Anda di halaman 1dari 52

SKENARIO 3: Minda dan Egi

Minda, seorang remaja usia 16 tahun, dibawa ibunya ke praktik dokter keluarga
karena memperlihatkan perilaku yang aneh yang sering berulang sejak 5 bulan
terakhir. Ibunya menceritakan bahwa setiap kali mengalami serangan, Minda
mengeluhkan rasa mual, berdebar-debar, dan kaku pada lengan kirinya. Ia juga
tampak tidak merespon lingkungan sekitarnya, dan melakukan gerakan – gerakan
yang tidak disadari seperti mulut mengecap-ngecap atau memainkan kancing
baju. Keadaan ini berlangsung selama lebih kurang 3 menit, lalu ia tersadar dan
tampak kebingungan. Dari riwayat penyakit dahulu, ibunya mengatakan Minda
pernah mengalami kejang demam saat berusia 1 tahun, dan dibawa berobat ke
dokter anak, diberikan obat luminal sampai dinyatakan sembuh pada usia 5
tahun. Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis tidak ditemukan kelainan.

Dokter menginformasikan bahwa perilaku aneh yang diperlihatkan Minda adalah


serangan kejang, yang mungkin berhubungan dengan penyakitnya sewaktu usia 1
tahun. Namun Minda menolak dikatakan kejang, karena ia pernah melihat
ayahnya yang kejang ayan setelah stroke perdarahan otak. Bahkan ia mencurigai
bahwa ia diguna-gunai oleh orang yang tidak senang kepadanya.

Disamping itu ibunya juga mengeluh bahwa Minda susah diatur, dan suka
berontak bila keinginan tidak terpenuhi. Minda juga belum mandiri, makan masih
disuapi, mempersiapkan peralatan sekolah masih dibantu ibunya. Ibu khawatir
dan takut jika anaknya mengalami gangguan jiwa seperti Egi sepupunya yang
harus minum obat haloperidol dari rumah sakit jiwa.Sebelum sakit Egi cenderung
memaksakan kehendak dan akan selalu menyalahkan orang lain saat dia
menghadapi masalah. Bila putus obat Egi tampak gelisah dan mondar mandir
tidak mau tidur. Ia akan berhalusinasi, berwaham, meyakini dirinya adalah artis
ibu kota dan kadang kadang sampai mengamuk pada anggota keluarganya.

Bagaimanakah anda menerangkan apa yang terjadi pada Minda dan Egi?
Step 1. Terminologi

1. Kejang demam : suatu keadaan kejang yang terjadi tanpa proses intracranial dengan suhu
>38 dan usia >1 bulan
2. Obat luminal : obat yang berkaitan dengan lumen struktur tubular atau merek dagang utk
preparat fenobarbital
3. Kejang ayan : epilepsy, sebuah sindrom yang ditandai gangguan transien peroksismal pada
otak, penurunan atau kehilangan kesadaran episodic, fenomena motoric abnormal, gang
psikis, sensorik system saraf otonom
4. Obat haloperidol : gol anti psikotik yang dapat memblokir reseptor dopamine dalam
system limbik
5. Halusinasi : perkeliaran di pikiran, persepsi indra yang tidak berhubungan dengan dunia
eksternal/realitas
6. Waham : keyakinan/paham oleh pasien yang dipertahankan terus-menerus berdasarkan
imajinasinya yang tidak sesuai kenyataan; delusion, keyakinan seseorang yang salah
bersifat idiosinkrotik

Step 2

1. Kenapa terjadi perilaku aneh dan berulang sejak 5 bulan terakhir?

- Gangguan neurologis
- Gangguan jiwa

Berulang : fokal lesi yang menetap dan ada factor pencetus

Kejang, terdapat focus pada otak. Pada anak organ otak belum matang.

Kejang disebabkan oleh eksitasi yang berlebihan pada otak. Glutamate yang berlebihan
yang tidak diimbangi oleh GABA yang menginhibisi

Bisa dicurigai adanya gangguan metabolic dan infeksi. Keseimbangan na dan k

2. Hub usia dan jenis kelamin?


Sering terjadi pada wanita karena wanita lebih mudah stress
Usia : masa remaja merupakan masa yang labil secara emosional
Genetika : bisa saja berhubungan

3. Kenapa tiap serangan mengeluh berdebar-debar, mual, dan kaku di lengan kiri? Tampak
tidak merespon lingkungan dan melakukan gerakan-gerakan yang tidak disadari?
Kejang fokal dan terus menerus menyebabkan focus epileptikus yang merusak struktur
otak yang terkena, korteks atau aras (sensorik, motoric, dan otonom).
Tergantung kepada jenis kejang yang dialami (absence,tonik, mioklonik, tonik-klonik)
Unprovoked => epilepsy
Umum, penurunan kesadaran
Parsial, tanpa penurunan kesadaran, timbul halusinasi dan gejala emosiona
Parsial kompleks, dari sadar menjadi tidak sadar
Eksitasi norepinefrin yang berlebihan => berdebar-debar, mengganggu motilitas GI

4. Kenapa hanya berlangsung 3 menit dan tampak kebingungan setelah sadar?

5. Apakah ada hub pernah kejang demam saat kecil dan kondisi sekarang?

Saat kecil kejang demam kompleks bisa berkembang menjadi epilepsy saat dewasa.
Serangan kdk dan kds yang lebih dari 4x dalam setahun
Kejang demam merusak amygdala yang bermanifes ke lobus temporal yang nantinya
berkembang menjadi epilepsy.
Infeksi bisa menjadi factor risiko epilepsy. Pengobatan rumatan kejang demam belum
pasti mencegah terjadi nya epilepsy saat dewasa

6. Bagaimana demam bisa menyebabkan kejang?


Demam menaikkan kebutuhan metabolisme basal. Peningkatan suhu mengakibatkan
pelepasan muatan listrik yang besar karena Na-K ATP ase yang belum sempurna,
menyebabkan kejang dan penurunan neurotransmitter inhibitor
Kejang yang lama menyebabkan kerusakan pada otak, yang bermanifes pada dewasa
menjadi fokal epileptikus

7. Apa fungsi diberika obat luminal pada kejang demam? Kenapa bisa dikatakan sembuh
pada usia 5 tahun?
Intermitten : diazepam
Rumatan : sampai usia 5 tahun, asam valporat atau fenobarbital
Sembuh apabila selama 2 tahun tidak ada kejang demam lagi
Prinsip start low, go slow
Peningkatan GABA => karbamazepin
Indikasi rumatan : kejang lama, ada kelainan neurologis, dan kejang fokal
8. Mengapa pada pem umum dan neurologis normal?
Untuk mengonfirmasi kejangnya diprovokasi atau tidak. Untuk menyingkirkan
kemungkinan permasalahan neurologis lain.

