Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan kesehatan pada golongan lansia terkait erat dengan proses

degenerasi yang tidak dapat dihindari. Seluruh sistem, cepat atau lambat akan

mengalami degenerasi. Manifestasi klinik, laboratorik dan radiologik bergantung

pada organ dan/atau sistem yang terkena. Perubahan yang normal dalam bentuk

dan fungsi otak yang sudah tua harus dibedakan dari perubahan yang disebabkan

oleh penyakit yang secara abnormal mengintensifkan sejumlah proses penuaan.

Salah satu manifestasi klinik yang khas adalah timbulnya demensia. Penyakit

semacam ini sering dicirikan sebagai pelemahan fungsi kognitif atau sebagai

demensia. Memang, demensia dapat terjadi pada umur berapa saja, bergantung

pada faktor penyebabnya, namun demikian demensia sering terjadi pada lansia.1

Demensia merupakan sindroma yang ditandai oleh berbagai gangguan

fungsi kognitif tanpa gangguan kesadaran. Fungsi kognitif yang dapat dipengaruhi

pada demensia adalah inteligensia umum, belajar dan ingatan, bahasa,

memecahkan masalah, orientasi, persepsi, perhatian, konsentrasi, pertimbangan

dan kemampuan sosial. Disamping itu, suatu diagnosis demensia menurut

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV)

mengharuskan bahwa gejala menyebabkan gangguan fungsi sosial atau pekerjaan

yang berat dan merupakan suatu penurunan dari tingkat fungsi sebelumnya. 1,2

Dari aspek medik, demensia merupakan masalah yang tak kalah rumitnya

dengan masalah yang terdapat pada penyakit kronis lainnya (stroke, diabetes

1
mellitus, hipertensi, keganasan). Ilmu kedokteran dan kesehatan mengemban misi

untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Seseorang yang mengalami

demensia pasti akan mengalami penurunan kualitas hidup. Keberadaannya dalam

lingkungan keluarga dan masyarakat menjadi beban bagi lingkungannya, tidak

dapat mandiri lagi.2

Keberhasilan pembangunan kesehatan dalam upaya menurunkan angka

kematian umum dan bayi, sangatlah membantu peningkatan umur harapan hidup

(UHH). Pada tahun 2000 umur harapan hidup antara 65-70 tahun meningkat

menjadi 9,37 persen dari tahun sebelumnya. Dalam istilah demografi, penduduk

Indonesia sedang bergerak kearah struktur penduduk yang semakin menua

(ageing population). Peningkatan umur harapan hidup akan menambah jumlah

lansia yang akan berdampak pada pergeseran pola penyakit dari penyakit infeksi

ke penyakit degeneratif atau neoplasma. Peningkatan ini juga akan menambah

populasi penderita demensia.1

Menurut WHO, penduduk lansia dibagi atas; usia pertengahan (middle

age) : 45-69 tahun, usia lanjut (elderly) : 60-74 tahun, tua (old) : 75-90 tahun, dan

usia sangat tua (very old) : lebih dari 90 tahun.1

Diantara orang Amerika yang berusia 65 tahun, kira-kira lima persen

menderita demensia berat dan 15 persen menderita demensia ringan. Diantara

yang berusia 80 tahun, kira-kira 20 persen menderita demensia berat. Dari semua

pasien dengan demensia, 50 sampai 60 persen menderita demensia Alzheimer,

yang merupakan tipe demensia paling sering. Kira-kira lima persen dari semua

orang yang mencapai usia 65 tahun menderita demensia Alzheimer, dibandingkan

2
dengan 15 sampai 25 persen dari semua orang yang berusia 85 tahun atau lebih.

Faktor risiko untuk perkembangan demensia tipe Alzheimer adalah wanita,

mempunyai sanak saudara tingkat pertama dengan gangguan tersebut, dan

mempunyai riwayat cedera kepala.1

Tipe demensia yang paling sering selain Alzheimer adalah demensia

vaskular, yaitu demensia yang secara kausatif berhubungan dengan penyakit

serebrovaskular. Demensia vaskular berjumlah 15-30 persen dari semua kasus

demensia. Demensia vaskular paling sering ditemukan pada orang yang berusia

antara 60-70 tahun dan lebih sering pada laki-laki dibandingkan wanita.

Hipertensi merupakan predisposisi seseorang terhadap penyakit.2

Pada tahun 1970 Tomlinson dkk, melalui penelitian klinis-patologik,

mendapatkan bahwa bila demensia disebabkan oleh penyakit vaskular, hal ini

biasanya terjadi karena adanya infark di otak, dan hal ini melahirkan konsep

“demensia multi-infark”. Untuk menegakkan diagnosis demensia juga dibutuhkan

adanya gangguan memori sebagai suatu sarat. Hal ini dapat dibenarkan pada

penyakit Alzheimer, karena gangguan memori merupakan gejala dini. Namun

pada demensia vaskular sarat ini kurang tepat.1,2

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Ada sejumlah definisi tentang demensia, tetapi semuanya harus

mengandung tiga hal pokok, yaitu gangguan kognitif, gangguan tadi harus

melibatkan berbagai aspek fungsi kognitif dan bukannya sekedar penjelasan

defisit neuropsikologik, dan pada penderita tidak terdapat gangguan kesadaran,

demikian pula delirium yang merupakan gambaran yang menonjol.3

Definisi lain mengenai demensia adalah hilangnya fungsi intelektual

seperti daya ingat, pembelajaran, penalaran, pemecahan masalah, dan pemikiran

abstrak, sedangkan fungsi vegetatif (diluar kemauan) masih tetap utuh.3

Di dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi

keempat (DSM-IV) demensia dicirikan oleh adanya defisit kognitif multipleks

(termasuk gangguan memori) yang secara langsung disebabkan oleh gangguan

kondisi medik secara umum, bahan-bahan tertentu (obat, narkotika, toksin), atau

berbagai faktor etiologi. Demensia dapat progresif, statik atau dapat pula

mengalami remisi. Reversibilitas demensia merupakan fungsi patologi yang

mendasarinya serta bergantung pula pada ketersediaan dan kecepatan terapi yang

efektif. 3

B. KLASIFIKASI

Demensia berhubungan dengan beberapa jenis penyakit.4

4
a. Penyakit yang berhubungan dengan Sindrom Medik: Hal ini

meliputi hipotiroidisme, penyakit Cushing, defisiensi nutrisi,

kompleks demensia AIDS, dan sebagainya.

b. Penyakit yang berhubungan dengan Sindrom Neurologi: Kelompok

ini meliputi korea Huntington, penyakit Schilder, dan proses

demielinasi lainnya; penyakit Creutzfeldt-Jakob; tumor otak;

trauma otak; infeksi otak dan meningeal; dan sejenisnya.

c. Penyakit dengan demensia sebagai satu-satunya tanda atau tanda

yang mencolok: Penyakit Alzheimer dan penyakit Pick adalah

termasuk dalam kategori ini.

