau gagal panen; padahal dengan
kondisi air yang tersedia lebih dari cukup untuk menanam tanaman kacang-kacangan,
jagung, cabe atau banyak tanaman non padi lainnya. Model ACM beruha mengurangi
kecenderungan tersebut semata-mata demi menghindari gagal panen dan membuat petani
kita makin tangguh berkat panen tanaman non padi yang optimal.
Sekarang ini model ACM ini sedang di desiminasi di kawssan yang diperkirakan
mempunyai air tanah yang cukup (mengacu pada sumur yang sudah ada), di daerah yang
dekat dengan saluran irigasi dan lahan tadah hujan yang mempunyai embung. Beberapa jenis
tanaman yang sedang dicoba adalah bawang merah kacang panjang dsb. Laporan hasil
analisis ekonomi dan finasial dari kegiatan ini memang belum diterbitkan karena masih baru
memasuki tahap awal pelaksanaan namun dari hasil pantauan mingguan menunjukkan
adanya respon petani yang positif. Para peneliti yang terlibat dalam program ini juga
sekaligus membangun jaringan pemasaran produk sehingga petani tidak kesulitan
memasarkan produknya bila panen melimpah.
Peran prakiraan musim dengan menggunakan metode di atas dalam model tanam
strategik ini sangat esensial. Output dari prakiraan hujan musiman beruapa ekspektasi jumlah
hujan pada bulan-bulan menjelang berakhirnya musim kemarau, yakni bulan Oktober,
November dan Desember. Dapt pula dipredeksi jumlah hujan dalam semusim, misalnya
curah hujan dari bulan Oktober sampai dengan bulan Februari. Pada intinya prakiraan curah
hujan musiman ini akan membantu pengguna model tanam ACM untuk memilih jenis
tanaman yang cocok dan saat tanam yang tepat. Musim hujan yang pendek hendaknya dikuti
dengan pemeilihan jenis tanaman yang berumus pendek. Begitu juga bercocok tanam di
daerah yang beriklim kering hendaknya dikuti dengan penanaman jenis tanaman yang relatif
tahan dengan komdisi yang kerirng. Akan tetapi kadang-kadang petani akan memutuskan
menanam tanam yang kurang cocok, (misalnya memilih cabe pada MT I) karena ekspektasi
harga saat panen, akan tetapi petani telah mengantisipasi resiko tumpat air untuk itu mereka
bersedia menyediakan tambahan modal untuk membeli mulsa plastik untuk mencegah
kematian tanaman akibat kelebihan air. Hal-hal semacam ini tentunya akan dianalisis oleh
para peneliti yang terlibat dalam desiminasi program ini.
Informasi curah hujan bulanan atau musiman yang diberikan akan berupa ekspektasi
curah hujan pada peluang 70% dan pilihan berbagai jenis tanaman yang cocok ditamam
bulan yang sedang berjalan. Sajian neraca air yang diekspektasikan akan menjadi bagian
yang tak terpisahkan dari paket ini. Dari hasil prakiraan curah hujan musiman itu maka para
peneliti UNRAM yang sedang mendisiminasi program akan menterjemahkannya ke dalam
bahasa petani sehingga mereka dapat memahami maknanya dengan jelas.
Ringkasnya, peluang untuk meningkatkan produktivitas lahan tadah hujan Vertisol
Lombok akan makin besar bila sumberdaya iklim, embung, sumur dikelola dengan baik.
Kegagalan panen dapat dihindari dengan memilih tanaman; sedangkan masa tanam dapat
diperpanjang sampai empat kali tanam dalam setahun apabila kita menyimpan cadangan air
di embung serta mengatahui cara pemanfaatan air embung yang efsien. Sering strategi untuk
meningkatkan produktivitas lahan tadah hujan Vertisol ini masih dianggap masih sebatas
teori; akan tetapi fakta mengungkapkan hal yang demikian. Memang fakta tersebut di atas
masih berupa hasil penelitian yang memerlukan biaya besar untuk merawatnya. Apa yang
telah didemontrasikan oleh penelitian di atas bahwa sangatlah mungkin petani memperoleh
untung yang besar dengan menanam tanaman selain padi pada musim hujan. Sisa air yang
tidak dipakai oleh tanaman pada musim hujan bisa digunakan untuk bercocok tanam pada
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 606
Seminar Nasional 2005
musim berikutnya. Selanjutnya petani lah yang berkreasi untuk mewujudkan semua hal di
atas.
PENUTUP
Menengok jauh ke belakang Lombok bagian selatan telah menjadi pusat perhatian
pemerintah karena kondisinya yang serba minus. Pada pertengahan dekade 1960an daerah
ini mengalami paceklik yang hebat yang menyebabkan ribuan orang mengalami busung
lapar. Pemerintah pusat yang menilai daerah serba minus tersebut sebagai daerah kritis atau
daerah rawan pangan. Untuk mengatasi kondisi rawan pangan akibat gagal panen yang
sering terjadi Gubernur NTB waktu itu, Gubernur R. Wasita Kusumah meluncurkan program
“Wijaya Kusuma” yang bertumpu pada mekanisasi pertanian. Pemerintah beranggapan
bahwa gagal panen yang sering terjadi dipicu oleh kelambanan petani mempersiapkan
lahannya untuk ditanami. Tanah Vertisol yang susah diolah dianggap sebagai penyebab
banyaknya sawah tidak dapat diolah atau ditanami. Oleh karena itulah pemerintah
memutuskan untuk membantu petani dengan menyediakan traktor pengolah tanah. Pada saat
itu teknologi traktor masih terlalu canggih bagi petani, sehingga hanya sebagai kecil petani
yang dapat mengakses penggunaan traktor bantuan tersebut. Hal inilah yang membuat
program “Wijaya Kusuma” tidak fapat berjalan sesuai dengan harapan pemerintah.
Pada masa pemerintahan Gubernur Gatot Suherman tahun 1980an dicetuskanlah
program Operasi Tekad Makmur (OTM) yang berintikan penerapan sistem gogorancah.
Meskipun sistem gogorancah ini telah dipraktek oleh petani sejak puluhan tahun sebelumnya
namun pada tahun 1980an itu lewat OTM ini program ini menjadi simbul kemakmuran
provinsi NTB. Memang banyak kritik tajam berupa pengerahan petani oleh ABRI dibalik
keberhasilan yang dimunculkan dipermukaan; namun haruslah diakui bahwa buah
pemaksaan yang dilakukan ABRI itu adalah petani menjadi terbiasa mengolah tanahnya di
musim kemarau.
Sekarang ini gebrakan apa yang harus dilakukan untuk membuat sistem pertanian di
lahan Vertisol ini berkelanjutan. Apakah sistem gora akan terus kita pertahankan? Apakah
dengan pertumbuhan jumlah penduduk di daerah ini yang terus tumbuh di atas rata-rata
nasional tidak membuat rakyatnya gelisah; sedangkan sistem produksi pertanian tetap
dipertahankan seperti apa adanya? Mau tidak mau jumlah pangan yang dibutuhkan akan
terus meningkat. Dulu mempunyai cukup padi di lumbung sudah melegakan hati petani dan
mereka boleh beristirahat sepanjang musim kemarau, Tetapi lahan petani sudah makin
menyempit karena dibagi-bagi kepada anak-cucunya; dan juga banyak lahan sawah yang
dialih fungsikan menjadi lahan pemukiman. Berternak kerbau yang dulu mengisi waktu
luang sepanjang musim kemarau sekarang sudah terkikis habis dan yang tersisa adalah
sebidang lahan sempit yang hasilnya mungkin tidak cukup untuk menafkahi pemiliknya
dalam setahun. Maka lewat renungan penutup ini penulis mengingatkan bahwa tugas untuk
mencari strategi dalam mensejahterakan kehidupan petani belumlah selesai. Sekarang ini
pendapatan petani terus mengecil karena jumlah mereka makin membanyak, sedang lahan
usahataninya tetap seperti dulu, bahkan menyempit karena dijadikan areal pemukiman.
DAFTAR PUSTAKA
Abawi; G.Y. dan S. C. Dutta, 1998. Forecasting of streamflows in NE-Australia based on the
Southern Oscillation Index. DNR. Australia.
Abawi, Y. I Yasin, S. Dutta, T. Harris, M. Ma’shum, D.McClymont, I. Amien dan R. Sayuti.
2002. Capturing the benefit of seasonal climate forecast in agricultural management:
Subproject 2- Water and Crop Management inIndonesia. Final Report to ACIAR.
QCCA-DNRM. Toowoomba Australia.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 607
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 608
Seminar Nasional 2005
Bey, A1, Istiqlal Amien2, Rizaldi Boer1, Handoko1, Irsal Las3, dan Hidayat Pawitan1.
PENGEMBANGAN METODE ANALISIS DATA IKLIM DAN PEWILAYAHAN
AGROKLIMAT DALAM MENUNJANG USAHA TANI YANG PROSPEKTIF.
Dalam Yustika Baharsyah et al., (1997). Sumberdaya Air dan Iklim dalam
Mewujudkan Pertanian Efisien. Deptan dan PERHIMPI.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 609
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Kabupaten Lombok Timur (NTB) dihuni oleh 1.009.471 jiwa, dengan luas 160.555 ha. Rata-rata
kepemilikan lahan sekitar 0,52 ha/rumah tangga petani (RTP). Peningkatan jumlah rumah tangga petani yang
tidak seimbang dengan peningkatan lahan pertanian, mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan. Untuk
mengamati hal tersebut telah dilakukan identifikasi potensi sumberdaya lahan di Kabupaten Lombok Timur pada
tahun 2003, dan perubahan penggunaan lahannya dalam kurun 8 tahun telah dilihat dari citra tahun 1991 dan
1999. Hasil identifikasi lahan menunjukkan bahwa Kabupaten Lombok Timur termasuk wilayah beriklim kering,
dengan curah hujan berkisar dari 600-1640 mm/tahun, termasuk pada zone agroklimat D dan E, bulan kering
sekitar 6-8 bulan. Tanahnya didominasi oleh Inceptisols, Andisols,dan Vertisols, umumnya berasal dari bahan
volkanik yang relatif subur, sehingga Kabupaten Lombok Timur berpotensi untuk pengembangan berbagai
komoditas baik di dataran rendah (< 700 m dpl) maupun dataran tinggi (> 700 m dpl.). Di dataran rendah
komoditas yang sesuai adalah padi, jagung, kedelai, kacang tanah, bawang merah, cabe rawit, tembakau, mente,
dan kelapa. Sedangkan di dataran tinggi komoditasnya adalah jagung dan sayuran (bawang putih, tomat,
kentang, kubis, wortel, bawang merah), dan tembakau. Namun, di beberapa tempat lahan potensial ini belum
dimanfaatkan secara optimal dan masih dapat ditingkatkan produktivitasnya melalui penerapan inovasi teknologi
pertanian yang telah ada. Berdasarkan analisis interpretasi foto udara dan dan citra landsat TM, dalam kurun
waktu 1991 – 1999 di Lombok Timur telah terjadi perubahan penggunaan lahan yang cukup berarti baik pada
lahan sawah, tegalan, maupun kawasan hutan. Terjadi pengurangan lahan sawah irigasi dan tadah hujan seluas
6.130 ha, sebaliknya untuk tegalan bertambah luasnya dari 47.650 ha menjadi 62.828 ha. Penambahan luas lahan
tegalan ini di antaranya berasal dari pembukaan lahan hutan sebesar 10.362 ha, dan sisanya dari sawah tadah
hujan dan penggunaan lainnya. Perubahan lahan rawa/pantai sebagian sudah digunakan untuk usaha perikanan
air payau (tambak) dan usaha penggaraman. Selama periode 8 tahun, rumah tangga pertanian
(padi/palawija/hortikultura/perkebunan) di Lombok Timur meningkat sebesar 24.821 RTP. Peningkatan rumah
tangga petani ini tidak diimbangi dengan perluasan lahan pertanian yang memadai, sehingga terjadi pembukaan
kawasan hutan yang umumnya berlereng curam, yang dalam jangka panjang dikhawatirkan dapat mengancam
kelestarian lingkungan.
Kata kunci : Jenis ternak, iklim, potensi, komoditas
PENDAHULUAN
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 610
Seminar Nasional 2005
Untuk menilai potensi dan kesesuaian lahan di Kabupaten Lombok Timur, telah
dibuat satuan lahan berdasarkan interpretasi foto udara dan peta rupa bumi. Peta rupabumi
skala 1:25.000 terdiri dari lembar gunung rinjani, bayan, anyar, sembalun bumbung,
sambelia, sembalun lawang, belanting, terara, masbagik, selong, aikmel, pringgabaya,
awang, keruak, seriwe, dan tanjungluar yang diterbitkan oleh Bakosurtanal (1991).
Sedangkan foto udara skala 1:50.000 th 1982 meliputi Kabupaten Lombok Timur, sebanyak
98 lembar. Selain itu, digunakan pula peta geologi lembar Lombok, NTB skala 1:250.000
(Sumadirdja et al., 1973), peta agroklimat Lombok skala 1:2.500.000 (Oldeman et al.,
1982), dan peralatan lapangan (seperti bor tanah, Munsell Soil Color Chart, buku Soil
Taxonomy, kompas, abney level, pH Truogh, meteran, loupe, pisau lapang, dan lainnya).
Untuk memperoleh delineasi satuan lahan telah diinterpretasi foto udara berdasarkan
perbedaan warna, tone, tekstur, pola, dan intensitas, yang didukung pula dengan peta rupa
bumi terutama untuk mengetahui elevasi (ketinggian tempat). Hasil delineasi satuan lahan
didigitasi (GIS) dan digunakan sebagai peta kerja untuk perencanaan kerja di lapangan.
Pengamatan dan pengambilan contoh tanah diambil pada setiap satuan lahan, contoh tanah
dianalisis di laboratorium (Sudjadi et al., 1971). Data lapangan dan hasil analisis contoh
tanah disimpan dalam sistem basisdata, yang selanjutnya digunakan untuk proses evaluasi
lahan. Evaluasi lahan dilakukan dengan menggunakan Program ALES (Rossiter dan
Wambeke, 1997) dan kriteria kesesuaian lahan mengacu pada Djaenudin et al (2003).
Untuk melihat perubahan penggunaan lahan dalam kurun waktu 8 tahun, telah
dipelajari pola penggunaan lahan dari foto udara tahun 1991 dan citra landsat tahun 1999
band 543. Sedangkan untuk menghitung luas kepemilikan lahan digunakan data jumlah
rumah tangga petani dari Sensus Pertanian tahun 1993 dan 2003 (BPS, 1993 dan 2003).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 611
Seminar Nasional 2005
Karakteristik wilayah
Kabupaten Lombok Timur mencakup areal sekitar 160.555 ha, dengan posisi
geografis wilayah kabupaten Lombok Timur terletak di antara 116° – 117° BT dan antara
08° – 09° LS. Umumnya wilayah ini beriklim tropis, dengan curah hujan tahunan pada lima
tahun terakhir (1997 – 2002) berkisar antara 522-1640 mm per tahun atau rata-rata 1.071
mm/tahun (Tabel 1).
Tabel 1. Data Curah Hujan (mm) Rata-rata Tahunan di Kabupaten Lombok Timur
Rata-
Nama Stasiun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
rata
Timbanuh 1569 1823 240 1357 1263 2001 2583 2290 1633 x 1640
Masbagik x x x x x 1864 156 2379 1802 691 1378
Montong Baan 312 1468 179 1830 1247 2972 1913 1753 1668 218 1356
BPP Lenek 728 1006 116 1302 846 1900 1777 1853 1565 1422 1252
BPP Terara 425 1494 122 1569 815 2602 1077 1679 1349 1309 1244
Rensing x x x 317 x 1363 1321 1550 944 x 1099
Dasan Lekong 940 1308 93 1053 662 1225 1517 1517 1160 1245 1072
Sambelia 1077 1350 98 930 491 1101 1819 1707 920 298 979
Sepapan 630 744 79 1042 834 1153 1276 1001 825 1097 868
Pegondang 1090 1378 95 1350 675 1041 118 x x 433 773
Lb. Haji/Selong x 858 50 955 359 672 843 1062 557 662 669
Pringgabaya 283 695 95 829 539 841 714 394 817 12 522
Rata-rata 783,8 1212,4 116,7 1139,5 773,1 1561,3 1259,5 1562,3 1203,6 738,7 1071
Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Lombok Timur (2003)
Luas
Simbol Bentuk wilayah Lereng (%) Beda tinggi (m)
ha %
n Agak datar 1-3 <2 35.598 22,23
u Berombak 3-8 2-10 30.472 19,03
r Bergelombang 8-15 10-50 29.160 18,23
c Berbukit kecil 15-30 10-50 5.561 3,48
h Berbukit 15-30 50-300 13.312 8,31
m Bergunung >30 >300 46.452 28,72
Jumlah 160.555 100,00
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 612
Seminar Nasional 2005
Tanah Entisols tergolong tanah-tanah yang belum berkembang, terbentuk dari bahan
induk aluvio-koluvium terdiri atas liat, debu, pasir, dan kerikil, dan sebagian dari
batugamping kukuh. Umumnya terbentuk pada landform aluvial, terutama kipas aluvial,
teras sungai, dan dataran banjir. Penampang tanah dangkal sampai sedang, berlapis-lapis
dengan perbedaan tekstur yang menunjukkan seri-seri pengendapan, berwarna coklat tua
sampai coklat tua kekelabuan. Reaksi tanah umumnya netral sampai alkalis (7,0 – 8,0) yang
mengindikasikan tingginya basa-basa dapat ditukar, tingkat kesuburan tanah sedang.
Inceptisols berkembang dari bahan induk batuan sedimen masam, tingkat kesuburan
tanah bervarisi dari rendah sampai sedang, solum dangkal sampai dalam, tekstur halus
sampai sedang. Tanah mempunyai penyebaran paling luas, menempati grup landform aluvial
(jalur aliran dan kipas aluvial), perbukitan tektonik dan perbukitan karts. Sebagian besar
tanah ini telah diusahakan untuk pertanian, seperti pesawahan, tegalan dan kebun campuran.
Andisols berkembang dari bahan induk abu/tuf volkan muda (Kuarter), mempunyai
penyebaran paling luas di areal penelitian, mulai ketinggian 300 m dpl sampai >1.200 m dpl.
Tanah ini umumnya mempunyai kandungan bahan organik tanah tinggi, solum tanah
dangkal sampai sedang dengan retensi fosfat tinggi dan bahan kasar sedikit sampai banyak.
Tingkat kesuburan tanah termasuk sedang sampai tinggi.
Vertisols adalah tanah-tanah yang dicirikan oleh adanya rekahan-rekahan yang
dalamnya mencapai 50 cm pada musim kering. Keadaan ini akibat adanya proses
mengembang-mengkerutnya mineral liat secara intensif dan berulang-ulang. Proses ini dapat
terjadi karena adanya dominasi mineral liat berkisi 2:1 seperti smektit dan vermikulit. Pada
umumnya tanah-tanah ini menempati daerah lereng bawah yang mempunyai bentuk wilayah
datar atau agak cekung, sehingga sering digunakan untuk usaha tanaman pangan seperti padi
sawah, palawija, dan sayuran.
Mollisols adalah tanah-tanah yang mempunyai epipedon molik setebal > 25 cm
berwarna coklat sangat tua dan kadar C organik tinggi, berkembang dari bahan induk
batugamping dan skis pada landform dataran dan perbukitan tektonik. Reaksi tanah netral
sampai agak alkalis yang menunjukkan tingginya kation basa-basa, terutama Ca dan Mg.
Sebagian besar tanah digunakan untuk pertanian lahan kering, tegalan, kebun campuaran,
dan semak belukar. Tingkat kesuburan tanah sedang sampai tinggi.
Alfisols tergolong tanah-tanah yang telah berkembang, memperlihatkan struktur
cukup kuat dan adanya selaput liat. Tanah terbentuk dari bahan induk batugamping pada
landform dataran tektonik dan penyebarannya sempit di Kabupaten Lombok Timur.
Penampang tanah cukup dalam, warna coklat kemerahan, tekstur halus, struktur cukup kuat
gumpal bersudut, konsistensi teguh dan reaksi tanah netral. Sebagian besar tanah ini
digunakan untuk tegalan kebun kelapa dan buah-buahan, dan semak belukar. Tingkat
kesuburan tanah sedang sampai tinggi.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 613
Seminar Nasional 2005
Tabel 2 menunjukkan bahwa luas lahan yang sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2),
dan sesuai marginal (S3) sangat bervariasi. Untuk padi sawah, luas lahan yang sangat sesuai
cukup luas, termasuk lahan-lahan yang telah digunakan untuk padi sawah saat ini.
Sebaliknya lahan yang sangat sesuai (S1) dan cukup sesuai (S2) untuk bawang putih sangat
sempit hanya terdapat di sentra produksi di sekitar Sembalun. Hal ini menunjukkan bahwa
kondisi optimal untuk pertumbuhan bawang putih sangat terbatas karena faktor pembatas
temperatur, media perakaran (tekstur, kandungan batuan, drainase), dan kelerengan,
sehingga untuk lokasi lainnya termasuk kelas S3. Bahkan lahan yang tidak sesuai (N) sangat
luas yaitu 99.100 ha. Untuk komoditas mangga dan jambu mente, luas lahan yang tidak
sesuai sangat sedikit hanya 832 ha. Meskipun demikian, mangga dominan pada kelas S3,
sedangkan mente dominan kelas S2. Ini menunjukkan bahwa mente dapat tumbuh dimana
saja baik pada lahan berlereng atau tanah berbatu sekalipun, sedangkan mangga relatif lebih
baik di dataran rendah.
Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan yang dilengkapi dengan pertimbangan
analisis finansial usahatani (asesibilitas, pasar), serta komoditas unggulan daerah, dapat
disusun peta pewilayahan komoditas pertanian unggulan. Dalam legenda pewilayahan
komoditas pertanian tercantum beberapa komoditas yang disarankan berdasarkan prioritas
pengembangannya pada masing-masing sub zona agroekosistem (Tabel 4).
Lahan-lahan yang disarankan sebagai hutan lahan kering terdiri dari lahan yang
secara fisik harus dijadikan sebagai kawasan konservasi dan lahan-lahan berstatus sebagai
kawasan hutan/konservasi seluas 51.430 ha (32,01%). Sistem pertanian lahan basah
mencakup areal seluas 41.768 ha (26,03%) yang termasuk dalam zona II, III, dan IV, berupa
persawahan baik irigasi maupun tadah hujan untuk pengembangan tanaman padi sawah,
jagung, kacang tanah, bawang merah, bawang putih, cabe, dan tembakau.
Sistem pertanian lahan kering hortikultura mencakup areal seluas 5.109 ha (3,18%)
yang termasuk dalam zona II, berupa bawang merah, bawang putih, tomat, dan dan tanaman
perkebunan tembakau. Sistem pertanian lahan kering tanaman pangan/perkebunan mencakup
areal seluas 5.965 ha (3,72%), berupa komoditas jagung, kacang tanah, dan kedelai dan atau
tanaman perkebunan tembakau, kelapa, dan jambu mete.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 614
Seminar Nasional 2005
Luas
Simbol Sistem Pertanian/Komoditas Pertanian
Ha %
Hutan lahan kering 51.430 32,01
I/Dj kawasan konservasi 46.599 29,00
II/Dj kawasan konservasi 4.001 2,49
IV/Dj kawasan konservasi 830 0,52
Pertanian lahan basah, tanaman pangan/hortikultura 41.768 26,03
II/Wr Cabe, Nenas, Padi sawah 3.879 2,42
III/Wr Jagung, Bawang merah, Cabe, Tembakau, Kedelai, Padi sawah 7.668 4,78
III/Wr Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Cabe, Tembakau, Kedelai, Padi sawah 4.982 3,10
IV/Wr Jagung, Bawang merah, Cabe, Tembakau, Kedelai, Padi sawah 2.281 1,42
IV/Wr Jagung, Bawang putih, Cabe, Tembakau, Padi sawah 11.265 7,02
IV/Wr Jagung, Cabe, Nenas, Padi sawah 897 0,56
IV/Wr Jagung, Cabe, Tembakau, Kedelai, Padi sawah 522 0,33
IV/Wr Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Bawang putih, Cabe, Tembakau, Kedelai, Padi 9.783 6,09
sawah
IV/Wr Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Cabe, Tembakau, Kedelai, Padi sawah 491 0,31
Pertanian lahan kering, hortikultura 5.109 3,18
II/Dha Kawasan konservasi 1.765 1,10
II/Dhe Bawang merah, Bawang putih, Tomat, Tembakau 3.344 2,08
Pertanian lahan kering, tanaman pangan/perkebunan 5.965 3,72
III/Dfe Jagung, Kacang tanah, Tembakau, Kedelai, Kelapa, Padi sawah 142 0,09
III/Dfe Jagung, Tembakau, Kedelai, Kelapa 1.112 0,69
III/Dfe Kacang tanah, Tembakau, Kelapa 2.294 1,43
IV/Dfh Jagung, Kacang tanah 1.936 1,21
IV/Dfh Jagung 481 0,30
Pertanian lahan kering, tanaman panga/hortikultura/perkebunan 46.076 28,70
II/Dfhe Kacang tanah, Bawang merah, Cabe, Tomat, Nenas, Tembakau 1.328 0,83
III/Dfhe Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Cabe, Tomat, Nenas, Tembakau, Kedelai 3.126 1,95
III/Dfhe Kacang tanah, Bawang merah, Tomat, Tembakau, Kelapa 2.827 1,76
IV/Dfhe Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Bawang putih, Cabe, Nenas, Tembakau, 500 0,31
Kedelai, Kelapa
IV/Dfhe Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Bawang putih, Cabe, Tomat, Nenas, Tembakau 754 0,47
IV/Dfhe Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Bawang putih, Cabe, Tomat, Nenas, 6.053 3,77
Tembakau, Kedelai
IV/Dfhe Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Cabe, Nenas, Tembakau 983 0,61
IV/Dfhe Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Cabe, Nenas, Tembakau, Kedelai 10.370 6,46
IV/Dfhe Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Cabe, Nenas, Tembakau, Kedelai, Jambu mete 1.482 0,92
IV/Dfhe Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Cabe, Nenas, Tembakau, Kedelai, Kelapa 6.866 4,28
IV/Dfhe Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Cabe, Nenas, Tembakau, Kedelai, Kelapa, 773 0,48
Jambu mete
IV/Dfhe Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Cabe, Tomat, Nenas, Tembakau, Kedelai, 6.757 4,21
Kelapa
IV/Dfhe Jagung, Nenas, Jambu mete 913 0,57
IV/Dfhe Kacang tanah, Nenas, Tembakau, Kelapa 1.477 0,92
IV/Dfhe Kacang tanah, Nenas, Tembakau, Kelapa, Jambu mete 1.867 1,16
Pertanian lahan kering, tanaman perkebunan 7.968 4,96
II/De Kelapa 6.185 3,85
II/De Tembakau, Kelapa 116 0,07
III/De Tembakau 1.667 1,04
Lain-lain 2.239 1,40
Gawir 385 0,24
Pemukiman 412 0,26
Pulau-pulau kecil 1.442 0,90
Jumlah 160.555 100.00
Keterangan: I = zona I (lereng>40%) W= lahan basah e = tanaman tahunan/perkebunan
II = zona II (lereng 15-40%) D = lahan kering r = padi sawah
III = zona III (lereng 8-15%) f = tanaman pangan j = hutan
IV = zona IV (lereng <8%) h = hortikultura
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 615
Seminar Nasional 2005
Sementara berdasarkan data sensus pertanian (BPS, 1993 dan 2003), rumah tangga
pertanian (petani padi, palawija, hortikultura, dan perkebunan rakyat) di Lombok Timur
meningkat sebanyak 24.821 RTP, yaitu dari 179.123 RTP pada tahun 1993 menjadi 203.944
RTP pada tahun 2003 (BPS, 1993 dan 2003). Peningkatan jumlah penduduk dan jumlah
rumah tangga petani yang tidak diimbangi dengan peningkatan lahan pertanian yang
memadai, telah mendorong terjadinya pembukaan lahan pertanian di lahan berbukit-
bergunung dengan lereng curam, dan bahkan merambah ke kawasan hutan. Walaupun ada
penambahan luas lahan pertanian, namun tingkat kepemilikan lahan dalam periode tersebut
tetap menurun dari 0,54 menjadi 0,52 ha per RTP (Tabel 4). Oleh karena itu, ke depan perlu
lebih diperhatikan ke arah mana pengembangan lahan pertanian tersebut, mengingat
peningkatan jumlah penduduk dan rumah tangga petani sudah dapat dipastikan akan terus
meningkat.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 616
Seminar Nasional 2005
1. Tanah di Kabupaten Lombok Timur terdiri dari Entisols, Inceptisols, Andisols, Vertisols,
Mollisols, dan Alfisols. Wilayahnya mempunyai iklim kering dengan rata-rata curah
hujan 1.071 mm/tahun, termasuk pada Zone Agroklimat D3, D4 dam E4 dengan bulan
basah < 4 bulan dan bulan kering 6-8 bulan.
2. Wilayah Lombok Timur termasuk pada dataran rendah (< 700 m dpl.) sekitar 44,17%
dan dataran tinggi (700-1.200 m dpl.) sekitar 36,69%, serta ketinggian >1.200 m dpl
sekitar 19,18%. Umumnya mempunyai lahan datar sampai bergelombang (lereng < 15%)
seluas 95.230 ha atau 59,3%, sisanya merupakan lahan berbukit seluas 18.873 ha, dan
lahan bergunung seluas 46.452 ha.
3. Hasil penilaian kesesuaian lahan terhadap 12 komoditas unggulan yaitu padi sawah,
jagung, kacang tanah, kedelai, bawang merah, bawang putih, cabe, tomat, nenas,
tembakau, mangga, kelapa, dan jambu mente, menunjukkan bahwa Kabupaten Lombok
Timur mempunyai potensi untuk pengembangan komoditas tersebut, yang terlihat dari
luanya lahan-lahan yang sesuai baik termasuk kelas sangat sesuai (S1), cukup sesuai
(S2), dan maupun sesuai marginal (S3). Pewilayahan komoditas berdasarkan zona
agroekosistem disusun dengan mempertimbangkan kelas kesesauaian lahan, kelayakan
finansial usahatani serta unggulan daerah.
4. Selama kurun waktu 8 tahun (1991-1999), telah terjadi perubahan penggunaan lahan
yang cukup berarti baik pada lahan sawah, tegalan, maupun hutan. Sawah irigasi dan
tadah hujan berkurang dari 49.816 ha menjadi 43.686 ha, namun sebaliknya tegalan
bertambah luasnya dari 47.650 ha menjadi 62.828 ha. Penambahan luas lahan tegalan
ini di antaranya berasal dari pembukaan lahan hutan seluas 10.362 ha, yaitu dari 61.838
ha pada tahun 1991 menjadi 51.476 ha pada tahun 1999.
5. Secara keseluruhan, Kabupaten Lombok Timur mempunyai potensi sumberdaya lahan
yang sangat baik, namun demikian dengan adanya indikasi pembukaan lahan pertanian
baru dari kawasan berlereng curam dan kawasan hutan, perlu adanya kewaspadaan
dalam pengembangan lahan pertanian di masa yang akan datang terutama untuk menjaga
kelestarian lingkungan dan pertanian yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 1993. Sensus Pertanian 1993. Analisis Profil Rumah Tangga Pertanian, Propinsi Nusa
Tenggara Barat. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
_____ 2003. Sensus Pertanian 2003. Angka Propinsi Hasil Pendaftaran Rumah Tangga
(Angka Sementara). Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Badan Litbang Pertanian. 2003. Panduan Perencanaan Penelitian dan Pengkajian
Pengembangan Inovasi Pertanian di Lahan Marjinal-PFI3P. Poor Farmers’ Income
Improvement through Innovation Project. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Lombok Timur. 2003. Laporan
Tahunan 2003. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan, Kabupaten
Lombok Timur.
Djaenudin, D, Marwan H., H. Subagyo, dan A. Hidayat, 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi
Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Desember, 2003. Balai Penelitian Tanah, Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Ketaren, P., B. Winarso, J. Kini, L.R. Ernalia, P. Fernandes, T. Basuki, J. Ngongo, Gunarto.
1991. Identifikasi Wilayah Miskin dan Upaya Penanggulangannya di Propinsi Nusa
Tenggara Timur. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 617
Seminar Nasional 2005
Rossiter D. G., and A. R. van Wambeke, 1997. Automated Land Evaluation System ALES
Version 4.65d User’s Manual. Cornell Univ. Dept of Soil Crop & Atmospheric Sci.
SCAS. Ithaca NY, USA.
Sumadirdja et al. 1973. Peta Geologi skala 1:250.000 lembar Pulau Lombok. Direktorat
Geologi, Bandung.
Soil Survey Staff. 1998. Kunci Taksonomi Tanah. Edisi Kedua Bahasa Indonesia, 1999.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Soekardi, M. 1992. Pewilayahan Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Sudjadi, M., I.M. Widjik, dan M. Soleh. 1971. Penuntun Analisa Tanah. Lembaga Penelitian
Tanah, Bogor.
Van Wambeke A., P. Hasting, and M. Tolomeo, 1986. Newhall Simulation Model.
Department of Agronomy, Bradfield Hall. Cornell University. Ithaca, NY. 14853.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 618
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Perencanaan pembangunan pertanian yang berbasis lahan, harus memperhatikan kondisi dan
kemampuan sumberdaya lahannya. Pemanfaatan lahan yang kurang memperhatikan kelas kesesuaian lahan dan
agro ekologinya, cenderung akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah dan tidak berkelanjutan.
Evaluasi lahan yang melibatkan berbagai disiplin ilmu dapat menghasilkan data yang dapat dijadikan acuan bagi
suatu perencanaan wilayah. Evaluasi lahan secara fisik dapat menjawab tingkat kesesuaian lahannya dan secara
ekonomik akan menjawab kelayakan usahataninya. Berdasarkan hasil evaluasi lahan kualitatif (fisik) yang
dilanjutkan dengan kuantitatif (ekonomik) ditunjang data sosial budaya spesifik lokasi akan dihasilkan suatu
arahan penggunaan lahan yang lestari dan dapat diterima masyarakat petani setempat dengan tidak
mengorbankan keadaan penggunaan lahan yang sudah ada. Program ALES (Automated Land Evaluation System)
digunakan untuk evaluasi kesesuaian lahan guna mengembangkan berbagai komoditas pertanian yang paling
sesuai. Studi kasus dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi
Utara. Hasil evaluasi lahan dilokasi penelitian seluas 55.425 Ha secara umum menunjukkan tingkat kesuburan
yang relatif baik, terutama untuk pengembangan komoditas tanaman keras seperti kopi, cengkeh, kakao dan
vanila. Sedangkan tanaman semusim yang agak sesuai untuk dikembangkan adalah padi, jagung, kacang tanah,
kentang dan sayuran lainnya. Agar usahatani yang dilakukan dapat berkelanjutan, terutama pada zona I, II dan
III perlu dilakukan tindakan konservasi tanah, seperti pembuatan teras bangku.
Kata kunci: Penataan ruang wilayah, sumberdaya lahan, evaluasi lahan, kelayakan usahatani, program ALES,
DAS Tondano, Sulawesi Utara.
PENDAHULUAN
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 619
Seminar Nasional 2005
disebabkan oleh erosi dan eutrifikasi. Jika keadaan ini dibiarkan, maka dikhawatirkan
dalam jangka waktu 25 tahun mendatang danau tersebut menjadi daratan (Hikmatullah,
1996 dalam Hikmatullah et al., 1998).
Hasil kajian di daerah Tondano dan sekitarnya, diharapkan dapat membantu
Pemerintah Daerah dalam penyusunan perencanaan pembangunan pertanian yang berbasis
lahan di era otonomi sekarang ini, sehingga pengembangan agribisnis di daerah ini akan
tangguh dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta PAD pemerintah daerah
setempat. Serta dapat mengantisipasi secara dini kerusakan lingkungan di daerah aliran
sungai (DAS) atau daerah tangkapan hujan (catchment area) Tondano dengan tidak
mengorbankan keadaan penggunaan lahan yang ada.
Bahan
Lokasi penelitian di daerah aliran sungai Tondano, mencakup sebagian Kabupaten
Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara seluas 55.425 Ha.
1. Peta: Peta rupabumi, skala 1: 50.000, Peta Tanah, Peta Penggunaan Lahan, Peta Zone
Agro-Ecology, dan Peta Arahan Penggunaan Lahan.
2. Data tanah dalam bentuk basisdata tanah terdiri dari data Site and Horison (SH), data
analisis kimia tanah (SSA), dan satuan peta tanah (MU) atau Representative Soil Series
(RSS).
3. Rerata data iklim dari stasiun pengamat iklim Manado (Air port), Tonsea Lama,
Tondano, Langowan, Telap, Sonder, dan Tomohon.
4. Data Usahatani dikumpulkan melalui survai usahatani pada berbagai tipe penggunaan
lahan dan kemungkinan jenis komoditi yang sesuai untuk dikembangkan.
Metode
1. Pengumpulan data berupa data spasial, dan tabular berupa data karakteristik lahan, data
iklim, dan data usahatani (sosial ekonomi pertanian).
2. Pengolahan data iklim dihitung dengan metoda Pennman dengan bantuan program
Cropwat (1991) untuk menentukan neraca air sebagai dasar penetapan waktu dan pola
tanam.
3. Pengolahan basis data tanah menggunakan program mediator yaitu SDPLE (Soil Data
Processing for Land Evaluation) tertuang dalam TR No. 19 Version I, LREP II (1996).
Data karakteristik lahan berupa: kondisi terrain (lereng, torehan, keadaan batuan, dan
bahaya banjir); media perakaran (kedalaman efektip, tekstur, drainase, struktur tanah,
density, dan kemasakan tanah), dan sifat kimia tanah seperti reaksi tanah, bahan sulfidik,
dan kandungan bahan organik.
4. Evaluasi lahan dilakukan dengan beberapa tahap pengerjaan, yaitu: Penyusunan model
evaluasi lahan dengan program ALES dan disusun dengan menetapkan tipe penggunaan
lahan (TPL) atau Land Use Type (LUT), persyaratan penggunaan lahan (PPL) atau Land
Use Requirement (LUR), memilih karakteristik lahan (KL) atau Land Characteristic
(LC), dan menyusun pohon keputusan atau Decision Tree (DT). Prosedur penyusunan
model evaluasi lahan secara rinci mengacu pada Standard Procedure for Land Evaluation
(Technical Report No. 18, Version 4.0, 1998).
