Anda di halaman 1dari 56

Komponen Darah Whole

Blood (WB)
Deskripsi:

 Pada 1 kantong WB terdapat sekitar 450 ml darah dan


63 ml antikoagulan
 Hb sekitar 12 g/dl
 Hematokrit 35-45%
 Tidak ada trombosit yang fungsional
 Tidak ada faktor V dan VIII

Whole blood
Indikasi:

 Pengganti sel darah merah pada pasien perdarahan akut


dengan hipovolemia
 Transfusi tukar
 Alternatif jika PRC tidak tersedia

Kontraindikasi: pada pasien dengan anemia kronis dan


gagal jantung beresiko terjadi overload cairan

Resiko Infeksi:
Komponen darah tidak disterilisasi, sehingga kuman penyakit
yang ada di sel atau cairan darah donor dapat menularkan
penyakit ke resipien, terutama untuk penyakit yang tidak
diskrining.

Penyimpanan:

 Antara 2-6oC pada kulkas bank darah


 Harus segera ditransfusikan kurang dari 30 menit
setelah keluar dari kulkas

Pemberian transfusi:

 Golongan darah ABO dan Rh harus kompatibel dengan


resipien
 Jangan memberikan obat-obatan ke dalam kantong
darah
 Satu kantong darah harus habis dalam waktu kurang
dari 4 jam.

Referensi:

WHO The Clinical Use of Blood 2010

Komponen Darah
Thrombocyte
Concentrates (TC)
TC merupakan komponen darah yang berisi trombosit, yang
diberikan dengan tujuan untuk menaikkan kadar trombosit
darah. Jumlah permintaan TC menempati urutan kedua
setelah PRC, biasanya permintaan meningkat seiring dengan
meningkatnya kasus demam berdarah. Berikut penjelasan
singkat tentang kantong darah TC dari WHO – The Clinical
Use of Blood.

Kantong TC
Deskripsi:

 Tiap unit berisi trombosit sekitar 55 x 10 pangkat 9,


dengan sedikit eritrosit dan leukosit

Indikasi:

 Perdarahan akibat trombositopenia atau kelainan fungsi


trombosit
 Mencegah perdarahan pada trombositopenia berat

Kontraindikasi:

 Bukan untuk pencegahan perdarahan pada


pembedahan, kecuali ada kelainan fungsi trombosit
 Trombositopenia pada ITP, TTP, DIC, sepsis yang belum
diatasi

Dosis:
 Pada orang dewasa 4-6 kantong atau 1 unit/10 kgBB,
diharapkan dapat meningkatkan trombosit sekitar 20.000-
40.000/ul

Resiko Infeksi:

Sama dengan PRC, dengan resiko infeksi lebih tinggi karena


satu dosis terdiri dari 4-6 kantong darah yang berbeda.

Penyimpanan:

 Sampai 72 jam pada suhu 20-24oC dengan agitasi


Antara 2-6oC pada kulkas bank darah
 Tidak disimpan pada suhu 2-6oC

Pemberian transfusi:

 Tidak boleh dimasukkan ke kulkas karena mengurangi


fungsi trombosit
 Diberikan menggunakan blood set baru, jangan
menggunakan infus set
 Harus habis dalam waktu 30 menit
 Diusahakan golongan darah ABO kompatibel

Semoga bermanfaat

Referensi:

WHO The Clinical Use of Blood 2010

Komponen Darah
Packed Red Cells (PRC)
PRC merupakan komponen darah yang paling banyak diminta
di bank darah rumah sakit, namun kadangkala yang meminta
PRC pun kurang begitu mengerti apa sebenarnya PRC,
indikasi, dosis, maupun resikonya. Berikut sedikit deskripsi
singkat dari PRC yang saya ambil dari WHO – The Clinical Use
of Blood.

Deskripsi:

 Tiap unit sekitar 150-200 ml sel darah merah dengan


plasma yang sudah dipisahkan
 Kadar Hb tiap unit sekitar 45 g (20 g/100 ml)
 Kadar hematokrit 55-75% tiap unit

PRC
Indikasi:

 Pengganti sel darah merah pada pasien anemik


 Digunakan bersama cairan kristaloid pada pasien
perdarahan akut

Resiko Infeksi:

Komponen darah tidak disterilisasi, sehingga kuman penyakit


yang ada di sel atau cairan darah donor dapat menularkan
penyakit ke resipien, terutama untuk penyakit yang tidak
diskrining.

Penyimpanan:
 Antara 2-6oC pada kulkas bank darah
 Harus segera ditransfusikan kurang dari 30 menit
setelah keluar dari kulkas

Pemberian transfusi:

 Golongan darah ABO dan Rh harus kompatibel dengan


resipien
 Jangan memberikan obat-obatan ke dalam kantong
darah
 Satu kantong darah harus habis dalam waktu kurang
dari 4 jam.

Referensi:

WHO The Clinical Use of Blood 2010

Prosedur Pelaksanaan
Transfusi Darah
Transfusi darah adalah terapi medis yang memiliki
risiko penyulit terbesar baik dalam waktu pendek
(reaksi transfusi), dalam waktu menengah (risiko
penyakit ) dan waktu panjang (reaksi imunologis).
Jika keputusan melakukan transfusi darah telah
diambil, maka siapapun yang terlibat dalam proses
pelaksanaan transfusi, baik itu dokter, perawat, dan
analis bank darah mempunyai tanggung jawab guna
memastikan kantong darah yang tepat diberikan
pada pasien yang tepat pada waktu yang tepat.
Semua rumah sakit wajib mengikuti pedoman nasional
penggunaan darah. Jika pedoman nasional masih belum ada,
maka tiap rumah sakit harus membuat pedoman sendiri dan
membentuk komite transfusi darah untuk mengawasi
penggunaan darah dan menyelidiki jika terjadi reaksi
transfusi.

