Upaya Meningkatkan
Manajemen Risiko Perbankan
PENGANTAR
PENGANTAR ......................................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................... iii
PERMODALAN BANK .......................................................... 1
• Definisi Permodalan ..................................................... 1
• Rasio Kecukupan Modal (Capital Adequacy Ratio) ....... 2
PERMODALAN BANK
Definisi Permodalan
Definisi umum mengenai permodalan diperkenalkan pertama kali
dalam dokumen Accord 88 (Juli 1988). Definisi yang sama tetap
digunakan baik dalam Amendment to Incorporate Market Risk (1996)
maupun dokumen Basel II (Juni 2004). Definisi tersebut menyatakan
bahwa komponen modal terdiri dari 3 tingkatan (tier) yaitu Tier 1, Tier 2
dan Tier 3 (khusus untuk risiko pasar). Sebuah instrumen permodalan
dapat dikelompokkan ke dalam salah satu tier jika memenuhi kriteria
tertentu. Penetapan kriteria tersebut bertujuan untuk menjamin
konsistensi perhitungan modal yang akan mendorong penyelarasan
antar bank-bank yang aktif secara internasional.
2
STRUKTUR BASEL II
Risiko Kredit
Terdapat 2 alternatif pendekatan dalam perhitungan risiko kredit
yaitu:
Insentif
Ketentuan permodalan dalam Basel II
memberikan insentif bagi penerapan praktek
manajemen risiko yang sehat yang menjadi
prasyarat utama penggunaan pendekatan
yang lebih maju (misalnya IRB approach).
Dengan menggunakan pendekatan yang
lebih maju maka bank akan lebih akurat
dalam mengalokasikan modalnya.
Sekuritisasi Aset
Sekuritisasi adalah teknik yang digunakan untuk memindahkan
risiko kredit dari sekelompok aset sekaligus mendapatkan likuiditas
secara bersamaan. Secara tradisional, praktek sekuritisasi dilakukan
dengan memasukkan aset-aset dengan kategori tertentu kedalam satu
kelompok yang selanjutnya dijual dengan menerbitkan sekuritas yang
dijamin dengan kelompok aset tersebut. Dalam Basel II, bank harus
menggunakan kerangka sekuritisasi dalam menetapkan perhitungan
kebutuhan modal terhadap eksposur yang berasal dari sekutitisasi
tradisional dan sintetis atau struktur lain yang memuat fitur-fitur tersebut.
Bank dapat berperan sebagai kreditur asal atau investor dari aset yang
disekuritisasi dan peran bank dalam dua kategori sekuritisasi tersebut
sangat bervariasi.
Oleh karena sekuritisasi dapat dilakukan dalam berbagai cara,
penetapan modal dalam eksposur sekuritisasi harus ditetapkan
berdasarkan muatan ekonomis dibandingkan bentuk legalnya
(economics substance over the form). Hal yang sama juga harus
dilakukan pengawas yaitu lebih menitikberatkan pada muatan ekonomis
dalam menetapkan apakah hal tersebut termasuk dalam kerangka
sekuritisasi dalam perhitungan kebutuhan modal bank. Pada intinya,
Basel II menekankan bahwa bank harus mengalokasikan modal
terhadap berbagai bentuk sekuritisasi.
Risiko Pasar
Sejak 1 Januari 1998, perbankan
dinegara-negara G 10
dipersyaratkan untuk menyediakan
modal untuk mengantisipasi risiko
pasar sebagaimana diatur dalam
amandemen risiko pasar (1996).
Persyaratan permodalan bank untuk
risiko pasar ditetapkan dengan
menggunakan dua metode yaitu:
1 5
Risiko Operasional
Basel Committee menetapkan definisi risiko operasional sebagai
“risiko yang baik langsung maupun tidak langsung berasal dari
ketidakmampuan atau kegagalan proses internal, orang-orang dan
sistem maupun yang berasal dari kejadian-kejadian eksternal”. Terdapat
tiga pendekatan dalam menetapkan beban modal untuk risiko
operasional yaitu:
1 6
Ilustrasi:
Jika suatu bank memiliki jumlah ATMR sebesar USD10 miliar, beban
modal untuk risiko pasar sebesar USD300 juta dan beban modal
untuk risiko operasional sebesar USD100 juta, maka kebutuhan
modal minimum untuk bank tersebut adalah:
= (USD 10 miliar + 12,5 x (USD300 juta + USD100 juta) x 8%
= USD1,2 miliar
Standard) yang digunakan saat ini yang nantinya akan diterapkan untuk
seluruh sistem perbankan Amerika.
Sementara itu, konsentrasi dan fokus yang berbeda diterapkan
oleh otoritas pengawas dan industri perbankan di kawasan Timur
Tengah. Oleh karena mayoritas lembaga keuangan dan perbankan di
kawasan tersebut melakukan kegiatan bisnis baik secara konvensional
maupun perbankan berbasis Islam maka penerapan Basel II tidak hanya
menyangkut pemenuhan prinsip-prinsip utama dari kerangka Basel II
tetapi juga terkait dengan pemenuhan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah
yang sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Untuk kawasan Asia Pasifik, strategi penerapan Basel II bervariasi
sesuai dengan kondisi dan perkembangan sistem perbankan di masing-
masing negara. Berbeda dengan Eropa dan Amerika, kebanyakan
otoritas pengawas memilih untuk tidak terlalu progresif dalam penerapan
kerangka permodalan yang baru. Pemilihan pendekatan standar
(standardised Approach) sebagai pendekatan awal (default approach)
menjadi kebijakan umum di kawasan tersebut meskipun sebagian
diantaranya memberikan peluang kepada bank dan lembaga keuangan
untuk menerapkan pendekatan yang lebih maju (seperti Australia, Hong
Kong dan Singapura). Khusus untuk Asia Tenggara, kebijakan
penerapan Basel II umumnya diawali dengan penggunaan pendekatan
yang paling sederhana. Perbedaan kebijakan terletak pada tahapan
selanjutnya ketika bank akan melakukan migrasi dengan menggunakan
pendekatan yang lebih maju.
Gambaran beberapa kebijakan penerapan Basel II yang ditempuh
oleh otoritas pengawas di beberapa negara dapat dikemukakan sebagai
berikut: