Anda di halaman 1dari 8

TUGAS GEOKIMIA

GEOKIMIA BATUAN METAMORF

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Geokimia


Dosen Pembimbing:
Dosen Pengampu: Dr. Eng Ir. Agus Didit Haryanto ,MT dan Nisa Nurul Ilmi, S.Si., M.Sc

Disusun oleh:

Tubagus Gleamen B. P.
(Nomor Pokok Mahasiswa: 270110160149)

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


UNIVERSITAS PADJADJARAN
2017
1. Jelaskan tentang 5 kelas Batuan Metamorf berdasarkan komposisi kimianya!

Batuan Metamorf Pelitik

Contoh: Batusabak

Jenis ini berasal dari batuan lempungan (batulempung, serpih, batulumpur); komposisinya
banyak mengandung Al2O3, K2O, dan SiO2; batuannya kebanyakan bertekstur skistosa
contohnya sekis, batusabak, dll.; mineralogi : muskovit, biotit, kianit, silimanit, kordierit,
garnet, stauroeit; secara umum batuan pelitik akan berubah menjadi batuan metamorfosis
dengan meningkatnya T, akan terbentuk berturut-turut : batu sabak – filit – sekis – genes.

Batuan Metamorf Kuarsa-Felspatik

Contoh: Gneiss

Jenis ini berasal dari batupasir atau batuan beku felsik (misalnya granit, riolit), dicirikan
kandungan SiO2 tinggi dan MgO serta FeO rendah, hasilnya batuannya bertekstur bukan
skistosa.
Batuan Metamorf Calcareous

Contoh: Marmer

Jenis ini berasal dari batuan yang berkomposisi CaCO3 (batugamping, dolomit), hasil
metamorfosa berupa marmer, bila batuan asal (batugamping) mengandung MgO dan SiO2
diharapkan terbentuk mineral tremolit, diopsid, wolastonit dan mineral karbonatan yang lain,
bila batuan asal mengandung cukup Al2O3 diharapkan terbentuk mineral plagioklas, epidot,
hornblenda yang hampir mirip dengan mineralogi batuan metamorf yang berasal dari batuan
beku basa.

Batuan Metamorf Mafic

Jenis ini berasal dari batuan beku basa (SiO2 sekitar 50%), batuan metamorfnya disebut
metabasite, batuan asal banyak mengandung MgO, FeO, CaO dan Al2O3 maka mineral
metamorfosanya berupa klorit, aktinolit, epidot (fasies sekis hijau) dan hornblenda (fasies
amfibolit), untuk T lebih tinggi akan muncul klino dan ortopiroksen dan plagioklas.

Batuan Metamorf Magnesian


Jenis ini berasal dari batuan beku ultrabasa, batuan hasil metamorfosa berupa serpentinit,
sering dijumpai pada daerah metamorf yang mengandung glaukofan.
2. Perbedaan antara Proses Metamorfisme Kontak dengan Metamorfisme Regional!

PENJELASAN
Metamorfisme Kontak (Contact Metamorphism)

Metamorfisme kontak terjadi akibat intrusi tubuh magma panas pada batuan
yang dingin dalam kerak bumi. Akibat kenaikan suhu, maka rekristalisasi kimia
memegang peran utama. Sedangkan deformasi mekanik sangat kecil, bahkan tidak ada,
karena stress disekitar magma relatif homogen. Batuan yang terkena intrusi mengalami
pemanasan dan termetamorfosa, membentuk satu lapisan disekitar terobosan yang
dinamakan aureole metamorphic, batuan ubahan.

Tebal lapisan batuan ubahan pada metamorfisme kontak tergantung pada


besarnya tubuh intrusi dan kandungan H2O didalam batuan yang diterobos. Misalnya
pada korok atau sill lapisannya hanya beberapa meter, tetapi tanpa H2O hanya
beberapa centimeter lebarnya. Batuan metamorf kontak yang terjadi, keras terdiri dari
mineral berbutir seragam dan halus yang saling mengunci (interlocking), dinamakan
Hornfels. Pada terobosan besar, bergaris tengah sampai ribuan meter mempunyai
energi panas jauh lebih besar dari pada terobosan kecil, dan dapat mengandung banyak
uap H2O. Aureol yang terbentuk dapat sampai ratusan meter lebarnya dan berbutir
kasar. Didalam aureol metamorf lebar ini yang telah dilalui cairan, terjadi zonasi
himpunan mineral yang konentris.