Berikut beberapa prosedur umum pelaksanaan transfusi


darah yang sebaiknya diikuti oleh setiap petugas medis yang
bertugas dalam pelaksanaan transfusi:

1. Tidak dilakukan pada malam hari, kecuali darurat.


2. Pemberian semua komponen darah harus
menggunakan transfusion set.
3. Pasang tranfusion set dan salin sebelum minta darah
donor.

menggunakan transfusion set, bukan infusion set

4. Siapkan rekam medik transfusi dan isilah dengan


lengkap.
5. Cocokkan identitas pasien dan label kantong darah
dikerjakan oleh dua orang perawat senior.
6. Ukur tanda vital dan catat di rekam medik transfusi,
perawat pelaksana menulis nama terang dan tanda tangan.
Contoh Rekam Medis Transfusi

7. Dalam 30 menit darah donor keluar dari lemari


pendingin bank darah, transfusi harus sudah dilaksanakan.
8. Kantong darah donor dibolak-balikkan dan tidak perlu
dihangatkan, kecuali pada transfusi masif.
9. Perawat menerangkan tanda dan gejala reaksi transfusi,
bila gejala muncul pasien atau keluarga lapor kepada
perawat.
10. Dalam 15 menit pertama kecepatan 10 tetes per menit
dan perawat tetap menunggu pasien untuk mengamati
gejala reaksi transfusi yang mungkin muncul.
11. Bila muncul gejala reaksi transfusi, hentikan transfusi,
periksa dan catat tanda vital di rekam medik, dan lapor ke
dokter.
12. Bila aman, tidak ada hipovolemia dan jantung baik
kecepatan 20-40 tetes per menit, 1 kantong darah
(PRC/WB) selesai dalam 2-3 jam, maksimal 4 jam.

Semoga bermanfaat

Referensi:

WHO The Clinical Use of Blood 2010

Cara Mudah Membaca


Analisa Gas Darah

By Dian Sukma Hanggara in Pemeriksaan January 12, 2012


Petugas kesehatan seringkali kesulitan dalam membaca hasil
analisa gas darah (BGA). Kesalahan dalam
menginterpretasinya seringkali menyebabkan kesalahan
diagnosis. Berikut terdapat beberapa cara mudah dalam
membaca hasil BGA:

1. Lihat pH
Langkah pertama adalah lihat pH. pH normal dari darah
antara 7,35 – 7,45. Jika pH darah di bawah 7,35 berarti
asidosis, dan jika di atas 7,45 berarti alkalosis.

2. Lihat CO2

Langkah kedua adalah lihat kadar pCO2. Kadar pCO2 normal


adalah 35-45 mmHg. Di bawah 35 adalah alkalosis, di atas 45
asidosis.

3. Lihat HCO3

Langkah ketiga adalah lihat kadar HCO3. Kadar normal HCO3


adalah 22-26 mEq/L. Di bawah 22 adalah asidosis, dan di atas
26 alkalosis.

4. Bandingkan CO2 atau HCO3 dengan pH

Langkah selanjutnya adalah bandingkan kadar pCO2 atau


HCO3 dengan pH untuk menentukan jenis kelainan asam
basanya. Contohnya, jika pH asidosis dan CO2 asidosis, maka
kelainannya disebabkan oleh sistem pernapasan, sehingga
disebut asidosis respiratorik. Contoh lain jika pH alkalosis dan
HCO3 alkalosis, maka kelainan asam basanya disebabkan
oleh sistem metabolik sehingga disebut metabolik alkalosis.

5. Apakah CO2 atau HCO3 berlawanan dengan pH

Langkah kelima adalah melihat apakah kadar pCO2 atau


HCO3 berlawanan arah dengan pH. Apabila ada yang
berlawanan, maka terdapat kompensasi dari salah satu
sistem pernapasan atau metabolik. Contohnya jika pH
asidosis, CO2 asidosis dan HCO3 alkalosis, CO2 cocok dengan
pH sehingga kelainan primernya asidosis respiratorik.
Sedangkan HCO3 berlawanan dengan pH menunjukkan
adanya kompensasi dari sistem metabolik.

6. Lihat pO2 dan saturasi O2

Langkah terakhir adalah lihat kadar PaO2 dan O2 sat. Jika di


bawah normal maka menunjukkan terjadinya hipoksemia.

Untuk memudahkan mengingat mana yang searah dengan


pH dan mana yang berlawanan, maka kita bisa menggunakan
akronim ROME.

Respiratory Opposite : pCO2 di atas normal berarti pH


semakin rendah (asidosis) dan sebaliknya.

Metabolic Equal : HCO3 di atas normal berarti pH semakin


tinggi (alkalosis) dan sebaliknya.
Semoga bermanfaat

Melihat Mekanisme
Kompensasi Melalui
BGA

By Dian Sukma Hanggara in Pemeriksaan January 18, 2012


Melanjutkan tulisan sebelumnya,tulisan kali ini membahas
cara melihat mekanisme kompensasi pada analisa gas darah.
Ketika seseorang mengalami gangguan asam basa, tubuh
akan melakukan kompensasi. Respon kompensasi buffer
yang utama melalui paru dan ginjal. Tubuh akan mencoba
mengatasi kelainan respiratorik atau metabolik sehingga pH
akan kembali ke nilai normal.

Pasien dapat tidak terkompensasi, kompensasi sebagian,


atau kompensasi sempurna. Jika kelainan asam basa tidak
terkompensasi atau hanya terkompensasi sebagian, nilai pH
masih berada di luar rentang normal. Sedangkan pada
gangguan yang terkompensasi sempurna, nilai pH telah
kembali ke rentang normal, walaupun nilai yang lain mungkin
masih abnormal.

Untuk mengetahui adanya kompensasi, langkah-langkah


yang digunakan sama dengan tulisan saya sebelumnya, Cara
Mudah Membaca Analisa Gas Darah :

1. Lihat pH
Untuk menentukan asidosis atau alkalosis

2. Lihat PaCO2

Jika PaCO2 dan pH berada pada arah yang berlawanan


(contohnya PaCO2 meningkat dan pH turun) maka masalah
utamanya adalah pada sistem respiratorik.

