Anda di halaman 1dari 32

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN
Istilah anestesia yang artinya hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang disertai
maupun yang tidak disertai hilang kesadaran. Obat yang digunakan dalam menimbulkan
anestesia disebut sebagai anestetik, dan kelompok obat ini dibedakan dalam anestetik
umum dan anestetik lokal. Bergantung dalamnya pembiusan, anestetik umum dapat
memberikan efek analgesia yaitu hilangnya sensasi nyeri, atau anestesi yaitu analgesia
yang disertai hilangnya kesadaran, sedangkan anestetik lokal hanya dapat menimbulkan
efek analgesia. Anestetik umum bekerja di susunan saraf pusat sedangkan anestetik lokal
bekerja langsung pada serabut saraf di perifer (Setiabudy, 2008).
Anestetik yang pertama dikenal adalah gas N2O yang disintesis pada tahun 1776.
Beberapa puluh tahun kemudian ditemukan dietil eter yang juga berbentuk gas, tetapi
baru pada pertengahan abad ke-19 kedua zat ini digunakan pada manusia. Operasi
pertama yang menggunakan anestetik umum berlangsung di kamar bedah “ether dome”
RS Massachusset pada tahun 1846. William TG Morton seorang dokter gigi mencobanya
pada hewan dan pada dirinya sendiri, yakin bahwa eter lebih baik dari pada N2O
(Setiabudy, 2008).
2.2 Pemberian anestesi dalam pertolongan persalinan ataupun setelah persalinan
Tidak semua persalinan dilakukan tindakan pemberian anestesi. Pemberian anestesi
hanya diberikan apabila terjadi penyulit baik itu dalam persalinan ataupun setelah
persalinan. Tindakan pemberian anestesi ini, dilakukan apabila terjadi robekan. Baik itu
robekan jalan lahir spontan, robekan karena tindakan episiotomi ataupun operasi sesar.
Jadi pemberian anestesi ini dilakukan dalam tindakan pembedahan (menghilangkan rasa
nyeri dalam pembedahan baik dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar) serta penjahitan
(untuk mencegah terjadinya perdarahan yang semakin banyak).
Adapun penyulit dalam persalinan itu sendiri meliputi;
1. Terjadi gawat janin
2. Robekan jalan lahir
3. Lilitan tali pusat (setelah dilakukan pemeriksaan USG)
4. Plasenta Previa (tergantung pada letak implantasi plasenta)
5. Solusio plasenta (tergantung kondisi janin dan ibu dalam pengambilan keputusan
tindakan)
6. Preeklampsia
7. Serotinus (dilihat dari keadaan janin atau waspada dengan ketuban)
8. KPD (melihat kematangan serviks dan kondisi janin serta ibu)
9. Kehamilan dengan parut uterus (baik dilakukan SC pada persalinan sebelumnya, atau
operasi pada dinding rahim maupun rupture uteri)
10. Gemeli
11. Makrosomia
12. Persalinan lama
13. Malposisi, malpresentasi dan CPD
14. Penyakit penyerta kehamilan dll.
Seperti yang telah disebutkan di atas tentang penyulit dalam persalinan, semua
tindakan yang dilakukan dalam persalinan tidak harus menggunakan anestesi. Anestesi
hanya diberikan pada kehamilan penyulit baik itu dalam tindakan episotomi, robekan
jalan lahir spontan dan tindakan pembedahan sesar. Jadi apabila persalinan dalam
keadaan normal tidak memerlukan pemberian anestesi.
Dibawah ini akan dijelaskan tentang robekan jalan lahir spontan ataupun tidakan
episiotomi sesuai dengan wewenang yang wajib dilakukan oleh bidan. Karena untuk
tidakan pembedahan hanya dilakukan oleh dokter spesialis.
2.2.1 Robekan Jalan Lahir
Laserasi spontan pada vagina atau perineum dapat terjadi saat kepala dan bahu
dilahirkan. Kejadian laserasi akan meningkat jika bayi dilahirkan terlalu cepat dan tidak
terkendali (JNPK, 2007). Sehingga terjadi perdarahan di mana plasenta telah lahir
lengkap dan kontraksi rahim baik, bisa dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal
dari perlukaan jalan lahir (Hadijono, 2006). Laserasi terutama cenderung terjadi pada
perineum, di daerah periuretral, dan pada iskiadikus spinalis disepanjang aspek-aspek
posterolateral vagina. Serviks dapat menyebabkan laserasi pada dua sudut lateral
sementara terjadi dilatasi yang cepat dalam tahap pertama persalinan (Hacker, 2001).
2.2.2 Klasifikasi Klinis
a. Robekan perineum
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak
jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindari atau dikurangi
dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat.
Sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlalu kuat dan lama, karena
akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin serta
melemahkan otot-otot maupun fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu
lama. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas
apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil dari pada biasa
sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang dari pada biasa, kepala janin
melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar dari pada
sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan
vaginal (JNPK,2007).
b. Robekan dinding vagina
Perlukaan vagina ini lebih sering terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan
cunam, lebih-lebih apabila kepala janin harus diputar. Robekan terdapat pada
dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan dengan spekulum. Perdarahan
biasanya banyak, tetapi mudah diatasi dengan jahitan. (Wiknjosastro, 2002).
c. Robekan serviks
Terkadang persalinan dapat mengakibatkan robekan pada serviks, sehingga
serviks seorang multipara berbeda dari pada primipara yang belum pernah
melahirkan pervaginam. Robekan serviks biasanya terdapat di pinggir samping
serviks bahkan kadang-kadang sampai ke segmen bawah rahim dan membuka
parametrium. Robekan yang sedemikian dapat membuka pembuluh-pembuluh darah
yang besar dan menimbulkan perdarahan yang hebat. Robekan semacam ini
biasanya terjadi pada persalinan buatan seperti; ekstraksi dengan forsep; ekstraksi
pada letak sungsang, versi dan ekstraksi, dekapitasi, perforasi, dan kranioklasi
terutama jika dilakukan pada pembukaan yang belum lengkap ( dilakukan pimpinan
persalinan pada saat pembukaan masih belum lengkap atau ibu meneran sebelum
waktuya) (Sastrawinata, 2004).
d. Ruptura uteri
Ruptura uteri atau robekan uterus merupakan peristiwa yang sangat berbahaya,
yang umumnya terjadi pada persalinan, kadang-kadang juga pada kehamilan tua.
Robekan pada uterus dapat ditemukan untuk sebagian besar pada bagian bawah
uterus. Pada robekan ini kadang-kadang vagina atas ikut serta pula. Apabila robekan
tidak terjadi pada uterus melainkan pada vagina bagian atas, hal ini dinamakan
kolpaporeksis. Kadang-kadang sukar membedakan antara ruptura uteri dan
kolpaporeksis. Apabila pada ruptura uteri peritoneum pada permukaan uterus ikut
robek, hal ini dinamakan ruptura uteri komplet, jika tidak disebut ruptura uteri
inkomplet. Pinggir ruptura biasanya tidak rata, letaknya pada uterus melintang, atau
membujur, miring, dan bisa agak ke kiri atau ke kanan. Menurut cara terjadinya
ruptura uteri terbagi atas;
1) Ruptur uteri spontan,
2) Ruptur uteri traumatik,
3) Ruptur uteri pada parut uterus (Wiknjosastro, 2002).
2.2.3 Derajat robekan
a) Derajat I : Ruptur terjadi hanya pada mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum.

b) Derajat II : Ruptur terjadi pada mukosa vagina, komisura posterior, kulit


perineum dan otot perineum.

c) Derajat III : Ruptur mengenai pada mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum, otot perineum, dan otot spingter ani.

d) Derajat IV : Ruptur mengenai pada mukosa vagina, komisura posterior, kulit


perineum, otot perineum, otot spingter ani, dan rectum.
2.2.4 Penanganan Robekan Jalan Lahir
Tujuan menjahit laserasi atau episiotomi adalah untuk menyatukan kembali
jaringan tubuh (mendekatkan) dan mencegah kehilangan darah yang tidak perlu
(memastikan hemostasis). Ingat bahwa setiap kali jarum masuk jaringan tubuh, jaringan
akan terbuka dan menjadi tempat yang potensial untuk timbulnya infeksi. Oleh sebab
itu pada saat menjahit laserasi atau episiotomi gunakan benang yang cukup panjang dan
gunakan sesedikit mungkin jahitan untuk mencapai tujuan pendekatan dan hemostasis.
Berikan anastesi lokal pada setiap ibu yang memerlukan penjahitan robekan jalan lahir
atau episiotomi. Pemberian anestesi lokal merupakan asuhan sayang ibu pada lima
benag merah.
Jelaskan pada ibu apa yang akan dilakukan dan bantu ibu merasa santai. Jika
ibu dilakukan tindakan episiotomi dengan anestesi lokal, lakukan pengujian pada luka
untuk mengetahui bahwa bahan anestesi masih bekerja. Sentuh luka dengan jarum yang
tajam atau cubit dengan pinset. Jika ibu merasa tidak nyaman, ulangi pemberian
anestesi lokal (Winkjosastro, 2008).

