Anda di halaman 1dari 164

Anestesiologi

• Bidang Anestesi

1. Farm
Farmakakol
ologi
ogi Oba
Obatt AnesAneste tesi
si
2. Pers
Persia
iapa
pann praa
praanenest stes
esii :
a. Pemer
Pemerik iksasaan
an pra
praopoper
erat
atif 
if 
 b. Pemilihan obat premedikasi
c. Pemil
Pemilihihanan obat
obat anest
anestesesii
d. Pemil
Pemilihihanan car
caraa anes
aneste
tesi
si
3. Monitoring
Monitoring selama
selama anestes
anestesii dan pasca pasca bedah
bedah dini dan
dan tahapan
tahapan anestesi
anestesi
4. Penyuli
Penyulitt selama
selama aneste
anestesi si dan pasca
pasca bedah
bedah dini
dini :
a. Peny
Penyul
ulitit per
perna
nafafasa
san
n
 b. Penyulit sirkulasi
c. Penyu
Penyuli litt lain
lain : hipe
hipertrter
ermi
mi
5. Alat
Alat anes
anestetesi
si inha
inhala lasi
si
6. Anes
Aneste
tesi
si pada
pada kebid
kebidana anan n:
a. Anes
Anestetesi
si pad
padaa opera
operasi si cae
caesa sar 

 b. Anestesi pada post partum sterilisasi
7. Anes
Aneste
tesi
si pad
padaa gawat
gawat dar darur
urat
at
8. Anes
Aneste
tesi
si pada
pada anak 
anak 
9. Aneste
Anestesisi pada
pada operasi
operasi jalan
jalan nafa
nafass
10. Anestesi
Anestesi pada penderita
penderita resiko tinggi tinggi
11. Anestesi
Anestesi pada penderita
penderita rawat jalan jalan
12. Anestesi
Anestesi pada
pada lokal
lokal

• Bidang Kedokteran Gawat Darurat

1. Dasar
Dasar penanga
penanganan nan penderi
penderitata gawat
gawat
2. Penan
Penanga
ganan
nan gawa
gawatt naf
nafas
as :
a. Gang
Gangguguanan oks
oksig
igen
enas
asii
 b. Terapi oksigen
c. Fisi
Fisiot
oter
erap
apii nafa
nafass
3. Penan
Penanga
ganan
nan gaw
gawatat sirk
sirkul
ulas
asii :
a. Terap
erapii cai
cairan
 b. Transfusi komponen darah pada penderita gawat
4. Resu
Resusi
sita
tasi
si kardi
kardiopopul
ulmo
moner
ner :
a. Resusi
Resusitas
tasii kardiop
kardiopulm
ulmone
onerr pada orang
orang dewas
dewasaa
 b. Resusitasi kardiopulmoner pada bayi
5. Penanganan
Penanganan gangguan
gangguan keseimbangan
keseimbangan asam,
asam, basa dan elektr
elektrolit
olit
6. Penanga
Penanganan
nan pender
penderita
ita denga
dengan n gangguan
gangguan kesada
kesadaran
ran
7. Rujuka
Rujukann dan komuni
komunikaskasii dengan
dengan pender
penderita
ita gawat
gawat

• Pengelolaan nyeri akut dan kronis

1
FARMAKOLOGI
FARMAKOLOGI OBAT ANESTESI UMUM

PENDAHULUAN
Untuk
Untuk melaku
melakukan
kan anestes
anestesii yang
yang aman
aman salah
salah satu
satu persya
persyarat
ratanny
annyaa adalah
adalah mengeta
mengetahui
hui
khasiat, efek samping, dan cara kerja obat anestesi. Obat anestesi dapat dibagi dalam dua
kelomp
kelompok
ok besar
besar yaitu
yaitu obat
obat aneste
anestesi
si umum
umum dan obat aneste
anestesi
si region
regional.
al. Obat
Obat anestes
anestesii
umum masih dibagi lagi menurut cara pemberiannya yaitu obat anestesi inhalasi dan obat
anestesi parenteral. Obat anestesi yang diberikan per-rektal, cara kerjanya seperti obat
aneste
anestesi
si parent
parentera
eral.
l. Obat yang
yang dipakai
dipakai untuk
untuk anestes
anestesii per-re
per-rekta
ktall adalah
adalah golonga
golongan
n
 barbiturat yang sangat singkat. Untuk obat anestesi regional akan dibicarakan pada
farmakologi obat anestesi regional.

1. Anes
Aneste
tesi
si Inha
Inhala
lasi
si
Untuk dapat memilih obat anestesi yang sesuai ada beberapa hal perlu dipahami yaitu
farmakologi dan farmakokinetik obat-obat anestesi umum dan dasar-dasar teori anestesi
inhalasi. Obat anestesi inhalasi dapat berbentuk cair yang mudah menguap atau berbentuk 
gas. Untuk terjadinya anestesi maka obat tersebut masuk melalui inhalasi dari paru yang
diteruskan keseluruh jaringan melalui darah.
Agar dapat dihasilkan suatu efek farmakologi dari obat-obat anestesi yang digunakan,
diperlukan penggunaan dosis yang tepat dan cara yang benar. Untuk anestesi inhalasi,
 jalan nafas digunakan sebagai jalan masuknya obat kedalam tubuh. Untuk mengetahui
cara kerja obat anestesi inhalasi, perlu dimengerti masalah uptake dan distribusi dari obat
inhalasi
inhalasi tersebut. Secara klinis
klinis tujuan pemberian
pemberian anestesi
anestesi ialah untuk mencapai tekanan
 partial yang adekuat dari obat anestesi tersebut didalam otak, sehingga didapatkan efek 
yang diinginkan. Efek ini bervariasi tergantung dari kadar yang ada di otak. Kadar obat
anestesi dalam jaringan merupakan hasil dari daya kelarutan dan tekanan partial obat
anestesi tersebut dalam jaringan, sedangkan daya kelarutan untuk obat anestesi tertentu
dianggap konstan. Tekanan partial dapat berubah dan diatur dengan perubahan kadar obat
aneste
anestesi.
si. Tekanan
Tekanan parti
partial
al obat
obat aneste
anestesi
si dalam
dalam otak
otak langsu
langsung
ng dikend
dikendali
alikan
kan dengan
dengan
merubah komposisi campuran obat yang dihisap.

2
FARMAKOLOGI
FARMAKOLOGI OBAT ANESTESI UMUM

PENDAHULUAN
Untuk
Untuk melaku
melakukan
kan anestes
anestesii yang
yang aman
aman salah
salah satu
satu persya
persyarat
ratanny
annyaa adalah
adalah mengeta
mengetahui
hui
khasiat, efek samping, dan cara kerja obat anestesi. Obat anestesi dapat dibagi dalam dua
kelomp
kelompok
ok besar
besar yaitu
yaitu obat
obat aneste
anestesi
si umum
umum dan obat aneste
anestesi
si region
regional.
al. Obat
Obat anestes
anestesii
umum masih dibagi lagi menurut cara pemberiannya yaitu obat anestesi inhalasi dan obat
anestesi parenteral. Obat anestesi yang diberikan per-rektal, cara kerjanya seperti obat
aneste
anestesi
si parent
parentera
eral.
l. Obat yang
yang dipakai
dipakai untuk
untuk anestes
anestesii per-re
per-rekta
ktall adalah
adalah golonga
golongan
n
 barbiturat yang sangat singkat. Untuk obat anestesi regional akan dibicarakan pada
farmakologi obat anestesi regional.

1. Anes
Aneste
tesi
si Inha
Inhala
lasi
si
Untuk dapat memilih obat anestesi yang sesuai ada beberapa hal perlu dipahami yaitu
farmakologi dan farmakokinetik obat-obat anestesi umum dan dasar-dasar teori anestesi
inhalasi. Obat anestesi inhalasi dapat berbentuk cair yang mudah menguap atau berbentuk 
gas. Untuk terjadinya anestesi maka obat tersebut masuk melalui inhalasi dari paru yang
diteruskan keseluruh jaringan melalui darah.
Agar dapat dihasilkan suatu efek farmakologi dari obat-obat anestesi yang digunakan,
diperlukan penggunaan dosis yang tepat dan cara yang benar. Untuk anestesi inhalasi,
 jalan nafas digunakan sebagai jalan masuknya obat kedalam tubuh. Untuk mengetahui
cara kerja obat anestesi inhalasi, perlu dimengerti masalah uptake dan distribusi dari obat
inhalasi
inhalasi tersebut. Secara klinis
klinis tujuan pemberian
pemberian anestesi
anestesi ialah untuk mencapai tekanan
 partial yang adekuat dari obat anestesi tersebut didalam otak, sehingga didapatkan efek 
yang diinginkan. Efek ini bervariasi tergantung dari kadar yang ada di otak. Kadar obat
anestesi dalam jaringan merupakan hasil dari daya kelarutan dan tekanan partial obat
anestesi tersebut dalam jaringan, sedangkan daya kelarutan untuk obat anestesi tertentu
dianggap konstan. Tekanan partial dapat berubah dan diatur dengan perubahan kadar obat
aneste
anestesi.
si. Tekanan
Tekanan parti
partial
al obat
obat aneste
anestesi
si dalam
dalam otak
otak langsu
langsung
ng dikend
dikendali
alikan
kan dengan
dengan
merubah komposisi campuran obat yang dihisap.

2
Kada
Kadarr gas
gas dida
didala
lam
m suat
suatu
u camp
campur
uran
an seba
sebandi
nding
ng denga
dengan
n teka
tekana
nan
n part
partia
ialn
lnya
ya.. Untu
Untuk 

menentukan dosis obat anestesi inhalasi, maka dipakai istilah tekanan partial (dalam torr)
dan kadar
kadar (vol.p
(vol.pers
ersen)
en).. Dengan
Dengan mengat
mengatur
ur kompos
komposisi
isi campur
campuran
an gas inspir
inspirasi
asi maka
maka
didapatkan perbedaan tekanan antara udara yang dihisap dan darah yang mengalir ke otak 
sehingga terjadi aliran obat anestesi kedalam atau keluar dari otak dengan sistem respirasi
dan sirkulasi
sirkulasi sebagai penghantarnya.
penghantarnya. Perbedaan
Perbedaan tekanan
tekanan partial
partial ini merupakan kekuatan
 pendorong yang menyebabkan obat anestesi menuju ke perbedaan kadar.
ka dar. Selama induksi
kadar tertentu dari suatu obat anestesi ditambahkan kedalam udara yang dihisap, sehingga
terjadi penurunan perbedaan kadar secara bertahap antara campuran gas yang dihisap dan
gas dalam alveoli, kemudian terhadap darah arterial dan otak. Selama pulih sadar, maka
terjadi hal yang sebaliknya.
Otak dan jaringan tubuh lainnya akan mengadakan keseimbangan dengan tekanan partial
obat anestesi yang digunakan melaui darah arteri, sedangkan darah akan mengadakan
keseimbangan dengan tekanan partial obat anestesi dalam alveoli. Tekanan partial obat
anestesi dalam alveoli ini sangat penting karena akan menentukan tekanan partial obat
anestesi dalam darah yang akan menuju ke otak dan jaringan tubuh lainnya.
Meningkatnya kadar inspirasi dan bertambahnya volume semenit akan menambah jumlah
obat
obat anestes
anestesii yang
yang masuk
masuk sehing
sehingga
ga menyeb
menyebabka
abkan
n naikny
naiknyaa tekanan
tekanan partia
partiall alveol
alveolar.
ar.
Sebaliknya turunnya tekanan partial gas inspirasi atau menurunnya volume semenit akan
mengurangi tekanan partial alveoler. Perbedaan tekanan yang besar antara gas alveoli dan
darah
darah vena akan mening
meningkat
katkan
kan pembuan
pembuangan
gan obat anestes
anestesii dan akhirn
akhirnya
ya menuru
menurunka
nkan
n
tekanan alveoler. Kenaikan curah jantung atau bertambahnya daya kelarutan obat anestesi
menye
menyebabka
babkan
n bertam
bertambah
bahnya
nya pengam
pengambil
bilan
an dari
dari gas alveol
alveoler
er dan mengur
mengurangi
angi tekana
tekanan
n
 partial obat anestesi dalam alveolus.
Setelah waktu tertentu maka pengambilan (uptake) obat anestesi dari paru-paru akan
mencapai keseimbangan dengan pengambilan total oleh berbagai jaringan tubuh. Obat
anestesi yang mempunyai daya kelarutan tinggi dengan cepat akan diambil dari paru oleh
darah, dan dari darah oleh jaringan.
jaringan. Hal ini akan menghambat
menghambat atau membatasi
membatasi kenaikan
tekanan partial obat anestesi dalam otak sehingga induksi menjadi lambat. Sebaliknya
dengan
dengan obat
obat aneste
anestesi
si yang
yang daya
daya kelaru
kelarutan
tannya
nya rendah
rendah,, maka
maka tekana
tekanan
n alveol
alveolaer
aer obat
anestesi akan meningkat dengan cepat karena tidak banyak obat yang diambil oleh darah

3
dari paru. Dengan demikian maka keseimbangan antara gas alveoler, darah dan otak 
cepat tercapai, sehingga menghasilkan induksi yang cepat. Daya kelarutan ini dinyatakan
dengan blood : gas atau tissue : blood partition coefficient.
Hubungan antara gas inspirasi dan tekanan partial alveoler dapat diringkas sebagai
 berikut, selama penggunaan obat anestesi inhalasi, tekanan partial alveoler mula-mula
naik dengan cepat kearah tekanan gas inspirasi, kemudian lebih lambat. Tekanan partial
arteri mengikuti tekanan alveoler sampai terjadi keseimbangan antara darah paru dengan
gas alveoler. Kemudian terjadilah kenaikan tekanan partial jaringan, mencapai level
arteri. Jaringan yang kaya pembuluh darah termasuk otak akan mencapai keseimbangan
lebih cepat, sedangkan jaringan yang lain lebih lambat. Sebagai patokan, pemberian
anestesi sudah lengkap sebelum tekanan gas alveolar mencapai tekanan gas inspirasi.
(Gambar 1)

Gambar 1. Scematic diagram of uptake distribution of inhalation anaesthetics


Inspired concentration, FI or fraction inspired, of anesthetic is under direct control of the anesthetist. FI is
delivered to the alveoli by minute volume of ventilation (MVV). The alveolar concentration, FA or fraction
of alveoli, regulates tension (partial pressure) of anesthetic agent in arterial blood. The four tissue groups or 
compartment (COMP), the vessel rich group (VRG), the muscle group (MG), and the vessel poor group
(VPG) tend toward equilibration with anesthetic tension in arterial blood but reach that equilibrium at retes

4
determined by the volume of blood flow to each tissue. The brain is the side of action. C.O. = cardiac
output and B.W. = body weight, both expressed in percent. SPLANC = splanchnic circulation.

2. Pengukuran potensi obat anestesi


Hubungan antara dosis yang digunakan dengan efek yang dihasilkan disebut potensi dari
obat tersebut. Dalam bidang anestesi dikenal istilah minimum alveolar concentration
(MAC) yang digunakan untuk menunjukkan potensi dari obat anestesi tersebut.
MAC ialah konsentrasi obat anestesi pada tekanan 1 atm yang menghasilkan immobilitas
dari 50% subyek yang dihadapkan pada rangsangan noxius.
Pengukuran ini memungkinkan diadakannya evaluasi secara kuantitatif respons pasien
terhadap kombinasi obat-obat yang menyebabkan depresi serebral.
Penggunaan opiat dan sedatif sebagai obat premedikasi akan menurunkan MAC sesuai
dengan dosis. Tiap kenaikan dosis disertai dengan penurunan jumlah obat inhalasi secara
 proporsional untuk mencapai level anestesi yang diinginkan. Efek penambahan obat
anestesi inhalasi lain akan menurunkan kebutuhan obat tersebut. Kebutuhan bayi dan
orang tua menurun, tetapi meningkat pada masa pubertas.
Beberapa contoh MAC dibanding kadar obat anestesi.

Obat MAC Kadar induksi (vol%) Kadar rumatan (vol%)


Halothane O,76 2–4 0,5 – 2
Enflurane 1,68 2–5 1,5 – 3
Ether 1,92 10 – 30 4 – 15
 N2O 105 Sampai 80 Sampai 80

N2O (Dinitrogen oksida, nitrous oxide)


Gas hampir tidak berbau, tidak mudah terbakar, tetapi dapat memudahkan terbakar dan
meledaknya obat anestesia yang mudah terbakar. N2O disimpan dalam botol logam,
sebagian dalam bentuk cair, hingga harus digunakan dengan botol berdiri tegak. Khasiat
anestesianya lemah sehingga hanya dapat dipakai pada operasi kecil atau membantu
mempercepat induksi.
Penggunaan N2O dilakukan dengan campuran oksigen dalam perbandingan kadar 
 N2O/O2 50%/50% atau maksimal 70%/30%. Khasiat analgesinya digunakan sebagai
kombinasi dengan obat anestesia lain yang tidak memiliki khasiat analgesia misalnya :

5
halothane, enflurane, isoflurane. N2O tidak memiliki khasiat relaksasi. Setelah anestesia
sele
selesa
sai,
i, N2O
N2O dihen
dihenti
tika
kan
n dan
dan dite
diteru
rusk
skan
an O2 100%
100% sela
selama
ma 5 – 10 meni
menitt lagi
lagi untuk 
untuk 
mencegah diffusion hypoxia.

Ether (diethyl-ether, di-etil-eter, eter)


Cairan
Cairan yang
yang tidak
tidak berwar
berwarna,
na, mudah
mudah menguap
menguap,, mudah
mudah terbaka
terbakarr dan mudah
mudah meleda
meledak,
k,
lebih-lebih jika digunakan bersama O2. mudah teroksidasi menjadi peroksid dan dengan
alcohol
alcohol membent
membentuk
uk asetal
asetaldehi
dehid,
d, sehing
sehingga
ga ether
ether yang
yang telah
telah terbuka
terbuka bebera
beberapa
pa haru
haru
seharusnya dibuang. Ether mempunyai bau yang merangsang. Induksi dengan ether sukar 
dica
dicapai
pai denga
dengan
n baik
baik karen
karenaa pasi
pasien
en seri
sering
ng menah
menahan
an nafa
nafass akib
akibat
at bau
bau yang
yang kura
kurang
ng
menyenangkan. Sekresi bronkhus dan ludah meningkat. Hipersekresi dan hipersalivasi ini
dapat dicegah dengan premedikasi atropin 0,5 mg 1 jam sebelumnya. Ether menyebabkan
mual dan muntah, baik pada waktu induksi maupun pulih sadar melalui mekanisme
rangsa
rangsangan
ngan lambun
lambung
g dan efek
efek sentra
sentral.
l. Ether
Ether mempuny
mempunyai
ai khasia
khasiatt narkos
narkosis
is yang
yang baik,
baik,
analgesia sangat kuat dan relaksasi otot bergaris sangat baik. Selain itu ether mempunyai
 batas keselamatan sangat lebar. Dosis untuk tahap pemeliharaan (maintenance) adalah 2 – 
4%. Dosis maksimal yang diberikan waktu induksi adalah 15-20%. Sampai pada tahapan
yang
yang dalam,
dalam, pasien
pasien tetap
tetap dapat
dapat bernaf
bernafas
as sponta
spontan,
n, meski
meskipun
pun reaksi
reaksi pusat
pusat pernaf
pernafasa
asan
n
terhadap CO2 menurun. Ether menyebabkan bronkhodilatasi. Sampai stadium III bidang
2, efek depresi otot jantung tak tampak jelas karena ether merangsang syaraf simpatis
serta
serta sekres
sekresii adrenal
adrenalin-
in-nor
noradr
adrena
enalin
lin.. Pada stadiu
stadium
m dalam,
dalam, terjad
terjadii depresi
depresi nafas
nafas dan
depresi otot jantung. Ether tidak membuat otot jantung lebih peka terhadap rangsang
katekholamin.
Selain ekskresi melalui paru, sebagian kecil melalui urine, keringat, air susu dan berdifusi
secara utuh melalui kulit. Untuk memudahkan induksi ethyl choride dengan tetes terbuka
(open-drop) atau ketamine iv/im.

Pembedahan dilakukan pada tahap (stadium) III :


1. Bidang 1 untuk
untuk pembedahan
pembedahan ditangan,
ditangan, kaki
kaki dan permukaan
permukaan tubuh.
tubuh.

6
2. Bidang 2 untuk pembedahan
pembedahan rongga
rongga perut
perut bagian
bagian bawah, Sectio
Sectio Caesari
Caesaria,
a, hernia,
hernia,
usus buntu dan sebagainya.
3. Bida
Bidang
ng 3 unt
untuk pem
pembeda
bedaha
han
n rongg
onggaa per
perut bagi
bagian
an atas
atas dan
dan lai
lainny
nnya yang
ang
memerlukan relaksasi otot yang sebaik-baiknya. Pada bidang 3 ini telah terjadi
depresi nafas dan sirkulasi sehingga pasien mudah mengalami hipoventilasi yang
dapat membahayakan pasien. Cara yang lebih aman untuk mencapai relaksasi
yang baik adalah dengan diberikan obat pelumpuh otot.
Gambar skema dari Tahap anestesia dengan ether lihat pada judul tahap anestesia.
Ether menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan aliran darah organ viscera sehingga
filtra
filtrasi
si glomer
glomerule
ulerr dan jumlah
jumlah air seni
seni menuru
menurun.
n. Sebali
Sebalikny
knyaa pembul
pembuluh
uh darah
darah otak 
otak 
menjadi vasodilatasi sehingga aliran darah dan tekanan intra kranial meningkat. Ether 
 jangan digunakan pada pasien dengan rudapaksa kepala, contusio cerebri dan tekanan
intra
intra krania
kraniall yang
yang mening
meningkat
kat.. Pengaru
Pengaruh
h pada
pada kadar
kadar gula
gula darah
darah dapat
dapat mening
meningkat
katkan
kan
sampai 2 kali lipat dan berlangsung sampai beberapa jam sesudah anestesia. Sedapat
mungkin ether dihindari penggunaannya pada pasien Diabetes Millitus.

Halothane (halotan)
Cairan tidak berwarna, berbau enak, tak mudah terbakar atau meledak. Induksinya cepat,
dengan kadar 2-4% dapat dilakukan dengan inhalasi langsung (terutama pada anak-anak)
atau dimulai dengan thiopental 3-5 mg/kg iv pelan-pelan. Kadar pemeliharaan 0,5-2%.
Khasiat
Khasiat analgesiany
analgesianyaa kurang baik sehingga
sehingga diperlukan
diperlukan tambahan obat yang mempunyai
mempunyai
sifat analgesia misalnya N2O atau narkotik. Obat narkotik pethidin diberikan 1 mg/kg BB
atau
atau morfin
morfin 0,1 mg/kg
mg/kg BB im sebaga
sebagaii premed
premedika
ikasi
si atau
atau diberi
diberikan
kan tambaha
tambahan
n selama
selama
anestesia, seperti pethidin dengan dosis 0,2 mg/kg BB iv. Halothane tidak melemaskan
otot bergaris kecuali otot masseter (rahang).
Depresi
Depresi pernafasan
pernafasan terjadi pada stadium
stadium pembedahan
pembedahan sehingga
sehingga perlu diberikan
diberikan nafas
 buatan berkala untuk menghindarkan hiperkarbia. Halothane menyebabkan
 bronkhodilatasi dan tidak merangsang sekresi kelenjar bronkhus maupun hipersalivasi.
Terhadap sistem sirkulasi menyebabkan depresi sirkulasi. Tekanan darah menurun karena
kontraktilitas otot jantung yang menurun dan adanya vasodilatasi perifer. Pada over dosis
halothane aktifitas syaraf simpatis menurun sehingga dapat mudah terjadi cardiac arrest,

7
dan aktifitas syaraf vagus yang relatif meningkat menyebabkan terjadinya bradikardia.
Halothane juga membuat miokard lebih peka terhadap katekholamine sehingga mudah
terjadi extra-sistol dan aritmia ventrikuler yang berbahaya yang tampak bila dilakukan
dengan monitor EKG. Suntikan adrenalin untuk infiltrasi selama anestesia harus sangat
dibatasi. Dosis orang dewasa tidak boleh melampaui 10 ml larutan 1 : 100.000 dalam 10
menit atau 30 ml per jam.
Hipoven
Hipoventil
tilasi
asi menyeb
menyebabka
abkan
n kenaik
kenaikan
an CO2 darah
darah sehing
sehingga
ga memudah
memudahkan
kan terjad
terjadiny
inyaa
aritm
aritmia
ia ventrik
ventrikule
uler.
r. Pengguna
Penggunaan
an pada
pada pasien
pasien syok
syok atau
atau hipote
hipotensi
nsi akan memperb
memperbera
eratt
keadaan
keadaan.. Untuk
Untuk mengata
mengatasi
si hipote
hipotensi
nsi diberi
diberikan
kan ephedri
ephedrine
ne dalam
dalam laruta
larutan
n 10 mg/cc
mg/cc
diberikan 10-15 mg iv pelan-pelan jika tekanan sistolik turun lebih dari 25% awal kalau
 perlu dosis dapat diulang setelah 5-10 menit.
Aliran
Aliran darah
darah ke organ
organ viscer
visceraa menuru
menurun,
n, GFR dan produks
produksii air seni
seni juga menurun.
menurun.
Sebaliknya vasodilatasi perifer menyebabkan sirkulasi ke otak meningkat dan tekanan
intra kranial naik. Kenaikan tekanan intra kranial ini akan menjadi lebih tinggi jika
disertai depresi nafas yang mengakibatkan kadar CO2 yang meningkat.
Halothane pada kadar rendah (pasien masih sadar), sudah menghambat kontraksi otot
rahim serta mengurangi efektifitas ergotamine dan oksitosin hingga mudah menyebabkan
 perdarahan pasca persalinan (post partum) yang sangat berbahaya. Penggunaan pada
Sectio Caesaria harus sangat hati-hati dengan perdarahan yang terjadi.
Penggun
Penggunaan
aan berula
berulang
ng harus
harus dihind
dihindari
ari sebelu
sebelum
m jarak
jarak waktu
waktu 12 minggu
minggu karena
karena dapat
dapat
menyebabkan kerusakan hepar (nekrosis sentrilobuler) melalui mekanisme sensitisasi.

Enflurane
Enflurane (CHF2OCF2CHFCl) adalah hidro karbon halogen yang
yang kuat (MAC enflurane
enflurane
1,68% didalam oksigen). Ia kelompok senyawa sentetik yang lebih baru, yang dibuat
untuk mengkombinasi ikatan ether stabil (untuk efek anestesi) dan molekul halogen.
Induksi cepat dan gangguan pernafasan dan sistem kardiovaskular timbul seperti pada
 pemberian halothane. Enflurane tidak memiliki efek sensitisasi myocardium terhadap
obat
obat blok
blok neuromu
neuromusku
skular
lar.. Bebera
Beberapa
pa kasus
kasus hepato
hepatotok
toksis
sisita
itass sepert
sepertii haloth
halothane
ane juga
juga
ditemukan. Hal ini mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa persentase enflurane yang
mengal
mengalami
ami biotra
biotransf
nsform
ormasi
asi hanya
hanya kecil
kecil bila
bila dibandi
dibanding
ng dengan
dengan haloth
halothane
ane.. Walau
Walau

8
demikian, enflurane tampak cukup kuat untuk menimbulkan disfungsi ginjal yang
mungkin berhubungan dengan kenaikan kadar plasma fluorida anorganik. Walaupun
 belum ada cukup data untuk membuktikan bahwa tingkat plasma fluorida anorganik 
 bersifat nefrotoksik, namun lebih baik menghindari atau membatasi penggunaan
enflurane pada pasien penyakit ginjal atau yang mengalami transplantasi ginjal. Dalam
 jumlah persentase yang kecil pada pasien normal, penggunaan enflurane tampak adanya
 pembentukan pola elektroensefalografi (EEG) yang menyerupai tanda epilepsi. Bukti
klinik perubahan EEG yang abnormal tampaknya meragukan, terutama karena lebih
 jarang dibanding dengan pasien epilepsi. Karena itu, lebih baik menghindari penggunaan
enflurane pada pasien epilepsi.

3. Anestesi Parenteral
Obat anestesia parenteral setelah penyuntikan, kadar obat anestesia dalam darah
meningkat, lalu diikuti kenaikan kadar dalam jaringan otak sehingga pasien menjadi tidak 
sadar. Untuk mempertahankan tahapan anestesia, kadar dalam darah harus dipertahankan
dengan penyuntikan berkala atau memberikan tetesan secara kontinyu sebab obat tersebut
mengalami metabolisme di hati dan dikeluarkan lewat ginjal. Jika pemberian obat
anestesia dihentikan, kadar dalam darah menurun, terjadi difusi balik dari jaringan otak 
kedalam darah dan pasien sadar kembali. Makin lama anestesia berlangsung, makin lama
 juga proses sadar kembalinya karena jaringan tubuh selain otak juga menjadi jenuh
dengan obat anestesia.
Thiopental (Penthotal, Thiopentone sodium)
Yang termasuk obat anestesia parentaral adalah golongan barbiturat yang waktu
 bekerjanya sangat singkat dikenal sebagai thiopental. Induksi intravena berjalan cepat,
dalam 30-60 detik pasien sudah tidak sadar. Pemberian intravena harus dilakukan secara
 perlahan, 3-5 mg/kg BB, sambil melihat respon pasien, sampai mata tertutup dan reflex
 bulu mata hilang. Hilangnya kesadaran disebabkan depresi kortex dan  Reticular 
 Activating System. Pada dosis yang lebih banyak terjadi depresi pusat pernafasan di
medulla oblongata. Pasien cepat kembali sadar dalam 3-5 menit akibat adanya
redistribusi obat dari otak ke jaringan lain, bukan karena cepatnya metabolisme di hati
atau ekskresi di ginjal. Thiopental sesuai untuk tindakan singkat seperti reposisi patah

9
tulang yang tertutup, reposisi dislokasi sendi dan insisi abses. Thiopental sebagai obat
induksi yang dilanjutkan dengan halothane akan berjalan lancar, tapi sebaliknya bila
dilanjutkan dengan ether akan mengalami banyak kendala sebab thiopental menaikan
kepekaan reflex jalan nafas sedang disisi lain ether merangsang jalan nafas. Khasiat
analgesia dan relaksasi otot bergaris kurang. Tidak menyebabkan mual atau muntah.
Ketamine (ketalar)
Ketamine adalah obat anestesia yang dapat diberikan intramuskuler, intravena (bolus)
atau drip (per-infus). Dapat diberikan secara intramuskuler ketamine mempunyai
keuntungan tersendiri, sehingga dapat diberikan pada anak-anak yang tidak kooperatif 
dan tidak mungkin untuk dipasang infus sebelumnya, atau pada anak yang menolak 
 penggunaan masker untuk inhalasi anestesi pada waktu induksi. Dosis intramuskuler 
untuk permulaan 8-10 mg/kg BB, degan dosis ulang setengahnya. Dengan pemberian
intrvena digunakan dosis permulaan 1-2 mg/kg BB dan dosis ulang 1 mg/kg BB. Dosis
dapat diperkecil dengan pemberian secara drip (dalam infus), yaitu 2-4 mg/kg BB/jam.
Ketalar dilarutkan dalam NaCl 0,9% atau RL, dibuat larutan 0,1% (1mg/cc). Apabila
digunakan atas indikasi yang benar, ketamine memberikan beberapa keuntungan antara
lain, penyimpanannya mudah, tidak memerlukan peralatan yang mahal, penggunaannya
mudah, dapat digunakan untuk induksi maupun rumatan anestesi, efek analgesia kuat,
dengan onset yang cepat, stimulasi ringan kardiovaskuler, sehingga baik untuk pasien
shock. Kerugiannya meningkatkan tekanan intrakranial, sehingga tidak boleh digunakan
 pada pasien dengan trauma kepala atau yang dicurigai adanya proses di otak dan
menyebabkan nystagmus, sehingga tidak boleh digunakan untuk operasi mata.
Propofol (Diprivan)
Propofol merupakan obat induksi anestesia cepat. Obat ini didistribusi secara cepat dan
eliminasi yang cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung
dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai sifat analgesik.
Dibandinghkan dengan thiopental, waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang terjadi mual
dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol mempunyai efek anti emetik. Propofol
menekan korteks adrenal dan menurunkan kadar kortisol plasma, tetapi supresi adrenal
cepat kembali dan memberikan respons terhadap stimulasi ACTH. Propofol mengurangi
aliran darah otak dan tekanan prefusi ke otak. Propofol memberikan efek potensiasi

10
depresi SSP dan sirkulasi dengan obat golongan narkotik, sedatif, obat anestesia inhalasi.
Potensiasi terjadi pada efek blokade neuromuskuler dari golongan obat pelumpuh otot
non-depolarisasi. Untuk mengurangi efek yang kurang menguntungkan pada manula,
operasi yang beresiko tinggi, pemberian sedatif dan narkotik dosisnya harus dikurangi.
Pemberian intravena dilakukan kedalam vena besar dengan menambah lidokain iv (0,1
mg/kg) pada propofol untuk induksi yang bertujuan mengurangi rasa nyeri. Karena efek 
 propofol terhadap tekanan perfusi otak, maka tidak disarankan pada pasien dengan
 peningkatan tekanan intrakranial. Pada pasien riwayat epilepsi atau gangguan kejang
harus diberikan dengan hati-hati. Pada operasi Caesar dosis induksi propofol
mengakibatkan konsentrasi pada vena umbilikalis tinggi, sehingga bayi yang lahir 
mengalami hipotonus otot, dan skor Apgar 1 dan 5 menit yang rendah. Pada pasien yang
alergi terhadap telur atau minyak kedelai merupakan kontra indikasi pemakaian propofol.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adalah depresi pernafasan, apnea,
 bronkospasme dan leringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia,
takikardia, bradikardia dan hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala,
 pusing, euforia, kebingungan, gerakan klonik-mioklonik, epistotonus, mual, muntah.
Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga pada saat pemberian dapat
dicampurkan lidokain.

Rangkuman
Obat anestesia inhalasi dan parenteral mempunyai cara kerja yang berbeda. Obat
anestesia inhalasi yang dikeluarkan tubuh melalui paruakan lebih mudah untuk mengatur 
kedalaman anestesinya, tetapi pada obat anestesia intravena pengeluaran dari tubuh
tergantung dari metabolisme obat tersebut, sehingga terjadinya kelebihan dosis harus
dapat diantisipasi.

Bahan Bacaan
1. Dripps R.D., Ekkenhoff J.E., Vandam L.D.,

11
Introduction to Anesthesia.
7th edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia-London Toronto, 1988
Halaman : 103 – 132, 141 - 155
2. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail
Clinical Anesthesiology
Second edition a Lange Medical Book, 1996
Halaman : 109 – 127, 128 – 148



Pemeriksaan Preoperatif 

12
Pendahuluan
Komponen psikologis merupakan hal penting pada tindakan pembedahan sehingga
kunjungan prabedah merupakan hal sangat penting. Selain komponen psikologis
kunjungan prabedah menentukan keadaan pasien apakah layak untuk dilakukan tindakan
anestesia dan operasi dan masih banyak lagi manfaatnya, diantaranya pemilihan obat
anestesia, obat premedikasi, tehnik anestesia, meramalkan penyulit yang mungkin terjadi
sehingga dapat menyiapkan hal-hal yang dapat mengatasi penyulit.

Kunjungan Prabedah dan Anamnesis


Setiap pasien yang akan mengalami anestesia harus dilihat dan diperiksa dahulu oleh
dokter yang akan melakukan pemberian anestesia, setidak-tidaknya 1 hari sebelum hari
operasi apabila tindakan pembedahan terencana atau pada waktu dikonsulkan oleh ahli
 bedah untuk pembedahan darurat.
Semua catatan dalam dokumen medik yang baru maupun yang terdahulu (bila pasien
 pernah MRS) harus dipelajari secara teliti. Harus diperhatikan hal-hal yang menyangkut
 pengalaman operasi dan anestesia yang pernah dijalani (bila ada) dan perubahan-
 perubahan fisiologik yang ditimbulkan oleh penyakit yang direncanakan akan dibedah,
maupun penyakit lain yang menyertainya.
Kemampuan toleransi terhadap efek obat anestesia sangat tergantung keadaan fungsi
respirasi dan sirkulasi, fungsi homeostatik di hepar, endokrin dan saraf pusat. Keadaan ini
dapat diketahui apabila dilakukan kunjungan prabedah. Kunjungan prabedah dan
melakukan dialog dengan pasien tidak dapat diganti dengan cara lain, misalnya dengan
 pemberian obat penenang. Kunjungan prabedah ini merupakan proses belajar baik bagi
 pasien maupun dokternya. Oleh karana itu pada waktu malakukan anamnesis tidak boleh
tergesa-gesa. Masalah obat-obat yang digunakan oleh pasien dicatat dengan baik. Hal-hal
lain yang harus diperhatikan ialah masalah emosi/keadaan psikis pasien.
Dengan kunjungan prabedah ini maka dokter dapat memberi pengertian pada pasien apa
yang akan dialami sebelum anestesia (misalnya mengapa harus puasa ± 6 jam, diberi obat
 pencahar, mendapat suntikan/obat premedikasi, dipasang infus dll) dan setelah
 pembedahan (akan berada disuatu diruangan yang belum dikenal yaitu ruang pulih sadar,
timbul rasa sakit, mungkin terasa pusing atau mual dll). Kepada pasien dapat dilatihkan

13
 bagaimana cara mengambil nafas panjang dan batuk yang efektif agar tidak terjadi
 penyulit paru (atelektasis) pasca bedah. Dapat dijelaskan pula masalah nyeri pasca bedah,
dan bagaimana perjalanan hilangnya nyeri tersebut.
Dari kontak pertama dengan pasien, dapat dilihat kemungkinan masalah yang dapat
timbul selama anestesia misalnya, pasien dengan leher pendek kemungkinan dapat terjadi
 penyulit jalan nafas (obstruksi), anak atau bayi yang gemuk, kemungkinan akan
menimbulkan kesulitan pada waktu memasang infus.

Pemeriksaan Fisik 
Setelah anamnesis dilakukan secara lengkap dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik, sesuai
dengan urutan pemeriksaan sistem secara legeartis. Besarnya cadangan sistem
kardiovaskuler dapat diperkirakan dengan menanyakan toleransi pasien terhadap latihan
fisik. Pasien juga dapat diminta untuk berjalan dilorong atau naik tangga, untuk 
mendeteksi terjadinya nafas pendek atau nyeri di tungkai (claudicatio). Apabila ada
riwayat infark myokard, maka tidak adanya keluhan angina tidak dapat dipakai sebagai
 patokan tentang baiknya aliran darah koroner.
Sementara itu hasil pemeriksaan laboratorium diteliti. Bila ada hal-hal yang perlu untuk 
diperiksa, maka dapat diminta pemeriksaan laboratorium tambahan. Apabila pemeriksaan
telah selesai, diberikan penerangan tentang cara anestesia yang akan dilakukan, tentang
apa yang akan dialami pasien selama waktu pasca anestesia/bedah. Penjelasan dilakukan
dengan bahasa awam, sehingga pasien dapat mengerti. Pasien berhak untuk mengetahui
apa yang akan dilakukan oleh dokter.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium yang ada, dapat
ditentukan status fisik pasien serta dinilai resiko pasien terhadap anestesia.

