TINJUAN PUSTAKA
A. Nyamuk Aedes sp
Aedes merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit
demam berdarah.[4,6] Aedes sp tersebar luas di wilayah tropis dan subtropis Asia Tenggara, terutama
di sebagian besar wilayah perkotaan. Penyebaran Aedes sp di pedesaan akhir-akhir ini relatif
sering terjadi yang dikaitkan dengan pembangunan sistem persediaan air pedesaan dan perbaikan
sistem transportasi.[4]
2. Larva Aedes sp
Larva nyamuk Aedes sp tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu-bulu sederhana
yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya
mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis), dan larva yang terbentuk berturut-turut disebut
larva instar I, II, III dan IV. Larva instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2
mm, duri-duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong pernafasannya
(siphon) belum menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri dada
belum jelas, dan corong pernafasan sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap
struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax),
dan perut (abdomen).[15]
Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antena tanpa duri-duri
dan alat-alat mulut tipe pengunyah (chewing). Bagian dada tampak paling besar dan terdapat
bulu-bulu yang simetris. Perut tersusun atas 8 ruas. Ruas perut ke-8, ada alat untuk bernafas
yang disebut corong pernafasan. Corong pernafasan tanpa duri-duri, berwarna hitam dan ada
seberkas bulu-bulu (tuft). Ruas ke-8 juga dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu sikat (brush) di
bagian ventral dan gigi-gigi sisir (comb) yang berjumlah 15-19 gigi yang tersusun dalam 1
baris. Gigi-gigi sisir dengan lekukan yang jelas membentuk gerigi. Larva ini tubuhnya langsing
dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaktis negatif dan waktu istirahat membentuk sudut
hampir tegak lurus dengan bidang permukaan air.[15]
3. Pupa Aedes sp
Pupa nyamuk Aedes sp bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala-dada
(cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga tampak seperti
tanda baca “koma”. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat bernafas seperti terompet.
Pada ruas perut ke-8 terdapat sepasang alat pengayuh yang berguna untuk berenang. Alat
pengayuh tersebut berjumbai panjang dan bulu di nomor 7 pada ruas perut ke-8 tidak
bercabang. Pupa adalah bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila dibandingkan
larva. Waktu istirahat posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air.[15]
Gambar 2.3. Pupa Nyamuk Aedes sp.[13]
4. Aedes sp dewasa
a. Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti betina dewasa memiliki tubuh berwarna hitam kecoklatan.
Ukuran tubuh nyamuk Aedes aegypti betina antara 3-4 cm, dengan mengabaikan panjang
kakinya. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan garis-garis putih keperakan. Di bagian
punggung (dorsal) tubuhnya tampak dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan
yang menjadi ciri dari nyamuk spesies ini.[15]
Sisik-sisik pada tubuh nyamuk pada umumnya mudah rontok atau terlepas sehingga
menyulitkan identifikasi pada nyamuk-nyamuk tua. Ukuran dan warna nyamuk jenis ini kerap
berbeda antarpopulasi, bergantung pada kondisi lingkungan dan nutrisi yang diperoleh nyamuk
selama perkembangan.[6]
b. Aedes albopictus
Aedes albopictus termasuk dalam subgenus yang sama dengan Aedes aegypti. Spesies
ini tersebar luas di Asia dari negara beriklim tropis sampai yang beriklim subtropis. Selama dua
dekade terakhir, sepesies ini telah melebarkan sayapnya sampai ke Amerika Selatan dan Utara,
Karibia, Afrika, Eropa Utara dan beberapa kepulauan Pasifik.
Aedes albopictus merupakan nyamuk kebun (forest mosquito), nyamuk yang bertelur
dan berkembang di lubang pohon, ruas bambu dan pangkal daun sebagai habitat hutannya serta
penampung buatan di daerah perkotaan. Nyamuk ini merupakan nyamuk yang bersifat zoofilik
(lebih memilih hewan) dari pada Aedes aegypti. Jarak terbangnya bisa mencapai 500 meter.[4]
Gambar 2.4. Nyamuk Aedes sp Dewasa.[13]
E. Bionomi Nyamuk Aedes sp
Bionomik vektor meliputi kesenangan tempat perindukan nyamuk, kesenangan nyamuk
menggigit dan kesenangan nyamuk istirahat.
