Anda di halaman 1dari 60

REFERAT

ILMU OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI

PUERPERIUM & KOMPLIKASI PUERPERAL

Pembimbing :
dr. Benson Koesmarsono, SpOG

Penyusun :

Ririn Rohmah 2015.04.2.0127


Rizky Septiana Tita 2015.04.2.0128
Rudolph M Putera 2015.04.2.0129
Rusda Syawie 2015.04.2.0130
Sheilla Shantika S S 2015.04.2.0131
Shinta Julia Restivananda 2015.04.2.0132
Steven Hartanto 2015.04.2.0136

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH


RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. RAMELAN SURABAYA
2016
BAB 1

PENDAHULUAN

Kehamilan dan kelahiran dianggap sebagai suatu kejadian fisiologis


yang pada sebagian besar wanita berakhir dengan normal dan tanpa
komplikasi. Pada akhir masa puerperium, pemulihan persalinan secara
umum dianggap telah lengkap. Pandangan ini mungkin terlalu optimis.
Bagi banyak wanita, pemulihan adalah sesuatu yang pasti terjadi dan
menjadi seorang ibu adalah proses fisiologis yang normal.
Masa nifas (pueperium) adalah suatu periode dalam minggu-
minggu pertama setelah kelahiran. Lamanya “periode” ini tidak pasti,
sebagian besar menganggap antara 4 sampai 6 minggu. Walaupun
puerperium merupakan masa yang relatif tidak kompleks dibandingkan
dengan kehamilan, puerperium ditandai oleh banyak perubahan fisiologis.
Beberapa dari perubahan tersebut mungkin hanya sedikit mengganggu
ibu baru, walaupun komplikasi serius juga dapat terjadi.
Pada masa puerperium banyak terjadi perubahan-perubahan yang
dialami ibu pasca melahirkan. Perubahan ini ada yang bersifat fisiologis
dan ada yang bersifat patologis.
BAB 2
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. Y
Usia : 29 tahun
Alamat : Surabaya
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal MRS : 20-10-2016 pukul 13.20 di VK IGD
Tanggal KRS : 22-10-2016

B. Subyektif
I. Keluhan Utama : Telah melahirkan bayi secara spontan
II. Keluhan Tambahan : Pusing, agak lemas
III. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien saat ini dirawat di ruang nifas RSAL dr. Ramelan
setelah pada malam sebelumnya melahirkan bayi secara spontan di
kamar bersalin RSAL dr. Ramelan Surabaya. Pada satu hari sebelum
MRS pasien kontrol di poli hamil RSAL dr. Ramelan Surabaya dan
dikatakan bahwa cairan ketubannya sedikit sehingga kemudian pasien
disarankan MRS di kamar bersalin untuk melahirkan, dimana pasien saat
ini didiagnosa dengan GIVP3002 dengan usia kehamilan 40/41 minggu dan
oligohidramnion. Pasien saat ini tidak merasa kenceng-kenceng, tidak ada
keluar lendir ataupun darah dari kemaluan, gerak anak aktif.
IV. Riwayat Penyakit Dahulu :
 Diabetes mellitus disangkal
 Hipertensi disangkal
 Asthma disangkal
 Penyakit jantung disangkal
 Alergi disangkal
V. Riwayat Penyakit Keluarga :
 Diabetes mellitus disangkal
 Hipertensi disangkal
 Asthma disangkal
 Penyakit jantung disangkal
 Alergi disangkal
VI. Riwayat Penggunaan Obat :
 Alergi obat disangkal
 Penggunaan obat kronis disangkal
VII. Riwayat Haid :
 Menarche : 12 tahun
 Siklus : 28 hari
 Durasi : 7 hari
 Dysmenorrhea : (-)
 HPHT : 10 Januari 2016
 TP : 17 Oktober 2016
VIII. Riwayat Persalinan :
I. Laki-laki / Aterm / Spt B / Dokter / 2900 gram / 9 th
II. Laki-laki / Aterm / Spt B / Bidan / 3000 gram / 7 th
III. Perempuan / Aterm / Spt B / Bidan / 3200 gram / meninggal usia
3 tahun
IV. Perempuan / Aterm / Spt B / Bidan / 3100 gram / 1 hari
IX. Riwayat ANC : 8x di RSAL  KRR
X. Riwayat Pernikahan : Menikah 1x selama 10 tahun
XI. Riwayat KB : Disangkal, setelah lahir anak ke-4 ini menginginkan KB
suntik.

C. Obyektif
I. Status Generalis :
Keadaan Umum : Compos mentis
GCS : 4-5-6
TB : 168 cm
BB : 73 kg
BMI : 25,9 (overweight)
Vital Sign :
TD  100/70 mmHg
Nadi  80x/menit
Suhu  36,80C
RR  18x/menit
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), sianosis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid (-)
Thorax :
Paru  vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung  S1/S2 tunggal, gallop (-), murmur (-)
Abdomen : Soepel, bising usus (+) normal
Ekstrimitas : Hangan kering merah pada keempat ekstrimitas, tidak
ada odema pada keempat ekstrimitas
II. Status Obstetri :
TFU  2 jari di bawah umbilikus
Kontraksi uterus baik
V/v fluksus (-)
C. Assessment :
P4003 Post Partum Spt B + Hemodinamik Baik hari ke-1
D. Planning :
 Pro pindah ruang nifas
 Mobilisasi bertahap
 KIE : V/v hygiene, ASI eksklusif
 Diet TKTP
 Asam Mefenamat 3 x 500 mg
 SF 2x1
 Monitoring keluhan / VS / kontraksi / fluksus
FOLLOW UP (22 Oktober 2016) :
S : keluhan (-), mobilisasi (+), menyusui (+)
O: GCS  4-5-6
TD  110/70 mmHg
t0C  36,50C
RR  18x/menit
TFU  2 jari di bawah umbilicus
Kontraksi uterus baik
V/v fluksus (-)
A : P4003 Post Partum Spt B + Hemodinamik Baik hari ke-2
P:
- Diet TKTP
- Asam mefenamat 3 x 500 mg
- SF 2x1
- Pro KRS kontrol poli nifas
BAB 3
FISIOLOGI PUERPERIUM

A. Definisi
Puerperium atau nifas berasal dari kata latin -puer, anak,
dan parus, menghasilkan (bring forth). Puerperium didefinisikan
sebagai periode setelah persalinan dimana terjadi
perubahan/kembalinya keadaan anatomis dan fisiologis maternal
yang disebabkan oleh kehamilan menjadi ke fase sebelum hamil
(nonpregnant state). Masa nifas berkisar antara 4-6 minggu.
Puerperium mengalami beberapa perubahan bermakna dan
beberapa komplikasi dapat muncul dan berkembang menjadi
serius.1

B. Fisiologi Nifas
Masa nifas merupakan masa yang ditandai dengan banyak
perubahan fisiologis pada tubuh ibu dan beberapa komplikasi yang
serius bisa terjadi pada ibu setelah melahirkan. 1
 Vagina dan Ostium Vagina
Pada awal masa nifas, vagina dan ostiumnya membentuk
aluran yang berdinding halus dan lebar yang ukurannya berkurang
secara perlahan namun jarang kembali ke ukuran saat nulipara.
Rugae muncul kembali pada minggu ketiga namun tidak
semenonjol sebelumnya. Himen tinggal berupa potongan-potongan
kecil sisa jaringan, yang membentuk jaringan parut disebut
carunculae myrtiformes. Epitel vagina mulai berproliferasi pada
minggu ke-4 sampai minggu ke-6, biasanya bersamaan dengan
kembalinya produksi estrogen ovarium. Laserasi atau peregangan
perineum selama pelahiran dapat menyebabkan relaksasi ostium
vagina.1
 Uterus
 Pembuluh darah
Pada saat kehamilan terdapat peningkatan aliran
darah uterus masif yang penting untuk mempertahankan
kehamilan, yang disebabkan oleh hipertrofi dan remodelling
pada semua pembuluh darah pelvis. Setelah proses
melahirkan, diameter pembuluh darah berkurang kira-kira ke
ukuran sebelum kehamilan.1

 Segmen serviks dan Uterus Bagian Bawah


Selama persalinan, batas serviks bagian luar yang
berhubungan dengan ostium externum biasanya mengalami
laserasi terutama di bagian lateral. Pembukaan serviks
berkontraksi secara perlahan dan selama beberapa hari
setelah persalinan masih sebesar 2 jari. Diakhir minggu
pertama, pembukaan serviks menyempit, serviks menebal,
dan kanalis endoservikal kembali terbentuk. Ostium
externum tidak dapat kembali sempurna ke keadaan
sebelum hamil. Bagian tersebut tetap agak lebar dan secara
khas, cekungan di kedua sisi pada tempat laserasi jadi
permanen.
Segmen uterus bagian bawah menipis secara nyata
mengalami konstraksi dan retraksi, namun tidak sekuat pada
corpus uteri. Selama beberapa minggu berikutnya, segmen
bawah yang sebelumnya merupakan substruktur tersendiri
yang cukup besar untuk mengakomodasi kepala bayi,
berubah menjadi isthmus uteri yang hampir tidak terlihat
yang terletak diantara corpus dan ostium internum.1
 Involusi Uterus
Sesaat setelah pengeluaran plasenta, fundus uteri
yang berkontraksi tersebut terletak sedikit dibawah
umbilikus. Bagian tersebut sebagian besar terdiri dari
miometrium yang ditutupi oleh serosa dan dilapisi oleh
desidua basalis. Dinding posterior dan anterior dalam jarak
yang terdekat, masing-masing tebalnya 4 sampai 5 cm. Pada
saat post partum, berat uterus kira-kira menjadi 1.000 g.1
Selama nifas, terjadi destruksi dan dekonstruksi yang
luar biasa pada uterus. Dua hari setelah persalinan, uterus
mulai berinvolusi, dan pada minggu pertama beratnya sekitar
500 g. Pada minggu kedua beratnya sekitar 300 g. Sekitar 4
minggu setelah melahirkan, uterus kembali ke ukuran
sebelum hamil yaitu 100 g atau kurang. Jumlah sel otot
mungkin tidak berkurang cukup besar. Akan tetapi ukuran
masing-masing sel menurun secara bermakna dari 500-
800µm kali 5-10 µm saat aterm menjadi 50-90 µm kali 2,5-5
µm pascapartum.1

Tabel 1. Tinggi Fundus Uterus dan berat uterus menurut masa involusi.
5
Involusi Tinggi Fundus Uteri Berat Uterus
Bayi Lahir Setinggi umbilikus 1000 gram
Plasenta lahir 2 jari dibawah umbilikus 750 gram
1 minggu Pertengahan pusat simpisis 500 gram
2 minggu Tidak teraba diatas simpisis 350 gram
6 minggu Bertambah kecil 50 gram
8 minggu Sebesar normal 30 gram
Gambar 1. Tinggi Fundus Uteri (Decherney, 2013)1

 Nyeri Setelah Melahirkan


Pada primipara, uterus cenderung tetap berkontraksi
secara normal setelah melahirkan. Akan tetapi, pada
multipara uterus sering berkontraksi kuat pada interval
tertentu dan menimbulkan nyeri setelah melahirkan yang
mirip dengan nyei saat persalinan tetapi lebih ringan.
Biasanya nyeri setelah melahirkan berkurang pada hari
ketiga setelah melahirkan.1

 Lokia
Lokia adalah cairan sekret yang berasal dari kavum
uteri dan vagina dalam masa nifas. Cairan lokia tersebut
terdiri dari eritrosit, potongan jaringan desidua, sel epitel dan
bakteri. Rata-rata lokia muncul sekitar 24-36 hari.1,5,6
- Lokia rubra (cruenta) :
Berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban,
sel-sel desidua, verniks kaseosa, lanugo, dan
mekonium, selama 2 hari pasca persalinan.

