Anda di halaman 1dari 7

TERAPI

1. Tujuan Terapi
Terapi BPH dilakukan pada penghilangan manifestasi penyakit yang
mengganggu pasien dan mencegah terjadinya komplikasi serius (Wells et
al., 2015).

2. Algoritma Benign Prostatic Hyperplasia

(DiPiro, et al, 2009)


3. Terapi Farmakologi
- Terapi farmakologis sesuai untuk pasien dengan gejala BPH sedang dan
sebagai langkah sementara untuk pasien dengan BPH berat
- Terapi farmakologis mengganggu efek stimulasi testosteron pada
pembesaran kelenjar prostat (mengurangi faktor statis), merilekskan
otot polos prostat (mengurangi faktor dinamis), atau melemaskan otot
detrusor blader.
- Lakukan terapi dengan α1-adrenergic antagonist untuk mengatasi
gejala lebih cepat. Pilih 5α-reductase inhibitor pada pasien dengan
kelenjar prostat lebih dari 40 g. Pertimbangkan terapi kombinasi untuk
pasien simptomatik dengan kelenjar prostat lebih dari 40 g dan PSA 1,4
ng / mL atau lebih (1,4 mcg / L)
- Pertimbangkan monoterapi dengan phosphodiesterase inhibitor atau
digunakan dalam kombinasi dengan α-adrenergic antagonist ketika
disfungsi ereksi dan BPH hadir

(DiPiro et al, 2009)

Pilihan Terapi Medikal untuk Benign Prostate Hyperplasia

(DiPiro, et al, 2009)

a. α – adrenergic antagonist (α1-blocker )


Pengobatan dengan α1-blocker bertujuan menghambat kontraksi
otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher kandung
kemih dan uretra. Beberapa obat α1- blocker yang tersedia, yaitu terazosin,
doksazosin, alfuzosin, dan tamsulosin yang cukup diberikan sekali
sehari.Obat golongan ini dapat mengurangi keluhan storage symptom dan
voiding symptom dan mampu memperbaiki skor gejala berkemih hingga
30-45% atau penurunan 4-6 skor IPSS dan Qmax hingga 15-30%. Tetapi
obat α1-blocker tidak mengurangi volume prostat maupun risiko retensi
urine dalam jangka panjang. Masing-masing α-blocker mempunyai
tolerabilitas dan efek terhadap sistem kardiovaskuler yang berbeda
(hipotensi postural, dizzines, dan asthenia) yang seringkali menyebabkan
pasien menghentikan pengobatan. (BPOM RI, 2018).
b. 5 α-reductase inhibitor
5 α-reductase inhibitor menginduksi proses apoptosis sel epitel
prostat yang kemudian mengecilkan volume prostat hingga 20-30%. 5 α-
reductase inhibitor juga dapat menurunkan kadar PSA sampai 50% dari nilai
yang semestinya. Terdapat 2 jenis 5 α-reductase inhibitor yang digunakan
untuk mengobati BPH, yaitu finasteride dan dutasterid. Dutasterid
menginhibisi 5 α-reductase tipe I dan II, finasterid hanya tipe II. Dutasterid
digunakan pada BPH tingkat sedang-berat. Selain itu, 5 α-reductase
inhibitor dapat mencegah progresivitas yang berhubungan dengan retensi
urin akut Hasil pemakaian obat baru dapat dilihat setelah setidaknya 6 bulan
pemakaian ( S, Gravas et al, 2014 ; TA, McNicholas et al, 2012 ; DiPiro, et
al, 2009)
c. Phosphodiesterase inhibitor
Phosphodiesterase inhibitor meningkatkan konsentrasi dan
memperpanjang aktivitas dari cyclic guanosine monophosphate (cGMP)
intraseluler, sehingga mengurangi tonus otot polos detrusor prostat dan
uretra (Gravas et al, 2014). Terdapat 3 jenis PDE 5 inhibitor yang tersedia
di Indonesia, yaitu sildenafil, vardenafil, dan tadalafil. Sampai saat ni, hanya
tadalafil dengan dosis 5 mg per hari yang direkomendasikan untuk
pengobatan LUTS (McVary et al, 2010).
d. Anticholinergic agents
Bertujuan untuk menghambat atau mengurangi stimulasi reseptor
muskarinik sehingga akan mengurangi kontraksi sel otot polos kandung
kemih (Wuest et al, 2005).
Penambahan oxybutynin dan tolterodine ke α-adrenergic antagonist
mengurangi gejala berkemih iritasi termasuk frekuensi kencing, urgensi,
dan nokturia. Mulai dengan dosis efektif terendah untuk menentukan
toleransi efek samping CNS dan mulut kering. Ukur volume urin PVR
sebelum memulai pengobatan (harus kurang dari 250 mL) (DiPiro et al,
2009).