Menurut konsep dasar Kerangka Evaluasi Lahan (FAO, 1976; FAO, 1983, Rossiter,
1994, 1995; Rossiter et al, 1994) dibedakan atas kesesuaian lahan secara fisik (kualitatif) dan
kesesuaian lahan secara ekonomik (kuantitatif). Secara fisik dibedakan atas 4 kelas, yaitu:
Sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3), dan tidak sesuai (N). Secara
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 620
Seminar Nasional 2005
ekonomik dibedakan atas 5 kelas, yaitu: Kelas 1 sangat sesuai (S1) penggunaannya sangat
menguntungkan; Kelas 2 cukup sesuai (S2) penggunaannya cukup menguntungkan; Kelas 3
sesuai marjinal (S3) penggunaannya marjinal menguntungkan; Kelas 4 tidak sesuai secara
ekonomik (N1), penggunaannya memungkinkan tetapi tidak menguntungkan saat ini, dan
dengan meningkatkan manajemen dapat menaikan kelasnya; Kelas 5 tidak sesuai permanen,
secara ekonomik (N2) penggunaannya tidak memungkinkan, dan kelas ini secara fisik
berasal dari kelas N.
Memprediksi kesesuaian lahan bagi komoditas pertanian diperlukan kriteria kelas
kesesuaian lahan dari yang paling sesuai (S1) sampai yang tidak sesuai (N). Kriteria kelas
kesesuaian lahan telah banyak disusun antara lain oleh FAO & CSR Staff (1983), (Sys et al.,
1993), dan (Djaenudin et al., 2000).
Komputasi merupakan proses memadukan PPL untuk setiap TPL dengan kondisi KL
yang dipunyai oleh setiap satuan lahannya, untuk menetapakan kelas atau subkelas
kesesuaian lahan serta macam kendalanya. Cara pengoperasian program ALES secara detail
dapat dilihat pada User Mannual ALES Versio n 4.65d (Rossiter, 1996, 1997) atau
Petunjuk Teknis Penyusunan Program ALES (Marwan et. al., 2000). Hasil evaluasi lahan
melalui program ArcView (GIS) disajikan dalam bentuk spasial (peta kesesuaian lahan).
Secara singkat rangkaian kegiatan evaluasi lahan dari penyiapan data sampai pada
tampilan peta disajikan pada Gambar 1.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 621
Seminar Nasional 2005
Daerah penelitian secara astronomis terletak pada 1°05’ sampai 1°23’ LU dan
124°47’ sampai 125°00 BT tercakup dalam peta rupabumi sebagian lembar Manado (sheet
2417-23) dan sebagian lembar Langowan (sheet 2417-21). Secara administrasi termasuk
dalam 10 kecamatan (Tomohon, Tondano, Kawangkoan, Sonder, Tompaso, Langowan,
Remboken, Kakas, Eris, dan Kombi), Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara.
Elevasi daerah penelitian berada mulai dari 600 m dpl (sekitar danau Tondano).
Kota Tondano berjarak sekitar 35 km dani Manado dan dapat ditempuh sekitar 45
menit perjalanan dengan kendaraan darat. Lokasi penelitian terdekat dari Manado yaitu
Tomohon dan Kaskasen yaitu berjarak sekitar 25 km. Fasilitas alat angkutan ke setiap kota
kecamatan dan desa-desa cukup tersedia dan lancar dengan sarana perhubungan cukup baik.
Pelabuhan udara terdekat yaitu Pelud Samratulangi di Manado, sedangkan pelabuhan laut
berada di Bitung.
Hikmatullah et al. (1998) mengemukakan bahwa penggunaan lahan daerah
penelitian sebagian besar merupakan lahan pertanian terdiri dari kebun cengkeh rakyat
(40,99%), pertanian lahan kering/tegalan (19,26%), pesawahan (12,12%), kebun campuran
(3,87%), dan kebun kelapa (0,39%). Lahan non pertanian terdiri dari hutan (7,93%), semak
belukar (3,79%), rumput rawa/sagu (0,65%) lahan pemukiman (2,34%), dan danau Tondano
(8,66%).
Kondisi iklim di daerah penelitian yang diwakili oleh 5 stasiun iklim mempunyai
rerata curah hujan tahunan berkisar dari 1.541 mm (Tonsea Lama) sampai 2.094 mm
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 622
Seminar Nasional 2005
(Sonder) dengan hari hujan berkisar dari 67 sampai 131 hari/tahun dan intensitas hujan
harian berkisar antara 14,4 sampai 25,4 mm. Sebaran hujan mempunyai dua puncak musim
hujan (bimodal) yaitu pada bulan Mei dan Nopember.
Berdasarkan Schmidt dan Ferguson (1951) daerah penelitian dibedakan menjadi
Tipe hujan A (Tondano, Tomohon, dan Sonder) dan Tipe hujan B (Tonsea Lama dan
Langowan). Menurut Koppen termasuk tipe iklim Af (tipe iklim tropis basah), sedangkan
Oldeman dan Darmiyati (1977) membedakan ke dalam zona agroklimat B1 mempunyai
bulan basah (> 200 mm) selama 7-9 bulan dan bulan keringnya (< 100 mm) < 2 bulan dan
zona agroklimat C1 yaitu mempunyai bulan basah selama 5-6 bulan dan bulan keringnya < 2
bulan.
Hasil perhitungan neraca air tanah (Thorenthwaite and Mather, 1957) berdasarkan
data iklim Tondano menunjukkan bahwa periode surplus terjadi selama 9 bulan (Oktober
sampai Juni) sebesar 676 mm. Periode defisit mulai bulan Juni sampai September sebesar 8
mm. Kondisi neraca air tersebut sangat menunjang kegiatan pertanian terutama tanaman
pangan. Sumber mata air dijumpai di bawah kaki volkan. seperti G, Lokon, G. Soputan, G.
Mahawu, dll.
Berdasarkan neraca air tersebut maka daerah penelitian disusun pola tanam baik
untuk tanaman pangan maupun tanaman tahunan seperti disajikan pada Gambar 3.
N e ra c a A ir T a n a h d i T o n d a n o d a n S e k ita rn y a
250
200
mm
150
100
50
0
A gu Se p Okt Nop D es Ja n P eb M ar Apr M ei Jun Jul
B u la n
E to 1 0 0 % ETo50% ra infa ll
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des
Tanaman Pangan Semusim di Lahan Basah
Padi
sawah - I Padi sawah - II Palawija
Tanaman Pangan Semusim di Lahan Kering
Padi gogo/
sayuran Palawija/sayuran Bera
Tanaman Tahunan
Awal tanam
Masa pertumbuhan Pematangan Panen
Gambar 3. Neraca air dan usulan pola tanam di daerah penelitian.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 623
Seminar Nasional 2005
bersipat andesit dengan banyak pecahan batuapung, tufa, tufa lapili, dan breksi tersebar di
sekitar Kawangkoan,Tolok, Kayuwatu, Kapatatan, Sawangan, utara kota Tondano, hulu S.
Ranawangko; dan batuan gunungapi tua (Tmv) terdiri dari breksi, lava dan tufa, aliran lava
yang bersusunan andesit sampai basal tersebar di sekitar G. Kawatak memanjang ke utara
sampai G. Wakaeinben atau sisi timur danau.
Berdasarkan interpretasi foto udara dan pengecekan lapangan (Puslittanak, 1995)
landform dibedakan menjadi grup aluvial dengan relief umumnya datar (<3%) sekitar 4.750
ha (8,57%), yaitu terdiri dari dataran lakustrin, dataran aluvio-koluvial, dasar lembah sempit,
dan jalur aliran sungai dijumpai di sekitar Tondano dan Kakas. Sisanya seluas 50.675 ha
(91,43%) merupakan grup volkan yang terdiri dari kerucut volkan, dataran volkan, aliran
lava dan lahar, lungur volkan berbukit, dan lungur volkan bergunung.
Tanah yang dijumpai masuk dalam 5 ordo tanah klasifikasi (Soil Survey Staff ,
1998), yaitu:
1. Histosols yang diketemukan termasuk grup Haplosaprists, berkembang dari endapan
bahan organik, ketebalan organik 0,5 – 2 m yang berada di atas bahan lakustrin, reaksi
tanah masam (pH 4,6, kadar Ca dan Mg tinggi, kejenuhan basa tinggi.
2. Inceptisols dibedakan menjadi 2 grup (Epiaquepts dan Eutrudepts). Tanah Epiaquepts
berkembang dari endapan lakustrin, drainase buruk, solum dalam, tekstur lempung liat
berdebu sampai liat, reaksi tanah agak masam sampai netral, dan kejenuhan basa tinggi.
Tanah Eutrudepts berkembang dari bahan volkan, drainase baik, solum dalam, tekstur
liat sampai liat berdebu, reaksi tanah agak masam sampai netral, dan kejenuhan basa
tinggi.
3. Andisols dibedakan menjadi 3 grup (Udivitrands, Hapludands, dan Endoaquands).
Tanah Udivitrands berkembang dari bahan volkan, drainase cepat, solum dangkal sampai
dalam, tekstur lempung berpasir sampai pasir berlempung, reaksi tanah agak masam,
bahan organik tinggi, banyak mengandung gelas volkanik, dan kejenuhan basa sedang.
Tanah Hapludands berkembang dari bahan volkan (lava andesit), drainase baik, solum
dalam, tekstur lempung berdebu sampai liat berdebu, bahan organik tinggi, reaksi tanah
agak masam, dan kejenuhan basa sedang. Tanah Endoaquands berkembang dari bahan
endapan volkan, drainase buruk, solum dalam dengan air tanah dangkal, tekstur lempung
berdebu sampai liat berdebu, reaksi tanah agak masam, dan kejenuhan basa tinggi.
Untuk ordo tanah Andisols secara umum retensi fosfat cukup tinggi (>25%) sehingga
pemupukan P diperlukan lebih tinggi dari keadaan normal.
4. Mollisols dibedakan menjadi 3 grup (Hapludolls, Argiudolls, dan Endoaquolls). Tanah
Hapludolls berkembang dari bahan volkanik, drainase baik, solum dalam, tekstur
lempung berdebu sampai lempung liat berdebu yang kadang-kadang berkerikil, reaksi
tanah agak masam sampai netral, dan kejenuhan basa tinggi. Tanah Argiudolls
berkembang dari bahan volkanik (lava), drainase baik, solum dalam, tekstur liat sampai
liat berat, reaksi tanah netral, bahan organik tinggi, dan kejenuhan basa tinggi. Tanah
Endoaquolls berkembang dari bahan aluvium-koluvium, drainase buruk, air tanah agak
dangkal sampai dangkal, solum dalam, tekstur liat berdebu sampai liat, reaksi tanah
netral, bahan organik tinggi, dan kejenuhan basa tinggi.
5. Alfisols dibedakan menjadi 2 grup (Hapludalfs dan Rhodudalfs). Tanah Hapludalfs dan
Rhodudalfs berkembang dari bahan volkanik (tuf, lava andesit dan lava basat), drainase
baik, solum dalam, tekstur liat berdebu sampai liat, reaksi tanah agak masam sampai
netral, dan kejenuhan basa tinggi.
Hasil evaluasi lahan berupa tabular diolah dengan program SDPLE dan selanjutnya
digabungkan (joint) dengan atribut spasial (peta Tondano) melalui Sistem Informasi
Geografi (SIG) dalam program ArcView. Berdasarkan pengolahan SDPLE tersebut, bahwa
untuk komoditas jagung dengan tingkat pengelolaan sedang didapat: kelas S1 seluas 6.118
ha, S1- seluas 1.696 ha, S1N seluas 1.341 ha, S2 seluas 4.122 ha, S2+ seluas 2.150 ha, S2-
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 624
Seminar Nasional 2005
seluas 2.650 ha, S2N seluas 53 ha, S3 seluas 13.581 ha, S3+ seluas 3.413 ha, S3N seluas
3.166 ha, NS seluas 3.597 ha, dan N 6.608 ha.
Komoditas vanili dengan tingkat pengelolaan sedang didapat: kelas S1 seluas 5.671
ha, S1- seluas 1.696 ha, S1N seluas 1.341 ha, S2 seluas 4.912 ha, S2+ seluas 1.807 ha, S2-
seluas 2.650 ha, S2N seluas 53 ha, S3 seluas 13.425 ha, S3+ seluas 3.413 ha, S3N seluas
3.322 ha, NS seluas 3.597 ha, dan N 6.608 ha.
Komoditas cengkeh dengan tingkat pengelolaan sedang didapat: kelas S1 seluas
17.742 ha, S1- seluas 5.681 ha, S1N seluas 1.798 ha, S2 seluas 3.531 ha, S2+ seluas 2.467
ha, S2- seluas 286 ha, S2N seluas 53 ha, S3 seluas 6.855 ha, S3+ seluas 5.903 ha, S3N seluas
958 ha, NS seluas 2.109 ha, dan N 1.112 ha.
Penyebaran untuk setiap kelas kesesuaian lahan tersebut disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Peta Kesesuaian Lahan untuk Jagung, Kacang tanah, Vanili dan Cengkeh.
Berdasarkan hasil evaluasi lahan di daerah penelitian dan dikaitkan dengan
penggunaan lahan yang ada, asesibilitas, dan sosial budaya setempat, maka arahan
penggunaan lahan (tata ruang wilayah pertanian) yang kiranya akan dapat meningkatkan
produktivitas lahannya mengacu pada usahatani yang tangguh dengan memperhatikan
kelestarian lingkungan tanpa mengorbankan penggunaan lahan yang ada, yaitu:
1. Lahan untuk pengembangan padi sawah seluas 8.170 ha tersebar di sekitar Tondano,
Kakas, Langowan, Tompaso, dan Panasen. Lahan tersebut relatif datar, sifat fisik dan
kimia tanah cukup baik, sumber air tersedia, sumber tenaga tersedia, dan sarana
transportasi dan infrastruktur cukup memadai.
2. Lahan untuk pengembangan palawija dengan komoditas seperti jagung, kacang tanah,
kentang. dll seluas 12.683 ha tersebar di sebelah barat Langowan, timur Sonder, dan
sekitar Tomohon. Lahannya datar sampai berombak, sifat fisik dan kimia tanah cukup
baik, sumber tenaga tersedia, dan sarana transportasi dan infrastruktur cukup memadai.
3. Lahan untuk pengembangan tanaman perkebunan dengan komoditas seperti vanili,
cengkeh, kopi, kelapa, dll seluas 9.613 ha tersebar di sebelah barat Remboken.
Wilayahnya miring dapat diatasi dengan penterasan dan penanaman mengikuti kontur,
sifat fisik dan kimia tanah cukup baik, sumber tenaga tersedia, dan sarana transportasi
dan infrastruktur cukup memadai.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 625
Seminar Nasional 2005
4. Lahan untuk pengembangan agroforestry seluas 9.376 ha tersebar di sebelah timur Eris.
Wilayahnya merupakan perbukitan dengan lereng curam dengan bahaya erosi tinggi dan
sebaiknya diusahakan tanaman hutan.
5. Lahan untuk kawasan lindung seluas 8.298 ha tersebar di beberapa tempat bagian
puncak, lereng atas volkan, dan perbukitan volkan. Wilayahnya dengan lereng curam
dengan bahaya erosi tinggi dan sebaiknya dijadikan kawasan lindung.
PUSTAKA
CSR/FAO Staff. 1983. Reconnaissance Land Resource Surveys. Atlas Format Procedures.
Center for Soil Research /FAO. Bogor.
Djaenudin, D., Marwan Hendisman, Hidayatullah, Kusumo Nugroho, E.R. Jordens, A.L.J.
Van den Eelaart, and D.G. Rossiter, 1998. Standard Procedures For Land
Evaluation. LREP-II Part C. Centre For Soil and Agroclimate Research, Bogor. TR.
18, V.4.0, March 1998.
Djaenudin, D., Marwan H., H. Subagyo, Anny Mulyani, dan Nata Suharta, 2000. Buku
Penyususnan Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Versi 2. Dok. Pustittanak.
Effendi, A., 1976. Peta Geologi Sulawesi Lembar Manado, skala 1:250.000. Puslitbang
Geologi, Bandung.
F.AO, 1976. A Framework for Land Evaluation. Soils Bulletin No. 12, FAO Rome, Italy
------, 1983. Guidlines Land Evaluation for Rainfed Agriculture. Soils Bulletin No. 52,
FAO. Soil Resources Manajement and Conservation Services Land Water
Development Division
------, 1991. Crop water requiremments. Computer programme. Land and Water
Development Devision. FAO Rome, Italy: Food and Agriculture Organization of the
United Nations.
Hikmatullah, 1996. Erosion Hazard Assessment in the Lake Tondano Catchment, North
Sulawesi, Indonesia with Respect to Its Possible Siltation. Unpubl. MSc thesis. ITC
Enschede, The Netherlands.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 626
Seminar Nasional 2005
Hikmatullah, Marwan, H., Suparto, dan Hidayatullah, 1998. Pemetaan Sumberdaya Tanah
Semi Detail Daerah Tondano, Sulawesi Utara untuk Mandukung Penyediaan Air
Bersih dan Pembangkit Tenaga Listrik, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,
Bogor. No. 29/Puslittanak/1998.
Marwan H., D. Djaenudin, Subagyo H., S. Hardjowigeno, dan E.R. Jorden, 2000.. Petunjuk
Pengoperasian Program Sistem Otomatisasi Penilaian Lahan (Automated Land
Evaluation System / ALES). Versi 3.0. September, 2000. Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat. Balitbang Pertanian.
Oldeman, L. R. and Darmiyati S., 1977. The Agroclimatic Map of Sulawesi, scale
1:2,500,000. Cont. Cent. Res. Inst. Agric. Bulletin No. 60, Bogor.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1995. Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah
Tingkat Semi Detail (Skala 1:50.000) Daerah Tondano Sulawesi Utara Untuk
Penyediaan Air dan Hydropower. Laporan Akhir No. 03c/P2SLA/19-04/95. Proyek
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan dan Agroklimat. Badan Litbang
Pertanian.
Rossiter, D. G., 1994. Land Evaluation. Lecture Note. College of Agriculture and Life
Science. Dept. of Soil, Crop & Atmospheric Science. SCAS Teaching Series T94-1
Rossiter, D. G. and A. R. Van Wambeke, 1997. Automated Land Evaluation System
ALES. Version 4.5. User Manual. Cornell Univ. Dept. of Soil, Crop & Atmospheric
Sciences. SCAS Teaching Series No. 193-2. Revision 6. Ithaca NY USA
Schmidt, F.H., and J.H.A. Ferguson, 1951. Rainfal Type Based on Wet and Dry Period
Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verh. No. 42. Jawatan Met. dan
Geofisik, Jakarta.
Soil Survey Staff. 1998. Keys to soil taxonomy. Eighth Edition. United States Departement
of Agriculture. Natural Resources Conservation Service.
Thornthwaite, C.W. and J.R. Mathers, 1957. Instruction and Table for Computing Potential
Evapotranpiration and Water Balance. Publ. in Climatology. Vol. X No. 3
Centertown, New Jersey. pp. 185-311.
Zee, E. van der. 1996. SDPLE: Soil Data Processing for Land Evaluation. CSAR Bogor,
TR No. 19 Version I, LREP-II Part C: Strengthening Soil Resources Mapping.
Technical Report, December 1996.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 627
Seminar Nasional 2005
Moh. Nazam1) , I M Wisnu W1), H. Suriadi1), Hendra S2) dan Marwan H2)
1)
Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
2)
Peneliti pada Balai Penelitian Tanah Bogor
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Produktivitas dan mutu hasil suatu komoditas pertanian dipengaruhi oleh kondisi
biofisik, agroklimat dan sosial ekonomi. Pemanfaatan dan perluasan spektrum pertanian
yang bertitik tolak dari potensi dan keragaman sumberdaya alam serta kondisi sosial
ekonomi, harus memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Berbagai
langkah yang ditempuh dalam pengembangan sumberdaya alam secara optimal, antara lain:
(a) pengenalan sifat dan karakteristik; (b) penetapan kesesuaian lahan dengan melakukan
analisis kesesuaian antara kualitas dan karakteristik lahan dengan persyaratan penggunaan
lahan; (c) penetapan tingkat manajemen yang diperlukan untuk setiap penggunaan lahan
sesuai dengan sifat dan karakteristik lahan; (d) penilaian kesesuaian lahan bagi
pengembangan berbagai komoditas pertanian, serta (e) penentuan pilihan komoditas atau tipe
penggunaan lahan tertentu yang secara fisik sesuai dan secara ekonomis menguntungkan
(Budianto, 2001).
Konsep Zona Agroekologi (ZAE) adalah suatu penyederhanaan dan
pengelompokkan agroekosistem yang beragam dalam bentuk klasifikasi yang lebih aplikatif
(Las,. et al, 1990). Keragaman tanah dan iklim dapat dimanfaatkan sebagai dasar
pewilayahan berbagai komoditas agar dicapai tingkat produksi yang optimal dan
berkelanjutan. Pemetaan tanah semi detail yang dapat digambarkan pada peta skala 1:
50.000, dapat digunakan untuk perencanaan operasional penggunaan lahan di tingkat
kabupaten atau kecamatan (Soekardi, 1994).
Penelitian bertujuan: (1) mengidentifikasi potensi sumberdaya lahan untuk
pengembangan pertanian; (2) menyusun informasi tipe penggunaan lahan untuk sistem
pertanian yang tepat; (3) menyusun peta pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan ZAE
skala 1: 50.000. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat sebagai dasar: (1) perencanaan
pembangunan pertanian yang efektif dan berkelanjutan.; (2) penetapan kawasan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 628
Seminar Nasional 2005
pengembangan komoditas unggulan; (3) pemilihan paket teknologi yang sesuai atau
ektrapolasi teknologi yang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosial ekonominya.
Bahan yang digunakan terdiri atas Peta Rupa Bumi Indonesia (digital) skala
1:25.000 (Bakosurtanal, 1998); Citra Landsat TM Path 116 Row 66, 1997 skala 1:60.000;
Peta Geologi Lembar Lombok, NTB skala 1:250.000 (Puslitbang Geologi, 1994); Peta
Agroklimat NTB, NTT skala 1:500.000 (Oldeman et al., 1988); dan Atlas Sumberdaya Iklim
Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000 (Balitklimat dan Hidrologi, 2003).
Penelitian dilakukan bulan Juni s/d Desember 2004 dengan pendekatan desk study
dan survei. Analisis terrain melalui interpretasi foto udara dan Citra Landsat TM untuk
mendelineasi satuan landform, litologi, relief dan lereng, tingkat torehan, elevasi, pola
drainase dan penggunaan lahan (landuse) yang mengacu kepada Van Zuidan (1986).
Klasifikasi landform, litologi, dan relief mengikuti pedoman yang dikemukakan Marsoedi et
al. (1997). Pengamatan sifat-sifat dan penyebaran jenis tanah melalui transek atau
toposekuen (Steers dan Hajek, 1977) untuk setiap satuan lahan pewakil. Pengamatan profil
dan pengambilan contoh tanah, mengacu pada Guidelines for Soil Profile Description (FAO,
1978) dan Key To Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1998). Survei sosial ekonomi dengan
teknik wawancara dengan petani di sentra produksi dan daerah potensial pengembangan
(Balittanah, 2001).
Analisis contoh tanah mengacu pada Soil Survey, Laboratory Method and Procedure
for Collecting Soil Samples (Soil Conservation Service, 1972). Data sosial ekonomi
dianalisis dengan analisis B/C ratio, Net Present Value (NPV), dan Internal Rate of Return
(IRR) (Kadariah, 1988). Evaluasi lahan dengan pendekatan two stages approach, dengan
membandingkan (matching) antara karakteristik lahan dan persyaratan tumbuh tanaman
(Djaenuddin et al., 2003), perhitungannya menggunakan program ALES (Automated Land
Evaluation System) model Rossiter dan Van Wambeke (1997). Hasil evaluasi lahan secara
fisik dan ekonomis dihubungkan dengan program Modul Pewilayahan Komoditas (MPK)
(Bachri et al., 2002).
Karakteristik Biofisik
Kabupaten Lombok Tengah secara geografis terletak antara 116°05’-116°24’ BT
dan 8°24’-8°57’ LS dengan luas wilayah 116.228 ha. Landform berdasarkan hasil
interpretasi foto udara dan citra landsat TM (Marsoedi et al., 1997), terdiri atas 6 grup, yaitu
Aluvial, Fluvio-Marin, Marin, Volkan, Tektonik/Struktural, Karst dan Aneka Bentuk,
menghasilkan 21 satuan lahan (SL).
Grup Aluvial (A) terbentuk dari bahan endapan (aluvium/ koluvium) yang
diakibatkan oleh aktivitas sungai (fluvial) maupun gravitasi (koluvial) hasil koluviasi dari
daerah perbukitan/pegunungan disekitarnya. Bentuk wilayah umumnya datar sampai
bergelombang dengan lereng berkisar 0-8 %. Penyebarannya di bagian tengah menempati
areal seluas 9.016 ha (7,76%) dari luas wilayah.
Grup Marin (M) terbentuk dari aktivitas air laut baik yang bersifat konstruktif
(pengendapan) maupun destruktif (abrasi). Bentuk wilayah datar sampai agak datar dengan
lereng <3%. Penyebaran relatif sempit di sepanjang pantai selatan menempati areal seluas
1.475 ha (1,27%).
Grup Karst (K) umumnya bergelombang dan berbukit dengan kisaran lereng 8-45%,
tanah umumnya dangkal dan berbatu. Penyebaran di pesisir selatan, sebagian merupakan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 629
Seminar Nasional 2005
gugusan pulau-pulau kecil, menempati areal seluas 3.941 ha (3,39%). Volkan (V)
wilayahnya mulai dari agak datar, berombak, bergelombang, berbukit, dan bergunung,
kisaran lereng 1->45%.
Grup volkan mempunyai penyebaran paling luas yaitu di wilayah bagian utara (kaki
G. Rinjani), seperti Batukliang Utara, Batukliang, Pringgarata, dan Kopang, menempati areal
seluas 76,974 ha (66,23%). Grup Tektonik dan Struktural (T) wilayah umumnya berbukit
sampai bergunung dengan lereng sebagian besar >45 %. Penyebaran di bagian selatan mulai
dari Teluk Awang sampai Teluk Selong Belanak, menempati areal seluas 22.671 ha
(19,51%).
Bentuk wilayah bervariasi mulai dari datar sampai bergunung dengan kelerengan 0 -
> 45% dengan luas sebaran seperti terlihat pada Tabel 1. Bentuk wilayah dan lereng (relief)
adalah bentukan permukaan bumi yang erat kaitannya dengan struktur geologi dan litologi
yang terbentuk di permukaannya serta proses degradasi dan agradasi lahan, yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dan sistem pengelolaan.
Tabel 1. Sebaran bentuk dan lereng wilayah Kabupaten Lombok Tengah
Lereng Luas
No. SL Simbol Relief
(%) Ha %
1 f Datar 0-1 7.803 6,71
2 n Agak datar 1-3 30.844 26,54
3 u Berombak 3-8 20.491 17,63
4 r Bergelombang 8 - 15 8.190 7,05
6 o Bergumuk 8 – 15 4.517 3,89
7 c Berbukit kecil 15 – 25 3.082 2,65
8 h Berbukit 15 – 45 34.249 29,47
9 m Bergunung >45 4.901 4,22
10-13 X1, X2, X3 , X4 Pemukiman, danau, lereng 2,151 1.86
curam, pulau-pulau
Kabupaten Lombok Tengah 116,228 100.00
Suber : Data sekunder diolah, 2004.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 630
Seminar Nasional 2005
Andisols terbentuk dari bahan abu volkan (debu, pasir dan kerikil). Umumnya
terbentuk pada landform volkanik. Penampang tanah dangkal sampai dalam, tekstur lempung
berpasir sampai pasir berlempung. Warna tanah coklat tua sampai coklat tua kekuningan,
drainase sedang, struktur lepas sampai masif, konsistensi gembur dan keras pada kondisi
kering. Reaksi tanah umumnya netral, kadar C organik sangat rendah sampai sedang, kadar
P2O5 dan K2O potensial tinggi sampai tinggi, basa-basa dapat tukar rendah dan didominasi
oleh Ca dan Mg. KTK tanah rendah sampai sedang, kejenuhan basanya tinggi. Klasifikasi
tanah pada tingkat subgrup termasuk Typic Vitraquands, Typic Hapludands, Typic
Udivitrands dan Typic Ustivitrands.
Inceptisols terbentuk dari berbagai macam bahan induk, yaitu alluvium dan
koluvium, bahan volkanik dan sedimen. Penampang tanah dalam sampai dangkal, berwarna
coklat kemerahan sampai coklat, tekstur lempung berliat sampai liat, penampang dalam, dan
struktur cukup baik, konsistensi gembur sampai teguh. Reaksi tanah netral, kadar C dan N
organik sangat rendah sampai sedang, kadar P dan K potensial sedang sampai tinggi. Kadar
basa-basa dapat tukar didominasi oleh Ca dan Mg. KTK tanah rendah dan kejenuhan basa
tinggi. Penggunaan lahan sawah, tegalan, kebun campuran dan belukar. Tanah yang
berdrainase jelek atau buruk diklasifikasikan dalam subgrup Aeric Epiaquepts, Typic
Epiaquepts, Typic Endoaquepts dan Typic Halaquepts sedangkan yang berdrainase baik atau
sedang diklasifikasikan dalam subgrup Lithic Haplustepts, Fluventic Haplustepts, Vertic
Haplustepts, Vitrandic Haplustepts dan Typic Haplustepts.
Alfisols berkembang dari bahan induk batuan batugamping, menempati landform
perbukitan tektonik atau struktural dan karst dengan penyebaran sempit. Penampang tanah
cukup dalam sampai sedang, warna coklat kemerahan sampai coklat gelap, tekstur agak
halus sampai halus, struktur cukup, kuat gumpal bersudut, konsistensi gembur sampai teguh
dan reaksi tanah netral sampai basis, kadar C dan N organik sangat rendah sampai sedang,
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 631
Seminar Nasional 2005
kadar P dan K potensial sedang sampai tinggi. Kadar basa-basa dapat tukar didominasi oleh
Ca dan Mg. KTK tanah rendah sampai sedang dan kejenuhan basa tinggi. Penggunaan
tegalan, kebun campuran, dan belukar hutan.Tanah diklasifikasikan kedalam subgrup Typic
Haplustalfs.
Vertisols berkembang dari bahan induk aluvium dan aluvio-koluvium yang kaya
Kalsium (Ca). Penampang tanah cukup dalam, warna coklat kekelabuan sampai kelabu
gelap, tekstur agak halus sampai halus, struktur cukup kuat gumpal bersudut, konsistensi
teguh sampai sangat teguh dan reaksi tanah netral sampai basis, kadar C dan N organik
sangat rendah sampai sedang, kadar P dan K potensial sedang sampai tinggi. Kadar basa-
basa dapat tukar didominasi oleh Ca dan Mg. KTK tanah rendah sampai sedang, kejenuhan
basa tinggi.Tanah yang berdrainase jelek diklasifikasikan kedalam subgrup Typic Epiaquerts
dan Typic Endoaquerts sedangkan yang berdrainase baik atau sedang diklasifikasikan
kedalam Typic Haplusterts dan Typic Calciusterts.
Menurut Puslitbang Geologi (1994), formasi geologi Kabupaten Lombok Tengah
terdiri atas: (1) endapan permukaan (Qa) dijumpai di Teluk Awang, Pantai Kuta dan Teluk
Selong Belanak; (2) batuan gunung api tak terpisahkan (Qhv) di lereng atas dan tengah G.
Rinjani; (3) formasi Lekopiko (Qvl) dijumpai di lereng bawah G. Rinjani (Batukliang dan
Batukliang Utara); (4) formasi kalibabak (TQb) tersebar di kaki G. Rinjani mulai dari
Jonggat, Pringgarata, Batukliang, Kopang dan Praya; (5) formasi kalipulang (TQp), tersebar
di wilayah bagian tengah dari Praya Barat sampai ke Praya Timur; (7) formasi penggulung
(Tmop), penyebarannya di wilayah bagian selatan pada daerah bergelombang sampai
berbukit dari Teluk Selong Belanak sampai Teluk Awang; (8) batuan terobosan (Tmi)
tersebar spot-spot di Tanjung Bungkulan dan Tanjung Tampa; (9) formasi Ekas (Tme)
tersebar spot-spot di bagian selatan Dam Pengga dan Teluk Ekas; (10) formasi kawangan
(Tmok) tersebar di sekitar Montong Sapah menempati areal paling sedikit; (11) bahan induk
tanah didominasi volkan sehingga tanah yang terbentuk relatif muda dan mempunyai sifat
fisik dan kimia yang baik.
Kondisi Agroklimat
Wilayah Kabupaten Lombok Tengah memiliki pola curah hujan tahunan IIA, IIC
dan IIIA (Balitklimat dan Hidrologi, 2003). Pola IIA total curah hujan 1000-2000 mm/th
dengan bulan kering 5-8 bulan dan bulan basah <4 bulan, tersebar di wilayah bagian selatan.
Pola IIC total curah hujan 1000-2000 mm/th dengan bulan kering <5 bulan dan bulan basah
<5 bulan terdapat di wilayah bagian tengah. Pola IIIA total curah hujan 2000-3000 mm/th
dengan bulan kering <6 bulan dan bulan basah <6 bulan terdapat di wilayah bagian utara.
Rerata curah hujan tertinggi di Batukliang Utara yaitu 2.445 mm/th dan terendah di Praya
Timur 1.278 mm/th (Gambar 1).
300.0
250.0
200.0
150.0
100.0
50.0
0.0
JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOP DES
BULAN
Gambar 1. Grafik sebaran hujan di beberapa stasiun iklim di Kab. Lombok Tengah.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 632
Seminar Nasional 2005
Pola curah hujan dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam penentuan pola
tanam tahunan. Pada pola II (IIA, IIB dan IIC) dapat ditanami sekali padi atau palawija,
penanaman disarankan tidak pada bulan kering. Pada pola III (IIIA, IIIB dan IIIC) dapat
ditanami dua kali yaitu sekali padi dan sekali palawija, penanaman disarankan tidak pada
bulan kering (Popi et al., 2004). Berdasarkan jumlah bulan basah (curah hujan >200 mm)
dan jumlah bulan kering (curah hujan <100 mm), tergolong zone C3 dan D4 (Oldeman et al.,
1988). Zone C3 dicirikan bulan basah 3-6 bulan, bulan kering berturut-turut 4-6 bulan; zone
D4 dengan bulan basah 3-4 bulan dan bulan kering berturut-turut 5-6 bulan. Schmidt dan
Fergusson menggolongkan tipe hujan C dan D; Koppen menggolongkannya ke dalam tipe
iklim Aw yaitu tipe iklim hujan tropis dengan curah hujan bulan-bulan terkering <60 mm
selama 6-9 bulan, rerata suhu udara bulan terdingin >18°C dan terpanas >22°C dengan curah
hujan <2.500 mm/th. Rerata suhu udara antara 27,6°C-28,1°C, perbedaan suhu bulan
terpanas dan terdingin <6°C, menunjukkan sebagian besar tergolong rejim suhu panas
(Isohyperthermic), kecuali di beberapa tempat pada ketinggian >1.300 m dpl, adanya
penurunan suhu tergolong rejim suhu sejuk (Isothermic) (Tabel 3).
Tabel 3. Rerata unsur iklim di Kabupaten Lombok Tengah
Bulan
DataUnsur Iklim
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Rata2
Suhu Udara (C) 27.5 27.5 28.0 28.0 27.5 28.0 27.0 27.0 27.0 29.0 28.5 28.0 27.8
Kelembaban Udara (%) 83.0 84.0 85.0 86.0 81.0 81.0 82.0 74.0 75.0 79.0 85.0 85.0 81.7
Lama Penyinaran (%) 36.0 38.0 57.0 57.5 70.5 69.0 78.0 79.5 77.0 65.5 56.0 35.0 59.9
Kecepatan Angin (Knots) 71.5 82.0 73.0 78.0 117.5 125.0 149.5 140.0 142.5 134.5 99.5 74.5 107.3
Evapotranspirasi
Thorntwaite (mm)
Sengkol 136.1 123.8 138.3 134.1 136.8 121.4 111 110.5 123.4 142.6 145.5 133.9 1557.4
Praya 154.5 138.7 154.8 146.7 145.5 143 140.2 141.6 139.5 164.3 158.5 161.1 1788.4
Keterangan : 1 Knots = 0,515 m/detik atau 44.5 km/hari atau 3,7 km/jam.
Suber : Data sekunder diolah, 2004.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 633
Seminar Nasional 2005
tembakau. Jenis palawija yang umum diusahakan adalah kedelai, kacang tanah, jagung dan
kacang hijau. Pola tanam untuk tanaman semusim, yaitu padi-padi-palawija, padi-palawija-
padi atau padi-komoditas lain (palawija, yaitu : kacang tanah, kedelai, jagung, kacang hijau),
komoditas selain palawija (sayuran, cabe merah, cabe rawit, tembakau), dan untuk tanaman
tahunan seperti tanaman industri (kelapa, kakao, kopi), tanaman hortikultura (mangga,
manggis, rambutan, durian, pisang. Arahan pola tanam secara umum terlihat pada Gambar 2.
250
200
150
100
50
0
JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOP DES
BULAN
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des
Tanaman Semusim
Padi sawah /
gogo Palawija Bera
Tanaman Tahunan
Tanam bibit
Masa pertumbuhan Pemeliharaan tanaman (penyiraman)
Gambar 2. Neraca air dan arahan pola tanam di Kabupaten Lombok Tengah.
Hasil analisis ekonomi beberapa komoditas pertanian yang umum diusahakan di
sentra produksi menggunakan program ALES versi 4.65d (Rossiter and Wambeke, 1997)
menunjukkan usahatani tanaman semusim maupun tahunan layak diusahakan (nilai RCR>1,
NPV positif dan IRR > suku bunga), seperti terlihat pada Tabel 4 dan 5.
Tabel 4. Kelayakan usahatani tanaman semusim dengan kondisi produksi optimal.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 634
Seminar Nasional 2005
Dalam penilaian kelas kesesuaian lahan dengan TPL input sedang, parameter
kualitas lahan yang dipertimbangkan terdiri atas bahaya erosi (eh), media perakaran (rc), dan
rejim suhu udara (tc), sedangkan yang lainnya seperti ketersediaan air (wa), retensi hara (nr),
dan ketersediaan hara (na) dipertimbangkan pada penilaian lahan dengan TPL input rendah.
Dari parameter kualitas lahan tersebut, media perakaran, rejim suhu udara relatif lebih sulit
untuk diatasi, dibandingkan dengan lainnya.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 635
Seminar Nasional 2005
LUAS
KODE TANAMAN SISTEM
HA %
I/Dj Kawasan Konservasi Hutan lindung 4.901 4,22
II/Deh Kopi, kemiri, aren, pisang, Pengembangan tanaman 1.394 1,20
manggis, durian tahunan/ hortikultur
II/De Kopi, kemiri, aren, kakao Pengembangan tanaman 12.918 11,11
tahunan permanen
II/Dt Hutan tanaman industri Hutan tanaman industri 20.205 17,38
(sonokeling, mahoni)
IV/Df Padi gogo, kacang tanah, jagung, Pengembangan tanaman pangan 16.008 13,77
kedelai, ubi jalar, singkong
IV/Dfe Kacang tanah, jagung, kedelai, ubi Pengembangan tanaman 9.207 7,92
jalar, singkong, tembakau pangan/perkebunan
IV/Wi Padi sawah, kacang tanah, jagung, Pengembangan tanaman 28.799 24,78
kedelai, tembakau, kapas pangan/perkebunan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 636
Seminar Nasional 2005
DAFTAR PUSTAKA
Bachri, S., N. Suharta, A.B. Siswanto, Irawan. 2002. Modul Pewilayahan Komoditas (MPK).