Sedangkan jika arahnya sama, contohnya penurunan pH dan


penurunan PaCO2, maka masalah utama bukan pada sistem
respiratorik, tapi pada sistem metabolik. Pada kasus ini,
penurunan PaCO2 menunjukkan usaha dari paru untuk
mengembalikan pH ke rentang normal. Jika mekanisme
kompensasi ini terjadi tapi nilai pH masih di luar rentang
normal, maka ini menunjukkan adanya kompensasi sebagian.

3. Lihat HCO3

Jika pH dan HCO3 pada arah yang sama, menunjukkan


masalah utama pada sistem metabolik, dan sebaliknya jika
berlawanan maka masalah utama pada sistem respiratorik
dengan kompensasi dari sistem metabolik.

Hubungan dari ketiga bagian di atas, bisa dilihat pada tabel


berikut:
Untuk memudahkan mengingat bagian 2 dan 3, bisa
menggunakan akronim ROME pada tulisan sebelumnya.

Semoga bermanfaat

Pemeriksaan Darah
Lengkap

By Dian Sukma Hanggara in Hematologi June 23, 2010


Mumpung lagi nganggur, sehari posting dua kali
aja,hehehe..Kali ini tentang pemeriksaan Darah Lengkap,
biasa disingkat DL, atau dalam bahasa inggris Complete
Blood Count (CBC)
Sebagian besar dari kita, terutama yang pernah opname,
menunggu keluarga yang sedang sakit di rumah sakit, atau
check up di laboratorium klinis pasti pernah mendengar
tentang darah lengkap. Tapi apakah semuanya mengetahui
apakah itu pemeriksaan darah lengkap, tujuan, dan apa saja
yang diperiksa?Mari kita coba sedikit membahasnya.

Pemeriksaan darah lengkap (selanjutnya ditulis DL) adalah


suatu tes darah yang diminta oleh dokter untuk mengetahui
sel darah pasien. Terdapat beberapa tujuan dari DL, di
antaranya adalah sebagai pemeriksaaan penyaring untuk
menunjang diagnosa, untuk melihat bagaimana respon tubuh
terhadap suatu penyakit dan untuk melihat kemajuan atau
respon terapi.

Bagaimana cara pemeriksaannya? Darah kita diambil dengan


menggunakan spuit (suntik) sekitar 2 cc, dimasukkan ke
dalam tabung yang telah berisi antikoagulan (EDTA atau
sitrat), kemudian dibawa ke laboratorium.
Apa saja yang diperiksa? Yang diperiksa adalah beberapa
komponen darah yaitu eritrosit (sel darah merah), leukosit
(sel darah putih), dan trombosit (keeping darah). Pada lembar
hasil DL, yang umum tercatat adalah kadar hemoglobin,
jumlah trombosit, jumlah leukosit, dan hematokrit
(perbandingan antara sel darah merah dan jumlah plasma
darah.). Kadang juga dicantumkan LED (Laju Endap Darah)
dan hitung jenis leukosit.

Hasil DL yang normal adalah (hasil ini bervariasi, tergantung


di laboratorium mana kita periksa) :

1. Kadar Hb : 12-14 (wanita), 13-16 (pria) g/dl


2. Jumlah leukosit : 5000 – 10.000 /µl
3. Jumlah trombosit : 150.000 – 400.000 /µl
4. Hematokrit : 35 – 45 %
5. LED : 0 – 10 mm/jam (pria), 0 – 20 mm/jam (wanita)

Hasil normal laboratorium lengkap bisa dilihat di tulisan saya


sebelumnya Hasil Lab Normal

Beberapa contoh interpretasi dari hasil DL secara sederhana


antara lain bila kadar Hb turun menandakan anemia,
leukositnya meningkat melebihi normal mungkin
menandakan terjadinya infeksi, trombositnya turun mungkin
saja menandakan terjadi infeksi virus, dan lain sebagainya.

Yang perlu diingat adalah pemeriksaan ini adalah penunjang


dari anamnesa dan pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh
dokter. Jadi diagnosis tidak semata-mata dari hasil
laboratorium, tapi yang paling utama adalah dari keadaan
klinis dari si sakit.

Cara Membaca
Scattergram Print Out
Darah Lengkap (bagian
1)

By Dian Sukma Hanggara in Hematologi October 31, 2012


Print out pemeriksaan darah lengkap yang berasal dari mesin
otomatis biasanya disertakan di lembar kedua setelah
pengetikan hasil darah lengkap. Sayang sekali print out ini
seringkali diabaikan dengan hanya berfokus pada angka-
angka yang sudah diketik ulang. Padahal dari print out ini kita
bisa mendapatkan informasi yang jauh lebih banyak
dibandingkan hanya melihat angka kadar Hb, leukosit, dan
trombosit saja. Pada tulisan ini saya menggunakan print out
dari mesin Sysmex XT2000i dan XT4000i.

Print out yang biasa diterima biasanya berupa deretan angka


dengan beberapa grafik di sebelahnya. Grafik atau yang
biasa disebut scattergram inilah yang ternyata dapat
membantu kita dalam membaca suatu hasil DL. Berikut salah
satu contoh hasil print outnya.
Bisa dilihat pada sisi kiri merupakan parameter yang
biasanya diketik ulang menjadi halaman pertama, sedangkan
di sisi kanan adalah grafik scattergramnya.
Gambar di atas menunjukkan sebaran normal jenis leukosit
pada sampel darah yang diperiksa. Bisa kita lihat letak
masing-masing jenis leukosit pada grafik. Semakin besar
jumlah sebarannya menunjukkan jumlah masing-masing jenis
tersebut semakin banyak, dan sebaliknya. Contohnya gambar
scattergram pada pasien Leukemia Mielositik Kronis di bawah
ini. Bisa kita lihat sebaran leukosit, neutrofil, dan basofil pada
grafik meningkat menunjukkan jumlahnya yang meningkat.