Demensia dari segi anatomi dibedakan antara demensia kortikal dan

demensia subkortikal. Dari etiologi dan perjalanan penyakit dibedakan antara

demensia yang reversibel dan irreversibel (tabel).4

Tabel 1. Perbedaan demensia kortikal dan subkortikal4


Ciri Demensia Kortikal Demensia Subkortikal
Penampilan Siaga, sehat Abnormal, lemah
Aktivitas Normal Lamban
Sikap Lurus, tegak Bongkok, distonik
Cara berjalan Normal Ataksia, festinasi, seolah
berdansa
Gerakan Normal Tremor, khorea, diskinesia
Output verbal Normal Disatria, hipofonik, volum
suara lemah
Berbahasa Abnormal, parafasia, anomia Normal
Kognisi Abnormal (tidak mampu Tak terpelihara
memanipulasi pengetahuan) (dilapidated)
Memori Abnormal (gangguan Pelupa (gangguan
belajar) retrieval)
Kemampuan visuo-spasial Abnormal (gangguan Tidak cekatan (gangguan
konstruksi) gerakan)
Keadaan emosi Abnormal (tak Abnormal (kurang
memperdulikan, tak dorongan drive)
menyadari)
Contoh Penyakit Alzheimer, Pick Progressive Supranuclear
Palsy, Parkinson, Penyakit
Wilson, Huntington.

5
Tabel 2. Beberapa penyebab demensia pada dewasa yang belum dapat diobati/ irreversibel. 4
Primer degenerative
- Penyakit Alzheimer
- Penyakit Pick
- Penyakit Huntington
- Penyakit Parkinson
- Degenerasi olivopontocerebellar
- Progressive Supranuclear Palsy
- Degenerasi cortical-basal ganglionic
Infeksi
- Penyakit Creutzfeldt-Jakob
- Sub-acute sclerosing panencephalitis
- Progressive multifocal leukoencephalopathy
Metabolik
- Metachromatic leukodyntrophy
- Penyakit Kuf
- Gangliosidoses

Tabel 3. Beberapa penyebab demensia yang dapat diobati/ reversibel. 4


Obat-obatan anti-kolinergik (mis. Atropin dan sejenisnya); anti-konvulsan
(mis. Phenytoin, Barbiturat); anti-hipertensi (Clonidine,
Methyldopa, Propanolol); psikotropik (Haloperidol,
Phenothiazine); dll (mis. Quinidine, Bromide, Disulfiram).
Metabolik-gangguan sistemik gangguan elektrolit atau asam-basa; hipo-hiperglikemia; anemia
berat; polisitemia vera; hiperlipidemia; gagal hepar; uremia;
insufisiensi pulmonal; hypopituitarism; disfungsi tiroid, adrenal,
atau paratiroid; disfungsi kardiak; degenerasi hepatolenticular.
Gangguan intracranial insufisiensi cerebrovascular; meningitis atau encephalitis chronic,
neurosyphilis, epilepsy, tumor, abscess, hematoma subdural,
multiple sclerosis, normal pressure hydrocephalus.
Keadaan defisiensi vitamin B12, defisiensi folat, pellagra (niacin).
Gangguan collagen-vascular systemic lupus erythematosus, temporal arteritis, sarcoidosis,
syndrome Behcet.
Intoksikasi eksogen alcohol, carbon monoxide, organophosphates, toluene,
trichloroethylene, carbon disulfide, timbal, mercury, arsenic,
thallium, manganese, nitrobenzene, anilines, bromide,
hydrocarbons.

C. ETIOLOGI

Demensia mempunyai banyak penyebab, tetapi demensia tipe Alzheimer

dan demensia vaskular sama-sama berjumlah 75 persen dari semua kasus.

Penyebab demensia lainnya yang disebutkan dalam DSM-IV adalah penyakit

Pick, penyakit Creutzfeldt-Jakob, penyakit Parkinson, Human Immunodeficiency

Virus (HIV), dan trauma kepala.5,6


6
a) Demensia tipe Alzheimer

Alois Alzheimer pertama kali menggambarkan suatu kondisi yang

selanjutnya diberi nama dengan namanya dalam tahun 1907, saat ia

menggambarkan seorang wanita berusia 51 tahun dengan perjalanan demensia

progresif selama empat setengah tahun. Diagnosis akhir penyakit Alzheimer

didasarkan pada pemeriksaan neuropatologi otak; namun demikian, demensia tipe

Alzheimer biasanya didiagnosis dalam lingkungan klinis setelah penyebab

demensia lainnya telah disingkirkan dari pertimbangan diagnostik.5

Penyakit Alzheimer adalah suatu jenis demensia umum yang tidak

diketahui penyebabnya. Penelitian otopsi mengungkapkan bahwa lebih dari

setengah penderita yang meninggal karena demensia senil mengalami penyakit

jenis Alzheimer ini. Pada kebanyakan penderita, berat kasar otak pada saat otopsi

jauh lebih rendah dan ventrikel dan sulkus jauh lebih besar dibandingkan yang

normal untuk seukuran usia tersebut. Demielinasi dan peningkatan kandungan air

pada jaringan otak ditemukan berdekatan dengan ventrikel lateral dan dalam

beberapa daerah lain di bagian dalam hemisfer serebrum pada penderita manula,

khususnya mereka yang menderita penyakit Alzheimer.5

Pada penderita dengan demensia senil jenis Alzheimer terdapat

peningkatan dramatis (dibandingkan dengan penderita manula normal) dalam

jumlah kekusutan neurofibril dan plak neuritik dan juga penurunan 60-90 persen

dalam kadar kolin asetiltransferase (enzim yang menghasilkan sintesis asetilkolin)

di korteks.5

7
Neuropatologi. Observasi makroskopis neuro-anatomik klasik pada otak dari

seorang pasien dengan penyakit Alzheimer adalah atrofi difus dengan pendataran

sulkus kortikal dan pembesaran ventrikel serebral. Temuan mikroskopis klasik

dan patognomonik adalah bercak-bercak senilis, kekusutan neurofibriler,

hilangnya neuronal (kemungkinan sebanyak 50 persen di korteks), dan degenerasi

granulovaskular pada neuron. Kekusutan neurofibriler bercampur dengan elemen

sitoskeletal, terutama protein berfosforilasi, walaupun protein sitoskeletal lainnya

juga ditemukan. Kekusutan neurofibriler adalah tidak unik pada penyakit

Alzheimer, karena keadaan tersebut juga ditemukan pada sindroma Down,

demensia pugilistic (punch-drunk syndrome), kompleks demensia Parkinson dari

Guam, penyakit Hallervorden-Spatz, dan otak orang lanjut usia yang normal.