Versi 1.2. Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Bakosurtanal. 1998. Peta Rupabumi Digital Indonesia Skala 1:25.000
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 637
Seminar Nasional 2005
Balai Penelitian Agrokloimat dan Hidrologi. 2003. Atlas Sumberdaya Iklim Pertanian
Indonesia Skala 1:1.000.000. Balai Penelitian ASgroklimat, Puslitbangtanak
Bogor.
Balai Penelitian Tanah. 2001. Petunjuk Teknis Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas
Pertanian Berdasarkan Zona Agro Ekologi (ZAE) skala 1:50.000 (Model 1). Balai
Penelitian Tanah, Puslitbangtanak Bogor.
BPS. 2003. Kabupaten Lombok Tengah Dalam Angka. Praya
Budianto, J. 2001. Pengembangan Potensi Sumberdaya Petani Melalui Penerapan Teknologi
Partisipatif. Pros. Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian.
Mataram.
Djaenudin, D, Marwan H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk
Komoditas Pertanian. Versi 3. 2000. Balai Penelitian Tanah, Puslitbang Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
FAO. 1978. Guidelines for Soil Profile Description. Soil Resources Development and Cons.
Service, Land and Water Development Division. FAO/UNESCO, Rome.
Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek. Analisa Ekonomis. Ed. Ke-2. LPFE UI. Jakarta.
Marsoedi, Ds., Widagdo, J. Dai, N. Suharta, Darul SWP, S. Hardjowigeno, J. Hof dan E.R.
Jordens.1997. Pedoman Klasifikasi Landform. LT 5 Versi 3.0. LREP II, CSAR,
Bogor.
Oldeman L.R., Irsal L., and Muladi. 1988. Agroclimatic Map of Bali, Nusatenggara Barat
and Nusatenggara Timur Central Research Institute for Agriculture, Bogor.
Popi R., G. Irianto dan I. Amin. 2004. Peta wilayah hujan sebagai arahan untuk penentuan
pola tanam (studi kasus di Propinsi Papua). Bulletin Hasil penelitian agroklimat dan
hidrologi Vol. 1. No. 1. 2004. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. 1994. Peta Geologi Lembar Lombok, Nusa
Tenggara Skala 1:250.000. Direktorat Geologi Bandung.
Rossiter, D, And Van Wambeke. 1997. Automated Land Evaluation System. User’s Manual
Version 4.6. Cornell University, Ithaca, New York.
Schmidt, F.H., and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall Type Based on Wet and Dry Period
Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verh. No.42. Jawatan Met. dan
Geofisik, Djakarta.
Soekardi, M. 1992. Pewilayahan Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Soil Conservation Service. 1972. Soil Survery Laboratory Methods and Procedure for
Collecting Soil Samples. Soil Sruvey Investigation Report No. 1. USDA-SCS,
Washington DC.
Soil Survey Staff. 1998. Keys to Soil Taxonomy, 8th edition 1998. Nasional Resources
Conservation Service, USDA.
Steers, C.A. and B.F. Hajeek.1979.Determination of map unit composition by a random
selection of transects. Soil Sci. Soc. Am. J.43:156-160.
Van Zuidam, R. 1986. Air Photo-Interpretation for Terrain Analysis and Geomorphologic
Mapping. Smits Publ. The Hague. The Netherlands.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 638
Seminar Nasional 2005
Tanya Jawab
Dari : Bapak Mahrup (Faperta UNRAM)
Pertanyaan/saran:
Kelas kesesuaian lahan yang termasuk N ada di sekitar puncak G. Rinjani, jelaskan kendala
fisik dan yang bisa disarankan.
Jawaban/tanggapan:
- Kendala fisik pada wilayah tersebut kondisi suhu karena elevasi yang relatif tinggi,
lereng curam/terjal dan tanah berbatu.
- Saran yang sangat dianjurkan lahan tersebut dijadikan hutan permanen, lahan yang sudah
gundul ditanami kembali dengan tanaman hutan.
- Memberikan pembinaan ke petani untuk menyadari pentingnya konservasi lahan,
penegakan hukum yang dimulai dari atas.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 639
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Penelitian status hara P dan K tahun 2002 merupakan perpaduan antara kegiatan pembuatan peta status
hara P dan K dengan kegiatan percobaan lapang pemupukan P dan K pada lahan sawah irigasi dengan tujuan
membuat peta status hara P dan K lahan sawah irigasi Kabupaten Bima skala 1:50.000 dan memperoleh
rekomendasi pemupukan P dan K spesifik lokasi. Dari areal lahan sawah irigasi Kabupaten Bima seluas 23.803
ha, diperoleh 630 sample contoh tanah komposit. Hasil analisa 630 sample tanah dengan ekstrak HCl 25% di
laboratorium BPTP – NTB telah dipetakan menjadi peta status hara P lahan sawah Kabupaten Bima skala
1:50.000 dengan sebaran status P rendah, sedang, dan tinggi, masing-masing seluas: 1.634,88 ha, 14.120,01 ha,
dan 8.048,11 ha, dan peta status hara K lahan sawah Kabupaten Bima skala 1 : 50.000 dengan sebaran status K
rendah,sedang dan tinggi, masing-masing seluas: 118,44 ha, 861,18 ha, dan 22.823,38 ha. Lokasi percobaan
lapang pemupukan P dan K di wilayah Kecamatan Bolo Kabupaten Bima berstatus hara P sedang-tinggi dan K
tinggi yang masing-masing ditempatkan secara terpisah. Dilaksanakan pada MK II –2002, menggunakan metoda
eksperimen dengan rancangan acak kelompok, masing-masing 5 perlakuan pupuk P, K dan 4 ulangan. Hasil
analisa sidik ragam produktivitas padi percobaan lapang pemupukan P menunjukkan bahwa pemupukan P cukup
respon. Dengan perlakuan P4 (100 kg SP36/ha) cukup efisien untuk lahan sawah dengan status P sedang.
Disarankan untuk lahan sawah dengan status P tinggi di Kecamatan Bolo cukup dengan pemberian 50%-nya
yaitu setara 50 kg SP36/ha. Sedangkan hasil analisa sidik ragam produktivitas percobaan pemupukan K
menunjukkan ada perbedaan nyata diantara perlakuan K4,K3,dan K2 tapi K2 tidak berbeda nyata dengan K1 dan
berbeda nyata dengan K0 (tanpa K) sehingga disarankan untuk tanaman padi lahan sawah di Kecamatan Bolo
Kabupaten Bima perlu pemupukan K setara 25 - 50 kg KCl /ha dan jerami dikembalikan ke sawah.
Kata kunci : Peta, status hara, pemupukan, P dan K, rekomendasi, lahan sawah irigasi, Bima.
PENDAHULUAN
Luas lahan sawah irigasi di propinsi NTB 176.757 ha, dimana sekitar 23.803 ha
diantaranya berada di Kabupaten Bima (BPS, 2001). Kabupaten Bima merupakan salah satu
sentra produksi padi yang cukup besar di Nusa Tenggara Barat, dimana lahan sawah
irigasinya dikelola cukup intensif. Sampai saat ini rekomendasi pemupukan P dan K untuk
tanaman padi sawah di Kabupaten Bima masih sangat umum tanpa mempertimbangkan
kandungan hara P dan K dalam tanah yaitu sekitar 250-300 kg Urea/ha , 50-75 kg TSP/ha,
dan tidak menggunakan KCl. Hal ini terjadi karena memang belum tersedianya data status
hara P dan K tanah sawah untuk Kabupaten Bima. Rekomendasi pemupukan yang bersifat
umum tersebut dinilai kurang tepat, karena tidak semua lahan sawah memerlukan jenis dan
dosis pupuk yang sama. Peta P dan K lahan sawah berisi informasi tentang lahan-lahan
sawah yang berstatus P dan K rendah, sedang dan tinggi, yang dapat dijadikan dasar untuk
menentukan rekomendasi pemupukan padi sawah spesifik lokasi.
Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor (1992)
telah melakukan penelitian dan pemetaan status hara P dan K lahan sawah di P Lombok dan
belum melakukan untuk P Sumbawa. Dari penelitian tersebut telah diterbitkan peta status
hara P dan K lahan sawah untuk P Lombok dengan skala 1:250.000. Hasil penelitian pada
skala tersebut masih bersifat umum yang dapat digunakan untuk menentukan alokasi
kebutuhan pupuk. Oleh karena itu untuk lebih detailnya hasil penelitian, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak) Bogor tersebut harus ditindak
lanjuti dengan pemetaan status hara P dan K pada skala yang lebih besar (lebih detail) dan
tidak hanya di P.Lombok saja, juga di P.Sumbawa.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka perlu dilakukan
pemetaan status hara P dan K lahan sawah pada di Kabupaten Bima dengan skala 1:50.000
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 640
Seminar Nasional 2005
untuk menyusun rekomendasi pemupukan padi sawah spesifik lokasi yang lebih rasional dan
efisien.
Penelitian status hara P dan K lahan sawah di Kabupaten Bima ini merupakan
penelitian yang memadukan antara kegiatan pembuatan peta status hara P dan K lahan sawah
irigasi Kabupaten Bima pada skala 1:50.000 dengan kegiatan percobaan lapang pemupukan
P dan K, dalam rangka penyusunan rekomendasi spesifik lokasi pemupukan P dan K untuk
padi sawah irigasi. Lokasi percobaan lapang pemupukan P dan K berada di salah satu
kecamatan sentra produksi padi yaitu Kecamatan Bolo yang menurut ZAE (Zona Agro
Ekologi) memiliki lahan sawah cukup luas. Tujuan penelitian adalah: 1)Membuat peta status
hara P dan peta status hara K lahan sawah Kabupaten Bima masing-masing skala 1:50.000.
2)Menyusun rekomendasi pemupukan P dan pemupukan K padi sawah spesifik lokasi.
Pemetaan dimulai dengan pengambilan contoh tanah komposit lapisan olah ( 0 –20
cm) diareal lahan sawah irigasi Kabupaten Bima, dengan mengunakan peta operasional skala
1 : 25.000 yang telah digride dengan jarak 2 cm dalam peta. Contoh tanah dianalisis
kandungan P2O5 dan K2O Potensialnya menggunakan ekstrak HCL 25 % di Laboratorium
BPTP. Pembuatan peta status hara P dan K mulai dari pembuatan peta dasar, over laping
batas lahan sawah, ploting lokasi contoh tanah dan ploting hasil analisis contoh tanah sesuai
dengan status rendah, sedang dan tinggi; serta deliniasi dilaksakan kerja sama dengan Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor.
Percobaan lapang dilaksanakan di Kecamatan Bolo kabupaen Bima di areal lahan
sawah irigasi bersatus hara P sedang – tinggi dan K tinggi, yang masing-masing
ditempatkan secara terpisah, pada MK II 2002 dengan metoda on farm researce
menggunakan rancangan acak kelompok, terdiri dari 5 perlakuan pupuk P (Tabel 1) dan K
(Tabel 2) dan dengan ukuran plot 5 x 5 m dan diulang sebanyak 4 kali. Bibit padi varitas
Ciherang umur 21 hari ditanam dengan jarak tanam 20 x 20 cm sebagai indikator. Dosis
pemupukan sesuai perlakuan untuk P dan K diberikan bersama dengfan sepertiga bagian
pupuk Urea pada awal tanam dan sepertiga urea berikutnya pada umur 3 – 4 minggu dan
sisanya pada umur 5 – 6 minggu setelah tanam. Pemeliharaan yang meliputi kegiatan
penyiangan, pengairan dan pengendalian hama penyakit disesuaikan dengan kebutuhan.
Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman menjelang panen, jumlah anakan dan
produktivitas, kemudian dianalisa menggunakan Anova serta diuji lanjut dengan DMRT
0.05.
Tabel: 1. Perlakuan percobaan pemupukan P pada status hara P sedang/tinggi.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 641
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 642
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 643
Seminar Nasional 2005
Tabel: 5. Rata – rata produktivitas gkg, tinggi tanaman, dan jumlah anakan setiap perlakuan P
Pengaruh dosis pupuk P terhadap produksi dapat dilihat pada gambar 3 dimana
berdasarkan uji R juga menunjukkan adanya korelasi yang positip
Yaitu R = 0,9874.
3,5
3
Produksi GKG (ton/ha)
2,5
2
Produksi
1,5
0
0 50 100 150
Dosis SP-36 (kg/ha)
Meskipun memberikan interaksi yang positip antara dosis P dengan produksi, akan
tetapi perlu dipertimbangkan secara ekonomis apakah peningkatan dosis pupuk P mampu
memberikan kontribusi peningkatan produksi yang menguntungkan secara ekonomis. Oleh
karena itu dalam rangka efisiensi maka perlakuan P4 yaitu penggunaan dosis 100 kg
SP36/Ha merupakan rekomendasi pilihan yang dapat dipertimbangkan untuk wilayah
Kecamatan Bolo Kabupaten Bima yang berstatus hara P sedang, karena pemberian pupuk P
yang berlebihan akan menekan serapan unsur hara makro lain yang juga diperlukan oleh
tanaman sehingga mengganggu keseimbangan fisiologis photosinthesis dan pada gilirannya
akan mengurangi produksi. Diperkuat dengan pengamatan tinggi tanaman dan jumlah
anakan menjelang panen, pada tabel 6.
Menurut Sri Adiningsih et. al. (1989) maka kecamatan lainnya dalam peta status
hara P Kabupaten Bima skala 1 : 50.000 yang berstatus tinggi, dosis rekomendasi
pemupukan P dapat disarankan 50%-nya yaitu 50 kg SP36/ha. Untuk mendapatkan dosis
rekomendasi pemupukan P yang lebih teliti perlu dilakukan percobaan lapang pemupukan P
di lahan sawah yang mempunyai status P berbeda-beda.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 644
Seminar Nasional 2005
Peta status hara P dan K lahan sawah Kabupaten Bima masing-masing pada skala 1:50.000
dapat digunakan sebagai bahan acuan rekomendasi pemupukan.
Luas lahan sawah irigasi di Kabupaten Bima berdasarkan peta status hara P skala 1:50.000
meliputi: lahan sawah dengan status P rendah (< 20 mg P2O5/100 g tanah) seluas
1634,88ha (6,87%), status P sedang (20 - 40 mg P2O5/100 g tanah) seluas
14120,01 ha (59,32%), status P tinggi (> 40 mg P 2O5/100 g tanah) seluas
8048,11ha (33,81%).
Untuk lahan sawah di Kecamatan Bolo yang berstatus hara P sedang dapat dianjurkan
menggunakan pupuk P setara 100 kg SP36/ha, sedangkan untuk lahan sawah
bestatus P tinggi dapat menggunakan pupuk P setara 50 kg SP36/ha.
Luas lahan sawah irigasi di Kabupaten Bima berdasarkan peta status hara K skala 1:50.000
meliputi: Lahan sawah dengan status hara K rendah (<10 mg K 2O/100g) seluas:
118,44Ha (0,50%); K sedang (10 - 20 mg K2O/100g) seluas 861,18Ha (3,62 %),
status hara K tinggi (> 20 mg K2O/100 g tanah) seluas 22823,38 ha (95,88 %).
Lahan sawah irigasi di Kecamatan Bolo yang seluruh arealnya berstatus hara K tinggi, untuk
menjaga kesuburan tanah dianjurkan menggunakan pupuk K setara 25 – 50 kg
KCl/ha, dan jerami dikembalikan kesawah.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 645
Seminar Nasional 2005
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2000. Bima dalam angka 2000. Badan Pusat Statistik Bima.
BPS. 2001. NTB dalam angka 2001. Badan Pusat Statistik Propinsi NTB.
IPPTP-Mataram 1999. Buletin Rekomendasi Hasil Litkaji Seri II
Moersidi S., J. Prawirasumantri, W. Hartatik A. Pramudia, dan M. Sudjadi. 1991. Evaluasi
Kedua Keperluan Fosfat Pada Lahan Sawah Intensifikasi di Jawa. Prosiding
Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat Bogor.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1992 Penelitian Status P lahan sawah di Lombok.
Laporan Hasil Penelitian Puslittanak TA. 1991/1992.
Soepartini, M., Sri Widati, M. E. Suryadi, dan T. Prihatini. 1996. Evaluasi kualitas dan
sumbangan hara dari air pengairan di Jawa. Pemberitaan Penelitian Tanah dan
Pupuk.
Sri Adiningsih, J., S. Moersidi, M. Sudjadi, dan A. M. Fagi. 1989. Evaluasi keperluan fosfat
pada lahan sawah intensifikasi di Jawa. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi
Penggunaan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor.
Sri Rochayati, Mulyadi, dan J. Sri adingingsih. 1991. Penelitian efisiensi penggunaan pupuk
di lahan sawah. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 646
Seminar Nasional 2005
Moh. Nazam1) , I M Wisnu W1), H. Suriadi1), Marwan H2), dan Hendra S2)
1)
Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
2)
Peneliti Balai Penelitian Tanah Bogor
ABSTRAK
Penelitian pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan Zona Agroekologi (ZAE) skala 1:50.000 di
Kabupaten Bima, bertujuan: mengidentifikasi potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan pertanian;
menyusun informasi tipe penggunaan lahan untuk sistem pertanian yang tepat; menyusun peta pewilayahan
komoditas pertanian berdasarkan ZAE skala 1:50.000. Penelitian dilakukan dengan pendekatan desk study,
observasi dan survei. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara geografis Kabupaten Bima terletak antara
117°40’-119°10’ BT dan 8°12’-8°55’LS. Tergolong wilayah dengan pola curah hujan IA dan IIA. Curah hujan
tertinggi terjadi di Woha rerata 2.036 mm/th dan terendah di Donggo rerata 336 mm/th. Rerata suhu udara
tahunan 27,6°C-28,1°C. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Fergusson tergolong tipe D dan F terletak pada
zona D4 dan E4. Hasil analisis terrain memiliki 5 grup landform, yaitu Aluvial (A), Fluvio-Marin (B), Marin (M)
Karst (K), Volkanik (V), dan grup Aneka (X) yang menghasilkan 28 satuan unit lahan. Lebih dari 50% wilayah
Kabupaten Bima dominan berbukit dengan lereng 15-45%, 19% bergunung dengan lereng >45% dan sisanya
berupa lereng <15% berupa wilayah datar, berombak, bergelombang, dan berbukit kecil yang berlereng agak
curam sampai curam. Penggunaan lahan terluas adalah hutan (41,77%), semak belukar dan sejenisnya (33,98%),
kebun/tegal (10,79%), sedangkan sawah hanya 7,29% dan sisanya adalah untuk penggunaan lain. Pola tanam
untuk tanaman semusim (padi – padi – palawija; padi – palawija – padi; atau padi – komoditas lain) dan pola
tanam campuran untuk tanaman tahunan seperti tanaman industri (kelapa, jambu mete, kopi), tanaman
hortikultura (mangga, serikaya/garoso, sawo, pisang. Umumnya reaksi tanah netral, kandungan C organik dan N
rendah, KTK rendah, dan kejenuhan basa tinggi, dengan tingkat kesuburan sedang sampai tinggi. Tanah
diklasifikasikan ke dalam lima ordo, yaitu Entisols, Andisols, Inceptisols, Molisols, dan Vertisols yang
menurunkan 11 grup dengan 20 subgrup. Hasil evaluasi lahan menunjukkan kacang tanah, padi sawah, padi
gogo, jagung, kedele, bawang merah, semangka, sawo, mangga, srikaya, pisang, kemiri, jambu mete, dan kelapa
sesuai dikembangkan di Kabupaten Bima. Hasil pewilayahan komoditas pertanian diperoleh 13 arahan
pewilayahan komoditas pertanian dan dapat ditetapkan enam arahan sistem pertanian.
Kata kunci : biofisik, agroklimat, sosial ekonomi, pewilayahan komoditas.
PENDAHULUAN
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 647
Seminar Nasional 2005
dengan memperhatikan aspek-aspek agroekosistem atau sumberdaya alam yang terdiri atas
tanah, iklim dan vegetasi.
Pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan ZAE skala 1:50.000 di Kabupaten
Bima bertujuan: (1) mengidentifikasi potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan
pertanian; (2) menyusun informasi tipe penggunaan lahan untuk sistem pertanian yang tepat
sebagai dasar pembangunan pertanian berkelanjutan; (3) menyusun peta pewilayahan
komoditas pertanian berdasarkan ZAE skala 1:50.000. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat : (1) dasar perencanaan pembangunan pertanian yang efektif dan berkelanjutan.;
(2) memudahkan dalam menetapkan kawasan-kawasan pengembangan komoditas unggulan;
(3) memudahkan dalam memilih paket teknologi yang sesuai untuk tiap-tiap kawasan
tertentu atau ekstrapolasi teknologi yang telah teruji yang kondisi fisik lingkungan dan sosial
ekonominya sama atau hampir sama.
Bahan yang digunakan terdiri atas: peta rupabumi digital skala 1:25.000
(Bakosurtanal, 1998); citra landsat TM skala 1:60.000 (1998); peta geologi skala 1:250.000
lembar Sumbawa, NTB (Puslitbang Geologi, 1994); peta agroklimat NTB, NTT skala
1:500.000 (Oldeman et al., 1988); Atlas Sumberdaya Iklim Pertanian Indonesia skala
1:1.000.000 (Balitklimat dan Hidrologi, 2003) dan Peta Tanah Tinjau Kabupaten Bima
(Balittanah, 2003). Penelitian dilakukan bulan Januari s/d Desember 2004 dengan
pendekatan desk study dan survei. Penyusunan peta kerja melalui analisis terrain foto
udara/Citra landsat, digitasi dan overlay peta rupabumi. Peta kerja digunakan sebagai dasar
karakterisasi tanah. Survei tanah mengacu pada Guidelines for Soil Profile Description
(FAO, 1978) dan Key To Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1998). Survei sosial ekonomi
dilakukan dengan teknik wawancara dengan petani di sentra produksi dan daerah potensial
pengembangan (Balittanah, 2001).
Analisis contoh tanah dilakukan di laborartorium tanah BPTP NTB dengan mengacu
pada Soil Survey, Laboratory Method and Procedure for Collecting Soil Samples (Soil
Conservation Service, 1972). Data sosial ekonomi dianalisis dengan analisis B/C ratio, Net
Present Value (NPV), dan Internal Rate of Return (IRR) (Kadariah, 1988). Evaluasi lahan
dilakukan dengan pendekatan two stages approach, menggunakan program ALES
(Automated Land Evaluation System) (Rossiter dan Van Wambeke, 1997). Pengelompokan
kelas kesesuaian lahan menurut Djaenuddin et al., 2003. Dengan menggunakan program
modul pewilayahan komoditas (MPK) disusun pewilayahan komoditas pertanian. Slanjutnya
untuk melihat kesesuaian hasil analisis dengan kondisi di lapangan dilakukan verifikasi dan
validasi.
Karakteristik Biofisik
Kabupaten Bima secara geografis terletak antara 117°40’-119°10’ BT dan 8°12’-
8°55’ LS dengan luas wilayah 43.089,9 ha. Formasi geologi Kabupaten Bima terdiri atas:
(1) endapan permukaan (Qa) tersusun dari kerikil, pasir dan lumpur yang terbentuk dalam
lingkungan sungai, delta dan pantai. Formasi ini tersebar di Teluk Bima, Sape dan sekitar
Waworada; (2).hasil gunung api muda (Qvm dan Qvs) terdiri dari lahar, lava, breksi, bom
dan lapili, tersebar di gunung Sangeang dan tercatat masih aktif sedangkan G. Tambora dan
gunung api lainya sudah tidak aktif tetapi masih berbentuk kerucut; (3) hasil erupsi gunung
api tua (Qtvl, Qtvm dan Qtvs) terdiri atas persilangan breksi lava dan tufa bersusunan andesit
dan basalt, banyak dijumpai di Gunung Lambuwu, Doro Maria, Doro Saboko; (4) satuan
lava-breksi (Qhv) terdiri atas lava, breksi, lahar, tuf dan abu gunung api, tersebar di G.
Tambora; (5) satuan breksi-andesit-basalt (Qvl) terdiri atas breksi gunung api, lahar, tuf, dan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 648
Seminar Nasional 2005
lava di G. Labumbu; (6) batu gamping koral (Ql) terdiri atas batu gamping koral dengan
sisipan konglomerat dan batu pasir sebagian bersifat keras dan sebagian bersifat lunak di
bagian utara atau sekitar kecamatan Wera; (7) batu gamping berlapis (Tml) tediri atas batu
gamping dengan sisipan batu gamping tufaan berwarna kelabu di sekitar Sape, Teluk
Waworada dan Teluk Bima; (8) batuan gunung api (Tmv) terdiri atas lava dan breksi bersifat
dasit, tersebar relatif sempit di sekitar Waworada dan Bima; (9) tufa dasitan (Tmdt) terdiri
atas tufa mengandung sisipan tuf hijau dan tuf gampingan di Doro Kawangge; (10) batuan
gunung api tua (Tlmv) terdiri atas lava dan breksi bersifat andesit dan basal, tersebar paling
luas di bagian tengah dan selatan komplek pegunungan Mpuja; dan (11) batuan terobosan
(Tg) tediri atas granodiorit, diorit, sienit dan tonalit. Formasi ini penyebarannya terpencar-
pencar di antara batuan gunung api tua di sekitar Sape dan Waworada (Puslitbang Geologi,
1998).
Landform Kabupaten Bima dapat dikelompokkan dalam 5 grup fisiografi utama yaitu:
Aluvial (A), Fluvio-Marin (B), Marin (M), Karst (K), dan Volkanik (V) serta Grup Aneka
Bentuk (X) yang menghasilkan 28 satuan unit lahan (Tabel 1).
Tabel 1. Satuan Landform dan Luasannya di Kabupaten Bima
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 649
Seminar Nasional 2005
dan teras marin subresen, dengan bentuk wilayah datar sampai agak datar (lereng <3%).
Grup karst menempati penyebaran yang sempit yaitu terletak di sekitar selat Sape yang
merupakan gugusan pulau-pulau kecil, di sebelah utara dan barat Tawali Wera dan di sekitar
Teluk Waworada. Bentukan lahan umumnya bergelombang dan berbukit dengan sebaran
dari agak datar sampai bergunung, lereng bervariasi dari 1->45%, tanah umumnya dangkal
dan berbatu. Grup volkan merupakan deretan gunung api baik yang masih aktif maupun
yang sudah tidak aktif. Gunung api Sangeang merupakan gunung api yang masih aktif,
sedangkan G.Tambora, G. Lambuwu sudah tidak aktif. Bentuk wilayahnya mulai dari agak
datar, berombak, bergelombang, berbukit, dan bergunung, kisaran lereng 1%->45%. Sebaran
bentuk wilayah dan lereng Kabupaten Bima disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Sebaran Bentuk Wilayah dan Lereng Kabupaten Bima, 2004 .
Lereng
No. SL Simbol Relief Luas %
(%)
1 f Datar 0-1 6.204,09 1.52
2 n Agak datar 1-3 36.613,44 8.95
3 u Berombak 3-8 27.064,35 6,62
4 r Bergelombang 8 - 15 20.500,60 5,01
5 r-h Bergelombang-berbukit 10 - 25 12.043,30 2,94
6 c Bergumuk 10 - 25 499,60 0,12
7 o Berbukit kecil 10 - 25 3.393,55 0,83
8 h Berbukit 15 - 45 205.044,04 50,13
9 m Bergunung > 45 78.720,09 19,25
10-13 X1, X2, X3, X4 Pemukiman, danau, lereng curam, p. karang 18.912,71 4,63
Jumlah 408.995,78 100,00
Sumber : Data Sekunder diolah, 2004.
Dari data sebaran bentuk wilayah dan lereng (Tabel 2), terlihat bahwa Kabupaten
Bima dapat dipisahkan menjadi 9 kelas bentuk wilayah dan lereng. Dari hasil pengamatan di
lapangan menunjukkan bahwa 50,13% wilayah kabupaten Bima merupakan wilayah
berbukit dengan lereng 15-45% disusul wilayah bergunung dengan lereng > 45% sekitar
19%, dan sisanya adalah wilayah datar, berombak, bergelombang, dan berbukit kecil, yang
berlereng agak curam sampai curam.
Hasil pengamatan tanah di lapangan dan didukung hasil analisis laboratorium, tanah-
tanah di Kabupaten Bima dapat diklasifikasikan kedalam lima ordo, yaitu Entisols, Andisols,
Inceptisols, Mollisols, dan Vertisols, menurunkan 11 grup dan 20 subgrup (Soil Survey
Staff, 1998) (Tabel 3).
Tabel 3. Tanah-tanah yang terdapat di wilayah Kabupaten Bima, NTB.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 650
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 651
Seminar Nasional 2005
tinggi). Sebagian besar tanah ini digunakan untuk sawah tadah hujan, tegalan/kebun, buah-
buahan, kebun campuran, dan belukar.
Berdasarkan hasil analisis kimia contoh tanah menunjukkan umumnya reaksi tanah
netral, kandungan C organik dan N rendah, KTK tanah sedang, dan kejenuhan basa tinggi
sehingga tanahtanah tersebut status kesuburannya umumnya termasuk sedang. Tanah-tanah
tersebut akan berpotensi jika dilakukan pengelolaan dengan baik, yaitu pemberian pupuk
organik, pemupukan berimbang sesuai dengan kebutuhan tanaman.
Kondisi Agroklimat
Kondisi iklim suatu wilayah sering digunakan sebagai seleksi awal dalam
penyusunan pewilayahan komoditas pertanian. Kabupaten Bima tergolong dalam pola hujan
IA dan IIA. Pola IA dengan total curah hujan < 1000 mm/th, bulan kering <7–10 bulan dan
bulan basah < 2 bulan. Pola IIA dengan total curah hujan 1000 – 2000 mm/th, bulan kering
<5–8 bulan dan bulan basah <4 bulan. Pola IA tersebar di bagian utara memanjang kearah
timur dan selatan sedangkan pola IIA di bagian tengah (Balitklimat dan Hidrologi, 2003).
Berdasarkan data stasiun setempat, tergolong wilayah dengan curah hujan rendah (<2500
mm/th). Rerata curah hujan tertinggi terjadi di Woha yaitu 2036 mm/th dan terendah di
Donggo yaitu 336 mm/th. Jumlah bulan kering (curah hujan <60 mm) selama 5-6 bulan dari
April s/d September terjadi di Monta, Wawo, Belo, Woha dan Sanggar, sedangkan jumlah
bulan kering (curah hujan <60 mm) selama 9 bulan terjadi di Wera, Sape dan Donggo.
Menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson tergolong tipe hujan D dan F, sedangkan
menurut Koppen tergolong tipe iklim Aw yaitu tipe iklim hujan tropis dengan curah hujan
bulan-bulan terkering <60 mm selama 6-9 bulan, suhu udara rata-rata bulan terdingin >18°C
dan terpanas >22°C dengan curah hujan <2500 mm/th. Berdasarkan jumlah bulan basah
(curah hujan >200 mm) dan jumlah bulan kering (curah hujan <100 mm), tergolong zone D4
dan E4 (Oldeman et al., 1988). Zone D4 dicirikan bulan basah >3 bulan, dan bulan kering
berturut-turut <6 bulan. Penyebaran di bagian tengah dan utara yaitu Monta, Wawo, Belo
dan Woha. Sedangkan zona E4 dicirikan bulan basah <3 bulan dan bulan kering berturut-
turut >6 bulan terdapat di Sape, Donggo dan Wera (Gambar 1).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 652
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 653
Seminar Nasional 2005
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des
Tanaman Semusim
Padi sawah /
gogo Palawija Bera
Tanaman Tahunan
Tanam bibit
Masa pertumbuhan Pemeliharaan tanaman (penyiraman)
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 654
Seminar Nasional 2005
menerapkan input rendah sampai sedang. Input dan output untuk TPL tanaman tahunan
(perkebunan), yaitu kelapa, kopi dan jambu mete, dengan menerapkan input rendah sampai
sedang.
Hasil analisis gross margin dengan program ALES versi 4.65d (Rossiter and
Wambeke 1997) dan kelayakan finansial beberapa komoditas pertanian menunjukkan bahwa
pada umumnya tanaman semusim yang diusahakan layak dikembangkan dengan RCR >1,10
(Tabel 6). Untuk tanaman kelapa dan mangga dengan periode analisis 20-30 tahun layak
dikembangkan dengan nilai NPV positif, nilai IRR>suku bunga yang berlaku serta BCR >1
(Tabel 7).
Tabel 6. Kelayakan usahatani tanaman semusim dengan kondisi produksi optimal di Kabupaten Bima.
Tipologi lahan Biaya Produksi Penerimaan
Jenis tanaman (JT) RCR
(TL) (Rp/ha) (BP) (Rp/ha) (REV)
2x padi sawah Wri 5.848.000,00 10.080.000,00 2,38
Padi tadah hujan Wrr 2.064.000,00 5.580.000,00 2,70
Padi gogo Dfc 1.686.500,00 1.013.500,00 1,60
1x Jagung DFc 2.067.500,00 7.350.000,00 3,56
Kacang tanah Wri 1.985.000,00 5.000.000,00 2,52
Kedele Wri 1.657.500,00 4.200.000,00 2,53
Kacang hijau Wri 1.426.500,00 2.118.750,00 1,49
Cabe rawit Dha/Wri 3.825.000,00 4.050.000,00 2,06
Bawang merah Dh 16.724.000,00 36.000.000,00 2,15
Standar > 1,10
Sumber : Data primer diolah tahun 2004
Tabel 7. Kelayakan investasi usahatani tanaman tahunan dengan kondisi produksi optimal di Kabupaten Bima
Dari hasil pengamatan lapangan, wilayah Kabupaten Bima secara umum sesuai
untuk pengembangan pertanian, baik tanaman pangan maupun perkebunan dan hortikultura.
Faktor penghambat yang dijumpai terdiri atas: media perakaran (tekstur tanah kasar), lereng
curam, dan ketersediaan air. Dengan penambahan air irigasi/pengairan dan pemupukan,
termasuk pemberian bahan organik, tanah-tanah di wilayah ini masih dapat ditingkatkan
produktivitasnya.
Sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui potensi sumberdaya lahan
untuk pengembangan komoditas pertanian, maka evaluasi lahan dilakukan baik secara fisik
maupun ekonomi dengan menggunakan parameter karakteristik lahan yang berpengaruhi
terhadap produktivitas tanaman. Evaluasi lahan dilakukan dengan asumsi masukan (input)
“sedang”, yaitu dengan menerapkan teknologi petani yang ada saat ini (existing) dengan
didukung oleh bantuan pemerintah seperti kredit permodalan untuk penyediaan sarana
produksi dan teknik pengelolaan lahan, seperti pemupukan dan konservasi tanah (CSR/FAO,
1983). Dalam penilaian kesesuaian lahan, parameter kualitas lahan yang dipertimbangkan
untuk dievaluasi lahannya dengan TPL input sedang adalah bahaya erosi (eh), media
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 655
Seminar Nasional 2005
perakaran (rc), dan rejim suhu udara (tc), sedangkan ketersediaan air (wa), retensi hara (nr),
dan ketersediaan hara (na) dipertimbangkan pada penilaian lahan input rendah. Dari
parameter kualitas lahan tersebut, media perakaran, rejim suhu udara relatif lebih sulit untuk
diatasi, dibandingkan dengan kualitas lahan lainnya. Kualitas bahaya erosi bisa tidak
dipertimbangkan mengingat sebagian besar wilayah berlereng <8%.
Evaluasi lahan secara fisik untuk berbagai komoditas pertanian yang diproses
melalui komputer menggunakan program ALES (Rossiter dan Wambeke, 1997),
menunjukkan padi sawah, padi gogo, kacang tanah, rambutan, jagung, kedelai, bawang
merah, mangga, srikaya, sawo sesuai dikembangkan di Kabupaten Bima. Kelas kesesuaian
lahan dikelompokkan menjadi sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3)
dan tidak sesuai (N) (Djaenuddin et al., 2003).
Hasil pengolahan dengan program Modul Pewilayahan Komoditas (MPK) diperoleh
13 arahan pewilayahan komoditas pertanian sesuai dengan zona agroekologinya serta 4
pewilayahan non pertanian (Tabel 8 dan Gambar 3).
Tabel 8. Arahan Pewilayahan Komoditas Pertanian di Kabupaten Bima
Luas
Kode Tanaman Sistem Satuan Lahan Luas (ha)
(%)
I/Dj Kawasan Konservasi Hutan lahan kering 50, 51, 52, 53, 54, 55, 78.720,09 19,25
56, 57, 58, 75, 92, 103,
104, 105
II/De-1 Kopi Pengembangan tanaman 63 1.399,47 0,34
perkebunan permanen
II/De-2 Jambu mete, srikaya, Pengembangan tanaman 62, 64, 65, 66, 67, 82, 172.688,17 42,22
kemiri, asam, mangga perkebunan permanen 84, 87, 89, 97, 98, 99,
100, 101, 102
II/Dj Kawasan Konservasi Hutan lahan kering 42, 43, 44, 72, 73, 74, 33.181,30 8,11
83, 90, 91, 93, 94, 107
II/Dt Hutan tanaman industri (jati, Hutan tanaman industri 68, 88 847,87 0,21
sonokeling) lahan kering
III/De Jambu mete Pengembangan tanaman 61 641,00 0,16
perkebunan
III/Def Jambu mete, kelapa, Pengembangan tanaman 40, 41, 59, 60, 86, 95, 32.723,28 8,00
mangga, srikaya, kemiri, perkebunan/hortikultura/p 96, 71, 79, 80, 81, 82,
sawo, jagung,kacang tanah, angan 106
padi gogo
IV/De Kelapa Pengembangan tanaman 10, 45 922,68 0,23
perkebunan
IV/Df Padi gogo, jagung, kacang Pengembangan tanaman 1, 3, 4, 7, 9, 12, 14, 16, 32.417,75 7,93
tanah, kacang hijau, ubi pangan 17, 18, 19, 25, 26, 27,
kayu 29, 30, 32, 33, 34, 35,
36, 76, 77, 85
IV/Dfe Padi gogo, jagung, kedelai, Pengembangan tanaman 8, 13, 20, 21, 22, 23, 20.954,59 5,12
kacang hijau, bawang pangan/perkebunan/hortik 24, 28, 31, 46, 48, 49,
merah, mangga, semangka, ultura 69, 70, 78
srikaya, ubi kayu, kelapa,
jambu mete
IV/Wg Garam Pengembangan tambak 38 2.752,91 0,67
garam
IV/Wi Padi sawah, kedelai, kacang Pengembangan tanaman 2, 5, 6, 11, 15 11.137,79 2,72
hijau, semangka, bawang pangan/hortikultura
merah
IV/Wj Hutan mangrove Hutan lahan basah 39, 47 1.160,90 0,28
IV/Wt Tambak Pengembangan perikanan 37 535,26 0,13
air payau
X1, X2, Pemukiman, badan air, 108, 109, 110, 111 18.912,71 4,63
X3, X4 gawir/lereng curam dan
pulau-pulau
Jumlah 408.995,77 100,00
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 656
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 657
Seminar Nasional 2005
Kesimpulan
1. Kabupaten Bima memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan komoditas
pertanian, selain cukup strategis karena berbatasan langsung dengan Propinsi NTT dan
mempunyai akses ke Bali dan Jawa baik melaui darat, laut dan udara, juga karena
sumberdaya lahannya yang cukup luas.