Sedangkan contoh di bawah ini merupakan scattergram dari


pasien dengan riwayat perdarahan dan pansitopenia. Bisa
kita lihat sebaran leukositnya sedikit. Setelah dilakukan
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang, diketahui pasien
menderita anemia aplastik.
Pada grafik leukosit juga bisa ditemui gambaran sebaran
berwarna abu-abu seperti pada gambar di bawah. Gambar ini
diambil dari hasil scattergram penderita leukemia
mieloblastik akut dengan jumlah leukosit 95.960/µL.
Gambaran abu-abu ini seringkali ditemui pada penderita
leukemia akut, leukemia mielositik kronis, dan thalassemia.

Semoga bermanfaat

Indikasi BMP (bagan)

By Dian Sukma Hanggara in Hematologi September 6, 2012


Melengkapi tulisan saya sebelumnya pada Indikasi BMP
(punksi sumsum tulang), berikut saya tambahkan bagan
mengenai tanda klinis dan hasil laboratorium yang mungkin
memerlukan pemeriksaan BMP. Bagan ini dibuat oleh
supervisor saya, dr. Budiman Sp.PK(K), berdasarkan
pengalaman beliau selama ini.

Indikasi BMP (punksi


sumsum tulang)

By Dian Sukma Hanggara in Hematologi February 4, 2011


BMP (Bone Marrow Puncture) atau punksi sumsum tulang
merupakan tindakan medis diagnostik yang seringkali
diperlukan untuk membantu diagnosa suatu penyakit. Selain
itu juga digunakan untuk penentuan tahap dan monitoring
terapi. Sehingga perlu diketahui beberapa indikasi untuk
dilakukannya BMP.

Beberapa indikasi BMP adalah :

1. Diagnosis, penentuan tahap dan evaluasi pengobatan :

a. kanker darah atau leukemia

b. multiple myeloma

c. kelainan lymphoproliferatif dan myeloproliferatif yang lain

2. Evaluasi dari sitopenia (menurunnya jumlah sel, contohnya


trombositopenia, anemia, leukopenia, pansitopenia,
bisitopenia), thrombositosis, leukositosis, anemia dan status
cadangan besi.

3. Kondisi nonhematologik : investigasi panas yang tidak


diketahui terutama pada pasien AIDS, mikroorganisme yang
terdapat pada sumsum tulang seperti tuberculosis,
Mycobacterium Avium Intracellulare (MAI), histoplasmosis.
Leishmaniasis dan infeksi jamur yang lain.
4. Penilaian kanker yang telah metastase atau menyebar

Juga terdapat indikasi relatif, yaitu :

1. ITP (idiopathic tombocytopenic purpura).

2. Peningkatan level serum paraprotein.

3. Anemia defisiensi besi.

4. Defisiensi B12/Folat.

5. Polycitemia vera.

6. Infeksi mononucleosis.
Trombositopenia dan
Trombositosis
Saat terjadi wabah demam berdarah, mungkin kata-kata
yang paling populer muncul adalah trombosit. “Bagaimana
trombosit anak saya dokter?”, “Berapa kadar trombositnya
dokter?” “Waduh, trombositnya turun terus ya dok?” Dan lain
sebagainya. Pada kasus demam berdarah, memang dapat
terjadi kadar trombosit yang turun atau istilahnya
trombositopenia. Namun trombositopenia bukan milik demam
berdarah saja, terdapat beberapa penyakit lain yang dapat
menunjukkan kadar trombosit yang rendah. Begitu juga
terdapat beberapa penyakit yang dapat menyebabkan
peningkatan kadar trombosit di atas nilai normal atau disebut
juga trombositosis.

Trombositopenia

Batas bawah kadar trombosit adalah 150.000/µl. Apabila


tidak ada kelainan fungsi trombosit, jarang terjadi gejala
perdarahan pada kadar trombosit antara 50.000-150.000/µl.
Perdarahan spontan minor dan perdarahan setelah dilakukan
tindakan pembedahan dapat terjadi pada kadar trombosit
antara 20.000-50.000/µl, sedangkan perdarahan yang lebih
serius bisa terjadi jika kadar trombosit turun sampai 0-
20.000/µl. Penyebab dari trombositopenia bisa dibagi menjadi
tiga yaitu menurunnya produksi, meningkatnya
penghancuran, dan kelainan distribusi (hipersplenisme).
Perlu diperhatikan juga, kadang jumlah trombosit yang
dihitung secara otomatis oleh mesin menunjukkan hasil yang
rendah, padahal jumlah yang sebenarnya normal. Hal ini
dapat terjadi karena adanya penggumpalan (clumping)
trombosit setelah darah dicampurkan dengan antikoagulan
EDTA yang menyebabkan trombosit tidak dapat disedot
masuk ke dalam mesin. Jadi hasil ini perlu dikonfirmasi secara
manual dengan hapusan darah tepi.

Trombosit clumping

Penurunan produksi bisa disebabkan oleh infeksi virus (co:


demam berdarah dengue), leukemia, kekurangan vitamin
B12 dan asam folat, gagal hati, sepsis, dan beberapa
kelainan bawaan seperti anemia Fanconi dan sindroma
Alport. Sedangkan peningkatan penghancuran trombosit bisa
terjadi pada ITP (Immune Thrombocytopenia), SLE (Lupus
eritematosus sistemik), HUS (Hemolytic Uremic Syndrome),
TTP (Thrombotic Thrombocytopenic Purpura), infeksi virus,
perdarahan masif, obat-obatan, dan kelainan herediter yang
lain.
Hapusan darah tepi
menunjukkan kesan jumlah trombosit turun

Trombositosis

Peningkatan kadar trombosit biasanya merupakan akibat dari


penyakit akut atau kronis yang lain (trombositosis reaktif).
Penyebab yang sering adalah keganasan dan peradangan
kronis, seperti arthritis rheumatoid. Penyebab yang lain
adalah defisiensi besi dan splenektomi. Kadar trombosit
biasanya dalam rentang 500.000-1.000.000/µl, tapi bisa juga
lebih tinggi. Bahkan dari kasus bulan Agustus lalu, saya
menemukan seorang pasien dengan kadar trombosit lebih
dari 2.000.000/µl. Selain itu, kadar trombosit bisa meningkat
akibat adanya peningkatan produksinya secara otonom pada
penyakit mieloproliferatif, contohnya pada trombositosis
esensial dan polisitemia vera.
Kesan jumlah trombosit yang meningkat
disertai giant trombosit

Dapat kita lihat bahwa terdapat bermacam-macam penyebab


terjadinya trombositopenia dan trombositosis pada
seseorang. Sehingga dalam mencari penyakit yang
mendasarinya perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik dahulu dan pemeriksaan penunjang lain yang mungkin
diperlukan.