- Lokia sanguinolenta :
Berwarna merah kuning, berasa darah dan lendir,
hari ke3-7 pasca persalinan.
- Lokia serosa :
Berwarna kuning, cairan tidak berdarah lagi, pada
hari ke 7-14 pascapersalinan.
- Lokia alba :
Campuran leukosit dan penurunan kandungan
cairan, lokia berwarna putih atau putih
kekuningan. Terjadi setelah 2 minggu.5
 Regenerasi Endometrium
Dalam dua atau tiga hari setelah persalinan, desidua
yang tersisa berdiferensiasi menjadi dua lapisan. Lapisan
superfisial menjadi nekrotik dan meluruh masuk kedalam
lokia. Lapisan basal yang berdekatan dengan dengan
miometrium tetap utuh dan merupakan sumber endometrium
baru. Endometrium tumbuh dari proliferasi sisa kelenjar
endometrium dan stroma jaringan ikat interglandular. 1
Regenerasi endometrium berlangsung cepat, kecuali
pada tempat perlekatan plasenta. Dalam waktu seminggu,
permukaannya ditutupi oleh epitelium, dan Sharman
menemukan endometrium yang kembali sempurna pada
semua spesimen biopsi yang diambil pada hari ke-16 dan
seterusnya.1
 Involusi Tempat Perlekatan Plasenta
Pengeluaran lengkap tempat perlekatan plasenta
memerlukan waktu sampai 6 minggu. Segera setelah
pelahiran, tempat perlekatan plasenta kira-kira seukuran
telapak tangan, kemudian ukurannya mengecil dengan
cepat. Pada akhir minggu kedua, diameternya sekitar 3-4
cm. Anderson dan Davis menyimpulkan bahwa eksfoliasi
tempat perlengkatan plasenta berasal dari peluruhan
jaringan infark dan nekrosis yang diikuti proses remodelling. 1
C. Traktus Urinarius
Secara fisiologis, hipertrofi glomerulus yang disebabkan oleh
kehamilan menetap hingga hari pertama postpartum tetapi
kemudian baru kembali ke prepregnancy baseline setelah 2 minggu
postpartum. Selain itu, ureter yang dilatasi dan pelvis renal kembali
ke keadaan prahamil saat 2 sampai 8 minggu postpartum. Infeksi
saluran kemih perlu diperhatikan saat masa nifas karena dilatasi
traktus urinarius disertai dengan sisa urin dan bakteriuria di dalam
kandung kemih yang trauma.1
Trauma kandung kemih sangat berhubungan dengan lama
persalinan sehingga sering ditemui dalam postpartum pervaginam.
Kandung kemih memiliki peningkatan kapasitas dan insensitivitas
relatif terhadap tekanan intravesical. Dengan demikian,
overdistensi, pengosongan inkomplit, dan sisa urin banyak
merupakan hal yang sering.1

D. Peritoneum Dan Dinding Abdomen


Ligamentum latum dan rotundum memerlukan waktu yang
cukup untuk pulih dari peregangan dan pelonggaran selama
kehamilan. Dinding perut tetap lunak dan flaccid karena serat
elastis yang ruptur pada kulit dan distensi lama oleh uterus saat
hamil. Jika abdomen terlalu kendor atau longgar, korset bisa efektif
untuk digunakan. Beberapa minggu diperlukan untuk struktur ini
dapat kembali normal dan olahraga dapat membantu pemulihan.
Olahraga dapat dimulai kapan saja setelah persalinan per vaginam.
Striae abdomen berwarna keperakan umumnya berkembang
sebagai striae gravidarum.1

E. Parameter Hematologi dan Hypervolemia Kehamilan


 Hematologi dan Perubahan Koagulasi
Leukositosis dan trombositosis bisa terjadi selama dan setelah
persalinan. Sel darah putih kadang-kadang mencapai 30.000 / uL, dengan
granulositosis,limfopenia relatif dan eosinpenia absolut. Biasanya, selama
beberapa hari pertama postpartum, terjadi fluktuasi konsentrasi
hemoglobin dan hematokrit. Jika level Hb dan Hct berada jauh di bawah
sebelum persalinan, cukup banyak darah telah hilang. Laju endap darah
juga meningkat karena peningkatan plasma fibrinogen selama 1 minggu
postpartum.1
 Pregnancy-induced Hypervolemia
Sewaktu hamil normal terjadi hypervolemia darah. Jika jumlah
darah tersebut hilang sebagai perdarahan postpartum, volume darah akan
langsung kembali ke keadaan saat tidak hamil. Jika hanya sedikit yang
hilang saat persalinan, volume darah baru kembali 1 minggu postpartum.
Cardiac output biasanya tetap meningkat selama 24 sampai 48 jam
postpartum dan menurun menjadi normal dalam 10 hari postpartum.
Tekanan darah dan MAP (Mean Arterial Pressure) menetap berada di
batas bawah selama 2 hari postpartum dan kemudian meningkat ke level
normal saat tidak hamil.1

Gambar 2. Grafik tekanan darah saat postpartum. 1

Kehamilan normal berhubungan dengan peningkatan


natrium dan air ektraselular dan postpartum diuresis terjadi sebagai
reaksi fisiologis. Pada penelitian Chesley dkk (1959) ditemukan
terjadi penurunan natrium 2 liter selama 1 minggu postpartum. Hal
ini juga menyebabkan penurunan sisa volume darah yang
hypervolemia.1
Diuresis postpartum menyebabkan penurunan berat badan
yang relatif cepat (2-3 kg) yang ditambah dengan hilangnya 5-6 kg
saat persalinan dan normal blood loss. Penurunan berat badan
terjadi maksimal saat akhir 2 minggu postpartum. 1
F. Payudara dan Laktasi
 Anatomi dan produk payudara
Payudara dibentuk oleh kelenjar, jaringan adipose, dan
jaringan ikat yang berbatasan dengan otot pectoralis major,
obliquus externus, dan serratus anterior, meluas di antara costa II-
VI dari sternum ke aksila. Terdapat area terpigmentasi yang disebut
areola, yang mengandung kelenjar sebasea dan mengelilingi
puting. Pada masa kehamilan, areola menjadi lebih gelap dan
kelenjar sebasea menjadi prominen (tuberkel Montgomery). 7

Gambar 3. Payudara dan sktruktur pembentuknya.7

Setiap kelenjar payudara matur terdiri dari 15-25 lobus.


Lobus-lobus tersebut tersusun secara radial dan terpisah satu
dengan yang lain oleh lemak. Setiap lobus tersusun atas beberapa
lobulus yang setiap lobulusnya terdiri dari beberapa alveoli. Pada
setiap alveolus terdapat ductus kecil yang bergabung dengan
lainnya membentuk satu ductus lactiferous yang lebih besar.
Ductus lactiferous ini bermuara pada orificium yang berbeda pada
puting. Alveolar secretory epithelium mensintesis produk susu yang
akan dijelaskan berikut.1
Kendali pertumbuhan dan perkembangan payudara belum
sepenuhnya dipahami dan diperkirakan banyak hormone yang turut
serta dalam prosesnya. Pada umumnya, estrogen merangsang
proliferasi duktus laktiferus (diperkirakan bersama dengan steroid
adrenal dan hormone pertumbuhan (GH)), dimana progesterone
bertanggung jawab dalam perkembangan lobulus payudara. Saat
masa awal kehamilan, duktus laktiferus dan alveoli berproliferasi,
dan saat masa akhir kehamilan hipertrofi alveoli dipersiapkan untuk
aktivitas sekretorik. Hormon laktogenik yakni prolactin dan human
placental lactogen diperkirakan mengawali perubahan tersebut
selama masa kehamilan.7
Setelah persalinan, payudara mulai menyekresikan
colustrum, yaitu cairan kekuningan. Colustrum bisa diproduksi hari
kedua postpartum. Jika dibandingkan susu matur, colustrum
mengandung banyak komponen imunologik, mineral, asam amino,
protein (khususnya globulin) yang lebih banyak, tetapi lebih sedikit
lemak dan glukosa. Sekresi colustrum bertahan 5 hari hingga 2
minggu dengan perubahan gradual menjadi susu matur saat 4-6
minggu. IgA yang terkandung dalam colustrum memberikan
proteksi bayi terhadap patogen enterik. Makrofag, limfosit,
komplemen, lactoferrin, lactoperoxidase, dan lisosim juga banyak
didapatkan dalam colustrum dan susu.1 Kolostrum bersifat alkali,
mempunyai berat jenis lebih besar, protein yang tinggi, vitamin A,
sodium, dan klorida; tetapi karbohidrat, lemak, dan kalium lebih
rendah daripada air susu. Kolostrum dan air susu mengandung
komponen imunologis seperti IgA, komplemen, makrofag, limfosit,
laktoferin, dan enzim lain (laktoperoksidase).8 Protein yang terdapat
utamanya bentukan globulin, khususnya immunoglobulin A yang
mempunyai peranan penting dalam perlindungan terhadap infeksi.
Kolostrum juga diyakini mempunyai efek laksatif, yang membantuk
pengosongan usus bayi dari mekoneum.7
Tabel 2. Perbedaan kandungan kolostrum dan air susu. 8

Susu matur adalah complex dan dynamic biological fluid


yang mengandung lemak, protein, karbohidrat, faktor bioaktif,
mineral, vitamin, hormon dan banyak produk selular. Konsentrasi
dan kandungan dari susu susu berubah bahkan saat sekali
pemberian dan dipengaruhi oleh maternal diet, usia anak,
kesehatan, dan kebutuhan. Ibu yang menyusui dapat memproduksi
600 ml susu per hari. Peningkatan berat badan ibu hanya
berdampak sedikit terhadap kuantitas dan kualitas susu. Asam
amino esensial didapatkan dari darah dan asam amino nonesensial
didapatkan sebagian dari darah dan sebagian disintesis di kelenjar
payudara. Protein susu ibu bersifat unik dan terkandung α-
lactalbumin, β-lactoglobulin, dan casein. Asam lemak disintesis dari
glukosa di alveoli. Hampir semua vitamin ditemukan di susu susu,
tetapi dalam jumlah yang bervariasi. Vitamin K hampir tidak ada
pada susu susu sehingga dosis intramuskular perlu diberikan pada
bayi. Kandungan vitamin D juga rendah (22 IU/ml). Dengan
demikian, suplementasi bayi direkomendasi oleh American
Academy of Pediatrics.1
Kandungan yang terdapat dalam air susu adalah laktosa,
protein, lemak, dan air. Padahal, komposisi air susu tidak selalu
konstan; laktasi awal berbeda dengan laktasi akhir, satu kali minum
berbeda dengan yang selanjutnya, dan komposisinya dapat
berubah selama masa laktasi. Susu formula bayi tidak dapat
disetarakan dengan air susu. Berbeda dengan susu sapi, air susu
ibu memberikan sedikit energi yang lebih banyak, dengan lebih
sedikit protein tetapi lebih banyak lemak dan laktosa. Fraksi protein
mayor adalah laktalbumin, laktoglobulin, dan kaseinogen.
Laktalbumin adalah protein mayor dalam air susu, dan kaseinogen
membentuk 90% protein dalam air susu sapi. Kandungan mineral
(khususnya sodium) lebih tinggi dalam susu sapi, yang berbahaya
bila diberikan pada bayi yang dehidrasi karena gastroenteritis.
Selain IgA, air susu mengandung sejumlah kecil IgM dan IgG dan
faktor lain seperti laktoferin, makrofag, kompleme, dan lisozim.
Walaupun kadar konsentrasi Fe dalam air susu lebih sedikit, tetapi
penyerapannya lebih baik daripada susu sapi atau susu formula
dengan suplementasi Fe. Dengan pengecualian vitamin K, semua
vitamin lain ditemukan dalam air susu dan vitamin K diberikan pada
bayi untuk meminimalisir perdarahan.7

Tabel 3. Perbandingan antara air susu manusia dan sapi. 7

Whey adalah serum susu dan telah dibuktikan mengandung


banyak IL-6. Susu susu memiliki rasio whey:casein 60:40 yang
ideal untuk absorpsi. Prolactin disekresi aktif ke dalam susu. EGF
(Epidermal Growth Factor), lactoferrin, melatonin, oligosakarida,
asam lemak esensial juga telah diidentifikasi terdapat di susu ibu. 1