9. Mengapa pasien menolak dikatakan kejang? Apa perbedaan kejangnya dengan kejang
ayahnya? Bagaimana stroke menyebabkan kejang ayan?
Stroke iskemik dan hemoragik menyebabkan listrik abnormal
Pasien menolak karena secara social kejang dikaitkan dengan kutukan

10. Bagaimana tindakan edukasi pada pasien dan klasifikasi kejang?


Saat kejang jangan memasukkan apa pun ke dalam mulut pasien. Pasien bisa hidup
seperti manusia biasa dengan mencegah kejang nya berulang dengan minum obat
teratur dan menjauhi factor pencetus. Dilarang berkendara karena meningkatkan risiko
kecelakaan lalin

11. Apakah kejang bisa diturunkan?


Bisa apabila ada hubungan langsung. Kemungkinan 2%

12. Mengapa minda susah diatur, suka berontak, dan belum mandiri?
Pola asuh yang salah dari orang tua sejak kecil
Epilepsy lama menyebabkan kerusakan otak

13. Kenapa egi diberikan obat haloperidol? Mekanisme kerja haloperidol? Mengapa terjadi
gejala putus obat pada penggunaan haloperidol?
Indikasi : meredakan skizofrenia, perilaku skizoafektif, agitasi, maniak, dan halusinasi
Pasien mual muntah karena kemoterapi
Merupakan obat psikotik jangka pendek yang mempengaruhi dopaminergic D2.
Haloperidol bekerja jangka pendek dan sedative sehingga menyebabkan
ketergantungan

14. Apa saja gejala gang jiwa? Dan factor penyebab gang jiwa
Waham, delusi, halusinasi. Perasaan sedih yang berlebihan, anxiety, sulit makan dan
sulit tidur. Bukan gangguan genetika tetapi banyak karena pengaruh lingkungan.

15. Apa jenis gang jiwa egi yang sesuai scenario?


Waham kebesaran karena dia merasa seperti orang besar
Step4. Skema

Step5. Learning objective

1. Kejang
2. Kejang demam
3. Epilepsy
4. Status epileptikus
5. Gilles de la Tourrete syndrome
6. Klasifikasi gangguan jiwa
7. Gangguan perkembangan pervasive

Step6. Belajar mandiri

1. Gangguan Jiwa

Pengertian Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih fungsi jiwa.Gangguan jiwa
adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan
persepsi (penangkapan panca indera).Gangguan jiwa ini menimbulkan stress dan penderitaan
bagi penderita (dan keluarganya) (Stuart & Sundeen, 1998).
Gangguan jiwa dapat mengenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status
sosial-ekonomi.Gangguan jiwa bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi.Di masyarakat banyak
beredar kepercayaan atau mitos yang salah mengenai gangguan jiwa, ada yang percaya bahwa
gangguan jiwadisebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang menuduh bahwa itu akibat guna-
guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan yang salah ini hanya akan
merugikan penderita dan keluarganya karena pengidap gangguan jiwa tidak mendapat
pengobatan secara cepat dan tepat (Notosoedirjo, 2005).

Penyebab Gangguan Jiwa

Gejala utama atau gejala yang menonjol pada gangguan jiwa terdapat pada unsur kejiwaan,
tetapi penyebab utamanya mungkin di badan (somatogenik), di lingkungan sosial (sosiogenik)
ataupun psikis (psikogenik), (Maramis1994). Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan
tetapi beberapa penyebab sekaligus dari

berbagai unsur itu yang saling mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu timbulah
gangguan badan ataupun jiwa.

Macam-Macam Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa artinya bahwa yang menonjol ialah gejala-gejala yang psikologik dari unsur psikis
(Maramis, 1994). Macam-macam gangguan jiwa (Rusdi Maslim, 1998): Gangguan jiwa organik
dan simtomatik, skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham, gangguan suasana
perasaan, gangguan neurotik, gangguan somatoform, sindrom perilaku yang berhubungan
dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik, Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa,
retardasi mental, gangguan perkembangan psikologis, gangguan perilaku dan emosional
dengan onset masa kanak dan remaja.

a. Skizofrenia.

Merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan menimbulkan disorganisasi personalitas
yang terbesar.Skizofrenia juga merupakan suatu bentuk psikosa yang sering dijumpai dimana-
mana sejak dahulu kala.Meskipun demikian pengetahuan kita tentang sebab-musabab dan
patogenisanya sangat kurang (Maramis, 1994).Dalam kasus berat, klien tidak mempunyai
kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini
secara bertahap akan menuju kearah kronisitas, tetapi sekali-kali bisa timbul serangan. Jarang
bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir
dengan personalitas yang rusak ” cacat ” (Ingram et al.,1995).

b. Depresi
Merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang
sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan,
psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri
(Kaplan, 1998).Depresi juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada
alam perasaan yang ditandai dengan kemurungan, keleluasaan, ketiadaan gairah hidup,
perasaan tidak berguna, putus asa dan lain sebagainya (Hawari, 1997).Depresi adalah suatu
perasaan sedih dan yang berhubungan dengan penderitaan.Dapat berupa serangan yang
ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah yang mendalam (Nugroho, 2000). Depresi
adalah gangguan patologis terhadap mood mempunyai karakteristik berupa bermacam-macam
perasaan, sikap dan kepercayaan bahwa seseorang hidup menyendiri, pesimis, putus asa,
ketidak berdayaan, harga diri rendah, bersalah, harapan yang negatif dan takut pada bahaya
yang akan datang. Depresi menyerupai kesedihan yang merupakan perasaan normal yang
muncul sebagai akibat dari situasi tertentu misalnya kematian orang yang dicintai. Sebagai ganti
rasa ketidaktahuan akan kehilangan seseorang akan menolak kehilangan dan menunjukkan
kesedihan dengan tanda depresi (Rawlins et al., 1993). Individu yang menderita suasana
perasaan (mood) yang depresi biasanya akan kehilangan minat dan kegembiraan, dan
berkurangnya energi yang menuju keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktifitas (Depkes,
1993). Depresi dianggap normal terhadap banyak stress kehidupan dan abnormal hanya jika ia
tidak sebanding dengan peristiwa penyebabnya dan terus berlangsung sampai titik dimana
sebagian besar orang mulai pulih (Atkinson, 2000).

c. Kecemasan

Sebagai pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang pernah dialami oleh setiap orang dalam
rangka memacu individu untuk mengatasi masalah yang dihadapi sebaik-baiknya, Maslim
(1991).Suatu keadaan seseorang merasa khawatir dan takut sebagai bentuk reaksi dari
ancaman yang tidak spesifik (Rawlins 1993).Penyebabnya maupun sumber biasanya tidak
diketahui atau tidak dikenali.Intensitas kecemasan dibedakan dari kecemasan tingkat ringan
sampai tingkat berat.Menurut Sundeen (1995) mengidentifikasi rentang respon kecemasan
kedalam empat tingkatan yang meliputi, kecemasn ringan, sedang, berat dan kecemasan panik.

d. Gangguan Kepribadian

Klinik menunjukkan bahwa gejala-gejala gangguan kepribadian (psikopatia) dan gejala-gejala


nerosa berbentuk hampir sama pada orang-orang dengan intelegensi tinggi ataupun rendah.
Jadi boleh dikatakan bahwa gangguan kepribadian, nerosa dan gangguan intelegensi sebagaian
besar tidak tergantung pada satu dan lain atau tidak berkorelasi. Klasifikasi gangguan
kepribadian: kepribadian paranoid, kepribadian afektif atau siklotemik, kepribadian skizoid,
kepribadian axplosif, kepribadian anankastik atau obsesif-konpulsif, kepribadian histerik,
kepribadian astenik, kepribadian antisosial, Kepribadian pasif agresif, kepribadian inadequate.(
Maslim,1998).