2. Komoditas pertanian yang sesuai dikembangkan berdasarkan hasil evaluasi lahan secara
fisik adalah padi sawah, padi gogo, kacang tanah, rambutan, jagung, kedelai, bawang
merah, mangga, srikaya, sawo sesuai dikembangkan di Kabupaten Bima.
3. Hasil pewilayahan komoditas pertanian diperoleh 13 arahan pewilayahan komoditas
pertanian di Kabupaten Bima sesuai dengan zona agroekologinya serta 4 pewilayahan non
budidaya, yaitu Zona I/Dj (hutan lahan kering), II/De-1 (pengembangan tanaman
perkebunan permanen), II/De-2 (pengembangan tanaman perkebunan permanen), II/Dj
(hutan lahan kering) , II/Dt (hutan tanaman industri lahan kering), III/De (pengembangan
tanaman perkebunan), III/Def (pengembangan tanaman perkebunan/hortikultura/pangan),
IV/De (pengembangan tanaman perkebunan), IV/Df (pengembangan tanaman pangan),
IV/Dfe (pengembangan tanaman pangan/perkebunan/hortikultura), IV/Wg (pengembangan
tambak garam), IV/Wi (pengembangan tanaman pangan/hortikultura), IV/Wj (hutan lahan
basah), IV/Wt (pengembangan perikanan air payau), X1, X2, X3, X4 (pemukiman, badan
air, gawir/lereng curam, pulau-pulau).
4. Berdasarkan arahan pewilayahan komoditas pertanian ditetapkan 6 sistem pertanian, yaitu
sistem pengembangan tanaman perkebunan (Zona II/De dan IV/De); pengembangan hutan
tanaman industri lahan kering (Zona II/Dj); pertanian lahan kering tanaman perkebunan
(Zona III/De dan III/Def), pertanian lahan basah tanaman padi sawah rotasi dengan
palawija dan hortikultura semusim (Zona IV/Wi); pertanian lahan kering tanaman pangan
(Zona IV/Df), dan pengembangan lahan basah untuk tambak (Zona IV/Wg dan IV/Wt).
Saran
Hasil pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan ZAE skala 1:50.000 hendaknya
dapat dijadikan dasar dalam perencanaan pembangunan pertanian di Kabupaten Bima.
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 658
Seminar Nasional 2005
F.A.O, 1983. Guidelines Land Evaluation for Rainfed Agriculture. Soil Bulletin No. 52. Soil
Resources Management and Consevation Service Land and Water Development
Division
FAO. 1978. Guidelines for Soil Profile Description. Soil Resources Development and Cons.
Service, Land and Water Development Division. FAO/UNESCO, Rome.
Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek. Analisa Ekonomis. Ed. Ke-2. LPFE UI, Jakarta.
Las, I., A.K. Makarim, A. Hidayat, A. Syarifuddin, dan I. Mawan. 1990. Pewilayahan
Agroekologi Utama Tanaman Indonesia. Puslitbangtan, Edisi Khusus,
Pus/03/90.Bogor.
Oldeman L.R., Irsal L., and Muladi, 1988. Agroclimatic Map of Bali, Nusatenggara Barat
and Nusatenggara Timur Central Research Institute for Agriculture, Bogor.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, 1998. Peta Geologi Lembar Sumbawa, Nusa
Tenggara Skala 1:250.000. Direktorat Geologi Bandung.
Rossister, D, And Van Wambeke, 1997. Automated Land Evaluation System. User’s Manual
Version 4.6. Cornell University, Ithaca, New York.
Schmidt, F.H., and J.H.A. Ferguson, 1951. Rainfall Type Based on Wet and Dry Period
Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verh. No.42. Jawatan Met. dan
Geofisik, Djakarta.
Soil Conservation Service, 1972. Soil Survery Laboratory Methods and Procedure for
Collecting Soil Samples. Soil Sruvey Investigation Report No. 1. USDA-SCS,
Washington DC.
Soil Survey Staff. 1998. Keys to Soil Taxonomy, 8th edition 1998. Nasional Resources
Conservation Service, USDA.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 659
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Pertumbuhan dan produksi hijauan pakan ternak sangat ditentukan oleh keberadaan air tanah dan
kesuburan tanah. Kedua faktor tersebut dapat dimodifikasi melalui teknologi irigasi dan pemupukan. Disamping
itu, produktivitas tanaman pangan sangat rendah pada lahan di bawah naungan tanaman jambu mete yang telah
berumur lebih dari 10 tahun karena intensitas penyinaran matahari yang cukup rendah. Oleh karena itu perlu
dicari anternatif lain untuk memanfaatkan lahan tersebut seperti penanaman hijauan pakan ternak. Pengkajian
dinamika lengas tanah dan produksi biomas beberapa hijauan pakan ternak pada berbagai intensitas naungan
tanaman jambu mete di lahan kering telah dilakukan di tanah Entisols iklim tipe D4 (Oldemen) di Kabupaten
Dompu. Pengkajian ditata dengan rancangan faktorial yang terdiri dari dua faktor yaitu 1. faktor naungan (tanpa
naungan, setengah naungan dan naungan penuh), dan 2. faktor hijauan pakan ternak (Arachis sp, Amiga sp dan
Verano sp). Lengas tanah ditentukan dengan mengambil sampel tanah sampai kedalaman 180 cm pada akhir
musim kemarau, pertengahan dan akhir musim hujan bersamaan dengan sampel biomas pakan. Data hasil
penelitian selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis varian (ANOVA). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa lengas tanah tertinggi diperoleh pada arachis sp pada lapisan tanah 0-15 cm pada pertengahan dan akhir
musim penghujan pada perlakuan setengah dan full naungan, sedangkan lengas tanah tidak berbeda nyata pada
akhir musim kemarau pada setiap perlakuan naungan. Biomas hijauan pakan tertinggi diperoleh pada arachis sp
pada pertengahan dan akhir musim penghujan pada setiap perlakuan naungan. Implikasi dari penelitian ini adalah
penanaman arachis sp dapat dilakukan dibawah naungan tanaman jambu mete.
Kata kunci : Lengas tanah, hijauan pakan ternak, naungan, jambu mete, Arachis sp, Amiga sp dan Verano sp
PENDAHULUAN
Pertumbuhan dan produksi pakan hijauan ternak sangat ditentukan oleh keberadaan
air tanah dan kesuburannya. Jumlah air yang dibutuhkan oleh pakan untuk dapat
memberikan brangkasan yang tinggi sangat bergantung pada jenis pakan itu sendiri dan
iklim terutama curah hujan (Allen et all. 1998). Dengan demikian aspek penting dari
pengairan adalah sampai pada tingkat kekeringan tanah tertentu yang mana pengairan harus
diberikan. Kalau tingkat ini diketahui maka akan diperoleh pengairan yang tepat waktu dan
jumlah.
Disamping lengas tanah berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan pakan hijauan
ternak, juga mempengaruhi mobilitas unsur hara dalam tanah. Unsur hara yang mobilitasnya
sangat rendah maka peredarannya sangat ditentukan oleh lengas tanah. Oleh karena itu
takaran pupuk yang tepat pada tingkat ketersediaan air tertentu harus diketahui untuk
memperoleh efisiensi pemupukan yang tinggi. Pengelolaan air (saat pemberian dan jumlah
air) yang tepat diharapkan mampu mengefisienkan penggunaan pupuk.
Pada saat ini, banyak lahan diantara pertanaman jambu mete petani transmigran
yang kurang bisa dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pangan. Lahan tersebut dibiarkan
saja oleh petani sehingga banyak ditumbuhi oleh beberapa jenis rumput seperti Sida sp dan
Chromolaena odorata. Disamping lahan tersebut proporsinya secara signifikan digunakan
sebagai tempat penggembalaan sapi, namun lahan itu juga secara potensial dapat digunakan
sebagai salah satu sumber pakan. Walaupun beberapa jenis pakan yang beradaptasi tinggi
terhadap naungan telah diidentifikasi dengan baik dalam sistem usahatani tanaman-ternak,
namun keberadaannya sangat terbatas (Penggely and Lisson, 2001). Tanaman legum sangat
berbeda performannya dalam merespon tingkat naungan sebagaimana hal itu telah diteliti
oleh Wong et al. (1985b) dan Eriksen and Whitney (1982). Hasil penelitian Eriksen and
Whitney (1982) menunujukkan bahwa respon produksi legume adalah mendekati linear
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 660
Seminar Nasional 2005
terhadap naungan, sementara hasil penelitian Wong et al. (1985a) menunjukkan bahwa
produksi legum maximum diperoleh pada tingkat cahaya yang rendah walaupun kualitas
pakan ada kecenderungan untuk lebih rendah dibandingkan dengan tanpa naungan (Norton et
al., 1991). Namun seberapa jauh daya adaptasi beberapa legum dan perilaku lengas tanah
yang ditanami legum terhadap intensitas cahaya dibawah naungan tanaman jambu mete
masih sangat sedikit. Percobaan telah dilakukan dengan tujuan untuk menetahui dinamika
lengas tanah dan produksi biomas beberapa legum pakan ternak pada berbagai intensitas
naungan tanaman jambu mete.
Bahan
Bahan dan alat penelitian yang digunakan adalah legum benih Stylosanthes hamata
dan Arachis pintoi. Alat meliputi set alat pengebor tanah, timbangan, kertas amplop, pisau,
oven, ring sampel, karet, kantong plastik dan lain-lain.
Metode
Penelitian ini telah dilaksanakan di lahan petani transmigrasi Dusun SPA Desa
Sukadamai Kecamatan Manggelewa Kabupaten Dompu pada bulan Januari 2002 (musim
penghujan). Percobaan ditata dengan rancangan faktorial yang terdiri dari yaitu faktor legum
terdiri dari 2 jenis legum (Stylosanthes hamata dan Arachis pintoi) dan faktor naungan yang
terdiri dari 3 tingkat naungan (tidak ada naungan, setengah naungan dan naungan penuh).
Setiap kiombinasi perlakuan diulang 3 kali sehingga semuanya terdapat 18 petak percobaan.
Alat pengukur intensitas cahaya tidak terdapat baik di Universitas Mataram maupun di
BPTP, maka penentuan intensitas cahaya didasarkan pada kondisi lapangan yang paling
umum dijumpai di pertanaman jambu mete. Atas dasar itu maka intensitas naungan di lahan
jambu mete di bagi dalam tiga kelas yaitu tanpa naungan (100% cahaya matahari), setengah
naungan (50% ternaungi oleh tanaman jambu mete) dan naungan penuh (100% dinaungi
oleh tanaman jambu mete). Stylosanthes hamata merupakan legum yang banyak digunakan
untuk pakan ternak dan Arachis pintoi merupakan legum yang mempunyai kualitas pakan
tinggi pada musim kering dan cukup tahan terhadap naungan (Mannetje and Jones, 1992).
Disamping itu, kedua legum tersebut mampu meningkatkan kesuburan tanah terutama unsur
nitrogen.
Lahan diantara pertanaman jambu mete (dibawah naungan jambu mete) disemprot
dengan herbisida untuk mematikan rumput yang tumbuh, kemudian dibajak dan diolah
sampai rata. Arachis pintoi ditugal satu-satu dengan jarak tanam 20 x 20 cm sedangkan
Stylosanthes hamata sebanyak 12 gram disebar pada petak yang telah dibuat dengan ukuran
5x4 m (Mannetje and Jones, 1992). Pemupukan tidak dilakukan dengan tujuan untuk
melihat produksi biomas secara alami dan juga tidak dilakukan penyiangan untuk melihat
daya saing legum tersebut dengan legum atau rumput yang lain.
Sampling biomas dan tanah dilakukan pada awal musim kemarau (bulan Juni).
Sample biomas diambil pada masing-masing kombinasi perlakuan seluas 1 m² dengan
memotong pangkal batang kemudian ditimbang. Pakan yang ditanam dipisahkan dengan
legum atau rumput yang lain, lalu ditimbang untuk mengetahui proporsi pakan tersebut.
Dari sample biomas tersebut kemudian disample lagi untuk mengetahui berat keringnya.
Contoh tanah diambil pada masing masing pengambilan sampel biomas.
Pengambilan contoh tanah dilakukan sampai kedalaman 180 cm dengan menggunakan 2
pipa besi berdiameter sekitar 4 cm yang masing masing panjangnya 100 cm dan 180 cm.
Pipa yang panjangnya 100 cm ditancapkan terkebih dahulu ke dalam tanah dengan
memukulnya secara vertikal, lalu ditarik dengan pengungkit dan pipa kedua yang panjang
180 cm dimasukkan ke bekas tancapan pipa pertama, dipukul sampai sejajar dengan
permukaan tanah dan ditarik dengan pengungkit. Tanah yang ada di dalam pipa dikeluarkan,
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 661
Seminar Nasional 2005
kemudian di bagi berdasarkan kedalaman: 0-15, 15-30, 30-60, 60-90, 90-120, 120-150 dan
150-180 cm. Sampel tanah tersebut sebagian dimasukkan ke katong amplop dan ditimbang
untuk ditentukan kadar lengasnya.
Lahan disekitar percobaan tersebut juga telah digunakan untuk menentukan kadar
lengas titik layu permanen untuk setiap pakan yang dikaji, kapasitas lapang dan kadar lengas
titik jenuh tanah. Lengas titik layu permanen untuk masing-masing pakan yang dikaji
ditentukan dengan cara sebagai berikut; semua pakan ditanam pada awal musim kemarau
lalu dibiarkan sampai layu permanen dan sampel tanah diambil sampai kedalamam 180 cm
dengan cara yang sama seperti di atas. Penentuan lengas kapasitas lapang tanah ditentukan
dengan menutup tanah yang berukuran 4 x 4 m dengan jerami atau rumput pada saat musim
penghujan dan dibiarkan sampai akhir musim penghujan. Tanah yang ditutup tersebut harus
bersih dari tanaman dan rumput yang tumbuh agar kondisi kapasitas lapang terjaga. Tanah
tersebut diambil sampelnya pada akhir musim hujan untuk ditentukan lengas kapasitas
lapangnya. Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan menggunakan ring sampel sampai
pada kedalaman 180 cm. Berat volume tanah juga ditentukan dengan menggunakan metode
ring sampel.
Parameter yang diamati meliputi legas titik layu permanen Stylosanthes hamata dan
Arachis pintoi, lengas kapasitas lapang, berat volume tanah, lengas titik jenuh tanah, berat
biomas basah, berat biomas kering proporsi pakan yang tumbuh terhadap rumput yang lain.
Data hasil percobaan dianalisis dengan analisis variance (Anova).
Pertumbuhan dan Produksi Biomas Legum yang Diteliti dan Rumput Lain
Penampilan pertumbuhan di lapangan kedua legum pada masa awalnya berbeda.
Pertumbuhan Arachis pintoi pada 4 – 6 hari setelah tugal sudah mencapai 90% dan pada
sekitar 20 hari setelah tugal sudah tumbuh merata. Namun pertumbuhan Stylosanthes
hamata sangat berbeda dengan Arachis pintoi. Stylosanthes hamata masih belum ada yang
tumbuh pada hari 4-6 setelah tanam dan sampai pada hari 20 setelah tanam, pertumbuhannya
hanya mencapai sekitar 5%. Pertumbuhan yang sangat kuarng ini diduga disebabkan oleh
mutu benih yang sudah lama dan kurang bagus. Oleh karena itu, benih disebar lagi dengan
kualitas yang lebih baik sehingga pertumbuhannya cukup bagus. Tanaman dibiarkan
tumbuh dan tetap hijau sampai bulan Agustus (pertengahan musim kering). Berat kering
biomas Stylosanthes hamata dan Arachis pintoi pada berbagai perlakuan naungan dan
komposisinya terhadap legum dan rumput lain yang tumbuh dalam petak percobaan yang
sama dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Stylosanthes
2500
Biomass (kg/ha dry matter)
2000
1500
1000
500
0
Full_shade Part_shade No_shade
Gambar 1. Berat kering biomas Stylosanthes hamata pada berbagai perlakuan naungan dan
komposisinya terhadap legum dan rumput lain yang tumbuh dalam petak
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 662
Seminar Nasional 2005
Arachis pintoi
2000
1500
1000
500
0
Full_shade Part_shade No_shade
Gambar 2. Berat kering biomas Arachis pintoi pada berbagai perlakuan naungan dan komposisinya
terhadap legumdan rumput lain yang tumbuh dalam petak
Gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa produksi biomas kering untuk legum dan
rumput lain yang tumbuh dalam petak percobaan berbanding terbalik dengan intensitas
naungan. Semakin tinggi tingkat naungan, produksi biomas legum dan rumput lain semakin
rendah. Bahkan pada tingkat naungan penuh dan setengah naungan, produksi biomas
rumput lain sangat sedikit. Berbeda halnya dengan kedua legum yang diteliti, produksi
biomas kering kedua legum tersebut masih tinggi walaupun pada proporsinya berbeda pada
berbagai tingkat naungan.
Sebagaimana dapat dilihat pada gambar di atas, produksi biomas kering
Stylossanthes hamata lebih tinggi pada perlakuan tanpa naungan dibandingkan dengan
perlakuan setengah naungan dan naungan penuh walaupun perbedaan tersebut tidak berbeda
nyata. Sedangkan produksi berat kering Arachis pintoi kecenderungannya lebih tinggi pada
perlakuan setengah naungan walaupun masih tumbuh cukup baik pada perlakuan naungan
penuh. Walaupun pertumbuhan Arachis pintoi cukup bagus pada perlakuan tanpa naungan,
namun produksi biomas kering relatif terbatas karena pertumbuhannya berkompetisi dengan
legum dan rumput lainnya. Secara umum produksi berat kering biomas Stylossanthes
hamata lebih tinggi daripada Arachis pintoi.
0 15 30 45 60
0
20
Kedalaman (cm)
40
DUL
60
SAT
80 StyloLL
ArachisLL
100
120
Gambar 3. Lengas tanah pada titik layu permanen legum Stylossanthes hamata dan Arachis pintoi,
kapasitas lapang (DUL) dan titik jenuh (sat) di lokasi penelitian
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 663
Seminar Nasional 2005
Gambar 3 menunjukkan lengas tanah tersedia untuk kedua legum tersebut tidak
sama. Pada kedalaman 0-20 cm jumlah air tersedia untuk arachis lebih banyak daripada
stylo, namun pada kedalaman 20-60 cm keadaannya menjadi terbalik dan pada kedalaman 64
cm ke bawah, lengas tanah tersedia untuk kedua legum tersebut hampir sama. Dinamika
lengas tanah kedua legum tersebut pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4
Lengas tanah (%V)
0 20 40 60 80
0
20
DUL
Kedalaman (cm)
40
SAT
60 ArFS
80 ArHS
ArNS
100
ArLL
120
Gambar 4. Dinamika lengas tanah pada tanaman legum pada berbagai perlakuan naungan (DUL =
kapasitas lapang, SAT = kapasitas jenuh; FS = naungan penuh; HS = setengah naungan;
NS = tanpa naungan; Ar = Arachis pintoi; Stylo = Stylosanthes hamata)
Sampel tanah pada Gambar 4 diambil pada akhir musim penghujan (bulan Maret
2002). Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa lengas tanah tidak berbeda secara nyata
terhadap perlakuan naungan. Hal ini karena pada saat pengambilan sampel tanah, curah
hujan masih cukup tinggi. Secara umum, lengas tanah pada kedua tanaman tersebut lebih
tinggi dari pada batas titik layu permanennya. Pada kedalaman 0-37 cm, lengas tanah pada
legum arachis lebih tinggi daripada lengas tanah kapasitas lapang.
Pada pertengahan musim kering (bulan September 2002), kondisi tanaman kedua
lagum tersebut sudah mati. Tetapi pada awal musim hujan, legum tersebut tumbuh kembali
dan pertumbuhannya lebih bagus dibandingkan pada tahun sebelumnya. Pada bulan
September 2002, sampel tanah juga diambil lagi dan dianalisis kadar airnya. Dinamika
lengas tanah kedua legum tersebut pada berbagai perlakuan naungan pada musim kering
dapat dilihat pada gambar 5.
Lengas tanah (%V) Lengas tanah (%V)
0 10 20 30 40 50 60 70 0 10 20 30 40 50 60 70
0
0
20
20
40
Kedalaman (cm)
Kedalaman (cm)
40 DUL
DUL SAT
SAT 60 Stylo FS
60
ArFS styloHS
ArHS 80 StyloNS
80
ArNS StyloLL
ArLL 100
100
120
120
Gambar 5. Dinamka lengas tanah pada tanaman legum pada berbagai perlakuan naungan (keterangan
gambar lihat gambar 4)
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 664
Seminar Nasional 2005
Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapatdisimpulkan bahwa Stylossanthes hamata
menghasilkan biomas kering lebih tinggi pada tanpa naungan dan produksi biomas
berkurang pada perlakuan setengah naungan dan naungan penuh. Sedangkan pertumbuhan
Arachis pintoi kecenderungan lebih baik pada setengah naungan walaupun ia tetap tumbuh
dengan baik pada setengah naungan maupun naungan.
Lengas tanah pada akhir musim hujan mampu mendukung pertumbuhan tanaman
legum untuk tetap hijau sampai pertengahan musim kering, tetapi tidak mampu mendukung
pertumbuhan legum dari bulan september sampai awal masuknya musim penghujan.
Saran
Penanaman legum dibawah naungan jambu mete dapat dilakukan untuk memperoleh
tambahan pakan ternak pada musim kemarau. Pemotongan legum tersebut sebaiknya
dilakukan pada pertengahan musim kemarau untuk mensuplai kekurangan pakan pada saat
itu.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, R.G., Pereira L.S., Raes D and Smith M.. 1998. Crop Evapotranspiration, Guidelines
for Computing Crop Water Requirements. FAO Irrigation and Drainage. Paper 56.
Eriksen, F.I. and Whitney, A.S. 1982. Growth and nitrogen fixation of some tropical forage
legumes as influenced by solar radiation regimes. Agronomy Journal, 74.
Mannetje, L.’T and Jones, R.M. 1992. Forages. Plant Resources of South East Asia. Prosea
Foundation, Bogor.
Norton, B.W., Wilson, J.R., Shelton, H.M. and Hill, K.D. 1991. The Effect of Shade on
Forage Quality. In. Forage for Plantation Crops. H.M. Shelton and W.W. Stur (Eds).
ACIAR Proceeding No. 32.
Penggely B.C. and Lisson S.N. (2001). Strategies for using improved forages to enhance
production in Bali cattle. In Strategies to Improve Bali Cattle in Indonesia. ACIAR
Proceeding 110. (Australian Centre for International Agricultural Research,
Canberra).
Wong, C.C., Rahim, H. and Mohd. Sharudin, M.A. 1985a. Shade tolerant potential of some
tropical forages for integration with plantation: 1. Grasses. MARDI Research
Bulletin, 13
Wong, C.C., Mohd. Sharudin, M.A. and Rahim, H. 1985b. Shade tolerant potential of some
tropical forages for integration with plantation: 1. Legumes. MARDI Research
Bulletin, 13.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 665
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Kandungan bahan organik tanah merupakan faktor penentu kualitas tanah untuk tanah mineral.
Semakin tinggi kandungan bahan organik tanah maka kualitas tanah mineral semakin baik. Penilaian kualitas
tanah beradasarkan kandungan bahan organiknya telah dilakukan di Kabupaten Bima dan Lombok Tengah.
Sampel tanah di ambil pada top dan sub soil pada titik-titik yang telah ditentukan melalui analisis terrain. Sampel
tersebut dianalisis kandungan bahan organiknya kemudian hasilnya dikelompokkan berdasarkan status sangat
rendah (<1%), rendah (1-2%), sedang (2-3), tinggi (3-5%) dan sangat tinggi (>5%) pada berbagai tipe
penggunaan lahan yaitu. Hasil pengelompokan tersebut dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif. Data
hasil analisis untuk 150 contoh tanah menunjukkan bahwa kandungan bahan organik tanah pada lapisan atas (0-
20cm) berada pada status sangat rendah sampai sangat rendah, 17,81% pada status sedang, dan hanya 9,81% dan
2,74% pada status yang tinggi sampai sangat tinggi. Sedangkan untuk tanah lapisan bawah (20 – 40 cm), sebagian
besar berada pada status sangat rendah sampai rendah. Kualitas tanah yang masih tinggi terdapat pada lahan
hutan, sedangkan pada lahan sawah, kebun dan pesisir pantai sebagian besar status bahan organik berada pada
kisaran sangat rendah sampai rendah. Implikasi dari hasil kegiatan ini adalah bahwa pemberian bahan organik ke
dalam tanah dalam bentuk pupuk organik sangat diperlukan untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas
tanah.
Kata kunci: kualitas tanah, bahan organik tanah, analisis terrain, status
PENDAHULUAN
Kondisi fisik, kimia dan biologi tanah dijadikan indikator untuk menentukan kualitas
tanah (Sitompul dan Setijono, 1990; Karama et all., 1990). Kualitas tanah adalah
kemampuan suatu tanah untuk berfungsi dalam berbagai batas ekosistem untuk mendukung
produktivitas biologi, mempertahankan kualitas lingkungan dan meningkatkan kesehatan
tanaman, hewan dan manusia. Secara umum, terdapat tiga makna pokok dari difinisi tersebut
yaitu produksi berkelanjutan yaitu kemampuan tanah untuk meningkatkan produksi dan
tahan terhadap erosi, mutu lingkungan yaitu tanah diharapka mampu untuk mengurangi
pencemaran air tanah, udara, penyakit dan kerusakan sekitarnya dan ketiga kesehatan
makhluk hidup.
Dampak negatif dari ketidakmampuan tanah untuk memenuhi fungsinya adalah
terganggunya kualitas tanah sehingga menimbulkan bertambah luasnya lahan kritis,
menurunnya produktivitas tanah dan pencemaran lingkungan. Dampak tersebut membuat
kita untuk mencari indikator dari segi tanah yang dapat digunakan untuk memonitor
perubahan kualitas tanah agar tetap memenuhi fungsinya. Penurunan kualitas tanah akan
memberikan kontribusi yang besar akan bertambah buruknya kualitas lingkungan secara
umum.
Sangat disadari akan kompleknya berbagai proses dan faktor yang mengendalikan
kualitas tanah sehingga sangat sulit untuk menyatukan berbagai interaksi antara faktor-faktor
tersebut menjadi suatu indikator. Secara umum indikator kualitas tanah harus: 1)
mengintegrasikan sifat kimia fisika dan biologi tanah, 2)mudah diperoleh oleh para
pengguna dan diaplikasikan pada berbagai kondisi lapangan, 3) peka terhadap perubahan
pengolalan tanah dan iklim, 4) dapat diukur atau diprediksi dilapangan dan dilaboraturium
dan 5) sedapat mungkin tersedia dalam basis data tanah.
Salah satu indikator kualitas tanah adakah kandungan bahan organik tanah, selain
indikator yang lain seperti sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Diambilnya bahan organik
sebagai salah satu indikator yang perlu diperhatikan karena sifatnya yang sangat labil dan
kandungannya berubah sangat cepat tergantung manajemen pengelolaan tanah (Six et al.,
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 666
Seminar Nasional 2005
1998, Cerri et al., 1991; Blair et al., 1998). Walaupun kandungan bahan organik tanah
sangat sedikit yaitu 1 – 5% dari berat total tanah mineral, namun pengaruhnya terhadap sifat
fisik, kimia dan biologi tanah sangat besar. Manfaat bahan organik sudah teruji
kehandalannya dalam memperbaiki kualitas tanah (Soegiman, 1982; Stevenson, 1994).
Kandungan bahan organik tanah telah terbukti berperan sebagai kunci utama dalam
mengendalikan kualitas tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi. Bahan organik
mampu memperbaiki sifat fisik tanah seperti menurunkan berat volume tanah, meningkatkan
permeabilitas, menggemburkan tanah, memperbaiki aerasi tanah, meningkatkan stabilitas
agregat, meingkatkan kemampuan tanah memegang air, menjaga kelembaban dan suhu
tanah, mengurangi energi kinetik langsung air hujan, mengurangi aliran permukaan dan erosi
tanah (Oades, 1989; Elliott, 1986; Puget et al., 1995; Jastrow et al., 1996; Heinonen, 1985).
Bahan organik mampu memperbaiki sifat kimia tanah seperti menurunkan pH tanah, dapat
mengikat logam beracun dengan membentuk kelat komplek, meningkatkan kapasitas
pertukaran kation dan sebagai sumber hara bagi tanaman (Stevenson, 1994; Tisdall and
Oades, 1982). Dari sifat biologi tanah, bahan organik tanah mampu mengikat butir-butir
partikel membentuk agregat dari benang hyphae terutama dari jamur mycorrhiza dan hasil
eskresi tumbuhan dan hewan lannya (Soegiman, 1982; Addiscott, 2000). Berdasarkan uraian
di atas maka telah dilakukan penilaian kualitas tanah berdasarkan kandungan bahan organik
di Kabupaten Bima.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah hasil analisis terrain, sampel tanah,
bahan kimia untuk analisis kandungan C-organik tanah.
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan survey tanah skala 1 : 50.000 yang
penentuan titik-titik pengambilan sampel tanah ditentukan melalui analisis terrain
(Hikmatullah et al., 2001). Sampel tanah diambil pada kedalaman 0-20 cm (topsoil) dan
pada kedalaman 20-40 cm (subsoil). Sampel tanah dibawa ke laboratorium untuk
selajutnya dianalisis kandungan carbon organiknya. Analisis carbon organik tanah
dilakukan dengan menggunakan metode Khurmis. Data hasil analisis kemudian
dikelompokkan menjadi 5 status berdasarkan kandungan bahan organik yaitu: a) <1%
sangat rendah; b) 1-2% (rendah); c) 2-3% (sedang); d) 3 – 5% (tinggi) dan e) >5% (sangat
tinggi). Data tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 667
Seminar Nasional 2005
Tabel 1. Keragaan Status Kandungan Bahan Organik Tanah Pada Lapisan Atas dan Bawah Lahan Sawah
Sacara umum, lahan sawah di sebagian besar Kabupaten Bima berada pada tingkat
kandungan bahan organik yang sangat rendah sampai rendah. Hal ini menunjukkan bahwa
kualitas tanah lahan sawah berdasarkan kandungan bahan organik di Kabupaten Bima sangat
rendah. Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa 57% kandungan bahan organik lahan sawah
berada pada status yang rendah, sedangkan 43% berada pada status yang sangat rendah pada
lapisan atas tanah. Kandungan bahan organik pada lapisan bawah tanah lebih rendah
dibandingkan dengan kandungan bahan organik pada lapisan atas tanah. Pada lapisan bahwa
tanah, kandungan bahan organik lahan sawah semua (100%) berada pada status sangat
rendah.
Berdasarkan hasil penelitian ini, sebenarnya kualitas tanah pada lahan sawah sudah
berada pada tingkat yang sangat menghawatirkan. Apabila kondisi ini dibiarkan terus dan
tidak ada usaha untuk meningkatkan kandungan bahan organik tanah, maka bukan tidak
mungkin lahan tersebut akan menjadi lahan kritis. Usaha penambahan bahan organik tanah
dapat dilakukan dengan mengembalikan sisa tanaman hasil panen, penanaman jenis tanaman
yang dapat mengembalikan kesuburan tanah dengan rotasi tanam atau dengan penambahan
pupuk kompos dari kotoran ternak.
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa kandungan bahan organik tanah pada lahan
tegaan dan kebun cukup beragam. Kandungan bahan organik pada lapisan atas tanah dari
sangat rendah, rendah, sedang sampai tinggi berturu-turut adalah 16,7%, 44,4%, 22,2% dan
16,7%. Tanah pada lahan tegalan dan kebun tidak ada yang mencapai status sangat tinggi.
Kualitas tanah pada lapisan bawah lebih rendah dibandingkan dengan kualitas tanah pada
lapisan atas. Secara umum, kualitas lahan tegalan dan kebun cukup baik jika dibandingkan
dengan kualitas tanah lahan sawah. Namun demikian penambahan bahan organik ke dalam
tanah masih perlu dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kandungan bahan
organik tanah.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 668
Seminar Nasional 2005
Tabel 3. Keragaan status kandungan bahan organik tanah pada lapisan atas dan bawah lahan hutan
Distribusi status bahan organik tanah pada tipe penggunaan lahan hutan cukup
bervariasi. Tabel 3 diatas menunjukkan sebagian besar status bahan organik tanah pada
lapisan atas berada pada kisaran tinggi (33.3%) sampai sangat tinggi (50%) dan hanya 16.7%
berada pada status rendah. Sedangkan pada lapisan bawah tanah, sebagian besar status
kandungan bahan organik berada pada kisaran sedang (20%) sampai sangat rendah (20%),
sedangkan 60% berada pada kisaran rendah. Secara umum, kualitas tanah pada lahan hutan
cukup baik dan perlu dipertahankan kualitas tersebut.
Kualitas tanah yang cukup baik ini disebabkan oleh hutan yang cukup lebat dengan
hasil seresah yang cukup banyak, yang ditandai oleh warna tanah yang gelap. Tanah yang
mempunyai kandungan bahan organik yang cukup tinggi biasanya memperlihatkan
kenampakan warna coklat gelap sampai gelap atau hitam. Warna gelap sampai hitam ini
umumnya ditemukan pada lapisan atas (horizon A).
Tabel 4 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar kandungan bahan organik tanah
pada lapisan atas lahan pesisir pantai berada pada kisaran sangat rendah (60%) sampai
sedang (20%), sedangkan sebanyak 20% status bahan organik berada pada kisaran rendah.
Kandungan bahan organik pada lapisan bawah lahan pesisir pantai semuanya berada pada
status sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas lahan pesisir pantai pada lapisan
atas lebih baik daripada lapisan bawah. Secara umu, kualitas lahan pesisir pantai termasuk
cukup rendah, namun hal ini masih lebih baik jika dibandingkan dengan kualitas lahan
sawah.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan sebagai berikut, kualitas
tanah berdasarkan kandungan bahan organik pada lahan sawah termasuk rendah. Kualitas
tanah pada berbagai tipe penggunaan lahan di Kabupaten Bima berturut-turut dari rendah
sampai tinggi adalah lahan sawah, lahan tambak, lahan kebun/tegalan dan lahan hutan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 669
Seminar Nasional 2005
Kualitas tanah yang paling tinggi diperoleh pada lahan hutan. Kandungan bahan organik
lapisan bawah tanah berada pada kisaran yang sangat rendah sampai rendah.
Saran
Penambahan bahan organik khususnya pada lahan sawah menjadi kegiatan yang
sangat perlu dilakukan guna meningkatkan kualitas tanah. Penambahan bahan organik tanah
dapat dilakukan dengan mengembalikan seresah hasil panen, penanaman dengan tanaman
penyubur tanah seperti Clotalaria sp atau dengan pupuk kompos dan kotoran ternak.
DAFTAR PUSTAKA
Addiscott T.M. 2000. Tillage, mineralization and leaching. Soil and Tillage Research.
53:163 – 165.
Badan Pusat Statistik. 2000. Kabupaten Bima Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi
Nusa Tenggara Barat.
Blair G.L, Chapman L.,Whitbread A.M., Coelho B.B., Larsen P and Tissen H.. 1998. Soil
carbon change resulting from sugarcane trash management at two locations in
Queensland, Australia and in North-East Brazil. Australian Journal os Soil
Research. 36:871 – 881.
Cerri C.C., Volkoff B. and Andreaux F. 1991. Nature and behaviour of organik matter in
soils under natural forest, and after deforestation, burning and caltivation, near
Manaus. Forest Ecology Management. 38:247 – 257.
Elliott E.T. 1986. Aggregate structure and carbon, nitrogen, and phosphorus in native and
cultivated soils. Soil Science Society of America Jorunal. 50: 627 – 633
Heinonen R. 1985. Soil Management and Crop Water Supply. Swedish University of
Agricultural science. Uppsala. Sweden.
Hikmatullah, Nata Suharta dan Anny Mulyani. 2001. Petunjuk Teknis Metodologi
Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian skala 1: 50.000 Melalui Analisis
Terrain. Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Jastrow J.D., Boutton T.W., and Miller R.M.. 1996. Carbon dynamics of aggregate-
associated organic matter estimated by carbon-13 natural abundance. Soil Science
Society of America Jorunal. 60:801 - 807
Karama, A.S., Marzuki A.R. dan manwan, I. 1990. Penggunaan pupuk organik pada tanaman
pangan. Lokakarya Nasional. Efisiensi Pemupukan V. Cisarua 12-13 Nopember
1990. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 670
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 671
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Konservasi tanah dan air merupakan upaya meningkatkan fungsi lahan untuk berproduksi secara lestari.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui usaha konservasi tanah dan air sebagai alternatif upaya peningkatan
pendapatan petani di agroekosistem lahan kering. Penelitian telah dilakukan di Desa Rejosari, Kecamatan Semin,
Kabupaten Gunungkidul, DIY tahun 2002. Pengumpulan data dilakukan melalui pendekatan pemahaman
pedesaan secara partisipatif (Participatory Rural Appraisal-PRA) melibatkan beberapa tokoh masyarakat antara
lain kepala desa dan perangkatnya, penyuluh pertanian serta kelompok tani dan 15 orang anggota masyarakat
lainnya. Melalui analisis data deskriptif kualitatif dan kuantitatif diperoleh gambaran sebagai berikut: (a) usaha
konservasi tanah dan air di lahan kering dapat menurunkan besarnya erosi, merehabilitasi dan meningkatkan
fungsi lahan sehingga mampu berproduksi secara lestari. Oleh karena itu dapat dijadikan media untuk
meningkatkan pendapatan petani, (b) metode konservasi tanah dan air dapat dilakukan secara vegetatif dan
mekanis melalui pembuatan hutan rakyat, kebun bibit desa, Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumber Daya
Alam (UP UPSA), pembuatan teras, saluran pembuangan air (SPA), dan gully plug (pengendali jurang), (c) untuk
keberlanjutan pelaksanaan dan keberhasilan konservasi perlu adanya peningkatan partisipasi masyarakat melalui
penyuluhan yang lebih intensif.
