Anda di halaman 1dari 52

SEKILAS BASEL II

Upaya Meningkatkan
Manajemen Risiko Perbankan
PENGANTAR

Tujuan dari penulisan buku ini adalah untuk memudahkan


pembaca memahami pentingnya permodalan bagi suatu bank tidak
hanya secara individu tetapi dalam kerangka menjaga kestabilan
sistem keuangan. Karena perannya yang penting itu maka
pengaturan mengenai permodalan mengacu kepada suatu standar
internasional yang dikeluarkan oleh Basel Committe on Banking
Supervision. Standar yang dikenal dengan Basel I pertama kali
ditetapkan pada tahun 1988 yang dalam perjalanan waktu banyak
mengalami penyesuaian sebagai konsekuensi berkembang pesatnya
instrumen di pasar keuangan. Sampai dengan akhirnya, disepakati
untuk menetapkan suatu standar perhitungan permodalan bank yang
lebih sensitif yang dikenal dengan Basel II.

Melalui buku yang ditulis dengan bahasa yang sederhana ini,


diharapkan pembaca dapat mengetahui proses perubahan standar
perhitungan modal dan latar belakang dikeluarkannya Basel II dalam
konteks perhitungan kecukupan permodalan bank dikaitkan dengan
profil risiko suatu bank.

Buku ini tidak mengupas secara teknis setiap aspek dalam


Basel II secara mendalam tetapi lebih sekedar menyajikan suatu
benang merah Basel II yaitu upaya peningkatan manajemen risiko
bank sehingga dapat menjamin kestabilan sistem keuangan yang
pada akhirnya akan mendukung pertumbuhan perekonomian.

Jakarta, September 2006


DAFTAR ISI

PENGANTAR ......................................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................... iii
PERMODALAN BANK .......................................................... 1
• Definisi Permodalan ..................................................... 1
• Rasio Kecukupan Modal (Capital Adequacy Ratio) ....... 2

PENINGKATAN STANDAR PERHITUNGAN


KECUKUPAN MODAL:
EVOLUSI BASEL CAPITAL ACCORD ................................... 5

STRUKTUR BASEL II ............................................................ 9


• Pilar 1 : Minimum Capital Requirements ....................... 9
Risiko Kredit ..................................................... 10
Insentif ............................................................. 13
Mitigasi Risiko Kredit ........................................ 13
Sekuritisasi Aset ............................................... 14
Risiko Pasar ..................................................... 14
Risiko Operasional ........................................... 15
Perhitungan Kebutuhan Modal ......................... 16
• Pilar 2 dan Pilar 3: Pengawasan dan Pengungkapan .... 17
• Pilar 2 : Supervisory Review Process ........................... 17
• Pilar 3 : Market Discipline ............................................. 18

MANFAAT IMPLEMENTASI BASEL II .................................... 21


DAMPAK IMPLEMENTASI BASEL II
TERHADAP SISTEM PERBANKAN ...................................... 25
ROADMAP IMPLEMENTASI BASEL II
DI PERBANKAN INDONESIA ............................................... 29
IMPLEMENTASI BASEL II DI NEGARA LAIN ........................ 33
FREQUENTLY ASKED QUESTION ....................................... 41
PENJELASAN BEBERAPA TERMINOLOGI .......................... 47
1

PERMODALAN BANK

Permodalan bagi bank - sebagaimana perusahaan pada


umumnya – selain berfungsi sebagai sumber utama pembiayaan
terhadap kegiatan operasionalnya juga berperan sebagai penyangga
terhadap kemungkinan terjadinya kerugian.–Selain itu, modal juga
berfungsi untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
kemampuan bank dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga
intermediasi.
Untuk memastikan bahwa industri perbankan memiliki
permodalan yang cukup untuk mendukung kegiatan usahanya, otoritas
pengawas bertanggungjawab untuk menetapkan jumlah minimum
permodalan yang harus dimiliki bank dengan mengeluarkan ketentuan
mengenai permodalan minimum (regulatory capital) sebagai acuan bagi
industri perbankan setempat. Pemenuhan regulatory capital tersebut
menjadi salah satu komponen penilaian dalam pengawasan bank yang
tercermin dari pemenuhan rasio kecukupan modal.

Definisi Permodalan
Definisi umum mengenai permodalan diperkenalkan pertama kali
dalam dokumen Accord 88 (Juli 1988). Definisi yang sama tetap
digunakan baik dalam Amendment to Incorporate Market Risk (1996)
maupun dokumen Basel II (Juni 2004). Definisi tersebut menyatakan
bahwa komponen modal terdiri dari 3 tingkatan (tier) yaitu Tier 1, Tier 2
dan Tier 3 (khusus untuk risiko pasar). Sebuah instrumen permodalan
dapat dikelompokkan ke dalam salah satu tier jika memenuhi kriteria
tertentu. Penetapan kriteria tersebut bertujuan untuk menjamin
konsistensi perhitungan modal yang akan mendorong penyelarasan
antar bank-bank yang aktif secara internasional.
2

Penetapan proporsi dan peranan masing-masing kelompok modal


secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut:
• Modal Tier 1 (modal inti)
Modal dalam kelompok ini terdiri dari istrumen yang memiliki
kapasitas terbesar untuk menyerap kerugian yang terjadi setiap
saat.
• Modal
Tier 2 (modal pelengkap)
Kelompok ini terdiri dari campuran instrumen ekuitas secara umum
dan modal hybrid/instrumen hutang. Total Tier 2 dibatasi hingga
100% dari Tier 1 dan terbagi menjadi dua kategori yaitu Tier 2 Utama
(Upper Tier 2) yang dibatasi maksimal 100% dari modal Tier 1 dan
Tier 2 Pendukung (Lower Tier 2) yang dibatasi maksimal 50% dari
modal Tier 1.
• Modal Tier 3 (modal pelengkap tambahan) ditambahkan pada tahun
1996 dan hanya digunakan untuk memenuhi persyaratan modal
pada risiko pasar.

Rasio Kecukupan Modal (Capital Adequacy Ratio)


Rasio ini bertujuan untuk memastikan bahwa bank dapat
menyerap kerugian yang timbul dari aktivitas yang dilakukannya.
Berdasarkan Accord 88, rasio permodalan minimum untuk industri
perbankan ditetapkan sebesar 8%. Dalam prakteknya, sejak
pertengahan 1990, beberapa lembaga keuangan internasional telah
mengembangkan berbagai metode pengukuran kebutuhan modal bank
dengan menggunakan model-model statistik yang mengaitkan besarnya
kebutuhan modal dengan praktek manajemen risiko yang diterapkan
bank (economic capital). Bank akan menghitung modal yang
dibutuhkannya untuk menutupi kerugian yang mungkin timbul dengan
menggunakan rasio probabilitas tertentu.
Faktor utama yang mendorong pengembangan metode tersebut
adalah kenyataan bahwa modal merupakan sumber daya yang sangat
3

mahal sehingga bank harus mengelolanya se-efisien dan se-efektif


mungkin. Sementara itu, tujuan dari pengawasan bank adalah untuk
memastikan bahwa bank beroperasi dengan aman dan sehat. Untuk
itu, bank harus menjaga modal dan cadangan yang cukup untuk
mendukung risiko yang timbul dari bisnisnya. Dalam kaitan ini, pengawas
harus memastikan bahwa persyaratan modal minimum yang dijadikan
acuan adalah aman dan tepat untuk semua bank.
Untuk perhitungan kebutuhan modal minimum digunakan 2
komponen utama yaitu bobot risiko dan rasio permodalan minimum.
Bobot risiko adalah persentase yang digunakan untuk mengubah jumlah
nominal dari ekposur kredit menjadi nilai tertentu yang mencerminkan
risiko ekposur tersebut. Jumlah modal yang harus dicadangkan untuk
menutup kerugiaan potensial yang berhubungan dengan eksposur
tersebut diperoleh dengan mengalikan jumlah ekposur yang berisiko
dengan bobot untuk kategori aset tersebut. Total regulatory capital dibagi
dengan jumlah bobot risiko aset harus lebih besar atau sama dengan
8% sementara Modal Tier 1 dibagi dengan jumlah bobot risiko aset
paling tidak harus sama dengan 4%.
Perhitungan kebutuhan permodalan minimum dapat
digambarkan sebagai berikut:
4
5

