Anda di halaman 1dari 43

Laporan Kasus

INSOMNIA

Oleh:
Nurrafi Aliya Khasanah 1830912320110

Abdian Purnapita Pambudi 1830912320039

Aji Ilman Sajidan 1830912310099

Pembimbing

dr. H. Achyar Nawi Husin, Sp.KJ

BAGIAN/KSM ILMU KEDOKTERAN JIWA

FK UNLAM-RSUD DR. H. MOH. ANSARI SALEH

BANJARMASIN

Oktober, 2019
DAFTAR ISI

1. HALAMAN JUDUL 1

2. DAFTAR ISI 2

3. BAB I: PENDAHULUAN 3

4. BAB II: TINJAUAN PUSTAKA 4

5. BAB III: DATA PASIEN 21

6. BAB IV: PEMBAHASAN 29

7. BAB V: PENUTUP 33

8. DAFTAR PUSTAKA 34

2
BAB 1
PENDAHULUAN

Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang

untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu.

Gejala tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas

di siang hari. Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur

dan atau mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di antaranya

mengakibatkan gangguan kualitas hidup.2 Sebanyak 95% orang Amerika telah

melaporkan sebuah episode dari insomnia pada beberapa waktu selama hidup

mereka.1 Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami

insomnia.1

Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek.

Dalam beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut

sebagai gangguan penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks

situasional stres akut. Insomnia biasanya hilang ketika stressor hilang atau

individu telah beradaptasi dengan stressor. Namun, insomnia sementara sering

berulang ketika tegangan baru atau serupa muncul dalam kehidupan pasien.

Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini biasanya

berhubungan dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapat situasional (seperti

kematian atau penyakit) atau lingkungan (seperti kebisingan). Insomnia kronis

adalah setiap insomnia yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Hal ini dapat

dikaitkan dengan berbagai kondisi medis dan psikiatri biasanya pada pasien

dengan predisposisi yang mendasari untuk insomnia.

3
Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidak mengeluh

mengantuk di siang hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelah dan letih,

dengan konsentrasi yang buruk. Hal ini mungkin berkaitan dengan keadaan

fisiologis hyperarousal.

Insomnia kronis juga memiliki banyak konsekuensi kesehatan seperti

berkurangnya kualitas hidup.

Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatan kondisi medis

atau kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia dapat meningkatkan resiko

kekambuhan penyakit primernya. Dalam hal ini, dokter perlu memahami bahwa

insomnia adalah suatu kondisi tersendiri yang membutuhkan pengakuan dan

pengobatan untuk mencegah morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup bagi

pasien mereka.3,4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

4
Menurut World Health organization (WHO), demensia adalah sindroma

klinis yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan memori yang sedemikian

berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari.4

Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual

progresif yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga

mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari.19

Definisi lain yaitu menurut Perdossi, demensia adalah kumpulan gejala

kronik yang disebabkan oleh berbagai latar belakang penyakit dan ditandai oleh

hilangnya daya ingat jangka pendek (recent memory) dan gangguan global fungsi

mental termasuk fungsi bahasa, mundurnya kemampuan berpikir abstrak,

kesulitan merawat diri sendiri, perubahan perilaku, emosi labil dan hilangnya

pengenalan waktu dan tempat, tanpa adanya gangguan tingkat kesadaran atau

situasi stress, sehingga menimbulkan gangguan pekerjaan, aktivitas harian dan

sosial.4

B. Epidemiologi

Demensia adalah suatu kemunduran intelektual berat dan progresif yang

menggu fungsi sosial, pekerjaan, dan aktivitas harian seseorang. 5 Penyakit

Alzheimer (AD) merupakan penyebab yang paling sering, ditemukan pada 50-

60% pasien demensia; penderitanya diperkirakan berjumlah 35,6 juta di seluruh

dunia (2010), yang akan meningkat mencapai 65,7 juta di tahun 2030,6 sehingga

diantara penduduk usia lanjut dunia, penyakit Alzheimer diidap oleh setidaknya

5% populasi.7 Demensia vaskular merupakan jenis demensia terbanyak ke-2

setelah demensia Alzheimer, dengan angka kejadian 47% dari populasi demensia

secara keseluruhan. Sisanya disebabkan demensia lainnya.7

5
Sampai abad ke 19 istilah demensia dianggap sebagai masa terminal dari

penyakit kejiwaan yang membawa kematian. Baru pada awal abad ke 20, yaitu

tahun 1907 Alzheimer mempublikasikan suatu kasus yang berjudul “A Unique

Illnes involving cerebral cortex” pada pasien wanita umur 55 tahun. Kemudian

kasus itu ditabalkan sebagai penyakit Alzheimer. Pasien ini masih relatif muda

dan secara progresif bertahap mengalami gejala seperti psikosis dan demensia

kemudian meninggal 4-5 tahun setelah onset serangan pertama. Pada otopsi

ditemukan 1/3 dari bagian neuron kortek menghilang dari neuron yang tinggal

menggembung berisi gumpalan fiber dalam sitoplasmanya. Alzheimer menduga

adanya perubahan kimiawi di dalam neurofibril. Alzheimer lah yang pertama kali

menemukan dan menamakan neurofibrillary tangles (NT) dimana NT bersamaan

dengan senile plaque (SP) dianggap sebagai penanda diagnostik Alzheimer

Disease.

C. Klasifikasi

Demensia terbagi atas 2 dimensi:

Menurut umur terbagi atas:

Demensia senilis onset > 65 tahun

Demensia presenilis < 65 tahun

Menurut level kortikal: Demensia kortikal dan demensia subkortikal.

Demensia berhubungan dengan beberapa jenis penyakit:8

a. Penyakit yang berhubungan dengan Sindrom Medik:

Hal ini meliputi hipotiroidisme, penyakit Cushing, defisiensi nutrisi,

kompleks demensia AIDS, dan sebagainya.

6
b. Penyakit yang berhubungan dengan Sindrom Neurologi:

Kelompok ini meliputi korea Huntington, penyakit Schilder, dan

proses demielinasi lainnya; penyakit Creutzfeldt-Jakob; tumor otak; trauma

otak; infeksi otak dan meningeal; dan sejenisnya.

c. Penyakit dengan demensia sebagai satu-satunya tanda atau tanda yang

mencolok: Penyakit Alzheimer dan penyakit Pick

Dari etiologi dan perjalanan penyakit dibedakan antara demensia yang

reversibel dan irreversibel (tabel).

Tabel 1. Perbedaan demensia kortikal dan subkortikal


9

Ciri Demensia Kortikal Demensia Subkortikal


Penampilan Siaga, sehat Abnormal, lemah
Aktivitas Normal Lamban
Sikap Lurus, tegak Bongkok, distonik
Cara berjalan Normal Ataksia, festinasi,

seolah berdansa
Gerakan Normal Tremor, khorea,

diskinesia
Output verbal Normal Disatria, hipofonik,

volum suara lemah


Berbahasa Abnormal, parafasia, Normal

anomia
Kognisi Abnormal (tidak Tak terpelihara

mampu memanipulasi (dilapidated)

pengetahuan)
Memori Abnormal (gangguan Pelupa (gangguan

belajar) retrieval)
Kemampuan visuo- Abnormal (gangguan Tidak cekatan

7
spasial konstruksi) (gangguan gerakan)
Keadaan emosi Abnormal (tak Abnormal (kurang

memperdulikan, tak dorongan drive)

menyadari)
Contoh Penyakit Alzheimer, Progressive

Pick Supranuclear Palsy,

Parkinson, Penyakit

Wilson, Huntington.