e. Gangguan Mental Organik

Merupakan gangguan jiwa yang psikotik atau non-psikotik yang disebabkan oleh gangguan
fungsi jaringan otak (Maramis,1994). Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat disebabkan oleh
penyakit badaniah yang terutama mengenai otak atau yang terutama diluar otak. Bila bagian
otak yang terganggu itu luas , maka gangguan dasar mengenai fungsi mental sama saja, tidak
tergantung pada penyakit yang menyebabkannya bila hanya bagian otak dengan fungsi tertentu
saja yang terganggu, maka lokasi inilah yang menentukan gejala dan sindroma, bukan penyakit
yang menyebabkannya. Pembagian menjadi psikotik dan tidak psikotik lebih menunjukkan
kepada berat gangguan otak pada suatu penyakit tertentu daripada pembagian akut dan
menahun.

f. Gangguan Psikosomatik

Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi badaniah (Maramis,


1994).Sering terjadi perkembangan neurotik yang memperlihatkan sebagian besar atau semata-
mata karena gangguan fungsi alat-alat tubuh yang dikuasai oleh susunan saraf vegetatif.
Gangguan psikosomatik dapat disamakan dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa organ.
Karena biasanya hanya fungsi faaliah yang terganggu, maka sering disebut juga gangguan
psikofisiologik.

g. Retardasi Mental

Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap,
yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan,
sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara

menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial (Maslim,1998).

h. Gangguan Perilaku Masa Anak dan Remaja.

Anak dengan gangguan perilaku menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan permintaan,
kebiasaan atau norma-norma masyarakat (Maramis, 1994).Anak dengan gangguan perilaku
dapat menimbulkan kesukaran dalam asuhan dan pendidikan. Gangguan perilaku mungkin
berasal dari anak atau mungkin dari lingkungannya, akan tetapi akhirnya kedua faktor ini saling
memengaruhi. Diketahui bahwa ciri dan bentuk anggota tubuh serta sifat kepribadian yang
umum dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya.Pada gangguan otak seperti trauma
kepala, ensepalitis, neoplasma dapat mengakibatkan perubahan kepribadian.Faktor lingkungan
juga dapat mempengaruhi perilaku anak, dan sering lebih menentukan oleh karena lingkungan
itu dapat diubah, maka dengan demikian gangguan perilaku itu dapat dipengaruhi atau dicegah.

Pencegahan Kekambuhan Gangguan Jiwa

Pencegahan Kekambuhan adalah mencegah terjadinya peristiwa timbulnya kembali gejala-


gejala yang sebelumnya sudah memperoleh kemajuan (Stiart dan Laraia, 2001). Pada gangguan
jiwa kronis diperkirakan mengalami kekambuhan 50% pada tahun pertama, dan 79% pada
tahun ke dua (Yosep, 2006). Kekambuhan biasa terjadi karena adanya kejadian-kejadian buruk
sebelum mereka kambuh (Wiramis harja, 2007).

Empat faktor penyebab klien kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit, menurut Sullinger
(1988) :

1. Klien: Sudah umum diketahui bahwa klien yang gagal memakan obat secara teratur
mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan 25%
sampai 50% klien yang pulang dari rumah sakit tidak memakan obat secara teratur.

2. Dokter (pemberi resep): Makan obat yang teratur dapat mengurangi kambuh, namun
pemakaian obat neuroleptic yang lama dapat menimbulkan efek samping Tardive Diskinesia
yang dapat mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol.

3. Penanggung jawab klien: Setelah klien pulang ke rumah maka perawat puskesmas tetap
bertanggung jawab atas program adaptasi klien di rumah.

4. Keluarga: Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika keluarga dengan ekspresi emosi
yang tinggi (bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan dan menyalahkan),
hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17% kembali
dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi keluarga yang rendah. Selain itu klien juga mudah
dipengaruhi oleh stress yang menyenangkan (naik pangkat, menikah) maupun yang
menyedihkan (kematian/kecelakaan). Dengan terapi keluarga klien dan keluarga dapat
mengatasi dan mengurangi stress.Cara terapi bisanya:Mengumpulkan semua anggota keluarga
dan memberi kesempatan menyampaikan perasaan-perasaannya. Memberi kesempatan untuk
menambah ilmu dan wawasan baru

kepada klien ganguan jiwa, memfasilitasi untuk hijrah menemukan situasi dan pengalaman
baru.

Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh klien dan keluarganya yaitu :

1. Menjadi ragu-ragu dan serba takut (nervous)

2. Tidak nafsu makan


3. Sukar konsentrasi

4. Sulit tidur

5. Depresi

6. Tidak ada minat

7. Menarik diri

Setelah klien pulang ke rumah, sebaiknya klien melakukan perawatan lanjutan pada puskesmas
di wilayahnya yang mempunyai program kesehatan jiwa. Perawat komuniti yang menangani
klien dapat menganggap rumah klien sebagai “ruangan perawatan”. Perawat, klien dan
keluarga besar sama untuk membantu proses adaptasi klien di dalam keluarga dan masyarakat.
Perawat dapat membuat kontrak dengan keluarga tentang jadwal kunjungan rumah dan after
care di puskesmas.

Keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan klien dan merupakan “perawat utama” bagi
klien. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau asuhan yang diperlukan klien di rumah.
Keberhasilan perawat di rumah sakit dapat sia-sia jika tidak diteruskan di rumah yang kemudian
mengakibatkan klien harus dirawat Universitas Sumatera Utara

kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak awal asuhan di RS akan meningkatkan
kemampuan keluarga merawat klien di rumah sehingga kemungkinan dapat dicegah.

Pentingnya peran serta keluarga dalam klien gangguan jiwa dapat dipandang dari berbagai segi.
Pertama, keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal
dengan lingkungannya. Keluarga merupakan “institusi” pendidikan utama bagi individu untuk
belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku (Clement dan Buchanan,
1982). Individu menguji coba perilakunya di dalam keluarga, dan umpan balik keluarga
mempengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tertentu. Semua ini merupakan persiapan
individu untuk berperan di masyarakat.

Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem maka gangguan yang terjadi pada salah satu
anggota merupakan dapat mempengaruhi seluruh sistem, sebaliknya disfungsi keluarga
merupakan salah satu penyebab gangguan pada anggota. Bila ayah sakit maka akan
mempengaruhi perilaku anak, dan istrinya, termasuk keluarga lainnya. Salah satu faktor
penyebab kambuh gangguan jiwa adalah; keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku
klien di rumah (Sullinger, 1988). Klien dengan diagnosa skizofrenia diperkirakan akan kambuh
50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua dan 100% pada tahun kelima setelah pulang
dari rumah sakit karena perlakuan yang salah selama di rumah atau di masyarakat.
2. Status Epileptikus
A. Definisi
Lebih dari satu dekade lalu, Epilepsy Foundation of America (EFA) mendefinisikan SE sebagai kejang
yang terus-menerus selama paling sedikit 30 menit atau adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa
pemulihan kesadaran di antaranya.3 Definisi ini telah diterima secara luas, walaupun beberapa ahli
mempertimbangkan bahwa durasi kejang lebih singkat dapat merupakan suatu SE. Untuk alasan praktis,
pasien dianggap sebagai SE jika kejang terus-menerus lebih dari 5 menit.

B. Klasifikasi
Saat ini, ada beberapa versi pengklasifikasian SE sebagai berikut (Treiman)
1. Generalized Convulsive SE
Merupakan tipe SE yang paling sering dan berbahaya. Generalized mengacu pada aktivitas listrik
kortikal yang berlebihan, sedangkan convulsive mengacu kepada aktivitas motorik suatu kejang.