PENINGKATAN STANDAR PERHITUNGAN


KECUKUPAN MODAL:
EVOLUSI BASEL CAPITAL ACCORD

Bank merupakan lembaga yang berperan menjalankan fungsi


intermediasi atas arus dana dalam suatu perekonomian. Jika sebuah
bank mengalami permasalahan, dampak yang ditimbulkan akan
menjalar dengan cepat sehingga akan mempengaruhi keputusan
nasabah, investor ataupun pihak-pihak lainnya untuk melakukan
kegiatan bisnis dengan menggunakan jasa bank. Pada akhirnya,
permasalahan yang pada awalnya hanya dialami oleh suatu bank –
jika tidak ditangani secara tepat - akan menciptakan dampak ikutan
(contagion effect) baik secara domestik maupun internasional.
Melihat pada pentingnya peran bank, maka keberadaan dan
keberlangsungan bisnis perbankan dalam suatu perekonomian menjadi
area yang diatur dan diawasi secara ketat (most regulated) oleh otoritas
suatu negara. Tujuan utamanya adalah untuk mempertahankan
kepercayaan nasabah kepada industri perbankan. Salah satu aspek
yang menjadi fokus utama pengaturan adalah ketentuan mengenai
permodalan bank. Mengapa demikian? Sebagaimana halnya bisnis
secara umum, industri perbankan juga menggunakan modal yang
dimiliki sebagai sumber utama pendanaan terhadap kegiatan bisnisnya
sekaligus berperan sebagai penyangga (buffer) terhadap kerugian yang
mungkin terjadi.
Menyadari pentingnya pengaturan mengenai modal bank, pada
tahun 1988, Bank for International Settlements (BIS) mengeluarkan
dokumen yang berjudul ”International Convergence of Capital
Measurement and Capital Standards” pada bulan Juli 1988. Dokumen
ini kemudian lebih dikenal dengan”Accord 88. Dalam dokumen tersebut
dimuat berbagai rekomendasi antara lain mengenai perlunya bank
(khususnya internationally active banks) untuk memiliki rasio modal
minimum sebesar 8%. Penetapan rasio permodalan sebesar 8% diyakini
6

dapat menurunkan risiko insolvabilitas serta memperkecil perbedaan


yang bersifat kompetitif sehingga tercipta kesetaraan dalam industri
perbankan internasional. Dalam standar tersebut, penghitungan rasio
permodalan dilakukan dengan mengelompokkan aset bank dalam
beberapa kategori risiko dan diberi bobot tertentu yaitu 0%, 20%, 50%,
dan 100%. Bank dipersyaratkan untuk memisahkan eksposurnya
kedalam berbagai kategori yang menggambarkan kesamaan tipe
debitur. Eksposur kepada nasabah dalam tipe yang sama (seperti
eksposur kepada semua nasabah korporasi) akan memiliki persyaratan
modal yang sama tanpa memperhatikan perbedaan kemampuan
pembayaran kredit dan risiko yang dimiliki oleh masing-masing individu
nasabah.
Meskipun disusun sebagai suatu standar yang telah mengadopsi
berbagai praktek yang telah diterapkan di berbagai negara, pada
kenyataannya Accord 88 masih memiliki beberapa kelemahan. Salah
satu diantaranya yaitu kategorisasi risiko yang sangat luas sehingga
tidak mencerminkan gradasi risiko yang sebenarnya. Accord 88 juga
hanya terfokus pada risiko kredit sementara perkembangan dalam
sistem keuangan dan perbankan menunjukkan bahwa selain
menghadapi risiko kredit bank juga terekspos pada risiko-risiko lain
seperti risiko pasar, risiko operasional, risiko likuiditas, dan risiko-risiko
lainnya.
Hampir satu dekade kemudian barulah Basel Committee on
Banking Supervision berinisiatif untuk merevisi Accord 88 dengan
mengeluarkan penyempurnaan melalui Market Risk Amendments pada
tahun 1996 yang bertujuan untuk menyesuaikan pengaturan permodalan
dengan memasukkan unsur risiko pasar yang terkait dengan ekuitas,
surat hutang, suku bunga dan risiko komoditas. Amandemen tersebut
merupakan introduksi awal dari pengenalan internal model dalam
perhitungan permodalan bank.
Seiring dengan perkembangan sistem keuangan yang semakin
dinamis dan kompleks, volume dan jenis-jenis risiko yang dihadapi bank
juga mengalami peningkatan. Bank membutuhkan teknik-teknik baru
7

dalam menghitung kebutuhan modal yang lebih sesuai dengan profil


risiko mereka (risk sensitive capital). Mengantisipasi perkembangan
tersebut, Basel Committe mengeluarkan dokumen “International
Convergence of Capital Measurement and Capital Standards – a
Revised Framework” pada bulan Juni 2004 sebagai kerangka
permodalan baru yang selanjutnya lebih dikenal sebagai Basel II. Rezim
permodalan yang baru ini dibuat berdasarkan struktur dasar”Accord 88
dengan memberikan penekanan pada perhitungan modal yang lebih
sensitif terhadap risiko (risk sensitive capital allocation) serta
memberikan insentif terhadap peningkatan kualitas penerapan
manajemen risiko di bank.

Tujuan utama Basel II adalah untuk meningkatkan keamanan


dan kesehatan sistem keuangan melalui peningkatan kesetaraan dalam
persaingan (level playing field) dengan menciptakan alternatif
pendekatan yang lebih komprehensif dalam perhitungan kecukupan
modal bank sesuai dengan profil risikonya. Meskipun lebih kompleks,
namun prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam Basel II dapat
diadopsi oleh berbagai jenis bank dengan tingkat kerumitan dan
kompleksitas bisnis yang berbeda-beda.
8

Basel II merupakan kerangka permodalan yang diterapkan


melalui kombinasi optimal dari 3 aktivitas utama yaitu pelaksanaan
pengawasan yang efektif, disiplin pasar yang konsisten serta operasional
bank berdasarkan prinsip kehati-hatian. Penerapan Basel II difokuskan
pada kesesuaian antara kecukupan modal bank dikaitkan dengan
elemen-elemen risiko yang dihadapi dengan memberikan insentif bagi
peningkatan kemampuan manajemen risiko. Hal ini diwakili oleh ketiga
pilar yaitu minimum capital requirements, supervisory review process
dan market discipline.
Kerangka Basel II disusun berdasarkan forward-looking approach
yang memungkinkan dilakukannya penyempurnaan dan penyesuaian
dari waktu ke waktu sehingga memungkinkan rezim permodalan ini
mengikuti perubahan yang terjadi di pasar maupun perkembangan-
perkembangan dalam manajemen risiko. Secara resmi, Basel II akan
diimplementasikan secara keseluruhan pada tahun 2007 untuk negara-
negara G-10. Adapun penerapan Basel II di negara-negara non G-10
diserahkan kepada kebijakan otoritas setempat dengan
mempertimbangkan prioritas, kesiapan dan infrastruktur yang tersedia.
9

STRUKTUR BASEL II

Kerangka permodalan Basel II merupakan standar permodalan


yang lebih fleksibel dengan memperkenalkan sejumlah alternatif
pendekatan dalam perhitungan kebutuhan permodalan bank dan
memberikan insentif bagi penerapan manajemen risiko yang lebih baik.
Standar yang baru ini mencoba mendekatkan 2 kepentingan yaitu
ketentuan permodalan yang ditetapkan oleh otoritas pengawas
(regulatory capital) dengan perhitungan permodalan secara ekonomi
(economic capital). Struktur Basel II disusun dalam tiga pilar yaitu:
• Pilar 1 (Minimum Capital Requirements) yaitu persyaratan modal
minimum yang harus dipenuhi oleh bank dengan memperhitungkan
risiko kredit, risiko pasar dan risiko operasional;
• Pilar 2 (Supervisory Review Process) yaitu proses pengawasan
yang dilakukan oleh pengawas untuk memastikan bahwa tingkat
permodalan bank tetap berada pada tingkatan yang aman dan
proses perhitungan yang digunakan cukup memadai untuk
menggambarkan profil risiko bank secara utuh; dan
• Pilar 3 (Market Discipline) yaitu terkait dengan disiplin pasar melalui
aspek transparansi dan pengungkapan kepada publik (disclosure)
sehingga memungkinkan para pelaku pasar untuk melakukan
penilaian secara independen terhadap profil risiko dan kecukupan
modal bank.

Pilar 1: Minimum Capital Requirements


Pilar 1 menetapkan persyaratan modal minimum yang dikaitkan
dengan risiko kredit, risiko pasar dan risiko operasional. Adapun cakupan
dan definisi modal masih menggunakan definisi sebagaimana digunakan
dalam Accord 88 yaitu modal Tier 1, Tier 2 dan Market Risk Amandments
(1996) untuk Tier 3.
1 0

Risiko Kredit
Terdapat 2 alternatif pendekatan dalam perhitungan risiko kredit
yaitu:

• Standardised Approach (SA)


Dalam pendekatan ini, bank menggunakan metode perhitungan
sebagaimana digunakan dalam Accord 88. Perbedaannya terletak
pada kategorisasi aset dan besarnya bobot risiko yang didasarkan
pada peringkat yang diberikan oleh lembaga pemeringkat eksternal.
Berdasarkan pendekatan ini, bank mengalokasikan bobot risiko
tertentu untuk setiap kategori aset dan pos-pos off-balance sheet
sehingga menghasilkan jumlah keseluruhan aset tertimbang
menurut risiko sebagai berikut:

ATMR = Jumlah eksposur x bobot risiko

Kategori aset didasarkan pada kategori umum debitur seperti


pemerintah, institusi publik, bank dan multilateral development
banks, perusahaan komersial, perusahaan sekuritas, retail,
perumahan, dan lain-lain. Penetapan bobot risiko untuk beberapa
kategori aset (misalnya pemerintah, bank, perusahaan komersial
dan perusahaan sekuritas) didasarkan pada peringkat yang
diberikan oleh lembaga pemeringkat eksternal. Sementara untuk
beberapa kategori aset lainnya, bobot risiko ditetapkan secara
khusus diantaranya yaitu:
- Eksposur untuk rumah tinggal yang memenuhi kriteria kehati-
hatian yang ketat ditetapkan sebesar 35%;
- Eksposur retail yaitu pinjaman kepada usaha kecil dan
menengah yang memenuhi kriteria tertentu sehingga dapat
diperlakukan sebagai retail ditetapkan sebesar 75%;
- Eksposur properti komersial dengan pengecualian terbatas
untuk kondisi tertentu ditetapkan sebesar 100%;
1 1

- Eksposur yang berisiko tinggi seperti pinjaman yang telah jatuh


tempo ditetapkan sebesar 150%; dan
- Bagian-bagian sekuritisasi yang berperingkat BB+ and BB-
ditetapkan sebesar 350%.

