Anda di halaman 1dari 2

dr.

Davrina Rianda | RS Marinir Cilandak – Jakarta Selatan | 2015-2016

Jaksel: Koas Teladan


“Jadi, kalian ini statusnya apa, ya?”
“Dokter internsip, Dok.”
“Jadi sudah selesai koas.. tetapi belum menjadi dokter seutuhnya, ya. Semacam koas sepuh,
begitu?”
Percaya tidak percaya, kami mendapat sambutan seperti itu di masa-masa orientasi kami.
Mungkin istilah ‘koas’ lebih melekat dibandingkan 'dokter internsip’ karena sudah beberapa
tahun, RS ini menjadi tempat pendidikan bagi koas dari suatu Universitas di dekat-dekat sini.
Saking banyaknya koas di sini, kami sebagai dokter internsip diminta untuk men-diferensiasi-
kan diri (ha!) dengan para koas:
“Kalau begitu, kalian pakai snelly yang panjang, ya. Soalnya koas di sini pakai snelly yang
pendek. Warna baju hitam-putih saja agar seperti seragam dinas. Kalau warna-warni, nanti
dikira koas ini kalian.
Pakai name-tag juga yang ada tulisan "dr.” nya, ya! Kalau ada yang manggil kalian mbak/mas
koas, langsung tegur, bilang kalau kalian ini dokter.
Kalian sih, mukanya imut-imut gini. Jadi, nyaru kalau sama koas. Ha.. Ha..“
Bekerja bersama Koas
Awalnya, rasanya aneh. Apalagi, setiap bertemu, koas-koas di sini selalu memanggil kita dengan
"dok”:
“Selamat siang, Dok.”
“Ini Dok, absennya.”
“Jaga ya, Dok, malam ini?”
“Sudah punya pacar belum, Dok?” (Lah kok, modus.)
Meskipun nampaknya 'bekerja’ sebagai koas di sini tidak se-barakuda bekerja sebagai koas di
RSCM (apalagi dengan variasi kasus di RSCM yang… bikin koas apneu), tetapi masih bertemu
dengan kasus-kasus gawat darurat yang membuat berdecak. Cukup bisa lah, bikin harus
pantau-pantau TTV.
Jujur, awalnya sudah ada setitik niat yang menyeruak di dalam hati untuk “mengoptimalkan”
kerja koas-koas, tetapi akhirnya, Tuhan mempertemukan saya dengan salah seorang koas,
paling ambi sekaligus teladan, yang pernah ada dalam kehidupan saya. Salam super.
Si Koas Teladan
Sebagai latar belakang, sebut saja namanya Fulan. Si Fulan ini memang beken dikenal sebagai
koas berpaket kombo: koas pemanggil pasien dan pencabut nyawa. Pernah si Fulan ini cerita,
suatu malam ia jaga di bangsal… 2 pasien apneu, 1 pasien plus. Akhirnya, ia dipindahkan secara
halus ke IGD. Begitu buka pintu belakang IGD, tidak berapa lama, pintu IGD depan terbuka. Satu
pasien masuk, pasien “perhatian” yang butuh monitoring. Alhasil, ia diminta pindah ke…. ruang
koas. Literally, disuruh berhenti jaga. Pernah juga ia cerita, dalam satu malam saat ia sedang
jaga… ada 37 pasien baru.
Kebetulan, saya ditakdirkan untuk jaga bersama si Fulan ini pada suatu Minggu pagi. Sebelum
saya jaga, saya dapat cerita dari teman saya sesama dokter internsip yang jaga di shift
sebelumnya.
“Vrin, lo jaga sama si Fulan ya.”
“Waduh…… Pusing pala barbie.”
“Lo mesti tahu, harusnya si Fulan nggak jaga hari ini.”
“Lah, terus kenapa dia jaga?”
“Tadi dokter neurologi-nya (si Fulan sedang rotasi di neurologi) nelepon doi. Katanya, pas shift
Minggu pagi mesti ada yang jaga. Jadilah, si Fulan disuruh ekstend jaga.”
“Hah… Apes bener!”
“Tapi nanti dia jaga sendirian, Vrin. Nggak ada koas yang lain.”
“Lah, kenapa lagi tuh.”
“Nggak ada yang mau jaga sama dia. Soalnya kalau sama dia 'kan, pasiennya banyak. Gawat-
gawat semua biasanya.”
Di situ saya merasa sedih hati saya terhenyak. Mulia benar ini koas, pikir saya.
Eh, ternyata benar aja lho. Si Fulan jaga sendirian. Padahal, biasanya di IGD itu diisi oleh empat
koas yang standby. Bagaimana hati ini tidak luluh lantak coba.
Tetapi, di luar kepasrahan ketulusan si Fulan yang maha dahsyat ini, yang amazing dari si Fulan
adalah dia benar-benar antusias saat memeriksa pasien. Kalau ada pasien baru, tentu mukanya
seperti “yah, pasien baru..” Tetapi, tetap ia periksa dengan cekatan. Geraknya lincah benar
seperti ulat baru lahiran. Kalau ada hecting, ia turun tangan juga (padahal doi sedang stase
neurologi, dan stase neurologi ini adalah stase pertamanya. Ha.). Dia nggak segan untuk belajar
dari pasien yang bukan dari stase-nya, dan tetap dianamnesis dengan lengkap (entah dapat
ilmu anamnesisnya darimana, bahkan sudah bisa menilai CHF pakai PND, OP, DOE, dll padahal
koas neurologi).
Well.. Nggak heran sih, meski dia baru masuk koas dengan stase neurologi sebagai stase
pertamanya, si Fulan ini hafal klasifikasi asma beserta karakteristiknya, tahu gambaran gagal
jantung di rontgen, sampai sudah bisa hecting dan gantiin perban pasien tanpa kagok-kagok
awkward.
Oh, dan tentu, dari gelagatnya ini, spesialis apa yang ingin ia ambil?
Ilmu Penyakit Dalam. :)
Sebagai hadiah karena sudah menjadi koas yang tulus lagi maha ambi, akhirnya sebagian pasien
yang masuk, si Fulan yang melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Saya bantu mengukur
tekanan darah, nadi, suhu, dan pernapasan. Supaya jaganya si Fulan kali ini nggak cuma dapat
capeknya saja.
Jadi koasnya Koas Teladan, kenapa nggak?
Cilandak, 2 Maret 2015
dr. Davrina Rianda
FKUI 2009

http://merahputihjasputih.tumblr.com/post/112508713891/jaksel-koas-teladan

Anda mungkin juga menyukai