 Endokrinologi Laktasi
Progesteron, estrogen, placental lactogen, prolactin, cortisol,
dan insulin tampaknya dapat menstimulasi pertumbuhan dan
perkembangan milk-secreting apparatus. Setelah persalinan, terjadi
penurunan mendadak dan besar level progesteron dan estrogen.
Penurunan ini menghilangkan inhibisi progesteron terhadap
produksi α-lactalbumin dan menstimulasi sintesis laktose. Serotonin
diproduksi di sel epitelial payudara dan berfungsi untuk
mempertahankan produksi susu sehingga penggunaan SSRI
(Selective Serotonin Reuptake Inhibitor).1

Gambar 4. Endokrinologi laktasi.8

Intensitas dan durasi laktasi yang berikutnya dikontrol oleh


repetitive stimulus dari menyusui dan pengosongan susu dari
payudara. Walaupun level prolactin menurun setelah persalinan
dibandingkan saat kehamilan, setiap suckling merangsang produksi
prolactin karena stimulus pada puting susu mengurangi pelepasan
dopamin (prolactin-inhibiting factor) dari hypothalamus.1
Hipofisis posterior mensekresi oxytocin melalui cara pulsasi.
Hal ini menstimulasi kontraksi sel myoepitelial di alveoli dan ductus
pada payudara. Ejeksi susu merupakan refleks yang diinisiasi
suckling yang menstimulasi hipofisis posterior untuk melepaskan
oxytocin. Refleks bisa distimulasi oleh tangisan bayi, tapi juga bisa
diinhibisi oleh stres maternal.1

 Efek Imunologik pada ASI


Susu ibu mengandung beberapa substansi imun protektif,
seperti secretory IgA dan growth factors. Antibodi pada susu ibu
bisa melawan secara spesifik terhadap antigen maternal, seperti E.
coli.

Gambar 5. Sekresi IgA pada air susu melalui sirkulasi enteromammaria. 9

Susu ibu juga bisa memberikan proteksi terhadap infeksi


rotavirus (penyebab utama gastroenteritis bayi. Dalam hal proses
imunologis neonatus, susu ibu mengandung limfosit T dan B. 1

 Nursing
Susu ibu adalah makanan ideal untuk neonatus di mana
menyediakan nutrisi spesifik, faktor imunologis, dan substansi anti
bakteri. Susu juga mengandung faktor yang berfungsi sebagai
sinyal biologis untuk meningkatkan pertumbuhan selular dan
diferensiasi. Breast feeding memiliki keuntungan jangka panjang
bagi ibu dan anak. Ibu yang menyusui memiliki risiko lebih rendah
kanker payudara dan reproduksi. Untuk anak juga meningkatkan
kecerdasan. Dari penelitian Nurses’ Health Study, ibu mempunyai
risiko penyakit jantung koroner 23% lebih rendah. Karena berbagai
hal tersebut, WHO (2011) dan American Academy of Pediatrics
(2012) memberikan rekomendasi pemberian ASI eksklusif selama 6
bulan dengan menghindari pemberian protein susu sapi. 1

Gambar 6. (a) Posisi yang kurang tepat (b) Posisi yang baik. 7
Tabel 4. Keuntungan dari menyusui.1

Tabel 5. 10 langkah kesuksesan menyusui.1


 Perawatan Payudara
Area putting susu membutuhkan perhatian yang sedikit lebih
selain dari kebersihan dan perhatian pada retakan kulit. Area yang
retak di sekitar putting berhubungan dengan nyeri menyusui, dan
mungkin dapat mempengaruhi produksi air susu. Retakan tersebut
juga dapat menjadi jalan masuk bagi bakteri piogenik. Karena susu
yang mengering biasanya terakumulasi dan mengiritasi putting,
membilas areola dengan air dan sabun sebelum dan sesudah
menyusui sangatlah membantu. Saat putting teriritasi atau
membentuk retakan, dapat dioleskan lanolin dan pelindung putting
selama 24 jam atau lebih. Jika retaknya parah, bayi tidak boleh
disusui pada sisi payudara yang teriritasi tersebut. Oleh karenanya,
payudara seharusnya dikosongkan secara rutin dengan pompa
hingga lesinya sembuh.1

 Kontraindikasi Menyusui
Menyusui merupakan kontraindikasi bagi wanita yang
mengonsumsi narkoba dan tidak mengontrol penggunaan alkohol,
wanita dengan bayi galaktosemia, wanita dengan infeksi HIV,
tuberculosis aktif yang tidak terkontrol, wanita yang mengonsumsi
obat-obatan tertentu, atau yang sedang menjalani pengobatan
kanker payudara. Menyusui sudalah lama diketahui sebagai salah
satu jalur transmisi HIV. Infeksi virus lain tidak menjadi
kontraindikasi menysusui, seperti ibu dengan infeksi CMV dimana
baik virus dan antibodinya terdapat di dalam air susu. Dan
walaupun virus hepatitis B disekresikan dalam air susu, menyusui
bukanlah kontraindikasi jika immunoglobulin terhadap hepatitis B
telah diberikan pada bayi dari ibu dengan hepatitis B. Infeksi
hepatitis C pada ibu juga bukan merupakan kontraindikasi karena
belum ada bukti penularan infeksi. Wanita dengan HSV aktif dapat
menghindari resiko terhadap bayi jika tidak ada lesi pada payudara
dan melakukan perawatan dengan baik seperti mencuci tangan
sebelum menyusui.1

 Issue terkait Laktasi


Pada putting yang keluar, ostium dari duktus laktiferus
membuka langsung di pertengahan areola. Dalam keadaan putting
yang masuk (retraksi), maka proses menyusui akan sulit. Jika
retraksinya tak terlalu dalam, air susu bisa diambil dengan pompa.
Jika retraksinya terlalu dalam, maneuver harian pada masa akhir
kehamilan dapat dilakukan untuk menarik atau mengeluarkan
putting dengan jari.1
Terdapat variasi individual dalam jumlah air susu yang
disekresikan, hal tersebut tidak bergantung pada kesehatan ibu,
tetapi pada perkembangan kelenjar payudara. Terdapat dua
terminology, yakni agalaktia dimana sekresi air susu sangat kurang
hingga tidak keluar yang jarang terjadi. Kebalikannya dimana
sekresi air susu sangat banyak yang disebut dengan poligalaktia. 1

G. Perawatan Maternal Saat Puerperium


 Perawatan di Rumah Sakit
Selama 2 jam pasca persalinan, tekanan darah dan nadi
seharusnya diperiksa setiap 15 menit, atau lebih sering jika ada
indikasi. Suhu tubuh diperiksa setiap 4 jam selama 8 jam pertama
dan selanjutnya setidaknya setiap 8 jam. Jumlah perdarahan
vagina diawasi, dan fundus dipalpasi untuk mengetahu bahwa
kontraksinya sudah baik. Jika diketahui ada relaksasi maka uterus
seharusnya dipijat melalui dinding abdomen hingga kontraksinya
baik. Terkadang pemberian uterotonika juga diperlukan.
Perdarahan dapat terakumulasi di dalam uterus tanpa adanya
perdarahan eksternal. Hal ini dapat diketahui lebih dini dari
pembesaran uterus daat palpasi pada jam pertama pasca
persalinan. Jika pada persalinan digunakan analgesik lokal maupun
general, maka ibu harus diobservasi di area pemulihan yang
terstandarisasi dengan stafnya.1
Ambulasi awal setelah persalinan sangat menguntungkan.
Setelah periode istirahat yang baik pasien menjadi segar dan dapat
menyusui bayi ataupun turun dari ranjang untuk pergi ke toilet.
Keuntungan tersebut anta lain memberikan rasa bahwa tubuh ibu
sehat, meminimalisir komplikasi dari kandung kemih dan konstipasi,
membantu drainase uterus dan involusi uterus, menurunkan resiko
terjadinya tromboemboli vena.8
Pemulangan awal dari rumah sakit merupakan prosedur
universal. Kebanyakan wanita keluar dari rumah sakit daam
keadaan fit dan sehat setelah 2 hari paska persalinan. Beberapa
wanita mungkin butuh waktu lebih lama tergantung dari morbiditas
seperti adanya infeksi saluran kemih, nyeri atau luka perineal, dan
adanya masalah dalam menyusui.8
Tidak ada restriksi diet untuk wanita yang melahirkan
pervaginam. Dalam 2 jam setelah persalinan, jika tidak ada
komplikasi, wanita tersebut sudah boleh makan. Dengan aktivitas
menyusui, jumlah kalori dan protein yang dikonsumsi selama
kehamilan seharusnya sedikit ditingkatkan seperti yang disarankan
oleh lembaga penelitian makanan dan nutrisi. Jika si ibu tidak
menyusui, kebutuhan dietnya sama seperti wanita yang tidak hamil.
Pada instansi kesehatan tertentu, ada yang melanjutkan terapi
suplementasi besi oral setidaknya selama 3 bulan setelah
persalinan dan dicek kadar hematokrit pada saat kontrol pertama
kali pasca persalinan.1

 Perawatan Perineum
Setiap wanita diinstruksikan untuk membersihkan vulva dari
anterior ke posterior (dari vulva ke arah anus). Pemberian cool
pack pada perineum dapat membantu mengurangi edema dan rasa
tidak nyaman saat 24 jam pertama jika sebelumnya terjadi laserasi
atau dilakukan episiotomi. Rasa tidak nyaman yang sangat
biasanya mengindikasikan adanya masalah, seperti hematoma
pada hari pertama dan berikutnya dan infeksi setelah hari ketiga
dan keempat. Rasa nyeri yang parah baik di perineum, vagina, dan
rectum selalu membutuhkan inspeksi dan palpasi yang hati-hati. 1

 Fungsi Kandung Kemih


Di kebanyakan kamar bersalin, cairan intravena biasanya
diberikan saat persalinan dan selama beberapa jam pasca salin.
Oksitosin, dengan dosis yang mempunyai efek antidiuretik,
diberikan pada postpartum melalu intravena, dan umumnya terjadi
pengisian kandung kemih secara cepat. Padahal, sensitivitas dan
kemampuan kandung kemih untuk kosong secara spontan
menghilang karena diberikannya analgesik, karena trauma pada
kandung kemih, episiotomi atau laserasi, dan tindakan operatif saat
persalinan pervaginam. Akibatnya, kejadian retensi urin dan
overdistensi kandung kemih umum terjadi pada awal masa nifas.
Dengan adanya overdistensi dari kandung kemih, pemasangan
kateter dilakukan hingga faktor yang menyebabkan retensi
menghilang, biasanya dipasang setidaknya selama 24 jam. 1

 Nyeri, mood dan kognisi


Selama beberapa hari setelah persalinan pervaginam, ibu
mungkin merasa tidak nyaman karena nyeri setelah episiotomi dan
laserasi, pembesaran payudara, dan sakit kepala setelah punksi
dura. Analgesik ringan yang mengandung kodein, aspirin atau
asetaminofen yang dikombinasikan, diberikan secara frekuen tiap 3
jam selama beberapa hari pertama.1
Jika analgesik dibutuhkan pada nyeri perineum, paracetamol
merupakan first line treatment, kemudian diberikan obat NSAID
yang efekteif untuk episiotomi/ trauma perineural yang berat. Anti
inflamasi rektal supositoria ( Na diclofenac ) efektif pada 24-48 jam
tetapi harus diihindari pada wanita dengan ruptur perineum grade 3
dan 4.10
Hal yang cukup wajar untuk ibu yang mengalami penurunan
mood beberapa hari setelah melahirkan. Postpartum blues,
merupakan konsekuensi beberapa faktor termasuk emosi yang
turun kemudian dan mengalami pengalaman selama proses
kehamilan dan persalinan, ketidaknyamanan saat awal puerperium,
kelelahan sebab kurang tidur, khawatir apakah mampu untuk
menyediakan perawatan bayi yang cukup, dan citra diri terhadap
tubuh.1
Pada kebanyakan wanita, terapi yang efektif termasuk
antisipasi, rekognisi, dan reasuransi. Kelainan ini biasanya ringan
dan bisa sembuh sendiri (self-limited) dalam 2-3 hari, meskipun
terkadang hingga 10 hari. Kadar hormon berubah saat postpartum
pada beberapa wanita yang mungkin mempengaruhi fungsi otak. 1
Frekuensi emosional dan masalah kognitif, terjadi lebih
banyak pada wanita multiparitas. Pada penelitian didapatkan
indikasi 1/2 dari 86 populasi normal klinis wanita yang sudah
menikah dilaporkan bahwa insomnia, mood yang labil, cemas dan
kekhawatiran yang meningkat serta depresi terjadi pada trimester
akhir.11

