Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH DL 2

KEPERAWATAN KONMUNITAS DAN KELUARGA


Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas Modul Keperawatan Komuntias dan Keluarga

Di susun oleh:
Kelompok 5
Damayanti 11151040000005
Eka Widyawati 11151040000004
Nita Rahmawati` 11151040000014
Dwi Murtiningsih 11151040000015
Sisca Ardya Cahyani 11151040000022
Nurfika Mustika Dewi 11151040000027
Septiara 11151040000040
Rifqiyani Audah 11151040000041
Nida Fadhilah Haq 11151040000042
Vigur Guevara 11151040000048
Anisah Puteri Ashara 11151040000052

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Dalam makalah ini kami mengambil judul “Makalah DL 2 Mengenal Tentang
Keluarga”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Modul Keperawatan Komunitas dan
Keluarga. Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu kelancaran pengerjaan makalah ini.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh sebab itu, kami
sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk menjadi lebih baik di
masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan
para pembaca.

Tangerang, April 2018

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan keluarga?
2. Apa saja bentuk bentuk keluarga?
3. Apa saja tujuan keluarga?
4. Bagaimana karakteristik keluarga sehat?
5. Bagaimana interaksi sehat,sakit,dan keluarga?
6. Bagaimanakah keluarga sehat?
7. Bagaimana perubahan sosial yang mempengaruhi keluarga?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
1. Mahasiswa dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan keluarga
2. Mahasiswa dapat menjelaskan bentuk bentuk keluarga
3. Mahasiswa dapat menjelaskan tujuan keluarga
4. Mahasiswa dapat menjelaskan karakteristik keluarga sehat
5. Mahasiswa dapat menjelaskan interaksi sehat, sakit, dan keluarga
6. Mahasiswa dapat menjelaskan bagaimana keluarga sehat
7. Mahasiswa dapat menjelaskan bagaimana perubahan sosial yang mempengaruhi
keluarga
1.3.2 Tujuan Khusus
Menyelesaikan tugas DL (Discovery Learning) pada Modul Keperawatan Komunitas
dan Keluarga Program Studi Ilmu Keperawatan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI KELUARGA


Berikut akan dikemukakan definisi keluarga menurut beberapa ahli (Sudiharto, 2007):

 Bailon dan Maglaya (1978) mendefinisikan sebagai berikut :


“Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena
adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu
dengan yang lainnya, mempunyai peran masing – masing dan menciptakan serta
mempertahankan suatu budaya”
 Menurut Departemen Kesehatan (1988) mendefinisikan sebagai berikut :
“Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga serta
beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di satu atas dalam keadaan saling
bergantungan”.
 Menurut Friedman (1998) mendefinisikan sebagai berikut :
“Keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung karena ikatan tertentu untuk
saling membagi pengalaman dan melakukan pendekatan emosional, serta
mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari keluarga”

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat dimana terjadi interaksi antara anak
dan orang tuanya. Keluarga berasal dari bahasa sansekerta kulu dan warga atau
kuluwarga yang berarti anggota kelompok kerabat (Padila, 2012).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat
yang terdiri dari suami, istri, dan anak, yang saling berinteraksi dan memiliki hubungan
yang erat untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Interaksi yang baik antara anak dan
orang tua merupakan hal penting dalam masa perkembangan anak. Interaksi yang baik
ditentukan oleh kualitas pemahaman dari anak dan orang tua untuk mencapai kebutuhan
keluarga (Soetjiningsih, 2012).

2.2 Bentuk Keluarga


2.2.1 Tradisional

1. The Nuclear family (keluarga inti)

Keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak


2. The dyad family

Keluarga yang terdiri dari suami dan istri (tanpa anak) yang hidup bersama dalam satu
rumah.

3. Keluarga usila

Keluarga yang terdiri dari suami dan istri yang sudah tua dengan anak yang sudah
memisahkan diri.

4. The childless family

Keluarga tanpa anak karena terlambat menikah dan untuk mendapatkan anak
terlambat waktunya yang disebabkan karena mengejar karier/pendidikan yang terjadi
pada wanita.

5. The extended family

Keluarga yang terdiri dari dari tiga generasi yang hidup bersama dalam satu rumah,
seperti nuclear family disertai: paman, tante, orang tua (kakek-nenek), keponakan

6. The single parent famili

Keluarga yang terdiri dari satu orang tua (ayah atau ibu) dengan anak, hal ini terjadi
biasanya melalui proses perceraian, kematian dan ditinggalkan (menyalahi hukum
pernikahan)

7. Commuter family

Kedua orang tua bekerja di kota yang berbeda, tetapi salah satu kota tersebut sebagai
tempat tinggal dan orang tua yang bekerja di luar kota bisa berkumpul pada anggota
keluarga pad saat ”weekend”

8. Multigenerational family

Keluarga dengan beberapa generasi atau kelompok umur yang tinggal bersama dalam
satu rumah.

9. Kin-network family
Beberapa keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah atau saling berdekatan dan
saling menggunakan barang-barang dan pelayanan yang sama (contoh: dapur, kamar
mandi, televisi, telepon,dll)

10. Blended family

Duda atau janda (karena perceraian) yang menikah kembali dan membesarkan anak
dari perkawinan sebelumnya.

11. The single adult living alone/single adult family

Keluarga yang terdiri dari orang dewasa yang hidup sendiri karena pilihannya atau
perpisahan (perceraian atau ditinggal mati)

2.2.2 Non-Tradisional

1. The unmarried teenage mother

Keluarga yang terdiri dari orang tua (terutama ibu) dengan anak dari hubungan tanpa
nikah

2. The stepparent family

Keluarga dengan orang tua tiri

3. Commune family

Beberapa pasangan keluarga (dengan anaknya) yang tidak ada hubungan saudara yang
hidup bersama dalam satu rumah, sumber dan fasilitas yang sama, pengalaman yang
sama, sosialisasi anak dengan melalui aktivitas kelompok/membesarkan anak bersama.

4. The nonmarital heterosexsual cohabiting family

Keluarga yang hidup bersama berganti-ganti pasangan tanpa melalui pernikahan.

