Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Analisa Tafsir Ayat Muamalah ar-Rahman, al-Muthaffifin, al-Isra


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Ayat Ahkam Muamalah
Dosen Pengampu: Hammam, Lc., M.Sy.,

Disusun Oleh: Kelompok 1


1. Sandi Aditya Ramadhan (170711100029)
2. Yuni Noviyanti (170711100033)
3. Diana Wahyuningsih (170711100066)
4. Novia Rachmawati (170711100069)
5. Khoirudin (170711100072)
6. Iwan Hakiki (170711100098)

HUKUM BISNIS SYARIAH


FAKULTAS ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas karunia, hidayah, dan nikmatNya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulisan makalah ini bertujuan untuk
memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah
Tafsir Ayat Ahkam Muamalah.
Makalah ini ditulis oleh penulis yang bersumber dari Buku dan Jurnal
sebagai refrensi. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada rekan rekan
mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi
manfaatbagi kita semua. Makalah ini secara fisik dan substansinya diusahakan
relevan dengan pengangkatan judul makalah yang ada, Keterbatasan waktu
dankesempatan sehingga makalah ini masih memiliki banyak kekurangan yang
tentunya masih perlu perbaikan dan penyempurnaan maka penulis mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju ke arah yang lebih baik.
Demikian makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan yang
membacanya, sehingga menambah wawasan dan pengetahuan tentang bab ini.
Amin.

Bangkalan, 18 September 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ............................................................................. 2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Qira’ah........................................................................................... 3
B. Terjemah & Analisa Makna secara Global ................................... 4
C. Asbabun Nuzul .............................................................................. 9
D. Munasabah Ayat............................................................................ 9
E. Kandungan Istimbath .................................................................... 10
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 11
B. Saran .............................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penetapan takaran dan timbangan ini adalah atas dasar keadilan Islam
yang harus ditegakkan. Karena definisi adil akan berbeda antara satu dengan
lain bila hanya mengikuti hawa nafsu. Adil menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak
kepada yang benar, berpegang pada kebenaran, dan sepatutnya tidak
sewenang-wenang. Sehingga termasuk dalam surat ar-Rahman: 9 “Dan
tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi
neraca itu”. Hal ini sejalan dengan prinsip kejujuran untuk mewujudkan
keadilan, sesuai perintah Allah SWT untuk menyempurnakan takaran dan
timbangan. Dalam Al-Isra 17:35, Allah SWT memerintahkan “Dan
sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca
yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. Dan
memberikan ancaman untuk pelaku yang curang didalam menimbang atau
menakar, karena didorong hawa nafsu dalam mengambil keuntungan.
Seberapa jauh berkembangnya alat ukur yang dipergunakan untuk
menakar dan menimbang sesuai dengan perkembangan teknologi, namun
semangatnya tidak boleh berubah ancaman yang sangat berat terhadap orang-
orang yang “bermain-main” dengan takaran dan timbangan. Dalam Q.s al-
Muthaffifin 83: 1-6 dinyatakan, “ Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang
curang, (yaitu) orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka
meminta dipenuhkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk
orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa
mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari ketika
manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.”
Segala macam bentuk kecurangan tentunya akan menimbulkan akibat
buruk dalam kehidupan. Oleh karena itu, Rasulullah mengingatkan lima
perbuatan yang akan mengkibatkan terjadinya lima macam sanksi dalam
kehidupan. (khamsun bi khamsin). Pertama, mereka yang tidak menepati janji
akan dikuasai oleh musuh mereka; kedua, orang yang menghukum tidak
sesuai dengan hukum Allah akan ditimpa kemiskinan; ketiga masyarakat yang
telah bergelimang dengan perbuatan keji (al-fahisyah) akan menderita
kematian; keempat mereka yang senantiasa berlaku curang dalam takaran akan
mengalami krisis ekonomi dan kegagalan dalam pertanian; kelima orang
yang tidak mengeluarkan zakat akan ditimpa kemarau panjang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang diatas kami dapat membuat rumusan masalah
tentang Tafsir Ayat Muamalah ar-Rahman: 7-9, al-Muthaffifin: 1-3, al-Isra:
34-35 sebagai berikut:
1. Apa saja arti dari setiap surat Ar-Rahman ayat 7-9, Al-Muthaffifin ayat 1-3,
dan Al-Isra’ ayat 34-35 pada saat qira’ah tiap ayat?
2. Bagaimana terjemah dan analisa surat Ar-Rahman ayat 7-9, Al-Muthaffifin
ayat 1-3, dan Al-Isra’ ayat 34-35 secara global?
3. Jelaskan asbabun nuzul pada surat Ar-Rahman ayat 7-9, Al-Muthaffifin ayat
1-3, dan Al-Isra’ ayat 34-35?
4. Jelaskan munasabah ayat dalam surat Ar-Rahman ayat 7-9, Al-Muthaffifin
ayat 1-3, dan Al-Isra’ ayat 34-35?