Tabel 2. Beberapa penyebab demensia pada dewasa yang irreversibel


9

Primer degeneratif
- Penyakit Alzheimer

- Penyakit Pick

- Penyakit Huntington

- Penyakit Parkinson

- Degenerasi olivopontocerebellar

- Progressive Supranuclear Palsy

- Degenerasi cortical-basal ganglionic


Infeksi
- Penyakit Creutzfeldt-Jakob

- Sub-acute sclerosing panencephalitis

- Progressive multifocal leukoencephalopathy


Metabolik
- Metachromatic leukodyntrophy

- Penyakit Kuf

- Gangliosidoses

Tabel 3. Beberapa penyebab demensia yang dapat reversibel


10

Obat-obatan anti-kolinergik (mis. Atropin dan sejenisnya); anti-

8
konvulsan (mis. Phenytoin, Barbiturat); anti-hipertensi

(Clonidine, Methyldopa, Propanolol); psikotropik

(Haloperidol, Phenothiazine); dll (mis. Quinidine,

Bromide, Disulfiram).
Metabolik-gangguan gangguan elektrolit atau asam-basa; hipo-

sistemik hiperglikemia; anemia berat; polisitemia vera;

hiperlipidemia; gagal hepar; uremia; insufisiensi

pulmonal; hypopituitarism; disfungsi tiroid, adrenal,

atau paratiroid; disfungsi kardiak; degenerasi

hepatolenticular.
Gangguan intrakranial insufisiensi cerebrovascular; meningitis atau

encephalitis chronic, neurosyphilis, epilepsy, tumor,

abscess, hematoma subdural, multiple sclerosis,

normal pressure hydrocephalus.


Keadaan defisiensi vitamin B12, defisiensi folat, pellagra (niacin).
Gangguan collagen- systemic lupus erythematosus, temporal arteritis,

vascular sarcoidosis, syndrome Behcet.


Intoksikasi eksogen alcohol, carbon monoxide, organophosphates, toluene,

trichloroethylene, carbon disulfide, timbal, mercury,

arsenic, thallium, manganese, nitrobenzene, anilines,

bromide, hydrocarbons.

Tabel 4. Perbedaan Klinis pseudodemensia dan demensia

9
D. Etiologi

Demensia Alzheimer dan demensia vaskular merupakan demensia yang

paling banyak kasusnya. Penyebab demensia lainnya yang disebutkan dalam

DSM-IV adalah penyakit Pick, penyakit Creutzfeldt-Jakob, penyakit Huntington,

penyakit Parkinson, Human Immunodeficiency Virus (HIV), dan trauma kepala.4

1. Demensia Alzheimer11,12,13

10
Adalah gangguan degeneratif yang menyerang sel-sel otak atau neuron

secara progresif yang mengakibatkan hilangnya memori, kemampuan berpikir dan

berbahasa, serta perubahan perilaku. Penyakit Alzheimer merupakan penyakit

neurodegeneratif yang secara epidemiologi terbagi 2 kelompok yaitu kelompok

yang menderita pada usia kurang 65 tahun disebut sebagai early onset sedangkan

kelompok yang menderita pada usia lebih dari 65 tahun disebut sebagai late onset.

Faktor resiko penyakit Alzheimer sampai saat ini masih belum pasti, tetapi

beberapa faktor yang diperkirakan menjadi penyebab Alzheimer adalah :

a. Usia

Bertambahnya usia memang menjadi salah satu faktor resiko penyakit

Alzheimer, namun begitu penyakit ini dapat diderita oleh semua orang pada

semua usia. 96% diderita pada yang berusia 40 tahun keatas.

b. Genetik

Individu yang memiliki hubungan keluarga yang dekat dengan penderita

beresiko dua kali lipat untuk terkena Alzheimer.

c. Jenis kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, maka prevalensi wanita yang menderita

Alzheimer lebih banyak tiga kali lipat dibandingkan pria.

d. Pendidikan

Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi memiliki faktor

pelindung dari resiko menderita Alzheimer, tetapi hanya untuk menunda

onset manifestasi klinis.

11
Secara makroskopik, perubahan otak pada alzheimer melibatkan

kerusakan berat pada neuron korteks dan hipokampus serta penimbunan amiloid

pada pembuluh darah intrakranial. Secara mikroskopik, terdapat perubahan

morfologis (struktural) dan biokimia pada neuron-neuron. Perubahan morfologis

terdiri dari dua ciri khas lesi yang pada akhirnya berkembang menjadi degenari

soma (badan) dan/atau akson dan dendrit neuron. Dua ciri khas lesi tersebut yaitu

kekusutan neurofibrilaris dan plak senile.

Neurofibrillary Tangle merupakan suatu struktur intraseluler yang berisi

serat kusut dan sebagian besar terdiri dari protein "tau". Dalam sistem saraf pusat,

protein "tau" sebagian besar sebagai penghambat pembentuk struktural yang

terikat dan menstabilkan mikrotubulus dan merupakan komponen penting dari

sitoskeleton sel neuron. Pada alzheimer ini, terjadi fosforilasi abnormal dari

protein "tau" yang secara kimia menyebabkan perubahan pada tau sehingga tidak

lagi dapat terikat pada mikrotubulus secara bersama-sama. Tau yang abnormal

dapat terpuntir masuk ke filamen heliks ganda. Dengan kolapsnya sistem transport

internal, hubungan interseluler adalah yang pertama kali tidak berfungsi dan

akhirnya diikuti oleh kematian sel. Pembentukan neuron yang kusut dan

12
berkembangnya neuron yang rusak ini yang salah satunya menyebabkan

alzheimer.

Lesi khas yang kedua yaitu plak senilis, terdiri dari beta amiloid (A-beta)

yang terbentuk dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel

neuronal. A-beta adalah fragmen protein prekursor amiloid (APP) yang pada

keadaan normal melekat pada membran neuron yang berperan dalam

pertumbuhan dan pertahanan neuron. APP terbagi menjadi fragmen-fragmen oleh

enzim protease yang salah satu fragmennya adalah A-beta, suatu fragmen yang

lengket dan berkembang menjadi gumpalan yang bisa larut. Pada alzheimer,

gumpalan tersebut akhirnya tercampur dengan bagian dari neuron dan sel-sel glia

(khususnya mikroglia dan astrosit). Setelah beberapa waktu, campuran tersebut

membeku menjadi fibril-fibril yang membentuk plak yang matang, padat, tidak

dapat larut, dan diyakini beracun bagi neuron yang utuh. Selain itu, A-beta

mengganggu hubungan interselular dan menurunkan respons pembuluh darah

sehingga menyebabkan makin rentannya neuron-neuron terhadap stressor (missal

iskemia). Kemungkinan lain adalah bahwa A-beta menghasilkan radikal bebas

sehingga mengganggu hubungan intraseluler dan menurunkan respon pembuluh

darah sehingga mengakibatkan rentannya neuron terhadap stressor.

Perubahan biokimia dalam sistem saraf pusat adalah temuan mikroskopis

khas lain yang ditemukan pada alzheimer. Diketahui bahwa korteks otak manusia

terdiri dari sejumlah besar akson kolinergik yang melepaskan asetilkolin yang

mana merupakan kunci neurotransmitter dalam fungsi kognitif yang kemudian

pada penderita alzheimer ini terjadi penurunan pada neurotransmitter ini

berhubung akson kolinergiknya mengalami kerusakan. Oleh karena itu salah satu

13
obat-obatan yang bekerja berupa inhibitor kolinesterase yang bekerja menghambat

enzim tersebut agar tidak mendegradasi asetilkolin sehingga tidak memperparah

kondisi.

2. Demensia Vaskular12,13

Demensia vaskuler merupakan suatu kelompok kondisi heterogen yang

meliputi semua sindroma demensia akibat iskemik, perdarahan, anoksik atau

hipoksik otak dengan penurunan fungsi kognitif mulai dari yang ringan sampai

paling berat dan tidak harus dengan gangguan memori yang menonjol.

