dr. Fauzi Ahmad Lubis (dr. Zuhrial Zubir, Sp.PD K-AI) (dr. Zuhrial Zubir, Sp.PD K-AI)
SJORGEN SYNDROME
Ahmad Fauzi, Zuhrial Zubir, Alwinsyah Abidin, Meivina Ramadhani, Ananda Wibawa
Divisi Pulmonologi dan Alergi Imunologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU
RSUP Haji Adam Malik Medan
1. PENDAHULUAN
Sindrom Sjogren (SS) disebut juga Autoimmune Exocrinopathy, Mickuliczs Disease,
Geugerots Syndrome, Sicca Syndrome adalah penyakit autoimun sistemik yang terutama
mengenai kelenjar eksokrin dan biasanya memberikan gejala kekeringan persisten pada mulut
dan mata akibat gangguan fungsional kelenjar saliva dan lakrimalis.1SS pertama kali
dilaporkan oleh Hadden, Leber dan Mikulicz tahun 1880, terminologi SS diperkenalkan saat
Sjogren di Swedia tahun 1933 melaporkan bahwa SS terkait dengan poliartritis dan penyakit
sistemik lain. Sebagian besar kasus SS masih belum diketahui penyebabnya. SS diklasifi
kasikan sebagai SS primer apabila tidak berkaitan dengan penyakit autoimun sistemik,
sedangkan SS sekunder apabila berkaitan dengan penyakit autoimun sistemik lain seperti
Artritis Rematoid (RA), Systemic Lupus Eritematosus (SLE), dan Sklerosis Sistemik.1,2
Sindrom Sjogren bisa dijumpai pada semua umur, sering umur 40-60 tahun terutama
perempuan dengan perbandingan perempuan dengan pria 9:1. Sampai saat ini prevalensinya
belum diketahui dengan pasti, diperkirakan prevalensi Sindrom Sjogren sekitar 0,1 – 0,6 %
karena seringnya sindrom ini bertumpang tindih dengan penyakit rematik lainnya. Selain itu
gejala klinik yang muncul pada awal penyakit sering tak spesifik, di Amerika diperkirakan
penderita Sindrom Sjogren sekitar 2-4 juta orang, hanya lima puluh persen saja yang tidak
tegak diagnosanya dan hampir 60 % ditemukan bersamaan dengan penyakit autoimun lainnya
Manifestasi klinis Sindrom Sjogren ini sering tumpang tindih dengan penyakit
rematik lain sehinga diperlukan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang cermat untuk dapat
2.1. DEFINISI
autoimun sistemik yang terutama mengenai kelenjer eksokrin dan biasanya memberikan
gejala kekeringan persisten dari mulut dan mata akibat gangguan fungsional kelenjer saliva
dan lakrimalis. 2
2.2. EPIDEMIOLOGI
Sindrom Sjogren merupakan penyakit autotimun yang sering dijumpai selain
Systemic Lupus Eritematosus (SLE), di seluruh dunia angka kejadian Sindrom Sjogren
berkisar 0,1-4% populasi. Di Amerika Serikat jumlah penderitanya mencapai 2-4 juta orang.
Hanya 50% yang tidak didiagnosis dan hampir 60% ditemukan bersamaan dengan penyakit
autoimun lain. Sindrom Sjorgen dapat dijumpai pada semua usia, paling sering pada usia 40-
60 tahun, terutama pada wanita dengan perbandingan wanita dan pria adalah 9:1.
2.3. ETIOLOGI
Etiologi Sindrom Sjogren sampai saat ini masih belum diketahui. Terdapat peranan
faktor genetik dan non genetik pada patogenesis Sindrom Sjogren. Dilaporkan adanya kaitan
antara Sindrom Sjogren dengan HLA DR dan DQ. Kaitan antara HLA dan Sindrom Sjogren
didapatkan hanya pada pasien yang meliputi antibodi anti SS-A dan atau anti SS-B.
