Anda di halaman 1dari 25

Referensi Artikel

SJÖGREN SYNDROME

Oleh :

Andita Fatichah Salsabila G99172038


Arini Alhaqq G99172047
Faraissa Hasanah G99171015
Ulfah Paradinta G99172158
Wida Prima Nugraha G99171047

Pembimbing:

Dr. dr. Arief Nurudhin, Sp.PD, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Referat Ilmu Penyakit Dalam dengan judul :

SJÖGREN SYNDROME

Disusun Oleh :
Andita Fatichah Salsabila G99172038
Arini Alhaqq G99172047
Faraissa Hasanah G99171015
Ulfah Paradinta G99172158
Wida Prima Nugraha G99171047

Telah dipresentasikan pada


Hari, tanggal:

Pembimbing

Dr. dr. Arief Nurudhin, Sp.PD, FINASIM


BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom Sjögren atau autoimmune exocrinopathy adalah penyakit autoimun


kronis yang ditandai dengan infiltrasi limfositik dari ludah dan kelenjar lacrymal
menyebabkan xerostomia dan keratokonjungtivitis sicca (KCS). Penyakit ini juga
dapat mempengaruhi kelenjar lain, seperti di perut, pankreas, dan usus, dan dapat
menyebabkan kekeringan di tempat-tempat lain yang membutuhkan kelembaban,
seperti hidung, tenggorokan, saluran pernafasan, dan kulit. Sindrom Sjogren
diklasifikasikan sebagai Sindrom Sjogren Primer bila tidak berkaitan dengan penyakit
autoimun sistemik dan Sindrom Sjogren Sekunder bila berkaitan dengan penyakit
autoimun sistemik lain dan yang paling sering adalah Artritis Reumatoid, SLE dan
Sklerosis Sistemik. Sindrom Sjogren Primer paling banyak ditemukan sedangkan
Sindrom Sjogren Sekunder hanya 30 % kejadiannya (Kruszka, 2009).
Sindrom Sjogren pertama kali dilaporkan oleh Hadden, Leber dan Mikulicz
tahun 1880, kemudian Sjogren di Swedia tahun 1933 melaporkan bahwa Sindrom
Sjogren terkait dengan poliartritis dan penyakit sistemik lainnya. Pada tahun 1960
baru ditemukan adanya autoantibodi anti–Ro(SS-A) dan anti-La(SS-B). Sinonim
antara lain Mickuliczs Disease, Gougerots Syndrome, Sicca Syndrome dan
autoimmune exocrinopathy (Krusza, 2009).
Gejala kliniknya tidak terbatas hanya pada gangguan sekresi kelenjer tetapi
disertai pula dengan gejala sistemik atau ektraglandular. Gejala awal biasanya
ditandai dengan mulut dan mata kering dan kadang-kadang disertai pembesaran
kelenjer parotis. Secara histopatologi kelenjer eksokrin penuh dengan infiltrasi
limfosit yang mengantikan epitel yang berfungsi untuk sekresi kelenjer
(exocrinopathy) (Krusza, 2009).
Diagnosis Sindrom Sjogren sebenarnya relatif mudah, tetapi untuk Sindrom
Sjogren Primer biasanya lebih sulit karena pasien menunjukkan 3 gejala utama yaitu
mata kering, mulut kering dan keluhan muskuloskletal.Penatalaksanaan Sindrom
Sjogren meliputi pengelolaan disfungsi sekresi kelenjer air mata dan saliva,
pencegahan dan pengelolaan sekuele serta pengelolaan manifestasi ektraglandular.
Sampai saat ini masih belum ada satu pengobatan yang ditujukan untuk semua
manifestasi Sindrom Sjogren.Walaupun Sindrom Sjogren bukan merupakan penyakit
yang ganas tapi keluhan mata dan mulut kering yang persisten dapat mengurangi
kualitas hidup dan dalam perkembangannya dapat menjadi limfoma yang dapat
menyebabkan kematian (Yuliasih, 2014).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Sindrom Sjogren atau sering disebut autoimmune exocrinopathy adalah
penyakit autoimun sistemik yang terutama mengenai kelenjer eksokrin dan biasanya
memberikan gejala kekeringan persisten dari mulut dan mata akibat gangguan
fungsional kelenjer saliva dan lakrimalis (Krusza, 2009).

B. EPIDEMIOLOGI
Sindrom Sjogren merupakan penyakit autotimun yang sering dijumpai selain
Systemic Lupus Eritematosus (SLE), di seluruh dunia angka kejadian Sindrom
Sjogren berkisar 0,1-4% populasi. Di Amerika Serikat jumlah penderitanya mencapai
2-4 juta orang. Hanya 50% yang tidak didiagnosis dan hampir 60% ditemukan
bersamaan dengan penyakit autoimun lain. Sindrom Sjorgen dapat dijumpai pada
semua usia, paling sering pada usia 40-60 tahun, terutama pada wanita dengan
perbandingan wanita dan pria adalah 9:1. Prevalensinya pada populasi wanita di
China berkisar 0,33-0,77% (Jacobus, 2014).

C. ETIOLOGI
Penyebab Sindrom Sjogren sampai saat ini masih belum diketahui pasti;
terdapat peranan faktor genetik dan non genetik. Didapatkan adanya kaitan antara
Sindrom Sjogren dengan Human Leukocyte Antigen (HLA) HLA-DR dan DQ.
Frekuensi pasien dengan HLA-DR52 pada Sindrom Sjogren Primer diperkirakan
mencapai 87%, sedangkan pada Sindrom Sjogren sekunder akan meningkat seiring
penyakit penyertanya seperti RA, SLE, Sklerosis Sistemik. Keterkaitan genetik
bervariasi berdasarkan etnis. Pada orang kulit putih gen yang berperan adalah HLA-
DR3, HLA-DQ2, dan HLA-B8, berkaitan dengan HLA-DRB1*15 pada orang
Spanyol, dan HLA-DR5 pada orang Yunani dan Israel. Hubungan Sindrom Sjogren
dengan Virus Hepatitis C (VHC) masih diperdebatkan, pada tahun 1922 Haddad di
Spanyol mendapatkan gambaran histologi Sindrom Sjogren pada 16 pasien dari 28
pasien VHC, sejak saat itu dilaporkan lebih dari 250 kasus Sindrom Sjogren
berhubungan dengan VHC. Padatahun 1994 didapatkan 4% pasien Hepatitis autoimun
pada pasien Sindrom Sjogren Primer, sedangkan survei terbaru tahun 2008
mandapatkan 2 kasus Hepatitis autoimun dari 109 pasien Sindrom Sjogren.
Kerusakan hingga kematian sel karena infeksi virus memicu reaksi antigen dan Toll-
like receptor yang terdapat pada sel dendritik dan epitel, lewat reaksi antigen antibodi
yang mengaktivasi dan memproduksi sitokin, kemokin, dan molekul adesi. Sehingga
saat sel B dan T bermigrasi ke kelenjar eksokrin akan diaktivasi oleh sel dendritik dan
sel epitel yang berfungsi sebagai Antigen Presenting Cell (APC).
Keterlibatan struktur kelenjar lakrimal dan saliva juga diduga sebagai salah
satu etiologi Sindrom Sjogren. Bentuk patologis kelenjar lakrimal dan saliva pada
Sindrom Sjogren menunjukkan agregasi limfosit pada bagian periduktal, kemudian
menuju panlobulus. Sel-sel ini terdiri dari 75% sel TCD4 dan sel memori, 10% sel B
dan sel plasma yang mensekresi immunoglobulin. Walaupun terjadi destruksi lobuli,
40-50% sampel biopsi kelenjar saliva pasien menunjukkan struktur normal sehingga
proses destruksi kelenjar saliva dan lakrimal tidak menentukan derajat manifestasi
klinis Sindrom Sjogren.
Keterlibatan struktur pada Sindrom Sjogren bermanifestasi sebagai
hipergamaglobulinemia dan produksi autoantibodi multipel, terutama Anti Nuclear
Antibody (ANA) dan Rheumatoid Factor (RF). Hal ini bisa memicu aktivasi sel B
poliklonal, tapi penyebab meluasnya aktivasi ini tidak diketahui pasti. Keterlibatan
organ dan jaringan lain dapat menghasilkan reaksi antibodi, kompleks imun, atau infi
ltrasi limfosit dan terjadi pada satu per tiga kasus pasien Sindrom Sjogren.
Pemanjangan masa hiperstimulasi sel B dapat memicu gangguan pada proses
diferensiasi dan maturasi, dan dapat memicu peningkatan insiden limfoma (Jacobus,
2014).

D. IMUNOPATOLOGI
Gambaran histopatologi pada kelenjer lakrimalis dan saliva adalah
periductal focal lymphocytic infiltration. Limfosit yang paling awal
mengilfiltrasi kelenjer saliva adalah sel T terutama CD45RO dan sel B CD20+.
Pada Sindrom Sjogren ini juga didapatkan peningkatan B cell Activating Factor
(BAFF), yang merangsang pematangan sel B. Kadar plasma BAFF pada pasien
Sindrom Sjogren berkorelasi dengan autoantibodi disirkulasi dan pada jangka
panjang mungkin berperanan pada terjadinya limfoma.
Pada sebagian besar pasien Sindrom Sjogren terjadi peningkatan
imunoglobulin dan autoantibodi. Autoantibodi ini ada yang nonspesifik seperti
Faktor Reumatik, ANA dan yang spesifik Sindrom Sjogren seperti anti Ro (SS-
A) dan anti LA (SS-B). Peran anti Ro dan anti–La pada patogenesis Sindrom
Sjogren masih belum jelas. Tetapi pada wanita hamil bisa menyebabkan
komplikasi, dimana setelah kehamilan 20 minggu antibodi ini bisa menembus
plasenta dan mengakibatkan inflamasi pada sistim konduksi jantung janin
sehingga menyebabkan 1%-2 % congenital heart block.(Troy Daniels,2008)
Suatu penelitian di Norway mendapatkan dari 58 pasien Sindrom Sjogren yang
hamil, 2 orang anaknya mengalami congenital heart block. (Casals MR,2005)

Gambar 1. Infiltrasi Limfosit Pada Biopsi Kelenjer Saliva (Troy Daniels,2008)

E. PATOFISIOLOGI
Reaksi imunologi yang mendasari patofisiologi Sindrom Sjogren tidak
hanya sistim imun selular tetapi juga sistim imun humoral. Bukti keterlibatan
sistim humoral ini dapat dilihat adanya hipergammaglobulin dan terbentuknya
autoantibodi yang berada dalam sirkulasi.
Gambaran histopatologi yang dijumpai pada SS adalah kelenjer eksokrin
yang dipenuhi dengan infiltrasi dominan limfosit T dan B terutama daerah
sekitar kelenjer dan atau duktus, gambaran histopatologi ini dapat ditemui
dikelenjer saliva, lakrimalis serta kelenjer eksokrin yang lainnya misalnya kulit,
saluran nafas, saluran cerna dan vagina. Fenotip limfosit T yang mendominasi
adalah sel T CD 4 +. Sel-sel ini memproduksi berbagai interleukin antara lain
IL-2, IL-4, IL-6, IL1 A dan TNF alfa sitokin-sitokin ini merubah sel epitel dan
mempresentasikan protein, merangsang apoptosis sel epitel kelenjer melalui
regulasi fas. Sel B selain mengfiltrasi pada kelenjer, sel ini juga memproduksi
imunoglobulin dan autoantibodi.
Adanya infiltrasi limfosit yang menganti sel epitel kelenjer eksokrin,
menyebabkan penurunan fungsi kelenjer yang menimbulkan gejala klinik. Pada
kelenjer saliva dan mata menimbulkan keluhan mulut dan mata kering.
Peradangan pada kelenjer eksokrin pada pemeriksaan klinik sering dijumpai
pembesaran kelenjer.
Gambaran serologi yang didapatkan pada SS biasanyan suatu gambaran
hipergammaglobulin. Peningkatan imonuglobulin antara lain faktor reumatoid,
ANA dan antibodi non spesifik organ. Pada pemeriksaan dengan teknik
imunofloresen Tes ANA menunjukan gambaran spekled yang artinya bila
diekstrak lagi maka akan dijumpai autoantibodi Ro dan La.
Adanya antibodi Ro dan anti La ini dihubungkan dengan gejala awal
penyakit, lama penyakit, pembesaran kelenjer parotis yang berulang,
splenomegali, limfadenopati dan anti La sering dihubungkan dengan infiltrasi
limfosit pada kelenjer eksokrin minor.
Faktor genetik, infeksi, hormonal serta psikologis diduga berperan
terhadap patogenesis, yang merangsang sistim imun teraktivasi.(Yuliasih,2006)

F. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinik Sindrom Sjogren sangat luas berupa suatu eksokrinopati
yang disertai gejala sistemik dan ektraglandular. Xerostomia dan xerotrakea
merupakan gambaran eksokrinopati pada mulut. Gambaran eksokrinopati pada mata
berupa mata kering atau keratokonjungtivitis sicca akibat mata kering. Manifestasi
ektraglandular dapat mengenai paru-paru, ginjal, pembuluh darah maupun otot.
Gejala sistemik yang dijumpai pada Sindrom Sjogren sama seperti penyakit autoimun
lainnya dapat berupa kelelahan, demam, nyeri otot, artritis. Poliartritis non erosif
merupakan bentuk artritis yang khas pada Sindrom Sjogren. Raynauds phenomena
merupakan gangguan vaskuler yang sering ditemukan, biasanya tanpa disertai
teleektasis ataupun ulserasi pada jari. Manifestasi ektraglandular lainnya tergantung
penyakit sistemik yang terkait misalnya AR, SLE dan skerosis sistemik. Meskipun
Sindrom Sjogren tergolong penyakit autoimun yang jinak, sindrom ini bisa
berkembang menjadi suatu malignansi. Hai ini diduga adanya transformasi sel B
kearahan keganasan (Yuliasih, 2006).
1. MATA
Kelainan mata akibat Sindrom Sjogren adalah KeratoConjungtivitis
Sicca (KCS). KCS terjadi akibat penurunan produksi kelenjar air mata dalam
jangka panjang dan perubahan kualitas air mata. Gejala klinis berupa rasa
seperti ada benda asing dimata, rasa panas seperti terbakar dan sakit dimata,
tidak ada air mata, mata merah dan fotofobia. Beberapa pasien KCS ada yang
asimtomatik. Pemeriksaan yang dilakukan untuk penilaian KCS adalah Slit
lamp dan pemeriksaan Rose Bengal atau Lissamin green. Pemeriksaan jumlah
produksi air mata dilakukan dengan Schimer test. Bila hasilnya < 5 mm dalam
5 menit menunjukan produksi yang kurang (Daniels, 2008; Sumariyono,
2008).
Menurunnya produksi air mata dapat merusak epitel kornea maupun
konjungtiva, bila kondisi ini berlanjut, maka kornea maupun konjungtiva
mendapat iritasi kronis, iritasi kronis pada epitel kornea dan konjungtiva
memberikan gambaran klinik keratokonjungtivitis Sicca. Pada pemeriksaan
terdapat pelebaran pembuluh darah di daerah konjungtiva, perikornea dan
pembesaran kelenjar lakrimalis (Yuliasih, 2006).

2. MULUT
Pada awal penyakit gejala yang paling sering adalah mulut kering
(xerostomia). Keluhan lain adalah kesulitan mengunyah dan menelan
makanan, kesulitan mengunakan gigi bawah serta mulut rasa panas. Tetapi
beberapa pasien ada yang tanpa gejala. Pemeriksaan yang paling spesifik
untuk kelenjar saliva pasien Sindrom Sjogren adalah biopsi Labial Salivary
Gland ( LSG). Pemeriksaan biopsi LSG tidak diperlukan pada pasien yang
sudah terbukti terdapat KCS dan anti Ro atau anti La. Fungsi kelenjar saliva
dapat dinilai dengan mengukur unstimulated salivary flow selama 5-10 menit
(Sumariyono, 2008).
Keluhan xerostomia merupakan eksokrinopati pada kelenjar ludah
yang menimbulkan keluhan mulut kering karena menurunnya produksi
kelenjar saliva. Akibat mulut kering ini sering pasien mengeluh kesulitan
menelan makanan dan berbicara lama. Selain itu kepekaan lidah berkurang
dalam merasakan makanan, gigi banyak yang mengalami karies. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan mukosa mulut yang kering dan sedikit
kemerahan, atropi papila filiformis pada pangkal lidah, serta pembesaran
kelenjar (Yuliasih, 2006).

