Anda di halaman 1dari 395

Seminar Nasional 2005

PENGARUH PENGGUNAAN ASAM CUKA TERHADAP RENDEMEN PRODUKSI


MINYAK KELAPA MURNI (VIRGIN COCONUT OIL)

Destialisma
Staf Peneliti pada BPTP Bali

ABSTRAK

Pembuatan minyak kelapa murni (Virgin Coconut oil) dapat dilakukan melalui beberapa cara,
diantaranya melalui cara fermentasi, secara mekanis atau dengan penambahan asam. Pengkajian penggunaan
asam cuka untuk melihat pengaruhnya terhadap rendemen minyak kelapa murni yang dihasilkan telah dilakukan
laboratorium di BPTP Bali pada bulan Juni 2005. Pengkajian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak
lengkap (RAL) dengan 4 ulangan. Perlakuan yang diterapkan adalah penambahan asam cuka sebanyak: 1) 1%, 2)
2%, 3)3%, 4)4% dan 5)5% dari total krim santan. Paramater yang diamati adalah berat awal kelapa, jumlah krim
santan yang terbentuk, jumlah minyak kelapa murni yang diperoleh, jumlah minyak goreng yang diperoleh,
jumlah total minyak yang diperoleh dan jumlah rendemen minyak yang diperoleh. Hasil pengkajian menunjukkan
penggunaan asam cuka menghasilkan rendemen minyak kelapa murni rata-rata sebesar 5.96% dengan rendemen
tertinggi 7.02% diperoleh dari perlakuan dengan penambahan asam cuka sebanyak 1%. Sementara rendemen
minyak total yang diperoleh relatif cukup tinggi, yaitu mencapai rata-rata 19.52 persen dengan rendemen tertinggi
diperoleh dari perlakuan dengan penambahan asam cuka sebanyak 2 persen yang menghasilkan rendemen sebesar
20.69 persen. Selain itu juga diperoleh minyak goreng.
Kata kunci : penggunaan asam cuka, minyak kelapa murni

PENDAHULUAN

Hasil penelitian dari beberapa ahli ahir-ahir ini menunjukkan bahwa minyak kelapa
merupakan minyak yang tersehat dibandingkan minyak-minyak lainnya. Hal ini menepis isu
yang selama ini beredar bahwa minyak kelapa adalah penyebab penyakit aterosklerosis
(Penyumbatan pembuluh darah) (Kompas, 2004). Akan tetapi minyak kelapa yang dimaksud
adalah minyak kelapa murni (Virgin Coconut Oil).
Minyak Kelapa Murni (virgin coconut oil) adalah minyak yang dibuat dengan
menggunakan bahan baku kelapa segar berupa santan atau parutan kelapa yang diproses
dengan perlakuan mekanis dan pemakaian panas minimal. Cara ini dimaksudkan untuk
mempertahankan struktur bahan kimia tanaman yang terjadi secara alami. Ciri-ciri minyak
kelapa murni ini adalah bening (tidak berwarna), memiliki aroma dan rasa khas buah kelapa
(Alam Syah, 2005).
Rindengan dan Novarianto (2004), menyatakan bahwa terdapat berbagai cara untuk
membuat minya kelapa murni. Salah satu cara pembuatan minyak kelapa murni yang banyak
dilakukan saat ini adalah dengan fermentasi. Proses fermentasi dimaksudkan untuk dapat
mengekstrak minyak dari dalam santan. Untuk itu perlu terlebih dahulu mengatur kondisi
awal sehingga proses fermentasi dapat berlangsung dengan sempurna. Salah satu cara yang
dapat dilakukan adalah menambahkan asam kedalam santan sebelum fermentasi
berlangsung. Dengan demikian diharapkan ekstraksi minyak dalam santan dapat terjadi
secara optimal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh penambahan asam
cuka terhadap rendemen produksi minyak kelapa murni yang dihasilkan.

MATERI DAN METODE

Pengkajian dilakukan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali pada


bulan Juni 2005, dengan menggunakan bahan baku berupa kelapa tua yang dari pasar dan
asam cuka glasial (98%). Sedang alat-alat yang digunakan terdiri dari alat pemarut, saringan,
baskom, ember transparan, panci, gelas ukur, botol dan wajan penggoreng.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 360
Seminar Nasional 2005

Pengkajian dilakukan dengan metode Rancangan Acak Lengkap (Steel and Torrie,
1991) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Sebagai perlakuan adalah jumlah asam cuka yang
ditambahkan kedalam santan yaitu masing-masing: 1) 1%, 2) 2%, 3) 3%, 4) 4% dan 5)5%
dari total krim santan.
Parameter yang diamati adalah berat awal kelapa, jumlah santan kental (krim) yang
terbentuk, jumlah minyak kelapa murni, jumlah minyak goreng dan jumlah minyak total
yang diperoleh serta rendemen minyak kelapa murni, minyak goreng dan minyak total yang
diperoleh.
Pengukuran variable jumlah santan kental (krim) dan jumlah minyak yang diperoleh
dilakukan dengan cara langsung mengukurnya dengan gelas ukur dan timbangan. Sementara
Rendemen dihitung dengan rumus:

Jumlah Minyak yang diperoleh (ml)


Rendemen = x 100%
Bobot Kelapa Awal
(g)
Pengkajian dilakukan dengan cara memarut daging buah kelapa, kemudian,
menambahkan air hangat (suam-suam kuku) dan memeras kelapa sehingga dihasilkan
santan. Selanjutnya santan yang diperoleh didiamkan selama kurang lebih 4 jam.
Penambahan air dan pemerasan santan dilakukan berulang-ulang dengan jumlah air
secukupnya sehingga tidak ada lagi santan tersisa dalam kelapa parut. Selanjutnya krim
santan yang terbentuk dipisahkan. Selanjutnya dicampur dengan perlakuan asam cuka.
Kemudian campuran ini difermentasi selama kurang lebih 24 jam, sehingga krim santan akan
terpisah menjadi 3 bagian, yaitu: (1) minyak kelapa murni pada lapisan teratas; (2) blondo
putih pada lapisan tengah; dan (3) air pada lapisan terbawah. Masing-masing lapisan ini
kemudian dipisahkan. Blondo putih selanjutnya dipanaskan diatas api sehingga diperoleh
minyak goreng.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berat Awal Kelapa


Berat awal kelapa yang dipakai dalam pengkajian Disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Berat Awal Kelapa (gram)

Ulangan
Penambahan Asam cuka Jumlah
1 2 3 4
1% 660 660 650 650 2,620
2% 660 660 650 650 2,620
3% 660 660 650 650 2,620
4% 660 660 650 650 2,620
5% 660 660 650 650 2,620
Rata-rata 660 660 650 650 655
Sumber : Hasil pengamatan

Dari tabel 1. terlihat bahwa rata-rata berat kelapa yang digunakan adalah 655 gram
per buah. Jumlah ini relatif besar, mengingat jenis kelapa yang digunakan adalah jenis
"kelapa dalam" yang memang merupakan jenis kelapa yang pada umumnya dipakai untuk
pembuatan minyak. Pada umumnya kelapa dalam jenis yang besar (Grade A) memiliki berat
daging buah antara 500 – 750 gram per butirnya. Selain memiliki daging yang tebal dan
berwarna putih bersih. Di Bali pada umumnya banyak tumbuh jenis kelapa dalam dan

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 361
Seminar Nasional 2005

turunannya. Bahkan salah satu sumber plasma nutfah „kelapa dalam‟ berasal dari Bali dan
dikenal dengan nama
"Kelapa Dalam Bali", kelapa jenis ini terkenal mengandung kadar minyak cukup
tinggi. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Balitka bekerjasama dengan IPB
didapatkan bahwa kadar minyak dari kelapa dalam lokal cukup tinggi, yaitu berkisar antara
59.63 – 60.37% pada umur panen 11 -12 bulan (Rindengan dan Novarianto, 2004)

Jumlah Santan Kental (Krim) yang Terbentuk


Hasil pengkajian menunjukkan jumlah santan kental yang terbentuk untuk masing-
masing butir kelapa berbeda (Tabel 2).
Tabel 2. Jumlah Santan Kental/Krim (ml) / Butir Kelapa

Ulangan
PenambahanAsam cuka Jumlah
1 2 3 4
1% 460 410 410 340 1,620
2% 600 430 390 360 1,780
3% 500 420 460 360 1,740
4% 510 410 410 380 1,710
5% 460 467 480 270 1,677
Rata-rata 506 427 430 342 426
Sumber : Data primer yang diolah

Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah krim rata-rata yang diperoleh sebesar 426 ml.
Santan hasil pemerasan perutan kelapa adalah sistem emulsi sementara antara minyak
dengan air. Winarno (2002) mengatakan, bila emulsi sementara dibiarkan maka partikel-
pertikel minyak akan kembali bergabung dan memisahkan diri dari molekul air. Dengan
pendiaman selama 4 jam, maka emulsi santan akan mengalami pemisahan menjadi dua fase
yang berbeda yaitu fase krim dan fase skim. Skim yang didominasi oleh air akan menempati
bagian bawah, sedang krim yang didominasi oleh partikel yang mengandung minyak akan
naik ke permukaan (Dean, 1960).
Jumlah krim santan yang diperoleh tergantung pada kandungan minyak yang
terdapat dalam kelapa. Semakin banyak kandungan minyak, maka krim yang terbentuk akan
semakin banyak. Akan tetapi untuk menghasilkan krim santan yang tinggi diperlukan
kemampuan untuk mengeluarkan/mengekstraknya dari kelapa parut. Kemampuan
mengekstrak ini dipengaruhi oleh penggunaan air hangat dan kekuatan memeras. Air hangat
akan lebih mampu mengekstrak santan dibanding air dingin karena air hangat lebih dapat
melarutkan lemak. Sementara tenaga yang kuat akan lebih mampu mengekstrak krim santan
dari parutan kelapa dibandingakan tenaga yang kurang kuat.

Jumlah Minyak Kelapa Murni Yang Diperoleh


Minyak kelapa Murni diperoleh dari ekstraksi minyak dari krim santan. Krim santan
adalah emulsi minyak dalam air yang kelilingi oleh lapisan protein sebagai pelindungnya.
Lapisan protein ini dapat terputus dan terbuka dengan melalui pemanasan atau penggunaan
asam (Johannes, 1974). Apabila lapisan protein terbuka maka minyak akan keluar dan naik
ke permukaan, meninggalkan blondo yang merupakan bahan yang sangat kaya akan protein.
Pada pengkajian ini keluranya minyak dari lapisan proteinnya kemungkinan disebabkan oleh
penambahan asam cuka. Penambahan asam cuka akan memberikan suasana asam pada krim
santan yang menyebabkan pH krim menjadi kurang lebih 4.5. Dengan kondidi ini, diduga
protein dalam krim mencapai titik iso elektrik sehingga menyebabkan protein terpecah dan
minyak keluar dari pelindungnya. Selain dari penambahan asam cuka, juga terdapat asam-
asam lain yang terbentuk akibat dari fermentasi spontan yang terjadi pada krim santan.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 362
Seminar Nasional 2005

Jumlah minyak kelapa murni yang diperoleh disajikan dalam Tabel 3. Dari Tabel 3.
terlihat bahwa rata-rata jumlah minyak kelapa murni yang diperoleh adalah sebanyak 39.06
ml per kelapa. Jumlah minyak kelap murni ini belum memadai karena Rindengan dan
Novarianto (2004) menyebutkan bahwa 1 liter minyak kelapa murni dapat diperoleh dari 10
– 17 butir kelapa. Akan tetapi dari proses ini, didapatkan hasil sampingan berupa minyak
goreng.
Tabel 3. Jumlah Minyak Kelapa Murni yang Diperoleh (ml) Kelapa

Ulangan
Perlakuan Jumlah
1 2 3 4
1% 57 28 12 88 184,00
2% 60 72 9 26 167,00
3% 53 47 25 16 141,00
4% 67 35 11 43 156,00
5% 66 29 5 35 134,00
Jumlah 303 210 61 207 781,00
Rata-rata 61 42 12 41 39.06
Sumber : Data primer yang diolah

Jumlah Minyak Goreng yang Diperoleh


Minyak goreng diperoleh melalui ekstrasi blondo santan dengan menggunakan
pemanasan. Blondo santan hasil pemisahan minyak murni terdiri dari sisa emulsi dan juga
protein yang didapatkan dari pemisahan miinyak murni. Emulsi yang tidak terpecah dengan
santan dapat lebih lanjut dipecah dengan menggunakan pemanasan. (Johannes, 1974).
Dengan demikian, minyak yang masih terdapat dalam emulsi dapat terekstrak. Pemecahan
emulsi melalui pemanasan ini jauh lebih efektif dari pemecahan dengan penggunaan asam.
Hal ini dapat dilihat dari lebih banyaknya jumlah minyak goreng dibandingkan dengan
jumlah minyak kelapa murni yang diperoleh. Akan tetapi minyak goreng ini dianggap
memiliki kualitas yang lebih rendah dari minyak kelapa murni, karena beberapa vitamin dan
asam lemak jenuhnya hilang akibat pemanasan. Jumlah minyak goreng yang diperoleh dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah Minyak Goreng yang Diperoleh (ml)

Ulangan
Perlakuan Jumlah
1 2 3 4
1% 78 105 57 103 342,00
2% 112 60 103 101 376,00
3% 65 88 100 114 367,00
4% 70 105 107 96 378,00
5% 71 45 105 94 315,00
Jumlah 396 403 472 507 1.777,00
Rata-rata 79 81 94 101 88,85
Sumber : Data primer yang diolah

Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah minyak goreng yang diperoleh adalah
sebanyak 88.85 ml per kelapa.

Jumlah Minyak Total yang Diperoleh


Minyak total diperoleh dari penambahan minyak kelapa murni dan minyak goreng.
Jumlah minyak goreng yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 5.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 363
Seminar Nasional 2005

Tabel 5. Jumlah Minyak Total yang Diperoleh (ml)

Penambahan asam Ulangan


Jumlah
cuka 1 2 3 4
1% 135 132 69 190 526
2% 172 132 112 127 543
3% 118 135 125 130 508
4% 137 140 118 139 534
5% 137 74 109 129 449
Jumlah 699 613 533 714 2.558
Rata-rata 140 123 107 143 128
Sumber : Data primer yang diolah

Seperti terlihat pada Tabel 5. rata-rata jumlah minyak total yang diperoleh adalah
sebanyak 128 ml per kelapa atau mencapai kurang lebih 3.84 liter per 30 butir kelapa.
Jumlah ini sedikit diatas rata-rata minyak yang diperoleh melalui suatu penelitian di Balitka,
dimana masih 30 butir kelapa menghasilkan 37.5 liter minyak (Rindengan dan Novarianto,
2004)

Rendemen Minyak Yang Dihasilkan


Rendemen selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6. Dari Tabel 6, terlihat bahwa
rendemen rata-rata minyak kelapa murni, minyak goreng dan minyak total adalah berturut-
turut : 5.95, 13.98 dan 19.52 persen. Rendemen minyak yang dihasilkan berbanding lurus
dengan jumlah masing-masing minyak yang dihasilkan.
Dari hasil uji statistik dengan menggunakan anova, tidak terdapat pengaruh nyata
antara perlakuan penambahan asam cuka terhadap masing-masing rendemen minyak kelapa
murni, rendemen minyak goreng maupun rendemen minyak total. Akan tetapi didapatakan
rendemen tertinggi sebesar 7.03 persen untuk minyak kelapa murni dengan perlakuan
penambahan 1 persen asam cuka dari total krim. Rendemen ini masih belum optimal, akan
tetapi dari proses produksi ini juga dihasilkan hasil samping berupa minyak goreng.
Sementara untuk minyak total, rendemen tertinggi sebesar 20.69% diperoleh dari perlakuan
penambahan 2 persen asam cuka dari total krim.
Tabel 6. Rendemen Minyak Yang diperoleh (%)

Rendemen Minyak bening Rendemen Minyak goreng Rendemen Minyak total


Penambahan
Rata- Rata- Rata-
Asam Cuka 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
rata rata rata
1% 8,64 4,17 1,85 13,46 7,03 11,82 15,83 8,77 15,77 13,05 20,45 20,00 10,62 29,23 20,08
2% 9,09 10,91 1,32 4,00 6,33 16,97 9,09 15,85 15,54 14,36 26,06 20,00 17,17 19,54 20,69
3% 8,03 7,12 3,85 2,46 5,36 9,85 13,33 15,38 17,46 14,01 17,88 20,45 19,23 19,92 19,37
4% 10,15 5,30 1,69 6,54 5,92 10,61 15,91 16,46 14,77 14,44 20,76 21,21 18,15 21,31 20,36
5% 10,00 4,32 0,69 5,38 5,10 10,76 6,82 16,08 14,46 12,03 20,76 11,14 16,77 19,85 17,13
Rata-rata 9,18 6,36 1,88 6,37 5,95 12,00 12,20 14,51 15,60 13,58 21,18 18,56 16,39 21,97 19,52

KESIMPULAN

Uji statistik menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan atas perlakuan
penambahan cuka terhadap rendemen minyak yang dihasilkan.
Dari Pengkajian diperoleh rendemen produksi minyak kelapa murni rata-rata sebesar
5.95%, dengan rendemen tertinggi sebesar 7.03% diperoleh dari perlakuan penambahan
asam cuka 1%. Rendemen ini belum optimal, akan tetapi dari proses ini diperoleh hasil
samping berupa minyak goreng.
Total minyak diperoleh mencapai rendemen rata-rata sebesar 19.52%. rendemen
tertinggi total minyak sebesar 20.69% diperoleh dari perlakuan dengan penambahan asam
cuka 2%. Jumlah ini relatif tinggi dibandingkan dengan cara pembuatan minyak biasa yang
dilakukan selama ini.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 364
Seminar Nasional 2005

DAFTAR PUSTAKA

Alam Syah, A.N., 2005. Virgin Coconut Oil, Minyak Penakluk Aneka Penyakit. Agromedia
Pustaka. Jakarta
Dean, R.S. 1960. Modern Colloid. D. Van Nostrand Company Inc., New York
Johannes, H. 1974. Kimia Koloid dan Kimia Permukaan. Universitas Gajah Mada,
Jogyakarta
Kompas. 29 Juli 2001. Minyak Kelapa Oke. Diakses dari "http://www.kompas.com" Selasa,
2 Nopember 2004
Rindengan, B dan Hengki N. 2004. Pembuatan dan Pemanfaatan Minyak Kelapa Murni.
Penebar Swadaya, Jakarta
Steel, R.G.D and Torrie. 1994. Prinsip dan Prosedur Statistik. Diterjemahkan oleh Bambang
Sumantri. Edisi Kedua. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 365
Seminar Nasional 2005

PENGARUH PENGGUNAAN STARTER AIR KELAPA TERHADAP


RENDEMEN PRODUKSI MINYAK KELAPA

Destialisma
Staf Peneliti pada BPTP Bali

ABSTRAK

Berbagai starter dapat digunakan untuk pembuatan minyak kelapa dengan teknik fermentasi. Dengan
ketersediaannya yang cukup banyak dan hampir tidak memiliki nilai ekonomis, air kelapa dapat dimanfaatkan
sebagai starter bagi pembuatan minyak kelapa dengan cara fermentasi. Pengkajian untuk melihat pengaruh
penggunaan starter air kelapa terhadap rendemen minyak kelapa yang dihasilkan telah dilakukan di BPTP Bali
pada bulan Juni 2005. Pengkajian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4
ulangan. Perlakuan yang diterapkan adalah penambahan starter air kelapa sebanyak: 1) 5%; 2) 7.5%; 3)10%;
4)12.5%; dan 5)15% dari total krim santan. Paramater yang diamati adalah berat awal kelapa, jumlah krim santan
yang terbentuk, jumlah blondo yang diperoleh, jumlah minyak kelapa serta rendemen yang diperoleh. Secara
statistik, hasil pengkajian menunjukkan bahwa jumlah penambahan starter air kelapa yang digunakan tidak
berpengaruh nyata terhadap rendemen minyak yang dihasilkan. Rendemen rata-rata yang diperoleh adalah
sebesar 21.86% dengan rendemen tertinggi sebesar 22.75% diperoleh dari perlakuan dengan penambahan starter
air kelapa sebanyak 12.5%.
Kata Kunci : Minyak kelapa, fermentasi, starter, air kelapa, rendemen

PENDAHULUAN

Minyak kelapa merupakan produk utama yang paling sering dibuat oleh petani
kelapa. Secara tradisonal pembuatan minyak kelapa dilakukan dengan mengektraksi minyak
dari santan kelapa dengan pemanasan sehingga diperoleh minyak dan ampas minyak.
Minyak kelapa yang diperoleh dikenal dengan sebutan minyak kelentik. Ciri-ciri minyak
kelentik adalah berbau khas minyak kelapa dan berwarna jernih hingga berwarna agak
kekuningan (Setiaji dan Sugiharto, 1981). Namun pembuatan minyak dengan cara tradisonal
ini memiliki kelemahan yaitu banyak menghabiskan kayu api/bahan bakar, karena proses
pemasakannya berlangsung cukup lama (kurang lebih 3 jam untuk 10 butir kelapa).
Perbaikan teknologi yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelemahan pembuatan
minyak secara tradisonal ini adalah melalui teknik fermentasi (Rindengan dan Novarianto,
2004). Fermentasi adalah suatu proses ekstraksi minyak dari santan segar yang dilakukan
dengan penambahan starter. Starter yang mengandung senyawa pemecah protein akan
memecah emulsi dalam santan sehingga minyak sebagian terektraksi, sementara sebagian
lagi tetap harus diektraksi dengan menggunakan panas. Akan tetapi, berbeda dengan
pembuatan minyak tradisonal, penggunaan panas dalam proses fermentasi ini jauh lebih
sedikit karena santan yang dipanaskan sudah berupa krim santan (santan kental) dan tidak
lagi bercampur dengan air yang sengaja ditambahkan untuk mengeluarkan santan dari kelap
parut. Selain itu minyak yang dihasilkan dengan cara ini biasanya memiliki mutu lebih baik
dan warna lebih jernih.
Salah satu jenis starter yang dapat digunakan dalam pembuatan minyak kelapa
adalah air kelapa. Air kelapa merupakan media tumbuh yang baik bagi mikroba terutama
dari kelompok bakteri (Ketaren dan Jatmiko, 1985). Air kelapa mengandung senyawa karbon
dan nitrogen yang dibutuhkan bagi pertumbuhan mikroba. Mikroba-mikroba ini kemudian
akan merubah gula dalam air kelapa menjadi senyawa asam yang akan menyebabkan minyak
terektraksi.

Tujuan
Tujuan pengkajian adalah untuk melihat pengaruh penambahan starter air kelapa
terhadap rendemen produksi minyak kelapa yang dihasilkan melalui proses fermentasi.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 366
Seminar Nasional 2005

Metodologi
Pengkajian dilakukan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali pada
bulan Juni 2005. Bahan Baku yang digunakan adalah kelapa tua yang berumur kurang lebih
10 –12 bulan yang ditandai dengan kulit yang sudah berwarna kecoklatan dan air kelapa.
Alat yang digunakan adalah golok, alat pencungkil kelapa, alat pemarut, saringan, baskom,
ember transparan, panci, gelas ukur, botol dan wajan penggoreng.
Rancangan percobaan yang dipakai adalah Rancangan Acak Lengkap (Steel and
Torrie, 1991) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Sebagai perlakuan adalah jumlah air kelapa
yang ditambahkan sebagai starter yaitu masing-masing: 1) 5%; 2) 7.5%; 3) 10%; 4) 12.5%;
dan 5)15% dari total krim santan.
Parameter yang diamati adalah berat awal kelapa, jumlah santan kental (krim) yang
diperoleh, jumlah blondo yang diperoleh, jumlah minyak yang diperoleh dan rendemen
minyak yang diperoleh.
Pengukuran variable jumlah santan kental (krim), jumlah minyak dan jumlah blondo
yang diperoleh dilakukan dengan cara langsung mengukurnya dengan gelas ukur dan
timbangan. Sedang Rendemen minyak diukur dengan rumus :

Jumlah Minyak yang diperoleh (ml)


Rendemen = x 100%
Bobot Kelapa Awal (g)

Pengkajian dilakukan dengan cara memarut daging buah kelapa, kemudian,


menambahkan air hangat (suam-suam kuku) dan memeras kelapa sehingga dihasilkan
santan. Selanjutnya santan yang diperoleh didiamkan selama kurang lebih 4 jam.
Penambahan air dan pemerasan santan dilakukan berulang-ulang dengan jumlah air
secukupnya sehingga tidak ada lagi santan tersisa dalam kelapa parut. Selanjutnya santan
akan terpisah menjadi 3 bagian yaitu : (1) krim santan pada lapisan teratas; (2) skim pada
lapisan tengah; dan (3) endapan pada lapisan terbawah. Selanjutnya krim santan dipisahkan
dan dicampur dengan air kelapa yang telah dibiarkan terbuka selama kurang lebih 4 jam.
Kemudian campuran ini difermentasi selama kurang lebih 24 jam, sehingga krim santan akan
terpisah menjadi 3 bagian, yaitu: (1) minyak bening pada lapisan teratas; (2) blondo putih
pada lapisan tengah; dan (3) air kelapa pada lapisan terbawah. Masing-masing lapisan ini
kemudian dipisahkan. Blondo putih selanjutnya dipanaskan diatas api sehingga diperoleh
minyak dan blondo coklat. Minyak yang terbentuk lalu dipisahkan dan dicampur dengan
minyak bening yang diperoleh langsung dari proses fermentasi, selanjutnya dipanaskan
kembali selama kurang lebih 10 menit untuk mengurangi kadar airnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berat Awal Kelapa


Berat awal kelapa yang dipakai dalam pengkajian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Berat Awal Kelapa (Gram)

Ulangan
Penambahan Air Kelapa Jumlah
1 2 3 4
5% 701 701 701 701 2.804
7,50% 701 701 701 701 2.804
10% 701 701 701 701 2.804
12,50% 701 701 701 701 2.804
15% 701 701 701 701 2.804
Jumlah 3.505 3.505 3.505 3.505 14.020
Rata-rata 701 701 701 701 701

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 367
Seminar Nasional 2005

Dari tabel 1. terlihat bahwa rata-rata berat kelapa yang digunakan adalah 701 gram
per kelapa. Besarnya berat awal kelapa ini adalah disebabkan jenis kelapa yang digunakan
adalah jenis „kelapa dalam‟. Kelapa Dalam sangat cocok digunakan dalam pembuatan
minyak karena jenis „kelapa dalam‟ terkenal mengandung kadar minyak cukup tinggi, yaitu
sekitar 59.63 – 60.37% (Rindengan dan Novarianto, 2004). Pada umumnya „kelapa dalam‟
jenis besar (Grade A) memiliki berat daging buah antara 500 – 750 gram per butirnya. Di
Bali banyak tumbuh jenis kelapa dalam dan turunannya. Bahkan salah satu sumber plasma
nutfah „kelapa dalam‟ berasal dari Bali dan dikenal dengan nama „Kelapa Dalam Bali‟.

Jumlah Santan Kental (Krim) Yang Diperoleh


Meski berat rata-rata kelapa yang digunakan sama, akan tetapi jumlah krim santan
(santan kental) yang diperoleh untuk masing-masing butir kelapa berbeda. Hasil
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Dari Tabel 2, jumlah krim rata-rata yang diperoleh adalah sebesar 417.45 ml. Jumlah
krim berasal dari hasil pendiaman santan selama kurang lebih 4 jam. Santan adalah sistem
emulsi sementara (emulsi temporer) antara minyak dengan air. Apabila emulsi sementara
dibiarkan selama beberapa saat, maka partikel-pertikel minyaknya akan kembali bergabung
dan memisahkan diri dari molekul air (Winarno, 2002). Dengan pendiaman selama 4 jam,
maka emulsi santan akan mengalami pemisahan menjadi dua fase yang berbeda yaitu fase
krim dan fase skim. Krim yang banyak mengandung partikel minyak sesuai dengan berat
jenisnya akan naik ke permukaan, sementara, skim yang didominasi oleh partikel air akan
menempati bagian bawah (Dean, 1960).
Tabel 2. Jumlah Santan Kental/Krim Yang Terbentuk (ml)

Ulangan
Penambahan Air Kelapa Jumlah
1 2 3 4
5% 510 392,0 400 600 1.902,00
7,50% 280 437,0 400 435 1.552,00
10% 420 234,0 400 330 1.384,00
12,50% 410 400,0 390 480 1.680,00
15% 415 446,0 400 570 1.831,00
Jumlah 2.035 1.909,0 1.990 2.415 8.349,00
Rata-rata 407 381,8 398 483 417,45

Jumlah krim santan yang diperoleh tergantung pada kemampuan untuk


mengeluarkan/mengekstraknya dari kelapa parut. Kemampuan ini dipengaruhi oleh
penggunaan air hangat dan kekuatan memeras. Penggunaan air hangat lebih dapat
mengekstrak santan dibanding air dingin karena air hangat lebih dapat melarutkan lemak.
Disamping itu kekuatan memeras sangat ditentukan oleh tenaga yang tersedia. Semakin kuat
tenaga yang digunakan untuk memeras, semakin banyak krim santan yang dapat diekstrak.
Selain itu, kandungan minyak yang terdapat dalam kelapa juga akan mempengaruhi.
Semakin banyak kandungan minyak, maka krim yang terbentuk akan semakin banyak.

Jumlah Minyak Yang Diperoleh


Jumlah minyak yang diperoleh berasal dari minyak bening yang diperoleh langsung
dari proses fermentasi dan jumlah minyak yang diperoleh dari penggorengan blondo putih.
Jumlah minyak selengkapanya dapat dilihat pada Tabel 3.
Rata-rata jumlah minyak yang diperoleh adalah sebanyak 153.25 ml per butir kelapa
atau 766 ml per 5 butir kelapa. Jumlah ini melebihi jumlah rata-rata perolehan minyak yang
diperoleh secara tradisional dimana 5 butir kelapa menghasilkan 620 ml minyak kelentik.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 368
Seminar Nasional 2005

Tabel 3. Jumlah Minyak Yang Diperoleh (ml)

Penambahan Air Ulangan


Jumlah
Kelapa 1 2 3 4
5% 143,0 146,0 170 170,0 629,00
7,50% 114,0 164,0 151 154,0 583,00
10% 154,0 139,0 150 163,0 606,00
12,50% 160,0 155,0 168 155,0 638,00
15% 140,0 163,0 161 145,0 609,00
Jumlah 711,0 767,0 800 787,0 3.065,00
Rata-rata 142,2 153,4 160 157,4 153,25

Minyak diperoleh dari ekstraksi krim santan. Krim santan adalah emulsi tetap
(permanen emulsi) antara minyak dan air. Molekul minyak terdispersi dalam molekul air
dengan kelilingi oleh lapisan protein. Untuk dapat mengeluarkan minyak dari lapisan
proteinnya maka lapisan protein ini harus dapat diputus atau dibuka. Cara-cara yang dapat
dilakukan untuk memecah emulsi adalah dengan melalui pemanasan atau penggunaan asam
(Suhadijono dan Syamsiah, 1987; Johanes, 1974).
Fermentasi yang dilakukan dengan menggunakan substrat air kelapa akan
menyebabkan minyak terektraksi. Air kelapa merupakan media yang sangat baik bagi
pertumbuhan mikroba. Dengan didiamkan selama kurang lebih 4 jam, mikroba yang hidup
dalam air kelap akan memfermentasi gula menjadi asam. Asam ini akan menurunkan pH
krim santan menjadi sekitar 4.5. Pada pH ini protein mencapai titik iso elektrik dan
menyebabkan lapisan protein yang melingkupi minyak terputus sehingga minyak keluar dan
naik ke permukaan. Krim santan akan terpisah menjadi minyak, blondo dan air kelapa.
Tidak semua minyak dapat terekstrak oleh asam. Sebagian besar minyak tetap
berada dalam emulsi yang berupa blondo. Untuk mengektrak minyak dari blondo dilakukan
pemanasan. Dengan pemanasan lapisan protein yang melindungi minyak akan terpecah dan
minyak akan keluar meninggalkan emulsinya.

Jumlah Blondo Yang Diperoleh


Jumlah blondo yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4. Rata-rata jumlah blondo
diperoleh adalah sebesar 33.04 gram per butir kelapa.
Blondo adalah sisa hasil ekstraksi minyak. Blondo ini sangat kaya akan protein.
Jumlah blondo yang diperoleh setelah pemasakan berbanding terbalik dengan jumlah minyak
yang diperoleh. Semakin banyak blondo terbentuk maka minyak yang diperoleh semakin
sedikit. Demikian juga sebaliknya. Blondo yang diperoleh melalui proses fermentasi dengan
menggunakan air kelapa ini sedikit terasa asam atau tidak semanis blondo yang diperoleh
dari proses pembuatan minyak secara tradisional. Hal ini disebabkan karena asam yang
dipakai untuk memutus rantai protein krim akan terakumulasi bersama dengan blondo.
Karena rasanya yang sedikit asam blondo dari proses ini tidak lagi memiliki nilai ekonomis.
Akan tetapi hal ini tidak terlalu berpengaruh karena sebagian besar blondo sudah menjadi
minyak dan dari proses hanya sedikit blondo yang dihasilkan.
Tabel 4. Jumlah Blondo Yang Diperoleh (gram)

Ulangan
Penambahan Air Kelapa Jumlah
1 2 3 4
5% 32,60 34,30 32,40 44,40 143,70
7,50% 25,50 26,30 41,40 39,80 133,00
10% 38,40 20,40 30,80 49,00 138,60
12,50% 22,70 23,90 25,00 53,40 125,00
15% 30,80 33,50 29,00 27,20 120,50
Jumlah 150,00 138,40 158,60 213,80 660,80
Rata-rata 30,00 27,68 31,72 42,76 33,04

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 369
Seminar Nasional 2005

Rendemen Minyak Yang Dihasilkan


Rendemen selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rendemen Minyak Yang Diperoleh (%)

Penambahan Air Ulangan


Rata-rata
Kelapa 1 2 3 4
5% 20,40 20,83 24,25 24,25 22,43
7,50% 16,26 23,40 21,54 21,97 20,79
10% 21,97 19,83 21,40 23,25 21,61
12,50% 22,82 22,11 23,97 22,11 22,75
15% 19,97 23,25 22,97 20,68 21,72
Rata-rata 20,29 21,88 22,82 22,45 21,86

Pada Tabel 5, terlihat bahwa rendemen teringgi sebesar 22.75 persen dihasilkan oleh
perlakuan penambahan air kelapa sebanyak 12.5% dari total krim. Sedang rendemen rata-
rata produksi adalah sebesar 21.86%.
Secara statistika perlakuan penambahan jumlah starter air kelap tidak berpengaruh
nyata terhadap rendemen minyak kelapa yang diperoleh. Akan tetapi produksi minyak
kelapa dengan memakai starter air kelapa dengan cara fermentasi menghasilkan rendemen
produksi yang layak untuk dilakukan, karena menghasilkan rendeman yang relatif tinggi
dibandingkan dengan pembuatan minyak dengan cara tradisional. Selain itu produksi ini juga
mampu menghemat penggunaan bahan bakar, karena hanya memerlukan pemanasan
sebentar saja.

KESIMPULAN

Meski tidak berpengaruh nyata secara statistik, produksi minyak kelapa dengan
menggunakan starter air kelapa secara fermentasi mampu menghasilkan rendemen rata-rata
yang cukup tinggi yaitu sekitar 21.86%. Hasil rendemen tertinggi sebesar 22.75 persen
diperoleh dari perlakuan dengan penambahan air kelapa sebanyak 12.5% dari total krim
santan. Produksi minyak kelapa dengan cara fermentasi juga layak secara ekonomis karena
mampu menghemat bahan bakar yang diperlukan selama proses pemanasan.

DAFTAR PUSTAKA

Dean, R.S. 1960. Modern Colloid. D. Van Nostrand Company Inc., New York
Johannes, H. 1974. Kimia Koloid dan Kimia Permukaan. Universitas Gajah Mada,
Jogyakarta
Ketaren, S dan B. Jatmiko. 1985. Daya Guna Hasil Kelapaa. Agro Industri Press, Bogor
Rindengan, B dan Hengki N. 2004. Pembuatan dan Pemanfaatan Minyak Kelapa Murni.
Penebar Swadaya, Jakarta
Setiaji, B dan E. Sugiharto. 1981. Pembuatan Minyak Kelapa Dengan Cara Fermentasi.
“Warta Pergizi Pangan Vol. 2 No. 1”. Pergizi Pangan Cabang Jogyakarta.
Jogyakarta.
Steel, R.G.D and Torrie. 1994. Prinsip dan Prosedur Statistik. Diterjemahkan oleh Bambang
Sumantri. Edisi Kedua. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Suhadijono dan S. Syamsiah. 1987. Pembuatan Minyak Kelapa Dengan Cara Fermentasi.
Lanjutan Simposium Bioproses dalam Industri Pangan. Tanggal 13 – 14 Januari
1997 di Jogyakarta. PAU Pangan dan Gizi UGM. Liberty, Jogyakarta
Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 370
Seminar Nasional 2005

POLA PERTANAMAN LADANG RENDAH RISIKO DI DAERAH


TANGKAPAN AIR BENDUNGAN TILONG, KABUPATEN KUPANG NTT

E. Y. Hosang, 1)S. Barhiman dan 2)I.N.P Soetedjo


1)
Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTT
2)
Dosen Pascasarjana UNDANA

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian Pola Pertanaman Konservasi Ladang Rendah Risiko di Daerah Tangkapan
Air Bendungan Tilong. selama 6 bulan (Desember 2003 – Juni 2004) Tujuan penelitian adalah a) mengetahui
tingkat efisiensi penggunaan lahan dengan penerapan pola pertanaman ladang di daerah tangkapan air Bendungan
Tilong dan b) mendapatkan model pola pertanaman ladang rendah risiko dalam hal mempertahankan daya
dukung lahan dan sosial ekonomi di kawasan tangkapan air Bendungan Tilong. Rancangan Percobaan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 blok dan 3 perlakuan. Perlakuannya adalah : 1)
Pola petani : tumpangsari jagung + kacang nasi + labu yang ditanam dengan jarak yang tidak teratur, (2) Pola
perbaikan 1 : tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro yang ditanam searah garis kontur dan (3) Pola
perbaikan 2 : tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro // rumput yang ditanam searah garis kontur.
Simpulan hasil penilitian ini adalah 1) Secara ekonomi pola pertanaman perbaikan 2 (tumpang sari jagung +
kc.nasi + labu // lamtoro // rumput) memiliki nilai LER tertinggi, namun karena memiliki risiko tinggi maka perlu
dikombinasikan dengan pola perbaikan 1 dan pola petani dengan proporsi 27,4% disarankan untuk diusahakan
dengan pola perbaikan 2, sekitar 27% pola introduksi 1 dan 9,6% disarankan mengusahakan dengan pola petani
dan sisanya dibero, dan 2) Pola perbaikan 1 dan 2 mudah diterima petani di kawasan ini karena komoditi yang
dimasukkan dalam pola pertanaman adalah komoditi yang sudah biasa diusahakan petani dan yang memiliki
multi fungsi sebagai tanaman konservasi, bahan pakan ternak dan juga sebagai sumber pendapatan.
Kata kunci : Pola pertanaman, ladang, risiko, pengaruh, sosial-ekonomi, bendungan Tilong, daerah tangkapan
air.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki curah hujan yang sangat rendah
untuk kebutuhan usahatani. Menurut klasifikasi Oldeman, tipe iklim di NTT adalah D3 - E4
yang berarti agak kering sampai kering. Disamping iklim kering, tipe lahan usahataninya
adalah lahan kering semi ringkai. Lahan kering yang sangat luas merupakan faktor pembatas
alamiah bagi manusia di NTT dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan pangannya (Kepas,
1985).
Luas lahan kering di NTT jauh lebih luas dari lahan basah. Berdasarkan Peta Zona
Agro Ekologi (ZAE) skala 1 : 250.000, diketahui bahwa total luas lahan basah di NTT hanya
43.412 ha (0,9 %) sedangkan luas lahan kering di NTT mencapai 4.691.588 ha atau dengan
kata lain, luas lahan kering mencapai 99,1 % dari luas total lahan di NTT. Sebagai daerah
yang di dominasi oleh lahan kering, masalah pertanian yang dominan dihadapi petani di
wilayah ini adalah rendahnya kesuburan tanah, ketidak pastian curah hujan serta tingginya
suhu udara yang juga menyebabkan tinggi evaporasi transpirasi yang semuanya
menyebabkan tingginya risiko usahatani di wilayah ini (Basuki dkk, 1997 dan Kepas, 1985).
Usaha-usaha yang dilakukan untuk memenuhi kekurangan air pada musim kemarau
adalah dibangunnya jebakan-jebakan air, embung-embung dan bendungan sehingga masalah
kekurangan air ini dapat diminimalkan. Bendungan Tilong, di Desa Oelnasi, Kecamatan
Kupang Tengah, Kabupaten Kupang adalah salah satu contoh usaha yang telah dilakukan
untuk maksud tersebut, disamping keperluan yang lain seperti pariwisata, air minum, air
irigasi dan tata hidrologi air tanah (Anonimous, 1998).
Usahatani ladang yang dipraktekkan petani di daerah tangkapan air Bendungan
Tilong merupakan salah satu usahatani yang memiliki risiko. Risiko tersebut karena petani
selalu dihadapkan pada berbagai hal antara lain berfluktuasi hasil yang diperoleh, variasi

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 371
Seminar Nasional 2005

curah hujan dan penurunan kesuburan tanah yang pada akhirnya berpengaruh pada
penurunan pendapatan petani yang cenderung tidak stabil dari tahun ke tahun.
Keberlanjutan usahatani di daerah tangkapan air Bendungan Tilong dan umur
bendungan serta kualitas air di bendungan tersebut dapat dipertahankan melalui tindakan
minimalisasi erosi dan sedimentasi yang terjadi pada daerah tangkapan air, misalnya
penerapan pola pertanaman yang memperhatikan aspek konservasi di samping aspek
produksi, ekonomi dan sosial (Manwan, 1993).
Namun belum ada informasi yang rinci tentang pengaruh pola pertanaman berisiko
rendah terhadap kondisi sosial ekonomi petani di daerah tangkapan air Bendungan Tilong
Oleh karena itu penelitian dengan judul Pola Pertanaman Ladang Rendah Risiko dan
Pengaruhnya Terhadap Komponen Geofisik dan Sosial Ekonomi di Daerah Tangkapan Air
Bendungan Tilong perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian
a. Menganalisis efisiensi penggunaan lahan secara ekonomi dengan penerapan pola
pertanaman perladangan di daerah tangkapan air Bendungan Tilong.
b. Mendapatkan model pola pertanaman rendah risiko dalam mempertahankan daya
dukung lahan dan sosial ekonomi di kawasan tangkapan air Bendungan Tilong.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada lahan petani dengan kemiringan lereng 8-15 % di
daerah tangkapan air Bendungan Tilong, yaitu di desa Oelnasi (Kecamatan Kupang Tengah),
desa Bokong (Kecamatan Kupang Tengah) dan desa Tunbaun (Kecamatan Amarasi),
Kabupaten Kupang. Penelitian ini berlangsung selama 6 bulan sejak bulan Desember 2003
sampai bulan Juni 2004.

Perancangan Percobaan
Rancangan Percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan 3 blok dan 3 perlakuan. Percobaan dimaksud diletakkan di 3
wilayah yaitu masing-masing pada wilayah hulu DAS Tilong (Desa Tunbaun), wilayah
tengah DAS Tilong (Desa Bokong) dan wilayah wilayah bawah DAS Tilong (Desa Oelnasi).
Perlakuannya terdiri atas :
1. Pola petani : tumpangsari jagung + kacang nasi + labu yang ditanam dengan jarak yang
tidak teratur.
2. Pola perbaikan 1 : tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro yang ditanam searah
garis kontur.
3. Pola perbaikan 2 : tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro // rumput yang
ditanam searah garis kontur.

Variabel dan Alat Pengukuran :


a. Efisiensi penggunaan lahan (Lend Equvalent Ratio / LER) menggunakan rumus yang
dikembangkan oleh Willy dan Osiru 1972 (dalam Fancis and Stern, 1987)
LER = (Yij / Yii) + )Yji / Yjj)
dimana : Y ii adalah hasil komoditi A yang ditanam secara monokultur
Y jj adalah hasil komoditi B yang ditanam secara monokultur
Y ij adalah hasil komoditi A yang ditanam secara tumpang sari
Y ji adalah hasil komoditi B yang ditanam secara tumpang sari

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 372
Seminar Nasional 2005

b. Untuk mengukur risiko dari masing-masing model dihitung dengan pendekatan


programasi berisiko dengan cara Minimization of Total Absolut Deviation (MOTAD)
yang disarankan oleh Hazel dan Norton (1986) :
Min 0,5 Wt1/2 = Σ Zt
dengan kendala : Σ (Cjt – cy)xj + Zt > = 0
dimana : W adalah model meminimalkan deviasi negaitf
Zt adalah jumlah deviasi
Σ (Cjt – cy)xj + Zt > = 0 adalah simpangan paling sedikit = 0
dan akan dibandingkan dengan Quadratic Risk Programming (Hazel dan Norton, 1986).
Min V = ΣΣ Xj Xk σjk
j k

dengan kendala : Σ Cj Xj = λ
dimana : V adalah varians
Xj adalah perlakuan j
Xk adalah perlakuan k
σjk adalah covarians dari perlakuan j dan k
Σ Cj Xj = λ adalah tingkat keuntungan tertentu sebesar λ yang rendah risiko tetapi
memiliki keuntungan lebih dari sebelumnya
c. Respons petani terhadap pola yang diuji, diukur secara kualitatif dengan menggunakan
quesioner dengan teknik Diskusi Kelompok Terarah (DKT).

Analisis data
Data kuantitatif dihitung dengan Analisis of Variance (Anova) untuk melihat
pengaruh perlakuan terhadap perubahan komponen geofisik lahan dan bila terdapat
perbedaan yang nyata, akan dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil pada taraf
kepercayaan 95% (BNT 5%) dengan bantuan program komputer MicroQUASP versi 3,02.
Model matematika dari Rancangan Acak Kelompok (Steel and Torrie, 1993) adalah :
Yij = μ + τij +βij + єij
dimana :
Y = nilai pengamatan hasil percobaan
μ = nilai rerata (mean) harapan
τ = pengaruh faktor perlakuan
β = pengaruh faktor blok
є = pengaruh galat (experiment error)
i = nilai ke i
j = nilai ke j
Data ekonomi dianalisis dengan pendekatan Model Programing Berisiko serta
dengan cara Minimization of Total Absolut Deviation (MOTAD) untuk mengukur tingkat
risiko dari masing-masing pola usahatani. Pemecahan kedua model ekonomi tersebut
dengan menggunakan bantuan soft ware “Lindo 6 dan Gino (1997)”, serta data kualitatif
(data sosial budaya) dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Efisiensi Penggunaan Lahan


Pola pertanaman campur, atau penanaman beberapa jenis komoditi secara bersamaan
pada lahan yang sama, diharapkan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan dan

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 373
Seminar Nasional 2005

produksi dari masing-masing jenis komoditi dibandingkan dengan penanaman secara


monokultur. Hal ini karena dengan pola pertanaman campur akan lebih efisien dalam hal
penggunaan lahan, namun oleh karena tiap jenis tanaman memiliki persyaratan tumbuh dan
terdapat keterbatasan-keterbatasan sumberdaya yang tersedia di lokasi tempat tumbuh, sering
pertanaman campuran dapat memberikan pengaruh negatif terhadap individu atau jenis
tanaman lainnya seperti misalnya persaingan dalam menyerap unsur hara, persaingan untuk
memperoleh sinar mata hari karena pengaruh saling menaungi dan lain-lain.
Salah satu parameter penentu ketepatan memilih jenis tanaman dalam pola pertanaman
campur adalah efisiensi penggunaan lahan. Efisiensi penggunaan lahan oleh beberapa
tanaman yang ditanam dengan pola pertanaman campur dapat diukur dengan menghitung
rasio penggunaan lahan (Lend Equivalent Ratio/LER) (Francis, 1986).
LER diartikan sebagai total luas lahan yang dibutuhkan oleh pertanaman monokultur
untuk memberikan hasil yang setara dengan yang dihasilkan oleh pola pertanaman campur.
Jika nilai LER = 1, berarti bahwa dengan menanam beberapa komoditi secara bersama-sama
tidak memberikan keuntungan lebih dibandingkan dengan menanam secara monokultur,
sedangkan jika nilainya > 1, berarti bahwa dibutuhkan lahan yang lebih luas dari masing-
masing tanaman yang ditanam secara monokultur dibandingkan pada pola pertanaman
campur (Ofori and Stern, 1987).

Nilai LER di Desa Tunbaun


Hasil analisis nilai LER dari pola pertanaman yang diteliti di Desa Tunbaun tersaji
pada Tabel 1. Dari Tabel ini terlihat bahwa nilai LER pola petani 1,02 artinya bahwa
terdapat sedikit sekali bahkan hampir tidak terdapat keuntungan secara ekonomi menanam
campur dengan pola yang ada dibandingkan dengan menanam secara monokultur di desa
Tunbaun.
Tabel 1. Hasil dan nilai LER pola pertanaman tumpang sari di Desa Tunbaun pada musim tanam 2003/2004

Hasil per tanaman


Uraian LER
Jagung Labu Kc.nasi Lamtoro Rumput
a. Hasil Monokultur (t/ha) 3,2 667,0 0,1 4.9 252
b. Hasil Tumpang sari (t/ha) :
1. Pola petani 1,0 a 186,7 0,0 0,0 a 0,00 a 1,02 a
2. Tumpang sari jagung /
kc.nasi / labu / lmatoro 1,3 b 240,0 0,0 0,08 b 0,00 a 1,18 b
3. Tumpang sari jagung /
kc.nasi / labu / lamtoro / 1,23 b
rumput 1,4 b 240,0 0,0 0,07 b 0,51 b
BNT 5 % 0,12 tn tn 0,03 0,04 0,09
Sumber : Hasil analisis dari data primer.
Keterangan : tn = tidak nyata

Nilai LER dari pola pertanaman tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro dan
pola pertanaman tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro // rumput nyata lebih besar
dibandingkan pola petani yaitu masing-masing 1,18 atau meningkat 13,6 % dam 1,2 atau
meningkat 17,1 %. Namun nilai LER pola tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro //
rumput tidak berbedanyata dengan pola tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro.
Lebih tingginya nilai LER pola tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro // rumput
menunjukkan bahwa kompetisi antar tanaman lamtoro, rumput, kacang nasi, labu dan jagung
tidak saling merugikan bahkan mungkin terjadi hubungan mutualistik antara tanaman sereal
(jagung) dan rumput-rumputan dengan tanaman legum (kacang nasi dan lamtoro).
Daun tanaman jagung dan labu tidak mendapat persaingan memperoleh sinar
matahari dengan daun tanaman lantoro dan rumput karena daun tanaman lamtoro relatif
kecil-kecil sehingga penetrasi sinar matahari dapat mencapai pertanaman yang lebih rendah.
Tanaman jagung dan rumput memiliki perakaran serabut di permukaan tanah sementara
tanaman legum memiliki perakaran jauh ke dalam tanah dan memiliki bintil akar yang

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 374
Seminar Nasional 2005

mampu memfiksasi N bebas dari udara. Hal ini sama seperti yang dikemukakan oleh Ofori
dan Stern (1987), bahwa kombinasi tanaman sereal dengan tanaman legum adalah kombinasi
yang terbaik karena relatif kecil kompetisi antar komponen tanaman dalam memperoleh
sinar matahari dan unsur hara.
Secara ekonomi, penambahan komoditi lamtoro dan rumput yang ditanam searah
kontur, memberikan tambahan pendapatan pada petani di Desa Tunbaun disamping
keuntungan memperbaiki kondisi kesuburan tanah.

Nilai LER di Desa Bokong


Nilai LER dari tiga pola pertanaman di Desa Bokong (Tabel 2) lebih besar dari 1, ini
berarti baik pola petani maupun pola perbaikan cukup efisien dalam penggunaan lahan
dengan menanam secara tumpang sari beberapa jenis tanaman dibandingkan dengan
menanam secara monokultur.
Dari hasil analisis, terlihat bahwa tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro //
rumput mempunyai nilai LER paling tinggi (1,78) yang tidak berbeda nyata dengan LER
tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro (1,74) namun berbeda nyata dengan LER
pola petani (1,5). Artinya kedua pola tumpang sari perbaikan tersebut memberikan
keuntungan secara ekonomi lebih tinggi dari pola petani, karena keuntungannya dapat
mencapai 72-77% jauh lebih tinggi dari pola petani yang hanya meningkat 50% dari cara
tanam monokultur.
Nilai LER pola tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro lebih tinggi dari pola
petani karena terjadi peningkatan hasil pada komoditi jagung dan lamtoro. Ini berarti dengan
penambahan lamtoro pada pola pertanaman, memberikan pengaruh poositif terhadap
pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung sehingga nyata meningkatkan hasil jagung.
Diduga hal ini karena tanaman lamtoro mampu memfiksasi nitrogen langsung dari udara
bebas sehingga tanaman jagung memanfaatkana nitrogen yang sudah tersedia di sekitar
perakarannya.
Penambahan rumput pada pola tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro //
rumput menyebabakan nilai LER lebih besar meningkat dari pola petani walaupun tidak
nyata lebih besar dari pola tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro. Meningkatnya
nilai LER ini disebabkan oleh peningkatan produksi jagung dan rumput. Ini berarti
penambahan tanaman lamtoro dan rumput menyebabkan terjadi hubungan yang saling
menguntungkan antar komponen tanaman dalam pola. Hubungan tersebut antara lain selain
tidak terjadi persaingan antar tanaman dalam memperoleh sinar matahari, unsur hara dan air,
tanaman legum dan rumput mampu menekan laju erosi tanah permukaan yang diakibatkan
oleh aliran air permukaan tanah, bahkan tanaman legum mampu menyediakan unsur nitrogen
bagi kebutuhan tanaman jagung dan rumput. Hal ini sama seperti hasil penelitian Haryati
dan Dariah (2000), menyimpulkan penggunaan tanaman legun dan rumput paling efektif
dalam mencegah terjadinya erosi tanah.
Tabel 2. Hasil dan nilai LER pola pertanaman tumpang sari di Desa Bokong pada musim tanam 2003/2004.

Hasil per tanaman


Uraian LER
Jagung Labu Kc. nasi Lamtoro Rumput
a. Hasil Monokultur (t/ha) 3,2 667,0 0,1 4.9 252
b. Hasil Tumpang sari (t/ha)
1. Pola petani 0,9 a 480,0 0,1 0,0 a 0,0 a 1,50 a
2. Tumpang sari jagung +
kc.nasi + labu // lamtoro 1,3 b 506,7 0,1 61,6 c 0,0 a 1,74 b
3. Tumpang sari jagung +
kc.nasi + abu // lamtoro // 1,78 b
rumput 1,3 b 480,0 0,1 50,1 b 284,8 b
BNT 5 % 0,08 tn tn 0,01 0,15 0,16
Sumber : Hasil analisis dari data primer.
Keterangan : tn = tidak nyata

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 375
Seminar Nasional 2005

Nilai LER di Desa Oelnasi


Berdasarkan nilai LER dari tiga pola pertanaman di Desa Oelnasi (Tabel 3), terlihat
bahwa tumpang sari perbaikan mempunyai nilai LER (1,76 dan 1,77) lebih tinggi dari pola
petani (1,53). Walaupun sebenarnya dengan pola petani sudah efisien dalam pemanfaatan
lahan dibandingkan pola monokultur, namun efisiensi akan lebih tinggi diperoleh dengan
penerapan pola tumpang sari perbaikan.
Tingginya nilai LER pada tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro
disebabkan terjadi peningkatan hasil jagung dan lamtoro. Pada kondisi kesuburan kimia
tanah yang sangat rendah di desa Oelnasi dan diperburuk lagi dengan pembakaran lahan saat
persiapan lahan, penambahan lamtoro dalam pola pertanaman sangat menguntungkan karena
lamtoro adalah tanaman legum yang mampu menambat nitrogen bebas dari udara untuk
kebutuhannya sendiri dan tanaman lain di sekitarnya.
Tabel 3. Hasil dan nilai LER pola pertanaman tumpang sari di Desa Oelnasi pada musim tanam 2003/2004.

Hasil per tanaman


Uraian LER
Jagung Labu Kc.nasi Lamtoro Rumput
a. Hasil Monokultur (t/ha) 3,2 667,0 0.1 4.9 252
b. Hasil Tumpang sari (t/ha)
1. Pola petani 0,8 a 533,3 0.1 0,0 a 0,0 a 1,53 a
2. Tumpang sari jagung + kc.nasi +
labu // lamtoro 1,3 b 533,3 0.1 44,4 c 0,0 a 1,77 b
3. Tumpang sari jagung + kc.nasi +
labu // lamtoro // rumput 1,3 b 560,0 0.1 39,3 b 154,1 b 1,76 b
BNT 5 % 0,09 tn tn 0,01 0,05 0,09
Sumber : Hasil analisis dari data primer.
Keterangan : tn = tidak nyata

Secara statistik pola tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro // rumput tidak
nyata berbeda dengan pola tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro namun dalam
jangka panjang pola ini memiliki keuntungan karena pertanaman rumput yang dimasukkan
dalam pola pertanaman berperan sebagai penahan aliran air permukaan sehingga mencegah
terjadinya erosi sehingga dapat mempertahankan kandungan bahan organik tanah, unsur hara
dan partikel-partikel tanah. Hal ini sama seperti yang dikemukakan oleh Kartasapoetra
(2000), yaitu tanaman rumput yang dimasukkan dalam pola pertanaman mempunyai
manfaat: a) daunnya sebagai hijauan pakan ternak, b) bagian tanaman di atas permukaan
tanah melindungi tanah dari pukulan langsung air hujan, c) barisan tanamannya menahan
aliran permukaan dan d) perakarannya memperbesar infiltrasi air hujan dan memperbesar
resistensi dan kekompakan tanah.

Analisis Risiko
Usaha produksi pertanian merupakan bisnis yang mengandung risiko. Risiko yang
mungkin dihadapi petani antara lain perubahan harga jual produk pertanian yang
menyebabkan fluktuasi pendapatan petani dari tahun ke tahun, risiko penurunan kesuburan
tanah dan risiko bencana alam serta berbagai gangguan lainnya.
Ada beberapa konsep mengenai pengukuran pendapatan petani yaitu (1) pendekatan
mikro dengan cara menjumlahkan perkalian hasil panen dengan harga (farm gate price)
ditambah hasil lain dari luar usaha tani, (2) pendugaan pendapatan berdasarkan pengeluaran
rumah tangga hasil survey, (3) pendapatan usahatani yang berasal dari masing-masing
komoditi dari satu pola pertanaman. Penelitian ini menggunakan konsep ketiga yaitu
pendapatan diperoleh dari sumbangan semua komoditi dalam pola pertanaman (Barhiman,
2000).
Berdasarkan perhitungan linier progreming (LP) dari data penelitian, tingkat risiko
dari pola pertanam yang diuji dapat dilihat dari variansnya. Variansnya menerangkan
besarnya risiko, jika variansnya besar, pola pertanaman yang dipakai memiliki risiko yang

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 376
Seminar Nasional 2005

sangat besar dalam memperoleh kestabilan pendapatan (Barhiman, 2000).


Rata-rata pendapatan dan varians masing-masing pola pertanaman disajikan pada
Tabel 4. Dari Tabel ini terlihat bahwa rata-rata pendapatan yang tertinggi diperoleh dari pola
pertanaman ketiga (menanam jagung + labu + ubi kayu // lamtoro // rumput) yaitu sebesar
Rp. 1 976 780 per hektar dan diikuti oleh pola kedua (jagung + ubi kayu + labu // lamtoro)
yaitu sebanyak Rp. 1 639 590 per hektar, sedangkan pola petani memberikan pendapatan
terendah sebesar Rp. 1 160 790 per hektar. Berdasarkan nilai variansnya ternyata pola
jagung + labu + ubi kayu // lamtoro // rumput memiliki nilai varians yang paling tinggi yaitu
sebesar 20 965,58, kemudian disusul oleh pola jagung + labu + ubi kayu // lamtoro yaitu
sebesar 5 107,84 dan yang memiliki varians paling kecil adalah pola petani sebasar 2.539,78.
Ini berarti pola jagung + labu + ubi kayu // lamtoro // rumput memiliki risiko paling besar
secara ekonomi dalam berusahatani di wilayah daerah tangkapan air Bendungan Tilong.
Tingginya risiko pada pola tumpang sari jagung + labu + ubi kayu // lamtoro // rumput
disebabkan oleh tingginya fluktuasi produksi dari komoditi lamtoro dan rumput dalam pola
ini. Jika pertanaman telah mencapai 2 – 3 tahun, produksinya akan semakin stabil.
Tabel 4. Pendapatan rata-rata, standard deviasi, koefisien variasi dan varians dari pola pertanaman pengujian
di daerah tangkapan air Bendungan Tilong 2003.
Pola pertanaman
Ulangan Tumpang sari jagung+
Pola petani Tumpang sari jagung+
kc.nasi+labu//lmatoro//
jagung+kc.nasi+labu kc.nasi+labu//lmatoro
rumput
1 1,152,48 1628,03 2.176,53
2 1.210,40 1550,89 2.056,83
3 1.220,96 1533,66 2.155,33
4 1.210,64 1652,34 1.962,89
5 1.086,00 1688,62 1.865,01
6 1.153,12 1651,57 2.173,31
7 1.155,84 1777,14 1.738,37
8 1.173,36 1636,96 1.977,47
9 1.084,32 1637,10 1.841,25
Rata-rata 1.160,79 1639,59 1.976,78
Deviasi tandard 50,39 71,47 144,79
Ragam 2.539,78 5107,84 20.965,58
Koefisien keragaman 3,17 5,93 21,97
Sumber : Data primer.

Pola petani adalah pola pertanaman yang memiliki risiko paling kecil secara
ekonomi, namun pola ini memiliki risiko kerusakan lingkungan yang sangat besar (laju erosi
tanah paling besar) karena itu penanaman pola petani perlu dipertimbangkan untuk
mencegah kerusakan lingkungan.
Dalam menjalankan usaha pertanian dengan risiko ekonomi tinggi dapat
menyebabkan ketidak-pastian pendapatan petani atau gangguan ketersediaan pangannya
selama setahun. Oleh karena itu perlu dicarikan proporsi pola pertanaman yang rendah
risiko secara ekonomi tapi juga rendah risiko terhadap kerusakan lingkungan hidup.
Salah satu cara mengatasi masalah ini dengan mencari proporsi penerapan pola
pertanaman yang dapat dijalankan oleh petani sehingga selain menekan risiko, namun dapat
meningkatkan pendapatan petani dan mengantisipasi kerusakan lingkungan hidup.
Dengan menggunakan program komputer linear programing dapat dihitung proporsi
pola pertanaman yang dapat diterapkan petani di wilayah ini dengan cara menurunkan gross
margin (GM) secara bertahap sebanyak 10% dengan alat analisis Quadratic Risk Programing
(QRP) pada program Gino dan Minimization of Total Absolute Deviation (MOTAD) dalam
program Lindo. Untuk menghitung QRP dibutuhkan matriks ragam peragam yang
diperlihatkan pada Tabel 5.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 377
Seminar Nasional 2005

Tabel 5. Matriks Ragam peragam GM dari beberapa pola pertanaman pada wilayah daerah tangkapan air
Bendungan Tilong MT. 2003/2004.

Pola pertanaman X1 X2 X3
X1 2538,62 - 1790,97 3846,88
X2 - 1790,97 5007,97 - 8008,70
X3 3846,88 - 8008,70 25246,98
Keterangan : X1 = Pola petani Tumpang sari jagung+ kc.nasi+labu
X2 = Tumpang sari jagung+ kc.nasi+labu//lmatoro//rumput
X3 = Tumpang sari jagung+ kc.nasi+labu//lmatoro//rumput

Data pada Tabel 5 di atas, digunakan untuk menyusun persamaan matematik dalam
format Gino dan Lindo. Untuk perhitungan QRP dalam program Gino disusun persamaan
matematik sebagai berikut :
MODEL :
MIN= 2538.62*X1^2 + 5107.97*X2^2 + 25246.98*X3^2 – 2*1798.97*X1*X2 +
2*3846.88*X1*X3 – 2*8008.70*X2*X3 ;
1160.8*X1 + 1639.6*X2 + 1994.1*X3 = 50554.65 ;
X1 + X2 + X3 < 40 ;
64*X1 + 65*X2 + 71*X3 < 1800 ;
–X1 + X2 – X3 , 0 ;
X1 > 0 ;
X2 > 0 ;
X3 > 0 ;
END

dan untuk perhitungan MOTAD dengan program Lindo, persamaan matematiknya disusun
sebagai berikut :
MIN 1) Z1 + Z2 + Z3 + Z4 + Z5 + Z6 + Z7 + Z8 + Z9 ;
SUBJECT TO
2) 1160.8*X1 + 1639.6*X2 + 1994.1*X3 = 50554.65 ;
3) X1 + X2 + X3 <= 40 ;
4) 64*X1 + 65*X2 + 71*X3 <= 1800 ;
5) –X1 + X2 – X3 , 0 ;
6) – 8.26*X1 – 11.57*X2 + 182.4*X3 + Z1 >= 0 ;
7) 49.61*X1 – 88.67*X2 + 62.7*X3 + Z2 >= 0
8) 60.13*X1 – 105.98*X2 + 161.2*X3 + Z3 >= 0
9) 49.83*X1 + 12.72*X2 - 31.2*X3 + Z4 >= 0
10) – 74.77*X1 + 49.02*X2 - 129.1*X3 + Z5 >= 0
11) – 7.67*X1 + 12.02*X2 + 179.2*X3 + Z6 >= 0
12) – 4.97*X1 + 137.52*X2 - 255.7*X3 + Z7 >= 0
13) 12.53*X1 – 2.58*X2 - 16.6*X3 + Z8 >= 0
14) – 76.47*X1 – 2.48*X2 - 152.9*X3 + Z9 >= 0
END

Dengan menurunkan nilai GM-nya maka solusi yang ditawarkan dengan kedua
program komputer tersebut seperti terlihat pada Tabel 6.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 378
Seminar Nasional 2005

Tabel 6. Hasil analisis penurunan risiko usahatani di kawasan daerah tangkapan air Bendungan Tilong dengan
menggunakan MOTAD dan QRP
Model
No. Pola Pertanaman A B C
analisis
1. GM 50.556,4 50.000,0 45.000,0
2. V (Juta Rp.) M 14.843,7 10.714,7 2.751,5
Q 16.226.992,9 11.884.999,3 1.106.895,1
3. X1 (ha) M 0,0 0,0 4,8
Q 0,0 0,0 4,8
4. X2 (ha) M 0,0 2,9 13,5
Q 0,0 2,9 13,5
5. X3 (ha) M 25,4 22,6 8,7
Q 25,4 22,6 8,7
Keterangan : M = MOTAD (Minimization of Total Absolut Deviation)
Q = Quadratic Risk Programing
A, B, C = Pengurangan GM secara bertahap sebanyak 10 %
X1, X2, X3 = Pela pertanaman yang dikaji

Dari Tabel 6, terlihat bahwa relatif sama solusi yang ditawarkan dengan program
MOTAD maupun dengan program QRP yaitu apabila nilai GM tertinggi sebasar 50.556,40
pada pola pertanaman jagung + labu + ubi kayu // lamtoro // rumput seluas 50 ha.
Sedangkan dengan menurunkan risiko yaitu dengan cara menurunkan nilai GM dari 50.556.4
ke nilai GM 50.000, ternyata disarankan pola pertanaman jagung + labu + ubi kayu //
lamtoro // rumput diusahakan seluas 22,6 ha dan pola pertanaman jagung + labu + ubi kayu
// lamtoro seluas 2,9 ha. Bila risiko diturunkan lagi dengan nilai GM sebesar 45.000 ternyata
disarankan pola jagung + labu + ubi kayu // lamtoro // rumput ditanam hanya seluas 8,7 ha
sedangkan pola jagung + labu + ubi kayu // lamtoro disarankan diusahakan sebanyak 13,5 ha
dan pola petani seluas 4,8 ha.
Berdasarkan perhitungan risiko di atas, maka dari luas lahan 50 ha di wilayah daerah
tangkapan air Bendungan Tilong disarankan untuk diusahakan dengan pola jagung + ubi
kayu + labu // lamtoro diusahakan paling banyak yaitu seluas 13,7 ha, diikuti oleh pola
jagung + ubi kayu + labu // lamtoro // rumput seluas 13,5 ha dan pola petani masih tetap
disarankan dengan luas tanam 4,8 ha dan sisa seluas 18 ha disarankan untuk diberokan.

Aspek Sosial
Aspek sosial budaya yang dibahas dalam tulisan ini adalah respons dan harapan-
harapan para petani di desa tempat percobaan ini dilaksanakan. Hasil diskusi dengan 20 – 30
petani dari masing-masing desa disajikan dalam Tabel 7.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 379
Seminar Nasional 2005

Tabel 7. Respons dan harapan petani di Desa Tunbaun, Bokong dan Oelnasi terhadap pola pertanaman yang
diuji.

Pertanyaan Desa Tunbaun Desa Bokong Desa Oelnasi


Bagaimana cara Tebas dan Tebas bakar Tebas bakar
mempersiapkan lahan disingkirkan di tepi
ladang kebun
Mengapa suka Sudah biasa Sudah diterapkan Sudah biasa dilakukan sejak
menerapkan pola petani? diterapkan sejak keturunan kecil
sebelumnya
Komentar mengenai pola Menyukai pola ini Menyukainya karena Menyukai sebab terdapat
perbaikan yang diuji. karena dapat kombinasi dengan tanaman pakan ternak seperti
mengurangi aliran rumput untuk pakan lamtoro dan rumput karena itu
permukaan, namun ternak, namun perlu perlu diperkenalkan kepada
membutuhkan waktu bantuan bibit rumput petani melalui kebun
lebih lama untuk percontohan yang disiapkan
menanam petani
Apa keuntungan yang Selain dapat hasil Memperoleh hasil Memperoleh hasil tanaman
diperoleh dari pola panen, juga untuk kebutuhan untuk makan, untuk jual (labu)
perbaikan dibandingkan mempertahankan manusia juga untuk dan pakan ternak
pola petani ? kesuburan tanah pakan ternak
Komentar mengenai Semua komoditi yang Sangat menyukai Lamtoro dan rumput sangat
komoditi yang diuji disukai namun dimasukkannya setuju dimasukkan karena saat
dimasukkan dalam pola diusulkan tambah ubi rumput pakan ternak ini masyarakat sangat sulit
perbaikan kayu dan diusulkan mendapatkan hijauan pakan
ditambah kacang ternak dan usulan perlu
turis dimasukkan tanaman kacang
turis
Harapan petani Perlu disosialisasikan Petani lain yang Perlu dibuat kebun contoh
mengenai pola pola ini kepada petani hadir dalam
pertanaman di kawasan umumnya di desa ini pertemuan ingin
ini mencoba dan butuh
bantuan anakan
rumput

Tabel 7 menunjukkan bahwa petani di desa Bokong dan Oelnasi sudah terbiasa
membersihkan lahan dengan cara tebas bakar. Cara persiapan lahan ini menyebabkan
menurunkan kandungan bahan organik dan nitrogen serta mematikan tumbuhan yang sudah
ada sehingga tingkat penutupan vegetasi di kedua daerah ini sangat kurang. Rendahnya
penutupan tanah oleh vegetasi dapat berakibat pada meningkatnya laju erosi tanah.
Alasan utama para petani menerapkan pola petani adalah karena pola ini sudah
diterapkan sejak lama dan belum mengenal pola pertanaman lain. Dengan diperkenalkannya
pola pertanaman baru, para petani di ketiga desa memberikan respons posistif dengan
menerima pola ini dan ingin melanjutkannya. Komoditi yang dimasukkan dalam pola
pertanaman karena tidak banyak perbedaan dengan pola petani, umumnya diterima serta
lamtoro dan rumput sangat disenangi karena dapat dijadikan hijauan pakan ternak. Khusus
di desa Oelnasi, introduksi lamtoro dan rumput sangat disukai karena dapat menyediakan
pakan ternak yang sudah sulit diperoleh di wilayah ini.
Para petani mengharapkan penerapan yang lebih luas dan diperkenalkan kepada
petani lain secara meluas bahkan di desa Bokong dan Oelnasi mengharapkan dilakukan plot
percontohan agar dapat dilihat dan dipelajari oleh petani lainnya.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 380
Seminar Nasional 2005

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan data hasil penelitian, hasil analisis dan pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa :
a. Untuk meningkatkan kesuburan tanah serta memperkecil erosi yang terjadi di daerah ini,
penerapan pola pertanaman tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro // rumput
searah garis kontur.
b. Secara ekonomi pola pertanaman tumpang sari jagung + kc.nasi + labu // lamtoro //
rumput memiliki nilai LER tertinggi, namun karena memiliki risiko tinggi maka perlu
dikombinasikan dengan pola petani dan untuk lahan seluas 50 ha, disarankan untuk
diusahakan dengan pola jagung + ubi kayu + labu // lamtoro diusahakan paling banyak
yaitu seluas 13,7 ha, diikuti oleh pola jagung + ubi kayu + labu // lamtoro // rumput
seluas 13,5 ha dan pola petani masih tetap disarankan dengan luas tanam 4,8 ha dan
sisanya diberokan.
c. Pola perbaikan mudah diterima petani di kawasan ini karena komoditi yang dimasukkan
dalam pola pertanaman adalah komoditi yang sudah biasa diusahakan petani dan yang
memiliki multi fungsi sebagai tanaman konservasi namun juga sebagai sumber
pendapatan.

Saran
Perlu disusun rencana pengembangan pertanian terpadu di kawasan daerah tangkapan
air Bendungan Tilong dengan menerapkan pola pertanaman yang produktif, ekonomis,
rendah resiko dan ramah lingkungan agar dapat memperbaiki kesuburan lahan pertanian dan
mencegah terjadinya sedimentasi di Bendungan Tilong.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman dan F. Agus, 2000. Pengembangan Teknologi Konservasi Tanah Pasca-


NWMCP dalam Alternatif Teknologi Konservasi Tanah. Prosiding Lokakarya
Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hal. 25-38.
Abdurachman A. dan S. Sutono, 2002. Teknologi Pengendalian Erosi Lahan Kering dalam
Admihardja A, Mappaona dan Arsil aleh, 2002. Teknologi Pengelolaan Lahan
Kering menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Hal. 103-145.
Agus F., A. Mulyani dan B.R. Prowirodiputro, 2000. Agroekosistem dan Alternatif
Teknologi Konservasi di Palu dalam Alternatif Teknologi Konservasi Tanah.
Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hal. 263-277.
Anonimous, 1998. Laporan Studi Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Pembangunan
Bendungan dan Jaringan Irigasi Tilong Nusa Tenggara Timur. Hal. V1 – V38.
------------; 1999. Teknologi Budidaya Rumput Gambah untuk Pakan Ternak dalam
Rekomendasi Penerapan Paket Teknologi Sistem Usahatani di Nusa Tenggara
Timur. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Naibonat. Hal. 36 – 38.
Balo D. dan Syamsul Bahar, 1992. Peoduktivitas Lamtoro Sebagai Sumber Hijauan Pakan
yang Ditanam di Bawah Tegakan Pohon Kelapa dalam Jurnal Ilmiah Penelitian
Ternak Gowa. Volume 1, nomor 1, ISSN 0853-7151. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hal. 15-18.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 381
Seminar Nasional 2005

Barhiman S. 2000. Keputusan Petani dan Risikonya Dalam Memilih Pola pertanaman,
Studi Kasus Desa Oesao. Laporan Penelitian Kerjasama Antara Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Fakultas
Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang. 77 hal.
Brown L. R, 1992. Tantangan Masalah Lingkungan Hidup. Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta. 123 hal.
Basuki, T., da-Silva H, Wirdahayati R.B., A. Bamualim dan Subandi, 1997. Karakterisasi
zona agroekolosi (AEZ) di Nusa Tenggara Timur. Proyek PPSUNT/BPTP Naibonat,
Kupang. 39 hal.
Francis Ch. A. 1986. Multiple Cropping System. Macmillan Publishing Company. New
York. 370 hal.
Haryati U. Dan A. Dariah, 2000. Peranan Tanaman Penguat Teras Dalam Sistem Usahatani
Konservasi di Lahan Kering Daerah Aliran Sungai Cimanuk Hulu dalam Alternatif
Teknologi Konservasi Tanah. Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil
Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Hal 239-252.
Hazell P. B. R. and R. D. Norton, 1986. Mathematical Programming for Economic
Analysis in Agriculture. Macmillan Publishing Company. Hal. 76-109.
Kusnadi, 2004. Kajian Dampak Degradasi lahan Terhadap Perubahan Komponen
Lingkungan Geofisik di Sub DAS Baki Kabupaten Kupang. Thesis. Program
Pascasarjana Universitas Nusa Cendana. Kupang. 109 hal.
Mahfudz, 2001. Peningkatan Produktivitas lahan Kritis Untuk Pemenuhan Pangan Melalui
Usahatani Konservasi. Makalah Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana / S3, Institut
Pertanian Bogor. www.google.com, Jurnal Penelitian Pertanian. Vol. 19 / No. 3 /
2001. 13 hal.
Manwan, I. 1993. Strategi dan langkah operasional penelitian tanaman pangan berwawasan
lingkungan. Proseding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta/Bogor
23-25 Agustus 1993. Hal. 65-97.
Petrus F., 2001. Erosi dan Kandungan Sedimen dalam Aliran Sungai pada Berbagai
Simulasi Tataguna Lahan. Thesis. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya.
Malang. 370 hal.
Rahim S. E., 2000. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka pelestarian Lingkungan
Hidup. Bumi Aksara. 231 hal.
Reijntjes C., B. Haverkort dan A. Waters-Bayer, 2003. Pertanian Masa Depan. Pengantar
untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Penerbit kanisius. 250
hal.
Steel R. G. D. and J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan
Biometrik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Tala‟ohu, S.H., B.R. Prawirodiputra dan F.Agus, 1999. Produksi Hijauan Pakan Ternak
yang Ditanam Dalam Strip dalam Alternatif Teknologi Konservasi Tanah. Prosiding
Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Hal 253-261.
Wahid P., I. Las dan K. Dwijanto. 1993. Konsep Dasar Pendekatan Pengembangan lahan
Kering Berwawasan Lingkungan di Kawasan Timur Indonesia. Makalah pada
Lokakarya Status dan Pengembangan lahan Kering di Indonesia, Mataram 16-18
November 1993. 32 hal.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 382
Seminar Nasional 2005

PENGKAJIAN SISTEM USAHATANI PADA LAHAN KERING DATARAN


RENDAH BERIKLIM KERING DAERAH BULELENG – BALI

IGK. Dana Arsana, IN. Adijaya dan Suprapto


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian – Bali

ABSTRAK

Pengkajian Sistem Usahatani Pada Lahan Kering Marjinal dilakukan di Desa Sumberkima, Kecamatan
Gerokgak, Kabupaten Buleleng melibatkan dua kelompok tani koperator dengan 115 petani koperator.
Pengkajian diarahkan pada perbaikan pola usahatani menjadi produktif dan konservatif, memaksimalkan
sumberdaya yang ada. Kegiatan yang dilakukan meliputi perbaikan pola tanam dengan paket teknologi budidaya
maupun pemanfaatan air embung yang lebih optimal dengan pertanaman yang memiliki nilai ekonomis
tinggi seperti bawang merah, bawang putih, kacang panjang dan semangka. Untuk pengolahan limbah ternak
sapi dilakukan dengan pembuatan pupuk organik kascing dengan menggunakan cacing tanah (Lumbriscus
rubellus). Hasil pengkajian menunjukkan dengan penerapan teknologi introduksi menghasilkan jagung 4,90
ton/ha, kacang tanah 0,90 ton/ha, sedangkan pertanaman secara tumpangsari jagung dan kacang tanah
memberikan hasil jagung antara 2,1-2,5 ton/ha dan kacang tanah 0,76 - 0,79 ton/ha. Pelaksanaan demplot jagung
dan kacang tanah di Sumberkima mampu memberikan produksi yang lebih tinggi dari cara petani yaitu hasil
jagung meningkat dari 3,0-3,5 ton/ha menjadi 5,2 ton/ha, sedangkan kacang tanah meningkat dari 0,9 ton/ha
menjadi 1,4 ton/ha. Selain itu pengenalan pola tumpangsari dapat dipakai acuan untuk pengembangan lebih
lanjut.
Kata kunci : lahan kering, embung dan jagung

PENDAHULUAN

Bali luasnya 5.632,86 km2 (0,29%) dari luas Indonesia dengan penduduk lebih
kurang 2,9 juta jiwa, 49,4 mata pencaharian dalam sektor pertanian. Lahan produktif di
Propinsi Bali berkurang, disebabkan berkembangnya sektor Industri pariwisata, dan
penggunaan lainnya yang menyebabkan berkurangnya hasil pertanian. Lahan kering
/marjinal di Bali terletak bagian Timur dan Utara, luas 2.181,19 km (38,7 ). Rata- rata
curah hujan 1.400 – 1.700 mm/ tahun musim penghujan 4-5 bulan. Maret (Statistik Pertanian
Propinsi Bali 1991).
Pengelolaan lahan untuk memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah pada lahan
agar usaha pertanian dapat terus-menerus dilaksanakan dengan tanpa merusak kelestarian
lingkungan (Suwardjo, 1982). Pengelolaan yang kurang memadai akan menimbulkan
gangguan keseimbangan sumber daya alam sehingga degradasi kualitas akan dipercepat
(Soeryani, 1980).
Kebutuhan bahan pangan pokok semakin lama semakin meningkat dengan
meningkatnya pertambahan penduduk serta kurangnya diversifikasi makanan. Salah satu
alternatif adalah menangani lahan marjinal dengan baik, melalui budidaya tanaman dan
ternak, penyediaan air, konservasi lahan dan rehabilitasi lahan akan menjadi kan lahan yang
produktif.
Hasil Farm Record Keeping (FRK) pengkajian tahun 2000 memberikan gambaran
dengan penerapan pola tanam tanaman pangan dan pemeliharaan yang lebih intensif mampu
meningkatkan pendapatan petani 119% dibandingkan dengan sebelum pengkajian, hasil
yang dicapai pada tahun ketiga meningkat yaitu 285% di Kelompok Tani Abdi Pertiwi, dan
148% di Kelompok Tani Tirta Nadi (Suprapto dkk., 2001).
Kendala usahatani lahan marginal kurangnya ketersediaan air dan kurusnya unsur
hara pada lahan tersebut. Demikian pula pemilikan lahan yang sempit dengan musim tanam
yang pendek dan curah hujan yang tidak menentu sangat membatasi peningkatan intensitas
penggunaan lahan, serta kurangnya modal, pengetahuan dan keterampilan petani sangat
berpengaruh dalam merubah perilaku petani yang masih subsisten. Penerapan pola

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 383
Seminar Nasional 2005

usahatani terpadu dengan memperhatikan kelestarian lahan sangat diperlukan. Pola integrasi
antara tanaman dan ternak serta konservasi lahan dengan sentuhan teknologi yang tepat akan
dapat memberikan nilai tambah bagi petani dan merubah wawasan petani dalam
meningkatkan taraf hidupnya. Tujuan pengkajian adalah mengintroduksikan teknologi pola
tanam tanaman pangan dan hortikultura di lahan marjinal. Memanfaatkan air embung
dengan tanaman sayuran bernilai ekonomis tinggi. Memperbaiki dan mengembangkan
teknologi konservasi pada lahan marginal. Introduksi pengolahan limbah ternak menjadi
pupuk kascing. Mempercepat proses adopsi teknologi oleh petani.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Cakupan Kegiatan


Pengkajian dilaksanakan selama satu tahun (Januari-Desember 2002). Lokasi
pengkajian termasuk dalam Farming System Zone (FSZ) lahan kering dataran rendah
beriklim kering, dengan curah hujan rata-rata 1200 mm – 1600 mm dan 4 bulan basah. Pada
pengkajian ini melibatkan dua kelompok tani: 115 petani koperator dengan luasan 150 Ha,
Kelompok Tani Abdi Pertiwi, Kelompok Tani Tirta Nadi. Pengkajian meliputi : (1) Sistem
Usahatani (SUT) spesifik lokasi dengan orientasi agribisnis pada lahan marjinal di
Kecamatan Gerokgak dengan komoditas jagung Bisma, kacang tanah varietas kijang dan
kelinci serta beberapa jenis sayuran dataran rendah, dengan memasukkan beberapa
komponen, pemupukan berimbang, sistim olah tanah, pengendalian hama dan penyakit
terpadu, panen tepat waktu, pengolahan hasil, pemantapan kelompok, pengenalan teknologi,
dan pemanfaatan sumberdaya lahan yang tersedia, serta menyebarkan teknologi yang sudah
mantap dengan skala yang luas. Penataan lahan dengan metode konservasi untuk
mengurangi laju erosi dan untuk menambah kesuburan tanah dengan tanaman rumput raja,
gamal, tanaman buah- buahan (mangga, nangka dan rambutan) sebagai tanaman penguat
teras untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak. Kotoran ternak dikembalikan ke lahan untuk
perbaikan kesuburan tanah serta diperkenalkan pengolahan limbah ternak sapi menjadi
pupuk organik kascing; (2) Super Impose Trial (SIT) yang bertujuan untuk mendapatkan
teknologi yang sesuai dengan kondisi lokasi pengkajian sehingga bisa diterapkan dan
menguntungkan bagi petani.

Metode Analisis
(1) Data yang dikumpulkan pada pengkajian SUT meliputi data agronomi (pertumbuhan dan
hasil), serta dilakukan analisis (B/C ratio, Titik impas produksi dan biaya produksi) dari
masing-masing kegiatan; (2) Kegiatan SIT data yang dikumpulkan meliputi data
pertumbuhan, komponen hasil, dan hasil per hektar disesuaikan dengan rancangan percobaan
yang digunakan. Analisa yang dilakukan yaitu analisa sidik ragam, apabila perlakuan
berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Analisa regresi dilakukan
untuk mengetahui model persamaan hasil dengan perlakuan yang diuji; (3) Tabulasi data
dilakukan terhadap data yang diperoleh dari PRA dan FRK pada petani koperator kemudian
dianalisa menurut jenis data.

Prosedur Pelaksanaan
Pengkajian ini merupakan pengkajian lanjutan, pekerjaan yang dilaksanakan
sebagai berikut : (a) Pelaksanaan PRA untuk mengetahui data dasar lokasi pengkajian; (b)
Penerapan pola tanam meliputi pola usahatani tanaman pangan dan hortikultura. Jagung di
tanam dengan jarak tanam 75 x 40 cm dan kacang tanah 40 x 20 cm dengan 2 biji per
lubang. Pada pola tumpangsari jarak tanam jagung 200 x 40 cm. Dosis pupuk digunakan
yaitu 200 kg Urea/ha, 50 kg SP-36/ha, dan 50 kg KCl/ha (jagung), dan 50 kg Urea/ha, 50 kg
Sp-36/ha, dan 50 kg KCl/ha untuk kacang tanah. Pada semangka jarak tanam 2,5 m x 1,0 m
dengan 2 tanaman/lubang, pupuk kandang 2 kg/lubang tanam dan 200 kg Urea/ha, 150 kg
Sp-36/ha, 150 kg KCl/ha. Kacang panjang jarak tanam yaitu 60 x 40cm 2 tan/lubang,

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 384
Seminar Nasional 2005

dengan pemupukan 50 kg Urea/ha, 50 kg KCl/ha, dan 50 kg KCl/ha. Pada bawang merah


jarak tanam yaitu 20 x 10 cm dengan dosis pupuk yang dipergunakan yaitu 10 ton pukan
sapi/ha, serta Urea 100 kg/ha, 75 kg SP-36 /ha, 75 kg KCl /ha; (c) Kegiatan konservasi lahan
dengan penanaman tanaman penguat pada pematang petakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pola Usahatani


Hasil pola usahatani yang dilakukan di musim penghujan di Kelompok Tani Abdi
Pertiwi dan Tirta Nadi (Tabel 1). Produsen jagung berturut-turut 5,24 ton/ha dan 5,16
ton/ha. Jagung dipanen awal bulan Maret 2002, diikuti oleh pertanaman yang kedua (gadu)
berupa tanaman jagung dan kacang tanah ditanam secara monokultur dan tumpangsari.
Hasil panen menunjukkan bahwa hasil pertanaman secara monokultur pada
Kelompok Tani Abdi Pertiwi memberikan hasil jagung monokultur 5,12 ton/ha, dan kacang
tanah 0,95 ton/ha, sedangkan pertanaman secara tumpangsari memberikan hasil jagung 1,97
ton/ha dan kacang tanah 0,78 ton/ha. Di Kelompok Tani Tirta Nadi memberikan hasil
jagung 4,97 ton/ha dan kacang tanah 0,92 ton/ha, tumpangsari jagung 1,90 ton/ha dan kacang
tanah 0,79 ton/ha.
Tabel 1. Hasil Usahatani Kelompok tani Abdi Pertiwi dan Tirta Nadi, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten
Buleleng, Musim Tanam 2002.

Pertanaman Abdi Pertiwi Tirta Nadi


Jagung 5,24 ton/ha 5,16 ton/ha
Tumpang sari. jagung/Kc. tanah 1,97 ton/ha / 0,78 ton/ha 1,90 ton/ha / 0,79 ton/ha
Jagung 5,12 ton/ha 4,97 ton/ha
Kc. tanah 0,95 ton/ha 0,92 ton/ha
Bawang merah 90,5 kg/are
Bawang putih 78 kg/are*
Kacang panjang -

Bawang merah ditanam pada musim kemarau di Kelompok Tani Abdi Pertiwi
memberikan rata-rata hasil 90,5 kg/are kering susut bobot 20%, sedangkan pertanaman
bawang putih dipanen pada pertengahan bulan September memberikan hasil 78 kg/are berat
basah. Pertanaman pada musim kemarau memanfaatkan air embung sehingga luasan tanam
berkisar 100 m2 – 500 m2.

Demplot di Desa Sumberkima


Penyebar luasan hasil pengkajian pada daerah yang memiliki agroklimat yang serupa
dengan lokasi pengkajian, dilakukan demplot di Desa Sumberkima, Kecamatan Gerokgak,
Buleleng. Hasil analisis demplot disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Demplot Jagung dan Kacang Tanah di Sumberkima, Kecamatan Gerokgak, Musim Tanam, 2002.

Pertanaman Jagung (ton/ha) Kacang Tanah (ton/ha)


Jagung monokultur 5,25 -
Kacang tanah monokultur (V1) - 1,48
Kacang tanah monokultur (V2) - 1,47
J1V1 2,25 1,11
J1V2 2,56 1,16
J2V1 1,72 1,38
J2V2 1,74 1,30
Keterangan :
V1 : Varietas Kijang J1 : Jarak tanam jagung 160 cm x 40 cm
V2 : Varietas Kelinci J2 : Jarak tanam jagung 240 cm x 40 cm

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 385
Seminar Nasional 2005

Pengenalan pertanaman secara monokultur dan tumpangsari dengan paket


pemeliharaan tanaman memberikan pilihan bagi petani didalam kegiatan usahataninya.
Pertanaman secara monokutur memberikan hasil yang cenderung lebih tinggi dibandingkan
pertanaman secara tumpangsari, hal ini disebabkan oleh adanya kompetisi tanaman di dalam
mendapatkan faktor tumbuh baik di atas maupun di bawah tanah pada tanaman kacang
tanah, sedangkan pada tanaman jagung penurunan hasil lebih disebabkan karena penurunan
jumlah populasi tanaman per satuan luas. Tumpangsari memiliki beberapa keuntungan
diantaranya dapat menggunakan sumberdaya lebih efisien seperti dalam pemeliharaan
tanaman, memberikan hasil dua komoditas dalam satu areal dan mengurangi resiko
kegagalan.
Luas demplot masing-masing perlakuan berkisar + 15 are dengan memnggunakan
lahan petani dan dilakukan langsung oleh petani. Hasil demplot ini memberikan hasil yang
cukup menjanjikan mengingat hasil tanaman jagung monokultur di Desa Sumberkima
berkisar antara 3,0 – 3,5 ton/ha, sedangkan hasil kacang tanah + 0,9 ton/ha. Hal ini
disebabkan karena petani setempat kurang menerapkan teknologi serta masih menggunakan
varietas lokal. Melihat hasil tersebut maka penerapan teknologi secara luas di Kelompok
Tani dapat dianjurkan dengan pemanfaatan hasil demplot tersebut

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Dengan penerapan teknologi introduksi memberikan hasil jagung lebih dari 4,9 ton/ha,
dan kacang tanah lebih dari 0,90 ton/ha.
2. Pemanfaatan air embung pada musim kemarau untuk tanaman bernilai ekonomis tinggi
memberikan hasil bawang merah 90,5 kg/are dan bawang putih 78 kg/are.
3. Pelaksanaan Demplot di Desa Sumberkima mampu meningkatkan hasil jagung dan
kacang tanah sehingga dapat dijadikan acuan untuk pengembangan lebih lanjut.
4. Pelaksanaan PRA bertujuan untuk mempelajari wilayah untuk selanjutnya dapat
melibatkan masyarakat di dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program.
Saran
Untuk pengembangan lahan kering di Buleleng barat perlu dilakukan secara terpadu
antara peternakan dengan pertanian dan kehutanan sehingga sistim usahatani pada lahan
kering berlangsung baik.

DAFTAR PUSTAKA

Statistik Pertanian Propinsi Bali. 1991. Kantor Wilayah Departemen Pertanian Propinsi
Bali. 165 hal.
Soeryani, M. 1980. Berbagai Masalah Lingkungan Sebagai Tantangan Terhadap Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi. Ceramah Umum Pusat Studi Lingkungan UNSOED
Purwokerto, 29 Maret 1980. Tidak dipublikasikan.
Suwardjo. 1982. Pengelolaan Lahan Kering di daerah Transmigrasi. Prosiding Usahatani
Lahan Kering. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.
Direktorat Perluasan Tanaman. Jakarta. Hal. 12 – 16.
Suprapto, dkk. 2001. Laporan Hasil Pengkajian Lahan Marginal di Buleleng – Bali.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 386
Seminar Nasional 2005

STRATEGI PENGEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING YANG RAMAH


LINGKUNGAN MELALUI INTEGRASI TERNAK SAPI DAN TANAMAN

I. B. Aribawa dan I. K. Kariada


Peneliti Balai Penelitian Teknologi Pertanian Bali

ABSTRAK

Sejak tahun 1970-an (era pembangunan jangka panjang tahap I) focus perhatian pembangunan
pertanian telah banyak dicurahkan pada teknologi lahan-lahan beririgasi. Belakangan disadari bahwa lahan-lahan
kering menyimpan potensi produktivitas yang sangat besar dalam mendukung ketahanan pangan. Dengan
demikian akhir-akhir ini banyak pengkajian difokuskn pada penciptaan teknologi tepat guna untuk
memberdayakan lahan-lahan kering. Teknologi integrasi ternak dan tanaman diprediksi cocok mendukung
pemberdayaan potensi local untuk dikembangkan pada lahan-lahan kering yang terintegrasi dengan berbagai
jenis komoditas tanaman. Dalam makalah ini dibahas aspek kebijakan strategis dalam memberdayakan lahan-
lahan kering melalui peningkatan produksi ternak, pengolahan limbah ternak dan tanaman untuk membuat pupuk
organic kascing, aplikasi pupuk organic kascing untuk meningkatkan produktivitas tanaman serta upaya-upaya
konservasi lahan dan air. Strategi yang diterapkan melalui pemberdayaan keterpaduan sistem holistic yang saling
memberikan nilai tambah terhadap setiap komponen produksi.
Kata kunci : strategi, lahan kering, teknologi, integrasi, ternak, tanaman, konservasi, ramah lingkungan.

PENDAHULUAN

Dalam setiap tahap pembangunan pertanian, pemerintah telah sangat banyak


memberikan perhatian pada pembangunan lahan-lahan beririgasi. Teknologi mendukung
peran tersebut seperti menggunakan benih unggul dan pupuk kimia yang secara intensif telah
diterapkan sejak REPELITA I pada tahun 70-an dan berhasil memacu produksi cukup tinggi,
namun juga menyebabkan merosotnya kualitas dan kesuburan lahan. Selain itu terdesak pula
varietas unggul lokal dan kearifan teknologinya yang menjadi ciri dan kebanggaan
masyarakat pedesaan. Sementara itu, terkonsentrasinya pengembangan teknologi pangan
pada lahan sawah menyebabkan kurang berkembangnya teknologi pada ekosistem lainnya
seperti lahan-lahan kering. Pada saat teknologi lahan sawah relatif stagnan maka teknologi
lahan kering, maupun agroekosistem lainnya belum mampu meningkatkan produktifitas
tanaman secara signifikan. Kebijakan pengembangan komoditas pangan yang terfokus pada
padi secara monokultur telah mengabaikan potensi pengembangan sumberdaya lainnya
terutama di lahan-lahan kering.
Melihat peranan lahan kering sangat penting dalam menunjang kegiatan pertanian
maka sangat penting pula untuk menelaah yang terkait dengan pengembangannya secara
ramah lingkungan, menata pengembangan sumberdaya yang berkelanjutan, kesejahteraan
petani serta penciptaan lapangan kerja. Struktur pertanian lahan kering ini umumnya
didominasi oleh usaha pertanian yang berskala kecil oleh karenanya sangat membutuhkan
sentuhan teknologi tepat guna spesifik lokasi agar terjadi peningkatan nilai tambah.
Secara umum pemanfaatan lahan kering baik dataran rendah maupun dataran tinggi
telah menerapkan konsep pengembangan pertanian terpadu dimana terdapat komponen
pemeliharaan tanaman, komponen pemeliharaan ternak serta penanganan limbahnya
walaupun sering teknologi yang diterapkan masih bersifat tradisional. Pada aspek
pemeliharaan tanaman, komponen produksi masih sering dilaporkan rendah, peningkatan
bobot ternak misalnya sapi juga rendah yang berkisar 250-350 gram per ekor per hari serta
limbah ternak dan tanaman sering tidak dimanfaatkan (Kariada, et. al. 2002). Realita dan
permasalahan di atas melatar belakangi munculnya konsep sistem pertanian berkelanjutan
yang berorientasi pada optimalisasi potensi sumber daya secara bijaksana dan lebih alamiah
agar mampu diberdayakan secara berkelanjutan (sustainable development) dengan
mengedepankan aspek pengembangan pertanian berjangka panjang (Kartini, 1994;

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 387
Seminar Nasional 2005

Petheram, 1999). Konsep ini mengharapkan agar terjadi suatu keseimbangan alamiah yang
menekankan pada aspek konservasi sumberdaya, menekan dampak negatif, memelihara
keseimbangan lingkungan, meningkatkan efisiensi dengan pemanfaatan / mengembalikan
bahan organik ke dalam tanah serta meningkatkan rasa percaya diri petani terhadap
profesinya bahwa pertanian adalah sumber pendapatan yang sarat dengan makna kehidupan
(Kartini, 2000; Kariada, et. al., 2004). Sementara menurut Kallsen (2005) konsep pertanian
berkelanjutan yang ramah lingkungan mengacu pada spek-aspek: (a) mampu mencapai
keterpaduan siklua biologi alamiah dan kontrolnya; (b) mampu melindungi dan memperbaiki
kesuburan tanah dan sumberdaya alam; (c) mampu meningkatkan manajemen pemanfaatan
sumberdaya pertanian; (d) mampu menekan bahan-bahan yang tidak dapat diperbaharui dan
menekan biaya input; (e) mampu meningkatkan pendapatan petani, serta mampu mengurangi
dampak negatif terhadap kesehatan, keamanan pangan, kualitas air serta lingkungan. Paper
ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang stategi pengembangan pertanian
berkelanjutan yang ramah lingkungan dengan menekankan pada spek-aspek pemberdayaan
potensi local.

STRATEGI DAN LANGKAH OPERASIONAL

Pengembangan Konsep Integrasi Ternak dan Tanaman


Pengembangan pertanian berwawasan lingkungan di pedesaan mempunyai sasaran
untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, pemberdayaan, kapasitas,
kemandirian dan akses masyarakat pertanian dalam pembangunan berkelanjutan. Langkah-
langkah yang diperlukan adalah melalui peningkatan kualitas dan kuantitas produksi,
efisiensi pemanfaatan input serta pengembangan potensi sumberdaya lokal.
Indikator tercapainya sasaran pengembangan pertanian berkelanjutan yang ramah
lingkungan antara lain dicirikan oleh:
1. Petani mampu akses langsung dengan teknologi spesifik lokasi yang diintroduksikan
oleh berbagai pihak baik peneliti maupun instansi lainnya.
2. Tumbuh dan berkembangnya kelompok-kelompok tani mandiri yang selalu
menyuarakan konsep ramah lingkungan.
3. Aktivitas para petani/kelompok tani berkelanjutan walaupun dengan binaan yang sangat
minimal.
4. Para petani mengerti dan menyadari untuk berproduksi sehat dan berkualitas dengan
standard yang telah ditetapkan untuk menjamin daya saing yang akan berhadapan
dengan perdagangan bebas.
5. Para petani mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan input dan peningkatan
produktivitas yang ramah lingkungan melalui kreativitas kelompok tani.
6. Meningkatnya produktivitas lahan serta menurunnya intensitas serangan OPT dan
penyakit.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam suatu zona agroekologi lahan kering
tertentu dapat diciptakan suatu aktivitas terpadu yang mampu menciptakan suatu sistem
holistic yang saling memberikan peningkatan nilai tambah. Pada lahan-lahan kering secara
umum para petani telah memiliki ternak baik ternak sapi, kambing, ayam maupun babi serta
mengelola usaha pertanian walaupun dalam skala kecil. Dalam kegiatan yang bersifat
holistik maka ada langkah-langkah operasional introduksi teknologi yang mampu
meningkatkan produktivitas, efisiensi dan partisipasi para petani. Dalam sistem ini maka
terdapat beberapa aspek penting dalam pelaksanaan yaitu : (a) meningkatkan produktivitas
pada aspek peternakan, (b) meningkatkan produktivitas pada aspek tanaman, (c)
meningkatkan efisiensi inputan/saprodi, (d) meningkatkan daya dukung tanah dan air, (e)

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 388
Seminar Nasional 2005

serta secara simultan membenahi teknologi introduksi melalui berbagai kajian-kajian kecil
yang mampu mendukung aktivitas integrasi. Beberapa langkah operasional meliputi :

1. Meningkatkan Produktivitas Ternak (Sapi)


Dalam meningkatkan produktivitas ternak sapi maka pemilihan bbit sapi menjadi
prioritas terutama untuk sapi penggemukan perlu memilih bibit yang sudah besar dengan
berat awal rata-rata 250 s/d 300 kg. Bibit sapi yang besar akan lebih cepat peningkatan
bobotnya bila dibandingkan dengan sapi yang lebih kecil. Beberapa hasil pengkajian
introduksi teknologi bioplus (bio-cas 5 cc/ekor/hari, HMT 10% dari bobot sapi serta pakan
penguat dedak 2 kg/ekor/hari) menunjukkan bahwa rata-rata PBB sapi yang berat awalnya
300 kg mampu meningkat mencapai rata-rata 0.640 kg/ekor/hari pada sapi Bali (Kariada, et.
al., 2004), sementara pada sapi Ongole sebesar 0,90 kg/hari/ekor (Herry, et al.; 1996).
Beberapa hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa dengan pemberian pakan penguat
pada sapi ternyata mampu menghasilkan peningkatan bobot secara nyata. Parwati et al.
(1999), menyatakan hal ini disebabkan karena pakan penguat atau konsentrat lebih banyak
mengandung karbohidrat sederhana dan lebih sedikit kandungan serat kasarnya sehingga
penambahan konsentrat akan meningkatkan nilai cerna keseluruhan pakan (Blakely and
Bade, 1998). Meningkatnya PBB sapi pada pemberian probiotik disebabkan karena Biocas
mengandung mikroba-mikroba yang dapat membantu memecahkan karbohidrat kompleks
menjadi senyawa–senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna oleh saluran
pencernaan sapi (Guntoro et al, 2001). Probiotik merupakan kumpulan mikroorganisme
yang mampu menguraikan bahan-bahan organik komplek pada pakan menjadi bahan organik
sederhana sehingga mempermudah diserap oleh saluran pencernaan kedalam tubuh sebagai
bahan sari-sari makanan untuk membangun tubuh dengan sempurna.
Selain memperhatikan kondisi pakan ternak (HMT segar, HMT olahan, pakan
penguat dan probiotik), maka factor kesehatan ternak juga memegang peranan yang sangat
penting dalam peningkatan bobot sapi. Pada umumnya pemeliharaan ternak secara
tradisional belum memperhatikan tentang kesehatan hewan. Kesehatan hewan baru
mendapatkan perhatian saat hewan tersebut sudah sakit, dan hal ini biasanya terlambat untuk
mendapatkan penanganan, dan hal ini akan berakibat fatal bagi peternak.

2. Melakukan Pengolahan Limbah Ternak dan Tanaman menjadi Pupuk Organik


Pada umumnya para petani di pedesaan meliliki ternak sapi berkisar 2-3 ekor/KK.
Kotoran sapi yang bercampur sisa-sisa pakan ataupun limbah organik lainnya dapat
dijadikan pupuk organik dengan prosesor cacing untuk pembuatan pupuk kascing. Dengan
pembuatan pupuk kascing ini di tingkat petani dan merupakan kegiatan rutin maka para
petani akan selalu memiliki stok pupuk organik sehingga tidak pernah tergantung pada
gejolak harga pupuk an-organik di tingkat pasar. Hal ini merupakan suatu kekuatan selain
menekan biaya input sehingga terjadi efisiensi tinggi juga secara simultan dapat menekan
pemanfaatan pupuk an-organik.
Pada proses pembuatan pupuk organik kascing diperlukan beberapa langkah mulai
dari persiapan hingga pelaksanaan dan panen (lihat Gambar 1). Dalam pelaksanaannya
diperlukan : (a) bak prosesing beratap, (b) cacing, (c) bahan-bahan dasar yang diproses yaitu
limbah ternak sapi dan limbah tanaman/ sayuran, sebagai sumber makanan cacing, (d)
sumber air untuk menjaga kelembaban, (e) Menjaga agar tidak dimakan semut. Proses ini
sangat sederhana dan dapat dilakukan dengan baik oleh para petani.
Dalam tahap awal bahan-bahan mentah seperti limbah ternak dan limbah tanaman
dimasukkan ke dalam bak penampungan dengan luas bangunan yang bervariasi sesuai
banyaknya limbah ternak. Untuk kepemilikan sapi 3 ekor sapi dapat dibuat bak
penampungan yang beratap dengan luas 3 x 4 m dan diberi dinding batako 2 susun agar
kompos dapat dikumpulkan untuk diproses hingga panen selama sekitar 30 hari. Adapun
proses tersebut seperti gambar di bawah ini.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 389
Seminar Nasional 2005

Diberikan cacing
tanah

Limbah ternak dan tanaman

Pupuk kascing siap


digunakan untuk
Gambar 1. Proses Pembuatan Pupuk Kascing. tanaman

Untuk mengetahui komposisi nutrisi pupuk organic kascing, maka telah dilakukan
analisis kimia dengan hasil sebagai berikut (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil analisis kimia tanah dan pupuk kompos di dusun Pemuteran Candikuning Baturiti Tabanan,

No. Uraian Analisis kascing


1 PH 9.45 (A)
2. C-org (%) 17.64 (ST)
3. N-Total (%) 0.70 (T)
4. P Tersedia (ppm) 624.25 (ST)
5. K Tersedia (ppm) 11.842.40 (ST)
6. Kadar Air (%) 13.18 (KU)
Keterangan :
Tekstur : pasir berlempung
A = alkalis, T = tinggi, ST = sangat tinggi, KU = kering udara, R = rendah, S = sedang, AM = agak masam.
Sumber : Kariada, I.K. , et.al., 2004

Data-data di atas menunjukkan bahwa kadar nutrient pupuk organic kascing adalah
sangat baik apabila diaplikan ke dalam tanah akan mampu meningkatkan pH tanah serta
mampu melepaskan beberapa unsure-unsur nutrisi yang terjerap, misalnya Al-P. Sementara
menurut Kartini (1999) kandungan unsure hara pupuk kascing adalah N (1.99%), P (3.92%),
K (0.69 %), S (0.92%), Cu (0.045 %) dan Fe (0.081 %) serta mengandung zat tumbuh
(Auksin) yang mampu merangsang pertumbuhan akar dengan baik. Dengan kondisi seperti
maka pupuk kascing sangat baik diaplikasikan pada tanam-tanaman pangan maupun
perkebunan.

3. Introduksi Pupuk Organik Dalam Meningkatkan Produktivitas Tanaman


Beberapa kajian introduksi pupuk organic kascing pada tanaman telah dilaporkan
mampu meningkatkan hasil secara nyata. Data beberapa produksi tanaman sayuran yang
dikompilasi sejak tahun 2000 menunjukkan sebagai berikut (Tabel 2).
Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah dan lebar daun, diameter batang dan bobot tanaman sawi pada umur
16 HST.

Tinggi Jumlah Bobot


Cara Pemberian Lebar daun Diameter Produksi
tanaman daun tanaman
Perlakuan *) (cm) batang (cm) (kg/are)
(cm) (helai) (gram)
P0 =cara petani 28.23 6.34 9.47 0.64 57.26 128.26 a
P1 = Fine compost 37.63 7.34 12.59 0.84 105.16 235.11 d
P2 = Kastcing 44.41 9.34 14.81 1.12 125.36 280.88 e
P3 = ½ P0 + ½ P1 31.34 6.38 10.36 0.63 80.42 170.14 b
P4 = ½ P0 + ½ P2 33.20 7.56 11.10 0.82 93.78 210.07 c
Sumber : Kariada, I.K. et. al. (2000)

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 390
Seminar Nasional 2005

Tingginya hasil yang ditunjukkan oleh perlakuan pupuk kascing diakibatkan oleh
komposisi unsur hara yang dikandung oleh pupuk kascing cukup baik (Tabel 1). Unsur hara
yang dikandung ini sangat sesuai dengan kebutuhan tanaman sayuran yang membutuhkan
kation-kation makro maupun mikro seperti di atas. Komposisi unsur yang dikandungnyapun
sangat berimbang sehingga ketersediaan unsur hara yang siap diabsorpsi oleh akar pada fase
generatif akan terpenuhi terutama pada saat fase-fase absorpsi nitrogen dalam pembentukan
akar, batang dan daun (Soepardi, 1974). Sementara pada pemberian pupuk kimia (NPK)
justru memperlambat ketersediaan unsur hara akibat dari sifat fisik tanah di lokasi
pengkajian adalah teksturnya berpasir yang berarti aerasinya sangat baik. Pupuk kimia
Nitrogen akan mudah mengalami leaching/pencucian, demikian pula P dan K akan menjadi
tidak berimbang karena faktor N yang berkurang
Beberapa data pengkajian yang dilakukan di tempat lain seperti di lahan kering
daerah pinggiran perkotaan tentang pengkajian pupuk organic kascing terhadap sifat fisik
tanah dengan komoditi kacang panjang menunjukkan terjadinya peningkatan pH tanah, C-
organik dan produksi (Tabel 3).
Tabel 3. Pengaruh Beberapa Perlakuan Pupuk Organik Kascing Terhadap pH Tanah, C-Org. Tanah dan
produksi Kacang panjang Dibandingkan dengan Perlakuan NPK

Dosis (kg/Ha) pH Tanah C-Organik Tanah (%) Produksi (T/Ha)


Pupuk Kascing
0 6.01 1.20 2.42
2500 6.20 1.29 4.32
5000 6.33 1.42 4.76
7500 6.51 1.67 4.73

Pupuk NPK
100 6.02 1.14 2.45
Sumber : Kariada, I.K. dan I.B. Aribawa (2004)

Dari data tersebut di atas ternyata perlakuan pupuk organik kascing memberikan
perbaikan terhadap sifat fisik tanah dimana pH dan C-Organik tanah tertinggi diperoleh pada
dosis 7.500 kg/ha masing-masing 6.51 dan 1.67% sementara bila dibandingkan dengan
perlakuan pupuk kimiawi dengan dosis anjuran hanya mampu menghasilkan pH 6.02 dan C-
org tanah 1.14%. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk organic kascing mampu memperbaiki
sifat fisik tanah.
Pengaruh perlakuan pupuk organik kascing dan kombinasinya dengan NPK pada
tanaman cabai merah (hot chili) menunjukkan bahwa jumlah buah yang dihasilkan oleh
perlakuan kascing menunjukkan jumlah terbanyak (Tabel 4). Hal ini diakibatkan oleh selain
pupuk kascing mampu memperbaiki struktur tanah, pupuk ini juga ditengarai mengandung
zat tumbuh auksin, giberelin dan sitokinin (Anonim, 1999).
Tabel 4. Rata-rata Jumlah Buah Cabai per Tanaman di Desa Tonja, Kota Denpasar

Perlakuan Rata-rata Jumlah Buah Cabai per Tanaman (buah)


P0 (Kontrol) 91.20
P1 (Fine Compost) 128.90
P2 (Kascing) 140.56
P3 (1/2 P0 + 1/2 P1) 114.00
P3 (1/2 P0 + 1/2 P2) 117.10
Sumber : Kariada, I.K. et. al. 2000

Sementara itu, data-data pengkajian pupuk organic kascing pada bawang merah di
daerah pinggiran perkotaan menunjukkan bahwa perlakuan pupuk Kascing dengan dosis 5
ton/Ha memberikan rata-rata hasil yang terbaik untuk seluruh parameter pengukuran.
Produksi yang dicapai mencapai 15.07 ton/Ha (Tabel 5).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 391
Seminar Nasional 2005

Tabel 5. Rata-rata tinggi dan jumlah umbi tanaman bawang merah var. Philippina .

Perlakuan Rata-rata tinggi (cm) Jumlah Umbi per rumpun Produksi (kg/Ha)
P1 (Cara petani) 33.45 9.15 10.69
P2. (NPK 100-50-50) 34.75 10.35 10.80
P3 (Pukan babi 5 t/Ha) 35.50 10.65 11.28
P4 (Kascing 5 t/Ha) 39.35 10.50 15.07
Sumber : Kariada, I.K. 2003

Beberapa data juga diterima dari para pelaku (petani) yang menerapkan pupuk
organic kascing menyatakan bahwa pemberian pupuk kascing mampu meningkatkan
produktivitas secara nyata. (Pan Wilis, 1999) yang menerapkan pupuk kascing pada
mentimun dan padi.

4. Pemberdayaan Sumberdaya Air Melalui Pembangunan Bak-bak Penampung Air


Hujan (Embung)
Dengan mengambil contoh pada pengembangan teknologi integrasi pada lahan
kering dataran tinggi beriklim basah di Kecamatan Baturiti Tabanan Bali, maka diperoleh
data-data monografi wilayah yang menunjukkan bahwa terjadi musim kemarau selama
selama 5 bulan mulai dari bulan Juli hingga Nopember. Dampak yang ditimbulkannya
adalah banyak petani menjual ternaknya pada bulan-bulan tersebut walaupun belum siap
dijual dengan alasan kesulitan pakan baik yang bersumber dari rumput-rumputan (HMT)
maupun dari limbah sayuran serta tidak melakukan budidaya sayuran. Untuk mengantisipasi
kesulitan air, para petani menampung air dalam bak penampungan yang digunakan untuk
kebutuhan sapi, mengoptimalkan hijauan maupun sayuran yang berasal dari limpasan curah
hujan. Tabel 6 berikut menunjukkan keadaan curah hujan di wlayah tersebut.
Tabel 6. Rata-rata curah hujan per bulan di Baturiti Tabanan selama 5 tahun (1998 -2002)

Total curah hujan (mm)


Tahun
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sep Okt Nop Des Total
1998 378 580 483 318 153 152 161 57 345 222 480 399 3728
1999 316 402 441 563 103 65,9 109 65,5 11,2 495 661 369 3602,4
2000 993 851 982 - 411 83,8 34,2 94,9 10,2 178 630 107 4374,9
2001 613 218 377 344 111 91,9 21 10,1 13,7 88,3 4 101 1993,1
2002 151 738 340 293 54.6 15,1 23,1 25,8 42,1 - 176 508 2366,9
Rata-rata 490 558 525 380 166 82 70 51 84 197 390 297 3213

mm/bln
600 558
525
490
500

380 390
400
297
300
197
200 166

82 70 84
100 51

0
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sep Okt Nop Des

Bulan

Gambar 1. Rata-rata curah hujan per bulan di Kecamatan Baturiti Tabanan

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 392
Seminar Nasional 2005

Sementara rata-rata jumlah hari hujan per bulan disajikan dalam Tabel 7. Nampak
bahwa para petani mengalami kesulitan melakukan budidaya sayuran serta memelihara
ternak sapi potong pada bulan-bulan kering tersebut. Hal ini mengindikasikan pentingnya
menyimpan air dalam embung.
Tabel 7. Rata-rata hari hujan per bulan di Baturiti selama 5 tahun (1998 - 2002).

Total hari hujan (hari/bulan)


Tahun
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Total
1998 16 20 20 15 11 13 11 8 11 16 18 11 170
1999 19 20 20 20 6 8 9 8 6 14 18 22 170
2000 18 21 23 - 19 12 6 5 2 10 21 12 149
2001 20 26 16 12 13 18 4 7 13 14 7 19 169
2002 24 15 19 18 8 5 9 6 9 0 17 21 151
Rata-rata 19 20 20 16 11 11 8 7 8 11 16 17 162

JHH/bln
25
20 20
19
20 17
16 16
15
11 11 11
10 8 7 8

0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

Bulan

Gambar 2. Rata-rata Hari Hujan per Bulan di Kecamtan Baturiti Tabanan

Beberapa pengkajian pengelolaan sumberdaya air menunjukkan bahwa


penampungan air limpasan hujan dapat diberdayakan untuk keperluan ternak dan tanaman
hingga perioda 6 bulan tergantung besarnya penampuangan air yang dibuat. Menurut hasil
penelitian pemanfaatan embung yang dilakukan oleh Suprapto, et al. (2000, 2001) di Desa
Patas Buleleng menunjukkan terjadinya peningkatan aktivitas usaha tani di musim kemarau
dengan indeks penanaman yang meningkat pada tanaman-tanaman jagung, sayuran, padi
gogo, kacang tanah dan lain-lainnya yang berkisar 0,25 - 0,30 ha per petani dan pendapatan
petani meningkat sekitar 119%. Oleh karena itu air yang ditampung dalam embung akan
memberikan nilai tambah yang cukup baik. Embung memiliki peran penting karena
berfungsi sebagai depot air yang bisa dimanfaatkan pada saat tanaman membutuhkan air,
selain juga bermanfaat untuk ternak dan kebutuhan sehari-hari. Melihat besarnya manfaat
embung maka pengembangan teknologi embung pada daerah-daerah lahan kering di Baturiti
sangatlah bermanfaat, dengan melihat daya dukung daerah masing-masing.
Berdasarkan potensi seperti ini maka upaya-upaya dalam membangun embung
permanen dalam skala rumah tangga akan mampu digunakan lebih baik untuk kebutuhan
ternak, prosesing pupuk organik kascing maupun untuk tanaman bernilai tambah tinggi
seperti kentang, cabai, bawang dan lainnya (Gambar 3).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 393
Seminar Nasional 2005

Gambar 3. Embung sebagai penampungan air (model embung permanent).

Dengan introduksi embung permanen maka intensitas tanam sayuran dapat


dilakukan secara berlanjut pada saat musim kemarau tiba. Pembangunan embung-embung
penyimpan air skala rumah tangga adalah strategis karena tidak membutuhkan biaya besar
dan diharapkan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan daya dukung lahan dalam kegiatan
usahatani sehingga akan dapat meningkatkan produktivitas lahan, tenaga kerja dan
pendapatan petani. Beberapa tulisan tentang pentingnya peran embung sebagai bak
penampung air dapat dilaporkan seperti pada Tabel 8 berikut :
Tabel 8. Pemanfaatan embung untuk tujuan pertanian di beberapa daerah

Sasaran/Topik Lokasi Kepentingan Referensi


Lahan kering dataran Grokgak Buleleng Bali SUT terpadu : konservasi Suprapto, et al.,
rendah tanah dan air, tanaman (pola 2000,2001
tanam), ternak.
Lahan kering dataran Baturiti Tabanan Bali SUT terpadu : konservasi Kariada, et al., 2002
tinggi tanah dan air, tanaman, ternak
Lahan sawah tadah hujan Pati, Cilacap Rembang Budidaya tanaman pangan Mulyadi dan
Jateng (pola tanam) Suprapto, 2000
Embung : kolam - Diseminasi teknologi embung Syamsiah, et al.,
penampung air serbaguna 1994
Embung : sumber air - Diseminasi teknologi embung Retno., 1994
lahan kering
Cubang : rumah Kintamani, Bangli, Bali Integrasi tanaman dan ternak Dresta, 2003.
penampung air

Dengan kondisi seperti di atas, maka dalam pengembangan pertanian lahan kering
dibutuhkan adanya konsep integrasi ternak sapi potong dan sayuran serta aspek konservasi
sumberdaya air dan tanah melalui penanaman tanaman pakan ternak sehingga sekaligus
sebagai pelindung tanah dan sumber HMT ternak (Gambar 4).

Gambar 4. Konservasi lahan menggunakan penanaman rumput gajah pada setiap galengan lahan.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 394
Seminar Nasional 2005

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan lahan kering
untuk tujuan pengembangan pertanian yang ramah lingkungan dibutuhkan adanya konsep
keterpaduan antara berbagai komponen teknologi melalui integrasi ternak dan tanaman serta
memodifikasi faktor-faktor pendukungnya. Di lahan kering, air adalah faktor penghambat
oleh karena itu konservasi sumberdaya air dan tanah sangatlah penting sehinga
pengembangan ternak dan tanaman dapat dilakukan dengan baik. Penerapan pupuk organik
kascing mampu meningkatkan produktivitas dengan baik yang pada akhirnya juga mampu
memberdayakan sumberdaya lahan dari sisi fisik, kimia dan biologinya. Dengan penerapan
pupuk kascing ini maka pertanian ramah lingkungan dapat diwujudkan.
Mandat penelitian pertanian dalam rangka menemukan teknologi dan mempercepat
arus transformasi teknologi ke tingkat pengguna sebaiknya di gali dan berada di sekitar
petani dengan membangun suatu sistem yang holistik, dilaksanakan bersama-sama dengan
petani dengan orientasi peningkatan nilai tambah.

SARAN

Berdasarkan pengalaman membina petani, dukungan yang utama dibutuhkan


masyarakat tani adalah pengakuan bahwa para petani itu mampu melakukan aktivitasnya
sendiri dengan sentuhan teknologi tepat guna yang dirasakan bermanfaat untuk aktivitasnya.
Oleh karena itu, bantuan fisik dari pemerintah yang dibutuhkan terutama komponen ternak
dalam jumlah yang mampu memberdayakan diri petani. Dengan rata-rata petani memiliki
0.5 ha lahan maka minimal petani butuh bantuan ternak sebanyak 5 ekor untuk mencukupi
kebutuhan pupuk organic serta sebagai tabungannya. Bantuan yang bersifat kecil dan tidak
langsung kepada petani cenderung akan tidak memandirikan petani.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1999.Pupuk Cacing ternyata Lebih dahsyat. Bisa Dongkrak Produksi 150 Persen.
Kiat berkelit dari Krisis Pupuk Ala Petani Bali. Majalah Agrobis, No. 304 Minggu I
Februari 1999.
Blakely J., and H.D. Bade. 1998. The Science of Animal Husbandry. Fourth Edition. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta
Dresta, I.K. 2003. Hasil diskusi dengan petani yang telah membuat cubang di desa Bonjo
Kintamani Bangli.
Guntoro, S., M. Londra, M. Mastra S. dan Sriyanto. 2001. Pengkajian integrasi
pengembangan ternak dan tanaman kopi. Proyek PAATP - BPTP Bali.
Herry A. H. 1996. Teknologi Bioplus untuk Hewan Ternak. FKH-UNAIR, Surabaya.
Kallsen. 2005. Sustainable Agriculture. Better crops.
Kariada, I.K., I.M. Londra, FX. Loekito, dan I.G. Pastika. 2002. Laporan Akir Pengkajian
Sistim Usaha Tani Integrasi Ternak Sapi Potong dan Sayuran Pada FSZ Lahan
Kering Dataran Tinggi Beriklim Basah. BPTP Bali.
Kariada, I.K. 2003. Laporan Uji Adaptasi Beberapa Jenis Pupuk Terhadap Produksi
Bawang Merah Di Daerah Pinggiran Perkotaan Denpasar. BPTP Bali.
Kariada I.K., Suprio Guntoro dan I.B. Aribawa. 2003. Integrasi Usahatani Sapi Potong
Dengan Sayuran Di Lahan Kering Dataran Tinggi Beriklim Basah

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 395
Seminar Nasional 2005

Kariada, I.K., I.M. Londra, FX. Loekito, dan Nengah Dwijana. 2004. Laporan Akir
Pengkajian Sistim Usaha Tani Integrasi Ternak Sapi Potong dan Sayuran Pada FSZ
Lahan Kering Dataran Tinggi Beriklim Basah. BPTP Bali.
Kartini, N.L. 1994. Penggunaan Kastcing (Kotoran Cacing) Sebagai Pupuk Organik dan
Peranannya Bagi Tanah dan Tanaman. Topik Khusus. Program Pasca Sarjana,
UNPAD. Bandung.
Kartini, N. L. 1999. Pupuk Kascing Siap Antarkan Bali Menuju Pertanian Organik. Majalah
Prima, Minggu ke-3 Februari 1999.
Kartini, L. 2000. Pertanian Organik. Seminar Nasional IP2TP Denpasar.
Mulyadi dan Suprapto. 2000. Prospek embung dalam menunjang kelestarian produksi
pertanian di lahan sawah tadah hujan. Prosiding Seminar Nasional : Pengembangan
teknologi pertanian dalam upaya mendukung ketahanan pangan nasional. BPTP
Bali.
Pan Wilis, 1999. Bertani Padi dan Mentimun dengan Kascing. Majalah Prima, 1999.
Parwati, I.A.., N. Suyasa, S. Guntoro Dan M. Rai Yasa. 1999. Pengaruh Pemberian
Probiotik Dan Laser Punctur Dalam Meningkatkan Berat Badan Sapi Bali. Makalah
Seminar Nasional Peternakan Dan Veteriner, Pulitbang Peternakan Bogor.
Petheram, J. 1989. Farming System Research Development. Post Graduate Study Material.
James Cook University, North Queensland Australia.
Soepardi, G. 1974. Sifat dan Ciri-ciri Tanah 3. Terjemahan H.O. Buckman dan N.C. Brady.
Departemen Ilmu-ilmu Tanah, Faperta IPB Bogor.
Suprapto., I.N. Adijaya., I.K. Mahaputra dan I.M. Rai Yasa. 2000. Laporan Akhir Penelitian
Sistem Usahatani Diversifikasi Lahan Marginal. IP2TP Denpasar. Bali
Suprapto., I.N. Adijaya., dan I.M. Rai Yasa. 2001. Laporan Akhir Penelitian Sistem
Usahatani Diversifikasi Lahan Marginal. BPTP Bali.
Suweta, I.G.P., 1990. Kerugian Ekonomi Oleh cacing Hati pada sapi sebagai Implikasi
Interaksi dalam Lingkungan Hidup pada Ekosistem Pertanian di Pulau Bali.
Disertasi Program Pasca sarjana Universitas Pajajaran Bandung.
Syamsiah, I., P. Wardana, Z. Arifin, dan AM. Fagi. Embung : kolam penampungan air serba
guna. Puslitbang Tanaman Pangan Badan Litbang Pertanian Bogor.
Retno, I.G. 1996. Embung : sumber air lahan kering. Seri usaha tani lahan kering. BPTP
Ungaran.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 396
Seminar Nasional 2005

KENDALA SOSIAL EKONOMI USAHATANI LAHAN KERING DATARAN


TINGGI DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR

Kukuh Wahyu , Sri Hastuti Suhartini dan Johanes G. Bulu


Balai Penelitian Teknologi Pertanian NTB

ABSTRAK

Sebagian dari wilayah Kabupaten Lombok Timur tepatnya di Kecamatan Sembalun yang terletak di
sekitar kaki Gunung Rinjani termasuk zone agroekologi lahan kering dataran tinggi dengan ketinggian antara
700 – 1300 mdpl. Mengingat kondisi tersebut maka kendala yang sering dihadapi oleh petani di wilayah
tersebut adalah aspek sosial ekonomi, yang menjadi dasar pertimbangan untuk dikaji lebih jauh dan bagaimana
upaya pemecahannya. Tujuan pengkajian adalah untuk mengetahui kendala sosial ekonomi dan upaya
pemecahannya, sebagai bahan pertimbangan Pemda Lombok Timur dalam menentukan kebijakan. Untuk
mendapatkan pemahaman digunakan pendekatan PRA. Lokasi pengkajian di Desa Sajang, Kecamatan
Sembalun. Waktu pengkajian selama tahun 2004. Teknik pengumpulan data dengan wawancara terhadap FGD
(Focus Group Discussion) dan analisa data secara deskriptif. Hasil yang dicapai (1) kendala sosial ekonomi
usahatani padi dan hortikultura adalah: biaya pengolahan tanah usahatani padi relatif mahal, biaya modal usaha
relatif tinggi, ketersediaan informasi alternatif usahatani yang menguntungkan relatif terbatas, biaya transportasi
komoditi pertanian dan input relatif mahal dan kemampuan petani untuk mengakses lembaga keuangan formal
sangat terbatas; (2) kendala sosial ekonomi usahatani perkebunan adalah: biaya pengawasan tanaman terlalu
tinggi, sistem ijon tanaman perkebunan dan kemampuan petani untuk mengakses lembaga keuangan formal
sangat terbatas; (3) kendala sosial ekonomi usahatani peternakan adalah: ketersediaan informasi harga kurang,
sapi dijual murah karena kebutuhan mendesak dan alternatif sumber pendapatan utama relatif terbatas.
Kata kunci : kendala sosial ekonomi, usahatani, lahan kering dataran tinggi

PEDAHULUAN

Kemiskinan adalah suatu konsep yang relatif, sehingga kemiskinan sangat


kontekstual. Agar bantuan menjadi lebih efektif untuk memperkuat perekonomian orang-
orang miskin, pertama-tama haruslah menemukan di mana akar permasalahan itu terletak,
disamping akar permasalahan itu sendiri (Verhagen, 1996). Mendapatkan akar permasalahan
memerlukan kedisiplinan berpikir sistem. Intervensi simtomatik bersifat jangka pendek dan
memecahkan akar permasalahan berdampak jangka panjang (Senge, 1996).
Masalah-masalah pembangunan pertanian di negara-negara sedang berkembang
bukan semata-mata karena ketidaksiapan petani menerima inovasi, tetapi disebabkan oleh
ketidakmampuan perencana program pembangunan pertanian menyesuaikan program-
program itu dengan kondisi dari petani-petani yang menjadi "klien" dari program-program
tersebut (Bunch, 1991). Menemukan permasalahan yang benar, jauh lebih sulit dari pada
cara untuk memecahkan permasalahan tersebut (Sumantri, 1994; Wuisman, 1996). Puspadi
(2002) juga mengatakan bahwa mendapatkan kebutuhan para petani yang benar jauh lebih
sulit dari pada memenuhi kebutuhan petani tersebut. Dengan demikian memahami
permasalahan para petani, merupakan langkah awal yang mutlak dilaksanakan sebelum
melakukan suatu intervensi. Winarto (1999); Puspadi (2002) mengatakan sebelum mengajari
para petani, belajarlah pada petani.

METODA PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan permasalahan sosial ekonomi
usahatani tanaman pangan, tanaman hortikultura, tanaman perkebunan, dan peternakan.
Hasil penelitian diharapkan bermanfaat dalam perumusan kebijakan peningkatan
kesejahteraan petani di lahan kering.
Kegiatan ini merupakan hasil dari PRA yang dilaksanakan di salah satu wilayah
agroekosistem lahan kering dataran tinggi yaitu desa Sajang, kecamatan Sembalun,

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 397
Seminar Nasional 2005

kabupaten Lombok Timur, provinsi NTB. Kegiatan dilaksanakan dari bulan Januari
sampai dengan bulan Desember tahun 2004. Data yang diamati adalah kendala sosial
ekonomi pada usahatani sektor Pertanian Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan
dan Peternakan.
Pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam (In-depth Interview) yaitu
teknik pengumpulan data dengan cara mewawancarai secara mendalam tentang obyek
yang diteliti secara focus group discussion (FGD). Data dan informasi kuantitatif
dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif (Siegel, 1972) . Bahan yang
diperlukan untuk melaksanakan kegiatan PRA adalah pedoman focus group discussion.
Alat yang diperlukan adalah alat pencatat data, alat perekam data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tanaman Pangan
Biaya pengolahan tanah relatif mahal
Pengolahan tanah di desa Sajang dilakukan dengan menggunakan tenaga ternak sapi.
Biaya pengolahan tanah relatif mahal yaitu mencapai Rp 50.000/pasang/hari. Untuk
membajak lahan 1 ha membutuhkan 6 pasang sapi selama 2 (dua) hari. Sehingga apabila
ditotal maka jumlah biaya pengolahan tanah untuk lahan 1 ha sebesar Rp 600.000 belum
termasuk biaya makan dan minum. Tiap satu pasang sapi minimal membutuhkan 2 (dua)
orang tenaga manusia. Tingginya biaya pengolahan tanah disebabkan semakin terbatasnya
tenaga kerja ternak sapi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka alternatif pemecahan
masalah adalah pola kemitraan sapi dengan pola kadasan kepada penggarap sekaligus dapat
digunakan sebagai tenaga olah tanah.

Biaya modal usaha relatif tinggi


Modal usaha petani untuk tanaman pangan dan tanaman hortikultura (sayur-sayuran)
relatif terbatas. Keterbatasan modal tersebut menyebabkan petani meminjam modal kepada
rentenir, bank rontok (pelepas uang) dan pengijon. Petani tidak mempunyai akses kepada
lembaga keuangan baik lembaga formal maupun non formal. Lembaga keuangan non formal
pedesaan seperti koperasi tani, koperasi simpan pinjam, UPKD, LKP dan KUB belum ada.
Lembaga keuangan formal yang memberikan skim kredit pertanian kepada petani juga
belum ada. Keadaan tersebut dengan terpaksa petani harus mengambil kredit kepada rentenir
dan pelepas uang untuk modal usahataninya meskipun dengan bunga yang tinggi. Akibatnya
biaya modal usaha relatif tinggi.
Alternatif pemecahan masalah adalah membangun kelembagaan non formal dari
kelompok yang sudah ada dengan kesepakatan atau awiq-awiq sebagai dasar untuk
mengikat para petani untuk andil dalam pengembangan modal usaha.

Keterbatasan ketersediaan informasi alternatif usahatani


Secara umum petani tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan pilihan
usahatani pangan yang menguntungkan. Hal ini disebabkan ketersediaan informasi alternatif
usahatani tanaman pangan yang menguntungkan relatif terbatas. Keterbatasan tersebut
disebabkan oleh kemampuan petani, informasi inovasi dan perencanaan pola tanam pada
usahatani tanaman pangan yang lemah. Peluang pengembangan tanaman pangan dengan
memanfaatkan sumberdaya air hujan yang terbatas melalui penerapan pola tanam belum
dimanfaatkan petani. Akibatnya strategi ketahanan pangan rumahtangga petani sangat lemah.
Alternatif pemecahannya adalah dengan membangun lembaga data bisnis pertanian
di pedesaan sehingga dengan adanya lembaga ini dapat menyiapkan segala informasi yang
dibutuhkan oleh petani.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 398
Seminar Nasional 2005

Biaya transportasi komoditi pertanian dan input relatif mahal


Biaya pemasaran hasil komoditi pertanian relatif mahal. Tingginya biaya pemasaran
ini disebabkan ketersediaan jalan usahatani sangat terbatas. Kondisi jalan desa sebagian
besar rusak, sarana transportasi relatif terbatas. Prasarana dan saranan transportasi yang
terbatas menyebabkan biaya angkut saprodi dan hasil usahatani relatif mahal. Sementara
sarana pasar desa yang dapat meningkatkan dinamika pemasaran hasil pertanian belum
tersedia. Sarana produksi di kota kecamatan Sembalun. Demikian halnya hasil pertanian
dari desa Sajang sebagian besar dijual ke pasar kecamatan Sembalun. Biaya angkut saprodi
maupun hasil pertanian bervariasi antara Rp 5.000 – Rp 10.000/kw tergantung jarak tempuh.
Sedangkan biaya angkut input dari rumah ke lahan usahatani dan biaya angkut hasil
pertanian dari lahan ke rumah rata-rata Rp. 5.000/kw.
Langkah untuk mengatasi masalah di atas adalah dengan membangun jalan
usahatani dari hutan cadangan pangan (HCP) ke desa sehingga biaya angkut hasil pertanian
dapat ditekan dan harga jual hasil pertanian dapat ditingkatkan dengan adanya jalan pintas
tersebut.

Keterbatasan akses lembaga keuangan formal


Kemampuan petani untuk mengakses lembaga keuangan formal sangat terbatas. Hal
ini disebabkan prosedur yang sulit dan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki petani
sehingga tidak ada jaminan yang dapat digunakan sebagai agunan untuk meminjam uang di
bank. Selain itu kepercayaan bank kepada petani relatif rendah. Hal ini disebabkan adanya
sebagian petani yang menganggap apabila diberi pinjaman pemerintah maka pinjaman
tersebut dianggap sebagai pemberian yang tidak harus dikembalikan.
Untuk mengatasi anggapan petani tersebut adalah dengan menumbuh-kembangkan
inovasi modal sosial. Sedangkan untuk mengatasi kesulitan mengakses lembaga keuangan
formal maka alternatif pemecahannya adalah dengan membangun kelembagaan non formal
di pedesaan.

Tanaman Hortikultura
Biaya pengolahan tanah relatif mahal
Secara umum petani merasakan bahwa biaya tenaga kerja pengolahan tanah untuk
usahatani bawang merah dan bawang putih relatif tinggi. Alternatif pemecahannya adalah
dengan menciptakan pola kemitraan sapi dengan pola kadasan kepada penggarap sekaligus
dapat digunakan sebagai tenaga olah tanah.

Biaya modal usaha relatif tinggi


Komoditas hortikultura yang membutuhkan modal usaha yang cukup tinggi adalah
bawang merah dan bawang putih. Komoditas tersebut dikembangkan petani dengan
penggunaan input sangat tinggi. Akibatnya biaya usahatani untuk kedua komoditas sayuran
tersebut menjadi relatif tinggi.
Alternatif pemecahan masalah agar terhindar dari rentenir adalah membangun
kelembagaan non formal dari kelompok yang sudah ada dengan kesepakatan awiq-awiq
sebagai dasar untuk mengikat para petani untuk andil dalam pengembangan modal usaha.

Keterbatasan ketersediaan informasi alternatif usahatani


Hal ini disebabkan oleh ketersediaan informasi alternatif usahatani yang
menguntungkan belum tersedia. Kondisi tersebut petani merasa kesulitan untuk
membandingkan keuntungan usahatani. Pengembangan komoditas hortikultura jenis
tanaman buah-buhan seperti pisang, mangga, dan jeruk belum menjadi pilihan prioritas
karena keterbatasan informasi harga dan jaringan pemasaran.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 399
Seminar Nasional 2005

Alternatif pemecahannya dengan membangun lembaga data bisnis pertanian di


pedesaan sehingga dengan adanya lembaga ini dapat menyiapkan segala informasi yang
dibutuhkan oleh petani.

Biaya transportasi komoditi pertanian dan input relatif mahal


Sarana produksi untuk tanaman hortikultura jenis tanaman sayur-sayuran seperti
pupuk, obat-obatan, benih bawang dan benih sayuran lainnya semuanya di beli di ibu kota
kecamatan Sembalun. Keterbatasan informasi pasar terutama informasi harga menyebabkan
petani agak sulit memperoleh harga bawang merah dan bawang putih yang sesuai. Fluktuasi
harga bawang yang tidak menentu menyebabkan sebagian petani yang menananm bawang di
lahan kering ingin mengganti tanaman tersebut dengan tanaman perkebunan.
Langkah strategis untuk mengatasi biaya transportasi dan input pertanian yang
semakin mahal adalah dengan membangun jalan usahatani dari hutan cadangan pangan
(HCP) ke desa sehingga biaya angkut hasil pertanian dapat ditekan dan harga jual hasil
pertanian dapat ditingkatkan dengan adanya jalan pintas tersebut.

Keterbatasan akses lembaga keuangan formal


Kemampuan petani untuk mengakses permodalan dari lembaga keuangan formal
seperti Bank dan LKP sangat terbatas. Inti dari permasalahan tersebut adalah menyangkut
"modal sosial" antara petani dan pihak Bank.
Untuk mengatasi anggapan petani adalah dengan menumbuh-kembangkan inovasi
modal soaial. Sedangkan untuk mengatasi kesulitan mengakses lembaga keuangan formal
maka alternatif pemecahannya adalah dengan membangun kelembagaan non formal di
pedesaan.

Tanaman Perkebunan
Biaya pengawasan tanaman perkebunan relatif tinggi
Biaya pengawasan usahatani perkebunan terutama tanaman panili sangat tinggi.
Petani harus melakukan ronda di kebun panili pada siang dan malam hari untuk menjaga
tanaman panili dari pencurian. Faktor ketersediaan bibit panili yang langkah di desa Sajang
menyebabkan tidak hanya buah panili yang dicuri tetapi juga batangnya diambil untuk
dijadikan bibit. Keadaan ini disebabkan oleh kelangkaan bibit panili dan buah panili
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Faktor keamanan ini menyebabkan panili dipanen
muda. Untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan menumbuh-kembangkan
inovasi modal soaial.

Sistem ijon tanaman perkebunan


Faktor keamanan dan kebutuhan mendesak menyebabkan petani melakukan panen
panili yang masih muda. Kebutuhan sehari-hari terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan
keluarga merupakan kebutuhan mendesak sehingga memaksa petani untuk mengijonkan
buah panili, kopi dan kakao sebelum panen.
Alternatif pemecahan masalah agar terhindar dari rentenir adalah membangun
kelembagaan non formal dari kelompok yang sudah ada dengan kesepakatan aweq – aweq
sebagai dasar untuk mengikat para petani untuk andil dalam pengembangan modal usaha

Keterbatasan akses lembaga keuangan


Permasalahan sosial tersebut di atas disebabkan oleh berbagai faktor seperti
kepercayaan dan kejujuran yang rapuh antara petani dan pihak Bank, prosedur, nilai dan
norma (aturan) serta kerja sama yang sering disebut dengan persoalan modal sosial. Untuk
mengatasi hal tersebut adalah dengan menumbuh-kembangkan inovasi modal soaial.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 400
Seminar Nasional 2005

Peternakan
Ketersediaan informasi harga kurang
Penentuan harga jual oleh pemilik ternak maupun penentuan harga dari
pembeli/pedagang dengan ditaksir berdasarkan umur, kondisi fisik ternak. Informasi harga
taksiran tersebut diperoleh petani dari sesama peternak yang sudah pernah menjual ternak
maupun dari pedagang itu sendiri. Informasi harga ternak sapi berdasarkan bobot hidup
ternak belum diketahui oleh sebagian besar peternak. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan
informasi harga ternak sapi berdasarkan bobot hidup sangat kurang dan belum diketahui
petani.
Alternatif pemecahan adalah dengan membangun lembaga data bisnis pertanian di
pedesaan sehingga dengan adanya lembaga ini dapat menyiapkan segala informasi yang
dibutuhkan oleh petani.

Sapi dijual murah karena kebutuhan uang mendesak


Penjualan sapi yang relatif murah dapat disebabkan oleh dua faktor utama yaitu: 1)
sapi dijual murah karena keterbatasan informasi harga yang berlaku yang diterima petani; 2)
sapi dijual murah karena kebutuhan uang mendesak untuk modal usahatani, biaya sekolah
dan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Kesulitan untuk memperoleh uang dalam
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mendesak sehingga dengan terpaksa petani mengijonkan
anak sapi yang masih dalam kandungan dengan harga Rp 400.000. Anak sapi tersebut akan
diambil oleh pembeli setelah berumur 10 bulan. Dalam ijon anak sapi tersebut petani
dirugikan karena harus memelihara anak sapi yang bukan miliknya sejak dari kandungan
sampai anak sapi berumur 10 bulan.
Alternatif pemecahan masalah agar terhindar dari pengijon adalah membangun
kelembagaan non formal dari kelompok yang sudah ada dengan kesepakatan aweq – aweq
sebagai dasar untuk mengikat para petani untuk andil dalam pengembangan modal usaha.
Keterbatasan petani memperoleh informasi harga ternak sapi yang didasarkan bobot
hidup maupun penjualan karena kebutuhan uang mendesak maka petani menjual ternak
dengan harga berapapun yang ditentukan oleh pembeli dan seringkali harga jual ternak yang
diterima petani tidak rasional jauh dibawah harga pasar. Untuk menduga perkiraan harga jual
ternak yaitu dengan mengukur lingkar badan

Alternatif sumber pendapatan utama


Ketersediaan informasi alternatif usahatani yang menguntungkan relatif terbatas dan
pemeliharaan ternak sebagai usaha sampingan menyebabkan usaha tersebut tidak mengalami
perubahan. Sebagian peternak belum melakukan perubahan untuk menjadikan usaha
peternakan menjadi usaha prioritas sebagai sumber pendapatan utama. Alternatif untuk
memecahkan masalah adalah dengan kelembagaan informasi pertanian di pedesaan
Alternatif sumber pendapatan utama masih terbatas pada tanaman sayur-sayuran dan
tanaman pangan. Ternak belum diusahakan secara intensif. Apabila diusahakan secara
intensif maka ternak dapat menjadi alternatif sumber pendapatan utama bagi rumah tangga
petani.

KESIMPULAN

1. Biaya pengolahan tanah untuk komoditi tanaman pangan dan hortikultura relatif mahal
dan alternatif pemecahan masalah yang diajukan adalah pola kemitraan sapi dengan pola
kadasan kepada penggarap sekaligus dapat digunakan sebagai tenaga olah tanah.
2. Biaya modal usahatani tanaman pangan, hortikultura dan peternakan relatif tinggi dan
alternatif pemecahan masalah yang diajukan adalah membangun kelembagaan non

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 401
Seminar Nasional 2005

formal dari kelompok yang sudah ada dengan kesepakatan awiq-awiq sebagai dasar
untuk mengikat para petani untuk andil dalam pengembangan modal usaha.
3. Ketersediaan informasi alternatif usahatani tanaman pangan/hortikultura, perkebunan
dan peternakan yang menguntungkan relatif terbatas. Alternatif pemecahannya adalah
dengan membangun lembaga data bisnis pertanian di pedesaan sehingga dapat
menyiapkan segala informasi yang dibutuhkan oleh petani.
4. Biaya transportasi komoditi pertanian tanaman pangan/hortikultura dan harga input
relatif mahal. Langkah strategis untuk mengatasinya adalah dengan membangun jalan
usahatani dari hutan cadangan pangan (HCP) ke desa sehingga biaya angkut hasil
pertanian dapat ditekan dan harga jual hasil pertanian dapat ditperbaiki dengan adanya
jalan pintas tersebut.
5. Kemampuan petani komoditi tanaman pangan/hortikultura/perkebunan untuk mengakses
lembaga keuangan formal sangat terbatas dan biaya pengawasan tanaman perkebunan
relatif tinggi. Antisipasi solusinya adalah dengan menumbuh-kembangkan inovasi modal
sosial. Sedangkan untuk mengatasi kesulitan mengakses lembaga keuangan formal maka
alternatif pemecahannya adalah dengan membangun kelembagaan non formal di
pedesaan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimuos, 2000. Modul Pelatihan PRA. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.


Rolland., B. 1991. Dua Tongkol Jagung. Pedoman Pengembangan Pertanian Berpangkal
pada Rakyat. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Mubiarto, L. Soetrisno, M. Dove., 1984. Nelayan dan Kemiskinan. Studi Antropologi di Dua
Desa Pantai. CV Rajawali, Jakarta.
Puspadi, K. 2002. Rekonstruksi Sistem Penyuluhan Pertanian [disertasi] Bogor. Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Spiegel, M.R. 1972. Theory and Problem of Statistics. McGraw-Hill Book Company, New
York.
Sumantri, J.S. 1994. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
Verhagen, K. 1996. Pengembangan Keswadayaan. Pengalaman LSM di Tiga Negara. PT
Penebar Swadaya, Jakarta.
Winarto, Y.T. 1999. "Dari Paket Teknologi ke Prinsip Ekologi: Perubahan Pengetahuan
Petani tentang Pengendalian Hama". Di dalam Kusnaka Adimihardja. Petani
Merajut Tradisi Era Globalisasi. Pendayagunaan Sistem Pengetahuan Lokal dalam
Pembangunan. Humaniora Utama Press Bandung.
Wuisman, J.M. 1996. Asas-Asas Penelitian Ilmu Sosial. Lembaga Penerbit, Fakultas
Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 402
Seminar Nasional 2005

DAMPAK INTRODUKSI TEKNOLOGI USAHATANI TERHADAP


PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI LAHAN KERING
DI KABUPATEN BULELENG

I Ketut Mahaputra, I Nyoman Adijaya dan Ni Wayan Trisnawati


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali

ABSTRAK

Pengkajian dilakukan di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng pada bulan Desember 2004 di 4
kelompok tani dengan metode FRK. Pengambilan petani sampel secara simple random sampling. Sampel yang
diambil adalah petani koperator dan non-koperator pada masing-masing kelompok tani dengan jumlah 10 petani
koperator dan 10 petani non kooperator, sehingga jumlah keseluruhan sampel adalah 80 orang petani. Adapun
kelompok tani yang dimaksud adalah Kelompok Tani Abdi Pertiwi, Kelompok Tani Bumi Asih, Kelompok Tani
Tirta Nadi dan Kelompok Tani Tunas Harapan Kita. Data yang diambil yaitu data usahatani dan luar usahatani
dari bulan Desember 2003 sampai Desember 2004. Teknologi introduksi pada pengkajian lahan kering di
Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng dapat meningkatkan pendapatan petani sebesar Rp. 3.898.382,- per
hektar. Pengkajian dilahan kering sangat memungkinkan untuk tetap dikembangkan dilihat dari tambahan
keuntungan yang diperoleh petani koperator yang besarnya 152%. Melihat perkembangan yang sedemikian
besarnya, kegiatan pengkajian perlu diperluas agar mempunyai dampak yang lebih luas di masyarakat Kabupaten
Buleleng khususnya di lahan kering.
Kata Kunci : Teknologi introduksi, pendapatan, lahan kering

PENDAHULUAN

Propinsi Bali yang memiliki lahan kering dengan luas 38,73% (± 218.119 ha) dari
luas Propinsi Bali yaitu 563.286 ha, sebagian besar terletak di bagian timur dan utara pulau
Bali (Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Buleleng). Rata-rata curah hujan untuk daerah
ini berkisar antara 1.400 – 1.700 mm/tahun dengan musim penghujan yang pendek ± 4 bulan
yang biasanya terjadi pada bulan November sampai dengan bulan Februari (BPS, 2001 ;
Suprapto, 2003). Periode hujan yang pendek sangat menghalangi petani dalam
meningkatkan produktivitas usahataninya. Setelah semakin terdesaknya lahan produktif oleh
sektor pariwisata, salah satu alternatif adalah dengan pengembangan lahan kering.
Peningkatan produktivitas pertanian sebenarnya dapat dicapai dengan menambah
kuantitas dan meningkatkan kualitas sumberdaya tanah, modal, dan tenaga kerja dengan
memperbaiki lingkungan fisik usahatani dengan menggalakkan penemuan atau penerapan
teknologi baru atau meningkatkan tingkat ketrampilan petani. Nicholson (1991) menyatakan
bahwa pengaruh kemajuan teknologi dalam proses produksi meliputi antara lain sebagai
berikut: (1) kemajuan teknologi akan mempengaruhi penggunaan input secara proporsional,
(2) teknologi akan menyebabkan penggunaan kapital menjadi lebih produktif, (3) teknologi
meyebabkan penggunaan tenaga kerja menjadi lebih produktif. Ketiga jenis pengaruh
teknologi tersebut terhadap penggunaan input akan menggeser fungsi produksi yang pada
gilirannya akan berpengaruh pula pada tingkat penggunaan input (permintaan input) serta
tingkat keuntungan (π) yang diperoleh petani.
Berbagai upaya telah dilakukan dalam usaha peningkatan pendapatan masyarakat
pada lahan kering, diantaranya adalah introduksi teknologi yang sesuai dengan
agroekosistem serta didukung sumberdaya potensi wilayah setempat. Teknologi yang
diitroduksikan sangat perlu dilihat hasil dan manfaat diperoleh petani sebagai pengguna
teknologi. Salah satu metode untuk mengetahui dan menilai (sebagai kontrol) kegiatan
penelitian/pengkajian yaitu dengan jalan melakukan Farm record keeping (FRK). Evaluasi
ekonomi dapat dilakukan sebelum suatu teknologi dilepaskan ke petani (ex ante evaluation)
atau sesudah dilepaskan kepada petani (ex post evaluation), Banta dan Jayasurya (dalam
Sumaryanto, 2004).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 403
Seminar Nasional 2005

METODOLOGI

Pengkajian dilakukan di Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng dengan metode


FRK pada bulan Desember 2004 di 4 kelompok tani. Pengambilan petani sampel dilakukan
secara simple random sampling. Sampel yang diambil adalah petani koperator dan non-
koperator (with and without) pada masing-masing kelompok tani dengan jumlah ditetapkan,
yaitu 10 petani koperator dan 10 petani non kooperator, sehingga jumlah keseluruhan sampel
adalah 80 orang petani. Adapun kelompok tani yang dimaksud adalah ; Kelompok Tani
Abdi Pertiwi, Kelompok Tani Bumi Asih, Kelompok Tani Tirta Nadi dan Kelompok Tani
Tunas Harapan Kita.
Dipergunakannya perbandingan (with and without) yaitu agar didalam melihat
tambahan manfaat neto yang akan muncul dari teknologi yang diterapkan tidak mengabaikan
perkembangan atau perubahan-perubahan produksi yang akan muncul apabila keduanya
dalam situasi tanpa pengaruh teknologi (Gittinger,1986). Adanya faktor fisik, sosial ekonomi
dan budaya masyarakat setempat yang relatif sama memungkinkan pendekatan with and
without.
Pendapatan usahatani dihitung dengan menggunakan rumus :
Pd = TR - TVC
Pd = (Q. Pq) - TVC
Perhitungan keuntungan merupakan ukuran keuntungan usahatani yang dapat dipakai untuk
membandingkan beberapa penampilan usahatani (Soekartawi, 1986). Lebih lanjut
Jatileksono (Sufrianto, 2002) mengemukakan bahwa usahatani yang menguntungkan apabila
penerimaan lebih besar daripada pengeluaran dalam berusahatani.
Suatu usahatani dikatakan berhasil bila usahatani tersebut dapat memenuhi
kewajiban membayar bunga modal, alat-alat yang digunakan, upah tenaga luar, serta sarana
produksi yang lain termasuk juga kewajiban terhadap pihak ketiga dan dapat menjaga
kelestariannya, Hadisapoetro (Suratiyah, 2003). Perhitungan keuntungan usahatani
menggunakan suatu persamaan matematis :
π = TR - TC
TC = TFC + TVC
Keterangan :
Pd = Pendapatan petani
π = Keuntungan usahatani
TR = Total penerimaan dari usahatani
Q = Jumlah produksi
Pq = Harga per unit produksi
TC = Total biaya variable dan biaya tetap
Untuk mengetahui kontribusi pendapatan dari berbagai komoditas dihitung dalam persen
dengan rumus :
Pdi
Konti (%) = x 100 %
TPd
Keterangan :
Konti = Kontribusi pendapatan dari usahatani i
Pdi = Pendapatan dari usahatani ke i
TPd = Total pendapatan keluarga

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 404
Seminar Nasional 2005

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kontribusi Sumber Pendapatan Terhadap Pendapatan Keluarga Petani.


Adapun hasil dari FRK pada kelompok tani yang ditampilkan adalah pendapatan
keluarga petani yang meliputi pendapatan usahatani (on farm) dan pendapatan diluar
usahatani (off farm dan non farm) pada masing-masing kelompok tani. Untuk Kelompok tani
Abdi Pertiwi lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Sumber-sumber pendapatan rumah
tangga erat hubungannya dengan penguasaan atas faktor-faktor produksi. Rata-rata
pendapatan petani koperator Abdi Pertiwi adalah sebesar Rp. 7.951.445,- dengan sumbangan
terbesar dari tanaman tahunan yaitu anggur sebesar 47,55% serta tanaman semusim yaitu
tanaman pangan dan sayur kontibusinya terhadap pendapatan petani sebesar 28,07%,
selanjutnya kembali tanaman tahunan mangga memberi kontribusi terhadap pendapatan
sebesar 15,33%. Ternak pada petani kooperator memberi sumbangan sebesar 6,12%, terlihat
cukup kecil sumbangan ternak pada pendapatan petani koperator. Hal ini bukan berarti
sedikitnya jumlah ternak (populasi ternak) pada petani koperator, melainkan karena sudah
tercukupinya kebutuhan petani dari kegiatan usahatani lain, sehingga ternak merupakan dana
cadangan petani untuk bulan-bulan paceklik (saving).
Terlihat dalam satu tahun terakhir ini kepentingan rumah tangga petani sudah lebih
banyak terpenuhi dari kegiatan usahatani. Kontribusi pendapatan dari luar usahatani hanya
sebesar 0,73%, sehingga lebih besar persentase rumah tangga petani koperator yang
menjadikan usahatani sebagai sumber pendapatan utama di lahan kering. Pada petani non-
koperator rata-rata pendapatan rumah tangganya yaitu sebesar Rp. 3.576.591,-. Kontribusi
terbesar adalah dari tanaman tahunan anggur sebesar 51,16%, pendapatan luar usahatani
memberi kontribusi sebesar 14,42% yang lebih besar dari kontribusi usahatani tanaman
semusim yaitu 12,68%. Pada petani non-kooperator sumber pendapatan sebagai buruh tani,
perdagangan maupun jasa justru lebih banyak rumah tangga yang menjadikannya sebagai
sumber pendapatan keluarga.
Tabel 1. Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga Petani Koperator dan Non-koperator Kelompok Tani Abdi Pertiwi per Luas
Garapan, Kabupaten Buleleng, 2004

Koperator Non Koperator


Komoditas Luas Biaya (Rp) Pendapatan Luas Biaya (Rp) Pendapatan
Saprodi T. Kerja (Rp) (%) Saprodi T. Kerja (%)
(ha) (ha) (Rp)
MT I
1. Jagung 0,472 253.310 739.625 1.169.565 0,267 102.875 349.750 347.375
2. Cabai 0,005 7.338 12.125 40.538 0
3. K. tanah 0 0
MT II
1. Jagung 0 0
2. B. Merah 0,021 199.170 96.325 533.255 0,007 55.465 25.838 106.198
3. K. tanah 0 0
4. K. panjang 0,010 14.640 26.625 89.985 0
MT III
B. Merah 0,015 122.380 59.000 398.320 0
Jumlah 2.231.663 28,07 453.573 12,68
Tan. Tahunan:
1. Anggur 0,102 783.600 897.750 3.781.150 47,55 0,088 368.850 474.000 1.829.650 51,16
2. Mangga 1.218.750 15,33 340.000 9.51
3. Kelapa 0,00 0,00
4. Rambutan 0,00 0,00
5. Mete 175.000 2,20 50.000 1,40
Ternak 487.000 6,12 387.500 10,83
Luar UT 57.882 0,73 515.868 14,42
Total 7.951.445 100 3.576.591 100
Sumber : Data primer diolah

Secara umum dua kelompok tani terlihat adanya kecenderungan semakin


berkurangnya sumber pendapatan dari usahatani tanaman pangan, hal tersebut sebagai akibat
dari cara berpikir petani yang cukup rasional dalam meningkatkan pendapatannya yaitu
dengan mengusahakan komoditas yang paling menguntungkan bagi petani, dalam hal ini

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 405
Seminar Nasional 2005

usahatani tanaman anggur menjadi pilihan petani terlihat dari besarnya kontribusi tanaman
anggur terhadap pendapatan petani.
Pada kelompok tani Bumi Asih untuk petani koperator dan non-koperator terlihat
bahwa komoditas tanaman pangan rata-rata cukup bervariasi pada musim tanam I yang
bertepatan dengan musim penghujan komoditas yang diusahakan relatif sama antara petani
koperator dan non koperator namun dengan luasan yang berbeda, demikian halnya dengan
musim tanam II atau awal musim kering, terkecuali pada musim tanam III (musim kering II)
pada petani koperator masih dapat mengusahakan bawang merah dan tanaman anggur pada
lahannya.
Tabel 2. Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga Petani Koperator dan Non-koperator Kelompok Tani Bumi Asih per Luas
Garapan, Kabupaten Buleleng, 2004

Koperator Non Koperator


Komoditas Luas Biaya (Rp) Pendapatan Luas Biaya (Rp) Pendapatan
(%) (%)
(ha) Saprodi T. Kerja (Rp) (ha) Saprodi T. Kerja (Rp)
MT I :
1. Jagung 0,639 256.050 958.625 1.427.825 0,335 152.275 471.750 343.475
2. Cabai 0,135 106.375 318.125 1.034.250 0,065 37.688 141.125 211.188
3. K. tanah 0,030 20.230 63.000 136.770 0,050 24.475 82.375 79.150
MT II
1. Jagung 0
2. B. Merah 0,015 137.105 73.175 340.595 0,005 32.880 13.650 71.270
3. K. tanah 0,025 13.250 50.500 49.000 0,020 10.350 32.000 22.900
4. K. panjang 0
MT III
B. Merah 0,016 143.390 53.338 337.223 0
Jumlah 3.325.663 63,49 727.983 25,57
Tan Tahunan:
1. Anggur 0.045 346.950 372.000 686.050 13,10 0 0.00
2. Mangga 550.000 10,50 715.000 25,12
3. Kelapa 100.000 1,91 0 0,00
4. Rambutan 0 0,00 0 0,00
5. Mete 0 0,00 0 0,00
Ternak 187.000 3,57 365.000 12,82
Luar UT 389.000 7,43 1038.648 36,49
Total 5.237.713 100 2.846.630 100
Sumber : Data primer diolah

Rata-rata pendapatan rumah tangga petani koperator adalah sebesar Rp. 5.237.713,-.
Kegiatan usahatani tanaman pangan dan sayuran, memberikan kontribusi yang lebih besar
terhadap pendapatan keluarga petani dari pada sumber pendapatan lainnya. Pada Tabel 2,
terlihat bahwa petani koperator sebanyak 63,49% dari total pendapatan keluarga petani
berasal dari usahatani tanaman pangan dan sayuran, sedangkan yang lain bersumber dari
tanaman anggur, mangga dan kelapa sebesar 25,51%. Ternak petani lebih banyak berupa
saving, penjualan pada tahun ini rata-rata Rp. 187.000,- dan hanya sebesar 3,57%
berkontribusi terhadap pendapatan keluarga petani, selebihnya dari luar usahatani seperti
buruh tani, buruh bangunan dan pedagang 7,43%.
Sebaliknya pada petani non koperator dengan pendapatan petani sebesar Rp.
2.846.630,- justru kontribusi terbesar adalah dari pendapatan luar usahatani yaitu 36,49%
termasuk yang bersumber dari jasa seperti sopir angkutan umum. Usahatani tanaman pangan
dan sayuran relatif sama dengan tanaman tahunan dengan kontribusi sebesar 25%,
sedangkan dari ternak mempunyai kontribusi yang lebih besar dari petani koperator yaitu
12,82%. Penjualan ternak terbesar terjadi pada saat hari raya dan tahun ajaran baru sekolah
anak-anak. Ternak petani dalam hal ini merupakan dana cadangan untuk kepentingan hal
tersebut diatas.
Kelompok tani Tirta Nadi (Tabel 3) komposisi pendapatan petani koperator hampir
sama dengan kelompok tani Abdi Pertiwi dimana dengan rata-rata pendapatan Rp.
7.102.043,- .Kontribusi terbesar adalah dari tanaman tahunan anggur yaitu sebesar 36,37%,
dari tanaman pangan dan sayur sebesar 27,98%.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 406
Seminar Nasional 2005

Tabel 3. Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga Petani Koperator dan Non-koperator Kelompok Tani Tirta Nadi per Luas
Garapan, Kabupaten Buleleng, 2004

Koperator Non Koperator


Komoditas Luas Biaya (Rp) Pendapatan Luas Biaya (Rp) Pendapatan
(ha) Saprodi T. Kerja (Rp) (%) (ha) Saprodi T. Kerja (Rp) (%)

MT I
1. Jagung 0,525 257.860 867.375 1.019.765 0,425 146.600 604.125 604.275
2. Cabai 0,002 2.175 6.063 6.763
3. K. tanah 0,010 8.875 16.375 24.750 0,080 30.775 126.250 130.725
MT II
1. Jagung 0,085 31.550 134.500 228.950
2. B. Merah 0,018 135.690 74.608 311.703
3. K. tanah 0,235 90.300 235.688 750.263
4. K. panjang
MT III
B. Merah 0,016 129.910 42.975 395.565
Jumlah 1.987.495 27,98 1.485.263 42,09
Tan. Tahunan :
1. Anggur 0,075 653.550 588.750 2.582.700 36,37 0,050 237.000 252.750 382.250 10,83
2. Mangga 1.235.000 17.39 380.000 10,77
3. Kelapa 0,00 0,00
4. Rambutan 300.000 4,22 100.000 2,83
5. Mete 475.000 6,69 125.000 3,54
Ternak 315.000 4,44 492.500 13,96
Luar UT 206.848 2,91 563.873 15,98
Total 7.102.043 100 3.528.886 100
Sumber : Data primer diolah

Petani non-koperator dengan pendapatan sebesar Rp. 3.528.886,-, kontribusi terbesar


justru dari tanaman pangan jagung dan kacang tanah sebesar 42,09%. Seperti halnya petani
non-koperator pada kelompok lain pendapatan dari luar usahatani juga memberi andil yang
cukup besar yaitu sebanyak 15,98% dari total pendapatan rumah tangga petani.
Kelompok Tani Tunas Harapan Kita, petani koperator maupun non-koperator
pendapatan yang bersumber dari luar usahatani memberi kontribusi yang cukup besar
terhadap pendapatan keluarga petani. untuk petani koperator dengan pendapatan rata-rata
Rp. 4.460.364,- kontribusi pendapatan luar usahatani dengan kontribusi pendapatan dari
tanaman pangan dan sayur relatif sama yaitu masing-masing sebesar 31,44% dan 32,28%,
selebihnya adalah dari tanaman tahunan dan ternak (Tabel 4).
Tabel 4. Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga Petani Koperator dan Non-koperator Kelompok Tani Tunas Harapan Kita
per Luas Garapan, Kabupaten Buleleng, 2004
Koperator Non Koperator
Komoditas Luas Biaya (Rp) Pendapatan Luas Biaya (Rp) Pendapatan
(%) (%)
(ha) Saprodi T. Kerja (Rp) (ha) Saprodi T. Kerja (Rp)
MT I
1. Jagung 0,355 162.935 564.375 832.690 0,288 137.375 422.250 412.875
2. Cabai
3. K. tanah
MT II
1. Jagung 0,020 8.650 31.750 49.600
2. B. Merah 0,013 119.445 51.888 286.893
3. K. tanah 0,020 11.800 43.000 45.200
4. K. panjang
MT III
B. Merah 0,012 105.370 45.450 225.305
Jumlah 1.439.688 32.28 412.875 13,50
Tan. Tahunan :
1. Anggur 0,018 163.350 113.250 773.400 17.34 0 0,00
2. Mangga 390.000 8.74 127.500 4,17
3. Kelapa 0 0.00 0
4. Rambutan 0 0.00 0
5. Mete 0 0.00 0
Ternak 455.000 10.20 389.500 12,73
Luar UT 1.402.277 31.44 2.129.026 69,60
Total 4.460.364 100 3.058.901 100
Sumber : Data primer diolah

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 407
Seminar Nasional 2005

Petani non-koperator justru pendapatan luar usahatani memberi kontribusi paling


besar yaitu 69,60% dari rata-rata pendapatan petani sebesar Rp. 3.058.901,-. Sumber
pendapatan dari tanaman pangan jagung dan ternak hampir sama yaitu sebesar 13,50% dan
12,73%, sehingga ternak disini lebih kepada cadangan dana untuk kepentingan rumah
tangga. Selebihnya sumber pendapatan yaitu dari tanaman tahunan mangga hanya sebesar
4,17%. Terlihat disini bahwa untuk petani non-koperator pendapatan luar usahatani menjadi
sumber pendapatan yang utama, meliputi : buruh tani, tukang ataupun buruh bangunan serta
jasa lainnya.

Analisis Usahatani Petani Koperator dan Non-koperator


Secara umum teknologi introduksi yang diterapkan meliputi tanaman pangan, sayur
serta tanaman tahunan anggur. Untuk melihat tambahan nilai penerimaan dari petani
koperator secara keseluruhan, maka analisis hanya dilakukan terhadap komoditas jagung,
bawang merah, cabai, kacang tanah, kacang panjang dan tanaman anggur. Dari 4 kelompok
tani tersebut baik koperator maupun non koperator dapat dilihat penerimaan maupun
pengeluaran berbagai komoditas yang diusahakan dalam bentuk nilai produksi per hektar
dalam satu tahun. Untuk lebih jelasnya terlihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rata-rata Biaya, Penerimaan dan Keuntungan Usahatani Teknologi Introduksi di Kecamatan
Gerokgak, Kabupaten Buleleng, 2004 (Rp/ha/th)
Uraian Koperator Non-koperator
1. Biaya Produksi :
Saprodi (Rp) 1.578.199 789.685
Tenaga Kerja (Rp) 2.331.209 1.757.233
2. Biaya Lain :
Sewa lahan 750.000 750.000
Bunga kredit dan pajak 703.693 458.445
Jumlah (A+B) 5.363.101 3.755.363
2. Penerimaan 11.821.296 6.315.176
3. Pendapatan 7.208.195 3.309.813
4. Keuntungan (Rp) 6.458.194 2.559.812
B/C ratio 1,20 0,68
Incremental B/C 3,42
Keuntungan Tambahan (Rp) 3.898.382
Sumber : Data primer diolah

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa dengan diadopsinya teknologi baru (teknologi
introduksi), terjadi perubahan berupa tambahan variabel cost yang harus disediakan petani,
yaitu :
a. Penggunaan tenaga kerja sebesar Rp. 573.976,-/ha Hal ini adalah karena pada penerapan
teknologi introduksi diperlukan tenaga kerja lebih intensif terutama pada pemupukan,
pengairan, pengendalian hama penyakit tanaman serta pasca panen. Tenaga kerja pria,
wanita, anak-anak dan ternak dikonversikan ke setara pria yaitu 8 jam/HOK dengan
tingkat upah per HOK sebesar Rp. 15.000,-
b. Penggunaan sarana produksi pupuk kimia ataupun pupuk kandang, pestisida yang lebih
banyak serta pembelian benih dari berbagai komoditas yang diusahakan dalam satu
hektar mengakibatkan biaya yang diperlukan juga bertambah.. Tambahan biaya yang
diperlukan sebesar Rp. 788.514,-
c. Bunga kredit yang dibayarkan juga lebih besar yaitu Rp. 245.248,- Dalam hal ini bunga
kredit sebesar bunga Bank yang berlaku yaitu 18% per tahun dari modal lancar yang
dipakai (saprodi dan tenaga kerja).
Secara keseluruhan tambahan biaya yang dikeluarkan diimbangi dengan tambahan
nilai produksinya yaitu sebesar Rp. 5.506.120,- dengan B/C ratio 1,2. Penerapan teknologi
pada usahatani di daerah penelitian juga berpengaruh nyata terhadap penerimaan petani,

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 408
Seminar Nasional 2005

dimana untuk setiap Rp. 1,- tambahan biaya yang dikeluarkan pada berbagai usahatani yang
dilakukan memberikan tambahan penerimaan sebesar Rp. 3,42,- (Incremental B/C Ratio).
Hal ini berarti penerapan teknologi berbagai macam komoditas pada petani cukup layak
untuk dilaksanakan pada lahan kering.
Dalam melihat kemampuan ekonomi suatu teknologi baru dapat diterima oleh
petani, salah satu tolak ukur yang dipakai adalah penerimaan bersih (profit) usahatani harus
30% lebih tinggi dibandingkan dengan teknologi petani (Malian, 2004). Dari Tabel 5,
didapat bahwa tambahan keuntungan sebesar Rp. 3.898.382,- yang berarti terjadi
peningkatan sebanyak 152%, sehingga penerimaan bersih (profit) petani diterima, maka
pengkajian di daerah penelitian dapat diarahkan menuju kelayakan teknologi.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Teknologi introduksi pada pengkajian lahan kering di Kecamatan Gerokgak Kabupaten


Buleleng dapat meningkatkan pendapatan petani sebesar Rp. 3.898.382,- per hektar.
2. Pengkajian dilahan kering sangat memungkinkan untuk tetap dikembangkan dilihat dari
tambahan keuntungan yang diperoleh petani koperator sebanyak 152% yaitu sebesar
Rp. 3.898.382,-.
3. Melihat perkembangan yang sedemikian besarnya, kegiatan pengkajian perlu diperluas
agar mempunyai dampak yang lebih luas di masyarakat Kabupaten Buleleng khususnya
di lahan kering.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2002. Buleleng Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Buleleng.
Gittinger, J.P, 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Edisi Kedua. Penerbit
Universitas Indonesia. Jakarta.
Malian, A.H, 2004. Analisis Ekonomi Usahatani dan Kelayakan Finansial Teknologi Pada
Sakala Pengkajian. Makalah. Pelatihan Analisa Finansial dan Ekonomi Bagi
Pengembangan Sistem dan Usahatani Agribisnis Wilayah. Pusat Penelitian dan
Pengembanganm Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta
Nicholson, W. 1999. Teori Ekonomi Mikro. Prinsip Dasar dan Pengembangannya. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Sumaryanto, 2004. Survey dan Farm Record Keeping. Makalah. Pelatihan Analisa Finansial
dan Ekonomi Bagi Pengembangan Sistem dan Usahatani Agribisnis Wilayah. Pusat
Penelitian dan Pengembanganm Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang
Pertanian. Jakarta.
Soekartawi, A. Soehardjo, J.L. Dillon dan J.B. Hardaker. 1986. Ilmu Usaha tani dan
Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. Universitas Indonesia. Jakarta.
Sufrianto. 2002. Studi Komparatif Berbagai Pola Tanam Lahan Kering di Kecamatan
Binuang Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan. Tesis S2 Program Studi Ekonomi
Pertanian, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. (Tidak dipublikasikan)
Suprapto, Adijaya, R. Yasa. 2003. Pengkajian Sistem Usaha Tani Agribisnis Tanaman dan
Ternak di Lahan Marginal. Laporan Akhir. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Bali. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian
Suratiyah, K. 2003. Usaha tani. Diktat. Diterbitkan Untuk Kalangan Sendiri. Program Studi
Agribisnis. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 409
Seminar Nasional 2005

PREFERENSI PETANI TERHADAP INOVASI PERTANIAN DAN METODE


PEMBELAJARAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING KASUS
DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR

Ketut Puspadi, Sri Hastuti, Kukuh Wahyu Wijayanto


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat

ABSTRAK

Nilai tukar petani sebagai salah satu indikator tingkat kesejahteraan petani di Nusa Tenggara Barat
cenderung menurun dari 142, 3 pada tahun 1998 menjadi 87, 2 pada tahun 2003. Peningkatan efisiensi dan
produktivitas usaha tani melalui penerapan inovasi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan petani di lahan kering. Fakta menunjukkan hasil penelitian belum terlihat jelas kontribusi yang
bersifat langsung dan signifikan untuk mengatasi berbagai persoalan-persoalan besar pembangunan pertanian di
Indonesia. Hal itu disebabkan oleh kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi yang hasil penelitian cenderung
melambat, bahkan menurun. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya implementasi inovasi hasil
penelitian di tingkat lapang adalah kurang mempertimbangkan preferensi petani terhadap karakteristik inovasi
dan metode petani belajar dalam perencanaan. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis preferensi petani di
lahan kering terhadap karakteristik teknologi; menganalisis preferensi petani terhadap metode belajar. Pendekatan
kualitatif dan metode studi kasus dipergunakan untuk mencapai tujuan penelitian. Data dikumpulkan dengan
metode wawancara mendalam melalui diskusi kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani di lahan
kering mengharapkan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas rumah tangga, meningkatkan keuntungan
uasaha tani sekitar 40 %, biaya produksi yang rendah, sesuai kebiasaan; metode belajar mengalami langsung
merupakan metode yang paling disukai dan; pendekatan komprehensif yang meliputi aspek sumber daya
manusia, kelembagaan, permodalan, infrastruktur, inovasi melalui proses dialogis partisipatif merupakan salah
satu pendekatan pemberdayaan petani di agroekosistem laha kering.
Kata kunci : inovasi, metode, pendekatan pemberdayaan.

