Anda di halaman 1dari 231

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu wilayah yang sangat strategies untuk wilayah Indonesia

Bagian Timur adalah wilayah koridor ekonomi Sulawesi. Secara geografis

koridor ini diapit oleh dua alur pelayaran laut Alur Laut Kepulauan

Indonesia (ALKI) II dan ALKI III dimana sebagian besar pelayaran utama

dunia melewati dan memanfaatkan alur-alur tersebut sebagai jalur

pelayarannya, sehingga Sulawesi memiliki peluang besar untuk

memperluas jaringan perdagangan nasional dan internasional. Koridor

Sulawesi memiliki potensi tinggi di bidang ekonomi dan sosial serta

memiliki keunggulan kompetitif pada sektor-sektor perkebunan, perikanan

laut, tanaman pangan, serta perdagangan. Seluruh potensi tersebut

sangat prospektif untuk dipromosikan ke pasar berskala regional maupun

internasional.

Sulawesi Selatan memiliki peranan yang sangat besar dalam Koridor

Ekonomi Sulawesi. Hal ini disebabkan karena salah satu pelabuhan

utama yang menunjang pergerakan koridor ekonomi Sulawesi ini terletak

di Kota Makassar yang merupakan Ibukota dari Provinsi Sulawesi Selatan.

Selain fasilitas penunjang yang mendorong hal tersebut, hasil alam dari

berbagai Kabupaten yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan juga cukup

menunjang. Hasil alam yang menjadi komoditas unggulan dari Sulawesi


2

Selatan adalah Pertanian. Wilayah ini merupakan salah satu lumbung

pangan bagi Negara Indonesia.

Pelabuhan Soekarno Hatta sebagai pelabuhan yang sangat

memegang peranan dalam mendukung aktivitas ekspor impor, sangat

menunjang penguatan koridor ekonomi dari Sulawesi. Namun, salah satu

faktor yang menyebabkan belum optimalnya performa pelabuhan pada

umumnya adalah kondisi infrastruktur dan suprastruktur pelabuhan yang

tidak sebanding dengan demand yang tinggi sehingga dwelling time di

pelabuhan menjadi sangat lama. Hal ini dapat dilihat pada realisasi arus

barang dan kunjungan kapal di pelabuhan ini, dimana aktivitasnya

khususnya peti kemas telah melampaui predisksi sesuai yang tercantum

dari Rencana Induk Pelabuhan tahun 2004. Saat ini, arus peti kemas telah

mencapai 529.000 TEU’s pada tahun 2012 sedangkan menurut prediksi

hanya mencapai 383.373 TEU’s di tahun 2012 dan mencapai 507.000

TEU’s pada tahun 2015. Hal ini kemudian jika tidak dilakukan alternatif

penanganan maka dapat terjadi tingkat kepadatan yang sangat tinggi di

terminal peti kemas Makassar. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian

terdahulu dari

Fatmawati (2012) yang menyatakan telah dilakukan perhitungan

terhadap tingkat pemanfaatan lapangan penumpukkan petikemas hingga

tahun 2025. Hasil dari penelitian tersebut adalah tingkat pemanfaatan

lapangan penumpukkan petikemas masih bernilai efektif saat ini dengan

persentase lapangan penumpukan baru mencapai 51,55 % - 58,55 %.


3

Hasil prediksi sampai tahun 2025 sudah tidak efektif lagi dengan

persentasenya berkisar antara 60,888 % - 88,898 %. Menurut Biro Rinbag

PT. Pelabuhan Indonesia IV Makassar bahwa pada saat penumpukan peti

kemas diatas 60%, maka mereka sudah megalami kesulitan dalam

mengatasi arus petikemas yang masuk. Hal ini biasanya disebabkan oleh

adanya kerusakan alat/ fasilitas, faktor Dwelling Time yang terlalu lama

dan arus petikemas yang terus meningkat pada setiap tahun sementara

tidak diimbangi dengan penambahan kapasitas lapangan penumpukkan

petikemas.

Dampak yang terjadi sesungguhnya tidak hanya pada kegiatan

operasional pelabuhan seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, faktor

lainnya yang teridentifikasi adalah buruknya kondisi akses dari pelabuhan

ke wilayah hinterland sehingga menyebabkan antrian panjang truk-truk

pengangkut petikemas di sepanjang jalan menuju pelabuhan. Panjangnya

antrian kendaraan di pintu masuk pelabuhan juga berdampak pada polusi

asap kendaraan yang menambah buruk kondisi udara di kawasan

sekitarnya dan kemacetan lalu lintas. Kemacetan akan menganggu

kegiatan perkotaan yang berlokasi di sekitar pelabuhan seperti bisnis

pergudangan, perkantoran, pasar dan pertokoan, pendidikan,

permukiman, dan lain-lain.

Di samping adanya persoalan di atas, jika kita melihat perkembangan

pelabuhan secara makro, maka untuk mengembangkan pelabuhan bukan

hanya terfokus pada efisiensi atau kecepatan bongkar muat barang di


4

dalam areal pelabuhan, namun hal yang perlu untuk dipikirkan untuk

menunjang kinerja dari pelabuhan dalam melakukan aktivitas yang terkait

dengan peti kemas adalah meningkatkan akses ke kawasan hinterland

sehingga peti kemas bisa cepat sampai di tujuan akhir. Hal ini kemudian

menjelaskan bahwa kepentingan pelabuhan tidak hanya ditekankan pada

aspek penumpukan dan bongkar muat namun harus juga meninjau

terhadap hubungan mata rantai transportasi dan pertemuan antar moda

transportasi.

Berdasarkan uraian diatas, maka dalam pengangkutan peti kemas

diperlukan suatu konsep konektivitas intra dan antar moda yang mampu

memaksimalkan efektivitas pengangkutan berdasarkan prinsip

keterpaduan dan menghubungkan pusat-pusat kegiatan wilayah serta

memperluas pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan aksesibilitas

pusat-pusat pertumbuhan ekonomi ke wilayah belakang sehingga mampu

mendukung penguatan konektivitas nasional. Salah satu alternatif yang

dapat dilakukan adalah dengan melakukan perencanaan Konsep Dry port

yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi melalui aksesbilitas

pengangkutan.

Dry port adalah terminal yang terhubung ke pelabuhan melalui banyak

moda transportasi yang dapat mengurangi hambatan pergerakan barang

karena pemeliharaan petikemas, pengecekan dokumen, dan servis

tambahan lain (Roso dan Lumsden, 2008). Dry port berperan sebagai

perpanjangan tangan pelabuhan. Dalam hal ini, sebagian kegiatan


5

penanganan petikemas di pelabuhan dapat dilakukan di dry port sehingga

dapat mengurangi beban pelabuhan.

Keberadaan dry port juga berpotensi menciptakan kegiatan

perekonomian di kawasan sekitarnya seperti perkembangan kawasan

industri, berkembangnya perusahaan jasa pengiriman barang (freight

forwarder), perusahaan penyedia pergudangan, dan lain-lain. Menurut

UNCTAD, potensi manfaat dari suatu dry port antara lain:

a. Meningkatkan volume perdagangan bagi daerah maupun negara

secara keseluruhan.

b. Ongkos pelayanan barang secara door to door menjadi lebih rendah.

c. Mencegah dan membersihkan pungutan liar di pelabuhan

d. Mencegah timbulnya biaya yang diakibatkan pengurusan dokumen

dan penyimpanan barang di pelabuhan yang memakan waktu lebih

lama.

e. Meningkatkan optimalisasi penggunaan jalan dan rel untuk

pengangkutan barang

f. Meningkatkan utilisasi penggunaan fasilitas di pelabuhan

g. Meningkatkan penggunaan petikemas untuk pengiriman barang

h. Manfaat bagi pelabuhan:

1) Mengurangi kemacetan

2) Mengurangi beban pelabuhan dalam handling petikemas

3) Mengurangi beban penyediaan lahan pelabuhan untuk peti kemas


6

B. Rumusan Masalah

Peningkatan jumlah pemanfaatan peti kemas telah menyebabkan

dwelling time yang tinggi di pelabuhan, antrian panjang truk pengangkut,

kemacetan lalu lintas serta gangguan terhadap kegiatan kehidupan di

kota. Alternatif dry port diharapkan dapat menjadi solusi terhadap

permasalahan tersebut. Untuk itu, maka beberapa pertanyaan penelitian

(research questions) perlu dijawab dalam pemecahan masalah ini, yakni:

1. Bagaimana potensi transportasi pengangkutan barang dengan

pusat distribusi barang ke Kota Makassar dalam wilayah Sulawesi

Selatan?

2. Bagaimana potensi pemilihan moda pengguna jasa peti kemas di

Sulawesi Selatan?

3. Bagaimana potensi wilayah Sulawesi Selatan dalam penerapan

Konsep Dry Port?

4. Bagaimana arahan perencanaan konsep Dry Port dalam Wilayah

Sulawesi Selatan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis potensi permintaan pengangkutan transportasi

barang yang dimiliki Sulawesi Selatan dengan pusat distribusi

barang Kota Makassar.

2. Menganalisis potensi pemilihan moda pengguna jasa peti kemas.


7

3. Menganalisis potensi wilayah Sulawesi Selatan dalam penerapan

konsep Dry Port.

4. Merencanakan arahan penerapan konsep Dry Port dalam wilayah

Sulawesi Selatan.

D. Manfaat Penelitian

a. Penerapan Penelitian

 Memberi kemudahan pengiriman ekspor dan impor hasil

komoditas bagi setiap stakeholder yang ikut serta dalam

melakukan pergerakan dalam lingkup koridor ekonomi sulawesi

terutama di Provinsi Sulawesi Selatan.

 Mengusulkan kepada pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan

dalam melakukan perencanaan untuk memudahkan aksesbilitas

dan peningkatan pengangkutan hasil-hasil alam yang menjadi

komoditas utama dari Provinsi Sulawesi Selatan.

b. Ilmu Pengetahuan

 Menambah wawasan ilmiah peneliti terkait dengan perencanaan

konsep Dry Port. Hasil perencanaan juga diharapkan dapat

menjadi referensi ilmiah bagi kegiatan perencanaan selanjutnya.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini terdiri atas substansi dan wilayah. Secara

substansi Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi lokasi yang

ditinjau dengan kondisi wilayah dan tingkat permintaan pengangkutan

barang di masa depan dengan wilayah studi sehingga dapat


8

menyimpulkan arahan dalam penetapan lokasi penerapan Dry Port.

Sedangkan secara wilayah, lokasi penelitian terletak di Prov. Sulsel.

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini, yaitu:

Bagian pertama berisi tentang pendahuluan, menguraikan tentang

latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan sasaran, manfaat

perencanaan, ruang lingkup perencanaan, serta sistematika penulisan.

Bagian kedua adalah kajian teori, yang menguraikan tentang studi

literatur yang menjadi landasan teori dan berkaitan dengan transportasi,

wilayah dan konsep Dry Port. Selain itu terdapat pula studi banding

penerapan konsep Dry Port dan penelitian-penelitian terdahulu.

Bagian ketiga berisi tentang metode penelitian. Secara umum

menguraikan tentang lokasi penelitian, populasi dan sampel teknik

pengumpulan data, metode analisis data, dan variabel penelitian.

Bagian keempat ini merupakan hasil dan pembahasan yang

meliputi gambaran umum wilayah studi, analisis serta arahan

perencanaan. Gamabaran umum yang ada merupakan tinjauan dari

aspek adminitrasi wilayah, tata ruang wilayah, kondisi eksisting

pengangkutan peti kemas dan sebagainya. Analisis berisi tentang proses

analisis data yang terdiri atas analisis bangkitan dan distribusi pergerakan,

analisis pemilihan moda, analisis potensi wilayah untuk konsep Dry Port

serta arahan yang sesuai untuk perencanaan konsep Dry Port .

Bagian kelima yaitu kesimpulan dan saran.


9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritis

Teori yang disajikan dalam BAB II ini berkaitan dengan tujuan yang

ingin dicapai dari penelitian ini. Adapun orientasi teoritis yang digunakan

sebagai landasan penelitian ini adalah (gambar 1):

Manfaat Transportasi Makro Definisi


Transportasi Transportasi

Sistem Kegiatan Sistem Pergerakan Sistem jaringan

1. Sistem Transportasi Logistik


Bangkitan 2. Pusat Kegiatan wilayah berdasarkan Tata Ruang
Pergerakan 3. Transportasi Barang
4. Pengangkutan peti kemas
1. Transportasi Barang
Distribusi 2. Pengangkutan peti kemas
Pergerakan 3. Matriks asal tujuan
4. Model gravity (PCGR)
1. Pengangkutan Peti Kemas
Pemilihan 2. Pelabuhan dan Terminal Peti Kemas
Moda 3. Sistranas
4. AHP

1. Konsep Dry Port


Pemilihan 2. Study Banding Dry Port
Lokasi 3. Geographic Information system
4. Analisis Spasial Multi Kriteria Evoluation
5. AHP
6. Pusat Kegiatan wilayah
7. Wilayah Hinterland
8. Konektivitas MP3EI
9. PDRB

LANDASAN TEORI
PERENCANAAN KONSEP DRY PORT

Gambar 1. Kerangka Teoritis


Gambar 1

. Kerangka Teoritis
10

B. Transportasi

1. Definisi Transportasi

Transportasi diartikan sebagai tindakan atau kegiatan mengangkut dan

memindahkan muatan (barang dan orang) dari suatu tempat ke tempat

yang lain, atau dari tempat asal ke tempat tujuan. Tempat asal dapat

berupa daerah produksi, dan tempat tujuan adalah daerah konsumen atau

pasar. Tempat asal dapat juga berupa daerah perumahan/permukiman

sedangkan tempat tujuan adalah tempat kerja, sekolah, rumahsakit, pasar,

pelabuhan, bandar udara dan lain sebagainya.

Transportasi merupakan sarana penghubung atau yang

menghubungkan antara daerah produksi dan pasar, atau dapat

dikatakan mendekatkan daerah produksi dan pasar, atau seringkali

dikatakan menjebatani produsen dan konsumen.

2. Peranan Transportasi

Peranan pengangkutan mencakup bidang yang luas di dalam

kehidupan manusia yang meliputi atas beberapa aspek.

a. Aspek Sosial dan Budaya

Hampir seluruh kehidupan manusia di dalam masyarakat tidak dapat

dilepaskan dari transportasi/pengangkutan, di mana dibutuhkan saling

berkunjung dan membutuhkan pertemuan. Dampak sosial yang

dirasakan dari peningkatan standar hidup. Transportasi menekan biaya

dan memperbesar kuantitas keanekaragaman barang, hingga terbuka

kemungkinan adanya perbaikan dalam perumahan, sandang dan


11

pangan serta rekreasi. Dampak lain adalah terbukanya kemungkinan

keseragaman dalam gaya hidup, kebiasaan dan bahasa.

b. Aspek Politis dan Pertahanan

Pada negara maju, maupun berkembang transportasi memiliki dua

keuntungan politis yaitu:

1) Transportasi dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan

nasional.

2) Transportasi merupakan alat mobilitas unsur pertahanan dan

keamanan yang harus selalu tersedia bukan saja untuk keperluan

rutin angkutan unsur-unsur pertahanan dan keamanan. Mobilitas

yang tinggi dari aparat keamanan dan masyarakat, melalui

lancarnya transportasi akan memberi rasa aman, tentram, dan

usaha penegakan hukum. Kasus pelanggaran hukum dapat cepat

terselesaikan sehingga kepastian hukum menjadi dinamis.

c. Aspek Hukum

Dalam pengoperasian dan pemilikan alat angkutan diperlukan

ketentuan hukum mengenai hak, kewajiban, dan tanggung jawab serta

perasuransian apabila terjadi kecelakaan lalulintas, juga terhadap

penerbangan luar negeri yang melewati batas wilayah suatu negara,

diatur dalam perjanjian antarnegara (bilateral air agreement).

d. Aspek Teknik

Hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan dan pengoperasian

transportasi menyangkut aspek teknis yang harus menjamin


12

keselamatan dan keamanan dalam penyelenggaraan angkutan.

e. Aspek Ekonomi

Dari aspek ekonomi, transportasi dapat ditinjau dari ekonomi mikro

dan ekonomi makro. Sudut ekonomi makro pengangkutan merupakan

salah satu prasarana yang menunjang pelaksanaan pembangunan

nasional. Sedangkan dari sudut ekonomi mikro,pengangkutan dapat

dilihat dari kepentingan dua pihak, yaitu:

1) Pihak Perusahaan Pengangkutan (Operator)

Pengangkutan merupakan usaha produksi jasa angkutan yang

dijual kepada pemakai dengan memperoleh keuntungan.

2) Pihak Pemakai Jasa Angkutan (User)

Pengangkutan sebagai salah satu mata rantai dari arus bahan

baku untuk produksi dan arus distribusi barang jadi yang

disalurkan ke pasar serta kebutuhan pertukaran barang di pasar.

3. Fungsi Transportasi

Dalam menunjang perkembangan ekonomi yang baik perlu dicapai

keseimbangan antara penyediaan dan permintaan jasa angkutan. Jika

penyediaan jasa angkutan lebih kecil daripada permintaannya, maka

akan terjadi kemacetan arus barang yang dapat menyebabkan

kegoncangan harga pasar. Sebaliknya, jika penawaran jasa angkutan

melebihi permintaannya maka akan timbul persaingan yang tidak sehat

yang akan menyebabkan banyaknya perusahaan angkutan menjadi rugi

dan menghentikan kegiatannya, sehingga penawaran jasa angkutan


13

berkurang, selanjutnya menyebabkan ketidaklancaran arus barang dan

kegoncangan harga pasar.

Pengangkutan berfungsi sebagai faktor penunjang dan perangsang

pembangunan (the promoting sector) dan pemberi jasa (the servicing

sector) bagi perkembangan ekonomi. Fasilitas pengangkutan harus

dibangun mendahului pembangunan proyek.

4. Manfaat Transportasi

Transportasi bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mencapai

tujuan. Sementara itu, kegiatan masyarakat sehari-hari bersangkut paut

dengan produksi barang dan jasa untuk mencukupi kebutuhan yang

beraneka ragam. Oleh karena itu, manfaat transportasi dapat dilihat dari

segi kehidupan masyarakat yang dapat dikelompokkan dalam manfaat

ekonomi, sosial, politik dan kewilayahan.

a. Manfaat Ekonomi

Manfaat transportasi dalam bidang ekonomi adalah:

1) Pertukaran barang pada umumnya merupakan transaksi dagang

antar dua kelompok pembeli dan penjual. Tanpa transportasi,

kedua kelompok masyarakat tersebut bersama-sama berada

hanya dalam satu kelompok sehingga keuntungan perdagangan

menjadi terbatas.

2) Persediaan barang di pasar yang berbeda-beda dpaat

disamakan.

3) Kemampuan memindahkan barang dari suatu tempat mempunyai


14

persediaan banyak tempat yang langka akan barang tersebut

cenderung menyamakan harga barang yang bersangkutan.

4) Begitu wilayah persediaan meluas, persaiangan antara penjual

meningkat dan harga cenderung akan bertahan pada suatu

tingkatan yang wajar.

5) Spesialisasi dalam kegiatan ekonomi dimudahkan dan didukung.

6) Pertukaran barang antar kelompok masyarakat menimbulkan

komunikasi antar orang yang terlibat dalam hubungan dagang.

7) Harga suatu barang di berbagai tempat dapat diseragamkan.

b. Manfaat Sosial

Dalam kepentingan hubungan sosial, transportasi sangat membantu

dalam menyediakan berbagai kemudahan antara lain:

1) Pelayanan untuk perorangan maupun kelompok.

2) Pertukaran atau penyampaian informasi

3) Perjalanan untuk rekreasi

4) Perluasan jangkauan perjalanan sosial

5) Pemendekan jarak rumah dan kantor

6) Bantuan dalam memperluas kota taau memancarkan penduduk

menjadi kelompok yang lebih kecil.

c. Manfaat Politis dan Keamanan

Manfaat transportasi dalam politis dan keamanan adalah:

1) Pengangkutan menciptakan persatuan dan kesatuan nasional

yang semakin erat.


15

2) Pelayanan negara terhadap masyarakat semakin merata

3) Keamanan negara mudah untuk dilakukan pemantauan dan

penjagaan.

4) Sistem evakuasi penduduk saat bencana terjadi semakin mudah

dan efisien.

d. Manfaat Kewilayahan

Kegiatan pengangkutan atau transportasi yang terwujud melalui lalu

lintas, pada hakikatnya adalah kegiatan menghubungkan dua lokasi tata

guna lahan yang berbeda maupun sama. Sistem pengangkutan barang

atau orang pada dua wilayah yang memiliki tata guna lahan yang

berbeda, berarti mengubah nilai ekonomis orang atau barang tersebut.

Pengangkutan adalah bagian kegiatan ekonomi yang terkait dengan

pemenuhan kebutuhan manusia dengan cara mengubah letak geografi

orang atau barang tersebut. Hal ini merupakan salah satu tujuan penting

perencanaan tata guna lahan atau sistem pengangkutan adalah

menunjukkkan keseimbangan yang efisien antara potensi guna lahan

dengan kemampuan pengangkutan.

B. Transportasi Makro

Untuk dapat memahami transportasi secara lebih mendalam, maka

diperlukan suatu pendekatan secara sistem dimana sistem transportasi

(makro) sebenarnya terdiri dari beberapa sistem transportasi mikro

yang saling terkait dan saling mempengaruhi seperti gambar berikut ini.
16

Gambar 2. Perencanaan Transportasi Makro


(Sumber: Tamin, 2008)

Sistem transportasi makro tersebut adalah:

1. Sistem Kegiatan

Sistem ini merupakan pola kegiatan tataguna lahan dan potensi

wilayah yang terdiri dari sistem pola kegiatan sosial, ekonomi,

kebudayaan, dan lainnya. Kegiatan yang timbul dalam sistem ini

membutuhkan pergerakan sebagai alat pemenuhan kebutuhan yang

perlu dilakukan setiap hari yang tidak dapat dipenuhi oleh tataguna

lahan tersebut. Besarnya pergerakan sangat terkait dengan jenis dan

intensitas kegiatan yang dilakukan.

2. Sistem Jaringan

a. Definisi Sistem Jaringan

Sistem jaringan adalah suatu sistem yang berupa jaringan

prasarana transportasi di dalam suatu wilayah yang berfungsi

mempermudah pergerakan arus manusia, kendaraan, dan barang.


17

Beberapa alternatif yang dapat dilakukan dalam meningkatkan efisiensi

sistem jaringan adalah dengan pembangunan aksesbilitas yang baru

dan meningkatkan kapasitas prasarana yang ada.

Jaringan transportasi sering dijadikan sebagai tolak ukur kemajuan

suatu wilayah, yang paling jelas adalah semakin baik jaringan

transportasi di suatu wilayah maka semakin tinggi nilai lahan di suatu

wilayah tersebut. Sistem jaringan itu sendiri terdiri dari lintas (link),

simpul (node) dan simpul/titik transfer (transfer moda).

1) Lintas atau Ruas

Lintas merupakan representati dari jaringan prasarana yang dibagi

menjadi 4 jenis prasarana (moda transportasi) yaitu moda jalan, kereta

api, laut dan penyebrangan. Jaringan prasarana kereta api untuk saat

ini hanya berada di sumatera dan jawa sedangkan untuk wilayah

sulawesi telah direncanakan seperti yang telah tertuang dalam Rencana

Tata Ruang Wilayah Sulawesi Selatan.

2) Simpul atau Terminal

Simpul pada suatu permodelan transportasi dapat berarti suatu

kota, terminal, stasiun, pelabuhan, bandara atau persimpangan. Simpul

pada perangkutan barang dapat berarti lebih karena pada simpul ini

terdapat delay (keterlambatan) baik akibat kapasitas simpul tersebut

maupun akibat adanya perpindahan moda.


18

3) Titik perpindahan atau interchange

Titik perpindahan atau transfer adalah lokasi di mana perpindahan

antarmoda pada perangkutan barang dapat terjadi.

b. Terminal

1) Definisi dan Peranan Terminal

Terminal merupakan titik dimana penumpang dan barang masuk

dan keluar sistem serta merupakan bagian terpenting dari sistem

transportasi. Fungsi utama terminal transportasi adalah untuk

memberikan fasilitas keluar masuk dari lalu lintas barang atau

penumpang dari dan menuju sistem. Berikut ini adalah fungsi-fungsi

terminal transportasi menurut Morlok (1978) yaitu:

a) Memuat penumpang atau barang ke atas kendaraan transport

serta membongkar dan menurunkannya.

b) Memindahkan penumpang atau barang dari satu kendaraan ke

kendaraan lain

c) Menampung penumpang atau barang dari waktu tiba sampai

waktu berangkat.

d) Kemungkinan untuk memproses barang seperti menimbang,

membungkus serta memilih rute untuk diangkut.

e) Menyediakan kenyamanan penumpang.

f) Menyiapkan dokumen perjalanan.

Terminal atau transfer point adalah suatu tempat yang mampu


19

menerima beberapa moda transport yang berbeda dengan tujuan untuk

mengatur perpindahan moda angkutan (dari suatu moda ke moda yang

lain) dan sebagai tempat penyimpanan muatan sementara.

Menurut Innovative Technologies For Intermidal Transfer Points,

terminal ini tergabung dalam suatu jaringan transportasi seperti yang

tampak pada gambar di bawah ini.

Gambar 3. Jaringan Transportasi Terminal


Sumber: Evaluasi Gadebage Bandung-Jakarta, ITB (2014)

Jaringan yang optimum diperoleh ketika akses menuju jaringan telah

tersedia dan bersifat paling minimum (dari segi jarak). Situasi ideal

terjadi bila jaringan melintasi atau berdekatan dengan terminal.

2) Klasifikasi Terminal

Sistem terminal merupakan memiliki desain dan metode operasi

berbeda-beda. Tetapi pada dasarnya terminal dapat dibedakan


20

berdasarkan sifat-sifat pelayanannya yaitu antara terminal penumpang

dan terminal barang. Karakteristik jenis-jenis terminal menurut jenis

angkutan dapat dibedakan menjadi:

a) Terminal penumpang

Karakteristik umum terminal penumpang adalah biasanya memiliki

waktu pelayanan yang lebih cepat karena penumpang dapat bergerak

sendiri tanpa harus digerakkan dengan alat-alat bongkar muat seperti

pada terminal barang.

b) Terminal barang

Terminal barang pada dasarnya berbeda dari terminal penumpang

dalam satu hal penting yaitu barang harus digerakkan seluruhnya

dengan usaha dri operator terminal karena barang tidak dapat bergerak

sendiri seperti penumpang. Perbedaan ini menimbulkan konsekuensi

yang cukup besar dalam desain dan operasi terminal barang. Salah

satu diantaranya adalah pemprosesan barang di terminal lebih lama

dibandingkan penumpang yang lebih muda dan lancar tanpa

memerlukan operator.

3. Sistem Pergerakan

Interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan akan

menghasilkan suatu pergerakan manusia/kendaraan. Dalam

merencanakan transportasi pada dasarnya adalah memperkirakan

kebutuhan transportasi dimasa akan datang yang harus dikaitkan

dengan masalah ekonomi, sosial dan lingkungan. Masalah teknis


21

transportasi pada umumnya bertolak dari usaha menjamin bahwa

sarana yang telah ada didayagunakan secara optimum dan ditujukan

guna merancang dan membangun berbagai sarana baru. Dalam

perencanaan transportasi dikenal model perencanaan yang disebut

model transportasi bertahap (Gambar 4)

Sistem Kegiatan Sistem


Jaringan

Trip Generation

Trip Distribution

Modal Split

Trip Assignment

Tahapan Perencanaan
Transportasi
Gambar 4. Model perencanaan transportasi empat tahap (MPTET)
Sumber: Hendarto, 2009

Model perencanaan empat tahap terdiri atas sub-sub model

sebagai berikut.

a. Bangkitan pergerakan

Bangkitan perjalanan (trip generation) adalah suatu tahapan

permodelan yang memperkirakan jumlah pergerakan yang berasal dari

suatu zona/tata guna lahan dan beberapa jumlah pergerakan yang akan

tertarik kepada suatu tata guna lahan atau zona. Menurut Bruton (1970)
22

yang dikutip dalam Hendarto etal (2001), faktor-faktor yang menyebabkan

bangkitan perjalanan adalah

1) Pola dan intensitas tata guna lahan dan perkembangannya

2) Karakteristik sosio ekonomi populasi pelaku perjalanan

3) Kondisi dan kapabilitas sistem transportasi yang tersedia.

Gambar 5. Bangkitan Seluruh Perjalanan dari zona asal


Sumber: Tamin, 2008

Sifat pergerakan sistem zona terdiri atas internal dan eksternal

yang dikelompokkan menjadi:

1) Pergerakan dalam zona (intra zonal trip) yaitu dari dan ke zona

yang sama yang umumnya diabaikan (dianggap = 0)

2) Pergerakan antar zona (inter zonal trip) yaitu pergerakan dari dan

ke zona-zona internal.

3) Pergerakan antar zona internal dan eksternal yaitu pergerakan ke

luar/masuk wilayah studi

4) Pergerakan antar zona eksternal yaitu pergerakan antar zona yang

melewati wilayah studi yang lebih dikenal dengan through traffic.


23

b. Distribusi pergerakan

Permodelan sebaran pergerakan dimaksudkan untuk menghitung

besarnya perjalanan (orang, kendaraan, barang) diantara zona-zona asal

tujuan. Dasar model sebaran pergerakan adalah bagaimana memprediksi

penyebaran hasil perhitungan jumlah bangkitan dan tarikan perjalanan

dari tahap sebelumnya. Hasil keluaran tahap model ini berupa Matriks

Asal Tujuan (MAT) merupakan gambaran dari pola dan besarnya

permintaan perjalanan.

Gambar 6. Bangkitan Seluruh Perjalanan


dari zona asal ke semua zona tujuan
(Sumber: Tamin, 2008)

c. Pemilihan moda

Pemilihan moda bertujuan untuk mengetahui proporsi pelaku

perjalanan (orang ataupun barang) yang akan menggunakan setiap moda

transportasi yang ada di wilayah tersebut. Baik kendaraan pribadi,

angkutan umum, maupun angkutan lainnya yang berbasis tidak

beroperasi di jalan seperti kereta api, kapal laut, penyeberangan,

angkutan sungai dan danau atau pesawat terbang.


24

Analisis penggunaan moda juga dilakukan pada analisis

pembangkit perjalanan, dan yang paling lazim adalah setelah distribusi

perjalanan, karena informasi tentang kemana perjalanan itu menuju akan

memungkinkan hubungan penggunaan moda tersebut membandingkan

alternatif pelayanan transportasi yang bersaing untuk para penggunanya.

(Khisty dan Lall., 2003).

Tiga kategori besar faktor yang dipertimbangkan dalam

penggunaan moda:

 Karakteristik yang melakukan perjalanan (misalnya, pendapatan

keluarga, jumlah mobil yang tersedia, ukuran keluarga, densitas

permukiman).

 Karakteristik perjalanan (misalnya, jarak perjalanan, jam berapa

perjalanan itu dilakukan).

 Karakteristik sistem transportasinya (misalnya, waktu tumpangan,

waktu yang berlebih).

d. Pemilihan rute

Dalam proses pemilihan rute pergerakan antar dua zona untuk

moda tertentu (yang didapat dari pemilihan moda) dibebankan ke rute

tertentu yang terdiri atas ruas jaringan jalan tertentu (atau angkutan

umum) sehingga akhirnya didapat jumlah pergerakan pada setiap ruas

jalan.

Setiap pembebanan jalan/pemilihan rute disebabkan oleh beberapa

faktor yang dianggap berpengaruh terhadap penentuan rute yang akan


25

dilalui. Faktor penentunya adalah waktu tempuh, jarak dan biaya (biaya

nilai waktu, biaya perjalanan dan biaya operasi kendaraan). Adapun

alasan setiap pelaku perjalanan untuk memilih sebuah rute yang dapat

digunakan untuk menghasilkan jenis model antara lain (Tamin, 2008):

1) Pembebanan all or nothing

Pemakai jalan secara rasional akan memakai rute terpendek yang

meminimumkan hambatan transportasi (jarak, waktu dan biaya).

Semua lalu lintas asal tujuan menggunakan rute yang sama

dengan anggapan bahwa pemakai jalan mengetahui rute tercepat

tersebut. Dengan kata lain pemakai jalan mengetahui rute

terpendek dan semuanya menggunakan rute tersebut dan tidak

ada yang menggunakan rute lain.

2) Pembebanan banyak ruas

Diasumsikan pemakai jalan tidak mengetahui informasi yang tepat

mengenai rute tercepat. Pengendara memilih rute yang dipikirnya

adalah rute tercepat, tetapi persepsi yang berbeda untuk setiap

pemakai jalan akibatnya bermacam-macam rute akan dipilih antara

dua zona tersebut.

3) Pembebanan berpeluang

Pemakai jalan menggunakan beberapa faktor rute dalam pemilihan

rutenya dengan meminimumkan hambatan transportasi, contohnya

faktor yang tidak dapat dikuantifikasi seperti rute yang aman dan
26

rute yang panoramanya indah. Dalam hal ini pengendara

memperhatikan faktor lain selain jarak, waktu dan biaya.

C. Logistik

Logistik merupakan bagian dari proses supply chain management

(manajemen rantai pasok) yang secara utuh didefinisikan sebagai suatu

proses dalam merencanakan, mengimplementasikan, dan memantau

efisiensi dan efektivitas aliran dan penyimpanan barang, layanan dan

informasi yang terkait dari titik asal menuju titik tujuan barang dalam

tujuannya untuk memenuhi kebutuhan pengguna (The Council of

Logistics Management, 2001).

Ruang lingkup logistik mencakup dua aktivitas utama, yaitu:

1. Inbound (physical supply atau materials management), meliputi

aktivitas: penyimpanan, pemenuhan pesanan, pengemasan/

pengepakan, pergudangan, penanganan barang, informasi skedul

pemeliharaan dan penyediaan barang untuk bahan mentah dan

bahan pendukung/pembantu;

2. Outbound (physical distribution atau product management), meliputi

aktivitas: transportasi, vehicle routing, fleet management, shipping.


27

Gambar 7. Aktivitas Logistik


Sumber: Puslitbang Manajemen Transportasi Multimoda, Kementerian
Perhubungan, 2004

Ruang lingkup logistik dapat menjangkau sisi penyedia (supplier),

pergudangan, distributor, dan pelanggan atau konsumen. Di samping itu,

ruang logistik meliputi pergerakan barang, seperti pengangkutan,

konsolidasi, pemindahan, pergudangan, pengepakan, dan sistem

informasi (Gambar 8).

Gambar 8. Ruang Lingkup Logistik

Sumber: Puslitbang Manajemen Transportasi Multimoda, Kementerian


Perhubungan, 2004
28

Transportasi logistik sangat bergantung pada layanan transportasi

berstandar tinggi (internasional) dalam rangka mendukung sistem

pengendalian pergerakan barang dalam skala internasional. Faktor

keberhasilan transportasi logistik dipengaruhi oleh:

1. Fleksibilitas; mengingat transportasi logistik harus mampu

beradaptasi dengan beragam jenis permintaan pelanggan dan kondisi

yang tak dapat diperkirakan.

2. Kecepatan; mengingat pengoperasian moda angkutan harus

mampu menciptakan efisiensi waktu selama proses pergerakan

barang dan nilai kapital yang terkandung di dalamnya.