Namun apabila saat akan dilakukan tindakan episiotomi, sebaiknya dilakukan


pemberian anestesi terlebih dahulu pada daerah perineum yang akan dilakukan
episiotomi. Untuk pemberiannya atau oplosannya sama saja seperti pemberian anestesi
pada proses penjahitan. Hal tersebut akan dijelaskan dibawah ini. Jenis obat yang sering
digunakan dalam kebidanan untuk anestesi adalah lidokain.

2.2.5 Cara pengoplosan lidokain


Gunakan tabug suntik steril sekali pakai dengan jarum ukuran 22 panjang 4
cm. Jarum yang lebih panjang atau tabung suntik yang lebih besar bisa digunakan, tapi
jarum harus berukuran 22 atau lebih kecil tergantung pada tempat yang memerlukan
anestesi. Obat standar untuk anestesi lokal adalah 1 % lidokai tanpa epinefrin
(silokain). Jika lidokain 1 % tidak tersedia, gunakan lidokain 2 % yang dilarutkan
dengan air steril atau normal salin dengan perbandingan 1:1 (sebagai contoh, larutkan 5
ml lidokain 2 % dengan 5 ml air steril atau normal salin untuk membuat larutan
lidokain 1 %) (Winkjosastro, 2008).
2.2.6 Pemberian anestesi lokal pada robekan jalan lahir
a. Jelaskan pada ibu apa yang akan anda lakukan dan bantu ibu merasa santai
b. Hisap 10 ml larutan lidokain 1 % ke dalam alat suntik sekali pakai ukuran 10 ml
(tabung suntik yang lebih besar boleh digunakan, jika diperlukan). Jika lidokain 1 %
tidak tersedia, larutka 1 bagian 2 % dengan 1 bagian normal salin atau air steril yag
sudah di suling.
c. Tempelkan jarum ukuran 22 sepanjang 4 cm ke tabung suntik tersebut.
d. Tusukkan jarum ke ujung atau pojok laserasi atau sayatan lalu tarik jarum sepanjang
tepi luka (ke arah bawah di antara mukosa dan kulit perineum).
e. Aspirasi (tarik pendorong tabung suntik) untuk memastikan bahwa jarum tidak
berada dalam pembuluh darah. Jika darah masuk ke tabung suntik, jangan suntikan
lidokain dan tarik jarum seluruhnya. Pindahkan posisi jarum dan sutikkan kembali.
Alasan ; Ibu bisa mengalami kejang dan kematian bisa terjadi jika lidokain
disuntikkan ke dalam pembuluh darah.
f. Suntikkan anestesi sejajar dengan permukaan luka pada saat jarum suntik ditarik
perlahan lahan.
g. Tarik jarum hingga sampai ke bawah tempat di mana jarum tersebut di suntikkan.
h. Arahkan lagi jarum ke daerah di atas tengah luka dan ulangi langkah d dan sekali lagi
ulagi langkah d sehingga tiga garis di satu sisi luka mendapatkan anestesi lokal.
Ulangi prose ini di sisi lain luka akan memerlukan kurang lebih 5 ml lidokain 1 %
untuk mendapatkan anestesi yang cukup.
i. Tunggu selama 2 menit dan biarkan anestesi tersebut bekerja dan kemudian uji
daerah yang di anestesi dengan cara di cubit dengan pinset atau disentuh dengan
jarum yang tajam. Jika ibu merasakan jarum atau cubitan tersebut, tunggu 2 menit
lagi dan kemudian uji kembali sebelum mulai menjahit luka.
2.3 Jenis Anestesi
Anestesi dibagi menjadi dua yaitu anestesi umum da anestesi lokal.
2.3.1 Anestesi Umum
Anestesi umum sering digunakan dalam proses pembedahan. Karena anestesi
umum memiliki manfaat dimana penderita akan mengalami analgesia, amnesia
sehingga penderita tidak akan sadar dalam proses pembedahan dan pada saat itu pula
otot-otot mengalami relaksasi dan penekanan refleks yang tidak dikehendaki.
Anestesi umum terjadi karena adanya perubahan neurotransmisi di berbagai bagian
SSP. Kerja neurotransmiter di pascasinaps akan diikuti dengan pembentukan second
messenger dalam hal ini cAMP yang selanjutmya mengubah transmisi di neuron.
Disamping itu, asetilikon sebagai neurotransmiter klasik, dikenal juga katekolamin,
serotonin, GABA, adenosin, serta berbagai asam amino dan peptida endogen yang
bertindak sebagai sebagai neurotransmiter di SSP, misalnya asam glutamat dengan
mekanisme hambatan pada reseptor NMDA (N-metil-D-Aspartat). Terlepas dari cara
penggunaannya suatu anestetik yang ideal sebenarnya harus memperlihatkan 3 efek
utama yaitu;
a. Efek hipnotik (menidurkan)
b. Efek analgesia
c. Efek relaksasi otot
Anestetik umum dibedakan atas dua cara yaitu secara inhalasi dan intravena.
a) Anestesi Inhalasi
Anestesi inhalasi yang sempurna adalah anestesi yang;
 Masa induksi dan masa pemulihannya singkat dan nyaman
 Peralihan stadium anestesinya terjadi cepat
 Relaksasi ototnya sempurna
 Berlangsung cukup aman
 Tidak menimbulkan efek toksik atau efek samping berat dalam dosis anestesi
yang lazim
 Farmakokinetik
Anestesi bergantung pada kadar anestesi di sistem saraf pusat, dan kadar ini
ditentukan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi transfer anestesi dari alveoli
paru ke darah dan dari darah ke jaringan otak. Kecepatan induksi tergantung
pada kecepatan dicapainya kadar efektif zat anestesi di otak, begitu pula masa
pemulihan setelah pemberiannya dihentikan.Membran alveoli dengan mudah
dapat dilewati zat anestesi secara difusi dari alveoli ke aliran darah dan
sebaliknya.Tetapi bila ventilasi alveoli terganggu, misalnya pada efimsema paru,
pemindahan anestesi akan terganggu pula. Faktor yang menetukan kecepatan
transfer anestesi di jaringan otak ditentukan oleh;
 Kelarutan zat anestesi (perbandingan antara kadar anestesi dalam darah dengan
kadarnya dalam udara inspirasi pada saat dicapai keseimbangan)
 Kadar anestesi dalam udara yang dihirup pasien atau disebut tekanan parsial
anestesi (proporsi yang menggambarkan kadar suatu gas yang berada dalam
suatu campuran gas)
 Ventilasi paru (Hiperventilasi mempercepat masuknya anestesi gas ke sirkulasi
dan jaringan, tetapi hal ini hanya nyata pada anestesi yang larut dalam darah
seperti halotan dan dietileter).
 Aliran darah paru (semakin cepat aliran darah ke paru, bertambah cepat pula
pemindahan anestesi dari udara inspirasi ke darah. Tetapi akan memperlambat
peningkatan tekanan darah arteri sehingga induksi anestesi akan lebih lambat
degan tingkat kelarutan sedang dan tinggi, misalnya halotan dan isofluran).
 Perbedaan antara tekanan parsial anestesi di darah arteri dan di darah vena
(semakin besar perbedaan kadar anestesi, maka keseimbangan dalam jaringan
otak akan semakin lama tercapai. Di otak, jantung, hati dan ginjal yang
perfusinya sangat baik, kadar anestesi awal dalam darah vena rendah sekali
sehingga perbedaan kadar anestesi dalam darah arteri akan tercapai dengan
lambat).
2.3.2 Stadium anestesi umum
Teknik anestesi modern serig menggunakan ventilator untuk mengendalikan
pernafasan. Semua zat anestesi menghambat SSP secara bertahap, yang mula-mula di
hambat adalah fungsi yang kompleks, dan yang paling akhir di hambat olehmedula
oblongata tempat pusat vasomotor dan pernafasan. Anestesi umum dibagi atas 4
stadium, sedangkan stadium ke 3 dibagi atas 4 tingkat:
1) Stadium I (Analgesia)
Stadium analgesia di mulai sejak saat pemberian anestesi sampai hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini pasien tidak lagi merasakan nyeri (analgesia), tetapi
masih sadar dan dapat mengikuti perintah. Pada stadium ini hanya dapat dilakukan
tindakan pembedahan ringan seperti mencabut gigi dan biopsi kelenjar.
2) Stadium II (Eksitasi)
Stadium ini di mulai sejak hilangnya kesadaran sampai munculnya pernafasan
yang teratur yang merupakan tanda dimulainya stadium pembedahan. Pada
stadium ini pasien tampak mengalami delirium dan eksitasi dengan gerakan-
gerakan di luar kehendak. Pernafasan tidak teratur, kadang-kadang apnea dan
hiperpnea, tonus otot ranga meninggi, pasiennya meronta-ronta kadang sampai
mengalami inkontinensia,dan muntah. Pada stadium ini dapat terjadi kematian,
maka dalam stadium harus cepat dilalui.
3) Stadium III (pembedahan)
Stadium III dimulai denga timbulnya kembali pernafasan yang teratur dan
berlangsung sampai pernafasan spontan hilang. Keempat tinkat dalam stadium
pembedahan ini dibedakan;
a. Tingkat 1: pernafasan teratur, spontan dan seimbang, antara pernafasan dada
dan perut, gerakan bola mata terjadi di luar kehendak, miosis, sedangkan tous
otot rangka masih ada.
b. Tingkat 2 : Pernafasan teratur tetapi frekuensinya lebih kecil, bola mata tidak
bergerak, pupil mata melebar, oto rangka mulai melemas, dan refleks laring
hilang sehingga pada tingkat ini dapat dilakukan intubasi.
c. Tingkat 3 : Pernafasan perut lebih nyata dari pada pernafasan dada karena otot
rangka sempurna, pupil lebih lebar tetapi belum maksimal.
d. Tingkat 4 : Pernafasan perut sempurna karena otot interkostal lumpuh total,
tekanan darah mulai menurun. pupil sangat lebar dan refleks cahaya hilang.
4) Stadium IV (Depresi medula oblongata)
Dimulai dengan melemahnya pernafasan dibanding stadium III tigkat 4, tekanan
darah tidak dapat diukur karena pembuluh darah kolaps, dan jantung berhenti
berdenyut dan hal ini akan disusul dengan kematian.
 Farmakodinamik
Dasar dari terjadinya anestesi, karena adanya kepekaan dari berbagai bagian
SSP terhadap anestesi. Dan sel-sel substansi gelatinosa di kornu dorsalis
medula spinalis peka sekali terhadap anestesi. Penurunan aktivitas neuron di
daerah ini menghambat tranmisi sensorik dari rangsang nosiseptik, inilah yang
menyebabkan terjadinya tahap analgesia.
2.3.3 Efek Samping dan Toksisitas yang yang dapat terjadi pada Anestesi Inhalasi
 Delirium dapat timbul selama induksi dan pada masa pemulihan.
 Muntah dapat menyebabkan aspirasi bila terjadi sewaktu induksi atau sesudah
operasi.
 Pernafasan pasien perlu diperhatikan selama pemberian anestesi inhalasi karena
dapat menimbulkan depresi nafas.
 Dapat menekan fungsi mukosilier saluran nafas, sehingga annestesi lama-lama dapat
menimbulkan penumpukan lendir.
 Vasodilatasi mengakibatkan penurunan suhu tubuh karena adanya penekanan
mekanisme termoregulasi.
 Anestesi yang kuat mengakibatkan tubuh menggigil pascabedah
 Anestesi inhalasi meningkatkan aliran darah ke otak dan ini dapat berbahaya bagi
pasien tumor otak atau trauma kepala, atau mereka yang mengalami tekanan tinggi
intrakranial.
2.3.4 Macam Anestesi Inhalasi
1. Nitrogen Monoksida (N2O : Gas Gelak)
Sifat : Satu satunya zat organik di bidang anestesi, tidak berwarna, berbau manis ,
tidak iritatif, tidak berasa, dan lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar,
tetapi bila dikombinasi dengan zat anestesi yang mudah terbakar akan
memudahkan terjadinya ledakan. (misal : campuran eter dan N2O). N2O
sukar larut dalam darah ( daya larut darah 0,47, 370C), 15 kali lebih mudah
larut dalam plasma dibanding O2 mudah hipoksia difusi dan diekskresi
sebagian besar melalui kulit dalam bentuk yang utuh. Disimpan dalam
bentuk cair dalam suhu kamar dan tekanan 5,0. Mudah melewati stadium
induksi, efek relaksasinya sangat kurang sehingga bila mengingikan
relaksasi diperlukan obat pelumpuh otot.
Iduksi N2O
Untuk induksi dipakai perbandingan 80% dan 20%, untuk efek analgesidipakai
konsentrasi yang sama. Pada anestesi pemeliharaan dipakai konsentrasi 70% N2O
dan 30% O2.
Farmakologi
Absorpsi, Distribusi dan Eliminasi :
1) Menit pertama N2O di absorpsi dengan cepat ± 100 ml/menit
2) 5 menit pertama N2O absorpsi menurun 500-700 ml/menit
3) 10 menit pertama N2O absorpsi menurun 350 ml/menit
4) 30 menit pertama N2O absorpsi menurun 200 ml/menit
5) 100 menit pertama N2O absorpsi menurun 100 ml/menit
6) Kemudian secara lambat menurun sampai 0
7) Hampir seluruhnya dikeluarkan lewat paru-paru.
Efek samping terhadap SSP :
1) Berefek analgesi yang baik, namun efek hipnotik kurang.
2) Hampir tidak memiliki efek relaksasi