Status Fisik (Physical Status = PS)


Pasien yang akan mengalami anestesia dan pembedahan dapat dikategorikan dalam
 beberapa kelas status fisik, yang semula diusulkan dan digunakan oleh American Society
of Anesthesiologist (ASA), karena itu status fisik diberi nama ASA.
Status fisik diklasifikasikan menjadi 5 kelas, yaitu ASA 1 sampai ASA 5, dengan uraian
sebagai berikut :

14
 Klas 1
Pasien tanpa gangguan organik, fisiologik, biokemik maupun psikiatrik. Proses patologik 
yang akan dilakukan operasi terbatas lokalisasinya dan tidak akan menyebabkan
gangguan sistemik.
Contoh :
a. Seorang dewasa muda sehat akan menjalani operasi hernia inguinalis.
 b. Seorang wanita muda sehat dengan myoma uteri akan dilakukan myomektomi.

 Klas 2
Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai sedang, yang disebabkan baik oleh
keadaan yang harus diobati dengan jalan pembedahan maupun oleh proses-proses
 patofisiologis.
Contoh :
a. Pasien dengan penyakit jantung organik tanpa pembatasan aktifitas atau dengan
 pembatasan ringan, direncanakan untuk operasi hernia.
 b. Pasien dengan DM ringan direncanakan untuk operasi appendektomi.
c. Pasien dengan anemia atau dengan hipertensi essensial.
d. Dalam klas ini juga dimasukkan pasien dengan umur ekstrim (neonatus atau
geriatri) tanpa penyakit sistemik, atau pasien dengan obesitas, brochitis kronis.

 Klas 3
Pasien dengan gangguan sistemik berat, apapun penyebabnya.
Contoh :
a. Pasien dengan DM berat dengan komplikasi vaskuler yang memerlukan tindakan
 pembedahan.
 b. Pasien dengan insufisiensi paru sedang sampai berat, perlu pembedahan misalnya
hernia.
c. Pasien dengan angina pectoris atau infark myokard lama.

 Klas 4

15
Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, yang tidak selalu dapat
dikoreksi dengan pembedahan.
Contoh : pasien dengan dekompensasi jantung, angina pectoris yang terus-menerus,
insufisiensi berat dari faal paru, hepar, ginjal atau endokrin.
 Klas 5
Moribound : pasien yang hanya mempunyai kemungkinan kecil untuk hidup.
Contoh : pasien shock karena perdarahan, trauma kepala hebat dengan tekanan
intrakranial yang meningkat. Pada umumnya pasien-pasien ini memerlukan operasi untuk 
rersusitasi dan umumnya hanya perlu anestesia sedikit atau b ahkan tanpa obat anestesia.

Operasi Darurat (D)


Setiap pasien dari masing-masing klas tersebut diatas yang mengalami pembedahan
darurat dipertimbangkan menjadi dalam kondisi fisik yang lebih jelek. Dibelakang angka
yang menunjukkan kelasnya, ditulis huruf D yang berarti darurat (dalam buku berbahasa
Inggris ditulis E = emergency).
Dengan menggunakan klasifikasi ini seseorang dapat berbicara dengan bahasa yang sama
diforum nasional maupun internasional.

Rangkuman
Untuk melakukan pemilihan obat anestesia, obat premedikasi dan tehnik anestesia harus
dilakukan evaluasi praoperatif. Dengan dilakukan pemeriksaan praoperatif pasien dapat
dipersiapkan dengan baik untuk menghindari penyulit selama anestesia/operasi dan pasca
 bedah dini. Apabila terjadi penyulit, obat dan alat sudah disediakan sehingga dapat
diatasi.

Bahan Bacaan
1. Dripps R.D., Ekkenhoff J.E., Vandam L.D.,
Introduction ti Anesthesia.
7th edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia-London Toronto, 1988
Halaman : 13 - 21
2. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail

16
Clinical Anesthesiology
Second edition a Lange Medical Book, 1996
Halaman : 5 – 7



Premedikasi

17
Tujuan utama dari pemberian obat premedikasi adalah untuk memberikan sedasi psikis,
mengurangi rasa cemas dan melindungi dari stres mental atau faktor-faktor lain yang
 berkaitan dengan tindakan anestesia yang spesifik. Hasil akhir yang diharapkan dari
 pemberian premedikasi adalah terjadinya sedasi dari pasien tanpa disertai depresi dari
 pernafasan dan sirkulasi. Kebutuhan premedikasi bagi masing-masing pasien yang untuk 
setiap pasien dapat berbeda. Rasa takut dan nyeri ini harus diperhatikan betul pada
 prabedah.
Reaksi fisiologis terhadap nyeri dan rasa takut terdiri atas 2 bagian yaitu reaksi somatik 
(voluntary) dan reaksi simpatetik (involuntary). Efek somatik ini timbul didalam
kecerdasan dan menumbuhkan dorongan untuk bertahan atau menghindari kejadian
tersebut. Kebanyakan pasien akan melakukan modifikasi terhadap manifestasi efek 
somatik tersebut dan menerima keadaan yaitu dengan tampak tenang. Reaksi syaraf 
simpatis terhadap rasa takut atau nyeri tidak dapat disembunyikan oleh pasien. Rasa takut
dan nyeri mengaktifkan syaraf simpatis untuk menimbulkan perubahan sistem sirkulasi
dalam tubuh. Perubahan ini disebabkan oleh stimulasi efferen simpatis yang ke pembuluh
darah, dan sebagian karena naiknya katekolamin dalam sirkulasi. Impuls adrenergik dari
rasa takut timbul di korteks cerebri dan dapat ditekan dengan tidur atau dengan sedativa
yang mencegah kemampuan untuk menjadi takut. Reaksi kardiovaskuler terhadap nyeri
secara neurologis berbeda dengan rasa takut, karena arkus reflex yang tersangkut
seluruhnya ada di batang otak dibawah level sensoris thalamus. Ini berarti bahwa
 pendekatan klinis untuk menghilangkan kedua hal tersebut harus berbeda. Tanda akhir 
dari reaksi adrenergik terhadap rasa takut ialah meningkatnya detak jantung dan tekanan
darah. Maka umumnya tujuan pemberian obat premedikasi adalah menghilangkan
kecemasan, mendapatkan sedasi, mendapatkan analgesia, mendapatkan amnesia, dan
mendapatkan efek antisialogoque. Disamping itu pada keadaan tertentu juga menaikkan
 pH cairan lambung, mengurangi volume cairan lambung, dan mencegah terjadinya reaksi
allergi.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan
setelah kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang
akan digunakan harus selalu memperhitungkan umur pasien, berat badan, status fisik,

18
derajad kecemasan, riwayat hospitalisasi sebelumnya (terutama pada anak), riwayat
reaksi terhadap obat premedikasi sebelumnya (bila pasien pernah diberi anestesi
sebelumnya), riwayat penggunaan obat-obat tertentu yang kemungkinan dapat
 berpengaruh pada jalannya anestesi (misalnya MAO inhibitor, kortikosteroid, antibiotik 
tertentu), perkiraan lamanya operasi, macam operasi (misalnya terencana, darurat, pasien
rawat inap atau rawat jalan) dan rencana obat anestesia yang akan digunakan.
Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai obat premedikasi
dapat digolongkan seperti dibawah ini beberapa contoh yang terdapat di Indonesia).

Golongan Obat Contoh


Barbiturat Luminal
 Narkotik Petidin, Morfin
Benzodiazepin Diazepam, Midazolam
Butyrophenon Dehydrobenparidol
Antihiatamin Prometazine
Antasida Gelusil
Anticholinergik Atropin
H2 receptor antagonis Cimetidine

Karena khasiat obat premedikasi yang berlainan tersebut, dalam praktek sehari-hari
dipakai kombinasi beberapa obat untuk mendapat hasil yang diinginkan, misalnya :

• Kombinasi narkotik, benzodiazepin dan anticholinergik 

• Kombinasi narkotik, butyrophenon dan anticholinergik 

• Kombinasi narkotik, antihistamin dan anticholinergik 

• Pada keadaan tertentu perlu diberikan antasida (baca anestesia pada ibu hamil)

Barbiturat
Kebanyakan pasien yang telah direncanakan untuk menjalani operasi akan lebih baik bila
diberikan hipnotik malam sebelum hari operasi, karena rasa cemas, hospitalisasi atau
keadaan sekitar yang tidak biasa dapat menyebabkan insomnia. Untuk itu dapat
digunakan golongan barbiturat per oral sebelum waktu tidur. Selain itu barbiturat juga
digunakan untuk obat premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini ialah dapat
menimbulkan sedasi, efek terhadap depresi respirasi minimal (ini dibuktikan dengan tidak 

19
 berubahnya respon ventilasi terhadap CO2), depresi sirkulasi minimal dan tidak 
menimbulkan efek mual dan muntah. Obat ini efektif bila diberikan per oral. Premedikasi
 per oral belum dapat dibudayakan di Indonesia belum dilakukan (terutama bagi golongan
menengah/bawah), karena masih ditakutkan bila disamping minum obat, pasien tidak 
dapat menahan diri untuk tidak minum lebih banyak.
Kerugian penggunaan barbiturat termasuk tidak adanya efek analgesi, terjadinya
disorientasi terutama pada pasien yang kesakitan, serta tidak ada antagonisnya. Barbiturat
merupakan kontraindikasi untuk pasien dengan akut intermitten porphyria.

Narkotik 
Morfin dan Petidin merupakan narkotik yang paling sering digunakan untuk premedikasi.
Keuntungan penggunaan obat ini ialah memudahkan induksi, mengurangi kebutuhan obat
anestesi, menghasilkan analgesia pra dan pasca bedah, memudahkan melakukan
 pemberian nafas buatan, dapat diantagonisir dengan naloxon.
 Narkotik ini dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat menyebabkan
hipotensi ortostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila digunakan pada pasien dengan
hipovolemia. Berlawanan dengan barbiturat, narkotik ini dapat menyebabkan depresi
 pusat pernafasan di medulla yang dapat ditunjukkan dengan turunnya respons terhadap
CO2. Mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi narkotik pada pusat muntah di
medulla. Bila pasien dalam posisi tidur akan mengurangi efek tersebut.
Morfin diberikan dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg BB, sedangkan Petidin dengan dosis 1-2
mg/kg BB. Pada orang tua dan anak-anak dosis diberikan lebih kecil.

Benzodiazepin
Golongan ini sangat spesifik untuk menghilangkan rasa cemas. Diazepam bekerja pada
reseptor otak yang spesifik, menghasilkan efek anti-anxiety yang selektif pada dosis yang
tidak menimbulkan sedasi yang berlebihan, depresi nafas, mual atau muntah. Kerugian
 penggunaan diazepam untuk premedikasi ini ialah kadang-kadang pada orang tertentu
dapat menyebabkan sedasi yang berkepanjangan. Selain itu juga rasa sakit pada
 penyuntikan intramuskuler, serta absorbsi sistemik yang jelek setelah pemberian
intramuskuler.

20
Benzodiazepin yang larut dalam air dan cepat diabsorbsi setelah pemberian
intramuskuler, yaitu Midazolam. Keuntungan obat ini tidak menimbulkan rasa nyeri pada
 penyuntikan baik secara intramuskuler maupun intravena.
Diazepam dapat diberikan pada orang dewasa dengan dosis 10 mg, sedang pada anak 
kecil 0,2-0,5 mg/kg BB. Midazolam dapat diberikan dengan dosis 0,1 mg/kg BB.
Penggunaan Midazolam ini harus dengan pengawasan yang ketat, karena kemungkinan
terjadi depresi respirasi.

Butyrophenon
Dari golongan ini droperidol dengan dosis 2,5-5 mg intramuskuler digunakan sebagai
obat premedikasi dengan kombinasi narkotik. Keuntungan yang sangat besar dari
 penggunaan obat ini ialah efek antiemetik yang sangat kuat, dan bekerja secara sentral
 pada pusat muntah di medulla. Obat ini ideal untuk digunakan pada pasien-pasien dengan
resiko tinggi, misalnya pada operasi mata, pasien dengan riwayat sering muntah dan
obesitas. Dapat juga diberikan secara intravena dengan dosis 1-1,25 mg.
Kadang-kadang pada pasien tertentu droperidol ini dapat menimbulkan dysphoria (pasien
merasa takut mati). Droperidol juga mempunyai efek blokade terhadap dopaminergik 
reseptor sehingga dapat menimbulkan gejala extrapyramidal pada pasien yang normal.
Selain itu juga mempunyai efek alpha adrenergik antagonis yang ringan, sehingga
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer. Efek ini dapat digunakan pada pasien
hipertermia sebelum diberikan kompres basah seluruh tubuh. Namun perlu diingat akan
terjadinya relatif hipovolemia. Pada pasien dengan riwayat alergi/rhinitis vasomotorika
sebaiknya penggunaan obat ini dihindari.

Antihistamin
Dari golongan ini yang sering digunakan sebagai oabt premedikasi ialah promethazin
(phenergan) dengan dosis 12,5-25 mg intramuskuler pada orang dewasa. Digunakan pada
 pasien dengan riwayat asma bronchiale.

21
Anticholinergik 
Atropin mempunyai efek kompetitif inhibitor terhadap efek muskarinik dari acetylcholin.
Atropin ini dapat menembus barier lemak misalnya blood-brain barrier, placenta barrier 
dan traktus gastrointestinal.
Reaksi tersering dari pemakaian obat ini ialah menghasilkan efek antisialagog,
mengurangi sekresi ion H asam lambung, menghambat reflex bradikardia dan efek 
sedativa dan amnesik (terutama scopolamin). Efek lain yang merugikan adalah nadi yang
meningkat, midriasis, cycloplegia, kenaikan suhu, mengeringnya sekret jalan nafas dan
CNS toxycity terjadi gelisah, dan agitasi.

Antasida
Pemberian antasida 15-30 menit pra induksi hampir 100% efektif untuk menaikkan pH
asam lambung diatas 2,5. Seperti diketahui, aspirasi cairan asam lambung dengan pH
yang rendah dapat menimbulkan apa yang dinamakan acid aspiration syndrome atau
disebut juga Mendelson’s syndrome. Yang dianjurkan adalah preparat yang mengandung
Mg-trisilikat.

H2-reseptor antagonis
Obat ini akan melawan kemampuan histamin meningkatkan sekresi cairan lambung yang
mengandung ion H tinggi. Dari kepustakaan disebutkan bahwa pemberian cimetidin oral
300 mg 1-1,5 jam pra induksi dapat menaikkan pH cairan lambung diatas 2,5 sebanyak 
lebih dari 80% pasien. Dapat pula diberikan secara intravena dengan dosis yang sama 2
 jam sebelum induksi dimulai.

Rangkuman
Kunjungan pra anestesia dan pembedahan merupakan rangkaian untuk menentukan
 premedikasi apa yang akan diberikan. Tanpa melihat pasien akan menyebabkan

22
kesalahan dosis obat premedikasi yang dapat merugikan pasien. Perhatian khusus pada
 bayi dibawah 2 tahun dan orang tua diatas 60 tahun.
Menentukan dosis obat premedikasi yang tepat merupakan permulaan dari keamanan
tindakan anestesia.

Bahan Bacaan
1. Drips R.D., Ekkenhoff J.E., Vandam L.D.
Introduction to Anesthesia
7th edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia-London Toronto, 1988
Halaman : 37 – 45



Pemilihan Obat Anestesi, Premedikasi dan Tehnik Anestesi

Pendahuluan

23
Pada pemilihan obat anestesia, premedikasi dan tehnik anestesia pada dasarnya
dipertimbangkan dua hal, yaitu bahwa cara atau obat itu harus :
1. Baik (tidak berbahaya) untuk pasien yang bersangkutan.
2. Baik untuk macam operasi yang akan dikerjakan.
Pasien sakit jantung dengan dekompensasi akan menjalani operasi untuk hemorrhoid,
 pemilihan obat anestesi, obat premedikasi dan tehnik anestesinya disesuaikan dengan
 penyakit yang diderita diluar pembedahan dan tindakan operasinya.pembedahan
hemorrhoid membutuhkan relaksasi dari anus dan apsein dengan dekompensasi ringan
tidak boleh diberikan lagi terhadap kerja jantung. Bila dipilih ether relaksasi dapat dicapai
hanya pada stadium yang dalam. Anestesi yang dalam tidak baik untuk pasien dengan
dekompensasi ringan. Subarachnoid block menghasilkan relaksasi yang baik. Bila
dilakukan block rendah (saddle block), pengaruh terhadap sistem kardiovaskuler tidak 
ada sehingga bahaya bagi pasien sangat minimum.

Pemilihan obat anestesia


Tujuan dari memberikan anestesi adalah untuk mendapatkan 3 hal, yaitu :
narcose/hipnosis menyebabkan tidur, analgesi yang menyebabkan tidak merasakan nyeri
dan relaksasi yang menyebabkan otot-otot jadi lemas. Akan tetapi tidak semua obat
anestesi mempunyai daya yang kuat dalam bidang tersebut. Sebagai contoh : thiopental,
hanya mempunyai efek narcosis yang baik, tetapi tidak mempunyai efek analgesi dan
relaksasi. Ketamine mempunyai efek narcosis yang baik, analgesi somatik juga baik,
tetapi tidak mempunyai daya relaksasi. Halothane mempunyai efek narcosis yang baik 
dan mempunyai efek analgesi dan relaksasi yang cukup. Ether mempunyai efek narcosis,
analgesi dan relaksasi yang baik.
Sebaliknya tidak semua operasi memerlukan analgesi dan relaksasi yang sama.
Laparotomy memerlukan relaksasi sedangkan menjahit luka pada tungkai tidak 
memerlukan relaksasi. Pemilihan obat anestesi disesuaikan dengan kebutuhan operasi.
Dalam hal laparotomy misalnya digunakan ether, menjahit luka pada tungkai dapat
digunakan ketamine.
Pada anestesi modern sering digunakan beberapa obat bersama-sama dengan maksud
untuk mencapai hasil anestesi sebaik-baiknya dengan menimbulkan gangguan faal pada

24
 pasien sesedikit mungkin. Misalnya pasien akan dilakukan pembedahan thorax dilakukan
induksi dengan thiopental intra vena, merupakan hal yang menyenangkan untuk pasien
karena dimasukkan lewat saluran infus sehingga tidak merasakan sakit atau membau
yang tidak enak. Induksi berjalan sangat cepat dan dilanjutkan dengan rumatan dengan
obat anestesi inhalasi halothane yang mempunyai daya narcosis dan untuk analgesinya
diberikan gas gelak (N2O) dan untuk relaksasinya diberikan pancuronium.
Pada anestesi tanpa pelumpuh otot jika narcosis atau analgesinya tidak cukup akan
menimbulkan tanda-tanda somatik (tanda-tanda yang timbul karena refleks-refleks yang
melewati saraf somatis) seperti pasien bergerak atau bersuara. Disamping itu akan timbul
 juga tanda-tanda visceral (tanda-tanda yang timbul karena refleks-refleks yang melewati
saraf visceral atai otonom) seperti berkeringat, keluar air mata, nadi cepat, tensi naik. Jika
dipakai obat pelumpuh otot, otot-otot bergaris akan menjadi lumpuh dengan demikian
maka tanda-tanda somatic tidak dapat timbul. Cukup tidaknya narcosis atau analgesi
dinilai dengan hanya memperhatikan tanda-tanda visceral yang timbul. Perlu diperhatikan
 bahwa pemakaian pelumpuh otot hanya boleh jika pasien dilakukan pernafasan bu atan.

Pemilihan obat premedikasi


Pemilihan obat premedikasi sangat dipengaruhi oleh derajat kecemasan, riwayat penyakit
dan hospitalisasi sebelumnya. Pasien dengan kecemasan yang tinggi maka pemberian
sedatif sangat diperlukan.
Status fisik (ASA) merupaka pemeriksaan yang berdasar resiko anestesi dan pembedahan
ikut pula menentukan macam obat premedikasi yang dipakai. Pasien dengan status fisik 
yang tinggi dan darurat kemungkinan pemberian premedikasi dapat ditangguhkan hingga
menjelang tindakan pembedahan.
Penggunaan obat-obat yang potensial terjadi potensiasi dengan dengan obat premedikasi
harus diperhitungkan dosisnya sehingga tidak terjadi depresi nafas ataupun sirkulasi.
Berat badan, umur dan obat anestesi yang akan dipakai juga ikut mempengaruhi
 pemilihan obat premedikasinya. Pasien dengan umur tua (geriatric) pemberian sedatif dan
narkotik harus dikurangi. Pasien dibawah umur 6 bulan premedikasi yang diberikan
hanya atropin saja dengan dosis 0,01 mg/kg BB. Pemberian premedikasi pada anak atau
 bayi dapat diberikan per-rektal, misalnya midazolam dengan dosis 0,5 mg/kg BB.

25
Efek premedikasi yang diinginkan adalah adalah adanya sedasi tanpa depresi fungsi vital.
Efek premedikasi yang diinginkan tersebut dapat diperoleh dengan pemberian :
1. Gabungan obat narkotik, benzodiazepin dan anti kholinergik 
2. gabungan obat narkotik, butyrophenon dan anti kholinergik 
3. gabungan obat narkotik, anti histamin dan anti kholinergik 
Pemilihan ini dilakukan setelah melihat efek psikis pasien dalam menghadapi
 pembedahan dan hospitalisasi, pemeriksaan pra bedah dan obat anestesi maupun tehnik 
anestesi yang akan dipilih.
Untuk pasien rawat jalan pemberian premedikasi harus diperhitungkan bahwa pasien
akan pulang pada hari tersebut, sehingga pemilihannya adalah obat yang lama kerjanya
cepat dan afeknya cepat.

Pemilihan tehnik anestesi


Pemilihan tehnik anestesi dipengaruhi oleh macam pembedahan, lama pembedahan dan
 pemeriksaan pra bedah. Pasien dengan kecemasan tinggi dan tidak kooperatif tidak 
memungkinkan untuk dilakukan anestesia regional. Anestesia regional membutuhkan
kerjasama antara anestesis dan pasien dan pembedah. Tanpa kerjasama yang baik 
 pembedahan tidak mungkin dilakukan. Memberikan anestesia yang aman pada pasien
merupakan prioritas pertama untuk berhasilnya pembedahan.
Anetesi pada anak yang tidak dapat dilepas dari ibunya memerlukan tehnik khusus yang
tidak menimbulkan trauma pad anak dan ibunya. Induksi insuflasi dan ketamine
intramuskuler merupakan salah satu cara yang dapat dipakai. Trauma ini akan
 berlangsung lama bagi anak yang mengalami pembedahan.
Pemberian anestesia dapat dilakukan regional atau umum (inhalasi atau intravena).
Anestesia umum dapat dilakukan gabungan antara anestesia intravena dan anestesia
inhalasi, misalnya ketamine intravena dilanjutkan dengan ether inhalasi, thiopental
intravena dilanjutkan dengan halothane inhalasi. Dapat juga anestesi inhalasi secara
keseluruhan misalnya pada anak dengan halothane insuflasi dilanjutkan dengan halothane
 juga.

Rangkuman

26
Pemilihan obat anestesi, obat premedikasi dan tehnik anestesi dilakukan setelah
 pemeriksaan pra bedah sehingga pemilihan ini merupakan pilihan yang paling aman
untuk pasien dan baik untuk pembedahannya dan disesuaikan dengan sarana yang ada.

Bahan bacaan
1. Snow J.S.,
Manual of Anesthesia
1th edition Little Brown Company 1977.
Halaman : 11 – 12



Pemantauan Selama Anestesia dan Pasca Bedah Dini

Pendahuluan

27
Pemantauan fungsi vital atau monitoring merupakan proses pengamatan yang dilakukan
untuk mengetahui adanya penyimpangan dari fungsi yang normal sedini mungkin agar 
dapat diambil tindakan yang cepat dan tepat. Selama anestesia, anestesia yang terlalu
dalam, gangguan pernafasan, gangguan sirkulasi dan fungsi alat anestesia yang tidak 
sempurna dapat menyebabkan kematian dalam waktu pendek. Ada 4 fungsi vital tubuh
yang harus diamati selama anestesia dan pasca bedah dini karena gangguan berat pada
fungsi ini dengan cepat dapat menyebabkan kematian, yaitu pernafasan, sirkulasi darah,
fungsi ginjal dan kesadaran. Pengamatan bersifat terus-menerus tanpa henti dan
dilakukan berkala, selang waktu hendaknya sesingkat mungkin (untuk pernafasan dan
sirkulasi tiap 3 – 5 menit), akan dapat menghindari dari kematian dan kesakitan
(mortality dan morbidity).

Pernafasan
Udara nafas diperiksa secara meraba dengan telapak tangan atau mendengarkan dengan
telinga yang didekatkan kemulut dan hidung pasien. Pasien yang bernafas spontan dapat
diperiksa suara nafasnya melalui pipa alat anestesia (corrugated tubing). Suara nafas yang
 baik adalah bersih tanpa suara tambahan seperti berkumur atau mendengkur (tanda ada
obstruksi lendir atau pangkal lidah). Jika digunakan kantong reservoir, kembang kempis
kantong ini menggambarkan besar pernafasan pasien.
Gas ekshalasi harus keluar dengan teratur dari katub ekshalasi dan katub bekerja dengan
 bebas. Pasien yang mendapat nafas buatan dipantau dengan melihat gerak dada yang naik 
setiap kali udara/gas masuk dipompakan masuk. Respirometer (spirometer) dapat
memantau nafas demi nafas terus-menerus. Alat ini harus ditempatkan pada sisi ekshalasi
dari pipa alat anestesia.
Aliran oksigen dari alat anestesia atau flowmeter perlu selalu diamati dengan teliti, lebih-
lebih jika digunakan bersama N2O. Perbandingan aliran O2 : N2O yang aman adalah 1 : 1.
Hanya bagi pemberi anestesia yang berpengalaman dapat dibenarkan penggunaan
 perbandingan 1 : 2 karena N2O yang berlebih sangat mudah menyebabkan hipoksia.
Kaidah dalam memantau pasien yang mendapat anestesia umum adalah memastikan
 bahwa : ”jalan nafas bebas – pasien bernafas cukup – kadar obat anestesia rendah – kadar 
O2 tinggi”.

28
Sirkulasi
Denyut nadi radialis mudah diraba dan diikuti. Nadi yang lain juga mudah diraba adalah
arteria temporalis superficialis yang berada tepat didepan anak telinga (tragus) dan arteria
dorsalis pedis dipunggung dipunggung kaki. Denyut nadi yang baik adalah yang teratur 
dan memberikan desakan yang kuat jika ditekan dengan jari telunjuk pemeriksa. Nadi
yang teraba lemah dan mudah hilang jika ditekan jari telunjuk menggambarkan tekanan
darah yang tidak normal.
Jika denyut nadi radialis tidak teraba atau tekanan darah tidak dapat diukur, cobalah
segera meraba arteria carotis di leher. Nadi carotis yang tidak teraba menandakan henti
 jantung. Tekanan darah perlu diukur 5 menit pada waktu induksi dan waktu terjadi
kesulitan atau perdarahan selama pembedahan. Jika semua berjalan lancar dan tekanan
darah stabil, pengukuran dapat dikurangi menjadi tiap 10 menit. Tensimeter air raksa atau
anaeroid cukup baik untuk digunakan. Jika menggunakan tensimeter elektronik 
hendaknya diingat bahwa alat listrik tersebut tidak boleh digunakan selama anestesia
ether.
Perfusi (aliran darah) ke telapak tangan dan jari-jari tangan memberikan gambaran baik 
tidaknya sirkulasi darah dan curah jantung. Pada perabaan, perfusi yang baik ditandai
dengan rasa hangat, kering dan warna kemerahan. Warna merah dibawah kuku dan
telapak tangan yang memucat jika ditekan, harus kembali merah dalam waktu kurang 2
detik.

Kedalaman/tahapan anestesia
Dari waktu ke waktu harus selalu diketahui tahapan anestesia yang dialami pasien.
Sekalipun kadar inspirasi obat anestesia yang diberikan tidak berubah, efek pada pasien
dapat berubah jika pasien mengalami syok, hipoventilasi atau hipoksia.
Tanda-tanda anestesia (sign of anestesia) yang diikuti adalah perubahan-perubahan
 pernafasan, gerak bola mata, lebar pupil dan refleks cahaya serta ada atau tidaknya
refleks jalan nafas. Gerak nafas yang diamati adalah teraturnya irama, besarnya
amplitudo nafas, sifat nafas perut atau dada dan sinkronisasi fase nafas parut dan dada
tersebut.

29
Gerak bola mata berhenti pada tahap III bidang 2 atau lebih. Pupil yang lebar 
menandakan tahap III bidang 3 atau lebih dalam. Tetapi lebar pupil dipengaruhi oleh obat
 premedikasi dan umur. Atropin cenderung menyebabkan pupil melebar (midriasis)
sedang morfin menyebabkan pupil menyempit (miosis). Usia tua menyebabkan pupil
kaku, sukar melebar. Refleks pharynx hilang pada akhir tahap III bidang 1 dan refleks
larynx pada akhir bidang 2. Menjelang tahap IV pernafasan perut lebih menonjol dan
nafas dada mengecil serta melambat (gasping), bola mata tidak bergerak, refleks cahaya
dari pupil hilang, nadi kecil, tekanan darah turun, kulit menjadi pucat, dingin dan
 berkeringat. Tahap IV adalah tahap kelumpuhan medulla oblongata. Nafas berhenti
(respiratory arrest, apnea), pupil midriasis total (lebar sekali). Keadaan gawat ini perlu
dibadakan dengan tahap II (eksitasi) dimana kadang-kadang pasien juga berhenti nafas
kerena menahan nafas (breath holding), pupil juga mungkin lebar tetapi bola mata
 bergerak-gerak.
Bila terjadi keraguan tentang kedalaman anestesia, pemberian obat dihentikan, anestesia
didangkalkan. Jika nafas berhenti, apapun sebabnya, bebaskan jalan nafas dan lakukan
 pernafasan buatan.

Peralatan Pemantauan
1. Pernafasan
Alat yang paling sederhana adalah telapak tangan yang diletakkan dimuka hidung dan
mulut untuk meraba udara nefas yang hangat. Stetoskop sangat besar nilainya dan
seharusnya dilekatkan pada daerah prekordial, dada depan kiri sedemikian sehingga suara
nafas dan detik jantung terdengar jelas.
Respirometer adalah alat pengukurvolume udara nafas yang dapat dipasangkan pada jalur 
ekspirasi. Pada buatan Wright, udara yang mengalir keluar menggerakkan baling-baling
yang kemudian memutar jarum penunjuk volume. Tidal volume dan minute volume dapat
diukur dengan mudah. Respirometer elektrik jangan digunakan pada waktu anestesia
dengan ether.
Pulse oxymeter adalah pengukur saturasi oksigen di pembuluh darah kapiler. Alat ini
 bekerja dengan mengukur perubahan spektrum infra merah yang terjadi jika aliran kapiler 
 berdenyut. Gangguan pada kandungan oksigen darah kaoiler baik yang disebabkan

30
karena perubahan jumlah oksigen di paru (desaturasi) ataupun gangguan sirkulasi darah
dapat cepat diketahui.

2. Sirkulasi (Peredaran Darah)


Denyut jantung dipantau terus-menerus dengan stetoskop precordial. Nadi radialis diraba
dari waktu ke waktu. Tensimeter air raksa atau aneroid dipasang dengan stetoskop yang
dilekatkan pada arteria brachialis. Tekanan darah dapat diukur tiap 5 – 10 menit. Untuk 
 pembedahan besar dengan perdarahan banyak atau pembedahan yang berlangsung sangat
lama, telah dikembangkan tehnik pengukuran tekanan darah langsung kedalam arteria
radialis`menggunakan jarum plastik dan pressure transducer.
Elektrokardiogram dapat dipantau dengan alat monitor yang menggunakan tabung katode
(cathode ray tube = CRT) atau Liquid Crystal Display (LCD) untuk menayangkan denyut
demi denyut aktifitas elektrik otot jantung. Alat ini sangat cepat membantu mengenali
aritmia, ischemia myocard dan infarct akut.

3. Kesadaran
Selama pasien dalam anestesia umum kedalaman anestesia dinilai dari tanda-tanda
tahapan (stadium) anestesia. Setelah anestesia selesai, proses pulih sadara diikuti dengan
melihat respons terhadap rangsang nyeri. Dari tidak bereaksi sama sekali terhadap nyeri,
 berangsur-angsur bereaksi terhadap nyeri dengan bergerak atau membuka mata dan
merintih, kemudian dapat diperintah untuk membuka mata atau mengangkat tangan
sampai akhirnya sadar dapat berbicara sendiri tanpa disorientasi. Reaksi pupil terhadap
cahaya serta besarnya pupil deperiksa dengan lampu senter.

4. Fungsi Ginjal
Dari kateter buli-buli dapat dilihat produksi air seni tiap jam, perubahan kepekatan warna
dan berat jenisnya untuk mendapatkan gambaran cukup tidaknya cairan tubuh serta
apakah perfusi ginjal berjalan baik. Kateter hendaknya dipasang jika pembedahan akan
 berlangsung lebih dari 2 jam, pembedahan dalam rongga perut, rongga dada, rongga
kepala atau posisi pembedahan menelungkup.

31
5. Suhu
Suhu badan terutama pada anak-anak sangat perlu dimonitor karena hipotermia dapat
menyebabkan adanya aritmia jantung dan kembalinya kesadaran yang lama.

Rangkuman
Pemantauan pernafasan, sirkulasi dan kedalaman anestesia merupakan salah satu cara
menghindari kematian dalam jangka pendek. Penyimpangan yang diketahui secara dini
dan dilakukan tindakan yang tepat dan cepat akan berhasil baik. Pemantauan harus
dilakukan secara berkala dan terus menerus. Alat yang dipakai untuk memantau harus
diketahui dengan jelas cara kerjanya sehingga adanya penyimpangan dapat diinterpretasi
secara benar dan dilakukan tindakan penanganan secara tepat dan benar.

Bahan Bacaan
1. Dripps R.D., Ekkenhoft J.E., Vandam L.D.
Introduction to Anesthesia
7th edition. W.B. Sauders Company. Philadelphia-London Toronto, 1988
Halaman : 70 – 100
2. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail
Clinical Anesthesiology
2nd edition a Lange Medical Book, 1996
Halaman : 73 – 108



Penyulit Selama Anestesia dan Pasca Bedah Dini

Pendahuluan

32
Penyulit yang terjadi selama anestesia dan pasca bedah dini yang paling berbahaya adalah
adanya gangguan pada jalan nafas, proses pernafasan dan sirkulasi. Bagi kebanyakan
 pasien yang mulai siuman dari proses anestesia untuk suatu pembedahan yang berjalan
tanpa penyulit, maka recovery (pulih sadar) ini berjalan lancar dan tanpa gangguan atau
 penyulit. Namun pada keadaan tertentu (meskipun tidak banyak), maka recovery ini dapat
merupakan suatu proses yang mengancam jiwa, sehingga harus ditangani dengan hati-
hati.

1. Penyulit Respirasi
Obstruksi merupakan hal yang tersering pada selama anestesia dan pasca bedah dini.
Yang dapat berakibat terjadinya mortalitas dan morbiditas. Untuk hal ini sudah
dibicarakan pada bab tentang airway dan ventilation. Pemberian oksigen dianjurkan pada
semua pasien yang berada di ruang pulih sadar yang telah mendapat anestesia umum,
kecuali bila ahli anestesia menentukan lain. Apabila terjadi obstruksi jalan nafas, harus
segera dilakukan usaha untuk membuka jalan nafas atas, dengan menarik angulus
mandibula kedepan atas. Tidak jarang selama anestesia berlangsung diperlukan
 pemasangan jalan nafas orofaring. Pasca bedah dini bila pasien mulai sadar, seringkali
 pasien sudah tidak dapat menerima adanya jalan nafas orofaring tersebut, karena refleks
 batuk sudah mulai kembali. Bila sangat perlu dapat dipasang jalan nafas nasofaring
sebagai penggantinya, karena dapat diterima oleh pasien yang mulai timbul
kesadarannya.
Mortalitas oleh karena aspirasi cairan asam lambung ini cukup tinggi, yaitu 30% (3 – 
70%). Perbedaan mortalitas ini disebabkan oleh perbedaan bahan yang teraspirasi dan
 pengobatan yang dilakukan. Morbiditas sulit untuk didefinisikan, tetapi bervariasi dari
 pneumonitis dan abses paru sampai infark miokard dan kegagalan ginjal. Dengan
terjadinya penyulit ini maka masa hospitalisasi menjadi panjang, pasien harus dirawat di
ICU dan biaya perawatan menjadi sangat mahal. Oleh karena itu aspirasi ini harus
dipandang sebagai penyulit yang serius. Aspirasi selalu menjadi ancaman bagi
 pembedahan darurat, adanya obstruksi usus atau pylorus, obesitas. Demikian pula pada
operasi rawat jalan, dimana persiapan puasa diserahkan pada pasien sendiri atau

33
keluarganya. Resiko tertinggi pada pasien dengan kehamilan dimana lamanya
 pengosongan lambung tidak dapat diramalkan.
Akibat dari aspirasi ini tergantung pada jumlah dan macam bahan yang terhisap, pada
 jumlah yang banyak menyebabkan peru tenggelam, benda padat akan menyebabkan
obstruksi tergantung besar kecilnya partikel bahkan dapat menyebabkan asfiksia. Akibat
yang paling berat ialah yang disebabkan oleh aspirasi cairan lambung yang pH nya < 2,5 ,
karena akan segera menyebabkan bronchokonstriksi dan kerusakan mukosa trakhea.
Dalam beberapa jam dapat terjadi penyebaran yang sempurna dari suatu pneumonitis,
yang di x-foto paru tampak putih. Gejala full blown dari aspirasi asam lambung adalah
adanya wheezing, batuk, cyanosis, edema paru (pink frothy sputum), distres nafas, shock 
dan hipoksemia.
Kadang-kadang gejala ini tidak tampak, sampai pasien berada di ruang pulih sadar.
Apabila dicurigai terjadi aspirasi sedang pasien tidak dalam intubasi endotrakheal, maka
harus segera dilakukan pemasangan pipa endotrakheal, kemudian dilakukan penghisapan
intra trakheal. Diberikan antibiotik intravena bila ada dugaan kontaminasi atau untuk 
 propilaksis. Bronkhodilator (aminophyllin) diberikan unuk mengatasi bronkhospasme
yang terjadi. Apabila terjadi edema paru atau kegagalan jantung, maka pengaturan
keseimbangan cairan sangat penting. Dalam hal aspirasi ini maka prevensi sangat penting
artinya. Banyak macam obat yang digunakan, semua ada untung ruginya.(lihat anestesia
untuk obstetri, anestesia untuk pembedahan darurat dan premedikasi).
Akibat aspirasi yang disebut dengan acid aspiration pneumonitis dilakukan terapi dan
tindakan, membantu faal nafas : dengan terapi oksigen 100% dengan humidifikasi yang
 baik, bila tidak berhasil berikan nafas buatan dengan PEEP. Pemberian bronkhodilator 
untuk mengatasi bronkhospasme dan kortikosteroid untuk mengurangi edema mukosa
 jalan nafas dan bronkhospasme. Untuk menghilangkan kausa, jalan nafas dibersihkan dari
aspirat dengan menghisapnya. Melakukan lavage tidak dianjurkan pada pasien tersebut.
Apabila terdapat sekret yang kental, maka perlu dilakukan fisioterapi nafas. Penyulit dari
segi kardiovaskuler biasanya ada 2 macam yaitu terjadinya shock, takikardia, edema paru
(baik klinis maupun dari x-foto paru). Pasien ini mungkin tidak mengalami dekompensasi
 jantung, tetapi hipovolemia yang perlu pemberian cairan. Kelompok yang lain shock,
takikardia dan dekompensasi jantung. Gambaran edema paru mungkin disebabkan oleh

34
kegagalan jantung kiri, ditambah pembesaran hepar karena kegagalam jantung kanan
yang disebabkan oleh spasme arteriole diparu karena hipoksia. Untuk membedakan kedua
hal ini perlu dipasang kateter CVP. Bila hasil pengukuran CVP rendah perlu diberi
cairan. Bila tinggi harus dilakukan digitalisasi atau obat inotropik lainnya.
Hipoventilasi akibat anestesia yang terlalu dalam dan obstruksi yang tidak segera
ditangani dapat terjadi selama anestesia. Keadaan ini bila tidak ditangani dengan segera
dapat berakibat terjadinya morbiditas dan mortaalitas. Dengan melakukan pemantauan
kedalaman dan jalan nafas selama anestesia dapat menghindari terjadinya hipoventilasi.
Pemberian pelumpuh otot yang tidak disertai dengan pemberian nafas buatan yang
adekuat juga akan menimbulkan hipoventilasi. Sebagai reaksi tubuh mengatasi
hipoventilasi ini dengan menambah frekwensi nafas semenit dan meningkatkan nadi.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kenaikkan kadar CO2 dalam darah. Pasca
 bedah rasa nyeri yang mempengaruhi proses pernafasan akan berakibat terjadinya
hipoventilasi. Dengan memberikan O2 tanpa menghilangkan penyebabnya hipoventilasi
tidak akan hilang.