3. Reliabilitas; mengingat transportasi logistik harus mampu

mereduksi tingkat risiko kerusakan barang atau mampu menjamin

keamanan dan kualitas barang dalam proses pengangkutannya

Dalam konteks nasional, sistem transportasi logistik dapat dipahami

sebagai suatu jaringan prasarana dan sarana infrastruktur transportasi

yang terpadu sesuai dengan hierarkis fungsi dan layanan wilayah, yang

kesemuanya itu dijalankan untuk mendukung kegiatan logistik. Secara

skematis, konsep sistem logistik nasional dapat dijelaskan berikut ini

(gambar 9).
29

Gambar 9. Konsep Sistem Transportasi Logistik Nasional


Sumber: Puslitbang Manajemen Transportasi Multimoda, Kementerian
Perhubungan, 2004

1. PKL (pusat kegiatan lokal); merupakan daerah sentral distribusi

lokal skala kota dan kabupaten, idealnya berperan sebagai fungsi

terminal/transshipment lokal yang mengumpulkan dan

mendistribusikan pergerakan dalam satu wilayah kota/kabupaten.

Karakteristik pergerakan adalah jarak pendek, sehingga moda

angkutan jalan dipandang paling sesuai dengan fungsi hubungan

biaya transportasi per moda.

2. PKW (pusat kegiatan wilayah); merupakan daerah sentral

distribusi regional antar-kota/kabupaten dalam satu provinsi, idealnya

berperan sebagai terminal/ transshipment regional yang

mengumpulkan dan mendistribusikan pergerakan antar-

kota/kabupaten dalam suatu wilayah provinsi. Karakteristik

pergerakan masih dapat dikatakan jarak pendek (di bawah 500 –750
30

km), sehingga moda pergerakan yang dipandang cukup sesuai

adalah moda angkutan jalan dan angkutan kereta api,

bergantung pada keunggulan komparatif masing-masing atau

ketersediaan infrastruktur dan layanan eksisting.

3. PKN (pusat kegiatan nasional); merupakan daerah sentral

distribusi nasional dan hubungan internasional, idealnya memerankan

terminal/transshipment nasional dan internasional yang

mengumpulkan dan mendistribusikan pergerakan nasional dan

internasional. Karakteristik perjalanan adalah jarak panjang, sehingga

fungsi koneksi dapat dilayani menggunakan moda kereta api atau

moda angkutan udara dan angkutan laut (untuk jarak yang relatif

lebih panjang dan bersifat antar pulau atau negara).

Dalam aktivitas memindahkan barang dari hulu hingga hilir,

pada pelaksanaannya dapat menimbulkan perbedaan (gap) sebagai

berikut (Kodrat, 2009).

1. Geographical gap adalah perbedaan jarak geografis yang

disebabkan oleh perbedaan tempat pusat produksi dengan lokasi

konsumen. Sehingga jarak yang semakin jauh menimbulkan peranan

distributor menjadi penting. Geographical gap ini menimbulkan place

utility (nilai guna tempat) yang berarti bahwa suatu produk akan

memiliki nilai lebih tinggi pada tempat yang berbeda.

2. Time gap adalah perbedaan waktu yang disebabkan oleh celah

waktu yang terjadi antara produksi dengan konsumsi dari produk-


31

produk yang dihasilkan. Time gap ini menimbulkan time utility (nilai

guna waktu), artinya produk harus tersedia pada saat yang

dibutuhkan.

3. Quantitiy gap terjadi karena produksi dilakukan dalam skala besar

untuk memperoleh biaya per unit yang lebih rendah sedangkan

konsumsi terjadi dalam jumlah yang lebih kecil.

4. Variety gap terjadi karena sebagian besar produsen memproduksi

variasi produk tertentu yang pada saat itu tidak sama dengan apa

yang dibutuhkan oleh konsumen. Quantity gap dan variety gap ini

menimbulkan form utility (nilai guna bentuk) yang berarti manfaat

yang diciptakan oleh adanya perubahan-perubahan dalam

usaha memperbaiki suatu barang.

5. Communication dan information gap terjadi karena konsumen sering

tidak mengetahui sumber-sumber produksi dari produk yang

dibutuhkan sementara produsen tidak mengetahui siapa, dimana

konsumen potensial berada. Communication dan information gap ini

menimbulkan possession utility (nilai guna milik) yang menunjukkan

kegiatan yang berubah kepemilikan suatu barang.

Keempat nilai guna tersebut tidak dapat dipisahkan. Konsumen tidak

dapat memperoleh barang jadi tanpa adanya pengangkutan barang

tersebut ke tempat tujuan, dan tanpa adanya penyimpanan sampai saat

dibutuhkan. Ketika konsumen menggunakan suatu produk, konsumen

harus mendapatkan semua nilai guna tersebut. Jadi kunci utama


32

penerapan sistem logistik terpadu adalah adanya titik temu antara faktor

ketersediaan, kedekatan dan kemudahan

D. Proses Perangkutan

Proses perangkutan meliputi pola pergerakan bergerak dan tidak

bergerak. Pola pergerakan tidak bergerak meliputi pemenuhan kebutuhan

jasa seperti internet, dokumen adminitrasi dan lain sebagainya. Pola

pergerakan bergerak didasarkan pada proses pemenuhan kebutuhan

dimana hal itu mencakup (gambar 10):

1. Perpindahan tempat

2. Moda transportasi

3. Prasarana transportasi

4. Pergerakan lalu lintas/jalur

Gambar 10. Gambar Proses Perangkutan


Sumber: Perencanaan dan pemodelan Transportasi, Dr. Nindyo Cahyo K
33

E. Transportasi Barang

Tujuan umum dari sistem transportasi perangkutan barang adalah

untuk memastikan ketersediaan barang untuk produksi dan konsumsi di

berbagai macam lokasi, ketersediaan sumber daya alam, serta

kebutuhan penyalur dan konsumen atas barang. Di dalam sistem

transportasi pengangkutan barang banyak proses dapat di amati,

dimana proses-proses tersebut memungkinkan fungsi yang diperlukan

dapat terlaksana. Proses-proses ini terdiri dari banyak kegiatan yang

dapat diamati dalam sistem transportasi pengangkutan barang seperti

pencampuran, sortir, penyimpanan, pengepakan, dan pengisian.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan transportasi barang,

antara lain:

1. Faktor lokasi. Lokasi sumber bahan mentah dan input untuk proses

produksi akan menentukan tingkat pergerakan angkutan barang.

2. Tingkat perbedaan antara kebutuhan dan jumlah barang yang

diproduksi.

3. Faktor fisik. Karakteristik dari bahan mentah dan produksi akhir

mempengaruhi kemungkinan penggunaan moda yang berbeda dan

strategi pengiriman yang berbeda pula.

4. Faktor operasional. Kebijakan dalam jalur distribusi dan penyebaran

geografis akan mempengaruhi kemungkinan penggunaan moda

yang berbeda dan strategi pengiriman yang berbeda pula.

5. Faktor geografis. Lokasi dan kepadatan populasi dapat


34

mempengaruhi distribusi produk akhir.

6. Faktor dinamis. Variasi permintaan dan perubahan selera pasar

memiliki pengaruh yang kuat dalam perubahan pola pergerakan

angkutan barang.

7. Faktor biaya. Barang yang di distribusikan merupakan barang

ekonomi, maka biaya transportasinya diusahakan seminim mungkin

agar tidak mengurangi nilai tambah barang tersebut.

Beberapa syarat angkutan yang di inginkan oleh pemilik barang, yaitu:

1. Aman, barang yang di angkut terhindar dari gangguan yang

memungkinkan volume berkurang atau yang menyebabkan

kerusakan pada barang yang diangkut.

2. Tepat waktu, waktu pengangkutan tepat baik pada

keberangkatannya, barang naik ke kapal dan waktu tiba di tempat

tujuan.

3. Selamat, kondisi barang yang diangkut masih seperti semula, tidak

terjadi perubahan pada bentuk dan mutu barang.

4. Murah, biaya angkutan persatuannya dapat bersaing.

Angkutan barang menurut kemasannya, secara umum terbagi dua,

yaitu:

1. Angkutan non Kontainer

Angkutan ini digunakan untuk pengiriman barang dalam bentuk

padat yang dikemas dalam volume yang kecil,sehingga bisa diangkut

dengan truk biasa, bukan dengan trailer.


35

2. Angkutan Kontainer (peti kemas)

Angkutan ini digunakan untuk pengiriman barang dalam bentuk

padat yang sudah dikemas dengan volume yang besar atau dengan

tonase yang besar pula. Truk yang yang digunakan juga khusus berupa

truk tailer. Angkutan ini bisa digunakan untuk barang-barang dengan

mutu ekspor. Angkutan kontainer terbagi atas dua yaitu FCL (Full

Container Load) dan LCL (Less than Container Load). Yang dimaksud

FCL adalah container yang memiliki muatan satu jenis yang diangkut

dalam satu container. Sedangkan LCL adalah container yang berisi

bermacam-macam muatan dengan berbegai variasi kubikasi yang

diangkut dalam satu container.

Khusus kontainer, kemasan ini sangat cocok untuk pengangkutan

barang yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi

(multimoda). Hal ini memungkinkan pengangkutan barang langsung dari

pabrik ke tujuan akhir, tanpa dibebani oleh berbagai masalah dalam

proses pengangkutannya. Oleh karena itu, sistem kontainer dapat

digunakan untuk mengurangi biaya transportasi. Secara umum,

pengurangan biaya total bisa didapat dari:

a. Pengurangan biaya pengepakan.

b. Pengurangan biaya atas kerusakan barang

c. Pengurangan kemungkinan barang hilang

d. Pengurangan biaya asuransi

e. Pengurangan biaya pemeriksaan


36

f. Pengurangan biaya transit atau transfer

g. Pengurangan biaya servis pintu ke pintu

Secara umum, ada beberapa pihak yang terlibat dalam pergerakan

barang. Pihak-pihak tersebut adalah:

a. Shippers (pemilik barang), yaitu pihak yang memiliki barang yang

akan diangkut. Biasanya adalah perusahaan produsen barang.

b. Buyers (pembeli), yaitu pihak yang membeli barang yang diangkut.

Untuk perdagangan ke luar negeri, dapat disebut sebagai importir.

c. EMKL (ekspedisi muatan kapal laut), yaitu jasa angkutan yang

berwenang mengangkut barang hingga barang tersebut naik ke

kapal, sekaligus mengurus dokumen-dokumen perjalanan barang

tersebut.

d. Freight Forwader, yaitu pihak yang mngurus masalah angkutan

barang yang akan digunakan dan mengurus dokumen-dokumen

perjalanan barang tersebut hingga sampai ke tempat tujuan buyers.

forwader juga dapat berperan sebagai EMKL.

H. Sistem Transportasi Nasional

Pembangunan sektor transportasi diarahkan pada terwujudnya

sistem transportasi nasional yang handal, berkemampuan tinggi dan

diselenggarakan secara efektif dan efisien dalam menunjang dan

sekaligus menggerakkan dinamika pembangunan, mendukung mobilitas

manusia, barang serta jasa, mendukung pola distribusi nasional serta

mendukung pengembangan wilayah dan peningkatan hubungan


37

internasional yang lebih memantapkan perkembangan kehidupan

berbangsa dan bernegara dalam rangka perwujudan wawasan nusantara.

Menurut Peraturan Menteri Perhubungan No. 49 tahun 2005 tentang

Sistem Transportasi Nasional (Sistranas) bahwa perwujudan sistem

transportasi nasional yang efektif dan efisien, menghadapi berbagai

tantangan, peluang dan kendala sehubungan dengan adanya perubahan

lingkungan yang dinamis seperti otonomi daerah, globalisasi ekonomi,

perubahan prilaku permintaan jasa transportasi, kondisi politik,

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepedulian pada

kelestarian lingkungan hidup serta adanya keterbatasan sumber daya.

Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, sistem transportasi nasional perlu

terus ditata dan disempurnakan dengan dukungan sumber daya manusia

yang berkualitas, sehingga terwujud keandalan pelayanan dan

keterpaduan antar dan intra moda transportasi, dalam rangka memenihi

kebutuhan pembangunan, tuntutan masyarakat serta perdagangan

nasional dan internasional dengan memperhatikan kehandalan serta

kelaikan sarana dan prasarana transportasi.

Sesuai dengan peraturan Menteri Perhubungan No. 49 Tahun 2005

bahwa Sistranas adalah Tatanan Transportasi yang terorganisasi secara

kesisteman terdiri dari transportasi jalan, tansportasi kereta api,

transportrasi sungai dan danau, transportasi penyeberangan, transportasi

laut, transportasi udara, serta transportasi pipa, yang masing-masing

terdiri dari sarana dan prasarana, kecuali pipa, yang saling berinteraksi
38

dengan dukungan perangkat lunak dan perangkat pikir membentuk suatu

sistem pelayanan jasa transportasi yang efektif dan efisien, berfungsi

melayani perpindahan orang dan atau barang, yang terus berkembang

secara dinamis.

Maksud Sistranas adalah sebagai pedoman pengaturan dan

pembangunan transportasi, dengan tujuan agar dicapai penyelenggaraan

Transportasi Nasional yang efektif dan efisien. Sasaran Sistranas adalah

wujudnya penyelenggaraan transportasi yang efektif dan efisien. Efektif

dalam arti selamat, aksesibilitas tinggi, terpadu, kapasitas mencukupi,

teratur, lancar dan cepat, mudah dicapai, tepat waktu, nyaman, tarif

terjangkau, tertib, aman, serta polusi rendah. Efisien dalam arti beban

publik rendah dan utilitas tinggi dalam satu kesatuan jaringan transportasi

nasional.

Sistranas mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai unsur penunjang

dan pendorong. Sebagai unsur penunjang, Sistranas berfungsi

menyediakan jasa transportasi yang efektif dan efisien untuk memenuhi

kebutuhan sektor lain, sekaligus juga berfungsi ikut menggerakkan

dinamika pembangunan nasional serta sebagai industri jasa yang dapat

memberikan nilai tambah. Sebagai unsur pendorong, Sistranas berfungsi

menyediakan jasa transportasi yang efektif untuk menghubungkan daerah

terisolasi dengan daerah berkembang yang berada di luar wilayahnya,

sehingga terjadi pertumbuhan perekonomian yang sinergis.


39

Adapun indikator penilaian kinerja transportasi dalam Sistranas

dapat dilihat sebagai berikut (Tabel 1).

Tabel 1
Penilaian kriteria menggunakan indikator kinerja pelayanan transportasi.
No Kriteria Penilaian
1. Keselamatan Terhindarnya pengoperasian transportasi dari
kecelakaan akibat faktor internal transportasi.
2. Aksesibilitas Jaringan pelayanan transportasi dapat menjangkau
seluas mungkin wilayah nasional dalam rangka
perwujudan wawasan nusantara dan ketahanan
nasional.
3. Keterpaduan Terwujudnya keterpaduan intramoda dan antarmoda
dalam jaringan prasarana dan pelayanan, meliputi
pembangunan, pembinaan dan penyelenggaraannya
sehingga lebih efektif dan efisien.
4. Kapasitas Kapasitas sarana dan prasarana transportasi cukup
tersedia untuk memenuhi permintaan pengguna jasa.
5. Teratur Pelayanan transportasi yang mempunyai jadwal waktu
keberangkatan dan waktu kedatangan.
6. Lancar dan Terwujudnya waktu tempuh yang singkat dengan tingkat
tepat keselamatan yang tinggi
7. Mudah dan Pelayanan menuju kendaraan dan dari kendaraan ke
cepat tempat tujuan mudah dicapai oleh pengguna jasa
melalui informasi yang jelas, kemudahan mendapatkan
tiket, dan kemudahan alih kendaraan.
8. Tepat waktu Pelayanan transportasi dilakukan dengan jadwal yang
tepat, baik saat keberangkatan maupun kedatangan,
sehingga masyarakat dapat merencanakan perjalanan
dengan pasti.
9 Nyaman Ketenangan dan kenikmatan bagi penumpang selama
berada dalam sarana transportasi.
10. Tarif terjangkau Terwujudnya penyediaan jasa transportasi yang sesuai
40

No Kriteria Penilaian
daya beli masyarakat menurut kelasnya, dengan tetap
memperhatikan berkembangnya kemampuan penyedia
jasa transportasi.
11. Tertib Pengoperasian sarana transportasi sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku dan norma atau
nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
12. Aman Terhindarnya pengoperasian transportasi dari akibat
faktor eksternal transportasi baik berupa gangguan
alam, gangguan manusia, maupun gangguan lainnya.
13. Polusi rendah Polusi yang ditimbulkan sarana transportasi baik polusi
gas buang, air, suara, maupun polusi getaran serendah
mungkin.
14. Efisien Memberikan manfaat yang maksimal dengan
pengorbanan tertentu yang ditanggung oleh pemerintah,
operator, masyarakat dan lingkungan

Sumber: Sistranas, Peraturan Menteri Perhubungan No 49 Tahun 2005


Namun untuk penelitian ini, 14 indikator tersebut di pilah menjadi 8

indikator yaitu lancar dan tepat, teratur, kapasitas, aman, tarif terjangkau,

terpadu, mudah dicapai, dan polusi rendah.

I. Dry Port

Dalam Handbook on The Management and Operation of Dry port s

(UNCTAD, 1991) dinyatakan bahwa dry port atau inland clearance

depot (ICD) adalah:

“A common user facility with public authority status, equipped with


fixed installations and offering services for handling and temporary
storage of any kind of goods (including containers) carried under
customs transit by any applicable mode of transport, placed under
customs control and with customs and other agencies competent to
clear goods for home use, warehousing, temporary admissions, re-
export, temporary storage for owned transit and outright export”
41

Secara sederhana dapat dikatakan dry port merupakan sebuah

lokasi/tempat kegiatan pengiriman barang yang dihubungkan oleh moda

darat (seperti jalan atau rel) ke pelabuhan laut. Dimana terdapatnya

pelayanan kepabeanan yang lengkap di kawasan dry port serta terdapat

fasilitas gudang dan penyimpanan sementara serta merupakan tempat

transit khusus bagi asal atau tujuan pengiriman barang yang disertai

dengan dokumen perjalanan, seperti bill of loading atau dokumen

angkutan multimoda yang menjadikan pergerakan barang/kargo

menjadi efisien.

Woxenius et al (2004) mendefinisikan dry port sebagai berikut:

Dry port concept is based on a seaport directly connected with


inland intermodal terminals where goods in intermodal loading units
can be turned in as if directly to the seaport. Between the seaport
and the inland terminals, here denoted dry port s, relatively large
goods‟ flows are being concentrated, giving room for other traffic
modes than road. The hypothesis behind the article is that a
consciously applied dry port concept can shift freight volumes from
road to more energy efficient traffic modes that are less harmful to
the environment, relieve seaport cities from some congestion, make
goods handling more efficient and facilitate improved logistics
solutions for shippers in the port‟s hinterland.

Berdasarkan definisi di atas, dry port dapat dimaknai sebagai simpul

aktivitas muat barang/komoditi sebelum menuju ke outlet/pelabuhan.

Aktivitas pada dry port mirip layaknya kegiatan bongkar muat di

pelabuhan, hanya saja keberadaan lokasinya mendekati sentra industri

di sekitar kawasan hinterland pelabuhan. Dry port utamanya ditujukan

untuk menangani muatan barang dalam volume besar, sehingga dalam

penyelenggaraannya membutuhkan dukungan infrastruktur transportasi


42

yang dapat mentransfer barang dengan cepat, mudah, terjamin

keamanan dan keselamatan barangnya, serta ramah lingkungan

(bebas kemacetan dan efisien dalam penggunaan energi).

Definisi yang lain dinyatakan oleh EU Commission (2001), sebagai

berikut:

A dry port is simply “an inland terminal which is directly linked to a


maritime port”.

Satu hal penting yang dapat ditunjukkan dari keberadaan dan

fungsi dry port menurut EU Commission adalah adanya

keterhubungan/koneksi langsung dengan pelabuhan laut. Oleh karena

itu, secara fungsional, jika terminal-terminal barang yang memiliki

akses langsung ke pelabuhan laut, dengan fasilitas transfer barang

yang efisien, maka terminal tersebut dapat disebut sebagai dry port.

Leveque and Roso (2001) menyatakan pendapatnya mengenai

konsep dry port, sebagai berikut:

A dry port is an inland intermodal terminal directly connected to


seaport(s) with high capacity transport mean(s), where customers
can leave/pick up their standardised units as if directly to a seaport.

Konsep yang dikemukakan Leveque dan Roso hampir mirip dengan

pendapat yang lain, dimana yang ditekankan adalah layanan transfer

barang yang terkoneksi secara langsung dengan pelabuhan dengan

karakteristik kapasitas muatan yang besar dan memiliki standar dalam

penanganannya.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa dry port


43

merupakan suatu lokasi tertentu di daratan dengan batas-batas yang

jelas dilengkapi dengan fasilitas bongkar muat, lapangan penumpukan

dan gudang serta prasarana dan sarana angkutan barang. Perlakuan

terhadap status barang seperti di pelabuhan (sea port). Lokasi tersebut

dihubungkan dengan pelabuhan melalui jaringan jalan/rel. Dry port

didesain sebagai fasilitas yang membantu kerja pelabuhan dalam

menangani barang kiriman berupa kontainter. Alur kegiatan yang

diselenggarakan juga mengikuti alur kegiatan yang ada di pelabuhan.

Fasilitas yang disediakan oleh suatu dry port dapat bervariasi.

Fasilitas minimum yang harus disediakan oleh suatu dry port adalah:

 Kepabeanan

 Penyimpanan sementara selama pemeriksaan kepabeanan

 Peralatan penanganangan kontainer (20 kaki dan 40 kaki)

 Kantor administrasi dan operasional

 Sistem keamanan Fasilitas komunikasi yang handal.

 Stasiun kontainer barang.

Ditinjau dari pergerakan/pendistribusian barang melalui dry port

dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis pergerakan barang yaitu:

1. Pergerakan/pendistribusian barang dari dry port didistribusikan ke

simpul transportasi disebut dengan distance dry port (gambar 11).


44

Gambar 11. Distance Dry port


Sumber: Puslitbang Manajemen Transportasi Multimoda,
Kementerian Perhubungan, 2004

2. Pergerakan barang/pendistribusian dari dry port asal langsung ke

dry port tujuan dengan memanfaatkan fungsi hinterland disebut

dengan midrange dry port (gambar 12).

Gambar 12. Midrange Dry port


Sumber: Puslitbang Manajemen Transportasi Multimoda,
Kementerian Perhubungan, 2004

3. Pergerakan barang/pendistribusian dari dry port sebagai input dari

berbagai feeder terminal yang selanjutnya dilanjutkan

didistribusikan ke simpul transportasi pelabuhan disebut dengan


45

close dryport (gambar 13).

Gambar 13. Close Dry port


Sumber: Puslitbang Manajemen Transportasi Multimoda,
Kementerian Perhubungan, 2004

J. Wilayah Hinterland Pelabuhan

Hinterland adalah daerah belakang suatu pelabuhan, dimana

luasnya relatif dan tidak mengenal batas administratif suatu daerah,

propinsi, atau batas suatu negara tergantung ada atau tidaknya pelabuhan

yang berdekatan dengan daerah tersebut. Rodrigue dan Nooteboom

(2006) memperkenalkan istilah wilayah hinterland utama dan wilayah

batasan kompetisi untuk membedakan antara wilayah hinterland suatu

pelabuhan dimana arus barang dari wilayah tersebut paling mendominasi

dan wilayah yang juga merupakan hinterland dari pelabuhan lain. Wilayah

hinterland suatu pelabuhan dapat terpisah secara geografis, sehingga

dalam hal ini faktor aksesibilitas dan volume arus muatan sangat

berpengaruh dalam penentuan ukuran wilayah hinterland.


46

K. Study Banding Dry Port

1. Dry Port di Srilanka

Pelabuhan Colombo merupakan suatu pelabuhan utama di Srilanka

yang berfungsi sebagai pelabuhan internasional. Pelabuhan Colombo

sendiri merupakan pelabuhan yang disentralkan sebagai pelabuhan

bongkar muat barang baik untuk kegiatan ekspor dan impor. Sebagai

sentral kegiatan ekspor impor, Pelabuhan Colombo memainkan peran

penting dalam perekonomian Srilanka dan dalam kompetisi untuk

menjadi hub regional untuk cargo transshipment. Secara geografis,

Colombo memiliki keunggulan yang luar biasa dalam hal kedekatannya

dengan jalur pelayaran utama antara Asia Timur dan Barat terletak di

selatan Srilanka. Saat ini pelabuhan tersebut memiliki kapasitas untuk

menangani 3,7 juta TEUs per tahun dan hampir terlampauinya kapasitas,

dimana dengan kendala ruang yang ada telah mencegah ekspansi

secara besar-besaran. Jumlah impor domestik ke rata-rata 400.000 TEUs

(laden dan kosong) sedangkan jumlah yang sama diekspor per tahun

dengan proyeksi pertumbuhan 9,5% per tahun

Pada Pelabuhan Colombo, semua kegiatan seperti inspection,

clearance of function yang dilakukan didalam pelabuhan menimbulkan

kemacetan lalu lintas dan kecelakaan lalu lintas. Studi di Colombo

menunjukkan bahwa penggerak utama (kendaraan panjang yang

digunakan untuk mengangkut kontainer) adalah salah satu sumber utama

kemacetan jalan (besar kemacetan yang di timbulkan di jalan-jalan utama


47

yaitu Jalan Peliyagoda – Katunayake 24%, Jalan Colombo – Kandy 14%,

Jalan Colombo – Road Galle 7%.

Situasi tersebut menciptakan dampak lingkungan negatif pada sektor

logistik dan akan menghasilkan tambahan biaya rantai logistik. Melihat

dampak negatif yang terjadi atas pemberlakuan Pelabuhan Colombo

sebagai pelabuhan yang disentralkan sebagai pelabuhan bongkar-muat

barang baik untuk kegiatan ekspor dan impor serta pelaksanaan

inspection dan clearance of function yang dilakukan di dalam pelabuhan,

maka Departemen Perhubungan Srilanka berinisiatif melakukan

pembuatan Internal Container Dry port di pinggiran Kota Colombo. Hal ini

dilakukan sebagai strategi dalam meningkatkan efisiensi dan

meminimalkan dampak negatif terhadap industri logistik di Srilanka.

Sadar akan fungsi penting dari dry port untuk melaksanakan fungsi

inspeksi, bea cukai, bongkar muat, transshipment, banking services, dan

lain lain, maka pemerintah Srilanka menetapkan bahwa proyek ini

merupakan sebuah proyek utama yang juga sangat berpotensial dalam

pembangunan ekonomi negara Srilanka. Dalam proyek dry port ini tentu

saja melibatkan departemen- departemen terkait. Berikut merupakan

departemen-departemen yang terkait dalam pembuatan proyek dry port

di Srilanka yaitu (a) Departemen Keuangan dan Perencanaan, (b)

Departemen Perhubungan, (c) Dinas Pelabuhan dan Penerbangan, (d)

Departemen Pertahanan, (e) Srilanka Ports Authority/SLPA, (f) Dinas

Kereta Api, (g) Departemen Bea Cukai, (h) Urban Development


48

Authority, (i) Road Development Authority, (j) Pemerintah Kota Colombo,

(k) Pemerintah Provinsi, (l) Freight Forwarders, (m) Kamar Dagang, (n)

Badan Penanaman Modal.

Pemerintah Srilanka menetapkan tiga lokasi yang potensial

sebagai lokasi dry port (gambar 14):

a North ICD – Veyangoda, terletak sekitar 35 km sebelah timur laut

Kolombo yang terletak di Gampaha. Lokasi ini akan meng- cover

wilayah Mirigama, Katunayake, Dankotuwa, Jaela, Seeduwa.

Veyangoda dinilai tepat karena Veyangoda berada di dekat dengan

jalan raya A1 mengarah ke Kandy. Karena terletak pada 'Jalur Utama'

dari jaringan rel kereta api, Veyangoda memiliki akses transportasi ke

daerah Kandy/ Matale, Nuwara Eliya/Badulla, Trincomalee dan

Baticaloa di pantai timur serta Jaffna dan Thalaimannar di utara pulau.

Hal ini juga akan menjadi keuntungan tambahan. Jarak ke Bandara

Internasional Katunayake juga membuat Veyangoda sebagai lokasi

strategis untuk mendirikan ICD untuk Air-Sea-Land kargo.

b South ICD – Rathmalana, terletak di 14 km sebelah selatan Kolombo.

Rathmalana merupakan salah satu dari kawasan industri utama

yang diusulkan. Lokasi Rathmalana juga terhubung dengan jalur

kereta api dan jalan-jalan utama.

c East ICD – Sapugaskanda, terletak di km 8 arah timur Colombo.


49

Gambar 14. Peta Lokasi Dry port di Srilanka


Sumber: Puslitbang Manajemen Transportasi Multimoda,
Kementerian Perhubungan, 2004

2. Dry Port di India

Pengembangan dry port di India merupakan tindak lanjut deklarasi

Busan pada tahun 2006 yang bertujuan untuk meningkatkan

perkembangan infrastruktur transportasi sebagai bagian integral dari

sistem transportasi internasional yang terintegrasi di wilayah Asia. Dry port

diharapkan dapat berfungsi sebagai lokasi kegiatan pemeriksaan yang

akomodatif terhadap permintaan jasa-jasa kepelabuhan yang efektif dan

efisien, serta dapat berperan pula sebagai pelabuhan modern untuk

mendukung pertumbuhan ekonomi nasional pada umumnya. Kunci sukses

dry port di India adalah adanya sistem railway yang mendukung

penggunaan dry port. Panjang lintasan kereta api di India mencapai

64.015 km dengan panjang lintasan kereta listrik sepanjang 18.599 km,

dengan jumlah stasiun mencapai 7.030 stasiun. Total lokomotif mencapai


50

8.592 lokomotif dengan 211.763 gerbong. Dari jaringan kereta api ini bisa

menyerap 1.386 milyar pegawai.

Sistem Indian railway (gambar 15) yang sangat efisien dan efektif ini

memiliki posisi yang sangat strategis. Sistem Indian railway ini

mampu menghasilkan income yang cukup besar. Total pendapatan yang

dihasilkan dari Indian railway pada tahun 2009/2010 adalah sebesar US$

19,1 miliyar. Dari hasil itu pemerintah India mendapatkan surplus

sebesar US$ 202 million.

Gambar 15. Peta Lokasi Dry port di India


Sumber: Puslitbang Manajemen Transportasi Multimoda, Kementerian
Perhubungan, 2004

L. Analytical Hierarchy Process (AHP)

1. Definisi Analytical Hierarchy Process (AHP)

Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu model

pendukung keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model

pendukung keputusan ini akan menguraikan masalah multi faktor atau


51

multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki, menurut Saaty (1993),

hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah

permasalahanmyang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana

level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria,

dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan

hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-

kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga

permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis. AHP sering

digunakan sebagai metode pemecahan masalah dibanding dengan

metode yang lain karena alasan-alasan sebagai berikut:

a. Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuesi dari kriteria yang dipilih,

sampai pada subkriteria yang paling dalam.

b. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi

inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh

pengambil keputusan.

c. Memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas

pengambilan keputusan.

2. Kelebihan Analysis Hierarchy Process (AHP)

Layaknya sebuah metode analisis, AHP pun memiliki kelebihan dalam

system analisisnya. Kelebihan-kelebihan analisis ini adalah:

a. Kesatuan (Unity). AHP membuat permasalahan yang luas dan tidak

terstruktur menjadi suatu model yang fleksibel dan mudah dipahami.


52

b. Kompleksitas (Complexity) AHP memecahkan permasalahan yang

kompleks melalui pendekatan sistem dan pengintegrasian secara

deduktif.

c. Saling ketergantungan (Inter Dependence) AHP dapat digunakan

pada elemen-elemen sistem yang saling bebas dan tidak

memerlukan hubungan linier.

d. Struktur Hirarki (Hierarchy Structuring). AHP mewakili pemikiran

alamiah yang cenderung mengelompokkan elemen sistem ke level-

level yang berbeda dari masing-masing level berisi elemen yang

serupa.

e. Pengukuran (Measurement). AHP menyediakan skala pengukuran

dan metode untuk mendapatkan prioritas.

f. Konsistensi (Consistency). AHP mempertimbangkan konsistensi logis

dalam penilaian yang digunakan untuk menentukan prioritas.

g. Sintesis (Synthesis). AHP mengarah pada perkiraan keseluruhan

mengenai seberapa diinginkannya masing-masing alternatif.

h. Lisensi Trade Off. AHP mempertimbangkan prioritas relatif faktor-

faktor pada system sehingga orang mampu memilih altenatif terbaik

berdasarkan tujuan mereka.

i. Penilaian dan Konsensus (Judgement and Consensus). AHP tidak

mengharuskan adanya suatu konsensus, tapi menggabungkan hasil

penilaian yang berbeda.


53

j. Pengulangan Proses (Process Repetition). AHP mampu membuat

orang menyaring definisi dari suatu permasalahan dan

mengembangkan penilaian serta pengertian mereka melalui proses

pengulangan.

3. Tahapan Analisis Hierarchy Process (AHP)

Dalam metode AHP dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan

Dalam tahap ini kita berusaha menentukan masalah yang akan kita

pecahkan secara jelas, detail dan mudah dipahami. Dari masalah yang

ada kita coba tentukan solusi yang mungkin cocok bagi masalah tersebut.

Solusi dari masalah mungkin berjumlah lebih dari satu. Solusi tersebut

nantinya kita kembangkan lebih lanjut dalam tahap berikutnya.

b. Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan utama.

Setelah menyusun tujuan utama sebagai level teratas akan disusun

level hirarki yang berada di bawahnya yaitu kriteria-kriteria yang cocok

untuk mempertimbangkan atau menilai alternatif yang kita berikan dan

menentukan alternatif tersebut. Tiap kriteria mempunyai intensitas yang

berbeda-beda. Hirarki dilanjutkan dengan subkriteria (jika mungkin

diperlukan).

c. Membuat matrik perbandingan berpasangan

Matriks yang digunakan bersifat sederhana, memiliki kedudukan kuat

untuk kerangka konsistensi, mendapatkan informasi lain yang mungkin

dibutuhkan dengan semua perbandingan yang mungkin dan mampu


54

menganalisis kepekaan prioritas secara keseluruhan untuk perubahan

pertimbangan. Pendekatan dengan matriks mencerminkan aspek ganda

dalam prioritas yaitu mendominasi dan didominasi. Perbandingan

dilakukan berdasarkan judgment dari pengambil keputusan dengan

menilai tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya.

Untuk memulai proses perbandingan berpasangan dipilih sebuah kriteria

dari level paling atas hirarki misalnya K dan kemudian dari level di

bawahnya diambil elemen yang akan dibandingkan misalnya

E1,E2,E3,E4,E5.

d. Melakukan perbandingan berpasangan (n x[(n-1)/2])

Hasil perbandingan dari masing-masing elemen akan berupa angka

dari 1 sampai 9 yang menunjukkan perbandingan tingkat kepentingan

suatu elemen. Apabila suatu elemen dalam matriks dibandingkan dengan

dirinya sendiri maka hasil perbandingan diberi nilai 1. Skala 9 telah

terbukti dapat diterima dan bisa membedakan intensitas antar elemen.

Hasil perbandingan tersebut diisikan pada sel yang bersesuaian dengan

elemen yang dibandingkan. Skala perbandingan perbandingan

berpasangan dan maknanya yang diperkenalkan oleh Saaty bisa dilihat di

bawah.

1) 1 = Kedua elemen sama pentingnya, Dua elemen mempunyai

pengaruh yang sama besar.


55

2) 3 = Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yanga

lainnya, Pengalaman dan penilaian sedikit menyokong satu elemen

dibandingkan elemen yang lainnya

3) 5 = Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya,

Pengalaman dan penilaian sangat kuat menyokong satu elemen

dibandingkan elemen yang lainnya

4) 7 = Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya,

Satu elemen yang kuat disokong dan dominan terlihat dalam praktek.

5) 9 = Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya, Bukti yang

mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memeliki tingkat

penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan.

6) 2,4,6,8 = Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang

berdekatan, Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi di antara 2

pilihan Kebalikan = Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka

dibandingdengan aktivitas j , maka j mempunyai nilai kebalikannya

dibanding dengan i.

7) Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya. Jika tidak

konsisten maka pengambilan data diulangi.