Efek samping terhadap Kardiovaskuler : Tidak ditemukan perubahan yang
bermakna terhadap frekuensi denyut jantung, irama dan curah jantung.
Efek samping terhadap sistem pernafasan :
1) Depresi nafas terjadi jika tanpa O2.
2) Tidak merangsang sekresi saliva
Efek Hipoksia difusi : Pemakaian O2 min 20-30% untuk mencegah “Hipoksia
difusi” dan pemberian O2 menyebabkan aliran darah meningkat beberapa menit
setelah anestesi.
Efek lain : N2O dapat berdifusi ke pleura menyebabkan pneumothoraks, rongga
otak, usus, peritonium, aorta, dan rongga telinga tengah.
Penggunaan :
1) Umumnya kombinasi dengan O2
2) N2O : O2 = 60% : 40%, 70% : 30%, 50% : 50% (umum).
2. Siklopropan
Sifat : Berbentuk gas, berbau spesifik, tidak berwarna, disimpan dalam bentuk
cairan karena merupakan ansestesi inhalasi yang kuat. Mudah terbakar
dan meledak karena itu hanya digunakan denga sistem lingkar tutup.
Siklopropan tidah mudah larut dalam darah sehingga dalam 2-3
menitinduksi di lalui.
Dosis : Pemberian dengan kadar 1 % volume dapat menimbulkan analgesia tanpa
hilangnya kesadaran.
Kerja anestesi : Menimbulkan relaksasi otot dan sedikit mengiritasi saluran nafas.
Siklopropan tidak menghambat kontraktilitas otot jantung; curah
jantung dan tekanan arteri tetap atau sedikit meningkat sehingga
siklopropan merupakan anestesi yang terpilih untuk penanganan
pada pasien syok. Siklopropan diekskresi melalui paru, hanya 0,5
% yang dimetabolisme dalam tubuh dan diekskresi dalam bentuk
CO2 dan air.
Efek samping : dapat menimbulkan depresi, dapat menimbulkan fibrilasi atrium,
brakikardi sinus, ekstrasistol atrium, aritmia atrio-ventrikuler,
ekstrasistol ventrikel, dan ritme bergemini.
Pada masa pemulihan sering timbul mual, muntah dan delirium.
3. Eter (Dietileter)
Sifat : Tidak berwarna, mudah menguap, berbau merangsang saluran pernafasan,
mengiritasi saluran nafas, mudah terbakar, dan mudah meledak. Eter
ditempat terbuka teroksidasi menjadi peroksiddan dengan alkohol
membentuk asetaldehida, sehingga eter yang terbuka beberapa hari
sebaiknya tidak digunakan. Untuk menstabilkan digunakan timol 0,01%
dan disimpan dalam botol berwarna.
Kerja aestesi : Eter pada kadar tinggi dan sedang menimbulkan relaksasi otot dan
hambatan neuromuskular yang tidak dapat dilawan oleh
neostigimin. Eter menekan kontraktilitas otot jantung, tetapi in
vivo efek ini dilawan oleh meningkatnya aktivitas simpatis
sehingga curah jantung tidak berubah atau meninggi sedikit. Eter
diekskresi oleh melalui paru, sebagian kecil diekskresi melalui
urin, dan keringat serta melalui difusi kulit utuh. Memiliki sifat
analgesi yang kuat denga kadar dalam darah 10-15 % sudah terjadi
analgesi tetapi pasien masih sadar.
Efek samping : menyebabkan iritasi saluran nafas dan merangsang sekresi
kelenjar bronkus. Terhadap pembuluh darah ginjal, eter
menyebabkan vosokontriksi sehingga terjadi penurunan laju filtrasi
glomelurus dan produksi urin menurunsecara reversibel. Eter
menyebabkan mual muntah terutama pada waktu pemulihan tetapi
bisa terjadi juga waktu induksi.
Penggunaan eter pada sistem semi tertutup dalam kombinasi dengan oksigen
atau N2O tidak dianjurkan pada pembedahan dengan tindakan kauterisasi sebab
ada bahaya timbulnya ledakan, dan bila api mencapai paru pasien akan mati
akibat jaringan yang terbakar atau paru-parunya pecah.
4. Halotan
Sifat : Berbentu cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah terbakar, dan tidak
mudah meledak meskipun dicampur dengan oksigen. Halotan bereaksi denga
perak, tembaga, baja, magnesium, aluminium, brom, karet. Sehingga alat yang
di pakai khusus yang berasal dari bahan tertentu. Dengan nikel, titanium, dan
polietelin, halotan tidak bereaksi. Memiliki sifat aalgesia yag lemah. Jika
anestesi dihentikan, pasien akan segera sadar.
Kerja anestesi : Halotan secara langsug menghambat otot jatung dan otot polos
pembuluh darah serta menurunkan aktivitas saraf simpatis. Selain itu, halotan
meurunkan aktivitas safar simpatis. Halotan menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah otot lurik dan pembuluh darah otak. Aktivitas vagal
meningkat sehingga dapat terjadi bradikardi. Halotan dapat menimbulkan
sentisasi jantung terhadap katekolamin sehingga terjadi aritmia, sebab itu perlu
diperhatikan pemberian adrenalin pada anestesi halotan. Penggunaan halotan
berulang dapat terjadi kerusakan hepar. Kerusakan ini disebabkan oleh reaksi
alergi, gejala yang tampak adalah anoreksia, mual dan muntah dan tampak
kemerahan pada kulit. Kerusakan sel hati berupa nekrosis setrolobuler.
Halotan menghambat kontraksi otot rahimdan mengurangi efektivitas
ergotamin dan oksitosin. Hati-hati pada pemberian halotan pada penderita
operasi sesar. Absorpsi dan ekskresi melalui paru. 20 % di metabolisme dalam
tubuh dan diekskresi melalui urine dalam bentuk : trifluroasetat,
trifluroethanol, dan bromide.
Dosis pemberian : Suntikan epineprin untuk hemostasis pada pembiusan, dengan
halotan hanya boleh diberikan dengan syarat ventilasi memadai, kadar
epineprin tidak lebih dari 1:100000 dan dosis orang dewasa tidak lebih dari 10
mL larutan 1 : 100000 dalam 10 menit, atau 30 mL dalam 1 jam.
Efek samping : Bradikardi, karena aktivitas vagal yang meningkat. Halotan
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah di otot rangka dan otak sehingga
aliran darah ke otak dan otot bertambah. Penggunaan halotan berulang kali
dapat menyebabkan nekrosis hati yang bersifat alergi gejalanya berupa
anoreksia, mual, muntah, kadang-kadang kemerahan pada kulit denga
eosinofilia.
Halotan dapat mencegah spasme laring bronkus, batuk serta menghambat
saliva. Nafas buatan harus dilakukan hati-hati karena dapat menyebabkan
dosis halotan yang berlebihan.
Keuntungan : Induksi mulus dan cepat, stimulasi minimal pada sekresi saliva
dan bronkial, bronkodilatasi, relaksasi otot, pemulihan cepat.
Kerugian : Analgesia lemah, harga mahal, aritmia, shivering (menggigil post
operasi) R/ petidin 20 mg.
5. Enfluran
Sifat : Tidak berwarna, berbentuk cair, mudah menguap, berbau enak tapi jarang
dipakai di pediatri, anestesi eter berhalogen tidak mudah terbakar, fase
induksi yang relatif lambat.
Farmakologi
Pengambilan dan distribusi :
1) Kesimbangan cepat atau tekanan parsial alveoli dan arteri sehingga induksi
relatif cepat
2) Nilai MAC 2x halotan berarti potensi ½ dari halotan.
Metabolisme : Dimetabolisme di hepar dan diekskresi melalui urine.
Sistem Respirasi
1) Tidak iritatif dan tidak menyebabkan sekresi saliva dan trakhebronkhial
2) Penurunan refleks laring tidak sebesar halotan
3) Depresi nafas > dalam dibanding halotan
Sistem Kardiovaskuler
1) Depresi miokard lebih kuat dari halotan (MAC yang sama) sehingga efek
hipotensi > dari pada efek halotan.
2) Aritmia jarang terjadi, pemakaian adrenalin relatif aman
Otot
1) Konsentrasi meningkatkan relaksasi uterus
2) Meningkatkan aktivitas obat pelumpuh otot dan depolarisasi
SSP
1) Mendepresi SSP, menyebabkan hipnotik
2) Pada konsentrasi inspirasi (3-3,5%) dapat menimbulkan aktivitas spike
epileptiform pada EEG, oleh karena itu dihindari untuk pasien epilepsi
Keuntungan
1) Pemulihan cepat
2) Induksi menyenangkan
3) Resiko kecil untuk pasien dengan disfungsi hati
4) Obat terpilih
Pemberian Enfluran : pemberian enfluran 1 % bersama N2O dan O2 denga ventilasi
yang terkendali, akan meurunkan tekanan itrokular dan
berguna untuk operasi mata. Kadar 0,25 %-1,25 % sudah
menimbulkan analgesia dan tidak menyebabkan perdarahan
berat pascasalin.
Efek samping : Enfluran diberikan kadar rendah karena dapat menyebabkan depresi
kardiovaskuler dan perangsangan SSP. Pasca pemulihan berupa
menggigil karena hipotermia, gelisah, delirium, mual, atau muntah.
Enfluran bisa menyebabkan kelainan ringan fungsi hati yag bersifat
reversibel. Anestsi yang dalam dengan enfluran dapat menyebabkan
depresi nafas dan depresi sirkulasi. Kadar enfluran yang tinggi dapat
menimbulkan hipokarbia, sehingga muncul pola EEG berfrekuensi
tinggi dan dapat terjadi kejang. Enfluran tidak di anjurkan untuk
pasien dengan kelainan EEG atau riwayat kejang.
6. Isofluran
Sifat : tidak mudah terbakar, secara kimia isofluran mirip enfluran, tetapi secara
farmakologis sangat berbeda, berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam
udara inspirasi membuat pasien menahan nafas dan berbatuk.
Kerja isofluran : Isofluran merelaksasi otot rangka lebih baik dan meningkatkan
efek pelumpuh otot depolarisasi maupun nondepolarisasi lebih
dari yang ditimbulkan oleh enfluran. Dengan demikian dosis
isofluran maupun pelumpuh ototnya dapat dikurangi. Selain itu,
meningkatnya aliran darah ke otot rangka dapat mempercepat
eliminasi pelumpuh otot. Tekanan darah turun dengan cepat
dengan makin dalamnya anestesi, tetapi berbeda dengan efek
enfluran curah jantung dipertahankan oleh isofluran. Hipotensi
lebih disebabkan oleh vasodilatasi di otot. Pembuluh koroner
juga dipertahankan walaupun konsumsi O2 berkurang. Dengan
kerjanya yang demikian isofluran dipandang lebih aman untuk
pasien penyakit jantung daripada halotan atau enfluran.
Efek samping : Pengalihan aliran darah dari daerah yang perfusinya buruk ke
daerah yang perfusinya baik sehingga dapat menyebabkan iskemia.
Isofluran dapat memicu refleks saluran nafas yang menyebabkan
hipersekresi, batuk dan spasme laring.
Keuntungan : Irama jantung stabil, tidak dipengaruhi adrenalin endo dan eksogen,
masa pulih anestesi cepat.
Kerugian : Harga relatif mahal
7. Desfluran
Desfluran adalah cairan yang mudah terbakar tetapi tidak mudah meledak,
bersifat absorben, dan tidak korosif untuk logam. Desfluran relatif lebih sukar
menguap sehingga dibutuhkan vasporizer khusus dalam penggunaannya. Setelah
5-10 menit obat dihentikan, pasien sudah dapat memberi tanggapan terhadap
rangsangan verbal. Oleh karena itu desfluran lebih disukai untuk prosedur bedah
singkat atau pada bedah rawat jalan. Efeknya dapat menimbulkan batuk, sesak
nafas, atau bahkan spasme laring sehingga biasanya desfluran tidak digunakan
untuk induksi dan di ganti dengan anestesi intravena.
8. Sevofluran
Adalah anestesi inhalasi baru yang memberikan induksi dan pemulihan lebih
cepat dari pendahuluannya. Sayangnya zat ini tidak stabil secara kimiawi. Bila
terpajan absorben CO2, sevofluran akan terurai menghasilkan zat yang bersifat
nefrotoksik. Metabolismenya di hatipun mengahasikan ion fluor yang juga
merusak ginjal.
9. Fluroksen
Eter berhalogen, dengan sifat seperti eter, mudah terbakar, tetapi tidak mudah
meledak. Fluroksen meimbulkan analgesia yag baik, tetapi relaksasi otot sangat
kurang baik.
10. Xenon
Xenon sangat tidak larut dalam darah dan jaringan, sehingga induksi dan masa
pemulihannya sangat cepat. Biasanya diberikan bersama O2.
2.3.5 Anestesi Intravena
Tujuan dalam pemberian anestesi ini adalah :
1. Induksi anestesi
2. Induksi dan pemeliharaan anestesi pada tindak bedah sigkat
3. Menambah efek hipnosis pada anestesi atau analgesi lokal
4. Menimbulkan sedasi pada tindak medik
Anestesi Intravena idealnya adalah yang
1. Cepat menghasilkan hipnosis
2. Mempuyai efek analgesia
3. Menimbulkan amnesia pasca-anestesia
4. Dampak buruknya mudah dihilangkan oleh antagonisnya
5. Cepat dieliminasi oleh tubuh
6. Tidak atau sedikit mendepresi fungsi respirasi, dan kardiovaskuler
7. Pengaruh farmakokinetikyang tidak bergantung pada disfungsi organ.