• Internal Rating-Based Approach (IRB)


Dalam pendekatan ini bank diperkenankan menggunakan model
internal mereka dalam menghitung kebutuhan modal. Pendekatan
ini diyakini memiliki akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
standardised approach dan menghasilkan perhitungan permodalan
yang lebih sesuai dengan profil risiko bank. Asumsi utama dalam
pendekatan ini adalah bank pada dasarnya lebih mengetahui
karakter dan kondisi debitur mereka dibandingkan lembaga
pemeringkat. Melalui pendekatan ini, bank dimungkinkan untuk
menerapkan diferensiasi yang lebih tepat untuk masing-masing
kategori aset mereka.

Beberapa komponen yang menjadi parameter utama dalam


pendekatan IRB adalah:
- Probability of Default (PD) yaitu kecenderungan terjadinya
default untuk setiap kategori aset. Bank harus menyediakan
komponen PD untuk masing-masing kelompok debitur
berdasarkan perhitungan internal mereka.
- Loss Given Default (LGD) adalah persentase kerugian yang
diperkirakan akan terjadi jika suatu debitur default.
- Exposure at Default (EAD) adalah perkiraan nilai eksposur pada
saat terjadi default.
- Maturity (M) adalah jangka waktu efektif (dalam tahun) dari
eksposur bank.
1 2

Terdapat dua pendekatan dalam IRB yaitu:


- Foundation IRB – bank menghitung–probability of default yang
terkait dengan masing-masing debitur dan pengawas
menyediakan input lainnya seperti loss given default dan
exposure at default.
- Advanced IRB – selain menggunakan probability of default,
bank menambahkan input lainnya seperti exposure at default,
loss given default dan jangka waktu. Persyaratan untuk
penggunaan pendekatan ini lebih ketat dibandingkan dengan
foundation IRB.
Untuk pendekatan IRB, portofolio yang dimiliki bank dibagi dalam
beberapa kategori aset yaitu:
- Eksposur Perusahaan yang terdiri dari kewajiban hutang dari
perusahaan, kerjasama ataupun kepemilikan. Kelompok ini
dibagi menjadi lima sub-aset yaitu pembiayaan proyek,
pembiayaan objek, pembiayaan komoditas, real estate yang
menghasilkan pendapatan dan real estate komersial yang
memiliki volatilitas tinggi.
- Eksposur Bank yang terdiri dari eksposur kepada bank dan
perusahaan sekuritas.
- Eksposur Pemerintah yaitu ekpsosur kepada pemerintah, bank
sentral, public sector entities dan MDBs.
- Eksposur Retail yaitu eksposur untuk pinjaman ritel, termasuk
pinjaman kepada perorangan, usaha kecil, kartu kredit, kredit
modal kerja, rumah tinggal dan kredit angsuran. Terdapat 2 sub-
kelompok dalam kategori ini yaitu eksposur yang dijamin dengan
rumah tinggal dan ritel dengan kualifikasi tertentu termasuk
kredit ritel lainnya.
- Eksposur Ekuitas yaitu kepemilikan dalam perusahaan,
kerjasama dan perusahaan bisnis lainnya.
1 3

Insentif
Ketentuan permodalan dalam Basel II
memberikan insentif bagi penerapan praktek
manajemen risiko yang sehat yang menjadi
prasyarat utama penggunaan pendekatan
yang lebih maju (misalnya IRB approach).
Dengan menggunakan pendekatan yang
lebih maju maka bank akan lebih akurat
dalam mengalokasikan modalnya.

Mitigasi Risiko Kredit


Basel II memberikan pengakuan yang lebih luas terhadap teknik-
teknik mitigasi risiko kredit dibandingkan Accord 88 yang memungkinkan
bank untuk mengakui agunan-agunan dalam bentuk kas, surat hutang
tertentu (khususnya yang diterbitkan oleh pemerintah, public sector
entities, bank, perusahaan dan perusahaan sekuritas), sekuritas ekuitas
tertentu yang dapat diperdagangkan, reksadana dan emas. Penggunaan
teknik-teknik mitigasi risiko kredit dilakukan dengan menggunakan 2
pendekatan, yaitu:
- Simple approach yang memungkinkan tagihan yang dijamin
menerima bobot risiko yang dikenakan kepada instrumen agunan
dengan batasan terendah sebesar 20%; dan
- Comprehensive approach yang terfokus pada nilai tunai dari
agunan. Pendekatan ini menggunakan haircut untuk
memperhitungkan volatilitas nilai agunan. Haircut dapat berupa
haircut standar yang telah ditetapkan oleh Basel Committee atau
menggunakan estimasi volatilitas agunan yang disusun oleh bank.
Penggunaan simple approach tidak berlaku bagi bank-bank yang
menggunakan pendekatan IRB. Sementara itu, komponen LGD akan
disesuaikan untuk menggambarkan manfaat penggunaan agunan untuk
mengurangi kerugian.
1 4

Sekuritisasi Aset
Sekuritisasi adalah teknik yang digunakan untuk memindahkan
risiko kredit dari sekelompok aset sekaligus mendapatkan likuiditas
secara bersamaan. Secara tradisional, praktek sekuritisasi dilakukan
dengan memasukkan aset-aset dengan kategori tertentu kedalam satu
kelompok yang selanjutnya dijual dengan menerbitkan sekuritas yang
dijamin dengan kelompok aset tersebut. Dalam Basel II, bank harus
menggunakan kerangka sekuritisasi dalam menetapkan perhitungan
kebutuhan modal terhadap eksposur yang berasal dari sekutitisasi
tradisional dan sintetis atau struktur lain yang memuat fitur-fitur tersebut.
Bank dapat berperan sebagai kreditur asal atau investor dari aset yang
disekuritisasi dan peran bank dalam dua kategori sekuritisasi tersebut
sangat bervariasi.
Oleh karena sekuritisasi dapat dilakukan dalam berbagai cara,
penetapan modal dalam eksposur sekuritisasi harus ditetapkan
berdasarkan muatan ekonomis dibandingkan bentuk legalnya
(economics substance over the form). Hal yang sama juga harus
dilakukan pengawas yaitu lebih menitikberatkan pada muatan ekonomis
dalam menetapkan apakah hal tersebut termasuk dalam kerangka
sekuritisasi dalam perhitungan kebutuhan modal bank. Pada intinya,
Basel II menekankan bahwa bank harus mengalokasikan modal
terhadap berbagai bentuk sekuritisasi.

Risiko Pasar
Sejak 1 Januari 1998, perbankan
dinegara-negara G 10
dipersyaratkan untuk menyediakan
modal untuk mengantisipasi risiko
pasar sebagaimana diatur dalam
amandemen risiko pasar (1996).
Persyaratan permodalan bank untuk
risiko pasar ditetapkan dengan
menggunakan dua metode yaitu:
1 5

• Standardised approach dengan mengadopsi pendekatan “building


block” untuk transaksi yang terkait dengan suku bunga dan
instrumen ekuitas. Pendekatan ini”membedakan perhitungan beban
modal untuk risiko spesifik dari risko pasar secara umum.
• Internal model approach yang memungkinkan bank menggunakan
metode internal yang harus memenuhi kriteria kualitatif dan
kuantitatif yang ditetapkan Basel Committee dan mengacu pada
persetujuan dari otoritas pengawas. Pendekatan ini menetapkan
beban modal yang lebih tinggi terhadap VaR hari sebelumnya atau
rata-rata nilai VaR harian selama 60 hari kerja dikalikan dengan
tiga faktor minimum. Bank harus menghitung nilai VaR berdasarkan
nilai harian dengan one-tailed confidence interval sebesar 99%,
holding periode minimum selama 10 hari, dan periode pengamatan
minimum selama satu tahun. Internal model yang digunakan bank
harus secara akurat mencakup risiko-risiko tertentu yang terkait
dengan option dan instrumen seperti option.

