Anda di halaman 1dari 8

Tinjauan Pustaka

PSIKOTIK EPILEPSI (POE)

PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan gangguan neurologi yang paling sering dan dapat menyebabkan
kecacatan dan penurunan fungsi. Pasien dengan epilepsi sangat rentan terhadap gangguan
psikiatri. Sekitar 20-3-% dari populasi epilepsi memiliki beberapa jenis komorbiditas
psikiatri. Gangguan psikiatri bisa berupa episode depresi pada 58% kasus, agorafobia dan
gangguan panik pada 32% kasus serta 13% kasus mengalami psikosis. Psikosis epilepsi
(POE) merupakan sekelompok gangguan psikotik yang mekanisme terjadinya berkaitan erat
dengan kejang. Psikosis iktal kronis dan akut bersamaan dengan post-iktal, 95% dapat
menimbulkan gejala psikotik. Psikosis merupakan masalah yang sangat serius terutama pada
kasus epilepsi
yang ‘membandel’.

Tabel 1. Prevalensi Gangguan Psikiatri pada Pasien Epilepsi dan Populasi Umum
Gangguan Psikiatri Kontrol Pasien dengan epilepsi
Depresi mayor 10,7% 17,4%
Gangguan Cemas 11,2% 22,8%
Gangguan Suasana Perasaan 19,6% 34,2%
Ide bunuh diri 13,3% 25,0%
Lain-lain 20,7% 35,5%

KLASIFIKASI POE

1. Psikosis Post-Iktal (PPI)

Gejala psikiatri muncul setelah kejang tonik-klonik dengan atau tanpa kejang parsial
komplek. Setelah terjadi kejang post-iktal pasien akan mengalami kebingungan dan letargi
kemudian kondisi pasien membaik selama beberapa jam (rata-rata 6 jam) sampai beberapa
hari (lucid interval). Selanjutnya muncul gejala psikotik yang berlangsung selama
beberapa hari sampai beberapa minggu. Pada beberapa kasus kebingungan dan delirium
muncul bersamaan dengan gejala psikosis.

1
Gejala psikosis berupa kombinasi dari gangguan proses pikir, halusinasi penglihatan
dan pendengaran, waham (kebesaran, agama, kejar), perubahan mood (mania atau depresi)
dan agresi. Halusinasi visual, waham kebesaran dan waham agama serta ilusi lebih sering
dijumpai pada PPI dibandingkan psikosis inter-iktal. Perilaku kekerasan juga lebih
menonjol pada PPI. Kekerasan verbal dan fisik merupakan masalah yang mengancam jiwa
untuk pasien dan orang disekitarnya.

Kerusakan sistem saraf pusat (ensefalitis, trauma kepala, bilateral interictal


epileptiform activity, kecerdasan ambang, and perlambatan gelombang EEG), epilepsi
lobus temporalis, riwayat keluarga gangguan mood, psikosis, gangguan psikiatri spesifik
dan epilepsi merupakan faktor-faktor resiko terjadinya PPI.

Durasi PPI bervariasi mulai dari 12 jam sampai lebih dari dari 3 bulan (rata-rata 9-10
hari). Gangguan fungsi intelektual dan adanya keluarga yang menderita psikosis
merupakan faktor prediktor lamanya berlangsung gejala psikosis pada PPI.

PPI berulang dijumpai pada 12% sampai 50% kasus dan dapat berkembang menjadi
psikosis inter-iktal. Farmakoterapi yang dapat diberikan pada kasus PPI yaitu kombinasi
benzodiazepin dan obat atipikal antipsikotik. Penanganan dini menghasilkan resolusi yang
cepat pada kasus PPI.

Prognosis PPI biasanya baik, self-remitting condition. Penelitian menyebutkan 95%


kasus PPI membaik dalam waktu 1 bulan. Walaupun prognosisnya baik, klinisi tetap harus
waspada oleh karena percobaan bunuh diri sering dijumpai pada kasus ini.