2. Penyulit Sirkulasi
Penyulit sirkulasi yang tersering adalah hipotensi. Hipotensi yang terjadi selama anestesia
dapat disebabkan oleh khasiat obat anestesia, tehnik anestesia atau perdarahan. Depresi
otot jantung akibat pemberian anestesia dapat dihindari dengan kombinasi obat anestesia
yang lain. Apabila terjadi hipotensi akibat pengaruh obat anestesia maka tindakan yang
dilakukan adalah mendangkalkan anestesia. Tehnik anestesia yang dapat menimbulkan
hipotensi adalah blok regional. Cara mengatasi hal tersebut adalah memberikan cairan
sebelum tindakan dan memberikan obat vasopressor. Perdarahan yang terjadi pada saat
operasi dapat dilakukan terapi cairan yang tepat asalkan pasien diobservasi dengan baik.
Terapi cairan yang tidak adekwat menyebabkan terjadinya hipotensi pasca bedah. Pada
waktu pasien dibawa dari kamar bedah ke ruang pulih sadar, untuk sementara waktu
tekanan darah tidak diukur (selama transportasi). Hipotensi yang terjadi akan terlambat
didiagnosis. Seringkali penyebabnya merupakan kalanjutan dari penyebab hipotensi
selama anestesia.

35
 Nyeri sering kali berakibat kenaikan tekanan darah baik selama anestesia maupun pasca
 bedah. Pada saat anestesia kenaikan tekanan darah harus dicari sebabnya dengan baik.
Penyulit sirkulasi sering berkaitan dengan penyulit respirasi, sehingga bila terjadi
 penyulit sirkulasi perbaiki dulu respirasinya.
Obstruksi jalan nafas dapat berakibat kenaikan tekanan darah, gangguan irama jantung
terutama pada pasien yang sudah mempunyai penyakit jantung koroner. Hipotensi akibat
anestesia yang terlalu dalam dapat juga berakibat gangguan irama jantung.

3. Gangguan Kesadaran dan Kenaikan Tekanan Intrakranial


Gangguan kesadaran sebagai penyulit pasca anestesia/bedah dapat terjadi karena
 pemanjangan masa pulih sadar dan penurunan kesadaran yang diikuti oleh kenaikaan
tekanan intrakranial.
Memanjangnya masa pulih sadar diakibatkan oleh penggunaan obat-obat selama
anestesia dengan dosis yang berlebih (overdosis), misalnya narkotik analgetik, pentothal,
derivat phenothiazine atau obat anestesia inhalasi sendiri. Pemberian obat premedikasi
yang terlalu berat (dosis maksimal), pemberian obat anestesia inhalasi dengan dosis yang
 besar, atau pada operasi yang lama dapat menimbulkan masalah tersebut. Berkurangnya
 protein binding, misalnya hipoproteinemia dapat memperpanjang kerja obat barbiturat,
hal ini disebabkan karena berkurangnya penghantaran barbiturat ke hepar. Pada
 penggunaan obat anestesia yang mudah larut dalam lemak dengan kadar yang tinggi
(misalnya anestesia dengan ether yang dalam) pada operasi yang lama, menyebabkan
 bangunnya sangat lambat. Hal ini disebabkan ekskresi obat anestesia yang lambat
sehingga turunnya kadar obat anestesia dalam otak lambat, yang secara klinis
menyebabkan pasien lama bangun kembali. Ekskresi yang lambat ini juga dipengaruhi
oleh uptake dan distribusinya. Menurunnya metabolisme hepar pada usia yang sangat tua,
malnutrisi, hipotermia dan penggunaan berbagai obat secara simultan yang
detoksifikasinya dengan sistem mikrosomal hepar, perupakan faktor yang ada
hubungannya dengan menurunnya metabolisme hepar dan memanjangnya masa pulih
sadar.
Memanjangnya masa pulih sadar juga dipengaruhi oleh adanya metabolik encephalopati.
Beberapa gangguan metabolik sistemik yang menimbulkan depresi susunan syaraf pusat,

36
dapat terjadi pasca anestesia dan harus dibedakan dari efek sisa obat anestesia. Gangguan
metabolik sistemik akibat gangguan fisiologi selama anestesia, misalnya hiperkapnia,
terjadinya episode hipoksia selama anestesia, gangguan keseimbangan asam-basa dan
hipotermia (terutama pada bayi), hipertermia, perdarahan yang menimbulkan syok dapat
menyebabkan lamanya waktu pulih sadar.
Kenaikan tekanan intrakranial dapat terjadi karena hiponatremia yang disebabkan oleh
masuknya cairan yang tidak mengandung elektrolit kedalam sirkulasi lewat luka operasi.
Keadaan ini dapat terjadi sebagai penyulit pada pembedahan reseksi transurethral (TUR),
dimana sinus terbuka dan dilakukan irigasi dengan cairan yang tidak mengandung
elektrolit dalam jumlah yang banyak. Hal ini dapat juga terjadi pada operasi batu buli-
 buli (troicar litotripsi). Pemberian cairan intravena dengan cairan yang tidak mengandung
elektrolit dapat terjadi intoksikasi air. Hiponatremia didefinisikan sebagai keadaan
dimana kadar natrium < 135 mEq/L, keadaan ini sering terjadi karena infus cairan yang
tidak mengandung natrium dalam jumlah yang besar tersebut. Hiponatremia ringan tidak 
selalu diikuti dengan tanda dan gejala klinis yang dapat dilihat. Tetapi bila kadar natrium
mencapai < 125 mEq/L, maka terjadilah apa yang dinamakan intoksikasi air.
Hipervolemia dengan hiponatremia ini menyebabkan masuknya air kedalam sel,
termasuk sel otak, sehingga terjadi gangguan kesadaran karena edema otak yang
 berakibat naiknya tekanan intrakranial. Pada pasien dengan anestesi regional yang
mengalami keadaan ini, tanda-tanda pertama berupa keluhan sakit kepala, pasien menjadi
gelisah dan disorientasi, kemudian akan kehilangan kesadaran. Secara obyektif tanda-
tanda dini ini berupa kenaikan tekanan darah dan penurunan nadi.
Kegagalan kembalinya kesadaran setelah anestesia umum, dapat disebabkan karena
terjadi kerusakan neurologis, misalnya ischemia otak, perdarahan otak, emboli dan akibat
terjadinya henti jantung.
Apabila terjadi kegagalan kembalinya kesadaran dalam waktu yang seharusnya, harus
dicari penyebabnya. Bila disebabkan oleh overdosis obat-obat anestesia, maka perlu
diobservasi ketat. Pada pasien dengan depresi pernafasan, maka untuk sementara perlu
diberikan pernafasan buatan sampai obat anestesia dieliminir secara lengkap. Overdosis
narkotik, dapat diberikan antidotumnya. Pada pasien dengan kelainan yang dapat

37
menimbulkan penyulit tersebut sebaiknya sebaiknya ditangani terlebih dahulu (misalnya
koreksi gangguan elektrolit dan keseimbangan asam-basa, koreksi hipoalbuminemia).
Monitoring yang baik selama anestesia dan pasca bedah dini sangat membantu dalam
mendeteksi terjadinya penyulit dengan kemungkinan penyebabnya.

4. Gelisah Pasca Bedah


Seringkali yang menjadi penyebab gelisah ialah nyeri. Tetapi faktor lain harus
diperhitungkan sebagai penyebab gelisah misalnya hipoksia, hiperkapnia, distensi
lambung dan retensi urin.

5. Oliguria
Terapi cairan yang tidak adekwat dapat mempengaruhi perfusi ke ginjal sehingga
menghasilkan produksi urine yang berkurang. Oliguria ialah keadaan dimana produksi
urine < dari 400 cc/24 jam atau < dari 15 – 20 cc/jam. Keadaan ini merupakan gambaran
yang paling umum dari kegagalan ginjal pasca bedah. Gagal ginjal pasca bedah
merupakan salah satu penyebab kematian yang penting selama selama pasca bedah dalam
 jangka panjang. Apabila dijumpai pasien dengan produksi urine kurang, maka harus
diperiksa sistem drainage urine yang terpasang, apakah tidak ada pembuntuan.
Kemungkinan yang harus dipikirkan adalah adanya penyebab prerenal, renal dan
 postrenal.
Penyebab prerenal yang paling sering adalah akibat perdarahan yang mengakibatkan
 perfusi ginjal turun. Ciri khas dari oliguria prerenal adalah urine yang pekat. Tindakan
yang dilakukan adalah koreksi terhadap hipovolemia, yang akan mengembalikan urine
output menjadi normal dengan cara diberikan tes 250 – 500 cc RL atau NS. Oliguria ini
terjadi apabila ada pengurangan 25% atau lebih cairan ekstraseluler. Sementara cairan
diteruskan ditambah dengan dilakukan monitoring CVP (yang bila mungkin bukan secara
klinis tetapi dengan pemasangan kateter ke vena sentral). Bila oliguria ini ternyata bukan
disebabkan oleh hipovolemia, maka kemungkinannya disebabkan oleh karena circulatory
overload atau gagal jantung. Dalam keadaan ini maka pemberian furosemide dapat
 berguna untuk mengembalikan urine. Furosemide akan menimbulkan bahaya bila

38
diberikan pada pasien dengan hipovolemia. Dalam keadaan ini pemberian dopamine (2 – 
10 μg/kg/menit) dapat meningkatkan aliran darah ginjal (renal blood flow).
Apabila terjadi pembuntuan pada sistem penampungan urine (distal dari ginjal) maka
 penyebab oliguria adalah terbendungnya produksi urine. Terjadi pada 5% dari kasus
oliguria pasca bedah dan umumnya dapat diterapi dengan pembedahan, misalnya
 penggantian kateter nefrostomi atau kateter urethra. Penyebab postrenal adalah obstruksi
saluran kencing karena adanya batu, debris atau striktura, atau karena saluran kencing
terikat pada waktu operasi dan terputusnya saluran kencing.
Hipotensi atau hipovolemia yang tidak segera diatasi sehingga menyebabkan ischemia
ginjal dan dapat berakibat kerusakan parenchym ginjal (Acute Tubular Necrosis).
Keadaan ini dapat merupakan penyulit penyulit dan penyebab utama dari oliguria pasca
 bedah. Hemoglobin yang pecah pada reaksi transfusi hemolitik akan menyumbat
glomeruli atau tubuli renalis sehingga dapat menyebabkan kerusakan parenchym ginjal.
Apabila diagnosis tubular nekrosis telah ditegakkan, maka harus segera dilakukan
 pengaturan cairan (restriksi) untuk mempertahankan ventricular filling pressure. Dalam
24 jam pertama tidak perlu dilakukan dialisis. Umumnya kadar K + dalam darah akan naik 
0.3 – 0.5 mEq/L/hari, tetapi selama pasca bedah dapat naik 1- 2 mEq/L/hari.
Untuk membedakan apakah oliguria karena gangguan fisiologis, kegagalan prerenal atau
renal dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel. Komposisi Urine Pada Oliguria

Hasil Laboratorium Oliguria Fisiologis Prerenal Renal


 Na urine < 10 mEq/L < 25 mEq/L > 25 mEq/L
BJ urine > 1,024 >1,015 1,010 – 1,015
U/P osmolality > 25 : 1 > 1,8 : 1 < 1,1 :1
U/P urea > 100 : 1 > 20 : 1 3 : 1 jarang > 10 :1
U/P creatine > 60 : 1 > 30 : 1 < 10 : 1, jarang > 10 : 1

Yang paling berarti ialah pemeriksaan ratio osmolalitas urine : plasma. Bila U/P ratio <
1,1 : 1, biasanya disebabkan oleh tubular nekrosis. Perlu dicatat bahwa tes ini hanya
 berlaku bila 6 – 12 jam sebelumnya pasien tidak menggunakan diuretik.
Penyulit selama anestesia dan pasca bedah dini harus dapat dideteksi secara dini untuk 
menghindari terjadinya morbiditas dan mortalitas. Penyulit tersebut seharusnya

39
 preventable (dapat dicegah), dengan memahami patofisiologi dan melakukan pemantauan
yang teliti.

Rangkuman
Penyulit yang terjadi selama anestesia dan pasca bedah dini dari segi pernafasan,
sirkulasi, muntah dan gangguan kesadaran harus dihindari. Penyulit pernafasan yang
sering terjadi adalah jatuhnya pangkal lidah kebelakang yang apabila dapat ditangani
dengan baik maka penyulit lain tidak akan timbul. Gangguan pernafasan yang tidak 
segera ditangani akan dapat berakibat gangguan dari irama jantungnya yang pada
akhirnya dapat mengakibatkan gangguan dari sirkulasinya. Untuk memberikan terapi
oksigen pada pasien dengan penyulit pernafasan harus dipilihkan yang sesuai. Gangguan
sirkulasi yang paling sering adalah terapi cairan yang tidak adekwat. Apabila tidak 
diterapi dengan baik akan berakibat tubuh mengorbankan organ ginjal sehingga dapat
terjadi gagal ginjal. Muntah harus diatasi dengan segera karena akibat muntah dapat
 berpengaruh pada pernafasan ataupun pada peningkatan tekanan intrakranial. Penyebab
gangguan kesadaran harus dihilangkan terlebih dahulu satu persatu dan dilakukan
tindakan yang benar karena kesadaran yang menurun akan dapat menyebabkan penyulit
 pernafasan dan ini akan menyebabkan lingkaran setan.

Bahan Bacaan
1. Dripps R.D., Ekkenhof J.E., Vandam L.D.
Introduction to Anesthesia
7th edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia-London Toronto, 1988




Tahap Anestesia
(Tanda-tanda dan Tahap-tahap Anestesia)

40
Pendahuluan
Kematian karena anestesia dapat terjadi dalam waktu yang sangat pendek (akut), atau
dalam waktu yang agak panjang. Kematian dalam waktu pendek terjadi karena :
1. Anestesia terlalu dalam (overdose, ke;ebihan dosis). Karena itu setiap saat harus
diketahui dalamnya anestesia.
2. Gangguan pernafasan. Karena itu setiap saat faal nafas pasien harus diawasi
(dimonitor).
3. Gangguan sirkulasi. Karena itu setiap saat faal sirkulasi pasien harus diawasi.
Kematian dalam waktu yang agak panjang terjadi karena kegagalan faal hati dan
kegagalan faal ginjal.
Untuk mencegah terjadinya overdose (anestesia terlalu dalam) perlu diketahui dengan
 baik tanda-tanda anestesia. Tanda-tanda anestesia itu tidak sama untuk berbagai obat
anestesia. Karena itu tiap obat anestesia harus diketahui tanda-tanda dalamnya anestesia
yang khusus untuk obat itu.
Secara umum dapat dikatakan bahwa ada 3 tahap anestesia :
1. Tahap induksi (stadium induksi) yaitu sejak anestesia dimulai sampai tahap
 pembedahan.
2. Tahap pembedahan (stadium pembedahan) yaitu tahap dimana pembedahan dapat
dilakukan.
3. Tahap keracunan (overdose, anestesia terlalu dalam). Pada tahap keracunan
 biasanya terjadi kegagalan pernafasan (arrest nafas) dan kegagalan sirkulasi
(arrest jantung).
Pada dasarnya anestesia diberikan sedemikian rupa, tidak terlalu dangkal sehingga
 pembedahan dapat dilakukan, akan tetapi juga tidak terlalu dalam sehingga terjadi
gangguan pernafasan atau sirkulasi.
Berapa banyak obat anestesia harus diberikan supaya pembedahan dapat dilakukan
tergantung antara lain pada keadaan pasien. Bayi, pasien yang tua, pasien yang lemah,
 pasien yang sakit keras membutuhkan jauh lebih sedikit obat anestesia daripada orang
yang muda dan sehat. Memberikan anestesia adalah semacam “titrasi”. Pada golongan

41
tersebut diatas anestesia harus dilakukan dengan hati-hati karena bahaya overdose lebih
mudah terjadi.

Tanda-tanda dan Tahap-tahap Anestesia Ether


Dengan ether tahap-tahap anestesia yang disebut dibawah ini “dilewati dengan pelan”
sehingga tiap tahap akan dapat dilihat dengan jelas. Dengan obat anestesia lain, tahap-
tahap itu dilewati lebih cepat sehingga masing-masing tahap tidak nampak jelas. Tanda
dan yang dijelaskan dibawah ini hanya berlaku semata-mata untuk anestesia dengan ether 
cara tetes terbuka (open drop).

Tahap anestesia
Ada 4 tahap (stadium, stage) anestesia :
1. Tahap (stadium) I, tahap analgesia. Mulai anestesia diberikan sampai hilangnya
kesadaran.
2. Tahap II, tahap eksitasi (delirium). Mulai dari hilangnya kesadaran sampai
 permulaan tahap bedah. Tahap I dan II bersama-sama disebut tahap induksi.
3. Tahap III, tahap bedah (surgical stage). Mulai dari berakhirnya tahap II sampai
 berhentinya nafas spontan (arrest nafas). Pada tahap ini pembedahan dapat
dilakukan. Tahap ini dibagi menjadi 4 bidang (plane).
4. Tahap IV, tahap kelumpuhan medulla (medullary paralysis). Mulai dari
 berhentinya nafas spontan sampai gagalnya sirkulasi (arrest jantung). Tahap ini
disebabkan oleh kelebihan dosis (overdose, terlalu dalam, keracunan) sehingga
terjadi kelumpuhan pada pusat pernafasan dan sirkulasi yang letaknya di medulla
oblongata.

Tanda-tanda anestesia (sign of anesthesia)

42
Tahap-tahap tersebut dikenal dengan memperhatikan tanda-tanda :
a. Nafas
 b. Gerak bola mata
c. Lebar pupil
d. Ada atau tidaknya beberapa refleks

Tanda nafas
Tanda nafas adalah tanda yang paling penting karena :
a. Baik buruknya nafas langsung mempengaruhi hidup matinya pasien.
 b. Dengan selalu mengawasi tanda nafas sekaligus akan dapat diawasi ada tidaknya
gangguan nafas.
c. Pada operasi dikepala tanda-tanda mata tidak dapat dilihat karena tertutup kain
 bedah. Satu-satunya tanda yang dapat dilihat adalah tanda nafas.
d. Jika tanda lain tidak cocok dengan tanda nafas, maka yang dipakai adalah tanda
nafas.
Hal yang perlu diperhatikan dalam menilai tanda nafas adalah :
1. Irama, teratur atau tidak teratur.
2. Amplitudo, besar (dalam) atau kecil (dangkal).
3. Sifat, nafas dada atau nafas perut.
4. Fase, gerak dada serentak atau tidak dengan gerak perut.

Gerak bola mata


Tanda ini paling mudah ditetapkan. Bila bola mata diam tak bergerak (fixed) berarti
 bidang (plane) 2 atau lebih dalam. Bila bola mata masih bergerak berarti bidang 1 atau
lebih dangkal.

Lebar pupil
Banyak hal mempengaruhi lebar pupil karena itu harus dinilai dengan hati-hati. Morphine
mengecilkan pupil sebaliknya atropin melebarkan pupil. Pada pasien diatas 50 tahun,
lebar pupil tidak dapat dipercaya kerena pada beberapa pasien pupilnya menjadi kaku dan
tidak dapat melebar meskipun anestesia telah dalam. Dengan singkat dapat dikatakan bila

43
 pupil terdapat lebar anggaplah anestesia terlalu dalam kecuali jika ada tanda-tanda lain
yang menyangkal. Akan tetapi sekali lagi perlu diingat bahwa pada pasien yang pupilnya
kaku, pupilnya tetap kecil walaupun anestesia sudah sangat dalam.

Refleks-refleks
Dalam praktek ada 3 refleks yang perlu diperhatikan :
1. Refleks bulu mata (eyelash reflex), yaitu pasien berkedip bila bulu mata
disinggung. Refleks ini jadi negatip pada tahap III
2. Refleks pharynx, yaitu pasien muntah jika dinding belakang pharynx disinggung.
Refleks ini jadi negatip pada akhir bidang 1. Jalan nafas oropharynx baru dapat
dipasang jika refleks ini sudah negatip.
3. Refleks larynx, yaitu pasien batuk jika ada benda asing di larynx. Refleks ini
hilang pada bidang 2. Endotracheal tube baru dapat dipasang jika refleks ini sudah
hilang.

Tahap dan tanda anestesia


Tahap I (stadium I, tahap analgesia)
Mulai anestesia diberikan sampai hilangnya kesadaran. P ada tahap ini pasien masih sadar,
karena itu tidak ada pola tertentu dari pernafasan, gerak bola mata maupun lebar pupil.
Tahap II (stadium II, tahap eksitasi)
Mulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan tahap bedah. Tahap I dan II bersama-
sama disebut tahap induksi. Pada tahap ini pasien mulai tidak sadar.
•  Nafas : Tidak teratur baik irama maupun amplitudonya. Nafas kadang-kadang
cepat, pelan atau berhenti sebentar. Amplitudo sesaat besar sesaat lagi kecil. Perlu
dibedakan disini antara nafas yang berhenti sebentar karena tahan nafas (breath
holding) pada tahap II dan arrest nafas (respiratory arrest) karena kelumpuhan
medulla pada tahap IV. Tahan nafas dapat diketahui karena adanya tanda-tanda
yang lain misalnya pasien bergerak-gerak disamping itu anestesi baru sebentar 
dimulai.

• Bola mata : Masih bergerak 

44
• Pupil : Lebar 

• Reflex-reflex : Reflex jalan nafas meninggi


Pasien dapat batuk-batuk atau mengalami kejang tenggorok (laryngospasmus). Terjadi
 juga hipersalivasi. Muntah terjadi pada akhir tahap II pada waktu induksi juga pada
waktu akan siuman (emergence). Bahaya dari muntah adalah terjadinya aspirasi. Pasien
sering memberontak menunjukkan gerakan-gerakan berusaha lepas dari meja operasi.
Pasien sakit jantung dapat mengalami dekompensasi karena gerakan-gerakan yang
 berlebihan ini. Karena gangguan yang sering timbul pada tahap II ini (hipersalivasi,
 batuk, kejang tenggorok, muntah dan eksitasi yang berlebihan) tehnik pemberian
anestesia ditujukan untuk melewati tahap ini secepat mungkin. Kalau perlu diberikan obat
lain untuk induksinya yang tidak menimbulkan eksitasi baru kemudian untuk 
maintenance (lanjutan) digunakan ether.
Tahap III (stadium III, tahap pembedahan)
Mulai dari berakhirnya tahap II sampai berhentinya nafas spontan (arrest nafas). Tahap
ini dibagi menjadi 4 bidang (plane).
Ciri-ciri umum tahap ini ialah : Nafas jadi teratur (ini dapat dinilai dari gerak dan suara
nafas) seperti orang yang tidur nyenyak. Reflex bulu mata negatif, otot-otot jadi lemas
sehingga misalnya kepala mudah digerakan kekeri dan kekanan.
 Bidang 1 (plane 1)

•  Nafas : teratur, dalam (amplitudo besar), gerak dada dan perut serentak (waktu
dada naik perut juga naik). Amaplitudo gerak dada dan perut sama atau hampir 
sama. Pernafasan dada sangat nyata.
• Bola mata : Bergerak 

• Pupil : Kecil
 Bidang 2 (plane 2)
•  Nafas : Sama seperti pada bidang 1 hanya besarnya (amplitudo) berkurang.

• Bola mata :Tidak bergerak (fixed)

• Pupil : Kecil

 Bidang 3 (plane 3)

45
•  Nafas : Nafas perut mulai lebih besar dari nafas dada. Gerak dada ketinggalan
(perut naik lebih dahulu baru disusul dada).
• Bola mata : Tidak bergerak 

• Pupil : Mulai melebar (lebar sedang). Reflex caha ya positif.


 Bidang 4 (plane 4)
•  Nafas : Otot-otot interkostal telah lumpuh sama sekali. Nafas hanya semata-mata
nafas perut. Ciri-ciri lain : inspirasi sangat cepat (jerky, gasping) seperti orang
yang terisak (tersedu) waktu menangis. Pause (waktu mengaso) setelah ekspirasi
adalah lama. Akhirnya nafas berhenti sama sekali pada waktu pasien masuk tahap
IV.

• Bola mata : Tidak bergerak 

• Pupil : Melebar hampir maksimum, reflex cahaya negatif.


Tanda peringatan sebelum pasien masuk tahap IV (preparalytic stage) ialah :
•  Nafas hanya semata-mata nafas perut (abdominal). Dekat sebelum arrest nafas
 biasanya pasien megap-megap (gasping).
• Pupil lebar hampir maksimum, reflex cahaya negatif.

•  Nadi kecil, tensi rendah.

• Kulit pucat dingin dan basah keringat.


Tahap IV (stadium IV, tahap kelumpuhan medulla)
Mulai arrest nafas sampai gagalnya sirkulasi (arrest jantung).

46
Rangkuman
Pada anestesia tetes terbuka (open drop) dengan ether, usahakan untuk tidak lebih dalam
dari bidang 2 sebab lebih dari bidang 2 ventilasi (minute volume) dan output jantung
mulai menurun.
Apabila pada suatu saat dalam anestesia tidak dapat diketahui dengan pasti, lebih aman
untuk menganggap anestesia terlalu dalam dan diusahakan untuk mendangkalkan dengan
menghentikan anestesia.
Apabila arrest nafas diketahui dini (cepat setelah terjadi), pemberian ether dihentikan dan
segera diberikan pernafasan buatan, pasien masih dapat ditolong. Pemberian oksigen saja
 pada arrest nafas tidak menolong karena tanpa pernafasan oksigen tidak akan dapat
masuk ke paru-paru.
Muntah terjadi pada waktu induksi dan pada waktu pasien akan siuman. Pada waktu
anestesia dimulai dan pasien mulai dibangunkan, persiapan untuk mencegah aspirasi
harus dilakukan seperti : meletakkan kepala lebih rendah (posisi Trendelenberg), dan
menyiapkan alat penghisap.
Ralaksasi pada bidang 2 cukup baik untuk semua operasi kecuali operasi perut bagian
atas. Dalam hal itu kalau masih perlu relaksasi terpaksa digunakan pelemas otot (muscle
relaxant) yang harus diikuti pemberian pernafasan buatan. Sering kali terjadi kurangnya
relaksasi bukan disebabkan oleh kurang dalamnya anestesia, akan tetapi disebabkan oleh
hal-hal lain misalnya : obstruksi jalan nafas, incisi yang terlalu kecil, atau usus kembung
(distended bowel), memperdalam anestesia tidak akan menambah relaksasi bahkan
membahayakan pasien.
Pemakaian endotrakheal tube pada operasi perut bagian atas dapat membantu dalam arti
mengurangi ketegangan otot yang terjadi oleh karena obstruksi jalan nafas. Akan tetapi
cara yang terbaik adalah dengan pelemas otot.
Bahan Bacaan
1. Drips RD., Ekkenhoff JE., Vandam LD
Introduction to Anesthesia
7th edition W.B. Saunders Company. Philadelphia-London Toronto, 1988
Halaman : 205 – 210


47
Anestesia Pada Ibu Hamil

Pendahuluan
Anestesia kebidanan berbeda dengan anestesia pada wanita biasa karena kehamilan
menyebabkan banyak perubahan fisiologi bagi ibu. Selain itu juga harus dihadapi janin
yang akan segera dilahirkan. Sebagian obat yang akan diberikan kepada ibu akan
menerobos melalui placenta masuk kedalam peredaran darah janin yang kemudian dapat
menyebabkan depresi pernafasan setelah bayi lahir. Obat dan tehnik anestesia kebidanan
yang dipilih harus baik untuk ibu, baik untuk janinnya dan tidak mempengaruhi kontraksi
 placenta.

Perubahan fisiologi ibu hamil


Perubahan fisiologi ibu hamil yang berpengaruh pada anestesia adalah :
1. Pernafasan
a. Minute ventilation (volume nafas satu menit) meningkat sampai 50% sehingga
anestesia inhalasi berjalan lebih cepat mencapai tahap anestesia yang dalam.
 b. Functional Residual Capacity menurun, menyebabkan cadangan oksigen dalam
 paru menurun sedang disisi lain kebutuhan oksigen ibu hamil meningkat.
Tindakan pe-oksigenasi sebelum anestesia adalah sangat penting untuk 
mengurangi bahaya hipoksia.

2. Sirkulasi
Terjadi kenaikan volume darah sampai rata-rata 50%, yang disebut  protective
hypervolemia ini memberikan cadangan volume darah yang berguna untuk mengatasi
kehilangan darah pada waktu persalinan. Pada waktu tidak hamil dengan berat badan 50
kg, volume darahnya adalah 70 ml/kg BB seluruhnya 50 x 70 = 3500 ml. Pada wanita
yang hamil, volume darah efektif bertambah dengan 50% menjadi 5.250 ml. Seorang
normal dapat kehilangan darah sampai 10% volume darahnya tanpa akibat yang
 berbahaya. Kehilangan 15% volume menyebabkan kenaikan nadi, vasokonstriksi dan
 penurunan tekanan darah yang perlu diatasi dengan infus cairan. Perdarahan lebih dari

48
30% volume darah akan menyebabkan syok yang harus diatasi dengan cairan dan
transfusi.
Perdarahan rata-rata pada persalinan normal pervaginam adalah 500 ml. Bagi wanita
tidak hamil ini adalah 15% volume darah, tetapi bagi wanita hamil ini hanya 10% saja
sehingga akibat yang ditimbulkannya jauh lebih ringan dari wanita tidak hamil.
Perdarahan rata-rata pada pembedahan Caecar adalah 1000 ml. Bagi wanita tidak hamil
ini setara dengan 30% volume darahnya, sehingga memerlukan penggantian cairan dan
transfusi. Bagi wanita hamil jumlah ini setara dengan 20% volume darah, sehingga cukup
diberikan cairan elektrolit saja (belum tentu perlu transfusi). 15% - 20% ibu yang hamil
aterm trimester III pada posisi terlentang mengalami supine hypotension syndrome akibat
 penekanan vena cava inferior, sehingga darah ke jantung menurun dan curah jantuing
 juga menurun. Gejala meliputi hipotensi, mual atau muntah, sesak nafas dan gelisah.
Untuk mengatasi sirkulasi darah placenta harus segera dibaringkan miring kekiri atau
 pantat kanan diganjal agar tubuh miring 45 derajat, sehingga uterus tergeser lebih kekiri
dan penekanan vena cava berkurang.

3. Aspirasi
Pada kehamilan terjadi peningkatan produksi asam lambung, proses pencernakan yang
memanjang. Limapuluh persen (50%) kematian pada anestesia disebabkan oleh
masuknya cairan lambung kedalam trachea dan paru yang menyebabkan acid aspiration
 pneumonitis atau disebut sindroma dari Mendelson. Dengan tingginya angka kematian
akibat aspirasi maka perlu diketahui faktor-faktor yang memudahkan terjadinya aspirasi,
yaitu :
a. Pendorongan lambung oleh pembesaran rahim mengakibatkan pengosongan
lambung yang lebih lambat.
 b. Produksi asam lambung meningkat.
c. pH cairan lambung lebih asam. pH kurang dari 2,5 sangat merusak parenchym
 paru dan menyebabkan sindroma Mendelson.
Puasa saja tidak menjamin pengosongan lambung yang baik. Perlu dilakukan
 penghisapan aktif berulang-ulang melalui pipa lambung ukuran besar (Fr. 18/20). Untuk 
menetralisir asam lambung yang tersisa setelah penghisapan , perlu diberikan antasida

49
Magnesium Trisilikat atau Natrium Sitrat 30 menit sebelum anestesia dimulai. Selain itu
 pemberian H2 blocker (cimetidine dan ranitidine) dapat membantu mengurangi produksi
cairan lambung dan menaikkan pHnya. Tetapi obat ini memerlukan waktu 1 jam setelah
 pemberian secara intravena untuk mencapai puncak aktifitas kerjanya.

4. Pembesaran Rahim
Pengosongan rahim pada tindakan pembedahan berjalan lebih cepat daripada persalinan
 pervaginam yang normal. Kontraksi otot rahim harus dibantu dengan obat-obat oxytocin
agar tidak terjadi perdarahan post partum yang berlebihan. Anestesia dengan ether tahap
III bidang 2 dan anestesia dengan halothane yang ringan sekalipun (1%) sudah
menyebabkan gangguan kontraksi otot rahim.
Pengeluaran bayi yang dipercepat biasanya akibat gawat janin. Janin dapat mengalami
kegawatan karena proses persalinan sendiri seperti terjadinya perdarahan akibat placenta
terlepas dini, lilitan tali pusat dan putar paksi yang keliru. Faktor-faktor ini menyebabkan
hipoksia janin didalam rahim. Obat anestesia narkotik dan sedatif yang melewati placenta
dan masuk kedalam sirkulasi janin dapat menyebabkan depresi setelah bayi lahir. Adanya
 janin yang hipoksia, maka obat anestesia yang dipilih adalah obat yang sesedikit mungkin
melewati placenta sehingga tidak menambah depresi pernafasan pada bayi.
Dosis obat anestesia yang diberikan pada ibu diusahakan yang minimal dan anestesia
yang terjadi seringan mungkin karena 5 – 10% bayi yang lahir dengan Sectio Caesaria
mengalami depresi berat. Persiapan peralatan resusitasi dan tenaga terampil resusitasi
merupakan kebutuhan yang mutlak untuk mengatasi depresi bayi lahir.

Persiapan Anestesia Pada Ibu Hamil


Persiapan ibu :
1. Untuk mencegah aspirasi dan mengurangi akibat aspirasi :
a. Pengosongan lambung.
 b. Netralisasi asam lambung.
c. Mengurangi produksi asam lambung.

50
2. Untuk menghindari terjadinya hipovolemia dilakukan :
a. Pemasangan infus, cairan Ringer Laktat atau NaCl 0,9% 500 ml untuk cadangan
seandainya terjadi perdarahan berlebihan selama pembedahan.
 b. Menyediakan darah.
c. Untuk menghindari perdarahan setelah bayi lahir disiapkan obat untuk 
merangsang kontraksi otot rahim. Obat perangsang kontraksi otot rahim tidak 
dapat masuk ke uterus bila terjadi asfiksia, hipoksia atau kerusakan dari jaringan
uterus.
Persiapan janin :
1. Alat resusitasi bayi.
Bayi lahir dengan operasi Caesar 5 - 10% lahir mengalami depresi nafas berat.
2. Tempat menghangatkan bayi.

Pelaksanaan Anestesia
Anestesia persalinan dapat dilakukan pada persalinan normal pervaginam atau pada
 pembedahan Caesar.
Partus Normal
Tujuam dari pemberian anestesia pada partus normal pervaginam adalah untuk 
menghilangkan rasa sakit.
Anestesia pada partus normal dapat dilakukan dengan :
a. Regional blok misalnya lumbal/caudal peridural
 b. Anestesia inhalasi misalnya campuran N2O dan O2 atau dengan trichloretylene
c. Obat-obatan diberikan peroral atau parenteral. Obat tersebut dapat menghilangkan
depresi dari janin.
Operasi Caesar
Premedikasi yang diberikan hanya diberikan anti cholinergik tanpa narkotik dan sedatif.
Sulfas atropin diberikan dengan dosis 0,5 mg. Tehnik anestesia yang ideal adalah blok 
regional atau cara inhalasi dengan intubasi trakhea, karena dengan ini resiko aspirasi
dapat ditekan serendah mungkin. Tetapi jika peralatan dan ketrampilan tidak 
memungkinkan untuk kedua cara diatas, cara lain tanpa intubasi dapat digunakan asal

51
 posisi pasien selama anestesia dipertahankan head down (kepala lebih rendah) dan
disiapkan alat penghisap yang baik.
Pilihan anestesianya :
1. Regional blok : blok subarachnoid dan blok peridural
2. Inhalasi
a. Ketamine dengan dosis 0,5 – 1 mg/kg BB dilanjutkan dengan ether inhalasi
dengan masker setelah bayi lahir. Dosis ulangan 0,5 mg/kg BB.
 b. Ketamine dengan dosis 0,5 – 1 mg/kg BB dan ditambahkan suksinil kholin 1
mg/kg BB dan dilakukan intubasi, dan setelah bayi lahir ether baru dilakukan.
c. Pentothal dengan dosis 3 – 5 mg/kg BB ditambah suksinil kholin 1 mg/kg BB
dilanjutkan dengan N2O/O2, setelah bayi lahir dilanjutkan dengan ether atau
halothane.
d. Chloretyl dan ether. Pembedahan dimulai setelah pasien tidak sadar. Pada saat
kaki/kepala bayi sudah terpegang, ether dihentikan sementara sampai bayi keluar 
dan tali pusat dijepit. Selanjutnya ether diteruskan sampai selesai.
Cara apapun yang dipilih, alat penghisap muntah harus selalu siap. Selama anestesia
 posisi kepala pasien selalu libih rendah.