Risiko Operasional
Basel Committee menetapkan definisi risiko operasional sebagai
“risiko yang baik langsung maupun tidak langsung berasal dari
ketidakmampuan atau kegagalan proses internal, orang-orang dan
sistem maupun yang berasal dari kejadian-kejadian eksternal”. Terdapat
tiga pendekatan dalam menetapkan beban modal untuk risiko
operasional yaitu:
1 6

• Basic Indicator Approach yaitu perhitungan beban modal untuk


risiko operasional yang didasarkan pada persentase tertentu (alpha
factor) dari gross income yang digunakan sebagai perkiraan
terhadap eksposur risiko bank. Dalam pendekatan ini, modal yang
harus dialokasikan bank terhadap kerugian yang berasal dari risiko
operasional sama dengan persentase tertentu dari rata-rata gross
income tahunan selama periode tiga tahun sebelumnya.
• Standardised Approach yaitu pendekatan yang mempersyaratkan
bank untuk memisahkan kegiatannya menjadi delapan lini bisnis
standar. Beban modal untuk masing-masing lini bisnis dihitung
dengan mengalikan gross income untuk masing-masing lini bisnis
tersebut dengan suatu konstanta tertentu (beta factor) yang telah
ditetapkan sebelumnya dan berbeda untuk masing-masing lini
bisnis.
• Advanced Measurement Approach yaitu perhitungan kebutuhan
modal untuk risiko operasional dengan menggunakan model yang
dikembangkan secara internal oleh bank. Untuk dapat
menggunakan pendekatan ini maka bank harus memenuhi kriteria
kualitatif dan kuantitatif sebagaimana ditetapkan dalam Basel II dan
harus mendapatkan persetujuan dari pengawas.

Perhitungan Kebutuhan Modal


Berdasarkan pendekatan-pendekatan yang diperkenalkan
dalam Basel II maka ketentuan permodalan minimum bank sebesar
8% mengalami modifikasi menjadi sebagai berikut:
1 7

Ilustrasi:
Jika suatu bank memiliki jumlah ATMR sebesar USD10 miliar, beban
modal untuk risiko pasar sebesar USD300 juta dan beban modal
untuk risiko operasional sebesar USD100 juta, maka kebutuhan
modal minimum untuk bank tersebut adalah:
= (USD 10 miliar + 12,5 x (USD300 juta + USD100 juta) x 8%
= USD1,2 miliar

Pilar 2 dan Pilar 3: Pengawasan dan Pengungkapan


Jika Pilar 1 fokus pada permodalan bank maka Pilar 2 dan Pilar
3 lebih menekankan pada proses pengawasan dan transparansi. Kedua
elemen ini juga merupakan faktor penting dalam implementasi Basel II.
Pilar 2 menekankan pada proses review dalam rangka pengawasan
yang bertujuan untuk memastikan bahwa bank memelihara tingkat
permodalan yang sepadan dengan profil risiko mereka. Sementara Pilar
3 mempersyaratkan bank untuk mengungkapkan informasi yang
mencukupi untuk memfasilitasi pelaku pasar memahami risiko-risiko
yang dihadapi bank yang memungkinkan penerapan disiplin pasar.

Pilar 2: Supervisory Review Process


Proses review dalam rangka pengawasan bertujuan untuk
memastikan bahwa perhitungan kecukupan modal telah dikaitkan
dengan profil risiko yang mereka hadapi. Pengawas menilai dan
mengambil tindakan yang diperlukan untuk merespon perhitungan
modal yang dilakukan bank. Pengawas dapat meminta bank untuk
menyediakan modal melebihi rasio permodalan minimum atau
melakukan langkah-langkah perbaikan seperti memperkuat manajemen
risiko atau hal-hal lainnya jika pengawas beranggapan bahwa proses
perhitungan permodalan yang digunakan bank belum memadai dan
tidak sepadan dengan profil risiko bank.
1 8

Pilar 2 mempersyaratkan bank untuk


selalu melakukan stress test untuk
memperkirakan besarnya kebutuhan
modal pada kondisi krisis. Hasil dari tes
tersebut harus digunakan bank dan
pengawas untuk memastikan bahwa
permodalan bank berada pada tingkatan yang aman. Pilar 2 memiliki
empat prinsip utama yaitu:
• Bank harus memiliki proses untuk menghitung kecukupan modal
secara keseluruhan berdasarkan profil risiko mereka termasuk
strategi untuk memelihara tingkat permodalan;
• Pengawas harus mereview dan mengevaluasi strategi dan
perhitungan kecukupan modal yang dilakukan secara internal oleh
bank, dan kemampuan bank untuk memonitor dan memastikan
kepatuhan terhadap rasio permodalan yang ditetapkan;
• Pengawas dapat meminta lembaga keuangan untuk beroperasi
diatas rasio permodalan yang ditetapkan dan memiliki kemampuan
untuk meminta bank menyediakan modal diatas batas minimum;
dan
• Pengawas dapat melakukan intervensi secara dini untuk mencegah
menurunnya modal bank dibawah batas minimum dan memastikan
bahwa bank melakukan langkah-langkah perbaikan jika tingkat
permodalan tidak dijaga atau kembali keposisi semula.

Pilar 3: Market Discipline


Pilar 3 menetapkan
persyaratan pengungkapan
yang memungkinkan pelaku
pasar untuk menilai
informasi-informasi utama
mengenai cakupan risiko,
modal, eksposur risiko,
1 9

proses pengukuran risiko dan kecukupan modal bank. Dalam beberapa


kasus, pengungkapan merupakan kriteria khusus dalam Pilar 1 untuk
mendapatkan pembobotan risiko yang lebih rendah dan/atau untuk
dapat menerapkan metodologi tertentu. Pilar 3 juga mendiskusikan
peranan dari informasi yang bersifat material, frekuensi pengungkapan
dan isu mengenai informasi rahasia atau yang bersifat khusus.
2 0
2 1

MANFAAT IMPLEMENTASI BASEL II

Sebagai standar yang akan menjadi acuan secara internasional,


penerapan Basel II akan memberikan akses yang lebih besar kepada
industri perbankan lokal untuk dapat beroperasi secara global dan
diterima oleh pasar internasional. Namun demikian, penerapan kerangka
permodalan yang baru ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan
melihat pada struktur, kompleksitas dan prakondisi yang cukup berat
untuk dipenuhi. Salah satu tantangan terbesar dalam penerapan Basel
II adalah penggunaan berbagai alternatif pendekatan dalam mengukur
risiko kredit, risiko pasar dan risiko operasional untuk menghasilkan
perhitungan modal yang lebih akurat dan dapat menggambarkan profil
risiko bank secara utuh.
Secara umum, pendekatan yang ditawarkan dalam Basel II dapat
dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu pendekatan standar yang berlaku
untuk seluruh bank dan penggunaan internal model yang dikembangkan
sesuai dengan karakteristik kegiatan usaha dan profil risiko individual
bank. Masing-masing pendekatan memiliki prasyarat penerapan yang
berbeda. Penggunaan pendekatan yang lebih sederhana memiliki
prasyarat yang lebih mudah untuk dipenuhi namun belum sepenuhnya
mencerminkan alokasi permodalan berdasarkan profil risiko bank.
Sebaliknya, pendekatan yang lebih maju diyakini akan memberikan
insentif berupa alokasi permodalan yang lebih ekonomis namun
prasyarat yang harus dipenuhi lebih kompleks (baik kualitatif maupun
kuantitatif), membutuhkan infrastruktur yang lebih lengkap serta harus
melalui proses penilaian yang teliti dan komprehensif dari pengawas.
Untuk itu, agar manfaat penerapan Basel II dapat diperoleh secara
optimal, bank harus melakukan analisis terlebih dahulu terhadap kondisi,
kemampuan sumberdaya dan infrastruktur yang dimiliki bank sebelum
menetapkan pendekatan yang akan digunakan.
2 2

Disamping perhitungan sebagaimana dikemukakan dalam Pilar


1, kecukupan permodalan bank harus pula memperhitungkan kebutuhan
untuk mengantisipasi kerugian karena risiko-risiko lain seperti risiko
likuiditas, risiko strategis, risiko suku bunga dan risiko-risiko lainnya.
Keseluruhan penilaian terhadap risiko-risiko yang tidak diperhitungkan
dalam Pilar 1 dirangkum dalam Pillar 2 yaitu Supervisory Review
Process. Pelaksanaan proses penilaian kecukupan permodalan pada
bagian ini disebut sebagai Individual Capital Adequacy Assessment
Process (ICAAP). Proses ini dilakukan melalui dialog dan komunikasi
yang intens antara pengawas dan bank.
Disamping itu, untuk dapat melakukan ICAAP, pengawas harus
memenuhi prasyarat kompetensi dan kapasitas yang sesuai dengan
kebutuhan Basel II. Dukungan perangkat ketentuan pengawasan dan
infrastruktur lainnya diperlukan untuk menjamin agar proses penilaian
kecukupan modal bank berdasarkan Pilar 2 dapat dilakukan secara
efektif termasuk kemungkinan dilakukannya tindakan-tindakan
pengawasan tertentu (supervisory actions) seperti meminta bank untuk
menambah modal apabila perhitungan modal bank dianggap belum
memadai.
2 3

Untuk melengkapi proses pengawasan yang dilakukan oleh


otoritas pengawas, peran aktif masyarakat dalam mengawasi bank juga
diperlukan untuk memastikan bahwa bisnis bank dikelola dan dijalankan
secara sehat dan aman. Melalui Pilar 3 yaitu Market Discipline bank
didorong untuk meningkatkan aspek transparansi yang memungkinkan
masyarakat dapat melakukan penilaian terhadap risiko yang dihadapi
serta mengetahui tingkat kecukupan modal bank.
2 4
2 5

DAMPAK IMPLEMENTASI BASEL II


TERHADAP SISTEM PERBANKAN

Apakah penerapan Basel II akan menyebabkan bank mengalami


penurunan CAR sampai dibawah minimum 8%?
Bank Indonesia bersama sejumlah bank saat ini sedang melakukan
studi dampak kuantitatif secara periodik untuk melihat konsekuensi
penerapan Basel II terhadap modal bank. Dampak terhadap
perubahan rasio permodalan harus diantisipasi sejak awal dan
menjadi kewajiban manajemen bank untuk melakukan langkah-
langkah antisipasi termasuk mempersiapkan berbagai sumber yang
tersedia untuk mengembalikan rasio permodalan pada tingkatan
yang dianggap sepadan dengan profil risiko bank. Dari hasil studi
yang dilakukan, penurunan CAR yang cukup besar terjadi pada
bank yang memiliki profil risiko yang cukup besar juga. Di sisi lain,
bank yang portofolio kreditnya didominasi oleh kredit retail dan KPR
hanya mengalami perubahan rasio permodalan yang relatif kecil.
Hal ini antara lain disebabkan ATMR retail dan KPR lebih rendah
dari yang diterapkan saat ini.