8) Mengulangi langkah 3,4, dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki.

Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan

berpasangan yang merupakan bobot setiap elemen untuk penentuan

prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki terendah sampai

mencapai tujuan. Penghitungan dilakukan lewat cara menjumlahkan


56

nilai setiap kolom dari matriks, membagi setiap nilai dari kolom

dengan total kolom yang bersangkutan untuk memperoleh normalisasi

matriks, dan menjumlahkan nilai-nilai dari setiap baris dan

membaginya dengan jumlah elemen untuk mendapatkan rata-rata.

9) Memeriksa konsistensi hirarki. Yang diukur dalam AHP adalah rasio

konsistensi dengan melihat index konsistensi. Konsistensi yang

diharapkan adalah yang mendekati sempurna agar menghasilkan

keputusan yang mendekati valid. Walaupun sulit untuk mencapai yang

sempurna, rasio konsistensi diharapkan kurang dari atau sama

dengan 10 %.

4. Prinsip Dasar dan Aksioma AHP

AHP didasarkan atas 3 prinsip dasar yaitu:

a. Dekomposisi. Dengan prinsip ini struktur masalah yang kompleks

dibagi menjadi bagian-bagian secara hierarki. Tujuan didefinisikan

dari yang umum sampai khusus. Dalam bentuk yang paling

sederhana struktur akan dibandingkan tujuan, kriteria dan level

alternatif. Tiap himpunan alternatif mungkin akan dibagi lebih jauh

menjadi tingkatan yang lebih detail, mencakup lebih banyak kriteria

yang lain. Level paling atas dari hirarki merupakan tujuan yang terdiri

atas satu elemen. Level berikutnya mungkin mengandung beberapa

elemen, di mana elemen-elemen tersebut bisa dibandingkan, memiliki

kepentingan yang hampir sama dan tidak memiliki perbedaan yang


57

terlalu mencolok. Jika perbedaan terlalu besar harus dibuatkan level

yang baru.

b. Perbandingan penilaian/pertimbangan (comparative judgments).

Dengan prinsip ini akan dibangun perbandingan berpasangan dari

semua elemen yang ada dengan tujuan menghasilkan skala

kepentingan relatif dari elemen. Penilaian menghasilkan skala

penilaian yang berupa angka. Perbandingan berpasangan dalam

bentuk matriks jika dikombinasikan akan menghasilkan prioritas.

c. Sintesa Prioritas. Sintesa prioritas dilakukan dengan mengalikan

prioritas local dengan prioritas dari kriteria bersangkutan di level

atasnya dan menambahkannya ke tiap elemen dalam level yang

dipengaruhi kriteria. Hasilnya berupa gabungan atau dikenal dengan

prioritas global yang kemudian digunakan untuk memboboti prioritas

local dari elemen di level terendah sesuai dengan kriterianya.

AHP didasarkan atas 3 aksioma utama yaitu:

a. Aksioma Resiprokal. Aksioma ini menyatakan jika PC (EA, EB) adalah

sebuah perbandingan berpasangan antara elemen A dan elemen B,

dengan memperhitungkan C sebagai elemen parent, menunjukkan

berapa kali lebih banyak properti yang dimiliki elemen A terhadap B,

maka PC (EB, EA)= 1/ PC (EA,EB). Misalnya jika A 5 kali lebih besar

daripada B, maka B=1/5 A.

b. Aksioma Homogenitas. Aksioma ini menyatakan bahwa elemen yang

dibandingkan tidak berbeda terlalu jauh. Jika perbedaan terlalu besar,


58

hasil yang didapatkan mengandung nilai kesalahan yang tinggi. Ketika

hirarki dibangun, kita harus berusaha mengatur elemen-elemen agar

elemen tersebut tidak menghasilkan hasil dengan akurasi rendah dan

inkonsistensi tinggi.

c. Aksioma Ketergantungan. Aksioma ini menyatakan bahwa prioritas

elemen dalam hirarki tidak bergantung pada elemen level di

bawahnya. Aksioma ini membuat kita bisa menerapkan prinsip

komposisi hirarki.

5. Aplikasi AHP

Beberapa contoh aplikasi AHP adalah sebagai berikut:

a. Membuat suatu set alternative dan Perencanaan

b. Menentukan prioritas;

c. Memilih kebijakan terbaik setelah menemukan satu set alternatif;

d. Alokasi sumber daya Lisensi Dokumen:

e. Menentukan kebutuhan/persyaratan;

f. Memprediksi outcome;

g. Merancang system dan Mengukur performa;

h. Memastikan stabilitas system dan Optimasi;

i. Penyelesaian konflik

M. Geographic Information System

Miller dan shaw dalam Suryandaru mengatakan bahwa ada 2 tipe

property spasial yang biasa dianalisis oleh GIS (geographic information

system) untuk keperluan transportasi. Pertama adalah spatial


59

dependency, property dari entitas yang berhubungan dengan relevansi

geografis antar entitas. Kedua adalah spatial heterogenitas, property dari

entitas yang berhubungan dengan lokasi geografis. Contoh spatial

dependency adalah trip distribution antar zona analisis transportasi dan

kesesuaian lahan untuk jalur moda tertentu adalah contoh spatial

heterogenitas.

Aplikasi GIS bagi studi transportasi ada 2 macam, yaitu pengumpulan

dan penstrukturan data dan memodelkan transportasi. GIS dapat

menghubungkan data yang didapat dari berbagai sumber dengan fungsi

overlay.

Dalam gis terdapat dua tipe data yang digunakan yaitu data dalam

bentuk raster dan data dalam bentuk raster. Dalam penggunaan data

dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data raster.Dalam model

data raster, realitas atau objek atau fitur dilambangkan dengan areal yang

terdiri dari satuan luas dalam bentuk segi-empat-sama sisi (gambar 16)

Gambar 16 Model Data Raster


Sumber: Indarto dan Faisal, 2012
60

Pixel tunggal menggambarkan posisi relatif dan karakteristik suatu

luasan atau objek atau titik. Data raster dari sekumpulan cell atau grid

atau pixel. Pixel berasal dari kata picture element. Tiap pixel adalah segi

empat sama sisi yang merupakan unit terkecil dari suatu luasan, dengan

ukuran tiap unit seragam. Ukuran satu pixel dapat cm2, m2, atau km2,

tergantung kebutuhan dan jenis data.

Pixel disusun dalam baris dan kolom dalam suatu matriks kartesian.

Baris menyatakan sumbu X dan kolom menyatakan sumbu Y. Urutan

penamaan dimulai dari kolom kiri ke kanan dan dari baris atas ke bawah.

Setiap sel (lokasi pixel di dalamnya) dinyatakan dalam dua sistem

koordinat, jumlah pixel dan nomor baris yag mengandung satu atribut

tunggal.

Tiap sel mengandung suatu nilai yang menggambarkan kelas,

kategori, atau grup. Misalnya jenis tanah, tekstur tanah, jenis peruntukan

lahan, air, jalan, jenis permukiman dan lain-lain.

Gambar 17. Sel di dalam Model Data Raster


Sumber: Indarto dan Fais, 2012
61

Model data raster berguna untuk meyimpan dan menganalisis data

yang kontinyu dalam suatu luasan. Tiap sel mengandung nilai yang dapat

merepresentasikan keanggotaan dari suatu kelas, pengukuran atau

interpretasi nilai.

Data raster mencakup citra satelit dan grid. Citra seperti foto udara,

citra satelit, atau peta hasil scanning sudah umum digunakan sebagai

data masukan untuk GIS. Citra satelit menggunakan format data raster

dengan ukuran pixel, bervariasi dari (1m x 1m) sampai dengan (10km x

10km) atau lebih.

Gambar 18. Contoh Foto Citra Udara


Sumber: Google Earth, 2015

Data dalam format grid biasanya merupakan data hasil pengukuran

dari lapagan atau derivasi dari data lain dan sering digunakan untuk

analisis pemodelan.
62

Grid, misalnya, diperoleh dari interpolasi data titik-titik sampel hasil

pengukuran suatu variabel di lapangan, seperti konsentrasi bahan kimia di

dalam tanah. Grid juga dapat diperoleh misalnya dari hasil klarifikasi citra

satelit untuk pembuatan peta peruntukan lahan. Grid juga dapat diperoleh

dari konversi data vektor.

Selanjutnya, pixel-pixel yang sama digabungkan ke dalam suatu

layer tematik yang dapat disuperposisikan untuk menggambarkan

karakteristik luasan secara komprehensif.

Fungsi data raster antara lain:

1. Menyatakan data suatu kategori, hasil pengukuran, atau hasil

interpretasi

2. Mengolah, menganalisis, dan menampilkan data dsb

Grid yang menyimpan data kategori (kelas-Class) dapat

menyimpan informasi tambahan yang terkait dengan masing-masing

kategori tersebut.

1. Ketelitian data raster

Ukuran pixel atau sel harus cukup untuk menangkap detail objek

yang digambarkan, tetapi cukup besar supaya penyimpanan dan

pengolahan data di komputer lebih efisien. Penentuan ukuran sel suatu

kasus tergantung pada resolusi data yang dibutuhkan untuk analisis lebih

detail. Semakin homogen objek yang akan digambarkan, semakin besar

ukuran pixel yang mungkin digunakan, semakin hemat waktu dan biaya
63

pengolahan. Umumnya, resolusi data raster dipilih kira-kira sama atau

lebih kasar dari objek yang dikaji.

Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih data raster:

a. Ukuran objek yang akan dikaji

b. Spesifikasi database dan media penyimpanan

c. Waktu pengolahan

d. Aplikasi dan analisis yang akan dilakukan

Semakin kecil ukuran (grid/sel/pixel), semakin tinggi resolusi dan

semakin detail peta yang dihasilkan tetapi membutuhkan volume

penyimpanan yang lebih besar pula. Untuk luas yang sama, mengubah

ukuran sel menjadi 50% lebih kecil dari ukuran aslinya, membutuhkan

waktu 4 kali kapasitas penyimpanan, tergantung jenis data dan teknik

penyimpanan yang digunakan.

Gambar 19. Ukuran pixel suatu raster vs objek yang digambarkan


Sumber: Indarto dan Fais, 2012

Kebanyakan user lebih memilih efisiensi pengolahan dan

pemprosesan data daripada kehilangan informasi akibat penurunan

resolusi. Ukuran sel yang optimum untuk menangkap detail objek spasial
64

bervariasi dari satu kasus ke kasus lain. Pada resolusi tertentu, biaya data

raster tidak dipengaruhi kompleksitas citra yang tidak akan dibeli. Scanner

dapat dengan cepat menghasilkan data raster. Misalnya, dengan format

data raster untuk membuat peta perumahan pada wilayah urban yang

padat relatif tidak sesulit dibandingkan pemetaan yang sama untuk

wilayah pedesaan. Sebaliknya, jika kita menggunakan format data vektor,

maka pemetasaan wilayah permukiman di perkotaan akan membutuhkan

usaha yang lebih besar. Volume pekerjaan meningkat karena setiap titik

dan batas-batas perumahan perlu disimpan dengan baik.

Gambar 20. Sel berukuran kasar dan halus


Sumber: Indarto dan Fais, 2012

Dengan demikian membuat peta perumahan menggunakan data

vektor membutuhkan lebih banyak waktu dan biaya jika dibanding dengan

menggunakan format raster.

Note :
Sel yang semakin halus (+), resolusi semakin tinggi (+) dan informasi
semakin akurat (+) tetapi pengkodean lebih lama (-) membutuhkan tempat
penyimpanan yang lebih besar (-), pengolahan data lebih lambat (-), dan
biaya makin mahal (-).
65

Data raster lebih repetitif dan lebih mudah diprediksi maka data

berjenis raster lebih mudah dikompres. Banyak format data raster, seperti

TIFF, mempunyai algoritma yang dapat mengkompres data sehingga

ukuran penyimpanan yang dibutuhkan menjadi lebih sedikit.

Penggunaan resolusi yang kurang tepat juga dapat menyebabkan

kehilangan informasi akibat penggambaran objek ke dalam grid yang tidak

cukup detail.

Gambar 21. Pengurangan informasi akibat resolusi piksel


yang kurang halus
Sumber: Indarto dan Fais, 2012
2. Klasifikasi nilai pixel

Pixel yang sama diklasifikasikan untuk menggambarkan objek di

permukaan bumi. Dua atau lebih pixel dengan nilai yang sama

membentuk zone. Suatu zone dapat terdiri dari sel-sel yang terhubung

(connected), terpisah (disconnected) atau keduanya. Zone yang pixel-

pixelnya saling terhubung disebut region dan biasanya melambangkan

suatu luasan berupa gedung, danau, jalan dan lain-lain.

Suatu zona yang terdiri dari satu group sel yang saling

berhubungan dikatakan mempunyai satu region. Zona dapat terdiri dari


66

sebanyak mungkin region yang dibutuhkan untuk mengambarkan objek.

Jumlah sel yang menyusun region pada prinsipnya tidak terbatas.

Gambar 22. Klasifikasi nilai piksel ke dalam zone dan region

Sumber: Indarto dan Fais, 2012

3. Atribut Data Raster


Data raster berjenis integer (categorical) menpunyai attribute table

yang menjelaskannya. Atribut data raster adalah suatu tabel yang

menjelaskan informasi yang terkandung dalam suatu data raster. Nilai

yang terkandung pada masing – masing pixel dimuat dalam value attribute

table. Gambar 23 mengilutrasikan contoh konversi nilai pixel kedalam

tabel atribut tersebut.

Gambar 23. Konversi Nilai Piksel ke Tabel Atribut


Sumber: Indarto dan Fais, 2012
67

Informasi disusun dalam kolom (field). Banyaknya field

menunjukkan jumlah kolom dalam tabel atribut. Kelas kategori data

disusun dari atas kebawah mengikuti baris. Jumlah kategori sama jumlah

baris (gambar 24)

Gambar 24. Konversi Nilai Piksel ke tabel atribut


Sumber: Indarto dan Fais, 2012
Ket:

a. Kolom 1 = nilai (value), yang menunjukkan nilai tiap zone.

b. Kolom 2 = jumlah (count), pixel yang masuk kekategori atau zona

tersebut.

c. Kolom 3 dan seterusnya = informasi lain terkait zone atau pixel

No Data Value:

a. Menyatakan sel yang tidak ada informasi didalamnya,

b. Tidak cukup informasi untuk karakteristik khusus yang digambarkan

didalm sel tersebut,

c. Melambangkan nilai null.

No data value dapat diproses dengan dua cara yaitu:

a. Member nilai yang berbeda pada lokasi sel yang tidak ada datanya,
68

b. Mengabaikan sel dengan no data value.

Cara kedua akan berpengaruh pada perhitungan statistic dan

fungsi terkait dengan data raster tersebut, seperti focal area atau zonal,

misalnya: jumlah, median, rerata, majority, minority, dan lain – lain.

Beberapa software GIS menggunakan format yang berbeda untuk

menyimpan data atribut, misalnya *.dbf untuk Arcview; *.dat untuk

mapinfo; *.mdb untuk Arcgis dan sebagainya.

Jumlah kolom pada VAT pada prinsipnya tidak terbatas untuk

memuat karakteristik pixel (zone atau region) yang digambarkan pada

gambar 25.

Gambar 25. Nama Tabel Atribut


Sumber: Indarto dan Fais, 2012

Adapun syarat yang terdapat dalam data raster adalah:


a. Tiap data raster harus mempunyai nama, untuk memberdakan

dengan data raster lain dalam data base,

b. Semua akses kedata raster tersebut dilakukan dengan melalui

namanya dan secara konsisten.


69

4. Pengambaran Objek
Setiap fitur (objek) di alam yang akan digambarkan didalam SIG

disederhanakan dan dinyatakan dalam tiga satuan dasar bentuk geometri

yaitu titik garis dan polygon.

a. Objek Titik
Suatu objek titik (point feature) adalah setiap objek pada resolusi

tertentu yang dapat digambarkan tanpa menggunakan luasan (gambar

26).

Gambar 26. Penggambaran Titik pada


format Vektor (kiri) dan Raster (kanan)
Sumber: Indarto dan Fais, 2012

Gambar 27. Penggambaran titik pada format data raster


Sumber: Indarto dan Fais, 2012
70

1) Objek Garis

Objek atau fitur yang dapat digambarkan sebagai garis (lines

object) adalah semua objek yang pada resolusi tertentu tampak sebagai

polyline misalnya jalan, ruas sungai, powerline (Gambar 28).

Gambar 28. Penggambaran objek garis pada

format data vektor (kiri) dan raster (kanan)


Sumber: Indarto dan Fais, 2012

Secara default objek garis tidak mempunyai luasan. Topologi objek

garis dinyatakan oleh identifikasi garis, suatu seri pixel yang membentuk

segmen garis dan atribut (line ID, series of coordinates formingthe line,

and the attributes) seperti pada gambar 29.

Gambar 29. Penggambaran topologi objek garis pada format raster

Sumber: Indarto dan Fais, 2012


71

2) Objek Luasan atau polygon

Objek luasan atau polygon dilambangkan dengan suatu seri dari sel-

sel yang saling berhubungan yang menggambarkan suatu bentuk

geometri dengan luasan tertentu (gambar 30)

Gambar 30 Penggambaran objek polygon


dalam format vektor (kiri) dan format raster (kanan)
Sumber: Indarto dan Fais, 2012

Konsep tipologi data raster dinyatakan dengan identitas area, suatu

seri koordinat yang membentuk luasan, dan atribut (area ID, a group of

coordinates, forming the area and the atributes). Objek didalam model

data raster dinyatakan dengan konsep run length, dimana tiap pixel raster

disusun sepanjang (jumlah pixel) untuk kelas sebagai berikut (gambar 31).

 Start line no., (start pixel no, number of pixel)

 Second line no., (start pixel no, number of pixel)

Topologi data raster relative lebih sederhana dibanding data vector

(gambar 31).
72

Gambar 31. Ilustrasi konsep geometri dan topologi data raster

Sumber: Indarto dan Fais, 2012

5. Discrete dan continous data

Didalm SIG, fitur – fitur dasar berupa titik garis dan polygon

selanjutnya digabung dan disusun sedemikian rupa untuk dapat

menggambarkan realitas di alam. Realitas yang digambarkan dapat

berupa kumpulan objek yang terpisah dengan banyak komponen dasar

didalamnya. Ini kita sebut sebagai data kategori (categorical or

discontinous data). Dapat juga suatu fenomena yang continue dan

bervariasi sebagai fungsi ruang dan waktu (continous data). Baik data

kategori maupun fenomena yang continuo harus dapat digambarkan oleh

format data raster.

a. Discrete Data

Suatu objek discrete mudah dikenal dan terdefinisi dengan jelas

batasnya. Objek ini umumnya berupa benda. Contohnya seperti danau

yakni objek discrete di lingkungan sekelilingnya, dibatasi oleh tepi

permukaan air (gambar 32 a). contoh lainya adalah gedung, jalan, petak

kaplingan.
73

Gambar 32. Objek discrete dan objek kontinyu

b. Continous Data

Suatu permukaan continou, misalnya topografi permukaan bumi.

Data topografi merupakan data continuo dan bervariasi sebagai fungsi

ruang. Data topografi umumnya dilambangkan dengan data kontur atau

DEM (Digital Elevation Model), gambar 32 b.

Data kontinyu dapat juga berupa suatu fenomena yang bervariasi

terhadap ruang dan waktu. Suatu fenomena yang secara progresif

bervariasi dan berkembang dari sumbernya melintasi suatu permukaan,

misalnya gerakan fluida atau udara, aliran air yang menyusuri permukaan

maupun bawah permukaan bumi, konsentrasi bahan pencemar dilapisan

tanh konsentrasi tumpahan minyak dipermukaan laut, penyebaran bahan

radiasi nuklir melalui permukaan tanah atau permukaan udara dan

gerakan api yang berasal dari kebaran hutan.


74

d. Koordinat Data Raster

Orientasi (lokasi relatif) sel didalam data raster ditentukan oleh

sumbu X dan sumbu Y.

1) Koordinat kartesian (X,Y) suatu data raster dalam real world

coordinate ditentukan berdasarkan system proyeksi yang dipakai.

Untuk menentukan posisi relative objek, minimal satu koordinat (X,Y)

dari satu sudut raster perlu diketahui (gambar 33).

2) Koordinat posisi lain, dinyatakan dengan jumlah baris, jumlah kolom,

dan ukuran pixel (gambar 33)

Gambar 33. Prinsip penentuan koordinat pada data raster


Contoh dari gambar di atas adalah Suatu titik diketahui koordinatnya

terhadap suatu referensi (x,y) = (11,3). Posisi pixel lain ditentukan dengan

jumlah baris dan kolom relatif terhadap titik referensi tersebut.

N. Penelitian Terkait

 Agung Ginanjar, Evaluasi Performansi Angkutan Peti Kemas Bandung-

Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan indikator

performasi angkutan barang peti kemas, memaparkan dan

mengevaluasi faktor-faktor penyebab kurang bersaingnya kereta api


75

dengan moda jalan raya serta dapat memberikan rekomendasi untuk

pelayanan moda dengan menggunakan konsep Dry port. Analisis yang

digunakan adalah melakukan perbandingan antara pengangkutan

menggunakan truk dan kereta api dengan pendekatan Stated

Preference.

O. DEFINISI OPERASIONAL

 Bangkitan pergerakan adalah tahapan pemodelan yang

memperkirakan jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau

tata guna lahan atau jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata

guna lahan atau zona (Tamin, 1997)

 Distribusi Pergerakan adalah jumlah perjalanan yang terjadi dalam

satuan waktu pada suatu zona tata guna lahan (Hobbs, 1995)

 Wilayah adalah bagian dari permukaan bumi yang memiliki

karakteristik tertentu dan berbeda dengan wilayah yang lain.

 Hinterland adalah tanah atau kabupaten di belakang batas-batas

suatu pantai atau sungai

 Kereta Api adalah bentuk transportasi rel yang terdiri dari

serangkaian kendaraan yang didorong sepanjang jalur kereta api

untuk mengangkut kargo atau penumpang.

 Terminal adalah sebuah prasarana transportasi untuk keperluan

menurunkan dan menaikkan penumpang, perpindahan intra dan/atau

antar moda transportasi serta mengatur kedatangan dan

pemberangkatan kendaraan umum.


76

P. Kerangka Konseptual

Adapun kerangka konsep dari penelitian ini adalah (gambar 17):

Identifikasi
permasalahan

Kajian Literature

Pengumpulan Data

Data Primer Data Sekunder


 Pengambilan data dilakukan dengan  Pengambilan data dari instansi
cara observasi langsung lapangan, pemerintah maupun swasta untuk
wawancara terstruktur (kuestioner) menunjang analisis dari penelitian
dan wawancara tidak terstruktur

ANALISIS

Menganalisis potensi bangkitan pergerakan


Bangkitan pengangkutan peti kemas
Pergerakan

Distribusi Pergerakan Menganalisis potensi distribusi pergerakan perangkutan


peti kemas di Sulawesi Selatan

Menganalisis pemilihan moda dalam mengetahui potensi


Pemilihan Moda penggunaan kendaraan dalam menunjang penerapan
konsep Dry Port

Pemilihan Lokasi Menganalisis potensi Sulawesi selatan di tinjau dari


karakteristik fisik, ekonomi maupun tata ruang untuk
untuk Menentukan penerapan lokasi dry port yang ideal
jalur

Kesimpulan dan Saran

Gambar 34. Kerangka Konseptual


77

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, maka studi ini termasuk dalam jenis

perencanaan yang bersifat riset and development yang mencakup

penelitian deskriptif dan penelitian kausal komparatif. Kedua jenis

penelitian ini yang bertujuan untuk memberikan gambaran serta

mendeskripsikan berbagai fenomena yang ada dan membandingkannya

dengan teori yang ada beserta data yang diperoleh baik dari lapangan

maupun dari instansi terkait. Fenomena tersebut dapat berupa bentuk dan

karakteristik lokasi penelitian serta berbagai perubahan yang ada

berdasarkan fakta yang ada. Sedangkan berdasarkan jenis datanya

penelitian merupakan gabungan dari penelitian secara deskriptif kualitatif

dan kuantitatif.

1. Penelitian Deskriptif

Menurut Sugiyono (2003:11) Penelitian Deskriptif adalah penelitian

yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel

atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau

menghubungkan dengan variabel yang lain.

a. Pendekatan Kuantitatif

Menururt Punch (1988:4) metode penelitian kuantitatif merupakan

penelitian empiris di mana data adalah dalam bentuk sesuatu yang dapat
78

dihitung/angka. Penelitian kuantitatif memerhatikan pada pengumpulan

dan analisis data dalam bentuk numerik.

b. Pendekatan Kualitatif

Bogdan dan Taylor (1992: 21-22) menjelaskan bahwa penelitian

kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang

diamati.

2. Penelitian Kausal Komparatif

Penelitian kausal komparatif bertujuan untuk mengetahui

kemungkinan sebab akibat berdasarkan pengamatan terhadap akibat

yang ada dan menduga faktor sebagai penyebab melalui pengumpulan

data tertentu.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam wilayah Sulawesi Selatan dengan

berorientasi kepada sistem pengangkutan barang dari kabupaten-

kaupaten di Sulawesi Selatan dengan Kota Makassar sebagai tujuan

distribusi barang yang efisien (gambar 35).

Waktu yang dibutuhkan untuk merampungkan penelitian ini adalah

selama ± 8 bulan dengan rincian waktu dapat dilihat pada Tabel 2.


79

Gambar 35. Peta Lokasi Penelitian


Sumber: RTRW Prov. Sulawesi Selatan (tahun 2009 - 2029)
80

Tabel 2. Time Schedule Penelitian


Bulan
Kegiatan
Jan Feb Mrt Apr Mei Juni Juli Agustus
BAB I
Pendahuluan
BAB II
Tinjauan
Pustaka
BAB III
Metode dan
Klasifikasi
Data yang
dibutuhkan
Metode
Analisis
BAB IV
Survei
Lapangan
Pengambilan
data di
instansi
terkait
Analisis dan
komparasi
data
Arahan
Penelitian
BAB V
Kesimpulan
dan Saran

C. Populasi dan Sampel

Pemilihan responden dilakukan berdasarkan teknik purposive

sampling dengan pertimbangan bahwa responden adalah pelaku yang

berperan dalam sistem pengangkutan peti kemas. Dimana sampel yang

diambil merupakan dua jenis yaitu untuk analisis deskriptif kualitatif dan

analisis AHP.
81

1. Sampel untuk Analisis Kualitatif

Sample yang diambil berasal dari stakeholder yang paling memegang

peranan dalam aktivitas pengangkutan barang untuk ekspor impor melalui

pelabuhan peti kemas makassar.

Menurut Riduwan (2008) bahwa:

”Purposive sampling adalah teknik sampling yang digunakan peneliti


jika peneliti mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu di dalam
pengambilan sampelnya atau penentuan sampel untuk tujuan tertentu.
Teknik sampling kebetulan atau accidental sampling adalah teknik
penentuan sampel berdasarkan faktor spontanitas, artinya siapa saja
yang secara tidak sengaja bertemu dengan peneliti dan sesuai dengan
karakteristik (ciri-cirinya), maka orang tersebut dapat digunakan
sebagai sampel (responden)”.

Untuk populasi ekspedisi yang menawarkan jasa pengangkutan dengan

menggunakan peti kemas di terminal peti kemas makassar secara jelas

tidak dapat diketahui jumlahnya secara pasti. Hal ini disebabkan adanya

jumlah ekspedisi secara legal maupun illegal sehingga tidak terdapat data

yang valid jumlah ekspedisi. Oleh karena itu, maka penarikan sampel

digunakan teknik sampling kemudahan. Berdasarkan sampling

kemudahan ini, peneliti menyeleksi dengan menyaring kuesioner yang

ada. Maka rumus yang digunakan sebagai berikut (Wibisono dalam

Riduwan, 2008).

𝜎2 𝑍𝛼2⁄
2
n= (1)
𝑒2

n : Jumlah sampel

Z : tingkat kepercayaan dugaan (1-)

 : proporsi sampel
82

e : kesalahan dugaan (sampling error).

Menurut Wibisono dalam Riduwan (2008) bahwa:

”Apabila nilai  tidak diketahui, maka dalam peneliti dapat


menggunakan sampel dimana n  30 yang memberikan estimasi
terhadap . Dalam penelitian ini, nilai  tidak diketahui (populasi jumlah
pengunjung tidak jelas jumlahnya), sehingga nilai n dapat digunakan n
 30”.

2. Sampel untuk AHP

Pemilihan responden dilakukan dengan cara purposive sampling atau

pemilihan secara sengaja dengan pertimbangan responden adalah aktor

atau pelaku dalam pengadaan transportasi barang yang terdiri dari

pemerintah, swasta, dan masyarakat. Responden yang dimaksud adalah

responden yang terlibat langsung atau responden yang dianggap

mempunyai kemampuan dan mengerti permasalahan terkait. Sehingga

dalam pengujian tingkat kevalidan responden hanya mengacu kepada

nilai consistent dan inconsistent. Responden yang menggunakan analisis

AHP terdiri atas 2 tipe responden yaitu:

a. Responden Analisis Pemilihan Moda:

Responden yang menjadi kunci dalam pemilihan moda ini terdiri atas

5 responden yang mewakili 4 komponen. Responden tersebut adalah:

 Komponen Pemerintah diwakili oleh 1 orang dari PT Pelindo IV

Makassar

 Komponen Swasta, diwakili oleh 2 orang dari Perusahaan Pelayar

dan Perusahaan Ekspedisi


83

 Komponen Akademisi atau Praktisi yang diwakili oleh 1 magister

transportasi.

 Komponen Pengguna Jasa diwakili oleh 1 Produsen pengiriman

barang.

b. Responden Analisis Pemilihan Lokasi

Responden yang menjadi kunci dalam pemilihan lokasi ini terdiri atas

4 responden yang mewakili 2 komponen yaitu pemerintah dan akademisi.

Responden tersebut adalah:

 Komponen Pemerintah diwakili oleh 1 orang dari Dinas Tata Ruang

Provinsi Sulawesi Selatan

 Komponen Pemerintah diwakili oleh 1 orang dari Dinas

Perhubungan Provinsi Sulawesi Selatan

 Komponen Akademisi atau Praktisi yang diwakili oleh 1 magister

transportasi.

 Komponen Akademisi atau Praktisi yang diwakili oleh 1 magister

Perencana Wilayah.

D. Jenis Data

Data memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu penelitian.

Jenis data dapat dibedakan menjadi:

1. Data primer yaitu data yang diperoleh dari sumber asli atau sumber

pertama. Dimana data ini merupakan hasil dari observasi langsung di

lapangan. Data primer yang dibutuhkan antara lain:

a. Kondisi fisik lahan/lingkungan di Sulawesi Selatan


84

b. Kondisi Fisik sistem Pengangkutan Peti Kemas di Pelabuhan

Soekarno Hatta.

c. Kondisi fisik secara eksisting infrastruktur penunjang

pengangkutan peti kemas.

2. Data sekunder yaitu data yang telah tersedia berupa hasil kajian dari

penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Data sekunder yang

dibutuhkan antara lain:

a. Jumlah peti kemas yang beroperasi di pelabuhan soekarno

hatta.

b. Moda transportasi yang digunakan dalam pengangkutan barang

dari Kabupaten di Sulawesi Selatan ke Pelabuhan Soekarno

Hatta Kota Makassar.

c. Rencana Tata Ruang Wilayah Sulawesi Selatan.

d. Rencana Induk Pelabuhan Soekarno Hatta Kota Makassar.

e. Infrastruktur aksesbilitas pengangkutan barang di Sulawesi

Selatan dengan Kota Makassar sebagai Pusat Distribusinya.

f. Komoditas ekspor impor yang diangkut dengan peti kemas

dengan pusat distribusi di pelabuhan Soekarno Hatta Kota

Makassar.

g. Produk Domestik Regional Bruto Sulawesi Selatan


85

E. Variabel

Variabel merupakan karakteristik atau keadaan/kondisi pada suatu objek yang mempunyai variasi nilai yang secara

umum dapat dinyatakan sebagai operasionalisasi dari konsep (Tabel 3).

Tabel 3. Variabel

No Rumusan Masalah Indikator Variabel Sumber Data Metode Target Analisis


1 Bagaimana potensi Tingkat pergerakan  Peti kemas Dinas Terkait  Analisis Bangkitan dengan Analisis permintaan
transportasi pengangkutan barang di  Peramalan dan Survei menggunaka deskritif secara kualitatif pengangkutan
pengangkutan Sulawesi Selatan. pergerakan Lapangan maupun kuantitatif transportasi barang
barang dengan  Sistem  Pergerakan dengan menggunakan dengan pusat distribusi
pusat distribusi wilayah Gravity PCQR untuk dapat Kota Makassar.
barang ke Kota  Potensi meramalkan pergerakan pada masa
Makassar dalam daerah yang akan datang
wilayah Sulawesi  Pergerakan
Selatan? peti kemas

2 Bagaimana potensi Indikator system transportasi Pemilihan Kuestioner dan Analisis dilakukan dengan metode AHP Analisis pemilihan moda
peralihan pengguna nasional moda Survei untuk mengetahui factor yang paling untuk pengangkutan peti
jasa peti kemas Lapangan berpengaruh untuk selanjutnya kemas dari terminal peti
terhadap konsep diketahui factor yang paling kemas Makassar menuju
dry port ? berpengaruh sehingga dapat ditarik ke wilayah
kesimpulan pemilihan moda yang paling kabupaten/kota dalam
berpotensi terjadi. wilayah Sulawesi
Selatan.
86

No Rumusan Masalah Indikator Variabel Sumber Data Metode Target Analisis


3 Bagaimana potensi 1. Konektivitas MP3I  Potensi  Hasil Analisis  Analisis AHP digunakan untuk Penentuan lokasi
wilayah Sulawesi 2. PDRB Wilayah wilayah Rumusan menentukan indikator yang paling penerapan konsep Dry
Selatan dalam 3. Tingkat Permintaan  Potensi Masalah 1 berpengaruh untuk menentukan nilai port dalam wilayah
penerapan Konsep pengangkutan barang permintaan dan 2 pembobotan yang akan digunakan di Sulawesi Selatan.
Dry port ? 4. Perencanaan Rel Kereta  Konsep Dry  Dinas Terkait analisis spasial.
Api port dan Survei  Analisis Spasial Multi Criteria
5. Kawasan Industri Lapangan Evolution merupakan analisis dengan
6. VC Ratio pendekatan GIS (pemetaan) dengan
menggabungkan hasil perkalian
skoring dan bobot dari seluruuh
indikator
4 Bagaimana Arahan 1. Permintaan pengangkutan  Permintaan Hasil analisis Mempertimbangkan hasil analisis 3 Arahan penerapan
perencanaan peti kemas dalam wilayah pengangkutan Rumusan rumusan masalah sebelumnya, konsep dry port dengan
konsep Dry port Sulawesi Selatan. peti kemas Masalah 1, 2 kemudian dilakukan konsep dry port pemetaan jalur
dalam Wilayah 2. Pemilihan moda transportasi  Pemilihan dan 3. sesuai dengan tata ruang dari pengangkutan.
Sulawesi Selatan? untuk pengangkutan peti moda Provinsi Sulawesi Selatan serta
kemas dari terminal peti  Lokasi Dry mempertimbangkan konsep
kemas Makassar menuju ke port pengangkutan dari terminal peti
kabupaten/kota dalam kemas Makassar menuju ke
wilayah Sulawesi Selatan. kota.kabupaten di Sulawesi Selatan.
3. Potensi lokasi yang cocok
untuk penerapan konsep Dry
port
87

F. KERANGKA PIKIR

Adapun Kerangka pikir dari penelitian ini adalah sebagai berikut (gambar 36):

LATAR BELAKANG
Potensi: Sistem Pengangkutan:
1. Koridor Ekonomi Sulsel sangat 1. Pengangkutan menggunakan truk
strategies dalam alur pelayanan dunia.  Kapasitas jalan tidak sebanding
2. Hasil komoditas alam Sulsel dengan muatan truk
merupakan lumbung pangan bagi  Kemacetan dan polusi udara
Indonesia.  Kapasitas pelabuhan tidak
3. Perencanaan pengadaan Kereta Api di sebanding dengan muatan sehingga
Sulawesi Selatan. bongkar muat barang menjadi lama.