 Problem Neuromuskuloskeletal
Neuropati Obstetri
Tekanan pada cabang pleksus nerves lumbosakral selama
persalinan mungkin menghasilkan gejala sebagai neuralgia intens
atau nyeri kram yang menjalar ke satu atau dua kaki segera setelah
nyeri dari kepala turun ke pelvis. Jika nervus mengalami injuri, nyeri
mungkin masih berlanjut setelah persalinan dan juga kemungkinan
terjadi hilangnya sensoris atau paralisis otot dalam derajat yang
bervariasi. Pada beberapa kasus, terdapat footdrop yang bisa juga
merupakan injuri sekunder pleksus lumbosakral, nervus sciatic atau
nervus peroneal. Komponen pleksus lumbosakral melewati pelvic
brim dan dapat terkompresi oleh kepala bayi atau forsep. 1
Neuropati obstetri relatif jarang terjadi. Wong and associates
(2003) mengevaluasi lebih dari 6000 wanita hamil dan menemukan
kira-kira 1 % yang dikonfirmasi mengalami injuri nervus. Terbanyak
adalah neuropati cutaneous femoralis lateralis yang sering terjadi
(24), diikuti oleh neuropati femoralis (14). Nuliparitas, pemanjangan
kala 2, dan durasi yang lama pada posisi semi-Fowler adalah
beresiko. Durasi gejala tersebut sekitar 2 bulan dan rata-rata 2
minggu - 18 bulan. Injuri nervus pada persalinan SC termasuk
nervus iliohipogastrikus dan ilioinguinalis (Rahn, 2010). 1

Injuri muskuloskeletal
Nyeri pada pelvic girdle, pinggul, atau ekstremitas bawah
mungkin lanjutan dari luka terpotong dari persalinan normal atau
tidak. MRI sering kurang informatif. Salah satu contoh adalah
hematoma m. pirirformis. Injuri dapat menghilang dengan
pemberian agen antiinflamasi dan fisioterapi. Mungkin juga terjadi
pyomyositis dengan abses m. iliopsoas namun kejadiannya jarang
(Nelson, 2010;Young, 2010). Separasi simfisis pubis atau salah
satu sinkondrosis sakroiliaka saat persalinan menimbulkan nyeri
dan nampak adanya gangguan pada gerakan. Perkiraan
frekuensinya bervariasi dari 1 pada 600 - 1 pada 30.000 persalinan
(Reis, 1932;Taylor, 1986). Onset nyeri sering terjadi secara akut
selama persalinan tetapi gejalanya sering muncul sebelum partus
atau 4 jam setelah partus (Snow, 1997). Terapi secara umum
adalah konservatif dengan cara istirahat pada posisi lateral
dekubitus dan appropriately memposisikan dengan tepat pelvic
binder. Operasi cukup diharuskan pada separasi simfisis yang lebih
dari 4 cm (Kharrazi, 1997). Resiko kekambuhan adalah > 50 %
pada kehamilan berikutnya. Culligan and associates (2002)
merekomendasikan untuk mempertimbangkan persalinan secara
SC.1

 Imunisasi
Wanita dengan D- negatif yang tidak diimunisasi dan bayinya
memiliki D-positif diberikan 300 μg anti - D imunoglobulin segera
setelah persalinan. Wanita yang belum mendapat imunitas dari
rubella atau rubeola measles lebih baik untuk mendapatkan vaksin
kombinasi measles-mumps-rubella sebelum KRS.1

 Keluar Rumah Sakit (Pasca Opname)


Setelah terjadinya persalinan pervaginam tanpa kompikasi,
opname jarang di anjurkan lebih dari 48 jam. Wanita harus
menerima intruksi untuk mengantisipasi perubahan fisiologis
normal saat masa nifas. Termasuk gambaran lochia, penurunan
berat badan dari diuresis, dan turunnya kadar ASI. Juga harus
diberikan instruksi kemungkinan adanya demam, perdarahan
vagina yang berat atau nyeri kaki, oedema atau tenderness. Sakit
kepala yang menetap, sesak nafas, atau nyeri dada memerlukan
perhatian yang segera. Pada saat ini, peraturan untuk opname di
rumah sakit adalah 48 jam pada persalinan pervaginam tanpa
komplikasi dan 96 jam pada persalinan SC tanpa komplikasi
(American Academy of Pediatrics and the American College of
Obstetricians and Gynecologists, 2012).1

 Kontrasepsi
Selama perawatan di rumah sakit, perlu dilakukan edukasi
kepada keluarga. Bermacam-macam kontrasepsi didiskusikan dan
juga prosedur sterilisasi. Wanita yang tidak menyusui akan
mengalami menstruasi kembali biasanya dalam waktu 6-8 minggu.
Secara klinis, sulit untuk menentukan tanggal spesifik periode
menstruasi pertama setelah persalinan. Pada minoritas wanita
mengalami perdarahan yang sedikit sampai sedang secara
intermiten dimulai segera setelah persalinan. Ovulasi terjadi rata-
rata 7 minggu tetapi rangesnya dari 5 - 11 minggu (Perez, 1972).
Dikatakan, ovulasi sebelum 28 hari telah dijelaskan (Hytten, 1995).
Konsepsi mungkin terjadi selama 6 minggu puerperium. Wanita
yang aktif secara seksual selama puerperium / nifas dan yang tidak
berkeinginan untuk hamil, harus memakai kontrasepsi. Kelly and
associates (2005) melaporkan pada bulan ketiga postpartum, 58%
orang dewasa kembali melakukan hubungan seksual, tetapi hanya
80% yang memakai kontrasepsi. Karena hal ini, direkomendasikan
kontrasepsi longacting yang reversibel — LARC (Baldwin, 2013).
Wanita yang menyusui mengalami ovulasi lebih sedikit frekuen
dibanding dengan yang tidak, namun terdapat variasi yang besar.
Waktu ovulasi bergantung pada variasi biologis individual
sebagaimana makin intens menyusui mungkin akan mengalami
menstruasi pertama pada 18 bulan setelah persalinan. Campbell
and Gray (1993) menganalisa spesimen urin harian untuk
membedakan waktu ovulasi pada 92 wanita yang menyusui.
Sebagaiman yang ditunjukkan pada gambar, wanita menyusui
secara umum mengalami ovulasi yang tertunda, meskipun telah
ditekankan, tidak selalu dapat dicegah. Pada studi yang lain
termasuk :1
1. Permulaan ovulasi secara frekuen ditandai oleh kembalinya
perdarahan menstruasi yang normal
2. Episode menyusi selama 15 menit selama 7 kali sehari menunda
mulainya ovulasi.
3. Ovulasi dapat terjadi tanpa perdarahan
4. Perdarahan dapat juga bukan ovulasi
5. Resiko kehamilan pada wanita menyusui sekitar 4% pertahun
Untuk wanita yang menyusui, kontrasepsi progestin only-
mini pills, depot medroxyprogesterone, atau implan progestin tidak
mempengaruhi kualitas atau kuantitas air susu ibu. Kontrasepsi
estrogen progestin sepertinya dapat mengurangi kuantitas air susu
ibu tetapi dalam keadaan sebenarnya, kontrasepsi tersebut juga
dapat digunakan oleh wanita menyusui. 1

H. Home Care
 Koitus
Setelah 2 minggu, koitus mungkin bisa dimulai lagi
berdasarkan keinginan dan kenyamanan. Barrett and colleagues
(2000) melaporkan hampir 90 % dari 484 wanita primiparitas
resumed aktivitas seksual di 6 bulan. Dan sebanyak 65% hanya 15
% yang mendiskusikan permasalahan mereka pada penyedia
layanan kesehatan. Intercourse yang terlalu cepat mungkin tidak
menyenangkan, jika tidak ada nyeri, dikarenakan penyembuhan
yang belum sempurna pada episiotomi atau laserasi. Epitel vagina
tebal dan sangat sedikit lubrikasi pada stimulasi seksual. Hal ini
dikarenakan hypoestrogenic state setelah persalinan, sampai
terjadi ovulasi. Mungkin juga terjadi problem pada wanita menyusui
pada wanita hypoestrogenic selama beberapa bulan postpartum
(Palmer, 2003; Wisniewski, 1991). Untuk terapi, sejumlah kecil
esterogen krim topikal dapat diberikan sehari selama beberapa
minggu pada jaringan vulva. Sebagai tambahan, lubrikan vagina
dapat digunakan saat koitus.1

 Morbiditas Maternal
Morbiditas maternal mayor dan minor secara mengejutkan
terjadi di dalam bulan saat persalinan tersebut terjadi (MacArthur,
1991). Pada survei 1249 para ibu di British diikuti selama 18 bulan,
3 % diperlukan hospital readmission dalam 8 minggu (Glazener,
1995; Thmpson, 2002). problem kesehatan yang lebih ringan
selama 8 minggu pertama dilaporkan sebanyak 87 %. Hampir 3/4
berlanjut pada problem yang bervariasi sampai 18 bulan. 1
 Follow-Up Care
Setelah keluar dari rumah sakit, dengan tidak ada komplikasi
mendasar, ibu dapat melakukan banyak aktivitas, termasuk mandi,
berkendara, dan pekerjaan ibu rumah tangga lainnya. Segera
setelah persalinan, kebanyakan wanita sosial, tidak mengalami
pembatasan pada aktivitas kerjanya, dan sekitar 1/2 kembali
melakukan secara penuh aktivitas rutinnya dalam 2 minggu.
Wallace and coworkers (2013) melaporkan bahwa 80% wanita
yang bekerja selama hamil akan mulai bekerja kembali 1 tahun
setelah persalinan. Tulman and Fawcett (1988) melaporkan hanya
1/2 ibu yang mendapatkan kembali level energi seperti biasanya
dalam 6 minggu. Wanita yang mengalami persalinan secara
pervaginam memiliki dua kali level normal energi dibandingkan
dengan wanita dengan persalinan SC. The American Academy of
Pediatrics and the American College of Obstetricians and
Gynecologists (2012) merekomendasikan kunjungan postpartum
diantara 4 dan 6 minggu.1
BAB 4

KOMPLIKASI PUERPERAL

Komplikasi dari puerperium banyak yang ditemui selama


kehamilan, tetapi ada beberapa yang lebih umum saat ini. Yang paling
khas adalah infeksi panggul puerperal-pembunuh wanita terbanyak.
Infeksi lain termasuk mastitis dan abses payudara. Tromboemboli selama
pendek 6 minggu masa puerperium adalah sesering selama 40 minggu
antepartum. 1