Kekacauan neurofibriler biasanya ditemukan di korteks, hipokampus, substansia

nigra, dan lokus sereleus.5

Plak senilis juga dikenal sebagai plak amiloid, adalah jauh lebih indikatif

untuk penyakit Alzheimer, walaupun keadaan tersebut juga ditemukan pada

sindroma Down dan sampai derajat tertentu, pada penuaan normal.5

Protein prekursor amiloid. Gen untuk protein prekursor amiloid adalah pada

lengan panjang kromosom 21. Melalui proses penyambungan diferensial,

sesungguhnya terdapat empat bentuk protein prekursor amiloid. Protein beta/A4,

yang merupakan kandungan utama dari plak senilis, adalah suatu peptida dengan

42 asam amino yang merupakan produk penghancuran protein prekursor amiloid.

Pada sindroma Down (trisomi 21), terdapat tiga cetakan protein prekursor

8
amiloid, dan pada penyakit dimana terjadi mutasi pada kodon 717 dalam gen

protein prekursor amiloid, suatu proses patologis menghasilkan deposisi protein

beta/A4 yang berlebihan. Pertanyaan apakah proses pada protein prekursor

amiloid yang abnormal adalah penyebab utama yang penting pada penyakit

Alzheimer masih belum terjawab. Tetapi, banyak kelompok peneliti secara aktif

mempelajari proses metabolik normal dari protein prekursor amiloid dan

prosesnya pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer dalam usaha untuk

menjawab pertanyaan tersebut.5

Kelainan neurotransmiter. Neurotransmiter yang paling berperan dalam

patofisiologis adalah asetilkolin dan norepinefrin, keduanya dihipotesiskan

menjadi hipoaktif pada penyakit Alzheimer. Beberapa penelitian telah melaporkan

data yang konsisten dengan hipotesis bahwa suatu degenerasi spesifik pada

neuron kolinergik ditemukan pada nukleus basalis Meynerti pada pasien dengan

penyakit Alzheimer. Data lain yang mendukung adanya defisit kolinergik pada

penyakit Alzheimer adalah penurunan konsentrasi asetilkolin dan kolin

asetiltransferase di dalam otak. Kolin asetiltransferase adalah enzim kunci untuk

sintesis asetilkolin, dan penurunan konsentrasi kolin asetiltransferase menyatakan

penurunan jumlah neuron kolinergik yang ada. Dukungan tambahan untuk

hipotesis defisit kolinergik berasal dari observasi bahwa antagonis kolinergik,

seperti skopolamin dan atropin mengganggu kemampuan kognitif, sedangkan

agonis kolinergik, seperti physostigmin dan arecolin, telah dilaporkan

meningkatkan kemampuan kognitif. Penuaian aktivitas norepinefrin pada penyakit

9
Alzheimer diperkirakan dari penurunan neuron yang mengandung norepinefrin

didalam lokus sareleus yang telah ditemukan pada beberapa pemeriksaan

patologis otak dari pasien dengan penyakit Alzheimer. Dua neurotransmiter lain

yang berperan dalam patofisiologi penyakit Alzheimer adalah dua peptida

neuroaktif, somatostatin dan kortikotropin, keduanya telah dilaporkan menurun

pada penyakit Alzheimer.5

Penyebab potensial lainnya. Teori kausatif lainnya telah diajukan untuk

menjelaskan perkembangan penyakit Alzheimer. Satu teori adalah bahwa kelainan

dalam pengaturan metabolisme fosfolipid membran menyebabkan membran yang

kekurangan cairan yaitu lebih kaku dibandingkan normal. Beberapa peneliti telah

menggunakan pencitraan spektroskopik resonansi molekular (molecular

resonance spectroscopic: MRS) untuk memeriksa hipotesis tersebut pada pasien

dengan demensia tipe Alzheimer. Toksisitas aluminium juga telah dihipotesiskan

sebagai faktor kausatif, karena kadar aluminium yang tinggi telah ditemukan

dalam otak beberapa pasien dengan penyakit Alzheimer.5

Suatu gen (E4) telah dihubungkan dalam etiologi penyakit Alzheimer.

Orang dengan satu salinan gen menderita penyakit Alzheimer tiga kali lebih

sering daripada orang tanpa gen E4. Orang dengan dua gen E4 mempunyai

kemungkinan menderita penyakit delapan kali lebih sering daripada orang tanpa

gen E4.5

10
b) Demensia Vaskular

Penyebab utama dari demensia vaskular dianggap adalah penyakit

vaskular serebral yang multipel, yang menyebabkan suatu pola gejala demensia.

Gangguan dulu disebut sebagai demensia multi-infark dalam Diagnostic and

Statistical Manual of Mental Disorders edisi ketiga yang di revisi (DSM-III-R).

Demensia vaskular paling sering pada laki-laki, khususnya pada mereka dengan

hipertensi yang telah ada sebelumnya atau faktor risiko kardiovaskular lainnya.