Kata kunci : Tanah, air, konservasi, pendapatan, lahan kering, Gunungkidul
PENDAHULUAN
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 672
Seminar Nasional 2005
METODE PENELITIAN
Analisis Data
Data kualitatif dan kuantitatif yang terkumpul dianalisis secara deskriptif,
menggunakan parameter statistik sederhana. Khusus untuk menghitung besarnya erosi
sebagai salah satu dasar menentukan usaha konservasi dilakukan dengan pendekatan
Universal Soil Loss Equation (USLE) dengan formulasi sebagai berikut.
A = R x LS x K x C x P
A adalah besarnya erosi yang terjadi (ton/ha/thn), R adalah erosivitas curah hujan,
LS adalah indeks panjang lereng, K sama dengan erodibilitas tanah, C adalah faktor
pengelolaan tanaman, dan P yaitu faktor konservasi tanah
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 673
Seminar Nasional 2005
ini sebagian besar digunakan sebagai hutan, diikuti ladang dan pekarangan serta sawah tadah
hujan, dengan luas masing-masing 331,70 ha, 210,02 ha dan 205,75 ha serta 196,25 ha.
Kegiatan konservasi tanah dan air (KTA) di lokasi penelitian, dilakukan mengikuti
alur seperti disajikan dalam Gambar 1.
Hasil prediksi besarnya erosi dengan menggunakan pendekatan USLE pada 14 unit
pengambilan contoh (Land Unit) diperoleh gambaran bahwa tingkat erosi di wilayah ini
berkisar antara 2,1 ton/ha/thn sampai 84,50 ton/ha/thn dengan rata-rata 26,27 ton/ha/thn/unit.
Dengan variasi besar erosi tersebut klasifikasi tingkat bahaya erosi di wilayah ini tergolong
dalam klasifikasi erosi sangat ringan (SR = < 5 ton/ha/thn), berat (B = 5-15 ton/ha/thn), dan
sangat berat (SB = 40-105 ton/ha/thn). Menurut klasifikasi tingkat bahaya erosi masing-
masing klasifikasi erosi tersebut digolongkan ke dalam erosi kelas II, kelas III, dan kelas IV.
Secara terinci kondisi erosi di wilayah ini disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kondisi Erosi Aktual dan Tingkat Bahaya Erosi (TBE) di Daerah Penelitian
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 674
Seminar Nasional 2005
Melihat besarnya erosi yang terjadi di wilayah itu, akan berpengaruh negatif
terhadap produktivitas dan prduksi pertanian. Besarnya erosi berbanding terbalik dengan
perolehan produksi. Semakin besar tingkat bahaya erosi, maka semakin rendah produksi
pertanian yang diperoleh yang pada akhirnya berpengaruh negatif terhadap pendapatan
petani.
Ada 2 metode konservasi yang diterapkan di wilayah tersebut yaitu metode vegetatif
dan metode mekanik. Metode vegetatif yang dilakukan meliputi pembuatan hutan rakyat,
pembuatan Kebun Bibit Desa (KBD), dan pembuatan Unit Percontohan Usaha Pelestarian
Sumber Daya Alam (UP-UPSA). Sementara itu dalam metode mekanik yang dilakukan
adalah pembuatan teras bangku, pembuatan saluran pembuatan air (SPA), dan pembangunan
pegendali jurang (gully-plug). Uraian berikut menyajikan secara ringkas implementasi dari
setiap metode tersebut.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 675
Seminar Nasional 2005
bulan), dan sesudahnya siap disalurkan. Biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan Rp
900.000,-.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 676
Seminar Nasional 2005
teras berfungsi maksimal dalam mengurangi laju aliran permukaan dan erosi akibat energi
kinetik curah hujan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 677
Seminar Nasional 2005
banyak, dapat hidup di lahan kritis, mempunyai sistem perakaran dalam, sehingga mampu
mengikat tanah dari longsor, batang yang kasar, dapat menurunkan kecepatan air, mudah
ditanam dan tidak memerlukan pemeliharaan khusus, tahan hama dan penyakit, ekonomis
dan mampu berproduksi dalam jangka pendek.
Jika tidak dilakukan konservasi, tanah kering marjinal di lokasi desa ini tidak
produktif sama sekali. Tidak ada orang yang mau mengambil resiko mengusahakan tanaman
di lahan yang kering marjinal. Dengan demikian petani di daerah ini tidak mendapatkan
hasil apa-apa. Akan tetapi ketika dilakukan kegiatan konservasi dengan melakukan
penanaman tanaman tahunan produktif seperti jambu mente dan jenis pohon kayu yang
komersial, petani mendapatkan nilai tambah dari lahan tersebut.
Jambu mete misalnya, menghasilkan biji jambu mente yang dapat dimanfaatkan
untuk pembuatan kacang mete, buahnya untuk bahan pembuatan abon, sirup, dan pakan
ternak. Hasilnya tidak hanya dikonsumsi sendiri namun juga dipasarkan ke luar desa seperti
Klaten, Solo, Sukoharjo. Buah jambu mete basah dijual sekitar Rp 6000,- sampai Rp 7000,-/
kg, abon jambu mete mencapai Rp 30.000,-/kg. Hasil yang lain misalnya kayu, akasia
dengan diameter 1 m, panjang 5 m berharga Rp 400.000,- sampai Rp 500.000,-/kubiknya.
Dengan demikian tidak dipungkiri lagi bahwa melakukan konservasi di lahan kering
marjinal dapat menjadi alternatif sumber peningkatan pendapatan penduduk desa.
Usaha konservasi tanah dan air di lahan kering yang dilakukan dengan pendekatan
vegetatif dan mekanis melalui pembuatan hutan rakyat, kebun bibit desa, Unit
Percontohan Usaha Pelestarian Sumber Daya Alam (UP UPSA), pembuatan teras,
saluran pembuangan air (SPA), dan gully plug (pengendali jurang) terbukti dapat
menurunkan besarnya erosi, merehabilitasi dan meningkatkan fungsi lahan.
Keberhasilan penerapan konservasi di lahan kering mampu menciptakan kondisi lahan
yang kondusif untuk menghasilkan produksi secara lestari dan terpeliharanya
produktivitas lahan sehingga pada akhirnya berpengaruh positif pada peningkatan
pendapatan petani.
Keberhasilan konservasi tanah dan air di lahan kering tidak terlepas dari peran aktif
masyarakat setempat, oleh karena itu untuk memelihara kelanjutan konservasi diperlukan
dorongan dari pihak berwenang menggerakkan partisipasi petani antara lain melalui
penyuluhan yang lebih intensif.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F dan Widianto, 2004. Petunjuk Praktis Konservasi Tanah Pertanian Lahan Kering.
World Agroforestry Centre. ICRAF Southeast Asia. Bogor.
Anonim, 1999. Monograf Desa Rejosari Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul..
Pemerintah Desa Rejosari. Semin. Gunungkidul, Yogyakarta.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.
Duryat, P. W. 1979. Meningkatkan Kegiatan Penyuluhan Dalam Rangka Pembentukan
Hutan Rakyat. Seminar dan Reuni III Fak. Kehutanan UGM. Yogyakarta
Karama, A.S dan A. Abdurrachman. 1995. Kebijaksanaan Nasional dalam Penanganan
Lahan Kritis di Indonesia. Prosiding Lokakarya dan Ekspose Teknologi Sistem
Usahatani Konservasi dan Alat Mesin Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Yogyakarta, 17-19 Januari 1995.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 678
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 679
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Lahan kering merupakan sumberdaya alam yang mempunyai peluang besar untuk dimanfaatkan secara
optimal, khususnya untuk pembangunan pertanian baik tanaman pangan, hortikultura, perkebunan maupun
peternakan. Faktor pembatas, seperti kualitas lahan dan ketersediaan air perlu mendapat sentuhan inovasi
teknologi guna meningkatkan produktivitasnya, antara lain dengan melalui konservasi air, pemanfaatan bahan
organik dan integrasi tanaman – ternak. Pemanfaatan rorak, merupakan alternatif untuk memanen air dan
meningkatkan kelengasan tanah. Rorak yang dikombinasikan dengan mulsa vertikal (slot mulch) mampu
mengurangi erosi sampai 94%. Efektivitas strip rumput dalam pencegahan erosi juga sudah banyak dibuktikan.
Bahan organik tanah berperan penting dan merupakan faktor kunci untuk berbagai proses biokimia dalam tanah
yang menentukan tingkat kesuburan dan mendukung pertumbuhan tanaman. Penggunaan bahan organik 2 t/ha
mampu memenuhi sebagian unsur hara yang dibutuhkan tanaman biji-bijian. Tanaman penutup tanah (cover
crop) ditanaman khusus untuk melindungi tanah dari kerusakan erosi dan sekaligus memperbaiki sifat fisik dan
kimia tanah. Jenis tanaman yang sesuai untuk penutup tanah adalah kacang-kacangan (leguminosa), karena
mengandung bakteri yang dapat menambat nitrogen tanah dan perakarannya tidak memberikan kompetisi
terhadap tanaman pokok. Sistem pertanaman lorong (alley cropping) merupakan suatu wadah usahatani yang
berdasarkan prinsip-prinsip konservasi tanah, dengan unsur pokok adalah tanaman pagar pengontrol erosi berupa
barisan tanaman legum yang ditanam rapat mengikuti garis kontur. Upaya peningkatan produktivitas lahan
melalui konservasi air dan pemanfaatan bahan organik akan semakin berarti apabila diintegrasikan dengan
usahatani ternak, karena dalam implementasinya konservasi lahan dan air akan terjamin keberlanjutannya jika
diintegrasikan dengan ternak.
Kata Kunci : Lahan kering, konservasi, produktivitas, integrasi, tanaman, ternak
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air
pada sebagian besar waktu dalam setahun atau sepanjang waktu (Puslit Tanah dan
Agroklimat, 2000). Badan Litbang Pertanian (2003) mengkategorikan sebagai lahan
marjinal, karena memiliki satu atau lebih permasalahan sebagai berikut (i) kondisi biofisik
yang mencakup produktivitas/kesuburan tanah yang rendah, topografi berbukit (peka erosi),
sumberdaya air terbatas; dan (ii) ketersediaan infrastruktur terbatas.
Penyebaran lahan kering di Indonesia umumnya terdapat pada dataran rendah yakni
hamparan lahan yang berada pada ketinggian 0 – 700 m diatas permukaan laut (dpl) dan
dataran tinggi yang terletak pada ketinggian >700 m dpl. Lahan tersebut dapat
dikelompokkan kedalam berbagai tipologi lahan sesuai dengan macam dan tingkat kendala
biofisiknya, sehingga perlakuan pengelolaannya akan berbeda. Luas lahan kering
berdasarkan ketinggian tempat di Indonesia disajikan dalam Tabel 1.
Berdasarkan penggunaannya untuk pertanian, maka lahan kering dikelompokkan
menjadi pekarangan, tegal/kebun/ladang/huma, padang rumput, lahan sementara tidak
diusahakan, lahan untuk kayu-kayuan, dan perkebunan. Tetapi secara umum pengembangan
lahan kering jauh tertinggal dibandingkan pertanian di lahan subur beririgasi teknis.
Lambatnya perkembangan di hampir semua lahan kering berkaitan dengan masalah
kesuburan tanah (produktivitas lahan), infrastruktur, dan kelembagaan usahatani. Teknologi
yang tersedia bagi pengembangan lahan marjinal tadah hujan umumnya masih memerlukan
input yang tinggi.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 680
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 681
Seminar Nasional 2005
pada curah hujan, sehingga dapat menimbulkan perubahan reaksi tanah (aciditas/alkalinitas
dan atau salinitas) serta keseimbangan hara terganggu (Puslit Tanah dan Agroklimat, 2000).
Aktivitas budidaya komoditas pertanian pada lahan kering dataran tinggi dengan
topografi berbukit sampai bergunung, terutama untuk tanaman perkebunan, tanaman pangan
dan hortikultura/sayuran yang intensif, mengandung resiko yang sangat besar karena lahan
demikian sangat peka terhadap gangguan atau perubahan dari luar seperti hujan yang
menyebabkan erosi, longsor, dan banjir sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan
lahan dan lingkungan sekitarnya.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 682
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 683
Seminar Nasional 2005
dan tanaman semusim (pangan, hortikultura, atau tanaman industri yang bernilai ekonomi
tinggi) ditanam pada lorong-lorong diantara tanaman pagar (Abdurachman, 1994)..
Pertanaman lorong sangat efektif menekan laju erosi (Haryati, et al., 1991).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 684
Seminar Nasional 2005
KESIMPULAN
Kelangkaan air (water scarcity) di lahan kering merupakan faktor pembatas yang
perlu ditanggulangi untuk menunjang keberlanjutan sistem usahatani. Oleh karena itu
konservasi dan pemanfaatan air merupakan kunci keberhasilan dalam pengelolaan lahan
kering untuk peningkatan produktivitas pertanian. Peningkatan produktivitas lahan melalui
konservasi dan pengelolaan air perlu diintegrasikan dengan pengelolaan hara dan bahan
organik tanah.
Upaya peningkatan produktivitas lahan melalui konservasi air dan pemanfaatan
bahan organik akan semakin berarti apabila diintegrasikan dengan usahatani ternak, karena
dalam implementasinya konservasi lahan dan air akan terjamin keberlanjutannya jika
diintegrasikan dengan ternak
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 685
Seminar Nasional 2005
Fahmudin Agus, 1999. Konstribusi Bahan Organik Untuk Meningkatkan Produksi Pangan
Pada Lahan Kering Bereaksi Masam. Prosiding Seminar Nasional Sumber Daya
Lahan. Cisarua-Bogor, 9-11 Februari 1999. p. 81-102.
Fahmudin Agus, Elsa Sumaini, dan Nono Sutrisno. 2002. Teknologi hemat air dan irigasi
suplemen. dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Fahmudin Agus, Elsa Sumaini, dan Nono Sutrisno. 2002. Teknologi hemat air dan irigasi
suplemen. dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Garrity, D.P. and F. Agus. 1999. Natural resource management on watershed scale: What
can agroforestry contibute? In R. Lal (Eds.). Integrated Watershed Management in
The Global Ecosystem. CRC Press LLC, Boca Raton, USA.
Haryati, U., A. Rachman, Y. Sulaeman, T. Prasetyo, dan A. Abdurachman. 1991. Tingkat
erosi, hasil tanaman pangan dan daya dukung ternak dalam sistem pertanaman
lorong. Hal. 101-111 dalam Risalah Lokakarya Penelitian P3HTA/UACP-FSR.
Bandungan, 25-26 Februari 1991. P3HTA, Badan Litbang Pertanian.
Noeralam, A. 2002. Teknik pemanenan air yang efektif dalam pengelolaan lengas tanah pada
usahatani lahan kering. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Oldeman, L.R., I. Las, and Muladi. 1980. The agroclimatic maps of Kalimantan, Maluku,
Irian Jaya and Bali, West and East Nusa Tenggara. Contributions No. 60, Central
Research Institute for Agriculture, Bogor, 32p.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000. Sumber daya lahan Indonesia dan
pengelolaannya.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1998. Statistik Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian
Tanah dan Agrklimat, Bogor.
Subagyono, K., A. Dariah, T. Budyastoro, N.L. Nurida. 2004. Pengembangan teknologi
konservasi untuk peningkatan produktivitas tanaman perkebunan di lahan kering
kabupaten Ende. Kerjasama antara: Poor Farmers’ Income Improvement through
Innovation (PFI3P) dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Sembiring, H., M. Thamrin, N.L. Nurida, R. Hardiantoro, G. Kartono, dan A. Abdurachman.
1991. Tanaman legum serba guna dalam sistem usahatani lahan kering di Daerah
Aliran Sungai Brantas. Hal. 126-138 dalam Risalah Lokakarya Hasil Penelitian
P3HTA/UACP-FSR. Bandungan 25-26 Januari 1991. P3HTA Badan Litbang
Pertanian.
Watung, R.L., T. Vadari, Sukristiyonubowo, Subiharta, and F. Agus. 2003. Managing Soil
Erosion in Kaligarang Catchment of Java, Indonesia. Phase 1 Project Completion
Report. International Water Management Institute (IWMI). Southeast Asia Regional
Office. Bangkok. Thailand.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 686
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Ultisol merupakan salah satu order tanah yang bersifat masam dan rendah unsur hara serta mempunyai
kandungan Aluminium inorganik monomerik (Al3+, Al(OH)+ , Al(OH)2+, Al(OH)0 , dan Al(SO4)+) tinggi yang
2 3
bersifat racun bagi tanaman. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
pada November 1996-Juni 1997, walaupun penelitian ini telah lama dilakaukan namun secara substansial hal ini
masih relevan untuk diterapkan pada saat ini maupun yang akan datang karena jumlah dan penyebaran tanah
mineral masam khususnya Ultisol sangat luas. Dalam penelitian ini terdiri dari lima perlakuan dosis bahan
organik asal daun gamal (Gliricidia sepium) yaitu, 1) kontrol (tanpa bahan organik), 2) dosis 5 t/ha, 3) dosis 10
t/ha, 4) dosis 20 t/ha, dan 5) dosis 90 t/ha, masing-masing diulang tiga kali dan disusun berdasarkan Rancangan
Acak Lengkap. Hasil penelitian menunjukkan pemberian dosis bahan organik sampai 90 t/ha dapat
meningkatkan kation-kation basa (Ca, Mg, dan K) serta pH tanah dari 4,5 menjadi 5,1, namun tidak berbeda
nyata dengan pemberian bahan organik dosis 20 t/ha. Peningkatan kation-kation basa dan pH tanah diikuti dengan
turunnya konsentrasi Aluminium inorganik monomerik, penurunan terbesar terjadi pada pemberian bahan organik
dosis 90 t/ha yaitu dari 9,84 M menjadi 0,021 M, dan berturut-turut diikuti oleh dosis 20, 10, dan 5 t/ha
masing-masing menjadi 0,316; 0,763; dan 3,89 M.
Kata kunci: tanah masam, bahan organik, amelioran, aluminium
PENDAHULUAN
Ultisol diperkirakan merupakan tipe tanah masam di Indonesia yang dominan adalah
dengan luas sekitar 51 juta ha atau menempati 29,7% luas daratan Indonesia dan sekitar
48,3% berada di luar pulau Jawa (Drissen dan Soepraptohardjo, 1974 dalam Munir, 1996).
Ultisol adalah merupakan tanah mineral yang berada pada daerah temprate sampai
tropika. Mempunyai horison argilik atau kandik atau fragipan dengan lapisan liat tebal
(Fanning dan Fanning, 1989 dalam Munir 1996). Darmawijaya (1997) menyebutkan bahwa,
tanah Ultisol merupakan tanah masam yang telah mengalami pelindian hebat (highly
leached) sehingga memiliki tingkat kesuburan yang rendah dengan warna kelabu cerah
sampai kekuningan. Di atas horizon akumulasi yang bertekstur relatif berat berwarna merah
atau kuning dengan struktur gumpal, agregat kurang stabil dan permeabilitas rendah.
Kendala umum yang dihadapi pada tanah Ultisol adalah pH tanah rendah, unsur N
dan P kurang tersedia, kekurangan unsur Ca, Mg, K, dan Mo kandungan Mn dan Fe berlebih,
serta kelarutan Al monomerik yang tinggi, sehingga merupakan faktor utama penghambat
pertumbuhan tanaman (Hakim et al, 1986). Blamey, 1983; Kerven, et al., 1989; dalam
Hairiah (1992) menyebutkan bahwa jenis-jenis Al monomerik sperti Al3+, Al(OH)+2,
Al(OH)2+, Al(OH)o3, dan Al(SO4)+ umumnya merupakan racun/pembatas utama terhadap
pertumbuhan tanaman dan mempunyai aktifitas yang lebih tinggi pada pH yang lebih rendah.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan dengan pengapuran, tetapi
pada beberapa daerah tertentu hal ini kurang efisien dilakukan karena kapur tidak mudah
didapatkan dan mahal harganya. Dent (1986, dalam Hairiah, 1992), menyatakan bahwa
proses pengapuran pada tanah masam yang tingkat kemasamannya tinggi sulit dilaksanakan
karena memerlukan kapur dosis tinggi yaitu lebih dari 100 t/ha. Salah satu alternatif lain
adalah dengan memberikan bahan organik.
Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa
pemberian bahan organik dapat menambah unsur hara dan menghambat penguapan lengas
tanah serta mampu menekan kemasaman tanah. Berdasarkan hasil penelitian Bell dan Besho
(1993) dengan menggunakan bahan organik asal daun gandum (Barley straw) berbagai dosis
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 687
Seminar Nasional 2005
dapat meningkatkan kation basa Ca2+, Mg2+, K+, dan Na+ pada tanah masam. Dengan
meningkatnya konsentrasi kation basa tersebut umumnya diikuti oleh turunnya konsentrasi
ion H+ dan meningkatnya konsentrasi ion OH- di dalam tanah, dan pada gilirannya dapat
meningkatkan pH tanah. Peningkatan pH tanah dapat menurunkan konsentrasi Al di dalam
larutan tanah. Sanchez, (1992) menjelaskan bahwa kelarutan Al sangat erat hubungannya
dengan pH tanah, makin tinggi pH tanah (alkalin) maka Al akan mengendap dan sebaliknya
makin rendah pH tanah (masam) maka Al makin larut atau aktif.
Dengan demikian penggunaan bahan organik yang mempunyai kandungan kation
tinggi seperti daun gamal (Gliricidia sepium) diharapkan dapat membantu menurunkan
keracunan/sebagai bahan ameliorasi Aluminium pada tanah mineral masam, dan penentuan
dosis bahan organik yang tepat sangat penting untuk pertimbangan penerapan di lapang.
Tanah yang digunakan dalam pengkajian ini berasal dari wilayah Karta Lampung
Utara, sedangkan bahan organik (BO) asal daun gamal (Gliricidia sepium). Pengkajian
dilakukan menggunakan polybag di rumah kaca Faperta Universitas Brawijaya pada
September 1996-Juni 1997. Walaupun pengkajian ini sudah dilakukan pada waktu yang lalu,
namun secara substansial hasil pengkajian ini masih relevan untuk diterapkan saat ini
maupun yang akan datang, karena jumlah dan penyebaran tanah mineral masam khususnya
di Indonesia jumlahnya cukup luas dan tersebar pada beberapa daerah.
Pengkajian ini disusun menggunakan Rancanagan Acak Lengkap (RAL) dengan 3
ulangan. Perlakuan yang dikaji adalah penggunaan bahan organik asal daun gamal
(Gliricidia sepium) berbagai level dosis, yaitu:
A : Kontrol (tanpa masukan bahan organik)
B : Dosis 5 t/ha
C : Dosis 10 t/ha
D : Dosis 20 t/ha
E : Dosis 90 t/ha
Tanah contoh sebelum dimasukkan ke dalam polybag terlebih dulu dikering-
anginkan, kemudian ditumbuk dan diayak lolos ayakan 2 mm. Agregat tanah hasil ayakan
selanjutnya dikompositkan secara merata dan dimasukkan dalam polybag masing-masing
berisi 5 kg, setelah itu dibasahi dengan aquades sampai 80% kapasitas lapang dan dibiarkan
selama 4 minggu untuk mencapai kesetimbangan. Bahan organik (BO) asal pangkasan daun
gamal (Gliricidia sepium) dikeringkan dalam oven pada suhu 70 o selama 48 jam, kemudian
digiling sampai lolos ayakan 2 mm.
Setelah 4 minggu selanjutnya tanah tersebut dicampur dengan bahan organik yang
telah disiapkan sesuai dengan perlakuan level dosis yaitu: Perlakuan A (0 gr BO/5 kg tanah),
B (9,62 gr BO/5 kg tanah setara 5 t/ha), C (19,23 gr BO/5 kg tanah setara 10 t/ha), D (38,46
gr BO/5 kg tanah setara 20 t/ha), dan E (173,08 gr BO/5 kg tanah setara 90 t/ha). Selanjutnya
diinkubasi selama 7 minggu dan pada akhir minggu ke-7 dilakukan pengambilan contoh
tanah pada masing-masing perlakuan untuk dianalisa kandungan Ca, Mg, K, Al-dd, pH
(H2O), pH (KCl), dan sebagian lagi diambil untuk penetapan Al-monomerik.
Penentuan jumlah bahan organik tersebut diperoleh jika bobot isi (BI) tanah = 1,3
-3
gr.cm dengan kedalaman efektif 20 cm.
Data hasil pengamatan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Analisa Ragam
(ANOVA) dan jika menunjukkan perbedaan antar perlakuan selanjutnya dianalisa melalui
uji jarak Duncan’s pada taraf 5% dengan menggunakan program IRRISTAT.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 688
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 689
Seminar Nasional 2005
Tabel 2. Pengaruh pemberian bahan organik berbagai level dosis terhadap total kation tanah (Ca+Mg+K) tanah
Perlakuan dosis bahan organik (t/ha) Total Kation (Ca+Mg+K) Tanah (cmol/kg)
0 2,081a
5 2,826ab
10 3,468b
20 3,622b
90 4,803c
Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan’s taraf 5%
Sumber: data primer, 1997.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 690
Seminar Nasional 2005
namun berdasarkan uji Duncan’s taraf 5% perlakuan tersebut tidak berbeda nyata dengan
perlakuan 20 dan 10 t/ha (Tabel 4).
Tabel 4. Pengaruh pemberian bahan organik berbagai level dosis terhadap ameliorasi Aluminium
1. Pemberian bahan organik asal pangkasan daun gamal (Gliricidia sepium) ke dalam tanah
mineral masam dapat memperbaiki sifat kimia tanah, yang ditunjukkan oleh peningkatan
total kation basa (Ca+MG+K), peningkatan pH tanah, dan turunnya konsentrasi Al-
monomerik yang bersifat racun bagi tanaman.
2. Semakin tinggi dosis bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah, diikuti pula
dengan peningkatan jumlah kation basa, pH tanah, dan turunnya konsentarasi Al-
monomerik. Dosis bahan organik 90 t/ha menunjukkan pengaruh terbaik pada jumlah
kation basa, pH tanah, maupun Al-monomerik, diikuti dosis 20, 10 dan 5 t/ha.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 691
Seminar Nasional 2005
3. Untuk kebutuhan praktis di lapang penggunaan dosis bahan organik asal daun gamal
(Gliricidia sepium) dosis 10 t/ha dapat dipertimbangkan, karena tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata dengan dosis 90 dan 20 t/ha pada parameter pH dan penurunan Al-
monomerik.
DAFTAR PUSTAKA
Bell, L.C. and T. Besho. 1993. Assessment of Aluminium Detoxification an Plant Response.
P. 317-330 in Mulongoy, K. and R. Merckx. 1991. Soil Organik Matter Dynamic
and Sustainability of Tropical Agriculture. John Willey and Sons, New York.
Buckman, H.O. and N.C. Brady. 1974. The Nature and Properties of Soil. Mamillan
Publishing Co. Inc, New York.
Darmawijaya, M.I. 1997. Klasifikasi Tanah, Dasar Teori bagi Peneliti Tanah dan Pelaksana
Pertanian di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hairiah, K. 1992. Aluminium Tolerance of Mucuna, a Tropical Leguminous Cover Crop.
PhD Thesis. State Groningen University, The Nederlands.
Hakim, N., M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.A. Diha, G.B. Hong, dan H.H.
Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung.
Munir, M. 1996. Tanah-Tanah Utama Indonesia. Pustaka Jaya, Jakarta.
Richie, G.S.P. 1986.The Chemical Behaviour of Aluminium, Hidrogen and Manganese in
Acid Soil, p 1-60. In Soil Acidity and Soil Chemistry, by Bohn, H.L., B.L.
McNeal, and G.A. O’Connor. 1989. Academika Press. Horcourt Brace Jovanovich,
Publisher Toronto.
Sanchez, P.A. 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika (terjemahan dari bahasa Inggris).
Penerbit ITB, Bandung.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sposito, G. 1992. The Environmental Chemistry of Aluminium. CRC Press. Inc. Boca
Raton, Florida.
Winarso, S. 1996. Pengaruh Penambahan Bahan Organik terhadap Pengkelatan Aluminium
oleh Senyawa-Senyawa Humik pada Typic Haplohumult. Program Pasca Sarjana
IPB, Bogor.
Wong, M.T.F, E. Akyeampong, S. Nortcliff, M.R. Rao, and R.S. Swift. 1994. Initial
Responses of Maize and Beans to Decreased Consentration of Monomeric
Inorganic Aluminium with Aplication of Manure or Tree Prunings to on Oxisol in
Burundi. Plant and Soils 171; 275-282.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 692
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Sejak tahun 1980, residu pestisida telah ditemukan mencemari beberapa jenis sayuran seperti kentang,
kubis, sawi, tomat dan wortel pada daerah-daerah sentra sayuran di Jawa Barat (Pacet, Pengalengan, Lembang),
Jawa Tengah (Getasan, Ambarawa, Tawangmangu) dan Jawa Timur (Batu). Hasil analisa dan monitoring
terbatas yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan Departemen Pertanian melalui Direktorat Perlindungan
Tanaman tahun 1980 menunjukkan bahwa residu pestisida tersebut di atas adalah dari jenis DDT, diazinon,
dieldrin, fenitrotion dan klorfirifos. Di negara-negara maju beberapa pestisida telah diteliti dapat bersifat
carsinogenic agent, mutagenic agent, teratogenic agent dan menjadi penyebab dari penyakit-penyakit seperti
leukemia dan sebagainya. Tulisan ini memaparkan data beberapa referensi yang menekankan bagaimana bahaya
penggunaan pestisida terhadap kesehatan dan lingkungan.
Kata kuci : Kerusakan lingkungan, residu pestisida, sayuran
PENDAHULUAN
Di Indonesia, pestisida yang paling dominan banyak digunakan sejak tahun 1950an
sampai akhir tahun 1960an adalah pestisida dari golongan hidrokarbon berklor seperti DDT,
endrin, aldrin, dieldrin, heptaklor dan gamma BHC. Penggunaan pestisida-pestisida fosfat
organik seperti paration, OMPA, TEPP pada masa lampau tidak perlu dikhawatirkan, karena
walaupun bahan-bahan ini sangat beracun (racun akut), akan tetapi pestisida-pestisida
tersebut sangat mudah terurai dan tidak mempunyai efek residu yang menahun. Hal penting
yang masih perlu diperhatikan masa kini ialah dampak penggunaan hidrokarbon berklor pada
masa lampau khususnya terhadap aplikasi derivat-derivat DDT, endrin dan dieldrin.
Pada tanah-tanah pertanian yang menggunakan bahan organik yang tinggi, residu
pestisida akan sangat tinggi karena jenis tanah tersebut di atas menyerap senyawa golongan
hidrokarbon berklor sehingga persistensinya lebih mantap. Kandungan bahan organik yang
tinggi dalam tanah akan menghambat proses penguapan pestisida. Kelembaban tanah,
kelembaban udara, suhu tanah dan porositas tanah merupakan salah satu faktor yang juga
menentukan proses penguapan pestisida. Penguapan pestisida terjadi bersama-sama dengan
proses penguapan air. Residu pestisida yang larut terangkut bersama-sama butiran air keluar
dari tanah dengan jalan penguapan, akan tetapi masih mungkin jatuh kembali ke tanah
bersama debu atau air hujan. Air merupakan medium utama bagi transportasi pestisida.
Pestisida dapat menguap karena suhu yang tinggi dan kembali lagi ke tanah melalui air hujan
atau pengendapan debu.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 693
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 694
Seminar Nasional 2005
mengandung residu organoklorin jenis DDE (± 10,68 ppm), DDT (± 4,62 ppm) dan dieldrin
(± 0,29 ppm) dalam organ hatinya. Di Indonesia, dampak pengaruh samping dari aplikasi
DDT dan metabolit DDE menunjukkan adanya korelasi negatif antara residu DDT pada telur
bebek dan tebalnya kulit telur. Ini menunjukkan bahwa pada saat dilakukan pengukuran,
efek residu pestisida tersebut belum significant mencemari bebek yang ada di Indonesia
(Koeman, 1974). Pada hewan amfibi seperti kodok, pencemaran dapat mengubah perilaku
dan kelainan morfologi khususnya terhadap ekor dan moncong (Cooke, 1970).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 695
Seminar Nasional 2005
Terhadap Tumbuhan
Aplikasi pestisida pada kadar rendah (sublethal) dapat memberi pengaruh resisten
terhadap tumbuhan pengganggu., oleh karena itu penyemprotan yang tak sempurna dapat
menimbulkan pengaruh jangka panjang yang tak terduga. Di samping itu secara tidak
langsung penggunaan pestisida (herbisida) akan merangsang tumbuhan pengganggu lain
yang bukan sasaran justru menjadi dominan. Sebagai contoh pertumbuhan alang-alang
Imperata cylindrica dapat ditekan dengan penggunaan herbisida, akan tetapi di sisi lain
rumput Mikinia micranta justru akan tumbuh subur dan merajalela di tempat itu karena
persaingannya dengan alang-alang sudah tidak ada lagi. Demikian juga dengan jenis rumput
Pennisetum polystachion yang mempunyai tingkat kepadatan biji yang sangat banyak
(300.000 – 370.000 biji/tanaman) tidak dapat tumbuh pada kondisi gelap (di bawah naungan
alang-alang), tetapi pada saat alang-alang dibasmi, maka rumput ini akan tumbuh dominan
(Soedarsan dan Amir, 1975).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 696
Seminar Nasional 2005
Fakta lain ditemukan pula bahwa ternyata tercatat 80 jenis bahan aktif pestisida juga
dapat menjadi penyebab atau sebagai faktor "mutagenic agent" (Moriya, 1983; Weinstein,
1984; Sandhu, 1980; Simmon, 1980) (Tabel 3). Lebih jauh ditemukan lagi fakta bahwa
senyawa pestisida juga dapat menjadi penyebab penyakit peradangan kulit dan penyakit kulit
lainnya sebagai akibat timbulnya alergi dan iritasi. Yang dapat menyebabkan alergi pada
kulit tercatat ada 20 jenis bahan aktif sedangkan yang menyebabkan iritasi tercatat ada 42
jenis bahan aktif (Weinstein, 1984: Gosselin, 1984) (Tabel 4).
Tabel 3. Senyawa-Senyawa Pestisida Yang Telah Terbukti Dapat Menjadi Fakta Penyebab Mutasi Genetik
(Mutagenic Agent)
acephate Dicrotophos NBT(2,4-dinitrophenylthiocyanate)
allethtrin dichlorvos NNN(5-nthro-1-napthalonitrile)
azinphos-methyl dimethoate nitofen
benomyl dinocap oxydemeton-methyl
bromocil dinoseb oxine copper
butaclor disulfoton parathion-methyl
cocodylic acid echlomezel pentachlorophneol
captafol ethylnechlorohydrin phenazine oxide
captan ethylenedibromide phosmer
carbaryl ethylenedichloride pirimiphosmethyl
carbendazim ethylene oxide polycarbamate
carbofuran ethylene thiourea polyoxin D-Zn
chlormethoxynil EMS propanil
chlorfenvinphos ESP salithion
chloropicrin fenaminosulf simazine
chlorpyrifos fenitrithion 2,4,5-T
cyclophosphamide ferbam thiometon
2,4-D acid folpet thiram
2,4-BB acid HEH(2-hydroxyethylenehydrazin) toxaphene
DBCP hemel triallate
DD MAF trichlorfon
DDC MCPA TTCA(asomate)
DDT malaeic hydrazide vamidothion
demeton metepa ziram
1,2,dibromethane methyl dibromide
dicamba monocrotophos
dichlorfluanid
Sumber : Moriya (1983); Weinstein (1984); Sandhu (1980); Simmmon 1980)
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 697
Seminar Nasional 2005
Tabel 4. Senyawa-Senyawa Pestisida Yang Telah Terbukti Dapat Menjadi Faktor Penyebab Penyakit Radang
Kulit Dan Penyakit Kulit Lainnya (Alergi Dan Iritasi)
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 698
Seminar Nasional 2005
Tabel 5. Gejala Keracunan Dan Petunjuk Cara Pertolongan Pertama Pada Penderita
Fosfat organik: mevinfos (fosdrin), Menghambat aktivitas enzim Sakit kepala, pusing-pusing, lemah,
paration, gution, monokrotofos kholinnestrase pupil mengecil, gangguan
(azodrin), dikrotofos, fosfamidon, penglihatan dan sesak nafas, mual,
diklorvos (DDVP), etion, efntion, muntah, kejang pada perut dan diare,
diazinon. sesak pada dada dan detak jantung
menurun.
Dipiridil : paraquat, diquat dan Dapat membentuk ikatan dan Gejala keracunan selalu lambat
morfamquat merusak jaringan ephitel dari diketahui, seperti perut, mual,
kulit, kuku, saluran pernafasan muntah dan diare karena ada iritasi
dan saluran pencernaan, pada saluran pencernaan. 48-72 jam
sedangkan larutan yang pekat baru gejala kerusakan seperti ginjal
dapat menyebabkan seperti albunuria, proteinura,
peradangan. hematuria, dan peningkatan kreatinin
lever, 72 jam-14 hari terlihat tanda-
tanda kerusakan pada paru-paru
Antikoagulan : tipe kumarin Pestisida ini cepat diserap oleh Hematuria (kencing berdarah),
(warfarin), tipe 1,3 indantion: pencernaan makanan, hidung berdarah, sakit pada rongga
difasinon, difenadion (Ramik) penyerapan dapat terjadi sejak perut, kurang darah dan kerusakan
saat tertelan sampai 2-3 ginjal
hari.Kumrain dapat diserap
melalui. Kedua tipe pestisida ini
Arsen : arsen trioksid, kalium Menghambat pembentukan zat Pada keracunan akut: nyeri pada
arsenat, asam arsenat dan arsin(gas). yang berguna untuk perut, muntah dan diare. Pada
koagulasi/pembekuan darah keracunan sub akut akan timbul
antara lain protrombin gejala seperti sakit kepala, pusing
Keracunan arsen pada dan banyak keluar ludah
umumnya melalui mulut
walaupun bisa juga diserap
melalui kulit dan saluran
pernafasan
Sumber: Anonim (1984)
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 699
Seminar Nasional 2005
Tabel 6. Petunjuk Umum Tentang Keamanan Dalam Menggunakan Senyawa Kimia Pestisida di Lapangan
1. Gunakanlah pestisida yang telah terdaftar dan memperoleh izin dari Menteri Pertanian.Jangan sekali-kali
menggunakan pestisida yang belum terdaftar dan memperoleh izin.