Semoga bermanfaat.

Hasil Lab pada AIHA


atau Anemia Hemolitik
Autoimun

By Dian Sukma Hanggara in Hematologi September 4, 2012


AIHA (Autoimmune Hemolytic Anemia) atau anemia
hemolitik autoimun merupakan anemia yang disebabkan oleh
penghancuran eritrosit oleh autoantibodi. Disebut
autoantibodi karena tubuh pasien yang memproduksi
antibodi melawan eritrositnya sendiri. Penyebabnya adalah
adanya kelainan pada saat pembentukan limfosit, sehingga
limfosit yang reaktif terhadap antigen eritrosit tetap
terbentuk. Terdapat dua macam tipe dari AIHA ini, yaitu
tipe warm dan cold, dengan sekitar 70% kasus merupakan
tipe warm. Dalam diagnosis AIHA ini diperlukan temuan klinis
atau laboratoris adanya hemolisis (pemecahan eritrosit) dan
pemeriksaan serologi autoantibodi.

Gejala yang dirasakan oleh penderita AIHA adalah gejala


umum anemia (lemah, letih, lesu), seringkali disertai demam
dan jaundice (sakit kuning). Urin berwarna gelap sering
ditemukan. Pada pemeriksaan fisik bisa ditemukan tanda-
tanda jaundice, pembesaran limpa, pembesaran hati, dan
pembesaran kelenjar getah bening.

Selain gejala dan tanda tersebut, terdapat beberapa


pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang dalam
diagnosis AIHA. Yang pertama perlu diperiksa adalah DL
(darah lengkap) dan hapusan darah. Dari DL bisa dilihat
adanya penurunan Hb (anemia) dan hematokrit. Penurunan
Hb biasanya berat dengan kadar kurang dari 7 g/dl. Kadar
trombosit dan leukosit biasanya masih normal. Bisa juga
didapatkan peningkatan jumlah retikulosit. Pada hapusan
darah dapat ditemukan bentukan eritrosit yang bervariasi
(poikilositosis), sferosit, polikromasi dan kadang
autoaglutinasi. Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan
peningkatan bilirubin indirek dan peningkatan kadar LDH.
Sedangkan pada urinalisis bisa ditemukan hemoglobinuria.
Hapusan darah pada penderita AIHA

Autoaglutinasi pada hapusan darah tepi

Terdapat beberapa pemeriksaan serologi untuk mendeteksi


adanya autoantibodi pada AIHA, diantaranya adalah Direct
Antiglobulin Test (DAT, Direct Coombs Test) dan Indirect
Antiglobulin Test (IAT,Indirect Coombs Test). Yang biasa
dikerjakan adalah DAT yang mendeteksi adanya autoantibodi
(IgG) yang menyelubungi eritrosit. Pemeriksaan DAT pada
penderita AIHA menunjukkan hasil yang positif, dimana
ditemukan aglutinasi eritrosit.
Direct Coomb’s Test

Hasil DAT positif

Yang perlu diperhatikan, tidak semua penderita AIHA


menunjukkan semua gambaran laboratorium tersebut. Bisa
saja tidak didapatkan peningkatan bilirubin indirek, tidak
ditemukan hemoglobinuria, atau malah pemeriksaan DAT
menunjukkan hasil yang negatif. Sehingga penentuan
diagnosisnya tetap melihat dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan laboratorium yang lain apakah terdapat
tanda-tanda hemolisis, juga menyingkirkan penyebab anemia
hemolitik yang lain
Pemeriksaan Laju
Endap Darah (LED)

By Dian Sukma Hanggara in Hematologi December 30, 2011


Pada saat kita periksa darah lengkap, seringkali hasil LED
juga keluar tanpa kita mengetahui apa artinya. Apa itu LED?
Sesuai namanya, pemeriksaan LED atau laju endap
darah (ESR; erythrocyte sedimentation rate) adalah
pemeriksaan darah dengan mengukur kecepatan
pengendapan dari sel darah merah pada plasma yang diukur
dalam satu waktu tertentu. Pemeriksaan ini tidak spesifik
untuk suatu penyakit, jadi banyak sekali keadaan yang dapat
meningkatkan nilai LED.

Pada infeksi akut dan kronis, inflamasi, keganasan, dan


nekrosis atau infark jaringan akan terjadi peningkatan protein
plasma yang menyebabkan sel darah merah memiliki
kecenderungan menempel satu sama lain. Hal ini akan
meningkatkan berat sel darah merah dan lebih cepat
mengendap. Sehingga pada beberapa penyakit tersebut nilai
LED akan meningkat. Pada beberapa penyakit, LED dapat
digunakan untuk melihat perjalanan penyakit dan memonitor
pengobatan. Secara umum, jika penyakit memburuk nilai LED
akan meningkat, dan sebaliknya jika penyakit membaik LED

turun.

Perlu diingat bahwa nilai LED yang naik tidak melulu karena
penyakit. Terdapat beberapa keadaan yang secara normal
dapat meningkatkan nilai LED, antara lain kehamilan (setelah
minggu ke-12), setelah melahirkan, menstruasi, dan
pengobatan dengan metildopa, kontrasepsi oral, penisilamin,
dan teofilin.