Bagaimana potensi permintaan


transportasi pengangkutan barang Bagaimana penentuan lokasi
dengan pusat distribusi Kota Rumusan penerapan konsep dry port dalam
Makassar dalam Wilayah wilayah Sulawesi Selatan
Sulawesi Selatan Masalah

Observasi Lapangan:
Primer 1. Dokumentasi
2. Kuesioner
1. Sistem Transportasi
2. Dry Port 3. Wawancara
3. Pelabuhan
4. Kereta Api Teori Data
5. Penyaluran Komoditas
6. Sistem Perwilayahan
Sekunder Data dari Instansi
terkait
ANALISIS

Analisis Bangkitan Analisis Analisis


dan tarikan Pemilihan Moda Pemilihan Lokasi

Arahan
Konsep Dry Port

Gambar 36. Kerangka Pikir


88

G. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini, terdapat beberapa

macam analisis berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini.

Metode analisis tersebut adalah analisis potensi permintaan pengangkutan

barang, analisis pemilihan moda transportasi, serta analisis pemilihan lokasi.

Ketiga metode ini kemudian diharapkan agar dapat menghasilkan sebuah

arahan tentang penerapan Konsep Dry port di Provinsi Sulawesi Selatan.

Pemilihan metode ini didasarkan pada proses perangkutan dan teori

transportasi makro dalam melakukan sebuah analisis transportasi untuk

menunjang perencanaan konsep Dry port di wilayah Sulawesi Selatan.

1. Kerangka Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan mengikuti dari tujuan penelitian ini. Oleh

karena itu, metode penelitian terdiri atas 4 tahap. Tahap tersebut terdiri atas

analisis potensi wilayah yang terdiri atas analisis bangkitan dan distribusi

pergerakan, analisis pemilihan moda, analisis karakteristik lokasi Sulawesi

Selatan yang cocok dengan penerapan konsep Dry port sehingga dapat

dihasilkan sebuah arahan yang dapat mempadukan moda transportasi dan

system pengangkutan peti kemas. Adapun tahapan dari metode analisis ini

dapat dilihat pada kerangka metode analisis berikut ini (gambar 37).
89

Gambar 37. Kerangka Analisis


90

2. Tinjauan Analisis

a. Analisis Model Gravity

Metode analisis yang digunakan adalah analisis model gravity. Metode

ini merupakan metode sintetis (interaksi spasial). Konsep ini menggunakan

konsep gravity yang diperkenalkan oleh newton pada tahun 1686 yang

dikembangkan dari analogi hukum gravitasi.

Metode ini berasumsi bahwa ciri bangkitan dan tarikan pergerakan

berkaitan dengan parameter zona asal. Newton menyatakan bahwa (Fid)

gaya tarik atau tolak antara dua kutub massa berbanding lurus dengan

massanya tersebut, did2, yang dapat dinyatakan dengan:

𝑚𝑖 . 𝑚𝑑
𝐹𝑖𝑑 = 𝐺
(𝑑𝑖𝑑)2 (2)

Keterangan:

Fid = Gaya Tarik atau tolak antara dua kutub massa


mi & md = kutub massa
d = Jarak
G = konstanta

Dalam ilmu geografi, gaya dapat dianggap sebagai pergerakan antara 2

daerah, sedangkan massa dapat digantikan dengan peubah seperti populasi

atau bangkitan dan tarikan pergerakan, serta jarak, waktu dan biaya sebagai

ukuran aksesbilitas (kemudahan). Jadi, untuk keperluan transportasi, model

Gravity dinyatakan sebagai:


91

𝑂𝑖 . 𝐷𝑑
𝑇𝑖𝑑 = 𝑘 (3)
(𝑑𝑖𝑑)2

Keterangan:

Tid = Pergerakan antara dua daerah


Oi & Dd = Bangkitan dan tarikan pergerakan
d = Jarak, waktu, biaya
k = konstanta
Model ini mempunyai bebrapa hal yang perlu diperhatikan. Dikatakan

bahwa pergerakan antara zona asal I dan zona tujuan d berbanding lurus

dengan Oi dan Dd dan berbanding terbalik kuadratis terhadap jarak antara

kedua zona tersebut. Jadi, dalam bentuk matematis, model GR dapat

diyatakan sebagai:

Tid = k Dd Oi f(Cid) (4)

Keterangan:
Tid = Pergerakan antara dua daerah
Oi & Dd = Bangkitan dan tarikan pergerakan
d = Jarak, waktu, biaya
k = konstanta
f (Cid) = Hambatan

Oi dan Dd menyatakan jumlah pergerakan yang berasal dari zona I

dan akan berakhir di zona d. oleh karena itu, penjumlahan sel MAT menurut

‘baris’ menghasilkan total pergerakan dari setiap zona, sedangkan

penjumlahan menurut ‘kolom’ menghasilkan total pergerakan yang menuju ke

setia zona. Pengembangan pernyataan tersebut menghasilkan persamaan:


92

Tid = Oi.Dd.Ai.Bd. f(Cid) (5)

Keterangan:

Tid = Pergerakan antara dua daerah


Oi & Dd = Bangkitan dan tarikan pergerakan
d = Jarak, waktu, biaya
k = konstanta
f (Cid) = Hambatan

Jenis gravity terbagi atas 4 jenis model yaitu

 Tanpa Batasan (UCGR)

 Dengan Batasan Bangkitan (PCGR)

 Dengan batasan Tarikan (ACGR)

 Dengan batasan bangkitan dan tarikan (PACGR)

Dalam penelitian ini, mengingat landasan yang di pakai untuk bangkitan

hanya merupakan prediksi dari ekspor dan impor yang kemungkinan memiliki

total pergerakan yang berbeda sehingga bangkitan yang menjadi asal dari

terjadinya pergerakan harus diberikan batasan. Oleh karena itu jenis model

yang digunakan adalah batasan bangkitan (PCGR).

b. Model Batasan Bangkitan (PCGR)

Batasan bangkitan dalam model ini, total pergerakan global hasil

bangkitan pergerakan harus sama dengan total pergerakan yang dihasilkan

dengan pemodelan. Begitu juga dengan bangkitan pergerakan yang

dihasilkan model harus sama dengan hasil bangkitan pergerakan yang


93

diinginkan. Akan tetapi tarikan pergerakan tidak perlu sama. Untuk jenis ini,

model yang digunakan dengan persamaan:


1
Bd = 1 untuk seluruh d dan Ai = ∑ 𝐷𝑑 𝑓(𝐶𝑖𝑗) untuk seluruh i

Selain itu, terdapat juga hambatan f(Cij) yang dapat terdiri dari 3 jenis

yaitu waktu, jarak dan biaya. Adapun persamaan yang yang digunakan

menurut Hyman, 1969 adalah:

f Cid   C id ( fungsi pangkat)


f Cid   e  Cid ( fungsi eksponensial negatif )
f Cid   C id e  Cid ( fungsi Tanner)
(6)
c. Analisis Hierarchy Process

Pada pengambilan keputusan yang melibatkan susutu sistem

(sederhana atau kompleks) atau keputusan yang sifatya menentukan

perjalanan perusahaan/organisasi bahkan negara maka keputusan tentu

akan sulit jika hanya mengandalkan intuisi, sehingga pengambilan keputusan

dilakukan setelah suatu melalui proses tertentu. Analytic Hierarchy Process

(AHP) merupakan salah satu alat bantu (proses) dalam pengambilan

keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L Saaty pada tahuhn 70an.

Prosedur ini begitu powerfull sehingga sudah diaplikasikan secara luas dalam

pengambilan keputusan yang penting. Penggunaan AHP bukan hanya untuk

institusi pemerintahan atau swasta namun juga dapat diaplikasikan untuk

keperluan individu terutama untuk penelitian-penelitian yang berkaitan

dengan kebijakan atau perumusan strategi prioritas. Dalam AHP suatu


94

prioritas disusun dari berbagai pilihan yang dapat berupa kriteria yang

sebelumnya telah didekomposisi (struktur) terlebih dahulu, sehingga

penetapan prioritas didasarkan pada suatu proses yang terstruktur (hierarki)

dan masuk akal. AHP membantu memecahkan persoalan yang kompleks

dengan menysun suatu hirarki kriteria, dinilai secara subjektif oleh pihak yang

berkepentingan lalu menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan

bobot atau prioritas (kesimpulan).

Tingkat kevalidan data dari analisis AHP dapat

dipertanggungjawabkan berdasarkan nilai consistency yang tidak lebih besar

dari nilai 0,1. Adapun software yang digunakan untuk analisis AHP dalam

penelitian ini adalah Software Expert Choice.

Terdapat tiga prinsip utama dalam pemecahan masalah dalam AHP

menurut Saaty, yaitu: Decompositiot, Comparative Judgement, dan Logical

Concistency. Secara garis besar prosedur AHP meliputi tahapan sebagai

berikut:

1) Dekomposisi masalah;

Dekomposisi masalah adalah langkah dimana suatu tujuan (Goal) yang

telah ditetapkan selanjutnya diuraikan secara sistematis kedalam struktur

yang menyusun rangkaian sistem hingga tujuan dapat dicapai secara

rasional. Dengan kata lain, sutu tujuan (goal) yang utuh, didekomposisi

(dipecahkan) kedalam unsur penyusunnya. Apabila unsur tersebut

merupakan kriteria yang dipilih seyogyanya mencakup semua aspek penting


95

terkait dengan tujuan yang ingin dicapai. Namun kita harus tetap

mempertimbangkan agar kriteria yang dipulih benar-benar mempunyai makna

bagi pengambilan keputusan dan tidak mempunyai makna atau pengertian

yang yang sama, shingga walaupun kriteria pilihan hanya sedikit namun

mempunyai makna yang besar terhadap tujuan yang ingin dicapai. Setelah

kriteria ditetapkan, selanjutnya adalah menentukan alternatif atau pilihan

penyelesaian masalah. Sehingga apabila digambarkan kedalam bentuk

bagan hierarki seperti ditunjukkan pada Gambar 38.

Gambar 38. Hierarki Analisis Process


Hirarki utama (Hirarki I) adalah tujuan/ fokus/ goal yang akan dicapai atau

penyelesaian persoalah/ masalah yang dikaji. Hierarki kedua (Hirarki II)

adalah kriteria, kriteria apa saja yang harus dipenuhi oleh semua alternatif

(penyelesaian) agar layak untuk menjadi pilihan yang paling ideal, dan Hirarki

III adalah alternatif aatau pilihan penyelesaian masalah. Penetapan hierarki

adalah sesuatu yang sangat relatif dan sangat bergantung dari persoalan
96

yang dihadapi. Pada kasus-kasus yang lebih kompleks, dapat menyusun

beberapa hirarki (bukan hanya tiga), bergantung pada hasil dekomposisi

yang akan dilakukan, seperti gambar 39 berikut.

Gambar 39. Hierarki AHP Multi Kriteria

2) Penilaian/pembobotan untuk membandingkan elemen-elemen;

Apabila proses dekomposisi telah selasai dan hirarki telah tersusun

dengan baik. Selanjutnya dilakukan penilaian perbandingan berpasangan

(pembobotan) pada tiap-tiap hirarki berdasarkan tingkat kepentingan

relatifnya. Pada contoh di atas, maka perbandingan dilakkukan pada Hirarki

III (antara alternatif), dan pada Hirarki II (antara kriteria).

Penilaian atau pembobotan pada Hirarki III, dimaksudkan untuk

membandingkan nilai atau karakter pilihan berdasarkan tiap kriteria yang ada.

Misalnya antara pilihan 1 dan pilihan 2, pada kriteria 1, lebih penting pilihan 1,

selanjutnya antara pilihan 1 dan pilihan 3, lebih penting pilihan 3 dan


97

seterusnya hingga semua pilihan akan dibandingkan satu-persatu (secara

berpasangan). Hasil dari penilaian adalah nilai/bobot yang merupakan

karakter dari masing-masing alternatif.

Penilaian atau pembobotan pada Hierarki II, dimaksudkan untuk

membandingkan nilai pada masing-masing kriteria guna mencapai tujuan.

Sehingga nantinya akan diperoleh pembobotan tingkat kepentingan masing-

masing kriteria untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Prosedur

penilaian perbandingan berpasangan dalam AHP, mengacu pada skor

penilaian yang telah dikembangkan oleh Thomas L Saaty, sebagai berikut:

Table 4. Skor Penilaian AHP


Intensitas
Defenisi
Kepentingan
1 Kedua elemen/alternative sama penting (Equal)
3 Elemen A sedikit lebih esensial dari elemen B (Moderate)
5 Elemen A lebih essensial dari elemen B (strong)
7 Elemen A jelas lebih essensial dari elemen B (very strong)
9 Elemen A mutlak lebih essensial dari elemen B (very strong)
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua perimbangan yang berdekatan

Dalam pembobotan tingkat kepentingan atau penilaian perbandingan

berpasangan ini berlaku hukum aksioma reciprocal, artinya apabila suatu

elemen A dinilai lebih esensial (5) dibandingkan dengan elemen B, maka B

lebih esensial 1/5 dibandingakan dengan elemen A. Apabila elemen A sama

pentingnya dengan B maka masing-masing bernilai = 1.


98

Dalam pengambilan data, misalnya dengan menggunakan kuisioner,

prosedur perbandingan berganda dapat dilakukan dengan menggunakan

kuisioner berupa matriks atau semantik difrensial.

Pengisian Hasil Nilai


Responden dari kuestioner

Gambar 40. Contoh Kuisioner matriks


Banyaknya sell yang harus diisi adalah n(n-1)/2 karena matriks reciprocal

elemen diagonalnya bernilai = 1, jadi tidak perlu disi. Pada contoh di atas 4(4-

1)/2 = 6, jadi bagian yang putih saja yang diisi.

Table 5. Contoh Kuisioner semantik difrensial


Kriteria/ Kriteria/
Bobot Tingkat Kepentingan Berpasangan
Alternatif Alternatif
1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2
1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 3
1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 n
2 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 3
2 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 n
3 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 n
n 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 ni
99

Pada jenis kuisioner ini, kecendrungan pembibitan dilingkari/silang

berdasarkan bobot nya, jika sisi kiri lebih penting dari sisi kanan maka angka

yang dilingkari adalah 9-1 pada ruas kiri dan sebaliknya.

3) Penyusunan matriks dan Uji consistensi;

Apabila proses pembobotan atau “pengisian kuisioner” telah selesai,

langkah selanjutnya dalah penyusunan matriks berpasangan untuk

melakukan normalisasi bobot tingkat kepentingan pada tiap-tiap elemen pada

hirarkinya masing-masing. Pada tahapan ini analisis dapat dilakukan secara

manual ataupun dengan menggunakan program komputer seperti CDPlus

atau Expert Choice. Kali ini kita akan lanjut membahas pada prosedur

analisis secara manual. Nilai-nilai yang diperoleh selanjutnya disusun

kedalam matriks berpasangan serupa dengan matriks yang digunakan pada

kuisioner matriks diatas. Hanya saja pada penyusunan matriks untuk analisis

data ini, semua kotak harus diisi.

Langkah pertama: adalah menyatukan pendapat dari beberapa

kuisioner, jika kuisioner diisi oleh pakar, maka kita akan menyatukan

pendapat para pakar kedangan menggunakan persamaan rata-rata geometri:

(7)
100

Langkah kedua: menyusun matriks perbandingan. Adapun matriks

perbandingan dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini.

Tabel 6. Matriks Perbandingan


Kriteria/
1 2 3 N
Alternatif
1 1 GM12 GM13 GM1n
2 GM21 1 GM23 GM2n
3 GM31 GM32 1 GM3n
n GMn1 GMn2 GMn3 1

Sebelum melangkah lebh jauh ketahapan iterasi untuk penetapan

prioritas pada pilihan alternatif atau penetapan tingkat kepentingan kriteria,

maka sebelumnya dilakukan terlebih dahulu uji konsistensi. Uji konsistensi

dilakukan pada masing kuisioner/pakar yang menilai atau memberikan

pembobotan. Kuisioner atau pakar yang tidak memenuhi syarat konsisten

dapat dianulir atau dipending untuk perbaikan. Prinsip dasar pada uji

konsistensi ini adalah apabila A lebih penting dari B, kemudian B lebih

penting dari C, maka tidak mungkin C lebih penting dari A. Tolak ukur yang

digunakan adalah CI (Consistency Index) berbanding RI (Ratio Index) atau

CR (Consistency Ratio). Ratio Indeks(RI) yang umum digunakan untuk setiap

ordo matriks adalah sebagai berikut:

Table 7. Ratio Indeks


Urutan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Matriks
RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49
101

Langkah ketiga: uji konsistensi terlebih dahulu dilakukan dengan

menyusun tingkat kepentingan relatif pada masing-masing kriteria atau

alternatif yang dinyatakan sebagai bobot relatif ternormalisasi (normalized

relative weight). Bobot relatif yang dinormalkan ini merupakan suatu bobot

nilai relatif untuk masing-masing elemen pada setiap kolom yang

dibandingkan dengan jumlah masing-masing elemen:

Table 8.Penentuan Bobot Relatif


Kriteria/
1 2 3 N
Alternatif
1 1 GM12 GM13 GM1n
2 GM21 1 GM23 GM2n
3 GM31 GM32 1 GM3n
n GMn1 GMn2 GMn3 1
∑ GM11-n1 GM12-n2 GM13-n3 GM1n-ni

Maka bobot relatif ternormalisasi adalah:

Table 9. Hasil Bobot Relatif


Kriteria/
1 2 3 N
Alternatif
1 1/ GM11-n1 GM12/ GM12-n2 GM13/ GM13-n3 GM1n/ GM1n-ni
2 GM21/ GM11-n1 1/ GM12-n2 GM23/ GM13-n3 GM2n/ GM1n-ni
3 GM31/ GM11-n1 GM32/ GM12-n2 1/ GM13-n3 GM3n/ GM1n-ni
n GMn1/ GM11-n1 GMn2/ GM12-n2 GMn3/ GM13-n3 1/ GM1n-ni
∑ GM11-n1 GM12-n2 GM13-n3 GM1n-ni

Selanjutnya dapat dihitung Eigen faktor hasil normalisasi dengan merata-

ratakan penjumlahan tiap baris pada matriks di atas.


102

Table 10. Eigen Faktor Hasil Normalisasi


Eigen
Kriteria/
1 2 3 N Faktor
Alternatif
Utama
1 1/ GM11-n1 GM12/ GM12- GM13/ GM13- GM1n/ GM1n- Rerata Row
n2 n3 ni ¼ (X1)
2 GM21/ GM11- 1/ GM12-n2 GM23/ GM13- GM2n/ GM1n- Rerata Row
n1 n3 ni 2/4 (X1)
3 GM31/ GM11- GM32/ GM12- 1/ GM13-n3 GM3n/ GM1n- Rerata Row
n1 n2 ni ¾ (X1)
n GMn1/ GM11- GMn2/ GM12- GMn3/ GM13- 1/ GM1n-ni Rerata Row
n1 n2 n3 /4 (Xn)

Selanjutnya tentukan nilai CI (consistency Index) dengan persamaan:

(8)

Dimana CI adalah indeks konsistensi dan Lamda maksimum adalah nilai

eigen terbesar dari matriks berordo n.

Nilai eigen terbesar adalah jumlah hasil kali perkalian jumlah kolom

dengan eigen vaktor utaman. Sehingga dapat diperoleh dengan persamaan:

(9)

Setelah memperoleh nilai lambda maksismum selanjutnya dapoat

ditentukan nilai CI. Apabila nilai CI bernilai nol (0) berarti matriks konsisten.

Jika nilai CI yag diperoleh lebih besar dari 0 (CI>0) selanjutnya diuji batas

ketidak konsistenan yang diterapkan oleh Saaty. Pengujian diukur dengan


103

menggunakan Consistency Ratio (CR), yaitu nilai indeks, atau perbandingan

antara CI dan RI:

(10)

Nilai RI yang digunakan sesuai denan ordo n matriks. Apabila CR matriks

lebih kecil 10% (0,1) berarti bahwa ketidak konsistenan pendapat masing

dianggap dapat diterima.

4) Penetapan prioritas pada masing-masing hirarki;

Penetapan prioritas pada tiap-tiap hierarki dilakukan melalui proses Iterasi

(perkalian matriks). Langkah pertama yang dilakukan adalah merubah bentuk

fraksi nilai-nilai pembiobotan kedalam bentuk desimal. Agar lebih mudah

difahami, kita menggunakan salah satu contoh data hasil penilaian salah

seorang pakar seperti contoh berikut:

Table 11. Penetapan Prioritas


Kekuatan Kelemahan Peluang Ancaman
Kekuatan 1/1 1/2 3/1 4/1
Kelemahan 2/1 1/1 1/3 3/1
Peluang 1/3 3/1 1/1 2/3
Ancaman 1/4 1/3 3/2 1/1

Data Matriks di atas dirubah dari bentuk fraksi kedalam bentuk desimal

(Matriks 1):
104

Gambar 41. Matriks 1


Mengkuadratkan matriks 1 (jumlah baris x kolom) (Iterasi I):

Gambar 42. Matriks I Dalam Iterasi 1


Selanjutnya jumlahkan angka dalam matriks menurut barisnya:
105

Gambar 43. Jumlah Angka dalam Matriks I


Langkah berikutnya adalah pengolahan bentuk Matriks 2 dengan jalan

sama dengan Matriks 1 (Iterasi II), kemudian jumlahkan kembali hasil

perkalian silang matriks berdasarkan baris:

Gambar 44. Pengolahan Matriks 2


Selanjutnya dihitung selisih antara vektor Matriks 1 dan 2 dalam Iterasi II

Gambar 45. Selisih Vektor Matriks 1 dan 2


Lekukan kembali iterasi untuk Matriks 3. Langkah ini diulang, hingga nilai

selisih antar iterasi tidak mengalami perubahan (=0), nilai iterasi yang

diperoleh tersebut selanjutan menjadi urutan prioritas sebagaimana berikut:


106

Gambar 46. Matriks 3


Metode yang sama diteruskan pada tingkatan hierarki selanjutnya, atau

pilihan-pilihan alternatif. Adapun cara yang lebih mudah dalam melakukan

pembobotan ini adalah dengan menggunakan bantuan program komputer

seperti Expert Choice.

5) Sintesis dari prioritas;

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan mengakumulasi nilai/ bobot

global yang merupakan nilai sensitivitas masing-masing elemen. Seperti

pada contoh diatas, maka kesimpulan nutamanya adlah aspek kekuatan

perlu diperhatikan karena merupakan prioritas utama, kemudian aspek

kelemahan, ancaman dan peluang.

d. Analisis Spatial Multicriteria

Analisis Spasial Multicriteria adalah sebuah pemodelan dalam bentuk

spasial. Model merupakan representasi dari realitas. Karena fenomena alam

atau reality atau the world bersifat sangat kompleks, maka untuk dapat

memahami realitas tersebut dibutuhkan penyederhanaan. Model merupakan

representasi dari realitas dalam bentuk yang lebih sederhana, supaya kita

dapat lebih mudah memahami masalah yang sedang kita hadapi. Model akan

membantu kita untuk memahami, mendeskripsikan atau memprediksikan


107

bagaimana fenomena atau realitas berjalan (bekerja) pada dunia nyata

tersebut.

Menurut McCoy dan Johnston, 2001, ada dua jenis model dalam

kerangka analisis spasial, yaitu; (1) Model berbasis representatif

(Representation Model) dan (2) Model berbasis proses (Process model).

Model yang pertama merepresentasikan objek di permukaan bumi

(landscape). Model yang kedua mensimulasikan proses yang ada di

permukaan bumi.

1) Representation Model

Model berbasis representasi mendeskripsikan objek-objek

dipermukaan bumi (seperti bangunan, sungai, jalan, dan hutan) melalui layer

data di dalam Sistem Informasi Geografis. Analisis spasial pada data dapat

dilakukan pada data yang terformat dalam bentuk layer data yang berbentuk

raster atau layer yang berisi data vektor.

Layer data raster digambarkan dalam bentuk grid/pixel/sel teratur, dan

setiap lokasi di dalam layer direpresentasikan oleh grid/sel individual yang

masing-masing memiliki nilai sel. Nilai sel (dalam bentuk angka dan warna)

menunjukkan nilai variabel atau parameter atau satuan objek.

Pixel dari berbagai jenis layer disuperposisikan satu di atas yang lain.

Susunan pixel di dalam layer tersebut mendeskripsikan banyak atribut

(keterangan) pada tiap lokasi pixel itu.


108

Model representatif berfungsi untuk menangkap dan menyatakan

hubungan spasial antara satu objek (misal; bentuk bangunan) dengan objek

lain (distribusi lokasi bangunan) pada permukaan bumi.

Di samping itu, model representaif dapat juga digunakan untuk

menyatakan hubungan antara atribut pada satu objek dengan atribut lain

(misal: siapa pemilik masing-masing bangunan). Model ini sering disebut

sebagai model berbasis data dan sering dipertimbangkan sebagai model

deskriptif.

2) Model Proses

Model berbasis proses (model proses – process model) digunakan

untuk menggambarkan interaksi antar objek yang dimodelkan pada model

representatif. Hubungan tersebut dimodelkan menggunakan berbagai

alat/tool/metode analisis spasial (spatial analysis tools). Spatial Analyst di

dalam ArcGIS dan software lainyang banyak beredar (GRASS,

WhiteBoxGAT, Mapwindow GIS, ilwis dll) menyediakan banyak tool

(algorithma/operator/fungsi/menu) untuk menyatakan interaksi antar objek-

objek tersebut. model proses sering disebut sebagai Pemodelan Kartografi

(Cartographic Modelling).

Setiap operasi atau fungsi terkait dengan analisis spasial dapat

disebut sebagai model proses. Beberapa proses (operasi) mungkin

sederhana, sementara operasi yang lain lebih kompleks. Operasi yang lebih

kompleks dapat digunakan dengan memasukkan unsur logika,


109

mengkombinasikan beberapa proses, dan menggunakan Spatial Analysist

Object Model dan melakukan pemrograman melalui bahasa pemrograman.

Salah satu operasi analisis spasial yang paling sederhana adalah

menjumlahkan nilai pixel pada dua data raster secara simultan.

Raster Logika
Sederhana

Raster Logika
Boolean
Gambar 47. Model Raster
Sumber: Indarto dan Fais, 2012

kompleksitas dapat ditambahkan dengan menambahkan operator

logikan Permasalahan yang kompleks dapat disusun dengan memanfaatkan

persamaan, fungsi khusus, dan logika (gambar 48)

Permasalahan sebaiknya disederhanakan dan disusun dalam suatu

model proses yang mewakili realitas yang ada. Dalam menjalankan analisis

ini membutuhkan satu langkah operasi atau satu fungsi untuk memodelkan

permasalahan, tetapi mungkin juga menggunakan banyak persamaan dan

operasi untuk memodelkan fenomena yang cukup kompleks

penyelesaiannya.
110

Gambar 48 Analisis spasial kompleks


Sumber: Indarto dan Fais, 2012

Dalam penelitian ini menggunakan prinsip analisis spasial. Kategori ini

digunakan untuk mengevaluasi nilai input data raster dan menentuka nilai

output berdasarkan logika Boolean, yaitu sebuah logika matematika yang

digunakan untuk mengekspresikan kondisi True dan False. Kondisi True

direpresentasikan dengan nilai selain “1” dan kondisi False direpresentasikan

dengan nilai “0”. Pemberian nilai tersebut terhadap logika terhadap setiap

pixel yang dikandung oleh setiap data raster.

Pemberian nilai terhadap indikator tersebut diatas adalah dengan

menggunakan Logika Boolean. Analisis dengan logika Boolean adalah

analisis dengan menggunakan angka 0 dan angka 1, dengan prinsip benar

atau salah. Dalam konteks pemilihan lokasi yang sesuai untuk konsep dry

port adalah dengan sifat terapan:

1) Dalam konteks kesesuaian 0 = tidak sesuai dan 1 = sesuai


111

2) Jika menggunakan data raster (sel grid) terdapat kemungkinan

perkalian sel dengan nilai angka 0 x 0, 0 x 1 dan 1 x 1.

3) Dikatakan sesuai jika suatu lokasi semuanya memnuhi (angka 1)

3. Penerapan Analisis

a. Analisis Potensi Permintaan Pengangkutan Barang

Analisis potensi permintaan pengangkutan barang dalam wilayah

Sulawesi Selatan dilakukan dengan menggunakan dua tahapan yaitu analisis

bangkitan tarikan (Trip Generation) dan analisis distribusi Pergerakan (Trip

Distribution).

1) Analisis Bangkitan Pergerakan

Analisis bangkitan tarikan menggunakan analisis deskriptif secara

kualitatif dan kuantitatif. Metode ini dilakukan karena keterbatasan data yang

diperoleh dilapangan sehingga dilakukan prediksi terhadap perbandingan

komoditas yang dihasilkan Sulawesi Selatan, komoditas yang di ekspor, dan

jumlah truk peti kemas yang keluar dari terminal peti kemas dengan

membawa peti kemas.

2) Analisis Distribusi Pergerakan

Pola pergerakan dalam sistem transportasi sering dijelaskan dalam

bentuk arus pergerakan (kendaraan, penumpang, dan barang) yang bergerak

dari zona asal ke zona tujuan di dalam daerah tertentu dan selama periode

waktu tertentu. Matriks Pergerakan atau Matriks Asal−Tujuan (MAT) sering


112

digunakan oleh perencana transportasi untuk menggambarkan pola

pergerakan tersebut. MAT adalah matriks berdimensi dua yang berisi

informasi mengenai besarnya pergerakan antarlokasi (zona) di dalam daerah

tertentu (gambar 21). Baris menyatakan zona asal dan kolom menyatakan

zona tujuan, sehingga sel matriks-nya menyatakan besarnya arus dari zona

asal ke zona tujuan. Dalam hal ini, notasi Tid menyatakan besarnya arus

pergerakan (kendaraan, penumpang, atau barang) yang bergerak dari zona

asal i ke zona tujuan d selama selang waktu tertentu.

Pola pergerakan dapat dihasilkan jika suatu MAT dibebankan ke suatu

sistem jaringan transportasi. Dengan mempelajari pola pergerakan yang

terjadi, seseorang dapat mengidentifikasi permasalahan yang timbul

sehingga beberapa solusi segera dapat dihasilkan. MAT dapat memberikan

indikasi rinci mengenai kebutuhan akan pergerakan sehingga MAT

memegang peran yang sangat penting dalam berbagai kajian perencanaan

dan manajemen transportasi.

Jumlah zona dan nilai setiap sel matriks adalah dua unsur penting dalam

MAT karena jumlah zona menunjukkan banyaknya sel MAT yang harus

didapatkan dan berisi informasi yang sangat dibutuhkan untuk perencanaan

transportasi. Setiap sel membutuhkan informasi jarak, waktu, biaya, atau

kombinasi ketiga informasi tersebut yang digunakan sebagai ukuran

aksesibilitas (kemudahan). Ketelitian MAT meningkat dengan menambah

jumlah zona, tetapi MAT cenderung berisi oleh sel yang tidak mempunyai
113

pergerakan (Tid = 0). Permasalahan yang sama timbul jika kita berbicara

mengenai pergerakan antarzona dengan selang waktu pendek (misalnya 15

menit). MAT dapat pula menggambarkan pola pergerakan dari suatu sistem

atau daerah kajian dengan ukuran yang sangat beragam, seperti pola

pergerakan kendaraan di suatu persimpangan atau pola pergerakan di dalam

suatu perkotaan maupun di dalam suatu negara.

Gambar 49. Metode untuk mendapatkan Matriks Asal Tujuan (MAT)

Sumber: Tamin, (2008)


4. Analisis Pemilihan Moda

Analisis pemilihan moda dilakukan dengan menggunakan analisis AHP

yang dikaitkan dengan indikator sistranas. Adapun indikator sistranas yang

dikaitkan dengan pemilihan moda dalam mewujudkan penerapan konsep dry

port adalah lancar dan tepat, teratur, kapasitas, aman, tarif terjangkau,
114

terpadu, mudah dicapai, dan polusi rendah. Hasil yang diinginkan adalah

mengetahui indikator yang paling berpengaruh sehingga dapat menjadi

parameter dalam pemilihan moda yang lebih efisien.untuk lebih jelasnya

terkait dengan keterangan dari setiap indikator dapat dilihat pada Tabel 12

dibawah ini.

Tabel 12. Indikator Sistranas untuk Pemilihan Moda Transportasi


No. Kriteria Penilaian
1 Lancar dan  Terwujudnya waktu tempuh yang singkat dengan tingkat
Tepat keselamatan yang tinggi
2 Teratur  Pelayanan transportasi yang mempunyai jadwal waktu
keberangkatan dan waktu kedatangan yang teratur
3 Kapasitas  Kapasitas sarana dan prasarana pengangkutan cukup tersedia
untuk memenuhi kepentingan pengangkutan.
4 Aman  Terhindarnya pengoperasian transportasi dari akibat faktor
eksternal transportasi baik berupa gangguan alam, gangguan
manusia, maupun gangguan lainnya
5 Tarif Terjangkau  Penyediaan jasa tranportasi pengangkutan yang sesuai dengan
daya beli masyarakat atau user
6 Terpadu  Terwujudnya keterpaduan intramoda dan antarmoda dalam
jaringan prasarana dan pelayanan
7 Mudah dicapai  Pelayanan untuk melakukan pengiriman barang dengan peti
kemas mudah dicapai oleh pengguna jasa melalui informasi yang
jelas
8 Polusi Rendah  Polusi yang ditimbulkan dari moda transportasi yang digunakan
baik polusi gas buangan, suara maupun getaran.
Sumber: Sistranas No 49 Tahun 2005
115

Gambar 50. Hirarki Pemilihan Moda berdasarkan 2 alternatif dan 8 kriteria

5. Analisis Pemilihan Lokasi

Analisis yang digunakan adalah analisis SMCA (Spatial Multi Criteria

Analysis). Analisis ini adalah salah satu metode dalam proses pengambilan

keputusan dalam perencanaan wilayah yang menggunakan model simulasi

dengan beberapa aspek. SMCA berfungsi untuk membantu pengambil

kebijakan dalam memilih dari beberapa alternatif hasil model simulasi yang

tersedia berdasarkan skala prioritas (Tabel 13).

Adapun Langkah‐Langkah dalam SMCA terdiri atas :

a) Menentukan Fokus

Fokus yang menjadi dari analisis pada penelitian ini adalah menentukan

lokasi Dry port dengan mempertimbangkan hasil analisis potensi permintaan

pengangkutan barang dan karakteristik fisik wilayah.


116

b) Identifikasi kriteria yang berpengaruh

Adapun indikator yang menjadi landasan dalam analisis ini dapat dilihat

pada tabel berikut.

Tabel 13. Indikator Analisis Spasial Multi Kriteria


No Indikator Keterangan
1 Konektivitas MP3EI Strategi pelaksanaan MP3EI dilakukan dengan
mengintegrasikan 3 (tiga) elemen utama yaitu:
(1) mengembangkan potensi ekonomi wilayah (2)
memperkuat konektivitas nasional yang
terintegrasi secara lokal dan terhubung secara
global (locally integrated, globally connected); (3)
memperkuat kemampuan SDM dan IPTEK
nasional untuk mendukung pengembang an
program utama di setiap koridor ekonomi.
2 PDRB Kondisi perekonomian wilayah yang baik dimana
dapat dilihat pada PDRB dan sektor yang
dominan penyumbang PDRB.
3 Permintaan pengangkutan Tingkat permintaan pengangkutan barang
Barang terhadap kebutuhan untuk di distribusikan ke
Pelabuhan Soekarno Hatta Kota Makassar.
4 Kawasan Industri Kawasan yang memiliki fungsi sebagai kawasan
di bidang perindustrian
5 VC Ratio VC ratio adalah jumlah kendaraan pada satu
segmen jalan dalam satu waktu dibandingkan
dengan kapasitas jalan raya tersebut
6 Rencana Jalur Kereta Api Kereta api adalah alternatif moda yang
dibutuhkan dalam pengangkutan barang dengan
efisiensi penggunaan waktu, jarak dan biaya
cukup rendah.
7 Aksesbilitas Jalan Aksesbilitas jalan merupakan sarana yang
dibutuhkan dalam pengangkutan barang dari
wilayah hiterland menuju ke lokasi Dry port .
Sumber: Modifikasi Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan
Puslitbang Manajemen Transportasi Multimoda dan Adi Wibowo
(tahun 2014)
117

c) Penentuan bobot masing-masing Kriteria

Analisis penentuan bobot dilakukan dengan metode AHP untuk

mengetahui tingkat pengaruh bobot tersebut berdasarkan persentase. Hal ini

untuk mencegah pemberian bobot secara subjektif (gambar 51).

Gambar 51. Alternatif AHP Pemilihan Lokasi Dry port

d) Menggabungkan kriteria

Penggabungan kriteria dengan menggunakan pemodelan Boolean

dengan mengelompokkan data ke dalam angka 1 dan angka 0.


118

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. GAMBARAN UMUM

1. Gambaran Umum Provinsi Sulawesi Selatan

Secara geografis, Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai luas darat

kurang lebih 45.575 km2 yang sebagian besar wilayah daratnya adalah

jazirah atau jari pulau barat daya Sulawesi ditambah sebagian wilayahnya di

bentuk telapak tangan dan jari pulau tenggara. Secara geografis wilayah

darat Provinsi Sulawesi Selatan terletak antara 0012’-80 lintang selatan dan

1160 48’-1220 36’ bujur timur.

Sedangkan secara administratif Provinsi Sulawesi Selatan terbagi

menjadi 21 Kabupaten, 3 Kota dan terdiri dari 304 Kecamatan 2.182 Desa

serta 764 Kelurahan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 8, selain

itu Sulawesi Selatan memiliki batas wilayah yang berbatasan dengan:

- Sebelah Utara : Propinsi Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah

- Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Laut Flores

- Sebelah Timur : Teluk Bone dan Provinsi Sulawesi Tenggara

- Sebelah Barat : Berbatasan dengan Selat Makassar


119

Tabel 14. Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan


Luas
Desa/
No Kab/Kota Kecamatan Desa Kelurahan Wilayah
Kelurahan
(Km2)
1 Selayar 11 67 7 74 1.357,03
2 Bulukumba 10 99 27 126 1.284,63
3 Bantaeng 8 46 21 67 395,83
4 Jeneponto 11 82 31 113 749,79
5 Takalar 9 61 22 83 566,51
6 Gowa 18 122 45 167 1.883,33
7 Sinjai 9 67 13 80 798,96
8 Bone 27 333 39 372 4.559,00
9 Maros 14 80 23 103 1.1619,12
10 Pangkep 13 65 37 102 1.070,00
11 Barru 7 40 14 54 1.174,71
12 Soppeng 8 49 21 70 1.557,00
13 Wajo 14 128 48 176 2.504,06
14 Sidrap 11 68 38 106 1.883,23
15 Pinrang 12 65 39 104 1.941,67
16 Enrekang 12 112 17 129 1.786,01
17 Luwu 21 212 15 227 3.343,97
18 Tana Toraja 19 112 47 159 2.093,50
19 Luwu Utara 11 164 7 171 7.502,58
20 Luwu Timur 11 99 0 99 6.944,88
21 Toraja Utara 21 111 40 151 1.122,10
22 Makassar 14 0 143 143 175,77
23 Parepare 4 0 22 22 99,33
24 Palopo 9 0 48 48 252,99
Jumlah 304 2182 764 2946 46.666
Sumber: RTRW Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009 - 2029

Kabupaten dalam wilayah Sulawesi Selatan yang memiliki luas wilayah

paling besar adalah Kabupaten Luwu Utara dengan luas wilayah 7.504,58

km2, sedangkan wilayah yang paling kecil luas wilayahnya adalah Kota Pare-

Pare dengan luas wilayah hanya mencapai 99,33 km2.


120

2. Tinjauan Karakteristik Wilayah Sulawesi Selatan

a. Topografi Wilayah

Kondisi topografi Provinsi Sulawesi Selatan ditandai dengan bentuk

wilayah yang datar sampai bergunung dengan rentang yang cukup lebar,

mulai dari dataran dengan ketinggian 0 m di atas permukaan laut hingga

dataran yang memiliki ketinggian di atas 1000 m di atas permukaan laut (dpl).

Dataran yang terletak pada ketinggian 1000 m di atas permukaan laut

sebagian besar terletak di bagian tengah hingga utara Provinsi Sulawesi

Selatan.

Adapun kondisi topografi Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan

kemiringan lereng dikelompokkan atas:

1) Kemiringan 0 – 3 %, Wilayah ini memiliki lahan yang relatif datar yang

sebagian besar terletak di kawasan pesisir Provinsi Sulawesi Selatan.

Kondisi topografi ini adalah Kabupaten Selayar, Bulukumba,

Bantaeng, Jeneponto, Takalar, Gowa, Maros, Makassar, Barru,

Pangkep, Parepare, Sinjai, Bone, Wajo, dan Luwu.

2) Kemiringan >3 – 8 %, Wilayah ini memiliki permukaan datar yang

relatif bergelombang. karakteristik topografi demikian terdiri dari

Kabupaten Soppeng, Enrekang, Sidrap, Luwu Utara.

3) Kemiringan >8 – 45 %, Wilayah ini memiliki permukaan yang

bergelombang sampai agak curam. Karakteristik topografi seperti ini


121

adalah Kabupaten Tana Toraja, Enrekang, serta sebagian wilayah

Maros dan Gowa.

4) Kemiringan > 45 %, Wilayah ini memiliki permukaan curam yang

bergunung-gunung. Karakteristik topografi ini meliputi Pegunungan

Bawakareng, Latimojong dan Lompobatang.

Lebih jelasnya klasifikasi topografi di Provinsi Sulawesi Selatan

berdasarkan ketinggian di atas permukaan air laut (dpl), dikelompokkan

sebagai berikut (gambar 52):

1) Ketinggian 0 – 100 mdpl. Klasifikasi ketinggian antara 0-100 m dpl

pada umumnya Wilayah yang terletak di wilayah pesisir yang meliputi;

Makassar, Bulukumba, Bantaeng, Janeponto, Takalar, Gowa, Selayar,

Maros, Pangkep, Barru, Bone, Soppeng, Wajo, Parepare, Pinrang,

Luwu, Luwu Utara, dan Luwu Timur.

2) Ketinggian 100 – 400 m dpl. Wilayah yang termasuk yaitu Enrekang,

Tana Toraja, Gowa, Maros, Bone, Luwu, Luwu Utara, dan Luwu Timur.

3) Ketinggian 400 – 1000 m dpl. Wilayah yang termasuk ke dalam

klasifikasi ketinggian ini yaitu Gowa, Janeponto, Bantaeng,

Bulukumba, Sinjai, Bone, dan Maros, Kabupaten Luwu, Enrekang,

Tana Toraja, Luwu Utara, dan Luwu Timur.

4) Ketinggian di atas 1000 m dpl. Wilayah yang termasuk adalah

Kabupaten Bulukumba, Sinjai, Gowa, Maros, Enrekang, Tana Toraja,

Luwu, Luwu Utara, dan Luwu Timur.


122

Gambar 52. Peta Topografi Wilayah Sulawesi Selatan


123

b. Tata Guna Lahan

Penggunaan lahan di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dikelompokkan

menjadi lahan sawah dan lahan bukan sawah. Luas wilayah Provinsi

Sulawesi Selatan mencapai 45.751,91 km2 yang terdiri dari lahan sawah

seluas 5.983,89 km2 dan lahan bukan sawah seluas 39.768,91 km2.

Sebagian besar penggunaan lahan di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan

adalah hutan negara yang luasnya mencapai 28,45% dari total wilayah atau

mencapai 13.014,56 km2. Penggunaan lahan dalam jumlah yang cukup besar

adalah lahan sawah secara keseluruhan yang luasnya mencapai 5.983,89

km2 atau 13,08% dari total luas lahan di Provinsi Sulawesi Selatan.

Penggunaan lahan lain yang cukup signifikan adalah kebun/tegalan yang

luasnya mencapai 12,10% dari luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan

secara keseluruhan yaitu 5.534,24 km2. Penggunaan lahan terendah yang

terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan adalah kolam/empang yang hanya

terdapat sebesar 145,79 km2 (0,32%) dan rawa seluas 194,12 km2 (0,42%).

Penggunaan lahan sebagai hutan negara terluas terdapat di Kabupaten

Luwu Utara yang mencapai 3.732,79 km2 atau 28,68% dari total luas hutan

negara yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan. Selain Kabupaten Luwu

Utara, daerah yang memiliki hutan negara yang relatif luas adalah Kabupaten

Luwu Timur 2.311,25 km2 (17,75% dari total luas hutan negara) dan

Kabupaten Bone yang memiliki hutan seluas 1.489,71 km2 atau 11,45% dari

total luas hutan negara di Provinsi Sulawesi Selatan (lihat gambar 53).
124

Gambar 53. Peta Tata Guna Lahan Sulawesi Selatan


125

3. Tinjauan Tata Ruang Wilayah Sulawesi Selatan

a. Hierarki Pusat Kegiatan

Hirarki sistem perkotaan ditentukan dengan menetapkan pusat kegiatan

nasional, pusat kegiatan wilayah dan pusat kegiatan lokal. Daerah perkotaan

di wilayah Sulsel mempunyai beberapa fungsi baik fungsi utama maupun

pendukung. Pusat kegiatan perkotaan dalam hierarki dan skup

pelayanannya, berupa Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan

Wilayah (PKW) yang skup pelayanannya provinsi, maupun Pusat Kegiatan

Lokal (PKL) yang skup pelayanannya kabupaten di wilayah Provinsi Sulsel.

Berdasarkan PP No 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional sistem

perkotaan di wilayah Sulsel ditentukan sebagai berikut:

1) Pusat Kegiatan Nasional

Metropolitan Mamminasata yang terdiri dari Kota Makassar, Kota

Maros, Kota Sungguminasa dan Kota Takalar ditetapkan sebagai PKN dan

relatif terletak di pantai barat Sulsel. Mamminasata berfungsi sebagai pusat

jasa pelayanan perbankan yang cakupan pelayanannya berskala nasional;

pusat pengolahan dan atau pengumpul barang secara nasional khususnya

KTI, menjadi simpul transportasi udara maupun laut skup pelayanan

nasional, pusat jasa publik lainnya seperti pendidikan tinggi dan kesehatan

yang skup pelayanannya nasional khususnya KTI, berdaya dorong


126

pertumbuhan wilayah sekitarnya, dan menjadi pintu gerbang internasional

terutama jalur udara dan laut.

PKN Mamminasata yang berada di: wilayah Kota Makassar meliputi

Kecamatan-kecamatan Biringkanaya, Bontoala, Makassar, Mamajang,

Manggala, Mariso, Panakkukang, Rappocini, Tallo, Tamalanrea, Tamalate,

Ujung Pandang, Ujung Tanah, dan Wajo; wilayah Kabupaten Gowa meliputi

Kecamatan Bajeng, Barombong, Bontomarannu, Bontonompo, Bontonompo

Selatan, Manuju, Pattallassang, Pallangga, Parangloe, Somba Opu, dan

Sungguminasa; wilayah Kabupaten Maros meliputi Kecamatan Bantimurung,

Bontoa, Cenrana, Lau, Mandai, Marusu, Maros Baru, Moncongloe, Simbang,

Tanra’lili, Tompobulu, dan Turikale, dan: wilayah Kabupaten Takalar meliputi

Kecamatan Galesong, Galesong Selatan, Galesong Utara,Mangarabombang,

Mappakasunggu, Pattallassang, Polombangkeng Selatan, Polombangkeng

Utara, dan Sanrobone.

2) Pusat Kegiatan Wilayah

Kota kota yang ditetapkan sebagai sebagai PKW adalah kota-kota

Palopo dan Watampone (Kabupaten Bone) yang terletak di pantai Timur

Sulsel, kemudian Parepare, Barru, Pangkajene yang terletak di pantai barat

Sulsel, serta Jeneponto dan Bulukumba yang terletak di pantai selatan.

Selain dari pada itu, oleh pemerintah melalui Deputi Menko Perekonomian

Bidang Koordinator Industri dan Perdagangan, Selayar didukung sebagai


127

pusat distribusi kebutuhan bahan pokok KTI. Oleh karena itu RTRWP Sulsel

mengarahkan Selayar dikembangkan menjadi PKW, yang pada jangka

panjang apabila sudah memenuhi kriterianya dimungkinkan berkembang

menjadi PKN.

3) Pusat Kegiatan Lokal

Ibukota-ibukota kabupaten yang tidak termasuk sebagai PKW menjadi

PKL yang berfungsi sebagai pusat pengolahan dan atau pengumpulan

barang yang melayani kabupaten dan beberapa kecamatan kabupaten

tetangga, sebagai simpul transportasi yang melayani kabupaten dan

beberapa kecamatan kabupaten tetangga, sebagai jasa pemerintahan

kabupaten; serta sebagai pusat pelayanan publik lainnya untuk kabupaten

dan beberapa kecamatan kabupaten tetangga. PKL di wilayah Sulsel adalah

Malili, Masamba, Toraja Utara, Makale, Enrekang, Pangkajene, Sengkang,

Soppeng, Sinjai, Bantaeng, Watansawitto, Belopa, Benteng, dan Pamatata

(gambar 54).

b. Kawasan Andalan

Kawasan andalan minimal memenuhi fungsinya sebagai: (i) tempat

aglomerasi pusat-pusat permukiman perkotaan; (ii) pusat kegiatan produksi

dan atau pusat pengumpulan/ pengolahan komoditas wilayahnya dan wilayah

sekitarnya; (iii) kawasan yang memiliki sektor-sektor unggulan berdasarkan

potensi sumber daya alam kawasan.


128

Berdasarkan PP 26 Tahun 2008 tentang RTRWN, kawasan andalan di

wilayah Provinsi Sulsel adalah sebagai berikut (gambar 55):

1) Kawasan andalan Mamminasata dan sekitarnya (Makassar, Maros,

Gowa, Takalar dan Pangkep) dengan sektor unggulan pariwisata,

pertanian, perikanan, industri umum dan agroindustri serta perdagangan.

Pusat dari kawasan ini adalah Kota Makassar (gambar 56).

2) Kawasan andalan Palopo dan sekitarnya dengan sektor unggulan

pariwisata, perkebunan, pertanian dan perikanan. Pusat dari kawasan ini

adalah Kota Palopo (gambar 59).

3) Kawasan andalan Bulukumba-Watampone dan sekitarnya dengan sektor

unggulan pertanian, perkebunan, agroindustri, pariwisata, perikanan dan

perdagangan. Pusat dari Kawasan andalan ini adalah kabupaten Bone

(gambar 57).

4) Kawasan andalan Pare-pare dan sekitarnya dengan sektor unggulan

pertanian, perkebunan, perikanan, agroindustri dan perdagangan. Pusat

dari kawasan ini adalah Kota Pare-pare (gambar 58).


129

Gambar 54. Peta Struktur Ruang Provinsi Sulawesi Selatan


Sumber: Dimodifikasi dari RTRW Sulawesi Selatan Tahun 2009 - 2029
130

Gambar 55. Peta Pusat Kegiatan di Sulawesi Selatan


Sumber: Dimodifikasi dari RTRW Sulawesi Selatan Tahun 2009 - 2029

Gambar 55. Kawasan Andalan Sulawesi Selatan


Sumber: Dimodifikasi dari RTRW Sulawesi Selatan Tahun 2009 - 2029
131

Gambar 56. Kawasan Andalan Mamminasata


Sumber: Dimodifikasi dari RTRW Sulawesi Selatan tahun 2009 - 2029
132

Gambar 57. Kawasan Andalan Bulukumba Wattampone


Sumber: Dimodifikasi dari RTRW Sulawesi Selatan Tahun 2009 - 2029
133

Gambar 58. Kawasan Andalan Pare-Pare


Sumber: Dimodifikasi dari RTRW Sulawesi Selatan Tahun 2009 - 2029
134

Gambar 59. Kawasan Andalan Palopo


Sumber: Dimodifikasi dari RTRW Sulawesi Selatan Tahun 2009 - 2029
135

c. Aksesbilitas Jalan
Aksesbilitas jalan di Provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya memiliki

jalan dengan stutus provinsi/nasional yang menghubungkan kabupaten dan

kota. Total panjang jalan nasional/provinsi di provinsi Sulawesi Selatan

adalah 2038,44 km. wilayah yang memiliki panjang nasional terpanjang

adalah Kabupaten Bone dengan panjang jalan 289,20 km sedangkan wilayah

paling terpendek jalan nasionalnya adalah Kota Pare-Pare dengan panjang

17,79 km. untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 15 di bawah ini.

Tabel 15. Panjang Jalan Nasional/Provinsi di Sulawesi Selatan


No Wilayah Panjang Jalan VC Ratio IRI Rerata
1 Kepulauan Nasional+Propinsi
65,10 Rerata
0,02 5,72
2 Bulukumba
Selayar 137,75 0,08 5,70
3 Bantaeng 26,23 0,15 4,43
4 Jeneponto 59,17 0,22 4,40
5 Takalar 22,70 0,24 3,40
6 Gowa 104,68 0,20 5,30
7 Sinjai 68,72 0,07 9,45
8 Maros 88,18 0,20 3,43
9 Pangkep 40,92 0,24 13,23
10 Barru 85,34 0,18 4,14
11 Bone 289,20 0,09 3,57
12 Soppeng 117,25 0,09 4,04
13 Wajo 150,37 0,15 4,66
14 Sidenreng 106,55 0,26 3,34
15 Pinrang 78,72 0,17 4,38
rappang
16 Enrekang 73,57 0,10 4,27
17 Luwu 101,56 0,11 2,73
18 Tana Toraja 34,20 0,07 3,12
19 Luwu Utara 124,69 0,10 8,07
20 Luwu Timur 144,65 0,09 5,52
21 Toraja Utara 27,61 0,08 1,90
22 Makassar 27,51 0,82 2,51
23 Parepare 17,79 0,18 4,01
24 Palopo 45,98 0,15 5,32
Sumber: Dinas Perhubungan Prov. Sulawesi Selatan
136

Tipe jalan yang masuk dalam sistem jaringan transportasi darat nasional

yang terkait dengan wilayah Propinsi Sulawesi Selatan meliputi jalan arteri

primer dan jalan kolektor sekunder (gambar 60).

Gambar 60. Jalan Arteri di Kabupaten Bantaeng


Jalan arteri primer yang berada dalam wilayah Provinsi Sulsel terdiri atas:

1) Jalan Lintas Barat Sulawesi sepanjang 324,29 km yang dimulai dari

perbatasan Provinsi Sulawesi Barat – Pinrang – Parepare – Barru –

Pangkajene – Maros – Makassar – Sungguminasa. Adapun rincian ruas-

ruas jalannya adalah sebagai berikut: Batas Sulbar-Pinrang sepanjang

55,19 km; Jl. A. Yani (Pinrang) sepanjang 11,65 km; Jl. Hasanuddin

(Pinrang) sepanjang 0,98 km; Jl. Sudirman (Pinrang) sepanjang 2,44 km;

Pinrang – Parepare sepanjang 21,78 km; Jl. Baso Daeng Patompo

(Parepare) sepanjang 0,54 km; Jl. Lasinrang (Parepare) sepanjang 0,88

km; Jl. Andi Arsad (Parepare) sepanjang 1,45 km; Jl. Baumasepe (Pare-

pare) sepanjang 6,07 km; Parepare – Barru sepanjang 47,56 km; Jl.

Hasanuddin (Barru) sepanjang 5,48 km; Barru – Pakkae sepanjang 4,64

km; Pakkae – Pangkajene sepanjang 80,42 km; Jl. Kemakmuran


137

(Pangkajene) sepanjang 0,80 km; Jl. Hasanuddin (Pangkajene)

sepanjang 4,06 km; Pangkajene – Maros sepanjang 15,84 km; Jl.

Sudirman (Maros) sepanjang 1,53 km; Jl. Sam Ratulangi (Maros)

sepanjang 2,16 km; Maros - Makassar sepanjang 8,27 km; Jl. Nusantara

(Makassar) sepanjang 2,10 km; Jl. Satando (Makassar) sepanjang 0,58

km; Jl. Tinumbu (Makassar) sepajang 2,22 km; Jl. Ir. Sutami (Makassar)

sepanjang 11,16 km; Jl. Andalas (Makassar) sepanjang 0,99 km; Jl.

Bandang (Makassar) sepanjang 0,98 km; Jl. Mesjid Raya (Makassar)

sepanjang 1,23 km; Jl. G. Bawakaraeng (Makassar) sepanjang 1,67 km;

Jl. Urip Sumohardjo (Makassar) sepanjang 5,27 km; Jl. Perintis

Kemerdekaan (Makassar) sepanjang 11,97 km; Jl. Yos Sudarso

(Makassar) sepanjang 0,47 km; Jl. Veteran Utara (Makassar) sepanjang

1,85 km; Jl. Veteran Selatan (Makassar) sepanjang 2,30 km; Jl. Sultan

Alauddin (Makassar) sepanjang 3,70; Jl. Gowa Raya (Makassar)

sepanjang 2,50 km; Makassar – Sungguminasa sepanjang 0,19 km; Jl.

Hasanuddin (Sungguminasa) sepanjang 1,73 km; Jl. A. Malombasang

(Sungguminasa) sepanjang 0,95 km; dan Jl. Wahid Hasyim

(Sungguminasa) sepanjang 0,79.

2) Jalan Lintas Tengah Sulawesi sepanjang 336,71 Km yang dimulai dari

perbatasan Provinsi Sulawesi Tengah (Mangkutana) – Wotu – Masamba

– Palopo – Tarumpakke. Secara rinci ruas-ruas jalannya adalah sebagai

berikut Batas Sulawesi Tengah. – Kayulangi (KM. 550) sepanjang 35,90


138

km; Kayulangi (KM. 550) - Wotu sepanjang 32,64 km; Wotu – Masamba

sepanjang 63,60 km; Masamba – Palopo sepanjang 63,60 km; Jl.

Hasanuddin (Palopo) sepanjang 0,36 km; Jl. Samratulangi (Palopo)

sepanjang 1,62 km; Jl. Sudirman (Palopo) sepanjang 3,15 km; Jl. Samiun

(Palopo) sepanjang 0,25 km; Palopo – Pareman (KM. 325) sepanjang

38,11 km; Pareman (KM. 325) – Batas Kabupaten Wajo sepanjang 48,28

km; dan Batas Kabupaten Luwu – Tarumpakkae sepanjang 51,78 km.

3) Jalan Lintas Timur Sulawesi sepanjang 77,63 Km yang dimulai dari

perbatasan Provinsi Sulawesi Tenggara – Malili – Tarengge. Secara rinci

ruas-ruasnya adalah sebagai berikut Batas Sulawesi Tenggara – Malili

sepanjang 45,28 km dan Malili - Tarengge sepanjang 32,35 km.

4) Jalan yang melintas mulai dari Maros – Ujung lamuru – Watampone

sepanjang 144,37 Km. Secara rinci ruas-ruasnya adalah Jl. Daeng Sitaka

(Maros) sepanjang 2,44 km; Jl. Hasanuddin (Maros) sepanjang 0,30 km;

Jl. A. Yani (Maros) sepanjang 0,20 km; Jl. Ranto Daeng Paserang

(Maros) sepanjang 0,42 km; Maros – Batas Kabupaten Bone sepanjang

61,37 km; Batas Kabupaten Maros - Ujung Lamuru sepanjang 24,13;

Ujung Lamuru – Watampone sepanjang 52,06 km; Jl. Ponggawe

(Watampone) sepanjang 0,36 km; dan Jl. A. Yani (Watampone)

sepanjang 3,09 km.

5) Jalan yang melintas mulai dari Tarumpakkae – Sidenreng – Parepare

sepanjang 80 Km. Secara rinci ruas-ruasnya adalah Tarumpakkae –


139

Anabunua sepanjang 16,88 km; Anabunua - Sidenreng sepanjang 33,49

km; Jl. Hasanuddin (Sidenreng) sepanjang 0,88 km; Jl. Sudirman

(Sidenreng) sepanjang 2,15 km; Sidenreng – Bangkae sepanjang 5,22

km; Bangkae - Parepare sepanjang 12,27 km; dan Jl. A. Yani (Parepare)

sepanjang 9,11 km.

6) Jalan yang melintas mulai dari Watampone ke Bajoe sepanjang 6,58 Km.

Secara rinci ruas-ruasnya adalah Jl. Yos Sudarso (Watampone)

sepanjang 2,14 km; Jl. Tamrin (Watampone) sepanjang 0,53 km; dan

Watampone – Pelabuhan Bajoe sepanjang 3,91 km.

Adapun jalan kolektor primer yang berada dalam wilayah Sulsel meliputi

(gambar 61):

1) Jalan Lintas Selatan Sulawesi sepanjang 243,26 km yang terdiri atas jalur

Sungguminasa – Jeneponto – Bantaeng – Bulukumba sepanjang

142,76 Km dan Selayar sepanjang 100,5 Km. Secara rinci ruas-ruasnya

adalah Jl. Usman Salengke (Sungguminasa) sepanjang 4,40 km;

Sungguminasa – Takalar sepanjang 18,54 km; Jl. Sudirman (Takalar)

sepanjang 5,40 km; Jl. A. Yani (Takalar) sepanjang 1,80 km; Takalar –

Jeneponto sepanjang 44,47; Jl. Takalar (Jeneponto) 1,35 km; Jl. Lamto

Daeng Kaselang (Jeneponto) sepanjang 4,80 km; Jl. Pahlawan

(Jeneponto) sepanjang 1,50 km; Jl. Bantaeng (Jeneponto) sepanjang

1,35 km; Jeneponto – Bantaeng sepanjang 23,72 km; Jl. Pahlawan

(Bantaeng) sepanjang 4,62 km; Jl. Lanto Daeng Pasewang (Bantaeng)


140

sepanjang 0,52 km; Jl. Samratulangi (Bantaeng) sepanjang 2,36 km;

Bantaeng – Bulukumba sepanjang 24,80 km; Jl. Bantaeng (Bulukumba)

sepanjang 0,45 km; Jl. Hasanuddin (Bulukumba) sepanjang 0,90 km; Jl.

Soekarno (Bulukumba) sepanjang 0,20 km; Jl. M. Hatta (Bulukumba)

sepanjang 0,60 km; Jl. Sulthan Raja (Bulukumba) sepanjang 0,30 km; Jl.

Sudirman (Bulukumba) sepanjang 0,48 km; dan Jl. Bung Tomo

(Bulukumba) sepanjang 0,20.

2) Jalan Lintas Tengah Sulawesi sepanjang 253,09 yang melintas mulai dari

Tarumpakkae – Sengkang – Watampone – Sinjai – Bulukumba. Secara

rinci ruas-ruasnya adalah Tarumpakkae – Impa-impa sepanjang 28,26

km; Impa-impa - Sengkang sepanjang 1,67; Jl. Monginsidi (Sengkang)

sepanjang 0,56 km; Jl. Andi Palawaruku (Sengkang) sepanjang 0,30 km;

Jl. Sudirman (Sengkang) sepanjang 0,58 km; Jl. Andi Minong (Sengkang)

sepanjang 1,21km; Jl. Supratman (Sengkang) sepanjang 0,36 km; Jl.

Sutomo (Sengkang) sepanjang 1,22 km; Jl. Hasanuddin (Sengkang)

sepanjang 1,93 km; Jl. Rusa (Sengkang) sepanjang 5,75 km; Sengkang –

Ulugalung/Tampangeng sepanjang 4,95 km; Ulugalung/Tampangeng -

Pompanua sepanjang 13,75 km; Pompanua - Watampone sepanjang

45,33 km; Jl. Veteran (Watampone) sepanjang 0,42 km; Jl. Urip

Sumoharjo (Watampone) sepanjang 2,25 km; Jl. Sudirman (Watampone)

sepanjang 2,50 km; Jl. Hasanuddin (Watampone) sepanjang 0,24 km;

Watampone – Arasoe (KM. 260) sepanjang 35,15 km; Arasoe (KM. 260)
141

– Bajo sepanjang 34,17 km; Bajo - Sinjai sepanjang 5,24 km; Jl.

Persatuan Raya (Sinjai) sepanjang 4,97 km; Sinjai – Tondong sepanjang

1,46 km; Tondong – Bulukumba sepanjang 57,55 km; Jl. Sinjai

(Bulukumba) sepanjang 0,43 km; Jl. Kusuma Bangsa (Bulukumba)

sepanjang 1,50 km; dan Jl. A. Yani (Bulukumba) sepanjang 0,80 km.

3) Jalan yang melintas mulai dari Bangkae – Enrekang – Makale – Palopo

sepanjang 212,42 Km. Secara rinci ruas-ruasnya adalah Bangkae –

Rappang sepanjang 12,14 km; Rappang – Enrekang sepanjang 44,53

km; Jl. Cokroaminoto (Enrekang) sepanjang 0,21 km; Jl. Sudirman

(Enrekang) sepanjang sepanjang 2,73 km; Jl. Hasanuddin (Enrekang)

sepanjang 2,43 km; Enrekang – Makale sepanjang 70,52 km; Jl.

Merdeka (Makale) sepanjang 1,23 km; Jl. Pongtiku (Makale) sepanjang

2,17 km; Jl. Nusantara (Makale) sepanjang 1,28 km; Makale – Batas

Kabupaten Luwu 55,89 km; Batas Kabupaten Tana Toraja - Palopo

sepanjang 16,53 km; Jl. Tana Toraja (Palopo) sepanjang 1,36 km; Jl.

Veteran (Palopo) sepanjang 0,63 km; dan Jl. A. Yani (Palopo) sepanjang

0,77 km.
142

Lintas Tengah
336,71 Km

Lintas Timur
77,63 Km

Lintas Barat
324,29 Km Bangkae – Enrekang – Makale
– Palopo : 212,42 Km

Tarumpake - Watampone –
Maros – Watampone- Bulkumba : 253,09 Km
Bajowe: 144,37 Km +
6,58 Km Lintas Selatan
243,26 Km

Gambar 61. Panjang Lintasan Jalan Sulawesi Selatan


Sumber: Tatrawil Sulawesi Selatan
143

Gambar 62. Jaringan Jalan Sulawesi Selatan


Sumber: Dimodifikasi dari RTRW Sulawesi Selatan Tahun 2009 - 2029
144

Gambar 63. Jarak Jaringan Jalan Antar Kabupaten


Sumber: Dimodifikasi dari RTRW Sulawesi Selatan Tahun 2009 – 2029 dan Google Earth
145

d. Perencanaan jalur kereta api

Dalam Rencana Induk Tataran Transportasi Kereta Api Nasional sampai

dengan 2025 terdapat empat pulau yang sangat prioritas masing-masing

Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Adapun program

pembangunan jalur KA Pulau Sulawesi antara lain Jaringan KA penghubung

antar kota-kota dan regional di Kawasan Mamminasa; Jaringan KA

perkotaan: Makassar dan Manado; Jaringan KA menuju Bandara Hasanudin

dan Pelabuhan

Untuk Provinsi Sulawesi Selatan, pengembangan jalur kereta api ini terdiri

dari Lintas Barat, Lintas Tengah, Lintas Timur dan KA Perkotaan

Mamminasata. Adapun rincian lintasannya adalah sebagai berikut (gambar

64):

 Lintas Barat melewati ruas Bulukumba-Bantaeng-Jeneponto-Gowa-

Makassar-Maros-Parepare-pinrang-perbatasan Sulawesi tengah dengan

panjang lintasa 373 km.

 Lintas Tengah menghubungkan parepare–Bangkae–Pangkajene-

Ana’banua-Tarumpakkae dan Ana’banua-Sengkang dengan panjang

Lintasan 92 km.

 Lintas Timur yang melewati Bulukumba–Sinjai–Bone–Sengkang-

Tarumpakkae–Siwa, Belopa-Palopo–Masamba–Tarengge-Malili dan


146

Tatengge–Mangkutana-Perbatasan Sulawesi Tengah dengan panjang

lintasan 828,43 km.

Adapun stasiun yang direncanakan terdiri atas stasiun besar dan stasiun

kecil. Stasiun besar meliputi Kota Makassar, Pare-pare, Palopo, Kabupaten

Bulukumba dan Kabupaten Bone, sedangkan untuk wilayah perencanaan

stasiun kecil terletak di seluruh kabupaten dan kota yang dilalui oleh

perencanaan jaringan kereta api Sulawesi Selatan. Adapun pengembangan

prasarana jaringan kereta api dapat dilihat pada tabel 16 berikut.

Tabel 16. Pengembangan Jaringan Kereta Api di Sulawesi Selatan

No Program
1 Pengembangan Jaringan dan Layanan kereta Api Antar Kota
- Makassar-Pare-Pare
- Makassar-Takalar-Bulukumba
2 Pengembangan Jaringan dan Layanan kereta Api Regional
- Mamminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa, Takalar)
3 Pengembangan Jaringan dan Layanan kereta Api Perkotaan
- Makassar
4 Pengembangan Jaringan dan Layanan kereta Api Menuju Bandara
- Hassanudin (Makassar)
5 Pengembangan Jaringan dan Layanan kereta Api Menuju Pelabuhan
- Makassar (Sulawesi Selatan)
Sumber: Rencana Tata Ruang Wilayah Sulawesi Selatan Tahun 2009 - 2029
147

Gambar 64 Rencana Jaringan Kereta Api


Sumber: Dimodifikasi RTRW Sulawesi Selatan Tahun 2009 - 2029
148

4. Tinjauan Perekonomian Sulawesi Selatan

a. Konektivitas Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan

Ekonomi Indonesia (MP3EI)

Pelaksanaan MP3EI dilakukan untuk mempercepat dan

memperluas pembangunan ekonomi melalui pengembangan 8

(delapan) program utama yaitu pertanian, pertambangan, energi,

industri, kelautan, pariwisata, dan telematika, serta pengembangan

kawasan strategis (gambar 66).

Strategi pelaksanaan MP3EI dilakukan dengan mengintegrasikan

3 (tiga) elemen utama yaitu: (1) mengembangkan potensi ekonomi

wilayah di 6 (enam) Koridor Ekonomi Indonesia, yaitu Koridor

Ekonomi Sumatera, Koridor Ekonomi Jawa, Koridor Ekonomi

Kalimantan, Koridor Ekonomi Sulawesi, Koridor Ekonomi Bali–Nusa

Tenggara, dan Koridor Ekonomi Papua–Kepulauan Maluku; (2)

memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal

dan terhubung secara global ally integrated, globally connected); (3)

memperkuat kemampuan SDM dan IPTEK nasional untuk

mendukung pengembangan program utama di setiap koridor

ekonomi. Koridor Ekonomi Sulawesi memiliki tema pembangunan

sebagai ‟Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian,

Perkebunan, Perikanan, Migas dan Pertambangan Nasional.


149

Gambar 65. Rencana Jaringan Kereta Api


Sumber: Dimodifikasi dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI)
150

b. Pertumbuhan Ekonomi

Kondisi perekonomian wilayah yang baik dapat dilihat dari Domestik

Regional Bruto (PDRB) dan sektor dominan penyumbang PDRB. Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu pencerminan

kemajuan ekonomi suatu daerah, yang didefinisikan sebagai keseluruhan

nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dalam waktu satu tahun dalam

wilayah tertentu.