Demensia vaskular diakibatkan oleh adanya penyakit pembuluh darah

serebral. Adanya infark tunggal di lokasi tertentu, episode hipotensi,

leukoaraiosis, infark komplit, dan perdarahan juga dapat menyebabkan timbulnya

kelainan kognitif. Sindrom demensia yang terjadi pada demensia vaskular

merupakan konsekuensi dari lesi hipoksia, iskemia, atau adanya perdarahan di

otak. Tingkat prevalensi demensia adalah 9 kali lebih tinggi pada pasien yang

telah mengalami stroke. Satu tahun setelah stroke, 25% pasien masuk dengan

onset baru dari demensia. Prevalensi demensia vaskular akan semakin meningkat

seiring dengan meningkatnya usia seseorang, dan lebih sering dijumpai pada laki-

laki. Sebuah penelitian di Swedia menunjukkan resiko terjadinya demensia

vaskular pada laki-laki (khususnya pada mereka dengan hipertensi yang telah ada

sebelumnya atau faktor risiko kardiovaskular lainnya) sebesar 34,5% dan

perempuan sebesar 19,4%.

Gangguan terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran kecil

dan sedang, yang mengalami infark menghasilkan lesi parenkim multipel yang

menyebar pada daerah otak yang luas. Penyebab infark mungkin termasuk oklusi

14
pembuluh darah oleh plak arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat asal

yang jauh sebagai contohnya katup jantung.

3. Penyakit Pick14

Penyakit Pick disebabkan penurunan fungsi mental dan perilaku yang

terjadi secara progresif dan lambat. Kelainan terdapat pada kortikal fokal pada

lobus frontalis. Penyakit ini juga sulit dibedakan dengan Alzheimer hanya bisa

dengan otopsi, dimana otak menunjukkan inklusi intraneunoral yang disebut

“badan Pick” yang dibedakan dari serabut neurofibrilaris pada Alzheimer.

Diagnostik penyakit demensia penyakit Pick:

 Adanya gejala demensia yang progresif.

 Gambaran neuropatologis berupa atrofi selektif dari lobus frontalis yang

menonjol disertai euforia, emosi tumpul, dan perilaku sosial yang kasar,

disinhibisi, apatis, gelisah.

 Manifestasi gangguan perilaku pada umumnya mendahului gangguan daya

ingat.

4. Penyakit Creutzfeldt-Jakob14,15

Suatu kelainan otak yang ditandai dengan penurunan fungsi mental yang

cepat, disertai kelainan pergerakan, terutama menyerang usia dewasa diatas 50

tahun. Penyakit yang mirip terjadi pada domba dan sapi, jadi penularan bisa

terjadi karena memakan jaringan hewan yang terinfeksi. Terjadi kerusakan

jaringan otak oleh suatu organisme yang menyerupai virus (protein yang bisa

ditularkan, yang disebut prion). Gejalanya ditandai dengan kemunduran mental

yang cepat, biasanya dalam beberapa bulan. Meliputi perubahan kepribadian,

15
depresi, kecemasan, demensia, penuruanan kemampuan intelektual, kesulitan

berbicara dan menelan, serta gerakan tersentak-sentak yang tiba-tiba.

5. Penyakit Parkinson15

Demensia ini disebabkan adanya penyakit parkinson yang menyertai

dengan gejala :

 Disfungsi motorik.

 Gangguan kognitif / demensia bagian dari gangguan.

 Lobus frontalis dan defisit daya ingat.

 Depresi.

6. Penyakit Huntington15

Suatu penyakit yang diturunkan, dimana sentakan atau kejang dan

hilangnya sel-sel otak secara bertahap mulai timbul pada usia pertengahan dan

berkembang menjadi korea, atetosis serta kemunduran mental. Disebabkan oleh

adanya degenerasi bagian otak pada ganglia basalis dan kortex serebral. Gejala

muncul pada usia 35-40 tahun berupa demensia progresif, hipertonisitas

mascular, gerakan koreiform yang aneh.

7. Human Immunodeficiency Virus (HIV)15

Adalah suatu infeksi oleh salah satu dari 2 jenis virus (retrovirus), yaitu

HIV-1 atau HIV-2, yang secara progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut

limfosit CD4+, dan menyebabkan AIDS )Acquired Immunodeficiency Syndrome)

dan penyakit lainnya sebagai akibat dari gangguan kekebalan tubuh. Gejala pada

16
otak biasanya berupa hilangnya memori, kesulitan berpikir dan berkonsentrasi,

demensia, lemas, tremor atau kesulitan berjalan.

8. Trauma kepala

E. Patofisiologi

Secara makroskopik, perubahan otak pada alzheimer melibatkan

kerusakan berat pada neuron korteks dan hipokampus serta penimbunan amiloid

pada pembuluh darah intrakranial. Secara mikroskopik, terdapat perubahan

morfologis (struktural) dan biokimia pada neuron-neuron. Perubahan morfologis

terdiri dari dua ciri khas lesi yang pada akhirnya berkembang menjadi degenari

soma (badan) dan/atau akson dan dendrit neuron. Dua ciri khas lesi tersebut yaitu

kekusutan neurofibrilaris dan plak senile.

Neurofibrillary Tangle merupakan suatu struktur intraseluler yang berisi

serat kusut dan sebagian besar terdiri dari protein "tau". Dalam sistem saraf pusat,

protein "tau" sebagian besar sebagai penghambat pembentuk struktural yang

terikat dan menstabilkan mikrotubulus dan merupakan komponen penting dari

sitoskeleton sel neuron. Pada alzheimer ini, terjadi fosforilasi abnormal dari

protein "tau" yang secara kimia menyebabkan perubahan pada tau sehingga tidak

lagi dapat terikat pada mikrotubulus secara bersama-sama. Tau yang abnormal

dapat terpuntir masuk ke filamen heliks ganda. Dengan kolapsnya sistem transport

internal, hubungan interseluler adalah yang pertama kali tidak berfungsi dan

akhirnya diikuti oleh kematian sel. Pembentukan neuron yang kusut dan

berkembangnya neuron yang rusak ini yang salah satunya menyebabkan

alzheimer.

17
Lesi khas yang kedua yaitu plak senilis, terdiri dari beta amiloid (A-beta)

yang terbentuk dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel

neuronal. A-beta adalah fragmen protein prekursor amiloid (APP) yang pada

keadaan normal melekat pada membran neuron yang berperan dalam

pertumbuhan dan pertahanan neuron. APP terbagi menjadi fragmen-fragmen oleh

enzim protease yang salah satu fragmennya adalah A-beta, suatu fragmen yang

lengket dan berkembang menjadi gumpalan yang bisa larut. Pada alzheimer,

gumpalan tersebut akhirnya tercampur dengan bagian dari neuron dan sel-sel glia

(khususnya mikroglia dan astrosit). Setelah beberapa waktu, campuran tersebut

membeku menjadi fibril-fibril yang membentuk plak yang matang, padat, tidak

dapat larut, dan diyakini beracun bagi neuron yang utuh. Selain itu, A-beta

mengganggu hubungan interselular dan menurunkan respons pembuluh darah

sehingga menyebabkan makin rentannya neuron-neuron terhadap stressor (missal

iskemia). Kemungkinan lain adalah bahwa A-beta menghasilkan radikal bebas

sehingga mengganggu hubungan intraseluler dan menurunkan respon pembuluh

darah sehingga mengakibatkan rentannya neuron terhadap stressor.