1. Kesenangan tempat perindukan nyamuk[15]
Tempat perindukan nyamuk biasanya berupa genangan air yang tertampung disuatu
tempat atau bejana. Nyamuk Aedes tidak dapat berkembangbiak di genangan air yang langsung
bersentuhan dengan tanah. Genangannya yang disukai sebagai tempat perindukan nyamuk ini
berupa genangan air yang tertampung di suatu wadah yang biasanya disebut kontainer atau
tempat penampungan air bukan genangan air di tanah.
Survei yang telah dilakukan di beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa tempat
perindukan yang paling potensial adalah TPA yang digunakan sehari-hari seperti drum,
tempayan, bak mandi, bak WC, ember dan sejenisnya. Tempat perindukan tambahan adalah
disebut non-TPA, seperti tempat minuman hewan, vas bunga, perangkap semut dan lain-lainnya,
sedangkan TPA alamiah seperti lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa,
kulit kerang, pangkal pohon pisang, potongan bambu dan lain-lainnya. Nyamuk Aedes lebih
tertarik untuk meletakkan telurnya pada TPA berair yang berwarna gelap, paling menyukai
warna hitam, terbuka lebar, dan terutama yang terletak di tempat-tempat terlindung sinar
matahari langsung.[15]
Tempat perindukan nyamuk Aedes yaitu tempat di mana nyamuk Aedes meletakkan
telurnya terdapat di dalam rumah (indoor) maupun di luar rumah (outdoor). Tempat perindukan
yang ada di dalam rumah yang paling utama adalah tempat-tempat penampungan air seperti bak
mandi, bak air WC, tandon air minum, tempayan, gentong tanah liat, gentong plastik, ember,
drum, vas tanaman hias, perangkap semut dan lain-lain. Sedangkan tempat perindukan yang ada
di luar rumah (halaman) seperti drum, kaleng bekas, botol bekas ban bekas, pot bekas, pot
tanaman hias yang terisi oleh air hujan, tandon air minum dan lain-lain.[15]
5. Terpadu
Pengendalian vektor terpadu adalah kombinasi metode pengendalian yang ada dalam
cara yang efektif, ekonomis dan cara yang aman untuk mempertahankan populasi vektor pada
tingkat yang diterima. Kampanye pemusnahan Aedes aegypti tahun 1981 di Kuba dikombinasi
dengan penurunan habitat larva (sumber deduksi) dan modifikasi penyimpanan air minum
dengan berbagai intervensi lain, termasuk tindakan legislatif untuk mendorong kepatuhan
penghuni rumah tangga, pendidikan kesehatan, pengendalian biologis dan pengendalian kimia.
Upaya ini secara nyata menurunkan kejenuhan vektor. Pengendalian terhadap Aedes sp dapat
juga dikombinasi dengan pengendalian terhadap vektor penyakit lain.[21]
Penggunaan insektisida untuk program pencegahan dan pengendalian vektor dengue
harus dipadukan dengan metode lingkungan kapanpun jika memungkinkan. Selama periode
tidak ditemukannya atau hanya ada sedikit aktifitas virus dengue, kegiatan pemberantasan
sumber virus yang dilakukan secara rutin dapat diwujudkan dengan memberikan larvasida
dalam wadah air yang tidak dapat dihilangkan, ditutupi, ditimbun ataupun dikelola. Untuk
tindakan pengendalian kedaruratan guna menekan epidemi virus dengue atau guna mencegah
Kejadian Luar Biasa (KLB) yang besar, sebuah program pemberantasan populasi nyamuk
Aedes sp yang cepat dan besar-besaran harus dilakukan baik dengan penggunaan insektisida
maupun pengurangan sumber/habitat nyamuk menggunakan teknik dalam suatu cara yang
terpadu.[4]
H. Penggunaan Ovitrap
1. Pengertian Ovitrap
Ovitrap (singkatan dari oviposition trap) adalah peralatan untuk mendeteksi keberadaan
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus jika kepadatan nyamuk rendah dan survei larva
menunjukkan hasil yang tidak produktif (misal BI kurang dari 5), seperti dalam kondisi yang
normal. Secara khusus, ovitrap digunakan untuk mendeteksi infestasi nyamuk ke area baru yang
sebelumnya pernah dibasmi.