PENDAHULUAN

Salah satu program Departemen Pertanian adalah membangun usaha dan sistem
agribisnis. Petani merupakan salah satu pelaku usaha dan sistem agribisnis baik sebagai
pelaku pada subsistem on farm, maupun pada subsistem off farm hulu dan off farm hilir.
Salah satu faktor yang menetukan keberhasilan program tersebut adalah ketersediaan
inovasi teknologi spesifik lokasi yang bermutu pada setiap subsistem agribisnis. Sai‟d et al.
(2001) mengatakan teknologi perannya sangat strategis dalam mentransformasi input
menjadi output pada subsistem on-farm, off-farm hulu maupun pada off-farm hilir.
Keunggulan kompetitif produk-produk pertanian sangat ditentukan oleh kadar teknologi
produk tersebut.
Nilai tukar petani sebagai salah satu indikator tingkat kesejahteraan petani di Nusa
Tenggara Barat cenderung menurun dari 142, 3 pada tahun 1998 menjadi 87, 2 pada tahun
2003 (BAPPEDA NTB, 2004a). Peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha tani melalui
penerapan inovasi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani di
lahan kering.
Fakta menunjukkan hasil penelitian belum terlihat jelas kontribusi yang bersifat
langsung dan signifikan untuk mengatasi berbagai persoalan-persoalan besar pembangunan
pertanian di Indonesia (Saragih, 2004). Hal itu disebabkan oleh kecepatan dan tingkat
pemanfaatan inovasi yang hasil penelitian cenderung melambat, bahkan menurun (Badan
Litbang Pertanian, 2004).
Puspadi (2002) menemukan relative rendahnya adopsi hasil penelitian pertanian
berhubungan dengan: (1) hasil-hasil penelitian tidak sampai kepada para petani atau hasil-
hasil penelitian tersebut, sampai kepada yang bersangkutan, tetapi tidak tepat waktu; (2)
hasil-hasil penelitian tidak sesuai dengan kebutuhan petani untuk memecahkan permasalahan
dalam berusaha tani; (3) metodologi diseminasi hasil penelitian/pengkajian tidak sesuai

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 410
Seminar Nasional 2005

dengan cara petani belajar. (4) petaninya tidak memiliki modal untuk menerapkan teknologi;
dan (5) tidak ada insentif menarik bagi petani mengadopsi teknologi yang diintroduksi.
Masalah penelitian yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana
preferensi petani terhadap karakteristik inovasi dan metode petani belajar yang dibutuhkan
oleh petani.

METODE DAN BAHAN

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih realistis tentang fenomena preferensi


petani terhadap karakteristik inovasi dan metode petani belajar yang dibutuhkan oleh petani.
Penelitian ini mengkombinasikan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan format
pendekatan kualitatif mendukung pendekatan kuantitatif.
Pendekatan kuantitatif dalam pengkajian ini akan menggunakan metode survei
(Singarimbun dan Sofyan, 1995; Bailey, 1978) dan pendekatan kualitatif akan menggunakan
metode fenomenologi (Muhadjir, 2000; Mulyana, 2001) dan metode PRA.
Peubah-peubah penelitian dikumpulkan menggunakan metode survey yang
dikumpulkan dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur (Singarimbun dan Sofyan,
1995; Bailey, 1978).
Data dan informasi kualitatif dianalisis dianalisis menggunakan metode analisis
kualitatif melalui proses kodefikasi, kategorisasi, intepretasi atau pemaknaan (verstehen),
pemaknaan, dan abstraksi (Poerwandari, 1998). Data dan informasi kuantitatif dianalisis
menggunakan metode analisis deskriptif (Spiegel, 1972).
Bahan yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian adalah kuesioner terstruktur,
pedoman wawancara mendalam, pedoman focus group discussion, pedoman pengumpulan
data sekunder. Alat pengumpul data yang dipergunakan adalah alat pencatat data, alat
perekam data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Preferensi Petani terhadap Inovasi


Pertanian
Tingkat Kesejahteraan Petani
Tingkat kesejahteraan petani NTB diukur dengan menggunakan indikator PDRB
sektor pertanian (pangan, perkebunan, peternakan) per kapita per bulan atas dasar harga
berlaku dan harga konstan dan nilai tukar petani (NTP). PDRB sektor pertanian per kapita
per bulan pada tahun 2003 disajikan dalam Tabel 1.
Tabel. 1. PDRB sektor pertanian , produktivitas kegiatan usaha sektor pertanian per kapita per bulan di provinsi
NTB tahun 2003.

PDRB tahun Jml Jml Anggota Rmh PDRB/kapita/


Sektor/subsektor
2003 (000 Rp) RmhTangga Tangga (jiwa) bulan (Rp)
Sektor Pertanian Berdasarkan 1.275.632.742 585.047 2.340.188 53.684
harga konstan (1993)
Sektor Pertanian Berdasarkan 4.082.697.814 585.047 2.340.188 145.383
(harga berlaku)
Tanaman Bahan 2.535.421.893 605.043 2.420.172 87.301
Makanan (harga berlaku) (67,36%)
Tanaman 382.038.177 113.937 455.748 69.855
Perkebunan (harga berlaku) (12,68%)
Peternakan dan 613.186.557 179.216 716.864 71.281
Hasil-hasilnya (harga berlaku) (19,96%)
Sumber: BAPPEDA, 2004a; BPS-NTB 2003.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 411
Seminar Nasional 2005

Tabel 1 menunjukkan PDRB per kapita per tahun petani NTB atas dasar harga
berlaku adalah RP 4 082 697 814 000 atau Rp 145 383 per kapita per bulan pada tahun
2003. Tahun ini BPS menghitung pengeluaran minimal sekitar Rp 145 000 per orang per
bulan sebagai batas kemiskinan (Kompas, 2005 b) dan Bank Dunia menetapkan garis
kemiskinan dengan penghasilan kurang dari 1 dollar AS per hari (sekitar Rp 9 000 sehari)
atau sekitar Rp 270 000 per kapita per bulan (Kompas c).
Kalau indikator kemiskinan pengeluaran minimal sekitar Rp 145 000 per orang per
bulan (asumsi pengeluaran sama dengan pendapatan), sebagai batas kemiskinan
dipergunakan untuk menentukan tingkat kesejahteraan petani NTB disimpulkan bahwa
secara umum penduduk NTB relatif hidup disekitar garis kemiskinan. Faktanya amat banyak
orang hidup dengan taraf sedikit saja di atas batas itu (Kompas, 2005 b). Jika nilai
pengeluaran ditambah Rp 10. 000 maka secara umum petani NTB termasuk golongan
miskin.
Nilai tukar petani dapat dipergunakan sebagi salah satu indikator untuk mengukur
tingkat kesejahteraan petani. Jika nilai tukar petani lebih dari 100, maka diduga terdapat
kelebihan uang cash yang diterima oleh petani jika nialinya kurang dari 100 sebaliknya.
Perkembangan nilai tukar petani tahun 2003 disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan rata-rata nilai tukar petani di Nusa Tenggara Barat tahun 1998-2003 (1993= 100)

Indeks yang diterima Indeks yang dibayar Rata-rata nilai


No Tahun
petani petani tukar petani
1 1998 573,7 399,5 142,3
2 1999 1.112,3 619,5 179,3
3 2000 327,3 373,3 86,4
4 2001 390,1 437,0 89,3
5 2002 461,2 537,6 85,7
6 2003 504,4 577,8 87,2
Sumber: BPS NTB, 2004b.

Tabel 2 menunjukkan nilai tukar petani di Nusa Tenggara Barat cenderung terus
menurun sejak tahun 1999 dari 179,3 menjadi di bawah 100 sampai tahun 2003 yang artinya
sejak tahun 2000, petani selalu membayar lebih tinggi dari pada harga produk yang diterima.
Hal tersebut mengindikasikan tingkat kesejahteraan petani di NTB relatif rendah sejak tahun
2000-2003.
Berdasarkan hasil analisis Tabel 2 dan 3, 4 disimpulkan bahwa secara umum pada
tahun 2003, petani di Nusa Tenggara Barat sebagian besar hidup disekitar garis kemiskinan.
Tabel. 3. PDRB sektor pertanian , produktivitas kegiatan usaha sektor pertanian per kapita per bulan di
kabupaten Lombok Timur tahun 2003

Jumlah Anggota PDRB per


PDRB tahun 2003 Jumlah Rumah
Sektor/subsektor Rumah Tangga kapita per
(000 Rp) Tangga
(jiwa) bulan (Rp)
Sektor Pertanian 285.865.260 144.214 576.865 41.296,40
Berdasarkan harga
konstan (1993)
Sektor Pertanian 911.698.288 144.214 576.865 131.703,01
Berdasarkan (harga
berlaku)
Tanaman Bahan 591.677.129 104.284 417.136 118.202,20
Makanan (harga berlaku)
Tanaman Perkebunan 125.117.801 44.781 179.124 58.208,20
(harga berlaku)
Peternakan dan Hasil- 120.096.207 37.241 148.964 67.184,10
hasilnya (harga berlaku)
Sumber: BAPPEDA, 2004a; BPS-NTB 2003.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 412
Seminar Nasional 2005

Tabel 4. Pengeluaran rata-rata per kapita per bulan pangan, non pangan dan persentase rumah tangga
menurut golongan pengeluaran NTB tahun 2004, Lombok Timur tahun 2003.
NTB Lombok Timur
Pengeluaran Persentase Pengeluaran Persentase
Golongan rata-rata per rumah tangga rata-rata per rumah tangga
pengeluaran (Rp) kapita per bulan menurut kapita per bulan menurut
pangan dan non golongan pangan dan non golongan
pangan (Rp) pengeluaran pangan (Rp) pengeluaran
≤ 30.000 25.752,2 0,02 0,00 0,00
30.000-39.999 36.447,91 0,23 38.475,80 0,16
40.000-59.999 53.095,26 1,66 55.067,87 1,08
60.000-79.999 71.304,07 7,43 72.413,13 7,99
80.000-99.999 90.653,21 14,14 89.729,43 15,04
100.000-149.999 124.013,74 35,15 121.852,24 37,64
150.000-1999.000 172.307,34 19,67 172.965,31 20,40
200.000-2999.999 238.606,75 14,93 234.650,87 12,97
≥ 300.000 442.823,80 6,77 444.073,26 4,72
Sumber: BPS NTB, 2004; BPS Lombok Timur, 2003.

Perubahan Perilaku Petani


Revolusi teknologi informasi mempercepat proses sampainya semua informasi
termasuk system nilai, gaya hidup, pola konsumsi, teknologi ke pedesaan, tanpa ada yang
mampu membendungnya. Gejala-gejala perubahan penduduk di desa dalam beberapa aspek
kehidupan telah muncul (Tabel 5).
Tabel 5. Kecenderungan gejala-gejala perkembangan atribusi dan perilaku usaha tani petani responden

Gejala-gejala perkembangan atribusi dan perilaku usaha tani petani responden


Ranah
Dari Ke arah
Nilai Menerima dan mengimplementasikan Mempertanyakan ideologi “fundamentalisme
ideologi “fundamentalisme agraris” agraris” dan menuntut simbul-simbul kehidupan
perkotaan atau orang kota
Sistem nilai spritual relatif kuat Sistem nilai material relatif menguat
Sistem nilai absolut relatif kuat Munculnya sistem nilai relatif
Pengetahuan Kapasitas informasi dan inovasi pertanian Kapasitas informasi dan inovasi pertanian relatif
petani diibaratkan botol kosong tinggi
Relatif lebih memperhitungkan resiko tingkat Relatif lebih memperhitungkan resiko
subsistensi dalam berusaha tani keuntungan dalam berusaha tani
Sikap Menerima kebijaksanaan-kebijaksanaan Mengkritisi secara rasional dan komersial
pembangunan pertanian tanpa syarat kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan
pertanian
Sikap terhadap keuntungan usaha taninya Skeptis terhadap tingkat keuntungan usaha
sebagai sumber pendapatan sangat positif taninya sebagai sumber pendapatan
Perilaku Relatif sebagai konsumen teknologi dan Relatif sebagai produsen teknologi dan informasi
informasi pertanian pertanian
Sasaran dan obyek kegiatan-kegiatan Pembelajar dan subyek kegiatan-kegiatan
penyuluhan pertanian penyuluhan pertanian
Keputusan usaha tani dipengaruhi oleh Keputusan usaha tani dipengaruhi oleh tingkat
pengamanan tingkat subsistensi keuntungan dan kecepatan memberikan
pendapatan
Penerima informasi dan teknologi pertanian Pencari informasi dan teknologi pertanian
Produksi usaha tani istrumen aktualisasi diri Pendapatan usaha tani istrumen aktualisasi diri
Komitmen terhadap keputusan kolektif dalam Komitmen terhadap keputusan kolektif dalam
berusaha tani relatif kuat berusaha tani relatif melemah
Perencanaan usaha tani relatif dipengaruhi Perencanaan usaha tani relatif dipengaruhi
musim isyarat-isyarat pasar
Penerima perencanaan usaha tani Perencana, pensintesa, dan pemecah masalah
Variasi komoditi usaha tani relatif homogin Variasi komoditi usaha tani relatif heterogin
Pergiliran dan penggantin komoditi usaha tani Pergiliran dan penggantin komoditi usaha tani
relatif lambat relatif cepat
Berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan Berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
pembangunan pertanian tanpa syarat pembangunan pertanian berdasarkan perhitungan
yang rasional dan komersial

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 413
Seminar Nasional 2005

Rhoades dan Bebbington (Winarto, 1999) mengatakan petani adalah pencipta solusi
yang dihasilkannya sendiri guna menghadapi berbagai tantangan dan masalah yang dihadapi,
tidak melulu sebagai pengadopsi teknologi yang diintroduksikan. Selain itu, mereka juga
penguji coba dan pencipta yang secara aktif menyusun strategi. Secara terus menerus mereka
mengevaluasi, menyeleksi dan mengombinasikan berbagai informasi yang diperolehnya dari
berbagai sumber guna memenuhi kebutuhan hidup dan menyesuaikan diri dengan perubahan
yang dihadapinya.
Johnson (1972), Rhoades (1989), Richards (1986), Bentley (Winarto, 1999)
mengatakan petani adalah seorang pengamat dan penguji coba. Goodenough (Winarto, 1999)
mengatakan petani melakukan evaluasi, intepretasi dan menarik kesimpulan tentang apa
yang telah mereka alami di masa lalu dan kini merupakan bagian yang paling signifikan dari
proses pengambilan keputusan dan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak dapat
diprediksi sebelumnya. Dasar evaluasi mereka bukan hanya hasil dari tindakannya sendiri,
melainkan juga strategi rekan-rekannya sehamparan atau yang berlokasi diluar batas
administrasi wilayah tempat tinggal mereka. Variasi strategi di lapangan merupakan sarana
utama petani melakukan perbandingan. Perbandingan merupakan mekanisme penting dalam
mengevaluasi, mengabsahkan dan meningkatkan pengetahuan
Sikap petani terbentuk dari pengalaman melalui proses belajar, seperti melalui
proses belajar kondisioning klasik, proses belajar sosial dan proses belajar mengalami
langsung.
Maryadi (2000) mengatakan dengan merangkum nilai dari berbagai sumber,
kemudian orang mengembangkan sistem nilainya sendiri untuk dianut sendiri. Sistem nilai
adalah ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai atau berharga dalam
kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 1974). Sistem nilai yang dikembangkan sendiri
dan dianut sendiri disebut sistem nilai relatif. Marshall Goldsmith (Kompas, 2001)
menyebutkan ada tiga ciri masyarakat global yang terbentuk akibat proses ekspansi pasar
yaitu diversitas, pembentukan nilai jangka panjang dan hilangnya humanitas. Abdullah
(Kompas, 2001) mengatakan kecenderungan Indonesia masa depan juga begitu. Diversitas
menyebabkan munculnya relativitas nilai secara men- dasar dalam masyarakat. Sistem nilai
absolut tidak lagi bisa dipertahankan. Berubah- nya sistem referensi. Tokoh-tokoh yang
dibangun sejarah lokal menjadi tidak penting karena digantikan oleh tokoh-tokoh yang
dibangun oleh media.

Latar Belakang Sosial


Disamping pengaruh eksternal, perubahan perilaku usaha tani yang merefeksikan
kebutuhan para petani juga dipengaruhi oleh latar belakang sosial yang bersangkutan.
Seorang petani lulusan SPMA di Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat,
mengungkapkan bahwa:
”dalam menetapkan jenis usahatani, harus mencari informasi tentang jenis komoditi
apa yang harganya mahal dan kapan harganya mahal pada pedagang-pedagang yang
sering datang ke desa, pasar Kecamatan, pasar Provinsi. Mengamati pasar tidak cukup
hanya satu, dua tahun. Paling tidak 3 tahun, maka akan mengetahui polanya, kapan suatu
komoditi akan mendapat harga yang baik. Dia sudah mempunyai pola tersebut, seperti
kapan menanam kubis, tomat, cabe dsb serta di mana menjualnya. Disamping itu, dia juga
menganalisis pola tanam untuk memperkirakan luas komoditi yang harus ditanam. Dalam
membuat perencanaan usaha pertanian, mengkombinasikan informasi dari pasar dengan
perkiraan hasil analisis pola tanam”.
Hasil analisis korespondensi antara tingkat pendidikan petani dengan jenis usaha tani
utama yang dikelola disajikan dalam Gambar 4.3. yang menunjukkan bahwa petani yang
tingkat pendidikannya relatif tinggi, berada pada usaha tani campuran, sedangkan petani
yang tingkat pendidikannya rendah cenderung memilih usaha tani pangan.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 414
Seminar Nasional 2005

Row and Column Scores


.4 horti

smp
.2
smu
campuran
0.0 sd

pang an
-.2

-.4
Dimension 2

-.6
pt pddkn

-.8 jut
-.4 -.2 0.0 .2 .4 .6

Di me nsi on 1
Canonical normalization

Gambar: 4.3. Hubungan tingkat pendidikan (pddkn) petani dengan jenis usahatani (jut).

Disamping faktor pendidikan, faktor umur juga mempengaruhi perubahan perilaku


usaha tani saat ini. Seorang petani muda dari Kecamatan Labu Api, Lombok Barat, Provinsi
Nusa Tenggara Barat mengungkapkan bahwa:
”berusaha tani padi hanya untuk konsumsi, karena keuntungannya relatif kecil.
Berdasarkan pengamatan harga padi berupa benih relatif lebih mahal. Dia bersama petani-
petani lain mencoba usaha penangkaran benih padi, terutama benih padi baru yang
kualitasnya sama dengan kualitas varietas padi IR 64. Dia selalu mencari informasi tentang
benih-benih padi yang baru. Dia bersama kawan-kawan melayani benih petani dari pintu ke
pintu. Ternyata usaha penangkaran benih padi relatif menguntungkan.”
Gambar 4.4 menunjukkan, pada masa mendatang kecenderungan perilaku petani
memilih usaha tani hortikultura dan usaha tani campuran, kemungkinan makin menguat.
Secara umum antara tingkat pendidikan dan umur hubungannya sangat nyata dengan tingkat
komersialisasi dan jenis usaha tani utama seperti uraian di atas.

Row and Column Scores


.5 campuran

dewasa
tua
horti
0.0
muda
pang an

-.5

-1.0
Dimension 2

-1.5 sang at tua


jut

-2.0 umur
-1.5 -1.0 -.5 0.0 .5 1.0

Dime nsion 1
Canonical normalization

Gambar 4.4. Hubungan antara umur petani dengan jenis usaha tani (jut) yang dikelola.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 415
Seminar Nasional 2005

Teori aksi yang dikembangkan oleh Eckensberger menjelaskan bahwa aksi atau
tindakan seseorang sebagai perilaku kontekstual disebabkan oleh empat hal yang esensi al
dua di antaranya adalah: pertama, perilaku distrukturkan oleh beberapa tujuan masa depan,
dan kedua, ada suatu pilihan di antara cara alternatif untuk mencapai tujuan tersebut. Fromm
(1976) mengungkapkan bahwa watak manusia dapat berubah dalam kondisi sebagai berikut:
pertama, dia sadar akan kondisinya, sedang dalam kondisi ke- kurangan; kedua, dia
mengetahui asal atau penyebab munculnya kondisi yang dirasakan; ketiga, dia tahu bahwa
ada jalan untuk mengatasi kondisi yang dirasakan; dan keempat, dia setuju bahwa untuk
dapat mengatasi kondisi yang dirasakan itu, dia harus mengikuti norma-norma hidup tertentu
dan mengubah praktek hidup yang sekarang. Uraian tersebut menunjukkan bahwa dari
perspektif penyuluhan pertanian untuk mengubah peri laku dan perubahan perilaku tersebut
terjadi kalau sentuhan-sentuhannya bukan hanya pada ranah kognitif dan konatif saja tetapi
yang sangat penting adalah emosinya atau perasaannya dan kepribadiannya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas disimpulkan bahwa ke depan kecenderungan
perilaku usaha tani para petani ke arah komersial, baik pola pemikiran, sikap dan pemilihan
jenis usaha pertanian semakin menguat, terlepas dari latar belakang pendidikan dan umur.

Metode Penyuluhan Pertanian


Hasil analisis metode penyuluhan pertanian yang dipergunakan oleh para penyuluh
disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Programa penyuluhan pertanian tingkat wilayah kerja Balai Penyuluhan Pertanian di Provinsi Nusa
Tenggara Barat

Jumlah dan jenis masalah Tujuan kegiatan penyuluhan


On Off Metode
Kecamatan Dll Total
farm farm P (%) K (%) S/A (%) penyuluhan
(%) (%)
(%) (%)
Labuhan Haji 88,50 7,70 3,80 100,00 100,00 100,00 00,00 c, g, i
Terare 85,70 0,00 14,30 100,00 100,00 100,00 00,00 c, g, i
Rensing 84,40 0,00 15,60 100,00 100,00 100,00 6,30 a, c,g, i
Masbagik 81,00 0,00 19,00 100,00 100,00 100,00 7,20 a,c, f, g, i
Sukamulia 86,20 0,00 13,80 100,00 100,00 100,00 3,10 c, f, g, i
Lenek 85,30 0,00 14,70 100,00 100,00 100,00 2,60 f, g, i
Sumber: Programa Penyuluhan Pertanian 6 BPP kabupaten Lombok Timur tahun 2004.
Keterangan: Total = Jumlah masalah yang dirumuskan dalam programa penyuluhan BPP; P = Pengetahuan, K = Ketrampilan,
S/A = sikap/afektif; a = demonstrasi cara; b = sekolah lapang; c = kursus tani; d = perlombaan; e = karyawisata;
f = demonstrasi plot; g = ceramah; h = gerakan massa; i = kunjungan

Penyuluh Pertanian Lapangan hanya meningkatkan komponen-komponen


kemampuan pengetahuan (100,00%) dan kemampuan keterampilan (100,00%) petani,
sedang kan peningkatan komponen kemampuan sikap relatif sangat kecil. Hal ini
menunjukkan bahwa Penyuluh Pertanian dominan hanya menyentuh ranah kognitif dan
ranah konatif petani, Penyuluh Pertanian relatif sangat kecil menyentuh ranah afektif atau
perasaan petani. Perasaan adalah penentu perubahan perilaku seseorang. Perasaan seseorang
tergerak atau tersentuh kalau stimulus yang diberikan sesuai dengan kebutuhan yang
bersangkutan. Permasalahannya adalah mengapa Penyuluh Pertanian relatif sangat kecil
menyentuh perasaan atau sikap para petani. Rogers dalam Suryabrata (1998) mengatakan
emosi atau perasaan berkepanjangan memberikan fasilitas tingkah laku berarah tujuan itu.
Menurut Allport 1954, Hilgard 1980, Mc Guire 1969, Ajzen 1988 (Sarwono, 1997)
sikap mengandung tiga bagian atau domain yaitu kognitif (kesadaran), afektif (perasaan) dan
konatif (perilaku). Ketiga domain itu saling terkait sehingga timbul teori bahwa jika kita
dapat mengetahui kognisi dan perasaan-perasaan seseorang terhadap suatu objek kita akan
tahu juga kecenderungan perilakunya. Dengan tidak menyentuh ketiga domain secara

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 416
Seminar Nasional 2005

proporsional, maka akan sulit diharapkan terjadinya perubahan perilaku. Sikap seseorang
terbentuk dari pengalaman melalui proses belajar.
Berdasarkan pandangan tersebut di atas, disusun berbagai upaya (penerangan,
pendidikan, pelatihan, komunikasi) untuk mengubah sikap seseorang (Sarwono, 1997).
Proses belajar itu sendiri dapat terjadi melalui proses pengkondisian klasik, proses belajar
sosial yaitu melalui peniruan dari perilaku model dan melalui pengalaman langsung.

Preferensi Petani terhadap Teknologi


Preferensi petani terhadap teknologi sangat ditentukan oleh kebutuhan dan latar
belakang sosial ekonominya. Perubahan lingkungan strategis dan kecepatan informasi yang
diterima oleh petani sebagai akibat kemajuan teknologi informasi mengakibatkan perubahan
tingkat pengetahuan, sistem nilai, sikap, perilaku yang bermuara pada perubahan kebutuhan.
Tabel 6 menunjukkan teknologi yang disampaikan oleh penyuluh pertanian sebagian
besar berhubungan dengan peningkatan produksi dengan menyentuh domain kognitif. Tabel
7 menunjukkan teknologi yang dibutuhkan oleh petani bukan hanya berkaitan dengan
peningkatan produktivitas tetapi sudah berkaitan dengan aspek sosial ekonomi.
Tabel 7. Preferensi petani terhadap karakteristik teknologi pada agroekosistem lahan kering kabupaten
Lombok Timur, Th. 2004.
Skor petani Total
Karakteristik Rangking
1 2 3 4 5 6 7 8 Skor
Meningkatkan produktivitas 10 10 10 10 10 10 10 9 79 I
Menurunkan Biaya 8 10 9 8 8 10 10 9 72 II
Meningkatkan keuntungan 7 9 10 10 6 10 10 10 72 II
Sesuai kemampuan (modal,
10 7 6 5 10 6 10 9 63 III
tenaga, dll)
Sesuai kebiasaan 7 6 5 7 7 10 9 5 56 V
Tidak merepotkan (tingkat
9 8 10 6 9 5 8 8 63 III
kemudahan)
Dibutuhkan pasar 8 8 6 9 8 4 5 9 57 IV
Mengurangi kehilangan
4 5 4 9 5 7 7 8 49 VI
hasil
Sumber: Data primer diolah.

Teknologi kedua yang diinginkan petani yaitu teknologi yang dapat menurunkan
biaya atau menekan biaya dan yang dapat meningkatkan keuntungan. Sudah tentu dalam
berusaha setiap orang selalu mengingikan keuntungan yang tinggi. Keuntungan tersebut
dapat dicapai melalui peningkatan produksi sambil disisi lain menekan atau menurunkan
biaya produksi. Untuk mendapatkan keuntungan sudah tentu produksi yang dihasilkan
dibutuhkan oleh pasar. Jadi antara keinginan petani terhadap teknologi yang dapat
meningkatkan keuntungan mempunyai kaitan dengan keinginan petani terhadap teknologi
yang dapat memproduksi hasil yang dibutuhkan pasar dan keinginan petani terhadap
teknologi yang dapat mengurangi kehilangan hasil. Dalam mencapai keuntungan yang
optimal, kehilangan hasil saat panen harus dapat ditekan.
Keinginan petani terhadap teknologi yang dapat menurunkan biaya produksi
merupakan cerminan dari kondisi petani Rarang Selatan dalam mengelola usahataninya.
Sebagian besar petani di desa ini dalam membiayai usahataninya menggunakan modal
pinjaman. Keadaan ini diperparah lagi karena sumber pinjaman petani berasal dari rentenir,
sehingga petani harus menanggung biaya modal yang sangat tinggi. Keinginan ini berkaitan
dengan keinginan petani yang menempati rangking ketiga yaitu sesuai kemampuan dan tidak
merepotkan.
Teknologi yang sesuai dengan kemampuan artinya disesuaikan dengan modal dan
tenaga kerja yang tersedia. Artinya, dalam berusahatani, petani berusaha untuk menggunakan
modal sendiri dan tidak melakukan pinjaman dari pihak lain dengan bunga pinjaman tinggi.
Kemampuan petani untuk membayar tenaga kerja juga sangat terbatas. Dalam hal ini, petani

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 417
Seminar Nasional 2005

berusaha hanya menggunakan tenaga kerja dalam keluarga, tetapi mengingat banyak
pekerjaan dalam suatu usahatani, khususnya usahatani tembakau, menyebabkan petani harus
menggunakan tenaga upahan yang dibayar dari uang yang diperoleh pinjaman. Kondisi ini
sangat disadari petani sehingga petani ingin keluar dari masalah tersebut. Altenatif untuk
mengatasi masalah tersebut yaitu mengaktifkan lembaga keuangan desa dan introduksi
teknologi usahatani berbiaya rendah dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia.
Teknologi yang tidak merepotkan seperti diungkap di atas juga menjadi salah satu
keinginan petani. Ini berkaitan dengan keinginan petani terhadap teknologi yang sesuai
dengan kemampuan. Artinya, dalam berusahatani, petani menginginkan teknologi yang
sederhana yang seusai dengan kemampuan modal dan tenaga kerja dalam keluarga yang
tersedia. Teknologi usahatani yang rumit dan berkonsekuensi terhadap biaya tinggi dan
membutuhkan tenaga kerja yang banyak kurang diinginkan petani.
Keinginan petani terhadap teknologi yang tidak merepotkan diperkuat dengan
keinginan petani terhadap teknologi yang sesuai dengan kebiasaan. Suatu yang sudah
menjadi kebiasaan tidak akan dirasakan sebagai suatu yang merepotkan.

Preferensi Media Diseminasi


Perubahan lingkungan strategis dan kecepatan informasi yang diterima oleh petani
sebagai akibat kemajuan teknologi informasi mengakibatkan perubahan tingkat pengetahuan,
menyebabkan perubahan cara petani belajar. Awalnya petani tidak memunyai cara belajar.
Teknologi dan informasi disampaikan dengan metode menurut penyuluh pertanian. Tanpa
memperhatikan apakah metode tersebut sesuai dengan preferensi petani belajar.
Tabel 8 menunjukkan bahwa petani lebih suka belajar dengan cara mengalami
langsung. Hal ini mengindikasikan bahwa metode pembelajaran yang relatif efektif untuk
merubah perubahan perilaku para petani, kalau metode tersebut mampu menyentuh domain
sikap dan emosinya. Domain tersebut akan tersentuh kalau yang bersangkutan mengalami
langsung.
Menurut Fazio dan Zanna (Sarwono, 1997), sikap yang terbentuk melalui pengalaman
langsung, lebih kuat dari pada sikap yang terjadi melalui proses belajar lainnya. Kepribadian
menentukan konsistensi perilaku seseorang pada berbagai situasi dan tidak tergantung pada
penilaian sesaat (Sarwono, 1997). Dengan demikian kepribadian lebih permanen dari pada
sikap. Pengetahuan berakhir pada keputusan, sedangkan emosi berakhir pada tindakan
(Calne, 1999). Pembelajaran yang paling kuat berasal dari pengalaman langsung (Senge,
1996). Pembelajaran terdiri atas karakter belajar yang bermakna mengakumulasi
pengetahuan dan karakter mempraktikkan terus menerus. Belajar berarti mempraktikkan
terus menerus (Senge, at al. 2002).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 418
Seminar Nasional 2005

Tabel 8. Preferensi petani terhadap media diseminasi teknologi pada agroekosistem lahan kering kabupaten
Lombok Timur, Th. 2004
SKOR Total
JENIS MEDIA Ranking
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 skor
A. MEDIA
3 1 3 1 1 1 1 1 2 3 3 2 23 II
TERCETAK
1. Brosur 3 1 3 1 1 1 1 1 2 3 3 2 23
2. Liptan 3 1 3 1 1 1 1 1 2 3 3 2 23
3. Leaflet 3 1 3 1 1 1 1 1 2 3 3 2 23
4. Poster 3 1 3 1 1 1 1 1 2 3 3 2 23
5. Koran 3 1 3 1 1 1 1 1 2 3 3 2 23
6. Majalah
3 1 3 1 1 1 1 1 2 3 3 2 23
Pertanian
B. MEDIA
1 1 2 2 1 2 2 2 1 1 1 1 17 III
ELEKTRONIK
1. Vidio/Cd 1 1 2 2 1 2 2 2 1 1 1 1 17
2. Film 1 1 2 2 1 2 2 2 1 1 1 1 17
3. Radio 1 1 2 2 1 2 2 2 1 1 1 1 17
4. TV 1 1 2 2 1 2 2 2 1 1 1 1 17
5. Rekaman 1 1 2 2 1 2 2 2 1 1 1 1 17
C. MEDIA TATAP
2 3 1 3 3 3 3 3 3 2 2 3 31 I
MUKA
1. Pertemuan
2 3 1 3 3 3 3 3 3 2 2 3 31
Kelompok
2. Temu Lapang 2 3 1 3 3 3 3 3 3 2 2 3 31
3. Geltek/Demplot 2 3 1 3 3 3 3 3 3 2 2 3 31
4. Ceramah 2 3 1 3 3 3 3 3 3 2 2 3 31
5. Pelatihan 2 3 1 3 3 3 3 3 3 2 2 3 31
6. Studi Banding/
2 3 1 3 3 3 3 3 3 2 2 3 31
Magang
Sumber: Data primer diolah.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut di atas disimpulkan bahwa


(1) Kemajuan teknologi informasi menyebabkan perubahan sistem nilai, tingkat
pengetahuan, sikap, perilaku usaha tani yang bermuara pada perubahan kebutuhan para
petani.
(2) Preferensi para petani terhadap teknologi bukan hanya teknologi untuk meningkatkan
produktivitas, juga teknologi yang sesuai dengan latar belakang sosial ekonominya
seperti teknologi rendah input.
(3) Preferensi petani terhadap cara belajar yang dapat menyentuh domain afektif dan emosi
yaitu cara belajar yang mengalami langsung.

Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas disarankan hal-hal sebagai berikut
(1) Perakitan teknologi pertanian sebaiknya memperhatikan latar belakang sosial ekonomi
petani melalui pendekatan partisipatif.
(2) Metode diseminasi untuk menyampaikan hasil-hasil penelitian dan pengkajian sebaiknya
memperhatikan preferensi petani belajar melalui cara belajar mengalami langsung
dengan melibatkan petani dalam semua proses penelitian dan pengkajian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 419
Seminar Nasional 2005

DAFTAR PUSTAKA

Bailey KD. 1978. Methods of Social Research. The Free Press, A Division of Macmillan
Publishing Co., Inc, New York.
Badan Litbang Pertanian. 2004. Rancangan Dasar Program Rintisan da Akselerasi
Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (PRIMA TANI). Departemen
Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
BAPPEDA NTB 2004. Data Pokok Pembangunan Provinsi Nusa Negara Barat Tahun 2003.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat.
BAPPEDA NTB 2004a. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Nusa Tenggara
Barat Tahun 2003. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kerjasama
BAPPEDA NTB dengan Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat.
BPS NTB. 2003. Nusa Negara Barat Dalam Angka.
BPS Lombok Timur. 2003. Lombok Timur dalam Angka.
BPS 2004a. Sensus Pertanian 2003. Angka Propinsi Hasil Pendaftaran Rumah Tangga
(Angka Sementara). BPS. Jakarta.
BPS NTB 2004b. Statistik Harga Produsen dan Nilai Tukar Petani Propinsi Nusa Tenggara
Barat 2003. BPS Mataram- NTB.
Calne Donald B, 1999. Batas Nalar Rasionalitas dan Perilaku Manusia. Penerjemah Parakitri
T. Simbolon. Kepustakaan Populer Gramedia. 2004. Terjemahan dari Within
Reason-Rasionality and Human Behavior
Fromm E. 1976. Memiliki dan Menjadi Tentang dua Modus Eksistensi. F. Soesilohardo
penerjemah. Penerbit LP3ES, Jakarta. Terjemahan dari: To Have or To Be
Kompas. 2001a. Membuat Desa Memiliki Daya Tarik. Kompas 26 Agustus, 2001:28 (kolom
1-9).
________2001b. Ketika Bocah Pati Memakai Kaus Vieri. Kompas 20 Agustus 2001: 30
(kolom1-9).
Kompas b. Mencoba Berprasangka Baik dengan Strategi Baru. Kompas Sabtu 9 April 2005,
Halaman 38 Kolom (1-4)
Kompas c Kemakmuran Rakyat masih Impian. Sabtu 9 April 2005, Halaman 41 Kolom (1-
4).
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. P.T Gramedia Jakarta
Maryadi. 2000. Eksistensi Agama pada Era Globalisasi. Didalam Maryadi editor.
Tranformasi Budaya, Muhamaddiyah University Press, Surakarta.
Muhadjir N. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi III, Penerbit Rake Sarasin,
Yogyakarta.
Mulyana Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial Lainnya. PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Poerwandari EK. 1998. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Lembaga
Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi, Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, Jakarta.
Puspadi Ketut. 2002. Rekonstruksi Sistem Penyuluhan Pertanian [disertasi] Bogor. Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 420
Seminar Nasional 2005

Sa‟id Gumbira, Rachmayanti, M Zahrul Muttaqin. 2001. Manajemen Teknologi Agribisnis.


Kunci Menuju Daya Saing Global Pruduk Agribisnis. PT Ghalia Indonesia dengan
MMA-IPB, Jakarta.
Saragih Bungaran. 2004. Teks Sambutan Menteri Pertanian pada Acara Pelantikan Kepala
Badan Litbang Pertanian. Tanggal 26 Januari, 2004.
Sarwono SW. 1997. Psikologi Sosial. Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Balai
Pustaka, Jakarta.
Senge Peter M. 1996. Disiplin Kelima. Seni dan Praktek Dari Organisasi Pembelajar. Alih
Bahasa: Nunuk Adiarni. Bina Rupa Aksara, Jakarta Barat. Terjemahan dari: Fifth
Discipline.
Senge Peter M; Richard Ross; Bryan Smith; Charlotte Roberts; Aat Kleiner. 2002. Buku
Pegangan Disiplin Kelima. Penerjemah:Hari Suminto. Interaksara, Batam.
Terjemahan dari: The Fifth Discipline Field Book.
Winarto Y.T. 1999. “Dari Paket Teknologi ke Prinsip Ekologi: Perubahan Pengetahuan
Petani tentang Pengendalian Hama”. Di dalam Kusnaka Adimihardja. Petani
Merajut Tradisi Era Globalisasi. Pendayagunaan Sistem Pengetahuan Lokal dalam
Pembangunan. Humaniora Utama Press Bandung.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 421
Seminar Nasional 2005

POLA PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA KAITANNYA


DENGAN KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA
Kasus di Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur

Sri Hastuti Suhartini, Kukuh Wahyu W, dan Ketut Puspadi


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB

ABSTRAK

Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia termasuk desa dengan agroekosistem lahan kering. Wilayah
lahan kering sering diidentikkan dengan kemiskinan karena kondisi sumberdaya yang dimiliki. Hasil penelitian
Ariani (2000) menunjukkan bahwa ketahanan pangan rumah tangga di wilayah lahan kering lebih rendah
dibandingkan dengan ketahanan pangan rumah tangga di wilayah lahan sawah. Tulisan ini bertujuan menganalisis
pola pendapatan dan pengeluaran rumah tangga di lahan kering dihubungkan dengan ketahanan pangan rumah
tangga. Kajian ini dilakukan di Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur pada tahun
2004. Metode pengumpulan data dilakukan melalui diskusi mendalam secara partisipatif. Data yang dikumpulkan
dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa sumber pendapatan rumah
tangga di Desa Sambelia dari berbagai aktivitas usaha di bidang on farm, off farm dan non farm. Sumber
pendapatan utama petani kaya diperoleh dari usaha on farm. Sebaliknya petani dengan lahan garapan sempit dan
rumah tangga yang tidak mempunyai lahan, usaha off farm dan non farm memegang peranan penting sebagai
sumber pendapatan. Pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari ketiga bidang tersebut, prioritas pertama
adalah pengeluaran untuk konsumsi berupa kebutuhan pangan dengan pangsa pengeluaran pangan mencapai 50
persen. Dari pangsa pengeluaran pangan tersebut diketahui bahwa ketahanan pangan rumah tangga relatif
rendah, karena pangsa pengeluaran pangan berhubungan terbalik dengan ketahanan pangan, semakin tinggi
pangsa pengeluaran pangan maka semakin rendah tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Dalam upaya
meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga maka pendapatan rumah tangga harus ditingkatkan antara lain
melalui inovasi teknologi pertanian yang sesuai dengan kondisi wilayah lahan kering.
Kata kunci : pendapatan, pengeluaran, ketahanan pangan, rumah tangga

PENDAHULUAN

Tujuan pembangunan ekonomi pada hakekatnya adalah untuk meningkatkan


kesejahteraan masyarakat. Sementara itu salah satu indikator untuk mengukur tingkat
kesejahteraan adalah tingkat pendapatan. Penduduk pedesaan yang pada umumnya bekerja
di sektor pertanian ternyata memiliki sumber pendapatan yang beragam. Nurmanaf (1988)
mendapatkan bahwa di pedesaan Sumatera Barat hanya 3-19 persen rumah tangga yang
mempunyai satu sumber pendapatan, dan sebagian besar memiliki dua atau lebih sumber
pendapatan. Sementara itu sebaran pendapatan rumah tangga bervariasi antar darah dan
antar tahun.
Aspek yang terkait dengan tingkat pendapatan adalah tingat pengeluaran
masyarakat. Secara umum diketahui bahwa tingkat pendapatan mempengaruhi pola dan
tingkat pengeluaran (Nurmanaf dkk, 2000). Penelitian Sudaryanto dkk (1999) membuktikan
bahwa tingkat pendapatan mempunyai hubungan negatif dengan porsi pengeluaran pangan.
Semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga semakin rendah porsi pengeluaran pangan.
Dalam Pakpahan dkk (1993) disebutkan bahwa ada hubungan antara porsi atau pangsa
pengeluaran pangan dengan ketahanan pangan rumah tangga. Pangsa pengeluaran pangan
berhubungan terbalik dengan ketahanan pangan, semakin besar pangsa pengeluaran pangan
maka semakin rendah ketahanan rumah tangga yang bersangkutan.
Sesuai dengan kondisi agroekosistemnya, bagian besar wilayah Kabupaten Lombok
Timur termasuk Kecamatan Sambelia merupakan lahan kering. Luas areal lahan kering di
Kecamatan Sambelia mencapai 87,5 persen dari total wilayah. Wilayah lahan kering sering
identik dengan kemiskinan karena kondisi sumberdaya yang dimiliki. Hasil penelitian
Ariani (2000) menunjukkan adanya keterkaitan antara kondisi agroekosistem dengan tingkat
ketahanan pangan rumah tangga. Ketahanan pangan rumah tangga di wilayah lahan kering
lebih rendah dibandingkan dengan ketahanan pangan rumah tangga di wilayah lahan sawah.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 422
Seminar Nasional 2005

Berdasarkan informasi dan latar belakang di atas, tulisan ini bertujuan untuk
memberikan gambaran tentang sumber-sumber pendapatan, alokasi pendapatan, pola
pengeluaran, dan ketahanan pangan rumah tangga di Desa Sambelia Kecamatan Sambelia
Kabupaten Lombok Timur.

METODE PENELITIAN

Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan pengkajian Pemahanan Pedesaan secara
Partisipatif di Wilayah Poor Farmer Lombok Timur yang dilaksanakan pada tahun 2004.
Kegiatan pengkajian dilakukan di Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok
Timur. Pengumpulan data dilakukan melalui diskusi mendalam secara partisipatif dan
dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. Struktur Pendapatan Rumah Tangga


A. Sumber Pendapatan Rumah Tangga
Sumber pendapatan masyarakat desa Sambelia bersumber dari berbagai aktivitas
usaha pertanian (on-farm), usaha diluar pertanian (off farm) dan usaha di luar sektor
pertanian (non farm). Struktur pendapatan rumah tangga per tahun di Desa Sambelia dapat
di lihat pada Tabel 1. Hampir setiap bulan masyarakat memperoleh pendapatan yang
bersumber dari berbagai aktivitas usaha yang dilakukan di bidang tersebut. Secara umum
sumber pendapatan pada bulan Februari, Maret dan April lebih banyak bersumber dari usaha
on farm dan off farm sedangkan pada bulan Oktober, Nopember dan Desember dari aktivitas
usaha di bidang non farm.
Tabel 1. Struktur Pendapatan Rumah Tangga per tahun di Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia, Kabupaten
Lombok Timur, 2004

Sumber Penerimaan Nilai (Rp.000) Persen


1. On Farm : 4.409 73,60
- Padi 1.975 32,97
- Palawija 1591 26,56
- Hortikultura 14 0,24
- Peternakan 608 10,15
- Perkebunan 220 3,68

2. Off Farm : 314 5,24


- Buruh tani 314 5,24

3. Non Farm : 1.268 21,16


- Industri 228 3,80
- Pertukangan 76 1,27
- Transportasi 255 4,25
- PNS/TNI/POLRI/dll 274 4,57
- Mengambil di alam 91 1,52
- - Pemberian 344 5,75
Jumlah 5.991 100,00
Sumber : Iqbal, dkk (2004)

1. Pendapatan On Farm
Pendapatan yang bersumber dari usaha on farm mencapai 73,6% dari total
pendapatan sebagian besar berasal dari usahatani tanaman pangan dan hortikultura kemudian
dari sektor peternakan, sedangkan sektor perkebunan belum banyak memberikan kontribusi
terhadap pendapatan petani. Pendapatan dari usahatani tanaman pangan bersumber dari
usahatani di lahan sawah irigasi dan dari lahan kering (tegalan/ladang).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 423
Seminar Nasional 2005

Tanaman Pangan
Dari sektor tanaman pangan sumber pendapatan petani berasal dari hasil panen padi
gogo, padi sawah, jagung dan kacang tanah. Pendapatan yang bersumber dari hasil panen
padi gogo diterima petani antara bulan April dan Mei sedangkan yang berasal dari hasil
panen padi sawah diterima petani dari bulan Januari sampai dengan bulan September.
Periode waktu penerimaan pendapatan yang cukup panjang dari usahatani padi sawah
disebabkan karena saat panen yang tidak seragam sebagai akibat dari waktu tanam yang
tidak bersamaan. Sekitar bulan Maret dan April petani memperoleh pendapatan yang
bersumber dari usahatani jagung dan kacang tanah yang di tanam di ladang sedangkan
pendapatan yang bersumber dari pertanaman jagung dan kacang tanah yang di tanam di
sawah irigasi diterima petani antara bulan Agustus dan September.
Dari uraian diatas sumber pendapatan petani yang bersumber dari sektor tanaman
pangan paling banyak diterima petani pada bulan April. Hal ini terjadi karena pada bulan
tersebut petani yang mengusahakan padi gogo, jagung dan kacang tanah di lahan kering
(tegalan/ladang) bersamaan panen dengan yang mengusahakan padi di lahan sawah irigasi.
Di bulan Oktober, Nopember dan Desember terjadi stagnasi penerimaan pendapatan dari
sektor tanaman pangan karena bulan-bulan tersebut merupakan awal musim hujan yang juga
merupakan awal dari musim tanam.

Peternakan
Sektor peternakan memegang peranan yang cukup penting setelah tanaman pangan
dalam kontribusi pendapatan masyarakat desa Sambelia. Sumber pendapatan dari sektor
peternakan berasal dari hasil penjualan kerbau, sapi, kambing, ayam dan jasa pengolahan
tanah oleh kerbau. Pemeliharaan ternak di desa ini lebih banyak ditujukan untuk pembiakan
dari pada penggemukan. Pendapatan dari peternakan sebesar 10,15% dari total pendapatan
rumah tangga.
Pendapatan masyarakat desa Sambelia yang bersumber dari usaha pemeliharaan
ternak kerbau sebagian besar dari jasa pengolahan tanah dan hanya sebagian kecil dari
penjualan ternak. Sangat jarang pemilik kerbau menjual ternaknya, karena kerbau
mempunyai peran strategis dalam pengolahan tanah dan juga merupakan cerminan status
sosial seseorang di masyarakat dalam segi kekayaan. Pendapatan yang bersumber dari
ternak kerbau sebagai tenaga kerja pengolahan tanah diterima petani pada bulan Oktober
sampai dengan Desember dan meningkat dari dari bulan Januari sampai dengan Maret
Sumber pendapatan dari sektor peternakan lainnya berasal dari hasil penjualan
kambing. Kambing dijual biasanya pada bulan April, Oktober, Nopember dan pada hari raya
Idul Qurban maupun pada saat bulan Maulid. Penjualan kambing yang dilakukan sekitar
bulan April adalah untuk persediaan ongkos panen, sedangkan yang dijual pada bulan
Oktober dan Nopember adalah untuk persediaan biaya mengolah tanah. Kontribusi ayam
buras sebagai sumber pendapatan keluarga dirasakan tidak begitu besar peranannya oleh
petani. Hampir sepanjang tahun petani menjual ayamnya terutama untuk mengatasi
kebutuhan uang tunai yang bersifat mendesak untuk keperluan sehari-hari. Peranan ayam
menjadi cukup penting sebagai salah satu penyangga pendapatan keluarga dimusim kemarau
yaitu saat itu pendapatan yang bersumber dari usaha lainnya sudah mulai berkurang.

2. Pendapatan Off Farm


Buruh Tani
Kegiatan buruh tani yang dilakukan mulai dari pengolahan tanah sampai dengan
penen pada kegiatan usahatani padi sawah di lahan irigasi maupun di di lahan kering,
sedangkan pada usahatani palawija buruh tani tidak banyak terlibat. Hal ini dapat dilihat dari
bulan-bulan penerimaan pendapatan buruh tani yang terakumulasi pada bulan Oktober,
Nopember, Desember, Januari, Pebruari, Maret dan April. Pendapatan yang diterima dari
bulan Oktober sampai dengan Desember berasal dari jasa pengolahan tanah dan tanam,

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 424
Seminar Nasional 2005

sedangkan yang diterima dari bulan Januari sampai dengan April dari jasa sebaga tenaga
kerja panen

Mencari Madu
Usaha mencari madu tidak dapat dilaksanakan sepanjang tahun, biasanya kegiatan
ini menurun di musim hujan. Pendapatan yang bersumber dari usaha mencari madu diterima
petani bulan Oktober sampai dengan Desember dan dari bulan Pebruari sampai dengan
April.

3. Pendapatan Non Farm


Sumber pendapatan petani dibidang non farm bersumber dari tukang/buruh
bangunan, TKI, pedagang bakulan/usaha kios, jasa ojek, mencari kayu bakar dan dari usaha
industri batu bata. Berbeda dengan kegiatan pada on farm dan off farm, kegiatan non farm
aktivitasnya sangat kecil sekali dipengaruhi oleh musim. Pendapatan dari kegiatan non farm
sebesar 21,16 % dari total pendapatan rumah tangga.

Tukang dan Buruh bangunan


Sumber pendapatan menjadi tukang dan buruh bangunan diperoleh dari bulan Mei
sampai dengan Nopember. Sebagian mereka bekerja ke luar provinsi seperti ke Bali,
Kalimantan dan Sumatera. Disamping itu ada juga yang bekerja di dalam desa atau luar
kecamatan maupuan kabupaten seperti ke Sumbawa dan Dompu. Lamanya mereka pergi
bekerja ke luar desa antara 1 – 6 bulan.

Tenaga Kerja Indonesia (TKI dan TKW)


Bekerja keluar negeri sebagai TKI merupakan pilihan yang harus ditempuh oleh
sebagian masyarakat desa Sambelia dengan tujuan untuk merubah penghidupan. Mereka
tertarik bekerja di luar negeri karena tingkat upah yang diterima jauh lebih besar
dibandingkan bekerja di desanya. Bagi mereka yang berhasil ditandai dengan kiriman uang
yang cukup lancar untuk keluarga yang ditinggalkan di desa Sambelia. Umumnya mereka
mengirimkan uang pada bulan Januari, Pebruari, Nopember dan Desember. Pengiriman
uang pada bulan tersebut berkaitan dengan aktivitas usahatani di desa Sambelia yang sedang
meningkat yaitu untuk persiapan biaya pengolahan tanah dan persiapan tanam.

Bakulan dan Kios


Sebagai pedagang bakulan dan membuka usaha kios sebagian besar dikerjakan oleh
wanita. Pekerjaan ini sebagai sumber pendapatan sehari-hari dan dapat dilakukan sepanjang
tahun. Penerimaan terbesar dari usaha bakulan umumnya pada hari minggu karena
merupakan hari pasaran di desa Sambelia.

Jasa Ojek
Pekerjaan sebagai tukang ojek dilakukan hampir setiap hari karena ojek merupakan
sarana transportasi utama masyarakat desa Sambelia. Masyarakat yang menjadikan ojek
sebagai salah satu sumber pendapatannya meningkat antara bulan April sampai dengan
September atau pada musim kemarau. Sebaliknya di musim hujan masyarakat yang
menjadikan ojek sebagai sumber pendapatannya mulai berkurang karena sebagian dari
mereka mulai bekerja menggarap sawah dan ladang, disamping karena kondisi jalan tanah
diperkeras di desa Sambelia menjadi licin.

Mencari Kayu Bakar


Usaha menjual kayu bakar yang dicari dari hutan merupakan salah satu sumber
pendapatan petani di desa Sambelia. Usaha penjualan kayu bakar sebagai salah satu sumber
pendapatan masayarakat desa Sambelia meningkat antara bulan Juni sampai dengan bulan

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 425
Seminar Nasional 2005

September atau pada musim kemarau dimana saat itu sumber pendapatan dari sektor
pertanian sudah mulai berkurang. Di musim hujan sumber pendapatan dari usaha penjualan
kayu bakar mulai berkurang karena mereka beralih bekerja ke sektor pertanian yang
menjanjikan penghasilan yang lebih baik.

Membuat Batu Bata


Pekerjaan membuat bata dilakukan secara temporer artinya pekerjaan ini dilakukan
apabila ada pesanan. Aktivitas pembuatan bata sebagai salah satu sumber pendapatan
meningkat pada musim kemarau yaitu antara bulan Juni sampai dengan Nopember. Hanya
sebagian kecil dari penduduk desa yang menjadikan usaha pembuatan bata merah sebagai
sumber pendapatannya.

B. Kontribusi Jenis Usaha Terhadap Pendapatan Rumah Tangga


Masyarakat desa Sambelia berdasarkan luas penguasaan lahan yang dimiliki dapat
dikelompokkan menjadi yang memiliki lahan garapan relatif luas dan yang memiliki lahan
garapan sempit atau kurang dari 0,25 ha. Pengaruh perbedaan luas pemilikan lahan
berdampak pada jenis usaha yang dikerjakan untuk memperoleh pendapatan dan besarnya
pendapatan yang diterima dari masing-masing sumber. Ranking pendapatan rumah tangga
dapat di lihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Ranking Pendapatan Rumah Tangga Desa Sambelia, Kec. Sambelia, Kab. Lombok Timur, 2004.

Petani Dengan Lahan Petani Dengan Lahan


Jenis Pendapatan
Garapan Luas Garapan Sempit
1. On Farm
a. Tanaman Pangan 6 4
b. Tanaman Hortikultura 2 3
c. Tanaman Perkebunan 1 1
d. Peternakan 5 2
2. Off Farm 4 6
3. Non Farm 3 5
Keterangan : semakin besar angka menunjukkan semakin besar sumbangannya terhadap pendapatan rumah tangga.

Petani dengan lahan garapan yang luas menjadikan usaha on farm khususnya
tanaman pangan, dan peternakan sebagai usaha utama dan menjadi salah satu sumber
penerimaan pendapatan yang terbesar, menyusul usaha off farm dan non farm. Pendapatan
yang bersumber dari kegiatan off farm dan non farm menempati peringkat yang lebih rendah
dibandingkan dengan yang dari kegiatan on farm. Salah satu kegiatan off farm, yaitu bekerja
menjadi buruh tani sebagai tenaga kerja upahan, kurang mendapat perhatian dari petani yang
memiliki lahan garapan luas. Disamping karena waktunya lebih banyak tersita untuk
kegiatan on farm, juga karena bekerja sebagai buruh tani mengurangi citra mereka sebagai
petani kaya. Sumber pendapatan petani dengan lahan garapan luas dari kegiatan off farm
yaitu dari sewa ternak yang dipergunakan untuk mengolah tanah.
Sebaliknya terjadi pada petani dengan luas lahan garapan sempit atau petani miskin,
usaha dari kegiatan off farm memegang peranan penting sebagai sumber pendapatan. Bekerja
menjadi buruh tani sebagai tenaga kerja upahan merupakan sumber pendapatan terbesar
untuk menunjang kehidupan keluarga. Sumber pendapatan selanjutnya yang menjadi andalan
keluarga petani dengan lahan garapan sempit yaitu dari kegiatan non farm. Menjadi TKI
menjadi tujuan utama petani dengan luas lahan garapan sempit, disamping buruh bangunan,
ojek dan lain sebagainya. Dari usaha on farm, sektor tanaman pangan sebagai sumber
pendapatan menempati urutan setelah off farm dan non farm. Penguasaan faktor produksi
petanian seperti tanah, tenaga kerja dan modal yang relatif rendah oleh petani dengan luas
lahan garapan sempit mendorong mereka melakukan tindakan penyelamatan diri dengan
mencari sumber pendapatan lain. Usaha tanaman pangan oleh petani dengan lahan garapan
sempit (petani miskin) lebih banyak bersifat subsisten untuk ketahanan pangan keluarga.
Kegiatan on farm usaha tanaman hortikultura dari petani berlahan sempit cukup menarik

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 426
Seminar Nasional 2005

karena menempati urutan ke tiga sebagai sumber pendapatan. Gejala ini berbeda dengan
usaha tanaman hortikultura dari petani dengan lahan garapan luas, dimana usaha tersebut
menempati peringkat ke dua. Ini berarti usaha tanaman hortikultura, terutama dari jenis
sayuran, menjadi andalan petani berlahan sempit di desa Sambelia. Dalam hal ini, dengan
keterbatasan lahan yang dimiliki, petani berlahan sempit di desa Sambelia berusaha
mengoptimalkan fungsi lahannya dengan menanam berbagai jenis komoditas hortikultura
terutama dari jenis sayuran dengan cara memanfaatkan pematang sawah.
Uraian tersebut memberikan gambaran bahwa sumber pendapatan rumah tangga di
Desa Sambelia tertinggi berasal dari kegiatan on farm. Tanpa mengelompokkan petani kaya
dan petani miskin, hasil baseline survey yang dilakukan oleh Iqbal dkk (2004) di desa yang
sama menunjukkan hasil yang senada. Secara agregat kontribusi pendapatan dari kegiatan
on farm di Desa Sambelia mencapai 73,6 persen (Tabel 1).

II. Pola Pengeluaran Rumah Tangga


A. Alokasi Pendapatan Rumah Tangga
Pendapatan rumah tangga dialokasikan untuk berbagai keperluan, antara lain:
konsumsi, keperluan sehari-hari, kegiatan sosial, keperluan anak sekolah dan keperluan lain-
lain. Pengeluaran harus diatur secara bijaksana, dalam hal ini yang banyak berperan ibu
rumah tangga, sehingga pendapatan yang terbatas dapat memenuhi seluruh keperluan,
biasanya untuk memenuhi keperluan dalam jangka waktu selama satu bulan.
Dari pendapatan yang diperoleh, pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan
keperluan sehari-hari baik dari segi jumlah dan skala prioritas menempati urutan pertama.
Pengeluaran untuk konsumsi berupa pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari menempati
urutan kedua. Pemenuhan kebutuhan untuk keperluan anak sekolah, baik dari segi besarnya
maupun skala prioritas menempati urutan ketiga. Pemenuhan kebutuhan untuk kegiatan-
kegiatan sosial yang sering tidak terduga menempati urutan keempat. Lain-lain pengeluaran
yang kadang kala relatif cukup besar jumlahnya menempati urutan kelima.
Dari uraian tersebut diatas, pengeluaran masyarakat desa Sambelia sebagian besar
dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan yang bersifat konsumtif. Usaha-usaha kearah
pembentukan modal dalam bentuk tabungan, yang diperoleh dari selisih pendapatan setelah
pemenuhan kebutuhan tersebut diatas, belum dapat dilaksanakan masyarakat desa Sambelia.
Salah satu penyebab hal tersebut adalah rendah pendapatan masyarakat desa Sambelia.
Sering terjadi kebutuhan modal untuk keperluan usahatani diperoleh dari modal pinjaman
dengan bunga yang realatif tinggi.

B. Struktur Pengeluaran dan Ketahanan Pangan Rumah Tangga


Pengeluaran rumah tangga masyarakat desa Sambelia dapat dikelompokkan menjadi
pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran non pangan. Pengeluaran pangan terdiri atas
beras, lauk-pauk dan sayur, bumbu-bumbuan, gula/kopi/teh, buah, susu, rokok/tembakau dan
makanan jadi. Pengeluaran non pangan terdiri dari pengeluaran untuk penerangan, bahan
bakar, air bersih, kebutuhan kebersihan diri, pendidikan, pakaian, kesehatan, transportasi,
perbaikan rumah, kegiatan sosial dan pajak.
Untuk melihat pola pengeluaran rumah tangga petani di desa Sambelia, rumah
tangga dikelompokkan menjadi dua yaitu rumah tangga kaya dan rumah tangga miskin.
Jumlah pengeluaran petani kaya umumnya lebih besar dibandingkan pengeluaran petani
miskin, baik untuk pengeluaran pangan maupun non pangan (Tabel 3). Rata-rata petani
kaya mengeluarkan Rp. 1.283.950,-/bulan yang terdiri atas pengeluaran untuk pangan Rp.
714.000,-/bulan dan pengeluaran non pangan Rp. 569.950,-/bulan. Pengeluaran rumah
tangga petani miskin untuk pangan sebesar Rp. 162.600,-/bulan dan untuk non pangan
sebesar Rp. 136.700,-/bulan. Jumlah biaya yang dikeluarkan rumah tangga kaya untuk
kebutuhan pangan lebih kecil dari pengeluaran non pangan, keadaan sebaliknya terjadi pada
rumah tangga petani miskin.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 427
Seminar Nasional 2005

Tabel 3. Struktur Pengeluaran Rumah Tangga Masyarakat Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia, Kabupaten
Lombok Timur, 2004

Rumah Tangga Petani


Rumah Tangga Petani Kaya
Miskin
Jenis Pengeluaran
Pengeluaran/ Pengeluaran/
Pangsa (%) Pangsa (%)
bulan (Rp) bulan (Rp)
A. Pengeluaran Pangan 714,000 55.61 162,200 54.27
- Beras 100,000 7.79 60,000 20.07
- Lauk Pauk 450,000 35.05 71,000 23.75
- Minyak Goreng 18,000 1.40 7,200 2.41
- Gula/kopi/teh 60,000 4.67 16,800 5.62
- Susu Bubuk 56,000 4.36 - -
- Buah 15,000 1.17 - -
- Rokok/tembakau - - 7,200 2.41
- Makanan jadi 15,000 1.17 - -

B. Pengeluaran Non Pangan 569,950 44.39 136,700 45.73


- Listrik 60,000 4.67 18,000 6.02
- Minyak Tanah 30,000 2.34 - -
- Air Bersih 500 0.04 - -
- Kebersihan diri 48,500 3.78 54,000 18.07
- Biaya Anak Sekolah 264,250 20.58 7,200 2.41
- Pakaian 83,250 6.48 10,000 3.35
- Kesehatan/KB 16,500 1.29 12,000 4.01
- Transportasi 12,500 0.97 - -
- Rekreasi 4,250 0.33 - -
- Perbaikan Rumah 16,500 1.29 30,000 10.04
- Hajatan dan sumbangan sosial 16,750 1.30 2,500 0.84
- PBB 450 0.04 3000 1.00
- Pajak Kendaraan 16,500 1.29 - -
Total Pengeluaran 1,283,950 298,900
Sumber : Data primer (diolah).

Seperti diuraikan di atas, jumlah pengeluaran rumah tangga kaya jauh lebih besar
dibandingkan dengan pengeluaran rumah tangga miskin, baik untuk pengeluaran pangan
maupun untuk pengeluaran non pangan. Perbedaan jumlah pengeluaran untuk kebutuhan
pangan pada kedua jenis rumah tangga tersebut karena perbedaan kualitas dan jumlah
pangan yang dikonsumsi. Rumah tangga petani kaya mengkonsumsi jenis pangan yang lebih
berkualitas, beragam dan dalam jumlah yang lebih memadai dibandingkan dengan yang
dikonsumsi rumah tangga petani miskin. Sedangkan perbedaan pengeluaran non pangan
antara rumah tangga kaya dan miskin terletak pada jumlah biaya yang dikeluarkan untuk
penerangan, bahan bakar untuk memasak, membeli pakaian, biaya pendidikan, biaya
transportasi, pajak kendaraan dan rekreasi seperti dijelaskan dibawah ini.
Sumber penerangan rumah tangga petani kaya diperoleh dari berlangganan PLN
sedangkan petani miskin sumber penerangannya numpang (nyantol) pada listrik petani kaya.
Rumah tangga kaya menggunakan bahan bakar minyak tanah untuk memasak, rumah tangga
miskin menggunakan kayu bakar. Pengeluaran untuk pembelian pakaian oleh rumah tangga
kaya dilakukan setiap triwulan, rumah tangga miskin membeli pakaian setahun sekali. Biaya
pendidikan yang dikeluarkan rumah tangga kaya untuk menyekolahkan anak sampai
perguruan tinggi menjadi lebih besar dibandingkan petani miskin yang hanya mampu
menyekolahkan anak sampai ke sekolah menengah atau lanjutan. Pemilikan kendaraan
bermotor sudah menjadi hal lumrah pada rumah tangga kaya sehingga setiap tahun harus
membayar pajak kendaraan dan membeli bahan bakar, pengeluaran untuk biaya tersebut
tidak pernah dikeluarkan rumah tangga miskin karena tidak memiliki kendaraan bermotor.
Meskipun nilai absolut pengeluaran rumah tangga kaya relatif besar dibandingkan
pengeluaran rumah tangga miskin, namun pangsa pengeluaran pangan kedua rumah tangga
tersebut relatif sama. Dari tabel tersebut menggambarkan bahwa pengeluaran pangan rumah

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 428
Seminar Nasional 2005

tangga mencapai lebih dari 50 persen dari total pengeluaran rumah tangga. Hasil pengkajian
ini hampir sama dengan data baseline survey yang dilakukan oleh Iqbal dkk (2004) di desa
yang sama, dimana pangsa pengeluaran pangan sebesar 56,6 persen.
Pengeluaran rumah tangga terbesar untuk kebutuhan pokok seperti beras dan lauk
pauk. Tingginya pangsa pengeluaran pangan (>50%) menunjukkan ketahanan pangan rumah
tangga di Desa Sambelia relatif rendah. Sebagai pembanding, pangsa pengeluaran pangan
rumah tangga di Amerika Serikat dan Jepang pada tahun 1975 masing-masing 12,76 persen
dan 22,28 persen (Theil dan Clements, 1987 dalam Pakpahan, 1993). Keadaan ini
memberikan gambaran bahwa, tidak seperti di negara maju, pangan masih merupakan
komoditas penting bgi sebagian masyarakat di Indonesia, khususnya masyarakat pedesaan.

KESIMPULAN

1. Sumber pendapatan rumah tangga di Desa Sambelia dari berbagai aktivitas usaha di
bidang on farm, off farm dan non farm. Secara umum sektor pertanian masih tetap
merupakan sumber pendapatan rumah tangga. Sumber pendapatan utama petani kaya
diperoleh dari usaha on farm. Sebaliknya petani dengan lahan garapan sempit dan rumah
tangga yang tidak mempunyai lahan, usaha off farm dan non farm memegang peranan
penting sebagai sumber pendapatan.
2. Pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari ketiga bidang tersebut, prioritas pertama
adalah pengeluaran untuk konsumsi berupa kebutuhan pangan dengan pangsa
pengeluaran pangan mencapai diatas 50 persen. Dari pangsa pengeluaran pangan
tersebut diketahui bahwa ketahanan pangan rumah tangga di Desa Sambelia relatif
rendah. Dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga maka pendapatan
rumah tangga harus ditingkatkan antara lain melalui inovasi teknologi pertanian
termasuk teknologi pasca panen yang sesuai dengan kondisi wilayah lahan kering.

DAFTAR PUSTAKA

Ariani, M. dan B. Sayaka. 2000. Ketahanan Pangan Rumah tangga Pedesaan (Editor: IW.
Rusastra dkk). Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dalam
Era Otonomi Daerah., hal 135-142.
Iqbal, M., I.S., Anugrah dan D.K.S.Swastika, 2004. Socio-Economic Baseline Survey for
Poor Farmers‟ Income Improvement through Innovation Project (PFI3P). Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Nurmanaf, A.R., 1988. Struktur Pendapatan Rumah tangga Petani padi Sawah di Pedesaan
Sumatera Barat (Editor: F. Kasryno dkk). Prosiding Patanas Perubahan Ekonomi
Pedesaan menuju Ekonomi Berimbang, hal 291-298.
Nurmanaf, A.R., dan SH Susilowati. 2000. Struktur Kesempatan Kerja dan Kaitannya
dengan Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Pedesaan (Editor: IW. Rusastra
dkk). Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dalam Era
Otonomi Daerah., hal 88-93.
Pakpahan, A, P.Srliem dan S.H., Suhartini. 1993. Penelitian Tentang Ketahanan Pangan
Masyarakat Berpendapatan Rendah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Petanian.
Bogor.
Sudaryanto, T., IW. Rusastra and P. Simatupang. 1999. The Impact of Economic Crisis and
Policy Adjusment on Food Crop Development Toward Economic Globalization.
Paper presented on “Round Table Discussion on Food and Nutrition Task Force I:
Food and Agriculture” Pra-WKNPG VII, 8 November 1999. Center For Agro-Socio
Economic Research, Bogor.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 429
Seminar Nasional 2005

KERAGAAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA TANI DI AGROEKOSISTEM


LAHAN KERING DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Nur Hidayat, Sugeng Widodo dan Rahima Kaliky


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
Jl. Rajawali No. 28 Demangan Baru, Yogyakarta 55281

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pendapatan dan melihat hubungannya dengan karakteristik
rumah tangga tani di agroekosistem lahan kering Daerah Istimewa Yogyakarta. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode survei dengan pengamatan langsung dilapangan dan wawancara dengan petani
menggunakan daftar pertanyaan. Pemilihan lokasi kabupaten dan kecamatan ditentukan secara purposive
sedangkan penentuan lokasi desa dan sampel petani ditentukan dengan metode random sederhana. Pengambilan
sampel dilakukan di Desa Ponjong, Kec. Ponjong, Kab. Gunungkidul; Desa Wonokerto, Kec. Turi, Kab. Sleman;
Desa Kepuharjo, Kec. Cangkringan, Kabupaten Sleman; dan Desa Terong, Kec. Dlingo, Kab. Bantul. Penelitian
dilakukan selama periode bulan Juni – Nopember 2003. Responden ditentukan sebanyak 23 orang per desa
sehingga total responden sebanyak 92 orang. Data yang terhimpun selanjutnya dianalisis menggunakan statistik
diskriptif dan analisis korelasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan utama rumah tangga tani
berasal dari sektor pertanian yang memberikan kontribusi sebesar 52,57%, sedangkan usaha non pertanian
memberikan sumbangan sebesar 47,43% terhadap total pendapatan keluarga petani. Rata-rata total pendapatan
keluarga petani sebesar Rp 9.913.510,-/tahun yang terdiri dari pendapatan usaha pertanian sebesar Rp
5.211.284,-/tahun dan pendapatan usaha non pertanian sebesar Rp 4.702.226,-/tahun. Pendapatan rumah tangga
petani berhubungan erat dan signifikan dengan sumber pendapatan yang berasal dari usahatani non-tanaman
pangan dan pendapatan yang bersumber dari luar sektor pertanian. Sedangkan usaha sub sektor pertanian
tanaman pangan ternayata bekorelasi negatif dan tidak signifikan terhadap pendapatan rumah tangga petani.
Kata Kunci : pendapatan, karakteristik petani, lahan kering

PENDAHULUAN

Upaya peningkatan produksi pertanian di lahan kering dihadapkan pada berbagai


kendala diantaranya adalah keterbatasan sumberdaya air, ketidak seimbangan hara, kepekaan
erosi diwaktu hujan, pola pemanfaatan lahan dan teknik pengembangan yang belum sesuai
dan serasi (Idjudin Abas, 1994). Rendahnya produktivitas lahan kering, pada gilirannya
akan menyebabkan pendapatan yang diperoleh dari berusahatani menjadi rendah sehingga
kemampuan untuk menyisihkan sebagian pendapatan guna memperbaiki kondisi lahan
melalui upaya rehabilitasi menjadi terbatas pula. Lingkaran yang saling mengkait ini telah
menyebabkan kondisi petani di lahan kering relatif tertinggal dibandingkan dengan petani
yang berada di agroekosistem lainnya, sehingga sebagian besar masyarakat yang hidup di
bawah garis kemiskinan berada di kantong-kantong kemiskinan lahan kering (Hermawan,
1994). Tindakan yang dilakukan oleh petani pada kondisi tersebut adalah dengan
mengusahakan berbagai jenis usaha untuk meminimalkan resiko kegagalan dan menjamin
tercukupinya kebutuhan keluarga. Pada kondisi demikian seringkali petani dipaksa keadaan
untuk menjual hasil usahatani walupun jumlahnya terbatas untuk mendapatkan uang tunai
(Hermawan et al., 1993).
Pada tahun 2003 luas lahan kering di DIY yang dapat dioptimalkan pemanfaatannya
adalah 259.767 ha atau sekitar 81,53% dari luas wilayah Provinsi DIY (318.580 ha);
penyebarannya sekitar 54,20% terletak di Kabupaten Gunungkidul, 18,37% terletak di
Kabupaten Kulonprogo, 13,24% terletak di Kabupaten Bantul, 12,99% terletak di Kabupaten
Sleman dan 1,19% di Kodya Yogyakarta (BPS Prop DIY, 2003).
Sejalan dengan program pemerintah DIY yang tertuang dalam Rencana Strategis
Daerah (RENSTRADA) tahun 2004-2008 adalah pengembangan sistem dan usaha agribisnis
(BAPPEDA Provinsi DIY, 2003) yaitu terwujudnya peningkatan sistem dan usaha agribisnis
serta menciptakan sistem ketahanan pangan (Dinas Pertanian Provinsi DIY, 2004). Berkaitan
dengan itu lahan kering merupakan salah satu prioritas yang dikembangkan di DIY. Dalam

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 430
Seminar Nasional 2005

peningkatan kesejahteraan petani di pedesaan lahan kering merupakan modal dasar


pembangunan pertanian yang perlu dikembangkan. Untuk mendapatkan input tentang
pendapatan masyarakat tani, maka dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui keragaan
pendapatan rumah tangga tani di agroekosistem lahan kering Daerah Istimewa Yogyakarta.

Materi dan Metode


Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan pengamatan
langsung di lapangan dan wawancara dengan petani menggunakan daftar pertanyaan.
Pemilihan lokasi kabupaten dan kecamatan ditentukan secara purposive sedangkan
penentuan lokasi desa dan sampel petani ditentukan dengan metode random sederhana.
Pengambilan sampel dilakukan di Desa Ponjong, Kecamatan Ponjong, Kab. Gunungkidul,
Desa Wonokerto, Kec. Turi, Kab. Sleman, Desa Kepuharjo, Kec. Cangkringan Kabupaten
Sleman dan Desa Terong, Kec. Dlingo, Kab. Bantul. Penelitian dilakukan selama periode
bulan Juni – Nopember 2003. Responden ditentukan sebanyak 23 orang per desa sehingga
total responden sebanyak 92 orang. Variabel yang diamati adalah variabel independen yaitu
tingkat pendapatan rumah tangga responden sedangkan variabel dependen adalah
karakteristik responden meliputi pendidikan formal, kekosmopolitan, hasil pertanian
tanaman pangan, hasil pertanian non tanaman pangan, hasil peternakan, hasil perikanan, dan
pendapatan dari sektor non pertanian.

Analisis Data
Untuk analisis karakteristik responden menggunakan statistik deskriptif sedangkan
analisis hubungan tingkat pendapatan keluarga dengan karakteristik petani menggunakan
analisis korelasi Pearson, guna melihat keeratan hubungan antar variabel dimaksud. Secara
matematis persamaan hubungan tersebut dapat ditulis sebagai berikut :
Y f X1, X 2, X 3, X 4, X 5, X 6, X 7
Dimana:
Y = pendapatan rumah tangga petani; X4 = hasil pertanian non tanaman pangan
X1 = Pendidikan formal; X5 = hasil peternakan
X2 = kekosmopolitan; X6 = hasil perikanan
X3 = hasil pertanian tanamanpangan; X7 = pendapatan dari sektor non Pertanian
Ukuran hubungan linier antara varibel independen dan variabel-variabel dependen tersebut
diduga dengan koefisien korelasi Pearson (Walpole, 1995), sebagai berikut:
n n n
n XiYi Xi Y1
i 1 i 1 i 1 Sx
r b
n n 2 n n 2 Sy
2 2
n Xi Xi n Yi Yi
i 1 i 1 i 1 i 1

r = koefisien korelasi.
Ada dua hal dalam penafsiran korelasi yaitu tanda + atau – yang berhubungan
dengan arah korelasi. Nilai koefisien korelasi >0,5 mengindikasikan bahwa hubungan antar
variabel yang diamati cukup kuat dan <0,5 berarti hubungan kedua variabel tersebut lemah.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 431
Seminar Nasional 2005

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden
Identitas responden
Identitas responden meliputi umur, tingkat pendidikan dan jumlah tanggungan
keluarga disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan Umur, Jumlah Tanggungan Keluarga dan Tingkat Pendidikan Responden di Empat Desa, DI
Yogyakarta, 2003.

Lokasi Penelitian
Uraian Desa Desa Desa Rata-rata
Desa Terong
Wonokerto Kepuhardjo Ponjong
Juml Resp(Org) 23 23 23 23
Umur KK(tahun) 47,40 42,43 40,96 49,96 45,18
Pendidikan :
- Tidak sekolah 0 0 0 0 0
- SD (%) 43,48 39,13 60,87 39,13 45,65
- SLTP (%) 8,70 34,78 17,39 47,83 27,18
- SLTA(%) 30,43 26,09 21,74 8,69 21,73
Perguruan tinggi
- D1 0 0 0 0 0
- D2 (%) 8,70 0 0 0 2,10
- D3 (%) 4,35 0 0 4,35 2,18
- S-1 (%) 4,35 0 0 0 1,08
Tanggungan keluarga (org) 96 79 68 92 84

Umur Responden
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa rata-rata umur responden dari ke 4 desa tersebut
termasuk usia produktif, rata-rata berumur 45,18 tahun dengan umur termuda 24 tahun dan
tertua 67 tahun. Sebaran umur responden lebih banyak didominasi oleh kelompok umur tua
(48 – 55) tahun 47,8% , sedangkan kelompok umur muda (27 – 33 tahun) hanya sebesar 16,
3%, hal ini memperlihatkan bahwa pekerjaan petani banyak dilakukan oleh generasi tua,
sedangkan genarasi muda lebih banyak memilih pekerjaan diluar pertanian. Untuk lebih
jelasnya sebaran responden berdasarkan umur disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Sebaran Responden Berdasarkan Kelompok Umur, di Empat Desa, DI Yogyakarta, 2003.

Kelompok Umur Frekuensi Persentase


27 – 33 15 16,3
34 – 40 16 17,4
41 – 47 17 18,5
48 – 55 44 47,8
Total 92 100,0

Tingkat Pendidikan
Sebagian besar tingkat pendidikan responden adalah SD (45,65%) kemudian SLTP
(27,17%), SLTA (21,74%), D-3 (2,17%), D-2 (2,17%) dan S-1 (1,10%). selengkapnya
sebaran tingkat pendidikan responden disajikan pada tabel 3.
Tabel 3. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Empat Desa, DI Yogyakarta, 2003.

Pendidikan Frekuensi Persentase


SD 42 45,65
SMP 25 27,17
SMU 20 21,74
D-1 0 0,00
D-2 2 2,17
D-3 2 2,17
S-1 1 1,10
Total 92 100,00

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 432
Seminar Nasional 2005

Tanggungan Keluarga
Jumlah tanggungan keluarga petani seperti terlihat pada tabel 1 rata-rata adalah 84
orang atau dalam satu keluarga petani responden memiliki tanggungan keluarga antara 3 – 4
orang.

Pendapatan Rumah Tangga Petani


Perhitungan pendapatan pada petani skala kecil berbeda dengan sistem pertanian
Komersial. Pada pertanian semi sub sistem dan semi komersial maka lebih tepat apabila
dilakukan perhitungan pendapatan, karena pengukuran arus uang tunai kurang dapat
mencerminkan keadaan yang sesungguhnya (Soekartawi et al., 1985).
Pendapatan kotor usahatani (gros farm income) atau gross output dihitung dengan
mengalikan jumlah produk akhir yang dihasilkan dengan harga jual di tingkat petani atau
farm gate price (Brown, 1979). Jadi dalam hal ini pendapatan kotor usahatani merupakan
nilai produksi total usahatani dalam jangka waktu tertentu yang mencakup produk dijual,
dikonsumsi sendiri, digunakan bibit atau makanan ternak, digunakan sebagai pembayaran
atau bawon dan disimpan sebagai persediaan (Soekartawi, et al., 1985).
Pendapatan petani yang dihitung disini adalah pendapatan bersih usahatani (net farm
income) yang diperoleh dari pendapatan kotor seluruh usahatani petani dikurangi seluruh
biaya total dari usahataninya kecuali biaya input dalam keluarga yaitu tenaga kerja keluarga
dan modal sendiri. Atau dengan perkataan lain adalah selisih antara penerimaan yang
diperoleh petani dengan biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani. Pendapatan
bersih usahatani ini dapat digunakan sebagai ukuran imbalan yang diperoleh keluarga petani
dari penggunaan tenaga kerja, modal kerja dan manajemen (Soekartawi, et al., 1985).
Sumber pendapatan rumah tangga petani dapat digolongkan menjadi pendapatan dari
sektor pertanian dan dari sektor non-pertanian. Sumber pendapatan dari sektor pertanian
terdiri dari pendapatan dari usahatani (padi sawah, padi ladang, palawija, sayuran buah-
buahan dll); pendapatan dari pertanian lain (dari ternak besar, kecil, unggas, kolam dan
tanaman tahunan) buruh tani. Sedang pendapatan dari non pertanian dibagi menjadi
pendapatan dari perdagangan, industri rumah tangga, buruh non pertanian, pegawai, jasa dan
lain-lain. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor pertanian masih merupakan
sumber utama pendapatan masyarakat pedesaan seperti terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Proporsi Pendapatan Rumah Tangga dari Petani Responden di Empat Desa, DI Yogyakarta, 2003.

Sumber pendapatan Pendapatan/tahun (Rp) Persentase (%)


Sektor pertanian :
- Tanaman pangan 1.216.240
- Tanaman non pangan 2.637.789
- Peternakan 1.357.255
Sub total 5.211.284 52,57
Luar sektor pertanian
- Pegawai 928.261
- Buruh 860.161
- Dagang 1.359.239
- Persewaan 59.782
- Industri kerajinan 763.424
- Jasa (angkutan, salon dll) 731.359
Sub total 4.702.226 47,43
Total 9.913.510

Pendapatan usaha pertanian memberikan sumbangan sebesar 52,57%, sedangkan


usaha non pertanian memberikan sumbangan sebesar 47,43% terhadap total pendapatan
keluarga petani. Pendapatan rumah tangga petani dalam setahun diperoleh dari hasil usaha
dalam bidang pertanian seperti menjual hasil pertanian/peternakan/perikanan serta
pendapatan dari luar pertanian seperti buruh bangunan, berdagang, jual jasa, pegawai dll..
Rata-rata pendapatan keluarga petani sebesar Rp 9.913.510,-/tahun yang terdiri: pendapatan

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 433
Seminar Nasional 2005

dari usaha pertanian sebesar Rp 5.211.284,-/tahun dan pendapatan usaha non pertanian
sebesar Rp 4.702.226,-/tahun.

Hubungan Pendapatan dengan Karakteristik Petani


Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh koefisien korelasi antar variabel
independen (pendapatan rumah tangga petani) dengan karakteristik yang diamati seperti
tertera pada Tabel 5.
Tabel 5 : Koefisien Korelasi dan Tingkat Signifikansi Hubungan Pendapatan dengan Karakteristik Responden di
Agroekosistem Lahan Kering, di DI Yogyakarta, 2003

Pendapatan Rumah Tangga


Uraian
r Sig
1. Tingkat Pendidikan formal 0,397** 0,000
2. Kekosmopolitan 0,249* 0,017
3. Hasil pertanian tanaman pangan -0,013 0,906
4. Hasil pertanian non tanaman pangan 0,556** 0,000
5. Hasil peternakan 0,105* 0,321
6. Hasil perikanan 0,310** 0,000
7. Pendapatan diluar sektor pertanian 0,844** 0,000
* = Signifikan 95%; ** = Signifikan 99%

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi pendapatan rumah tangga


petani pada agroekosistem lahan kering yang dominan adalah pendapatan yang bersumber
dari hasil pertanian non-tanaman pangan dan pendapatan yang bersumber dari luar sektor
pertanian. Hal ini sesuai dengan hasil analisis seperti terlihat pada Tabel 5. Variabel
karakteristik yang berkorelasi positif dengan keeratan hubungan yang kuat terhadap
pendapatan rumah tangga petani adalah pendapatan yang bersumber dari hasil pertanian
non-tanaman pangan dan pendapatan dari luar sektor pertanian. Pendapatan keluarga petani
yang bersumber dari hasil pertanian non-tanaman pangan lebih tinggi dibanding pendapatan
dari hasil pertanian tanaman pangan. Hal ini terjadi karena petani di agroekosistem lahan
kering pada umumnya mengusahakan tanaman tahunan seperti kopi, salak pondoh, cengkeh,
kelapa dll.
Disamping itu hasil penjualan kayu merupakan sumber pendapatan yang cukup
potensial bagi petani di lahan kering. Karakteristik situasional lainnya seperti hasil
peternakan, perikanan, tingkat kosmopolitan dan pendidikan petani meskipun berkorelasi
positif akan tetapi secara statistik tingkat keeratan hubungannya lemah yang terlihat dari
nilai koefisien korelasi <0,5. Dilain pihak pendapatan yang bersumber dari hasil pertanian
tanaman pangan ternayata berkorelasi negatif dan tidak signifikan terhadap pendapatan
rumah tangga petani. Hal ini dapat dimaklumi bahwa pada umumnya pengusahaan tanaman
pangan di agroekosistem lahan kering mengalami kendala ketersediaan air dan sangat
mengandalkan air hujan. Sehingga pada umumnya tanaman pangan terutama tanaman padi
hanya ditanam sekali setahun pada saat musim hujan.

KESIMPULAN

1. Pendapatan utama rumah tangga tani di agroekosistem lahan kering DIY berasal dari
sektor pertanian dengan memberikan kontribusi sebesar 52,57%, sedangkan usaha non
pertanian memberikan sumbangan sebesar 47,43% terhadap total pendapatan keluarga
petani di wilayah DIY.
2. Rata-rata pendapatan keluarga petani sebesar Rp 9.913.510,-/tahun yang terdiri dari:
pendapatan usaha pertanian sebesar Rp 5.211.284,-/tahun dan pendapatan usaha non
pertanian sebesar Rp 4.702.226,-/tahun.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 434
Seminar Nasional 2005

3. Pendapatan rumah tangga petani di agroekosistem lahan kering berhubungan erat dan
sigifikan dengan sumber pendapatan yang berasal dari usahatani non-tanaman pangan
dan pendapatan yang bersumber dari luar sektor pertanian. Sedangkan usaha sub sektor
pertanian tanaman pangan ternayata berorelasi negatif dan tidak signifikan terhadap
pendapatan rumah tangga petani.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1999. Panduan Umum Pelaksanaan Penelitian, Pengkajian dan Diseminasi


Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Anonimus, 2002. Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka Tahun 2002. BPS DI
Yogyakarta.
Biro Pusat Statistik, 1997. Produk Domestik Regional Bruto Daerah Istimewa Yogyakarta
1994 – 1997. BPS DI Yogyakarta.
Biro Pusat Statistik DIY, 2003. Luas Penggunaan Lahan dan alat-alat Mesin Pertanian
Propinsi D.I. Yogyakarta. BPS DI Yogyakarta.
BAPPEDA-Provinsi DIY. 2003. Rencana Strategis Daerah (RENSTRADA) Provinsi DIY
Tahun 2004-2008. Perda Provinsi DIY Nomor 6 Tahun 2003. Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 71 hal.
Dinas Pertanian Prop. D.I.Yogyakarta. 2003. Kebijakan Pembangunan Pertanian Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2004. Disampaikan dalam Rakorbang Deptan di
Surabaya Tahun 2003.
Hermawan, A., Y. Soelaeman, B. Rachmanto, C. Setiani, 1993. Kaitan antara Subsistensi
Petani Dengan Upaya Konservasi di Lahan Kering DAS Hulu. Makalah
Disampaikan Dalam Pertemuan Teknis Puslitbang Tanaman Pangan Bogor.
Hermawan, A, 1994. Peningkatan Kesejahteraan Petani Lahan Kering DAS Hulu Melalui
Pengembangan Cabang Usaha Ternak. Proc. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian
Peternakan Lahan Kering Sub Balitnak Grati.
Idjudin Abas, A., 1994. Rencana Penelitian Tingkat Peneliti Bagian Proyek Penelitian
Terapan System DAS Kawasan Perbukitan Kritis (YUADP-Komponen 8) D.I.
Yogyakarta TA.1993-1994
Soekartawi, 1985 . Ilmu Usahatani . Penerbit Erlangga
Walpole, R. E, 1988. Pengantar Statistika. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 435
Seminar Nasional 2005

DAYA DUKUNG KELEMBAGAAN DALAM PENGEMBANGAN TEKNOLOGI


PERTANIAN LAHAN KERING KABUPATEN LOMBOK TIMUR

Yohanes G. Bulu, Sasongko WR dan Ketut. Puspadi


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB

ABSTRAK

Kelembagaan merupakan salah satu unsur yang memegang peranan penting dalam pembangunan
pertanian di Indonesia. Pendekatan pembangunan yang disamakan dengan pendekatan produksi, melalui cara
budidaya baru tidak dapat memecahkan masalah-masalah pertanian terutama pada sumberdaya petani miskin di
daerah-daerah marginal. Banyak masalah-masalah pertanian yang hanya dapat dipecahkan oleh suatu lembaga.
Sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan teknologi merupakan faktor yang saling terkait dalam pembangunan
pertanian yang dipayungi oleh suatu kelembagaan yang merupakan faktor penggerak sebagai satu kesatuan sistem
dalam pembangunan pertanian. Dalam penerapan teknologi belum ada keseimbangan antara sub sistem
sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan kelembagaan. Pengkajian ini bertujuan menganalisis daya dukung
kelembagaan penunjang pertanian pedesaan dalam pengembangan dan penerapan teknologi pertanian lahan
kering. Pengkajian dilakukan pada tahun 2004 di 5 (lima) desa lahan kering di kabupaten Lombok Timur.
Pendekatan yang digunakan adalah studi kasus. Pengumpulan data dengan teknik diskusi kelompok secara
partisipatif dan wawancara mendalam. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan metode diskritif kualitatif.
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa peranan kelembagaan penunjang pedesaan relatif kurang dalam
mendukung pembangunan dan usaha agribisnis pertanian. Keberadaan lembaga penyuluhan, lembaga produksi
(kelompok tani), lembaga penyedia informasi di pedesaan dan lembaga finansial realtif kurang berfungsi
sehingga manfaat yang dirasakan petani miskin pada wilayah pertanian marginal relatif kurang. Sumberdaya
manusia pertanian lahan kering relatif rendah dan statis dengan kemampuan, pengetahuan dan ekonomi yang
terbatas sehingga kurang mampu mengelola usahatani lahan kering dengan baik. Kondisi tersebut menyebabkan
penerapan teknologi relatif terbatas dan petani cenderung memodifikasi teknologi sesuai kemampuan
pengetahuan, pengalaman, dan permodalan serta disesuaikan dengan kebiasaan-kebiasaan berusahatani setempat.
Penyebaran teknologi pertanian lahan kering yang dilakukan selama ini belum disesuaikan dengan kebutuhan
petani.
Kata kunci: kelembagaan, teknologi, lahan kering

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kelembagaan merupakan salaha satu unsur yang memegang peranan penting dalam
pembangunan pertanian di Indonesia. Salah satu rekayasa kelembagaan yang pernah
dilakukan dalam pembangunan pertanian di Indonesia adalah keberhasilan pelaksanaan
program BIMAS pada tahun 1960-an hingga mencapai swasembada beras pada tahun 1984.
Johnson (1985), mengemukakan bahwa sumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi,
dan kelembagaan merupakan empat faktor penggerak dalam pembangunan pertanian. Ke
empat faktor tersebut merupakan syarat kecukupan (sufficient condition) untuk mencapai
suatu tingkat/kondisi pembangunan yang dikehendaki. Artinya kalau salah satu dari
keempat faktor tersebut (misalnya kelembagaan) tidak sesuai dengan persyaratan yang
diperlukan maka tujuan untuk mencapai kondisi tertentu yang dikehendaki (misalnya alih
teknologi dan tumbuhnya usaha agribisnis) tidak akan tercapai.
Pendekatan pembangunan yang disamakan dengan pendekatan produksi, melalui
cara budidaya baru tidak dapat memecahkan masalah dalam negara-negara berkembang
terutama pada sumberdaya petani miskin di daerah-daerah marginal. Disadari bahwa
masyarakat pedesaan adalah sistem yang kompleks dengan dinamika yang khusus dan
interaksi dari pelbagai macam komponen (Badan Litbang Pertanian, 1998).
Masalah-masalah pembangunan pertanian di negara-negara sedang berkembang
bukan semata-mata karena ketidaksiapan petani menerima inovasi, tetapi disebabkan oleh
ketidakmampuan perencana program pembangunan pertanian menyesuaikan program-
program itu dengan kondisi dari petani-petani yang menjadi "klien" dari program-program

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 436
Seminar Nasional 2005

tersebut (Bunch, 1991). Lebih lanjut Bunch menguraikan pentingnya lembaga-lembaga di


pedesaan dalam pembangunan pertanian karena; 1) banyak masalah-masalah pertanian hanya
dapat dipecahkan oleh suatu lembaga; 2) organisasi dapat memberi pada usaha-usaha
pertanian karena sangat terkait dengan penyebaran dan pengembangan teknologi. Dalam
jangka panjang, dalam pembangunan pertanian, kemampuan masyarakat petani untuk
bekerjasama sama pentingnya dengan perolehan pengetahuan teknis; dan 3) Pada suatu
waktu masyarakat desa akan bersaing dengan dunia luar, sehingga perlu mereka
terorganisasi. Lembaga-lembaga tingkat desa dapat menyediakan pengalaman dalam
keterampilan yang harus dipelajari masyarakat desa agar dapat mengorganisasikan diri.
Lembaga (institut) adalah badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas
(Koentjaraningrat, 1990). Didalam masyarakat dapat ditemukan beberapa lembaga yang
mempunyai fungsi mengatur sikap dan tingkah laku para warganya yang sekaligus
merupakan pedoman bagi mereka dalam melakukan interaksi satu dengan yang lain, dalam
kehidupan bersama. Menurut Roucek dan Warren (1962), lembaga adalah pola aktivitas
yang terbentuk untuk memenuhi pelbagai kebutuhan hidup manusia. Asal mulanya adalah
kelaziman yang menjadi adat istiadat yang kokoh, kemudian memperoleh gagasan
kesejahteraan sosial dan selanjutnya terbentuklah suatu susunan tertentu. Berdasarkan
beberapa definisi mengenai kelembagaan dapat dirangkum; institusi atau lembaga adalah
mencakup sistem nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, jaringan kerjasama, dan
organisasi yang menjalankan tindakan kolektif anggota masyarakat petani.
Sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan teknologi merupakan faktor yang saling
terkait dalam pembangunan pertanian yang dipayungi oleh suatu kelembagaan sebagai faktor
penggerak suatu kesatuan sistem produksi guna menunjang keberlanjutan pertanian. Fungsi
dari ke empat faktor tersebut saling menunjang, jika salah satunya tidak berfungsi maka akan
mempengaruhi sub sistem lain. Oleh karena itu dalam penerapan teknologi harus ada
keseimbangan antara sub sistem sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan kelembagaan.
Kelembagaan dalam hal ini tidak saja menyangkut kelembagaan usahatani, melainkan juga
peranan kelembagaan-kelembagaan penunjang dalam pengembangan pertanian yang dapat
mendukung pembangunan dan usaha agribisnis.
Fokus perhatian pembangunan pedesaan pada manusia, maka hasil pembangunan
pedesaan akan mencangkup spektrum kemanusiaan yang luas (Mubyarto et al. 1984).
Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan
konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan (Hikmat, 2001). Pemberdayaan
bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-
pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern sepertin kerja keras, hemat,
keterbukaan, sikap bertanggungjawab adalah bagian pokok dari upaya-upaya pemberdayaan
(Sumodiningrat, 1999). Manusia hidup tidak di dalam ruangan yang fakum tetapi, dalam
lingkungan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup yang kompleks atau rumit dan kualitas
kehidupannya sangat tergantung pada kualitas interaksinya dengan lingkungan dan
kelembagaan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa realita pedesaan dimana manusia sebagai salah
satu komponennya, merupakan realita yang sangat kompleks, perilaku manusia yang
tertangkap oleh indra merupakan resultante dari berbagai faktor baik internal maupun
eksternal. Untuk mendapatkan pemahaman yang benar terhadap realita tersebut, tidak dapat
dengan menggunakan pendekatan dan metodologi yang terkotak-kotak.

METODOLOGI PENELITIAN

Untuk mendapatkan pemahaman tentang dinamika petani miskin di lahan kering/


marginal dan dinamika daya dukung kelembagaan penunjang pertanian, maka kegiatan ini
mengkombinasikan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, dengan bentuk kuantitatif
menunjang kualitatif (Brannen, 1997). Memadukan pendekatan kuantitatif dan kualitatif

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 437
Seminar Nasional 2005

dalam memahami suatu realita memberikan hasil yang sangat baik. Informasi kualitatif
menjadi sama ilmiahnya dengan data kuantitatif malah sering lebih valid (Mikkelsen, 1999;
Muhadjir, 2000).
Pengkajian dilakukan pada tahun 2004 di 5 (lima) desa lahan kering di kabupaten
Lombok Timur. Pendekatan yang digunakan dalam pengkajian ini adalah studi kasus.
Pengumpulan data dengan teknik diskusi kelompok secara partisipatif (focus group
discussion), wawancara mendalam dan observasi. Pengumpulan data melalui pendekatan
focus group discussion (FGD), yaitu pengembilan data dengan mengumpulkan sejumlah
orang yang dijadikan sebagai informan dengan menggunakan teknik: (1) kelender musiman
kegiatan usahatani; (2) kriteria inovasi yang dibutuhkan; (3) jenis informasi teknologi yang
dibutuhkan; (4) sumber teknologi; (5) mobilitas penduduk dalam mengakses informasi
teknologi; dan (6) analisis kelembagaan dengan diagram Venn.
Data dan informasi kualitatif dianalisis menggunakan metode analisis kualitatif
melalui proses kodefikasi, kategorisasi, interpretasi, pemaknaan, dan abstraksi (Poerwandari,
1998).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Usahatani dan Program Pertanian


Pemilikan dan penguasaan lahan oleh sebagian besar petani lahan kering di
kabupaten Lombok Timur relative sempit dengan rata-rata luas garapan 0,20 – 0,50 ha per
rumah tangga. Penguasaan lahan yang sempit berdampak pada penggunaan teknologi dan
tingkat pendapatan usahatani.
Jenis usahatani yang diusahakan oleh petani pada wilayah lahan kering dataran
rendah berbeda dengan yang diusahakan petani pada wilayah lahan kering dataran tinggi
dengan program pengembangan usahatani yang berbeda. Pada wilayah lahan kering dataran
rendah didominasi oleh tanaman pangan (padi, jagung, kedelai dan kacang hijau), dan
tanaman tembakau. Sedangkan pada wilayah lahan kering dataran tinggi didominasi oleh
tanaman sayur-sayuran (bawang merah, bawang putih, kubis, cabai, wortel, kentang dan
buncis serta bawang daun, buah-buahan (mangga, adpokat, nangka, jeruk dan pisang) dan
tanaman perkebunana tahunan (kopi, coklat, panili).
Pola tanam dan intensitas tanaman pada kedua agroekosistem tersebut relatif
berbeda dan variasi pertanaman yang beragam sesuai kondisi agroekosistem dan agroklimat
dari masing-masing wilayah lahan kering. Perbedaan yang mendasar adalah terletak pada
jenis usahatani dominant yang diusahakan petani.
Indeks pertanaman pada wilayah lahan kering dataran rendah 1 – 2 kali dalam
setahun. Pola tanam yang umum dilakukan petani adalah padi-tembakau dan jagung –
kedelai/kacang hijau. Variasi pertanaman pada musim hujan dan musim kemarau relatif
bervariasi. Petani yang menanam jagung selalu ditumpangsarikan dengan tanaman kacang-
kacangan dan tanaman labui serta tanaman pakan ternak. Petani yang menanam tembakau
pada MK I cenderung ditumpangsarikan dengan tanaman cabai dan disekeliling petakan
lahan ditanami tanaman jagung. Kondisi ini menunjukkan bahwa petani pada wilayah lahan
kering dataran rendah selalu berupaya mengoptimalkan produktivitas lahan yang sempit
dengan memanfaatkan air hujan yang terbatas secara efesien. Indeks pertanaman untuk
wilayah lahan kering dataran tinggi kususnya pada tanaman pangan dan sayur-sayuran
mencapai 2 -3 kali dalam setahun dengan pola tanam padi-sayuran-sayuran terutama di Desa
Sembalun Lawang dan Sembalun Bumbung. Sedangkan di Desa Sajang dengan pola tanam
sayuran-sayuran; tanaman jagung ditumpangsarikan pada tanaman bawang hanya sekedar
untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Dinamika petani pada wilayah lahan kering dataran
tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan petani pada wilayah lahan kering dataran rendah.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 438
Seminar Nasional 2005

Jumlah penggunaan tenga kerja pada wilayah lahan kering dataran rendah maupun
pada lahan kering dataran tinggi hampir sama terutama pada usahatani tanaman tembakau
dan syur-sayuran. Secara umum ketersediaan tenaga kerja untuk kegiatan pertanian realtif
terbatas. Hal ini disebabkan oleh tenaga kerja produktif berumur muda lebih memilih
bekerja di sektor luar pertanian dan menjadi TKI di luar negeri.

Keragaan Kelembagaan
Kelembagaan penunjang pertanian yang ada di pedesaan sangat beragam. Lembaga-
lembaga tersebut meliputi lembaga produksi (kelembagaan tani), lembaga penyedia sarana
produksi (kios-kios pupuk dan obat-obatan serta KUD), lembaga penyuluhan pertanian,
lembaga pelayanan permodalan atau lembaga finansial (Bank, LKP, Koperasi simpan pinjam
dan UPKD), lembaga ketenagakerjaan, lembaga pengolahan hasil pertanian, lembaga
pelayanan jasa mekanisasi dan lembaga pemasaran hasil pertanian.
Lembaga-lembaga penunjang pertanian tersebut hampir terdapat di semua desa yang
menjadi lokasi penelitian. Akan tetapi keberadaan lembaga pertanian tersebut tidak semua
mempunyai daya dukung yang sama dalam program pembangunan pertanian. Daya dukung
kelembagaan adalah besarnya kemampuan kelembagaan untuk mendukung (secara
berkelanjutan) berlangsungnya suatu program pembangunan pertanian. Peranan lembaga-
lembaga itu dalam pembangunan pertanian belum terintegrasi secara baik dalam mendukung
keberlanjutan pembangunan pertanian.
Lembaga-lembaga penunjang pertanian di pedesaan pada wilayah lahan kering
relatif lebih statis dibandingkan dengan yang berada di wilayah lahan basah. Dinamika
lembaga penunjang pertanian pada wilayah lahan kering mempunyai hubungan dengan
dinamika petani lahan kering dalam melakukan aktivitas usahatani. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa daya dukung kelembagaan penunjang pertanian pada wilayah lahan
kering tergolong memiliki daya dukung subsisten dan sub-optimum.

Lembaga Produksi (Kelembagaan Tani)


Keberadaan kelompok tani belum berfungsi optimal untuk memecahkan masalah-
masalah yang dihadapi dalam kegiatan pertanian. Kegiatan-kegiatan kelompok untuk
menjaring informasi teknologi-teknologi baru pada sumber teknologi hampir tidak pernah
dilakukan. Anggota kelompok tani belum menganggap kelompok tani sebagai media belajar
dan penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan dengan pengelolaan usahatani.
Teknologi-teknologi yang diterapkan petani selama ini merupakan hasil belajar sendiri dan
keaktifan mereka untuk mencari informasi teknologi diantara mereka sendiri. Petani padi
memperoleh saprodi di kios yang terletak di ibukota kecamatan, sedangkan penjualan hasil
pertanian dilakukan kepada pedagang pengumpul yang datang ke desa. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberdayaan kelompok tani belum optimal. Banyak teknologi-teknologi yang
belum mapu diakses petani dan penyebaran teknologi belum mampu menjangkau semua
lapisan petani.
Keaktifan anggota kelompok tani untuk mendukung kegiatan kelompok sebagai
media belajar bagi mereka relatif sangat rendah. Hal ini dibuktikan dengan jumlah
persentase kehadiran yang sangat sedikit dalam setiap pertemuan kelompok tani. Peserta
yang hadir kurang memberikan kontribusi saran dan pendapatnya. Keaktifan kegiatan
kelompok tani yang ada tidak terlepas dari berjalannya sistem penyuluhan. Kegiatan
penyuluhan diharapkan dapat memberi motivasi kelompok tani untuk melakukan perubahan-
perubahan yang lebih produktif dan efesien.
Tingkat penerapan teknologi oleh petani sayur-sayuran pada lahan kering dataran
tinggi relatif tinggi, demikian juga tingkat penerapan teknologi oleh petani tembakau pada
wilayah lahan kering dataran rendah juga relatif tinggi. Sedangkan tingkat penerapan
teknologi untuk tanaman pangan, tanaman buah-buahan, tanaman perkebunan dan
peternakan masih relatif sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa daya dukung

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 439
Seminar Nasional 2005

kelembagaan produksi dalam penggunaan teknologi sifatnya tidak statis karena sangat
tergantung pada jenis komoditas yang dinilai oleh mereka mempunyai peluang pasar yang
tinggi.

Lembaga Penyedia Sarana Produksi


Jumlah pedagang sarana produksi dan kios yang terdapat setiap desa di kabupaten
Lombok Timur cukup sebanyak. Kios sarana produksi menyediakan sarana produksi untuk
petani meliputi benih, pupuk dan obat-obatan tanaman. Jenis benih dan pupuk yang banyak
dijual adalah benih padi sawah, benih jagung dan pupuk Urea, SP36, ZA dan NPK. Jenis
saprodi yang relatif kurang diperdagangkan oleh kios-kios saprodi di desa-desa adalah obat-
obatan ternak. Sebagian peternak masih merasa kesulitan untuk memperoleh obat-obatan
ternak. Sementara keberadaan KUD yang sebagian besar berada di kota kecamatan yang
berfungsi sebagai penyalur saprodi kepada anggota relatif tidak aktif lagi.
Kios sarana produksi tersebut tidak semua menjual setiap hari, sangat tergantung
musim dimana saprodi dibutuhkan petani atau disesuaikan musim tanam. Kios saprodi yang
berada di kota kecamatan relatif menjual saprodi setiap hari dengan daya jangkau sasarannya
lebih luas. Daya dukung lembaga penyedia sarana produksi pada program pertanian
ditentukan oleh waktu atau musim dan jenis komoditas yang diusahakan petani.
Sistem pembayaran untuk pembelian saprodi oleh pedagang ke distributor adalah
bervariasi yaitu ada yang membayar kontan dan yang bayar sebagian (sistem panjar). Sistem
pembayaran untuk penjualan saprodi juga bervariasi; ada yang dibayar kontan, dipanjar yang
baru akan dibayar lunas setelah panen, dan sistem ijon dengan bungan 30 – 40% per musim.
Misalnya ijon pupuk Urea sebanyak 1 kw dibayar setelah panen senilai Rp. 250.000,-.
Di bidang peternakan mutu bibit akan menentukan tingkat produksi yang lebih baik
dalam usahata ternak. Kualitas bibit ternak sapi Bali masih sangat rendah bahkan petani/
peternak sudah mengalami kesulitan untuk memperoleh mutu bibit sapi Bali yang baik.
Untuk memperoleh bibit sapi yang berkualitas harus didukung oleh penerapan teknologi dan
kelembagaan. Akan tetapi kelembagaan yang secara khusus memproduksi dan menyediakan
bibit sapi Bali yang berkualitas di pedesaan belum ada.
Peningkatan kualitas sapi Bali melalui penerapan teknologi budidaya perlu menjadi
prioritas. Kelembagaan pembibitan sapi Bali yang secara khusus memproduksi bibit sapi
Bali yang berkualitas belum tersedia. Bibit sapi Bali yang dihasilkan yang kurang terseleksi
dengan mutu yang kurang terjamin akibatnya sering muncul masalah reproduksi, dan tingkat
kematian anak tinggi.

Lembaga Penyuluhan dan Informasi Teknologi


Penyuluhan dan pembinaan petani yang dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait
masih relatif kurang. Daya dukung lembaga ini sangat tergantung pada komoditas dominan
yang di tanam dan tingkat intensifikasi yang diterapkan. Akhir-akhir ini kegiatan PPL untuk
melakukan penyuluhan pada kelompok tani semakin berkurang. Hal ini sebagai dampak
dari daya dukung yang optimum dari kelembagaan ini selama revolusi hijau serta perubahan
kebijakan pemerintah pusat dalam memberikan otonomi kepada pemerintah daerah.
Kurangnya kegiatan penyuluhan di pedesaan menyebabkan arus transformasi inovasi
teknologi yang dibutuhkan petani mengalami penurunan. Selama tiga tahun terakhir ini
kegiatan penyuluhan dan pembinaan kelompok tani tidak pernah dilakukan PPL. Kegiatan
penyuluhan terutama dari PPL tanaman pangan relatif kurang. Sampai dengan saat ini
kelembagaan informasi teknologi di pedesaan yang secara khusus melakukan kegiatan
transfer teknologi, memberikan pelayanan konsultasi teknologi dan pemberdayaan
kelembagaan tani belum ada. PPL perkebunan melakukan pembinaan kepada petani
binaannya yang menjadi mitra dari perusahaan tembakau.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 440
Seminar Nasional 2005

Kebijakan pemerintah yaitu perubahan struktur organisasi lembaga pemerintah


dimana saat ini PPL berada di bawah Pemerintah Daerah menyebabkan tidak dilakukan lagi
program penyuluhan, kegiatan PPL terbatas bahkan tidak ada kegiatan sama sekali. Dengan
adanya Undang-Undang Otonomi Daerah maka segala urusan pemerintahan diatur oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten termasuk ujung tombak pembangunan pertanian di lapang
yaitu PPL. Tugas PPL saat ini tidak hanya sebagai penyuluh pertanian, namun sebagian
waktunya untuk menyelesaikan administrasi kantor sehingga program penyuluhan praktis
tidak ada. Penyuluhan dilakukan apabila ada kegiatan proyek di wilayah kerjanya.
Kegiatan pembinaan kelompok khusus pada tanaman tembakau yang masih
berjalan adalah yang dilakukan oleh Penyuluh Lapang Perkebunan (PLP) yang merupakan
tenaga teknis dari perusahaan tembakau relatif aktif memberikan bimbingan kepada petani
tembakau baik petani yang tergabung dalam kelompok binaan maupun petani swadaya.

Lembaga Pelayanan Permodalan


Lembaga finansial yang dominan biasa ada di desa adalah lembaga finansial non
formal seperti koperasi tani, kelompok simpan pinjam, KUB, UPKD, UKM dan LKM serta
yang paling dominan selalu ada di pedesaan yaitu yang bersifat perorangan seperti rentenir.
Lembaga finansial non formal selain yang bersifat perorangan tidak semua terdapat di desa
dan pelayanan permodalan kepada petani untuk kegiatan usahatani sangat kurang. Bahkan
terdapat sebagian lembaga finansial non formal yang tidak aktif lagi. Daya jangkau dari
lembaga-lembaga tersebut relatif terbatas pada wilayah dusun atau desa. Kekuatan
permodalan yang dimiliki sangat terbatas dan tidak mampu melayani kebutuhan petani.
Daya dukung kelembagaan ini untuk melayani kegiatan program-program pertanian sangat
terbatas.
Lembaga permodalan atau lembaga finansial formal seperti BRI, BPR dan LKP
sebagian besar terdapat di kota kecamatan. Daya jangkau lembaga tersebut hanya di sekitar
kota kecamatan dan belum mampu melayani kegiatan program pertanian. Lembaga-lembaga
tersebut lebih dominan melayani perkreditan di sektor-sektor lain di luar pertanian.
Lembaga permodalan lain seperti BNI dan bank-bank lain hanya terdapat di daerah tertentu
dimana kegiatan usahatani petani yang memiliki dinamika lebih tinggi seperti di Kecamatan
Sembalun yang merupakan sentra produksi sayur-sayuran dan di Kecamatan Aikmel yang
menjadi sentra produksi jagung untuk di lahan sawah irigasi.
Akses masyarakat ke bank khususnya di daerah lahan kering dataran tinggi seperti di
Kecamatan Sembalun relatif cukup baik yaitu ke BRI dan BNI yang ada Kecamatan Aikmel
atau ibukota kabupaten yaitu Selong. Nasabah BRI dan BNI cukup banyak di Desa
Sembalun Lawang dan Sajang. Berbeda dengan masarakat petani di wilayah lahan kering
dataran rendah yang relatif lebih kering, akses mereka pada Bank sangat kurang. Hal ini
disebabkan oleh persyaratan-persyaratan untuk peminjaman modal relatif rumit dirasakan
bagi petani dan tidak dapat dijangkau oleh petani kecil atau petani miskin.
Birokrasi yang dipandang agak berbelit-belit dari lembaga keuangan formal dan
adanya sistem jaminan di sebagian lembaga keuangan formal menyebabkan petani merasa
kesulitan mengakses lembaga keuangan formal. Dalam mengatasi masalah keuangan, secara
cepat, mudah dan tanpa jaminan, hanya dengan modal saling percaya dan kejujuran adalah
melalui rentenir dan pengijon. Mereka merasa lebih bebas untuk meminjam uang atau
sarana produksi di kios saprodi, tetangga, dan keluarga, serta pelepas uang (istilah petani
bank rontok/bank subuh/bank keliling) dengan bunga yang relatif tinggi. Lemahnya
lembaga keuangan di tingkat desa sehingga petani tidak bisa melepaskan diri dari sistem ini
merupakan salah satu penyebab kemiskinan berkesinambungan di desa.
Modal usahatani terutama usahatani tembakau di wilayah lahan kering dataran
rendah sebagian kecil bersumber dari usahatani padi dan usaha ternak. Kekurangan modal
umumnya diperoleh dengan meminjam dari perusahaan atau gudang dalam bentuk sarana
produksi dan pelepas uang dengan bunga yang relatif tinggi, bunga pinjaman yang dikenakan

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 441
Seminar Nasional 2005

oleh pelepas uang atau rentenir yaitu bisa mencapai 100 persen dalam satu musim tanam,
sehingga dikenal dengan istilah bank empat enam artinya meminjam empat bagian
dikembalikan sebesar enam bagian. Pelayan permodalan atau perkreditan berupa saprodi
(bibit/benih, pupuk dan obat-obatan) dari perusahan tembakau relatif terbatas dan tidak
mampu melayani semua petani tembakau. Jangka waktu pinjaman sekitar enam bulan atau
pembayaran dilakukan setelah panen dan langsung diperhitungkan dari hasil penjualan
tembakau di tambah bunga 12,5%.
Ketergantungan petani kepada rentenir dan ijon tidak hanya untuk memperoleh modal
usahatani, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Keterbatasan sumberdaya dan
tidak adanya lembaga keuangan formal yang dapat diakses petani menyebabkan ijon
menjerat petani di segala bidang kehidupan. Untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah
tangga maka segala jenis komoditi pertanian seperti, pisang, panili, kopi dan bahkan anak
sapi yang masih dalam kandungan terpaksa diijonkan petani.

Lembaga Pemasaran
Secara umum pasar untuk hasil pertanian dan peternakan telah tersedia. Jumlah
pedagang yang membeli hasil pertanian baik dari tingkat desa sampai tingkat kabupaten dan
propinsi cukup banyak dan mempunyai jaringan pemasaran yang kuat dalam sistem
pemasaran. Pedagang jagung, tembakau, sayur-sayuran dan pedagang ternak misalnya
mempunyai jaringan yang kuat dalam sistem pemasaran. Volume pembelian dan penjualan
hasil cukup tinggi dengan tingkat harga yang bersaing. Beberapa komoditas tertentu seperti
ternak sapi, bawang putih, bawang merah, jagung, tembakau, kopi, kakao, dan panili telah
bersaing di pasar regional dan internasional.
Komoditas tembakau merupakan salah satu komoditas yang dikembangkan di wilayah
kering dataran rendah (lahan sawah tadah hujan) yang telah membangun pola kemitraan
dengan perusahaan tembakau mulai dari produksi sampai pemasaran hasil yang saling
menguntungkan antara kedua belah pihak.
Petani yang sebagian besar memiliki permodalan yang sangat terbatas
mengharapakan dari pola kemitraan usahatani tembakau ini mendapat dukungan penyediaan
sarana produksi (pupuk dan obat-obatan) dan pemasaran hasil. Namun demikian dalam
hubungan kemitraan ini petani berada pada posisi yang lemah, seperti misalnya dalam
penentuan harga jual yang berdasarkan grade. Keberadaan kelembagaan tani relatif lemah
dan dalam meningkatkan posisi tawar. Hal ini karena semua yang bergerak dalam bisnis
tembakau masing-masing menerapakan strategi untuk mencari keuntungan. Dalam dunia
bisnis bahwa setiap pelaku bisnis akan menerapkan strateginya sendiri untuk memperoleh
keuntungan walaupun itu dilakukan dengan tidak jujur.

Lembaga Ketenagakerjaan Pertanian


Daya dukung kelembagaan ketenagakerjaan pertanian bersifat tidak statis karena
sangat tergantung pada waktu, jenis pekerjaan dan jadwal kegiatan pertanian yang ada.
Dukungan lembaga ini yang tergantung pada waktu adalah kegiatan pengolahan tanah,
tanam, penyiangan dan panen untuk tanaman padi dilakukan menjelang dan selama dan akhir
musim hujan; kegiatan pengolahan tanah, penanam, penyiraman dan panen pada tanaman
tembakau dan tanaman sayur-sayuran.
Kelompok-kelompok kerja buruh tani adalah kelompok buruh tanam dan panen
tanaman padi dan tembakau, dengan jumlah satu kelompok kerja berkisar 8 – 12 orang.
Kelompok-kelompok kerja tersebut cenderung bersifat parmanen karena pembentukan
kelompok didasarkan domisili anggota. Mobilitas tenaga kerja juga sangat tergantung pada
jenis komoditas dan tingkat intensifikasi. Komoditas tembakau dan sayur-sayuran (bawang
merah, bawang putih, cabai dan kubis) misalnya membutuhkan penyerapan tenaga kerja
yang tinggi.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 442
Seminar Nasional 2005

Lembaga Pelayanan Jasa Mekaniasi Pertanian


Pelayanan jasa alsintan yang biasa ada pada kegiatan pertanian adalah penyewaan
traktor pada kegiatan pengolahan tanah, penyewaan huller untuk penggilingan gabah,
penyewaan mesin pemipil jagung serta penyewaan alat open untuk pengeringan daun
tembakau. Pemilikan alat-alat mekanisasi tersebut umumnya bersifat perorangan kecuali
terdapat sebagian kecil huller maupun traktor yang merupakan milik KUD dan kelompok.
Kemampuan dan keterbatasan tenaga kerja manusia untuk melakukan pekerjaan
tersebut secara manual serta waktu penyelesaian pekerjaan yang relatif lama maka daya
dukung dari kelembagaan ini akan meningkat.

KESIMPULAN

1. Penggunaan teknologi yang semakin meningkat maka daya dukung kelembagaan akan
mencapai pada titik optimum, namun lama-kelamaan daya dukungnya akan menurun.
2. Daya dukung kelembagaan pendukung pertanian cenderung bersifat tidak statis karena
sangat tergantung pada perubahan kelembagaan itu sendiri, ruang dan waktu.
3. Daya dukung kelembagaan pertanian sangat tergantung pada potensi kesuburan lahan,
jenis komoditas yang diusahakan dan tingkat penerapan teknologi.
4. Daya dukung kelembagaan pendukung pertanian juga dapat ditentukan oleh faktor luar
pertanian seperti lembaga ketenagakerjaan, pemasaran dan permodalan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian. 1990. Analisis Agro-ekosistem untuk Pembangunan Masyarakat


Pedesaan Irian Jaya. Badan Litbang Pertanian, Pusat Studi Lingkungan Hidup
Universitas Cendrawasih dan The Ford Foundation, Jakarta.
Badan Litbang Pertanian. 1998. Panduan Lokakarya Pemahaman Pedesaan Secara
Partisipatif. Badan Litbang Pertanian, Tim Ahli BPTP- PATAAP, Jakarta.
Brannen J. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Nuktah Arfawi,
Imam Safei, Noorhaidi penerjemah. Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta. Terjemahan
dari: Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research.
Bunch Rolland. 1991. Dua Tongkol Jagung. Pedoman Pengembangan Pertanian Berpangkal
pada Rakyat, Ilya Moelyono penerjemah. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Terjemahan dari:Two Earns of Corn, Aguide to People-Center Agricultural
Improvements.
Hikmat Harry. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press,
Bandung.
Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Antropologi, Rineka Cipta. Jakarta.
Mikkelsen Britha. 1999. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan.
Sebuah Buku Pegangan bagi Para Praktisi Lapangan. Matheos Nalle, penerjemah.
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Terjemahan dari: Methods for Development Work
and Research: Aguide for Practitioners.
Mubyarto, Loekman Soetrisno, Michael Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan. Studi
Antropologi di Dua Desa Pantai. CV Rajawali, Jakarta.
Muhadjir Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit Rake Sarasin,
Yogyakarta.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 443
Seminar Nasional 2005

Poerwandari EK. 1998. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Lembaga


Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi, Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, Jakarta.
Roucek dan Warren, 1962. Sosiology Intriduction. Little Field Adams & Co, Paterson.
Sumodiningrat Gunawan. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaringan Pengaman Sosial.
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 444
Seminar Nasional 2005

IDENTIFIKASI SECARA PARTISIPATIF KEBUTUHAN INOVASI TEKNOLOGI


DALAM UPAYA REVITALISASI PERTANIAN DI LAHAN MARGINAL

Herman Supriadi
Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor

ABSTRAK

Studi identifikasi inovasi teknologi yang dibutuhkan petani dalam upaya revitalisasi pertanian telah
dilakukan di lahan marginal Lombok Timur dalam bulan Nopember 2005. Tujuan dari studi adalah untuk
mengidentifikasi teknologi yang diterapkan petani dan inovasi teknologi yang dibutuhkan untuk memperbaiki
system usahatani dan pendapatan. Studi menggunakan metode pemahaman pedesaan partisipatif secara cepat
(Rapid Participatory Rural Appraisal/RPRA) dengan lokasi Sembalun Lanung (dataran tinggi), Montong Betok
(sawah irigasi) dan Sambelia (lahan kering). Tiga komoditi utama telah diseleksi untuk setiap agroekosistem
yaitu: (a) bawang putih, kubis dan cabe merah di dataran tinggi; (b) tembakau, padi dan sapi di lahan sawah; dan
(c) jagung, kambing dan kacang tanah di lahan kering. Inovasi teknologi yang dibutuhkan petani didasarkan pada
lokasi spesifik dan komoditas yaitu: pengendalian hama penyakit, varietas unggul, pasca panen, agroindustri,
mekanisasi dan konservasi lahan marginal. Teknologi yang dibutuhkan sebetulnya tersedia dan telah
diintroduksikan oleh Badan Litbang Pertanian ke petani. Banyak faktor yang menyebabkan introduksi teknologi
belum diadoposi oleh petani antara lain: (a) kurangnya modal; (b) kurangnya akses terhadap informasi; dan (c)
kurangnya motivasi. Pendekatan terpadu mulai dari perencanaan sampai program aksi pengembangan sistem
usahatani harus dilakukan secara partisipatif.
Kata kunci : inovasi teknologi, revitalisasi pertanian, lahan marginal

PENDAHULUAN

Pengembangan teknologi dilahan kering marginal yang merupakan konsentrasi


petani miskin relatif tertinggal dan bahkan kurang diprioritaskan dibanding lahan irigasi
(Supriadi dkk, 2004). Potensi lahan kering di Indonesia cukup luas meliputi 12.23 juta
hektar (Puslitbang Tanah dan Agroklimat, 2002), tetapi tingkat produktivitasnya masih
rendah (Syam et al, 1995). Banyak petani bahkan tidak punya acuan sama sekali dalam
usahatani (Abinowo, 2000). Gerakan revitalisasi pertanian dapat mengurangi kemiskinan
peningkatan daya saing, produktivitas nilai tambah, swasembada dan pelestarian lingkungan
secara berkelanjutan (Dinas Pertanian Perkebunan, 2005).
Badan Litbang Pertanian telah banyak menghasilkan teknologi, tetapi baru sebagian
yang diadopsi oleh petani. Identifikasi kebutuhan teknologi dengan melihat kesenjangan
teknologi antara teknologi petani dan teknologi hasil penelitian perlu dilakukan melalui suatu
survai dan kajian secara partisipatif baik secara kelompok maupun individu/rumah tangga
(FAO. 1994; Rifianto, 2005) Partisipasi petani miskin adalah suatu proses yang interaktif
dimana petani secara langsung diharapkan mampu menyusun perencanaan melaksanakan
dan mengevaluasi kegiatan untuk tujuan peningkatan pendapatan dan sejahteraan mereka
sendiri (Rifianto, 2005). Partisipasi dari masyarakat pedesaan penting sekali untuk
perumusan kebijakan (Dixon dkk, 1994).
Ketersediaan teknologi (inovasi baru) untuk lahan marginal oleh Balai/Puslit lingkup
Badan Litbang Pertanian dapat berkelanjutan apabila fokus penelitian tentang lahan marginal
meningkat. Teknologi baru dapat diuji kembangkan di lahan petani setelah melalui uji
kelayakan yang dengan analisis usahatani menguntungkan. Prediksi nilai tambah dari
penerapan teknologi baru perlu dilakukan secara kuantitatif agar masyarakat petani
pengguna yakin untuk mengadopsinya. Teknologi pertanian yang dikembangkan dengan
proses partisipatif dengan memasukkan sumber pengetahuan asli dijamin akan berkelanjutan
(Basuno dan Supriadi, 2001)
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk dapat menginformasikan mengenai
kebutuhan teknologi usahatani petani secara partisipatif, khususnya di lahan marginal dan
alternatif pengembangannya.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 445
Seminar Nasional 2005

METODE PENELITIAN

Identifikasi kebutuhan inovasi teknologi usahatani di lahan marginal dilakukan


melalui beberapa tahapan kegiatan yaitu: (a) kompilasi informasi tentang teknologi usahatani
berbagai komoditas unggulan dan sistem alih teknologi di lahan marginal berdasarkan hasil-
hasil penelitian, pengkajian dan pengembangan; (b) identifikasi teknologi novasi dan sistem
usahatani yang dibutuhkan petani miskin di lahan marginal. Identifikasi inovasi pertanian
dilakukan dengan metoda RPRA (Rapid Participatory Rural Appraisal).
Informasi teknologi dan sistem usahatani (kegiatan a) didapatkan dari literatur (buku
dan laporan) dan internet. Identifikasi kebutuhan teknologi didapatkan dari wawancara
langsung dengan kelompok tani dan rumah tangganya dengan menggunakan daftar
pertanyaan kunci. Tiga desa contoh dipilih berdasarkan perbedaan agro-ekosistem yaitu: (1)
Desa Sembalun Lawang (dataran tinggi); (2) Desa Sambelia (dataran sedang); dan (3) Desa
Montong Betok (basis lahan sawah).
Pada setiap desa diwawancara satu kelompok tani (termasuk pamong dan pemuka
desa) dan ±10 rumah tangga petani secara individu. Data dan informasi yang dikumpulkan
meliputi sistem usahatani komoditas potensial (3 komoditas/desa), kebutuhan teknologi
menurut persepsi petani, analisa usahatani (input – output dan B/C rasio), agroklimat dan
kelembagaan penunjang. Pada Gambar 1 dapat dilihat alur kegiatan identifikasi inovasi dan
umpan balik.

INSTITUSI
TERKAIT PROGRAM
+ AKSI
MASYARAKAT

METODE
R PR A

Diskusi kelompok Kebutuhan inovasi


Pemilihan 3 desa menentukan Wawancara rumah
pertanian untuk
berdasarkan komoditas tangga identifikasi
teknologi petani
peningkatan
agroekosistem dominan pendapatan

Peneliti PIU Pemda


Umpan balik Kompilasi
Judul Litkaji saran penelitian teknologi
Lahan Marginal pengembangan anjuran

Gambar 1. Alur Kegiatan Penentuan Kebutuhan Inovasi dan Umpan Balik Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknologi usahatani berbagai komoditas telah banyak dihasilkan oleh Badan Litbang
Pertanian melalui program pengembangan usahatani baik oleh Puslit maupun Balai. Pada
umumnya teknologi yang dianjurkan dapat meningkatkan hasil dan pendapatan
dibandingkan model usahatani petani. Secara lebih rinci hasil identifikasi teknologi dan
inovasi yang dibutuhkan petani dapat dilihat per desa dan per komoditas dominan (Tabel 1).

Identifikasi di Agroekosistem Dataran Tinggi


Berdasarkan diskusi dengan kelompok tani dan pemuka masyarakat disimpulkan
bahwa komoditas dominan di Desa Sembalun Lawang (dataran tinggi) adalah bawang putih,

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 446
Seminar Nasional 2005

kubis dan cabe merah. Antara lain khusus untuk bawang putih ada pergantian jenis yang
diusahakan beberapa tahun terakhir, yaitu dari yang berumbi tunggal ke yang berumbi
banyak. Hal ini disebabkan karena jenis umbi tunggal bibitnya mahal dan susah serta
hasilnya lebih rendah dari yang tipe umbi besar (Tabel 1). Masalah utama yang dihadapi
petani adalah busuk umbi dan jamur, dimana serangannya dipengaruhi oleh kondisi cuaca.
Jarak tanam bawang putih kalau menurut teknologi anjuran adalah 15 x 10 cm di tingkat
petani hanya 5 x 10 cm, kemungkinan ini juga penyebab tingginya serangan jamur. Inovasi
yang dibutuhkan pada usahatani bawang putih adalah teknologi pengendalian busuk umbi
dan jamur serta jarak tanam yang tepat (Tabel 1).
Tabel 1. Komoditas Dominan, Permasalahan dan Kebutuhan Inovasi untuk Peningkatan Pendapatan Petani di
Lombok Timur Tahun 2004.

Komoditi
Desa Permasalahan Kebutuhan Inovasi
Dominan
I. Sembalun 1. Bawang 1. Busuk umbi 1. pengendalian penyakit busuk umbi
Lawang putih 2. Jamur dan jamur
3. Cuaca 2. jarak tanam tepat
2. Kubis 1. Penyakit akar gada 1. pengendalian hama
2. Harga rendah 2. penyakit terpadu
3. Busuk buah 3. teknologi benih
4. lembaga keuangan mikro
3. Cabe 1. Produksi melebih permintaan 1. Teknologi pengawetan hasil
merah 2. Harga rendah 2. Teknologi benih
3. Pengendalian hama/
4. penyakit terpadu
5. Lembaga keangan mikro
II. Montong 1. Tembakau 4. Harga rendah 1. Lembaga keuangan mikro tingkat
Betok 1. Ketergantungan modal dari petani
perusahaan mitra 2. Pola kemitraan yang adil
2. Kesuburan tanah menurun 3. Lembaga penyediaan saprodi
3. Iklim yang berubah kelompok tani
4. Penyakit busuk batang 4. Pengendalian hama/penyakit
terpadu
2. Padi sawah 1. Harga rendah 1. Kebijakan harga yang memihak
2. Mutu benih rendah petani
3. Tenaga kerja terbatas 2. Varietas unggul berdaya
3. hasil tinggi
4. Teknologi budidaya yang efisien
3. S a p i 1. Pakan kurang musim kemarau 1. Ransum pakan alternatif musim
2. Penyakit cacingan dan kembung kemaru
2. Jenis unggul yang beradaptasi baik
3. Teknologi penggemukan
4. Fermentasi jerami dan kompos
III. Sembelia 1. Jagung 1. Harga rendah 1. Teknologi pengolahan hasil untuk
2. Sering over produksi diversifikasi produk olahan
3. Ketergantungan modal dari 2. Konservasi lahan
perusahaan 3. Pemupukan berimbang
4. Kesuburan lahan menurun 4. Lembaga keuangan mikro
kelompok tani
2. Kambing 1. Penyakit cacingan 1. Bibit unggul
2. Bibit kurang baik 2. Ransum pakan bahan lokal
3. Sanitasi kandang dan sekitar buruk 3. Kandang sehat
3. Kc. tanah 1. Penyakit layu 1. Pengendalian penyakit layu
2. Pengolahan tanah sulit dan mahal 2. Varietas unggul berbiji kecil
(lahan berbatu) 3. Alat pengolahan tanah di lahan
3. Mutu benih kurang berbatu
4. Penyuluhan kurang efektif 4. Efektivitas penyuluhan
Keterangan: (1) Nomor pada komoditas, permasalahn dan kebutuhan inovasi diurut berdasarkan prioritas pengembangan
usahatani menurut persepsi petani.; (2) Inovasi dimaksud termasuk teknologi baru dan rekayasa sosial ekonomi.

Tanaman kubis akhir-akhir ini banyak terserang penyakit akar gada (Tabel 1).
Penyebaran penyakit cepat sekali karena bersifat soil born (penularan bisa melalui tanah),
sehingga petani kewalahan. Kecuali itu masalah harga kubis yang sangat rendah sering

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 447
Seminar Nasional 2005

petani mengalami kerugian. Petani tidak bisa mengelak dari harga yang ditentukan
pedagang, karena ingin cepat dapat uang dan tidak punya mitra lain. Berdasarkan diskusi
dengan kelompok tani disepakati bahwa inovasi yang dibutuhkan adalah teknologi yang
efektif mengendalikan penyakit akar gada, teknologi benih dan kelembagaan keuangan
mikro tingkat kelompok tani.
Cabe merah merupakan salah satu komoditi andalan masyarakat di dataran tinggi
Sembalun. Masalah harga yang rendah pada waktu over produksi menyebabkan banyak
petani rugi karena masukan (biaya) yang dikeluarkan cukup banyak. Oleh karena itu inovasi
yang dibutuhkan petani adalah bagaimana mengolah hasil yang berlebih menjadi produk
tahan lama (teknologi pengawetan), bagaimana menghasilkan benih bermutu dan cara
pengendalian hama/penyakit (busuk buah) secara efektif terpadu.
Pada tabel 2 dapat dilihat referensi teknologi anjuran yang berbeda dengan teknologi
petani. Dalam hal ini belum ada rekomendasi kelembagaan keuangan mikro dan
pengendalian penyakit yang spesifik tersebut.
Tabel 2. Referensi Teknologi Anjuran dan Teknologi di Tingkat Petani untuk Komoditas Dominan
Agroekosistem Dataran Tinggi Sembalun, Lombok Timur, 2004.
Komoditi Teknologi Anjuran Teknologi Petani
1. Bawang putih
Bibit (kg/ha) 670 (kecil) – 1600 (besar) 650
Bedengan (tinggi) 40 cm 20 cm
Jarak tanam (cm2 ) 10x10 (bibit); 15x10 (besar) 5 x 12 (siung kecil)
Pupuk (kg/ha)
- N-P2O5-K2O-S 200-180-60-142 100 – 67.5 – 50
- Pupuk kandang (t/ha) 10 - 20 1
2. Kubis
Benih Utuh, sehat, murni, unggul, Benih berlabel tanpa sterilisasi
sterilisasi 12 jam
Pengolahan lahan Dalam (40-50) cm Cangkul (20-30) cm
Pupuk: - anorganik - ZA, Urea, SP36, KCl, masing- Urea, NPK, KCL, ZA dosis +
masing 250 kg/ha 50% rekomendasi
- Barate 10-20 kg/ha
- organik 0,5 kg/tanaman Seadanya
Hama/penyakit Terpadu sedini mungkin Semprot tiap minggu 4-6
macam pestisida
3. Cabe merah
Bedengan: - lebar 1.0 – 1.5 m 0.8 m
- tinggi 0.4 m 0.2 m
- jarak 0.5 m 0.3 m
Pupuk
- pupuk kandang (t/ha) 15 Seadanya
- anorganik (kg/ha) Urea 200, SP36 250,KCl 150 ZA 145, SP36 25, KCl 145,
NPK 500
NPK tiap minggu selama 3
bulan
- pengapuran Sebelum tanam Tidak dilakukan
- pengendalian hama/penyakit PHT sesuai kebutuhan Banyak pestisida

Identifikasi Inovasi di Lahan Berbasis Sawah


Tembakau yang biasa dirotasikan dengan padi sawah merupakan komoditi andalan
di Desa Montong Betok. Masalah utama usahatani tembakau adalah perubahan iklim dan
kesuburan tanah yang bisa menurunkan kualitas hasil (Tabel 1). Masalah harga yang rendah
dan ketergantungan modal dari perusahaan mitra dirasa sangat merugikan petani, karena
petani menanggung harga pupuk lengkap yang mahal secara pinjam yarnen (bayar setelah
panen). Inovasi yang dibutuhkan petani terutama adalah pembentukan kelembagaan
penyedia saprodi di kelompok tani, lembaga keuangan mikro di pedesaan, model kemitraan,
teknologi konservasi lahan dan pengendalian penyakit busuk batang.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 448
Seminar Nasional 2005

Padi merupakan tanaman strategis untuk ketahanan pangan rumah tangga petani di
Desa Montong Betok. Masalah utama yang dihadapi petani yaitu harga yang dipandang
rendah, mutu benih tidak terjamin, dan tenaga kerja terbatas (Tabel 1). Inovasi yang sesuai
dengan harapan petani antara lain vaietas unggul berdaya hasil lebih tinggi dari IR-64.
Selama ini varietas yang melebihi potensi IR-64 yaitu Fatmawati yang ternyata belum
dikenal petani. Kecuali itu masyarakat mengharapkan teknologi budidaya yang efisien
seperti tabela (tanam benih langsung).
Sapi banyak terdapat di Desa Montong Betok. Masalah utama dalam budidaya
ternak sapi adalah penyakit cacingan, dan sulitnya mencari pakan hijauan, terutama pada
musim kemarau (Tabel 1). Inovasi yang dibutuhkan antara lain bagaimana membuat ransum
pakan alternatif dalam musim kemarau. Selain itu perlu pengendalian penyakit cacingan dan
kembung, jenis unggul baru, teknologi fermentasi jerami untuk pakan dan pengomposan
pupuk kandang.
Tabel 3. Referensi Teknologi Anjuran dan Teknologi di Tingkat Petani untuk Komoditas Dominan
Agroekosistem Berbasis Sawah di Desa. Montong Betok, Lombok Timur, 2004.

Komoditi Teknologi Anjuran Teknologi Petani


1. Padi sawah tadah
hujan
- Varietas IR 64, Fatmawati IR 64, Cilosari, Widas
- Benih (kg/ha) 10 – 15 20 – 25
- Umur semai (hari) 10 – 15 21 – 35 hari
- Pengolahan tanah Bajak dan garu 2 x Bajak dan garu 1-2 kali
- Pupuk - Lengkap (Urea, TSP, KCl) - Urea, TSP tanpa KCl
- Pupuk kandang 1 ton/ha - Pupuk kandang seadanya
- Panen Perontok gabah Bervariasi (manual atau
Mesin perontok
2. Tembakau
- Varietas/jenis 2 galur Virginia Virginia San 9
- Persiapan lahan Pesemaian disemprot formaldehid Furadan, Methindo, Matador
- Pengendalian hama - sterilisasi pesemaian - Serbuk belerang
penyakit - Var.tahan hama/penyakit - Tanaman terinfeksi di cabut
- Busuk batang dgn fungisida
mengandung Cu dan karbonat
- serbuk belerang (lanas)
3. Sapi
- Bakalan Sehar, umur + 1 tahun Sehat, umur 2-2,5 thn sapi Bali
- Pemeliharaan - Obat cacing - Tanpa obat cacing
- Sanitasi kandang - Jarang dibersihkan
- Sering dimandikan - Jarang dimandikan
- Sistem penggemukan - Parture fattening Umumnya feed lot fattening
- Fattening
- Kombinasi feed lot dan pasture
fattening
- Ransum - rumput + legume = 10% bobot - HMT berupa rumput, batang
badan (BB) pisang, daun tebu (5% BB)
- konsentrat 1% BB - dedak 0,5% BB
- garam 15-30 gr/hari - garam 10 gr/hari
- kalsium fosfat 13-30 gr/hari - tidak diberi kalsium fosfat
- air
- Perkandangan - terpisah dari rumah - dekat rumah
- tempat lebih tinggi - lantai tanah atau kayu
- penampungan kotoran - tidak ada penampungan kotoran
- tempat pakan dan minum - kurang sanitasi
- sanitasi - tempat pakan ada

Pada Tabel 3 dapat dilihat referensi teknologi anjuran dan teknologi petani untuk ke
tiga komoditas tersebut di Desa Montong Betok. Terlihat bahwa petani cenderung
menggunakan pupuk kurang tetapi pestisida berlebihan.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 449
Seminar Nasional 2005

Identifikasi Inovasi di Lahan Kering


Jagung merupakan komoditas utama di Desa Sembelia yang potensi hasilnya bisa
mencapai 15 ton tongkol/ha atau lebih dari potensi teknologi Litbang Pertanian (6 ton/ha biji
kering) (Tabel 4). Masalah harga yang terlalu rendah ditentukan oleh pedagang
menyebabkan petani berpikir mencari peluang untuk diversifikasi produk olahan. Selain itu
teknologi konservasi dan pemupukan berimbang untuk kelestarian lahan juga diharapkan
petani sebagai kebutuhan inovasi (Tabel 1).
Tabel 4. Referensi Teknologi Anjuran dan Teknologi di Tingkat Petani untuk Komoditas Dominan
Agroekosistem Lahan Kering Dataran Sedang di Desa Sembelia, Lombok Timur, 2004.

Komoditi Teknologi Anjuran Teknologi Petani


1. Jagung
- Varietas Semar, Lamutu Hibrida BISI-2, C7 dan Lamutu
Hasil 5-6t/ha 90 hari tahan bulai
- Benih (kg/ha) 20 15
- Persiapan Lahan diolah Jerami dibakar
bajak garu Diolah atau tidak diolah + Polaris
saluran drainse
Penanaman
- Jarak tanam 75x40 cm2 (2/lb) 70x25 cm2 (2/lb)
- Pupuk (kg/ha) Urea 250, SP36 100, KCl 50-100 Urea 250, SP36 dan KCl sedikit
- Hama / Penyakit - lalat bibit dgn Furadan Decis, Sacodan,Thiodan zat
- insektisida Cytrolane 0,5 ba/ha perangsang.
- Panen - bisa panen muda atau tua - Tebas Rp 550/kg
- pengeringan bisa matahari atau - Panen tongkol 15 t/ha
mekanis - Rata-rata 6 t/ha
2. Kambing
- Bibit - Kacang / etawa - Menggala, Modeng (lokal)
- Umur 12-18 bulan - kawin alami
- Bobot badan 10-16 kg/hr - alami
- Kawin IB
- kandang panggung tanah
- Ransum - HMT 5-8 kg/hr/ekor - HMT rumput,lamtoro, gamal pada
- Konsentrat 5 kg/hr/ekor sore hari
- siang digembalakan
- tanpa konsentrate
- Hama / penyakit - obat cacing - tanpa obat cacing
- mencegah kudis dengan mandi - tidak dimandikan
dan larutan taxophne + - obat alam bawang putih dan
suntik/Vomex garam
3. Kacang Tanah
- Persiapan - diolah sempurna - tanpa olah tanah
- jerami dikemposkan atau sebagai - jerami dibakar
mulsa
- Varietas Gajah, Kelinci Kelinci, lokal
- Benih 100 kg polong 75-150 kg polong
- Pupuk (kg/ha) Urea 50, TSP 150, KCl 100 Tidak dipupuk
- Panen (t/ha) 1.8 – 2.0 t/ha 0.5 – 1.5 t/ha

Kambing banyak dipelihara oleh rumah tangga petani di Sembelia. Masalah


cacingan karena sanitasi yang buruk dan bibit yang kurang baik menyebabkan pendapatan
petani masih rendah. Inovasi yang dibutuhkan petani menyangkut perlunya bibit unggul,
ransum pakan bahan lokal dan teknologi sanitasi kandang (Tabel 1).
Masalah utama dalam usahatani kacang tanah adalah tingginya serangan penyakit
layu, mutu benih yang kurang baik, sulitnya pengolahan tanah pada lahan berbatu dan
kurang efektifnya penyuluhan. Berdasarkan itu inovasi yang diharapkan adalah bagaimana
mengendalikan penyakit layu, teknologi pengolahan lahan berbatu, varietas berbiji kecil
(harga mahal), teknologi benih, pengelolaan jerami selain dibakar dan efektivitas penyuluhan
(Tabel 1).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 450
Seminar Nasional 2005

Referensi teknologi anjuran yang utama dibandingkan teknologi petani untuk ke tiga
komoditas tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Petani menggunakan pupuk relatif sedikit
sesuai kemampuan, pengolahan tanah kurang sempurna dan banyak menggunakan pestisida
pada jagung.

Peluang Peningkatan Pendapatan


Pada Tabel 2 dapat di lihat tingkat pendapatan dan efisiensi usahatani komoditas
dominan di Lombok Timur musim tanam 2003/2004. Pendapatan bersih usahatani petani
berkisar dari yang terendah (sapi) yaitu Rp. 622.500/petani/thn sampai yang tertinggi
(tembakau) sebesar Rp. 4.400.000/ha/musim. Usahatani ternak kambing (rata-rata pemilikan
3 ekor/petani) juga relatif rendah pendapatnnya yaitu hanya Rp. 1.180.000/tahun. Kelompok
tanaman pangan (padi dan palawija) memberikan pendapatan bersih berkisar Rp. 1.400.000
(padi) sampai Rp. 2.600.000 (jagung). Pendapatan dari kelompok hortikultura (sayuran)
relatif agak tinggi berkisar Rp. 3.000.000/musim/ha (bawang putih) – Rp. 4.000.000/
musim/ha (cabe merah). Tembakau memberikan pendapatan rata-rata tertinggi di wilayah
Lombok Timur yaitu senilai Rp. 4.400.000/musim/ha.
Pendapatan yang dicapai oleh petani tersebut belum mencapai potensi optimum dan
masih berpeluang untuk ditingkatkan. Hal ini terlihat dari nilai B/C untuk semua komoditas
<1.0. Usahatani sapi peluangnya cukup besar untuk meningkatkan efisiensi, sedang untuk
kambing nilai efisiensi cukup tinggi tapi pendapatan relatif kecil dan masih tradisional.
Kelompok komoditi sayuran (bawang putih, kubis dan cabe merah) cukup berpeluang
memberikan peningkatan pendapatan dan efisiensi dengan inovasi pengendalian penyakit
utama dan pemberdayaan petani, sementara dalam permodalan yang mandiri serta kemitraan
yang adil.
Khusus untuk komoditi tembakau, jagung dan cabe merah, dimana petani sudah
bermitra dengan perusahaan, tidak menutup kemungkinan untuk ditingkatkan pendapatannya
dengan menciptakan kemitraan yang adil. Selama ini petani berada pada posisi tawar yang
lemah dimana ada ketergantungan modal dan harga jual yang ditetapkan perusahaan.
Sebagai contoh petani tembakau tidak bebas menyediakan sendiri sarana produksi (pupuk
dan obat-obatan) karena alasan untuk menjaga kualitas tembakau, padahal petani harus
mengganti biaya saprodi yang cukup tinggi begitu selesai panen.
Tabel 5. Tingkat Keuntungan dan Efisiensi Usahatani Petani di Lombok Timur, 2004.

Pendapatan Kotor Biaya Produksi Pendapatan Bersih


Komoditi/Teknologi B/C
(Rp.000/ha) (xRp.000/ha) (Rp.000/ha)
1. Bawang Putih 9000.0 6000.0 3000.0 0.5
2. Kubis 10000.0 6685.0 3315.0 0.5
1)
3. Cabe merah 9000.0 5000.0 4000.0 0.8
1)
4. Tembakau 22000.0 17600.0 4400.0 0.25
5. Padi sawah 5.400.0 4000.0 1400.0 0.35
6. S a p i 4230.5 3607.5 622.5 0.17
7. Jagung 1) 5600.0 3000.0 2600.0 0.86
8. Kambing 2450.0 1270.0 1180.0 0.93
9. Kacang tanah 5000.0 3000.0 2000.0 0.66
1) Usahatani tembakau, jagung dan cabe merah ada pola kemitraan dengan perusahaan.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 451
Seminar Nasional 2005

KESIMPULAN

1. Jenis komoditas (teknologi) yang layak dikembangkan untuk peningkatan pendapatan di


lahan marginal, erat kaitannya dengan kesesuaiannya terhadap kondisi agro ekosistem,
kapabilitas petani (teknis dan sosial ekonomi) melakukan inovasi dan pemasarannya.
Kelayakan komoditas (teknologi) di wilayah miskin tidak lepas dari kemampuan
pemecahan permasalahan yang dihadapi petani. Permasalahan seperti harga yang
rendah, keterbatasan modal, pengendalian hama/penyakit dan pemasaran hanya bisa
diatasi bila kelompok petani diberdayakan, pola kemitraan yang adil antara kelompok
tani dan pedagang/perusahaan, dan keberpihakan pemerintah untuk memfasilitasi dan
melindungi petani kecil.
2. Berdasarkan kesesuaian dengan kondisi agro ekosistem, peluang pengembangan, dan
persepsi petani, komoditi dominan dan layak dikembangkan di Lombok Timur adalah:
(a) pada dataran tinggi Sembalun Lawang adalah bawang putih, kubis dan cabai merah;
(b) pada lahan kering Sembelia adalah jagung, kambing dan kacang tanah; (c) pada lahan
sawah tadah hujan di Desa Montong Betok adalah tembakau, sapi dan padi sawah.
3. Permasalahan yang dihadapi petani belum tentu menjadi prioritas inovasi yang
dibutuhkan, tergantung seberapa besar nilai tambah dari inovasi atau nilai negatif dari
permasalahan yang ada. Teknologi dari Litbang Pertanian tidak selalu memberikan
peningkatan hasil lebih tinggi dari petani, misalnya komoditi jagung dan tembakau
dimana petani mendapat bimbingan langsung dari perusahaan. Dalam hal ini motivasi
petani sangat menentukan keberhasilan adopsi teknologi.
4. Jenis inovasi yang dibutuhkan petani tidak semuanya langsung dapat dikembangkan,
sebagian perlu diteliti dan dikaji kelayakannya terlebih dahulu oleh lembaga penelitian
secara partisipatif agar betul-betul dapat mencapai sasaran bila diterapkan.

IMPLIKASI KEBIJAKAN

1. Program peningkatan pendapatan petani miskin di lahan marginal sebaiknya tidak hanya
memperhatikan aspek biofisik (kesesuaian lahan) dan teknologi budidaya saja, tetapi
tidak kalah pentingnya adalah perlunya rekayasa kelembagaan sosial ekonomi dan
budaya termasuk pemberdayaan kelompok taninya seperti lembaga keuangan mikro dan
penyediaan saprodi. Permasalahan teknis maupun sosial ekonomi dalam usahatani yang
tidak bisa diatasi oleh petani hendaklah langsung menjadi prioritas intervensi pemerintah
dalam pembangunan pertanian dalam bentuk program pemberdayaan kelompok tani,
menjalin kemitraan yang adil antar petani dan pengusaha, memfasilitasi serta melindungi
kebutuhan petani kecil.
2. Komoditas dominan yang diusahakan oleh petani di berbagai agro ekosistem perlu terus
dikaji permasalahannya dan dicari peluang-peluang untuk peningkatan pendapatan
dengan memperhatikan kondisi perdagangan bebas. Inovasi dari Badan Litbang atau
lembaga penelitian sebaiknya dapat diperhitungkan nilai tambahnya (dapat diprediksi)
dan teruji kelayakannya agar pengguna lebih yakin dalam mengadopsi.
3. Badan Litbang perlu selalu meningkatkan kualitas teknologi dan diseminasinya kepada
masyarakat pengguna agar tidak ketinggalan dengan program aksi pihak swasta yang
lebih proaktif. Berbagai inovasi yang dibutuhkan oleh masyarakat petani perlu dipilah-
pilah mana yang sudah siap untuk diprogram aksikan, mana yang masih perlu diteliti dan
dikaji lebih lanjut oleh lembaga penelitian.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 452
Seminar Nasional 2005

DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, M.O. dan E. Basuno. 2000. Improvisasi Indigenous Technology dalam
Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Berkelanjutan. Dalam: Prosiding Seminar
Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa Cipayung 25-27
Juli 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang
Pertanian hal. 151 – 162.
Supriadi, H., E.Lestari, dan D.K. Sadra. 2004. Survei Pendataan Sosial Ekonomi di Daerah
Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin melalui Inovasi di Blora. Laporan
Akhir. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Deptan. 59 hal.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2002. Optimalisasi Pemanfaatan
Sumber Daya Lahan untuk Peningkatan Produksi Pertanian. Dalam: Seminar
Nasional Inovasi Agribisnis 21-22 Mei 2002. Badan Litbang Pertanian.
Syam A., K. Kariyasa dan M.O. Adnyana. 1995. Suitainable Technology Adoption for
Farming System Upland Conservation in Brantas Watershed. A Joint Research
Project of CRIFC and ESCAP.
Rifianto, I. 2005. Mobilisasi Kelompok Tani dan Perencanaan Desa Partisipatip. Petunjuk
Teknis Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI) Jakarta.
FAO. 1994. Farming Systems Development. A Participatory Approach to Helping Small
Scale Farmers. Food and Agriculture Organization ot the United Nations. Rome.
Dixon. J.M., M. Hall, J.B. Hardaker and V. Vyas 1994. Farm and Community in Formation
use For Agricultural Programs and Policies. FAO. Rome.
Dinas Pertanian dan Peternakan. 2005. Penerapan Paket Teknologi Spesifik Lokasi pada
Tanaman Pangan dan Peternakan untuk Meningkatkan Pendapatan Petani Miskin
pada Lahan Marginal. Dinas Pertanian dan Peternakan. Kab. Lombok Timur.
Basuno, E. dan H. Supriadi. 2001. Pengembangan Teknologi Pertanian secara Partisipatif di
Tingkat Regional. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi
Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Dinas Pertanian dan Peternakan. 2005. Penerapan Paket Teknologi Spesifik Lokasi pada
Tanaman Pangan dan Pepeternakan untuk Meningkatkan Pendapatan Petani Miskin
pada lahan marginal. Diperta dan Peternakan. Lombok Timur.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 453
Seminar Nasional 2005

KAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN DALAM UPAYA PENINGKATAN


PRODUKTIVITAS LAHAN MARGINAL DI KABUPATEN ENDE
NUSA TENGGARA TIMUR

MH. Togatorop1), A. Subaidi1), dan Handi Supriadi2)


1)
Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor
2)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Bogor

ABSTRAK

Lahan marginal dilihat dari aspek luasnya mempunyai potensi untuk pengembangan pertanian, tetapi di
lain pihak permasalahan kemiskinan masih banyak dijumpai di lahan tersebut. Untuk itu perlu adanya upaya
mengoptimalkan pemanfaatannya melalui kajian teknologi pertanian yang telah banyak tersedia dalam rangka
meningkatkan produktivitas lahan tersebut sekaligus berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan petani.
Lahan marginal di Kabupaten Ende dikelompokkan sesuai dengan agroekologi dan basis komoditasnya menjadi 6
kelompok wilayah, yaitu: (1) dataran tinggi berbasis tanaman perkebunan dan pangan/hortikultura; (2) dataran
sedang berbasis tanaman pangan/hortikultura dan perkebunan; dan (3) dataran rendah usahatani lahan basah basis
sawah dan usahatani lahan kering basis tanaman hortikultura/pangan serta tanaman perkebunan. Dari masing-
masing kelompok wilayah secara "purposive sampling" dipilih satu desa yang menjadi objek sumberdata yang
digunakan melalui PRA dan wawancara dengan petani dan "key person". Hasil yang telah diperoleh menunjukkan
bahwa usaha pertanian di Kabupaten Ende merupakan mata pencaharian utama dengan hasil yang diperoleh belum
dapat memenuhi kebutuhan keluarga, disebabkan produktivitasnya yang rendah, sumberdaya manusia petani
terbatas, belum ada pendapatan modal dalam bentuk uang tunai untuk modal kerja usahataninya, saprodi pertanian
terbatas, penguasaan teknologi pertanian oleh petani masih rendah, kelembagaan petani (kelompok tani) masih
tingkat pemula, dan jaringan komunikasi masih terbatas di sekitar kota kabupaten dan kecamatan. Dengan
demikian sangat diperlukan inovasi teknologi pertanian dengan memperhatikan aspek karakteristik sosial budaya
setempat. Masalah lainnya adalah "bergaining position" petani lemah, disebabkan harga ditentukan oleh pedagang
tanpa ada kekuatan tawar dari petani yang sangat memerlukan perhatian serius dari penentu kebijakan. Umumnya
teknologi yang dibutuhkan petani adalah teknologi budidaya secara reguler dengan pengawalan yang
berkesinambungan, karena para petani masih belum memahami arti pentingnya penerapan budidaya yang tepat.
Khusus mengenai tanaman perkebunan (kelapa, kemiri, jambu mete) yang cukup banyak di daerah ini, aspek
penanganan pasca panen sangat memerlukan inovasi teknologi yang sesuai agar nilai tambah produk perkebunan
tersebut dapat diperoleh.
Kata kunci : PRA, teknologi inovasi, produktivitas, lahan marginal, kelompok wilayah.

PENDAHULUAN

Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mempunyai luas wilayah
204.662 km2 dan penduduk sebanyak 231.544 jiwa atau 48.678 KK. (BPS Kabupaten Ende,
2002). Jumlah penduduk akan semakin meningkat dari tahun ke tahun, menyebabkan
permintaan bahan pangan juga semakin meningkat. Data dari Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) Kabupaten Ende ternyata masih terdapat sebanyak 36.612
Kepala Keluarga dari 48.678 KK yang tergolong Kepala Keluarga miskin.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh beberapa hal (Hermanto dkk., 1999), antara lain :
(1) Kemiskinan fisik atau alamiah, sebagai akibat karena sumberdaya alam tidak bisa
mendukung kehidupan masyarakat setempat; (2) Kemiskinan budaya dan kultural, yakni
budaya yang ada bersifat menghambat kemajuan, walaupun potensi sumberdaya alam tidak
miskin; (3) Kemiskinan kelembagaan atau struktural, yakni peraturan-peraturan yang ada,
baik yang tertulis maupun tidak adalah tidak mampu mendorong serta menolong golongan
lemah; dan (4) Kombinasi di antara tiga tipe kemiskinan di atas.
Usaha-usaha pembangunan khususnya pertanian, seharusnya diarahkan pada
masalah kemiskinan dan prioritas, jika tidak akan membuka peluang munculnya masalah
baru yang dapat membahayakan proses dan keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Upaya
mengangkat masalah kemiskinan menjadi prioritas pembangunan, maka perlu mencari faktor
kunci penyebab terjadinya kemiskinan tersebut. Salah satu model yang telah dikembangkan
adalah pemberdayaan petani miskin.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 454
Seminar Nasional 2005

Identifikasi terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi petani miskin,


faktor-faktor pendukung dan penghambat serta peluang pemberdayaan petani miskin perlu
dilakukan diantaranya melalui PRA (pemahaman pedesaan secara partisipatif) melalui
kegiatan poor farmer’s income improvement through innovation project (PFI3P) di
Kabupaten Ende, pada Tahun Anggaran 2004.
Wilayah Kabupaten Ende memiliki topografi, biofisik wilayah dan sosial ekonomi
yang sangat bervariasi dan beragam. Untuk memperkecil keragaman wilayah berdasarkan
aspek-aspek tersebut dilakukan pengelompokkan (regrouping) wilayah berdasarkan faktor-
faktor yang dominan mempengaruhi kegiatan usahatani, antara lain (1) ketinggian tempat
(letak) suatu wilayah yang mempengaruhi penampilan dan pertumbuhan tanaman (melalui
suhu dasar, heat unit), (2) arahan kesesuaian lahan dan (3) basis komoditas yang
dikembangkan petani di wilayah ini.
Wilayah kabupaten Ende dominan dataran rendah (41,1%) diikuti dataran sedang
(30,6%) dan dataran tinggi (28,3%).
Tabel 1. Potensi wilayah di kabupaten ende menurut ketinggian tempat

Kelompok Luas Luas lahan Luas lahan Luas lahan Komoditi Komoditi
Wilayah wilayah pertanian TB-TBM TB-TM Tan. Pangan Perkebunan
Dataran (km2) (ha) (ha) (ha) (jenis) (jenis)
Rendah 982,2 27.316 10.549 11.578 4 2
Sedang 701,9 6.319 2.655 2.315 5 3
Tinggi 607,1 6.777 3.736 3.716 2 3
Jumlah 2.291,2 40.412 16.940 17.609 4 3
Sumber : BPS Ende, 2002 dan Distannak Ende, 2003.
Catatan : TB = tanaman perkebunan; TBM = tanaman belum menghasilkan; dan
TM = tanaman menghasilkan

Lahan potensial untuk usaha pertanian tanaman pangan dan hortikultura pada
wilayah dataran sedang mencapai 6319 ha, usahatani dominan adalah campuran dengan
jumlah komoditi yang diusahakan mencapai 5 jenis (tabel 1). Salah satu desa yang termasuk
ke dalam wilayah dataran sedang berbasis tanaman pangan adalah Desa Pora, Kecamatan
Wolojita, disamping desa-desa lainnya.
Prioritas pengkajian pada wilayah lahan marginal di Kabupaten Ende ini, bertujuan
untuk pemberdayaan petani miskin, antara lain (1) mempertahankan pertumbuhan produksi
pangan, (2) intensifikasi lahan yang masih kurang termanfaatkan, (3) meningkatkan nilai
tambah teknologi melalui diversifikasi produk dengan nilai yang lebih tinggi, (4)
meningkatkan akses keluarga tani (terutama wanita tani) ke bahan pangan dengan kandungan
vitamin dan protein yang lebih tinggi, dan (5) teknologi pertanian tepat guna yang dapat
memberdayakan petani miskin.
Tujuan dari kajian ini adalah :(1) mengidentifikasi potensi, kendala dan masalah
serta peluang pengembangan agribisnis lahan marginal di lokasi PFI3P, (2) mengetahui
faktor pendukung dan penghambat pengembangan agribisnis dan analisis pemecahannya,
dan (3) menentukan rumusan program aksi dalam pengembangan agribisnis sebagai bahan
penyusunan program dan pengembangan lahan marginal di lokasi PFI3P. Dengan demikian
output yang diharapkan: (1) karakterisasi potensi, kendala dan masalah serta peluang
pengembangan agribisnis lahan marginal di lokasi PFI3P, (2) informasi data pendukung dan
penghambat pengembangan agribisnis dan pemecahannya, dan (3) rumusan program aksi
dalam pengembangan agribisnis sebagai bahan penyusunan program dan pengembangan
lahan marginal di lokasi PFI3P.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 455
Seminar Nasional 2005

METODOLOGI

Pendekatan
Kajian ini memakai pendekatan pemahaman pedesaan secara partisipatif atau
participatory rural appraisal (PRA).

Metode Pengelompokan Wilayah


Indikator-indikator yang digunakan dalam pengelompokan (regrouping) wilayah
sesuai dengan ciri utama yang dominan, adalah : (1) ketinggian tempat, merupakan penciri
utama, (2) sistem usahatani dominan yang sesuai dengan arahan kesesuaian lahan, dan (3)
basis komoditas, dengan pertimbangan komoditas usahatani dominan yang dikembangkan
petani di wilayah ini.
Berdasarkan ciri tersebut di atas telah diperoleh 6 kelompok wilayah, yaitu : (1) dataran
tinggi basis tanaman perkebunan, (2) dataran tinggi basis tanaman pangan/hortikultura, (3)
dataran sedang basis tanaman pangan/hortikultura, (4) dataran sedang basis tanaman
perkebunan, (5) dataran rendah dengan usahatani lahan basah basis sawah, dan (6) dataran
rendah dengan usahatani lahan kering berbasis tanaman pangan/hotikultura dan tanaman
perkebunan.
Selanjutnya secara “purporsive” dipilih satu desa contoh yang dianggap mewakili
kelompok desa tersebut. Desa sampel adalah Kelompok I Desa Ndetundora I, Kelompok II
Desa Wologai Timur, Kelompok III Desa Pora, Kelopmok IV Desa Tendarea, Kelopok V
Desa Mautenda, dan Kelompok VI Desa Tou.
Data informasi yang dikumpulkan adalah (1) biofisik, (2) sosial ekonomi, (3)
sumberdaya rumah tangga, (4) kelembagaan pendukung, (5) assesibilitas, (6) penguasaan
sumberdaya pertanian, (7) penggunaan sumberdaya pertanian, (8) teknologi usahatani yang
dilakukan petani, (9) keragaan usahatani, (10) keinginan petani terhadap suatu teknologi
baru, dan (11) keinginan petani terhadap media diseminasi pertanian

Analisis Data
Semua data yang diperoleh, dianalisis dan dibahas secara deskriptif terutama: (1)
karakteristik dan deliniasi lokasi, (2) penguasaan dan penggunaan sumberdaya pertanian, (3)
identifikasi teknologi dan permodalan petani, (4) permasalahan pertanian yang dihadapi
petani, (5) inovasi teknologi untuk pemberdayaan petani sesuai sumberdaya petani.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kelompok Desa Dataran Tinggi Berbasis Perkebunan


1. Potensi sumberdaya pertanian
Tingkat kesuburan lahan umumnya dari kurang subur hingga sedang karena
daerahnya berlereng dan rawan erosi dengan dominansi lahan kering/tegalan. Keadaan
pengairan masih mengandalkan air hujan dan sumber mata air. Pemilikan lahan komoditas
perkebunan sekitar 1 ha, dan untuk tanaman pangan di bawah 0,5 ha. Status hukum lahan
pertanian umumnya adalah tanah ulayat/komunal yang dibagi ke anggota suku dan
selanjutnya setiap anggota suku memiliki kesempatan untuk mengusahakan tanah pertanian.
Kepemilikan alat pertanian masih sangat sederhana yaitu hanya memiliki cangkul, parang,
dan tofa.

2. Cabang usahatani dominan yang diusahakan


Komoditas utama yang dilakukan oleh petani adalah perkebunan yang ditanam
secara campuran. Pada beberapa tempat lahan yang relatif landai/tegalan diusahakan
pangan. Cabang usahatani komoditas perkebunan adalah cengkeh, kakao, kelapa, vanili, dan
kopi. Sedangkan tanaman pangan adalah ubi kayu, jagung, padi ladang dan sayuran dengan

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 456
Seminar Nasional 2005

pola tanam satu kali setahun dan sistem penanaman campuran. Disekitar pekarangan petani
memelihara ternak, yaitu : babi, ayam buras, kambing dan sapi.

3. Tingkat teknologi yang umum dilakukan


Usahatani perkebunan petani masih mengandalkan potensi alam dengan tingkat
teknologi yang sangat sederhana baik dari segi budidaya maupun penanganan pasca
panennya. Biji kakao setelah dipisahkan dari daging buah langsung dijemur dengan alas
terpal apa adanya dan tetap dibiarkan malam hari atau ada hujan. Demikian pula dalam
pengeringan kelapa untuk pembuatan kopra. Kopi setelah dipetik langsung dijemur satu–
tiga hari kemudian langsung dijual. Kondisi pertanaman tidak ditata secara tepat (campuran,
tidak beraturan) dan cenderung terlalu rapat dengan kanopi daun saling tumpang tindih.
Pemupukan dan penanganan hama penyakit sama sekali tidak dilakukan. Produktivitas
perkebunan secara umum masih rendah yaitu : cengkeh kering berproduksi 35 kg/pohon/3
tahun, kakao 2 kg biji kering/tahun/pohon, kopi 0,25 kg basah/pohon/tahun, kelapa 30
butir/pohon/tahun, dan vanili 0,25 kg basah/pohon/tahun.
Pertanaman tanaman pangan lebih banyak pada lahan tegalan dan diantara tanaman
perkebunan. Pola tanam hanya dapat dilakukan sekali dalam setahun, ditanam campuran
tanpa jarak dan baris tanam yang jelas. Pemupukan dan pengendalian hama penyakit tidak
dilakukan, sehingga produktivitasnya rendah, yaitu ubi kayu 5 kg/pohon, jagung dan padi
ladang hanya untuk keperluan konsumsi dengan produksi masing-masing masih di bawah
satu ton/ha.
Ternak dengan sistem ikat pindah (ruminansia), sedangkan ayam buras dan babi
tidak dikandangkan. Pemberian pakan seadanya dan kurang optimal. Penanganan penyakit
tidak dilakukan. Ternak babi di daerah ini melahirkan 1 – 2 kali /tahun dengan jumlah anak
4 – 7 ekor, ayam buras bertelur hanya 3 kali setahun sekitar 7 butir per periode bertelur,
kambing beranak 3 kali/2 tahun dengan jumlah anak 1 – 2 ekor.

4. Masalah pertanian yang dihadapi petani


Masalah teknis dan masalah non teknis. Masih dijumpai petani. Komoditas
perkebunan yang dikelola, secara teknis masih jauh dari penerapan teknologi budidaya yang
tepat termasuk dalam penanganan pasca panennya, sehingga produktivitasnya masih rendah
dan kualitas produk kurang. Petani belum memahami arti penting penerapan budidaya yang
tepat, terutama dari segi jarak dan pola tanam, penggunaan bibit/benih yang baik,
pemupukan, dan cara penanganan hama penyakit. Pada tanaman cengkeh dijumpai masalah
penyakit kering dahan dan jarak tanam yang terlalu rapat menyebabkan daun rontok. Pada
tanaman kakao sering dijumpai masalah hama kutu putih, semut hitam, dan hama Helopeltis.
Pada vanili dijumpai masalah penyakit busuk batang. Tanaman kopi banyak yang sudah
berumur tua, sehingga perlu peremajaan dengan tehnik penyiapan bibit yang tepat. Tehnik
pemangkasan kopi dan kakao tidak dikuasai oleh petani
Tanaman pangan khususnya untuk ubi kayu tidak ada pergiliran tanaman, sehingga
dikhawatirkan terjadinya penurunan kesuburan lahan. Benih padi dan jangung yang
digunakan petani seadanya dari hasil panen sebelumnya. Sistem tanam dan jarak ranam yang
tidak beraturan, serta tidak dilakukan pemupukan dan pengendalian hama penyakit.
Pada usahaternak, ternyata produktivitas juga rendah disebabkan teknik budidaya
yang benar belum dilakukan petani. Pada babi dan kambing dijumpai masalah penyakit
kembung, sedangkan pada ayam buras penyakit ND (tetelo) terutama pada pergantian
musim.
Masalah non teknis adalah adanya kebiasaan petani sangat sayang untuk
menghilangkan tanaman yang terlalu rapat padahal tidak produktif lagi. Sebagian besar
petani menjual hasil pertaniannya kepada pedagang pengumpul. Kios saprodi yang melayani
keperluan usahatani tidak tersedia khususnya keperluan benih, pupuk, dan obat-obatan
pertanian. Petani tidak ada akses untuk permodalan usahatani. Kelompok tani yang

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 457
Seminar Nasional 2005

dibentuk tidak berfungsi optimal untuk kegiatan usahatani, kemungkinan masih tingkat
pemula. Tenaga penyuluh dan frekuensi penyuluhan masih sangat terbatas, sehingga petani
masih sangat jauh dari akses informasi teknologi.

5. Inovasi teknologi yang dibutuhkan


Inovasi teknologi yang dibutuhkan untuk usahatani perkebunan adalah teknologi
perbaikan manajemen produksi, antara lain untuk cengkeh teknologi penanganan mati muda
dan kering dahan/pucuk, sedangkan pada tanaman kakao teknologi penanganan hama
helopeltis, gugur bunga, dan buah muda. Teknologi pola pertanaman dengan jarak tanam
yang ideal, sehingga tidak terjadi kompetisi dalam penyerapan hara, kebutuhan cahaya, dan
efek merugikan lainnya seperti kelembaban tinggi pada musim penghujan merangsang
timbulnya penyakit tanaman. Teknologi pemangkasan kakao dan kopi untuk menghilangkan
bagian tanaman yang tidak produktif dan merangsang pembuahan, serta teknologi
penanganan hasil panen kopi dan kakao (pengeringan). Kebutuhan pakan ternak diperlukan
teknologi pemanfaatan limbah perkebunan yang ada di lokasi seperti limbah kulit dan daging
buah kakao.
Agar inovasi pertanian dapat berjalan baik, diperlukan sarana pendukung, yaitu: (1)
menciptakan lembaga formal yang dapat menyalurkan kredit untuk modal usahatani; (2)
kebijakan harga yang berpihak pada petani; (3) mengaktifkan fungsi kelompok tani untuk
mempermudah proses adopsi inovasi pertanian; (4) meningkatkan aktifitas penyuluhan, baik
dari segi tenaga meupun intensitasnya. Pada beberapa desa terisolir yang sulit dijangkau,
perlu juga mendapat perhatian untuk meningkatkan gairah petani dalam kegiatan
usahataninya.