2. Psikosis Iktal (PI)


Gejalanya singkat yaitu dari jam ke hari. Terkadang psikosis dapat bertahan meskipun
terjadi perbaikan dari kejadian iktal. Manifestasi klinis PI berupa absence (generalized
non-
convulsive status) atau kejang psikomotor (komplek partial status epileptikus). Pasien
dengan PI mengalami perpanjangan kondisi twilight dan kebingungan (continuous form),
atau kejang berulang dengan respon parsial diantara kejang (cyclic form). Lama gejala
bervariasi mulai dari beberapa jam sampai beberapa hari dan EEG menunjukkan adanya
fokus abnormalitas fokal. PI yang berasal dari lobus temporal lebih dominan gangguan
kesadaran dibandingkan dengan ekstra temporal yang menunjukkan fluktuasi gangguan
bicara dan kebingungan.
Iktal halusinasi biasanya berupa halusinasi penglihatan. Halusinasi iktal berasal dari
insular kortek yang berhubungan dengan komponen autonomik. Devinsky et al
melaporkan, salah satu bentuk iktal halusinasi yang aneh adalah autoscopic atau out of the
body experiences.
Penanganan PI ditujukan pada pengontrolan kejang yang adekuat. Pada saat serangan,
menjaga keselamatan pasien merupakan fokus utama. Edukasi pasien dan keluaraga
mengenai gejala psikiatri yang muncul merupakan hal penting.

3. Psikosis Inter-iktal (PII)


PII adalah psikosis yang muncul pada saat kesadaran jernih dan terjadi pada seseorang
yang sudah pernah didiagnosis epilepsi dan psikosis tidak terjadi pada saat kejang atau
segera setelah kejang. Dikenal juga dengan nama schizophrenia-like psychosis. Prevalensi
2-10% pasien epilepsi. Pada PII terjadi peningkatan 2-2,5 kali resiko terjadinya skizofrenia
dan schizophrenia-like psychosis. PII ditandai dengan adanya gejala psikosis yang tidak
berhubungan dengan aktivitas kejang dan gejala ini menetap sampai ≥ 6 bulan, dan
munculnya waham, halusinasi pada saat pasien sadar baik. Gejala yang paling sering
muncul adalah halusinasi dengar dan waham kejar. Pada pasien juga bisa dijumpai gejala
negatif (menarik diri dan afek tumpul) seperti pada kasus skizofrenia.
Riwayat keluarga menderita psikosis serta gangguan fungsi intelektual merupakan
faktor resiko terjadinya PII. Penatalaksanaan sama seperti skizofrenia, dengan
menggunakan neuroleptik dosis rendah.
PII episode berlangsug lebih lama dari PPI, bisa berlangsung selama berbulan-bulan
(1 bulan atau lebih) pada sebagian besar kasus. Jika dijumpai adanya gangguan proses
berpikir dan/atau gejala non-psikotis ( contoh : penarikkan emosional, depresi, cemas dan
iritabel) episode PII akan memanjang.
4. Alternative Psychosis

Fenomena "Forced normalization" atau "psikosis alternatif" merupakan tipe IIP


singkat yang terkait dengan normalisasi EEG sekunder antikonvulsan (fenitoin,
carbamazepine, ethosuximide) tetapi dengan eksaserbasi gejala psikotik. Paranoid
merupakan manifestasi yang paling sering tanpa kesadaran berkabut dengan bermacam-
macam gejala afektif termasuk depresi, mania, kecemasan, dan berlangsung selama
berhari-hari atau berminggu- minggu. Landolt adalah orang pertama yang menggambarkan
hubungan terbalik antara psikosis dan epilepsi: yaitu pada saat epilepsi membaik, berada di
bawah kendali obat anti- epilepsi dan EEG-nya menjadi tanpa fitur epileptiform interiktal,
tetapi status psikiatrik pasien memburuk mencapai tahap bentuk true psikotik. Psikosis
alternatif tidak umum terjadi, prevalensi diperkirakan sekitar 1% dari kasus.

5. Psikosis yang berhubungan dengan obat anti kejang dan post temporal lobektomi
Psikosis yang diinduksi setelah penggunaan obat antiepilepsi dan membaik setelah
obat diganti. Obat-obat antiepilepsi yang dapat menginduksi psikosis adalah zonisamide,
ethosuximide, tiagabine, topiramate (0,8-12%), levetiracetam (0,7-1,4%) dan Vigabratin
(2,5%).
Psikosis akibat lobektomi biasanya muncul 1 tahun setalah operasi. Psikosis post-
operasinya biasanya muncul pada early onset epilepsi dan ciri keperibadian yang
abnormal.