5. Jelaskan kandungan istimbath pada surat Ar-Rahman ayat 7-9, Al-Muthaffifin


ayat 1-3, dan Al-Isra’ ayat 34-35?

C. Tujuan
Berdasarkan Latar belakang diatas kami membuat tujuan pembuatan menulis
makalah ini, sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui arti dari setiap surat Ar-Rahman ayat 7-9, Al-Muthaffifin
ayat 1-3, dan Al-Isra’ ayat 34-35 pada saat qira’ah tiap ayat.
2. Untuk mengetahui terjemah dan Analisa surat Ar-Rahman ayat 7-9, Al-
Muthaffifin ayat 1-3, dan Al-Isra’ ayat 34-35 secara global.
3. Untuk mengetahui asbabun nuzul pada surat Ar-Rahman ayat 7-9, Al-
Muthaffifin ayat 1-3, dan Al-Isra’ ayat 34-35.

2
4. Untuk mengetahui munasabah ayat dalam surat Ar-Rahman ayat 7-9, Al-
Muthaffifin ayat 1-3, dan Al-Isra’ ayat 34-35.
5. Untuk mengetahui kandungan istimbath pada surat Ar-Rahman ayat 7-9, Al-
Muthaffifin ayat 1-3, dan Al-Isra’ ayat 34-35.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Qiraah
1.1 Surah Ar-Rahman 7-9

﴾٧﴿ َ‫ض َع ْال ِميزَ ان‬


َ ‫س َماء َرفَعَ َها َو َو‬
َّ ‫َوال‬

Artinya: “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca
(keadilan).” (7)

ِ َ‫أ َ ََّّل ت َْطغ َْوا فِي ْال ِميز‬


﴾٨﴿ ‫ان‬

Artinya: “Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu” (8)

﴾٩﴿ َ‫ْط َو ََّل ت ُ ْخ ِس ُروا ْال ِميزَ ان‬


ِ ‫َوأَقِي ُموا ْال َو ْزنَ بِ ْال ِقس‬
Artinya: “Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu
mengurangi neraca itu.” (9)

1.2 Surah Al-Muttaffifin 1-3

َ ‫َو ْي ٌل ِلِّ ْل ُم‬


َ‫ط ِفِّ ِفيْن‬
Artinya: “Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan
menimbang.” (1)

ِ َّ‫لَّ ِذيْنَ اِذَا ا ْكت َالُ ْوا َعلَى الن‬


َ‫اس يَ ْست َْوفُ ْون‬

Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain
mereka minta dicukupkan,” (2)

َ‫َواِذَا كَالُ ْو ُه ْم ا َ ْو َّوزَ نُ ْو ُه ْم ي ُْخس ُِر ْون‬

Artinya: “dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka
mengurangi.” (3)