5. Gay and lesbian families

Seseorang yang mempunyai persamaan sex hidup bersama sebagaimana ”marital


pathners”
6. Cohabitating couple

Orang dewasa yang hidup bersama diluar ikatan pernikahan karena beberapa alasan
tertentu

7. Group-marriage family

Beberapa orang dewasa yang menggunakan alat-alat rumah tangga bersama, yang
saling merasa telah saling menikah satu dengan yang lainnya, berbagi sesuatu
termasuk sexsual dan membesarkan anak.

8. Group network family

Keluarga inti yang dibatasi oleh aturan/nilai-nilai, hidup berdekatan satu sama lain
dan saling menggunakan barang-barang rumah tangga bersama, pelayanan, dan
bertanggung jawab membesarkan anaknya

9. Foster family

Keluarga menerima anak yang tidak ada hubungan keluarga/saudara di dalam waktu
sementara, pada saat orang tua anak tersebut perlu mendapatkan bantuan untuk
menyatukan kembali keluarga yang aslinya.

10. Homeless family

Keluarga yang terbentuk dan tidak mempunyai perlindungan yang permanen karena
krisis personal yang dihubungkan dengan keadaan ekonomi dan atau problem
kesehatan mental.

11. Gang

Sebuah bentuk keluarga yang destruktif dari orang-orang muda yang mencari ikatan
emosional dan keluarga yang mempunyai perhatian tetapi berkembang dalam
kekerasan dan kriminal dalam kehidupannya.

Menurut Kamanto Sunarto , keluarga dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk yaitu:

a. Berdasarkan keanggotaannya, terdiri dari keluarga batih dan keluarga luas.

b. Berdasarkan garis keturuan, terdiri atas keluarga patrilineal, keluarga matrilineal,


dan keluarga bilateral.
c. Berdasarkan pemegang kekuasaannya, terdiri dari keluarga 7, keluarga matriarhat,
dan keluarga equalitarian.

d. Berdasarkan bentuk perkawinan, terdiri atas keluarga monogami, keluarga


poligami, dan keluarga poliandri.

e. Berdasarkan status sosial ekonomi, terdiri atas keluarga golongan rendah,


keluarga golongan menengah, dan keluarga golongan tinggi.

f. Berdasarkan keutuhan, terdiri atas keluarga utuh, keluarga pecah atau bercerai,
dan keluarga pecah semu.

2.3 Tujuan Keluarga


Konsep keluarga sudah setua sejarah kehidupan manusia. Dimana ada manusia pastilah
ada keluarga yang melahirkan, merawat serta mendidiknya meskipun dalam waktu yang
amat singkat. Dalam perspektif teologis hanya ada dua orang yang lahir tidak dari sebuah
sistem keluarga. Adam sebagai manusia pertama yang berjenis kelamin laki-laki dan
Hawa sebagai manusia kedua yang berjenis kelamin perempuan. Dua orang inilah yang
berusaha dari awal sekali untuk mengembangkan konsep keluarga atas petunjuk Tuhan.
Adam dan Hawa melakukan semacam kesepakatan dan berkomitmen untuk bekerjasama
dalam memenuhi kebutuhan satu sama lain baik dalam hal kebutuhan biologis maupun
kebutuhan emosional.

Bila dilihat dari kaca mata Islam, terbentuknya keluarga bermula dari terciptanya
jalinan antara lelaki dan perempuan melalui pernikahan yang halal, memenuhi rukun dan
syarat-syarat yang sah, yang bertujuan untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka
mendirikan dan membina keluarga yang harmonis, sejahtera serta bahagia di dunia dan
akhirat. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

Harmoni maksudnya dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, dan
sejahtera disebabkan terpenuhinya ketenangan lahir dan batin sehingga timbullah
kebahagiaan yakni kasih sayang antar anggota. Selain itu pembentukan keluarga adalah
untuk memenuhi naluri manusiawi antara lain berupa keperluan biologis.

Melihat dua tujuan pernikahan tersebut, Imam Ghazali dalam Ihya’nya


megembangkan tujuan dari pembentukan keluarga menjadi lima yaitu:

a. Memperoleh keturunan yang sah dan mengembangkan suku-suku bangsa manusia.


Manusia mempunyai naluri untuk memperoleh keturunan, kehidupan keluarga
bahagia umumnya antara lain ditentukan oleh kehadiran anak-anak. Begitu
pentingnya keturunan, dalam Alquran menganjurkan agar manusia selalu berdoa
supaya dianugerahi keturunan yang bisa jadi mutiara. Sebagaimana tercantum dalam
Al-Furqan ayat 74.

“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa”.

Dalam salah satu hadisnya Rasulullah juga menganjurkan untuk menikahi


perempuan yang produktif:

“Nikahilah wanita- wanita yang berketurunan dan pengasih sayang, sesungguhnya


aku berbangga dengan banyaknya kalian terhadap nabi-nabi lain di hari kiamat”.
Anak merupakan penolong baik dalam kehidupan baik di dunia maupun di
akhirat bagi orang tuanya. Selain itu secara universil yang berhubungan dengan
keturunan adalah anak sebagai penyambung keturunan seseorang dan akan selalu
berkembang untuk meramaikan dunia.
b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya serta kasihsayangnya
berdasarkan tanggung jawab.
Sudah menjadi kodrat manusia diciptakan secara berpasangan dan saling
mengandung daya tarik. Dan keinginan untuk berhubungan antar pria dan wanita
sebagaimana firman Allah pada surat Al-Imran: 14.

“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini,
yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak, dari emas dan perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik”.
Al-Quran juga melukiskan keduanya sebagai pakaian satu sama lain,
alBaqarah ayat 187. Selain itu pembentukan keluarga juga untuk menyalurkan rasa
kasih sayang secara harmonis dan tanggung jawab baik terhadap pasangan maupun
anak (keluarga).
c. Memenuhi panggilan agama untuk memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
Ketenangan hidup, cinta serta kasih sayang keluarga dapat ditunjukkan
melalui pembentukan keluarga dengan jalan pernikahan (Ar-Ruum 21). Karena
manusia mempunyai nafsu yang cenderung mengajak pada perbuatan yang tidak baik
(Yusuf: 53). dengan adanya pernikahan, nafsu (yang biologis) dapat tersalurkan dan
lebih dapat terjaga. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW.
“Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian yang telah sanggup menikah maka
hendaklah menikah, karena sesungguhnya hal itu bisa menundukkan pandangan, serta
memelihara kehormatan. Dan barang siapa tidak sanggup melakukannya, hendaklah
ia puasa, karena puasa itu merupakan perisai baginya”.
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak dan kewajiban,
juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta secara halal.
Dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan orang yang belum berkeluarga
tindakannya masih sering dipengaruhi emosi sehingga kurang mantap dan
bertanggung jawab.