B. Kelompok Desa Dataran Tinggi Berbasis Tanaman Pangan/Hortikultura


1. Potensi sumberdaya pertanian
Pada kelompok desa dataran tinggi berbasis tanaman pangan/hortikultura ini
didominasi lahan kering (tegalan) dan sawah tadah hujan. Surplus air terjadi pada bulan
Maret, sedangkan defisit air terjadi pada bulan Agustus–Nopember Pada daerah yang
berlereng didominasi tanaman hutan dan semak serta komoditas perkebunan. Keadaan
pegairan sangat tergantung pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau
mengandalkan sumber mata air yang kondisinya tidak mencukupi untuk kegiatan usahatani,
tetapi lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kepemilikan lahan
usahatani terdiri dari lahan pekarangan sekitar 200 m2 dan ladang/kebun sekitar 0,5 ha.
Kepemilikan alat pertanian masih sangat sederhana, yaitu hanya memiliki cangkul, parang
dan tofa (cangkul kecil). Pada umumnya lahan pertanian kondisinya kurang subur dengan
tingkat kemampuan berusaha tani masyarakatnya juga masih kurang.

2. Cabang usahatani dominan yang diusahakan


Usahatani tanaman pangan banyak dilakukan pada lahan tegalan, yaitu padi ladang,
jagung lokal, ubi kayu, Komoditi hortikultura adalah jeruk, alpokat, markisa dan sayuran
seperti kol, sawi, wortel, kacang panjang.
Tanaman perkebunan yang diusahakan adalah kopi, cengkeh, jahe, dan kunyit. Kopi
dan cengkeh banyak ditanam pada daerah yang miring.
Cabang usaha ternak terdiri dari ternak besar, ternak kecil, dan unggas. Ternak
besar adalah sapi dan kerbau, ternak kecil adalah kambing dan babi, sedangkan ternak
unggas yang banyak adalah ayam buras.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 458
Seminar Nasional 2005

3. Tingkat teknologi yang umum dilakukan


Pola tanam di lahan kering adalah tanaman pangan–bero. Musim tanam diawali
dengan persiapan lahan sistem tebas-bakar lalu dibersihkan dan menunggu jatuhnya hujan
pertama sekitar bulan Nopember dan penanaman dilakukan. Sistem tanam masih sangat
sederhana, yaitu campuran (mix cropping), tanpa pola dan jarak ranam yang jelas (acak).
Jagung dan kacang panjang ditanam bersama-sama dalam satu lubang dengan sistem tugal.
Pemupukan dan pengendalian hama penyakit tidak dilakukan. Pemeliharaan tanaman yang
dilakukan hanya sebatas membersihkan rumput/menyiang dengan tofa. Panen jagung dan
padi gogo sekitar bulan April, sedangkan panen ubi kayu sekitar bulan Agustus secara
bertahap sesuai kebutuhan. Setelah itu lahan diberokan, karena keperluan air untuk tanaman
tidak tersedia. Produktivitas padi dan jagung di daerah ini masih sangat rendah, yaitu di
bawah 1 ton per ha. Tanaman jeruk yang adaptif dan banyak tumbuh adalah jenis jeruk asam
yang dijual segar di tepi jalan utama atau ke pasar kecamatan dengan harga cukup murah,
karena rasanya agak asam. Teknologi pegolahan hasil jeruk ini sangat perlu untuk
meningkatkan nilai jual produk. Produktivitas jeruk sekitar 50 kg/pohon/tahun.
Tanaman kopi dan cengkeh ditanam dengan jarak tanam tidak beraturan tanpa ada
pemeliharaan seperti penanganan hama penyakit atau pemupukan secara khusus. Panen dan
prosesing hasil dilakukan hanya mengandalkan sinar matahari. Biji kopi setelah dipetik
langsung dijemur selama 1 – 3 hari dan langsung dijual dalam bentuk biji kopi. Produktivitas
dan kualitas hasil panen sangat rendah karena penanganan proses produksi yang belum
optimal. Kondisi fisik lahan yang miring dan kurang subur serta rawan erosi. Hasil panen
tanaman pangan umumnya hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi

4. Masalah pertanian yang dihadapi petani


Tanaman pangan khususnya padi gogo, jagung lokal, dan ubi kayu hanya dapat
ditanam satu kali setahun, yaitu pada musim hujan. Petani belum banyak mengenal benih
unggul yang produktivitasnya lebih tinggi. Sistem tanam dan jarak tanam tidak beraturan.
Penanaman jagung dalam satu lubang dicampur dengan kacang panjang, dengan alasan
tanaman jagung dapat sekaligus berfungsi sebagai tiang panjat kacang panjang. Penjarangan
dan pengendalian hama penyakit serta pemupukan tidak dilakukan. Pada tanaman sayuran
sering dijumpai hama ulat dan tanaman rebah karena terpaan angin kencang. Tanaman jeruk
yang cukup banyak berproduksi, tetapi masih kurang memberikan nilai tambah pada petani
karena dijual dalam bentuk segar dan rasanya asam. Petani belum menguasai teknik
pengolahan hasil, seperti pembuatan sirop jeruk. Pada tanaman jeruk ini juga sering
dijumpai masalah penyakit busuk batang dan tidak dilakukan pengendalian maupun
pemupukannya. Peremajaan juga dilakukan seadanya tanpa seleksi dan pembibitan secara
khusus.
Kopi dan cengkeh yang dikelola petani setempat secara teknis masih jauh dari
penerapan teknologi budidaya (pemupukan) yang tepat maupun dari segi penanganan pasca
panennya, sehingga produktivitasnya masih rendah dan kualitas produk kurang. Pada
tanaman cengkeh dijumpai masalah penyakit jamur batang dan mati kekeringan, sedangkan
pada tanaman kopi buah sering rontok, adanya hama kutu putih dan semut, serta kangker
batang. Pemangkasan tanaman kopi untuk menghilangkan dahan yang kurang produktif dan
merangsang pembungaan tidak dilakukan oleh petani.
Produktivitas ternak rendah, sebagai akibat belum dikandangkan, pemberian pakan
yang seadanya, dan masalah penyakit ternak. Pada babi dan kambing dijumpai masalah
penyakit kembung, sedangkan pada ternak ayam buras penyakit ND (tetelo) terutama pada
pergantian musim.
Masalah non teknis adalah adanya anggapan petani penggunaan benih varietas
unggul, khususnya padi gogo dan jagung tidak cocok untuk dikembangkan, pada hal lebih
disebabkan petani belum menguasai teknik budidayanya. Keterbatasan modal menyebabkan
petani sebagian besar menjual hasil pertaniannya kepada pedagang pengumpul dengan harga

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 459
Seminar Nasional 2005

yang ditentukan oleh pembeli. Kios saprodi belum ada yang melayani keperluan usahatani
(pupuk dan obat-obatan pertanian). Kelompok tani tidak berfungsi dengan baik, hanya
sebatas untuk kegiatan gotong royong. Tenaga penyuluh dan frekuensi penyuluhan masih
sangat terbatas, sehingga proses pemberdayaan petani melalui alih teknologi tidak berjalan
dengan baik. Petani masih sangat jauh dari akses informasi teknologi. Jaringan informasi
radio dan televisi mulai digunakan, tetapi masih terbatas pada beberapa keluarga. Sarana
transportasi desa terutama yang menghubungkan antar dusun dan ke lahan usahatani masih
sangat terbatas. Demikian juga kebutuhan pengairan pada lahan pertanian tidak tersedia.

5. Inovasi teknologi yang dibutuhkan


Introduksi dan pengenalan benih unggul yang diikuti dengan pendampingan untuk
mengawal teknologinya. Benih padi/jagung sebaiknya yang mempunyai teleransi tinggi
terhadap kekeringan. Teknologi pengendalian hama/penyakit terutama busuk batang jeruk
dan ulat sayur, gugur bunga dan buah kopi, serta walangsangit pada padi. Teknologi
pemupukan berimbang serta pembuatan dan pemanfaatan pupuk organik yang banyak
tersedia di lokasi. Introduksi teknologi teras vegetatif yang berfungsi sebagai pakan ternak
sekaligus pemecah angin dan menekan erosi. Pengenalan teknologi pengolahan sirup jeruk
yang praktis dan mudah dilakukan petani.
Komoditas perkebunan diperlukan teknologi perbaikan manajemen produksi
tanaman kopi (pemangkasan, pengendalian hama/penyakit, pemupukan), teknologi
penanganan hasil panen kopi, antara lain pengeringan pengolahan bubuk kopi, teknologi
budidaya teknologi pasca panen jahe.
Perbaikan nilai gizi pakan (penambahan legum dan suplemen) untuk ternak ruminan
(sapi, kuda, dan kambing), penanganan penyakit kembung (bloat) pada kambing dan babi.
Penanganan penyakit ND/tetelo dan teknik pemisahan anak ayam dengan induk untuk
menekan mortalitas dan meningkatkan frekuensi bertelur.
Sarana pendukung menciptakan lembaga formal yang dapat menyalurkan kredit
untuk modal usahatani, adanya kebijakan harga yang berpihak pada petani, mengaktifkan
fungsi kelompok tani, sehingga mempermudah proses adopsi inovasi pertanian. Peningkatan
aktifitas penyuluhan, baik dari segi tenaga maupun intensitasnya. Desa yang terisolir dengan
sarana jalan yang sulit dijangkau, diperlukan perhatian untuk mempermudah petani dalam
mengangkut keperluan pertanian dan pemasaran kasilnya. Keberadaan alat pengolah sirop
jeruk dan alat bubuk kopi skala industri rumah tangga sangat dibutuhkan.

C. Kelompok Desa Dataran Sedang Berbasis Tanaman Pangan/Hortikultura


1. Potensi sumberdaya pertanian
Peruntukan lahan ini sebagian besar untuk tanaman pangan/hortikultura (jagung,
ubikayu, padi, kacang-kacangan, alpukat, sawo, pisang, dan nenas) disamping perkebunan
dan ternak. Berkaitan dengan musim kering yang panjang, petani lebih banyak waktunya
mengusahakan tanaman perkebunan daripada tanaman pangan/hortikultura. Tingkat
kesuburan lahan pada umunya sedang sampai subur, walaupun masih ada lahan yang tidak
subur. Pemilikan lahan ladang/perkebunan sekitar 0,25 ha dengan rata-rata 0,5 ha.

2. Cabang usahatani dominan yang diusahakan


Cabang usahatani di lapangan masih bentuk campuran komoditas. Usahatani
tanaman pangan adalah padi gogo, jagung, ubikayu dan hortikultura sayur-sayuran, pisang,
pepaya, alpukat, sawao, dan nenas. Komoditas perkebunan kelapa, kemiri, kopi, cengkeh,
kakao, jambu mete, cengkeh, dan vanili. Ternak yang diusahakan sebagian besar memelihara
ayam buras, babi, kambing, sapi, dan kuda. Budidaya yang dilakukan para petani belum
menerapkan teknologi budidaya yang tepat. Pengelolaan ternak masih sangat ekstensif dan
penanggulangan penyakit yang tidak dilakukan menyebabkan produktivitas rendah dan
angka kematian cukup tinggi.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 460
Seminar Nasional 2005

3. Tingkat teknologi umum yang dilakukan


Teknologi budidaya yang dilakukan petani sangat rendah, antara lain pengaturan
komoditas di satu lahan termasuk pola tanamnya serta pemeliharaan (pemupukan) tidak
dilakukan samasekali. Usahatani ladang dilakukan sekali setahun waktu musim hujan dengan
produksi sangat rendah 0,2-0,6 ton/ha dengan rata-rata 0,4 ton/ha. Usahatani palawija
(jagung, dan ubikayu) dengan penggunaan bibit yang tidak tentu sumbernya menyebabkan
produksi rendah. Tanaman hortikultura walaupun produktifitas, tetapi mempunyai dampak
positif terhadap petani, karena hasil panennya sebagian besar dibarter di pasar desa dengan
jenis sembako kebutuhan sehari-hari (beras, minyak goreng).
Komoditas perkebunan (kopi) yang pada umumnya kondisinya sudah tua dan tidak
produktif lagi (1 kg/pohon), kelapa dipanen 3-4 kali/tahun dengan produksi 8-10
buah/pohon/panen dan harga Rp. 500-1000/buah. Kakao produksinya 0,19 ton/ha dengan
harga Rp7000 per kg biji kering, cengkeh 25-40 kg/pohon/tahun, kemiri 2,18 ton/ha dengan
harga Rp.5000/kg, jambu mete 1,45 ton/ha, dijual dalam bentuk gelondongan dengan harga
Rp.6000-7000/kg.
Ayam buras bertelur 2-3 kali/tahun (8-10 butir/per induk), babi beranak 1 kali/tahun
(3-10 ekor anak per induk), dan kambing 3 kali 2 tahun (setiap kali beranak 1-2 ekor/induk).

4. Masalah pertanian yang dihadapi petani


Semua cabang usahatani yang dikelola petani mulai dari usahatani tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, dan usaha ternak masih sangat tradisional.
Tanaman pangan petani hanya melakukan pembersihan, mencangkul seadanya lalu
dilanjutkan penanaman dengan bibit apa adanya secara tugal dan ditanam bersama-sama
dalam satu lubang (misalnya jagung 3-4 biji/lubang). Pemeliharaan selanjutnya hanya
pembersihan ala kadarnya tanpa melakukan pemupukan samasekali. Demikian juga
teknologi budidaya tanaman hortikultura. Keadaan teknologi petani ini (eksisting)
berdampak terhadap produktivitas yang rendah.
Di lain pihak, tanaman perkebunan (seperti kelapa, kemiri, jambu mete) teknologi
budidaya yang dilakukan petani sangat tradisional. Bibit yang digunakan apa adanya dan
pemeliharaan praktis tidak ada. Dari kenyataan yang dilihat, petani yang mau panen, baru
membersihkan lahan tanaman perkebunan,sekedar mempermudah jalan ke tempat tanaman
dan atau sambil mencari produksinya (kemiri). Sama halnya dengan usahaternak,
teknologinya juga sangat tradisional. Pertumbuhan dan bobot badan ternak yang dipelihara
rendah, angka kematian tinggi terutama ayam buras sebagai akibat penyakit tetelo (ND).
Masalah non teknis, yakni petani pada umumnya mempunyai sifat sangat sayang
terhadap tanaman yang kurang produktif padahal produksi sangat rendah. Keadaan sarana
dan prasarana yang masih kurang, menyebabkan sebagian besar hasil panen petani dijual ke
pedagang pengumpul, sehingga keuntungan kecil disamping petani lemah dalam transaksi
penentuan harga. Kios saprodi yang tidak ada dan akses modal yang sangat minim yang
dipunyai petani atau boleh dikatakan tidak ada. Tenaga penyuluh serta informasi teknologi
pertanian yang sangat kurang sampai di tangan petani merupakan masalah petani dalam
rangka peningkatan produktivitas pertanian yang dikelolanya.

5. Inovasi teknologi yang dibutuhkan


Inovasi teknologi cabang usahatani tanaman pangan adalah introduksi dan
pengenalan bibit unggul, pengendalian hama/penyakit terutama walang sangit, penentuan
waktu tanam dan pola tanam, teknologi mengurangi kerebahan tanaman karena terpaan
angin, pemupukan berimbang dan pemanfaatan pupuk organik. Introduksi teras vegetatif
yang dapat berfungsi ganda yaitu juga sebagai pakan sekaligus pemecah angin dan menekan
erosi.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 461
Seminar Nasional 2005

Cabang usaha perkebunan membutuhkan teknologi teknik budidaya (pemangkasan)


jambu mete, perbaikan manajemen produksi kakao (pemangkasan, pengendalian
hama/penyakit, perangsang bunga, pemupukan), pengendalian hama kelapa (Aspidiotus
destructor dan kumbang kelapa). Varietas vanili tahan penyakit busuk batang. Teknologi
penanganan hasil panen kemiri (pengeringan dan pemecah gelondong kemiri). Teknologi
pengolahan gelondong mete menjadi kacang mete dan pemanfaatan limbah perkebunan
(jambu mete dan kakao) sebagai salah satu pakan ternak.
Perbaikan budidaya ternak antara lain dengan nilai gizi pakan, penambahan legum
sebagai suplemen untuk ternak ruminansia (sapi, kuda, dan kambing), penanganan penyakit
SE (babi), penyakit tetelo/ND (ayam), dan penyakit kembung/bloat (kambing), serta sistem
perkandangan ternak.
Sarana pendukung menciptakan lembaga formal yang dapat menyalurkan kredit
untuk modal usahatani, kemudahan mendapatkan sarana produksi, (benih unggul, pupuk, dan
obat-obatan). Kebijakan harga yang berpihak pada petani. Kelompoktani yang ada perlu
difungsikan, sehingga mempermudah untuk pembinaan, proses adopsi inovasi pertanian dan
meningkatkan posisi tawar petani. Aktifitas penyuluhan, baik dari segi tenaga maupun
intensitasnya perlu lebih ditingkatkan dan perbaikan dan pembukaan jalan untuk membuka
isolasi pada beberapa desa.

D. Kelompok Desa Dataran Sedang Berbasis Tanaman Perkebunan


1. Potensi sumberdaya pertanian
Peruntukan lahan sebagian besar untuk perkebunan dan pangan/hortikultura
disamping untuk pemeliharaan ternak (besar dan kecil). Pemilikan lahan ladang/perkebunan
berkisar 0,012 - 0,5 ha dengan rata-rata 0,08 ha. Tingkat kesuburan lahan pada umunya
sedang sampai subur, walaupun masih ada lahan yang tidak subur.

2. Cabang usahatani dominan yang diusahakan


Pertanaman komoditas perkebunan di lapangan masih bentuk campuran yakni
cengkeh, kopi, kakao, kelapa, kemiri, vanili, dan jambu mete. Tanaman pangan pada
umumnya petani mengusahakan padi gogo, jagung, ubikayu, dan ubi jalar. Tanaman
hortikultura yaitu cabe, pisang, jeruk, pepaya, dan nenas. Ternak yang diusahakan sebagian
besar ayam buras, bebek, babi, kambing, sapi, dan kuda. Budidaya semua cabang yang
dikelola para petani masih belum menerapkan teknologi pertanian yang tepat. Pengelolaan
ternak yang masih sangat ekstensif dan penanggulangan penyakit tidak pernah dilakukan
menyebabkan produktivitas rendah dan tingginya angka kematian.

3. Tingkat teknologi umum yang dilakukan


Teknologi budidaya sangat rendah (tidak melakukan pemupukan samasekali).
Usahatani ladang dilakukan sekali setahun waktu musim hujan dan produksi sangat rendah
0,2-0,6 ton/ha dengan rata-rata 0,5 ton/ha. Usahatani palawija (jagung, dan ubikayu)
penggunaan bibit yang tidak tentu sumbernya ditambah teknologi budidaya apa adanya
menyebabkan produksi rendah. Tanaman hortikultura walaupun rendah mempunyai dampak
positif terhadap petani, karena hasil panennya sebagian besar dibarter di pasar desa dengan
jenis sembako kebutuhan sehari-hari (beras, minyak goreng).
Komoditas perkebunan, seperti kopi kondisinya sudah tua (produksi kopi 1
kg/pohon), kelapa dipanen 3 kali/tahun (3-8 buah/pohon/panen) dijual dengan harga
Rp.500/buah, kopra dijual Rp.2.250/kg, kakao produksinya 1 kg biji kering/pohon/tahun
dengan harga Rp.5.000-7000 per kg biji kering, cengkeh (25-40 kg/pohon/tahun), kemiri
100–200 kg/pohon/tahun dengan harga Rp.5000/kg, vanili (0,5 kg basah/pohon/tahun
dengan harga Rp.125.000-300.000/kg)

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 462
Seminar Nasional 2005

Ternak ayam buras bertelur 2-3 kali/tahun (5-10 butir/per induk), babi beranak 1
kali/tahun (3-10 ekor anak per induk), kambing beranak 3 kali dalam 2 tahun (setiap kali
beranak 1-2 ekor), babi umur 6 bulan dapat dijual Rp.200.000-250.000 per ekor. .

4. Masalah pertanian yang dihadapi petani


Semua cabang usahatani yang dikelola petani mulai dari usahatani tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, dan usaha ternak masih bersifat sangat tradisional.
Tanaman pangan dan atau hortikultura, petani hanya melakukan pembersihan lahan,
mencangkul seadanya, penanaman dengan bibit apa adanya secara tugal bersama-sama
dalam satu lubang (misalnya jagung 3-4 biji/lubang). Pemeliharaan selanjutnya hanya
melakukan pembersihan tanpa melakukan pemupukan samasekali. Keadaan teknologi petani
ini (eksisting) berdampak terhadap produktivitas rendah.
Teknologi budidaya tanaman perkebunan (seperti kelapa, kemiri, jambu mete, dan
lain-lain) sangat tradisional. Bibit apa adanya dan pemeliharaan praktis tidak ada. Jarak dan
sistem tanam tidak beraturan, ada yang terlalu rapat, ada yang jarang. Petani yang mau
melakukan panen, dilakukan pembersihan dengan kesan untuk mempermudah jalan ke
tempat tanaman dan atau sambil mencari produksinya (kemiri).
Budidaya usahaternak, yang sangat tradisional menyebabkan produktivitas rendah.
Pertumbuhan dan bobot badan ternak rendah, angka kematian tinggi (ayam buras) sebagai
akibat penyakit tetelo (ND).
Masalah non teknis, petani mempunyai sifat sangat sayang terhadap tanaman
padahal sudah kurang produktif. Sarana dan prasarana yang masih kurang, sebagian besar
hasil panen petani dijual ke pedagang pengumpul menyebabkan keuntungan kecil. Posisi
petani lemah dalam transaksi penentuan harga. Kios saprodi yang tidak ada, ditambah akses
modal petani yang sangat minim atau boleh dikatakan tidak ada. Tenaga penyuluh serta
informasi teknologi pertanian yang sangat kurang sampai di tangan petani mempengaruhi
petani dalam rangka peningkatan produktivitas usahatani yang dikelolanya.

5. Inovasi teknologi yang dibutuhkan


Teknologi budidaya (pemangkasan) jambu mete, teknologi perbaikan manajemen
produksi kakao (pemangkasan, pengendalian hama/penyakit sebagai perangsang bunga,
pemupukan), pengendalian hama kelapa (Aspidiotus destructor dan kumbang kelapa),
introduksi varietas vanili tahan penyakit busuk batang. Penanganan hasil panen kemiri,
(pengeringan dan pemecah gelondong kemiri), pengolahan gelondong mete menjadi kacang
mete serta pemanfaatan limbah perkebunan (jambu mete dan kakao) sebagai salah satu
bahan pakan ternak.
Teknologi usahatani tanaman pangan adalah introduksi dan pengenalan bibit unggul,
pengendalian hama/penyakit terutama walang sangit, penentuan waktu tanam dan pola tanam
yang sesuai, teknologi mengurangi kerebahan tanaman karena terpaan angin, teknologi
pemupukan berimbang dan pemanfaatan pupuk organik. Teknologi teras vegetatif yang
dapat berfungsi ganda yaitu juga sebagai pakan sekaligus pemecah angin dan menekan erosi.
Perbaikan budidaya ternak, antara lain nilai gizi pakan, dengan penambahan legum
sebagai suplemen untuk ternak ruminansia (sapi, kuda, dan kambing), penanganan penyakit
SE (babi), penyakit tetelo/ND (ayam), dan penyakit kembung/bloat (kambing), serta sistem
perkandangan ternak (ayam buras).
Lembaga formal yang dapat menyalurkan kredit untuk modal usahatani, kemudahan
mendapatkan sarana produksi (benih unggul pupuk dan obat-obatan). Kebijakan harga yang
berpihak pada petani dan grading dalam pasca panen. Kelompoktani yang ada perlu
difungsikan untuk mempermudah pembinaan, proses adopsi inovasi pertanian, dan
meningkatkan posisi tawar petani. Aktifitas penyuluhan (tenaga maupun intensitasnya) perlu

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 463
Seminar Nasional 2005

lebih ditingkatkan. Perbaikan dan pembukaan jalan untuk membuka isolasi pada beberapa
desa yang terisolir dan sulit menjangkaunya.

E. Kelompok Desa Dataran Rendah Lahan Basah


1. Potensi sumberdaya pertanian
Tanah pertanian yang diusahakan pada umumnya tanah suku/ulayat yang telah
dibagi oleh kepala suku kepada masyarakat yang mau menggarap dan mereka tetap patuh
pada adat. Secara umum kondisi lahan cukup subur. Potensi lahan sawah dominan baik
irigasi maupun tadah hujan, sedangkan ladang/tegalan ditanami tanaman pangan dan
perkebunan. Rataan luas garapan lahan sawah 0,5 ha, ladang/tegalan 0,5 ha. Petani juga
memelihara ternak terutama di sekitar pekarangan dan di lahan tegalan. Alat pertanian petani
meliputi cangkul, parang dan tofa, sedangkan traktor pengolah tanah dan hand sprayer
terbatas dikelola kelompok

2. Cabang usahatani dominan yang diusahakan


Lahan sawah irigasi adalah padi sawah dengan pola tanam dua kali setahun dan di
galangan banyak ditanam jenis pisang (kepok dan barangan). Lahan sawah tadah hujan padi
dan palawija (kacang hijau) dengan pola tanam sekali setahun, lahan tegalan padi gogo,
jagung lokal, kacang hijau dan sayuran. Tanaman perkebunan yang banyak tumbuh adalah
jambu mente, kakao, dan kelapa.
Ternak yang dipelihara sapi, kerbau, kambing, dan babi. Ternak unggas(ayam buras
dan bebek). Produksi ternak yang dipelihara umumnya rendah.
Kegiatan di luar pertanian yang dilakukan oleh masyarakat mempunyai kegiatan
pertukangan, pedagang papalele (pedagang keliling), dan buruh. Kegiatan ini merupakan
sumber tambahan pendapatan

3. Tingkat teknologi yang umum dilakukan


Pola tanam yang diterapkan di ladang adalah tanaman semusim sekali setahun (padi
gogo+jagung+labu+kacang nasi+ubi kayu). Setelah panen jagung dan padi gogo serta
tanaman lainnya, tanah dibiarkan bero kemudian dibersihkan lagi sebagai periode persiapan
lahan pada saat hujan akan turun (Bulan September-Oktober). Sesudah hujan telah turun dan
dianggap tanah telah cukup basah, penanaman dilakukan tanpa jarak tanam yang teratur (zig-
zag) dan cara tanam campuran.
Di lahan sawah yang mendapatkan air cukup penanaman dapat dilakukan dua kali
(IP 200) setahun, sedangkan yang kurang mendapatkan air (sawah tadah hujan) penanaman
hanya sekali dalam setahun. Pengolahan tanah menggunakan hand traktor atau kerbau.
Jumlah hand traktor yang sangat terbatas dan dikelola kelompok. Varietas padi yang ditanam
IR 64, Membramo dan C4. Sebagian petani belum melakukan pemupukan karena
kekurangan modal dan belum memahami teknologi pemupukan, sehingga hasil kurang baik.
Sebagian petani telah menerapkan jarak tanam yang teratur (20 x 20 cm) dan pemupukan
kendatipun tidak sesuai dosis. Sebagian petani telah melakukan pemupukan pada tanaman
padi dengan dosis Urea 250 kg/ha, SP 36 150 kg/ha, KCl 100 kg/ha. Pada musim tanam
kedua, selain padi, sebagian petani mengusahakan tanaman terung, tomat, dan cabe.
Produksi padi sawah yang menerapkan teknologi anjuran dapat menghasilkan 6 ton/ha,
tetapi kebanyakan petani masih secara tradisional, produktivitasnya 3 ton/ha. Produksi
kacang hijau mencapai 350 kg/ha.
Usahatani tanaman pangan di lahan kering/tegalan juga dilakukan oleh sebagian
warga, diawali pembersihan lahan baik lahan lama maupun lahan bukaan baru. Ketika lahan
telah bersih, tinggal menunggu hujan turun untuk penanaman. Penanaman jagung dan padi
gogo dilakukan cara tugal, jarak tanam tidak beraturan. Pemeliharaan selanjutnya hanya

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 464
Seminar Nasional 2005

membersihkan rumput-rumput liar. Produksi jagung 2 ton/ha, padi ladang 1 ton/ha. Jagung
dan padi sebagian besar dimanfaatkan untuk konsumsi rumah tangga.
Kelapa mendominasi lahan dataran, jambu mete, dan kakao ditanam di dataran juga
di lereng-lereng dan diantara rumpun kelapa. Buah kelapa dipakai untuk kopra dan diolah
menjadi minyak kelapa. Budidaya dan pasca panen belum berjalan baik. Petani menjual biji
kakao yang dikeringkan dengan matahari. Panen kelapa 3 kali dalam satu tahun (5-8 butir
kelapa/pohon tiap panen). Untuk medapatkan 1 kg kopra diperlukan 4 butir kelapa dan
minyak kelapa 1 liter dibutuhkan 11 butir kelapa. Produksi jambu mete 5-10 kg/pohon dijual
dalam bentuk gelondongan. Pada pohon yang sudah berumur > 7 tahun produksi gelondong
mete mencapai 10 kg per pohon.
Ternak yang dipelihara meliputi kerbau, sapi, kambing, babi, dan ayam umumnya
masih dipelihara tradisional. Ternak ruminansia (besar dan kecil) dipelihara dengan cara ikat
pindah. Produktivitas ternak rendah, yaitu babi beranak sekali dalam satu tahun, ayam dan
itik bertelur dua kali setahun, dan kambing beranak tiga kali dalam waktu dua tahun.

4. Masalah pertanian yang dihadapi petani


Secara umum usahatani tanaman pangan masih belum menerapkan teknologi yang
dianjurkan, seperti bibit lokal, tetapi pemeliharaan yang baik sampai panen dan pasca panen
yang tidak memadai menyebabkan produksi rendah. Teknologi penanganan hama penyakit
padi dan pemupukan belum dikuasai petani. Penanaman serempak sulit dilakukan karena
kendala terbatasnya traktor pengolah tanah.
Jambu mete dijual petani dalam bentuk gelondongan karena pengupasan sulit
dilakukan sehingga harganya rendah. Buah semu belum dimanfaatkan secara optimal
sekedar untuk bahan campuran pakan babi dan kambing yang diberikan apa adanya atau
dibuang.
Pemeliharaan ternak belum dilakukan dengan baik, terutama sistem perkandangan,
pemberian pakan, penanganan penyakit, dan pemisahan anak. Dampak yang diperoleh,
produksi rendah.
Saluran irigasi yang ada belum berfungsi dengan optimal karena masalah konstruksi
saluran yang kurang tepat, mengakibatkan banyak areal sawah dan areal pertanian lainnya
tidak dapat diairi dengan baik. Transportasi antar desa dapat terputus terutama pada musim
penghujan, karena jembatan balum ada, sehingga menyulitkan pengangkutan keperluan
pertanian dan pemasaran hasil sulit. Harga jual produk pertanian masih banyak ditentukan
oleh pembeli. Komoditas perkebunan (jambu mete, kakao, dan kelapa) pembeli menentukan
harga yang sama untuk kualitas bagus dengan kualitas jelek, sedangkan harga mengacu pada
kualitas jelek. Kelompok tani yang ada tidak berfungsi dengan baik dan kegiatan penyuluhan
baik dari segi jumlah maupun frekuensinya masih sangat terbatas, sehingga proses adopsi
teknologi tidak berjalan dengan baik

5. Inovasi teknologi yang dibutuhkan


Usahatani tanaman pangan memerlukan inovasi teknologi bibit padi IR 64, C4 dan
Memberamo yang baru, teknologi pengendalian hama padi (walangsangit, penggerek batang,
keong mas dan tikus). Usahatani padi diperlukan alat pengolah tanah dan penyiang rumput
yang praktis dan mudah diterapkan petani. Menanggulangi kehilangan hasil panen padi
diperlukan alat perontok padi yang sederhana. Limbah jerami padi yang banyak tersedia di
lapangan dapat diupayakan untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi dan kerbau.
Teknologi pasca panen seperti kacip pengupas gelondong mete menjadi kacang
mete, pengendalian hama/penyakit terutama pada kakao (Helopelthis) dan jambu mete (mati
pucuk). Peningkatan nilai tambah pada pada limbah kulit buah kakao maupun buah semu
jambu mete diperlukan teknologi pemanfaatan limbah tersebut sebagai pakan ternak.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 465
Seminar Nasional 2005

Teknologi komoditas peternakan adalah penanganan penyakit, yakni vaksinasi ND


(tetelo) pada ayam, penanganan antrax pada sapi dan kerbau, penyakit menceret dan
kembung pada kambing dan babi. Budidaya perkandangan, pemberian pakan yang
berimbang, dan sanitasi.
Sarana pendukung perlu adanya pengerukan waduk dan perbaikan saluran irigasi
sehingga potensi lahan sawah dapat dioptimalkan. Sarana jalan membuka isolasi desa ke
ibukota kecamatan terutama pada musim penghujan. Tambahan traktor, penyiang rumput,
dan perontok padi akan sangat membantu dalam usahatani padi. Sistem kredit saprodi
(pupuk dan pestisida) dan pembinaan/pendampingan teknologi serta pemberdayaan
kelompok tani perlu lebih ditingkatkan.

F. Kelompok Desa Dataran Rendah Lahan Kering


1. Potensi sumberdaya pertanian
Jenis lahan yang dikuasai penduduk meliputi pekarangan, kebun, dan ladang dengan
rata-rata kepemilikan berturut-turut 150 m2, sekitar 2 ha, dan sekitar 0,5 ha. Sebagian besar
petani memiliki penguasaan kebun/ladang lebih dari satu persil dan diusahakan secara rotasi.
Status tanah pertanian tersebut umumnya tanah suku yang telah dibagi oleh tetua suku
dengan turun temurun pada generasi berikutnya. Peruntukan lahan, terutama dengan
komoditas perkebunan dan tanaman pangan (lahan tegalan). Lahan pekarangan dipelihara
ternak (babi dan ayam buras). Ternak lainnya sapi, kambing, dan kerbau.

2. Cabang usahatani dominan yang diusahakan


Usahatani perkebunan adalah jambu mete, kelapa, dan kakao yang pengelolaannya
masih jauh dari penerapan teknologi. Komoditas tanaman pangan diusahakan pada lahan
tegalan adalah padi ladang jagung, ubi kayu, dan kacang-kacangan. Tanaman hortikultura
ditanam secara campuran adalah sayur-sayuran, mentimun, terong, dan pisang. Jenis ternak
yang banyak dipelihara babi, ayam, kambing, dan sapi. Kegiatan di luar pertanian yang
dilakukan oleh masyarakat desa adalah pedagang papalele dan tukang.

3. Tingkat teknologi yang umum dilakukan


Tanaman tahunan masih tradisional, baik dari sisi agronomis maupun penanganan
hasil/pasca panen. Budidaya dan pemeliharaan masih sangat terbatas teknologinya, yaitu
jarak tidak beraturan dan campuran. Jambu mete dijual dalam bentuk gelondong dan belum
ada alat pasca panen pengacipan kacang mete. Produksi jambu mete 2-5 kg/pohon/tahun,
kelapa 10 butir/pohon/tahun dan kakao 3 kg/pohon/tahun
Produktivitas tanaman pangan yang diusahakan petani masih rendah, yaitu padi
ladang 0,5-1 ton/ha, jagung masih dibawah 1 ton/ha. Tanaman sayuran dan kacang-
kacangan ditanam dalam jumlah sedikit di campur dengan penanaman padi dan jagung.
Pola tanam yang diterapkan adalah tanaman semusim sekali setahun (padi
ladang+jagung+ubi kayu+kacang panjang). Setelah panen padi ladang, jagung, dan ubi kayu
serta tanaman lainnya, tanah dibiarkan bero. Kemudian membersihkan lagi untuk periode
persiapan lahan ketika hujan akan turun (Bulan September-Oktober). Setelah hujan turun
atau dianggap tanah telah cukup basah dilakukan penanaman secara tugal, tanpa jarak tanam
yang teratur (zig-zag) dan bercocok tanam campuran.
Tanaman pangan diawali pembersihan lahan baik lahan lama maupun lahan bukaan
baru sampai sisa-sisa tanaman lama, dikumpulkan dan selanjutnya dibakar. Ketika lahan
telah bersih, tinggal menunggu hujan turun untuk mulai dilakukan penanaman. Penanaman
tanaman pangan dilakukan cara tugal dan tanam stek tanpa jarak tanam yang teratur.
Pemeliharaan hanya membersihkan rumput-rumput liar. Pemberantasan hama, penyakit dan
lain sebagainya tidak dilakukan petani. Pemanenan dilakukan secara manual, yaitu
membersihkan hasil panen dan diangkut ke rumah, dijemur dan disimpan.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 466
Seminar Nasional 2005

Pemeliharaan ternak dilakukan masih tradisional antara lain belum ada upaya
vaksinasi untuk menangani masalah penyakit, teknologi kandang, pemisahan anak, dan
penyediaan pakan yang tepat, sehingga produktivitasnya masih rendah. Ayam buras hanya
mampu berproduksi 10 butir telur dengan periode bertelur 2-3 kali/tahun, sedangkan
kambing beranak 2 – 3 kali dalamn 2 tahun

4. Masalah pertanian yang dihadapi petani


Secara teknis masalah komoditas perkebunan adalah rendahnya produktivitas dan
kualitas hasil sebagai akibat petani tidak menguasai dan memahami arti penerapan teknologi
budidaya yang baik, terutama dalam hal seleksi benih/bibit, jarak tanam, pemupukan,
penanganan masalah hama penyakit, dan penanganan pacsa panen yang tepat dan efisien.
Bibit tidak diupayakan secara khusus, artinya asal ada biji yang tumbuh langsung dipakai
sebagai bibit. Jarak tanam umumnya terlalu rapat. Pada tanaman kakao dan jambu mente
tidak dilakukan penangkasan untuk menghilangkan bagian tanaman yang kurang produktif
maupun untuk merangsang pembuahan. Pasca panen jambu mete petani belum mampu,
sehingga hasil jambu mete dijual dalam bentuk gelondongan. Pengeringan kopra hanya
mengandalkan panas matahari dan bila hujan turun kopra tersebut tidak dipindahkan,
sehingga kualitas kopra kurang bagus.
Rendahnya produktivitas padi, jagung, dan palawija disebabkan petani masih belum
menggunakan varietas bermutu. Pemupukan tidak dilakukan oleh petani dengan alasan sulit
mendapatkan pupuk dan biayanya mahal dan pengendalian hama penyakit. Karena
keterbatasan air pada musim kemarau, petanaman hanya dapat dilakukan sekali setahun
dengan sistem tanam campuran dengan jarak tanam yang tidak beraturan.
Pada ternak ayam buras seringkali terserang penyakit ND terutama pada pergantian
musim menyebabkan tingginya kematian anak ayam. Sistem perkandangan ternak tidak
dilakukan dan penyediaan pakan yang tidak bermutu menyebabkan produksi rendah.
Kelembagaan pendukung (formal dan non formal) yang mempunyai akses terhadap
sumber perkreditan di desa tidak tersedia. Demikian pula pasar desa atau toko yang menjual
sarana input maupun membeli output dari pertanian. Kelompok tani yang ada belum
mempunyai program kerja yang jelas, hanya sebatas kegiatan gotong royong. Tenaga
penyuluh untuk pendampingan teknologi terbatas.
Pemasaran hasil pertanian masih terbatas untuk tanaman tahunan dan ternak. Harga
ditentukan oleh pembeli/tengkulak. Jalan desa baik dari segi jumlah maupun kualitas
terutama untuk menjangkau pemukiman yang jauh dan berada di perbukitan/ pegunungan
masih jauh dari harapan. Akses informasi sangat terbatas seperti televisi radio baru sebagian
kecil yang memiliki dalam arti belum tersedia.

5. Inovasi teknologi yang dibutuhkan


Usahatani tanaman tahunan petani memerlukan inovasi teknik budidaya (jambu
mete, kelapa, dan kakao) yang praktis dan mudah diterapkan oleh petani. Pasca panen jambu
mete (teknologi pengacipan dan pengolahan hasil buah semu menjadi diversifikasi produk),
kelapa (teknologi pengeringan kopra dan minyak kelapa). Teknologi pengolahan limbah
kelapa, seperti sabut dan batok kelapa untuk tambahan pendapatan keluarga dan dengan
limbah jambu mete (daging buah) untuk dapat diproses menjadi minuman atau suplemen
pakan ternak.
Usahatani tanaman pangan perlu pengenalan bibit unggul bermutu (padi ladang,
jagung, dan kacang-kacangan). Teknologi budidaya terutama penanganan hama/penyakit.
Teknologi panen dan pasca panen terutama untuk menekan kehilangan hasil.
Pada usahaternak diperlukan teknologi budidaya terutama penanganan penyakit,
kandang, dan teknologi pakan dengan bahan baku yang tersedia di lokasi. Penerapan
teknologi ini akan meningkatkan produktivitas ternak.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 467
Seminar Nasional 2005

Menciptakan lembaga formal yang dapat menyalurkan kredit untuk modal usahatani,
kebijakan harga yang berpihak pada petani. Pembinaan dan pemberdayaan kelompok tani,
sehingga mempermudah proses adopsi inovasi pertanian, meningkatkan aktifitas penyuluhan
(tenaga maupun intensitasnya). Perlu adanya perbaikan/pembukaan jalan pada beberapa
desa yang terisolir dan sulit dijangkau untuk memudahkan petani dalam pengangkutan
keperluan pertanian dan pemasaran hasilnya. Pada daerah berlereng yang rawan longsor
diperlukan sarana penahan longsor. Peningkatan nilai tambah pada hasil panen tanaman
perkebunan diperlukan alat pengering kopra, kacip pemecah gelondongan jambu mete.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan hasil kajian di Kabupaten Ende dapat diperoleh
beberapa kesimpulan, antara lain :
1. Kondisi wilayah Ende umumnya dicirikan oleh wilayah terdiri dari daerah datar,
berbukit hingga bergunung dengan curah hujan rendah (Desember- Maret).
2. Tingkat kemampuan sumberdaya manusia petani dalam kegiatan usahataninya masih
sangat terbatas. Mata pencaharian utama bertani dan hasil usahataninya tidak cukup
memenuhi kebutuhan satu tahun. Petani pada umumnya belum menyiapkan uang tunai
sebagai modal berusahatani. Pemilikan sarana dan alat pertanian (cangkul, linggis, dan
tofa) masih sangat minimum.
3. Akses petani terhadap kelembagaan permodalan lainnya masih sangat terbatas.
Kelompok tani secara operasional di setiap desa sudah ada masih tergolong kelas
pemula. Penyuluhan pertanian masih sangat kurang, baik kunjungan maupun intensitas
dan materi penyuluhan masih belum menyentuh kebutuhan petani.
4. Kondisi jalan utama dan antar dusun masih kurang kondusif terutama waktu musim
hujan, sehingga masih banyak dusun yang sangat sulit dijangkau. Jaringan komunikasi
terbatas di sekitar kota kabupaten dan kecamatan, sedangkan di desa baru sebagian kecil
yang mempunyai televisi dan radio.
5. Komoditas pangan yang diusahakan meliputi padi sawah, padi gogo, jagung,ubikayu,
dan kacang-kacangan. Tanaman perkebunan, yaitu kemiri, kakao, kelapa, kopi,dan
jambu mete. Sedangkan usahaternak yang dipelihara, yaitu : ayam buras, babi, kambing,
dan sapi. Teknologi budidaya petani masih sangat rendah dan tradisional. Pemilikan
pengetahuan dan ketrampilan petani tentang teknologi pertanian masih rendah
mengakibatkan produktivitas komoditas yang dikelola masih rendah. Pemasaran hasil
pertanian terbatas pada tanaman tahunan dan ternak, sedangkan tanaman pangan dan
hortikultura sebagian besar hanya pemenuhan kebutuhan sendiri (subsistence).
6. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani melalui pelatihan-pelatihan teknologi
pertanian terutama budidaya dan pasca panen hasil komoditas pertanian yang dikelola.
Perlu komitmen yang bersifat komprehensif namun holistik dari seluruh partisipan yang
terlibat. Pengadaan dan peningkatan transportasi jalan antar dusun pemukiman di setiap
desa perlu dilakukan.
7. Perlu kebijakan (regulasi) terhadap pemasaran hasil pertanian (bargaining position).
Konservasi lahan yang mempunyai tingkat kemiringan lebih 45 derajat sangat perlu
diupayakan (pembuatan teras) seperti teras vegetatif.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 468
Seminar Nasional 2005

DAFTAR PUSTAKA

BPS Kabupaten Ende. 2000. Ende Dalam Angka Tahun 2002. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Ende.
BPS Kabupaten Ende. 2003. Statistik Pertanian Kabupaten Ende 2002. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Ende
BPS Kabupaten Ende. 2002. Kecamatan Detusoko Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Ende.
BPS Kabupaten Ende. 2002. Kecamatan Ende Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Ende.
BPS Kabupaten Ende. 2002. Kecamatan Nangapanda Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Ende.
BPS Kabupaten Ende. 2002. Kecamatan Wolojita Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Ende.
BPS Kabupaten Ende. 2002. Kecamatan Wewaria Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Ende.
BPMD Kabupaten Ende. 2003. Profil Desa Ndetundora I, 2003. Badan Pemberdayaan
Masyarakat Desa Kabupaten Ende.
BPMD Kabupaten Ende. 2003. Profil Desa Wologai Timur, 2003. Badan Pemberdayaan
Masyarakat Desa Kabupaten Ende.
BPMD Kabupaten Ende. 2003. Profil Desa Pora, 2003. Badan Pemberdayaan Masyarakat
Desa Kabupaten Ende.
BPMD Kabupaten Ende. 2003. Profil Desa Tendarea, 2003. Badan Pemberdayaan
Masyarakat Desa Kabupaten Ende.
BPMD Kabupaten Ende. 2003. Profil Desa Mautenda, 2003. Badan Pemberdayaan
Masyarakat Desa Kabupaten Ende.
Distannak Kabupaten Ende. 2004. Laporan Tahunan Dinas Pertanian dan Peternakan Tahun
2003. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Ende.
Hermanto S. Friatno, A. Mintoro. 1999. Pokok-pokok Pemikiran tentang model penanggulan
kemiskinan nelayan. (Prosiding Kemiskinan di Pedesaan: Masalah dan Alternatif
Penanggulangannya) PSE- Bogor. 1999.
Togatorop, MH, R. Hendayana, W. Sudana, A, Dhalimi, A. Zozali, NA, B. Rachman, A.
Subaidi, A. Saleh, M. Djaeni, I. Priyadi. 2003. Laporan Akhir Pengembangan
inovasi dan diseminasi teknologi pertanian untuk pemberdayaan petani miskin pada
lahan marginal. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 469
Seminar Nasional 2005

SISTEM USAHATANI UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN


PADA LAHAN KERING DATARAN TINGGI DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR

I. M. Wisnu W, Prisdiminggo, Arief Surachman


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
Jln. Raya Peninjauan Narmada NTB
Telp. (0370) 67112, Fax (0370) 671620 E-mail: litram@mataram wasantara net.id

ABSTRAK

Luas Kabupaten Lombok Timur 2.679,88 km2, terdiri dari daratan 1.605,55 km2 dan lautan 1.074,33
km2. Agroekosistemnya berupa lahan kering dataran rendah, lahan kering dataran tinggi, lahan sawah tadah hujan
dan lahan sawah irigasi baik sederhana, setengah teknis maupun teknis. Dalam kajian ini dibahas sistem
usahatani pada lahan kering dataran tinggi yang berbatasan dengan hutan. Desa Sajang dengan luas ± 4.239 ha,
merupakan salah satu desa yang terleak di Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur yang memiliki
agroekosistem lahan kering dan berbatasan dengan hutan. Tataguna lahan di Desa Sajang dibagi menjadi lahan
sawah irigasi teknis 250 ha, irigasi setengah teknis ± 50 ha; tegalan/ladang 250 ha dan tanah perkebunan rakyat
595 ha; pemukiman ± 17 ha, hutan Taman Nasional Gunung Rinjani ± 100 ha dan hutan lindung 432 ha.
Komoditas tanaman pangan dominan diusahakan petani adalah jagung, bawang merah dan bawang putih;
tanaman perkebunan dominan adalah kopi, vanili dan coklat; ternak yang banyak diperlihara petani adalah sapi
dan ayam buras. Pengkajian ini bertujuan untuk menganalisis sistem usahatani, analisis sistem ketahanan pangan
dan analisis strategi ketahanan pangan rumah tangga serta sisntesis sistem usahatani. Pengkajian dilakukan pada
tahun 2004 di Desa Sajang Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur. Pendekatan pengkajian ini adalah
studi kasus, data dikumpulkan dengan teknik diskusi kelompok secara partisipatif dan wawancara mendalam.
Data terkumpul dianalisis dengan metoda diskriptif kualitatif. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa tidak
terintegrasinya komoditas yang diusahakan kedalam suatu sistem usahatani, lemahnya ketahanan pangan dan
tidak adanya sumber pendapatan mingguan dan bulanan yang dapat diterima secara berkesinambungan dari
usahataninya merupakan penyebab petani kesulitan membiayai usahataninya dan hidupnya sehari-hari.
Kata Kunci: Sistem usahatani, ketahanan pangan, strategi rumah tangga, dan lahan kering

PENDAHULUAN

Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu kabupaten yang menjadi wilayah
Provinsi Nusa Tenggara Barat, dengan luas wilayah 2.679,88 km2 yang terdiri dari daratan
seluas 1.605,55 km2 dan lautan seluas 1.074,33 km2. Posisi geografis Kabupaten Lombok
Timur antara 116° – 117° BT dan 08° – 09° LS. Daerah ini berbatasan dengan Kabupaten
Lombok Tengah dan Lombok Barat di sebelah Barat, Laut Jawa di sebelah Utara, Selat Alas
di sebelah Timur, dan Samudra Indonesia di sebelah Selatan. Secara administratif Lombok
Timur terdiri dari 20 kecamatan, yaitu: Keruak, Jerowaru, Sakra, Sakra Barat, Sakra Timur,
Terara, Montong Gading, Sikur, Masbagik, Pringgasela, Sukamulia, Suralaga, Selong,
Labuhan Haji, Pringgabaya, Suela, Aikmel, Wanasaba, Sembalun, dan Sambelia. Pusat
pemerintahannya di Kota Selong, yang berjarak ± 52 km dari ibu kota Provinsi
NusaTenggara Barat, Mataram (BPS Lombok Timur, 2003).
Landform Kabupaten Lombok Timur dikelompokkan menjadi empat grup fisografi
yaitu grup aluvial, marin, volkan, dan karts yang menghasilkan 15 satuan landform. Bentuk
wilayahnya beragam, mulai dari datar 1.813 ha (1,13%), agak datar 32.309 ha (20,14%),
berombak 33.904 ha (21,14%), bergelombang 23.430 ha (14,60%), berbukit kecil 3.118 ha
(1,94%), berbukit 17.258 (10,76%), bergunung 42.959 ha (26,78%) dan aneka 5.642 ha
(3,51) (Alkusuma, dkk., 2004).
Wilayah datar sampai berombak umumnya terdapat di bagian tengah dan timur, di
Kecamatan Masbagik, Wanasaba, Selong, Keruak, Labuhan Haji, Pringgabaya, dan sebagian
Sambelia. Wilayah bergelombang, dan berbukit kecil umumnya terdapat di sebelah barat
terutama di Sakra, Montong Gading, dan Jerowaru. Wilayah berbukit umumnya terdapat di
bagian selatan (perbukitan karts) dan di bagian utara (lereng tengah volkan G. Rinjani).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 470
Seminar Nasional 2005

Sedangkan wilayah bergunung dijumpai di bagian utara, yaitu lereng atas dan kerucut
volkan.
Data dari kantor statistik pemerintah daerah Kabupaten Lombok Timur (BPS Lotim,
2002), membagi tataguna lahan Kabupaten Lombok Timur menjadi beberapa penggunaan,
yaitu sawah, dibedakan menjadi dua: sawah irigasi 25.527 ha (15,91%) dan sawah tadah
hujan 25.176 ha (15,69%); lahan kering dibedakan menjadi lahan kering berteras 35.852 ha
(22,36%) dan lahan kering tanpa teras 9.398 ha (5,86%); lahan basah untuk penggaraman
dan tambak seluas 1.325 ha (0,82%) dan Taman Nasional berupa hutan primer 24.491 ha
(15,27%); hutan lindung berupa hutan primer dan belukar 33.023 ha (20,58%) dan lain-lain
seluas 5.562 ha (3,51%). Jadi wilayah kabupaten ini sebagian besar berupa hutan dan lahan
kering.
Salah satu desa di Kabupaten Lombok Timur dengan agroekosistem lahan kering,
terletak di daerah pinggiran hutan dengan sistem pertanian berbasis perkebunan adalah Desa
Sajang. Desa ini termasuk wilayah Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur. Desa-
desa lain di kabupaten ini yang memiliki agroekosistem sama dengan Desa Sajang adalah
Sembalun Lawang, Sembalun Bumbung, Montong Betok, Kilang, Perian, Pringgajurang,
Kembang Kuning, Jurit, Tete Batu, Pengadangan, Lenek Daya, Aikmel Utara, Karang Baru,
Sapit, Perigi, Labuhan Lombok, Sambelia, Belanting dan Obel-Obel. Pengkajian ini
bertujuan untuk menganalisis sistem usahatani, analisis sistem ketahanan pangan dan analisis
strategi ketahanan pangan rumah tangga serta sisntesis sistem usahatani

METODOLOGI

Pengkajian dilaksanakan di Desa Sajang Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok


Timur propinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2004. Responden terdiri dari key informan
(informan kunci) atau mereka yang mengetahui secara lengkap mengenai permasalahan
pertanian yang ada di desa tersebut. Informan kunci yang terlibat dalam pengkajian ini terdiri
dari: kepala dusun, PPL, ketua kelompok tani, ketua kelompok wanita tani, petani maju,
petani kurang maju.
Pendekatan pengkajian adalah studi kasus, data dikumpulkan dengan teknik diskusi
kelompok secara partisipatif dan wawancara mendalam. Wawancara mendalam merupakan
proses triangulasi dari hasil diskusi kelompok. Data sekunder dikaji dengan cara deskwork
study. Data yang terkumpul dianalisis dengan metoda diskriptif kualitatif yaitu narasi dan
pemaknaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Daerah Pengkajian


Dari hasil interpretasi Peta Pewilayah Komoditas Kabupaten Lombok Timur,
Alkusuma, dkk (2003), diketahui luas wilayah Desa Sajang 4.592,28 ha. Lahan yang ada di
desa ini diklasifikasikan menjadi lahan kering berteras seluas 305,21 ha, lahan kering tanpa
teras 2.431,20 ha, hutan 1.842,06 ha dan pemukiman 13,81 ha. Soil Survey Staffs (1998),
mendifinisikan lahan kering sebagai hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau
digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun. Dipertegas oleh Utomo
(2002) dalam Suwardji, dkk., (2003) mendifinisikan lahan kering (upland, rainfed) sebagai
hamparan lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan air, baik secara permanen maupun
musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi. Dari pengertian di atas, maka jenis
penggunaan lahan yang termasuk kelompok lahan kering mencakup sawah tadah hujan,
tegalan, ladang, kebun campuran, perkebunan, hutan, semak, padang rumut dan padang
alang-alang (Suwardji, dkk., 2003). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa luas lahan
kering di Desa Sajang (tidak termasuk pemukiman) seluas 4.578,47 ha.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 471
Seminar Nasional 2005

Rata-rata penguasaan lahan sawah tadah hujan relatif sempit 0,10 – 0,25 ha per KK,
penguasaan lahan perkebunan dan lahan untuk tanaman buah-buahan lainnya antara 0,25 –
0,50 ha per KK. Apabila dibandingkan antara luas lahan pertanian dengan jumlah KK yang
bermata pencaharian di bidang pertanian 2.741 rumah tangga maka dapat dipastikan bahwa
penguasaan lahan oleh setiap rumah tangga petani di Desa Sajang adalah relatif sempit.
Sebagian tanah yang ada di Desa Sajang sudah disertifikasi melalui Prona pada tahun 1996
dan 1997 sedangkan sertifikasi tanah melalui proyek IFAD tahun 2001 dan tahun 2002.
Jumlah rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian 1.790 orang, yaitu petani
pemilik 1.200 orang, petani penggarap 110 orang, petani peternak 480 orang dan yang
bekerja sebagai buruh tani ± 950 orang. Sebagian besar buruh tani tidak memiliki dan tidak
menggarap lahan orang lain sehingga sumber pendapatannya hanya bersumber dari menjual
jasa tenaga kerja.

Karakteristik Agroekosistem
Melalui interpretasi Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zona
Agroekologi Kabupaten Lombok Timur Skala 1 : 50.000 yang disusun Alkusuma, dkk
(2003), diketahui luas sebaran lahan kering berdasarkan ketinggiannya di Desa Sajang
seperti tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Sebaran Lahan Kering Berdasarkan Ketinggian di Desa Sajang Kecamatan Sembalun Kabupaten
Lombok Timur.

Dataran Rendah (≤ 700 m Dataran Tinggi (> 700 m


Penggunaan Lahan dpl) dpl) Jumlah (ha)
Luas (ha) (%) Luas (ha) (%)
Pemukiman 13,811 0,30 - - 13,81
Lahan Kering Teras 305,211 6,65 - - 305,21
Lahan Kering Tanpa Teras 1.473,849 32,09 957,350 20,85 2.431,20
Hutan - - 1.842,06 40,11 1.842,06
Jumlah 1.792,87 39,04 2.799,082 60,96 4.592,28
Sumber: Alkusuma, dkk., 2003 Diolah.

Hendri Sosiawan (1997) dalam Metodologi Penyusunan Peta Zona Agroekologi


mengklasifikasikan suatu daerah sebagai daerah dataran rendah bila mempunyai ketinggian
≤700 m dpl dan daerah dataran tinggi bila mempunyai ketinggian >700 m dpl. Dari Tabel 1
diketahui bahwa sebagian besar (60,96%) wilayah Desa Sajang merupakan dataran tinggi
dan sisanya (39,04%) merupakan daerah dataran rendah. Rezim suhu di Desa Sajang
ditentukan menggunakan pendekatan ketinggian dimana daerah dengan ketinggian ≤700 m
dpl digolongkan sebagai daerah yang memiliki rezim suhu panas sedangkan daerah yang
berada pada ketinggian >700 m dpl memiliki rezim suhu sejuk (Hendri Sosiawan, 1997).
Dengan demikian maka sebagian besar wilayah Desa Sajang digolongkan sebagai daerah
yang dominan memiliki rezim suhu sejuk karena berada di atas ketinggian 700 m dpl,
sedangkan sisanya memiliki rezim suhu panas. Secara lebih terinci karakteristik lahan di
Desa Sajang disajikan pada Tabel 2.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 472
Seminar Nasional 2005

Tabel 2. Karakteristik lahan di Desa Sajang Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur, 2005.
Luas
Landuse Lereng Ketinggian Land-Form Bhn Induk Relief Solum Drainage Tekstur Ph Tanah Jenis Tanah Kelembaman
(ha)
Lahan Kering Agak Tekstur
3-5 0-400 Aliran Lahar Andesit Berombak Dalam Netral Typic Haplustepts Ustik
Teras 300,16 Cepat/Baik Sedang
Lahan Kering Aluvium Tekstur
3-5 0-400 Kipas Aluvial Berombak Sedang Agak Cepat Netral Typic Haplustepts Ustik
Teras 5,05 Halus Sedang
Lahan Kering Tekstur Agak
3-5 >1200 Aliran Lahar Andesit Berombak Dalam Agak Cepat Typic Ustivitrands Ustik
Tanpa Teras 2,68 Sedang Masam
Lahan Kering Tekstur
8-15 0-400 Aliran Lahar Andesit Bergelombang Sedang Baik Netral Typic Haplustepts Ustik
Tanpa Teras 802,47 Halus
Lahan Kering Tekstur
8-15 400-700 Aliran Lahar Andesit Bergelombang Dalam Baik Netral Typic Haplustepts Ustik
Tanpa Teras 221,34 Halus
Lahan Kering Tekstur Agak
8-15 700-1200 Aliran Lahar Andesit Bergelombang Dalam Baik Typic Ustivitrands Ustik
Tanpa Teras 370,31 Sedang Masam
Lahan Kering Tekstur Agak
8-15 700-1200 Aliran Lahar Andesit Bergelombang Dalam Baik Typic Ustivitrands Ustik
Tanpa Teras 278,84 Sedang Masam
Lahan Kering Tekstur Agak
8-15 700-1200 Aliran Lahar Andesit Bergelombang Dalam Baik Typic Ustivitrands Ustik
Tanpa Teras 0,36 Sedang Masam
Tekstur Agak
Hutan 8-15 700-1200 Aliran Lahar Andesit Bergelombang Dalam Baik Typic Ustivitrands Ustik
407,30 Sedang Masam
Lahan Kering Tekstur Agak Typic
15-30 400-700 Aliran Lahar Andesit Berbukit Dalam Agak Cepat Ustik
Tanpa Teras 450,04 Kasar Masam Ustipsamments
Lahan Kering Tekstur Agak
15-30 >1200 Aliran Lahar Andesit Berbukit Dalam Baik Typic Ustivitrands Ustik
Tanpa Teras 305,16 Sedang Masam
Tekstur Agak
Hutan 15-30 >1200 Aliran Lahar Andesit Berbukit Dalam Baik Typic Ustivitrands Ustik
523,61 Sedang Masam
Tekstur Agak Typic
Hutan 15-30 700-1200 Aliran Lahar Andesit Berbukit Dalam Agak Cepat Ustik
140,54 Kasar Masam Ustipsamments
Lereng
Tekstur
Hutan 30-75 400-700 Volkan Andesit Bergunung Dalam Agak Cepat Netral Typic Haplustands Ustik
5,33 Sedang
Tengah
Tekstur Agak
Hutan >75 >1200 Kaldera Andesit Bergunung Dalam Agak Cepat Typic Hapludands Udik
111,11 Sedang Masam
Lereng Abu Tekstur Agak
Hutan >75 >1200 Bergunung Dalam Baik Humic Udivitrands Udik
654,17 Volkan Atas Volkan Halus Masam
Pemukiman X X Pemukiman X X X X X X X X
7,80
Pemukiman X X Pemukiman X X X X X X X X
0,54
Pemukiman X X Pemukiman X X X X X X X X
5,48

Sumber: Akusuma, dkk., 2003 Diolah

Lahan kering berteras terletak pada elevasi 0-400 m dpl, lahan kering tanpa teras
tersebar pada berbagai elevasi antara 0 – 400 m dpl, 400-700 m dpl, 700 – 1.200 m dpl, dan
di atas 1.200 m dpl. Kelembaban tanahnya ustik, pH tanah dari netral sampai agak masam,
tekstur tanah dari halus, sedang sampai dengan kasar. Drainage lahan kering tanpa teras
tergolong baik sampai agak cepat, sedangkan lahan kering berteras drainagenya bervariasi
dari baik dan agak cepat. Kedalaman tanahnya antara sedang sampai dalam. Landformnya
berupa aliran lahar dengan bahan induk andesit. Bentuk wilayah lahan kering berteras
sebagian besar berombak, sedangkan lahan kering tanpa teras dari bergelombang sampai
dengan berbukit. Kelerengan lahan kering berteras berkisar antara 3-5%, sedangkan yang
tanpa teras bervariasi antara 8-15%, dan antara 15-30%.
Hutan terletak pada ketinggian 400 – 700 m dpl, 700-1.200 m dpl dan di atas 1.200
m dpl. Kelembaban tanahnya udik dan ustik, pH tanah agak masam, tekstur tanah halus,
sedang sampai dengan kasar, drainase tanah baik sampai dengan agak cepat, kedalaman
tanah tergolong dalam. Landformnya kaldera, aliran lahar dan lereng volkan atas dengan
bahan induk andesit dan abu vokan. Relief umumnya bergelombang, berbukit sampai dengan
bergunung dengan kelas kelerengan antara 8-15%, 15-30% dan di atas 75%.
Komplek pemukiman terkonsentrasi di pinggir jalan yaitu sepanjang jalan negara
dan jalan-jalan yang menghubungkan antar dusun. Pemukiman umumnya menempati areal
lahan kering dan daerah pinggiran hutan. Karena letaknya di wilayah lahan kering dan
daerah pinggiran hutan maka agroekosistemnya mengikuti agroekosistem lahan kering dan
hutan.

Usahatani di wilayah pengkajian


Lahan kering berteras yang sebenarnya adalah sawah tadah hujan dengan pematang
sebagai pembentuk teras, dibuat memotong arah kemiringan mengikuti garis kontur.
Tanaman yang diusahakan di lahan sawah terdiri dari jenis sayuran, yaitu: bawang merah,
bawang putih, kentang, tomat, buncis, kol, pitsai, sawi dan cabe. Tanaman tersebut

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 473
Seminar Nasional 2005

umumnya diusahakan secara tumpangsari dengan sistem strip cropping, mix cropping atau
relay planting. Relay planting merupakan sistem pertanaman dominan yang digunakan
petani. Bawang merah (Philipina) dan bawang putih (Sangga) direlay dengan buncis, kul,
pitsai, dan sawi sedangkan cabe dan tomat ditanam sebagai tanaman strip cropping pada
bawang merah dan bawang putih. Tujuan petani menggunakan sistem pertanaman tersebut
untuk mengoptimalkan penggunaan lahan, mengoptimalkan pendapatan, antisipasi resiko
kegagalan dan mengoptimalkan penggunaan air hujan yang terbatas.
Lahan kering tanpa teras yang dimaksud sebenarnya adalah tegalan (ladang) atau
merupakan areal perkebunan rakyat. Sebagian besar lahan kering tanpa teras dipergunakan
untuk tanaman perkebunan. Kebun umumnya berupa kebun campuran dengan jenis
tanaman: kakao, vanili, kopi, mangga, nangka, pisang, jeruk, aren, dan kelapa.
Perkembangan tanaman perkebunan di desa ini cukup baik, terutama kopi, kakao dan vanili.
Tanaman tersebut ditanam secara tumpangsari oleh para transmigran. Tanaman vanili dan
coklat diperkenalkan oleh Dinas Perkebunan kepada masyarakat Desa Sajang.
Perkembangan areal tanaman vanili bertambah pesat, terutama setelah kedatangan petani
dari Pulau Bali dan petani transmigran Bali dari Desa Celelos Kecamatan Gangga Kabupaten
Lombok Barat ke Desa Sajang yang secara umum memiliki tingkat ketrampilan cukup baik
dibidang teknologi budidaya vanili. Selain tanaman tahunan, di lahan kering tanpa teras yang
berupa tegalan atau ladang diusahakan tanaman semusim, padi. Varietas padi yang ditanam
adalah padi merah jenis lokal berumur 6 bulan. Selain padi, ditanam pula kacang gude,
kecipir, komak, kacang panjang dan lain sebagainya. Tanaman tersebut biasanya ditanam
secara tumpangsari.
Vegetasi yang tumbuh di hutan terdiri atas: bajur, suren, kelokos, rajumas, sentul,
akasia dan lain-lain jenis vegetasi. Diperkirakan karena keberhasilan vanili, kopi dan coklat,
banyak petani yang membuka hutan secara liar untuk dijadikan areal perkebunan. Keadaan
ini harus diantisipasi, untuk menjaga kelestarian Hutan Taman Nasional Gunung Rinjani
yang kaya dengan keanekaragaman hayati, disamping untuk menjaga keseimbangan air.
Ternak yang banyak dipelihara petani adalah sapi dan ayam buras. Ke dua ternak
tersebut dipelihara di pekarangan dengan tingkat teknologi yang masih sederhana. Sapi
umumnya dibuatkan kandang sederhana di belakang atau samping rumah. Pakan umumnya
berasal dari rumput atau limbah hasil pertanian. Petani belum banyak mengenal teknologi
pengawetan pakan ternak atau teknologi pemanfaatan limbah ternak seperti teknologi
pembuatan kompos. Belum berkembangnya kompos di desa ini karena disamping petani
belum banyak mengetahui teknologinya, juga karena kandang kolektif belum berkembang di
desa ini sehingga menyulitkan mengumpulkan kotoran sapi untuk dijadikan bahan baku
dalam pembuatan kompos yang sebenarnya dapat menekan pengeluran petani untuk
pembelian pupuk. Ayam dipelihara tanpa pengandangan, pagi hari diberi pakan dan siang
hari berkeliaran mencari pakan sendiri. Malam hari ayam di masukkan dalam kurungan atau
dibiarkan tidur di dahan pohon sekitar rumah.

Analisis Sistem Usahatani


Seperti telah disampaikan di atas, komoditas tanaman tahunan dominan diusahakan
petani adalah kopi, coklat, jeruk dan vanili. Ditinjau dari waktu panennya, kopi, jeruk dan
vanili memiliki waktu panen yang hampir bersamaan yaitu antara bulan Juni dan Juli.
Sumber pendapatan rutin petani dari tanaman coklat yang dapat dipanen secara berkala
sepanjang tahun, tetapi jumlah produksi yang diperoleh dalam sekali panen tidak begitu
besar sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam sebulan.
Disamping itu karena hasil panen coklat memerlukan penanganan pasca panen lebih lanjut
dan hambatan pada pemasaran sehingga tidak bisa digunakan sebagai sumber untuk
mendapatkan uang tunai secara cepat. Sama halnya dengan coklat, pisang dapat dipanen
sepanjang tahun, tetapi karena sifat produksinya yang mudah rusak dan rendahnya
penguasaan petani pada teknologi pengolah hasil menyebabkan harga jual pisang yang
diterima petani rendah dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 474
Seminar Nasional 2005

Tabel 3. Bulan-bulan penerimaan pendapatan dari setiap jenis komoditas yang diusahakan petani Desa Sajang
Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur, 2005.

Bulan Panen
Aktivitas
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Padi, dan tanaman hortikultura semusim

Panen Jeruk

Panen Kopi dan pasca panen

Panen dan pasca panen vanili

Panen dan pasca panen kakao

Panen Pisang

Sumber: Data primer di olah

Disamping tanaman perkebunan, di lahan kering atau tegalan ditanam padi


bersamaan dengan penanaman bawang merah, bawang putih, cabe, buncis, kol, sawi dan
pitsai di sawah tadah hujan. Akibatnya waktu panen seluruh tanaman tersebut (termasuk
cabe dan tanaman relay lainnya) terjadi dari bulan Maret sampai dengan Juli.
Dari Tabel 3 di atas diketahui bahwa akumulasi pendapatan petani terbesar terjadi
pada bulan Juni dan Juli yang diperoleh dari kopi, jeruk, vanili dan dari tanaman semusim
yang diusahakan petani. Sumber pendapatan berkesinambungan sepanjang tahun diperoleh
dari coklat dan pisang tetapi jumlahnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
disamping masih mengalami kendala pada pemasaran dan pengolahan hasil sehingga tidak
bisa memberikan nilai tambah pada pendapatan petani.
Sapi yang diperlihara petani tidak ditujukan untuk pembibitan atau penggemukan
tetapi lebih banyak untuk tujuan mengolah tanah untuk menekan biaya produksi. Usaha
perbibitan sapi tidak berkembang di desa ini karena kesulitan pejantan dan biaya perkawinan
yang cukup tinggi. Sapi dalam mendukung perekonomian rumah tangga difungsikan sebagai
tabungan oleh petani, apabila ada kebutuhan uang mendesak dalam jumlah yang cukup besar
sapi segera dijual. Akibatnya harga yang diterima petani tidak sesuai dengan harga pasar.
Ayam buras dalam perekonomian rumah tangga petani digunakan untuk memenuhi
kebutuhan uang mendesak yang jumlahnya tidak terlalu besar, tapi sering tujuan tersebut
tidak tercapai karena ayam di desa ini rentan terhadap serangan tetelo dan serangan hama
musang.
Dari uraian tersebut dan memperhatikan Tabel 3 diketahui bahwa petani Desa
Sajang tidak memiliki sumber pendapatan yang bekesinambungan dalam jangka satu tahun.
Ini terjadi karena sistem usahatani yang diterapkan tidak terintegrasi dengan baik untuk
tujuan tersebut. Dalam hal ini perlu diadakan penataan pola tanam untuk memperkuat
ketahanan pangan petani sehingga petani tidak jatuh ketangan pengijon.

Analisis Ketahanan Pangan


Ketahanan pangan masyarakat tani Desa Sajang relatif lemah. Untuk memenuhi
kebutuhan pangan pokok yaitu beras diperoleh sebagian besar dengan cara membeli. Ini
berarti bahwa uang tunai harus selalu tersedia pada petani, sementara disatu sisi untuk
mendapatkan uang tunai petani sering mendapat kesulitan. Tidak tersedianya uang tunai
pada petani karena komoditas yang diusahakan dalam sistem usahatani pada dua
agroekosistem yang ada di Desa Sajang tidak terintegrasi dengan baik yang dapat dijadikan
sebagai sumber pendapatan secara berkesinambungan selama setahun.
Kesulitan uang tunai diatasi petani dengan cara meminjam uang dari para pelepas
uang yang memberikan pinjaman dengan tingkat bunga yang cukup tinggi. Lemahnya sistem

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 475
Seminar Nasional 2005

jaminan yang dimiliki petani, belum berfungsinya lembaga keuangan pedesaan dan tidak
adanya skim kredit khusus untuk bidang pertanian dan lemahnya ketahanan pangan petani,
mengalihkan perhatian petani kepada para pengijon untuk mendapatkan uang tunai guna
membeli beras. Sistem ijon berkembang baik di desa ini, karena prosedur peminjaman uang
yang tidak memerlukan birokerasi yang terlalu rumit, cukup dengan modal sosial
kepercayaan dan jabatan tangan maka uang akan segera dicairkan oleh pengijon. Beberapa
jenis tanaman yang sering diijonkan petani untuk membeli kebutuhan sehari-hari terutama
untuk konsumsi beras, adalah vanili, pisang dan anak sapi dalam kandungan. Pinjaman
dalam bentuk beras, pupuk dan pestisida yang pembayaran dilakukan setelah panen (yarnen)
nilainya hampir dua kali lipat dari nilai pinjaman. Hasil panen yang diperoleh praktis
seluruhnya digunakan untuk melunasi hutang, sehingga petani desa ini hidup dari gali lubang
tutup lubang dan menjadi buruh tani di usahataninya sendiri.
Penyebab utama lemahnya ketahanan pangan masyarakat Desa Sajang karena petani
di desa ini sangat sedikit yang menanam padi dan varietas padi yang ditanam adalah varietas
lokal warna merah berumur 6 bulan. Produksi padi ini sangat rendah dibandingkan varietas
unggul baru. Petani masih bertahan menanam padi ini karena kesulitan mendapatkan
varietas unggul padi dataran tinggi berumur pendek dan berdaya hasil tinggi.
Alasan petani menanam padi di lahan kering (tegalan dan ladang) karena jika
ditanam di lahan sawah tadah hujan yang lebih potensial, petani akan kehilangan kesempatan
untuk menanam tanaman sayuran terutama bawang merah dan bawang putih, karena
pertanaman padi membutuhkan waktu 6 (enam) bulan. Disamping karena alasan tersebut,
pertimbangan petani menanam padi di lahan kering dan tidak menanam bawang merah dan
bawang putih di lahan kering adalah untuk memperkecil resiko kerugian apabila terjadi
kegagalan panen karena kekeringan, karena petani menganggap sawah tadah hujan
kondisinya lebih bagus dari tegalan dan ladang. Karena nilai ekonomis bawang merah dan
bawang putih lebih tinggi dari padi maka kedua komoditas ini lebih diperhatikan petani. Ini
berarti bahwa segala sumberdaya yang dimiliki petani diperioritaskan untuk kedua
komoditas tersebut, dan padi bukan merupakan tanaman yang diperioritaskan petani, artinya
sistem usahatani petani Sajang sudah berorientasi pasar atau mengejar keuntungan tetapi
tidak memperhatikan keamanan ketahanan pangannya dengan cara menanam padi secara
lebih intensif.
Hal tersebut diketahui dari tujuan petani menanam bawang merah dan bawang putih
di awal musim hujan bersamaan dengan waktu tanam padi yaitu untuk produksi benih karena
mengejar harga jual yang tinggi. Benih bawang merah dan bawang putih dari Desa Sajang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan benih bawang merah dan bawang putih Desa
Sembalun Lawang dan Sembalun Bumbung yang menanam kedua komoditas tersebut di
musim kemarau I di lahan sawah. Sudah tentu dengan mengusahakan tanaman tersebut pada
awal musim hujan, petani sering berhadapan dengan resiko kegagalan yang cukup besar
karena kelebihan curah hujan dan serangan organisme pengganggu tanaman. Sementara
untuk mengendalikan organisme pengganggu, petani hanya mengandalkan pestisida yang
diaplikasikan secara berkala tanpa memperhatikan ambang batas ekonomi dan diperparah
lagi karena pestisida yang digunakan untuk mengendalikan organisme penggangu dibeli
dengan sistem yarnen sehingga memperbesar biaya produksi, akibatnya pendapatan yang
diterima petani tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Sistem usahatani dengan
orientasi pasar tanpa memperhatikan ketahanan pangan mengakibatkan kerugian yang cukup
besar pada petani dan tidak dapat melepaskan diri dari mata rantai ijon yang selalu membelit.
Penyebab lain lemahnya ketahanan pangan masyarakat Desa Sajang adalah karena
harga komoditas tanaman perkebunan yang diusahakan petani sangat berfluktuasi. Seperti
kita ketahui bahwa kopi, vanili dan coklat merupakan komoditas yang diperdagangkan
secara internasional sehingga harganya sangat dipengaruhi oleh harga perdagangan di tingkat
international. Harga kopi di Indonesia akan jatuh bila kopi di Brazillia membajiri pasaran
dunia, demikian pula dengan vanili, bila panen vanili di Zanzibar berhasil, yang terkenal
dengan kualitas mutu terbaik didunia maka harga vanili di Indonesia akan jatuh. Akibatnya

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 476
Seminar Nasional 2005

pendapatan yang diterima petani kopi, vanili dan coklat sering menjadi sangat rendah dan
tidak cukup untuk membeli kebutuhan pangan pokok beras selama satu tahun.

Sintesa Sistem Usahatani


Penelitian lapang tentang sistem usahatani menunjukkan kompleksitas,
kemajemukan dan rasionalitas praktik pertanian yang tidak sistematis dan tidak teratur
(Chambers, 1996). Makin kecil usahatani makin tinggi kompleksitas usaha tersebut
(Kesseba, 1989). Walaupun berupa usaha keluarga skala kecil, usahatani haruslah
dipandang sebagai suatu komersial yang otonom, berorientasi pasar dan bertujuan untuk
meraih sisa hasil usaha (laba) sebesar-besarnya. Petani adalah manajer yang bebas dalam
mengelola usahataninya (Badan Litbang Pertanian, 2004).
Pada tingkat perusahaan, termasuk usahatani, strategi diversifikasi usaha spektrum
luas dapat bermanfaat untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya maupun untuk
mengurangi resiko usaha. Pada usahatani, optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (lahan,
tenaga kerja, modal) melalui diversifikasi tanaman atau ternak pada dasarnya adalah juga
intensifikasi pemanfaatan sumberdaya. Oleh karena itu, usahatani yang dikembangkan ialah
Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifikasi (SUID = Farming System Intensification
Diversification). Oleh karena sasarannya adalah usahatani keluarga skala kecil, maka
usahatani yang akan dikembangkan adalah pola usaha SUID-Keluarga yang
mengintegrasikan kegiatan rumah tangga, usahatani dan kegiatan non-usahatani. Rancang
operasional usaha SUID-Keluarga di susun antara lain dengan kondisi agroekosistem
maupun tatanan sosial-ekonomi setempat.
Berdasarkan pemikiran tersebut diatas, analisis terhadap peta pewilayahan komoditas
pertanian berdasarkan zona agroekologi Kabupaten Lombok Timur skala 1 : 50.000 dan data
yang diperoleh dari group diskusi dan wawancara mendalam akan disintesakan alternatif
sistem usahatani untuk memperkuat ketahanan pangan petani di Desa Sajang.
Dari hasil analisis peta pewilayahan komoditas berdasarkan zona agroekologi
Kabupaten Lombok Timur diketahui ruang yang masih dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan usahatani yaitu kawasan dengan notasi x sedangkan pemukiman dan
kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani tidak dapat dimanfaatkan karena merupakan
daerah konservasi untuk kelestarian sumberdaya air dalam rangka mendukung sistem
usahatani masyarakat sekitarnya. Di kawasan dengan notasi x walaupun saat ini sudah
terdapat pertanaman petani yang pada dasarnya sulit untuk ditata kembali, tetapi dengan
teknologi intensifikasi, penanganan pasca panen dan pengolahan hasil lebih lanjut
diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 477
Seminar Nasional 2005

Tabel 4. Arahan Penggunaan Lahan di Desa Sajang Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur, 2005.
Arahan
Luas
Landuse Lereng Ketinggian Dataran Suhu Solum Kawasan Penggunaan Keterangan
(ha)
Lahan
Pemukiman 13,81 x x x x Pemukiman Pemukiman Pemukiman
Pertanian lahan kering,
Lahan Kering
305,21 3-5 0-400 Rendah Panas Dalam x IV/DFcEa pangan, perkebunan
Teras
musiman
Pertanian lahan kering
Lahan Kering konservasi, tanaman
1.023,81 8-15 0-400 Rendah Panas Sedang x III/DEpFc
Tanpa Teras perkebunan tahunan,
pangan serealia
Pertanian lahan kering,
Lahan Kering perkebunandan
649,51 8-15 700-1200 Tinggi Sejuk Dalam x III/DHpEpHa
Tanpa Teras hortikultura tahunan
dan semusim
Pertanian lahan kering
Lahan Kering tanaman hortikultura
450,04 15-30 400-700 Rendah Panas Dalam x II/DHpEp
Tanpa Teras dan perkebunan
tahunan
Pertanian lahan kering
Lahan Kering
307,84 15-30 >1200 Tinggi Sejuk Dalam x II/DHpEp tanaman hortikultura
Tanpa Teras
dan perkebunan tahuan
III/DJm
Taman
Hutan 407,30 8-15 700-1200 Tinggi Sejuk Dalam Kawasan Hutan lahan kering
Nasional
Konservasi
II/DJm
Taman
Hutan 140,54 15-30 700-1200 Tinggi Sejuk Dalam Kawasan Hutan lahan kering
Nasional
Konservasi
II/DJm
Taman
Hutan 523,61 15-30 >1200 Tinggi Sejuk Dalam Kawasan Hutan lahan kering
Nasional
Konservasi
III/DJm
Taman
Hutan 770,61 >75 >1200 Tinggi Sejuk Dalam Kawasan Hutan lahan kering
Nasional
Konservasi
Sumber: Alkusuma, dkk., 2003 Diolah

Dari landuse Desa Sajang diketahui bahwa lahan kering berteras yang sebenarnya
adalah sawah tadah hujan seluas 305,21 ha dengan tingkat kelerengan dibawah 8%, terletak
pada ketinggian 0 – 400 m dpl dengan rezim suhu panas diarahkan untuk pengembangan
pertanian lahan kering tanaman semusim (IVDFcHaEa). Di daerah ini sebaiknya
dikembangkan pertanian lahan kering tanaman pangan jenis serealia, dan tanaman
perkebunan musiman.
Lahan kering tanpa teras yang sebenarnya adalah tegalan atau ladang seluas 1.023,81
ha karena memiliki kelerangan antara 8 – 15% dan berada pada ketinggian antara 0 – 400 m
dpl sehingga rezim suhunya panas dan kedalaman solum tanah sedang maka diarahkan
untuk pengembangan pertanian lahan kering sistem konservasi (III/DEpFc) dimana sebagai
tanaman pembentuk lorong digunakan tanaman perkebunan tahunan dan sebagai tanaman
pengisi lorong digunakan tanaman pangan jenis serealia.
Lahan kering tanpa teras lainnya yaitu seluas 649,51 ha dengan kelas kelerengan 8 -
15% yang terletak pada ketinggian 700 – 1200 m dpl sehingga rezim suhunya sejuk dan
kedalaman solum tanahnya dalam diarahkan untuk pertanian lahan kering sistem konservasi
(III/DHpEpHa). Sistem yang digunakan adalah alley cropping dengan tanaman pembentuk
lorong dari tanaman tahunan hortikultura dan tanaman perkebunan tahunan dan sebagai
tanaman pengisi lorong digunakan tanaman hortikultura semusim sayuran. Tanaman
hortikultura semusim yang dimaksud disini dapat berupa bawang putih, bawang merah,
buncis, cabe, kacang kapri dan lain sebagainya seperti yang biasa diusahakan petani.
Lahan kering tanpa teras seluas 450,04 ha dengan kelas kelerengan antara 15 – 30%
dan terletak pada ketinggian 400 – 700 m dpl sehingga memiliki rezim suhu panas diarahkan
pada pengembangan pertanian lahan kering sistem konservasi (II/DHpEp). Di daerah ini
karena kelas kelerengan yang dimilikinya sudah tidak layak untuk usaha tanaman semusim.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 478
Seminar Nasional 2005

Tanaman yang dikembangkan di zona ini adalah tanaman hortikultura tahunan dan
perkebunan tahunan.
Lahan kering tanpa teras seluas 307,84 ha dengan kelas kelerengan 15 – 30% dan
berada pada ketinggia lebih dari 1.200 m dpl sehingga memiliki iklim sejuk dan kedalaman
solum tanah dalam diarahkan untuk pengembangan pertanian lahan kering sistem konservasi
(II/DHpEp). Tanaman yang dikembangkan pada zona ini adalah tanaman hortikultura
tahunan dan tanaman perkebunan tahunan yaitu kopi, coklat dan vanili yang telah eksis di
desa tersebut.
Dalam sistem alley cropping selain tanaman perkebunan dan tanaman hortikulturan
tahunan sebagai tanaman pembentuk lorong dapat pula digunakan tanaman pakan ternak.
Dengan pengembangan pakan ternak diharapkan ternak dapat berkembang di desa ini,
Kedepan dengan berkembangnya ternak dapat dikembangkan integrasi tananam dan ternak
(Crop Live Stock = CLS) di daerah dataran tinggi.
Dalam melakukan usahannya, karena kondisinya yang berupa lahan kering sehingga
keberhasilan pertanian di daerah ini sangat ditentukan oleh curah hujan, maka sistem
usahatani yang dilakukan petani haruslah sistem usahatani intensifikasi diversikasi untuk
mengurangi resiko kegagalan. Tanaman yang diusakan petani disusun dalam suatu pola
tumpangsari dengan sistem pertanaman relay planting atau strip cropping dan pertimbangan
waktu panen yang berbeda sehingga dapat menjadi sumber pendapatan yang
berkesinambungan bagi petani.
Usaha penanganan pasca panen untuk coklat dan kopi di Desa Sajang perlu mendapat
perhatian. Mengingat keterbatasan tenaga kerja keluarga maka alat mesin pertanian untuk
penanganan pasca panen perlu diperkenalkan kepada petani Desa Sajang. Demikian pula
halnya dengan alat pengolahan hasil mengingat potensi daerah ini yang cukup baik untuk
pengembangan pisang maka teknologi pengolahan hasil untuk komoditas tersebut perlu
diperkenalkan kepada petani Desa Sajang.

KESIMPULAN

1. Ketahanan pangan masyarakat Desa Sajang (lahan kering dataran tinggi) dengan rezim
suhu sejuk yang memiliki kecenderungan mengembangkan tanaman hortikultura sayuran
dapat ditingkatkan dengan mengintroduksikan varietas unggul padi umur pendek dan
berdaya hasil tinggi.
2. Sistem usahatani intensifikasi diversifikasi merupakan sistem usahatani yang dapat
dikembangkan di lahan kering dataran tinggi yang keberhasilannya sangat ditentukan
oleh curah hujan sehingga resiko kegagalan (kerugian) dapat dikurangi.
3. Intergrasi tanaman tahunan, tanaman semusim, ternak yang saling mendukung dalam
pola Crop Live Stock (CLS) dapat dikembangkan pada sistem usahatani lahan kering
dataran tinggi.
4. Keterbatasan sumber modal yang dapat diakses petani diatasi dengan mengembangkan
kelembagaan keuangan dengan pola skim kredit khusus untuk pertanian dengan
mengaktifkan kelembagaan keuangan yang ada dan memperkuat sistem jaminan yang
dimiliki petani.
5. Dalam rangka antisipasi degradasi lahan karena konversi penggunaan lahan diperlukan
suatu kebijakan yang tegas.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 479
Seminar Nasional 2005

DAFTAR PUSTAKA

Alkusuma, Agus Bambang Siswanto, Adi Hermawan, Asep Iskandar, 2004. Laporan Akhir
Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zone Agro-Ekologi
Skala 1 : 50.000 di Kabupaten Lombok Timur Propinsi Nusa Tenggara Barat. Tahun
Anggaran 2003. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Tanah dan Poor Farmers
Income Improvement Through Inovation Project. Balai Penelitian Tanah. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 2004.
Badan Litbang Pertanian, 2004. Rancangan Dasar Prima Tani (Program Rintisan dan
Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian). Departemen Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jalan Ragunan 29, Pasarminggu,
Jakarta. 2004.
BPS Kabupaten Lombok Timur, 2002. Lombok Timur Dalam Angka. Lombok Timur In
Figures. Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Timur dengan
Bappeda Kabupaten Lombok Timur. 2003.
BPS Kabupaten Lombok Timur, 2003. Lombok Timur Dalam Angka. Lombok Timur In
Figures. Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Timur dengan
Bappeda Kabupaten Lombok Timur. 2003.
Chambers Robert. 1983. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang, Pepep Sudradjat
penerjemah. LP3ES, Jakarta. Terjemahan dari: Rural Development Putting the Last
First.
Hendri Sosiawan, 1997. Metodologi Penyusunan Peta Zona Agroekologi. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat. Kumpulan Materi. Apresiasi Metodologi Analisis Zona
Agroekologi Untuk Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Kerjasama Jurusan
Tanah Fakultas Pertanian Universitas Udayana dan Proyek Pembinaan Kelembagaan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1997
Kesseba AM. 1989. “Technology System for Resource Poor Farmers”. Di dalam Kesseba
AM editor. Technology System for Small Farmers Issues and Options. Westview
Press, Boulder, San Francisco, &London.
Soil Survey Staff. 1998. Keys to Soil Taxonomy, 8th edition 1998. Nasional Resources
Conservation Service, USDA.
Suwardji, Amry Rakman, Sri Tejo Wulan, Badrul Munir., 2003. Rencana Strategis
Pengembangan Wilayah Lahan Kering Provinsi Nusa Tenggara Barat. Tahun 2003 –
2007.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 480
Seminar Nasional 2005

KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN NTB TAHUN 2003

Irianto Basuki1), Sri Hastuti2) dan Kukuh Wahyu1)


1)
Penyuluh pada Balai Penelitian Teknologi Pertanian NTB
2)
Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Pertanian NTB

ABSTRAK

Pembangunan pertanian di NTB dihadapkan pada berbagai kompleksitas dinamika dan


keanekaragaman permasalahan teknis, sosial, ekonomi, dan budaya sehingga dalam implementasinya perlu
adanya indikator yang mengukur keberhasilannya. Permasalahan utama untuk mengetahui keberhasilan
pembangunan pertanian dewasa ini adalah sulitnya memperoleh informasi secara cepat dan akurat indikator
pembanguan pertanian ini, sehingga untuk itu diperlukan suatu kegiatan dan perangkat yang mampu
menjawabnya. Pendekatan pengkajian ini dilakukan melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan metode
survai. Tujuan kegiatan pengkajian ini adalah: mengevaluasi kinerja pembangunan pertanian berdasarkan
indikator-indikator pembangunan pertanian. Keluaran yang diharapkan antara lain adalah data dan informasi
kinerja pembangunan pertanian berdasarkan indikator-indikator yang ditetapkan. Hasil kajian ini menunjukkan
bahwa: apabila keberhasilan dikatagorikan dalam tiga strata yaitu baik, sedang dan buruk maka kinerja
pembangunan pertanian di NTB termasuk dalam katagori baik karena rasio antara indikator yang kinerjanya baik
dan buruk 10:3. Indikator yang kinerjanya baik adalah: (1) nilai investasi PMA sektor pertanian; (2) peningkatan
produksi pangan dan hortikultura; (3) peningkatan produksi tanaman perkebunan; (4) peningkatan produksi
peternakan dan perikanan; (5) nilai PDRB sektor pertanian, 6) serapan tenaga kerja sektor pertanian; (7)
ketahanan pangan; (8) tingkat keuntungan usahatani; (9) pendapatan rumah tangga petani dan tingkat kemiskinan.
Semenatra itu indikator yang kinerjanya buruk adalah: (1) ekspor hasil pertanian; (2) nilai tukar petani; (3)
produksi beberapa komoditas perkebunan, pertanian dan perikanan yang turun.
Kata kunci: Kinerja, indikator, Pertanian

PENDAHULUAN

Sektor pertanian di NTB masih merupakan sektor penting dan strategis karena
potensi sumberdaya alam, kontribusinya dalam menyerap tenaga kerja, dan ketahanannya
dalam menghadapi gejolak dan krisis ekonomi. Selain itu, sektor pertanian adalah sektor
yang sumberdaya alamnya dapat diperbaharui (renewable) seperti: tanaman, ternak, dan
sebagainya sehingga kontinyuitasnya sangat diandalkan dalam mendukung Produk Domestik
Bruto (PDB) dan akhirnya sebagai andalan untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat.
Upaya untuk mendukung pembangunan sektor pertanian di daerah diwujudkan
dengan mendirikan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) di seluruh provinsi di
Indonesia. Pada dasarnya BPTP mempunyai tugas dan fungsi untuk merakit teknologi
pertanian tepat guna spesifik lokasi dan mendiseminasikannya kepada para pengguna.
Namun demikian, dalam aspek yang lebih luas, BPTP merupakan pilar pembangunan
pertanian daerah yang dirancang untuk memecahkan masalah-masalah pembangunan di
daerah, mencari solusi, dan memberikan saran kepada pengambil kebijakan (Pemerintah
Daerah maupun Pemerintah Pusat) mengenai kebijakan pembangunan ke depan.
Dalam rangka mewujudkan tugas dan fungsinya membangun daerah, BPTP perlu
melakukan pengumpulan data, informasi, potensi dan masalah, menganalisis dan
memecahkan permasalahan, memberikan solusi, termasuk saran-saran bagi pengambil
kebijakan. Oleh karena itu lingkup kegiatan BPTP menjadi lebih luas, tidak hanya
menangani hal-hal yang bersifat teknologi, tetapi juga aspek-aspek sosial-ekonomi dan
kebijakan pembangunan pertanian.
Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, maka beberapa kegiatan BPTP NTB
dapat disinergiskan, sehingga menjadi lebih efisien dan efektif. Kegiatan pengumpulan data
base dapat dipakai sebagai bahan evaluasi kinerja pembangunan pertanian, dapat
disinergiskan dengan identifikasi permasalahan, dan dikombinasikan dengan membangun
rencana kerja ke depan dalam bentuk Rencana Induk Pengkajian Pertanian (RIPP).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 481
Seminar Nasional 2005

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Pengumpulan Data


Kegiatan pengkajian ini dilakukan di Wilayah Pembangunan Pertanian NTB yang
meliputi pulau Lombok dan pulau Sumbawa. Data yang dikumpulkan terdiri dari data
sekunder dan data primer. Kegiatan ini dilaksanakan mulai bulan Juni hingga Desember
2004.

Jenis dan Prosedur Pengumpulan Data


Pengumpulan Data Sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan terdiri dari: 1) investasi sektor pertanian, 2) harga
output komoditas utama yaitu harga pedagang besar dan harga konsumen, 3) harga input
yaitu harga sarana produksi dan upah tenaga kerja, 4) produksi, luas panen dan produktivitas
meliputi komoditas tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, 5) PDRB
sektoral, 6) kesempatan kerja sektor pertanian, 7) ketahanan pangan, 8) nilai tukar petani.

Pengumpulan Data Primer


Data primer yang dikumpulkan terdiri dari: 1) tingkat keuntungan usahatani
komoditas utama, dan 2) pendapatan petani masing-masing komoditas. Data primer
dikumpulkan dengan cara wawancara pada petani responden. Penentuan petani responden
dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu mengambil petani yang berusahatani
berbasis komoditas unggulan. Setiap komoditas utama diambil 15 petani sampel dengan
ketentuan terdiri dari kelas penguasaan lahan untuk petani yang mengusahakan tanaman
(lahan sempit, sedang dan luas), atau berbasis pemilikan ternak (sedikit, sedang, dan
banyak).

Metoda Analisis
Data dan informasi yang dikumpulkan dianalisis secara agregrasi dan lintas
kabupaten maupun agroekosistem sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Analisis data
dan informasi indikator pembangunan pertanian menggunakan statistika deskriptif (rataan,
pertumbuhan/trend dan lain-lain).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Investasi Sektor Pertanian


Investasi PMDN di Provinsi NTB meliputi investasi di subsektor tanaman pangan,
peternakan, perkebunan, perikanan dan kelautan. Sementara itu investasi PMA dilakukan di
subsektor perkebunan, perikanan dan kelautan. Realisasi investasi PMDN di sektor pertanian
sampai dengan Juni 2004 baru mencapai 28,92%, sedangkan realisasi investasi PMA sudah
mencapai 211,46% jauh melampaui rencana. Investasi PMDN di sektor pertanian tersebut
direncanakan akan mampu penyerap 11928 tenaga kerja Indonesia (TKI) dan 90 tenaga kerja
asing (TKA). Meskipun investasi PMDN sektor pertanian relatif kecil dibandingkan dengan
sektor lainnya (16,16%), namun mampu menyediakan kesempatan kerja terhadap 47 persen
TKI dan 34 TKA dari total tenaga kerja yang dibutuhkan PMDN.

Harga Output Dan Harga Input Pertanian


Harga Output Pertanian
Dari tahun 2002 sampai 2003 terjadi penurunan harga pada beberapa komoditas
pertanian yang dianalisa. Penurunan harga terjadi terutama pada komoditas tanaman pangan
dan hortikultura kecuali pisang. Penurunan harga tertinggi terjadi pada komoditas cabai rawit

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 482
Seminar Nasional 2005

yaitu mencapai 31 persen. Sementara itu pada kurun waktu yang sama, kenaikan harga
terjadi pada hampir semua komoditas peternakan dan produk ternak. Kenaikan harga yang
tinggi terjadi pada komoditas kambing (30,20%), bibit kerbau (21,90%) dan kerbau
(16,59%). Perubahan harga tertinggi pada komoditas kambing yaitu mencapai 30,20 persen
dari harga Rp 263299/ekor pada tahun 2002 menjadi Rp 342813/ekor pada tahun 2003.

Harga Input Pertanian


Dari tahun 2002-2003 harga-harga sarana produksi cenderung meningkat. Kenaikan
tertinggi terjadi pada upah membajak yaitu meningkat 14,10%. Meskipun harga sarana
produksi cenderung meningkat, harga karung goni, upah menanam dan memanen justru
menurun.

Produksi Komoditas Pertanian


Produksi Komoditas Tanaman Pangan
Berdasarkan data ATAP 2002, ATAPDA 2003 dan ARAM I 2004, luas panen
komoditas tanaman pangan mengalami kenaikan berkisar antara 1,18-12,14 persen.
Penambahan areal panen relatif tinggi terjadi pada komoditas kedelai (12,14%) dan kacang
hijau (11,82 %). Pada kurun waktu yang sama terjadi kenaikan produksi komoditas tanaman
pangan. Pada umumnya besarnya kenaikan produksi konsisten dengan kenaikan luas areal
panen. Perkecualian pada komoditas kacang hijau, dimana kenaikan produksi (24,01%) jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan luas areal (3,89%).

Produksi Komoditas Hortikultura


Data agregat Provinsi NTB menunjukkan adanya peningkatan produksi bawang
merah dari tahun 200-2003 sebesar 176%. Peningkatan terjadi di semua kabupaten kecuali
di Kabupaten Lombok Barat terjadi penurunan produksi sebesar 62%.
Luas panen cabai tahun 2003 di Provinsi NTB 8148 ha dengan produksi 91.475 ton,
meningkat dibandingkan dengan luas panen dan produksi tahun 2002 yaitu 16.094 ton.
Dilihat dari luas panen dan produksinya Kabupaten Lombok Timur merupakan daerah sentra
produksi cabai. Produksi cabai Kabupaten Lombok Timur pada tahun 2003 mencapai
13.047 ton atau sekitar 14% dari total produksi cabai NTB
Luas areal manggis di Provinsi NTB pada tahun 2003 sebesar 9.462 ha dengan
produksi 201 ton. Sentra produksi manggis terdapat di Kabupaten Lombok Barat, dengan
luas areal 8.109 atau 85,70% luas areal manggis NTB dan produksi 148 ton atau 73,63% dari
total produksi NTB.
Perkembangan produksi mangga di Provinsi NTB tahun 2002-2003. Selama dua
tahun tersebut luas areal mangga mengalami peningkatan sebesar 78,65%, akan tetapi
produksi yang dihasilkan menurun sebesar 2,69%. Peningkatan luas areal mangga terjadi di
semua kabupaten kecuali di Kabupaten Dompu mengalami penurunan. Sementara itu
penurunan produksi mangga terjadi di Kabupaten Lombok Tengah, Lombok Timur dan
Dompu.
Perkembangan luas areal dan produksi pisang di Provinsi NTB tahun 2002-2003
memperlihatkan bahwa selama dua tahun luas areal dan produksi pisang di NTB mengalami
penurunan. Penurunan produksi pisang relatif besar yaitu mencapai sekitar 90 persen dan
terjadi di semua kabupaten.

Produksi Komoditas Perkebunan


Komoditas kopi ditanam menyebar di seluruh kabupaten dan kota di NTB. Dilihat
dari produksinya, komoditas kopi banyak dihasilkan di Kabupaten Sumbawa, Bima dan
Lombok Barat. Produksi kopi dari tiga kabupaten tersebut pada tahun 2003 mencapai 3710
ton atau 74,47 persen dari total produksi kopi NTB, yang dihasilkan oleh 8.235 ha atau 63,85

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 483
Seminar Nasional 2005

persen dari luas areal kopi NTB. Dari data luas areal maka komoditas kopi selain di
Kabupaten Sumbawa, Bima dan Lombok Barat banyak berkembang di Kabupaten Lombok
Tengah dan Lombok Timur. Pada tahun 2002 dari 16.182 ha areal kopi di NTB seluas 6.485
ha (40,08%) terdapat di Lombok Tengah. Pada tahun 2003 areal kopi di Lombok Tengah
menurun sebesar 79,18 persen menjadi 1.350 ha. Di Kabupaten Lombok Timur komoditas
kopi mulai berkembang, selama tahun 2002-2003 terjadi penambahan areal kopi dari 1.684
ha menjadi 2.073 ha atau meningkat 23,16 persen. Apabila dibandingkan antara luas areal
dan produksi kopi di Kabupaten Lombok Timur maka sebagian besar merupakan tanaman
belum menghasilkan.
Produksi jambu mete di Provinsi NTB dari tahun 2002-2003. Daerah sentra
penghasil jambu mete di NTB adalah Lombok Barat, Dompu dan Sumbawa. Pada tahun
2003 luas areal jambu mete di NTB 5.9057 ha, dari luas tersebut sebagian besar terdapat di
Kabupaten Lombok Barat, Dompu dan Bima yaitu 44.593 ha atau 75,51 persen. Selama
tahun 2002-2003 luas areal jambu mete di NTB meningkat dari 55.097 ha menjadi 59.057 ha
atau mengalami pertumbuhan sebesar 7,19%. Peningkatan areal jambu mete terjadi di semua
kabupaten. Namun jika dilihat produksinya, dalam waktu yang sama terjadi penurunan dari
12.983 ton menjadi 11.065 ton atau menurun sebesar 14,78%.
Daerah sentra produksi kakao di NTB adalah Kabupaten Lombok Barat dan Lombok
Tengah. Pada tahun 2003 luas areal dan produksi kakao dari dua kabupaten tersebut
mencapai 81,29 persen dan 98,20 persen dari total areal dan produksi kakao NTB. Dari tahun
2002-2003 secara agregat provinsi terjadi penurunan luas areal kakao sebesar 28,28 persen.
Namun demikian produksi yang dihasilkan mengalami peningkatan sebesar 10,40 persen.
Penurunan areal terjadi di semua kabupaten kecuali di Kabupaten Dompu terjadi
peningkatan. Sementara itu peningkatan produksi hanya terjadi di Kabupaten Lombok Barat.
Daerah pengembangan vanili di NTB adalah Kabupaten Lombok Barat dan Lombok
Timur. Komoditas vanili di Kabupaten Lombok Barat lebih dahulu berkembang
dibandingkan di Kabupaten Lombok Timur. Bahkan selama dua tahun terakhir terjadi
penurunan luas areal vanili di Kabupaten Lombok Barat sebesar 37,53 persen. Sementara itu
di Kabupaten Lombok Timur luas areal vanili meningkat cukup besar sebesar 206,32 persen.
Secara umum luas areal dan produksi vanili di Provinsi NTB mengalami penurunan
dari tahun 2002-2003. Luas areal vanili menurun dari 657,70 ha menjadi 532,85 ha,
sedangkan produksi menurun dari 86,68 ton menjadi 81,17 ton atau menurun sebesar 6,36
persen.
Komoditas tembakau daerah pengembangan terluas terdapat di Kabupaten Lombok
Timur yang mencapai 12.098 ha pada tahun 2003 atau 72,16 persen dari total luas areal
tembakau di NTB. Pada tahun yang sama produksi tembakau Kabupaten Lombok Timur
mencapai 21.972 ton atau 76,81 persen dari produksi tembakau NTB. Berdasarkan data per
kabupaten, luas areal tembakau di Provinsi NTB mengalami penurunan sebesar 6,86 persen.
Sementara itu produksinya meningkat sebesar 4,36 persen. Kecenderungan ini juga terjadi di
Kabupaten Lombok Timur dimana terjadi penurunan luas areal sebesar 0,32 persen dan
produksi meningkat sebesar 15,89 persen.

Produksi Komoditas Peternakan


Peningkatan populasi sapi di Provinsi NTB selama tahun 2002-2003 (3,10%).
Peningkatan populasi terbesar terjadi di Kabupaten Dompu yaitu meningkat sebesar 14,75
persen. Dilihat penyebarannya, ternak sapi menyebar di semua kabupaten di NTB. Akan
tetapi populasi terbesar terdapat di Kabupaten Lombok Barat, selanjutnya di Kabupaten
Sumbawa, Lombok tengah dan Lombok Timur.
Selama dua tahun terakhir (2002-2003), populasi kerbau mengalami pertumbuhan
sebesar 2,65 persen. Apabila diperhatikan lebih lanjut, hal ini terjadi disemua kabupaten
kecuali di Kabupaten Bima. Kabupaten Sumbawa merupakan daerah produsen kerbau di

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 484
Seminar Nasional 2005

NTB terlihat dari tingginya populasi kerbau di kabupaten ini dibandingkan dengan
kabupaten lain.
Pada waktu yang sama populasi kambing mengalami peningkatan sebesar 10,95
persen. Peningkatan populasi terjadi disemua kabupaten kecuali di Kabupaten Lombok
Timur mengalami penurunan meskipun relatif kecil (-0,46%). Di Kabupaten Lombok
Tengah kenaikan populasi lebih menonjol dibandingkan di kabupaten lain yaitu mencapai 41
persen.
Populasi ayam buras dan itik menyebar di semua kabupaten di Provinsi NTB. Dilihat
dari populasinya, ayam buras banyak berkembang di Kabupaten Lombok Tengah dan
Lombok Timur. Populasi ayam buras di kedua kabupaten tersebut mencapai 54,08 persen
dari total populasi ayam buras di NTB. Data agregat provinsi selama dua tahun (2002-2003)
menunjukkan adanya kenaikan populasi ayam buras sebesar 4,03 persen. Peningkatan
populasi ayam buras terjadi di semua kabupaten kecuali di Kabupaten Lombok Tengah
terjadi penurunan populasi.
Penurunan populasi itik pada hampir semua kabupaten di Provinsi NTB. Besarnya
penurunan bervariasi, penurunan populasi paling besar terjadi di Kabupaten Sumbawa yaitu
mencapai 76,36 persen. Peningkatan populasi itik hanya terjadi di Kabupaten Lombok Barat
dan Kota Mataram.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)


Dalam kurun waktu dua tahun secara umum telah terjadi kenaikan PDRB dengan
laju pertumbuhan rata-rata 3,18 persen pertahun. Pertumbuhan tersebut terjadi pada semua
sektor pembentuk PDRB kecuali sektor industri pengolahan yang mengalami pertumbuhan
negatif (-11,68). Laju pertumbuhan sektor penyusun PDRB relatif sama yaitu berkisar antara
0,35-6,81 persen per tahun. Sektor yang kurang berkembang dengan laju pertumbuhan
terkecil terjadi pada sektor pertambangan-penggalian (0,35%) dan sektor jasa-jasa (1,68%).
Melihat besarnya sumbangan sektor pertambangan dan pertanian terhadap PDRB
total maka dapat dikatakan bahwa struktur perekonomian NTB masih didominasi oleh sektor
pertambangan dan pertanian. Dari tahun ke tahun besarnya pangsa sektor pertanian
cenderung menurun (walaupun nilai absolutnya meningkat) dengan rata-rata laju
pertumbuhan -1,22 persen per tahun. Namun demikian sumbangan beberapa subsektor dalam
sektor pertanian terhadap total PDRB terjadi peningkatan yaitu subsektor tanaman bahan
makanan, peternakan dan kehutanan. Di dalam sektor pertanian, penurunan terjadi pada
subsektor tanaman perkebunan dan perikanan dan penurunan terbesar pada subsektor
tanaman perkebunan (-35%).

Kesempatan Kerja di Sektor Pertanian


Kesempatan kerja terbesar yang tersedia di NTB terdapat di sektor pertanian. Dari
total angkatan kerja yang bekerja, sebesar 57,5 persen bekerja di sektor pertanian. Meskipun
pangsa sektor pertanian terhadap PDRB sekitar 24% (dibawah sektor pertambangan), namun
sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja relatif besar. Kesempatan kerja di sektor
pertanian yang relatif besar terjadi pada semua kabupaten kecuali Kota Mataram. Angkatan
kerja yang bekerja di sektor pertanian berkisar antara 45,67-72,82 persen, sedangkan di Kota
Mataram hanya 8,17%.

Ketahanan Pangan
Produksi gabah Provinsi NTB pada tahun 2003 mencapai 1.422 ribu ton yang
dihasilkan dari 319 ribu ha luas areal panen. Setelah dikurangi susut sebesar 284 ribu ton
maka diperoleh ketersediaan gabah sebanyak 1138 ribu ton atau setara dengan 717 ribu ton
beras. Dengan tingkat konsumsi 127,8 kg/kapita/tahun, berdasarkan jumlah penduduk NTB
tahun 2002 maka kebutuhan beras untuk konsumsi sebesar 527 ribu ton. Dengan demikian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 485
Seminar Nasional 2005

berdasarkan data produksi tahun 2003, diperkirakan terdapat kelebihan/surplus beras di


Provinsi NTB sebesar 189 ribu ton.
Berdasarkan data angka ramalan 2004 terjadi kenaikan luas areal panen dan produksi
gabah Dengan menggunakan perhitungan yang sama maka ketersediaan gabah sebesar 1166
ribu ton atau setara dengan 734 ribu ton beras. Kebutuhan beras untuk konsumsi pada waktu
yang sama sebesar 527 ton, sehingga surplus beras tahun 2004 sebesar 207 ton. Surplus
beras tidak terjadi di semua kabupaten/kota. Defisit beras terjadi di Kota Mataram dan
Kabupaten Lombok Barat. Hal ini terjadi antara lain karena: 1) sesuai dengan kondisi
wilayahnya, komoditas utama yang daerah tersebut dihasilkan bukan padi, 2) jumlah
penduduknya tinggi sehingga beras yang dihasilkan tidak mampu mencukupi kebutuhan.
Bukan berarti ketahanan pangan di kabupaten defisit beras tersebut rendah. Karena terdapat
komoditas lain yang dihasilkan selain padi dan adanya sumber pendapatan di luar pertanian,
sehingga dari pendapatan tersebut dapat dipertukarkan dengan bahan pangan lainnya.
Apabila diamati lebih lanjut perkembangan ketersediaan beras selama dua tahun,
terjadi kenaikan ketersediaan di semua kabupaten. Meskipun Kota Mataram dan Kabupaten
Lombok Barat masih mengalami defisit, tetapi besarnya defisit semakin berkurang.

Ekspor Komoditas Pertanian


Mete (biji dan ose) dan kelapa termasuk komoditas perkebunan yang diekspor.
Terdapat perbedaan tujuan ekspor mete ose dan biji mete dari NTB. Mete ose pada
umumnya diekspor ke Hongkong, sedangkan biji mete diekspor ke India. Sementara itu
ekspor komoditas peternakan yaitu sapi bibit dan kerbau bibit. Pada tahun 2003 ekspor sapi
bibit dari NTB ditujukan ke negara Malaysia. Komoditas hortikultura khususnya buah-
buahan yaitu manggis dan rambutan ditujukan untuk ekspor ke negara Perancis.
Nilai ekspor pertanian Provinsi NTB pada tahun 2002 mencapai 4,6 juta US$, pada
tahun 2003 terjadi penurunan menjadi 2,8 juta US$ atau menurun sebesar 38,92 persen.
Penurunan nilai ekspor terjadi pada hampir semua komoditas kecuali pada mutiara
meningkat sebesar 896 persen. Negara tujuan ekspor mutiara dari NTB pada tahun 2003
adalah Spanyol, Jepang, Malaysia dan Australia.

Nilai Tukar Petani (NTP)


Berdasarkan perkembangan NTP di Provinsi NTB selama tiga tahun terakhir (2001-
2003) terjadi penurunan tingkat kesejahteraan petani. NTP tahun 2001 sebesar 89,3 turun
menjadi 87,2 pada tahun 2003. Besaran NTP bulanan tahun 2003 dari bulan Januari-
Desember berkisar antara 79,8-94,5 dengan pergerakan yang fluktuatif dari bulan ke bulan.
NTP terendah terjadi pada bulan September dan tertinggi pada bulan Januari. Perubahan
NTP perbulannya berkisar antara minus 8,4 – 3,2

Tingkat Keuntungan Usahatani


Padi Sawah
Pendapatan bersih atau keuntungan usahatani padi sawah per hektar pada musim
kemarau sekitar 2,2 juta rupiah dan pada musim hujan sekitar 3 juta rupiah. R/C usahatani
padi sawah MK I 2004 dan MH 2003/2004 masing-masing sebesar 1,78 dan 1,99. Tampak
bahwa usahatani padi sawah menguntungkan yang ditunjukkan oleh R/C lebih besar dari
satu.

Padi Ladang
Produktivitas padi ladang mencapai sekitar 29 kw/ha, lebih tinggi dibandingkan
dengan rata-rata produktivitas padi ladang Provinsi NTB dan Kabupaten Sumbawa tahun
2003 (24 kw/ha). Pada tingkat produksi yang dicapai dan harga yang berlaku maka
pendapatan kotor yang diperoleh sebesar Rp 4,2 juta. Dengan total biaya usahatani sebesar
Rp 1.4 juta maka keuntungan petani mencapai sekitar Rp 2,8 juta. Tingkat keuntungan

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 486
Seminar Nasional 2005

usahatani padi ladang relatif besar yaitu mencapai 66,8 persen dari penerimaan atau
pendapatan kotor. Jika dibandingkan antara penerimaan yang diterima dan biaya yang
dikeluarkan maka usahatani padi ladang di Kabupaten Sumbawa khususnya di Kecamatan
Labangka menguntungkan. Hal ini terlihat dari nilai imbangan penerimaan kotor dan biaya
(R/C ratio) yang mencapai 2,01.

Jagung
Rataan produksi jagung yang dicapai pada MH 2003/2004 sekitar 4,6 ton per hektar.
Tingkat produktivitas yang dicapai ini jauh di atas data produksi kedelai BPS tahun 2003 di
kabupaten yang sama (2,1 ton per hektar). Dengan harga jual yang diterima petani Rp
516/kg, pada tingkat produksi tersebut penerimaan petani mencapai sekitar 2,4 juta rupiah.
Dari penerimaan usahatani tersebut, sekitar Rp 1,5 juta atau 63 persen merupakan biaya
produksi. Komponen biaya terbesar adalah biaya saprodi, namun demikian besar biaya
saprodi dan biaya tenaga kerja relatif sama yaitu masing-masing 31 persen dan 28 persen.
Tingkat keuntungan usahatani jagung sekitar Rp 2,4 juta dengan R/C sebesar 1,58.

Kacang Hijau
Produksi kacang hijau yang dihasilkan petani mencapai sekitar 4 kw/ha jauh lebih
rendah dibandingkan dengan rata-rata produksi di Kabupaten Sumbawa dan Provinsi NTB
pada tahun 2003 (7,5 Kw/ha). Pada tingkat produksi ini penerimaan kotor petani sekitar Rp
968 ribu. Biaya yang dikeluarkan untuk usahatani kacang hijau per hektar mencapai Rp 627
ribu, maka keuntungan yang diterima petani sebesar Rp 341 ribu. Meskipun dengan
keuntungan relatif kecil (35% dari penerimaan), usahatani kacang hijau menguntungkan
untuk diusahakan dengan R/C 1,54. Dengan tingkat keuntungan tersebut, usahatani kacang
hijau belum dapat digunakan sebagai sumber pendapatan utama keluarga.

Bawang Merah
Besarnya penerimaan usahatani bawang merah per hektar pada MK I 2004, dan MH
2003/2004 masing-masing sekitar Rp 29 juta dan Rp 11 juta. Setelah diperhitungkan biaya
yang dikeluarkan maka keuntungan petani bawang merah sekitar Rp 11 juta pada musim
kemarau dan Rp 4,8 juta pada musim hujan. Sementara itu besarnya imbangan antara
penerimaan dan biaya pada musim kemarau dan musim hujan masing-masing 1, 63 dan 1,78.
Dilihat dari biaya yang dikeluarkan petani, usahatani bawang merah musim kemarau
memerlukan biaya lebih besar dibandingkan musim hujan. Total biaya usahatani bawang
merah musim kemarau dan musim hujan masing-masing sekitar Rp 18 juta dan Rp 6 juta.

Manggis
Usahatani manggis sangat menguntungkan dilihat dari besarnya keuntungan yang
diperoleh maupun prospek pemasarannnya. Total penerimaan kotor selama setahun pada
usahatani manggis sekitar Rp 11 juta. Dengan biaya produksi yang dikeluarkan pada tahun
tersebut sebesar 2,6 juta, maka keuntungan petani manggis sebesar Rp 8,4 juta. Dengan
struktur biaya seperti di atas, usahatani manggis di Kabupaten Lombok Barat sangat
menguntungkan. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya nilai imbangan penerimaan kotor dengan
biaya (R/C ratio) yaitu sebesar 4,26.

Mangga
Penerimaan petani mangga selama setahun sekitar Rp 5,5 juta, dan keuntungan yang
diperoleh mencapai Rp 4,4 juta (80% dari total penerimaan). Total biaya usahatani mangga
yang sudah menghasilkan sebesar Rp 1,1 juta atau 20 persen dapi penerimaan petani.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 487
Seminar Nasional 2005

Kopi
Total penerimaan usahatani kopi di lokasi penelitian sebesar Rp 3,4 juta per hektar
per tahun. Sementara itu biaya yang harus dikeluarkan relatif kecil yaitu Rp 360 ribu atau
10,70 persen dari penerimaan kotor. Biaya terbesar adalah untuk tenaga kerja yaitu sekitar
Rp 240 ribu atau 7,05 persen dari penerimaan kotor. Dengan biaya yang relatif kecil
dibandingkan penerimaan maka nilai imbangan biaya dan penerimaan kotor (R/C ratio) yang
diperoleh sebesar 9,35. Dengan nilai R/C jauh lebih besar dari satu berarti usahatani kopi
setelah mencapai usia produktif sangat menguntungkan.

Mete
Total penerimaan usahatani jambu mete dalam satu tahun sebesar Rp 1,25 juta per
hektar. Dari jumlah tersebut, sebesar 80,25 persen merupakan biaya produksi dan
diantaranya 70,15 persen merupakan biaya tenaga kerja. Keuntungan yang diperoleh selama
setahun dari usahatani jambu mete mencapai sekitar 250 ribu rupiah per hektar tanaman
kelapa. Nilai R/C lebih besar dari satu, menunjukkan bahwa usahatani tersebut
menguntungkan. Dilihat dari besaran keuntungan yang diperoleh, pendapatan dari usahatani
jambu mete tersebut tidak cukup besar apabila digunakan sebagai satu-satunya sumber
pendapatan rumahtangga.

Kakao
Rata-rata produksi kakao yang dihasilkan petani selama setahun 7,48 Kw/ha.
Biasanya petani menjual kakao dalam bentuk biji kering, dengan harga jual yang diterima
pada waktu panen Rp 4754/kg. Dengan tingkat produksi yang dicapai dan tingkat harga yang
diterima tersebut diperoleh penerimaan setahun sebesar 5,4 juta rupiah per hektar.
Keuntungan yang diperoleh petani dari satu hektar tanaman kakao sekitar Rp 3,9 juta dalam
waktu satu tahun. Setelah mencapai usia produktif, usahatani kakao sangat menguntungkan.
Hal ini terlihat dari imbangan biaya dan penerimaan kotor (R/C ratio) yang nilainya jauh di
atas satu yaitu 3,61.

Vanili
Total penerimaan usahatani vanili di lokasi penelitian sebesar Rp 3,1 juta per hektar
per tahun. Sementara itu biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp 2,3 juta atau 75,69
persen dari penerimaan kotor. Biaya terbesar adalah untuk tenaga kerja yaitu 1,9 juta atau
61,11 persen dari penerimaan kotor. Nilai imbangan biaya dan penerimaan kotor (R/C ratio)
yang diperoleh sebesar 1,52. Dengan nilai R/C lebih besar dari satu berarti usahatani vanili
menguntungkan. Besarnya keuntungan yang dicapai petani dalam satu tahun sekitar 600 ribu
rupiah per hektar. Nilai ini relatif kecil apabila usaha tersebut merupakan satu-satunya
sumber pendapatan rumahtangga tanpa ada sumber pendapatan lain.

Sapi Potong
Total biaya usaha penggemukan sapi potong dengan skala usaha satu ekor
memerlukan biaya Rp 805 ribu. Dengan biaya tersebut selama enam bulan penerimaan
mencapai Rp 1,623 juta sehingga keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 818 ribu atau 50
persen dari total penerimaan. Usaha ternak ini sangat menguntungkan dilihat dari nilai R/C
sebesar 2,01.

Kerbau
Output lain yang diperoleh dari usaha ternak kerbau adalah jasa tenaga kerja.
Dengan demikian dalam waktu tersebut penerimaan petani dari nilai ternak dan jasa tenaga
kerja mencapai Rp 16,499 juta. Untuk menghasilkan penerimaan sebesar Rp 16,499 juta
selama setahun diperlukan biaya sebesar Rp 8,075 juta. Komponen biya terbesar merupakan
biaya pembelian induk kerbau yang mencapai 43,33 persen dari total penerimaan. Dengan

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 488
Seminar Nasional 2005

struktur penerimaan dan biaya tersebut maka keuntungan petani kerbau mencapai Rp 8,424
juta dan R/C 2,04.

Kambing
Total output yang diperoleh petani selama setahun mencapai Rp 3,046 juta. Input
produksi terdiri dari biaya pembelian pejantan dan induk, kandang dan obat-obatan. Total
input usaha ternak kambing sebesar Rp 1,194 juta atau 39,20 persen dari penerimaan.
Dengan struktur biaya dan penerimaan tersebut maka keuntungan usaha ternak
kambing selama setahun sebesar Rp 1,852 juta. Usaha tersebut menguntungkan dilihat dari
nilai R/C sebesar 2,55.

Ayam Buras
Total biaya produksi usaha ternak ayam buras selama setahun mencapai Rp 1,367
juta atau 65,33 persen dari total penerimaan. Biaya terbesar merupakan biaya bibit ( 28 %)
dan pakan (27 %). Produk utama yang dihasilkan dalam usaha ternak ayam buras adalah
telur konsumsi. Disamping telur konsumsi, usaha ternak melakukan pembibitan untuk
regenerasi induk yang sudah afkir. Hasil analisa menunjukkan penerimaan usaha ternak
ayam selama setahun sekitar Rp 2,093 juta, sehingga keuntungan yang diperoleh mencapai
Rp 726 ribu rupiah dengan nilai R/C sebesar 1,53.

Itik
Hasil analisa usaha menunjukkan bahwa biaya produksi selama setahun yaitu Rp
2,015 juta. Biaya ini sebagian besar merupakan biaya lain Rp 859 ribu (14,59% dari
penerimaan) dan biaya pakan Rp 626 ribu (10,64% dari penerimaan). Penerimaan selama
setahun dari itik jantan, induk, telur dan limbah sebesar Rp 5,889 juta sehingga keuntungan
usaha sebesar Rp 3,874 juta.

Pendapatan Rumah Tangga Petani dan Tingkat Kemiskinan


Apabila diamati struktur pendapatannya, sebagian besar atau lebih dari 50 persen
pendapatan petani diperoleh dari usaha on farm. Pada sebagian kecil petani seperti petani
pisang, jambu mete, kambing, ayam buras dan itik, pendapatan dari usaha on farm bukan
merupakan sumber pendapatan utama dilihat dari relatif kecil sumbangannya terhadap total
pendapatan rumahtangga (<50%). Hal yang menarik dari hasil survei ini adalah bahwa
pendapatan petani padi sawah terbesar diantara pendapatan petani komoditas pertanian land
base (tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan).
Rata-rata pendapatan per kapita sebulan berkisar antara Rp 39.734 sampai Rp
65.7746, petani dengan pendapatan terendah adalah peternak sapi potong. Dengan
menggunakan batas kemiskinan tahun 2001 yang ditentukan BPS untuk daerah pedesaan
Provinsi NTB sebesar Rp 75.062/kapita/bulan maka pendapatan sebagian besar petani di
Provinsi NTB berada di atas garis kemiskinan. Berdasarkan batas kemiskinan BPS tersebut
maka petani jagung, kopi, jambu mete dan sapi potong tergolong sebagai petani miskin
(pendapatan/kapitan/bulan berada di bawah garis kemiskinan).

KESIMPULAN

Apabila keberhasilan pembangunan dikatagorikan dalam tiga strata yaitu baik,


sedang dan buruk maka berdasarkan evaluasi indikator yang telah dianalisis dalam kajian ini,
kinerja pembangunan pertanian di NTB tergolong dalam katagori baik karena perbandingan
atau rasio antara indikator yang kinerjanya baik dan buruk 10:3.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 489
Seminar Nasional 2005

DAFTAR PUSTAKA

BAPPEDA NTB, 2002. Propeda. BAPPEDA NTB. Mataram.


BPKPMD Provinsi NTB. 2004. Investasi PMA dan PMDN di Provinsi NTB 1979-2004.
Mataram.
BPS Provinsi NTB. 2004. Statistik Harga Produsen dan Nilai Tukar Petani Provinsi NTB
2003. Badan Pusat Statistik Provinsi NTB. Mataram.
BPS Provinsi NTB. 2004. NTB dalam Angka 2002-2004. Badan Pusat Statistik Provinsi
NTB. Mataram.
BPS Provinsi NTB. 2004. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi di Indonesia 2002-
2003. Badan Pusat Statistik. Mataram.
BUKPD NTB. 2002. Analisa Ketersediaan Pangan NTB 2003. Badan Urusan Ketahanan
Pangan Daerah NTB. Mataram.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi NTB. 2004. Perkembangan Luas Areal Panen,
Produksi, dan Produktivitas Tanaman Pangan Provinsi NTB 2002-2004. Mataram
Dinas Peternakan Provinsi NTB. 2004. Statistik Peternakan 2003. Mataram.
Inspektorat Jendaral DEPTAN, 2003. Manajemen Kinerja (MANJA). Modul II. Deptan.
Jakarta.
LAN, RI, 2003. Pedoman Penyusuanan Pelaporan Akuntabilkitas Kinerja Instansi
Pemerintah. Lemabga Administrasi Negara Republik Indoesia, Jakarta.
PSE Badan Litbang Deptan., 2002. Proposal Indikator Pembangunan Pertanian. PSE. Badan
Litbang, Bogor.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 490
Seminar Nasional 2005

STRATEGI PENGELOLAAN KLINIK TEKNOLOGI PERTANIAN (KLITTAN)


DALAM MENDUKUNG PERCEPATAN PENGEMBANGAN USAHATANI LAHAN
MARGINAL DI NUSA TENGGARA TIMUR

Nelson H. Kario, Yusuf


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur

ABSTRAK

Sampai saat ini telah banyak sekali teknologi pertanian yang telah dihasilkan oleh lembaga-lembaga
penelitian. Namun sejauh ini teknologi-teknologi tersebut kurang dirasakan manfaatnya oleh petani
(stakeholder). Oleh sebab itu perlu dukungan sarana penunjang yang diharapkan mampu menjembatani bahkan
mempercepat informasi untuk diterima dan dilaksanakan. Salah satu kelembagaan yang diharapkan mampu
mendukung keberhasilan tersebut antara lain dapat dilakukan melalui pengoptimalan “Klinik Teknologi Pertanian
(Klittan). Wadah ini dapat dijadikan sebagai wadah pertemuan, sosialisasi, sumber informasi bagi petani untuk
memperoleh informasi yang berkaitan dengan sumberdaya pendukung. Untuk mempercepat pemanfaatan
teknologi oleh petani maka strategi yang dapat dilakukan adalah melalui pengoptimalan sumberdaya manusia
(peneliti, penyuluh, litkayasa dan petugas terkait) secara periodik, terjadwal, terstruktur, sesuai kapasitas dan
kapabilitas, sedangkan penunjang seperti sarana dan pra sarana kebijakan, pendanaan, strategi, perencanaan,
struktur, mekanisme pelaksanaan dan pengawasan (controlling).
Kata kunci : Strategi klittan, usahatani.

PENDAHULUAN

Hingga saat ini telah banyak sekali teknologi yang dihasilkan oleh lembaga-
lembaga penelitian namun berdasarkan kenyataan teknologi yang dihasilkan belum
sepenuhnya diaplikasi atau dikembangkan bahkan meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan para petani. Kenyataan ini tergambar dari kondisi rumah tangga petani dan
kesenjangan (gap) antara produktivitas hasil yang dicapai petani dibandingkan dengan
tingkat penelitian.
Beberapa alasan mengapa petani tidak menerapkan teknologi hasil-hasil penelitian
antara lain: 1) teknologi tidak sampai ke petani; 2) teknologi tidak sesuai dengan kebutuhan
petani; 3) teknologi belum dipahami dan diyakini oleh petani; 4) petani kesulitan dalam
mendapatkan sarana produksi yang dianjurkan dan 5) kemampuan modal petani terbatas.
(Paryono, et al. (2002) dalam Paryono, et al. (2004).
Melihat kenyataan tersebut diatas mengindikasikan bahwa telah terjadi walaupun
BPTP sebagai salah satu lembaga penghasil teknologi telah mampu menghasilkan banyak
dan beragam teknologi spesifik lokasi namun juga memiliki tanggung jawab moral apabila
telah terjadi kesenjangan antara penghasil dan pengguna seperti yang disampaikan tersebut
diatas. Namun terlepas dari kondisi tersebut maka beban moral sepenuhnya bukan
merupakan tanggung jawab dari penghasil teknologi karena masih banyak kendala lain
terutama untuk mempercepat pemanfaatannya oleh petani (stakeholder).
Menurut Soethama, et al. (2004) berapa faktor yang menjadi kendala percepatan
pemanfaatan hasil-hasil teknologi di tingkat petani antara lain: a) adanya keterbatasan
pelayanan input produksi; b) keterbatasan modal; c) lemahnya akses petani terhadap
teknologi; d) lemahnya akses petani dalam bidang informasi dan komunikasi; e) keterbatasan
keterlibatan petani di dalam pengembangan teknologi dan tingkat pendidikan. Bahkan oleh
Nggobe, et al. (2004) disampaikan bahwa permasalahan kesenjangan ini bukan disebabkan
oleh ketersediaan teknologi tetapi terletak pada kesesuaian dari teknologi itu sendiri.
Upaya yang dapat dilakukan untuk menjembatani kesenjangan teknologi menuju
terwujudnya kemandirian petani menurut Kindangen, (2004) dapat dilakukan melalui
pembentukan "Klinik Teknologi Pertanian" (Klittan).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 491
Seminar Nasional 2005

Pembentukan klittan menurut Paryono, et al. (2004) merupakan bentuk terobosan


baru terutama untuk penyampaian dan pendayagunaan sebagai wahana untuk mempercepat
penyebarluasan sekaligus untuk lebih mendekatkan teknologi baru kepada pengguna.
Adapun tujuan penyelenggaraan Klittan antara lain:
Mengidentifikasi masalah, potensi dan peluang pengembangan pertanian di suatu
wilayah tertentu
Mengidentifikasi dan memperkaya penerapan teknologi usahatani yang dipakai petani-
nelayan dan pengguna lain
Menganalisis kendala/masalah serta menyiapkan kebutuhan teknologi yang diperlukan di
suatu wilayah tertentu
Mengembangkan kemampuan petani-nelayan dalam mengakses teknologi pertanian
Memperkenalkan dan mempromosikan teknologi-teknologi baru yang spesifik lokasi
Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petani-nelayan dalam menerapkan teknologi
pertanian
Makalah ini dibahas dalam bentuk review berupa gagasan, konsep, pemikiran dan
pengalaman yang telah dilakukan oleh beberapa BPTP, Balit komoditas dan petani
berhubungan dengan upaya perbaikan teknologi budidaya dan pasca panen.

Kondisi Usahatani di Nusa Tenggara Timur (NTT)


Lahan yang dapat dijadikan lahan usaha pertanian (arable land) di NTT seluas
1.647.737 ha yang terdiri atas 2,69% (127.207 ha) untuk usaha lahan basah, dan 32,11%
(1.520.530 ha lahan kering. (Pura Woha, 2001). Selanjutnya Benu dan Nunungsih, (2001)
mengatakan bahwa 38,07% dari lahan tersebut 15% – 40% berada diantara kemiringan dan
35,46% berelevasi > 40%. Sistem pertanian yang ada terdiri atas : pekarangan, sawah baik
beririgasi maupun tadah hujan, perladangan/huma/tegalan, perladangan berotasi, mamar,
perkebunan dan mamar.
Kondisi iklim termasuk kering (semi arid) dengan dengan suhu udara yang sangat
tinggi dengan rerata maksimum 32° – 38° (kemarau berlangsung selama 8 – 9 bulan dan
musim hujan hanya 3 – 4 bulan menyebabkan musim tanam yang berlaku sangat singkat.

Pengertian Klittan
Kata klinik dalam Ensiklopedia Indonesia (1990) berasal dari bahasa Yunani yaitu
"Klinein" yang berarti "bersandar" atau berbaring. Definisi ini cenderung memiliki makna
yang mengarah sebagai tempat untuk orang sakit.
Dalam versi lain Soethama, et al. (2004) mengatakan bahwa kata klinik berasal dari
bahasa perancis yang mengandung arti sebagai tempat praktek pengobatan. Selanjutnya
dalan versi Yunani "Klinikos" atau "Kline" yang berarti tempat tidur. Untuk itu terlepas dari
berbagai etomologi tersebut maka dapat dikatakan bahwa pengertian yang terkandung dalam
kata klinik adalah: sebagai tempat bersandar atau berbaring bagi pasien untuk memperoleh
pelayanan kesehatan seperti diagnosa, terapi dan upaya pencegahan penyakit yang diderita
pasien.
Kaitannya dengan aplikasinya dibidang pertanian maka pengertian klinik dapat
diformulasikan sebagai tempat bertanya, berdiskusi, memecahkan masalah, memperoleh
solusi, serta menindaklanjuti permasalahan yang dihadapi petani.
Menurut Paryono, et al. (2004) yang dimaksud dengan klinik pertanian adalah suatu
rangkaian pelayanan teknologi pertanian untuk membantu masalah dan mengembangkan
usaha pertanian di suatu wilayah tertentu. Jenis teknologi tersebut antara lain produksi

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 492
Seminar Nasional 2005

seperti : pembibitan, varietas, jarak tanam, pemupukan dan pemberantasan hama/penyakit


(jenis, dosis dan waktu aplikasi), sosial (kelembagaan) dan ekonomi (pemasaran).

STATEGI PENGELOLAAN KLITTAN

1. Pendekatan Kelembagaan
a. Institusi/Lembaga terkait
Kelembagaan yang terlibat didalam penyelenggaraan klitan sangat diharapkan untuk
mampu membantu mewadahi, menjembatani, memediasi bahkan motivator baik secara
langsung maupun tidak terhadap kepentingan petani. Keterlibatan lembaga pendukung
sebaiknya bersifat lintas sektoral karena keragaman teknologi, kompleksitas masalah serta
keterbatasan yang melekat pada petani itu sendiri.
Selain Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) sebagai penggagas dan identik
perekayasa teknologi spesifik lokasi, kelembagaan lain yang sangat diharapkan terutama
dalam koordinasi antara lain : Pemerintah Daerah (Pemda), Kelompok Tani, Penyuluh, tokoh
agama, masyarakat maupun adat dan lainnya yang terkait seperti Perbankan, Koperasi
maupun swasta.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)


Balai Pengkajian Teknologi pertanian (BPTP) adalah salah satu institusi
perpanjangan tangan dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian di
daerah selain beberapa balai komoditas yang ada. Keberadaan institusi ini adalah untuk
mengembangkan dan menghasilkan teknologi yang bersifat spesifik lokasi berdasarkan
potensi dan kemampuan sumber daya alam dari masing-masing daerah.
Klittan merupakan salah satu produk BPTP dalam rangka mempercepat sosialisasi
teknologi di tingkat petani. Untuk itu pembentukan Klittan sebagai salah satu wujud realisasi
tugas dan fungsi yang melekat yaitu disamping sebagai institusi penghasil/perekayasa
teknologi spesifik lokasi di tingkat daerah juga berfungsi sebagai mediator penyuluhan agar
teknologi rekayasa yang dihasilkan mampu dilaksanakan oleh petani (stageholder) secara
baik, sesuai, menguntungkan serta mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.
rumah tangga petani.
Pedekatan dari institusi ini diharapkan harus aktif karena terkait pencapaian
keberhasilan dalam hal respon dan tindak lanjut (operasionalisasi) bersama kelembagaan lain
yang berada diluar BPTP untuk mendukung aktivitas pengembangan Klittan. Wadah ini
akan berhasil apabila pendekatan yang dilakukan mampu meyakinkan kelembagaan lain
sebagai mitra.

Pemerintah Daerah
Bantuan perhatian Pemda sangat diharapkan secara dominan baik sebelum maupun
selama berlangsungnya Klittan. Hal ini untuk mengantisipasi apabila timbulnya kesenjangan
koordinasi antara pelaksana dengan anggota masyarakat (petani) sebagai pemegam otonomi
daerah. Salah satu sumber pendanaan operasional Klittan yang dapat dimanfaatkan antara
lain bersumber dari Pemda menurut Bakrie, et al. (2004).
Jenis bantuan lain yang diharapkan diantaranya pemberian kewenangan berupa
pendelegasian petugas terkait untuk kelancaran klittan dan perhatian terhadap kemudahan
aksessibilitas kelembagaan penunjang seperti: kelompok tani, penyuluhan serta kelembagaan
penyedia sarana produksi.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 493
Seminar Nasional 2005

Kelompok Tani
Kelompok ini merupakan lembaga yang paling dekat dengan petani sekaligus
sebagai perpanjangan tangan dari petani itu sendiri terutama untuk memperoleh aksesibilitas
terhadap informasi dari pihah luar. Kaitannya dengan klitan maka institusi ini diharapkan
berfungsi sebagai menjadi mediator. Apabila anggota kelompok berfungsi dengan baik
maka aksessibilitas mendapatkan informasi yang lebih cepat lebih besar.
Berdasarkan pengalaman Kindangen, (2004) dimana Klittan yang dilaksanakan
BPTP Sulawesi dianggap berhasil karena hingga Mei 2004 telah mampu membangun
sebanyak 25 dengan kategori 6 aktif dan 15 cukup aktif sedangkan sisanya (4 klittan) kurang
aktif akibat kurang aktifnya pengelola dan anggota dengan melakukan 4 jenis kegiatan
seperti Peternakan, perkebunan, tanaman pangan dan pelayanan. Selanjutnya dikatakan
bahkan sejak awal perkembangannya pada tahun 2000 sudah terdapat kelompok tani yang
telah mampu melakukan usaha secara mandiri peternakan ayam ras (2 kali/thn)
pengembangan jagung, padi, kentang dan bunga krisan (2 kali/tahun) serta pelayanan
saprodi, konsultasi dan pelayanan (setiap hari). Bahkan juga mampu membiayai
pembangunan Klittan secara swadaya, pinjaman maupun sewa dari usaha yang dilakukan
secara mandiri.

Penyuluhan
Berdasarkan pengalaman dukungan dari lembaga ini hingga saat ini mutlak masih
sangat mutlak diperlukan untuk membantu penyebaran informasi teknologi di NTT juga
karena merupakan lembaga yang paling dekat dengan petani.
Sejalan dengan otonomi daerah yang kewenangannya berada di pihak Pemda
berimbas pada disfungsi penyuluhan di beberapa daerah termasuk NTT menyebabkan
penyuluhan mengalami stagnasi. Untuk itu kaitannya dengan operasionalisasi pengembangan
Klittan maka perlu tindak lanjut dukungan dalam hal ini koordinasi dengan Pemda sebagai
penentu kebijakan di masing-masing daerah. Hal ini penting untuk diperhatikan karena
dampak dari ketiadaannya bersama-sama dengan petani ditambah dengan letak geografis
antar daerah yang relative membutuhkan pembiayaan dan tenaga yang lebih berdampak
terhadap inefisiensi penyerapan teknologi yang identik dengan kebutuhan petani itu sendiri.
Spesifikasi tenaga yang diperlukan dalam membantu penyelenggaraan diharapkan
disesuaikan dengan spesifikasi fungsionalisasi tenaga pendukung. Hal ini penting karena
tanpa didukung dengan latar belakang tersebut teknologi tidak akan dilakukan secara baik
dan berdaya guna.

Tokoh Agama/Masyarakat/Adat
Kelembagaan ini merupakan salah satu jenis lembaga yang bersifat non institusional
karena disamping berperan sebagai anggota masyarakat juga dianggap sebagai pemimpin
yang diharapkan menjadi panutan, motivator dan teladan terhadap anggota masyarakat dalam
hal ini petani karena ketokohannya tersebut.
Kaitannya dengan operasionalisasi pelaksanaan klittan maka peranan yang sangat
diharapkan yaitu sejak persiapan hingga operasionalisasi terutama dalam hal menggerakkan
dan meyakinkan petani untuk mau menerima inovasi baru kearah perbaikan teknologi yang
diharapkan kearah perbaikan pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga petani dan
keluarganya.
Menurut Benu dan Nuningsih, (1993) bahwa untuk mempercepat ancangan aplikasi
teknologi di NTT maka peran dari salah satu tokoh ini sangat perlu dilibatkan, bahkan
menjadi “Prime Mover” untuk percepatan adopsi teknologi. Peran dari ke tiga kelembagaan
tersebut secara jelas tergambar dari kondisi geografis daerah ini yang memiliki 466 buah
pulau dengan 42 buah berpenghuni (P. Woha, 2001). Oleh karena itu untuk realisasi

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 494
Seminar Nasional 2005

pengembangan Klittan ke depan sangat membutuhkan kelembagaan ini untuk meminimalisir


bias teknologi akibat biaya operasionalisasi klitan yang tinggi.
Selanjutnya yang perlu diperhatikan dalam pembentukan Klittan ini adalah dampak
yang ditimbulkan apabila peran tidak dimaksimalkan. Hal ini terjadi di Papua dimana
menurut Nggobe, et al. (2004) perlu pelibatan kegiatan yang bersifat lintas adat/suku karena
akan menimbulkan egosentris.

Lainnya (Perbankan, Koperasi maupun Swasta)


Kaitan kelembagaan ini dengan pengembangan klittan bersifat tidak langsung karena
masih dibatasi oleh petani sebagai sasaran akhir. Namun peran dari penyelenggara sangat
diharapkan terutama menjadi mediator.
Hal ini sejalan dengan pengalaman pengkajian jagung Bisma yang dilakukan
Bobihoe, et al. (1997) yang mengatakan bahwa dari ketiga elemen kelembagaan tersebut
untuk diharapkan komitmennya adalah swasta yang kerjasamanya dilakukan dalam bentuk
kemitraan. Hal ini terlihat dari kontribusi dan peranannya selama berlangsungnya penelitian
dimana mampu mengalokasikan berbagai jenis sarana produksi walaupun pembayarannya
dilakukan setelah panen dilakukan (yarnen).
Untuk perbankan berdasarkan pengalaman sangat sulit diharapkan kontribusinya
karena petani selalu dihadapkan dengan kebijakan internal institusi dalam hal ini persyaratan
yang identik sebagai kelemahan utama petani untuk berinteraksi mendapatkan pembuayaan.
Demikian juga dengan Koperasi Unit Desa (KUD) kondisinya tidak berbeda jauh
juga dengan perbankan. Namun yang membedakan diantara keduanya adalah untuk KUD
dapat dilakukan melalui pendekatan dukungan penyediaan peralatan dan bahan seperti
pupuk, pestisida sedangkan perbankan berupa tambahan modal namun realisasinya minim.
Hal ini identik dengan hasil penelitian Jeruk Keprok SoE (JKS) di dua kabupaten yaitu
Timor Tengah Selatan (TTS) dan Timor Tengah Utara TTU) yang dilakukan Kario, et al.
(2004) dimana peran KUD terhadap kelangsungan pengembangan usahatani jeruk sangat
kurang.

b. Model usaha
Konsultasi
Aktivitas yang dilakukan pada model ini mirip dengan konsultasi yang dilakukan
dibidang kesehatan namun sumber masalah yang dikonsultasikan obyeknya berbeda.
Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan model usaha ini sebaiknya
permasalahan yang dikonsultasikan disesuaikan dengan spesifikasi keilmuan atau
fungsionalisasi penyelenggara klittan. Namun apabila dalam perkembangannya mengalami
kemajuan yang sangat pesat seperti yang dikemukakan Kindangen, (2004) yang menargetkan
pembentukan 5 – 6 Klittan di tiap-tiap kecamatan di Sulut pada tahun 2010 untuk itu
kaitannya dengan pengembangan di NTT yang secara geografis terdiri atas kepulauan maka
perlu perhatian penyelenggara dalam dukungan tenaga konsultas untuk mengantisipasi
kelangkaan tenaga ahli yang sesuai dengan permasalahan yang dihadap petani.

Demonstrasi Plot
Model ini merupakan salah satu wujud memperkenalkan keunggulan suatu
pelaksanaan teknologi terhadap petani di tingkat lapangan sehingga dari pelaksanaan ini
mampu meninmbulkan minat bagi petani untuk mengembangkan dalam skala luas. Namun
yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa selama kegiatan ini berlangsung teknologi
sepenunya dikendalikan oleh peneliti sedangkan petani hanya sebatas melakukan
perbandingan terhadap usahataninya sendiri seperti besarnya penggunaan sarana produksi,
spesifikasi teknologi dan produktivitas hasil dari pelaksanaan demonstrasi plot.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 495
Seminar Nasional 2005

Untuk itu dari pelaksanaan ini pula diharapkan umpan balik (feed back) terhadap
sumber teknologi untuk diperbaiki apabila masih terdapat kelemahan dan selanjutnya apabila
memungkinkan hasil perbaikan tersebut dapat dilakukan bersama dengan petani kalau perlu
menggunakan lahan petani sebagai areal demonstrasi.

Warung Saprodi
Berdasarkan pengalaman bahwa walaupun klittan ini lebih diarahkan sebagai
mediator untuk mendapatkan informasi teknologi namun berdasarkan pengalaman maka
kondisi ini akan bias. Untuk itu perlu diantisipasi dengan tambahan model usaha untuk lebih
mempercepat aksesibilitas dalam hal ini kemudahan membeli sarana produksi seperti bibit,
pupuk, pestisida dan peralatan pendukung.
Apabila dalam perkembangannya mengalami kemajuan maka dari hasil transaksi
penjualan tersebut dapat digunakan untuk biaya operasionalisasi tenaga pendukung (non
fungsional) sekaligus sebagai tambahan modal usaha.

Penunjang
Model ini merupakan model harapan terakhir apabila Klittan mampu berkembang
dengan baik. Beberapa jenis usaha penunjang yang menjadi alternatif diantaranya usaha
bersama yang dapat mengikutsertakan komoditas di luar pertanian apabila memungkinkan
dengan kata lain disesuaikan dengan kemampuan sumberdaya penyelenggara.
Bahkan berdasarkan pengalaman penyelenggara klittan di Sulut telah terdapat
kelompok tani yang mampu mengembangkan perkebunan panili, pemeliharaan ternak sapi
bahkan pembuatan dodol atau sirup sebagai dampak dari diversivikasi komoditas yang
dilakukan oleh anggota kelompok tani (Kindangen, 2004).

2. Pendekatan Komoditas
Bentuk pendekatan ini sangat mutlak untuk didekati karena kondisi adanya pengaruh
perbedaan agroekosistem dan “political will” dari pemerintah.

KESIMPULAN

Klinik pertanian dapat dimanfaat sebagai media untuk melakukan identifikasi,


analisis masalah, potensi dan peluang pengembangan pertanian di suatu wilayah tertentu
dalam rangka menyiapkan kebutuhan dan mempercepat penerapan teknologi yang
diperlukan oleh petani-nelayan, dan pengguna lain serta mengembangkan kemampuan
mengakses dan memperkenalkan serta mempromosikan teknologi-teknologi baru spesifik
lokasi dan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petani-nelayan dalam menerapkan
teknologi pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Benu, A. dan Retno Nuningsih. 2001. Potensi wilayah dan masalah pembangunan pertanian
di wilayah kering dan sumberdaya kelautan, Kajian Nusa Tenggara Timur.
Prodiding Konfrensi Internasional Pembangunan Pertanian Semi Arid Nusa
Tenggara Timur dan Timor Timur dan Maluku Tenggara, Tanggal 10 – 16
Desember 1995 di Kupang.
Benu, A., H. Ataupah, E.O. Momuat. 1993. Peranan aspek social budaya dalam
pengembangan pertanian lahan kering di NTT. Prosiding Lokakarya Status dan
Pengembangan Lahan Kering di Indonesia. Mataram, 16 – 18 Nopember 1993.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 496
Seminar Nasional 2005

Kario Nelson, Yusuf, Helena da Silva, 2004. Keragaan usahatani jeruk keprok So Edi Nusa
Tenggara Timur. Prosiding seminar hasil-Hasil Penelitian dan Komunikasi JKS di
Nusa Tenggara Timur.
Kindangen, J.G. 2004. Klinik Teknilogi Pertanian (Klittan) sebagai kelembagaan petani
menuju pertanian mandiri. Prosiding Seminar Nasional Klinik Teknologi Pertanian
Sebagai Basis Pertumbuhan Usaha Agribisnis menuju Petani Nelayan
Mandiri.Manado, 9 – 10 Juni 2004.
Nggobe, M., Demas Wamaer, J. Limbongan. 2004. Klinik Teknilogi Pertanian (Klittan)
sebagai kelembagaan petani menuju pertanian mandiri. Prosiding Seminar Nasional
Klinik Teknologi Pertanian Sebagai Basis Pertumbuhan Usaha Agribisnis menuju
Petani Nelayan Mandiri.Manado, 9 – 10 Juni 2004.
Pura Woha Umbu, 2001. Pembangunan Pertanian wilayah kering di Nusa Tenggara Timur.
Prodiding Konfrensi Internasional Pembangunan Pertanian Semi Arid Nusa
Tenggara Timur dan Timor Timur dan Maluku Tenggara, Tanggal 10 – 16
Desember 1995 di Kupang.
Soethama, IKW, Kamandalu, Sudaratmaja, Suprio Guntoro. 2004. Klinik Teknilogi
Pertanian (Klittan) sebagai kelembagaan petani menuju pertanian mandiri. Prosiding
Seminar Nasional Klinik Teknologi Pertanian Sebagai Basis Pertumbuhan Usaha
Agribisnis menuju Petani Nelayan Mandiri.Manado, 9 – 10 Juni 2004.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 497
Seminar Nasional 2005

Lampiran 1. Komoditas pangan unggulan daerah berdasarkan Hasil Analisis Location Quentiot
(LQ) NTT.

Unggulan
No Kabupaten/Kodya
I II III
1 Kupang/Kodya Sorgum Kacang tanah Padi sawah
2 TTS Ubi jalar Jagung Kedelai
3 TTU Kacang tanah Ubi kayu Jagung
4 Belu Kacang hijau Sorgum Jagung
5 Alor Padi ladang Kacang hijau Jagung
6 Lembata Kacang tanah Kacang hijau Pai lading
7 Flores Timur Padi ladang Kcang tanah Jagung
8 Sikka Padi ladang Kacang hijau Kacang tanah
9 Ende Padi ladan Padi sawah Jagung
10 Ngada Kedelai Padi sawah Padi lading
11 Manggarai Padi sawah Ubi jalar Kedelai
12 Sumba Timur Kacang tanah Sorgum Padi sawah
13 Sumba Barat Padi lading Ubi kayu Sorgum
Sumber : Yusuf, et al. (2002).

Lampiran 2. Komoditas pangan unggulan daerah berdasarkan Hasil Analisis Location Quentiot (LQ)
NTT.

Unggulan
No Kabupaten/Kodya
I II III
1 Kupang/Kodya Bawang merah Tomat Cabe
2 TTS Kentang Jeruk Bawang putih
3 TTU Bawang putih Nenas Mangga
4 Belu Bawang putih Mangga Cabe
5 Alor Mangga Jeruk Cabe
6 Lembata - - -
7 Flores Timur Nenas Mangga Jeruk
8 Sikka Cabe Tomat Mangga
9 Ende Kentang Bawang merah Cabe
10 Ngada Kentang Cabe Nenas
11 Manggarai Nenas Bawang merah Cabe
12 Sumba Timur Bawang merah Nangka Cabe
13 Sumba Barat Jeruk Nangka Mangga
Sumber : Yusuf, et al. (2002).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 498
Seminar Nasional 2005

Lampiran 3. Komoditas pangan unggulan daerah berdasarkan Hasil Analisis Location Quentiot (LQ)
NTT.

Unggulan
No Kabupaten/Kodya
I II III
1 Kupang/Kodya Kapuk Pinang Kelapa
2 TTS Kemiri Kapas Tembakau
3 TTU Kemiri Kapuk Pinang
4 Belu Kapas Kemiri Tembakau
5 Alor Kemiri Jambu mente Kelapa
6 Lembata Kemiri Jambu mente Lada
7 Flores Timur Jambu mente Kelapa Lada
8 Sikka Jarak Kakao Lada
9 Ende Cengkeh Kapas Kelapa
10 Ngada Pala Cengkeh Kopi
11 Manggarai Vanili Kopi Pala
12 Sumba Timur Kapuk Kelapa Pinang
13 Sumba Barat Tebu Pinang Tembakau
Sumber : Yusuf, et al. (2002).

Lampiran 4. Komoditas pangan unggulan daerah berdasarkan Hasil Analisis Location Quentiot (LQ)
NTT.

Unggulan
No Kabupaten/Kodya
I II III
1 Kupang/Kodya Ayam ras Ayam kampung Domba
2 TTS Sapi Sapi Kuda
3 TTU Babi Babi Itik
4 Belu Sapi Itik Ayam Kampung
5 Alor Itik Kambing Ayam Kampung
6 Lembata Kambing Babi Kuda
7 Flores Timur Kambing Itik Domba
8 Sikka Itik Kuda Babi
9 Ende Ayam Kampung Itik Kambing
10 Ngada Kerbau Kuda Kambing
11 Manggarai Kerbau Kuda Babi
12 Sumba Timur Kerbau Kuda Sapi
13 Sumba Barat Kerbau Kuda Kambing
Sumber : Yusuf, et al. (2002).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 499
Seminar Nasional 2005

PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI PELATIHAN PEMBUATAN KOMPOS


KOTORAN SAPI DI KAWASAN AGROPOLITAN WALIKSARIMADU,
DI KABUPATEN PEMALANG

Dian Maharso Yuwono1), Subiharta1), Amrih Prasetyo1),dan J. Geli Bulu2)


1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB

ABSTRAK

Pengembangan kawasan agropolitan ditujukan untuk pembangunan ekonomi berbasis pertanian di


kawasan agribisnis yang dirancang dan dilaksanakan dengan jalan mensinergiskan berbagai potensi yang ada
untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan,
berkelanjutan, dan terdesentralisasi. Kawasan Agropolitan Waliksarimadu sebagian besar wilayahnya terdiri dari
lahan kering dan merupakan kawasan sentra produksi (KSP) sayuran dan sapi potong di Kabupaten Pemalang.
Penggunaan kotoran ternak pada budidaya sayuran cenderung kurang efisien, dikarenakan kotoran ternak
digunakan secara berlebihan dan tanpa diolah terlebih dahulu. Di sisi lain pengembangan Kawasan Agropolitan
Waliksarimadu masih menitikberatkan pembangunan fisik, kurang memperhatikan aspek pemberdayaan petani.
Sehubungan hal ini telah dilakuan kajian pemberdayaan petani melalui pelatihan pembuatan pupuk organik dari
kotoran sapi. Kegiatan dilaksanakan di sentra kawasan pengembangan agropolitan, yakni pada Kelompok Tani
"Tunas Muda" dan "Sida Mulya", Desa Gombong, Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang pada Juli –
Nopember 2004. Hasil kajian menunjukkan bahwa kegiatan pelatihan yang disertai dengan praktek lapang
mampu meningkatkan ketrampilan anggota dalam menerapkan teknologi pengomposan. Penguasaan teknologi
dapat memicu tumbuhnya usaha agroindustri pengomposan kotoran sapi.
Kata kunci : agropolitan, pelatihan, kompos

PENDAHULUAN

Pengembangan kawasan agropolitan ditujukan untuk pembangunan ekonomi


berbasis pertanian di kawasan agribisnis yang dirancang dan dilaksanakan dengan jalan
mensinergiskan berbagai potensi yang ada untuk mendorong berkembangnya sistem dan
usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan, dan
terdesentralisasi. Kabupaten Pemalang merupakan salah satu daerah di Jawa Tengah yang
sedang mengembangkan kawasan agropolitan.
Kawasan Agropolitan Waliksarimadu merupakan kawasan sentra produksi (KSP)
sayuran di Kabupaten Pemalang (Kabupaten Pemalang dalam Angka, 2003). Tanaman
sayuran di kawasan agropolitan umumnya dibudidayakan di lahan kering berlereng yang
termasuk rawan erosi. Sedangkan komoditas peternakan yang menjadi unggulan Kawasan
Agropolitan Waliksarimadu adalah sapi potong. Hal ini karena adanya dukungan
sumberdaya hijauan pakan yang memadai dan kesesuaian iklim bagi budidaya sapi potong.
Kotoran dan sisa pakan ternak merupakan bahan organik lokal yang telah biasa
dimanfaatkan petani untuk pemupukan lahan.
Petani umumnya hanya menimbun kotoran ternak, dan menggunakannya pada saat
dibutuhkan, tanpa diproses lebih lanjut. Dalam kondisi penggunaan seperti itu tentunya
berpotensi relatif besar terhadap kesehatan tanaman, karena kotoran dan sisa pakan ternak
tanpa diproses lebih lanjut merupakan media penyebarluasan patogen, jamur, parasit dan
bibit tanaman liar yang merugikan tanaman. Disamping itu, tingginya aplikasi kotoran
ternak bagi pemupukan tanaman sayuran, yakni sekitar 20 ton/ha, menyebabkan kebutuhan
bahan organik sebagian besar masih dipasok dari luar.
Aspek yang perlu mendapat perhatian di kawasan Agropolitan Waliksarimadu
adalah aspek pemberdayaan petani, karena selama ini pengembangan kawasan kawasan
agropolitan baru menitikberatkan pada pembangunan sarana fisik (Kompas, 7 April 2004).
Sehubungan hal tersebut, dalam rangka mendukung peningkatan pendapatan petani dan
pembangunan berkelanjutan di kawasan agropolitan, dipandang perlu upaya pemberdayaan

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 500
Seminar Nasional 2005

petani di kawasan agropolitan Kabupaten Pemalang melalui pelatihan pembuatan kompos


kotoran sapi.

MATERI DAN METODE

Kegiatan dilaksanakan di sentra kawasan pengembangan agropolitan, yakni pada


Kelompok Tani “Tunas Muda” dan “Sida Mulya”, Desa Gombong, Kecamatan Belik,
Kabupaten Pemalang pada September – Nopember 2004, dengan melibatkan peran serta
petani secara aktif melalui pendekatan kelompok tani. Adapun pertimbangan yang
digunakan dalam pemilihan lokasi adalah lokasi tersebut merupakan kawasan sentra
produksi (KSP) komoditas yang menjadi pilar utama dari Kawasan Agropolitan
Waliksarimadu, yakni sayuran dan sapi potong. Sedangkan pemilihan kelompok tani
didasarkan pada besarnya populasi sapi potong.
Pada implementasi konsep pemberdayaan masyarakat menggunakan pendekatan
kelompok. Untuk itu, pada pelaksanaan kegiatan diawali dengan studi untuk mendapatkan
informasi mengenai karakteristik sumberdaya biofisik dan sosial ekonomi di Kecamatan
Belik. Data diperoleh dengan menggunakan metode survai. Berdasarkan hasil studi
tersebut, selanjutnya dilakukan rekayasa sosial untuk pemberdayaan petani, melalui
pelatihan yang intinya mengarah pada penciptaan suasana iklim yang memungkinkan potensi
petani berkembang. Materi pelatihan adalah pembuatan kompos kotoran sapi, sedangkan
metode pengomposan yang digunakan seperti yang direkomendasikan Lembah Hijau Multi
Farm (LHM), yakni produsen probiotik dengan merk dagang stardec. Disamping itu
dilakukan pendampingan, yang fungsinya sebagai fasilitator dalam membantu mencari
pemecahan masalah yang tidak dapat dilakukan oleh masyarakat tani.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Sumberdaya Biofisik


Luas wilayah Kecamatan Belik 12.510,047 ha, dimana bagian terbesar adalah
merupakan tanah kering, baik berupa hutan negara (34,95%), tegalan/kebun (27,92%), areal
perkebunan (27,92%), dan pekarangan/bangunan (16,26%) (Monografi Kecamatan Belik,
2002). Hutan negara mempunyai peran yang cukup penting bagi penyediaan hijauan pakan
ternak, karena petani memiliki akses untuk mencari rumput lapang maupun mengusahakan
budidaya rumput unggul di areal hutan.
Tanaman pangan dan palawija yang diusahakan petani adalah padi, jagung, dan
ketela ubikayu. Pola tanam pada lahan sawah tanah hujan adalah padi-jagung-jagung, dalam
luasan terbatas petani mengusahan padi gogo di lahan kering. Belum digunakannya bibit
unggul menyebabkan rendahnya produktivitas tanaman padi dan jagung. Produktivitas padi
di lahan sawah tadah hujan dan lahan kering masing-masing adalah 3,7 ton/ha dan 2,1 ton/
ha, sedangkan produktivitas jagung di lahan kering adalah 2,5 ton/ha.
Usahatani sayuran mendominasi kegiatan petani di Kecamatan Belik. Komoditas
sayuran yang diusahakan meliputi bawang daun, cabe (rawit dan besar), kubis, vetchai,
caysim, tomat, dan kentang. Pemasaran hasil tanaman sayuran melalui pedagang pengumpul
yang beroperasi di sub terminal agribisnis (STA) yang berada di Desa Gombong, Kecamatan
Belik. Produksi tanaman semusim di Kecamatan Belik sebagaimana tercantum pada Tabel 1.
Budidaya sayuran umumnya dilaksanakan pada lahan kering yang berlereng dan
ditandai dengan penanaman yang berlawanan dengan kontur tanah sehingga dari aspek
konservasi lemah. Dampak negatif yang dirasakan petani saat ini akibat lemahnya
konservasi adalah semakin sulitnya petani mendapatkan sumber air pada musim kemarau.
Permasalahan pada usahatani tanaman sayuran adalah belum digunakannya pupuk organik

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 501
Seminar Nasional 2005

ramah lingkungan, pascapanen (grading dan sortasi) masih lemah, dan penggunaan pestisida
melebihi ambang batas (BPP Kecamaan Belik, 2003).
Tabel 1. Produksi Tanaman Semusim di Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, 2003

Luas tanam (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha)


No Komoditas
Sawah Kering Sawah Kering Sawah Kering
1. Padi 2.488 120 9.206 252 3,7 2,1
2. Ubikayu - 240 - 9.335 - 38,9
3. Jagung - 1410 - 3.564 - 2,5
4. Bawang daun - 61 - 631 - 10,3
5. Cabe rawit - 129 - 768 - 6,0
6. Cabe besar 39 316 541 5.136 13,9 16,3
7. Kubis 8 300 154 5.860 19,3 19,5
8. Caysim 18 87 95 435 5,3 5,0
9. Tomat 80 62 2.453 2.420 30,7 39,0
10. Kentang - 37 - 969 - 26,2
Sumber : BPP Kecamatan Belik, 2003

Tanaman tahunan yang menjadi andalan Kecamatan Belik adalah nanas dan kelapa
deres (produksi gula aren). Tanaman tahunan lainnya yang diusahakan petani adalah pisang,
teh, cengkeh, kelapa, mete, kakao, glagah, kopi, dan nilam. Musim kemarau tidak
mempengaruhi budidaya tanaman tahunan, bahkan pada komoditas cengkeh petani
cenderung meningkatkan produksinya sejalan dengan membaiknya harga. Pemasaran hasil
tanaman tahunan dilakukan pada struktur pasar persaingan sempurna, sedangkan cengkeh
dipasarkan melalui koperasi unit desa (KUD).
Komoditas yang memperoleh perhatian pemerintah daerah dan diarahkan sebagai
komoditas unggulan pada Kawasan Agropolitan Waliksarimadu adalah sapi potong, sesuai
dengan ketersediaan sumberdaya daya hijauan pakan dan kesesuaian iklim. Orientasi
sebagian besar petani (75%) memelihara sapi potong adalah untuk perbibitan, selebihnya
bertujuan penggemukan. Kinerja reproduksi pada usaha perbibitan cukup baik, karena
umumnya ternak melahirkan setiap tahun. Untuk perkawinannya, petani seluruh petani
mengandalkan inseminasi buatan (IB). Petani menyukai IB dengan semen Sapi Simmental,
karena harga bakalannya lebih tinggi dibanding sapi lokal. Pada usaha penggemukan,
jangka waktunya berkisar 4-6 bulan.
Sebagian besar hijauan pakan mengandalkan rumput lapang yang banyak tersedia di
lahan tegalan, perkebunan, dan kehutanan. Jumlah pemberian rumput berkisar 40-45
kg/ekor/hari. Sesuai dengan pola tanam yang ada, tebon jagung beserta janggel-nya banyak
tersedia pada bulan Oktober dan April, dan merupakan alternatif hijauan pakan. Pada saat
puncak musim kering, yakni Agustus dan September, dimana rumput lapang sulit diperoleh,
sumber pakan berserat mengandalkan jerami padi. Disamping hijauan pakan, petani juga
memberikan pakan penguat, berupa ketela pohon, dengan jumlah sekitar 1 kg/ekor/hari.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, sebagai hasil samping dari peternakan sapi
potong, kotoran ternak belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini disebabkan kurangnya
penguasaan teknologi untuk mengoptimalkan pemanfaatannya. Petani umumnya hanya
menimbun kotoran ternak, dan menggunakannya pada saat dibutuhkan, tanpa diproses lebih
lanjut. Petani menginginkan adanya pelatihan pengolahan kotoran dengan teknologi
pengomposan, karena dapat menghasilkan nilai tambah kotoran ternak. Pengembangan
pengomposan di kawasan agropolitan sangat memungkinkan, karena didukung tersedianya
sumberdaya yang potensial, yakni kotoran ternak dan serbuk gergaji.

Karakteristik Sumberdaya Sosial Ekonomi


Komposisi mata pencaharian penduduk di lokasi penelitian terdiri atas petani, buruh
tani, buruh bangunan, pedagang, dan lain-lain. Mata pencaharian penduduk sebagian besar
(68,05%) adalah dari sektor pertanian, baik sebagai petani (47,99%) maupun buruh tani
(20,06%) (Monografi Kecamatan Belik, 2002). Status petani mencakup mereka yang

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 502
Seminar Nasional 2005

mengelola usahatani di lahannya sendiri, yang kemudian disebut sebagai pemilik penggarap,
dan mereka yang mengelola usahatani di atas lahan yang disewanya dan disebut sebagai
petani penyewa. Sedangkan buruh tani adalah mereka yang tidak menggarap lahan tetapi
terlibat dalam kegiatan usahatani seperti pengolahan tanah, penanaman, penyiangan, dan
pemanenan.
Aktivitas agribisnis di kawasan agropolitan perlu dukungan inovasi teknologi yang
dihasilkan oleh lembaga penelitian. Hasil inovasi teknologi perlu disampaikan kepada petani
melalui kegiatan penyuluhan pertanian (Syam dan Widjono, 1992). Balai Penyuluh Pertanian
(BPP) di Kecamatan Belik, yang merupakan institusi pemerintah yang mempunyai tugas
pokok alih teknologi pertanian dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia (petani),
didukung oleh 5 orang penyuluh. Jarak terdekat dari kantor BPP ke wilayah binaan sejauh
0,5 km, sedangkan jarak terjauh 15 km. Komponen fasilitas lainnya yang mendukung
kegiatan usahatani seperti disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Fasilitas Penunjang Usahatani yang Terdapat di Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang, Jawa
Tengah, 2003.

No Fasilitas Jumlah
1. Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) 1
2. BRI Unit Desa dan bank lainnya 4
3. Koperasi Unit Desa (KUD) 1
4. Kios saprodi 7
5. Pasar umum 4
6. Wartel 5
Sumber : BPP Kecamatan Belik, 2003

Komunitas petani di Kecamatan Belik dalam mengelola budidaya tanaman maupun


ternak telah terbiasa mengadakan koordinasi dalam pemakaian sumberdaya melalui adat
kebiasaan dan kelembagaan yang ada, dimana organisasinya dikenal sebagai kelompok tani.
Tabel 3 menunjukkan jumlah kelompok tani yang eksis di Kecamatan Belik. Sebagai titik
sentral dari pembangunan pertanian, petani diharapkan dapat mengakses teknologi yang
diperkenalkan penyuluh untuk mendorong peningkatan efisiensi dan daya saing agribisnis,
dan untuk lebih menjamin tercapainya sasaran diperlukan kelembagaan kelompok tani yang
mampu melakukan tindakan konsolidasi. Ketersediaan sumberdaya yang semakin langka,
teknologi, dan permintaan pasar menghendaki perubahan dalam kelembagaan. Agar dapat
bertahan dan berkembang, maka kelompok tani harus mampu beradaptasi dengan lingkungan
yang dinamis (Davis dan Newstroom, 1985).
Tabel 3. Jumlah Kelompok Tani di Kecamatan Belik, Kebupaten Pemalang, Jawa Tengah, 2003.

Jumlah Kelas kelompok


No. Desa
kelompok Pemula Lanjut Madya Utama
1. Gombong 7 - 2 3 2
2. Gunungtiga 5 2 3 - -
3. Kuta 5 - 2 2 1
4. Badak 6 2 3 1 -
5. Gunungjaya 6 3 2 1 -
6. Mendelem 10 5 3 2 -
7. Simpur 4 4 - - -
8. Beluk 6 4 2 - -
9. Bulakan 8 4 3 1 -
10. Kalisalah 3 - 2 - 1
11. Sikasur 9 5 4 - -
12. Belik 5 3 2 - -
Jumlah 64 32 27 10 4
Sumber : BPP Kecamatan Belik, 2003

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 503
Seminar Nasional 2005

Pelatihan Pembuatan Kompos Kotoran Sapi


Hasil studi karakteristik pada awal kegiatan menunjukkan bahwa petani mempunyai
keterbatasan dalam penguasaan teknologi. Di sisi lain, penyuluh setempat menyatakan
bahwa perkembangan teknologi yang cepat menyebabkan petani ketinggalan. Agar potensi
petani dapat berkembang maupun memperkuat potensi atau daya yang dimiliki petani di
kawasan agropolitan, maka telah dilakukan introduksi teknologi yang dibutuhkan petani.
Pada tahap awal, setelah ditentukan lokasi pengkajian teknologi, dilakukan sosialisasi pada
28 September 2004, dengan tujuan untuk memperkenalkan teknologi yang akan dikaji dan
menentukan petani kooperator.
Dalam rangka memberikan bekal bagi petani dalam menerapkan teknologi
pengomposan dilaksanakan pelatihan pada 13 Oktober 2004. Kegiatan pelatihan terdiri dari
2 macam: yakni teori yang disampaikan di Balai Desa Gombong dan dilanjutkan dengan
praktek lapang untuk pembuatan kompos. Pelatihan dihadiri 50 orang terdiri anggota
kelompok tani di Kecamatan Belik, Pulosari, dan Randudongkal, Forum Komunikasi
Agropolitan, penyuluh pertanian setempat, aparat desa dan kecamatan, PJF Dinas Pertanian
Kabupaten Pemalang, petugas Kantor Peternakan Kabupaten Pemalang, Staf BAPPEDA
Kabupaten Pemalang, dan konsultan teknis/peneliti.
Berdasarkan pengamatan, petani menunjukkan respons yang besar terhadap materi
yang dilatihkan. Hal ini terlihat dari banyaknya pertanyaan yang diajukan petani apabila
dirasakan mereka kurang memahami sesuatu yang disampaikan fasilitator. Permasalahan
yang disampaikan petani adalah apabila setelah pengkajian selesai dan petani ingin
menerapkan secara berkelanjutan, karena sulitnya mendapatkan probiotik untuk pengolahan
kompos.
Dalam rangka mengatasi permasalahan yang disampaikan petani tersebut di atas, tim
pengkaji telah menghubungkan kelompok tani dengan distributor salah satu produsen
probiotik (starbio dan stardec) di Jawa Tengah, yakni Lembah Hijau Multi Farm (LHM).
Sebagai tindak lanjutnya, saat ini distributor LHM secara rutin memasok kebutuhan
kelompok tani, yakni probiotik dan mineral untuk sapi.
Berdasarkan kesepakatan pengurus dan anggota kelompok tani, ditetapkan lokasi
bangunan pembuatan pupuk kompos adalah di tanah milik salah satu anggota kelompok,
yakni Bapak Ngudiono. Anggota kelompok secara partisipatif telah menyelesaikan
pembangunan tempat pengolahan pupuk kompos.
Selama pengkajian berlangsung telah dilakukan 3 tahap pengomposan, dimana
masing-masing sejumlah 1 rit (sekitar 3 ton). Proses pengomposan dilakukan secara kolektif
oleh anggota kelompok. Proses pengomposan membutuhkan waktu 35 hari, dan
menghasilkan kompos dengan visual baik, yaitu remah dan tidak lengket. Selama proses
pengomposan dilakukan petani didampingi untuk melakukan pengamatan terhadap kadar air
dan suhu, dimana hasil pengamatan sebagaimana tercantum pada Tabel 4. Berdasarkan
pengamatan, selama proses temperatur meningkat sampai 70 0 C dan menurun setelah proses
selesai.
Tabel 4. Suhu dan Kadar Air selama Proses Pengomposan di Kawasan Agropolitan Waliksarimadu, Pemalang,
2004.