2. Pilihlah pestisida yang sesuai dengan hama atau penyakit tanaman serta jasad sasaran lainnya yang akan
dikendalikan, dengan cara lebih dahulu membaca keterangan tentang kegunaan pestisida dalam label
pada wadah pestisida tersebut
3. Belilah pestisida dalam wadah asli yang tertutup rapat dan tidak bocor atau rusak, dengan label asli yang
berisi keterangan lengkap dan jelas. Jangan membeli dan menggunakan pestisida dengan label dalam
bahasa asing
4. Bacalah semua petunjuk yang tercantum pada label pestisida sebelum bekerja dengan pestisida itu
5. Simpanlah pestisida di tempat khusus yang sejuk, kering dan dapat dikunci, jauh dari
makanan/minuman, dan tidak dapat dijangkau oleh anak-anak, hewan piaraan serta ternak.
6. Lakukanlah penakaran, pengenceran atau pencampuran pestisida di tempat terbuka atau dalam ruangan
yang mempunyai ventilasi baik.
7. Pakailah sarung tangan dan gunakalah wadah, alat pengaduk dan alat penakar yang khusus hanya untuk
pestisida. Semua peralatan tersebut jangan digunakan untuk keperluan lain, lebih-lebih yang
berhubungan dengan makanan dan minuman.
8. Bukalah tutup wadah pestisida dengan hati-hati, sehingga pestisida tidak memercik, tumpah atau
berhambur ke udara.
9. Gunakalah pestisida sesuai dengan takaran yang dianjurkan. Jangan menggunakan pestisida dengan
takaran yang berlebihan atau kurang.
10 Periksalah alat penyemprot dan usahaka supaya selalu dalam kedaan baik, bersih dan tidak bocor.
11 Hindarkanlah pestisida terhirup melalui pernafasan atau terkena kulit, mata, mulut dan kaian.
12 Apabila ada luka pada kulit, tutuplah luka tersebut dengan baik sebelum bekerja dengan pestisida.
Pestisida lebih mudah terserap ke dalam tubuh melalui kulit yang terluka.
13 Selama menyemprot, pakailah baju khusus yang berlengan panjang, penutup kepala penutup muka,
celana panjang, sarung tangan dan sepatu boot
14 Jangan menyemprot berlawanan dengan arah angin
15 Hindarkalah semprotan pestisida terbawa angin ke tempat lain, supaya tidak mengenai tempat tinggal
penduduk, tanaman di tempat lain, sungai, kolam, danau atau makanan ternak.
16 Jangan menyemprot pada waktu angin bertiup kencang, cuaca panas atau akan turun hujan.
17 Bekerjalah demikian rupa sehingga tanaman yang telah disemprot tidak dilalui lagi untuk menghindari
persentuhan dengan tanaman yang telah terkena pestisida
18 Jangan merokok, makan atau minum selama bekerja dengan pestisida.
19 Jika merasa kurang enak badan, berhentilah bekerja dengan segera dan baca petunjuk dalam label
tentang pertongan pertama dan segera hubungi dokter, beri tahu pestisida apa yang digunakan.
20 Setelah selesai bekerja denga pestisida, mandilah sehera dengan sabun, pakaian dan alat pelindung
lainnya yang dipakai harus segera dicuci dengan sabun.
21 Setalah selesai bekerja, cucilah alat penyemprotan dan alat lainnya serta usahakan air bekas cucian tidak
mengalir ke sungai, saluran air, kolam ikan, sumur dan sumber air lainnya.
22 Bersihkanlah selalu muka dan tangan dengan air dan sabun sebelum beristirahat untuk makan minum
atau merokok.
23 Wadah bekas yang sudah kosong jangan dipakai untuk menyimpan makanan atau minuman akan tetapi
musnahkan dengan merusak, membakar atau menguburnya di tempat yang aman.
Sumber Anonim (1984)
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 700
Seminar Nasional 2005
menyebabkan keracunan. Untuk ini sebaiknya bawalah label pestisida tersebut untuk
ditunjukkan kepada dokter.
b. Dalam hal kulit atau rambut dan pakaian terkena pestisida, cucilah segera kulit dan
rambut yang terkena dengan sabun dan air yang banyak dan lepaskan pakaian untuk
diganti dengan yang bersih.
c. Apabila pestisida mengenai mata, cucilah segera mata dengan air bersih yang banyak
selama 15 menit atau lebih terus menerus. Kemudian ditutup dengan kapas seteril yang
dilengketkan dengan kain pembalut.
d. Apabila debu, bubuk, uap, gas atau buti-butir semprotan terhisap melalui pernafasan,
bawalah penderita ke tempat terbuka yang berudara segar, longgarkan pakaiannya yang
ketat dan baringkan dengan dagunya agak terangkat ke atas supaya dapat bernafas
dengan bebas. Jaga supaya penderita dalam keadaan tenang dan tidak kedinginan
(apabila perlu selimutilah penderita tetapi jangan sampai terlalu kepanasan). Sementara
menunggu pertolongan dokter, awasilah terus keadaan penderita.
e. Apabila pestisida tertelan dan penderita dalam keadaan sadar, usahakan supaya penderita
muntah dengan cara mencolek bagian belakang tenggorokan dengan jari tangan atau alat
lain yang bersih dan/atau dengan memberi minum larutan garam sebanyak satu sendok
makan dalam segelas air hangat. Ulangi proses pemuntahan sampai yang dimuntahkan
berupa cairan yang jernih. Pada waktu penderita mulai muntah, usahakan mukanya
menghadap ke bawah dan kepalanya agak direndahkan supaya muntahan tidak masuk
dalam paru-paru. Selanjutnya harus dijaga jangan sampai muntahan menghalangi
pernafasan. Usaha pemuntahan tidak dapat dilakukan apabila penderita dalam keadaan
kejang atau tidak sadar, penderita telah menelan bahan yang mengandung minyak bumi
dan penderita telah menelan bahan alkalis atau asam kuat yang korosif (secara kimiawi
merusak jaringan hidup)dengan gejala rasa terbakar atau nyeri sekali pada mulut dan
kerongkongan.
f. Apabila bahan korosif tertelan dan penderita dalam keadaan sadar, berilah penderita
minum susu atau putih telur dalam air, atau hanya air saja dalam kondisi dimana susu
atau telur tidak tersedia. Susu atau minyak tidak boleh diberikan kepada penderita
keracunan pestsida hirokarbon berklor.
g. Apabila penderita tidak sadar, usahakan supaya saluran pernafasan tidak tersumbat.
Bersihkan hidung dari lendir atau muntahan dan bersihnya mulut dari air liur, lendir, sisa
makanan dan sebagainya. Jangan memberikan sesuatu melalui mulut kepada penderita
yang tidak sadar.
h. Apabila pernafasan penderita berhenti, usahakanlah pernafasan buatan. Bersihkan lebih
dulu mulut dari air liur, lendir, sisa makanan dan sebagainya.
i. Apabila penderita kejang, usahakanlah kekejangan tersebut tidak mengakibatkan cidera.
Longgarkan pakaian disekitar leher, taruh bantal di bawah kepala dan berilah ganjal
antara gigi untuk mencegah supaya bibir atau lidah tidak tergigit.
j. Penanggulangan keracunan setalah dilakukan pertolongan pertama selanjutnya diambil
tindakan sebagai berikut
i. untuk golongan pestisida klor organik, dilakukan tindakan mencuci lambung dengan
memberi garam isotoris larutan natrium bikarbonat 5%. Untuk mengurangi absorbsi
dapat diberikan 30 gram norit yang disuspensikan dalam air;
ii. untuk golongan fosfat organik, diberikan antodote Atropin sulfat intra vena atau
intra muskuler, bila mungkin dilakukan penyuntikan intra vena. Dosis dewasa dan
anak-anak lebih dari 12 tahun 0,4-2,0 mg dan untuk anak-anak 0,05 mg/kg berat
badan. Dosis diulangi tiap 15-30 menit sampai kelihatan gejala atropinasi/gejala
keracunan ringan dari atropin seperti muka merah, frekuensi detak jantung
meningkat (140/menit) dan pupil melebar. Pralidoxim diberi-kan setalah atropin,
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 701
Seminar Nasional 2005
bila diberikan sebelum 36 jam setalah keracunan akan dapat menanggulangi efek
dari pestisida fosfat organik ini. Dosis dewasa 1 gr/kg berat badan dan anak-anak
20-50 gr/kg berat badan dengan kecepatan tidak lebih dari setengah dosis total tiap
menit. Ulangi lagi setelah 1 jam bila kelemahan/ kelumpuhan otot belum
tertanggulangi;
iii. untuk golongan karbamat, penaggulangan-nya sama dengan pestisida golongan
fosfat organik, tapi disini tidak digunakan pralidoxim;
iv. (untuk golongan senyawa dipiridil tindakannya adalah untuk mengurangi absorbsi
dari saluran pencernaan, diberikan absorben Fuller”s Earth 30% suspensi dalam air;
v. (untuk golongan antikoagulan dilakukan pemberian antidote fitonadion, yakni dosis
dewasa dan anak-anak lebih dari 12 tahun 25 mgr intra muskuler dan anak-anak di
bawah 12 tahun 0,6 mgr/kg berat badan;
vi. untuk golongan arsen dilakukan pemberian antidote Dimerkaprol (B.A.L),
Dimerkaptopropanol.
k. Untuk penanggulangan selanjutnya, dilakukan pendataan mencakup tempat kejadian,
tanggal, nama korban, umur, jenis kelamin, keracunan melalui apa (mulut, pernafasan,
kulit), sampel pestisida, muntahan atau sisa makanan (dalam hal penderita tidak
diketahui, dapat disebutkan pestisida-pestisda apa yang biasa digunakan di tempat
tersebut, dan jenis-jenis pertolongan yang telah diberikan kepada penderita.
PENUTUP
Walaupun beberapa rujukan pustaka dari paper ini sudah cukup tua, akan tetapi dari
data-data tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa problematika yang terkait dengan
dampak samping dari penggunaan pestisida baik langsung maupun tidak langsung cukup
significant merusak ekosistem lingkungan dan bahkan kesehatan manusia. Oleh sebab itu ke
depan penanganan pestisida nampaknya masih panjang untuk diperdebatkan dan bahkan
masih perlu diteliti lebih jauh agar ekosistem bumi kita dapat terselamatkan dari proses
pencemaran senyawa-senyawa kimia yang berbahaya.
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 702
Seminar Nasional 2005
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 703
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Sistem usaha pertanian lahan kering di Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal apabila
dikelola secara intensif dapat meningkatkan pendapatan petani. Pertanian lahan kering pada umumnya ditanami
berbagai jenis komoditas (tanaman pangan, tanaman perkebunan/kehutanan dan hortikultura). Penggunaan alat
dan mesin pertanian pada SUT lahan kering dapat meningkatkan produktivitas, namun aplikasi alsintan yang
tidak sesuai akan menyebabkan bertambahnya inefisiensi sistem usahatani. Terdapat empat faktor utama yang
mempengaruhi seleksi tingkat teknologi alat dan mesin pertanian dalam suatu wilayah, yaitu infrastruktur,
kondisi sosial ekonomi, fisik wilayah dan sistem usahatani. Dengan memperhatikan aspek-aspek ini, rekomendasi
alat dan mesin pertanian yang akan diterapkan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi
usahatani. Studi kasus pemilihan tingkat teknologi alat dan mesin pertanian telah dilakukan di Desa Jurumapin,
Kabupaten Sumbawa Besar. Proses seleksi diawali dengan observasi kondisi wilayah dan dilanjutkan wawancara
dengan petani setempat untuk penyaringan informasi aspek infrastruktur, sosial-ekonomi dan sistem usahatani.
Rekomendasi pilihan teknologi alat dan mesin pertanian yang telah dihasilkan dan disajikan pada bagian akhir
makalah ini.
Kata Kunci : lahan kering, strata usahatani, teknologi mekanisasi pertanian
LATAR BELAKANG
Pertanian di Indonesia secara umum masih diusahakan dengan sistem tradisional dan
tingkat efisiensi produksinya relatif sangat rendah. Salah satu upaya peningkatan efisiensi
produksi dapat dilakukan dengan cara introduksi alat dan mesin pertanian. Namun introduksi
alsin yang kurang tepat dapat memperbesar inefisiensi produksi.
Kajian spesifik wilayah yang mempertimbangkan karakteristik fisik wilayah, kondisi
sosial ekonomi, sistem usahatani dan infrastruktur wilayah diperlukan dalam rangka
menentukan pilihan teknologi mekanisasi pertanian di suatu lokasi. Kajian dengan
mempertimbangkan faktor-faktor tersebut telah dilakukan oleh Balai Besar Mekanisasi
Pertanian untuk menetukan tingkat kesepadanan teknologi alsintan di suatu lokasi secara
spesifik wilayah (Hendriadi, 2004). Selanjutnya jenis alsin yang berpotensi untuk
dikembangkan dan sarana pendukung lainnya dapat direkomendasikan untuk lokasi tersebut.
Salah satu sistem usaha pertanian yang masih perlu ditingkatkan efisiensi
produksinya adalah sistem usaha pertanian di lahan kering. Di Indonesia jumlah lahan kering
mencapai 4.594.036 Ha di Jawa dan 57.779.658 Ha di luar Jawa (BPS, 2003). Lahan kering
mempunyai potensi yang cukup besar untuk meningkatkan pendapatan petani. Pada lahan
kering, berbagai jenis tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan dan kehutanan dapat
diusahakan. Dibandingkan dengan komoditas padi, harga produk hasil pertanian lahan kering
cukup tinggi dan sampai saat ini belum diusahakan secara maksimal. Dukungan alsintan
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi produksi dan optimalisasi pengolahan pasca
panennya, sehingga diharapkan pendapatan petani dapat meningkat.
Studi ini dilakukan di wilayah Nusa Tenggara Barat. Propinsi Nusa Tenggara Barat
memiliki luas lahan kering 702.999 Ha (BPS, 2003). Kabupaten Sumbawa mempunyai
potensi lahan kering terluas di Nusa Tenggara Barat dan sampai saat ini yang masih belum
termanfaatkan sebesar 56.297 Ha (BPS, 2003). Pada studi ini Desa Jurumapin, Kecamatan
Buer, Kabupaten Sumbawa menjadi lokasi terpilih dalam studi kasus pemilihan tingkat
teknologi mekanisasi dan potensi pengembangannya untuk mendukung program PRIMA
TANI NTB.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 704
Seminar Nasional 2005
Informasi dan data spesifik wilayah didapatkan dengan cara melakukan survey ke
Desa Jurumapin dan wawancara dengan aparat desa dan petani representatif. Selain itu data
pendukung juga didapatkan dari laporan survey lapangan Participatory Rural Apraisal
(PRA) BPTP NTB dalam rangka kegiatan Prima Tani (Anonim, 2005).
Secara fisik wilayah, Desa Jurumapin terletak di dekat pantai, namun mempunyai
kontur lahan yang berbukit-bukit. Batas sebelah utara berbatasan dengan Desa Kalabeso,
sebelah selatan dengan Desa Batulanteh, sebelah barat dengan Desa Marente dan sebalah
selatan dengan Kecamatan Utan Rhee. Jarak ke ibu kota kecamatan 3 km, dan ke ibu kota
kabupaten 62 km. Secara geografis tinggi tempat sekitar 6,5 m dpl, curah hujan rata-rata 970
mm/tahun dan suhu rataan mencapai 34 C.
Data struktur penguasaan lahan jumlah KK yang kepemilikan lahannya 0,6-0,5 ha
sejumlah 393 orng, 1,1-1,5 ha sejumlah 182 orang , luas pemilikan 1,6-2,0 ha sejumlah 111
orang dan luas pemilikan 3-5 ha sejumlah 23 org. Kebanyakan lahan sawah bersatatus milik
sendiri. Untuk lahan kering, kelerengannya ke sungai antara 15-45%. Lahan kering terletak
di daerah berbukit dengan topografi lahan berkisar antara 10-22 m dpl. Kelompok tani baru
dibentuk pada tahun 2004 yang tergabung dalam gapoktan Tamase untuk mengaktifkan
usaha pertanian lahan kering. Total luas lahan kering yang diusahakan sekitar 120 Ha.
Usahatani utama di Desa Jurumapin adalah bercocok tanam padi. Selain itu
pendapatan petani lainnya diperoleh dari usahatani lahan kering kacang hijau, kedele,
jagung, mangga, mete, sawo, durian dan usaha peternakan kambing, ayam buras dan sapi.
Usahatani kacang hijau digemari oleh petani karena selain menghasilkan pendapatan yang
cukup besar, umurnya pendek, tidak membutuhkan air yang banyak, cara kerja dan
pemeliharaannya mudah, harganya baik, tidak membutuhkan modal yang banyak, dan
pemasarannya mudah. Walaupun usahatani kacang hijau lebih menguntungkan daripada
padi, sistem bertanam kacang hijau tidak seintensif bertanam padi. Selain ditanam di sawah,
kacang hijau juga ditanam sebagai tanaman sela di lahan kering di antara tanaman tahunan
mangga, mete dan lain-lain. Bertanam kacang hijau di Desa Jurumapin dengan sistem tanpa
olah tanah dan benih ditanam dengan cara disebar tanpa ada jarak tanam. Begitu pula
dengan penanaman kedele atau jagung. Benih langsung disebar tanpa adanya jarak tanam.
Selain itu sistem usahatani ini sangat minim pupuk, bahkan pupuk kandang/kompos sangat
jarang digunakan. Hal ini menyebabkan produktifitas tanaman-tanaman tersebut sangat
rendah.
Penanganan pasca panen primer kacang-kacangan pun masih bersifat tradisional.
Terdapat 2 cara sistem pembijian kacang hijau yang biasa digunakan di Desa Jurumapin
yaitu dengan cara manual/tenaga manusia (polong dipukul dengan kayu) atau cara lainnya
dengan cara diinjak dengan kuda. Untuk 1 area panen lahan, dibutuhkan 6 ekor kuda bekerja
selama 2 hari. Perontokan dengan mesin sangat jarang dilakukan karena jasa peyewaan
mesin perontok tidak tersedia di desa ini dan masih dirasakan mahal.
Jasa penyewaan alat dan mesin pertanian telah tersedia di daerah ini, walaupun
jumlahnya belum memadai dan kebanyakan masih bersifat tradisional. Jasa penyewaan yang
dikenal di daerah ini adalah traktor tangan, pengangkutan hasil dengan kuda, pengolahan
pasca panen dengan kuda.
Bengkel pendukung operasi alsintan belum terdapat di lokasi ini. Kerusakan kecil
pada alsin dapat diperbaiki di bengkel las/bengkel sepeda motor yang berjarak 4 km dari
Desa Jurumapin. Bengkel lengkap dan toko suku cadang terletak di Kecamtan Alas yang
berjarak 15 km dari Desa Jurumapin.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 705
Seminar Nasional 2005
Penyaluran sarana pertanian seperti pupuk dan obat-obatan dilakukan oleh KUD dan
toko sarana pertanian milik pribadi penduduk setempat. Toko sarana pertanian milik pribadi
menawarkan penyediaan sarana pertanian dengan sistem pembayaran setelah panen dengan
menggunakan gabah.
Lembaga finansial penyedia kredit telah melakukan upaya sosialisasi di daerah ini.
Beberapa lembaga kredit yang telah dikenal petani adalah Lumbung Kredit Pedesaan (LKP),
Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Pegadaian. Hasil wawancara menunjukkan bahwa adanya
lembaga finansial tersebut sangat bermanfaat dalam membantu modal usahatani. Lembaga
pegadaian lebih diminati karena kemudahan dalam administrasi permohonan pinjaman uang.
Pada saat ini jalan usahatani (farm road) belum tersedia di lokasi ini. Pemerintah
daerah berencana membuka jalan usahatani yang membelah lahan tersebut. Tujuan
pembuatan jalan ini untuk memperlancar petani ke lahannya.
Produksi, nilai tambah dan kualitas hasil dikaitkan dengan penggunaan teknologi.
Handaka 2005 menyebutkan bahwa pengembangan mekanisasi pertanian selalu memiliki
kaitan yang erat dengan perkembangan sistem usaha pertanian; secara khusus pengembangan
mekanisasi pertanian di Indonesia seyogyanga harus diawali dengan kebutuhan petani.
Berdasarkan perkembangan cara-cara usahatani di Indonesia, Handaka (2005) membedakan
4 tingkatan perkembangan sistem usahatani:
Tabel 1. Empat Tingkatan Sistem Usahatani
A B C D
Variabel Penentu
Strata Usahatani Usahatani Usahatani Semi Usahatani
Subsisten Berkembang Komersial Komersial
Input usahatani Semuanya Sebagian besar Semua dibeli dari Semuanya dibeli dan
diusahakan sendiri diusahakan pasar. Standard dan selalu memperhatikan
dari kebun atau sendiri, sebagian sertifikasi sudah standar yang sudah
tetangga dibeli diperhatikan dibakukan
Tenaga Kerja Keluarga dan Sebagian besar Sebagian besar Menggunakan tenaga
sebagian luar Tenaga dalam menggunakan kerja luar klg
tanpa cash keluarga tenaga luar klg
payment
Penggunaan Semuanya Sebagian besar Sudah dijual ke Dijual secara
output dikonsumsi untuk dikonsumsi untuk pasar yg dapat komersial ke pasar
keluarga keluarga dijangkau transport regional. Atau
lokal. Jika dijual diekspor jika
ada ketergantungan dipandang perlu
pada external
kolektor
Diversifikasi Belum mengenal Sebagian besar Sudah ada Produknya spesifik
Vertikal belum mengenal diversifikasi dan mengikuti pola
dan merasa perlu pasar
Pemanfaatan Masih Menggunakan Sudah mengenal Pemanfaatan kredit
kelembagaan menggunakan pasar lokal. kelembagaan pasar, usahatani dan pasar
mekanisme saling Koperasi sangat kios, koperasi yang tidak terbatas
tukar antar terbatas batas wilayah
tetangga
Sumber: Handaka, 2005
Sejalan dengan tingkat sistem usahatani, Agung Hendriadi (2004) telah merumuskan
4 tingkatan teknologi mekanisasi pertanian berdasarkan kriteria kondisi fisik, ekonomi-
sosial, infrastruktur dan sistem usahatani sebagai berikut:
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 706
Seminar Nasional 2005
Berdasarkan data dan informasi pada bagian 2, secara garis besar sistem usaha
pertanian di Desa Jurumapin berada pada status usahatani berkembang dan status
mekanisasinya berada pada wilayah T2. Topografi lahan kering pada saat ini memang tidak
memungkinkan untuk masuknya alat mesin pertanian yang movable, namun apabila rencana
pembangunan jalan telah direalisasikan akan membantu memudahkan masuknya alat dan
mesin pertanian tersebut pada beberapa lokasi.
707
Seminar Nasional 2005
Alat Perontok
Perontokan dan pembijian saat ini masih menggunakan tenaga manusia/dipukul
dengan kayu. Pembijian juga dilakukan dengan menggunakan tenaga kuda, dengan cara
diinjak-injak. Cara ini kurang higienis dan kemungkinan susut hasilnya cukup besar.
Kemungkinan perlu diintroduksikan alat perontok yang bersifat semi mekanis.
708
Seminar Nasional 2005
Alat dan mesin lainnya yang kemungkinan berpotensi untuk diperkenalkan adalah
alat dan mesin pendukung panen dan pasca panen tanaman perkebunan dan buah-buahan
seperti alat pemanen mangga, pemanen mete, kacip dan lain-lain.
KESIMPULAN
Sistem usaha pertanian di Desa Jurumapin berada pada strata sistem usahatani
berkembang, yang bercirikan di antaranya penggunaan hasil sebagian besar untuk
dikonsumsi sendiri. Seiring dengan strata sistem usaha pertaniannya, tingkatan teknologi
mekanisasi pertaniannya berada pada tingkatan T2, dimana terdapat keterbatasan beberapa
sarana fisik, ekonomi-sosial dan sistem usahataninya, namun peluang pengembangan alat
dan mesin sederhana dapat dilakukan. Ketersediaan lahan kering yang belum dimanfaatkan
dan kesadaran akan peningkatan pendapatan dapat diperoleh melalui pengembangan
usahatani lahan kering, mendorong petani untuk mengolah lahan ini dengan berbagai
tanaman unggulan seperti kacang hijau, kedele, jagung mete, mangga, durian dan lain-lain.
Untuk menunjang keberlanjutan produksi pertanian lahan kering, infrastruktur pendukung
seperti adanya farm road dan penyediaan sarana air dari potensi sumber air yang ada saat ini
perlu diwujudkan. Peningkatan mutu dan kualitas hasil pada saat ini dapat ditingkatkan
dengan penerapan alat dan mesin pasca panen primer sederhana. Rekomendasi alat dan
mesin pertanian yang dapat diterapkan di wilayah ini di antaranya adalah :
Tabel 3. Rekomendasi Introduksi Alat dan Mesin Pertanian
Hal yang tidak kalah pentingnya dalam upaya menunjang keberlanjutan sistem
usahatani adalah dukungan pembinaan teknis dan perawatan alat dan mesin pertanian serta
pentingnya sistem kelembagaan yang mau menunjang investasi kredit kepemilikan alat dan
mesin pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim 2005. Laporan PRA Desa So Nggajah dan Desa Jurumapin. Prima Tani Nusa
Tenggara Barat.
BPS 2003. Luas lahan dan penggunaannya 2003. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
Handaka 2005. Kontribusi Strategis Mekanisasi Pertanian pada Revitalisasi. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian, Cipayung 4 Agustus
2005.
Hendriadi 2004. Penelitian dan Pengkajian untuk Seleksi dan Pengembangan Model
Penerapan Alsintan. Laporan Akhir Kegiatan. Balai Besar Mekanisasi Pertanian.
Koes Sulistiadji dkk, 2001. Rekayasa Alsin Penanam Kacang-Kacangan. Laporan Akhir
Tahun. Balai Besar Pengembangan Alat dan Mesin Pertanian Serpong.
709
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Terbatasnya lapangan kerja merupakan issue nasional dan dari tahun ke tahun jumlah pengangguran
semakin meningkat. Salah satu penyebab kurangnya lapangan kerja adalah jumlah angkatan kerja dibandingkan
dengan kesempatan kerja yang tersedia tidak seimbang. Di satu sisi angkatan kerja terutama angkatan kerja muda
cenderung tidak tertarik bekerja di pedesaan. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis struktur tenaga kerja,
kesempatan kerja dan mobilitas tenaga kerja di pedesaan. Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah
studi kasus di Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia, Lombok Timur. Pengumpulan data dilakukan tahun 2004
dengan diskusi kelompok secara partsipatif. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder tingkat
kecamatan dan kabupaten, analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil kajian
menunjukkan bahwa : (1) jumlah tenaga kerja di kabupaten Lombok Timur tahun 2003 sebesar 64 persen, yang
terdiri dari 49 persen angkatan kerja dan 15 persen bukan angkatan kerja; (2) kualitas tenaga kerja yang diproksi
dari tingkat pendidikan formal masih rendah, mayoritas tenaga kerja (55,9%) berpendidikan rendah (SD
tamat/tidak tamat), dan tidak sekolah (24,7%); (3) struktur kesempatan kerja didominasi oleh sektor pertanian
(70%), dan tingkat partisipasi kerja wanita secara umum sebanding dengan tingkat partisipasi kerja pria; (4)
terbatasnya kesempatan kerja dan rendahnya tingkat upah di pedesaan menyebabkan tenaga kerja migrasi ke luar
daerah, dengan tujuan migrasi ke luar daerah dan juga ke luar negeri; (5) potensi tenaga kerja cukup tinggi namun
kualitas tenaga masih rendah. Upaya peningkatan sumberdaya tenaga kerja dan penciptaan kesempatan kerja
yang mengarah pada berkembangnya agroindustri dan agribisnis sangat diperlukan untuk mempercepat
pembangunan pedesaan dan mengurangi migrasi tenaga kerja.
Kata kunci : tenaga kerja, kesempatan kerja, mobilitas tenaga kerja
PENDAHULUAN
710
Seminar Nasional 2005
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah studi kasus di Desa Sambelia,
Kecamatan Sambelia, Lombok Timur. Pengumpulan data dilakukan tahun 2004 dengan
diskusi kelompok secara partsipatif. Data yang digunakan adalah data primer dan data
sekunder tingkat kabupaten. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan
kuantitatif.
Penduduk
Golongan Proporsi (%)
Laki-laki Perempuan Jumlah
1. Angkatan kerja 238353 236122 474475 48,7
Bekerja 224451 214415 438866 45,1
Mencari pekerjaan 13902 21707 35609 3,7
2. Bukan angkatan kerja 42381 108696 151077 15,5
Sekolah 22888 21566 44454 4,6
Lainnya 19493 87130 106623 11,0
3. Jumlah tenaga kerja 280734 344818 625552 64,3
4. Jumlah penduduk 457793 515503 973296 100,0
Sumber : BPS Lombok Timur, 2003
Berdasarkan data pada Tabel 1 tersebut dapat dihitung timgkat partisipasi angkatan
kerja yaitu proporsi angkatan kerja yang bekerja terhadap jumlah angkatan kerja dan tingkat
pengangguran yaitu proporsi angkatan kerja yang mencari pekerjaan terhadap jumlah
angkatan kerja. Tingkat partisipasi angkatan kerja di Kabupaten Lombok Timur mencapai
92,5 persen, berarti tingkat pengangguran pada tahun tersebut sebesar 7,5 persen.
Komposisi tenaga kerja di Kabupaten Lombok Timur menurut tingkat pendidikan
dapat dilihat pada Tabel 2. Mayoritas tenaga kerja di Kabupaten Lombok Timur
berpendidikan rendah. Tenaga kerja yang tidak tamat SD dan tamat SD berjumlah 55,9
persen, sedangkan tenaga kerja yang tidak sekolah sebesar 24,7 persen. Pada umumnya
persentase perempuan yang berpendidikan rendah lebih besar dibandingkan laki-laki.
Tingginya proporsi tenaga kerja yang berpendidikan rendah tersebut secara umum
menunjukkan rendahnya kualitas tenaga kerja di Kabupaten Lombok Timur.
711
Seminar Nasional 2005
Tabel 2. Persentase Penduduk Berusia 15 tahun Keatas Menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan di
Kabupaten Lombok Timur, 2003
712
Seminar Nasional 2005
C. Kegiatan On Farm
Usahatani Lahan Sawah
Kesempatan kerja pada usahatani lahan sawah yaitu pada usahatani padi dan
usahatani palawija. Kegiatan pada usahatani padi meliputi kegiatan pembibitan, pengolahan
tanah, penanaman, pemupukan, penyiangan, panen dan pasca panen. Tenaga kerja yang
terlibat pada kegiatan pembibitan dan pengolahan tanah umumnya hanya tenaga kerja pria.
Sementara itu pada kegiatan penanaman tenaga kerja yang banyak berperan pada umumnya
tenaga kerja wanita sedangkan tenaga kerja pria hanya berperan pada pencabutan dan
pengangkutan bibit. Pemupukan dilaksanakan oleh tenaga kerja pria, sedangkan penyiangan
sebagian besar dikerjakan oleh wanita. Tenaga kerja yang banyak terlibat pada pekerjaan
panen adalah tenaga kerja wanita, sedangkan tenaga kerja laki-laki hanya terlibat pada
pekerjaan menyabit dan pengangkutan hasil.
Jenis palawija yang dominan diusahakan petani terdiri atas jagung dan kacang tanah.
Budidaya palawija di desa Sambelia dilakukan dengan dua cara yaitu dengan pengolahan
tanah minimal dan tanpa olah tanah. Pengolahan tanah dikerjakan oleh tenaga kerja pria.
Pada pekerjaan penanaman yang lebih dominan berperan adalah tenaga kerja wanita
sedangkan tenaga kerja pria hanya bertugas membuat lubang tanam dengan tugal.
Penyiangan dan pemupukan umumnya didominasi oleh tenaga kerja wanita. Pengendalian
hama dan penyakit oleh petani hanya bersifat preventif, artinya bila terjadi serangan hama
baru dilakukan tindakan PHT yang biasanya dikerjakan oleh pria. Panen jagung dan kacang
tanah biasanya tenaga kerja yang berperan adalah wanita.
713
Seminar Nasional 2005
Peternakan
Ternak umumnya dipelihara dipekarangan dan belum diusahakan secara intensif
untuk tujuan-tujuan komersiil tetapi lebih banyak berperan sebagai tabungan keluarga untuk
mengatasi kebutuhan uang yang mendesak. Jenis ternak yang banyak dipelihara yaitu dari
jenis unggas (ayam dan itik) dan ternak kecil (kambing dan domba).
Tukang/Buruh Bangungan
Sebagian warga desa Sambelia berprofesi sebagai tukang dan buruh bangunan.
Pekerjaan ini dilakukan di dalam desa maupun di luar desa. Tujuan keluar desa yaitu Bali,
Kalimantan, Sumbawa, Dompu, dan Sumatera. Pekerjaan menjadi tukang dan buruh
bangunan paling banyak dilakukan sekitar bulan Juni sampai dengan Oktober atau pada saat
musim kemarau dimana permintaan tenaga kerja sebagai buruh tani sudah mulai berkurang.
Lama mereka bekerja di luar desa berkisar 1-12 bulan dan bahkan ada yang sampai dua
714
Seminar Nasional 2005
tahun. Umumnya mereka yang bekerja sebagai tukang maupun buruh bangunan kembali ke
desa menjelang musim tanam tiba. Pekerjaan ini umumnya dinominasi oleh kaum pria.
Jasa Transportasi
Profesi sebagai tukang ojek didominasi oleh laki-laki. Sebagian dari mereka
menjadikan ojek sebagai mata pencarian utama dan sebagian lainnya sebagai sambilan atau
mengisi waktu luang. Pekerjaan ini hampir dilakukan sepanjang tahun, dan berkurang selama
musim hujan. Frekuensi penggunaan ojek meningkat pada hari-hari besar keagamaan dan
perayaan hari raya nasional.
715
Seminar Nasional 2005
1. Jumlah tenaga kerja di Kabupaten Lombok Timur tahun 2003 sebesar 64 persen, yang
terdiri dari 49 persen angkatan kerja dan 15 persen bukan angkatan kerja.
2. Kualitas tenaga kerja yang diproksi dari tingkat pendidikan formal masih rendah,
mayoritas tenaga kerja (55,9%) berpendidikan rendah (SD tamat/tidak tamat), dan tidak
sekolah (24,7%).
716
Seminar Nasional 2005
3. Struktur kesempatan kerja didominasi oleh sektor pertanian (70%). Hal ini nampak dari
tingginya tingkat partisipasi kerja di sektor pertanian. Tingkat partisipasi kerja wanita
secara umum sebanding dengan tingkat partisipasi kerja pria.
4. Terbatasnya kesempatan kerja dan rendahnya tingkat upah di pedesaan menyebabkan
tenaga kerja migrasi ke luar daerah dengan tujuan migrasi selain ke luar daerah juga ke
luar negeri.
5. Potensi tenaga kerja cukup tinggi namun kualitas tenaga masih rendah karena itu upaya
peningkatan sumberdaya tenaga kerja dan penciptaan kesempatan kerja yang mengarah
pada berkembangnya agroindustri dan agribisnis sangat diperlukan untuk mempercepat
pembangunan pedesaan dan mengurangi migrasi tenaga kerja
DAFTAR PUSTAKA
BPS Kabupaten Lombok Timur. 2003. Kabupaten Lombok Timur dalam Angka 2003.
Selong.
Nurmanaf, A.R. 1985. Pola Kesempatan Kerja dan Sumber Pendapatan Rumahtangga di
Pedesaan Jawa Barat. Forum Agro Ekonomi 4(I): 1-7. Pusat Penelitian Sosial
Pertanian, Bogor.
Simanjuntak, P.J. 1995. Pengantar Ekonomi Sumberdaya Manusia. Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Susilowati, S.H, E. Suryani dan Erwidodo. 2000. Struktur Tenaga Kerja dan Kesempatan
Kerja di Pedesaan Jawa Tengah, Pusat Penelitian Sosial Pertanian, Bogor.
717
Seminar Nasional 2005
ABSTRAK
Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki lahan kering yang luasnya mencapai + 1,8 juta ha atau 83,25%
dari luas wilayah, namun yang sudah digunakan untuk tanaman pangan adalah seluas 211.635 ha, yang terdiri
atas ladang/huma 40.636 ha dan tegalan/kebun seluas 171.000 ha. Kabupaten Lotim yang merupakan salah satu
kabupaten di Nusa Tenggara Barat mempunyai lahan kering seluas 115.694 hektar. Air merupakan salah satu
kendala utama dalam pengembangan lahan kering di NTB karena secara umum daerah NTB merupakan daerah
semi arid tropik dimana curah hujan biasanya relatif tinggi ( 1000 – 250 mm/tahun) namun hujan hanya terjadi
pada beberapa bulan saja (3 – 4 bulan). Salah satu potensi sumberdaya air yang ada di kabupaten Lombok Timur
adalah embung-embung rakyat yang banyak terdapat di Lombok Timur bagian selatan. Tujuan dari kajian ini
adalah untuk mengobservasi keberadaan embung di Desa Sukaraja, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lotim
dalam upaya optimalisasi embung tersebut dalam pengembangan usahatani lahan kering. Pendekatan yang
digunakan dalam kajian ini adalah study kasus. Pengumpulan data dengan teknik diskusi kelompok secara
partisipatif dan wawancara yang mendalam. Data yang dikumpulkan dianalisa secara diskriptif kualitatif. Hasil
kajian menunjukan bahwa jumlah embung yang ada di Desa Sukaraja adalah 440 buah dengan luas 342 ha. Air
embung tersebut dapat dimanfaatkan untuk usahatani lahan kering seperti padi, tembakau, sayur-sayuran, maupun
peternakan. Disamping itu embung juga bermanfaat untuk keperluan rumah tangga dan perikanan. Peran embung
sangat dirasakan oleh petani dalam peningkatan produktivitas usahataninya maupun peningkatan pendapatan.
Kata kunci: Embung; usahatani; lahan kering
PENDAHULUAN
Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki lahan kering yang luasnya mencapai + 1,8
juta ha atau 83,25% dari luas wilayah, namun yang sudah digunakan untuk tanaman pangan
adalah seluas 211.635 ha, yang terdiri atas ladang/huma 40.636 ha dan tegalan/kebun seluas
171.000 ha (BPS , 2002)
Kabupaten Lotim yang merupakan salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Barat
mempunyai lahan kering seluas 115.694 hektar. Air merupakan salah satu kendala utama
dalam pengembangan lahan kering di NTB karena secara umum daerah NTB merupakan
daerah semi arid tropik dimana curah hujan biasanya relatif tinggi ( 1000 – 250 mm/tahun)
namun hujan hanya terjadi pada beberapa bulan saja (3 – 4 bulan) (Alkasuma et al 2004).
