Pemilihan Sopir Teladan Atau Smart
Pemilihan Sopir Teladan Atau Smart
PRAKATA
1
Makalah disampaikan dalam Seminar Masyarakat Transportasi Indonesia, tanggal 28 – 29 Mei
2012 di Hall Edo edoTel SMKN I Buduran
2
Penulis adalah mahasiswa Program Doktor Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan (PKP)
Universitas Gadjah Mada Yogjakarta. Hingga saat ini, masih menjadi staf pengajar pada Program
Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Sejak tanggal 26 Maret 2012
bergabung dengan Masyarakat Transportasi Indonesia Kabupaten Sidoarjo sebagai anggota
periode 2012 – 2014. Alamat tinggal di totokwahyu@gmail.com.
1
PENDAHULUAN
Memperhatikan dan membaca wajah transpotasi perkotaan di negara dunia
tiga, utamanya angkutan jalan darat, sungguh sangat memprihantinkan.
Bagaimana tidak? Dimana – mana banyak terjadi kemacetan dan kesemrawutan
arus lalu lintas. Jalan – jalan banyak dipenuhi dengan kendaraan pribadi baik roda
dua ataupun roda empat yang setiap tahun volumenya selalu meningkat.
Sementara infrastruktur jalan darat kapasitasnya tidak sebanding dengan volume
kendaraan. Meskipun ditambah infrastruktur yang ada, kemacetan arus lalu lintas
pada akhirnya tentu akan menggejolak lagi.
Jumlah kendaraan bermotor di Jawa Timur dari tahun 2005 hingga 2010
meningkat sangat drastis, yaitu dari 1.410.293 di tahun 2005 meningkat menjadi
3.285.135 pada 2010 (Wahyudi,2012). Dari total kendaraan tersebut sebanyak
81% - 85% adalah kendaraan bermotor roda dua. Sedangkan sisanya adalah
kendaraan pribadi roda empat. Sementara jumlah transportasi umum massal selalu
mengalami penurunan. Begitu halnya dengan jumlah kendaraan bermotor di
Kabupaten Sidoarjo. Hingga tahun 2012, total kendaraan bermotor di Sidoarjo
sebanyak 870.000 yang banyak didominiasi kendaraan pribadi roda dua sebesar
80% atau 696.000 buah3. Sedangkan sisanya (20%) adalah kendaraan roda empat.
Selain kemacetan, permasalahan kedua pertransportasian adalah
kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas di Indonesia merupakan pembunuh
kedua setelah penyakit TBC. Setiap tahun rata – rata 28.000 nyawa melayang di
jalan raya (http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2012/01/08/ diunduh 22
Mei 2012). Angka kecelakaan di Jawa Timur pada tahun 2012 sejak Januari
hingga pertengahan Februari 2012, menurut data Kepolisian RI, sebanyak 9.884
kasus. Kecelakaan tersebut telah menyebabkan 1.547 tewas, 2.562 orang luka
berat, dan 7.564 luka ringan. Jenis kendaraan yang paling banyak mengalami
kecelakaan adalah sepeda motor sebanyak 9.555 unit, mobil penumpang 1.357
3
Data tersebut disampaikan Bupati Sidoarjo dalam sambutan pengukuhan Masyarakat
Transportasi Indonesia (MTI) Cabang Sidoarjo, pada tanggal 26 Maret 2012 di Edotel SMK
Sidoarjo.
2
unit, dan bus sebanyak 207 unit (http://www.antarajatim.com/lihat/berita/82454/
diunduh 19 Mei 2012).
Tingginya angka kecelakaan yang terjadi pada kendaraan bermotor roda
dua bisa dikarenakan 1) obsesi untuk menjadi pembalap yang tidak kesampaian,
2) ingin cepat sampai tujuan tanpa menghiraukan keselamatan diri sendiri, 3)
perilaku tidak beradab saat berkendaraan seperti berikirm – kiriman SMS dengan
menggunakan handphone. Sementara itu jalur motor roda dua yang semestinya
digunakan biker juga telah direnggut haknya oleh mobil penumpang umum yang
sering berhenti mendadak dengan seenaknya menurunkan dan mencari
penumpang.
