Anda di halaman 1dari 2

K.H.

As’ad Humam

K.H. As’ad Humam dilahirkan di Yogyakarta tahun 1933. Pada usia 18


tahun, ia terjatuh dari pohon dan mengalami pengapuran tulang belakang.
Lehernya tak bisa digerakkan dan ia mesti berjalan dengan bantuan tongkat.
Kecelakaan inilah yang membuatnya tak bisa menyelesaikan sekolah.

Ia anak kedua dari tujuh bersaudara. Bersama keluarganya tinggal di


Kampung Selokraman, Kotagede, Yogyakarta. Keluarganya menekuni
wirausaha sebagai mata pencaharian, hal ini pula yang mendorongnya saat ia
masih muda untuk berjualan barang-barang imitasi di pasar Bringharjo.

Sekali waktu ia bertemu dengan K.H. Dachlan Salim Zarkasyi asal


Semarang yang menemukan metode Qiroati, sebuah metode belajar membaca
Alquran. Ia pun kemudian turut mengajarkan metode Qiroati kepada anak-anak.
Dalam perjalanannya, K.H. As’ad Humam menganalisis metode Qiroati dan
menemukan solusi untuk meningkatkan pencapaian dari metode tersebut.

Temuan-temuannya yang ia pikir bisa menyempurnakan metode Qiroati


ia sampaikan kepada K.H. Dachlan Salim Zarkasyi, tapi kurang ditanggapi. Hal
ini karena menurut K.H. Dachlan Salim Zarkasyi, metode Qiroati adalah
metode belajar yang sudah baku dan tidak bisa dicampuri oleh metode lain.

Hal ini kemudian sempat menimbulkan ketegangan di antara kedua


penemu metode membaca Alquran tersebut. Saat itu yang populer sebagai
metode belajar membaca Alquran di Indonesia adalah Qowaid Al-Baghdadiyah,
yaitu dengan cara dieja. Cara belajarnya amat rumit, karena untuk menghasilkan
bunyi “a” misalnya, yang belajar mesti memulai dengan huruf alif yang
bersandang atau harakat fatah, baru dibaca “a”.
Dulu di masjid, musala, dan surau, sering terdengar anak-anak tengah
mengeja dengan bunyi, “alif fatah a, alif kasrah i, alif dhamah u, a-i-u”. Bunyi
ini tentu terus berubah sesuai dengan huruf yang tengah dieja, dirangkai, lalu
dibaca. Cara seperti ini membuat membaca huruf hijaiyah atau huruf Arab
secara keseluruhan untuk merangkainya dalam ayat Alquran butuh waktu yang
cukup lama.
Berbeda dengan metode tersebut, Iqro yang terdiri dari enam jilid tidak
lagi dieja, melainkan menyajikan cara baca dengan sistem (suku) kata. Mula-
mula dipilih kata-kata yang akrab dan mudah bagi anak-anak, seperti “ba-ta”,
“ka-ta”, “ba-ja”, dan sebagainya. Setelah itu dilanjutkan dengan kata yang lebih
panjang, kemudian kalimat pendek, lalu mempelajari kata yang ada di dalam
surat-surat pendek. Semuanya disajikan dengan sederhana sehingga yang
belajar, terutama anak-anak bisa mudah mempelajarinya.

Selain cara baca yang sama sekali berbeda dari metode eja, dalam Iqro
pun terdapat 14 poin penting yang menjadi konsep utuh dalam cara membaca
Alquran, dua di antaranya yaitu: privat (menyimak yang belajar/santri seorang
demi seorang secara bergantian), dan asistensi (santri yang lebih tinggi
pelajarannya bisa ikut membantu menyimak santri lain yang masih di bawah
levelnya).

Nama Iqro diambil dari firman Allah yang turun pertama kali, yaitu
“Iqro” yang artinya “bacalah”. Tahun 1988, di tempat tinggalnya di Kampung
Selokraman, Kotagede, didirikan Taman Kanak-kanak Alquran (TKA) untuk
anak usia 4-6 tahun, dan setahun kemudian didirikan Taman Pendidikan
Alquran (TPA) untuk anak usia 7-12 tahun. Dari sini awalnya Iqro disebarkan
secara getok tular. Kemudian menyebar dengan cepat sehingga banyak
digunakan di banyak tempat.

Keberhasilan Iqro dalam membantu anak-anak belajar membaca Alquran


membuat K.H. Munawir Sjadzali, menteri agama saat itu, menjadikan TKA dan
TPA yang didirikan oleh K.H. As’ad Humam sebagai Balai Penelitian dan
Pengembangan Lembaga Pengajaran Tartil Quran Nasional.

Dikarenakan kondisi kesehatan yang terus memburuk Jumat, 2 Februari


1996, K.H As’ad Humam meninggal dunia.

Anda mungkin juga menyukai