Lahan marginal adalah lahan yang berpotensi rendah untuk menghasilkan produksi
pangan yang disebabkan karena sifat fisik, kimia, morphologi dan mineral tidak
menguntungkan dan juga pengaruh lingkungan seperti iklim, hidrologi, topografi yang tidak
mendukung pertumbuhan tanaman. Kegiatan pertanian di lahan kering/marginal sangat
tergantung pada kearifan dalam konservasi air dan pemanfaatannya oleh petani. Sumber air
di lahan tadah hujan hanyalah dari curah hujan, sehingga acapkali menjadi faktor pembatas
untuk meningkatkan produktivitas lahan dan introduksi berbagai teknologi bidang pertanian.
Pengelolaan usaha pertanian di lahan marginal umumnya terpusat pada musim
penghujan. Panen air hujan dilaporkan efektif untuk mengatasi masalah kekurangan air di
lahan tadah hujan. Namun teknik memanen air hujan sangat bervariasi tergantung fisiografi
lahan dan ketersediaan sumberdaya lokal. Teknik pemanenan air hujan dengan teknik
tandon (penampung air berukuran kecil) cocok dikembangkan di daerah tadah hujan dengan
intensitas dan distribusi curah hujan yang tidak pasti (Parimawati, 2001).
718
Seminar Nasional 2005
Embung atau tandon air adalah waduk berukuran mikro di lahan pertanian (small
farm reservoir) yang dibangun untuk menampung kelebihan air hujan di musim hujan dan
menggunakannya jika diperlukan tanaman pada musim kemarau. Teknik pemanen air (water
harvesting) demikian cocok bagi ekosistem tadah hujan dengan intensitas dan distribusi
curah hujan tidak pasti (eratic) (Syamsiah dan A. M. Fagi, 2004). Embung sudah melekat
dengan kehidupan masyarakat tani di kabupaten Lombok Timur terutama dalam pelaksanaan
usahataninya. Keberhasilan usahatani di kabupaten ini khususnya untuk daerah-daerah yang
terletak dibagian selatan dapat dikatakan sangat ditentukan oleh kepemilikan embung oleh
petani. Mengingat keberadaannya yang sudah cukup lama, peranannya yang cukup besar
dalam mendukung keberhasilan pertanian di daerah ini maka dipandang perlu untuk
mengkaji sistem pengelolaan sumberdaya air melalui embung yang dilaksanakan petani di
bagian selatan Kabupaten Lombok Timur. Tujuan dari kajian ini adalah untuk
mengobservasi keberadaan embung di Desa Sukaraja, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten
Lotim dalam upaya optimalisasi embung tersebut dalam pengembangan usahatani lahan
kering.
METODOLOGI
719
Seminar Nasional 2005
Jumlah penduduk desa Sukaraja pada tahun 2004 tercatat sebanyak 9.681 jiwa dengan
jumlah kepala keluarga sebanyak 2.535 kk. Jumlah penduduk perempuan di desa ini lebih
besar dari pada jumlah penduduk laki-laki, hal ini dapat dilihat dari komposisi penduduk
berdasarkan jenis kelamin dimana jumlah penduduk laki-laki 4.657 orang dan perempuan
sebanyak 5.024 orang. Mata pencaharian sebagian besar penduduk desa Sukaraja adalah di
sektor pertanian. Karena kondisi agroekosistemnya yaitu sebagian besar berupa sawah tadah
hujan sehingga hanya dapat ditanami padi pada musim hujan dan tembakau pada MK I.
720
Seminar Nasional 2005
sebagai bahan pembuatan rumah dan lain sebagainya. Masuknya varietas padi unggul umur
± 3 bulan yang ditanam pada musim hujan dan berkembangnya pola tanam petani menjadi
padi – tembakau – bera, dimana seperti kita ketahui bahwa tanaman tembakau yang ditanam
pada musim kemarau pertama adalah tanaman yang membutuhkan air relatif sedikit
sehingga ketersediaan air di embung cukup untuk pertumbuhannya. Penggunaan air embung
terbanyak yaitu pada saat pemupukan padi dan pada saat penanaman tembakau.
Sistem distribusi air pada embung rakyat belum mengikuti suatu aturan yang khusus,
karena pemilikan embung bersifat pribadi maka sistem distribusi dan pemanfaatannya
tergantung pada kepentingan setiap individu. Walaupun kepemilikannya secara individu, air
embung dapat dimanfaatkan secara bersama-sama dengan anggota keluarga lainnya atau
dengan petani lainnya yang memerlukan air. Permintaan air embung biasanya terjadi saat
pemupukan padi, penanaman dan pemupukan tembakau.
Periode tampung air embung efektif dari bulan Januari – Mei. Sisa air pada bulan
Juni - Juli sekitar sepertiga dari kapasitas embung hanya dipergunakan untuk air minum
ternak. Air embung mengering pada bulan Agustus sampai dengan pertengahan Desember.
721
Seminar Nasional 2005
per 100 m2 (Suprapto, 2004). Usaha ini perlu dilakukan pada lahan-lahan sempit disekitar
embung untuk meningkatkan pendapatan petani sekaligus untuk meningkatkan pemenuhan
gizi keluarga. Pengusahaan lahan disekitar embung untuk tanaman sayuran adalah usaha
sampingan selain petani tetap mengusahakan tembakau pada MK I.
Disamping untuk mendukung usaha pertanian air embung dapat juga digunakan
untuk mendukung sektor peternakan di Desa Sukaraja. Desa Sukaraja jenis ternak yang
banyak diusahakan penduduk desa Sukaraja antara lain sapi, kerbau, kambing, ayam buras
dan itik/entok. Jenis ternak dominan yang diusahakan adalah kambing dengan jumlah
pemilikan antara 3 – 5 ekor per rumah tangga. Jenis ternak urutan kedua yang banyak di
pelihara adalah sapi Bali dengan jumlah pemilikan 1 – 2 ekor per rumah tangga. Ternak dari
jenis unggas yang dominan dipelihara adalah ayam buras (Puspadi et al 2004). Saat ini
terjadai kecendrungan menurunnya populasi ternak yang terdapat di desa Sukaraja,
khususnya ternak sapi. Menurunnya jumlah populasi ternak salah satunya disebabkan oleh
keterbatasan pakan hijauan ternak. Untuk mengatasi kelangkaan hijauan pakan pada musim
kemarau dapat dilakukan penanaman hijaun pakan ternak di pematang sekitar embung.
Penanaman hijauan pakan ini dapat dilakukan karena tingkat kelembaban tanah disekitar
embung masih memungkinkan untuk pertumbuhan tanaman seperti rumput gajah, turi dan
lamtoro. Hijauan pakan inilah yang nantinya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
pakan bagi ternak di musim kemarau khususnya untuk ternak kambing yang merupakan
ternak dominan di daerah tersebut.
Keberadaan air embung pada musim penghujan yang belum banyak digunakan
untuk mendukung usahatani tanaman pangan dapat juga dimanfaatkan untuk pemeliharaan
ikan dalam karamba. Periode efektif air embung selama 5 bulan dengan kondisi air masih
penuh merupakan waktu yang cukup untuk satu siklus pemeliharaan ikan karper dan nila
dengan sistem karamba atau kurungan tancap dari bambu. Panen ikan adalah memungut
hasil setelah periode pemeliharaan berakhir. Pemeliharaan untuk setiap jenis ikan berbeda
tergantung pada ukuran benih yang ditebar dan kecepatan pertumbuhannya. Ikan Mas dapat
dipanen setelah pemeliharaan selama 3 – 5 bulan, ikan nila 3 – 4 bulan, ikan tawes selama 5
bulan. Pada prinsipnya ikan dipanen setelah mencapai ukuran yang menguntungkan jika
dipasarkan. Ikan-ikan dipanen dengan menggunakan seser atau serok dengan cara diciduk.
Kemudian ikan tersebut dimasukkan ke dalam keranjang penampung untuk kemudian
dipasarkan. Selain untuk budidaya ikan keberadaan mebung dapat juga dimanfaatkan untuk
kolam pemancingan ikan. Usaha pemancingan pada embung di kabupaten Lombok Timur
sudah berkembang selama 4-5 tahun yang lalu. Dengan mengambil contoh pendapatan yang
diterima petani dari usaha pemancingan di desa Sukaraja dapat mencapai antara Rp.
1.700.000,- sampai dengan Rp. 2.000.000,- Pendapatan tersebut diterima petani dari tarif
yang dikenakan pada setiap pemancing sebesar Rp. 30.000,- untuk pemancingan pertama
dan biaya pemancingan selanjutnya diturunkan setiap harinya. Untuk embung seluas 50-60
are dapat menampung 30 – 40 orang pemancing, sehingga dari bibit ikan seharga Rp.
300.000,- (antara 1.000 sampai dengan 2.000 ekor) yang ditebar di embung, petani dapat
menerima pendapatan kotor senilai Rp. 3.000.000,-. Disamping sistem pengenaan tarif per
orang, sistem pemancingan dilakukan secara borongan kepada group pemancing yang
beranggota antara 30 – 40 orang, harga borongan berkisar kurang lebih Rp. 2.000.000,-
Biaya produksi yang dikeluarkan petani hanya untuk pembelian benih ikan, biaya untuk
pakan tidak dikeluarkan petani karena ikan hidup dari jazad renik air embung (Wisnu. I. M,
et al. 2005)
722
Seminar Nasional 2005
KESIMPULAN
1. Lahan pertanian di Desa Sukaraja sebagian besar merupakan lahan sawah tadah hujan
2. Embung merupakan salah satu kearifan lokal di Desa Sukaraja yang perlu dioptimalkan
pemanfaatanya dalam mendukung usahatani
3. Pemanfaatan embung untuk mendukung pola tanam padi – tembakau yang eksisting di
daerah tersebut perlu dilakukan upaya efisiensi pemakaian air.
4. Introduksi penanaman tanaman sayuran ekonomis tinggi dapat dilakukan oleh petani
dengan mengambil sedikit lahan disekitar embung sebagai usaha sampingan untuk
menambah penghasilan keluarga
5. Disamping untuk pertanian keberadaan embung dapat dimanfaatkan untuk usaha
peternakan dan perikanan dalam rangka peningkatan pendapatan petani
DAFTAR PUSTAKA
Alkusuma, Agus Bambang Siswanto, Adi Hermawan, Asep Iskandar, 2004. Laporan Akhir
Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zone Agro-
Ekologi Skala 1 : 50.000 di Kabupaten Lombok Timur Propinsi Nusa Tenggara
Barat. Tahun Anggaran 2003. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Tanah dan
Poor Farmers Income Improvement Through Inovation Project. Balai Penelitian
Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 2004.
BPS. 2002. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Kerjasama Kantor Perwakilan Biro Pusat
Statistik Propinsi NTB dengan Kantor Bappeda TK.I. NTB.
BPS Kabupaten Lombok Timur, 2003. Lombok Timur Dalam Angka. Lombok Timur In
Figures. Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Timur dengan
Bappeda Kabupaten Lombok Timur. 2003.
Dinas Pekerjaan Umum Lombok Timur. 2005a. Daftar Iventaris Jaringan Irigasi Kabupaten
Lombok Timur tahun 2005 Berdasarkan Tingkatan Luas Layanan. Subdin Pengairan
Dinas Pekerjaan Umum. Selong.
Dinas Pekerjaan Umum Lombok Timur. 2005b. Daftar Iventaris Jumlah Embung Pemerintah
dan Embung Rakyat di Kabupaten Lombok Timur. Subdin Pengairan Dinas
Pekerjaan Umum,. Selong.
Hardjoamidjoyo. 1994. Irigasi daam Swasembada Air dan Lahan dalam Rangka Mengatasi
Kekeringan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Hermanto, Sumaryanto dan Effendi Pasandaran. 1995. Pengelolaan Sumberdaya Air dalam
Rangka Menunjang Pemantapan Swasembada Pangan. Prosiding Simposium
Meteorologi Pertanian IV. Yogyakarta 26 – 28 Januari 1995. Perhimpunan
Metorologi Pertanian Indonesia.
Hidayat Pawitan dan Daniel Murdiyarso, 1997. Tinjauan Hidrologi Toposekuens Dalam
Meningkatkan Efisiensi Pemakaian Air Pertanian. Sumber Daya Air dan Iklim
Dalam Mewujudkan Pertanian Efisien. Kerjasama Departemen Pertanian Dengan
Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI).
Iis Syamsiah dan A. M. Fagi., 1997. Teknologi Embung. Sumber Daya Air dan Iklim Dalam
Mewujudkan Pertanian Efisien. Kerjasama Departemen Pertanian Dengan
Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI).
Parimawati, E., 2001. teknik Pemanenan Aliran Permukaan (run-off harvesting) di Lahan
Kering Pringgabaya. Skripsi Fakultas Pertanian Unram.
723
Seminar Nasional 2005
Puspadi, 2004. Pemahaman Pedesaan Secara Partisipatif (PRA) di Wilayah Poor Farmers
Lombok Timur, Laporan Akhir Penelitian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
NTB, Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Rahman, A. M. Sholeh dan Suwarso. 1992. Pengaruh Intensitas Pemberian Air dan Tingkat
Pemupukan N terhadap Pertumbuhan, Hasil dan Mutu Tembakau Rajangan Madura
di Lahan Sawah. Laporan Penelitian Kerjasama Balittas Malang. 20 pp.
Suprapto. 2004. Pengkajian Sistem Usahatani di Lahan Kering di Kecamatan Gerokgak
Kabupaten Buleleng, Bali. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian vol 7 no 1: 83 - 89. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
724
SISTEM INTEGRASI PADI – TERNAK SEBAGAI UPAYA PENYEDIAAN BIBIT
DALAM MENDUKUNG AGRIBISNIS TERNAK SAPI POTONG DI KABUPATEN
SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
ABSTRAK
Sistem Integrasi Padi – Ternak (SIPT) dilakukan dengan pendekatan kelembagaan.untuk meningkatkan
populasi ternak sapi dan pendapatan petani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan usaha
pembibitan ternak sapi potong dalam kelembagaan kelompok tani ternak. Rekording dilakukan terhadap anggota
kelompok tani ternak yang melaksanakan kegiatan SIPT di Desa Tegaltirto Kecamatan. Berbah, Kabupaten
Sleman Provinsi. D.I. Yogyakarta. Perkembangan usaha pembibitan sapi potong, dinamika usaha ternak dihitung
dan dianalisis secara diskripsi. Analisis finansial digunakan untuk mengetahui efisiensi usaha kelompok. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kelompok ternak di Desa Tegaltirto berfungsi sebagai lembaga yang bersifat
agribisnis ternak sapi potong. Lembaga ini berperan sebagai wadah yang mampu memberikan naungan kepada
peternak terhadap gejolak yang timbul, sehingga peternak tidak mudah dikuasai atau dirugikan oleh pihak lain.
Pengelolaan usaha pembibitan ternak sapi potong menunjukkan bahwa 71,54% (48 ekor) induk pada fase
menyusui tahap kedua, sedangkan sisanya 29,85% (20 ekor) induk dalam kondisi bunting kedua selama
pemeliharaan (18 bulan). Terdapat 112 ekor pedet yang terdiri umur kurang 3 bulan (pra sapih) 42,86%, umur
3–6 bulan (sapih) 19,64% dan umur diatas 6 bulan (bakalan) 37,50%. Usaha pembibitan ternak sapi potong
dalam SIPT menunjukkan tingkat efisiensi R/C sebesar 1,34.
Kata Kunci : integrasi, bibit, sapi potong
PENDAHULUAN
Pada tahun 1999 hingga 2001 pasokan daging sapi asal impor di Indonesia telah
mencapai 15-22% dari kebutuhan daging sapi (Ditjen. Bina Produksi Peternakan, 2002).
Ketergantungan impor daging dan sapi potong, antara lain disebabkan oleh ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan permintaan daging dari pemotongan sapi lokal. Pemenuhan
permintaan daging sapi bila hanya dipenuhi melalui pemotongan sapi lokal, maka dapat
berakibat terjadi pengurasan keberadaan sapi lokal, karena terjadi pemotongan terhadap sapi
muda yang ukurannya masih kecil dan terhadap sapi betina produktif. Kondisi sapi potong
lokal saat ini sangat beragam dan sebagian besar (99%) dikelola dan dikembangankan
dengan pola peternakan rakyat (cow-calf operation) dalam skala usaha kecil dan terintegrasi
dengan kegiatan lain, sehingga fungsi sapi potong sangat kompleks dalam menunjang
kehidupan peternak (Gunawan, 2003).
Dalam sistem agibisnis berbasis peternakan tercakup empat subsistem, yaitu: (1)
subsistem agribisnis hulu peternakan yakni kegiatan ekonomi yang menghasilkan sapronak
(industri pembibitan, industri pakan, industri obat - obatan); (2) subsistem usaha peternakan
yakni kegiatan budidaya ternak; (3) sub-sistem agribisnis hilir peternakan yakni kegiatan
ekonomi yang mengolah komoditas peternakan primer menjadi produk olahan (industri
pengolahan dan pemasaran); dan (4) subsistem jasa penunjang yakni kegiatan ekonomi yang
menyediakan jasa yang dibutuhkan oleh ketiga subsistem lain (Saragih, 2000).
Pada kenyataannya sub sektor tanaman pangan dan sub sektor peternakan merupakan
satu kesatuan yang terintegrasi dimana keduanya tidak akan terlepas dan saling melengkapi
di sub sektor tanaman pangan dan sub sektor peternakan pada khususnya dengan
memberikan kesempatan yang luas kepada usaha kecil, menengah dan koperasi di bidang
peternakan. khususnya petani peternak dimana mayoritas mereka mengandalkan tumpuan
ekonominya pada sub sektor tanaman pangan dan sub sektor peternakan.
Investor hampir tidak ada yang tertarik untuk mengembangkan usaha cow-calf
operation, karena diperlukan modal usaha yang besar, sedangkan bunga kredit tinggi, rantai
725
pemasaran rumit, sarana transportasi dan pemilikan lahan terbatas. Menurut perhitungan
ekonomis, saat ini usaha cow-calf operation juga memberikan net present value (NPV)
negatif atau sangat kecil (Gunawan, 2003). Oleh karena itu, dalam agribisnis peternakan
khususnya dalam penyediaan bibit sapi potong peran peternakan rakyat sangat dominan.
Usaha peningkatan produktivitas dapat dicapai melalui pendekatan kuantitatif yaitu
dengan peningkatan populasi ternak dan secara kualitatif dengan peningkatan produktivitas
per unit ternak. Pengembangan Sistem Integrasi Padi – Ternak (SIPT) dilaksanakan dengan
tujuan untuk mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan pertanian
melalui penyediaan pupuk organik yang memadai. Upaya peningkatan produktivitas padi
sawah irigasi dan daging. Peningkatan populasi ternak sapi dan pendapatan petani.
Pengembangan SIPT dilakukan dengan pendekatan kelembagaan (Haryanto et al., 2002)
Agribisnis peternakan juga terkait beberapa lembaga, antara lain lembaga produsen,
lembaga konsumen, lembaga profesi, lembaga pemerintahan dan lembaga ekonomi
(Handayani dan Priyanti, 1995). Lembaga - lembaga terkait akan berperan aktif dalam
pembinaan, sehingga dapat mencapai satu sasaran yang sama yaitu sistem usaha agribisnis
peternakan yang berkelanjutan, antara lain melalui pemanfaatan teknologi dan manajemen
modern yang dilakukan dalam skala usaha yang lebih besar besar.
Program pengembangan kelompok peternak ini juga berhasil menunjukkan semangat
dan minat berwirausaha. pengembangan kelompok ini berhasil mengembangkan kekuatan
organisasi kelompok melalui program memisahkan ternak dari lingkungan tempat tinggal,
dengan cara menempatkan ternak dalam kawasan kandang kelompok. Usaha berkelompok
tersebut mempunyai dinamika yang bervariasi dari waktu kewaktu. Makalah ini memberikan
gambaran perkembangan usaha pembibitan ternak sapi potong dalam kelembagaan
kelompok tani ternak.
726
peternakan mempunyai peran yang besar dalam rangka pembangunan peternakan. Lembaga
ini berperan sebagai wadah yang mampu memberikan naungan kepada peternak terhadap
gejolak yang timbul. Misalnya dengan adanya lembaga ini peternak mempunyai kekuatan
pasar dimana posisi tawar akan tinggi sehingga peternak tidak mudah dikuasai atau
dirugikan oleh pihak lain yang ingin mempermainkan harga. Selain itu peternak akan
mempunyai jaringan pasar yang lebih luas.
Penggunaan lahan untuk penanaman hijauan pakan yang berupa rumput introduksi
seperti rumput gajah, rumput raja, kolonjono dilakukan di pinggir jalan, tepi kiri kanan
bantaran sungai (“wedi kengser”) pematang sawah dan sebagian di areal persawahan. Dua
kali musim tanam padi dan sekali musim tanam palawija direncanakan dalam pola tanam
padi-padi-palawija. Luas panen tanaman padi 646 ha dengan total produksi 4457,4 ton,
sehingga produktifitas tanaman padi di Desa Tegaltirto sebesar 6,9 to/ha (Programa
Penyuluhan Pertanian Koordinat VII Sleman, 2003). Tingginya penggunaan lahan untuk
pertanian sangat menungkinkan untuk penyediaan limbah pertanian sebagai sumber pakan
untuk pengembangan ternak sapi. Lahan untuk pengembangan ternak sapi potong
disediakan tanah milik desa. Peternak menggunakan lahan untuk mendirikan kandang untuk
mengusahakan ternak, sehingga lokasi lahan tersebut menjadi kawasan kandang kelompok.
Petani dalam mengadopsi teknologi sistem budidaya ternak dari hasil sosialisasi dan
diseminasi yang dilakukan oleh petugas penyuluh lapangan (PPL) dan pendampingan yang
dilakukan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. Dalam hal kegiatan
usahatani ternak sapi potong utamanya teknologi inseminasi buatan untuk desa Tegaltirto
menjadi suatu kewajiban. Hal ini didukung oleh keberadaan fasilitas inseminasi buatan,
Puskeswan dan inseminator.
727
kegiatan SIPT ditujukan untuk pemberdayaan peternak dengan memberilan kredit
permodalan untuk pembelian induk sapi potong.
Ternak sapi potong yang dipelihara oleh peternak di keempat kelompok ternak terdiri
dari jenis peranakan Simental (30,35%), peranakan Ongole (53,82%), dan peranakan
Limosin (15,83%). Setiadi et al. (1997) melaporkan bahwa bangsa sapi akseptor di Daerah
Istimewa Yogyakarta adalah jenis Peranakan Ongole (PO), crossbred Potal (PO x Simental)
dan crossbred Posin (PO x Limosin) yang dijadikan bibit. PO merupakan sapi asli yang
sudah beradaptasi dengan lingkungannya.
Mortalitas induk sebesar satu ekor dari 68 populasi induk (1,47%). Kematian induk
ini disebabkan karena kegagalan pada saat kelahiran pedet (prolapsus uteri). Sampai pada
bulan Mei 2005 terdapat 71,54% (48 ekor) induk pada fase menyusui pada tahap kedua,
sedangkan sisanya 29,85% (20 ekor) induk dalam kondisi bunting kedua selama
pemeliharaan. Tatalaksana reproduksi merupakan faktor penentu dalam menentukan tingkat
keberhasilan reproduksi sapi potong untuk penyediaan bakalan. Sistem perkawinan dengan
inseminasi buatan pada keempat kelompok. Untuk menilai efisiensi reproduksi pada ternak,
salah satu cara yang dilakukan melalui penghitungan jumlah inseminasi yang dibutuhkan
oleh seekor betina sampai terjadi konsepsi yang dikenal dengan istilah servis per konsepsi
(service/conception = S/C). Makin kecil angka S/C makin subur induk – induk dalam
kelompok tersebut (Sitorus et al., 1994). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata – rata
tingkat S/C keempat kelompok ternak berkisar 1 – 4 dengan rata – rata 2,19. Nilai tersebut
lebih besar dibanding sapi PO dikecamatan Cangkringan Sleman yaitu 1,29 (Astuti et al.,
1983) dan lebih kecil dari sapi PO di daerah Gunungkidul dan Kulonprogo berturut – turut
dengan S/C 2,2 dan 2,3 (Achmad, 1983). Penentuan jenis pejantan sebagai bibit untuk
menghasilkan bakalan yang mempunyai nilai jual dan laju pertambahan bobot badan sapi –
sapi hasil persilangan yang cukup tinggi menjadi pertimbangan khusus bagi peternak di
keempat kelompok ternak.
Produktivitas induk sapi potong ditunjukkan dengan kemampuan untuk menghasilkan
anak/pedet selama periode tertentu. Selama pemeliharaan 18 bulan perkembangan populasi
pedet pada kegiatan SIPT di Desa Tegaltirto Berbah Kabupaten Sleman ditunjukkan pada
Tabel 2.
728
Tabel 2. Perkembangan populasi pedet sapi potong periode Oktober 2003 – Mei 2005 pada kegiatan SIPT di
Desa Tegaltirto Berbah Kabupaten Sleman.
Anak (ekor)
Nama
Menyusu Sapih Bakalan* Jumlah
Kelompok Mortalitas
(< 3 bulan) (3 – 6 bulan) (> 6 bulan)
Kuton 10 4 9 1 24
Dondong 16 5 11 3 35
Kuncen 14 9 13 0 36
Pendem 8 4 9 0 21
Jumlah 48 22 42 4 116
* Dijual dengan harga rata – rata Rp 3.000.000 / ekor
Kelahiran pedet selama pemeliharaan 18 bulan sejumlah 116 ekor dengan tingkat
mortalitas pedet sebesar 3,45% (4 ekor). Kejadian kematian ini sebagian besar disebabkan
mati saat kelahiran. Hingga saat ini terdapat 112 ekor pedet yang terdiri umur kurang 3 bulan
(pra sapih) 42,86%, umur 3 – 6 bulan (sapih) 19,64% dan umur diatas 6 bulan (bakalan)
37,50%.
Model analisis usaha peternakan yang paling sederhana adalah pendekatan proses
produksi dengan menggunakan estimasi marjin kotor. Analisis yang lebih sederhana
diperoleh dengan cara mengurangi biaya variabel dari pendapatan kotor (Soekartawi et al.,
1986). Pendapatan peternak atas biaya yang digunakan dalam usaha pembibitan sapi potong
ditunjukkan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Analisis marjin kotor usaha pembibitan sapi potong pada kegiatan SIPT di Desa Tegaltirto Berbah
Kabupaten Sleman
Kelompok ternak dalam mengusahakan ternak sapi potong sebagai usaha sambilan.
Curahan tenaga kerja yang digunakan dalam pengelolaan ternak rata-rata 2 jam/hari/unit,
waktu tersebut digunakan dalam pencarian hijauan pakan (jerami padi), pemberian pakan,
minum dan pembersihan kandang. Hasil analisis usahatani pada usaha pembibitan sapi
potong menunjukkan bahwa besarnya biaya yang dikeluarkan (biaya eksplisit) sebesar Rp
230.675.000. Sedangkan biaya riel yang dikeluarkan oleh petani (biaya implisit) sebesar Rp
729
47.075.000. Hasil usaha yang berupa nilai pedet ditambah dengan nilai pupuk organik yang
dihasilkan selama pemeliharaan sebesar Rp 308.080.000. Selisih antara nilai hasil usaha
dengan biaya implisit merupakan pendapatan petani dari usaha pembibitan di kelompok
ternak sebesar Rp 261.007.000. P enerimaan (revenue) usaha usaha pembibitan sapi potong
dalam SIPT apabila dibandingkan dengan besarnya biaya eksplisit menunjukkan tingkat
efisiensi R/C sebesar 1,34.
KESIMPULAN
PUSTAKA
730
Soeharsono. 2003. Demofarm Sistem Integrasi Padi - Ternak (SIPT) di KUAT Tegal Mulyo
Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Pengkajian.
Bagian Proyek Pengembangan Padi Terpadu Kabupaten Sleman Kerjasama Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta.
Soekartawi, A. Soeharjo, John L. Dillon dan J. B. Hardaker. 1986. Ilmu Usahatani dan
Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. UI-Press, Jakarta.
731
PERSEPSI PETERNAK TERHADAP TEKNOLOGI
PEMANFAATAN GANGSING (Sesarma reticulatum) SEBAGAI RANSUM
PAKAN ITIK SUMBER OMEGA TIGA DI KABUPATEN KULONPROGO
ABSTRAK
Komponen biaya usaha ternak unggas untuk pakan + 60-70%. Karena itu perlu introduksi teknologi
pemanfaatan bahan pakan lokal sebagai substitusi pakan komersial. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
persepsi peternak terhadap teknologi pemanfaatan gangsing (Sesarma reticulatum) sebagai ransum pakan itik
sumber omega3 di kabupaten Kulonprogo. Metode penelitian adalah survei. Penelitian dilakukan di desa
Banaran Kecamatan Galur kabupaten Kulonprogo. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive dengan
pertimbangan teknologi itu sudah diintroduksikan di desa tersebut. Populasi penelitian adalah para peternak itik
setempat dan sampel diambil secara acak sederhana (simple random), jumlah sampel sebanyak 20 orang.
Analisis data menggunakan statistik deskriptif (analisis frekuensi). Hasil penelitian menunjukan bahwa 100%
responden menyatakan bahwa aplikasi teknologi tersebut dapat meningkatkan mutu hasil telur(keuntungan
relatif), 100% responden menyatakan dapat meningkatkan pendapatan (keuntungan relatif), 80% menyatakan
aplikasi teknologi tersebut tidak membutuhkan banyak tenaga (sederhana), 95% menyatakan hasil teknologi
tersebut dapat dilihat dalam waktu singkat (observable), 100% menyatakan sesuai budaya dan kebiasaan setempat
(kompatible).
Kata kunci : persepsi, peternak, pakan itik, omega tiga, gangsing
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Populasi ternak unggas di DIY tahun 2003 tercatat sebanyak 9,13 juta ekor, turun
sebesar 0,44% dari tahun 2002 yang populasinya sebesar 9,17 juta ekor. Sebagian besar dari
populasi unggas tersebut adalah ayam kampung (55,33%), disusul ayam ras 42,27% (petelur
15,21%, pedagaing 27,06%) dan 2,39% adalah itik. Adapun jumlah unggas yang dipotong
mencapai 25,33 juta ekor yang terdiri dari 33,97% ayam kampung, 65,39% ayam ras, dan
selebihnya 0,65 % adalah itik. Dengan membandingkan antara jumlah populasi unggas dan
jumlah unggas yang dipotong terlihat bahwa Propinsi DIY mendatangkan unggas dari daerah
lain dengan porsi 63,95% dari total unggas yang dipotong. Kondisi tersebut menggambarkan
bahwa permintaan unggas di DIY cukup tinggi, dan hal ini memberi peluang bagi peternak
di DIY untuk mengembangkan agribisnis perunggasan termasuk itik. Mengingat konsumsi
daging itik di DIY selalu meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 konsumsi daging
itik sebanyak 59.155 kg meningkat menjadi 105.387 kg ditahun 2003. Begitupula dengan
telur itik yang mengalami peningkatan permintan dari tahun ketahun. (BPS,2003).
Menurut Prasetyo et al. ( 2002) bahwa rendahnya produksi telur itik di kawasan
Pantai Selatan Yogyakarta (temasuk kab. Kulonprogo) disebabkan antara lain adalah sistem
pengelolaan yang tradisional dengan skala usaha yang kecil. Lebih lanjut dikatakan bahwa
salah satu permasalahan yang dihadapi peternak itik adalah tingginya harga pakan
(konsentrat), sementara komponen biaya untuk pakan dalam usaha ternak unggas mencapai
+ 60-70%. Untuk itu perlu dicari dan dimanfaatkan sumber pakan alam sebagai pengganti
konsentrat. Gangsing (Sesarma reticulatum) merupakan salah satu biota laut yang
keberadaannya sangat berlimpah pada musim kemarau sekitar bulan april sampai September
dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pakan untuk substitusi pakan komersial (konsentrat).
Wardhani et al. (2004) melaporkan hasil penelitianya bahwa pemanfaatan gangsing sebagai
subsitusi pakan konsentrat sebanyak 25% pada ransum itik menghasil telur dengan
kandungan omega 3 sebesar 242,50 mg/2 butir. Telur itik dengan kandungan omega-3
732
memiliki harga jual yang lebih tinggi dibanding telur yang sama tanpa kandungan omega-3.
Suatu teknologi akan diadopsi atau tidak berhubungan dengan persepsi pengguna
terhadap teknologi tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Rakhmat (2000) bahwa persepsi
adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh
dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (teknologi). Wilson (1998)
mengakui persepsi adalah selektif sehingga dapat merupakan psycological nois, "We tend to
see, hear and believe only what we want to see, hear and believe" (kita cenderung untuk
melihat, mendengar dan percaya hanya pada apa yang ingin kita lihat, dengar dan percayai).
Suatu keputusan inovasi individual baik opsional maupun kolektif pada proses tahap
keputusan inovasi hingga konfirmasi untuk tetap menggunakan teknologi itu atau
menghentikannya (mengadopsi secara berkelanjutan atau menolak), tergantung pada sifat
teknologi bersangkutan. Teknologi baru yang memberikan tingkat keuntungan relatif yang
lebih tinggi akan cepat diterima dengan catatan disamping menguntungkan, teknologi baru
itu harus sederhana, hasilnya dapat diamati oleh orang lain dalam waktu relatif singkat,
dapat diuji-cobakan dalam skala kecil, dan tidak bertentangan dengan kebiasaan dan nilai-
nilai sistem sosial setempat (Rogers, 1983).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji persepsi peternak terhadap karakteristik
teknologi teknologi pemanfaatan gangsing (sesarma reticulatum) sebagai ransum pakan itik
sumber omeg-3 di Kabupaten Kulonprogo.
METODA PENELITIAN
Penelitian ini didesain dengan metode survei, berlokasi di desa Banaran kecamatan
Galur kabupaten Kulonprogo. Penentuan lokasi tersebut secara purposive dengan
pertimbangan desa tersebut merupakan lokasi pengkajian teknologi/introduksi teknologi
oleh BPTP Yogyakarta, disampng memiliki memiliki potensi itik lokal Bantul yang cukup
tinggi. Populasi penelitian adalah peternak itik di desa tersebut. Pengambilan sampel
dilakukan secara acak sebanyak 20 peternak. Eksplorasi data dengan menggunakan daftar
pertanyaan terstuktur (kuesioner) Data primer yang terhimpun dianalisis dengan statistik
deskriptif (analisis frekuensi).
733
Tabel 1. Persepsi Peternak Terhadap Keuntungan Relatif Teknologi Pemanfaatan Gangsing Sebagai Ransum
Pakan Itik Sumber Omega3 di Desa Banaran, Kabupaten Kulonprogo
Hal ini dapat dimaklumi karena aplikasi teknologi tersebut memberikan nilai positif
pada hasil, dimana telur itik yang dihasilkan dari aplikasi teknologi tersebut mengandung
omega-3, sebagaimana ditunjukkan oleh hasil penelitian Wardhani et all (2004) tersebut
diatas. Dengan adanya kandungan omega-3 tersebut mengakibatkan nilai jual dari telur
tersebut akan lebih tinggi dibanding telur itik tanpa kandungan omega-3. Berdasarkan
penilaian/pandangan peternak tersebut, maka dapat dikatakan bawa aplikasi teknologi ini
secara ekonomis dapat memberikan keuntungan relatif bagi penggunanya. Dari perspektif
ekonomis, teknologi ini layak untuk didesiminasikan atau didifusikan kepada peternak
lainnya sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pendapatan peternak itik
diagroekosistem yang sama.
734
dalam waktu yang relatif singkat (observable). Trialibilitas dan observabilitas suatu
teknologi berhubungan positif dengan adopsi teknologi bersangkutan.
a. Kompatibilitas Teknologi
Kompatibilitas suatu teknologi adalah derajat kesamaan atau keterkaitan inovasi dengan
nilai, norma, dan pengalaman termasuk cara lama yang sudah diketahui/dimiliki oleh
pengguna. Kompatibilitas inovasi/teknologi berhubungan positif dengan adopsi. Persepsi
peternak terhadap kompatibilitas teknologi disajikan dalam (Tabel 3).
Tabel 3. Persepsi Peternak Terhadap Kompatibilitas Teknologi Pemanfaatan Gangsing Sebagai Ransum Pakan
Itik Sumber Omega-3 di Desa Banaran, Kabupaten Kulonprogo.
KESIMPULAN
735
DAFTAR PUSTAKA
736
LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI DAYA DUKUNG PAKAN TERNAK DI LAHAN
KERING (Studi Kasus) DESA PLEMBUTAN, KECAMATAN PLAYEN,
KABUPATEN GUNUNG KIDUL
ABSTRAK
Telah dilakukan pengkajian limbah pertanian sebagai daya dukung hijauan pakan ternak di lahan kering
di lokasi studi kasus adalah Dusun Toboyo. Desa Plembutan, Kecamatan Playen. Kabupaten Gunung kidul yang
dilakukan pada bulan Agustus hingga November 2004. Dengan metoda PRA pada sekitar 30 petani secara
purposive sampling dilakukan wawancara. Hasil yang didapat bahwa pada dasarnya penyediaan hijauan pakan
ternak ruminansia dilahan kering sebagian besar berasal dari limbah pertanian, pola tanam dengan sistim
tumpangsari dalam satu tahun dapat menghasilkan limbah pertanian sebagai hijauan pakan ternak yang bervariasi
dan kontinyu sepanjang tahun. Panen tanaman pangan pada penanaman yang kedua dalam system tumpangsari
dapat menyediakan hijauan yang dapat dikeringkan untuk persediaan pakan di musim kemarau. Oleh sebab itu
berdasarkan pemberian pakan pada musim kemarau didominasi oleh hijauan kering ditambah dengan pakan
konsentrat sedangkan pada musim hujan didominasi oleh hijauan dalam bentuk segar ditambah dengan sedikit
konsentrat. Di Desa Plembutan hasil ubikayu yang melimpah pada saat panen raya dengan harga murah dapat
dialihkan menjadi pakan tambahan untuk sapi potong baik yang sudah dalam bentuk gaplek maupun yang masih
dalam bentuk segar.
Kata kunci : pakan, lahan kering, limbah pertanian, pola tanam.
PENDAHULUAN
Salah satu andalam sumber hijauan pakan ternak di daerah lahan kering adalah
limbah pertanian, baik dalam keadaan segar maupun dalam keadaan kering seperti halnya
jerami, namun demikian jerami memiliki lignoselulosa dengan kadar lignin dan silikat yang
tinggi yang menyebabkan daya cerna menjadi rendah (Suawandyastuti; 1988). Limbah
pertanian sangat bergantung kepada budidaya pertanian terutama pertanian tanaman pangan.