2. Subtle SE
Subtle SE terdiri dari aktivitas kejang pada otak yang bertahan saat tidak ada respons motorik.
Terminologi ini dapat membingungkan, karena subtle SE seperti tipe NCSE (Non-convulsive Status
Epilepticus). Walaupun secara definisi subtle SE merupakan nonconvulsive, namun harus dibedakan
dari NCSE lain. Subtle SE merupakan keadaan berbahaya, sulit diobati, dan mempunyai prognosis
yang buruk.

3. Nonconvulsive SE
NCSE dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu absence SE dan complex partial SE. Perbedaan 2 tipe ini
sangat penting dalam tatalaksana, etiologi, dan prognosis; focal motor SE mempunyai prognosis
lebih buruk.

4. Simple Partial SE
Secara definisi, simple partial SE terdiri dari kejang yang terlokalisasi pada area korteks serebri dan
tidak menyebabkan perubahan kesadaran. Berbeda dengan convulsive SE, simple partial SE tidak
dihubungkan dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi.

Secara tradisional, SE dapat diklasifikasikan menjadi convulsive dan nonconvulsive, namun istilah ini
dapat tidak tepat. Skema baru klasifikasi ILAE (International League Against Epilepsy) telah menolak
penggunaan istilah nonconvulsive, karena dapat merupakan suatu keadaan yang beragam seperti kejang
fokal pada limbic SE ataupun generalized seperti absence SE. Di samping itu, keadaan convulsive,
khususnya kejang myoclonic, dapat terlihat pada nonconvulsive SE, misalnya kejang di kelopak mata atau
perioral.

Skema ILAE 2001 mendefinisikan SE sebagai aktivitas kejang yang terus-menerus dan mengklasifi
kasikan SE menjadi dua kategori, yaitu generalized dan focal SE. Laporan ILAE Core Group (2006)
mengklasifi kasikan bermacam-macam tipe SE, serta berusaha menghindari istilah generalized dan focal.

C. Epidemiologi
Angka kejadian SE di Amerika Serikat berkisar 41 per 100.000 individu setiap tahun, sekitar 27 per
100.000 untuk dewasa muda dan 86 per 100.000 untuk usia lanjut. Dua penelitian restropektif di Jerman
mendapatkan insidens 17,1 per 100.000 per tahun. Mortalitas SE (kematian dalam 30 hari) pada
penelitian Richmond berkisar 22%. Kematian pada anak hanya 3%, sedangkan pada dewasa 26%.
Populasi yang lebih tua mempunyai mortalitas hingga 38%. Mortalitas tergantung dari durasi kejang,
usia onset kejang, dan etiologi. Pasien stroke dan anoksia mempunyai mortalitas paling tinggi.
Sedangkan pasien dengan etiologi penghentian alkohol atau kadar obat antiepilepsi dalam darah yang
rendah, mempunyai mortalitas relatif rendah.3,5 Insiden SE pada lanjut usia setidaknya dua kali pada
populasi umum. SE pada lansia menjadi perhatian besar karena kondisi medis bersamaan sering ada
yang cenderung mempersulit terapi dan memperburuk prognosis.

D. Etiologi
SE sering merupakan manifestasi akut dari penyakit infeksi sistem saraf pusat, stroke akut,
ensefalopati hipoksik, gangguan metabolik, dan kadar obat antiepilepsi dalam darah yang rendah.
Etiologi tidak jelas pada sekitar 20% kasus. Gangguan serebrovaskuler merupakan penyebab SE tersering
di Negara maju, sedangkan di negara berkembang penyebab tersering karena infeksi susunan saraf
pusat. Etiologi SE sangat penting sebagai prediktor mortalitas dan morbiditas.

Hampir seperempat dari orang yang mengalami SE memiliki epilepsi yang sudah ada sebelumnya.
Penurunan dramatis dalam tingkat serum AED karena ketidakpatuhan atau alasan lain adalah
mekanisme yang paling umum dari SE dalam kasus tersebut. Pada banyak pasien dengan gangguan
kejang sebelumnya, tidak ada faktor pencetus yang jelas dapat diidentifikasi untuk terjadinya SE. SE
lebih sering terjadi pada pasien dengan epilepsy umum sekunder dibandingkan pada pasien dengan
epilepsy umum idiopatik.
Tabel 1. Etiologi status epileptikus3,4,9

 Alkohol

 Anoksia

 Antikonvulsan-withdrawal

 Penyakit cerebrovaskular

 Epilepsi kronik

 Infeksi SSP

 Toksisitas obat-obatan

 Metabolik

 Trauma

 Tumor

E. PATOFISIOLOGI
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari
jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktifitas kejang sebagian bergantung
pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di mesensefalon, talamus, dan korteks
serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan batang otak
umumnya tidak memicu kejang.

Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk
yang berikut:

- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan;
- Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun, apabila terpicu
akan melepaskan muatan secara berlebihan;
- Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam
gama-aminobutirat (GABA);
- Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang
mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi
neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktifitas neuron. Selama kejang,
kebutuhan metabolik secara drastis meningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat
meningkat menjadi 1000 per detik. Aluran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis
jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat
mungkin mengalami deplesi selama aktifitas kejang.

Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik yang seringkali
normal menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor
patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin
dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetilkolin, suatu
neurotransmitter fasilitatorik; fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.

Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun status epileptikus melibatkan adanya
kegagalan dalam pemutusan rantai kejang tersebut. Berbagai studi eksperimen menemui kegagalan
yang mungkin timbul dari kelangsungan kejang terus menerus yang abnormal, eksitasi yang meningkat
secara tajam atau pengerahan dan penghambatan yang tidak efektif. Obat standar yang digunakan pada
status epileptikus lebih efektif apabila diberikan pada jam pertama berlangsungnya status.

Status epileptikus dapat menyebabkan cedera otak, khususnya struktur limbik seperti hipokampus.
Selama 30 menit pertama kejang, otak masih dapat mempertahankan homeostasis melalui peningkatan
aliran darah, glukosa darah, dan pemanfaatan oksigen. Setelah 30 menit, kegagalan homeostasis dimulai
dan mungkin akan berperan dalam kerusakan otak. Hipertermi, rhabdomyolisis, hiperkalemia, dan
asidosis laktat meningkat sebagai hasil dari pembakaran otot spektrum luas yang terjadi terus menerus.
Setelah 30 menit, tanda-tanda dekompensasi lainnya meningkat, yakni hipoksia, hipoglikemia, hipotensi,
leukosistosis, dan cardiac output yang tidak memadai.

Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri saja nampak cukup, untuk
menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya aliran darah otak (Cerebral Blood Flow), kurang dari 20
ml/100g/menit, memberikan banyak efek di antaranya terinduksinya Nitrit Oksida Sintase (iNOS) di
dalam astrosit dan microglia yang mungkin berhubungan dengan aktivasi N-methyl-D-Aspartate (NMDA)
receptor yang menyebabkan kematian sel yang cepat hingga 3-5 menit saja yang kemudian bereaksi
dengan O2 radikal bebas yang menghasilkan super-radical. Aktivasi ini menyebabkan pelepasan asam
amino eksitatorik aspartat dan glutamat. Akibatnya, berlangsunglah sebuah mekanisme kerusakan yang
dimediasi oleh glutamate-glutamic-mediated excitotoxicity khususnya di hipokampus. Sementara,
konsentrasi kalsium ekstraseluler normal pada neuron-neuron setidaknya 1000 kali lebih besar daripada
intraseluler. Selama kejang, receptor-gated calcium channel terbuka mengikuti stimulasi reseptor
NMDA. Peningkatan kalsium intraseluler yang fluktuatif ini akan semakin meningkatkan keracunan sel.
Akibatnya apabila kejang ini terus menerus terjadi, kerusakan otak yang terjadi pun akan semakin besar.