Diperkirakan terdapat peranan infeksi virus (Epstein-Barr, Coxsackle, HIV dan HCV ) pada
patogenesis Sindrom Sjogren. 1.3.4 Hubungan Sindrom Sjogren dengan Hepatitis Virus C dulu
masih diperdebatkan, baru tahun 1922 Haddad di Spanyol mendapatkan gambaran histologi
Sindrom Sjogren pada 16 pasien dari 28 pasien Hepatitis virus C, sejak saat itu lebih dari 250
kasus Sindrom Sjogren yang berhubungan dengan Hepatiti virus C dilaporkan.4 Tahun 1994
didapatkan sebanyak 4 % pasien Hepatitis autoimun pada pasien Sindrom Sjogren Primer,
sedangkan survei terbaru tahun 2008 terdapat 2 kasus Hepatitis autoimun dari 109 pasien
Sindrom Sjogren Primer.5 Hubungan pasien pasien Sindrom Sjogren dengan SLE dilaporkan
di Athens dari 283 pasien SLE terdapat 26 (9,2%) memenuhi kriteria Sindrom Sjogren,
sedangkan di China terdapat 35 (6,5 %) pasien memenuhi kriteria Sindrom Sjogren dari 542
pasien SLE. 5 Berdasarkan AECC kriteria terdapat 19 (14 %) pasien memenuhi kriteria
2.4. IMUNOPATOLOGI
Gambaran histopatologi pada kelenjer lakrimalis dan saliva adalah periductal focal
lymphocytic infiltration. Limfosit yang paling awal mengilfiltrasi kelenjer saliva adalah sel T
terutama CD45RO dan sel B CD20+. Pada Sindrom Sjogren ini juga didapatkan peningkatan
B cell Activating Factor (BAFF), yang merangsang pematangan sel B. Kadar plasma BAFF
pada pasien Sindrom Sjogren berkorelasi dengan autoantibodi disirkulasi dan pada jangka
panjang mungkin berperanan pada terjadinya limfoma. Pada sebagian besar pasien Sindrom
Sjogren terjadi peningkatan imunoglobulin dan autoantibodi. Autoantibodi ini ada yang
nonspesifik seperti Faktor Reumatik, ANA dan yang spesifik Sindrom Sjogren seperti anti Ro
(SS-A) dan anti LA (SS-B). Peran anti Ro dan anti–La pada patogenesis Sindrom Sjogren
masih belum jelas. Tetapi pada wanita hamil bisa menyebabkan komplikasi, dimana setelah
kehamilan 20 minggu antibodi ini bisa menembus plasenta dan mengakibatkan inflamasi
pada sistim konduksi jantung janin sehingga menyebabkan 1%-2 % congenital heart block.
Suatu penelitian di Norway mendapatkan dari 58 pasien Sindrom Sjogren yang hamil, 2
2.5.PATOFISIOLOGI
sistim imun selular tetapi juga sistim imun humoral. Bukti keterlibatan sistim humoral
kelenjer eksokrin yang dipenuhi dengan infiltrasi dominan limfosit T dan B terutama
daerah sekitar kelenjer dan atau duktus, gambaran histopatologi ini dapat ditemui
dikelenjer saliva, lakrimalis serta kelenjer eksokrin yang lainnya misalnya kulit,
saluran nafas, saluran cerna dan vagina. Fenotip limfosit T yang mendominasi adalah
sel T CD 4 +. Sel-sel ini memproduksi berbagai interleukin antara lain IL-2, IL-4, IL-
6, IL1 A dan TNF alfa sitokin-sitokin ini merubah sel epitel dan mempresentasikan
protein, merangsang apoptosis sel epitel kelenjer melalui regulasi fas. Sel B selain
mengfiltrasi pada kelenjer, sel ini juga memproduksi imunoglobulin dan autoantibodi.