Mulut kering pada Sindrom Sjogren

3. PEMBESARAN KELENJAR PARATIROID


Sekitar 20-30 % pasien Sindrom Sjogren Primer mengalami
pembesaran kelenjar parotis atau submandibula yang tidak nyeri. Pembesaran
kelenjar ini bisa mengalami tranformasi menjadi limfoma.2.3Suatu penelitian
mendapatkan 98 orang dari 2311 pasien Sindrom Sjogren (4%) berkembang
menjadi limfoma, sementara Ioannidis mendapatkan 38 pasien berkembang
menjadi limfoma pada 4384 pasien Sindrom Sjogren (Casals et al., 2005).
Pembesaran kelenjar parotis pada Sindrom Sjogren

4. ORGAN LAIN
Kekeringan bisa terjadi pada saluran nafas serta orofaring yang sering
menimbulkan suara parau, bronkitis berulang, serta pneumonitis. Gejala lain
yang mungkin dijumpai adalah menurunnya produksi kelenjar pankreas.2
Kekeringan juga juga bisa terjadi pada vagina, suatu penelitian pada 169
pasien Sindrom Sjogren, 26 % pasien juga mempunyai keluhan vagina kering
(Delaleu dan Jonsson, 2008).
5. MANIFESTASI EKTRAGLANDULAR
Banyak sekali manifestasi ektraglandular pada Sindrom Sjogren yaitu
artritis atau artralgia (25%-85%), fenomena raynaud (13%-62%), tiroiditis
autoimun Hashimoto(10%-24%), renal tubular asidosis (5%-33%), sirosis
bilier primer dan hepatitis autoimun (2%-4%), penyakit paru (7%-35%)
seperti batuk kronik, fibrosis paru, alveolitis dan vaskulitis (9%-32%). Resiko
terjadinya limfoma meningkat pada pasien SS (Daniels, 2008; Sumariyono,
2008).

6. MANIFESTASI KULIT
Manifestasi kulit merupakan gejala ektraglandular yang paling sering
dijumpai, dengan gambaran klinik yang luas. Kulit kering dan gambaran
vaskulitis merupakan keluhan yang sering dijumpai. Manifestasi vaskulitis
pada kulit bisa mengenai pembuluh darah sedang maupun kecil. Vaskulitis
pembuluh darah sedang biasanya terkait dengan krioglobulin dan vaskulitis
pada pembuluh darah kecil berupa purpura. Dikatakan bahwa vaskulitis dikulit
merupakan petanda prognosis buruk (Yuliasih, 2006).
Manifestasi kulit pada Sindrom Sjogren primer
A. Kutaneus Vaskulitis :
Sjogren Sindrom yang terkait dengan vaskulitis pembuluh darah kecil.
Kyoglobulinemia vaskulitis
Vaskulitis Urtikaria
Sindrom Sjogren yang terkait dengan vaskulitis pembuluh darah sedang
B. Manifestasi kutaneus yang lain
Fotosensitif cutaneus lesion
Erytema nodosum
Livedoretikularis
Trombositopenia purpura
Lichen planus
Vitiligo
Nodular Vaskulitis
Kutaneus amyloidosis
Granuloma anuler
Granulomatus panikulitis.

7. MANIFESTASI PARU
Manifestasi paru yang paling menonjol yaitu gambaran penyakit
bronkial dan bronkiolar dan saluran nafas kecil. Penyakit paru Intertisial lebih
sering dijumpai pada Sindrom Sjogren Primer dengan gambaran patologi
infiltrasi limfosit pada intersisial atau fibrosis yang berat. Adanya pembesaran
kelenjar limfe yang parahiler yang sering menyerupai suatu limfoma
(pseudolimfoma). Manifestasi paru pada Sindrom Sjogren Primer dan
Sekunder memberikan gambaran yang berbeda. Pada Sindrom Sjogren
Sekunder, manifestasi parunya disebabkan oleh primer penyakit yang
mendasari (Yuliasih, 2006).
8. MANIFESTASI PEMBULUH DARAH
Vaskulitis ditemukan sekitar 5 % dapat mengenai pembuluh darah
sedang maupun kecil dengan manifestasi klinik berbentuk purpura, urtikaria
yang berulang, ulkus kulit dan mononeuritis multipel. Vaskulitis pada organ
internal jarang ditemukan. Raynaunds fenomena dijumpai pada 35 % kasus
dan biasanya muncul setelah sindrom sicca terjadi sudah bertahun-tahun,
tanpa disertai teleektasis dan ulserasi (Yuliasih, 2006).