1. INFEKSI PUERPERAL

Infeksi puerperal menggambarkan infeksi bakteri pada saluran


genital setelah melahirkan. Infeksi ini serta preeklamsia dan perdarahan
obstetris membentuk triad mematikan yang menyebabkan kematian ibu
sebelum dan selama abad ke-20. Untungnya, karena antimikroba yang
efektif, kematian ibu dari infeksi ini dapat teratasi. Berg dan rekan (2010)
melaporkan hasil dari Sistem Surveillance Kematian Kehamilan, yang
berisi 4.693 kehamilan terkait kematian ibu di Amerika Serikat dari 1998
sampai 2005. Infeksi menyebabkan 10,7% kematian terkait kehamilan dan
penyebab utama kelima. Dalam analisis yang sama dari populasi di North
Carolina tahun 1991 sampai 1999, Berg dan rekan (2005) melaporkan
bahwa 40% kematian ibu terkait infeksi dapat dicegah. 1

a) Demam Puerperal

Sejumlah faktor dapat menyebabkan demam-suhu 38,0°C


(100,4°F) atau lebih tinggi di masa puerperium. Demam paling persisten
setelah melahirkan disebabkan oleh infeksi saluran genital. Menggunakan
definisi dari demam konservatif, Filker dan Monif (1979) melaporkan
bahwa hanya sekitar 20% wanita demam dalam 24 jam pertama setelah
melahirkan melalui vagina yang kemudian didiagnosis dengan infeksi
panggul. Hal ini berbeda dengan 70% dari mereka yang menjalani sesar.
Harus ditekankan bahwa demam 39°C atau lebih tinggi yang berkembang
di dalam 24 jam pertama postpartum mungkin berhubungan dengan
infeksi panggul virulen yang disebabkan oleh streptokokus grup A. 1
Penyebab lain demam puerperal termasuk pembengkakan
payudara, infeksi saluran kencing, episiotomi dan sayatan perut, laserasi
perineum, dan komplikasi pernapasan setelah sesar (Maharaj, 2007).
Sekitar 15% wanita yang tidak menyusui mengalami demam postpartum
dari pembengkakan payudara. Kejadian demam lebih rendah pada wanita
menyusui. "Demam payudara" jarang melebihi 39°C dalam beberapa hari
postpartum pertama dan biasanya berlangsung <24 jam. Infeksi saluran
kencing adalah infeksi postpartum yang jarang karena diuresis yang
normal ditemui kemudian. Pielonefritis akut memiliki gambaran klinis yang
bervariasi. Tanda pertama dari infeksi ginjal mungkin demam, diikuti
kemudian oleh kelembutan sudut costovertebral, mual, dan muntah.
Atelektasis setelah persalinan abdominal disebabkan oleh hipoventilasi
dan dicegah dengan baik melalui batuk dan pernapasan dalam pada
jadwal yang tetap setelah operasi. Demam yang berhubungan dengan
atelektasis diduga mengikuti infeksi oleh flora normal yang berkembang
biak di bagian distal untuk menghalangi mucus plugs. 1

b) Infeksi Uterine

Infeksi rahim setelah melahirkan atau sepsis puerperal disebut


berbagai macam seperti endometritis, bendomyometritis, dan
endoparametritis. Karena infeksi tidak hanya melibatkan desidua tetapi
juga miometrium dan jaringan parametrium, kita lebih suka istilah metritis
inklusif dengan selulitis pelvis. 1

 Faktor Predisposis

Cara melahirkan adalah faktor risiko tunggal yang paling


signifikan untuk pengembangan infeksi rahim (Burrows, 2004;
Conroy, 2012; Koroukian, 2004). French Confidential Enquiry on
MaternalDeaths, Deneux-Tharaux and coworkers (2006) mengutip
sebuah peningkatan angka kematian terkait infeksi hampir 25 kali
lipat dengan sesar dibandingkan persalinan pervaginam. Tarif
rehospitalization untuk komplikasi luka dan endometritis meningkat
secara signifikan pada wanita yang menjalani bedah sesar primer
direncanakan dibandingkan dengan mereka yang memiliki
kelahiran vagina yang direncanakan (Declercq, 2007). 1

 Kelahiran Pervaginam

Dibandingkan dengan sesar, metritis setelah persalinan


pervaginam relatif jarang terjadi. Perempuan secara normal di
Rumah Sakit Parkland memiliki insiden 1-2% metritis. Wanita yang
berisiko tinggi untuk infeksi karena ruptur membran, persalinan
lama, dan beberapa pemeriksaan serviks memiliki frekuensi 5-6%
metritis setelah persalinan pervaginam. Jika ada intrapartum
korioamnionitis, risiko infeksi persisten rahim meningkat menjadi 13
persen (Maberry, 1991). Akhirnya, dalam satu studi, penghapusan
manual plasenta, meningkatkan tingkat metritis nifas tiga kali lipat
(Baksu, 2005). 1

 Kelahiran Sectio Cesarian

Dosis tunggal profilaksis antimikroba perioperatif dianjurkan


untuk semua wanita yang menjalani sesar (American College of
Obstetricians dan Gynecologists, 2011). Profilaksis antimikroba
dosis tunggal tersebut telah memberikan lebih banyak penurunan
insiden dan keparahan infeksi pengiriman postcesarean daripada
intervensi lain dalam 30 tahun terakhir. Praktek-praktek seperti
menurunkan risiko infeksi panggul puerperal sebesar 65-75%
(Smaill, 2010). Besarnya risiko dicontohkan dari laporan yang
mendahului profilaksis antimikroba. Cunningham dan rekan (1978)
menggambarkan sebuah kejadian secara keseluruhan dari 50%
pada wanita yang menjalani sesar di Rumah Sakit Parkland. Faktor
risiko penting untuk infeksi setelah operasi termasuk persalinan
lama, pecah ketuban, beberapa pemeriksaan serviks, dan
pemantauan janin internal. Wanita dengan riwayat postcesarean
dengan semua faktor ini yang tidak diberi profilaksis perioperatif
memiliki 90% tingkat infeksi panggul serius (DePalma, 1982). 1

 Faktor Resiko Lainnya

Hal ini berlaku umum bahwa infeksi panggul lebih sering


pada wanita dari status sosial ekonomi rendah (Maharaj, 2007).
Kecuali dalam kasus yang ekstrim biasanya tidak terlihat di negara
ini, tidak mungkin bahwa anemia atau gizi buruk merupakan
predisposisi infeksi. Kolonisasi bakteri pada saluran genital yang
lebih rendah dengan mikroorganisme tertentu-misalnya,
streptokokus grup B, Chlamydia trachomatis, Mycoplasma hominis,
Ureaplasma urealyticum, dan Gardnerella vaginalis-telah dikaitkan
dengan peningkatan resiko infeksi postpartum (Andrews, 1995;
Jacobsson, 2002; Watts , 1990). Faktor-faktor lain yang terkait
dengan resiko infeksi meningkat termasuk anestesi umum, sesar
untuk kehamilan multifetal, usia muda ibu dan nulliparity, lama
induksi persalinan, obesitas, dan mekonium cairan amnion (Acosta,
2012; Jazayeri, 2002; Kabiru, 2004; Leth 2011; Siriwachirachai,
2010; Tsai, 2011). 1

 Mikrobiologi

Sebagian besar infeksi panggul perempuan disebabkan oleh


bakteri ke saluran kelamin. Selama 20 tahun terakhir, ada laporan
dari streptokokus β-hemolitik grup A menyebabkan toxic shock
syndrome-seperti infeksi yang mengancam jiwa (Aronoff, 2008;
Castagnola, 2008; Nathan, 1994; Palep-Singh, 2007). Membran
prematur pecah adalah faktor risiko penting dalam infeksi ini
(Anteby, 1999). Dalam ulasan Crum (2002) dan Udagawa (1999)
dan rekan-rekan, perempuan dengan infeksi streptokokus grup A
sebelum, selama, atau dalam waktu 12 jam setelah melahirkan
memiliki tingkat kematian ibu hampir 90% dan angka kematian
janin> 50%. Dalam 10 tahun yang lalu, infeksi kulit dan jaringan
lunak pada masyarakat yang dapat methicillin-resistant
Staphylococcus aureus-CA-MRSA-telah menjadi umum. Meskipun
varian ini tidak sering menjadi penyebab metritis puerperal, yang
biasa terlibat dalam infeksi insisi abdomen (Anderson, 2007; Patel,
2007). Rotas dan rekan kerja (2007) melaporkan seorang wanita
dengan selulitis episiotomi dari CA-MRSA dan hematogen
menyebarkan necrotizing pneumonia. 1

 Patogen yang Umum

Umumnya, infeksi polymicrobial meningkatkan sinergi


bakteri. Faktor lain yang menjadikan virulensi yaitu hematoma dan
jaringan devitalized. Meskipun serviks dan vagina secara rutin
menjadi pelabuhan bakteri tersebut, rongga rahim biasanya steril
sebelum pecahnya kantung amnion. Sebagai konsekuensi dari
persalinan dan manipulasi terkait, cairan amnion dan uterus
menjadi terkontaminasi dengan bakteri anaerobik dan aerobik.
Sitokin Intraamniotic dan C-reactive protein juga penanda infeksi
(Combs, 2013; Marchocki, 2013). Dalam penelitian yang dilakukan
sebelum penggunaan profilaksis antimikroba, Gilstrap dan
Cunningham (1979) menyatakan cairan amnion diperoleh pada
kelahiran sesar pada wanita dalam persalinan dengan ruptur
membran lebih dari 6 jam. Semua memiliki pertumbuhan bakteri,
dan rata-rata 2,5 organisme diidentifikasi dari masing-masing
spesimen. Organisme anaerobik dan aerobik diidentifikasi di 63%,
anaerob saja 30%, dan aerob saja hanya 7%. Organisme anaerob
termasuk spesies Peptostreptococcus dan Peptococcus 45%,
spesies Bacteroides 9%, dan spesies Clostridium di 3%. Bakteri
aerob termasuk Enterococcus 14%, streptokokus grup B 8%, dan
Escherichia coli 9% dari isolat. Sherman dan rekan kerja (1999)
kemudian menunjukkan bahwa isolat bakteri di sesar berkorelasi
dengan yang diambil dari wanita dengan metritis pada 3 hari
postpartum. 1
Peran organisme lain dalam etiologi infeksi ini tidak jelas.
Infeksi klamidia telah terlibat dalam akhir-onset, metritis indolent
(Ismail, 1985). Pengamatan dari Chaim dan rekan (2003)
menunjukkan bahwa ketika kolonisasi serviks dari U urealyticum
berat, mungkin berkontribusi pada pengembangan metritis.
Akhirnya, Jacobsson dan rekan (2002) melaporkan tiga kali lipat
risiko infeksi puerperal dalam kelompok wanita Swedia di antaranya
bakterial vaginosis diidentifikasi pada awal kehamilan. 1

 Kultur Bakteri

Kultur saluran kelamin pretreatment rutin adalah


penggunaan klinis kecil dan menambah biaya yang signifikan.
Demikian pula kultur darah rutin jarang memodifikasi perawatan.
Dalam dua studi sebelumnya, dilakukan sebelum profilaksis
perioperatif digunakan, kultur darah positif di 13% wanita dengan
metritis postcesarean di Parkland Hospital dan 24% pada mereka
di Los Angeles County Hospital (Cunningham, 1978; DiZerega,
1979). Dalam suatu penelitian di Finlandia kemudian, Kankuri dan
rekan (2003) menegaskan bakteremia terjadi hanya pada 5% dari
hampir 800 wanita dengan sepsis puerperal. 1

 Patogenesis dan Korelasi Klinis

Infeksi puerperal setelah persalinan pervaginam terutama


melibatkan situs implantasi plasenta, desidua dan miometrium yang
berdekatan, atau laserasi servikovaginal. Patogenesis infeksi rahim
setelah sesar adalah dari sayatan bedah yang terinfeksi. Bakteri
yang menjajah serviks dan vagina mendapatkan akses ke cairan
amnion selama persalinan. Pada saat postpartum, mereka
menyerang jaringan rahim devitalized. Selulitis parametrium
berikutnya berikut dengan infeksi pada jaringan ikat fibroareolar
retroperitoneal panggul. Dengan pengobatan dini, infeksi yang
terkandung dalam jaringan parametrium dan paravaginal, dapat
memperpanjang lebih dalam ke panggul. 1