Adanya infiltrasi limfosit yang menganti sel epitel kelenjer eksokrin, menyebabkan
penurunan fungsi kelenjer yang menimbulkan gejala klinik. Pada kelenjer saliva dan
mata menimbulkan keluhan mulut dan mata kering. Peradangan pada kelenjer
non spesifik organ. Pada pemeriksaan dengan teknik imunofloresen Tes ANA
menunjukan gambaran spekled yang artinya bila diekstrak lagi maka akan dijumpai
autoantibodi Ro dan La. Adanya antibodi Ro dan anti La ini dihubungkan dengan
gejala awal penyakit, lama penyakit, pembesaran kelenjer parotis yang berulang,
pada kelenjer eksokrin minor. Faktor genetik, infeksi, hormonal serta psikologis
berupa mata kering atau keratokonjungtivitis sicca akibat mata kering. Manifestasi
ektraglandular dapat mengenai paru-paru, ginjal, pembuluh darah maupun otot. Gejala
sistemik yang dijumpai pada Sindrom Sjogren sama seperti penyakit autoimun
lainnya dapat berupa kelelahan, demam, nyeri otot, artritis. Poliartritis non erosif
merupakan bentuk artritis yang khas pada Sindrom Sjogren. Raynauds phenomena
penyakit sistemik yang terkait misalnya AR, SLE dan skerosis sistemik. Meskipun
Sindrom Sjogren tergolong penyakit autoimun yang jinak, sindrom ini bisa
berkembang menjadi suatu malignansi. Hai ini diduga adanya transformasi sel B
(KCS). KCS terjadi akibat penurunan produksi kelenjer air mata dalam jangka
panjang dan perubahan kualitas air mata. Gejala klinis berupa rasa seperti ada benda
asing dimata, rasa panas seperti terbakar dan sakit dimata, tidak ada air mata, mata
merah dan fotofobia. Beberapa pasien KCS ada yang asimtomatik. Pemeriksaan yang
dilakukan untuk penilaian KCS adalah Slit lamp dan pemeriksaan Rose Bengal atau
Lissamin green. Pemeriksaan jumlah produksi air mata dilakukan dengan Schimer
test. Bila hasilnya < 5 mm dalam 5 menit menunjukan produksi yang kurang. 1.3
Menurunnya produksi air mata dapat merusak epitel kornea maupun konjungtiva, bila
kondisi ini berlanjut, maka kornea maupun konjungtiva mendapat iritasi kronis, iritasi
MULUT
Pada awal penyakit gejala yang paling sering adalah mulut kering
kesulitan mengunakan gigi bawah serta mulut rasa panas. Tetapi beberapa pasien ada
yang tanpa gejala. Pemeriksaan yang paling spesifik untuk kelenjer saliva pasien
Sindrom Sjogren adalah biopsi Labial Salivary Gland ( LSG). Pemeriksaan biopsi
LSG tidak diperlukan pada pasien yang sudah terbukti terdapat KCS dan anti Ro atau
anti La. Fungsi kelenjer saliva dapat dinilai dengan mengukur unstimulated salivary
flow selama 5-10 menit. Keluhan xerostomia merupakan eksokrinopati pada kelenjer
ludah yang menimbulkan keluhan mulut kering karena menurunnya produksi kelenjer
saliva. Akibat mulut kering ini sering pasien mengeluh kesulitan menelan makanan
dan berbicara lama. Selain itu kepekaan lidah berkurang dalam merasakan makanan,
gigi banyak yang mengalami karies. Pada pemeriksaan fisik didapatkan mukosa mulut
yang kering dan sedikit kemerahan, atropi papila filiformis pada pangkal lidah, serta
pembesaran kelenjar.10,11
kelenjer parotis atau submandibula yang tidak nyeri. Pembesaran kelenjer ini bisa
ORGAN LAIN
Kekeringan bisa terjadi pada saluran nafas serta orofaring yang sering
menimbulkan suara parau, bronkitis berulang, serta pneumonitis. Gejala lain yang
juga bisa terjadi pada vagina, suatu penelitian pada 169 pasien Sindrom Sjogren, 26 %
MANIFESTASI EKTRAGLANDULAR
Hashimoto (10%-24%), renal tubular asidosis (5%-33%), sirosis bilier primer dan
hepatitis autoimun (2%-4%), penyakit paru (7%-35%) seperti batuk kronik, fibrosis
paru, alveolitis dan vaskulitis (9%-32%). Resiko terjadinya limfoma meningkat pada
pasien SS.12
MANIFESTASI KULIT
Manifestasi kulit merupakan gejala ektraglandular yang paling sering
dijumpai, dengan gambaran klinik yang luas. Kulit kering dan gambaran vaskulitis
merupakan keluhan yang sering dijumpai. Manifestasi vaskulitis pada kulit bisa
mengenai pembuluh darah sedang maupun kecil. Vaskulitis pembuluh darah sedang
biasanya terkait dengan krioglobulin dan vaskulitis pada pembuluh darah kecil berupa
MANIFESTASI PARU
Manifestasi paru yang paling menonjol yaitu gambaran penyakit bronkial dan
bronkiolar dan saluran nafas kecil. Penyakit paru Intertisial lebih sering dijumpai pada