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka
wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada (QS. Al-Nisa’: 34)”
e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar
cinta dan kasih sayang.
Dalam hidupnya manusia memerlukan ketenangan dan ketentraman untuk
mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan masyarakan dapat dicapai dengan adanya
ketentraman anggota keluarga dalam keluarga. Karena keluarga merupakan bagian
masyarakat, keberadaannya menjadi faktor terpenting dalam penentuan ketenangan
dan ketentraman masyarakat.
Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari keberhasilan
pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam keluarga. Keharmonisan
diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga dalam menggunakan hak dan
memenuhi kewajiban. Allah menjadikan unit keluarga yang dibina dengan pernikahan
dalam rangka membentuk ketenangan dan ketentraman serta mengembangkan cinta
dan kasih sayang sesama warganya.
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya, dia
menciptakan istrinya, agar ia merasa senang kepadanya”.
Adapun jalinan perekat bagi bangunan keluarga adalah hak dan kewajiban
yang disyariatkan Allah terhadap ayah, Ibu, suami dan istri serta anak-anak. Semua
kewajiban itu tujuannya adalah untuk menciptakan suasana aman, bahagia dan
sejahtera bagi seluruh masyarakat bangsa.
Keluarga adalah tempat pertama mencetak dan membentuk pribadi umat, baik
laki-laki ataupun perempuan. Bila tempat atau sumber ini baik, jernih, bersih dari
kotoran maka akan selamatlah pembentukan umat dari segala kotoran yang merusak.
Keluarga adalah jiwa serta tulang punggung masyarakat. Kesejahteraan lahir
dan batin yang dinikmati oleh suatu bangsa, atau sebaliknya, kebodohan dan
keterbelakangannya adalah cerminan dari keadaan keluarga-keluarga yang hidup pada
masyarakat bangsa tersebut.
Dalam konteks sosial manusia merupakan anak masyarakat yang memiliki ciri
khas dan nilai-nilai tersendiri secara riil dan konkret sebagaimana dihayati oleh orang
tua. Sedang dari konteks sejarah manusia, pada awal eksisitensinya merupakan anak
sejarah karena masyarakat yang melahirkan merupakan salah satu rantai dari tradisi
yang sudah hidup dari generasi ke generasi yang ditiangi unit-unit keluarga. Dengan
kata lain, keluarga merupakan simbol-simbol dari tali sejarah manusia dari generasi
ke generasi yang lain.

2.4 Karakteristik Keluarga Sehat


Anggota keluarga dari sebuah keluarga yang sehat merasa bahagia,bekerja, dan berperan
dalam masyarakat. Keluarga yang sehat tidak selalu harus sempurna. Mereka dapat
juga mengalami penyakit, krisis,kecelakaan dan kehilangan, sebagai bagian dari
kehidupan normal.Mereka juga menderita karena stres yang dialaminya. Akan tetapi,keluarga
yang sehat tetap utuh, karena dapat menyesuaikan diri dengansetiap perubahan dengan
cara yang sehat.
Ada beberapa karakteristik keluarga yang sehat, sebagai berikut:
1. Berkomunikasi dan mendengarkan
Anggota keluarga yang sehat mampu berkomunikasi dengan sehat, jujur, dan terbuka
tanpa rasa takut. Mereka memiliki kebebasan berpikir, mengungkapkan
pendapat dan perasaan, salingmendukung, dan menghargai satu sama lain.
2. S a l i n g m e n d u k u n g ya n g l a i n
jika ibu atau ayah sedang bekerja di luar rumah, anggota keluarga yang
lain mendukung dan mengupayakan membantu penyelesaian tugas-tugas
dirumah. Ketika anak-anak sibuk dengan kegiatan nya masing-masing, ayah dan
ibu turut mendukung. Ada pembagian tugas yang jelas pada setiap peran.
Setiap orang memiliki tujuan masing-masing yang berharga dan perlu
didukung. orang tua membangun model penilaian diri secara positif dan
menjadi teladanbagi anak-anaknya.
3. M e n g h a r g a i o r a n g l a i n
Setiap anggota keluarga saling menghargai pendapat keluarga inti maupun tetangga.
Menghormati dan menghargai mereka yanglemah, tetangga, orang lain,
yang berbeda suku, ras, agama yangdiajarkan melalui keteladanan orangtua .
4. Mengembangkan rasa saling percaya
Hubungan harmonis dan saling percaya antara ayah dan ibu,sebagai suami dan
istri, menjadi model panutan bagi anak-anak.Orang tua menunjukkan bahwa
mereka saling membutuhkan, saling melengkapi dan menutupi kekurangan dan
kelemahan yang lain. Jika terjadi sesuatu, mereka mampu menunjukkan bahwa
kepercayaan itu dapat dipulihkan kembali.
Beberapa karakteristik keluarga sehat di tinjau dari beberapa aspek :
1. Segi fisik
Sebuah keluarga dapat dikatakan sehat secara fisik jika memenuhi kriteria berikut ini :
a. Keluarga memiliki dan menggunakan air bersih di lingkungan tempat tinggal
nya
b. Keluarga memiliki toilet yang bersih
c. Seluruh anggota keluarga tidak merokok
d. Anggota keluarga memastikan semua anggota keluarganya cukup gizi
2. Segi mental dan sosial
a. Waktu keluarga (family time)
Menghabiskan wakrtu bersama keluarga menjadi kunci utama membangun
keluarga yang sehat.
b. Saling percaya
Rasa saling percaya otomatis akan tumbuh dalam jiwa keluarga yang sehat.
c. Saling memahami kebutuhan masing-masing
2.5 Interaksi Sehat Sakit dan Keluarga
Status sehat/sakit anggota keluarga dan keluarga saling mempengaruhi. Suatu penyakit
dalam keluarga mempengaruhi keseluruhan keluarga dan interaksinya, sementara itu
keluarga pada gilirannya mempengaruhi perjalanan penyakit dan status kesehatan anggota
keluarganya. Karena itu, pengaruh status sehat/sakit terhadap keluarga dan dampak status
sehat/sakit keluarga saling terkait atau sangat saling bergantung (Gilliss, Rose, Hallburg,
& Martinsn, 1989; Wright & Leahey, 2000). Keluarga cenderung menjadi menjadi
pemicu masalah kesehatan anggotanya dan sekaligus menjadi pelaku dalam menentukan
masalah kesehatannya.