Perubahan biokimia dalam sistem saraf pusat adalah temuan mikroskopis

khas lain yang ditemukan pada alzheimer. Diketahui bahwa korteks otak manusia

terdiri dari sejumlah besar akson kolinergik yang melepaskan asetilkolin yang

mana merupakan kunci neurotransmitter dalam fungsi kognitif yang kemudian

pada penderita alzheimer ini terjadi penurunan pada neurotransmitter ini

berhubung akson kolinergiknya mengalami kerusakan. Oleh karena itu salah satu

obat-obatan yang bekerja berupa inhibitor kolinesterase yang bekerja menghambat

18
enzim tersebut agar tidak mendegradasi asetilkolin sehingga tidak memperparah

kondisi.7

F. Manifestasi Klinis

Gambaran utama demensia adalah munculnya defisit kognitif multipleks,

termasuk gangguan memori, setidak-tidaknya satu di antara gangguan gangguan

kognitif berikut ini: afasia, apraksia, agnosia, atau gangguan dalam hal fungsi

eksekutif. Defisit kognitif harus sedemikian rupa sehingga mengganggu fungsi

sosial atau okupasional (pergi ke sekolah, bekerja, berbelanja, berpakaian, mandi,

mengurus uang, dan kehidupan sehari-hari lainnya) serta harus menggambarkan

menurunnya fungsi luhur sebelumnya.

a. Gangguan memori

Dalam bentuk ketidakmampuannya untuk belajar tentang hal-hal baru,

atau lupa akan hal-hal yang baru saja dikenal, dikerjakan atau dipelajari. Sebagian

penderita demensia mengalami kedua jenis gangguan memori tadi. Penderita

seringkali kehilangan dompet dan kunci, lupa bahwa sedang meninggalkan bahan

masakan di kompor yang menyala, dan merasa asing terhadap tetangganya. Pada

demensia tahap lanjut, gangguan memori menjadi sedemikian berat sehingga

penderita lupa akan pekerjaan, sekolah, tanggal lahir, anggota keluarga, dan

bahkan terhadap namanya sendiri.

b. Gangguan orientasi

Karena daya ingat adalah penting untuk orientasi terhadap orang, tempat,

dan waktu. Orientasi dapat terganggu secara progresif selama perjalanan penyakit

19
demensia. Sebagai contohnya, pasien dengan demensia mungkin lupa bagaimana

kembali ke ruangannya setelah pergi ke kamar mandi.

c. Gangguan bahasa

Penderita akan terlihat sulit untuk mencari kata yang tepat dalam

mengungkapkan isi pikirannya. Semakin parah penyakitnya, maka ucapan dan

atau tulisan penderita jadi sulit untuk dimengerti karena penderita menggunakan

kalimat dengan substitusi kata-kata yang tidak biasa digunakan. Contohnya: jika

penderita sulit menemukan sikat giginya, maka ia akan bertanya "sesuatu untuk

mulut saya".

d. Apraksia

Penderita sulit mengerjakan tugas yang familiar. Penderita sering

mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas sehari-hari yang sangat mereka

ketahui, contohnya mereka tidak mengetahui langkah-langkah untuk menyiapkan

makanan, berpakaian, atau menggunakan perabot rumah tangga.

e. Agnosia

Ketidakmampuan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda maupun

fungsi sensoriknya utuh. Sebagai contoh, penderita tak dapat mengenali kursi,

pena, meskipun visusnya baik. Akhirnya, penderita tak mengenal lagi anggota

keluarganya dan bahkan dirinya sendiri yang tampak pada cermin. Demikian pula,

walaupun sensasi taktilnya utuh, penderita tak mampu mengenali benda yang

diletakkan di tangannya atau yang disentuhnya misalnya kunci atau uang logam.

f. Gangguan fungsi eksekutif

Hal ini disebabkan karena frontal lobe penderita mengalami gangguan,

ditandai dengan: sulit menyelesaikan masalah, reasoning, pembuatan keputusan

20
dan penilaian. Misalnya penderita mengenakan baju tanpa mempertimbangkan

cuaca, memakai beberapa kaos di hari yang panas/ memakai pakaian yang sangat

minim ketika cuaca dingin.

g. Perubahan Kepribadian

Perubahan kepribadian pasien demensia merupakan gambaran yang paling

mengganggu bagi keluarga pasien yang terkena. Pasien dengan demensia juga

mungkin menjadi introvert dan tampaknya kurang memperhatikan tentang efek

perilaku mereka terhadap orang lain. Pasien demensia yang mempunyai waham

paranoid biasanya bersikap curiga atau bermusuhan terhadap anggota keluarga

dan pengasuhnya. Pasien dengan gangguan frontal dan temporal kemungkinan

mengalami perubahan kepribadian yang jelas dan mungkin mudah marah dan

meledak-ledak. Selain itu penderita juga sering mengalami delusi paranoid dan

terkadang juga mengalami halusinasi (dengar, visual, dan haptic). Sedangkan

untuk gangguan perilaku, meliputi agitasi (aktivitas verbal maupun motorik yang

berlebihan dan tidak selaras), wandering (mondar-mandir, mencari-cari/

membututi caregiver ke mana pun mereka pergi, berjalan mengelilingi rumah,

keluyuran), dan gangguan tidur (berupa disinhibisi, yaitu perilaku yang melanggar

norma-norma sosial, yang disebabkan oleh hilangnya fungsi pengendalian diri

individu)

G. Diagnosis

Diagnosis klinis tetap merupakan pendekatan yang paling baik karena sampai

saat ini belum ada pemeriksaan elektrofisiologis, neuro imaging dan pemeriksaan

lain untuk menegakkan demensia secara pasti. Beberapa langkah praktis yang

dapat dilakukan antara lain :

21
1.Riwayat medik umum Perlu ditanyakan apakah penyandang mengalami

gangguan medik yang dapat menyebabkan demensia seperti hipotiroidism,

neoplasma, infeksi kronik. Penyakit jantung koroner, gangguan katup jantung,

hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan arteriosklerosis perifer mengarah ke

demensia vaskular. Pada saat wawancara biasanya pada penderita demensia sering

menoleh yang disebut head turning sign.

2.Riwayat neurologi umum Tujuan anamnesis riwayat neurologi adalah untuk

mengetahui kondisi-kondisi khusus penyebab demensia seperti riwayat stroke,

TIA, trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat, riwayat epilepsi dan operasi otak

karena tumor atau hidrosefalus. Gejala penyerta demensia seperti gangguan

motorik, sensorik, gangguan berjalan, nyeri kepala saat awitan demesia lebih

mengindikasikan kelainan struktural dari pada sebab degeneratif.

3.Riwayat neurobehavioral Anamnesa kelainan neurobehavioral penting

untuk diagnosis demensia atau tidaknya seseorang. Ini meliputi komponen

memori. (memori jangka pendek dan memori jangka panjang) orientasi ruang dan

waktu, kesulitan bahasa, fungsi eksekutif, kemampuan mengenal wajah orang,

bepergian, mengurus uang dan membuat keputusan.

4.Riwayat psikiatrik Riwayat psikiatrik berguna untuk menentukan apakah

penyandang pernah mengalami gangguan psikiatrik sebelumnya. Perlu ditekankan

ada tidaknya riwayat depresi, psikosis, perubahan kepribadian, tingkah laku

agresif, delusi, halusinasi, dan pikiran paranoid. Gangguan depresi juga dapat

menurunkan fungsi kognitif, hal ini disebut pseudodemensia.

22
5.Riwayat keracunan, nutrisi dan obat-obatan Intoksikasi aluminium telah

lama dikaitkan dengan ensefalopati toksik dan gangguan kognitif walaupun

laporan yang ada masih inkonsisten. Defisiensi nutrisi, alkoholism kronik perlu

menjadi pertimbangan walau tidak spesifik untuk demensia Alzheimer. Perlu

diketahui bahwa anti depresan golongan trisiklik dan anti kolinergik dapat

menurunkan fungsi kognitif. 6.Riwayat keluarga Pemeriksaan harus menggali

kemungkinan insiden demensia di keluarga, terutama hubungan keluarga

langsung, atau penyakit neurologik, psikiatrik.

7.Pemeriksaan objektif

Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan fisik umum,

pemeriksaan neurologis, pemeriksaan neuropsikologis, pemeriksaan status

fungsional dan pemeriksaan psikiatrik.

