Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

UNDESCENDED TESTIS

Oleh

Gusprita Ningtyas, S.Ked

J 510 170 092

Pembimbing

dr. Bakri Hasbullah, Sp. B., FINACS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RSUD KARANGANYAR

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2018

1
LAPORAN KASUS
UNDESCENDED TESTIS

Oleh:

Gusprita Ningtyas, S.Ked

J510 170 092

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas


Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pada hari, 2018

Pembimbing:

dr. Bakri Hasbullah, Sp. B., FINACS ( )

Dipresentasikan di hadapan

dr. Bakri Hasbullah, Sp. B., FINACS ( )

2
BAB I
PENDAHULUAN

Undescended testis (UDT) atau kriptorkismus adalah suatu keadaan di mana


setelah usia satu tahun, satu atau kedua testis tidak berada di dalam kantong skrotum,
tetapi berada di salah satu tempat sepanjang jalur desensus yang normal. Kriptorkismus
berasal dari kata cryptos (Yunani) yang berarti tersembunyi dan orchis yang dalam
bahasa Latin disebut testis.
Undescended testis (UDT) merupakan kelainan bawaan genitalia yang paling
sering ditemukan pada anak laki-laki. Sepertiga kasus anak-anak dengan UDT adalah
bilateral sedangkan dua-pertiganya adalah unilateral. Insiden UDT terkait erat dengan
umur kehamilan, dan maturasi bayi. Insiden meningkat pada bayi yang lahir prematur
dan menurun pada bayi-bayi yang dilahirkan cukup bulan. Peningkatan umur bayi akan
diikuti dengan penurunan insiden UDT. Insidensnya 3 – 6% pada bayi laki-laki yang
lahir cukup bulan dan meningkat menjadi 30% pada bayi prematur. Dua pertiga kasus
mengalami UDT unilateral dan UDT bilateral.
Kriptorkismus terbagi menjadi kriptorkismus murni, testis ektopik, ataupun
pseudokriptorkismus. Testis yang berlokasi di luar jalur desensus yang normal disebut
sebagai testis ektopik, sedangkan testis yang terletak tidak di dalam skrotum tetapi
dapat didorong masuk ke dalam skrotum dan menaik lagi bila dilepaskan dinamakan
pseudokriptorkismus atau testis retraktil. Testis yang belum turun ke kantung skrotum
dan masih berada dijalurnya mungkin terletak di kanalis inguinalis atau di rongga
abdomen, yaitu terletak diantara fossa renalis dan annulus inguinalis internus. Testis
ektopik mungkin berada diperineal, di luar kanalis inguinalis yaitu diantara aponeurosis
oblikus eksternus dan jaringan subkutan, suprapubik, atau di regio femoral.
UDT dapat kembali turun spontan ke testis sekitar 70 – 77% pada usia bulan.
Testis yang terletak tidak di dalam skrotum akan mengganggu spermatogenesis,
meningkatkan kemungkinan terjadinya torsi dan keganasan. Alasan utama testis harus

3
diturunkan adalah agar testis ini dan testis kontralateral yang normal tidak mengalami
kerusakan pada tubulus seminiferus sehingga infertilitas dapat dicegah.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Undescended testis (UDT) adalah suatu kondisi dimana testis tidak dijumpai
pada tempat yang semestinya yaitu di dalam skrotum. Dalam hal ini mungkin testis
tidak mampu mencapai skrotum tetapi masih berada pada jalurnya yang normal,
keadaan ini disebut kriptorkismus, atau pada proses desensus, testis keluar dari jalurnya
yang normal, keadaan ini disebut sebagai testis ektopik.1,2

2.2. Epidemiologi
UDT merupakan kelainan genitalia kongenital tersering pada anak laki-laki.
Pada bayi prematur sekitar 30,3% dan sekitar 3,4% pada bayi cukup bulan. Bayi dengan
berat lahir < 900 gram seluruhnya mengalami UDT, sedangkan dengan berat lahir <
1800 gram sekitar 68,5 % UDT. Dengan bertambahnya umur menjadi 1 tahun,
insidennya menurun menjadi 0,8 %, angka ini hampir sama dengan populasi dewasa.1,2
Dua pertiga kasus mengalami UDT unilateral dan sisanya UDT bilateral.
Dengan bertambahnya usia, testis mengalami desensus secara spontan sekitar 70-77%
biasanya pada usia 3 bulan, sehingga pada saat usia 1 tahun angka kejadian UDT turun
menjadi 1% dibandingkan saat lahir 3,7%. Setelah usia 1 tahun, testis yang letaknya
abnormal jarang dapat mengalami desensus testis secara spontan.1,2