Nilai normal LED:

 Pria <15 mm/jam


 wanita <20 mm/jam
 anak <10 mm/jam
 bayi baru lahir 0-2 mm/jam.
Penyebab Anemia
karena Penyakit Kronis
Terdapat beberapa diagnosa banding pada anemia karena
penyakit kronis, di antaranya :

1. Penyakit hati kronis

Adanya gangguan produksi lipid menyebabkan bentukan sel


target, makrositik, dan akantosit pada sel darah merah. Bila
terjadi kehilangan darah akibat perdarahan gastrointestinal,
bisa terlihat hipokrom mikrositik. Sedangkan jika terjadi
hipertensi portal dapat terlihat makrositik.

2. Keganasan

Ini terjadi bisa dikarenakan infiltrasi sel ganas ke dalam


sumsum tulang (myelophthisis), akibat dari terapi yang
diberikan seperti kemoterapi dan radioterapi, adanya
defisiensi nutrisi, perdarahan gastrointestinal, terjadinya
anemia hemolitik, dan hipersplenisme.
3. Infeksi

Biasanya disebabkan oleh karena infeksi yang berlangsung


lebih dari 1 bulan., di antaranya TB, endocarditis,
osteomyelitis, dan abses. Tapi dapat juga pada kasus infeksi
yang berlangsung cepat seperti kondisi sepsis.

4. Penyakit jaringan ikat


Di antaranya systemic lupus erythematosus (SLE) dan
rheumatoid arthritis. Pada SLE juga bisa sekunder karena
AIHA atau karena gagal ginjal akibat lupus nephritis.

5. Penyakit endokrin

Adrenal insufficiency, hiperparatiroid, hipertiroid,


hipopituitarisme, dan hipotiroid.

Sumber : Clinician’s Guide to Laboratory Medicine


Beda Hasil
Laboratorium Anemia
Kurang Besi dan
Anemia karena
Penyakit Kronis

By Dian Sukma Hanggara in Hematologi November 23, 2010


Anemia kurang besi dan anemia karena penyakit kronis
adalah dua dari beberapa diagnosa banding gejala anemia.
Keduanya perlu dibedakan karena penatalaksanaannya
berbeda. Untuk membedakannya, selain dari wawancara dan
pemeriksaan fisik dari dokter, tidak jarang pula diperlukan
beberapa pemeriksaan laboratorium.

Pada hapusan darah dapat dibedakan dari morfologi sel


darah merah. Apabila pada anemia kurang besi sel darah
merahnya hipokromik mikrositik, sedangkan pada anemia
karena penyakit kronis normokrom normositik. Akan tetapi
perlu diingat bahwa pada fase awal anemia kurang besi
masih normokrom normositik, dan sekitar 30-40% pasien
dengan anemia karena penyakit kronis menunjukkan sel
darah merah hipokrom mikrositik.

Pemeriksaan laboratorium yang lain bisa dilihat pada tabel


berikut :
Cadangan Fe yang dilihat melalui pemeriksaan BMP
merupakan gold standard dalam diagnosa anemia kurang
besi.

Yang perlu diperhatikan adalah jangan mendiagnosa penyakit


hanya dari satu parameter, tetapi perhatikan parameter yang
lain.

Beda Hasil Lab


Thalassemia &
Defisiensi Fe

By Dian Sukma Hanggara in Hematologi September 28, 2010


Terkadang penderita thalassemia, terutama yang ringan
(thalassemia beta trait), sering salah terdiagnosa sebagai
anemia defisiensi Fe. Hal ini dikarenakan gejala yang dialami
penderita dan gambaran laboratorium, terutama hapusan
darah yang hampir sama.
Berbeda dengan thalassemia mayor dengan gejala yang
muncul anemia berat sampai facies mongoloid dan gambaran
hapusan darah yang sangat bervariasi, pada thalassemia
trait, gejala yang timbul kebanyakan hanya berupa anemia
ringan dengan gambaran hapusan darah hipokrom mikrositik.
Sehingga seringkali kita kesulitan membedakan dan
terkadang misdiagnosa.

Untuk meminimalisir kesalahan tersebut, ada sedikit


perbedaan yang perlu kita ketahui :

1. kita lihat bagaimana hasil serum iron, TIBC, dan ferritin.


Pada thalassemia trait hasil ketiga lab tersebut normal,
sedangkan pada anemia defisiensi Fe serum iron dan ferritin
mengalami penurunan dan TIBC naik.

2. Dihitung berapakah Mentzer Indexnya. Didapat dari


pembagian MCV dengan jumlah eritrosit (MCV/RBC). Apabila
hasilnya >13 berarti anemia defisiensi Fe, sedangkan bila
<13 berarti thalassemia beta trait.
Thalassemia

By Dian Sukma Hanggara in Hematologi September 26, 2010


Thalassemia merupakan salah satu penyakit yang
membutuhkan perhatian serius. Selain mematikan dan biaya
pengobatan tiap bulannya yang sangat mahal, juga karena
banyak orang yang tidak sadar bahwa mereka mrupakan
carrier atau pembawa. Saat ini tercatat penderita
thalassemia mayor di Indonesia mencapai 5.000 orang
dengan 200.000 orang sebagai carrier. Pada tulisan kali ini
saya mencoba memberikan gambaran thalassemia secara
umum. Pembahasan detail tentang thalassemia alfa dan beta
pada tulisan selanjutnya.

Thalassemia adalah suatu kelainan darah kongenital yang


disebabkan oleh menurun atau tidak adanya sintesa salah
satu atau lebih rantai globin yang berperan penting dalam
pembentukan hemoglobin. Hal ini menyebabkan kerusakan
dari sel darah merah dan hambatan produksinya. Kelainan ini
diturunkan secara autosomal dari orang tua kepada anaknya.

Terdapat beberapa macam bentuk thalassemia, tapi yang


paling dikenal adalah Thalassemia alfa (α) dan thalassemia
beta (β). Penyebutan ini berdasarkan rantai yang mengalami
gangguan produksi. Pada thalassemia beta terjadi gangguan
produksi rantai beta dari globin, sedangkan pada thalassemia
alfa terjadi ganggunan produksi rantai alfa.