PDRB Sulawesi Selatan atas dasar harga yang berlaku pada tahun 2013

sekitar 180.484,2 milyar rupiah. Sektor pertanian memiliki nilai tambah paling

besar dibandingkan sektor lain yaitu 24%. Selanjutnya disusul oleh sektor

perdagangan, hotel, restoran terbesar kedua dengan nilai tambah mencapai

18%. Sektor industri pengolahan Sulawesi Selatan yang diharapkan mampu

menunjang sektor pertanian dengan berorientasi pada agroindustri ternyata

nilai tambahnya terbesar ke empat yaitu mencapai 12%. Hal ini dapat dilihat

pada gambar terkait dengan PDRB dari berbagai sektor di Sulawesi Selatan.
151

Gambar 66. Grafik PDRB seluruh sektor di Sulawesi Selatan


Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka Tahun 2014

Berdasarkan nilai produk domestik regional bruto kabupaten/kota di

Provinsi Sulawesi Selatan maka dapat terlihat di tahun 2013, wilayah yang

memiliki nilai PDRB yang paling tinggi adalah Kota Makassar dengan jumlah

58.802,55 milyar rupiah sedangkan wilayah yang paling sedikit nilai

PDRBnya adalah Kabupaten Kepulauan Selayar dengan nilai 2015,89 milyar

rupiah (Tabel 17). Hal ini disebabkan karena kota Makassar merupakan

pusat kegiatan nasional sehingga memiliki aktivitas perdagangan, jasa dan

berbagai bidang lainnya yang sangat tinggi.

Berdasarkan nilai laju pertumbuhan produk domestik regional bruto

kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan (Tabel 11) maka dapat terlihat di

tahun 2013, wilayah yang memiliki nilai laju pertumbuhan PDRB yang paling

tinggi adalah Kab. Luwu Timur dengan persentase 9,62% sedangkan wilayah

yang paling sedikit nilai laju pertumbuhan PDRBnya adalah Kabupaten Bone
152

dengan persentase 6,09%. Hal ini disebabkan karena kota Makassar

merupakan pusat kegiatan nasional sehingga memiliki aktivitas perdagangan,

jasa dan berbagai bidang lainnya yang sangat tinggi.

Tabel 17. Produk Domestik Regional Bruto menurut Kabupaten/Kota


Provinsi Sulawesi Selatan (Milyar Rupiah) Tahun 2010 - 2013
No Kabupaten 2010 2011 2012 2013
1 Kep. Selayar 1.131,78 1.386,06 1.709,08 2.015,89
2 Bulukumba 2.763,05 4.286,36 5.044,77 5.830,50
3 Bantaeng 1.831,77 2.180,71 2.536,71 2.950,88
4 Jeneponto 2.273,51 2.676,02 3.095,25 3.551,62
5 Takalar 2.055,10 2.368,11 2.749,77 3.130,96
6 Gowa 5.082,23 5.931,37 6.791,07 7.832,78
7 Sinjai 2.813,23 3.235,34 3.716,15 4.284,75
8 Maros 2.813,76 3.039,19 3.495,96 4.018,38
9 Pangkep 5.379,30 6.413,12 7.676,58 8.898,03
10 Barru 1.665,90 1.904,31 2.189,89 2.503,11
11 Bone 7.530,37 8.835,53 10.372,89 11.788,87
12 Soppeng 2.728,36 3.209,37 3.690,68 4.254,98
13 Wajo 5.409,46 6.655,97 7.736.09 8.941,54
14 Sidrap 3.366,70 4.215,96 4.932,09 5.642,35
15 Pinrang 5.290,61 6.216,63 7.237,53 8.261,56
16 Enrekang 1.921,39 2.291,76 2.680,81 3.316,60
17 Luwu 3.717,63 4.351,15 5.030,50 5.784,73
18 Tana Toraja 1.471,97 1.794,45 2.190,12 2.568,00
19 Luwu Utara 3.068,34 3.570,91 4.155,74 4.851,43
20 Luwu Timur 8.294,26 9.670,17 10.465,65 12.789,85
21 Toraja Utara 1.499,24 1.821,42 2.204,39 2.611,38
22 Makassar 37.007,45 43.428,15 50.702,40 58.802,55
23 Pare Pare 1.795,96 2.073,56 2.376,53 2.771,80
24 Palopo 1.946,85 2.284,80 2.637,55 3.081,64
Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam angka tahun 2014
153

Tabel 18
Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga
Konstan 2000 Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Selatan (Persen),
Tahun 2010-2013
No. Kabupaten 2010 2011 2012 2013
1 Kepulauan Selayar 8,01 8,43 9,18 9,47
2 Bulukumba 6,27 7,32 8,97 8,01
3 Bantaeng 7,90 7,34 8,49 8,82
4 Jeneponto 7,25 6,20 7,27 6,97
5 Takalar 6,85 5,90 7,40 7,33
6 Gowa 6,05 7,57 7,28 7,78
7 Sinjai 6,03 9,17 6,33 7,29
8 Maros 6,03 7,41 8,00 8,67
9 Pangkep 7,03 6,20 9,61 7,93
10 Barru 6,34 7,95 7,77 7,81
11 Bone 6,54 10,93 8,01 6,09
12 Soppeng 7,63 11,82 7,48 7,57
13 Wajo 4,45 7,12 8,71 8,01
14 Sidrap 5,71 6,91 8,37 7,44
15 Pinrang 4,45 7,47 8,27 6,81
16 Enrekang 6,22 6,91 7,18 6,96
17 Luwu 6,95 7,47 7,49 7,78
18 Tana Toraja 6,31 7,88 8,02 7,57
19 Luwu Utara 5,93 7,29 8,03 8,17
20 Luwu Timur 15,39 -6,62 4,97 9,62
21 Toraja Utara 7,00 7,90 8,47 8,51
22 Makassar 9,83 9,65 9,88 8,91
23 Pare Pare 8,25 7,80 7,92 8,47
24 Palopo 7,29 8,16 8,68 8,99
Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam angka tahun 2014

5. Potensi Ekspor Sulawesi Selatan

Sektor-sektor yang dominan menjadi penggerak roda perekonomian

dalam pengembangan wilayah Provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari berbagai

macam sektor.

Pergerakan peti kemas di wilayah Sulawesi Selatan sangat dipengaruhi

oleh komoditas yang dihasilkan. Sulawesi Selatan memiliki komoditas ekspor


154

yang terdiri dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,

peternakan, pertambangan, dan industri.

Table 19. Nilai Produksi Komoditas Ekspor Provinsi Sulawesi Selatan


Komoditas Ekspor
No Kabupaten Jumlah
Perikanan Kehutanan Industri Tambang Peternakan Pertanian Perkebunan

1 Selayar 52,026 107,751,139 740,267 50,385 29,403.00 108,623,220


2 Bulukumba 150,119 121,182,235 147,278,931 2,199 386,408 12,415.00 269,012,306

3 Bantaeng 78,047 20,302,890 2,938 302,738 7,028.00 20,693,640

4 Jeneponto 86,704 110,943,023 3,290 540,046 5,041.00 111,678,103

5 Takalar 470,424 99,765 175,829,942 2,598 179,580 4,008.00 176,586,317

6 Gowa 927 6,117,395 121,494,755 8,169 591,697 8,584.00 128,221,527

7 Sinjai 60,757 447,794 18,264,170 2,368 149,405 19,885.00 18,944,378

8 Maros 16,114 1,657,635 805,074,830 281,150 4,976 337,570 5,166.00 807,377,441

9 Pangkep 97,667 110 3,051,841,855 2,185,975 4,684 172,341 3,907.00 3,054,306,539

10 Barru 36,596 74,262,078 2,020 111,243 5,597.00 74,417,534

11 Bone 155,529 1,446,323,080 4,507 922,704 56,350.00 1,447,462,170

12 Soppeng 3,289 3,583,000 40,449,202 3,256 338,969 20,284.00 44,398,000

13 Wajo 122,241 30,702,874 67,350,082 4,421 722,528 17,294.00 98,919,439

14 Sidrap 3,720 44,495,308 269,988 513,952 10,450.00 45,293,418

15 Pinrang 53,890 200 54,734,309 10,592 557,947 25,286.00 55,382,224

16 Enrekang 421 2,266,388 199,782,075 4,276 251,076 16,764.00 202,321,000

17 Luwu 393,746 354,611,213 66,901,194 2,680 233,238 45,684.00 422,187,755

18 TanaToraja 325 86,367,538 628,476,046 2,372 131,344 6,291.00 714,983,916

19 Luwu utara 46,627 117,315,741 431,972,596 1,813 292,139 113,229.00 549,742,145

20 Luwu timur 217,900 136,929,476 130,181,200 29,498,993 1,427 110,658 78,739.00 297,018,393

21 Toraja 391 201,543,895 2,401 154,059 3,852.00 201,704,598


utara
22 Makassar 24,396 830,186,328 640,554,543 4,937 19,925 1,470,790,129

23 Pare-pare 6,688 46,736,100 3,104 41,868 46,787,760

24 Palopo 72,141 107,969,304 618 24,468 3,366.00 108,069,898

Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka Tahun 2014

Berdasarkan Tabel 19, maka bangkitan pergerakan berdasarkan

komoditas ekspor paling berpotensi untuk nilai ekspor yang palin tinggi
155

terletak di Kabupaten Pangkep Dengan komoditas ekspor mencapai

3,054,306,539 ton Sedangkan wilayah yang memiliki potensi nilai ekspor

yang terkecil terdapat di Kabupaten Sinjai dengan jumlah komoditas ekspor

18,944,378 ton.

a. Sektor Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura

Tanaman padi terutama padi sawah merupakan salah satu komoditas

andalan Provinsi Sulawesi Selatan. Produksi tanaman padi sawah di Provinsi

Sulawesi Selatan pada tahun 2005 mencapai sekitar 3.375.210 ton dari areal

seluas 725.7663 Ha. Tingkat produktivitas pada tahun ini sebesar 4,65

ton/Ha. Kabupaten penghasil padi sawah terutama adalah Kabupaten Bone,

Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang dan Luwu yang dikenal dengan sebutan

Kawasan Bosowasipilu.

b. Sektor Perkebunan

Sektor perkebunan di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu

sektor yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap devisa negara

melalui beberapa komoditas eksport unggulan diantaranya kakao. Produksi

tanaman kakao tahun 2005 sebesar 222.566,82 ton. Demikian pula dengan

produksi kelapa dalam sebesar 101.375,40 ton. Biji kakao merupakan salah

satu komoditi utama ekspor dari Provinsi Sulawesi Selatan. Daerah penghasil

kakao terutama adalah Kabupaten Luwu Utara, Luwu Timur dan Luwu.

Komoditas ekspor lainnya adalah kopi baik kopi arabika maupun robusta,
156

sentra penanaman kopi terutama di Kabupaten Tana Toraja. Komoditas

perkebunan lainnya adalah kelapa, cengkeh, pala, tembakau, tebu, kayu

manis, vanilli dan lada.

c. Sektor Perikanan

Usaha perikanan laut di Provinsi Sulawesi Selatan lebih dominan

dibanding perikanan darat. Produksi perikanan darat berasal dari perairan

umum (danau, sungai dan rawa) dan budidaya ikan (tambak air payau dan

kolam/ sawah). Produksi perikanan dari perairan umum dan tambak air

payau terdapat hampir di seluruh wilayah kabupaten/ kota. Hasil perikanan

laut pada tahun 2005 mencapai 315.734 ton. Komoditas yang menonjol

adalah udang dengan total produksi sebesar 6.668 Ton, rumput laut 17.161

Ton, lainnya 1.115.295 ton. Jenis komoditi perikanan lainnya adalah ikan

cakalang, tuna, tongkol, udang, rumput laut, teripang, cumi-cumi dan lain-lain.

Produksi perikanan laut terutama berasal dari Kabupaten Bone, Jeneponto

dan Takalar. Sedangkan produksi perikanan darat terutama terdapat di

Kabupaten Wajo, Bone, Sinjai dan Pinrang.

d. Sektor Peternakan

Jenis ternak yang diusahakan di Provinsi Sulawesi Selatan antara lain

sapi, kambing, ayam buras, itik. Arahan kawasan sentra peternakan di

Provinsi Sulawesi Selatan adalah Kawasan Bulukumba, Watampone, Pare-

pare dan sekitarnya.


157

e. Sektor Kehutanan

Kawasan hutan Provinsi Sulsel pada Tahun 2005 seluas 3.090.005 ha

terdiri atas 1.224.279,65 ha hutan lindung, 488.551,00 hutan produksi

terbatas, dan 131.041,10 ha hutan produksi biasa. Produksi kayu di Provinsi

Sulawesi Selatan tahun 2005 mencapai 69.095,09 m3. Hasil lainnya yakni

rotan 5.031,02 m3 dan getah pinus 228,45 m3.

f. Sektor Pertambangan

Kontributor terbesar sektor pertambangan adalah pertambangan non

migas. Sejauh ini pertambangan yang dieksploitasi adalah nikel.

Pertambangan nikel terdapat di Soroako, Kabupaten Luwu Utara yang

dikelola oleh PT. International Nickel Company (INCO). Pada tahun 2004

volume export hasil pertambangan nikel mencapai 73.283 ton dengan nilai

eksport sekitar USD 386 juta.

g. Sektor Industri

Dari sektor industri tercatat sejumlah perusahaan industri pengolahan

hasil pertanian dan kehutanan, industri logam, mesin dan aneka, serta

industri kecil. Termasuk dalam kategori industri hasil pertanian adalah industri

makanan, industri pengolahan tembakau (industri rokok kretek), industri kayu,

bambu dan rotan. Termasuk dalam kategori industri aneka antara lain adalah

industri bordiran, penjahitan, service elektronik.


158

6. Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar

Secara geografis pelabuhan Makassar terletak di tengah bentangan

nusantara yaitu 05o08’08” BT dan 119o24’02” LS. Pelabuhan Makassar

merupakan pelabuhan terbesar di Kawasan Indonesia Timur. Pelabuhan ini

telah memegang peranan sebagai pusat perdagangan dari zaman

penjajahan. Selain itu, pelabuhan ini memiliki letak yang berada di posisi alur

laut kepulauan Indonesia yang merupakan jalur pelayaran yang

menghubungkan antara kawasan barat dan kawasan timur Indonesia.

Pelabuhan ini memiliki terminal yang terdiri atas 2 terminal yaitu pangkalan

Soekarno dan Hatta (gambar 67).

Gambar 67. Site Plan Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar


159

a. Peralatan Pangkalan Hatta

Dermaga dari Pangkalan Hatta ini dapat melayani kapal-kapal

berkapasitas maksimal 3.000 TEU’s dan diperuntukkan untuk peti kemas.

Panjang dari dermaga ini adalah 850 meter dan lebar 30 meter (gambar 68).

Gambar 68. Gambar Pangkalan Hatta

Selain itu, Pangkalan Hatta memiliki lapangan penumpukan peti kemas

seluas 11,45 Ha. Untuk lebih jelasnya terkait dengan peralatan yang ada di

Pangkalan Hatta dapat dilihat pada gambar 69 dan tabel 20.

Gambar 69. Dermaga dari Pangkalan Hatta


160

Tabel 20. Peralatan Pangkalan Hatta

No Peralatan Nilai
1 Kedalaman kolam -11 MLWS
2 Panjang dermaga 850 Meter
3 Lebar dermaga 9 Meter
4 Luas dermaga 7650 M2
5 Luas lapangan penumpukkan pk/cy 114400 M2
6 Jumlah blok penumpukan 13 BLOK
7 Kapasitas row per blok 6 ROW PER BLOK
8 Jumlah ground slot 2292 GROUND SLOT
9 Kapasitas petikemas 350000 TEUS/Tahun
10 Gudang cfs 1 Buah
11 Luas gedung cfs 4000 M2
12 Kapasitas gudang cfs 60 Vak
13 Luas bengkel peralatan 750 M2
14 Refer plug 70 Plug
15 Voltage refer plug 380 Volt/Unit
16 Reservoir kapasitas 1000 Ton
17 Tangki BBM (1400 l) 2 Unit
18 Gate dan jembatan timbang 4 Unit
19 Kapasitas jembatan timbang 60 Ton
20 Area parkir 50 Unit
21 Tangki Limbah 1 Unit
22 Mobil PMK 1 Unit
23 Mobil tanki 1 Unit
24 Ganzer (325 KVA) 3 Unit
Sumber: Pelindo IV Makassar

Berdasarkan tabel diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pangkalan

memiliki 24 jenis alat yang siap menunjang aktivitas peti kemas. Oleh karena
161

itu, pelabuhan ini dapat memberikan pelayanan yang sangat maksimal dalam

melakukan aktivitas bongkar muat di pelabuhan.

b. Arus Lalu Lintas Peti Kemas

Peti kemas yang berada di pangkalan Hatta mengalami peningkatan

setiap tahunnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21. Jumlah Peti Kemas

Jumlah Peti Pertumbuhan


Tahun
Kemas (TEU's) (%)
1998 102,418
1999 129,014 25.97
2000 164,684 27.65
2001 177,416 7.73
2002 207,485 16.95
2003 232,154 11.89
2004 249,844 7.62
2005 244,199 -2.26
2006 256,071 4.86
2007 302,050 17.96
2008 354,228 17.27
2009 373,482 5.44
2010 447,377 19.79
2011 455,964 1.92
2012 520,000 16
Sumber: Pelindo IV, Makassar
Dimana pada tahun 1998 jumlah peti kemas yang beroperasi hanya

102.418 TEU’s sedangkan pada tahun 2012 terjadi peningkatan menjadi

520.000 TEU’s. Pertambahan jumlah peti kemas di terminal peti kemas

Makassar dari tahun 1998 sampat tahun 2012 mengalami pertumbuhan

berkisar 1,92 – 19,79%.


162

Berdasarkan data 5 tahun dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012,

maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan peti kemas yang masuk di

terminal peti kemas Makassar baik dari perdagangan luar negeri maupun

perdagangan dalam negeri yang keduanya meliputi ekspor dan impor

memiliki perkembangan yang cukup pesat. Dimana, perdagangan luar negeri

untuk impor, tahun 2008 mencapai 1239 box peti kemas atau 18.002 ton,

sedangkan untuk ekspor mencapai 12559 box peti kemas atau 197.410 ton.

Pada tahun 2012 mengalami kenaikan dimana perdagangan luar negeri

untuk impor mencapai 2756 box peti kemas atau 65904 ton, sedangkan

untuk ekspor mencapai 15400 box peti kemas atau 354.314 ton.

Tabel 22. Proyeksi Jumlah Peti Kemas

Proyeksi Pertumbuhan
Tahun Aktual
(TEU's) (%)
2002 207,845
2003 232,154 11.89%
2004 249,844 7.62%
2005 244,200 -2.26%
2006 256,071 4.86%
2007 302,050 17.96%
2008 254,228 17.27%
2009 373,482 5.44%
2010 447,377 19.79%
2011 455,964 1.92%
2012 529,000 16.00%
2017 820,132 8.76%
2022 1,281,285 7.78%
2027 1,916,648 6.73%
2032 2,847,285 6.60%
Sumber: Rencana Induk Pelabuhan Makassar (Pelindo IV)
163

Untuk perdagangan dalam negeri tahun 2008, muat mencapai 159161

box peti kemas atau 2.178.077 ton sedangkan bongkar mencapai 215.943

box peti kemas atau 2.805.319 ton. Pada tahun 2012 mengalami

peningkatan, muat mencapai 225.156 box peti kemas atau 4.833.852 ton

sedangkan bongkar mencapai 215.943 box peti kemas atau 2.805.319 ton

(Tabel 22).

Berdasarkan tabel diatas maka pada tahun 2032 terjadi peningkatan

yang cukup signifikan dimana terjadi pertumbuhan peti kemas 6-8% sehingga

jumlah peti kemas mencapai 2.847.285 TEU’s.

7. Distribusi Peti Kemas

a. Proses Distribusi

Proses distribusi Peti Kemas dari terminal peti kemas melalui 4 tahap.

Tahap tersebut adalah (gambar 70):

1) Kegiatan berlabuhnya kapal

2) Handling FCL Perkegiatan

3) Container Freight Station

4) Delivery Barang
164

Gambar 70. Kegiatan Distribusi Peti Kemas

Sumber: Pelindo IV

b. Permasalahan Distribusi

Penyaluran logistik di Sulawesi Selatan menggunakan Truk atau Tronton.

Hal ini dilakukan karena tidak terdapat alternatif lain dalam pemilihan moda

untuk pengiriman. Aksesbilitas menuju pelabuhan Makassar dapat ditempuh

melalui jalan tol maupun jalan biasa. Pengangkutan peti kemas dengan

menggunakan truk memiliki keuntungan yaitu dapat dilakukan langsung Door

To Door sedangkan kelemahannya yaitu kerap menimbulkan permasalah

ketika terjadi pengangkutan.


165

Gambar 71. Proses Door To Door


Sumber: http://oddangcadets-aipi.blogspot.co.id

Berdasarkan tinjauan langsung dilapangan, terpantau sering terjadi

kemacetan pada pagi hari pukul 08.00 – 10.00 sedangkan pada sore hari

pukul 03.00 – 06.00 serta pada jadwal-jadwal tertentu saat kedatangan

maupun keberangkatan kapal (gambar 72). Kondisi ini terjadi karena jumlah

peti kemas yang diangkut oleh truk-truk yang masuk dan keluar pelabuhan

sedangkan kapasitas jalan yang kecil dan bercampur dengan kendaran lain

sehingga kerap menimbulkan kemacetan.

Gambar 72. Kemacetan lalu lintas dari aktivitas distribusi peti kemas
166

Selain kemacetan yang terjadi, akibat dari pengangkutan dengan truk

yang melintas di jalan mengakibatkan kerusakan jalan. Hal ini dapat di temui

di jalan yang biasa dilalui oleh truk-truk tersebut di sekitar jalan Toll Kota

Makassar dan Jalan Provinsi yang menghubungkan kota Makassar dengan

kabupaten-kabupaten yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan (gambar 73).

Gambar 73. Material jalan yang rusak akibat Truk peti kemas
Kemacetan dan kerusakan jalan kemudian menjadi semakin berpotensi

terjadi ketika supir-supir truk yang membawa peti kemas, sering memarkir

truk-truk yang memuat yang dikemudikannya di sisi-sisi jalan secara tidak

teratur (gambar 74).

Gambar 74. Peti Kemas yang diparkir di sisi jalan


167

8. Pelayaran Sulawesi Selatan


a. Pelabuhan

Makassar sebagai pintu gerbang utama bagi Kawasan Timur Indonesia

(KTI) memiliki arti yang sangat strategis dalam hal pendistribusian

barang/logistik dari wilayah barat ke wilayah tengah dan timur. Pelabuhan

selain Soekarno Hatta yang menjadi pusat distribusi Peti Kemas terbesar di

Sulawesi, terdapat juga beberapa simpul-simpul pelabuhan yang memiliki

peranan yang penting di wilayah Sulawesi selatan dalam menunjang

pengangkutan barang.

Produksi pelabuhan di provinsi Sulawesi Selatan cukup bervariasi,

namun didominasi oleh pelabuhan yang berperan sebagai pelabuhan utama

(internasional dan nasional), seperti disajikan pada Tabel 23, arus naik turun

penumpang yang tersebar adalah di pelabuhan Makassar dimana arus

penumpang dapat mencapai lebih dari 50% dari total, sementara untuk arus

barang mencapai 33% dari total arus barang yang melalui pelabuhan di

Sulawesi Selatan.

Pelabuhan Biringkassi memiliki presentase arus barang yang cukup

tinggi (35% dari total arus barang yang terjadi di seluruh pelabuhan Sulawesi

Selatan). Hal ini disebabkan karena pelabuhan Biringkassi yang merupakan

pelabuhan khusus dan secara kontinyu memuat semen dan membongkar

batubara, pelabuhan Palopo terkait keberadaannya sebagai pelabuhan

minyak kelapa sawit, pelabuhan Pare pare termasuk pelabuhan niaga yang
168

banyak mengeluarkan komoditi hasil pangan dari daerah hinterlandnya yaitu

Sidenreng Rappang, Pinrang, dan Wajo yang termasuk daerah surplus

beras.

Tabel 23
Produksi Pelabuhan di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2010

Penumpang
No. Pelabuhan B/M Barang (ton)
(org)
1 Benteng (Selayar) 510 53.672
2 Jampea (Selayar) 12.095 6.854
3 Bulukumba (Bulukumba) 1015 20.385
4 Bantaeng (Bantaeng) - 1.034
5 Jeneponto (Jeneponto) 807 28.430
6 Sinjai (Sinjai) 902 42.962
7 Tujuh-Tujuh (Bone) - 46.264
8 Bajoe (Bone) 20.496 50.888
9 Pattiro Bajo (Bone) 143 3.502
10 Biringkasi (Pangkep) - 3.455.989
11 Awerange (Barru) 1.646 33.193
12 Siwa (Wajo) 224.011 34.038
13 Palopo (Palopo) 7.654 595.416
14 Malili (Luwu Timur) - 1.166.794
15 Makassar (Makassar) 932.986 3.221.619
16 Parepare (Parepare) 614.206 1.063.573
Sumber : Tatrawil Sulawesi Selatan Tahun 2011

b. Alur Pelayaran

Koridor Sulawesi merupakan salah satu koridor ekonomi yang telah

ditetapkan dalam MP3EI yang terdiri dari 6 daerah pusat ekonomi yaitu

Makassar, Palu, Kendari, Mamuju, Gorontalo, dan Manado. Dari segi

geografis, posisi koridor ini sangat strategis karena diapit oleh alur laut
169

kepulauan Indonesia (ALKI) II yang melalui Selat Makassar dan ALKI III yang

merupakan alur laut perdagangan internasional (gambar 75).

Gambar 75. Alur Pelayaran Indonesia


Sumber: MP3EI, Tahun 2011

Sulawesi Selatan memiliki alur pelayaran yang terbagi atas 4 jenis alur

pelayaran yaitu (gambar 77):

1) Alur pelayaran Kepulauan Indonesia (ALKI)

2) Alur Pelayaran Perahu Antar Pulau

3) Alur Pelayaran Nasional Primer

4) Alur pelayaran Nasional Sekunder


170

Gambar 76. Peta Titik Pelabuhan di Sulawesi Selatan


Sumber: Dimodifikasi dari RTRW Sulawesi Selatan Tahun 2009 - 2029
171

Gambar 77. Alur Pelayaran di Sulawesi Selatan


Sumber: Dimodifikasi dari RTRW Sulawesi Selatan Tahun 2009 – 2029 dan MP3EI Tahun 2011
172

B. Analisis Potensi Pergerakan

1. Analisis Bangkitan Pergerakan

Pergerakan peti kemas di wilayah Sulawesi Selatan sangat dipengaruhi

oleh komoditas yang di hasilkan maupun yang dibutuhkan. Komoditas ini

kemudian menjadi landasan yang paling mendasar dalam melakukan

aktivitas pengangkutan peti kemas. Sulawesi Selatan memiliki komoditas

yang dapat dikirim melalui peti kemas dimana terdiri dari hasil pertanian,

perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, pertambangan, dan industri.

Sedangkan komoditas yang biasanya masuk ke dalam wilayah Sulawesi

Selatan yang terdiri dari mesin, kaleng-kaleng, elektronik dan sebagainya.

Dalam menentukan bangkitan pergerakan untuk pengangkutan peti

kemas dilakukan peninjauan terhadap jumlah peti kemas yang keluar dan

masuk di Terminal Peti Kemas Makassar (TPM). Bangkitan pergerakan untuk

peti kemas di wilayah Sulawesi Selatan dalam penelitian ini berorientasi

terhadap pengangkutan peti kemas untuk komoditas ekspor dan impor di

wilayah Sulawesi Selatan.

Peti kemas yang masuk ke dalam TPM tahun 2013 berjumlah 451.113

TEUs dengan jumlah peti kemas yang keluar dari TPM 226.827 TEUs dan

jumlah peti kemas yang masuk ke TPM adalah 224.286 TEUs. Sedangkan

pada tahun 2014 mengalami peningkatan jumlah menjadi 475.711 TEUs

dengan rincian peti kemas yang masuk ke TPM 237.515 TEUs dan peti
173

kemas yang keluar dari TPM 238.196 TEUs. Berdasarkan perhitungan

proyeksi bunga berganda maka pertumbuhan peti kemas yang terjadi dari

tahun 2013 ke tahun 2014 adalah 5%.

Pertumbuhan ini juga terjadi disebabkan oleh pertambahan produksi

komoditas maupun kebutuhan terhadap bahan impor, terdapat pula

perubahan bentuk kemasan dimana selama periode tahun 2000-2010 dari

muatan general cargo menjadi muatan petikemas cukup drastis. Makassar

general cargo turun dari 5,52 % menjadi 0,84 % petikemas naik dari 23,83 %

menjadi 39,84 % (Disertasi Misliah, 2010).

a. Impor/Tujuan

Tujuan yang dimaksud adalah jumlah peti kemas yang keluar dari

Terminal Peti Kemas Makassar menuju ke Kabupaten/Kota di Sulawesi

Selatan maupun Provinsi lain. Berdasarkan data yang terdapat di Pelindo IV,

Peti Kemas yang keluar dari Terminal Peti Kemas tahun 2013 adalah

226.827 box sedangkan peti kemas mengangkut barang-barang khusus

impor dari TPM ke Wilayah-Wilayah di Sulawesi Selatan adalah 2676 box.

Berdasarkan data tersebut maka dapat disimpulkan peti kemas yang masuk

ke TPM dengan memuat barang-barang khusus impor untuk Sulsel adalah

1,2%. Sedangkan peti kemas yang keluar dari TPM dengan memuat barang-

barang kiriman lingkup nasional/lokal yang menuju ke Kabupaten/kota di

Sulawesi Selatan maupun provinsi lain berjumlah 224.151 box atau 98,8%.
174

Selayar
Bulukumba
Bantaeng
Makassar Jeneponto
56%
Takalar
Gowa
Sinjai
Maros

Gambar 78. Jumlah Pergerakan Peti Kemas


dengan Muatan Impor Tahun 2013

Tabel 24. Jumlah Pergerakan Peti Kemas dengan Muatan Import


di Sulawesi Selatan Tahun 2013
Jumlah Pergerakan
No Kabupaten
Peti Kemas (TEUs)
1 Selayar 15
2 Bulukumba 6
3 Bantaeng 36
4 Jeneponto 10
5 Takalar 10
6 Gowa 71
7 Sinjai 6
8 Maros 210
9 Pangkep 464
10 Barru 28
11 Bone 105
12 Soppeng 1
13 Wajo 25
14 Sidrap 1
15 Pinrang 10
16 Enrekang 9
17 Luwu 16
18 TanaToraja 5
19 Luwu utara 1
20 Luwu timur 47
21 Toraja utara 1
22 Makassar 1495
23 Pare-pare 18
24 Palopo 86
SUL - SEL 2676
175

Wilayah yang memiliki jumlah impor terbesar adalah Kota Makassar

dengan jumlah pergerakan 1495 atau 56% dari jumlah pengangkutan bahan

impor di Sulawesi Selatan. Wilayah paling terkecil pergerakan peti kemasnya

adalah Kabupaten Soppeng, Kab. Luwu Utara, Kab. Toraja Utara dan Kab.

Sidrap yang hanya memiliki 1 pengangkutan peti kemas untuk impor di tahun

2013 (Tabel 24).

Tabel 25. Prediksi Jumlah Pergerakan Peti Kemas


Untuk Pengangkutan Impor Tahun 2033 di Sulawesi Selatan
Jumlah Pergerakan
No Kabupaten
Peti Kemas (TEUs)
1 Selayar 30
2 Bulukumba 12
3 Bantaeng 72
4 Jeneponto 20
5 Takalar 20
6 Gowa 142
7 Sinjai 12
8 Maros 420
9 Pangkep 528
10 Barru 56
11 Bone 210
12 Soppeng 2
13 Wajo 50
14 Sidrap 2
15 Pinrang 20
16 Enrekang 18
17 Luwu 32
18 TanaToraja 10
19 Luwu utara 2
20 Luwu timur 94
21 Toraja utara 2
22 Makassar 2990
23 Pare-pare 36
24 Palopo 172
SUL - SEL 5348
176

Berdasarkan pertumbuhan jumlah peti kemas yang keluar masuk di peti

kemas yang mengalami peningkatan sebanyak 5% setiap tahunnya maka

dapat di lakukan analisis perhitungan dengan teori bunga berganda untuk

memprediksi pergerakan yang akan terjadi di tahun 2033. Pertumbuhan

pergerakan yang terjadi paling besar terdapat di Kota Makassar dengan

jumlah pergerakan 2990 TEUs sedangkan yang paling terkecil tingkat

pergerakannya terdapat di Kabupaten Soppeng, Kab. Luwu Utara, Kab.

Toraja Utara (tabel 25).

b. Asal/Ekspor

Bangkitan pergerakan asal yang dimaksud adalah jumlah pergerakan peti

kemas yang berasal dari kota/kabupaten di Sulawesi Selatan yang masuk ke

dalam TPM. Berdasarkan data yang terdapat di Pelindo IV, Peti Kemas yang

masuk di Terminal Peti Kemas tahun 2013 adalah 224.286 TEUs sedangkan

peti kemas mengangkut komoditas untuk ekspor dari Kota/Kabupaten dalam

wilayah Sulsel ke TPM adalah 16052 TEUs. Berdasarkan data tersebut maka

dapat disimpulkan peti kemas yang masuk ke TPM dengan memuat barang-

barang khusus ekspor dari SULSEL adalah 7,15 %. Peti kemas yang masuk

di TPM dengan memuat barang-barang yang akan di kirim dengan lingkup

nasional/lokal berjumlah 221.612 TEUs atau 92,85%.


177

Tabel 26. Jumlah Pergerakan Peti Kemas Pengangkutan Ekspor


Di Sulawesi Selatan Tahun 2013
Jumlah Pergerakan
No Kabupaten
Peti Kemas (TEUs)
1 Selayar 10
2 Bulukumba 158
3 Bantaeng 66
4 Jeneponto 82
5 Takalar 33
6 Gowa 105
7 Sinjai 12
8 Maros 1,222
9 Pangkep 3,698
10 Barru 33
11 Bone 909
12 Soppeng 130
13 Wajo 3
14 Sidrap 6
15 Pinrang 7
16 Enrekang 7
17 Luwu 12
18 TanaToraja 1
19 Luwu utara 37
20 Luwu timur 10
21 Toraja utara 1
22 Makassar 7,318
23 Pare-pare 28
24 Palopo 879
SUL - SEL 14.767

Wilayah yang memiliki jumlah pergerakan ekspor dengan peti kemas

terbesar adalah Kota Makassar dengan jumlah pergerakan 7318 atau

49,6%% dari jumlah pengangkutan bahan ekspor di Sulawesi Selatan.

Wilayah paling terkecil pergerakan peti kemasnya adalah Kab. Toraja Utara

dan Kab Tana Toraja yang hanya memiliki 1 pengangkutan peti kemas untuk

ekspor di tahun 2013 (Tabel 26).


178

Selayar
Bulukumba
Bantaeng
Makassar Jeneponto
49,6%
Takalar
Gowa
Sinjai
Maros

Gambar 79. Jumlah Pergerakan Peti Kemas dengan Muatan ekspor


Tahun 2013

Berdasarkan pertumbuhan jumlah peti kemas yang keluar masuk di peti

kemas yang mengalami peningkatan sebanyak 5% setiap tahunnya maka

dapat di lakukan analisis perhitungan dengan analisis perbandingan

berdasarkan rasio pertumbuhan sampai 20 tahun mendatang untuk

memprediksi pergerakan yang akan terjadi di tahun 2033. Pertumbuhan

pergerakan yang terjadi paling besar terdapat di Kota Makassar dengan

jumlah pergerakan 7.318 TEUs sedangkan yang paling terkecil tingkat

pergerakannya terdapat di Kab. Toraja Utara dan Kab Tana Toraja (Tabel

20).