Sindrom Sjogren Primer dengan gambaran patologi infiltrasi limfosit pada intersisial
atau fibrosis yang berat. Adanya pembesaran kelenjer limfe yang parahiler yang
Sjogren Primer dan Sekunder memberikan gambaran yang berbeda. Pada Sindrom
mendasari.13
maupun kecil dengan manifestasi klinik berbentuk purpura, urtikaria yang berulang,
ulkus kulit dan mononeuritis multipel. Vaskulitis pada organ internal jarang
setelah sindrom sicca terjadi sudah bertahun-tahun, tanpa disertai teleektasis dan
ulserasi. 11,12
berupa kelainan tubulus dengan gejala subklinis. Gambaran kliniknya dapat berupa
komplikasi batu kalsium dan gangguan fungsi ginjal. Gejala hipokalemia seringkali
dijumpai diklinik dengan manifestasi kelemahan otot. Pada biopsi ginjal didapatkan
MANIFESTASI NEUROMUSKULAR
manifestasi klinik neuropati perifer. Kranial neuropati juga dapat dijumpai pada
yang sering. Kelainan muskular hanya berupa mialgia dengan enzim otot dalam batas
normal. 11
kerongkongan, mulut dan esofagus, disamping itu faktor dismotilitas esofagus akan
menambah kesulitan proses menelan. Mual dan nyeri perut daerah epigastrik juga
sering dijumpai. Biopsi mukosa lambung menunjukan gastritis kronik atropik yang
secara histopatologi didapatkan infiltrasi limfosit. Gambaran ini persis seperti yang
Lima puluh persen gejala artritis pada Sindrom Sjogren, artritisnya mungkin
muncul lebih awal sebelum gejala sindrom sicca muncul. Artritis pada Sindrom
Sjogren tidak erosif. Artralgia, kaku sendi, sinovitis, poliartitis kronis gejala lain yang
mungkin dijumpai.13
pengamatan yang panjang. Oleh karena manifestasi yang luas dan tidak spesifik
Tanda mata kering dibuktikan dengan tes schimer atau tes Rose bengal
Tes fungsi kelenjer saliva, abnormal flow rate dengan skintigrafi /sialogram
SS bila memenuhi 4 kriteria, satu diantaranya terbukti pada biopsi kelenjer eksokrin
minor atau positif antibodi. Suatu penelitian melaporkan dari 3000 pasien Sindrom
Sjogren rata-rata waktu mulai timbul keluhan sampai diagnosis adalah 6,5 tahun.
Pada SS sering didapatkan peningkatan imunoglobulin serum poliklonal dan
sejumlah auto antibodi yang sesuai dengan aktivitas kronis sel B. Laju endap darah
meningkat sesuai peningkatan globulin gama. Suatu penelitian multisenter atas 400
1993 mendapatkan Anti Ro 40% dan anti La 26%, ANA 74%, RF 38% pasien SS.
Kelainan hematologi yang bisa didapatkan pada SS adalah anemia 20%, leukopenia
kasus. Penelitian di London mengevaluasi 34 pasien keluhan mata dan mulut kering
tapi tidak termasuk SS yang dikenal dengan Dry Eyes and Mouth Syndrome (DEMS);
pada pemeriksaan anti Ro dan anti La semuanya negatif walaupun ANA positif
(19%).11,12
1. Tes Schirmer
Berfungsi memeriksa fungsi kelenjar lakrimal. Terdapat 2 jenis tes yaitu Schirmer I
dan II, Schirmer I adalah pemeriksaan yang masuk dalam kriteria diagnosis SS, yaitu
meletakkan kertas kering di kelopak mata bawah selama 5 menit, normalnya adalah
≥15 mm kertas akan basah, jika <5 mm maka hal ini mengkonfi rmasi diagnosa mata
kering.7
2. Rose Bengal
kornea dan konjungtiva yang tidak fungsional. Penilaiannya: 0-4, bila 3-4 berarti
konjungtiva bulbar bagian nasal, kornea, konjungtiva bulbar bagian temporal, yang
diberi nilai 0-3 (0: tidak ada pewarnaan; 3: pewarnaan jelas). Skor ≥4 sudah bernilai
positif. Skor ini merupakan metode paling spesifik untuk mengevaluasi keluhan mata
3. Sialometri
submandibula, sublingual, atau total) tanpa adanya rangsangan. Pada SS aliran saliva
kontrol; pengukuran pada kelenjar parotis tidak spesifik karena akan menunjukkan
duktusnya. Pemeriksaan ini menggunakan kontras larut air yang dimasukkan dengan
5. Scintigrafi
6. Histopatologi
infi ltrasi limfosit dominan. Biopsi saliva minor merupakan standar baku diagnosis
SS.13
DIAGNOSIS BANDING
2.9. PENATALAKSANAAN SJORGEN SYNDROME
MATA
menghindari kondisi lingkungan yang memperberat mata kering (kering, berasap, ber-
AC), dan aktivitas yang menyebabkan ketidakstabilan lapisan air mata (terlalu lama
ruangan sedikit lembap dapat menguntungkan. Pasien juga harus menghindari obat
trisiklik, dan antihistamin, atau dalam dosis minimal Penggunaan air mata
ringan sampai sedang. Ada 2 jenis sediaan yaitu emulsi dan cairan hipotonik. Emulsi
mengandung komponen cairan dan lipid untuk mata kering derajat evaporasi tinggi.