F. Manifestasi Klinis
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah keterlambatan
penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus
yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk
yang lain dapat juga terjadi.

1. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)


Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial
dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang
parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum,
serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran
diantara serangan dan peningkatan frekuensi.

Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-
otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini,
diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia
mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan
penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada
jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.

2. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)


Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase tonik
dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
3. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran tanpa
diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari
Lenox-Gestaut Syndrome.

4. Status Epileptikus Mioklonik.


Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus adalah
menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari
status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk,
tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
5. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau dewasa.
Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi
(dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai “slow motion movie” dan
mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum
primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz
monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap status epileptikus
Benzodiazepin intravena didapati.
6. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks, karena
gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor
atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional, cepat marah,
halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada
beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave
discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.
7. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada satu
tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi
jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan
kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic
lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering
berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status
somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa
(status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik unilateral
yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.
8. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup untuk
mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan
keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus
temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status
epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.
G. Diagnosis dan pemeriksaan penunjang
Diagnosa dilakukan dengan cepat dalam waktu 5 – 10 menit. Hal yang pertama kita lakukan
adalah:
1. Anamnesis
riwayat epilepsi, riwayat menderita tumor, infeksi obat, alkohol, penyakit serebrovaskular
lain, dan gangguan metabolit. Perhatikan lama kejang, sifat kejang (fokal, umum,
tonik/klonik), tingkat kesadaran diantara kejang, riwayat kejang sebelumnya, riwayat
kejang dalam keluarga, demam, riwayat persalinan, tumbuh kembang, dan penyakit yang
sedang diderita.
2. Pemeriksaan fisik
pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran penglihatan dan pendengaran
refleks fisiologis dan patologi, lateralisasi, papil edema akibat peningkatan intrakranial
akibat tumor, perdarahan, dll. Sistem motorik yaitu parestesia, hipestesia, anestesia.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium yaitu darah, elektrolit, glukosa, fungsi ginjal dengan urin
analisis dan kultur, jika ada dugaan infeksi, maka dilakukan kultur darah
b. imaging yaitu CT Scan dan MRI untuk mengevaluasi lesi struktural di otak
c. EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat mungkin jika pasien
mengalami gangguan mental
d. Pungsi lumbar, dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS atau perdarahan
subarachnoid.
H. Diagnosis banding
1. Reaksi konversi
2. Syncope
I. Penatalaksanaan
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan anamnesa yang
akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera. Mungkin dan harus dirawat
pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status epileptikus pada makalah ini diambil
berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama dalam penanganan status
epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam
(Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed).

Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan
pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat. Berdasarkan penelitian Randomized
Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan
empat kelompok (pada tabel di bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang
berhasil menghentikan kejang sebanyak 65 persen.

Tabel 2. Obat-obat OAE

Nama obat Dosis (mg/kg) Persentase

1. Lorazepam 0,1 65 %

2. Phenobarbitone 15 59 %

3. Diazepam + Fenitoin 0.15 + 18 56 %

4. Fenitoin 18 44 %

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan karenanya
memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan terdistribusi pada
depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen
dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10
%) dari Lorazepam adalah sama.

Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan Benzodiazepin.


Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg dengan infus
atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50
%), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan
penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah
lokal iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk
mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.
Status Epileptikus Refrakter

Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit. Walaupun dengan
obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang cukup banyak seperti,
dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia persisten.

Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat meniru kejang
epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan dengan yang berespon
terhadap terapi lini pertama. Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan
menggunakan Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan
medikasi dengan kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini
dimonitor oleh EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan
diulang dengan dosis awal.

Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus

Pada : awal menit

1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)
a. Periksa tekanan darah
b. Mulai pemberian Oksigen
c. Monitoring EKG dan pernafasan
d. Periksa secara teratur suhu tubuh
e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa,
hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa
AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg IV
atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s encephalophaty
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena
dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika
kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan
kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika
kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg per
kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat
menelan.
Pada: 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung

1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperatur


2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100
mg per menit
Pada: 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung

Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena hingga
kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam; kecepatan infus
lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan
darah stabil.-atau-

Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg per menit,
titrasi dengan bantuan EEG.-atau-

Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan berdasarkan
gambaran EEG.

J. Prognosis
Prognosis status epileptikus adalah tergantung pada penyebab yang mendasari status epileptikus.
Pasien dengan status epileptikus akibat penggunaan antikonvulsan atau akibat alkohol biasanya
prognosisnya lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan dengan cepat dan dilakukan pencegahan terjadi
komplikasi.
3. Epilepsi

1. Pengertian

Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti serangan. Dahulu masyarakat
percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan dipercaya juga bahwa epilepsi
merupakan penyakit yang bersifat suci. Latar belakang munculnya mitos dan rasa takut
terhadap epilepsy berasal hal tersebut. Mitos tersebut mempengaruhi sikap masyarakat dan
menyulitkan upaya penanganan penderita epilepsi dalam kehidupan normal.Penyakit tersebut
sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 2000 sebelum Masehi. Orang pertama yang berhasil
mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi merupakan
penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak adalah Hipokrates. Epilepsi merupakan
kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang di seluruh dunia.

Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, dengan gejala
tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara
berlebihan dan paroksimal.Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal
(parsial) dan kejang umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari
cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran parsial.
Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari cerebral cortex dan biasanya
mengenai kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik, tonik, dan klonik termasuk dalam epilepsi
umum.

Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan
dan abnormal, berlangsung mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan
kesadaran. Disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak dan bukan
disebabkan oleh suatu penyakit otak akut.

Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom epilepsi. Kejang epilepsi adalah timbulnya
kejang akibat berbagai penyebab yang ditandai dengan serangan tunggal atau tersendiri.1
Sedangkan sindrom epilepsy adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang ditandai
dengan kejang epilepsi berulang, meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor
pencetus, kronisitas. Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri epilepsi yang harus
ada, tetapi tidak semua kejang merupakan manifestasi epilepsi.

Seorang anak terdiagnosa menderita epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya penyebab kejang
lain yang bisa dihilangkan atau disembuhkan, misalnya adanya demam tinggi, adanya
pendesakan otak oleh tumor, adanya pendesakan otak oleh desakan tulang cranium akibat
trauma, adanya inflamasi atau infeksi di dalam otak, atau adanya kelainan biokimia atau
elektrolit dalam darah. Tetapi jika kelainan tersebut tidak ditangani dengan baik maka dapat
menyebabkan timbulnya epilepsi di kemudian hari.
2. Epidemiologi

Kejang merupakan kelainan neurologi yang paling sering terjadi pada anak, di mana ditemukan
4 – 10 % anak-anak mengalami setidaknya satu kali kejang pada 16 tahun pertama kehidupan.
Studi yang ada menunjukkan bahwa 150.000 anak mengalami kejang tiap tahun, di mana
terdapat 30.000 anak yang berkembang menjadi penderita epilepsi.