9. MANIFESTASI PADA GINJAL


Keterlibatan ginjal hanya ditemukan sekitar 10 %. Manifestasi yang
tersering berupa kelainan tubulus dengan gejala subklinis. Gambaran
kliniknya dapat berupa hipophospaturia, hipokalemia, hiperkloremia, renal
tubular asidosis tipe distal. Yang sering dijumpai diklinik gambarannya tidak
jelas dan seringkali menimbulkan komplikasi batu kalsium dan gangguan
fungsi ginjal. Gejala hipokalemia seringkali dijumpai diklinik dengan
manifestasi kelemahan otot. Pada biopsi ginjal didapatkan infiltrasi limfosit
pada jaringan intersisial (Yuliasih, 2006).

10. MANIFESTASI NEUROMUSKULAR


Manifestasi neurologi yaitu diakibatkan vaskulitis pada sistim syaraf
dengan manifestasi klinik neuropati perifer. Kranial neuropati juga dapat
dijumpai pada Sindrom Sjogren, biasanya mengenai serat saraf tunggal,
misalnya neuropati trigeminal atau neuropati optik, neuropati sensorik
merupakan komplikasi neurologi yang sering. Kelainan muskular hanya
berupa mialgia dengan enzim otot dalam batas normal (Yuliasih, 2006).
MANIFESTASI SISTIM SYARAF PUSAT PADA SINDROM SJOGREN
- Multipel Skerosis like disease
- Mielopati : Akut dan kronis myelitis Central
pontine myelinelisis
- Parkinson
- Dyastonic spasme
- Bells palsy
- Neuritis optik
- SSP Vaskulitis SSP T limfoma
- Cerebral amyloid angiopathy

11. GAMBARAN GASTRO INTESTINAL


Keluhan yang sering dijumpai adalah disfagia, karena kekeringan
daerah kerongkongan, mulut dan esofagus, disamping itu faktor dismotilitas
esofagus akan menambah kesulitan proses menelan. Mual dan nyeri perut
daerah epigastrik juga sering dijumpai. Biopsi mukosa lambung menunjukan
gastritis kronik atropik yang secara histopatologi didapatkan infiltrasi limfosit.
Gambaran ini persis seperti yang didapatkan pada kelenjar liur. Hepatomegali,
peningkatan alkali fosfatase, sirosis bilier primer lebihsering pada tipe primer
(Yuliasih, 2006).

12. ARTRITIS
Lima puluh persen gejala artritis pada Sindrom Sjogren, artritisnya
mungkin muncul lebih awal sebelum gejala sindrom sicca muncul. Artritis
pada Sindrom Sjogren tidak erosif. Artralgia, kaku sendi, sinovitis, poliartitis
kronis gejala lain yang mungkin dijumpai (Yuliasih, 2006).

G. DIAGNOSIS
Lebih dari 10 kriteria diagnosis dan klasifikasi untuk Sindrom Sjogren
telah dibuat. Kriteria paling baru adalah dari American-European Consensus
Group Classification Criteria (Sumariyono, 2008).

Tabel 5. Kriteria American-European Consesus Group classification Criteria


I. Gejala Mata
Definisi : jawaban positif pada 1 dari 3 pertanyaan :
1. Apakah anda penderita mata kering yang mengganggu tiap hari,
persisten selama lebih dari 3 bulan?
2. Apakah anda mengalami sensasi mata berpasir atau
mengganjal yang hilang timbul pada mata?
3. Apakah anda memakai tetes air mata buatan lebih dari 3 kali perhari?
II. Gejala Mulut
Definisi : jawaban positif pada 1 dari 3 pertanyaan :
1. Apakah anda merasakan mulut kering tiap harinya selama lebih dari 3
bulan?
2. Apakah anda menderita pembengkakan kelenjar ludah yang hilang
timbul atau terus menerus selama usia dewasa ini?
3. Apakah anda sering minum untuk membantu menelan makanan?

III. Tanda pada Mata


Definisi : bukti objektif dari gejala mata, ditentukan oleh hasil positif pada satu
dari 2 tes berikut:
1. Tes Schirmer I (< 5.5 mm setelah 5 menit)
2. Skor pewarnaan rose bengal (> 4 skor van Bijsterveld )
IV. Gambaran Histopatologis
Definisi: skor fokus > 1 pada biopsi kelenjar ludah minor (fokus didefinisikan
sebagai perkumpulan dari paling sedikit 50 sel mononuklear; skor fokus
didefinisikan sebagai jumlah dari fokus dalam 4 mm2 jaringan glandular)

V. Tanda pada Kelenjar Ludah


Definisi: bukti objektif dari gejala pada kelenjar ludah, ditentukan oleh hasil
positif pada satu dari 3 tes berikut:
1. Salivary scintography: penyerapan yang tertunda dan atau sekresi
2. Sialografi parotis: sielektasis difusa tanpa obstruksi
3. Kecepatan kelenjar ludah tanpa stimulasi (< 1.5 ml dalam 15 menit)
VI. Autoantibodi
Definisi: Adanya paling sedikit 1 dari serum autoantibodi berikut: Antibodi
terhadap Ro/SS-A
Antibodi terhadap La/SS-B antigen
Klasifikasi
Sindrom Sjögren primer:
Adanya 4 dari 6 kriteria di atas atau adanya 3 dari 4 kriteria objektif (kriteria 3-6)

Sindrom Sjögren sekunder:


kombinasi dari jawaban positif pada kriteria 1 dan 2 ditambah jawaban positif dari paling sedikit 2
kriteria pada kriteria 3,4 dan 5
Kriteria eksklusi:
limfoma yang sudah ada sebelumnya, sindrom immunodefisisensi yang didapat, sarcoidosis, atau
chronic graft-vs-host disease, riwayat penyinaran radiasi kepala dan leher, hepatitis C, penggunaan
terapi antikolinergik