Kembali kepada interaksi antara status kesehatan keluarga dan anggotanya, keluarga
adalah sumber utama konsep sehat sakit dan perilaku sehat. Penelitian di bidang
kesehatan secara jelas menunjukkan bahwa keluarganya (Campbell, 2000). Dari satu sisi
atau lebih, keluarga cenderung terlibat dalam pengambilan keputusan dan proses terapi
pada setiap tahapan sehat dan sakit anggota kelurga, dari keadaan sejahtera (saat promosi
kesehatan dan strategi pencegahan diajarkan) hingga tahap diagnosis, terapi dan
pemulihan (Doherty, 1992). Proses menjadi seorang “pasien” dan penerima layanan
kesehatan terdiri atas serangkaian keputusan dan peristiwa yang melibatkan interaksi
sejumlah individu, termasuk keluarga, teman, dan penyedia pelayanan kesehatan
profesional. Selain itu, peran yang dimainkan keluarga dalam proses ini berbeda-beda
setiap saat, bergantung pada kesehatan individu, tipe masalah kesehatan (mis., apakah
masalahnya akut, kronik, berat), dan tingkat perhatian serta keterlibatan keluarga.

Enam tahapan sehat/sakit dan interaksi keluarga disajikan (Tabel 1-1) untuk
mengambarkan secara lebih lanjut mengenai hubungan ketergantungan antara keluarga
dan status kesehatan anggotannya. Enam tahap yang dijelaskan berikut menggunakan
lima tahap penyakit dan perawatan medis menurut Suchman (1965) dan lima tahap siklus
sehat dan sakit keluarga menurut Doherty dan Campbell (1988). Tahapan ini juga
menampilkan rangakaian pengalaman keluarga yang sifatnya sementara terhadap
penyakit/disabilitas.

TABEL 2-1
ENAM TAHAP SEHAT/SAKIT DAN INTERAKSI KELUARGA
Tahap 1 Upaya Keluarga dalam Promosi Kesehatan
Tahap 2 Penilaian Keluarga terhadap Gejala
Tahap 3 Mencari Perawatan
Tahap 4 Merujuk dan Mendapatkan Perawatan
Tahap 5 Respon Akut Klien dan Keluarga terhadap penyakit
Tahap 6 Adaptasi terhadap Penyakit dan Pemulihan

Diambil sebagian dari Doherty (1992); Suchman (1965); dan Campbell


(2000,)

1. Tahap 1: Upaya Keluarga Dalam Promosi Kesehatan


Umumnya, keluarga berperan penting dalam semua bentuk promosi kesehatan dan
penurunan resiko (Campbell, 2000; Doherty, 1992). Namun, keluarga juga dapat
memanjakan anggotanya kepada hal-hal yang membahayakan kesehatan. Banyak
bentuk promosi kesehatan, pencegahan dan penurunan risiko melibatkan isu
seputar gaya hidup seperti menghentikan kebiasaan merokok dan berolahraga
secara teratur. Apakah seorang anak mendapat imunisasi tertentu, atau apakah
seorang ayah dimotivasi untuk meningkatkan kegiatan olahraga dan memakan
makanan yang bergizi, atau apakah seorang ibu mendapatkan perawatan pranatal
yang baik, semua melibatkan-kurang lebihnya-keputusan dan partisipasi keluarga.
Promosi kesehatan di mulai di keluarga. Strategi kesejahteraan, agar berhasil,
biasanya membutuhkan perbaikan gaya hidup seluruh anggota keluarga. Selain
itu, di dalam kesehatan dan citra tubuhnya-seperti, apakah mereka lemah atau
sering sakit atau sehat dan kuat.

Sayangnya, keluarga juga dapat menjadi sumber penyakit di antara anggota


keluarga. Ketidakteraturan sosial keluarga sering kali berakibat negati kepada
kesehatan anggota keluarganya. Berbagai masalah kesehatan khusus lebih sering
dijumpai terjadi pada keluarga yang bermasalah, di antaranya tuberkulosis,
gangguan jiwa (Bemak Chung & Bornemann, 1996), anoreksia, dan bulimia
(Campbell, 2000), hipertensi (Harburg, Erfurt, Chape, & Havensterin, 1973),
penyakit janatung koroner (Knutsen & Knutsen, 1991; Syme, Hyman, & Enterline,
1964), dan kematian akibat stroke. Banyak penelitian, seperti yang digambarkan
dalam sebuah tinjauan pustaka (Ross, Mirowsky, & Goldstein, 1990),
menunjukkan pengaruh kuat terhadap kesehatan. Dalam tinjauan ini ditemukan
bahwa terdapat tiga faktor dalam keluarga yang menjelaskan hubungan sebab-
akibat antara keluarga dan penyakit: hubungan pernikahan, kedudukan sebagai
orang tua, dan sistem dukungan sosial keluarga. Menurut sebuah penelitian,
California Health Project, jenis hubungan pernikahan pasangan dapat
mempengaruhi status kesehatan keluarga (Fisher & Ransom, 1995). Para peneliti
ini menemukan bahwa suami-istri yang berasal dari keluarga yang “seimbang” dan
“tradisional” memiliki nilai kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan dnegan
pasangan menikah yang berasal dari keluarga yang “bercerai” dan “mengalami
ketegangan emosional”.
2. Tahap 2: Penilaian Keluarga Terhadap Gejala
Tahap ini dimulai ketika suatu gejala individu :
1. Dikenali
2. Ditafsirkan terkait dengan keparahannya, kemungkinan penyebab, dan
makna atau artinya
3. Dirasakan mengganggu oleh yang mengalami gejala tersebut dan
keluarganya.
Tahap ini atas keyakinan keluarga akan gejala atau penyakit seorang anggota keluarga
dan bagaimana menangani penyakit tersebut (Doherty & Campbell, 1998; Cahmpbell,
2000). Karena keluarga berperan sebagai titik tumpu acuan guna mengkaji perilaku
kesehatan dan batasan dasar sehat-sakit, keluarga dapat mempengaruhi persepsi individu.
Anggota keluarg sentral (biasanya ibu) yang mempenagruhi penilaian kesehatan
dibeberapa kepustakaan disebut “ahli kesehatan keluarga” (Doherty & baird 1997).
Keluarga mempengaruhi pengenalan dari interprestasi gejala penyakit. Keluarga imigran
yang miskin atau yang baru tiba sering kali berespon lambat terhadap gejala awal karena
kurangnya akses kepelayanan kesehatan atau karena mereka tidak mengenali beberapa
gejala sebagai tanda penyakit yang serius (Brown, Ponce, & Rice, 2001; Koos 1954).
3. Tahap 3 : Mencari Perawatan
Tahapan pencarian perawatan dimulai ketika keluarga memutuskan bahwa anggota
keluarga yang sakit benar-benar sakit dan membutuhkan pertolongan. Individu
yang sakit dan keluarga muali mencari pengobatan, informasi, saran, dan validasi
profesional dari extended family, teman, tetangga, pihak nonprofesional lainnya
(stuktur rujuan awan), dan Internet. Keputusan menyangkut apakah penyakit
anggota keluarga sebaiknya ditangani di rumah atau di klinik atau di rumah sakit,
cenderung di negosiasikan di dalam keluarga (Doherty, 1992). Sebagai contoh,
Richardson (1970), dalam sebuah penelitian terhadap rumah tangga berpendapatan
rendah di daaerah perkotaan, menemukan bahwa setengah keluarga yang memiliki
anggota keluarga yang sakit melaporkan bahwa mereka berkonsultasi dengan
anggota keluarga lain mengenai apa yang harus mereka lakukan terhadap situasi
yang mereka alami. Knapp dan rekan (1966) juga menemukan bahwa keluarga
merupakan sumber informasi yang paling sering menyebutkan mengenai obat
buatan rumah dan pengobatan mandiri.