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi

ketiga (PPDGJ III) membagi gejala skizofrenia dalam kelompok-kelompok

penting, dan yang sering terdapat secara bersama-sama untuk diagnosis.8

1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut yang amat jelas (dan biasanya dua

gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :

(a) - “thought echo” : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema

dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya

sama, namun kualitasnya berbeda; atau

23
- “thought insertion or withdrawal” : isi yang asing dan luar masuk ke

dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh

sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); atau

- “thought broadcasting” : isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang

lainatau umum mengetahuinya.

(b) - “delusion of control” : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu

kekuatan tertentu dari luar; atau

- “delusion of influence” : waham tentang dirinya dipengaruhi oleh

suatu kekuatan tertentu dari luar; atau

- “delusion of passivity” : waham tentang dirinya yang tidak berdaya dan

pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar;

- “delusion perception” : pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang

bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau

mukjizat.

(c)Halusinasi auditorik :

 Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap

perilaku pasien atau,

 Mendiskusikan perihal pasien pasien diantara mereka sendiri (diantara

berbagai suara yang berbicara), atau jenis suara halusinasi lain ynag

berasal dan salah satu bagian tubuh.

(d)Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat

dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal

keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di

24
atas manusia biasa, misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau

berkomunikasi dengan makhluk asing dan dunia lain.

2. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :

(e)Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja apabila disertai baik

oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa

kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai ole hide-ide berlebihan

(over valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama

berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.

(f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan

(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak

relevan, atau neologisme.

(g)Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi

tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme,

dan stupor.

(h)Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan

respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang

mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya

kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak

disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.

3. Adanya gejala-gejala tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu

satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik

prodoremal).

4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalah mutu

keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku prbadi (personal

25
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak

berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan

penarikan diri secara sosial.

Adapun untuk mendiagnosis sesorang dengan skizofrenia paranoid, harus

memenuhi kriteria diagnosis berikut:8

 Memenuhi kriteria umum skizofrenia.

 Sebagai tambahan :

 Halusinasi dan/atau waham harus menonjol :

(a)Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau member perintah,

atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit

(whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing).

(b)Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa atau bersifat seksual atau lain-

lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.

(c)Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan

(delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau passivity

(delusion of passivity) dan keyakinan dikejar-kejar yang beranek ragam

adalah yang paling khas.

 Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan serta gejala katatonik

secara relatif tidak nyata/tidak menonjol.

H. Tata Laksana

Penatalaksanaan farmakologis pada penderita dementia reversibel bertujuan untuk

pengobatan kausal, misalnya pada hiper/ hipotiroidi, defisiensi vitamin B12,

intoksikasi, gangguan nutrisi, infeksi dan ensefalopati metabolik. Progresifitas

demensia vaskuler dapat dihentikan dengan pengobatan terhadap faktor resiko dan

26
pengobatan simptomatis untuik substitusi defisit neurotransmitter. Namun hal ini

tidak dapat menyembuhkan penderita.

Pada demensia Alzheimer pengobatan bertujuan untuk menghentikan

progresivitas penyakit dan mempertahankan kualitas hidup. Beberapa golongan

obat yang direkomendasikan, antara lain:

a. Pengobatan simptomatis:

Pengobatan dengan golongan penghambat asetilkoloinesterase (seperti donepezil

hidroklorida, rivastigmin dan galantamin) bertujuan untuk mempertahankan

jumlah asetilkolin yang produksinya menurun. Obat golongan NMDA seperti

memantin dipasarkan di Indonesia saat ini.

b. Pengobatan dengan disease modifiying agents:

 Obat golongan obat antiinflamasi non steroid (OAINS)

Pada proses pembentukan senile plaque dan neurofibrillary tangle dapat

diidentifikasi adanya elements of cell mediated immune response, sehingga

pemakaian OAINS dapat mengurangi proses ini.

 Antioksidan

Antioksidan berfungsi menghambat oksidasi oleh radikal bebas yang berlebihan

sehingga merusak sel neuron. Antioksidan ini terdapat pada sayuran dan buah-

buahan, vitamin E, A, dan C.

 Neurotropik

Obat golongan ini merupakan derivate neurotransmitter GABA yang mempunyai

efek fasilitasi neurotransmisi kolinergik dengan stimulasi sintesis dan pelepasan

asetilkolin.

 Obat yang bekerja pada beta amiloid protein tau, dan presenilin

27
Penatalaksanaan non-farmakologis ditujukan untuk keluarga, lingkungan,

dan penderita dengan tujuan:

 Menetapkan program aktivitas harian penderita


 Orientasi realitas
 Modifikasi perilaku
 Memberikan informasi dan pelatihan yang benar pada keluarga, pengasuh

dan penderita.
 Mepertahankan lingkungan yang familiar akan membantu penderita tetap

memiliki orientasi.

Program Harian Penderita:

 Kegiatan harian teratur dan sistematis, meliputi latihan fisik untuk

memacu aktivitas fisik dan otak yang baik (brain- gym)


 Asupan gizi berimbang, cukup serat, mengandung antioksidan, mudah

dicerna, penyajian menarik dan praktis


 Mencegah/ mengelola faktor resiko yang dapat memperberat penyakit,

misalnya: hipertensi, gangguan vascular, diabetes, dan merokok.


 Melaksanakan hobi dan aktivitas social sesuai dengan kemampuan
 Melaksanakan “LUPA” (Latih, Ulang, Perhatian, dan Asosiasi)
 Tingkatkan aktivitas saat siang hari, tempatkan di ruangan yang

mendapatkan cahaya cukup

Orientasi realitas:

 Penderita diingatkan akan waktu dan tempat


 Beri tanda khusus untuk tempat tertentu, misalnya kamar mandi
 Pemberian stimulasi melalui latihan/ permainan, misalnya permainan

monopoli, kartu, scrabble, mengisi teka-teki silang, sudoku, dll. Hal ini

member manfaat yang baik pada predemensia (Mild Cognitive

Impairment)
 Menciptakan lingkungan yang familiar , aman, dan tenang. Hindari

keadaan yang membingungkan dan menimbulkan stress. Berikan

keleluasaan bergerak

28
I. Prognosis

Perkembangan demensia pada setiap orang berbeda. Demensia karena

AIDS biasanya dimulai secara samar tetapi berkembang terus selama

beberapa bulan atau tahun. Sedangkan demensia karena penyakit Creutzfeldt-

Jakob biasanya menyebabkan demensia hebat dan seringkali terjadi kematian

dalam waktu 1 tahun. Pada demensia stadium lanjut, terjadi penurunan fungsi

otak yang hamper menyeluruh. Penderita tidak mampu mengendalikan

perilakunya, suasana hati sering berubah-ubah dan senang berjalan-jalan.

Pada akhirnya penderita tidak mampu mengikuti suatu percakapan dan bisa

kehilangan kemampuan berbicara.

BAB 3
DATA PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. TH
Usia : 60 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Berangas Barat RT.12
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Buruh
Agama : Islam
Suku : Banjar
Bangsa : Indonesia
Status Perkawinan : Menikah
Berobat Tanggal : 24 September 2019

II. RIWAYAT PSIKIATRI


Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis tanggal 24 September 2019 di
poli jiwa RS H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin.