2.3. Embriologi dan Proses Penurunan Testis


Pada minggu keenam umur kehamilan primordial germ cells mengalami
migrasi dari yolk sac ke-genital ridge. Dengan adanya gen SRY (sex determining region
Y), maka akan berkembang menjadi testis pada minggu ke-7. Testis yg berisi prekursor
sel-sel Sertoli besar (yang kelak menjadi tubulus seminiferous dan sel-sel Leydig kecil)
dengan stimulasi FSH yang dihasilkan pituitary mulai aktif berfungsi sejak minggu ke-
8 kehamilan dengan mengeluarkan MIF (Müllerian Inhibiting Factor), yang

5
menyebabkan involusi ipsilateral dari duktus mullerian. MIF juga meningkatkan
reseptor androgen pada membran sel Leydig. Pada minggu ke-10-11 kehamilan, akibat
stimulasi chorionic gonadotropin yang dihasilkan plasenta dan LH dari pituitary, sel-
sel Leydig akan mensekresi testosteron yang sangat esensial bagi diferensiasi duktus
Wolfian menjadi epididimys, vas deferens, dan vesika seminalis.1,3
Penurunan testis dimulai pada sekitar minggu ke-10. Terdapat beberapa faktor
yang berperan penting, yakni: faktor endokrin, mekanik (anatomik), dan neural. Terjadi
dalam 2 fase yang dimulai sekitar minggu ke-10 kehamilan segera setelah terjadi
diferensiasi seksual. Fase transabdominal dan fase inguinoscrotal. Keduanya terjadi
dibawah kontrol hormonal yang berbeda.1,3
Fase transabdominal terjadi antara minggu ke 10 dan 15 kehamilan, dimana
testis mengalami penurunan dari urogenital ridge ke regio inguinal. Hal ini terjadi
karena adanya regresi ligamentum suspensorium cranialis dibawah pengaruh androgen
(testosteron), disertai pemendekan gubernaculum (ligamen yang melekatkan bagian
inferior testis ke-segmen bawah skrotum) di bawah pengaruh MIF. Dengan
perkembangan yang cepat dari regio abdominopelvic maka testis akan terbawa turun
ke daerah inguinal anterior. Pada bulan ke-3 kehamilan terbentuk processus vaginalis
yang secara bertahap berkembang ke-arah skrotum. Selanjutnya fase ini akan menjadi
tidak aktif sampai bulan ke-7 kehamilan.1,3

6
(Gambar 1. Embriologi dan proses penurunan testis)

Keterangan gambar: A: antara minggu ke- 8–15 gubernaculum (G) berkembang


pada laki-laki, mendekatkan testis (T) ke-inguinal. Ligamentum suspensorium cranialis
(CSL) mengalami regresi. Migrasi gubernaculum ke-skrotum terjadi pada minggu ke-
28 35. B: Peranan gubernaculum dan CSL pada diferensiasi seksual rodent. Pada laki-
laki, CSL mengalami regresi dan gubernaculum mengalami perkembangan; sebaliknya
pada perempuan CSL menetap, dan gubernaculum menipis dan memanjang.1,3
Fase inguinoscrotal terjadi mulai bulan ke-7 atau minggu ke-28 sampai dengan
minggu ke-35 kehamilan. Testis mengalami penurunan dari regio inguinal ke dalam
skrotum dibawah pengaruh hormon androgen. Mekanismenya belum diketahui secara
pasti, namun diduga melalui mediasi pengeluaran calcitonin gene-related peptide
(CGRP). Androgen akan merangsang nervus genitofemoral untuk mengeluarkan

7
CGRP yang menyebabkan kontraksi ritmis dari gubernaculum. Faktor mekanik yang
turut berperan pada fase ini adalah tekanan abdominal yang meningkat yang
menyebabkan keluarnya testis dari cavum abdomen, di samping itu tekanan abdomen
akan menyebabkan terbentuknya ujung dari processus vaginalis melalui canalis
inguinalis menuju skrotum. Proses penurunan testis ini masih bisa berlangsung sampai
bayi usia 9-12 bulan. 1,3