Gangguan terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran kecil dan

sedang, yang mengalami infark menghasilkan lesi parenkim multipel yang

menyebar pada daerah otak yang luas. Penyebab infark mungkin termasuk oklusi

pembuluh darah oleh plak arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat asal

yang jauh (sebagai contohnya katup jantung). Suatu pemeriksaan pasien dapat

menemukan bruit karotis, kelainan funduskopi, atau pembesaran kamar jantung.5,6

c) Penyakit Pick

Berbeda dengan distribusi patologi parietal-temporal pada penyakit

Alzheimer, penyakit Pick ditandai oleh atrofi yang lebih banyak dalam daerah

frontotemporal. Daerah tersebut juga mengalami kehilangan neuronal, gliosis, dan

adanya badan Pick neuronal yang merupakan massa elemen sitoskeletal. Badan

Pick ditemukan pada beberapa spesimen postmortem tetapi tidak diperlukan untuk

diagnosis. Penyebab penyakit Pick tidak diketahui. Penyakit Pick berjumlah kira-

kira lima persen dari semua demensia yang irreversibel. Penyakit ini paling sering

terjadi pada laki-laki, khususnya mereka yang mempunyai sanak saudara derajat

11
pertama dengan kondisi tersebut. Penyakit Pick sulit dibedakan dari demensia tipe

Alzheimer, walaupun stadium awal penyakit Pick lebih sering ditandai oleh

perubahan kepribadian dan perilaku, dengan fungsi kognitif lain yang relatif

bertahan. Gambaran sindroma Kluver-Bucy (sebagai contohnya, hiperseksualitas,

plasiditas, hiperoralitas) adalah jauh lebih sering pada penyakit Pick dibandingkan

pada penyakit Alzheimer.5,6

d) Penyakit Creutzfeldt-Jakob

Penyakit Creutzfeldt-Jakob adalah penyakit degeneratif otak yang jarang,

yang disebabkan oleh agen yang progresif secara lambat, dan dapat ditransmisikan

(yaitu, agen infektif), paling mungkin suatu prion, yang merupakan agen

proteinaseus yang tidak mengandung DNA atau RNA. Penyakit-penyakit lain

yang berhubungan dengan prion adalah scrapie (penyakit pada domba), kuru

(suatu gangguan degeneratif sistem saraf pusat yang fatal pada suku di dataran

tinggi Guinea dimana prion ditransmisikan melalui kanibalisme ritual), dan

sindroma Gesrtman-Straussler (suatu demensia progresif, familial, dan sangat

jarang). Semua gangguan yang yang berhubungan dengan prion menyebabkan

degenerasi berbentuk spongiosa pada otak, yang ditandai dengan tidak adanya

respon imun inflamasi.5,6

Bukti-bukti menunjukkan bahwa pada manusia penyakit Creutzfeldt-Jakob

dapat ditransmisikan secara iatrogenik, melalui transplantasi kornea atau

instrumen bedah yang terinfeksi. Tetapi, sebagian besar penyakit, tampaknya

sporadik, mengenai individual dalam usia 50-an. Terdapat bukti bahwa periode

12
inkubasi mungkin relatif singkat (satu sampai dua tahun) atau relatif lama

(delapan sampai 16 tahun). Onset penyakit ditandai oleh perkembangan tremor,

ataksia gaya berjalan, mioklonus, dan demensia. Penyakit biasanya secara cepat

progresif menyebabkan demensia yang berat dan kematian dalam 6 sampai 12

tahun. Pemeriksaan cairan serebrospinal biasanya tidak mengungkapkan kelainan,

dan pemeriksaan tomografi komputer dan MRI mungkin normal sampai

perjalanan gangguan yang lanjut. Penyakit ditandai oleh adanya pola

elektroensefalogram (EEG) yang tidak biasa, yang terdiri dari lonjakan

gelombang lambat dengan tegangan tinggi.5

e) Penyakit Binswanger

Penyakit Binswanger juga dikenal sebagai ensefalopati arteriosklerotik

kortikal. Penyakit ini ditandai dengan adanya banyak infark-infark kecil pada

substansia alba, jadi menyerang daerah kortikal. Walaupun penyakit Binswanger

sebelumnya dianggap sebagai kondisi yang jarang, kemajuan teknik pencitraan

yang canggih dan kuat, seperti pencitraan resonansi magnetik (magnetic

resonance imaging: MRI), telah menemukan bahwa kondisi tersebut adalah lebih

sering daripada yang sebelumnya dipikirkan.6

f) Penyakit Huntington

Penyakit Huntington biasanya disertai dengan perkembangan demensia.

Demensia yang terlihat pada penyakit Huntington adalah tipe demensia

subkortikal, yang ditandai oleh kelainan motorik yang lebih banyak dan kelainan

13
bicara yang lebih sedikit dibandingkan tipe demensia kortikal (tabel 1). Demensia

pada penyakit Huntington ditandai oleh perlambatan psikomotor dan kesulitan

melakukan tugas yang kompleks, tetapi ingatan, bahasa, dan tilikan tetap relatif

utuh pada stadium awal dan menengah dari penyakit. Tetapi, saat penyakit

berkembang, demensia menjadi lengkap dan ciri yang membedakan penyakit ini

dari demensia tipe Alzheimer adalah tingginya insidensi depresi dan psikosis,

disamping gangguan pergerakan koreoatetoid yang klasik.6

g) Penyakit Parkinson

Seperti penyakit Huntington, parkinsonisme adalah suatu penyakit pada

ganglia basalis yang sering disertai dengan demensia dan depresi. Diperkirakan 20

sampai 30 persen pasien dengan penyakit Parkinson menderita demensia, dan

tambahan 30 sampai 40 persen mempunyai gangguan kemampuan kognitif yang

dapat diukur. Pergerakan yang lambat pada pasien dengan penyakit Parkinson

adalah disertai dengan berpikir yang lambat pada beberapa pasien yang terkena,

suatu ciri yang disebut oleh beberapa dokter sebagai bradifenia (bradyphenia).6

h) Demensia yang berhubungan dengan HIV

Infeksi dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) seringkali

menyebabkan demensia dan gejala psikiatrik lainnya. Pasien yang terinfeksi

dengan HIV mengalami demensia dengan angka tahunan kira-kira 14 persen.