29
A. Keluhan Utama
Keluhan utama pasien adalah sulit memulai tidur dan sering
melupakan hal-hal yang ada di sekitarnya.
B. Riwayat gangguan sekarang
Pasien datang ke Poli Jiwa RS. H. Moch. Ansari Saleh pada
tanggal 24 September 2019 pukul 11.30 WITA. Saat di poli pasien dalam
keadaan agak lemas dan nampak murung. Pasien terlihat terawat dengan
mengenakan baju koko berwarna hijau lumut dan celana kain bewarna
hitam dengan rambut disisir rapi.
Pasien mengeluhkan sulit tidur dan sering lupa. Keluhan tersebut
muncul sejak kurang lebih satu tahun yang lalu. Pasien mengaku sulit
untuk memulai tidur. Biasanya pasien baru bisa tidur sekitar jam 2 atau
jam 3 pagi dan hanya bertahan sampai kurang lebih setengah jam, setelah
itu pasien akan terbangun dan tidak dapat tidur lagi, namun pasien tidak
mengeluhkan adanya rasa mengantuk ataupun kelelahan saat pagi
harinya. Pasien menyatakan bahwa penyebab sulit tidurnya karena pasien
terlalu banyak pikiran. Pasien sering memikirkan keadaannya yang sudah
pisah ranjang kurang lebih selama 1 tahun dengan istrinya. Pasien
mengaku alasan pisah ranjangnya karena pasien merasa malu akibat
keadaan pasien yang tidak bisa ereksi selama kurang lebih 3 tahun.
Pasien juga mengatakan dirinya sering lupa menaruh benda
seperti ponsel maupun dompet, barang-barang tersebut juga sering
tertinggal di rumah saat pasien sedang bepergian. Pasien kadang-kadang
lupa nama orang yang dikenalnya jika sudah lama tidak bertemu. Pasien
juga sering tersesat saat menuju suatu tempat tertentu yang sudah
dikenalnya sebelumnya. Pasien mengaku tidak pernah melihat bayangan
atau mendengar bisikan. Pasien agak kesusahan ketika diminta
menyebutkan kembali benda-benda yang sebelumnya sudah diperlihatkan
padanya. Riwayat stroke maupun trauma kepala disangkal.
C. Riwayat Gangguan Sebelumnya
1. Riwayat Gangguan Psikiatri
Pasien sebelumnya belum pernah mengalami keluhan seperti ini
ataupun gangguan psikiatri sebelumnya.
2. Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif
Tidak terdapat riwayat penggunaan zat psikoaktif.
3. Riwayat penyakit dahulu (medis)

30
Diabetes Melitus (+), hipertensi (+), stroke (-).
D. Riwayat Kehidupan Pribadi
1. Riwayat prenatal dan natal
Ibu pasien rutin mengontrol kandungannya ke bidan. Selama hamil,
ibu pasien tidak pernah mengeluhkan sakit. Pasien dilahirkan secara
normal dengan dibantu oleh bidan kampung. Pasien lahir cukup bulan
dengan berat badan cukup.
2. Masa kanak-kanak awal
Pasien tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya, tidak ada
keterlambatan dalam tumbuh kembangnya.
3. Masa kanak-kanak akhir
- Hubungan sosial: pasien mengaku memiliki banyak teman.
- Riwayat sekolah: prestasi pasien baik dan tidak pernah tinggal
kelas.
4. Riwayat pekerjaan
Pasien bekerja sebagai buruh.
5. Riwayat agama
Pasien beragama islam. Pasien mengatakan rajin sholat lima waktu.
6. Aktivitas sosial
Pasien dapat bersosialisasi terhadap lingkungan sekitar dengan baik.
E. Riwayat keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan serupa.
F. Situasi sosial sekarang
Pasien adalah seorang laki-laki berusia 60 tahun. Pasien
sudah menikah dan memiliki 2 orang anak serta 3 orang cucu. Pasien saat
ini tinggal di rumah milik pribadi bersama istri dan seorang anak laki-
lakinya yang kedua. Anak pasien yang pertama tinggal di luar kota
dengan istrinya dan sudah memiliki 3 orang anak. Pasien sekarang
bekerja sebagai seorang buruh. Pasien sering memikirkan keadaannya
yang sudah pisah ranjang kurang lebih selama 1 tahun dengan istrinya
karena pasien merasa malu akibat keadaan pasien yang tidak bisa ereksi
selama kurang lebih 3 tahun. Pasien dapat bersosialisasi dengan baik
terhadap orang-orang di lingkungan sekitar.
G. Persepsi (tanggapan) pasien tentang dirinya dan kehidupannya
1. Halusinasi (-)

III. STATUS MENTAL


A. Deskripsi Umum
1. Penampilan

31
Pasien laki-laki usia 60 tahun, tampak sesuai dengan usia, berpakaian
rapi, ramah, ekspresi tampak sedih, perawatan diri baik, proporsi
tubuh normal, dan warna kulit sawo matang.
2. Perilaku dan aktivitas psikomotor
Perilaku pasien normal, tidak terdapat aktivitas psikomotor yang tidak
normal.
3. Sikap pasien terhadap pemeriksa
Kooperatif
B. Keadaan afektif (mood), perasaan, ekspresi afektif (hidup emosi) serta
empati :
1. Mood : Hipotimik
2. Afek : Menyempit
3. Keserasian : Serasi
C. Gangguan persepsi
Halusinasi (-), ilusi (-)
D. Pembicaran
Spontan, lancar, pelan, artikulasi jelas
E. Pikiran :
1. Proses pikir :
a. Bentuk pikiran : realistik
b. Arus pikiran : koheren
2. Arus pikiran : Waham (-)
F. Sensorium dan kognitif
1. Kesadaran : Compos mentis
2. Orientasi : Orientasi waktu, tempat, dan orang normal
3. Daya ingat : Ingatan jangka pendek, menengah dan panjang bagus,
sedangkan ingatan jangka segera buruk.
4. Konsentrasi : Baik dan mampu menjawab sesuai pertanyaan, namun
agak sulit menyebutkan kembali benda-benda yang baru saja di
ajarkan.
5. Perhatian: baik
6. Kemampuan membaca dan menulis : normal
7. Kemampuan visuospasial : normal
8. Pikiran abstrak : normal
9. Kapasitas intelegensia : normal
10. Bakat kreatif : tidak ada
11. Kemampuan menolong diri : pasien dapat merawat diri sendiri secara
normal
G. Kemampuan mengendalikan impuls :
Pasien dapat mengendalikan dorongan kemarahan
H. Tilikan
6
I. Taraf dapat dipercaya
Pasien dapat dipercaya.

32
IV. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
1. Keadaan umum : Baik
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Tanda vital
- Tekanan darah: 130/90 mmHg - Frekuensi nadi: 92 x / menit
- Frekuensi napas: 20 x / menit - Suhu: Afebris
4. Bentuk badan : Kesan dalam batas normal
5. Sistem kardiovaskular : Tidak ada kelainan
6. Sistem muskuloskeletasl : Tidak ada kelainan
7. Sistem gastrointestinal : Tidak ada kelainan
8. Sistem urogenital : Tidak ada kelainan
9. Gangguan khusus : Tidak ada kelainan

B. Status Neurologis
1. GCS : E4V5M6
2. Gejala rangsngan selaput otak : Tidak ada kelainan
3. Gejala Tekanan Intrakranial : Tidak ada kelainan
4. Mata : gerakan : Tidak ada kelainan
Pupil bentuk : Bulat, Isokor
Reaksi cahaya : +/+
Reaksi kornea : +/+
Pemeriksaan oftalmoskopik : Tidak dilakukan
5. Motorik : Tonus : Eutoni
Turgor : Normal
Koordinasi : Normal
Refleks : Normal
6. Sensibilitas : Normal
7. Fungsi luhur :Normal
8. Gangguan khusus : Tidak terdapat gangguan khusus

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


1. Pasien sulit untuk memulai tidur, ketika tidur pasien mudah terbangun.
Jika pasien sudah terbangun, pasien tidak dapat tidur lagi.
2. Fungsi kognitif pada pasien masih baik, begitu pula dengan
pengendalian impuls. Pasien tidak mempunyai riwayat trauma kepala.
Orientasi waktu, tempat, orang dan situasi baik.
3. Pasien lahir secara normal dan tidak terdapat penyulit pada proses
persalinan. Masa kanak-kanak, remaja hingga dewasa pasien memiliki
kemampuan bersosialisasi dengan baik.
4. Pasien menempuh pendidikan dari SD, SMP sampai SMA.
5. Pasien memiliki riwayat gula darah tinggi.
6. Paisen memiliki riwayat tekanan darah tinggi.