2.4. Etiologi
Mekanisme terjadinya UDT berhubungan dengan banyak faktor
(multifaktorial) yaitu (1) Perbedaaan pertumbuhan relatif tubuh terhadap funikulus
spermatikus atau gubernakulum, (2) peningkatan tekanan abdomen, (3) faktor
hormonal: testosteron, MIS, and extrinsic estrogen, (4) Perkembangan epididimis, (5)
Perlekatan gubernakular (6) Genito femoral nerve/calcitonin gene-related peptide
(CGRP), (7) Sekunder pasca-operasi inguinal yang menyebabkan jaringan ikat.4,5
UDT juga dapat terjadi karena adanya kelainan pada (1) gubernakulum testis,
(2) kelainan intrinsik testis, atau (3) defisiensi hormon gonadotropin yang memacu
proses desensus testis. Beberapa penelitian telah mengidentifikasi kelompok bayi baru
lahir yang beresiko mengalami UDT untuk mencari riwayat alami dan faktor-faktor
yang mempengaruhi desensus setelah lahir. Penelitian ini menemukan bahwa UDT
secara signifikan lebih banyak ditemukan pada bayi prematur, kecil untuk masa
kehamilan, berat bayi baru lahir yang rendah, dan kembar.4,5
UDT dapat merupakan kelainan tunggal yang berdiri sendiri (isolated
anomaly), ataupun bersamaan dengan kelainan kromosom, endokrin, intersex, dan
kelainan bawaan lainnya. Bila disertai dengan kelainan bawaan lain seperti hipospadia
kemungkinan lebih tinggi disertai dengan kelainan kromosom (sekitar 12 – 25 %).4,5
Terdapat faktor keturunan terjadinya UDT pada kasus-kasus yang isolated, di
samping itu testis sebelah kanan lebih sering mengalami UDT. Sekitar 4,0 % anak-
anak UDT mempunyai ayah yang UDT, dan 6,2–9,8% mempunyai saudara laki-laki

8
UDT; atau secara umum terdapat risiko 3,6 kali terjadi UDT pada laki-laki yang
mempunyai anggota keluarga UDT dibanding dengan populasi umum.4,5

2.5. Klasifikasi

UDT dikelompokkan menjadi 3 tipe:


1. UDT sesungguhnya (true undescended): testis mengalami penurunan parsial
melalui jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi teraba (palpable)
dan tidak teraba (impalpable).
2. Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang
normal.
3. Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke-dasar skrotum tetapi akibat
refleks kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke-kanalis inguinalis,
bukan termasuk UDT yang sebenarnya.
Pembagian lain membedakan true UDT menurut lokasi terhentinya testis,
menjadi: abdominal, inguinal, dan suprascrotal. Gliding testis atau sliding testis adalah
istilah yang dipakai pada keadaan UDT dimana testis dapat dimanipulasi hingga bagian
atas skrotum, tetapi segera kembali begitu tarikan dilepaskan.1,4
Gliding testis harus dibedakan dengan testis yang retraktil, gliding testis terajadi
akibat tidak adanya gubernaculum attachment, dan mempunyai processus vaginalis
yang lebar sehingga testis sangat mobile dan meningkatkan risiko terjadinya torsi.
Dengan melakukan overstrecht selama 1 menit pada saat pemeriksaan fisik (untuk
melumpuhkan refleks cremaster), testis yang retraktil akan menetap di dalam skrotum,
sedangkan gliding testis akan tetap kembali ke-kanalis inguinalis.1,4

9
(Gambar 2. Kemungkinan lokasi testis pada true UDT dan ektopik testis)

2.7. Diagnosis
2.7.1. Anamnesis
Pada anamnesis, tentukan apakah testis pernah teraba di skrotum, riwayat
operasi daerah inguinal, riwayat prenatal: terapi hormonal pada ibu untuk reproduksi,
kehamilan kembar, prematuritas, riwayat keluarga: UDT, hipospadia, infertilitas,
intersex, pubertas prekoks. Pada anamnesis juga, yang harus digali adalah tentang
prematuritas penderita (30% bayi prematur mengalami UDT), penggunaan obat-obatan
saat ibu hamil (estrogen), riwayat operasi inguinal. Harus dipastikan juga apakah
sebelumnya testis pernah teraba di skrotum pada saat lahir atau tahun pertama
kehidupan (testis retractile akibat refleks cremaster yang berlebihan sering terjadi pada
umur 4-6 tahun). Perlu juga digali riwayat perkembangan mental anak, dan pada anak
yang lebih besar bisa ditanyakan ada tidaknya gangguan penciuman (biasanya
penderita tidak menyadari). Riwayat keluarga tentang UDT, infertilitas, kelainan
bawaan genitalia, dan kematian neonatal.,2,6