Faktor resiko terjadinya epilepsi sangat beragam, di antaranya adalah infeksi SSP, trauma
kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan penyakit metabolik. Meskipun terdapat bermacam-
macam faktor resiko tetapi sekitar 60 % kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang
pasti. Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa insidensi epilepsi pada anak laki – laki lebih
tinggi daripada anak perempuan.

Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (di atas 65 tahun). Pada 65 %
pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak. Puncak insidensi epilepsi terdapat pada
kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun pada masa kanak-kanak, dan relatif stabil sampai
usia 65 tahun. Menurut data yang ada, insidensi per tahun epilepsi per 100000 populasi adalah
86 pada tahun pertama, 62 pada usia 1 – 5 tahun, 50 pada 5 – 9 tahun, dan 39 pada 10 – 14
tahun.

3. Etiologi

Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus epilepsi tidak dapat
ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut sebagai kelainan idiopatik.2
Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang umum. Secara garis besar,
etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu :

Tabel 2. Etiologi Epilepsi

Kejang Fokal Kejang Umum

a. Trauma kepala

b. Stroke

c. Infeksi

d. Malformasi vaskuler

e. Tumor (Neoplasma)

f. Displasia

g. Mesial Temporal Sclerosis


a. Penyakit metabolik

b. Reaksi obat

c. Idiopatik

d. Faktor genetik

e. Kejang fotosensitif

4. Klasifikasi

Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 untuk kejang epilepsi :

Tabel 3. Klasifikasi Kejang Epilepsi

No Klasifikasi kejang epilepsi

1 Kejang Parsial :Kejang Parsial sederhana

• Kejang parsial sederhana dengan gejala motorik

• Kejang parsial sederhana dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus

• Kejang parsial sederhana dengan gejala psikis Kejang Parsial kompleks

• Kejang parsial kompleks dengan onset parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran

• Kejang parsial kompleks dengan gangguan kesadaran saat onset Kejang parsial yang menjadi
kejang generalisata sekunder

• Kejang parsial sederhana menjadi kejang umum

• Kejang parsial kompleks menjadi kejang umum

• Kejang parsial sederhana menjadi kejang parsial kompleks dan kemudian menjadi kejang
umum

2 Kejang umum

• Kejang absans

• Absans atipikal

• Kejang mioklonik

• Kejang klonik
• Kejang tonik-klonik

• Kejang atonik

Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1989 untuk sindroma epilepsi :

Tabel 4. Klasifikasi Sindroma Epilepsi

No Klasifikasi sindroma epilepsi

1 Berkaitan dengan letak focus Idiopatik

• Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Rolandik benigna)

• Epilepsi anak dengan paroksimal oksipital Simtomatik

• Lobus temporalis

• Lobus frontalis

• Lobus parietalis

• Lobus oksipitalis

• Kronik progresif parsialis Kontinu Kriptogenik

2 Epilepsi umum

Idiopatik

• Kejang neonates familial benigna

• Kejang neonates benigna

• Epilepsi mioklonik benigna pada bayi

• Epilepsi absans pada anak (pyknolepsy)

• Epilepsi absans pada remaja

• Epilepsi mioklonik pada remaja

• Epilepsi dengan serangan tonik-klonik saat terjaga Kriptogenik Atau simtomatik

• Sindroma West (spasme bayi)

• Sindroma Lennox-Gastaut
• Epilepsi dengan kejang mioklonik-astatik

• Epilepsi dengan mioklonik absans

Simtomatik

• Etiologi non spesifik

! Ensefalopati mioklonik Neonatal

! Epilepsi ensefalopati pada bayi

! Gejala epilepsi umum lain yang tidak dapat didefinisikan • Sindrom spesifik

! Malformasi serebral

! Gangguan metabolisme

3 Epilepsi dan Sindrom yang tidak dapat ditentukan fokal atau generalisata, Serangan fokal dan
umum Tanpa Gambaran tegas fokal atau umum

• Kejang neonatal

• Epilepsi mioklonik berat pada bayi

• Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama gelombang rendah tidur (Sindroma
Taissinare)

• Sindroma Landau-Kleffner

4 Sindrom Khusus Kejang Demam Status Epileptikus Kejang Berkaitan dengan gejala metabolik
atau toksik akut

5. Faktor Risiko

Gangguan stabilitas neuron – neuron otak yang dapat terjadi saat epilepsi, dapat terjadi saat :

Tabel 5. Faktor Risiko Epilepsi

Prenatal Natal Postnatal

a. Umur ibu saat hamil terlalu muda (<20 tahun) atau terlalu tua (>35 tahun)

b. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi

c. Kehamilan primipara atau multipara


d. Pemakaian bahan toksik

a. Asfiksia

b. Bayi dengan berat badan lahir rendah (<2500 gram)

c. Kelahiran premature atau postmatur

d. Partus lama

e. Persalinan dengan alat

a. Kejang demam

b. Trauma kepala

c. Infeksi SSP

d. Gangguan metabolik

6. Gejala dan Tanda

Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu :

1) Kejang parsial

Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu hemisfer
serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita
umumnya masih baik.

a. Kejang parsial sederhana

Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal,

femnomena halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana,
kesadaran penderita masih baik.

b. Kejang parsial kompleks

Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi yang paling khas
terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.

2) Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau kedua
hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran penderita
umumnya menurun.

a. Kejang Absans

Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia. Serangan
tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.

b. Kejang Atonik

Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan, leher, dan badan.
Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.

c. Kejang Mioklonik

Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat. Kejang yang terjadi
dapat tunggal atau berulang.

d. Kejang Tonik-Klonik

Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan total disertai
kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik
berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama
fase tonik, tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air
liur, dan peningkatan denyut jantung.

e. Kejang Klonik

Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang yang terjadi
berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.

f. Kejang Tonik

Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami jatuh akibat hilangnya
keseimbangan,

7. Diagnosis

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan
EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang
berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.

1) Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan diagnosis epilepsi. Dalam
melakukan anamnesis, harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena pemeriksa
hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Anamnesis dapat
memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, ensefalitis,
malformasi vaskuler, meningitis, gangguan metabolik dan obat-obatan tertentu. Penjelasan dari
pasien mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan (meliputi
gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat penting dan merupakan kunci
diagnosis.

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :

a. Pola / bentuk serangan

b. Lama serangan

c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan

d. Frekuensi serangan

e. Faktor pencetus

f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

g. Usia saat terjadinya serangan pertama

h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan

i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya

j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2) Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-tanda dari gangguan
yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau sinus. Sebab sebab terjadinya serangan epilepsi
harus dapat ditepis melalui pemeriksaan fisik dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit
sebagai pegangan. Untuk penderita anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat
menunjukan awal ganguan pertumbuhan otak unilateral.

3) Pemeriksaan penunjang

a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan dan harus
dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat dua
bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak. Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang
tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan prognosis dan
penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE).

b. Neuroimaging

Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis bertujuan untuk
melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang sering digunakan
Computer Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila
dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitive dan secara anatomik akan tampak lebih
rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hippocampus kiri dan kanan.

8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :

a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)

Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat,
mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari faktor
penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan berhenti sendiri.Pengelolaan
pertama untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila
berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum
berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika
setelah dua kali pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita
dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit.

b. Pengobatan epilepsi

Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari serangan
epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan sampai kematian
sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus menerus maka kerusakan sel-sel otak akan
semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.

Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif
mungkin. Pengobatan epilepsy dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila
serangan epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obat-obatan sampai pasien tersebut 2
tahun bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu :

1) Terapi medikamentosa

Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang baru
terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesia adalah obat
golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus
diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupun
serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan
tanda-tanda efek samping yang berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian
obat dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi
kejang.

2) Terapi bedah

Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang menjadi fokus
infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan. Diindikasikan terutama untuk
penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi
berdasarkan letak fokus infeksi :

a. Lobektomi temporal

b. Eksisi korteks ekstratemporal

c. Hemisferektomi

d. Callostomi

3) Terapi nutrisi

Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat yang kurang dapat
dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi toksisitas dari obat.
Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak penderita epilepsi. Walaupun
mekanisme kerja diet ketogenik dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara
pasti, tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol terjadinya
kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan
yang lebih ketat dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan.
Kebutuhan makanan yang diberikan adalah makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat
lemak terhadap kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori harian
diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk pengendalian kejang yang optimal tetap diperlukan
kombinasi diet dan obat antiepilepsi.

9. Pertolongan Pertama

Tahap – tahap dalam pertolongan pertama saat kejang, antara lain :

a. Jauhkan penderita dari benda - benda berbahaya (gunting, pulpen, kompor api, dan lain –
lain).

b. Jangan pernah meninggalkan penderita.

c. Berikan alas lembut di bawah kepala agar hentakan saat kejang tidak menimbulkan cedera
kepala dan kendorkan pakaian ketat atau kerah baju di lehernya agar pernapasan penderita
lancar (jika ada).

d. Miringkan tubuh penderita ke salah satu sisi supaya cairan dari mulut dapat mengalir keluar
dengan lancar dan menjaga aliran udara atau pernapasan.

e. Pada saat penderita mengalami kejang, jangan menahan gerakan penderita. Biarkan gerakan
penderita sampai kejang selesai.

f. Jangan masukkan benda apapun ke dalam mulut penderita, seperti memberi minum,
penahan lidah.

g. Setelah kejang selesai, tetaplah menemani penderita. Jangan meninggalkan penderita


sebelum kesadarannya pulih total, kemudian biarkan penderita beristirahat atau tidur.
4. Gangguan Perkembangan Pervasif

Gangguan perkembangan pervasif atau pervasif developmental disorder (PDDs) adalah suatu
gangguan perilaku atau fungsi pada berbagai area perkembangan. Gangguan ini pada umumnya
menjadi tampak nyata pada tahun-tahun pertama kehidupan dan seringkali dihubungkan
dengan retardasi mental. Gangguan ini pada umumnya diklasifikasikan sebagai bentuk psikosis
pada edisi awal Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM). Jumlah penderita
gangguan perkembangan pervasif masih belum jelas, studi komunitas terbaru yang dilakukan
terhadap anak-anak prasekolah di Inggris menunjukan bahwa 0,6% dari seluruh anak-anak
memenuhi kriteria salah satu gangguan perkembangan pervasif, terutama autis. Autis
merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PPD (Pervasif Development
Disorder) diluar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit
Disorder). Terdapat beberapa jenis gangguan perkembangan pervasif dengan masing-masing
karakteristik berbeda, yaitu :

a. Autistic Spectrum Disorder (ASD)

Muncul sebelum usia 3 tahun dengan gejala adanya hambatan dalam interaksi sosial,
komunikasi, dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada
minat dan aktivitas.

b. Asperger’s Sindrom

Hambatan perkembangan interaksi sosial, aktivitas yang terbatas, secara umum tidak
menunjukan keterlambatan bahasa dan bicara, memiliki tingkat intelegensi rata-rata hingga
diatas rata-rata.

c. Rett’s Sindrom

Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Anak sempat
mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran atau kehilangan
kemampuan yang dimilikinya, kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan
dengan gerakan-gerakan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1-4 tahun.

d. Pervasive Developmental Disorder- Not Otherwise Specified (PDD-NOS)

Merujuk istilah atypical autis, diagnosis PPD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan
keseluruhan kriteria pada diagnosis tertentu (Autis, Asperger atau Rett’s Sindrom).

e. Childhood Disintregative Disorder (CDD)

Menunjukan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan. Pada
tahun berikutnya anak kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.
Autis

Autis atau gangguan spektrum autistik (GSA) adalah gangguan perkembangan yang kompleks
dengan karakteristik kelainan fungsi sosial, bahasa dan komunikasi serta tingkah laku dan minat
yang tidak biasa. Gejala autis umumnya terdiagnosis sebelum usia 3 tahun. Autis dapat
mengenai siapa saja tanpa bergantung pada etnik, tingkat pendidikan, sosial dan ekonomi.
Autis termasuk dalam kategori gangguan perkembangan pervasif bersama dengan sindrom
Rett, sindrom Asperger dan gangguan disintegrasi pada anak. Kata autis berasal dari bahasa
Yunani, autos yang berarti sendiri atau diri sendiri. Istilah ini digunakan pertama kali pada tahun
1906 oleh seorang pskiater Swiss, Eugene Bleuler, untuk merujuk pada gaya berpikir yang aneh
pada penderita skizofrenia. Cara berpikir autistik adalah suatu kecendrungan memandang diri
sendiri sebagai pusat dunia, percaya bahwa kejadian-kejadian eksternal mengacu pada diri
sendiri. Pada tahun 1943, psikiater lain yaitu Leo Kanner menerapkan diagnosis “autis infantil
awal” kepada sekelompok anak yang terganggu dan tampaknya tidak dapat berhubungan
dengan orang lain, seolah-olah mereka hidup dalam dunia mereka sendiri. Berbeda dengan
anak-anak retardasi mental, anak-anak autis tampaknya menutup diri dari setiap masukan dan
dari dunia luar. Mereka menciptakan semacam kesendirian autistic.

Etiologi Autis

Sampai saat ini belum dapat ditemukan penyebab pasti dari gangguan autis ini, sehingga belum
dapat dikembangkan cara pencegahan maupun penanganan yang tepat. Berbagai literatur
menyebutkan kemungkinan penyebab autis multifaktorial, dimana sejumlah penelitian
mengatakan bahwa gen diduga paling berpengaruh selain faktor lingkungan, infeksi, neurologis
dan metabolik. Hal ini terlihat dari peningkatan resiko relatif pada anak kedua dari keluarga
yang memiliki anak pertama penderita autis 20-50 kali lebih berisiko bila dibandingkan dengan
populasi normal. Gen yang mempengaruhi pematangan sinap memiliki peranan kuat, sehingga
timbul teori neurobiologis yang berpusat pada konektivitas neuron dan efek neurobiologis.
Penelitian terbaru, pada individu dengan gangguan autis mengalami kelainan neurobiologis
pada susunan saraf pusat. Kelainan ini berupa pertumbuhan sel otak yang tidak sempurna pada
beberapa bagian otak. Pemeriksaan dengan alat khusus Magnetic Resonance Imaging (MRI)
pada otak penyandang autis ditemukan adanya kerusakan yang khas didalam otak pada daerah
yang disebut dengan limbik sistem yaitu pusat emosi. Selain faktor genetik tersebut, faktor
lingkungan juga diduga menjadi agen penyebab. Faktor lingkungan yang diduga menjadi
pencetus antara lain, komplikasi selama kehamilan dan persalinan serta kelainan saat masa
perinatal.