Penilaian Bayi Lahir dan Penanganannya


Evaluasi tingkat depresi bayi yang baru lahir dilakukan dengan Apgar Score. Nilai Apgar 
 pada menit pertama menentukan jenis tindakan pertolongan apa yang harus diberikan.
 Nilai Apgar pada menit ke lima menentukan prognose selanjutnya bayi tersebut.
Tabel Nilai Apgar
Nilai
Gejala
0 1 2
Detik jantung Negatif Kurang dari 100 Lebih dari 100
 Nafas Negatif Tangis lemah Tangis keras
Tonus otot (fleksi) Negatif + +++
Reflex response Negatif + +++
Warna kulit Biru pucat Tubuh merah ujung ektrimitas biru Merah
Setelah dilakukan penilaian saat bayi lahir, ditentukan tindakan yang dilakukan. Bayi
dengan nilai Apgar 10 – 7, tidak mengalami depresi atau hanya depresi ringan. Tindakan
yang dilakukan hanya pembersihan jalan nafas dan penghangatan tubuh disertai

52
rangsangan taktil pada telapak kaki. Bayi dengan depresi sedang (AS 6 – 4) memerlukan
tindakan pembersihan jalan nafas dan penghangatan tubuh disertai rangsangan taktil pada
telapak kaki dan tambahan oksigen. Bayi dengan depresi berat memerlukan tambahan
tindakan resusitasi nafas buatan dengan intubasi trakhea dan pijat jantung.

Rangkuman
Anestesia persalinan mempunyai perbedaan dengan anestesia pada umumnya yaitu
adanya ibu dan janin. Obat yang dimasukan pada ibu akan juga masuk ke janin.
Perubahan fisiologis ibu hamil dan adanya janin berpengaruh pada pilihan obat anestesia,
 premedikasi dan cara anestesia. Selesai operasi diusahakan obat anestesia yang masih
tersisa sudah tidak berpengaruh pada kontraksi otot rahim. Bayi lahir dinilai dengan
Apgar Score dan dilakukan tindakan sesuai dengan hasil penilaian tersebut.

Bahan Bacaan
1. Dripps R.D., Ekkenhoff J.E., Vandam L.D.,
Introduction to Anesthesia.
7th edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia-London Toronto, 1988
Halaman : 293 - 314
2. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail
Clinical Anesthesiology
Second edition a Lange Medical Book, 1996
Halaman : 692 – 704, 705 – 725



Anestesia Pada Anak 

Pendahuluan

53
Tindakan anestesia pada anak-anak memerlukan pertimbangan khusus karena faktor-
faktor anatomi dan fisiologi yang berbeda dengan orang dewasa. Pada bayi pertumbuhan
organ yang belum sempurna dan adanya kecenderungan untuk menyesuaikan dengan
suhu sekitar mengakibatkan pemilihan obat dan perlakuan yang berbeda dengan orang
dewasa.

Perbedaan anatomi dan fisiologi pada anak 


1. Sistem Pernafasan
Anak-anak lebih mudah mengalami sumbatan jalan nafas, karena secara proporsional jika
dibandingkan dengan orang dewasa, lubang hidung (nares) sempit, lidah relatif besar 
mengisi rongga mulut, rahang kecil, leher pendek dan lingkar kepala besar (menyebabkan
 posisi kepala mudah menunduk) disamping adanya banyak limfoid. Sedikit tekanan pada
 jaringan lunak di leher sudah dapat mengakibatkan obstruksi. Bagian jalan nafas yang
 paling sempit bukanlah pita suara, tetapi pada lingkar cricoid (subglotic). Karena
 penampang trakhea sempit, sedikit edema saja menyebabkan penyempitan hebat dan
sumbatan aliran udara nafas yang serius. Luas permukaan alveoli anak 1/3 dari orang
dewasa, sedangkan metabolisme dan kebutuhan oksigen dua kali lipat orang dewasa.
“Ketidak seimbangan” ini dicoba diatasi dengan meningkatkan ventilasi alveolar hingga
menjadi 2 kali orang dewasa (per Kg BB) melalui peningkatan frekuensi nafas semenit.
 Namun demikian darah arterial anak biasanya masih menunjukkan suatu asidosis
metabolik ringan dan alkalosis resporatorik. Akibatnya anak-anak lebih mudah dan labih
cepat jatuh dalam hipoksia berat jika terjadi gangguan sumbatan jalan nafas atau episode
apnea.

2. Sistem Sirkulasi
 Nadi normal bayi berkisar antara 120 – 140 x/menit dan tekanan darah sistolik antara 60
 – 80 mmHg. Pada umur 6 th tekanan darah meningkat menjadi 100 mmHg dan nadi turun
menjadi 100 x/menit. Nadi bayi sangat labil dan tekanan darah sering sukar diukur 
dengan cara Korotkoff. Steteskop yang diletakkan di dada diatas apex cordis (precordia)
atau di esophagus dapat membantu mendengarkan suara jantung dan suara nafas dengan
tepat. Suara jantung yang melemah menandakan anestesia yang terlalu dalam, defisit

54
cairan intravaskuler atau syok yang mengancam. Jumalah darah bayi dengan berat 3 kg
kurang dari 300 ml. Perdarahan 50 ml saja sudah menyebabkan syok yang berat.

3. Pengaruh Suhu
Suhu bayi sangat dipengaruhi oleh suhu udara disekitarnya. Selama anestesia, tubuh
menjadi poikilothermia, menyesuaikan diri dengan suhu disekitarnya karena mekanisme
 pemanasan tubuh ikut tertekan. Suhu udara kurang dari 270 C menyebabkan bayi harus
 berkompensasi untuk menjaga suhu tubuhnya. Keadaan ini akan meningkatkan
kebutuhan oksigen serta menyebabkan asidosis metabolik. Konsumsi O2 paling sedikit
 jika suhu anak dipertahankan normal.
Hipotermia menyebabkan depresi sirkulasi yang lebih berat. Pada suhu tubuh ≤ 280 C,
 jantung sewaktu-waktu dapat berhenti. Kenaikkan suhu diatas 390 C juga berbahaya.
Hipertermia mudah terjadi bila ada dehidrasi, suhu udara disekitar yang tinggi, ada
radang yang menyebabkan demam, digunakan atropin (yang menghambat keluarnya
keringat), karena pengaruh obat tertentu (ketamine, barbiturat dan phenothiazine)
terhadap pesat pengatur suhu, dan digunakannya kain penutup pembedahan yang
 berlebihan.
Selain meningkatkan kebutuhan O2, demam juga dapat mengakibatkan konvulsi,
kerusakan otak karena hipoksia, hipotensi dan henti jantung.

4. Keseimbangan Cairan dan Metabolisme


Karena luas permukaan tubuh per kg BB lebih besar dari pada orang dewasa, anak 
memiliki turn over rate cairan yang cepat dan mereka sukar menerima kekurangan cairan.
Puasa harus dibatasi dan dipertimbangkan penggunaan cairan infus yang lebih bebas
untuk mencegah dehidrasi.
Metabolisme bayi sangat tergantung pada masukan gula atau karbohidrat. Kadar gula
darah bayi labil, akan berpengaruh pada pemberian karbohidrat yang terlambat untuk 
anak yang mengalami stress trauma pembedahan dan sepsis. Hipoglikemia berpengaruh
 buruk pada otak bayi.

5. Pilihan Untuk Pelaksanaan Anestesia Pada Anak 

55
Anak memerlukan ketenangan dan kontak fisik yang lembut saat induksi. Ibu sebaiknya
ikut mendampingi pada waktu anestesia dimulai. Induksi dilakukan secara insuflasi
 pelan-pelan dengan mendekatkan sungkup (masker) dari sistem Jackson Reese yang
mengalirkan N2O – O2 50% 10 lpm bersama halothane 3 – 4% kearah mulut dan hidung
 pasien. Bila anak mulai tidak sadar, sungkup didekatkan ke wajah dan aliran gas
disesuaikan. Sungkup hendaknya dipegang tepat tanpa kebocoran tetapi juga tanpa
tekanan pada jaringan-jaringan lunak dasar mulut agar tidak menyebabkan sumbatan
 jalan nafas.
Untuk anak diatas umur 7 th dapat diberikan induksi intravena dengan ketamine 0,5 – 1
mg/kg BB atau intramuskuler dengan dosis 3 – 5 mg/kg BB, cara cukup aman dan efektif.
Selanjutnya nafas diamati, jika perlu diberikan nafas buatan bergantian diselingi nafas
anak itu sendiri agar ventilasi alveolar terjaga dengan baik. Intubasi trakhea sebaiknya
tidak dikerjakan dengan ketamine sebab refleks jalan nafas masih aktif. Akan lebih
mudah dan tidak traumatik jika dekerjakan dalam anestesia ether yang didalamkan,
apabila dilakukan dengan halothane dalam, bahaya akan terjedi depresi nafas dan
sirkulasi yang dapat menimbulkan kematian. Infus harus selalu dipasang untuk 
memudahkan pemberian obat dan untuk mengganti kehilangan cairan karena puasa.
Selama pembedahan suhu badan diamati dan dijaga agar tidak menurun sampai kurang
dari 360 C.

Rangkuman
Anak mempunyai perbedaan anatomi dan fisiologi dengan orang dewasa, pemilihan obat,
 premedikasi dan tehnik anestesia harus disesuaikan dengan anak tersebut. Perbedaan
anatomi dan fisiologi tersebut mengakibatkan perbedaan penanganan pada waktu
 pemberian anestesinya.

Bahan Bacaan
1. Dripps R.D., Ekkenhoff J.E., Vandam L.D.,
Introduction to Anesthesia.
7th edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia-London Toronto, 1988

56
Halaman : 315 - 334
2. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail
Clinical Anesthesiology
Second edition a Lange Medical Book, 1996
Halaman : 726 - 742



Anestesi pada gawat darurat

MASALAH

57
Indikasi pembedahan darurat, adalah hal-hal yang memerlukan penyelesaian cepat seperti

• Menghentikan perdarahan

• Menghilangkan sumber infeksi

• Mengeluarkan janin

• Mengambil benda asing

• Menurunkan tekanan intra kranial


Waktu yang tersedia membatasi kesempatan untuk melakukan evaluasi, memberbaiki
kondisi pasien dan melakukan pencegahan aspirasi. Sukar untuk menyiapkan pasien
sampai “maksimal” baik. Titik komprominya adalah “keadaan optimal” dimana
 pembedahan dapat segera dilakukan, agar penyebab penyakit dapat dihilangkan. Dalam
memberikan anestesia berlaku dalil : “there is no such thing as minor anesthesia ”.
Anestesia betapun singkatnya, menyangkut fungsi-fungsi vital tubuh. Persiapan dan
 pelaksanaan yang kurang cermat membahayakan hidup penderita.

PERSIAPAN
1. Tentukan prioritas dalam melakukan evaluasi dan terapi dengan quick diagnosis dan
quick treatment. Urutan prioritas tersebut adalah :
1. B-1 : breath – pernafasan
2. B-2 : bleed – peradaran darah
3. B-3 : brain – kesadaran/SSP
4. B-4 : bladder – urogenital
5. B-5 : bowel – gastrointestinal
6. B-6 : bone – tulang
Kita tidak boleh terpukau oleh kalainan yang sudah langsung nampak tetapi berasal dari
urutan prioritas terakhir.

Contoh :
Menghadapi pasien patah tulang paha terbuka dan berdarah. Penanganannya harus
 berdasarkan urutan prioritas :

58
• B-1 : apakah jalan nafas bebas, apakah nafasnya normal ?

• B-2 : berapa tensi, nadi, bagaimana perfusi perifer, apakah ada perdarahan aktif ?

• B-3 : bagaimana kesadarannya ?

• Dan seterusnya
Sambil melakukan bebat tekan menghentikan perdarahan, pasanglah infus RL, atasi
kehilangan volume, baru membuat foto paha dan seterusnya. Evaluasi secermat mungkin
tetapi sesingkat mungkin. Setiap menit sangat berharga. “time saving is life saving ”

2. Perbaiki kondisi sampai optimal (bukan maksimal).


a) Stabilisasi hemodinamik pada perdarahan
Banyak pasien meninggal sebelum sempat menjalani pembedahan karena
terlambatnya stabilisasi hemodinamik. Cara lama transfusi dulu sampai tensi normal,
 baru operasi sudah ditinggalkan. Penderita shock berat tensi tidak terukur dianggap
sudah kehilangan > 1/3 volume darahnya (1/3 x 70 ml x BB). Hipovolemia diatasi
dengan infus RL atau NaCl 0,9%, digrojog cepat, sebanyak 2-4 x volume darah yang
diperkirakan hilang. Jika hemodinamik membaik, perfusi perifer membaik acral

kering, hangat, merah, nadi < 100 x/menit, tensi > 100 mmHg, tilt test negatif dan
urine 1 ml/kg/jam maka dianggap kondisi sudah optimal.
Tilt test : merubah posisi pasien dari berbaring datar, jadi head up/anti tredelenburg
sampai semiring 30 derajat. Kemudian tunggu 15 menit. Disebut negatif jika MAP
tidak turun > 10 mmHG (berarti volume sirkulasi sudah normal). Transfusi darah
 baru diberikan jika :

• Dengan jumlah cairan tersebut sirkulasi masih buruk 

• Dengan jumlah cairan tersebut Hb < 8 gr%

• Sumber perdarahan telah dikuasai


Perlu diketahui bahwa pada waktu perdarahan akut Hb tidak turun. Setelah proses
hemodilusi dan volume intra vaskuler normal kembali baru akan tampak adanya
anemia.

 b) Stabilisasi hemodinamik pada kehilangan gastrointestinal

59
Penyebab kehilangan cairan disini adalah :

• Intake kurang : puasa, sakit lama

• Output berlebihan : muntah, diarrhea, transudasi cairan ke lumen usus (ileus)


atau rongga peritoneum (peritonitis).
Rehidrasi harus mengembalikan defisit IVF dalam waktu sependek mungkin agar 
 pembedahan dapat segera dilakukan. Pemeriksaan berat jenis plasma dapat
emnilai besarnya kehilangan cairan disini. Test ini tidak dapat digunakan pada
 perdarahan.
c) Menurunkan demam
Demam menambah bahaya hipoksia selama anestesia. Selain injeksi antipiretika,
dehidrasi harus dikoreksi. Jika suhu tidak turun, diberikan vasodilator seperti
dehidrobenzperidol 2,5 – 5 mg im. agar dengan vasodilatasi panas terbawa keluar.
Dengan dibantu kompres selimut yang dibasahi air kran (bukan es) dan kipas angin,
suhu akan lebih cepat menurun. Kompres es atau basuh alkohol tidak dianjurkan
sebab rapid cooling yang terjadi justru menyebabkan menggigil sehingga suhu
meningkat lagi. Suhu ruangan diusahakan rendah (20 -24 C).
d) Mencegah aspirasi
Tergantung dari waktu yang tersedia, diusahakan :
• Puasa selama persiapan prabedah. Pengosongan lambung normalnya dalam 6
 jam. Tetapi nyeri, infeksi dan persalian memperlambat.

• Pasang nasogastric tube besar diameter 18/20 Fr. Dihisap berkala agar 
almbung kosong.
• Pada pasien obstetrik/hamil, diberikan antasida setelah lambung kosong (Mg
trisilikat) 15 cc) minimal 30 menit sebelum dianestesi. Dosis diulantiap 2 jam.
e) Menghilangkan nyeri
 Narkotik adalah analgetik terbaik, namun pada penderita gawat darurat
 penggunaannya harus dipertimbangkan baik-baik sebab :
• Menyebabkan depresi nafas, lebih pada penderita trauma thorax, trauma
kepala dan shock.
• Depresi nafas pada trauma kepala menyebabkan kenaikan tekanan intra
kranial dan dapat menyebabkan herniasi.

60
• Mengacaukan diagnostik yang berdasarkan evaluasi nyeri.

• Menyebabkan vasodilatasi  awas shock.


f) Anestesia : “the best anesthesia is the minimum anesthesia”
Kalau operasi dapat dikerjakan dengan anestesia infiltrasi lokal atau regional, jangan
dikerjakan dengan anestesia umum. Selalu lebih aman jika pasien tetap sadar selama
operasi. Premedikasi : atropin saja, 0,25 – 0,5 mg iv sudah cukup. Hati-hati memberi
sedatif dan narkotik. Diazepam 2,5 – 5 mg iv (dewasa) dapat diberikan jika pasien
sangat gelisah.
 Narkotik hanya diberikan atas 2 indikasi :
1. ada nyeri fraktur, dislokasi dan sebagainya.
2. untuk suplement anestesia halothane, diberikan waktu operasi, pethidin 5 – 10
mg iv, diulang sesuai kebutuhan.
Sifat-sifat negatif dan positif dari obat anestesia harus dipertimbangkan terhadap
kondisi pasien, contoh :

• halothane  hipotensi  tidak untuk pasien shock.

• ketamine  menaikkan tekanan intrakranial  tidak untuk pasien


trauma kepala.
• halothane untuk operasi thorax, operasi kepala/muka karena tidak 
mudah terbakar/meledak.
• ketamine untuk pasien shock karena tidak menurunkan tensi atau
untuk sectio caesaria karena tidak mendepresi janin.

PELAKSANAAN ANESTESIA
Sebelum induksi, nasogastric tube dihisap sekali lagi lalu dicabut. Mulai oksigenasi 8 -10
lpm, minimal selama 5 menit. Kemudian induksi dapat dimulai dengan posisi head down,

agar jika terjadi muntah, muntahan mengalir keluar mulut  menjauhi trakhea karena
gaya berat. Alat suction yang baik dan kuat harus siap tersedia.
Anestesi umum dengan masker, posisi head down sudah cukup memadai aman. Lebih
 baik jika dipasang endotrakheal tube dengan cuff. Tetapi pemasangannya perlu
ketrampilan khusus. Intubasi lebih mengamankan jalan nafas dari bahaya aspirasi dan

61
memudahkan penafasan buatan. Tetapi jika ahli tidak ada, jangan memaksakan intubasi
ini.
Intubasi cara non apnea dapat dilakukan dalam ether stadium III plane 2-3. setelah
intubasi, stadium didangkalkan lagi. Cara apnea memakai pelumpuh otot dan harus
dilakukan tenaga ahli. Usahakan pasien cepat sadar lagi segera setelah operasi selesai.
Endotrakheal tube dilepas setelah pasien sadar benar. Jika masih diperlukan, nasogastric
tube dipasang kembali setelah intubasi atau setelah pasien sadar kembali.

PASCA BEDAH
Sebelum pasien sadar kembali, pengawasan ketat masih tetap harus dilakukan seperti
selama anestesi. Gangguan nafas pada masa pasca bedah :
1. Hipoventilasi karena sisa anestesi, narkotik, nyeri operasi, bebat terlalu erat pada
dada atau perut. Berikan oksigen nasal 2-3 lpm untuk memperbaiki oksigenasi
selama masih hipoventilasi sisa anestesi. Oksigen tidak dapat masuk paru jika
hipoventilasinya berat. Dalam hal demikian, diberikan nafas buatan/bantuan
dengan Ambu bag. Jika pasien sudah agak sadar, teriakkan ditelinganya supaya
 bernafas dalam.
2. Obstruksi jalan nafas karena pangkal lidah, benda asing (lendir, darah, muntah).
Obstruksi dapat diatasi dengan posisi tengadah, dagu jauhkan dari dada. Kadang-
kadang perlu dibantu ganjal bantal diwah bahu.
3. Aspirasi. Posisi kepala selalu diusahakan lebih rendah agar apabila terjadi muntah
tidak terjadi aspirasi. Jika resiko muntah besar, baringkan miring. Alat suction
harus selalu siap. Posisi head down tidak boleh dilakukan pada pasien dengan
trauma kepala atau operasi intra cranial.

Rangkuman
Operasi darurat adalah operasi yang dilakukan dalam waktu terbatas dengan persiapan
yang cepat untuk mengoptimalkan pasien, sehingga harus diatasi jalan nafas, ventilasi,
sirkulasinya. Dan untuk selanjutnya perbaiki suhunya, dikosongkan lambungnya untuk 
menghindari penyulitnya. Pemilihan obat anestesi, premedikasi dan tehnik anestesi

62
disesuaikan dengan tindakan pembedahan dan resikonya. Aspirasi dan perdarahan
merupakan penyulit yang sering terjadi pada anestesia pembedahan darurat.

Bahan Bacaan
1. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail.
Clinical Anesthesiology
2nd edition a Lange Medical Book, 1996
Halaman : 683 – 691



63
Anestesi untuk tindakan rawat jalan

Pengertian
Anestesi rawat jalan yaitu suatu tindakan anestesi yang dilakukan pada pasien yang
menjalani prosedur tertentu (pembedahan, diagnostic radiology), dimana pasien
dimasukkan dan dipulangkan dari rumah sakit pada hari yang sama.
Tindakan bedah rawat jalan ini mempunyai beberapa keuntungan :
• Biaya jauh lebih murah daripada rawat jalan

• Berkurangnya resiko infeksi nosokomial

• Pada anak-anak juga menurunkan gangguan emosional yang disebabkan oleh


hospitalisasi
Umumnya tindakan ini dilakukan untuk tindakan pembedahan yang ringan atau
 pembedahan kecil, yang dapat dilakukan tidak lebih dari 60 menit.
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan secara rawat jalan :
a. Pediatri :
• Circumcisi

• Irigasi ductus nasolacrimalis

• Polip recti

• Kista dermoid
 b. Gynecology :
• Dilatasi dan kuretage

• Abortus

• Cauter cervix

• Kista Bartholini
c. Orthopaedi :

• Reposisi

• Eksisi ganglion

• Dekompresi carpal tunnel

• Trigger finger 

• Angkat pen/plate

64
d. Bedah Umum :

• Eksisi lipoma/naevus

• Fibroadenoma mammae

• Eksisi tumor kelenjar keringat

Pemilihan pasien :
Untuk dapat mencapai tujuan agar pasien dapat dipulangkan pada hari yang sama, perlu
dipilih pasien yang tepat yang memenuhi persyaratan tertentu.
a. Pasien termasuk dalam Status Fisik ASA 1 – 2.
 b. Telah dilakukan pemeriksaan oleh dokter, serta mendapat penerangn sejelasnya
tentang apa yang akan dilakukan oleh dokter, baik segi pembedahan maupun
anestesinya.
c. Pasien yang mau dan mampu mengikuti petunjuk-petunjuk yang diterima, baik 
lisan maupun tertulis.
d. Pasien harus mempunyai motivasi untuk pulang pada hari yang sama.
e. Pasien harus mempunyai pengantar yang dapat dipertanggung jawabkan
(misalnya seorang ibu/bapak tidak boleh diantarkan oleh anaknya / cucunya yang
 belum dewasa).
f. Pasien harus datang dengan membawa petunjuk tertulis yang berisi pesanan pra
anestesi yang telah didapat sebelumnya.

Pesanan pada pasien :


a. Malam sebelum hari operasi, masih boleh intake pe oral terakhir jam 22.00 untuk 
orang dewasa, sedangkan untuk anak-anak dipuasakan, dengan minum air terakhir 
6 jam sebelum perkiraan tindakan anestesi, sedangkan untuk makan terakhir 
sebaiknya 8 jam sebelumnya. Untuk anak dibawah 2 th, puasa minum air 4 jam
dan puasa minum susu 6 jam.
 b. Pasien harus datang pada pagi hari yang ditentukan, dengan pengantar seperti
yang telah disebutkan diatas.

65
Apa yang harus dilakukan pada hari pembedahan :
a. Pasien yang datang harus dicek ulang terakhir, meliputi : anamnesis tentang
adanya infeksi saluran nafas yang mungkin baru didapat setelah pemeriksaan dan
 penentuan hari operasi. Anamnesis tentang persiapan puasa, apakah pasien
menjalankan pesanan untuk puasa sesuai dengan yang telah diterangkan secara
lisan maupun tertulis.
 b. Setelah semua beres, pasien dipasang infus.
c. Untuk pasien-pasien rawat jalan ini tidak diberikan premedikasi berat. Pada orang
dewasa semua medikasi dapat diberikan secara intravena. Untuk bayi dan anak 
yang masih rewel, premedikasi tentu saja dapa t diberikan secara intramuskuler.
d. Pada umumnya untuk orang dewasa hanya diberikan sulfas atropin 0,25 mg dan
midazolam 2,5 – 5 mg IV, sebelum pasien dibawa masuk ke kamar operasi.
e. Anestesi :
• Dipilih obat anestesi yang tidak menyebabkan pasien bangun terlalu lama.
Contoh : halothane, enflurane, isoflurane, sevoflurane atau propofol.
• Obat induksi dengan pentothal atau propofol dengan dosis secukupnya
(dosis minimal yang masih efektif).

• Sedapat mungkin tidak menggunakan tehnik intubasi endotrakheal, karena


ada kemungkinan penyulit edema larynx pasca anestesi.
• Monitoring : selama anestesi monitoring sama seperti pasien rawat inap.

• Analgetik : mengingat bahwa pada tindakan anestesi rawat jalan ini


dilakukan tanpa premedikasi dan digunakan obat anestesi yang kurang
kuat daya analgesinya, maka perlu diberikan tambahan analgetika selama
anestesi, misalnya morphine atau pethidin diberikan iv dengan dosis 1/3
dari dosis im. Pemberian harus dengan memperhitungkan waktu untuk 
mencapai efek, sehingga pada waktu pembedahan dimulai pasien tidak 
mengalami raasa sakit. Apabila tidak ada kontra indikasi, maka morphine
lebih merupakan pilihan dibanding dengan pethidin, karena efek mual dan
muntah lebih sedikit dan efek analgesi lebih lama.
f. Pulih sadar dan pemulangan : selama masa pasca bedah pasien perlu mendapat
 pengawasan di ruang pulih sadar. Sebaiknya pasien ini jangan ditidurkan dekat

66
 pasien yang mengalami operasi besar, yang menggunakan beberapa infus, yang
sedang diberi transfusi darah, atau pasien yang menggunakan manyak drain dan
 berdarah. Hal ini untuk mencegah agar pasien tidak merasa takut pada waktu
 bangun. Masalah pulih sadar pada anestesi rawat jalan tidak hanya dinilai asal
 pasien telah sadar, tetapi ada hal-hal yang penting dan perlu diperhatikan,
mengingat bahwa pasien ini akan lepas dari pengawasan dokter/perawat/rumah
sakit. Sementara itu efek dari obat anestesi tidak semuanya telah hilang. Untuk 
menilai masa pulih sadar ini Steward membagi dalam 3 tahap :

• Immediate recovery
Kembalinya kesadaran, kembalinya reflek protektif jalan nafas dam aktifitas
motor yang singkat. Tahap ini singkat dan dapat dengan tepat diikuti dengan
menggunakan scoring system.
• Intermediate recovery
Kembalinya fungsi koordinasi, hilangnya perasaan pusing subyektif. Tahap ini
kira-kira 1 jam setelah anestesi yang tidak terlalu lama. Dalam tahap ini mungkin
 pasien sudah dapat dipulangkan asal ada pendamping yang dapat dipertanggung
 jawabkan.

• Longterm recovery
Tahap ini dapat berlangsung berjam-jam bahkan berhari-hari tergantung dari
lamanya anestesi. Untuk pengukurannya perlu tes psikomotor, sehingga tidak 
 praktis untuk dilakukan di klinik.

Kriteria pemulangan (kriteria klinis) :


a. Apabila pasien sudah sadar dan mengenal lingkungan, dicoba untuk 
setengah duduk (kepala diganjal dengan beberapa bantal). Bila pasien
merasa pusing, ditidurkan kembali. Prosedur ini dapat diulangi, bila pasien
sudah merasa enak kembali.
 b. Bila selama 15 menit pasien tidak mengeluh apa-apa, dapat dicoba untuk 
duduk. Bila ada keluhan (pusing, mual atau muntah) dikembalikan
keposisi semula, atau kalau perlu posisi tidur lagi. Kemudian prosedur 
dapat diulangi lagi.

67
c. Bila setelah 15 menit dalam posisi duduk tidak ada keluhan, dicoba untuk 
duduk dengan kaki menjuntai. Ini dilakukan pula selama 15 menit.
Sementara itu pasien dicoba untuk minum air putih.
d. Bila pasien dapat tahan dalam posisi ini, maka dicoba untuk turun dari
tempat tidur, dan diminta untuk memakai pakainnya sendiri. Maka pasien
siap untuk dipulangkan. Dapat pula ditambahkan sebagai kriteria
 pemulangan :

• Pasien diminta berjalan mengikuti garis lurus.

• Test Romberg dengan mata terbuka.


Kriteria pemulangan pada bayi dan anak-anak :
Tes klinis tersebut diatas tidak dapat diterapkan pada bayi dan anak kecil. Untuk 
 bayi dan anak kecil dapat dilakukan sebagai berikut : bila bayi atau anak tersebut
sudah menangis keras dan tidak muntah, dicoba minum air sedikit demi
sedikitdengan menggunakan sendok. Perlu diingat, sering kali anak yang sudah
menangis keras ini kemudian tertidur lagi, oleh kerena itu jangan tergesa-gesa
memulangkan atas dasar menangis keras. Bila sudah dapat minum agak banyak 
dan tidak muntah, infus dilepas dan pasien dapat dipulangkan.
Kriteria pemulangan berdasar atas observasi klinis ini merupakan kriteria yang
 paling sederhana dan mudah untuk dilakukan.
Beberapa kriteria lain dapat dilihat pada beberapa tabel yaitu Steward Scoring
System (tabel 1), Robertson Scoring System (tabel 2) dan Aldrete Scoring System
(tabel 3).

68
Tabel 1. Steward Scoring System

Kriteria Skor  
Bangun 2
Kesadaran Respon terhadap stimuli 1
Tidak ada respon 0
Batuk atas perintah atau menangis 2
Jalan nafas Mempertahankan jalan nafas dengan baik 1
Perlu bantuan untuk mempertahankan 0
Menggerakkan anggota badan dengan tujuan 2
Gerakan Gerakan tanpa maksud 1
Tidak bergerak 0

Tabel 2. Robertson Scoring System

Kriteria Skor  
Sadar penuh, mata terbuka, berbicara 4
Tertidur ringan, sekali-kali mata terbuka 3
Kesadaran Mata terbuka atas perintah atau bila dipanggil 2
Respon terhadap cubitan telinga 1
Tidak ada respon 0
Membuka mulut dan atau batuk atas perintah 3
Tak ada batuk volunter, jalan nafas bebas tanpa bantuan 2
Jalan
Obstruksi jalan nafas bila leher fleksi tetapi tanpa bantuan bila 1
nafas
ekstensi
Tanpa bantuan terjadi obstruksi 0
Mengangkat tangan dengan perintah 2
Aktivitas Gerakan tak berarti 1
Tidak bergerak 0

Tabel 3. Aldrete Scoring System

Recovery score I 15’ 30’ 45’ 60’ Out


n
Aktivitas 4 anggota gerak 2 2 2 2 2 2
Dapat bergerak  2 anggota gerak 1 1 1 1 1 1
volunter  0 anggota gerak 0 0 0 0 0 0

69
atau atas perintah
Mampu bernafas dalam dan batuk  2 2 2 2 2 2
secara bebas
Respirasi Dyspnea, nafas dangkal atau 1 1 1 1 1 1
terbatas
Apnea 0 0 0 0 0 0
Tensi +/- 20 mmHg preop 2 2 2 2 2 2
Sirkulasi Tensi 20 – 50 mmHg preop 1 1 1 1 1 1
Tensi +/- 50 mmHg preop 0 0 0 0 0 0
Sadar penuh 2 2 2 2 2 2
Kesadaran Bangun waktu dipanggil 1 1 1 1 1 1
Tidak ada respon 0 0 0 0 0 0
 Normal 2 2 2 2 2 2
Warna kulit Pucat, kelabu dll 1 1 1 1 1 1
sianotik 0 0 0 0 0 0

Dari tebel skoring sistem diatas, bila dilihat dengan teliti, jelas bahwa scoring menurut
Robertson dan Steward dengan mudah dapat dilakukan. Sebelum pasien pulang, pada
keluarganya harus diterangkan (lisan dan tertulis) pesanan obat-obat yang harus diminum,
dan kapan harus kembali ke RS segera bila ada penyulit. Didalam pesanan perlu
diterangkan bahwa selama 24 jam pertama pasien harus istirahat. Makan dan minum
seperti biasa. Selama 48 jam jangan mengendarai kendaraan sendiri.

Beberapa test yang dapat digunakan untuk menilai pasien-pasien yang pulih sadar dari
 pemberian sedativa secara intravena :
a. Tes klinis :
• Dapat berdiri sendiri tanpa bantuan

• Berjalan mengikuti garis lurus

• Mempertahankan keseimbangan dengan mata tertutup (tes Romberg)

• Orientasi terhadap waktu dan tempat

• Menyebut nama dan alamat dengan benar 

• Tensi dan nadi stabil selama 30 menit


b. Pencil and paper test 

70
c.  Psychomotor test 
Perlu diingat bahwa tidak semua scoring system tersebut dapat diterapkan, mengingat
terbatasnya tenaga perawat yang ada di ruang pulih sadar.

g. Penundaan pemulangan

• Apabila terjadi penyulit dari segi operasinya (perdarahan, operasi


 berkepanjangan)
• Apabila terjadi penyulit dari segi anestesinya

• Mual dan muntah yang berkepanjangan

• Pusing yang berkepanjangan

• Adanya penyulit selama anestesinya (hipotensi yang berat)

• Terjadinya edema larynx pasca intubasi (karena anestesinya terpaksa harus


dilakukan dengan tehnik intubasi endotrakhel)
h. Lain-lain
Mengingat bahwa penundaan pemulangan dapat terjadi, maka kemungkinan ini,
sudah harus dijelaskan pada pasien maupun keluarganya pada saat konsultasi
 prabedah. Informed consent harus dijelaskan dan ditanda tangani pada waktu
 penentuan kapan pasien akan dilakukan operasi.
i. Penyulit pasca bedah setelah pemulangan
Sequellae ringan pasca anestesi rawat jalan tidak jarang ditemukan.ual atau mual dan
muntah lebih sering didapati pada anak-anak dibanding orang dewasa.
Insidens hilangnya nafsu makan pada hari operasi didapatkan pada 40%, pada
keesokan harinya 17%.
Sakit tenggorokan pasca intubasi 59%, setelah pemasangan orotracheal 24% dan
tanpa penggunaan kedua alat tersebut dapat terjadi pada 8,5%. Insidens sakit kepala
sebesar 13% dapat terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa.
Mengingat hal tersebut diatas, maka pengertian orang tua sangat diperlukan, agar 
dapat mengatasi keadaan tersebut bila terjadi di rumah.

Rangkuman

71
Anestesi untuk tindakan rawat jalan memerlukan persyaratan khusus. Dengan mengingat
 bahwa pasien akan menjalani perawatan pasca anestesi/bedah dilingkungan keluarga
tanpa tenaga paramedik, maka kesiapan dan pengertian pasien (bila pasien dewasa) dan
keluarga terhadap kemungkinan penyulit yang timbulnya lambat misalnya perdarahan,
muntah yang berlebihan. Dalam keadaan demikian keluarga harus melakukan tindakan
 pertolongan dan segera membawa kembali ke rumah sakit.
Persyaratan tersebut mengharuskan pelaksanaan tindakan rawat jalan dilakukan oleh
tenaga yang terampil, untuk menghindari terjadinya penyulit. Pemantauan proses pulih
sadar dapat dilakukan dengan berbagai cara, namun pemulangan pasien harus dilakukan
 bila syarat tertentu sudah dipenuhi.

Bahan Bacaan
1. Drips R.D., Ekkenhoff J.E., Vandam L.D.,
Introduction to Anesthesia
7th edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia-London-Toronto, 1998
Halaman : 362 – 367
2. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail
Clinical Anesthesiology
2nd edition a Lange Medical Book, 1996
Halaman : 749 – 754


ANESTESI REGIONAL

Farmakologi Obat Anestesi Regional

Pendahuluan

Obat anestesia regional bekerja dengan menghilangkan rasa sakit atau sensasi pada
daerah tertentu dari tubuh. Cara bekerjanya dengan mem-blok proses konduksi pada saraf 
 perifer jaringan tubuh, yang sifatnya sementara (reversible). Obat anesthesia regional
dikatakan baik, jika bekerja reversible sempurna, bebas dari iritasi lokal, mempunyai

72
 potensi yang tinggi, bila diberikan secara topical effeknya regional. Mempunyai toksisitas
sistemik minimal, mudah dimetabolisme dan stabil selama penyimpanan dan sterilisasi.

Sifat-sifat suatu obat anestesi regional

Sifat obat anestesi regional tergantung pada, kelarutannya dalam lemak, ikatan dengan
 protein, pKa, diffusi pada jaringan, dan efek vasodilatasi.

Kelarutan dalam lemak 

Potensi dari obat anestesia regional ditentukan oleh kelarutannya dalam lemak. Kelarutan
suatu zat dalam lemak, ditandai dengan “partition coefficient”. Makin tinggi partition
coefficient obat anestesia regional, makin tinggi daya hambat konduksi akibatnya
konsentrasi yang rendah, sudah mampu menghambat konduksi saraf. Procain mempunyai
 partition coefficient kurang dari satu, sedangkan Bupivacaine, Etidocain dan Tetracain
 partition coefficientnya antara 30-40.

Ikatan dengan protein

Ikatan dengan protein obat anestesi regional berhubungan dengan lama kerjanya, semakin
tinggi kemampuan ikatan proteinnya, makin lama kerjanya, atau sebaliknya. Procain
mempunyai ikatan protein yang lemah, sedangkan Bupivacain mempunyai ikatan protein
yang kuat. Hubungan antara ikatan protein dan lama kerja obat anestesia regional
disebabkan oleh karena dinding sel saraf mengandung kurang lebih 10% protein.

pKa

 pKa suatu kimia dapat diartikan sebagai pH, dimana jumlah zat yang berionisasi dan
yang tidak berionisasi dalam keadaan seimbang. Bentuk basa yang tidak bermuatan dari
obat anestesia regional berperan aktif dalam menghambat konduksi saraf. Bentuk basalah
yang dapat menembus dinding sel masuk kedalam sel saraf. Dimulainya efek analgesia
obat anestesi regional tergantung dan banyaknya bentuk basa yang terbentuk dalam suatu
larutan, pada saat obat tersebut disuntikkan ke dalam jaringan tubuh yang pHnya sekitar 
7,4. Pada dasarnya jumlah bentuk basa yang akan terbentuk berbanding terbalik dengan
 pKa suatu obat anestesia regional. Lidocain yang memiliki pKa 7,74, bila disuntikkan ke
dalam tubuh yang pH nya 7,4, maka 35% zat tersebut dalarn bentuk basa.Semakin tinggi

73
 pKa nya, semakin lambat onset analgesinya. Jadi obat anestesi regional yang mempunyai
 pKa mendekati pH tubuh, dimulainya efek analgesi akan lebih cepat.

Diffusi pada jaringan

Obat lokal anestesi sebelum mencapai saraf harus berdiffusi melalui jaringan ikat
disekitarnya. Lidocain dan Prilocain mempunyai pKa yang sama, tetapi pada keadaan
sebetulnya dimulainya efek analgesia Lidocain lebih cepat dan pada Prilocain.