Keluarga tidak hanya memberikan definisi dasar sehat, tetapi anggota keluarga
juga dapat menekan seorang anggota keluarganya untuk mencapai tahap ini jika
keluarga beranggapan bahwa anggota keluarga tidak memberikan reaksi
semestinya. Proses ini mungkin akan menjadi hal yang sangat sulit bagi keluarga,
terutama jika yang menjadi masalah utama adalah gangguan psikiatri (Pederson,
Braguns, Lonner, dan Trimble, 1996). Hal ini dapat terjadi karena dibeberapa
budaya, penyakit jiwa sering kali dipandang sebagai kondisi yang memalukan bagi
seluruh keluarga. Selain itu, keluarga harus menjuluki insividu tersebut sakit jiwa
dan mengungkapkan masalah ke masyarakan dan/ atau mengakui rasa bersalah dan
malu yang mereka rasakan. Masalah akan menjadi semakin rumit ketika individu
yang mengalami gangguan jiwa tersebut menyangkal gangguan yang dialaminya
atau menyalahkan keluarga (Gavazzi & Schock, 2000).

4. Tahap 4: Merujuk Dan Mendapatkan Perawatan


Tahap ini dimulai saat dilakukkan kontak dengan pelayanan kesehatan atau tenaga
kesehatan profesional dan/atau praktisi pengobatan tradisional atau rakyat. Banyak
penelitan telah menunjukkan secara jelas bahwa keluarga berfungsi sebagai
lembaga yang membantu dalam menentukan tempat terapi harus diberikan dan
oleh siapa (de Souza & Gualda, 2000; Pratt, 1976). Keluarga bertindak sebagai
agen perujukan kesehatan utama dan akan merujuk anggotanya kejenis layanan
atau praktisi yang dinilai sesuai. Tentu saja, keputusan mengenai layanan yang
akan digunakan juga ditentukan oleh ketersediaan dan kemudahan akses pelayanan
kesehatan bagi keluarga.

Sebagian besar data mengenai pemanfaatan pelayanan kesehatan menjukkan


bahwa dokter dan dokter spesialis merupak sumber perawatan utama yang
digunakan oleh keluarga berada, sedangkan ruang gawat darurat merupakan
sumber perawatan yang paling umum digunakan oleh keluarga miskin (Center For
Healt Economics Reserch, 1993). Dikalangan keluarga pekerja dan kelas
menengah yang memiliki asuransi kesehatan, terdapat peningkatan dalam
pemanfaatan kelompok praktik (Organisasi Pemeliharaan Kesehatan) yang dibayar
dimuka dan sistem pengelolaan perawatan lainnya.

Bagaimana keluarga menentukan klinik atau penyedia pelayanan kesehatan mana


yang harus dihubungi? Walaupun dibeberapa variable, seperti penerimaan,
ketepatan, adekuasi perawatan yang diberikan, dan keseriusan kondisi merupakan
hal yang penting, kemudahan akses ke fasilitas perawatan utama tampaknya juga
menjadi penentu utama dalam menentukan siapa yang akan dihubungi oleh
keluarga (Campbell, 2000).

5. Tahap 5 : Respons Akut Klien Dan Keluarga Terhadap Penyakit


Ketika klien menerima asuhan dari praktisi kesehatan, klien menyerahkan hak dan
keputusan tertentu, dan diharapkan menerima peran sebagai pasien, yang ditandai
dengan ketergantungan pada sarana profesional, kemauan untuk menaati saran
pelayanan kesehatan, dan berupaya untuk pulih. Parsons (1951) menyebutkan
status sosial ini dengan “Peran sisakit”. Bagaimana peran ini didefinisikan dan
dijalankan dirumah akan dipengaruhi oleh latar belakang sosial budaya dan
keunikan keluarga. Beberapa keluarga membebaskan individu yang sakit dari
semua kewajibannya dan memberikan “layanan dan bantuan” secara penuh.
Keluarga yang lain mengharapkan tidak banyak perubahan perilaku terhadap
individu yang sakit tersebut, mereka berharap bahwa yang bersangkutan dapat
melakukan tugas seperti biasanya; pendekatan ini sering dijumpai saat individu
yang sakit adalah ibu atau individu yang menjadi pemberi asuhan sentral.

Dengan demikian, unit keluarga berperan penting dalam menentukan perilaku


peran anggotanya yang sakit. Keluarga juga merupakan lembaga penentu dalam
memutuskan tempat pengobatan harus diberikan-rumah sakit, klinik, atau rumah
(Doherty, 1992). Upaya yang dilakukan oleh profesional kesehatan untuk
menangani penyakit dan mempromosikan kesehatan yang baik seringkali
bertetangan dengan nilai dan sikap keluarga terhadap pengobatan dan apa yang
penting bagi keluarga.