(Weisenthal, RW.,et al.,


2014)

GAMBARAN LABORATORIUM

Pada pasien Sindrom Sjogren sering didapatkan peningkatan


immunoglobulin serum poliklonal dan sejumlah auto antibodi yang sesuai
dengan aktifitas kronik sel B. Laju endap darah meningkat sesuai dengan
peningkatan globulin gama. Suatu penelitian multisenter dari 400 pasien
Sindrom sjogren berdasarkan kriteria The European Community Preliminary
Criteria tahun 1993 didapatkan Anti Ro 40 % dan anti- La pada 26 %, ANA
pada 74 % dan faktor rematoid pada 38 % pasien Sindrom Sjogren. Kelainan
hematologi yang bisa didapatkan pada Sindrom Sjogren adalah anemia 20 %,
lekopenia 16% dan trombositopenia 13 % (Sumariyono, 2008).
Hipergammaglobulin ditemukan hampir pada 80 % pasien (Yuliasih,2014).
Suatu penelitian di London yang mengevaluasi 34 pasien dengan keluhan mata
dan mulut kering tapi tidak termasuk Sindrom Sjogren dikenal dengan Dry Eyes
and Mouth Syndrome (DEMS) pada pemeriksaan anti Ro dan anti La semuanya
negatif walaupun ANA positif (19 %) (Rosas, 2002).

BEBERAPA TES UNTUK MENDIAGNOSIS KERATOKONJUNTIVITIS.


1. TES SCHIMERS
Tes ini digunakan untuk mengevaluasi produksi kelenjar air mata.
Tes dilakukan dengan menggunakan kertas filter dengan panjang 30 mm,
caranya kertas ditaruh dikelopak mata bagian bawah dibiarkan selama 5
menit. Setelah 5 menit kemudian dilihat berapa panjang pembasahan air
mata pada kertas filter, bila pembasahan kurang dari 5 mm dalam 5 menit
maka tes positif (Yuliasih, 2014).

Gambar 4. TES SCHIMERS PADA PASIEN SINDROM SJOGREN

2. ROSE BENGAL STAINING


Keratokonjungtivitis merupakan sequele pada kornea dan
konjungtiva karena menurunnya air mata. Dengan pengecatan Rose
bengal yang menggunakan anilin, yang dapat mewarnai epitel kornea
maupun konjungtiva. Dengan pengecatan ini keratokonjungtivitis sicca
tampak sebagai keratitis pungtata, bila dilihat dengan slit lamp. Tear film
break up : tes ini dilakukan untuk melihat kecepatan pengisian flouresin
pada kertas film (Asyari,2007).

3. SIALOMETRI
Sialometri adalah pengukuran kecepatan produksi kelenjar liur
tanpa adanya rangsangan, baik untuk mengukur kelenjer parotis,
submandibula, sublingual ataupun total produksi kelenjar liur. Pada
Sindrom Sjogren menunjukan penurunan kecepatan sekresi (Yuliasih,
2014). Suatu penelitian di Spanyol untuk memeriksa fungsi kelenjer
ludah pasien Sindrom Sjogren dengan menggunakan pilokarpin 5 mg
sublingual apakah terjadi peningkatan produksi kelenjer saliva setelah
pemberian pilokarpin 5 mg, dari 60 pasien pSS diukur Basal Saliva Flow
(BSF) pada semua pasien dimana BSF < 1,5 ml/15 menit berarti
abnormal. Dari 60 pasien terdapat 46 pasien dengan BSF < 1,5 ml ,
kemudian diberi pilokarpin 5 mg (SSF = Stimulated salivary Flow ).
Hasil didapatkan setelah pemberian pilokarpin terdapat peningkatan
produksi saliva (Tsifetaki, 2003).

4. SIALOGRAFI
Pemeriksaan secara radiologi untuk menetapkan kelainan anatomi
pada saluran kelenjer eksokrin. Pada pemeriksaan ini tampak gambaran
teleektasis.

5. SKINTIGRAFI
Untuk mengevaluasi kelenjer dengan mengunakan 99m Tc, dengan
pemeriksaan ini dilihat ambilan 99m Tc dimulut selama 60 menit setelah
injeksi intravena.

6. BIOPSI
Biopsi kelenjar eksokrin minor memberikan gambaran yang sangat
spesifik yaitu tampak gambaran infiltrasi limfosit yang dominan
(Yuliasih, 2014). Biopsi kelenjer saliva minor merupakan gold standar
untuk diagnosis Sindrom Sjogren (Price, 2016).

Banyak gejala Sindrom Sjogren yang non spesifik sehingga seringkali


menyulitkan dalam mendiagnosis. Ketepatan membuat diagnosis diperlukan
waktu pengamatan yang panjang. Oleh karena manifestasi yang luas dan tidak
spesifik akhirnya American European membuat suatu konsensus untuk
menegakkan diagnosis Sindrom Sjogren, kriteria ini mempunyai sensitivitas
spesifisitas sebesar 95 %.
Adapun kriteria tersebut :
 Gejala mulut kering
 Gejala mata kering
 Tanda mata kering dibuktikan dengan tes schimer atau tes Rose bengal
 Tes fungsi kelenjer saliva, abnormal flow rate dengan skintigrafi
/sialogram
 Biopsi kelenjer ludah minor
 Autoantibodi (SS-A, SS-B)
SS bila memenuhi 4 kriteria, satu diantaranya terbukti pada biopsi kelenjar
eksokrin minor atau positif antibody (Yuliasih. 2014).
Suatu penelitian melaporkan dari 3000 pasien Sindrom Sjogren rata-rata
waktu mulai timbul keluhan sampai diagnosis adalah 6,5 tahun (Troy, 2008).