2.7.2. Pemeriksaan Fisik

10
Pemeriksaan secara umum harus dilakukan dengan mencari adanya tanda-tanda
sindrom tertentu, dismorfik, hipospadia, atau genitalia ambigu. Pemeriksaan fisik
bertujuan untuk mengetahui lokasi testis jika teraba, dan untuk menentukan posisi
terendah di mana testis dapat dimanipulasi. Diagnosis UDT pada bayi dapat langsung
ditegakkan jika skrotum terlihat tipis dan bergantung. Pada anak dengan usia yang lebih
besar, diagnosis mungkin lebih sulit untuk ditegakkan,terutama pada anak dengan
obesitas.
Pasien sebaiknya diperiksa dalam 2 posisi, yaitu posisi supinasi dan duduk.
Pada posisi duduk, pasien bersandar pada kedua tangan, menekuk lutut, dan telapak
kaki saling menyentuh satu sama lain. Observasi dimulai dengan melihat ada atau
tidaknya testis dan hipoplasia skrotum. Manuver yang dilakukan untuk menentukan
posisi testis adalah meraba daerah sepanjang kanalis inguinalis dari annulus internal
menuju skrotum. Bila teraba testis harus dicoba untuk diarahkan ke-skrotum, terkadang
testis dapat didorong ke dalam skrotum. Dengan mempertahankan posisi testis didalam
skrotum selama 1 menit, otot-otot cremaster diharapkan akan mengalami ”fatigue”;
bila testis dapat bertahan di dalam skrotum, menunjukkan testis yang retractile
sedangkan pada UDT akan segera kembali begitu testis dilepas. Tentukan lokasi,
ukuran dan tekstur testis.1,2,6

(Gambar 3. Pemeriksaan Testis)

Testis yang atropi atau vanishing testis dapat dijumpai pada jalur penurunan
yang normal. Kemungkinan etiologinya adalah iskemia masa neonatal akibat torsi.

11
Testis kontra lateralnya biasanya mengalami hipertrofi. Lokasi UDT tersering terdapat
pada kanalis inguinalis (72%), diikuti supraskrotal (20%), dan intra-abdomen (8%).
Sehingga pemeriksaan fisik yang baik dapat menentukan lokasi UDT tersebut.1,2,6
Adanya UDT bilateral yang tidak teraba gonad/testis apalagi disertai hipospadia
dan virilisasi, harus dipikirkan kemungkinan intersex, individu dengan kromosom XX
yang mengalami female pseudo-hermaphroditism yang berat, atau Anorchia kongenital
sebagai akibat torsi testis in utero. Sedangkan simple UDT merupakan hal yang
seringkali dijumpai terutama pada bayi yang prematur, akan tetapi masih dapat terjadi
penurunan testis dalam tahun pertama kehidupannya.1,2,6

2.7.3. Pemeriksaan Laboratorium


Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium
lebih lanjut. Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis dengan disertai
hipospadia dan virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis kromosom dan hormonal
(yang terpenting adalah 17 hydroxyprogesterone) untuk menyingkirkan kemungkinan
intersex. 1,2,6
Setelah menyingkirkan kemungkinan intersex, pada penderita UDT bilateral
dengan usia < 3 bulan dan tidak teraba testis, pemeriksaan LH, FSH, dan testosteron
akan dapat membantu menentukan apakah terdapat testis atau tidak. Bila umur telah
mencapai di atas 3 bulan pemeriksaan hormonal tersebut harus dilakukan dengan
melakukan stimulasi test menggunakan hCG (human chorionic gonadotropin
hormone). Ketiadaan peningkatan kadar testosteron disertai peningkatan LH/FSH
setelah dilakukan stimulasi mengindikasikan anorchia. 1,2,6
Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah mengukur kadar
hormon testosteron pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi. Respon
testosteron normal pada hCG test sangat tergantung umur penderita. Pada bayi, respon
normal setelah hCG test bervariasi antara 2-10x bahkan 20x. Pada masa kanak-kanak,
peningkatannya sekitar 5-10x. Sedangkan pada masa pubertas, dengan meningkatnya

12
kadar testosteron basal, maka peningkatan setelah stimulasi hCG hanya sekitar 2-3x.
1,2,6

2.7.4. Pemeriksaan Radiologi


USG dapat membantu menentukan lokasi testis terutama di daerah inguinal.CT
scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan USG terutama
diperuntukkan testis intra-abdomen (tidak teraba testis). MRI mempunyai sensitifitas
yang lebih baik untuk digunakan pada anak-anak yang lebih besar (belasan tahun). MRI
juga dapat mendeteksi kecurigaan keganasan testis. Baik USG, CT scan maupun MRI
tidak dapat dipakai untuk mendeteksi vanishing testis ataupun anorchia.1,6,7
Dengan ditemukannya metode-metode yang non-invasif maka penggunaan
angiografi (venografi) untuk mendeteksi testis yang tidak teraba menjadi semakin
berkurang. Metode ini paling baik digunakan untuk menentukan vanishing testis
ataupun anorchia. Dengan metode ini akan dapat dievaluasi pleksus pampiniformis,
parenkim testis, dan blind-ending dari vena testis (pada anorchia). Kelemahannya
selain invasif, juga terbatas pada umur anak-anak yang lebih besar mengingat kecilnya
ukuran vena-vena gonad.1,6,7