Demam adalah kriteria yang paling penting untuk diagnosis


metritis postpartum. Secara intuitif, tingkat demam diyakini
sebanding dengan luasnya infeksi dan sindrom sepsis. Suhu
umumnya adalah 38-39°C. Menggigil yang menyertai demam
menandakan bakteremia atau endotoksemia. Wanita biasanya
mengeluh sakit perut, dan nyeri parametrium yang timbul pada
pemeriksaan perut dan bimanual. Leukositosis berkisar dari
15.000-30.000 sel/uL, tapi ingat bahwa sesar itu sendiri
meningkatkan jumlah leukosit (Hartmann, 2000). Meskipun bau
yang ofensif dapat berkembangkan, banyak wanita lokia berbau
busuk tanpa bukti infeksi, dan sebaliknya. Beberapa infeksi lain,
terutama yang disebabkan oleh streptokokus β-hemolitikus grup A,
mungkin berhubungan minimal dengan lokia berbau. 1

 Penatalaksanaan

Jika metritis nonsevere berkembang pada persalinan


pervaginam, maka pengobatan dengan agen antimikroba oral
biasanya cukup. Untuk infeksi menengah sampai berat, terapi
intravena dengan regimen antimikroba spektrum luas sangat
diindikasikan. Peningkatan dalam 48-72 jam di hampir 90% wanita
diperlakukan dengan salah satu dari beberapa regimen. Demam
persisten setelah interval ini mengamanatkan pencarian secara
hati-hati untuk penyebab infeksi panggul. Termasuk adalah
parametrium phlegmon-daerah selulitis intens; sebuah insisi
abdomen atau abses panggul atau hematoma terinfeksi; dan septik
tromboflebitis pelvis. Dalam pengalaman kami, demam persisten
jarang karena bakteri antimikroba tahan atau karena efek samping
obat. Wanita itu mungkin akan kembali ke rumah setelah demam
menghilang selama setidaknya 24 jam, dan terapi antimikroba oral
lanjut tidak diperlukan (Dinsmoor, 1991; Perancis, 2004). 1

 Pemilihan Antimikrobial

Meskipun terapinya empiris, pengobatan awal setelah sesar


diarahkan terhadap unsur-unsur flora campuran. Untuk infeksi
setelah persalinan pervaginam, sebanyak 90% wanita merespon
regimen seperti ampisilin ditambah gentamisin. Sebaliknya,
cakupan anaerob termasuk untuk infeksi setelah sesar. 1

Pada tahun 1979, DiZerega dan rekan membandingkan


efektivitas klindamisin ditambah gentamisin dengan penisilin G
ditambah gentamisin untuk pengobatan infeksi panggul setelah
sesar. Wanita yang diberi regimen klindamisin-gentamisin memiliki
tingkat respon 95% dan regimen ini masih dianggap oleh sebagian
besar menjadi standar (Prancis, 2004). Karena kultur enterococcal
mungkin terus-menerus positif meskipun menggunakan terapi
standar ini, beberapa menambahkan ampisilin ke regimen
klindamisin-gentamisin, baik awalnya atau jika tidak ada respon
oleh 48-72 jam (Brumfield, 2000). 1
Banyak ahli merekomendasikan tingkat serum gentamisin
secara berkala dipantau. Di Parkland Hospital, kita tidak secara
rutin melakukannya jika wanita tersebut memiliki fungsi ginjal
normal. Dosis sekali sehari versus multiple-dosis dengan
gentamisin akan memberikan tingkat serum yang memadai dan
metode tersebut memiliki tingkat pengobatan yang sama
(Livingston, 2003). 1

Karena potensi nefrotoksisitas dan ototoksisitas dengan


gentamisin dalam hal filtrasi glomerulus berkurang, beberapa telah
merekomendasikan kombinasi clindamycin dan sefalosporin
generasi kedua untuk mengobati wanita tersebut. Rekomendasi lain
adalah kombinasi clindamycin dan aztreonam, yang merupakan
senyawa monobaktam dengan aktivitas yang serupa dengan
aminoglikosida. 1

Spektrum antimikroba β-laktam termasuk aktivitas terhadap


banyak patogen anaerob. Beberapa contoh termasuk sefalosporin
seperti cefoxitin, cefotetan, sefotaksim, dan ceftriaxone, serta
penisilin diperpanjang-spektrum seperti piperacillin, tikarsilin, dan
Mezlocillin. -lactam antimikroba secara inheren aman dan kecuali
untuk reaksi alergi, bebas dari racun utama. Inhibitor β-laktamase,
asam klavulanat, sulbaktam, dan Tazobactam, telah digabungkan
dengan ampisilin, amoksisilin, tikarsilin, dan piperacillin untuk
memperpanjang spektrum mereka. Metronidazol memiliki
keunggulan in vitro terhadap sebagian besar bakteri anaerob. Agen
ini diberikan dengan ampisilin dan aminoglikosida menyediakan
cakupan terhadap sebagian besar organisme ditemui pada infeksi
panggul serius. Hal ini juga digunakan untuk mengobati Clostridium
difficile kolitis. 1

Imipenem dan antimikroba serupa merupakan keluarga


carbapenem. Ini menawarkan cakupan spektrum luas terhadap
sebagian besar organisme terkait dengan metritis. Imipenem
digunakan dalam kombinasi dengan cilastatin, yang menghambat
metabolisme ginjalnya. Temuan awal dengan ertapenem
ditunjukkan hasil suboptimal (Brown, 2012). Tampaknya masuk akal
baik dari medis dan sudut pandang ekonomi untuk memesan obat
ini untuk infeksi nonobstetrical serius. 1

Vankomisin adalah antimikroba glycopeptide aktif terhadap


bakteri gram positif. Hal ini digunakan sebagai pengganti terapi β-
laktam untuk pasien dengan reaksi alergi tipe 1 dan diberikan untuk
penderita suspek infeksi karena Staphylococcus aureus dan untuk
mengobati C difficile kolitis. 1

 Profilaksis Perioperatif

Sebagaimana dibahas, administrasi profilaksis antimikroba


pada saat kelahiran sesar telah sangat mengurangi tingkat infeksi
panggul dan luka pasca operasi. Sejumlah penelitian telah
menunjukkan bahwa antimikroba profilaksis mengurangi tingkat
infeksi panggul sebesar 70-80% (Chelmow, 2001; Dinsmoor, 2009;
smaill, 2010; Witt, 2011). Manfaat yang diamati berlaku untuk kedua
kelahiran sesar elektif & non-elektif dan juga termasuk
pengurangan tingkat infeksi insisi abdomen. 1

Dosis tunggal profilaksis dengan ampisilin atau sefalosporin


generasi pertama sangat ideal dan keduanya efektif sebagai agen
spektrum luas atau regimen beberapa dosis (American College of
Obstetricians dan Gynecologists, 2011). Extended-spectrum
profilaksis dengan azitromisin ditambahkan ke standar profilaksis
dosis tunggal telah menunjukkan penurunan lebih lanjut dalam
tingkat metritis postcesarean (Tita, 2008). Temuan ini perlu
diverifikasi. Perempuan yang diketahui terdapat methicillin-resistant
Staphylococcus aureus-MRSA-diberikan vankomisin selain
cephalosporin. Akhirnya, hal ini menjadi kontroversial apakah
tingkat infeksi diturunkan lebih jika antimikroba yang dipilih
diberikan sebelum insisi kulit dibandingkan dengan setelah tali
pusat penjepit (Baaqeel, 2012; Macones, 2012; Sun, 2013).
American College of Obstetricians dan Gynecologists (2011)
menyimpulkan bahwa bukti yang mendukung administrasi
predelivery. Mungkin ada efek aditif menyehatkan dalam
pembersihan vagina pra operasi dengan bilas povidone-iodine atau
aplikasi dari gel metronidazole (Haas, 2013; Reid, 2011; Yildirim,
2012).1

 Metode Lain dari Profilaksis

Beberapa studi telah mengevaluasi nilai kultur


servikovaginal prenatal. Hal ini diperoleh dengan harapan
mengidentifikasi patogen yang mungkin diberantas untuk
mengurangi kejadian persalinan prematur, korioamnionitis,
dan infeksi puerperal. Sayangnya, pengobatan infeksi vagina
tanpa gejala belum terbukti untuk mencegah komplikasi ini.
Carey dan rekan kerja (2000) melaporkan tidak ada efek
menguntungkan bagi wanita yang dirawat karena bakterial
vaginosis tanpa gejala. Klebanoff dan rekan (2001)
melaporkan tingkat infeksi postpartum serupa pada wanita
yang dirawat karena trimester kedua tanpa gejala infeksi
Trichomonas vaginalis dibandingkan dengan wanita yang
diobati dengan plasebo. 1

Teknis manuver dilakukan untuk mengubah tingkat


infeksi postpartum telah dipelajari dengan sesar. Misalnya,
memungkinkan plasenta untuk memisah secara spontan
dibandingkan dengan penghapusan secara manual yang
menurunkan risiko infeksi. Namun, mengubah sarung tangan
oleh tim bedah setelah melahirkan plasenta tidak (Atkinson,
1996). Exteriorizing uterus untuk menutup histerotomi dapat
menurunkan morbiditas demam (Jacobs-Jokhan, 2004).
Setelah melahirkan segmen mekanik yang lebih rendah dan
dilatasi serviks belum terbukti efektif (Liabsuetrakul, 2011).
Tidak ada perbedaan yang ditemukan di tingkat infeksi
pasca operasi ketika tunggal dibandingkan penutupan rahim
dua-lapisan (Hauth, 1992). Demikian pula tingkat infeksi
tidak penutupan terhadap nonclosure dari peritoneum
(Bamigboye, 2003; Tulandi, 2003). Yang penting meskipun
penutupan jaringan subkutan pada wanita obesitas tidak
menurunkan tingkat infeksi luka, hal itu tidak menurunkan
kejadian pemisahan luka (Chelmow, 2004; Magann, 2002;
Naumann, 1995). Demikian pula penutupan kulit dengan
staples dibandingkan jahitan memiliki insiden yang lebih
tinggi dari pemisahan kulit menular (Mackeen, 2012; Tuuli,
2011). 1

 Komplikasi Infeksi Uterus dan Pelvis

Dalam lebih dari 90% wanita, metritis merespon pengobatan


dalam waktu 48-72 jam. Sisanya, salah satu dari beberapa
komplikasi mungkin timbul termasuk infeksi luka, infeksi panggul
yang kompleks seperti phlegmons atau abses, dan septic
tromboflebitis pelvis (Jaiyeoba, 2012). Seperti aspek lain dari infeksi
puerperal, insiden dan keparahan dari komplikasi ini sangat
menurun dengan profilaksis antimikroba perioperatif. 1

c) Infeksi Insisi Abdominal

Infeksi pada luka adalah penyebab umum dari demam persisten


pada wanita yang dirawat karena metritis. Faktor risiko infeksi luka lainnya
termasuk obesitas, diabetes, terapi kortikosteroid, imunosupresi, anemia,
hipertensi, dan hemostasis tidak memadai dengan pembentukan
hematoma. Jika antimikroba profilaksis diberikan seperti dijelaskan di
atas, kejadian infeksi luka perut setelah sesar berkisar antara 2-10%
tergantung pada faktor-faktor risiko (Andrews, 2003; Chaim, 2000). 1
Abses insisi yang berkembang setelah sesar biasanya
menyebabkan demam persisten atau demam dimulai sekitar hari
keempat. Dalam banyak kasus, antimikroba telah diberikan untuk
mengobati infeksi panggul, namun demam bertahan. Ada luka eritema dan
drainase. Meskipun organisme yang menyebabkan infeksi luka umumnya
sama dengan yang diisolasi dari cairan amnion saat sesar, patogen yang
didapat di rumah sakit juga mungkin menjadi penyebab (Emmons, 1988;
Owen, 1994). Perawatannya termasuk antimikroba, drainase bedah, dan
debridement jaringan. Fascia secara hati-hati diperiksa untuk
mendokumentasikan integritas. 1