Zona himpunan mineral ini mencirikan kisaran suhu tertentu. Dekat dengan
terobosan, dimana suhu sangat tinggi, dijumpai mineral-mineral anhidrous, garnet dan
piroksen. Kemudian dijumpai mineral-mineral hidrous seperti amfibol dan epidot.
Selanjutnya mika dan klorit,. Zonasi himpunan-himpunan mineral tersebut tekstunya
tergantung pada komposisi kimia batuan yang diterobos, cairan yang melaluinya serta
suhu dan tekanan.
Metamorfisme Regional

Batuan metamorf yang umum dijumpai pada kerak benua dengan penyebaran
yang sangat luas, sampai puluhan ribu kilometer persegi, dibentuk oleh proses
metamorfisme regional. Pada metamorfisme ini melibatkan juga deformasi mekanik
selain rekristalisasi kimia. Oleh karena itu batuannya memperlihatkan adanya foliasi.

Batuan metamorf regional pada umumnya dijumpai pada deretan pegunungan


atau yang sudah tererosi, berupa batu sabak (slate), filit, sekis dan gneiss. Deretan
pegunungan dengan batuan metamof regional terbentuk akibat subduksi atau tumbukan
(collision) kerak benua. Pada saat tumbukan benua, batuan sedimen sepanjang batas
lempeng mengalami diferensial stress yang intensif.

Dan mengakibatkan berkembangnya foliasi yang khas pada batusabak, sekis,


dan gneiss. Sekis hijau dan amfibolit juga merupakan hasil metamorfisme regional,
umumnya dijumpai dimana segmen kerak samudra purba yang berkomposisi basaltis
bersatu dengan kerak benua dan kemudian termetamorfosa. Gambar di atas
memperlihatkan bagaimana terjadinya metamorfisme regional.

Saat satu segmen kerak mengalami stress, kompresi horizontal, batuan dalam
kerak terlipat dan melenglung (buckling). Akibatnya kerak akan menebal pada satu
tempat, seperti diperlihatkan pada di atas. Dasar kerak yang menebal akan terdorong
lebih kedalam selubung.

Akibatnya bagian dasar kerak tersebut mengalami peningkatan suhu dan


tekanan, dan mineral-mineral baru mulai tumbuh. Aliran panas dari dasar keatas sangat
lambat karena batuan bukan penghantar panas yang baik. Pencapaian panas sangat
bergantung pada kedalaman dan waktu batuan yang terbenam dalam timbunan yang
menebal. Bila perlipatan dan penebalan berlangsung sangat lambat, pemanasan
timbunan sesuai dengan suhu pada bagian batas mantel dan kerak (gradient geotermal
benua). Sedangkan jika penimbunan berlangsung sangat cepat, seperti halnya pada
daerah subduksi, sedimen tertarik dan terseret kebawah , timbunan sedimen tidak
sempat mengalami pemanasan, sehingga peran tekanan lebih besar dibandingkan
dengan suhu.

Berdasarkan kecepatan penimbunan, dari batuan yang sama, dapat terjadi dua
batuan metamorf yang berbeda, karena perbedaan suhu dan tekanan yang
mempengaruhinya.

Kesimpulan

 Metamorfisme Kontak
Metamorfisme kontak biasanya terjadi pada area yang lebih kecil dibandingkan dengan
metamorfisme regional dalam kondisi suhu yang sangat tinggi juga terdapat intrusi batuan
beku. Disaat magma menerobos dan memanaskan batuan beku disekitarnya maka lama
kelamaan akan terbentuk aureole.
 Metamorfisme Regional

Metamorfisme Regional terjadi sebagai hasil dari aktivitas tektonik konvergen dan terjadi
pada kondisi temperatur rendah dengan tekanan tinggi. Dapat dikatakan bahwa tipe
metamorfisme ini mencakup area yang lebih luas dibanding metamorfisme kontak.