2.7.5. Laparoskopi
Metode laparoskopi pertama kali digunakan untuk mendeteksi UDT tidak
teraba testis pada tahun 1976. Metode ini merupakan metode invasif yang cukup aman
oleh ahli yang berpengalaman. Sebaiknya dilakukan pada anak yang lebih besar dan
setelah pemeriksaan lain tidak dapat mendeteksi adanya testis di inguinal.1,6
Beberapa hal yang dapat dievaluasi selama laparoskopi adalah: kondisi cincin
inguinalis interna, processus vaginalis (patent atau non-patent), testis dan
vaskularisasinya serta struktur wolfian-nya. Tiga hal yang sering dijumpai saat
laparoskopi adalah: blind-ending pembuluh darah testis yang mengindikasikan
anorchia (44%), testis intra-abdomen (36%), dan struktur cord (vasa dan vas deferens)
yang keluar ke-dalam cincin inguinalis interna.1,6

13
(Gambar 4. Laparoskopi)

2.8. Diagnosis Banding


Seringkali dijumpai testis yang biasanya berada di kantung skrotum tiba-tiba
berada di daerah inguinal dan pada keadaan lain kembali ke tempat semula. Keadaan
ini terjadi karena reflek otot kremaster yang terlalu kuat akibat cuaca dingin, atau
setelah melakukan aktifitas fisik. Hal ini disebut sebagai testis retraktil atau
kriptorkismus fisiologis dan kelainan ini tidak perlu diobati. Selain itu UDT perlu

14
dibedakan dengan anorkismus, yaitu testis memang tidak ada. Hal ini bias terjadi secara
congenital memang tidak terbentuk testis, atau testis yang mengalami atrofi akibat
torsio in utero atau torsio pada saat neonatus.1,2

2.9. Penatalaksanaan
Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah memperkecil
risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan reposisi testis kedalam
skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan
(orchidopexy).1,6
Penatalaksanaan yang terlambat pada UDT akan menimbulkan efek pada testis
di kemudian hari. Dengan anggapan bahwa jika dibiarkan testis tidak dapat turun
sendiri setelah usia 1 tahun, sedangkan setelah usia 2 tahun terjadi kerusakan testis
yang cukup bermakna, maka saat yang tepat untuk melakukan terapi adalah pada usia
1 tahun. Pada prinsipnya testis yang tidak berada di skrotum harus diturunkan ke
tempatnya, baik dengan cara medikamentosa maupun pembedahan.1,6
UDT meningkatkan risiko infertilitas dan berhubungan dengan risiko tumor sel
germinal yang meningkat 3-10 kali. Atrofi testis terjadi pada usia 5-7 tahun, akan tetapi
perubahan morfologi dimulai pada usia 1-2 tahun. Risiko kerusakan histologi testis
juga berhubungan dengan letak abnormal testis. Pada awal pubertas, lebih dari 90%
testis kehilangan sel germinalnya pada kasus intraabdomen, sedangkan pada kasus
testis inguinal dan preskrotal, penurunan sel geminal mencapai 41% dan 20%.1,2

15
(Gambar 5. Algoritma tatalaksana undescenden testis)

2.9.1. Terapi Hormonal


Terapi hormonal primer lebih banyak digunakan di Eropa. Hormon yang
diberikan adalah hCG, gonadotropinreleasing hormone (GnRH) atau LH-releasing
hormone (LHRH). Terapi hormonal meningkatkan produksi testosteron dengan
menstimulasi berbagai tingkat jalur hipotalamus-pituitary-gonadal. Terapi ini
berdasarkan observasi bahwa proses turunnya testis berhubungan dengan androgen.
Tingkat testosteron lebih tinggi bila diberikan hCG dibandingkan GnRH. Semakin
rendah letak testis, semakin besar kemungkinan keberhasilan terapi hormonal.6,7
International Health Foundation menyarankan dosis hCG sebanyak 250 IU/
kali pada bayi, 500 IU pada anak sampai usia 6 tahun dan 1000 IU pada anak lebih dari

16
6 tahun. Terapi diberikan 2 kali seminggu selama 5 minggu. Angka keberhasilannya 6
– 55%. Secara keseluruhan, terapi hormon efektif pada beberapa kelompok kasus, yaitu
testis yang terletak di leher skrotum atau UDT bilateral. Efek samping adalah
peningkatan rugae skrotum, pigmentasi, rambut pubis dan pertumbuhan penis.
Pemberian dosis lebih dari 15000 IU dapat menginduksi fusi epiphyseal plate dan
mengurangi pertumbuhan somatik 1,6
Pemberian hormonal pada kriptorkismus banyak memberikan hasil terutama
pada kelainan bilateral, sedangkan pada kelainan unilateral hasilnya masih belum
memuaskan. Obat yang sering dipergunakan adalah hormone hCG yang disemprotkan
intranasal.5

(Gambar 6. Jenis dan angka keberhasilan terapi)