3
1.3 Surah Al-isra’ 34-35

ً ُ ‫شدَّهُ ۚ َوأ َ ْوفُوا بِ ْالعَ ْه ِد إِ َّن ْالعَ ْهدَ َكانَ َم ْسئ‬


‫وَّل‬ ُ َ ‫سنُ َحتَّ ٰى يَ ْبلُ َغ أ‬ َ ‫َو ََّل ت َ ْق َربُوا َما َل ْاليَتِ ِيم إِ ََّّل بِا َّلتِي ه‬
َ ْ‫ِي أَح‬
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara
yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya
janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (34)

‫يل‬ َ ْ‫اس ْال ُم ْست َ ِق ِيم ۚ ٰذَلِكَ َخي ٌْر َوأَح‬


ً ‫سنُ ت َأ ْ ِو‬ َ ‫َوأ َ ْوفُوا ْال َك ْي َل ِإذَا ِك ْلت ُ ْم َو ِزنُوا ِب ْال ِق ْس‬
ِ ‫ط‬
Artinya: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah
dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (35)

B. Terjemah & Analisa Makna secara Global


2. 1 Surah Ar-Rahman 7-9

Dan Dia telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca supaya kamu
jangan melampaui batas dalam neraca, dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil
dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.”

Setelah ayat lalu menyebut secara khusus dua benda angkasa matahari dan
bulan yang mempunyai pengaruh yang demikian besar terhadap manusia, kini melalui
ayat di atas Allah menyebut langit secara umum yang padanya beredar ratusan juta
bahkan dalam jumlah yang tidak terdeksi dari benda-benda angkasa. Ayat di atas
bagaikan menyatakan: Allah telah menetapkan sistem lagi mengendalikan peredaran
matahari dan bulan itu dan Dia juga yang telah meninggikan langit setelah tadinya
langit dan bumi merupakan satu gumpalan, dan Dia secara mantap neraca keadilan
dan keseimbangan supaya kamu jangan melampaui batas dalam neraca keadilan dan
keseimbangan, baik menyangkut hal yang ditimbang maupun yang diukur, dan karena
itu pula tegakkanlah secara sempurna timbangan, yakni neraca keadilan, itu dalam
segala persoalan terhadap semua pihak walau terhadap diri kamu sendiri.
Tegakkanlah dengan adil sehingga menguntungkan semua pihak dan janganlah kamu
mengurangi neraca itu dengan bentuk pengurangan apa pun agar tidak berkurang pula
neraca timbangan amal-amal kamu serta ganjarannya di akhirat nanti.

Ditinggikannya langit dalam arti diciptakannya tinggi tanpa tiang. Ketinggian


itu terlihat dengan mata kepala oleh penghuni bumi dan, dalam saat yang sama,
ketinggiannya juga berarti ketinggian kedudukannya, karena langit biasanya dinilai
sebagai tempat turunnya para malaikat dan turunnya rahmat, bahkan tidak jarang
manusia menunjuk kea rah langit untuk mengisyaratkan wujud Tuhan atau kuasa-
Nya.

4
Kata mizan berarti alat menimbang. Kata ini biasas juga dipahami dalam arti
keadilan, baik dalam arti menempatkan sesuatu pada tempatnya maupun dalam arti
keseimbangan. Thahir Ibn Asyur memahami kata mizan pada ayat ini dalam arti
keadilan. Menurutnya, Allah menyandingkan kata langit dengan timbangan (keadilan)
untuk mengisyaratkan betapa penting dan agung keadilan itu dengan menisbahkannya
ke arah alam yang tinggi, yang juga merupakan alam kebenaran dan keutamaan, dan
bahwa keadilan itu turun dari langit ke bumi atas perintahAllah swt. Itu sebabnya-
masih menurut Ibn Asyur-berulang-ulang al-Qur’an menyebut keadilan (al-haq)
berbarengan dengan penciptaan langit, antara lain QS. Yunus [10]: 5, al-Hijr [15]: 85,
dan ad-Dukhan [44]: 38-39.