Diperkirakan 75 persen pasien dengan sindroma immunodefisiensi didapat

(AIDS) mempunyai keterlibatan sistem saraf pusat saat otopsi. Perkembangan

14
demensia pada pasien yang terinfeksi HIV seringkali disertai oleh tampaknya

kelainan parenkimal pada pemeriksaan MRI.6

i) Demensia yang berhubungan dengan Trauma Kepala

Demensia dapat merupakan suatu sekuela dari trauma kepala, demikian

juga berbagai sindroma neuropsikiatrik.6

D. GAMBARAN KLINIK

Gambaran utama demensia adalah munculnya defisit kognitif multipleks,

termasuk gangguan memori, setidak-tidaknya satu di antara gangguan gangguan

kognitif berikut ini: afasia, apraksia, agnosia, atau gangguan dalam hal fungsi

eksekutif. Defisit kognitif harus sedemikian rupa sehingga mengganggu fungsi

sosial atau okupasional (pergi ke sekolah, bekerja, berbelanja, berpakaian, mandi,

mengurus uang, dan kehidupan sehari-hari lainnya) serta harus menggambarkan

menurunnya fungsi luhur sebelumnya.6

a) Gangguan memori

Dalam bentuk ketidakmampuannya untuk belajar tentang hal-hal baru,

atau lupa akan hal-hal yang baru saja dikenal, dikerjakan atau dipelajari. Sebagian

penderita demensia mengalami kedua jenis gangguan memori tadi. Penderita

seringkali kehilangan dompet dan kunci, lupa bahwa sedang meninggalkan bahan

masakan di kompor yang menyala, dan merasa asing terhadap tetangganya. Pada

demensia tahap lanjut, gangguan memori menjadi sedemikian berat sehingga

15
penderita lupa akan pekerjaan, sekolah, tanggal lahir, anggota keluarga, dan

bahkan terhadap namanya sendiri.6

b) Gangguan orientasi

Karena daya ingat adalah penting untuk orientasi terhadap orang, tempat,

dan waktu. Orientasi dapat terganggu secara progresif selama perjalanan penyakit

demensia. Sebagai contohnya, pasien dengan demensia mungkin lupa bagaimana

kembali ke ruangannya setelah pergi ke kamar mandi. Tetapi, tidak masalah

bagaimana beratnya disorientasi, pasien tidak menunjukkan gangguan pada

tingkat kesadaran.6

c) Afasia

Dapat dalam bentuk kesulitan menyebut nama orang atau benda. Penderita

afasia berbicara secara samar-samar atau terkesan hampa, dengan ungkapan kata-

kata yang panjang, dan menggunakan istilah-istilah yang tak menentu misalnya

“anu”, “itu”, “apa itu”. Bahasa lisan dan tertulis dapat pula terganggu. Pada tahap

lanjut, penderita dapat menjadi bisu atau mengalami gangguan pola bicara yang

dicirikan oleh ekolalia (menirukan apa yang dia dengar) atau palilalia yang berarti

mengulang suara atau kata terus-menerus.6

d) Apraksia

Adalah ketidakmampuan untuk melakukan gerakan meskipun kemampuan

motorik, fungsi sensorik dan pengertian yang diperlukan tetap baik. Penderita

dapat mengalami kesulitan dalam menggunakan benda tertentu (menyisir rambut)

atau melakukan gerakan yang telah dikenali (melambaikan tangan). Apraksia

dapat mengganggu keterampilan memasak, mengenakan pakaian, menggambar.6

16
e) Agnosia

Adalah ketidakmampuan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda

maupun fungsi sensoriknya utuh. Sebagai contoh, penderita tak dapat mengenali

kursi, pena, meskipun visusnya baik. Akhirnya, penderita tak mengenal lagi

anggota keluarganya dan bahkan dirinya sendiri yang tampak pada cermin.

Demikian pula, walaupun sensasi taktilnya utuh, penderita tak mampu mengenali

benda yang diletakkan di tangannya atau yang disentuhnya misalnya kunci atau

uang logam.6

f) Gangguan fungsi eksekutif

Yaitu merupakan gejala yang sering dijumpai pada demensia. Gangguan

ini mempunyai kaitan dengan gangguan di lobus frontalis atau jaras-jaras

subkortikal yang berhubungan dengan lobus frontalis. Fungsi eksekutif

melibatkan kemampuan berpikir abstrak, merencanakan, mengambil inisiatif,

membuat urutan, memantau, dan menghentikan kegiatan yang kompleks.

Gangguan dalam berpikir abstrak dapat muncul sebagai kesulitan dalam

menguasai tugas/ide baru serta menghindari situasi yang memerlukan pengolahan

informasi baru atau kompleks.6

g) Perubahan Kepribadian

Perubahan kepribadian pasien demensia merupakan gambaran yang paling

mengganggu bagi keluarga pasien yang terkena. Sifat kepribadian sebelumnya

mungkin diperkuat selama perkembangan demensia. Pasien dengan demensia juga

mungkin menjadi introvert dan tampaknya kurang memperhatikan tentang efek

perilaku mereka terhadap orang lain. Pasien demensia yang mempunyai waham

17
paranoid biasanya bersikap bermusuhan terhadap anggota keluarga dan

pengasuhnya. Pasien dengan gangguan frontal dan temporal kemungkinan

mengalami perubahan kepribadian yang jelas dan mungkin mudah marah dan

meledak-ledak.6

h) Gangguan Lain

Psikiatri. Disamping psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan

kecemasan adalah gejala utama pada kira-kira 40 sampai 50 persen pasien

demensia, walaupun sindroma gangguan depresif yang sepenuhnya mungkin

hanya ditemukan pada 10 sampai 20 persen pasien demensia. Pasien dengan

demensia juga menunjukkan tertawa atau menangis yang patologis, yaitu emosi

yang ekstrim tanpa provokasi yang terlihat.5,6

Neurologis. Disamping afasia pada pasien demensia, apraksia dan agnosia

adalah sering, dan keberadaannya dimasukkan sebagai kriteria diagnostik

potensial dalam DSM-IV. Tanda neurologis lain yang dapat berhubungan dengan

demensia adalah kejang, yang terlihat pada kira-kira 10 persen pasien dengan

demensia tipe Alzheimer dan 20 persen pasien dengan demensia vaskular, dan

presentasi neurologis yang atipikal, seperti sindroma lobus parietalis nondominan.

Refleks primitif-seperti refleks menggenggam, moncong, mengisap, kaki-tonik,

dan palmomental-mungkin ditemukan pada pemeriksaan neurologis, dan jerks

mioklonik ditemukan pada lima sampai sepuluh persen pasien.5,6

Pasien dengan demensia vaskular mungkin mempunyai gejala neurologis

tambahan-seperti nyeri kepala, pusing, pingsan, kelemahan, tanda neurologis

fokal, dan gangguan tidur-mungkin menunjukkan lokasi penyakit serebrovaskular.