2.9.2. Pembedahan
A. Palpable UDT
Penanganan utama pada palpable UDT adalah orchidopexy dan membuat
kantong subdartos. Tingkat kesuksesan dari tindakan tersebut mencapai 95%, dengan
testis tetap berada di dalam skrotum dan tidak mengalami atrophy. Pembedahan

17
biasanya dilakukan dengan anastesi umum, dan pasien dalam posisi supinasi. Insisi
dilakukan sepanjang garis Langer, di atas annulus internal. Aponeurosis oblique
eksternal diinsisi ke arah lateral dari annulus eksternal sesuai dengan arah serat-
seratnya, dan dilakukan dengan hati-hati agar tidak melukai saraf ilioinguinalis. Testis
dan spermatic cord lalu dibebaskan. Vas deferens dan pembuluh-pembuluh darahnya
dipisahkan dari tunica vaginalis. Prosesus vaginalis dipisahkan dari struktur cord dan
diligasi di annulus internal.
Pemotongan secara retroperitoneal pada annulus internal dapat memperpanjang
cord sehingga testis dapat mencapai skrotum. Sebuah tembusan dibuat dari kanalis
inguinalis ke dalam skrotum dengan menggunakan satu jari atau sebuah clamp besar.
Kantong subdartos dibuat dengan meletakkan satu jari melalui tembusan dan
meregangkan kulit skrotum. Insisi sepanjang 1-2 cm dilakukan pada kulit skrotum yang
diregangkan dengan jari tersebut. Sebuah clamp lalu diletakkan di jari operator, dan
ujungnya dipandu kedalam kanalis inguinalis dengan menarik jari. Clamp kemudian
digunakan untuk menjepit jaringan di antara testis. Clamp lalu ditarik untuk membawa
testis ke dalam kantong. Menjepit testis atau vas deferens secara langsung harus
dihindari agar tidak menimbulkan luka.6,7
Jika testis sudah berada di dalam kantong, leher kantong dijahit sehingga
menjadi lebih sempit untuk mencegah testis tertarik naik kembali. Saat ini, pengukuran
dan biopsi testis bisa dilakukan. Kulit skrotum lalu ditutup. Aponeurosis oblique
eksternal disatukan kembali dengan penjahitan absorbable. Kulit dan jaringan subkutis
ditutup dengan penjahitan subkutis. Setelah beberapa minggu, luka bekas operasi perlu
diperiksa, dan 6-12 bulan kemudian pemeriksaan testis perlu dilakukan. Posisi dan
kondisi akhir dari testis perlu diperhatikan. Walaupun jarang terjadi, atrophy dan
retraksi dapat muncul sebagai komplikasi.6,7

18
(Gambar 7. Orchidophexy)

B. Nonpalpable UDT
Penanganan nonpalpable UDT dapat dimulai dengan eksplorasi inguinal
ataupun laparoskopi diagnostik. Laparoskopi diagnostik dapat dilakukan melalui
umbilikus. Apabila pembuluh pembuluh darah testis terlihat keluar dari annulus
internal, insisi pada daerah inguinal dilakukan untuk menentukan lokasi testis.
Orchidopexy dilakukan jika testis dapat ditemukan. Jika pembuluh-pembuluh darah
berakhir di dalam kanalis inguinalis, ujung dari pembuluh darah tersebut dapat diambil
untuk dilakukan pemeriksaan patologis. Adanya sisa dari jaringan testis atau
hemosiderin dan kalsifikasi merupakan indikasi dari kemungkinan terjadinya perinatal
torsion dan resorption testis.6,7
Jika melalui laparoskopik diagnostik testis diketahui berada pada daerah intra
abdomen, terdapat beberapa pilihan tindakan. Pada Fowler-Stephens orchidopexy,

19
dilakukan ligasi pembuluh-pembuluh darah testis secara laparoskopik atau laparotomy,
yang membuat kelangsungan hidup testis bergantung pada arteri cremaster. Untuk
alasan ini, Fowler-Stephens orchidopexy adalah pilihan yang kurang tepat jika
sebelumnya telah dilakukan eksplorasi inguinal yang membahayakan suplai vaskuler
ke testis. Setelah ligasi dilakukan, orchidopexy dilakukan setelah sekitar 6 bulan untuk
memberikan waktu pertumbuhan sirkulasi kolateral.
Tingkat kesuksesan dari prosedur ini mencapai lebih dari 90%, dengan testis
tetap berada di dalam skrotum dan tidak mengalami atrophy. Tindakan lain yang dapat
dilakukan jika testis berada pada daerah intra abdomen adalah orchidopexy
mikrovaskuler (autotransplantasi) dan orchidectomy.6,7

(Gambar 8. Jenis Tindakan Pembedahan pada Kelaianan UDT dan Tingkat


Keberhasilannya)