33
7. Pasien memiliki 2 orang anak dan 3 orang cucu, anak kedua pasien
yang tinggal bersama di rumah.
8. Kegiatan pasien saat ini sebagai seorang buruh, penghasilan didapatkan
dari gaji pasien.
9. Pasien sudah menikah, tinggal bersama istri dan anak di rumah pribadi.
10. Pasien ini didapatkan gejala minimal dan tidak ada disabilitas.

VI. DIAGNOSTIK MULTIAKSIAL


1. Diagnosis Aksis I
F00.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset lambat
2. Diagnosis Aksis II
Tumbuh kembang normal, sebelum sakit, pasien bisa berinteraksi dan
bersosialisasi dengan orang lain sebagaimana orang normal lainnya
maka pada pasien tidak terdapat gangguan kepribadian. Pasien juga
memiliki fungsi kognitif baik maka pada pasien tidak terdapat
retardasi mental. Karena pada pasien tidak terdapat gangguan
kepribadian dan retardasi mental sehingga aksis II tidak ada
diagnosis.
3. Diagnosis Aksis III
Penyakit Metabolik
4. Diagnosis Aksis IV
Pada pasien ini tidak ditemukan masalah psikososial dan lingkungan,
maka Aksis IV tidak ada.
5. Diagnosis Aksis V
Pada pasien didapatkan beberapa gejala minimal dan masih dapat
berfungsi baik, cukup puas, tidak lebih dari masalah harian yang ada.
Maka pada aksis V didapatkan GAF Scale 90-81.

VII. EVALUASI MULTIAKSIAL


Aksis I : F00.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset
lambat
Aksis II : Tidak ada diagnosis
Aksis III : Penyakit metabolik
Aksis IV : Tidak ada diagnosis
Aksis V : GAF scale 70-61

VIII. PROGNOSIS
Prognosis ke arah baik
- Pasien sadar akan penyakitnya dan ada keinginan serta usaha untuk
sembuh
-Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami sakit serupa
- Pasien dapat bersosialisasi dengan baik

34
Prognosis ke arah buruk
- Perjalanan penyakit sudah berlangsung kurang lebih 1 tahun
- Pasien sudah berusia lanjut
Berdasarkan data-data diatas, dapat disimpulkan prognosis pasien adalah:
Ad vitam : bonam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam

IX. TERAPI
Psikofarmaka :
Sanmol 1/2
Stelosi 1
Arkine 1
m.f.l.s da in caps I-I-II
Psikoterapi :
Pada pasien
- Edukasi tentang penyakit pasien dan kondisi pasien
- Edukasi tentang sleep hygiene seperti mandi dengan air hangat sebelum
tidur, tidak bermain dengan gadget sewaktu ingin tidur, membuat kamar
senyaman mungkin dan tidak menyalakan tv saat akan tidur
- Minum obat yang rajin dan rutin kontrol jika obat habis
- Semakin mendekatkan diri kepada Tuhan YME.
- Melakukan relaksasi
- Sharing kepada keluarga jika ada permasalahan

BAB 4
PEMBAHASAN

a. DIAGNOSIS
Fakta Teori

35
Anamnesis
 Pasien perempuan, usia 48 tahun Insomnia didefinisikan sebagai
 Gejala-gejala : sulit untuk memulai
keluhan dalam hal kesulitan untuk
tidur, sering terbangun pada malam
hari, lebih sensitive (mudah marah) memulai atau mempertahankan tidur
dengan orang sekitar, pasien sering
atau tidur non-restoratif yang
mengeluhkan sakit kepala hingga
tengkuk pada siang hari berlangsung setidaknya satu bulan dan
 Keluhan dirasakan sejak 1 tahun
menyebabkan gangguan signifikan
yang lalu
Riwayat Penyakit Dahullu atau gangguan dalam fungsi individu.
 Riwayat trauma (-), kejang (-)
Menurut The International
 Riwayat konsumsi alkohol (-) dan
Napza (-) Classification of Sleep Disorders,
 Riwayat merokok (-) insomnia adalah kesulitan tidur yang
 Tidak pernah dirawat di Rumah
Sakit Jiwa terjadi hampir setiap malam, disertai
Status Psikiatrikus rasa tidak nyaman setelah episode
 Kesan umum terawat
 Kontak verbal (+), kontak visual tidur tersebut. Secara internasional
(+) insomnia masuk dalam 3 sistem
 Kesadaran orientasi tempat, waktu
diagnostik yaitu International code of
dan orang tidak ada gangguan,
Atensi (+) diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and
 Emosi eutimik, afek luas
Statistical Manual of Mental Disorders
 Proses berfikir, intelegensia cukup
 Kemauan mandiri (DSM) IV dan International
 Psikomotor normoaktif Classification of Sleep Disorders
(ISD). Dalam ICD 10, insomnia dibagi
menjadi 2 yaitu:
a. .Organik
b. NonOrganik
- Dyssomnias (gangguan pada
lama, kualitas dan waktu tidur)
- Parasomnias (ada episode
abnormal yang muncul selama
tidur seperti mimpu buruk, berjalan
sambil tidur, dll)
Dalam ICD 10 tidak dibedakan
antara insomnia primer atau
sekunder. Insomnia disini adalah

36
insomnia kronik yang sudah
diderita paling sedikit 1 bulan dan
sudah menyebabkan gangguan
fungsi dan sosial.
Pedoman diagnostic insomnia menurut
PPDGJ III yaitu:
a. Keluhan adanya kesulitan
masuk tidur atau
mempertahankan tidur, atau
kualitas tidur yang buruk.
b. Gangguan minimal terjadi 3
kali dalam seminggu selama
minimal 1 bulan.
c. Adanya preokupasi dengan
tidak bisa tidur dan peduli yang
berlebihan terhadap akibatnya
pada malam hari dan sepanjang
siang hari.
d. Ketidakpuasan terhadap
kuantitas dan atau kualitas
tidur menyebabkan penderitaan
yang cukup berat dan
mempengaruhi fungsi dalam
sosial dan pekerjaan.
e. Adanya gangguan jiwa lain
seperti depresi dan anxietas
tidak menyebabkan diagnosis
insomnia diabaikan.
f. Kriteria “lama tidur”
(kuantitas) tidak diguankan
untuk menentukan adanya
gangguan, oleh karena luasnya
variasi individual. Lama
gangguan yang tidak

37
memenuhi kriteria di atas
(seperti pada “transient
insomnia”) tidak didiagnosis di
sini, dapat dimasukkan dalam
reaksi stres akut (F43.0) atau
gangguan penyesuaian (F43.2)

Berdasarkan anamnesis yang diperoleh secara autonamnesis mencakup

sebagian besar dari gejala insomnia. Gambaran utama insomnia adalah muncul

kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman

setelah episode tidur tersebut, kesulitan berulang untuk tidur atau

mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk melakukannya. Onset

insomnia pada pasien terjadi setiap hari sejak 1 tahun yang lalu, termasuk dalam

kriteria diagnosis insomnia menurut PPDGJ III, yaitu minimal terjadi 3 kali dalam

seminggu selama minimal sebulan. Pada aktivitas siang hari, pasien menjadi lebih

sensitive terhadap orang sekitar, sehingga mudah marah, mempengaruhi fungsi

dalam sosial, serta adanya sakit kepala hingga tengkuk di siang hari.

a. PENATALAKSANAAN
Fakta Teori
 Sanmol 500 mg (½) Terapi farmakologis harus sesuai
 Stelosi 1 mg dengan intervensi psikososial untuk
 Arkine 1 mg memperbaiki kualitas tidur pasien.
m.f.l.s da in caps I-I-II
Prinsip dasar terapi pengobatan
- Alprazolam 1 mg
insomnia yaitu, jangan menggunakan
obat hipnotik sebagai satu-satunya
terapi, pengobatan harus
dikombinasikan dengan terapi non
farmakologi, pemberian obat golongan
hipnotik dimulai dengan dosis yang
rendah, selanjutnya dinaikan perlahan
–lahan sesuai kebutuhan. Penilaian