Teknologi budidaya pertanian di desa Plembutan masih tergolong sederhana/tradisional. Hal
ini dapat dilihat dari cara penanaman maupun teknik pemupukan, seperti halnya penanaman
benih padi dengan cara ngawu-awu yaitu menyebar benih padi gogo bersamaa waktunya saat
pengolahan tanah, seminggu sampai dua minggu sebelum musim hujan datang, juga teknik
pemupukan, masih menggunakan pupuk kandang yang belum diolah terlebih dahulu,
sehingga memungkinkan tersebarnya hama uret dan hama-hama lain yang memungkinkan
hidup pada pupuk kandang. Pola tanam juga sangat dipengaruhi oleh keadaan biofisik lahan
pertanian yang umumnya mengandalkan air hujan untuk mendukung budidaya tanaman
pangan, hortikultura maupun palawija, hal ini yang menyebabkan rendahnya produksi
pertanian yang berarti pula rendahnya produksi limbah pertanian sebagai tulang punggung
sumber hijauan pakan ternak dilahan kering.
Kendala utama yang sangat berpengaruh terhadap pola tanam adalah sulitnya air
dalam menghadapi musim kemarau, sehingga umumnya petani sangat sulit pakan ketika
musim kemarau panjang tiba. Sebagai solusinya petani sudah terbiasa memberi pakan
ternaknya dengan membeli tebon jagung kepasar-pasar atau kios pakan setempat yang sudah
disediakan oleh pemasok tebon dari wilayah Sleman, Bantul dan Klaten. Kondisi demikian
sudah berjalan puluhan tahun, melihat kondisi demikian kiranya perlu dicarikan solusi yang
tepat untuk mengantisipasi kekurangan pakan di musim kemarau.
737
METODA PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam pengkajian ini adalah metode deskriptif analisis,
yaitu suatu metode untuk mengkaji kondisi, usahatani khususnya tentang ketersediaan pakan
ternak di lahan kering. Penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat gambaran mengenai
situasi atau kejadian atau memberikan gambaran hubungan antar fenomena, menguji
hipotesa, membuat prediksi serta implikasi dari suatu masalah yang ingin dipecahkan
(NAZIR, 1988 dalam Manti, 2003).
Lokasi pengkajian sebagai studi kasus adalah di Dusun Toboyo , Desa Plembutan,
Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul, waktu pengkajian dilakukan pada bulan
Agustus – November 2004. Data yang dikumpulkan terdiri dari dua macam data yaitu data
sekunder didapatkan dari monogrifi desa, sedangkan data primer didapatkan dengan
wawancara langsung melalui motode PRA secara purposive sampling terhadap 30 petani
yang menggarap lahan sawah atau tegalan dan mempunyai ternak sapi. Hasil akhir penelitian
disajikan dalam bentuk deskripsi, yang dilengkapi dengan tabel dari variabel-variabel yang
dianalisis, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
738
Pola tanam yang dilakukan oleh petani di desa Plembutan mengikuti beberapa model
dapat dilihat sebagai berikut:
Nov Des Jan Feb Mrt Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt
Nov Des Jan Feb Mrt Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt
Jagung Jagung
Kacang tanah Kacang tanah
Ubi kayu
Turi
Kebiasaan petani pada musim hujan pertama sekitar bulan November sudah
melakukan tanam benih seperti jagung, padi gogo dan ubikayu ditanam pada waktu yang
bersamaan, selanjutnya pada bulan Februari menanam benih kacang tanah atau kacang
kedelai setelah panen jagung dan padi gogo tanpa mengolah tanah lebih dahulu, kegiatan ini
sebenarnya memanfaatkan air yang masih relatif tersedia di lahan. Sedangkan ubikayu
dipanen terakhir yakni sekitar September karena tanaman ini memerlukan waktu hampr satu
tahun. Penanaman yang kedua seperti kacang tanah dan kedelai akan meng hasilkan limbah
berupa jerami kacang tanah, petani menyebutnya ”rendeng”. Rendeng ini didapatkan antara
bulan Mei dan Juni bertepatan dengan awal musim kemarau, dengan begitu limbah ini dapat
dijadikan persediaan pakan untuk musin kemarau.
Pola tanam petani di Gunungkidul sangat tergantung situasi lahan baik tegalan,
sawah maupun pekarangan sekitar rumah, biasanya pola tanam tumpangsari sesuai
kebutuhan masing-masing petani. Ada tanaman jagung yang ditanam hanya tumpang sari
dengan singkong dan populasi lebih dominan tanaman jagungnya. Ada pula tanaman kacang
tanah tumpangsari dengan jagung namun lebih didominasi tanaman kacang tanahnya
(tanaman jagung ditanam hanya sekitar jarak empat meter antar barisnya sebagai lorong),
demikian pula tanaman ubikayu perlakuan jarak tanamnya hampir sama dengan jagung.
Setelah panen kacang tanah dan kedelai petani masih berspekulasi menanam tanaman
lainnya seperti tanaman jagung yang sengaja ditanam untuk panen tebon ( tanaman jagung
muda) atau tanaman turi, keduanya untuk pakan ternak.
Umumnya masyarakat tani di wilayah Gunungkidul tanaman ubikayu merupakan
tanaman pokok yang ditanam hampir setiap musim, karena petani sangat memerlukannya
walaupun harganya jatuh disaat musim panen tapi masih dapat digunakan sebagai pakan
tambahan untuk ternak sapi potong selain rumput.
739
Jenis ternak yang dipelihara
Jenis ternak yang dipelihara di Desa Plembutan cukup bervariasi, diantaranya sapi,
kambing/domba, Ayam ras melalui GUT atau inti dan kampung, kelinci dan burung puyuh,
Rata-rata kepemilikan untuk sapi 1 ekor, kambing/domba 2- 3 ekor, ayam kampong 15 – 20
ekor, ayam ras terdapat 11 kandang dengan kapasita 3 – 5 ribu dengan 6 kali periode dalam
setahun. Pemelihara burung puyuh ada 10 orang berkisar antara 200 – 6000 ekor.
Pemeliharaan sapi dan kambing secara umum tidak ada permasalahan, permasalahan
yang umum terjadi adalah kekurangan pakan hijauan di musim kemarau. Jumlah ternak yang
dipelihara di Desa Plembutan tertera pada tabel di bawah ini:
Tabel 1. Populasi ternak di Desa Plembutan, Kecamatan Playen Gunungkidul, 2004
Berdasarkan pemberian hijuan pada ternak ruminansia berbeda antara musim hujan
dan musim kemarau di sesuaikan dengan sifat hijauan yang bisa diawaetkan atau yang harus
diberikan segar, seperti jerami padi dihasilkan pada musim hujan pertama, namun pemberian
pada ternak dilakukan pada musim kemarau , karena jerami padi bisa diawetkan dan
disimpan sehingga pemberiannya dapat dialihkan pada musim kemarau. Disamping itu
pemberian hijuan juga tergantung pada jenis tanaman, ada yang tahan terhadap kekeringan
umumnya pada tanaman berkayu yang dapat diambil rambanannya dan ada tanaman yang
740
tidak tahan kekeringan yang hanya ada pada musim hujan seperti pada rumput alam dan
kolonjono. Perbedaan jenis hijuan yang diberikan pada ternak disajikan pada table dibawah
ini:
Tabel 3. Jenis hijuan pakan yang diberikan pada ternak di Desa Plembutan.
Cara pemberian hijauan pada MH diberikan segar dengan cara dicacah terlebih
dahulu dan biasanya tidak ada campuran hijauan kering. Sedangkan pada MK hijauan yang
diberikan didominasi oleh hijauan kering seperti jerami padi, jerami kacang tanah dan lain
sebagainya diberikan secara ad lebitum dengan ditambah sedikit hijauan segar berupa
rambanan atau tebon, pada MK pemberian pakan dititik beratkan pada pemberian konsentrat
dengan komboran yang meningkat dua kali lipat dibandingkan pada MH.
Pakan komboran adalah pakan yang brasal dari biji-bijian atau umbi-umbian seperti
bekatul, gaplek atau konsentrat dari pabrik walaupun sedikit sekali petani yang
menggunakan konsentrat pabrik , sebagian besar petani menggunakan gaplek dan bekatul
sebagai pakan komboran. Pemberian gaplek dengan cara ditumbuk kasar kemudian direbus
ditambah air dan garam dengan perbandingan 1 kg gaplek ditambah 7-8 liter air dan ¼ kg
garam, hal yang sama juga dilakukan apabila yang diberikan adalah bekatul. Satu ekor sapi
biasanya diberikan 2 kg konsentrat (komboran) pada siang hari sekitar jam 2 atau 3 siang.
Jenis tanaman yang sengaja ditanam khusus untuk pakan tarnak diantaranya: rumput
kolonjono, turi dan tayuman, sedangkan tanaman yang lainnya digunakan untuk pakan
ternak dari limbahnya.
Limbah pertanian yang umum disimpan untuk digunakan sebagai pakan di musim
kering adalah jerami padi , jerami kacang tanah, jerma kedelai dengan cara di keringkan,
pengeringan rata – rata 3 -4 hari jemur matahari langsung, kemudian disimpan di para-para
kandang atau dibuatkan khusus kandang pakan sebagai lumbung pakan.
KESIMPULAN
Pola tanaman tanaman pangan di Desa Plembutan dengan sistem tumpang sari dapat
menyediakan hijauan pakan bukan hanya bervariasi namun juga dapat kontinyu
sepanjang tahun.
Pola pakan pada saat musim kemarau didominasi oleh hijauan yang sudah dikeringkan
seperti jerami padi, jerami kacang tanah dan kedelai.
Penaman pada musim tanam kedua dapat menyediakan hijauan kering untuk persediaan
pakan pada saat musim kemarau.
Hasil ubikayu pada saat panen raya harganya murah, namun dapat digunakan sebagai
pakan tambahan untuk sapi potong.
741
DAFTAR PUSTAKA
742
STUDI DAMPAK PENGKAJIAN SISTEM USAHA PERTANIAN (SUP) PADI DI
KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perubahan perilaku dan pendapatan petani akibat
dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan pengkajian SUP (Sistem Usaha Pertanian) Padi, di Kecamatan
Imogiri Kabupaten Bantul. Penelitian dilakukan dengan cara survei terhadap petani kooperator dan non-
kooperator SUP Padi masing-masing 15 orang yang ditentukan secara acak sederhana. Hasil penelitian
menunjukkan, bahwa pengkajian SUP Padi mampu merubah perilaku petani (pengetahuan, motivasi dan sikap),
serta adanya tingkat perbedaan pendapatan ushatani antara petani kooperator dan non-kooperator. Intensitas
penyuluhan, peran tokoh masyarakat mempunyai kontribusi nyata terhadap perubahan sikap dan perilaku petani
dalam melaksanakan program SUT Padi.
Kata kunci : Studi dampak, Sistem Usahatani Padi, Perilaku, Pendapatan
PENDAHULUAN
Hasil penelitian dan pengkajian (litkaji) teknologi pertanian spesifik lokasi inipun
sudah banyak direkomendasikan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. Hal
ini merupakan salah satu wujud, bahwa BPTP telah berhasil mempercepat transfer teknologi
kepada para pengguna. Hasil penelitian dan pengkajian akan sia-sia apabila tidak diikuti
dengan usaha untuk menyebarkannya. Teknologi yang sudah direkomendasikan oleh Komisi
Teknologi Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta, antara lain teknologi penggunaan alat
tanam benih langsung (atabela) dan tanam benih langsung (tabela) melalui kegiatan Sistem
Usaha Pertanian Padi.
Penerapan atau adopsi suatu inovasi oleh Mardikanto (1991) diartikan sebagai
proses perubahan perilaku baik berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective) maupun
keterampilan (psichomotoric) pada diri seseoraang setelah menerima inovasi yang
disampaikan oleh penyuluh untuk masyarakat sasarannya. Azwar (2000) mengemukakan
bahwa sikap merupakan suatu respons evaluatif. Respons evaluatif berarti bentuk reaksi
yang dinyatakan sebagai sikap tersebut timbul karena didasari oleh proses evaluasi dalam
diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk baik-buruk, positif-
negatif, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi
reaksi terhadap obyek sikap.
Selanjutnya dikatakan, bahwa kecepatan adopsi dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu (1) sifat inovasinya, (2) sifat sasaran, (3) cara pengambilan keputusan sasaran, (4)
saluran komunikasi yang digunakan, (5) kondisi penyuluhnya sendiri dalam menyampaikan
inovasi kepada sasaran dan (6) ragam sumber informasi. Keberhasilan adopsi dan difusi
inovasi teknologi di tingkat lapang sangat ditentukan oleh sifat teknologi yang
diintroduksikan yaitu (1) mampu memberikan keuntungan relatif bagi pengguna; (2)
sederhana (simple); (3) kompabilitias yaitu teknologi tersebut sesuai kebutuhan dan tidak
bertentangan dengan adat istiadat, norma dan budaya; (4) triabilitas atau mudah dicoba dan
(5) observabilitas atau mudah diamati (Rogers dan Shoemaker, 1986).
Adanya perubahan lingkungan strategis global yang mengarah kepada semakin
kuatnya liberisasi dan globalisasi perdagangan, akan membawa konsekuensi terhadap daya
saing komoditas pertanian di pasar internasional. Oleh karena itu, informasi dan teknologi
pertanian yang dibutuhkan petani semestinya juga mampu mengantisipasi berbagai
perubahan yang ada. Dengan demikian, informasi dan teknologi, bukan sekedar dapat
meningkatkan produktivitas, tetapi juga dapat meningkatkan kondisi sosial ekonomi mereka
khususnya petani beserta keluarganya. Berkait dengan masalah ekonomi keluarga tani, tidak
743
lepas dari pendapatan usahatani. Pendapatan petani adalah pendapatan yang diperoleh dari
seluruh cabang usahatani selama waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual
(Sukartawi, 1984).
Evaluasi terhadap dampak pengkajian dan diseminasi teknologi pertanian perlu
dilakukan secara periodik. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui
perkembangan yang terjadi di tingkat pengguna dalam menerapkan teknologi yang
diintroduksikan melalui kegiatan pengkajian dan diseminasi hasil pengkajian. Dengan
demikian, untuk perencanaan program pengkajian dan diseminasi hasil pengkajian teknologi
dapat tersusun sesuai dengan perubahan yang terjadi, baik dari para pengguna teknologi
maupun perubahan kebijakan yang ada di daerah.
METODOLOGI
A. Karakterisitik Petani
1. Umur petani
Umur berkaitan erat dengan kemampuan fisik petani dalam mengelola usahatani;
semakin tua umur seseorang, kemampuan fisiknya semakin berkurang. Sebaliknya,
seseorang yang masih muda, aktivitas dan kreativitas untuk melakukan sesuatunya
cenderung tinggi. Klasifikasi umur petani, dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sebaran umur petani kooperator dan non kooperator pada pengkajian SUP Padi di Kabupaten Sleman,
tahun 2004.
Kooperator Non - kooperator
No Klasifikasi umur (th)
Orang % Orang %
1 30 - 40 3 20,00 5 33,30
2 41 - 50 5 33,30 4 26,70
3 51 - 60 3 20,00 3 20,00
4 > 60 4 26,70 3 20,00
Jumlah 15 100,00 15 100,00
Sumber : Analisis data primer.
744
2. Tingkat pendidikan formal
Tingkat pendidikan formal yang ditempuh petani sangat beragam dari sekolah
dasar sampai tingkat lanjutan atas. Klasifikasi pendidikan formal petani kooperator dan non
kooperator dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik pendidikan formal petani pada kegiatan SUP Padi di Kabupaten Bantul, tahun2004.
Klasifikasi Kooperator Non-kooperator
No
pendidikan orang % orang %
1 SD 2 13,33 4 26,70
2 SLTP 5 33,33 4 26,70
3 SLTA 8 53,33 6 40,00
4 S-1 0 0 1 6,60
Jumlah 15 100 15 100
Sumber: Analisis data primer
Tebel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar luas garapan petani untuk tanaman padi
kurang dari 1 ha (petani kooperator) dan 1 – 2 ha (petani non-kooperator). Dengan
dukungan fasilitas pengairan yang baik, pekerjaan utama dan mata pencaharian yang
mengandalkan dari usahatani terutama padi, maka petani dengan gigih untuk dapat
mengintensifkan usahataninya secara baik, sesuai pedoman yang ada, termasuk program
SUP Padi.
Pengetahuan petani kooperator dan non kooperator pada program pengkajian SUP
Padi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Distribusi tingkat pengetahuan petani pada program SUP Padi di Kabupaten Bantul, tahun 2004.
Petani kooperator Petani
No Klasifikasi Sebelum Sesudah non-kooperator
skor orang (%) skor orang (%) skor orang (%)
1 Rendah 9 - 11 1 (6,66) 9 - 11 1 (6,66) 0 0 (0)
2 Sedang 12 - 14 0 (0) 12 - 14 0 (0) 0 0 (0)
3 Tinggi 15 - 18 14 (93,33) 15 - 18 14 (93,33) 18 15 (100)
Jumlah 15 (100%) 15 (100) 15 (100)
Sumber: Analisis data primer
745
Tabel 4 menunjukkan bahwa pengetahuan petani kooperator sebelum dan sesudah
program SUP Padi, pengetahuannya pada tataran tinggi. Hal ini menandakan bahwa petani
memahami semua komponen teknologi yang ada pada program yang diperkenalkan. Pada
petani kooperator tidak terjadi perubahan dari sebelum ke sesudah pengkajian. Teknologi
yang diperkenalkan sudah terdifusi ke kelompok di luar program SUP Padi.
Tingkat pengetahuan tentang SUP Padi Pada petani non-kooperator tingkat
tergolong tinggi. Hal ini karena tingginya motivasi dan kosmopolitan terutama untuk selalu
mencari informasi kepada penyuluh maupun kelompok yang sudah melakukan teknologi
SUP Padi. Teknologi yang diperkenalkan sudah terdifusi ke kelompok di luar program SUP
Padi.
Keragaan sikap petani terhadap introduksi teknologi pada program SUP Padi dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Distribusi sikap petani pada program SUP Padi di Kabupaten Bantul, tahun 2004.
Petani kooperator Petani
No Klasifikasi Sebelum Sesudah non-kooperator
skor orang %) skor Orang (%) skor Orang (%)
1 Kurang setuju 26 - 26,6 2 (13,33) 16 - 19 2 (13,33) 21- 23,3 1 (6,66)
2 Sedang 26,7-27,3 5 (33,33) 20 - 23 0 (0) 23,4 - 25,7 1 (6,66)
3 Sangat setuju 27,4 -28,0 8 (53,33) 24 - 28 13(86,66) 25,8 - 28,0 13 (86,66)
Jumlah 15 (100) 15 (100) 15 (100)
Sumber: Analisis data primer
746
E. Pendapatan petani
747
kebutuhan yang berbeda, (3) individu berfikir tentang masa depan dan membuat pilihan
tentang bagaimana bertindak, (4) individu memahami lingkungannya, (5) individu
memahami reaksi terhadap aksi dan (6) banyak faktor yang mempengaruhi sikap dan
perilaku.
Roger (1983) ada tiga peubah yang dapat digunakan untuk mengetahui perilaku
komunikasi, yaitu pencarian informasi, kontak dengan penyuluh dan keterdedahan pada
media massa.
Kosmopolitan petani pada penelitian ini merupakan tingkat hubungan petani dengan
dunia luar di luar sistem sosialnya sendiri ditandai dengan aktivitas mencari informasi yang
berhubungan dengan usahataninya melalui: (1) kontak dengan petani di daerah lain yang
memiliki pandangan luas tentang usahatani yang sama, (2) kontak dengan penyuluh, (3)
frekuensi membaca surat kabar, (4) frekuensi membaca majalah pertanian, (5) frekuensi
mendengar siaran radio tentang pertanian dan (6) frekuensi menonton siaran televisi
terutama siaran pertanian. Untuk mengetahui kosmopolitan di daerah penelitian disajikan
pada Tabel 8.
Tabel 8. Distribusi kosmopolitan petani pada Sistem Usaha Pertanian Padi di Kabupaten Bantul, tahun 2004.
Jumlah Petani
Tingkat
No Kooperator Non-kooperator
Kosmoplitan
skor orang % skor orang %
1 Kurang 6 – 10,3 3 20 6 - 10 3 20,00
2 Sedang 10,4 – 14,7 7 46,7 11 - 14 5 33,33
3 Tinggi 14,8 – 21,0 5 33,3 15 - 18 7 46,66
Jumlah 15 100 15 100
Sumber : Analisis data primer
Tabel 8 menunjukkan bahwa dari dua kelompok petani, yaitu petani kooperator,
ternyata sebagian besar (46,66%) dengan kosmopolitan sedang, dan petani non-kooperator
pada tataran tinggi. Pada petani kooperator, pada umumnya petani jarang melakukan kontak
dengan petani atau kelompok tani lainnya. Dinamika kelompok pada petani kooperator
sudah berjalan dengan baik, sehingga mereka saling memberi dan menerima berbagai
pendapat untuk kemajuan usahataninya. Sebaliknya pada petani non-kooperator, mereka
masih sering berhubungan dengan kelompok lain dan penyuluh pertanian untuk
mendiskusikan usahatani padi, terutama dalam hal teknologi SUP Padi.
Motivasi petani yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kekuatan atau dorongan
pada diri petani baik dari dalam ditinya maupun dari orang lain sehingga petani rela dan mau
berpartisipasi dalam sistem usaha tani padi, yang diukur dengan : (1) sumber motivasi petani
dari individu atau kelompok, (2) jumlah waktu yang disediakan untuk kegiatan SUP padi, (3)
kerelaan meninggalkan pekerjaan lain, (4) kerelaan mengeluarkan biaya untuk kegiatan SUP
padi, (5) ketekunan dalam mengerjakan kegiatan. Motivasi petani dalam berpartisipasi
dalam mendukung sistem usahatani padi disajikan pada Tabel 9 sebagai berikut :.
Tabel 9. Distribusi petani menurut motivasinya untuk berpartisipasi dalam Sistem Usaha Tani Padi di
Kabupaten Bantul, tahun 2004.
Jumlah Petani
Tingkat
No Kooperator Non- kooperator
Motivasi
Skor Orang % Skor Orang %
1 Rendah 9 – 14,6 3 20,00 10 – 15,3 2 13,3
2 Sedang 14,7 – 20,3 2 13,3 15,4 – 20,6 2 13,3
3 Tinggi 20,4 - 21 10 66,7 20,7 - 26 11 73,3
Jumlah 15 100 15 100
Sumber : Analisis data primer
748
Tabel 9 menunjukkan bahwa tingkat motivasi antara petani kooperator dan non
kooperator dalam katogori tingkat motivasi yang tinggi. Petani kooperator dengan persentase
66,7% dan petani non kooperator dengan presentase 73,3%. Sumber motivasi dari dalam
dirinya sendiri, berkeinginan untuk menerapkan teknologi SUP padi, bersedia meluangkan
waktu untuk menerapkan komponen teknologi SUP padi, dan untuk meninggalkan pekerjaan
lain, mengeluarkan biaya, dan ketekunan dalam mengerjakan kegiatan SUP padi petani
menyatakan bersedia atau rela. Hal ini menunjukkan bahwa motif petani untuk berpartisipasi
dalam SUP padi sudah kuat, karena masih ada motif-motif lain yang juga mendukung niat
petani untuk berpartisipasi dalam SUP padi, seperti petani rela meninggalkan pekerjaan lain,
nila waktunya bersamaan dengan kegiatan SUP padi dan petani sudah bersungguh-sungguh
dalam mengerjakan kegiatan penerapan komponen teknologi SUP padi.
H. Intensitas penyuluhan
Intensitas penyuluhan dalam penelitian ini diukur dengan : (1) frekuensi kehadiran
petani pada kegiatan penyuluhan, (2) cara penyampaian materi oleh penyuluh, (3) metode
penyuluhan yang digunakan, (4) frekuensi pertemuan penyuluh dengan petani secara
perorangan, dan (5) kesesuaian materi penyuluhan. Untuk mengetahui tingkat intensitas
penyuluhan ditunjukkan pada Tabel 10.
Tabel 10. Distribusi petani menurut tingkat intensitas penyuluhan pertanian dalam Sistem Usaha Pertanian
Padi di Kabupaten Bantul, tahun 2004.
No Tingkat Jumlah Petani
Intensitas Kooperator Non-kooperator
Penyuluhan skor orang % skor orang %
1 Jarang 10 – 14 9 60 10 – 12,5 4 26,7
2 Sering 15 - 18 6 40 12,6 – 15,0 11 73,3
Jumlah 15 100 15 100
Sumber : Analisis data primer
Tokoh masyarakat merupakan figure yang masih diakui keberadaanya dalam sistem
sosial masyarakat desa. Peran tokoh masyarakat yang diukur dalam penelitian ini adalah
besarnya pengaruh dari tokoh masyarakat yang mendorong petani untuk berpartisipasi dalam
sistem usahatani padi, dengan cara : (1) melaksanakan fungsi motivasi, (2) melaksanakan
fungsi partisipasi, (3) memberikan informasi mengenai SUT padi serta manfaat yang
diperoleh dengan menerapkan komponen SUT padi, dan (4) melaksanakan pengambilan
keputusan bersama petani. Penilaian petani terhadap peran tokoh masyarakat dan
keaktifannya dalam melaksanakan tugas dan fingsinya, disajikan pada Tabel 11.
749
Tabel 11. Distribusi Penilaian petani terhadap peran tokoh masyarakat (keaktifannya melaksanakan tugas dan
fungsinya) dalam kegiatan sistem usaha tani padi di Kabupaten Bantul, tahun 2004.
Jumlah Petani
Tingkat
No Kooperator Non- kooperator
Motivasi
Skor Orang % Skor Orang %
1 Rendah 6 – 11 2 13,30 7 – 11,6 2 13,30
2 Sedang 12 – 17 3 20,00 11,7 – 16,3 3 20,00
3 Tinggi 18 – 23 10 66,70 16,4 – 23 10 66,70
Jumlah 15 100 15 100
Sumber : Analisis data primer
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S., 2000. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, 2000. Evaluasi Efektifitas Diseminasi
Hasil Pengkajian di Yogyakarta. Laporan tahunan.
Mardikanto, T., 1991. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press,
Surakarta.
Rogers, E.M and Shoemaker, 1986. Diffusion of Inovation. The Free Press. New York.
Rachmat, P., 1999. Karakteristik Personal, Perilaku Komunikasi, Perilaku Wirausaha dan
Penyuluhan dalam Sistem Agribisnis Peternakan Ayam. Program Pasca Sarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sukartawi, A. Soeharjo, J.L. Dilhon dan J.B. Herdoker, 1984. Ilmu Usahatani dan Penelitian
untuk Pengembangan Petani Kecil. Indonesia University Press, Jakarta.
Sukartawi, 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia, Jakarta.
Wiriatmaja, 1975. Pokok-Pokok Penyuluhan Pertanian. Yasaguna. Jakarta.
750
PELUANG USAHA TANAMAN AKAR WANGI (Vetiveria zizanioidez) DI LAHAN
KERING KABUPATEN GUNUNGKIDUL
ABSTRAK
Tanaman Akar Wangi (Vetiveria zizanioidez) adalah komoditas yang cukup potensial khususnya di
dusun Karangpoh dan Kepek, desa Semin, Kabupaten Gunungkidul. Tanaman akar wangi memiliki banyak
manfaat antara lain dapat dibuat minyak akar wangi bahkan kadang-kadang secara tradsional masih digunakan
sebagai pengharum pakaian pada masyarakat pedesaan. Tanaman akar wangi memiliki peluang sebagi komoditas
agribisnis di dusun Karangpoh dan Kepek, desa Semin, kabupaten Gunungkidul. Tanaman ini tumbuh dan
berkembang di lahan kering dan tidak memerlukan perawatan khusus. Hasil tanaman akar wangi di daearh ini
dijual untuk memenuhi kebutuhan industri kerajinan akar wangi di daerah Kepek Gunungkidul.Industri
kerajianan akar wangi ini selain untuk konsumen dalam negeri juga luar negeri. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui pendapatan dan skala minimum usahatani tanaman akar wangi. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode survai berstruktur pada kelompok tani, desa Karangpoh dan Kepek, desa Semin, kabupaten
Gunungkidul. Pengambilan contoh petani dilakukan dengan menggunakan metode “Stratified Random Sampling”
berdasarkan luas usahatani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan yang diperoleh Rp. 317.875,- dan
skala mimium usahataninya adalah 0,52 ha.
Kata kunci : skala usahatani, minimum, akar wangi
PENDAHULUAN
Tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioidez) berasal dari Birma, India dan Srilangka,
namun tidak diketahui secara pasti sejak kapan tanaman akar wangi dibudidayakan di
Indonesia. Tanaman akar wangi tidak hanya digunakan di Indonesia tetapi sudah menyebar
ke Asia, Amerika, Afrika sampai Australia. Dengan demikian bangsa-bangsa di dunia ini
sedikit banyak telah mengetahui keberadaan tanaman akar wangi.
Tanaman akar wangi ditemukan tumbuh secara liar, setengah liar dan sengaja
ditanam diberbagai negara beriklim tropis dan subtropis. Tanaman akar wangi termasuk
keluarga Gramineae, berumpun lebat, akar tinggal bercabang banyak dan berwarna kuning
pucat atau abu-abu sampai merah tua. Rumpun tanaman akar wangi terdiri atas beberapa
anak rumpun yang nantinya dapat dijadikan bibit.
Tanaman akar wangi tumbuh baik pada tanah berpasir (antosol) atau pada tanah abu
vulkanik dilereng-lereng bukit. Pada tanah tersebut akan menyebabkan akar tanaamn
menjadi panjang dan lebat dan juga akar mudah dicabut tanpa ada yang tertinggal dan hilang.
Menurut Santosos (1993), tanaman akar wangi masih dapat tumbuh pada tanah-tanah liat
yang banyak mengandung air, namun kelemahannya, selain sulit dicabut, juga pertumbuhan
akar terhambat.
Tanaman akar wangi banyak ditanam untuk dimanfaatkan sebagai minyak akar
wangi, minyak ini sering dikenal dengan vetiver oil. Di Indonesia minyak akar wangi telah
mendapat sebutan java vetiver oil karena sebagian besar minyak itu diproduksi di Jawa Barat
dan Jawa Tengah.
Selain dimanfaatkan sebagai minyak, pada saat ini tanaman akar wangi
dimanfaatkan sebagai bahan baku industri kerajinan. Hasil kerajinan dari akar wangi ini
selain untuk konsumen dalam negeri juga luar negeri. Dengan adanya industri kerajinan dari
akar wangi, maka petani di dusun Karangpoh dan Kepek, desa Semin, kabupaten
Gunungkidul berusahatani tanaman akar wangi. Sebagian besar petani di dusun Kepek
(90%) berusahatani tanaman akar wangi dan membuat kerajinan dengan bahan baku akar
wangi. Namun dari usahatani akar wangi ini belum ada petani yang membuat minyak dari
751
akar wangi, karena belum adanya sentuhan teknologi di daerah tersebut dalam usaha
pembuatan minyak akar wangi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui skala mimimum dan keuntungan yang
diperoleh dari usaha budidaya tanaman akar wangi di dusun Karangpoh dan Kepek, desa
Semin, kabupaten Gunungkidul.
METODOLOGI
Untuk menentukan skala minimum usahatani akar wangi dianalisis dengan metode
Break Even Point (BEP) dengan rumus yang dikemukakan oleh Sigit (1979).
BEP = FC FC = Biaya tetap
1 - VC VC = Biaya Variable
R R = Nilai Produksi
Dari nilai BEP yang diperoleh kemudian digunakan untuk menentukan skala
minimum usahatani akar wangi dengan rumus sbb:
SMU = BEP SMU = Skala Minimum Usahatani
R R = Nilai Produksi
BEP digunakan untuk bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang
berhubungan dengan nilai produksi, biaya produksi dan keuntungan atau kerugian suatu
usaha.
Tanaman akar wangi termasuk tanamn yang mudah dibudidayakan, mudah dalam
pemeliharaan dan perbanyakan. Yang harus diperhatikan dalam berusahatani akar wangi
antara lain:
A. Pembibitan
Petani di dusun Karangpoh dan Kepek melakukan perbanyakan tanaman akar wangi secara
vegetatif yaitu dengan menggunakan bonggol-bonggol akar. Bonggol akar dapat diambil dari
tanaman dalam rumpun yang tidak berbunga, kemudian dipecah-pecah menjadi beberapa
bagian sehingga setiap pecahan bonggol memiliki mata tunas, kemudian dimasukkan dalam
polybag. Setelah 3-4 minggu kemudian tunas dan akar akan tumbuh merata dan siap untuk
dipindahkan ke kebun.
Kebutuhan bonggol bibit untuk lahan satu hektar sekitar dua ton dengan jarak tanam 0,75 x
0,75 meter atau 1 x 1 meter tergantung tingkat kesuburan tanah. Untuk satu lubang tanam
dibutuhkan 2-3 bonggol bibit.
B. Penanaman
Setelah 1,5 – 2,5 bulan pengolahan tanah, tanaman akar wangi baru dapat ditanam. Ukuran
lubang tanam, panjang 30 cm, lebar 30 cm dan kedalaman 10 cm. Pada setiap lubang tanam
diberi pupuk kandang sekurang-kurangnya satu bulan sebelum tanam dan tiap lubang diberi
pupuk kurang lebih 1 kg sehingga total kebutuhan pupuk 10 ton per hektar. Lubang tanam
yang telah diberi pupuk tersebut kemudian dibiarkan terbuka selama dua minggu agar
mendapat cahaya matahari.
Penanaman dilakukan pada bulan Oktober – Nopember, dengan jarak tanam untuk tanah
yang subur 1 x 1 meter, sedangkan untuk tanah yang kurang subur 0,75 x 0,75 meter.
Untuk lokasi yang miring perlu dibuat terasering.
752
Tanaman akar wangi sangat baik untuk menyelamatkan lingkungan karena tanaman akar
wangi dapat melindungi pematang sungai sungai, tembok teraseing, melindungi tepi jalan,
melindungi sekitar jembatan, melindungi sekitar irigasi dan melindungi dam.
C. Pemeliharaan
Sekitar 2-3 minggu setelah tanam dilakukan penyulaman, yang dimaksudkan untuk
mengetahui jumlah tanaman yang sesungguhnya sehingga dapat memprediksi produk yang
dihasilkan. Agar pertumbuhan bibit sulaman itu tidak jauh tertinggal dengan tanamn yang
lain sebaiknya dipilih bonggol bibit yang baik.
Pada umur tiga bulan setelah tanam, penyiangan sangat perlu dilakukan agar
pertumbuhan tanaman akar wangi tidak kerdil atau terhambat. Penyiangan berikutnya
dilakukan pada awal maupun akhir musim penghujan.
Pupuk yang digunakan oleh petani di dusun Karangpoh dan Kepek adalah pupuk
kandang dan urea. Pupuk kandang diberikan sebelum tanam, sedangkan pupuk urea
diberikan dua kali yaitu pada saat tanaman berumur tiga bulan dan sembilan bulan. Pupuk
diberikan secara melingkar sedalam 10 cm dan ditutup kembali dengan tanah.
Di dusun Karangpoh dan Kepek pemangkasan tanaman akar wangi dilakukan tiga
bulan sekali atau enam bulan sekali, hal ini sangat cocok dilakukan karena dapat
meningkatkan hasil sekitar 10%, sedangkan untuk dataran rendah tidak perlu pemangkasan
karena akan menurunkan hasil (Santoso, 1993).
D. Panen
Umur panen tananaman akar wangi adalah 8-9 bulan, apabila lambat panen akan
menyebabkan akar tanaamn tidak baik penampilannya sehingga untuk industri kerajinan hal
ini sangat dihindari agar kerajinan yang dihasilkan memiliki kenampakan yang baik sehingga
akan dapat lebih menarik konsumen.
Produksi tanaman akar wangi seluas satu hektar berkisar 20-50 ton akar basah,
setelah dikeringkan susut menjadi 12-14 ton akar kering, jadi rendemen akar wangi sekitar
60%.
E. Pasca Panen
Pengeringan dilakuan dengan sinar matahari (manual) selama 7-10 hari, tujuan
pengeringan untuk menghilangkan kandungan air yang ada dalam akar. Akar wangi yang
digunakan sebagai bahan baku industri kerajinan tidak membutuhkan ketelitian dalam
pengeringan. Namun apabila akar wangi akan dibuat minyak wangi maka perlu penanganan
yang lebih teliti agar senyawa-senyawa polifenol yang ada dalam akar wangi tidak hilang
karena senyawa polifenol ada yang bersifat mudah menguap (ernest Guenther, 1990). Akar
wangi dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku minyak atsiri, karena minyak atsiri dapat
dibuat batang dan akar (Ketaren, 1978)
Di dusun Karangpoh dan Kepek, tanaman akar wangi adalah bahan baku industri
kerajinan. Kerajinan akar wangi di dusun tersebut memiliki nilai seni yang tinggi. Hal ini
terbukti dengan banyaknya pesanan yang ada. Pemasaran hasil industri dilakukan ke kota-
kota besar seperti Yogyakarta, Surabaya, Jakarta dan Bali. Hasil pembuatan kerajinan tangan
ini mendatangkan keuntungan yang cukup besar sehingga hampir sebagian besar penduduk
(90%) berusahatani akar wangi.
F. Analisa Usaha
Tanaman akar wangi banyak dibudidayakan masyarakat dusun Karangpoh dan
Kepek, desa Semin, kabupaten Gunungkidul. Hampir 90% penduduk dusun Kepek
menanam sekaligus menjadi pengrajin akar wangi. Tanaman akar wangi banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk dibuat berbagai macam kerajinan (buaya, gajah, singa,
753
vas bunga daln lain-lain) yang kemudian dijual ke kota-kota besar. Sehingga budidaya
tanaman akar wangi dirasakan memberikan keuntungan yang cukup. Harga akar wangi basah
mencapai Rp. 5.000/kg, sedangkan akar wangi kering Rp. 15.000/kg. Untuk mengetahui
biaya dan keuntungan usahatani akar wangi seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisa biaya usahatani akar wangi
KESIMPULAN
Usahatani akar wangi di dusun Karangpoh dan Kepek, desa Semin, kabupaten
Gunungkidul mempunyai prospek untuk dikembangkan. Berdasarkan analisis usahatani akar
wangi dengan luasan 0,2 ha dapat memberikan pendapatan sebesar Rp. 317. 875. Pendapatan
ini masih dibawah nilai break Even Point yaitu Rp. 786.075, hal ini disebabkan skala usaha
masih dibawah skala usaha minimum yaitu sebesar 0,52 ha.
SARAN
Perlu adanya sentuhan teknologi pembuatan minyak akar wangi di dusun Karangpoh
dan Kepek, guna menciptakan diversifikasi produk tanaman akar wangi di daerah tersebut
sehingga akan dapat lebih meningkatkan nilai ekonomi tanaman akar wangi dan sekaligus
meningkatkan pendapatan petani.
DAFTAR PUSTAKA
754