Komplikasi Orchidopexy
Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat tindakan pembedahan
Orchidopexy antara lain 1,6 :

20
1. Posisi testis yang tidak baik karena diseksi retroperitoneal yang tidak
komplit (10% kasus)
2. Atrofi testis karena devaskularisasi saat membuka funikulus (5% kasus)
3. Trauma pada vas deferens ( 1–2% kasus)
4. Pasca-operasi torsio
5. Epididimoorkhitis
6. Pembengkakan skrotum

2.10. Komplikasi UDT


Komplikasi utama yang dapat terjadi pada UDT adalah keganasan testis dan
infertilitas akibat degenerasi testis Di samping itu disebut juga terjadinya torsi testis,
dan hernia inguinalis.

A. Risiko Keganasan
Teradapat hubungan yang erat antara UDT dan keganasan testis. Insiden
keganasan testis sebesar 1-6 pada setiap 500 laki-laki UDT di Amerika. Risiko
terjadinya keganasan testis yang tidak turun pada anak dengan UDT dilaporkan
berkisar 10-20 kali dibandingkan pada anak dengan testis normal. Makin tinggi lokasi
UDT makin tinggi risiko keganasannya, testis abdominal mempunyai risiko menjadi
ganas 4x lebih besar dibanding testis inguinal.1,6,7
Orchidopexi sendiri tidak akan mengurangi risiko terjadinya keganasan, tetapi
akan lebih mudah melakukan deteksi dini keganasan pada penderita yang telah
dilakukan orchidopexy.1,6,7

B. Infertilitas
Penderita UDT bilateral mengalami penurunan fertilitas yang lebih berat
dibandingkan penderita UDT unilateral, dan apalagi dibandingkan dengan populasi
normal. Penderita UDT bilateral mempunyai risiko infertilitas 6x lebih besar

21
dibandingkan populasi normal (38% infertil pada UDT bilateral dibandingkan 6%
infertil pada populasi normal), sedangkan pada UDT unilateral berisiko hanya 2x lebih
besar.1,6,7
Komplikasi infertilitas ini berkaitan dengan terjadinya degenerasi pada UDT.
Biopsi pada anak-anak dan binatang coba UDT menunjukkan adanya penurunan
volume testis, jumlah germ cells dan spermatogonia dibandingkan dengan testis yang
normal. Biopsi testis pada anak dengan UDT unilateral yang dilakukan sebelum umur
1 tahun menunjukkan gambaran yang tidak berbeda bermakna dengan testis yang
normal.1,6,7
Perubahan gambaran histologis yang bermakna mulai tampak setelah umur 1
tahun, semakin memburuk dengan bertambahnya umur. Tidak seperti risiko keganasan,
penurunan testis lebih dini akan mencegah proses degenerasi lebih lanjut.1,6,7

22
BAB III
ILUSTRASI KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Bp. Danang Dwi
Tanggal lahir : 22 Desember 1989
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Karanganyar
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : Tamat SMP
Status : Menikah

3.2 ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA
Pasien mengalami keluhan tidak terdapat buah zakar di kantung kemaluan
sebelah kiri.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien mengalami keluhan tidak terdapat kantong buah zakar di kemaluan
bagian kiri tampak tidak simetris. Keluhan dirasakan sejak kecil dan belum pernh
diperiksakan, namun pada daerah selangkangan kiri muncul benjolan dan kadang
terasa nyeri. BAK normal, BAB normal.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Riwayat asma : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes : disangkal

23
Riwayat alergi : disangkal

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Pada keluarga tidak ada yang mengalami keluhan serupa, kelainan genitalia
ataupun kelainan sexual disangkal.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 18 September 2018.
Tanda Vital
Kesadaran : Compos mentis; GCS: E3V5M6 = 15
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5 0C
Status Generalis
- Kepala : Deformitas (-).
- Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut.
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor,
diameter 3 mm/3 mm, RCL (+/+), RCTL (+/+).
- Mulut : Mukosa kering (-), oral hygiene baik
- Telinga : Sekret (-/-), serumen (-/-), nyeri tekan (-/-), nyeri tarik (-/-),
otore (-).
- Hidung : Deformitas (-), deviasi septum (-), sekret (-), nyeri tekan sinus
(-).
- Tenggorokan : Faring hiperemis (-).
- Leher : JVP 5-2 cmH2O, kelenjar tiroid tidak teraba membesar, KGB
tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)
- Paru
Inspeksi : Simetris saat statis maupun dinamis

24
Palpasi : Ekspansi dada baik, vocal fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi : Sonor pada paru kiri dan kanan
Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-

- Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V linea midklavikula sinistra.
Perkusi : Batas jantung kiri di ICS V linea midklavikula sinistra
Batas jantung kanan di ICS IV linea sternalis kanan
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Dinding abdomen supel, hepar dan limpa tidak teraba
membesar, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani pada seluruh abdomen, shifting dullness (-)
- Ekstremitas : Akral hangat ++/++, Edema --/--, CRT < 3 detik

- Status Lokalis :
- Pada genitalia eksterna - Inspeksi: tampak hipoplasia skrotum sinistra.
- Palpasi: tidak teraba testis pada skrotum sinistra.
- Teraba testis pada daerah inguinal sinistra.