Kebanyakan anestesi itravena digunakan untuk induksi tetapi kini anestesi


intravena digunakan untuk pemeliharaan anestesi atau dalam kombinasi dengan
anestesi inhalasi sehingga dimungkinkan penggunaan dosis anestesi inhalasi yang
lebih kecil dan efek anestesi lebih mudah menghasilkan potensiasi atau salah satu obat
dapat mengurangi efek buruk obat lainnya.
2.3.6 Macam Anestesi Intravena
1. BARBITURAT
Seperti anastetik inhalasi, barbiturat menghilangkan kesadaran dengan cara
memfasilitasi pengikatan GABA di membran neuron SSP. Barbiturat yang
digunakan untuk anastesi ialah yang termasuk berbiturat kerja sangat singkat, yaitu
tiopental, metoheksital, dan tiamilal yang diberikan secara bolus intravena atau
secara infus.
Pada penyuntikan tiapental mula – mula timbul hiperalgesia diikuti analgesia
bila dosis terus ditingkatkan, tetapi barbiturat bukan analgesik yang kuat. Dengan
dosis yang memadai untuk induksi pasien segera akan merasakan rasa bawang putih
di lidahnya, diikuti dengan igauan halus yang menandakan kantuk, kemudian
langsung tertidur pulas. Pemulihan terjadi secara mulus dan pasien segera sadar.
Agar pemulihan tidak terlalu lama, dosis jangan sampai lebih dari 1 gram.