Apakah Basel II akan diterapkan untuk seluruh bank umum?


Fokus implementasi Basel II di Indonesia adalah pengembangan
dan peningkatan kualitas manajemen risiko oleh perbankan nasional
sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 5/8/PBI/2003
tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi
Bank Umum. Upaya ini tentunya berlaku umum dan tidak memilah
antara bank besar dan bank kecil mengingat budaya manajemen
risiko seharusnya menjadi patron umum bisnis perbankan.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan sebelumnya, secara umum
perbankan nasional menghendaki agar Basel II dapat diterapkan
2 6

kepada seluruh bank untuk mengurangi dampak negatif terhadap


tingkat persaingan antar bank akibat perbedaan kemampuan dan
kesiapan bank menerapkan dan mengembangkan manajemen
risiko beserta infrastrukturnya.

Apakah implementasi Basel II akan menghambat proses


intermediasi?
Penerapan Basel II tidak dimaksudkan untuk menghambat proses
intermediasi yang telah dilakukan perbankan selama ini. Ataupun,
dalam lingkup makro, mengurangi dominasi perbankan dalam
pembiayaan roda perekonomian. Pendekatan-pendekatan yang
ditawarkan dalam Basel II secara keseluruhan lebih dimaksudkan
sebagai upaya untuk mereposisi dan meredefinisi apa yang telah
dilakukan perbankan dengan fokus pada pengelolaan risiko. Dalam
kaitannya dengan fungsi intermediasi, Basel II bukanlah rezim
permodalan yang mekanistis dimana tidak terdapat ruang untuk
toleransi. Beberapa klausul diskresi nasional (national discretion)
memberikan keleluasaan untuk itu. Jika implementasi Basel II
diperkirakan akan menyebabkan penurunan eksposur untuk sektor
tertentu (misalnya disebabkan penggunaan peringkat dalam
pemberian kredit kepada korporasi), maka pada bagian lain
implementasi Basel II juga mendorong peningkatan eksposur untuk
sektor lainnya seperti kredit untuk sektor retail (misalnya kredit usaha
kecil, perorangan, dan lain-lain) dan perumahan melalui penurunan
bobot risiko kredit untuk masing-masing sektor tersebut. Proses
perpindahan tersebut disadari akan menimbulkan efek kejutan bagi
bank, debitur dan perekonomian pada umumnya. Namun demikian,
hal tersebut diharapkan tidak berlangsung lama dan hanya bersifat
“fine tuning” yang lazim dalam suatu perekonomian.
2 7

Apakah dampak bagi bank yang saat ini sedang berupaya


meningkatkan permodalan dalam kerangka implementasi
Arsitektur Perbankan Indonesia?
Peningkatan permodalan bank dalam kerangka implementasi
Arsitektur Perbankan Indonesia secara tidak langsung merupakan
sarana bagi bank untuk mengimplementasikan Basel II dengan baik.
Dukungan permodalan yang memadai akan memungkinkan bank
untuk mengembangkan sumber daya manusia dan teknologi
informasi yang diperlukan dalam mengimplementasikan Basel II.
Dengan demikian, kewajiban pemenuhan modal inti minimum bank
umum sebesar Rp80 miliar pada akhir tahun 2007 dan Rp100 miliar
pada akhir tahun 2010 selain dapat meningkatkan skala ekonomis
dalam pelaksanaan kegiatan operasional juga memberikan
kesempatan bagi bank untuk meningkatkan kemampuan
manajemen risiko dalam kerangka implementasi Basel II.

Apakah prasyarat agar Basel II dapat diterapkan dengan baik


Beberapa kondisi yang perlu dipenuhi agar penerapan Basel II dapat
berjalan dengan baik antara lain penerapan praktek manajemen
risiko di perbankan (sebagaimana telah diatur dalam PBI No. 5/8/
PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen
Risiko Bagi Bank Umum), penyesuaian standar akuntansi yang
mengacu kepada standar akuntansi internasional (IAS) antara lain
IAS 32 dan IAS 39, penerapan perhitungan permodalan secara
konsolidasi dengan perusahaan tertentu dalam sektor keuangan
kecuali asuransi, dan pengakuan perusahaan pemeringkat agar
dapat melakukan pemeringkatan yang objektif terhadap debitur
bank.
2 8
2 9

ROADMAP IMPLEMENTASI BASEL II


DI PERBANKAN INDONESIA

Dalam dokumen Basel II dinyatakan bahwa masing-masing


otoritas pengawas perlu mempertimbangkan aspek prioritas dan
kepentingan perekonomian mereka sebelum mengadopsi Basel II.
Dalam konteks Indonesia, implementasi Basel II dapat dijadikan
momentum untuk untuk meningkatkan aspek manajemen risiko agar
bank dapat mengelola bisnisnya secara sehat dan aman.
Untuk menerapkan Basel II di Indonesia maka perlu disusun
langkah-langkah persiapan yang terorganisir dan terjadwal dengan baik
sehingga dapat dijadikan acuan dalam menilai progres persiapannya.
Dalam kaitan ini, Bank Indonesia telah menyusun serangkaian kegiatan
dan target waktu dalam rangka persiapan penerapan Basel II dalam
bentuk Roadmap Implementasi Basel II di Perbankan Indonesia.
Penyusunan roadmap tersebut telah mempertimbangkan kondisi
perbankan dewasa ini serta target realistis yang diperkirakan dapat
dicapai.
Secara umum, pendekatan yang akan digunakan adalah
pendekatan yang paling sederhana yaitu Standardised Approach untuk
perhitungan risiko kredit dan Basic Indicator Approach untuk perhitungan
risiko operasional. Apabila pemenuhan seluruh prakondisi dan
persyaratan telah memadai, bank yang telah siap dapat beralih ke
pendekatan yang lebih maju setelah mendapat persetujuan Bank
Indonesia. Seluruh pilar dalam Basel II diharapkan dapat diterapkan
sepenuhnya pada tahun 2010.
3 0

Terkait dengan roadmap tersebut, beberapa langkah persiapan


yang sedang dilakukan oleh Bank Indonesia diantaranya mencakup:
a. Perumusan Ketentuan
Dalam upaya menyusun ketentuan yang terkait dengan penerapan
Basel II, Bank Indonesia telah membentuk Working Group Basel II
yang bertugas untuk melakukan kajian mengenai beberapa aspek
dari penerapan Basel II di Indonesia. Hasil kajian tersebut berupa
rekomendasi pengaturan yang selanjutnya akan diformulasikan
dalam bentuk Consultative Paper (CP) yang akan didistribusikan
kepada stakeholders untuk mendapatkan masukan, pendapat dan
saran-saran. Salah satu area pengaturan yang diperkirakan akan
mengalami perubahan signifikan adalah ketentuan mengenai
permodalan bank. Perubahan ketentuan mengenai permodalan
akan menjadi acuan utama dalam mensinergikan beberapa
ketentuan lainnya. Sementara itu, beberapa ketentuan teknis terkait
akan disusun sebagai subordinasi dari ketentuan permodalan.
3 1

b. Monitoring Kesiapan Perbankan.