No. Waktu Suhu (0C) Kadar air (%)


1. Minggu ke 1 30 – 40 60
2. Minggu ke 2 55 – 60 60
3. Minggu ke 3 70 60
4. Minggu ke 4 60 - 70 60
5. Minggu ke 5 30 - 40 50

Untuk menguji bahwa proses pengomposan mampu meningkatkan kualitas kotoran


ternak maka dilakukan analisa laboratorium terhadap kotoran sapi segar dan kompos kotoran
sapi, dimana hasilnya seperti terlihat pada Tabel 5. Berdasarkan uji laboratorium terhadap
komposisi kimiawi kompos dapat disimpulkan bahwa petani mampu menguasai teknologi

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 504
Seminar Nasional 2005

pengomposan kotoran sapi dengan baik. Dari ± 3.000 kg bahan baku pembuatan kompos
diperoleh kompos jadi sebanyak 2.000 kg, dan dengan total biaya Rp. 532.000 maka harga
pokok kompos Rp. 266/kg (Tabel 6). Berdasarkan pengamatan, harga jual kompos yang
beredar di pasaran berkisar Rp. 400-Rp.450/kg.
Tabel 5. Kandungan Kompos Kotoran Sapi di Kawasan Agropolitan Waliksarimadu, Pemalang, 2004.

No. Kandungan Kotoran sapi segar Kompos kotoran sapi


1. Total N 0,4% 1,81%
2. P2O5 0,2% 1,89%
3. K2O 0,1 1,96%
4. CaO - 2,96%
5. MgO - 0,70%
6. C/N 25-30 15
7. pH 8,8 6,5 – 7,5
8. Kadar air 85% 40%

Introduksi teknologi pengomposan kotoran sapi telah mendorong tumbuhnya usaha


pengomposan skala rumah tangga, ditandai dengan telah diadopsinya teknologi
pengomposan oleh 5 orang petani. Petani tersebut melakukan pengomposan secara individu
dengan probiotik yang dibeli dari kelompok. Skala pengolahan berkisar 500 kg – 1.000 kg/
petani. Alasan yang disampaikan petani, pengangkutan yang selama ini menjadi masalah
dapat diatasi karena kompos mempunyai bobot yang lebih ringan. Hal ini dapat dimaklumi
karena kadar air kompos hanya sekitar 40%, sedangkan kotoran sapi segar mencapai 85%.
Tabel 6. Analisa Usaha Pembuatan Kompos di Kawasan Agropolitan Waliksarimadu, Pemalang, 2004.

Uraian Fisik Harga/satuan Jumlah


Biaya :
Stardec 10 kg 12.500,00 125.000,00
Limbah ternak 2.400 kg 100,00 240.000,00
Serbuk gerjaji 6 karung 1.000,00 6.000,00
Abu sekam 12 karung 1.000,00 12.000,00
Kalsit 80 karung 175,00 14.000,00
Tenaga kerja 10 orang 5.000,00 50.000,00
Penyusutan saung 1 bulan 85.000,00
Total biaya 532.000,00
Hasil 2.000 kg
Harga pokok kompos/kg Rp. 266

KESIMPULAN

1. Pemberdayaan kelompok tani melalui kegiatan pelatihan dan praktek lapang mampu
meningkatkan ketrampilan anggota dalam menerapkan teknologi. Sedangkan upaya
mediasi yang dilakukan dengan fihak swasta, dapat menjamin ketersediaan sarana
produksi yang dibutuhkan kelompok, khususnya probiotik dan mineral untuk sapi
potong.
2. Introduksi teknologi pengomposan kotoran sapi telah mendorong tumbuhnya usaha
pengomposan skala rumah tangga, ditandai dengan telah diadopsinya teknologi
pengomposan oleh 5 orang petani. Penguasaan teknologi pengomposan kotoran sapi
dapat memicu tumbuhnya usaha agroindustri, khususnya pengomposan di Kawasan
Pengembangan Agropolitan Waliksarimadu.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 505
Seminar Nasional 2005

DAFTAR PUSTAKA

Biro Pusat Statistik. 2003. Kabupaten Pemalang dalam Angka. BPS Kab. Pemalang –
Bappeda Kab. Pemalang. Pemalang.
BPP Kecamatan Belik. 2003. Program Penyuluhan Pertanian Kecamatan Belik 2004. BPP
Kecamatan Belik. Pemalang.
Departemen Pertanian. 2003. Panduan Teknis Sistem Integrasi Padi-Ternak, Deptan, Jakarta.
Davis, K. dan J. H. Newstroom. 1985. Human Behaviour at Work : Organization Behaviour,
7th Edition. Mc Graw-Hill International.
Kompas, 7 April 2004. Agropolitan Seharusnya Sejak Dini Lestarikan Lingkungan. Harian
Kompas, Jakarta.
Syam M. dan Widjono. 1992. Keterkaitan Penelitian dan Penyuluhan-Persepsi : Institusi dan
Tata Hubungan Kerja dalam Teknologi dan Embung. Prosiding Perakitan Teknologi
Program Keterkaitan Penelitian dan Penyuluhan. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 506
Seminar Nasional 2005

ALTERNATIF MODEL DISEMINASI INFORMASI TEKNOLOGI PERTANIAN


MENGUKUNG PENGEMBANGAN PERTANIAN LAHAN MARJINAL

Retno Sri Hartati Mulyandari, Rudy S. Rivai, dan E. Eko Ananto


P4MI-Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

ABSTRAK

Petani menggunakan berbagai sumber informasi untuk mendapatkan inovasi yang diperlukan dalam
mengelola usahataninya. Informasi tentang teknologi dan pemasaran merupakan salah satu faktor penentu kinerja
usahatani yang dilaksanakan oleh petani. Sarana dan prasarana komunikasi telah berkembang begitu cepat,
namun demikian masih banyak pula para petani yang luput dari penyebaran dan penyediaan informasi pertanian.
Berdasarkan hasil survai pendasaran Proyek Peningkatan Pendapatan Petani melalui Inovasi (P4MI) yang
dilaksanakan tahun 2004 di 5 Kabupaten (Temanggung, Blora, Lombok Timur, Ende, dan Donggala), diketahui
bahwa petani memperoleh informasi pertanian dari berbagai sumber baik melalui media maupun komunikasi
tatap muka secara langsung. Media interpersonal baik sesama petani, penyuluh, maupun orang tua masih
merupakan media utama yang paling sering (80-100%) digunakan oleh petani. Sumber informasi melalui media
cetak masih sedikit digunakan, karena terbatasnya ketersediaan informasi melalui media cetak di tingkat petani.
Radio dan televisi merupakan sumber informasi elektronis terbanyak yang digunakan petani dalam memperoleh
informasi pertanian. Fungsi kelembagaan sebagai sumber informasi teknologi pertanian di beberapa lokasi masih
cukup berperan, khususnya untuk lembaga penyuluhan sekalipun persentasenya kecil.
Kata kunci: Informasi pertanian; lahan marjinal; teknologi pertanian.

PENDAHULUAN

Informasi merupakan sumber daya penting dalam pertanian modern. Perkembangan


komputer dan perbaikan teknologi komunikasi memberikan petani kesempatan untuk
memperoleh informasi teknis dan ekonomi dengan cepat dan menggunakannya secara efektif
untuk pengambilan keputusan. Bertani bukan lagi sekedar untuk hidup, tetapi sebagai usaha
untuk memperoleh pendapatan yang baik dengan menggunakan seluruh kesempatan yang
ditawarkan oleh lingkungan. Untuk dapat bertahan, lahan pertanian harus dikelola secara
efisien. Pelaku pengembangan pertanian membutuhkan informasi inovasi pertanian yang
memadai sebagai dasar strategi perencanaan dan pertimbangan untuk pengembangan usaha
tani lebih lanjut. Begitu banyak hasil penelitian bidang pertanian yang telah dan sedang
dilaksanakan, serta akan terus ada penelitian-penelitian pertanian lain di masa depan. Hasil
penelitian bidang pertanian yang berupa informasi pertanian pada hakekatnya adalah untuk
memperbaiki atau memecahkan masalah yang ada dalam bidang pertanian.
Informasi hasil penelitian pertanian yang telah dihimpun dalam berbagai media,
bukan hanya sekedar konsumsi bagi para peneliti lain untuk dijadikan bahan acuan, akan
tetapi lebih penting dari itu adalah bagi para petani, untuk mengembangkan usahataninya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya, yang pada gilirannya untuk
memenuhi kebutuhan hidup primer seluruh umat manusia. Namun demikian, informasi
hasil penelitian pertanian tersebut belum optimal mencapai sasaran utama, yaitu para petani.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi informasi teknologi produksi dan
pemasaran hasil pertanian di tingkat petani; (2) mempelajari permasalahan akses informasi
teknologi produksi dan pemasaran hasil pertanian; (3) merumuskan alternatif model
peningkatan akses petani terhadap informasi pertanian.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 507
Seminar Nasional 2005

METODOLOGI DAN ANALISIS DATA

Metodologi
Makalah ini memanfaatkan data hasil studi pendasaran Proyek Peningkatan
Pendapatan Petani melalui Inovasi-P4MI (Poor Farmers’ Income Improvement through
Innovation-PFI3P) tahun 2004 yang dilaksanakan di Kabupaten Blora dan Temanggung
Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Lombok Timur di Provinsi Nusa Tenggara Barat,
Kabupaten Ende di Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan Kabupaten Donggala di Provinsi
Sulawesi Tengah. Responden dalam studi pendasaran adalah petani pemilik lahan maupun
penggarap di lokasi P4MI. Pada setiap kabupaten dipilih secara purposive lima desa contoh
yang masing-masing desa diwawancarai 30 responden. Dengan demikian, seluruh
responden berjumlah 750 orang.

Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan mengelompokkan rumah tangga tani (responden)
berdasarkan besarnya pendapatan perkapita per tahun. Responden berpendapatan rendah
adalah rumah tangga yang pendapatan perkapita pertahunnya di bawah garis kemiskinan
dan responden berpendapatan tinggi adalah rumah tangga tani yang pendapatan perkapitanya
di atas garis kemiskinan. Nilai garis kemiskinan yang digunakan adalah versi Biro Pusat
Statistik (BPS) tahun 2003 untuk masing-masing kabupaten. Kisaran nilai garis kemiskinan
BPS tersebut yang paling rendah Rp 1.025.628,- di Kabupaten Ende dan tertinggi Rp
1.387.764,- di Kabupaten Donggala. Analisis sederhana dilakukan berupa nilai rata-rata,
frekuensi distribusi, dan tabulasi silang, sedangkan uraian deskriptif dilakukan untuk
menjelaskan keterkaitan antar variabel yang diamati.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Informasi Pertanian


Kemiskinan penduduk di Indonesia sangat terkait erat dengan sektor pertanian,
khususnya di daerah pedesaan. Kantong-kantong kemiskinan di pedesaan sangat signifikan
dijumpai pada daerah lahan tadah hujan yang marjinal. Upaya peningkatan pendapatan
petani di daerah tersebut dihadapkan pada kendala rendahnya kemampuan mereka untuk
melakukan inovasi produksi dan kemampuan menangkap peluang pasar, disamping berbagai
faktor antara lain: (a) sarana dan prasarana produksi serta pemasaran sangat kurang, (b)
teknologi spesifik untuk lahan marginal ini masih jauh lebih sedikit dari pada untuk lahan
beririgasi, (c) kelembagaan masih sangat lemah, dan (d) belum adanya insentif yang
memadai bagi petani untuk meningkatkan pendapatannya. Kelangkaan informasi horizontal
dan vertikal juga ikut memperburuk akses petani terhadap teknologi, pasar, sumber input
produksi dan harganya, di samping kelangkaan potensi pemecahan masalah yang dihadapi di
tingkat lapang. Kondisi tersebut menempatkan mereka semakin terpuruk dalam perangkap
kemiskinan.
Petani menggunakan sumber-sumber yang berbeda untuk mendapatkan informasi
yang diperlukan dalam mengelola usahataninya. Gagasan tersebut yang melandasi konsep
sistem pengetahuan dan informasi pertanian atau agricultural knowledge and information
system (AKIS) yang dirumuskan sebagai: peningkatan keserasian antar pengetahuan,
lingkungan, dan teknologi yang diperlukan melalui sinergi dari berbagai pelaku, jejaring
kerja, dan lembaga yang akan menciptakan proses kesinambungan dalam transformasi,
transmisi, dokumentasi (documentation), pencarian informasi (search), pemanggilan
(retrieval), integrasi, difusi, serta pemanfaatan bersama (sharing) inovasi. Dengan demikian,
untuk mengelola usaha taninya dengan baik, petani memerlukan berbagai sumber informasi,
antara lain (Van den Ban dan Hawkins, 1999): kebijakan pemerintah; hasil penelitian dari

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 508
Seminar Nasional 2005

berbagai disiplin ilmu; pengalaman petani lain; dan informasi terkini mengenai prospek
pasar yang berkaitan dengan sarana produksi dan produk pertanian.
Sarana dan prasarana komunikasi telah berkembang begitu cepat seiring dengan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung proses pemanfaatan
bersama informasi teknologi pertanian. Namun demikian, petani di pedesaan khususnya
yang berada di lahan marjinal masih banyak yang luput dari upaya diseminasi informasi
pertanian yang selama ini diselenggarakan. Di samping itu, informasi yang berkaitan dengan
hasil penelitian dari berbagai disiplin ilmu, sebagian besar juga masih disajikan dalam
bentuk publikasi yang sulit dipahami oleh petani langsung. Mengingat media informasi yang
ada saat ini belum mampu menjangkau petani di pedesaan, diperburuk dengan institusi
kelembagaan yang seharusnya berperan untuk memfasilitasi akses informasi bagi petani juga
belum berfungsi dengan baik, maka petani di pedesaan cenderung memanfaatkan sumber
informasi teknologi pertanian yang terbatas ada di lingkungannya.

Sumber Informasi Teknologi Pertanian


Berdasarkan hasil studi pendasaran yang telah dilaksanakan, diketahui bahwa
sumber informasi yang digunakan oleh petani baik kategori pendapatan rendah maupun
tinggi cukup bervariasi, yaitu berasal dari media interpersonal, media cetak, maupun audio
visual (Tabel 1, 2, dan 3). Sumber informasi interpersonal yang biasa dimanfaatkan petani
untuk memperoleh informasi teknologi pertanian adalah sesama petani atau orang tua,
petugas penyuluh lapangan, pedagang, dan distributor saprodi, maupun pedagang. Ada
beberapa yang juga memanfaatkan staf BPTP yang kebetulan berada di desa pada saat
melaksanakan kegiatan pengkajian atau diseminasi teknologi pertanian. Sumber informasi
melalui media cetak yang biasa diakses oleh petani adalah koran, majalah, dan brosur/leaflet.
Sedangkan sumber informasi elektronis yang biasa dimanfaatkan petani adalah radio dan
televisi. Beberapa lembaga yang berkaitan dengan kegiatan pertanian (Balai Penyuluhan
Pertanian/BPP, Dinas, BPTP, dan Koperasi/Asosiasi) juga dinyatakan oleh responden
memberikan dukungan dalam penyediaan informasi pertanian dengan persentase terbesar
adalah BPP/Dinas.
Tabel 1. Persentase responden berdasarkan sumber informasi teknologi dan kelompok pendapatan di Lima
Kabupaten, Indonesia, 2004.

Sumber informasi
Kabupaten Sesama Distributor
Orang tua Staf BPTP PPL/Dinas Pedagang
petani saprodi
Kelompok pendapatan rendah
Blora 96.36 88.42 22.50 70.90 33.18 44.06
Temanggung 100 81.52 8.67 72.18 6.30 27.62
Lombok Timur 86.56 79.26 12.78 38.28 19.02 18.50
Ende 86.74 55.47 10.39 48.14 3.90 5.08
Donggala 84.31 53.21 4.52 56.04 8.07 8.56
Rata-rata 90.79 71.57 11.77 57.11 14.09 20.76
Kelompok pendapatan tinggi
Blora 98.88 89.64 17.76 73.68 46.56 35.52
Temanggung 89.36 80.56 11.11 67.74 9.19 32.28
Lombok Timur 73.58 72.40 7.14 44.88 11.32 17.84
Ende 80.63 65.44 27.94 51.98 11.15 11.15
Donggala 91.22 63.22 7.12 64.31 14.76 11.38
Rata-rata 86.74 74.25 14.22 60.52 18.60 21.63
Sumber: Data hasil studi pendasaran P4MI di Kabupaten Blora, Temanggung, Lombok Timur, Ende, dan Donggala TA 2004

Media interpersonal ternyata merupakan media yang paling banyak dimanfaatkan


oleh petani dibandingkan dengan media tercetak dan audio visual. Dominannya akses petani
terhadap sumber informasi ini dilandasi oleh intensitas proses interaksi yang dapat terjadi
melalui komunikasi tatap muka. Hal ini dapat ditunjukkan dengan lebih tingginya akses
petani terhadap sesama petani dan orang tua dibandingkan dengan sumber informasi

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 509
Seminar Nasional 2005

interpersonal lainnya yaitu penyuluh, distributor sarana produksi, dan pedagang (Gambar 1).
Hampir seluruh (90%) responden baik yang berpendapatan rendah maupun tinggi
menyatakan bahwa petani lainnya merupakan sumber informasi utama untuk memperoleh
informasi teknologi pertanian. Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) merupakan sumber
informasi potensial yang juga banyak dimanfaatkan petani untuk memperoleh informasi
teknologi pertanian, khususnya di kabupaten yang masih memiliki Balai Penyuluhan
Pertanian (BPP) seperti di Donggala.
Kemudahan dalam akses informasi teknologi pertanian dari sumber informasi yang
digunakan juga merupakan faktor tingginya pemanfaatan sumber informasi dari sesama
petani, orang tua, dan petugas penyuluh lapangan oleh petani. Sebagian besar (90%) petani
merasakan sangat mudah dan mudah dalam memperoleh informasi teknologi pertanian dari
petani lainnya dan orang tua. Hasil studi ini memperkuat hasil penelitian yang telah
dilaksanakan di Desa Ciherang, Kabupaten Bogor (Mulyandari, 2001) dimana seluruh
(100%) responden (petani) menyatakan bahwa petani lain merupakan sumber informasi
utama untuk membantu kegiatan usahataninya dengan sekitar 95% di antaranya menyatakan
sangat mudah dan mudah dalam akses sumber informasi ke petani lain dibandingkan dengan
penyuluh, distributor sarana produksi, dan pedagang.

Gambar 1. Rataan Sebaran Responden Berdasakan Sumber Informasi Interpersonal untuk Informasi
Teknologi Pertanian.

Namun demikian, untuk jenis informasi pasar, ternyata pedagang merupakan sumber
informasi utama yang mampu melampaui sumber informasi dari sesama petani untuk
kelompok petani kategori pendapatan tinggi (Gambar 2). Hal ini dapat dipahami karena
dalam hal pemasaran produk usahatani, petani akan lebih sering berinteraksi dengan
pedagang daripada dengan penyuluh maupun dengan orang tua. Responden pun sebagian
besar merasakan sangat mudah dan mudah dalam akses informasi teknologi pemasaran
kepada pedagang.
Seperti halnya hasil penelitian Mulyandari (2001), hasil studi pendasaran P4MI juga
menunjukkan bahwa sumber informasi dalam media audio visual dan media cetak sangat
sedikit dijadikan sebagai sumber informasi teknologi pertanian. Kurang dimanfaatkannya
sumber informasi dalam media cetak disebabkan di samping oleh tidak terjangkaunya media
tersebut sampai di tingkat petani juga karena dirasa kurang praktis bagi responden yang tidak
lulus Sekolah Dasar atau bahkan tidak pernah mengikuti pendidikan formal. Sebagian besar
(di atas 85%) responden menyatakan bahwa sumber informasi pertanian dalam media cetak

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 510
Seminar Nasional 2005

belum/tidak cukup tersedia dan belum ada sampai di tingkat pedesaan. Alasan lainnya yang
juga mendasari kurang dimanfaatkannya media ini sebagai sumber informasi adalah tidak
bisa baca, tidak mengerti isinya, dan tidak berminat.
Tabel 2. Persentase Responden Berdasarkan Sumber Informasi Teknologi Pertanian dan Kelompok Pendapatan
untuk kategori media cetak di Lima Kabupaten, Indonesia, 2004.

Sumber informasi
Kabupaten
Koran Majalah/buku Brosur/leaflet/poster
Pendapatan rendah
Blora 8.88 0 0
Temanggung 0 0 1.82
Lombok Timur 2.88 0 0
Ende 1.78 0 0.91
Donggala 5.46 0 4.52
Rata-rata 2.87 3.41 1.45
Pendapatan tinggi
Blora 7.22 0 0
Temanggung 11.05 4.47 1.60
Lombok Timur 6.50 5.80 7.94
Ende 2.86 2.86 2.86
Donggala 4.97 2.58 3.92
Rata-rata 6.24 3.57 3.26
Sumber: Data hasil studi pendasaran P4MI di Kabupaten Blora, Temanggung, Lombok Timur, Ende, dan Donggala TA 2004
yang diolah sesuai kebutuhan.

Sumber: Data baseline survey Kabupaten Blora, Temanggung, Lombok Timur, Ende, dan Donggala TA 2004.

Gambar 2. Rataan Sebaran Responden Berdasarkan Sumber Informasi Interpersonal untuk


Informasi Teknologi Pemasaran Hasil Pertanian di Lima Kabupaten, Indonesia, 2004.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 511
Seminar Nasional 2005

Tabel 3. Persentase Responden Berdasarkan Sumber Informasi Teknologi Pertanian dan Kelompok Pendapatan
untuk Kategori Media Audio-Visual di Lima Kabupaten, Indonesia, 2004..

Sumber informasi
Kabupaten
Radio Televisi Film/ VCD/CD Internet
Pendapatan rendah
Blora 59.32 52.20 0 0
Temanggung 14.16 17.94 0 0
Lombok Timur 16.16 12.86 0 0
Ende 2.61 2.09 0 0
Donggala 9.52 9.29 1.16 0
Rata-rata 17.02 15.89 0.23 0
Pendapatan tinggi
Blora 50.34 31.12 10 8.58
Temanggung 14.62 16.21 0 0
Lombok Timur 17.90 19.96 0 0
Ende 4.40 0 0 0
Donggala 15.23 7.93 2.87 0
Rata-rata 20.03 11.05 2.57 1.72
Sumber: Data hasil studi pendasaran P4MI di Kabupaten Blora, Temanggung, Lombok Timur, Ende, dan Donggala TA 2004.

Sumber informasi dalam audio visual hanya terbatas pada radio dan televisi yang
sudah banyak tersedia di tingkat petani meskipun tingkat pemanfaatannya sebagai sumber
informasi pertanian masih sangat sedikit.(Tabel 3) Radio dan televisi yang dimiliki petani,
sebagian besar hanya digunakan sebagai sarana hiburan. Kurang dimanfaatkannya radio dan
televisi sebagai sumber informasi pertanian disebabkan media tersebut kurang atau bahkan
tidak pernah memberikan informasi pertanian serta responden tidak mengetahui adanya
informasi pertanian yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan usahataninya. Hal ini kita
sadari bahwa saat ini sebagian besar stasiun televisi dan radio belum atau tidak memberikan
siaran khusus untuk mendukung pertanian dan pembangunan pedesaan.
Beberapa petani juga menyatakan bahwa informasi yang berasal dari media radio
sulit dipahami karena sifatnya yang satu arah dan selintas. Untuk di kabupaten tertentu yang
kondisi sosial ekonominya sangat minim sebagian besar (di atas 70%) untuk Ende dan di
atas 50% untuk Donggala menyatakan belum memiliki pesawat televisi maupun radio.
Adapun untuk di tiga kabupaten lainnya, sekitar 30% responden menyatakan tidak memiliki
pesawat televisi atau radio.
Institusi pemerintah (BPPT-LIPI dengan Warintek-nya dan Deptan), maupun
lembaga swasta yang berkaitan dengan layanan informasi pertanian telah mendiseminasikan
informasi pertanian melalui media elektronis berupa website yang dapat diakses secara
online melalui internet maupun dalam media CD dan VCD. Melalui media ini, sumber
informasi pertanian diharapkan dapat menyebarkan informasi pertanian yang dimilikinya
secara cepat dan luas tanpa hambatan geografis dan tidak mengenal out off print. Namun
demikian, untuk jenis sumber informasi yang dikemas dalam media VCD/CD dan internet,
sebagian besar petani masih merasa asing dan tidak mengetahui apabila ada informasi
pertanian yang dikemas dalam media tersebut. Media ini belum memasyarakat di tingkat
petani karena masih dianggap terlalu canggih (sophisticated).
Upaya mempercepat arus informasi teknologi pertanian melalui media elektronis
dalam media VCD/CD, dan internet akan lebih sesuai untuk pengguna antara (petugas dinas
pertanian atau penyuluh pertanian) bukan untuk petani langsung. Hal ini disebabkan oleh
masih dibutuhkannya prasyarat tertentu untuk dapat dimanfaatkannya sumber informasi ini,
misalnya peralatan komputer dan tersedianya jaringan untuk memfasilitasi koneksi kesumber
informasi melalui akses online. Di beberapa kabupaten bahkan instalasi listrik pun masih
juga menjadi salah satu faktor penghambat dalam operasionalisasi perangkat elektronis.
Sumber informasi teknologi pertanian yang dikemas dengan media VCD masih
memungkinkan untuk disampaikan langsung ke petani, karena alat ini sudah mulai tersedia

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 512
Seminar Nasional 2005

di tingkat petani di seluruh kabupaten, meskipun dengan jumlah yang relatif masih sangat
terbatas (sekitar 25% untuk Ende, Donggala dan sekitar 50% untuk Lotim, Temanggung, dan
Blora).

Alternatif Model Peningkatan Akses Informasi Pertanian


Berdasarkan hasil studi pendasaran, sumber informasi melalui media interpersonal
masih mendominasi petani dalam mendapatkan informasi teknologi pertanian. Namun
demikian, dari segi efisiensi penyebaran inovasi pertanian, media interpersonal akan
membutuhkan biaya dan waktu yang cukup tinggi. Oleh karena itu, untuk meningkatkan
kualitas informasi pertanian yang sampai kepada petani perlu dirumuskan model
peningkatan akses petani terhadap informasi pertanian dengan mengoptimalkan dan
menggabungkan media informasi yang biasa dimanfaatkan oleh petani dengan teknologi
informasi dan komunikasi modern.
Alternatif model peningkatan akses informasi yang ditawarkan adalah model
intermediate akses. Intermediate akses dengan media komunikasi melalui beberapa tahapan
(multi-step flow communication) merupakan strategi yang dirasa cukup ideal untuk
mempercepat proses peningkatan akses petani terhadap informasi pertanian. Fasilitator dari
Lembaga Swadaya Masyarakat, petugas penyuluh pertanian di kabupaten maupun
kecamatan, operator pusat informasi pertanian di tingkat kabupaten, petugas pelayanan
informasi pertanian, kontak tani andalan dapat bertindak sebagai pengguna antara
(intermediaries users) untuk menjembatani petani dalam akses informasi pertanian.
Intermediate akses ini cukup efisien, mengingat keterbatasan petani dari segi ekonomi,
pengetahuan, dan letak geografi tidak memungkinkan petani dapat langsung akses informasi
yang dibutuhkan tanpa dibantu oleh fasilitator. Secara fungsional, mekanisme peningkatan
akses informasi teknologi pertanian sampai di tingkat petani disinergikan dengan kegiatan
diseminasi informasi teknologi pertanian (dalam bentuk pengetahuan, produk, maupun
layanan informasi) dari berbagai institusi pemerintah (Badan Litbang Pertanian melalui
PUSTAKA dan BPTP) maupun non pemerintahan, media, dan aktivitas kelembagaan
potensial daerah yang mendukung pembangunan pertanian.
Dalam strategi diseminasi sistem informasi pertanian untuk peningkatan akses
petani terhadap informasi teknologi pertanian, terdapat tiga tahapan utama dengan asumsi
pusat informasi pertanian di tingkat kabupaten dapat operasional secara optimal. Tahap
pertama, pengguna dan pengguna antara (operator, penyuluh, fasilitator) dapat akses
informasi pertanian dari berbagai media yang tersedia di pusat informasi pertanian, baik
secara elektronis (online dan offline) maupun tercetak. Pada tahap kedua, informasi yang
telah diperoleh dilakukan proses: pengelolaan, perakitan kembali, dan penyederhanaan ke
dalam bentuk yang mudah diterima oleh pengguna sesuai dengan karakteristik pengguna
(user friendly) dengan biaya yang murah. Untuk mendukung ketersediaan informasi tepat
guna yang sesuai dengan kebutuhan pengguna, institusi terkait Deptan (khususnya Badan
Litbang Pertanian, melalui PUSTAKA dan BPTP) dan luar Departemen Pertanian akan
mendukung kegiatan ini. Pada tahap ketiga, diharapkan informasi yang telah dikemas
dalam berbagai media dapat disebarkan ke pengguna melalui kombinasi dari media terbaru
(digital media), konvensional, termasuk media tradisional yang populer di tingkat
masyarakat. Pada tahap ini diharapkan peran petugas dari LSM (fasilitator) dapat
bersinergi dengan tokoh masyarakat untuk mendukung operasionalisasi diseminasi
informasi pertanian (siaran radio, telepon seluler, papan pengumuman desa, media
personal) sampai di tingkat petani. Seluuruh media potensial yang mampu menjangkau
pengguna (siaran radio, telepon seluler, papan pengumumam desa, dan media personal)
sampai di tingkat desa perlu dioptimalkan untuk mempercepat diseminasi informasi
pertanian.
Sistem informasi pertanian berbasis web untuk sementara dapat difungsikan sampai
di tingkat kabupaten. Implementasi dari subsistem diseminasi informasi pertanian ini adalah
difungsikannya pusat informasi pertanian di tingkat kabupaten di lokasi yang strategis di

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 513
Seminar Nasional 2005

kabupaten yang berfungsi tidak hanya sebagai telecentre, namun juga sebagai one stop shop
untuk pertukaran informasi di mana kontak tani dapat memperoleh informasi yang berguna
dan sesuai dengan inovasi produksi dan pemasaran. Di tempat ini diharapkan kontak tani
memiliki akses terhadap informasi pertanian elektronis dari berbagai sumber secara online
(melalui internet) yang telah dikembangkan melalui jaringan telepon, offline (pangkalan data
dan CD-ROM), maupun konvensional (tercetak). Kesempatan untuk dapat berinteraksi
langsung dengan tenaga ahli, tenaga teknis di bidang pertanian maupun dengan sesama
kontak tani pun terbuka luas untuk peningkatan kualitas usahatani yang dilaksanakannya.
Kondisi ini dapat diwujudkan apabila ada dukungan aktif dari pemerintah kabupaten dan
LSM lokal dalam pengelolaan pusat informasi pertanian dan memfasilitasi petani untuk
akses informasi.

Gambar 3. Alternatif Model Peningkatan Akses Petani Terhadap Informasi Pertanian.

Idealnya, pusat informasi pertanian ini diperpanjang sampai minimal di tingkat


sentra produksi (kecamatan) untuk mendekati enduser. Dengan demikian, selain kontak tani,
petani pun juga dapat akses secara langsung terhadap sumber informasi lokal maupun
nasional. Di tingkat kecamatan ini, diharapkan dapat dibangun klinik pertanian yang secara
teknis dapat memberikan layanan kepada petani dalam proses pemecahan permasalahan
yang dihadapi dalam berusahatani maupun informasi pasar berkaitan dengan jenis komoditas
yang diusahakan petani.
Kerjasama antara dinas pertanian terkait dengan peneliti/pengkaji di tingkat regional
maupun nasional sangat dibutuhkan untuk dapat terselenggaranya klinik pertanian. Dengan
operasionalnya sistem jaringan di tingkat kecamatan ini, proses kerjasama tersebut
diharapkan dapat berjalan dengan cepat dan mudah melalui berbagai media komunikasi aktif
yang tersedia di daerah dan dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi percepatan akses
informasi. Media komunikasi tersebut di antaranya adalah siaran radio, telepon, faximile,
selebaran, maupun kelembagaan usahatani seperti kelompok tani dan koperasi desa, serta
media komunikasi interpersonal melalui petugas penyuluh pertanian formal dari dinas

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 514
Seminar Nasional 2005

pertanian maupun penyuluh informal dari swasta (misalnya dari LSM atau dari distributor
sarana produksi pertanian). Dalam kasus tertentu, pakar untuk komoditas dengan bidang
permasalahan tertentu dapat didatangkan untuk memberikan bantuan teknis yang
dibutuhkan. Karena target pengembangan akses informasi pertanian berbasis teknologi
informasi hanya sampai di tingkat kabupaten, maka dukungan fisik maupun manajemen dari
pemda setempat untuk keberlanjutan kegiatan pembangunan dan operasionalisasi jaringan
informasi pertanian hingga sampai di tingkat pengguna akhir sangat dibutuhkan.

PENUTUP

1. Berdasarkan hasil survai pendasaran Proyek Peningkatan Pendapatan Petani melalui


Inovasi (P4MI) yang dilaksanakan tahun 2004 di 5 Kabupaten (Temanggung, Blora,
Lombok Timur, Ende, dan Donggala), diketahui bahwa media interpersonal baik sesama
petani, penyuluh, maupun orang tua masih merupakan media utama yang paling sering
(80-100%) digunakan oleh petani
2. Sumber informasi melalui media cetak masih sedikit digunakan oleh petani karena
terbatasnya ketersediaan informasi melalui media cetak di tingkat petani. Radio dan
televisi merupakan sumber informasi elektronis terbanyak yang digunakan petani dalam
memperoleh informasi pertanian. Fungsi kelembagaan sebagai sumber informasi
teknologi pertanian di beberapa lokasi masih cukup berperan, khususnya untuk lembaga
penyuluhan sekalipun persentasenya kecil
3. Salah satu alternatif model peningkatan akses petani terhadap informasi pertanian adalah
mengembangkan komunikasi bertahap melalui intermediaries users yang lebih peka
terhadap teknologi komunikasi dan informasi dengan dukungan operasionalisasi Pusat
informasi pertanian di kabupaten dan pengelolaan informasi yang sederhana
menggunakan media yang murah, terjangkau, dan sesuai dengan sumberdaya yang
tersedia di daerah.
4. Peningkatan akses petani terhadap informasi pertanian harus didukung oleh pusat
informasi pertanian yang ada di Kabupaten yang dilaksanakan secara terpadu dan
komprehensif baik dari segi operasionalisasi maupun pembangunan infrastruktur
sehingga dapat berhasil guna. Oleh karena itu, dukungan secara operasional dari
Pemerintah Kabupaten untuk keberlanjutan pusat informasi pertanian dan peran serta
secara aktif institusi dan lembaga pemerintah dan nonpemerintah terkait sangat
dibutuhkan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2004. Program Komponen Pengembangan


Sumber Informasi Nasional dan Lokal-PFI3P. PFI3P-Badan Litbang Pertanian,
Jakarta.
Indonesian Agency for Agricultural Research and Development, Ministry of Agricultural
and Asian Development Bank. 2003. Project Administration Memorandum for the
Poor Farmers Income Improvement through Innovation Project.
Mulyandari, Retno S H., dkk. 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan
Kemandirian Petani oleh Penyuluh (Kasus di Desa Ciherang, Kecamatan Darmaga,
Kabupaten Bogor). Forum Pascasarjana Volume 25 Nomor 1, Januari 2002, Institut
Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor, Indonesia.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 515
Seminar Nasional 2005

Noekman, K. M., dkk. 2005. Survai Pendasaran (Baseline Survey) for Poor Farmers‟
Income Improvement through Innovation Project (PFI3P) di Kabupaten Lombok
Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor, Indonesia.
Rivai, R. S., dan I. S. Anugrah. 2005. Survai Pendasaran (Baseline Survey) for Poor
Farmers‟ Income Improvement through Innovation Project (PFI3P) di Kabupaten
Temanggung, Provinsi Jawa Tengah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor, Indonesia.
Rivai, R.S., dan M. Iqbal. 2005. Survai Pendasaran (Baseline Survey) for Poor Farmers‟
Income Improvement through Innovation Project (PFI3P) di Kabupaten Ende,
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor, Indonesia.
Swastika, D. K. S., dkk. 2005. Survai Pendasaran (Baseline Survey) for Poor Farmers‟
Income Improvement through Innovation Project (PFI3P) di Kabupaten Blora,
Provinsi Jawa Tengah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian, Bogor, Indonesia.
Van den Ban dan Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius. Yogyakarta.
Zakaria, dkk. 2005. Survai Pendasaran (Baseline Survey) for Poor Farmers‟ Income
Improvement through Innovation Project (PFI3P) di Kabupaten Donggala, Provinsi
Sulawesi Tengah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian,
Bogor, Indonesia.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 516
Seminar Nasional 2005

PENYEDIAAN DAN KUALITAS PAKAN SAPI DI MUSIM KEMARAU PADA


DAERAH PERTANIAN LAHAN KERING DI KABUPATEN DOMPU

Yusuf Akhyar Sutaryono1) dan Mashur2)


1)
Fakultas Peternakan Universitas Mataram
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tengggara Barat, Mataram

ABSTRAK
Hampir seluruh peternak yang memelihara sapi didaerah transmigrasi dengan pertanian lahan kering di
Kabupaten Dompu memelihara ternak dengan sistem potong angkut (cut and carry). Untuk musim kemarau
selain pemberian rumput dan tanaman gulma yang terbatas, hampir seluruh peternak lebih mengandalkan hijauan
pakan yang berasal dari legume pohon seperti lamtoro (Leucaena leucocephala), gamal (Gliricidia sepium), dan
daun-daun pohon lainnya. Disamping itu peternak memberikan pula batang pisang (Musa paradisiaca), batang
papaya (Carica papaya) dan buah semu jambu mete (Anacardia officinale). Walaupun jumlah yang diberikan
relative lebih sedikit bila dibandingkan dengan pemberian pakan hijauan dimusim hujan, akan tetapi kualitas
pakan sapi pada musim kemarau cukup memadai. Kandungan protein kasar pakan yang diberikan pada
pertengahan musim kering berkisar antara 5 - 12% bahan kering dengan variasi pakan terdiri dari rumput, legume
merambat dan gulma pertanian, dengan kecernaan in vitro sekitar 40% bahan kering. Pada pakan yang diberikan
pada puncak musim kering variasi pakan menjadi lebih banyak dengan kandungan protein berkisar dari 5 - 17%,
dengan kecernaan pakan memperlihatkan nilai yang lebih baik dengan kecernaan terendah 37% (rumput) dan
tertinggi 70% (legume pohon). Pemberian air minum setiap hari berkisar antara 10 – 15 liter/ekor/hari.
Kata kunci: Lahan kering, pakan musim kemarau, protein kasar, kecernaan in vitro.

PENDAHULUAN

Pemeliharaan ternak di Kabupaten Dompu umumnya masih menerapkan sistem


tradisional dengan menggembalakan secara bebas pada padang penggembalaan dan lahan
sawah yang tidak ditanami pada musim kemarau. Akan tetapi pada daerah transmigrasi yang
sebagian besar penduduknya berasal dari Pulau Lombok para peternak mempraktikkan
sistem pemeliharaan ternak yang berbeda. Mereka ini sebagaimana kebiasaan bertani dan
beternak di Lombok melanjutkan cara pemeliharaan ternak dengan sistem potong angkut.
Walau demikian karena luasnya lahan pertanian dan perkebunan jambu mente yang mereka
miliki sebagian peternak juga menerapkan sistem penggembalaan penuh dan sistem
campuran antara keduanya.
Daerah transmigrasi ini petani menerapkan sistem pertanian lahan kering karena
lahan pertanian hanya mendapat air pada musim hujan saja dan tidak terdapat sistem irigasi
sama sekali. Dengan sistem pertanian lahan kering seperti ini maka ternak memegang
peranan yang sangat penting dalam menunjang kehidupan dan kesejahteraan petani. Hampir
seluruh penduduk desa yang berjumlah kurang lebih 100 kepala keluarga memiliki ternak
antara 2 sampai 4 ekor per peternak dan umumnya adalah ternak betina induk dengan
anaknya.
Pada musim kemarau yang terjadi sekitar bulan Mei sampai Desember penyediaan
hijuan pakan menjadi faktor pembatas. Pada awal musim kemarau masih bisa diperoleh
rumput dan legum merambat walau dalam jumlah dan kondisi tumbuh yang tidak memadai
akibat keterbatasan air. Namun seiring dengan berlanjutnya kemarau dan makin sedikitnya
kandungan air tanah, rumput dan legum meranbat makin menghilang dan sulit diadapatkan.
Penyediaan pakan hijauanpun berubah dengan memanfaatkan tanaman yang lebih tinggi
seperti leguminosa pohon dan tanaman tinggi dan pakan alternatif lainnya. Dengan keadaa
demikian, perlu untuk mengetahui keadaan penyediaan pakan ternak, jumlah pemberian dan
komsumsi, apa saja jenis hijauan pakan dan kualitasnya sebagai pakan ternak dengan melihat
kandungan protein kasar dan kecernaannya, serta jumlah pemberian air minum bagi ternak
setiap hari.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 517
Seminar Nasional 2005

MATERI DAN METODE

Penelitian dilaksanakan dengan melakukan pengamatan dan pengambilan sampel


pakan pada peternak serta observasi langsung di padang penggembalaan di Desa Sukadamai
Kecamatan Manggalewa Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat. Dari keseluruhan
peternak yang terdiri dari kurang lebih 100 orang peternak dengan sistem pemeliharaan yang
bervariasi, dipilih 9 orang peternak sebagai sample; masing-masing 3 (tiga) orang dengan
sistem potong angkut, 3 orang peternak dengan sistem penggembalaan penuh dan 3 (tiga)
orang peternak dengan sistem campuran. Kesembilan peternak ini diamati pemberian pakan
ternaknya selama musim kemarau 2002, dengan pengambilan sampel pakan pada bulan Juli
dan Oktober 2002. Jumlah pakan segar yang diberikan ditimbang, demikian pula dengan
sisa pakan yang tidak dikonsumsi. Kemudian diamati perbandingan antara jumlah daun dan
batang pada pakan, jenis hijauan penyusun pakan. Untuk analisis kandungan protein kasar
dan kecernaan in vitro pakan digolongkan dalam 3 golongan tanaman yaitu rumput-
rumputan, tanaman leguminosa dan gulma pertanian. Protein kasar pakan dianalisis dengan
metode analisis proksimat, sedangkan kecernaan dianalisis dengan metode in vitro (metode
Tilley and Terry).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyediaan pakan ternak untuk musim kemarau ternyata lebih bervariasi


dibandingkan dengan pakan pada musim hujan. Ketika awal musim kemarau peternak masih
bisa memperoleh rumput alam dan leguminosa merambat serta tanaman gulma pertanian,
tetapi semakin lama kemarau berlangsung jenis tanaman ini kemudian menghilang dan atau
mengering. Peternak kemudian harus menggunakan rumput kering, daun tanaman
leguminosa pohon dan daun tanaman pohon lainnya. Bahkan pada puncak musim kemarau
peternak memberikan pakan alternatif lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bamualim
dan Wirdahayati (2003) bahwa sebagian besar produksi ternak di Nusa Tenggara hanya
didukung oleh rumput-rumput alam dan tanaman lain yang tumbuh liar. Seiring dengan
berlanjutnya musim kemarau yang diikuti meningkatnya kekeringan maka sistem
pemeliharaan peternak juga menyesuaikan. Hampir seluruh peternak kemudian menerapkan
sistem potong angkut (cut and carry) bagi ternaknya, karena sudah tak tersedia lagi pakan
bagi ternak yang menggembala bebas.
Pada musim kemarau peternak memberikan pakan hijuan segar sekitar 16
kg/ekor/hari. Jumlah ini memang jauh berkurang bila dibandingkan dengan jumlah pakan
hjauan segar yang diberikan pada bulan-bulan musim hujan. Bamualim dkk (1994 a) juga
melaporkan terjadinya penurunan pemberian pakan selama musim kemarau sampai setengah
dari pemberian musim hujan. Pemberian pakan seperti ini walaupun jumlahnya tidak
sebanyak pemberian pada musim hujan, tetapi karena pakannya berupa hijauan legum pohon
dengan kualitas protein yang baik serta kandungan bahan kering yang lebih tinggi, makan
ternak masih dapat mempertahankan berat badan ternak hingga datangnya musim hujan.

20
19
18
16,667 16,458
17
16
15
14
13
12
11
10
July_02 Oct_02

Gambar 1. Grafik rata-rata jumlah pakan hijauan yang diberikan pada ternak (kg segar/ekor/hari)

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 518
Seminar Nasional 2005

Persentase daun dari pakan yang diberikan sepanjang tahun umumnya lebih dari
50%, kecuali pada musim kemarau ketika rumput dan daun-daunan mulai terbatas dan ternak
diberikan pakan hijauan alternatif. Hampir semua bagian daun dari pakan yang diberikan
umumnya dikonsumsi habis dan yang tersisa adalah batang-batang tua yang keras.

70 64 65

60 53.333
50 46.667

40 33.333
30

20
10
7.5
10
0
0
July_02 Oct_02

grass legume forbs other_cc

Gambar 2. Grafik persentase daun pada pakan hijauan yang diberikan pada ternak di musim kemarau.

Pada pertengahan musim kemarau sekitar bulan Juli, ketika rumput mulai sulit
didapatkan, peternak mulai menggunakan Gamal (Gliricidia sepium) dan Lamtoro
(Leucaena leucocephala). Pada puncak musim kemarau sekitar bulan Oktober, selain
memberi Gamal dan Lamtoro, peternak juga memberikan daun pohon-pohonan seperti daun
Nangka (Arthocarpus integra), Sonokeling (Dalbergia latifolia) dan Kesambi (Schleichera
oleosa). Tidak jarang peternak memberikan sapi mereka pakan hijauan yang terdiri dari
100% berupa Lamtoro atau Gamal. Dengan demikian sebenarnya peternak telah menerapkan
pemanfaatan stata ketiga dari konsep tiga strata (STS, Nitis dkk 1989). Selain itu peternak
juga memberikan pakan alternatif yang hanya diberikan dalam keadaan terpaksa seperti
batang pisang (Musa paradisiaca), batang papaya (Carica papaya) dan buah semu jambu
mente (Anacardia officinale). Pemberian pakan jenis ini juga dilaporkan oleh Bamualim dkk
(1994b) dilakukan oleh peternak di pulau lainnya di Nusa Tenggara.

80 75
70

60
50
50

40 35

30

20 15 15
10
10
0 0
0
July_02 Oct_02

grass legume forb other_cc

Gambar 3. Grafik komposisi pakan yang diberikan pada ternak di musim kemarau (%)

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 519
Seminar Nasional 2005

Pada pertengahan musim kemarau yaitu pada bulan Juli, kandungan protein pakan
berkisar antara 5 – 11% dengan kecernaan sekitar 36 – 43 % bahan kering. Nilai kandungan
protein ini lebih rendah sedikit dibandingkan dengan nilai protein pakan seperti dilaporkan
oleh Bamualim dkk (1994). Hal ini mungkin disebabkan karena pada saat ini kondisi rumput
sudah mulai menurun dengan daun yang mulai mengering dan jumlah batang yang cukup
banyak. Sedangkan pada puncak kemarau yaitu pada bulan Oktober, kualitas pakan dapat
meningkat karena pakan didominasi oleh legum pohon seperti Lamtoro dan Gamal dengan
kandungan protein sekitar 17% dan kecernaan sampai 70%. Sementara walaupun batang
pisang dan buah semu jambu mente memiliki kecernaan yang tinggi tetapi kandungan
proteinnya rendah.

18 17.06
16
Crude protein (%)

14
12 11.058 10.85
10
7.3533 6.83
8 6.3
6 5.0167
4.2967 4.1433
4
2 0 0 0
0
July_02 Oct_02

grass legume forbs tree_leaf banana_stem cashew

Gambar 4. Grafik kandungan protein pakan yang diberikan pada musim kemarau (% bahan kering)

18 17.06
16
Crude protein (%)

14
12 11.058 10.85
10
7.3533 6.83
8 6.3
6 5.0167
4.2967 4.1433
4
2 0 0 0
0
July_02 Oct_02

grass legume forbs tree_leaf banana_stem cashew

Gambar 5. Grafik kadar kecernaan in vitro pakan yang diberikan pada musim kemarau (% bahan
kering)

Kondisi panas dan kering pada musim kemarau ternyata tidak mempengaruhi jumlah
pemberian air minum kepada ternak. Pada musim ini air minum yang diberikan pada ternak
adalah sekitar 10 – 15 liter/ekor/hari. Jumlah ini tidak berbeda dengan jumlah air yangh
diberikan pada musim hujan.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 520
Seminar Nasional 2005

KESIMPULAN

Pada musim kemarau peternak memberikan pakan dengan mengandalkan pada


tanaman legum pohon seperti Lamtoro dan Gamal. Walaupun pemberian jumlah pakan pada
musim ini (sekitar 16 kg segar/ekor/hari) jumlah ini cukup bagi ternak untuk
mempertahankan kondisi berat badannya sampai datangnya musim hujan. Peternak mulai
bergeser menggunakan Lamtoro dan Gamal sekitar pertengahan musim kemarau pada saat
rumput mulai kering atau sulit didapat, dan kemudian sepenuhnya bergantung pada tanaman
legum pohon dan tanaman pohon lainnya pada puncak musim kemarau. Kandungan protein
pakan berkisar antara 5 – 17% dengan kecernaan in vitro sekitar 37 – 70%. Pemberian air
minum ternyata sama dengan pemberian pada musim hujan yaitu sekitar 10 – 15
liter/ekor/hari.
Ucapan terima kasih: Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang dibiayai oleh
ACIAR Project AS/2000/12, yang merupakan kerjasama CSIRO – Sustainable Ecosystem
Australia, Universitas Mataram dan Badan Pengkajian Teknologi Pertanian Propinsi Nusa
Tenggara Barat.

DAFTAR PUSTAKA

Bamualim, A. dan Wirdahayati, R.B. (2003). Nutrition and Management Strategies to


Improve Bali Cattle Productivity in Nusa Tenggara. In. Strategies to Improve Bali
Cattle in Eastern Indonesia. K. Entwistle and D.R. Lindsay (Eds). ACIAR
Proceeding No. 110.
Bamualim A., Saleh A., dan Patrick I. 1994a. Komposisi Jenis Makanan yang Diberikan
Petani pada Ternak Sapi yang Dipelihara dengan Sistem Semi Intensif di Nusa
Tenggara. CHAPS Book A. Eastern Islands Veterinary Services Project.
Bamualim A., Saleh A., Fernandez, P.Th., dan Liem, C. 1994b. Produksi dan Kualitas
Hujauan Rumput Alam Sebagai Makanan Ternak Sapi di Nusa Tenggara. CHAPS
Book A. Eastern Islands Veterinary Services Project.
Nitis, I M., Lana, K., Suarna, M., Sukanten, W., Putra, S., and Arga, W. 1989. Three Strata
Forage System for Cattle Feeds and Feeding in Dryland Farming area in Bali.
Final Report to IDRC Canada.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 521
Seminar Nasional 2005

ANALISA USAHATANI PADA PENGGEMUKKAN SAPI


DENGAN INTRODUKSI PAKAN DAN PROBIOTIK DI SUBAK GUAMA
DAN SUBAK DAWAN

IA. Parwati dan I Nyoman Suyasa


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali

ABSTRAK

Pengkajian dilakukan untuk menganalisis usaha penggemukkan sapi yang dikembangakan oleh petani
peserta penelitian. Penelitian dilakukan di dua lokasi subak yaitu Subak Guama, Tabanan dan Subak Dawan,
Klungkung, dengan melibatkan 40 orang petani ternak, 20 Orang di Subak Guama dan 20 orang di Subak Dawan
dengan rata- rata kepemilikan 2 ekor/KK. Perlakuan yang diberikan adalah pemberian Complet feed sebanyak 2
kg/ekor/hari + 5 ml Biocas/ekor/hari + jerami yang teramoniasi diberikan secara adlib, penelitian ini dilakukan
selama 6 bulan. Untuk melihat pengaruh perlakuan yang diberikan dilakukan penimbangan berat badan sapi
setiap bulan. Parameter yang diamati pada anlisis usahatani ini adalah keuntungan dan kelayakan usaha dengan
B/C ratio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan formulasi ransum tersebut peningkatan berat badan
harian ternak di subak Guama lebih tinggi dari ternak sapi yang ada di subak Dawan masing-masing sebesar 0,62
kg dan 0,41 kg. Sedangkan dari analisa usahatani untuk 2 ekor ternak sapi penggemukkan selama 6 bulan, di
Subak Guama penerimaan yang diperoleh masing-masing sebesar Rp 11.171.040, dan Rp 7.076.800 sedangkan
keuntungan yang diperoleh di Subak Guama sebesar Rp 3.197.640 lebih besar dari keuntungan yang diterima
oleh petani di subak Dawan yang hanya Rp 1.501.400,-. Dari kelayakan usaha kedua lokasi layak untuk
dikembangkan ternak sapi dengan B/C ratio masing-masing 1.40 untuk subak Guama dan subak dawan dengan
B/C ratio 1,27.
Kata Kunci : sapi penggemukkan, biocas, keuntungan, kelayakan usaha

PENDAHULUAN

Pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang berdampak langsung pada peningkatan


pendapatan perkapita penduduk telah menyebabkan meningkatnya permintaan dan
konsumsi daging, termasuk daging sapi. Hal ini tampak jelas dari pertumbuhan jumlah sapi
yang dipotong maupun daging sapi yang dikonsumsi secara nasional beberapa tahun
terakhir(Anon 2004). Sementara disisi lain pertumbuhan populasi sapi secara nasional
tidak mampu mengimbangi pertumbuhan konsumsi masyarakat, sehingga berakibat adanya
kelebihan permintaan (over demand) dibandingkan penyediaan (supply).
Dalam rangka menanggulangi masalah tersebut telah ditempuh upaya untuk
mencukupi kebutuhan sapi dan daging sapi dengan cara antara lain mengimpor baik dalam
bentuk induk sapi, sapi potong, daging sapi maupun semen untuk inseminasi buatan.
Pemenuhan kebutuhan impor tersebut didominasi oleh kebutuhan akan sapi potong
(Darmadja, SGND.1990).
Potensi pengembangan sapi potong untuk wilayah Propinsi Bali cukup besar,
karena didukung oleh potensi pasar yang masih kekurangan akan daging sapi potong serta
makin meningkatnya konsumsi daging sapi perkapita. Selain itu peluang pengembangan
usaha ini didukung oleh terjadinya perkembangan harga daging sapi di Bali yang terjadi
10 tahun terakhir, dimana secara konsisten terjadi peningkatan harga sekitar 5,26 – 23,8%
pertahun.
Secara geografis dan historis Bali merupakan daerah pengembangan ternak sapi
yang cukup potensial. Hal ini didukung oleh kondisi geografis Bali berdasarkan daerah
iklimnya, merupakan daerah dengan 8 bulan musim hujan dan 4 bulan musim kering.
Adapun rata-rata curah hujan antara 2500 – 3000 mm pertahun (daerah iklim B) terdapat di
Bali Tengah; daerah dengan 7 bulan musim hujan dan 5 bulan dengan musim kering (daerah
Iklim C) dengan rata-rata curah hujan 2000 – 2500 mm pertahun terdapat di Bali Barat;
daerah dengan 6 bulan musim hujan dan 6 bulan musim kering (daerah Iklim D) dengan
curah hujan antara1500 – 2000 mm pertahun terdapat di Bali Selatan dan Bali Barat; daerah

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 522
Seminar Nasional 2005

dengan 5 bulan musim hujan dan 7 bulan musim kering (daerah iklim E) dengan curah hujan
antara 1000 – 1500 mm pertahun terdapat di Bali Selatan dan Tenggara; sedangkan daerah
dengan 4 bulan musim hujan dan 8 bulan musim kering (daerah Iklim F) dengan curah hujan
antara 800-1300 mm pertahun terdapat di Bali Timur dan Bali Utara. Dengan demikian maka
Bali Timur dan Bali Utara keadaan cuacanya lebih kering jika dibandingkan dengan Bali
Barat, Tengah dan Selatan.
Komoditi pertanian lahan kering dapat berupa tanaman pangan, tanaman perkebunan
dan ternak. Namun karena distribusi sumber alam yang tidak merata dan sumber daya
manusia yang masih terbatas, maka produktivitas dan kelestarian lingkungan pertanian lahan
kering belum menjadi optimal.
Dari 563.286 ha lahan di Bali 63,47% adalah untuk pertanian, 22,28% untuk lahan
alam, 5,91% untuk pemukiman, 5,91 sebagai lahan kritis, 0,61% sebagai danau dan rawa dan
1,23% untuk lain-lain. Dari lahan untuk pertanian tersebut 17,25% untuk sawah, 20,05%
untuk tegalan dan 26,17% untuk perkebunan. Dengan demikian maka pertanian lahan kering
3,68 kali lebih luas dari pertanian lahan basah.
Umumnya pada pertanian lahan kering, petani biasanya menanam palawija (jagung,
kacang-kacangan dan ketela pohon) di waktu musim hujan. Setelah panen, lahan dibiarkan
kosong dan ditumbuhi rumput lokal yang nilai gizinya tidak begitu tinggi untuk ternak.
Meskipun ternak terutama sapi, selalu diintegrasikan dengan pertanian lahan kering ini
namun tidak ada lahan khusus yang disediakan untuk menanam hijauan makanan ternak.
Hanya pada galangan ditanam rumput gajah untuk makanan ternak di waktu musim hujan,
sedangkan semak dan pohon untuk makanan ternak di waktu musim kering. Dengan
persediaan hijauan yang terbatas ini, maka ternak ruminansia sering kekurangan hijauan
makanan ternak, terutama pada waktu musim kering.
Kontribusi peternakan terhadap PDRB pertanian di Bali atas dasar harga berlaku
adalah 77,57% sedangkan atas dasar harga konstan adalah 25,42% (Anonim, 2004)
Sementara itu untuk melihat keberhasilan suatu usaha perlu adanya suatu kajian
usahatani. Usahatani sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh produk di bidang pertanian,
pada akhirnya akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh.
Selisih keduanya merupakan kegiatan bagi usahataninya. Karena dalam kegiatan
usahataninya petani bertindak sebagai pengelola, pekerja dan sebagai penanam modal pada
usahanya maka pendapatan ini digambarkan sebagai balas jasa dari kerjasama faktor-faktor
produksi. Analisa pendapatan usahatani mempunyai kegunaan bagi petani, pemilik faktor
produksi yaitu: (1) menggambarkan suatu kegiatan usaha sekarang; (2) menggambarkan
keadan yang akan datang dari perencanaan atau kegiatan. Secara khusus analisa pendapatan
dapat memberikan bantuan untuk mengukur tingkat keberhasilan usahataninya (Soeharjo,
1996).
Menurut Soedarsono (1973), bagi petani pendapatan merupakan pedoman untuk
menilai apakah usaha keluarganya berhasil atau tidak. Biaya total produksi adalah biaya
tetap total ditambah biaya variabel total. Semakin banyak output yang dihasilkan, semakin
rendah biaya tetap untuk menghasilkan setiap satuan output. Jadi biaya tetap rata-rata
cendrung menurun begitu kuantitas output bertambah. Sedangkan biaya variabel adalah
biaya untuk penggunaan input yang tidak tetap. Semakin banyak memakai input variabel,
maka setiap input ekstra menyumbang output semakin sedikit.
Sekartawi dkk (1986) mendefinisikan penerimaan tunai usahatani (farm receipt)
sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani. Pengeluaran tunai
usahatani (farm payment) didefinisikan sebagai jumlah uang yang dibayarkan untuk
pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Penerimaan tunai usahatani tidak mencakup
pinjaman uang untuk keperluan usahatani. Demikian juga pengeluaran tunai usahatani tidak
mencakup bunga pinjaman dan jumlah pinjaman pokok. Penerimaan tunai dan pengeluaran
tunai usahatani tidak mencakup yang berbentuk benda. Jadi, nilai produk usahatani yang
dikonsumsi tidak dihitung sebagai penerimaan tunai usahatani, dan nilai kerja yang

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 523
Seminar Nasional 2005

dibayarkan dengan benda tidak dihitung sebagai pengeluaran tunai usahatani. Selisih antara
penerimaan tunai usahatani dan pengeluaran tunai usahatani disebut pendapatan tunai
usahatani (farm net cash flow) dan merupakan ukuran kemampuan usahatani untuk
menghasilkan uang tunai.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Desa Dawan Kabupaten Klungkung dan Desa Guama


Kabupaten Tabanan pada Tahun 2004. Dengan melibatkan 40 ekor ternak dengan rincian
20 ekor di Subak Guama, Tabanan dan 20 ekor di Subak Dawan, Klungkung. Rata- rata
kepemilikan ternak sapi di kedua darah tersebut sebanyak 2 ekor/kk. Teknologi yang
diberikan adalah pakan tambahan berupa complete feed 2 kg + 5 ml Biocas per ekor + HMT
(jerami fermentasi + hijauan). Penelitian dilakukan selama 6 bulan, untuk mengetahui
pengaruh perlakukan dilakukan penimbangan berat badan dengan penimbangan setiap bulan
sekali.
Parameter yang diamati adalah hasil, keuntungan usahatani, R/C ratio untuk melihat
kelayakan usaha.
1. Untuk mengetahui pendapatan bersih usaha pengembangan ternak sapi dengan teknologi
pakan dan probiotik dapat digunakan rumus sebagai berikut :
NR = TR – TC
NR = Py. Y – (Px.X + TFC)
Keterangan :
NR = Net Revenue (pendapatan bersih)
TR = Total Revenue (pendapatan total)
TFC = Total Fixed Cost (total biaya tetap)
TC = Total Cost (biaya total)
X = Input
Py = Harga output
Y = Output
Px = Harga input
2. Gros R/C rasio, yang secara matematis dapat ditulis sebagai berikut (Adnyana, 1995).

PXH
Gross B/C =
B

Keterangan :
P = Produksi
H = Harga Produksi
B = Total Biaya
Analisis kelayakan usaha penggemukan sapi digunakan untuk melihat tingkat
pengembalian atas biaya usaha tani yang telah dikeluarkan untuk menerapkan teknologi
introduksi. Apabila Gross B/C > 1, maka usaha tani dianggap layak secara finansial, karena
keuntungan bersih masih lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknologi introduksi yang diterapkan pada penggemukan sapi dalam penelitian ini
adalah pemberian 2 kg complete feed + 5 ml Biocas per ekor per hari. Complete feed

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 524
Seminar Nasional 2005

merupakan pakan komplit yang disediakan dipasaran yang merupakan pakan komersial yang
telah mengandung nutrisi yang lengkap.
Sedangkan Biocas merupakan probiotik yang mengandung berbagai mikroba
pemecah serat seperti selulolitik, lipolitik, dan lain-lainnya yang diharapkan dapat membantu
ternak dalam mencerna serat kasar seperti jerami dan pakan hijauan lainnya sehingga mampu
dijadikan bahan-bahan yang lebih bermanfaat. Penggemukan di subak Dawan dengan
pemberian pakan tambahan berupa complete feed dan probiotik Biocas memperoleh
peningkatan berat badan harian mencapai 0,41 kg per ekor per hari dengan berat awal
pemeliharaan 174 kg/ekor.
Tabel 1. Peningkatan rata-rata berat badan/hari, berat badan awal, berat badan akhir pada pola penggemukan
sapi kereman di subak Dawan Klungkung dan Subak Guama Tabanan.

Rata-rata pertambahan
Manajemen Berat badan awal (kg) Berat badan akhir (kg)
Berat badan per hari (kg)
Tek. Rekomendasi 253 366 0,63
Subak Dawan 179 216 0,41
Subak Guama 264 320 0,62
Ket: Teknologi Penelitian : HMT (Hijauan + Jerami Fermentasi) + 2 kg complete feed + 5 ml Biocas per ekor per hari

Sedangkan bagi sapi yang digemukkan di subak Guama mampu meningkatkan


pertambahan berat badan harian mencapai 0,62 kg/ekor/hari dengan berat awal pemeliharaan
adalah 264 kg/ekor. Pemberian complete feed yang merupakan pakan jadi memiliki susunan
ransum yang komposisinya telah disesuaikan dengan kebutuhan ternak khususnya sapi
(ruminansia), dan akhirnya lebih mudah dicerna oleh tubuh ternak sehingga mampu
dimanfaatkan semaksimal mungkin (Suyasa, dkk. 2004). Sedangkan pemberian Biocas yang
merupakan kumpulan mikroba pemecah serat akan membantu mikroba yang telah berada di
lambung ternak untuk mencerna serat-serat yang dimakan ternak menjadi bahan-bahan yang
siap diserap oleh tubuh sehingga lebih banyak yang dapat dimanfaatkan. Antara sapi
penggemukan yang dipelihara di Subak Guama dengan sapi penggemukan di subak Dawan
diberikan jenis pakan dan probiotik yang sama namun menghasilkan pertambahan berat
badan harian yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh berat badan awal pemeliharaan
yang berbeda dimana sapi-sapi yang dipelihara disubak Guama memiliki berat badan awal
pemeliharaan 264 kg/ekor sedangkan sapi-sapi yang dipelihara di subak Dawan hanya
memiliki berat badan awal rata-rata 174 kg/ekor. Menurut Suyasa, dkk. (1997) dan
Widiyazid, dkk. (1998), pertumbuhan sapi penggemukan adalah seperti sigmoid, dimana
semakin besar berat awal yang dimiliki maka akan semakin cepat pertumbuhannya.
Pertambahan berat badan harian yang dicapai di subak Guama masih lebih rendah bila
dibandingkan dengan yang direkomendasikan yang mencapai 0,63 kg/ekor/hari. Selain
pakan tambahan variasai pakan utama juga dapat menentukan hal ini. Dengan pemberian
HMT (berupa rumput 70% + leguminosae 30%) dengan pakan tambahan 2 kg dedak dan 10
cc probiotik Bioplus mampu meningkatkan berat badan harian 0,68 kg/ekor/hari (Suyasa,
dkk. 1999). Selama ini sapi dengan berat sekitar 174 kg/ekor masih dikategorikan sebagai
bibit, sehingga belum layak dipakai sebagai bakalan untuk digemukkan karena masih dalam
masa pertumbuhan. Sapi-sapi yang termasuk dalam kategori bakalan untuk digemukkan
adalah sapi-sapi yang telah dewasa atau berakhir masa pertumbuhannya sehingga kalau
dipelihara hanya akan bertambah besar/gemuk. Peningkatan yang dicapai pada sapi-sapi
yang digemukkan baik di subak Dawan maupun Guama yang mencapai 0,41 kg/ekor/hari
dan 0,62 kg/ekor/hari masih jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan apa yang dicapai
oleh masyarakat selama ini. Sapi-sapi yang dipelihara oleh petani biasanya hanya diberikan
pakan tradisional saja dengan pakan tambahan seadanya, sehingga dalam setahun baru
mampu menjual ternaknya dengan pertambahan berat badan dalam setahun + 100 kg/ekor.
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pertambahan berat badan harian yang dicapai
pada sapi-sapi kereman yang dipelihara dengan pola petani masih sangat rendah. Hasil ini
juga menunjukkan bahwa teknologi penggemukan yang diterapkan di subak Dawan dan

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 525
Seminar Nasional 2005

Guama telah mampu dilaksanakan dan disebarkan sehingga diminati oleh sebagian besar
anggota subak yang lain.
Sedangkan untuk Analisa Usaha taninya, dalam penelitian ini untuk pemeliharaan 2
ekor ternak yang digemukkan membutuhkan biaya selama pemeliharaan (6 bulan) Rp
752.400,- untuk membiayai pakan tambahan dan probiotik. Sedangkan untuk membiayai
tenaga kerja dibutuhkan Rp 885.000,- selama 6 bulan. Nilai bibit sapi di Subak Guama Rp
6.336.000,- sedangkan di Dawan hanya Rp 3.938.000,- perbedaan ini disebabkan karena
berat badan awal yang berbeda sehingga harga beli juga berbeda (Tabel 2).
Tabel 2. Tingkat Keuntungan dan B/C ratio usahatani ternak sapi kereman di Subak Guama dan Dawan per 2
ekor ternak
Uraaian Subak Guama Subak Dawan
Unit (ekor) 2 2
Harga/kg (Rp), jual 14.200 13.000
Berat Awal Ternak, kg/ekor 264 179
Berat Badan jual (kg/ekor) 375,6 252,8
Penjualan pupuk Kompos (Rp) 504.000 504.000
Penerimaan kotor per (Rp) 11.171.040 7.076.800
Biaya input produksi (Rp) 752.400 752.400
Biaya tenaga Kerja (Rp) 885.000 885.000
Nilai Bibit Awal (Rp) 6.336.000 3.938.000
Keuntungan riil (Rp) 3.197.640 1.501.400
Total biaya/ 2 ekor (Rp) 7.973.400 5.575.400
Keuntungan setahun ( dengan pemeliharaan 2 ekor/6 bulan 6.395.280 3.002.800
sehingga dalam setahun 4 ekor) (Rp)
B/C Ratio 1,40 1,27
Penerimaan per hari/2 ekor (Rp) 17.764 8.341

Dalam hal ini berlaku harga pasar yang menganut aturan semakin berat ternak
tersebut harga per satuan berat semakin mahal. Dengan harga jual tersebut maka keuntungan
yang diperoleh sapi yang dipelihara di Guama adalah Rp 2.693.640,- untuk 2 ekor ternak
dalam jangka waktu 6 bulan sehingga B/C ratio yang dicapai 0,33. (Tabel 2). Sedangkan sapi
kereman yang dipelihara di subak Dawan hanya memperoleh keuntungan Rp. 997.400,-
untuk 2 ekor ternak per 6 bulan dengan B/C ratio 0,17. Keuntungan yang dicapai di Guama
per hari per 2 ekor adalah Rp 14.964,- sedangkan di dawan hanya mencapai Rp. 5.541,-.
Dalam setahun di Guama mampu dipelihara 4 ekor dengan keuntunga mencapai Rp.
5.387.280,- sedangkan di Dawan dalam setahun hanya memperoleh keuntungan Rp.
1.994.800,- Namun demikian keuntungan lain yang dapat diperoleh oleh petani dalam
pemeliharaan ternak ini adalah kotorannya yang dapat dipakai sebagai pupuk. Sehingga
dalam mengelola usaha taninya tidak lagi berpikir untuk membeli kompos untuk
tanamannya.

KESIMPULAN

1 Pemberian pakan tambahan berupa Complete feed dan Biocas pada pakan ternak yang
digemukkan di subak Guama dan Dawan mampu memberikan peningkatan berat badan
harian 0,62 dan 0,41 kg/ekor/hari, sehingga bobot akhir mencapai 375,6 dan
252,8.kg/ekor.
2 Dalam pelaksanaan penelitian ini untuk usatani ternak diperoleh keuntungan mencapai
Rp. 6.395.280 dan Rp. 3.002.800,- dengan B/C ratio 1,40 dan 1,27 masing-masing untuk
subak Guama dan Dawan.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 526
Seminar Nasional 2005

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, M.O. dan K. Kariyasa (1995). Model Keuntungan Kompetitif Sebagai Alat
Analisis dalam Memilih Komoditas Pertanian Unggulan. Informatika Pertanian
Vol.5 No.2 Desember 1995. Pusat Penyiapan Program Pertanian. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Jakarta
Anonimous. 2004. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
Darmadja, SGND (1980). Setengah abad peternakan sapi traditional dalam ekosistem
pertanian di Bali
Djagra, IB (1989). Sapi bali betina sebagai tenaga kerja. Buletin ISPI Bali No. I ,th I,
September 1989.
Darmadja, SGND (1990). Prospek sapi Bali dalam kaitannya dengan konsolidasi peternakan
di Indonesia. Kumpulan reprint publikasi tahunan reproduksi 1986-1990. Hal 48 –
65. Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar.
Hardjoutomo, S., A. Wiyono dan A. Husein. 1997. Ketersediaan dan Kebutuhan Teknologi
Veteriner Sapi Potong. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Siregar, AR., P Situmorang., M. Boer., G. Mukti., J. Bestari., dan M. Purba. 1997.
Pengkajian Pemanfaatan Teknologi Inseminasi Buatan (IB) Dalam Usaha
Peningkatan Populasi dan Produktivitas Sapi Potong Nasional di Propinsi Sumatera
Barat.
Suyasa; Suprio Guntoro; Parwati; Suprapto; Widiyazid.S. 1999. Pemanfaatan Probiotik
Dalam Pengembangan Sapi Potong Berwawasan Agribisnis di Bali. Jurnal
pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Volume 2. No. 1. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Bogor.
Suyasa, I Nyoman.; Widiyazid, S.; Suprio Guntoro. 2004. Produktivitas Usatani Berbasis
Lahan Sawah Di Subak Rejasa Tabanan Bali. Prosiding Seminar Integrasi Tanaman
– Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bekerjasam Dengan Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Bali.
Steel, R.G.D, dan J.H Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Diterjemahkan Bambang
Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 527
Seminar Nasional 2005

DINAMIKA USAHA AGRIBISNIS PEMBIBITAN SAPI POTONG DI KAWASAN


LAHAN PESISIR KECAMATAN SRANDAKAN KABUPATEN BANTUL

Sinung Rustijarno, Soeharsono dan Supriadi


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta

ABSTRAK
Berbagai aktivitas yang bersifat multi aktor dan multi sektor terdapat di wilayah pesisir. Lahan pasir
yang termasuk wilayah pesisir merupakan lahan yang miskin unsur hara, marjinal dan belum banyak
dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya pertanian atau peternakan. Perkembangan di lahan pesisir pantai Provinsi
D. I. Yogyakarta mulai banyak dimanfaatkan untuk kegiatan peternakan, khususnya pembibitan sapi potong.
Tujuan penelitian adalah mengetahui dinamika usaha kelompok tani ternak sapi potong dengan pendekatan
agribisnis di lahan pesisir. Penelitian dilakukan pada bulan Mei – Juni 2005 di kawasan lahan pesisir pantai
selatan Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul. Metode penelitian menggunakan analisis deskriptif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kepemilikan ternak 3,23 ekor/orang, tenaga kerja yang terlibat
meningkat 3,31%, tingkat keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) meningkat 25, 77%, pertumbuhan asset kelompok
selama periode 2002-2004 meningkat sebesar 9,02%.
Kata Kunci : agribisnis, sapi potong, bibit, lahan pesisir

PENDAHULUAN

Peranan ternak sapi sebagai pemasok daging cukup besar. Selama kurun waktu 4
dasawarsa, populasi sapi Indonesia meningkat cukup signifikan, yaitu dari rata-rata 6,69 juta
ekor pada kurun 1961-1970 menjadi lebih dari 11 juta ekor pada tahun 1991-2003. Meskipun
demikian, peningkatan populasi sapi ini tidak dapat mencukupi permintaan daging sapi,
terlihat dari semakin meningkatnya jumlah impor sapi khususnya pasca tahun 1991
(Hermawan, 2005). Pada tahun 1999 hingga 2001 pasokan daging sapi asal impor di
Indonesia telah mencapai 15-22% dari kebutuhan daging sapi (Ditjend Bina Produksi
Peternakan, 2002). Secara nasional pada tahun 2002 kontribusi daging sapi dalam memasok
daging menempati urutan kedua (23%) setelah unggas (56%) (FAPRI, 2004). Kondisi sapi
potong lokal saat ini sangat beragam dan sebagian besar (99%) dikelola dan dikembangkan
dengan pola peternakan rakyat (cow-calf operation) dalam skala usaha kecil dan terintegrasi
dengan kegiatan lain, sehingga fungsi sapi potong sangat kompleks dalam menunjang
kehidupan peternak (Gunawan, 2003). Selanjutnya dikatakan oleh Gunawan (2003) menurut
perhitungan ekonomis, saat ini usaha dengan pola peternakan rakyat memberikan net present
value (NPV) negatif atau sangat kecil. Oleh karena itu, dalam agribisnis peternakan
khususnya dalam penyediaan bibit sapi potong peran peternakan rakyat sangat dominan.
Sistem agribisnis berbasis peternakan mencakup empat subsistem, yaitu: (1)
subsistem agribisnis hulu peternakan; (2) subsistem usaha/produksi peternakan; (3)
subsistem agribisnis hilir peternakan; dan (4) subsistem jasa (Saragih, 2000). Agribisnis
peternakan juga terkait beberapa lembaga, antara lain lembaga produsen, lembaga
konsumen, lembaga profesi, lembaga pemerintahan dan lembaga ekonomi (Handayani dan
Priyanti, 1995). Lembaga - lembaga terkait akan berperan aktif dalam pembinaan, sehingga
dapat mencapai satu sasaran yang sama yaitu sistem usaha agribisnis peternakan yang
berkelanjutan.
Program pengembangan kelompok peternakan berpeluang dalam pengembangan
kekuatan organisasi kelompok melalui kegiatan agribisnis dan jalinan kemitraan yang saling
menguntungkan dengan pihak yang terkait. Usaha berkelompok tersebut mempunyai
dinamika yang bervariasi dari waktu ke waktu. Makalah ini memberikan gambaran dinamika
usaha penyediaan bibit sapi potong dalam sistem agribisnis dari aspek kelembagaan
kelompok tani ternak yang melakukan usaha dalam kawasan peternakan.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 528
Seminar Nasional 2005

METODOLOGI

Penelitian dilakukan di Dusun Ngentak, Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan,


Kabupaten Bantul di Kelompok Ternak Pandan Mulyo. Penelitian dilaksanakan pada bulan
Mei – Juni 2005. Metode penelitian menggunakan cara survey (Singarimbun dan Effendie,
1989) dengan jumlah responden yang merupakan anggota kelompok sebanyak 40 orang.
Data yang diperoleh selanjutnya disajikan secara deskriptif analitis (Nazir, 1998).
Pengumpulan data meliputi data primer dan sekunder. Data primer meliputi jumlah anggota,
jumlah ternak, tenaga kerja yang terlibat, sedangkan data sekunder berasal dari instansi
terkait meliputi modal, pendapatan kelompok dan dinamika kelompok.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Wilayah Penelitian


Kecamatan Srandakan merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten
Bantul dengan luas 1.831,60 ha, suhu rata-rata 29°C dengan curah hujan rata-rata 1.410 mm/
tahun, merupakan daerah yang potensial untuk pengembangan tanaman pangan, peternakan,
perkebunan dan perikanan. Kondisi tanah agak masam dengan kisaran pH tanah 5,3 – 6,0
(BIPP Bantul 2005). Kecamatan Srandakan termasuk wilayah pesisir di Kabupaten Bantul.
Wilayah pesisir atau coastal zone merupakan wilayah pertemuan antara ekosistem darat dan
laut (Soegiarto 1976). Batas lahan pesisir (coastal land) adalah lahan darat yang masih
dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, air tanahnya mengandung
garam dan dicirikan oleh jenis-jenis tumbuhan yang mampu bertoleransi terhadap air laut.
Berbagai aktivitas yang bersifat multi aktor dan multi sektor terdapat di wilayah pesisir
tersebut. Kegiatan tersebut diantaranya adalah pertanian, peternakan, perikanan, pariwisata,
pertambangan, perindustrian dan lain-lain.
Tipe iklim di wilayah pesisir selatan Kecamatan Srandakan adalah adalah tipe Awa
yang dicirikan dengan musim kering yang lebih panjang dan lebih tegas, sehingga hujan
dalam periode basah tidak cukup mengimbangi kekeringan. Kedalaman air tanah di wilayah
penelitian berkisar antara 7 - 10 m, dengan fluktuasi air tanah bebas yang merupakan selisih
kedalaman muka air tanah bebas yang diukur pada akhir musim kemarau dan pada musim
hujan adalah 4 – 6 m.
Dari aspek hidrologi, wilayah penelitian yang dialiri satu sungai besar di sisi barat
yaitu Sungai Progo dengan debit sungai bersifat intermitten, artinya debit air sungai
dipengaruhi oleh musim. Debit air rata-rata DAS Progo adalah 150 m3/th. Sungai Progo
selain berfungsi untuk pengairan lahan pertanian, juga sangat rawan terhadap bencana banjir
yang terjadi setiap tahun. Kondisi DAS Progo yang mempunyai kandungan sedimen material
pasir dari Gunung Merapi dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk mendapatkan
penghasilan melalui penambangan pasir.
Kepadatan penduduk di wilayah Kecamatan Srandakan.mencapai 1.589 jiwa/km2,
sedangkan kepadatan agraria mencapai 10 orang/ha. Oleh semakin sempitnya lahan
usahatani, maka tipe petani di Kecamatan Srandakan adalah termasuk petani sambilan. Hal
ini terlihat dari jumlah penduduk yang menggantungkan mata pencaharian di sektor
pertanian sebesar 26%, sedangkan lainnya di sektor industri, perdagangan, jasa dan lain-lain.
Berdasarkan kondisi yang ada, ketersediaan sumberdaya tanah dan air di wilayah tersebut
berpotensi untuk kegiatan pertanian dan peternakan terutama peternakan di lahan
kering/pasir. Usaha peternakan di lahan pasir pantai selatan khususnya di Kecamatan
Srandakan telah berkembang sejak tahun 1998 dengan dibangunnya kandang-kandang
kelompok di lahan pasir yang marjinal. Pengembangan kawasan lahan pasir pantai selatan
Yogyakarta khususnya di Kabupaten Bantul ditujukan untuk mengoptimalkan potensi lahan
sebagai areal budidaya dan peruntukan lain, dalam rangka menunjang pendapatan dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Untuk mendukung hal tersebut lahan pasir

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 529
Seminar Nasional 2005

seluas 3.300 ha yang tersedia di sepanjang pantai selatan Provinsi D.I. Yogyakarta yang
berstatus Sultan Ground (SG) dan Paku Alam Ground (PG) dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas kawasan lahan pasir di
wilayah penelitian yang digunakan untuk kegiatan peternakan kelompok seluas 1 Ha dengan
status Sultan Ground (SG) menggunakan sistem sewa pakai.

Potensi Sumberdaya Manusia (SDM)


Karakteristik petani seperti sebaran umur relatif beragam, petani yang mempunyai
umur produktif (15 – 64) tahun sebanyak 95%, petani yang berumur tidak produktif (>65)
tahun sebanyak 5%, dan petani yang berumur muda (<15) tahun sebanyak 0%. Usia petani
yang masuk kisaran produktif masih memungkinkan untuk meningkatkan usahatani dan
melakukan kegiatan yang inovatif sehingga akan terjadi perubahan sosial kelembagaan, baik
perubahan secara individu maupun kelompok. Mata pencaharian utama adalah sebagai petani
(86,67%), pegawai negeri (5%), swasta (3,33%), nelayan (3,33%) dan buruh (1,67%). Hasil
analisis secara deskriptif diperoleh bahwa perubahan yang menunjukkan dinamika
kelompok, ditandai dengan semakin aktifnya peran petani dalam menghadiri acara
pertemuan-pertemuan kelompok mencapai 95%, kegiatan sosial kerja bakti atau gotong
royong pembuatan jalan menuju lokasi kandang.

Dinamika Kelompok Tani dan Populasi Ternak


Berdirinya kelompok pembibitan ternak sapi potong Pandan Mulyo diawali oleh
inisiatif beberapa tokoh masyarakat untuk membuat kandang kelompok dengan
memanfaatkan lahan marjinal di kawasan pesisir Pantai Pandansimo Bantul. Kelompok yang
berdiri pada tanggal 11 Januari 1994 mempunyai anggota 134 orang termasuk dalam
klasifikasi kelas Madya. Berdasarkan kepemilikan ternak, jumlah rata-rata kepemilikan
ternak di kelompok ini pada tahun 2002 – 2004 berkisar 3,48 – 3,34 ekor per orang (Tabel
1). Jenis ternak yang dipelihara 90% dominan betina. Jenis sapi potong yang dipelihara
terdiri dari keturunan Peranakan Simental, Peranakan Ongole (PO), dan Limosin.
Tabel 1. Rata-rata Kepemilikan Ternak Sapi Potong Pandan Mulyo, Bantu, 2002-2004.

Tahun Populasi (ekor) Jumlah Peternak Rata-rata kepemilikan


2002 463 133 3,48
2003 381 133 2,86
2004 444 133 3,34
Rata-rata 429 133 3,23

Jumlah sapi potong di Kelompok Ternak Pandan Mulyo pada tahun 2004 tercatat
ada 240 ekor induk dewasa dan 16 ekor pejantan dengan jumlah kelahiran pedet 122 ekor.
Status kepemilikan ternak 80% milik sendiri, dan sisanya 20% berstatus menggaduh. Pola
petani dalam pengelolaan ternak sapi potong masih bersifat tradisional yaitu memelihara
ternak hanya sebagai kegiatan sambilan selain pekerjaan pokok di sektor pertanian dan
penambangan pasir. Produksi pupuk organik belum dimanfaatkan oleh anggota dan masih
dipasarkan dalam bentuk olahan. Berdasarkan potensi dan ketersediaan sapi potong di
kawasan lahan pasir pantai Srandakan diperkirakan mampu memproduksi 1.206 ton kotoran
ternak selama setahun, dengan asumsi satu ekor ternak sapi menghasilkan kotoran ternak 9
ton/tahun. Oleh karena itu prospek pengembangan peternakan sapi potong ke arah agribisnis
di tingkat petani sangat berpeluang.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 530
Seminar Nasional 2005

Tabel 2. Perubahan Jumlah Ternak, Kelahiran dan Kematian Pedet Sapi Potong di Kelompok Ternak Pandan
Mulyo, Bantul, 2002-2004.

Jumlah (Ekor)
Uraian Laju Pertumbuhan (%)
2002 2003 2004
1. Jumlah induk 281 217 240 -14,59
2. Jumlah pejantan 17 18 16 -5,88
3. Jumlah dewasa betina 27 20 36 33,33
4. Jumlah dewasa jantan 40 32 31 22,50
5. Jumlah anak betina 43 49 46 6,98
6. Jumlah anak jantan 55 45 75 36,36
7. Jumlah populasi 463 381 444 -4,10
8. Jumlah kelahiran 97 94 122 25,77
Jumlah kematian pedet 0 0 0 -

Dinamika Tenaga Kerja


Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam pengelolaan usaha pembibitan ternak sapi
potong di lahan pasir pantai selatan Kecamatan Srandakan terdiri dari tenaga kerja dewasa
pria, dewasa wanita dan anak-anak (Tabel 3). Tenaga kerja wanita terlibat dalam mencari
dan memberi pakan ternak, dikarenakan sebagian tenaga pria dewasa mencari penghasilan di
penambangan pasir di DAS Progo. Tenaga kerja anak-anak juga dilibatkan terutama dalam
pengangkutan hijauan pakan ke lokasi kandang. Perkembangan keterlibatan jumlah tenaga
kerja selama periode tahun 2002-2004 naik sebesar 3,31 % dengan peningkatan keterlibatan
tenaga wanita dan anak-anak masing-masing 3,10 % dan 15,0 %. Keterlibatan tenaga kerja
selain pria menunjukkan pemberdayaan potensi sumberdaya keluarga dalam peningkatan
alokasi waktu kerja dan pendapatan rumahtangga masyarakat.
Tabel 3. Tenaga Kerja yang Terlibat dalam Pengelolaan Sapi Potong di Kelompok Ternak Pandan Mulyo,
Bantul, 2002-2004.

Jumlah (Orang)
Kategori Laju Pertumbuhan (%)
2002 2003 2004
1. Dewasa pria 133 133 133 0
2. Dewasa wanita 129 131 133 3,10
3. Anak-anak 40 51 46 15,00
Jumlah 302 315 312 3,31

Aspek Permodalan
Aspek kelembagaan kelompok tani sangat bermanfaat dalam meningkatkan akses
anggota ke arah sumber-sumber permodalan. Pihak yang terlibat dalam penguatan modal ke
kelompok Pandan Mulyo antara lain ISM Bogasari, BPLM (Bantuan Permodalan Lunak
Masyarakat) dan PPAP (Pemberdayaan Petani dan Agribisnis di Pedesaan). Modal sendiri
berupa ternak milik anggota dan tambahan modal diperoleh dari iuran hasil penjualan ternak
sebesar Rp 5.000,-/anggota serta penjualan kotoran ternak/pupuk kandang senilai Rp 80.000/
truk setara volume 4 ton. Modal kelompok pada tahun 2004 mencapai Rp 2,084 milyar
sedangkan pinjaman dari bank dan pihak lain masing-masing sebesar Rp 250 juta dan Rp
300 juta (Tabel 4), dengan tingkat pertumbuhan modal selama periode 2002-2004 mencapai
23,97%. Melihat banyaknya masukan berupa modal tambahan merupakan kesempatan yang
baik untuk lebih meningkatkan dinamika kinerja anggota dan pengurus kelompok.
Tabel 4. Perkembangan Modal Usaha Kelompok Ternak Pandan Mulyo, Bantul, 2002-2004.

Jumlah Modal usaha (Rp) Laju Pertumbuhan


Sumber modal
2002 2003 2004 (%)
1. Pinjaman bank 250.000.000 - - -
2. Pinjaman pihak lain 300.000.000 - - -
3. Modal kelompok 1.681.000.000 1.780.000.000 2.084.000.000 -
Jumlah 2.231.000.000 1.780.000.000 2.084.000.000 23,97

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 531
Seminar Nasional 2005

Pendapatan Kelompok
Pendapatan pokok kelompok berasal dari hasil penjualan ternak dan pupuk kandang
(Tabel 5). Pendapatan kelompok pada tahun 2004 sebesar Rp 565,320 juta dengan kontribusi
90% dari penjualan ternak dan 10% dari penjualan pupuk kandang. Pertumbuhan pendapatan
kelompok selama periode 2002- 2004 mencapai 41,11%.
Tabel 5. PendapatanKelompok Pandan Mulyo dari Penjualan Ternak danPpupuk Kandang, Bantul, 2002-200.4

Uraian Total
Tahun Pupuk kandang pendapatan
Ternak (ekor) Nilai (Rp 000) Nilai (Rp 000) (Rp 000)
(truk)
2002 96 391.000 120 9.600 400.600
2003 161 767.500 124 9.920 777.420
2004 146 554.500 136 10.820 565.320
Jumlah 403 1.713000 380 30.340 1.743.340

Penjualan bibit ternak setiap bulan pada tahun 2005 berkisar 12-28 ekor selama
periode dua bulan terakhir (Mei-Juni). Rata-rata penjualan bibit sapi potong mencapai 15
ekor/bulan dengan harga berkisar Rp 2,5-3,5 juta/ekor. Terobosan untuk membuka akses
pasar belum banyak dilakukan. Sistem penjualan ternak dan pupuk lebih banyak dilakukan di
kandang dengan alasan kemudahan dan efisiensi jarak dan waktu.

Pertumbuhan Asset Kelompok


Tabel 6 menunjukkan pertumbuhan asset kelompok selama periode 2002-2004.
Hasil analisis menunjukkan asset kelompok meningkat secara signifikan selama 3 tahun
dengan kenaikan 9,02%. Penambahan asset meliputi kantor, gudang, lahan, mesin pompa air,
audio sistem, kandang ternak, MCK, pengerasan jalan dan listrik. Penambahan asset yang
cukup besar terdapat pada pengadaan fasilitas jalan sepanjang 1.100 m yang berasal dari
swadaya kelompok untuk menunjang aksesibilitas dan transportasi ke lokasi kandang.
Tabel 6. Perkembangan Asset Kelompok Ternak Pandan Mulyo, Bantul, 2002-2004.
2002 2003 2004 Laju
Jenis Asset Nilai (Rp Nilai (Rp Nilai (Rp pertumbuhan
Jumlah Jumlah Jumlah
000) 000) 000) (%)
1. Kantor 1 10.000 1 15.000 1 20.000 100
2. Gudang 1 4.000 1 4.000
3. Lahan 1 49.000 1 49.000 1 49.000
4. Mesin2
- Pompa air 1 400.000
5. Kendaraan
6. Alat-alat
- TV 21” 1 1.300 1 1.300
- Wireless 1 1.200
7. Ternak
- Kandang 133 533.000 133 533.000 134 536.000 0,56
8. Pabrik
9. Lain-lain
- K. mandi 1 3.000 1 1.300
- Pengerasan 700x3m 70.000 200x3m 20.000 400x3m 40.000 57,14
jalan
- Listrik 1 2.000 1 2.000 1 2.000
Jumlah

Kelembagaan Agribisnis
Kelembagaan agribisnis dibedakan menjadi kelembagaan agribisnis hulu, usaha/
produksi dan hilir, kelembagaan agribisnis hulu antara lain menyangkut aspek sapronak
(sarana produksi ternak) yaitu bibit, pakan dan obat-obatan. Kelembagaan agribisnis usaha
mencakup proses budidaya (lahan, skala usaha, pemilihan bibit, perkandangan, dan IB).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 532
Seminar Nasional 2005

Kelembagaan agribisnis hilir mencakup panen dan pasca panen, pemasaran, akses informasi
pasar dan pembentukan jaringan kelembagaan.
Kelembagaan agribisnis kelompok ternak Pandan Mulyo disajikan secara lengkap
dalam Tabel 7 berikut ini :
Tabel 7. Kelembagaan Agribisnis Kelompok Ternak Sapi Potong Pandan Mulyo Bantul
Kegiatan Uraian
1. Agribisnis hulu a. Bibit
- Sumber bibit berasal dari anggota dan membeli dari luar kelompok (dikoordinir pengurus).
- Kelompok sudah melakukan pembibitan bekerjasama dengan petugas IB dan instansi terkait.
- Hasil IB yang baik dipergunakan sebagai peremajaan induk.
b. Pakan
- Sumber pakan berasal dari hijauan lokal.
- Jenis pakan yang diberikan berupa rumput gajah, rumput lapang, jerami, jagung, tanaman kacang tanah
(basah/kering), jerami padi.
- Sistem pengeringan pakan antara lain : pengeringan jerami yang ditambah garam saat penumpukan, amoniasi
jerami dan hay (hijauan yang dikeringkan).
- Konsentrat disediakan oleh koperasi kelompok yang didistribusikan melalui seksi pakan.
c. Obat/vaksin
- Sumber penyedia obat/vaksin dari Poskeswan.
- Pengobatan/vaksinasi dari swadaya anggota kelompok bersama Poskeswan melalui Posyanduwan per 35 hari.
2. Agribisnis usaha a. Lahan
- Lahan di kawasan pasir pantai dengan status lahan milik Sultan (Sultan Ground).
- Luas areal lahan untuk kandang kelompok 1 Ha dengan jumlah kandang 134 unit.
b. Skala Usaha
- Skala usaha kelompok dengan jumlah ternak 300-500 ekor.
c. Pembibitan
- Sistem seleksi, dipilih calon induk/induk yang baik untuk kelompok.
- Sistem Culling (pengafkiran induk jelek).
- Peremajaan, umur induk sudah tua atau beranak 5-6 kali.
- Recording, dilaksanakan dengan cara mengetahui dan mencatat asal usul ternak
- Faktor-faktor dalam pemilihan bibit : asal usul ternak/silsilah, bentuk eksterior (bentuk luar), umur ternak,
harga ternak dan lain-lain.
d. Pembuatan kandang, dengan kriteria :
- Lokasi aman (dari pencurian, banjir, kebisingan dll).
- Pemilihan bahan kandang yang murah, kuat dan tersedia di lokasi, arah kandang menghadap ke timur.
- Tidak membahayakan ternak dan peternaknya.
- Lantai kandang dibuat perkerasan dengan kemiringan sesuai rekomendasi.
e. Pakan
- Frekuensi pemberian pakan (HMT) dua kali sehari, ditambah makanan penguat sekali dan air minum selalu
tersedia. Pakan diberikan 10% bobot badan ternak dan konsentrat 1% berat badan ternak.
f. Penyakit
- Penanggulangan penyakit menular dilaksanakan secara preventif dan kuratif
- Langkah preventif dilakukan dengan pemberian vaksin.
- Langkah kuratif melalui kelompok bekerjasama dengan poskeswan setempat.
- Pencegahan dan pengendalian penyakit non menular dtangani sendiri dengan menghubungi dokter hewan.
- Tingkat kematian ternak selama 5 tahun terakhir 0,1%.
d. Inseminasi Buatan (IB)
- Pelaksanaan IB merupakan swadaya anggota dengan tenaga inseminator swasta (mandiri).
3. Agribisnis hilir a. Panen dan Pasca Panen
- Panen meliputi penjualan ternak dan pupuk kandang, pasca panen belum dilaksanakan.
- Pengolahan limbah ternak oleh kelompok, limbah ternak diolah menjadi fine compost, hasil penjualan
merupakan tambahan pendapatan kelompok.
b. Pemasaran
- Pemasaran dilakukan langsung oleh anggota dengan dipandu pengurus.
- Setiap ternak yang terjual, pemilik diwajibkan mengisi kas kelompok Rp 5.000,-.
- Jumlah ternak yang terjual selama 3 tahun terakhir 403 ekor dengan nilai Rp 1,713 milyar.
- Jumlah pupuk yang terjual selama 3 tahun terakhir 380 truk dengan nilai Rp 30,34 juta.
- Penjualan ternak dilaksanakan di wilayah DIY sedangkan pupuk kandang ke luar DIY (Temanggung,
Wonosobo).
c. Jaringan kelembagaan
- Jaringan kerjasama kelompok antara lain dengan BPPH Ciawi Bogor, BPPV Yogyakarta, BATAN
Yogyakarta, BPTP Yogyakarta, PT ISM Bogasari Jakarta, Grass Feed Sleman
- Hubungan kerjasama dilakukan secara tertulis atau tidak tertulis.
- Bentuk kemitraan kelompok antara lain: pemeriksaan kesehatan ternak, pemberian UMMB (Urea Mollases
Multinutrien Block), bantuan penguatan modal bagi kelompok berupa kredit lunak, penyediaan pakan ternak
berupa konsentrat, pengolahan limbah ternak, penelitian pakan, reproduksi dan lain-lain.
- Kelompok aktif mengikuti pelatihan dan menerima magang dari luar.
- Hasil pelatihan yang telah diterapkan antara lain : pembuatan fine compost, waktu, jumlah dan cara pemberian
konsentrat, pembuatan amoniasi jerami, cara penyimpanan jerami kering secara sederhana dan pelaksanaan IB
yang tepat.
- Pengembangan kegiatan tahun 2005 berupa budidaya tanaman lada (100 batang) dan penyediaan konsentrat
itik dan mesin tetas telur (itik) kapasitas 6.000 butir.

Aspek Kelembagaan
Aspek kelembagaan petani terwadahi dalam bentuk koperasi tani “Tani Manunggal”
yang beranggotakan petani yang mengelola kandang ternak dalam kawasan lahan pasir yang
mencakup satu dusun yaitu Dusun Ngentak. Jumlah anggota sampai tahun 2004 sebanyak

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 533
Seminar Nasional 2005

134 orang. Badan hukum Koperasi “Tani Manunggal” terbentuk dengan SK Nomor :
080/BH/KDK/12.1/ IX/ 1999 tertanggal 9 September 1999.
Model pengembangan kelembagaan yang dilakukan petani di lokasi pengkajian
pembibitan sapi potong di lahan pasir adalah kemitraan antara kelompok dengan institusi
terkait. Kemitraan yang dijalin terbagi 2 yaitu permodalan dan kegiatan penelitian/
pengkajian. Kemitraan di bidang permodalan mencakup lembaga swasta yaitu PT ISM
Bogasari, sedangkan lembaga lain misalnya BUMN belum terlibat. Kemitraan di bidang
penelitian/pengkajian diantaranya dengan BPPH Ciawi Bogor, BPPV Yogyakarta, BATAN
Yogyakarta, BPTP Yogyakarta dan Grass Feed Sleman untuk budidaya hijauan pakan.
Melalui model pengembangan kelembagaan kemitraan agribisnis berpeluang besar untuk
peningkatan dan diversifikasi usaha kelompok.

KESIMPULAN

Pengembangan usaha pembibitan sapi potong di kawasan lahan pasir pantai selatan
Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul Provinsi D.I. Yogyakarta mengalami
perkembangan yang positif dengan rata-rata kepemilikan ternak 3,23 ekor/orang, tenaga
kerja yang terlibat meningkat 3,31%, tingkat keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) meningkat
25, 77%, pertumbuhan asset kelompok selama periode 2002-2004 meningkat sebesar 9,02%.
Kemitraan di bidang agribisnis sapi potong juga telah terjalin baik meliputi aspek
permodalan dan pengembangan kelembagaan.

DAFTAR PUSTAKA

[BIPP]. Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanian Kabupaten Bantul. 2005. Rencana Kerja
Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan BPP Kecamatan Srandakan Tahun 2005.
Proyek Desentralisasi Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan (DAFEP). BIPP Bantul.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2002. Pemantapan Program Mendesak
Kecukupan Daging 2005. Bahan Rapat Kerja, Ditjend Bina Produksi Peternakan.
Denpasar, Bali.
FAPRI. 2004. World Livestock Outlook Text. Department of Economic. Food and
Agricultural Policy Research Institute. Iowa State University.
Gunawan. 2003. Model dan Strategi Kerjasama Penelitian Agribisnis Sapi Potong dalam Era
Globalisasi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Puslitbang Peternakan.
Handayani, S.W. dan A. Priyanti. 1995. Strategi Kemitraan Dalam Menunjang Agroindustri
Peternakan : Tinjauan Kelembagaan. Prosiding Simposium Nasional Kemitraan
Usaha Ternak. ISPI Bekerjasama dengan Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Hermawan, A. 2005. Respon Ketersediaan (Supply Respond) Ternak Sapi di Indonesia.
Unpublish.
Nazir. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia.
Saragih, B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan : Kumpulan Pemikiran. USESE
Foundation dan Pusat Studi Pembangunan IPB. Bogor.
Singarimbun, M dan S. Effendie. 1989. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta.
Soegiarto. 1976. Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir. Lembaga Oseanologi
Nasional. Jakarta.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 534
Seminar Nasional 2005

MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS LAHAN MARGINAL MELALUI


INTEGRASI TANAMAN PAKAN DAN TERNAK RUMINANSIA

I W. Karda dan Spudiati


Fakultas Peternakan, Universitas Mataram
Jl. Majapahit 16, Mataram. Tel. 0370-633603, Fax. 0370-640592

ABSTRAK

Soetanto (2001) menyatakan bahwa lahan kering di propinsi Nusa Tenggara Barat mencapai luas
1.814.340 ha yaitu 90% dari total luas lahan pertanian. Namun, dalam pengelolannya lahan kering memiliki suatu
kendala-kendala yang menurut para akhli dicirikan oleh kekeringan sementara pada waktu musim kemarau
sedangkan pada waktu musim hujan justru terjadi tingkat erosi yang tinggi karena kondisi permukaan yang
terbuka dan kemiringan lahan yang curam. Untuk memperkecil pengaruh negatif dari kendala tersebut dan
sekaligus meningkatkan produktivitasnya menurut para akhli diperlukan upaya pengelolaan khusus melalui
pendekatan serbacakup yaitu pengelolaan lahan yang menitikberatkan pada keanekaragaman produksi baik
produksi tanaman pangan, perkebunan, pakan, kayu bakar, kayu pertukangan, kotoran ternak. Pengelolaan lahan
demikian merupakan salah satu konsep penerapan pertanian terpadu, berkelanjutan dan ramah lingkungan yang
disebut dengan konsep Low External Input Sustainable Agriculture. Usaha-usaha yang dapat dilaksanakan dalam
upaya meningkatkan produktivitas lahan kering meliputi usaha-usaha peningkatan budidaya tanaman maupun
ternak serta usaha-usaha peningkatan penanganan pasca panen apabila peningkatan produksi telah dapat dicapai.
Usaha-usaha di bidang budidaya antara lain 1) peningkatan penanaman tumpangsari pada lahan perkebunan
seperti kebun kelapa, rambutan, manggis dlsb dengan tanaman pangan atau pakan sebelum kanopi tanaman
perkebunan saling menutup satu sama lainnya; 2) penanaman legum pohon yang tahan kekeringan sebagai
tanaman perintis pada lahan marginal atau lahan tidur melalui sistem pembentukan bank pakan atau dengan
penanaman lorong (alley cropping); 3) meningkatkan tata laksana pemeliharaan ternak ruminansi, khususnya tata
laksana penyediaan dan pemberian pakan dengan tidak mengesampingkan tata laksana yang lain seperti
pemuliabiakan dan pencegahan penyakit. Usaha-usaha peningkatan penanganan pasca panen bertujuan untuk
memberikan nilai tambah kepada sistem produksi yang telah ada seperti penanganan produksi utama dan limbah
atau hasil ikutan. Agar usaha-usaha tersebut diatas dapat diterima atau diadopsi oleh para petani maka perlu
diupayakan pendekatan yang menitikberatkan pada partisipasi petani secara aktif (farmers active participation)
mulai dari identifikasi masalah, perencanaan, implementasi dan analisa (Horne dan Ibrahim, 1996).
Kata kunci: lahan kering, pertanian terpadu, ketahanan pangan, pendekatan partisipatif aktif petani

PENDAHULUAN

Menurut para akhli lahan kering termasuk lahan marginal selain lahan gambut dan
lahan masam lainnya. Lahan kering dicirikan oleh kekeringan sementara pada waktu musim
kemarau sedangkan pada waktu musim hujan justru terjadi tingkat erosi yang tinggi. Hal ini
disebabkan oleh kondisi permukaan yang terbuka serta kemiringan lahan yang curam
(Soetanto, 2001). Lebih lanjut dilaporkan oleh Soetanto bahwa lahan kering di Provinsi Nusa
Tenggara Barat meliputi luas 1.814.340 ha yaitu 90% dari luas lahan pertanian.
Dengan semakin menyempitnya lahan pertanian subur akibat digunakan sebagai
pemukiman, perkantoran, fasilitas umum lainnya maka perlu diupayakan pemanfaatan lahan
kering secara lebih intensif untuk budi daya tanaman pangan, perkebunan dan tanaman
pakan serta peternakan. Perlunya peningkatan produktivitas lahan kering dipicu pula oleh
adanya kondisi gizi buruk di masyarakat, merebaknya penyakit-penyakit seperti busung
lapar, polio, deman berdarah dll yang disebabkan oleh kondisi tubuh yang melemah akibat
kekurangan gizi.
Yudo Husodo (2005) menyatakan bahwa pengembangan subsektor peternakan
memiliki arti penting dipandang dari sudut peningkatan SDM (sumber daya manusia) karena
kualitas SDM sangat ditentukan oleh konsumsi protein hewani yang pada gilirannya
menentukan kualitas pertumbuhan fisik dan kecerdasan bangsa disamping pendidikan dan
layanan kesehatan yang baik. Lebih lanjut dinyatakan bahwa SDM lebih dominan
mempengaruhi kemajuan suatu bangsa dibandingkan kekayaan sumber daya alamnya.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 535
Seminar Nasional 2005

Melalui pengembangan subsektor peternakan yang terkait dengan lahan kering maka
sangat dimungkinkan untuk dapat mengembalikan daerah NTB sebagai gudang ternak
Nasional seperti di tahun tujuh puluhan sehingga swasembada daging serta ketahanan
pangan di daerah ini dapat diwujudkan. Keuntungan lain yang dapat diharapkan adalah
terciptanya lapangan pekerjaan bagi remaja-remaja kita sehingga animo untuk mengais
rejeki di luar negeri (menjadi TKI) yang terkadang tidak selalu menyenangkan menjadi
berkurang.
Pola pengembangan peternakan semacam itu telah diuraikan oleh Ichsan (2001)
sebagai pola pertanian terpadu berbasis ternak dan tanaman keras pada lahan kering. Untuk
dapat melaksanakan pola pertanian demikian diperlukan adanya pendekatan serbacakup
(holistic approach) yaitu suatu pendekatan yang menitikberatkan pada keanekaragaman
produksi seperti produksi pangan, pakan, buah-buahan, ternak, kayu bakar atau kayu
bangunan dan pupuk kandang. Pengelolaan lahan demikian merupakan salah satu konsep
penerapan pertanian terpadu, berkelanjutan dan ramah lingkungan yang menurut para akhli
disebut dengan konsep Low External Input Sustainable Agriculture.

TANAMAN PAKAN PENAMBAT NITROGEN

Hampir tidak ada tanaman dapat bertumbuh tanpa adanya nitrogen (N) dan
kebanyakan tanah di daerah tropis telah diketahui memiliki cadangan N rendah. Namun,
tidak demikian halnya dengan tanaman penambat N, mereka semata-mata tidak tergantung
dengan cadangan N dalam tanah tetapi mereka mampu menambatnya melalui simbiosis
dengan mikroba tanah. Oleh karena itu beberapa spesies tanaman penambat N menjadi
penting bagi kelangsungan hidup keluarga pedesaan di daerah tropis sebagai penyedia
berbagai produk dan jasa. Roshetko (2001) melaporkan berbagai fungsi tanaman penambat
N antara lain sebagai sumber kayu api dan arang, pakan, penyubur tanah, kayu bangunan dan
sebagai pangan untuk manusia.
Dengan demikian tanaman panambat N sangat ideal digunakan sebagai tanaman
integrasi dalam sistem pertanian terpadu. Hal ini disebabkan oleh beberapa sifat-sifat yang
menguntungkan seperti 1) memiliki tajuk kecil dan tipis sehingga rawang sinar matahari, 2)
mampu bertunas kembali dengan cepat setelah pemangkasan, 3) memiliki sistem perakaran
yang dalam dengan sedikit percabangan akar lateral dekat permukaan tanah agar tidak
bersaing dengan akar tanaman pertanian, 4) guguran daun dapat terdekomposisi dalam
jumlah tertentu yang dapat menghasilkan unsur hara pada saat unsur hara tersebut diperlukan
dalam daur tanaman pertanian, 5) mampu mengikat N dari udara dan juga dapat
menghasilkan kayu, pakan ternak, obat-obtan dan hasil-hasil lainnya, 6) dapat tumbuh
dengan baik pada lahan dengan keterbatasan-keterbatasan tertentu seperti keasaman tanah,
kekeringan, penggenangan air, angin keras, hama serangga dll. (Lahjie, 2001).

TUMPANG SARI TANAMAN PENAMBAT N DENGAN TANAMAN KELAPA

Keberhasilan tumpang sari pada perkebunan kelapa telah dilaporkan oleh beberapa
peneliti seperti Opio (1986) di Samoa Barat dan Liyanage (1984) di Sri Lanka disitasi oleh
Roshetko (2001) yaitu berupa peningkatan buah kelapa sehingga pendapatan menjadi dua
kali lipat dari hasil kelapa. Tanaman tumpang sari yang diusahakan adalah cengkeh, lada
hitam, coklat, kopi dan tanaman semusim lainnya.
Dengan semakin diperlukan peningkatan produksi dan pengelolaan lahan secara
berkelanjutan, maka integrasi tanaman pakan penambat N ke dalam perkebunan kelapa
menjadi makin popular karena tanaman pakan dapat menambah N ke dalam tanah
perkebunan kelapa yang pada umumnya miskin N, terutama pada daerah-daerah pantai
dimana tanahnya didominasi oleh bahan karang yang miskin unsur hara. Pada saat yang
sama tanaman pakan dapat menyediakan hasil-hasil berupa kayu api dan pakan bergizi tinggi

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 536
Seminar Nasional 2005

sebagai pakan tambahan pakan basal sehingga dapat menurunkan tekanan penggembalaan.
Tanaman penambat N yang dipercaya baik pada saat ini digunakan sebagai tanaman
tumpang sari kelapa adalah lamtoro gung (Leucaena leucocephala) dan gamal (Gliricidia
sepium).
Tiga sistem integrasi tanaman pakan ke dalam perkebunan kelapa akan diuraikan
yang dipersiapkan dari buku Agroforestry Species and Technologies oleh Roshetko (2001).
1. Kelapa, coklat dan gamal. Pada sistem ini, gamal menyediakan naungan kepada
tanaman coklat, terutama pada perkebunan kelapa yang baru dibentuk dimana kelapa
yang masih muda usianya tidak menyediakan naungan secara mencukupi untuk tanaman
coklat. Gamal ditanam dari potongan batang dengan jarak tanam 3 x 3 atau 6 x 6 m.
Bilamana gamal dipandang telah cukup menyediakan naungan, maka coklat dapat
ditanam di bawahnya dengan jarak tanam 2 x 2 m. Gamal sebaiknya dipangkas secara
teratur sampai setinggi 2-3 m untuk menyeragamkan tajuk, penghasil pupuk hijau dan
kayu api.
2. Kelapa, gamal dan sapi. Pada sistem ini gamal ditanam dibawah pohon kelapa yang
telah dewasa baik di daerah basah maupun kering. Potongan batang sepanjang 1,5 m
dengan diameter 2,5 cm ditanam dengan jarak tanam 2,0 x 0,9 m dalam dua barisan
tanaman disela-sela tanaman kelapa. Pemangkasan gamal dilaksanakan setelah tanaman
berumur satu tahun setinggi 1 m dan setelah itu setiap enam bulan. Hasil pangkasan
dapat digunakan sebagai pupuk hijau atau sebagai pakan sapi. Bila digunakan sebagai
pupuk hijau maka dilaporkan dapat meningkatkan berat buah kelapa secara significan.
Denikian pula bila digunakan sebagai pakan tambahan untuk sapi (50%/50%) gamal dan
rumput cori (Brachiaria miliformis) dapat menghasilkan tambahan berat badan sapi 700
gr/ekor/hari.
3. Kelapa, lamtoro dan pastura. Pada sistem ini sering kali lamtoro ditanam ke dalam
pastura dibawah pohon kelapa untuk menambah gizi padangan bila dilakungan
penggembalaan. Lamtoro ditanam dalam dua barisan secara rapat (jarak tanam 0,5 x 0,5
m). Untuk memperoleh hasil yang memuaskan disarankan agar penggembalaan
dilakukan secara berrotasi sehingga dapat memberikan kesempatan bagi pertumbuhan
kembali lamtoro secara baik.

Managemen Tanaman Kelapa


1. Jarak tanam dan pengaturan penanaman. Jarak tanam yang direkomendasikan agar
diperoleh produksi pastura dan kelapa yang optimal adalah 10 x 10 m pada lahan datar
dan 9 x 9 m pada lahan miring dengan pengaturan penanaman bersegitiga dibandingkan
bersegiempat.
2. Pemupukan. Pemberian pupuk potas (potassium muriate) dengan jalan membuat lubang
disekitar pangkal batang setiap tanaman kelapa telah pula direkomendasikan.
3. Siklus pertumbuhan dan penggembalaan. Fase I, 0-5 tahun penggembalaan sapi
dihindarkan agar tidak merusak tanaman kelapa yang masih muda. Karena banyak
tersedia sinar matahari maka dapat ditanami tanaman yang memerlukan sinar matahari
bayak seperti cabai, kol, dan ketela pohon dan pakan ternak yang dipotong dan dibawa
ke kandang. Fase II, 5-20 tahun, produksi pastura rendah karena naungan pohon kelapa
semakin meningkat, maka penanaman tanaman yang tahan naungan dapat disarankan
seperti coklat. Fase III, 20 tahun hingga penggantian pohon kelapa merupakan waktu
ideal untuk penggembalaan.
Untuk pengembangan lebih lanjut perlu penelitian integrasi tanaman pakan dan
ternak dengan perkebunan mangga, pisang, jambu mete untuk meningkatkan pendapatan
petani lahan kering, terutama sebelum tanaman buah-buahan berproduksi menyangkut jarak
tanam yang ideal serta pendapatan total dibandingkan dengan pertanaman monokultur. Di
Kapet Bima dilaporkan tersedia lahan seluas 205.194 ha untuk penanaman jambu mete

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 537
Seminar Nasional 2005

(Ichsan, 2001) yang perlu diintegrasikan dengan tanaman pakan dan ternak untuk
meningkatkan pendapatan petani.

BANK PAKAN PADA LAHAN KERING/LAHAN TIDUR

Bank pakan biasanya terdiri dari tanaman pohon atau semak dari jenis leguminosa
yang dikelola secara intensif. Menurut para akhli, bank pakan bertujuan untuk menjembatani
kekurangan pakan pada saat musim kemarau yang terjadi setiap tahun. Pada umumnya
ditanam melalui biji pada lahan yang telah dipersiapkan dengan baik. Meskipun demikian
bank pakan dapat juga dibuat melalui penanaman tanaman muda atau stek tetapi karena
diperlukan dalam jumlah banyak maka cara ini tidak praktis. Bilamana menggunakan stek
jarak tanam yang disarankan adalah 50 x 50 cm atau 1 x 1 m. Stek gamal (Gliricidia sepium
) dapdap (Erythrina spp.) biasanya digunakan dalam bank pakan. Bank pakan biasanya
dibuat dalam dua barisan tanaman dengan jarak barisan 50 cm dan jarak antara dua barisan
satu dengan dua barisan yang lainnya adalah 1-1,5 m. Rumput-rumputan biasanya dibiarkan
tumbuh diantara dua barisan satu dengan yang lainnya.

Managemen Bank Pakan


1. Pemberantasan gulma. Karena pertumbuhan fase awal dari bank pakan lambat maka
diperlukan pemberantasan gulma setiap 2-4 minggu sampai tanaman berumur 6 bulan
pada saat mana tanaman telah memiliki tajuk sedemikian rupa sehingga dapat menekan
pertumbuhan gulma.
2. Umur pemanenan pertama. Tergantung dari kondisi lingkungan dan pertumbuhan
bank pakan maka pemanenan pertama dapat dilakukan pada umur tanaman 9-21 bulan.
3. Tinggi pemotongan. Standar tinggi pemotongan yang disarankan adalah 50-150 cm
agar produksi optimal, pertumbuhan kembali dan kelangsunagn hidup tanaman dapat
dipertahankan. Perkecualian pada tanaman turi sebaiknya yang dipangkas adalah
percabangan lateral dan hindari pemotongan batang utama sampai setinggi kurang dari
150 cm.agar tanaman tidak mati. Namun. pada tanaman lamtoro yang telah berumur 2-3
tahun disarankan bahwa tanaman harus dipangkas sampai tinggi 25 cm untuk
menghilangkan bagian-bagian kayu yang telah mati dan merangsang pertumbuhan daun
muda.
4. Frekuensi pemangkasan. Standar frekuensi pemangkasan adalah 6-12 minggu. Lebih
jarang dipotong maka produksi pakan meningkat namun proporsi kayu berukuran kecil
meningkat. Lebih sering dipangkas menurunkan total produksi pakan namun kualitas
dan palatabilitas pakan meningkat.
5. Pengelolaan saat musim kering. Enam sampai delapan mingu sebelum mulai musim
kemarau maka tanaman sebaiknya dipangkas setinggi standar pemotongan sehingga
daun yang baru tumbuh selama beberapa minggu akan dapat tersedia pada saat
dibutuhkan sekali. Bilamana perioda musim panasnya panjang dan meliputi bank pakan
yang luas maka pemangkasan sebelum datangnya musim panas dapat dilaksanakan
secara bertahap dan kelebihan hasil dapat diawetkan dan disimpan.
Bank pakan mungkin lebih sulit diadopsi oleh petani pada lahan kering dan lahan
tidur lainnya, dibandingkan integrasi tanaman pakan pada lahan perkebunan seperti
disebutkan diatas. Oleh karena itu disarankan pada lahan-lahan demikian integrasi tanaman
pakan dan ternak dengan tanaman perkebunan yang relatif tahan kekeringan seperti mangga,
jambu mete dan tanaman industri seperi jarak dapat dilaksanakan. Bank pakan mungkin
lebih cocok bagi peternakan sekala menengah dan komersial dibandingkan peternakan
subsisten.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 538
Seminar Nasional 2005

SISTEM PEMBERIAN PAKAN

Setelah tersedia hijauan secara mencukupi baik melalui integrasi tanaman pakan
dengan tanaman perkebunan maupun melalui bank pakan maka penggunaannya ditujukan
sebagai pakan tambahan yang bernilai gizi tinggi terhadap pakan basal yang kualitasnya
relatif rendah dengan level pemberian berkisar dari 30 sampai 50% bahan kering.
Penggunaan daun-daunan legum pohon atau semak sebagai suplemen sangat penting baik
pada waktu musim hujan dimana ransum ternak terdiri dari rerumputan yang masih hijau
maupun pada waktu musim kemarua dimana ransum basal ternak terdiri dari rerumputan
yang sudah mongering/limbah pertanian.
Rumput muda yang masih hijau meskipun memiliki kadar N relatif tinggi namun
karena memiliki kelarutan N dalam rumen sangat tinggi maka proporsi bypass proteinnya
rendah. Untuk menurunkan kelarutan N rumput dalam rumen maka diperlukan proteksi,
dimana proteksi dapat dilakukan secara alami oleh tanin yang ada pada daun-daun legum
pohon atau semak tadi. Para akhli melaporkan bahwa legum pohon atau semak memiliki
kadar tanin lebih tinggi dibandingkan legum yang tumbuh rendah. Diperlukan paling sedikit
kadar tanin 4% dari bahan kering legum pohon atau semak agar terbentuk bypass protein
yang optimal pada usus halus ternak ruminansia. Legum tumbuh rendah pada umumnya
mengandung tanin kurang dari 3% dari bahan keringnya. Bypass protein sangat dibutuhkan
bagi ternak yang bertumbuh cepat dan saat laktasi.

PENANGANAN PASCA PANEN

Penanganan pasca panen sangat dibutuhkan terutama saat produksi melimpah untuk
menjamin adanya nilai tambah bagi petani. Sebagai contoh pada saat pucak produksi
rambutan, mangga, pisang, nangka dll. harga sangat rendah sehingga petani merugi. Oleh
karena itu penanganan pasca panen tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan kegiatan
produksi lainnya dalam meningkatkan pendapatan petani

KESIMPULAN

Pemberdayaan lahan marginal memerlukan tindakan yang nyata dan segera sebagai
wujud nyata ekstensifikasi pertanian berkenaan dengan semakin menyusutnya luas lahan
pertanian subur akibat dijadikan pemukiman, perkantoran dan fasilitas umum lainnya.
Pemberdayaan dapat diupayakan melalui integrasi tanaman pakan dan ternak dengan
perkebunan lahan kering maupun pembentukan bank pakan pada lahan tidur atau lahan tidur
sementara melalui pendekatan partisipasi aktif petani. Dengan demikian diharapkan
kerawanan pangan/gizi buruk, terutama yang berasal dari protein hewani di daerah NTB
dapat dikurangi.

DAFTAR PUSTAKA

Horne, P. M. and Ibrahim, T. M. 1996. Forage Production for Low and High Input Systems
in SouthEast Asia. In “Small Ruminant Production: Recommendation for
SouthEast Asia “. Proc. of a workshop held in Parapat, North Sumatera, Indonesia,
May 12-15, 1996. Ed.: R. C. Merkel and Tjeppy D. p.: 3-15.
Ichsan, M. 2001. rencana Bisnis Pengembangan perkebunan Jambu Mete di KAPET Bima.
Makalah Seminar Pengembangan Pendidikan Agribisnis pada Era Otonomi
Daerah. LPIU-pasca IAEUP-Universitas Mataram, tanggal 12 Mei 2001.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 539
Seminar Nasional 2005

Ichsan, M. Pengembangan Peternakan Sapi Rakyat Sebagai Upaya Pengembangan Ekonomi


Masyarakat dan Peningkatan Produktivitas Lahan di Nusa Tenggara Barat.
Makalah Workshop Srategi Kebijakan Pengembangan Industri Modern Kaitannya
dengan Otonomi Daerah, tanggal 12-16 Mei 2001.
Lahjie, Abu Bakar, M. 2001. Teknik Agroforestri. Penerbit UPN Veteran. Jakarta. Hal. 67.
Roshetko, J. M. 2001. Agroforestry Species and Technologies. A compilation of the
highlights and factsheets published by NFTA ans FACT Net 1985-1999. p. 179-
190.
Soetanto, H. 2001. Pendekatan Holistik Pembangunan Peternakan di Nusa Tenggara Barat
Menuju Swasembada Daging. Makalah Workshop Peternakan Mataram pada
tanggal 15-17 Mei 2001.
Yudo Husodo, S. 2005. Masa Depan Agribisnis ternak Potong Indonesia. Makalan
Disampaikan pada Seminar Nasional Industri Peternakan Modern, tanggal 19-20
Juli 2005.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 540
Seminar Nasional 2005

STUDI DAMPAK PENELITIAN DAN PENGKAJIAN CROPS LIVESTOCK


SYSTEMS DI LAHAN KERING DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Hano Hanafi dan Soeharsono


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengetahui dampak penelitian dan pengkajian integrasi tanaman dengan
ternak yang diterapkan di kawasan Hutan Kemasyarakatan Desa Bleberan, Kecamatan Playen, kabupaten
Gunungkidul. Survai dilaksanakan bulan Desember 2004 secara purposif pada 30 petani kooperator dan non
kooperator serta membandingkan keadaan petani sebelum dan sesudah pengkajian. Data dianalisis secara
deskriptif. Introduksi teknologi crops livestock systems sudah berlangsung selama dua tahun pada kelompok tani
hutan kemasyarakatan. Hasil survai menunjukkan banyak perubahan yang terjadi pada petani kooperator baik
secara kelembagaan, teknis usahatani, pengelolaan ternak, perubahan fisik lahan maupun sarana transportasi.
Terjalinnya jaringan bisnis hasil pertanian seperti jagung, dan gaplek dengan Bulog dan pedagang luar desa serta
malai rumput hermada dengan swasta (CV. Raditya Multi Jaya). Perubahan perilaku petani nampak pada
beberapa kegiatan kelompok antara lain; pertemuan rutin anggota kelompok tani maupun koperasi dengan
dinamikanya seperti simpan pinjam modal keperluan usahatani (kridit pupuk dan benih serta penjualan pakan
ternak), aset modal koperasi kelompok tani hingga tahun 2004 sebesar Rp. 42.000.000,-. Dampak Litkaji di luar
kawasan binaan antara lain; terbentuknya kelompok tani di Menggoran I dengan beberapa kegiatan antara lain
penggunaan jagung benih unggul, pemanfaatan pakan ternak (complete feed), penanaman rumput hermada untuk
antisipasi pakan ternak di musim kemarau. Kelompok tani dampak mengusulkan izin penggarapan areal hutan
negara melalui dinas Kehutanan dan Perkebunan.
Kata kunci: dampak litkaji, crops livestock systems, lahan kering DIY

PENDAHULUAN

Penerapan sistem usahatani tanaman dan ternak (SUTT), khususnya petani di Jawa
tengah dan Jawa Timur sudah biasa dan lama dikerjakan. Keterkaitan antara tanaman dengan
ternak adalah ciri utama dari SUTT, dimana sebagian besar petani umsumnya menggunakan
limbah tanaman sebagai pakan ternak dan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk untuk
tanaman (Fagi, et al., 2004). Ketersediaan pakan ternak di daerah lahan kering saat musim
kemarau relatif sulit, hal ini dialami petani Gunungkidul hampir sepanjang tahun, sehingga
tidak jarang petani menjual ternaknya hanya untuk membeli jerami padi maupun jerami
jagung dari luar desa, luar kecamatan bahkan luar kabupaten. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian telah menetapkan Program Rintisan dan Akselerasi
Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani) sebagai salah satu program
utamanya untuk lima tahun kedepan (Simatupang, 2004).
Pendirian kelembagaan industri pengolah pakan lengkap di tingkat pedesaan ini
mengacu pada program Prima Tani yakni menganut azas pembentukan dan pengembangan
inovasi AIP (Agribisnis Industrial Pedesaan) yang meliputi 7 prinsip, yaitu; prinsip
kebutuhan, efektivitas, efisiensi, fleksibilitas, manfaat, pemerataan dan keberlanjutan
(Anonimous, 2005). Operasionalisasi dari kelembagaan industri pengolah pakan lengkap
dikelola oleh Koperasi Tani Manunggal dan tenaga yang digunakan adalah anggota
kelompok tani yang diupah sesuai standar setempat. Kelembagaan agroindustri pengolah
pakan ternak yang dikelola Koperasi Tani Manunggal diharapkan dapat mempasilitasi
kebutuhan pakan ternak sapi potong saat musim kemarau, khususnya bagi semua anggota
kelompok tani dan umumnya bagi para petani yang membutuhkan.
Sesuai dengan pendapat Nasution (2002) bahwa, kelembagaan yang mempunyai
peluang untuk mengembangkan agroindustri sebaiknya selain mengusahakan produk
agroindustri memenuhi keinginan konsumen dari aspek kualitas dan kuantitasnya,
pengusahaannya juga harus mampu membela kepentingan petani sebagai produsen dalam
peningkatan nilai tambah dari produk yang dihasilkan. Dengan demikian bentuk
kelembagaan tersebut harus direkayasa dari potensi yang terdapat dalam kelompok-

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 541
Seminar Nasional 2005

kelompok masyarakat sendiri. Model pendekatan inovasi teknologi integrasi tanaman-ternak


yang diterapkan mengacu kepada keterpaduan teknologi dan sumberdaya setempat yang
dapat menghasilkan efek sinergis sebagai wahana pengelolaan dan sumberdaya spesifik
lokasi khususnya petani hutan kemayarakatan. Sedangkan sasaran akhir dari pengembangan
sistem integrasi tanaman-ternak adalah peningkatan produksi tanaman pangan dan usahatani
ternak. Penelitian bertujuan untuk mengetahui dampak dari suatu penelitian dan pengkajian
integrasi tanaman dengan ternak yang diterapkan di kawasan Hutan Kemasyarakatan desa
Bleberan, kecamatan Playen, kabupaten Gunungkidul.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan secara survai dan wawancara semi detail dengan metode
partisipatif, artinya petani secara aktif memberikan informasinya tentang manfaat introduksi
inovasi teknologi sistem integrasi tanaman-ternak. Survai dilaksanakan pada bulan
Desember 2004 secara purposif pada 30 petani kooperator dan non kooperator serta
membandingkan keadaan petani sebelum dan sesudah pengkajian. Data dianalisis secara
deskriptif. Introduksi inovasi teknologi crops livestock systems atau sistem integrasi
tanaman-ternak sudah berlangsung selama dua tahun (tahun 2002 sampai dengan 2004)
pada kelompok tani hutan kemasyarakatan, dusun Menggoran, desa Bleberan, kecamatan
Playen, kabupaten Gunungkidul.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Sistem Integrasi Tanaman - Ternak


Secara umum inovasi teknologi integrasi tanaman – ternak yang diterapkan di
kabupaten Gunungkidul sangat positif disambut baik oleh masyarakat tani, khususnya di
dusun Menggoran, kecamatan Playen, kabupaten Gunungkidul. Hal ini karena teknologi
tersebut sangat dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi petani yang umumnya mengelola
usahatani tanaman pangan dengan peternakan.
Keragaan petani dalam menerapkan sistem integrasi tanaman-ternak di dusun
Menggoran II cukup signifikan dan positif dalam menambah tingkat penghasilan
masyarakat, hal ini dapat dilihat dari keadaan petani sebelum mengelola areal hutan
kemasyarakatan, penghasilan mereka hanya cukup mengandalkan dari lahannya sendiri yang
relatif sempit. Ijin pengelolaan hutan negara oleh Bupati Gunungkidul dengan SK No.
312/KPTS/2003 tanggal 8 Desember 2003, maka menambah kegembiraan bagi kelompok
masyarakat tani di sekitar wilayah hutan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Luas
wilayah pengelolaan hutan kemasyarakatan di dusun Menggoran, desa Bleberan, kecamatan
Playen 40 Ha, dan rata-rata petani menggarap lahan seluas 2500 m2, keragaan pola tanam
diatur sesuai kemiringan kondisi lahan dengan tanaman pokok jati. Tanaman semusim yang
diusahakan petani antara lain jagung, kacang tanah, padi gogo dan ubikayu. Model
pendekatan inovasi mengacu kepada keterpaduan teknologi dan sumberdaya setempat yang
dapat menghasilkan efek sinergis sebagai wahana pengelolaan tanaman dan sumberdaya
spesifik lokasi khususnya petani hutan kemasyarakatan (HKM).
Tabel 1. Keragan Produksi Tanaman Palawija pada Kelompok Tani Manungggal Menggoran II, kecamatan
Playen, Kabupaten Gunungkidul, 2003 – 2005 (ton/ha)

Komoditas 2003 2004 2005


1. Padi gogo 1,50 1,85 1,68
2. Jagung
- Lokal 2,01 - -
- Hibrida 4,44 5,30 5,54
3. Kacang tanah 1,07 2,08 2,18
4. Ubi kayu 8,75 11,10 Belum panen

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 542
Seminar Nasional 2005

Pola tanam tumpangsari jagung - kacang tanah - ubikayu - jati yang telah berumur 1
tahun dengan memanfaatkan lahan 2/3 bagian untuk komoditas kacang tanah mencapai
tingkat produktivitas yang tinggi. Hasil yang diperoleh dari kacang tanah varietas Komodo,
Lokal yang ditanam di dalam UPK dan varietas Lokal yang ditanam di dalam UHP adalah
2,80 ; 1,76 dan 1,69 ton/ha. Komoditas jagung paling tinggi yaitu 5,3 ton / ha. Sehingga
sumbangan hasil jagung dalam tumpangsari dengan kacang tanah adalah 1/3 x 5,3 ton = 1,77
ton/ha. Komoditas ubikayu paling tinggi dicapai pada tumpangsari dengan kacang tanah
sebesar 11,10 ton/ha. Sehingga sumbangan hasil ubikayu dalam tumpangsari dengan kacang
tanah adalah 1/3 x 11,10 ton = 3,70 ton/ha. Berdasarkan perhitungan sederhana penghasilan
kotor masing-masing model tumpangsari ternyata tumpangsari jagung - kacang tanah -
ubikayu memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan dengan tumpangsari jagung - padi gogo
- ubikayu. Keuntungan masing-masing tumpangsari tersebut adalah Rp 3.817.100 dan Rp
1.432.900/ha, adapun R/C sebesar 1,99 dan 1,39. Sedangkan tumpangsari antara jagung -
kedelai - ubikayu dan jagung - kacang hijau - ubikayu hasilnya rugi dengan R/C masing-
masing 0,99 dan 0,78 (Musofie et al., 2004)
Potensi limbah hasil panen berupa jerami, kulit kacang tanah, tongkol jagung, kulit
kacang kedelai, kulit ubikayu dan biji rumput hermada dapat dimanfaatkan dan diproses
menjadi complete feed. Peningkatan bobot badan harian (PBBH) ternak sapi potong pada
bobot awal dibawah 125 kg setelah pemberian ransum complete feed sebesar 0.636 ± 0.003
kg/ekor/hari dan pola pemberian pakan yang biasa dilakukan petani pada bobot diatas 250 kg
sebesar 0.396 ± 0.028 kg/ekor/hari. Petani dalam mengusahakan ternak sapi potong sebagai
usaha sambilan. Curahan tenaga kerja yang digunakan dalam pengelolaan ternak dengan
pola pemberian ransum complete feed rata - rata 0,5 jam/hari, waktu tersebut hanya dipakai
dalam pemberian pakan, minum dan pembersihan kandang. Sedangkan pola pemberian
ransum non complete feed waktu yang dibutuhkan untuk mengelola ternak rata - rata 2
jam/hari, waktu tersebut digunakan dalam pencarian hijauan pakan, pemberian pakan,
minum dan pembersihan kandang. Penerimaan petani pada pola pemberian ransum complete
feed sebesar Rp 2,525,280 dengan tingkat keuntungan Rp 549,580 (R/C = 1,28) sedangkan
pola petani non kooperator sebesar Rp 4,233,460 tingkat keuntungan sebesar Rp 138,460
(R/C = 1,03). Ditinjau dari nilai efisiensi R/C rasiomenunjukkan bahwa usaha ternak sapi
potong dengan pola pemeliharaan dengan pemberian ransum complete feed sebanyak 3%
bobot badan paling efisien (Soeharsono et al., 2004)
Perubahan tingkat sosial lainnya adalah adanya peningkatan jumlah anggota
kelompok tani HKM, terhitung sejak didirikannya kelompok tani pada tahun 1986 jumlah
anggota hanya 44 orang kemudian tahun 2003 bertambah menjadi 95 orang dan tahun 2004
bertambah 159 orang, serta tahun 2005 sudah menjadi 216 orang. Dinamika kelompok dapat
di tunjukkan dari aktifnya pertemuan rutin anggota kelompok untuk membahas segala
kegiatan yang ada kaitannya dengan penghijauan, kegiatan usahatani dan usahaternak serta
kegiatan manajemen perkoperasian.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 543
Seminar Nasional 2005

Tabel 2. Dampak penerapan inovasi teknologi crops livestock systems di Menggoran, Kecamatan Playen,
Kabupaten Gunungkidul

ASPEK PERUBAHAN SEBELUM LITKAJI SESUDAH LITKAJI


Kelembagaan:
a. Kelompok Tani - Sudah ada tetapi masih - Sudah ada dan dinamika kelompok
sederhana, jumlah anggota Tahun relatif maju, jumlah anggota 216 orang
1987 hanya 44 orang - Terbentuk kelompok pasca panen (ibu-
- Wanita tani belum aktif ibu mengolah hasil pertanian)

b. Koperasi tani - Belum terbentuk - Sudah terbentuk dan berbadan hukum


Teknis:
a. Penggunaan pupuk - Pupuk kandang belum - Pupuk kandang sudah diolah, dosis
diolah,pupuk an-organik dosis pupuk organik maupun an-organik
tanpa ukuran sesuai rekomendasi

b. Teknik budidaya - Masih tradisional (padi ditanam - Menggunakan jarak tanam, Tanaman
tanaman tanpa jarak tanam atau sistem pangan benih unggul
ngawu-awu), benih lokal

c. Peternakan: - Ternak hanya sebagai - Penggemukan dan orientasi bisnis


Pakan ternak kesenangan (klangenan) - Menggunakan hijauan, konsentrat, dan
- Rumput lokal, tanpa memikirkan pakan lengkap (complete feed)
gizi nutrisi ternak

Pupuk kandang - Tanpa diolah lebih dahulu - Sudah diolah menggunakan probiotik
Fisik:
a. Luas lahan garapan - Lahan milik pribadi, dan garapan - Lahan milik pribadi, dan dapat
relatif sempit tambahan izin dari Bupati untuk
mengelola lahan hutan negara seluas
40 Ha

b. Assesibilitas - Jalan menuju lokasi kawasan - Jalan sudah diperkeras dengan batu
HKM masih tanah

c. Agroindustri - Belum berdiri/terbentuk - Telah berdiri industri kecil pakan


ternak pedesaan (complete feed)
Ekonomi:
a. Sarana modal/ - Umumnya petani sulit mencari - Petani mudah mencari modal/saprotan
aprotan modal/saprotan untuk usahatani dari koperasi kelompok tani (simpan
pinjam)

b. Jaringan pasar - Sulit memasarkan hasil panen - Mudah memasarkan hasil panen dan
terjalin jaringan pemasaran dengan
Bulog maupun pedagang dari luar desa
Komunikasi dan Advokasi Komunikasi sangat sulit, tilpon dan Komunikasi lebih mudah dan wartel
Lembaga wartel belum ada sudah ada, banyak mendapat bimbingan
dari BPTP, Dinas Hutbun, Dinas
Peternakan Dinas perekonomian, BPP dan
Dinas terkait

Kelembagaan Petani
Koperasi tani "Tani Manunggal" yang beranggotakan petani yang mengelola
kawasan hutan negara meliputi dua dusun Menggoran I dan Menggoran II. Petani yang
tergabung dalam koperasi merupakan unit-unit kelompok tani - kelompok ternak. Sejumlah 6
sub-unit kelompok tani-ternak di dusun Menggoran II dan 3 unit kelompok tani-ternak di
dusun Menggoran I. Jumlah anggota tahun 2004 sebanyak 160 orang. Badan hukum
Koperasi terbentuk dengan SK yang dikeluarkan oleh Dinas Perekonomian Kabupaten
Gunungkidul pada tanggal 11 oktober 2004 dengan Nomor: 518.011/BH/IX/2004. Bentuk
koordinasi kelembagaan yang ada di dusun Menggoran II, desa Bleberan, kecamatan Playen,
kabupaten Gunungkidul sebagai berikut:

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 544
Seminar Nasional 2005

BPTP
YOGYAKARTA

KOPERASI
TANI
MANUNGGAL
INSTANSI (PETANI HKM) PENGUSAHA
TERKAIT SWASTA

Gambar 1. Model Kelembagaan dan Pola Kemitraan Sistem Integrasi Tanaman-Ternak, di Desa
Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta dalam model kelembagaan di atas


berfungsi sebagai pendamping dalam pelaksanaan teknologi sistem integrasi tanaman-ternak
sapi potong yang bekerjasama secara koordinasi dengan dinas terkait (Dinas Kehutanan dan
Perkebunan, Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, dan Dinas Perekonomian) lingkup
Kabupaten Gunungkidul. Demikian juga berkoordinasi dengan pihak pengusaha, BULOG
yang menampung jagung pada saat panen raya dan CV. Raditya Multi Jaya bergerak dalam
agribisnis rumput hermada yang membeli produk malai rumput hermada.
Aturan main sebagai anggota koperasi diwajibkan iuran pokok sebesar Rp.10.000,-
dan arisan setiap pertemuan Rp 1.000,- per anggota. Hasil simpanan anggota terkumpul
modal sebesar Rp. 19.000.000,-.Laporan neraca Koperasi Tani pada rapat anggota tahunan
(RAT) dalam satu tahun anggaran naik sebesar Rp.50.727.065,- dan tingkat pendapatan
koperasi sebesar Rp. 5.300.400,-. Jika melihat banyaknya masukan berupa modal, baik
dalam bentuk rupiah maupun saprotan sungguh ini merupakan suatu kesempatan yang baik
bagi koperasi untuk lebih meningkatkan dinamika kinerja para pengurus koperasi. Adanya
peningkatan kepercayaan ini merupakan suatu kemajuan dari koperasi yang sudah berbadan
hukum, sehingga hal ini menjadi suatu penambahan aset bagi koperasi untuk lebih
meningkatkan dan mempertahankan kualitas sumberdaya manusianya dalam pengelolaan
kemajuan koperasi.
Sejalan dengan pendapat Nasution (2002) bahwa, kelembagaan koperasi tani dapat
berfungsi sebagai sarana yang akan menghasilkan kondisi sosial psikologis yang mendorong
tumbuhnya kepekaan, prakarsa, daya kreatif/inovatif motivasi, solidaritas, rasa tanggung
jawab dan partisipasi dari para anggotanya untuk menghadapi setiap permasalahan yang
timbul dalam penyelenggaraan usahatani. Dengan demikian koperasi tani sekaligus dapat
berperan sebagai sarana penggerak masyarakat tani, dan sebagai tempat untuk saling belajar
dan berkonsultasi.
Kelembagaan koperasi tani yang ada di pedesaan ini diharapkan dapat menjadi
wadah penggerak peranan dan tanggung jawab petani dalam rangka mengembangkan
diversifikasi usahanya. Fungsi yang dijalankan koperasi meliputi penyediaan sarana produksi
(benih, obat ternak, pestisida dan pupuk), melayani simpan pinjam modal, pengolahan hasil,
pembuatan pakan ternak, dan pemasaran sehingga dapat menambah modal koperasi.
Kelembagaan Koperasi Tani Manunggal sangat bermanfaat bagi para anggota dalam
mendukung kelancaran berusahatani. Melalui model pengembangan kelembagaan integrasi
tanaman – usaha ternak ini, sangat berpeluang untuk peningkatan usaha agribisnis. Sebagai
bentuk usaha dalam bidang agroindustri ini kelompok "Tani Manunggal" telah berupaya
dalam mengatasi kendala kekurangan pakan hijauan saat musim kemarau yaitu dengan
mengolah limbah hasil panen berupa tongkol jagung, kulit kacang tanah, biji rumput
hermada, dan kulit ubikayu yang digiling untuk dijadikan pakan lengkap (complete feed).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 545
Seminar Nasional 2005

Produk pakan lengkap ini dikelola oleh koperasi untuk keperluan ternak para anggota yang
memerlukan yaitu dengan membeli ke koperasi Rp. 500,- per kilogram.

KESIMPULAN

Inovasi teknologi sistem integrasi tanaman – ternak (Crops livestock systems)


berdampak positif terhadap kegiatan usahatani di Gunungkidul, khususnya petani yang
mengelola areal hutan kemasyarakatan (HKM). Keberadaan koperasi tani dalam
pengembangan agroindustri di pedesaan dapat berfungsi sebagai lembaga perantara yaitu: (1)
penyedia input produksi, modal dan sekaligus pemasaran, (2) pemasar dan penyedia modal
atau pemberi kredit bagi anggota koperasi tani dalam mengelola usahatani.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 2005. Panduan Penyusunan Petunjuk Teknis Rancang Bangun Laboratorium


Agribisnis
Fagi, A.M., M. Rangkuti, dan M. Syam. 2004. Evakuasi Pendahuluan Sistem Integrasi Padi-
Ternak dalam Kegiatan Percontohan P3T di Jawa Barat. Prosiding Lokakarya Sistem
dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian.
Musofie, A., Soeharsono, Prajitno, Supriadi dan H. Hanafi. 2004. Pengkajian Optimalisasi
Sistem Usahatani Tanaman dan Ternak di Lahan Kering Daerah Istimewa Yogyakarta.
Laporan RPTP Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta.
Nasution. M. 2002. Kelembagaan dan Pembangunan Agroindustri. Pengembangan
Kelembagaan Koperasi Pedesaan untuk Agroindustri. IPB – Press. Bogor.
Simatupang, P. 2004. Prima Tani Sebagai Langkah Awal Pengembangan Sistem dan
UsahaAgribisnis Industrial. Prosiding Seminar Nasional Penerapan dan Inovasi
Teknologi dalam Agribisnis Sebagai Pemberdayaan Rumahtangga Tani. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Departemen Pertanian.
Soeharsono, A. Musofoe, Supriadi, Prajitno, H. Hanafi, S. Rustijarno, Kurnianita , S.B.
Lestari dan Sukar. Pengkajian Sistem Usahatani Integrasi Tanaman – Ternak di
Agroekosistem Lahan Kering. Laporan ROPP Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Yogyakarta.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 546
Seminar Nasional 2005

DAYA DUKUNG LIMBAH JAGUNG DAN KACANG TANAH UNTUK PAKAN


SAPI DI LAHAN MARGINAL

I Made Rai Yasa, dan I Nyoman Adijaya


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
Jl. By Pass N. Rai Pesanggaran Denpasar, Telp : (0361)720498,
Email: bptpbali@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian tentang daya dukung limbah jerami jagung dan kacang tanah telah dilakukan pada bulan
Januari sampai Desember, 2004 di lahan kering Desa Patas, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng Bali.
Tanaman yang dikaji adalah jagung varietas Bisma dan kacang tanah varietas Kelinci. Kedua komoditas ini di
tanam pada bulan Desember selanjutnya di panen pada bulan Maret; dengan luasan masing-masing 50 dan 10 are.
Jagung ditanam dengan jarak 75 x 40 cm dengan dua tanaman per lubang. Tanaman jagung di panen pada umur
85-90 hari setelah tanam (HST). Penanaman kedua (gadu) dilakukan pada bulan April dan di panen Juli. Ubinan
biomass tanaman jagung diamati pada ukuran petak 3,0 meter x 2,0 meter, sedangkan untuk tanaman kacang
tanah dengan ukuran 2,5 meter x 2,5 meter. Penimbangan dilakukan pada saat segar dan setelah dalam bentuk
kering. Pengambilan ubinan dilakukan secara acak pada 10 petani. Biomass kering diperoleh setelah dilakukan
penjemuran selama 7 hari. Parameter yang diamati adalah produksi biomass dari kedua komoditas baik dalam
bentuk segar maupun kering, selanjutnya data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan, dengan
luas tanam 50 are pada MH menghasilkan 2.191,5 kg biomass kering yang cukup untuk memenuhi kebutuhan 5
ekor sapi selama 183 hari atau 4,87 bulan ; sedangkan ketersediaan 1.635 kg biomas kering pada MK hanya
cukup untuk 109 hari atau 3,63 bulan. Pada MH, dengan luas tanam kacang tanah 10 are tersedia 460,8 kg
biomass kering yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pakan 5 ekor induk sapi Bali selama 21 hari ; sedangkan
dengan luasan 5 are pada MK menghasilkan 173,6 kg biomas kering yang cukup untuk 8 hari. Karena
keterbatasan ketersediaan biomas tanaman kacang tanah (pakan bermutu), maka untuk memperbaiki kualitas
pakan yang diberikan, penanaman hijauan pakan ternak bermutu tahan kekeringan seperti penanaman lamtoro,
gamal dan tanaman lainnya yang sekaligus untuk konservasi perlu dilakukan
Kata kunci : limbah jagung dan kacang tanah, sapi Bali, lahan marginal

PENDAHULUAN

Lahan marginal merupakan lahan yang miskin unsur hara, ketersediaan air dan
curah hujan terbatas, solum tanahnya tipis dan tofografinya berbukit-bukit sehingga
produktifitasnya rendah. Dengan kondisi yang demikian ketersediaan pakan ternak sangat
terbatas. Dilaporkan pula bahwa petani pada lahan ini pada umumnya petani kecil dengan
tingkat perekonomian yang lemah dan tingkat pendidikan yang rendah sehingga sangat
berpengaruh terhadap cara berusahatani atau pun beternak (Suprapto, dkk. 1999).
Selama ini program pembangunan pertanian yang bersifat sentralistik dalam
operasionalnya masih bersifat sub sektor (parsial). Akibatnya petani selaku pelaku usahatani
disekat-sekat menjadi petani tanaman pangan, petani hortikultura, petani ternak, petani ikan
dan petani perkebunan. Penyekatan ini membawa dampak negatif terutama pada petani
lahan sempit (kepemilikan lahan 0,1-0,3 Ha), akibatnya aset pertanian yang dimiliki tidak
dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan sumberdaya pertanian tanaman pangan,
perkebunan dan hortikultura dalam bentuk limbah yang dapat digunakan sebagai bahan
pakan ternak merupakan langkah efisiensi usaha serta membuka peluang usaha baru untuk
menghasilkan produk secara ekonomis. (Diwyanto dan Masbulan, 2001 ; Sariubang, dkk.
2000).
Biaya operasional terbesar dalam peternakan adalah biaya pakan dan tenaga kerja.
Dengan jalan mengintegrasikan kegiatan pemeliharaan ternak dengan kegiatan usahatani
lainnya, akan dihasilkan efisiensi biaya produksi yang tinggi. Pakan dari tanaman dapat
berupa residu dan hasil sampingan agroindustri yang dapat digunakan untuk ternak
ruminansia, seperti jerami padi, jerami jagung dan lainnya (Makka, 2004).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 547
Seminar Nasional 2005

Masyarakat di lahan kering Kecamatan Gerokgak Buleleng Bali, masih


memanfaatkan jagung sebagai sumber makanan utama, serta tanaman kacang tanah sebagai
salah satu sumber pendapatan, serta ternak sapi (Sapi Bali) sebagai tabungan (Adijaya, et al.,
2004). Sapi-sapi dilokasi tersebut telah terbiasa diberikan jerami jagung dan kacang tanah,
namun seberapa jauh daya dukung limbah tersebut untuk dijadikan pakan belum pernah
dikaji.

MATERI DAN METODA

Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai Desember 2004, di Desa Patas
Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng Bali. Tanaman yang dikaji adalah jagung
Varietas Bisma dan kacang tanah Varietas kelinci. Kedua komoditas ini ditanam pada bulan
Desember selanjutnya di Panen pada bulan Maret ; dengan luasan masing-masing 50 dan 10
are. Jagung ditanam dengan jarak 75 x 40 cm dengan dua tanaman per lubang. Tanaman
jagung dipanen pada umur 85-90 hari setelah tanam (HST). Penanaman kedua (gadu)
dilakukan pada ulan April dan dipanen Juli.
Ubinan biomassa tanaman jagung diamati pada ukuran petak 3,0 meter x 2,0 meter,
sedangkan untuk tanaman kacang tanah dengan ukuran 2,5 meter x 2,5 meter. Penimbangan
dilakukan pada saat segar dan setelah dalam bentuk kering. Pengambilan ubinan dilakukan
secara acak pada 10 petani. Biomass kering diperoleh setelah dilakukan penjemuran selama
5-7 hari, yang ditandai dengan tidak berubahnya bobot (konstan). Parameter yang diamati
adalah produksi biomass dari kedua komoditas baik dalam bentuk segar maupun dalam
bentuk kering, selanjutnya data dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Biomass Jagung Varietas Bisma


Hasil penelitian menunjukkan, 1 are tanaman jagung Bisma dengan jarak tanam 75
cm x 40 cm, menghasilkan Biomas segar sebanyak 173,33 kg, dengan perhitungan : 100
m2/6 m2 x10,40 kg = 173,33 kg/are atau 8.666,7 kg/50 are (Tabel 1). Hasil ini lebih banyak
dibandingkan laporan Subandi dan Zubachtirodin (2004) bahwa 1 ha tanaman jagung
mampu menghasilkan biomass segar sebanyak 8,5 ton dengan rincian 2,5 ton daun dan 6 ton
batang. Selanjutnya Subandi dan Zubachtirodin (2004) melaporkan pula bahwa daun jagung
Varietas Bisma yang dipanen pada umur 70 hari mengandung 16,32% protein kasar, 1,83%
lemak kasar, 23,24% serat kasar, 13,99% abu dengan BETN 44,62 dan TDN 60,20;
sedangkan batangnya mengandung 5,54% protein kasar, 0,82% lemak kasar, 34,35% serat
kasar, 5,25% abu dengan BETN 54,03 dan TDN 49,99.
Biomass jagung setelah dilakukan pengeringan selama 7 hari, mendapatkan biomas
kering (batang dan daun) sebanyak 2.191,5 kg atau setara dengan 4,38 ton (Tabel 1). Hasil
ini sesuai dengan laporan Sariubang, et al (2000) bahwa 1 Ha lahan jagung menghasilkan
limbah kering antara 2,1 – 6,0 ton.
Tabel 1. Rata-rata Produksi Biomass Tanaman Jagung Bisma di Desa Patas, Kab. Buleleng Bali, 2004.

Ubinan (6,0 m2) (kg) Biomassa basah/50 are Biomassa kering/50 are
Musim
Segar Kering (kg) (kg)
Hujan 10,40 2,63 8.666,7 2.191,5
Kemarau 8,75 1,96 7.290,0 1.640,0

Ternak sapi membutuhkan pakan minimal 10% dari bobot badanya. Limbah jagung
dalam bentuk kering dapat diberikan 30-40% dari jumlah pakan yang diberikan. Karena
kalau diberikan di atas komposisi tersebut menyebakan kandungan gizi yang didapat oleh

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 548
Seminar Nasional 2005

ternak kurang berimbang ; akibatnya ternak akan menerima kelebihan energi namun
mengalami defisiensi protein (Saun, 1991).
Petani di Desa Patas rata-rata memiliki 5 ekor sapi per kepala keluarga (KK)
(Suratmini, et al. 2004). Dengan asumsi bobot badan induk sapi Bali di Desa Patas rata-rata
250 kg, mengkonsumsi hijauan kering sebanyak 3% dari bobot badannya maka mereka
butuh 7,5 kg hijauan kering/ekor/hari. Apabila limbah jagung diberikan dengan komposisi
40% dari seluruh pakan yang diberikan (7,5 kg), maka perlu 3 kg/ekor/hari atau sebanyak 15
kg untuk 5 ekor. Dengan demikian, ketersediaan limbah kering sebanyak 2.191,5 kg pada
musim hujan mampu mencukupi kebutuhan ternak sapi yang ada di sana selama 183 hari
atau 4,87 bulan ; sedangkan ketersediaan pakan 1.635 kg pada musim kering cukup untuk
memenuhi kebutuhan sapi selama 109 hari atau 3,63 bulan.
Pada kondisi riil, di Desa Patas pada musim paceklik pakan (akhir bulan Agustus
sampai pertengahan Nopember) limbah jagung diberikan dengan komposisi 70% ; dengan
demikian maka ketersediaan limbah jagung kering (hay) pada MH cukup untuk memenuhi
kebutuhan pakan 5 ekor sapi (5,25 kg/ekor/hari atau 26,25 kg/5 ekor/hari) selama 83,25 hari
atau 2,8 bulan dan dan ketersediaan saat MK hanya cukup untuk 62,26 hari atau 2,1 bulan.
Memperhatikan kondisi tersebut, dari segi kwantitas, limbah jagung Varietas Bisma
yang dihasilkan dari 50 Are luas tanam, mampu memenuhi kebutuhan pakan sapi di Desa
Patas untuk musim paceklik pakan yang lamanya sekitar 4 bulan (Agustus s/d Nopember)
(Suratmini, et al., 2004). Meskipun demikian, untuk memperbaiki kualitas pakan yang
diberikan, penanaman hijauan pakan ternak bermutu tahan kekeringan masih perlu
dilakukan, seperti penanaman lamtoro dan tanaman lainnya yang sekaligus untuk konservasi
lahan.

Biomass Tanaman Kacang Tanah Varietas Kelinci


Rata-rata petani di Desa Patas menanam kacang tanah seluas 10 are pada MH, dan 5
are pada MK (Suratmini, et al. 2004). Pada MH, per are tanaman kacang tanah menghasilkan
biomas segar rata-rata 243,20 kg dan dalam bentuk kering rata-rata 46,08 kg; sedangkan
pada MK menghasilkan 197,60 biomass segar atau 34,72 biomass kering. Memperhatikan
produksi biomass tersebut, berarti dengan luas tanam 10 are pada MH tersedia biomass segar
sebanyak 2.432 kg atau setara dengan 460,8 kg biomass kering dan pada MK dengan luas
tanam 5 are tersedia 988 kg biomas segar atau setara dengan 173,6 kg. biomas kering.
Ternak sapi dapat diberikan limbah dari tanaman legum (kacang-kacangan) antara
30-50% dari pakan yang diberikan. Karena kalau diberikan dengan komposisi lebih dari itu,
ternak akan kelebihan Ca (Kalsium) dan keurangan zat-zat yang lain. Oleh karena itu
sebaiknya dikombinasikan dengan limbah jagung (Saun, 1991).
Hasil analisis proksimat menunjukkan, jerami kacang tanah mengandung 9,40%
protein kasar (Prasetyo, et al., 2004), namun peneliti lain dalam Prasetyo, et al. (2004)
seperti Sudomo, et al. (1983), Sudaryanto dan Djayanegara (1982) melaporkan 14,9% dan
13,2%. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan cara penanganan jerami sebelum dianalisis.
Menurut Lebdosukokoyo (1982) dalam Prasetyo, et al (2004), pengeringan jerami dengan
pemanasan yang terlalu tinggi, akan menyebabkan terurainya asam amino, sehingga kadar
protein yang terkandung menurun. Seperti limbah tanaman lainnya, jerami kacang tanah juga
mengandung serat yang cukup tinggi yaitu 26,88%, dengan demikian lebih cocok digunakan
untuk ternak ruminansia terutama sapi dan kambing (Prasetyo, et al., 2004).
Induk sapi di Desa Patas bobot badannya rata 250 kg, dengan mengkonsumsi hijauan
segar minimal 10% dari bobot badan atau sekitar 25 kg maka butuh 7,5-12,5 (komposisi
limbah kacang tanah diberikan antara 30-50%) limbah kacang tanah per hari, atau 37,5 –
62,5 kg untuk 5 ekor. Ketersediaan biomass segar sebanyak 2.432 kg mampu mencukupi
kebutuhan 195-324 ekor ternak dalam sehari.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 549
Seminar Nasional 2005

Ternak sapi membutuhkan hijauan kering sekitar 3% dari bobot hidup, atau sekitar
7,5 kg bila bobot tubuhnya 250 kg. Pemberian hay dari tanaman legum seperti kacang tanah
dianjurkan antara 30 – 50%; dengan demikian untuk 5 ekor induk sapi Bali minimal
membutuhakan 22,5 kg pakan kering (hay) per hari. Memperhatikan kebutuhan pakan
tersebut, maka 460,8 kg biomass kering pada MH cukup untuk memenuhi kebutuhan 5 ekor
sapi selama 21 hari dan 173,6 kg. biomas kering pada MK cukup untuk 8 hari.
Memperhatikan produksi dan kebutuhan biomass tersebut, berarti dengan luas tanam
10 are pada MH dan 5 are pada MK, ternak sapi di Desa Patas Gerokgak masih kekurangan
ketersedian pakan legum dalam waktu 3 bulan (masa paceklik 4 bulan) ; dengan demikian
perluasan penanaman hijauan ini perlu dilakukan baik pada saat MH maupun MK. Selain itu
penanaman HMT unggul seperti lamtoro, gamal atau HMT tahan kering lainnya mutlak
dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan ternak akan pakan bermutu serta untuk perbaikan
konservasi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Biomass jagung Varietas Bisma yang dihasilkan dari luas panen 50 Are mampu
memenuhi kebutuhan pakan untuk 5 ekor sapi di Desa Patas pada saat musim paceklik
pakan yang lamanya sekitar 4 bulan (Agustus s/d Nopember); akan tetapi ketersediaan
biomass kacang tanah dengan luasan 10 are pada MH dan 5 are saat MK hanya mampu
memenuhi kebutuhan ternak selama 29 hari
Karena keterbatasan ketersediaan biomas tanam kacang tanah (pakan bermutu), maka
untuk memperbaiki kualitas pakan yang diberikan, penanaman hijauan pakan ternak
bermutu tahan kekeringan seperti penanaman lamtoro, gamal dan tanaman lainnya yang
sekaligus untuk konservasi perlu dilakukan.

Ucapan Terimakasih
Terima kasih kami sampaikan kepada manajemen Proyek Pengkajian Teknologi
Pertanian Partisipatif Bali atas pendanaan yang diberikan, demikian pula kepada kelompok
tani ternak Abdi Pertiwi di Desa Patas Kec. Gerokgak Buleleng Bali atas kerjasamanya.

DAFTAR PUSTAKA

Diwyanto, K. dan E. Masbulan. 2001. Pengembangan Sistem Agribisnis Peternakan Ramah


Lingkungan. Kasus : Integrasi Sapi di Lahan Persawaha. Makalah disampaikan pada
Apresiasi Teknis Program Litkaji Sistem Usaha Tanaman Ternak (Crop Animal
System). Bogor 22-29 April 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Bogor.
Makka, J. 2004. Prospek Pengembangan Sistem Integrasi Peternakan yang Berdaya Saing.
Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Bogor. Hal : 18-31.
Prasetyo, T, Muryanto dan C. Setiani. 2004. sistem Integrasi Kacang Tanah-Ternak di Lahan
Kering Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Sistem integrasi Tanaman Ternak.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Hal : 329-337.
Sariubang, M , D. Pasambe, S.N. Tambing dan S. Bahar, dan A. Nurhayu. 2000. Alternatif
Pengembangan Ternak Ruminansia melalui Pendekatan Integrasi dengan Pertanian
Terpadu. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Bogor. Hal : 473-477.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 550
Seminar Nasional 2005

Saun, R.J.V. 1991. Dry Cow Nutrition (The Key to Improving Fresh Cow Performance). In :
The Veterinary Clinics of North America (Food Animal Practice). Dairy Nutrition
Management. Edited by Charles J. Sniffen and Thomas H. Herdt, Vol. 7 No. 2 July
991. W.B. Saunders Company, Harcout Brace Jovanovich Inc. Philadelphia, London,
Toronto, Montreal, Sydney. Hal : 599-620.
Subandi dan Zubachtirodin. 2004. Prospek Pertanaman Jagung dalam Produksi Biomas
Hijauan. Prosiding Seminar Nasional: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marginal
Melalui Inovasi Teknologi Tepat Guna. Hal. 105-110.
Suprapto, I.K.Mahaputra, M.A. T. Sinaga, I.G.A. Sudaratmaja dan M.Sumartini. 1999.
Laporan Akhir Pengkajian SUT Tanaman Pangan di Lahan Marginal. Instalasi
Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar. Bali.
Suratmini, N. P., I.N. Adijaya, I.M. Rai Yasa, I.K. Mahaputra, dan M. Sumartini. 2004.
Laporan Akhir Pengkajian Sistem Usahatani Integrasi Tanaman dan Sapi Bali di
Lahan Marginal. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Denpasar.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 551
Seminar Nasional 2005

POLA PEMELIHARAAN TERNAK SAPI BALI DI LAHAN KERING DATARAN


RENDAH LOMBOK TIMUR

Sasongko WR, Yohanes G Bulu dan Arif Surahman


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB

ABSTRAK

Sebagian besar usaha ternak sapi di Kabupaten Lombok Timur berada dalam penguasaan petani kecil
dengan berbagai keterbatasannya yaitu : pengetahuan, lahan serta modal usaha. Sapi yang dipelihara umumnya
sapi Bali. Pengiriman bibit sapi ke luar daerah secara terus menerus menjadi salah satu penyebab menurunnya
mutu. Bobot jual saat ini berkisar 250-350 kg sementara potensi sapi Bali 450-500 kg. Upaya perbaikan
kualitas mengalami banyak hambatan dengan sistem pemeliharaan yang ada. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pola pemeliharaan dan permasalahan yang dihadapi dalam menghasilkan ternak sapi Bali dan strategi
untuk mengatasi permasalahan. Penelitian dilaksanakan di Desa Rarang Selatan dan Desa Perigi Kabupaten
Lombok Timur, selama tahun 2004. Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik Participatory Rural
Appraisal (PRA). Data yang terkumpul dianalisa secara deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola
pemeliharaan ternak yang masih konvensional sehingga produktivitas ternak sapi rendah. Sumber daya manusia
sebagai pelaku uasaha pada kedua desa rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah. Ketersediaan
pakan alami menjadi andalan petani, belum berkembangnya ekstensifikasi sumber pakan. Keterbatasan
sumberdaya alam serta kondisi iklim menyebabkan seringkali terjadi kekurangan pakan. Demikian pula dengan
manajemen reproduksi yang lemah untuk mendukung usaha ternak yang bersifat sebagai usaha pembibitan
karena adanya pola kadasan atau gaduhan. Kesimpulan sementara bahwa pola pemeliharaan dengan sistem
semi-intensif dimana pakan diberikan berupa rumput alam, leguminosa dan sedikit yang memberikan limbah
pertanian seperti jerami kacang tanah. Perkawinan ternak dilakukan secara alami ketika ternak digembalakan
atau diikat-pindah, sebagian kecil dengan IB. Dengan kondisi penerapan teknologi saat ini, ditemui
permasalahan ketersediaan pakan, sulitnya mendapatkan bibit ternak sapi Bali yang berkualitas baik, calving
interval yang panjang, serta kematian anak sapi yang tinggi. Untuk mengatasi permasalahan, diperlukan adanya
upaya pemberdayaan petani dan meningkatkan sumberdaya manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam
yang ada secara efektif dan efisien. Sistem integrasi tanaman-ternak merupakan strategi yang cukup efektif
didalam penyediaan pakan ternak sepanjang tahun, dan sistem kandang kolektif dapat diterapkan untuk
mendukung penyediaan bibit sapi Bali yang berkualitas.
Kata Kunci : Sapi Bali, lahan kering

PENDAHULUAN

Pembangunan perekonomian di Nusa Tenggara Barat masih menitik beratkan pada


sektor pertanian, sebagaimana yang disampaikan Gubernur NTB dalam sambutannya pada
Seminar Nasional 2004, bahwa sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar kedua
setelah sektor pertambangan terhadap produk domestik bruto (PDRB) yaitu sebesar 26,13%.
Selain itu sektor pertanian dalam arti luas merupakan mata pencaharian utama masyarakat
NTB. Berdasarkan data BPS (2002), bahwa jumlah usia produktif (NTB) umur 15 tahun
keatas yang bekerja pada sektor pertanian mencapai 57,50% atau lebih dari 2,7 juta orang.
Sehingga pembangunan pertanian melalui pemberdayaan masyarakat petani khususnya di
lahan marginal merupakan upaya yang cukup strategis mengatasi keterbatasan yang dimiliki
baik itu sumberdaya alamnya maupun sumber daya manusianya.
Keterbatasan sumberdaya yang dimiliki di lahan kering menyebabkan terjadinya
kecenderungan terbentuknya pola usahatani yang subsisten (tradisional). Sebagai basis
pola usahatani adalah tanaman pangan dan juga merupakan upaya ketahanan pangan.
Seringkali dijumpai pola usahatani kombinasi antara perkebunan, tanaman pangan dan
ternak. Ternak sebagai bagian dari subsistem usahatani, memegang peranan cukup penting
terutama dalam menunjang pendapatan petani. Sapi merupakan jenis ternak yang memiliki
peran yang cukup besar sebagai tabungan hidup yang dapat memberikan sumbangan
pendapatan. Namun disatu sisi kebutuhan modal cukup besar sehingga tidak semua petani
mampu mengusahakannya. Hal ini menyebabkan munculnya tipe usaha sistem kadasan atau
gaduhan. Hendrawan, (2002) menyatakan bahwa sebagian besar sapi potong di Indonesia
(umumnya) berada dalam penguasaan peternak kecil yang tidak memiliki lahan cukup serta

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 552
Seminar Nasional 2005

modal usaha memadai, sehingga manajemen pemeliharaan lebih ditekankan kepada upaya
mempertahankan ternak sebagai fungsi sosial dan tabungan tunai yang dapat dicairkan
sewaktu-waktu diperlukan
Sistem pemeliharaan yang masih semi intensif – tradisonal dalam arti sudah terjadi
sedikit kemajuan pada sistem pemeliharaan dari dilepas atau digembalakan menjadi
dikandangkan pada malam hari sedangkan siang hari diikat-pindah pada kebun atau lahan-
lahan kosong yang tidak ditanami tanaman semusim. Namun dari segi pemeliharaannya
yang masih tradisional, pakan diberikan sepenuhnya berupa hijauan segar seperti rumput
alam, walaupun sebagian kecil telah memanfaatkan limbah pertanian seperti jerami kacang
(pada saat musim panen).
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir terjadi penurunan populasi ternak sapi
hinggan 11,9% (BPS 2003). Pengiriman bibit sapi ke luar daerah secara terus menerus
dalam kurun waktu yang lama bisa mengakibatkan terjadinya penurunan mutu, bobot jual
saat ini berkisar 250-350 kg sementara potensi sapi Bali berkisar 450-500 kg. Perbaikan
kualitas mengalami cukup banyak hambatan dengan sistem pemeliharaan yang ada. Puspadi
dkk., 2004, menyatakan bahwa penurunan produksi sapi Bali di NTB disebabkan oleh faktor
teknis dan sosial. Ditinjau dari faktor teknis, pemeliharaan sapi yang dilakukan peternak
relatif sederhana dengan tingkat penerapan teknologi tepat guna sangat rendah. Kondisi
yang demikian disebabkan oleh faktor sosial masyarakat, dimana belum adanya perubahan
sifat usaha ternak sapi yang masih menganggap sebagai usaha sampingan pada sistem
usahatani secara umum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pemeliharaan dan
permasalahan yang dihadapi dalam menghasilkan ternak sapi Bali pada lahan kering dataran
rendah.

MATERI DAN METODA

Waktu penelitian :
Penggalian informasi melalui teknik Partisipatory Rural Appraisal (PRA)
dilaksanakan selama tahun 2004.

Lokasi penelitian :
Desa Rarang Selatan Kecamatan Terara dan Desa Perigi Kecamatan Suela,
keduanya berada di wilayah Kabupaten Lombok Timur. Pemilihan lokasi didasarkan pada
pertimbangan prioritas pembangunan pedesaan di lahan kering yang sebagian besar
penduduknya berusaha pada bidang pertanian dan ternak sapi merupakan bagian dari sistem
usahatani.

Metode penelitian
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memahami dan menghayati tujuan kegiatan proyek
perbaikan pendapatan petani miskin melalui inovasi, melalui penggalian informasi untuk
memahami dinamika petani miskin sebagai pelaku pada suatu sistem usahatani pada wilayah
pedesaan di lahan kering/marginal; studi dilaksanakan dengan menggunakan teknik
Participatory Rural Appraisal (PRA) atau Pemahaman Pedesaan secara Partisipatif. Kedua
desa lokasi penelitian yang terpilih, salah satunya adalah ternak sapi khususnya sapi Bali
menjadi subsistem pada usahataninya. Kedua wilayah tersebut memiliki persamaan karena
lahan keringnya sebagian besar berada pada ketinggian yang sama. Perbedaannya terletak
pada topografi desa secara keseluruhan, dan luasan sawah tadah hujan yang ada di wilayah
masing-masing serta Desa Perigi memiliki wilayah Hutan.
Survey langsung di lapangan untuk melihat sumberdaya alam masing-masing desa
dilakukan menggunakan instrumen PRA yaitu: Peta Transek, atas dasar peta desa yang ada.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 553
Seminar Nasional 2005

Data-data yang terkumpul, kemudian dianalisis secara diskriptif. Dilanjutkan dengan desk
study guna melengkapi data-data kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Wilayah
Desa Rarang Selatan dan Desa Perigi memiliki beberapa persamaan dan juga
perbedaan. Persamaannya adalah pada pola usahataninya dan pada lahan keringnya.
Sedangkan perbedaan terletak pada kondisi lingkungan biofisiknya dilihat dari topografi
wilayah desa secara keseluruhan ada perberbedaan namun lahan keringnya berada pada
ketinggian yang sama yaitu antara 25 – 400 mdpl. Desa Rarang Selatan memiliki sawah
tadah hujan berada pada elevasi antara 25 – 250 m dpl, kelas kelerengan antara 0 – 3%.
Lahan kering berada pada elevasi 25 – 400 m dpl. Relief tanahnya berbukit kecil dengan
kelerengan antara 15 – 30%. Desa Perigi memiliki lahan sawah berada di ketinggian antara
400-700 m dpl. kelas kelerengan antara 20-30%, lahan kering berada pada elevasi 25-400 m
dpl dan di antara 400 – 700 m dpl. kelerengan bervariasi, yaitu antara 3-5%, 8-12% dan 20-
30%. Hutan pada ketinggian antara 700-1.200 m dpl dan antara 1.200 – 2.250 m dpl.
kelerengan lebih dari 75%.

Peta transek menggambarkan situasi masing-masing desa dimana secara umum


ternak sapi dipelihara atau terdapat pada setiap wilayah pemukiman. Memelihara ternak
yang dikandangkan di pekarangan rumah, untuk memudahkan mereka mengawasi ternaknya
karena faktor keamanan ternak masih merupakan permasalahan yang sulit diatasi. Melihat
potensi yang ada di masing-masing desa menunjukkan bahwa dari potensi pakan dan
ketersediaannya cukup. Jenis tanaman dan pola tanam yang dilakukan oleh petani di lahan
sawah tadah hujan dan lahan kering memiliki potensi limbah pertanian yang dapat
dimanfaatkan untuk pakan ternak.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 554
Seminar Nasional 2005

Seperti yang dituturkan oleh Suwardji dan Tejowulan (2003) yang disitasi oleh
Suwardji, (2004) bahwa walaupun potensi lahan kering di NTB yang cukup besar, lahan
kering yang ada memiliki ekosistem yang rapuh dan mudah terdegradasi apabila
pengelolaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang tepat, topografi umumnya berbukit
dan bergunung, ketersediaan air tanah yang terbatas, lapisan oleh tanah dangkal, mudah
tererosi, teknologi diadopsi dari teknologi lahan basah yang tidak sesuai untuk lahan kering,
infrasturktur tidak memadai, sumberdaya manusia rendah, kelembagaan sosial ekonomi
lemah.

Sumberdaya Manusia
Jumlah penduduk Desa Rarang Selatan adalah ± 5.558 jiwa dengan penduduk usia
produktif (16 – 79 tahun) sebanyak 3.752 jiwa, 750 jiwa diantaranya hanya berpendidikan
Sekolah Dasar. Sekitar 1.338 jiwa adalah bermata pencaharian sebagai petani dan 1.153
jiwa sebagai buruh tani. Sedangkan di Desa Perigi jumlah penduduk sekitar 9.958 jiwa,
dengan penduduk usia produktif 15 – 54 t ahun berjumlah 6.288 jiwa, sebagian besar
penduduk desa berpendidikan rendah. Warga yang belum sekolah 1.399 orang, tidak pernah
sekolah 2.125 orang, SD tidak tamat 2.429 orang, Petani 2.400 orang dan buruh tani 753
orang. Dengan kepemilikan lahan yang sempit rata-rata kepemilikan lahan di Rarang
Selatan antara 0,10 – 0,49 ha, dengan kepemilikan lahan kering ± 0,12 ha. Sedangkan di
Desa Perigi luas kepemilikan hampir sama.

Pola Pemeliharaan
Di kedua Desa Rarang Selatan dan Perigi, ternak sapi yang dipelihara adalah sapi
Bali tersebar di seluruh wilayah masing-masing desa, yang dipelihara oleh petani sebagai
usaha sampingan atau bersifat sebagai tabungan hidup yang sewaktu-waktu dapat diuangkan
saat dibutuhkan. Salah satu sistem usaha yang dilakukan adalah dengan sistem kadasan atau
gaduhan, dengan sistem bagi hasil. Ternak sapi umumnya dipelihara atau dikandangkan
disekitar pekarangan rumah kecuali di Desa Perigi yang memiliki sekitar 6 kandang kolektif

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 555
Seminar Nasional 2005

dengan populasi sapinya berkisar antara 20 -100 ekor. Sedangkan di Desa Rarang Selatan
belum ada sistem pemeliharaan kandang komunal atau kandang kolektif.
Persoalan pakan menjadi permasalahan yang klise dan seringkali menjadi hambatan
bagi pengembangan usaha ternak sapi. Jumlah ketersediaan pakan yang tidak memadai pada
musim kemarau mengharuskan seorang peternak harus mencari hijauan hingga keluar
daerah, seperti wilayah Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Barat yang jaraknya cukup
jauh. Rumput masih menjadi pakan utama ternak sedangkan tanaman leguminosa seperti
turi, lamtoro dan lainnya sebagai pakan alternatif. Biaya yang dikeluarkan untuk mencari
rumput cukup besar berupa biaya transportasi dan bahkan rumputnya juga harus dibeli. Hal
ini sebagai salah satu dampak perubahan sistem pemeliharaan yang dilakukan, sebelumnya
digembalakan atau diikat pindah kemudian menjadi sistem dikandangkan (semi intensif dan
intensif). Pakan harus tersedia sepanjang hari untuk memenuhi kebutuhan ternaknya.
Selain itu dengan makin menyempitnya lahan-lahan umum tempat mencari rumput (padang
penggembalaan), yang selama ini menjadi salah satu sumber pakan bagi ternaknya,
menyebabkan seringkali terjadi pakan pada musim kemarau.
Perubahan sistem pemeliharaan yang berlaku tidak diimbangi oleh sistem
pengelolaan pakannya yang masih bertahan dengan sifat tradisionalnya. Yang selama ini
dikenal adalah mencari rumput, membawanya ke kandang kemudian diberikan pada ternak
untuk dikonsumsi oleh ternaknya. Namun upaya lain untuk mendukung sistem pengelolaan
pakan seperti menanam hijauan pakan ternak atau pemanfaatan limbah pertanian belum
dilaksanakan. Namun bila dilihat sistem usahatani yang ada di dua desa (Rarang Selatan dan
Perigi), keduanya memiliki sumber-sumber pakan yang potensial seperti limbah pertanian
yang berupa jerami.
Ciri-ciri peternakan rakyat yakni skala usaha relatif kecil, merupakan usaha rumah
tangga, merupakan usaha sampingan, menggunakan teknologi sederhana bersifat padat karya
serta berbasis organisasi kekeluargaan (Aziz, 1993 disitasi oleh Yusmichad Y dan Nyak
Ilham, 2005). Usaha peternakan rakyat memiliki posisi yang sangat lemah dan sangat peka
terhadap perubahan. Alternatif pengembangannya adalah dengan melakukan reformasi
modal, penciptaan pasar, sistem kelembagaan dan input teknologi. Menurut Kasryno (1996),
terjadi perubahan struktur penggunaan lahan, dari persawahan menjadi lahan untuk
keperluan sektor non pertanian. Demikian juga tidak menutup kemungkinan adanya
pembukaan lahan-lahan usahatani baru berasal dari padang penggembalaan. Berarti dengan
menyusutnya lahan pertanian, lahan penggembalaan akan berdampak pada penyusutan
populasi ternak.
Tabel 1. Bagan Kecenderungan Populasi Ternak Sapi Bali di Desa Rarang Selatan dan Desa Perigi Kabupaten
Lombok Timur

TAHUN
FENOMENA
1980 - 1985 1990 - 1995 2000 – 2004
Produksi Ternak
Sapi

Desa Rarang Selatan

Desa Perigi

Fenomena yang terjadi di Desa Rarang Selatan dan Desa Perigi hampir sama,
peningkatan produktivitas rendah (hasil penggalian informasi melalui PRA). Pada Grafik 1.
terlihat bahwa populasi sapi Bali di Kabupaten Lombok Timur selama 10 tahun terakhir
menunjukkan terjadinya fluktuasi dari tahun-ketahun, bahkan ada kecenderungan terjadinya
penurunan populasi. Namun bisa dilihat bahwa pemotongan ternak justru selalu meningkat
jumlahnya dan ditambah dengan jumlah pengeluaran ternak ke daerah lain setiap tahunnya.
Banyak hal lain yang dapat menyebabkan produktivitas sapi Bali tidak optimal sehingga

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 556
Seminar Nasional 2005

tidak terjadi peningkatkan populasi yang berarti. Salah satunya adalah pola pemeliharaan
ternak yang selama ini dilakukan oleh petani-peternak di lahan kering. Sistem
pemeliharaannya belum mengarah pada efisiensi penggunaan input untuk menghasilkan
output yang menguntungkan. Kemampuan produksi dari ternaknya belum terukur dengan
baik seperti kuantitas dan kaulitasnya. Selain terjadi penurunan populasi yang disebabkan
oleh kemampuan menghasilkan ternak dalam kurun waktu tertentu dan mendapatkan ternak
yang berkualitas baik terutama dalam memenuhi segmen pasar.

500.000

400.000
Populasi
Jumlah

300.000
Pemotongan
200.000
Pengeluaran
100.000

-
1994
1995
1996
1997
1999
2000
2001
2002
1993
1992

Tahun

Grafik 1. Populasi, jumlah pemotongan dan jumlah pengeluaran ternak selama 10 tahun sapi Bali di
Kabupaten Lombok Timur.

Populasi ternak sapi di Kabupaten Lombok Timur berdasarkan data-data BPS


selama 10 ahun terakhir mengalami fluktuasi dan ada kecenderungan terjadi penurunan.
Pemotongan ternak mengalami peningkatan setiap tahunnya, sedangkan pengeluaran ternak
ke daerah lain mengalami penurunan. Penyebab penurunan jumlah ternak yang dikirim ke
luar daerah, belum diketahui dengan pasti. Kemungkinan kualitas ternak yang makin
menurun dan sulitnya memperoleh ternak dengan bobot tertentu sesuai persyaratan
pengiriman ternak yaitu diatas 300 kg.

Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Alam


Sumber pakan dilahan kering cukup beragam dan bervariasi, selain yang bersumber
dari lahan penggembalaan atau lahan umum yang selama ini berfungsi sebagai penyuplai
HMT. Tanpa adanya upaya-upaya perbaikan dan pelestarian vegetasi maka akan terjadi
penurunan kemampuan daya suplainya. Berkaitan dengan bertambahnya populasi ternak
tanpa adanya eksplorasi sumber pakan maka akan terjadi kekurangan pakan pada musim
kemarau, hal ini yang seringkali terjadi pada daerah lahan kering. Namun bila kita melihat
pola usahatani yang ada di suatu wilayah pedesaan memiliki potensi sebagai sumber-sumber
pakan alternatif. Disamping itu lahan-lahan usahatani masih memungkinkan untuk ditanami
jenis hijauan pakan ternak unggul dengan kriteria tahan kekeringan, produksi tinggi dan
memiliki kandungan nutrisi yang baik. Sehingga akan menjamin kontinuitas pakan ternak
sepanjang tahun.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 557
Seminar Nasional 2005

Tabel 2. Kalender Musiman

Bulan
Usahatani
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Padi (Lahan sawah tadah
hujan)

2. Jagung

3. Padi gogo

4. Tembakau

5. Peternakan
- Pemeliharaan Sapi

Pola pertanaman di Desa Rarang Selatan dan Desa Perigi umumnya memiliki
kesamaan, pada Tabel 2. pada kalender musiman selama satu tahun terlihat adanya potensi
dan peluang diversifikasi sumber pakan ternak sapi yang berasal dari limbah-limbah
pertanian. Pola usahatani yang dimaksud di atas adalah termasuk pertanaman yang
diusahakan pada lahan-lahan sawah tadah hujan. Potensi sumber-sumber pakan baik dari
lahan-lahan umum maupun lahan usahatani.
Didalam meningkatkan produksi ternak sapi, penyediaan pakan dalam jumlah cukup
dan kualitas yang memadai harus mendapat perhatian yang besar. Dalam penyediaan
hijauan pakan, selain rumput, peranan hijauan yang berasal dari tanaman budidaya, baik itu
sebagai hasil samping (limbah) atau produk utama pertanian adalah cukup penting. Oleh
karena itu, dewasa ini pola integrasi “tanaman-ternak” telah memperoleh perhatian besar dari
pemerintah (Fagi et al., 2004, disitasi oleh Subandi dan Zubachtirodin, 2004).
Sumber Pakan Ternak
Ternak

Lahan Penggembalaan Lahan Usahatani

• Lahan sawah tadah hujan


• Lahan kering

Rumput alam dan


leguminosa

Hijauan Pakan Ternak

Limbah Pertanian berupa


jerami tan. semusim

Kontinuitas pakan ternak

Gambar 1. Bagan alir sumber pakan ternak sapi.


Peluang penyediaan pakan ternak segar terutama dalam memanfaatkan kekosongan
diantara akhir musim hujan hingga akhir musim kemarau dengan penanaman jagung untuk
memproduksi biomasa. Menurut Subandi dan Zubachtirodin (2004), produksi biomas
jagung cacah, bahwa pertanaman jagung dipanen semasa tongkolnya muda, umur 65 – 75

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 558
Seminar Nasional 2005

hari setelah tanam. Untuk tujuan ini tanaman jagung dipanen dengan cara dipotong
batangnya pada permukaan tanah, kemudian seluruh bagian tanaman dicacah berukuran 5
cm kemudian diproses menjadi hay atau silage. Perlunya penerapan teknologi pengawetan
pakan berupa rumput yang melimpah pada musim hujan atau jerami padi atau kacang tanah
yang cukup banyak saat musim panen.

Reproduksi Ternak
Penangan reproduksi ternak sapi yang diusahakan di Desa Rarang Selatan dan Desa
Perigi umumnya belum ada upaya-upaya yang mengarah pada perbaikan mutu. Walaupun
sifat usaha peternakan sapi di wilayah Kabupaten Lombok Timur umumnya adalah
mengarah pada pembibitan. Namun terbatas pada pemeliharaan induk untuk mendapatkan
anak dalam kurun waktu tertentu. Hal ini didasari oleh kondisi sosial-budaya masyarakat
setempat yaitu adanya pola kadasan atau gaduhan dengan melalui sistem bagi hasil dari anak
yang dilahirkan. Usaha ternak yang mengarah pada pembibitan umumnya lebih cocok
dengan sistem tersebut yaitu pembagian hasil berupa ternak (anak sapi), atau sesuai
kesepakatan.
Pola kadasan atau gaduhan cukup populer terutama pada lingkungan petani kecil
yang disebabkan oleh keterbatasan modal yang dimiliki. Disamping itu kemampuan petani
untuk mengakses lembaga keuangan formal sangat lemah, terutama untuk memenuhi
berbagai persyaratan yang harus dipenuhi, salah satunya adalah kepemilikan jaminan
(sertfikat tanah dsb).
Dalam hal ini permasalahan yang dihadapi oleh petani-peternak adalah jarak beranak
atau calving interval 18 bulan. Kondisi yang demikian menyebabkan baik petani maupun
pemilik ternak yang dikadaskan (digaduhkan) membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
dapat menikmati hasilnya. Sehingga petani membutuhkan adanya kelembagaan perbibitan di
desanya. Namun untuk membangun kelembagaan semacam ini tentu tidak mudah, salah satu
langkah yang bisa ditempuh adalah menggunakan sistem kandang kolektif. Karena sistem
pemeliharaan kandang kolektif merupakan suatu aset sosial artinya umumnya di wilayah
pulau Lombok sudah membudaya, sehingga sistem ini dirasa cukup efektif dalam
menghasilkan bibit ternak yang berkualitas.
Telah dibuktikan dari hasil pengkajian/penelitian yang dilaksanakan oleh BPTP
NTB bekerjasama dengan ACIAR-Australia yang dilaksanakan pada beberapa kandang
kolektif seperti di Desa Kelebuh, Kecamatan Praya Tengah Kabupaten Lombok Tengah.
Dengan menggunakan pejantan unggul dan penerapan waktu kawin yang tepat agar
diperoleh anak sapi yang memiliki kualitas baik. Introduksi terhadap majamen perkawinan
sapi yang menyarankan sapi dikawinkan pada akhir musim hujan sehingga anak diperkirakan
lahir pada awal musim hujan. Hasil yang didapat dengan penerapan waktu kawin yang tepat,
yaitu 96% dari induk dan dara yang ada dikawinkan dengan pejantan terseleksi dengan
service perconception 1.41, tingkat kebuntingannya 94%, Persentase kelahiran 91% dan
berat lahir anak sapi 16.41 ± 2.25 Kg. Disamping itu untuk mengatasi kekurangan pakan
musim kemarau yaitu introduksi manajemen penyapihan, didapatkan hasil yaitu:
menurunnya kegiatan mencari pakan keluar desa hingga dibawah 50%; kondisi tubuh induk
dapat dipertahankan sampai bulan Oktober bila anak disapih pada bulan Mei-Juni;
pertumbuhan bobot badan betina (induk) paska sapih (6-12 bulan) ± 0.24 kg, sedang tanpa
sapih dengan pakan yang lebih baik ± 0.19 kg.
Sementara ini pemilihan bibit ternak (betina) seperti yang dilakukan pada saat petani
membeli ternak dipasaran belum menjamin akan mendapatkan hasil ternak yang baik.
Menurut Mashur dan Muzani (2004), agar usaha pengembangan breeding dapat
menguntungkan petani maka pengembangan model yang perlu dibangun adalah sistem
integrasi tanaman-ternak (semusim atau tahunan), perbaikan manajemen pemeliharaan
(reproduksi) dan penerapan sistem kandang kolektif sebagai basis pengembangan pusat-
pusat pembibitan sapi Bali di pedesaan. Selanjutnya Kedi, (2004), menyatakan bahwa
masalah yang dihadapi dalam upaya integrasi usahatani lahan kering terutama meliputi

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 559
Seminar Nasional 2005

masalah teknis dan sosial-budaya. Baik kegiatan usahatani lahan kering maupun kegiatan
beternak sapi secara ekstensif merupakan kegiatan masyarakat tradisional di Kawasan Timur
Indonesia (KTI). Tidak dapat diingkari bahwa teknik integrasi ternak-tanaman tetap
merupakan suatu budaya intrusif bagi masyarakat tradisional KTI yang belum tersebar luas
sehingga perlu dikaji secara cermat pola dan teknik integrasi yang selaras dengan kondisi
ekologi, sosial dan budaya masyarakat setempat
Menurut Suwardi (2004), bahwa model usahatani yang ingin dikembangkan
hendaknya ditujukan pada peningkatan produktivitas lahan dan pendapatan petani serta
kelestarian lingkungan dalam jangka panjang. Pemilihan tanaman dalam pola usahatani
untuk jangka pendek diarahkan pada kecukupan pangan dan kebutuhan gizi petani serta
dalam jangka panjang ditujukan pada keseimbangan antara kebutuhan pangan dan tanaman
pakan ternak untuk meningkatkan pendapatan. Selanjutnya Kedi (2004), menegaskan bahwa
pendekatan kebijakan pengembangan sektor pertanian pada umumnya cenderung bersifat
teknis dan ekonomis, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Terlepas dari tuntutan
tehno-ekonomi, pada hakekatnya sifat kegiatan usahatani di Indonesia lebih bersifat sosio-
kultural dari pada bersifat tekno-ekonomi. Sifat ini sangat terlihat pada kasus pemeliharaan
ternak sapi sebagai bagian dari dari strategi integratif usahatani pada etnis jawa dimana
ternak sapi lebih sering dipandang sebagai salah satu elemen keluarga tani dari pada sebagai
bagian komplementer dari kegiatan usahatani (Kedi, 2004).

KESIMPULAN

Pola pemeliharaan ternak sapi di Desa Rarang Selatan dan Desa Perigi relatif sama
yaitu ternak dipelihara dengan sistem semi-intensif dengan cara-cara yang masih tradisional.
Pakan yang diberikan berupa rumput alam, leguminosa dan sedikit yang memberikan limbah
pertanian seperti jerami kacang tanah.
Perkawinan ternak dilakukan secara alami ketika ternak digembalakan atau diikat-
pindah, sebagian kecil sudah menggunakan teknologi inseminasi buatan (IB).
Dengan teknologi eksisting yang diterapkannya, menyebabkan munculnya beberapa
permasalahan yaitu ketersediaan pakan pada musim kemarau terbatas, sulitnya mendapatkan
bibit ternak sapi Bali yang berkualitas baik, calving interval yang panjang, serta kematian
anak sapi yang tinggi.
Untuk mengatasi permasalahan usaha ternak sapi sebagai bagian dari sistem
usahatani di lahan kering, diperlukan adanya upaya pemberdayaan petani melalui
pengembangan kelembagaan tani yang optimal guna meningkatkan sumberdaya manusia
dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada secara efektif dan efisien. Kelembagaan
perbibitan diperlukan untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi baik kualitas maupun
kuantitasnya. Berdasarkan perilaku sosial budaya masyarakat setempat maka sistem
kandang kolektif menjadi alternatif pilihan dalam mengatasi permasalahan kualitas ternak
sapi (meningkatkan mutu genetis) selain itu sistem kandang kolektif merupakan modal
sosial yang sangat penting di masyarakat dalam pengembangan usaha perbibitan ternak sapi
Bali.
Sistem integrasi tanaman-ternak merupakan strategi yang cukup efektif didalam
penyediaan pakan ternak sepanjang tahun mengingat usaha ternak sapi merupakan subsistem
usahatani di Desa Rarang Selatan dan Desa Perigi.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 560
Seminar Nasional 2005

DAFTAR PUSTAKA

Hendrawan Sutanto. 2002. Strategi Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya dan Teknologi Tepat
Guna Pertanian untuk Meningkatkan Pendapatan Peternak Sapi Potong. Prosiding
Seminar Nasional. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. Badan Litbang
Pertanian. Departemen Pertanian.
Kedi Suradisastra. 2004. Konteks Ekologi Kultural Kawasan Timur Indonesia dalam
Optimalisasi Lahan Kering. Prosiding Seminar Nasional. Pemberdayaan Petani
Miskin di Lahan Marginal Melalui Teknologi Tepat Guna. BPTP NTB.
Puslitbangsosek. Badan Litbang Pertanian.
Mashur dan A. Muzani. 2004. Prospek Pengembangan Pusat-Pusat Pembibitan Sapi Bali di
Lahan Marginal untuk Mendukung Penyediaan Sapi Bakalan di Nusa Tenggara
Barat. Prosiding Seminar Nasional. Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marginal
Melalui Teknologi Tepat Guna. BPTP NTB. Puslitbangsosek. Badan Litbang
Pertanian.
Puspadi, Ketut., Yohanes G.B., Sri Hastuti, I Made Wisnu W., Prisdiminggo, Kuku Wahyu
W., Sasongko WR. Mashur, 2004. Laporan Pemahaman Pedesaan Secara
Partisipatif di Wilayah Poor Farmer Lombok Timur. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian NTB.
Puspadi, Kt., Yohanes G. B., A. Muzani, Mashur. 2004. Buku Sosial Ekonomi dan
Kelembagaan Tanaman Ternak PRA Draft Bab II : Kearifan Lokal Pola
Pengandangan Ternak Sapi Bali dalam Sistem Usahatani Tanaman-Ternak (Kasus
Nusa Tenggara Barat). Disampaikan pada Workshp Buku Crop Livestock Sistem di
Bogor 25 Mei 2005. Belum diterbitkan.
Puspadi, Kt., Yohanes G. B., A. Muzani, Mashur. 2004. Dalam Makalah berjudul : Peluang
Kelembagaan Kandang Kolektif Sebagai Basis Pengembangan Usaha Agribisnis
Pembibitan Sapi Bali di Nusa Tenggara Barat. Disampaikan pada lokakarya
Kelembagaan Sistem Usahatani Tanaman Ternak (CLS). Denpasar, 30 Desember
2004 – 2 Januari 2005.
Sambutan Gubernur NTB. 2004. Prosiding Seminar Nasional. Pemberdayaan Petani Miskin
di Lahan Marginal Melalui Teknologi Tepat Guna. BPTP NTB. Puslitbangsosek.
Badan Litbang Pertanian.
Subandi dan Zubachtirodin. 2004. Prospek Pertanaman Jagung dalam Produksi Biomas
Hijauan Pakan. Prosiding Seminar Nasional. Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan
Marginal Melalui Teknologi Tepat Guna. BPTP NTB. Puslitbangsosek. Badan
Litbang Pertanian.
Suwardji. 2004. Mencari Skenario Pengembangan Pertanian Lahan Kering yang
Berkelanjutan di Propinsi NTB. Prosiding Seminar Nasional. Pemberdayaan Petani
Miskin di Lahan Marginal Melalui Teknologi Tepat Guna. BPTP NTB.
Puslitbangsosek. Badan Litbang Pertanian.
Yohanes G. Bulu, Sasongko WR., Tanda S Panjaitan dan Sudarto. 2004. Persepsi Petani
Terhadap Kebutuhan Pakan Ternak pada Berbagai Status Fisiologis Ternak Sapi
Bali. Prosiding Seminar Nasional. Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marginal
Melalui Teknologi Tepat Guna. BPTP NTB. Puslitbangsosek. Badan Litbang
Pertanian.
Yumichad Yusdja dan Nyak Ilham. 2004. Tinjauan Kebijakan Pengembangan Agrbisnis
Sapi Potong. Buletin Analisis Kebjakan Pertanian. Puslibangsosek. Badan Litbang
Pertanian. Bogor.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 561
Seminar Nasional 2005

PENGARUH PENGGUNAAN LIMBAH KOPI TERFERMENTASI TERHADAP


PRODUKTIVITAS SUSU KAMBING

Suprio Guntoro dan I Made Rai Yasa


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
Jl. By Pass Ngurah Rai Pesanggaran, Denpasar. Bali
Telp. (0361) 720498

ABSTRAK

Penelitian tentang pengaruh penggunaan limbah kopi terfermentasi terhadap produktivitas susu
kambing telah dilaksanakan di Desa Bongancina, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng-Bali dari bulan
Januari sampai Desember 2003. Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan tiga perlakuan
ransum, dan masing-masing perlakuan menggunakan 10 ekor induk kambing Peranakan Etawah (PE) dengan
bobot badan rata-rata 34 kg sebagai ulangan. Perlakuan yang diberikan, yaitu: P1 untuk kelompok kambing
sebagai kontrol (diberikan pakan hijauan saja secara ad libitum), P2 yaitu seperti P1 diberikan pakan tambahan
berupa limbah kopi 100 gram/ekor/hari dan P3 yaitu seperti P2 dengan tambahan pakan berupa Enzim
Phylazim sebanyak 2,5 gram/ekor/hari. Parameter yang diamati meliputi : kandungan gizi limbah kopi,
produktivitas susu (ml/ekor/hari), dan lama laktasi. Data dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan
Duncan Multiple Range Test. Hasil penelitian menunjukkan, fermentor Aspergilus niger dapat meningkatkan
kadar protein limbah kopi dari 8,80 % menjadi 12,43 % dan menurunkan serat kasar dari 18,20 % menjadi 11,05
%. Kambing-kambing pada kelompok P3 memproduksi susu tertinggi, diikuti P2 dan P1 berturut-turut 906, 835
dan 181 ml/ekor/hari, mengalami masa laktasi berturut-turut 16, 14 , dan 10 minggu dan dengan pertumbuhan
anak berurut-turut : 78, 75 dan 59 gram/ekor/hari.
Kata kunci : Limbah kopi, produktivitas, susu, kambing Peranakan Etawah (PE).

PENDAHULUAN

Potensi alam untuk pengembangan kambing di Bali masih cukup besar, terutama
dikawasan sentra perkebunan dan lahan marginal. Di daerah Bali terdapat areal perkebunan
seluas 169.000 ha diantaranya terdiri dari perkebunan kopi (40.000 ha), cengkeh (26.000
ha), mete (15.000 ha) dan kakao (6.223 ha) (Anonimous, 2001). Pada kawasan perkebunan
tersebut petani memelihara kambing, dengan tujuan utama sebagai sumber pupuk, disamping
untuk mendapatkan produksi anak sebagai sumber tambahan pendapatan. Model integrasi
usahatani kambing dengan tanaman industri (kopi, kakao, cengkeh) di Bali sudah
berlangsung cukup lama, yaitu sejak digalakkannya pengembangan kambing PE pada tahun
1980. Namun pola integrasi yang ada masih tradisional, sehingga hasilnya belum optimal.
Meningkatnya produksi tanaman industri akan menghasilkan limbah yang lebih
banyak, dan dengan proses pengolahan, limbah kopi maupun kakao dapat dimanfaatkan
sebagai pakan penguat (Zaenuddin et al. 1995). Penggunaan limbah kopi yang telah
terfermentasi diharapkan akan dapat memacu produktivitas ternak (Kompiang, 2000) serta
mensubstitusi kebutuhan dedak yang selama ini telah banyak digunakan sebagai pakan
penguat, namun harus didatangkan dari luar lokasi dan harganya relatif mahal.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan gizi limbah kopi dan
pengaruhnya terhadap produksi susu, lama laktasi dan pertumbuhan anak kambing.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Desa Bongancina, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten


Buleleng-Bali dari bulan Januari sampai Desember 2003. penelitian disusun dalam
Rancangan Acak Kelompok dengan tiga perlakuan ransum, dan masing-masing perlakuan
menggunakan 10 ekor induk ekor induk kambing Peranakan Etawah (PE) dengan bobot
badan rata-rata 34 kg sebagai ulangan. Perlakuan yang diberikan, yaitu: P1 untuk kelompok
kambing sebagai kontrol (diberikan pakan hijauan saja secara ad libitum), P2 yaitu seperti P1

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 562
Seminar Nasional 2005

ditambah pemberian 100 gram/ekor/hari limbah kopi terfermentasi dan P3 yaitu diberikan
pakan seperti P2 ditambah enzim Phylazim sebanyak 2,5 gram/ekor/hari. Pemerahan susu
dilakukan sebanyak 2 kali sehari. Parameter yang diamati meliputi: kandungan gizi limbah
kopi, produktivitas susu kambing (ml/ekor/hari), lama laktasi, dan pertumbuhan anak
kambing. Data dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan Duncan Multiple
Range Test.
Limbah kopi yang diolah untuk pakan penguat kambing adalah bagian daging buah
kopi dan kulit biji yang diperoleh saat proses pembijian. Limbah kopi yang diteliti adalah
limbah kopi Robusta. Limbah kopi sebelum dipergunakan, difermentasi dengan Aspergilus
niger produksi BPTP Bali selama 2 – 3 hari selanjutnya dikeringkan kemudian digiling
hingga berbentuk tepung (Gambar 1 dan 2).

Gambar 1. Proses altivasi fermentor Aspergillus niger.


Pada penelitian ini juga sekaligus mencoba pengaruh Enzim Phylazim. Enzim ini
merupakan jenis Feed additive yang berfungsi sebagai katalisator. Enzim produksi BPTP
Bali ini mengandung phitase, enzim amilase, lipase dan protease. Peralatan yang
dipergunakan pada penelitian ini antara lain: alat aktivasi fermentor, mesin penggiling
daging buah kopi/cangkang kakao, timbangan, serta peralatan pendukung lainnya.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 563
Seminar Nasional 2005

Gambar 2. Proses fermentasi limbah kopi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Gizi Limbah Kopi


Pemeriksaan terhadap sampel limbah kopi dilakukan di Balai Penelitian Ternak,
Ciawi-Bogor. Hasil analisis proksimat menunjukkan, limbah kopi terfermentasi dengan
Aspergillus niger meningkatkan kandungan protein kasar dari 8,80% menjadi 12,43%,
menurunkan kandungan serat kasar dari 18,2% menjadi 11,05% (Tabel 1). Hasil analisis
tersebut menunjukkan bahwa fermentasi dengan Aspergillus niger dapat menjadikan limbah
tersebut sebagai bahan konsentrat. Hasil ini sesuai dengan laporan Kompiang (2000) dan
Guntoro, et al. (2002), bahwa proses fermentasi dengan Aspergillus niger dapat
meningkatkan kandungan gizi (protein dan energi) limbah dapat ditingkatkan sedangkan
kandungan serat kasar dapat ditekan secara nyata.
Tabel 1. Hasil Analisis Proksimat Limbah Kopi Robusta di Desa Bongancina dengan dan Tanpa Fermentasi
Aspergillus niger, 2003.

Kandungan Nutrisi
No Bahan
CP (%) CF (%) Fat (%) Ca P
1 Non - fermentasi 8,80 18,20 1,07 0,23 0,02
2 Fermentasi 12,43 11,05 1,05 0,34 0,07
Keterangan : - CP : crude protein (protein kasar)
- CF : crude fibre (serat kasar);
- Ca : kalsium; dan P : Phosfor.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 564
Seminar Nasional 2005

Produktivitas Susu Kambing


Kelompok kambing yang diberikan pakan tambahan berupa limbah kopi sebanyak
100 gram/ekor/hari dan 2,5 gram enzim philazim memproduksi susu tertinggi dengan lama
laktasi terpanjang serta pertumbuhan anak tertinggi, diikuti oleh P2 dan P1 (Tabel 2). Hasil
ini sesuai dengan laporan Sutama dan Budiarsana (1997) bahwa penambahan pakan penguat
akan dapat meningkatkan produktivitas susu pada masa laktasi,dan sebagai akibatnya bobot
sapih akan lebih tinggi dan induk kambing mampu memperoduksi susu lebih baik.
Tabel 2. Pengaruh Penggunaan Pakan dari Limbah Kopi Terfermentasi dan Enzim terhadap Produksi Susu,
Lama Laktasi dan Pertumbuhan Anak Kambing PE di Desa Bongancina, Bali, 2003.

No Parameter P1 P2 P3
1 Produksi susu (ml/hari) 181a 835b 906c
2 Lama laktasi (minggu) 10a 14b 16b
3 Pertumbuhan anak (gram/ekor/hari) 59a 75b 78b
Keterangan : ml : mili liter.
P1 : Kelompok kambing sebagai kontrol (diberikan hijauan saja).
P2 : Kelompok kambing seperti P1 diberi pakan tambahan konsentrat dari limbah kopi sebanyak 100 gram/
ekor/hari.
P3 : Kelompok kambing seperti P2 ditambah enzim Philazim 2,5 gram/ekor/hari.

KESIMPULAN DAN SARAN

1) Penggunaan fermentor Aspergillus niger dapat meningkatkan kandungan protein limbah


kopi dari 8,80% menjadi 12,43% dan menurunkan serat kasar dari 18,2% menjadi
11,05%.
2) Penggunaan limbah kopi terfermentasi sebanyak 100 gram/ekor/hari dikombinasi-kan
dengan pemberian enzim 2,5 gram/ekor/hari dapat meningkatkan produksi susu,
memperpanjang lama laktasi serta memberikan tingkat pertumbuhan anak tertinggi
dibandingkan dengan induk kambing yang hanya diberikan hijauan saja.

DAFTAR PUSTAKA

Anon. 2001. Laporan Tahunan.2000. Dinas Perkebunan Propinsi Bali-Denpasar.


Anonimous. 2002. Informasi Data Peternakan Propinsi Bali. Tahun 2000. Dinas Peternakan
Propinsi Bali- Denpasar.
Guntoro, S, M. Rai Yasa dan N. Sugama. 2002. Hasil Pengkajian Pemanfaatan Limbah
Perkebunan (Kakao dan kopi) untuk Pakan Ternak. Kerjasama BPTP Bali dengan
Bappeda Prop. Bali.
Kompiang, I.P. 2000. Peningkatan Mutu Bahan Baku Pakan. Makalah Seminar
Pengembangan Teknologi Pertanian Ramah Lingkungan. IP2TP Denpasar.
Denpasar : 8-9 Maret 2000.
Sutama, I. K. dan Budi Arsana . 1997. Kambing Peranakan Ettawah, Penghasil Susu Sebagai
Sumber Pertumbuhan Baru – Sub Sektor Peternakan di Indonesia. Makalah
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan- Badan Litbang
Pertanian. Bogor.
Zaenuddin D, Kompiang, I P dan Hamid H. 1995. Pemanfaatan Limbah Kopi dalam
Ransum Ayam. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian APBN. TA 94/95. Balai
Penelitian Ternak – Ciawi, Bogor.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 565
Seminar Nasional 2005

STATUS PAKAN DAN PERSEPSI PETANI DALAM PEMBERIAN PAKAN


TERNAK KAMBING LOKAL DI LAHAN KERING DESA SAMBELIA

Sasongko WR dan Yohanes G. Bulu


Balai pengkajian Teknologi Pertanian NTB

ABSTRAK

Kemampuan produksi ternak kambing dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan.
Perubahan performan berdasarkan faktor genetis sifatnya tetap sedang pada faktor lingkungan adalah pada
manajemen salah satunya pengelolaan pakannya. Permasalahan yang dihadapi oleh petani-peternak di lahan
kering adalah keterbatasan pakan di musim kemarau baik kualitas maupun kuantitasnya. Keragaman bahan baku
pakan lokal yang tersedia memberikan alternatif pilihan untuk dimanfaatkan secara efisien. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui kualitas dan kuantitas pakan dan persepsi petani terhadap pakan yang diberikan pada
ternak kambing lokal yang dipelihara di lahan kering. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2004 di desa
Sambelia, Kabupaten Lombok Timur. Pengamatan dilakukan pada 15 petani kooperator dan 15 non kooperator.
Data dikumpulkan dengan teknik wawancara terstruktur serta analisa kandungan nutrisi hijauan pakan ternak.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan statistik sederhana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas
dan kuantitas pakan yang diberikan pada ternaknya tergantung pada ketersediaan dan sistem usahatani yang
dilakukannya. Ternak dikandangkan oleh petani kooperator 70,8% dan non kooperator 57%. Konsekuensinya
pakan disediakan setiap hari yang diperoleh dengan sistem cut and carry. Pada musim hujan komposisi rumput
dalam ransum bisa mencapai 100% sedangkan pada musim kemarau berkisar 50-80% selain itu berupa legum
seperti turi dan lamtoro 20-50%. Jerami kacang tanah dan biomas tanaman jagung merupakan pakan alternatif,
95,8% petani kooperator menyatakan menggunakannya dan 52% petani non kooperator menyatakan bahwa pakan
diberikan berdasarkan kualitasnya; yang tujuannya untuk meningkatkan produksi, mempertimbangkan status
reproduksi (induk bunting atau induk menyusui). Kemampuan reproduksi terlihat dari calving interval rata-rata 6
bulan (kooperator) dan 8 bulan (non kooperator); dengan jumlah sekelahiran rata-rata 1,6 anak. Kesimpulan
sementara dinyatakan bahwa dengan status pakan yang diberikan terhadap ternaknya relatif cukup memenuhi
kebutuhan didukung pada persepsi petani dalam memberikan pakan pada ternaknya menunjukkan bahwa
pengembangan usaha ternak kambing dalam sistem usahatani di lahan kering desa Sambelia memungkinkan
untuk dilaksanakan.
Kata kunci: Status pakan, kambing dan lahan kering.

PENDAHULUAN

Populasi kambing di NTB cukup tinggi yaitu 239.225 ekor yang menyebar di
seluruh wilayah terutama di lahan kering. Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu
kabupaten yang memiliki populasi terbanyak yaitu 45.747 ekor atau sekitar 20% dari seluruh
populasi (Dinas Peternakan NTB; BPS, 2002). Lahan marginal mencapai 1,7 juta hektar
sekitar 9,1% berada di wilayah kabupaten Lombok Timur.
Kambing merupakan komoditas yang cukup populer di kalangan masyarakat petani
yang sebagian merupakan salah satu komponen sistem usahatani di lahan kering. Dipelihara
dengan pola semi intensif atau ekstensif yang merupakan usaha sampingan atau bahkan
sebagai tabungan hidup. Oleh Sibanda et al., (1999) yang disitasi oleh Dahlanuddin, (2001)
dikatakan bahwa sebagian besar populasi kambing dimiliki oleh peternak tradisional dengan
usaha kecil. Hasil survei yang dilaksanakan oleh UNRAM bahwa di Pulau Lombok
(Dahlanuddin, 2001) menunjukkan bahwa pemilikan ternak kambing sangat kecil, yaitu 4 –
5 ekor ternak per rumah tangga.
Rendahnya kepemilikan dan produktivitas ternak kambing kemungkinan besar
disebabkan oleh keterbatasan modal peternak dan kemampuan untuk menyediakan sarana
produksi. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian besar peternak masih beranggapan
bahwa memelihara ternak kambing merupakan pekerjaan sambilan. Akibatnya investasi
dalam bentuk waktu, tenaga kerja dan modal yang dialokasikan untuk pemeliharaan kambing
sangat kecil dibandingkan dengan investasi pada usaha lain seperti tanaman pangan
(Dahlanuddin, et. al., 2002). Ternak kambing mempunyai peluang yang besar terhadap
peningkatan pendapatan petani lahan kering melalui perbaikan atau penerapan teknologi

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 566
Seminar Nasional 2005

alternatif (hasil rekayasa) sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas
kambing.
Kemampuan produksi ternak kambing dipengaruhi pada faktor genetis dan faktor
lingkungan. Perubahan performan yang dilakukan melalui upaya penyesuaian kondisi
lingkungan salah satunya adalah perbaikan nutrisi dan pengelolaan pakannya. Keragaman
bahan baku pakan lokal yang tersedia memberikan alternatif pilihan bagi petani-peternak
untuk dimanfaatkan secara efisien.
Menurut Panjaitan dan Tiro, (1996), bahwa ternak kambing merupakan ternak
ruminansia kecil yang mampu beradaptasi dengan baik pada wilayah lahan kering karena
dapat memanfaatkan berbagai sumber tanaman sebagai sumber pakan. Selanjutnya
menurut Djafar, (2004) menyatakan ternak kambing sudah lama diketahui sebagai ternak
yang diusahakan oleh petani miskin oleh karena cocok dipelihara di daerah kering dengan
kualitas tanah yang sangat marginal. Ternak lokal yang telah beradaptasi baik dengan
lingkungan alam dan iklim Indonesia perlu terus dikembangkan menjadi ternak andalan yang
akan memberikan manfaat yang besar bagi peternak kita.

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui kualitas dan kuantitas pakan dan persepsi petani terhadap yang
diberikan pada ternak kambing lokal yang dipelihara di lahan kering.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada tahun 2004 di desa Sambelia, Kabupaten Lombok


Timur. Pemberdayaan petani melalui pengembangan kelembagaan kelompok tani yang
berbasis usaha ternak kambing. Pengamatan dilakukan terhadap 15 petani kooperator yang
tergabung dalam 3 Kelompok Tani (Kelompok “Pade Angen”, Kelompok “Kasih Sayang”
dan Kelompok Kesambiq”) masing-masing beranggotakan 5 orang dan 15 petani non
kooperator yang tinggal di sekitarnya. Pengumpulan data melalui wawancara terstruktur
dan pengamatan terhadap manajemen pakan dan pengambilan contoh pakan. Data yang
diperoleh dianalisa secara kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan statistik sederhana.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Pemeliharaan Kambing


Pemeliharaan ternak dilakukan dengan sistem semi intesif-tradisonal, yaitu
kombinasi antara dikandangkan dan diikat pindah atau digembalakan saat musim kemarau.
Penerapan sistem ekstensif murni sudah jarang dijumpai di desa Sambelia, karena adanya
pertimbangan faktor keamanan dan terjadinya penyusutan luasan padang penggembalaan.
Sistem pemeliharaan ternak secara tradisonal merupakan indikasi rendahnya tingkat investasi
dan penerapan teknologi. Tujuan pemeliharaan umumnya sebagi usaha sampingan berfungsi
sebagai pemenuhan kebutuhan mendesak, penyangga resiko kegagalan panen dan
peningkatan penggunaan tenaga kerja keluarga di samping melengkapi kegiatan pertanian
lain dengan tingkat produksi rendah (Sabrani dan Levin, 1993 dalam Didik et al., 1998).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 567
Seminar Nasional 2005

80

Pe r s e n tas e (%)
70
60
50
40
30
20
10
0

n
n

ah

n
ka
ka

ra
nd

la
ng

pu
K o o p e r a to r

pi

ba
da

am
at

em
an

iik
No n K o o p e r a to r

C
ig
ik

D
D

S is t e m p e m e lih a r a a n k a m b in g

Gambar 1. Sistem pemeliharaan Ternak kambing oleh petani di Lahan Kering

Grafik (Gambar 1) menunjukkan bahwa sistem pemeliharaan dengan cara


dikandangkan relatif banyak dilakukan oleh petani kooperator (70,8%). Sedangkan sistem
pemeliharaan dengan cara digembalakan, diikat pindah dan campuran lebih sedikit masing-
masing 4,2%, 0,0% dan 25%. Sistem pemeliharaan campuran adalah kombinasi antara
dikandangkan, diikat pindah, dan digembalakan. Hal ini berkaitan dengan musim, luas
kepemilikan lahan dan kontribusi tenaga keluarga. Pada musim hujan lahan dimanfaatkan
sepenuhnya untuk usaha pertanian, sehingga ternak tidak dapat digembalakan atau diikat
pindah karena akan merusak tanaman. Ternak dikandangkan dan diberikan pakan yang
cukup, karena saat musim hujan pakan melimpah terutama berupa rumput alam.

Karakteristik Kambing yang Dipelihara Petani


Jenis kambing yang diusahakan umumnya kambing lokal, yang berasal dari wilayah
setempat. Petani memiliki jenis kambing ini dengan pertimbangan daya adaptasinya lebih
baik, sebab bila kambing dari luar wilayah dikhawatirkan membawa penyakit dan tidak
mampu beradaptasi dengan lingkungan. Yang dimaksud kambing lokal di sini memang
masih rancu, namun jika dilihat dari karakteristiknya atau penampilan fisiknya kambing-
kambing tersebut merupakan hasil persilangan antara kambing Kacang dan kambing
Peranakan Etawah (PE). Berat badan rata-rata 24,74 kg dengan tinggi 66,2 cm serta
panjang badan 45,4 cm.

Pakan dan Pengelolaannya


Pemberian pakan hijauan pada ternak kambing yang sesuai dengan kualitas dan
kuantitas pakan yang tersedia akan mendorong pertumbuhan ternak kambing. Jenis pakan
yang diberikan terutama pada musim hujan dominan rumput alam (50%) dan pada musim
kemarau (54,70%).
Jerami tanaman justru lebih tinggi penggunaan pada musim hujan (25%) dari pada
musim kemarau (8,20%). Jerami yang dimaksud adalah jerami kacang tanah (Grafik 2).
Pada lahan kering hanya bisa ditanami sekali dalam satu tahun, jenis tanaman antara lain
jagung, kacang tanah dan padi gogo. Pada saat akhir musim hujan pada umumnya
merupakan waktu panen sehingga jenis pakan berupa jerami melimpah. Lahan persawahan
dapat ditanami 3 kali setahun yang didominasi oleh tanaman padi. Rumput cukup banyak
tumbuh di sekitar lahan persawahan, sehingga pada musim kemarau lahan sawah merupakan
sumber hijauan berupa rumput.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 568
Seminar Nasional 2005

60%
50% 54,7% 50%
50%
40%
30% 25%
20% 15% 19% 13,3%
8,2%
10% 4% 6%
0%
Rumput Turi Gamal Daun- Jerami
Alam daunan Tanaman

Persentase pemberian pakan hijauan pada MH


Perserntase pemberian pakan hijauan pada MK
Gambar 2. Grafik persentase pemberian pemberian pakan kambing pada MH dan MK

Pemanfaatan Gamal sebagai pakan ternak memang masih belum familiar, sehingga
petani jarang yang memberikan gamal untuk ternaknya. Daun-daunan meningkat
pemberiannya pada saat musim kemarau (13,30%) dibanding musim hujan (6%). Pada saat
rumput berkurang maka pakan alternatif yang diberikan petani adalah daun-daunan seperti :
daun nangka, daun kayu banten atau daun mangga.
Rumput alam dan legum seperti turi dan lamtoro merupakan jenis pakan yang
tersedia sebagai pakan ternak kambing di Sambelia. Hijauan pakan seperti rumput terdapat
pada daerah persawahan sedangkan legume terdapat di sekitar lahan pertanian yang
berfungsi sebagai pagar atau yang ditanam khusus sebagai sumber HMT. Menurut Simon
P. Ginting, (2004), menyatakan bahwa pakan lokal adalah setiap bahan baku yang
merupakan sumberdaya lokal yang berpotensi dimanfaatkan sebagai pakan secara efisien
oleh ternak kambing baik sebagai suplemen, konsentrat maupun sebagai pakan dasar.
Selanjutnya dikatakan bahwa keragaman bahan baku pakan ternak yang tinggi menawarkan
fleksibilitas yang tinggi bagi peternak juga menawarkan kompleksitas bagi nutrisionis agar
dapat dimanfaatkan secara efisien.
Tabel 1. Kandungan Nutrisi Hijauan Pakan Ternak Yang Berasal Dari Sambelia.

Kandungan Nutrisi
No. Jenis Hijauan
Protein Kasar (%) Serat Kasar (%) Kalori kal/gr
1. Lamtoro 20,08 17,86 4.362,42
2. Turi 19,97 14,00 4.718,56
3. Rumput 13,77 20,60 3.751,95
Sumber : Data primer diolah. Sampel diambil pada bulan Oktober 2004.

Pada Tabel 1. dapat dilihat bahwa pada saat musim kemarau beberapa jenis hijauan
yang dominan diberikan untuk pakan kambing memiliki kandungan nutrisi yang cukup
baik. Pemberian pakan dilakukan dua kali pada siang hari, sedangkan pada malam hari
ternak tidak diberi pakan. Komposisi rumput dan legum yang diberikan petani sangat
beragam tergantung pada ketersediaan hijauan serta kemampuan petani dalam memilih atau
memperoleh hijauan.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 569
Seminar Nasional 2005

Tabel 2. Jenis Hijauan Yang Diberikan Pada Kambing Pada Musim Hujan dan Musim Kemarau

Kooperator (%) Non Kooperator (%)


Uraian n Tidak n Tidak
Diberikan Diberikan
diberikan diberikan
Musim Hujan
Rumput 15 100 0 15 60 40
Turi 15 0 100 15 80 20
Lamtoro 15 65,2 34,6 15 41,7 58,3
Jerami padi 15 0 100 15 8,3 91,7
Jerami kacang tanah 15 7,7 92,3 15 28 72
Musim Kemarau
Rumput 15 100 0 15 60 40
Turi 15 100 0 15 52 48
Lamtoro 15 65,4 34,6 15 48 52
Jerami padi 15 3,8 96,2 15 20 80
Jerami kacang tanah 15 57,7 42,3 15 52 48
Data primer yang diolah 2004.

Pada Tabel 2. dapat dilihat bahwa petani kooperator menjadikan rumput sebagai
pakan uatama yang diprioritaskan pemberiannya di musim hujan dan musim kemarau. Pada
musim kemarau jenis pakan selain rumput yang mendominasi adalah turi dan jerami kacang
tanah. Karena pada saat awal musim kemarau sebagian besar petani tengah memanen
tanaman kacang tanah, sehingga saat itu jerami kacang tanah cukup melimpah.
Keragaman jenis bahan pakan dengan tingkat komposisi kimiawi yang fluktuatif
mengindikasikan bahwa sistim pakan yang lebih sesuai adalah pendekatan feed budget yang
bertujuan untuk memaksimalkan penggunaan bahan pakan, terlepas apakah kebutuhan
standar nutrisi ternak terpenuhi atau tidak (feeding Standard), (Simon P. Ginting, 2004)
Tabel 3. Kandungan Nutrisi Ransum Ternak Kambing Yang Diberikan Oleh Petani Kooperator.

Ransum ternak Kandungan Nutrisi


No. kambing yg ada di Protein Serat Kasar Kalori Keterangan
kandang Kasar (%) (%) kal/gr
1. Sampel 1 14,21 20,26 4.029,67 75% rumput & 25% legum
2. Sampel 2 17,95 25,01 4.693,02 50% rumput & 50% legum
3. Sampel 3 12,87 23,73 3.225,79 75% rumput & 25% legum
4. Sampel 4 14,78 24,65 2.466,99 75% rumput & 25% legum
5. Sampel 5 21,42 12,38 4.803.,08 100% legum
Sumber: Data primer diolah

Pada Tabel 3. contoh ransum ternak kambing yang diambil dari tempat-tempat
pakan di beberapa kandang, umumnya berupa campuran beberapa jenis hijauan yang
komposisinya terdiri dari rumput alam, legum merambat, jenis semak-semak dan legum
pohon seperti turi dan lamtoro. Namun secara garis besarnya hijauan pakan ternak
ruminansia dikategorikan dalam dua jenis yaitu rumput dan legum. Rumput alam memiliki
komposisi yang lebih tinggi antara 60-80% bahkan mencapai 100%. Makin besar komposisi
rumput dalam ransum maka semakin kecil kandungan proteinnya; demikian sebaliknya
semakin besar komposisi legum dalam ransum maka semakin tinggi proteinnya dan makin
rendah serat kasarnya.
Berdasarkan pola pemberian pakan, kualitas pakan yang diberikan cukup seperti
tercantum pada pada Tabel 3. Dilihat dari komposisi ransumnya, merupakan indikasi
bahwa kandungan nutrisi ransum yang diberikan cukup memenuhi syarat kelayakan sebagai
pakan ternak ruminansia kecil seperti kambing. Yang menjadi pertanyaan sekarang bahwa
apakah dari segi kuantitas sudah cukup tersedia. Pada Tabel berikut ini dapat dilihat sumber
hijauan pakan ternak :

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 570
Seminar Nasional 2005

Tabel 4. Sumber Hijauan Pakan Ternak

Lahan
Uraian
Sendiri (%) Orang lain (%) Umum (%)
Musim Hujan
Rumput Alam 12,5 66,7 20,8
Turi 76,7 19 4,3
Lamtoro 34,75 47,2 18,05
Musim Kemarau
Rumput Alam 19,6 65,5 14,9
Turi 67,3 28,85 3,85
Lamtoro 23,3 57,2 19,45
Data Primer yang diolah tahun 2004.

Tabel 4. menunjukkan bahwa rumput alam diperoleh sebagian besar berasal dari
lahan orang lain, terutama lahan persawahan yang terdapat di desa Sambelia. Lahan
pertanian yang berupa sawah milik peternak luasannya relatif kecil rata-rata dibawah 0,25
ha. Walaupun relatif tidak luas tapi dapat ditanami padi 3 kali setahun karena airnya
tersedia. Sebaliknya tanaman turi sebagian besar diperoleh dari lahan milik sendiri, baik dari
lahan pertanian maupun dari lahan pekarangannya. Turi dan legum lainnya ditanam sebagai
pagar di lahan pertanian.
Telah ada upaya penanaman hijauan pakan ternak, dengan mempertimbangkan
kontinuitas usaha ternak. Petani kooperator yang telah memiliki pengetahuan tentang
manajemen pakan, terutama untuk mengantisipasi kekurangan hijauan segar pada saat
musim kemarau; mereka sudah mulai menanam hijauan pakan ternak. Petani non kooperator
belum banyak yang mengadopsi penanaman hijauan pakan ternak namun mereka
mengharapkan pemanfaatan jerami sebagai sumber pakan ternaknya.
Tabel 5. Upaya penyediaan pakan ternak yang mencukupi

Kooperator (%) Non Kooperator (%)


Uraian
Ya Tidak Ya Tidak
Menanam HMT 88,5 11,5 37,5 62,5
Pemanfaatan jerami 57,7 42,3 80 20
Data primer yang diolah 2004.

Petani kooperator sebagian besar telah mampu menentukan pilihan pada hijauan
yang akan diberikan pada ternaknya berdasarkan kualitasnya. Semula hal itu hanya sekedar
pengetahuan yang berasal dari pengalamannya. Dengan seringnya mendengarkan berbagai
penjelasan mengenai manajemen pakan sehingga petani sudah mulai memahami bagaimana
seharusnya dalam memberikan pakan pada ternaknya. Disamping itu berkaitan dengan
sumberdaya manusianya dimana rata-rata tingkat pendidikan yang rendah. Bisa jadi
pemilihan pakan berdasarkan nalurinya.
Tabel 6. Persepsi petani dalam memberikan pakan pada ternak kambing.

Kooperator (%) Non Kooperator (%)


Uraian n n
Tidak Ya Tidak Ya
Pemberian pakan berdasarkan kandungan 15 4,2 95,8 15 48 52
nilai gizinya
Memberikan pakan sesuai tujuan produksi 15 33,3 66,7 15 64 36
Induk bunting diberikan pakan yang 15 16,7 83,3 15 60 40
berkualitas baik
Induk melahirkan anak diberikan pakan 15 0 100 15 60 40
berkualitas baik
Data primer yang diolah 2004.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 571
Seminar Nasional 2005

Petani non kooperator yang relatif belum banyak mengetahui tentang teknologi
pemeliharaan ternak kambing dapat dibanding persepsi mereka terhadap manajemen pakan
yang dilakukan dalam memelihara ternaknya.

Produktivitas
Tatalaksana pemberian pakan pada kambing akan menentukan tingkat
produktivitasnya. Oleh karena itu penyediaan pakan ternak harus pula memperhatikan
kualitas, disamping kuantitasnya sedangkan yang dimaksud kualitasnya adalah kandungan
gizi yang terdapat di dalam bahan pakan tersebut (Anonim, 1989 yang disitasi oleh Isbandi,
2002).
Produktivitas pada ternak kambing digambarkan oleh jumlah anak sekelahiran dan
total bobot sapih/induk/kelahiran. Produktivitas kambing yang produknya adalah berupa
daging, kriteria tersebut merupakan hal yang terpenting, tanpa mengabaikan sifat-sifat
lainnya, misalnya komposisi karkas (Subandriyo, 2004).
Dengan pengelolaan yang semestinya potensi produksi yang meningkat dari
kambing cukup tinggi. Kebanyakan akan bergantung apakah nilainya sebagai hewan
piaraan, dan belum mempertimbangkan keekonomisannya. Menyertai sifat-sifat ini adalah
kesuburan reproduksi yang tinggi dan interval waktu generasi yang pendek, yang berarti
bahwa dapat berproduksi 5 bulan setelah perkawinan pertama dan bahwa anak pertama
mungkin terjual dalam waktu kurang dari 1 tahun. Rata-rata kemampuan kambing induk
melahirkan 1,6 ekor. Tingkat produktivitas kambing mencapai 60,87%. Sedangkan rata-rata
tingkat kematian anak sejak lahir hingga umur 1 (satu) bulan mencapai 15%.

KESIMPULAN

Kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan pada ternaknya sangat dipengaruhi
oleh persepsi petani dalam menyediakan dan memberikan pakan. Sumberdaya alam yang
ada cukup mendukung dalam penyediaan hijauan pakan ternak, dimana rumput dan legum
tersedia sepanjang tahun. Pengembangan usaha ternak kambing dalam sistem usahatani
memungkinkan untuk dilaksanakan terutama dalam menunjang pendapatan bagi petani.

Saran-saran
Untuk meningkatkan produksi dan populasi ternak kambing yang dapat menjamin
peningkatan produktivitas ternak kambing secara kontinue maka masih perlu dukungan
teknologi.
Pemberdayaan kelembagaan produksi kambing masih perlu ditingkatkan untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dalam sistem dan usaha agribisnis
ternak kambing.
Pemeliharaan kambing yang dapat dilakukan secara terpadu dalam sistem usahatani
sebagai suatu sistem produksi dimana antara pemeliharaan kambing, pengembangan
pakan hijauan, usahatani tanaman pangan dan pemanfaatan limbah pertanian serta
pengelolaan kotoran ternak menjadi kompos yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk
organik untuk tanaman pangan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Timur., 2002. Lombok Timur Dalam Angka
Tahun 2002, Selong.
Badan Pusat Statistik Propinsi NTB., 2002. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka Tahun 2002,
Mataram.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 572
Seminar Nasional 2005

Badan Pusat Statistik Propinsi NTB., 2003. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka Tahun 2003,
Mataram.
Djafar Makka, 2004. Tantangan dan Peluang Pengembangan Agribisnis Kambing Ditinjau
dari Aspek Pewilayahan Sentra Produksi Ternak. Prosiding Lokakarya Nasional
Kambing Potong. Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Isbandi, Muchi Martawidjaja, Bambang Setiadi dan Achmad Saleh. 2002. Studi
Ketersediaan Pakan Kambing pada Agroekosistem yang Berbeda. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak. Badan
Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.
Simon P. Ginting. 2004. Tantangan dan Peluang Pemanfaatan Pakan Lokal untuk
Pengembangan Peternakan Kambing di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional
Kambing Potong. Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Subandriyo. 2004. Strategi Pemanfaatan Plasma Nutfah Kambing Lokal dan Peningkatan
Mutu Genetik Kambing di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Kambing
Potong. Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Yohanes G. Bulu, Sasongko WR, Ketut Puspadi, Nurul Agustini, Wildan Arief dan Sri
Hastuti. 2004. Sistem Usahatani Ternak Kambing pada Lahan Kering di
Kabupaten Lombok Timur. Laporan Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Nusa Tenggara Barat.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 573
Seminar Nasional 2005

MODEL KELEMBAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK KAMBING PADA


LAHAN KERING DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR

Yohanes G. Bulu, Sasongko WR dan Ketut Puspadi


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat

ABSTRAK

Nusa Tenggara Barat memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan ternak kambing pada
pertanian lahan kering, serta mempunyai peluang yang besar terhadap tumbuh kembangnya kegiatan usaha
agribisnis di pedesaan. Lahan kering menyimpan berbagai potensi yang cukup besar apabila dikelola dengan baik.
Populasi kambing di NTB pada tahun 2003 mencapai 282.500 ekor, sedangkan di Kabupaten Lombok Timur
tercatat 48.168 ekor. Namun demikian selama tujuh tahun terakhir ini (1997 – 2003) populasi kambing di NTB
mengalami penurunan sebesar 21,4%, sedangkan di Kabupaten Lombok Timur mengalami penurunan cukup
tinggi yaitu sebesar 87,5%. Sebagian besar petani pada wilayah pertanian lahan kering adalah berpenghasilan
rendah dan berpendidikan rendah, sehingga banyak permasalahan-permasalahan yang tidak dapat dipecahkan
secara individu; yang hanya dapat dipecahkan melalui lembaga. Pengkajian ini bertujuan menganalisis model
kelembagaan pengembangan ternak kambing melalui inovasi teknologi pada pertanian lahan kering, yang sesuai
dengan kondisi lingkungan alam, ekonomi, kelembagaan dan sosial budaya masyarakat setempat. Pengkajian ini
dilakukan tahun 2004 pada 7 (tujuh) kelompok tani pembibitan kambing di Desa Sambelia Kabupaten Lombok
Timur. Pendekatan dalam pengkajian adalah pemberdayaan kelembagaan pengembangan ternak kambing
dilakukan secara menyeluruh, partisipatif dan integratif (holistic-participative-integrative approach, HPIA)
dengan menganalisis rumah tangga tani dan hubungan sinergis antara kelembagaan pengembangan ternak
kambing dan sumber teknologi, kelembagaan perantara dan pasar sebagai suatu sistem. Teknik pengumpulan data
adalah melalui diskusi, wawancara dan observasi partisipatif. Data yang dikumpulkan dianalisis secara diskriptif.
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa model kelembagaan pengembangan ternak kambing di lahan kering adalah
kelembagaan produksi ternak kambing yang meliputi kelembagaan pembibitan dan penggemukan yang
disesuaikan dengan kondisi sumberdaya lokal (sosial ekonomi, sosial kelembagaan dan budaya), agroekosistem
dan ketersediaan bahan lokal. Antara pembibitan dan penggemukan Kegiatan penggemukan kambing tidak dapat
dipisahkan dengan kelembagaan pembibitan sehingga merupakan satu kesatuan dalam kegiatan produksi ternak
kambing. Kelembagaan produksi ternak kambing harus didukung oleh ketersediaan teknologi dari sumber
teknologi, dukungan pemberdayaan kelembagaan dari Dinas dan PPL setempat.
Kata Kunci: kelembagaan, ternak kambing, teknologi dan lahan kering.

PENDAHULUAN

Kambing merupakan komoditas yang cukup populer di kalangan masyarakat petani


yang sebagian merupakan salah satu komponen sistem usahatani di lahan kering. Dipelihara
dengan pola semi intensif atau ekstensif yang merupakan usaha sampingan atau bahkan
sebagai tabungan hidup. Kambing merupakan ternak yang efisien dalam memanfaatkan
lahan marginal (Sharma et al., 1992). Di samping itu kambing cepat berkembangbiak dengan
kemampuan beranak (litter size) 2-3 ekor dengan frekuensi melahirkan dua kali setahun
(PAAT et al., 1993). Jenis kambing yang dipelihara sebagian besar kambing lokal (kacang)
dengan rata-rata pemilikan ternak kambing di Pulau Lombok rata-rata 4,4 ekor per peternak
(Dahlanuddin, 2001). Kambing lokal (kacang) memiliki kemampuan beradaptasi lebih baik
terhadap kondisi lingkungan dengan ketersediaan pakan relatif terbatas dibandingkan dengan
kambing Peranakan Etawah, tetapi performans produksinya relatif lebih rendah. Industri
ruminansia kecil di Indonesia bahwa didominasi oleh usaha sambilan skala kecil yang
bertumpu pada tenaga kerja keluarga dan input modal yang kecil. Sebagai jalan keluarnya
untuk meningkatkan industri ini sangat kompleks dan banyaknya faktor yang menyelimuti
pola usaha yang dianut (Djajanegara, 1991).
Tingkat produktivitas ternak kambing dan usahatani lahan kering di NTB tergolong
rendah yang disebabkan oleh berbagai aspek, baik aspek kondisi fisik lingkungan alam,
penggunaan teknologi yang masih rendah, ekonomi, kelembagaan dan sosial budaya.
Rendahnya kepemilikan dan produktivitas ternak kambing kemungkinan besar disebabkan
oleh keterbatasan modal peternak dan kemampuan untuk menyediakan sarana produksi.
Akibatnya investasi dalam bentuk waktu, tenaga kerja dan modal yang dialokasikan untuk

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 574
Seminar Nasional 2005

pemeliharaan kambing sangat kecil dibandingkan dengan investasi pada usaha lain seperti
tanaman pangan (Dahlanuddin, et. al., 2002). Menurut Pasandaran et al (1993), bahwa
sumber daya manusia yang berada di wilayah lahan kering berasal dari rumah tangga
berpengahasilan rendah dan juga berpendidikan rendah. Hal ini menyebabkan rendahnya
tingkat adopsi teknologi pada pertanian lahan kering.
Populasi kambing di NTB cukup tinggi yaitu 282.500 ekor pada tahun 2003 yang
menyebar di seluruh wilayah terutama di lahan kering. Populasi kambing di Kabupaten
Lombok Timur pada tahun 2003 (48.168 ekor) dan tahun 2004 meningkat menjadi 54,385
ekor (BPS, 2003; BPS, 2004). Populasi ternak kambing di NTB umumnya dipelihara pada
wilayah lahan kering (Bappeda, 2002). Oleh karena itu ternak kambing mempunyai peluang
yang besar terhadap peningkatan pendapatan petani lahan kering melalui perbaikan atau
penerapan teknologi alternatif (hasil rekayasa) sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
produktivitas kambing.
Masalah-masalah yang dihadapi dalam pengembangan ternak kambing adalah
rendahnya produktivitas dan terbatasnya modal bagi para petani. Peningkatan produktivitas
dapat dilakukan dengan perbaikan manajemen pemeliharaan seperti pemberian pakan,
perkandangan, sistem perkawinan dan kontrol terhadap penyakit, sedangkan upaya
pemecahan masalah kelangkaan modal usahatani dapat dilakukan dengan cara pemberdayaan
lembaga keuangan yang ditumbuhkan secara partisipatif oleh masyarakat pedesaan.
Pengembangan wilayah pertanian lahan kering di NTB dapat berkelanjutan apabila
ada penghargaan terhadap empat jenis sumberdaya utama, yaitu sumberdaya
alam/lingkungan, sumberdaya buatan/ekonomi (termasuk didalamnya teknologi dan
permodalan), sumberdaya kependudukan, dan sumberdaya sosial kelembagaan. Salah satu
masalah utama dalam pengembangan ternak kambing adalah kurang berfungsinya
kelembagaan tani maupun lembaga-lembaga pendukung pertanian lainnya dalam program
pembangunan pertanian. Pengkajian ini bertujuan menganalisis model kelembagaan
pengembangan ternak kambing melalui inovasi teknologi pada pertanian lahan kering, yang
sesuai dengan kondisi lingkungan alam, ekonomi, kelembagaan dan sosial budaya
masyarakat setempat.

METODOLOGI PENELITIAN

Pengkajian ini dilaksanakan di Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia, Kabupaten


Lombok Timur dari tahun 2003 – 2004. Pendekatan yang digunakan dalam pelaksanaan
pengkajian adalah pemberdayaan kelembagaan pengembangan ternak kambing dilakukan
secara menyeluruh, partisipatif dan integratif (holistic-participative-integrative approach,
HPIA) dengan menganalisis rumah tangga tani dan hubungan sinergis antara kelembagaan
pengembangan ternak kambing dan sumber teknologi, kelembagaan perantara dan pasar
sebagai suatu sistem (Badan Litbang Pertanian, 2003). Pengumpulan data dilakukan melalui
pengamatan, diskusi kelompok secara partisipatif, musyawara dan wawancara secara
individu. Untuk mencapai tujuan pengkajian, maka data yang dikumpulkan dianalisis secara
deskriptif kualitatif meliputi narasi, skala ordinal, katergorisasi, tabel profil atau
menggunakan statistik deskriptif sederhana. Data kuantitatif dianalisis menggunakan metode
analisis deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Kelembagaan Pertanian


Kelembagaan yang ada dipedesaan memiliki dinamika yang relatif statis terutama
pada beberapa lembaga pendudukung pertanian seperti kelembagaan tani (kelompok tani),
lembaga perantara inovasi teknologi (PPL, BPP, POSKESWAN), lembaga saprodi, lembaga
pemasaran dan lembaga finansial baik formal maupun non formal. Lembaga-lembaga

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 575
Seminar Nasional 2005

tersebut sebelum dilakukan pengkajian melalui pemberdayaan kelembagaan dalam produksi


ternak kambing belum berfungsi secara baik.
Pembentukan kelompok tani yang dilakukan selama ini dominan diwarnai oleh
anjuran petugas (72%) dan divasilitasi oleh petugas (PPL) (16%). Pembentukan kelompok
tani yang berdasarkan inisiatif masyarakat hanya 12%. Kondisi tersebut menunjukkan
bahwa kelembagaan tani (kelompok tani) belum dimanfaatkan petani sebagai kebutuhan
utama yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam berusahatani/berternak.
Lembaga sarana produksi relatif kurang tersedia di desa seperti kios yang menjual obat-
obatan ternak. Lembaga pemasaran relatif tersedia di desa seperti pedagang ternak dan pasar
umum sebagai tempat menjual ternak yang telah terjadwal tetap.

Model Kelembagaan Pengembangan Ternak Kambing


Secara umum usaha pemeliharaan ternak kambing yang dilakukan oleh petani di
Desa Sambelia adalah usaha pembibitan kambing (75%) dan masih bersifat sampingan
(62,5%). Pola usaha seperti ini petani tidak lagi memikirkan peningkatan populasi dan
peningkatan pendapatan usaha ternak serta keberlanjutan usaha.
Pemberdayaan petani melalui kegiatan sistem usahatani ternak kambing di lahan
kering yang meliputi pemberdayaan teknologi, kelembagaan, dukungan permodalan melalui
perguliran ternak kambing, pemanfaatan sumberdaya lokal (bahan hijauan pakan, bahan
kandang, dan ternak kambing jenis lokal) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
produktivitas (60,87%) dan peningkatan populasi kambing (75,9%). Penerapan teknologi,
pemanfaatan sumberdaya lokal dan pemberdayaan kelembagaan serta pemberdayaan
permodalan melalui sistem perguliran dalam usaha pemeliharaan kambing mempunyai
hubungan dengan peningkatan reproduksi ternak yang berdampak pada peningkatan
produksi dan pertambahan populasi.
Model kelembagaan pengembangan ternak kambing di lahan kering yang dibangun
dalam pengkajian sistem usahatani adalah membangun kerjasama antara lembaga produksi
dengan lembaga-lembaga lain. Pengembangan usaha ternak kambing pada lahan kering tetap
mengacu pada pemanfaatan sumberdaya alam atau sumberdaya lokal, sumberdaya sosial
(SDM, ekonomi, Sosial budaya) dan sistem permodalan yang relatif bertahan sesuai kondisi
masyarakat setempat. Penguatan kelembagaan dan permodalan petani melalui sistem bagi
hasil dan pengelolaan permodalan dari usahatani pangan akan meningkatkan sumberdaya
ekonomi dan sosial masyarakat petani.
Dinas peternakan atau instansi terkait dalam melakukan program pengembagan
peternakan berdasarkan kebijakan pemerintah harus mampu berkoordinasi dan bekerjasama
dengan lembaga sumber teknologi. Dinas selaku pelaksana teknis dengan dukungan
kebijakan pemerintah belum maksimal melakukan penguatan permodalan kelompok/petani
melalui usaha ternak kambing dengan sistem bagi hasil. Hasil penelelitian menunjukkan
bahwa pola bagi hasil dan sistem perguliran ternak kambing pembibitan dan penggemukan
lebih disukai petani. Keterlibatan instansi terkait dalam penumbuhan permodalan petani
perlu mempertimbangkan kondisi sumberdaya sosial dan sumberdaya alam. Pihak terkait
yang secara langsung melakukan pemberdayaan kelembagaan tani dan transfer teknologi
adalah PPL. PPL yang tinggal di desa menunjukkan interaksi positif dengan petani maupun
kelompok tani.
Informasi teknologi dan sosial ekonomi merupakan informasi penting yang sangat
dibutuhkan petani dalam pengembangan usaha peternakan. Peranan BPTP sebagai sumber
teknologi atau penghasil teknologi dan pemerintah daerah yang dalam hal ini Dinas
Peternakan melalui PPL sebagai pengguna teknologi dan sekaligus sebagai perantara
penyebaran teknologi ke tingkat petani diharapkan mampu menciptakan kerjasama dan
koordinasi dalam meningkatkan daya saing usaha peternakan pada sentra-sentra produksi.
Penyebaran informasi teknolog hasil penelitian perlu menjadi prioritas dalam mendukung
peningkatan produksi kambing pada sentra-sentra produksi. Alternatif model kelembagaan

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 576
Seminar Nasional 2005

pengembangan kambing tersebut dapat menjadi informasi dasar bagi pihak terkait dalam
merancang program pengembangan peternakan, bisa dilakukan secara integrasi antara ternak
kambing dengan tanaman jagung dalam suatu konsep agribisnis. Menurut Makka (2004)
bahwa upaya yang ditempuh dapat berupa pengembangan dan aplikasi model-model yang
dapat direplikasi diberbagai wilayah sesuai kondisi agroekosistem dan pola usaha petani
setempat.
Kelembagaan produksi yang dibentuk dalam pengembangan usaha ternak kambing
di lahan kering adalah usaha pembibitan dan penggemukan. Antara kelembagaan produksi
ternak kambing telah mempunyai jaringan dengan lembaga pemasaran ternak. Akan tetapi
kelembagaan produksi belum mampu menyediakan ternak sesuai jumlah dan kulitas ternak
yang diminta pasar. Hal ini disebabkan populasi ternak kambing yang dipelihara masing-
masing anggota kelompok relatif sedikit yaitu berkisar 5 – 7 ekor per rumah tangga.

SUMBER TEKNOLOGI
DUKUNGAN KEBIJAKAN
(BALIT, PUSLIT, BPTP,
PEMERINTAH
PT, SWASTA)

INSTANSI TERKAIT
(DINAS PETERNAKAN
DAN PERTANIAN)

SUMBERDAYA SOSIAL DUKUNGAN


SUMBERDAYA ALAM
(EKONOMI, SDM, PERMODALAN
(PEMANFAATAN
KELEMBAGAAN DAN (LEMBAGA FINANSIAL,
SUMBERDAYA LOKAL)
BUDAYA SISTEM PERGULIRAN

PENGEMBANGAN HMT KELEMBAGAAN


USAHA TERNAK
DAN PEMANFAATAN PRODUKSI (PEMBIBITAN
KAMBING
LIMBAH PERTANIAN DAN PENGGEMUKAN)

PENINGKATAN PRODUKSI (KUANTITAS PASAR


DAN KUALITAS)

Gambar 1. Alternatif model pengebangan ternak kambing di lahan kering

Keberlanjutan usaha agribisnis ternak kambing sangat tergantung pada ketahanan


dan keberlanjutan sub sistem produksi, sub sistem teknologi dan sub sistem kelembagaan.
Akan tetapi juga sangat ditentukan oleh pola usaha (pembibitan/penggemukan) yang
dilakukan serta dukungan kelembagaan pemasaran, teknologi dan kebijakan.
Model pengembangan usaha ternak kambing yang berorientasi agribisnis harus
mempertimbangkan sistem dan jaringan pemasaran serta kemampuan daya serap pasar per
kawasan. Skala usaha pemeliharaan ternak kambing bagi peternak merupakan bagian
terpenting yang perlu diperhatikan untuk mendukung keberlanjutan usaha agribisnis ternak
kambing di lahan kering.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 577
Seminar Nasional 2005

Masalah kelembagaan merupakan salah satu mata rantai yang terlemah dalam
memajukan peternakan di Indonesia (Makka, 2004). Masalah kelembagaan sangat ditentukan
oleh budaya, adat – istiadat dan nilai yang ada dalam masyarakat setempat. Oleh karena itu
masih sangat perlu dilakukan perubahan sikap dan pola perilaku petani secara terus menrus.
Untuk mendukung keberlanjutan usaha produksi ternak kambing perlu didukung
oleh kelembagaan keuangan formal maupun non formal. Pada tahapan ini petani belum
mempunyai kekuatan untuk mengakses permodalan dari kelembagaan keuangan formal. Hal
ini disebabkan oleh persyaratan dan prosedur peminjaman uang yang diterapkan oleh
lembaga keuangan formal seperti Bank dianggap rumit oleh sebagian besar petani kecil
(Bulu, 2004).
Pemberdayaan kelembagaan pemasaran di tingkat kelompok tani adalah membuka
jaringan pemasaran kambing sehingga membutuhkan dukungan pembinaan. Pemasaran
ternak kambing di Desa Sambelia tidak ada masalah karena telah ada jaringan pemasaran
dan telah tersedia lembaga pemasaran di desa. Namun yang menjadi kendala bagi peternak
bahwa mereka belum mampu memenuhi volume permintaan pasar. Aspek kelembagaan
yang perlu diperhatikan dalam pemberdayaan petani adalah menyengkut perilaku,
kepercayaan antara pelaku pasar, kejujuran, interaksi dan pengambilan keputusan. Dengan
demikian pemberdayaan petani kecil melalui inovasi lebih relevan untuk difokuskan pada
pembinaan kelembagaan sehingga dapat membangun hubungan sinergis antara lembaga-
lembaga ke dalam satu kesatuan sistem produksi.

Dampak Pemberdayaan Kelembagaan Tani


Besadasarkan hasil kajian menunjukkan bahwa pembedayaan petani kooperator
melalui sistem usahatani ternak kambing terjadi perubahan perilaku petani dalam
pemeliharaan ternak kambing. Hal ini menunjukkan perubahan pola pemeliharaan kambing
dari ekstensif menjadi semi intensif yaitu pola dikandangkan (70,8%), campuran yaitu antara
ikat pindah, dikandangkan dan digembalakan (25%) dan digembalakan menurun menjadi
(4,2%). Peluang peningkatan produksi ternak kambing dapat dilakukan dengan
pemberdayaan kelembagaan tani dan lembaga pendudukung dalam sistem agribisnis ternak
kambing di lahan kering sehingga memungkingkan usaha ternak kambing sebagai sumber
pendapatan utama rumah tangga petani.
Strategi untuk meningkatkan pendapatan petani kecil adalah dengan memadukan
antara kegiatan usahatani tanaman, usaha ternak kambing, kegiatan luar usahatani serta luar
pertanian ke dalam suatu sistem sehingga terbemtuk aliran permodalan antara sub sistem
guna menjamin produktivitas sistem, ketahanan dan keberlanjutan sistem usahatani ternak
kambing di lahan kering.
Reaksi dan motivasi petani untuk menerima teknologi anjuran serta untuk mencoba
beberapa komponen teknologi relatif baik. Sebagian besar petani memilih pola usaha
pembibitan kambing relatif bervariasi atantara lain karena cepat menghasilkan sehingga
dapat meningkat populasi kambing yang dipelihara, mudah dipelihara dan cepat di jual.
Orientasi petani pada usaha pembibitan adalah untuk mendapatkan anak kambing yang
setiap saat dapat dijual guna memenuhi kebutuhan keluarga maupun untuk modal usaha
pangan.
Usaha pembesaran merupakan bagian dari usaha pembibitan. Anak yang dihasilkan
tidak langsung dijual akan tetapi dibesarkan dulu hingga mencapai usia sapih. Selanjutnya
anak-anak kambing yang lepas sapih atau yang telah dewasa kelamin baru mulai dijual.
Pemasaran bagi bakalan juga relatif tidak sulit karena kambing bakalan merupakan
spesifikasi yang diminta oleh rumah makan dan restoran. Antara usaha pembibitan dan
penggemukan tidak dapat dipisakan dalam membangun kelembangan pengembangan ternak
kambing. Kebutuhan ternak bakalan bersifat musiman, karena petani yang memiliki usaha
penggemukan telah menetapkan waktu tertentu untuk membeli bakalan. Hal ini tingginya
permintaan pasar pada waktu-waktu tertentu seperti Hari Raya Idul Adha, lebaran dan
lainnya mencapai 3000 – 5000 ekor.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 578
Seminar Nasional 2005

Tingkat penerapan teknologi pemeliharaan ternak kambing oleh petani kooperator


jauh lebih baik dibandingkan dengan petani non kooperator. Hal ini sangat terkait dengan
bimbingan dan pengawalan teknologi yang dilakukan. Kemampuan petani untuk
menerapkan teknologi secara baik tidak hanya ditentukan oleh faktor internal induvidu
melainkan juga sangat ditentukan oleh faktor eksternal seperti penyebaran informasi inovasi
melalui program penyuluhan, pemderdayaan kelembagaan, pendampingan petani yang
berkelanjutan dan dukungan kebijakan pemerintah.
Tabel 1. Tingkat penerapan komponen teknologi pemeliharaan kambing, 2004 (%).
Kooperator Non Kooperator
Komponen Teknologi
2003 2004 2003 2004
Teknologi Kandang 37,5 39,54 16,25 18,91
Teknologi reproduksi 42,7 44,18 14,6 23,25
Teknologi Pengendalian penyakit 18,9 31,25 8,7 16,67
Teknologi pakan 34,0 36,0 10,7 16,0
Teknologi penyepihan 5,6 25,85 2,2 13,76
Sumber: Data primer diolah dan Laporan Tahun 2003

Perubahan faktor internal individu petani sangat ditentukan oleh perubahan kondisi
faktor eksternal yang berkaitan dengan usaha ternak kambing yang dilakukan. Tingkat
kesulitan komponen teknologi anjuran juga berhubungan dengan kemampuan petani untuk
menerapkan teknologi. Sebagian besar petani menyatakan bahwa komponen teknologi atau
unsur-unsur teknologi yang dianjurkan tidak sulit dan relatif mudah dilakukan namun dalam
penerapan teknologi tersebut sangat tergantung pada ketersediaan tenaga kerja dan modal
yang dimilki.

Sumber Modal dan Alokasi Penggunaan Pendapatan


Masalah keterbatasan modal merupakan salah satu masalah utama yag dihadapi
petani marginal. Kelembagaan keuangan formal yang bersedia memberikan skim kredit
kepada petani sebenarnya cukup banyak akan tetapi tidak ada yang dapat dengan mudah
diakses oleh petani. Dukungan permodalan petani untuk usaha ternak kambing baik dari
usahatani tanaman pangan, tanaman tahunan, luar usahatani dan luar pertanian relatif lemah.
Hal ini mereka (petani miskin) masih mengutamakan ketahanan pangan rumah tangga.
KEBUTUHAN

U sah a P an g an
10
,5 %
12 %

U sah a T ern ak
5 ,6 % 5 ,3 %
P E N D AP AT A N
P E N D AP AT A N
U S AH A
U S AH A
P AN G A N
T E R N AK K eb u tu h an R T ,9 %
48 ,4% 78
K AM B IN G A tau keb u tu h an
se h ari-h ari
3%
34% 5,

K eb u tu h an
L ain n ya

Gambar 2. Aliran permodalan dalam usaha tanaman pangan dan usaha ternak, 2004.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 579
Seminar Nasional 2005

Secara umum permodalan petani lahan kering untuk membiayai usahataninya relatif
sangat terbatas. Sebagian besar sumber permodalan petani lahan kering relatif bervariasi.
Sumber permodalan untuk usaha ternak kambing sebagian besar berasal dari modal sendiri
(45,5%). Sumber pemodalan sendiri untuk usaha ternak kambing dominan berasal dari
usahatani pangan, hortikultura dan perkebunan. Petani yang tidak memiliki modal lebih
adalah dengan meminjam kepada orang tua, famili, dan tetangga berkisar 36% - 41%. Hasil
penjulan kambing yang digunakan untuk usaha pemeliharaa kambing baru mencazpai 5,6%.
Sebagian besar (48,4%) hasil penjulan atau pendapatan dari usaha kambing digunakan untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga/sehari-hari (kebutuhan pangan keluarga). Pendapatan
dari usahatani kambing yang digunakan untuk memnuhi kebutuhan lain seperti biaya
pendidikan, pajak, zakat, dan biaya transportasi.
Pendapatan dari usahatani tanaman pangan yang digunakan untuk usaha pangan
(10,5%), usaha ternak (5,3%), untuk memnuhi kebutuhan rumah tangga (78,9%) dan untuk
pemenuhan kebutuhan lainnya (5,3%) (Gambar 2). Hasil pengkajian ini menunjukkan bahwa
pendapatan petani lahan kering baik dari usaha ternak maupun usahatani pangan lebih
dominan dimanfaatkan untuk memnuhi kebutuhan pangan keluaga. Petani belum melakukan
investasi untuk usaha ternak kambing sebagai sumber pendapatan utama rumah tangga.
Sebagian besar petani masih cenderung memilih usahatani tanaman pangan sebagai sumber
pendapatan utama rumah tangga. Berdasarkan kondisi ini maka pengembangan peternakan
ke depan harus dilakukan secara integarasi dengan usahatani tanaman (tanaman jagung).

Kelayakan Ekonomi Usaha Ternak Kambing Pembibitan


Secara ekonomi usaha kambing pembibitan yang dilakukan petani kooperator relatif
lebih untung dibanding dengan usaha pembibitan yang dilakukan petani non kooperator.
Perbedaan keuntungan tersebut disebabkan oleh perbedaan tingkat penerapan teknologi dan
jumlah kambing induk yang dipelihara.
Jumlah anggota keluarga dengan rata-rata 4 orang per rumah tangga dan
dibandingkan dengan jumlah kambing induk yang dipelihara rata-rata 3 – 7 ekor per rumah
tangga maka pendapatan dari usaha pembibitan ternak kambing relatif kecil sehingga belum
memenuhi skala ekonomi rumah tangga petani. Menurut Djayanegara, A., et al. (2004),
untuk mencapai skala ekonomi rumah tangga yang dapat menjamin kontinuetas pendapatan
rumah tangga maka setiap rumah tangga minimal memelihara induk 17 - 18 ekor/rumah
tangga. Dari jumlah kambing yang dipelihara tersebut membutuhkan penggunaan tenaga
kerja keluarga rata-rata 3 – 4 orang. Jika kemampuan induk melahirkan rata-rata 1,5 ekor
per induk dengan tingkat kematian anak 30% dan induk mandul 5% maka rata-rata jumlah
kambing yang hidup dari dua kali siklus reproduksi berkisar 10 – 49 ekor sehingga dari
jumlah tersebut dapat diperkirakan jumlah kambing yang dijual petani berkisar 1 – 2 ekor
per bulan.
Keuntungan petani kooperator dari usaha pembibitan kambing dengan rata-rata Rp
1.703.863/tahun (Tabel 2) sehingga apabila dibagi selama 15 bulan (dua kali siklus
reproduksi kambing) maka pendapatan rumah tangga per bulan yaitu rata-rata Rp
113.590/bulan. Pendapatan petani dari usaha pembibitan kambing tersebut belum mampu
membiayai kebutuhan sehari-hari keluarga serta belum mampu untuk mendukung
keberlanjutan usaha ternak kambing.
Hasil analisis kelayakan ekonomi menunjukkan bahwa usaha pembibitan ternak
kambing relatif menguntungkan. Pendapatan petani kooperator pada usaha pembibitan
ternak kambing lebih tinggi dibandingkan pendapatan yang diperoleh petani non kooperator.
Hal ini sangat terkait dengan penerapan teknologi yang relatif lebih baik serta jumlah
populasi kambing yang dipelihara petani kooperator lebih banyak dari petani non kooperator
nilai indeks B/C Ratio sebesar 1,10 (Tabel 2).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 580
Seminar Nasional 2005

Tabel 2. Kelayakan ekonomi usaha ternak kambing pembibitan di Desa Sambelia, 2004.

Kooperator Non Kooperator


Uraian
Jumlah Nilai Jumlah Nilai
I. Input
a) Calon Induk dan (bakalan) (ekor) 7 1.025.000 4 508.000
b) Anak kambing Pedet (Rp/ekor) 3 150.000 2 100.000
c) Kambing lepas sapih (Rp/ekor) 1 150.000 - -
d) Pejantan nilai awal (Rp/ekor) - - 1 200.000
e) Pakan hijauan (kg/Rp) 1.541,8 80.500 100 -
f) Pakan penguat (dedak) (Rp/kg) - - - -
g) Obat-obatan Rp/(ml) 190 17.727 - -
h) Tenaga kerja 3 - 1 -
i) Biaya pembuatan kandang 1 120.000 1 158.025
Total biaya 1.542.727 966.025
II. Output:
a) Jumlah ternak induk (Rp/ekor) 7 2.450.000 4 807.176
b) Jumlah pejantan (Rp/ekor) - - 1 400.000
c) Juml;ah anak lepas sapih (Rp/ekor) 3 545.454 2 228.035
d) Jumlah bakalan (Rp/ekor) 1 236.818 - -
e) Jumlah pedet (Rp/ekor) - - - -
f) Pupuk kandang (Rp) 286 14.318 - -
III. Total Penerimaan 3.246.590 1.435.211
IV. Keuntungan (Rp) 1.703.863 470.186
B/C Ratio 1,10 0,49
Sumber: Data primer diolah

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Ternak kambing sangat sesuai dikembangkan pada wilayah lahan kering seperti di Desa
Sambelia Kecamatan Sambelia dan wilayah-wilayah lain Kabupaten Lombok Timur
yang mempunyai agroekosistem yang sama atau yang hampir sama.
2. Intervensi teknologi sistem usahatani ternak kambing menunjukkan terjadi perubahan
pola pemeliaharaan kambing dari pemeliharaan ekstensif menjadi semi intensif.
3. Tingkat penerapan teknologi pemeliharaan ternak kambing oleh petani kooperator relatif
meningkat dan lebih baik dibandingkan sebelum dilakukan pengkajian.
4. Model kelembagaan pengembangan ternak kambing adalah kelembagaan produksi
ternak kambing dengan dukungan sumberdaya alam (sumberdaya Lokal), sumber
teknologi seperti BPTP, pemberdayaan oleh PPL, lembaga keuangan baik formal
maupun non formal, pasar serta dukungan kebijakan pemerintah daerah dalam
pengembangan ternak kambing.
5. Penerapan teknologi menunjukkan respon petani/peternak relatif tinggi. Dukungan
pemerintah daerah melalui kebiajakan pengembanan ternak kambing relatif baik.
6. Model pengembangan ternak kambing di lahan kering yang sesuai adalah usaha
pembibitan yang sekaligus dilakukan usaha pembesaran dan penggemukan.
7. Ditinjau dari aspek sosial-ekonomi usaha ternak kambing pembibitan yang dilakukan
oleh petani kooperator memberikan tingkat keuntungan rata-rata mencapai Rp
1.703.863/rumah tangga/tahun dengan nilai indeks B/C Ratio 1,01.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 581
Seminar Nasional 2005

Saran-saran

1. Untuk meningkatkan produksi dan populasi ternak kambing yang dapat menjamin
pemasaran ternak kambing secara kontinue maka masih perlu dukungan teknologi.
2. Pemberdayaan kelembagaan produksi kambing masih perlu ditingkatkan untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dalam sistem dan usaha agribisnis
ternak kambing.
3. Koordinasi dan keterlibatan pihak terkait dalam pemberdayaan petani miskin melalui
sistem usahatani ternak kambing sangat penting dan segera dilakukan guna
mensukseskan program pembangunan pernakan yang sekaligus dapat meningkatkan
pendapatan petani marginal.
4. Untuk mencapai skala ekonomi dan untuk menjamin kontinuetas pendapatan rumah
tangga maka dalam usaha ternak kambing dapat jumlah induk yang dipelihara hingga
mencapai minimal 10 – 20 ekor per rumah tangga.
5. Pemeliharaan kambing yang dapat dilakukan secara terpadu dalam sistem usahatani
tanaman ternak guna meningkatkan nilai tambah.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian. 2003. Panduan Umum Pengkajian dan Diseminasi di BPTP. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian bekerjasama dengan
BP2TP, Bogor.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Timur., 2003. Lombok Timur Dalam Angka
Tahun 2003, Selong.
Badan Pusat Statistik Propinsi NTB., 2003. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka Tahun 2003,
Mataram.
Bambang Setiadi, 2003. Alternatif Konsep Perbibitan dan Pengembangan Usaha Ternak
Kambing. Makalah disampaikan pada sarasehan “Potensi Ternak Kambing dan
Prospek Agribisnis Peternakan”. Bengkulu.
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Lombok Timur. 2002. Statistik Pertanian
Kabupaten Lombok Timur.
Djajanegara, A., dan Artaria Misniwaty. 2004. Pengembangan Usaha Kambing dalam
Konteks Sosial – Budaya Masyarakat. Prosiding Lokakarya Nasional Kambing
Potong. „ Kebutuhan Inovasi Teknologi Mendukung Agribisnis Kambing yang
Berdayasaing”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
Makka Djafar, 2004. Tantangan dan Peluang Pengembangan Agribisnis Kambing Ditinjau
dari Aspek Pewilayahan Sentra Produksi Ternak. Prosiding Lokakarya Nasional
Kambing Potong. „ Kebutuhan Inovasi Teknologi Mendukung Agribisnis Kambing
yang Berdayasaing”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
Sharma, K., J.L. Ogra and N.K. Bhattackarya. 1992. Development of Agro. Silvispasture or
Goats. In.R.R. Lokeshwer (Ed) Research in Goats Indian Experience. CIGR.
Makhdoom, Mathura, India. Pp 66-73.
Bulu, Yohanes G., 2004. Pemberdayaan Petani Melalui Inovasi Sistem Usahatani Ternak
Kambing di Lahan Kering Kabupaten Lombok Timur. Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional “Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Ternak dan Pengembangan
Peternakan Dalam Sistem Usahatani Lahan Kering”. Waingapu, NTT 23 -24
Agudtus 2004. (Prosiding dalam Proses Penerbitan).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 582
Seminar Nasional 2005

TEKNOLOGI PERKAWINAN KELOMPOK UNTUK MEMFASILITASI


TATALAKSANA PEMELIHARAAN
PADA RUSA SAMBAR (Cervus unicolor brookei)

A.S. Dradjat1), I.G. M Jaya Adhi2), A Trasodihardjo2), G Semiadi3)


1)
Fakultas Peternakan Universitas Mataram Jl. Majapahit Mataram 83125.
2)
UPTD Balai Pembibitan dan Inseminasi Buatan Api-api. Penajam Paser Utara Kalimantan Timur.
3)
Puslit Biologi- LIPI. Jl. Juanda 18 Bogor 16122.

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari perkawinan kelompok guna meningkatkan reproduksi rusa
sambar (Cervus unicolor brookei). Penelitian ini dilakukan menggunakan 10 ekor rusa betina dan 3 ekor rusa
jantan umur 8 sampai 10 tahun. Induksi birahi dilakukan menggunakan intravaginal spon yang berisi 450 mg
Medroxy progesterone acetate (MPA), secara intravaginal selama 9 hari. Selanjutnya pada hari yang ke 2 hingga
hari ke 6 setelah spong diambil, rusa betina tersebut dicampur dengan tiga ekor rusa jantan pada tahap ranggah
keras, agar dapat terjadi perkawinan dan kebuntingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa retention rates spon
mencapai 100% yaitu tetap berada di vagina selama 9 hari. Pengamatan vagina pada saat pengambilan spon pada
10 ekor rusa betina tidak ditemukan adanya iritasi atau kelianan akibat pemasangan spon. Hasil stimuli birahi
menunjukkan bahwa setelah 2 hari setelah spon diambil, 3 ekor rusa birahi dan dikawini oleh rusa jantan, pada 3
hari setelah spon diambil, 4 ekor rusa menunjukkan birahi dan dikawini, sedang sisanya 3 ekor tidak teramati.
Namun dari 10 ekor rusa betina tersebut, 1 ekor tidak bunting dan 9 ekor melahirkan normal dengan lama
kebuntingan 235,66 3,60 hari (Means SD) dan dapat berkembang baik hingga lepas sapih. Akhirnya dapat
disimpulkan bahwa teknologi perkawinan kelompok yang dapat menunjang tatalaksana pemeliharaan untuk
mengatur waktu kelahiran, penyapihan, pemberian pakan dan dapat digunakan untuk meningkatkan produksi
rusa.
Kata kunci: Rusa sambar, perkawinan kelompok, tatalaksana pemeliharaan.

PENDAHULUAN

Rusa sambar (Cervus unicolor brookei), termasuk dalam kategori hewan liar dengan
fisik yang relatif besar mempunyai ukuran tubuh yang terbesar dibanding dengan spesies
rusa Indonesia yang lain seperti rusa timor (Cervus timorensis), rusa Bawean (Axis kuhlii),
muncak (Muntiacus muntjak). Rusa sambar yang ada di Pulau Kalimantan, mempunyai
potensi untuk dikembangkan tidak saja penghasil daging yang berkualitas (Venison), tetapi
juga beberapa produk untuk pengobatan tradisional Cina. Produk bahan obat tradisionil Cina
yang telah diproduksi dari hasil tambahan peternakan rusa di Selandia Baru yaitu: royal deer
velvet liqueur, dried deer antler velvet, deer horn and ginseng capsules, Versatile venison
jerky, deer blood powder capsules, deer tails, dried pizzle and sinew (Bellaney, 1993).
Produk peternakan rusa tersebut di export dari Selandia Baru ke Cina, Hongkong, USA,
Taiwan, Jepang dan Australia, yang dapat diandalkan menjadi sumber devisa negara. Dari
gambaran produksi peternakan diatas, rusa sambar mempunyai potensi untuk dikembangkan
di Indonesia sebagai industri peternakan.
Rusa sambar telah dikembangkan dalam penangkaran oleh Dinas Peternakan
Kalimantan Timur dengan menggunakan menejemen peternakan yaitu teknologi pakan,
menejemen petak dengan cara rotasi, penanganan kesehatan dan panen ranggah (Semiadi,
2001). Namun dari hasil penelitian oleh Puslit Biologi LIPI bahwa rusa tersebut mempunyai
reproduktifitas yang rendah dan kematian pra sapih yang tinggi. Reproduktifitas rendah yaitu
jumlah anak yang dilahirkan dari jumlah induk yaitu hanya mencapai 48,8% 16,24%
(means SD) (Semiadi, 2001), dan kematian anak pra sapih sebesar 11,9% (Semiadi, 2001).
Dari data reproduktifitas dan kematian pra sapih tersebut dapat disimpulkan bahwa
produktifitas rusa sambar tersebut relatif rendah.
Kendala reproduktifitas tersebut disebabkan karena pola perkembang biakan rusa
yang bersifat non seasonal polyoestrus yaitu tidak mempunyai musim perkawinan dan dapat

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 583
Seminar Nasional 2005

menunjukkan birahi kembali dan berulang kapan saja kalau tidak bunting sepanjang tahun
(Dradjat, 2000). Bila anak rusa lahir pada musim kering dan ketersediaan hijauan terbatas,
maka kematian pra sapih meningkat. Disamping itu induk dapat mengalami post partum
anoestrus yang panjang, yaitu tidak ada siklus birahi dalam periode waktuselama
ketersediaan makanan terbatas. Oleh karena itu diperlukan teknologi yang dapat digunakan
untuk mengatur kapan sebaiknya kelahiran terjadi pada saat makanan cukup tersedia,
sehingga diperlukan perencanaan kelahiran.
Penelitian ini dilakukan dengan maksud mengembangkan teknologi perkawinan
kelompok, sehingga rusa dapat kawin secara serentak, lahir serentak dan memudahkan
menejemen pemeliharaan, untuk meningkatkan produksi rusa.

MATERI DAN METODA

Penelitian ini dilakukan pada 10 ekor rusa sambar betina dewasa, umur 8 sampai 10
tahun, yang dipilih dari 49 ekor rusa dengan kriteria pernah beranak, temperamen yang
relatif jinak dan penampilan fisik baik. Rusa-rusa tersebut dipelihara pada petak khusus
terpisah dari rusa yang lain. Tiga rusa jantan yang berada pada fase ranggah keras dipilih
untuk digunakan mengawini rusa betina. Rusa sambar tersebut dipelihara pada peternakan di
UPTD Balai Pembibitan dan Inseminasi Buatan (BPIB) Api-api, Penajam Paser Utara
Kalimantan Timur.
Rusa diberi makan dengan memanfaatkan rumput pada petak pemeliharaan dengan
metoda rotasi dan pakan tambahan dedak sebanyak 0,5 kg/ekor per hari. Sesuai dengan
kebutuhan pengelolaan penangkaran rusa pada UPTD tersebut disiapkan kandang jepit
khusus untuk penanganan rusa. Rusa-rusa tersebut dibiasakan untuk memasuki kandang jepit
sehingga terbiasa dan lama kelamaan stress menjadi minimum. Disamping itu pengelola
kandang di UPTD telah dididik khusus oleh LIPI (Semiadi, 2001) agar stress terhadap rusa
yang disebabkan karena penanganan dapat ditekan serendah mungkin (English, 1992).
Induksi keserentakan birahi dilakukan menggunakan spon diinjeksi 450 mg
Medroxy progesteron acetate (MPA). Spon tersebut dibiarkan kering pada suhu kamar dan
dipasang tali untuk memudahkan pengambilan dari vagina (Dradjat et al., 2001: Zainuri et
al., 2001). Pemasangan spon tersebut dilakukan pada hari 1 (Tabel 1) sebagai berikut: rusa
dimasukkan ke kandang penanganan, dengan menggiring dari petak menuju kandang
pengumpul, selanjutnya satu persatu di masukkan ke kandang penanganan. Setelah rusa
masuk pada kandang penanganan, dinding kiri kandang digeser sehingga rusa terjepit,
selanjutnya lantai kandang penanganan dijatuhkan. Dengan demikian rusa akan tertahan
pada kandang penanganan. Menggunakan aplikator yang telah diulas dengan vaselin, spon
bertali dimasukkan secara intravaginal selama 9 hari.
Pengambilan spon dilakukan pada hari yang ke sembilan (Tabel 1) rusa-rusa tersebut
dimasukkan ke kandang penanganan dan spon yang berada di vagina diambil dengan
menarik tali yang dapat dilihat di vulva. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan secara visual
pada vagina menggunakan speculum, untuk mengetahui apakah ada perubahan, irritasi
permukaan vagina atau radang akibat pemasangan spon.
Perkawinan secara dilakukan dengan mengumpulkan rusa-rusa betina, hari ke dua
setelah intravaginal spong diambil, dengan 3 ekor jantan yang pada saat itu berada pada
kategori ranggah keras. Pengumpulan jantan dan betina dilakukan selama 5 hari dari hari ke
2 hingga hari ke 6 setelah spong diambil (Hari ke 11 hingga 15, Tabel 1).
Pengamatan kelahiran dilakukan 220 hingga 250 hari setelah perkawinan atau hari
ke 230 hingga 260 (Lihat Tabel 1). Rusa-rusa tersebut ditempatkan pada petak tertentu
sehingga birahi, perkawinan, kelahiran dan pemberian pakan dapat dilakukan lebih
terkontrol. Data kelahiran dicatat dengan baik untuk mengetahui keserempakan kelahiran
dan selanjutnya digunakan untuk evaluasi pelaksanaan tatalaksana perkawinan kelompok.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 584
Seminar Nasional 2005

HASIL DAN PEMBAHASAN


Masalah yang dihadapai peternakan rusa di UPT IB Kalimantan Timur adalah
reproduktifitas betina produktif hanya mencapai 48,8% 16,24% (means SD), dan kematian
anak prasapih sebesar 11,9% (Semiadi, 2001). Terdapat berbagai kemungkinan penyebab
rendahnya produktifitas, antara lain rusa sambar bersifat non seasonal polioestrus artinya
dapat birahi kapan saja sepanjang tahun dan bila tidak bunting akan birahi pada siklus
berikutnya, sehingga dapat melahirkan sepanjang tahun (Semiadi, 2001). Bila rusa
melahirkan pada musim dimana ketersediaan pakan terbatas, maka induk mempunyai beban
yang sangat berat (English, 1992) yaitu terbatasnya produksi air susu, lambatnya
pengembalian kondisi tubuhnya setelah melahirkan dan kembali birahi yang lambat yang
menyebabkan postpartum anestrus yang panjang. Dampak pada anak yaitu pertumbuhan
lambat, kematian anak tinggi karena air susu tidak mencukupi untuk mempertahankan hidup
anak (Nelson and Wolf, 1987; English dan Mulley, 1992). Penyebab rendahnya
reprodukstifitas rusa yang kedua adalah karena rusa jantan mempunyai siklus reproduksi,
yaitu pada saat ranggah luruh dan atau ranggah sedang tumbuh produksi spermatozoa
minimal yang kemungkinan infertil (Haigh et al., 1993; Dradjat, 2000; 2001; 2002). Untuk
mencapai kesuburan yang tinggi, pada betina birahi diperlukan rusa jantan yang berada pada
fase ranggah keras, pada periode ini rusa jantan menghasilkan spermatozoa yang berkualitas
baik dengan kesuburan tinggi.
Masalah tersebut di tanggulangi dengan perkawinan kelompok agar birahi secara
bersamaan, kawin kelompok, melahirkan pada waktu yang telah diperkirakan pada saat
ketersediaan pakan mencukupi. Perkawinan kelompok telah dilakukan pada berbagai spesies
rusa menggunakan alat pelepas intravaginal yang beredar di pasaran yaitu Controlled
internal drugs release (CIDR) yaitu pada Cervus elaphus (Asher dan Jabbour, 1992; Asher
et al., 1993), pada Dama dama (Fennessy et al., 1986;1989; Jabbour et al., 1994), pada Axis
axis (Dradjat, 1996) pada Pere davids (Argo et al., 1992) pada Cervus eldi thamin (Monfort
et al., 1993), pada Cervus timorensis (Dradjat, 2000), pada Axis kuhlii (Dradjat, 2000). CIDR
adalah alat yang terbuat dari plastik dan silikon, merupakan produk import dari Australia,
sehingga setelah resesi harga dolar meningkat dan harga CIDR menjadi mahal dan tidak
terjangkau. Oleh karena itu di lakukan percobaan induksi birahi pada rusa sambar
menggunakan spon yang di injeksi dengan MPA, secara intra vaginal, selama 9 hari. Sebagai
pembanding, hasil penelitian pada sapi menunjukkan bahwa penggunaan progesteron secara
intravaginal dalam waktu 15 hari menghasilkan birahi yang baik, tetapi kesuburan yang
relatif rendah, sedangkan penggunaan progesteron selama 9 hari menghasilkan kebuntingan
yang tinggi (Dradjat, 1990). Oleh karena dalam penelitian ini pemasangan spon secara
intravaginal dilakukan selama 9 hari. Penggunaan spon ini telah dilakukan pada Antelope
suni (Neotragus moschatus zuluensis) (Raphael et al., 1988). Teknik induksi birahi
menggunakan spon yang diberi progesteron dengan tali diikatkan pada spon, sehingga
pengambilan spon dapat dilakukan dengan menarik tali pada sapi Bali (Dradjat et al, 2001)
pada Kambing (Zaenuri et al, 2001 ).Hasil induksi birahi pada rusa sambar ini menunjukkan
bahwa setelah 48 jam spong diambil, 3 ekor rusa birahi dengan tingkah laku bergerombol,
betina saling menaiki dan dinaiki jantan. Berikutnya pada hari ke tiga, 4 ekor menunjukkan
birahi sedang sisanya 3 ekor tidak teramati.
Tabel 1. Hasil induksi birahi dengan kawin alam pada rusa sambar.

Hari ke Kegiatan Hasil Pengamatan


1 Pemasangan spon Kondisi betina baik
9 Pengambilan spon Retention rate 100%, Tidak ada iritasi atau radang
pada vagina
11- 15 Pengamatan birahi dan perkawinan Hari ke 11, 3 ekor birahi dan di kawini, hari ke 12, 4
ekor birahi dan di kawini, sisanya 3 ekor tidak
teramati
240- 270 Pengamatan kelahiran, lama kebuntingan 9 ekor anak rusa lahir hari ke 230 hingga 242, lama
atau jarak antara perkawinan dan bunting 235,66 3,60 hari (means SD)
kelahiran

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 585
Seminar Nasional 2005

Dengan perkawinan kelompok, rusa dapat di induksi untuk birahi pada waktu yang
telah ditentukan sehingga kebuntingan terjadi pada waktu yang diharapkan dan kelahiran
pada waktu yang telah direncanakan. Hasil kelahiran pada penelitian tersebut yaitu 9 ekor
atau tingkat kebuntingan 90%, dengan tanggal kelahiran yang pertama dengan yang terakhir
berjarak 10 hari, ke 9 ekor anak lahir selamat. Dilaporkan bahwa kebuntingan hasil kawin
alam pada hewan liar, termasuk rusa dapat mencapai 85-100% sedangkan menggunakan
inseminasi buatan kebuntingan yang dihasilkan hanya mencapai 50-60% (Bainbridge dan
Jabbour, 1998). Hasil penghitungan lama kebuntingan, menunjukkan bahwa pada penelitian
ini rusa lahir dalam kurun waktu tertentu dan relatif serentak dengan lama bunting
235,66 3,60 hari (means SD). Lama bunting rusa Sambar ini ternyata tidak berbeda jauh
dengan lama bunting rusa Axis axis 234,5 3,0 hari (means SD) (English, 1992), Cervus
timorensisi rusa 249 13,4 hari (means SD) (Van Mourik, 1986), Cervus elaphus 239-247
hari (Haigh dan Bowen, 1991). Lama kebuntingan pada rusa sangat bervariasi karena dapat
terjadi embryonic diapause, yaitu embryo berada dalam uterus beberapa waktu berdiam dan
tergantung hidupnya dari uterine milk sebelum terjadi implantasi pada endometrium
(Bainbridge dan Jabbour, 1998).
Perkembang biakan secara alami pada rusa sambar yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan kelahiran dan menyusui pada musim yang tidak menguntungkan
menghasilkan reproduktifitas yang rendah dan kematian anak prasapih tinggi (Semiadi,
2001). Teknologi perkawinan kelompok ini dapat digunakan untuk mengatur perkawinan,
kebuntingan dan kelahiran. Dengan demikian kebuntingan dan kelahiran dapat dihindarkan
untuk terjadi pada musim dimana ketersediaan makanan terbatas. Bila terjadi kelahiran pada
musim dimana ketersediaan makanan terbatas maka kematian anak meningkat, produksi air
susu induk sedikit dan terjadi anestrus pasca melahirkan yang panjang, sehingga dari sisi
ekonomi peternakan rusa akan dirugikan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Perkawinan kelompok adalah teknologi untuk mengatur perkawinan dan kelahiran,


menggunakan teknologi sederhana dan murah dapat digunakan untuk tatalaksana peternakan
rusa. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan intravaginal spon yang berisi
450 mg Medroxy progesterone acetate (MPA) pada rusa sambar dengan tingkat retensi
(retention rate) mencapai 100%. Pengamatan deteksi birahi dan perkawinan menunjukkan
bahwa 7 ekor terdeteksi birahi dan dikawini, sedang 3 ekor lainnya tidak teramati. Dari 10
ekor rusa, 9 ekor melahirkan secara normal atau conception rates 90%, dengan lama
kebuntingan 235,66 3,60 hari (Means SD). Ke 9 anak tersebut semuanya hidup sehat
hingga lepas sapih. Teknologi ini perlu untuk diterapkan sebagai tatalaksana perkembang
biakan kelompok pada berbagai spesies rusa Indonesia.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih diucapkan kepada Kepala Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Timur dan
Staf UPTD BPIB Api-api Penajam Paser Utara Kalimantan Timur.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 586
Seminar Nasional 2005

DAFTAR PUSTAKA

Asher G.W. and Jabbour N.H. (1992) Techniques of oestrus synchronisation and artificial
insemination of farmed fallow deer and red deer. Australian deer farming, 3:9-16.
Asher G.W., Fisher M.W., Fennessy P.F., Mackintosh C.G., Jabbour H.N. and Morrow C.J.
(1993a) Oestrus synchronisation, semen collection and artificial insemination of farmed
red deer (Cervus elaphus) and fallow deer (Dama dama). Animal Reproduction
Science. 33: 241-265.
Argo C. Mc. G., Jabbour H.N., Webb R. and Loudon A.S.I. (1992) Endocrine and ovarian
responses in red and Pere David's deer following superovulation with PMSG and FSH.
Journal of Reproduction and Fertility. :31.
Bainbridge D.R.J. and Jabbour H.N, (1998) Potential of assisted breeding techniques for the
conservation of endangered mamalian species in captivity: a review. The veterinary
record. 143: 159-168.
Bellaney C.F. (1993) Fallow deer velvet and co-product Proceedings of the First World
Forum on Fallow deer farming. Mudgee, NSW. Australia:197-198.
Dradjat A.S, (1990) A study to established methods for improvement of the reproductive
management of dairy cows using milk progesterone enzyme immunoassay. M.Phil.
Thesis. Murdoch University, Australia.
Dradjat A.S, (1996) Artificial breeding and reproductive management in chital deer (Axis
axis).: a model to preserve endangered tropical deer species. PhD Thesis. The
University of Sydney, Australia.
Dradjat A.S, (2000) Fertility diagnosis of timorensis deer (Cervus timorensis) semen during
antler cycle. Prosidings Seminar Nasional Diagnosis Laboratoris, Klinis dan Nutrisi
Veteriner. 48-56.
Dradjat A.S, (2001) Hubungan antara status ranggah dan aktifitas reproduksi pada rusa
bawean (Axis kuhlii) jantan. Buletin Peternakan 25(4): 152-161.
Dradjat A.S., Muzani A., Zaenuri LA., Lukman HY., Rodiah., Syahibuddin R. dan
Sumadiasya L (2001) Penerapan Teknologi perkawinan kelompok pada sapi Bali.
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian. Departeman
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor. Mataram 30-31 Oktober 2001:288-
293.
Dradjat A.S, (2002) Inseminasi buatan pada rusa Indonesia. Prosidings Seminar Nasional
Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna: 156-
162.
English A.W. (1992) Management strategies for farmed chital deer. Proceedings of the
International symposium on biology of deer. editor: Brown R.D. Springer-Verlag New
York Inc. :189-195.
English A.W. and Mulley R.C. (1992) Causes of perinatal mortality in farmed fallow deer
(Dama dama). Australian Veterinary Journal. 69:191-193.
Fennessy P.F., Fisher M.W. and Asher G.W. (1989) Synchronisation of the oestrous cycle in
deer, Proceedings of a deer Course for Veterinarians. New Zealand Veterinary
Association. no 6:29-35.
Fennessy P.F., Fisher M.W., Webster J.R., Mackintosh C.G., Suttie J.M., Pearse A.J. and
Corson I.D. (1986) Manipulation of reproduction in red deer. Proceedings of Deer
Course for Veterinarian. Deer Branch. New Zealand Veterinary Association. No.
3:103-120.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 587
Seminar Nasional 2005

Haigh J.C. and Bowen G., (1991) Artificial insemination of red deer (Cervus elaphus) with
frozen-thawed wapiti semen. Journal of Reproduction and Fertility. 93: 119-123.
Haigh J.C., Dradjat A.S. and English A.W. (1993) Comparison of two extenders for the
cryopreservation of chital (Axis- axis) semen. Journal of Zoo and Wildlife Medicine.
24:454-458.
Jabbour H.N., Marshall V., Argo C., Hooton J. and Loudon A.S.I. (1994) Successful embryo
transfer following artificial insemination of superovulated fallow deer (Dama-dama).
Reproduction, Fertility and Development. 6:181-185.
Monfort S.L., Asher G.W., Wild D.E., Wood T.C., Schiewe M.C., Williamson L.R., Bush M.
and Rall W.F. (1993) Successful intrauterine insemination of Eld's deer (Cervus eldi
thamin) with frozen-thawed spermatozoa. Journal of Reproduction and Fertility.
99:459-465.
Nelson T.A. and Woolf A. (1987) Mortality of white-tailed deer fawns in southern Illinois.
Journal of Wildlife Management. 51 (2):326-329.
Raphael B.L., Loskutoff N.M., Howard J.G., Wolfe B.A., Nemec L.A., Schiewe M.C. and
Kraemer D.C. (1989) Embryo transfer and artificial insemination in suni (Neotragus
moschatus zuluensis). Theriogenology. 31(1):244.
Semiadi G, 2001. Potensi pengembangan peternakan rusa sambar di Kabupaten Paser.
(Laporan hasil penelitian dan pembinaan Fase 1. Lokakarya Pengembangan
Bioteknology Budidaya Rusa Sambar di Kalimantan Timur. Samarinda 6 Nopember
2001.
Van Mourik S. (1986) Reproductive performance and maternal behaviour in farmed Rusa deer
(Cervus (rusa) timorensis). Applied Animal Behaviour Science. 15:147-157.
Zaenuri LA., Dradjat AS., Sumadiasya L. dan Lukman HY. (2001) Sinkronisasi birahi
menggunakan spon berprogesteron dan inseminasi buatan dengan semen segar
pejantan Boer untuk meningkatkan produktifitas kambing lokal. Prosiding Seminar
Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian. Departeman Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian Bogor. Mataram 30-31 Oktober 2001: 293-302.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 588
Seminar Nasional 2005

AKIBAT NEGATIF PEMBERIAN JAGUNG TERCEMAR JAMUR BAGI TERNAK

I Made Rai Yasa


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Bali
Jl. By. Pass Ngurah Rai Pesanggaran Denpasar . Telp/Fax (0361) 720498,
e-mail : bptpbali@yahoo.com

ABSTRAK

Secara umum bahan baku pakan mempunyai sifat cepat rusak, apalagi Indonesia merupakan negara
tropis dengan suhu dan kelembaban yang cukup tinggi. Selama penyimpanan jagung sering tercemar dan rusak
oleh serangga dan jamur. Jamur yang sering ditemukan antara lain Aspergillus spp., Diplodia sp., Fusarium sp.,
Pennicillium sp., Cladosporium sp., Rhizopus sp., dan Trichoderma sp. Jamur-jamur tersebut menghasilkan
mikotoksin seperti jamur Aspergillus sp menghasilkan Aflatoksin dan Okratoksin, jamur Fusarium sp
menghasilkan Fumosin dan Trichothecenes dan jamur Fusarium graminearum menghasilkan Zearalenone.
Aflatoksin dapat menyebabkan kanker hati, aborsi dengan gejala ikutan yang lain, Fumosin menyebabkan
kebengkakan pada paru-paru, Zearalenone dapat menyebabkan kemandulan, Trichothecenes menyebabkan
aborsi (keguguran), imunosupresi bahkan kematian, dan Rubratoksin bersifat racun bagi organ hati. Untuk
mendiagnosis penyakit akibat jamur ini sangat sulit, karena gejalanya kurang spesifik, karena kebanyakan yang
diserang adalah organ dalam. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara pengeringan dan penyimpanan jagung
dengan baik. Untuk menghindari jamur, kadar air pada biji jagung saat penyimpanan sebaiknya tidak lebih dari
14%. Mengingat dampak negatif yang dapat ditimbulkan pada ternak, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan
standardisasi melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia (SNI)
serta Keputusan Presiden (Keppres) No. 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan
Standar Nasional, PP dan Keppres tersebut memberikan dasar hukum bagi pelaksanaan Sistem Standarisasi
Nasional (SSN) yang telah di canangkan pada tahun 1994. Standar Mutu Nasional yang diacu antara lain
mengenai batas toleransi Aflatoksin. Batas toleransi aflatoksin untuk bahan baku pakan non ruminansia berkisar
antara 20 – 50 ppb dan antara 100 – 200 ppb untuk pakan konsentrat ruminansia.
Kata Kunci : Jagung, jamur, mikotoksin, ternak

PENDAHULUAN

Jagung merupakan komoditas pokok kedua setelah beras. Selain merupakan bahan
pangan, jagung juga merupakan bahan baku pakan yang penting. Selama penyimpanan,
jagung dapat terserang oleh serangga, mikro-organisme dan tikus, namun serangga dan
cendawan / jamur merupakan penyebab kerusakan utama. Selain melukai biji, serangga
biasanya sekaligus menyebarkan jamur dengan cara membawa spora jamur pada
permukaan tubuhnya. Selain itu, aktivitas metabolisme serangga dapat menyebabkan
kenaikan kadar air substrat yang selanjutnya memacu pertumbuhan cendawan (Mus, et al.,
2002). Pencemaran jagung dapat terjadi pada saat penyimpanan, juga dapat pula terjadi
karena jamur menyerang tanaman di lapangan. Dilaporkan pula bahwa sampel biji jagung di
lapangan, rumah petani, dan gudang penyimpanan, ada tujuh spesies jamur yang ditemukan,
yaitu : Diplodia sp., Fusarium sp., Pennicillium sp., Cladosporium sp., Rhizopus sp.,
Aspergillus spp., dan Trichoderma sp. Dari ketujuh spesies cendawan tersebut yang dominan
adalah Aspergillus spp (Mus, et al., 2002).
Kerugian akibat pencemaran jamur dan aflaktoksin merupakan masalah yang utama
karena pangan dan pakan serta komponennya banyak dirusak secara fisik dan kimiawi.
Kerusakan fisik terjadi oleh pertumbuhan dan populasi jamur sehingga warna, bentuk dan
bau bahan tersebut berubah, sedangkan kerusakan kimiawi terjadi oleh adanya mikotoksin
dari jamur tersebut. Peluang pencemaran ini cukup besar karena iklim tropis di Indonesia
sangat mendukung (Rachmawati, et al., 2004). Mikotoksin yang terdapat pada biji-bijian
(seperti jagung) dapat muncul ketika kondisi lingkungan menguntungkan, dengan kisaran
suhu antara 4°C sampai dengan 40°C (suhu optimumnya adalah 25°C sampai dengan 32°C)
serta pada kadar air (optimum 18%) dan kelembaban tertentu (optimum pada kelembaban
relative 85% atau lebih) (Suparto, 2004).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 589
Seminar Nasional 2005

MIKOTOKSIN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KESEHATAN TERNAK

Menurut Spainhour dan Posey (1992) terdapat lebih dari 300 jenis mikotoksin.
Mikotoksin merupakan senyawa yang bersifat non polar, mempunyai berat molekul yang
rendah, tahan terhadap perlakuan fisik, kimia dan biologis dengan efek toksik yang sangat
bervariasi (Agus, 2001). Ward (1988) melaporkan bahwa mikotoksin dapat menyebabkan
gangguan kelahiran, aborsi, tremor, kanker, dan kerusakan berbagai organ. Kejadian
mikotoksikosis sering berkaitan dengan musim. Toksin-toksin ini dihasilkan oleh jamur
yang mencemari pakan ternak (jagung, bungkil kacang tanah, kedelai, dan lainnya) dan
bahan baku pakan yang paling sering tersecemar jamur adalah jagung (Wyatt, 1976).
Jamur-jamur tersebut menghasilkan mikotoksin antara lain Aflatoksin dan
Okratoksin oleh jamur Aspergilus sp,, Fumosin dan Trichothecenes oleh jamur Fusarium
sp, dan Zearalenone oleh Fusarium graminearum.
Mikotoksin yang paling sering dilaporkan menyebabkan gangguan kesehatan ternak
antara lain : Aflatoksin (B1, B2, G1, G2), Zearalenone, Fumonisins (FA1, FA2, FB1, FB2, FB3,
FB4), Trichothecenes, Okratoksin dan Rubratoksin (Spainhour dan Posey, 1992) dengan
efeknya pada ternak seperti berikut :

a. Aflatoksin
Aflatoksin diproduksi oleh Aspergilus flavus dan Aspergilus parasiticus.
Merupakan toksin yang paling luas penyebarannya dan paling berbahaya pada bidang
peternakan. Pengaruh toksin ini bervariasi tergantung pada spesies, status fisiologi ternak,
dosis dan lamanya terpapar. Toksin ini dapat menyebabkan kerusakan dan kanker pada hati.
(Jacques, 1988).
Secara umum ternak unggas peka terhadap toksin ini, akan tetapi yang paling peka
adalah anak itik, kalkun dan ayam (Buck et al., 1976 dalam Jacques, 1988). Gejala yang
nampak pada ayam adalah pertumbuhannya lambat, dan konversi pakannya yang buruk.
Selain itu secara patologis terlihat kerusakan pada organ hatinya. Gejala ini biasanya
nampak pada pakan yang mengandung aflatoksin sekitar 1,25-10 mg/kg (Tindall, 1983
dalam Jacques, 1988).
Seperti pada ayam, babi yang menderita aflatoksikosis menunjukkan gejala yang
serupa, yaitu penurunan berat badan, penurunan efisiensi pakan, diare berdarah dan aborsi
pada induk yang sedang bunting (Blevins et al., 1969 dalam Jacques, 1988). Lain halnya
dengan unggas dan babi, ternak ruminansia (sapi) dewasa biasanya kurang peka, kecuali
bila terpapar dalam jangka waktu yang panjang. Secara patologis terlihat organ hatinya
mengalami kerusakan, penampakan luar tubuh yang kurang bagus dan mudah terinfeksi oleh
infeksi sekunder (Buck et al., 1976 dalam Jacques, 1988). Berbeda halnya dengan sapi
dewasa, sapi muda atau pedet lebih peka terhadap aflatoksin. Gejala klinis yang sering
terlihat berupa gangguan pencernaan, ikterus (kekuningan), anemia, penurunan nafsu
makan, penurunan FCR (feed convertion ratio) serta mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang lambat. Dilaporkan pula bahwa induk yang mengkonsumsi pakan yang
tercemar aflatoksin akan mengekskresikan aflatoksin melalui air susu ( 5%) sehingga
menginfeksi anaknya (Spainhour dan Posey, 1992).
Yanuartin (2004) melaporkan bahwa dari tiga daerah di Indonesia pemasok jagung
untuk bahan baku pakan ternak ke PT. Sinta Prima Feedmill, jagung dari Makasar
mengandung aflatoksin tertinggi (218-517 ppb) sedangkan untuk jagung impor, yang
tertinggi adalah dari Thailand (43-82 ppb) (Tabel 1).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 590
Seminar Nasional 2005

Tabel 1. Kadar Aflatoxin (ppb) pada Jagung dari beberapa wilayah di Indonesia dan Jagung Impor, 2003-2004.

No Sumber jagung Kadar Aflatoxin (ppb)


1 Jawa Timur 2-214
2 Lampung 2-36
3 Makasar 218-517
4 Cina 1-7
5 Thailand 43-82
6 India 4-8
Sumber : Data analisis periode Oktober 2003- Maret 2004 oleh PT Sinta Prima Feedmill, Jakarta (dalam Yanuartin. C, 2004).

b. Okratoksin
Okratoksin dihasilkan oleh jamur Aspergillus ochraceous dan beberapa spesies dari
Penicillium. Babi yang mengkonsumsi pakan yang mengandung 200 ppb Okratoksin selama
tiga bulan, akan menderita penyakit ginjal, penurunan berat badan, penurunan efisiensi
pakan, dan peningkatan angka kematian Jones (1987) dalam Jacques (1988).
Hampir sama halnya dengan babi, gejala pada unggas serupa yaitu mengalami
penurunan berat badan, penurunan efisiensi pakan, kerusakan ginjal, hati, penurunan
produksi telur, penurunan kualitas karkas, anemia serta muncul permasalahan pada kaki
bahkan kematian (Jones, 1987 dalam Jacques, 1988). Kombinasi infeksi antara aflatoksin
dengan Okratoksin dilaporkan memperkuat hambatan terhadap perkembangan daya tahan
tubuh terhadap penyakit pada unggas (Buck, et al., 1976 dalam Jacques, 1988).
Pada sapi bunting, okratoksin menyebabkan abortus, sedangkan pada pedet
menyebabkan kerusakan ginjal. Toksin ini juga bersifat immunosupresif dan karsinogenik
(penyebab kanker) (Spainhour dan Posey, 1992).

c. Fumosins
Fumosin diproduksi oleh jamur Fusarium moniliforme. Toksin ini sering dikaitkan
dengan kejadian penyakit “moldy corn poisoning” atau “penyakit Equine leuco
encephalomalacia (ELEM) pada kuda dan Porcine pulmonary edema hydrothorax
syndrome atau kebengkakan pada paru-paru pada babi) (Spainhour dan Posey, 1992).

d. Zearalenone
Merupakan metabolite estrogenic yang diproduksi oleh Fusarium graminearum
atau Fusarium roseum. Pakan babi yang mengandung zearalenone dengan konsentrasi 0,66-
5,6 ppm dilaporkan dapat menyebabkan gangguan reproduksi (Young et al., 1986 dalam
Jacques, 1988). Pada konsentrasi kurang dari 1 ppm dapat menginduksi kejadian
feminimisasi (kebetinaan bagi hewan jantan) ; dan pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat
menyebabkan gangguan konsepsi, ovulasi, implantasi (perlekatan embrio pada uterus),
perkembangan fetus dan kelangsungan hidup ternak yang baru lahir. Masalah mikotoksin ini
sering ditemukan pada industri peternakan babi (Spainhour dan Posey, 1992).
Gejala klinis akibat toksin ini tergantung pada umur babi. Babi dara pada saat pre
pubertas menunjukkan gejala hiperestrogenisme (gejala kelebihan hormon estrogen) apabila
terpapar pada dosis rendah. Gejala yang terlihat berupa pembengkakan vulva,
perkembangan mammae, kadang-kadang terjadi prolapsus vagina dan rektum pada kasus
yang berat. Pada percobaan terhadap babi bunting dengan pemberian 38 ppm mengakibatkan
penurunan jumlah fetus yang hidup 38-43 hari setelah perkawinan ; dan dengan pemberian
64 ppm menyebabkan semua embrio mati. Berbeda halnya dengan babi dara, babi dewasa
membutuhkan kadar zearalenone yang lebih besar untuk dapat menyebabkan gangguan
reproduksi seperti : bunting semu, melahirkan anak yang lemah, abortus, dan an estrus (tidak
menunjukkan gejala birahi) (Diekman dan Long, 1984 dalam Jacques, 1988).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 591
Seminar Nasional 2005

Pengaruh zearalenone pada babi pejantan terhadap perkembangan seksual dan


libidonya masih dipertanyakan. Ada yang melaporkan bahwa zearalenone tidak berpengaruh
terhadap libido pejantan dewasa (Ruhr, et al., 1971 dalam Jacques, 1988), namun hasil
penelitian terhadap pejantan pre pubertas dilaporkan dapat menyebabkan terjadinya
penurunan berat testis sehingga menurunkan konsentrasi hormon testosteron di dalam
darahnya, akibatnya terjadi penurunan libido (Berger et al.,1981 dalam Jacques, 1988).
Informasi tentang pengaruh zearaleone terhadap sapi dan unggas masih sangat
sedikit. Nampaknya kedua ternak ini lebih resisten terhadap zearalenone dibandingkan
dengan babi (Jacques, 1988).

e. Trichothecenes
Toksin ini diproduksi oleh jamur Fusarium spp. Sama halnya dengan zearalenone,
toksin ini sering dikaitkan dengan pakan dari jagung yang berjamur. Sudah lebih dari 40
jenis toksin Trichothecenes yang diketahui, akan tetapi yang paling paling toksik yaitu
Toksin T2. Toksin ini kerjanya menghambat sintesa protein dan dan DNA (Spainhour dan
Posey (1992).
T2 merupakan toksin yang poten, dimana pada dosis 16 ppm dilaporkan dapat
menyebabkan lambatnya pertumbuhan dan terjadinya lesi-lesi pada mulut ayam pedaging.
Selain terhadap ayam, sapi juga peka, dimana pada konsentrasi 0,1 mg/kg berat badan
mengakibatkan kematian setelah 65 hari infeksi (Buck et al., 1976 dalam Jacques, 1988).
Toksin ini menyebabkan nekrosis dan haemorhagi (perdarahan) pada saluran pencernaan,
menekan proses regenerasi sel darah pada sumsum tulang dan limfa serta berbagai
perubahan pada organ reproduksi. Gejala klinis yang muncul pada ternak antara lain :
penurunan berat badan, penurunan konsumsi dan penggunaan pakan, muntah-muntah, diare,
aborsi, immunosupresi (tertekannya kekebalan tubuh) dan kematian (Spainhour dan Posey,
1992).

f. Rubratoksin
Rubratoksin dihasilkan oleh Penicillium rubrum dan P. purpurogenum. Toksin ini
merupakan hepatotoksin dan menyebabkan perdarahan pada unggas dan hewan monogastrik.
Mikotoksin ini dapat menyebabkan penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi terutama
pada ternak babi dan unggas (Jacques, 1988).

DIAGNOSIS

Mendiagnosis mikotoksikosis sangat sulit, terutama bila hanya berdasarkan gejala klinis saja,
karena keracunan akibat mikotoksin gejalanya tidak begitu spesifik dan tidak dramatis.
Selain itu kejadian penyakit biasanya berjalan dari per akut (sangat cepat) sampai akut
(cepat). Pemeriksaan perlu dilakukan terhadap pakan yang diberikan antara lain dengan
metode “Wood Lamp”. Biasanya jagung yang mengandung aflatoxin akan terlihat berwarna
kuning kehijauan. Selain itu dapat menggunakan metode Enzyme Linked Immuno Sorben
Assay (ELISA) (Spainhour dan Posey, 1992), Thin Layer Chromatography (TLC), High
Performance Liquid Chromatography (HPLC), dan dengan Gas Chromatograpy (GC)
terhadap sampel pakan atau pangan yang dicurigai (Agus, 2001).

PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN

Memperhatikan akibat yang ditimbulkan oleh mikotoksin, peternak perlu waspada. Untuk
menjadikan bahan pakan bebas dari pencemaran jamur tentu saja tidak mungkin, oleh
karena itu diperlukan tindakan yang bersifat terpadu. Untuk menghindari jagung, bungkil
kacang, bungkil kedele dari cemaran jamur adalah a) menjaga kadar airnya tidak terlalu

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 592
Seminar Nasional 2005

tinggi (tidak lebih dari 14%), b) menyimpan pada tempat kering/tidak lembab dengan lantai
yang dialasi papan kayu, c) menggunakan zat aktif yang mampu menekan pertumbuhan
jamur (Anonimous, 1997).
Pengobatan terhadap mikotoksikosis dilaporkan tidak efektif. Kadang-kadang
ternak dapat sembuh dengan sendirinya apabila sumber toksin dihilangkan (pemberian
pakan berjamur dihentikan) (Phillips, 1989). Menurut Hamilton (1986) dalam Ward (1988),
rendahnya kandungan protein, lemak, dan vitamin dalam pakan memperparah kejadian
mikotoksikosis. Selain itu, penyakit ini akan dapat diperparah oleh penyakit infeksi yang
lain dan temperatur yang ekstrim.
Mineral Selenium dilaporkan dapat mengurangi pengaruh negatif aflatoksin pada
ayam kalkun dan babi. Pemberian pakan yang mengandung 0,2 sampai 4,0 ppm suplemen
selenium dalam bentuk sodium selenite mampu menurunkan pengaruh negatif aflatoksin B 1
(Ward, 1988) sedangkan terhadap dampak Zearalenone, menurut Kamal, et al. (1980) dapat
dilakukan dengan pemberian niacinamed, niasin, dan triptofan, karena ketiga asam amino
ini dapat menstimulasi kerja enzim-enzim yang berfungsi untuk mendetoksifikasi toksin
tersebut. Sedangkan peneliti lain melaporkan bahwa peningkatan kandungan methionin pada
pakan, dapat menurunkan aflatoksikosis pada ayam broiler (Ward, 1988).

KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP MIKOTOKSIN

Untuk mengatasi agar mutu pakan tetap terjaga dan sebagai upaya mewujudkan
sistem jaminan mutu di Indonesia, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan standardisasi
melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia
(SNI) serta Keputusan Presiden (Keppres) No. 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan,
Penerapan dan Pengawasan Standar Nasional, PP dan Keppres tersebut memberikan dasar
hukum bagi pelaksanaan Sistem Standarisasi Nasional (SSN) yang telah di canangkan pada
tahun 1994 (Suparto, 2004). Standar Mutu Nasional yang diacu antara lain mengenai batas
toleransi Aflatoksin. Batas toleransi aflatoksin untuk bahan baku pakan non ruminansia
berkisar antara 20 – 50 ppb dan antara 100 – 200 ppb pakan konsentrat ruminansia (Suparto,
2004). Kadar maksmum aflaktoksin untuk ternak non ruminansia berdasarkan SNI adalah
sebagai berikut (Tabel 2).
Tabel 2. Batas Maksimum Kandungan Aflatoksin (PPB) pada Pakan Non Ruminansia berdasarkan Standar
Nasional Indonsia (SNI).

Batas Maksimum
No Jenis Pakan Kandungan Aflaktosin
(ppb)
1 Ayam Ras Petelur (Stater, Grower, Layer) 50
2 Ayam Ras Pedaging (Stater, Finisher) 50
3 Puyuh Petelur (Starter, Grower, Layer) 40
4 Itik Petelur (Starter, Grower, Layer) 20
5 Babi (penggemukan pada semua fase, Induk bunting atau pun menyusui, 50
maupun pejantan)
Sumber : Suparto, D.A.H. 2004.

Pakan konsentrat ternak ruminansia belum diatur pada SNI, selanjutnya diatur
dengan Persyaratan Teknis Minimal (PTM) yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian seperti
berikut (Tabel 3).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 593
Seminar Nasional 2005

Tabel 3. Batas Maksimum Kandungan Aflatoksin (PPB) pada Pakan Ternak Ruminansia berdasarkan
Peryaratan Teknis Minimal (PTM) Pakan Konsentrat Ruminansia.

Batas Maksimum
No Jenis Pakan
Kandungan Aflaktosin (ppb)
1 Konsentrat sapi perah laktasi (Lactating cows) 200
2 Konsentrat sapi perah laktasi produksi tinggi (High producing 200
lactating cows)
3 Konsentrat sapi perah kering bunting (Dry pregnant cows) 200
4 Konsentrat pengganti air susu (Milk replacer) 100
5 Kosentrat pemula (calf stater) 100
6 Konsentrat sapi dara (Heifer) 200
7 Konsentrat sapi pejantan (Bull) 200
8 Konsentrat sapi potong penggemukan (Fattening) 200
9 Konsentrat sapi potong induk (Breeding cattle) 200
Sumber : Suparto, D.A.H, 2004.

Pada Persyaratan Mutu Bahan Baku Pakan (PMBP) yang dikeluarkan oleh
Direktorat Jenderal Peternakan yang tertuang dalam Surat Keputusan Direktorat Jenderal
Peternakan No. 524/TN.250/KPTS/DJP/DEPTAN/1997, disebutkan bahwa jagung sebagai
bahan baku pakan, maksimum mengandung Aflatoksin sebanyak 50 ppb dan Okratoksin
maksimum 5 ppb (Suparto, 2004).

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Jamur yang sering ditemukan mencemari biji jagung adalah Aspergillus spp., Diplodia
sp., Fusarium sp., Pennicillium sp., Cladosporium sp., Rhizopus sp., dan Trichoderma
sp.
2. Jamur Aspergillus sp menghasilkan Aflatoksin dan Okratoksin, jamur Fusarium sp
menghasilkan Fumosin dan Trichothecenes dan Fusarium graminearum menghasilkan.
Zearalenone.
3. Mikotoksin dapat menyebabkan kanker hati, aborsi dengan gejala ikutan yang lain,
kebengkakan pada paru-paru, imunosupresi bahkan kematian.
4. Untuk mendiagnosis penyakit akibat jamur ini sangat sulit, karena gejalanya kurang
spesifik, karena kebanyakan yang diserang adalah organ dalam. Pencegahan dapat
dilakukan dengan cara pengeringan dan penyimpanan jagung dengan baik. Untuk
menghindari jamur, kadar air pada biji jagung saat penyimpanan sebaiknya tidak lebih
dari 14%.
5. Berdasarkan persyaratan bahan baku pakan pada Persyaratan Teknis Minimal (PTM)
pakan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian, batas toleransi aflatoksin untuk bahan
baku pakan non ruminansia berkisar antara 20 – 50 ppb dan antara 100 – 200 ppb untuk
pakan konsentrat ruminansia.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, A. 2001. Analisis mikotoksin pada bahan pangan dan pakan. Makalah disampaikan
dalam Seminar Nasional Mikotoksin 9 Oktober 2001, di Yogyakarta.
Anonimous, 1997. T2 Toxin. Majalah Ayam Sehat (meningkatkan keterampilan dan
keuntungan peternak). Edisi Mei-Juni 1997. No. 31 Vol. XI. Hal : 15-18.
Jacques, K.A. 1988. Molds : the hidden killer in feeds. Large Animal Veterinarian. July/
August 1988. pp : 43-47.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 594
Seminar Nasional 2005

Muis, A., S. Pakki, dan H. Talanca. 2002. Inventarisasi dan identifikasi cendawan yang
menyerang biji/benih jagung di Sulawesi Selatan. Hasil Penelitian Hama dan
Penyakit. Balitjas, 2002.
Phillips, T. 1989. Hidden damage (recognizing and dealing with an aflatoxin problem).
Large Animal Veterinarian. January/February 1989. pp : 6-7.
Rachmawati,S., A. Lee., T.B. Murdiati., dan I. Kennedy. 2004. Pengembangan Enzyme
Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Teknik untuk Analisis Aflatoksin B1 Pada
Pakan Ternak. Prosiding Seminar Nasional Parasitologi dan Toksikologi Veteriner.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor . Hal : 143-160.
Spainhour, C.B and D. Posey. 1992. Mycotoxins : a silent enemy (what are mycotoxins ?
How can your protect your clients livestock ?). Large Animal Veterinarian,
November/December 1992. pp : 20-25.

Suparto, D.A. 2004. Situasi Cemaran Mikotoksin pada Pakan di Indonesia dan Perundang-
Undangannya. Prosiding Seminar Nasional Parasitologi dan Toksikologi Veteriner.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor . Hal : 131-142.
Ward, N.E. 1988. Nutrional solutions to mycotoxicosis. Large Animal Veterinarian July/
August 1988. pp : 15-16.

Wyatt, R.D. 1976. How to minimize problem in your feed. Poultry. Trib., September:24-27

Yadgini, B. and E.M. Reddy. 1976. Aflatoxicosis in poultry. Poult Advis, April:35-40
Yanuartin, C. 2004. Permasalahan Kualitas Pakan di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional
Parasitologi dan Toksikologi Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. Bogor . Hal : 127- 130.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 595
Seminar Nasional 2005

PENGGUNAAN SHELTER BUATAN UNTUK MENINGKATKAN


KELANGSUNGAN HIDUP UDANG KARANG YANG DIPELIHARA
DALAM KERAMBA JARING APUNG

Moh. Nazam, Prisdiminggo dan Arief Surahman


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB

ABSTRAK

Rendahnya tingkat kelangsungan hidup merupakan salah stu masalah utama yang dihadapi nelayan
dalam usaha pembesaran udang karang dalam KJA untuk meningkatkan pendapatannya. Berbagai upaya telah
dilakukan, di antaranya melalui penggunaan shelter buatan dari rumput laut atau dari potongan-potongan bambu.
Penelitian penggunaan shelter buatan, bertujuan menganalisis tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan
udang karang yang dipelihara dalam KJA dengan penggunaan shelter buatan dari pipa paralon. Benih ukuran 7-
30 gr/ekor dipelihara dalam KJA berukuran 2m x 2m x 3m dengan padat tebar 12 - 15 ekor/m2 dari luas dasar
kantong jaring. Udang karang yang dipelihara diberi pakan ikan rucah segar sekali sehari sebanyak 10% dari
berat. Shelter yang terbuat dari pipa paralon ukuran 2 - 2,5 inchi yang dihubungkan dengan kni T diletakkan di
dasar KJA dengan jumlah lubang 24 buah/kantong jaring. Pengamatan dilakukan setiap bulan sekali. Hasil
penelitian menunjukkan tingkat kelangsungan hidup udang karang yang dipelihara dalam KJA yang diberi shelter
dari paralon adalah 88% dengan laju pertumbuhan 3,89%, sedangkan tingkat kelangsungan hidup udang karang
yang diberi shelter dari rumput laut 94,44% dengan laju pertumbuhan harian 2,19%. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan pipa paralon dapat meningkatkan kelangsungan hidup udang
karang yang dipelihara dalam KJA. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan
produksi dan pendapatan nelayan sekaligus menciptakan lapangan kerja dan memanfaatkan waktu luang nelayan
untuk kegiatan produktif. Berkembangnya usaha ini diharapkan akan mendorong tumbuh dan berkembangnya
simpul-simpul agribisnis pedesaan baik sebagai penyedia input maupun pemasaran output serta jasa-jasa
pelayanan lainnya.
Kata kunci: udang karang, shelter buatan, mortalitas

PENDAHULUAN

Usaha pembesaran udang karang dalam keramba jaring apung (KJA) telah
berkembang di kalangan masyarakat nelayan Teluk Ekas maupun di luar kawasan tersebut
sejak tahun 2001. Dalam perkembangannya produktivitas usaha ini masih rendah disebabkan
karena tingginya tingkat kematian (mortalitas). Umumnya kematian udang karang yang
dipelihara dalam KJA terjadi karena kanibalisme. Udang karang memiliki sifat kanibalisme,
sifat ini sering timbul pada udang karang yang sehat. Sasaran pemangsaan adalah udang
karang yang sedang dalam proses ganti kulit (moulting). Udang karang yang baru moulting
badannya masih lembek, berwarna putih kepucatan dan mengeluarkan aroma yang menarik
selera pemangsa. Untuk mencegah terjadinya kanibalisme harus disediakan tempat
persembunyian buatan (artificial shelters). Di alam udang karang mencari tempat-tempat
persembunyian di gua-gua atau liang-liang karang pada saat menjelang moulting untuk
menghindari pemangsaan dari lawan-lawan hidupnya.
Pada usaha pembesaran udang karang dalam KJA, ketersediaan shelter buatan
memegang peranan yang sangat penting dalam upaya meningkatkan kelangsungan hidup
(survival rate) udang karang yang dipelihara. Shelter dari rumput laut dapat memberikan
pertumbuhan yang baik dengan tingkat kelangsungan hidup 73,33% (Nazam dan
Prisdiminggo, 2001). Kelemahan penggunaan rumput laut adalah cepat berkurang karena
rusak atau dimakan oleh organisme pemakan rumput laut, sehingga harus selalu dikontrol
dan ditambah minimal 2 minggu sekali, dan hal ini dianggap merepotkan bagi nelayan.
Shelter dari potongan-potongan bambu juga dapat meningkatkan kelangsungan hidup udang
karang dalam KJA, tetapi bahan ini sering merusak jaring karena gesekannya.
Penelitian penggunaan shelter buatan bertujuan menganalisis tingkat kelangsungan
hidup dan laju pertumbuhan udang karang yang dipelihara dalam KJA dengan penggunaan
shelter dari pipa paralon. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 596
Seminar Nasional 2005

meningkatkan pendapatan usaha pembesaran udang karang dalam KJA sekaligus


meningkatkan kesejahteraannya.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan pada bulan Februari s/d Mei 2005 di Teluk Ekas, Desa
Batunampar, Lombok Timur. Konstruksi KJA dibuat dari bahan yang mudah diperoleh dan
harganya terjangkau oleh nelayan, namun mempunyai usia ekonomis 3-4 tahun. Wadah
pemeliharaan yang digunakan adalah kantong jaring, terbuat dari jaring polyethylen dengan
ukuran mata 0,5 inchi, berukuran 2m x 2m x 3m. Pelampung dari styrofoam dan jangkar
dari beton.
Benih ukuran 7-30 gr/ekor dengan padat tebar 12-15 ekor/m2 dari luas dasar kantong
jaring. Udang karang yang dipelihara diberi pakan ikan rucah segar sekali sehari sebanyak
10% dari berat. Di dasar kantong jaring diletakkan shelter yang terbuat dari pipa paralon
ukuran 2 – 2,5 inchi yang dihubungkan dengan kni T dengan jumlah lubang 24 buah/kantong
jaring. Sebagai pembandingnya digunakan shelter dari rumput laut jenis Gracilaria atau
Eucheuma cottonii sebanyak 15 kg/kantong jaring. Benih yang digunakan berasal dari hasil
tangkapan nelayan di sekitar lokasi penelitian. Jenis udang karang yang dipelihara adalah
jenis udang mutiara ((P. ornatus) dan pasir (P. humarus). Lama pemeliharaan 4 bulan.
Pemeliharaan mencakup pemberian pakan, pembersihan jaring, dan perbaikan jaring yang
bocor serta pengawasan keamanan. Pengamatan dilakukan setiap bulan sekali. Pengamatan
tingkat kelangsungan hidup dilakukan dengan menghitung jumlah udang karang yang masih
hidup pada saat pengamatan; sedangkan laju pertumbuhan dilakukan dengan menimbang
berat total udang karang. Analisis tingkat kelangsungan hidup dihitung dengan rumus
Effendi (1979). Pertumbuhan mutlak dihitung berdasarkan rumus Royce (1972).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Kelangsungan Hidup


Tingkat kelangsungan hidup (survival rate/SR) menunjukkan perbedaan yang nyata
pada perlakuan shelter yang berbeda, seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tingkat kelangsungan hidup udang karang (Panulirus spp) yang dipelihara dalam KJA selama 4 bulan
pemeliharaan di Teluk Ekas 2005

Penggunaan shelter pipa paralon Penggunaan shelter rumput laut


Ulangan N0 (ekor) Nt (ekor) SR (%) Ulangan N0 (ekor) Nt (ekor) SR (%)
1 ** ** ** 1 50 49 98.00
2 50 38 76.00 2 50 48 96.00
3 50 50 100.00 3 30 27 90.00
4 ** ** ** 4 50 46 92.00
Jml 100 88 88,00 Jml 180 170 94,44

Sumber : Data primer diolah 2005 ** data tidak lengkap

Tingkat kelangsungan hidup yang dicapai dengan penggunaan shelter pipa paralon
sebesar 88%, sedangkan dengan penggunaan shelter rumput laut sebesar 94,44%.
Udang karang memiliki sifat kanibalisme, yaitu sifat suka memangsa jenisnya
sendiri. Sifat ini sering timbul pada udang sehat dan tidak sedang ganti kulit. Sasarannya
adalah udang-udang yang sedang ganti kulit (Mujiman dan Suyanto, 1989). Selang beberapa
hari setelah berganti kulit, kerangka kulit luarnya mengeras lagi dan nafsu makannya sangat
kuat (rakus) dan keluar dari tempat persembunyiannya. Dalam keadaan kurang makan, sifat

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 597
Seminar Nasional 2005

kanibalisme akan tampak lebih nyata. Karena itu faktor makanan juga berpengaruh terhadap
tingkat mortalitas udang karang.
Pertambahan Berat
Pertambahan berat rata-rata individu udang karang yang dipelihara dalam KJA
selama 5 bulan pengamatan, dengan penggunaan shelter paralon dan rumput laut, seperti
terlihat pada Gambar 1.

Pertambahan Berat gr/ekor


80
70
60
50
40
30
20
10
0
Januari Februari Maret April Mei
Bulan Pengamatan

Shelter Paralon Shelter Rumput Laut


Gambar 1. Grafik pertambahan berat udang karang yang dipelihara dalam KJA selama
pemeliharan 5 bulan di Teluk Ekas, Lombok Timur, 2005
Pertambahan berat rata-rata udang karang yang dipelihara dalam KJA dengan
penggunaan shelter pipa paralon maupun rumput laut tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata yaitu 58,05 gr/ekor dan 54,39 gr/ekor dari berat awal, dengan laju pertumbuhan harian
rata-rata 3,44% dan 2,90%. Pertambahan berat yang relatif berbeda bukan disebabkan
karena perbedaan perlakuan, akan tetapi lebih disebabkan karena perbedaan berat awal
udang karang yang dipelihara. Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa semakin besar
berat udang karang pertumbuhannya semakin lambat, sehingga pertambahan berat semakin
kecil. Menurut Kittaka dan Booth (2000), benih udang karang dari jenis P. homarus dapat
mencapai ukuran berat 200 gr/ekor dengan SR yang baik dalam masa pemeliharaan 5-6
bulan, dengan ablasi mata (eyestalk ablation) memberikan pertumbuhan berat dua kali, yaitu
2-4 bulan.
Udang karang mempunyai kerangka luar yang keras (tidak elastis). Oleh karena itu
untuk tumbuh menjadi besar, perlu membuang kulitnya, dan menggantinya dengan kulit baru
yang dikenal sebagai penggantian kulit (moulting). Menjelang ganti kulit, nafsu makan
menurun atau tidak mau makan. Akibatnya terjadi penyusutan badan. Garam-garam
anorganik dari kulit lama diserap disertai dengan pembentukan kulit baru yang lunak di
bawah kulit yang lama. Pada bagian atas kulit luar yang lama yaitu selaput kulit yang
terletak di antara karapas dan abdomen terjadi retakan melintang. Pada saat terjadi
pelepasan kulit, udang karang membengkokkan diri membentuk hurup U terbalik, kemudian
secara otomatis melepaskan diri dari kerangka secara sempurna (lengkap) melalui retakan
kulit yang melintang. Otot-otot anggota tubuh melemas, sehingga memungkinkan
terlepasnya anggota-anggota tersebut dari kulit lama. Mula-mula bagian ruas-ruas abdomen
sampai ekor (telson), kemudian diikuti bagian karapas berikut kaki jalannya dan sungut-
sungutnya (antena). Proses pergantian kulit ini berlangsung dalam waktu kira-kira 15 menit
dan umumnya terjadi pada malam hari.
Pada saat moulting, udang karang mencari tempat-tempat persembunyian di gua-gua
atau liang-liang karang untuk menghindari pemangsaan dari lawan-lawan hidupnya. Udang
karang yang baru moulting badannya masih lembek, berwarna putih kepucatan. Pada waktu

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 598
Seminar Nasional 2005

kulit masih lunak, pertumbuhan luar biasa terjadi dengan menyerap sejumlah besar air.
Selang beberapa hari setelah moulting, kerangka kulit luar mengeras lagi dan nafsu makan
meningkat drastis (rakus), kemudian keluar dari tempat persembunyiannya. Pergantian kulit
udang muda lebih sering terjadi dibanding udang dewasa. Pergantian kulit udang karang
muda lebih sering terjadi dibandingkan dengan yang dewasa (Moosa, 1984). Pada udang
karang dewasa P. versicolor dan P ornatus, pergantian kulit terjadi dalam kurun waktu 5
bulan, tetapi bila diberi makan teratur waktunya dapat lebih pendek (Subani, 1984). Karena
itu pada awal masa pemeliharaan mortalitas udang karang lebih tinggi dibanding pada masa
berikutnya. Dengan demikian berdasarkan data hasil pengamatan tersebut belum dapat
dikatakan bahwa penggunaan shelter yang berbeda berpengaruh terhadap pertumbuhan
udang karang.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan
Tingkat kelangsungan hidup udang karang yang dipelihara dalam menunjukkan
perbedaan yang nyata pada pemberian shelter yang berbeda, dimana penggunaan shelter dari
bahan paralon lebih baik dibandingkan penggunaan shelter dari rumput laut.
Laju pertumbuhan udang karang yang dipelihara dalam KJA dengan pemberian
shelter yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

Implikasi Kebijakan
Penggunaan shelter dari paralon dapat disarankan dalam usaha pembesaran udang
karang dalam KJA, karena selain mudah diperoleh, juga memungkinkan usaha ini dapat
dilakukan di tempat lain yang tidak terdapat usaha budidaya rumput laut sepanjang
persyaratan lingkungan lainnya mendukung.
Untuk mengembangkan usaha pembesaran lobster, ketersediaan benih menjadi salah
satu faktor kendala, sehingga perlu penelitian lebih lanjut pembenihan lobster.

DAFTAR PUSTAKA

Effendie, M.I., 1979. Metode Biologi Perikanan. Cetakan Pertama. Yayasan Dewi Sri,
Bogor.
Kittaka, J. and J.D. Booth. 2000. Prospectus Aquacultur. In Phillips B.F and J. Kittaka (Eds).
Spiny Lobster Fisheries and Culture. Fishing News Books. A division of Blackwell
Science.Ltd. Osney Mead, Oxford OX2 0EL : 465-473.
Moosa, K. 1984. Udang Karang (Panulirus spp) dari perairan Indonesia. LON/LIPI. Jakarta.
Mujiman, A. dan S.R. Suyanto. 1989. Budidaya Udang Windu. Ed. Ke-5. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Nazam, M. dan Prisdiminggo. 2001. Kajian Pemeliharaan Lobster dalam KJA di Teluk Ekas,
Desa Batunampar, Lombok Timur. Pros. Seminar Nasional Pengembangan Teknologi
Pertanian. Mataram: 105 – 109.
Royce, W.F., 1972. Introduction to the fishing sciences. Academic Press, Inc., New York –
San Fransisco – London.
Subani, W. 1984. Studi mengenai Pergantian Kulit Udang Barong (Spiny Lobster, Panulirus
spp), kaitannya dengan Hasil Tangkapan. Lap. Pen. Perikanan Laut No.30 Th.1984,
Jakarta : 99-105.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 599
Seminar Nasional 2005

PEMANFAATAN IOS (INDEKS OSILASI SELATAN)


UNTUK MENDUKUNG MODEL PERTANIAN STRATEGIK
DI LAHAN TADAH HUJAN PULAU LOMBOK.

Ismail Yasin1), Mansur Ma’shum1), Husni Idris1) dan Ahmad Suriadi2)


1)
Fakultas Pertanian Universitas Mataram
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB

ABSTRAK

Variabilitas iklim seperti El Niño Osilasi Selatan (ENOS) mempunyai korelasi yang kuat dengan
kejadian kekeringan dan gagal panen hasil pertanian di lahan tadah hujan pulau Lombok. Kuatnya pengaruh
ENOS itu dapat dilihat dari kejadian kemarau panjang dan kekeringan tahun 1982/1983 dan 1997/1998. Lebih
kurang 8400 ha tanaman padi mengalami kekeringan dan 2000 ha di antaranya mengalami puso pada tahun
1997/1998. Meskipun demikian sampai saat ini belum ada strategi pemerintah yang tepat untuk mengantisipasi
dan mengatasi kekeringan yang disebabkan oleh fenomena tersebut. Para pengambil kebijakan pola tanam
umumnya mengambil keputusan atas dasar persediaan air rata-rata, yang berakibat terjadinya defisit air yang
membawa gagal panen dan gagal panen, terutama di lahan tadah hujan bila fenomena El Niňo melanda wilayah
Indonesia. Suatu model sedang dikembangkan oleh peneliti-peneliti di Universitas Mataram bekerjasama dengan
peneliti dari ACIAR (Australia) dan BPTP NTB untuk membantu para pengambil keputusan dalam menentukan
strategi tanam dengan cepat dan tepat atas dasar jumlah air yang diprakirakan. Model itu memprakirakan jumlah
curah hujan bulanan ataupun musiman, dan sekaligus memilih jenis tanaman dengan resiko gagal panen terendah
Strategi yang ditawarkan untuk lahan tadah hujan dapat berupa menunda penugalan benih padi atau mengganti
tanaman padi dengan tanaman palawija dan sayur-sayuran bila jumlah curah hujan yang diperkirakan tidak
memungkinkan untuk menjamin pertumbuhan tanaman padi secara optimal.
Kata kunci: El Niňo, El-Niňo Osilasi Selatan (ENOS), variasi iklim, kekeringan, model pertanian strategik,
lahan tadah hujan

PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini pembicaraan mengenai pengelolaan lahan tadah hujan yang


berkelanjutan kembali mencuat kepermukaan. Disamping penerapan konservasi tanah dan
air, yang menjadi paradigma pertanian berkelanjutan dekade 1990an, sekarang ini para
peneliti memokuskan perhatiannya pada penganeka-ragaman jenis tanaman yang diusahakan
baik di musim hujan maupun di musim kemarau. Strategi tanam tersebut bukan saja
bertujuan untuk perlindungan tanaman terhadap gangguan hama dan penyakit, tetapi juga
untuk mengatur harga produk di pasar. Dua penelitian ACIAR yang sedang berjalan; yakni
pengelolaan tanah Vertisol dan prakiraan iklim musiman paling tidak mempunyai tujuan
akhir pembudayaan pengusahaan berbagai jenis tanaman bukan padi yang bernilai ekonomi
tinggi untuk mengganti tanaman padi yang terkenal boros air dan tidak menguntungkan.
Permasalahan defisit air untuk produksi tanaman di lahan tadah hujan merupakan
masalah yang melekat dan tidak mudah mengatasinya. Meskipun teknologi gogorancah telah
diterapkan tetap saja permasalahan defisit air sangat menentukan tingkat hasil tanaman padi.
Data produksi padi gogorancah yang terdokumentasi baik oleh Dinas Pertanian Propinsi
NTB menunjukkan bahwa hasil rata-rata padi menurun hingga 50 persen dari tahun
sebelumnya saat kejadian El Niňo 1982/1983 (Diperta NTB, 1992). Bukti lain menunjukkan
bahwa hampir pada setiap kejadian El Niňo dalam setengah abad terakhir ini menghasilkan
kemarau panjang, kekeringan dan gagal panen hingga menimbulkan kekurangan pangan dan
kelaparan di tahun-tahun 1960an dan 1970an. Yokoyama (2001) melaporkan bahwa
sebagaian besar lahan tadah hujan di Lombok selatan mengalami gagal panen atau panen
yang sangat buruk pada saat kejadian El Niňo 1997/1998.
Data produksi dan luas panen padi yang dicatat BPS sejak tahun 1968 sampai dengan
tahun 2000 memperlihatkan fluktuasi dalam produksi maupun luas panen. Apabila diteliti
secara saksama dengan menghilangkan trend pengaruh faktor yang lain (detrend) maka
penurunan produksi padi terjadi bersesuaian dengan kejadian fenomena El Niňo. Hal ini dapat

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 600
Seminar Nasional 2005

ditafsirkan bahwa telah terjadi kekeringan yang menyebabkan penurunan luas panen pada tahun
tahun El Niňo. Beberapa kejadian El Niño, misalnya tahun 1995/1996 dan 1997/1998 sangat
terasa pengaruhnya pada sistem pertanian di Nusa Tenggara Barat. BPTPH (1999) mencatat
pada El Niño tahun 1997/1998 tersebut terjadi kekeringan seluas 8000an ha di musim tanam
pertama dan lebih kurang 1400 ha diantaranya mengalami puso.
Mempertimbangkan hal-hal tersebut maka perlu ada upaya yang tepat untuk
memaksimalkan manfaat air, terutama pada kondisi curah hujan di bawah normal adalah
dengan memilih sistem managemen tanaman cocok dengan kondisi curah hujan.

STATUS LAHAN TADAH HUJAN DI LOMBOK

Luas tadah lahan di pulau Lombok memcapai luas 17688 ha yang terletak di tiga
kabupaten di Lombok yakni, yakni Lombok Barat (2.641 ha), Lombok Tengah (11.284 ha)
dan Lombok Timur (3763 ha). Berdasarkan kecamatan maka lahan tadah hujan tersebut
terlrtak di kecamatan Sekotong Tengah (2261 ha), Lembar (347 ha), Bayan (33 ha), Praya
Barat dan Praya Baratdaya (4310 ha), Praya Timur (171 ha), Pujut (5050 ha), Janapria (890
ha), Kopang (323 ha), Batukliang (540 ha), Keruak dan Jerowaru (ha), Terare (686 ha), Sakra
(93 ha), Sikur 28 ha, Peringgasila (113 ha) dan Sambelia (118 ha). Lahan tadah hujan
tersebut tergolong dalam jenis tanah Grumusol (Vertisol), Regosol (Entisols, Inceptisol,
Andosol), Mediteran (Cambisol, Alfisol).
Lahan tadah hujan dengan jenis tanah Vertisol di pulau Lombok terutama tersebar di
dataran Tanah Malit di Lombok bagian selatan (Team ITB, 1969), dan sedikit terdapat di
Lombok Timur wilayah kecamatan Sambelia dengan jenis tanah bervariasi. Secara fisik
tanah Vertisols merupakan tanah bertekstur liat (tekstur berat) dengan solum yang relatif
dalam (>1m). Tanah ini bersifat mengembang dan mengkerut sesuai dengan keadaan
lengasnya. Jika basah (musim hujan) sangat lekat dan licin, sedangkan jika kering (musim
kering) retak-retak. Tektur tanah tergolong lempung berat dengan kadar fraksi lempung lebih
besar dari 50% sehingga memiliki kemampuan menyimpan air (water holding capacity)
yang relatif besar. Secara alami tanah tersebut mempunyai pH dan KPK dan kejenuhan basa
yang yang tinggi. Meskipun demkian kadar bahan organiknya umumnya rendah karena
kurangnya opaya pengembalian bahan organik atau terjadinya pengangkutan bahan organik
atau jerami untuk keperluan lain. Kesuburan tanah tergolong sedang dengan kandungan
kalium (K) tinggi akan tetapi N dan P umunya rendah samapi sedang.
Lahan sawah tadah hujan yang bukan Vertisol umumnya termasuk jenis tanah
Alfisol (Mediteran merah kuning) yang biasanya berasosiasi dengan jenis tanah lain
misalnya dengan tanah Vertisol, Kambisol dan Lithosol. Tanah ini ditemukan di daerah
Sambelia, Sakra dan Pringgabaya.. Lahan sawah tadah hujan ini pada tahun 1990an
umumnya merupakan lahan kering, padang pengembalaan atau tegalan, tetapi sekarang
sudah dicetak sehingga berfungsi sebagai lahan sawah tadah hujan.
Lahan sawah tadah hujan di Lombok selatan mempunyai beberapa masalah yang
bermuara pada rendahnya jumlah air tersedia untuk bercocok tanam. Permasalahan pertama
adalah jauhnya letak daerah ini dari sumber air yang terutama berada di sepanjang kaki bukit
Pengunungan Rinjani belahan selatan. Permasalahan kedua adalah daerah Lombok bagian
selatan hampir tidak mempunyai saluran air bawah tanah (aquifer) yang berguna untuk
mentransfer kelebihan air di Lombok bagian utara ke wilayah defisit air di Lombok bagian
selatan. Permasalahan lainnya adalah keadaan curah hujan rata-rata yang lebih rendah dan
terdistribusi tak merata sepanjang tahun. Musim hujan berlansung 3- 4 bulan dan labih
kurang 80% dari curah hujan tahunan jatuh pada bulan-bulan musim hujan itu. Masalah
yang terakhir adalah adanya variasi hujan tahunan yang disebabkan oleh fenomena El Niňo.
Fenomena tersebut umumnya menyebabkan curah hujan berada di bawah normal.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 601
Seminar Nasional 2005

VARIABILITAS IKLIM MUSIMAN DI PULAU LOMBOK

Keberadaan pulau Lombok di daerah khatulistiwa dan diapit oleh dua benua (Asia
dan Australia) dan dua samudera (Samudera India dan Samudera Pasifik) menyebabkan
pulau ini dipengaruhi oleh iklim musiman (moonsonal climate); sedangkan keberadaannya di
antara dua samudera dan pada sabuk khatulistiwa menyebabkan pulau Lombok dipengaruhi
angin pasat timur (easterly trade winds) yang datang dari Samudera Pasifik. Dalam hal ini,
angin dingin dari belahan bumi utara dan selatan akan berhembus ke arah daerah yang lebih
hangat (khatulistiwa). Karena gaya korriolis angin ini mengalami konvergensi dan bergerak ke
arah barat sambil membawa uap air (McDonald dan Partners Asia, 1985; Martyn, 1992).
Pada kondisi normal musim hujan Indonesia, khususnya pulau Lombok dipengaruhi
oleh angin yang berada pada lajur khatulistiwa. Lajur angin ini dinamakan zona konvergensi
inter tropika (the inter tropical convergence zone/ITCZ) yang pada saat belahan bumi bagian
selatan (Benua Australia) mengalami musim panas (Desember s/d. Februari). berada lebih utara,
yaitu berada di antara 170 dan 80 LS (Coll dan Whitaker, 1990). Pemanasan daratan Australia
menyebabkan berkembangnya pusat tekanan rendah yang pada gilirannya menarik udara dari
daerah tropika ke arah Australia. Angin pasat timur yang kaya uap air dari Samudera Pasifik
berbelok ke arah Benua Australia menjadi angin barat laut (north westerly winds) dan
menyebabkan musim hujan di sebagian besar kepulauan Indonesia.
Namun curah hujan di setiap musim hujan tidak sama, melainkan bervariasi tergantung
beda tekanan yang mendorong gerakan angin pasat timur. Angin pasat timur di Pasifik bagian
tengah yang biasanya berhembus ke barat kadamg-kadang berhenti bahkan arahnya berbalik
ke arah timur (Kuhnel et al, 1990). Perubahan arah angin pasat ke timur menimbulkan
penggantian secara besar-besaran rezim curah hujan di daerah tropika, yang menghasilkan
perubahan yang besar dalam sirkulasi atmosfir global yang pada gilirannya memaksa
perubahan cuaca di wilayah Pasifik tropika. Kondisi inilah yang disebut fenomena El Niño
(Coll dan Whitaker, 1990; Musk, 1988).
Cara yang paling umum dilakukan untuk mengukur besarnya pengaruh El Niňo pada
kejadian curah hujan adalah dengan menghubungkan indeks osilasi selatan (IOS) dengan
anomali curah hujan setempat. IOS merupakan selisih dari anomali tekanan atmosfer
permukaan laut di Tahiti (170 S,150 W) dan Darwin (120 S, 131 W), distandarisasi pada
rata-rata nol dan dikalikan 10 kali simpangan baku (normalised Z-score kali 10) (Abawi dan
Dutta, 1998, Allan et al., 1996b).
( PT  PD ) x10
IOS 

dimana PT dan PD adalah anomali tekanan atmosfer (simpangan dari rerata) di Tahiti dan
Darwin; sedangkan  adalah standar deviatsi (SD) dari selisih tekanan. Nilai IOS negatif ini
menunjukkan adanya tekanan udara di atas permukaan laut yang lebih tinggi di Darwin
dibandingkan dengan dengan di Tahiti dan mencerminkan curah hujan di Indonesia berada di
bawah normal. Nilai ekstrem dari osilasi ini dicapai bilamana tekanan udara permukaan laut di
Pasifik tengah lebih rendah dari normal maka tekanan udara permukaan laut di Darwin
cenderung di atas normal. Pasangan suhu permukaan laut (SPL) yang hangat dan osilasi selatan
(OS) biasanya diacu sebagai kejadian ENOS (Hammer dan Nicholls, 1996; Allan et al, 1996a)
Apabila anomali (simpangan baku) dari data runtun curah hujan bulanan, musiman
atau tahunan dihuhubungkan dengan IOS maka diperoleh petunjuk tentang adanya keterkaitan
yang erat antara nilai IOS dan kejadian hujan di pulau Lombok; dimana pada tahun-tahun El
Niňo (IOS secara konsistent negatif) umumnya curah hujan berada jauh di bawah rata-rata
yang diikuti dengan kejadian kekeringan dan panen padi tidak memuaskan. Gambar 1 di
bawah memperlihatkan bahwa dalam rentang waktu 50 tahun (1950-2000) paling tidak
terjadi 18 kali rata-rata hujan di Lombok selatan berada di bawah normal (< 1537 mm), yaitu
terjadi pada tahun-tahun 1951; 1957; 1958; 1961; 1963; 1965/1966, 1969; 1971; 1972;
1976; 1977; 1979; 1982/1983; 1990; 1993; 1994; 1996 dan 1997/1998. Kejadian hujan di

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 602
Seminar Nasional 2005

bawah normal (di bawah rata-rata jangka panjang) tersebut, 10 kali diantaranya (56%)
bertepatan dengan kejadian fenomena El Niño.
Demikian pula kejadian hujan di atas normal (di atas rata-rata jangka panjang)
sebesar 1700 sampai dengan-2500 mm) terjadi 17 kali, yakni terjadi pada tahun 1950; 1952;
1955; 1962;1964; 1968; 1970; 1974;1975; 1977;1978; 1981; 1984; 1988; 1992; 1995 dan
1998, delapan kali diantaranya (53%) berkaitan dengan fenomena La Niña

Sengkol Lombok Selatan Penujak Rata-rata


3500

3000
Curah hujan (mm)

2500

2000

1500

1000

500

1950 1955 1960 1965 1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000
Tahun

Gambar 1. Varaiasi curah hujan tahunan di beberapa lokasi di Lombok bagian selatan

Gambar 2 di bawah menyajikan variasi hujan di awal dan menjelang akhir musim hujan.
Pada triwulanan I (Oktober s/d Desember) terjadi beberapa kali hujan di atas 200 mm,
yang berarti jumlah yang lebih dari cukup untuk memulai bercocok tanam. Tahun
kejadiannya adalah 1950; 1952; 1954; 1955; 1964; 1974; 1975; 1978; 1981; 1987; dan
1992. Sedangkan kejadian hujan di bawah normal (<100 mm) pada triwulan ini terjadi
tahun 1951; 1963; 1969; 1972; 1976; 1977; 1979; 1982; 1986; 1990; 1994; dan 1997.

Rerata Okt- Des Rerata Jan-Mar


350

300
Curah Hujan (mm)

250

200

150

100

50

0
1950 1955 1960 1965 1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000

Tahun

Gambar 2. Variasi hujan triwulanan I dan II selama musim hujan periode 1950 – 2000 di pulau
Lombok

Hujan ekstrim tinggi (>300 mm) selama triwulan II (bulan Januari s/d Maret) terjadi
beberapa kali yakni tahun 1957; 1975; 1984; 1994 dan 1995. Sedangkan ekstrim rendah (<

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 603
Seminar Nasional 2005

180 mm) terjadi tahun 1958; 1961; 1964; 1972; 1973; 1976; dan 1979. Kejadian hujan
ekstrim rendah dan ekstrim tinggi selama periode musim hujan (1950 s/d 1998) di atas
ternyata sebagai besar bertepatan dengan kejadian fenomena El Niño dan La Niña di Pasifik
Tengah
Dari analisis triwulan ini dapat disimpulkan bahwa fenomena El Niño menyebabkan
rendahnya curah hujan bulan Oktober sampai Desember. Hal ini mengindikasikan
tertundanya musim hujan. Sebaliknya fenomena La Niña menyebabkan curah hujan
melampui 200 mm per triwulan dan hal ini mengindikasikan musim hujan yang datang lebih
awal dari keadaan normal. Pada triwulan kedua (Januari s/d Maret) ternyata tinggi rendahnya
curah hujan pada bulan-bulan tersebut kurang berkaitan dengan fenomena ENSO. Hal ini
terbukti dengan fluktuasi hujan di bawah dan di atas normal tidak bersesuaiana dengan
kejadian ENSO.