2. BENZODIAZEPIN
Benzodiazepin yang digunakan sebagai anastesia ialah diazepam, lorazepam,
dan midazolam. Dengan dosis untuk induksi anastesia, kelompok obat ini
menyebabkan tidur, mengurangi cemas, dan menimbulkan amnesia anterograd,
tetapi tidak berefek analgesik, efek pada SSP ini bisa di atasi dengan antagonisnya,
flumazenil.
Benzodiazepin digunakan untuk menimbulkan sedasi untuk tindakan yang
tidak memerlukan analgesia seperti endoskopi, kateterisasi, kardioversi, atau
tindakan radiodiagnostik.

Diazepam IV segera didistribusi ke otak, tetapi efeknya baru tampak setelah


beberapa menit. Kadarnya segera turun karena adanya redistribusi, tetapi sedasi
sering muncul lagi setelah 6-8 jam akibat adanya penyerapan ulang diazepam yang
dibuang melalui empedu. Masa paruh diazepam memanjang dengan meningkatnya
usia, kira – kira 20 jam pada usia 20 tahun dan kira – kira 90 jam pada usia 80 tahun.
Klirens plasma hampir konstan (20-32 mL/menit), karena itu pemberian diazepam
jangka lama tidak memerlukan koreksi dosis.

3. OPIOID
Fentanil, sulfentanil, dan remifentanil adalah opioid yang lebih banyak
digunakan dibanding morfin karena menimbulkan analgesia anastesia yang lebih
kuat dengan depresi napas yang lebih ringan. Walaupun dosisnya besar kesadaran
tidak sepenuhnya hilang dan amnesia pasca bedahnya tidak lengkap. Biasanya
digunakan pada pembedahan jantung atau pada pasien yang cadangan sirkulasinya
terbatas. Opioid juga digunakan sebagai tambahan pada anastesia dengan anastetik
inhalasi atau anastetik intravena lainnya sehingga dosis anastetik lain ini dapat lebih
kecil. Bila opioid diberikan dengan dosis besar atau berulang selama pembedahan,
sedasi dan depresi napas dapat di atasi dengan nalokson.
2.3.7 Anestesi Intravena Lainnya
1. Ketamin
Ketamin ialah larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan relatif
aman (batas keamanan lebar). Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestik, dan
kataleptik dengan kerja singkat. Anastesia dengan ketamin di awali dengan
terjadinya disosiasi mental pada 15 detik pertama, kadang sampai halusisnasi.
Keadaan ini dikenal dengan anastesia disosiatif. Kesadaran segera pulih setelah
10 -15 menit, analgesia bertahan sampai 40 menit, sedangkan amnesia
berlangsung sampai 1-2 jam. Ketamin adalah satu – satunya anastetik intravena
yang merangsang kardiovaskular karena efek perangsangannya pada pusat saraf
simpatis, dan mungkin juga karena hambatan ambilan norepinefrin. Tekanan
darah, frekuensi nadi, dan curah jantung naik sampai kurang lebih 25%, sehingga
ketamin bermanfaat untuk pasien dengan resiko hipotensi dan asma.
2. Etomidat
Etomidat ialah sedatif kerja sangat singkat nonbarbiturat yang terutama
digunakan untuk induksi anastesia. Obat ini tidak berefek analgesik tetapi dapat
digunakan untuk anastesia dengan tekhnik anastesia berimbang. Etomidat
mempunyai efek minimal terhadap sistem kardiovaskular dan pernapasan.
Dengan dosis induksi kesadaran hilang beberapa detik tanpa efek ke jantung,
dengan tekanan darah yang sedikit turun dan frekuensi apnea yang rendah.
3. PROPOFOL
Secara kimiawi propofol tidak ada hubungannya dengan anastetik IV lain.
Propofol dapat digunakan dalam “day surgery”. Nyeri kadang terasa di tempat
suntikan tetapi jarang disertai flebitis atau trombosis.
2.3.8 Pemilihan Sediaan

Pemilihan anastetik umum di dasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu keadaan


pasien, sifat anastetik umum, jenis operasi, dan peralatan serta obat yang tersedia. Agar
anastesia umum berjalan sebaik mungkin, pertimbangan utama ialah memilih anastetik
yang ideal yaitu cepat melewati stadium II, tidak menimbulkan efek samping terhadap
organ vital seperti hipersekresi saluran napas, atau menyebabkan sensitisasi jantung
terhadap katekolamin, tidak mudah terbakar, cepat di eliminasi, sifat analgesik cukup
kuat, relaksasi otot cukup baik, kesadaran cepat pulih tanpa efek yang tidak diinginkan.
Kalau mungkin anastetik yang mudah didapat dan murah. Sayangnya tidak ada satu
obatpun yang memenuhi semua sifat diatas. Penggunaan anastetik umum sangat
tergantung dari sarana setempat seperti ada tidaknya tenaga ahli anastesia, kelengkapan
alat dan obat.
2.3.9 Anastesi lokal sintetik
1. Sifat umum anastesi lokal
Anastetik lokal ialah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan
secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Obat ini bekerja pada tiap
bagian susunan saraf.
2. Sifat anastetik lokal yang ideal
Anastetik lokal sebaiknya tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf
secara permanen. Batas keamanan harus lebar, sebab anastetik lokal akan diserap dari
tempat suntikan.
3. Kimia dan hubungan struktur aktivitas
Sifat hidrofobik akan meningkatkan jumlah partikel ke tempat kerjanya serta
menurunkan kecepatan metabolisme yang diperantarai oleh esterase plasma dan
enzim hati.