Efek vasodilatasi

Potensi serta lama kerja obat lokal anestesi tergantung dan banyaknya obat tersebut yang
 berdiffusi ke dalam reseptor nyeri yang ada pada dinding saraf setelah penyuntikan,
sebagian obat akan berdiffusi ke dalam saraf dan sebagian lagi absorbsi pembuluh darah.
Kecepatan absorbsi ini tergantung dari vaskularisasi daerah yang disuntik. Semua obat
lokal anestesi bersifat vasodilator, kecuali cocain. Potensi analgesia Mepivacain sama
dengan Lidocain, tetapi lama kerja Mepivacain lebih panjang, hal ini menunjukkan effek 
vasodilator Lidocain lebih besar dan pada Mepivacain, sehingga absorbsinya lebih cepat
dan hanya sebagian kecil saja menetap pada saraf.

Absorbsi

Konsentrasi obat anestesi regional dalam darah ditentukan oleh kecepatan absorbsi dari
tempat dimana disuntikkan, distribusi ke dalam jaringan dan metabolisme dan ekskresi.
Faktor umur, status kardiovaskuler dan fungsi hati juga ikut berperan dalam menentukan
konsentrasi obat lokal anestesi dalam darah. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi
dan potensi suatu obat anestesia regional adalah tempat penyuntikan, dosis, penambahan
obat vasokonstriktor dan sifat-sifat obat itu sendiri.

Tempat penyuntikan

Absorpsi daerah interkostal paling mudah, diikuti ruang epidural di lumbal, pleksus
 brakhialis dan jaringan subkutis. Pemberian topikal intra-trakheal efeknya jauh lebih
mudah di banding dengan pemberian nasal, urethra atau buli-buli. Oleh karena itu
 pembenian intra-trakheal lebih mudah menimbulkan intoksikasi. Untuk prosedur intubasi,
 pemberian Lidocain intra-trakheal sampai 100-200 mg masih dianggap aman.

Dosis

74
Pada dasarnya, konsentrasi dalam darah berbanding lurus dengan dosis total. Lidocain
200 mg disuntikkan ke dalam ruang epidural lumbal, maka konsentrasi dalam darah rata-
rata 1.5 Ug/ml dan jika dinaikkan menjadi 600mg, konsentrasinya akan naik pula menjadi
4 Ug/ml. Gejala intoksikasi akan timbul bila konsentrasi Lidocain dalam darah lebih dari
7 Ug/ml

Penambahan obat vaskonstriktor

Adrenalin sebagai obat vasokonstriktor, akan memperpanjang lama kerja obat anestesi
regional. Penambahan adrenalin dengan perbandingan 1 : 200.000 akan mengurangi
kecepatan absorbsi, sehingga kemungkinan terjadinya intoksikasi berkurang.

Sifat-sifat obat anestesi regional

Meskipun obat anestesi regional mempunyai potensi analgesia yang sama, namun derajat
absorbsinya beda. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan aktivitas
vasodilatornya dan kelarutannya dalam lemak dari masing-masing obat.

Distribusi

Obat anestesi regional mengalami distribusi ke seluruh jaringan tubuh, namun


konsentrasinya tidak sama untuk jaringan tertentu. Secara umum konsentrasinya akan
lebih tinggi pada organ yang vaskularisasinya banyak.

Metabolisme dan ekskresi

Metabolisme obat lokal anestesi tergantung dari struktur kimianya . Obat-obat dari
golongan ester akan mengalami hidrolisa dalam plasma oleh enzim pseudokholin-
esterase, sedangkan obat dari golongan amide akan mengalami metabolisme di hati.
Kecepatan metabolisme dapat berbeda, meskipun memiliki struktur kimia yang sama.
Procain akan lebih cepat dihidrolisa dan pada tetracain (keduanya dan golongan ester),
sehingga procain kurang toksis dibanding tetracain. Ekskresi procain, kurang dari 2%
ditemukan dalam urine dalam bentuk utuh, 90% dalam bentuk PABA dan sisanya dalam
 bentuk dietile-ethanol. Metabolisme dan golongan amide jauh lebih kompleks.

75
Toksisitas Obat Anestesi Regional

Obat anestesi regional, bila diberikan dengan dosis dan tempat lokasi yang tepat,
merupakan obat yang cukup aman. Intoksikasi akan terjadi bila secara tidak sengaja
masuk ke dalam intra vaskuler atau melebihi dosis maksimal. Gejala intoksikasi berupa
adanya gejala sistemik yaitu eksitasi, depresi susunan syaraf pusat, hipertensi, hipotensi
sampai dengan henti jantung dan pada gejala lokal adanya kerusakan syaraf dan otot.
Pada pemberian prilokain dapat tejadi methaemoglobine atau adiksi pada pemberian
kokain, Reaksi alergi juga dapat terjadi pada pemberian obat anestesi regional. Apabila
obat tersebut masuk ke dalam intra-vaskuler, gejala intoksikasi akan timbul kurang lebih
dari 5 menit, sedangkan pada pemberian infiltrasi atau epidural, gejala akan timbul
setelah 20 menit.

Pengelolaan Intoksikasi

Bila terjadi intoksikasi obat anestesi regional dapat menimbulkan kematian yang
mendadak, oleh karena itu pengelolaannya harus cepat dan tepat. Obat-obat darurat dan
sarana resusitasi barus tersedia dan siap pakal. Penguasaan resusitasi kardio-pulmoner 
mutlak diperlukan. Tindakan yang harus segera dilakukan pada intoksikasi adalah :
menhentikan konvulsi dengan obat anti konvulsan, misalnya tiopental atau dengan
suksinil kholin 50-100mg i.v. Tindakan tersebut diatas akan diikuti dengan terjadinya
apnea, sehingga mutlak perlu dilakukan pernafasan buatan.

Apabila terjadi hipotensi, diberikan vasopressor, misalnya aphedrin 5-15 mg i.v. dan bila
henti jantung, lakukan resusitasi kardio-pulmoner.

Untuk menghindari tejadinya intosikasi, gunakan dosis yang dianjurkan, sebelum obat
disuntikkan lakukan aspirasi dulu, untuk meyakinkan bahwa jarum tidak berada dalam
 pembuluh darah, lakukan test-dose, sebelum obat disuntikkan, bila diperlukan jumlah
obat yang banyak, pilihlah obat yang paling kurang toksis, penambahan vasokonstriktor 
adrenalin, pengukuran harus dengan semprit, tidak boleh dengan tetesan dan penyuntikan
dosis penuh, harus tetap perlahan lahan. Pasien tetap diawasi dengan ketat selama

76
 beberapa waktu, setelah selesai penyuntikan untuk mengetahui timbulnya komplikasi
yang lambat.

Dosis, Hubungannya Dengan Lokasi Pemberian

Dibawah ini dicantumkan dosis maksimal, sesuai penggunaannya.

Tabel 1. Untuk penggunaan inflitrasi dan epidural

Jenis obat Konsentrasi Lama kerja Dosis maks


Procain 2–4% 0,5 jam 1000 mg
Lidocain 1–4% 1 – 2 jam 500 mg
Mepivacain 1–2% 1 – 2 jam 500 mg
Tetracain 0,1 – 0,25 % 2 – 3 jam 75 mg
Bupivacain 0,5 – 0,75 % 5 – 7 jam 200 mg
Etidocain 0, 5 – 1 % 4 – 6 jam 300 mg

Tabel 2. Untuk penggunaan topical/spray

Jenis obat Konsenttrasi Lama kerja Dosis maks


Cocain 4% 30 menit 250 mg
Lidocain 2–4% 15 menit 200 mg
Tetracain 0, 5 % 45 manit 50 mg

Pembagian Obat Anestesi Regional

Ada dua golongan besar obat anestesia regional, yaitu golongan ESTER  dan golongan
AMIDE. Diseb
Disebut
ut ester
ester bila
bila terjad
terjadii hubunga
hubungan
n Amino-e
Amino-este
sterr antara
antara gugusan
gugusan aromat
aromatik 
ik 
dengan rantai intermediate. Disebut amide bila terjadi hubungan Amino-amide antara
gugusan aromatik dengan rantai intermediate.

Gambar 

77
Perbedaan antara bentuk ester dan amide terletak pada, tempat dimana ia dimetabolisme
dan potensi allerginya. Golongan ester akan dihidrolisa dalam plasma oleh enzim pseudo-
cholin
choline-es
e-ester
terase
ase,, sedangk
sedangkan
an golonga
golongan
n amide
amide dimetab
dimetaboli
olisir
sir dalam
dalam hati.
hati. PABA
PABA (Para
(Para
Amino Benzoic Acid) merupakan salah satu hasil hidrolisa dari golongan ester. PABA
inilah yang sering menimbulkan reaksi allergi. Sedangkan metabolisme golongan amide
tidak menghasilkan PABA, sehingga jarang menimbulkan reaksi allergi.

Yang termasuk golongan ester adalah : Cocaine, Procaine, Chioroprocaine, Tetracaine.


Golongan amide meliputi : Dibucaine, Lidocaine, Mepivacaine, Prilocaine, Bupivacaine,
Etidocaine

Procaine

Setelah bertahun-tahun mencoba sintesa bermacam-macam ester, Einhorn pada tahun


1904 menemukan Procaine, sebuah ester di-ethyl amino ethanol dan p-amino benzoic
acid. Procaine-HCI secara topical aktifitasnya kurang, tetapi telah digunakan secara luas,
oleh karena toksisitas sistemik minimal, iritasi local sedikit, sterilisasinya mudah, lama
kerjany
kerjanyaa pendek
pendek dan murah.
murah. Kurangn
Kurangnya
ya toksis
toksisit
itas
as sistem
sistemik
ik dan lama
lama kerjany
kerjanyaa yang
yang
 pendek tersebut akibat dihidrolisa dengan cepat oleh pseudochline-esterase. Procaine
kurang banyak digunakan oleh karena kalah bersaing dengan golongan amide.

Lidocaine

Lidocain-HCl (Xylocaine), derivat acetanilide, diperkenalkan oleh Lofgren pada tahun


1948. Keuntungan utama Lidocaine adalah mulainya cepat, bebas iritasi lokal. Sebagian
obat dimetabolisir dimikrosome hepar dan sebagian lagi dikeluarkan melalui urine dalam
 bentuk yang tidak berubah Obat ini dua kali lebih toksis dan pada procaine. Untuk 
injeksi,
injeksi, digunakan
digunakan konsentrasi
konsentrasi 0,5-2,0%, sedangkan
sedangkan untuk topical
topical anestesi
anestesi digunakan
digunakan
konsentrasi 4%. Dosis maksimal yang diberikan tanpa obat vasokonstriktor (adrenalin)
adalah 3 mg/kg berat badan dan 7 mg/kg berat badan bila dengan adrenalin. Lidocaine
dikatakan bebas dari reaksi allergi, sehingga dipakai sebagai pengganti golongan ester 
 bila allergi terhadap golongan ester.

Mepivacaine

78
Mepivacaine
Mepivacaine-HCI
-HCI (Carbocaine
(Carbocaine)) bekerjanya
bekerjanya sama cepat seperti
seperti Lidocaine,
Lidocaine, tetapi
tetapi lama
kerjanya lebih lama 20%. Atas dasar ini tidak diperlukan penambahan adrenalin pada
 blok saraf. Konsentrasi
K onsentrasi yang dianjurkan adalab 1 - 4% untuk injeksi dan anestesi topical,
dengan
dengan dosis
dosis maksim
maksimal
al 500 mg. Meskip
Meskipun
un iritas
iritasii jaring
jaringan
an minim
minimal,
al, obat
obat ini tidak 
tidak 
digunakan untuk anestesi spinal.

Bupivacaine

Bupivacaine-HCI (Marcaine) disintesa tahun 1975 oleh Ekenstam, merupakan derivat


anilide. Obat ini lebih kuat dan lebih lama kerjanya dibandingkan dengan Lidocaine atau
Mepivacaine. Digunakan dalam konsentrasi 0,25 - 0,75%. Jumlah total untuk satu kali
 pemberian maksimal 200-500 mg. Pada konsentrasi rendah, blok motorik kurang
adekwat.
adekwat. Untuk operasi abdominal,
abdominal, dipenlukan
dipenlukan konsentrasi
konsentrasi 0,75%. Onset anestesi lebih
lambat dan pada Lidocaine atau Mepivacaine, tetapi lama kerjanya 2-3 kali lebih lama.

Rangkuman

Obat
Obat aneste
anestesi
si region
regional
al merupak
merupakan
an obat yang bila
bila sudah
sudah masuk
masuk didala
didalam
m tubuh
tubuh harus
harus
ditunggu sampai dilakukan metabolisme, sehingga pilihan obat harus disesuaikan dengan
macam
macam tind
tindak
akan
an oper
operas
asii dan
dan lama
lamany
nya.
a. Dosi
Dosiss denga
dengan
n vasoko
vasokons
nstr
trik
ikto
torr atau
atau tanp
tanpaa
vasokonstriktor yang diberikan harus dperhitungkan dengan berat badan pasien untuk 
menghindari intoksikasi

Bahan Bacaan

1. Dripps
Dripps R.D., EkkenhoffJ.E
EkkenhoffJ.E.,
., Vandam L.D., Introdu
Introduction
ction to
to Anestesia.
Anestesia.

7th edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia- London Toronto, 1988

Halaman : 211 - 222,

2. C. Edwar
Edward
d Morgan
Morgan,Jr
,Jr.,
., Maged
Maged S.
S. Mikhai
Mikhaill

79
Clinical Anesthesiology

Second edition a Lange Medical Book. 1996

Halaman: 193 - 200



Terapi Cairan Pengganti Perdarahan

Pendahuluan
Perdarahan dan hemorrhagic shock merupakan salah satu penyulit selama anestesi dan
 pasca bedah dini. Perdarahan dapat ditolong dengan memberikan larutan Ringer Laktat
atau Normal Saline dalam jumlah besar. Lahir istilah “Hemodilusi” karena selama darah
yang hilang diganti cairan, terjadilah pengenceran darah dan unsur-unsurnya. Hemodilusi
 bukan keadaan fisiologik, tetapi sesuatu yang berguna untuk menyelamatkan penderita
dengan perdarahan hebat. Darah diberikan pada saat yang tepat sehingga tidak terjadi hal-
hal yang tidak diinginkan.

Dasar-dasar pemikiran
Pasien yang berdarah, menghadapi dua masalah yaitu berapa sisa darah yang beredar dan
 berapa sisa eritrosit untuk mengangkut oksigen ke jaringan.

80
Volume darah
Bila volume darah hilang 1/3, pasien akan meninggal dalam beberapa jam. Penyebab
kematian adalah shock progresif yang menyebabkan hipoksia jaringan.
Hipovolemia menyebabkan beberapa perubahan :
a. Vasokonstriksi organ sekunder (viscera, otot, kulit) untuk menyelamatkan organ
 primer (otak, jantung) dengan aliran darah yang tersisa.
 b. Vasokonstriksi menyebabkan hipoksia jaringan, terjadi metabolisme anaerobbic
dengan produksi asam laktat yang menyebabkan lactic acidosis.
c. Lactic acidosis menyebabkan perubahan-perubahan sekunder sehingga terjadi
kerusakan merata.
d. Pergeseran kompartemen cairan. Kehilangan darah dari intravaskuler sampai 10%
EBV tidak mengganggu volume sebesar yang hilang. Tetapi kehilangan lebih dari
25% atau bila terjadi shock/hipotensi maka sekaligus kompartemen interstitial dan
intrasel ikut terganggu. Bila dalam terapi hanya diberikan sejumlah kehilangan
 plasma volume (intravaskuler), pasien masih mengalami defisit yang
menyebabkan shocknya irreversible dan berakhir kematian.
Eritrosit untuk transportasi oksigen
Dalam keadaan normal, jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan adalah :
Cardiac output x Saturasi O2 x Hb x 1,34 + CO pO2 x 0,003
Kalau unsur CO x pO2 x 0,003 karena kecil diabaikan, maka tampak bahwa persediaan
oksigen untuk jaringan tergantung pada cardiac output, saturasi dan kadar Hb. Karena
kebutuhan oksigen tubuh tidak dapat dikurangi kecuali dengan hipotermia dan anestesia
dalam, maka jika eritrosit hilang, total Hb berkurang, cardiac output harus naik agar 
 penyediaan oksigen jaringan tidak terganggu. Orang normal dapat menaikkan cardiac
output tiga kali normal dengan cepat, asalkan volume sirkulasi cukup (normovolemia).
Faktor Hb dan Saturasi jelas tidak dapat naik. Hipovolemia akan mematahkan
kompensasi cardiac output. Dengan mengembalikan volume darah yang telah hilang yang
telah hilang dengan apa saja asal segera normovolemia, CO akan mampu berkompensasi.
Jika Hb turun sampai tinggal 1/3. tetapi CO dapat naik sampai tiga kali, maka penyediaan

81
oksigen ke jaringan masih tetap normal. Pengembalian volume, mutlak diprioritaskan
daripada pengembalian eritrosit.

Cara mengatasi perdarahan

82
Pasien datang dengan perdarahan

Pasang infus jarum besar  Catat tekanan darah, nadi


Ambil sample darah Perfusi, (produksi urine)

Ringer laktat atau NaCl 0,9%


20 ml/kg BB cepat  ulangi
1000 – 2000 ml dalam 1 jam

Hemodinamik baik  Hemodinamik buruk 


Tekanan sistolik > 100 mmHg,
nadi >100, perfusi hangat, kering
Urine > ½ ml/kg/jam Teruskan cairan
2 -4 x EBV

Hemodinamik buruk Hemodinamik baik  

A B C

Pada Kasus A, infus dilambatkan dan biasanya transfusi tidak diperlukan. Pada kasus B,
 jika Hb < 8 gr% atau hematokrit < 25%, transfusi sebaiknya diberikan. Tetapi seandainya
akan dilakukan pembedahan untuk menghentikan suatu perdarahan, transfusi dapat
ditunda sebentar sampai sumber perdarahan dapat dikuasai. Pada kasus C, transfusi harus
segera diberikan. Ada tiga kemungkinan penyebab yaitu perdarahan masih berlangsung
terus (continuing loss), shock terlalu berat, hipoksia jaringan terlalu lama dan anemia
terlau berat.
Pada 1 – 2 jam pertama, kalau diukur Hb atau hematokrit, hasil yang diperoleh mungkin
masih “normal”. Harga Hb yang benar adalah yang diukur setelah pasien kembali
normovolemik dengan pemberian cairan. Pasien didalam keadaan anestesi, dengan nafas
 buatan atau dengan hipotermia, dapat mentolerir hematokrit 10 – 15%. Tetapi pada
 pasien biasa yang sadar, nafas sendiri, memerlukan Hb 8gr% atau lebih agar cadangan
kompensasinya tidak terkuras habis.
Jumlah cairan

83
Lebih dahulu dihitung Estimated Blood Volume pasien, yaitu 65 – 70 ml/kg BB.
Kehilangan sampai 10% EBV dapat ditolerir dengan baik. Kehilangan 10% - 30% EBV
memerlukan cairan lebih banyak dan lebih cepat. Kehilangan 30% - 50% EBV masih
dapat ditunjang untuk sementara dengan cairan saja sampai darah transfusi tersedia. Total
volume cairan yang dibutuhkan pada kehilangan > 10% EBV berkisar antara 2 – 4 kali
volume yang hilang.
Perkiraan volume darah yang hilang dilakukan dengan kriteria Trauma Status dari
Giesecke. Dalam waktu 30 60 menit setelah pemberian, cairan Ringer laktat akan
meresap keluar vaskuler menuju interstitial. Demikian sampai terjadi keseimbangan baru
antara plasma volume (IVF) dan ISF. Ekspansi ISF ini merupakan “interstitial edema”
yang tidak berbahaya. Bahaya edema paru-paru dan edema otak dapat terjadi jika semula
organ-organ tersebut telah terkena trauma. 24 jam kemudian akan terjadi diuresis
spontan. Jika keadaan terpaksa, diuresis dapat dipercepat lebih awal dengan furosemide
setelah transfusi diberikan.

Trauma Status dari Giesecke

TANDA TS I TS II TS III
Sesak nafas - Ringan Berat
Takanan darah N Turun Tak terukur  
 Nadi Cepat Sangat cepat Tak teraba
Urine N Oliguria Anuria
Kesadaran N Disorientasi ↓/coma
Gas darah N pO2↓/pCO2↓ pO2↓/pCO2↓↓
CVP N Rendah Sangat rendah
Blood loss % EBV < 10% 10% - 30% 30% - 50%

Macam Cairan
Ada 4 pilihan pokok yang bertahun-tahun menjadi perbantahan sengit
a. Transfusi darah
Ini adalah pilihan pokok kalau donor yang cocok ada. Hemodilusi dengan cairan tidak 
 bertujuan meniadakan transfusi, tetapi mempertahankan hemodinamik dan perfusi

84
yang baik sementara darah donor belum tersedia, menghemat jumlah darah donor 
yang perlu ditransfusikan dan memberikan koreksi ECF defisit. Bila darah golongan
yang sesuai tidak tersedia, dapat digunakan donor universal yaitu golongan dengan
titer anti A rendah (Rh negatif) atau Packed Red Cell golongan O. Sebaiknya darah
universal ini selalu tersedia di UGD.
b. Plasma expander
Cairan koloid ini mempunyai nilai oncotic yang tinggi (dextran, gelatin, hydroxy-
ethyl starch) sehingga mempunyai volume-effect lebih baik dan tinggal lebih lama di
intravaskuler. Sayang ECF defisit tidak dapat dikoreksi oleh plasma expander. Selain
itu harga plasma expander adalah 10X lebih mahal daripada cairan kristaloid. Reaksi
anaphylactoid dapat terjadi baik karena dextran maupun gelatin (0,03 – 0,08
 pemberian). Reaksi ini dapat berakhir fatal. Dextran juga menyebabkan gangguan
 pada cross match darah dan pada dosis lebih dari 10 – 15 ml/kg BB akan
menyebabkan gangguan pembekuan darah.
c. Albumin
Albumin 5% atau Plasma Protein Fraction adalah alternatif yang baik dari segi
volume effect. Tetapi harganya adalah 70x harga cairan kristaloid untuk volume
effect yang sama.
d. Ringer Laktat atau NaCl 0,9%
Cairan ini paling mirip komposisinya dengan cairan ECF. Meskipun pemberian infusi
IVF diikuti perembesan, namun akhirnya tercapai keseimbangan juga setelah ISF
 jenuh. Cairan lain seperti Dextrose 0,45% NaCl tidak dapat digunakan.

Penyulit
Penyulit akibat pemberian cairan dapat terjadi pada jantungnya sendiri, pada proses
metabolisme atau pada paru.

Dekompensasi jantung
Dekompensasi ditandai oleh kenaikkan PCWP (Pulmonary Capillary Wedge Pressure).
Bahaya terjadinya dekompensasi jantung sangat kecil, kecuali pada jantung yang sudah

85
sakit sebelumnya. Pada pemberian colloid dapat mengalami kenaikkan PCWP 50% yang
 potensial akan mengalami dekompensasi jantung.

Edema paru-paru
Adanya edema paru-paru dapat dinilai antara lain dengan meningkatnya rasio Qs/Qt.
Pemberian colloid yang diharapkan tidak merembes keluar IVF ternyata mengalami
kenaikkan Qs/Qt yang sama yaitu 16 ± 1%. Akibat pengenceran darah, terjadi transient
hypoalbuminemia 2,5 ± 0,1 mg% dari harga sebelunya sebesar 3,5 ± 0,1 mg%.
Penurunan albumin ini diikuti penurunan tekanan oncotic plasma dari 21 ± 0,4 menjadi
13 ± 1.0. Penurunan selisih tekanan COP – PCWP dari nilai sebelumnya tidak selalu
menyebabkan edema. Giesecke memberi batasan bahwa kadar albumin terendah yang
masih aman adalah 2,5 mg%. Kalau albumin perlu dinaikkan, pemberian infus albumin
20 – 25% dapat diberikan dengan tetesan lambat 100 ml/2 jam. Dosis ini akan menaikkan
kadar 0,25 – 0,50 gm%.
Jika masih terjadi edema paru-paru, diberikan furosemide 1 – 2 mg/kg BB. Gejala sesak 
nafas akan berkurang setelah urine keluar 1000 – 2000 ml. Lakukan digitalisasi atau
 berikan dopamine drip 5 – 10 microgram/kg/menit. Sebagai terapi simtomatik berikan
oksigen, atau bila diperlukan mendesak lakukan nafas buatan + PEEP. Incidence
 pulmonary insuffisiency post resusitasi cairan adalah 2,1%.

Lactic acidosis
Pemberian Ringer Laktat tidak menambah buruk acidosis lactat karena shock. Lactat
diubah hepar menjadi bicarbonate yang menetralisir metabolic acidosis apda shock.
Perbaikkan sirkulasi akibat pemberian volume justru menurunkan kadar laktat darah
karena perbaikkan transport oksigen ke jaringan (metabolisme aerobik bertambah).

Gangguan hemostasis
Gangguan karena pengenceran ini mungkin terjadi jika hemodilusi sudah mencapai 1,5 x
EBV. Faktor pembekuan yang terganggu adalah thrombocyt. Pemberian Fresh Frozen
Plasma tidak berguna karena tidak mengandung thrombocyt, sedang faktor V dan VIII

86
dibutuhkan dalam jumlah sedikit (5 – 30% normal). Thrombocyt dapat diberikan sebagai
fresh blood, platelet rich plasma atau thrombocyt concetrate dengan masa simpan kurang
6 jam jika suhu 4oC. Untuk hemostasis yang baik diperlukan kadar thrombocyt 100.000
 per mm3. Dextran juga dapat menimbulkan gangguan jika dosis melebihi 10 ml/kg BB.

Rangkuman
Ringer Laktat atau NaCl 0,9% selain harganya murah, tersedia dengan mudah sampai ke
tingkat Puskesmas, tanpa perlu cross match, tanpa reaksi allergi, wktu simpan tak 
terbatas, tidak perlu lemari es, dan dapat menyelamatkan nyawa dengan pasti. Dengan
kemasan botol plastik, paket-paket cairan ini dapat didrop dengan cepat dari helikopter 
dan langsung digunakan untuk stabilisasi korban, dimanapun dia berada.
Jika pedoman-pedoman pemberian cairan diikuti, pemberian cairan berlebih sekalipun
tidak mudah menyebabkan kematian, prosesnya jauh lebih lama daripada proses shock 
 perdarahan. Sehingga kita cukup waktu untuk melakukan koreksi terhadap penyulit yang
mengancam jiwa tersebut.

Bahan Bacaan
1. Dripps R.D., Ekkenhoff J.E., Vandam L.D.
Introduction to Anesthesia
7th edition. W.B. Sauders Company. Philadelphia-London-Toronto, 1998
Halaman : 259 – 292
2. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail
Clinical Anesthesiology
Second edition a Lange Medical Book, 1996
Halaman : 543 – 574


Patofisiologi Cairan Tubuh Pada Trauma dan Perdarahan

Pendahuluan

87
Tugas peredaran darah yang sangat penting adalah oksigenasi jaringan. Bila oksigen tidak 
cukup (hipoksia/anoksia), glukosa hanya dapat dipecah menjadi asam laktat. Ini berakibat
asam laktat naik berlebihan. Pada shock akan mengakibatkan angka kematian yang
tinggi. Cara lain untuk menentukan hipoksia adalah dengan mengukur pemakaian oksigen
dalam semenit (oxygen consumption). Turunnya pemakaian oksigen berarti terjadinya
hipoksia. Peredaran darah yang baik berarti oksigenasi jaringan baik. Perfusi yang baik 
memerlukan cardiac output yang baik. Cardiac output yang baik, menimbulkan tensi yang
“baik”.
Kesalahan pemikiran yang sering terjadi adalah pembalikan jalan pikiran diatas : apabila
tensi tinggi maka peredaran darah pasti baik. Ini tidak selamanya benar. Sebagai contoh
ialah apa yang terjadi sebagai akibat pemberian obat vasokonstriksi (vasopresor) yang
kuat noradrenalin, pembuluh darah mengalami vasokonstriksi hebat sehingga tensi naik.
Tetapi jantung mengalami kesukaran memompa darah keluar sehingga cardiac output
turun. Akibatnya perfusi turun dan oksigenasi jaringan juga turun. Memperbaiki
 peredaran darah berarti mengusahakan baiknya oksigenasi, baiknya perfusi, baiknya
cardiac output, bukan hanya sekedar menaikkan tensi. Meskipun yang kita ukur sehari-
hari adalah hanyalah tensi, namun pada setiap pengukuran harus kita tanyakan “dalam
hati” apakah pada tensi ini perfusi jaringan juga baik atau tidak.

Perubahan-perubahan sesudah perdarahan


Setelah terjadi perdarahan, akan akan terjadi perubahan-perubahan dalam tubuh menurut
 pola tertentu yang dapat dibagi menjadi tiga tahap : tahap vasokonstriksi, tahap
hemodilusi dan tahap produksi eritrosit
Tahap vasokonstriksi terjadi setelah perdarahan. Pada tahap ini perfusi organ vital (otak 
dan jantung) dipertahankan dengan mengorbankan perfusi organ lain, untuk menghindari
kematian. Menyusul tahap hemodilusi dimana volume darah kembali normal. Oksigenasi
 jaringan dicukupi dengan menaikkan cardiac output dan menambah ekstraksi oksigen.
Tahap terakhir adalah produksi eritrosit, untuk mengembalikan daya angkut oksigen
darah kembali normal.
Tahap Vasokonstriksi
Cara terjadinya dan akibatnya :

88
Tahap vasokonstriksi terjadi segera setelah perdarahan. “Personal” bagi tubuh pada waktu
ini adalah bagaimana mengatur cardiac output yang turun karena berkurangnya volume
darah untuk tetap hidup.
Rentetan kejadian yang menimbulkan vasokonstriksi ini adalah sebagai berikut : terjadi

 perdarahan  volume darah turun  cardiac output turun  tensi turun  baroreseptor 

 pada arteri dan pembuluh darah besar terangsang  terjadi refleks yang berakibat
timbulnya pacuan pada susunan syaraf simpatik dan dikeluarkannya catecholamine

(adrenalin dan nor-adrenalin) oleh kelenjar adrenalin  terjadilah vasokonstriksi.


Vasokonstriksi ini pada berbagai bagian pembuluh darah mempunyai akibat yang
 berbeda. Pada sistem vena, vasokonstriksi menyebabkan terjadinya penyesuaian yang
 paling besar antara kapasitas pembuluh darah yang tinggal. Seolah-olah darah “diperas”
dari vena ke jantung sehingga cardiac output tidak turun banyak.
Hal ini terjadi karena dalam keadaan normal 75% dari volume darah ada di sistem vena.
Andaikata vasokonstriksi ini tidak terjadi, volume darah yang ketinggalan sebagian besar 
akan akan tertimbun di vena, darah yang balik ke jantung sangat kurang, cardiac output
akan sangat turun.
Pada sistem arteri, vasokontriksi tidak terjadi merata. Arteri untuk ke jantung dan otak 
kurang peka terhadap pengaruh syaraf simpatis dan catecholamine. Disitu tidak terjadi
vasokonstriksi. Arteri untuk ginjal, otot, kulit, usus dan hati sebaliknya sangat peka
terhadap pengaruh syaraf simpatis dan catecholamine. Disini vasokonstriksi terjadi sangat
hebat. Hasilnya perfusi jantung dan otak relatif tidak berkurang, sedangkan perfusi ginjal,
hati dan lain-lain berkurang sangat banyak. Disamping itu akibat dari vasokonstriksi
secara menyeluruh adalah naiknya tahan perifer. Dengan demikian walaupun cardiac
output turun, tensi tidak banyak turun, ini menyebabkan perfusi otak dan jantung lebih
terjamin. Dengan singkat “logika” tubuh menghadapi turunnya cardiac output karena
 perdarahan ialah mempertahankan perfusi organ vital otak dan jantung, dan
“mengorbankan” perfusi organ “kelas dua” seperti ginjal dan lainya. Hal ini dinamakan
“ protective redistribution”.

Hubungan antara vasokonstriksi dan tanda-tanda shock 

89
Terjadinya vasokonstriksi dan naiknya kadar catecholamine menimbulkan tanda-tanda
yang khas pada shock karena perdarahan. Turunnya perfusi otot dan kulit menyebabkan
kaki dan tangan dingin dan pucat. Pengaruh catecholamine pada kelenjar keringat
menyebabkan berkeringat. Vasokonstriksi pada vena menyebabkan vena kempis.
Turunnya perfusi ginjal menimbulkan oliguria sampai anuria. Tanda-tanda tersebut diatas
dan tidak hanya rendah atau tingginya tensi menjadi petunjuk adanya shock. Sebaliknya
hilangnya gejala-gejala diatas, kaki dan tangan menjadi hangat dan kering, vena tampak 
kembali berisi, produksi urine menjadi normal 1 ml/kg/jam (pada orang dewasa) dapat
dipakai sebagai petunjuk berhasil tidaknya terapi. Tensi yang “baik” saja tidak dapat
digunakan sebagai ukuran hasil pengobatan.
Suatu hal yang perlu juga diingat ialah bahwa turunnya tensi tidak sebanding dengan
turunnya cardiac output. Pada binatang dengan perdarahan sebanyak 10% volume darah
(EBV) cardiac output turun sampai 21% sedang tensi hanya turun 7%. Bila volume darah
hilang sebesar 20%, cardiac output turun sampai 45% sedangkan tensi hanya turun 15%.
Di klinik ini berarti terapi pada perdarahan tidak boleh menunggu sampai tensi betul-
 betul turun, tetapi perlu melihat atau menduga jumlah darah yang hilang. Salah satu cara
adalah dengan sistem scoring.
Hal ini perlu diketahui ialah pada perdarahan akut, pada fase sebelum terjadi hemodilusi,
kadar hemoglobin tidak dapat digunakan sebagai ukuran jumlah darah yang hilang (Hb
 belum turun).
Tahap Hemodilusi
Pada tahap ini volume darah menjadi normal kembali karena naiknya volume plasma,
sedangkan jumlah eritrosit pada waktu itu belum kembali normal. Dalam hal ini terjadi
“pengenceran” darah (hemodilusi) dan kadar hemoglobin akan turun. Hemodilusi ini
tanpa pertolongan berjalan lambat, 24 – 48 jam, bahkan kadang-kadang lebih lama waktu
yang diperlukan untuk volume darah kembali menjadi normal. Dan mekanisme ini
menyebabkan volume darah menjadi pulih seperti semula.
Pertama, pada tahap vasokonstriksi karena kontraksi spincter ke kapiler, tekanan
hidrostatik dalam kapiler menurun. Tekanan onkotik relatif menjadi lebih kuat, cairan
ekstraseluler ekstravaskuler (ISF) “dihisap” masuk kedalam kapiler. Mekanisme yang
kedua adalah karena kerja ginjal. Turunnya volume darah merangsang reseptor pada

90
atrium yang kemudian menyebabkan dikeluarkannya ADH oleh hipofise. Disamping itu
turunya perfusi ginjal menimbulkan satu rantai peristiwa yang berakibat terangsangnya
aldosteron oleh kulit kelenjar adrenaline. ADH menyebabkan pengeluaran air oleh ginjal
dikurangi, aldosteroan menyebabkan pengeluaran natrium dikurangi. Ditahannya air dan
natrium yang beraal dari makanan dan minuman didalam tubuh oleh ginjal akhirnya
mengembalikan volume darah menjadi normal.
Hemodilusi ini berbeda dengan tahap vasokonstriksi, tidak mengurangi perfusi dan
oksigen jaringan. Karena itu tubuh dapat bertahan lama pada tahap ini.
Tahap Produksi Eritrosit
Produksi eritrosit menjadi sangat lambat, diperlukan 3 – 4 minggu sebelum jumlah
eritrosit kembali normal. Bahwa ini “tidak begitu merugikan” tubuh untuk “sekedar 
hidup”, pengalaman kita sehari-hari menunjukkan bagaimana pasien-pasien dengan
hemoglobin yang rendah (kadang-kadang < 5 gr%), dapat bertahan, kadang-kadang tanpa
keluhan yang berarti.
Pada percobaan dengan binatang dibuktikan bahwa batas keselamatan (margin of safety)
untuk eritrosit jauh lebih besar daripada untuk volume plasma. Mereka dapat hidup
dengan jumlah eritrosit 35% dari normal, akan tetapi akan mati apabila volume plasma
kurang dari 70% dari normal.

Persoalan di Klinik : Tahap Mana Yang Paling Baik Dibantu


Tahap Vasokonstriksi
Seperti diuraikan diatas dasar dari tahap ini adalah protective redistribution yaitu
mempertahankan perfusi organ vital dengan “mengorbankan” perfusi organ “kelas dua”.
Hanya pada perdarahan ringan (< 10% dari EBV) tahap vasokonstriksi ini tidak 
merugikan jaringan. Jika perdarahan > 10% dari EBV, perfusi dari jaringan-jaringan
tertentu selalu terganggu.
Dahulu dengan “membuat” tensi dipertahankan dengan obat-obat vasokonstriktor 
(vasopresor), tetapi dengan dengan pengertian baru bahwa perfusi lebih penting
dibandingkan dengan tensi maka pemberian vasokonstriktor akan lebih memperburuk 
keadaan. Lebih hebat lagi vasokonstriksi akan lebih mengurangi perfusi jaringan seperti
ginjal, hati dan lain-lainnya. Hal ini terbukti juga pada percobaan dengan binatang.

91
Lillehei mendapatkan bahwa pemberian vasokonstriktor pada hemorrhagic shock justru
mempercepat kematian anjing. Survival tidak bertahan baik. Pada autopsi didapatkan
necrose yang lebih luaspada organ-organ yang lebih banyak, dibandingkan pada golongan
yang tidak diberi vasokonstriktor.
Bell mengeluarkan darah anjing sehingga tensinya manjadi setengah dari harga normal.
Bila kemudian diberi vasokonstriktor sehingga tensinya kembali normal, ternyata bahwa
aliran darah ke ginjal malah turun lebih rendah daripada sebelum diberikan apa-apa.
Vasokonstriksi sendiri pada shock tanpa tambahan vasokonstriktor dalam waktu lama
dapat membahayakan tubuh. Pada anjing-anjing yang mengalami shock irreversibel, pada
golongan yang satu hanya diberi hanya dibantu dengan pemberian darah, plasma
expander atau cairan saja, mortalitasnya adalah 75%. Beberapa vasokonstriktor, seperti
noradrenaline dan metaraminol (aramine) walaupun pada orang sehat menyebabkan
naiknya tensi, tidak mempunyai pengaruh bahwa dapat menyebabkan turunnya cardiac
output. Pada umumnya apabila perdarahan sedemikian banyaknya sehingga cardiac
output turun menjadi ½ - 1/3 normal, kebanyakkan binatang percobaan akan mati.
Dari uraian diatas jelas bahwa membantu tahap vasokonstriksi dengan obat
vasokonstriktor tidak akan menolong penderita, bahkan dapat membahayakan.
Perlu diperhatikan bahwa pada shock karena perdarahan, vasokonstriktor tidak berguna.
Pada shock karena sebab yang lain, obat itu dapat sangat berguna.
Tahap Hemodilusi
Bagaimana kekurangan oksigen jaringan tidak terjadi
Berlawanan dengan tahap vasokonstriksi dimana oksigenasi jaringan terganggu, pada
tahap hemodilusi walaupun kadar hemoglobin turun perfusi dan oksigenasi jaringan dapat
dicukupi. Hal itu dapat terjadi karena adanya dua cara kompensasi.
Cara pertama adalah naiknya cardiac output. Dalam keadaan biasa darah arteri
mengandung 20 vol.% O2 (tiap 100 ml darah mengandung 20 ml O2). Darah vena berisi
15 vol.% O2. Jadi tiap 100 ml darah diambil 5 ml O2. kebutuhan O2 per menit adalah 250
ml. Cardiac output dapat dihitung yaitu 250/5 x 100 ml/menit yaitu 5 l/menit. Misalnya
karena turunnya kadar hemoglobin setelah perdarahan, darah arteri hanya mengandung
17,5 vol.% O2. Jadi tiap 100 ml darah hanya diambil 2,5 ml O2, bukan 5 ml O2 seperti

92
 biasanya. Kebutuhan O2 tiap menit akan dicapai dengan mudah dengan menaikkan
cardiac output menjadi 250/2,5 x 100 ml yaitu 10 l/menit.
Cara kompensasi yang lain ialah pengambilan O2 tetap 5 ml dari tiap-tiap 100 ml darah.
Dalam hal ini tidak perlu naik. Hanya darah vena kadar oksigennya turun dari normal
15% menjadi 12,5 vol.%. cara ini disebut penggunaan cadangan oksigen vena (venous
oxygen reserve). Pada orang dewasa yang sehat, pada waktu gerak badan misalnya
dengan mudah cardiac output dapat dinaikkan lima kali, sedangkan sedangkan
 pengambilan O2 darah dapat dinaikkan menjadi tiga kali lebih besar dari biasa. Karena itu
 jika perlu mereka itu dengan mudah dapat menanggung hemodilusi ini.
Mekanisme seperti diterangkan diatas menyebabkan tahap hemodilusi ini dapat dibantu
(dipercepat) dengan pemberian cairan dalam batas-batas tertentu tanpa menimbulkan
anoxia atau hypoxia jaringan.