6. Tahap 6: Adaptasi Terhadap Penyakit Dan Pemulihan


Proses adaptasi pemulihan anggota keluarga terhadap penyakit dan adaptasi serta
kooping keluarga sebagai sebuah unit, telah lama dipelajari secara mendalam oleh
para ilmuan keluarga dan perawat peneliti keluarga. Tahap adaptasi adalah masa
saat perawat dihubungi untuk membantu keluarga menghadapi stressor kesehatan.
Isu yang penting adalah apakah pasien tersebut dapat mengemban kembali
tanggung jawab perannya yang terdahulu (sebelum sakit) atau pasien mampu untuk
menciptakan sebuah peran baru yang dapat dilakukan dalam keluarga. Baik karena
sifat penyakit pasien serius (sangat melumpuhkan atau memburuk secara progresif)
maupun karena anggota keluarga yang sakit adalah anggota keluarga yang penting
dan penyokong fungsi keluarga, sehingga dampaknya terhadap keluarga (Murray,
2000; Sussman & Slater, 1963).

Keluarga kemudian menjalankan sebuah peran pendukung yang penting selama


periode pemulihan dan rehabilitasi klien. Jika dukungan ini tidak tersedia
keberhasilan pemulihan/rehabilitasi menurun secara signifikan.

2.6 Keluarga Sehat


2.6.1 Stuktur Keluarga

Stuktur keluarga terdiri dari bermacam-macam diantaranya:

 Patrilineal adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam
beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ayah.
 Matrilineal adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah
dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ibu.

 Matrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah
istri.

 Patrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah
suami.

 Keluarga kawinan adalah hubungan suami istri sebagai dasar dari pembinaan
keluarga, dan beberapa sanak keluarga yang menjadi bagian keluarga karena
adanya hubungan suami astir.

Ciri-ciri keluarga ;

1. Diikat dalam suatu tali perkawinan

2. Ada hubungan darah

3. Ada ikatan batin

4. Ada tanggung jawab masing-masing anggot keluarga

5. Ada pengambilan keputusan

6. Kerjasama diantara anggota keluarga

7. Komunikasi interaksi antar anggota keluarga

8. Tinggal dalam suatu rumah

Ciri-ciri keluarga Indonesia :

1. Suami sebagai pengambil keputusan

2. Merupakan suatu kesatuan yang utuh

3. Berbentuk monogram

4. Bertanggug jawab

5. Pengambil keputusan

6. Meneruskan nilai-nilai budaya bangsa

7. Ikatan kekeluargaan sangat erat


8. Mempuyai semangat gotongroyong

Pola kehidupan keluarga Indonesia ;

1. Daerah pedesaan

a. Tradisional

b. Agraris

c. Tenang

d. Sederhana

e. Akrab

f. Menghormati orang tua

2. Daerah perkotaan

a. Dinamis

b. Rasional

c. Konsumtif

d. Demokratif

e. Individualis

f. Terlibat dalam kehidupan politik

2.6.2 Pemegang Kekuasaan dalam Keluarga

 Patriakal, yang dominant dan memegang kekuasaan dalam keluarga adalah dipihak
ayah.

 Matriakal, yang dominant dan memegang kekuasaan dalam keluarga adalah dipihak
ibu.

 Equalitarian, yang memegang kekuasaan dalam keluarga adalah ayah dan ibu.

2.6.3 Fungsi Keluarga

Ada beberapa fungsi yang dapat dijalankan keluarga, sebagai berikut:


1. Fungsi Biologis

· Untuk meneruskan keturunan

· Memelihara dan membesarkan anak

· Memenuhi kebutuhan gizi keluarga

· Memelihara dan merawat keluarga

2. Fungsi Psikologis

· Memberikan kasih sayang dan rasa aman

· Memberikan perhatian diantara anggota keluarga

· Membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga

· Memberikan identitas keluarga

3. Fungsi Sosialisasi

· Membina sosialisasi pada anak

· Membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan


anak

· Meneruskan nilai-nilai budaya keluarga

4. Fungsi Ekonomi

· Mencari sumber-sumber penghasilan untuk membentuk kebutuhan keluarga

· Pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan


keluarga

· Menabung untuk kebutuhan-kebutuhan keluarga dimasa yang akan datang

5. Fungsi Pendidikan

· Menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, keterampilan


dan

membentuk prilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang


dimilikinya
· Mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang untuk

memenuhi peranannya sebagai orang dewasa

· Mendidik anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangannya

2.6.4. Tugas-Tugas Keluarga

Pada dasarnya tugas keluarga ada 8 tugas pokok sebagai berikut :