4. Mekanisme kerja
Anastetik lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempatnya
terutama di membran sel, efeknya pada aksoplasma hanya sedikit saja. Sebagaimana
diketahui, potensial aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan sesaat (sekilas)
permeabilitas membran terhadap ion Na akibat depolarisasi ringan pada membran.
Dengan semakin bertambahnya efek anastesi lokal di dalam saraf, maka ambang
rangsang membran akan meningkat secara bertahap, kecepatan peningkatan potensial
aksi menurun, konduksi impuls melambat dan faktor pengaman (safety factor)
konduksi saraf juga berkurang.
Hasil penelitian membuktikan bahwa anastetik lokal menghambat hantaran
saraf tanpa menimbulkan depolarisasi saraf, bahkan ditemukan hiperpolarisasi
ringan.
Dapat dikatakan bahwa cara kerja utama obat anastetik lokal ialah bergabung
dengan reseptor spesifik dan terdapat pada kanal Na sehingga mengakibatkan
terjadinya blokade pada kanal tersebut dan hal ini akan mengakibatkan hambatan
gerakan ion, melalui membran.
5. Pengaruh pH
Dalam bentuk basa bebas, anastetik lokal hanya sedikit larut dan tidak stabil
dalam bentuk larutan. Anastetik lokal diperdangangkan dalam bentuk garam yang
mudah larut dalam air, biasanya garam hidroklorid. Anastetik lokal merupakan basa
lemah, tetapi larutan garamnya bersifat agak asam, hal ini menguntungkan karena
menambah stabilitas anastetik lokal tersebut. Anastetik lokal yang biasanya
digunakan mempunyai pH antara 8-9, sehingga pada pH jaringan tubuh hanya
didapati 5-20% dalam bentuk basa bebas.
Penambahan epinefrin pada larutan anastetik lokal akan memperpanjang dan
memperkuat kerja anastetik lokal. Dalam klinik, larutan suntik anastetik lokal niasanyan
mengandung epinefrin (1 dalam 200.000 bagian), norepinefrin (1 dalam 100.000 bagian)
Atan fenilefrin. Epinefrin mengurangi kecepatan absorpsi anastetik lokal sehingga akan
mengurangi juga toksisitas sistemiknya.
6. Farmakodinamik
Selain menghalangi hantaran sistem saraf tepi, anastetik lokal juga mempunyai
efek penting pada SSP, ganglia otonom, sambungan saraf otot dan semua jenis
serabut otot.
7. Susunan saraf pusat
Semua pusat anastetik lokal merangsang SSP, menyebabkan kegelisahan dan
tremor yang mungkin berubah menjadi kejang klonik. Secara umum, makin kuat
suatu anastetik makin mudah menimbulkan kejang. Perangsangan ini akan diikuti
depresi, dan kematian biasanya terjadi karena kelumpuhan napas. Dalam hal ini
pemberian diazepam IV merupakan obat terpilih, untuk mencegah maupun untuk
menghentikan kejang.
8. Sambungan saraf otot dan ganglion
Anastetik lokal dapat mempengaruhi transmisi di sambungan saraf otot, yaitu
menyebabkan berkurangnya respons otot atas rangsngan saraf atau suntikan
asetikolin intra arteri, sedangkan perangsangan listrik langsung pada otot masih
menyebabkan kontraksi. Prokain dapat mengurangi produksi asetikolin.
9. Sistem kardiovaskuler
Pengaruh utama anastetik lokal pada miokard ialah menyebabkan penurunan
eksitabilitas. Efek anastetik lokal terhadap sistem kardiovaskular biasanya baru
terlihat sesudah tercapai sistemik kadar obat yang tinggi dan sesudah menimbulkan
efek pada SSP.
10. Otot polos
Efek spasmolitik ini mungkin disebabkan oleh depresi langsung pada otot
polos, depresi pada reseptor sensorik sehingga menyebabkan hilangnya tonus otot
setempat.
11. Alergi
Serangan asma atau anafilaktik yang fatal dapat timbul akibat anastetik lokal.
Reaksi alergi ini terutama terjadi pada penggunaan obat anastetik lokal golongan
ester, yang pada hidrolisis dihasilkan asam aminobenzoat (PABA) dan PABA inilah
yang diduga dapat menimbulkan reaksi alergi tersebut.
12. Biotransformasi
Toksisitas suatu anastetik lokal sebagian besar tergantung dari keseimbangan
antara kecepatan absorpsi dan kecepatan dekstruksinya. Kecepatan absorpsi dapat
diperlambat oleh vasokonstriktor, maka kecepatan destruksinya yang berbeda – beda
merupakan faktor utama yang menentukan aman atau tidaknya suatu anastetik lokal.
Sebagian besar anastetik lokal merupakan ester dan biasanya toksisitasnya hilang
setelah mengalami hidrolisis di hati dan plasma. Anastetik golongan amina misalkan
lidokain, akan mengalami destruksi di dalam retikulum endoplasma hati, mula –
mula terjadi proses N-dealkilasi yang disusul dengan hidrolisis. Sebaiknya prilokain
mula – mula mengalami hidrolisis yang menghasilkan metabolit o-toluidin yang
dapat menyebabkan methemoglobinemia. Anastetik lokal yang dirusak didalam hati
secara lambat, sebagian akan dikeluarkan bersama urin.
2.3.10. Macam Anestesi Lokal
1. Kokain
Kokain atau benzoimetilegonin di dapat dari daun erythroxylon coca dan
spesies erythroxylon lain, yaitu pohon yang tumbuh di Peru dan bolivia dimana
selama berabda –abad lamanya daun tersebut di kunyah oleh penduduk asli untuk
menambah daya tahan kelelahan.
Farmakodinamik
Efek kokain paling penting yaitu menghambat hantaran saraf, bila dikenakan
secara lokal. Efek sistemiknya yang paling mencolok yaitu rangsangan SSP.
Susunan saraf pusat
Kokain merupakan perangsang korteks yang sangat kuat. Pada manusia zat ini
menyebabkan banyak bicara, gelisah, dan euforia. Efek kokain pada batang otak
menyebabkan peningkatan frekuensi nafas, sedangkan dalamnya pernapasan tidak
dipengaruhi.
Sistem kardiovaskular
Kokain dosis kecil memperlambat denyut jantung akibat perangsangan pusat
vagu, pada dosis sedang denyut jantung bertambah karena perangsangan pusat
simpatis dan efek langsung pada sistem saraf simpatis. Pemberian kokain IV dosis
besar menyebabkan kematian mendadak karena payah jantung sebagai akibat efek
toksik langsung pada otot jantung. Pemberian kokain sistemik umumnya akan
menyebabkan penurunan tekanan darah walaupun mula – mula terjadi kenaikan
akibat vasokonstriksi dan takikardi. Vasokonstriksi ini disebabkan oleh
perangsangan vasomotor secara sentral.
Otot skelet
Tidak ada bukti bahwa kokain dapat menambah kekuatan kontraksi otot.
Hilangnya kelelahan disebabkan oleh perangsangan sentral.
Suhu badan
Kokain mempunyai daya pirogen kuat. Kenaikan suhu badan disebabkan oleh
3 faktor yaitu : penambahan aktivitas otot akan meninggikan produksi panas,
vasokonstriksi menyebabkan berkurangnya kehilangan panas, efek langsung pada
pusat pengatur suhu, pada keracunan kokain dapat terjadi pereksia.
Sistem saraf simpatis
Pada organ yang mendapat persarafan simpatis, kokain mengadakan potensiasi
terhadap norepinefrin, epinefrin dan perangsangan saraf simpatis. Kokain tidak
merangsang organ tersebut secara langsung, tetapi mengadakan sensitisasi, karena
menghambat pengambilan kembali norepinefrin dari celah sinaptik, kedalam saraf,
akibatnya neurohumor tersebut akan menetap di sekitar reseptor organ dalam kadar
tinggi untuk waktu lama.
Efek anastetik lokal
Efek lokal kokain terpenting yaitu kemampuan untuk memblokade konduksi
saraf. Tetapi kokain ini dapat mengakibatkan terkelupasnya epitel kornea.
Farmakokinetik
Walaupun vasokonstriksi lokal dapat menghambat absorpsi kokain, kecepatan
absorpsi masih melebihi kecepatan detoksikasi dan ekskresinya sehingga kokain
sangat toksik. Kokain di absorbsi dari segala tempat, termasuk selaput lendir. Pada
pemberian oral kokain tidak efektif karena didalam usus sebagian besar mengalami
hidrolisis. Sebagian besar kokain mengalami detoksikasi di hati dan sebagian kecil
di eksresi di dalam urin dalam bentuk utuh.
Intoksikasi
Kokain sering menyebabkan keracunan akut, diperkirakan besarnya dosis fatal
adalah 1,2 gram, tetapi keracunan hebat dengan dosis 20 mg pernah dilaporkan.
Refleks meningkat disertai sakit kepala, nadi cepat, napas tidak teratur dan suhu
badan naik. Juga terjadi midriasis, eksoftalmus, mual, muntah, sakit perut dan
kesemutan
2.3.11. Anestesi Lokal Sintetik
1. Prokain
Prokain disintesis dan diperkenalkan tahun 1905 dengan nama dagang
novokain selama lebih dari 50 tahun. Sebagai anastesi lokal , prokain pernah
digunakan untuk anastesia infiltrasi, anestesi blok saraf (nerve block anastesia),
anastesia spinal, anastesia epidural, dan anastesia kaudal, namun karena potensinya
rendah, mula kerja lambat serta masa kerjanya pendek, maka penggunaannya
sekarang ini hanya terbatas untuk anastesia infiltrasi dan kadang – kadang untuk
anastesia blok saraf. Di dalam tubuh prokain di hidrolisis menjadi PABA, yang
dapat menghambat kerja sulfonamid.
2. Lidokain
Farmakodinamik. Lidokain (xilokain) adalah anastetik lokal kuat yang
digunakan secara luas dengan pemberian topikal dan suntikan. Anastesia terjadi
lebih cepat, lebih kuat, dan lebih eksensif dari pada yang di timbulkan oleh prokain
pada konsentrasi yang sebanding. Lidokain merupakan aminoetilamid dan
merupakan prototip dari anastetik lokal golongan amida. Larutan lidokain 0,5%
digunakan untuk anastesia infiltrasi, sedangkan larutan 1,0-2% untuk anastesia
blok dan topikal. Anastetik ini efektif bila digunakan tanpa vaso konstriktor, tetapi
kecepatan absorbsi dan toksisitasnya bertambah dan masa kerjanya lebih pendek.
Lidokain merupakan obat terpilih bagi mereka yang hipersensitif terhadap anastetik
lokal golongan ester. Lidokain dapat menimbulkan kantuk. Sediaan berupa larutan
0,5-5% dengan atau tanpa epinefrin (1:50.000 sampai 1: 200.000).
Farmakokinetik
Lidokain cepat diserap dari tempat suntikan, saluran cerna dan saluran
pernapasan, serta dapat melewati sawar darah otak. Kadarnya dalam plasma fetus
dapat mencapai 60% kadar dalam darah ibu. Dalam hati, lidokain mengalami
dealkilasi oleh enzim oksidase fungsi ganda (mixed-function oxidases) membentuk
monoetilglisin xiidid dan glisin xilidid, yang kemudian dapat dimetabolisme lebih
lanjut menjadi monoxilidid dan xilidid ternyata masih memiliki efek anastetik
lokal. Pada manusia 75% dari xilidid akan di ekskresi bersama urin dalam bentuk
metabolit akhir, 4 hidroksi-2-6 dimetil-anilin.
Efek samping
Efek samping lidokain biasanya berkaitan dengan efeknya terhadap SSP,
misalnya mengantuk, pusing, parestesia, kedutan otot, gangguan mental, koma dan
bangkitan.
Indikasi
Lidokain sering digunakan secara suntikan untuk suntikan infiltrasi, blokade
saraf, anastesi spinal, anastesi epidural ataupun anastesi kaudal, dan secara
setempat untuk anastesi selaput lendir. Pada anastesi infiltrasi biasanya digunakan
larutan 0,25-0,50% dengan atau tanpa epinefrin. Tanpa epinefrin dosis total tidak
boleh melebihi 200 mg dalam waktu 24 jam, dan dengan epinefrin tidak boleh
melebihi 500 mg untuk jangka waktu yang sama. Dalam bidang kedokteran gigi,
biasanya digunakan larutan 1-2% dengan epinefrin. Untuk anastesia infiltrasi
dengan mula kerja 5 menit dan masa kerja kira – kira 1 jam dibutuhkan dosis dan
masa kerja kira – kira 1 jam dibutuhkan dosis 0,5-1,0 mL. Lidokain dapat pula
digunakan untuk anastesia permukaan.
Aritmia jantung. Lidokain juga dapat menurunkan iritabilitas jantung, karena itu
juga digunakan sebagai anti aritmia.
3. Bupivakain
Struktur mirip dengan lidokain, kecuali gugus yang mengandung amin adalah
butil piperidin. Merupakan anastetik lokal yang mempunyai masa kerja yang panjang,
dengan efek blokade terhadap sensorik lebih besar daripada motorik. Karena efek ini