Berapa batas hemodilusi akut yang dapat dilakukan


Dalam pelaksanaan hemodilusi ini dibantu dengan mengganti darah yang hilang dengan
cairan. Persoalan berikutnya adalah seberapa jauh penggantian perdarahan dengan cairan
ini dapat dilakukan, atau dengan kata lain sampai dimana hemodilusi akut ini dapat
dilaksanakan.
Rush dengan menggunakan larutan garam dan buffer, volume yang diberikan 4 kali
volume yang hilang, pada perdarahan yang meliputi 50% volume darah anjing,
mendapatkan survival jangka pendek sebesar 100%. Pada waktu itu hematokrit yang
tercatat adalah 16% (kira-kira sama dengan kadar hemoglobin 5 gr%).
Takaori dengan menggunakan larutan colloid (plasma expander) dextran 40,
mendapatkan pada perdarahan yang meliputi 80% volume darah anjing, survival jangka
 panjang sebesar 85%. Pada waktu itu kadar hemoglobin adalah 3 gr%. Hal ini yang
didapatkan pada penelitian itu adalah bahwa pada kadar hemoglobin dibawah 6% waktu
 perdarahan anjing (bleeding time) memanjang lebih dari 10 menit (normal 3 – 5 menit).
Angka-angka survival diatas sangat menyolok bila dibandingkan dengan laporan yang
menyatakan tanpa cairan perdarahan sebesar 39% volume darah anjing survivalnya hanya
50%.

93
Di klinik pemberian cairan pada penderita ini juga sudah dilakukan. Pada golongan
 penderita tertentu perdarahan 500 – 2000 ml dapat diganti dengan larutan crystalloid
dengan hasil yang baik. Jelas bahwa tahap hemodilusi ini dalam batas tertentu dapat
dibantu dengan pemberian cairan tanpa merugikan tubuh. Akan tetapi perlu juga diingat,
 jika hal ini dilakukan kelewat batas dapat berbahaya seperti terjadinya edema paru-paru.

Cairan Yang Mana Untuk Mengganti Perdarahan


Berdasarkan ada atau tidak adanya molekul besar didalamnya, ada dua macam cairan
yang dapat digunakan.
Cairan non colloid (crystalloid) dan cairan colloid (plasma expander). Cairan non colloid
adalah cairan yang tidak mengandung molekul-molekul besar, contoh yang dipakai
sehari-hari adalah larutan garam faali. Cairan ini apabila diberikan dalam waktu yang
singkat sebagian besar dari padanya akan keluar dari ruang intravaskuler (pembuluh
darah). Karena itu volume yang diberikan harus lebih banyak (2,5 – 4 kali) dari volume
darah yang hilang. Dengan demikian bagian yang tetap tinggal dalam ruang intravaskuler 
akan cukup banyak untuk mengganti volume darah yang hilang.
Cairan yang lain adalah colloid, yaitu cairan yang mengandung molekul-molekul besar 
yang dimaksudkan untuk berfungsi seperti albumin didalam darah. Cairan ini juga
disebut plasma expander. Sebagian besar dari volume yang diberikan dalam waktu yang
cukup lama akan tinggal dalam ruang intravaskuler. Karena itu volume yang diberikan
cukup sama dengan volume darah yang hilang.

Cairan non colloid (crystalloid)


Mudah dimengerti bahwa cairan yang paling baik untuk digunakan adalah cairan yang
susunannya mirip dengan cairan ekstraseluler. Pada waktu itu cairan yang umum
digunakan adalah larutan Ringer Laktat. Bila larutan ini tidak ada, larutan garam faal
(NaCl 0,9%) dapat digunakan. Idealnya cairan hanya digunakan pada perdarahan yang
tidak melebihi 15% volume darah penderita.
Cairan colloid (plasma expander)
Jika perdarahan sangat banyak sebaiknya dipakai plasma expander. Di Indonesia ada 3
macam plasma expander yang terdapat di pasaran, yaitu yang berisi Dextran, pecahan

94
gelatin (Haemaccel) dan Polyvinylpyrrolidone (PVP) (Periston, Subsotan, Plasmosan).
Rupanya plasma expander yang paling baik pada waktu ini adalah dari golongan pecahan
gelatin. Pada pemberian plasma expander volume yang diberikan cukup sama dengan
volume darah yang hilang.

Rangkuman
Patofisiologi perdarahan dan mekanisme tubuh untuk mengatasi keadaan tersebut,
mengakibatkan pemikiran kapan dan pasien mana yang diberikan cairan non colloid,
colloid dan darah.

Bahan Bacaan
1. Dripps R.D., Ekkenhoff J.E., Vandam L.D.,
Introduction to Anesthesia.
7th edition. W.B. Saunders Company. Philadelpia-London Toronto, 1988
Halaman : 389 – 402.



Terapi Cairan Pasca Bedah

Pendahuluan

95
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan salah satu segi yang menunjang
 berlangsungnya metabolisme tubuh dan kehidupan. Penyakit dasar, pembedahan dan
anestesi memberikan pengaruh besar dan menyebabkan perubahan-perubahan pada
keseimbangan cairan ini. Secara khusus dibicarakan masalah pasca bedah, dimana
keseimbangan cairan ini sangat berarti bagi proses penyembuhan dan pencegahan infeksi.
Terapi cairan meliputi : penggantian kehilangan cairan, memenuhi kebutuhan air,
elektrolit dan nutrisi, untuk membantu tubuh mendapatkan kembali keseimbangan yang
normal.
Dengan berkembangnya pelayanan kesehatan, semakin banyak tindakan pembedahan
dapat dilakukan dimana-mana, seyogyanya pengetahuan mengenai pengelolaan cairan
 pasca bedah ini bersama-sama kita kuasai.

Terapi Cairan Pada Kasus Bedah


Terapi cairan dilakukan sejak masa prabedah, untuk mengatasi keadaan syok karena
dehidrasi dan perdarahan dan mengganti sebagian dari dehidrasi sedang dan ringan.
Kekurangan cairan kerana persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement) harus
diperhitungkan, dan sedapat mungkin diganti pada masa prabedah.
Pada pasien-pasien yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang adekuat baik 
kualitatif maupun kuantitatif, terapi cairan dan nutrisi diberikan lebih dini lagi. Hidrasi
yang cukup ini diperlukan untuk menghadapi trauma anestesi dan pembedahan, yaitu
kehilangan-kehilangan yang disebabkan oleh perdarahan, edema jaringan karena
manipulasi dan penguapan dari cavum peritoneum. Pada laparotomy terapi cairan pasca
 bedah ditujukan untuk memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi, mengganti
kehilangan cairan pada masa pasca bedah (ciran lambung, febris), melanjutkan
 penggantian deficit prabedah dan selama pembedahan, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut.

Kebutuhan basal air dan elektrolit


Dalam keadaan normal, rata-rata pengeluaran air dan elektrolit seorang pasien dengan BB
50 kg, adalah sebagai berikut :

96
Tabel. Pengeluaran air dan elektrolit pasien berat badan 50 kg
Air Na K  
Urine 1500 cc 65 90
Pernafasan 1000 cc (700 cc/m2/24jam) - -
Penguapan 1500 cc (tropis) - -
Feces 100 cc 5 10

Di daerah tropis kehilangan cairan penguapan dapat mencapai 1500 cc/24 jam, hanya
terdiri dari air tanpa elektrolit. Keringat menambah kehilangan ini 300 – 600 cc/24 jam,
yang merupakan air dengan sejumlah kecil Na dan K. Sebaliknya, pemecahan jaringan
otot dan lemak karena puasa menghasilkan kurang lebih 400 cc air yang meningkat
sampai 1000 cc pada katabolisme yang cukup besar/sepsis.
Secara umum disimpulkan, kebutuhan air seorang pasien dengan BB 50 kg dalam
keadaan basal kurang lebih (3100 – 400) cc, yaitu 2700 cc/24 jam atau kurang lebih 50
cc/kg BB/24 jam.
Pada terapi cairan selama 2 – 3 hari saja, elektrolit yang diutamakan adalah Na dan K.
Kebutuhan Na 60 – 100 mEq/24 jam, Kalium 40 – 60 mEq/24 jam. Pada hari-hari
 pertama pasca bedah tidak dianjurkan penambahan K, karena adanya pengeluaran K dari
sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan transfusi darah (WB mengandung K 
kurang lebih 20 mEq/L), yang perlu diperhatikan adalah kenyataan bahwa stress
 pembedahan menyebabkan pelepasan aldosteron dan ADH sehingga terjadi
kecenderungan tubuh untuk menahan air dan Na. Pada orang tua dengan cardiac reserve
yang sempit sebaiknya pada permulaan terapi cairan hanya diberikan 2/3 dari kebutuhan
yang diperhitungkan. Berdasarkan pengamatan dan penilaian selanjutnya, jumlah cairan
dapat diatur kembali. Pada hari ke 2 – 5 pasca bedah, terjadi reabsorbsi kembali cairan
yang hilang ke “third space”. Penambahan yang tak tampak ini harus diperhitungkan
dalam evaluasi untuk pengaturan cairan.

Kalori
Pasien dengan keadaan umum baik dan trauma pembedahan yang minimal, pemberian
karbohidrat 100 – 150 gr sudah memadai. Jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan
sel-sel yang harus memakai glukosa sebagai sumber kalori, dan dapat menekan
 pemecahan protein sebanyak 50%. Pemberian kalori yang minimal ini berdasarkan

97
 pertimbangan mengenai kesulitan-kesulitan pemakaian cairan hipertonis, yang diperlukan
untuk mendapatkan jumlah asam amino dan kalori sesuai kebutuhan. Tersedianya larutan
asam amino 2,5% denga 150 gr karbohidrat merupakan suatu pilihan baru, karena dengan
osmolalitas dibawah 800 mOsm memungkinkan pemberian lewat vana perifer. Dilain
 pihak, penambahan asan amino ini dapat membuat “Nitrogen Balance” mendekati
keseimbangan.
Kebutuhan basal air, elektrolit dan kalori pasca bedah pasien dengan operasi herniotomy,
 berat badan 50 kg. Terapi cairan hari ke 0 pasca bedah dalam 24 jam adalah : air 2500
cc (50 x 50cc), Na 60 mEq, K 0 mEq dan kalori 100 gr glukosa.
Cairan 500 cc NS atau D5%NS dengan 2000 cc D5% akan menghasilkan total cairan
2500 cc dengan 80 mEq Na dan 125 gr glukosa.

Sumber kehilangan cairan dan elektrolit


Kehilangan cairan dan elektrolit pada masa pasca bedah antara lain berasal dari febris,
saluran pencernaan dan hiperventilasi. Kebutuhan cairan dalam keadaan febris meningkat
sebanyak 15% setiap kenaikkan 10C suhu tubuh. Produksi cairan lambung yang
 berlebihan, muntah dan diarrhea akan menambah kebutuhan cairan dan elektrolit.
Hiperventilasi memperbesar pengeluaran air lewat paru-paru, sedang humidifikasi udara
kering mengambil sejumlah besar cairan tubuh. Hiperventilasi pada pasien dengan
trakheostomy tanpa humidifikasi akan memperbesar kehilangan cairan. Kedua hal
tersebut dapat menyebabkan kehilangan air 1 – 1,5 L/hari.

Tabel. Fluid and electrolyte in the acutely ill adult


Volume K Cl Na Ph
Saliva 1000 – 1500 10 –   6 – 30 10 – 40 5,5 –  
20 7,8
Gastric juice 2000 – 2500 10 –   10 – 30 60 – 120 1,5 –  
20 7,3

98
Hapatic bile 600 – 800 2 – 12 80 – 110 130 –   6,2 – 
153 8,5
Pancreatic juice 700 – 1000 3 – 10 30 – 50 150 –   7,8 – 
143 8,8
Duodenal secretions 300 – 800 2 – 10 70 – 120 90 – 140 5,8 –  
7,5
Jejunal secretions 2000 – 3000 5 – 10 100 –   125 –  6,5 – 
130 140 7,6
Colonic mucosal secretions 200 – 500 3 – 10 60 – 90 140 –   7,8 – 80
148
Total 8000 –  
10.000

Koreksi gangguan keseimbangan air dan elektrolit


Water excess
Terjadi pada pasien-pasien yang mendapat terapi cairan dengan sedikit/tanpa Na, untuk 
mengganti sejumlah besar kehilangan Na. Contoh yang jelas adalah kehilangan dari
saluran pencernaan (muntah, diarrhea, cairan lambung) yang diganti hanya dengan cairan
Dextrose 5%. Kelebihan air terhadap keseimbangannya dengan Na, menyebabkan
turunnya kadar Na serum. Hiponatremi ini dapat menyebabkan edema pada asel-sel otak,
dan timbulnya gejala tergantung pada cepatnya penurunan tersebut. Keadaan ringan dapat
diatasi dengan restriksi air, tetapi bila kadar Na serum < 120 mEq/L, perlu diberi terapi
dengan Na hipertonis. Pemberian Na hipertonis ini harus hati-hati pada pasien-pasien tua
dengan cardiac reserve yang sempit.
Kelebihan air dapat dikeluarkan dengan pemberian glukosa hipertonis atau furosemide
yang sebaiknya diberikan bersama-sama dengan NaCl dan KCl. Terapi dengan
furosemide dalam jangka waktu yang lama juga akan menyebabkan penurunan kadar Na
serum.
Water deficit
Terjadi bilamana tubuh kehilangan air lebih banyak dari pada Na. Misalnya pada
keadaan-keadaan : febris lama, hiperventilasi, tracheostomy tanpa humidifikasi, diabetes
insipidus, non ketotic hiperosmolar dehidration. Kekurangan 2% dari BB akan

99
menimbulkan rasa haus, makin berat akan terjadi kelemahan otot-otot, delirium dan
convulsi. Terapinya adalah pemberian cairan Dextrose 5%.
Saline excess
Umumnya terjadi sebagai akibat samping resusitasi cairan koloid untuk mengatasi syok 
dan mempertahankan volume IVF pada masa-masa prabedah dan selama pembedahan.
Kelebihan volume yang isotonis ini umumnya dapat ditolerir oleh pasien-pasien muda,
tetapi pada orang tua mudah menyebabkan decompensasi cordis dan edema paru-paru.
Terapi yang dilakukan adalah restriksi cairan, kalau perlu diberikan diuretic dan
digitalisasi.
Saline deficit
Terutama terdapat pada pasien-pasien yang mengalami dehidrasi pada masa prabedah,
dan belum terkoreksi seluruhnya. Kehilangan dari saluran pencernaan pada masa pasca
 bedah memperbesar deficit ini. Terapinya adalah penggantian dengan Ringer Lactat atau
 NaCl 0,9%.
Hipokalemi
Terutama disebabkan pemberian cairan tanpa K, atau penggantian tidak sesuai pada
kehilangan yang banyak misalnya kehilangan dari saluran pencernaan. Gejala-gejala
klinis adalah kelemahan otot, paraesthesia, paralytic ileus. Kecuali bila kadar K serum
dibawah 2 mEq/L, terapi kalium dapat dilakukan dalam 2 – 4 hari. Pemberian kalium
 jangan melebihi 200 mEq/L, dengan kecepatan tetesan 10 – 20 mEq/L, dicampurkan
dalam cairan infus.
Hiperkalemi
Pasien-pasien dengan gangguan fungsi ginjal, kerusakan jaringan luas dan combutio akan
terjadi hiperkalemi. Tanda-tanda klinis dapat hanya kelemahan otot atao tanpa keluhan
sampai terjadi gangguan irama jantung dan cardiac arrest. Umumnya setelah kadar K 
serum > 6 mEq/L terjadi perubahan-perubahan khas pada ECG. Bila kadar serum
mencapai 6 mEq/L segera diberikan terapi untuk menurunkan sebagai berikut :
1. Pemberian Calcium glukonas/khlorida 10 – 30 ml perlahan-lahan dalam waktu 2
menit. Pemberian Calcium ini kontra indikasi pada pasien yang mendapat terapi
digitalis.
2. Pemberian Sodium bicarbonat 50 – 100 mEq untuk alkalinisasi darah.

100
3. Pemberian glukosa 25% bersama regular insulin 1 unit setiap 4 – 5 gr glokusa
(pada renal failure 1 unit setiap 10 gr glukosa).
Penurunan kadar K dengan terapi ini dapat bertahan selama 6 jam.

Keseimbangan Asam Basa


Perubahan pH cairan tubuh sangat berpengaruh pada kerja sel dan enzym tubuh sehingga
tubuh selalu berusaha mempertahankan keseimbangan asam basa dalam suatu batas
fisiologis yang sempit. Pemeriksaan dilakukan pada contoh darah arteri dengan harga
normal : pO2 80 – 100 mmHg, pCO2 35 – 45 mmHg, pH 7,35 – 7,45, HCO3 21 – 25
mMol/L dan BE (-2) – (+2).
Penyimpangan kearah asidosis (pH < 7,35) dan alkalosis (pH > 7,45) dapat disebabkan
oleh gangguan pernafasan maupun gangguan metabolisme. Interpretasi hasil pemeriksaan
gas darah (BGA) dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Tentukan asidosis atau alkalosis. Apabila penyebabnya respiratorik, pCO2
menyimpang searah dengan pH dan jika BE menyimpang searah searah dengan
 pH maka penyebabnya adalah metabolik.
2. Tentukan apakah sudah terjadi usaha-usaha kompensasi dengan melihat pCO2
atau BE yang menyimpang kearah yang berlawanan dengan pH. Usaha
kompensasi dengan menurunkan BE tidak boleh dikoreksi dengan Na bicarbonat.
Penyebab asidosis metabolik antara lain ketoasidosis yang terjadi pada pasien
diabetes militus yang tidak diterapi dengan baik atau lactic acidosis akibat
gangguan perfusi jaringan oleh sebab cardiac, sepsis, perdarahan. Alkalosis
metabolik terjadi pada pasien yang kehilangan cairan lambung dalam jumlah yang
 besar.
Terapi terhadap asidosis metabolik dan alkalosis matabolik adalah memperbaiki dan
mengatasi penyebab. Pada asidosis metabolik koreksi dilakukan dengan Na bikarbonat
dengan memakai patokan rumus : Dosis = 1/3 x Berat Badan x BE (mEq). Jumlah ini
mula-mula diberikan separuhnya, sisanya diberikan ½ atau 1 jam kemudian. Sebaiknya
dilakukan pemeriksaan ulangan setelah terapi.

101
----------------------- 7,35 --------------------------- 7,45 ------------------ pH
----------------------- 45 --------------------------- 35 ------------------ pCO 2

----------------------- -2 ---------------------------- +2 ------------------ BE


ACIDOSIS ALKALOSIS
 pH + pCO2 : Respiratorik 
 pH + BE : Matabolik 

Nutrisi Parenteral
Pasien pasca bedah tanpa komplikasi yang tidak mendapat nutrisi sama sekali, akan
kehilangan protein 75 – 125 gr/hari. Pemberian karbohidrat saja 100 – 150 gr, akan
menekan pemecahan ini sebanyak 50%. Pemberian kalori dalam jumlah minimal yang
 berlangsung terus menerus, akan kehilangan protein menjadi cukup besar. Albumin dan
enzym pencernaan mengalami penurunan yang lebih cepat, karena adanya proses
metabolisme yang cepat. Hipoalbuminemia akan menyebabkan edema jaringan, infeksi
dan dehiscensi luka operasi. Turunnya enzym pencernaan akan menyulitkan proses
realimentasi.
Total Parenteral Nutrition bertujuan menyediakan nutrisi secara lengkap yaitu kalori,
 protein dan lemak termasuk unsur-unsur penunjang nutrisi elektrolit, vitamin dan trace
element. Pemberian kalori sampai 40 – 50 Kcal/kg dengan protein 0,2 – 0,24 N/kg.
Cairan hipertonis yang mengandung semua unsur ini, memberikan beberapa masalah
mengenai tehnik pemberian, akibat samping maupun monitoring.
Pada pasien yang diperkirakan realimentasi sesudah 3 – 5 hari, mengalami pembedahan
 besar pada saluran pencernaan, keadaan umum/status gizi kurang baik diperlukan
 pemberian parenteral nutrisi. Pada kasus-kasus yang saluran pencernaannya
memungkinkan, gabungan enteral dan parenteral nutrisi merupakan suatu pilihan lain.

Pemantauan
Terapi cairan ditetapkan berdasarkan, perhitungan cairan keluar masuk, pemeriksaan
laboratorium dan tanda-tanda klinis. Perhitungan cairan masuk umumnya dilakukan
setelah 24 jam, kecuali pada keadaan khusus misalnya pasien dengan gagal ginjal,
dilakukan setiap 3 sampai 6 jam. Terapi cairan selama 1 – 2 hari tidak memerlukan

102
 pemeriksaan laboratorium. Bila berlangsung lebih dari 3 hari atau terdapat tanda-tanda
klinis yang mencurigakan, minimal dilakukan pemeriksaan serum elektrolit. Tanda-tanda
dehidrasi yang klasik, kelemahan otot, bendungan vena leher melengkapi perkiraan
 berdasarkan perhitungan cairan keluar masuk.

Rangkuman
Dalam pelaksanaan sehari-hari tidak selalu mudah menerapkan terapi cairan, terutama
 pada pasca bedah dimana banyak aspek (medis bedah) yang secara tumpang tindih
mempengaruhi keseimbangan cairan pasien. Namun sebagian besar kesulitan-kesulitan
 pengaturan cairan dapat diatasi dengan pengelolaan kasus demi kasus, observasi dan
evaluasi yang teliti.

Bahan Bacaan
1. Dripps R.D., Ekkenhoff J.E., Vandam L.D.,
Introduction to Anesthesia
7th edition. W.B. Sauders Company. Philadelphia-London-Toronto, 1988
Halaman : 259 – 282
2. G. Edward Morgan Jr., Maged S. Mikhail
Clinical Anesthesiology
2nd edition a Lange Medical Book, 1996
Halaman : 517 – 574



103
Terapi Cairan Prabedah Pada Bedah Darurat Gastrointestinal

Pendahuluan
Pada umumnya kegawatan bedah darurat gastrointestinal disebabkan oleh karena :
• Perdarahan

• Infeksi atau keradangan

• Gangguan pasase isi usus atau ileus


Pada ketiga keadaan tersebut sering terjadi gangguan sistem sirkulasi yang berupa
hipovolemia baik karena kehilangan darah, cairan maupun elektrolit. Tidak jarang
kehilangannya sedemikian banyak sebelumnya sehingga pasien pada waktu datang
 berada dalam keadaan syok yang dapat mengancam jiwa. Pemberian cairan adalah
merupakan salah satu terapi yang terpenting dan ditujukan untuk mengembalikan
keseimbangan cairan tubuh kembali normal.
Bila pasien kemudian memerlukan operasi maka rehidrasi mutlak diperlukan, karena
tindakan anestesia dapat menyebabkan depresi miokard dan vasodilatasi. Rehidrasi akan
menyebabkan toleransi pasien menjadi lebih baik terhadap stress anestesi dan
 pembedahan.
Stone menyatakan, bahwa Surgical Mortality Rate dari ileus obstruktif sebelum tahun
1930 adalah sekitar 30% sedangkan pada waktu ini antara 5 – 10%. Penurunan ini
terutama disebabkan karena telah disadarinya pentingnya rehidrasi prabedah disamping
karena kemajuan dalam bidang anestesi, tehnik pembedahan dan penggunaan antibiotika.
Bila pasien memerlukan operasi, rehidrasi harus diberikan secepatnya, namun aman.
Rehidrasi dengan dengan cara sembarangan akan menyebabkan waktu rehidrasi lebih
lama atau dapat menyebabkan terjadinya fluid overloading yang berbahaya.
Disini akan dibahas masalah rehidrasi pada kehilangan cairan yang bukan disebabkan
karena perdarahan. Pemberian cairan pengganti perdarahan dibahas tersendiri.

Patofisiologi
Tiap hari saluran pencernaan makanan mensekresi sekitar 8000 ml cairan kedalam
lumennya, namun dari sejumlah itu hanya 200 – 400 ml akan dikeluarkan berupa faeces,
sedangkan lainnya diserap kembali oleh usus.

104
Pada ileus baik obstruktif (pembuntuan maknis) maupun paralitik (pembuntuan
fungsionil) terjadi gangguan pasase dari isi usus. Meskipun keduanya mempunyai
 penyebab yang berbeda, tetapi akibat yang ditimbulkan hampir sama. Cairan ekstraseluler 
yang disekresikan tersebut tidak dapat diresorbsi, sehingga secara fungsional dianggap
hilang dari tubuh karena tidak ikut lagi berperan pada pengaturan keseimbangan cairan
tubuh. Kehilangan cairan ini sering disebut sebagai “third space” fluid loss. Kehilangan
cairan ini hanya bisa diganti tubuh dengan cara mengambil dari cairan intraseluler.
Muntah-muntah yang kemudian dapat terjadi akan lebih memperburuk kadaan pasien,
sehingga akan terjadi dehidrasi yang hebat.
Gangguan pasase kemudian akan menyebabkan timbulnya penumpukan gas dalam usus,
yang berasal dari aerofagia dan produksi bakteri usus. Bersama-sama dengan
 penumpukan cairan, maka akan terjadi kenaikkan tekanan intraluminal yang selanjutnya
 bila lebih besar dari tekanan dalam venulae akan menyebabkan tekanan kapiler 
meningkat. Kenaikkan tekanan ini akan menyebabkan cairan ekstraseluler keluar dinding
dan lumen usus. Dinding usus akan menebal dan edematous. Tekanana intraluminal
kemudian akan makin meninggi melebihi tekanan kapiler. Kapiler dan venulae akan
kolaps dan aliran darah arteriel terganggu yang akan menyebabkan penurunan oksigenasi
 jaringan dan akhirnya kematian sel (nekrosis) yang selanjutnya akan mengakibatkan
terjadinya perforasi usus.gangguan pasase ini juga akan menyebabkan gangguan nutrisi
yang akan lebih memperburuk keadaan pasien.
Distensi abdomen sendiri akan menimbulkan gangguan volume dan ekspansi paru.
Ventilasi alveoler menurun sehingga terjadi gangguan oksigenasi darah dengan segala
akibatnya.
Keadaan umum yang buruk, lemah dan gangguan eskpansi paru akan menyebabkan
 bahaya terjadinya aspirasi isi usus ke paru-paru bila pasien muntah. Pasien dapat
mengalami sufokasi yang fatal atau mengalami pne umonitis yang biasanya sulit diatasi.

Evaluasi defisit cairan


Derajat kehilangan cairan pada muntaber relatif lebih mudah dihitung dengan cara
mengukur berat badan pasien dan membandingkannya dengan berat badan sebelum sakit.

105
Pada “third space” loss penilaian ini lebih sulit karena cairan yang hilang masih berada
dalam tubuh. Untuk mengetahui berapa kira-kira defisit yang terjadi diperlukan anamnesa
dan pemeriksaan fisik yang teliti.
Pada anamnesa perlu diketahui berapa lama pasien telah sakit, berapa banyak ia muntah-
muntah, berapa banyak ia masih dapat makan dan minum, apakah pernah pingsan dan
lain-lainnya.
Pada tabel dibawah ini dapat dilihat tanda-tanda fisik defisit cairan ekstraseluler.
Tabel. Tanda-tanda defisit cairan ekstraseluler.
Ringan Sedang Berat
Mengantuk  Refleks tendon turun
Apatis Anestesi akral distal
CNS Respon lambat Stupor 
Anorexia Coma
Aktifitas turun
Takhikardia Sianosis
Hipotensi orthostatik  Hipotensi
Kardiovaskuler Takhikardia  Nadi lemah Akral dingin
Vena kolaps  Nadi perifer tak teraba
Detak jantung jauh
Mukosa lidah Lidah kecil, lunak, Atonia
Jaringan mengering keriput Mata cowong
Turgor ↓ Turgor ↓↓ Turgor ↓↓↓
Urine Pekat Pekat, turun Oliguria
Defisit 3 – 5% 6 – 8% 9 – 10%

Pemeriksaan lain yang dapat membantu adalah adanya kenaikan berat jenis urine,
kenaikan hematokrit dan Blood Urea Nitrogen (BUN).
Pemeriksaan elektrolit darah tidak banyak membantu pada “third space” loss karena
cairan yang hilang komposisinya menyerupai cairan ekstraseluler. Pada obstruksi atas
(mis : pylorus) maka kehilangan Chlorida akan lebih banyak dari pada kehilangan
 Natrium dan Kalium.
Pemeriksaan gas darah dapat dilakukan untuk membantu menentukan adanya gangguan
 perfusi jaringan dan gangguan ventilasi.

106
Dengan dasar pemeriksaan diatas maka estimasi jumlah cairan yang hilang kemudian
dihitung berdasarkan prosentase berat badan.

Pemilihan Cairan
Karena yang hilang pada “third space” loss adalah cairan ekstraseluler maka untuk 
koreksi defisit dipilih juga larutan infus yang komposisi bahan yang dikandungnya
menyerupai cairan ekstraseluler (ECF).
Pada tabel dibawah ini dapat dibandingkan beberapa macam larutan infus dengan bahan
yang dikandungnya yang pada saat ini bisa didapat di pasaran.
Tabel. Perbandingan antara komposisi ECF dengan beberapa macam cairan infus.
Larutan Na + K + Cl- pH Ca++ Mg++ Kalori/L
ECF 138 5 108 7,4 5 3 12
D5W 0 0 0 4,5 0 0 200
 NaCl 0,9% 154 0 154 6,0 0 0 0
Ringer Laktat 130 4 109 6,5 3 0 0
Rl D5% 130 4 109 3 0 200
RL Maltose 130 4 109 3,5 – 6,5 3 0 200

Ringer Laktat mempunyai komposisi yang hampir menyerupai ECF, disamping itu
mengandung sodium laktat yang berguna untuk mengkoreksi asidosis. Ringer laktat
doxtrose selain hal tersebut diatas juga mengandung dextrose yang dapat memberikan
kalori.
Maltose dalam metabolismenya tidak memerlukan insulin dan merupakan sumber energi
yang pengaruhnya terhadap kadar gula darah lebih kecil. Dalam praktek cairan-cairan
tersebut diatas kecuali D5W dapat digunakan untuk mengkoreksi defisit ECF.

Rehidrasi Prabedah
Beberapa liter cairan dapat hilang pada 24 jam pertama gangguan pasase usus. Bila
 proses telah berlangsung beberapa waktu biasanya secara fisiologis tubuh telah
mengadakan penyesuaian atas kehilangan cairan tersebut. Karena itu bila fungsi
hemodinamika telah diatasi, maka sisa defisit dapat dilanjutkan diberikan dengan lebih

107
 pelan. Pengembalian yang terlalu cepat dapat menimbulkan behaya terjadinya fluid
overloading terutama pada pasien tua dan pasien dengan penyakit jantung. Pada pasien
yang memerlukan laparotomy eksploratif maka pemberian cairan diberikan secepatnya.
Rehidrasi cepat disini ditujukan terutama memperbaiki defisit sirkulasi, yaitu
mengembalikan volume plasma sampai sirkulasi menjadi stabil. Diharapka dalam waktu
sekitar 1 – 3 jam hal tersebut sudah dapat dilakukan. Tentu saja untuk itu dibutuhkan cara
dan pemantauan tertentu.
Tindakan yang pertama dilakukan bila menemui pasien dengan kegawatan
gastrointestinal adalah menentukan apakah terdapat gangguan pada fungsi pernafasannya,
 bila ada segera atasi. Tentukan kemudian derajat dehidrasinya, dan segera dipasang infus
dengan kanula berdiameter besar. Bila pasien dalam keadaan syok kadang-kadang agak 
susah mencari vena sehingga diperlukan pemasangan melalui vena jugularis eksterna atau
melalui vena seksi.
Pada dehidrasi sedang atau berat berikan bolus RL sebanyak 20 – 40 ml/kg BB dalam
waktu sekitar 1 jam.
Bila setelah pemberian tersebut belum terdapat perbaikan fungsi vital dapat diulangi lagi
dengan bolus 20 ml/kg BB.
Bila terdapat keragu-raguan dalam pemberian cairan atau belum terdapat perbaikan pada
fungsi vital (tensi meningkat, nadi menurun dan menguat, urine keluar, dan lainya-
lainnya), akan lebih baik bial pemberian cairan dilakukan dengan pedoman CVP
sehingga dapat lebih akurat dan aman.
Gambar 
Bila fungsi sirkulasi membaik dapat dicoba dilakukan Tilt test, yaitu dengan mengukur 
tensi pada posisi anti trendelenberg atau duduk. Penurunan Mean Arterial Pressure (MAP
= Diastolik + 1/3 (Sistolik – Diastolik) lebih dari 10 mmHg menunjukkan masih adanya
defisit sekitar 1000 ml.
Pada defisit cairan yang telah berlangsung lama kadang-kadang urine masih minimal
meskipun defisit plasma telah terkoreksi. Ini terjadi karena kuatnya pengaruh ADH dan
Aldosteron. Untuk mengatasinya dapat dicoba diberika Furosemide 1 mg/kg BB atau
dapat diberikan Manitol 0,5 – 1 mg/kg BB. Bila CVP dan diuretika telah diberikan

108
sampai optimum urine belum keluar juga, sangat mungkin pasien telah mengalami
kegagalan ginjal akut.
Bila fungsi sirkulasi telah membaik dan cukup stabil, maka pasien telah cukup siap untuk 
dilakukan operasi maupun transportable untuk dirujuk dengan aman ke rumah sakit lain
yang dapat melakukan operasi. Bila ternyata kemudian operasi tidak diperlukan, maka
sisa defisit diberikan ½ nya dalam waktu 8 jam berikutnya dan sisanya diberikan dalam
16 jam berikutnya. Pemberian ini masih perlu ditambah dengan kebutuhan cairan normal
 per hari sebanyak 50 ml/kg BB/24 jam (dewasa) ditambah perkiraan cairan yang masih
akan hilang dalam 24 jam mendatang. Jumlah keduanya itu diberikan dengan cara
membagi rata.
Contoh :
Pasien dengan ileus obstruktif, BB = 50 kg. Diperkirakan mengalami defisit cairan sekitar 
10% BB.
Perhitungan :
a. Defisit cairan = 10% x 50 = 5000 ml
 b. Kebutuhan cairan = 50 x 50 ml = 2500
c. Andaikan perkiraan cairan yang masih akan hilang = 1000 ml/hari
Jumlah b & c = 2500 ml + 1000 ml = 3500 ml/24 jam = 150 ml/jam
Cara pemberian :

• Tahap I : RL = 20 – 40 ml/kg BB/jam = 1000 – 2000 ml dalam 1 – 2 jam

• Tahap II : RL ½ x (5000 – 1000) = 2000 dalam 8 jam = 250 ml/jam


o Cairan maintenance = 150 ml/jam

o Jumlah = 400 ml/jam selama 8 jam

• Tahap III = RL = ½ (5000 – 1000) = 2000 dalam 16 jam = 100 ml/jam


o Cairan maintenance = 150 ml/jam

o Jumlah = 250/jam selama 16 jam

Bila telah terdapat perbaikan fungsi vital, maka selesai tahap I atau pada awal tahap II
 pasien sudah cukup baik untuk dioperasi.

Penutup

109
Rehidrasi adalah merupakan salah satu tindakan yang terpenting dalam penanganan
kasus-kasus kegawatan bedah gastrointestinal. Pemberian cairan dengan cara yang
sembarangan dapat memperlambat persiapan operasinya, yang selanjutnya tentu dapat
merugikan pasien.
Dengan bekal pengetahuan patofisiologinya, anamnesa dan pemeriksaan fisik yang teliti
untuk menentukan derajat dehidrasinya, cara pemberian dan pemilihan cairan yang
sesuai, maka diharapkan pasien dapat dibawa ke kondisi yang seoptimum mungkin untuk 
menghadapi stress anestesi dan pembedahan yang akan dihadapinya.



Transfusi Darah

Pendahuluan

Transfusi sebenarnya bukan satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan anemia pada
seorang pasien yang kehilangan darah, baik itu kehilangan akut ataupun khronis.

110
Kehilangan khronis dapat mudah diatasi dengan terapi Fe (besi) dan perbaikan nutrisi,
kecuali beberapa pasien kelainan sistim hemopoetik. Kehilangan darah akut dapat diganti
volumenya dengan cairan pengganti (larutan elektrolit atau plasma expander). Pada
hakekatnya “blood is R-E-D selain merah, R-E-D berarti Rare-Expensive-Dengerous.
(langka, mahal, berbahaya)

Resiko transfusi

Resiko transfusi yang banyak dikenal adalah reaksi transfusi. Jenis yang sering terjadi
adalah reaksi transfusi panas, yang disebut leukosit donor/leukoaglutinin resipien atau
 bahan pirogen. Reaksi ini tak berbahaya dan berhenti dengan penghentian transfusi atau
 pemberian antipiretika. Kebiasaan memberikan “premedikasi” dengan antipiretika +
antihistamin pra-transfusi tidak dapat dibenarkan. Prevalensi reaksi ini hanya sekitar 1%,
 prevensi yang diberikan adalah pemborosan dan menambah resiko alergi obat atas diri
99% pasien yang semestinya tidak akan mengalami reaksi. Obat-obat tersebut dapat
membenikan masking-effect pada tanda-tanda awal reaksi transfusi jenis berbahaya.