38
keluarga terhadap kondisi pasien baik
saat sebelum, mulai terapi, dan saat
follow up harus diperhatikan.
1. Benzodiazepin
Efek benzodiazepin yang
diinginkan adalah efek hipnotik-
sedatif. Sifat yang diinginkan dari
penggunaan hipnotik-sedatif antara
lain adalah perbaikan anxietas,
euporia dan kemudahan tidur
sehingga obat ini sebagai pilihan
utama untuk insomnia.
Benzodiazepin (BZD)
memperbaiki insomnia dengan
mengurangi fase REM,
menurunkan latensi tidur, dan
menurunkan terbangun malam hari.
Penyerapan BZD tidak terpengaruh
oleh penuaan, namun penurunan
massa otot, penurunan protein
plasma, dan peningkatan lemak
tubuh yang terlihat pada usia lanjut
mengakibatkan peningkatan
konsentrasi obat tak-terikat dan
peningkatan waktu paruh eliminasi.
2. Nonbenzodiazepin Hipnotik
Nonbenzodiazepin hipnotik adalah
sebuah alternatif yang baik dari
penggunaan benzodiazepin
tradisional, dengan efek samping
minimal. Obat golongan non-
benzodiazepin juga efektif untuk
terapi jangka pendek insomnia.
Obat-obatan ini relative memiliki
waktu paruh yang singkat sehingga
lebih kecil potensinya untuk
menimbulkan rasa mengantuk pada
siang hari; selain itu penampilan
psikomotor dan daya ingat
nampaknya lebih tidak terganggu
dan umumnya lebih sedikit
mengganggu arsitektur tidur
normal dibandingkan obat
golongan benzodiazepine.
3. Sleep-promoting Agents
(Melatonin)
Melatonin adalah hormon yang
dibentuk di glandula pineal, yaitu

39
sebuah kelenjar yang hanya sebesar
kacang tanah yang terletak di
antara kedua sisi otak. Hormon ini
mempunyai fungsi yang sangat
khas karena produksinya dipicu
oleh gelap dan hening tetapi dapat
dihambat oleh sinar yang terang.
Adanya hormon ini dikatakan dapat
membantu meningkatkan kualitas
tidur seseorang. Dari beberapa
penelitian klinik menunjukkan
bahwa penggunaan melatonin
untuk insomnia ternyata sangat
signifikan dalam menurunkan
waktu yang dibutuhkan seseorang
untuk jatuh tertidur,
memperpanjang durasi tidur
termasuk kualitas tidurnya,
sehingga seseorang tidak
mengantuk lagi saat beraktifitas di
pagihari. Dosis melatonin yang
direkomendasikan ialah 3 mg dan
dapat ditingkatkan hingga 12 –15
mg. Efek samping yang dilaporkan
ialah sakit kepala, pusing,lemah,
iritabel. Megadosis (300mg
perhari) dapat menghampat fungsi
ovarium. Kontraindikasi pada
Wanita hamil dan menyusui.
4. Antihistamin
Three–diphenhydramine
hydrochloride, dypenhydramine
citrate dan doxylamine yang sering
digunakan untuk membantu tidur.
Efek samping penggunaanya
adalah pusing, lemah, mual.
5. Antidepresan
Dosis rendah pada antidepresan yg
memiliki efek sedasi seperti
trazodone (desyrel), amitriptyline
(elavil), doxepine (sinequen,
adapin) dan mirtazapin ( remeron)
sering diresepkan pada pasien
bukan depresi untuk pengobatan
insomnia, antidepresan sering
diberikan untuk insomnia karena
pemberiannya tidak terjadwal,
relatif tidak mahal, dan memiliki

40
sedikit potensi untuk
disalahgunakan.
.

BAB 5
PENUTUP

Demensia adalah kumpulan gejala kronik yang disebabkan oleh berbagai

latar belakang penyakit dan ditandai oleh hilangnya daya ingat jangka pendek

(recent memory) dan gangguan global fungsi mental termasuk fungsi bahasa,

mundurnya kemampuan berpikir abstrak, kesulitan merawat diri sendiri,

perubahan perilaku, emosi labil dan hilangnya pengenalan waktu dan tempat,

tanpa adanya gangguan tingkat kesadaran. Banyak pasien dengan demensia

mengeluhkan pasien tidak tau dia sakit apa dan selalu menanyakan pertanyaan

berulang ketika sebelumnya telah menanyakan pertanyaan tersebut. Demensia

memiliki banyak konsekuensi kesehatan seperti berkurangnya kualitas hidup,

karena pasien bisa saja tiba tiba lupa untuk melakukan suatu hal, dan itu

berdampak bagi kesehatannya. Kualitas hidup bisa saja meningkat dengan

pengobatan, pengobatan yang diberikan pun hanya bersifat untuk memperlambat

41
progesifitas dari penyakitnya agar pasien tetap dan beraktifitas namun tetap saja

tidak dapat mencapai tingkat kesembuhan total.

Selain itu, Demensia dikaitkan dengan penuaan dimana wajar terjadi pada

beberapa orang di usia lanjut karena memang proses dari penuaan yang

mengaibatkan kinerja pekerjaan dan sosial terganggu. Demensia merupakan salah

satu faktor risiko depresi dan gejala dari sejumlah gangguan medis, dan juga

psikiatris. Sehingga penatalaksanaan demensia diperlukan untuk mencegah

morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup bagi pasien mereka.

DAFTAR PUSTAKA

1. Shirdev, E.B & Levey, D.A. 2004. Cross-Cultural Psychology, Critical


Thinking and Contemporary Application, Boston: Pearson Education,Inc
2. Schaie K.W. & Willis, S.L. 1991. Adult Development and Aging, New York:
HarperCollins Publishers
3. Jefferies, K and Agrawal, N. 2009. Early-Onset Dementia. Jurnal of
Continuing Professional Development. 15: 380-388.
4. Dikot Y, Ong PA, 2007. Diagnosis Dini dan Penatalaksanaan Demensia.
Jakarta: PERDOSSI.
5. Assosiasi Alzheimer Indonesia. Konsensus Nasional Pengenalan dan
Penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan Demensia Lainnya. Ed 1, Asosiasi
Alzheimer Indonesia. Jakarta. 2003.

42
6. Alzheimer’s Disease International. World Alzheimer Report 2010 Executive
Summary. London, 2010.
7. WHO. Active Ageing:a policy framework. Genveva:WHO, 2002.
8. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA: Sinopsis Psikiatri (Edisi Bahasa Indonesia),
Edisi VII, Jilid I, Binarupa Aksara, Jakarta, 1997: 515-533.
9. Guberman A. Clinical Neurology. Little Brown and Coy, Boston, 1994: 67-69.
10. Gilroy J. Basic Neurology. Pergamon press, New York, 1992: 194-195.
11. http://www.alzfdn.org/AboutAlzheimers/definition.html (Alzheimer’s
Foundation Of America). Diakses 08 Mei 2014.
12. H, Juebin. Dementia. Merck Manual Home Health Handbook. 2008.
13. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Edisi 6, ECG, Jakarta, 2006: 1134-1138.
14. Bird, Thomas D. Miller, Bruce L. 2006. Harrison’s Neurology in Clinical
Medicine: Alzheimer Disease and Other Dementias. McGrawHill.
15. Little, Ann A., Gomez-Hassan , Diana. 2010. Oxford American Handbook of
Neurology : Dementia . New York : Oxfor University Press.
16. Duus, Peter. 2005. Diagnosis Topik Neurologi : Anatomi , Fisiologi , Tanda ,
Gejala . Jakarta: ECG
17. Clark, David G., Cummings, Jeffrey. The Diagnosis and Management of
Dementia. Los Angeles, ISN 148-4196.
18. Brust, J.C.M. (2008). Current Diagnosis & Treatment: Neurology. McGraw-
HillCompanies, Inc. Singapore.

43

Anda mungkin juga menyukai