Tabel 6. Penyakit Sistemik Terkait Dengan Sindrom Sjogren


(Yuliasih, 2014)
 Artritis rematoid
 Lupus Eritematosus sistemik
 Skleroderma
 Mixed connective tissue disease
 Sirosis bilier primer
 Miositis
 Vaskulitis
 Tiroiditis
 Hepatitis kronik aktif
 Mixed cryoglobulinemia

H. TATALAKSANA
Tatalaksana Sindrom Sjogren meliputi tatalaksana akibat disfungsi sekresi
kelenjar di mata dan mulut dan manifestasi ekstraglandular. Prinsipnya hanyalah
simtomatis mengantikan fungsi kelenjar eksokrin dengan memberikan lubrikasi.
MATA
Pengobatan untuk mata meliputi penggunaan air mata buatan bebas pengawet
untuk siang hari dan salep mata untuk malam hari (Daniels, 2008; Yuliasih, 2014).
Lubrikasi pada mata kering dengan tetes mata buatan membantu mengurangi gejala
akibat sindrom mata kering. Untuk mengurangi efek samping sumbatan drainase air
mata pengganti bisa diberikan lensa kontak, tetapi resiko infeksi sangat besar. Tetes
mata yang mengandung steroid sebaiknya dihindarkan karena merangsang infeksi.
Bila gagal dengan terapi tersebut dapat diberikan sekretagogum yaitu stimulat
muskarinik reseptor. Ada dua jenis sekretagogum yang beredar di pasaran yaitu
golongan pilokarpin dan cevimelin. Dosis pilokarpin 5 mg 4 kali sehari selama 12
minggu sedangkan cevimelin 3 x 30 mg diberikan 3 kali sehari.
MULUT
Pengobatan kelainan dimulut akibat Sindrom Sjogren meliputi pengobatan dan
pencegahan karies, mengurangi gejala dimulut, memperbaiki fungsi mulut.
Pengobatan xerostomia sangat sulit sampai saat ini belum ada obat yang dapat untuk
mengatasinya. Pada umumnya terapi ditujukan pada perawatan gigi, kebersihan
mulut, merangsang kelenjar liur, memberi sintetik air liur. Pada kasus ringan
digunakan sugar-free lozenges, cevimeline atau pilokarpin. Pengobatan kandidiasis
mulut pada kasus yang masih ada produksi saliva dapat digunakan anti jamur sistemik
seperti flukonazol, sedang pada kasus yang tidak ada produksi saliva digunakan anti
jamur topical (Daniels, 2008; Yuliasih, 2014).
EKTRAGLANDULAR
OAINS digunakan bila ada gejala muskuloskeletal, hidroksi klorokuin
digunakan untuk atralgia, mialgia hipergammaglobulin. Kortikosteroid sistemik 0,5-1
mg/kgBB/hari dan imunosupresan antara lain siklofosfamid digunakan untuk
mengontrol gejala ekstraglandular misalnya difus interstitial lung disease,
glomerulonefritis, vaskulitis (Sumariyono, 2008; Daniels, 2008).
Tabel 7.Obat yang Digunakan untuk Terapi Sindrom Sjogren (Casals, 2005)
MEDIKAMENTOSA
1. Muskarinik agonis (Pilokarpin dan Cevimelin)
Obat ini digunakan untuk terapi sicca symptoms karena merangsang reseptor
M1 dan M3 pada kelenjar ludah sehingga meningkatkan fungsi sekresi
(Casals, 2005). Suatu penelitian pasien Sindrom Sjogren yang diterapi dengan
Pilokarpin 4 x 5 mg selama 12 minggu terdapat perbaikan keluhan. Sementara
itu penelitian lain menggunakan Cevimelin dengan dosis 3 x 15 mg/30 mg
selama 6 minggu juga dapat memperbaiki keluhan. Sedangkan penelitian di
Loannina.Greece pada 29 pasien SS yang mendapat Pilokarpin 2 x 5 mg
selama 12 minggu juga terdapat perbaikan keluhan (Sumariyono, 2008). Suatu
penelitian pada 373 pasien Sindrom Sjogren primer dan sekunder yang
diterapi dengan Pilokarpin 4 x 5 mg/hari (20 mg) selama 12 minggu terdapat
perbaikan keluhan mata dan mulut kering (Carson, 2005). Pilokarpin dapat
meningkatkan produksi kelenjar saliva dan mata. Efek samping pilokarpin
berupa pusing dan peningkatan frekuensi miksi (Both et al., 2017).
2. Agen Biologik
Suatu penelitian oleh steinfeld pada 16 pasien sindrom sjogren primer yang
diterapi dengan infus Infliximab 3mg/kg pada minggu 0, minggu 2, minggu 6
terdapat perbaikan keluhan (Casals, 2005). Penggunaan Rituximab infus 375
mg/m2 dengan prednison 25 mg i.v pada 8 pasien sindrom sjogren primer
selama 12 minggu dapat mengurangi keluhan mata dan mulut kering (Meijer
et al., 2009). Rituximab merupakan antibodi monoklonal yang bekerja dengan
mentarget CD20 yang terekspresi di permukaan sel B, termasuk pre-B dan
limfosit B matur, dan menyebabkan deplesi sel B (Both et al., 2017).
3. Terapi lain
Penelitian Miyawaki 20 pasien Sindrom Sjogren diterapi dengan prednisolone
secara siknifikan menurunkan serum IgG, anti-Ro/SS (Casals, 2005).
Hidroksiklorokuin yang digunakan untuk terapi malaria juga digunakan untuk
penyakit autoimun dan dari penelitian pada 14 pasien Sindrom sjogren primer
dapat meningkatkan produksi kelenjar ludah setelah diterapi selama 6 bulan
(Markus dan Ulbrick, 2005). Hidroksiklorokuin digunakan untuk gejala
sistemik, seperti arthralgia, yang bersifat kronis (Both et al., 2017).
I. PROGNOSIS
Prognosis pada pasien Sindrom Sjogren tidak banyak yang meneliti, walaupun
Sindrom Sjogren bukan merupakan penyakit yang ganas namun perkembangannya
dapat terjadi vaskulitis dan limfoma dan kedua hal tersebut dapat menyebabkan
kematian pada pasien Sindrom Sjogren.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN
Sindrom Sjogren adalah penyakit autoimun yang menyebabkan disfungsi
produksi kelenjer saliva dan lakrimalis yang selanjutnya mengakibatkan gejala dan
komplikasi akibat disfungsi kelenjer tersebut.
Diagnosis Sindrom Sjogren sebenarnya tidak terlalu sulit, tetapi perlu
ketelitian dan perhatian terhadap kemungkinan SS pada pasien dengan gejala akibat
disfungsi kelenjer lakrimalis dan saliva seperti mulut kering, mata kering dan rasa
seperti ada benda asing (seperti ada pasir ), serta memperhatikan adanya gejala
tersebut pada pasien yang beresiko SS seperti pada pasien artritis rematoid.
Tatalaksana SS terdiri dari tatalaksana akibat disfungsi kelenjer lakrimalis
dimata dan disfungsi kelenjer saliva di mulut, tatalaksana sekuele dan tatalaksana
manifestasi ektraglandular.