Survey ADV-ASEAN menunjukkan bahwa kinerja keselamatan lalu lintas
jalan di Indonesia termasuk paling buruk di antara Negara Asean lainnya. Tidak
hanya itu, Indonesia juga menduduki peringkat ke-2 di dunia setelah Nepal
mengenai tingkat angka kematian akibat kecelakaan lalulintas
(http://autos.okezone.com/ read/ 2011/06/16/ diunduh 19 Mei 2012).
Tiga faktor utama yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas.
WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa penyebab kecelakaan pertama dan yang
paling dominan adalah faktor manusia. Hal ini ditandai dengan kesengajaan,
kelalaian, dan ketidaktahuan manusia terhadap aturan lalu lintas yang berlaku di
jalan. Berikutnya adalah faktor kendaraan. Kondisi perawatan dan laiknya
kendaraan hingga pengawasan masih terlalu lemah dan buruk. Hal ini karena
urusan perizinan, surat kendaraan, KIR hingga kena tilang bila melanggar;
semuanya bisa “dikondisikan dan dikompromikan”. Dan faktor yang ketiga, yaitu
infrastruktur jalan. Kondisi infrastruktur jalan yang bergelombang, berlobang, dan
rusak juga menyebabkan timbulnya biaya ekonomi dan sosial yang lebih besar
seperti terjadinya kecelakaan. Sementara untuk pelaksanaan dan pengawasan
terhadap pembangunan jalan yang berkualitas masih belum optimal.
Selain kemacetan dan kecelakaan lalu lintas, permasalahan lain
transportasi perkotaan adalah perparkiran, angkutan umum, polusi, dan masalah
ketertiban lalu lintas (Munawar,2007). Semuanya itu tentu membawa dampak
negatif, yaitu ketegangan (stress) bagi pengemudi, khususnya mobil penumpang
3
umum atau angkutan umum massal. Hal ini cukup beralasan karena mereka harus
menghadapi tekanan internal seperti kebutuhan rumah tangga dan tekanan
eksternal (kejar setoran). Tekanan inilah yang kemudian membuat mereka harus
berebut penumpang di sembarang tempat tanpa menghiraukan keselamatan
pengendara lainnya.
TRAFFIC PSYCHOLOGICAL
Dua pendekatan yang selama ini digunakan untuk mengurangi resiko
kecelakaan lalulintas darat yang lebih fatal. Pertama, pendekatan yang difokuskan
pada rancang bangun lalulintas seperti memperbaiki atau meningkatkan
infrastruktur, merancang jalan – jalan yang lebih aman, membuat shelter angkutan
umum massal. Kedua, pendekatan regulasi seperti mewajibkan penggunaan sabuk
pengaman, helm SNI, pembatasan jumlah alkohol yang diperbolehkan ketika
berkendara, serta pembatasan kecepatan laju kendaraan. Namun demikian,
intervensi rancang bangun dan tindakan regulasi tersebut masih saja belum
banyak berpengaruh terhadap perilaku pengendara dalam tertib berlalulintas.
Perspektif traffic psychologis (psikologi lalulintas) dalam sistem
pertransportasian mungkin sangat diperlukan. Perspektif ini lebih memfokuskan
pada perilaku sosial individu, variabel psikologis, efek individu, kepribadian dan
sifat, persepsi, serta pengetahuan (kognisi) individu mengenai transportasi,
konsitensi dalam tertib berlalulintas, dan masalah kecelakaan. Hal ini tentu dapat
dipahami karena, menurut Lewin yang dikutip Juneman (2010), 90% penyebab
terjadinya kecelakaan karena faktor individu. Tidak semua kecelakaan yang
terjadi disebabkan oleh kekhilafan atau kekeliruan (human error), tetapi adanya
perilaku yang menyimpang dalam berkendara yang aman (safety riding).
Sifat seseorang dan situasi lalulintas yang macet, panas, penuh dengan
polusi dapat mempengaruhi perilaku. Dengan “aji mumpung”, bila ada
kesempatan untuk menyalip dan ada lajur yang bisa “disasak” (baca: dilewati),
pengemudi akan berusaha untuk memacu kendaraanya sesuai dengan kecepatan
yang diinginkannya. Kondisi traffic psychologic inilah yang sesungguhnya juga
turut memperparah kemacetan arus lalu lintas.