Ovitrap yang standar berupa tabung gelas kecil bermulut lebar yang dicat hitam di
bagian luarnya. Tabung gelas tersebut dilengkapi dengan tongkat kayu yang dijepit vertikal di
bagian kasarnya menghadap ke arah dalam. Tabung diisi air sampai setengahnya dan
ditempatkan dilokasi yang diduga menjadi habitat nyamuk, biasanya di dalam atau di sekitar
lingkungan rumah.[4]
2. Modifikasi Ovitrap
Dalam perkembangannya, penggunaan ovitrap meningkat menjadi salah satu metode
pengendalian vektor. Modifikasi juga dilakukan untuk meningkatkan produktifitas ovitrap
dengan diisi zat penarik penciuman (attractant) yang dapat mempengaruhi perilaku nyamuk
dalam memilih tempat bertelur. Peneliti di Kamboja menyebutkan adanya perbedaan jumlah
telur pada ovitrap menggunakan 10% air rendaman jerami dengan ovitrap yang menggunakan
air biasa. Jumlah telur yang dihasilkan lebih banyak pada 10% air rendaman jerami daripada
menggunakan air biasa.[7]
Modifikasi bentuk dan ukuran antara lain dengan menggunakan gelas plastik berukuran
200, 350 dan 470 mililiter. Modifikasi bentuk juga dilakukan dengan menggunakan kaleng susu
bekas berukuran 240 milimeter yang dicat hitam bagian luar dan dalam. Selain modifikasi
bentuk modifikasi bahan juga dilakukan terhadap lapisan tempat meletakkan telur dari panel
kayu, bambu dan kertas saring.[22] Modifikasi warna kasa nylon tetapi tidak mempengaruhi
jumlah larva aedes yang terperangkap.[13]
Penelitian tentang ovitrap yaitu dengan air rendaman jerami 10%, 30%, 50%, 70% dan
90 %. Hasil menunjukan ada hubungan bermakna air rendaman jerami pada ovitrap terhadap
jumlah telur Aedes sp yang terperangkap, sedangkan pada letak penempatan didalam dan diluar
rumah tidak ada hubungan yang bermakna[10] dan penelitian tentang autocidal ovitrap (lethal
ovitrap/LO) dengan air rendaman jerami dan rumput Panicum maximum, air rendaman udang
dan kerang. Hasilnya menunjukan bahwa penggunaan lethal ovitrap dapat menurunkan indeks
ovitrap.[5]
I. Atraktan
1. Pengertian
Atraktan adalah sesuatu yang memiliki daya tarik terhadap serangga (nyamuk) baik
secara kimiawi maupun visual (fisik). Atraktan dari bahan kimia dapat berupa senyawa
ammonia, CO2, asam laktat, octenol dan asam lemak. Zat atau senyawa tersebut berasal dari
bahan organik atau merupakan hasil proses metabolisme mahluk hidup, termasuk manusia.
Atraktan fisika dapat berupa getaran suara dan warna, baik warna tempat atau cahaya.
