1
Residen Bagian Neurologi FK UNSYIAH/RSUD dr. Zainal Abidin Banda Aceh
2
Staf Pengajar Bagian Neurologi FK UNSYIAH/RSUD dr. Zainal Abidin Banda
Aceh
ABSTRAK
Laporan Kasus Pertama: Laki-laki 51 tahun masuk ke IGD RSUD dr. Zainal
Abidin Banda aceh dengan keluhan kejang sejak 2 hari yang lalu.. Pasien
mengalami ganguan berjalan, tidak dapat mengontrol gerakan tangan dan kakinya,
dan perubahan perilaku dalam 5 tahun teakhir disertai penurunan penurunan daya
ingat. Pada pemeriksaan fisik neurologis dijumpai peningkatan tonus di keempat
ekstremitas terutama ekstremitas bawah. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan
CT Scan kepala, EEG, kadar calcium darah dan pemeriksaan darah lengkap untuk
mendukung diagnosis.
Laporan Kasus Kedua: Wanita 48 tahun datang dengan keluhan kejang sejak 2
hari yang lalu. Pasien mengeluh tremor dikedua tangan disertai dengan gangguan
koordinasi gerakan tangan dan kaki. Daya ingat menurun dalam 3 bulan terakhir.
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala, EEG, kadar calcium
darah dan pemeriksaan darah lengkap untuk mendukung diagnosis.
Pendahuluan
Fahr’s disease (FD) dijelaskan untuk pertama kalinya oleh Fahr pada tahun
1930. FD adalah penyakit degenaratif neurologi yang sangat jarang dijumpai yang
ditandai dengan adanya penumpukan kalsium pada area-area otak yang
mengontrol pergerakan. Termasuk ganglia basalis dan kortek serebri. 1-4. Sebagian
besar terjadi pada usia 40-60 tahun, jarang terjadi pada anak-anak. Patogenesis
belum diketahui, kemungkinan terjadi kerusakan sekunder pada Blood brain
barrier atau akibat dari penyakit gangguan metabolisme calcium phosphorus.1
Menurut beberapa literature, Fahr’s disease dapat diturunkan. Hubungan antara
fenotip abnormal dan gen abnormal masih belum jelas meskipun ada literature
sebelumnya yang mengatakan bahwa keterlibatan kromosom 14q rentan untuk
terjadinya Fahr’s disease.1-4
Laporan Kasus
Tidk dijumpai adanya penyakit metabolik lainnya pada pasien ini. Tanda-
tanda infeksi tidak dijumpai, demikian juga dengan riwayat trauma dan toksisitas.
Pasien kedua, Wanita 48 tahun datang dengan keluhan kejang sejak 2 hari
yang lalu. Kejang seluruh tubuh, tonik klonik, frekuensi tiga kali perhari dengan
durasi sekitar satu menit. Tidak dijumpai penurunan kesadaran. Pasien mengeluh
tremor dikedua tangan disertai dengan gangguan koordinasi gerakan tangan dan
kaki. Daya ingat menurun dalam 3 bulan terakhir. Pada pemeriksaan fisik umum
tidak dijumpai kelainan. Dari pemeriksaan status neurologis dijumpai reflek
fisiologis meningkat dan dijumpai reflek Babinski bilateral. Pemeriksaan
funduskopi dalam batas normal. Pada pemeriksaan CT Scan kepala non kontras
dijumpai lesi hiperdens berupa kalsifikasi simetris bilateral pada daerah ganglia
basalis, thalamus, sub kortek white matter serebri, hippocampus, nucleus
kaudatus, serebellum. Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai kadar serum
calcium yang normal dan fungsi tiroid dalam batas normal. Tidk dijumpai adanya
penyakit metabolik lainnya pada pasien ini. Tanda-tanda infeksi tidak dijumpai,
demikian juga dengan riwayat trauma dan toksisitas.
Diskusi
CT scan otak juga adalah metode yang disukai untuk melokalisasi dan
menilai sejauh mana kalsifikasi serebral. Pemeriksaan CT scan merupakan metode
yang lebih baik untuk melokalkan dan menilai sejauh mana kalsifikasi serebral.
Daerah yang paling sering terkena adalah inti lenticular, terutama globus palidus,
sementara gyrus serebellar, batang otak, centrum semiovale, dan white matter sub
kortikal juga dapat terkena. Kalsifikasi pada putamen, thalami, nucleus caudatus
dan nucleus dentatus juga umum terjadi. Kadang-kadang endapan kalsium dimulai
atau didominasi didaerah luar ganglia basalis. Proses kalsifikasi tampaknya terjadi
secara bertahap dan progresif.3,4
Kalsifikasi simetrik bilateral merupakan gejalan khas pada FD, asimetris
atau unilateral kalsifikasi dapat menyingkirkan diagnosis FD. Deposit kalsium
yang simetris harus dievaluasi lebih dalam lagi untuk mengamati pola tertentu.
Pada awal terjadinya penyakit, dijumpai pola linear tipis berawan yang terletak
dibagian basal lesi ganglia basalis (pertama terjadi di globus palidus). Pola linear
tipis ini merupakan gambaran kalsifikasi disekitar dinding pembuluh kapiler dan
deposit kalsium di daerah yang berdekatan dengan kapiler. Peningkatan derajat
kalsifikasi disekitar kapiler dapat membentuk suatu gambaran “cloudy”. Dalam
tahap perkembangan penyakit, kalsifikasi semakin lama akan semakin membesar.4
Fahr’s disease perlu dibedakan dari Fahr’s sindrom dimana kalsifikasi pada
ganglia basalis merupakan sekunder dari penyakit lainnya, seperti
hypoparathyroidism. Kalsifikasi basal ganglia juga dapat ditemui pada kondisi-
kondisi seperti infeksi CMV, neurocysticercosis, toksoplasmosis,
neurobrucellosis, tuberculosis, infeksi HIV, astrositoma, infark kalsifikasi,
hipervitaminosis D, mitochondrial encephalopathies, leukodystrophic diseases1.
Saat ini tidak ada pengobatan khusus untuk FD. Tatalaksana terbatas
hanya untuk mengatasi gejala symptom. Dalam beberapa laporan menunjukkan
bahwa haloperidol dan lithium carbonate dapat membantu gejala psikotik. Satu
laporan kasus menggambarkan perbaikan dengan bifosfonat. Konseling genetic
bisa membantu.3
Prognosis bervariasi dan sulit untuk diprediksi. Tidak ada korelasi yang
jelas antara usia, tingkat endapan calcium di otak, dan deficit neurologis.
Gambaran kalsifikasi tergantung usia. CT scan bisa negatif pada usia lebih muda
dari 55 tahun. Deficit neorologis yang progresif umumnya dapat mengakibatkan
kecacatan dan kematian.1
Kesimpulan
Pada kasus ini, pasien dengan kejang disertai dengan gejala ataxia, tremor
dan penurunan fungsi memori. Semua penyebab Fahr’s sindrom dieksklusikan
dan gambaran CT scan menunjukkan kalsifikasi ganglia basalis simetris bilateral,
khas untuk fahr’s desease. Pasien-pasien yang didiagnosis dengan idiopatik fahr’s
disease harus dimonitor, dan dilakukan pemeriksaan neuropsikiatri secara berkala.
Daftar Pustaka
2. Hasan A, Bajpai G, Varshney N. Fahr’s Disease: case report. J Ind Aca Clini
Med 2007; 8: 260-1.