Dapat juga kata tersebut dipahami dalam arti keseimbangan yang ditetapkan
Allah dalam mengatur sistem alam raya sehingga masing-masing beredar secara
seimbang sesuai kadar yang ditetapkan-Nya sehingga langit dan benda-benda angkasa
tidak saling bertabrakan. Keseimbangan yang diletakkan Allah itu, antara lain berupa
gaya-gaya tiap-tiap benda langit, sehingga masing-masing beredar dalam kadar
tertentu yang tidak mengganggu peredaran benda-benda langit lainnya. Anda dapat
menggambarkan betapa luas kuasa dan ilmu Allah jika Anda menyadari bahwa di
langit terdapat bermiliar-miliar benda-benda langit.

Kata al-mizan pada ketiga ayat di atas terulang pada setiap ayat, kendati makna
masing-masing dapat berbeda-beda, apalagi jika Anda memahaminya dalam arti yang
sama menunjukkan betapa pentingnya neraca keadilan dan keseimbangan dalam
hidup ini.

Firman-Nya: alla tathghau fi al-mizan merupakan penafsiran atas tujuan Allah


meletakkan/menurunkan mizan itu, apa pun penafsiran Anda terhadap kata mizan.
Jika Anda memahaminya dalam arti keadilan, ayat ini berarti Allah menurunkan dan
menetapkan adanya keadilan agar manusia, dalam melakukan aneka aktivitasnya,
selalu didasari oleh keadilan, baik terhadap dirinya maupun pihak lain. Jika Anda
memahami kata mizan dalam arti keseimbangan, itu berarti manusia dituntun Allah
agar melakukan keseimbangan dalam segala aktivitasnya. Pengeluaran Anda harus
seimbang dengan pemasukan Anda, tamu yang Anda undang harus seimbang dengan
kapasitas ruangan dan jamuan, anak yang direncanakan pun harus seimbang dengan
kemampuan dan kondisi Anda beserta pasangan Anda. Demikian seterusnya.

Kata aqimu digunakan sebagai perintah untuk melaksanakan sesuatu secara


bersinambung dan sempurna sesuai dengan syarat dan anjuran-anjuran yang berkaitan
dengan aktivitas yang diperintahkan itu. Oleh karenanya, kata ini selalu digunakan
dalam perintah-Nya melaksanakan shalat.

Kata tathghau terambil dari kata thaga yang berarti melampaui batas dengan
sengaja serta dengan sikap meremahkan. Pelampauan batas dalam hal timbangan
dijelaskan anatar lain oleh QS. al-Muthaffifin [83]: 2-3:

“(Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka
minta dipenuhi, dan apabila meraka menakar atau menimbang untuk orang lain,
mereka mengurangi.”

5
Kata fildi dalam pada firman-Nya fi al-mizan mengandung makna larangan
melakukan penyimpangan sedikit pun dalam hal timbang-menimbang dan ukur-
mengukur karena kata mizan disini tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang
ditimbang beratnya, tetapi termasuk juga yang diukur kaar panjang dan lebarnya juga
yang semacamnya.

Kata al-qisth biasa diartikan adil, tetapi sementara ulama membedakannya.


Ketika menafsirkan QS. an-Nisa [4]: 3, penulis antara lain mengemukakan bahwa ada
ulama yang mempersamakan maknanya, dan ada juga membedakannya dengan
berkata bahwa al-qisth adalah berlaku adil antara dua orang atau lebih, keadilan yang
menjadikan keduanya senang. Sedang, adil adalah berlaku baik terhadap orang lain
maupun diri sendiri, tapi keadilan itu bisa saja tidak menyenangkan salah satu pihak.
Dalam hal timbang-menimbang, berbisnis, bahkan bermuamalah atau berinteraksi
secara umum, yang diharapkan adalah hubungan harmonis dan itu tidak dapat
terlaksana kecuali jika semua pihak yang terlihat merasa senang. 1

2. 2 Surah Al-Muttaffifin 1-3

“Kecelakaan bagi orang-orang yang curang, (yaitu) mereka yang apabila


menerima takaran atas oranglain, mereka dipenuhi, dan apabila mereka menakar
dan menimbang untuk oranglain, mereka mengurangi”