Reaksi transfusi alergi adalah akibat kontak dengan protein asing dan terbentuknya
immune-complex, aktifasi komplemen yang dilkuti degranulasi sel - sel mast dan basofil
yang melepaskan histamin. Reaksi yang ringan berupa pruritus dan urticaria. Reaksi yang
 berat berupa bronchospasme, sesak nafas atau bahkan reaksi anafilaktik yang fatal.

Reaksi transfusi hemolitik adalah hemolisis akut intravaskuler karena inkompatibilitas


golongan darab ABO. Jika hemolisis tidak berat dan jumlah darah yang mismatch masih
sedikit (<250 ml), pasien masih dapat diselamatkan jika ditangani dengan baik.

Reaksi transfusi bakteremial septik terjadi karena darah donor tercemar bakteria dan jenis
yang mampu berkembang biak pada suhu 4C0 : E. coli, Proteus spp, P. aeruginosa, A.
aerogenes, K. pneumoniae. Darah yang tercemar plasmanya keruh, berwarna abu-abu
atau coklat hitam. Angka kematian pada reaksi ini sangat tinggi karena endotoksin
kuman-kuman ini menyebabkan shock.

Resiko transfusi yang lain adalah transmisi penyakit. Dari survey di Surabaya didapatkan
 prevalensi hepatitis B pada lebih kurang dua persen dari donor, sedang di Jakarta
dilaporkan 5%. Sebanyak 5-10% pasien hepatitis B menjadi carrier yang menular.

111
Screening hepatitis B tidak tersedia disetiap ko ta dimana darah ditransfusikan. Timbulnya
gejala antara 2 minggu sampai 6 bulan setelah transfusi. 50-75% pasien Hepatitis NANB
ini menjadi khronis dan 10-20% dan yang khronis ini akan menjadi cirrhosis. Screening
test yang terbaru sekalipun masih belum memiliki sensitivitas 100%. Prevalensi Hepatitis
non A - non B adalah 2-3 x lebih besar daripada Hepatitis B dan test untuk NANB belum
ada yang dapat diandalkan dengan harga terjangkau.

Masalah AIDS, yang dapat ditularkan dari donor asimptomatik (tanpa gejala). Masa
inkubasi bertahun-tahun, tanpa gejala, sampai pada saat timbulnya “AIDS Related
Complex” lalu “Full Blown AIDS”. Jarak antara transfusi sampai diagnosis AIDS (+)
 pada orang dewasa rata-rata 30 bulan dan pada anak 13,5 bulan. Pencegahan diupayakan
dengan seleksi menyingkirkan calon donor yang ber-resiko tinggi (homosex dan pecandu
narkotik) dan melakukan test Elisa untuk menyingkirkan mereka yang seropositif. Test
ini masih mahal.

Langkah-langkah rasionalisasi

Untuk melakukan transfusi yang aman dilakukan dengan indikasi transfusi, batas awal
dan akhir yang tepat, penggunaan komponen yang tepat, penggunaan cairan pengganti
(teknik hemodilusi) dan transfusi darah sendiri (autologous)

Indikasi Transfusi, Batas Awal Dan Akhir Yang Tepat

Pada perdarahan akut, pasien kehilangan volume darah dan eritrosit yang berisi
Hemoglobulin. Penggantian volume yang hilang harus didahulukan karena defisit 30%
sudah menyebabkan shock berat dan kematian. Toleransi kehilangan Hb lebih besar.
Kadar Hb yang tinggal 50% masih dapat diatasi tubuh dengan mekanisme kompensasi,
karena itu tidak semua kehilangan darah harus diganti ditransfusi.

Bagi pasien tanpa penyakit jantung, Hb 8-10 gm/dl masih cukup memberikan oksigen
 jaringan dengan baik, asal volume sirkulasi dipertahankan normal. Terapi cairan yang
 bertujuan mengembalikan volume sirkulasi menjadi normal, dengan kadar Hb dalam
 batas 6-8 gm/dl, dengan demikian transfusi dapat ditunda. Apabila diperlukan transfusi,
maka kadar Hb akan dikembalikan menjadi 10 gm/dl dan tidak perlu sampai Hb jadi
“normal” 15 gm/dl, karena dengan Hb 10 gm/dl oksigenasi jaringan sudah cukup.

112
Transfusi 250-500 ml (1-2 kantong) pada pasien dewasa, tidak diperlukan pemberian
transfusi, tetapi dengan diberikan Ringer Laktat atau NaCl 500-1000 ml saja. Pemberian
satu kantong darah menaikkan Hb 0,25 gm/dl, peningkatan sebesar ini dapat dicapai
dengan pemberian gizi yang baik dan terapi Fe++. Manfaat kenaikan Hb 0,25 gm/dl tidak 
layak dibandingkan dengan resiko penyakit yang mungkin ditularkan.

Penggunaan Komponen Yang Tepat Dan Dosis Yang Tepat

Palang Merah Indonesia menyediakan darah utuh, darah yang diendapkan, trombosit dan
 plasma.

Darah utuh (Whole blood = WB), memiliki faktor koagulasi labil (Labile Factor) dan
trombosit jika belum lewat 6 jam. Lewat batas 6 jam itu, hanya Hb dan faktor pembekuan
stabil lainnya yang masih cukup banyak.

Darah diendapkan/dipadatkan (Packed Red Cell = PRC), digunakan untuk anemia yang
tidak disertai hipovolumia. Misalnya anemia khronis, atau anemia karena perdarahan akut
yang sudah mendapat penggantian volume sirkulasi. Dan 250 cc darah utuh diperoleh 125
cc PRC maka dari 250cc PRC didapat peningkatan Hb 2x lebih banyak dan resiko
circulatory overload dapat dikurangi.

Trombosit dalam penyediaan transfusi ada 2 macam ialah plasma kaya trombosit (Platelet
Rich Plasma) atau konsentrat trombosit (Thrombocyte Concentrate = TC). Satu unit PRP
(50 cc) berasal dan 250 cc darah utuh, teoritis akan meningkatkan jumlah trombosit
5000/mm3. Pemberian trombosit dilakukan pada trombositopenia (kadar 50.000 -
80.000/mm3) misalnya pada demam hemoragik dan hemodilusi (penggantian perdarahan
dengan cairan).Trombosit diberikan cukup sampai perdarahan berhenti atau masa
 perdarahan (bleeding time) mendekati 2x nilai normal.

Plasma, diberikan untuk mengatasi hipovolemia akibat kehilangan plasma seperti pada
demam hemoragik Dengue dan luka bakar yang luas. Untuk DHF diberikan 10-20 cc/kg
sampai shock teratasi, berupa plasma segar, plasma segar atau plasma biasa. Plasma segar 
 beku (Fresh Frozen Plasma = FFP) dan plasma segar (Fresh Plasma kurang dan 24 jam)
dapat digunakan mengatasi defisiensi faktor pembekuan. Diberikan 10 cc/kg satu jam
 pertama, dilanjutkan 1 cc/kg BB perjam sampai hasil PPT dan APTT mencapai nilai

113
kurang atau sama dengan 1,5 x nilai kontrol yang normal. Plasma tidak dapat digunakan
untuk menaikkan kadar albumin pasien hipo-albuminemia.

Penggunaan Cairan Pengganti (Teknik Hemodilusi)

Volume darah normal adalah 67-70 cc/kgBB. Kehilangan sampai 25% volume darah
masih dapat diganti cairan RL, NaCI 0,9% atau kombinasi dengan cairan koloid seperti
Dextran, Expafusin. Jika kehilangan mencapai 30-50%, maka selain RL/NaCI 0,9% harus
ditambahkan Darah Endap (PRC) terutama jika kadar Hb mencapai kurang 6-8 gm/dl
atau hematokrit 20-25%. Teknik hemodilusi ini tidak sesuai bagi pasien trauma kepala
dan trauma thorax karena bahaya edema otak atau edema paru.

Transfusi Autologous

Cara ini menggunakan darah pasien sendiri untuk mengganti perdarahan pada
 pembedahan yang terencana (elektif). Cara yang dipakai adalah dengan menabung darah
sendiri atau retransfusi darah yang keluar 

Menabung darah sebelum pembedahan

Dalam waktu 2-7 hari sebelum pembedahan, 250-500 ml darah dapat diambil dari pasien
itu sendiri 8 ml/kg yang setara dengan 10-15% volume darahnya. Darah ini disimpan
untuk kemudian ditransfusikan kembali setelah pembedahan selesai. Jika perlu persiapan
darah lebih banyak maka prosedur dimulai dua minggu prabedah dengan mengambil 450
ml. Pasien diberi makanan bergizi, Fe++ dan vitamin yang cukup. Hari ketujuh prabedah,
diambil lagi 900 ml dan pada saat itu darah pengambilan ke I ditransfusikan kembali.
Pasien jadi hanya “kehilangan” volume 450 ml saja, tetapi kita mempunyai 900 ml diluar 
tubuh pasien tersebut. Darah pengambilan ke II disimpan untuk pembedahan dan
diretransfusikan setelah pembedahan selesai. Transfusi autologous ini dapat dilakukan
 jika kondisi umum pasien baik, Hb kurang dari 10 gm/dl dan tidak ada penyakit Diabetes
lanjut, penyakit jantung koroner dan penyakit cerebrovaskuler.

Retransfusi darah yang keluar (autotransfusion)

Darah yang keluar selama pembedahan ditampung atau dihisap hati-hati, disaring dari
 bahan diluar darah kemudian ditransfusikan kembali. Cara ini kurang dianjurkan.

Rangkuman

114
Dengan menghemat transfusi, dapat dicegah hospital acquired infection, utamanya
Hepatitis dan AIDS. Pemberian transfusi seharusnya diperhitungkan dengan matang,
sehingga berusaha menghindari transfusi yang kurang perlu.

Bahan Bacaan

1. Dripps R.D., EkkenhoffJ.E., Vandam L.D.,

Introduction to Anestesia.

7th edition. WE. Saunders Company. Philadelphia-London Toronto, 1988

Halaman: 282 - 292

2. G. Edward Morgan,Jr., MagedS. Mikhail

Clinical Anesthesiology

Second edition a Lange Medical Book. 1996

Halaman: 543 – 558



DASAR - DASAR PENGELOLAAN PENDERITA GAWAT


DARURAT

Pendahuluan

Penderita gawat darurat ialah penderita yang oleh karena suatu penyebab
(penyakit, trauma, kecelakaan, tindakan anestesi) yang bila tidak segera ditolong
akan mengalami cacat, kehilangan organ tubuh atau meninggal.

115
Dalam
Dalam menghada
menghadapi
pi penderi
penderita
ta gawat
gawat darurat
darurat maka factor
factor waktu
waktu memegan
memegang
g
peranan yang sangat penting (time saving is life saving). Tindakan pada menit
pertama dalam menangani kegawatan medik tersebut, dapat berarti besar dan
sang
sangat
at menent
menentuk
ukan
an hidup
hidup atau
atau mati
mati pende
penderit
rita,
a, kare
karena
na itu harus
harus dilak
dilakuk
ukan
an
dengan cara yang tepat, cepat dan cermat.

Untuk ini diperlukan adanya :

1. Tena
Tenaga
ga medis
medis/pa
/para
ra medis
medis yang
yang terla
terlatih
tih,, baik
baik peng
pengeta
etahu
huan
an maupu
maupun
n
ketrampilan.

2. Sistim dan
dan cara pengelolaan
pengelolaan penderita
penderita gawat
gawat darurat
darurat yang sederhana
sederhana tapi
berdaya guna dan berhasil guna.

3. Fasilita
Fasilitas,
s, alat,
alat, obat
obat yang
yang leng
lengkap
kap

Pertolongan pada penderita gawat darurat dapat dilakukan:

1. Dite
Ditemp
mpat
at kej
kejad
adia
ian
n

2. Selama
Selama dalam
dalam pengang
pengangkut
kutan
an /transp
/transporta
ortasi
si

3. Di unit
unit gawat
gawat darur
darurat
at / rumah
rumah sakit
sakit

Dalam memberikan pertolongan pada penderita harus diingat hal-hal sebagai


berikut :

1. Baga
Bagaima
imana
na mempe
memperta
rtaha
hanka
nkan
n jiwa
jiwa pende
penderit
rita.
a. Atasi
Atasi dulu
dulu yang
yang palin
paling
g
mengancam jiwa.

2. Bagaimana mengurangi penyulit yang mungkin timbul.

3. Bagaimana meringankan penderitaan korban

4. Melindungi diri terhadap kemungkinan penularan penyakit menular dari


penderita (Hepatitis, HIV / AIDS dll)

Dasar - Dasar Penanganan

116
Sebag
Sebagai
ai patok
patokan
an yang
yang mudah
mudah diing
diingat
at dalam
dalam urutan
urutan prior
priorita
itas
s penan
penanga
ganan
nan
pend
pender
erita
ita gawa
gawatt darura
daruratt adalah
adalah urut
urutan
an 6B.
6B. Urut
Urutan
an prior
priorita
itas
s ini dibua
dibuatt atas
atas
pertimbangan hal-hal mana yang lebih cepat menyebabkan kematian.

B1 = Breath = Masalah pernafasan dapat menyebabkan

kematian dalam 3 menit.

B2 = Bleed = Masalah hemodinamik juga dapat

menyebabkan kematian dalam

beberapa menit.

B3 = Brain = Masalah kesadaran dan susunan syaraf.

B4 = Bladder = Masalah urogenital

B5 = Bowel = Masalah tractus digestivus

B6 = Bone = Masalah tulang dan kerangka.

B1 = Breath = Masalah pernafasan

Coba periksa apakah :

a. Jalan nafas bebas ? disebut bebas bila penderita dapat bernafas atau diberi
nafa
nafas
s deng
dengan
an muda
mudah.
h. Suar
Suara
a nafa
nafas
s bers
bersih
ih dan
dan tida
tidak
k ada
ada suar
suara
a nafa
nafas
s
tambahan. Bila tidak demikian,

1. Bantuan manual dengan triple airway manouvre yaitu :

• Hiperekstensi kepala, angkat tengkuk, ganjal bahu

• Jaw thrust, dorong rahang bawah kedepan

• Buka mulut

2. Bantuan jalan nafas buatan yaitu :

• Jalan nafas oro / nasopharynx

117
• Jalan nafas oro / naso tracheal

• Cricothyrotomy / tracheostomy

 b. Penderita bernafas ?

1. Bila penderita tidak bernafas, segera beri nafas dengan :

• Nafas buatan tanpa alat - mulut ke mulut / hidung

• Nafas buatan dengan alat :

i. Ambu
Ambu bag,
bag, Jack
Jackson
son Reese
Reese

ii.
ii. Respir
spira
ator 

2. Bila penderita bernafas, tapi mungkin tidak memadai

Terapi oxygen melalui :

Jenis Alat Konsentrasi Oxygen yang dicapai


Nasal pronge 3 l/min 30%
Nasal catheter 3 l/min 30 – 40%
Masker 6 – 8 l/min 60%
Masker + reservoir 2 X MV 100%

Bronchial toilette

Dicoba
Dicoba dahulu
dahulu batuk
batuk sendiri
sendiri.. Tetapi
Tetapi bila tidak
tidak mampu
mampu mengelua
mengeluarkan
rkan secret,
secret,
lakukan penghisapan intra tracheal / bronchial

Chest physiotherapy, latih cara menarik nafas dalam dan batuk.

• Clapping dan vibration

• Postural drainage

• Mist terapy (humidifier / nebulizer)

118
Nafas buatan jangka panjang melalui endotracheal tube atau tracheostomy,
diberikan bila point I s/d III tersebut gagal memberikan 02 dan C02 arterial yang
memadai.

Kriteria gangguan nafas

Kriteria gangguan nafas Jenis tindakan


Parameter I, II, III IV
1. Tanpa alat frekuensi nafas/menit 25 – 35 > 35
2. Spirometer – vital capacity 30 – 15 ml/kg < 15 ml/kg
3. Blood gas :

• PO2 mmHg 200 – 70 70

• PCO2 mmHg 45 – 60 60

•  Aa – DO2 mmHg 200 – 350 350

Untuk terapi nafas jangka panjang diperlukan hal-hal sebagai berikut :

1. Berikan minute volume minimal yang dengan kadar oxygen 40 - 50 %


masih memberikan pO2 100- 150.

2. Bila belum berhasil, tambhkan PEEP bertahap @ 1/2 cm H20 sampai 15


cm H20 selama hemodinamik tidak terganggu.

3.  Atur dead space agar pCO2 30 - 35.

4. Berikan nafas panjang berkala

5. Berikan cukup kelembaban dalam udara nafas (100% lembab nisbi pada
37oC).

6. Suction intra tracheal secara steril.

Untuk memudahkan hal ini tracheostomy lebih baik dari pada


nasotracheal tube.

7. Bila penderita sudah berhasil distabilisir, secarabertahap PEEP dikurangi


dan 2 x sehari dicoba nafas spontan dengan CPAP

119
B2 = Bleed = Masalah Hemodinamik

Coba periksa apakah penderita syok ?

Untuk itu periksalah perfusi perifer, tekanan darah, nadi (rate dan pengisiannya).
Perfusi disebut baik bila jari-jari dan telapak tangan hangat, kering dan merah.
Tekanan darah memang membantu diagnosis, tetapi bukan satu - satunya cara
diagnosis. Per definisi, syok adalah : gangguan perfusi organ vital atau
gangguan oksigenasi jaringan vital.

Penting dicatat bahwa penggunaan cairan sebagai terapi pengganti pada


perdarahan adalah untuk sementara saja. Setelah darah tersedia, berikan
transfusi, naikkan Hb sampai 7,5 gr%.

Setelah hemodinamika stabil, kadang - kadang perlu diberikan diuretika untuk


membuang kembali excess cairan tadi, lebih - lebih pada kasus – kasus trauma
thorax dan hypo albuminemia dimana kecenderungan untuk edema paru - paru
sangat besar.

Jenis syok Tanda khas Terapi


• Cairan 2 – 4 X
Hipovolemik
CVP rendah kehilangan volume, bila
(kehilangan volume)
Hb < 7,5 gr% transfusi
• Diuretik

Kardiogenik CVP tinggi mungkin ada • Digitalis

(pump failure) aritmia • Beta mimetik

• Obat-obat aritmia
Peripheral pooling • CVP rendah • Vasokonstriktor 

120
• Vasodilatasi hebat
• Hyperdynamic & • Suportif 

Septik Hipodinamic stage •  Antibiotika

• Febris • Hilangkan fokus infeksi

B3 = Brain = Masalah (kesadaran/neurologik)

Perlu diketahui tingkat kesadaran penderita dan gejala neurologis yang ada.

a. Bagaimana kesadaran penderita ?

Tingkat kesadaran penderita dapat dievaluasi dengan cara yang biasa


dipakai (sadar, somnolent, stupoor, coma) atau lebih baik bila menggunakan
Glasgow Coma Scale.

a. Lebih praktis

 b. Lebih dapat dipercaya

c. Dapat dilakukan oleh dokter maupun paramedis

d. Bisa / mudah dimonitor dari waktu ke waktu

e. Dapat untuk meramalkan prognose /out come

Tabel Glasgow Coma Scale (GCS)

Eye-opening (E)

Spontaneous, already open and blinking 4

To speech 3

To pain 2

None 1

Verbal response (V)

Oriented 5

Answers but confused 4

Inappropriate but recognizable words 3

121
Incomprehensible sounds 2

None 1

Best motor response (M)

Obeys verbal commands 6

Localizes painful stimulus 5

Withdraws from painful stimulus 4

Decorticate posturing (upper extremity flexion) 3

Decerebrate posturing (upper extremity extension) 2

No movement 1

Nilai tertinggi : E + M + V = 15 (responsiveness)

Nilai terendah: E + M + V = 3 (coma)

Penderita dikatakan coma bila mata tak pernah terbuka, tidak bisa diperintah dan
tak pernah terucap kata suara dari mulutnya.

 Ada 5 kemungkinan hasil akhir (out come) yang diperoleh setelah melakukan
pertolongan yang maksimal pada coma atau trauma kapitis yang berat (6).

1. Good recovery

Bila penderita dapat hidup mandiri tanpa tergantung orang lain dan
tanpa ada (atau bila ada minimal) kelainan neurologis.

2. Moderate disability

Bila penderita dapat hidup mandiri tapi ada kelainan neurologis dan
intelektual.

3. Severe disability

Kesadaran penderita baik, tapi untuk melakukan kegiatan sehari-hari


masih memerlukan bantuan orang lain

122
4. Vegetative state

5. Dead

Hubungan antara Glasgow Scale pada 24 jam I dan prognosa/outcome dapat


disebut pada tabet berikut (5).

Dead/vegetativ Moderate disability/Good


GCS Jumlah kasus
e recovery
>11 57 7% 87%
8-10 190 27% 68%
5–7 525 53% 34%
3–4 176 87% 7%

 b.  Apakah ada tanda-tanda neurologis yang lain ?

Mata

• Pupil Penting menentukan lebar pupil, simetris atau tidak, dan reaksi
terhadap cahaya. Pupil yang semula simetris kemudian menjadi asimetris
curiga akan adanya lesi yang unilateral.

• Gerak : Apakah ada gerak spontan, gerak oculo cephalic, gerak oculo ves
tibular, doll’s eye phenomen.

• Papil : Papil oedema ?

 Anggota gerak :

 Adanya hemiplegia atau paraplegia dapat untuk memperkirakan dimana letak


lesi.

Sistim autonom :

123
Nadi, tensi, pernafasan dan suhu.

Bila
Bila diperl
diperluk
ukan
an dan ada
ada fasili
fasilitas
tas dapa
dapatt dilak
dilakuk
ukan
an pemer
pemeriks
iksaa
aan
n C.T.
C.T. scan
scan,,
arteriografi, EEG dan lain - lain

c. Penyebab gangguan kesadaran

• Gangguan nafas

Harus
Harus diingat
diingat bahwa
bahwa salah
salah satu penyeb
penyebab
ab ganggua
gangguan
n kesadar
kesadaran
an yang
yang
cukup sering adalah kegagalan nafas mendadak.

Hipoksemia : Sel otak sangat peka akan kekurangan oksigen. Bila dalam
waktu 3 - 5 menit tidak mendapat oksigen maka akan terjadi kerusakan
yang irreversible.

Hiper
iperka
karb
rbia
ia : Kenai
enaika
kan
n teka
tekana
nan
n C02
C02 arter
rteri,
i, akan
akan meny
menyeb
ebab
abka
kan
n
vaso
vasodil
dilata
atasi
si pembu
pembuluh
luh dara
darah
h otak.
otak. Meny
Menyeba
ebabka
bkan
n kena
kenaika
ikan
n tekan
tekanan
an
intracaranial, yang merupakan ancaman akan terjadinya herniasi otak.

• Gangguan sirkulasi

o Syok / cardiac arrest :

 Aliran darah ke otak berkurang, maka akan terjadi hipoksemia dan


kerusakan sel otak.

o C.V.A :

• Perdarahan

• Thrombosis

• Trauma

Menyebabkan perdaraan, edema sampai lacerasi otak. Bila ada tanda-


tanda kenaikan tekanan intra kranial (muntah - muntah, tensi naik, nadi
turun, kesadaran menurun, ada edema papil), segera lakukan :

o Cortico steroid dosis tinggi

124
o Diuretika furosemid

o Manit
Manitol
ol hany
hanya
a diberi
diberika
kan
n bila
bila yakin
yakin bahw
bahwa
a tidak
tidak perd
perdara
araha
han
n
intracranial

o Posisi tidur slight head up

o Nafas buatan dengan hiperventilasi sampai tekanan C02 arteri


sekitar 30 mm Hg.

• Metabolik

o Gangguan faal ginjal (koma uremikum)

o Gangguan faal hepar (koma hepatikum)

o Gangguan endokrin (koma diabetikum)

Dalam hal ini perlu bantuan pemeriksaan laboratorium yang lebih teliti.

• lnfeksi : encephalitis,meningitis dan lain-lain.

• Obat - obatan : obat anestesi, traquilizer, sedativum

• Tumor : menyebabkan kenaikan intra kranial dan herniasi otak.

B4 = Bladder = masalah urologi

Disini yang dinilai adalah fungsi ginjal terhadap ancaman terjadinya kegagalan
ginjal mendadak (acute renal failure).

Samuel Pawers (7) menyatakan bahwa :

“Persistent oliguria below 25 ml per hour for more than two hours, contitutes a
true medical emergency reguiring the most urgent and aggressive corrective
therapy.”

Karena itu untuk bisa menilai fungsi ginjal perlu diperiksa Urine

Volume

• Normal : I - 2 mI/kg BB

•  Anuria : 20 ml/24jam
ml/24jam

125
• Oliguria :25 ml
ml/jam at
atau 40
400 ml/24 jam

• Poliuria : 2500 ml/24 jam

Kwalitas

• Berat jenis

• Sedimen dan lain-lain

Pemer
Pemeriks
iksaa
aan
n serum
serum creat
creatini
inin,
n, BUN
BUN dan
dan bila
bila mungk
mungkin
in clear
clearanc
ance
e creat
creatini
inin,
n,
perbandingan urin creatinin/serum creatinin dan UUN / BUN

Urine :

Secara kasar dapat untuk rnenggambarkan keadaan :

• Fungsi ginjal dan salurannya

• Hemodinamik penderita (hipotensi produksi urine berkurang)

• Hidrasi penderita (hipovolemia produksi urine berkurang dan pekat).

• Horm
Hormon
onal
al : Diab
Diabet
etes
es meli
melitu
tus,
s, prod
produk
uksi
si urin
urine
e meni
mening
ngka
kat.
t. Diab
Diabet
etes
es
insipidus, poliguria, berat jenis rendah

Bilaterjadi oliguria/anuria :

• Ingat bahaya akan terjadinya acute renal failure yang mempunyai angka
mortalitas yang tinggi.

• Perlu tindakan yang cepat, tepat dan adekuat.

• Penyebab:

o Prerenal

 Hipovolemia

 Hipotensi/syok

o Renal

 Prerenal yang tak segera diatasi

126
 Reaksitransfusi

 Myoglobinuria karena crush syndrome

 Radang

o Post renal

 Batu, debris

Urutan Tindakan

Bila memang jelas ada tanda hipovolemia, berilah cairan ringer lactate atau
normal saline sampai tanda hipovolemia hilang.

Jika urine belum bertambah, berilah furosemid test.

• Bila keadaan meragukan, pasang CVP catheter, maka akan didapat 3


kemungkinan

o CVP rendah : beri cairan sampai CVP normal (8 - 14cm). Bila urine
belum bertambah lakukan furosemid tes.

o CVP normal : langsung furosemid test

o CVP tinggi : Iangsung furosemid test

• Furosemid test : diberikan I ampul furosemid intra vena, ditunggu 20-30


menit bila urine belum bertambah, dosis ditingkatkan dua kali sampai total
dosis 1 gram.

Bila tetap tidak ada response, penderita diterapi sebagai acute renal
failure dengan cara :

• Pengaturan pemberian cairan yang ketat dengan monitoring CVP.


Jumlah cairan yang masuk harus sama dengan yang keluar (kira -
kira 400 cc ditambah cairan yang keluar).

• Diberikan kelori yang cukup tinggi lewat infus (Dextrose 20 - 50 %)


dan diberikan regular insulin 1 unit/5 gr glucose, selain untuk

127
metabolisme glucose juga untuk mendorong kalium masuk ke
dalam sel.

• Stop/kurangi pemberian kalium pasang maagslang untuk drainge


K+ dan H+ dari lambung sehingga mengurangi terjadinya
hiperkaliemia dan acidosis.

• Bila ada asidosis berikan nabic.

• Cegah terjadinya infeksi dan pemberian obat yang nefrotoksik.

• Kalau perlu dialisis

Harus dibedakan oliguria/anuria dengan retensio urine, dimana produksi


urine normal, hanya oleh karena sesuatu sebab tidak bisa dikeluarkan
lewat urethra.

B5 = Bowel = Masalah tractus digestivus

Yang perlu diperhatikan adalah

Perut yang kembung atau distensi (menyangkut mastah B 1)

Keadaan ini akan menyebabkan diaphragma terdorong keatas, sehingga


pergerakan terganggu, dengan demikian pengembangan paru - paru terbatas
maka memudahkan terjadinya hipoventilasi dengan segala akibatnya.

Penyebab dapat berupa :

•  Ascites : perlu dilakukan punksi

• Perdarahan intra abdominal : segera laparatomy

• Ileus paralitik :

o Pasang pipa lambung

o Pasang pipa rektum

o Pasang infus

128
o Dipertimbangkan obat - obatseperti prostigmin, alinamin dan lain –
lain

• Ileus obstruktip

o Dipersiapkan untuk laparatomy

o Pasang pipa lambung

o Pasang infus lakukan rehidrasi dengan monitoring tensi, nadi, CVP


(biIa dipasang) dan produksi urine

Muntah dan diarrhe (menyangkut masalah B2) akan menyebabkan tubuh


kehilangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi keadaan dehidrasi akut dengan
gejala klinis.

Gejala klinis akibat berkurangnya cairan interstisiel

• Turgor kulit menurun

• Mata cowong

• Mukosa kering

• Ubun – ubun cekung

Gejala akibat berkurang plasma

• Takhikardia

• Hipotensi sampai syok

• Oliguria

Untuk rehidrasi ada bermacam - macam cara :

• Memberikan cairan dengan pedoman pada CVP

• Berdasarkan beratjenis plasma

• Cara konvensional / sederhana

Contoh

129
Berat badan 50 kg - dehydrasi berat (10%).

Diberikan cairan (RL/NaCl 0,9) 20 mI/kg BB (1000 ml) Segera. Bila belum
mengatasi syoknya, diberikan ulang sejumlah yang sama. Untuk mengoreksi
defisitnya : 10/100 x 50 L = 5000 ml. Diberikan bertahap, 8 jam I 2500 cc dan 16
 jam berikutnya 2500 ml. Selain itu jika penderita belum bisa intake oral, juga
diberikan cairan maintenance sebanyak 40 - 50 cc/kg/24 jam.

Nutrisi

BiIa oleh karena satu dan lain sebab penderita tidak bisa intake per oral maka
dipertimbangkan untuk memberikan nutrisi parenteral untuk mencegah
katabolisme yang berlebihan dan protein tubuh yang dapat menurunkan daya
tahan tubuh.

Hepar 

Diperiksa apakah ada hepatomegali, cirrrhosis hepatis dan gangguan faal hepar.

Limpa

 Apakah ada splenomegali, perlu dicari penyebabnya. Limpa mudah rupture oleh
karena trauma.

B6 = Bone = Masalah tulang dan kerangka

Pada umunya penyakit tulang atau patah tulang tidak menyebabkan kematian
secara langsung kecuali :

Patah tulang leher 

Terutama diatas cervical kedua yang dapat menyebabkan tetraplegi dan


kelumpuhan otot diaphragma sehingga penderita meninggal karena gangguan
nafas (B1). Saat ini dengan makin meningkatnya jumlah kendaraan dan
kemacetan lalulintas maka kemungkinan terjadinya. patah tulang leher makin
besar.

130
Patang tulang terbuka dengan perdarahan penderita meninggal karena syok
hipovolemia (B2).

Dalam keadaan demikian perlu dipasang tourniquet, atau sumber perdarahan


dijepit/klem dan dilakukan penggantian darah yang hilang dengan cairan (Ringer 
lactate), plasma eskpander ataupun darah. Perlu diberikan antibiotika untuk
mencegah infeksi yang mungkin terjadi

Patah tulang panjang

Dapat menyebabkan terjadinya emboli lemak yang masif sehingga dapat


menyebabkan kematian penderita karena gangguan nafas (B1)

Penting diperhatikan pada waktu pertolongan ditempat kejadian dan selama


pengangkutan agar dilakukan dengan cara yang benar sehingga tidak
menambah komplikasi dan memperburuk keadaan.

Kesimpulan

Dalam menangani penderita gawat darurat dituntut untuk bertindak cepat dan

tepat baik dalam mendiagnosa maupun terapinya. Dengan demikian diperlukan:

1. Kerja sama antar medik yang terlatih terampil dan cekatan

2. Cara penanganan / pengelolaan yang praktis, sistematis sehingga mudah


diingat dan dilaksanakan.

3. Fasilitas alat dan obat yang cukup.

Penutup

Telah dibicarakan dasar-dasar penanganan penderita gawat darurat, ternyata


masalah gawat darurat medik adalah sangat luas sehingga tidak cukup untuk
dibicarakan semua.

Bahan Bacaan

131
1. Beat J.M.

Critical care for surgical patients

Macmillan Publising Co Inc - New York - 1982

2. Bendixen M.H. Respiratory Care

C.V. Mosby Co - Saint Louis - 1965.

3. ChungE.K. Cardiac Emergency Care

Lea dan Febiger - Philadelphia - 1980

4. Cohen A.S. Freidin R.B. Samuels M.A. Medical Emergencies - Diagnostic


and Mangement Procedure From Boston City Hospital

5. Jennett B.

Diagnosis and Monitoring of Coma - Management of Medical Emergencies

Edited by Howard .Baderman

Pitmen; Medical Publishing Co. Ltd. London 1978

6. Jennett B and Bond M.R.

 Assessment of outcome after severe Brain damage

Lancet 1.480 1975

7. Kinneyi. M

Manual of Preoperative and Postoperative Care

W.B.Saunders Co Philadelphia 1971.

8. Safar Peter 

Cardio Pulmonary Cerebral Resusitation

 Asmund S. Laerdal Stavanger. Norway 1981.

132
9. Well M.H., Daluz P.L.

Crititical Care Medicine Manual

Springer Verlag - New York, 1978

10. Weil M.H. ; Henning RJ.

New Concepts in the diagnosis and fluid treatment of circulatory shock


anesthesia and analgesia 58; 2- 124- 132, Mai - April 1979.

11.Well M.H. Shubin H.

Ctitical Care Medicine, Current Principles and Practices

Harper and Row Publisher – Maryland - 1981.

12.Zorab. J.S.M

Immediate Care

W.B. Saunders Co. Ltd - London - 1977.

GAWAT NAFAS AKUT

Pendahuluan

Gangguan nafas dapat berupa hipoventilasi sampai ke henti nafas yang dapat
disebabkan oleh bermacam-macam faktor antara lain :

• Tindakan anestesi :

o  Anestesi yang terlalu dalam

o Sisa obat pelemas otot

o Obat narkotik

133
• Suatu penyakit

o Radang otak

o Radang syaraf 

o Stroke

o Tumor otak

o Edema paru

o Gagal jantung

o Miastenia gravis

• Trauma - kecelakaan

o Cedera kepala

o Cedera tulang leher 

o Cedera torax

• Keracunan obat

 Apapun penyebabnya bila tidak dilakukan penanganan dengan baik akan


menyebabkan hipoksemia dan hiperkarbia. Karena itu gawat nafas merupakan
salah satu kegawatan yang cepat menimbulkan kematian, untuk itu perlu
penanganan yang cepat, tepat, cermat dan terpadu/multidisipliner.

Patofisiologi

Jalan nafas yang tersumbat akan menyebabkan gangguan ventilasi karena itu
langkah yang pertama adalah membuka jalan nafas dan menjaganya agar tetap
bebas. Setelah jalan nafas bebas tetapi tetap ada gangguan ventilasi maka
harus dicari penyebab yang lain.

Penyebab lain yang terutama adalah gangguan pada mekanik ventilasi dan
depresi susunan syaraf pusat.

134
Untuk inspirasi agar diperoleh volume udara yang cukup diperlukan jalan nafas
yang bebas, kekuatan otot inspirasi yang kuat, dinding torak yang utuh, rongga
pleura yang negatif dan susunan syaraf yang baik.

Bila ada gangguan dan unsur-unsur mekanik diatas maka akan menyebabkan
volume udara inspirasi tidak adekwat sehingga terjadi hipoventilasi yang
mengakibatkan hiperkarbia dan hipoksemia. Hiperkarbia menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah otak yang akan meningkatkan tekanan intrakranial,
yang dapat menurunkan kesadaran dan menekan pusat napas bila disertai
hipoksemia keadaan akan makin buruk. Penekanan pusat nafas akan
menurunkan ventilasi. Lingkaran ini harus dipatahkan dengan memberikan
ventilasi dan oksigenasi.

Pusat nafas bekerja secara otomatis dan menurut kendali. OIeh karena itu pada
penderita dengan gangguan ventilasi dimana penolong belum mampu
menguasai ventilasinya dan masih diperlukan kooperasi dengan penderita
sebaiknya penderita tidak ditidurkan, tetap dalam keadaan sadar.

Gangguan ventilasi dan oksigenasi juga dapat terjadi akibat kelainan di paru dan
kegagalan fungsi jantung.

Parameter ventilasi :

• PaCO2 (N : 35 - 45 mmHg)

• ETCO2 (N : 25 - 35 mmHg)

Parameter Oksigenasi :

• PaO2(N : 80 - lOOmmHg)

• SaO2(N : 95 - 100%)

Penyebab Gangguan Nafas

Seperti apa yang telah disinggung di depan, banyak faktor dapat menyebabkan
gangguan nafas, tapi pada dasarnya dapat dibagi dalam dua kelompok :

135
1. Penyebab di sentral

Segala sesuatu yang menimbulkan depresi pada pusat nafas akan


menimbulkan gangguan nafas.

Contoh : Obat-obatan (anesthesia, narkotik, tranquilizer), trauma kepala,


radang otak, stroke, tumor.

2. Penyebab diperifer 

a. Jalan nafas

Sumbatan jalan nafas akan mengganggu ventilasi dan oksigenasi,


tetapi setelah jalan nafas bebas masih tetap ada gangguan ventilasi
maka harus dicari penyebab yang lain.

b. Paru

Kelainan di paru seperti radang, aspirasi, atelektasis, edema, contusio,


dapat menyebabkan gangguan nafas.

c. Rongga pleura

Normalnya rongga pleura kosong dan bertekanan negatif, tetapi bila


ada sesuatu yang menyebabkan tekanan menjadi positif seperti udara
(pneumotorak), cairan (fluidotorak), darah (hematotorak) maka paru
dapat terdesak dan timbul gangguan nafas.

d. Dinding dada

Patah tulang iga yang multipel apalagi segmental akan menyebabkan


nyeri waktu inspirasi dan terjadinya flail chest sehingga terjadi
hipoventilasi sampai atelektasis paru.

e. Otot nafas

Otot inspirasi utama adalah diafragma dan interkostal eksternus. Bila


ada kelumpuhan otot-otot tersebut misal karena sisa obat pelumpuh
otot, myastenia gravis, akan menyebabkan gangguan nafas. Tekanan
intra abdominal yang tinggi akan menghambat gerak diafragma.

136
f. Syaraf  

Kelumpuhan atau menurunnya fungsi syaraf yang menginervasi otot


interkostal dan diafragma akan menurunkan kemampuan inspirasi
sehingga terjadi hipoventilasi.

Contoh : Blok subarachnoid yang terlalu tinggi, cedera tulang leher,


Guillain Barre Syndrome, Poliomyelitis.

g. Jantung

Kelainan pada jantung seperti payah jantung kiri, infark miokard akut,
tamponade jantung dapat menyebabkan gangguan pada paru yang
akan menimbulkan gangguan nafas.