PENGGUNAAN INDEKS OSILASI SELATAN UNTUK PRAKIRAAN SIFAT


HUJAN

Bey et al. (1997) mengusulkan tiga pendekatan untuk menyesuaikan sistem


usahatani dengan sifat iklim dan cuaca, yaitu (1) pendekatan strategis, (2) pendekatan taktis
dan (3) pendekatan operasional. Yang dimaksudkan dengan pendekatan strategis adalah
analisis data iklim yang bersifat rata-rata dengan menggunakan data historik. Pendekatan
taktis dilakukan melalui pengembangan metode dan teknik ramalan musim yang handal,
melalui penerapan berbagai model dan ragam data. Pendekatan operational dilakukan untuk
mitigasi bencana akibat iklim yang tidak menguntungkan.
Analisis data iklim, curah hujan, temperatur, kelembaban udara rata-rata telah
banyak dilakukan oleh para pengguna, perencana proyek. Data curah hujan rata-rata juga
disajikan dalam berbagai laporan kegiatan proyek pemerintah. Akan tetapi analisis atau
prakiraan iklim musiman yang merupakan pendekatan taktis sangat langka dilakukan di
Indonesia. Meskipun Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Pusat menerbitkan prakiraan
sifat curah hujan untuk 3 bulan ke depan, gema dari kegiatan itu hanya diketahui oleh
kalangan terbatas. Dalam arti banyak lembaga-lembaga pemerintahan yang seharusnya
berkepentingan dengan data tersebut tidak mengetahui atau kurang sekali menaruh perhatian
pada kegiatan itu.
Dengan memanfaatkan hubungan antara indeks osilasi selatan (IOS) dan kejadian
hujan di Lombok dapat dibuat suatu sistem prakiraan musim yang lebih dipercaya. Data IOS
dapat diperoleh dengan bebas di beberapa situs iklim di internet sedangkan data curah hujan
yang diperlukan adalah curah hujan bulanan minimal 30 tahun. Data ini dapat diperoleh di
stasiun BMG Mataram atau di BPTPH Narmada. Untuk menyederhanakan proses prakiraan
ini maka sebuah program komputer yang dinamakan FlowCast(R) dapat dipergunakan untuk
membantu mempercepat proses analisis dan pengambilan kesimpulan. .Dengan
menggunakan data curah hujan bulanan minimal 30 tahun dari puluhan stasiun pencatat
curah hujan di pulau Lombok secara umum diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan IOS
sebagai peramal kejadian hujan bulanan atau musiman sangat baik di sepanjang musim
kemarau dan awal musim hujan. IOS kurang mampu memprakirakan sifat hujan mulai dari
bulan Januari s/d April. Dengan demikian penggunaan IOS dapat menjadi petunjuk
kebasahan musim kemarau, awal musim tanam pertama dan curah hujan selama musim
tanam pertama. Umumnya rata-rata IOS bulan Mei, Juni dan Juli digunakan untuk
memprakirakan hujan bulan Agustus, September dan Oktober. Dapat pula IOS bulan Juni,
Juli Agustus dan September (JJAS) atau IOS Juli, Agustus, September dan Oktober (JASO)
dipergunakan untuk memprakirakan curah hujan musim tanam pertama (November,
Desember, Januari dan Februari (NDJF)). Tabel 1 memperlihatkan hasil prakiraan awal
musim tanam dan curah hujan selama musim tanam dengan menggunakan IOS rata-=rata
JJAS. Terdapat selisih berkisar antara 200 – 400 mm per musim (4 bulan) bila SOI dibawah
<–5 dibandingkan dengan bila SOI >5. Perbedaan tersebut makin tampak di stasiun curah

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 604
Seminar Nasional 2005

hujan yang jauh dari pantai dibandingkan dengan stasiun curah hujan yang dekat dengan
pantai
Tabel 1. Prakiraan curah hujan (CH) musiman pada peluang 70% dan awal jatuhnya musim hujan pada kondisi
El Niño (IOS <-5) dan La Niña (IOS >+5

NDJF Oktober November


Lokasi Stasiun Curah Hujan
IOS <-5 IOS>5 IOS <-5 IOS>5 IOS <-5 IOS>5
Mataram 665 860 7 100 110 140
Sesaot 980 1130 55 230 160 330
Jurangsate 950 1020 20 100 135 235
Barabali 900 1150 30 170 60 290
Kopang 850 1120 0 65 90 260
Praya 850 1127 0 80 50 230
Penujak 700 1000 0 70 70 120
Mujur 680 875 0 50 20 125
Sengkol 800 1110 0 75 30 125
Keruak 573 620 0 3 15 90

Table 1. menyajikan curah hujan yang diharapkan selama musim tanam pertama (MT
I) bulan November s/d Februari (NDJF) dan curah hujan bulanan yakni bulan Oktober dan
November pada peluang 70% pada kondisi signal IOS rata-rata bulan Juni s/d September di
bawah -5, dan di atas +5. Pada kondisi El Niño curah hujan selama musim tanam umumnya
lebih rendah daripada kebutuhan tanaman padi yang membutuhkan sekira 1000 mm
(Doorenbos dan Pruitt, 1977; Sys et al, 1991). Oleh karena itu tanaman padi kemungkinan
akan mengalami cekaman sekali atau beberapa kali selama musim tanam. Cekaman yang
dialami pada fase vegetatif biasanya dapat disembuhkan dengan tanam ulang atau menyisip
akan tetapi apabila cekaman itu dialami pada fase reproduktif maka efeknya biasanya tak
dapat balik atau tak terobati. Dalam hal ini El Niño sering kali menyebabkan cekaman air
pada fase vegetatif; akan tetapi tidak menutup kemungkinan menyebabkan tanaman
mengalami cekaman air di kedua fase tersebut sehingga menyebabkan gagal panen.
Sebaliknya pada kondisi La Niña (IOS di atas 5) curah hujan secara umum berada dalam
keadaan cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman padi di lahan sawah tadah hujan. Akan
tetapi perlu diwaspadai bahwa curah hujan di atas 200 mm di bulan November dapat
mengganggu pertumbuhan awal padi gogo rancah dan memaksa terjadinya penggenangan
dini.
Oleh karena itu tanaman padi kemungkinan akan mengalami cekaman sekali atau
beberapa kali selama musim tanam. Cekaman yang dialami pada fase vegetatif biasanya
dapat disembuhkan dengan tanam ulang atau menyisip akan tetapi apabila cekaman itu
dialami pada fase reproduktif maka efeknya biasanya tak dapat balik atau tak terobati. Dalam
hal ini El Niño sering kali menyebabkan cekaman air pada fase vegetatif; akan tetapi tidak
menutup kemungkinan menyebabkan tanaman mengalami cekaman air di kedua fase
tersebut sehingga menyebabkan gagal panen. Sebaliknya pada kondisi La Niña (IOS di atas
5) curah hujan secara umum berada dalam keadaan cukup untuk memenuhi kebutuhan
tanaman padi di lahan sawah tadah hujan. Akan tetapi perlu diwaspadai bahwa curah hujan
di atas 200 mm di bulan November dapat mengganggu pertumbuhan awal padi gogo rancah
dan memaksa terjadinya penggenangan dini.

PERAN PRAKIRAAN IKLIM MUSIMAN DALAM MODEL TANAM


STRATEGIK

Model tanam strategik yang dinamakan Aciar Cropping Model (ACM) merupakan
model bercocok tanam yang mirip seperti sistem surjan (dam culture), tetapi pada
hakekatnya berbeda dalam desain dan praktek penerapannya. ACM berintikan sistem bedeng
permanen sebagai media tanam, sedangkan jenis tanaman berbeda-beda dari palawija
(jagung, kedelai, kacang tanah) sampai sayur-sayuran (kacang panjang, cabe, tomat dll).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 605
Seminar Nasional 2005

Pemilihan jenis tanaman didasarkan atas kondisi cadangan air dan ekspektasi harga pasar
dari hasil tanaman saat panen. Dengan memperhatikan kondisi cadangan air di lahan tadah
hujan maka paling tidak dapat diadakan dua kali tanam dengan kondisi lengas tanah yang
optimal, dan intensitas tanam dapat diperbanyak hingga empat kali bila lingkungan setempat
mempunyai embung, atau sumur dalam, ataupun mempunyai sistem irigasi tidak jauh dari
lokasi. Petani kita yang biasanya terlalu bergantung pada jenis tanaman padi hingga
menyebabkan petani sering mengalami gagal tanam atau gagal panen; padahal dengan
kondisi air yang tersedia lebih dari cukup untuk menanam tanaman kacang-kacangan,
jagung, cabe atau banyak tanaman non padi lainnya. Model ACM beruha mengurangi
kecenderungan tersebut semata-mata demi menghindari gagal panen dan membuat petani
kita makin tangguh berkat panen tanaman non padi yang optimal.
Sekarang ini model ACM ini sedang di desiminasi di kawssan yang diperkirakan
mempunyai air tanah yang cukup (mengacu pada sumur yang sudah ada), di daerah yang
dekat dengan saluran irigasi dan lahan tadah hujan yang mempunyai embung. Beberapa jenis
tanaman yang sedang dicoba adalah bawang merah kacang panjang dsb. Laporan hasil
analisis ekonomi dan finasial dari kegiatan ini memang belum diterbitkan karena masih baru
memasuki tahap awal pelaksanaan namun dari hasil pantauan mingguan menunjukkan
adanya respon petani yang positif. Para peneliti yang terlibat dalam program ini juga
sekaligus membangun jaringan pemasaran produk sehingga petani tidak kesulitan
memasarkan produknya bila panen melimpah.
Peran prakiraan musim dengan menggunakan metode di atas dalam model tanam
strategik ini sangat esensial. Output dari prakiraan hujan musiman beruapa ekspektasi jumlah
hujan pada bulan-bulan menjelang berakhirnya musim kemarau, yakni bulan Oktober,
November dan Desember. Dapt pula dipredeksi jumlah hujan dalam semusim, misalnya
curah hujan dari bulan Oktober sampai dengan bulan Februari. Pada intinya prakiraan curah
hujan musiman ini akan membantu pengguna model tanam ACM untuk memilih jenis
tanaman yang cocok dan saat tanam yang tepat. Musim hujan yang pendek hendaknya dikuti
dengan pemeilihan jenis tanaman yang berumus pendek. Begitu juga bercocok tanam di
daerah yang beriklim kering hendaknya dikuti dengan penanaman jenis tanaman yang relatif
tahan dengan komdisi yang kerirng. Akan tetapi kadang-kadang petani akan memutuskan
menanam tanam yang kurang cocok, (misalnya memilih cabe pada MT I) karena ekspektasi
harga saat panen, akan tetapi petani telah mengantisipasi resiko tumpat air untuk itu mereka
bersedia menyediakan tambahan modal untuk membeli mulsa plastik untuk mencegah
kematian tanaman akibat kelebihan air. Hal-hal semacam ini tentunya akan dianalisis oleh
para peneliti yang terlibat dalam desiminasi program ini.
Informasi curah hujan bulanan atau musiman yang diberikan akan berupa ekspektasi
curah hujan pada peluang 70% dan pilihan berbagai jenis tanaman yang cocok ditamam
bulan yang sedang berjalan. Sajian neraca air yang diekspektasikan akan menjadi bagian
yang tak terpisahkan dari paket ini. Dari hasil prakiraan curah hujan musiman itu maka para
peneliti UNRAM yang sedang mendisiminasi program akan menterjemahkannya ke dalam
bahasa petani sehingga mereka dapat memahami maknanya dengan jelas.
Ringkasnya, peluang untuk meningkatkan produktivitas lahan tadah hujan Vertisol
Lombok akan makin besar bila sumberdaya iklim, embung, sumur dikelola dengan baik.
Kegagalan panen dapat dihindari dengan memilih tanaman; sedangkan masa tanam dapat
diperpanjang sampai empat kali tanam dalam setahun apabila kita menyimpan cadangan air
di embung serta mengatahui cara pemanfaatan air embung yang efsien. Sering strategi untuk
meningkatkan produktivitas lahan tadah hujan Vertisol ini masih dianggap masih sebatas
teori; akan tetapi fakta mengungkapkan hal yang demikian. Memang fakta tersebut di atas
masih berupa hasil penelitian yang memerlukan biaya besar untuk merawatnya. Apa yang
telah didemontrasikan oleh penelitian di atas bahwa sangatlah mungkin petani memperoleh
untung yang besar dengan menanam tanaman selain padi pada musim hujan. Sisa air yang
tidak dipakai oleh tanaman pada musim hujan bisa digunakan untuk bercocok tanam pada

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 606
Seminar Nasional 2005

musim berikutnya. Selanjutnya petani lah yang berkreasi untuk mewujudkan semua hal di
atas.

PENUTUP

Menengok jauh ke belakang Lombok bagian selatan telah menjadi pusat perhatian
pemerintah karena kondisinya yang serba minus. Pada pertengahan dekade 1960an daerah
ini mengalami paceklik yang hebat yang menyebabkan ribuan orang mengalami busung
lapar. Pemerintah pusat yang menilai daerah serba minus tersebut sebagai daerah kritis atau
daerah rawan pangan. Untuk mengatasi kondisi rawan pangan akibat gagal panen yang
sering terjadi Gubernur NTB waktu itu, Gubernur R. Wasita Kusumah meluncurkan program
“Wijaya Kusuma” yang bertumpu pada mekanisasi pertanian. Pemerintah beranggapan
bahwa gagal panen yang sering terjadi dipicu oleh kelambanan petani mempersiapkan
lahannya untuk ditanami. Tanah Vertisol yang susah diolah dianggap sebagai penyebab
banyaknya sawah tidak dapat diolah atau ditanami. Oleh karena itulah pemerintah
memutuskan untuk membantu petani dengan menyediakan traktor pengolah tanah. Pada saat
itu teknologi traktor masih terlalu canggih bagi petani, sehingga hanya sebagai kecil petani
yang dapat mengakses penggunaan traktor bantuan tersebut. Hal inilah yang membuat
program “Wijaya Kusuma” tidak fapat berjalan sesuai dengan harapan pemerintah.
Pada masa pemerintahan Gubernur Gatot Suherman tahun 1980an dicetuskanlah
program Operasi Tekad Makmur (OTM) yang berintikan penerapan sistem gogorancah.
Meskipun sistem gogorancah ini telah dipraktek oleh petani sejak puluhan tahun sebelumnya
namun pada tahun 1980an itu lewat OTM ini program ini menjadi simbul kemakmuran
provinsi NTB. Memang banyak kritik tajam berupa pengerahan petani oleh ABRI dibalik
keberhasilan yang dimunculkan dipermukaan; namun haruslah diakui bahwa buah
pemaksaan yang dilakukan ABRI itu adalah petani menjadi terbiasa mengolah tanahnya di
musim kemarau.
Sekarang ini gebrakan apa yang harus dilakukan untuk membuat sistem pertanian di
lahan Vertisol ini berkelanjutan. Apakah sistem gora akan terus kita pertahankan? Apakah
dengan pertumbuhan jumlah penduduk di daerah ini yang terus tumbuh di atas rata-rata
nasional tidak membuat rakyatnya gelisah; sedangkan sistem produksi pertanian tetap
dipertahankan seperti apa adanya? Mau tidak mau jumlah pangan yang dibutuhkan akan
terus meningkat. Dulu mempunyai cukup padi di lumbung sudah melegakan hati petani dan
mereka boleh beristirahat sepanjang musim kemarau, Tetapi lahan petani sudah makin
menyempit karena dibagi-bagi kepada anak-cucunya; dan juga banyak lahan sawah yang
dialih fungsikan menjadi lahan pemukiman. Berternak kerbau yang dulu mengisi waktu
luang sepanjang musim kemarau sekarang sudah terkikis habis dan yang tersisa adalah
sebidang lahan sempit yang hasilnya mungkin tidak cukup untuk menafkahi pemiliknya
dalam setahun. Maka lewat renungan penutup ini penulis mengingatkan bahwa tugas untuk
mencari strategi dalam mensejahterakan kehidupan petani belumlah selesai. Sekarang ini
pendapatan petani terus mengecil karena jumlah mereka makin membanyak, sedang lahan
usahataninya tetap seperti dulu, bahkan menyempit karena dijadikan areal pemukiman.

DAFTAR PUSTAKA

Abawi; G.Y. dan S. C. Dutta, 1998. Forecasting of streamflows in NE-Australia based on the
Southern Oscillation Index. DNR. Australia.
Abawi, Y. I Yasin, S. Dutta, T. Harris, M. Ma’shum, D.McClymont, I. Amien dan R. Sayuti.
2002. Capturing the benefit of seasonal climate forecast in agricultural management:
Subproject 2- Water and Crop Management inIndonesia. Final Report to ACIAR.
QCCA-DNRM. Toowoomba Australia.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 607
Seminar Nasional 2005

Allan, R. J. Lindesday, D. Parker. 1996. Southern Oscillation and Climatic Variability.


CSIRO. Australia.
Bey, A., I. Amien., R. Boer., Hondok,. I. Las dan H. Pawitan. 1997. Pengembangan Metode
Analisis Data Iklim dan Pewilayahan Agroklimat dalam Menunjang Usahatani yang
Prosfektif. Dalam Yustika Baharsyah et al., (1997). Sumberdaya Air dan Iklim
dalam Mewujudkan Pertanian Efisien. Deptan dan PERHIMPI. Pp 171 – 193.
Biro pusat Statistik (BPS). 1997. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Kerjasama BPS Prop.
NTB dengan Bappeda NTB.
Biro pusat Statistik (BPS). 2000. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Kerjasama BPS Prop.
NTB dengan Bappeda NTB.
BPTPH VII. 1999. Laporan Evaluasi Kegiatan Perlindungan Tanaman Tahun Anggaran
1998/1999. Direktorat Jenderal Tanaman pangan dan Hortikultura.
Coll K. dan R. Whitaker, 1990. The Australian Weather Book: Understanding our climate
and how it affect us. NSW Bureau of Meterology.
Departemen Pertanian, 1991. sepuluh Tahun Gogorancah di NTB. Satuan Pengendali Bimas,
Jakarta
Doorenbos, J dan W.O. Pruitt. 1977. Guidelines for predicting crop water requirements.
FAO-ID No. 24. Rome. 144 p.
Hammer, G.L. dan Nicholls, N. 1996. Managing for climate variability - The role of
seasonal climate forecasting in improving agricultural systems. Proc. Second
Australian Conference on Agricultural Meteorology. Bureau of Meteorology,
Commonwealth of Australia, Melbourne. pp. 19-27.
Kirono, D.G.C., 2000. Indonesian Seasonal Rainfall Variability, Link to El Nino Southern
Oscillation and Agricultural Impacts. Ph.D Dissertation. Monash Univ. Vic.
Australia.
Kuhnel I, T A McMahon, B.L. Finlayson , A. Haines , P.H. Whetton dan T.T. Gibson. 1990.
Climatic influences on streamflow variability: a comparison between south-eastern
Australia and United States of America, Wat. Resour. Res., Vol. 26: 2483-2496
Martyn. D. 1992. Climate of the world. Development in Atmospheric Science. Elsevier
Amsterdam London, N.Y. 435 p.
McClymont, D., Y. Abawi., T. Harris., J. Ritchi dan S. Dutta. 2000. Flowcast : A new
Generation DSS for Climate Researcher, Water users and Policy Makers. Poster.
DNR. MDB Comm. QCCA. Australia.
McDonald dan Partners Asia. 1985. West Nusa Tenggara Irrigation Study : Pandanduri –
Swangi Pre-feasibility Report.
Sys, C., E. Van Rast, J. Debaveye (1991) Land Evaluation. Principle in land evalaution and crop
production calculations. Agriculture Publication.-No 7. Place du Champ de Mars 5 bte
57-1050 Brussles. BelgiumTeam ITB. 1969. Survey Pengenbangan Sunber Daya Air
di Pulau Lombok. Report ITB.
Yasin, I., Y. Abawi. 2001. Capturing the Benefits of Seasonal Climate Forecast for Water
and Crop Management in Lombok. Aciar Papper. Mataram.
Yasin, I., Y. Abawi. 2002. Impacts of ENSO Phenomenon on Water Resources and Crop
Production in Lombok. Disampaikan di Seminar Nasional HITI 25 May 2002
Universitas Mataram. Mataram .
Yokoyama, S 2001. Survey on Impact of El Niňo Phenomenon on Farner Socio-economic in
Lombok. Hasil diskusi selama pelaksanaan survei.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 608
Seminar Nasional 2005

Bey, A1, Istiqlal Amien2, Rizaldi Boer1, Handoko1, Irsal Las3, dan Hidayat Pawitan1.
PENGEMBANGAN METODE ANALISIS DATA IKLIM DAN PEWILAYAHAN
AGROKLIMAT DALAM MENUNJANG USAHA TANI YANG PROSPEKTIF.
Dalam Yustika Baharsyah et al., (1997). Sumberdaya Air dan Iklim dalam
Mewujudkan Pertanian Efisien. Deptan dan PERHIMPI.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 609
Seminar Nasional 2005

POTENSI SUMBERDAYA LAHAN DAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN


DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR

Anny Mulyani dan Alkusuma


Puslittanak Bogor

ABSTRAK

Kabupaten Lombok Timur (NTB) dihuni oleh 1.009.471 jiwa, dengan luas 160.555 ha. Rata-rata
kepemilikan lahan sekitar 0,52 ha/rumah tangga petani (RTP). Peningkatan jumlah rumah tangga petani yang
tidak seimbang dengan peningkatan lahan pertanian, mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan. Untuk
mengamati hal tersebut telah dilakukan identifikasi potensi sumberdaya lahan di Kabupaten Lombok Timur pada
tahun 2003, dan perubahan penggunaan lahannya dalam kurun 8 tahun telah dilihat dari citra tahun 1991 dan
1999. Hasil identifikasi lahan menunjukkan bahwa Kabupaten Lombok Timur termasuk wilayah beriklim kering,
dengan curah hujan berkisar dari 600-1640 mm/tahun, termasuk pada zone agroklimat D dan E, bulan kering
sekitar 6-8 bulan. Tanahnya didominasi oleh Inceptisols, Andisols,dan Vertisols, umumnya berasal dari bahan
volkanik yang relatif subur, sehingga Kabupaten Lombok Timur berpotensi untuk pengembangan berbagai
komoditas baik di dataran rendah (< 700 m dpl) maupun dataran tinggi (> 700 m dpl.). Di dataran rendah
komoditas yang sesuai adalah padi, jagung, kedelai, kacang tanah, bawang merah, cabe rawit, tembakau, mente,
dan kelapa. Sedangkan di dataran tinggi komoditasnya adalah jagung dan sayuran (bawang putih, tomat,
kentang, kubis, wortel, bawang merah), dan tembakau. Namun, di beberapa tempat lahan potensial ini belum
dimanfaatkan secara optimal dan masih dapat ditingkatkan produktivitasnya melalui penerapan inovasi teknologi
pertanian yang telah ada. Berdasarkan analisis interpretasi foto udara dan dan citra landsat TM, dalam kurun
waktu 1991 – 1999 di Lombok Timur telah terjadi perubahan penggunaan lahan yang cukup berarti baik pada
lahan sawah, tegalan, maupun kawasan hutan. Terjadi pengurangan lahan sawah irigasi dan tadah hujan seluas
6.130 ha, sebaliknya untuk tegalan bertambah luasnya dari 47.650 ha menjadi 62.828 ha. Penambahan luas lahan
tegalan ini di antaranya berasal dari pembukaan lahan hutan sebesar 10.362 ha, dan sisanya dari sawah tadah
hujan dan penggunaan lainnya. Perubahan lahan rawa/pantai sebagian sudah digunakan untuk usaha perikanan
air payau (tambak) dan usaha penggaraman. Selama periode 8 tahun, rumah tangga pertanian
(padi/palawija/hortikultura/perkebunan) di Lombok Timur meningkat sebesar 24.821 RTP. Peningkatan rumah
tangga petani ini tidak diimbangi dengan perluasan lahan pertanian yang memadai, sehingga terjadi pembukaan
kawasan hutan yang umumnya berlereng curam, yang dalam jangka panjang dikhawatirkan dapat mengancam
kelestarian lingkungan.
Kata kunci : Jenis ternak, iklim, potensi, komoditas

PENDAHULUAN

Potensi sumberdaya lahan di suatu wilayah dapat diketahui, apabila tersedia


data/karakteristik wilayahnya. Namun, data/informasi sumberdaya lahan yang telah tersedia
masih sangat terbatas, baru sekitar 13% dari seluruh wilayah Indonesia yang telah
mempunyai data/peta pada skala yang memadai untuk tingkat operasional di tingkat
kabupaten (skala 1:50.000). Untuk menghasilkan data/informasi sumberdaya lahan tersebut
dapat dilakukan dengan survei yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi
sumberdaya lahan di suatu wialayah. Selanjutnya data sumberdaya lahan tersebut dapat
digunakan untuk penilaian/evaluasi kesesuaian lahan untuk berbagai komoditas, serta
pewilayahan komoditas.
Pewilayahan komoditas pertanian merupakan salah satu usaha untuk
mengelompokkan wilayah-wilayah yang mempunyai karakteristik lahan yang serupa untuk
pengembangan suatu produk pertanian. Tiap wilayah mempunyai potensi produksi
komoditas pertanian yang berbeda tergantung pada keadaan sumberdaya lahannya,
keterampilan SDM, modal, dan kebiasaan usahatani (Soekardi, 1992). Jadi dengan
pewilayahan komoditas diharapkan dapat terbentuk usahatani yang membuat wilayah-
wilayah atau zona-zona dari suatu kelompok komoditas dengan produksi yang optimal,
berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan.
Identifikasi dan karakterisasi sumberdaya lahan untuk Kabupaten Lombok Timur
telah dilaksanakan, bertujuan untuk mengumpulkan data/informasi awal dalam rangka
mendukung pelaksanaan kegiatan Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 610
Seminar Nasional 2005

(P4MI/PFI3P)-Badan Litbang Pertanian. Melalui proyek tersebut telah didentifikasi dan


dievaluasi potensi sumberdaya lahan pada 5 kabupaten yang termasuk pada wilayah miskin,
yaitu Temanggung dan Blora (Jateng), Lombok Timur (NTB), Ende (NTT), dan Donggala
(Sulteng) (Badan Litbang Pertanian, 2003). Berdasarkan urutan peringkat kemiskinan
propinsi di Indonesia yang dibuat dengan mempertimbangkan indikator seperti indeks mutu
hidup (IMH), status gizi balita, dan produk domestik regional bruto (PDRB), ternyata
peringkat kemiskinan di NTB menempati urutan pertama, menyusul NTT dan Sulteng
sebagai urutan kedua dan ketiga, serta Jateng menempati urutan ke sembilan (Ketaren et al.,
1991).
Kabupaten Lombok Timur (NTB) termasuk wilayah yang padat penduduk yaitu
sebanyak 1.009.471 jiwa, dengan cakupan wilayah seluas 160.555 ha, dengan kepemilikan
lahan sekitar 0,52 ha/rumah tangga petani (RTP). Pada kurun waktu 1993-2003 telah terjadi
peningkatan jumlah rumah tangga petani dari 179.123 RTP pada tahun 1993 menjadi
203.944 RTP pada tahun 2003 (BPS, 1993 dan 2003). Peningkatan jumlah penduduk dan
jumlah rumah tangga petani yang tidak diimbangi dengan peningkatan lahan pertanian yang
memadai, telah mendorong terjadinya fragmentasi luas kepemilikan lahan (akibat sistem
bagi waris) dan terjadinya pembukaan lahan pertanian di lahan berbukit-bergunung dengan
lereng curam, dan bahkan merambah ke kawasan hutan.
Makalah ini menyajikan karakteristik wilayah, penilaian kesesuaian lahan dan
pewilayahan komoditas, serta perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Lombok Timur.

BAHAN DAN METODE

Untuk menilai potensi dan kesesuaian lahan di Kabupaten Lombok Timur, telah
dibuat satuan lahan berdasarkan interpretasi foto udara dan peta rupa bumi. Peta rupabumi
skala 1:25.000 terdiri dari lembar gunung rinjani, bayan, anyar, sembalun bumbung,
sambelia, sembalun lawang, belanting, terara, masbagik, selong, aikmel, pringgabaya,
awang, keruak, seriwe, dan tanjungluar yang diterbitkan oleh Bakosurtanal (1991).
Sedangkan foto udara skala 1:50.000 th 1982 meliputi Kabupaten Lombok Timur, sebanyak
98 lembar. Selain itu, digunakan pula peta geologi lembar Lombok, NTB skala 1:250.000
(Sumadirdja et al., 1973), peta agroklimat Lombok skala 1:2.500.000 (Oldeman et al.,
1982), dan peralatan lapangan (seperti bor tanah, Munsell Soil Color Chart, buku Soil
Taxonomy, kompas, abney level, pH Truogh, meteran, loupe, pisau lapang, dan lainnya).
Untuk memperoleh delineasi satuan lahan telah diinterpretasi foto udara berdasarkan
perbedaan warna, tone, tekstur, pola, dan intensitas, yang didukung pula dengan peta rupa
bumi terutama untuk mengetahui elevasi (ketinggian tempat). Hasil delineasi satuan lahan
didigitasi (GIS) dan digunakan sebagai peta kerja untuk perencanaan kerja di lapangan.
Pengamatan dan pengambilan contoh tanah diambil pada setiap satuan lahan, contoh tanah
dianalisis di laboratorium (Sudjadi et al., 1971). Data lapangan dan hasil analisis contoh
tanah disimpan dalam sistem basisdata, yang selanjutnya digunakan untuk proses evaluasi
lahan. Evaluasi lahan dilakukan dengan menggunakan Program ALES (Rossiter dan
Wambeke, 1997) dan kriteria kesesuaian lahan mengacu pada Djaenudin et al (2003).
Untuk melihat perubahan penggunaan lahan dalam kurun waktu 8 tahun, telah
dipelajari pola penggunaan lahan dari foto udara tahun 1991 dan citra landsat tahun 1999
band 543. Sedangkan untuk menghitung luas kepemilikan lahan digunakan data jumlah
rumah tangga petani dari Sensus Pertanian tahun 1993 dan 2003 (BPS, 1993 dan 2003).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 611
Seminar Nasional 2005

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik wilayah
Kabupaten Lombok Timur mencakup areal sekitar 160.555 ha, dengan posisi
geografis wilayah kabupaten Lombok Timur terletak di antara 116° – 117° BT dan antara
08° – 09° LS. Umumnya wilayah ini beriklim tropis, dengan curah hujan tahunan pada lima
tahun terakhir (1997 – 2002) berkisar antara 522-1640 mm per tahun atau rata-rata 1.071
mm/tahun (Tabel 1).
Tabel 1. Data Curah Hujan (mm) Rata-rata Tahunan di Kabupaten Lombok Timur

Rata-
Nama Stasiun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
rata
Timbanuh 1569 1823 240 1357 1263 2001 2583 2290 1633 x 1640
Masbagik x x x x x 1864 156 2379 1802 691 1378
Montong Baan 312 1468 179 1830 1247 2972 1913 1753 1668 218 1356
BPP Lenek 728 1006 116 1302 846 1900 1777 1853 1565 1422 1252
BPP Terara 425 1494 122 1569 815 2602 1077 1679 1349 1309 1244
Rensing x x x 317 x 1363 1321 1550 944 x 1099
Dasan Lekong 940 1308 93 1053 662 1225 1517 1517 1160 1245 1072
Sambelia 1077 1350 98 930 491 1101 1819 1707 920 298 979
Sepapan 630 744 79 1042 834 1153 1276 1001 825 1097 868
Pegondang 1090 1378 95 1350 675 1041 118 x x 433 773
Lb. Haji/Selong x 858 50 955 359 672 843 1062 557 662 669
Pringgabaya 283 695 95 829 539 841 714 394 817 12 522
Rata-rata 783,8 1212,4 116,7 1139,5 773,1 1561,3 1259,5 1562,3 1203,6 738,7 1071
Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Lombok Timur (2003)

Berdasarkan klasifikasi Oldeman et al. (1986), wilayah Lombok Timur termasuk


pada Zone Agroklimat zone D3 (curah hujan rata-rata 1.640 mm, bulan basah 4 bulan, bulan
kering 6 bulan), zone D4 (curah hujan rata-rata 1.290 mm, bulan basah 3 bulan, bulan kering
7 bulan), dan zone E4 (curah hujan rata-rata 670 mm, bulan basah 0 bulan, bulan kering 8
bulan).
Kabupaten Lombok Timur termasuk wilayah potensial untuk pengembangan
pertanian, karena mempunyai wilayah yang termasuk pada dataran rendah (< 700 m dpl.)
sekitar 44,17% dan dataran tinggi (700 – 1.200 m dpl.). sekitar 36,69%, serta ketinggian
>1.200 m dpl sekitar 19,18% (Alkusuma et al, 2003). Wilayah inipun mempunyai lahan
datar sampai bergelombang (lereng < 15%) seluas 95.230 ha atau 59,3% dari total luas
Lombok Timur. Sisanya merupakan lahan berbukit seluas 18.873 ha, dan lahan bergunung
seluas 46.452 ha (Tabel 2).
Tabel 2. Sebaran Bentuk Wilayah dan Lereng di Daerah Penelitian

Luas
Simbol Bentuk wilayah Lereng (%) Beda tinggi (m)
ha %
n Agak datar 1-3 <2 35.598 22,23
u Berombak 3-8 2-10 30.472 19,03
r Bergelombang 8-15 10-50 29.160 18,23
c Berbukit kecil 15-30 10-50 5.561 3,48
h Berbukit 15-30 50-300 13.312 8,31
m Bergunung >30 >300 46.452 28,72
Jumlah 160.555 100,00

Tanah-tanah di Kabupaten Lombok Timur menurut Soil Taxonomy (Soil Survey


Staff, 1998) terdiri atas tanah Entisols, Inceptisols, Andisols, Vertisols, Mollisols, dan
Alfisols.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 612
Seminar Nasional 2005

Tanah Entisols tergolong tanah-tanah yang belum berkembang, terbentuk dari bahan
induk aluvio-koluvium terdiri atas liat, debu, pasir, dan kerikil, dan sebagian dari
batugamping kukuh. Umumnya terbentuk pada landform aluvial, terutama kipas aluvial,
teras sungai, dan dataran banjir. Penampang tanah dangkal sampai sedang, berlapis-lapis
dengan perbedaan tekstur yang menunjukkan seri-seri pengendapan, berwarna coklat tua
sampai coklat tua kekelabuan. Reaksi tanah umumnya netral sampai alkalis (7,0 – 8,0) yang
mengindikasikan tingginya basa-basa dapat ditukar, tingkat kesuburan tanah sedang.
Inceptisols berkembang dari bahan induk batuan sedimen masam, tingkat kesuburan
tanah bervarisi dari rendah sampai sedang, solum dangkal sampai dalam, tekstur halus
sampai sedang. Tanah mempunyai penyebaran paling luas, menempati grup landform aluvial
(jalur aliran dan kipas aluvial), perbukitan tektonik dan perbukitan karts. Sebagian besar
tanah ini telah diusahakan untuk pertanian, seperti pesawahan, tegalan dan kebun campuran.
Andisols berkembang dari bahan induk abu/tuf volkan muda (Kuarter), mempunyai
penyebaran paling luas di areal penelitian, mulai ketinggian 300 m dpl sampai >1.200 m dpl.
Tanah ini umumnya mempunyai kandungan bahan organik tanah tinggi, solum tanah
dangkal sampai sedang dengan retensi fosfat tinggi dan bahan kasar sedikit sampai banyak.
Tingkat kesuburan tanah termasuk sedang sampai tinggi.
Vertisols adalah tanah-tanah yang dicirikan oleh adanya rekahan-rekahan yang
dalamnya mencapai 50 cm pada musim kering. Keadaan ini akibat adanya proses
mengembang-mengkerutnya mineral liat secara intensif dan berulang-ulang. Proses ini dapat
terjadi karena adanya dominasi mineral liat berkisi 2:1 seperti smektit dan vermikulit. Pada
umumnya tanah-tanah ini menempati daerah lereng bawah yang mempunyai bentuk wilayah
datar atau agak cekung, sehingga sering digunakan untuk usaha tanaman pangan seperti padi
sawah, palawija, dan sayuran.
Mollisols adalah tanah-tanah yang mempunyai epipedon molik setebal > 25 cm
berwarna coklat sangat tua dan kadar C organik tinggi, berkembang dari bahan induk
batugamping dan skis pada landform dataran dan perbukitan tektonik. Reaksi tanah netral
sampai agak alkalis yang menunjukkan tingginya kation basa-basa, terutama Ca dan Mg.
Sebagian besar tanah digunakan untuk pertanian lahan kering, tegalan, kebun campuaran,
dan semak belukar. Tingkat kesuburan tanah sedang sampai tinggi.
Alfisols tergolong tanah-tanah yang telah berkembang, memperlihatkan struktur
cukup kuat dan adanya selaput liat. Tanah terbentuk dari bahan induk batugamping pada
landform dataran tektonik dan penyebarannya sempit di Kabupaten Lombok Timur.
Penampang tanah cukup dalam, warna coklat kemerahan, tekstur halus, struktur cukup kuat
gumpal bersudut, konsistensi teguh dan reaksi tanah netral. Sebagian besar tanah ini
digunakan untuk tegalan kebun kelapa dan buah-buahan, dan semak belukar. Tingkat
kesuburan tanah sedang sampai tinggi.

Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Pewilayahan Komoditas


Penilaian kesesuaian lahan dilakukan pada beberapa komoditas unggulan di
antaranya adalah padi sawah, jagung, kedelai, kacang tanah, bawang putih, bawang merah,
cabe, tomat, mangga, kelapa, jambu mente, dan tembakau. Ringkasan hasil penilaian
masing-masing komoditas disajikan pada Tabel 3.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 613
Seminar Nasional 2005

Tabel 3. Hasil Penilaian Kesesuaian Lahan untuk Beberapa Komoditas

Kelas kesesuaian lahan


Komoditas S1 S2 S3 N Lainnya Jumlah
- ha -
Padi sawah 47.970 35.002 22.066 53.287 2.230 160.555
Jagung 4.837 53.720 38.054 61.714 2.230 160.555
Kedelai 25.788 38.016 32.807 61.714 2.230 160.555
Kc. Tanah 15.924 24.990 65.244 52.167 2.230 160.555
Bw. Putih 754 3.344 55.197 99.100 2.230 160.555
Bw. Merah 18.975 32.200 46.041 61.109 2.230 160.555
Cabe 21.716 26.284 54.813 55.512 2.230 160.555
Tomat 13.094 49.346 38.121 57.764 2.230 160.555
Nenas 24.148 8.781 74.622 50.774 2.230 160.555
Mangga 35.613 17.739 104.141 832 2.230 160.555
Tembakau 14.994 72.296 12.771 57.764 2.230 160.055
Kelapa 6.005 52.691 47.462 52.167 2.230 160.555
Jambu mente 8.399 89.146 59.948 832 2.230 160.555
Keterengan : S1: sangat sesuai, S2: cukup sesuai,S3: sesuai marginal, N: tidak sesuai

Tabel 2 menunjukkan bahwa luas lahan yang sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2),
dan sesuai marginal (S3) sangat bervariasi. Untuk padi sawah, luas lahan yang sangat sesuai
cukup luas, termasuk lahan-lahan yang telah digunakan untuk padi sawah saat ini.
Sebaliknya lahan yang sangat sesuai (S1) dan cukup sesuai (S2) untuk bawang putih sangat
sempit hanya terdapat di sentra produksi di sekitar Sembalun. Hal ini menunjukkan bahwa
kondisi optimal untuk pertumbuhan bawang putih sangat terbatas karena faktor pembatas
temperatur, media perakaran (tekstur, kandungan batuan, drainase), dan kelerengan,
sehingga untuk lokasi lainnya termasuk kelas S3. Bahkan lahan yang tidak sesuai (N) sangat
luas yaitu 99.100 ha. Untuk komoditas mangga dan jambu mente, luas lahan yang tidak
sesuai sangat sedikit hanya 832 ha. Meskipun demikian, mangga dominan pada kelas S3,
sedangkan mente dominan kelas S2. Ini menunjukkan bahwa mente dapat tumbuh dimana
saja baik pada lahan berlereng atau tanah berbatu sekalipun, sedangkan mangga relatif lebih
baik di dataran rendah.
Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan yang dilengkapi dengan pertimbangan
analisis finansial usahatani (asesibilitas, pasar), serta komoditas unggulan daerah, dapat
disusun peta pewilayahan komoditas pertanian unggulan. Dalam legenda pewilayahan
komoditas pertanian tercantum beberapa komoditas yang disarankan berdasarkan prioritas
pengembangannya pada masing-masing sub zona agroekosistem (Tabel 4).
Lahan-lahan yang disarankan sebagai hutan lahan kering terdiri dari lahan yang
secara fisik harus dijadikan sebagai kawasan konservasi dan lahan-lahan berstatus sebagai
kawasan hutan/konservasi seluas 51.430 ha (32,01%). Sistem pertanian lahan basah
mencakup areal seluas 41.768 ha (26,03%) yang termasuk dalam zona II, III, dan IV, berupa
persawahan baik irigasi maupun tadah hujan untuk pengembangan tanaman padi sawah,
jagung, kacang tanah, bawang merah, bawang putih, cabe, dan tembakau.
Sistem pertanian lahan kering hortikultura mencakup areal seluas 5.109 ha (3,18%)
yang termasuk dalam zona II, berupa bawang merah, bawang putih, tomat, dan dan tanaman
perkebunan tembakau. Sistem pertanian lahan kering tanaman pangan/perkebunan mencakup
areal seluas 5.965 ha (3,72%), berupa komoditas jagung, kacang tanah, dan kedelai dan atau
tanaman perkebunan tembakau, kelapa, dan jambu mete.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 614
Seminar Nasional 2005

Tabel 4. Legenda Pewilayahan Komoditas Pertanian Kabupaten Lombok Timur

Luas
Simbol Sistem Pertanian/Komoditas Pertanian
Ha %
Hutan lahan kering 51.430 32,01
I/Dj kawasan konservasi 46.599 29,00
II/Dj kawasan konservasi 4.001 2,49
IV/Dj kawasan konservasi 830 0,52
Pertanian lahan basah, tanaman pangan/hortikultura 41.768 26,03
II/Wr Cabe, Nenas, Padi sawah 3.879 2,42
III/Wr Jagung, Bawang merah, Cabe, Tembakau, Kedelai, Padi sawah 7.668 4,78
III/Wr Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Cabe, Tembakau, Kedelai, Padi sawah 4.982 3,10
IV/Wr Jagung, Bawang merah, Cabe, Tembakau, Kedelai, Padi sawah 2.281 1,42
IV/Wr Jagung, Bawang putih, Cabe, Tembakau, Padi sawah 11.265 7,02
IV/Wr Jagung, Cabe, Nenas, Padi sawah 897 0,56
IV/Wr Jagung, Cabe, Tembakau, Kedelai, Padi sawah 522 0,33
IV/Wr Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Bawang putih, Cabe, Tembakau, Kedelai, Padi 9.783 6,09
sawah
IV/Wr Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Cabe, Tembakau, Kedelai, Padi sawah 491 0,31
Pertanian lahan kering, hortikultura 5.109 3,18
II/Dha Kawasan konservasi 1.765 1,10
II/Dhe Bawang merah, Bawang putih, Tomat, Tembakau 3.344 2,08
Pertanian lahan kering, tanaman pangan/perkebunan 5.965 3,72
III/Dfe Jagung, Kacang tanah, Tembakau, Kedelai, Kelapa, Padi sawah 142 0,09
III/Dfe Jagung, Tembakau, Kedelai, Kelapa 1.112 0,69
III/Dfe Kacang tanah, Tembakau, Kelapa 2.294 1,43
IV/Dfh Jagung, Kacang tanah 1.936 1,21
IV/Dfh Jagung 481 0,30
Pertanian lahan kering, tanaman panga/hortikultura/perkebunan 46.076 28,70
II/Dfhe Kacang tanah, Bawang merah, Cabe, Tomat, Nenas, Tembakau 1.328 0,83
III/Dfhe Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Cabe, Tomat, Nenas, Tembakau, Kedelai 3.126 1,95
III/Dfhe Kacang tanah, Bawang merah, Tomat, Tembakau, Kelapa 2.827 1,76
IV/Dfhe Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Bawang putih, Cabe, Nenas, Tembakau, 500 0,31
Kedelai, Kelapa
IV/Dfhe Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Bawang putih, Cabe, Tomat, Nenas, Tembakau 754 0,47
IV/Dfhe Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Bawang putih, Cabe, Tomat, Nenas, 6.053 3,77
Tembakau, Kedelai
IV/Dfhe Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Cabe, Nenas, Tembakau 983 0,61
IV/Dfhe Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Cabe, Nenas, Tembakau, Kedelai 10.370 6,46
IV/Dfhe Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Cabe, Nenas, Tembakau, Kedelai, Jambu mete 1.482 0,92
IV/Dfhe Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Cabe, Nenas, Tembakau, Kedelai, Kelapa 6.866 4,28
IV/Dfhe Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Cabe, Nenas, Tembakau, Kedelai, Kelapa, 773 0,48
Jambu mete
IV/Dfhe Jagung, Kacang tanah, Bawang merah, Cabe, Tomat, Nenas, Tembakau, Kedelai, 6.757 4,21
Kelapa
IV/Dfhe Jagung, Nenas, Jambu mete 913 0,57
IV/Dfhe Kacang tanah, Nenas, Tembakau, Kelapa 1.477 0,92
IV/Dfhe Kacang tanah, Nenas, Tembakau, Kelapa, Jambu mete 1.867 1,16
Pertanian lahan kering, tanaman perkebunan 7.968 4,96
II/De Kelapa 6.185 3,85
II/De Tembakau, Kelapa 116 0,07
III/De Tembakau 1.667 1,04
Lain-lain 2.239 1,40
Gawir 385 0,24
Pemukiman 412 0,26
Pulau-pulau kecil 1.442 0,90
Jumlah 160.555 100.00
Keterangan: I = zona I (lereng>40%) W= lahan basah e = tanaman tahunan/perkebunan
II = zona II (lereng 15-40%) D = lahan kering r = padi sawah
III = zona III (lereng 8-15%) f = tanaman pangan j = hutan
IV = zona IV (lereng <8%) h = hortikultura

Sistem pertanian lahan kering tanaman pangan, hortikultura, dan tanaman


perkebunan mencakup areal seluas 46,076 ha (28.70 %) yang termasuk dalam zona II, III,
dan IV, berupa komoditas jagung, kedelai dan kacang tanah, tanaman hortikultura bawang
merah, bawang putih, cabe, tomat, nenas dan tanaman perkebunan tembakau dan kelapa.
Pembudidayaan komoditas tersebut dapat secara tumpang sari atau monokultur. Sistem
pertanian lahan kering, tanaman perkebunan mencakup areal seluas 7.968 ha (4,96%) yang
termasuk dalam zona II dan III untuk tembakau dan kelapa.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 615
Seminar Nasional 2005

Perubahan Penggunaan lahan


Berdasarkan hasil interpretasi foto udara tahun 1991 dengan dan citra landsat TM
pada tahun 1999 di Lombok Timur telah terjadi perubahan penggunaan lahan yang cukup
berarti baik pada lahan sawah, tegalan, maupun hutan. Sawah irigasi dan tadah hujan
berkurang dari 49.816 ha menjadi 43.686 ha, namun sebaliknya tegalan bertambah luasnya
dari 47.650 ha menjadi 62.828 ha (Tabel 4). Penambahan luas lahan tegalan ini di antaranya
berasal dari pembukaan lahan hutan seluas 10.362 ha, yaitu dari 61.838 ha pada tahun 1991
menjadi 51.476 ha pada tahun 1999 (Gambar 1). Namun demikian, berdasarkan data status
hutan BPS Lombok Timur (2002) luas hutan negara tersebut seluas 57.323 ha.
Tabel 4. Perubahan Luas Lahan Pertanian di Kabupaten Lombok Timur (NTB).

1991 1999 Selisih


Tipe penggunaan lahan
- ha -
Sawah irigasi 27617 25813 -1.804
Sawah tadah hujan 22199 17873 -4.326
Tegalan 47650 62828 15.178
Hutan 61838 51476 -10.362
Rawa/pantai 830 500 -330
Lainnya (pemukiman) 301 1945 1.644
Jumlah 160435 160435 0
Rumah tangga pertanian 179.123 203.944 24.821
Kepemilikan lahan pertanian (ha/RTP) 0,544 0,522 -0,022
Sumber data: Interpretasi Foto udara (1991), Citra landsat TM (1999).
Rumah tangga petani dari Sensus Pertanian (BPS, 1993 dan 2003).

Sementara berdasarkan data sensus pertanian (BPS, 1993 dan 2003), rumah tangga
pertanian (petani padi, palawija, hortikultura, dan perkebunan rakyat) di Lombok Timur
meningkat sebanyak 24.821 RTP, yaitu dari 179.123 RTP pada tahun 1993 menjadi 203.944
RTP pada tahun 2003 (BPS, 1993 dan 2003). Peningkatan jumlah penduduk dan jumlah
rumah tangga petani yang tidak diimbangi dengan peningkatan lahan pertanian yang
memadai, telah mendorong terjadinya pembukaan lahan pertanian di lahan berbukit-
bergunung dengan lereng curam, dan bahkan merambah ke kawasan hutan. Walaupun ada
penambahan luas lahan pertanian, namun tingkat kepemilikan lahan dalam periode tersebut
tetap menurun dari 0,54 menjadi 0,52 ha per RTP (Tabel 4). Oleh karena itu, ke depan perlu
lebih diperhatikan ke arah mana pengembangan lahan pertanian tersebut, mengingat
peningkatan jumlah penduduk dan rumah tangga petani sudah dapat dipastikan akan terus
meningkat.

Gambar 1. Perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Lombok Timur tahun 1991-1999.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 616
Seminar Nasional 2005

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Tanah di Kabupaten Lombok Timur terdiri dari Entisols, Inceptisols, Andisols, Vertisols,
Mollisols, dan Alfisols. Wilayahnya mempunyai iklim kering dengan rata-rata curah
hujan 1.071 mm/tahun, termasuk pada Zone Agroklimat D3, D4 dam E4 dengan bulan
basah < 4 bulan dan bulan kering 6-8 bulan.
2. Wilayah Lombok Timur termasuk pada dataran rendah (< 700 m dpl.) sekitar 44,17%
dan dataran tinggi (700-1.200 m dpl.) sekitar 36,69%, serta ketinggian >1.200 m dpl
sekitar 19,18%. Umumnya mempunyai lahan datar sampai bergelombang (lereng < 15%)
seluas 95.230 ha atau 59,3%, sisanya merupakan lahan berbukit seluas 18.873 ha, dan
lahan bergunung seluas 46.452 ha.
3. Hasil penilaian kesesuaian lahan terhadap 12 komoditas unggulan yaitu padi sawah,
jagung, kacang tanah, kedelai, bawang merah, bawang putih, cabe, tomat, nenas,
tembakau, mangga, kelapa, dan jambu mente, menunjukkan bahwa Kabupaten Lombok
Timur mempunyai potensi untuk pengembangan komoditas tersebut, yang terlihat dari
luanya lahan-lahan yang sesuai baik termasuk kelas sangat sesuai (S1), cukup sesuai
(S2), dan maupun sesuai marginal (S3). Pewilayahan komoditas berdasarkan zona
agroekosistem disusun dengan mempertimbangkan kelas kesesauaian lahan, kelayakan
finansial usahatani serta unggulan daerah.
4. Selama kurun waktu 8 tahun (1991-1999), telah terjadi perubahan penggunaan lahan
yang cukup berarti baik pada lahan sawah, tegalan, maupun hutan. Sawah irigasi dan
tadah hujan berkurang dari 49.816 ha menjadi 43.686 ha, namun sebaliknya tegalan
bertambah luasnya dari 47.650 ha menjadi 62.828 ha. Penambahan luas lahan tegalan
ini di antaranya berasal dari pembukaan lahan hutan seluas 10.362 ha, yaitu dari 61.838
ha pada tahun 1991 menjadi 51.476 ha pada tahun 1999.
5. Secara keseluruhan, Kabupaten Lombok Timur mempunyai potensi sumberdaya lahan
yang sangat baik, namun demikian dengan adanya indikasi pembukaan lahan pertanian
baru dari kawasan berlereng curam dan kawasan hutan, perlu adanya kewaspadaan
dalam pengembangan lahan pertanian di masa yang akan datang terutama untuk menjaga
kelestarian lingkungan dan pertanian yang berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 1993. Sensus Pertanian 1993. Analisis Profil Rumah Tangga Pertanian, Propinsi Nusa
Tenggara Barat. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
_____ 2003. Sensus Pertanian 2003. Angka Propinsi Hasil Pendaftaran Rumah Tangga
(Angka Sementara). Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Badan Litbang Pertanian. 2003. Panduan Perencanaan Penelitian dan Pengkajian
Pengembangan Inovasi Pertanian di Lahan Marjinal-PFI3P. Poor Farmers’ Income
Improvement through Innovation Project. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Lombok Timur. 2003. Laporan
Tahunan 2003. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan, Kabupaten
Lombok Timur.
Djaenudin, D, Marwan H., H. Subagyo, dan A. Hidayat, 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi
Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Desember, 2003. Balai Penelitian Tanah, Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Ketaren, P., B. Winarso, J. Kini, L.R. Ernalia, P. Fernandes, T. Basuki, J. Ngongo, Gunarto.
1991. Identifikasi Wilayah Miskin dan Upaya Penanggulangannya di Propinsi Nusa
Tenggara Timur. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 617
Seminar Nasional 2005

Rossiter D. G., and A. R. van Wambeke, 1997. Automated Land Evaluation System ALES
Version 4.65d User’s Manual. Cornell Univ. Dept of Soil Crop & Atmospheric Sci.
SCAS. Ithaca NY, USA.
Sumadirdja et al. 1973. Peta Geologi skala 1:250.000 lembar Pulau Lombok. Direktorat
Geologi, Bandung.
Soil Survey Staff. 1998. Kunci Taksonomi Tanah. Edisi Kedua Bahasa Indonesia, 1999.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Soekardi, M. 1992. Pewilayahan Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Sudjadi, M., I.M. Widjik, dan M. Soleh. 1971. Penuntun Analisa Tanah. Lembaga Penelitian
Tanah, Bogor.
Van Wambeke A., P. Hasting, and M. Tolomeo, 1986. Newhall Simulation Model.
Department of Agronomy, Bradfield Hall. Cornell University. Ithaca, NY. 14853.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 618
Seminar Nasional 2005

PENATAAN RUANG WILAYAH PERTANIAN MELALUI PENDEKATAN


EVALUASI LAHAN
(Studi Kasus: di Daerah Aliran Sungai Tondano)

M. Hendrisman 1) dan Rudy S. Rivai 2)


1)
Staf Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat
2)
Staf Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

ABSTRAK

Perencanaan pembangunan pertanian yang berbasis lahan, harus memperhatikan kondisi dan
kemampuan sumberdaya lahannya. Pemanfaatan lahan yang kurang memperhatikan kelas kesesuaian lahan dan
agro ekologinya, cenderung akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah dan tidak berkelanjutan.
Evaluasi lahan yang melibatkan berbagai disiplin ilmu dapat menghasilkan data yang dapat dijadikan acuan bagi
suatu perencanaan wilayah. Evaluasi lahan secara fisik dapat menjawab tingkat kesesuaian lahannya dan secara
ekonomik akan menjawab kelayakan usahataninya. Berdasarkan hasil evaluasi lahan kualitatif (fisik) yang
dilanjutkan dengan kuantitatif (ekonomik) ditunjang data sosial budaya spesifik lokasi akan dihasilkan suatu
arahan penggunaan lahan yang lestari dan dapat diterima masyarakat petani setempat dengan tidak
mengorbankan keadaan penggunaan lahan yang sudah ada. Program ALES (Automated Land Evaluation System)
digunakan untuk evaluasi kesesuaian lahan guna mengembangkan berbagai komoditas pertanian yang paling
sesuai. Studi kasus dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi
Utara. Hasil evaluasi lahan dilokasi penelitian seluas 55.425 Ha secara umum menunjukkan tingkat kesuburan
yang relatif baik, terutama untuk pengembangan komoditas tanaman keras seperti kopi, cengkeh, kakao dan
vanila. Sedangkan tanaman semusim yang agak sesuai untuk dikembangkan adalah padi, jagung, kacang tanah,
kentang dan sayuran lainnya. Agar usahatani yang dilakukan dapat berkelanjutan, terutama pada zona I, II dan
III perlu dilakukan tindakan konservasi tanah, seperti pembuatan teras bangku.
Kata kunci: Penataan ruang wilayah, sumberdaya lahan, evaluasi lahan, kelayakan usahatani, program ALES,
DAS Tondano, Sulawesi Utara.

PENDAHULUAN

Penggunaan lahan untuk mendukung program ketahanan pangan dan pengembangan


agribisnis di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano memerlukan data dan informasi
sumberdaya lahan yang handal. Ketidak lengkapan data dan informasi sumberdaya lahan
tersebut dapat berakibat pada pemanfaatan lahan yang tidak optimal, dan bahkan dapat
menimbulkan dampak kerusakan lahan di daerah hulu yang.
diikuti terjadinya banjir di bagian hilir. Kerusakan lahan tersebut dapat merubah kondisi
klimat lokal seperti perubahan suhu, kelembaban udara, dan curah hujan sehingga kondisi
penampang tanah juga ikut berubah saling berkaitan erat, diantaranya: erosi, degrasi lahan,
kemampuan menahan air, dan sebagainya. Keadaan tersebut akan mengganggu
pembangunan pertanian dan dapat merugikan semua pihak.
Daerah studi kasus untuk kajian ini yaitu Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano,
Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara telah dipetakan oleh Puslittanak (1994/95)
melalui proyek LREP-II yang arahannya untuk penyediaan air bersih dan tenaga air
(hydropower) untuk PLTA yang berasal dari D. Tondano (Puslittanak (1995).
Evaluasi lahan di daerah penelitian dilakukan untuk mengetahui kecocokan/
kesesuaian lahan untuk berbagai komoditas yang mungkin untuk dikembangkan, sehingga
lahan tersebut dapat berproduktivitas secara optimal dan sekaligus dapat mengetahui dan
mengantisipasi kendala yang dihadapi.
Danau Tondano merupakan reservoir alam dengan luas sekitar 4.800 ha dengan
volume air sekitar 680 juta m3 berfungsi penting sebagai sumber air minum, sumber tenaga
listrik (PLTA di Tonsea Lama, Tenggari I dan II), irigasi, perikanan, dan parawisata. Isu
berkembang akhir-akhir ini danau Tondano telah mengalami pendangkalan yang parah yang

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 619
Seminar Nasional 2005

disebabkan oleh erosi dan eutrifikasi. Jika keadaan ini dibiarkan, maka dikhawatirkan
dalam jangka waktu 25 tahun mendatang danau tersebut menjadi daratan (Hikmatullah,
1996 dalam Hikmatullah et al., 1998).
Hasil kajian di daerah Tondano dan sekitarnya, diharapkan dapat membantu
Pemerintah Daerah dalam penyusunan perencanaan pembangunan pertanian yang berbasis
lahan di era otonomi sekarang ini, sehingga pengembangan agribisnis di daerah ini akan
tangguh dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta PAD pemerintah daerah
setempat. Serta dapat mengantisipasi secara dini kerusakan lingkungan di daerah aliran
sungai (DAS) atau daerah tangkapan hujan (catchment area) Tondano dengan tidak
mengorbankan keadaan penggunaan lahan yang ada.

BAHAN DAN METODE

Bahan
Lokasi penelitian di daerah aliran sungai Tondano, mencakup sebagian Kabupaten
Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara seluas 55.425 Ha.
1. Peta: Peta rupabumi, skala 1: 50.000, Peta Tanah, Peta Penggunaan Lahan, Peta Zone
Agro-Ecology, dan Peta Arahan Penggunaan Lahan.
2. Data tanah dalam bentuk basisdata tanah terdiri dari data Site and Horison (SH), data
analisis kimia tanah (SSA), dan satuan peta tanah (MU) atau Representative Soil Series
(RSS).
3. Rerata data iklim dari stasiun pengamat iklim Manado (Air port), Tonsea Lama,
Tondano, Langowan, Telap, Sonder, dan Tomohon.
4. Data Usahatani dikumpulkan melalui survai usahatani pada berbagai tipe penggunaan
lahan dan kemungkinan jenis komoditi yang sesuai untuk dikembangkan.

Metode
1. Pengumpulan data berupa data spasial, dan tabular berupa data karakteristik lahan, data
iklim, dan data usahatani (sosial ekonomi pertanian).
2. Pengolahan data iklim dihitung dengan metoda Pennman dengan bantuan program
Cropwat (1991) untuk menentukan neraca air sebagai dasar penetapan waktu dan pola
tanam.
3. Pengolahan basis data tanah menggunakan program mediator yaitu SDPLE (Soil Data
Processing for Land Evaluation) tertuang dalam TR No. 19 Version I, LREP II (1996).
Data karakteristik lahan berupa: kondisi terrain (lereng, torehan, keadaan batuan, dan
bahaya banjir); media perakaran (kedalaman efektip, tekstur, drainase, struktur tanah,
density, dan kemasakan tanah), dan sifat kimia tanah seperti reaksi tanah, bahan sulfidik,
dan kandungan bahan organik.
4. Evaluasi lahan dilakukan dengan beberapa tahap pengerjaan, yaitu: Penyusunan model
evaluasi lahan dengan program ALES dan disusun dengan menetapkan tipe penggunaan
lahan (TPL) atau Land Use Type (LUT), persyaratan penggunaan lahan (PPL) atau Land
Use Requirement (LUR), memilih karakteristik lahan (KL) atau Land Characteristic
(LC), dan menyusun pohon keputusan atau Decision Tree (DT). Prosedur penyusunan
model evaluasi lahan secara rinci mengacu pada Standard Procedure for Land Evaluation
(Technical Report No. 18, Version 4.0, 1998).
Menurut konsep dasar Kerangka Evaluasi Lahan (FAO, 1976; FAO, 1983, Rossiter,
1994, 1995; Rossiter et al, 1994) dibedakan atas kesesuaian lahan secara fisik (kualitatif) dan
kesesuaian lahan secara ekonomik (kuantitatif). Secara fisik dibedakan atas 4 kelas, yaitu:
Sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3), dan tidak sesuai (N). Secara

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 620
Seminar Nasional 2005

ekonomik dibedakan atas 5 kelas, yaitu: Kelas 1 sangat sesuai (S1) penggunaannya sangat
menguntungkan; Kelas 2 cukup sesuai (S2) penggunaannya cukup menguntungkan; Kelas 3
sesuai marjinal (S3) penggunaannya marjinal menguntungkan; Kelas 4 tidak sesuai secara
ekonomik (N1), penggunaannya memungkinkan tetapi tidak menguntungkan saat ini, dan
dengan meningkatkan manajemen dapat menaikan kelasnya; Kelas 5 tidak sesuai permanen,
secara ekonomik (N2) penggunaannya tidak memungkinkan, dan kelas ini secara fisik
berasal dari kelas N.
Memprediksi kesesuaian lahan bagi komoditas pertanian diperlukan kriteria kelas
kesesuaian lahan dari yang paling sesuai (S1) sampai yang tidak sesuai (N). Kriteria kelas
kesesuaian lahan telah banyak disusun antara lain oleh FAO & CSR Staff (1983), (Sys et al.,
1993), dan (Djaenudin et al., 2000).
Komputasi merupakan proses memadukan PPL untuk setiap TPL dengan kondisi KL
yang dipunyai oleh setiap satuan lahannya, untuk menetapakan kelas atau subkelas
kesesuaian lahan serta macam kendalanya. Cara pengoperasian program ALES secara detail
dapat dilihat pada User Mannual ALES Versio n 4.65d (Rossiter, 1996, 1997) atau
Petunjuk Teknis Penyusunan Program ALES (Marwan et. al., 2000). Hasil evaluasi lahan
melalui program ArcView (GIS) disajikan dalam bentuk spasial (peta kesesuaian lahan).
Secara singkat rangkaian kegiatan evaluasi lahan dari penyiapan data sampai pada
tampilan peta disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Rangkaian kegiatan evaluasi lahan di Lokasi Penelitian Tondano .

Arahan penggunaan lahan di lokasi penelitian merupakan perwilayahan komoditas


pertanian yang disusun berdasarkan pertimbangan kelas kesesuaian lahan, komoditas
andalan atau terpilih, tenaga kerja, peluang pasar, aksesibilitas terutama sarana dan prasarana
transportasi, dan aspek lainnya (keamanan, sosial budaya, dll).
Alur penyusunan pewilayahan komoditas pertanian secara garis besar dapat ditelaah
pada Gambar 2.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 621
Seminar Nasional 2005

Gambar 2. Diagram alir penyusunan pewilayahan komoditas pertanian.


Sumber: Juknis Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian (Puslitbangtanak, 2001)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Daerah penelitian secara astronomis terletak pada 1°05’ sampai 1°23’ LU dan
124°47’ sampai 125°00 BT tercakup dalam peta rupabumi sebagian lembar Manado (sheet
2417-23) dan sebagian lembar Langowan (sheet 2417-21). Secara administrasi termasuk
dalam 10 kecamatan (Tomohon, Tondano, Kawangkoan, Sonder, Tompaso, Langowan,
Remboken, Kakas, Eris, dan Kombi), Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara.
Elevasi daerah penelitian berada mulai dari 600 m dpl (sekitar danau Tondano).
Kota Tondano berjarak sekitar 35 km dani Manado dan dapat ditempuh sekitar 45
menit perjalanan dengan kendaraan darat. Lokasi penelitian terdekat dari Manado yaitu
Tomohon dan Kaskasen yaitu berjarak sekitar 25 km. Fasilitas alat angkutan ke setiap kota
kecamatan dan desa-desa cukup tersedia dan lancar dengan sarana perhubungan cukup baik.
Pelabuhan udara terdekat yaitu Pelud Samratulangi di Manado, sedangkan pelabuhan laut
berada di Bitung.
Hikmatullah et al. (1998) mengemukakan bahwa penggunaan lahan daerah
penelitian sebagian besar merupakan lahan pertanian terdiri dari kebun cengkeh rakyat
(40,99%), pertanian lahan kering/tegalan (19,26%), pesawahan (12,12%), kebun campuran
(3,87%), dan kebun kelapa (0,39%). Lahan non pertanian terdiri dari hutan (7,93%), semak
belukar (3,79%), rumput rawa/sagu (0,65%) lahan pemukiman (2,34%), dan danau Tondano
(8,66%).
Kondisi iklim di daerah penelitian yang diwakili oleh 5 stasiun iklim mempunyai
rerata curah hujan tahunan berkisar dari 1.541 mm (Tonsea Lama) sampai 2.094 mm

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 622
Seminar Nasional 2005

(Sonder) dengan hari hujan berkisar dari 67 sampai 131 hari/tahun dan intensitas hujan
harian berkisar antara 14,4 sampai 25,4 mm. Sebaran hujan mempunyai dua puncak musim
hujan (bimodal) yaitu pada bulan Mei dan Nopember.
Berdasarkan Schmidt dan Ferguson (1951) daerah penelitian dibedakan menjadi
Tipe hujan A (Tondano, Tomohon, dan Sonder) dan Tipe hujan B (Tonsea Lama dan
Langowan). Menurut Koppen termasuk tipe iklim Af (tipe iklim tropis basah), sedangkan
Oldeman dan Darmiyati (1977) membedakan ke dalam zona agroklimat B1 mempunyai
bulan basah (> 200 mm) selama 7-9 bulan dan bulan keringnya (< 100 mm) < 2 bulan dan
zona agroklimat C1 yaitu mempunyai bulan basah selama 5-6 bulan dan bulan keringnya < 2
bulan.
Hasil perhitungan neraca air tanah (Thorenthwaite and Mather, 1957) berdasarkan
data iklim Tondano menunjukkan bahwa periode surplus terjadi selama 9 bulan (Oktober
sampai Juni) sebesar 676 mm. Periode defisit mulai bulan Juni sampai September sebesar 8
mm. Kondisi neraca air tersebut sangat menunjang kegiatan pertanian terutama tanaman
pangan. Sumber mata air dijumpai di bawah kaki volkan. seperti G, Lokon, G. Soputan, G.
Mahawu, dll.
Berdasarkan neraca air tersebut maka daerah penelitian disusun pola tanam baik
untuk tanaman pangan maupun tanaman tahunan seperti disajikan pada Gambar 3.

N e ra c a A ir T a n a h d i T o n d a n o d a n S e k ita rn y a

250

200
mm

150

100

50

0
A gu Se p Okt Nop D es Ja n P eb M ar Apr M ei Jun Jul

B u la n

E to 1 0 0 % ETo50% ra infa ll

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des
Tanaman Pangan Semusim di Lahan Basah
Padi
sawah - I Padi sawah - II Palawija
Tanaman Pangan Semusim di Lahan Kering
Padi gogo/
sayuran Palawija/sayuran Bera
Tanaman Tahunan
Awal tanam
Masa pertumbuhan Pematangan Panen
Gambar 3. Neraca air dan usulan pola tanam di daerah penelitian.

Effendi (1976) mengemukakan formasi geologi di daerah penelitian dibedakan 4,


yaitu endapan danau dan sungai (Qs) terdiri dari pasir, lanau, konglomerat, dan lempung
napalan tersebar di sebelah utara (Tondano) dan selatan danau (Kaima, Tolok, Langowan);
batuan gunung api muda (Qv) terdiri dari lava, bom, lapili, dan abu tersebar di sekitar G.
Lengkoan, G. Mahawu, G. Lokon, Tataran, Peloloan, sekitar bagian hulu S. Nenanga, G.
Rindengan, dan Noongan; tuf Tondano (QTv) terdiri dari klastika gunungapi kasar terutama

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 623
Seminar Nasional 2005

bersipat andesit dengan banyak pecahan batuapung, tufa, tufa lapili, dan breksi tersebar di
sekitar Kawangkoan,Tolok, Kayuwatu, Kapatatan, Sawangan, utara kota Tondano, hulu S.
Ranawangko; dan batuan gunungapi tua (Tmv) terdiri dari breksi, lava dan tufa, aliran lava
yang bersusunan andesit sampai basal tersebar di sekitar G. Kawatak memanjang ke utara
sampai G. Wakaeinben atau sisi timur danau.
Berdasarkan interpretasi foto udara dan pengecekan lapangan (Puslittanak, 1995)
landform dibedakan menjadi grup aluvial dengan relief umumnya datar (<3%) sekitar 4.750
ha (8,57%), yaitu terdiri dari dataran lakustrin, dataran aluvio-koluvial, dasar lembah sempit,
dan jalur aliran sungai dijumpai di sekitar Tondano dan Kakas. Sisanya seluas 50.675 ha
(91,43%) merupakan grup volkan yang terdiri dari kerucut volkan, dataran volkan, aliran
lava dan lahar, lungur volkan berbukit, dan lungur volkan bergunung.
Tanah yang dijumpai masuk dalam 5 ordo tanah klasifikasi (Soil Survey Staff ,
1998), yaitu:
1. Histosols yang diketemukan termasuk grup Haplosaprists, berkembang dari endapan
bahan organik, ketebalan organik 0,5 – 2 m yang berada di atas bahan lakustrin, reaksi
tanah masam (pH 4,6, kadar Ca dan Mg tinggi, kejenuhan basa tinggi.
2. Inceptisols dibedakan menjadi 2 grup (Epiaquepts dan Eutrudepts). Tanah Epiaquepts
berkembang dari endapan lakustrin, drainase buruk, solum dalam, tekstur lempung liat
berdebu sampai liat, reaksi tanah agak masam sampai netral, dan kejenuhan basa tinggi.
Tanah Eutrudepts berkembang dari bahan volkan, drainase baik, solum dalam, tekstur
liat sampai liat berdebu, reaksi tanah agak masam sampai netral, dan kejenuhan basa
tinggi.
3. Andisols dibedakan menjadi 3 grup (Udivitrands, Hapludands, dan Endoaquands).
Tanah Udivitrands berkembang dari bahan volkan, drainase cepat, solum dangkal sampai
dalam, tekstur lempung berpasir sampai pasir berlempung, reaksi tanah agak masam,
bahan organik tinggi, banyak mengandung gelas volkanik, dan kejenuhan basa sedang.
Tanah Hapludands berkembang dari bahan volkan (lava andesit), drainase baik, solum
dalam, tekstur lempung berdebu sampai liat berdebu, bahan organik tinggi, reaksi tanah
agak masam, dan kejenuhan basa sedang. Tanah Endoaquands berkembang dari bahan
endapan volkan, drainase buruk, solum dalam dengan air tanah dangkal, tekstur lempung
berdebu sampai liat berdebu, reaksi tanah agak masam, dan kejenuhan basa tinggi.
Untuk ordo tanah Andisols secara umum retensi fosfat cukup tinggi (>25%) sehingga
pemupukan P diperlukan lebih tinggi dari keadaan normal.
4. Mollisols dibedakan menjadi 3 grup (Hapludolls, Argiudolls, dan Endoaquolls). Tanah
Hapludolls berkembang dari bahan volkanik, drainase baik, solum dalam, tekstur
lempung berdebu sampai lempung liat berdebu yang kadang-kadang berkerikil, reaksi
tanah agak masam sampai netral, dan kejenuhan basa tinggi. Tanah Argiudolls
berkembang dari bahan volkanik (lava), drainase baik, solum dalam, tekstur liat sampai
liat berat, reaksi tanah netral, bahan organik tinggi, dan kejenuhan basa tinggi. Tanah
Endoaquolls berkembang dari bahan aluvium-koluvium, drainase buruk, air tanah agak
dangkal sampai dangkal, solum dalam, tekstur liat berdebu sampai liat, reaksi tanah
netral, bahan organik tinggi, dan kejenuhan basa tinggi.
5. Alfisols dibedakan menjadi 2 grup (Hapludalfs dan Rhodudalfs). Tanah Hapludalfs dan
Rhodudalfs berkembang dari bahan volkanik (tuf, lava andesit dan lava basat), drainase
baik, solum dalam, tekstur liat berdebu sampai liat, reaksi tanah agak masam sampai
netral, dan kejenuhan basa tinggi.
Hasil evaluasi lahan berupa tabular diolah dengan program SDPLE dan selanjutnya
digabungkan (joint) dengan atribut spasial (peta Tondano) melalui Sistem Informasi
Geografi (SIG) dalam program ArcView. Berdasarkan pengolahan SDPLE tersebut, bahwa
untuk komoditas jagung dengan tingkat pengelolaan sedang didapat: kelas S1 seluas 6.118
ha, S1- seluas 1.696 ha, S1N seluas 1.341 ha, S2 seluas 4.122 ha, S2+ seluas 2.150 ha, S2-

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 624
Seminar Nasional 2005

seluas 2.650 ha, S2N seluas 53 ha, S3 seluas 13.581 ha, S3+ seluas 3.413 ha, S3N seluas
3.166 ha, NS seluas 3.597 ha, dan N 6.608 ha.
Komoditas vanili dengan tingkat pengelolaan sedang didapat: kelas S1 seluas 5.671
ha, S1- seluas 1.696 ha, S1N seluas 1.341 ha, S2 seluas 4.912 ha, S2+ seluas 1.807 ha, S2-
seluas 2.650 ha, S2N seluas 53 ha, S3 seluas 13.425 ha, S3+ seluas 3.413 ha, S3N seluas
3.322 ha, NS seluas 3.597 ha, dan N 6.608 ha.
Komoditas cengkeh dengan tingkat pengelolaan sedang didapat: kelas S1 seluas
17.742 ha, S1- seluas 5.681 ha, S1N seluas 1.798 ha, S2 seluas 3.531 ha, S2+ seluas 2.467
ha, S2- seluas 286 ha, S2N seluas 53 ha, S3 seluas 6.855 ha, S3+ seluas 5.903 ha, S3N seluas
958 ha, NS seluas 2.109 ha, dan N 1.112 ha.
Penyebaran untuk setiap kelas kesesuaian lahan tersebut disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Peta Kesesuaian Lahan untuk Jagung, Kacang tanah, Vanili dan Cengkeh.
Berdasarkan hasil evaluasi lahan di daerah penelitian dan dikaitkan dengan
penggunaan lahan yang ada, asesibilitas, dan sosial budaya setempat, maka arahan
penggunaan lahan (tata ruang wilayah pertanian) yang kiranya akan dapat meningkatkan
produktivitas lahannya mengacu pada usahatani yang tangguh dengan memperhatikan
kelestarian lingkungan tanpa mengorbankan penggunaan lahan yang ada, yaitu:
1. Lahan untuk pengembangan padi sawah seluas 8.170 ha tersebar di sekitar Tondano,
Kakas, Langowan, Tompaso, dan Panasen. Lahan tersebut relatif datar, sifat fisik dan
kimia tanah cukup baik, sumber air tersedia, sumber tenaga tersedia, dan sarana
transportasi dan infrastruktur cukup memadai.
2. Lahan untuk pengembangan palawija dengan komoditas seperti jagung, kacang tanah,
kentang. dll seluas 12.683 ha tersebar di sebelah barat Langowan, timur Sonder, dan
sekitar Tomohon. Lahannya datar sampai berombak, sifat fisik dan kimia tanah cukup
baik, sumber tenaga tersedia, dan sarana transportasi dan infrastruktur cukup memadai.
3. Lahan untuk pengembangan tanaman perkebunan dengan komoditas seperti vanili,
cengkeh, kopi, kelapa, dll seluas 9.613 ha tersebar di sebelah barat Remboken.
Wilayahnya miring dapat diatasi dengan penterasan dan penanaman mengikuti kontur,
sifat fisik dan kimia tanah cukup baik, sumber tenaga tersedia, dan sarana transportasi
dan infrastruktur cukup memadai.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 625
Seminar Nasional 2005

4. Lahan untuk pengembangan agroforestry seluas 9.376 ha tersebar di sebelah timur Eris.
Wilayahnya merupakan perbukitan dengan lereng curam dengan bahaya erosi tinggi dan
sebaiknya diusahakan tanaman hutan.
5. Lahan untuk kawasan lindung seluas 8.298 ha tersebar di beberapa tempat bagian
puncak, lereng atas volkan, dan perbukitan volkan. Wilayahnya dengan lereng curam
dengan bahaya erosi tinggi dan sebaiknya dijadikan kawasan lindung.

KESIMPULAN DAN SARAN

 Suberdaya lahan di daerah penelitian mempunyai prospek untuk dikembangkan dan


diintensifkan penggunaannya. Komoditas yang dapat dikembangkan diantaranya kopi,
cengkeh, kakao, dan vanili untuk tanaman tahunan serta padi, jagung, kacang tanah,
kentang, dan sayuran untuk tanaman pangan/hortikultura semusim.
 Tindakan konservasi yang diperlukan, adalah pembuatan teras bangku yang sudah
dilakukan petani pada zona I, II, dan III, maka kendala lereng pada zona tersebut sudah
diatasi, tetapi untuk kelestariannya perlu dilakukan pemeliharaan secara kontinyu.
 Berhubung daerah pengkajian merupakan obyek wisata, seyogyanya komoditas yang
dikembangkan perlu dijamin kualitasnya supaya dapat dijadikan komoditas sebagai
penunjang pariwisata.
 Walaupun secara umum tingkat kesuburan tanah relatif baik tetapi untuk
mempertahankan produktivitas tanah pemupukan perlu dilakukan. Terutama pada tanah
Andisols dengan retensi (fiksasi) fosfat relatif tinggi, pemberian pupuk P lebih tinggi
dari keadaan normal.

PUSTAKA

CSR/FAO Staff. 1983. Reconnaissance Land Resource Surveys. Atlas Format Procedures.
Center for Soil Research /FAO. Bogor.
Djaenudin, D., Marwan Hendisman, Hidayatullah, Kusumo Nugroho, E.R. Jordens, A.L.J.
Van den Eelaart, and D.G. Rossiter, 1998. Standard Procedures For Land
Evaluation. LREP-II Part C. Centre For Soil and Agroclimate Research, Bogor. TR.
18, V.4.0, March 1998.
Djaenudin, D., Marwan H., H. Subagyo, Anny Mulyani, dan Nata Suharta, 2000. Buku
Penyususnan Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Versi 2. Dok. Pustittanak.
Effendi, A., 1976. Peta Geologi Sulawesi Lembar Manado, skala 1:250.000. Puslitbang
Geologi, Bandung.
F.AO, 1976. A Framework for Land Evaluation. Soils Bulletin No. 12, FAO Rome, Italy
------, 1983. Guidlines Land Evaluation for Rainfed Agriculture. Soils Bulletin No. 52,
FAO. Soil Resources Manajement and Conservation Services Land Water
Development Division
------, 1991. Crop water requiremments. Computer programme. Land and Water
Development Devision. FAO Rome, Italy: Food and Agriculture Organization of the
United Nations.
Hikmatullah, 1996. Erosion Hazard Assessment in the Lake Tondano Catchment, North
Sulawesi, Indonesia with Respect to Its Possible Siltation. Unpubl. MSc thesis. ITC
Enschede, The Netherlands.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 626
Seminar Nasional 2005

Hikmatullah, Marwan, H., Suparto, dan Hidayatullah, 1998. Pemetaan Sumberdaya Tanah
Semi Detail Daerah Tondano, Sulawesi Utara untuk Mandukung Penyediaan Air
Bersih dan Pembangkit Tenaga Listrik, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,
Bogor. No. 29/Puslittanak/1998.
Marwan H., D. Djaenudin, Subagyo H., S. Hardjowigeno, dan E.R. Jorden, 2000.. Petunjuk
Pengoperasian Program Sistem Otomatisasi Penilaian Lahan (Automated Land
Evaluation System / ALES). Versi 3.0. September, 2000. Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat. Balitbang Pertanian.
Oldeman, L. R. and Darmiyati S., 1977. The Agroclimatic Map of Sulawesi, scale
1:2,500,000. Cont. Cent. Res. Inst. Agric. Bulletin No. 60, Bogor.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1995. Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah
Tingkat Semi Detail (Skala 1:50.000) Daerah Tondano Sulawesi Utara Untuk
Penyediaan Air dan Hydropower. Laporan Akhir No. 03c/P2SLA/19-04/95. Proyek
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan dan Agroklimat. Badan Litbang
Pertanian.
Rossiter, D. G., 1994. Land Evaluation. Lecture Note. College of Agriculture and Life
Science. Dept. of Soil, Crop & Atmospheric Science. SCAS Teaching Series T94-1
Rossiter, D. G. and A. R. Van Wambeke, 1997. Automated Land Evaluation System
ALES. Version 4.5. User Manual. Cornell Univ. Dept. of Soil, Crop & Atmospheric
Sciences. SCAS Teaching Series No. 193-2. Revision 6. Ithaca NY USA
Schmidt, F.H., and J.H.A. Ferguson, 1951. Rainfal Type Based on Wet and Dry Period
Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verh. No. 42. Jawatan Met. dan
Geofisik, Jakarta.
Soil Survey Staff. 1998. Keys to soil taxonomy. Eighth Edition. United States Departement
of Agriculture. Natural Resources Conservation Service.
Thornthwaite, C.W. and J.R. Mathers, 1957. Instruction and Table for Computing Potential
Evapotranpiration and Water Balance. Publ. in Climatology. Vol. X No. 3
Centertown, New Jersey. pp. 185-311.
Zee, E. van der. 1996. SDPLE: Soil Data Processing for Land Evaluation. CSAR Bogor,
TR No. 19 Version I, LREP-II Part C: Strengthening Soil Resources Mapping.
Technical Report, December 1996.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 627
Seminar Nasional 2005

PEWILAYAHAN KOMODITAS PERTANIAN BERDASARKAN ZONA


AGROEKOLOGI SKALA 1:50.000 DI KABUPATEN LOMBOK TENGAH

Moh. Nazam1) , I M Wisnu W1), H. Suriadi1), Hendra S2) dan Marwan H2)
1)
Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
2)
Peneliti pada Balai Penelitian Tanah Bogor

ABSTRAK

Penelitian pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan Zona Agroekologi (ZAE) di Kabupaten


Lombok Tengah, bertujuan mengidentifikasi potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan pertanian,
menyusun informasi tipe penggunaan lahan untuk sistem pertanian yang tepat sebagai dasar pembangunan
pertanian berkelanjutan, menyusun peta pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan ZAE skala 1:50.000.
Penelitian dilakukan dengan pendekatan desk study, pengambilan contoh tanah dan survei. Secara geografis
Kabupaten Lombok Tengah terletak antara 116°05’-116°24’ BT dan 8°24’-8°57’ LS. Tergolong dalam pola
curah hujan tahunan IIA, IIC dan IIIA dengan curah hujan tertinggi <2500mm/th, rerata suhu tahunan antara
27,6°C-28,1°C. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson tergolong type C dan D yang terletak pada zona
Agroklimat C3 dan D4. Aksesibilitas cukup lancar, sarana dan prasarana perhubungan dan komunikasi cukup
baik. Hasil interpretasi Citra Foto Udara/Landsat TM7, terdapat enam grup landform, yaitu Aluvial, Fluvo-Marin,
Marin, Volkan, Tektonik/Struktural dan Karst yang menghasilkan 22 unit satuan lahan. Bentuk wilayah dan
lereng (relief), umumnya datar sampai berombak, wilayah bergunung dan berbukit terdapat di kaki Gunung
Rinjani. Klasifikasi tanah yang dijumpai adalah Entisols, Andisols, Inceptisols, Alfisols, dan Vertisols yang
menurunkan 11 grup dan 20 subgrup. Reaksi tanah umumnya netral, kandungan C organik dan N rendah, KTK
tanah rendah, dan kejenuhan basa tinggi, tingkat kesuburan sedang sampai tinggi. Hasil evaluasi lahan
menunjukkan komoditas padi, kacang tanah, jagung, kedelai, semangka, mangga, manggis, durian, rambutan,
tembakau, dan kapas cocok dikembangkan di Kabupaten Lombok Tengah. Hasil pewilayahan komoditas
pertanian diperoleh 13 arahan pewilayahan dan lima sistem pertanian yang dapat dikembangkan.
Kata kunci : biofisik, agroklimat, sosial ekonomi, pewilayahan komoditas

PENDAHULUAN

Produktivitas dan mutu hasil suatu komoditas pertanian dipengaruhi oleh kondisi
biofisik, agroklimat dan sosial ekonomi. Pemanfaatan dan perluasan spektrum pertanian
yang bertitik tolak dari potensi dan keragaman sumberdaya alam serta kondisi sosial
ekonomi, harus memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Berbagai
langkah yang ditempuh dalam pengembangan sumberdaya alam secara optimal, antara lain:
(a) pengenalan sifat dan karakteristik; (b) penetapan kesesuaian lahan dengan melakukan
analisis kesesuaian antara kualitas dan karakteristik lahan dengan persyaratan penggunaan
lahan; (c) penetapan tingkat manajemen yang diperlukan untuk setiap penggunaan lahan
sesuai dengan sifat dan karakteristik lahan; (d) penilaian kesesuaian lahan bagi
pengembangan berbagai komoditas pertanian, serta (e) penentuan pilihan komoditas atau tipe
penggunaan lahan tertentu yang secara fisik sesuai dan secara ekonomis menguntungkan
(Budianto, 2001).
Konsep Zona Agroekologi (ZAE) adalah suatu penyederhanaan dan
pengelompokkan agroekosistem yang beragam dalam bentuk klasifikasi yang lebih aplikatif
(Las,. et al, 1990). Keragaman tanah dan iklim dapat dimanfaatkan sebagai dasar
pewilayahan berbagai komoditas agar dicapai tingkat produksi yang optimal dan
berkelanjutan. Pemetaan tanah semi detail yang dapat digambarkan pada peta skala 1:
50.000, dapat digunakan untuk perencanaan operasional penggunaan lahan di tingkat
kabupaten atau kecamatan (Soekardi, 1994).
Penelitian bertujuan: (1) mengidentifikasi potensi sumberdaya lahan untuk
pengembangan pertanian; (2) menyusun informasi tipe penggunaan lahan untuk sistem
pertanian yang tepat; (3) menyusun peta pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan ZAE
skala 1: 50.000. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat sebagai dasar: (1) perencanaan
pembangunan pertanian yang efektif dan berkelanjutan.; (2) penetapan kawasan

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 628
Seminar Nasional 2005

pengembangan komoditas unggulan; (3) pemilihan paket teknologi yang sesuai atau
ektrapolasi teknologi yang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosial ekonominya.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan terdiri atas Peta Rupa Bumi Indonesia (digital) skala
1:25.000 (Bakosurtanal, 1998); Citra Landsat TM Path 116 Row 66, 1997 skala 1:60.000;
Peta Geologi Lembar Lombok, NTB skala 1:250.000 (Puslitbang Geologi, 1994); Peta
Agroklimat NTB, NTT skala 1:500.000 (Oldeman et al., 1988); dan Atlas Sumberdaya Iklim
Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000 (Balitklimat dan Hidrologi, 2003).
Penelitian dilakukan bulan Juni s/d Desember 2004 dengan pendekatan desk study
dan survei. Analisis terrain melalui interpretasi foto udara dan Citra Landsat TM untuk
mendelineasi satuan landform, litologi, relief dan lereng, tingkat torehan, elevasi, pola
drainase dan penggunaan lahan (landuse) yang mengacu kepada Van Zuidan (1986).
Klasifikasi landform, litologi, dan relief mengikuti pedoman yang dikemukakan Marsoedi et
al. (1997). Pengamatan sifat-sifat dan penyebaran jenis tanah melalui transek atau
toposekuen (Steers dan Hajek, 1977) untuk setiap satuan lahan pewakil. Pengamatan profil
dan pengambilan contoh tanah, mengacu pada Guidelines for Soil Profile Description (FAO,
1978) dan Key To Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1998). Survei sosial ekonomi dengan
teknik wawancara dengan petani di sentra produksi dan daerah potensial pengembangan
(Balittanah, 2001).
Analisis contoh tanah mengacu pada Soil Survey, Laboratory Method and Procedure
for Collecting Soil Samples (Soil Conservation Service, 1972). Data sosial ekonomi
dianalisis dengan analisis B/C ratio, Net Present Value (NPV), dan Internal Rate of Return
(IRR) (Kadariah, 1988). Evaluasi lahan dengan pendekatan two stages approach, dengan
membandingkan (matching) antara karakteristik lahan dan persyaratan tumbuh tanaman
(Djaenuddin et al., 2003), perhitungannya menggunakan program ALES (Automated Land
Evaluation System) model Rossiter dan Van Wambeke (1997). Hasil evaluasi lahan secara
fisik dan ekonomis dihubungkan dengan program Modul Pewilayahan Komoditas (MPK)
(Bachri et al., 2002).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Biofisik
Kabupaten Lombok Tengah secara geografis terletak antara 116°05’-116°24’ BT
dan 8°24’-8°57’ LS dengan luas wilayah 116.228 ha. Landform berdasarkan hasil
interpretasi foto udara dan citra landsat TM (Marsoedi et al., 1997), terdiri atas 6 grup, yaitu
Aluvial, Fluvio-Marin, Marin, Volkan, Tektonik/Struktural, Karst dan Aneka Bentuk,
menghasilkan 21 satuan lahan (SL).
Grup Aluvial (A) terbentuk dari bahan endapan (aluvium/ koluvium) yang
diakibatkan oleh aktivitas sungai (fluvial) maupun gravitasi (koluvial) hasil koluviasi dari
daerah perbukitan/pegunungan disekitarnya. Bentuk wilayah umumnya datar sampai
bergelombang dengan lereng berkisar 0-8 %. Penyebarannya di bagian tengah menempati
areal seluas 9.016 ha (7,76%) dari luas wilayah.
Grup Marin (M) terbentuk dari aktivitas air laut baik yang bersifat konstruktif
(pengendapan) maupun destruktif (abrasi). Bentuk wilayah datar sampai agak datar dengan
lereng <3%. Penyebaran relatif sempit di sepanjang pantai selatan menempati areal seluas
1.475 ha (1,27%).
Grup Karst (K) umumnya bergelombang dan berbukit dengan kisaran lereng 8-45%,
tanah umumnya dangkal dan berbatu. Penyebaran di pesisir selatan, sebagian merupakan

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 629
Seminar Nasional 2005

gugusan pulau-pulau kecil, menempati areal seluas 3.941 ha (3,39%). Volkan (V)
wilayahnya mulai dari agak datar, berombak, bergelombang, berbukit, dan bergunung,
kisaran lereng 1->45%.
Grup volkan mempunyai penyebaran paling luas yaitu di wilayah bagian utara (kaki
G. Rinjani), seperti Batukliang Utara, Batukliang, Pringgarata, dan Kopang, menempati areal
seluas 76,974 ha (66,23%). Grup Tektonik dan Struktural (T) wilayah umumnya berbukit
sampai bergunung dengan lereng sebagian besar >45 %. Penyebaran di bagian selatan mulai
dari Teluk Awang sampai Teluk Selong Belanak, menempati areal seluas 22.671 ha
(19,51%).
Bentuk wilayah bervariasi mulai dari datar sampai bergunung dengan kelerengan 0 -
> 45% dengan luas sebaran seperti terlihat pada Tabel 1. Bentuk wilayah dan lereng (relief)
adalah bentukan permukaan bumi yang erat kaitannya dengan struktur geologi dan litologi
yang terbentuk di permukaannya serta proses degradasi dan agradasi lahan, yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dan sistem pengelolaan.
Tabel 1. Sebaran bentuk dan lereng wilayah Kabupaten Lombok Tengah

Lereng Luas
No. SL Simbol Relief
(%) Ha %
1 f Datar 0-1 7.803 6,71
2 n Agak datar 1-3 30.844 26,54
3 u Berombak 3-8 20.491 17,63
4 r Bergelombang 8 - 15 8.190 7,05
6 o Bergumuk 8 – 15 4.517 3,89
7 c Berbukit kecil 15 – 25 3.082 2,65
8 h Berbukit 15 – 45 34.249 29,47
9 m Bergunung >45 4.901 4,22
10-13 X1, X2, X3 , X4 Pemukiman, danau, lereng 2,151 1.86
curam, pulau-pulau
Kabupaten Lombok Tengah 116,228 100.00
Suber : Data sekunder diolah, 2004.

Tanah-tanah di Kabupaten Lombok Tengah diklasifikasikan ke dalam lima ordo (Soil


Survey Staff, 1988), yaitu ordo Entisols, Andisols, Inceptisols, Alfisol dan Vertisols,
menurunkan 11 sub ordo, 16 grup dan 22 subgrup (Tabel 2).
Entisols terbentuk dari bahan aluvium, aluvium-marin, marin, dan volkan. Penampang
tanah bervariasi, tekstur lempung berpasir sampai pasir berlempung, dan berlapis-lapis
(stratified) atau berselang seling. Warna tanah coklat pucat sampai kelabu terang, drainase
sedang sampai agak cepat, struktur lepas sampai masif, konsistensi gembur dan lepas pada
kondisi kering. Reaksi tanah umumnya agak netral sampai basis (pH>7), kadar C organik
sangat rendah sampai rendah, kadar P 2O5 dan K2O potensial sedang, basa-basa dapat tukar
rendah sampai sedang dan didominasi oleh Ca dan Mg. KTK tanah rendah, tetapi kejenuhan
basanya tinggi. Klasifikasi tanah pada tingkat subgrup termasuk Typic Ustifluvents, Typic
Ustipsamments, dan Lithic Ustorthents

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 630
Seminar Nasional 2005

Tabel 2. Klasifikasi tanah Kabupaten Lombok Tengah, 2004

Ordo Subordo Grup Subgrup PPT, 1983 FAO, 1989


Entisols Fluvents Ustifluvents Typic Ustifluvents Aluvial Fluvik Haplic Fluvisols
Psamments Ustipsamments Typic Ustipsamments Regosol Haplik Haplic Regosols
Orthents Ustorthents Lithic Ustorthents Regosol Litik Lithic Regosols
Andisols Aquand Vitraquands Typic Vitraquands Andosol Aquic Gleyic Andodols
Udands Hapludands Typic Hapludands Andosol Haplik Haplic Andodol
Vitrands Udivitrands Typic Udivitrands Andosol Haplik Haplic Andodol
Ustivitrands Typic Ustivitrands Andosol Haplik Haplic Andosols
Inceptisols Aquepts Epiaquepts Aeric Epiaquepts Gleisol Aerik Aeric Gleysols
Typic Epiaquepts Gleisol Haplik Haplic Gleysol
Endoaquepts Fluventic Endoaquepts Gleisol Fluvik Fluventic Gleysols
Typic Endoaquepts Gleisol Haplik Haplic Gleysols
Halaquepts Typic Halaquepts Gleisol Haplik Halic Gleysols
Ustepts Haplustepts Fluventic Haplustepts Cambisol Fluvik Fluventic Cambisols
Lithic Haplustepts Cambisol Litik Lithic Cambisols
Vitrandic Haplustepts Cambisol Andik Andic Cambisols
Vertic Haplustepts Cambisol Vertik Vertic Cambisols
Typic Haplustepts Cambisol Haplik Haplic Cambisols
Alfisol Ustalfs Haplustalfs Typic Haplustalfs Mediteran Haplik Haplic Luvisols
Vertisols Aquerts Epiaquerts Typic Epiaquerts Grumusol Aquic Gleyic Vertisols
Endoaquerts Typic Endoaquerts Grumusol Aquic Gleyic Vertisols
Usterts Haplusterts Typic Haplusterts Grumusol Haplic Haplic Vertisols
Calciusterts Typic Calciusterts Grumusol Calcic Kalsik Vertisols
Suber : Data sekunder diolah, 2004

Andisols terbentuk dari bahan abu volkan (debu, pasir dan kerikil). Umumnya
terbentuk pada landform volkanik. Penampang tanah dangkal sampai dalam, tekstur lempung
berpasir sampai pasir berlempung. Warna tanah coklat tua sampai coklat tua kekuningan,
drainase sedang, struktur lepas sampai masif, konsistensi gembur dan keras pada kondisi
kering. Reaksi tanah umumnya netral, kadar C organik sangat rendah sampai sedang, kadar
P2O5 dan K2O potensial tinggi sampai tinggi, basa-basa dapat tukar rendah dan didominasi
oleh Ca dan Mg. KTK tanah rendah sampai sedang, kejenuhan basanya tinggi. Klasifikasi
tanah pada tingkat subgrup termasuk Typic Vitraquands, Typic Hapludands, Typic
Udivitrands dan Typic Ustivitrands.
Inceptisols terbentuk dari berbagai macam bahan induk, yaitu alluvium dan
koluvium, bahan volkanik dan sedimen. Penampang tanah dalam sampai dangkal, berwarna
coklat kemerahan sampai coklat, tekstur lempung berliat sampai liat, penampang dalam, dan
struktur cukup baik, konsistensi gembur sampai teguh. Reaksi tanah netral, kadar C dan N
organik sangat rendah sampai sedang, kadar P dan K potensial sedang sampai tinggi. Kadar
basa-basa dapat tukar didominasi oleh Ca dan Mg. KTK tanah rendah dan kejenuhan basa
tinggi. Penggunaan lahan sawah, tegalan, kebun campuran dan belukar. Tanah yang
berdrainase jelek atau buruk diklasifikasikan dalam subgrup Aeric Epiaquepts, Typic
Epiaquepts, Typic Endoaquepts dan Typic Halaquepts sedangkan yang berdrainase baik atau
sedang diklasifikasikan dalam subgrup Lithic Haplustepts, Fluventic Haplustepts, Vertic
Haplustepts, Vitrandic Haplustepts dan Typic Haplustepts.
Alfisols berkembang dari bahan induk batuan batugamping, menempati landform
perbukitan tektonik atau struktural dan karst dengan penyebaran sempit. Penampang tanah
cukup dalam sampai sedang, warna coklat kemerahan sampai coklat gelap, tekstur agak
halus sampai halus, struktur cukup, kuat gumpal bersudut, konsistensi gembur sampai teguh
dan reaksi tanah netral sampai basis, kadar C dan N organik sangat rendah sampai sedang,

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 631
Seminar Nasional 2005

kadar P dan K potensial sedang sampai tinggi. Kadar basa-basa dapat tukar didominasi oleh
Ca dan Mg. KTK tanah rendah sampai sedang dan kejenuhan basa tinggi. Penggunaan
tegalan, kebun campuran, dan belukar hutan.Tanah diklasifikasikan kedalam subgrup Typic
Haplustalfs.
Vertisols berkembang dari bahan induk aluvium dan aluvio-koluvium yang kaya
Kalsium (Ca). Penampang tanah cukup dalam, warna coklat kekelabuan sampai kelabu
gelap, tekstur agak halus sampai halus, struktur cukup kuat gumpal bersudut, konsistensi
teguh sampai sangat teguh dan reaksi tanah netral sampai basis, kadar C dan N organik
sangat rendah sampai sedang, kadar P dan K potensial sedang sampai tinggi. Kadar basa-
basa dapat tukar didominasi oleh Ca dan Mg. KTK tanah rendah sampai sedang, kejenuhan
basa tinggi.Tanah yang berdrainase jelek diklasifikasikan kedalam subgrup Typic Epiaquerts
dan Typic Endoaquerts sedangkan yang berdrainase baik atau sedang diklasifikasikan
kedalam Typic Haplusterts dan Typic Calciusterts.
Menurut Puslitbang Geologi (1994), formasi geologi Kabupaten Lombok Tengah
terdiri atas: (1) endapan permukaan (Qa) dijumpai di Teluk Awang, Pantai Kuta dan Teluk
Selong Belanak; (2) batuan gunung api tak terpisahkan (Qhv) di lereng atas dan tengah G.
Rinjani; (3) formasi Lekopiko (Qvl) dijumpai di lereng bawah G. Rinjani (Batukliang dan
Batukliang Utara); (4) formasi kalibabak (TQb) tersebar di kaki G. Rinjani mulai dari
Jonggat, Pringgarata, Batukliang, Kopang dan Praya; (5) formasi kalipulang (TQp), tersebar
di wilayah bagian tengah dari Praya Barat sampai ke Praya Timur; (7) formasi penggulung
(Tmop), penyebarannya di wilayah bagian selatan pada daerah bergelombang sampai
berbukit dari Teluk Selong Belanak sampai Teluk Awang; (8) batuan terobosan (Tmi)
tersebar spot-spot di Tanjung Bungkulan dan Tanjung Tampa; (9) formasi Ekas (Tme)
tersebar spot-spot di bagian selatan Dam Pengga dan Teluk Ekas; (10) formasi kawangan
(Tmok) tersebar di sekitar Montong Sapah menempati areal paling sedikit; (11) bahan induk
tanah didominasi volkan sehingga tanah yang terbentuk relatif muda dan mempunyai sifat
fisik dan kimia yang baik.

Kondisi Agroklimat
Wilayah Kabupaten Lombok Tengah memiliki pola curah hujan tahunan IIA, IIC
dan IIIA (Balitklimat dan Hidrologi, 2003). Pola IIA total curah hujan 1000-2000 mm/th
dengan bulan kering 5-8 bulan dan bulan basah <4 bulan, tersebar di wilayah bagian selatan.
Pola IIC total curah hujan 1000-2000 mm/th dengan bulan kering <5 bulan dan bulan basah
<5 bulan terdapat di wilayah bagian tengah. Pola IIIA total curah hujan 2000-3000 mm/th
dengan bulan kering <6 bulan dan bulan basah <6 bulan terdapat di wilayah bagian utara.
Rerata curah hujan tertinggi di Batukliang Utara yaitu 2.445 mm/th dan terendah di Praya
Timur 1.278 mm/th (Gambar 1).

SEBARAN HUJAN DI BEBERAPA STASIUN IKLIM


DI KABUPATEN LOMBOK TENGAH, NTB
450.0
400.0
350.0
----> mm <----

300.0
250.0
200.0
150.0
100.0
50.0
0.0

JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOP DES

BULAN

Kopang Praya Mantang


Sengkol Mujur Puyung

Gambar 1. Grafik sebaran hujan di beberapa stasiun iklim di Kab. Lombok Tengah.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 632
Seminar Nasional 2005

Pola curah hujan dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam penentuan pola
tanam tahunan. Pada pola II (IIA, IIB dan IIC) dapat ditanami sekali padi atau palawija,
penanaman disarankan tidak pada bulan kering. Pada pola III (IIIA, IIIB dan IIIC) dapat
ditanami dua kali yaitu sekali padi dan sekali palawija, penanaman disarankan tidak pada
bulan kering (Popi et al., 2004). Berdasarkan jumlah bulan basah (curah hujan >200 mm)
dan jumlah bulan kering (curah hujan <100 mm), tergolong zone C3 dan D4 (Oldeman et al.,
1988). Zone C3 dicirikan bulan basah 3-6 bulan, bulan kering berturut-turut 4-6 bulan; zone
D4 dengan bulan basah 3-4 bulan dan bulan kering berturut-turut 5-6 bulan. Schmidt dan
Fergusson menggolongkan tipe hujan C dan D; Koppen menggolongkannya ke dalam tipe
iklim Aw yaitu tipe iklim hujan tropis dengan curah hujan bulan-bulan terkering <60 mm
selama 6-9 bulan, rerata suhu udara bulan terdingin >18°C dan terpanas >22°C dengan curah
hujan <2.500 mm/th. Rerata suhu udara antara 27,6°C-28,1°C, perbedaan suhu bulan
terpanas dan terdingin <6°C, menunjukkan sebagian besar tergolong rejim suhu panas
(Isohyperthermic), kecuali di beberapa tempat pada ketinggian >1.300 m dpl, adanya
penurunan suhu tergolong rejim suhu sejuk (Isothermic) (Tabel 3).
Tabel 3. Rerata unsur iklim di Kabupaten Lombok Tengah

Bulan
DataUnsur Iklim
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Rata2
Suhu Udara (C) 27.5 27.5 28.0 28.0 27.5 28.0 27.0 27.0 27.0 29.0 28.5 28.0 27.8
Kelembaban Udara (%) 83.0 84.0 85.0 86.0 81.0 81.0 82.0 74.0 75.0 79.0 85.0 85.0 81.7
Lama Penyinaran (%) 36.0 38.0 57.0 57.5 70.5 69.0 78.0 79.5 77.0 65.5 56.0 35.0 59.9
Kecepatan Angin (Knots) 71.5 82.0 73.0 78.0 117.5 125.0 149.5 140.0 142.5 134.5 99.5 74.5 107.3
Evapotranspirasi
Thorntwaite (mm)
Sengkol 136.1 123.8 138.3 134.1 136.8 121.4 111 110.5 123.4 142.6 145.5 133.9 1557.4
Praya 154.5 138.7 154.8 146.7 145.5 143 140.2 141.6 139.5 164.3 158.5 161.1 1788.4
Keterangan : 1 Knots = 0,515 m/detik atau 44.5 km/hari atau 3,7 km/jam.
Suber : Data sekunder diolah, 2004.

Kondisi Sosial Ekonomi


Penduduk Kabupaten Lombok Tengah berdasarkan BPS (2003) berjumlah 790.477
jiwa, terdiri atas laki-laki 354,744 jiwa dan perempuan 435,733 jiwa (sex ratio 90%) dengan
214,368 rumah tangga/kepala keluarga (KK). Penyebaran penduduk tidak merata. Rata-rata
kepadatan penduduk 654 jiwa/km2 dengan kecamatan terpadat adalah Praya dengan 1.556
jiwa/km2 dan yang terjarang adalah Batukliang Utara dengan 236 jiwa/km 2. Sebagian besar
(70,04%) penduduk umur 15 tahun ke atas bekerja di sektor pertanian. Penduduk yang
bekerja di sektor pertanian 67,96 bekerja pada sub sektor tanaman pangan; perkebunan
(17,22%); pertanian lainnya (9,89%), peternakan (4,01%), dan sub sektor perikanan (0,92%).
Sedangkan yang bekerja di sektor non pertanian, terdiri atas sektor jasa (28,92%),
perdagangan (25,37%), industri pengolahan (23,51%), angkutan (5,76%) dan lainnya
(16,44%). Aksesibilitas cukup lancar dengan sarana perhubungan dan komunikasi telepon
dan selluler menjangkau hampir seluruh wilayah. Jumlah satuan sambungan telepon (SST)
sekitar 2.473 SST dan warung telekomunikasi (Wartel) 28 unit.
Di Kabupaten Lombok Tengah dijumpai beberapa tipe penggunaan lahan (TPL)
yang spesifik. Lahan sawah seluas 52.537 ha (43,48%) dari luas wilayah, umumnya terletak
di dataran aluvial, dataran volkan, dan lereng volkan, terdiri atas sawah irigasi teknis 24.831
ha, irigasi setengah teknis 13.183 ha, irigasi sederhana PU seluas 2.508 ha, irigasi sederhana
non PU 743 ha dan sawah tadah hujan seluas 11.272 ha. Lahan sawah ditanami 2 kali
setahun seluas 24.066 ha dijumpai di sebagian wilayah yang mendapat irigasi tehnis dan
semi tehnis, yaitu di wilayah bagian tengah dan utara meliputi Kecamatan Praya Barat,
Praya, Praya Tengah, Praya Timur, Jonggat, Pringgarata, Kopang, Batukliang dan
Batukliang Utara. Sedangkan TPL setahun 1 kali padi (sawah tadah hujan) seluas 28.471 ha
banyak dijumpai di wilayah bagian selatan dan timur, meliputi Kecamatan Pujut, Praya
Barat, Praya Tengah, Praya Timur, Praya Barat Daya dan Janapria. Sawah tadah hujan
umumnya ditanami padi sekali setahun, dan pada MK I ditanami palawija, sayuran dan

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 633
Seminar Nasional 2005

tembakau. Jenis palawija yang umum diusahakan adalah kedelai, kacang tanah, jagung dan
kacang hijau. Pola tanam untuk tanaman semusim, yaitu padi-padi-palawija, padi-palawija-
padi atau padi-komoditas lain (palawija, yaitu : kacang tanah, kedelai, jagung, kacang hijau),
komoditas selain palawija (sayuran, cabe merah, cabe rawit, tembakau), dan untuk tanaman
tahunan seperti tanaman industri (kelapa, kakao, kopi), tanaman hortikultura (mangga,
manggis, rambutan, durian, pisang. Arahan pola tanam secara umum terlihat pada Gambar 2.

NERACA AIR WILAYAH KABUPATEN LOMBOK


TENGAH DAN SEKITARNYA
350
300
---> mm <---

250
200
150
100
50
0
JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOP DES
BULAN

CURAH HUJAN ET0 ET50%

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des
Tanaman Semusim
Padi sawah /
gogo Palawija Bera
Tanaman Tahunan
Tanam bibit
Masa pertumbuhan Pemeliharaan tanaman (penyiraman)
Gambar 2. Neraca air dan arahan pola tanam di Kabupaten Lombok Tengah.
Hasil analisis ekonomi beberapa komoditas pertanian yang umum diusahakan di
sentra produksi menggunakan program ALES versi 4.65d (Rossiter and Wambeke, 1997)
menunjukkan usahatani tanaman semusim maupun tahunan layak diusahakan (nilai RCR>1,
NPV positif dan IRR > suku bunga), seperti terlihat pada Tabel 4 dan 5.
Tabel 4. Kelayakan usahatani tanaman semusim dengan kondisi produksi optimal.

Tipologi lahan Biaya Produksi Penerimaan (Rp/ha)


Jenis tanaman (JT) RCR
(TL) (Rp/ha) (BP) (REV)
2x padi sawah Wri 5.837.600 11.600.000 1.99
Padi tadah hujan Wrr 2.373.000 3.562.500 1,50
Padi gogo Dfc 2.203.000 2.612.500 1,19
1 x Jagung DFc 2.895.500 5.800.000 2,00
Kacang hijau Wri 1.204.000 2.343.750 1,95
Kedelai Wri 2.100.000 3.825.000 1.82
Kacang tanah Wri 2.069.500 3.500.000 1,69

Suber : Data primer diolah, 2004


Tabel 5. Kelayakan investasi tanaman tahunan dengan kondisi produksi optimal

Jenis Tipologi Periode Investasi NPV (Rp) BCR


IRR (%)
tanaman lahan (TL) Analisis (th) (Rp/ha) (i=15%) (i=15%)
Kelapa Dep 30 49.148.000,00 12.301.712,22 41,03 2,48
Mangga Dhp 20 29.162.500,00 44.513.900,62 49,06 7,47
Kopi Dep 15 12.135.000,00 31.694.245,61 54,08 7,25
Manggis Dhp 30 39.540.000,00 58.699.972,56 43.53 6,92
Suber : Data primer diolah, 2004

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 634
Seminar Nasional 2005

Kesesuaian Lahan Komoditas Pertanian


Hasil evaluasi lahan dengan pendekatan two stages approach, dengan
membandingkan (matching) antara karakteristik lahan dan persyaratan tumbuh tanaman
(Djaenuddin et al., 2003), perhitungannya menggunakan program ALES model Rossiter dan
Van Wambeke (1997), menunjukkan bahwa padi, kacang tanah, jagung, kedelai, semangka,
mangga, manggis, durian, rambutan, tembakau, dan kapas sesuai dikembangkan di
Kabupaten Lombok Tengah, dengan kelas kesesuaian lahan seperti pada Tabel 6.
Tabel 6. Kelas kesesuaian lahan dan luasan komoditas pertanian unggulan di Kabupaten Lombok Tengah,
tahun 2004.

Kelas Kesesuaian Lahan (Ha)


Komoditas
S1 S2 S3 N
1. Padi Sawah 47.085 27.110 34.036 5.793
2. Kacang Tanah 23.172 51.023 34.036 5.793
3. Jagung 7.973 64.226 36.032 5.793
4. Kedelai 7.973 64.226 36.032 5.793
5. Semangka 72.199 0 36.032 5.793
6. Mangga 56.515 1.942 49.774 5.793
7. Manggis 0 0 82.053 31.971
8. Durian 23.341 76.459 5.840 8.384
9. Rambutan 23.341 76.459 5.840 8.384
10. Tembakau 70.257 1.996 32.935 8.836
11. Kapas 35.421 38.529 14.580 25.494
Keterangan : S1 = Sangat Sesuai; S2 = Cukup Sesuai, S3 = Sesuai Marginal dan N = Tidak Sesuai
Suber : Data primer diolah, 2004

Dalam penilaian kelas kesesuaian lahan dengan TPL input sedang, parameter
kualitas lahan yang dipertimbangkan terdiri atas bahaya erosi (eh), media perakaran (rc), dan
rejim suhu udara (tc), sedangkan yang lainnya seperti ketersediaan air (wa), retensi hara (nr),
dan ketersediaan hara (na) dipertimbangkan pada penilaian lahan dengan TPL input rendah.
Dari parameter kualitas lahan tersebut, media perakaran, rejim suhu udara relatif lebih sulit
untuk diatasi, dibandingkan dengan lainnya.

Arahan Pewilayahan Komoditas dan Sistem Pertanian


Karakteristik lahan, seperti landform, relief, lereng, litologi, landuse, dan hidrologi,
yang dikenal sebagai atribut lahan mempunyai kaitan erat dengan kesesuaian lahan untuk
komoditas pertanian, sehingga digunakan sebagai parameter dalam evaluasi lahan. Hasil
analisis evaluasi lahan menunjukkan bahwa komoditas padi sawah, padi gogo, kacang tanah,
jagung, kedelai, semangka, mangga, durian, rambutan, tembakau dan kapas, sesuai
dikembangkan di Kabupaten Lombok Tengah. Hasil pewilayahan komoditas menggunakan
model MPK diperoleh 13 arahan pewilayahan komoditas sesuai dengan zona agroekologinya
dan lima sistem pertaniannya. (Tabel 7).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 635
Seminar Nasional 2005

Tabel 7. Arahan pewilayahan komoditas pertanian Kabupaten Lombok Tengah

LUAS
KODE TANAMAN SISTEM
HA %
I/Dj Kawasan Konservasi Hutan lindung 4.901 4,22
II/Deh Kopi, kemiri, aren, pisang, Pengembangan tanaman 1.394 1,20
manggis, durian tahunan/ hortikultur
II/De Kopi, kemiri, aren, kakao Pengembangan tanaman 12.918 11,11
tahunan permanen
II/Dt Hutan tanaman industri Hutan tanaman industri 20.205 17,38
(sonokeling, mahoni)

III/De Kelapa Pengembangan tanaman 380 0,33


permanen
III/Def Kelapa, jagung, kacang tanah, Pengembangan tanaman 9.626 8,28
kedelai perkebunan/pangan

IV/Dj Kawasan konservasi Hutan jalur aliran (sempadan 5.295 4,56


sungai)
IV/Deh Kelapa, mangga, pisang Pengembangan tanaman 4.946 4,26
tahunan/hortikultur

IV/Df Padi gogo, kacang tanah, jagung, Pengembangan tanaman pangan 16.008 13,77
kedelai, ubi jalar, singkong
IV/Dfe Kacang tanah, jagung, kedelai, ubi Pengembangan tanaman 9.207 7,92
jalar, singkong, tembakau pangan/perkebunan

IV/Wi Padi sawah, kacang tanah, jagung, Pengembangan tanaman 28.799 24,78
kedelai, tembakau, kapas pangan/perkebunan

IV/Wj Kawasan konservasi mangrove Hutan basah (sempadan pantai) 76 0,07


IV/wt Tambak dan penggaraman Pengembangan tambak dan 322 0,28
penggaraman
X1, X2, Permukiman, badan air, gawir/ 2.151 1,85
X3, X4 lereng terjal, pulau-pulau
Kabupaten Lombok Tengah 116.228 100.00
Suber : Data skunder diolah, 2004

Gambar 3. Peta Arahan Pewilayahan Komoditas Pertanian Kabupaten Lombok Tengah.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 636
Seminar Nasional 2005

Berdasarkan arahan pewilayahan komoditas (Tabel 7), ditetapkan lima sistem


pertanian yang dapat dikembangkan di Kabupaten Lombok Tengah, sebagai berikut :
1. Sistem pertanian lahan kering untuk pengembangan hutan tanaman industri lahan kering
Zona II (relief 15-45%) seperti sonokeling, mahoni, dll seluas 20.205 ha (17,38%), di
Batukliang Utara, Kopang, Pujut, Praya Barat dan Praya Barat Daya.
2. Sistem pertanian lahan kering berbasis tanaman perkebunan permanen di Zona II dan III
(relief 8-45%), seluas 14.692 ha (12,64%) seperti kopi, kemiri, pisang, manggis, kelapa,
kakao yang ditumpangsarikan dengan tanaman pangan seperti jagung, kacang tanah dan
kedelai, di Kecamatan Kopang, Batukliang Utara, Batukliang, Pujut, Praya Barat, dan
Praya Barat Daya.
3. Sistem pertanian lahan kering berbasis tanaman pangan (padi gogo, jagung, kacang
tanah, kedelai, ubi jalar, dan ubi kayu), tanaman perkebunan semusim (tembakau),
tanaman hortikultura (mangga, pisang) di Zona IV (relief 0-8%) seluas 30.161 ha
(25,95%), di Kecamatan Jonggat, Pujut, Pringgarata, Praya Barat Daya, Praya Timur
dan Praya Tengah.
4. Sistem pertanian lahan basah untuk pengembangan tanaman padi sawah dirotasi dengan
palawija dan tanaman hortikultura semusim di Zona IV seluas 28.799 ha (24,78%) di
Kecamatan Praya, Jonggat, Pringgarata, Batukliang Utara, Praya Barat, Praya Tengah
dan Praya Timur dan Janapria.
5. Sistem pertanian lahan basah untuk pengembangan tambak ikan dan garam dan
konservasi hutan basah mangrove di zona IV seluas 398 ha (4,63%) di Kecamatan Pujut
dan Praya Timur.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut :


1. Kabupaten Lombok Tengah memiliki potensi yang cukup luas untuk pengembangan
komoditas pertanian.
2. Komoditas padi sawah, padi gogo, kacang tanah, jagung, kedelai, semangka, mangga,
durian, rambutan, tembakau dan kapas sesuai dikembangkan di Kabupaten Lombok
Tengah.
3. Terdapat 13 arahan pewilayahan komoditas pertanian dan dapat ditetapkan 5 sistem
pertanian yang sesuai, yaitu (a) sistem pertanian untuk pengembangan hutan tanaman
industri lahan kering (b) sistem pertanian lahan kering berbasis tanaman perkebunan
permanen; (c) sistem pertanian lahan kering berbasis tanaman pangan, tanaman
perkebunan semusim, dan tanaman hortikultura; (d) sistem pertanian lahan basah untuk
pengembangan tanaman padi sawah dirotasi dengan palawija dan tanaman hortikultura
semusim, dan (e) sistem pertanian lahan basah untuk pengembangan tambak.
Arahan pewilayahan komoditas pertanian ini diharapkan dapat dijadikan dasar
perencanaan pembangunan pertanian di Kabupaten Lombok Tengah.

DAFTAR PUSTAKA

Bachri, S., N. Suharta, A.B. Siswanto, Irawan. 2002. Modul Pewilayahan Komoditas (MPK).
Versi 1.2. Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Bakosurtanal. 1998. Peta Rupabumi Digital Indonesia Skala 1:25.000

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 637
Seminar Nasional 2005

Balai Penelitian Agrokloimat dan Hidrologi. 2003. Atlas Sumberdaya Iklim Pertanian
Indonesia Skala 1:1.000.000. Balai Penelitian ASgroklimat, Puslitbangtanak
Bogor.
Balai Penelitian Tanah. 2001. Petunjuk Teknis Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas
Pertanian Berdasarkan Zona Agro Ekologi (ZAE) skala 1:50.000 (Model 1). Balai
Penelitian Tanah, Puslitbangtanak Bogor.
BPS. 2003. Kabupaten Lombok Tengah Dalam Angka. Praya
Budianto, J. 2001. Pengembangan Potensi Sumberdaya Petani Melalui Penerapan Teknologi
Partisipatif. Pros. Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian.
Mataram.
Djaenudin, D, Marwan H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk
Komoditas Pertanian. Versi 3. 2000. Balai Penelitian Tanah, Puslitbang Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
FAO. 1978. Guidelines for Soil Profile Description. Soil Resources Development and Cons.
Service, Land and Water Development Division. FAO/UNESCO, Rome.
Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek. Analisa Ekonomis. Ed. Ke-2. LPFE UI. Jakarta.
Marsoedi, Ds., Widagdo, J. Dai, N. Suharta, Darul SWP, S. Hardjowigeno, J. Hof dan E.R.
Jordens.1997. Pedoman Klasifikasi Landform. LT 5 Versi 3.0. LREP II, CSAR,
Bogor.
Oldeman L.R., Irsal L., and Muladi. 1988. Agroclimatic Map of Bali, Nusatenggara Barat
and Nusatenggara Timur Central Research Institute for Agriculture, Bogor.
Popi R., G. Irianto dan I. Amin. 2004. Peta wilayah hujan sebagai arahan untuk penentuan
pola tanam (studi kasus di Propinsi Papua). Bulletin Hasil penelitian agroklimat dan
hidrologi Vol. 1. No. 1. 2004. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. 1994. Peta Geologi Lembar Lombok, Nusa
Tenggara Skala 1:250.000. Direktorat Geologi Bandung.
Rossiter, D, And Van Wambeke. 1997. Automated Land Evaluation System. User’s Manual
Version 4.6. Cornell University, Ithaca, New York.
Schmidt, F.H., and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall Type Based on Wet and Dry Period
Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verh. No.42. Jawatan Met. dan
Geofisik, Djakarta.
Soekardi, M. 1992. Pewilayahan Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Soil Conservation Service. 1972. Soil Survery Laboratory Methods and Procedure for
Collecting Soil Samples. Soil Sruvey Investigation Report No. 1. USDA-SCS,
Washington DC.
Soil Survey Staff. 1998. Keys to Soil Taxonomy, 8th edition 1998. Nasional Resources
Conservation Service, USDA.
Steers, C.A. and B.F. Hajeek.1979.Determination of map unit composition by a random
selection of transects. Soil Sci. Soc. Am. J.43:156-160.
Van Zuidam, R. 1986. Air Photo-Interpretation for Terrain Analysis and Geomorphologic
Mapping. Smits Publ. The Hague. The Netherlands.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 638
Seminar Nasional 2005

Tanya Jawab
Dari : Bapak Mahrup (Faperta UNRAM)
Pertanyaan/saran:
Kelas kesesuaian lahan yang termasuk N ada di sekitar puncak G. Rinjani, jelaskan kendala
fisik dan yang bisa disarankan.
Jawaban/tanggapan:
- Kendala fisik pada wilayah tersebut kondisi suhu karena elevasi yang relatif tinggi,
lereng curam/terjal dan tanah berbatu.
- Saran yang sangat dianjurkan lahan tersebut dijadikan hutan permanen, lahan yang sudah
gundul ditanami kembali dengan tanaman hutan.
- Memberikan pembinaan ke petani untuk menyadari pentingnya konservasi lahan,
penegakan hukum yang dimulai dari atas.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 639
Seminar Nasional 2005

HASIL PENELITIAN STATUS HARA P DAN K DI LAHAN SAWAH IRIGASI


KABUPATEN BIMA

Andri Nurwati dan Sudjudi


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB

ABSTRAK

Penelitian status hara P dan K tahun 2002 merupakan perpaduan antara kegiatan pembuatan peta status
hara P dan K dengan kegiatan percobaan lapang pemupukan P dan K pada lahan sawah irigasi dengan tujuan
membuat peta status hara P dan K lahan sawah irigasi Kabupaten Bima skala 1:50.000 dan memperoleh
rekomendasi pemupukan P dan K spesifik lokasi. Dari areal lahan sawah irigasi Kabupaten Bima seluas 23.803
ha, diperoleh 630 sample contoh tanah komposit. Hasil analisa 630 sample tanah dengan ekstrak HCl 25% di
laboratorium BPTP – NTB telah dipetakan menjadi peta status hara P lahan sawah Kabupaten Bima skala
1:50.000 dengan sebaran status P rendah, sedang, dan tinggi, masing-masing seluas: 1.634,88 ha, 14.120,01 ha,
dan 8.048,11 ha, dan peta status hara K lahan sawah Kabupaten Bima skala 1 : 50.000 dengan sebaran status K
rendah,sedang dan tinggi, masing-masing seluas: 118,44 ha, 861,18 ha, dan 22.823,38 ha. Lokasi percobaan
lapang pemupukan P dan K di wilayah Kecamatan Bolo Kabupaten Bima berstatus hara P sedang-tinggi dan K
tinggi yang masing-masing ditempatkan secara terpisah. Dilaksanakan pada MK II –2002, menggunakan metoda
eksperimen dengan rancangan acak kelompok, masing-masing 5 perlakuan pupuk P, K dan 4 ulangan. Hasil
analisa sidik ragam produktivitas padi percobaan lapang pemupukan P menunjukkan bahwa pemupukan P cukup
respon. Dengan perlakuan P4 (100 kg SP36/ha) cukup efisien untuk lahan sawah dengan status P sedang.
Disarankan untuk lahan sawah dengan status P tinggi di Kecamatan Bolo cukup dengan pemberian 50%-nya
yaitu setara 50 kg SP36/ha. Sedangkan hasil analisa sidik ragam produktivitas percobaan pemupukan K
menunjukkan ada perbedaan nyata diantara perlakuan K4,K3,dan K2 tapi K2 tidak berbeda nyata dengan K1 dan
berbeda nyata dengan K0 (tanpa K) sehingga disarankan untuk tanaman padi lahan sawah di Kecamatan Bolo
Kabupaten Bima perlu pemupukan K setara 25 - 50 kg KCl /ha dan jerami dikembalikan ke sawah.
Kata kunci : Peta, status hara, pemupukan, P dan K, rekomendasi, lahan sawah irigasi, Bima.

PENDAHULUAN

Luas lahan sawah irigasi di propinsi NTB 176.757 ha, dimana sekitar 23.803 ha
diantaranya berada di Kabupaten Bima (BPS, 2001). Kabupaten Bima merupakan salah satu
sentra produksi padi yang cukup besar di Nusa Tenggara Barat, dimana lahan sawah
irigasinya dikelola cukup intensif. Sampai saat ini rekomendasi pemupukan P dan K untuk
tanaman padi sawah di Kabupaten Bima masih sangat umum tanpa mempertimbangkan
kandungan hara P dan K dalam tanah yaitu sekitar 250-300 kg Urea/ha , 50-75 kg TSP/ha,
dan tidak menggunakan KCl. Hal ini terjadi karena memang belum tersedianya data status
hara P dan K tanah sawah untuk Kabupaten Bima. Rekomendasi pemupukan yang bersifat
umum tersebut dinilai kurang tepat, karena tidak semua lahan sawah memerlukan jenis dan
dosis pupuk yang sama. Peta P dan K lahan sawah berisi informasi tentang lahan-lahan
sawah yang berstatus P dan K rendah, sedang dan tinggi, yang dapat dijadikan dasar untuk
menentukan rekomendasi pemupukan padi sawah spesifik lokasi.
Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor (1992)
telah melakukan penelitian dan pemetaan status hara P dan K lahan sawah di P Lombok dan
belum melakukan untuk P Sumbawa. Dari penelitian tersebut telah diterbitkan peta status
hara P dan K lahan sawah untuk P Lombok dengan skala 1:250.000. Hasil penelitian pada
skala tersebut masih bersifat umum yang dapat digunakan untuk menentukan alokasi
kebutuhan pupuk. Oleh karena itu untuk lebih detailnya hasil penelitian, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak) Bogor tersebut harus ditindak
lanjuti dengan pemetaan status hara P dan K pada skala yang lebih besar (lebih detail) dan
tidak hanya di P.Lombok saja, juga di P.Sumbawa.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka perlu dilakukan
pemetaan status hara P dan K lahan sawah pada di Kabupaten Bima dengan skala 1:50.000

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 640
Seminar Nasional 2005

untuk menyusun rekomendasi pemupukan padi sawah spesifik lokasi yang lebih rasional dan
efisien.
Penelitian status hara P dan K lahan sawah di Kabupaten Bima ini merupakan
penelitian yang memadukan antara kegiatan pembuatan peta status hara P dan K lahan sawah
irigasi Kabupaten Bima pada skala 1:50.000 dengan kegiatan percobaan lapang pemupukan
P dan K, dalam rangka penyusunan rekomendasi spesifik lokasi pemupukan P dan K untuk
padi sawah irigasi. Lokasi percobaan lapang pemupukan P dan K berada di salah satu
kecamatan sentra produksi padi yaitu Kecamatan Bolo yang menurut ZAE (Zona Agro
Ekologi) memiliki lahan sawah cukup luas. Tujuan penelitian adalah: 1)Membuat peta status
hara P dan peta status hara K lahan sawah Kabupaten Bima masing-masing skala 1:50.000.
2)Menyusun rekomendasi pemupukan P dan pemupukan K padi sawah spesifik lokasi.

BAHAN DAN METODA

Pemetaan dimulai dengan pengambilan contoh tanah komposit lapisan olah ( 0 –20
cm) diareal lahan sawah irigasi Kabupaten Bima, dengan mengunakan peta operasional skala
1 : 25.000 yang telah digride dengan jarak 2 cm dalam peta. Contoh tanah dianalisis
kandungan P2O5 dan K2O Potensialnya menggunakan ekstrak HCL 25 % di Laboratorium
BPTP. Pembuatan peta status hara P dan K mulai dari pembuatan peta dasar, over laping
batas lahan sawah, ploting lokasi contoh tanah dan ploting hasil analisis contoh tanah sesuai
dengan status rendah, sedang dan tinggi; serta deliniasi dilaksakan kerja sama dengan Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor.
Percobaan lapang dilaksanakan di Kecamatan Bolo kabupaen Bima di areal lahan
sawah irigasi bersatus hara P sedang – tinggi dan K tinggi, yang masing-masing
ditempatkan secara terpisah, pada MK II 2002 dengan metoda on farm researce
menggunakan rancangan acak kelompok, terdiri dari 5 perlakuan pupuk P (Tabel 1) dan K
(Tabel 2) dan dengan ukuran plot 5 x 5 m dan diulang sebanyak 4 kali. Bibit padi varitas
Ciherang umur 21 hari ditanam dengan jarak tanam 20 x 20 cm sebagai indikator. Dosis
pemupukan sesuai perlakuan untuk P dan K diberikan bersama dengfan sepertiga bagian
pupuk Urea pada awal tanam dan sepertiga urea berikutnya pada umur 3 – 4 minggu dan
sisanya pada umur 5 – 6 minggu setelah tanam. Pemeliharaan yang meliputi kegiatan
penyiangan, pengairan dan pengendalian hama penyakit disesuaikan dengan kebutuhan.
Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman menjelang panen, jumlah anakan dan
produktivitas, kemudian dianalisa menggunakan Anova serta diuji lanjut dengan DMRT
0.05.
Tabel: 1. Perlakuan percobaan pemupukan P pada status hara P sedang/tinggi.

Tingkat dosis Tingkat dosis


Kode Perlakuan Urea kg/ha KCl kg/ha
SP36 gr/plot SP36 kg/ha
P0 0 0 200 100
P1 62,50 25 200 100
P2 125,00 50 200 100
P3 187,50 75 200 100
P4 250,00 100 200 100

Tabel: 2. Perlakuan percobaan pemupukan K pada status hara K tinggi.

Tingkat dosis KCl Tingkat dosis KCl


Kode Perlakuan Urea kg/ha SP36 kg/ha
gr/plot kg/ha
K0 0 0 200 100
K1 62,50 25 200 100
K2 125,00 50 200 100
K3 187,50 75 200 100
K4 250,00 100 200 100

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 641
Seminar Nasional 2005

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemetaan dan Luas Lahan Sawah Berdasarkan Status Hara P


Hasil pemetaan status hara P Potensial tanah sawah di Kabupaten Bima berdasarkan
hasil analisis contoh tanah dapat diklasifikasikan kedalam status rendah, sedang dan tinggi
menurut Puslitbangtanak ditampilkan pada peta Gambar 1 berikut :

Gambar 1. Peta status Hara P potensial lahan sawah Kabupaten Bima.

Adapun sebaran luasan masing-masing status hara P dimasing-masing kecamatan di


Kabupaten Bima disajikan pada tabel 3 , dimana lahan sawah dengan status P rendah berada
di Kecamatan Bolo, Wawo, dan Sape, berturut-turut seluas 11,00%; 28,00%; dan 16,00%
dari luas lahan sawah masing-masing kecamatan. Lahan sawah dengan status P sedang
terdapat di seluruh kecamatan kecuali Kecamatan Sanggar. Sedangkan lahan sawah dengan
status P tinggi berada di seluruh kecamatan ( Tabel 3).
Tabel 3. Luas tanah sawah berdasarkan status hara P pada setiap kecamatan di Kabupaten Bima

Luas lahan sawah dengan status P (ha)


No. Kecamatan Jumlah(ha)
Rendah Sedang Tinggi
1. Monta 0 1479,17 441,83 1.921,00
2. Bolo 594,00 3510,00 1296,00 5.400,00
3. Woha 0 2020,14 328,86 2.349,00
4. Belo 0 2605,42 692,58 3.298,00
5. Wawo 552,72 769,86 651,42 1.974,00
6. Sape 488,16 2227,23 335,61 3.051,00
7. Wera 0 225,26 1383,74 1.609,00
8. Donggo 0 621,56 894,44 1.516,00
9. Sanggar 0 0 860,00 860,00
10. RasanaE Barat 0 128,24 329,76 458,00
11. RasanaE Timur 0 533,13 833,87 1.367,00
Jumlah Kabupaten Bima 1634,88 14120,01 8048,11 23.803,00

Pemetaan dan Luas Lahan Sawah Berdasarkan Status Hara K


Hasil pemetaan status hara K Potensial tanah sawah di Kabupaten Bima berdasarkan
hasil analisis contoh tanah dapat diklasifikasikan kedalam status rendah, sedang dan tinggi
menurut Puslitbangtanak ditampilkan pada peta Gambar 2 berikut :

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 642
Seminar Nasional 2005

Gambar 2. Peta Status Hara K potensial lahan sawah Kabupaten Bima

Seluruh kecamatan di Kabupaten Bima pada umumnya berstatus hara K tinggi


sedangkan yang berstatus hara K rendah hanya dijumpai di satu lokasi (Tabel:4).
Tabel 4. Luas tanah sawah berdasarkan status hara K pada setiap kecamatan di Kabupaten Bima

Luas lahan sawah dengan status K


No. Kecamatan Jumlah(ha)
Rendah Sedang Tinggi
1. Monta 0 0 1.921,00 1.921,00
2. Bolo 0 0 5.400,00 5.400,00
3. Woha 0 0 2.349,00 2.349,00
4. Belo 0 0 3.298,00 3.298,00
5. Wawo 118,44 355,32 1.500,24 1.974,00
6. Sape 0 0 3.051,00 3.051,00
7. Wera 0 96,54 1.512,46 1.609,00
8. Donggo 0 409,32 1.106,68 1.516,00
9. Sanggar 0 0 860,00 860,00
10. RasanaE Barat 0 0 458,00 458,00
11. RasanaE Timur 0 0 1.367,00 1.367,00
Jumlah kab. Bima 118,44 861,18 22.823,38 23.803,00

Hasil Percobaan Lapang Pengkajian Pemupukan P


Pengaruh perlakuan pemupukan P dari hasil analisis sidik ragam parameter yang
diamati yaitu jumlah anakan, tinggi tanaman menjelang panen dan produktivitas menunjukan
responsibilitas antar perlakuan dimana diperoleh peningkatan yang nyata sebanding dengan
peningkatan dosis pupuk P yang diberikan sesuai perlakuan.(Tabel 5). Hal ini menunjukan
bahwa unsur hara P masih diperlukan meskipun berdasarkan pemetaan diperoleh status hara
P sedang sampai tinggi karena status tersebut masih menunjukan status potensial dan belum
dapat tersedia oleh tanaman, sehingga untuk melarutkan status potensial tersebut tetap
diperlukan stimulan pemupukan P menggunakan pupuk yang mengandung P.
Rata-rata produktivitas diantara perlakuan P pada Tabel 5 menunjukkan bahwa
pupuk P cukup respon terhadap peningkatan produktivitas. Produktivitas tertinggi terdapat
pada perlakuan P4 yaitu sebesar 3.180 kg/ha. Apabila P4 dibandingkan dengan P3, P2, P1,
dan kontrol (P0 tanpa P) berturut-turut diperoleh kenaikan yang nyata.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 643
Seminar Nasional 2005

Tabel: 5. Rata – rata produktivitas gkg, tinggi tanaman, dan jumlah anakan setiap perlakuan P

Rata-Rata Produktivitas Rata-rata Tinggi Rata-rata Jumlah


Perlakuan P
(kg GKG/ha) Tanaman (cm) Anakan (btg)
P0 1.350 e 78.00 d 10,80 d
P1 2.140 d 80.75 c 12,00 cd
P2 2.430 c 84.25 b 13,50 c
P3 2.890 b 84.25 b 17,25 b
P4 3.180 a 86.75 a 19,75 a
CV 7,2% 1,9% 9,3%
Keterangan : Yang diikuti dengan huruf tidak sama menunjukkan ada perbedaan yang nyata pada tingkat DMRT 5%

Pengaruh dosis pupuk P terhadap produksi dapat dilihat pada gambar 3 dimana
berdasarkan uji R juga menunjukkan adanya korelasi yang positip
Yaitu R = 0,9874.

Hubungan Produksi dan Dosis Pupuk SP-36

3,5

3
Produksi GKG (ton/ha)

2,5

2
Produksi
1,5

1 y = -9E-05x 2 + 0,0271x + 1,3974


R2 = 0,9874
0,5

0
0 50 100 150
Dosis SP-36 (kg/ha)

Gambar 3 . Hubungan antara produksi dan dosis pupuk SP-36.

Meskipun memberikan interaksi yang positip antara dosis P dengan produksi, akan
tetapi perlu dipertimbangkan secara ekonomis apakah peningkatan dosis pupuk P mampu
memberikan kontribusi peningkatan produksi yang menguntungkan secara ekonomis. Oleh
karena itu dalam rangka efisiensi maka perlakuan P4 yaitu penggunaan dosis 100 kg
SP36/Ha merupakan rekomendasi pilihan yang dapat dipertimbangkan untuk wilayah
Kecamatan Bolo Kabupaten Bima yang berstatus hara P sedang, karena pemberian pupuk P
yang berlebihan akan menekan serapan unsur hara makro lain yang juga diperlukan oleh
tanaman sehingga mengganggu keseimbangan fisiologis photosinthesis dan pada gilirannya
akan mengurangi produksi. Diperkuat dengan pengamatan tinggi tanaman dan jumlah
anakan menjelang panen, pada tabel 6.
Menurut Sri Adiningsih et. al. (1989) maka kecamatan lainnya dalam peta status
hara P Kabupaten Bima skala 1 : 50.000 yang berstatus tinggi, dosis rekomendasi
pemupukan P dapat disarankan 50%-nya yaitu 50 kg SP36/ha. Untuk mendapatkan dosis
rekomendasi pemupukan P yang lebih teliti perlu dilakukan percobaan lapang pemupukan P
di lahan sawah yang mempunyai status P berbeda-beda.

Hasil Percobaan Lapang Pengkajian Pemupukan K


Pengaruh perlakuan pemupukan K dari hasil analisis sidik ragam parameter yang
diamati yaitu jumlah anakan, tinggi tanaman menjelang panen dan produktivitas tidak
menunjukan perbedaan yang nyata (Tabel 6).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 644
Seminar Nasional 2005

Meskipun produksi tertinggi diperoleh pada perlakuan K4 yaitu menggunakan dosis


pupuk 100 kg KCl/Ha, namun karena secara statistik tidak berbeda nyata bila dibandingkan
dengan K3, K2, dan berbeda nyata dengan kontrol (K0 tanpa K) tetapi K2 tidak berbeda
nyata dengan K1 sedangkan K1 berbeda nyata dengan K0.. Hal ini karena status hara K
tanah sawah Kabupaten Bima pada umumnya tinggi sehingga pemupukan K sesuai hasil
pengkajian ini maka dengan demikian secara ekonomis penggunaan pupuk K diperlukan
sesuai perlakuan K1 yaitu 25 kg KCl/Ha sebagai maintenen kesuburan tanah dan dibarengi
dengan pengembalian jerami kesawah.
Tabel : 6. Rata-rata produktivitas gabah kering giling (GKG),tinggi tanaman, dan jumlah anakan setiap
perlakuan K
Rata-Rata Produktivitas Rata-Rata Tinggi
Perlakuan K Jumlah Anakan (btg)
(kg GKG/ha) Tanaman (cm)
K0 2.830 c 80.50 a 16,50 bc
K1 3.150 b 82.50 a 16,75 c
K2 3.370 ab 84.00 a 18,25 a
K3 3.410 a 81.50 a 18,00 ab
K4 3.560 a 83.00 a 19,25 a
CV 4,9% 3,3% 4,9%
Keterangan : Yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada tingkat DMRT 5%

Namun demikian mengingat petani jarang mengembalikan jerami ke sawah, maka


untuk mendapatkan dosis rekomendasi pemupukan K yang lebih teliti di setiap kecamatan
masih perlu dilakukan percobaan lapang pemupukan K di tanah sawah yang mempunyai
status K berbeda-beda.

KESIMPULAN DAN SARAN

Peta status hara P dan K lahan sawah Kabupaten Bima masing-masing pada skala 1:50.000
dapat digunakan sebagai bahan acuan rekomendasi pemupukan.
Luas lahan sawah irigasi di Kabupaten Bima berdasarkan peta status hara P skala 1:50.000
meliputi: lahan sawah dengan status P rendah (< 20 mg P2O5/100 g tanah) seluas
1634,88ha (6,87%), status P sedang (20 - 40 mg P2O5/100 g tanah) seluas
14120,01 ha (59,32%), status P tinggi (> 40 mg P 2O5/100 g tanah) seluas
8048,11ha (33,81%).
Untuk lahan sawah di Kecamatan Bolo yang berstatus hara P sedang dapat dianjurkan
menggunakan pupuk P setara 100 kg SP36/ha, sedangkan untuk lahan sawah
bestatus P tinggi dapat menggunakan pupuk P setara 50 kg SP36/ha.
Luas lahan sawah irigasi di Kabupaten Bima berdasarkan peta status hara K skala 1:50.000
meliputi: Lahan sawah dengan status hara K rendah (<10 mg K 2O/100g) seluas:
118,44Ha (0,50%); K sedang (10 - 20 mg K2O/100g) seluas 861,18Ha (3,62 %),
status hara K tinggi (> 20 mg K2O/100 g tanah) seluas 22823,38 ha (95,88 %).
Lahan sawah irigasi di Kecamatan Bolo yang seluruh arealnya berstatus hara K tinggi, untuk
menjaga kesuburan tanah dianjurkan menggunakan pupuk K setara 25 – 50 kg
KCl/ha, dan jerami dikembalikan kesawah.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 645
Seminar Nasional 2005

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2000. Bima dalam angka 2000. Badan Pusat Statistik Bima.
BPS. 2001. NTB dalam angka 2001. Badan Pusat Statistik Propinsi NTB.
IPPTP-Mataram 1999. Buletin Rekomendasi Hasil Litkaji Seri II
Moersidi S., J. Prawirasumantri, W. Hartatik A. Pramudia, dan M. Sudjadi. 1991. Evaluasi
Kedua Keperluan Fosfat Pada Lahan Sawah Intensifikasi di Jawa. Prosiding
Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat Bogor.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1992 Penelitian Status P lahan sawah di Lombok.
Laporan Hasil Penelitian Puslittanak TA. 1991/1992.
Soepartini, M., Sri Widati, M. E. Suryadi, dan T. Prihatini. 1996. Evaluasi kualitas dan
sumbangan hara dari air pengairan di Jawa. Pemberitaan Penelitian Tanah dan
Pupuk.
Sri Adiningsih, J., S. Moersidi, M. Sudjadi, dan A. M. Fagi. 1989. Evaluasi keperluan fosfat
pada lahan sawah intensifikasi di Jawa. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi
Penggunaan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor.
Sri Rochayati, Mulyadi, dan J. Sri adingingsih. 1991. Penelitian efisiensi penggunaan pupuk
di lahan sawah. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 646
Seminar Nasional 2005

PEWILAYAHAN KOMODITAS PERTANIAN BERDASARKAN ZONA


AGROEKOLOGI SKALA 1:50.000 DI KABUPATEN BIMA

Moh. Nazam1) , I M Wisnu W1), H. Suriadi1), Marwan H2), dan Hendra S2)
1)
Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
2)
Peneliti Balai Penelitian Tanah Bogor

ABSTRAK

Penelitian pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan Zona Agroekologi (ZAE) skala 1:50.000 di
Kabupaten Bima, bertujuan: mengidentifikasi potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan pertanian;
menyusun informasi tipe penggunaan lahan untuk sistem pertanian yang tepat; menyusun peta pewilayahan
komoditas pertanian berdasarkan ZAE skala 1:50.000. Penelitian dilakukan dengan pendekatan desk study,
observasi dan survei. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara geografis Kabupaten Bima terletak antara
117°40’-119°10’ BT dan 8°12’-8°55’LS. Tergolong wilayah dengan pola curah hujan IA dan IIA. Curah hujan
tertinggi terjadi di Woha rerata 2.036 mm/th dan terendah di Donggo rerata 336 mm/th. Rerata suhu udara
tahunan 27,6°C-28,1°C. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Fergusson tergolong tipe D dan F terletak pada
zona D4 dan E4. Hasil analisis terrain memiliki 5 grup landform, yaitu Aluvial (A), Fluvio-Marin (B), Marin (M)
Karst (K), Volkanik (V), dan grup Aneka (X) yang menghasilkan 28 satuan unit lahan. Lebih dari 50% wilayah
Kabupaten Bima dominan berbukit dengan lereng 15-45%, 19% bergunung dengan lereng >45% dan sisanya
berupa lereng <15% berupa wilayah datar, berombak, bergelombang, dan berbukit kecil yang berlereng agak
curam sampai curam. Penggunaan lahan terluas adalah hutan (41,77%), semak belukar dan sejenisnya (33,98%),
kebun/tegal (10,79%), sedangkan sawah hanya 7,29% dan sisanya adalah untuk penggunaan lain. Pola tanam
untuk tanaman semusim (padi – padi – palawija; padi – palawija – padi; atau padi – komoditas lain) dan pola
tanam campuran untuk tanaman tahunan seperti tanaman industri (kelapa, jambu mete, kopi), tanaman
hortikultura (mangga, serikaya/garoso, sawo, pisang. Umumnya reaksi tanah netral, kandungan C organik dan N
rendah, KTK rendah, dan kejenuhan basa tinggi, dengan tingkat kesuburan sedang sampai tinggi. Tanah
diklasifikasikan ke dalam lima ordo, yaitu Entisols, Andisols, Inceptisols, Molisols, dan Vertisols yang
menurunkan 11 grup dengan 20 subgrup. Hasil evaluasi lahan menunjukkan kacang tanah, padi sawah, padi
gogo, jagung, kedele, bawang merah, semangka, sawo, mangga, srikaya, pisang, kemiri, jambu mete, dan kelapa
sesuai dikembangkan di Kabupaten Bima. Hasil pewilayahan komoditas pertanian diperoleh 13 arahan
pewilayahan komoditas pertanian dan dapat ditetapkan enam arahan sistem pertanian.
Kata kunci : biofisik, agroklimat, sosial ekonomi, pewilayahan komoditas.

PENDAHULUAN

Tantangan pengembangan ketahanan pangan adalah semakin terbatasnya kapasitas


produksi akibat berlanjutnya konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian,
menurunnya kualitas kesuburan tanah akibat kerusakan lingkungan, semakin terbatas dan
ketidakpastian pasokan air untuk produksi pangan, persaingan penggunaan air dengan sektor
industri dan pemukiman, ketidak pastian perilaku iklim, belum memadainya prasarana
distribusi darat dan antar pulau, serta kelembagaan pemasaran hasil-hasil pangan yang belum
mantap.
Pembangunan pertanian harus didasarkan atas potensi lahan yang keberhasilannya
tergantung pada pilihan komoditas serta sistem usaha yang sesuai dengan karakteristik
sumberdaya alam dan sosial ekonomi setempat. Berbagai langkah yang perlu diambil dalam
rangka pengembangan sumberdaya alam secara optimal, antara lain : (a) pengenalan sifat
dan karakteristik lahan; (b) menetapkan kesesuaian lahan lahan; (c) menetapkan tingkat
manajemen yang diperlukan untuk setiap penggunaan lahan; (d) menilai kesesuaian lahan
bagi pengembangan berbagai komoditas pertanian, serta (e) menentukan pilihan komoditas
atau tipe penggunaan lahan tertentu yang sesuai secara fisik dan menguntungkan (Budianto,
2001).
Konsep pewilayahan pertanian atau pemetaan zona agroekologi (ZAE) adalah
penyederhanaan dan pengelompokan agroekosistem yang beragam dalam bentuk klasifikasi
yang lebih aplikatif (Las et al., 1990). ZAE juga merupakan salah satu metode
pengidentifikasian lahan yang digunakan untuk tanaman tertentu yang berpotensi tinggi

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 647
Seminar Nasional 2005

dengan memperhatikan aspek-aspek agroekosistem atau sumberdaya alam yang terdiri atas
tanah, iklim dan vegetasi.
Pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan ZAE skala 1:50.000 di Kabupaten
Bima bertujuan: (1) mengidentifikasi potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan
pertanian; (2) menyusun informasi tipe penggunaan lahan untuk sistem pertanian yang tepat
sebagai dasar pembangunan pertanian berkelanjutan; (3) menyusun peta pewilayahan
komoditas pertanian berdasarkan ZAE skala 1:50.000. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat : (1) dasar perencanaan pembangunan pertanian yang efektif dan berkelanjutan.;
(2) memudahkan dalam menetapkan kawasan-kawasan pengembangan komoditas unggulan;
(3) memudahkan dalam memilih paket teknologi yang sesuai untuk tiap-tiap kawasan
tertentu atau ekstrapolasi teknologi yang telah teruji yang kondisi fisik lingkungan dan sosial
ekonominya sama atau hampir sama.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan terdiri atas: peta rupabumi digital skala 1:25.000
(Bakosurtanal, 1998); citra landsat TM skala 1:60.000 (1998); peta geologi skala 1:250.000
lembar Sumbawa, NTB (Puslitbang Geologi, 1994); peta agroklimat NTB, NTT skala
1:500.000 (Oldeman et al., 1988); Atlas Sumberdaya Iklim Pertanian Indonesia skala
1:1.000.000 (Balitklimat dan Hidrologi, 2003) dan Peta Tanah Tinjau Kabupaten Bima
(Balittanah, 2003). Penelitian dilakukan bulan Januari s/d Desember 2004 dengan
pendekatan desk study dan survei. Penyusunan peta kerja melalui analisis terrain foto
udara/Citra landsat, digitasi dan overlay peta rupabumi. Peta kerja digunakan sebagai dasar
karakterisasi tanah. Survei tanah mengacu pada Guidelines for Soil Profile Description
(FAO, 1978) dan Key To Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1998). Survei sosial ekonomi
dilakukan dengan teknik wawancara dengan petani di sentra produksi dan daerah potensial
pengembangan (Balittanah, 2001).
Analisis contoh tanah dilakukan di laborartorium tanah BPTP NTB dengan mengacu
pada Soil Survey, Laboratory Method and Procedure for Collecting Soil Samples (Soil
Conservation Service, 1972). Data sosial ekonomi dianalisis dengan analisis B/C ratio, Net
Present Value (NPV), dan Internal Rate of Return (IRR) (Kadariah, 1988). Evaluasi lahan
dilakukan dengan pendekatan two stages approach, menggunakan program ALES
(Automated Land Evaluation System) (Rossiter dan Van Wambeke, 1997). Pengelompokan
kelas kesesuaian lahan menurut Djaenuddin et al., 2003. Dengan menggunakan program
modul pewilayahan komoditas (MPK) disusun pewilayahan komoditas pertanian. Slanjutnya
untuk melihat kesesuaian hasil analisis dengan kondisi di lapangan dilakukan verifikasi dan
validasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Biofisik
Kabupaten Bima secara geografis terletak antara 117°40’-119°10’ BT dan 8°12’-
8°55’ LS dengan luas wilayah 43.089,9 ha. Formasi geologi Kabupaten Bima terdiri atas:
(1) endapan permukaan (Qa) tersusun dari kerikil, pasir dan lumpur yang terbentuk dalam
lingkungan sungai, delta dan pantai. Formasi ini tersebar di Teluk Bima, Sape dan sekitar
Waworada; (2).hasil gunung api muda (Qvm dan Qvs) terdiri dari lahar, lava, breksi, bom
dan lapili, tersebar di gunung Sangeang dan tercatat masih aktif sedangkan G. Tambora dan
gunung api lainya sudah tidak aktif tetapi masih berbentuk kerucut; (3) hasil erupsi gunung
api tua (Qtvl, Qtvm dan Qtvs) terdiri atas persilangan breksi lava dan tufa bersusunan andesit
dan basalt, banyak dijumpai di Gunung Lambuwu, Doro Maria, Doro Saboko; (4) satuan
lava-breksi (Qhv) terdiri atas lava, breksi, lahar, tuf dan abu gunung api, tersebar di G.
Tambora; (5) satuan breksi-andesit-basalt (Qvl) terdiri atas breksi gunung api, lahar, tuf, dan

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 648
Seminar Nasional 2005

lava di G. Labumbu; (6) batu gamping koral (Ql) terdiri atas batu gamping koral dengan
sisipan konglomerat dan batu pasir sebagian bersifat keras dan sebagian bersifat lunak di
bagian utara atau sekitar kecamatan Wera; (7) batu gamping berlapis (Tml) tediri atas batu
gamping dengan sisipan batu gamping tufaan berwarna kelabu di sekitar Sape, Teluk
Waworada dan Teluk Bima; (8) batuan gunung api (Tmv) terdiri atas lava dan breksi bersifat
dasit, tersebar relatif sempit di sekitar Waworada dan Bima; (9) tufa dasitan (Tmdt) terdiri
atas tufa mengandung sisipan tuf hijau dan tuf gampingan di Doro Kawangge; (10) batuan
gunung api tua (Tlmv) terdiri atas lava dan breksi bersifat andesit dan basal, tersebar paling
luas di bagian tengah dan selatan komplek pegunungan Mpuja; dan (11) batuan terobosan
(Tg) tediri atas granodiorit, diorit, sienit dan tonalit. Formasi ini penyebarannya terpencar-
pencar di antara batuan gunung api tua di sekitar Sape dan Waworada (Puslitbang Geologi,
1998).
Landform Kabupaten Bima dapat dikelompokkan dalam 5 grup fisiografi utama yaitu:
Aluvial (A), Fluvio-Marin (B), Marin (M), Karst (K), dan Volkanik (V) serta Grup Aneka
Bentuk (X) yang menghasilkan 28 satuan unit lahan (Tabel 1).
Tabel 1. Satuan Landform dan Luasannya di Kabupaten Bima

No Simbol Landform Luas %


1 A111 Jalur sungai braiding 1.573,13 0,38
2 A1128 Jalur meander 2.524,77 0,62
3 A13 Dataran aluvial 18.383,43 4.49
4 A15 Jalur Aliran 3.086,53 0,75
5 A2 Aluvio-koluvial 22.480,68 5,50
6 A23 Dataran antar perbukitan 1,733,85 0,42
7 B2 Dataran estuarin 4.397,97 1,08
8 K2 Dataran Karst 1.393,44 0,34
9 K3 Perbukitan Karst 11.816,42 2,89
10 M12 Pesisir Pasir 1.194,94 0,29
11 M17 Laguna 51,11 0,01
12 M32 Teras marin subresen 3.917,69 0,96
13 V112 Kaldera 7.954,56 1,94
14 V113 Lereng volkan atas 12.536,88 3,07
15 V114 Lereng volkan tengah 29.643,32 7,25
16 V115 Lereng volkan bawah 58.140,53 14,22
17 V12 Aliran lahar 34.550,63 8,45
18 V13 Aliran lava 35.069,59 8,57
19 V16 Lungur volkan 4.773,46 1,17
20 V17 Kerucut anakan 544,22 0,13
21 V31 Dataran volkan 9.373,21 2,29
22 V32 Perbukitan volkan 106.711,56 26,09
23 V33 Pegunungan volkan 14.658,77 3,58
24 V4 Perbukitan intrusi 3.572,37 0,8
25-28 X1, X2, X3, X4 Pemukiman, danau, lereng curam, p. karang 18.912,71 4,63
Jumlah 408.995,78 100,00
Sumber : Data Sekunder diolah Tahun 2004.

Grup Aluvial terbentuk dari bahan endapan (aluvium/koluvium) akibat pengaruh


aliran air baik aktivitas sungai (fluvial) maupun gravitasi (koluvial). Grup aluvial didominasi
oleh aktivitas sungai yang ada dan hasil koluviasi dari daerah perbukitan/pegunungan
disekitarnya yang membentuk dataran aluvial/koluvial. Penyebaran grup aluvial ini
menempati areal yang sempit. Bentuk wilayah agak cekung sampai datar dengan lereng
berkisar dari 0 sampai 8%. Grup fluvio marin terbentuk dari aktivitas sungai di perbatasan
dengan laut dipengaruhi air laut baik yang bersifat konstruktif (pengendapan). Grup fluvio
marin ini mempunyai penyebaran relatif sempit, terdapat di daerah muara sungai. Landform
ini berupa dataran yang dipengaruhi pasang surut, dengan bentuk wilayah agak datar sampai
datar (lereng <3%). Grup marin terbentuk dari aktivitas air laut baik yang bersifat konstruktif
(pengendapan) maupun destruktif (abrasi). Grup marin ini mempunyai penyebaran relatif
sempit, terdapat di sekitar teluk dan pantai. Landform ini berupa pesisir pasir pantai, laguna,

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 649
Seminar Nasional 2005

dan teras marin subresen, dengan bentuk wilayah datar sampai agak datar (lereng <3%).
Grup karst menempati penyebaran yang sempit yaitu terletak di sekitar selat Sape yang
merupakan gugusan pulau-pulau kecil, di sebelah utara dan barat Tawali Wera dan di sekitar
Teluk Waworada. Bentukan lahan umumnya bergelombang dan berbukit dengan sebaran
dari agak datar sampai bergunung, lereng bervariasi dari 1->45%, tanah umumnya dangkal
dan berbatu. Grup volkan merupakan deretan gunung api baik yang masih aktif maupun
yang sudah tidak aktif. Gunung api Sangeang merupakan gunung api yang masih aktif,
sedangkan G.Tambora, G. Lambuwu sudah tidak aktif. Bentuk wilayahnya mulai dari agak
datar, berombak, bergelombang, berbukit, dan bergunung, kisaran lereng 1%->45%. Sebaran
bentuk wilayah dan lereng Kabupaten Bima disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Sebaran Bentuk Wilayah dan Lereng Kabupaten Bima, 2004 .

Lereng
No. SL Simbol Relief Luas %
(%)
1 f Datar 0-1 6.204,09 1.52
2 n Agak datar 1-3 36.613,44 8.95
3 u Berombak 3-8 27.064,35 6,62
4 r Bergelombang 8 - 15 20.500,60 5,01
5 r-h Bergelombang-berbukit 10 - 25 12.043,30 2,94
6 c Bergumuk 10 - 25 499,60 0,12
7 o Berbukit kecil 10 - 25 3.393,55 0,83
8 h Berbukit 15 - 45 205.044,04 50,13
9 m Bergunung > 45 78.720,09 19,25
10-13 X1, X2, X3, X4 Pemukiman, danau, lereng curam, p. karang 18.912,71 4,63
Jumlah 408.995,78 100,00
Sumber : Data Sekunder diolah, 2004.

Dari data sebaran bentuk wilayah dan lereng (Tabel 2), terlihat bahwa Kabupaten
Bima dapat dipisahkan menjadi 9 kelas bentuk wilayah dan lereng. Dari hasil pengamatan di
lapangan menunjukkan bahwa 50,13% wilayah kabupaten Bima merupakan wilayah
berbukit dengan lereng 15-45% disusul wilayah bergunung dengan lereng > 45% sekitar
19%, dan sisanya adalah wilayah datar, berombak, bergelombang, dan berbukit kecil, yang
berlereng agak curam sampai curam.
Hasil pengamatan tanah di lapangan dan didukung hasil analisis laboratorium, tanah-
tanah di Kabupaten Bima dapat diklasifikasikan kedalam lima ordo, yaitu Entisols, Andisols,
Inceptisols, Mollisols, dan Vertisols, menurunkan 11 grup dan 20 subgrup (Soil Survey
Staff, 1998) (Tabel 3).
Tabel 3. Tanah-tanah yang terdapat di wilayah Kabupaten Bima, NTB.

Ordo Subordo Grup Subgrup PPT, 1983 FAO, 1989


Entisols Aquents Hydraquents Typic Hydraquents Aluvial Gleiik Gleyic Fluvisols
Endoaquents Typic Endoaquents Aluvial Gleiik Gleyic Fluvisols
Fluvents Ustifluvents Typic Ustifluvents Regosol Haplik Haplic Regosols
Psamments Ustipsamments Typic Ustipsamments Regosol Haplik Haplic Regosols
Orthents Ustorthents Lithic Ustorthents Regosol Litik Lithic Regosols
Vitrandic Ustorthents Regosol Haplik Haplic Regosols
Typic Ustorthents Regosol Haplik Haplic Regosols
Andisols Vitrands Ustivitrands Lithic Ustivitrands Andosol Litik Lithic Andosols
Typic Ustivitrands Andosol Haplik Haplic Andosols
Inceptisols Aquepts Endoaquepts Fluvaquentic Endoaquepts Gleisol Fluvik Fluventic Gleysols
Typic Endoaquepts Gleisol Haplik Haplic Gleysols
Halaquepts Typic Halaquepts Gleisol Haplik Halic Gleysols
Ustepts Haplustepts Aquic Haplustepts Cambisol Gleiik Gleyic Cambisols
Fluventic Haplustepts Cambisol Fluvik Fluventic Cambisols
Lithic Haplustepts Cambisol Litik Lithic Cambisols
Vitrandic Haplustepts Cambisol Andik Andic Cambisols
Vertic Haplustepts Cambisol Vertik Vertic Cambisols
Typic Haplustepts Cambisol Haplik Haplic Cambisols
Mollisols Ustolls Haplustolls Typic Haplustolls Brunizem Haplik Haplic Brunizems
Vertisols Usterts Haplusterts Typic Haplusterts Grumusol Haplic Haplic Vertisols
Sumber : Data Sekunder diolah, 2004.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 650
Seminar Nasional 2005

Entisols merupakan tanah-tanah muda, yang belum mempunyai perkembangan


profil, dengan susunan horison A-C atau A-C-R, atau A-R. Tanah ini terbentuk dari bahan
aluvium, aluvium-marin, marin, dan volkan. Umumnya pada landform dataran, fluvio-marin,
dan volkan. Penampang tanah bervariasi, tekstur lempung berpasir sampai pasir berlempung,
dan berlapis-lapis (stratified) atau berselang seling. Adanya perbedaan tekstur berlapis-lapis
tersebut menunjukkan proses pengendapan dari limpasan sungai yang berulang; sebagian
mengandung kerikil di dalam penampang tanah. Warna tanah coklat tua sampai gelap,
drainase buruk sampai cepat, struktur lepas sampai masif, konsistensi gembur dan keras pada
kondisi kering. Reaksi tanah umumnya agak netral (pH 7), kadar C organik sangat rendah
sampai sedang, kadar P2O5 dan K2O potensial sedang sampai tinggi, basa-basa dapat tukar
rendah sampai tinggi dan didominasi oleh Ca dan Mg. KTK tanah rendah, tetapi kejenuhan
basanya tinggi. Penggunaan lahan umumnya bervariasi.
Andisols merupakan tanah-tanah muda, yang belum/sedikit mempunyai
perkembangan profil, dengan susunan horison A-C, A-C-R. Tanah ini terbentuk dari bahan
abu volkan (debu, pasir, dan kerikil). Umumnya terbentuk pada landform volkanik.
Penampang tanah dangkal sampai dalam, tekstur lempung berpasir sampai pasir berlempung.
Warna tanah coklat tua sampai coklat tua kekuningan, drainase sedang, struktur lepas sampai
masif, konsistensi gembur dan keras pada kondisi kering. Reaksi tanah umumnya netral,
kadar C organik sangat rendah sampai sedang, kadar P 2O5 dan K2O potensial sedang sampai
tinggi, basa-basa dapat tukar rendah dan didominasi oleh Ca dan Mg. KTK tanah rendah
sampai sedang, tetapi kejenuhan basanya tinggi. Umumnya Andisols di kabupaten Bima
beriklim kering (ustic). Penggunaan lahan umumnya tegalan, semak, rumput, belukar,
semak, dan hutan.
Inceptisols, yaitu tanah-tanah yang sudah menunjukkan adanya perkembangan
profil, dengan susunan horison A-Bw-C pada lahan kering dengan drainase baik, atau
susunan horison A-Bg-C pada lahan basah dengan drainase terhambat. Tanah terbentuk dari
berbagai macam bahan induk, yaitu tuf volkan masam, tuf volkan intermedier (andesitik),
tufa pasiran, dan granodiorit serta skis. Tanah ini mempunyai penyebaran paling luas,
menempati grup landform dataran volkan, perbukitan volkan, dan dataran tektonik. Tanah
dari bahan volkan intermedier berwarna coklat kemerahan, tekstur lempung berliat sampai
liat, penampang dalam, dan struktur cukup baik, konsistensi gembur sampai teguh. Reaksi
tanah netral, kadar C dan N organik sangat rendah sampai sedang, kadar P dan K potensial
sedang sampai tinggi. Kadar basa-basa dapat tukar didominasi oleh Ca dan Mg, KTK tanah
rendah, KTK liat rendah sampai tinggi, dan kejenuhan basa tinggi. Pada landform dataran
volkan sifat tanah dipengaruhi oleh bahan induknya. Tanah penampang cukup dalam,
berwarna coklat kekuningan sampai kemerahan, drainase baik, tekstur halus sampai agak
halus, konsistensi gembur sampai teguh, dan reaksi tanah agak masam sampai masam.
Sebagian besar telah diusahakan untuk lahan pertanian, seperti persawahan, tegalan dan
kebun campuran. Sisanya masih berupa semak belukar dan hutan.
Mollisols tergolong tanah-tanah yang mempunyai perkembangan profil dengan
susunan horison ABC dengan lapisan atas horison mollic, memperlihatkan struktur cukup
kuat. Tanah berkembang dari bahan induk batuan sedimen (batugamping), menempati
landform perbukitan Karst volkan dengan penyebarannya sempit. Penampang tanah cukup
dalam, warna coklat kemerahan, tekstur agak halus sampai agak kasar, struktur cukup kuat
gumpal bersudut, konsistensi gembur sampai teguh dan reaksi tanah netral (kejenuhan basa
tinggi). Sebagian besar tanah ini digunakan untuk tegalan/ kebun, buah-buahan, kebun
campuran, dan belukar hutan.
Vertisols tergolong tanah-tanah yang mempunyai perkembangan profil dengan
susunan horison ABC atau AC, memperlihatkan struktur baji yang biasanya retak-retak di
musim kemarau dan mengembang di musim hujan. Tanah berkembang dari bahan induk
aluvium dan aluvio-koluvium dengan penyebarannya sempit. Penampang tanah cukup
dalam, warna coklat kekelabuan, tekstur agak halus sampai halus, struktur cukup kuat
gumpal bersudut, konsistensi gembur sampai teguh dan reaksi tanah netral (kejenuhan basa

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 651
Seminar Nasional 2005

tinggi). Sebagian besar tanah ini digunakan untuk sawah tadah hujan, tegalan/kebun, buah-
buahan, kebun campuran, dan belukar.
Berdasarkan hasil analisis kimia contoh tanah menunjukkan umumnya reaksi tanah
netral, kandungan C organik dan N rendah, KTK tanah sedang, dan kejenuhan basa tinggi
sehingga tanahtanah tersebut status kesuburannya umumnya termasuk sedang. Tanah-tanah
tersebut akan berpotensi jika dilakukan pengelolaan dengan baik, yaitu pemberian pupuk
organik, pemupukan berimbang sesuai dengan kebutuhan tanaman.

Kondisi Agroklimat
Kondisi iklim suatu wilayah sering digunakan sebagai seleksi awal dalam
penyusunan pewilayahan komoditas pertanian. Kabupaten Bima tergolong dalam pola hujan
IA dan IIA. Pola IA dengan total curah hujan < 1000 mm/th, bulan kering <7–10 bulan dan
bulan basah < 2 bulan. Pola IIA dengan total curah hujan 1000 – 2000 mm/th, bulan kering
<5–8 bulan dan bulan basah <4 bulan. Pola IA tersebar di bagian utara memanjang kearah
timur dan selatan sedangkan pola IIA di bagian tengah (Balitklimat dan Hidrologi, 2003).
Berdasarkan data stasiun setempat, tergolong wilayah dengan curah hujan rendah (<2500
mm/th). Rerata curah hujan tertinggi terjadi di Woha yaitu 2036 mm/th dan terendah di
Donggo yaitu 336 mm/th. Jumlah bulan kering (curah hujan <60 mm) selama 5-6 bulan dari
April s/d September terjadi di Monta, Wawo, Belo, Woha dan Sanggar, sedangkan jumlah
bulan kering (curah hujan <60 mm) selama 9 bulan terjadi di Wera, Sape dan Donggo.
Menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson tergolong tipe hujan D dan F, sedangkan
menurut Koppen tergolong tipe iklim Aw yaitu tipe iklim hujan tropis dengan curah hujan
bulan-bulan terkering <60 mm selama 6-9 bulan, suhu udara rata-rata bulan terdingin >18°C
dan terpanas >22°C dengan curah hujan <2500 mm/th. Berdasarkan jumlah bulan basah
(curah hujan >200 mm) dan jumlah bulan kering (curah hujan <100 mm), tergolong zone D4
dan E4 (Oldeman et al., 1988). Zone D4 dicirikan bulan basah >3 bulan, dan bulan kering
berturut-turut <6 bulan. Penyebaran di bagian tengah dan utara yaitu Monta, Wawo, Belo
dan Woha. Sedangkan zona E4 dicirikan bulan basah <3 bulan dan bulan kering berturut-

turut >6 bulan terdapat di Sape, Donggo dan Wera (Gambar 1).

Gambar 1. Grafik Sebaran Hujan di Kabupaten Bima.


Rerata suhu udara tahunan antara 27,6°C-28,1°C. Perbedaan rerata suhu bulan
terpanas dan terdingin <6°C, menunjukkan Kabupaten Bima sebagian besar tergolong rejim
suhu panas (Isohyperthermic), kecuali di beberapa tempat pada ketinggian >1300 m dpl
menunjukkan adanya penurunan rerata suhu tergolong ke dalam rejim suhu sejuk
(Isothermic) (Tabel 4).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 652
Seminar Nasional 2005

Tabel 4. Rerata unsur iklim di Kabupaten Bima


Bulan
Data Unsur Iklim
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des Rerata
Suhu Udara (C) 27,5 27,5 28,0 28,0 27,5 28,0 27,0 27,0 27,0 29,0 28,5 28,0 27,8
Kelembaban Udara (%) 83,0 84,0 85,0 86,0 81,0 81,0 82,0 74,0 75,0 79,0 85,0 85,0 81,7
Lama Penyinaran (%) 36,0 38,0 57,0 57,5 70,5 69,0 78,0 79,5 77,0 65,5 56,0 35,0 59,9
Kecepatan Angin (Knots) 71,5 82,0 73,0 78,0 117,5 125,0 149,5 140,0 142,5 134,5 99,5 74,5 107,3
Sumber : Data Sekunder diolah, 2004.
Keterangan : 1 Knots = 0,515 m/detik atau 44.5 km/hari atau 3,7 km/jam.
Sumber : Stasiun Meteorogi Muh. Salahuddin Bima.

Kondisi Sosial Ekonomi


Jumlah penduduk Kabupaten Bima sebanyak 404.775 jiwa, terdiri atas laki-laki
200.411 jiwa dan perempuan 204.775 jiwa (sex ratio 98,07%) dengan 98.493 rumah
tangga/kepala keluarga (KK) (BPS, 2003). Penyebaran penduduk tidak merata, wilayah
terpadat adalah Kecamatan Woha dengan 519 jiwa/km2 dan terjarang kecamatan Tambora
dengan 7 jiwa/km2, atau rerata kepadatan 93 jiwa/km2. Jumlah angkatan kerja produktif (usia
10 tahun ke atas) sebanyak 217.752 jiwa, sebagian besar bekerja di sektor pertanian,
perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan (79,75%), bangunan (7,55%), jasa
kemasyarakatan (4,53%), industri pengolahan (4,00%), perdagangan, hotel dan restoran
(3,73%), dan lain-lain (0,44%).
Aksesibilitas cukup lancar baik melalui darat, laut dan udara. Perhubungan dan
transportasi antar kota kecamatan dan desa dapat ditempuh melalui darat dan laut, kecuali ke
Kecamatan Tambora dan Sanggar yang harus ditempuh melalui jalan darat melewati
kabupaten Dompu. Panjang jalan 1.337,88 km, terdiri atas jalan negara 102,53 km, jalan
provinsi 397,33 km dan jalan kabupaten 838,02 km. Kondisi jalan propinsi umumnya aspal,
sedangkan jalan di kabupaten sebagian masih berupa jalan tanah diperkeras. Jalan kabupaten
tergolong kelas III dengan kondisi jalan sebagian besar dalam keadaan rusak berat (68,11%),
4,50% rusak, 13,49% sedang dan hanya 13,90% dalam kondisi baik. Sarana komunikasi
berupa jaringan telepon dan selluler telah menjangkau sebagian wilayah, dengan jumlah
satuan sambungan telepon (SST) sebanyak 5.258 SST, di antaranya 1.404 SST untuk
keperluan bisnis dan 3.854 SST untuk keperluan rumah tangga.
Pola penggunaan lahan terkait dengan kepadatan penduduk. Di wilayah dengan
kepadatan penduduk tinggi, usaha pertanian didominansi oleh usaha tanaman pangan dan
hortikultura, sedangkan di wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk rendah berkembang
usahatani perkebunan tanaman tahunan. Kondisi demikian menyebabkan terjadinya
ketimpangan penggunaan lahan. Di daerah yang jarang penduduknya, lahan-lahan potensial
untuk tanaman pangan lebih banyak dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan, karena
usahatani tanaman pangan relatif membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak dan
pengelolaan yang lebih intensif. Wilayah Kabupaten Bima didominasi hutan dan semak
belukar (Tabel 5).
Lahan sawah umumnya terletak di dataran aluvial, dataran volkan, dan lereng
volkan, terdiri atas sawah irigasi sederhana, dan tadah hujan. Sawah irigasi dapat ditanami 2
kali setahun, tetapi umumnya hanya 1 kali setahun (IP100) dan digilir dengan palawija.
Sawah tadah hujan hanya ditanami padi sekali setahun, dan musim kemarau ditanami
palawija terutama jagung dan kacang-kacangan.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 653
Seminar Nasional 2005

Tabel 5. Penggunaan Lahan di Wilayah Kabupaten Bima tahun 2004

No Penggunaan Lahan Luas %


1 Sawah irigasi 11.137,79 2,72
2 Sawah Tadah hujan 18.674,77 4,57
3 Tegalan 29.985,68 7,33
4 Tegalan dan kebun 11.163,90 2,73
5 Kebun kelapa 922,68 0,23
6 Kebun kopi 1.399,47 0,34
7 Kebun jambu mente 641,00 0,16
8 Tambak 535,26 0,13
9 Penggaraman 2.752,91 0,67
10 Belukar kebun 9.404,77 2,30
11 Belukar 56.858,20 13,90
12 Belukar hutan 767,21 0,19
13 Rumput 51,11 0,01
14 Semak Belukar 18.304,20 4,48
15 Semak rumput 53.581,41 13,10
16 Mangrove 1.109,80 0,27
17 Hutan tanaman industri 73,94 0,02
18 Hutan dan hutan tanaman 773,93 0,19
19 Hutan 168.872,28 41,29
20-23 Pemukiman, danau, lereng curam dan pulau-pulau 18.912,71 4,63
TOTAL 423,957.21 100.00
Sumber : Data Sekunder diolah, 2004.

Pola tanam yang diterapkan umumnya terdiri atas: padi-padi-palawija; padi-


palawija-bera; dan palawija-bera. Sebagian persawahan digunakan untuk tanaman palawija,
karena secara ekonomi lebih menguntungkan. Pola tanam yang dianjurkan berdasarkan
sebaran hujan di wilayah Kabupaten Bima disajikan pada Gambar 2.

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des
Tanaman Semusim
Padi sawah /
gogo Palawija Bera

Tanaman Tahunan
Tanam bibit
Masa pertumbuhan Pemeliharaan tanaman (penyiraman)

Gambar 2. Arahan pola tanam di Kabupaten Bima.