Setelah surah yang selalu ditutup dengan uraian tentang putusnya segala sebab
pada hari kemudian sambil menegaskan ancaman yang menanti ketika itu dan bahwa
segala sesuatu dalam penggenggaman tangan Allah dan bahwa yang berbakti akan
masuk surga sedang yang durhaka tempatnya adalah neraka, pada awal surah ini
disebutkan salah satu hal yang paling banyak terjadi dalan hubungan antar-manusia,
yang menyangkut ukuran. Salah satu dosa yang terbesar adalah berkhianat
menyangkut ukuran dan timbangan. Dalam surah ini disebutkan apa yang disiapkan
buat mereka itu dan orang-orang yang menyandang sifat seperti sifat mereka. Itu
semua untuk mengingatkan orang yang lalai dan terperdaya yang disinggung oleh
surah yang lalu (QS. Al-Infithar [82’: 6). Allah berfirman : kemerdekaan dan kerugian
besar di dunia dan di akhirat bagi orang-orang yang curang, yaitu mereka yang
apabila menerima takaran dan timbangan atas, yakni orang lain, mereka meminta,
yakni menuntut secara sungguh-sungguh, agar dipenuhi atau bahkan cenderung
meminta dilebihkan , dan apabila mereka menakar dan menimbang untuk orang lain,
mereka berbuat curang dengan mengurangi timbangan dan takaran dari apa yang
mestinya mereka berikan.

Kata wail pada umumnya digunakan oleh pemakai bahasa Arab sebagai doa
jatuhnya siksa. Tetapi, al-qur’an menggunakannya dalam arti ancaman jatuhnya siksa
atau dalam arti satu lembah yang sangat curam di neraka.

Kata al-muthaffiifin terambil dari kata thaffa/meloncati seperti pagar atau


mendekati atau hampir seperti gelas yang tidak penuh tetapi mendekati dan hampir
penuh. Seseorang yang meloncati pagar, misalnya, adalah orang yang tidak
melakukan cara yang wajar. Demikian juga yang tidak memenuhkan gelas yang

1
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an) Vol. 13, (Jakarta: Lentera
Hati, 2012), 285.

6
mestinya penuh. Bisa juga kata dapat terjadi, lebih-lebih jika penimbangan dan
pengukuran itu tidak dihadiri oleh mitra dagangnya. Boleh jadi juga karena para
pedagang ketika itu lebih banyak menggunakan takaran dari pada timbangan.

Ayat di atas merupakan ancaman kepada semua pihak agar tidak melakukan
kecurangan dalam penimbangan dan pengukuran, termasuk melakukan standar ganda.
Perlakuan semacam ini bukan saja kecurangan, tetapi juga pencurian dan bukti
kebejatan hati pelakunya. Disisi lain, kecurangan ini menunjukan pula keangkuhan
dan pelecehan karena biasanya pelakunya menganggap remeh mitranya sehingga
berani melakukan hal tersebut.2

2. 3 Surah Al-Isra 34-35

Ayat 34:

“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan yang palik
baik sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji pasti diminta
pertanggungjawabannya.”

Setelah melarang pezinaan dan pembunuhan, kini dilarangnya melakukan


pelanggaran terhadap apa yang berkaitan erat dengan jiwa dan kehormatan manusia,
yakni harta. Ayat ini menegaskan bahwa: Dan janganlah kamu mendekati harta anak
yatim, kecuali dengan cara yang paling baik, yakni dengan mengembangkan dan
menginvestasikannya. Lakukan hal itu sampai ia dewasa. Dan, bila mereka telah
dewasa dan mampu, serahkanlah harta mereka dan penuhilah janji terhadap siapa pun
kamu berjanji, baik kepada Allah maupun kepada kandungan janji, baik tempat,
waktu, dan substansi yang dijanjikan; sesungguhnya janji yang kamu janjikan pasti
diminta pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. kelak di hari Kemudian, atau
diminta kepada yang berjanji untuk memenuhi janjinya.