bupivakain lebih populer digunakan untuk memperpanjang analgesia selama
persalinan dan masa pasca pembedahan. Lidokain dan bupivakain keduanya
menghambat saluran Na+ jantung selama sistolik.
2.3.12 Anestesi Lokal Sintetik Lainnya
Anastetik lokal yang diberikan secara suntikan merupakan anastetik lokal yang paling
kuat, paling toksik, dan mempunyai masa kerja panjang. Dibandingkan dengan
prokain, dibukain kira-kira 15 kali lebih kuat dan toksik dengan masa kerja 3 kali
lebih panjang. Umumnya tersedia dalam bentuk krim 0,5% atau salep 1%.
1. Mepivakain HCL
Anastetik lokal golongan amida ini sifat farmakologi mirirp lidokain.
Mepivakain ini digunakan untuk anastesia infiltrasi, blokade saraf regional dan
anastesia spinal. Sediaan untuk suntikan berupa larutan 1;1,5 dan 2%. Mula
kerjanya hampir sama dengan lidokain, tetapi lama kerjanya lebih panjang sekitar
20%. Mepivakain tidak efektif sebagai anastetik topikal.
2. Tetrakain
Obat ini digunakan untuk segala macam anastesia; untuk pemakaian topikal
pada mata digunakan larutan tetrakain 0,5%, untuk hidung dan tenggorokan larutan
2%. Pada anastesia spinal, dosis total 10-20 mg. Sejak diperkenalkannya
bupivakain, tetrakain jarang digunakan untuk blokade saraf perifer, sebab
diperlukan dosis yang besar yang mula kerjanya lambat, serta dimetabolisme
lambat, sehingga berpotensi toksik. Namun, bila diperlukan masa kerja yang
panjang pada anastesia spinal, digunakan tetrakain.
3. Prilokain HCL
Anastetik golongan amida ini efek dan farmakologiknya mirip lidokain tetapi
mula kerja dan masa kerjanya lebih lama dari lidokain. Toksisitasnya terhadap SSP
lebih ringan, sehingga lebih aman dalam penggunaan intravena blokade regional.
Prilokain juga menimbulkan kantuk seperti lidokain. Sifat toksik yang unik ialah
prilokain dapat menimbulkan methemoglobinemia. Methemoglobinemia ini
umumnya terjadi pada pemberian dosis total melebihi 8mg/kgBB. Efek samping ini
membatasi penggunaannya pada neonatus dan pada anastesia obstetrik.
Methemoglobinemia lebih mudah terjadi pada neonatus karena penurunan
resistensi hemoglobin fetus terhadap stress oksidasi dan unsur yang menguraikan
methemoglobin belum berfungsi sempurna. Walaupun Methemoglobinemia ini
mudah di atasi dengan pemberian biru metilen IV dengan dosis 1-2mg/kgBB
larutan 1% dalam waktu 5 menit, namun efek terapeutiknya hanya berlangsung
sebentar.
2.3.13 Teknik Pemberian Annestesi Lokal
1. Anastetik permukaan
Larutan garam anastetik lokal tidak dapat menembus kulit sehat. Larutan
lidokain 2% dalam karboksimetilselulosa digunakan untuk menghilangkan nyeri di
selaput lendir mulut, faring d an esofagus.
2. Anestesia infiltrasi
Cara anastesia infiltrasi yang sering digunakan yaitu blokade lingkar (ring
block). Dengan obat disuntikkan SK mengelilingi daerah yang akan dioperasi,
terjadi blokade saraf sensorik secara efektif di daerah yang akan di operasi.
3. Anestesia blok
Cara ini dapat digunakan pada tindakan pembedahan maupun untuk tujuan
diasnogtik dan terapi.
4. Anastetik spinal
Anastetik spinal (blokade subarakhnoid atau intratekal) merupakan anastetik
blok yang luas. Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit
tungkai bawah. Setelah anastesia selesai, pemulihan terjadi dengan urutan yang
sebaliknya,. Yaitu fungsi motoris yang pertamakali pulih kembali.
Lamanya anastesia
Anastesia dengan prokain berlangsung rata-rata 60 menit, dengan tetrakain 120
menit, dan dengan dibukain 180 menit. Lamanya anastesia dapat diperpanjang dengan
meninggikan kadar obat yang disuntikkan, menambahkan vasokonstriktor misalnya
epinefrin 0,2-0,5 mg atau fenilefrin 3-10 mg; atau menggunakan anastesia spinal
kontinu.
Derajat anestesia
Obat anastetik lokal disuntikkan kedalam ruang subarakhnoid antara L2 dan
L5 dan biasanya antara L3 dan L4. Tergantung pada banyak faktor, antara lain posisi
pasien, dan berat jenis obat.
Berat jenis
Berat jenis (BJ) suatu larutan anastetik lokal dapat di ubah – ubah dengan
menukar komposisinya. BJ normal cairan serebrospinal adalah 1,007. Larutan
anastetik lokal dengan BJ yang lebih besar dari 1,007 disebut larutan hiperbarik, hal
ini dapat dicapai dengan jalan menambah glukosa kedalam larutan; sebaliknya bila
anastetik lokal dilarutkan kedalam larutan NaCl hipotonis atau air suling akan di dapat
larutan hipobarik.
Posisi pasien
Distribusi anestesia dapat diatur dengan mengatur posisi pasien dan dengan
memperhatikan berat jenis obat yang digunakan. Misalnya, bila diperlukan anastesia
bagian bawah tubuh, pasien harus dalam sikap duduk selama proses penyuntikan
larutan hiperbarik dan 5 menit sesudahnya. Atau pasien dalam posisi berbaring
dengan kepala lebih rendah dari pada kaki selama penyuntikan dengan larutan
hipobarik.
Jumlah obat
Masih sukar ditentukan apakah jumlah obat yang disuntikkan turut
mempengaruhi distribusi anastesia ini. Pernyataan yang menyangkut faktor ini
umumnya didasarkan atas kesan dan bukan atas dasar pengukuran.
Pernapasan
Gejala timbulnya kelumpuhan napas ialah berkurangnya pernapasan torakal
disertai dengan meningkatnya kegiatan diagfragma, suara bisisng yang diikuti dengan
hilangnya suara, dilatasi cuping hidung, dan digunakannya otot napas tambahan.
Pertolongan penting pada keadaan ini ialah napas buatan, sedangkan obat tidak
berfaedah.
Sistem kardiovaskular
Anastesia spinal menyebabkan vasodilatasi anteriol di daerah tempat serabut
eferen simpatis mengalami blokade. Blokade pada impuls tonus konstriktor pembuluh
vena dapat menyebabkan penurunan tonus pembuluh darah vena, sehingga terjadi
pengumpulan darah di daerah pasca anteriol dan berakibat alir balik vena ke jantung
berkurang.
Pencegahan dan pengobatan hipotensi arterial
Penurunan alir balik vena dapat di atasi dengan meninggikan letak kaki, atau
sebelum anastesia kaki di ikat dengan balut elastik untuk mencegah pengumpulan
darah ditempat tersebut. Obat simpatomimetik dapat diberikan secara IM, 5 menit
sebelum dilakukan anastesia untuk memperkecil kemungkinan terjadinya hipotensi,
atau secara IV bila telah terjadi hipotensi. Pada anastesia spinal, bila tekanan darah
turun sekitar 25% dari nilai normal, maka keadaan ini harus di atasi. Pertama pasien
ditidurkan dengan posisi kepala agak lebih rendah, serta diberi oksigen. Vasopresor
dapat diberikan secara IV dengan dosis kecil, tetapi jangan terlalu diandalkan.
Penggunaan sediaan agonis lebih baik dihindarkan. Selain obat di atas, hipotensi
akibat hipovolemia yang terjadi waktu anastesia spinal juga dapat diperbaiki dengan
pemberian infus larutan garam-berimbang secara cepat dalam jumlah 1,5-2 L atau
lebih. Dengan cara ini, maka curah jantung akan kembali meningkat sesuai dengan
penambahan aliran balik vena, tetapi peningkatan curah jantung ini juga disertai
dengan terjadinya hemodilusi sehingga kadar oksigen sebenarnya berkurang (tidak
normal). Pemberian cairan IV dalam jumlah besar juga dapat meningkatkan kejadian
retensi urin pasca bedah, sehingga diperlukan tindakan kateterisasi.
Komplikasi neurologis
Saat ini gangguan neurologik akibat penggunaan astesia spinal hampir tidak
pernah terjadi. Setiap tindakan pungsi lumbal mungkin disertai dengan timbulnya
sakit kepala, yang dapat hilang bila pasien berbaring.
Dosis dan lamanya anestesia
Tergantung dari volume ruang subarakhnoid (ditentukan oleh tinggi badan
pasien), tinggi-rendahnya segmen daerah anastesia yang diperlukan. Walaupun ada 4
macam anastetik yang dapat digunakan untuk anastesia spinal, yaitu prokain, lidokain,
tetrakain dan bupivakain namun hanya lidokain dan tetrakain yang digunakan secara
luas dengan konsentrasi masing – masing tidak melebihi 5% untuk lidokain, dan
0,5% untuk tetrakain. Bila diperlukan operasi daerah toraks yang tinggi dapat
digunakan sebanyak 100 mg atau tetrakain sebanyak 16 mg. Selain itu lamanya
anestesia juga tergantung dari sifat lipofilisitas zat anastetik yang bersangkutan,
misalnya tetrakain yang sangat larut lemak akan menimbulkan anstesia selama 2-3
jam, dan dapat diperpanjang sampai 30% nila ditambahkan epinefrin 0,2-0,5 mg.
Sebaliknya dengan lidokain yang kurang larut lemak, anastesia hanya berlangsung
selama satu jam dan tidak dapat diperpanjang dengan penambahan epinefrin.
Evaluasi anestesia spinal
Anastesia spinal ini sangat bermanfaat untuk operasi perut bagian bawah,
perineum atau tungkai bawah. Teknik ini sering pula dikombinasikan dengan
pemberian obat secara IV untuk menimbulkan sedasi dan amnesia. Dengan anastesia
spinal yang rendah, kemungkinan terjadinya gangguan fisiologis menjadi lebih kecil
di bandingkan dengan anstesia umum.
Anastesi epidural
Anastesi epidural merupakan suatu anastesi blok yang luas, yang diperoleh dengan
jalan menyuntikkan zat anastetik lokal kedalam ruang epidural. Dengan tekhnik ini anastesia
bagian sensorik dapat diperluas sampai setinggi dagu. Pada cara ini dapat digunakan dosis
tunggal atau dosis yang diberikan secara terus menerus.
Anatomi
Pada foramen magnum, durameter terbagi menjadi dua lapisan. Lapisan dalam
menjadi bentuk periosteum yang dibatasi kanalis spinalis. Ruang di antara kedua lapisan ini
disebut ruang epidural, yang berisi semi liquid fat, dan pleksus vena. Ruang epidural ini
berbeda – beda luasnya dan yang paling luas setinggi L2 yang kira – kira meliputi separuh
dari dari garis tengah kanalis spinalis.
Teknik
Suntikan dilakukan di bawah L2. Epinefrin yang digunakan untuk memperpanjang
waktu anastesia tidak mempengaruhi analgesia. Untuk blokade simpatis digunakan larutan
lidokain 0,5-1%; blokade sensorik dengan larutan 2%. Bila operasi memerlukan waktu yang
lama, bupivakain merupakan obat pilihan, lidokain untuk operasi dengan jangan waktu yang
sedang dan untuk operasi – operasi yang singkat kloropokain.
Efek anestesia lokal dalam ruang epidural
Tempat kerja obat anastetik yang di masukkan di dalam ruang epidural belum
seluruhnya diketahui, tetapi mungkin pada :
 Saraf campuran di dalam ruang paravertebral.
 Radiks saraf yang terbungkus dura di dalam ruang epidural
 Radiks saraf ruang subarakhnoid sesudah obat mengadakan difusi melalui dura
 Akson saraf sendiri (neuroaxis)
Untung rugi anestesia epidural
Keuntungan utama yaitu obat tidak masuk ruang subarakhnoid dengan demikian
timbulnya sakit kepala dan gejala neurologik lainnya dapat dihindarkan. Kesulitan teknis
mungkin merupakan Kerugian utama pada anastesia epidural ini, sedangkan kerugian yang
kedua yaitu diperlukannya obat yang lebih besar, dengan kemungkinan adanya absorpsi
sistemik yang lebih besar pula. Somnolen yang sering timbul pada anastesia dengan lidokain
mungkin sekali disebabkan oleh absorpsi yang besar ini.
Anastesia kaudal
Anastesia kaudal yaitu bentuk anastesia epidural yang larutan anastetiknya
disuntikkan ke dalam kanalis sakralis melalui hiatus sakralis. Ada dua bahaya utama pada
teknik ini yaitu:
 Jarum masuk kedalam pleksus vena yang terletak sepanjang kanalis sakralis yang
berakibat masuknya obat ke vena.
 Jarum menembus durameter disertai dengan anastesia spinal yang luas. Biasanya
digunakan bupivakain 0,125 – 0,25% sebanyak 0,5 – 1 ml/kgBB. Untuk menghambat
arbsorpsi sistemik sering ditambah larutan epinefrin 1:100.000
MAKALAH TUGAS FARMAKOLOGI
ANESTESI