3. Jelaskan tentang Metasomatisme


Metasomatisme (meta berarti berubah dan soma, dari bahasa Latin yang berarti juice)
berarti perubahan kimia pada batuan oleh larutan hydrothermal yang umumnya
berasosiasi dengan metamorfisme kontak dan membentuk mined deposits atau
endapan yang dapat ditambang. Biasanya metasomatisme berasosiasi dengan
metamorfose kontak, terutama dengan batu gamping, Cairan metasomatisme yang
dilepaskan magma yang mendingin, menembus batuan yang termetamorf. Karena
boleh jadi cairannya membawa bahan-bahan seperti silika, besi, dan magnesium
dalam larutan, komposisi batu gamping yang dekat dengan magma yang mendingin
dapat terubah dengan drastis, dan yang diluar jangkauan cairan tidak terubah. Tanpa
adanya penambahan material, batu gamping menjadi marmer, tetapi akibat
metasomatisme berubah menjadi himpunan garnet, pyroksen hijau, dinamakan diopsit
dan kalsit.

Cairan yang menyebabkan metasomatisme kaya akan H2O dan bersuhu 2500
C atau lebih dinamakan larutan hidrotermal (dari bahasa Yunani, hidro- air dan termal
- panas). Larutan hidrotermal membentuk urat-urat (veins) dengan mengendapkan
bahan yang terlarut seperti kwarsa atau kalsit dalam rekahan-rekahan.

Selain itu dapat juga menghasilkan ubahan pada batuan yang dialirinya.
Larutan hidrotermal mempunyai peranan penting dalam pembentukan cebakan
mineral berharga., dengan membentuk urat-urat dan alterasi batuan. Cebakan mineral
berharga hasil larutan hidrotermal lebih banyak dijumpai dari pada tipe lainnya.
Komposisi utama larutan hidrotermal adalah air.

Dalam airnya selalu mengandung garam-garam, sodium khlorida, potasium


khlorida, kalsium sulfat, dan kalsium khloride. Kadar garam terlarut bervariasi,
berkisar dari salinitas air laut, 3.5 persen berat, sampai puluhan kalinya. Larutan yang
sangat ‘asin’ (barin) dapat melarutkan sedikit mineral-mineral yang tampaknya tidak
larut, seperti emas, khalkopyrit, galena dan sfalerit.

Larutan hidrotermal terjadi dalam beberapa cara. Salah satunya adalah saat
magma yang terjadi oleh peleburan parsial basah yang mendingin dan mengkristal, air
yang menyebabkan peleburan parsial basah dilepaskan. Namun tidak sebagai air
murni, tapi mengandung semua unsur yang dapat larut yang terdapat dalam magma,
seperti NaCl, dan unsur-unsur kimia, emas, perak, tembaga, timbal, zinc, merkuri dan
molybdinum, yang tidak terikat kwarsa, feldspar, dan mineral lain dengan substitusi
ion.

Suhu yang tinggi meningkatkan efektivitas larutan sangat asin ini untuk
membentuk endapan mineral hidrotermal. Volkanisme dan panas merupakan satu
kesatuan. Oleh karena itu wajar bila banyak endapan mineral berasosiasi dengan
batuan volkanik panas yang dimasuki air yang bersirkulasi di kedalaman, yang berasal
dari air hujan atau air laut. Banyak sekali endapan mineral dijumpai pada bagian atas
tumpukan volkanik, yang diendapkan saat larutan hidrotermal yang bergerak naik,
mendingin dan mengendapkan mineral bijih.

Adanya sumber-daya mineral di bumi, adalah berkat kombinasi proses-


proses magmatik, metamorfisme, dan metasomatik, yang semuanya terjadi akibat
tetonik lempeng.
Tektonik Lempeng, Metamorfisme Dan Metasomatisme

DAFTAR PUSTAKA
Blatt, Harvey and Robert J. Tracy. 1996. Petrology.London: W.H Freeman
Berry, L,G., B. Maron. 1959. Tabel Determinasi Mineral. London : W. H. Freeman.

Budi, Rohmanto, Ir. 2008. Geologi Fisik. Makassar : Universitas Hasanudin.

Buranda, JP. TT. Geologi Umum. Malang : Lab. Geografi FMIPA UM.B.E.

M.S. Kaharuddin. 1998. Penuntun Praktikum Petrologi. Makassar : Jurusan Teknik Geologi.

Brahmantyo, Budi; Idham Abdullah, Chalid; Aziz Magetsari, Noer. 2003. Catatan Kuliah
GL-211 Geologi Fisik. Bandung: Departemen Teknik Geologi, ITB

J.A. Katili, P. Marks. 1982. Geologi. Jakarta. Departemen Urusan Research Nasional,
Djakarta.

Anda mungkin juga menyukai