Dalam QS. an-Nisa [4]: 5 antara lain terdapat tuntunan kepada para wali untuk
memelihara dan mengembangkan harta yang dimiliki oleh kaum lemah, seperti anak
yatim, dan tidak mengabaikan kebutuhan yang wajar dari pemilik harta yang tidak
mampu mengelola harta itu. Mereka hendaknya diberi belanja dan pakaian dari hasil
harta itu bukan dari modalnya, dan kepada mereka hendaklah diucapkan kata-kata
yang baik. Dalam ayat 6 surah yang sama, ditemukan juga tuntunan agar wali menguji
anak yatim dengan memerhatikan keadaan mereka dalam hal penggunaan harta serta
melatih mereka mengelola hartanya sehingga, bila mereka telah hampir mencapai
umur dewasa, ketika itu, jika wali telah melihat tanda-tanda kecerdasan dan
kepandaian memelihara harta serta kestabilan mental anak yatim, hendaklah ia segera
menyerahkan harta mereka karena ketika itu tidak ada lagi alasan untuk menahannya.

Di sana, para wali juga diingatkan agar jangan memanfaatkan harta anak yatim
untuk kepentingan pribadi, dengan dalih bahwa merekalah yang mengelolanya bukan
anak-anak yatim itu. Memang, para wali dapat memanfaatkannya dalam batas

2
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an) Vol. 15, (Jakarta: Lentera Hati,
2012), 143.

7
kepatutan, tetapi tidak membelanjakan harta itu dalam keadaan tergesa-gesa sebelum
mereka dewasa.

Dalam QS. al-Baqarah [2]: 220 pun ditemukan tuntunan tentang ishlahl perbaikan
terhadap anak-anak yatim. Rujuklah ke sana!

Ayat 35

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah


dengan neraca yang lurus. Itulah yang baik dan lebih bagus akibatnya.”

Salah satu hal yang berkaitan dengan hak pemberian harta adalah menakar
dengan sempurna. Karena itu, ayat ini melanjutkan dengan menyatakan bahwa dan
sempurnakanlah secara sungguh-sungguh takaran apabila kamu menakar untuk pihak
lain dan timbanglah dengan neraca yang lurus, yakni yang benar dan adil. Itulah yang
baik bagi kamu sehingga semakin banyak yang berinteraksi dengan kamu dan
melakukan hal itu juga lebih bagus akibatnya bagi kamu di akhirat nanti dan bagi
seluruh masyarakat dalam kehidupan dunia ini.

Kata al-qisthat atau al-qusthas ada yang memahaminya dalam arti neraca, ada
juga dalam arti adil. Kata ini adalah salah satu kata asing dalam hal ini Romawi yang
masuk berakulturasi dalam perbendaharaan bahasa Arab yang digunakan al-Qur’an.
Demikian pendapat Mujahid yang ditemukan dalam shahih al-Bukhari. Kedua
maknanya yang dikemukakan di atas dapat dipertemukan karena, untuk mewujudkan
keadilan, Anda memerlukan tolok ukur yang pasti (neraca/timbangan), dan
sebaliknya, bila Anda menggunakan timbangan yang benar dan baik, pasti akan lahir
keadilan. Hanya saja, kita memahami ayat ini ditujukan kepada kaum muslimin,
memahaminya sebagai timbangan lebih tepat dan sesuai, sedang dalam surah al-
An’am karena ia adalah sindiran kepada kaum musyrikin, di sana digunakan kata bil
qisth yang berarti adil untuk mengisyaratkan bahwa transaksi yang mereka lakukan
bukanlah yang bersifat adil. Demikian Ibn ‘Asyfir.