· Pemeleliharaan isi keluarga dan para anggotanya

· Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga

· Pembagian tugas masing-masig angotanya sesuai kedudukannya masing-


masing

· Sosialisasi anggota keluarga

· Pegaturan jumlah anggota keluarga

· Pemelliharaan ketertiban anggota keluarga

· Penempatan aggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas

· Pembangkitan dorongan dan semangat para anggota keluarga

2.7. Perubahan Sosial Yang Mempengaruhi Keluarga


2.7.1 Perubahan jenis Keluarga

Arah perkembangan keluarga sangat berkaitan dengan perubahan sistem


sosialnya.Perubahan kehidupan keluarga dari tradisional/pra modern menjadi modern
danpost modern dapat dilihat dari aspek jenis keluarga, landasan dan kondisi
hubungansuami istri, serta praktek pembesaran anak.Pada sistem sosial tradisional/pre
modern, dimana masih dominannya pertaniandan budaya pertanian, umumnya adalah
bentuk keluarga luas (ekstended) danhubungan kekerabatan masih erat. Keluarga besar
ikut serta berbagi peran dalampraktek pembesaran anak. Keluarga tradisional
menekankan pentingnya harmony dengan lingkungan. Segala persepsi pemikiran, dan
perasaan tercermin secara detaildalam simbol-simbol, ritual, dan adat-adat di
lingkungannya.Keluarga inti modern dibentuk oleh tiga sentimen (Zeitlin et al, 1995);
pasangan Romantic love, dimana pernikahan dilakukan bukan karena alasan kekayaan
danstatus sosial, persepsi bahwa wanita memiliki naluri keibuan dan peduli
terhadapanak, serta kepercayaan bahwa hubungan individu dalam keluarga lebih
eratdibandingkan hubungan di luar keluarga. Pada keluarga modern terjadi
perubahanantara nilai sosial, struktur keluarga, teknologi, dan struktur masyarakat.
Hubungansuami istri lebih menunjukkan kesetaraan, akibat dari meningkatnya posisi
tawar(bargaining position) wanita.Banyak tekanan-tekanan eksternal terhadap keluarga,
serta terdapatnya perbenturanpelaksanaan fungsi-fungsi keluarga dapat menyebabkan
kondisi chaos dankejenuhan sosial dalam kehidupan keluarga. Dominannya budaya
materill danmeningkatnya pendidikan dan keterampilan wanita membuat keluarga
senantiasadihadapkan pada dua pilihan : meningkatkan pendapatan dengan masuknya
wanitake sektor publik atau melaksanakan fungsi pembesaran dan pengasuhan
anak.Persaingan kerja yang semakin kompetitif, stress pekerjaan, kesulitan membagi
waktu, rasa bersalah karena mengabaikan peran pengasuhan merupakan situasi
dankondisi yang sering ditemui keluarga yang istrinya bekerja. Kondisi tersebut
dapatmengakibatkan ketidakberlangsungan keluarga sebagai akibat kejenuhan
sosialdalam kehidupan keluarga dan dapat mengakibatkan apa yang disebut
sebagaikeluarga mengambang (floating family).Keluarga postmodern dicirikan dari
pengakuan berbagai nilai dan kepercayaan yang beragam yang membawa ke situasi
toleransi lebih besar terhadap perbedaan-perbedan pandangan hidup. Sisi negatif dari
pemahaman tersebut adalahterdapatnya kebebasan, kesejahteraan yang lebih baik, dan
kesempatan yang lebih besar untuk eksplorasi kehidupan tor-faktor eksternal yang
mempengaruhi kehidupan keluarga diantaranyaadalah adalah:

 Industrialisasi, Ilmu pengetahun, dan Teknologi, Transformasi ekonomi


dariagraris ke industri telah mengubah kehidupan keluarga melalui perubahan
nilaiarti ikatan kekerabatan, dan semakin elastisitasnya ikatan keluarga.
 Modernisasi menyebabkan komersialisasi pada berabgai aspek. Informasi
globalmenyebabkan terjadinya globalisasi nilai standar hidup termasuk
didalamnyaperawatan kesehatan, gizi, pendidikan, dan Hak Azaz Manusia.
 Migrasi penduduk, karena daya dorong desa (agrasi) dan daya tarik
kota(industri). Migrasi penduduk baik urbanisasi ataupun transmigrasi,
telahmerubah gambaran keluarga dari keluarga luas (ektended) menjadi
keluarga inti(nuklear), dan segala konsekuensi dari perubahan tersebut.
 Perubahan permintaan tenaga kerja. Perkembangan ekonomi telah
merubahpeta bidang-bidang usaha dan jenis-jenis pekerjaan serta kualifikasi
dankompetensi yang dibutuhkan masing-masing jenis pekerjaan.
Meningkatnyakebutuhan tenaga kerja yang memiliki ketekunan dan ketelitian,
yang biasanyamenjadi ciri keahlian wanita, telah mendorong wanita, bersaing
dengan priamemasuki pasaran kerja.
 Peningkatan pendidikan wanita. Semakin meningkatnya pendidikan
wanitamendorong wanita (belum menikah dan telah menikah) untuk bekerja di
luarrumah. Data BPS tahun 1996 di Indonesia menunjukkan terdapat ....%
wanita berpendidikan diatas SLTP, dan .....% Tingkat Partisipasi Angkatan
Kerja Wanita(TPAKW), dibandingkan dengan data BPS tahun ..... yang
menunjukkan terdapat.....% wanita berpendidikan minimal SLTP dan ....%
TPAKW.
 Perubahan Demografi penduduk dengan menurunnya tingkat
pertambahanpenduduk dan penurunan tingkat kematian. Penurunan laju
pertambahanpenduduk terjadi berkat program pengendalian pertambahan
penduduk, yaituprogram KB (di Indonesia).Faktor eksternal mempengaruhi
faktor internal dalam keluarga. Faktor internalutama karena perubahan sosial
bisa dilihat dari ikatan suami-istri yang telah equal,dimana wanita atau istri
memiliki posisi tawar (bargaining position) yang lebih baik akibat peningkatan
pendidikan dan peningkatan akses terhadap informasi dankemajuan-kemajuan
global, serta kualitas dan kuantitas pengasuhan anak, terutamakarena
keputusan wanita untuk memasuki sektor publik. Transformasi padakeluarga
bisa dilihat dari (Zeitlin et al, 1995)

2.7.2 Perceraian

Perceraian mempengaruhi kesejahteraan anggota keluarga terutama anak dan wanita


yang bercerai, baik dari konteks psikologi, demikian pula dari konsekuensiekonomi.
Hasil penelitian Lenore J Weitzman yang ditulis dalam bukunya “The Divorce
Revolution : The unexpected sosial and economic consequences for women and
children in america” menganalisis bahwa dengan hukum perceraian yang neutralpun,
dirasakan bahwa tidak terdapat kesamaan akibat dari perceraian bagipria dan wanita,
terutama konsekuensi ekonomi yang dirasakan oleh ibu rumahtangga dan ibu muda
yang memiliki anak-anak, terutama anak yang masih kecil.Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa laki-laki yang bercerai mengalamipeningkatan 42% standar hidup,
sebaliknya bagi wanita yang bercerai dan anak-anak, perceraian menyebabkan
penurunan 73% standar hidup.Pria yang bercerai umumnya memiliki kondisi finansial
yang lebih baik karenasetelah bercerai pekerjaan dan pendapatannya terus berjalan
tanpa gangguan ataupembagian. Pengadilan umumnya tidak meminta pria untuk
membagipendapatannya dengan mantan istrinya. Wanita yang memilih untuk mengurus
rumah tangga, menjadi ibu, dan tidak memberikan sumbangan ekonomi terhadap
keluarga, kemampuan wanita tersebutuntuk mendukung kehidupan dirinya sendiri tidak
terasah dengan baik. Perceraian yang terjadi akan membuatnya tidak setara (tidak equal)
dengan mantan suaminya,terlebih lagi dengan beban tanggungan anak-anak yang ikut
bersamanya.Konsekuensi kesetaraan yang diakibatkan aplikasi pembagian harta
akibatperkawinan, menyebabkan wanita yang diceraikan kehilangan rumah,
mengganggusekolah anak, tetangga, dan ikatan persahabatan. Hak mendapat
tunjangan,diperlukan bagi wanita yang membawa pertanggungan anak. Diperlukan
suaturevolusi hukum perceraian yang memuat didalamnya hak pertanggungan,
sertaredefinisi hak dan tanggungjawab suami dan istri dalam hukum perkawinan.