Disusun Oleh:
Kelompok 9 Farmakologi

Annisahrotul Badriyah 16153010084


Lina Viviana Anggraeni 16153010097
Raehana Astriani 16153010112
Rida Hafidayanti 16153010113
Syofa 16153010122

SEKOLAH TINGGI ILMU KSEHATAN


NGUDIA HUSADA MADURA BANGKALAN
2016
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Anastesi adalah suatu tindakan menahan rasa sakit ketika melakukan pembedahan
dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anastesi
pertama kali di gunakan oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Pada anastesi lokal penggunaan zat kimia mencegah transmisi inpuls saraf dengan
mengikat saluran natrium dan dengan demikian zat ini segera menghalangi, sementara
ion natrium melalu membran sel secara lokal dan tanpa kehilangan kesadaran.
Obat – obat anastesi lokal di kembangkan dari kokain yang digunakan untuk
pertama kalinya dalam kedokteran gigi dan oftalmologi pada abad ke 19, kini kokain
sudah di gantikan dengan lignokain (lidokain), bupivakain ( marcain), prilokain dan
ropivakain.
Anastesi menurut arti kata adalah hilangnya kesadaran rasa sakit namun obat
anastesi umum tidak hanya menghilangkan rasa sakit, akan tetapi juga menghilangkan
kesadaran. Pada operasi daerah tertentu seperti perut, maka selain hilangnya rasa sakit
dan kesaadran, dibutuhkan relaksasi otot yang optimal.
Tidak hanya anestesi lokal adapula metode anestesi umum dengan menggunakan
obat anestesi inhalasi yang saat ini banyak dilakukan adalah teknik aliran gas segar tinggi
atau high-flow anestesi (HFA) bahkan very high flow dimana aliran gas segar atau fresh
gas flof (FGF) O2 dan N2O yang diberikan pada pasien cukup tinggi (FGF lebih dari 4
menit).
Anastesi hanya di lakukan oleh dokter spesialis atau dokter anastesiologis, dalam
dunia kebidanan anastesi di gunakan untuk pereda nyeri dalam kasus robekan jalan lahir.

1.2 TUJUAN
Untuk memenuhi salah satu mata kuliah untuk tugas yang diberika oleh pembimbing.

1.3 MANFAAT
Agar mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan hal – hal yang berhubungan
dengan anstesi.
DAFTAR PUSTAKA

Banister Claire. 2007. PEDOMAN OBAT : BUKU SAKU BIDAN. Jakarta: EGC
Barber Paul dkk. 2003. INTISARISARI FARMAKOLOGI UNTUK PERAWAT. Jakarta:
EGC
Stringer Janet dkk. 2008. Konsep Dasar Farmakologi Panduan untuk Mahasiswa. Jakarta :
EGC
Susanti dkk. 2013. Farmakologi Kebidanan Aplikasi dalam Praktik Kebidanan. Jakarta: CV
Trans Info Media
Jordan Sue dkk. 2004. Farmakologi Kebidanan. Jakarta: EGC
J Mary dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2. Jakarta: Widya Medika

Anda mungkin juga menyukai