Perawatan luka lokal biasanya selesai dua kali sehari. Sebelum


perubahan, prosedur analgesia disesuaikan dengan ukuran luka dan
lokasi, dan mulut, intramuskular, atau dosis rute intravena yang cocok.
Lidocaine topikal juga dapat ditambahkan. Jaringan nekrotik dihapus, dan
luka dikemas ulang dengan kain kasa lembab. Pada 4-6 hari, jaringan
granulasi yang sehat biasanya muncul, dan secondary en bloc penutupan
lapisan terbuka biasanya dapat dicapai (Wechter, 2005). Dengan
penutupan ini, polypropylene atau jahitan nilon gauge yang tepat masuk 3
cm dari satu tepi luka. Luka dilintasi untuk menggabungkan ketebalan luka
penuh dan muncul 3 cm dari tepi luka lainnya. Ini ditempatkan untuk
menutup pembukaan. Dalam kebanyakan kasus, jahitan dapat dihapus
pada postprocedural hari 10. Perangkat luka vakum yang digunakan dan
mendapatkan popularitas. Namun, kemanjurannya tetap tidak terbukti
dalam percobaan acak. 1


Wound Dehiscence
Gangguan luka atau dehiscence mengacu pada pemisahan
lapisan fascia. Ini adalah komplikasi yang serius dan memerlukan
penutupan sekunder sayatan di ruang operasi. McNeeley dan
rekan (1998) melaporkan tingkat dehiscence pada fascia sekitar 1
per 300 operasi di hampir 9000 wanita yang menjalani sesar.
Kebanyakan gangguan dimanifestasikan pada sekitar hari kelima
pasca operasi dan disertai dengan keluarnya cairan
serosanguineous. Dua pertiga dari 27 dehiscences fascia
diidentifikasi dalam studi ini dikaitkan dengan infeksi fascia
bersamaan dan nekrosis jaringan.1

Necrotizing Fasciitis
Infeksi luka berat berhubungan dengan angka kematian
yang tinggi. Dalam bidang kebidanan, necrotizing fasciitis mungkin
melibatkan sayatan perut, atau mungkin mempersulit episiotomi
atau laserasi perineum lainnya. Seperti namanya, ada nekrosis
jaringan yang signifikan. Faktor risiko untuk fasciitis dirangkum oleh
Owen dan Andrews (1994), tiga dari-diabetes, obesitas, dan
hipertensi-relatif sering terjadi pada wanita hamil. Seperti infeksi
panggul, komplikasi luka biasanya polymicrobial dan disebabkan
oleh organisme yang membentuk flora normal vagina. Dalam
beberapa kasus, infeksi disebabkan oleh spesies bakteri tunggal
virulen seperti streptokokus β-hemolitikus grup A. Kadang-kadang,
infeksi necrotizing disebabkan oleh patogen yang jarang ditemui
(Swartz, 2004).1
Goepfert dan rekan kerja (1997) mengulas pengalaman
mereka dengan necrotizing fasciitis di University of Alabama
Birmingham Hospital. Sembilan kasus rumit lebih dari 5000
kelahiran sesar-frekuensi 1,8 per 1000. Dalam dua perempuan,
terjadi infeksi fatal. Dalam sebuah laporan dari Brigham and
Women’s and Massachusetts General Hospitals, Schorge dan
rekan (1998), terdapat lima wanita dengan fasciitis setelah sesar.
Tak satu pun dari wanita ini memiliki predisposisi faktor risiko, dan
tidak mati.1
Infeksi mungkin melibatkan kulit, superfisial dan jaringan
subkutan yang dalam, dan salah satu lapisan fascia
abdominopelvic. Dalam beberapa kasus, otot juga terlibat-
myofasciitis. Meskipun beberapa infeksi mematikan, misalnya, dari
streptokokus β-hemolitikus grup A, berkembang pada postpartum
awal, sebagian besar infeksi necrotizing tidak menimbulkan gejala
sampai 3-5 hari setelah melahirkan. Temuan klinis bervariasi dan
sering sulit untuk membedakan infeksi luka yang dangkal lebih
berbahaya dari satu fasia dalam. Sebuah indeks kecurigaan yang
tinggi, dengan eksplorasi bedah jika diagnosis tidak pasti, mungkin
menyelamatkan nyawa. Eksplorasi awal harus segera dilakukan.
Tentu saja, jika myofasciitis berlangsung, wanita mungkin menjadi
sakit karena keracunan darah. Hemokonsentrasi yang mendalam
dari kebocoran kapiler dengan kegagalan sirkulasi umum terjadi
dan kematian dapat segera menyusul.1

(G
Diagnosis dini meliputi debridement, antimikroba, dan
perawatan intensif adalah hal yang terpenting untuk keberhasilan
mengobati infeksi necrotizing jaringan lunak (Gallup, 2004; Urschel,
1999). Tindakan bedah meliputi debridement luas dari semua
jaringan yang terinfeksi, meninggalkan margin luas jaringan
perdarahan sehat. Ini mungkin termasuk debridement perut atau
vulva yang luas dengan unroofing dan eksisi perut, paha, atau
fascia bokong. Kematian hampir secara universal terjadi tanpa
pengobatan bedah dan mendekati 50% bahkan jika debridement
ekstensif dilakukan. Dengan reseksi luas, serat sintetis pada
akhirnya diperlukan nantinya untuk menutup sayatan fascia
(Gallup, 2004; McNeeley, 1998).1

d) Abses Adneksa dan Peritonitis

Abses ovarium jarang berkembang pada puerperium. Abses


biasanya unilateral dan timbul 1-2 minggu pasca persalinan. Ruptur umum
terjadi dan peritonitis adalah bentuk yang parah. 1
Peritonitis jarang terjadi pasca persalinan secara sesar. Hampir
selalu didahului dengan metritis. Peritonitis paling sering disebabkan oleh
nekrosis insisi uterus, atau mungkin karena ruptur abses adneksa atau
cedera usus yang tidak disengaja pada saat persalinan secara sesar.
Peritonitis jarang terjadi pasca persalinan per vaginam, dan banyak kasus
disebabkan streptococcus β-hemocyte grup A atau organisme serupa.1
Yang terpenting pada wanita postpartum, kekakuan abdomen
mungkin tidak menonjol pada peritonitis puerperium. Nyeri bisa berat,
tetapi paling sering, gejala pertama dari peritonitis adalah ileus adinamik.
Ditandai dengan distensi usus. Jika infeksi dimulai dalam uterus yang
intak dan meluas ke peritoneum, pengobatan antimikroba saja biasanya
sudah cukup. Sebaliknya, peritonitis yang disebabkan oleh nekrosis insisi
uterus atau dari perforasi usus, harus segera diobati dengan intervensi
bedah.1

e) Parametrial Phlegmon

Infeksi ini mulai dipikirkan ketika terjadi demam yang menetap lebih
dari 72 jam meskipun sudah mendapat terapi antimikroba intravena. 1
Phlegmon biasanya unilateral dan sering hanya terbatas pada
parametrium di dasar broad ligament. Bentuk ekstensi yang paling umum
adalah lateral di sepanjang broad ligament, dengan kecenderungan untuk
meluas ke dinding samping pelvis. Kadang-kadang, ekstensi posterior
mungkin melibatkan septum rektovaginal, menghasilkan massa posterior
yang kuat pada cervix. Biasanya, demam sembuh dalam 5 sampai 7 hari,
namun dalam beberapa kasus, bisa berlangsung lama. 1

Pada beberapa wanita, selulitis yang parah bisa mengarah ke


nekrosis dan separasi. Pembedahan dipikirkan untuk perempuan dengan
nekrosis insisi uterus yang diduga karena ileus dan peritonitis. Bagi
kebanyakan, histerektomi dan debridement diperlukan dan diduga sulit
karena serviks dan segmen bawah rahim terlibat dengan proses inflamasi
yang intens yang meluas ke dinding samping pelvis. Adneksa jarang
terlibat, dan satu atau kedua ovarium biasanya dapat diselamatkan.
Sering ada kehilangan darah yang cukup, dan transfusi mungkin
diperlukan.1

Imaging
Infeksi puerperium persisten dapat dievaluasi dengan
menggunakan computed tomography (CT) atau magnetic
resonance (MR) imaging. Brown dan rekan-rekannya (1991)
menggunakan CT imaging pada 74 perempuan dengan infeksi
pelvis yang sulit diatasi dalam 5 hari terapi antimikroba. Mereka
menemukan setidaknya satu temuan radiologis abnormal pada 75
persen dari wanita ini. Maldjian dan rekan-rekannya (1999)
menggunakan MR imaging pada 50 wanita dengan demam yang
persisten dan menemukan hematoma pada dua pertiga bladder
flap. Pada tiga wanita, terlihat edema parametrium, dan dua lainnya
terdapat hematoma pelvis. Dalam kebanyakan kasus, imaging
dapat digunakan untuk mencegah eksplorasi bedah. 1

f) Septic Pelvic Thrombophlebitis

Ini merupakan komplikasi yang paling sering terjadi di era


preantibiotik. Septic embolization yang umum terjadi dan menyebabkan
sepertiga kematian ibu selama periode puerperium. Dengan munculnya
terapi antimikroba, tingkat kematian dan perlunya terapi bedah untuk
infeksi ini berkurang.1
Septic phlebitis timbul sebagai perluasan di sepanjang rute vena
dan dapat menyebabkan trombosis. Vena ovarika maka mungkin terlibat
karena merupakan tempat implantasi plasenta. Penelitian Witlin dan Sibai
(1995) dan Brown dan rekan-rekannya (1999) menunjukkan bahwa
puerperal septic thrombophlebitis mungkin melibatkan satu atau kedua
pleksus vena ovarika. Pada keempat perempuan, bekuan darah meluas
ke vena cava inferior dan kadang-kadang ke vena renalis. 1
Insiden septic phlebitis bervariasi dalam beberapa laporan. Dalam
sebuah survei 5 tahun dari 45.000 wanita yang bersalin di Rumah Sakit
Parkland, Brown dan rekan-rekannya (1999) menemukan kejadian septic
pelvic thrombophlebitis 1 per 9000 setelah persalinan per vaginam dan 1
per 800 dengan sesar. Dalam kohort 16.650 wanita yang menjalani sesar
primer, Rouse dan rekan kerja (2004) melaporkan kejadian 1 per 400
dengan sesar. Insiden diperkirakan 1 per 175 jika ada korioamnionitis,
tetapi hanya 1 per 500 jika tidak ada infeksi intrapartum. 1
Wanita dengan septic thrombophlebitis biasanya memiliki perbaikan
gejala dengan terapi antimikroba, namun, demam tetap berlanjut.
Meskipun ada sesekali nyeri di salah satu atau kedua lower quadrant,
pasien biasanya asimtomatik, kecuali untuk menggigil. Diagnosis dapat
dikonfirmasi baik dengan CT atau MR pelvic imaging. Brown dan rekan-
rekannya (1999) menemukan bahwa 20 persen dari 69 wanita dengan
metritis yang masih demam meskipun terapi antimikroba >5 hari memiliki
septic pelvic thrombophlebitis.1
Dalam sebuah studi acak yang dilakukan Brown dan rekan-
rekannya (1999) dari 14 perempuan, penambahan heparin pada terapi
antimikroba untuk septic pelvic thrombophlebitis tidak mempercepat
pemulihan atau meningkatkan hasil.1

g) Infeksi Perineal

Infeksi Episiotomy tidak secara umum terjadi dikarenakan tindakan


episiotomy yang dilakukan pada masa ini jauh lebih sedikit daripada
dahulu. Kejadian Infeksi episiotomy hanya 10 dibanding 20.000 pada ibu
melahirkan pervaginam.1

Infeksi luka episiotomy banyak terjadi pada kasus dengan laserasi


grade IV dan akan terjadi komplikasi pada Spinchter ani. Infeksi
episiotomy sangat jarang menyebabkan septic syok.1


Manifestasi Klinis

Infeksi luka episiotomy berhubungan dengan faktor-faktor


lain seperti kelainan koagulasi, kebiasaan merokok, dan infeksi
Human Papiloma virus. Gejala yang umum ditimbulkan adalah
nyeri di daerah kemaluan, dysuria, dengan retensio urin. Gejala
yang lain dapat timbul adalah vulva oedema, adanya ulkus pada
vulva, dan dilapisi dengan exudate.1