Gejala klinis thalassemia bervariasi tergantung tipe dan


patofisiologinya. Pada penderita thalassemia beta, gejala
klinisnya lebih berat karena rantai alfa yang bebas tidak larut
sehingga menjadi sangat beracun terhadap sel prekursor dari
sel darah merah. Menurut gejala klinik, secara umum dibagi
menjadi tiga, yaitu thalassemia trait, minor, dan mayor. Pada
thalassemia trait tidak menimbulkan gejala, penderita
berperan sebagai silent carrier. Pada thalassemia minor
biasanya menunjukkan gejala anemia ringan. Sedangkan
penderita thalassemia mayor menunnjukkan gejala anemia
berat, ikterus, gagal jantung kongestif, splenomegali, dan
mongoloid facies.

Gambaran laboratorium yang biasa dijumpai pada


pemeriksaan darah adalah pada hapusan darah ditemukan
anemia hipokrom mikrositosis seperti pada anemia defisiensi
besi, sel target, anisositosis, poikilositosis, dan inclusion
bodies. Kadang juga diperlukan pemeriksaan Hb
elektroforesa.

Untuk bertahan hidup, penderita thalassemia mayor


membutuhkan transfusi darah secara regular untuk menjaga
hematokrit darah antara 30%-50%. Kadang juga
membutuhkan splenectomy. Sedangkan pada thalassemia
trait tidak membutuhkan terapi.
Eritrosit, Sel Darah
Merah

By Dian Sukma Hanggara in Hematologi June 23, 2010


Kita semua pasti sudah mengenal apa itu eritrosit atau sel
darah merah. Tapi apa salahnya mengulang sedikit pelajaran
biologi waktu kita SMA dulu, termasuk pelajaran yang paling
susah karena hafalan,hehehe..

Eritrosit merupakan salah satu jenis sel darah yang fungsi


utamanya adalah untuk transportasi O2 dan CO2. Gambaran
eritrosit yang normal sudah pernah saya posting sebelumnya
(lihat Gambaran Sel Darah Normal) . Jumlah eritrosit normal
dalam tubuh kita berkisar antara 4-5 juta/µl (pada wanita)
atau 5-6 juta/µl (pada pria). Di dalam sirkulasi darah perifer,
pada umumnya eritrosit tidak berinti dengan retikulosit
merupakan sel eritrosit termuda.

Tidak boleh kita lupakan juga apabila bicara tentang eritrosit


adalah hemoglobin (Hb). Hb merupakan senyawa biomolekul
yang mengandung Fe (besi) yang bertanggung jawab atas
pengikatan oksigen dan juga warna merah dari eritrosit.

Proses pembentukan eritrosit, yang disebut juga eritropoiesis,


terjadi pada sumsum tulang. Pendewasaan sel berlangsung
sekitar 7 hari, dengan masa hidup setelah pelepasan dari
sumsum tulang lebih kurang 120 hari. Berikut gambar dari
proses pembentukan eritrosit :

Seiring dengan berjalannya waktu, eritrosit yang sudah tua,


akan dihancurkan oleh sistem retikuloendothelial (hati, limpa,
sumsum tulang). Protein yang dihasilkan akan dipecah
menjadi asam amino yang dapat dipergunakan lagi.
Sedangkan bagian heme dari Hb dipecah menjadi Fe dan
biliverdin, yang nantinya diekskresikan melalui saluran
empedu sebagai bilirubin. Proses lengkapnya bisa dilihat
pada gambar berikut ini :
Terdapat beberapa penyakit yang berhubungan dengan sel
darah merah, di antaranya adalah anemia, polisitemia, dan
kelainan morfologi seperti kelainan bentuk dan ukuran dari
eritrosit. Beberapa pembahasan tentang penyakitnya akan
saya tulis dalam beberapa hari ke depan.
Hematopoiesis,
Pembentukan Sel
Darah

By Dian Sukma Hanggara in Hematologi June 22, 2010


Hematopoiesis merupakan proses pembentukan komponen
sel darah, dimana terjadi proliferasi, maturasi dan diferensiasi
sel yang terjadi secara serentak.

Proliferasi sel menyebabkan peningkatan atau


pelipatgandaan jumlah sel, dari satu sel hematopoietik
pluripotent menghasilkan sejumlah sel darah. Maturasi
merupakan proses pematangan sel darah, sedangkan
diferensiasi menyebabkan beberapa sel darah yang
terbentuk memiliki sifat khusus yang berbeda-beda.

Proses yang terjadi bisa lebih jelas dilihat melalui gambar di


bawah ini :
Hematopoiesis pada manusia terdiri atas beberapa periode :

1. Mesoblastik

Dari embrio umur 2 – 10 minggu. Terjadi di dalam yolk sac.


Yang dihasilkan adalah HbG1, HbG2, dan Hb Portland.

2. Hepatik

Dimulai sejak embrio umur 6 minggu terjadi di hati


Sedangkan pada limpa terjadi pada umur 12 minggu dengan
produksi yang lebih sedikit dari hati. Disini menghasilkan Hb.

3. Mieloid
Dimulai pada usia kehamilan 20 minggu terjadi di dalam
sumsum tulang, kelenjar limfonodi, dan timus. Di sumsum
tulang, hematopoiesis berlangsung seumur hidup terutama
menghasilkan HbA, granulosit, dan trombosit. Pada kelenjar
limfonodi terutama sel-sel limfosit, sedangkan pada timus
yaitu limfosit, terutama limfosit T.

Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan


sel darah di antaranya adalah asam amino, vitamin, mineral,
hormone, ketersediaan oksigen, transfusi darah, dan faktor-
faktor perangsang hematopoietik.

Gambaran Sel Darah


Normal

By Dian Sukma Hanggara in Hematologi December 24, 2009


Di bawah ini saya upload beberapa gambaran sel darah
normal pada hapusan darah tepi beserta sedikit penjelasan.
Untuk yang abnormal saya upload pada postingan berikutnya
karena banyak sekali..