Untuk memastikan bahwa industri perbankan telah melakukan
langkah-langkah persiapan menjelang penerapan Basel II maka
kepada setiap bank diminta untuk membentuk tim monitoring yang
akan berperan sebagai konsultan bagi manajemen dalam menyusun
langkah-langkah yang diperlukan terkait dengan kesiapan bank
untuk menerapkan Basel II.
c. Penyempurnaan Laporan Bulanan Bank Umum
Sebagai bagian dari proses adopsi International Accounting
Standards di perbankan Indonesia serta mendukung penyediaan
data yang memadai maka penyempurnaan laporan Bulanan Bank
Umum menjadi salah satu aspek yang akan disempurnakan.
Penyusunan kebutuhan informasi dan data untuk disesuaikan
dengan format LBU akan dilakukan pada akhir Desember 2006 dan
diharapkan pada Triwulan II tahun 2008 dapat diterapkan secara
paralel sebelum diimplementasikan sepenuhnya pada tahun 2009.
d. Program Komunikasi
Disamping langkah-langkah persiapan yang bersifat teknis, untuk
meningkatkan pemahaman terhadap kerangka permodalan yang
baru, Bank Indonesia secara kontinu melakukan kegiatan diseminasi
informasi kepada masyarakat. Melalui kegiatan ini diharapkan
kesalahan pemahaman dan misinterpretasi terhadap Basel II dapat
dikurangi. Selain itu, melalui proses dialog, pemahaman terhadap
tahapan-tahapan implementasi Basel II di Indonesia dapat
didiskusikan secara lebih detail yang diharapkan dapat meredam
kekhawatiran-kekhawatiran yang tidak beralasan seperti anggapan
bahwa bank diwajibkan untuk menerapkan pendekatan yang lebih
maju, investasi yang lebih banyak untuk IT/Database yang mahal
dan lain-lainnya.
e. Peningkatan Kompetensi dan Ketrampilan Pengawas Bank
Pada prinsipnya, Bank Indonesia memberikan keleluasaan bagi
bank untuk dapat menerapkan pendekatan yang lebih maju
3 2

sepanjang memenuhi berbagai prasyarat kualitatif dan kuantitatif


sebagaimana ditetapkan dalam dokumen Basel II. Namun demikian,
Bank Indonesia juga menyadari bahwa proses pemenuhan
persyaratan tersebut membutuhkan waktu yang cukup dan
persiapan yang matang mengingat perbankan nasional masih dalam
tahap konsolidasi setelah mengalami krisis beberapa waktu yang
lalu. Agar proses persiapan yang dilakukan perbankan lebih realistis
dan objektif, maka pada tahap awal implementasi Basel II bank
harus mengikuti tahapan-tahapan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia. Pada saatnya nanti, jika bank yang berniat menerapkan
internal model telah menunjukkan kesiapan dan kemampuan yang
memadai maka bank dimaksud dapat mengajukan permohonan
kepada Bank Indonesia.
Pada tahapan ini, Bank Indonesia akan melakukan proses validasi
terhadap kesiapan bank dimaksud sebelum diizinkan untuk
menggunakan internal model dalam perhitungan kecukupan
modalnya. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Bank Indonesia
sedang melakukan beberapa langkah penyempurnaan misalnya
terhadap metode Risk-Based Supervision dan pedoman dan sistem
pengawasan bank serta meningkatkan kompetensi dan ketrampilan
para pengawas bank.
3 3

IMPLEMENTASI BASEL II DI NEGARA LAIN

Meskipun Basel II telah menjadi standar internasional yang akan


diterapkan oleh banyak negara, namun pilihan strategi dan cara
penerapan yang dilakukan oleh otoritas lokal sangat bervariasi dan
berbeda satu sama lain. Untuk kawasan European Economic Area
(EEA), seluruh bank dan lembaga keuangan yang beroperasi di
kawasan tersebut harus memenuhi ketentuan Basel II atau ketentuan
sebagaimana diatur dalam Capital Requirements Directive (CRD) yang
dikeluarkan oleh Committee of European Banking Supervisor (CEBS).
Strategi ini dimaksudkan untuk memastikan penerapan standar
pengaturan yang fleksibel, proporsional dan konsisten di kawasan Uni
Eropa dan negara-negara yang tergabung dalam G-10. Adapun jadwal
penerapan Basel II untuk kawasan Eropa dimulai pada bulan Januari
2007 untuk parallel run (yaitu penerapan ketentuan permodalan yang
berlaku saat ini dan Basel II secara bersamaan) dan penerapan Basel
II sepenuhnya akan dimulai pada bulan Januari 2008.
Strategi yang berbeda diterapkan oleh otoritas pengawas bank
di Amerika Serikat. Proses penerapan Basel II di Amerika Serikat
diperkirakan tidak akan mengikuti jadwal penerapan yang ditetapkan
dalam dokumen Basel II. Sebagaimana dikemukakan oleh Susan
Schmidt-Bies - Gubernur Federal Reserve (2005), otoritas pengawas
di Amerika hanya akan menerapkan Basel II untuk beberapa group
perbankan terbesar di Amerika dengan menggunakan pendekatan
Internal Rating-Based Approach untuk risiko kredit dan Advanced
Measurement Approach untuk perhitungan risiko operasional.
Sementara itu, untuk mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan
sistem keuangan nasional mereka, otoritas pengawas di Amerika akan
melakukan penyempurnaan terhadap pendekatan yang akan digunakan
dalam implementasi Basel II termasuk diantaranya dengan merevisi
ketentuan perhitungan permodalan berbasis risiko (Risk-Based Capital
3 4

Standard) yang digunakan saat ini yang nantinya akan diterapkan untuk
seluruh sistem perbankan Amerika.
Sementara itu, konsentrasi dan fokus yang berbeda diterapkan
oleh otoritas pengawas dan industri perbankan di kawasan Timur
Tengah. Oleh karena mayoritas lembaga keuangan dan perbankan di
kawasan tersebut melakukan kegiatan bisnis baik secara konvensional
maupun perbankan berbasis Islam maka penerapan Basel II tidak hanya
menyangkut pemenuhan prinsip-prinsip utama dari kerangka Basel II
tetapi juga terkait dengan pemenuhan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah
yang sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Untuk kawasan Asia Pasifik, strategi penerapan Basel II bervariasi
sesuai dengan kondisi dan perkembangan sistem perbankan di masing-
masing negara. Berbeda dengan Eropa dan Amerika, kebanyakan
otoritas pengawas memilih untuk tidak terlalu progresif dalam penerapan
kerangka permodalan yang baru. Pemilihan pendekatan standar
(standardised Approach) sebagai pendekatan awal (default approach)
menjadi kebijakan umum di kawasan tersebut meskipun sebagian
diantaranya memberikan peluang kepada bank dan lembaga keuangan
untuk menerapkan pendekatan yang lebih maju (seperti Australia, Hong
Kong dan Singapura). Khusus untuk Asia Tenggara, kebijakan
penerapan Basel II umumnya diawali dengan penggunaan pendekatan
yang paling sederhana. Perbedaan kebijakan terletak pada tahapan
selanjutnya ketika bank akan melakukan migrasi dengan menggunakan
pendekatan yang lebih maju.
Gambaran beberapa kebijakan penerapan Basel II yang ditempuh
oleh otoritas pengawas di beberapa negara dapat dikemukakan sebagai
berikut:

Perancis : Mengacu pada High-level Principles for the Cross-


border Implementation of the New Accord dan EU
Directive provision, Secretariat General de la
Commission Bancaire (SGCB) akan bertindak sebagai
inisiator dalam pengawasan berdasarkan konsolidasi
3 5

untuk bank-bank yang berkantor pusat di Perancis.


SGCB akan fokus pada penerapan IRB dan AMA yaitu
berperan sebagai inisiator untuk penerapan internal
model dan rating system yang dibuat dan dikelola oleh
kantor pusat bank di Perancis, menyerahkan pada host
supervisor untuk internal model dan rating system yang
dibuat dan dikelola secara lokal, dan bekerjasama
dengan home/host supervisor untuk penerapan internal
model dan rating system yang dibuat secara terpusat
namun dikelola secara lokal.

Jerman : Sebagaimana negara Uni Eroupa (EU) lainnya,


implementasi Basel II di Jerman akan dilakukan sesuai
arahan Komite dan Parlemen EU dengan menerapkan
Capital Requirement Directive (CRD) mulai 1 Januari
2007. Setiap negara EU akan menerapkan CRD dengan
tetap mempertimbangkan diskresi nasional. Sebagai
otoritas pengawas bank, BaFin akan melakukan
komunikasi dengan otoritas pengawas lainnya terkait
dengan home-host issues.

Inggris : Penerapan Basel II di Inggris didasarkan pada


framework European Economic Area (EEA) dan the
Committee of European Banking Supervisors (CEBS)
untuk kerjasama home-host untuk EEA countries dan
Non-EEA countries. Kebijakan “No compulsion, no
prohibition” juga menjadi acuan dalam implementasi
Basel II dengan fokus pada bank-bank yang akan
menerapkan IRB dan AMA. Sebagai home supervisor,
FSA akan bertindak sebagai inisiator baik untuk EEA
maupun Non-EEA countries. Jika sebagai host
supervisor maka untuk EEA countries FSA akan
tergantung pada inisiatif home supervisor sedangkan
3 6

untuk Non-EEA countries FSA akan melakukan dialog


mengenai kerangka penerapan Basel II di negara yang
bersangkutan. Untuk anak perusahaan bank dari
negara lain yang beroperasi di Inggris diwajibkan
mengikuti ketentuan dalam (CRD). Untuk bank-bank
yang menggunakan pendekatan yang lebih sederhana
dan tunduk pada penilaian dalam Pilar 2 secara global
maka perhitungan tersebut harus sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di Inggris. Untuk anak
perusahaan bank di Inggris yang beroperasi di negara
non EEA akan diperlakukan berdasarkan case by case
basis.