Arahan pola tanam untuk tanaman semusim, yaitu padi-padi-palawija, padi-


palawija-padi atau padi-komoditas lain (palawija, yaitu : kacang tanah, kedelai, jagung,
kacang hijau), komoditas selain palawija (sayuran, cabe merah, cabe rawit, tembakau).
Sedangkan arahan pola tanam untuk tanaman tahunan seperti tanaman industri (kelapa,
jambu mete, kopi), tanaman hortikultura (mangga, serikaya/garoso, sawo, pisang).
TPL setahun 2 kali padi (sawah) dijumpai di sebagian wilayah yang mendapat irigasi
tehnis dan semi tehnis. Sedangkan TPL setahun 1 kali padi di jumpai pada sawah tadah
hujan. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani, sebagian besar usahatani masih
menerapkan input rendah sampai sedang. Di sebagian wilayah lahan kering dijumpai
komoditas jagung dan padi gogo yang ditanam pada musim hujan dengan menerapkan input
rendah. Di sebagian lahan kering dijumpai komoditas sayuran yang diusahakan dengan

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 654
Seminar Nasional 2005

menerapkan input rendah sampai sedang. Input dan output untuk TPL tanaman tahunan
(perkebunan), yaitu kelapa, kopi dan jambu mete, dengan menerapkan input rendah sampai
sedang.
Hasil analisis gross margin dengan program ALES versi 4.65d (Rossiter and
Wambeke 1997) dan kelayakan finansial beberapa komoditas pertanian menunjukkan bahwa
pada umumnya tanaman semusim yang diusahakan layak dikembangkan dengan RCR >1,10
(Tabel 6). Untuk tanaman kelapa dan mangga dengan periode analisis 20-30 tahun layak
dikembangkan dengan nilai NPV positif, nilai IRR>suku bunga yang berlaku serta BCR >1
(Tabel 7).
Tabel 6. Kelayakan usahatani tanaman semusim dengan kondisi produksi optimal di Kabupaten Bima.
Tipologi lahan Biaya Produksi Penerimaan
Jenis tanaman (JT) RCR
(TL) (Rp/ha) (BP) (Rp/ha) (REV)
2x padi sawah Wri 5.848.000,00 10.080.000,00 2,38
Padi tadah hujan Wrr 2.064.000,00 5.580.000,00 2,70
Padi gogo Dfc 1.686.500,00 1.013.500,00 1,60
1x Jagung DFc 2.067.500,00 7.350.000,00 3,56
Kacang tanah Wri 1.985.000,00 5.000.000,00 2,52
Kedele Wri 1.657.500,00 4.200.000,00 2,53
Kacang hijau Wri 1.426.500,00 2.118.750,00 1,49
Cabe rawit Dha/Wri 3.825.000,00 4.050.000,00 2,06
Bawang merah Dh 16.724.000,00 36.000.000,00 2,15
Standar > 1,10
Sumber : Data primer diolah tahun 2004

Tabel 7. Kelayakan investasi usahatani tanaman tahunan dengan kondisi produksi optimal di Kabupaten Bima

Tipologi Periode Investasi NPV (Rp) IRR BCR


Jenis tanaman
lahan (TL) Analisis (th) (Rp/ha) (i=15%) (%) (i=15%)
Kelapa Dep 30 45.554.000,00 4.805.656,30 33,32 1,63
Kopi Dep 15 12.135.000,00 31.694.245,61 54,08 7,25
Sawo Dhp 30 40.455.000,00 37.955.486,13 43,45 5,28
Mangga Dep 20 2.960.000,00 26.175.908,00 55,16 15,48
Nilai standar >0 > 1,0
Sumber : Data primer diolah tahun 2004

Dari hasil pengamatan lapangan, wilayah Kabupaten Bima secara umum sesuai
untuk pengembangan pertanian, baik tanaman pangan maupun perkebunan dan hortikultura.
Faktor penghambat yang dijumpai terdiri atas: media perakaran (tekstur tanah kasar), lereng
curam, dan ketersediaan air. Dengan penambahan air irigasi/pengairan dan pemupukan,
termasuk pemberian bahan organik, tanah-tanah di wilayah ini masih dapat ditingkatkan
produktivitasnya.

PEWILAYAHAN KOMODITAS PERTANIAN

Sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui potensi sumberdaya lahan
untuk pengembangan komoditas pertanian, maka evaluasi lahan dilakukan baik secara fisik
maupun ekonomi dengan menggunakan parameter karakteristik lahan yang berpengaruhi
terhadap produktivitas tanaman. Evaluasi lahan dilakukan dengan asumsi masukan (input)
“sedang”, yaitu dengan menerapkan teknologi petani yang ada saat ini (existing) dengan
didukung oleh bantuan pemerintah seperti kredit permodalan untuk penyediaan sarana
produksi dan teknik pengelolaan lahan, seperti pemupukan dan konservasi tanah (CSR/FAO,
1983). Dalam penilaian kesesuaian lahan, parameter kualitas lahan yang dipertimbangkan
untuk dievaluasi lahannya dengan TPL input sedang adalah bahaya erosi (eh), media

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 655
Seminar Nasional 2005

perakaran (rc), dan rejim suhu udara (tc), sedangkan ketersediaan air (wa), retensi hara (nr),
dan ketersediaan hara (na) dipertimbangkan pada penilaian lahan input rendah. Dari
parameter kualitas lahan tersebut, media perakaran, rejim suhu udara relatif lebih sulit untuk
diatasi, dibandingkan dengan kualitas lahan lainnya. Kualitas bahaya erosi bisa tidak
dipertimbangkan mengingat sebagian besar wilayah berlereng <8%.
Evaluasi lahan secara fisik untuk berbagai komoditas pertanian yang diproses
melalui komputer menggunakan program ALES (Rossiter dan Wambeke, 1997),
menunjukkan padi sawah, padi gogo, kacang tanah, rambutan, jagung, kedelai, bawang
merah, mangga, srikaya, sawo sesuai dikembangkan di Kabupaten Bima. Kelas kesesuaian
lahan dikelompokkan menjadi sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3)
dan tidak sesuai (N) (Djaenuddin et al., 2003).
Hasil pengolahan dengan program Modul Pewilayahan Komoditas (MPK) diperoleh
13 arahan pewilayahan komoditas pertanian sesuai dengan zona agroekologinya serta 4
pewilayahan non pertanian (Tabel 8 dan Gambar 3).
Tabel 8. Arahan Pewilayahan Komoditas Pertanian di Kabupaten Bima

Luas
Kode Tanaman Sistem Satuan Lahan Luas (ha)
(%)
I/Dj Kawasan Konservasi Hutan lahan kering 50, 51, 52, 53, 54, 55, 78.720,09 19,25
56, 57, 58, 75, 92, 103,
104, 105
II/De-1 Kopi Pengembangan tanaman 63 1.399,47 0,34
perkebunan permanen
II/De-2 Jambu mete, srikaya, Pengembangan tanaman 62, 64, 65, 66, 67, 82, 172.688,17 42,22
kemiri, asam, mangga perkebunan permanen 84, 87, 89, 97, 98, 99,
100, 101, 102
II/Dj Kawasan Konservasi Hutan lahan kering 42, 43, 44, 72, 73, 74, 33.181,30 8,11
83, 90, 91, 93, 94, 107
II/Dt Hutan tanaman industri (jati, Hutan tanaman industri 68, 88 847,87 0,21
sonokeling) lahan kering
III/De Jambu mete Pengembangan tanaman 61 641,00 0,16
perkebunan
III/Def Jambu mete, kelapa, Pengembangan tanaman 40, 41, 59, 60, 86, 95, 32.723,28 8,00
mangga, srikaya, kemiri, perkebunan/hortikultura/p 96, 71, 79, 80, 81, 82,
sawo, jagung,kacang tanah, angan 106
padi gogo
IV/De Kelapa Pengembangan tanaman 10, 45 922,68 0,23
perkebunan
IV/Df Padi gogo, jagung, kacang Pengembangan tanaman 1, 3, 4, 7, 9, 12, 14, 16, 32.417,75 7,93
tanah, kacang hijau, ubi pangan 17, 18, 19, 25, 26, 27,
kayu 29, 30, 32, 33, 34, 35,
36, 76, 77, 85
IV/Dfe Padi gogo, jagung, kedelai, Pengembangan tanaman 8, 13, 20, 21, 22, 23, 20.954,59 5,12
kacang hijau, bawang pangan/perkebunan/hortik 24, 28, 31, 46, 48, 49,
merah, mangga, semangka, ultura 69, 70, 78
srikaya, ubi kayu, kelapa,
jambu mete
IV/Wg Garam Pengembangan tambak 38 2.752,91 0,67
garam
IV/Wi Padi sawah, kedelai, kacang Pengembangan tanaman 2, 5, 6, 11, 15 11.137,79 2,72
hijau, semangka, bawang pangan/hortikultura
merah
IV/Wj Hutan mangrove Hutan lahan basah 39, 47 1.160,90 0,28
IV/Wt Tambak Pengembangan perikanan 37 535,26 0,13
air payau
X1, X2, Pemukiman, badan air, 108, 109, 110, 111 18.912,71 4,63
X3, X4 gawir/lereng curam dan
pulau-pulau
Jumlah 408.995,77 100,00

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 656
Seminar Nasional 2005

Gambar 3. Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Kabupaten Bima, NTB.

Berdasarkan 13 arahan pewilayahan komoditas pertanian di atas ditetapkan 6 sistem


pertanian yang dapat dikembangkan di Kabupaten Bima, sebagai berikut :
1. Pengembangan tanaman perkebunan di Zona II, yaitu tanaman perkebunan permanen
(kopi) seluas 1.399,47 ha (0,34%) dari luas wilayah pada satuan lahan (SL) 63;
pengembangan tanaman perkebunan permanen (jambu mete, srikaya, kemiri, asam,
mangga) seluas 172.688,17 ha (42,22%) pada SL 62, 64, 65, 66, 67, 82, 84, 87, 89, 97, 98,
99, 100, 101, dan 102; dan pertanian lahan kering tanaman perkebunan (kelapa) di Zona
IV seluas 922,68 ha (0,23%) pada SL 10 an 45.
2. Pengembangan hutan tanaman industri lahan kering (jati, sonokeling) di Zona II seluas
847,87 ha (0,21%) pada SL 68 dan 88.
3. Pertanian lahan kering di Zona III, tanaman perkebunan (jambu mete) pada SL 61 seluas
641,00 ha (0,16%); tanaman perkebunan/hortikultura/pangan (jambu mete, kelapa,
srikaya, mangga, sawo, kemiri, jagung, kacang tanah, padi gogo) seluas 32.723,28 ha
(8,00%) pada SL 40, 41, 59, 60, 86, 95, 96, 71, 79, 80, 81, 82, dan 106
4. Pertanian lahan basah (padi sawah rotasi dengan palawija dan hortikultura semusim) di
Zona IV seluas 11.137,79 ha (2,72%), pada satuan lahan 2, 5, 6, 11, dan 15.
5. Pertanian lahan kering di Zona IV, yaitu pertanian tanaman pangan (padi gogo, jagung,
kacang tanah, kedelai, kacang hijau, dan ubi kayu) di Zona IV, seluas 32.417,75 ha
(7,93%) pada SL 1, 3, 4, 7, 9, 12, 14, 16, 17, 18, 19, 25, 26, 27, 29, 30, 32, 33, 34, 35, 36,
76, 77, dan 85; pertanian lahan kering tanaman pangan/ perkebunan/hortikultura
(palawija, ubi kayu, kelapa, mangga, srikaya, jambu mete, kacang hijau, bawang merah,
semangka) seluas 20.954,59 ha (5,12%) yaitu SL 8, 13, 20, 21, 22, 23, 24, 28, 31, 46, 48,
49, 69, 70, dan 78.
6. Pengembangan lahan basah di Zona IV berupa tambak garam seluas 2.752,91 ha (0,67%)
pada SL 38 dan tambak ikan seluas 535,26 ha (0,13%) pada SL 37

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 657
Seminar Nasional 2005

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Kabupaten Bima memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan komoditas
pertanian, selain cukup strategis karena berbatasan langsung dengan Propinsi NTT dan
mempunyai akses ke Bali dan Jawa baik melaui darat, laut dan udara, juga karena
sumberdaya lahannya yang cukup luas.
2. Komoditas pertanian yang sesuai dikembangkan berdasarkan hasil evaluasi lahan secara
fisik adalah padi sawah, padi gogo, kacang tanah, rambutan, jagung, kedelai, bawang
merah, mangga, srikaya, sawo sesuai dikembangkan di Kabupaten Bima.
3. Hasil pewilayahan komoditas pertanian diperoleh 13 arahan pewilayahan komoditas
pertanian di Kabupaten Bima sesuai dengan zona agroekologinya serta 4 pewilayahan non
budidaya, yaitu Zona I/Dj (hutan lahan kering), II/De-1 (pengembangan tanaman
perkebunan permanen), II/De-2 (pengembangan tanaman perkebunan permanen), II/Dj
(hutan lahan kering) , II/Dt (hutan tanaman industri lahan kering), III/De (pengembangan
tanaman perkebunan), III/Def (pengembangan tanaman perkebunan/hortikultura/pangan),
IV/De (pengembangan tanaman perkebunan), IV/Df (pengembangan tanaman pangan),
IV/Dfe (pengembangan tanaman pangan/perkebunan/hortikultura), IV/Wg (pengembangan
tambak garam), IV/Wi (pengembangan tanaman pangan/hortikultura), IV/Wj (hutan lahan
basah), IV/Wt (pengembangan perikanan air payau), X1, X2, X3, X4 (pemukiman, badan
air, gawir/lereng curam, pulau-pulau).
4. Berdasarkan arahan pewilayahan komoditas pertanian ditetapkan 6 sistem pertanian, yaitu
sistem pengembangan tanaman perkebunan (Zona II/De dan IV/De); pengembangan hutan
tanaman industri lahan kering (Zona II/Dj); pertanian lahan kering tanaman perkebunan
(Zona III/De dan III/Def), pertanian lahan basah tanaman padi sawah rotasi dengan
palawija dan hortikultura semusim (Zona IV/Wi); pertanian lahan kering tanaman pangan
(Zona IV/Df), dan pengembangan lahan basah untuk tambak (Zona IV/Wg dan IV/Wt).

Saran
Hasil pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan ZAE skala 1:50.000 hendaknya
dapat dijadikan dasar dalam perencanaan pembangunan pertanian di Kabupaten Bima.

DAFTAR PUSTAKA

Bakosurtanal.1998. Peta topografi/rupabumi skala 1:25.000 Kabupaten Bima. Bakosurtanal.


Jakarta.
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, 2003. Atlas Sumberdaya Iklim Pertanian
Indonesia Skala 1:1000.000. Bogor.
Balai Penelitian Tanah. 2001. Petunjuk Teknis Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas
Pertanian Berdasarkan Zona Agro Ekologi (ZAE) skala 1:50.000 (Model 1). Balai
Penelitian Tanah, Puslitbangtanak Bogor.
Balai Penelitian Tanah. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian.
Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak Bogor.
BPS. 2003. Bima Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kab. Bima.
Budianto, J. 2001. Pengembangan Potensi Sumberdaya Petani Melalui Penerapan Teknologi
Partisipatif. Pros. Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian. Mataram.
Djaenudin, D, Marwan H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk
Komoditas Pertanian. Versi 3. 2000. Balai Penelitian Tanah, Puslitbang Tanah dan
Agroklimat, Bogor.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 658
Seminar Nasional 2005

F.A.O, 1983. Guidelines Land Evaluation for Rainfed Agriculture. Soil Bulletin No. 52. Soil
Resources Management and Consevation Service Land and Water Development
Division
FAO. 1978. Guidelines for Soil Profile Description. Soil Resources Development and Cons.
Service, Land and Water Development Division. FAO/UNESCO, Rome.
Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek. Analisa Ekonomis. Ed. Ke-2. LPFE UI, Jakarta.
Las, I., A.K. Makarim, A. Hidayat, A. Syarifuddin, dan I. Mawan. 1990. Pewilayahan
Agroekologi Utama Tanaman Indonesia. Puslitbangtan, Edisi Khusus,
Pus/03/90.Bogor.
Oldeman L.R., Irsal L., and Muladi, 1988. Agroclimatic Map of Bali, Nusatenggara Barat
and Nusatenggara Timur Central Research Institute for Agriculture, Bogor.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, 1998. Peta Geologi Lembar Sumbawa, Nusa
Tenggara Skala 1:250.000. Direktorat Geologi Bandung.
Rossister, D, And Van Wambeke, 1997. Automated Land Evaluation System. User’s Manual
Version 4.6. Cornell University, Ithaca, New York.
Schmidt, F.H., and J.H.A. Ferguson, 1951. Rainfall Type Based on Wet and Dry Period
Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verh. No.42. Jawatan Met. dan
Geofisik, Djakarta.
Soil Conservation Service, 1972. Soil Survery Laboratory Methods and Procedure for
Collecting Soil Samples. Soil Sruvey Investigation Report No. 1. USDA-SCS,
Washington DC.
Soil Survey Staff. 1998. Keys to Soil Taxonomy, 8th edition 1998. Nasional Resources
Conservation Service, USDA.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 659
Seminar Nasional 2005

DINAMIKA LENGAS TANAH DAN PRODUKSI BIOMAS BEBERAPA HIJAUAN


PAKAN TERNAK PADA BERBAGAI INTENSITAS NAUNGAN TANAMAN
JAMBU METE DI LAHAN KERING NTB

Ahmad Suriadi1), Yusuf Sutaryono2) dan Mashur1)


1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
2)
Fakultas Peternakan Universitas Mataram

ABSTRAK

Pertumbuhan dan produksi hijauan pakan ternak sangat ditentukan oleh keberadaan air tanah dan
kesuburan tanah. Kedua faktor tersebut dapat dimodifikasi melalui teknologi irigasi dan pemupukan. Disamping
itu, produktivitas tanaman pangan sangat rendah pada lahan di bawah naungan tanaman jambu mete yang telah
berumur lebih dari 10 tahun karena intensitas penyinaran matahari yang cukup rendah. Oleh karena itu perlu
dicari anternatif lain untuk memanfaatkan lahan tersebut seperti penanaman hijauan pakan ternak. Pengkajian
dinamika lengas tanah dan produksi biomas beberapa hijauan pakan ternak pada berbagai intensitas naungan
tanaman jambu mete di lahan kering telah dilakukan di tanah Entisols iklim tipe D4 (Oldemen) di Kabupaten
Dompu. Pengkajian ditata dengan rancangan faktorial yang terdiri dari dua faktor yaitu 1. faktor naungan (tanpa
naungan, setengah naungan dan naungan penuh), dan 2. faktor hijauan pakan ternak (Arachis sp, Amiga sp dan
Verano sp). Lengas tanah ditentukan dengan mengambil sampel tanah sampai kedalaman 180 cm pada akhir
musim kemarau, pertengahan dan akhir musim hujan bersamaan dengan sampel biomas pakan. Data hasil
penelitian selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis varian (ANOVA). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa lengas tanah tertinggi diperoleh pada arachis sp pada lapisan tanah 0-15 cm pada pertengahan dan akhir
musim penghujan pada perlakuan setengah dan full naungan, sedangkan lengas tanah tidak berbeda nyata pada
akhir musim kemarau pada setiap perlakuan naungan. Biomas hijauan pakan tertinggi diperoleh pada arachis sp
pada pertengahan dan akhir musim penghujan pada setiap perlakuan naungan. Implikasi dari penelitian ini adalah
penanaman arachis sp dapat dilakukan dibawah naungan tanaman jambu mete.
Kata kunci : Lengas tanah, hijauan pakan ternak, naungan, jambu mete, Arachis sp, Amiga sp dan Verano sp

PENDAHULUAN

Pertumbuhan dan produksi pakan hijauan ternak sangat ditentukan oleh keberadaan
air tanah dan kesuburannya. Jumlah air yang dibutuhkan oleh pakan untuk dapat
memberikan brangkasan yang tinggi sangat bergantung pada jenis pakan itu sendiri dan
iklim terutama curah hujan (Allen et all. 1998). Dengan demikian aspek penting dari
pengairan adalah sampai pada tingkat kekeringan tanah tertentu yang mana pengairan harus
diberikan. Kalau tingkat ini diketahui maka akan diperoleh pengairan yang tepat waktu dan
jumlah.
Disamping lengas tanah berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan pakan hijauan
ternak, juga mempengaruhi mobilitas unsur hara dalam tanah. Unsur hara yang mobilitasnya
sangat rendah maka peredarannya sangat ditentukan oleh lengas tanah. Oleh karena itu
takaran pupuk yang tepat pada tingkat ketersediaan air tertentu harus diketahui untuk
memperoleh efisiensi pemupukan yang tinggi. Pengelolaan air (saat pemberian dan jumlah
air) yang tepat diharapkan mampu mengefisienkan penggunaan pupuk.
Pada saat ini, banyak lahan diantara pertanaman jambu mete petani transmigran
yang kurang bisa dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pangan. Lahan tersebut dibiarkan
saja oleh petani sehingga banyak ditumbuhi oleh beberapa jenis rumput seperti Sida sp dan
Chromolaena odorata. Disamping lahan tersebut proporsinya secara signifikan digunakan
sebagai tempat penggembalaan sapi, namun lahan itu juga secara potensial dapat digunakan
sebagai salah satu sumber pakan. Walaupun beberapa jenis pakan yang beradaptasi tinggi
terhadap naungan telah diidentifikasi dengan baik dalam sistem usahatani tanaman-ternak,
namun keberadaannya sangat terbatas (Penggely and Lisson, 2001). Tanaman legum sangat
berbeda performannya dalam merespon tingkat naungan sebagaimana hal itu telah diteliti
oleh Wong et al. (1985b) dan Eriksen and Whitney (1982). Hasil penelitian Eriksen and
Whitney (1982) menunujukkan bahwa respon produksi legume adalah mendekati linear

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 660
Seminar Nasional 2005

terhadap naungan, sementara hasil penelitian Wong et al. (1985a) menunjukkan bahwa
produksi legum maximum diperoleh pada tingkat cahaya yang rendah walaupun kualitas
pakan ada kecenderungan untuk lebih rendah dibandingkan dengan tanpa naungan (Norton et
al., 1991). Namun seberapa jauh daya adaptasi beberapa legum dan perilaku lengas tanah
yang ditanami legum terhadap intensitas cahaya dibawah naungan tanaman jambu mete
masih sangat sedikit. Percobaan telah dilakukan dengan tujuan untuk menetahui dinamika
lengas tanah dan produksi biomas beberapa legum pakan ternak pada berbagai intensitas
naungan tanaman jambu mete.

BAHAN DAN METODE

Bahan
Bahan dan alat penelitian yang digunakan adalah legum benih Stylosanthes hamata
dan Arachis pintoi. Alat meliputi set alat pengebor tanah, timbangan, kertas amplop, pisau,
oven, ring sampel, karet, kantong plastik dan lain-lain.

Metode
Penelitian ini telah dilaksanakan di lahan petani transmigrasi Dusun SPA Desa
Sukadamai Kecamatan Manggelewa Kabupaten Dompu pada bulan Januari 2002 (musim
penghujan). Percobaan ditata dengan rancangan faktorial yang terdiri dari yaitu faktor legum
terdiri dari 2 jenis legum (Stylosanthes hamata dan Arachis pintoi) dan faktor naungan yang
terdiri dari 3 tingkat naungan (tidak ada naungan, setengah naungan dan naungan penuh).
Setiap kiombinasi perlakuan diulang 3 kali sehingga semuanya terdapat 18 petak percobaan.
Alat pengukur intensitas cahaya tidak terdapat baik di Universitas Mataram maupun di
BPTP, maka penentuan intensitas cahaya didasarkan pada kondisi lapangan yang paling
umum dijumpai di pertanaman jambu mete. Atas dasar itu maka intensitas naungan di lahan
jambu mete di bagi dalam tiga kelas yaitu tanpa naungan (100% cahaya matahari), setengah
naungan (50% ternaungi oleh tanaman jambu mete) dan naungan penuh (100% dinaungi
oleh tanaman jambu mete). Stylosanthes hamata merupakan legum yang banyak digunakan
untuk pakan ternak dan Arachis pintoi merupakan legum yang mempunyai kualitas pakan
tinggi pada musim kering dan cukup tahan terhadap naungan (Mannetje and Jones, 1992).
Disamping itu, kedua legum tersebut mampu meningkatkan kesuburan tanah terutama unsur
nitrogen.
Lahan diantara pertanaman jambu mete (dibawah naungan jambu mete) disemprot
dengan herbisida untuk mematikan rumput yang tumbuh, kemudian dibajak dan diolah
sampai rata. Arachis pintoi ditugal satu-satu dengan jarak tanam 20 x 20 cm sedangkan
Stylosanthes hamata sebanyak 12 gram disebar pada petak yang telah dibuat dengan ukuran
5x4 m (Mannetje and Jones, 1992). Pemupukan tidak dilakukan dengan tujuan untuk
melihat produksi biomas secara alami dan juga tidak dilakukan penyiangan untuk melihat
daya saing legum tersebut dengan legum atau rumput yang lain.
Sampling biomas dan tanah dilakukan pada awal musim kemarau (bulan Juni).
Sample biomas diambil pada masing-masing kombinasi perlakuan seluas 1 m² dengan
memotong pangkal batang kemudian ditimbang. Pakan yang ditanam dipisahkan dengan
legum atau rumput yang lain, lalu ditimbang untuk mengetahui proporsi pakan tersebut.
Dari sample biomas tersebut kemudian disample lagi untuk mengetahui berat keringnya.
Contoh tanah diambil pada masing masing pengambilan sampel biomas.
Pengambilan contoh tanah dilakukan sampai kedalaman 180 cm dengan menggunakan 2
pipa besi berdiameter sekitar 4 cm yang masing masing panjangnya 100 cm dan 180 cm.
Pipa yang panjangnya 100 cm ditancapkan terkebih dahulu ke dalam tanah dengan
memukulnya secara vertikal, lalu ditarik dengan pengungkit dan pipa kedua yang panjang
180 cm dimasukkan ke bekas tancapan pipa pertama, dipukul sampai sejajar dengan
permukaan tanah dan ditarik dengan pengungkit. Tanah yang ada di dalam pipa dikeluarkan,

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 661
Seminar Nasional 2005

kemudian di bagi berdasarkan kedalaman: 0-15, 15-30, 30-60, 60-90, 90-120, 120-150 dan
150-180 cm. Sampel tanah tersebut sebagian dimasukkan ke katong amplop dan ditimbang
untuk ditentukan kadar lengasnya.
Lahan disekitar percobaan tersebut juga telah digunakan untuk menentukan kadar
lengas titik layu permanen untuk setiap pakan yang dikaji, kapasitas lapang dan kadar lengas
titik jenuh tanah. Lengas titik layu permanen untuk masing-masing pakan yang dikaji
ditentukan dengan cara sebagai berikut; semua pakan ditanam pada awal musim kemarau
lalu dibiarkan sampai layu permanen dan sampel tanah diambil sampai kedalamam 180 cm
dengan cara yang sama seperti di atas. Penentuan lengas kapasitas lapang tanah ditentukan
dengan menutup tanah yang berukuran 4 x 4 m dengan jerami atau rumput pada saat musim
penghujan dan dibiarkan sampai akhir musim penghujan. Tanah yang ditutup tersebut harus
bersih dari tanaman dan rumput yang tumbuh agar kondisi kapasitas lapang terjaga. Tanah
tersebut diambil sampelnya pada akhir musim hujan untuk ditentukan lengas kapasitas
lapangnya. Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan menggunakan ring sampel sampai
pada kedalaman 180 cm. Berat volume tanah juga ditentukan dengan menggunakan metode
ring sampel.
Parameter yang diamati meliputi legas titik layu permanen Stylosanthes hamata dan
Arachis pintoi, lengas kapasitas lapang, berat volume tanah, lengas titik jenuh tanah, berat
biomas basah, berat biomas kering proporsi pakan yang tumbuh terhadap rumput yang lain.
Data hasil percobaan dianalisis dengan analisis variance (Anova).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan dan Produksi Biomas Legum yang Diteliti dan Rumput Lain
Penampilan pertumbuhan di lapangan kedua legum pada masa awalnya berbeda.
Pertumbuhan Arachis pintoi pada 4 – 6 hari setelah tugal sudah mencapai 90% dan pada
sekitar 20 hari setelah tugal sudah tumbuh merata. Namun pertumbuhan Stylosanthes
hamata sangat berbeda dengan Arachis pintoi. Stylosanthes hamata masih belum ada yang
tumbuh pada hari 4-6 setelah tanam dan sampai pada hari 20 setelah tanam, pertumbuhannya
hanya mencapai sekitar 5%. Pertumbuhan yang sangat kuarng ini diduga disebabkan oleh
mutu benih yang sudah lama dan kurang bagus. Oleh karena itu, benih disebar lagi dengan
kualitas yang lebih baik sehingga pertumbuhannya cukup bagus. Tanaman dibiarkan
tumbuh dan tetap hijau sampai bulan Agustus (pertengahan musim kering). Berat kering
biomas Stylosanthes hamata dan Arachis pintoi pada berbagai perlakuan naungan dan
komposisinya terhadap legum dan rumput lain yang tumbuh dalam petak percobaan yang
sama dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Stylosanthes

2500
Biomass (kg/ha dry matter)

2000

1500

1000

500

0
Full_shade Part_shade No_shade

Stylo other_legumes grasses

Gambar 1. Berat kering biomas Stylosanthes hamata pada berbagai perlakuan naungan dan
komposisinya terhadap legum dan rumput lain yang tumbuh dalam petak

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 662
Seminar Nasional 2005

Arachis pintoi

Biomass (kg/ha dry matter)


2500

2000

1500

1000

500

0
Full_shade Part_shade No_shade

Arachis other_legumes grasses

Gambar 2. Berat kering biomas Arachis pintoi pada berbagai perlakuan naungan dan komposisinya
terhadap legumdan rumput lain yang tumbuh dalam petak

Gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa produksi biomas kering untuk legum dan
rumput lain yang tumbuh dalam petak percobaan berbanding terbalik dengan intensitas
naungan. Semakin tinggi tingkat naungan, produksi biomas legum dan rumput lain semakin
rendah. Bahkan pada tingkat naungan penuh dan setengah naungan, produksi biomas
rumput lain sangat sedikit. Berbeda halnya dengan kedua legum yang diteliti, produksi
biomas kering kedua legum tersebut masih tinggi walaupun pada proporsinya berbeda pada
berbagai tingkat naungan.
Sebagaimana dapat dilihat pada gambar di atas, produksi biomas kering
Stylossanthes hamata lebih tinggi pada perlakuan tanpa naungan dibandingkan dengan
perlakuan setengah naungan dan naungan penuh walaupun perbedaan tersebut tidak berbeda
nyata. Sedangkan produksi berat kering Arachis pintoi kecenderungannya lebih tinggi pada
perlakuan setengah naungan walaupun masih tumbuh cukup baik pada perlakuan naungan
penuh. Walaupun pertumbuhan Arachis pintoi cukup bagus pada perlakuan tanpa naungan,
namun produksi biomas kering relatif terbatas karena pertumbuhannya berkompetisi dengan
legum dan rumput lainnya. Secara umum produksi berat kering biomas Stylossanthes
hamata lebih tinggi daripada Arachis pintoi.

Dinamika Lengas Pada Tanaman Legum Pada Berbagai Perlakuan Naungan


Interval kedalaman pengambilan sampel tanah seharusnya sampai pada kedalaman
180 cm, namun kondisi tanah pada kedalaman di 120 cm ke bawah sudah banyak terdapat
bebatuan dan mata bor tanah tidak mampu menembusnya, maka sampel tanah diambil
sampai pada kedalaman 120 cm. Jumlah air tersedia tanah untuk berbagai pakan hijauan
ternak dan tanaman sangat bervariasi tergantung dari jenis pakan/tanaman, curah hujan/iklim
dan jenis tanah. Keberadaan lengas tanah kedua pakan dapat dilihat pada Gambar 3
Lengas Tanah (% V)

0 15 30 45 60
0

20
Kedalaman (cm)

40
DUL
60
SAT

80 StyloLL
ArachisLL
100

120
Gambar 3. Lengas tanah pada titik layu permanen legum Stylossanthes hamata dan Arachis pintoi,
kapasitas lapang (DUL) dan titik jenuh (sat) di lokasi penelitian

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 663
Seminar Nasional 2005

Gambar 3 menunjukkan lengas tanah tersedia untuk kedua legum tersebut tidak
sama. Pada kedalaman 0-20 cm jumlah air tersedia untuk arachis lebih banyak daripada
stylo, namun pada kedalaman 20-60 cm keadaannya menjadi terbalik dan pada kedalaman 64
cm ke bawah, lengas tanah tersedia untuk kedua legum tersebut hampir sama. Dinamika
lengas tanah kedua legum tersebut pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4
Lengas tanah (%V)

0 20 40 60 80
0

20
DUL
Kedalaman (cm)

40
SAT
60 ArFS

80 ArHS
ArNS
100
ArLL
120

Gambar 4. Dinamika lengas tanah pada tanaman legum pada berbagai perlakuan naungan (DUL =
kapasitas lapang, SAT = kapasitas jenuh; FS = naungan penuh; HS = setengah naungan;
NS = tanpa naungan; Ar = Arachis pintoi; Stylo = Stylosanthes hamata)

Sampel tanah pada Gambar 4 diambil pada akhir musim penghujan (bulan Maret
2002). Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa lengas tanah tidak berbeda secara nyata
terhadap perlakuan naungan. Hal ini karena pada saat pengambilan sampel tanah, curah
hujan masih cukup tinggi. Secara umum, lengas tanah pada kedua tanaman tersebut lebih
tinggi dari pada batas titik layu permanennya. Pada kedalaman 0-37 cm, lengas tanah pada
legum arachis lebih tinggi daripada lengas tanah kapasitas lapang.
Pada pertengahan musim kering (bulan September 2002), kondisi tanaman kedua
lagum tersebut sudah mati. Tetapi pada awal musim hujan, legum tersebut tumbuh kembali
dan pertumbuhannya lebih bagus dibandingkan pada tahun sebelumnya. Pada bulan
September 2002, sampel tanah juga diambil lagi dan dianalisis kadar airnya. Dinamika
lengas tanah kedua legum tersebut pada berbagai perlakuan naungan pada musim kering
dapat dilihat pada gambar 5.
Lengas tanah (%V) Lengas tanah (%V)

0 10 20 30 40 50 60 70 0 10 20 30 40 50 60 70
0
0

20
20

40
Kedalaman (cm)
Kedalaman (cm)

40 DUL
DUL SAT
SAT 60 Stylo FS
60
ArFS styloHS
ArHS 80 StyloNS
80
ArNS StyloLL

ArLL 100
100

120
120

Gambar 5. Dinamka lengas tanah pada tanaman legum pada berbagai perlakuan naungan (keterangan
gambar lihat gambar 4)

Gambar 5 menunjukkan bahwa lengas tanah pada pertengan bulan September


hampir berhimpitan dengan garis lengas titik layu permanen pada kedua tanaman legum
pada setiap perlakuan naungan. Hal ini berarti bahwa kandungan lengas tanah tidak mampu
mendukung untuk pertumbuhan legum hijauan pakan ternak di lahan kering sampai pada
akhir musim kemarau.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 664
Seminar Nasional 2005

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapatdisimpulkan bahwa Stylossanthes hamata
menghasilkan biomas kering lebih tinggi pada tanpa naungan dan produksi biomas
berkurang pada perlakuan setengah naungan dan naungan penuh. Sedangkan pertumbuhan
Arachis pintoi kecenderungan lebih baik pada setengah naungan walaupun ia tetap tumbuh
dengan baik pada setengah naungan maupun naungan.
Lengas tanah pada akhir musim hujan mampu mendukung pertumbuhan tanaman
legum untuk tetap hijau sampai pertengahan musim kering, tetapi tidak mampu mendukung
pertumbuhan legum dari bulan september sampai awal masuknya musim penghujan.
Saran
Penanaman legum dibawah naungan jambu mete dapat dilakukan untuk memperoleh
tambahan pakan ternak pada musim kemarau. Pemotongan legum tersebut sebaiknya
dilakukan pada pertengahan musim kemarau untuk mensuplai kekurangan pakan pada saat
itu.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, R.G., Pereira L.S., Raes D and Smith M.. 1998. Crop Evapotranspiration, Guidelines
for Computing Crop Water Requirements. FAO Irrigation and Drainage. Paper 56.
Eriksen, F.I. and Whitney, A.S. 1982. Growth and nitrogen fixation of some tropical forage
legumes as influenced by solar radiation regimes. Agronomy Journal, 74.
Mannetje, L.’T and Jones, R.M. 1992. Forages. Plant Resources of South East Asia. Prosea
Foundation, Bogor.
Norton, B.W., Wilson, J.R., Shelton, H.M. and Hill, K.D. 1991. The Effect of Shade on
Forage Quality. In. Forage for Plantation Crops. H.M. Shelton and W.W. Stur (Eds).
ACIAR Proceeding No. 32.
Penggely B.C. and Lisson S.N. (2001). Strategies for using improved forages to enhance
production in Bali cattle. In Strategies to Improve Bali Cattle in Indonesia. ACIAR
Proceeding 110. (Australian Centre for International Agricultural Research,
Canberra).
Wong, C.C., Rahim, H. and Mohd. Sharudin, M.A. 1985a. Shade tolerant potential of some
tropical forages for integration with plantation: 1. Grasses. MARDI Research
Bulletin, 13
Wong, C.C., Mohd. Sharudin, M.A. and Rahim, H. 1985b. Shade tolerant potential of some
tropical forages for integration with plantation: 1. Legumes. MARDI Research
Bulletin, 13.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 665
Seminar Nasional 2005

PENILAIAN KUALITAS TANAH BERDASARKAN KANDUNGAN BAHAN


ORGANIK (KASUS DI KABUPATEN BIMA)

Ahmad Suriadi dan Moh.Nazam


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB

ABSTRAK

Kandungan bahan organik tanah merupakan faktor penentu kualitas tanah untuk tanah mineral.
Semakin tinggi kandungan bahan organik tanah maka kualitas tanah mineral semakin baik. Penilaian kualitas
tanah beradasarkan kandungan bahan organiknya telah dilakukan di Kabupaten Bima dan Lombok Tengah.
Sampel tanah di ambil pada top dan sub soil pada titik-titik yang telah ditentukan melalui analisis terrain. Sampel
tersebut dianalisis kandungan bahan organiknya kemudian hasilnya dikelompokkan berdasarkan status sangat
rendah (<1%), rendah (1-2%), sedang (2-3), tinggi (3-5%) dan sangat tinggi (>5%) pada berbagai tipe
penggunaan lahan yaitu. Hasil pengelompokan tersebut dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif. Data
hasil analisis untuk 150 contoh tanah menunjukkan bahwa kandungan bahan organik tanah pada lapisan atas (0-
20cm) berada pada status sangat rendah sampai sangat rendah, 17,81% pada status sedang, dan hanya 9,81% dan
2,74% pada status yang tinggi sampai sangat tinggi. Sedangkan untuk tanah lapisan bawah (20 – 40 cm), sebagian
besar berada pada status sangat rendah sampai rendah. Kualitas tanah yang masih tinggi terdapat pada lahan
hutan, sedangkan pada lahan sawah, kebun dan pesisir pantai sebagian besar status bahan organik berada pada
kisaran sangat rendah sampai rendah. Implikasi dari hasil kegiatan ini adalah bahwa pemberian bahan organik ke
dalam tanah dalam bentuk pupuk organik sangat diperlukan untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas
tanah.
Kata kunci: kualitas tanah, bahan organik tanah, analisis terrain, status

PENDAHULUAN

Kondisi fisik, kimia dan biologi tanah dijadikan indikator untuk menentukan kualitas
tanah (Sitompul dan Setijono, 1990; Karama et all., 1990). Kualitas tanah adalah
kemampuan suatu tanah untuk berfungsi dalam berbagai batas ekosistem untuk mendukung
produktivitas biologi, mempertahankan kualitas lingkungan dan meningkatkan kesehatan
tanaman, hewan dan manusia. Secara umum, terdapat tiga makna pokok dari difinisi tersebut
yaitu produksi berkelanjutan yaitu kemampuan tanah untuk meningkatkan produksi dan
tahan terhadap erosi, mutu lingkungan yaitu tanah diharapka mampu untuk mengurangi
pencemaran air tanah, udara, penyakit dan kerusakan sekitarnya dan ketiga kesehatan
makhluk hidup.
Dampak negatif dari ketidakmampuan tanah untuk memenuhi fungsinya adalah
terganggunya kualitas tanah sehingga menimbulkan bertambah luasnya lahan kritis,
menurunnya produktivitas tanah dan pencemaran lingkungan. Dampak tersebut membuat
kita untuk mencari indikator dari segi tanah yang dapat digunakan untuk memonitor
perubahan kualitas tanah agar tetap memenuhi fungsinya. Penurunan kualitas tanah akan
memberikan kontribusi yang besar akan bertambah buruknya kualitas lingkungan secara
umum.
Sangat disadari akan kompleknya berbagai proses dan faktor yang mengendalikan
kualitas tanah sehingga sangat sulit untuk menyatukan berbagai interaksi antara faktor-faktor
tersebut menjadi suatu indikator. Secara umum indikator kualitas tanah harus: 1)
mengintegrasikan sifat kimia fisika dan biologi tanah, 2)mudah diperoleh oleh para
pengguna dan diaplikasikan pada berbagai kondisi lapangan, 3) peka terhadap perubahan
pengolalan tanah dan iklim, 4) dapat diukur atau diprediksi dilapangan dan dilaboraturium
dan 5) sedapat mungkin tersedia dalam basis data tanah.
Salah satu indikator kualitas tanah adakah kandungan bahan organik tanah, selain
indikator yang lain seperti sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Diambilnya bahan organik
sebagai salah satu indikator yang perlu diperhatikan karena sifatnya yang sangat labil dan
kandungannya berubah sangat cepat tergantung manajemen pengelolaan tanah (Six et al.,

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 666
Seminar Nasional 2005

1998, Cerri et al., 1991; Blair et al., 1998). Walaupun kandungan bahan organik tanah
sangat sedikit yaitu 1 – 5% dari berat total tanah mineral, namun pengaruhnya terhadap sifat
fisik, kimia dan biologi tanah sangat besar. Manfaat bahan organik sudah teruji
kehandalannya dalam memperbaiki kualitas tanah (Soegiman, 1982; Stevenson, 1994).
Kandungan bahan organik tanah telah terbukti berperan sebagai kunci utama dalam
mengendalikan kualitas tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi. Bahan organik
mampu memperbaiki sifat fisik tanah seperti menurunkan berat volume tanah, meningkatkan
permeabilitas, menggemburkan tanah, memperbaiki aerasi tanah, meningkatkan stabilitas
agregat, meingkatkan kemampuan tanah memegang air, menjaga kelembaban dan suhu
tanah, mengurangi energi kinetik langsung air hujan, mengurangi aliran permukaan dan erosi
tanah (Oades, 1989; Elliott, 1986; Puget et al., 1995; Jastrow et al., 1996; Heinonen, 1985).
Bahan organik mampu memperbaiki sifat kimia tanah seperti menurunkan pH tanah, dapat
mengikat logam beracun dengan membentuk kelat komplek, meningkatkan kapasitas
pertukaran kation dan sebagai sumber hara bagi tanaman (Stevenson, 1994; Tisdall and
Oades, 1982). Dari sifat biologi tanah, bahan organik tanah mampu mengikat butir-butir
partikel membentuk agregat dari benang hyphae terutama dari jamur mycorrhiza dan hasil
eskresi tumbuhan dan hewan lannya (Soegiman, 1982; Addiscott, 2000). Berdasarkan uraian
di atas maka telah dilakukan penilaian kualitas tanah berdasarkan kandungan bahan organik
di Kabupaten Bima.

BAHAN DAN METODE

Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah hasil analisis terrain, sampel tanah,
bahan kimia untuk analisis kandungan C-organik tanah.

Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan survey tanah skala 1 : 50.000 yang
penentuan titik-titik pengambilan sampel tanah ditentukan melalui analisis terrain
(Hikmatullah et al., 2001). Sampel tanah diambil pada kedalaman 0-20 cm (topsoil) dan
pada kedalaman 20-40 cm (subsoil). Sampel tanah dibawa ke laboratorium untuk
selajutnya dianalisis kandungan carbon organiknya. Analisis carbon organik tanah
dilakukan dengan menggunakan metode Khurmis. Data hasil analisis kemudian
dikelompokkan menjadi 5 status berdasarkan kandungan bahan organik yaitu: a) <1%
sangat rendah; b) 1-2% (rendah); c) 2-3% (sedang); d) 3 – 5% (tinggi) dan e) >5% (sangat
tinggi). Data tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan bahan organik sangat bervariasi tergantung dari manajemen pengelolaan


lahan. Distribusi tingkat kandungan bahan organik tanah akan dibahas berdasarkan tipe
penggunaan lahan.

Kualitas Tanah Sawah Berdasarkan Kandungan Bahan Organik


Lahan sawah yang dimaksud dalam kelompok ini adalah termasuk lahan sawah
tadah hujan. Luas lahan sawah irigasi dan lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Bima
adalah 117.756 ha dimana luas tersebut, 27,8% dari luas wilayah Kabupaten Bima. Dari luas
tersebut, sebagian besar (89,1%) adalah lahan sawah tadah hujan (BPS 2000). Secara umum
kualitas tanah pada laghan sawah di Kabupaten Bima sangat bervariasi. Distribusi status
bahan organik tanah dapat dilihat pada Tabel 1.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 667
Seminar Nasional 2005

Tabel 1. Keragaan Status Kandungan Bahan Organik Tanah Pada Lapisan Atas dan Bawah Lahan Sawah

Status kandungan bahan organik tanah sawah Total


Lapisan/%
<1% 1-2% 2-3% 3-5% >5% sample
Topsoil 9 12 0 0 0 21
Persentase 42,9 57,1 0,0 0,0 0,0
Subsoil 21 0 0 0 0 21
Persentase 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 42

Sacara umum, lahan sawah di sebagian besar Kabupaten Bima berada pada tingkat
kandungan bahan organik yang sangat rendah sampai rendah. Hal ini menunjukkan bahwa
kualitas tanah lahan sawah berdasarkan kandungan bahan organik di Kabupaten Bima sangat
rendah. Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa 57% kandungan bahan organik lahan sawah
berada pada status yang rendah, sedangkan 43% berada pada status yang sangat rendah pada
lapisan atas tanah. Kandungan bahan organik pada lapisan bawah tanah lebih rendah
dibandingkan dengan kandungan bahan organik pada lapisan atas tanah. Pada lapisan bahwa
tanah, kandungan bahan organik lahan sawah semua (100%) berada pada status sangat
rendah.
Berdasarkan hasil penelitian ini, sebenarnya kualitas tanah pada lahan sawah sudah
berada pada tingkat yang sangat menghawatirkan. Apabila kondisi ini dibiarkan terus dan
tidak ada usaha untuk meningkatkan kandungan bahan organik tanah, maka bukan tidak
mungkin lahan tersebut akan menjadi lahan kritis. Usaha penambahan bahan organik tanah
dapat dilakukan dengan mengembalikan sisa tanaman hasil panen, penanaman jenis tanaman
yang dapat mengembalikan kesuburan tanah dengan rotasi tanam atau dengan penambahan
pupuk kompos dari kotoran ternak.

Kualitas Tanah Tegalan/Kebun Berdasarkan Kandungan Bahan Organik


Luas lahan tegalan dan kebun di Kabubapten Bima adalah 35,491.3 ha dimana luas
tersebut hanya 8,3% dari luas total Kabupaten Bima. Keragaan status bahan organik tanah
tegalan dan kebun di Kabupaten Bima dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Keragaan Status Kandungan Bahan Organik Tanah Pada Lapisan Atas dan Bawah Lahan Tegalan dan
Kebun di Kabupaten Bima

Status kandungan bahan organik tanah


Lapisan/% Total
<1% 1-2% 2-3% 3-5% >5% sample
Topsoil 3 8 4 3 0 18
Persentase 16,7 44,4 22,2 16,7 0,0
Subsoil 11 4 0 0 0 15
Persentase 73,3 26,7 0,0 0,0 0,0 33

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa kandungan bahan organik tanah pada lahan
tegaan dan kebun cukup beragam. Kandungan bahan organik pada lapisan atas tanah dari
sangat rendah, rendah, sedang sampai tinggi berturu-turut adalah 16,7%, 44,4%, 22,2% dan
16,7%. Tanah pada lahan tegalan dan kebun tidak ada yang mencapai status sangat tinggi.
Kualitas tanah pada lapisan bawah lebih rendah dibandingkan dengan kualitas tanah pada
lapisan atas. Secara umum, kualitas lahan tegalan dan kebun cukup baik jika dibandingkan
dengan kualitas tanah lahan sawah. Namun demikian penambahan bahan organik ke dalam
tanah masih perlu dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kandungan bahan
organik tanah.

Kualitas Tanah Hutan Berdasarkan Kandungan Bahan Organik


Luas hutan termasuk hutan tanaman industri di Kabupaten Bima adalah 80,913.8 ha
atau 19,1% dari total luas Kabupaten Bima (BPS 2000). Keragaan status kandungan bahan
organik lapisan atas dan bawah tanah untuk tipe penggunaan hutan di Kabupaten Bima dapat
dilihat pada Tabel 3.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 668
Seminar Nasional 2005

Tabel 3. Keragaan status kandungan bahan organik tanah pada lapisan atas dan bawah lahan hutan

Status kandungan bahan organik tanah hutan Total


Lapisan/%
<1% 1-2% 2-3% 3-5% >5% sample
Topsoil 0 1 0 2 3 6
Persentase 0,0 16., 0,0 33,3 50,0
Subsoil 1 3 1 0 0 5
Persentase 20,0 60,0 20,0 0,0 0,0 11

Distribusi status bahan organik tanah pada tipe penggunaan lahan hutan cukup
bervariasi. Tabel 3 diatas menunjukkan sebagian besar status bahan organik tanah pada
lapisan atas berada pada kisaran tinggi (33.3%) sampai sangat tinggi (50%) dan hanya 16.7%
berada pada status rendah. Sedangkan pada lapisan bawah tanah, sebagian besar status
kandungan bahan organik berada pada kisaran sedang (20%) sampai sangat rendah (20%),
sedangkan 60% berada pada kisaran rendah. Secara umum, kualitas tanah pada lahan hutan
cukup baik dan perlu dipertahankan kualitas tersebut.
Kualitas tanah yang cukup baik ini disebabkan oleh hutan yang cukup lebat dengan
hasil seresah yang cukup banyak, yang ditandai oleh warna tanah yang gelap. Tanah yang
mempunyai kandungan bahan organik yang cukup tinggi biasanya memperlihatkan
kenampakan warna coklat gelap sampai gelap atau hitam. Warna gelap sampai hitam ini
umumnya ditemukan pada lapisan atas (horizon A).

Kualitas Tanah Pesisir Pantai (Tambak) Berdasarkan Kandungan Bahan Organik


Luas tanah pesisir pantai termasuk tambak dan mangrove di Kabupaten Bima adalah
4.528,9 ha dimana hanya 1,1% dari total luas Kabupaten Bima (BPS 2000). Keragaan status
kandungan bahan organik lapisan atas dan bawah tanah untuk tipe penggunaan tanah pesisir
pantai (tambak) termasuk mangrove di Kabupaten Bima dapat dilihat pada Tabel 4
Tabel 4. Keragaan Status Kandungan Bahan Organik Tanah Pada Lapisan Atas dan Bawah Lahan Pesisir
Pantai

Status kandungan bahan organik tanah Total


Lapisan/%
<1% 1-2% 2-3% 3-5% >5% sample
Topsoil 3 1 1 0 0 5
Persentase 60,0 20,0 20,0 0,0 0,0
Subsoil 4 0 0 0 0 4
Persentase 100,0 0,0 0.0 0,0 0,0.0 9

Tabel 4 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar kandungan bahan organik tanah
pada lapisan atas lahan pesisir pantai berada pada kisaran sangat rendah (60%) sampai
sedang (20%), sedangkan sebanyak 20% status bahan organik berada pada kisaran rendah.
Kandungan bahan organik pada lapisan bawah lahan pesisir pantai semuanya berada pada
status sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas lahan pesisir pantai pada lapisan
atas lebih baik daripada lapisan bawah. Secara umu, kualitas lahan pesisir pantai termasuk
cukup rendah, namun hal ini masih lebih baik jika dibandingkan dengan kualitas lahan
sawah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan sebagai berikut, kualitas
tanah berdasarkan kandungan bahan organik pada lahan sawah termasuk rendah. Kualitas
tanah pada berbagai tipe penggunaan lahan di Kabupaten Bima berturut-turut dari rendah
sampai tinggi adalah lahan sawah, lahan tambak, lahan kebun/tegalan dan lahan hutan.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 669
Seminar Nasional 2005

Kualitas tanah yang paling tinggi diperoleh pada lahan hutan. Kandungan bahan organik
lapisan bawah tanah berada pada kisaran yang sangat rendah sampai rendah.

Saran
Penambahan bahan organik khususnya pada lahan sawah menjadi kegiatan yang
sangat perlu dilakukan guna meningkatkan kualitas tanah. Penambahan bahan organik tanah
dapat dilakukan dengan mengembalikan seresah hasil panen, penanaman dengan tanaman
penyubur tanah seperti Clotalaria sp atau dengan pupuk kompos dan kotoran ternak.

DAFTAR PUSTAKA

Addiscott T.M. 2000. Tillage, mineralization and leaching. Soil and Tillage Research.
53:163 – 165.
Badan Pusat Statistik. 2000. Kabupaten Bima Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi
Nusa Tenggara Barat.
Blair G.L, Chapman L.,Whitbread A.M., Coelho B.B., Larsen P and Tissen H.. 1998. Soil
carbon change resulting from sugarcane trash management at two locations in
Queensland, Australia and in North-East Brazil. Australian Journal os Soil
Research. 36:871 – 881.
Cerri C.C., Volkoff B. and Andreaux F. 1991. Nature and behaviour of organik matter in
soils under natural forest, and after deforestation, burning and caltivation, near
Manaus. Forest Ecology Management. 38:247 – 257.
Elliott E.T. 1986. Aggregate structure and carbon, nitrogen, and phosphorus in native and
cultivated soils. Soil Science Society of America Jorunal. 50: 627 – 633
Heinonen R. 1985. Soil Management and Crop Water Supply. Swedish University of
Agricultural science. Uppsala. Sweden.
Hikmatullah, Nata Suharta dan Anny Mulyani. 2001. Petunjuk Teknis Metodologi
Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian skala 1: 50.000 Melalui Analisis
Terrain. Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Jastrow J.D., Boutton T.W., and Miller R.M.. 1996. Carbon dynamics of aggregate-
associated organic matter estimated by carbon-13 natural abundance. Soil Science
Society of America Jorunal. 60:801 - 807
Karama, A.S., Marzuki A.R. dan manwan, I. 1990. Penggunaan pupuk organik pada tanaman
pangan. Lokakarya Nasional. Efisiensi Pemupukan V. Cisarua 12-13 Nopember
1990. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian

Oades J.M.1989. An Introduction to organic matter in soils pp 89 – 159. in Minerals in Soils


Environments (Eds. Dixon J.B and Weed S.B.) (SSSA, Medison, Wisconsin,
U.S.A.)
Puget P., Chenu C., and Balesdent J. 1995. Total and young organic matter distributions in
aggregate of silty cultivated soils. European Journal of Soil Science. 46:449 – 459.
Sitompul, S.M. dan Setijono, S.. 1990. Bahan organik dan efisiensi pemupukan nitrogen.
Lokakarya Nasional, Efisiensi Pemupukan V. Cisarua 12-13 Nopember 1990. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Six J., Elliott E.T., Paustion K., and Doran J.W.. 1998. Aggregation and soil organic matter
accummulation in native grassland soils. Soil Science Society of America Jorunal.
65:1367 – 1377.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 670
Seminar Nasional 2005

Soegiman 1982. Ilmu Tanah (Terjemahan). Bhratara Karya Aksara. Jakarta.


Soepardi, G. 1980. Kesuburan Tanah Modal Pertanian Yang Perlu Dipertahankan.
Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB Bogor.
Stevenson F.J. 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition, Reaction. (John Wiley &
Sons. New York).
Tisdall J.M and Oades J.M.. 1982. Organic matter and water stable aggregate in soils.
Journal of Soil Science. 33:141 – 163.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 671
Seminar Nasional 2005

USAHA KONSERVASI TANAH DAN AIR SEBAGAI ALTERNATIF


PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI DI LAHAN KERING
(Kasus Konservasi Tanah dan Air di Desa Rejosari, Kecamatan Semin,
Kabupaten Gunungkidul, Propinsi DIY)

Yovita Anggita Dewi dan Rachmat Hendayana


Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Jl Tentara Pelajar No 10 Bogor

ABSTRAK

Konservasi tanah dan air merupakan upaya meningkatkan fungsi lahan untuk berproduksi secara lestari.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui usaha konservasi tanah dan air sebagai alternatif upaya peningkatan
pendapatan petani di agroekosistem lahan kering. Penelitian telah dilakukan di Desa Rejosari, Kecamatan Semin,
Kabupaten Gunungkidul, DIY tahun 2002. Pengumpulan data dilakukan melalui pendekatan pemahaman
pedesaan secara partisipatif (Participatory Rural Appraisal-PRA) melibatkan beberapa tokoh masyarakat antara
lain kepala desa dan perangkatnya, penyuluh pertanian serta kelompok tani dan 15 orang anggota masyarakat
lainnya. Melalui analisis data deskriptif kualitatif dan kuantitatif diperoleh gambaran sebagai berikut: (a) usaha
konservasi tanah dan air di lahan kering dapat menurunkan besarnya erosi, merehabilitasi dan meningkatkan
fungsi lahan sehingga mampu berproduksi secara lestari. Oleh karena itu dapat dijadikan media untuk
meningkatkan pendapatan petani, (b) metode konservasi tanah dan air dapat dilakukan secara vegetatif dan
mekanis melalui pembuatan hutan rakyat, kebun bibit desa, Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumber Daya
Alam (UP UPSA), pembuatan teras, saluran pembuangan air (SPA), dan gully plug (pengendali jurang), (c) untuk
keberlanjutan pelaksanaan dan keberhasilan konservasi perlu adanya peningkatan partisipasi masyarakat melalui
penyuluhan yang lebih intensif.
Kata kunci : Tanah, air, konservasi, pendapatan, lahan kering, Gunungkidul

PENDAHULUAN

Kegiatan konservasi di lahan kering merupakan langkah konstruktif, dapat


meningkatkan fungsi lahan untuk berproduksi secara lestari, sehingga potensinya dapat
dioptimalkan sebagai sumber pendapatan keluarga tani di pedesaan. Menurut
Notohadiprawiro (1988), lahan kering marginal yang berstatus kritis dicirikan oleh solum
tanah yang dangkal, kemiringan lereng curam, tingkat erosi telah lanjut, kandungan bahan
organik sangat rendah, serta banyak singkapan batuan di permukaan.
Kondisi demikian umumnya terdapat di wilayah desa tertinggal dan sebagian besar
dikelola oleh petani miskin yang tidak mampu melaksanakan upaya-upaya konservasi,
sehingga kondisinya makin lama makin memburuk (Karama dan Abdurrachman, 1995).
Kondisi tersebut lebih diperparah lagi oleh pola usahatani yang orientasinya subsisten,
sehingga mempercepat terbentuknya lahan kritis (Suyana, 2005).
Dalam hubungannya dengan erosi yang menyebabkan degradasi lahan serta
langkah-langkah penanganannya di lahan marginal telah banyak dibahas pakar antara lain
Scwab et.al (1981), Arsyad (1989), Agus dan Widianto (2004). Pada prinsipnya, kejadian
erosi erat kaitannya dengan erosivitas hujan, erodibilitas tanah serta panjang dan kemiringan
lereng. Sementara itu pendekatan yang ditempuh untuk pengendalian erosi dilakukan
melalui beragam cara.
Scwab et.al (1981) menekankan pendekatan dari segi rekayasa (engineering),
sementara itu Arsyad (1989) melakukannya melalui pendekatan vegetatif, mekanik dan
kimia sedangkan Agus dan Widianto (2004) dengan pendekatan teknis dan vegetatif.
Tulisan ini tidak bermaksud membahas satu persatu pendekatan pengendalian erosi dalam
rangka konservasi tanah dan air, akan tetapi lebih difokuskan pada beberapa pertanyaan
berikut. (a) metode konservasi apa yang sesuai dengan agroekosistem lahan kering? dan (b)
sejauhmana petani memahami kegiatan konservasi tanah dan air ini hubungannya dengan
peningkatan pendapatan petani?.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 672
Seminar Nasional 2005

Sehubungan dengan permasalahan itu, makalah bertujuan (a) membahas pendekatan


metode konservasi tanah dan air yang dilakukan petani di lahan kering, dan (b) mengungkap
dampak potensial kegiatan konservasi tanah dan air terhadap peningkatan pendapatan petani
di lahan kering. Hasil bahasan akan bermanfaat sebagai masukan bagi pejabat Pemda
setempat dan aparat terkait dengan kebijakan konservasi untuk mendorong terciptanya
peningkatan optimalisasi lahan kering yang akhirnya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.

METODE PENELITIAN

Data dan Sumber Data


Pengkajian dikembangkan dari hasil penelitian di Desa Rejosari Kecamatan Semin
Kabupaten Gunungkidul Propinsi DIY Tahun 2002. Penentuan lokasi didasarkan pada
pertimbangan praktek-praktek usaha konservasi tanah dan air serta merupakan areal
percontohan usaha konservasi oleh Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah/Balai
RLKT Das Opak Oya ).
Sumber bahasan utama didasarkan atas data primer yang dilengkapi data sekunder.
Pengumpulan data primer dilakukan melalui pendekatan pemahaman pedesaan secara
partisipatif (Participatory Rural Appraisal-PRA) melibatkan beberapa tokoh masyarakat
antara lain kepala desa dan perangkatnya, penyuluh pertanian serta kelompok tani dan 15
orang anggota masyarakat lainnya. Selain itu melalui observasi langsung di lapangan untuk
melihat usaha-usaha konservasi yang telah dilakukan. Data yang dikumpulkan antara lain
monograf desa, peta penggunaan lahan, data curah hujan, data kelerengan. Data sekunder
dikumpulkan dari dinas/instansi terkait melalui penelusuran dokumen laporan, studi pustaka
dan desk work.

Analisis Data
Data kualitatif dan kuantitatif yang terkumpul dianalisis secara deskriptif,
menggunakan parameter statistik sederhana. Khusus untuk menghitung besarnya erosi
sebagai salah satu dasar menentukan usaha konservasi dilakukan dengan pendekatan
Universal Soil Loss Equation (USLE) dengan formulasi sebagai berikut.
A = R x LS x K x C x P
A adalah besarnya erosi yang terjadi (ton/ha/thn), R adalah erosivitas curah hujan,
LS adalah indeks panjang lereng, K sama dengan erodibilitas tanah, C adalah faktor
pengelolaan tanaman, dan P yaitu faktor konservasi tanah

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan Konservasi Tanah dan Air


Desa Rejosari yang menjadi lokasi penelitian ini terletak di Kecamatan Semin
Kabupaten Gunungkidul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah ini tercakup dalam
daerah sub DAS Oya. Wilayahnya tercatat seluas 951,52 Ha yang secara administratif
terbagi dalam 15 dusun. Letak desa ini disebelah Utara dan Selatan berbatasan dengan Desa
Candirejo dan Karangsari sedangkan di sebelah Barat dan Timur berbatasan dengan Desa
Bulurejo dan Mayaran Wonogiri (Anonim, 1999).
Desa ini berada di dataran rendah pada elevasi 240 mdpl dengan rerata suhu udara
22° – 33° C. Topografinya bergelombang dengan kisaran kemiringan antara 15% dan 25%.
Dari segi curah hujan daerah ini tergolong kering (1950 mm/thn). Jenis tanahnya sebagian
besar terdiri dari Litosol dan seluruhnya merupakan lahan kering. Kondisi tanah di wilayah

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 673
Seminar Nasional 2005

ini sebagian besar digunakan sebagai hutan, diikuti ladang dan pekarangan serta sawah tadah
hujan, dengan luas masing-masing 331,70 ha, 210,02 ha dan 205,75 ha serta 196,25 ha.
Kegiatan konservasi tanah dan air (KTA) di lokasi penelitian, dilakukan mengikuti
alur seperti disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1 : Alur Pemilihan Teknik Pengendalian Erosi.

Hasil prediksi besarnya erosi dengan menggunakan pendekatan USLE pada 14 unit
pengambilan contoh (Land Unit) diperoleh gambaran bahwa tingkat erosi di wilayah ini
berkisar antara 2,1 ton/ha/thn sampai 84,50 ton/ha/thn dengan rata-rata 26,27 ton/ha/thn/unit.
Dengan variasi besar erosi tersebut klasifikasi tingkat bahaya erosi di wilayah ini tergolong
dalam klasifikasi erosi sangat ringan (SR = < 5 ton/ha/thn), berat (B = 5-15 ton/ha/thn), dan
sangat berat (SB = 40-105 ton/ha/thn). Menurut klasifikasi tingkat bahaya erosi masing-
masing klasifikasi erosi tersebut digolongkan ke dalam erosi kelas II, kelas III, dan kelas IV.
Secara terinci kondisi erosi di wilayah ini disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kondisi Erosi Aktual dan Tingkat Bahaya Erosi (TBE) di Daerah Penelitian

No Land Unit (LU) EA-1 (ton/ha/thn) Klasifikasi TBE 1


A 65,30 IV-SB
B 32,60 IV-SB
C 29,80 IV-SB
D 14,90 III-B
E 3,60 II-SR
G 84,50 IV-SB
H 29,76 IV-SB
I 14,90 III-B
J 14,30 IV-SB
K 7,10 III-SB
L 40,60 IV-SB
M 20,30 IV-SB
N 8,00 III-B
O 2,10 II-SR
Rerata 26,27
Sumber : Hasil Analisis Data (2002)

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 674
Seminar Nasional 2005

Melihat besarnya erosi yang terjadi di wilayah itu, akan berpengaruh negatif
terhadap produktivitas dan prduksi pertanian. Besarnya erosi berbanding terbalik dengan
perolehan produksi. Semakin besar tingkat bahaya erosi, maka semakin rendah produksi
pertanian yang diperoleh yang pada akhirnya berpengaruh negatif terhadap pendapatan
petani.
Ada 2 metode konservasi yang diterapkan di wilayah tersebut yaitu metode vegetatif
dan metode mekanik. Metode vegetatif yang dilakukan meliputi pembuatan hutan rakyat,
pembuatan Kebun Bibit Desa (KBD), dan pembuatan Unit Percontohan Usaha Pelestarian
Sumber Daya Alam (UP-UPSA). Sementara itu dalam metode mekanik yang dilakukan
adalah pembuatan teras bangku, pembuatan saluran pembuatan air (SPA), dan pembangunan
pegendali jurang (gully-plug). Uraian berikut menyajikan secara ringkas implementasi dari
setiap metode tersebut.

Pembuatan Hutan Rakyat


Hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat (bukan hutan alam) baik secara
perorangan atau kelompok maupun suatu badan hukum dan berada di luar wilayah hutan
negara serta terletak dalam satu kompleks atau lokasi (Duryat, 1979).
Melalui pembuatan hutan rakyat ini dimungkinkan untuk menerapkan diversifikasi
pola penanaman dan cara pengolahannya, sehingga tidak bersifat kaku atau terbatas pada
jenis tanaman dan pepohonan berkayu sebagaimana layaknya pembentukan tanaman hutan.
Di hutan rakyat bisa dikembangkan pengaturan dan pemilihan jenis tanaman yang cocok
untuk usaha konservasi, sehingga akan dapat mendorong peningkatan pendapatan dan taraf
hidup masyarakat di daerah tersebut. Bibit untuk pembuatan hutan rakyat tidak hanya
berasal dari pemerintah namun juga melalui swadaya masyarakat. Jenis tanaman yang
diusahakan terdiri dari sengon laut, jambu mete, sonokeling, dan akasia.

Pembuatan Kebun Bibit Desa (KBD)


Kebun Bibit Desa (KBD) merupakan salah satu cara memperoleh bibit berkualitas
sebagai upaya meningkatkan produktivitas dan sebagai salah satu cara penghijauan dan
reboisasi. KBD pada dasarnya merupakan kebun pembibitan yang dikelola oleh kelompok
tani dalam areal dampak unit percontohan pelestarian sumber daya alam.
KBD di Desa Rejosari dimulai sekitar 2000-an dengan luas areal 0,5 ha yang
dikelola kelompok tani penghijauan Sido Mulyo Dusun Ngadipiro Kidul. Pada awal
pembuatan KBD kegiatan dimulai dari persiapan (bulan Juni). Total biaya yang dikeluarkan
adalah Rp 2.048.000,-.Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan, dengan pengadaan bibit pada
bulan Agustus sampai September berupa bibit jati unggul (50 kg), jati lokal (120 kg), Akasia
(1 kg), sengon laut (1 kg), petai (10.000 biji) dan nangka (5.000 biji). Bibit semuanya
berasal dari Departemen Kehutanan Provinsi DIY. Kegiatan selanjutnya pengadaan alat-alat
semuanya merupakan bantuan dari pemerintah. Pelaksanaan ini juga dibarengi kegiatan
pengolahan tanah (bulan Agustus-September), pembuatan bedengan dan saluran (bulan Juli-
Aguatus), pengisian polybag dan penaburan benih (bulan Agustus-September). Total biaya
yang diperlukan adalah Rp 8.306.250,-.
Tahap yang paling penting dari KBD ini adalah pemeliharaan. Fase pemeliharaan
untuk bibit yang berbeda akan berbeda pula. Sebagai contoh untuk sengon laut, akasia, pete
dan nangka ditanam pada bulan Agustus dalam polybag kemudian disiram selama 3 bulan
(Agustus-Oktober) kemudian didangir dan disulam, diikuti pemupukan dan pemberantasan
hama dari Oktober-November. Sehingga untuk jangka waktu ± 4 bulan bibit-bibit ini sudah
siap disalurkan dan ditanam. Sedangkan untuk bibit jati baik unggul maupun lokal sedikit
berbeda. Bibit jati tidak ditanam dalam polybag, namun langsung ditabur dalam tanah,
sebelumnya tanah dicangkul dan diratakan kemidian dibuat bedengan dengan ukuran lebar 1
m dan panjang bervariatif dengan jarak tanam 10 cm x 20 cm. Perlakuan sesudah ditanam
sama seperti lainnya penyiraman, pendangiran, pemberantasan hama, serta penyulaman (± 4

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 675
Seminar Nasional 2005

bulan), dan sesudahnya siap disalurkan. Biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan Rp
900.000,-.

Pembuatan Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumber Daya Alam (UP-UPSA)


Merupakan unit (petak percontohan) usahatani lahan kering dengan luas sekitar 10
ha di dalamnya dilaksanakan teknik-teknik rehabilitasi dan konservasi lahan dalam rangka
pelestarian sumber daya alam, serta meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan
petani. Tujuan pembuatan UP UPSA adalah:
 Merangsang masyarakat sekitar areal dan meingkatkan jumlah petani agar dapat
mengusahakan tanah disertai usaha pengawetan serta intensifikasi pertanian yang
memadai secara mandiri
 Meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani
 Mengurangi run-off dan erosi
Pada UP-UPSA terdapat praktek cara berusahatani dengan menerapkan usaha
konservasi tanah dan air penanaman menurut kontur, pemilihan pola tanam yang tepat dan
juga adanya intensifikasi pertanian berupa penggunaan varietas unggul yang spesifik
lokalita. Output yang paling diharapkan dari kegiatan ini adalah adanya transfer teknologi
dari lokasi percontohan ke areal dampak di sekitarnya. Transfer teknologi tersebut
diharapkan berjalan dengan sendirinya sebagai akibat proses interaksi dan mobilisasi petani
sendiri yang tentu sangat bergantung dari kesadaran dan kemampuan petani serta tingkat
teknologi yang diteerapkan. Dalam pelaksanaannya, plot demonstrasi dengan pola tanam
secara terpadu di lahan kering harus disesuaikan dengan kondisi lahan seperti topografi dan
tebal solum tanah, misalnya lahan dengan kemiringan > 50% untuk vegetasi kayu-kayuan
yang bernilai ekonomis tinggi dan “disenangi” petani seperti jambu mete, jati, sengon laut
dan akasia. Kemiringan 30-50% untuk tanaman kayu-kayuan 80% sisanya 20% untuk
tanaman pangan atau pembuatan teras.
Melihat agroekosistem desa Rejosari dengan tingkat kemiringan lereng antara 15%-
40% dan tebal solum tanah < 30 cm, UP UPSA merupakan salah satu alternatif usaha
konservasi yang mempunyai peluang cukup baik. Pada kenyataannya, peaksanaan UP UPSA
di Desa Rejosari belum berjalan secara baik karena kendala dana, kurangnya sosialisasi
manfaat UP UPSA, dan kurangnya komunikasi antara pemerintah dan masyarakat.

Pembuatan Teras Bangku


Teras berfungsi mengurangi panjang lereng, mengurangi kecepatan dan jumlah
aliran permukaan serta memungkinkan adanya penyerapan air oleh tanah yang lebih besar.
Bentuk teras yang dibuat disesuaikan dengan kemiringan lahan, jenis tanah, vegetasi, kondisi
penggunaan lahan. Dengan kemiringan lahan 15%-40% teras bangku merupakan jenis teras
yang paling sesuai diterapkan. Teras bangku yang ada adalah jenis teras bangku datar,
dengan tanaman penguat berupa ubi kayu, selain berfungsi sebagai tanaman penguat teras
juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Teras bangku (Land Unit G) di desa Rejosari
terbukti mampu mengurangi laju erosi dari sebelumnya sebesar 29,40 ton/ha/thn menjadi
7,90 ton/ha/thn (menurunkan faktor pengelolaan/CP dari 0,03 menjadi 0,008). Yang perlu
diperhatikan dalam pembuatan teras bangku adalah, tersingkapnya tanah sehingga menjadi
tidak subur, untuk itu perlu adanya perbaikan lahan misalnya dengan pemupukan atau
penanaman tanaman penguat teras yang mampu menyediakan unsur hara tambahan seperti
kacang-kacangan (leguminose) yang mampu menyumbangkan unsur N, kemudian rumput
gamal (Gliricida), lamtoro dan turi, yang juga dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak.
Pembuatan teras bangku juga memerlukan tenaga kerja dan biaya yang lebih mahal
dibandingkan metode konservasi vegetatif, sehingga pembuatan teras juga harus
memperhatikan kemampuan finansial dan ketersediaan masyarakat lokal. Selain itu teras
perlu dilengkapi dengan bangunan pelengkap seperti saluran teras, bangunan terjun sehingga

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 676
Seminar Nasional 2005

teras berfungsi maksimal dalam mengurangi laju aliran permukaan dan erosi akibat energi
kinetik curah hujan.

Pembuatan Saluran Pembuangan Air (SPA)


SPA dibuat searah lereng berfungsi untuk mengalirkan air dari saluran pengelak atau
dari saluran teras ke sungai atau ke tempat penampungan air lainnya. SPA yang baik
sebaiknya diperkuat dengan rumput atau batu pada dasar saluran untuk mengurangi laju
aliran air dan sedimentasi. SPA yang ada di Desa Rejosari sudah diperkuat dengan rumput
meskipun pada beberapa teras belum dilengkapi SPA.

Bangunan Pengendali Jurang (Gully Plug)


Metode konservasi mekanis dengan gully plug bertujuan untuk mengurangi
terjadinya erosi jurang akibat pengaruh kecuraman lereng dan kepekaan tanah. Gully plug
sebaiknya dilengkapi bronjong atau bangunan beton untuk mengurangi jumlah erosi dan
seimentasi yang terangkut oleh air. Gully plug di Desa Rejosari masih sangat sederhana,
terbuat dari tanah dan belum dilengkapi dengan bronjong kawat atau bangunan beton hanya
diperkuat dengan rumput.

Dampak Potensial Kegiatan Konservasi Terhadap Pendapatan Petani


Dari aspek teknis, konservasi yang dilakukan di daerah penelitian telah berhasil
menurunkan kadar erosi dan tingkat bahaya erosi. Tabel 2 menunjukkan bahwa hampir
semua perlakuan erosi di 14 unit pengambilan contoh kecuali di 2 unit pengambilan contoh
telah mampu menurunkan tingkat erosi antara 3,75% sampai 86,68% dengan rata-rata
75,20%.
Tabel 2. Kondisi Erosi dan Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Setelah Penerapan Usaha Konservasi di Lokasi
Penelitian

Erosi sebelum Erosi setelah


No Land Unit
konservasi konservasi Selisih Persentase (%)
(LU)
(ton/ha/thn) (ton/ha/thn)
A 65,30 8,70 56,6 86,68
B 32,60 8,70 23,9 73,31
C 29,80 7,90 21,9 73,49
D 14,90 4,00 10,9 73,15
E 3,60 1,80 1,8 50,00
G 84,50 11,30 73,2 86,63
H 29,76 7,90 21,86 73,45
I 14,90 4,00 10,9 73,15
J 14,30 3,80 10,5 73,43
K 7,10 7,10 0 0,00
L 40,60 10,80 29,8 73,40
M 20,30 5,40 14,9 73,40
N 8,00 7,70 0,3 3,75
O 2,10 2,10 0 0,00
Rerata 26,27 6,51 19,75 75,20
Sumber : Hasil Analisis Data (2002)

Dalam kaitannya dengan tingkat pendapatan masyarakat, analisis dilakukan


berdasarkan dampak potensial, artinya perhitungan dilakukan menggunakan proksi-proksi
keberhasilan tanaman yang diusahakan dalam rangka melakukan konservasi tanah dan air
dalam hutan rakyat. Di lokasi penelitian tanaman yang digunakan dalam konservasi meliputi
jambu mente, kayu akasia, jati, sonokeling, dan mahoni.
Semua jenis komoditas tersebut secara agronomi dan ekonomi memenuhi beberapa
persyaratan untuk usaha konservasi di lahan kering. Tanamannya cepat tumbuh pada
berbagai lahan dan mempunyai kemampuan menghasilkan tunas baru bila dipangkas dan
mampu memperbaiki kondisi tanah, bertajuk lebat dan dapat memberikan seresah yang

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 677
Seminar Nasional 2005

banyak, dapat hidup di lahan kritis, mempunyai sistem perakaran dalam, sehingga mampu
mengikat tanah dari longsor, batang yang kasar, dapat menurunkan kecepatan air, mudah
ditanam dan tidak memerlukan pemeliharaan khusus, tahan hama dan penyakit, ekonomis
dan mampu berproduksi dalam jangka pendek.
Jika tidak dilakukan konservasi, tanah kering marjinal di lokasi desa ini tidak
produktif sama sekali. Tidak ada orang yang mau mengambil resiko mengusahakan tanaman
di lahan yang kering marjinal. Dengan demikian petani di daerah ini tidak mendapatkan
hasil apa-apa. Akan tetapi ketika dilakukan kegiatan konservasi dengan melakukan
penanaman tanaman tahunan produktif seperti jambu mente dan jenis pohon kayu yang
komersial, petani mendapatkan nilai tambah dari lahan tersebut.
Jambu mete misalnya, menghasilkan biji jambu mente yang dapat dimanfaatkan
untuk pembuatan kacang mete, buahnya untuk bahan pembuatan abon, sirup, dan pakan
ternak. Hasilnya tidak hanya dikonsumsi sendiri namun juga dipasarkan ke luar desa seperti
Klaten, Solo, Sukoharjo. Buah jambu mete basah dijual sekitar Rp 6000,- sampai Rp 7000,-/
kg, abon jambu mete mencapai Rp 30.000,-/kg. Hasil yang lain misalnya kayu, akasia
dengan diameter 1 m, panjang 5 m berharga Rp 400.000,- sampai Rp 500.000,-/kubiknya.
Dengan demikian tidak dipungkiri lagi bahwa melakukan konservasi di lahan kering
marjinal dapat menjadi alternatif sumber peningkatan pendapatan penduduk desa.

KESIMPULAN DAN SARAN

 Usaha konservasi tanah dan air di lahan kering yang dilakukan dengan pendekatan
vegetatif dan mekanis melalui pembuatan hutan rakyat, kebun bibit desa, Unit
Percontohan Usaha Pelestarian Sumber Daya Alam (UP UPSA), pembuatan teras,
saluran pembuangan air (SPA), dan gully plug (pengendali jurang) terbukti dapat
menurunkan besarnya erosi, merehabilitasi dan meningkatkan fungsi lahan.
 Keberhasilan penerapan konservasi di lahan kering mampu menciptakan kondisi lahan
yang kondusif untuk menghasilkan produksi secara lestari dan terpeliharanya
produktivitas lahan sehingga pada akhirnya berpengaruh positif pada peningkatan
pendapatan petani.
 Keberhasilan konservasi tanah dan air di lahan kering tidak terlepas dari peran aktif
masyarakat setempat, oleh karena itu untuk memelihara kelanjutan konservasi diperlukan
dorongan dari pihak berwenang menggerakkan partisipasi petani antara lain melalui
penyuluhan yang lebih intensif.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F dan Widianto, 2004. Petunjuk Praktis Konservasi Tanah Pertanian Lahan Kering.
World Agroforestry Centre. ICRAF Southeast Asia. Bogor.
Anonim, 1999. Monograf Desa Rejosari Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul..
Pemerintah Desa Rejosari. Semin. Gunungkidul, Yogyakarta.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.
Duryat, P. W. 1979. Meningkatkan Kegiatan Penyuluhan Dalam Rangka Pembentukan
Hutan Rakyat. Seminar dan Reuni III Fak. Kehutanan UGM. Yogyakarta
Karama, A.S dan A. Abdurrachman. 1995. Kebijaksanaan Nasional dalam Penanganan
Lahan Kritis di Indonesia. Prosiding Lokakarya dan Ekspose Teknologi Sistem
Usahatani Konservasi dan Alat Mesin Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Yogyakarta, 17-19 Januari 1995.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 678
Seminar Nasional 2005

Notohadiprawiro, T. 1988. Pembaharuan Pandangan terhadap Kedudukan Lahan Kering


dalam Pembangunan Pertanian Pangan yang Terlanjutkan. Seminar Fak. Pertanian
UNISRI. Surakarta
Scwab, et. al. 1981. Soil and Water Conservastion Engineering. 3rd edition. John Wiley
and Sons. Inc. Toronto.
Suyana, J. 2005. Berkelanjutan Penerapan Teknologi Konservasi Hedgerows Untuk
Menciptakan Sistem Usahatani Lahan Kering. Bahan Mata Kuliah Konservasi. IPB.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 679
Seminar Nasional 2005

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN KERING MELALUI KONSERVASI


DAN INTEGRASI TERNAK

Isbandi1), Mansur Dj2), K. Subagyono2) dan E. Eko Ananto3)


1)
Balai Penelitian Ternak,
2)
Balai Penelitian Tanah,
3)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan

ABSTRAK

Lahan kering merupakan sumberdaya alam yang mempunyai peluang besar untuk dimanfaatkan secara
optimal, khususnya untuk pembangunan pertanian baik tanaman pangan, hortikultura, perkebunan maupun
peternakan. Faktor pembatas, seperti kualitas lahan dan ketersediaan air perlu mendapat sentuhan inovasi
teknologi guna meningkatkan produktivitasnya, antara lain dengan melalui konservasi air, pemanfaatan bahan
organik dan integrasi tanaman – ternak. Pemanfaatan rorak, merupakan alternatif untuk memanen air dan
meningkatkan kelengasan tanah. Rorak yang dikombinasikan dengan mulsa vertikal (slot mulch) mampu
mengurangi erosi sampai 94%. Efektivitas strip rumput dalam pencegahan erosi juga sudah banyak dibuktikan.
Bahan organik tanah berperan penting dan merupakan faktor kunci untuk berbagai proses biokimia dalam tanah
yang menentukan tingkat kesuburan dan mendukung pertumbuhan tanaman. Penggunaan bahan organik 2 t/ha
mampu memenuhi sebagian unsur hara yang dibutuhkan tanaman biji-bijian. Tanaman penutup tanah (cover
crop) ditanaman khusus untuk melindungi tanah dari kerusakan erosi dan sekaligus memperbaiki sifat fisik dan
kimia tanah. Jenis tanaman yang sesuai untuk penutup tanah adalah kacang-kacangan (leguminosa), karena
mengandung bakteri yang dapat menambat nitrogen tanah dan perakarannya tidak memberikan kompetisi
terhadap tanaman pokok. Sistem pertanaman lorong (alley cropping) merupakan suatu wadah usahatani yang
berdasarkan prinsip-prinsip konservasi tanah, dengan unsur pokok adalah tanaman pagar pengontrol erosi berupa
barisan tanaman legum yang ditanam rapat mengikuti garis kontur. Upaya peningkatan produktivitas lahan
melalui konservasi air dan pemanfaatan bahan organik akan semakin berarti apabila diintegrasikan dengan
usahatani ternak, karena dalam implementasinya konservasi lahan dan air akan terjamin keberlanjutannya jika
diintegrasikan dengan ternak.
Kata Kunci : Lahan kering, konservasi, produktivitas, integrasi, tanaman, ternak

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air
pada sebagian besar waktu dalam setahun atau sepanjang waktu (Puslit Tanah dan
Agroklimat, 2000). Badan Litbang Pertanian (2003) mengkategorikan sebagai lahan
marjinal, karena memiliki satu atau lebih permasalahan sebagai berikut (i) kondisi biofisik
yang mencakup produktivitas/kesuburan tanah yang rendah, topografi berbukit (peka erosi),
sumberdaya air terbatas; dan (ii) ketersediaan infrastruktur terbatas.
Penyebaran lahan kering di Indonesia umumnya terdapat pada dataran rendah yakni
hamparan lahan yang berada pada ketinggian 0 – 700 m diatas permukaan laut (dpl) dan
dataran tinggi yang terletak pada ketinggian >700 m dpl. Lahan tersebut dapat
dikelompokkan kedalam berbagai tipologi lahan sesuai dengan macam dan tingkat kendala
biofisiknya, sehingga perlakuan pengelolaannya akan berbeda. Luas lahan kering
berdasarkan ketinggian tempat di Indonesia disajikan dalam Tabel 1.
Berdasarkan penggunaannya untuk pertanian, maka lahan kering dikelompokkan
menjadi pekarangan, tegal/kebun/ladang/huma, padang rumput, lahan sementara tidak
diusahakan, lahan untuk kayu-kayuan, dan perkebunan. Tetapi secara umum pengembangan
lahan kering jauh tertinggal dibandingkan pertanian di lahan subur beririgasi teknis.
Lambatnya perkembangan di hampir semua lahan kering berkaitan dengan masalah
kesuburan tanah (produktivitas lahan), infrastruktur, dan kelembagaan usahatani. Teknologi
yang tersedia bagi pengembangan lahan marjinal tadah hujan umumnya masih memerlukan
input yang tinggi.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 680
Seminar Nasional 2005

Tabel 1. Luas lahan kering berdasarkan ketinggian teempat di Indonesia

Dataran Rendah Dataran Tinggi Jumlah


No. Propinsi
hektar
1. Daerah Istimewa Aceh 2.121.700 2.565.300 4.687.000
2. Sumatera Utara 4.125.900 1.717.100 5.843.000
3. Sumatera Barat 1.408.700 2.324.300 3.733.000
4. Riau 4.196.200 303.800 4.500.000
5. Jambi 2.587.700 898.300 3.486.000
6. Sumatera Selatan 5.660.200 768.800 6.429.000
7. Bengkulu 796.800 1.071.200 1.868.000
8. Lampung 2.225.100 523.900 2.749.000
SUMATERA 23.122.300 10.172.700 33.295.000
9. DKI Jakarta 43.900 100 44.000
10. Jawa Barat 2.705.100 1.111.900 3.817.000
11. Jawa Tengah 1.875.100 734.900 2.610.000
12. D.I. Yogyakarta 303.000 6.000 309.000
13. Jawa Timur 2.917.500 1.049.500 3.967.000
JAWA 7.844.600 2.902.400 10.747.000
14. Bali 230.600 288.400 519.000
15. Nusa Tenggara Barat 737.300 1.161.700 1.899.000
16. Nusa Tenggara Timur 2.294.000 2.026.000 4.320.000
Bali + Nusa Tenggara 3.261.900 3.476.100 6.738.000
17. Kalimantan Barat 8.001.300 3.481.700 11.483.000
18. Kalimantan Tengah 9.458.200 2.000.800 11.459.000
19. Kalimantan Selatan 1.873.300 592.700 2.466.000
20. Kalimantan Timur 10.451.800 6.613.200 17.065.000
KALIMANTAN 29.784.600 12.688.400 42.473.000
21. Sulawesi Utara 979.000 1.305.000 2.284.000
22. Sulawesi Tengah 2.068.800 3.430.200 5.499.000
23. Sulawesi Selatan 2.110.700 2.859.300 4.970.000
24. Sulawesi Tenggara 1.721.100 1.342.900 3.064.000
SULAWESI 6.879.600 8.937.400 15.817.000
25. Maluku 4.067.400 2.617.600 6.685.000
26. Irian Jaya 12.333.300 15.856.700 28.190.000
Maluku + Irian Jaya 16.400.700 18.474.300 34.875.000
INDONESIA 87.293.700 56.651.300 143.945.000
Sumber : Hidayat dan Mulyani (2002)

Potensi dan Kendala Lahan Kering


Lahan kering merupakan sumberdaya alam yang mempunyai peluang besar untuk
dimanfaatkan secara optimal, khususnya untuk pembangunan pertanian baik tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan maupun peternakan. Menurut data Puslit Tanah dan
Agroklimat (1998) areal lahan kering di Indonesia cukup luas yaitu mencapai 52,5 juta ha
yang tersebar di Pulau Jawa dan Bali (7,1 juta ha), Sumatera (14,8 ha), Kalimantan (7,4 juta
ha), Sulawesi (5,1 juta ha), Maluku dan Nusa Tenggara (6,2 juta ha), dan Papua (11,8 juta
ha).
Selanjutnya dikatakan bahwa sebagian besar lahan kering tersebar di daerah aliran
sungai (DAS) bagian hulu yang bentuk wilayahnya berombak sampai berbukit dengan curah
hujan antara rendah sampai tinggi. Pada daerah yang memiliki intensitas hujan yang tinggi
dapat memacu terjadinya erosi dan berakibat menurunnya tingkat produktivitas lahan.
Kendala lain yang dijumpai pada lahan kering adalah reaksi tanah masam, kesuburan tanah
rendah, dan miskin bahan organik.
Sifat tanah pada lahan kering beriklim basah yang paling menonjol adalah tingkat
produktivitasnya yang rendah, sedangkan lahan kering beriklim kering kendala yang paling
menonjol adalah ketersediaan air yang terbatas karena curah hujan rendah dan panjangnya
musim kemarau. Hal ini mengakibatkan terjadinya evapotranspirasi yang lebih besar dari

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 681
Seminar Nasional 2005

pada curah hujan, sehingga dapat menimbulkan perubahan reaksi tanah (aciditas/alkalinitas
dan atau salinitas) serta keseimbangan hara terganggu (Puslit Tanah dan Agroklimat, 2000).
Aktivitas budidaya komoditas pertanian pada lahan kering dataran tinggi dengan
topografi berbukit sampai bergunung, terutama untuk tanaman perkebunan, tanaman pangan
dan hortikultura/sayuran yang intensif, mengandung resiko yang sangat besar karena lahan
demikian sangat peka terhadap gangguan atau perubahan dari luar seperti hujan yang
menyebabkan erosi, longsor, dan banjir sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan
lahan dan lingkungan sekitarnya.

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN

Peluang pengembangan pertanian di lahan kering sesungguhnya masih terbuka lebar,


khususnya untuk luar jawa yang memiliki lahan luas yang belum digunakan. Tetapi seperti
telah dikemukakan sebelumnya bahwa lahan-lahan tersebut mempunyai kendala teknis dari
rendah sampai sedang. Oleh karena itu faktor pembatas, seperti kualitas lahan dan
ketersediaan air perlu mendapat sentuhan inovasi teknologi guna meningkatkan
produktivitasnya, anatara lain dengan melalui konservasi air, pemanfaatan bahan organik dan
integrasi tanaman – ternak

Konservasi Air dan Tanah


Usahatani konservasi (Conservation farming) pada lahan kering merupakan
penerapan beberapa paket teknologi yang ditujukan untuk melestarikan lingkungan sekaligus
berfungsi meningkatkan produksi. Teknologi konservasi air dan tanah merupakan komponen
teknologi yang tidak dapat ditinggalkan, sebab lahan sebagai fungsi produksi harus
dipertahankan kelestarian kesuburannya agar produksi tidak menurun dari waktu ke waktu.
Dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan, faktor
kelangkaan air (water scarcity) menjadi faktor pembatas yang perlu ditanggulangi untuk
menunjang keberlanjutan sistem usahatani. Oleh karena itu konservasi dan pemanfaatan air
merupakan kunci keberhasilan dalam pengelolaan lahan kering untuk peningkatan
produktivitas pertanian. Peningkatan produktivitas lahan melalui konservasi dan pengelolaan
air perlu diintegrasikan dengan pengelolaan hara dan bahan organik tanah (Subagyono, et al.,
2004).
Pemanfaatan rorak, merupakan alternatif untuk memanen air dan meningkatkan
kelengasan tanah. Rorak yang dikombinasikan dengan mulsa vertikal (slot mulch) mampu
mengurangi erosi sampai 94% (Noeralam, 2002). Efektivitas strip rumput dalam pencegahan
erosi juga sudah banyak dibuktikan (Abujamin, 1983, Garity dan Agus, 1999, Dariah et al.,
1993, 1999, dan Erfandy et al., 1997).
Hujan merupakan sumber utama air untuk tanaman yang jumlahnya melimpah ruah
pada sebagian besar wilayah Indonesia. Hanya sekitar 1% dari 193 juta lahan Indonesia
mempunyai curah hujan setahun kurang dari 1.000 mm (Badan Meterologi dan Geofisika,
1994). Jumlah 1.000 mm ini bila dimanfaatkan secara efisien akan dapat menunjang proses
produksi tanaman pangan semusim untuk dua musim tanam (Agus, dkk. 2002), dengan
asumsi bahwa kebutuhan air untuk tanaman pangan lahan kering adalah 120 mm per bulan
(Oldeman, 1980). Oleh karena itu pembuatan kedung atau embung diharapkan mampu
menampung air hujan selama musim penghujan, untuk digunakan pada saat musim kemarau.
Agus (2002) mengemukakan bahwa berbagai penelitian di Indonesia telah mencoba sistem
pembuatan embung atau kedung, namun tidak dijumpai hasil penelitian yang komprehensif
yang memberikan analisis kemampuan embung dalam menyediakan air pada musim
kemarau (proporsi yang ideal antara dimensi embung dengan luas lahan yang akan diairi).
Namun demikian pembuatan embung atau kedung merupakan salah satu teknologi alternatif
dalam memanen hujan di lahan kering.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 682
Seminar Nasional 2005

Pemanfaatan Bahan Organik


Pada dasarnya kandungan bahan organik dapat berupa mineral atau organik (Prasad
dan Power, 1997). Kebanyakan bahan organik tanah berasal dari jaringan tanaman, jaringan
hewan atau produk tanaman lainnya dan merupakan sumber nitrogen tanah yang utama,
disamping itu peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisika, kimia, dan biologi
tanah (Puslit Tanah dan Agroklimat, 2002). Bahan organik dari sisa tanaman yang
ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami beberapa kali fase perombakan oleh organisme
untuk menjadi humus atau bahan organik tanah. Bahan organik tanah berperan penting dan
merupakan faktor kunci dalam berbagai proses biokimia dalam tanah yang menentukan
tingkat kesuburan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Selain itu bahan organik
juga mampu meningkatkan daya tanah menahan air (water holding capacity) terutama pada
tanah berpasir, menyediakan energi dalam oksida mikrobiologis, menyediakan dan atau
meningkatkan ketersediaan hara tanaman, serta menurunkan keracunan Al pada tanah-tanah
masam.
Fahmudin 1999 melaporkan bahwa sisa tanaman biji-bijian dapat mengembalikan
unsur K sampai 60% dari kebutuhan K tanaman berikutnya dan sisa tanaman kacang-
kacangan dapat menyediakan N sampai sekitar 30% kebutuhan tanaman berikutnya.
Selanjutnya dikatakan bahwa penggunaan 2 ton (berat kering) bahan hijauan Gliricidia
sepium atau Flemingia congesta dapat menyumbangkan nitrogen sebanyak 50 kg, phosphor
4 kg, dan kalium sebanyak 30 kg. Sementara itu penggunaan 2 ton berat kering pupuk
kandang mampu menyumbang unsur hara berturut-turut 26, 60 dan 10 kg N, P dan K.
Dengan demikian, apabila diasumsikan bahwa kebutuhan biji-bijian akan unsur hara adalah
50 kg N/ha, 20 kg P/ha dan 60 kg K/ha, maka bahan organik sejumlah 2 ton bahan kering
atau setara dengan 10–15 ton berat basah/ha akan dapat memenuhi sebagian kebutuhan hara
tanaman.

Tanaman Penutup Tanah (Cover Crop)


Tanaman penutup tanah (cover crop) adalah tanaman yang khusus ditanam untuk
melindungi tanah dari kerusakan erosi dan untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah.
Menurut Suriadikarta, et al. (2002) tanaman penutup tanah mempunyai fungsi sebagai (a)
pelindung tanah dari terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh (b) pelindung tanah
terhadap daya perusak aliran air diatas permukaan tanah (run off) dan (c) perbaikan kapasitas
infiltrasi tanah dan penahanan air yang berpengaruh terhadap jumlah dan kecepatan aliran
permukaan (d) menambah bahan organik tanah melalui batang, ranting dan daun mati yang
jatuh, dan (e) melakukan transpirasi yang mengurangi kandungan air tanah. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa jenis tanaman yang sesuai untuk tanaman penutup tanah adalah kacang-
kacangan (leguminosa) karena mengandung bakteri yang dapat menambat nitrogen tanah
dan perakarannya tidak memberikan kompetisi terhadap tanaman pokok.

Penanaman dalam strip (Strip Cropping)


Penanaman dalam strip merupakan suatu sistem bercocok tanam di lahan kering
berlereng. Tanaman pangan diselingi dengan strip-strip tanaman yang tumbuh rapat berupa
tanaman penutup tanah atau pupuk hijau. Rumput ditanam dalam strip untuk menghambat
laju aliran permukaan dan erosi tanah. Ada 3 jenis penanaman dalam strip, yakni (a)
penanaman dalam strip menurut kontur (b) penanaman dalam strip lapangan terdiri dari
strip-strip tanaman yang lebarnya seragam dan disususn melintang arah lereng umum (c)
penanaman dalam strip berpenyangga terdiri dari strip-strip rumput atau leguminosa yang
dibuat diantara strip-strip tanaman pokok menurut kontur.

Pertanaman Lorong (Alley Cropping)


Sistem pertanaman lorong (alley cropping) merupakan suatu wadah usahatani yang
berdasarkan prinsip-prinsip konservasi tanah, dengan unsur pokok adalah tanaman pagar
pengontrol erosi berupa barisan tanaman legum yang ditanam rapat mengikuti garis kontur,

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 683
Seminar Nasional 2005

dan tanaman semusim (pangan, hortikultura, atau tanaman industri yang bernilai ekonomi
tinggi) ditanam pada lorong-lorong diantara tanaman pagar (Abdurachman, 1994)..
Pertanaman lorong sangat efektif menekan laju erosi (Haryati, et al., 1991).

INTEGRASI TANAMAN – TERNAK

Upaya peningkatan produktivitas lahan melalui konservasi air dan pemanfaatan


bahan organik akan semakin berarti apabila diintegrasikan dengan usahatani ternak, karena
dalam implementasinya konservasi lahan dan air akan terjamin keberlanjutannya jika
diintegrasikan dengan ternak (Watung et al., 2003; Subagyono et al., 2004). Ternak dan
produk sampingannya berupa kotoran ternak, baik secara langsung maupun diolah terlebih
dahulu menjadi kompos (Bokashi) merupakan sumber bahan organik yang dapat
dimanfaatkan oleh tanaman yang diusahakan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa
produk dan kandungan nitrogen kotoran ternak cukup memadai untuk mensubstitusi unsur
hara yang dibutuhkan tanaman apabila bahan tersebut dikelola dengan baik (Tabel 2).
Sedangkan tanaman yang digunakan sebagai bahan konservasi lahan dan air dapat
dimanfaatkan sebagai pakan hijauan yang diperlukan untuk makanan ternak.
Tabel 2. Produk dan kandungan N kotoran berbagai ternak piaraan
Produk
Berat hidup Kandungan N Produksi N
Spesies kotoran Produksi N (g)
dewasa (kg) (%) kg/tahun
(kg/hari)
Kerbau 460 5,80 0,80 46,40 16,90
Sapi 350 4,40 0,73 32,10 11,70
Kambing 20 0,30 1,32 4,00 1,50
Domba 20 0,30 0,91 2,70 1,00
Ayam 2 0,05 3,90 0,20 0,07
Itik 2 0,05 3,00 0,18 0,07
Sumber : Devendra, 1993

Menurut Abdurachman (1997) penanaman rumput pada strip-strip searah kontur


tidak secara langsung dapat memperkaya bahan organik tanah. Tetapi cara ini dapat
menghambat penurunan kadar bahan organik tanah melalui pengendalian erosi. Jika rumput
yang ditanam berupa rumput hijauan pakan ternak, maka petani dapat mengembalikan bahan
organik ke dalam tanah dalam bentuk pupuk kandang. Dengan demikian kemungkinan bahan
organik dapat ditingkatkan, bahkan mungkin dapat dipertahankan tetap tinggi dalam jangka
panjang.
Sistem pertanaman lorong (alley cropping) juga dapat dimanfaatkan bersama dengan
ternak, karena penelitian sistem pertanaman lorong pada umumnya menghasilkan
kesimpulan yang mendukung upaya penerapannya, antara lain dapat menekan laju erosi, dan
menghasilkan bahan hijauan yang dapat dimanfaatkan sebagai tambahan pakan ternak atau
dijadikan mulsa. Jenis tanaman pakan dapat dipilh, bila yang diharapkan adalah usaha
pengembangan ternak, sedangkan kotoran ternaknya dapat diberikan ke dalam tanah sebagai
pupuk kandang. Beberapa tanaman yang dapat digunakan sebagai tanaman pagar, disajikan
dalam Tabel 3.
Oleh karena itu dalam konservasi air dan tanah, maka strategi yang dapat ditempuh
adalah dengan pemanfaatan tanama-tanaman yang secara langsung dapat dimanfaatkan
sebagai pakan ternak, baik pada konservasi melalui pembuatan rorak atau rorak yang
dikombinasikan dengan mulsa, tanaman penutup tanah (cover crop), penanaman dalam strip
(strip cropping), dan pertanaman lorong (alley cropping)

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 684
Seminar Nasional 2005

Tabel 3. Beberapa tanaman yang dapat digunakan sebagai tanaman pagar

Jenis tanaman Pertumbuhan Pakan ternak


Caliandra callothyrsus Cepat Baik
Gliricidia sepium Cepat Baik
Leucaena leucocephala Cepat Baik
Leucaena diversifolia Cepat Baik
Flemingia congesta Lambat Kurang
Capanus cajosi Sedang Baik
Dalbergia sisso Sedang/cepat Baik
Desmautus virgatus Lambat/sedang Baik
Tephrosia volgelli Cepat Kurang
Vetiveria zizanioides Cepat Kurang
King grass Sedang/cepat Baik
Sumber : Sembiring et al., 1991; Puslittanak 1994/1995.

KESIMPULAN

Kelangkaan air (water scarcity) di lahan kering merupakan faktor pembatas yang
perlu ditanggulangi untuk menunjang keberlanjutan sistem usahatani. Oleh karena itu
konservasi dan pemanfaatan air merupakan kunci keberhasilan dalam pengelolaan lahan
kering untuk peningkatan produktivitas pertanian. Peningkatan produktivitas lahan melalui
konservasi dan pengelolaan air perlu diintegrasikan dengan pengelolaan hara dan bahan
organik tanah.
Upaya peningkatan produktivitas lahan melalui konservasi air dan pemanfaatan
bahan organik akan semakin berarti apabila diintegrasikan dengan usahatani ternak, karena
dalam implementasinya konservasi lahan dan air akan terjamin keberlanjutannya jika
diintegrasikan dengan ternak

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A.1994. Teknologi usahatani lahan kering untuk pengembangan pertanian di


Kalimantan. Hal. 115-133 dalam Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan
untuk Pembangunan Wilayah Kalimantan. Palangkaraya, 5-6 Oktober 1993. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
A. Abdurachman, Sutono, dan I. Juarsah. 1997. Pengkayaan bahan organik tanah dalam
upaya pelestarian usahatani lahan kering di DAS bagian hulu. Prosiding Pertemuan
Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Makalah
Review. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
A. Hidayat, dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian dalam Teknologi
Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penel;itian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang
Pertanian. Departemen Pertanian.
Badan Meterologi dan Geofisika (BMG). 1994. Rainfall types in Indonesia. BMG, Jakarta.
Dariah, A., D. Erfandy, E. Suriadi, dan H. Suwardjo. 1993. Tingkat efisiensi dan efektifitas
tindakan konservasi secara vegetatif dengan strip vetiver dan tanaman pagar
Flemingia congesta pada usahatani tanaman jagung. Hal. 83-92 dalam Prosiding
Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. 18-21 Februari 1993.
Erfandy, M.D., M. Nur, dan T. Budhyastoro. 1997. Perbaikan sifat fisik tanah dengan strip
vetiver dan pupuk kandang. Hal. 33-40 dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan
Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Cisarua, Bogor, 4-6 Maret
1997.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 685
Seminar Nasional 2005

Fahmudin Agus, 1999. Konstribusi Bahan Organik Untuk Meningkatkan Produksi Pangan
Pada Lahan Kering Bereaksi Masam. Prosiding Seminar Nasional Sumber Daya
Lahan. Cisarua-Bogor, 9-11 Februari 1999. p. 81-102.
Fahmudin Agus, Elsa Sumaini, dan Nono Sutrisno. 2002. Teknologi hemat air dan irigasi
suplemen. dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Fahmudin Agus, Elsa Sumaini, dan Nono Sutrisno. 2002. Teknologi hemat air dan irigasi
suplemen. dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Garrity, D.P. and F. Agus. 1999. Natural resource management on watershed scale: What
can agroforestry contibute? In R. Lal (Eds.). Integrated Watershed Management in
The Global Ecosystem. CRC Press LLC, Boca Raton, USA.
Haryati, U., A. Rachman, Y. Sulaeman, T. Prasetyo, dan A. Abdurachman. 1991. Tingkat
erosi, hasil tanaman pangan dan daya dukung ternak dalam sistem pertanaman
lorong. Hal. 101-111 dalam Risalah Lokakarya Penelitian P3HTA/UACP-FSR.
Bandungan, 25-26 Februari 1991. P3HTA, Badan Litbang Pertanian.
Noeralam, A. 2002. Teknik pemanenan air yang efektif dalam pengelolaan lengas tanah pada
usahatani lahan kering. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Oldeman, L.R., I. Las, and Muladi. 1980. The agroclimatic maps of Kalimantan, Maluku,
Irian Jaya and Bali, West and East Nusa Tenggara. Contributions No. 60, Central
Research Institute for Agriculture, Bogor, 32p.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000. Sumber daya lahan Indonesia dan
pengelolaannya.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1998. Statistik Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian
Tanah dan Agrklimat, Bogor.
Subagyono, K., A. Dariah, T. Budyastoro, N.L. Nurida. 2004. Pengembangan teknologi
konservasi untuk peningkatan produktivitas tanaman perkebunan di lahan kering
kabupaten Ende. Kerjasama antara: Poor Farmers’ Income Improvement through
Innovation (PFI3P) dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Sembiring, H., M. Thamrin, N.L. Nurida, R. Hardiantoro, G. Kartono, dan A. Abdurachman.
1991. Tanaman legum serba guna dalam sistem usahatani lahan kering di Daerah
Aliran Sungai Brantas. Hal. 126-138 dalam Risalah Lokakarya Hasil Penelitian
P3HTA/UACP-FSR. Bandungan 25-26 Januari 1991. P3HTA Badan Litbang
Pertanian.
Watung, R.L., T. Vadari, Sukristiyonubowo, Subiharta, and F. Agus. 2003. Managing Soil
Erosion in Kaligarang Catchment of Java, Indonesia. Phase 1 Project Completion
Report. International Water Management Institute (IWMI). Southeast Asia Regional
Office. Bangkok. Thailand.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 686
Seminar Nasional 2005

PERANAN BAHAN ORGANIK ASAL DAUN GAMAL (Gliricidia Sepium) SEBAGAI


AMELIORAN ALUMINIUM PADA TANAH ULTISOL

Atekan1) dan Arif Surahman2)


1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat

ABSTRAK

Ultisol merupakan salah satu order tanah yang bersifat masam dan rendah unsur hara serta mempunyai
kandungan Aluminium inorganik monomerik (Al3+, Al(OH)+ , Al(OH)2+, Al(OH)0 , dan Al(SO4)+) tinggi yang
2 3
bersifat racun bagi tanaman. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
pada November 1996-Juni 1997, walaupun penelitian ini telah lama dilakaukan namun secara substansial hal ini
masih relevan untuk diterapkan pada saat ini maupun yang akan datang karena jumlah dan penyebaran tanah
mineral masam khususnya Ultisol sangat luas. Dalam penelitian ini terdiri dari lima perlakuan dosis bahan
organik asal daun gamal (Gliricidia sepium) yaitu, 1) kontrol (tanpa bahan organik), 2) dosis 5 t/ha, 3) dosis 10
t/ha, 4) dosis 20 t/ha, dan 5) dosis 90 t/ha, masing-masing diulang tiga kali dan disusun berdasarkan Rancangan
Acak Lengkap. Hasil penelitian menunjukkan pemberian dosis bahan organik sampai 90 t/ha dapat
meningkatkan kation-kation basa (Ca, Mg, dan K) serta pH tanah dari 4,5 menjadi 5,1, namun tidak berbeda
nyata dengan pemberian bahan organik dosis 20 t/ha. Peningkatan kation-kation basa dan pH tanah diikuti dengan
turunnya konsentrasi Aluminium inorganik monomerik, penurunan terbesar terjadi pada pemberian bahan organik
dosis 90 t/ha yaitu dari 9,84 M menjadi 0,021 M, dan berturut-turut diikuti oleh dosis 20, 10, dan 5 t/ha
masing-masing menjadi 0,316; 0,763; dan 3,89 M.
Kata kunci: tanah masam, bahan organik, amelioran, aluminium

PENDAHULUAN

Ultisol diperkirakan merupakan tipe tanah masam di Indonesia yang dominan adalah
dengan luas sekitar 51 juta ha atau menempati 29,7% luas daratan Indonesia dan sekitar
48,3% berada di luar pulau Jawa (Drissen dan Soepraptohardjo, 1974 dalam Munir, 1996).
Ultisol adalah merupakan tanah mineral yang berada pada daerah temprate sampai
tropika. Mempunyai horison argilik atau kandik atau fragipan dengan lapisan liat tebal
(Fanning dan Fanning, 1989 dalam Munir 1996). Darmawijaya (1997) menyebutkan bahwa,
tanah Ultisol merupakan tanah masam yang telah mengalami pelindian hebat (highly
leached) sehingga memiliki tingkat kesuburan yang rendah dengan warna kelabu cerah
sampai kekuningan. Di atas horizon akumulasi yang bertekstur relatif berat berwarna merah
atau kuning dengan struktur gumpal, agregat kurang stabil dan permeabilitas rendah.
Kendala umum yang dihadapi pada tanah Ultisol adalah pH tanah rendah, unsur N
dan P kurang tersedia, kekurangan unsur Ca, Mg, K, dan Mo kandungan Mn dan Fe berlebih,
serta kelarutan Al monomerik yang tinggi, sehingga merupakan faktor utama penghambat
pertumbuhan tanaman (Hakim et al, 1986). Blamey, 1983; Kerven, et al., 1989; dalam
Hairiah (1992) menyebutkan bahwa jenis-jenis Al monomerik sperti Al3+, Al(OH)+2,
Al(OH)2+, Al(OH)o3, dan Al(SO4)+ umumnya merupakan racun/pembatas utama terhadap
pertumbuhan tanaman dan mempunyai aktifitas yang lebih tinggi pada pH yang lebih rendah.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan dengan pengapuran, tetapi
pada beberapa daerah tertentu hal ini kurang efisien dilakukan karena kapur tidak mudah
didapatkan dan mahal harganya. Dent (1986, dalam Hairiah, 1992), menyatakan bahwa
proses pengapuran pada tanah masam yang tingkat kemasamannya tinggi sulit dilaksanakan
karena memerlukan kapur dosis tinggi yaitu lebih dari 100 t/ha. Salah satu alternatif lain
adalah dengan memberikan bahan organik.
Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa
pemberian bahan organik dapat menambah unsur hara dan menghambat penguapan lengas
tanah serta mampu menekan kemasaman tanah. Berdasarkan hasil penelitian Bell dan Besho
(1993) dengan menggunakan bahan organik asal daun gandum (Barley straw) berbagai dosis

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 687
Seminar Nasional 2005

dapat meningkatkan kation basa Ca2+, Mg2+, K+, dan Na+ pada tanah masam. Dengan
meningkatnya konsentrasi kation basa tersebut umumnya diikuti oleh turunnya konsentrasi
ion H+ dan meningkatnya konsentrasi ion OH- di dalam tanah, dan pada gilirannya dapat
meningkatkan pH tanah. Peningkatan pH tanah dapat menurunkan konsentrasi Al di dalam
larutan tanah. Sanchez, (1992) menjelaskan bahwa kelarutan Al sangat erat hubungannya
dengan pH tanah, makin tinggi pH tanah (alkalin) maka Al akan mengendap dan sebaliknya
makin rendah pH tanah (masam) maka Al makin larut atau aktif.
Dengan demikian penggunaan bahan organik yang mempunyai kandungan kation
tinggi seperti daun gamal (Gliricidia sepium) diharapkan dapat membantu menurunkan
keracunan/sebagai bahan ameliorasi Aluminium pada tanah mineral masam, dan penentuan
dosis bahan organik yang tepat sangat penting untuk pertimbangan penerapan di lapang.

BAHAN DAN METODODOLOGI PENGKAJIAN

Tanah yang digunakan dalam pengkajian ini berasal dari wilayah Karta Lampung
Utara, sedangkan bahan organik (BO) asal daun gamal (Gliricidia sepium). Pengkajian
dilakukan menggunakan polybag di rumah kaca Faperta Universitas Brawijaya pada
September 1996-Juni 1997. Walaupun pengkajian ini sudah dilakukan pada waktu yang lalu,
namun secara substansial hasil pengkajian ini masih relevan untuk diterapkan saat ini
maupun yang akan datang, karena jumlah dan penyebaran tanah mineral masam khususnya
di Indonesia jumlahnya cukup luas dan tersebar pada beberapa daerah.
Pengkajian ini disusun menggunakan Rancanagan Acak Lengkap (RAL) dengan 3
ulangan. Perlakuan yang dikaji adalah penggunaan bahan organik asal daun gamal
(Gliricidia sepium) berbagai level dosis, yaitu:
A : Kontrol (tanpa masukan bahan organik)
B : Dosis 5 t/ha
C : Dosis 10 t/ha
D : Dosis 20 t/ha
E : Dosis 90 t/ha
Tanah contoh sebelum dimasukkan ke dalam polybag terlebih dulu dikering-
anginkan, kemudian ditumbuk dan diayak lolos ayakan 2 mm. Agregat tanah hasil ayakan
selanjutnya dikompositkan secara merata dan dimasukkan dalam polybag masing-masing
berisi 5 kg, setelah itu dibasahi dengan aquades sampai 80% kapasitas lapang dan dibiarkan
selama 4 minggu untuk mencapai kesetimbangan. Bahan organik (BO) asal pangkasan daun
gamal (Gliricidia sepium) dikeringkan dalam oven pada suhu 70 o selama 48 jam, kemudian
digiling sampai lolos ayakan 2 mm.
Setelah 4 minggu selanjutnya tanah tersebut dicampur dengan bahan organik yang
telah disiapkan sesuai dengan perlakuan level dosis yaitu: Perlakuan A (0 gr BO/5 kg tanah),
B (9,62 gr BO/5 kg tanah setara 5 t/ha), C (19,23 gr BO/5 kg tanah setara 10 t/ha), D (38,46
gr BO/5 kg tanah setara 20 t/ha), dan E (173,08 gr BO/5 kg tanah setara 90 t/ha). Selanjutnya
diinkubasi selama 7 minggu dan pada akhir minggu ke-7 dilakukan pengambilan contoh
tanah pada masing-masing perlakuan untuk dianalisa kandungan Ca, Mg, K, Al-dd, pH
(H2O), pH (KCl), dan sebagian lagi diambil untuk penetapan Al-monomerik.
Penentuan jumlah bahan organik tersebut diperoleh jika bobot isi (BI) tanah = 1,3
-3
gr.cm dengan kedalaman efektif 20 cm.
Data hasil pengamatan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Analisa Ragam
(ANOVA) dan jika menunjukkan perbedaan antar perlakuan selanjutnya dianalisa melalui
uji jarak Duncan’s pada taraf 5% dengan menggunakan program IRRISTAT.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 688
Seminar Nasional 2005

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Kimia Tanah


Tanah yang digunakan termasuk dalam klasifikasi Grossarenik Kandiudult, yang
terbentuk dari bahan induk Tuff masam dan batuan sedimen felsik kuarsa. Beberapa ciri
kimia tanah disajikan pada Tabel 1. Terlihat bahwa tanah yang diteliti mempunyai pH (H2O)
dan pH (KCl) tergelong rendah, demikian halnya dengan kandungan kation-kation basa
seperti Ca, Mg, dan K juga tergolong rendah sedangkan kandungan Al-monomerik tergolong
sangat tinggi. Kondisi demikian umum terjadi pada Ultisol sebagai akibat adanya pencucian
basa-basa yang intensif yang mengakibatkan rendahnya kation-kation basa seperti Ca, Mg,
dan K serta diikuti dengan rendahnya pH tanah sehingga tanah bereaksi masam. Pada tanah-
tanah yang bereaksi masam (pH rendah) Al makin larut atau aktif.
Flish, Glenn dan Dilworth (1993, dalam Winarso 1996) menyebutkan bahwa
Aluminium yang terdapat dalam larutan tanah ada dalam berbagai bentuk ion, yang
keseimbangannya tergantung faktor-faktor seperti pH, kekuatan ion, macam dan konsentrasi
ligan organik dan anorganik, serta adanya fase padatan. Pada pH di bawah 5, Al terdapat
sebagai ion Al(H2O) 63 atau biasa ditulis dengan Al+3 yang sangat aktif dan bersifat racun
bagi tanaman. Sedangkan pada pH diatas 5, Al terdapat dalam bentuk Al(OH)3 yang
mengendap dan tidak bersifat racun bagi tanaman.
Tabel 1. Hasil analisa dasar tanah Grossarenik Kandiudult asal Lampung

Jenis Analisa Nilai


pH (H2O) 4,50
pH (KCl) 3,85
Al-monomerik (M) 11,41
Ca (cmol/kg) 1,49
Mg (cmol/kg) 0,24
K (cmol/kg) 0,16
Na (cmol/kg) 0,53
Al-dd (cmol/kg) 0,83
KTK (cmol/kg) 3,95
Sumber: data primer, 1997.

Pengaruh Penambahan Bahan Organik Terhadap Konsentrasi Total Kation


(Ca+Mg+K) Tanah
Tabel 2 menunjukkan peningkatan dosis bahan organik yang diberikan dalam tanah
dapat meningkatkan kation-kation basa dalam tanah. Hasil penelitian sama seperti yang
disampaikan oleh Hakim, et al. (1986) yang menyebutkan bahwa hasil sederhana selama
proses dekomposisi bahan organik diantaranya adalah berupa kation-kation basa seperti Ca,
Mg, dan K.
Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa perlakuan bahan organik berpengaruh
nyata terhadap total kation tanah. Sumbangan terbesar terhadap peningkatan jumlah kation
basa dalam tanah ditunjukkan oleh perlakuan bahan organik dosis 90 t/ha, dibandingkan
dengan kontrol terjadi peningkatan sebesar 139%. Dari uji Duncan’s taraf 5% penambahan
bahan organik sampai 90 t/ha menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kontrol maupun
dengan perlakuan dosis bahan organik 20, 10, dan 5 t/ha.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 689
Seminar Nasional 2005

Tabel 2. Pengaruh pemberian bahan organik berbagai level dosis terhadap total kation tanah (Ca+Mg+K) tanah

Perlakuan dosis bahan organik (t/ha) Total Kation (Ca+Mg+K) Tanah (cmol/kg)
0 2,081a
5 2,826ab
10 3,468b
20 3,622b
90 4,803c
Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan’s taraf 5%
Sumber: data primer, 1997.

Pengaruh Penambahan Bahan Organik terhadap pH Tanah


Pemberian bahan organik berpengaruh nyata terhadap pH tanah. Pemberian bahan
organik pada dosis 90 t/ha menunjukkan peningkatan pH tertinggi, diikuti oleh dosis 20, 10,
dan 5 t/ha. Walaupun demikian berdasarkan uji Duncan’s pada taraf 5% pemberian bahan
organik dosis 90 t/ha tidak berbeda nyata dengan dosis 20 dan 10 t/ha (Tabel 2).
Peningkatan pH tanah sebagai akibat penambahan bahan organik juga telah
dilaporkan oleh Winarso (1996) dengan menggunakan bahan organik asal mucuna dosis 10
t/ha yang dapat meningkatkan pH tanah Typic Haplohumults asal Gajrug sebesar 8,5% (dari
3,78 menjadi 4,10). Hasil penelitian Bell dan Besho (1993) dengan menggunakan bahan
organik asal daun legum dosis 80 t/ha pada Epiaquic Haplustults juga dapat meningkatkan
pH tanah sebesar 27,5% (dari 3,86 menjadi 4,92).
Mekanisme kenaikan pH oleh penambahan bahan organik ini belum diketahui, akan
tetapi sebagian ahli ada yang berpendapat bahwa kenaikan pH disebabkan oleh pelepasan
basa-basa yang dikandung oleh bahan organik. Selain itu kenaikan pH mungkin disebabkan
pengaruh pertukaran anion oleh anion-anion organik yang dihasilkan selama proses
dekomposisi.
Kation-kation basa hasil dekomposisi bahan organik yang dilepaskan kedalam tanah
dapat mengakibatkan tanah jenuh dengan kation basa dan hal ini akan mempengaruhi pH
tanah. Keberadaan kation-kation basa dapat meningkatkan konsentrasi OH- dan pada
gilirannya akan meningkatkan pH tanah. Soepardi (1983) menjelaskan bahwa pada tanah-
tanah yang kelebihan kation basa akan memberikan reaksi alkali (basa), dan jika didominasi
oleh ion asam seperti H-dd dan Al-dd maka akan memberikan reaksi asam karena keduanya
merupakan sumber ion H+ dalam larutan tanah.
Tabel 3. Pengaruh pemberian bahan organik berbagai level dosis terhadap pH tanah

Perlakuan dosis bahan organik (t/ha) pH Tanah


0 4,39a
5 5,09b
10 5,69c
20 5,80c
90 6,12c
Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan’s taraf 5%
Sumber: data primer, 1997.

Pengaruh Penambahan Bahan Organik terhadap Ameliorasi Aluminium


Pemberian bahan organik pada tanah mineral masam berpengaruh nyata terhadap
penurunan konsentrasi Al-monomerik. Semakin tinggi dosis bahan organik yang diberikan,
konsentrasi Al-monomerik juga semakin menurun. Pemberian bahan organik dosis 90 t/ha
mampu menurunkan konsentrasi Al-monomerik hingga 99,5% dan pada penambahan bahan
organik 20, 10, dan 5 t/ha masing-masing mapu menurunkan konsentrasi Al-monomerik
sebesar 94%, 86%, dan 25%. Walaupun dosis 90t/ha menunjukkan penurunan tertinggi,

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 690
Seminar Nasional 2005

namun berdasarkan uji Duncan’s taraf 5% perlakuan tersebut tidak berbeda nyata dengan
perlakuan 20 dan 10 t/ha (Tabel 4).
Tabel 4. Pengaruh pemberian bahan organik berbagai level dosis terhadap ameliorasi Aluminium

Perlakuan dosis bahan organik (t/ha) Konsentrasi Al (M)


0 5,204c
5 3,890b
10 0,763a
20 0,316a
90 0,026a
Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan’s taraf 5%
Sumber: data primer, 1997.

Penurunan konsentrasi Al-monomerik akibat pemberian bahan organik ini diduga


disebabkan oleh kation-kation basa dan senyawa-senyawa organik yang mengandung gugus
fungsional seperti fenol (-OH) dan karboksil (-COOH) hasil dekomposisi bahan organik.
Buckman dan Brady (1974) menyebutkan bahwa senyawa-senyawa organik tersebut dapat
bermuatan negatif pada gugus fenol (R-O-) dan atau karboksil (R-COO-) dan mempunyai
kemampuan membentuk senyawa komplek dengan Al. Al yang berkompleksasi dengan
senyawa organik tersebut tidak mudah dipertukarkan (Bell dan Besho, 1993), sehingga
kelarutannya dalam tanah akan menurun (Thomas, 1975, Hargrove dan Thomas, 1978b
dalam Richie, 1986).
Reaksi pembentukan senyawa komplek antara senyawa-senyawa organik hasil
dekomposisi bahan organik dengan Al dapat dijelaskan melalui reaksi sederhana yang
digambarkan oleh Sposito (1992) berikut ini: -RCOO- + Al3+  -RCOOAl, dimana –
RCOOAl adalah senyawa komplek antara senyawa organik dengan Al, sehingga dengan
tingginya dosis bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan meningkatkan
pembentukan senyawa komplek Al-organik. Bell dan Besho (1993) juga menyebutkan
bahwa meningkatnya dosis bahan oeganik pada tanah mineral masam akan diikuti oleh
peningkatan pembentukan senyawa komplek Al-organik.
Keberadaan kation-kation basa hasil dekomposisi bahan organik juga dapat
menurunkan konsentrasi Al dalam larutan tanah mineral. Wong et al. (1994) menyebutkan
bahwa kandungan Ca dan Mg bahan organik berperan terhadap detoksifikasi Al. Bell dan
Besho (1993) menyebutkan bahwa turunnya Al dengan meningkatnya bahan organik dapat
terjadi karena pertukaran Al oleh kation-kation basa. Hal ini sejalan dengan pendapat
Bucman dan Brady (1974) yang menyebutkan bahwa kation-kation basa seperti Ca, Mg, dan
K dapat menggantikan kedudukan ion Al dapat dipertukar dan H dapat dipertukar yang
diabsorbsi oleh tanah, sehingga mengakibatkan konsentrasi Al dan H dalam larutan tanah
turun. Konsentrasi ion OH- bersamaan dengan itu akan meningkat, sehingga pH tanah juga
meningkat dan dapat menurunkan konsentrasi Al melalui pembentukan senyawa Al(OH) 3
yang mengendap.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Pemberian bahan organik asal pangkasan daun gamal (Gliricidia sepium) ke dalam tanah
mineral masam dapat memperbaiki sifat kimia tanah, yang ditunjukkan oleh peningkatan
total kation basa (Ca+MG+K), peningkatan pH tanah, dan turunnya konsentrasi Al-
monomerik yang bersifat racun bagi tanaman.
2. Semakin tinggi dosis bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah, diikuti pula
dengan peningkatan jumlah kation basa, pH tanah, dan turunnya konsentarasi Al-
monomerik. Dosis bahan organik 90 t/ha menunjukkan pengaruh terbaik pada jumlah
kation basa, pH tanah, maupun Al-monomerik, diikuti dosis 20, 10 dan 5 t/ha.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 691
Seminar Nasional 2005

3. Untuk kebutuhan praktis di lapang penggunaan dosis bahan organik asal daun gamal
(Gliricidia sepium) dosis 10 t/ha dapat dipertimbangkan, karena tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata dengan dosis 90 dan 20 t/ha pada parameter pH dan penurunan Al-
monomerik.

DAFTAR PUSTAKA

Bell, L.C. and T. Besho. 1993. Assessment of Aluminium Detoxification an Plant Response.
P. 317-330 in Mulongoy, K. and R. Merckx. 1991. Soil Organik Matter Dynamic
and Sustainability of Tropical Agriculture. John Willey and Sons, New York.
Buckman, H.O. and N.C. Brady. 1974. The Nature and Properties of Soil. Mamillan
Publishing Co. Inc, New York.
Darmawijaya, M.I. 1997. Klasifikasi Tanah, Dasar Teori bagi Peneliti Tanah dan Pelaksana
Pertanian di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hairiah, K. 1992. Aluminium Tolerance of Mucuna, a Tropical Leguminous Cover Crop.
PhD Thesis. State Groningen University, The Nederlands.
Hakim, N., M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.A. Diha, G.B. Hong, dan H.H.
Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung.
Munir, M. 1996. Tanah-Tanah Utama Indonesia. Pustaka Jaya, Jakarta.
Richie, G.S.P. 1986.The Chemical Behaviour of Aluminium, Hidrogen and Manganese in
Acid Soil, p 1-60. In Soil Acidity and Soil Chemistry, by Bohn, H.L., B.L.
McNeal, and G.A. O’Connor. 1989. Academika Press. Horcourt Brace Jovanovich,
Publisher Toronto.
Sanchez, P.A. 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika (terjemahan dari bahasa Inggris).
Penerbit ITB, Bandung.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sposito, G. 1992. The Environmental Chemistry of Aluminium. CRC Press. Inc. Boca
Raton, Florida.
Winarso, S. 1996. Pengaruh Penambahan Bahan Organik terhadap Pengkelatan Aluminium
oleh Senyawa-Senyawa Humik pada Typic Haplohumult. Program Pasca Sarjana
IPB, Bogor.
Wong, M.T.F, E. Akyeampong, S. Nortcliff, M.R. Rao, and R.S. Swift. 1994. Initial
Responses of Maize and Beans to Decreased Consentration of Monomeric
Inorganic Aluminium with Aplication of Manure or Tree Prunings to on Oxisol in
Burundi. Plant and Soils 171; 275-282.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 692
Seminar Nasional 2005

KERUSAKAN LINGKUNGAN DAN GANGGUAN KESEHATAN SEBAGAI


DAMPAK PENGUNAAN PESTISIDA PERTANIAN

M.Sudjak Saenong dan Awaludin Hipi


Peneliti Hama Penyakit pada BALITSEREAL

ABSTRAK

Sejak tahun 1980, residu pestisida telah ditemukan mencemari beberapa jenis sayuran seperti kentang,
kubis, sawi, tomat dan wortel pada daerah-daerah sentra sayuran di Jawa Barat (Pacet, Pengalengan, Lembang),
Jawa Tengah (Getasan, Ambarawa, Tawangmangu) dan Jawa Timur (Batu). Hasil analisa dan monitoring
terbatas yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan Departemen Pertanian melalui Direktorat Perlindungan
Tanaman tahun 1980 menunjukkan bahwa residu pestisida tersebut di atas adalah dari jenis DDT, diazinon,
dieldrin, fenitrotion dan klorfirifos. Di negara-negara maju beberapa pestisida telah diteliti dapat bersifat
carsinogenic agent, mutagenic agent, teratogenic agent dan menjadi penyebab dari penyakit-penyakit seperti
leukemia dan sebagainya. Tulisan ini memaparkan data beberapa referensi yang menekankan bagaimana bahaya
penggunaan pestisida terhadap kesehatan dan lingkungan.
Kata kuci : Kerusakan lingkungan, residu pestisida, sayuran

PENDAHULUAN

Di Indonesia, pestisida yang paling dominan banyak digunakan sejak tahun 1950an
sampai akhir tahun 1960an adalah pestisida dari golongan hidrokarbon berklor seperti DDT,
endrin, aldrin, dieldrin, heptaklor dan gamma BHC. Penggunaan pestisida-pestisida fosfat
organik seperti paration, OMPA, TEPP pada masa lampau tidak perlu dikhawatirkan, karena
walaupun bahan-bahan ini sangat beracun (racun akut), akan tetapi pestisida-pestisida
tersebut sangat mudah terurai dan tidak mempunyai efek residu yang menahun. Hal penting
yang masih perlu diperhatikan masa kini ialah dampak penggunaan hidrokarbon berklor pada
masa lampau khususnya terhadap aplikasi derivat-derivat DDT, endrin dan dieldrin.
Pada tanah-tanah pertanian yang menggunakan bahan organik yang tinggi, residu
pestisida akan sangat tinggi karena jenis tanah tersebut di atas menyerap senyawa golongan
hidrokarbon berklor sehingga persistensinya lebih mantap. Kandungan bahan organik yang
tinggi dalam tanah akan menghambat proses penguapan pestisida. Kelembaban tanah,
kelembaban udara, suhu tanah dan porositas tanah merupakan salah satu faktor yang juga
menentukan proses penguapan pestisida. Penguapan pestisida terjadi bersama-sama dengan
proses penguapan air. Residu pestisida yang larut terangkut bersama-sama butiran air keluar
dari tanah dengan jalan penguapan, akan tetapi masih mungkin jatuh kembali ke tanah
bersama debu atau air hujan. Air merupakan medium utama bagi transportasi pestisida.
Pestisida dapat menguap karena suhu yang tinggi dan kembali lagi ke tanah melalui air hujan
atau pengendapan debu.

PENGGOLONGAN SENYAWA KIMIA PESTISIDA

Menurut Watterson (1988), ada banyak penggolongan/jenis-jenis pestisida yang


beredar di pasaran dan senantiasa digunakan baik yang ditujukan kepada hewan,tumbuhan
maupun jazad renik, yang mengendalikan jenis serangga maupun hewan yang berpotensi
sebagai organisme pengganggu tananam (OPT) adalah insektisida, rodentisida, molusisida,
avisida, dan mitisida. Sedangkan yang mengendalikan jazad renik antara lain bakterisida,
fungisida, algisida. Selain dari pada itu terdapat senyawa kimia yang sifatnya hanya sebagai
pengusir serangga (insect repellent), dan sebaliknya ada pula yang justru menarik serangga
untuk datang (insect attractant) serta ada yang dapat memandulkan serangga (Tabel 1).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 693
Seminar Nasional 2005

Tabel 1. Jenis-Jenis Pestisida dan Kegunaannya

Jenis Pestisida Fungsi dan kegunaannya


Insektisida Mengontrol and mngendalikan serangga
Herbisida Membunuh rumput (gulma)
Fungisida Membunuh jamur
Nematoda Membunuh nematoda
Rodentisida Membunuh tikus
Bakterisida Membunuh bakteri
Akarisida Membunuh laba-laba
Algisida Membunuh alga
Mitisida Membunuh mite
Molusisida Membunuh moloska
Avisida Mengusir burung
Piscisida Mengendalikan ikan
Ovisida Menghancurkan telur
Desinfektant Menghancurkan atau menginaktifkan mikroorganisme yang berbahaya
Growth regulator Merangsang/menghambat pertumbuhan
Defoliant Penggugur daun
Desiccant Mempercepat pengeringan tanaman
Repellent Mengusir serangga, rayap, anjing dan kucing
Atractant Menraik serangga
Chemosterilant Mensterilisasi serangga
Sumber: Watterson (1988)

DINAMIKA PESTISIDA DALAM LINGKUNGAN

Menurut Tarumingkeng (1977), dinamika pestisida dalam ekosistem lingkungan


dikenal istilah residu. Istilah residu tidak sinonim dengan arti deposit. Deposit ialah bahan
kimia pestisida yang terdapat pada suatu permukaan pada saat segera setelah penyemprotan
atau aplikasi pestisida, sedangkan residu ialah bahan kimia pestisida yang terdapat di atas
atau di dalam suatu benda dengan implikasi penuaan (aging), perubahan (alteration) atau
kedua-duanya. Residu dapat hilang atau terurai dan proses ini kadang-kadang berlangsung
dengan derajat yang konstan. Faktor-faktor yang mempengaruhi ialah penguapan,
pencucian, pelapukan (weathering), degradasi enzimatik dan translokasi. Dalam jumlah
yang sedikit (skala ppm), pestisida dalam tanaman hilang sama sekali karena proses
pertumbuhan tanaman itu sendiri.
Seperti halnya reaksi-reaksi kimia lain, penghilangan residu pestisida mengikuti
hukum kinetika pertama, yakni derajat/kecepatan menghilangnya pestisida berhubungan
dengan banyaknya pestisida yang diaplikasi (deposit). Dinamika pestisida di alam akan
mengalami dua tahapan reaksi, yakni proses menghilangnya residu berlangsung cepat
(proses desipasi), atau sebaliknya proses menghilangnya residu berlangsung lambat (proses
persistensi). Terjadinya dua proses ini disebabkan karena deposit dapat diserap dan
dipindahkan ke tempat lain sehingga terhindar dari pengrusakan di tempat semula.
Terhindarnya insektisida yang ditranslokasikan dari proses pengrusakan dimungkinkan oleh
faktor-faktor lingkungan yang kurang merusak sehingga terjadi proses penyimpanan (residu
persisten). Kemungkinan lain adalah pestisida akan bereaksi dan mengalami degradasi
sehingga hilangnya residu berlangsung cepat (Tarumingkeng,1977).

KASUS-KASUS PENCEMARAN PESTISIDA

Terhadap Hewan Vertebrata


Moore (1974) mengemukakan bahwa burung pemangsa tikus Falcon tininuculus dan
Tyto alba banyak yang terkontaminasi oleh pestisida akibat memangsa tikus yang telah
memakan umpan biji-bijian yang dicampur dieldrin, sedang Jefferies (1972) mengemukakan
bahwa kelelawar dari jenis Pipistrellus, Plocetius dan Myotis ditemukan banyak

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 694
Seminar Nasional 2005

mengandung residu organoklorin jenis DDE (± 10,68 ppm), DDT (± 4,62 ppm) dan dieldrin
(± 0,29 ppm) dalam organ hatinya. Di Indonesia, dampak pengaruh samping dari aplikasi
DDT dan metabolit DDE menunjukkan adanya korelasi negatif antara residu DDT pada telur
bebek dan tebalnya kulit telur. Ini menunjukkan bahwa pada saat dilakukan pengukuran,
efek residu pestisida tersebut belum significant mencemari bebek yang ada di Indonesia
(Koeman, 1974). Pada hewan amfibi seperti kodok, pencemaran dapat mengubah perilaku
dan kelainan morfologi khususnya terhadap ekor dan moncong (Cooke, 1970).

Terhadap Hewan Invertebrata


Palpp (1976) mengemukakan bahwa pengaruh samping dari pada penggunaan
pestisida terhadap hewan inveterbrata dapat berupa timbulnya pembentukan kekebalan
(resistensi) ataupun resurgensi. Pembentukan kekebalan terjadi melalui beberapa
mekanisme seperti perubahan asetilkolines-trase, menurunnya penyerapan, kekebalan
terhadap pengatur pertumbuhan (growth regulator), kekebalan terhadap piretroid, kekebalan
metabolisme terhadap organofosfat dan karbamat serta kekebalan terhadap senyawa pestisida
berklor. Szeics et al. (1973) menemukan bahwa penyerapan insektisida oleh kulit serangga
bertambah sesuai dengan polaritasnya. Hal ini diamati pada percobaan terhadap Heliothis
virescens, akan tetapi penurunan penyerapan dapat terjadi dan merupakan mekanisnme
kekebalan. Walaupun mekanisme tersebut di atas belum dapat dijelaskan secara rinci, akan
tetapi pengamatan pada larva Heliothis zea yang lebih tua nampak lebih kebal dari yang
muda (Gast, 1961).
Kasus lain ditemukan bahwa fungisida dengan sodium metan dan formaldehida yang
digunakan terhadap permukaan atau yang diinjeksikan mempunyai pengaruh tajam dan akan
membunuh binatang-binatang tanah yang terkena sampai pada ke dalaman 15 cm. Jenis
pestisida yang paling besar pengaruhnya terhadap musnahnya faunah tanah adalah
insektisida di banding pestisida lain seperti herbisida dan fungisida. Insektisida-insektisida
tersebut yang paling banyak digunakan adalah hidrokarbon berklor dan organofosfat.
Senyawa hidrokarbon berklor dapat menjadi penyebab berkurangnya populasi tungau
pemangsa colembola sehingga populasi colembola berkembang, sebaliknya senyawa dari
jenis aldrin dan derivatnya pengaruhnya tidak terlalu significant menurunkan populasi
tungau (Sheals, 1956).

Terhadap Kehidupan Perairan


Sumber pencemaran perairan oleh pestisida ialah adanya aliran air dari daerah
pertanian terutama selama musim hujan. Pada kadar yang tinggi pestisida dapat membunuh
jazad yang hidup di dalam air. Pestisida-pestisida yang persistensinya tinggi seperti golongan
organoklorin meskipun dengan kosentrasi rendah dapat masuk dalam rantai makanan dan
mengalamai proses peningkatan kadar (biological magnification) sampai pada derajat yang
mematikan (Coutney et.al.,1973). Terhadap kehidupan fitoplankton, perlakuan paraquat
pada dosis 1,0 ppm selama 4 jam dapat menurunkan produktivitas 53%, perlakuan diquat
dengan dosis yang sama selang waktu 48 jam menurunkan produktivitas 45%, sedangkan
diuran dengan dosis 1,0 ppm dalam 4 jam menurunkan produktivitas sampai 87% (Pimentel,
1974).
Daya meracun berbagai pestisida khususnya herbisida terhadap kehidupan ikan telah
banyak diteliti. Misalnya kemampuan meracuni kehidupan ikan, jenis insektisida nampak
lebih kuat dibanding herbisida. Akan tetapi karena pemakaian herbisida sebagai pengendali
gulma intensitas pemakaiannya lebih tinggi, maka dampak kerusakannya lebih nampak.
Nilai toksisitas akut herbisida terhadap ikan umumnya jauh lebih tinggi dari pada konsentrasi
yang dibutuhkan untuk mengendalikan gulma. Sebagai contoh, herbisida paraquat pada
kadar aplikasi 1,14 ppm dapat mematikan ikan lele, dan ikan salmon 3 hari setelah aplikasi
(Duursma and Marchand, 1974).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 695
Seminar Nasional 2005

Terhadap Tumbuhan
Aplikasi pestisida pada kadar rendah (sublethal) dapat memberi pengaruh resisten
terhadap tumbuhan pengganggu., oleh karena itu penyemprotan yang tak sempurna dapat
menimbulkan pengaruh jangka panjang yang tak terduga. Di samping itu secara tidak
langsung penggunaan pestisida (herbisida) akan merangsang tumbuhan pengganggu lain
yang bukan sasaran justru menjadi dominan. Sebagai contoh pertumbuhan alang-alang
Imperata cylindrica dapat ditekan dengan penggunaan herbisida, akan tetapi di sisi lain
rumput Mikinia micranta justru akan tumbuh subur dan merajalela di tempat itu karena
persaingannya dengan alang-alang sudah tidak ada lagi. Demikian juga dengan jenis rumput
Pennisetum polystachion yang mempunyai tingkat kepadatan biji yang sangat banyak
(300.000 – 370.000 biji/tanaman) tidak dapat tumbuh pada kondisi gelap (di bawah naungan
alang-alang), tetapi pada saat alang-alang dibasmi, maka rumput ini akan tumbuh dominan
(Soedarsan dan Amir, 1975).

Terhadap Kesehatan Manusia


Menurut Watterson (1988) secara umum telah banyak sekali bukti-bukti yang
ditemukan pengaruh samping senyawa kimia pestisida terhadap kesehatan manusia.
Beberapa jenis penyakit yang telah diteliti dapat diakibatkan oleh pengaruh samping
penggunaan senyawa pestisida antara lain leukemia, myaloma ganda, lymphomas, sarcomas
jaringan lunak, kanker prostae, kanker kulit, kanker perut, melanoma, penyakit otak,
penyakit hati, kanker paru, tumor syaraf dan neoplasma indung telur. Selain dari pada itu,
beberapa senyawa pestisida telah terbukti dapat menjadi faktor "carsinogenic agent" baik
pada hewan dan manusia, yakni tercatat ada 47 jenis bahan aktif pestisida ditemukan terbukti
sebagai carsinogenic agent pada hewan, dan 12 jenis lagi terbuti sebagai carsinogenic agent
pada manusia (Gosselin, 1984: IARC, 1978: Saleh, 1980) (Tabel 2).
Tabel 2. Senyawa-Senyawa Pestisida yang Telah Terbukti dapat Menjadi Faktor Penyebab Penyakit Kanker
(Carsinogenic Agent) pada Hewan dan Manusia

Bahan aktif Hewan Manusia Bahan aktif Hewan Manusia


acrylonitrile + - ethylene dibromide + +
aldrin + - ethylen thiourea - +
aminotriazole + + formaldehyde + +
amitraz + - hempa + -
arsenic oxide + - heptachlor + -
azinphos-metyl (guthion) + - lindane + -
cadmium + - maleic hydrazide + -
captan + - maneb + -
carbaryl + - MCPA - +
carbontettrachloride + - methidathion + -
chloramben + + methylene bromide + -
chlordane + - methylene dichloride + -
chlordecone (kepone) + - mexacarbamate + -
chlordimeform + - mirex + -
chlorobenzilate + + monuron + -
chlorofenol(group) - - parathion + -
chlorothalenil + + pentachlorophenol - +
2,4-D + - permethrin - +
DBCP + + picloram - +
DDT + - rotenone + -
diallate + - sodium azide + -
1,2, dichloropropane + - sulfallate + -
1,3, dichloropropane + - 2,4,5-T + +
dicofol + - 2,3,6 TBA + -
dieldrin + - tetrachlorvinphos + -
dimethoate + - trichlorfon + -
endosulfan + - trifluralin + -
Sumber : Gosselin (1984);IARC(1978):Saleh(1980)
Catatan : + = ditemukan bukti; - = tidak ditemukan bukti

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 696
Seminar Nasional 2005

Fakta lain ditemukan pula bahwa ternyata tercatat 80 jenis bahan aktif pestisida juga
dapat menjadi penyebab atau sebagai faktor "mutagenic agent" (Moriya, 1983; Weinstein,
1984; Sandhu, 1980; Simmon, 1980) (Tabel 3). Lebih jauh ditemukan lagi fakta bahwa
senyawa pestisida juga dapat menjadi penyebab penyakit peradangan kulit dan penyakit kulit
lainnya sebagai akibat timbulnya alergi dan iritasi. Yang dapat menyebabkan alergi pada
kulit tercatat ada 20 jenis bahan aktif sedangkan yang menyebabkan iritasi tercatat ada 42
jenis bahan aktif (Weinstein, 1984: Gosselin, 1984) (Tabel 4).
Tabel 3. Senyawa-Senyawa Pestisida Yang Telah Terbukti Dapat Menjadi Fakta Penyebab Mutasi Genetik
(Mutagenic Agent)
acephate Dicrotophos NBT(2,4-dinitrophenylthiocyanate)
allethtrin dichlorvos NNN(5-nthro-1-napthalonitrile)
azinphos-methyl dimethoate nitofen
benomyl dinocap oxydemeton-methyl
bromocil dinoseb oxine copper
butaclor disulfoton parathion-methyl
cocodylic acid echlomezel pentachlorophneol
captafol ethylnechlorohydrin phenazine oxide
captan ethylenedibromide phosmer
carbaryl ethylenedichloride pirimiphosmethyl
carbendazim ethylene oxide polycarbamate
carbofuran ethylene thiourea polyoxin D-Zn
chlormethoxynil EMS propanil
chlorfenvinphos ESP salithion
chloropicrin fenaminosulf simazine
chlorpyrifos fenitrithion 2,4,5-T
cyclophosphamide ferbam thiometon
2,4-D acid folpet thiram
2,4-BB acid HEH(2-hydroxyethylenehydrazin) toxaphene
DBCP hemel triallate
DD MAF trichlorfon
DDC MCPA TTCA(asomate)
DDT malaeic hydrazide vamidothion
demeton metepa ziram
1,2,dibromethane methyl dibromide
dicamba monocrotophos
dichlorfluanid
Sumber : Moriya (1983); Weinstein (1984); Sandhu (1980); Simmmon 1980)

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 697
Seminar Nasional 2005

Tabel 4. Senyawa-Senyawa Pestisida Yang Telah Terbukti Dapat Menjadi Faktor Penyebab Penyakit Radang
Kulit Dan Penyakit Kulit Lainnya (Alergi Dan Iritasi)

Jenis peradangan Jenis peradangan


Bahan aktif Bahan aktif
alergi iritasi alergi iritasi
acephate - + kelthane - +
anilazine - + lindane - +
benomyl + + malathion + +
captafol + + mancozeb + -
captan + + maneb + +
chloropicrin - + mercaptobenothiazole + -
chlorothalonil - + methidathion - +
cyhexatin - + methomyl - +
DCDA - + methylphenol(cresol) + -
demeton - + methyl parathion - +
dialifur - + mevinphos - +
chazinon - + monocrotophos - +
dimethoate + - naled + +
dinobuton - + nitrofen + +
dinoseb - + parathion + -
disulfoton - + PCNB + -
DNCB - - phosmet - +
DNOC - + propagite - +
DVDP - + pyrethroids + -
endosulfan - + sulphur - +
ethephon - + thiram + +
ethion - + toxaphene - +
ferbam - + triazine + -
folpet + - zineb + +
formaldehyde + + zitram + +
glyphosate - +
Sumber : Weinstein (1984); Gosselin (1984)
Catatan : + = ditemukan bukti; - = tidak ditemukan bukti

Secara umum, proses peracunan senyawa pestisida dapat diamati berdasarkan


golongan pestisida yang dipakai di lapangan. Fenomena ini sering ditemukan pada para
pekerja yang terkait langsung dengan pestisida seperti pekerja pada lokasi kepabrikan
maupun perkerja yang langsung menggunakan senyawa pestisida tersebut terhadap
organisme target. Pada golongan pestisida yang mempunyai bahan aktif dari klor organik
seperti endrin, aldrin, endosulfan, dieldrin, lindane(gamma BHC) dan DDT, gejala
keracunan yang dapat ditimbulkan dapat berupa mual, sakit kepala dan tak dapat
berkosentrasi. Pada dosis tinggi dapat terjadi kejang-kejang, muntah dan dapat terjadi
hambatan pernafasan. Hal ini disebabkan kerena senyawa klor organik mempengaruhi
susunan syaraf pusat terutama otak.
Pada senyawa fosfat organik, gejala yang timbul dapat berupa sakit kepala, pusing,
lemah, pupil mengecil, gangguan penglihatan, sesak nafas, mual, muntal, kejang pada perut,
diare, sesak dada dan detak jantung menurun. Senyawa ini menghambat aktivitas enzim
kolonestrasi dalam tubuh penderita. Pada karbamat, gejala keracunannya hampir tak terlihat
jelas, proses kerjanya juga menghambat enzim kolinestrase dalam tubuh, tetapi reaksinya
reversible dan lebih banyak bekerja pada jaringan bukan dalam plasma darah. Yang masuk
kategori senyawa itu adalah aldikarb, carbofuran, metomil, propoksur dan karbaril (Anonim,
1984) (Tabel 5).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 698
Seminar Nasional 2005

Tabel 5. Gejala Keracunan Dan Petunjuk Cara Pertolongan Pertama Pada Penderita

Golongan Pestisida Cara bekerjanya Gejala keracunan yang timbul


Klor organik : endrin, aldrin, Mempengaruhi susunan syaraf Mual, sakit kepala, tak dapat
endosulfan(thiodan), dieldrin, pusat terutama otak berkonsentrasi. Pada dosis tinggi
lindane(gamma BHC), DDT dapat terjadi kejang-kejang muntah
dan dapat terjadi hambatan
pernafasan

Fosfat organik: mevinfos (fosdrin), Menghambat aktivitas enzim Sakit kepala, pusing-pusing, lemah,
paration, gution, monokrotofos kholinnestrase pupil mengecil, gangguan
(azodrin), dikrotofos, fosfamidon, penglihatan dan sesak nafas, mual,
diklorvos (DDVP), etion, efntion, muntah, kejang pada perut dan diare,
diazinon. sesak pada dada dan detak jantung
menurun.

Karbamat : aldikarb(temik), Menghambat aktivitas enzim Tanda-tanda keracunan umunya


carbofuran (furadan), metomil kholinestarse, tetapi reaksinya lambat sekali baru terlihat
(lannate), propoksur (baygon), reversible dan lebih banyak
karbaril (sevin) bekerja pada jaringan, bukan
dalam darah/plasma.

Dipiridil : paraquat, diquat dan Dapat membentuk ikatan dan Gejala keracunan selalu lambat
morfamquat merusak jaringan ephitel dari diketahui, seperti perut, mual,
kulit, kuku, saluran pernafasan muntah dan diare karena ada iritasi
dan saluran pencernaan, pada saluran pencernaan. 48-72 jam
sedangkan larutan yang pekat baru gejala kerusakan seperti ginjal
dapat menyebabkan seperti albunuria, proteinura,
peradangan. hematuria, dan peningkatan kreatinin
lever, 72 jam-14 hari terlihat tanda-
tanda kerusakan pada paru-paru

Antikoagulan : tipe kumarin Pestisida ini cepat diserap oleh Hematuria (kencing berdarah),
(warfarin), tipe 1,3 indantion: pencernaan makanan, hidung berdarah, sakit pada rongga
difasinon, difenadion (Ramik) penyerapan dapat terjadi sejak perut, kurang darah dan kerusakan
saat tertelan sampai 2-3 ginjal
hari.Kumrain dapat diserap
melalui. Kedua tipe pestisida ini

Arsen : arsen trioksid, kalium Menghambat pembentukan zat Pada keracunan akut: nyeri pada
arsenat, asam arsenat dan arsin(gas). yang berguna untuk perut, muntah dan diare. Pada
koagulasi/pembekuan darah keracunan sub akut akan timbul
antara lain protrombin gejala seperti sakit kepala, pusing
Keracunan arsen pada dan banyak keluar ludah
umumnya melalui mulut
walaupun bisa juga diserap
melalui kulit dan saluran
pernafasan
Sumber: Anonim (1984)

PROSEDUR PELAKSANAAN PENGAMANAN PESTISIDA

Pedoman Umum Penanganan Bahan


Agar senyawa pestisida aman digunakan dan tidak terlalu menimbulkan efek
peracunan pada pemakai, maka pemerintah dan formulator telah menetapkan dan memberi
petunjuk sebagai pedoman umum dalam penanganan senyawa kimia berbahaya. Mulai dari
pemilihan jenis pestisida, tata cara penyimpanan, penakaran, pengenceram, pencampuran
sampai kepada prosedur kebersihannya (Anonim, 1984) (Tabel 6).

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 699
Seminar Nasional 2005

Tabel 6. Petunjuk Umum Tentang Keamanan Dalam Menggunakan Senyawa Kimia Pestisida di Lapangan
1. Gunakanlah pestisida yang telah terdaftar dan memperoleh izin dari Menteri Pertanian.Jangan sekali-kali
menggunakan pestisida yang belum terdaftar dan memperoleh izin.
2. Pilihlah pestisida yang sesuai dengan hama atau penyakit tanaman serta jasad sasaran lainnya yang akan
dikendalikan, dengan cara lebih dahulu membaca keterangan tentang kegunaan pestisida dalam label
pada wadah pestisida tersebut
3. Belilah pestisida dalam wadah asli yang tertutup rapat dan tidak bocor atau rusak, dengan label asli yang
berisi keterangan lengkap dan jelas. Jangan membeli dan menggunakan pestisida dengan label dalam
bahasa asing
4. Bacalah semua petunjuk yang tercantum pada label pestisida sebelum bekerja dengan pestisida itu
5. Simpanlah pestisida di tempat khusus yang sejuk, kering dan dapat dikunci, jauh dari
makanan/minuman, dan tidak dapat dijangkau oleh anak-anak, hewan piaraan serta ternak.
6. Lakukanlah penakaran, pengenceran atau pencampuran pestisida di tempat terbuka atau dalam ruangan
yang mempunyai ventilasi baik.
7. Pakailah sarung tangan dan gunakalah wadah, alat pengaduk dan alat penakar yang khusus hanya untuk
pestisida. Semua peralatan tersebut jangan digunakan untuk keperluan lain, lebih-lebih yang
berhubungan dengan makanan dan minuman.
8. Bukalah tutup wadah pestisida dengan hati-hati, sehingga pestisida tidak memercik, tumpah atau
berhambur ke udara.
9. Gunakalah pestisida sesuai dengan takaran yang dianjurkan. Jangan menggunakan pestisida dengan
takaran yang berlebihan atau kurang.
10 Periksalah alat penyemprot dan usahaka supaya selalu dalam kedaan baik, bersih dan tidak bocor.
11 Hindarkanlah pestisida terhirup melalui pernafasan atau terkena kulit, mata, mulut dan kaian.
12 Apabila ada luka pada kulit, tutuplah luka tersebut dengan baik sebelum bekerja dengan pestisida.
Pestisida lebih mudah terserap ke dalam tubuh melalui kulit yang terluka.
13 Selama menyemprot, pakailah baju khusus yang berlengan panjang, penutup kepala penutup muka,
celana panjang, sarung tangan dan sepatu boot
14 Jangan menyemprot berlawanan dengan arah angin
15 Hindarkalah semprotan pestisida terbawa angin ke tempat lain, supaya tidak mengenai tempat tinggal
penduduk, tanaman di tempat lain, sungai, kolam, danau atau makanan ternak.
16 Jangan menyemprot pada waktu angin bertiup kencang, cuaca panas atau akan turun hujan.
17 Bekerjalah demikian rupa sehingga tanaman yang telah disemprot tidak dilalui lagi untuk menghindari
persentuhan dengan tanaman yang telah terkena pestisida
18 Jangan merokok, makan atau minum selama bekerja dengan pestisida.
19 Jika merasa kurang enak badan, berhentilah bekerja dengan segera dan baca petunjuk dalam label
tentang pertongan pertama dan segera hubungi dokter, beri tahu pestisida apa yang digunakan.
20 Setelah selesai bekerja denga pestisida, mandilah sehera dengan sabun, pakaian dan alat pelindung
lainnya yang dipakai harus segera dicuci dengan sabun.
21 Setalah selesai bekerja, cucilah alat penyemprotan dan alat lainnya serta usahakan air bekas cucian tidak
mengalir ke sungai, saluran air, kolam ikan, sumur dan sumber air lainnya.
22 Bersihkanlah selalu muka dan tangan dengan air dan sabun sebelum beristirahat untuk makan minum
atau merokok.
23 Wadah bekas yang sudah kosong jangan dipakai untuk menyimpan makanan atau minuman akan tetapi
musnahkan dengan merusak, membakar atau menguburnya di tempat yang aman.
Sumber Anonim (1984)

Pertolongan Pertama Pada Keracunan Pestisida


Berdasarkan panduan pertolongan pertama pada kasus keracunan pestisida dalam
Anonim (1984), maka bila terjadi kasus keracunan senyawa kimia pestisida maka ada
sebelas item yang harus dicermati/diteliti dengan saksama agar dapat diambil tindakan medis
yang tepat dan segera untuk menolong jiwa penderita. Ke sebelas urutan tersebut adalah
sebagai berikut :
a. Apabila gejala keracunan mulai timbul betapapun ringannya gejala tersebut, segeralah
berhenti bekerja dan pergilah ke dokter atau klinik terdekat untuk mendapatkan
pertolongan lebih lanjut. Hal tersebut harus segera dilakukan karena sewaktu-waktu
keadaan dapat berkembang menjadi gawat. Supaya tindakan pertolongan selanjutnya
dapat dilakukan dengan cepat dan tepat, dokter harus diberitahu nama pestisida yang

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 700
Seminar Nasional 2005

menyebabkan keracunan. Untuk ini sebaiknya bawalah label pestisida tersebut untuk
ditunjukkan kepada dokter.
b. Dalam hal kulit atau rambut dan pakaian terkena pestisida, cucilah segera kulit dan
rambut yang terkena dengan sabun dan air yang banyak dan lepaskan pakaian untuk
diganti dengan yang bersih.
c. Apabila pestisida mengenai mata, cucilah segera mata dengan air bersih yang banyak
selama 15 menit atau lebih terus menerus. Kemudian ditutup dengan kapas seteril yang
dilengketkan dengan kain pembalut.
d. Apabila debu, bubuk, uap, gas atau buti-butir semprotan terhisap melalui pernafasan,
bawalah penderita ke tempat terbuka yang berudara segar, longgarkan pakaiannya yang
ketat dan baringkan dengan dagunya agak terangkat ke atas supaya dapat bernafas
dengan bebas. Jaga supaya penderita dalam keadaan tenang dan tidak kedinginan
(apabila perlu selimutilah penderita tetapi jangan sampai terlalu kepanasan). Sementara
menunggu pertolongan dokter, awasilah terus keadaan penderita.
e. Apabila pestisida tertelan dan penderita dalam keadaan sadar, usahakan supaya penderita
muntah dengan cara mencolek bagian belakang tenggorokan dengan jari tangan atau alat
lain yang bersih dan/atau dengan memberi minum larutan garam sebanyak satu sendok
makan dalam segelas air hangat. Ulangi proses pemuntahan sampai yang dimuntahkan
berupa cairan yang jernih. Pada waktu penderita mulai muntah, usahakan mukanya
menghadap ke bawah dan kepalanya agak direndahkan supaya muntahan tidak masuk
dalam paru-paru. Selanjutnya harus dijaga jangan sampai muntahan menghalangi
pernafasan. Usaha pemuntahan tidak dapat dilakukan apabila penderita dalam keadaan
kejang atau tidak sadar, penderita telah menelan bahan yang mengandung minyak bumi
dan penderita telah menelan bahan alkalis atau asam kuat yang korosif (secara kimiawi
merusak jaringan hidup)dengan gejala rasa terbakar atau nyeri sekali pada mulut dan
kerongkongan.
f. Apabila bahan korosif tertelan dan penderita dalam keadaan sadar, berilah penderita
minum susu atau putih telur dalam air, atau hanya air saja dalam kondisi dimana susu
atau telur tidak tersedia. Susu atau minyak tidak boleh diberikan kepada penderita
keracunan pestsida hirokarbon berklor.
g. Apabila penderita tidak sadar, usahakan supaya saluran pernafasan tidak tersumbat.
Bersihkan hidung dari lendir atau muntahan dan bersihnya mulut dari air liur, lendir, sisa
makanan dan sebagainya. Jangan memberikan sesuatu melalui mulut kepada penderita
yang tidak sadar.
h. Apabila pernafasan penderita berhenti, usahakanlah pernafasan buatan. Bersihkan lebih
dulu mulut dari air liur, lendir, sisa makanan dan sebagainya.
i. Apabila penderita kejang, usahakanlah kekejangan tersebut tidak mengakibatkan cidera.
Longgarkan pakaian disekitar leher, taruh bantal di bawah kepala dan berilah ganjal
antara gigi untuk mencegah supaya bibir atau lidah tidak tergigit.
j. Penanggulangan keracunan setalah dilakukan pertolongan pertama selanjutnya diambil
tindakan sebagai berikut
i. untuk golongan pestisida klor organik, dilakukan tindakan mencuci lambung dengan
memberi garam isotoris larutan natrium bikarbonat 5%. Untuk mengurangi absorbsi
dapat diberikan 30 gram norit yang disuspensikan dalam air;
ii. untuk golongan fosfat organik, diberikan antodote Atropin sulfat intra vena atau
intra muskuler, bila mungkin dilakukan penyuntikan intra vena. Dosis dewasa dan
anak-anak lebih dari 12 tahun 0,4-2,0 mg dan untuk anak-anak 0,05 mg/kg berat
badan. Dosis diulangi tiap 15-30 menit sampai kelihatan gejala atropinasi/gejala
keracunan ringan dari atropin seperti muka merah, frekuensi detak jantung
meningkat (140/menit) dan pupil melebar. Pralidoxim diberi-kan setalah atropin,

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 701
Seminar Nasional 2005

bila diberikan sebelum 36 jam setalah keracunan akan dapat menanggulangi efek
dari pestisida fosfat organik ini. Dosis dewasa 1 gr/kg berat badan dan anak-anak
20-50 gr/kg berat badan dengan kecepatan tidak lebih dari setengah dosis total tiap
menit. Ulangi lagi setelah 1 jam bila kelemahan/ kelumpuhan otot belum
tertanggulangi;
iii. untuk golongan karbamat, penaggulangan-nya sama dengan pestisida golongan
fosfat organik, tapi disini tidak digunakan pralidoxim;
iv. (untuk golongan senyawa dipiridil tindakannya adalah untuk mengurangi absorbsi
dari saluran pencernaan, diberikan absorben Fuller”s Earth 30% suspensi dalam air;
v. (untuk golongan antikoagulan dilakukan pemberian antidote fitonadion, yakni dosis
dewasa dan anak-anak lebih dari 12 tahun 25 mgr intra muskuler dan anak-anak di
bawah 12 tahun 0,6 mgr/kg berat badan;
vi. untuk golongan arsen dilakukan pemberian antidote Dimerkaprol (B.A.L),
Dimerkaptopropanol.
k. Untuk penanggulangan selanjutnya, dilakukan pendataan mencakup tempat kejadian,
tanggal, nama korban, umur, jenis kelamin, keracunan melalui apa (mulut, pernafasan,
kulit), sampel pestisida, muntahan atau sisa makanan (dalam hal penderita tidak
diketahui, dapat disebutkan pestisida-pestisda apa yang biasa digunakan di tempat
tersebut, dan jenis-jenis pertolongan yang telah diberikan kepada penderita.

PENUTUP

Walaupun beberapa rujukan pustaka dari paper ini sudah cukup tua, akan tetapi dari
data-data tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa problematika yang terkait dengan
dampak samping dari penggunaan pestisida baik langsung maupun tidak langsung cukup
significant merusak ekosistem lingkungan dan bahkan kesehatan manusia. Oleh sebab itu ke
depan penanganan pestisida nampaknya masih panjang untuk diperdebatkan dan bahkan
masih perlu diteliti lebih jauh agar ekosistem bumi kita dapat terselamatkan dari proses
pencemaran senyawa-senyawa kimia yang berbahaya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1984. Pestisida Untuk Pertanian danKehutanan.Direktorat Perlindungan Tanaman


Pangan. Direktotarat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan.Jakarta. 1984
Cooke, A.S. 1970. The effect of p.p-DDT on Ted Poles of Common Frog Rana temporaria.
Env. Poll.1:57-71
Coutney, W. R., Jr., and M. H. Robert, Jr. 1973. Environmental Effect on Toxaphene
Toxicity to Selected Fishes and Crustaceans. Ecol. Res. series. EPA-R3-73035.
United Stated Environmental Protection Agency, Wasihington D.C.20460
Duursma, E.K. & M. Marchand. 1974. Aspects of Organic Marine Pollution. Ann. Rev.
Oceanogr. Mar. Biol.12:315-431
Gast, R.T. 1961. Factors Involved in Differential Susceptibility at Corn Earworm Larval to
DDT. J. Econ. Entomol. 54:1203-1206.
Gosselin, R.E. 1984. Clinical Toxicology of Commercial Products. William and Wilkin,
Baltimore, 5th.ed
IARC. 1978. IARC Monographs on the Evaluation of Carsinogenic Risk of Chemical to
Humans, Supplement 4. IARC, Lyon.pp.14-22

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 702
Seminar Nasional 2005

Jefferies,D, J. 1972. Organochlorine Insecticide Residues in British Bats and Their


Significane. Journal Zoology 166:245-263
Koeman, J.H., J.H. Pennings, R. Rosanto, O. Soemarwoto, P.S.Tjide, S. Blkae, S.
Kusudinata, R. Dja-jodiredjo. 1974. Metals and Chlorinated Hydrocarbon Pesticide
in Samples of Fish, Sawah Duck Eggs, Crustaceans and Molluscs Collected in
West and Central Java, Indonesia. Ecol & Dev 2:1-14
Moriya,M.1983.Further Mutagenicity Studies on Pesticides in Bacterial Reversion Assay
Systems. Mutat. Res., vol.116.pp.185-216
Moore,N.W. 1974. Toxic Chemical and Wildlife Section. Dalam Monk Wood Experiment
Station. Report for 1972-1973.hal.7-14
Palpp, F.W. 1976. Biochemical Genetics of Insecticide Resistance. Ann.Rev.Ent.21:179-197
Pimentel.,D. 1971. Ecological Effects of Pestisides on non Target Species. Execitive Office
of the President. Office of Science and Technology, 1971. Washington D.C.20402
Saleh,M.A.1980. Mutagenic and Carsinogenic Effects of Pesticides. Environ. Sci. Health.
vol. B15 (6): pp.907-927
Sandhu, S. S. and Water, M.D. 1980. Mutagenicity Evaluation of Chemical Pesticides. J.
Environ. Sci. Health/B15 (6): pp.929-948
Sheals,S.G. 1956. Soil Population Studies I.The effectsof Cultivation and Teatment with
Insecticides. Bull.Ent.Res.47:803-833
Simmon,V.F. 1980. An Overview of Shortterm Test for the Mutagenic and Carsinogenic
Potential of Pesticdes. J .Environ. Sci. Health, vol. B15 (6): pp.867-906
Soedarsan, A. dan J. Amir.1975. Beberapa Catatan tentang Pennisetum polystechium (L)
Schult, Sejenis Tumbuhan Pengganggu Diperkebunan. Menara Perkebunan 43:105-
107
Szeics,F.M, F.W.Plapp and S.B. Vinson. 1973. Tobacco Budworm Penetration at Several
Insecticide Into the Larva. J. Econ. Entomol. 66:9-15
Watterson, A..1988. Pesticides Users’ Health and Safety Handbook. An International
Guide. Gower Technical Publishing Company Limites. England
Weinstein,S.1984. Fruits of Your Labor: An Guide to Pesticides Hazards for Californian
Field Workers.Univ.of Calif. Barkeley, USA, pp.V-23,v-25.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 703
Seminar Nasional 2005

TEKNOLOGI MEKANISASI PERTANIAN


MENDUKUNG SUT LAHAN KERING MARJINAL
(Studi Kasus Desa Jurumapin, Kecamatan Buer, Kabupaten Sumbawa Besar)

Elita Rahmarestia, Agung Hendriadi dan Lilik Tri Mulyantara


Balai Besar Mekanisasi Pertanian
Desa Situgadung, PO Box 02 Serpong 15310

ABSTRAK

Sistem usaha pertanian lahan kering di Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal apabila
dikelola secara intensif dapat meningkatkan pendapatan petani. Pertanian lahan kering pada umumnya ditanami
berbagai jenis komoditas (tanaman pangan, tanaman perkebunan/kehutanan dan hortikultura). Penggunaan alat
dan mesin pertanian pada SUT lahan kering dapat meningkatkan produktivitas, namun aplikasi alsintan yang
tidak sesuai akan menyebabkan bertambahnya inefisiensi sistem usahatani. Terdapat empat faktor utama yang
mempengaruhi seleksi tingkat teknologi alat dan mesin pertanian dalam suatu wilayah, yaitu infrastruktur,
kondisi sosial ekonomi, fisik wilayah dan sistem usahatani. Dengan memperhatikan aspek-aspek ini, rekomendasi
alat dan mesin pertanian yang akan diterapkan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi
usahatani. Studi kasus pemilihan tingkat teknologi alat dan mesin pertanian telah dilakukan di Desa Jurumapin,
Kabupaten Sumbawa Besar. Proses seleksi diawali dengan observasi kondisi wilayah dan dilanjutkan wawancara
dengan petani setempat untuk penyaringan informasi aspek infrastruktur, sosial-ekonomi dan sistem usahatani.
Rekomendasi pilihan teknologi alat dan mesin pertanian yang telah dihasilkan dan disajikan pada bagian akhir
makalah ini.
Kata Kunci : lahan kering, strata usahatani, teknologi mekanisasi pertanian

LATAR BELAKANG

Pertanian di Indonesia secara umum masih diusahakan dengan sistem tradisional dan
tingkat efisiensi produksinya relatif sangat rendah. Salah satu upaya peningkatan efisiensi
produksi dapat dilakukan dengan cara introduksi alat dan mesin pertanian. Namun introduksi
alsin yang kurang tepat dapat memperbesar inefisiensi produksi.
Kajian spesifik wilayah yang mempertimbangkan karakteristik fisik wilayah, kondisi
sosial ekonomi, sistem usahatani dan infrastruktur wilayah diperlukan dalam rangka
menentukan pilihan teknologi mekanisasi pertanian di suatu lokasi. Kajian dengan
mempertimbangkan faktor-faktor tersebut telah dilakukan oleh Balai Besar Mekanisasi
Pertanian untuk menetukan tingkat kesepadanan teknologi alsintan di suatu lokasi secara
spesifik wilayah (Hendriadi, 2004). Selanjutnya jenis alsin yang berpotensi untuk
dikembangkan dan sarana pendukung lainnya dapat direkomendasikan untuk lokasi tersebut.
Salah satu sistem usaha pertanian yang masih perlu ditingkatkan efisiensi
produksinya adalah sistem usaha pertanian di lahan kering. Di Indonesia jumlah lahan kering
mencapai 4.594.036 Ha di Jawa dan 57.779.658 Ha di luar Jawa (BPS, 2003). Lahan kering
mempunyai potensi yang cukup besar untuk meningkatkan pendapatan petani. Pada lahan
kering, berbagai jenis tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan dan kehutanan dapat
diusahakan. Dibandingkan dengan komoditas padi, harga produk hasil pertanian lahan kering
cukup tinggi dan sampai saat ini belum diusahakan secara maksimal. Dukungan alsintan
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi produksi dan optimalisasi pengolahan pasca
panennya, sehingga diharapkan pendapatan petani dapat meningkat.
Studi ini dilakukan di wilayah Nusa Tenggara Barat. Propinsi Nusa Tenggara Barat
memiliki luas lahan kering 702.999 Ha (BPS, 2003). Kabupaten Sumbawa mempunyai
potensi lahan kering terluas di Nusa Tenggara Barat dan sampai saat ini yang masih belum
termanfaatkan sebesar 56.297 Ha (BPS, 2003). Pada studi ini Desa Jurumapin, Kecamatan
Buer, Kabupaten Sumbawa menjadi lokasi terpilih dalam studi kasus pemilihan tingkat
teknologi mekanisasi dan potensi pengembangannya untuk mendukung program PRIMA
TANI NTB.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 704
Seminar Nasional 2005

Informasi dan data spesifik wilayah didapatkan dengan cara melakukan survey ke
Desa Jurumapin dan wawancara dengan aparat desa dan petani representatif. Selain itu data
pendukung juga didapatkan dari laporan survey lapangan Participatory Rural Apraisal
(PRA) BPTP NTB dalam rangka kegiatan Prima Tani (Anonim, 2005).

KONDISI FISIK, SISTEM USAHATANI, SOSIAL EKONOMI DAN


INFRASTRUKTUR DESA JURUMAPIN

Secara fisik wilayah, Desa Jurumapin terletak di dekat pantai, namun mempunyai
kontur lahan yang berbukit-bukit. Batas sebelah utara berbatasan dengan Desa Kalabeso,
sebelah selatan dengan Desa Batulanteh, sebelah barat dengan Desa Marente dan sebalah
selatan dengan Kecamatan Utan Rhee. Jarak ke ibu kota kecamatan 3 km, dan ke ibu kota
kabupaten 62 km. Secara geografis tinggi tempat sekitar 6,5 m dpl, curah hujan rata-rata 970
mm/tahun dan suhu rataan mencapai 34 C.
Data struktur penguasaan lahan jumlah KK yang kepemilikan lahannya 0,6-0,5 ha
sejumlah 393 orng, 1,1-1,5 ha sejumlah 182 orang , luas pemilikan 1,6-2,0 ha sejumlah 111
orang dan luas pemilikan 3-5 ha sejumlah 23 org. Kebanyakan lahan sawah bersatatus milik
sendiri. Untuk lahan kering, kelerengannya ke sungai antara 15-45%. Lahan kering terletak
di daerah berbukit dengan topografi lahan berkisar antara 10-22 m dpl. Kelompok tani baru
dibentuk pada tahun 2004 yang tergabung dalam gapoktan Tamase untuk mengaktifkan
usaha pertanian lahan kering. Total luas lahan kering yang diusahakan sekitar 120 Ha.
Usahatani utama di Desa Jurumapin adalah bercocok tanam padi. Selain itu
pendapatan petani lainnya diperoleh dari usahatani lahan kering kacang hijau, kedele,
jagung, mangga, mete, sawo, durian dan usaha peternakan kambing, ayam buras dan sapi.
Usahatani kacang hijau digemari oleh petani karena selain menghasilkan pendapatan yang
cukup besar, umurnya pendek, tidak membutuhkan air yang banyak, cara kerja dan
pemeliharaannya mudah, harganya baik, tidak membutuhkan modal yang banyak, dan
pemasarannya mudah. Walaupun usahatani kacang hijau lebih menguntungkan daripada
padi, sistem bertanam kacang hijau tidak seintensif bertanam padi. Selain ditanam di sawah,
kacang hijau juga ditanam sebagai tanaman sela di lahan kering di antara tanaman tahunan
mangga, mete dan lain-lain. Bertanam kacang hijau di Desa Jurumapin dengan sistem tanpa
olah tanah dan benih ditanam dengan cara disebar tanpa ada jarak tanam. Begitu pula
dengan penanaman kedele atau jagung. Benih langsung disebar tanpa adanya jarak tanam.
Selain itu sistem usahatani ini sangat minim pupuk, bahkan pupuk kandang/kompos sangat
jarang digunakan. Hal ini menyebabkan produktifitas tanaman-tanaman tersebut sangat
rendah.
Penanganan pasca panen primer kacang-kacangan pun masih bersifat tradisional.
Terdapat 2 cara sistem pembijian kacang hijau yang biasa digunakan di Desa Jurumapin
yaitu dengan cara manual/tenaga manusia (polong dipukul dengan kayu) atau cara lainnya
dengan cara diinjak dengan kuda. Untuk 1 area panen lahan, dibutuhkan 6 ekor kuda bekerja
selama 2 hari. Perontokan dengan mesin sangat jarang dilakukan karena jasa peyewaan
mesin perontok tidak tersedia di desa ini dan masih dirasakan mahal.
Jasa penyewaan alat dan mesin pertanian telah tersedia di daerah ini, walaupun
jumlahnya belum memadai dan kebanyakan masih bersifat tradisional. Jasa penyewaan yang
dikenal di daerah ini adalah traktor tangan, pengangkutan hasil dengan kuda, pengolahan
pasca panen dengan kuda.
Bengkel pendukung operasi alsintan belum terdapat di lokasi ini. Kerusakan kecil
pada alsin dapat diperbaiki di bengkel las/bengkel sepeda motor yang berjarak 4 km dari
Desa Jurumapin. Bengkel lengkap dan toko suku cadang terletak di Kecamtan Alas yang
berjarak 15 km dari Desa Jurumapin.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 705
Seminar Nasional 2005

Penyaluran sarana pertanian seperti pupuk dan obat-obatan dilakukan oleh KUD dan
toko sarana pertanian milik pribadi penduduk setempat. Toko sarana pertanian milik pribadi
menawarkan penyediaan sarana pertanian dengan sistem pembayaran setelah panen dengan
menggunakan gabah.
Lembaga finansial penyedia kredit telah melakukan upaya sosialisasi di daerah ini.
Beberapa lembaga kredit yang telah dikenal petani adalah Lumbung Kredit Pedesaan (LKP),
Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Pegadaian. Hasil wawancara menunjukkan bahwa adanya
lembaga finansial tersebut sangat bermanfaat dalam membantu modal usahatani. Lembaga
pegadaian lebih diminati karena kemudahan dalam administrasi permohonan pinjaman uang.
Pada saat ini jalan usahatani (farm road) belum tersedia di lokasi ini. Pemerintah
daerah berencana membuka jalan usahatani yang membelah lahan tersebut. Tujuan
pembuatan jalan ini untuk memperlancar petani ke lahannya.

KONSEPSI SELEKSI TINGKAT TEKNOLOGI MEKANISASI

Produksi, nilai tambah dan kualitas hasil dikaitkan dengan penggunaan teknologi.
Handaka 2005 menyebutkan bahwa pengembangan mekanisasi pertanian selalu memiliki
kaitan yang erat dengan perkembangan sistem usaha pertanian; secara khusus pengembangan
mekanisasi pertanian di Indonesia seyogyanga harus diawali dengan kebutuhan petani.
Berdasarkan perkembangan cara-cara usahatani di Indonesia, Handaka (2005) membedakan
4 tingkatan perkembangan sistem usahatani:
Tabel 1. Empat Tingkatan Sistem Usahatani

A B C D
Variabel Penentu
Strata Usahatani Usahatani Usahatani Semi Usahatani
Subsisten Berkembang Komersial Komersial
Input usahatani Semuanya Sebagian besar Semua dibeli dari Semuanya dibeli dan
diusahakan sendiri diusahakan pasar. Standard dan selalu memperhatikan
dari kebun atau sendiri, sebagian sertifikasi sudah standar yang sudah
tetangga dibeli diperhatikan dibakukan
Tenaga Kerja Keluarga dan Sebagian besar Sebagian besar Menggunakan tenaga
sebagian luar Tenaga dalam menggunakan kerja luar klg
tanpa cash keluarga tenaga luar klg
payment
Penggunaan Semuanya Sebagian besar Sudah dijual ke Dijual secara
output dikonsumsi untuk dikonsumsi untuk pasar yg dapat komersial ke pasar
keluarga keluarga dijangkau transport regional. Atau
lokal. Jika dijual diekspor jika
ada ketergantungan dipandang perlu
pada external
kolektor
Diversifikasi Belum mengenal Sebagian besar Sudah ada Produknya spesifik
Vertikal belum mengenal diversifikasi dan mengikuti pola
dan merasa perlu pasar
Pemanfaatan Masih Menggunakan Sudah mengenal Pemanfaatan kredit
kelembagaan menggunakan pasar lokal. kelembagaan pasar, usahatani dan pasar
mekanisme saling Koperasi sangat kios, koperasi yang tidak terbatas
tukar antar terbatas batas wilayah
tetangga
Sumber: Handaka, 2005

Sejalan dengan tingkat sistem usahatani, Agung Hendriadi (2004) telah merumuskan
4 tingkatan teknologi mekanisasi pertanian berdasarkan kriteria kondisi fisik, ekonomi-
sosial, infrastruktur dan sistem usahatani sebagai berikut:

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 706
Seminar Nasional 2005

Tabel 2. Kriteria Status Mekanisasi

Status Kondisi fisik Ekonomi-sosial Infrastruktur Usahatani


T4 Topografi (0-3%) - Pemilikan lahan ≥ 2 - Terdapat bengkel - Digunakan sarana
Curah hujan > 1800 ha alsintan produksi sesuai
mm/tahun - Tingkat pendidikan ≥ - Terdapat toko dengan ketentuan
SLTP suku cadang - Pola tanam 2-3
- Upah tenaga kerja memadai dan kali tanam/tahun
pertanian ≥ UMR mudah akses - Produkstifitas dan
- Tenaga kerja terbatas - Terdapat Farm efisiensi produksi
untuk pertanian road di atas rata-rata (≥
- Ada penguasaan - Institusi penyalur 125%)
pengetahuan alsintan sarana dan hasil - Orientasi pasar
(koperasi) bekerja melembaga
baik untuk semua
aspek
- Sumber informasi
teknis
T3 Topografi (3-8%) - Pemilikan lahan 1-2 - Terdapat bengkel - Penggunaan
Curah hujan 1400- ha sederhana sarana produksi
1800 mm/tahun - Tingkat pendidikan - Toko suku cadang sesuai ketentuan
rata-rata ≥ SD ada, tetapi tidak - Pola tanam 2-3
- Upah tenaga kerja pada farm level kali tanam/tahun
pertanian ≥ UMR - Terdapat farm - Produktifitas dan
- Tenaga kerja terbatas road efisiensi sedikit di
untuk kegiatan - Lembaga financial atas rata-rata
tertentu di bidang terbatas (100-124%)
pertanian - Institusi penyalur - Orientasi pasar
- Beberapa di antara sarana dan hasil kurang
pekerja mempunyai (koperasi) bekerja melembaga
pengetahuan teknis baik untuk hal
alsintan tertentu
T2 Topografi 8-15% - Pemilikan lahan rata- - Tidak terdapat - Penggunaan
Curah hujan 1000- rata 0.7-1 ha bengkel sarana produksi
1400mm/tahun - Tingkat pendidikan - Toko suku cadang tidak sesuai
rata-rata SD susah didapatkan ketentuan
- Upah tenaga kerja - Farm road terbatas - Pola tanam 1-2
pertanian < UMR - Lembaga financial kali tanam/tahun
- Tenaga kerja terbatas tidak terjangkau - Produktifitas dan
hanya untuk kegiatan - Institusi penyalur efisiensi sedikit
tertentu di bidang sarana dan hasil rata-rata (75-
pertanian (koperasi) belum 99%)
- Skill alsintan kurang bekerja baik - Orientasi pasar
tidak melembaga

T1 Topografi tidak - Pemilikan lahan rata- - Tidak terdapat - Penggunaan


mendukung > 15% rata < 0.7 ha bengkel Toko sarana produksi
Curah hujan < 1000 - Tingkat pendidikan suku cadang tidak tidak sesuai
mm/tahun rata-rata < SD tersedia. ketentuan
- Upah tenaga kerja - Farm road tidak - Pola tanam 1 kali
pertanian < UMR ada tanam/tahun
- Tenaga kerja - Lembaga financial - Produktifitas dan
melimpah tidak terjangkau efisiensi sangat
- Skill alsintan hampir - Institusi penyalur rendah ≤ 75%
tidak ada sarana dan hasil - Orientasi pasar
(koperasi) belum tidak melembaga
terbentuk
Sumber : Agung Hendriadi, 2004

Berdasarkan data dan informasi pada bagian 2, secara garis besar sistem usaha
pertanian di Desa Jurumapin berada pada status usahatani berkembang dan status
mekanisasinya berada pada wilayah T2. Topografi lahan kering pada saat ini memang tidak
memungkinkan untuk masuknya alat mesin pertanian yang movable, namun apabila rencana
pembangunan jalan telah direalisasikan akan membantu memudahkan masuknya alat dan
mesin pertanian tersebut pada beberapa lokasi.

707
Seminar Nasional 2005

REKOMENDASI PILIHAN TINGKAT TEKNOLOGI ALAT DAN MESIN


PERTANIAN UNTUK SUT LAHAN KERING DESA JURUMAPIN

Berdasarkan penjelasan sebelumnya sistem usahatani di Desa Jurumapin pada saat


ini masih berstatus sistem usahatani berkembang, dengan tingkat kesepadanan mekanisasi
pertanian pada T2. Pada sistem usahatani di daerah ini penduduk di Desa Jurumapin dapat
diperkenalkan dengan alat dan mesin pertanian dengan skala kecil, atau yang bersifat semi
mekanis dan mudah dalam pengoperasian dan perawatannya. Peluang penggunaan alsintan
untuk mendukung usaha pertanian lahan kering di daerah ini cukup besar, karena lahan
garapan per KK cukup luas, melebihi 1 ha. Sementara itu petani dengan usia kurang dari 40
tahun sangat rendah, kebanyakan usia petani melebihi 40 tahun. Selanjutnya, petani di
daerah ini menyadari usaha pertanian yang hanya mengandalkan lahan sawah tidak akan
memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi penambahan pendapatan mereka dan salah
satu andalan sumber pendapatan adalah dari usahatani lahan kering.
Namun untuk mendukung keberlanjutan penggunaan alsintan, satu hal yang perlu
digarisbawahi, infrastruktur penting yang perlu dipersiapkan pada saat ini adalah adanya
jalan yang dapat memudahkan penggunaan alsintan yang bergerak atau movable. Di samping
itu pembinaan teknis pengoperasian dan perawatan alat dan mesin pertanian serta bengkel
pendukung perlu ditumbuhkan. Dengan terbangunnya infrastruktur yang mendukung
tersebut, maka untuk peningkatan luas tanam, traktor tangan direkomendasikan untuk
digunakan.
Ketersediaan air juga perlu mendapatkan perhatian penting pada saat ini. Sumber
mata air kemungkinan dapat dioptimalkan pemanfaatannya sebagai penunjang pengairan
lahan. Lokasi mata air tersebut terletak lebih tinggi dari lahan pertanian diusahakan,
sehingga dapat dialirkan secara langsung dengan cara gravitasi. Namun, data-data detail
mengenai ketersediaan air sepanjang musim belum didapatkan dan kemungkinan masih
diperlukan penelitian detail mengenai hal ini yang data-datanya penting untuk digunakan
dalam desain sistem pengairan di lokasi ini.
Dalam upaya peningkatan efisiensi produksi dan peningkatan nilai tambah,
introduksi alsintan sebagai alat penunjang perlu dilakukan. Berdasarkan kondisi di lapangan
beberapa alat dan mesin pertanian yang kemungkinan dapat diintroduksikan :

 Alat dan mesin penanam biji-bijian


Alat dan mesin ini kemungkinan diperlukan untuk mendukung perubahan
kebiasaan petani dalam menanam biji-bijian baik pada lahan sawah maupun lahan
kering. Penanaman dengan sistem tugal dan menggunakan jarak tanam sebenarnya sudah
diketahui. Namun keengganan petani disebabkan karena ketidaknyamanan kerja sistem
tugal manual. Balai Besar Mekanisasi Pertanian telah merekayasa mesin penanam biji-
bijian baik yang ditarik traktor roda 2 maupun traktor roda 4. Mesin ini dapat
diintroduksikan dengan cara UPJA bersama-sama dengan penyewaan traktor. Hasil
analisis ekonomi usaha penyewaan alsin penanam (4 baris) ditarik dengan traktor roda 2
menyebutkan bahwa harga sewa yang layak sekitar Rp 75.000/ha dengan asumsi harga
solar Rp 1.500/liter (Koes Sulistiadji dkk, 2001). Dengan adanya kenaikan harga BBM
harga sewa mencapai Rp 100.000/ha.

 Alat Perontok
Perontokan dan pembijian saat ini masih menggunakan tenaga manusia/dipukul
dengan kayu. Pembijian juga dilakukan dengan menggunakan tenaga kuda, dengan cara
diinjak-injak. Cara ini kurang higienis dan kemungkinan susut hasilnya cukup besar.
Kemungkinan perlu diintroduksikan alat perontok yang bersifat semi mekanis.

708
Seminar Nasional 2005

Alat dan mesin lainnya yang kemungkinan berpotensi untuk diperkenalkan adalah
alat dan mesin pendukung panen dan pasca panen tanaman perkebunan dan buah-buahan
seperti alat pemanen mangga, pemanen mete, kacip dan lain-lain.

KESIMPULAN

Sistem usaha pertanian di Desa Jurumapin berada pada strata sistem usahatani
berkembang, yang bercirikan di antaranya penggunaan hasil sebagian besar untuk
dikonsumsi sendiri. Seiring dengan strata sistem usaha pertaniannya, tingkatan teknologi
mekanisasi pertaniannya berada pada tingkatan T2, dimana terdapat keterbatasan beberapa
sarana fisik, ekonomi-sosial dan sistem usahataninya, namun peluang pengembangan alat
dan mesin sederhana dapat dilakukan. Ketersediaan lahan kering yang belum dimanfaatkan
dan kesadaran akan peningkatan pendapatan dapat diperoleh melalui pengembangan
usahatani lahan kering, mendorong petani untuk mengolah lahan ini dengan berbagai
tanaman unggulan seperti kacang hijau, kedele, jagung mete, mangga, durian dan lain-lain.
Untuk menunjang keberlanjutan produksi pertanian lahan kering, infrastruktur pendukung
seperti adanya farm road dan penyediaan sarana air dari potensi sumber air yang ada saat ini
perlu diwujudkan. Peningkatan mutu dan kualitas hasil pada saat ini dapat ditingkatkan
dengan penerapan alat dan mesin pasca panen primer sederhana. Rekomendasi alat dan
mesin pertanian yang dapat diterapkan di wilayah ini di antaranya adalah :
Tabel 3. Rekomendasi Introduksi Alat dan Mesin Pertanian

Jenis alat dan mesin pertanian Keterangan


1. Alat tanam biji-bijian Untuk perbaikan sistem usahatani dan peningkatan
produktifitas lahan dengan merubah cara tanam saat
ini
2. Penggunaan traktor tangan Untuk mendukung perluasan areal tanam
3. Alat perontok biji-bijian Untuk mendukung perbaikan kualitas hasil dan
efisiensi produksi
4. Alat pemanen mangga Untuk mendukung perbaikan kualitas hasil
5. Alat panen mete Untuk mendukung perbaikan kualitas hasil
6. Kacip Untuk mendukung perbaikan kualitas hasil
7. Alat-alat pengolahan pasca panen sederhana Untuk mendukung usaha peningkatan nilai tambah
contoh pengoalahan nira, buah semu mete dll hasil pertanian

Hal yang tidak kalah pentingnya dalam upaya menunjang keberlanjutan sistem
usahatani adalah dukungan pembinaan teknis dan perawatan alat dan mesin pertanian serta
pentingnya sistem kelembagaan yang mau menunjang investasi kredit kepemilikan alat dan
mesin pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2005. Laporan PRA Desa So Nggajah dan Desa Jurumapin. Prima Tani Nusa
Tenggara Barat.
BPS 2003. Luas lahan dan penggunaannya 2003. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
Handaka 2005. Kontribusi Strategis Mekanisasi Pertanian pada Revitalisasi. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian, Cipayung 4 Agustus
2005.
Hendriadi 2004. Penelitian dan Pengkajian untuk Seleksi dan Pengembangan Model
Penerapan Alsintan. Laporan Akhir Kegiatan. Balai Besar Mekanisasi Pertanian.
Koes Sulistiadji dkk, 2001. Rekayasa Alsin Penanam Kacang-Kacangan. Laporan Akhir
Tahun. Balai Besar Pengembangan Alat dan Mesin Pertanian Serpong.

709
Seminar Nasional 2005

HUBUNGAN STRUKTUR TENAGA KERJA DAN KESEMPATAN KERJA


DENGAN MOBILITAS TENAGA KERJA DI PEDESAAN LOMBOK TIMUR
Kasus Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur

Sri Hastuti Suhartini, Kukuh Wahyu W, dan Yohanes G Bulu


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB

ABSTRAK

Terbatasnya lapangan kerja merupakan issue nasional dan dari tahun ke tahun jumlah pengangguran
semakin meningkat. Salah satu penyebab kurangnya lapangan kerja adalah jumlah angkatan kerja dibandingkan
dengan kesempatan kerja yang tersedia tidak seimbang. Di satu sisi angkatan kerja terutama angkatan kerja muda
cenderung tidak tertarik bekerja di pedesaan. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis struktur tenaga kerja,
kesempatan kerja dan mobilitas tenaga kerja di pedesaan. Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah
studi kasus di Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia, Lombok Timur. Pengumpulan data dilakukan tahun 2004
dengan diskusi kelompok secara partsipatif. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder tingkat
kecamatan dan kabupaten, analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil kajian
menunjukkan bahwa : (1) jumlah tenaga kerja di kabupaten Lombok Timur tahun 2003 sebesar 64 persen, yang
terdiri dari 49 persen angkatan kerja dan 15 persen bukan angkatan kerja; (2) kualitas tenaga kerja yang diproksi
dari tingkat pendidikan formal masih rendah, mayoritas tenaga kerja (55,9%) berpendidikan rendah (SD
tamat/tidak tamat), dan tidak sekolah (24,7%); (3) struktur kesempatan kerja didominasi oleh sektor pertanian
(70%), dan tingkat partisipasi kerja wanita secara umum sebanding dengan tingkat partisipasi kerja pria; (4)
terbatasnya kesempatan kerja dan rendahnya tingkat upah di pedesaan menyebabkan tenaga kerja migrasi ke luar
daerah, dengan tujuan migrasi ke luar daerah dan juga ke luar negeri; (5) potensi tenaga kerja cukup tinggi namun
kualitas tenaga masih rendah. Upaya peningkatan sumberdaya tenaga kerja dan penciptaan kesempatan kerja
yang mengarah pada berkembangnya agroindustri dan agribisnis sangat diperlukan untuk mempercepat
pembangunan pedesaan dan mengurangi migrasi tenaga kerja.
Kata kunci : tenaga kerja, kesempatan kerja, mobilitas tenaga kerja

PENDAHULUAN

Tujuan akhir dari pembangunan nasional adalah meningkatkan kesejahteraan


anggota masyarakat, termasuk anggota masyarakat pedesaan. Perwujudan dari upaya
tersebut antara lain dapat dilakukan dengan meningkatkan pendapatan melalui perluasan
kesempatan kerja (Nurmanaf, 1985). Pembangunan yang telah dilakukan secara menyeluruh
semenjak masa Orde Baru telah memberikan hasil nyata dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat umumnya dan di sektor pertanian khususnya. Hal ini dicirikan diantaranya oleh
peningkatan pendapatan per kapita, tercapainya swasembada pangan, peningkatan produksi
pertanian, perkembangan industri pertanian, peningkatan pembangunan prasarana, serta
peningkatan jumlah dan kualitas sumberdaya manusia terdidik (Ichimura, 1989 dalam
Susilowati dkk, 2000).
Perubahan struktur kesempatan kerja telah terjadi dari waktu ke waktu sejalan
dengan kondisi perekonomian masyarakat. Perubahan yang terjadi pada struktur tenaga kerja
tidak hanya terbatas pada perubahan komposisi tenaga kerja menurut lapangan usaha,
melainkan juga menurut status dan jenis pekerjaan.
Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah untuk memperluas kesempatan kerja
belum menunjukkan hasil optimal. Sampai saat ini terbatasnya lapangan kerja merupakan
issue nasional dan dari tahun ke tahun jumlah pengangguran semakin meningkat. Salah satu
penyebab kurangnya lapangan kerja adalah jumlah angkatan kerja dibandingkan dengan
kesempatan kerja yang tersedia tidak seimbang. Di satu sisi angkatan kerja terutama
angkatan kerja muda cenderung tidak tertarik bekerja di pedesaan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, tulisan ini bertujuan untuk menyajikan
informasi struktur tenaga kerja, kesempatan kerja dan mobilitas tenaga kerja di pedesaan
khususnya di Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur.

710
Seminar Nasional 2005

METODE PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah studi kasus di Desa Sambelia,
Kecamatan Sambelia, Lombok Timur. Pengumpulan data dilakukan tahun 2004 dengan
diskusi kelompok secara partsipatif. Data yang digunakan adalah data primer dan data
sekunder tingkat kabupaten. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan
kuantitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Struktur Tenaga Kerja


Definisi tenaga kerja yang dimaksud dalam pembahasan ini sesuai dengan definisi
yang digunakan BPS yaitu penduduk berusia 15 tahun atau lebih. Tenaga kerja terdiri dari
angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Kelompok angkatan kerja terdiri dari golongan
yang bekerja dan golongan yang menganggur dan mencari pekerjaan. Sementara itu
kelompok bukan angkatan kerja terdiri dari golongan yang bersekolah, mengurus
rumahtangga dan golongan lain penerima pendapatan (Simanjuntak, 1985).
Pada tahun 2003 jumlah tenaga kerja di Kabupaten Lombok Timur sebesar 64
persen atau 569.717 jiwa yang terdiri dari 49 persen angkatan kerja dan 15 persen bukan
angkatan kerja (Tabel 1). Sementara itu jumlah tenaga kerja di Kecamatan Lombok Timur
pada tahun 2002 mencapai 63 persen (BPS Lombok Timur, 2003).
Tabel 1. Penduduk Berusia 15 Tahun Keatas Menurut Jenis Kegiatan di Kabupaten Lombok Timur, 2003

Penduduk
Golongan Proporsi (%)
Laki-laki Perempuan Jumlah
1. Angkatan kerja 238353 236122 474475 48,7
 Bekerja 224451 214415 438866 45,1
 Mencari pekerjaan 13902 21707 35609 3,7
2. Bukan angkatan kerja 42381 108696 151077 15,5
 Sekolah 22888 21566 44454 4,6
 Lainnya 19493 87130 106623 11,0
3. Jumlah tenaga kerja 280734 344818 625552 64,3
4. Jumlah penduduk 457793 515503 973296 100,0
Sumber : BPS Lombok Timur, 2003

Berdasarkan data pada Tabel 1 tersebut dapat dihitung timgkat partisipasi angkatan
kerja yaitu proporsi angkatan kerja yang bekerja terhadap jumlah angkatan kerja dan tingkat
pengangguran yaitu proporsi angkatan kerja yang mencari pekerjaan terhadap jumlah
angkatan kerja. Tingkat partisipasi angkatan kerja di Kabupaten Lombok Timur mencapai
92,5 persen, berarti tingkat pengangguran pada tahun tersebut sebesar 7,5 persen.
Komposisi tenaga kerja di Kabupaten Lombok Timur menurut tingkat pendidikan
dapat dilihat pada Tabel 2. Mayoritas tenaga kerja di Kabupaten Lombok Timur
berpendidikan rendah. Tenaga kerja yang tidak tamat SD dan tamat SD berjumlah 55,9
persen, sedangkan tenaga kerja yang tidak sekolah sebesar 24,7 persen. Pada umumnya
persentase perempuan yang berpendidikan rendah lebih besar dibandingkan laki-laki.
Tingginya proporsi tenaga kerja yang berpendidikan rendah tersebut secara umum
menunjukkan rendahnya kualitas tenaga kerja di Kabupaten Lombok Timur.

711
Seminar Nasional 2005

Tabel 2. Persentase Penduduk Berusia 15 tahun Keatas Menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan di
Kabupaten Lombok Timur, 2003

Pendidikan Laki-laki Perempuan Rata-rata


Tidak/belum pernah sekolah 18,70 30,62 24,70
Tidak/belum tamat SD 30,87 28,63 29,70
SD 27,62 24,74 26,20
SMP 12,75 9,54 11,10
SMU 7,88 5,28 6,60
Diploma/PT 2,19 1,2 1,70
Sumber : BPS Lombok Timur, 2003

B. Struktur Kesempatan Kerja


Gambaran Umum Kabupaten Lombok Timur
Komposisi tenaga kerja di Kabupaten Lombok Timur menurut lapangan kerja tahun
2003 dapat dilihat pada Tabel 3. Data pada tabel tersebut merupakan gambaran struktur
kesempatan kerja di Kabupaten Lombok Timur pada umunya.
Tabel 3. Persentase Penduduk Berusia 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten
Lombok Timur, 2003

Lapangan pekerjaan utama Laki-laki Perempuan Jumlah


Pertanian tanaman pangan 19,63 18,45 38,08
Perkebunan 11,49 11,43 22,92
Perikanan 1,54 0,35 1,89
Peternakan 1,06 0,35 1,41
Pertanian lain 2,96 2,66 5,62
Industri pengolahan 1,60 3,20 4,80
Perdagangan 3,70 8,16 11,86
Jasa-jasa 7,26 3,68 10,95
Angkutan 2,38 0,09 2,48
Jumlah 51,62 48,38 100,00
Sumber : BPS Lombok Timur, 2003

Struktur kesempatan kerja di Kabupaten Lombok Timur didominasi oleh sektor


pertanian dalam arti luas. Jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian mencapai 70
persen dari total tenaga kerja. Secara umum tingkat partisipasi wanita di semua sektor
lapangan usaha sebanding dengan tingkat partisipasi kerja pria.

Kasus Desa Sambelia


Sebagian besar penduduk desa Sambelia adalah petani yang bekerja disektor pertanian
tanaman pangan, perkebunan dan peternakan, baik sebagai petani pemilik/penggarap
maupun sebagai buruh tani. Disamping itu, sebagian masyarakat bekerja diluar sektor
pertanian sebagai buruh bangunan, pengojek, supir cidomo, pedagang bakulan, pembuat batu
bata, pencari kayu bakar, dan pencari madu dihutan.

712
Seminar Nasional 2005

Tabel 4. Kesempatan Kerja di Desa Sambelia, Kabupeten Lombok Timur, 2004

Kegiatan Laki-laki Perempuan


1. On farm
a. Usahatani lahan sawah X X
b. Usahatani lahan kering X X
c. Peternakan X X
2. Off farm
a. Buruh tani X X
b. Mencari madu X -
3. Non farm
a. Tukang/buruh bangunan X -
b. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) X X
c. Jasa ojek X -
d. Pedagang/kios X X
e. Industri batu bata X -
f. Menjual kayu bakar. X X
Sumber : Data primer (diolah)

Optimalisasi pemanfaatan waktu luang untuk menghasilkan pendapatan yang lebih


besar karena tuntutan kebutuhan hidup yang semakin tinggi sangat berpengaruh dalam
membentuk pola kehidupan masyarakat Sambelia. Bekerja secara serabutan disegala bidang,
baik dibidang on farm, off farm maupun non farm merupakan salah satu ciri kehidupan
masyarakat desa Sambelia. Secara umum, melakukan aktivitas dibidang pertanian
merupakan rutinitas kehidupan masyarakat desa Sambelia sepanjang tahun, sedangkan
aktivitas dibidang non farm merupakan kegiatan sambilan untuk mengisi waktu luang bagi
petani dan merupakan kegiatan utama bagi yang bukan petani.

C. Kegiatan On Farm
Usahatani Lahan Sawah
Kesempatan kerja pada usahatani lahan sawah yaitu pada usahatani padi dan
usahatani palawija. Kegiatan pada usahatani padi meliputi kegiatan pembibitan, pengolahan
tanah, penanaman, pemupukan, penyiangan, panen dan pasca panen. Tenaga kerja yang
terlibat pada kegiatan pembibitan dan pengolahan tanah umumnya hanya tenaga kerja pria.
Sementara itu pada kegiatan penanaman tenaga kerja yang banyak berperan pada umumnya
tenaga kerja wanita sedangkan tenaga kerja pria hanya berperan pada pencabutan dan
pengangkutan bibit. Pemupukan dilaksanakan oleh tenaga kerja pria, sedangkan penyiangan
sebagian besar dikerjakan oleh wanita. Tenaga kerja yang banyak terlibat pada pekerjaan
panen adalah tenaga kerja wanita, sedangkan tenaga kerja laki-laki hanya terlibat pada
pekerjaan menyabit dan pengangkutan hasil.
Jenis palawija yang dominan diusahakan petani terdiri atas jagung dan kacang tanah.
Budidaya palawija di desa Sambelia dilakukan dengan dua cara yaitu dengan pengolahan
tanah minimal dan tanpa olah tanah. Pengolahan tanah dikerjakan oleh tenaga kerja pria.
Pada pekerjaan penanaman yang lebih dominan berperan adalah tenaga kerja wanita
sedangkan tenaga kerja pria hanya bertugas membuat lubang tanam dengan tugal.
Penyiangan dan pemupukan umumnya didominasi oleh tenaga kerja wanita. Pengendalian
hama dan penyakit oleh petani hanya bersifat preventif, artinya bila terjadi serangan hama
baru dilakukan tindakan PHT yang biasanya dikerjakan oleh pria. Panen jagung dan kacang
tanah biasanya tenaga kerja yang berperan adalah wanita.

Usahatani Lahan Kering


Pola tanam dilahan kering/tegalan umumnya adalah pola tumpangsari. Tanaman
yang ditumpangsarikan yaitu padi gogo, jagung, tomat, cabe dan kacang tanah. Disamping
dipergunakan untuk usahatani tanaman musiman, tegalan/ladang yang biasanya berupa lahan
kering juga ditanami dengan tanaman tahunan.

713
Seminar Nasional 2005

Usahatani tanaman semusim di lahan kering biasanya dimulai dengan kegiatan


pembersihan lahan yang dikerjakan dengan cara tebas bakar atau dikenal dengan istilah
bahasa setempat yaitu berambas. Pembersihan lahan dan pengolahan tanah lebih banyak
dikerjakan oleh tenaga kerja pria sedangkan wanita hanya berpartisipasi pada pembersihan
lahan.
Pekerjaan tanam padi gogo didominasi wanita sedangkan pria bertugas membuat
lubang tanam dengan cara tugal. Penyiangan didominasi oleh tenaga kerja wanita, hanya
sebagian kecil pria yang berpartisipasi pada kegiatan ini. Sebaliknya pada pemupukan,
tenaga kerja pria lebih dominan dari pada wanita. Pengendalian hama penyakit bersifat
preventif yaitu apabila terjadi serangan hama baru dilakukan aplikasi pestisida. Pekerjaan
panen bisanya dikerjakan tenaga kerja pria dan wanita secara bersama-sama.
Usahatani tanaman tahunan kususnya jambu mete biasanya diawali dengan
pembersihan lahan, pembuatan lubang dan penanaman. Tenaga kerja yang terlibat dalam
pembuatan lubang dan penanaman umumnya adalah laki-laki.

Peternakan
Ternak umumnya dipelihara dipekarangan dan belum diusahakan secara intensif
untuk tujuan-tujuan komersiil tetapi lebih banyak berperan sebagai tabungan keluarga untuk
mengatasi kebutuhan uang yang mendesak. Jenis ternak yang banyak dipelihara yaitu dari
jenis unggas (ayam dan itik) dan ternak kecil (kambing dan domba).

D. Kegiatan Off Farm


Kegiatan off farm sangat sedikit dijumpai di desa ini yaitu hanya terbatas pada buruh
tani dan pencari madu. Pekerjaan buruh tani umumnya dilakukan oleh petani yang memiliki
lahan sempit dan yang tidak memiliki lahan. Pekerjaan buruh tani dilakukan di dalam desa
maupun di luar desa, di luar kecamatan dan kabupaten. Kabupaten yang menjadi tujuan
buruh tani yaitu Sumbawa dan Dompu sebagai tenaga kerja pada saat panen. Kegiatan
berburuh tani dapat dilakukan sepanjang tahun karena pola tanam di desa Sambelia tiga kali
setahun dan ketersediaan lapangan pekerjaan dengan menerima upahan sebagai buruh tani
panen di luar kecamatan dan kabupaten dengan tingkat upah yang cukup tinggi.
Selain berburuh tani kegiatan off farm lain yang dikerjakan adalah mencari madu ke
hutan. Pekerjaan ini umumnya dilakukan dimusim kemarau yaitu pada bulan Maret, April
dan Mei serta Oktober, Nopember dan Desember. Aktivitas ini umumnya dilakukan oleh
laki-laki dengan lama pergi kehutan antara 4-5 hari. Di musim hujan aktivitas kegiatan ini
berkurang.

E. Kegiatan Non Farm


Kegiatan Non Farm di desa Sambelia tidak tergantung pada musim. Kegiatan non
farm merupakan pekerjaan pokok bagi mereka yang bukan petani dan merupakan kegiatan
sambilan bagi mereka yang berprofesi sebagai petani untuk mengisi waktu luang dan sebagai
tambahan pendapatan. Kegiatan non farm yang banyak dikerjakan masyarakat desa Sambelia
adalah sebagai tukang/buruh bangunan, Tenaga Kerja Indonesia (TKI), jasa ojek,
pedagang/kios, industri batu bata dan menjual kayu bakar.

Tukang/Buruh Bangungan
Sebagian warga desa Sambelia berprofesi sebagai tukang dan buruh bangunan.
Pekerjaan ini dilakukan di dalam desa maupun di luar desa. Tujuan keluar desa yaitu Bali,
Kalimantan, Sumbawa, Dompu, dan Sumatera. Pekerjaan menjadi tukang dan buruh
bangunan paling banyak dilakukan sekitar bulan Juni sampai dengan Oktober atau pada saat
musim kemarau dimana permintaan tenaga kerja sebagai buruh tani sudah mulai berkurang.
Lama mereka bekerja di luar desa berkisar 1-12 bulan dan bahkan ada yang sampai dua

714
Seminar Nasional 2005

tahun. Umumnya mereka yang bekerja sebagai tukang maupun buruh bangunan kembali ke
desa menjelang musim tanam tiba. Pekerjaan ini umumnya dinominasi oleh kaum pria.

Tenaga Kerja Indonesia (TKI)


Penduduk desa Sambelia yang bekerja sebagai TKI umumnya adalah mereka yang
berpendidikan rendah. Hal tersebut karena jenis pekerjaan mereka di negara tujuan sebagian
besar sebagai pembantu rumah tangga dan buruh di perkebunan kelapa sawit yang tidak
menuntut ketrampilan khusus. Negara yang menjadi tujuan TKI khususnya tenaga kerja
wanita yaitu Arab Saudi, Thailand dan Singapura untuk bekerja sebagai pramuwisma. TKI
laki-laki sebagian besar pergi ke Malaysia untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa
sawit. Alasan utama mereka bekerja menjadi TKI karena tertarik pada upah yang tinggi yang
selanjutnya diharapkan dapat dipergunakan untuk memperbaiki taraf kehidupan. Cerita
keberhasilan dengan melihat bukti nyata dari mereka yang berangkat memperbesar animo
masyarakat sebagai TKI. Besarnya animo masyarakat sebagai TKI dapat dilihat dari jumlah
dan frekwensi keberangkatan setiap bulannya yang cukup tinggi, baik secara legal melalui
PJTKI maupun yang menempuh jalan illegal.
Pendapatan yang mereka peroleh sebagai TKI tidak dipergunakan untuk melakukan
investasi pada bidang usaha yang bersifat produktif. Sebagian besar pendapatan yang
mereka peroleh sebagai TKI dipergunakan untuk melunasi hutang maupun pemenuhan hal-
hal yang bersifat konsumtif seperti membuat rumah dan membeli alat-alat electronic.
Kenyataan ini dapat dilihat dari banyaknya pembangunan rumah didaerah-daerah yang
banyak memberangkatkan TKI baik rumah yang sudah jadi maupun setengah jadi karena
menunggu kiriman uang untuk proses penyelesaian.

Jasa Transportasi
Profesi sebagai tukang ojek didominasi oleh laki-laki. Sebagian dari mereka
menjadikan ojek sebagai mata pencarian utama dan sebagian lainnya sebagai sambilan atau
mengisi waktu luang. Pekerjaan ini hampir dilakukan sepanjang tahun, dan berkurang selama
musim hujan. Frekuensi penggunaan ojek meningkat pada hari-hari besar keagamaan dan
perayaan hari raya nasional.

Pedagang Bakulan dan Kios/Toko


Pekerjaan sebagai pedagang bakulan umumnya dikerjakan wanita. Jenis dagangan
mereka umumnya hasil pertanian untuk keperluan sehari-hari yang dijual di pasar desa. Sifat
usaha pedagang bakulan karena memperdagangkan hasil pertanian maka sangat bergantung
pada musim dari komoditas yang diperdagangkan. Kios/toko terdapat di sekitar pekarangan
rumah yang terletak di sepanjang jalan raya. Kios/toko banyak terkonsentrasi dijalan raya
dekat pasar. Jenis barang yang dijual di kios terdiri atas barang kebutuhan sehari-hari untuk
keperluan rumah tangga sampai dengan bahan bangunan. Kios/toko bisanya buka setiap hari.

Usaha Kayu Bakar


Pekerjaan mencari kayu bakar dilakukan oleh laki-laki maupun wanita, dan
dilakukan hampir sepanjang tahun. Aktivitas ini mengalami peningkatan pada musim
kemarau yaitu antara bulan Juni sampai dengan September karena pekerjaan sebagai buruh
tani pada bulan-bulan tesebut sudah mulai berkurang. Sebagian kayu bakar yang
dikumpulkan berupa sisa-sisa penebangan kayu liar dan sebagian lainnya berupa
penebangan pohon secara langsung. Menurut informasi petani setempat, lokasi pencarian
kayu bakar sudah semakin jauh masuk kedalam hutan. Hal ini menunjukkan bahwa
kerusakan hutan akibat pencarian kayu bakar sudah semakin parah yang selanjutnya dapat
mengkibatkan terganggunya keseimbangan lingkungan.

715
Seminar Nasional 2005

Industri Pembuatan Bata


Pembuatan batu bata umumnya dikerjakan pada musim kemarau antara bulan Mei
sampai dengan Nopember. Dimusim hujan aktivitas pembuatan batu bata menurun,
disamping karena hujan juga karena kegiatan tanam baik disawah maupun diladang sudah
akan dimulai. Pekerjaan membuat batu bata merupakan pekerjaan sampingan, karena
aktivitas ini terjadi apabila ada pesanan. Pria dan wanita mengambil bagian dalam pekerjaan
ini.

F. Mobilitas Tenaga Kerja


Sebagian besar migrasi penduduk desa Sambelia bertujuan untuk mencari pekerjaan.
Sebagian kecil lainnya mempunyai tujuan yang berbeda yaitu sekolah, mencari informasi,
berjualan di pasar luar desa dan luar Kecamatan Sambelia.
Migrasi penduduk yang bekerja sebagai buruh tani ke luar desa dan kecamatan
terdekat sebagian besar buruh tani wanita. Tenaga kerja laki-laki bekerja sebagai buruh tani
ke kecamatan yang relatif jauh seperti ke Kecamatan Aikmel dan ke luar kabupaten seperti
Kabupaten Sumbawa dan Dompu. Tenaga kerja yang bekerja sebagai buruh tani di luar desa
maupun luar kecamatan yang terletak diseputaran pulau Lombok lebih bersifat komuter
(bolak-balik). Sedangkan buruh tani yang bekerja ke luar kabupaten seperti ke kabupaten
Sumbawa dan Dompu sebagai tenaga kerja panen bersifat musiman dengan lama menetap
berkisar antara 1 – 2 bulan. Penduduk yang migrasi untuk membeli sarana produksi,
berjualan di pasar, mencari informasi harga pasar komoditas pertanian/ternak dan mencari
informasi teknologi di luar desa dan kecamatan lebih bersifat komuter.
Penduduk yang migrasi untuk bekerja sebagai buruh bangunan ke luar kabupaten,
dan ke luar propinsi bersifat musiman dengan lama menetap berkisar antara 1 – 2 bulan.
Secara umum penduduk yang bekerja sebagai buruh bangunan, baik di dalam desa, di luar
desa, di luar kecamatan, di luar kabupaten NTB maupun di luar propinsi hampir semuanya
adalah laki-laki. Penduduk yang migrasi dengan tujuan sekolah, baik yang sekolah di kota
Mataram maupun di luar propinsi adalah bersifat tahunan dengan lama menetap berkisar
antara 4 – 6 tahun.
Penduduk yang migrasi untuk bekerja sebagai TKI ke luar negeri didominasi oleh
TKI perempuan dengan negara tujuan Arab Saudi, Singapura dan Thailand. Hal ini
disebabkan oleh permintaan tenaga kerja dari negara tersebut sebagian besar adalah
perempuan. Sedangkan TKI yang bekerja ke Malaisya lebih banyak laki-laki karena
dipekerjakan pada perkebunan-perkebunan swasta maupun milik perorangan. TKI yang
bekerja di luar negeri lebih bersifat tahunan dengan lama menetap berkisar antara 2 – 3
tahun. Bahkan diantara TKI, terutama yang bekerja di Malaysia lebih memilih pindah
kewarganegaraan atau menetap sebagai warga negara Malaysia.
Secara umum penduduk yang migrasi sebagai buruh tani, buruh bangunan maupun
TKI mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk mencari pekerjaan. Hal ini karena kurangnya
lapangan pekerjaan di desa dan tertarik pada upah yang relatif tinggi. Faktor utama yang
menyebabkan orang mencari pekerjaan adalah karena faktor ekonomi. Harapan mereka
bekerja sebagai TKI maupun buruh bangunan adalah untuk merubah kondisi sosial ekonomi
rumah tangganya serta menginginkan suatu perubahan status sosial ekonomi.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Jumlah tenaga kerja di Kabupaten Lombok Timur tahun 2003 sebesar 64 persen, yang
terdiri dari 49 persen angkatan kerja dan 15 persen bukan angkatan kerja.
2. Kualitas tenaga kerja yang diproksi dari tingkat pendidikan formal masih rendah,
mayoritas tenaga kerja (55,9%) berpendidikan rendah (SD tamat/tidak tamat), dan tidak
sekolah (24,7%).

716
Seminar Nasional 2005

3. Struktur kesempatan kerja didominasi oleh sektor pertanian (70%). Hal ini nampak dari
tingginya tingkat partisipasi kerja di sektor pertanian. Tingkat partisipasi kerja wanita
secara umum sebanding dengan tingkat partisipasi kerja pria.
4. Terbatasnya kesempatan kerja dan rendahnya tingkat upah di pedesaan menyebabkan
tenaga kerja migrasi ke luar daerah dengan tujuan migrasi selain ke luar daerah juga ke
luar negeri.
5. Potensi tenaga kerja cukup tinggi namun kualitas tenaga masih rendah karena itu upaya
peningkatan sumberdaya tenaga kerja dan penciptaan kesempatan kerja yang mengarah
pada berkembangnya agroindustri dan agribisnis sangat diperlukan untuk mempercepat
pembangunan pedesaan dan mengurangi migrasi tenaga kerja

DAFTAR PUSTAKA

BPS Kabupaten Lombok Timur. 2003. Kabupaten Lombok Timur dalam Angka 2003.
Selong.
Nurmanaf, A.R. 1985. Pola Kesempatan Kerja dan Sumber Pendapatan Rumahtangga di
Pedesaan Jawa Barat. Forum Agro Ekonomi 4(I): 1-7. Pusat Penelitian Sosial
Pertanian, Bogor.
Simanjuntak, P.J. 1995. Pengantar Ekonomi Sumberdaya Manusia. Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Susilowati, S.H, E. Suryani dan Erwidodo. 2000. Struktur Tenaga Kerja dan Kesempatan
Kerja di Pedesaan Jawa Tengah, Pusat Penelitian Sosial Pertanian, Bogor.

717
Seminar Nasional 2005

OPTIMALISASI EMBUNG DALAM PENGEMBANGAN USAHATANI


LAHAN KERING DI NTB
(Kasus Desa Sukaraja, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur)

Arif Surahman, I. M. Wisnu W dan Sasongko


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
PO. Box 1017 Mataram, Telp (0370) 671312, faks (0370) 671620
E-mail : litram@mataram.wasantara.net.id

ABSTRAK

Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki lahan kering yang luasnya mencapai + 1,8 juta ha atau 83,25%
dari luas wilayah, namun yang sudah digunakan untuk tanaman pangan adalah seluas 211.635 ha, yang terdiri
atas ladang/huma 40.636 ha dan tegalan/kebun seluas 171.000 ha. Kabupaten Lotim yang merupakan salah satu
kabupaten di Nusa Tenggara Barat mempunyai lahan kering seluas 115.694 hektar. Air merupakan salah satu
kendala utama dalam pengembangan lahan kering di NTB karena secara umum daerah NTB merupakan daerah
semi arid tropik dimana curah hujan biasanya relatif tinggi ( 1000 – 250 mm/tahun) namun hujan hanya terjadi
pada beberapa bulan saja (3 – 4 bulan). Salah satu potensi sumberdaya air yang ada di kabupaten Lombok Timur
adalah embung-embung rakyat yang banyak terdapat di Lombok Timur bagian selatan. Tujuan dari kajian ini
adalah untuk mengobservasi keberadaan embung di Desa Sukaraja, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lotim
dalam upaya optimalisasi embung tersebut dalam pengembangan usahatani lahan kering. Pendekatan yang
digunakan dalam kajian ini adalah study kasus. Pengumpulan data dengan teknik diskusi kelompok secara
partisipatif dan wawancara yang mendalam. Data yang dikumpulkan dianalisa secara diskriptif kualitatif. Hasil
kajian menunjukan bahwa jumlah embung yang ada di Desa Sukaraja adalah 440 buah dengan luas 342 ha. Air
embung tersebut dapat dimanfaatkan untuk usahatani lahan kering seperti padi, tembakau, sayur-sayuran, maupun
peternakan. Disamping itu embung juga bermanfaat untuk keperluan rumah tangga dan perikanan. Peran embung
sangat dirasakan oleh petani dalam peningkatan produktivitas usahataninya maupun peningkatan pendapatan.
Kata kunci: Embung; usahatani; lahan kering

PENDAHULUAN

Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki lahan kering yang luasnya mencapai + 1,8
juta ha atau 83,25% dari luas wilayah, namun yang sudah digunakan untuk tanaman pangan
adalah seluas 211.635 ha, yang terdiri atas ladang/huma 40.636 ha dan tegalan/kebun seluas
171.000 ha (BPS , 2002)
Kabupaten Lotim yang merupakan salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Barat
mempunyai lahan kering seluas 115.694 hektar. Air merupakan salah satu kendala utama
dalam pengembangan lahan kering di NTB karena secara umum daerah NTB merupakan
daerah semi arid tropik dimana curah hujan biasanya relatif tinggi ( 1000 – 250 mm/tahun)
namun hujan hanya terjadi pada beberapa bulan saja (3 – 4 bulan) (Alkasuma et al 2004).
Lahan marginal adalah lahan yang berpotensi rendah untuk menghasilkan produksi
pangan yang disebabkan karena sifat fisik, kimia, morphologi dan mineral tidak
menguntungkan dan juga pengaruh lingkungan seperti iklim, hidrologi, topografi yang tidak
mendukung pertumbuhan tanaman. Kegiatan pertanian di lahan kering/marginal sangat
tergantung pada kearifan dalam konservasi air dan pemanfaatannya oleh petani. Sumber air
di lahan tadah hujan hanyalah dari curah hujan, sehingga acapkali menjadi faktor pembatas
untuk meningkatkan produktivitas lahan dan introduksi berbagai teknologi bidang pertanian.
Pengelolaan usaha pertanian di lahan marginal umumnya terpusat pada musim
penghujan. Panen air hujan dilaporkan efektif untuk mengatasi masalah kekurangan air di
lahan tadah hujan. Namun teknik memanen air hujan sangat bervariasi tergantung fisiografi
lahan dan ketersediaan sumberdaya lokal. Teknik pemanenan air hujan dengan teknik
tandon (penampung air berukuran kecil) cocok dikembangkan di daerah tadah hujan dengan
intensitas dan distribusi curah hujan yang tidak pasti (Parimawati, 2001).

718
Seminar Nasional 2005

Embung atau tandon air adalah waduk berukuran mikro di lahan pertanian (small
farm reservoir) yang dibangun untuk menampung kelebihan air hujan di musim hujan dan
menggunakannya jika diperlukan tanaman pada musim kemarau. Teknik pemanen air (water
harvesting) demikian cocok bagi ekosistem tadah hujan dengan intensitas dan distribusi
curah hujan tidak pasti (eratic) (Syamsiah dan A. M. Fagi, 2004). Embung sudah melekat
dengan kehidupan masyarakat tani di kabupaten Lombok Timur terutama dalam pelaksanaan
usahataninya. Keberhasilan usahatani di kabupaten ini khususnya untuk daerah-daerah yang
terletak dibagian selatan dapat dikatakan sangat ditentukan oleh kepemilikan embung oleh
petani. Mengingat keberadaannya yang sudah cukup lama, peranannya yang cukup besar
dalam mendukung keberhasilan pertanian di daerah ini maka dipandang perlu untuk
mengkaji sistem pengelolaan sumberdaya air melalui embung yang dilaksanakan petani di
bagian selatan Kabupaten Lombok Timur. Tujuan dari kajian ini adalah untuk
mengobservasi keberadaan embung di Desa Sukaraja, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten
Lotim dalam upaya optimalisasi embung tersebut dalam pengembangan usahatani lahan
kering.

METODOLOGI

Pengkajian dilaksanakan di desa Sukaraja kecamatan Jerowaru, kabupaten Lombok


Timur. Metode yang digunakan dalam pengkajian ini adalah studi kasus (case study). Obyek
studi kasus mengenai keberadaan embung dan upaya petani dalam pengelolaan sumberdaya
daya air melalui embung di kabupaten Lombok Timur dalam mendukung usahatani lahan
kering. Penetapan desa dan kecamatan sebagai lokasi pengkajian ditentukan secara purposif
berdasarkan jumlah embung terbanyak di kabupaten Lombok Timur. Sumber data/informasi
berasal dari petani, tokoh masyarakat, aparat pemerintah desa, kelompok P3A, pekasih dan
pengamat air irigasi. Pengumpulan data menggunakan teknik PRA melalui diskusi kelompok
(FGD), wawancara mendalam dan observasi lapangan. Data yang dikumpulkan dianalisa
secara diskriptif kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Desa Sukaraja


Luas wilayah desa Sukaraja setelah pemekaran 17,69 km 2 dengan batas wilayah yang
baru yaitu di sebelah Utara adalah desa Sepit dan desa Lekor, di sebelah Selatan berbatasan
dengan desa Batu Nampar, di sebelah Timur berbatasan dengan desa Jerowaru dan di
sebelah Barat berbatasan dengan desa Ganti. Secara administratif desa Sukaraja terbagi
menjadi 10 dusun yaitu dusun Sukaraja, Dasan Baru, Tangun, Embung Dalem, Lengkok
Baru, Wakan, Tuping, Tangar, Batu Tambun dan Lengkoq Lauk. Penguasaan lahan
pertanian di desa Sukaraja dari tahun ke tahun terus semakin berkurang. Berkurangnya luas
lahan pertanian disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk yang selalu memerlukan
tempat untuk membuat pemukiman. Pembangunan perumahan merupakan faktor utama yang
menyebabkan berkurangnya luas lahan pertanian di desa ini, karena tenaga kerja Indonesia
yang berhasil di Malaysia mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk membangun
rumah sebagai prioritas utama.
Sebagian besar wilayah desa Sukaraja berupa sawah tadah hujan yang tersebar di
sembilan dusun kecuali di dusun Batu Tambun. Luas sawah di desa Sukaraja 1.026 ha. Air
irigasi untuk sawah bersumber dari air sungai yang melintasi desa, suplai air irigasi HLD,
air hujan yang ditampung pada embung dan dari ari sumur yang dibuat di tengah sawah. Air
hujan merupakan faktor penentu keberhasilan usahatani di desa ini, karena debit air yang
berasal dari sungai dan irigasi HLD tidak mencukupi untuk pertanaman padi di musim hujan,
oleh karena itu maka sawah di desa ini lebih cocok dikategorikkan sebagai sawah tadah
hujan.

719
Seminar Nasional 2005

Jumlah penduduk desa Sukaraja pada tahun 2004 tercatat sebanyak 9.681 jiwa dengan
jumlah kepala keluarga sebanyak 2.535 kk. Jumlah penduduk perempuan di desa ini lebih
besar dari pada jumlah penduduk laki-laki, hal ini dapat dilihat dari komposisi penduduk
berdasarkan jenis kelamin dimana jumlah penduduk laki-laki 4.657 orang dan perempuan
sebanyak 5.024 orang. Mata pencaharian sebagian besar penduduk desa Sukaraja adalah di
sektor pertanian. Karena kondisi agroekosistemnya yaitu sebagian besar berupa sawah tadah
hujan sehingga hanya dapat ditanami padi pada musim hujan dan tembakau pada MK I.

Keberadaan Embung di Desa Sukaraja.


Embung di Desa Sukaraja merupakan embung milik pribadi yang diperoleh secara
turun temurun. Embung sudah ada sejak zaman nenek moyang masyarakat desa Sukaraja dan
saat ini embung ada yang berumur lebih dari 100 tahun. Pemanfatan air embung diatur
berdasarkan ikatan kekeluargaan. Petani lain di sekitar embung yang bukan merupakan
kerabat dekat (ahli waris) pemilik embung pada umumnya tidak memiliki akses dalam
pemanfaatan embung.
Motivasi petani membuat embung didasarkan kepada kondisi curah ikim dan curah
hujan di daerah tersebut yaitu curah hujan yang rendah dan ama hhujan yang angat singkat.
Disamping itu mempertahankan ketahanan pangan merupakan salah satu motivasi petani
untuk membuat embung. Sebelum masuknya varietas unggul padi umur pendek, petani desa
Sukaraja menanam padi bulu berumur 6 (enam) bulan. Untuk mendukung pertumbuhannya
yang membutuhkan periode waktu yang cukup panjang maka air dalam jumlah yang cukup
harus tersedia. Air disediakan petani dengan cara menampung air hujan pada embung-
embung yang berada di tengah sawahnya.
Jumlah embung rakyat yang terdapat di kabupaten Lombok Timur sebanyak 1.458
buah dengan luas areal genangan 755,58 ha dan luas areal irigasi 3.083,38 ha (Dinas
Pekerjaan Umum, 2005). Berarti luas pemilikan embung per petani rata-rata seluas 0,51 ha
dan luas areal irigasi rata-rata 2,1 ha. Sedangkan di Desa Sukaraja jumlah jumlah embung
yang ada adalah 440 buah dengan luas 342 ha.
Posisi penempatan embung umumnya di tengah sawah atau dibagian ujung sawah
pada elevasi yang lebih tinggi dari sawah yang akan diairi. Posisi penempatan embung
ditengah sawah atau disalah satu sisi sawah yang memiliki elevasi lebih tinggi, bertujuan
untuk menjaga kelembaban tanah disekeliling sawah. Keuntungan lain dari posisi
penempatan embung seperti tersebut, mempermudah pendistribusian air kepetakan-petakan
sawah disekitarnya. Distribusi air cukup dengan membuka pintu air dan proses pengaliran
air hanya mengandalkan tekanan volume air yang ada di embung. Kedalaman embung
berkisar antara 1,00 – 1,50 m. Dalam proses pembuatannya dasar embung dibuat bertingkat.
Untuk embung yang terletak di ujung sawah, dasar embung terdalam dibuat dalam bentuk
parit yang ditempatkan pada salah satu sisi dinding embung bagian dalam yang berbatasan
dengan sawah yang akan diari, sedangkan untuk embung yang terletak di tengah sawah
bagian terdalam dibuat berbentuk parit mengikuti keliling dinding embung bagian dalam,
dasar embung bagian tengah merupakan bagian terdangkal.
Di sekeliling dinding (pematang) embung ditanami pohon bambu atau tanaman
lainnya. Tujuan petani menanam bambu disekitar embung antara lain: sebagai tangkapan air
hujan, mengurangi penguapan dimusim kemarau dan akar bambu sebagai penguat pematang.
Rimbunnya pohon bambu ditengah sawah, adalah sebagai tanda bahwa ditengah sawah
tersebut terdapat sebuah embung.
Pembuatan embung sebelum masuknya varietas padi genjah berumur 3 bulan
dimaksudkan untuk mengairi padi bulu yang berumur 6 bulan. Karena umurnya yang
panjang, sampai memasuki musim kemarau kedua, air dalam jumlah cukup harus tersedia
untuk mendukung pertumbuhannya. Air untuk itu disediakan melalui embung karena musim
penghujan sudah berhenti. Disamping untuk keperluan pertanian air embung dimanfaatkan
juga untuk memenuhi kebutuhan air bersih keluarga, minum ternak, merendam bambu

720
Seminar Nasional 2005

sebagai bahan pembuatan rumah dan lain sebagainya. Masuknya varietas padi unggul umur
± 3 bulan yang ditanam pada musim hujan dan berkembangnya pola tanam petani menjadi
padi – tembakau – bera, dimana seperti kita ketahui bahwa tanaman tembakau yang ditanam
pada musim kemarau pertama adalah tanaman yang membutuhkan air relatif sedikit
sehingga ketersediaan air di embung cukup untuk pertumbuhannya. Penggunaan air embung
terbanyak yaitu pada saat pemupukan padi dan pada saat penanaman tembakau.
Sistem distribusi air pada embung rakyat belum mengikuti suatu aturan yang khusus,
karena pemilikan embung bersifat pribadi maka sistem distribusi dan pemanfaatannya
tergantung pada kepentingan setiap individu. Walaupun kepemilikannya secara individu, air
embung dapat dimanfaatkan secara bersama-sama dengan anggota keluarga lainnya atau
dengan petani lainnya yang memerlukan air. Permintaan air embung biasanya terjadi saat
pemupukan padi, penanaman dan pemupukan tembakau.
Periode tampung air embung efektif dari bulan Januari – Mei. Sisa air pada bulan
Juni - Juli sekitar sepertiga dari kapasitas embung hanya dipergunakan untuk air minum
ternak. Air embung mengering pada bulan Agustus sampai dengan pertengahan Desember.

Optimalisasi Pemanfaatan Air Embung untuk Usahatani Lahan Kering


Keberadaan embung sangat dirasakan manfaatnya oleh petani di Desa Sukaraja
dalam melakukan usahataninya. Pola tanam yang biasa dilakukan oleh petani adalah padi –
tembakau – bera. Padi merupakan komoditas utama yang ditanam petani pada musim
penghujan dengan alasan untuk penyediaan pangan bagi keluarga sedangkan pada musim
kemarau petani umumnya menanam tembakau dengan alasan komoditas ini dirasakan sangat
menguntungkan jika dibandingkan komoditas palawija lainnya. Air embung pada musim
penghujan praktis belum banyak dimanfaatkan karena kondisi tanaman padi masih
memungkinkan untuk mengandalkan air hujan.
Pola tanam padi – tembakau yang sudah biasa dilakukan oleh petani di Desa
Sukaraja dapt dikembangkan mengingat hal tersebut sudah dilaksanakan dan dirasakan
manfaatnya oleh petani. Penanaman padi yang dilakukan pada musim penghujan belum
banyak mempengaruhi keberadaan air embung karena kebutuhan air tanaman padi masih
dapat dipenuhi oleh air hujan. Pada masa penanaman berikutnya yaitu komoditas tembakau,
petani sudah mulai mempergunakan air embung dalam mendukung usahataninya. Dalam
pemanfaatan air embung ini perlu dilakukan upaya efisiensi pemakaian air, menurut
Hardjoamidjoyo (1994) upaya peningkatan efisiensi pemakaian air dapat diakukan dengan
mengubah sistem penyaluran atau sistem pemberian airnya yang didukung oleh pemilihan
jenis tanaman, masa tanam serta manajemen yang tepat. Sistem low flow manajemen
merupakan salah satu metoda yang dapat ditempuh yaitu pendayagunaan air irigasi secara
efisien melalui penghematan pemberian air bagi tanaman mendekati kebutuhan fisiologisnya
(Hermanto, et al, 1995). Anjuran pemberian air pada tanaman tembakau khususnya untuk
tanaman tembakau Madura pada ahan kering adalah 0,5 l/tanaman/pemberian dengan
pemberian tiap hari sampai umur 20 hari dan diikuti dengan penyiraman 2 lt/tanaman/
pemberian yang diberikan pada periode 21 – 40 hari (tiap dua hari), 41 – 50 (tiap 2 hari) dan
50 – 60 hari (tiap 3 hari) atau total pemberian air sebesar 66 mm (Rahman, et al. 1992).
Efisiensi penggunaan air ini perlu dilakukan mengingat periode tampung air efektif embung
5 bulan yaitu dari Januari - Mei. Sisa air pada bulan Juni - Juli sekitar sepertiga dari
kapasitas embung. Air embung mengering pada bulan Agustus sampai dengan pertengahan
Desember. Dengan demikian masa produktif embung adalah 7 bulan.
Introduksi tanaman sayuran yang bernilai ekonomis tinggi seperti bawang merah,
bawang putih, kacang panjang dan buah-buahan seperti semangka diharapkan dapat
meningkatkan pendapatan petani di sekitar embung. Berdasarkan hasil pengkajian yang
dilakukan di Bali introduksi pemanfaatan air embung dengan tanaman sayuran yang bernilai
eknonomis tinggi dapat meningkatkan nilai tambah bagi petani. Dengan pengusahaan lahan
yang relative sempit mampu memberikan keuntungan bagi petani, bawang merah (Rp.
240.000) kacang panjang (Rp. 82.725), semangka (Rp. 101.700) dan mentimun (Rp. 55.975)

721
Seminar Nasional 2005

per 100 m2 (Suprapto, 2004). Usaha ini perlu dilakukan pada lahan-lahan sempit disekitar
embung untuk meningkatkan pendapatan petani sekaligus untuk meningkatkan pemenuhan
gizi keluarga. Pengusahaan lahan disekitar embung untuk tanaman sayuran adalah usaha
sampingan selain petani tetap mengusahakan tembakau pada MK I.
Disamping untuk mendukung usaha pertanian air embung dapat juga digunakan
untuk mendukung sektor peternakan di Desa Sukaraja. Desa Sukaraja jenis ternak yang
banyak diusahakan penduduk desa Sukaraja antara lain sapi, kerbau, kambing, ayam buras
dan itik/entok. Jenis ternak dominan yang diusahakan adalah kambing dengan jumlah
pemilikan antara 3 – 5 ekor per rumah tangga. Jenis ternak urutan kedua yang banyak di
pelihara adalah sapi Bali dengan jumlah pemilikan 1 – 2 ekor per rumah tangga. Ternak dari
jenis unggas yang dominan dipelihara adalah ayam buras (Puspadi et al 2004). Saat ini
terjadai kecendrungan menurunnya populasi ternak yang terdapat di desa Sukaraja,
khususnya ternak sapi. Menurunnya jumlah populasi ternak salah satunya disebabkan oleh
keterbatasan pakan hijauan ternak. Untuk mengatasi kelangkaan hijauan pakan pada musim
kemarau dapat dilakukan penanaman hijaun pakan ternak di pematang sekitar embung.
Penanaman hijauan pakan ini dapat dilakukan karena tingkat kelembaban tanah disekitar
embung masih memungkinkan untuk pertumbuhan tanaman seperti rumput gajah, turi dan
lamtoro. Hijauan pakan inilah yang nantinya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
pakan bagi ternak di musim kemarau khususnya untuk ternak kambing yang merupakan
ternak dominan di daerah tersebut.
Keberadaan air embung pada musim penghujan yang belum banyak digunakan
untuk mendukung usahatani tanaman pangan dapat juga dimanfaatkan untuk pemeliharaan
ikan dalam karamba. Periode efektif air embung selama 5 bulan dengan kondisi air masih
penuh merupakan waktu yang cukup untuk satu siklus pemeliharaan ikan karper dan nila
dengan sistem karamba atau kurungan tancap dari bambu. Panen ikan adalah memungut
hasil setelah periode pemeliharaan berakhir. Pemeliharaan untuk setiap jenis ikan berbeda
tergantung pada ukuran benih yang ditebar dan kecepatan pertumbuhannya. Ikan Mas dapat
dipanen setelah pemeliharaan selama 3 – 5 bulan, ikan nila 3 – 4 bulan, ikan tawes selama 5
bulan. Pada prinsipnya ikan dipanen setelah mencapai ukuran yang menguntungkan jika
dipasarkan. Ikan-ikan dipanen dengan menggunakan seser atau serok dengan cara diciduk.
Kemudian ikan tersebut dimasukkan ke dalam keranjang penampung untuk kemudian
dipasarkan. Selain untuk budidaya ikan keberadaan mebung dapat juga dimanfaatkan untuk
kolam pemancingan ikan. Usaha pemancingan pada embung di kabupaten Lombok Timur
sudah berkembang selama 4-5 tahun yang lalu. Dengan mengambil contoh pendapatan yang
diterima petani dari usaha pemancingan di desa Sukaraja dapat mencapai antara Rp.
1.700.000,- sampai dengan Rp. 2.000.000,- Pendapatan tersebut diterima petani dari tarif
yang dikenakan pada setiap pemancing sebesar Rp. 30.000,- untuk pemancingan pertama
dan biaya pemancingan selanjutnya diturunkan setiap harinya. Untuk embung seluas 50-60
are dapat menampung 30 – 40 orang pemancing, sehingga dari bibit ikan seharga Rp.
300.000,- (antara 1.000 sampai dengan 2.000 ekor) yang ditebar di embung, petani dapat
menerima pendapatan kotor senilai Rp. 3.000.000,-. Disamping sistem pengenaan tarif per
orang, sistem pemancingan dilakukan secara borongan kepada group pemancing yang
beranggota antara 30 – 40 orang, harga borongan berkisar kurang lebih Rp. 2.000.000,-
Biaya produksi yang dikeluarkan petani hanya untuk pembelian benih ikan, biaya untuk
pakan tidak dikeluarkan petani karena ikan hidup dari jazad renik air embung (Wisnu. I. M,
et al. 2005)

722
Seminar Nasional 2005

KESIMPULAN

1. Lahan pertanian di Desa Sukaraja sebagian besar merupakan lahan sawah tadah hujan
2. Embung merupakan salah satu kearifan lokal di Desa Sukaraja yang perlu dioptimalkan
pemanfaatanya dalam mendukung usahatani
3. Pemanfaatan embung untuk mendukung pola tanam padi – tembakau yang eksisting di
daerah tersebut perlu dilakukan upaya efisiensi pemakaian air.
4. Introduksi penanaman tanaman sayuran ekonomis tinggi dapat dilakukan oleh petani
dengan mengambil sedikit lahan disekitar embung sebagai usaha sampingan untuk
menambah penghasilan keluarga
5. Disamping untuk pertanian keberadaan embung dapat dimanfaatkan untuk usaha
peternakan dan perikanan dalam rangka peningkatan pendapatan petani

DAFTAR PUSTAKA

Alkusuma, Agus Bambang Siswanto, Adi Hermawan, Asep Iskandar, 2004. Laporan Akhir
Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zone Agro-
Ekologi Skala 1 : 50.000 di Kabupaten Lombok Timur Propinsi Nusa Tenggara
Barat. Tahun Anggaran 2003. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Tanah dan
Poor Farmers Income Improvement Through Inovation Project. Balai Penelitian
Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 2004.
BPS. 2002. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Kerjasama Kantor Perwakilan Biro Pusat
Statistik Propinsi NTB dengan Kantor Bappeda TK.I. NTB.
BPS Kabupaten Lombok Timur, 2003. Lombok Timur Dalam Angka. Lombok Timur In
Figures. Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Timur dengan
Bappeda Kabupaten Lombok Timur. 2003.
Dinas Pekerjaan Umum Lombok Timur. 2005a. Daftar Iventaris Jaringan Irigasi Kabupaten
Lombok Timur tahun 2005 Berdasarkan Tingkatan Luas Layanan. Subdin Pengairan
Dinas Pekerjaan Umum. Selong.
Dinas Pekerjaan Umum Lombok Timur. 2005b. Daftar Iventaris Jumlah Embung Pemerintah
dan Embung Rakyat di Kabupaten Lombok Timur. Subdin Pengairan Dinas
Pekerjaan Umum,. Selong.
Hardjoamidjoyo. 1994. Irigasi daam Swasembada Air dan Lahan dalam Rangka Mengatasi
Kekeringan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Hermanto, Sumaryanto dan Effendi Pasandaran. 1995. Pengelolaan Sumberdaya Air dalam
Rangka Menunjang Pemantapan Swasembada Pangan. Prosiding Simposium
Meteorologi Pertanian IV. Yogyakarta 26 – 28 Januari 1995. Perhimpunan
Metorologi Pertanian Indonesia.
Hidayat Pawitan dan Daniel Murdiyarso, 1997. Tinjauan Hidrologi Toposekuens Dalam
Meningkatkan Efisiensi Pemakaian Air Pertanian. Sumber Daya Air dan Iklim
Dalam Mewujudkan Pertanian Efisien. Kerjasama Departemen Pertanian Dengan
Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI).
Iis Syamsiah dan A. M. Fagi., 1997. Teknologi Embung. Sumber Daya Air dan Iklim Dalam
Mewujudkan Pertanian Efisien. Kerjasama Departemen Pertanian Dengan
Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI).
Parimawati, E., 2001. teknik Pemanenan Aliran Permukaan (run-off harvesting) di Lahan
Kering Pringgabaya. Skripsi Fakultas Pertanian Unram.

723
Seminar Nasional 2005

Puspadi, 2004. Pemahaman Pedesaan Secara Partisipatif (PRA) di Wilayah Poor Farmers
Lombok Timur, Laporan Akhir Penelitian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
NTB, Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Rahman, A. M. Sholeh dan Suwarso. 1992. Pengaruh Intensitas Pemberian Air dan Tingkat
Pemupukan N terhadap Pertumbuhan, Hasil dan Mutu Tembakau Rajangan Madura
di Lahan Sawah. Laporan Penelitian Kerjasama Balittas Malang. 20 pp.
Suprapto. 2004. Pengkajian Sistem Usahatani di Lahan Kering di Kecamatan Gerokgak
Kabupaten Buleleng, Bali. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian vol 7 no 1: 83 - 89. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.

724
SISTEM INTEGRASI PADI – TERNAK SEBAGAI UPAYA PENYEDIAAN BIBIT
DALAM MENDUKUNG AGRIBISNIS TERNAK SAPI POTONG DI KABUPATEN
SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Soeharsono, Bambang Sudaryanto dan Supriadi


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
Jl. Rajawali No. 28 Demangan Baru, Yogyakarta

ABSTRAK

Sistem Integrasi Padi – Ternak (SIPT) dilakukan dengan pendekatan kelembagaan.untuk meningkatkan
populasi ternak sapi dan pendapatan petani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan usaha
pembibitan ternak sapi potong dalam kelembagaan kelompok tani ternak. Rekording dilakukan terhadap anggota
kelompok tani ternak yang melaksanakan kegiatan SIPT di Desa Tegaltirto Kecamatan. Berbah, Kabupaten
Sleman Provinsi. D.I. Yogyakarta. Perkembangan usaha pembibitan sapi potong, dinamika usaha ternak dihitung
dan dianalisis secara diskripsi. Analisis finansial digunakan untuk mengetahui efisiensi usaha kelompok. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kelompok ternak di Desa Tegaltirto berfungsi sebagai lembaga yang bersifat
agribisnis ternak sapi potong. Lembaga ini berperan sebagai wadah yang mampu memberikan naungan kepada
peternak terhadap gejolak yang timbul, sehingga peternak tidak mudah dikuasai atau dirugikan oleh pihak lain.
Pengelolaan usaha pembibitan ternak sapi potong menunjukkan bahwa 71,54% (48 ekor) induk pada fase
menyusui tahap kedua, sedangkan sisanya 29,85% (20 ekor) induk dalam kondisi bunting kedua selama
pemeliharaan (18 bulan). Terdapat 112 ekor pedet yang terdiri umur kurang 3 bulan (pra sapih) 42,86%, umur
3–6 bulan (sapih) 19,64% dan umur diatas 6 bulan (bakalan) 37,50%. Usaha pembibitan ternak sapi potong
dalam SIPT menunjukkan tingkat efisiensi R/C sebesar 1,34.
Kata Kunci : integrasi, bibit, sapi potong

PENDAHULUAN

Pada tahun 1999 hingga 2001 pasokan daging sapi asal impor di Indonesia telah
mencapai 15-22% dari kebutuhan daging sapi (Ditjen. Bina Produksi Peternakan, 2002).
Ketergantungan impor daging dan sapi potong, antara lain disebabkan oleh ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan permintaan daging dari pemotongan sapi lokal. Pemenuhan
permintaan daging sapi bila hanya dipenuhi melalui pemotongan sapi lokal, maka dapat
berakibat terjadi pengurasan keberadaan sapi lokal, karena terjadi pemotongan terhadap sapi
muda yang ukurannya masih kecil dan terhadap sapi betina produktif. Kondisi sapi potong
lokal saat ini sangat beragam dan sebagian besar (99%) dikelola dan dikembangankan
dengan pola peternakan rakyat (cow-calf operation) dalam skala usaha kecil dan terintegrasi
dengan kegiatan lain, sehingga fungsi sapi potong sangat kompleks dalam menunjang
kehidupan peternak (Gunawan, 2003).
Dalam sistem agibisnis berbasis peternakan tercakup empat subsistem, yaitu: (1)
subsistem agribisnis hulu peternakan yakni kegiatan ekonomi yang menghasilkan sapronak
(industri pembibitan, industri pakan, industri obat - obatan); (2) subsistem usaha peternakan
yakni kegiatan budidaya ternak; (3) sub-sistem agribisnis hilir peternakan yakni kegiatan
ekonomi yang mengolah komoditas peternakan primer menjadi produk olahan (industri
pengolahan dan pemasaran); dan (4) subsistem jasa penunjang yakni kegiatan ekonomi yang
menyediakan jasa yang dibutuhkan oleh ketiga subsistem lain (Saragih, 2000).
Pada kenyataannya sub sektor tanaman pangan dan sub sektor peternakan merupakan
satu kesatuan yang terintegrasi dimana keduanya tidak akan terlepas dan saling melengkapi
di sub sektor tanaman pangan dan sub sektor peternakan pada khususnya dengan
memberikan kesempatan yang luas kepada usaha kecil, menengah dan koperasi di bidang
peternakan. khususnya petani peternak dimana mayoritas mereka mengandalkan tumpuan
ekonominya pada sub sektor tanaman pangan dan sub sektor peternakan.
Investor hampir tidak ada yang tertarik untuk mengembangkan usaha cow-calf
operation, karena diperlukan modal usaha yang besar, sedangkan bunga kredit tinggi, rantai

725
pemasaran rumit, sarana transportasi dan pemilikan lahan terbatas. Menurut perhitungan
ekonomis, saat ini usaha cow-calf operation juga memberikan net present value (NPV)
negatif atau sangat kecil (Gunawan, 2003). Oleh karena itu, dalam agribisnis peternakan
khususnya dalam penyediaan bibit sapi potong peran peternakan rakyat sangat dominan.
Usaha peningkatan produktivitas dapat dicapai melalui pendekatan kuantitatif yaitu
dengan peningkatan populasi ternak dan secara kualitatif dengan peningkatan produktivitas
per unit ternak. Pengembangan Sistem Integrasi Padi – Ternak (SIPT) dilaksanakan dengan
tujuan untuk mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan pertanian
melalui penyediaan pupuk organik yang memadai. Upaya peningkatan produktivitas padi
sawah irigasi dan daging. Peningkatan populasi ternak sapi dan pendapatan petani.
Pengembangan SIPT dilakukan dengan pendekatan kelembagaan (Haryanto et al., 2002)
Agribisnis peternakan juga terkait beberapa lembaga, antara lain lembaga produsen,
lembaga konsumen, lembaga profesi, lembaga pemerintahan dan lembaga ekonomi
(Handayani dan Priyanti, 1995). Lembaga - lembaga terkait akan berperan aktif dalam
pembinaan, sehingga dapat mencapai satu sasaran yang sama yaitu sistem usaha agribisnis
peternakan yang berkelanjutan, antara lain melalui pemanfaatan teknologi dan manajemen
modern yang dilakukan dalam skala usaha yang lebih besar besar.
Program pengembangan kelompok peternak ini juga berhasil menunjukkan semangat
dan minat berwirausaha. pengembangan kelompok ini berhasil mengembangkan kekuatan
organisasi kelompok melalui program memisahkan ternak dari lingkungan tempat tinggal,
dengan cara menempatkan ternak dalam kawasan kandang kelompok. Usaha berkelompok
tersebut mempunyai dinamika yang bervariasi dari waktu kewaktu. Makalah ini memberikan
gambaran perkembangan usaha pembibitan ternak sapi potong dalam kelembagaan
kelompok tani ternak.

MATERI DAN METODE

Pencatatan dilakukan terhadap anggota kelompok tani ternak yang melaksanakan


kegiatan Sistem Integrasi Padi - Ternak (SIPT) dalam Program Peningkatan Produktifitas
Padi Terpadu (P3T) selama 18 bulan pada tahun 2003 – 2005 di Desa Tegaltirto Kecamatan.
Berbah, Kabupaten Sleman Propinsi. D.I. Yogyakarta. Kegiatan SIPT dilakukan dengan
memberikan kredit permodalan untuk pengadaan sarana produksi berupa pembelian induk
sapi potong. Perkembangan usaha pembibitan sapi potong, penguasaan aset dan dinamika
usaha ternak selama 18 bulan dihitung dan dianalisis secara diskripsi. Analisis finansial
digunakan untuk mengetahui efisiensi usaha kelompok

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Wilayah Penelitian


Keberadaan ternak sapi potong di Kabupaten Sleman terkonsentrasi di wilayah
Sleman timur di 4 kecamatan yaitu Kecamatan Mlati, Berbah, Prambanan dan Kalasan.
Sebesar 46,20% populasi ternak sapi potong terkonsentrasi di 4 kecamatan tersebut dari 17
kecamatan yang ada di Kabupaten Sleman. Oleh karena itu pusat pengembangan ternak sapi
potong di diarahkan pada wilayah Sleman timur sebagai pusat pembibitan ternak.
Secara administratif Desa Tegaltirto dibagi ke dalam tiga belas dusun yaitu Dusun
Jagalan, Tlogowono, Gondangan, Berbah, Krikilan, Kadisono, Kuton, Tegalsari, Pendem,
Kuncen, Karang Wetan, Candirejo dan Semoyo (Monografi Desa Tegaltirto, 2002). Sentral
pengembangan ternak sapi potong di Desa Tegaltirto sebagian telah terkonsentrasi di
kawasan kandang kelompok di Dusun Semoyo, Tlogowono, Karangwetan, Kuncen, Pendem
dan Kuton yang dikelola dalam suatu kelembagaan kelompok ternak. Kelembagaan

726
peternakan mempunyai peran yang besar dalam rangka pembangunan peternakan. Lembaga
ini berperan sebagai wadah yang mampu memberikan naungan kepada peternak terhadap
gejolak yang timbul. Misalnya dengan adanya lembaga ini peternak mempunyai kekuatan
pasar dimana posisi tawar akan tinggi sehingga peternak tidak mudah dikuasai atau
dirugikan oleh pihak lain yang ingin mempermainkan harga. Selain itu peternak akan
mempunyai jaringan pasar yang lebih luas.
Penggunaan lahan untuk penanaman hijauan pakan yang berupa rumput introduksi
seperti rumput gajah, rumput raja, kolonjono dilakukan di pinggir jalan, tepi kiri kanan
bantaran sungai (“wedi kengser”) pematang sawah dan sebagian di areal persawahan. Dua
kali musim tanam padi dan sekali musim tanam palawija direncanakan dalam pola tanam
padi-padi-palawija. Luas panen tanaman padi 646 ha dengan total produksi 4457,4 ton,
sehingga produktifitas tanaman padi di Desa Tegaltirto sebesar 6,9 to/ha (Programa
Penyuluhan Pertanian Koordinat VII Sleman, 2003). Tingginya penggunaan lahan untuk
pertanian sangat menungkinkan untuk penyediaan limbah pertanian sebagai sumber pakan
untuk pengembangan ternak sapi. Lahan untuk pengembangan ternak sapi potong
disediakan tanah milik desa. Peternak menggunakan lahan untuk mendirikan kandang untuk
mengusahakan ternak, sehingga lokasi lahan tersebut menjadi kawasan kandang kelompok.
Petani dalam mengadopsi teknologi sistem budidaya ternak dari hasil sosialisasi dan
diseminasi yang dilakukan oleh petugas penyuluh lapangan (PPL) dan pendampingan yang
dilakukan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. Dalam hal kegiatan
usahatani ternak sapi potong utamanya teknologi inseminasi buatan untuk desa Tegaltirto
menjadi suatu kewajiban. Hal ini didukung oleh keberadaan fasilitas inseminasi buatan,
Puskeswan dan inseminator.

Kelembagaan Petani Peternak


Sistem kelembagaan merupakan perangkat lunak yang dapat menjamin kelancaran
dalam sistem usaha. Maju berkembangnya suatu usaha ditentukan oleh dinamika dalam
suatu sistem kelembagaannya. Keberadaan lembaga kelompok ternak akan menjamin
terjadinya interaksi dan komunikasi. Dari segi lain kelompok ternak dapat digunakan
sebagai media untuk mendesiminasikan teknologi, bahkan sebagai agen untuk mendapatkan
permodalan. Namun demikian lembaga kelompok ternak di Desa Tegaltirto belum berfungsi
sebagai lembaga yang bersifat agribisnis ternak sapi potong. Organisasi kelompok ternak
digunakan sebagai aktifitas rutin pertemuan anggota kelompok, arisan, program penyuluhan.
Kelompok belum digunakan sebagai kegiatan unit-unit produksi yang dapat menghasilkan
finansial. Kemajuan kelembagaan kelompok ternak sangat ditentukan oleh dinamika
kelompok itu sendiri. Keberadaan pengurus dan anggota yang saling berinteraksi akan
mendorong terbentuknya suatu sistem yang dinamis. Melalui pertemuan anggota kelompok
dapat diperoleh berbagai informasi yang mengarah pada usaha peningkatan atau
pengembangan usahatani ternak sapi potong (Soeharsono, 2003).
Permodalan merupakan unsur yang sangat penting dalam kelembagaan. Akses untuk
mendapatkan modal sangat ditentukan oleh keberadaan sumberdaya manusia yang
berkualitas. Sumberdaya manusia sebagai agen penggerak kelembagaan diharapkan dapat
mengakses dan mengelola sumber-sumber modal. Keberadaan lembaga kelompok ternak di
Desa Tegaltirto sudah mulai terbentuk sejak tahun 1996. Namun demikian sumber-sumber
modal kelompok hanya mengandalkan dari anggota dan mengharapkan bantuan modal dari
pihak lain. Dengan keterbatasan pengetahuan SDM, kelompok ternak belum dapat
mengakses permodalan. Sarana perbankan dan lembaga perkreditan yang ada hanya
melayani kredit skala lebih kecil. Fasilitas kredit ini berlaku untuk kegiatan usahatani
tanaman dan kredit usaha kecil, namun belum berlaku pada sistem kredit usaha ternak.
Peluang untuk akses kredit usaha ternak masih terbatas, sehingga untuk mendapatkan modal
ternak maka berkembang sistem gaduhan (bagi hasil) ternak. Dengan kesepakatan bagi hasil
(50 : 50) penggaduh dapat mendapatkan ternak sapi (modal ternak) dari pemilik ternak yang
menggaduhkan (Soeharsono, 2003). Dalam usaha penyediaan bibit ternak sapi potong,

727
kegiatan SIPT ditujukan untuk pemberdayaan peternak dengan memberilan kredit
permodalan untuk pembelian induk sapi potong.

Dinamika Usaha Pembibitan Ternak Sapi Potong pada SIPT


Sejumlah empat kelompok tani ternak beranggotakan 20 - 30 orang peternak yang
melakukan usaha secara berkelompok dalam satu kawasan mendapatkan kredit induk sapi
potong. Pada bulan Oktober 2003 masing masing kelompok mendapatkan 13 - 22 ekor
ternak induk bunting 3 - 6 bulan seharga rata-rata Rp 4.500.000/ekor. Perkembangan induk
sapi potong pada SIPT ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan populasi induk ternak sapi potong periode Oktober 2003 – Mei 2005 pada kegiatan
SIPT di Desa Tegaltirto Berbah Kabupaten Sleman .

Induk (ekor) Status (ekor)


Nama Kelompok 2005
2003 2005 2003
Bunting Menyusui Kosong
Kuton 14 13 Bunting 5 9 8
Dondong 19 19 Bunting 5 16 14
Kuncen 22 22 Bunting 7 14 15
Pendem 13 13 Bunting 3 8 10
Jumlah 68 67 20 47 47

Ternak sapi potong yang dipelihara oleh peternak di keempat kelompok ternak terdiri
dari jenis peranakan Simental (30,35%), peranakan Ongole (53,82%), dan peranakan
Limosin (15,83%). Setiadi et al. (1997) melaporkan bahwa bangsa sapi akseptor di Daerah
Istimewa Yogyakarta adalah jenis Peranakan Ongole (PO), crossbred Potal (PO x Simental)
dan crossbred Posin (PO x Limosin) yang dijadikan bibit. PO merupakan sapi asli yang
sudah beradaptasi dengan lingkungannya.
Mortalitas induk sebesar satu ekor dari 68 populasi induk (1,47%). Kematian induk
ini disebabkan karena kegagalan pada saat kelahiran pedet (prolapsus uteri). Sampai pada
bulan Mei 2005 terdapat 71,54% (48 ekor) induk pada fase menyusui pada tahap kedua,
sedangkan sisanya 29,85% (20 ekor) induk dalam kondisi bunting kedua selama
pemeliharaan. Tatalaksana reproduksi merupakan faktor penentu dalam menentukan tingkat
keberhasilan reproduksi sapi potong untuk penyediaan bakalan. Sistem perkawinan dengan
inseminasi buatan pada keempat kelompok. Untuk menilai efisiensi reproduksi pada ternak,
salah satu cara yang dilakukan melalui penghitungan jumlah inseminasi yang dibutuhkan
oleh seekor betina sampai terjadi konsepsi yang dikenal dengan istilah servis per konsepsi
(service/conception = S/C). Makin kecil angka S/C makin subur induk – induk dalam
kelompok tersebut (Sitorus et al., 1994). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata – rata
tingkat S/C keempat kelompok ternak berkisar 1 – 4 dengan rata – rata 2,19. Nilai tersebut
lebih besar dibanding sapi PO dikecamatan Cangkringan Sleman yaitu 1,29 (Astuti et al.,
1983) dan lebih kecil dari sapi PO di daerah Gunungkidul dan Kulonprogo berturut – turut
dengan S/C 2,2 dan 2,3 (Achmad, 1983). Penentuan jenis pejantan sebagai bibit untuk
menghasilkan bakalan yang mempunyai nilai jual dan laju pertambahan bobot badan sapi –
sapi hasil persilangan yang cukup tinggi menjadi pertimbangan khusus bagi peternak di
keempat kelompok ternak.
Produktivitas induk sapi potong ditunjukkan dengan kemampuan untuk menghasilkan
anak/pedet selama periode tertentu. Selama pemeliharaan 18 bulan perkembangan populasi
pedet pada kegiatan SIPT di Desa Tegaltirto Berbah Kabupaten Sleman ditunjukkan pada
Tabel 2.

728
Tabel 2. Perkembangan populasi pedet sapi potong periode Oktober 2003 – Mei 2005 pada kegiatan SIPT di
Desa Tegaltirto Berbah Kabupaten Sleman.

Anak (ekor)
Nama
Menyusu Sapih Bakalan* Jumlah
Kelompok Mortalitas
(< 3 bulan) (3 – 6 bulan) (> 6 bulan)
Kuton 10 4 9 1 24
Dondong 16 5 11 3 35
Kuncen 14 9 13 0 36
Pendem 8 4 9 0 21
Jumlah 48 22 42 4 116
* Dijual dengan harga rata – rata Rp 3.000.000 / ekor

Kelahiran pedet selama pemeliharaan 18 bulan sejumlah 116 ekor dengan tingkat
mortalitas pedet sebesar 3,45% (4 ekor). Kejadian kematian ini sebagian besar disebabkan
mati saat kelahiran. Hingga saat ini terdapat 112 ekor pedet yang terdiri umur kurang 3 bulan
(pra sapih) 42,86%, umur 3 – 6 bulan (sapih) 19,64% dan umur diatas 6 bulan (bakalan)
37,50%.
Model analisis usaha peternakan yang paling sederhana adalah pendekatan proses
produksi dengan menggunakan estimasi marjin kotor. Analisis yang lebih sederhana
diperoleh dengan cara mengurangi biaya variabel dari pendapatan kotor (Soekartawi et al.,
1986). Pendapatan peternak atas biaya yang digunakan dalam usaha pembibitan sapi potong
ditunjukkan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Analisis marjin kotor usaha pembibitan sapi potong pada kegiatan SIPT di Desa Tegaltirto Berbah
Kabupaten Sleman

Uraian Vol. Harga Jumlah


I. MODAL
Induk bunting (ekor) 68 4.500.000 306.000.000
II. BIAYA 230.675.000
a. Bahan 27.933.000
- Pakan konsentrat (kg) 36.720 650 23.868.000
- Obat/vaksin (paket) 68 5.000 340.000
- Perkawinan (kali) 149 25.000 3.725.000
b. Alat 14.450.000
- Penyusutan kandang (unit) 68 200.000 13.600.000
- Alat habis pakai (unit) 68 12.500 850.000
c. Tenaga kerja 183.600.000
- Tenaga kerja keluarga (HOK) 9.180 20.000 183.600.000
d. Lain – lain 4.692.000
- Listrik dan air (unit x bulan) 1.224 3.000 3.672.000
- Sewa lahan (unit) 68 15.000 1.020.000
1. Biaya Ekplisit 230.675.000
2. Biaya Implisit 47.075.000
III. PENERIMAAN 308.080.000
a. Penjualan pedet 253.000.000
- Umur < 3 bulan (ekor) 48 1.500.000 72.000.000
- Umur 3 - 6 bulan (ekor) 22 2.500.000 55.000.000
- Umur > 6 bulan (ekor) 42 3.000.000 126.000.000
b. Pupuk organik (kg) 220.320 250 55.080.000
IV. PENDAPATAN (III - 2) 261.005.000
R/C 1,34

Kelompok ternak dalam mengusahakan ternak sapi potong sebagai usaha sambilan.
Curahan tenaga kerja yang digunakan dalam pengelolaan ternak rata-rata 2 jam/hari/unit,
waktu tersebut digunakan dalam pencarian hijauan pakan (jerami padi), pemberian pakan,
minum dan pembersihan kandang. Hasil analisis usahatani pada usaha pembibitan sapi
potong menunjukkan bahwa besarnya biaya yang dikeluarkan (biaya eksplisit) sebesar Rp
230.675.000. Sedangkan biaya riel yang dikeluarkan oleh petani (biaya implisit) sebesar Rp

729
47.075.000. Hasil usaha yang berupa nilai pedet ditambah dengan nilai pupuk organik yang
dihasilkan selama pemeliharaan sebesar Rp 308.080.000. Selisih antara nilai hasil usaha
dengan biaya implisit merupakan pendapatan petani dari usaha pembibitan di kelompok
ternak sebesar Rp 261.007.000. P enerimaan (revenue) usaha usaha pembibitan sapi potong
dalam SIPT apabila dibandingkan dengan besarnya biaya eksplisit menunjukkan tingkat
efisiensi R/C sebesar 1,34.

KESIMPULAN

Pengembangan SIPT di Desa Tegaltirto Berbah Kabupaten Sleman dilaksanakan


mampu meningkatkan populasi ternak sapi potong. Pengelolaan usaha pembibitan ternak
sapi potong secara berkelompok menunjukkan bahwa 71,54% (48 ekor) induk pada fase
menyusui pada tahap kedua, sedangkan sisanya 29,85% (20 ekor) induk dalam kondisi
bunting kedua selama pemeliharaan (18 bulan). Terdapat 112 ekor pedet yang terdiri umur
kurang 3 bulan (pra sapih) 42,86%, umur 3 – 6 bulan (sapih) 19,64% dan umur diatas 6
bulan (bakalan) 37,50%. Hasil analisis finansial usaha pembibitan ternak sapi potong dalam
SIPT menunjukkan tingkat efisiensi R/C sebesar 1,34.

PUSTAKA

Achmad, P. 1983. Problema reproduksi pada ruminansia besar di Yogyakarta. Prosiding


Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar . Cisarua, 6 – 9 Desember 1982. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Astuti, M., W. Hardjosubroto, S. Lebdosoekojo.1983. Analisa jarak beranak sapi peranakan
ongole di Kecamatan Cangkringan Daerah Istimewa Yogyakarta. Prosiding
Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar . Cisarua, 6 – 9 Desember 1982. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2002. Pemantapan Program Mendesak
Kecukupan Daging 2005. Bahan Rapat Kerja, Ditjend BP Peternakan. Denpasar,
Bali.
Gunawan. 2003. Model dan strategi kerjasama penelitian agribisnis sapi potong dalam era
globalisasi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Puslitbang Peternakan
Handayani, S.W. dan A. Priyanti. 1995. Strategi kemitraan dalam menunjang agroindustri
peternakan: tinjauan kelembagaan. Prosiding Simposium Nasional Kemitraan Usaha
Ternak. ISPI bekerjasama dengan Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Haryanto, B., I. Inounu, IGM. Budi A., K. Diwyanto, 2002. Panduan Teknis Sistem Integrasi
Padi-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Saragih, B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan: Kumpulan Pemikiran. USESE Foundation
dan Pusat Studi Pembangunan IPB. Bogor.
Setiadi, B., Subandriyo, Dwi Priyanto, T. Safriati, N. K. Wardhani, Soepeno, Darodjat dan
Nugroho. 1997. Pengkajian Pemanfaatan Teknologi Inseminasi Buatan (IB) dalam
Usaha Peningkatan Populasi dan Produktivitas Sapi Potong Nasional di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor
Sitorus, P., A. Mulyadi, Subandriyo, L. H. Prasetyo, Sri Rahmawati, S. N. Tambing, A.
Semali, N. Jarmani dan S. B. Siregar. 1994. Studi Peranan Inseminasi Buatan dalam
Upaya Peningkatan Produktivitas dan Pengembangan Ternak Sapi. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

730
Soeharsono. 2003. Demofarm Sistem Integrasi Padi - Ternak (SIPT) di KUAT Tegal Mulyo
Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Pengkajian.
Bagian Proyek Pengembangan Padi Terpadu Kabupaten Sleman Kerjasama Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta.
Soekartawi, A. Soeharjo, John L. Dillon dan J. B. Hardaker. 1986. Ilmu Usahatani dan
Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. UI-Press, Jakarta.

731
PERSEPSI PETERNAK TERHADAP TEKNOLOGI
PEMANFAATAN GANGSING (Sesarma reticulatum) SEBAGAI RANSUM
PAKAN ITIK SUMBER OMEGA TIGA DI KABUPATEN KULONPROGO

Rahima Kaliky, Erna Winarti, dan Nur Hidayat.


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta55281
Karangsari, Wedomartani, Ngemplak, Sleman - Yogyakarta
Telp. (0274) 884662, Fax. (0274) 562935, e-mail: bptpdiy@indosat.net.id

ABSTRAK
Komponen biaya usaha ternak unggas untuk pakan + 60-70%. Karena itu perlu introduksi teknologi
pemanfaatan bahan pakan lokal sebagai substitusi pakan komersial. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
persepsi peternak terhadap teknologi pemanfaatan gangsing (Sesarma reticulatum) sebagai ransum pakan itik
sumber omega3 di kabupaten Kulonprogo. Metode penelitian adalah survei. Penelitian dilakukan di desa
Banaran Kecamatan Galur kabupaten Kulonprogo. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive dengan
pertimbangan teknologi itu sudah diintroduksikan di desa tersebut. Populasi penelitian adalah para peternak itik
setempat dan sampel diambil secara acak sederhana (simple random), jumlah sampel sebanyak 20 orang.
Analisis data menggunakan statistik deskriptif (analisis frekuensi). Hasil penelitian menunjukan bahwa 100%
responden menyatakan bahwa aplikasi teknologi tersebut dapat meningkatkan mutu hasil telur(keuntungan
relatif), 100% responden menyatakan dapat meningkatkan pendapatan (keuntungan relatif), 80% menyatakan
aplikasi teknologi tersebut tidak membutuhkan banyak tenaga (sederhana), 95% menyatakan hasil teknologi
tersebut dapat dilihat dalam waktu singkat (observable), 100% menyatakan sesuai budaya dan kebiasaan setempat
(kompatible).
Kata kunci : persepsi, peternak, pakan itik, omega tiga, gangsing

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Populasi ternak unggas di DIY tahun 2003 tercatat sebanyak 9,13 juta ekor, turun
sebesar 0,44% dari tahun 2002 yang populasinya sebesar 9,17 juta ekor. Sebagian besar dari
populasi unggas tersebut adalah ayam kampung (55,33%), disusul ayam ras 42,27% (petelur
15,21%, pedagaing 27,06%) dan 2,39% adalah itik. Adapun jumlah unggas yang dipotong
mencapai 25,33 juta ekor yang terdiri dari 33,97% ayam kampung, 65,39% ayam ras, dan
selebihnya 0,65 % adalah itik. Dengan membandingkan antara jumlah populasi unggas dan
jumlah unggas yang dipotong terlihat bahwa Propinsi DIY mendatangkan unggas dari daerah
lain dengan porsi 63,95% dari total unggas yang dipotong. Kondisi tersebut menggambarkan
bahwa permintaan unggas di DIY cukup tinggi, dan hal ini memberi peluang bagi peternak
di DIY untuk mengembangkan agribisnis perunggasan termasuk itik. Mengingat konsumsi
daging itik di DIY selalu meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 konsumsi daging
itik sebanyak 59.155 kg meningkat menjadi 105.387 kg ditahun 2003. Begitupula dengan
telur itik yang mengalami peningkatan permintan dari tahun ketahun. (BPS,2003).
Menurut Prasetyo et al. ( 2002) bahwa rendahnya produksi telur itik di kawasan
Pantai Selatan Yogyakarta (temasuk kab. Kulonprogo) disebabkan antara lain adalah sistem
pengelolaan yang tradisional dengan skala usaha yang kecil. Lebih lanjut dikatakan bahwa
salah satu permasalahan yang dihadapi peternak itik adalah tingginya harga pakan
(konsentrat), sementara komponen biaya untuk pakan dalam usaha ternak unggas mencapai
+ 60-70%. Untuk itu perlu dicari dan dimanfaatkan sumber pakan alam sebagai pengganti
konsentrat. Gangsing (Sesarma reticulatum) merupakan salah satu biota laut yang
keberadaannya sangat berlimpah pada musim kemarau sekitar bulan april sampai September
dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pakan untuk substitusi pakan komersial (konsentrat).
Wardhani et al. (2004) melaporkan hasil penelitianya bahwa pemanfaatan gangsing sebagai
subsitusi pakan konsentrat sebanyak 25% pada ransum itik menghasil telur dengan
kandungan omega 3 sebesar 242,50 mg/2 butir. Telur itik dengan kandungan omega-3

732
memiliki harga jual yang lebih tinggi dibanding telur yang sama tanpa kandungan omega-3.
Suatu teknologi akan diadopsi atau tidak berhubungan dengan persepsi pengguna
terhadap teknologi tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Rakhmat (2000) bahwa persepsi
adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh
dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (teknologi). Wilson (1998)
mengakui persepsi adalah selektif sehingga dapat merupakan psycological nois, "We tend to
see, hear and believe only what we want to see, hear and believe" (kita cenderung untuk
melihat, mendengar dan percaya hanya pada apa yang ingin kita lihat, dengar dan percayai).
Suatu keputusan inovasi individual baik opsional maupun kolektif pada proses tahap
keputusan inovasi hingga konfirmasi untuk tetap menggunakan teknologi itu atau
menghentikannya (mengadopsi secara berkelanjutan atau menolak), tergantung pada sifat
teknologi bersangkutan. Teknologi baru yang memberikan tingkat keuntungan relatif yang
lebih tinggi akan cepat diterima dengan catatan disamping menguntungkan, teknologi baru
itu harus sederhana, hasilnya dapat diamati oleh orang lain dalam waktu relatif singkat,
dapat diuji-cobakan dalam skala kecil, dan tidak bertentangan dengan kebiasaan dan nilai-
nilai sistem sosial setempat (Rogers, 1983).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji persepsi peternak terhadap karakteristik
teknologi teknologi pemanfaatan gangsing (sesarma reticulatum) sebagai ransum pakan itik
sumber omeg-3 di Kabupaten Kulonprogo.

METODA PENELITIAN

Penelitian ini didesain dengan metode survei, berlokasi di desa Banaran kecamatan
Galur kabupaten Kulonprogo. Penentuan lokasi tersebut secara purposive dengan
pertimbangan desa tersebut merupakan lokasi pengkajian teknologi/introduksi teknologi
oleh BPTP Yogyakarta, disampng memiliki memiliki potensi itik lokal Bantul yang cukup
tinggi. Populasi penelitian adalah peternak itik di desa tersebut. Pengambilan sampel
dilakukan secara acak sebanyak 20 peternak. Eksplorasi data dengan menggunakan daftar
pertanyaan terstuktur (kuesioner) Data primer yang terhimpun dianalisis dengan statistik
deskriptif (analisis frekuensi).

HASIL DAN PAMBAHASAN

Persepsi Peternak terhadap Karakteristik Teknologi


Rogers (1983) menyatakan bahwa cepat lambatnya proses adopsi suatu inovasi
dipengaruhi oleh ciri-ciri yang melekat pada inovasi tersebut. Ciri-ciri atau karakteristik
yang dimaksud meliputi keuntungan relatif, kompleksitas, trialibilitas, observabilitas, dan
kompatibilitas suatu teknologi. Persepsi responden terhadap karakteristik teknologi
pemanfaatan gangsing (sesarma reticulatum) sebagai ransum pakan itik sumber omega 3 di
agroekosistem lahan kering kabupaten Kulonprogo sebagai berikut :

1. Keuntungan Relatif Teknologi


Keuntungan relatif suatu inovasi/teknologi sangat menentukan didalam pengambilan
keputusan pengguna untuk mengadopsi atau menolak inovasi/teknologi tersebut. Semua
responden memberi penilaian positif (setuju – sangat setuju) untuk pernyataan bahwa
teknologi tersebut dapat meningkatkan mutu (kualitas telur) dan pendapatan peternak (Tabel
1).

733
Tabel 1. Persepsi Peternak Terhadap Keuntungan Relatif Teknologi Pemanfaatan Gangsing Sebagai Ransum
Pakan Itik Sumber Omega3 di Desa Banaran, Kabupaten Kulonprogo

Persepsi Kategori Frekuensi Persentase


Setuju 2 10
Meningkatkan Mutu
Sangat setuju 18 90
Setuju 5 25,0
Meningkatkan Pendapatan
Sangat setuju 15 75

Hal ini dapat dimaklumi karena aplikasi teknologi tersebut memberikan nilai positif
pada hasil, dimana telur itik yang dihasilkan dari aplikasi teknologi tersebut mengandung
omega-3, sebagaimana ditunjukkan oleh hasil penelitian Wardhani et all (2004) tersebut
diatas. Dengan adanya kandungan omega-3 tersebut mengakibatkan nilai jual dari telur
tersebut akan lebih tinggi dibanding telur itik tanpa kandungan omega-3. Berdasarkan
penilaian/pandangan peternak tersebut, maka dapat dikatakan bawa aplikasi teknologi ini
secara ekonomis dapat memberikan keuntungan relatif bagi penggunanya. Dari perspektif
ekonomis, teknologi ini layak untuk didesiminasikan atau didifusikan kepada peternak
lainnya sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pendapatan peternak itik
diagroekosistem yang sama.

2. Kompleksitas, Trialibilitas dan Observabilitas Teknologi


Disamping memberikan keuntungan relatif yang lebih tinggi dibanding teknologi
sebelumnya, suatu teknologi akan diadopsi apabila teknologi itu tidak rumit/sederhana
(tingkat kompleksitasnya rendah), dapat diujicoba terutama dalam skala kecil (trialable) dan
dapat diamati sendiri oleh pengguna teknologi itu (observable). Persepsi peternak terhadap
kompleksitas,trialibilitas dan observabilitas teknologi disajikan dalam (Tabel 2).
Tabel 2. Persepsi Peternak Terhadap Kompleksitas, Trialibilitas dan Observabilitas Teknologi Pemanfaatan
Gangsing Sebagai Ransum Pakan Itik Sumber Omega3 di Desa Banaran, Kabupaten Kulonprogo

Persepsi Kategori Frekuensi Persentase


Setuju 9 45.0
Mudah dipraktekkan
Sangat Setuju 11 55.0
Tdk Setuju 1 5.0
Dapat dicoba skala kecil Setuju 17 85.0
Sangat Setuju 2 10.0
Tdk Setuju 2 10.0
Hasil dapat amati dalam waktu
Setuju 16 80.0
relatif singkat
Sangat Setuju 2 10.0

Tabel 2 menunjukkan, seluruh responden memberi penilaian bahwa teknologi


pemanfaatan gangsing (Sesarma reticulatum) sebagai ransum pakan itik sumber omega3
mudah diaplikasikan. Artinya teknologi tersebut sederhana atau tingkat kompleksitasnya
sangat rendah. Dengan demikian, pandangan/persepsi terhadap tingkat kemudahan teknologi
yang positif tersebut diharapkan akan berhubungan positif dengan adopsi teknologi tersebut.
Pandangan responden terhadap tingkat dimana teknologi tersebut dapat dicobakan dalam
skala kecil, 95% responden memberi penilain positif. Artinya teknologi tersebut dapat diuji-
cobakan pada beberapa induk itik dan hasilnya dapat dibandingkan dengan hasil tanpa
penerapan teknologi. Uji coba (trialibilitas) teknologi merupakan hal yang sangat penting
bagi petani secara umum. Dengan uji coba teknologi, mereka akan membuktikkan manfaat
dan resiko dari teknologi tersebut.
Teknologi pemanfaatan gangsing (Sesarma reticulatum) sebagai ransum pakan itik
sumber omega tiga memiliki manfaat yang cukup besar yakni meningkatkan kualitas telur
(mengandung omega tiga) sehingga dapat meningkatkan harga jual telur yang dihasilkan.
Sedangkan pandangan responden terhadap tingkat dimana hasil penerapan teknologi, dapat
diamati secara langsung oleh adopter sendiri maupun oleh orang lain (tingkat observabilias)
sangat tinggi, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2, dimana 100% responden memberi
penilaian setuju dan sangat setuju bahwa hasil dari aplikasi teknologi tersebut dapat diamati

734
dalam waktu yang relatif singkat (observable). Trialibilitas dan observabilitas suatu
teknologi berhubungan positif dengan adopsi teknologi bersangkutan.

a. Kompatibilitas Teknologi
Kompatibilitas suatu teknologi adalah derajat kesamaan atau keterkaitan inovasi dengan
nilai, norma, dan pengalaman termasuk cara lama yang sudah diketahui/dimiliki oleh
pengguna. Kompatibilitas inovasi/teknologi berhubungan positif dengan adopsi. Persepsi
peternak terhadap kompatibilitas teknologi disajikan dalam (Tabel 3).
Tabel 3. Persepsi Peternak Terhadap Kompatibilitas Teknologi Pemanfaatan Gangsing Sebagai Ransum Pakan
Itik Sumber Omega-3 di Desa Banaran, Kabupaten Kulonprogo.

Persepsi Kategori Frekuensi Persentase


Sangat tdk setuju 1 5.0
Sesuai budaya Setuju 10 50.0
Sangat setuju 9 45.0
Tdk bertentangan dgn kebiasaan Setuju 10 50.0
petani setempat Sangat setuju 10 50.0

Teknologi pemanfaatan gangsing (Sesarma reticulatum) sebagai ransum itik sumber


omega tiga, dipersepsi oleh responden sebagai teknologi yang kompatible. Artinya bahwa
dari aspek sosial teknologi tersebut dapat diterima masyarakat. Sebagaimana ditunjukan
dalam (Tabel 3), 100% responden memberi penilaian positif (setuju-sangat setuju) bahwa
teknologi tersebut tidak bertentangan dengan budaya dan kebiasaan peternak setempat dalam
berusaha ternak itik. Mengingat komunitas peternak setempat sudah terbiasa berkecimpung
dengan biota laut tersebut. Hanya saja selama ini pengetahuan mereka pada manfaat
gangsing terhadap kualitas telur itik yang dihasilkan masih rendah, sehingga hasil penelitian
teknologi tersebut telah memberikan tambahan pengetahuan dan pencerahan bagi peternak
itik setempat.

Persepsi atau pandangan peternak yang positif terhadap karakteristik teknologi


tersebut, tentunya setelah mencoba mengaplikasikan teknologi tersebut. karena orang
cenderung untuk melihat, mendengar dan percaya hanya pada apa yang dilihat, didengar dan
dipercayai, yang didasarkan pada pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-
hubungan yang diperoleh dengan menafsirkan objek (teknologi). Dalam hal ini para peternak
melalui aplikasi teknologi tersebut telah diajak untuk melihat, mencoba, dan merasakan
sendiri hasil dari pada aplikasi teknologi tersebut selanjutnya memberi penilaian sendiri dan
memutuskan sendiri, keputusan inovasi untuk mengadopsi atau menolak teknologi tersebut.

Dengan mengetahui komponen teknologi dan kandungan nutrien produk yang


dihasilkan (telur itik ber-omega-3), sangat bermanfaat bagi peternak dimana produk telur
yang dihasilkan memiliki keunggulan tertentu, sehingga hal tersebut dapat dimanfaatkan
untuk memperkuat posisi tawar mereka dalam pemasaran telur itik yang dihasilkan. Dengan
demikian diharapkan harga yang ditawarkan peternak dan yang dibayarkan konsumen akan
lebih tinggi dibanding produk yang sama tanpa kandungan omega-3.

KESIMPULAN

Aplikasi teknologi pemanfaatan gangsing (Sesarma reticulatum) sebagai ransum


pakan itik sumber omega 3, secara teknis, ekonomi, dan sosial budaya dapat diterima oleh
komunitas peternak itik di Kabupaten Kulonprogo karena teknologi tersebut sederhana,
dapat diujicobakan dalam skala kecil, menguntungkan/meningkatkan pendapatan, dan tidak
bertentangan dengan budaya dan kebiasaan peternak setempat. Hal ini menunjukan bahwa
teknologi tersebut layak untuk didiseminasikan secara luas kepada peternak lain
diagroekosistem yang sama.

735
DAFTAR PUSTAKA

BPS,2003.Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka. Badan Pusat Statistik, Yogyakarta.


Hidayat, N., B. Prasetyo, A. Musofie, N.K. Wardhani, Supriadi, dan R. Kaliky, 2002.
Kelayakan Usaha Budidaya Itik Lokal Bantul. Prosiding Seminar Nasional. Inovasi
Teknologi dalam Mendukung Agribisnis.Hal. 349-353. Pusat Penelitian Sosial
ekonomi Pertanian-BPTP Yogyakarta dan Fakultas Pertanian. Universitas
Muhamadiyah.Yogyakarta
Prasetyo B., Soeharsono, N.K. Wardhani, dan E. Winarti, 2002. Potensi “Gangsing” dalam
Usaha Peningkatan Pendapatan Peternak Itik di Pantai Selatan Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional. Inovasi Teknologi dalam Mendukung Agribisnis.Hal.
346-448. Pusat Penelitian Sosial ekonomi Pertanian-BPTP Yogyakarta dan Fakultas
Pertanian. Universitas Muhamadiyah.Yogyakarta.
Rakhmat, J. 2000. Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung
Rogers, E.M.,1983. Diffusion of Inovation. 3ed. Collier Macmillan Publishing Co.Inc.New
York.
Singarimbun, M dan E. Sofyan, (Editor). 1995. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta
Suwarta, FX., 2002. Pengaruh Aras Energi dalam Ransum terhadap Berat dan Kualitas
Karkas Itik Manila umur 8 dan 12 minggu). Prosiding Seminar Nasional. Inovasi
Teknologi dalam Mendukung Agribisnis.Hal. 341-345. Pusat Penelitian Sosial
ekonomi Pertanian-BPTP Yogyakarta dan Fakultas Pertanian. Universitas
Muhamadiyah.Yogyakarta.
Wardhani, N.K. dan A. Musofie, 2000 Usaha Peternakan Itik Sebagai Alternatif Usahatani
Di Wilayah Pantai. Prosiding Seminar Teknologi Pertanian untuk mendukung
agribisnis dalam pengembangan ekonomi wilayah dan ketahanan pangan .
Yogyakarta 23 Nopember 2000. Pusat Penelitian Sosial ekonomi Bogor. Instalasi
Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. Kerja sama dengan
Universitas Wangsa Manggala dan Universitas Pembangunan Nasional "Veteran"
Yogyakarta.
Wardhani, N.K, A. Musofie, Soeharsono, Sutardi, Subagiyo, Supriyadi, E. Winarti, H.
Hanafi, Nur Hidayat, Sarjono, Endang,W.W, Sinung, R., 2004. Pengkajian Sistem
Pengembangan Usaha Peternakan di Pantai Selatan Kulonprogo Propinsi DIY.
Laporan Kegiatan. BPTP Yogyakarta.
Wilson, S.R. 1989. Mass Media / Mass Culture : An Introduction. Mc Draw Hill, Inc. New
York.

736
LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI DAYA DUKUNG PAKAN TERNAK DI LAHAN
KERING (Studi Kasus) DESA PLEMBUTAN, KECAMATAN PLAYEN,
KABUPATEN GUNUNG KIDUL

Supriadi dan Soeharsono


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
Jl. Rajawali No. 28, Demangan Baru Yogyakarta

ABSTRAK

Telah dilakukan pengkajian limbah pertanian sebagai daya dukung hijauan pakan ternak di lahan kering
di lokasi studi kasus adalah Dusun Toboyo. Desa Plembutan, Kecamatan Playen. Kabupaten Gunung kidul yang
dilakukan pada bulan Agustus hingga November 2004. Dengan metoda PRA pada sekitar 30 petani secara
purposive sampling dilakukan wawancara. Hasil yang didapat bahwa pada dasarnya penyediaan hijauan pakan
ternak ruminansia dilahan kering sebagian besar berasal dari limbah pertanian, pola tanam dengan sistim
tumpangsari dalam satu tahun dapat menghasilkan limbah pertanian sebagai hijauan pakan ternak yang bervariasi
dan kontinyu sepanjang tahun. Panen tanaman pangan pada penanaman yang kedua dalam system tumpangsari
dapat menyediakan hijauan yang dapat dikeringkan untuk persediaan pakan di musim kemarau. Oleh sebab itu
berdasarkan pemberian pakan pada musim kemarau didominasi oleh hijauan kering ditambah dengan pakan
konsentrat sedangkan pada musim hujan didominasi oleh hijauan dalam bentuk segar ditambah dengan sedikit
konsentrat. Di Desa Plembutan hasil ubikayu yang melimpah pada saat panen raya dengan harga murah dapat
dialihkan menjadi pakan tambahan untuk sapi potong baik yang sudah dalam bentuk gaplek maupun yang masih
dalam bentuk segar.
Kata kunci : pakan, lahan kering, limbah pertanian, pola tanam.

PENDAHULUAN

Salah satu andalam sumber hijauan pakan ternak di daerah lahan kering adalah
limbah pertanian, baik dalam keadaan segar maupun dalam keadaan kering seperti halnya
jerami, namun demikian jerami memiliki lignoselulosa dengan kadar lignin dan silikat yang
tinggi yang menyebabkan daya cerna menjadi rendah (Suawandyastuti; 1988). Limbah
pertanian sangat bergantung kepada budidaya pertanian terutama pertanian tanaman pangan.
Teknologi budidaya pertanian di desa Plembutan masih tergolong sederhana/tradisional. Hal
ini dapat dilihat dari cara penanaman maupun teknik pemupukan, seperti halnya penanaman
benih padi dengan cara ngawu-awu yaitu menyebar benih padi gogo bersamaa waktunya saat
pengolahan tanah, seminggu sampai dua minggu sebelum musim hujan datang, juga teknik
pemupukan, masih menggunakan pupuk kandang yang belum diolah terlebih dahulu,
sehingga memungkinkan tersebarnya hama uret dan hama-hama lain yang memungkinkan
hidup pada pupuk kandang. Pola tanam juga sangat dipengaruhi oleh keadaan biofisik lahan
pertanian yang umumnya mengandalkan air hujan untuk mendukung budidaya tanaman
pangan, hortikultura maupun palawija, hal ini yang menyebabkan rendahnya produksi
pertanian yang berarti pula rendahnya produksi limbah pertanian sebagai tulang punggung
sumber hijauan pakan ternak dilahan kering.
Kendala utama yang sangat berpengaruh terhadap pola tanam adalah sulitnya air
dalam menghadapi musim kemarau, sehingga umumnya petani sangat sulit pakan ketika
musim kemarau panjang tiba. Sebagai solusinya petani sudah terbiasa memberi pakan
ternaknya dengan membeli tebon jagung kepasar-pasar atau kios pakan setempat yang sudah
disediakan oleh pemasok tebon dari wilayah Sleman, Bantul dan Klaten. Kondisi demikian
sudah berjalan puluhan tahun, melihat kondisi demikian kiranya perlu dicarikan solusi yang
tepat untuk mengantisipasi kekurangan pakan di musim kemarau.

737
METODA PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam pengkajian ini adalah metode deskriptif analisis,
yaitu suatu metode untuk mengkaji kondisi, usahatani khususnya tentang ketersediaan pakan
ternak di lahan kering. Penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat gambaran mengenai
situasi atau kejadian atau memberikan gambaran hubungan antar fenomena, menguji
hipotesa, membuat prediksi serta implikasi dari suatu masalah yang ingin dipecahkan
(NAZIR, 1988 dalam Manti, 2003).
Lokasi pengkajian sebagai studi kasus adalah di Dusun Toboyo , Desa Plembutan,
Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul, waktu pengkajian dilakukan pada bulan
Agustus – November 2004. Data yang dikumpulkan terdiri dari dua macam data yaitu data
sekunder didapatkan dari monogrifi desa, sedangkan data primer didapatkan dengan
wawancara langsung melalui motode PRA secara purposive sampling terhadap 30 petani
yang menggarap lahan sawah atau tegalan dan mempunyai ternak sapi. Hasil akhir penelitian
disajikan dalam bentuk deskripsi, yang dilengkapi dengan tabel dari variabel-variabel yang
dianalisis, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Geografis dan karakteristik lahan


Desa Plembutan, kecamatan Playen, kabupaten Gunugkidul terletak sekitar 37 Km
di sebelah Timur kota Yogyakarta dan sekitar 4 Km di sebelah Barat kota Wonosari. Dari
aksesibilitas, desa ini sangat mudah dijangkau karena terletak di tepi jalan raya yang
menghubungkan kota kecamatan Playen dengan kecamatan Paliyan. Kondisi jalan desa yang
sebagian besar sudah diperkeras dengan aspal ataupun batu menjadikan seluruh wilayah di
desa ini dapat dijangkau kendaraan roda empat sekalipun musim penghujan.
Pada umumnya jenis tanah di Kecamatan Playen hampir sama yaitu masuk kedalam
kelas taksonomi Lithic Rhodustalfs (Anonimus 1997/1998), dengan ketinggian wilayah
antara 50 – 100 meter dpl, pH tanah berkisar antara 6,5 – 7,5 dengan curah hujan rata-rata
sekitar 2.055 mm per tahun masuk kedalam kelas C;C4 dengan rata-rata hari hujan 9 hari
per bulan. Pola curah hujan bulanan memperlihatkan bahwa musim kemarau dimulai bulan
Juni sampai dengan bulan Oktober.

Pola tanam sebagai sumber hijauan


Pada dasarnya sistem usahatani di Desa Plembutan merupakan satu kesatuan
usahatani lahan sawah dan lahan tadah hujan, lahan kering dan pekarangan, sesuai dengan
kondisi fisik sosial ekonomi dan infrastruktur yang tersedia. Secara umum tanaman pangan
merupakan salah satu komoditas prioritas petani setempat sebagai sumber untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi keluarga. Namun produksi yang didapatkan dari hasil budidaya
tanaman pangan masih tergolong relatif rendah, karena dibatasi oleh kendala fisik lahan,
kondisi sosial ekonomi dan keterbatasan keterampilan petani dalam pengelolaannya.
Dalam hal pola tanam, selain dapat menghasilkan pangan juga dapat menghasilkan
limbah pertanian sebagai pakan ternak. Pola tanam dalam satu tahun dengan sistem
timpangsari yang umum dilakukan di lahan kering bukan hanya dapat mengurangi resiko
kegagalan panen, tapi juga dapat memberikan keuntungan terhadap produksi pakan ternak
dari limbahnya. Dalam pola tanam antara tanam yang satu dengan tanaman yang lainnya
dalam satu musim hujan selain bervariasi juga saling bersambungan, sehingga
memungkinkan tersediaanya pakan ternak dari limbah pertanian. Syamsu et al 2003
mengatakan bahwa sumber limbah pertanian diperoleh dari komoditi tanaman pangan, dan
ketersediaanya dipengaruhi oleh pola tanam dan luas areal panen dari tanaman pangan.

738
Pola tanam yang dilakukan oleh petani di desa Plembutan mengikuti beberapa model
dapat dilihat sebagai berikut:

Pola tanam model 1:


Musim Hujan Marengan Kemarau

Nov Des Jan Feb Mrt Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt

Padi Gogo Jagung


Jagung Kacang kedelai Jagung (pakan ternak)
Ubi kayu
Turi

Pola tanam model II


Musim Hujan Marengan Kemarau

Nov Des Jan Feb Mrt Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt

Jagung Jagung
Kacang tanah Kacang tanah
Ubi kayu
Turi

Kebiasaan petani pada musim hujan pertama sekitar bulan November sudah
melakukan tanam benih seperti jagung, padi gogo dan ubikayu ditanam pada waktu yang
bersamaan, selanjutnya pada bulan Februari menanam benih kacang tanah atau kacang
kedelai setelah panen jagung dan padi gogo tanpa mengolah tanah lebih dahulu, kegiatan ini
sebenarnya memanfaatkan air yang masih relatif tersedia di lahan. Sedangkan ubikayu
dipanen terakhir yakni sekitar September karena tanaman ini memerlukan waktu hampr satu
tahun. Penanaman yang kedua seperti kacang tanah dan kedelai akan meng hasilkan limbah
berupa jerami kacang tanah, petani menyebutnya ”rendeng”. Rendeng ini didapatkan antara
bulan Mei dan Juni bertepatan dengan awal musim kemarau, dengan begitu limbah ini dapat
dijadikan persediaan pakan untuk musin kemarau.
Pola tanam petani di Gunungkidul sangat tergantung situasi lahan baik tegalan,
sawah maupun pekarangan sekitar rumah, biasanya pola tanam tumpangsari sesuai
kebutuhan masing-masing petani. Ada tanaman jagung yang ditanam hanya tumpang sari
dengan singkong dan populasi lebih dominan tanaman jagungnya. Ada pula tanaman kacang
tanah tumpangsari dengan jagung namun lebih didominasi tanaman kacang tanahnya
(tanaman jagung ditanam hanya sekitar jarak empat meter antar barisnya sebagai lorong),
demikian pula tanaman ubikayu perlakuan jarak tanamnya hampir sama dengan jagung.
Setelah panen kacang tanah dan kedelai petani masih berspekulasi menanam tanaman
lainnya seperti tanaman jagung yang sengaja ditanam untuk panen tebon ( tanaman jagung
muda) atau tanaman turi, keduanya untuk pakan ternak.
Umumnya masyarakat tani di wilayah Gunungkidul tanaman ubikayu merupakan
tanaman pokok yang ditanam hampir setiap musim, karena petani sangat memerlukannya
walaupun harganya jatuh disaat musim panen tapi masih dapat digunakan sebagai pakan
tambahan untuk ternak sapi potong selain rumput.

739
Jenis ternak yang dipelihara
Jenis ternak yang dipelihara di Desa Plembutan cukup bervariasi, diantaranya sapi,
kambing/domba, Ayam ras melalui GUT atau inti dan kampung, kelinci dan burung puyuh,
Rata-rata kepemilikan untuk sapi 1 ekor, kambing/domba 2- 3 ekor, ayam kampong 15 – 20
ekor, ayam ras terdapat 11 kandang dengan kapasita 3 – 5 ribu dengan 6 kali periode dalam
setahun. Pemelihara burung puyuh ada 10 orang berkisar antara 200 – 6000 ekor.
Pemeliharaan sapi dan kambing secara umum tidak ada permasalahan, permasalahan
yang umum terjadi adalah kekurangan pakan hijauan di musim kemarau. Jumlah ternak yang
dipelihara di Desa Plembutan tertera pada tabel di bawah ini:
Tabel 1. Populasi ternak di Desa Plembutan, Kecamatan Playen Gunungkidul, 2004

Jenis ternak Jumlah


Sapi 1421
Ayam Kampung 2998
Kambing 2025
Ayam ras 48.000
Burung Puyuh 40.000

Sumber: Daftar Isi Potensi Desa Plembutan 2004.

Jenis Hijauan Pakan


Jenis pakan ruminansia yang umum diberikan petani di Desa Plembutan terdiri dari
dua macam yaitu hijauan dan konsentrat. Hijauan yang terdapat di Desa Plembutan seperti
umumnya terdapat di daearah lahan kering terdiri dari dua bentuk hijauan yaitu segar dan
kering, ketersediaannya tergantung dari musim dan pola tanam yang dilakukan petani.
Hijaun segar yang biasa diberikan pada ternak ruminansia berupa: rumput
kolonjono, rumput alam, tebon (tanaman jagung muda), tayuman (tanaman yang biasa
digunakan untuk pagar), ramban ( Daun: mahoni, munggur, pisang, kesambi, turi, lamtoro ),
daun ubikayu, dan kulit ubikayu. Sedangkan hijauan yang umumnya diberikan dalam
keadaan kering adalah : Jerami padi, jerami kacang tanah (rendeng), jerami kedelai
Berdasarkan ketersediaan hijauan sangat dipengaruhi oleh musim dan pola tanam
yang dilakukan petani. Di Desa Plembutan terdapat dua polatanam yang dominant, seperti
terlihat pada table dibawah ini.
Tabel 2. Pola tanam dan ketersediaan limbah pertanian sebagai hijauan pakan berdasarkan musim tanam

MH 1(November – Januari/ MH 2 (Februari-


Musim MK (Juni –Oktober)
Februari) April/ Mei)
Pola tanam1 I Padi + Jagung + Ubikayu + Turi Kedelai+Jagung Bero *

II Kc. Tanah + Jagung + Ubikayu Kedelai+Jagung Bero *


+ Turi
Jenis pakan/limbah - Jerami padi - Jerami kedelai - Kulit ubikayu.
pertanian - Jerami jagung (tebon) - Jerami jagung - Daun ubikayu
- Rumput - Rumput. - Turi.
- Tayuman - Tayuman - Tayuman.
- Jerami kacang tanah - Ramban
* Walaupun bero masih terdapat ubi kayu

Berdasarkan pemberian hijuan pada ternak ruminansia berbeda antara musim hujan
dan musim kemarau di sesuaikan dengan sifat hijauan yang bisa diawaetkan atau yang harus
diberikan segar, seperti jerami padi dihasilkan pada musim hujan pertama, namun pemberian
pada ternak dilakukan pada musim kemarau , karena jerami padi bisa diawetkan dan
disimpan sehingga pemberiannya dapat dialihkan pada musim kemarau. Disamping itu
pemberian hijuan juga tergantung pada jenis tanaman, ada yang tahan terhadap kekeringan
umumnya pada tanaman berkayu yang dapat diambil rambanannya dan ada tanaman yang

740
tidak tahan kekeringan yang hanya ada pada musim hujan seperti pada rumput alam dan
kolonjono. Perbedaan jenis hijuan yang diberikan pada ternak disajikan pada table dibawah
ini:
Tabel 3. Jenis hijuan pakan yang diberikan pada ternak di Desa Plembutan.

Musim hujan (MH) Musim kemarau (MK)


- Rumput kolonjono - Daun turi
- Daun jagung / tebon - Tayuman
- Rumput alam - Lamtoro
- Tayuman - Jerami padi
- Daun jagung
- Kulit ubikayu
- Daun ubikayu
- Jermai kacang tanah
- Jerami kedelai
- Rambanan
- Komboran

Cara pemberian hijauan pada MH diberikan segar dengan cara dicacah terlebih
dahulu dan biasanya tidak ada campuran hijauan kering. Sedangkan pada MK hijauan yang
diberikan didominasi oleh hijauan kering seperti jerami padi, jerami kacang tanah dan lain
sebagainya diberikan secara ad lebitum dengan ditambah sedikit hijauan segar berupa
rambanan atau tebon, pada MK pemberian pakan dititik beratkan pada pemberian konsentrat
dengan komboran yang meningkat dua kali lipat dibandingkan pada MH.
Pakan komboran adalah pakan yang brasal dari biji-bijian atau umbi-umbian seperti
bekatul, gaplek atau konsentrat dari pabrik walaupun sedikit sekali petani yang
menggunakan konsentrat pabrik , sebagian besar petani menggunakan gaplek dan bekatul
sebagai pakan komboran. Pemberian gaplek dengan cara ditumbuk kasar kemudian direbus
ditambah air dan garam dengan perbandingan 1 kg gaplek ditambah 7-8 liter air dan ¼ kg
garam, hal yang sama juga dilakukan apabila yang diberikan adalah bekatul. Satu ekor sapi
biasanya diberikan 2 kg konsentrat (komboran) pada siang hari sekitar jam 2 atau 3 siang.
Jenis tanaman yang sengaja ditanam khusus untuk pakan tarnak diantaranya: rumput
kolonjono, turi dan tayuman, sedangkan tanaman yang lainnya digunakan untuk pakan
ternak dari limbahnya.
Limbah pertanian yang umum disimpan untuk digunakan sebagai pakan di musim
kering adalah jerami padi , jerami kacang tanah, jerma kedelai dengan cara di keringkan,
pengeringan rata – rata 3 -4 hari jemur matahari langsung, kemudian disimpan di para-para
kandang atau dibuatkan khusus kandang pakan sebagai lumbung pakan.

KESIMPULAN

Pola tanaman tanaman pangan di Desa Plembutan dengan sistem tumpang sari dapat
menyediakan hijauan pakan bukan hanya bervariasi namun juga dapat kontinyu
sepanjang tahun.
Pola pakan pada saat musim kemarau didominasi oleh hijauan yang sudah dikeringkan
seperti jerami padi, jerami kacang tanah dan kedelai.
Penaman pada musim tanam kedua dapat menyediakan hijauan kering untuk persediaan
pakan pada saat musim kemarau.
Hasil ubikayu pada saat panen raya harganya murah, namun dapat digunakan sebagai
pakan tambahan untuk sapi potong.

741
DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 1997/1998. Laporan Akhir. Studi penelitian tentang kesesuaian lahan di


Kabupaten Gunungkidul. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian Univ. Gajah Mada
Yogyakarta.
Anonimus. 2004. Daftar Isian Potensi Desa/ Kelurahan. Desa Plembutan. Kecamatan Playen.
Kabupaten Gunungkidul.
Manti. I, Azmi, Eko Priyotomo,dan Dapot Sitompul. 2003. Kajian sosial ekonomi sistem
integrasi sapi dengan kelapa sawit (SISKA). Prosiding Lokakarya Nasional Sistem
Integrasi Kelapa – Sapi. Bengkulu, September 2003. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Bogor.
Suwandyastuti .S.N.O, 1988. Pemanfaatan limbah agro-industri untuk meningkatkan nilai
nutrisi jerami padi. Proceeding. Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Bogor.
Syamsu,J.A,; L.A. Sofyan,; K. Mudikdjo,; E.G. Said, 2003. Daya dukung limbah pertanian
sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Indonesia, Wartazoa. Vol 10 (1) p. 20 –
26. Puslitbang Peternaka. Bogor.

742
STUDI DAMPAK PENGKAJIAN SISTEM USAHA PERTANIAN (SUP) PADI DI
KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Subagiyo dan Sri Budhi Lestari


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perubahan perilaku dan pendapatan petani akibat
dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan pengkajian SUP (Sistem Usaha Pertanian) Padi, di Kecamatan
Imogiri Kabupaten Bantul. Penelitian dilakukan dengan cara survei terhadap petani kooperator dan non-
kooperator SUP Padi masing-masing 15 orang yang ditentukan secara acak sederhana. Hasil penelitian
menunjukkan, bahwa pengkajian SUP Padi mampu merubah perilaku petani (pengetahuan, motivasi dan sikap),
serta adanya tingkat perbedaan pendapatan ushatani antara petani kooperator dan non-kooperator. Intensitas
penyuluhan, peran tokoh masyarakat mempunyai kontribusi nyata terhadap perubahan sikap dan perilaku petani
dalam melaksanakan program SUT Padi.
Kata kunci : Studi dampak, Sistem Usahatani Padi, Perilaku, Pendapatan

PENDAHULUAN

Hasil penelitian dan pengkajian (litkaji) teknologi pertanian spesifik lokasi inipun
sudah banyak direkomendasikan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. Hal
ini merupakan salah satu wujud, bahwa BPTP telah berhasil mempercepat transfer teknologi
kepada para pengguna. Hasil penelitian dan pengkajian akan sia-sia apabila tidak diikuti
dengan usaha untuk menyebarkannya. Teknologi yang sudah direkomendasikan oleh Komisi
Teknologi Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta, antara lain teknologi penggunaan alat
tanam benih langsung (atabela) dan tanam benih langsung (tabela) melalui kegiatan Sistem
Usaha Pertanian Padi.
Penerapan atau adopsi suatu inovasi oleh Mardikanto (1991) diartikan sebagai
proses perubahan perilaku baik berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective) maupun
keterampilan (psichomotoric) pada diri seseoraang setelah menerima inovasi yang
disampaikan oleh penyuluh untuk masyarakat sasarannya. Azwar (2000) mengemukakan
bahwa sikap merupakan suatu respons evaluatif. Respons evaluatif berarti bentuk reaksi
yang dinyatakan sebagai sikap tersebut timbul karena didasari oleh proses evaluasi dalam
diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk baik-buruk, positif-
negatif, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi
reaksi terhadap obyek sikap.
Selanjutnya dikatakan, bahwa kecepatan adopsi dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu (1) sifat inovasinya, (2) sifat sasaran, (3) cara pengambilan keputusan sasaran, (4)
saluran komunikasi yang digunakan, (5) kondisi penyuluhnya sendiri dalam menyampaikan
inovasi kepada sasaran dan (6) ragam sumber informasi. Keberhasilan adopsi dan difusi
inovasi teknologi di tingkat lapang sangat ditentukan oleh sifat teknologi yang
diintroduksikan yaitu (1) mampu memberikan keuntungan relatif bagi pengguna; (2)
sederhana (simple); (3) kompabilitias yaitu teknologi tersebut sesuai kebutuhan dan tidak
bertentangan dengan adat istiadat, norma dan budaya; (4) triabilitas atau mudah dicoba dan
(5) observabilitas atau mudah diamati (Rogers dan Shoemaker, 1986).
Adanya perubahan lingkungan strategis global yang mengarah kepada semakin
kuatnya liberisasi dan globalisasi perdagangan, akan membawa konsekuensi terhadap daya
saing komoditas pertanian di pasar internasional. Oleh karena itu, informasi dan teknologi
pertanian yang dibutuhkan petani semestinya juga mampu mengantisipasi berbagai
perubahan yang ada. Dengan demikian, informasi dan teknologi, bukan sekedar dapat
meningkatkan produktivitas, tetapi juga dapat meningkatkan kondisi sosial ekonomi mereka
khususnya petani beserta keluarganya. Berkait dengan masalah ekonomi keluarga tani, tidak

743
lepas dari pendapatan usahatani. Pendapatan petani adalah pendapatan yang diperoleh dari
seluruh cabang usahatani selama waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual
(Sukartawi, 1984).
Evaluasi terhadap dampak pengkajian dan diseminasi teknologi pertanian perlu
dilakukan secara periodik. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui
perkembangan yang terjadi di tingkat pengguna dalam menerapkan teknologi yang
diintroduksikan melalui kegiatan pengkajian dan diseminasi hasil pengkajian. Dengan
demikian, untuk perencanaan program pengkajian dan diseminasi hasil pengkajian teknologi
dapat tersusun sesuai dengan perubahan yang terjadi, baik dari para pengguna teknologi
maupun perubahan kebijakan yang ada di daerah.

METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan metode survai dan pengamatan langsung, penelitian


yang dilakukan mengutamakan sampel sebagai yang mewakili populasi untuk menjadi
sasaran penelitian. Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah with in and with out
serta before and after. Pengkajian dilakukan bulan Maret s/d Desember 2004 di desa Kebon
Agung dan Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Jumlah sampel sebanyak 30
responden yang teridiri dari 15 petani kooperator dan 15 petani non-kooperator, pengambilan
sampel dilakukan secara acak sederhana. Penentuan lokasi ditentukan secara porposive
dengan pertimbangan bahwa lokasi ini merupakan lokasi pengkajian program SUP padi.
Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan survei dipadukan dengan in-depth
interview tentang obyek yang diteliti dengan menggunakan kuesioer terstruktur dan semi
struktur. Dari data yang terkumpul diharapkan diperoleh suatu hasil analisis yang lebih
komprehensif dari permasalahan yang dihadapi, analisis data dilakukan secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakterisitik Petani

1. Umur petani
Umur berkaitan erat dengan kemampuan fisik petani dalam mengelola usahatani;
semakin tua umur seseorang, kemampuan fisiknya semakin berkurang. Sebaliknya,
seseorang yang masih muda, aktivitas dan kreativitas untuk melakukan sesuatunya
cenderung tinggi. Klasifikasi umur petani, dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sebaran umur petani kooperator dan non kooperator pada pengkajian SUP Padi di Kabupaten Sleman,
tahun 2004.
Kooperator Non - kooperator
No Klasifikasi umur (th)
Orang % Orang %
1 30 - 40 3 20,00 5 33,30
2 41 - 50 5 33,30 4 26,70
3 51 - 60 3 20,00 3 20,00
4 > 60 4 26,70 3 20,00
Jumlah 15 100,00 15 100,00
Sumber : Analisis data primer.

Tabel 1 menunjukkan, bahwa sebagian besar petani kooperator pada klasifikasi


umur 41-60 tahun (umur produktif). Hal ini mendukung cepatnya proses adopsi teknologi,
karena semakin tua umur seseorang, pada umumnya semakin lamban dalam proses adopsi
teknologi dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh
warga masyarakat setempat. Sebagian besar petani non kooperator, pada klasifikasi umur
30-40 tahun (umur produktif). Pada umur muda, diharapkan terjadi percepatan adopsi dan
difusi teknologi dari sumber ke sasaran.

744
2. Tingkat pendidikan formal
Tingkat pendidikan formal yang ditempuh petani sangat beragam dari sekolah
dasar sampai tingkat lanjutan atas. Klasifikasi pendidikan formal petani kooperator dan non
kooperator dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik pendidikan formal petani pada kegiatan SUP Padi di Kabupaten Bantul, tahun2004.
Klasifikasi Kooperator Non-kooperator
No
pendidikan orang % orang %
1 SD 2 13,33 4 26,70
2 SLTP 5 33,33 4 26,70
3 SLTA 8 53,33 6 40,00
4 S-1 0 0 1 6,60
Jumlah 15 100 15 100
Sumber: Analisis data primer

Tabel 2 memperlihatkan bahwa pendidikan petani kooperator sebagian besar sampai


pada tataran SLTA, demikian juga pada petani non-kooperator. Hal ini akan mempengaruhi
pengetahuan sikap dan keterampilan yang positif, sehingga proses adopsi dan difusi
teknologi dapat berjalan dengan lancar, termasuk program SUP Padi.

3. Luas garapan usahatani padi


Lahan merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting dalam pengelolaan
usahatani padi. Sebaran luasan garapan petani kooperator dan non kooperator disajikan
pada Tabel 3 sebagai berikut :
Tabel 3. Sebaran luas garapan petani kooperator dan non-kooperator di Kabupaten Bantul, tahun 2004.

Luas garapan Kooperator Non-kooperator


No
(ha) orang % orang %
1 <1 8 53,30 4 26,70
2 1-2 4 26,70 7 46,70
3 2,1 - 3 2 13,30 2 13,30
4 >3 1 6,70 2 13,30
Jumlah 15 100,00 15 100,00
Sumber: Analisis data primer

Tebel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar luas garapan petani untuk tanaman padi
kurang dari 1 ha (petani kooperator) dan 1 – 2 ha (petani non-kooperator). Dengan
dukungan fasilitas pengairan yang baik, pekerjaan utama dan mata pencaharian yang
mengandalkan dari usahatani terutama padi, maka petani dengan gigih untuk dapat
mengintensifkan usahataninya secara baik, sesuai pedoman yang ada, termasuk program
SUP Padi.

B. Pengetahuan Petani Tentang Teknologi Pada Program SUP Padi

Pengetahuan petani kooperator dan non kooperator pada program pengkajian SUP
Padi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Distribusi tingkat pengetahuan petani pada program SUP Padi di Kabupaten Bantul, tahun 2004.
Petani kooperator Petani
No Klasifikasi Sebelum Sesudah non-kooperator
skor orang (%) skor orang (%) skor orang (%)
1 Rendah 9 - 11 1 (6,66) 9 - 11 1 (6,66) 0 0 (0)
2 Sedang 12 - 14 0 (0) 12 - 14 0 (0) 0 0 (0)
3 Tinggi 15 - 18 14 (93,33) 15 - 18 14 (93,33) 18 15 (100)
Jumlah 15 (100%) 15 (100) 15 (100)
Sumber: Analisis data primer

745
Tabel 4 menunjukkan bahwa pengetahuan petani kooperator sebelum dan sesudah
program SUP Padi, pengetahuannya pada tataran tinggi. Hal ini menandakan bahwa petani
memahami semua komponen teknologi yang ada pada program yang diperkenalkan. Pada
petani kooperator tidak terjadi perubahan dari sebelum ke sesudah pengkajian. Teknologi
yang diperkenalkan sudah terdifusi ke kelompok di luar program SUP Padi.
Tingkat pengetahuan tentang SUP Padi Pada petani non-kooperator tingkat
tergolong tinggi. Hal ini karena tingginya motivasi dan kosmopolitan terutama untuk selalu
mencari informasi kepada penyuluh maupun kelompok yang sudah melakukan teknologi
SUP Padi. Teknologi yang diperkenalkan sudah terdifusi ke kelompok di luar program SUP
Padi.

C. Sikap Petani Kooperator dan Non-Kooperator Terhadap Teknologi Pada Program


SUP Padi

Keragaan sikap petani terhadap introduksi teknologi pada program SUP Padi dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Distribusi sikap petani pada program SUP Padi di Kabupaten Bantul, tahun 2004.
Petani kooperator Petani
No Klasifikasi Sebelum Sesudah non-kooperator
skor orang %) skor Orang (%) skor Orang (%)
1 Kurang setuju 26 - 26,6 2 (13,33) 16 - 19 2 (13,33) 21- 23,3 1 (6,66)
2 Sedang 26,7-27,3 5 (33,33) 20 - 23 0 (0) 23,4 - 25,7 1 (6,66)
3 Sangat setuju 27,4 -28,0 8 (53,33) 24 - 28 13(86,66) 25,8 - 28,0 13 (86,66)
Jumlah 15 (100) 15 (100) 15 (100)
Sumber: Analisis data primer

Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar petani kooperator baik sebelum


maupun sesudah pengkajian memiliki sikap sangat setuju terhadap teknologi SUP Padi.
Demikian juga pada petani non-kooperator (86,66%) memiliki sikap sangat setuju terhadap
teknologi SUP Padi. Hal ini menandakan bahwa teknologi yang diperkenalkan dianggap
relevan sesuai kebutuhan petani, mulai dari diperkenalkannya varietas padi unggul, tanam
jajar legowo sampai pada teknologi panen dan pascapanen.

D. Penerapan Teknologi Pada Program SUP Padi.

Penerapan teknologi pada program SUP Padi di Kabupaten Sleman atau


keterampilan petani dalam mengelola usahatani padi dapat dikatakan baik, hal ini dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Distribusi penerapan/keterampilan petani pada program SUP Padi di Kabupaten Bantul, tahun 2004.

Petani kooperator Petani


No Klasifikasi Sebelum Sesudah non-kooperator
skor orang (%) skor orang (%) skor orang (%)
1 Rendah 11-14,6 2 (6,66) 16 - 18 2 (6,66) 14-16,6 3 (20,00)
2 Sedang 14,7-18,3 7 46,66) 18,1-20 2 (6,66) 16,7-19,3 2 (13,33)
3 Tinggi 18,4-22 6 (40,00) 20,1-22 11(86,66) 19,4-22,0 10(66,66)
Jumlah 15(100%) 15 (100) 15 (100)
Sumber: Analisis data primer

Tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar petani kooperator baik sebelum


maupun sesudah pengakajian memiliki tingkat penerapan teknologi tergolong tinggi. Tidak
terjadi perubahan tingkat penerapan teknologi dari sebelum ke sesudah pengkajian
berlangsung. Hal karena didukung dengan sikap yang sangat responsif, selalu berkeinginan
untuk memperoleh hasil yang lebih baik, tokoh masyarakat selaku mitra kerja penyuluh
pertanian sangat berperan dalam kemajuan usahatani padi.

746
E. Pendapatan petani

Dampak pengkajian terhadap pendapatan petani terjadi perbedaan antara petani


kooperator dan petani non kooperator, hal ini disebabkan karena dalam penggunaan input
produksi lebih efisien, ini menandakan bahwa kelembagaan petani (kelompok tani)
mempunyai peranan yang penting mendorong para anggotanya untuk senantiasa selalu
meningkatkan kemampuannya dalam berusahatani.
Berdasarkan analisis usahatani SUP padi di Desa Kebon Agung Imogiri Bantul,
terjadi perbedaan pendapatan antara petani kooperator dan petani non kooperator, dimana
pendapatan petani kooperator (Rp 902.500) lebih tinggi dibandingkan dengan petani non
kooperator (Rp 850.350) dalam usahatani padi dengan luasan yang sama (0,3 ha) antara
petani kooperator dan non kooperator. Untuk lebih jelasnya analisis usahatani SUP padi di
Desa Kebon Agung, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul dapat dilihat pada (Tabel 7).
Tabel 7. Analisis Usahatani SUP Padi di Desa Kebon Agung, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul

Petani kooperator Petani non kooperator


No Uraian
Vol H. Satuan Jumlah Vol H.satuan Jumlah
1. Sarana Produksi 157.750 186.150
- Benih 10 kg 3.100 31.000 12 kg 3.200 38.400
Pupuk
- Urea 43,5 kg 1.250 54.375 75 kg 1.250 93.750
- TSP / SP-36 22,5 kg 1.550 34.875 15 kg 1.600 24.000
- KCL 12,5 kg 3.000 37.500 10 kg 3.000 30.000
- ZA 0 - - -
- P.kandang 0 - - -
Obat-obatan 59.500 27.000
- Gandasil 1 9.000 9.000 0
- Regent 1 10.000 10.000 0
- Buldog 3 13.500 40.500 2 kg 13.500 27.000
2. Tenaga Kerja 478.000 416.500
- Olah tanah 1 HOK 40.000 40.000 1 HOK 40.000 40.000
- Persemaian 1 HOK 15.000 15.000 1 HOK 12.500 12.500
- Penanaman 3 HOK 3.000 9.000 8 HOK 3.000 24.000
- Pemeliharaan 15 HOK 6.000 90.000 1 HOK 40.000 40.000
- Panen 135 kg* 1.200 162.000 125 kg* 1.200 150.000
- Pascapanen 135 kg* 1.200 162.000 125 kg* 1.200 150.000
3. Biaya Lainnya 22.250 20.000
- iuran air 1 2.250 2.250 -
- pajak 1 th 20.000 20.000 1 th 20.000 20.000
- angkutan
4. Total Biaya produksi 717.500 649.650
5. Produksi 1.350 kg 1.200 1.620.000 1.250 kg 1.200 1.500.000
6. Penerimaan 902.500 850,350
7. R/C ratio 2,26 2,31
8. B/C ratio 1,26 1,31
Keterangan : upah panen dan pasca panen berupa bawon 10:1

F. Kosmopolitan petani padi

Arti secara harafiah bahwa kekosmopolitan adalah tingkat kemampuan seseorang


dalam mencari informasi pengetahuan berupa pengalaman melihat, mendengar, membaca
(media massa, cetak maupun elektronik) “bergaul” maupun bepergian ke suatu tempat
sehingga dapat menambah pengalaman dalam memecahkan masalah dan perubahan perilaku
pribadinya. Perilaku individu untuk melakukan aktivitas komunikasi timbul berdasarkan
dorongan yang ada dalam diri individu tersebut untuk melakukan sesuatu gerakan atau
tindakan yang sesuai dengan keinginannya. Menurut Rahmat Pambudi (1999) bahwa prinsip
dasar individu adalah (1) individu memiliki perbedaan perilaku, (2) individu mempunyai

747
kebutuhan yang berbeda, (3) individu berfikir tentang masa depan dan membuat pilihan
tentang bagaimana bertindak, (4) individu memahami lingkungannya, (5) individu
memahami reaksi terhadap aksi dan (6) banyak faktor yang mempengaruhi sikap dan
perilaku.
Roger (1983) ada tiga peubah yang dapat digunakan untuk mengetahui perilaku
komunikasi, yaitu pencarian informasi, kontak dengan penyuluh dan keterdedahan pada
media massa.
Kosmopolitan petani pada penelitian ini merupakan tingkat hubungan petani dengan
dunia luar di luar sistem sosialnya sendiri ditandai dengan aktivitas mencari informasi yang
berhubungan dengan usahataninya melalui: (1) kontak dengan petani di daerah lain yang
memiliki pandangan luas tentang usahatani yang sama, (2) kontak dengan penyuluh, (3)
frekuensi membaca surat kabar, (4) frekuensi membaca majalah pertanian, (5) frekuensi
mendengar siaran radio tentang pertanian dan (6) frekuensi menonton siaran televisi
terutama siaran pertanian. Untuk mengetahui kosmopolitan di daerah penelitian disajikan
pada Tabel 8.
Tabel 8. Distribusi kosmopolitan petani pada Sistem Usaha Pertanian Padi di Kabupaten Bantul, tahun 2004.
Jumlah Petani
Tingkat
No Kooperator Non-kooperator
Kosmoplitan
skor orang % skor orang %
1 Kurang 6 – 10,3 3 20 6 - 10 3 20,00
2 Sedang 10,4 – 14,7 7 46,7 11 - 14 5 33,33
3 Tinggi 14,8 – 21,0 5 33,3 15 - 18 7 46,66
Jumlah 15 100 15 100
Sumber : Analisis data primer

Tabel 8 menunjukkan bahwa dari dua kelompok petani, yaitu petani kooperator,
ternyata sebagian besar (46,66%) dengan kosmopolitan sedang, dan petani non-kooperator
pada tataran tinggi. Pada petani kooperator, pada umumnya petani jarang melakukan kontak
dengan petani atau kelompok tani lainnya. Dinamika kelompok pada petani kooperator
sudah berjalan dengan baik, sehingga mereka saling memberi dan menerima berbagai
pendapat untuk kemajuan usahataninya. Sebaliknya pada petani non-kooperator, mereka
masih sering berhubungan dengan kelompok lain dan penyuluh pertanian untuk
mendiskusikan usahatani padi, terutama dalam hal teknologi SUP Padi.

G. Motivasi petani padi

Motivasi petani yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kekuatan atau dorongan
pada diri petani baik dari dalam ditinya maupun dari orang lain sehingga petani rela dan mau
berpartisipasi dalam sistem usaha tani padi, yang diukur dengan : (1) sumber motivasi petani
dari individu atau kelompok, (2) jumlah waktu yang disediakan untuk kegiatan SUP padi, (3)
kerelaan meninggalkan pekerjaan lain, (4) kerelaan mengeluarkan biaya untuk kegiatan SUP
padi, (5) ketekunan dalam mengerjakan kegiatan. Motivasi petani dalam berpartisipasi
dalam mendukung sistem usahatani padi disajikan pada Tabel 9 sebagai berikut :.
Tabel 9. Distribusi petani menurut motivasinya untuk berpartisipasi dalam Sistem Usaha Tani Padi di
Kabupaten Bantul, tahun 2004.

Jumlah Petani
Tingkat
No Kooperator Non- kooperator
Motivasi
Skor Orang % Skor Orang %
1 Rendah 9 – 14,6 3 20,00 10 – 15,3 2 13,3
2 Sedang 14,7 – 20,3 2 13,3 15,4 – 20,6 2 13,3
3 Tinggi 20,4 - 21 10 66,7 20,7 - 26 11 73,3
Jumlah 15 100 15 100
Sumber : Analisis data primer

748
Tabel 9 menunjukkan bahwa tingkat motivasi antara petani kooperator dan non
kooperator dalam katogori tingkat motivasi yang tinggi. Petani kooperator dengan persentase
66,7% dan petani non kooperator dengan presentase 73,3%. Sumber motivasi dari dalam
dirinya sendiri, berkeinginan untuk menerapkan teknologi SUP padi, bersedia meluangkan
waktu untuk menerapkan komponen teknologi SUP padi, dan untuk meninggalkan pekerjaan
lain, mengeluarkan biaya, dan ketekunan dalam mengerjakan kegiatan SUP padi petani
menyatakan bersedia atau rela. Hal ini menunjukkan bahwa motif petani untuk berpartisipasi
dalam SUP padi sudah kuat, karena masih ada motif-motif lain yang juga mendukung niat
petani untuk berpartisipasi dalam SUP padi, seperti petani rela meninggalkan pekerjaan lain,
nila waktunya bersamaan dengan kegiatan SUP padi dan petani sudah bersungguh-sungguh
dalam mengerjakan kegiatan penerapan komponen teknologi SUP padi.

H. Intensitas penyuluhan

Intensitas penyuluhan dalam penelitian ini diukur dengan : (1) frekuensi kehadiran
petani pada kegiatan penyuluhan, (2) cara penyampaian materi oleh penyuluh, (3) metode
penyuluhan yang digunakan, (4) frekuensi pertemuan penyuluh dengan petani secara
perorangan, dan (5) kesesuaian materi penyuluhan. Untuk mengetahui tingkat intensitas
penyuluhan ditunjukkan pada Tabel 10.
Tabel 10. Distribusi petani menurut tingkat intensitas penyuluhan pertanian dalam Sistem Usaha Pertanian
Padi di Kabupaten Bantul, tahun 2004.
No Tingkat Jumlah Petani
Intensitas Kooperator Non-kooperator
Penyuluhan skor orang % skor orang %
1 Jarang 10 – 14 9 60 10 – 12,5 4 26,7
2 Sering 15 - 18 6 40 12,6 – 15,0 11 73,3
Jumlah 15 100 15 100
Sumber : Analisis data primer

Tabel 10 menunjukkan bahwa intensitas penyuluhan di daerah penelitian


dinyatakan dengan 60% atau 9 orang petani kooperator dengan klasifikasi jarang,
sedangkan untuk petani non kooperator intensitas penyuluhan adalah sering yang dinyatakan
dengan 73, % atau 11 orang. Hal ini disebabkan karena petani kooperator sudah aktif dengan
sendirinya mencari informasi tentang teknologi pertanian atau yang berhubungan dengan
pertanian, sehingga petani kooperator jarang menghadirkan penyuluh, kalau tidak dirasa
penting sekali. Sedangkan untuk petani non-kooperator sebagian petani menyatakan bahwa
intensitas penyuluhan adalah sering yaitu 73,3%. Hal ini diketahui dari frekuensi kehadiran
petani pada kegiatan penyuluhan lebih dari 60% dari total kehadiran penyuluh, metode
penyuluhan yang biasa digunakan oleh penyuluh berupa metode gabungan antara metode
kelompok dan metode perorangan, tetapi frekuensi pertemuan dengan petani secara
perorangan masih jarang, cara penyampaian materi dapat dipahami dan kesesuaian materi
sudah sesuai dengan kebutuhan petani.

I. Peran tokoh masyarakat

Tokoh masyarakat merupakan figure yang masih diakui keberadaanya dalam sistem
sosial masyarakat desa. Peran tokoh masyarakat yang diukur dalam penelitian ini adalah
besarnya pengaruh dari tokoh masyarakat yang mendorong petani untuk berpartisipasi dalam
sistem usahatani padi, dengan cara : (1) melaksanakan fungsi motivasi, (2) melaksanakan
fungsi partisipasi, (3) memberikan informasi mengenai SUT padi serta manfaat yang
diperoleh dengan menerapkan komponen SUT padi, dan (4) melaksanakan pengambilan
keputusan bersama petani. Penilaian petani terhadap peran tokoh masyarakat dan
keaktifannya dalam melaksanakan tugas dan fingsinya, disajikan pada Tabel 11.

749
Tabel 11. Distribusi Penilaian petani terhadap peran tokoh masyarakat (keaktifannya melaksanakan tugas dan
fungsinya) dalam kegiatan sistem usaha tani padi di Kabupaten Bantul, tahun 2004.
Jumlah Petani
Tingkat
No Kooperator Non- kooperator
Motivasi
Skor Orang % Skor Orang %
1 Rendah 6 – 11 2 13,30 7 – 11,6 2 13,30
2 Sedang 12 – 17 3 20,00 11,7 – 16,3 3 20,00
3 Tinggi 18 – 23 10 66,70 16,4 – 23 10 66,70
Jumlah 15 100 15 100
Sumber : Analisis data primer

Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar (66,7%) petani memberikan


penilaian tinggi, baik petani kooperator maupun petani non kooperator. Apabila dilihat dari
distribusinya, maka penilaian petani terhadap peran tokoh masyarakat dalam menjalankan
tugas dan fungsinya termasuk klasifikasi tinggi. Petani dengan klasifikasi penilaian tinggi,
menyatakan bahwa tokoh masyarakat telah melaksanakan fungsi partisipasi, memberikan
informasi mengenai SUP padi serta manfaat yang diperoleh dengan menerapkan komponen
SUP padi. Seorang tokoh masyarakat dapat mempengaruhi tingkat partisipasi petani dalam
suatu kegiatan dengan melaksanakan fungsi motivasi, fungsi partisipasi, memberikan
informasi, dan fungsi pengambilan keputusan.

KESIMPULAN

Petani kooperator baik sebelum maupun sesudah pengkajian memiliki tingkat


pengetahuan tinggi tentang teknologi pada program SUP Padi dan pengetahuan ini sudah
terdifusi kepada petani non-kooperator. Petani kooperator baik sebelum dan sesudah
pengkajian SUP Padi memiliki sikap sangat setuju terhadap teknologi yang diitroduksikan;
demikian juga sikap petani non-kooperator. Tingkat penerapan petani kooperator pada
sebelum dan sesudah pengkajian tetap pada klasifikasi tinggi; teknologi ini sudah dicontoh
dan diterapkan oleh petani non-kooperator. Pengkajian teknologi SUP Padi mampu
meningkatkan pendapatan petani kooperator dan non-kooperator.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S., 2000. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, 2000. Evaluasi Efektifitas Diseminasi
Hasil Pengkajian di Yogyakarta. Laporan tahunan.
Mardikanto, T., 1991. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press,
Surakarta.
Rogers, E.M and Shoemaker, 1986. Diffusion of Inovation. The Free Press. New York.
Rachmat, P., 1999. Karakteristik Personal, Perilaku Komunikasi, Perilaku Wirausaha dan
Penyuluhan dalam Sistem Agribisnis Peternakan Ayam. Program Pasca Sarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sukartawi, A. Soeharjo, J.L. Dilhon dan J.B. Herdoker, 1984. Ilmu Usahatani dan Penelitian
untuk Pengembangan Petani Kecil. Indonesia University Press, Jakarta.
Sukartawi, 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia, Jakarta.
Wiriatmaja, 1975. Pokok-Pokok Penyuluhan Pertanian. Yasaguna. Jakarta.

750
PELUANG USAHA TANAMAN AKAR WANGI (Vetiveria zizanioidez) DI LAHAN
KERING KABUPATEN GUNUNGKIDUL

Heni Purwaningsih dan Subagiyo


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogjakarta

ABSTRAK

Tanaman Akar Wangi (Vetiveria zizanioidez) adalah komoditas yang cukup potensial khususnya di
dusun Karangpoh dan Kepek, desa Semin, Kabupaten Gunungkidul. Tanaman akar wangi memiliki banyak
manfaat antara lain dapat dibuat minyak akar wangi bahkan kadang-kadang secara tradsional masih digunakan
sebagai pengharum pakaian pada masyarakat pedesaan. Tanaman akar wangi memiliki peluang sebagi komoditas
agribisnis di dusun Karangpoh dan Kepek, desa Semin, kabupaten Gunungkidul. Tanaman ini tumbuh dan
berkembang di lahan kering dan tidak memerlukan perawatan khusus. Hasil tanaman akar wangi di daearh ini
dijual untuk memenuhi kebutuhan industri kerajinan akar wangi di daerah Kepek Gunungkidul.Industri
kerajianan akar wangi ini selain untuk konsumen dalam negeri juga luar negeri. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui pendapatan dan skala minimum usahatani tanaman akar wangi. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode survai berstruktur pada kelompok tani, desa Karangpoh dan Kepek, desa Semin, kabupaten
Gunungkidul. Pengambilan contoh petani dilakukan dengan menggunakan metode “Stratified Random Sampling”
berdasarkan luas usahatani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan yang diperoleh Rp. 317.875,- dan
skala mimium usahataninya adalah 0,52 ha.
Kata kunci : skala usahatani, minimum, akar wangi

PENDAHULUAN

Tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioidez) berasal dari Birma, India dan Srilangka,
namun tidak diketahui secara pasti sejak kapan tanaman akar wangi dibudidayakan di
Indonesia. Tanaman akar wangi tidak hanya digunakan di Indonesia tetapi sudah menyebar
ke Asia, Amerika, Afrika sampai Australia. Dengan demikian bangsa-bangsa di dunia ini
sedikit banyak telah mengetahui keberadaan tanaman akar wangi.
Tanaman akar wangi ditemukan tumbuh secara liar, setengah liar dan sengaja
ditanam diberbagai negara beriklim tropis dan subtropis. Tanaman akar wangi termasuk
keluarga Gramineae, berumpun lebat, akar tinggal bercabang banyak dan berwarna kuning
pucat atau abu-abu sampai merah tua. Rumpun tanaman akar wangi terdiri atas beberapa
anak rumpun yang nantinya dapat dijadikan bibit.
Tanaman akar wangi tumbuh baik pada tanah berpasir (antosol) atau pada tanah abu
vulkanik dilereng-lereng bukit. Pada tanah tersebut akan menyebabkan akar tanaamn
menjadi panjang dan lebat dan juga akar mudah dicabut tanpa ada yang tertinggal dan hilang.
Menurut Santosos (1993), tanaman akar wangi masih dapat tumbuh pada tanah-tanah liat
yang banyak mengandung air, namun kelemahannya, selain sulit dicabut, juga pertumbuhan
akar terhambat.
Tanaman akar wangi banyak ditanam untuk dimanfaatkan sebagai minyak akar
wangi, minyak ini sering dikenal dengan vetiver oil. Di Indonesia minyak akar wangi telah
mendapat sebutan java vetiver oil karena sebagian besar minyak itu diproduksi di Jawa Barat
dan Jawa Tengah.
Selain dimanfaatkan sebagai minyak, pada saat ini tanaman akar wangi
dimanfaatkan sebagai bahan baku industri kerajinan. Hasil kerajinan dari akar wangi ini
selain untuk konsumen dalam negeri juga luar negeri. Dengan adanya industri kerajinan dari
akar wangi, maka petani di dusun Karangpoh dan Kepek, desa Semin, kabupaten
Gunungkidul berusahatani tanaman akar wangi. Sebagian besar petani di dusun Kepek
(90%) berusahatani tanaman akar wangi dan membuat kerajinan dengan bahan baku akar
wangi. Namun dari usahatani akar wangi ini belum ada petani yang membuat minyak dari

751
akar wangi, karena belum adanya sentuhan teknologi di daerah tersebut dalam usaha
pembuatan minyak akar wangi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui skala mimimum dan keuntungan yang
diperoleh dari usaha budidaya tanaman akar wangi di dusun Karangpoh dan Kepek, desa
Semin, kabupaten Gunungkidul.

METODOLOGI

Untuk menentukan skala minimum usahatani akar wangi dianalisis dengan metode
Break Even Point (BEP) dengan rumus yang dikemukakan oleh Sigit (1979).
BEP = FC FC = Biaya tetap
1 - VC VC = Biaya Variable
R R = Nilai Produksi
Dari nilai BEP yang diperoleh kemudian digunakan untuk menentukan skala
minimum usahatani akar wangi dengan rumus sbb:
SMU = BEP SMU = Skala Minimum Usahatani
R R = Nilai Produksi
BEP digunakan untuk bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang
berhubungan dengan nilai produksi, biaya produksi dan keuntungan atau kerugian suatu
usaha.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tanaman akar wangi termasuk tanamn yang mudah dibudidayakan, mudah dalam
pemeliharaan dan perbanyakan. Yang harus diperhatikan dalam berusahatani akar wangi
antara lain:

A. Pembibitan
Petani di dusun Karangpoh dan Kepek melakukan perbanyakan tanaman akar wangi secara
vegetatif yaitu dengan menggunakan bonggol-bonggol akar. Bonggol akar dapat diambil dari
tanaman dalam rumpun yang tidak berbunga, kemudian dipecah-pecah menjadi beberapa
bagian sehingga setiap pecahan bonggol memiliki mata tunas, kemudian dimasukkan dalam
polybag. Setelah 3-4 minggu kemudian tunas dan akar akan tumbuh merata dan siap untuk
dipindahkan ke kebun.
Kebutuhan bonggol bibit untuk lahan satu hektar sekitar dua ton dengan jarak tanam 0,75 x
0,75 meter atau 1 x 1 meter tergantung tingkat kesuburan tanah. Untuk satu lubang tanam
dibutuhkan 2-3 bonggol bibit.

B. Penanaman
Setelah 1,5 – 2,5 bulan pengolahan tanah, tanaman akar wangi baru dapat ditanam. Ukuran
lubang tanam, panjang 30 cm, lebar 30 cm dan kedalaman 10 cm. Pada setiap lubang tanam
diberi pupuk kandang sekurang-kurangnya satu bulan sebelum tanam dan tiap lubang diberi
pupuk kurang lebih 1 kg sehingga total kebutuhan pupuk 10 ton per hektar. Lubang tanam
yang telah diberi pupuk tersebut kemudian dibiarkan terbuka selama dua minggu agar
mendapat cahaya matahari.
Penanaman dilakukan pada bulan Oktober – Nopember, dengan jarak tanam untuk tanah
yang subur 1 x 1 meter, sedangkan untuk tanah yang kurang subur 0,75 x 0,75 meter.
Untuk lokasi yang miring perlu dibuat terasering.

752
Tanaman akar wangi sangat baik untuk menyelamatkan lingkungan karena tanaman akar
wangi dapat melindungi pematang sungai sungai, tembok teraseing, melindungi tepi jalan,
melindungi sekitar jembatan, melindungi sekitar irigasi dan melindungi dam.

C. Pemeliharaan
Sekitar 2-3 minggu setelah tanam dilakukan penyulaman, yang dimaksudkan untuk
mengetahui jumlah tanaman yang sesungguhnya sehingga dapat memprediksi produk yang
dihasilkan. Agar pertumbuhan bibit sulaman itu tidak jauh tertinggal dengan tanamn yang
lain sebaiknya dipilih bonggol bibit yang baik.
Pada umur tiga bulan setelah tanam, penyiangan sangat perlu dilakukan agar
pertumbuhan tanaman akar wangi tidak kerdil atau terhambat. Penyiangan berikutnya
dilakukan pada awal maupun akhir musim penghujan.
Pupuk yang digunakan oleh petani di dusun Karangpoh dan Kepek adalah pupuk
kandang dan urea. Pupuk kandang diberikan sebelum tanam, sedangkan pupuk urea
diberikan dua kali yaitu pada saat tanaman berumur tiga bulan dan sembilan bulan. Pupuk
diberikan secara melingkar sedalam 10 cm dan ditutup kembali dengan tanah.
Di dusun Karangpoh dan Kepek pemangkasan tanaman akar wangi dilakukan tiga
bulan sekali atau enam bulan sekali, hal ini sangat cocok dilakukan karena dapat
meningkatkan hasil sekitar 10%, sedangkan untuk dataran rendah tidak perlu pemangkasan
karena akan menurunkan hasil (Santoso, 1993).

D. Panen
Umur panen tananaman akar wangi adalah 8-9 bulan, apabila lambat panen akan
menyebabkan akar tanaamn tidak baik penampilannya sehingga untuk industri kerajinan hal
ini sangat dihindari agar kerajinan yang dihasilkan memiliki kenampakan yang baik sehingga
akan dapat lebih menarik konsumen.
Produksi tanaman akar wangi seluas satu hektar berkisar 20-50 ton akar basah,
setelah dikeringkan susut menjadi 12-14 ton akar kering, jadi rendemen akar wangi sekitar
60%.

E. Pasca Panen
Pengeringan dilakuan dengan sinar matahari (manual) selama 7-10 hari, tujuan
pengeringan untuk menghilangkan kandungan air yang ada dalam akar. Akar wangi yang
digunakan sebagai bahan baku industri kerajinan tidak membutuhkan ketelitian dalam
pengeringan. Namun apabila akar wangi akan dibuat minyak wangi maka perlu penanganan
yang lebih teliti agar senyawa-senyawa polifenol yang ada dalam akar wangi tidak hilang
karena senyawa polifenol ada yang bersifat mudah menguap (ernest Guenther, 1990). Akar
wangi dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku minyak atsiri, karena minyak atsiri dapat
dibuat batang dan akar (Ketaren, 1978)
Di dusun Karangpoh dan Kepek, tanaman akar wangi adalah bahan baku industri
kerajinan. Kerajinan akar wangi di dusun tersebut memiliki nilai seni yang tinggi. Hal ini
terbukti dengan banyaknya pesanan yang ada. Pemasaran hasil industri dilakukan ke kota-
kota besar seperti Yogyakarta, Surabaya, Jakarta dan Bali. Hasil pembuatan kerajinan tangan
ini mendatangkan keuntungan yang cukup besar sehingga hampir sebagian besar penduduk
(90%) berusahatani akar wangi.

F. Analisa Usaha
Tanaman akar wangi banyak dibudidayakan masyarakat dusun Karangpoh dan
Kepek, desa Semin, kabupaten Gunungkidul. Hampir 90% penduduk dusun Kepek
menanam sekaligus menjadi pengrajin akar wangi. Tanaman akar wangi banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk dibuat berbagai macam kerajinan (buaya, gajah, singa,

753
vas bunga daln lain-lain) yang kemudian dijual ke kota-kota besar. Sehingga budidaya
tanaman akar wangi dirasakan memberikan keuntungan yang cukup. Harga akar wangi basah
mencapai Rp. 5.000/kg, sedangkan akar wangi kering Rp. 15.000/kg. Untuk mengetahui
biaya dan keuntungan usahatani akar wangi seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisa biaya usahatani akar wangi

No. Uraian Volume Harga satuan (Rp) Jumlah (Rp)


I Biaya tetap
- Sewa tanah 0,2 ha 1.000.000 200.000
- Peralatan 1 set 150.000 150.000
Total biaya tetap 350.000
II Biaya variabel
- Bibit 204 polybag 1.000 204.000
- Pupuk kandang 75 kg 75 5.625
- Urea 75 kg 1.100 82.500
Tenaga kerja
- Pengolahan tanah 15 HOK 12.000 180.000
- Penanaman 10 HOK 12.000 120.000
- Pemeliharaan 10 HOK 12.000 120.000
- Panen 5 HOK 12.000 60.000
- Pasca panen 5 HOK 12.000 60.000
Total biaya variabel 832.125
III Total biaya 1.182.125
IV Penerimaan 100 kg 15.000 1.500.000
V Pendapatan 317.875
VI BEP 786.075
VII SMU 0,52 ha
Sumber : Data pimer tahun 2005

KESIMPULAN

Usahatani akar wangi di dusun Karangpoh dan Kepek, desa Semin, kabupaten
Gunungkidul mempunyai prospek untuk dikembangkan. Berdasarkan analisis usahatani akar
wangi dengan luasan 0,2 ha dapat memberikan pendapatan sebesar Rp. 317. 875. Pendapatan
ini masih dibawah nilai break Even Point yaitu Rp. 786.075, hal ini disebabkan skala usaha
masih dibawah skala usaha minimum yaitu sebesar 0,52 ha.

SARAN

Perlu adanya sentuhan teknologi pembuatan minyak akar wangi di dusun Karangpoh
dan Kepek, guna menciptakan diversifikasi produk tanaman akar wangi di daerah tersebut
sehingga akan dapat lebih meningkatkan nilai ekonomi tanaman akar wangi dan sekaligus
meningkatkan pendapatan petani.

DAFTAR PUSTAKA

Ernest Guenther, 1990. Minyak Atsiri IV-A (terjemahan), VI-Press, Jakarta


Hieroymus Budi Santoso, 1990. Bertanam Nilam Bahan Industri Wewangian. Kanisius
Yogyakarta
Sigit S., 1979. Analisa Break Even Point. Fakultas Ekonomi. Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
Santoso B., 1993. Akar Wangi Bertanam dan Penyulingan.Kanisius Yogyakarta
Ketaren S dan B. Djatmiko, 1978. Minyak Atsiri Bersumber Dari Batang dan Akar.
Departemen Teknologi Hasil Pertanian. Fatemeta-IPB Bogor.

754

Anda mungkin juga menyukai