1. Sel Darah Merah/Eritrosit


 Ukuran: 6 – 9 mm
 Bentuk: bulat
 Warna sitoplasma: merah jambu atau abu-abu
 Granularitas: tidak ada
 Distribusi dalam darah: > 90 % dari eritrosit normal
dalam darah

2. Keping darah/trombosit
 Ukuran: 1 – 4 mm
 Bentuk: bulat atau oval, dengan pinggir tidak teratur
 Warna sitoplasma: biru
 Granularitas: granul ungu halus mengisi bagian tengah
trombosit Pinggir tipis tanpa granul pada bagian tepi sel

3. Limfosit

 Ukuran: 10 – 15 mm
 Bentuk: bulat, kadang-kadang oval
 Warna sitoplasma: biru
 Granularitas: tidak ada
 Bentuk inti: bulat atau agak oval
 Tipe kromatin: homogen, padat
 Rasio inti/sitoplasma: tinggi atau sangat tinggi
 Nukleolus: tidak terlihat, kadang-kadang hampir tidak
terlihat , satu nukleolus kecil
 Distribusi: darah: 25 – 40 % ; sumsum tulang: 5 – 20 %

4. Netrofil Stab

 Ukuran sel: 14 – 20 mm
 Bentuk sel: oval atau bulat
 Warna sitoplasma: pink
 Granularitas: a few azurofilik and neutrofilik, different in
number
 Bentuk inti: semicircular
 Tipe kromatin: condensed
 Ratio inti/sitoplasma: low or very low
 Nukleolus: not visible
 Keberadaan: darah: < 5% ; sumsum tulang: 5 – 20 %
5. Netrofil Segmen

 Ukuran sel: 14 – 20 mm
 Bentuk sel: oval atau bulat
 Warna sitoplasma: pink
 Granularitas: a few azurofilik and neutrofilik, different in
number granulation
 Bentuk inti: lobulated (normally less than 5 lobes)
 Tipe kromatin: condensed
 Ratio inti/sitoplasma: low or very low
 Nukleolus: not visible
 Keberadaan: darah: 40 – 75 % ; sumsum tulang: 5 – 20
%

6. Eosinofil

 Ukuran sel: 15 – 25 mm
 Bentuk sel: oval atau bulat
 Warna sitoplasma: pale, covered by granules
 Granularitas: abundant eosinofilik (orange-red)
 Bentuk inti: lobulated, semicircular
 Tipe kromatin: condensed
 Ratio inti/sitoplasma: low or very low
 Nukleolus: not visible
 Keberadaan: darah: 2 – 4 %; sumsum tulang: < 2 %

7. Monosit

 Ukuran: 15 – 25 mm
 Bentuk: bulat, oval atau tidak teratur
 Warna sitoplasma: abu-abu biru
 Granularitas: tidak ada atau sedikit granul azurofilik
halus
 Bentuk inti: biasanya tidak teratur
 Tipe kromatin: kromatin kasar, berkelompok
 Rasio inti/sitoplasma: sedang atau rendah
 Nukleolus: tak terlihat
 Distribusi: Darah: 4 – 8 % ; sumsum tulang: < 2 %
8. Basofil

 Ukuran sel: 12 – 18 mm
 Bentuk sel: round or oval
 Warna sitoplasma: light-pink, mostly covered by
granules and nucleus
 Granularitas: veri dark, basofilik, granules of various
size. The amount varies
 Bentuk inti: oval shaped in not mature forms; lobular
shaped in mature forms
 Tipe kromatin: condensed, pale
 Ratio inti/sitoplasma: low or very low
 Nukleolus: not visible
 Keberadaan: darah: < 1 % ; sumsum tulang: < 1 %

Gambaran Eritrosit
Abnormal

By Dian Sukma Hanggara in Hematologi December 24, 2009


Disini akan sedikit kita bahas beberapa gambaran abnormal
dari sel darah merah atau eritrosit yang bisa kita temukan
pada saat pemeriksaan hapusan darah.

Hipochrome
Gambaran sel darah merah yang hipokrom dapat ditemukan
pada anemia kurang besi (defisiensi fe), sickle cells anemia,
thalassemia, atau anemia karena penyakit kronis. Selain dari
hapusan, dapat juga kita lihat dari hasil pemeriksaan darah
MCH < 26 pg dan MCHC < < 32%

Makrositik
Gambaran makrositik berarti volume eritrosit lebih besar dari
normal. Dapat ditemukan pada penyakit anemia
megaloblastik karena kurang vit.B12 atau asam folat, anemia
setelah perdarahan akut, atau anemia karena penyakit hati
kronik. Dari data pemeriksaan darah ditemukan MCV > 94 fl

Target Cell
Gambaran ini dinamakan sel target karena bentukannya
mirip dengan sasaran tembak. Dapat ditemukan pada
Thalassemia disertai gambaran aniso-poikilositosis,
polikromasi, hipokrom-mikrositik, dan bintik basofil.

Bintik basofil

Poikilositosis
Seperti telah dibahas di atas, dua gambaran ini bisa
ditemukan di thalassemia. Selain itu, bintik basofil dapat
ditemukan pada anemia sideroblastik dan keracunan timbal.
Sedangkan poikilositosis merupakan kondisi kelainan bentuk
baik sebagian bentuk dari eritrosit normal atau bentuk yang
benar-benar berbeda. Kondisi ini bisa ditemukan pada
berbagai kelainan karena tidak spesifik, seperti pada
thalassemia, anemia karena defisiensi vitamin B12 atau asam
folat, atau bisa juga pada coeliac disease.

Gametosit Ring
Form
Kedua gambaran ini dapat ditemukan pada pasien malaria.
Prosedur pemeriksaannya dengan tetes tebal dan tetes tipis.
Pada pemeriksaan ini dapat juga ditemukan skizon dan
eritrosit yang telah pecah karena hemolisis.

Gambaran yang lain :

Aglutinasi
Akantosit

Sel Sabit Sferosit

Howell Joly Bodies

Skistosit

Anda mungkin juga menyukai