Australia : Basel II akan diterapkan kepada seluruh bank mulai


akhir tahun 2007 dengan menggunakan pendekatan
IRB dan AMA berdasarkan persetujuan dari APRA
(Australian Prudential Regulation Authority) dan
diperkirakan hanya sekitar 10 bank yang akan
menerapkan IRB dan AMA.

Hong Kong : Perbankan di Hong Kong diperbolehkan memilih


pendekatan Standardised Approach, Foundation IRB
dan Advanced IRB untuk pengukuran risiko kredit.
Untuk risiko operasional, perbankan juga
diperkenankan memilih pendekatan Basic Indicator
Approach atau Standardised Approach. Perbankan
dapat merencanakan sendiri kerangka waktu untuk
penerapan tersebut, khususnya untuk pendekatan IRB.

India : Reserve Bank of India (otoritas pengawas di India) telah


menetapkan kebijakan bahwa perbankan harus
melakukan penilaian yang mendalam terhadap setiap
3 7

alternatif pendekatan pengukuran risiko dalam proposal


Basel II. Selain itu, bank diminta untuk membuat
roadmap rencana penerapan dan migrasi ke Basel II
serta melakukan progress review secara triwulanan.
Perbankan diwajibkan untuk menerapkan Standardized
Approach untuk risiko kredit dan Basic Indicator
Approach untuk risiko operasional. Setelah persyaratan
kapasitas (skill) telah memadai, baik oleh perbankan
maupun otoritas pengawas, bank yang telah memenuhi
kriteria serta memperoleh izin dari RBI diperbolehkan
menggunakan pendekatan IRB.

Singapura : Basel II akan diterapkan kepada seluruh bank di


Singapura pada saat yang bersamaan dengan negara-
negara G-10, yaitu selambat-lambatnya akhir tahun
2007. Otoritas pengawas di Singapura (Monetary
Authority of Singapore) tidak mewajibkan perbankan
untuk menerapkan pendekatan tertentu secara spesifik
melainkan mengharapkan bank menerapkan
pendekatan yang paling sesuai dengan profil risiko serta
konsisten dengan budaya dan sistem manajemen risiko
masing-masing bank. Bank yang akan menggunakan
pendekatan yang lebih maju untuk risiko pasar dan
risiko operasional disarankan agar juga menggunakan
pendekatan Advanced IRB untuk risiko kredit.

Malaysia : Penerapan Basel II di Malaysia akan menggunakan 2


tahapan yaitu Fase 1 yang dimulai pada bulan Januari
2008. Pada fase ini, seluruh bank akan menerapkan
Standardised Approach untuk risiko kredit dan Basic
Indicator Approach untuk risiko operasional. Bank yang
berkeinginan mengadopsi pendekatan Foundation IRB
masih diperkenankan menggunakan Basel I. Namun,
3 8

bank tersebut diwajibkan untuk menyampaikan


pertimbangan secara bisnis (business case justification)
serta blueprint implementasi yang telah disetujui oleh
Dewan Direksi dan melakukan gap analysis serta studi
dampak secara komprehensif untuk mendukung
rencana tersebut. Perbankan diwajibkan
menyampaikan perhitungan permodalan secara pararel
(Basel I dan Basel II) setiap bulan selama 1 tahun
sebelum implementasi Standardized Approach. Fase
2 (dimulai Januari 2010) terutama ditujukan terhadap
bank yang akan mengadopsi Foundation IRB. Pada
fase ini, perbankan diwajibkan menyampaikan
perhitungan permodalan secara pararel setiap bulan
selama 1 tahun sebelum implementasi Foundation IRB.
Bank yang telah menerapkan Standardized Approach
tidak diwajibkan untuk migrasi ke Foundation IRB. Untuk
tujuan validasi dan mendapatkan persetujuan, bank
diwajibkan menggunakan local data inputs sebagai
parameter dan asumsi dalam perhitungan Foundation
IRB.

Philipina : Basel II akan diterapkan sepenuhnya pada tahun 2007


dengan penggunaan pendekatan Standardized
Approaches untuk bank universal dan komersial
termasuk thrift bank yang menjadi afiliasinya. Thrift bank
serta rural bank wajib menerapkan Basel I yang telah
direvisi dengan memasukkan beberapa elemen Basel
II khususnya supervisory review (Pilar 2) dan disclosure
(Pilar 3). Bank diperbolehkan menggunakan
pendekatan yang lebih maju untuk risiko kredit dan risiko
operasional mulai tahun 2010. Pada tahun tersebut
diharapkan perbankan telah memiliki kompilasi
database yang telah memenuhi persyaratan minimum
3 9

untuk mendukung penggunaan internal model dan


memberikan waktu yang cukup bagi industri dan otoritas
pengawas untuk meningkatkan kemampuan teknis.

Thailand : Penerapan Basel II akan dimulai pada akhir tahun 2008


kepada seluruh bank yang akan dilakukan secara
pararel antara Basel I dan Basel II yaitu 1 tahun untuk
Standardized Approach dan Foundation IRB yang akan
dimulai pada Desember 2007, dan 2 tahun untuk
Advanced IRB dimulai Desember 2006. Pendekatan
IRB hanya dapat digunakan jika bank dapat
membuktikan bahwa mereka telah memenuhi seluruh
prasyarat yang ditetapkan. Hanya bank-bank retail yang
boleh menerapkan Simplified Standardised Approach.
Untuk pendekatan Advanced IRB akan diterapkan pada
akhir tahun 2009. Untuk risiko operasional hanya
menggunakan pendekatan Basic Indicator Approach
(BIA), Standardised Approach (SA) dan Alternative
Standardised Approach (ASA). Adapun penerapan AMA
belum dimungkinkan sampai adanya pedoman yang
jelas dari BCBS. Penggunaan SA untuk risiko
operasional merupakan persyaratan minimum bagi
bank yang berencana menggunakan pendekatan IRB.
4 0
4 1

FREQUENTLY ASKED QUESTION

1. Apakah Bank for International Settlements itu?


The Bank for International Settlements (BIS) merupakan organisasi
internasional yang mendorong kerjasama moneter dan keuangan
secara internasional dan melakukan tugas sebagai bank bagi bank
sentral. Untuk memenuhi kewajibannya, BIS melakukan beberapa
aktivitas utama yaitu sebagai forum untuk mendorong diskusi dan
analisa kebijakan antar bank sentral dan komunitas keuangan
internasional, sebagai pusat penelitian untuk ekonomi dan moneter,
sebagai rekan kerja utama bagi bank sentral dalam transaksi
keuangan dan sebagai agen atau wakil dalam hubungannya dengan
kegiatan keuangan internasional.

2. Apakah the Basel Committee on Banking Supervision itu?


The Basel Committee on Banking Supervision atau lebih dikenal
dengan Basel Committee merupakan komite yang dibentuk secara
sukarela dari otoritas pengawas di beberapa negara (umumnya G
– 10 dan beberapa negara lainnya). Komite ini–tidak memiliki badan
otoritas pengawasan lintas negara yang resmi dan keputusan yang
dihasilkan tidak dimaksudkan sebagai dokumen hukum yang
memiliki ikatan legal dalam pelaksanaannya. Basel Committee
didirikan oleh para gubernur bank sentral dari negara-negara G 10
pada akhir tahun 1974. Negara-negara tersebut diwakili oleh bank
sentral dan juga otoritas yang bertanggungjawab terhadap
pengawasan bisnis perbankan (jika kewenangan tersebut tidak
berada di bank sentral). Basel Committee mengembangkan
pedoman kebijakan dimana otoritas pengawas dimasing-masing
negara dapat mengadopsi pedoman tersebut sesuai dengan
kebijakan pengawasan yang mereka terapkan.
4 2

Basel Committee merumuskan standar dan pedoman pengawasan


yang bersifat umum dan memberikan penyataan yang juga berlaku
secara umum (best practices). Hal ini dimaksudkan agar masing-
masing otoritas dapat menerapkan standar tersebut melalui
pengaturan yang sesuai dengan sistem di negara masing-masing.
Salah satu produk utama Basel Committee adalah penetapan
standar permodalan minimum untuk bank-bank diseluruh dunia.
Basel Capital Accord pertama kali dipublikasikan pada bulan Juli
1988 dan telah diterapkan oleh seluruh anggota Basel Committee.
Meskipun pada awalnya hanya ditujukan untuk bank-bank yang
aktif secara internasional. Namun pada akhirnya Basel Accord
diterima secara luas oleh perbankan dan otoritas pengawas secara
internasional dan lebih dari 100 negara didunia telah mengadopsi
Basel Accord.