18
Palsi serebrobulbar, disartria, dan disfagia juga lebih sering pada demensia

vaskular dibandingkan demensia lain.5,6

Reaksi katastropik. Pasien demensia juga menunjukkan penurunan

kemampuan untuk menerapkan apa yang disebut oleh Kurt Goldstein sebagai

perilaku abstrak. Pasien mempunyai kesulitan dalam generalisasi dari suatu

contoh tunggal, dalam membentuk konsep, dan dalam mengambil perbedaan dan

persamaan di antara konsep-konsep. Selanjutnya, kemampuan untuk memecahkan

masalah, untuk memberikan alasan secara logis, dan untuk membuat

pertimbangan yang sehat adalah terganggu. Goldstein juga menggambarkan suatu

reaksi katastropik, yang ditandai oleh agitasi sekunder karena kesadaran subjektif

tentang defisit intelektualnya di bawah keadaan yang menegangkan. Pasien

biasanya berusaha untuk mengkompensasi defek tersebut dengan menggunakan

strategi untuk menghindari terlihatnya kegagalan dalam daya intelektual, seperti

mengubah subjek, membuat lelucon, atau mengalihkan pewawancara dengan cara

lain. Tidak adanya pertimbangan atau control impuls yang buruk sering

ditemukan, khususnya pada demensia yang terutama mempengaruhi lobus

frontalis. Contoh dari gangguan tersebut adalah bahasa yang kasar, humor yang

tidak sesuai, pengabaian penampilan dan higiene pribadi, dan mengabaikan aturan

konvensional tingkah laku sosial.5,6

Sindroma Sundowner. Sindroma ini ditandai oleh mengantuk, konfusi,

ataksia, dan terjatuh secara tidak disengaja. Keadaan ini terjadi pada pasien lanjut

usia yang mengalami sedasi berat dan pada pasien demensia yang bereaksi secara

menyimpang bahkan terhadap dosis kecil obat psikoaktif. Sindroma juga terjadi

19
pada pasien demensia jika stimuli eksternal, seperti cahaya dan isyarat yang

menyatakan interpersonal, adalah menghilang.5,6

Pemeriksaan neurologis dasar tidak menemukan sesuatu yang abnormal.

Hasil dari semua pemeriksaan laboratorium adalah normal, termasuk B12, folat, T4

dan serologi; tetapi pemeriksaan tomografi komputer menunjukkan atrofi kortikal

yang nyata.5,6

E. DIAGNOSIS

Diagnosis demensia didasarkan pada pemeriksaan klinis pasien, termasuk

pemeriksaan suatu mental, dan pada informasi dari anggota keluarga, teman-

teman, dan perusahaan. Keluhan perubahan kepribadian pada seorang pasien yang

berusia lebih dari 40 tahun menyatakan bahwa suatu diagnosis demensia harus

dipertimbangkan dengan cermat.5

Keluhan dari pasien tentang gangguan intelektual dan menjadi pelupa

harus diperhatikan, demikian juga tiap bukti pengelakan, penyangkalan, atau

rasionalisasi yang ditujukan untuk menyembunyikan defisit kognitif. Keteraturan

yang berlebihan, penarikan sosial atau kecenderungan untuk menghubungkan

peristiwa-peristiwa dalam perincian yang kecil-kecil dapat merupakan

karakteristik. Ledakan kemarahan yang tiba-tiba atau sarkasme dapat terjadi.

Penampilan dan perilaku pasien harus diperhatikan. Labilitas emosional,

dandanan yang kotor, ucapan yang tidak tertahan, gurauan yang bodoh, atau

ekspresi wajah atau gaya yang bodoh, apatik atau kosong menyatakan adanya

demensia, terutama jika disertai dengan gangguan ingatan.5

20
a) Demensia tipe Alzheimer

Kriteria diagnostik DSM-IV untuk demensia tipe Alzheimer menekankan

adanya gangguan ingatan dan disertai terdapatnya sekurang-kurangnya satu gejala

lain dari penurunan kognitif (afasia, apraksia, agnosia, atau fungsi eksekutif yang

abnormal). Kriteria diagnostik juga memerlukan suatu penurunan yang terus

menerus dan bertahap pada fungsi, gangguan fungsi sosial atau pekerjaan, dan

menyingkirkan penyebab demensia lainnya. DSM-IV menyatakan bahwa usia dari

onset dapat digolongkan sebagai awal (pada usia 65 tahun atau kurang) atau

lambat (setelah usia 65 tahun) dan gejala perilaku yang predominan dapat diberi

kode dengan diagnosis, jika sesuai.5,6

b) Demensia Vaskular

Gejala umum dari demensia vaskular adalah sama dengan gejala untuk

demensia tipe Alzheimer, tetapi diagnosis demensia vaskular memerlukan bukti

klinis maupun laboratoris yang mendukung penyebab vaskular dari demensia.5,6

c) Demensia karena kondisi medis lainnya

DSM-IV menuliskan enam penyebab spesifik demensia yang dapat diberi

kode secara langsung: penyakit HIV, trauma kepala, penyakit Parkinson, penyakit

Huntington, penyakit Pick, dan penyakit Creutz-feldt-Jakob. Suatu kategori

ketujuh memungkinkan dokter menspesifikasi kondisi medis nonpsikiatrik lainnya

yang berhubungan dengan demensia.5,6

21
d) Demensia menetap akibat zat

Alasan utama bahwa kategori DSM-IV ini dituliskan dengan demensia dan

gangguan yang berhubungan dengan zat adalah untuk mempermudah dokter

berpikir tentang diagnosis banding. Zat spesifik yang merupakan referensi silang

DSM-IV adalah alkohol, inhalan, sedatif, hipnotik, atau ansiolitik, dan zat lain

atau yang tidak diketahui.5,6

F. DIAGNOSIS BANDING

Perbaikan yang terus menerus dalam teknik pencitraan otak, khususnya

MRI, telah membuat perbedaan antara demensia, terutama demensia tipe

Alzheimer dan demensia vaskular agak lebih cepat dibandingkan di masa lalu

pada beberapa kasus. Suatu bidang penelitian yang sedang giat dilakukan adalah

menggunakan tomografi komputer emisi foton tunggal (single photon emission

computed tomography; SPECT) untuk mendeteksi pola metabolisme otak dalam

berbagai jenis demensia; dan tidak lama lagi, penggunaan pencitraan SPECT

dapat membantu dalam diagnosis banding klinis penyakit demensia.6

a) Demensia tipe Alzheimer lawan demensia vaskular

Biasanya demensia vaskular telah dibedakan dari demensia tipe Alzheimer

dengan pemburukan yang mungkin menyertai penyakit serebrovaskular selama

satu periode waktu. Walaupun pemburukan yang jelas dan bertahap mungkin

tidak ditemukan pada semua kasus, gejala neurologis fokal adalah lebih sering

pada demensia vaskular dibandingkan pada demensia tipe Alzheimer, demikian

juga faktor risiko standar untuk penyakit serebrovaskular.6

22
b) Demensia vaskular lawan Serangan Iskemik Transien

Serangan iskemik transien (transient ischemic attacks/ TIA) adalah

episode singkat disfungsi neurologis fokal yang berlangsung kurang dari 24 jam

(biasanya lima sampai 15 menit). Walaupun terdapat berbagai mekanisme yang

mungkin bertanggung jawab, episode seringkali disebabkan oleh mikroembolisasi

dari suatu lesi intrakranial proksimal yang menyebabkan iskemia otak transien,

dan episode biasanya menghilang tanpa perubahan patologis yang bermakna pada

jaringan parenkim. Kira-kira sepertiga pasien dengan serangan iskemik transien

yang tidak diobati selanjutnya mengalami suatu infark otak; dengan demikian,

pengenalan serangan iskemik transien adalah suatu strategi klinis yang penting

untuk mencegah infark otak.6

c) Delirium

Gangguan memori terjadi baik pada delirium maupun pada demensia.

Delirium juga dicirikan oleh menurunnya kemampuan untuk mempertahankan

dan memindahkan perhatian secara wajar. Gejala delirium bersifat fluktuatif,

sementara demensia menunjukkan gejala yang relatif stabil. Gangguan kognitif

yang bertahan tanpa perubahan selama beberapa bulan lebih mengarah kepada

demensia daripada delirium. Delirium dapat menutupi dejala demensia. Dalam

keadaan sulit untuk membedakan apakah terjadi delirium atau demensia, maka

dianjurkan untuk memilih demensia sebagai diagnosa sementara, dan mengamati

penderita lebih lanjut secara cermat untuk menentukan jenis gangguan yang

sebenarnya.6

23
d) Depresi

Depresi yang berat dapat disertai keluhan tentang gangguan memori, sulit

berpikir dan berkonsentrasi, dan menurunnya kemampuan intelektual secara

menyeluruh. Kadang-kadang penderita menunjukkan penampilan yang buruk

pada pemeriksaan status mental dan neuropsikologi. Terutama pada lanjut usia,

sering kali sulit untuk menentukan apakah gejala gangguan kognitif merupakan

gejala demensia atau depresi. Kesulitan ini dapat dipecahkan melalui pemeriksaan

medik yang menyeluruh dan evaluasi awitan gangguan yang ada, urutan

munculnya gejala depresi dan gangguan kognitif, perjalanan penyakit, riwayat

keluarga, serta hasil pengobatan. Apabila dapat dipastikan bahwa terdapat

demensia bersama-sama dengan depresi, dengan etiologi yang berbeda, kedua

diagnosis dapat ditegakkan bersama-sama.6

e) Amnesia

Amnesia dicirikan oleh gangguan memori yang berat tanpa gangguan

fungsi kognitif lainnya (afasia, apraksia, agnosia, dan gangguan eksekutif/daya

abstraksi).6

f) Retardasi mental

Retardasi mental dicirikan oleh fungsi intelektual di bawah rata-rata, yang

diiringi oleh gangguan dalam penyesuaian diri, yang awitannya di bawah 18

tahun. Apabila demensia tampak pada usia di bawah 18 tahun, diagnosis demensia

dan retardasi mental dapat ditegakkan bersama-sama asal kriterianya terpenuhi.6

24
g) Skizofrenia

Pada skizofrenia mungkin terjadi gangguan kognitif multipleks, tetapi

skizofrenia muncul pada usia lebih muda; disamping itu dicirikan oleh pola gejala

yang khas tanpa disertai etiologi yang spesifik. Yang khas, gangguan kognitif

pada skizofrenia jauh lebih berat daripada gangguan kognitif pada demensia.6

G. TERAPI

Beberapa kasus demensia dianggap dapat diobati karena jaringan otak

yang disfungsional dapat menahan kemampuan untuk pemulihan jika pengobatan

dilakukan tepat pada waktunya. Riwayat medis yang lengkap, pemeriksaan fisik,

dan tes laboratorium, termasuk pencitraan otak yang tepat, harus dilakukan segera

setelah diagnosis dicurigai. Jika pasien menderita akibat suatu penyebab demensia

yang dapat diobati, terapi diarahkan untuk mengobati gangguan dasar.7

Pendekatan pengobatan umum pada pasien demensia adalah untuk

memberikan perawatan medis suportif, bantuan emosional untuk pasien dan

keluarganya, dan pengobatan farmakologis untuk gejala spesifik, termasuk gejala

perilaku yang mengganggu. Pemeliharaan kesehatan fisik pasien, lingkungan yang

mendukung, dan pengobatan farmakologis simptomatik diindikasikan dalam

pengobatan sebagian besar jenis demensia. Pengobatan simptomatik termasuk

pemeliharaan diet gizi, latihan yang tepat, terapi rekreasi dan aktivitas, perhatian

terhadap masalah visual dan audiotoris, dan pengobatan masalah medis yang

menyertai, seperti infeksi saluran kemih, ulkus dekubitus, dan disfungsi

kardiopulmonal. Perhatian khusus karena diberikan pada pengasuh atau anggota

25
keluarga yang menghadapi frustasi, kesedihan, dan masalah psikologis saat

mereka merawat pasien selama periode waktu yang lama. 7

Jika diagnosis demensia vaskular dibuat, faktor risiko yang berperan pada

penyakit kardiovaskular harus diidentifikasi dan ditanggulangi secara terapetik.