Terapi yang dipilih untuk pasien yakni terapi kombinasi α – adrenergic


antagonist dan 5 α-reductase inhibitor. Terapi ini digunakan berdasarkan
data yang didapat dari pasien, yaitu:
a) Pasien memiliki gejala BPH nokturia dan retensi urin akut
b) Nilai PSA normal 4,0 ng/mL, nilai PSA pasien 680 ng/mL
c) Pasien memiliki riwayat penyakit jantung (penggantian katup
jantung)
d) Usia pasien mencapai 75 tahun

Terapi kombinasi digunakan karena memiliki efek sinergis. Waktu


yang diperlukan untuk memberi efek klinis yaitu α – adrenergic antagonist
beberapa hari dan 5 α-reductase inhibitor perlu 6 bulan. Terapi ini
memberikan hasil yang lebih baik disbanding monoterapi pada pasien
dengan riwayat retensi urin akut. Namun terapi kombinasi menambah efek
samping.

Obat yang digunakan dari golongan α – adrenergic antagonist adalah


tamsulosin dan dari golongan 5 α-reductase inhibitor adalah dutasterid. Obat
ini digunakan karena tergolong aman bagi penderita gangguan jantung dan
riwayat retensi urin akut (DiPiro et al, 2009 ; BPOM RI, 2018)

4. Mekanisme Kerja
Tamsulosin adalah penghambat adrenoseptor α-1 selektif. Ini memblokir
adrenoseptor α-1, yang melimpah di prostat, kapsul prostat, uretra prostat,
dan leher kandung kemih, menghasilkan relaksasi adrenoseptor ini di leher
kandung kemih dan prostat. Dengan demikian, ada peningkatan laju aliran
urin dan penurunan gejala hipertrofi prostat jinak (BPH).
Dutasteride menghambat 5 α-reduktase, enzim yang bertanggung jawab
untuk konversi testosteron menjadi 5α-dihidrotestosteron (DHT). DHT
tampaknya androgen utama yang bertanggung jawab untuk stimulasi
pertumbuhan prostat.
(BPOM RI, 2018)
5. PIO
a. Dosis
 Satu kapsul (0,5 mg dutasterid/0,4 mg tamsulosin hidroklorida)
 Sekali sehari diminum 30 menit setelah makan di waktu yang sama
setiap harinya
 Kapsul ditelan langsung secara utuh, tidak boleh dikunyah atau dibuka
kapsulnya

(BPOM RI, 2018)

b. Efek Samping
Umum: pusing, ejakulasi abnormal.
Tidak umum: palpitasi, konstipasi, diare, muntah, astenia, rinitis, ruam,
pruritus, urtikaria, hipotensi postural. Jarang:alopesia, hipertrikosis,
pingsan, angiodema. Sangat jarang: reaksi alergi, udem lokal, suasana
hati depresi, nyeri dan pembengkakan testikular, priapisme, sindroma
Stevens-Johnson

(BPOM RI, 2018)

c. Kontraindikasi
Hipersensitivitas, wanita, anak dan remaja, gangguan fungsi hati berat,
riwayat hipotensi ortostatik (BPOM, 2018).
d. Interaksi
- Tamsulosin : Penghambat kuat hingga sedang CYP3A4
(ketokonazol, eritromisin) dan penghambat kuat CYP2D6
(paroksetin): meningkatkan konsentrasi dustaterid dalam darah.
Penghambat adrenergik α-1, penghambat fosfodiesterase tipe 5, agen
anestesi: meningkatkan efek hipotensi. Simetidin: menurunkan
klirens dan meningkatkan kadar tamsulosin HCl (BPOM, 2018).
- Dutasterid : Indikasi hipersensitif terhadap penghambat 5-α
reduktase lain, gangguan hati berat, wanita, anak (BPOM, 2018).

DAFTAR PUSTAKA

BPOM RI, 2018. PioNas: Dutasterid. Available online at


http://pionas.pom.go.id/monografi/dutasterid [Accessed 16th Sept 2018].

BPOM. 2018. Tamsulosin Hidroklorida. Tersedia Online di url


http://pionas.pom.go.id/monografi/tamsulosin-hidroklorida [Diakses pada
tanggal 16 September 2018].

DiPiro et al. 2009. Pharmacotherapy Handbook 9th Edition. United States :


McGraw-HillCompanies, Inc.

Gravas, S., Bachmann, A., Descazeaud, A., et al. 2014. Guidelines on the
Management of Non-Neurogenic Male Lower Urinary Tract Symptoms
(LUTS) incl. Benign Prostatic Obstruction. European Association of
Urology.

McNicholas TA, Kirby RS, Lepor H. and nonsurgical management of benign


prostatic hyperplasia. In Campbell’s Urology, 10th Edition. 2012, Walsh
PC, Retik AB, Vaughan ED, and Wein AJ. Philadelphia: WB Saunders
Co., 2612--‐ 2640
McVary, K. T., Roehrborn, C. G., Avins, A. L., et al. 2010. Management of Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH). American Urological Association Education
and Research, Inc. Chapter 3 : 13-35.

Wells, B. G., J. T. DiPiro, T. L. Schwinghammer, dan C. V. DiPiro. 2015.


Pharmacoterapy Handbook Ninth Edition. New York : McGraw-Hill.

Wuest, M., Kaden, S., Hakenberg, O. W., et al. 2005. Effect of Rilmakalim on
Detrusor Contraction in the Presence and Absence of Urothelium. Naunyn-
Schiedeberg’s Arch Pharmacol, 373(3):203-12.

Anda mungkin juga menyukai