3. Apakah perbedaan Accord 88 dengan Basel II?


Basel II dibuat berdasarkan struktur dasar Accord 88. Namun
demikia, berbeda dengan Accord 88 yang hanya memperhitungkan
risiko kredit dalam perhitungan kebutuhan modal bank, Basel II
bertujuan untuk memperkenalkan perhitungan kebutuhan modal
yang telah memperhitungkan risiko kredit, risiko pasar dan risiko
operasional, serta mengembangkan kerangka permodalan yang
lebih sensitif terhadap risiko sehingga lebih menggambarkan profil
risiko yang dihadapi bank secara utuh.
Jika Accord 88 menggunakan pendekatan one size fits all, maka
dalam Basel II diperkenalkan beberapa alternatif pendekatan yang
dapat digunakan sesuai dengan kondisi dan kompleksitas kegiatan
bisnis bank. Selain itu, Basel II juga memberikan insentif untuk
penerapan praktek manajemen risiko yang sehat di perbankan.
Namun demikian, secara umum Basel II tetap mempertahankan
tingkat agregate dari persyaratan minimum permodalan sebesar
8% dan definisi permodalan itu sendiri.
4 3

4. Apakah tujuan Basel Capital Accord (Accord 88 dan Basel II)?


Tujuan yang ingin dicapai pada Accord 88 dan Basel II pada
dasarnya adalah untuk meningkatkan keamanan dan kesehatan
sistem keuangan melalui peningkatan kesetaraan dalam persaingan
(level playing field). Pada Basel II, tujuan tersebut diperluas yaitu
mendorong industri perbankan untuk menerapkan praktek
manajemen risiko yang lebih baik dengan menciptakan pendekatan
yang lebih komprehensif dalam mengantisipasi risiko dan
memberikan alternatif pendekatan dalam menghitung kecukupan
modal sesuai dengan profil risiko dengan prinsip-prinsip dasar yang
dapat diadopsi oleh berbagai jenis bank dengan tingkat kerumitan
dan kompleksitas bisnis yang berbeda-beda.

5. Apakah sebuah negara wajib menerapkan Basel II?


Dokumen Basel II bukanlah suatu dokumen hukum yang bersifat
mengikat dalam penerapannya. Penerapan standar yang
dikeluarkan oleh
Basel Committe (termasuk Basel II) diserahkan sepenuhnya kepada
kebijakan masing-masing otoritas dengan mempertimbangkan
prioritas dan kepentingan nasional, kesiapan dan ketersediaan
infrstruktur yang diperlukan.

6. Apa dampak yang didapat oleh sebuah negara jika menerapkan


Basel II?
Bagi negara yang menerapkan Basel II diharapkan dapat
memperkuat kestabilan sistem keuangan dengan jalan mendorong
penerapan manajemen risiko yang sehat dan perhitungan
kebutuhan modal yang lebih akurat. Selain itu, melalui penerapan
Basel II diharapkan dapat meningkatkan tata kelola perusahaan
(corporate governance), alokasi permodalan yang lebih ekonomis,
struktur permodalan bank yang lebih kuat, meningkatkan standar
transparansi dan proses pengawasan yang bersifat forward looking.
4 4

7. Apakah Basel II dapat diterapkan di Indonesia?


Sebagai suatu standar internasional, prinsip-prinsip dasar Basel II
dapat diadopsi oleh berbagai jenis bank dengan tingkat kompleksitas
bisnis yang berbeda-beda. Dengan demikian, industri perbankan
di Indonesia juga dapat mengadopsi Basel II dan menggunakan
alternatif pendekatan yang sesuai dengan kondisi masing-masing
bank.

8. Kenapa Basel II harus diterapkan di Indonesia?


Basel II merupakan kerangka permodalan yang diterapkan melalui
kombinasi dari 3 aktivitas utama yaitu pelaksanaan pengawasan
yang efektif, disiplin pasar yang konsisten serta operasional bank
berdasarkan prinsip kehati-hatian. Fokus utama ditujukan pada
kesesuaian antara kecukupan modal bank dikaitkan dengan
elemen-elemen risiko yang dihadapi dengan memberikan insentif
bagi peningkatan kemampuan manajemen risiko. Hal ini tentunya
diharapkan menjadi momentum untuk mendorong penerapan
praktek manajemen risiko yang sehat dan alokasi permodalan yang
lebih ekonomis di industri perbankan nasional sekaligus
memberikan peluang untuk lebih berperan dalam perekonomian
global atau setidaknya cukup diperhitungkan secara regional.

9. Apakah tepat bagi Indonesia untuk mengimplementasikan


Basel II dalam waktu dekat?
Seiring dengan perkembangan sistem keuangan yang semakin
dinamis dan kompleks, volume dan jenis-jenis risiko yang dihadapi
bank juga mengalami peningkatan. Bank membutuhkan teknik-
teknik baru dalam menghitung kebutuhan modal yang lebih sesuai
dengan profil risiko yang mereka hadapi (risk sensitive capital
allocation). Demikian halnya dengan industri perbankan nasional.
Sebagai bagian dari komunitas keuangan internasional, perbankan
Indonesia telah mengalami perubahan akibat dari globalisasi,
perkembangan teknologi dan inovasi pada dunia keuangan.
4 5

Mengantisipasi hal tersebut maka penerapan Basel II diyakini


sebagai salah satu cara untuk menciptakan sistem perbankan yang
aman dan sehat melalui pelaksanaan pengawasan yang efektif,
disiplin pasar yang konsisten serta operasional bank berdasarkan
prinsip kehati-hatian.
Selain itu, mempertimbangkan beberapa kelemahan yang dimiliki
oleh Accord 88 diantaranya yaitu kategorisasi risiko yang sangat
luas sehingga tidak mencerminkan gradasi risiko yang sebenarnya,
belum mengakomodir praktek diversifikasi portofolio yang dilakukan
oleh bank dan hanya terfokus pada risiko kredit maka penerapan
Basel II menjadi standar baru yang lebih fleksibel dan dapat
mengikuti perkembangan yang terjadi di industri keuangan.

10. Pendekatan apa yang akan diterapkan di Indonesia?


Penerapan Basel II di Indonesia akan dilakukan secara bertahap
terhadap seluruh bank umum pada tahun 2008 mendatang dimulai
dengan pendekatan yang paling sederhana yaitu Standardized
Approach untuk perhitungan risiko kredit dan Basic Indicator
Approach untuk perhitungan risiko operasional. Apabila pemenuhan
seluruh prakondisi dan persyaratan telah memadai, bank yang telah
siap dapat beralih ke pendekatan yang lebih maju setelah mendapat
persetujuan pengawas. Seluruh pilar dalam Basel II diharapkan
dapat diterapkan sepenuhnya pada tahun 2010.

11. Apakah bank dapat memilih pendekatan yang digunakan?


Apabila pemenuhan seluruh prakondisi dan persyaratan telah
memadai, bank yang telah siap dapat beralih ke pendekatan yang
lebih maju. Namun untuk menggunakan pendekatan tersebut harus
mendapatkan ijin dari pengawas. Dan apabila bank telah
menggunakan pendekatan lebih maju maka bank tidak
diperkenankan kembali menggunakan pendekatan standar tanpa
adanya persetujuan dari pengawas
4 6

12. Apakah bank diwajibkan menggunakan pendekatan Internal


Rating-Based atau Advanced?
Pemilihan pendekatan yang akan digunakan diserahkan
sepenuhnya pada keputusan masing-masing bank dengan
mempertimbangkan kesiapan dan pemenuhan berbagai
persyaratan kualitatif dan kuantitatif yang ditetapkan dalam Basel
II. Selain itu, sebelum memutuskan untuk menggunakan pendekatan
yang lebih maju, bank seharusnya melakukan cost and benefit
analysis yang komprehensif sehingga keputusan untuk memilih
pendekatan tertentu telah sesuai dengan kondisi bank yang
sebenarnya dan diyakini akan memberikan manfaat yang optimal
kepada bank.
4 7

PENJELASAN BEBERAPA TERMINOLOGI

Pilar 1 : Ketentuan yang menetapkan rasio


modal minimum terhadap aset
tertimbang menurut risiko.

Pilar 2 : Pilar review dalam rangka pengawasan,


yang mempersyaratkan pengawas untuk
melakukan review kualitatif terhadap
teknik-teknik alokasi modal yang
digunakan bank dan pemenuhan
standar yang relevan.

Pilar 3 : Persyaratan pengungkapan yang


memfasilitasi disiplin pasar.

Peringkat Internal : Hasil dari pengukuran risiko yang


dilakukan oleh bank terhadap portofolio
kreditnya.

Penilaian Kredit Eksternal : Peringkat yang dikeluarkan oleh


lembaga pemeringkat ekternal;

Konsolidasi : Pengukuran risiko bank yang mencakup


seluruh kelompok usaha bank.

Risiko Operasional : Risiko yang terjadi baik langsung


maupun tidak langsung yang berasal
dari ketidakmampuan atau kegagalan
proses internal, orang-orang dan sistem
atau dari kejadian eksternal.

Risiko Kredit : Risiko kerugian yang muncul dari


kegagalan debitur atau counterparty
memenuhi kewajibannya.
4 8

Risiko Pasar : Risiko kerugian yang berasal dari posisi


perdagangan ketika harga-harga
mengalami perubahan.

Mitigasi Risiko Kredit : Sejumlah teknik dimana bank dapat


melindungi sebagian dari posisi yang
dimilikinya terhadap kemungkinan
kegagalan counterparty memenuhi
kewajibannya (sebagai contoh, dengan
mengambil alih agunan atau
mengeksekusi garansi atau membeli
instrumen lindung nilai).

Sekuritisasi Aset : Pengelompokan aset atau kewajiban


menjadi surat-surat berharga untuk dijual
kepada pihak ketiga.

Anda mungkin juga menyukai