Tabel 27. Jumlah Pergerakan Peti Kemas Pengangkutan Ekspor


Di Sulawesi Selatan Tahun 2033
Jumlah Pergerakan
No Kabupaten
Peti Kemas (TEUs)
1 Selayar 20
2 Bulukumba 316
3 Bantaeng 132
179

Jumlah Pergerakan
No Kabupaten
Peti Kemas (TEUs)
4 Jeneponto 164
5 Takalar 66
6 Gowa 210
7 Sinjai 24
8 Maros 2.444
9 Pangkep 7.396
10 Barru 66
11 Bone 1.818
12 Soppeng 260
13 Wajo 6
14 Sidrap 12
15 Pinrang 14
16 Enrekang 14
17 Luwu 24
18 TanaToraja 2
19 Luwu utara 74
20 Luwu timur 20
21 Toraja utara 2
22 Makassar 14.636
23 Pare-pare 56
24 Palopo 1758
SUL - SEL 29.534

2. Analisis Distribusi Pergerakan

Distribusi pergerakan barang terjadi ketika pemindahan barang dari suatu

wilayah ke wilayah yang lain dengan menggunakan moda transportasi

tertentu. Adapun pola pergerakan barang sering diasumsikan sebagai bentuk

arus pergerakan yang bergerak dari zona asal menuju ke zona tujuan yang

menjadi daerah tertentu dan periode waktu tertentu. Dalam melihat distribusi

pergerakan atau matriks asal tujuan (MAT) pada wilayah Sulawesi selatan,

maka analisis yang digunakan adalah Gravity dengan pendekatan model

batasan bangkitan (Production Constrained model/PCGR).


180

Dalam melakukan analisis ini dilakuakn identifikasi terhadap 3 komponen

yang sangat berpengaruh yaitu potensi zona asal, potensi zona tujuan dan

hambatan. Zona potensi asal yang dimiliki adalah jumlah peti kemas dengan

pergerakan ekspor yang masuk ke TPM dan berasal dari kabupaten atau

kota yang berada di Sulawesi Selatan, potensi zona tujuan adalah komoditas

impor yang diangkut dari TPM menuju ke kabupaten di Sulawesi Selatan

sedangkan hambatan merupakan jarak antara kabupaten atau kota dengan

pelabuhan peti kemas Kota Makassar dengan pendekatan eksponensial

Negatif (tabel 26 dan tabel 27).

Berdasarkan hasil Matriks Asal Tujuan (MAT) dengan model Gravity

maka dapat disimpulkan distribusi pergerakan dari peti kemas dengan pusat

distribusi adalah Terminal Peti Kemas Makassar (TPM) banyak terjadi di Kota

Makassar (tabel 25).

Berdasarkan Jumlah asal pergerakan, Kota Makassar memiliki

pergerakan sebesar 9.112 atau 61,7% dari total asal pergerakan yang terjadi.

Sedangkan berdasarkan jumlah tujuan pergerakan, Kota Makassar tetap

memiliki pergerakan yang cukup tinggi yaitu 7318 atau 49,5%. Pergerakan

distribusi peti kemas banyak terjadi di Makassar karena system

pengangkutan Peti Kemas khusus Kota Makassar memiliki Kawasan industry

yang dilengkapi dengan pergudangan sehingga ketika pengangkutan peti

kemas dilakukan, sebagian besar akan masuk ke Kawasan industri KIMA


181

sebelum dibawa ke TPM. Adapun tipe penyaluran peti kemas menuju ke

TPM terdiri atas 4 perangkutan yaitu:

a. Truk biasa menuju Pergudangan/Kawasan Industri kemudian di

kemas kedalam peti kemas untuk diangkut menuju pelabuhan.

b. Perangkutan dari pengirim dengan menggunakan peti kemas

menuju ke Pergudangan/Kawasan Industri dan kemudian menuju ke

pelabuhan.

c. Perangkutan yang langsung menuju pelabuhan dari pengirim

dengan menggunakan peti kemas.

d. Perangkutan yang singgah di pengumpul dari komoditas tertentu

kemudian diangkut dengan truk biasa atau peti kemas kemudian

menuju ke Pergudangan/Kawasan Industri sebelum menuju ke

pelabuhan.

Gambar 80. Distribusi Pengangkutan Komoditas Ekspor/Impor


dengan Peti Kemas
182

Berdasarkan hasil prediksi pada tahun 2033, distribusi pergerakan yang

paling besar tetap berada di Kota Makassar. Jumlah asal pergerakan, Kota

Makassar memiliki pergerakan sebesar 18.220 atau 61,7% dari total asal

pergerakan yang terjadi. Kota Makassar tetap memiliki pergerakan yang

cukup tinggi yaitu 14636 atau 49,5%. (tabel 28)

Tabel 28. Distribusi Pergerakan


Tahun 2015 dan Tahun 2033
No Kabupaten Jumlah Distribusi Jumlah Distribusi
Tahun 2013 (TEUs) Tahun 2033 (TEUs)
1 Selayar 19 37
2 Bulukumba 15 30
3 Bantaeng 104 207
4 Jeneponto 33 65
5 Takalar 44 87
6 Gowa 401 803
7 Sinjai 11 23
8 Maros 1.249 2.498
9 Pangkep 2.658 5.314
10 Barru 113 227
11 Bone 341 682
12 Soppeng 1 5
13 Wajo 62 125
14 Sidrap 1 5
15 Pinrang 29 58
16 Enrekang 22 44
17 Luwu 57 113
18 TanaToraja 14 28
19 Luwu utara 2 3
20 Luwu timur 55 109
21 Toraja utara 3 6
22 Makassar 9.112 18.220
23 Pare-pare 62 124
24 Palopo 361 721
SUL - SEL 14.769 29.534
183

Gambar 81. Peta Distribusi Pergerakan


184

C. Analisis Pemilihan Moda

Pada saat ini, pengangkutan peti kemas dilakukan dengan menggunakan

truk dan tronton yang ditempuh dengan melalui jalan raya untuk mencapai

berbagai kabupaten maupun kota di Sulawesi Selatan. Mengingat konsep dry

port dalam mensinkronisasikan penggunaan moda transportasi secara

terpadu merupakan hal yang baru dari pengangkutan peti kemas di Sulawesi

Selatan maka dilakukan peninjauan terhadap indikator yang berpengaruh

terhadap pemilihan alternatif pengangkutan oleh pengguna jasa.

Alternatif pemilihan moda dilakukan dengan mengambil sample

berdasarkan indikator sistranas dimana dapat diketahui faktor yang paling

berpengaruh terhadap pemilihan moda. Selain itu, dalam membuat konsep

secara terpadu dalam penyatuan penggunaan moda transportasi secara

berkesinambungan maka diperlukan indikator yang sangat berpengaruh

terhadap alternative pemilihan moda tersebut.

a. Pemilihan moda saat ini

Pemilihan moda saat ini tidak memiliki alternatif moda yang dapat

menjadi pilihan dalam pengangkutan peti kemas. Pengangkutan yang

dilakukan hanya dengan menggunakan truk atau tronton. Berdasarkan hasil

observasi dan kuestioner langsung dilapangan dari 30 responden maka truk

yang digunakan adalah milik perusahaan/ekspedisi 91% sedangkan yang

memiliki truk sendiri sebanyak 9% dengan biaya sewa Rp. 250.000/hari (lihat
185

gambar 82) Frekuensi pengangkutan peti kemas dari pelabuhan Makassar

menuju ke wilayah-wilayah Sulawesi selatan dapat mencapai 6-10

kali/minggu. Biaya yang digunakan dalam sekali pengangkutan terdiri atas

konsumsi BBM yang tergantung pada jarak wilayah, biaya tol, biaya handling

barang di pelabuhan, biaya penyimpanan barang di pelabuhan serta biaya-

biaya lainnya selama perjalanan.

Truk Milik
Pribadi
30%

Truk Milik
Perusahaan
70%

Gambar 82. Grafik kepemilikan truk pengangkut peti kemas

b. Pemilihan moda berdasarkan sistranas

Pemilihan moda secara eksisting merupakan hasil dari observasi dan

kuestioner yang difokuskan terhadap perusahaan atau ekspedisi yang

memegang peranan dalam pengiriman barang dengan menggunakan peti

kemas. Namun dalam pemilihan moda yang akan difokuskan disini adalah

untuk mengetahui faktor yag paling berpengaruh terhadap system

pengangkutan peti kemas tersebut. Pemilihan ini akan disesuaikan sistranas

yang mengatur tentang moda transportasi baik penumpang maupun barang.


186

Selain itu, peninjauan yang dilakukan difokuskan langsung ke setiap

stakeholder yang terlinat dalam system distribusi peti kemas. Dari indicator ini

kemudian akan dilihat moda transportasi yang paling efisien dalam

pengangkutan adalah dengan menggunakan truk atau kereta api.

1) Responden dari Pelindo IV Makassar

Dalam analisis ini dgunakan analisis AHP dengan bantuan Software

Expert Choice yang memudahkan dalam melakukan perhitungan literasi

dengan tingkat kevalidan data yang dapat dipercaya. Berdasarkan hasil

kuestioner AHP yang diperuntukkan bagi Pelindo IV maka didapatkan matriks

perbandingan yang berorientasi pada indikator sistranas, sebagai berikut:

Gambar 83. Matriks Perbandingan Indikator dari Pelindo IV


Hasil dari matriks perbandingan indikator sistranas dari responden yang

berasal dari Bidang manajemen perencanaan Terminal Peti Kemas Makassar

(Pelindo IV) menunjukkan bahwa dari 8 indikator berdasarkan sistranas yang

paling berpengaruh terhadap kinerja distribusi peti kemas adalah indikator


187

7/14/2015 2:26:48 AM Page 1 of 1


Lancar dan Tepat menjadi indikator yang paling berpengaruh dengan

Model Name: pemilihan moda


persentase 20,9% (gambar 84).

Priorities with respect to: Pelindo


Goal: indikator sistranas

Lancar dan Tepat .209


Teratur .140
Kapasitas .151
Aman .183
Tarif Terjangkau .102
Terpadu .084
Mudah Dicapai .079
Polusi Rendah .053
Inconsistency = 0.04
with 0 missing judgments.

Gambar 84. Nilai Responden pihak Pelindo IV Makassar

Setelah itu menganalisis hasil olahan dari expert choice untuk

mengetahui hasil inkonsistensi dan prioritas. Jika nilai konsistensinya lebih

dari 0,10 maka hasil tersebut tidak konsisten, namun jika nilai tersebut kurang

dari 0,10 maka hasil tersebut dikatakan konsisten. Berdasarkan hasil analisis

nilai yang didapatkan adalah 0.04 sehingga dapat disimpulkan bahwa

responden yang berasal dari pihak Pelindo IV konsisten dalam menjawab

kuistioner.

2) Responden dari Perusahaan Pelayaran Peti Kemas

Dalam analisis ini dgunakan analisis AHP dengan bantuan Software

Expert Choice yang memudahkan dalam melakukan perhitungan literasi

dengan tingkat kevalidan data yang dapat dipercaya. Berdasarkan hasil

kuestioner AHP yang diperuntukkan bagi Perusahaan pelayaran yang

nini
188

menyediakan peti kemas, maka didapatkan matriks perbandingan yang

berorientasi pada indikator sistranas, sebagai berikut:

7/14/2015
Gambar 2:56:33
85.AM Page 1 of 1
Matriks Perbandingan Indikator dari Perusahaan Pelayaran

Hasil dari matriks perbandingan indikator sistranas dari responden yang


Model Name: pemilihan moda
berasal dari Perusahaan Pelayaran Peti Kemas yang diwakili oleh perwakilan

Divisi komersial PT. Meratus menunjukkan bahwa dari 8 indikator


Synthesis: Summary
berdasarkan sistranas yang paling berpengaruh terhadap kinerja distribusi

peti kemas adalah indikator Tarif Terjangkau menjadi indikator yang paling

berpengaruh dengan persentase 34,9% (gambar 86).

Gambar 86. Nilai Responden PT Meratus/Perusahaan Pelayaran


189

Hasil olahan dari expert choice untuk mengetahui hasil inkonsistensi dan

prioritas. Jika nilai konsistensinya lebih dari 0,10 maka hasil tersebut tidak

konsisten, namun jika nilai tersebut kurang dari 0,10 maka hasil tersebut

dikatakan konsisten. Berdasarkan hasil analisis nilai yang didapatkan adalah

0.04 sehingga dapat disimpulkan bahwa responden yang berasal dari pihak

PT Meratus konsisten dalam menjawab kuistioner.

3) Responden dari Perusahaan Ekspedisi

Dalam analisis ini dgunakan analisis AHP dengan bantuan Software

Expert Choice yang memudahkan dalam melakukan perhitungan literasi

dengan tingkat kevalidan data yang dapat dipercaya. Berdasarkan hasil

kuestioner AHP yang diperuntukkan bagi Perusahaan Ekspedisi yang

mengatur pengiriman barang dengan menggunakan peti kemas, maka

didapatkan matriks perbandingan yang berorientasi pada indikator sistranas,

sebagai berikut:

Gambar 87. Matriks Perbandingan Indikator dari Perusahaan Ekspedisi


190

Hasil dari matriks perbandingan indikator sistranas dari responden yang

berasal dari Perusahaan Ekspedisi yang diwakili oleh perwakilan CV. Dhan

Trans menunjukkan bahwa dari 8 indikator berdasarkan sistranas yang paling

berpengaruh terhadap kinerja distribusi peti kemas adalah indikator Lancar


7/14/2015 3:14:12 AM Page 1 of 1
dan Tepat menjadi indikator yang paling berpengaruh dengan persentase

17.1% (gambar 88). Model Name: pemilihan moda

Priorities with respect to: Ekspedisi


Goal: indikator sistranas

Lancar dan Tepat .171


Teratur .153
Kapasitas .167
Aman .161
Tarif Terjangkau .168
Terpadu .065
Mudah Dicapai .086
Polusi Rendah .028
Inconsistency = 0.04
with 0 missing judgments.

Gambar 88. Nilai Responden Perusahaan Ekspedisi

Hasil olahan dari expert choice untuk mengetahui hasil inkonsistensi dan

prioritas. Jika nilai konsistensinya lebih dari 0,10 maka hasil tersebut tidak

konsisten, namun jika nilai tersebut kurang dari 0,10 maka hasil tersebut

dikatakan konsisten. Berdasarkan hasil analisis nilai yang didapatkan adalah

0.04 sehingga dapat disimpulkan bahwa responden yang berasal dari pihak

perusahaan Ekspedisi konsisten dalam menjawab kuistioner.


191

4) Responden dari Pengguna Jasa Peti Kemas

Dalam analisis ini dgunakan analisis AHP dengan bantuan Software

Expert Choice yang memudahkan dalam melakukan perhitungan literasi

dengan tingkat kevalidan data yang dapat dipercaya. Berdasarkan hasil

kuestioner AHP yang diperuntukkan bagi pengguna jasa peti kemas yang

berperan sebagai pengirim yang memiliki barang dalam peti kemas yang

diangkut, maka didapatkan matriks perbandingan yang berorientasi pada

indikator sistranas, sebagai berikut:

Gambar 89. Matriks Perbandingan Indikator dari pengguna jasa

Hasil dari matriks perbandingan indikator sistranas dari responden yang

berasal dari salah satu pabrik minuman kemasan di Kabupaten Maros

menunjukkan bahwa dari 8 indikator berdasarkan sistranas yang paling

berpengaruh terhadap kinerja distribusi peti kemas adalah indikator

Kapasitas menjadi indikator yang paling berpengaruh dengan persentase

19.4% (gambar 90).


7/14/2015 3:17:16 AM
192
Page 1 of 1

Model Name: pemilihan moda

Priorities with respect to: Pengguna Jasa


Goal: indikator sistranas

Lancar dan Tepat .154


Teratur .085
Kapasitas .194
Aman .184
Tarif Terjangkau .173
Terpadu .071
Mudah Dicapai .075
Polusi Rendah .064
Inconsistency = 0.03
with 0 missing judgments.

Gambar 90. Nilai Responden Perusahaan Ekspedisi

Hasil olahan dari expert choice untuk mengetahui hasil inkonsistensi dan

prioritas. Jika nilai konsistensinya lebih dari 0,10 maka hasil tersebut tidak

konsisten, namun jika nilai tersebut kurang dari 0,10 maka hasil tersebut

dikatakan konsisten. Berdasarkan hasil analisis nilai yang didapatkan adalah

0.03 sehingga dapat disimpulkan bahwa responden yang berasal dari pihak

pengguna jasa konsisten dalam menjawab kuistioner.

5) Responden dari Akademisi

Dalam analisis ini dgunakan analisis AHP dengan bantuan Software

Expert Choice yang memudahkan dalam melakukan perhitungan literasi

dengan tingkat kevalidan data yang dapat dipercaya. Berdasarkan hasil

kuestioner AHP yang diperuntukkan bagi pihak akademisi yang berasal dari

magister transportasi yang berperan sebagai pemikir dalam system

perencanaan transportasi, maka didapatkan matriks perbandingan yang

berorientasi pada indikator sistranas, sebagai


nini berikut:
193

Gambar 91. Matriks Perbandingan Indikator dari akademisi

Hasil dari matriks perbandingan indikator sistranas dari responden yang

berasal dari magister transportasi menunjukkan bahwa dari 8 indikator

berdasarkan sistranas yang paling berpengaruh terhadap kinerja distribusi


7/14/2015 3:28:17 AM Page 1 of 1

peti kemas adalah indikator Kapasitas menjadi indikator yang paling


Model Name: pemilihan moda
berpengaruh dengan persentase 26,2% (gambar 92).

Priorities with respect to: Akademisi


Goal: indikator sistranas

Lancar dan Tepat .149


Teratur .089
Kapasitas .262
Aman .132
Tarif Terjangkau .071
Terpadu .139
Mudah Dicapai .115
Polusi Rendah .043
Inconsistency = 0.08
with 0 missing judgments.

Gambar 92. Nilai Responden Perusahaan Akademisi

Hasil olahan dari expert choice untuk mengetahui hasil inkonsistensi

dan prioritas. Jika nilai konsistensinya lebih dari 0,10 maka hasil tersebut
194

tidak konsisten, namun jika nilai tersebut kurang dari 0,10 maka hasil tersebut

dikatakan konsisten. Berdasarkan hasil analisis nilai yang didapatkan adalah

0.08 sehingga dapat disimpulkan bahwa responden yang berasal dari pihak

akademisi konsisten dalam menjawab kuistioner.

6) Kombinasi Responden

Dalam analisis ini dgunakan analisis AHP dengan bantuan Software

Expert Choice yang memudahkan dalam melakukan perhitungan literasi

dengan tingkat kevalidan data yang dapat dipercaya. Berdasarkan hasil

kuestioner AHP yang merupakan kombinasi dari seluruh responden yang

telah dijelaskan pada poin 1 sampai 5, maka didapatkan matriks

perbandingan yang berorientasi pada indikator sistranas secara keseluruhan,

sebagai berikut:

Gambar 93. Matriks Perbandingan Indikator dari


Kombinasi Seluruh Responden

Hasil dari matriks perbandingan indikator sistranas dari gabungan

responden secara keseluruhan menunjukkan bahwa dari 8 kriteria yang


195

menjadi faktor penentuan didapatkan bahwa kriteria Lancar dan Tepat


7/14/2015 3:37:08 AM Page 1 of 1
dengan persentase 17,6% menjadi kriteria yang paling berpengaruh dalam
Model Name: pemilihan moda
distribusi peti kemas (gambar 94).

Priorities with respect to: Combined


Goal: indikator sistranas

Lancar dan Tepat .176


Teratur .118
Kapasitas .170
Aman .156
Tarif Terjangkau .159
Terpadu .078
Mudah Dicapai .097
Polusi Rendah .046
Inconsistency = 0.01
with 0 missing judgments.

Gambar 94. Nilai Kombinasi Responden Pemilihan Moda

7) Hasil Pemilihan Moda

Berdasarkan indikator diatas yang telah dipaparkan sebelumnya maka

indikator Lancar dan Tepat kemudian menjadi faktor yang sangat

berpengaruh terhadap distribusi peti kemas. Berdasarkan hasil tersebut maka

analisis pemilihan moda dengan konsep AHP kemudian dilakukan dengan

mempertimbangkan faktor lancar dan tepat sebagai indikator yang prioritas.

Dalam analisis ini digunakan analisis AHP dengan bantuan Software

Expert Choice yang memudahkan dalam melakukan perhitungan literasi

dengan tingkat kevalidan data yang dapat dipercaya. Berdasarkan hasil

kuestioner AHP yang merupakan pendapat dari akumulasi beberapa

responden yang terdiri dari pemerintah dan pihak akademisi, maka

nini
196

didapatkan matriks perbandingan yang berorientasi pada indikator lancar dan

tepat yang sangat berpengaruh dalam pengangkutan peti kemas, sebagai

berikut:

Gambar 95. Matriks Perbandingan Indikator dari


Kombinasi Seluruh Responden untuk Pemilihan Moda

Berdasarkan hasil penggabungan responden secara keseluruhan maka

tingkat pemilihan moda transportasi sebagai sarana yang baik untuk

pengangkutan peti kemas adalah Kereta api. Hal ini dapat dilihat pada

gambar 52, dimana pemilihan moda dari kereta api mencapai 54.9%

sedangkan yang memilih truk sebagai pengangkutan peti kemas hanya


7/14/2015 3:50:58 AM Page 1 of 1

mencapai 45.1% (gambar 96).


Model Name: pilihan moda pengangkutan

Priorities with respect to: Combined


Goal: moda

Kereta Api .549


Truk .451
Inconsistency = 0.
with 0 missing judgments.

Gambar 96. Nilai Pemilihan Moda


197

D. Analisis Spasial Multi Kriteria (Spatial Multi Criteria Analysis/SMCA)

Analisis spasial multi kriteria dilakukan dengan menggabungkan

indikator-indikator yang berpengaruh terhadap penentuan lokasi Dry port.

Analisis ini dilakukan dengan menggunakan metode Analysis Hierarki

Process (AHP) dan Analisis Spasial dengan penggabungan antara Software

Arcgis dan Ilwis.

a. Indikator

1) Konektivitas dengan MP3EI

Kriteria ini adalah kelompok konektivitas MP3EI, dengan asumsi makin

dekat dengan jalur penghubung pusat ekonomi dan simpul-simpul berbagai

sektor perekonomian maka makin sesuai untuk lokasi Dry port . Berdasarkan

Logika Boolean maka hasilnya yaitu angka 1 merupakan wilayah dilalui oleh

jalur koridor ekonomi yang menunjang tujuan dari MP3EI, sedangkan angka

0 adalah wilayah yang tidak dilalui oleh jalur koridor ekonomi (Tabel 22).

Tabel 29. Penilaian Indikator MP3EI


No Kabupaten Nilai MP3EI
1 Selayar 0
2 Bulukumba 0
3 Bantaeng 0
4 Jeneponto 0
5 Takalar 0
6 Gowa 1
7 Sinjai 1
8 Maros 1
9 Pangkep 1
10 Barru 1
11 Bone 0
12 Soppeng 1
13 Wajo 1
14 Sidrap 1
198

No Kabupaten Nilai MP3EI


15 Pinrang 1
16 Enrekang 0
17 Luwu 1
18 TanaToraja 0
19 Luwu utara 1
20 Luwu timur 1
21 Toraja utara 0
22 Makassar 1
23 Pare-pare 1
24 Palopo 1

2) PDRB

Kriteria ini adalah kelompok PDRB, dengan asumsi bahwa semakin tinggi

nilai PDRB suatu wilayah maka semakin tingkat aktivitas perekonomiannya.

Hal ini akan turut berdampak pada aktivitas perangkutan logistik di wilayah

tersebut khususnya peti kemas. Pemberian nilai berdasarkan logika Boolean.

Jumlah dari seluruh klasifikasi nilai dari PDRB akan menggunakan

metode aritmatika untuk mengklasifikasikan tingkat nilai kesesuaian PDRB

wilayah terhadap penentuan lokasi Dry port . Berdasarkan data sekunder,

PDRB wilayah yang paling terkecil ada kabupaten Kepulauan Selayar

dengan nilai 2015.89 (Milyar Rupiah) sedangkan kabupaten yang memiliki

nilai PDRB paling besar adalah Kabupaten Luwu timur dengan nilai 12789.85

(milyar tahun). Hal ini kemudian menjadi landasan dalam menyimpulkan

rentang 2015.89 sampai 12789.85. Rentang ini kemudian dibagi dua kelas

kelas (disesuaikan Logika Boolean), maka interval kelas adalah 5387 (Tabel

30 dan 31).
199

Tabel 30. Nilai Kesesuaian PDRB Sulawesi Selatan


Nilai PDRB Keterangan
2015.89 – 7402.89 0 (Tidak Sesuai)
7402.90 – 12789.85 1 (Sesuai)

Tabel 31. Penilaian Indikator PDRB


PDRB
No Kabupaten Nilai PDRB
(Milyar Rupiah)
1 Selayar 9.47 1
2 Bulukumba 8.01 1
3 Bantaeng 8.82 1
4 Jeneponto 6.97 0
5 Takalar 7.33 0
6 Gowa 7.78 0
7 Sinjai 7.29 0
8 Maros 8.67 1
9 Pangkep 7.93 1
10 Barru 7.81 1
11 Bone 6.09 0
12 Soppeng 7.57 0
13 Wajo 8.01 1
14 Sidrap 7.44 0
15 Pinrang 6.81 0
16 Enrekang 6.96 0
17 Luwu 7.78 1
18 TanaToraja 7.57 0
19 Luwu utara 8.17 1
20 Luwu timur 9.62 1
21 Toraja utara 8.51 1
22 Makassar 8.91 1
23 Pare-pare 8.47 1
24 Palopo 8.99 1
Sumber: Sulawesi Selatan Dalam Angka, 2014

3) Distribusi Pergerakan

Kriteria ini adalah kelompok dari distribusi pergerakan, dengan asumsi

bahwa semakin tinggi nilai distribusi pergerakan peti kemas dalam suatu

wilayah maka semakin tinggi kebutuhan untuk manajemen pengangkutan

yang efisien. Hal ini akan turut berdampak pada aktivitas perangkutan logistik
200

di wilayah tersebut khususnya peti kemas. Pemberian nilai berdasarkan

logika Boolean (Tabel 32).

Jumlah dari seluruh klasifikasi nilai dari distribusi pergerakan akan

menggunakan metode aritmatika untuk mengklasifikasikan tingkat nilai

kesesuaian dengan jumlah distribusi pergerakan wilayah terhadap penentuan

lokasi Dry port. Berdasarkan data sekunder, distribusi pergerakan wilayah

yang tidak terjadi sepanjang tahun adalah kabupaten Tana Toraja dan Toraja

Utara sedangkan wilayah yang memiliki pergerakan paling besar adalah

adalah Kabupaten Pangkep dengan jumlah pergerakan 5763. Hal ini

kemudian menjadi landasan dalam menyimpulkan rentang 0 sampai 5763.

Rentang ini kemudian dibagi dua kelas kelas (disesuaikan Logika Boolean),

maka interval kelas adalah 2882.

Tabel 32. Nilai Kesesuaian Distribusi Pergerakan Peti Kemas


Sulawesi Selatan
Nilai Distribusi Pergerakan Keterangan
0 – 2882 0 (Tidak Sesuai)
2882 – 5763 1 (Sesuai)

Tabel 33. Distribusi Pergerakan Peti Kemas


Pergerakan Peti
No Kabupaten Nilai Pergerakan
Kemas (TEUs)
1 Selayar 16 0
2 Bulukumba 257 0
3 Bantaeng 107 0
4 Jeneponto 137 0
5 Takalar 56 0
6 Gowa 178 0
7 Sinjai 19 0
201

8 Maros 1,968 0
9 Pangkep 5,763 1
10 Barru 51 0
11 Bone 1,363 0
12 Soppeng 202 0
13 Wajo 4 0
14 Sidrap 9 0
15 Pinrang 10 0
16 Enrekang 10 0
17 Luwu 16 0
18 TanaToraja 0 0
19 Luwu utara 52 0
20 Luwu timur 11 0
21 Toraja utara 0 0
22 Makassar 12,486 0
23 Pare-pare 42 0
24 Palopo 1,119 0

4) Jumlah Industri

Kriteria ini merupakan persentase jumlah industri di masing-masing

wilayah. Hasil ini adalah berdasarkan pertimbangan semakin tinggi nilai

jumlah industri maka tingkat kebutuhan pengangkutan barang juga akan

semakin meningkat. Jumlah dari seluruh klasifikasi nilai dari distribusi

pergerakan akan menggunakan metode aritmatika untuk mengklasifikasikan

tingkat nilai kesesuaian dengan jumlah distribusi pergerakan wilayah

terhadap penentuan lokasi Dry port.

Berdasarkan data sekunder, distribusi pergerakan wilayah yang paling

terkecil dengan nilai 1473 adalah Kabupaten Luwu Timur sedangkan

Kabupaten Gowa merupakan kabupaten yang memiliki jumlah industry paling

terbesar dengan jumlah 23400 unit. Hal ini kemudian menjadi landasan
202

dalam menyimpulkan rentang 1473 sampai 23400 (Tabel 34). Rentang ini

kemudian dibagi dua kelas kelas (disesuaikan Logika Boolean), maka interval

kelas adalah 10964.

Tabel 34. Nilai Kesesuaian Jumlah Industri Sulawesi Selatan


Nilai PDRB Keterangan
1473 - 12437 0 (Tidak Sesuai)
12438 – 23400 1 (Sesuai)

Tabel 35. Penilaian Jumlah Industri


No Kabupaten Jumlah Industri Nilai Kawasan Industri
1 Selayar 5680 0
2 Bulukumba 7004 0
3 Bantaeng 10766 0
4 Jeneponto 7021 0
5 Takalar 10711 0
6 Gowa 23400 1
7 Sinjai 5961 0
8 Maros 12127 0
9 Pangkep 7898 0
10 Barru 7070 0
11 Bone 12111 0
12 Soppeng 6951 0
13 Wajo 7504 0
14 Sidrap 6171 0
15 Pinrang 5835 0
16 Enrekang 6558 0
17 Luwu 2839 0
18 TanaToraja 4508 0
19 Luwu utara 1975 0
20 Luwu timur 1473 0
21 Toraja utara 6503 0
22 Makassar 160.439 1
23 Pare-pare 18005 1
24 Palopo 20393 1
Sumber: Sulawesi Selatan Dalam Angka, 2014
203

5) VC Ratio

Kriteria ini merupakan VC Ratio (perbandingan volume kendaraan

dan kapasitas jalan). Kemacetan juga dapat diukur dengan rasio volume ke -

kapasitas (V/C Ratio). Untuk keperluan perhitungan kemacetan wilayah,

maka tingkat kemacetan didefinisikan sebagai (Tabel 36) :

 V/C Ratio lebih besar dari 1,0 = berat Kemacetan

 V/C Ratio dari 0,75-1,0 = Berat Kemacetan

 V/C Ratio dari 0,5-0,74 = Sedang Kemacetan

 V/C Ratio kurang dari 0,5 = Rendah atau Tidak Kemacetan

Tabel 36. Penilaian VC Ratio


No Kabupaten VC Ratio Nilai VC Ratio
1 Selayar 1 0
2 Bulukumba 0.93 0
3 Bantaeng 0.84 0
4 Jeneponto 0.76 0
5 Takalar 0.73 1
6 Gowa 0.79 0
7 Sinjai 0.94 0
8 Maros 0.78 0
9 Pangkep 0.73 1
10 Barru 0.81 0
11 Bone 0.91 0
12 Soppeng 0.92 0
13 Wajo 0.84 0
14 Sidrap 0.70 1
15 Pinrang 0.82 0
16 Enrekang 0.90 0
17 Luwu 0.89 0
18 TanaToraja 0.94 0
19 Luwu utara 0.90 0
20 Luwu timur 0.92 0
21 Toraja utara 0.93 0
22 Makassar 0.73 1
23 Pare-pare 0.80 0
24 Palopo 0.84 1
Sumber: Dinas Perhubungan, 2014
204

Berdasarkan pembagian tersebut diatas, VC Ratio diklasifikasikan

dengan menggunakan nilai 1 dan 0 (Logika Boolean). Angka 1 menunjukkan

angka yang sesuai untuk konsep dry port yaitu 0 – 0,75 sedangkan angka 0

adalah angka yang tidak sesuai untuk lokasi dry port yaitu 0,75 - >1.

6) Aksesbilitas Jalan

Kriteria ini adalah kelompok Jarak dari Jalan, dengan asumsi makin dekat

dengan jalan makin sesuai. Angka 1 untuk wilayah yang dekat dengan jalan

raya dan angka 0 untuk wilayah yang jauh dengan jalan raya (Logika

Boolean) (Tabel 37). Hasil ini adalah berdasarkan pertimbangan standarisasi

untuk aspek jarak dari jalan untuk kasus kesesuaian wilayah terhadap

konsep Dry port , dipilih standarisasi “Cost” karena semakin dekat dengan

jalan maka akses menuju dan dari lokasi tersebut semakin baik atau berbiaya

rendah (low cost).

Tabel 37. Penilaian Aksesbilitas Jalan


No Kabupaten Nilai Aksesbilitas
Jalan
1 Selayar 1
2 Bulukumba 1
3 Bantaeng 1
4 Jeneponto 1
5 Takalar 1
6 Gowa 1
7 Sinjai 1
8 Maros 1
9 Pangkep 1
10 Barru 1
11 Bone 1
12 Soppeng 1
13 Wajo 1
14 Sidrap 1
205

No Kabupaten Nilai Aksesbilitas


Jalan
15 Pinrang 1
16 Enrekang 1
17 Luwu 1
18 TanaToraja 1
19 Luwu utara 1
20 Luwu timur 1
21 Toraja utara 1
22 Makassar 1
23 Pare-pare 1
24 Palopo 1

7) Perencanaan Jalur Kereta Api

Kriteria ini adalah kelompok perencanaan jalur kereta api, dengan asumsi

makin dekat dengan jalan makin sesuai perencanaan jalur kereta api maka

wilayah tersebut makin sesuai untuk lokasi dry port. Hal ini didasarkan bahwa

moda transportasi utama dalam pengangkutan peti kemas dengan konsep

dry port adalah kereta api. Nilai 1 untuk wilayah yang dekat dengan

perencanaan jalur kereta api dan nilai 0 untuk wilayah yang jauh dari

perencanaan kalur kereta api (Logika Boolean) (Tabel 38).

Tabel 38. Penilaian Perencanaan Jalur Kereta Api


Nilai Perencanaan
No Kabupaten
Jalur Kereta Api
1 Selayar 1
2 Bulukumba 1
3 Bantaeng 1
4 Jeneponto 1
5 Takalar 1
6 Gowa 1
7 Sinjai 1
8 Maros 1
9 Pangkep 1
10 Barru 1
11 Bone 1
12 Soppeng 0
206

Nilai Perencanaan
No Kabupaten
Jalur Kereta Api
13 Wajo 1
14 Sidrap 1
15 Pinrang 1
16 Enrekang 0
17 Luwu 1
18 TanaToraja 0
19 Luwu utara 1
20 Luwu timur 1
21 Toraja utara 0
22 Makassar 1
23 Pare-pare 1
24 Palopo 1

b. Hierarki Analysis Process (AHP)

Penentuan pembobotan berdasarkan pada hasil Hierarki Analysis

Process (AHP) yang berasal dari responden dari bidang tata ruang wilayah

dan bidang perencanaan transportasi.