Penyempurnaan takaran dan timbangan oleh ayat di atas dinyatakan baik dan
lebih bagus akibatnya. Ini karena penyempurnaan takaran/timbangan, melahirkan rasa
aman, ketentraman, dan kesejahteraan hidup bermasyarakat. Kesemuanya dapat
tercapai melalui keharmonisan hubungan antara anggota masyarakat, yang antara lain
bila masing-masing memberi apa yang berlebih dari kebutuhannya dan menerima
yang seimbang dengan haknya. Ini tentu saja memerlukan rasa aman menyangkut alat
ukur, baik takaran maupun timbangan. Siapa yang membenarkan bagi dirinya
mengurangi hak seseorang, itu mengantarnya membenarkan perlakuan serupa kepada
siapa saja dan ini mengantar kepada tersebarnya kecurangan. Bila itu terjadi, rasa
aman tidak akan tercipta dan ini tentu saja tidak berakbiat baik bagi perorangan dan
masyarakat.

Dalam penafsiran ayat 152 surah Ali ‘Imran, penulis antara lain
mengemukakan pandangan Thahir Ibn ‘Asyur tentang penggunaan bentuk perintah
aufu setelah redaksi ayat sebelumnya menggunakan bentuk larangan. Ini, menurutnya,
untuk mengisyaratkan bahwa mereka dituntut untuk memenuhi secara sempurna

8
timbangan dari takaran, sebagaimana dipahami dari kata aufu yang berarti
sempurnakan, sehingga perhatian mereka tidak sekedar pada upaya tidak mengurangi,
tetapi pada penyempurnaannya. Apalagi ketika itu alat-alat ukur masih sangat
sederhana. Kurma dari anggur pun mereka ukur bukan dengan timbangan tetapi
takaran. Hanya emas dan perak yang mereka timbang. Perintah menyempurnakan ini
juga mengandung dorongan untuk meningkatkan kemurahan hati dan kedermawanan
yang merupakan salah satu yang mereka akui dari banggakan sebagai sifat terpuji.

Penggunaan kata idza kiltuml apabila kamu menakar merupakan penekanan


tentang pentingnya penyempurnaan takaran, bukan hanya sekali dua kali atau bahkan
sering kali, tetapi setiap melakukan penakaran, kecil atau besar, untuk teman atau
lawan. Dalam QS. Al-An’am [6]:152, kata tersebut tidak disebutkan. Hal ini agaknya
karena di sini perintah tersebut didahului oleh kata idzal apabila yang mengandung
makna isyarat pengulangan terjadinya sesuatu. Di sisi lain, ayat ini ditujukan kepada
kaum muslimin, sedang ayat al-An’am merupakan sindiran kepada kaum musyrikin.
Seorang muslim dituntut oleh agamanya untuk menyempurnankan hak orang lain,
setiap saat, dan sama sekali tidak boleh menganggap remeh hak itu apalagi
mengabaikannya.

Kata ta’wil terambil dari kata yang berarti kembali. Ta’wil adalah
pengembalian. Akibat dari sesuatu dapat dikembalikan kepada penyebab awalnya,
dari sini kata tersebut dipahami dalam arti akibat atau sesuatu.3

C. Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul terdapat pada Surat Al Muthaffifin Ayat 1-3:

Ibnu Abbas meriwayatkan tentang turunnya Surat Al Muthaffifin Ayat 1-3. Pada
zaman Rasulullah, ketika beliau tiba di Madinah, pendduduk Madinah adalah penduduk
yang terbiasa melakukan kecurangan dalam menakar ukuran timbangan barang dagangan
mereka. Atas perilaku tidak terpuji itu, Allah menurunkan ketiga ayat ini. (HR. Nasa'i dan
Ibnu Majah).

D. Munasabah Ayat
Menyempurnakan Takaran dan Timbangan
Allah berfirman untuk menyempurnakan takaran dan timbangan Dia berfirman “ Dan
Dia telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca supaya jangan melampaui
batas dalam neraca, dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu
mengurangi neraca itu (Ar-Rahman [55] : 7-9)
Dia juga berfirman :
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan
timbangan yang benar. itulah yang lebuh utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Al-
Isra’ [17]:35)

3
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an) Vol. 7, (Jakarta: Lentera Hati,
2012), 86.