Laserasi dinding vagina dapat mempermudah terjadinya


infeksi dan tanda yang ditimbulkan adalah mukosa vagina menjadi
merah, oedema, dan mungkin menjadi nekrosis. Infeksi dapat pula
menyebar menjadi Lymphangitis.1

Laserasi pada cervix dapat menyebabkan metritis. Laserasi


yang lebih dalam dapat mempercepat penyebaran infeksi dan
menyebabkan Lymphangitis, parametritis, dan bakterimeia. 1


Pengobatan

Luka bekas episiotomy diterapi seperti luka bekas operasi


yang lainnya. Pada pasien dengan kelainan genetik sehingga lebih
mudah timbulnya sellulitis, dapat diterapi dengan observasi-
pemberian antibiotik broad spectrum. Hampir semua luka bekas
episiotomy dapat secara sempurna membaik dan kembali tanpa
menimbulkan komplikasi.1

h) Toxic Shock Syndrome

Sindrome ini dapat terjadi secara cepat dan menyebabkan


kegagalan multipel sistem organ tubuh, menimbulkan kematian sekitar 10-
15% yang terjadi. Gejala yang ditimbulkan adalah demam, sakit kepala,
Hemokonsentrasi darah, Oedema jaringan subcutan, mual, muntah, diare,
rash makula eritematous, kegagalan fungsi hati dan ginjal, DIC, dan
Semua gejala ini sangat cepat terjadi. Infeksi oleh bakteri Staphylococcus
aureus dapat memperparah keadaan klinis pasien, karena terjadi ‘cytokine
strom’.1

Diagnosis dan penanganan yang terlambat akan meningkatkan


angka kematian ibu. Terapi seperti antibiotik harus segera diberikan untuk
menurunkan kejadian sindrome ini.1

2. INFEKSI PAYUDARA

Berikut adalah masalah-masalah yang biasanya terjadi pada


pemberian ASI :2

a) Puting Susu Lecet

Sebanyak 57% ibu yang menyusui dilaporkan pernah menderita


kelecetan pada puting.


Penyebab : 2

 Kesalahan dalam tekhnik menyusui, bayi tidak menyusui


sampai areola tertutup oleh mulut bayi. Bila bayi hanya
menyusu pada puting susu, maka bayi akan mendapat ASI
sedikit, karena gusi bayi tidak menekan pada sinus
laktiferus, sedangkan pada ibunya akan menjadi
nyeri/kelecetan pada puting susu.
 Monoliasis pada mulut bayi yang menular pada puting susu
ibu.
 Akibat dari pemakaian sabun, alkohol, krim, atau zat iritan
lainnya untuk mencuci puting susu.
 Bayi dengan tali lidah yang pendek (frenulum lingue),
sehingga menyebabkan bayi sulit menghisap sampai ke
kalang payudara dan isapan hanya pada puting susu saja.
 Rasa nyeri juga dapat timbul apabila ibu menghentikan
menyusui dengan kurang hati-hati.


Penatalaksanaan : 2

 Bayi harus disusukan terlebih dahulu pada puting yang


normal yang lecetnya lebih sedikit. Untuk menghindari
tekanan lokal pada puting, maka posisi menyusu harus
sering di ubah. Untuk puting yang sakit dianjurkan
mengurangi frekuensi dan lamanya menyusui. Di samping
itu, kita harus yakin bahwa teknik menyusui yang digunakan
bayi benar, yaitu harus menyusu sampai ke kalang
payudara. Untuk menghindari payudara yang bengkak, ASI
dikeluarkan dengan tangan pompa, kemudian diberikan
dengan sendok, gelas, dan pipet.
 Setiap kali selesai menyusui bekas ASI tidak perlu
dibersihkan, tetapi di angin-anginkan sebentar agar
melembutkan puting sekaligus sebagai anti infeksi.
 Jangan menggunakan sabun, alkohol, atau zat iritan lainnya
untuk membersihkan payudara.
 Pada puting susu bisa di bubuhkan minyak lanolin atau
minyak kelapa yang telah dimasak terlebih dahulu.
 Menyusui lebih sering (8-12 kali dalam 24 jam), sehingga
payudara tidak sampai terlalu penuh dan bayi tidak begitu
lapar juga tidak menyusu terlalu rakus.
 Periksakanlah apakah bayi tidak menderita moniliasis yang
dapat menyebabkan lecet pada puting susu ibu. Jika
ditemukan gejala moniliasis dapat diberikan nistatin.

Pencegahan : 2

 Tidak membersihkan puting susu dengan sabun, alkohol,


krim, atau zat-zat iritan lainnya.
 Sebaiknya untuk melepaskan puting dari isapan bayi pada
saat bayi selesai menyusu, tidak dengan memaksa menarik
puting, tetapi dengan menekan dagu atau dengan
memasukkan jari kelingking yang bersih ke mulut bayi.
 Posisi menyusu harus benar, yaitu bayi harus menyusu
sampai ke kalang payudara dan menggunakan kedua
payudara.

b) Payudara Bengkak

Penyebab : 3
Pembengkakan payudara terjadi karena ASI tidak disusui
dengan adekuat, sehingga sisa ASI terkumpul pada system duktus
yang mengakibatkan terjadinya pembengkakan. Payudara bengkak
ini sering terjadi pada hari ketiga atau ke empat sesudah
melahirkan. Statia pada pembuluh darah dan limfe akan
mengakibatkan meningkatnya tekanan intrakaudal, yang akan
memengaruhi segmen pada payudara, sehingga tekanan pada
seluruh payudara meningkat. Akibatnya, payudara sering terasa
penuh, tegang, serta nyeri. Kemudian di ikuti oleh penurunan
produksi ASI dan penurunan let down. Penggunaan bra yang ketat
juga bisa menyebabkan segmental engorgement, demikian pula
putinh yang tidak bersih dapat menyebabkan sumbatan pada
duktus.

Gejala : 3
Payudara yang mengalami pembengkakan tersebut sangat
sulit di susui oleh bayi, karena kalang payudara lebih menonjol,
puting lebih datar dan sulit di hisap oleh bayi, kulit pada payudara
nampak lebih mengkilap, ibu merasa demam, dan payudara terasa
nyeri. Oleh karena itu, sebelum di susukan pada bayi, ASI harus
diperas dengan tangan atau pompa terlebih dahulu agar payudara
lebih lunak, sehingga bayi lebih mudah menyusu.

Penatalaksanaan : 3
 Masase payudara dan ASI di peras dengan tangan sebelum
menyusui.
 Kompres dingin untuk mengurangi statis pembuluh darah
vena dan mengurangi rasa nyeri. Bisa dilakukan selang-
seling dengan kompres panas untuk melancarkan pembuluh
darah.
 Menyusui lebih sering dan lebih lama pada payudara yang
terkena untuk melancarkan aliran ASI dan menurunkan
tegangan payudara.

Pencegahan : 3
 Apabila memungkinkan, susukan bayi segera setelah lahir.
 Susukan bayi tanpa jadwal.
 Keluarkan ASI dengan tangan atau pompa, bila produksi ASI
melebihi kebutuhan bayi.
 Melakukan perawatan pasca persalinan secara teratur.

c) Mastitis
Mastitis adalah radang
pada payudara.1

Penyebab :1
 Payudara
bengkak yang
tidak disusui secara
adekuat,
akhirnya terjadi mastitis.
 Puting lecet akan memudahkan masuknya kuman dan
terjadinya payudara bengkak.
 Bra yang terlalu ketat mengakibatkan segmental
engorgement, jika tidak disusui dengan adekuat, maka bisa
terjadi mastitis.
 Ibu yang dietnya buruk, kurang istirahat, dan anemia akan
mudah terkena infeksi.

Gejala : 1
 Bengkak, nyeri pada seluruh payudara/nyeri lokal.
 Kemerahan pada seluruh payudara atau hanya lokal.
 Payudara keras dan berbenjol-benjol.
 Panas badan dan rasa sakit umum.

d) Abses Payudara
Harus dibedakan antara mastitis dan abses. Abses payudara
merupakan kelanjutan/komplikasi dari mastitis. Hal ini di sebabkan karena
meluasnya peradangan dalam payudara tersebut. 1


Gejala : 1
 Ibu tampak lebih parah sakitnya.
 Payudara lebih merah dan mengkilap.
 Benjolan lebh lunak karena berisi nanah, sehingga perlu di
inisiasi untuk mengeluarkan nanah tersebut.

Penatalaksanaan : 1
 Tekhnik menyusui yang benar.
 Kompresi air hangat dan dingin.
 Terus menyusui pada mastitis.
 Susukan dari yang sehat.
 Senam laktasi.
 Rujuk.
 Pengeluaran nanah dan pemberian antibiotik bila abses
bertambah.
 Bila terjadi abses, menyusui dihentikan, tetapi ASI tetap
dikeluarkan.

e) Payudara yang Berubah Menjadi Merah, Panas, dan Terasa Sakit

Payudara bengkak yang tidak disusu secara adekuat dapat


menyebabkan payudara menjadi merah, panas, terasa sakit, akhirnya
terjadi mastitis. Puting lecet akan memudahkan masuknya kuman dan
terjadinya payudara bengkak. Bra terlalu ketat, mengakibatkan segmental
engorgement.4
Kalau tidak disusu dengan adekuat, bisa terjadi mastitis.Ibu yang
diet jelak, kurang istirahat, anemia akan mudah terkena infeksi. 4

Gejala : 4
 Bengkak, nyeri seluruh payudara/ nyeri lokal.
 Kemerahan pada seluruh payudara atau anya lokal.
 Payudara keras berbenjol-benjol (merongkol).
 Panas badan dan rasa sakit umum.

Penatalaksanaan : 4
 Menyusui diteruskan. Pertama bayi disusukan pada
payudara yang terkena edema dan sesering mungkin, agar
payudara kosong kemudian pada payudara yang normal.
 Berilah kompres panas, bisa menggunakan shower hangat
atau lap basah panas pada payudara yang terkena.
 Ubahlah posisi menyusui dari waktu ke waktu, yaitu dengan
posisi tiduran, duduk, atau posisi memegang bola (football
position).
 Pakailah baju bra yang longgar.
 Istirahat yang cukup, makanan yang bergizi.
 Banyak minum sekitar 2 liter per hari.
 Dengan cara-cara seperti tersebut di atas biasanya
peradangan akan menghilang setelah 48 jam, jarang sekali
yang menjadi abses. Tetapi apabila dengan cara-cara seperti
tersebut di atas tidaka da perbaikan setelah 12 jam, maka
diberikan antibiotik selama 5-10 hari dan analgesia.
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, F.G et al. 2014. William Obstetrics 24th edition. New York:
Mc Graw Hill Medical Publising Division.
2. Bahiyatun. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas Normal. Jakarta :
EGC.
3. Ari Sulistyawati. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan : Konsep Dasar
Nifas. Yogyakarta : Andi Jogjakarta.
4. Suhemi. 2008. Perawatan Masa Nifas. Yogyakarta : Fitramaya.
5. Mochtar R. 2011. Masa Nifas : Sinopsis Obstetri, edisi ke-3, Jakarta : EGC
6. Sastrawinata S. 1983. Masa Nifas dalam Obstetri Fisiologi bagian Obstetri
dan Ginekologi, Bandung : FK UNPAD
7. Baker PN, Kenny LC. 2011. Obstetrics by Ten Teachers. 19th ed. London :
Hodder Arnold
8. Dutta DC. 2015. Textbooks of Obstetrics including Perinatology and
Contraception. 8th ed. New Delhi : Jaypee the Health Sciences Publisher.
9. Edmonds K. 2012. Dewhurst’s Textbook of Obstetrics and Gynecology. 8th
ed. Oxfors : Wiley Blackwell.
10. Dahlen H. 2015. Perineal Care and Repair. In : Paiman S, Pincombe J,
Thorogood C, Tracy S, editors. Midwifery : Preparation for Practice. 3 rd ed.
Sydney, NSW : Churchill Livingstone.
11. Zadech AJ et al. 1969. Emotional and Cognitive Changes in Pregnancy
Early Puerperium. Brit. F. Psychiat.

Anda mungkin juga menyukai