Atraktan dapat digunakan untuk mempengaruhi perilaku, memonitor atau menurunkan
populasi nyamuk secara langsung, tanpa menyebabkan cedera bagi binatang lain dan manusia
dan tidak meninggalkan residu pada makanan atau bahan pangan. Efektifitas penggunaannya
membutuhkan pengetahuan prinsip-prinsip dasar biologi serangga. Serangga menggunakan
petanda kimia (semiochemicals) yang berbeda untuk mengirim pesan. Hal ini analog dengan
rasa atau bau yang diterima manusia. Penggunaan zat tersebut ditandai dengan tingkat
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Sistem reseptor yang mengabaikan atau menyaring
pesan-pesan kimia yang tidak relevan disisi lain dapat mendeteksi pembawa zat dalam
konsentrasi yang sangat rendah. Deteksi suatu pesan kimia merangsang perilaku-perilaku tak
teramati yang sangat spesifik atau proses perkembangan.[5]
2. Air Rendaman Jerami
Air rendaman jerami (hay infusion) dibuat dari satu kilogram jerami kering, dipotong
dan direndam dalam satu liter air selama 7 hari [7]. Air rendaman disaring agar bersih kemudian
satu liter air rendaman jerami ditambah dengan sembilan liter aquades untuk mendapatkan air
rendaman jerami dengan konsentrasi 10%. Air rendaman jerami menghasilkan CO 2 dan
ammonia, suatu senyawa yang terbukti mempengaruhi saraf penciuman nyamuk Aedes.[5] Air
rendaman jerami mengandung ammonia 3,74 mg/l, CO 2 total 23,5 mg/l, asam laktat 18,2 mg/l,
octenol 1,6 mg/l dan asam lemak 17,1 mg/l.
3. Air Rendaman Cabai Merah Segar
Air rendaman cabai merah segar dibuat dari satu kilogram cabai merah segar,
dihancurkan dan direndam dalam satu liter air selama 7 hari [11] . Selanjutnya, air rendaman
disaring agar bersih kemudian satu liter air rendaman cabai merah segar ditambah dengan
sembilan liter aquades untuk mendapatkan air rendaman cabai merah konsentrasi 10%. Air
rendaman cabai merah menghasilkan Asam lemak, suatu senyawa yang terbukti
mempengaruhi saraf penciuman nyamuk Aedes. Air rendaman cabai merah mengandung
ammonia 0,86 mg/l, CO2 total 12,4 mg/l, asam laktat 13,2 mg/l, octenol 0,7 mg/l dan asam
lemak 22,8 mg/l.
4. Air Rendaman Biji Jinten
Air rendaman biji jinten dibuat dari satu kilogram biji jinten dihancurkan dan direndam
dalam satu liter air selama 7 hari [11]. Selanjutnya, air rendaman disaring agar bersih kemudian
satu liter air rendaman biji jinten ditambah dengan sembilan liter aquades untuk mendapatkan
air rendaman biji jinten konsentrasi 10%. Air biji jinten menghasilkan Asam laktat, suatu
senyawa yang terbukti mempengaruhi saraf penciuman nyamuk Aedes. Air biji jinten
mengandung ammonia 2,12 mg/l, CO2 total 11,8 mg/l, asam laktat 26,5 mg/l, octenol 1,9 mg/l
dan asam lemak 14,2 mg/l.
J. Kerangka Teori
Berdasarkan teori di atas dapat disusun kerangka teori sebagai berikut :
3M Plus
Lingkungan
Terpadu
Fisik
Pemasangan kawat kasa, pemasangan kelambu
Pemasangan ovitrap
Ovitrap
Atraktan :
- Air rendaman cabai merah 10%
- Air rendaman biji jinten 10%
- Air rendaman jerami 10%
- Air hujan
Tempat perindukan
Musim
K. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori di atas dapat disusun kerangka konsep sebagai berikut :
Variabel Bebas
Jenis atraktan dari bumbu dapur (cabai merah segar dan biji jinten)
Variabel Terikat
Jumlah telur nyamuk Aedes sp yang terperangkap
Variabel pengganggu
a. Musim
b. Tindakan pengendalian vektor lain (fogging focused (pengasapan terfokus)
c. Lama pemasangan
Gambar 2.7. Kerangka Konsep
Keterangan:
Variabel pengganggu dikendalikan.
L. Hipotesis
1. Ada perbedaan jumlah telur Aedes yang terperangkap pada masing-masing jenis atraktan.
2. Ada perbedaan jumlah telur Aedes yang terperangkap berdasarkan letak ovitrap.