Faktor Keluarga Disfungsional atau Patologis Sebagai PenyebabGangguan Psikis Anak.

Pengkajian patologis sosial menjelaskan bahwa keluarga merupakan faktor sosialpaling


utama yang memberikan pengaruh-pengaruh predisposional psikis kepadaanak-anak
dan orang muda. Penyebab paling utamanya adalah ketidakmampuanorangtua
melaksanakan fungsinya sebagai pendidik dan tidak berfungsinya keluargasebagai
lembaga psikososial (Kartini Kartono, 1986). Bentuk keluarga yangmenghasilkan anak-
anak neurotis biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

o Keluarga menuntut kepatuhan total anak. Keluarga hanya mau


menerima,menyayangi dan mengakui anak hanya atas dasar syarat-syarat
normatif tertentu, yaitu asal anak mau mematuhi perintah-perintah dan
menjauhilarangan-larangan tertentu, juga bersedia mengingkari impuls-impuls
dorongantertentu. Dengan tekanan dan larangan yang ketat, anak
mengembangkanmekanisme penangkal, mekanisme penolakan/penangkisan,
dan mekanismepelarian diri, untuk mendesakkan impulas-impuls sendiri
kedalamketidaksadaran, juga menekan banyak perasaan-perasaan.
o Dominasi dan kekuasaan mutlak atau sikap otoriter orang tua. Anak tidak
mampu menemukan jalan hidupnya sendiri, karena harus patuh secara total
pada pembatasan-pembatasan yang dilakukan orang tua. Muncullah agresi
danpenolakan pada diri anak, terjadi konflik intrapsikis antara kepatuhan total
untuk merebut perhatian dan kasih sayang orang tua, dengan keinginan bebas
sendiri yang muncul jadi agresivitas, dan kemudian berkembang menjadi
gejala neurotis.
o Pengaruh ayah yang bertentangan dengan pengaruh ibu. Kondisi
tersebutmembingungkan anak, mendorong anak berfikir tidak logis, serta
mereaksirespon secara tidak wajar.
o Pola hidup orang tua yang berantakan. Jika orang tua tidak konstan dan tidak
stabil dalam perasaan, fikiran, kemauan, dan tingkah lakunya; jika ayah dan
ibu berbeda ideal, simpati dan antipatinya, berbeda pandangan hidupnya, dan
tidak and children in america” menganalisis bahwa dengan hukum perceraian
yang neutralpun, dirasakan bahwa tidak terdapat kesamaan akibat dari
perceraian bagipria dan wanita, terutama konsekuensi ekonomi yang dirasakan
oleh ibu rumahtangga dan ibu muda yang memiliki anak-anak, terutama anak
yang masih kecil.Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa laki-laki yang
bercerai mengalamipeningkatan 42% standar hidup, sebaliknya bagi wanita
yang bercerai dan anak-anak, perceraian menyebabkan penurunan 73%
standar hidup.Pria yang bercerai umumnya memiliki kondisi finansial yang
lebih baik karenasetelah bercerai pekerjaan dan pendapatannya terus berjalan
tanpa gangguan ataupembagian. Pengadilan umumnya tidak meminta pria
untuk membagipendapatannya dengan mantan istrinya. Wanita yang memilih
untuk mengurus rumah tangga, menjadi ibu, dan tidak memberikan
sumbangan ekonomi terhadap keluarga, kemampuan wanita tersebutuntuk
mendukung kehidupan dirinya sendiri tidak terasah dengan baik. Perceraian
yang terjadi akan membuatnya tidak setara (tidak equal) dengan mantan
suaminya,terlebih lagi dengan beban tanggungan anak-anak yang ikut
bersamanya.Konsekuensi kesetaraan yang diakibatkan aplikasi pembagian
harta akibatperkawinan, menyebabkan wanita yang diceraikan kehilangan
rumah, mengganggusekolah anak, tetangga, dan ikatan persahabatan. Hak
mendapat tunjangan,diperlukan bagi wanita yang membawa pertanggungan
anak. Diperlukan suaturevolusi hukum perceraian yang memuat didalamnya
hak pertanggungan, serta redefinisi hak dan tanggungjawab suami dan istri
dalam hukum perkawinan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

 Ali, Z. (2009). Pengantar Keperawatan Keluarga. Jakarta : EGC


 Jhonson, R & Leni, R. (2010). Keperawatan Keluarga. Jogjakarta : Nuha Medika.
 Mubarak, W, I. (2005). Pengantar Keperawatan Komunitas 1. Jogjakarta : Sagung
Seto.
 Padila. (2012). Buku Ajar Keperawatan Keluarga. Jogjakarta : Nuha Medika.
 Matono, lidya harlina. (2008) Peran Orang Tua dalam Mencegah danMenanggulangi
Penyalahgunaan Narkoba Jakarta : Balai Pustaka
 Nadhufah, A. 2012. Membina Keluarga. http://digilib.uinsby.ac.id/10016/5/bab2.pdf
(di akses pada tanggl 5 April 2018)
 Syaripudin, Tatang. (2017). Pedagogik Teoritis Sistematis. Percikan Ilmu: Bandung.
 Ahmadi, Abu. (2012). Psikologi Sosial. Rineka Cipta: Jakarta.
 Sudiharto.(2007). Asuhan Keperawatan keluarga dengan pendekatan keperawatan
transkultural ; editor, Esty Whayuningsih – Jakarta : EGC
 Soetjiningsih. 2012. Perkembangan Anak dan Permasalahannya dalam Buku Ajar I
Ilmu Perkembangan Anak Dan Remaja. Jakarta :Sagungseto .Pp 86-90.

Anda mungkin juga menyukai