B. SARAN
Perlu anamnesa dan pemeriksaan fisik serta laboratorium untuk dapat
menegakkan diagnosis Sindrom Sjogren karena sering penyakit ini tumpang tindih
dengan penyakit lain.
DAFTAR PUSTAKA

Both T, Dalm VASH, Hagen PMV, Daele PLAV (2017). Reviewing primary
Sjögren's syndrome: beyond the dryness - From pathophysiology to diagnosis
and treatment. International Journal of Medical Science, 14(3): 191-200.
Casals MR, Tzioufas AG, Front J (2005). Primary sjogren syndrome; new clinic and
therapeutic concepts. Ann. Rheum. Dis, 64: 347-354.
Carson S (2005). Sjogren Syndrom. Kelleys Textbook of Rheumatology, 69: 1105-
1124.
Daniels T. Sjogrens syndrome, Primer on rheumatic diseases; 13: 389-397.
Delaleu N dan Jonsson MV (2008). New concepts in the pathogenesis of Sjogren
syndrome. Rheum. Dis. Clin N Am, 34: 833-845.
Haga HJ, Gjesdal CG, Koksvik HS (2005). Pregnancy outcome in patients with
primary sjogren syndrome, a case-control study. The Journal of Rheumatology,
32: 1734-1736.
Jacobus, D. (2014). Diagnosis dan Manajemen Sindrom Sjogren. Cermin Dunia
Kedokteran, 41(5), pp.336-341.
Kruszka P., O’Brian R.J(2009). Diagnosis and Management of Sjögren Syndrome.
Am Fam Physician. p.465-470
Markus R dan Ulbrick R (2005). Treatment of sicca symptoms with
Hydroxychloroquine in patients with Sjogren Syndrome. Rheumatology, 11:
1093-1094.
Meijer JM, Pijpe J, Vissink A (2009). Treatment of Primary Sjogren syndrome with
Rituximab; extended follow up, safety and efficacy of treatment. Annals of the
Rheumatic Diseases, 68: 284-285.
Price, EJ (2016). Dry eyes and mouth syndrome, a subgroup of patient presenting
with sicca symptoms. Rheumatol. p;416-425.
Rosas J, et al. (2002). Usefulness of basal and Pilocarpin stimulated salivary flow
in primary sjogren syndrome correlation with clinical immunological and
histological features. Rheumatology.p;41:670-675.
Sumariyono. (2008). Diagnosis dan Tatalaksana Sindrom Sjorgen. Kumpulan makalah
temu ilmiah Reumatologi. p.134-136
Troy, MS. (2008). Sjogrens Syndrome.Primer on rheumatic diseases. p.389-397.
Tsifetaki, CA. (2003). Paschides. Oral Pilocarpin for the treatment of ocular
symptoms in patient with Sjogren Syndrome. A randomized 12 weeks
controlled Study. Ann. Rheum. Dis.p.1204-1207
Weisenthal, RW.,et al. (2014). Clinical Approach to Ocular Surface Disorders, in
External Disease and Cornea. San Fransisco. American Academy of
Ophthalmology. p. 45 - 79.
Yuliasih. (2014). Sindrom Sjogren. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.jilid III edisi
VI. Pusat Penerbitan IPD FKUI. p.3160-3166

Anda mungkin juga menyukai