ETIOLOGI

 Lesi pada lobus temporalis dan hemisfer kiri dapat mengakibatkan psikosis skizofreniform.
 Aktivitas iktal atau subiktal epileptiform dapat menimbulkan perubahan perilaku, antara
lain dengan cara merubah keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Hal tersebut dapat
terjadi pada bangkitan yang berasal dari lobus temporalis ataupun frontalis.
 Penurunan fungsi, seperti misalnya hipometabolisme interiktal (yang dapat dideteksi
dengan PET scan) juga dapat menimbulkan perubahan perilaku. SPECT scan pada pasien
epilepsi dengan psikosis skizofreniform, menunjukkan adanya penurunan aliran darah
cerebral pada regio temporal medial kiri. Bangkitan (seizures) dapat menimbulkan
perubahan neuroendokrin dan neurotransmitter (misalnya meningkatnya dopamin,
penurunan prolaktin, meningkatnya testosteron, meningkatnya opioid endogen), yang
kesemuanya itu dapat mempengaruhi perilaku.

FAKTOR RESIKO

1. Riwayat keluarga yang menderita psikosis. Pasien yang memiliki keluarga menderi
psikosis sangat rentan menjadi psikosis oleh karena adanya faktor genetik.
2. Usia saat pertama kali saat menderita epilepsi. Pasien dengan PII biassanya usia
awitan epilepsi sangat muda.
3. Jenis Kejang. Kejang kompleks parsial (paling banyak epilepsi lobus temporal) sangat
berkaitan erat dengan PII.
4. Tingkat kecerdasan. Pasien yang memiliki tingkat kecerdasan ambang cenderung
menunjukkan gejala-gejala psikosis.
5. Adanya massa di jaringan, seperti tumor kecil, hamartomas
6. Mesial temporal lobe ganglioma
7. Pengguna tangan kiri (left-handedness), terutama pada wanita.

PENATALAKSANAAN

1. Obat Anti Epilepsi (AED)


Beberapa obat antiepilepsi dapat menimbulkan efek pada perilaku. Carbamazepin,
valproat, lamotrigin, dan gabapentin mempunyai efek antimanik dan antidepresan sedang
(mungkin melalui efek mood stabilization). Carbamazepin dan valproat juga dapat
mengurangi perilaku agresif dan tidak terkontrol.
2. Obat Antipsikotik (OAP)
Harus diperhatikan bahwa beberapa obat antipsikotik dapat menurunkan ambang
kejang. OAP atipikal yang sering digunakan untuk psikosis epilepsi adalah olanzapine 5-
25 mg/hari, risperidone 0.5-6 mg/hari, quetiapine 50-600 mg/hari, ziprasidone 40-160
mg/hari. Clozapine tidak direkomendasikan karena angka kejadian gelombang
epileptogenik tinggi.
Haloperidol merupakan OAP tipikal paling aman untuk mengobati POE, karena
hampir tidak mengurangi ambang kejang. Haloperidol terutama diindikasikan untuk
psikotik akut dan berat, seperti PI dan PPI yang berlarut-larut selama dimonitoring, di
mana penarikan mendadak AED membutuhkan tindakan cepat dan digunakan untuk
periode singkat.

3. Benzodiazepine
Benzodiazepin memiliki penggunaan yang terbatas, dan tampaknya menjadi optimal
bila diberikan bersama dengan antipsikotik dalam situasi akut (misalnya dalam psikosis
post-ictal) yaitu : lorazepam 0,5 sampai 2 mg dan klobazam 10 sampai 60 mg.
7
DAFTAR PUSTAKA

Adachi, N. et al. (2013) ‘Basic treatment principles for psychotic disorders in patients with
epilepsy’, Epilepsia, 54, pp. 19–33. doi: 10.1111/epi.12102.
Devinsky, O. (2008) ‘Postictal Psychosis : Common, Dangerous, and Treatable’, Epilepsy
Currents, 8(2), pp. 31–34.
Ellis, C. (2000) ‘The psychoses of epilepsy’, Journal of Neurology Neurosurgery &
Psychiatry, pp. 1–4.
Kanemoto, K., Tadokoro, Y. and Oshima, T. (2012) ‘Psychotic illness in patients with
epilepsy’, Therapeutic Advances in Neurological Disorders, pp. 321–334. doi:
10.1177/1756285612454180.
Kanner, A. M. (2000) ‘Psychosis of Epilepsy : A Neurologist ’ s Perspective’, Epilepsy &
Behavior, 227, pp. 219–227. doi: 10.1006/ebeh.2000.0090.
Mula, M. and Monaco, F. (2011) ‘Ictal and peri-ictal psychopathology’, Behavioural
Neurology, 24, pp. 21–25. doi: 10.3233/BEN-2011-0314.
Weisholtz, D. S. and Dworetzky, B. A. (2014) ‘Epilepsy and Psychosis’, J Neurol Disord
Stroke, 2(3), pp. 1–8.

Anda mungkin juga menyukai