Gambar 1 : komponen gangguan pernafasan

Tanda - Tanda Gangguan Ventilasi

137
Lihat (Look)

• Takhipnea

Takhipnea walaupun dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti nyeri,


ketakutan, shock, dapat dianggap sebagai tanda dini adanya masalah jalan
nafas dan ventilasi. Lebih-lebih bila disertai dengan upaya nafas yang berat
(abnormal breathing).

• Perubahan status mental

 Agitasi menunjukkan adanya hipoksemia sedangkan penurunan kesadaran


mungkin akibat hipoventilasi sehingga terjadi peningkatan PaCO2 yang akan
meningkatkan tekanan intrakranial

• Gerak nafas

Bagaimana pengembangan dada dan perut waktu inspirasi ? Apakah besar,


normal atau menurun ? Bila menurun awas hipoventilasi.

 Apakah ada paralisis otot napas (interkostal atau diafragma), bila hal ini
terjadi pada penderita trauma mungkin ada cedera tulang leher.

 Apakah ada asimetri gerak dada kanan dan kiri. Awas mungkin ada
pneumotorak, hematotorak, fluidotorak atau atelektasis paru.

 Apakah digunakan otot nafas tambahan ?

• Sianosis

Bila ada berarti ada hipoksemia, tetapi bila tidak nampak bukan berarti tidak
ada sumbatan jalan nafas atau gangguan ventilasi, mungkin baru tahap awal
atau hemoglobin kurang dan 5 g%.

• Distensi vena leher 

Perlu dilihat pada penderita trauma, mungkin ada tension pneumotoraks atau
tamponade jantung.

138
• Jejas di dada

Dapat berupa luka tusuk, luka lecet, hematoma, atau bekas roda.

Dengar (Listen)

• Keluhan

Bila penderita masih sadar dapat ditanyakan apakah ada keluhan sesak.

• Suara napas

Didengarkan apakah suara nafas normal, menurun atau hilang. Apakah ada
suara tambahan stridor, wheeze, ronkhi.

Raba (Feel)

• Hawa ekspirasi

Diraba di lubang ekshalasi, hidung, mulut, trakheostorni atau pipa


endotrakheal.

• Emfisema subkutis

Pada penderita trauma sering terjadi patah tulang iga multipel yang
menimbuIkan emfisema subkutis. Awas pneumotorak.

• Krepitasi/nyeri tekan

Pada trauma thorak sering terjadi patah tulang iga multipel yang
menimbulkan nyeri pada waktu dipakai bernafas, sehingga penderita
cenderung bernafas dangkal yang dapat menyebabkan hipoventilasi dan
atelektasis paru.

• Deviasi trakhea

Bila ada deviasi trakhea curiga adanya atelektasis, tension pneumothorak,


hemato/fluidothorak masif dan hematoma.

Pemeriksaan Tambahan

139
• Pulse oximeter 

Untuk mengukur saturasi 02. Secara kontinyu dan tidak invasif.

• CO2 detector (capnograf)

Untuk mengukur kadar CO2 pada hawa akhir ekspirasi (End Tidal CO2)
Secara kontinyu dan tidak invasif. Dapat pula untuk membantu mencheck
apakah intubasi yang dilakukan masuk trakhea atau esofagus. Bila masuk
esofagus kadar CO2 rendah.

• Gas darah

Tindakan invasif untuk mengukur pH, PaO2 PaCO2 dan BE sehingga bisa
diketahui oksigenasi, ventilasi dan asam basa penderita saat itu.

• Foto Torak

Untuk mengetahui jalan nafas, paru, rongga pleura, sinus phrenicocostalis,


diafragma, tulang dinding dada, jantung dan mediastinum. Untuk melihat
keadaan trakhea, paru, rongga pleura, jantung dan dinding dada.

Kriteria Gagal Nafas

Pontoppidan

Menentukan kriteria gagal nafas berdasarkan mechanic of breathing,


oksigenation dan ventilation (lihat tabel)

Intubation
Chest physical
Accetable range therapy, oxygen, Tracheotomy
close monitoring
Ventilation

Respiratory rate 12 – 25 25 – 35

Machanics Vital capacity (ml/Kg) 70 – 30

Inspiratory force (cmH2O) 100 – 50

 A-aDO2 (mmHG)
Oxygenation
PaO2 (mmHg)

140
Vd/Vt
Ventilation
PaCO2 (mmHG)

Tabel I

Kolom paling kanan menunjukkan keadaan gagal nafas yang harus dilakukan
intubasi endotrakheal atau trakheostomi dan bantuan ventilasi.

Kolom tengah menunjukkan keadaan hipoventilasi atau gawat nafas yang sering
perlu monitoring ketat terapi oksigen dan fisioterapi nafas.

Tetapi semua mi hanyalah suatu pedoman, yang paling penting mengetahui


keseluruhan keadaan penderita dan mencegah tidak mengalami gagal nafas.

Shapiro

Gagal nafas akut bita tekanan oksigen arteri (PaO2) < 50 mmHg dan tekanan
CO2 arteri (PaCO2) > 50 mmHg (Rule Of fifty).

Petty

1.  Acutte respiratory faiture :

Pa02 < 50 mmHg, tanpa atau disertai kenaikan PaCO2

2.  Acute ventilatory failure PaCO2 > 50 mmHg

Pengelolaan Jalan Nafas

Terapi suportif 

Pada dasarnya apapun penyebabnya dasar pertolongannya adalah sama yaitu


melakukan terapi suportif dulu sambil berusaha mencari penyebabnya. Terapi
suportif merupakan tindakan resusitasi yang dilakukan berdasarkan prioritas
kegawatannya yaitu Airway–Breathing–Circulation-Disability/Brain dengan tujuan

141
untuk mengatasi hipoksemi dan hiperkarbia yang mungkin telah terjadi akibat
gawat nafasnya.

• Jalan Nafas (Airway)

Dilakukan pembebasan jalan nafas dan dijaga agar nafas tetap terbuka baik
secara manual (head tilt, chin lift, jaw thrust) dengan bantuan pipa
orofaringeal/nasofaringeal dan bila pertu dilakukan pemasangan jalan nafas
definitif (intubasi endotrakheal, cricotiroidotomi, trakheostomi). Jalan nafas
yang bebas memungkinkan pemberian oksigen lebih baik dan efektif.

Setelah jalan nafas bebas, dievaluasi bagaimana dengan ventilasinya apakah


membaik atau tetap jelek. Bila membaik, berarti gangguan ventilasinya akibat
sumbatan jalan nafasnya, tetapi bila masih jelek harus dicari penyebab yang
lain.

• Oksigenasi

Pemberian oksigen merupakan salah satu prioritas utama dengan tujuan


untuk menghilangkan hipoksemia yang terjadi, sehingga dicapai oksigenasi
yang maksimum sampai ke tingkat jaringan/sel.

Pada fase awal sebaiknya diberikan 100% oksigen, kemudian kebutuhan


oksigen disesuaikan respon dan keadaan penderita. Dengan menggunakan
alat Bag-valve-mask/tube dengan aliran O2 12 – 15L, kadar O2 hawa
inspirasi (FiO2) mendekati 100% dengan masker ketat memakai reservoir 
dengan aliran O2 10 – 12L FiO2 70 - 80%, masker O2 aliran 10-12L FiO2 50
- 60%, nasal prong dengan aliran 22 – 6L FiO2 30 - 45%.

Monitoring pemberian oksigen dapat dilakukan dengan pulse oximeter untuk


melihat saturasi O2(SaO2) dan analisa gas darah untuk melihat PaO2.
Diusahakan SaO2 lebih besar 95% dan PaO2 lebih besar 80 mmHg.

• Breathing/Ventilasi

Pada keadaan dimana terjadi hipoventilasi (PaCO2 > 50 mmHg) atau henti
nafas maka perlu diberikan bantuan ventilasi. Bantuan ventilasi dapat

142
diberikan dengan tanpa alat (mouth to mouth, mouth to nose) atau dengan
bantuan alat (mouth to facemask, bag-valve-mask sampai ventilasi mekanik).
Di rumah sakit pada umumnya bantuan ventilasi awal mempergunakan bag-
valve-mask/tube atau lazim disebut Ambu bag dengan masker atau lewat
pipa endotracheal yang bila ditambah dengan oksigen dapat sekalian untuk
melakukan oksigenasi. Dasar pernberian ventilasi bantuan adalah ventilasi
bertekanan positif berkala (IPPV = Intermittent Positive Pressure Ventilation).
Untuk melakukan tindakan ini dituntut ketrampilan penolong karena bila tidak
benar dapat menyebabkan distensi lambung dan resiko terjadinya aspirasi isi
lambung. Hal ini bisa dicegah bila penderita telah terpasang jalan nafas
endotrakheal. Sebagai ukuran bahwa pemberian nafas kita cukup baik
dengan melihat pengembangan dada yang adekwat, monitoring dengan
Capnograf End Tidal CO2 (ETCO2) 25-35 mmHg dan analisa gas darah
PaCO2 35-45 mmHg.

• Circulation/Sirkulasi

Diperlukan hemodinamik yang baik, sebab tanpa hemodinamik yang baik


oksigen yang diberikan tidak akan sampai kejaringan/sel. Bila ada shock
harus segera diatasi.

• Disability/Brain/Neurologik

Tingkat kesadaran penderita dapat menurun akibat hiperkarbia dan


hipoksemia yang berat, karena itu perbaikan tingkat kesadaran dapat dipakai
sebagai indikator keberhasilan ventilator dan oksigenasi.

Terapi causal

Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari penyebab gawat


nafasnya, tetapi kadang tidak mudah mencari penyebabnya atau bila diketahui
kadang sulit untuk menghilangkannya atau diperlukan waktu yang lama untuk
menyembuhkannya.

143
Bahan Bacaan

1. Committee on Tauma, Advanced trauma life support student manual,


Chicago, American College of Surgeon, 1997:61-95

2. Safar P. Bircher N.G, Cardio pulmonary Cerebral Resuscitation 3rded W.B


SaundersCo, London 1988.



TERAPI OKSIGEN

Dalam merawat pasien seringkali kita harus melakukan pemberian terapi oksigen, karena
 pemberian oksigen tersebut sudah merupakan pekerjaan rutin, sehingga tidak terpikirkan
 bahwa sebenarnya oksigen juga merupakan suatu “obat” yang harus memenuhi kriteria 4
tepat 1 waspada, didalam pemberiannya (tepat indikasi, dosis, cara pemberian, waktu
serta waspada terhadap akibat samping.

Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya hipoksia yaitu :

• kadar oksigen yang rendah

• gangguan jalan nafas dan pernafasan

• gangguan diffusi

• gangguan transport oksigen

• gangguan ekstraksi oksigen atau penggunaan oksigen jaringan.

Perlu diingat bahwa sebelum melakukan terapi oksigen maka jalan nafas harus
dibebaskan lebih dahulu, terutama bila terjadi sumbatan sumbatan jalan nafas total.

144
Penanganan terhadap hipoksia, bila tidak dilakukan dengan cepat dan benar akan
meningkatkan mortalitas dan morbiditas, karena adanya hipoksia tidak saja menggannggu
fungsi organ atau jaringan akan tetapi juga akan merusak organ atau jaringan tersebut.

Pengertian terapi oksigen

Terapi oksigen adalah suatu tindakan untuk rneningkatkan tekanan parsial oksigen pada
inspirasi, yang dapat dilakukan dengan cara :

• Meningkatkan kadar oksigen inspirasi (FiO2)

• Meningkatkan tekanan oksigen (hiperbarik)

Secara umum indikasi terapi oksigen adalah :

• Mencegah terjadinya hipoksia

• Terapi terhadap hipoksia

adapun contoh beberapa keadaan atau penyakit yang memerlukan terapi oksigen antara
lain :

1. Gagal nafas

2. Trauma multipel berat

3. Shock  

4. Luka bakar > 25%

5. Akut miokard infarct

6. Pasca bedah

7. Payah jantung

8. Sepsis

9. Keracuanan carbonmonoksida (CO)

145
10. Dll

Transport oksigen

Oksigen dalam darah sebagian besar diikat oleh hemoglobin, sedangkan sebagian kecil
larut dalam plasma. Banyaknya oksigen yang terikat pada Hb dinyakatan dengan
 pengertian kandungan oksigen arteri (oxygen content = CaO2)

CaO2 = Hb x SaO2 x 1,34

Hb = kadar hemoglobin (g%)

SaO2 = saturasi oksigen (%)

1,34 = konstanta (banyaknya ml oksigen yang terikat setiap 1 g Hb).

Oksigen delivery (DO,), adalah banyaknya oksigen yang disuplai kejaringan,

yang besarnya tergantung pada cardiac output dan kandungan oksigen arteri

DO2 = CO x CaO2

Bila cardiac output = 5000m1/menit, Hb 15g% dan SaO2 100%

DO2 ± 1000ml /menit

Banyaknya oksigen yang digunakan (oxygen consumtion) dinyatakan dengan VO2

VO2 = CO x (CaO2 – CVO2)

CVO2 = kandungan oksigen vena = Hb x SvO2 x 1,34

SvO2 = saturasi oksigen vena (mixed vena)

VO2 ± 250 ml/menit

Alat dan penggunaannya

146
Alat dan cara terapi oksigen ditentukan oleh banyaknya kadar oksigen (FiO2) yang akan
diberikan pada pasien, untuk menentukan FiO2 seringkali kita harus melakukan titrasi,
sampai tanda-tanda hipoksia dapat teratasi.

Tanda dan gejala : hipoksia

• Sesak 

•  Nafas cuping hidung

• Adanya gerak otot nafas tambahan, retraksi intercoctal, suprastemal

• Takhikardi, tekanan darah meningkat

• Berkeringat dingin

• Gelisah - bingung

• Kalau berat tampak sianosis

Prinsip alat terapi oksigen

• FiO2 dapat diatur sesuai kebutuhan

• Tidak terjadi rebreathing - penumpukan CO2

• Resistensi minimal

• Efisien dan ekonomis

•  Nyaman untuk pasien

Dikenal beberapa macam alat untuk terapi oksigen antara lain

•  Nasal kateter - nasal prong ( 24 - 40%)

• Masker sederhana (simple mask : 40 - 60%)

• Masker dengan reservoir rebreathing (40 - 80%)

• Masker dengan reservoir non-rebreathing (40 - 90%)

147
• Sistem venturi (24, 28, 35, 40, 50, 60%)

• Bag valve mask (bag & mask - sampai 100%)

• Respirator (21 - 100%)

• CPAP mask atau nasal (21 - 100%)

• Incubator (sampai 40%)

• Oksigen tent atau head box ( 30 - 50%)

Tiga alat terakhir tidak dibahas dalam bab ini

Monitoring terapi oksigen dapat dilakukan secara klinis atau dengan alat yang disebut
oksimeter atau percutaneus PaO2 sedangkan secara invasif dengan melakukan
 pemeriksaan gas darah arteri.

Macam dan penggunaan Untuk Terapi Oksigen

Kanula hidung

Cukup bagus untuk pemberian oksigen dengan flow rate 2 - 4 L/menit dan dapat
mencapai FiO2 0,28 – 0,36.

Pemberian oksigen dengan flow rate yang lebih tinggi akan menyebabkan kurang nyaman
 bagi pasien

Carakerja

• Selain oksigen yang diberikan melalui kanula tersebut, udara luar masih dapat
masuk melalui kedua lubang hidung

• F102 yang dicapai tergantung

o Flow rate oksigen yang diberikan

o Volume tidal, volume inhalasi serta rate nafas

o Volume dan rongga nasofaring

148
• Bila pasien bernafas melalui mulut, menyebabkan udara masuk pada waktu
inhalasi, dan akan mempunyai efek venturi pada bagian belakang faring sehingga
menyebabkan oksigen yang diberikan melalui kanula hidung terhirup melalui
rongga hidung

• Dengan kanula hidung pasien masih dapat bicara, makan dan minum

Perhatian :

Kanula hidung dan aliran gas kering menyebabkan trauma dan iritasi mukosa hidung

Sungkup Oksigen

Sungkup sederhana

Sungkup ini dirancang untuk menambah kadar oksigen pada udara pernafasan pasien,
umumnya untuk meningkatkan kadar oksigen dengan konsentrasi medium

Kompenen-komponen :

• Bagian badan sungkup yang dilengkapi dengan lubang-lubang di kedua sisinya

• Bagian lain dihubungkan dengan pipa ke sumber oksigen

• Pita elastik untuk mengikat sungkup pada muka pasien

Mekanisme kerja :

• Udara luar masuk dan udara ekshalasi keluar melalui lubang-lubang pada kedua
sisi badan sungkup.

• Oksigen masuk melalui sisi lubang yang lain

• Konsentrasi akhir dan oksigen yang dihirup tergantung :

o Berapa liter oksigen ditambahkan

o Pola pernaf san pasien.

149
o Bila ada tenggang waktu berhenti antara ekshalasi dan inhalasi, maka
sungkup terisi dengan oksigen, konsentrasi tinggi akan tercapai pada
inhalasi berikutnya.

o Flow rate inhalasi pasien

o Selama inhalasi oksigen akan diencerkan oleh udara yang masuk melalui
lubang-lubang pada sisi sungkup apabila flow rate inhalasi pasien melebihi
flow rate oksigen yang diberikan.

o Seberapa besar kebocoran oleh karena kurang melekatnya sungkup pada


muka pasien. Contoh 4L/m oksigen yang diberikan menyebabkan F102
0,35 – 0,4 pada pola nafas yang normal

Sungkup dengan reservoir rebreathing

Fungsi :

Seperti halnya sungkup sederhana namun dengan sungkup yang memakai reservoir 
rebreathing diharapkan tekanan partial oksigen pada inspirasi dapat lebih tinggi (80%)

Komponen :

Sungkup sederhana ditambah reservoir bag.

Mekanisme kerja :

Oksigen mengalir 10 - 12 liter/menit mengsi sungkup yang berlubang-lubang pada kedua


sisi dinding. Sungkup menerima oksigen yang masuk pada saat ekspirasi hawa ekshalasi
mengisi sungkup campur dengan oksigen yang ada sedang hawa ekshalasi sebagian yang
lain.

Selanjutnya pada inspirasi berikutnya terhisaplah udara luar yang masuk bercampur 
dengan udara sisa ekshalasi sebelumnya, dan oksigen dari reservoir bag maupun dan
sumber oksigen (tabung).

Sungkup dengan reservoir non rebreathing

Fungsi :

150
Tidak berbeda dengan sungkup yang lain, hanya saja pada pemakaian sungkup dengan
reservoir non rebreathing ini dapat dicapai peningkatan tekanan partial oksigen pada
inspirasi lebih tinggi lagi (90%)

Komponen :

Sungkup sederhana dengan lubang berkatup searah pada kedua sisinya. Selama
dihubungkan dengan sumber oksigen juga terpasang resrvoir bag.

Mekanime kerja :

Seperti sungkup dengan reservoir bag, namun disini tidak terhirup ulang hawa ekshalasi
sebelumnya, digunakan aliran oksigen 10 - 12 liter/menit.

Sungkup venturi : Sungkup penambah, oksigen dengan konsentrasi

tetap, umumnya untuk meningkatkan kadar oksigen konsentrasi tinggi.

Komponen :

• Badan sungkup berlubang-lubang pada kedua sisi sungkup

• Ujung atas sungkup dihubungkan dengan alat venturi. Alat ini dibuat dalam
 berbagai ukuran warna, sebagai tanda berapa konsentrasi oksigen yang dapat
dicapai.

• Ada pula alat venturi ini yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat diatur 
seberapa lubang yang dikehendaki dibentuk sehingga dapat dicapai konsentrasi
oksigen yang sesuai.

Mekanisme kerja

• Oksigen flow yang diberikan tinggi

• Oksigen tersebut mengalir melalui bagian yang sempit sehingga menyebabkan


effek venturi yaitu tekanan negativ ditempat tersebut hal ini menyebabkan udara
luar tersedot masuk melalui celah-celah alat venturi dan bercampur dengan
oksigen, sehinga dicapai konsentrasi 0,24, 0,28, 0,31, 0,35, 0,4 atau 0,6

• Oleh karena flow dan oksigen yang diberikan cukup tinggi maka hawa ekshalasi
 pasien segera akan didorong keluar dari dalam sungkup melalui lubang, pada

151
kedua sisi sungkup, maka dari itu tidak ada udara ekshalasi yang terhirup kembali
dan hal ini tidak akan meningkatkan ruang mati.

Alat Untuk Ventilasi Manual

Ambu bag

Alat ini dimaksudkan untuk dapat digunakan melakukan ventilasi manual. Portable
mudah dibawa kemana-mana dan dapat digunakan setiap saat :

• resusitasi, untuk memberikan nafas buatan

•  pemindahan pasien yang masih memerlukan nafas buatan

• nafas buatan jangka pendek 

o Balon ambu terbuat dan bahan karet atau plastik berlapis silikon.
Dirancang sedemikian rupa bila bola setelah ditekan segera dapat
mengembang sendiri secara otomatis dan udara luar masuk melalui lubang
dibagian belakang lubang kecil dan besar.

o Pada bagian depan terdapat katup searah. (non rebreathing valve - Ambu
valve), dan bahan karet, berupa membran tipis berlapis silikon.

o Katup ini juga berfungsi sebagai katup penyelamat, apabila terjadi


kelebihan gas inhalasi yang dipompakan.

o Ada beberapa ukuran bagi bayi, anak, dan dewasa.

o Ada yang dirancang sebagai ambu sekali pakai (disposable).

Balon Anestesi

Balon dapat mengembang, apabila diisi dengan oksigen. Merupakan bagian yang penting
dan sistem alat penunjang pernafasan.

Komponen :

• Balon terbuat dan bahan karet atau plastik anti statik 

• Dirancang dalam bentuk eklipsoidal

152
• Dengan beberapa ukuran mulai 0,25 liter, 0,5 liter, 1 liter, 2 liter dan 3 liter.

• Ujung depan kearah pasien sering dihubungkan dengan pipa korugated yang
 berakhir pada konektor bengkok.

Pada konektor bengkok tersebut terdapat cabang tempat masuk oksigen, cabang
termpat pengukuran tekanan, berhubungan dengan sungkup pasien atau konektor 
ETT.

• Ujung belakang balon berakhir pada bagian menyempit berupa pipa karet
 berlubang. Lubang tersebut dapat diatur besar kecilnya dan ini berfungsi sebagai
lubang pengatur tekanan dalam balon (expiratory port)

Perhatian :

• Baton dapat mengembang berlebih yang disebabkan oleh karena aliran oksigen
yang berlebihan, lubang expiratory port tertutup, sehingga tekan dalam balon
tinggi dan dapat menyebabkan pneumothorax.

• Besar kecilnya balon ikut menentukan cukup tidaknya oksigen bagi pasien. Balon
yang terlatu kecil dapat mengakibatkan tidak cukupnya oksigen bagi pasien
dengan volume tidal yang besar.

• Sebaliknya balon yang terlalu besar sulit untuk digunakan membantu dan
mengendalikan pernafasan pasien.

Macam Dan Penggunaan Ventilasi Mekanik 

Ventilator

Fungsi :

• Untuk mengendalikan nafas dengan cara IPPV

• Beberapa mempunyai fasilitas dengan berbagai model pengendalian/ operasional

• Dapat digunakan dikamar operasi, ruang rawat intensiv, selama transportasi


 pasien dalam ambulans ataupun di rumah, misalnya pada pasien-pasien yang
memerlukan bantuan nafas di malam hari (nocturnal respiratory assistance)

153
• Berbagai klasifikasi/jenis respirator berdasarkan, siklus kerjanya, metode
operasionalnya, sumber tenaganya, kecocokannya untuk digunakan di kamar 
operasi atau di ruang rawat intensiv.

• Kecocokannya untuk digunakan pasien anak atau dewasa

Gambaran ventilator yang ideal

• Sederhana portable, mudah dan murah

• Dapat rnemberikan volume tidak kurang 1500cc dengan frekwensi nafas hingga
60 kali/menit dan dapat diatur ratio I/E.

Dapat digunakan dan cocok dengan berbagai alat penunjang pernafasan yang lain.

Dapat digunakan pula untuk memberikan udara, oksigen, uap gas, atau campuran.

Dapat dirangkai dengan PEEP.

• Dapat memonitor tekanan dalam jalan nafas, volume inhalasi, ekshalasi, volume
tidal, frekuensi nafas dan konsentrasi oksigen inhalasi.

• Mempunyai fasilitas untuk humidifikasi serta penambahan obat didalamnya.

• Mempunyai alarm, bila terjadi dikoneksi, tekanan didalam jalan nafas yang tinggi,
gangguan atau terputusnya sumber listrik.

• Mempunyai fasilitas untuk SIMV, CPAP, pressure support.

• Mudah membersihkan dan mensterilkan.



154
SMF ANESTESI 24-06 October 2007 (2MINGGU)

PREMEDIKASI
 Tujuan
 – menghilangkan kecemasan
 – mendapatkan sedasi
 – mendapatkan analgesia
 – mendapatkan amnesia
 – mendapatkan efek antisialogoque
 – menaikkan pH cairan lambung
 – mengurangi volume cairan lambung
 – mencegah terjadinya reaksi allergi.
 Hasil akhir : sedasi dari pasien tanpa disertai depresi dari pernafasan dan sirkulasi.

Golongan Obat Contoh


Barbiturat Luminal
 Narkotik Petidin, Morfin
Benzodiazepin Diazepam, Midazolam
Butyrophenon Dehydrobenparidol
Antihiatamin Prometazine
Antasida Gelusil

155
Anticholinergik Atropin
H2 receptor antagonis Cimetidine

Obat-obatan premedikasi dilakukan 30 menit sampai 1 jam sebelum operasi


Cara pemberiannya secara im dan bila diberikan iv maka dosisnya 1/3 im

1. NARKOTIK 
a. Morfin
• Dosis : 0,1 – 0,2 mg/kgBB im (premedikasi)
• Keuntungan
- menurunkan kecemasan
- menghindari takipneu pada terapi trikloretilen
• Kerugian
- Waktu pemulihan memanjang
- Spasme dan kolik biliaris dan ureter 
- Hipotensi
- Depresi nafas

b. Petidin
Dosis premedikasi : 1 – 1,5 mg/kgBB iv
Dosis induksi : 1 – 2 mg/kgBB
Efeknya menekan tekanan darah dan pernafasan
Merangsang otot polos
2. BARBITURAT
Dosis: 1 mg/kgBB po/ im
Dewasa; 100-200 mg
Masa pemulihan tidak diperpanjang
Fenobarbital: depresan lemah terhadap pernafasan dan sirkulasi
Mual dan muntah jarang

3. ANTIKOLINERGIK 
Dosis: 0,001 – 0,04 mg/kgBB ato 0,4-0,6 mg im
Bekerja setelah 10 – 15 menit
Mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus
 Nadi meningkat
Midriasis
Kenaikan suhu

4. TRANSQUILLIZER 
c. Diazepam
• Dosis premedikasi : 0,2 – 0,5 mg/kgBB im /po
• Dosis maksimum: 15 mg
• Dosis induksi : 0,2 – 1 mg/kgBB iv

156
• Kerja pada limbic, thalamus hipotalamus

• Efek penenang

• Antianxietas

• Relax otot rangka

d. Midazolam
Dosis: 50% dari dosis diazepam
Awal dan lama kerja lebih pendek 

5. PROMETAZINE HCl/PHENERGAN
Dosis: 12,5 – 50 mg/kgBB iv /im
Anti emetic
Anti histamine
Analgesic pasca operasi

6. DROPERIDOL/ DEHYDROPARIDOL
Dosis: 0,1 – 0,2 mg/kgBB (2,5 – 5 mg im)
Dosis premedikasi : 2,5 – 10 mg iv/im (0,04 – 0,07 mg/kgBB)

Anti emetic
 Neuroleptik 
Sedasi
Gangguan ektra pyramidal
Vasodilatasi pembuluh darah perifer 

INDUKSI
1. pentotal / thiopental (gol barbiturate)
golongan barbiturate
dosis induksi : 3 – 5 mg/kgBB iv
- Depresi kortex dan reticuler activating system
- Dosis berlebih menyebabkan depresi pusat nafas di medulla oblongata
- Pulih / sadar cepat (3-5) menit karena redistribusi obat dari otak ke jaringan lain
- Untuk tindakan singkat
- Meningkatkan kepekaan reflek jalan nafas
- Vasodilatasi  hipotensi
- Metabolisme di hepar 
- Ultra short acting barbiturate
- Injeksi  sakit, nyeri bias nekrosis
- Tidak iritasi saluran nafas
dosis sedasi : 0,5 – 1,5 mg/kgBB

157
2. ketamin/ketalar
dosis induksi : 1 – 2 mg/kgBB iv
- Efek analgesic kuat
- Onset cepat
- Stimulasi kardiovaskuler ringan
- Vasokonstriksi
- TIK meningkat
3. Propofol
dosis induksi : 1 – 2 mg/kgBB
dosis rumatan: 500 µg/kgBB/menit infus
dosis sedasi: 25 – 100 µg/kgBB/menit infuse
- Suntik pada vena besar +lidokain iv (0,1 mg/kgBB)  tidak menimbulkan nyeri
- Tidak punya sifat analgesic
- Waktu pulih sadar lebih cepat, mual dan muntah lebih jarang disbanding
thiopental
- Anti emetic
- Menurunkan aliran darah otak dan tekanan perfusi ke otak 
- Depresi pernafasan, apneu, bronco dan laringo spasme
- Kardiovasculer: hipotensi, aritmia, takikardi/bradikardi, hipertensi

MUSCLE RELAKSAN
1. Sifat
- Depolarisasi
- Non Depolarisasi
2. Duration of Action (DoA)
- Short Act (3-5 menit)
- Intermediate (30-45 menit)
- Long act (45-60 menit)

a. Depolarisasi
Fasikulasi otot (+)
Potensiasi dengan asetilkolin esterase
Kelumpuhan bertahap tidak ada
Suksinil kolin (suksametonium)
Dosis intubasi: 1-1,5 mg/kg BB
Mula kerja 1-2 menit
Lama kerja 3-5 menit

 b. Non Depolarisasi


Fasikulasi otot (-)
Potensiasi dengan anestetik inhalasi
Kelumpuhan bertahap ada
Dapat diantagonis dengan antikolin esterase (prostigmin 0,5 mg bertahap sampai 5
mg. efek muskarinik, nikotinik, stimulant otot langsung)
Pavulon (pankuronium bromida)

158
Dosis awal: 0,08 mg/kg BB iv
Dosis rumatan: ½ dosis awal
Dosis intubasi trakea 0,15 mg/kgBB iv
Mula kerja 2-3 menit
Lama kerja 30-40 menit

Suksinil kolin
Indikasi:
- Relaksasi otot skeletal selama intubasi endotrakeal
- Operasi abdomen
- Terapi kejang listrik 
- Terapi emergensi pada laringospasme
Kontraindikasi
- Trauma termis lama / trauma langsung pada otot  gangguan neurlogis 
tetanus
- Trauma tembus mata
- Myotonia  kekakuan (rigidity)

ANESTESI REGIONAL indikasi untuk operasi dari udel kebawah


a. Anestesi local + infiltrasi
 b. Anestesi local iv
c. Anestesi blok (SAB dan Peridural)
1. Sub Arachnoid Block 
- Untuk operasi 1-2 jam
- Jarum no 25:  one shoot
• Th II setinggi jugular 
• Th IV setinggi papilla mamae. Ex: operasi appendix, SC
• Th VI setinggi Proc. Xiphoideus. Ex: op. mioma
• Th VIII setinggi arcus costae untuk kasus-kasus obstetric
• Th XI setinggi inguinal untuk fraktur cruris
- Makin tinggi block  vasodilatasi >>
- Kontraindikasi: hipotensi
- Obat disuntik pada L3-L4 setinggi SIAS
- Pencapaian obat tergantung:
• Konsentrasi obat
• Posisi pasien
• Keahlian operator 
2. Peridural
- Untuk operasi lama/ berulang pemberian
- Mandarin dilepas setelah kateter dimasukkan
- Obat-obat yang dipakai = SAB
3. SAB dan peridural
- Untuk operasi bagian pusat ke bawah

159
- Mudah terjadi vasodilatasi hebat
- KI: gangguan tulang belakang (scoliosis, kiposis, lordosis)

LIDOKAIN
Dosis infiltrasi : 0,25 – 0,5%
Dosis blok/topical: 1-2%
Dosis permukaan: lidokain gel 2%
Dosis lumbal:5%
Dosis maksimal tanpa adrenalin 3 mg/kgBB
Dosis maksimal adrenalin 7 mg/kgBB
Di metabolisme di hepar sebagian, sebagian dikeluarkan ke urin
Mulainya cepat bebas iritasi local
Kuat dan ekstensif 

BUPIVAKAIN
Golongan amida
Dosis blok 0,25-0,5%
Dosis spinal 0,5%
Jumlah total untuk sekali pemberian (maks) 200 – 500 mg
Mula kerja lambat
Lama/masa kerja panjang
ANESTESI UMUM indikasi untuk operasi dari udel keatas
1. Intra vena  < 1 jam
2. Facemask  30 – 1 jam Dilanjutkan inhalasi
3. intubasi  > 1 jam

Obat anestesi inhalasi


1. Halotan
- Dosis induksi: 2-4%
- Dosis rumatan: 0,5-2%
- Menurunkan curah jantung dan tekanan arteri rata-rata
- Bradikardia
- Depresi miokard
- Miokard  peka trhadap katekolamin  aritmia
- Bronkodilator 
- Vasodilatasi
- TIK meningkat
- Hepatotoksisitas
- Induksi cepat, watu pulih cepat
- Jarang mual dan muntah
- Analgesi dan relaksasi kurang
2. Enfluran
- Dosis induksi 2-4,5% dalam O2/N2O2
- Dosis rumatan: 0,5-3%
- Mudah menguap
- Induksi cepat

160
- Jarang menimbulkan mual dan muntah
- Masa pemulihan cepat
- Iritatif sauran pernafasan
- Renal toksisity  flouride
3. Isofluran
- Dosis induksi 3-3,5% dalam O2/ kombinasi N2-O2
- Dosis rumatan: 0,5-3%
- Irama jantung stabil
- Tidak terangsang oleh adrenalin
- Induk dan Masa pemulihan cepat
- mahal
4. eter
- Dosis induksi 10-20%
- Dosis rumatan: 5-15%
- Mudah menguap, bau khas
- Iritatif sauran pernafasan
- Mudah terbakar / meledak 
- Diurai cahaya / udara
- Murah dan mudah tersedia
- Tidak perlu kombinasi, sederhana
- Hipersekresi kelenjar ludah
- Hiperglikemia
- menimbulkan mual dan muntah
- vasokonstriksi

5. sevofluran
- Dosis induksi 6-8 vol%
- Dosis rumatan: 1-2 vol%
- Induksi enak dan cepat, terutama pada anak 

6. etilklorida
- Dosis induksi / Dosis rumatan: ? / 3-3,5% ?
- Mudah menguap dan terbakar 
- Mula kerjanya cepat tapi waktu kerja juga cepat
- Masa pemulihan cepat
- Dapat sebagai anestesi lokal
7. N2O
- Dosis kombinasi N2O:O2
• Anestesi 60%:40%; 70%:30%; 50%:50%
• Analgesik 20%:80%
• Induksi 80%:20%
• Rumatan 70%:30%
- Tidak iritatif 
- Tidak berwarna dan tidak berasa
- Bau manis
- Bahaya untuk pasien;

161
• Pneumotorak 
• Pneumomediastinum
• Obstruksi
• Emboli udara
• Timpanoplasti
CAIRAN
Intrasel (40%)

Interstitial (15%)
Cairan tubuh

Ekstrasel (60%)
Plasma/ intra
vaskuler(5%)

Kebutuhan air perhari


0 – 10 kg 100 cc/kgBB
10 – 20 kg 1000cc + 50 cc/kgBB
20 – 30 kg 1500cc + 20 cc/kgBB
> 30 kg 50 cc/kgBB Kebutuhan Elektrolit
 Na 2 – 4 mEq/kgBB/hr 
K 1 – 2 mEq/kgBB/hr  
Kebutuhan 20 – 30 kal/kgBB/hr 
Kalori

Jenis-jenis cairan
1. Cairan elektrolit / kristaloid ex: RL, PZ
2. Cairan kalori Ex: D5
3. Cairan koloid Ex: expander, haemacel

Larutan Na+ K + Cl-  pH Ca++ Mg++ Kalori/L


ECF 138 5 108 7,4 5 3 12
D5W 0 0 0 4,5 0 0 200
 NaCl 0,9% 154 0 154 6,0 0 0 0
Ringer Laktat 130 4 109 6,5 3 0 0
Rl D5% 130 4 109 3 0 200
RL Maltose 130 4 109 3,5 – 6,5 3 0 200
Contoh pasien BB 50 kg
Kebutuhan cairan 50 cc/kgBB/hr = 2500 cc/hr = 100 cc/jam
Kebutuhan Na 2-4 mEq/kgBB/hr = 100 – 200 mEq/hr (missal 150 mEq/hr)
Kebutuhan kalori 20 – 25 kal/kgBB/hr = 1000 – 1250 kal/ hr 

Jadi diberikan infuse:


RL  2 flas karena mengandung Na 131 mEq/L (sudah 1000cc)
D20  2 flas karena = 800 kal/L (sudah 1000cc)

162
D10  1 flas karena = 200 kal/flas (sudah 500cc)
1 flas cairan = 500 cc

DEHIDRASI
Ringan Sedang Berat
Kesadaran N Apatis Stupor/Coma
Tensi N/↓ ↓↓ Tak terukur  
 Nadi N/↑ ↑↑ Tak teraba
RR N/↑ ↑↑ Takipneu
Turgor Turgor ↓ Turgor ↓↓ Turgor ↓↓↓
Urine N/↓ (Pekat) Oliguri Anuri
% kehilangan 3 – 5% 6 – 8% > 8%
Defisit 1500 – 2500 cc 3000 – 4000 cc > 4000 cc
Yang patognomonis: urine + JVP
Yang lainnya terpengaruh oleh lingkungan dan keadaan

Cepat (20cc/kgBB/15-30 menit)

REHIDRASI ½ dalam 8 jam I

Lambat
½ dalam 16 jam
II

Bila dehidrasi ringan dan sedang pake hidrasi lambat


Bila dehidrasi berat pake hidrasi cepat
Rumatan tetap dipakai 50 cc/kgBB/hr 

Contoh soal:
Lelaki 60 th BB 50 kg diagnosa hernia inkarserata 6 hari (T: 100/60, N: 80, urin: -, kesad:
apatis, turgor: ↓↓, perfusi pucat, RR: 24)
Dx: Dehidrasi berat berarti defisit cairan > 10% atau 5L= 5000cc
Tx: rehidrasi cepat 20 cc/kgBB/30 menit = 1000cc/30 menit
T: 100/70, N: 80, urin: -
Diulangi lagi 1000 cc/ 30 menit
T: 110/70, N: 78, urin: -
Diulangi lagi 1000 cc/ 30 menit
T: 130/80, N: 78, urin: 40 cc (optimal)
Cairan yang sudah masuk = 3000 cc dalam 1 ½ jam, kemudian dilanjutkan rehidrasi
lambat

163

Anda mungkin juga menyukai