4
Juneman (2010) mengidentifikasi delapan perilaku individu sebagai
pengendara atau pengguna jalan. Pertama, setiap pengendara berupaya untuk
mencari jalan pintas atau jalan tercepat. Kedua, pengendara tidak berkorban
melalui jalan dengan rute normal atau yang agak lebih panjang. Ketiga, mencoba
mengambil keuntungan dengan melanggar lalu lintas saat tidak ada polisi yang
mengawasi. Keempat, pengendara “tidak mau rugi” dengan menggunakan setiap
ruas jalan apapun yang bisa digunakan (termasuk trotoar pejalan kaki) untuk
dilalui ataupun untuk tempat parkir. Kelima, pengendara setuju untuk
memanfaatkan jasa pungli (pungutan liar) untuk mempercepat waktu tempuh.
Keenam, penggunaan kendaraan individual yang bersifat masif (tidak mau beralih
menggunakan transportasi massal umum) sementara perkembangan infrastruktur
jalan sangat terbatas. Ketujuh, sopir angkutan umum yang ngetem beberapa saat
untuk mencari penumpang juga berkontribusi terhadap kemacetan arus lalu lintas.
Kedelapan, calon penumpang yang memberhentikan kendaraan umum bukan di
halte yang semestinya, sesungguhnya telah bersama – sama “berkonspirasi” untuk
menjamin waktu tempuh berkendara yang lebih panjang bagi setiap orang.
Sifat atau trait adalah kualitas karakteristik pembeda di antara individu
dalam berpikir, merasakan, dan bertingkah laku secara konsisten terhadap situasi
(Littlejohn,2009). Ada lima faktor yang dapat digunakan untuk menilai sifat
seseorang, yaitu 1) neuroticism, 2) extraversion, 3) openness, 4) agreeableness, 5)
conscientousness. Untuk lebih mudahnya disingkat OCEAN.
Neuroticism (kecemasan) merupakan kecenderungan untuk merasakan
emosi negatif dan kesedihan (Littlejohn, 2009). De Read yang dikutip Sahidi
(2010) menjelaskan bahwa dimensi ini menggambarkan kemampuan seseorang
dalam menghadapi stres dan cenderung ke arah klinis. Individu dengan
neuroticism positif dikarakterstikkan sebagai seorang yang tenang, puas dengan
dirinya, dan merasa aman. Sebaliknya, neuroticism negatif dicirikan sebagai
orang yang mudah gugup, depresi, dan merasa tidak aman.
Extraversion adalah kecenderungan untuk menikmati berada dalam
kelompok atau lebih mementingkan interaksi interpersonal, nyaman, menjadi
tugas, dan berpikir optimis. Individu yang memiliki ekstraversion tinggi adalah
5
seorang yang ramah, banyak bicara, supel, dan menghabiskan banyak waktu
untuk menjaga dan menikmati hubungan yang baik dengan orang lain. Sementara,
seseorang yang memiliki ekstraversion rendah (introvert) adalah inidividu yang
pasif, sedikit memiliki hubungan, dan lebih nyaman menyendiri.
Openness (keterbukaan), yaitu kecenderungan seseorang untuk menjadi
reflektif, memiliki imajinasi, memperhatikan perasaan dari dalam hati, dan
menjadi pemikir mandiri. Individu yang memiliki openness tinggi adalah
seseorang yang inovatif dengan ide – ide baru, artistik, intelek, dan mengalami
pengalaman yang lebih hidup. Sedangkan individu yang memiliki openness
rendah cenderung memiliki berperilaku konvensional terhadap keyakinan dan
sikapnya, seleranya konservatif, memiliki kepercayaan yang kaku, berpandangan
sempit, dan tidak artistik.
Agreeableness, ialah kecenderungan seseorang untuk menyukai dan
menjadi simpatik kepada orang lain, ingin membantu orang lain, serta
menghindari permusuhan. Orang yang memiliki agreeableness tinggi
digambarkan sebagai individu yang memiliki kepribadian yang responsif, bekerja
sama, dan percaya kepada orang lain. Sebaliknya, individu yang memiliki
agreeableness rendah diilustrasikan sebagai orang yang mementingkan dirinya
sendiri daripada kepentingan orang lain.
Conscientiusness, adalah kecenderungan menjadi pribadi yang disiplin,
melawan gerak hati nurani, menjadi teratur, cermat, dapat diandalkan, pekerja
keras, dan memahami penyelesaian tugas. Individu yang memiliki trait
conscientiusness digambarkan sebagai orang yang memiliki tujuan, bertanggung
jawab, tangguh, tergantung, dan berorientasi pada pencapaian prestasi.