1) Responden Akademisi Magister Tata Ruang Wilayah

Dalam analisis ini dgunakan analisis AHP dengan bantuan Software

Expert Choice yang memudahkan dalam melakukan perhitungan literasi

dengan tingkat kevalidan data yang dapat dipercaya. Berdasarkan hasil

kuestioner AHP yang diperuntukkan bagi pihak akademisi yang berasal dari

magister tata ruang wilayah yang berperan sebagai pemikir dalam sistem

perencanaan wilayah tata ruang Sulawesi Selatan, maka didapatkan matriks

perbandingan yang berorientasi pada indikator pemilihan lokasi yang cocok

untuk penerapan konsep Dry Port, sebagai berikut:


207

Gambar 97. Matriks Perbandingan Indikator dari Ahli Tata Ruang Wilayah

Hasil dari matriks perbandingan diatas dari responden yang berasal dari

Magister Tata Ruang Wilayah menunjukkan bahwa dari 7 indikator

berdasarkan yang berpengaruh terhadap penentuan lokasi dry port yang

paling berpengaruh terhadap penentuan lokasi Dry Port adalah indikator

Konektivitas MP3EI dengan persentase 24,6% (gambar 59).

Gambar 98. Nilai Responden Ahli Tata Ruang Wilayah


Hasil olahan dari expert choice untuk mengetahui hasil inkonsistensi dan

prioritas. Jika nilai konsistensinya lebih dari 0,10 maka hasil tersebut tidak

konsisten, namun jika nilai tersebut kurang dari 0,10 maka hasil tersebut

dikatakan konsisten. Berdasarkan hasil analisis nilai yang didapatkan adalah

0.04 sehingga dapat disimpulkan bahwa responden yang berasal dari pihak

akademisi tata ruang konsisten dalam menjawab kuistioner.


208

2) Responden Akademisi Magister Transportasi

Dalam analisis ini dgunakan analisis AHP dengan bantuan Software

Expert Choice yang memudahkan dalam melakukan perhitungan literasi

dengan tingkat kevalidan data yang dapat dipercaya. Berdasarkan hasil

kuestioner AHP yang diperuntukkan bagi pihak akademisi transportasi yang

berasal dari magister transportasi yang berperan sebagai pemikir dalam

sistem perencanaan transportasi Sulawesi Selatan, maka didapatkan matriks

perbandingan yang berorientasi pada indikator pemilihan lokasi yang cocok

untuk penerapan konsep Dry Port, sebagai berikut:

Gambar 99. Matriks Perbandingan Indikator dari Ahli Transportasi

Hasil dari matriks perbandingan diatas dari responden yang berasal

dari Magister Transportasi menunjukkan bahwa dari 7 indikator berdasarkan

yang berpengaruh terhadap penentuan lokasi dry port yang paling

berpengaruh aksesbilitas jalan dengan persentase 1,8% (gambar 100).


209

Gambar 100. Nilai Responden Ahli Transportasi


Hasil olahan dari expert choice untuk mengetahui hasil inkonsistensi dan

prioritas. Jika nilai konsistensinya lebih dari 0,10 maka hasil tersebut tidak

konsisten, namun jika nilai tersebut kurang dari 0,10 maka hasil tersebut

dikatakan konsisten. Berdasarkan hasil analisis nilai yang didapatkan adalah

0.04 sehingga dapat disimpulkan bahwa responden yang berasal dari pihak

akademisi transportasi konsisten dalam menjawab kuistioner.

3) Kombinasi Responden Lokasi Dry Port

Dalam analisis ini dgunakan analisis AHP dengan bantuan Software

Expert Choice yang memudahkan dalam melakukan perhitungan literasi

dengan tingkat kevalidan data yang dapat dipercaya. Berdasarkan hasil

kuestioner AHP akumulasi dari seluruh responden yang terdiri dari responden

tata ruang dan transportasi, maka didapatkan matriks perbandingan yang

berorientasi pada indikator pemilihan lokasi yang cocok untuk penerapan

konsep Dry Port, sebagai berikut:


210

Gambar 101. Matriks Perbandingan Indikator dari Kombinasi Responden

Hasil dari matriks perbandingan kriteria dari responden menunjukkan

bahwa 7/20/2015
dari indikator
7:56:07 AM penentu lokasi dryport, maka yang menjadi prioritas
Page 1 of 1

alternatif adalah perencanaan jaringan


Model Kereta Api (gambar 62).
Name: dryport

Priorities with respect to: Combined


Goal: indikator_Dryport

Konektivitas MP3EI .122


PDRB .084
Jumlah Kawasan Industri .136
Aksesbilitas Jalan .153
VC Ratio .152
Perencanaan Jaringan KA .208
Volume Barang .145
Inconsistency = 0.007 45
with 0 missing judgments.

Gambar 102. Nilai Kombinasi Responden Indikator Konsep Dry port

Berdasarkan hasil dari seluruh responden maka dapat disimpulkan

bahwa dari 100 % bobot maka terbagi 12,2% konektivitas MP3EI, 8,4%

PDRB, 13,6 Jumlah Kawasan Industri, 15,3 Aksesbilitas Jalan, 15,2% VC

Ratio, 20,8% Perencanaan Jaringan Kereta Api, 14,5% Volume pengiriman

Barang.
211

c. Menggabungkan kriteria

Penggabungan kriteria dilakukan dengan bantuan aplikasi ArcGIS dan

Ilwis untuk memperoleh hasil yang menunjukkan lokasi yang cocok untuk

Dry port bagi Sulawesi Selatan. Hasil ini dilakukan dengan proses overlay

seluruh peta indikator dengan pembobotan yang berasal dari analisis AHP.

Hasil yang didapatkan akan menunjukkan persentase kecocokan lokasi

untuk Dry port. Persentase wilayah yang dihasilkan berupa semakin

mendekati 100% berarti semakin sesuai untuk pengembangan lokasi dry

port, begitu juga sebaliknya.

Gambar 103. Ilustrasi Proses Overlay

Berdasarkan hasil analisis, maka diketehui lokasi yang cocok untuk

penentuan lokasi dryport terdiri atas 3 wilayah yaitu (gambar 63):

 Persentase 100% untuk penerapan lokasi konsep Dry port


212

Kabupaten Kota palopo, Kabupaten Pangkep, dan Kota Makassar

 Persentase 75% untuk penerapan lokasi konsep dry port adalah

Kab. Luwu Timur, Kab. Luwu Utara, Kab. Sidrap, Kab. Wajo, Kota

Pare-pare, Kab. Bone, Kab.Gowa dan Kepulauan Selayar.

 Persentase 50% untuk penerapan lokasi konsep dry port adalah kab.

Luwu, Kab. Tana Toraja, Kab. Pinrang, Kab. Wajo, Kab. Maros, Kab.

Sinjai, Kab. Takalar, Kab. Bulukumba.

 Persentase 25% untuk penerapan lokasi konsep dry port adalah

Kab. Toraja Utara, Kab. Enrekang, Kab. Soppeng Kab. Jeneponto,

Kab. Bantaeng.
213

Gambar 104. Peta Lokasi Penerapan Konsep Dry port


214

E. Arahan Penerapan Konsep Dry Port

Berdasarkan hasil analisis secara keseluruhan maka dapat dilakukan

penyimpulan terkait dengan arahan untuk penentuan konsep Dry port .

Penentuan arahan berorientasi terhadap 3 aspek yaitu:

1. Karakteristik Fisik Wilayah

Dengan melakukan peninjauan terhadap karakteristik wilayah Sulawesi

Selatan yang berpotensi terhadap penerapan konsep dry port. Hasil analisis

menunjukkan bahwa terdapat 3 wilayah yang berpotensi terhadap penerapan

konsep dry port yaitu Kota Makassar, Kota Palopo dan Kab. Pangkep.

2. Tata Ruang Wilayah Sulawesi Selatan

Peninjauan lebih ditekankan terhadap aspek struktur ruang Provinsi

Sulawesi Selatan yang mengatur pusat–pusat kegiatan dan kawasan

andalan. Hal ini kemudian menjadi acuan untuk penentuan pembagian

pelayanan pengangkutan peti kemas dengan berorientasi dengan pusat-

pusat kegiatan yaitu:

a. Pusat Kegiatan Nasional yaitu Kota Makassar melayani Pusat

Kegiatan Wilayah yang terdiri atas Kab. Jeneponto, Kab. Bulukumba,

Kab. Bone, Kab. Pangkep, Kab. Barru, Kota Pare-Pare, dan Kota

Palopo.

b. Pusat Kegiatan Wilayah terbagi atas Kab. Jeneponto, Kab.

Bulukumba, Kab. Pangkep, Kab. Barru, Kota Palopo.


215

c. Pusat Kegiatan Lokal melayani wilayah-wilayah sekitarnya dengan

hierarki lebih kecil.

Selain pusat-pusat kegiatan yang menjadi orientasi struktur ruang,

kawasan andalan juga dijadikan sebagai pertimbangan dalam penentuan

deliniasi pelayanan terutama untuk pengangkutan peti kemas. Adapun

wilayah-wilayah yang menjadi kawasan andalan di Sulawesi Selatan yaitu:

a. Kawasan Andalan Bulukumba–Watampone dengan pusat di Kab.

Bone yang mencakup Kab. Wajo, Kab. Bone, Kab. Soppeng, Kab.

Sinjai, Kab. Bulukumba, Kab. Bantaeng, Kab. Jeneponto, dan Kab.

Selayar.

b. Kawasan Andalan Mamminasata dengan pusat Kota Makassar dan

mencakup Kab. Takalar, Kab. Maros, Kab. Gowa dan Kab. Pangkep.

c. Kawasan Andalan Palopo dengan pusat kota palopo dan mencakup

Kab. Luwu Utara, kab. Luwu Timur, Kab. Toraja Utara dan Kab. Luwu.

d. Kawasan Andalan Pare-Pare dengan pusat di Kota Pare-pare dan

mencakup Kabupaten Pinrang, Kab. Wajo, Kab Barru.

3. Transportasi

Peninjauan yang dilakukan adalah terhadap potensi pergerakan peti

kemas dalam wilayah Sulawesi selatan dan pemilihan moda untuk

menjalankan aktivitas pengangkutan logistik.


216

4. Arahan Perencanaan

Berdasarkan pertimbangan sebelumnya, maka Sulawesi Selatan lebih

efisien pengangkutan peti kemasnya menggunakan konsep dry port yang

berorientasi pada Distance Dry port .

Penerapan konsep Distance Dry port terbagi atas 4 elemen yang

tersebar di seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Elemen-elemen tersebut

adalah pelabuhan, dry port , terminal antar moda dan pengirim.

a. Pelabuhan

Pelabuhan sebagai pusat distribusi pengangkutan peti kemas terletak di

Kota Makassar. Pelabuhan ini merupakan pelabuhan tingkat internasional

dan memiliki perlengkapan yang sangat lengkap untuk melakukan aktivitas

distribusi peti kemas. Selain itu, dalam perencanaan RTRW Wilayah

Sulawesi Selatan, pelabuhan ini dilalui oleh perencanaan jalur kereta api

yang menjadi prioritas moda transportasi yang efektif berdasarkan hasil

analisis pemilihan moda.

b. Dry port .

Lokasi Dry port ditetapkan di Kota Palopo. Pemilihan Kota Palopo untuk

lokasi Dry port selain karena hasil analisis, Kota palopo juga terletak di

perbatasan Provinsi Sulawesi selatan dengan Provinsi lain sehingga hal ini

juga dapat menunjang pengiriman peti kemas ke Provinsi di Luar Sulawesi

Selatan. Dalam pembagian pusat-pusat kegiatan perkotaan dalam sistem


217

tata ruang nasional (RTRW Nasional) dan propinsi Sulawesi Selatan (RTRW

Propinsi Sulawsei Selatan), Kota Palopo ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan

Wilayah (PKW) bersama Kota Watampone Parepare, Barru, Pangkajene,

jeneponto dan Bulukumba. Selain itu, Kota Palopo juga ditetapkan sebagai

pusat utama pengembangan Kawasan Andalan Palopo dan sekitarnya.

Dalam hal ini sebagai Pusat Pengembangan Ekonomi bagian utara Prov.

Sulsel serta sebagai pintu gerbang bagi pengangkutan dari dan menuju ke

provinsi lain.

c. Terminal antar moda

Terminal antar moda terletak di Kab. Pangkep, Kota Pare-pare, Kab.

Bone dan Kab. Bulukumba.

1) Peletakan terminal antar moda di kabupaten pangkep di sebabkan

karena wilayah ini berdasarkan hasil analisis penentuan lokasi dry port

juga berpotensi untuk lokasi dry port , memiliki bangkitan pergerakan

yang sangat besar serta merupakan pusat kegiatan wilayah. Selain itu,

kabupaten pangkep memiliki pelabuhan khusus untuk mengangkut

semen tonasa sehingga berpotensi untuk aktivitas ekspor dan impor.

2) Kabupaten bone dan kota pare-pare memiliki potensi yang cukup tinggi

untuk penentuan konsep dry port dengan persentase 75%, Selain itu juga

kedua wilayah ini juga merupakan salah satu pusat kegiatan wilayah

untuk Provinsi Sulawesi Selatan serta merupakan masing-masing pusat


218

pelayanan bagi kawasan andalan. Kedua wilayah ini memiliki pelabuhan

yang merupakan pintu gerbang menuju ke Kalimantan dan Sulawesi

Tenggara.

3) Kabupaten Bulukumba memiliki persentase kesesuaian untuk lokasi dry

port sebesar 50%. Kabupaten ini merupakan pusat kegiatan wilayah bagi

Sulawesi selatan serta memiliki pelabuhan yang melayani alur pelayaran

nasional sekunder serta perahu antar pulau sehingga berpotensi untuk

ekspor impor.

d. Pengirim atau penerima perangkutan peti kemas

Pengirim atau penerima perangkutan peti kemas terletak tersebar di

seluruh Sulawesi Selatan. Wilayah-wilayah yang diluar dari lokasi dry port,

terminal intermodal dan pelabuhan adalah Kab. Luwu Timur, Kab. Luwu, Kab.

Luwu Utara, Kab. Luwu, Kab. Pinrang, Kab. Sidrap, Kab. Wajo, Kab. Barru,

Kab. Maros, Kab. Sinjai, Kab.Gowa, Kab. Takalar, Kab. Jeneponto, kab.

Tana Toraja, Kab. Toraja Utara, Kab. Enrekang, Kab. Soppeng, dan Kab.

Kepulauan Selayar.
219

Gambar 105. Peta Elemen perencanaan Konsep Dry port berdasarkan


Kawasan Andalan Sulawesi Selatan
220

Gambar 106. Arahan Konsep Dry port


221

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan perencanaan yang telah dilakukan,

maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Potensi pergerakan yang paling banyak terjadi di Kota Makassar dan

terkecill di Kab. Toraja Utara.

2. Pemilihan moda untuk pengangkutan peti kemas sangat dipengaruhi oleh

indikator lancar dan tepat. Selain itu, yang menjadi prioritas pemilihan

moda adalah kereta api (54,9%) dan truk (45,1%).

3. Pemilihan lokasi dry port terletak di Kota Palopo, Kab. Pangkep dan Kota

Makassar.

4. Arahan penerapan konsep pengembangan adalah Distance Dry port,

dimana lokasi dry port adalah Kota Palopo, Pelabuhan di Kota Makassar,

Terminal antar Moda di Kab. Pangkep, Kota Pare-pare, Kab. Bulukumba

dan Kab. Bone.

B. SARAN

Adapun saran-saran yang terkait dengan perencanaan terkait dengan

perencanaan konsep Dry port adalah sebagai berikut:


222

1. Perlu kajian kombinasi transportasi antara rute yang sudah terbentuk

dengan moda transportasi lainnya. Selain itu, diperlukan pengkajian

terhadap alternatif penggunaan moda transportasi untuk mendukung

konsep dry port . Alternatif selain kereta api, terdapat pula pengangkutan

dengan menggunakan kapal laut dengan cara membangun tol laut serta

pengangkutan dengan menggunakan truk.

2. Untuk penelitian selanjutnya diperlukan kajian ekonomi, kajian

lingkungan, dan kajian hukum yang lebih mendalam kaitannya dengan

kelayakan ekonomis, dampak lingkungan dan kekuatan legalitas hukum

terkait dengan penerapan konsep Dry port

3. Untuk penelitian selanjutnya diperlukan kajian mengenai pengaruh

keberadaan Dry port terhadap kemungkinan perubahan pola sturuktur

ruang dan perkembangan wilayah yang mungkin terjadi di Provinsi

Sulsel.

4. Konsep Distance Dry port perlu didukung dengan penelitian lanjutan

terkait dengan manajemen perpindahan moda transportasi.


223

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, R., 2007. Transportasi dan Pengembangan Wilayah. Graha Ilmu,


Yogyakarta

Adisasmita, R., 2011. Jaringan Transportasi. Graha Ilmu, Yogyakarta

Al Harbi K.M.A.S. (1999), Application of AHP in Project Management,

International Journal of Project Management, 19, 19-27.

Australia Indonesia Partnership. 2009a. Rencana induk perkeretaapian


Indonesia. Indonesia Infrastructure Initiative.

Australia Indonesia Partnership. 2009b. Rencana induk Pelabuhan Soekarno


Hatta. Makassar

Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan (2014). Sulawesi Selatan


Dalam Angka Tahun 2014. Makassar: Badan Pusat Statistik
ProvinsiSulawesi Selatan.

Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan (2013). Sulawesi Selatan


Dalam Angka Tahun 2013. Makassar: Badan Pusat Statistik Provinsi
Sulawesi Selatan.

Bappeda Sulawesi Selatan, Rencana Tata Ruang Wilaya Provinsi Sulawesi

Selatan Tahun 2009 – 2029.

Departemen Pekerjaan Umum dan JICA. 2006. Rencana Tata Ruang


Terpadu untuk Wilayah Metropolitan Mamminasata. JICA. Makassar
224

Dinas Perhubungan Sulawesi Selatan. 2010. Draft Laporan Akhir Studi


Penyusunan Tatrawil Sulawesi Selatan. Makassar.

Dinas Perhubungan Sulawesi Selatan. 2010. Draft Laporan Akhir Studi


Penyusunan Tatrawil Mamminasata (Makassar, Maros,
Sungguminasa, Takalar). PT. TRANADI TAUTAMI. Makassar.

Fatmawati (2012). Peningkatan Fasilitas Penumpukan Peti Kemas di


Terminal Peti Kemas Makassar. Universitas Hasanuddin: Jurusan
Teknik Sipil.
Flacke. Web Based Spatial Multi Criteria Evaluation (SMCE) Software

Ginanjar. 2007. Evaluasi Performansi Angkutan Barang Peti Kemas Rute


Bandung-Jakarta, Jurusan Teknik Sipil, Institute Teknologi Bandung

Hendarto, Sri, et al. 2009. Dasar-dasar transportasi. ITB. Bandung

Hidayat, A.S et al. 2009. Optimalisasi peran jasa transportasi kereta api:
pendekatan model Diamond’s Porter. Depdiknas dan LIPI. Jakarta.

International Conference on City Logistics. 2005. Intermodal Transport and


City Logistics Policies

Jinca, M,Y. et al, 2002. Perencanaan Transportasi. Kerjasama Fakultas


Teknik Unhas Makassar dengan Pusat Pendidikan Keahlian Teknik
BPSDM Departemen Prasarana Wilayah, Bandung.

Khisty dan Lall, 2003. Dasar - dasar rekayasa transportasi jilid 1. Alih bahasa
Fidel Miro. Erlangga. Jakarta.

Kurniawan, Y.A. 2010. Permodelan Pemilihan Moda Angkutan Bus dan


Kereta Api Jurusan Solo-Yogyakarta dengan Teknik Stated
225

Preference. Skripsi. Jurusan Teknik Sipil. Universitas Sebelas Maret.


Surakarta.

Masyuri. dan Zainuddin. 2008. Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis Dan


Aplikatif: Refika Aditama.

McCoy, Johnson, 2002. Using ArcGIS Spatial Analyst. ESRI, New York

Morlok, Edward K. 1988. Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi.


Erlangga, Jakarta.

Moleng S.L (2001) Methodologi Penelitian Kuantitatif, Remaja Rosda Karya,


Jakarta.

Nasution, M.N. 2004. Manajemen Transportasi. Ghalia Indonesia, Jakarta

Puslitbang Manajemen Trasnportasi Multimoda. 2011. Studi Potensi


Pelayanan Dry port dan Pembangunan Integrated Logistics Center
dalam Rangka Perwujudan Sistem Logistik Nasional yang Efisien
dan Efektif, Kementrian Perhubungan, Jakarta

Program Pascasarjana UNHAS. 2006. Pedoman penulisan Tesis dan


Disertasi Edisi 4. PPs Unhas. Makassar.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: KM. 49 Tahun 2005, Tentang

Sistem Transportasi Nasional (SISTRANAS)

Saaty, T.L., Vargas, L.G., (2001), Models, Methods, Concepts & Applications

of the Analytic Hierarchy Process, Kluwer’s Academic Publishers,

Boston, USA.
226

Tamin, OZ, 2008. Perencanaan, Permodelan dan Rekayasa Transportasi.


Penerbit ITB. Bandung.

Tamin, OZ, 2002. Perencanaan, dan Permodelan Transportasi Jilid 2.


Penerbit ITB. Bandung.

Tamin, Bona. 2005. Penerapan Konsep Interaksi Tata Guna Lahan-Sistem


Transportasi dalam Perencanaan Sistem Jaringan Transportasi,
Jurusan Teknik Sipil, Institute Teknologi Bandung.

Yunus, H., 2010. Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer. Pustaka


Pelajar, Yogyakarta

Zainuddin, M., 2008. Metodologi Penelitian. Refika Aditama, Yogyakarta

____ Undang – undang No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

____ Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Tentang Pedoman


Rencana Detail Tata Ruang Kota
227

LAMPIRAN
228
Lampiran 1 Hambatan Jarak

Kabupaten
/Kota 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
1 0 87 117 148 175 229 166 270 291 342 223 432 482 428 422 476 436 469 620 647 478 240 395 530
2 87 0 30 61 88 142 79 183 204 255 136 345 395 341 335 389 349 382 533 560 391 153 308 443
3 117 30 0 31 78 112 97 153 147 225 166 315 365 311 305 359 379 425 576 603 434 123 278 510
4 148 61 31 0 46 80 129 121 142 193 197 283 333 279 273 327 432 393 588 615 397 91 246 481
5 175 88 78 46 0 34 175 75 96 147 219 237 287 233 227 281 364 347 548 575 358 45 200 435
6 229 142 112 80 34 0 209 41 62 113 165 203 253 199 193 247 373 313 557 584 366 11 166 401
7 166 79 97 129 175 209 0 250 271 322 69 412 467 408 402 456 312 530 509 535 367 220 375 610
8 270 183 153 121 75 41 250 0 21 72 144 212 210 212 152 208 302 280 486 513 313 30 125 360
9 291 204 147 142 96 62 271 21 0 51 165 190 144 130 130 184 297 258 452 479 276 51 103 339
10 342 255 225 193 147 113 322 72 51 0 234 140 138 88 80 134 242 208 404 431 228 102 53 288
11 223 136 166 197 219 165 69 144 165 234 0 112 75 408 208 456 240 336 425 452 267 174 118 416
12 432 345 315 283 237 203 412 212 190 140 112 0 40 88 114 168 187 242 371 398 211 192 87 322
13 482 395 365 333 287 253 467 210 144 138 75 40 0 48 112 127 139 240 323 350 181 242 85 320
14 428 341 311 279 233 199 408 212 130 88 408 88 48 0 30 58 289 122 452 478 276 188 33 202
15 422 335 305 273 227 193 402 152 130 80 208 114 112 30 0 54 209 128 321 348 146 182 27 208
16 476 389 359 327 281 247 456 208 184 134 456 168 127 58 54 0 115 74 250 277 74 236 81 154
17 436 349 379 432 364 373 312 302 297 242 240 187 139 289 209 115 0 106 199 226 96 326 235 44
18 469 382 425 393 347 313 530 280 258 208 336 242 240 122 128 74 106 0 224 251 234 310 155 80
19 620 533 576 588 548 557 509 486 452 404 425 371 323 452 321 250 199 224 0 228 193 440 348 155
20 647 560 603 615 575 584 535 513 479 431 452 398 350 478 348 277 226 251 228 0 216 565 224 182
21 478 391 434 397 358 366 367 313 276 228 267 211 181 276 146 74 96 234 193 216 0 328 173 60
22 240 153 123 91 45 11 220 30 51 102 174 192 242 188 182 236 326 310 440 565 328 5 155 390
23 395 308 278 246 200 166 375 125 103 53 118 87 85 33 27 81 235 155 348 224 173 155 0 235
24 530 443 510 481 435 401 610 360 339 288 416 322 320 202 208 154 44 80 155 182 60 390 235 0
Ket : 1. Kab. Kepulauan 7. Kab. Sinjai 13. Kab. Wajo 19. Kab. Luwu Utara
Selayar 8. Kab. Maros 14. Kab. Sidrap 20. Kab. Luwu Timur
2. Kab. Bulukumba 9. Kab. Pangkep 15. Kab. Pinrang 21. Kab. Toraja Utara
3. Kab. Bantaeng 10. Kab. Barru 16. Kab. Enrekang 22. Kota Makassar
4. Kab. Jeneponto 11. Kab. Bone 17. Kab. Luwu 23. Kota Pare-Pare
5. Kab. Takalar 12. Kab. Soppeng 18. Kab. Tana Toraja 24. Kota Palopo
6. Kab. Gowa
229

Lampiran 2. Eksponensial Negatif Hambatan Jarak


abupaten
/Kota 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

1 0.000 0.011 0.009 0.007 0.006 0.004 0.006 0.004 0.003 0.003 0.004 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.004 0.003 0.002

2 0.011 0.000 0.033 0.016 0.011 0.007 0.013 0.005 0.005 0.004 0.007 0.003 0.003 0.003 0.003 0.003 0.003 0.003 0.002 0.002 0.003 0.007 0.003 0.002

3 0.009 0.033 0.000 0.032 0.013 0.009 0.010 0.007 0.007 0.004 0.006 0.003 0.003 0.003 0.003 0.003 0.003 0.002 0.002 0.002 0.002 0.008 0.004 0.002

4 0.007 0.016 0.032 0.000 0.022 0.013 0.008 0.008 0.007 0.005 0.005 0.004 0.003 0.004 0.004 0.003 0.002 0.003 0.002 0.002 0.003 0.011 0.004 0.002

5 0.006 0.011 0.013 0.022 0.000 0.029 0.006 0.013 0.010 0.007 0.005 0.004 0.003 0.004 0.004 0.004 0.003 0.003 0.002 0.002 0.003 0.022 0.005 0.002

6 0.004 0.007 0.009 0.013 0.029 0.000 0.005 0.024 0.016 0.009 0.006 0.005 0.004 0.005 0.005 0.004 0.003 0.003 0.002 0.002 0.003 0.091 0.006 0.002

7 0.006 0.013 0.010 0.008 0.006 0.005 0.000 0.004 0.004 0.003 0.014 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.003 0.002 0.002 0.002 0.003 0.005 0.003 0.002

8 0.004 0.005 0.007 0.008 0.013 0.024 0.004 0.000 0.048 0.014 0.007 0.005 0.005 0.005 0.007 0.005 0.003 0.004 0.002 0.002 0.003 0.033 0.008 0.003

9 0.003 0.005 0.007 0.007 0.010 0.016 0.004 0.048 0.000 0.020 0.006 0.005 0.007 0.008 0.008 0.005 0.003 0.004 0.002 0.002 0.004 0.020 0.010 0.003

10 0.003 0.004 0.004 0.005 0.007 0.009 0.003 0.014 0.020 0.000 0.004 0.007 0.007 0.011 0.013 0.007 0.004 0.005 0.002 0.002 0.004 0.010 0.019 0.003

11 0.004 0.007 0.006 0.005 0.005 0.006 0.014 0.007 0.006 0.004 0.000 0.009 0.013 0.002 0.005 0.002 0.004 0.003 0.002 0.002 0.004 0.006 0.008 0.002

12 0.002 0.003 0.003 0.004 0.004 0.005 0.002 0.005 0.005 0.007 0.009 0.000 0.025 0.011 0.009 0.006 0.005 0.004 0.003 0.003 0.005 0.005 0.011 0.003

13 0.002 0.003 0.003 0.003 0.003 0.004 0.002 0.005 0.007 0.007 0.013 0.025 0.000 0.021 0.009 0.008 0.007 0.004 0.003 0.003 0.006 0.004 0.012 0.003

14 0.002 0.003 0.003 0.004 0.004 0.005 0.002 0.005 0.008 0.011 0.002 0.011 0.021 0.000 0.033 0.017 0.003 0.008 0.002 0.002 0.004 0.005 0.030 0.005

15 0.002 0.003 0.003 0.004 0.004 0.005 0.002 0.007 0.008 0.013 0.005 0.009 0.009 0.033 0.000 0.019 0.005 0.008 0.003 0.003 0.007 0.005 0.037 0.005

16 0.002 0.003 0.003 0.003 0.004 0.004 0.002 0.005 0.005 0.007 0.002 0.006 0.008 0.017 0.019 0.000 0.009 0.014 0.004 0.004 0.014 0.004 0.012 0.006

17 0.002 0.003 0.003 0.002 0.003 0.003 0.003 0.003 0.003 0.004 0.004 0.005 0.007 0.003 0.005 0.009 0.000 0.009 0.005 0.004 0.010 0.003 0.004 0.023

18 0.002 0.003 0.002 0.003 0.003 0.003 0.002 0.004 0.004 0.005 0.003 0.004 0.004 0.008 0.008 0.014 0.009 0.000 0.004 0.004 0.004 0.003 0.006 0.013

19 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.003 0.003 0.002 0.003 0.004 0.005 0.004 0.000 0.004 0.005 0.002 0.003 0.006

20 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.003 0.003 0.002 0.003 0.004 0.004 0.004 0.004 0.000 0.005 0.002 0.004 0.005

21 0.002 0.003 0.002 0.003 0.003 0.003 0.003 0.003 0.004 0.004 0.004 0.005 0.006 0.004 0.007 0.014 0.010 0.004 0.005 0.005 0.000 0.003 0.006 0.017

22 0.004 0.007 0.008 0.011 0.022 0.091 0.005 0.033 0.020 0.010 0.006 0.005 0.004 0.005 0.005 0.004 0.003 0.003 0.002 0.002 0.003 0.002 0.006 0.003

23 0.003 0.003 0.004 0.004 0.005 0.006 0.003 0.008 0.010 0.019 0.008 0.011 0.012 0.030 0.037 0.012 0.004 0.006 0.003 0.004 0.006 0.006 0.000 0.004

24 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.003 0.003 0.003 0.002 0.003 0.003 0.005 0.005 0.006 0.023 0.013 0.006 0.005 0.017 0.003 0.004 0.000
230

Lampiran 3. Distribusi Pergerakan Tahun 2013


Kabupaten
/kota 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 oi Oi Ei Ai
1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 0 0 10 10 0.003
2 2 1 6 1 1 5 1 11 20 1 8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 99 0 1 158 158 0.001
3 0 0 3 1 0 2 0 5 11 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 41 0 0 66 66 0.001
4 0 0 2 1 1 3 0 6 11 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 55 0 0 82 82 0.001
5 0 0 0 0 0 1 0 3 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 23 0 0 33 33 0.001
6 0 0 1 0 0 4 0 8 15 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 73 0 0 105 105 0.001
7 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 0 0 12 12 0.002
8 1 1 7 2 3 32 1 134 249 10 21 0 3 0 2 1 1 0 0 0 0 746 4 3 1,222 1,222 0.001
9 3 2 23 7 10 90 1 370 969 39 58 0 16 0 7 4 3 1 0 2 0 2065 16 11 3,698 3,698 0.001
10 0 0 0 0 0 1 0 3 8 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 18 0 0 33 33 0.001
11 3 2 12 3 2 23 4 81 152 5 131 0 17 0 2 0 3 0 0 1 0 454 9 4 909 909 0.001
12 0 0 1 0 0 3 0 9 23 2 10 0 4 0 1 1 1 0 0 0 0 72 2 1 130 130 0.002
13 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 3 3 0.002
14 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 6 6 0.002
15 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 7 7 0.001
16 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 7 7 0.002
17 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 4 0 2 12 12 0.003
18 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0.003
19 0 0 0 0 0 0 0 1 4 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 3 0 15 0 9 37 37 0.009
20 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 1 0 2 10 10 0.009
21 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0.004
22 7 6 46 17 24 224 3 569 1061 42 89 0 12 0 8 5 4 1 0 2 0 5168 18 13 7,318 7,318 0.000
23 0 0 0 0 0 1 0 2 7 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 14 1 0 28 28 0.001
24 1 1 2 1 1 10 0 43 113 10 14 0 7 0 7 10 42 10 1 41 2 240 10 313 879 879 0.004
dd 19 15 104 33 44 401 11 1249 2658 113 341 1 62 1 29 22 57 14 2 55 3 9112 62 361 14769
Dd 15 6 36 10 10 71 6 210 464 28 105 0 25 0 10 9 16 5 1 47 1 1495 18 86 14769
Ed 0.80 0.40 0.35 0.31 0.23 0.18 0.53 0.17 0.17 0.25 0.31 0.00 0.40 0.00 0.35 0.41 0.28 0.35 0.60 0.86 0.31 0.16 0.29 0.24 1
Bd 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
231

Lampiran 4. Prediksi Pergerakan tahun 2033


Kabupaten
/kota 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 oi Oi Ei Ai
1 1 0 1 0 0 1 0 1 2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12 0 0 20 20 0.0014
2 3 3 13 3 2 10 1 22 40 2 16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 197 1 1 316 316 0.00072
3 1 1 5 1 1 4 0 9 21 1 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 82 0 0 132 132 0.00056
4 1 1 4 2 1 6 0 12 23 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 110 0 0 164 164 0.00046
5 0 0 1 0 0 2 0 5 9 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 46 0 0 66 66 0.00033
6 0 0 2 1 1 8 0 16 30 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 147 1 0 210 210 0.00025
7 0 0 1 0 0 1 0 1 3 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 14 0 0 24 24 0.00112
8 2 2 13 5 7 65 1 267 498 20 42 0 6 0 4 2 2 1 0 1 0 1492 8 6 2.444 2.444 0.00026
9 6 5 46 13 19 179 3 740 1938 77 115 1 32 1 15 8 6 3 0 4 0 4129 33 23 7.396 7.396 0.00028
10 0 0 0 0 0 2 0 6 17 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 36 1 0 66 66 0.00041
11 6 5 23 5 4 46 9 163 303 10 261 1 34 0 5 1 6 1 0 3 0 908 17 7 1.818 1.818 0.00068
12 0 0 1 0 1 6 0 17 45 4 19 0 8 0 2 1 2 0 0 1 0 144 4 3 260 260 0.00087
13 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 6 6 0.00094
14 0 0 0 0 0 0 0 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 0 0 12 12 0.00079
15 0 0 0 0 0 0 0 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 0 0 14 14 0.00072
16 0 0 0 0 0 0 0 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 0 1 14 14 0.001
17 0 0 0 0 0 0 0 1 3 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 9 0 5 24 24 0.0016
18 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 2 2 0.0016
19 0 0 0 0 0 1 0 3 8 1 2 0 1 0 1 1 2 1 1 5 0 29 1 17 74 74 0.0047
20 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9 0 3 1 4 20 20 0.0045
21 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 2 2 0.0017
22 15 12 92 33 48 449 7 1138 2121 85 177 1 24 2 16 9 8 3 0 3 0 10333 35 25 14.636 14.636 0.00023
23 0 0 0 0 0 1 0 5 13 1 3 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 28 1 1 56 56 0.00058
24 2 1 4 2 2 21 0 86 225 21 27 1 14 1 14 20 85 20 2 81 5 479 20 626 1758 1758 0.0021
dd 37 30 207 65 87 803 23 2498 5314 227 682 5 125 5 58 44 113 28 3 109 6 18220 124 721 29.534
Dd 30 12 72 20 20 142 12 420 928 56 210 2 50 2 20 18 32 10 2 94 2 2990 36 172 29.534
Ed 0.8 0.4 0.3 0.3 0.2 0.17 0.5 0.1 0.1 0.2 0.3 0.4 0.4 0.4 0.3 0.4 0.3 0.4 0.6 0.9 0.3 0.2 0.3 0.2 1

Bd 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Anda mungkin juga menyukai