Sedangkan cairan hipotonik digunakan hanya untuk menambah jumlah lakrima dan
mengurangi osmolaritas lapisan air mata. Saat ini sudah terdapat tetes mata serum
autolog terbuat dari bahan non-alergenik bersifat sama seperti air mata normal untuk
pasien dengan intoleransi air mata artifi sial, mendukung reepitelisasi karena
Terapi sistemik untuk kasus mata kering adalah agonis muskarinik (M) yang
menstimulasi sel kelenjar lakrimalis yaitu dengan Pilokarpin 5 mg 4 kali sehari atau
aqueus humor dan mucus pada reseptor M1 dan M3, cevimeline juga memiliki efek
respon imun pada mata dengan mengurangi disposisi limfosit; pemberian oral tidak
MULUT
Pengobatan xerostomia sangat sulit sampai saat ini belum ada obat yang dapat untuk
mulut, merangsang kelenjer liur, memberi sintetik air liur. Pada kasus ringan
mulut pada kasus yang masih ada produksi saliva dapat digunakan anti jamur sistemik
seperti flukonazol, sedang pada kasus yang tidak ada produksi saliva digunakan anti
jamur topikal.14,15
SISTEMIK
lelah, artralgia, myalgia, dan demam adalah gejala non-eksokrin yang sering ditemui.
Analgesik dan Non Steroid Anti Infl ammatory Drugs (NSAID) menjadi lini pertama
memperbaiki produksi saliva setelah satu bulan pemberian, mulai titrasi dosis rendah
konstitusional. Obat ini mengganggu produksi sitokin proinfl amasi seperti IL-1a dan
IL-6; tidak hanya menghasilkan perbaikan klinis namun juga perbaikan serologis IgG,
laju endap darah, ANA, RF, IL-6. Hidroksiklorokuin meningkatkan produksi kelenjar
saliva setelah terapi selama 6 bulan. Metotrexate digunakan untuk artritis yang
efikasi klinis dan laboratorium.50 Lefl onomide masih diteliti lebih lanjut. 16
Obat ini mengganggu produksi sitokin proinfl amasi seperti IL-1a dan IL-6; tidak
hanya menghasilkan perbaikan klinis namun juga perbaikan serologis IgG, laju endap
setelah terapi selama 6 bulan. Metotrexate digunakan untuk artritis yang mengenai
beberapa sendi. Azathioprine dosis rendah per-oral tidak menghasilkan efikasi klinis
Agen Biologis
Penelitian pada 16 pasien SS primer yang diterapi Infl iximab 3 mg/kg pada
primer selama 12 minggu dapat mengurangi keluhan mata dan mulut kering.16
KESIMPULAN
produksi kelenjer saliva dan lakrimalis yang selanjutnya mengakibatkan gejala dan
tidak terlalu sulit, tetapi perlu ketelitian dan perhatian terhadap kemungkinan SS pada
pasien dengan gejala akibat disfungsi kelenjar lakrimalis dan saliva seperti mulut
kering, mata kering dan rasa seperti ada benda asing (seperti ada pasir ), serta
memperhatikan adanya gejala tersebut pada pasien yang beresiko SS seperti pada
kelenjer lakrimalis dimata dan disfungsi kelenjer saliva di mulut, tatalaksana sekuele
DAFTAR PUSTAKA
2. Yuliasih. Sindroma Sjogren. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II edisi IV.
arthritis and other rheumatic conditions in the United States. Part I. Arthritis
7. Xiang YJ, Dai SM. Prevalence of rheumatic diseases and disability in China.
Rheumatol. Int.2019;29,481–90.
10. Papasteriades CA, Skopouli FN, Drosos AA, Andonopoulos AP, Moutsopoulos
12. Brun JG. Madland TM. Gjesdal CB. Sjogren syndrome in an-out-patient clinic;
Lymphocytic infi ltration and enlargement of the lacrimal glands: a new subtype
15. Rosas J, Casals MR dan Ena J, 2002.Usefulness of basal and Pilocarpin stimulated