Sebaliknya, individu yang trait conscientiusness rendah adalah individu yang
melakukan pekerjaan tanpa memiliki tujuan secara jelas, mudah terpengaruh, dan
lebih bersifat hedonis (berlebih-lebihan).
Dari ciri – ciri trait tersebut, pengemudi yang memiliki sifat extraversion
dan conscientiusness dapat menunjukkan kepuasan dalam bekerja, teratur, dapat
diandalkan, cermat, dan bekerja keras (Saari & Jadge dalam Sahidi, 2010);
konsisten terhadap kinerja (Barrick dan Mount dalam Sahidi, 2010). Karenanya
6
dalam konteks kinerja sopir angkutan umum massal dalam perusahaan dapat
menggunakan penilaian kinerja yang menjadi sistem penting yang tidak dapat
dipisahkan dari keberadaannya.
Mengutip pendapat Simamora, Sahidi (2004) menegaskan bahwa sistem
penilaian kinerja dapat digunakan untuk mendorong tingkat kinerja karyawan
secara sistematis. Ini berarti bahwa seseorang yang bersedia terlibat dalam
penilaian kinerja (termasuk sopir teladan), memenuhi kriteria penilaian yang
diharapkan perusahaan, mengisi kuisioner penilaian, mencatat produktivitas
kinerjanya, mengerti metode dalam penilaian, dan memiliki hubungan baik
dengan penilai; dapat dikatakan memiliki sikap positif dan openness terhadap
penilaian kinerja yang selanjutnya dapat menunjang kinerjanya.
Selain itu, trait kepribadian juga dapat digunakan untuk menggambarkan
perubahan perilaku seseorang terhadap risiko berlalu lintas. Perubahan perilaku
adalah konsep inti yang sampai saat ini masih menjadi fokus kajian tentang
keselamatan/keamanan (safety). Risiko menurut Van der Plight yang dikutip
Juneman (2010) adalah setiap situasi yang dapat berakhir dengan hasil negatif,
yakni 1) kemungkinan hasil negatif dan 2) tingkat beratnya hasil negatif.
Secara umum risiko dapat dibedakan menjadi dua, yakni risiko yang
ditakuti (dread risk) dan risiko yang tidak diketahui (unknown risk) (Kobbeltvedt
& Laberg yang dikutip Juneman, 2010). Risiko yang ditakuti dicirikan oleh
persepsi tentang aspek 1) ketidakmampuan mengendalikan (uncontrollablity), 2)
potensi yang dapat menimbulkan kerugian harta benda dan korban jiwa yang
sangat besar (catastrophic potensial), 3) perasaan cemas atau takut (feeling of
dread), dan 4) konsekuensi mematikan (fatal consequences). Risiko yang tidak
diketahui dicirikan oleh bahaya yang tidak teramati, bahaya yang tidak diketahui,
dan bahaya baru.
8
integritas kepribadian (dinilai dari sikap/trait); 3) kompetensi pengemudi yang
monumental, dan 4) deskripsi diri.
PENUTUP
Mengakhiri pembahasan Pemilihan Sopir SMART yang Teladan di
Sidoarjo, akan saya sampaikan sebuah anekdot tentang dialog antara seorang anak
kecil dengan sopir bus.
Seorang anak kecil sedang berjalan – jalan dengan Bus CJDW, lalu ia pun
duduk di samping sopir. Karena bosan, anak tersebut mulai mengoceh dengan
keras,“Jika ayah saya seekor banteng dan ibu saya seekor banteng betina, maka
saya adalah banteng kecil.” Sopir bus itu mulai terganggu dengan suara keras
anak kecil tersebut, tapi anak itu tetap melanjutkan ocehannya dengan keras. “Jika
ayah saya seekor gajah dan ibu saya gajah betina, maka saya adalah gajah kecil.”
Anak kecil itu meneruskan ocehannya dengan beberapa jenis binatang lainnya.
Sampai akhirnya sopir bus tersebut marah dan berteriak pada anak kecil itu,
“Bagaimana jika ayahmu seorang penjahat perang dan ibumu PSK?” Anak kecil
itu tersenyum dan berkata, “Saya adalah seorang sopir bus.”
9
REFERENSI
10
BERITA
11