9
Allah pun juga berfirman melarang untuk mempermainkan dan mengurangi takaran
dan timbangan. Dia berfirman, “Celakahlah bagi orang-orang yang curang (dalam
menakar dan menimbang)! (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain mereka minta dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang
(untuk orang lain), mereka mengurangi. (Al-Muthaffifin [83]: 1-3)4
Dalam konteks Surat ini sama-sama menjelaskan tentang penakaran timbangan secara
adil, umat muslim dilarang keras dalam mengurangi atau melebihi timbangan dalam jual
beli. Dari ketiga surah ini bisa disimpulkan bahwasanya dalam melakukan jual beli harus
memenuhi Syariat, jika terdapat unsur kecurangan maka bersiaplah mendapat adzab yang
pedih dari Allah SWT. Diriwayat dari Ibu Abbas ia menuturkan,”Ketika Nabi daatang ke
Madinah, mereka (penduduknya) adalah orang-orang yang paling buruk dalam perkara
takaran, lalu Allah menurunkan Ayat, Al-Muthaffifin 1 “Celakah bagi orang yang
curamg” setelah itu mereka memperbagus takaran.

E. Kandungan Istimbath
Beberapa definisi seputar jual beli yang diharamkan. Definisi Riba, riba secara bahasa,
berarti bertambah. Sedangkan menurut istilah syariat, adalah penambahan nilai pada
sesuatu yang khusus. Hukumnya : Haram berdasarkan Al-Qur’an, As-sunnah dan Ijma’

Macam-macamnya Riba adaa tiga macam:

1. Riba fadhl, yaitu jual beli ribawi dengan barang yang sejenis di sertai dengan
penambahan nilai pada salah satunya.
2. Riba Nasi’ah, yaitu jual beli barang dengan barang sejenis atau dengan jenis lainnya
disertai penambahan pada takaran atau timbangan (pada salah satunya) sebagai
kompensasi penangguhan penerimaan.
3. Riba qaradh, yaitu meminjamkan sesuatu yang boleh dipinjamkan dengan syarat
disertai penambahan saat pengembalian sebagai imbalan pinjaman, seperti rumah atau
kendaraan.5

4
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013), 58.
5
Abu Malik Kamal bin as-Syyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006), 428.

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat kita mengambil kesimpulan bahwa Takaran adalah
alat yang digunakan untuk menakar. Dalam aktifitas bisnis, takaran (al-kail) biasanya
dipakai untuk mengukur satuan dasar ukuran isi barang cair, makanan dan berbagai
keperluan lainnya. Sedangkan timbangan (al-wazn) dipakai untuk mengukur satuan berat.
Takaran dan timbangan adalah dua macam alat ukur yang diberikan perhatian untuk
benar-benar dipergunakan secara tepat dan benar dalam perspektif ekonomi syariah.

Sejalan dengan semangat ekonomi yang menekan akan terwujudnya keadilan dan
kejujujuran, perintah untuk menyempurnakan takaran dan timbangan berulang kali
ditemukan dalam al-Quran. Dalam QS Al-Isra’ 17: 35, Allah Swt. Sebagai pemilik
mutlak alam semesta memerintahkan, “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu
menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya”. Adanya kecurangan dalam menakar dan menimbang terjadi
karena adanya ketidakjujuran, yang didorong oleh keinginan mendapat keuntungan yang
lebih besar tanpa peduli dengan kerugian orang lain.

B. Saran
Penulis juga mengharapkan sebuah kritik dan saran kepada pembaca atas kekurangan
dari makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan referensi penulis.

11
DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an) Vol. 13,
(Jakarta: Lentera Hati, 2012)
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an) Vol. 15,
(Jakarta: Lentera Hati, 2012)
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an) Vol. 7,
(Jakarta: Lentera Hati, 2012)
Sayid Sabiq, Sayid, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013)
As-Syyid Salim, bin Abu Malik Kamal, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia,
2006)

12

Anda mungkin juga menyukai