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

25
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Normal

Hemoglobin 12.1 (L) 12-16 gr%

Hematokrit 40,4 37-43 vol %

Lekosit 9,47 5-10 10^3/Ul

Trombosit 284 150-300^3/Ul

Eritrosit 5,27 4,00-5,00^6/Ul

MCH 28,1 27,0-31,0

PDW 16,4 9,0-17

MCV 93,1 82-92 fl

MCHC 29,9 32,0-37,0 g/dl

Pembekuan (CT) 05.00 2-8

Perdarahan (BT) 02.00 1-3

HbsAg Non reaktif Non Reaktif

Gula Darah 107 70-150


Sewaktu

26
PEMERIKSAAN FOTO THORAKS

Kesan: Cor dan Pulmo dalam batas normal

3.5 RESUME
Pasien seorang laki-laki berusia 28 tahun, dengan keluhan pada kantung
kemaluan bagian kiri tampak tidak simetris. Keluhan dirasakan sejak kecil dan
belum pernh diperiksakan. Dari pemeriksaan fisik genitalia eksterna didapatkan
tidak teraba testis pada skrotum sinistra, namun teraba pada inguinal sinistra.
Pada pemeriksaan penunjang darah rutin dalam batas normal, Rontgen Thorax
dalam batas normal

3.6 DIAGNOSIS KERJA


Undescensus Testis Sinistra

3.7 TATALAKSANA
Pembedahan : Orchidectomy.

3.8 PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam

27
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

28
BAB V

KESIMPULAN

Undescenden testis merupakan kelainan yang sering terjadi, yaitu pada 4-5%
dengan umur kehamilan yang cukup, dan 20-33% pada prematur. Secara embriologi,
tahap akhir dari penurunan testis mencapai skrotum secara normal pada minggu ke 25-
35 usia kehamilan. Terjadinya kelainan dari kontrol hormon atau proses anatomi yang
diperlukan dalam proses penurunan testis secara normal dapat menyebabkan
undescended testis.
Undescended testis dapat dibedakan menjadi palpable dan nonpalpable. Testis
mungkin berada pada leher skrotum, di daerah inguinal atau di daerah intra abdomen.
Diagnosis dari undescended testis dapat diketahui melalui pemeriksaan fisik. Namun
jika testis tidak teraba, laparoskopi dapat dilakukan untuk menentukan posisi testis.
Terapi hormonal untuk mengatasi undescended testis masih dalam kontroversi.
Tindakan yang sering dilakukan adalah pembedahan yang disebut orchidopeksi. Waktu
yang optimal untuk melakukan orchidopeksi adalah saat anak berusia 6-12 bulan.
Pembedahan yang dilakukan dibedakan berdasarkan klasifikasi dari undescended
testis. Komplikasi yang paling serius dari orchidopexy adalah atrofi testis. Hal ini
terjadi pada persentase yang kecil, yaitu sekitar 5-10%. Prognosis akan membaik jika
orchidopexy dilakukan saat anak berusia jauh lebih muda.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Steven GD, Richard LS, William C. The Undescended Testicle: Diagnosis


and Management. American Family Physician. 2000; p.2037-43.
2. Burgu B, Baker LA, Docimo SG. CRYPTORCHIDISM. Chapter 43;
p.563-76.
3. Ritzen EM. Undescended testes: a consensus on management. European
Journal of Endocrinology. 2008; p.87-90.
4. MacKinnon AE. The Undescended Testis. Indian Journal of Pediatrics.
2005; p. 429-32.
5. Hutson JM, Hasthorpe S, Heys CF. Anatomical and Functional of Testicular
Descent and Cryptorchidism. Endocrine Reviews 1997; p. 259-75.
6. Schneck FX, Bellinger MF. Abnormalities of the testes and scrotum and
their surgical management. Dalam: Walsh PC. Campbell‘s Urology Vol 1.
8th edition. Philadelphia: WB Saunders Company. 2000.
7. Tanagho EA, Nguyen HT. Embriology of the Genitourinary System.
Dalam: Tanagho EA, McAninch JW. Smith’s General Urology. Edisi 17.
California: The McGraw Hill companies; 2000; p.23-45.

30

Anda mungkin juga menyukai