Faktor-faktor tersebut adalah hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, penyakit

jantung, diabetes dan ketergantungan alkohol. Pasien dengan merokok harus

diminta untuk berhenti, karena penghentian merokok disertai dengan perbaikan

perfusi serebral dan fungsi kognitif.7

a) Sikap umum:

Terdapat lima hambatan utama sehubungan dengan terapi demensia:7

1. Kompleksitas biologi dan biokimia otak; interaksi dan ketergantungan

antar komponen belum diketahui secara jelas

2. Kesulitan dalam hal menentukan diagnosis etiologik dari sindrom psiko-

organik

3. Tiadanya korelasi antara perilaku, gejala neurologik atau neuropsikologik,

dan perubahan metabolik yang ada

4. Belum diketahuinya batas-batas biologik gangguan yang ada, sehubungan

dengan aspek farmakologik

5. Kesulitan dalam hal metodologi untuk mengevaluasi efek terapetik,

terutama dalam menginterpretasi hasil kelompok-kelompok penelitian

Untuk demensia tidak ada terapi spesifik atau drug of choice. Terapi

demensia bukan sekedar pemberian obat-obatan. Pihak keluarga harus diberi

26
penyuluhan tentang situasi demensia; dengan demikian keluarga dapat merawat

penderita di rumah dengan tepat.7

b) Obat untuk demensia

a. Cholinergic-enhancing agents

Untuk terapi demensia jenis Alzheimer, telah banyak dilakukan

penelitian. Pemberian cholinergic-enhancing agents menunjukkan

hasil yang lumayan pada beberapa penderita; namun demikian

secara keseluruhan tidak menunjukkan keberhasilan sama sekali.

Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa demensia

alzheimerntidak semata-mata disebabkan oleh defisiensi

kolinergik; demensia ini juga disebabkan oleh defisiensi

neurotransmitter lainnya. Sementara itu, kombinasi kolinergik dan

noradrenergic ternyata bersifat kompleks; pemberian obat

kombinasi ini harus hati-hati karena dapat terjadi interaksi yang

mengganggu sistem kardiovaskular.7

b. Choline dan lecithin

Defisit asetilkolin di korteks dan hipokampus pada demensia

Alzheimer dan hipotesis tentang sebab dan hubungannya dengan

memori mendorong peneliti untuk mengarahkan perhatiannya pada

neurotransmitter. Pemberian prekursor, choline dan lecithin

merupakan salah satu pilihan dan memberi hasil lumayan, namun

demikian tidak memperlihatkan hal yang istimewa. Dengan choline

ada sedikit perbaikan terutama dalam fungsi verbal dan visual.

27
Dengan lecithin hasilnya cenderung negatif, walaupun dengan

dosis yang berlebih sehingga kadar dalam serum mencapai 120

persen dan dalam cairan serebrospinal naik sampai 58 persen.7

c. Neuropeptide, vasopressin dan ACTH

Pemberian neuropetida, vasopressin dan ACTH perlu memperoleh

perhatian. Neuropeptida dapat memperbaiki daya ingat semantik

yang berkaitan dengan informasi dan kata-kata. Pada lansia tanpa

gangguan psiko-organik, pemberian ACTH dapat memperbaiki

daya konsentrasi dan memperbaiki keadaan umum.7

d. Nootropic agents

Dari golongan nootropic substances ada dua jenis obat yang sering

digunakan dalam terapi demensia, ialah nicergoline dan co-

dergocrine mesylate. Keduanya berpengaruh terhadap katekolamin.

Co-dergocrine mesylate memperbaiki perfusi serebral dengan cara

mengurangi tahanan vaskular dan meningkatkan konsumsi oksigen

otak. Obat ini memperbaiki perilaku, aktivitas, dan mengurangi

bingung, serta memperbaiki kognisi. Disisi lain, nicergoline

tampak bermanfaat untuk memperbaiki perasaan hati dan perilaku.7

e. Dihydropyridine

Pada lansia dengan perubahan mikrovaskular dan neuronal, L-type

calcium channels menunjukkan pengaruh yang kuat. Lipophilic

dihydropyridine bermanfaat untuk mengatasi kerusakan susunan

saraf pusat pada lansia. Nimodipin bermanfaat untuk

28
mengembalikan fungsi kognitif yang menurun pada lansia dan

demensia jenis Alzheimer. Nimodipin memelihara sel-sel

endothelial/kondisi mikrovaskular tanpa dampak hipotensif;

dengan demikian sangat dianjurkan sebagai terapi alternatif untuk

lansia terutama yang mengidap hipertensi esensial.7

29
BAB III

KESIMPULAN

Kesulitan pada ingatan jangka pendek dan jangka panjang, berpikir abstrak

(kesulitan menemukan antara benda-benda yang berhubungan), dan fungsi

kortikal yang tinggi lainnya (sebagai contoh, ketidakmampuan untuk menamakan

suatu benda, mengerjakan perhitungan aritmatika, dan mencontoh suatu gambar) -

semuanya cukup berat untuk mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan, terjadi

dalam keadaan kesadaran yang jernih, dan tidak disebabkan oleh gangguan mental

seperti gangguan depresif berat - menyatakan suatu demensia.

Demensia disebabkan oleh bermacam-macam penyebab. Memperhatikan

faktor penyebab tadi, maka ada beberapa jenis demensia yang dapat ditolong

dengan mengobati penyebabnya walaupun kadang-kadang tidak mempunyai hasil

sempurna. Disamping itu ada jenis demensia yang sampai saat ini belum ada

obatnya, ialah demensia pada Creutzfeldt-Jakob dan AIDS. Sementara itu, untuk

demensia Alzheimer belum ada obat yang benar-benar manjur.

Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan pemenuhan kriteria yang

telah ditetapkan/disepakati dalam DSM-IV. Untuk itu diperlukan kehati-hatian

dalam melakukan pemeriksaan. Penentuan faktor etiologi merupakan hal yang

sangat esensial oleh karena mempunyai nilai prognostik.

30
Penatalaksanaan demensia secara menyeluruh melibatkan seluruh anggota

keluarga terdekat. Dengan demikian kepada anggota keluarga perlu diberikan

penyuluhan agar penderita dapat dirawat dengan sebaik-baiknya.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Brust, J.C.M. Current Diagnosis & Treatment: Neurology. McGraw-

HillCompanies, Inc. Singapore; 2008

2. Mardjono, M., Sidharta, P. Neurologi Klinis Dasar. PT Dian Rakyat.

Jakarta; 2006. Hal211-214

3. Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III.

Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Jakarta;

2003

4. Guberman A. Clinical Neurology. Little Brown and Coy, Boston, 1994,

69.

5. Kaplan dan Saddock. Comprehensive Textbook of Psychiatry. Ed. 2 USA:

Williams and Wilikins Baltimore; 2010

6. Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press :

Surabaya; 2001

7. Nasrun Martina Wiwie S. Demensia. Dalam: Elvira Sylvia D,

Hadisukanto. Buku Ajar Psikiatri. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia: Jakarta: 2010: 494-504.

32

Anda mungkin juga menyukai