Awalnya autis dipandang sebagai gangguan yang disebabkan oleh faktor psikologis, yaitu pola
pengasuhan orangtua yang tidak hangat secara emosional. Barulah sekitar tahun 1960 dimulai
penelitian neurologis yang membuktikan bahwa autis disebabkan oleh adanya abnormalitas
pada otak. Beberapa teori yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya autis
yaitu :

1. Faktor biologi

Terdapat bukti kuat yang menunjukkan gangguan autis merupakan gangguan perkembangan
otak yang berhubungan dengan abnormalitas struktur dan fungsi otak. Hal ini dikarakteristikan
sebagai berikut:

a. Penurunan jumlah sel purkinje pada bagian posterior inferior belahan otak.

b. Kecacatan pada dendrit dan perkembangan saraf di sistem limbik.

c. Hipoplasia pada lobulus otak ke VI, VII.

d. Ukuran struktur batang otak, vermis otak, serta komponennya signifikan lebih kecil pada
penderita autis dibandingkan dengan grup kontrol.

2. Faktor genetik

Beberapa hasil survei didapatkan 2-4% saudara kandung penderita autis juga mengalami autis.
Para peneliti menampilkan DNA saudara kandung autis lebih dari 150 pasang, mereka
mendapatkan bukti kuat mengenai bahwa kromosom 2 dan 7 mengandung gen yang terlibat
dengan autis.15 Selain itu, ditemukan juga penyimpangan pada lengan panjang kromosom 15
dan kromosom sex. Lebih kurang 1% penderita autis juga mengalami fragile X syndrome;
gangguan genetik pada lengan panjang kromosom X.15,16 Gangguan ini lebih rentan pada laki-
laki sebab mereka hanya memiliki satu kromosom X dan sebesar 30-50% fragile X syndrome
berhubungan dengan gangguan mental.

3. Faktor imunologi

Beberapa laporan menunjukkan bahwa ketidaksesuaian imunologi dapat berkontribusi pada


gangguan autis. Limfosit anak-anak autis bereaksi dengan antibodi ibu dapat menyebabkan
saraf embrio, extraembrio, dan jaringan mengalami kerusakan selama kehamilan.15

4. Faktor neuroanatomi

Anak-anak gangguan autis dilahirkan dengan ukuran otak yang normal. Akan tetapi, ukuran
otak signifikan bertambah besar ketika berusia 2-4 tahun.Studi MRI yang membandingkan anak
autis dengan anak normal sebagai kontrol menunjukkan bahwa volume otak anak autis lebih
besar, meskipun pada umumnya penderita autis yang mengalami retardasi mental yang berat
memiliki ukuran kepala yang lebih kecil. Rata-rata kenaikan ukuran terjadi pada lobus occipital,
lobus parietal, dan lobus temporal dan tidak terdapat perbedaan pada lobus frontal.
Pembesaran spesifik pada hal ini tidak diketahui. Peningkatan volume dapat muncul mungkin
dari 3 mekanisme yang berbeda, yaitu peningkatan neurogenesis, penurunan kematian
neuronal, dan peningkatan produksi jaringan otak nonneural, seperti sel glial ataupun
pembuluh darah. Lobus temporal dipercaya merupakan daerah yang penting terhadap
abnormalitas pada penderita autis. Hal ini didasarkan pada laporan yang menunjukkan
beberapa orang penderita autis mengalami kerusakan pada lobus temporal. Pada hewan-
hewan bila terjadi kerusakan bagian temporal akan mengalami kehilangan perilaku sosial yang
normal, kegelisahan, tingkah yang berulang – ulang, dan keterbatasan tingkah laku.

5. Faktor Biokemikal

Beberapa studi melaporkan individu autis tanpa retardasi mental memiliki insidensi
hiperserotonemia yang tinggi. Pada beberapa anak gangguan autis juga terdapat konsentrasi
tinggi asam homovanillik (metabolisme utama dopamin) di cairan otak (CSF) yang berhubungan
dengan tingkah laku meniru- niru dan menarik diri.

6. Faktor prenatal

Infeksi virus pada intrauterin dan gangguan metabolisme memiliki peranan penting dalam
patogenesis gangguan autis. Intrauterin yang terpapar obat teratogenik, thalidomide, dan
valproate implikasi menyebabkan gangguan autis.

Prevalensi Autis Berdasarkan data UNESCO pada tahun 2011 tercatat 35 juta orang
menyandang autis di seluruh dunia. Ini berarti rata-rata 6 dari 1000 orang di dunia menyandang
autis. Penelitian Hongkong pada tahun 2008 melaporkan tingkat kejadian autis di Asia
prevalensinya mencapai 1,68 per 1000 untuk anak di bawah 15 tahun. Indonesia berdasarkan
data BPS tahun 2010 diperkirakan terdapat lebih dari 112.000 anak penyandang autis pada
rentang usia 5-19 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Wignyo-Sumarto dkk, pada 5120 anak
dengan usia 4-7 tahun menunjukkan yang menderita autis adalah sebanyak 6 orang dengan
menggunakan kriteria diagnostik CARS (Childhood Autism Rating Scale). Hasil tersebut juga
menunjukkan bahwa gangguan autis 2 kali lebih besar pada anak laki-laki dibandingkan dengan
anak perempuan.

3 Diagnosis Autis

Diagnosis autis mengikuti kriteria diagnosis menurut The Diagnosis and Stastical Manual of
Mental disorder 4th edition 9 (DSM-IV) yang dibagi menjadi 3 kategori umum yaitu: gangguan
intraksi sosial, gangguan komunikasi kualitatif dan pola perilaku.

Gejala autis bervariasi dari gejala sangat ringan (mild), sedang (moderate), hingga parah
(severe) dan sudah timbul sebelum anak tersebut berusia 3 tahun.
Harus ada sedikitnya 6 gejala dari interaksi sosial, komunikasi dan pola perilaku dengan minimal
2 gejala dari interaksi sosial, dan masing-masing 1 gejala dari komunikasi dan perilaku.

Gejala-gejala autis adalah:

1. Gangguan interaksi sosial

a. Gangguan pada perilaku nonverbal, seperti kontak mata, ekspresi wajah, postur tubuh dan
gerak isyarat yang biasanya mengatur interaksi awal.

b. Tidak mampu mengembangkan hubungan dengan teman sebayanya yang sesuai dengan
tingkat perkembangannya.

c. Kurangnya spontanitas membagi kebahagiaan, minat, ataupun hasil yang dicapai dengan
orang lain.

d. Kurangnya hubungan sosial dan emosional timbal balik.

2. Gangguan komunikasi

a. Keterlambatan pada perkembangan bahasa verbal.

b. Bila perkembangan bahasa adekuat, kurangnya kemampuan untuk memulai dan


mempertahankan percakapan dengan orang lain.

c. Penggunaan bahasa yang berulang-ulang dan meniru-niru.

d. Kemampuan bermain kurang variatif, kurang spontan.

3. Pola perilaku yang terbatas, berulang, dan meniru

a. Menunjukkan minat yang terbatas.

b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada fungsinya.

c. Menunjukkan gerakan-gerakan stereotip (misalnya menjentikkan jari-jari, membenturkan


kepala, berayun ke depan dan belakang, berputar).

d. Seringkali terpukau pada bagian-bagian benda.

Selain diagnosis autis dari DSM-IV, anak dengan gangguan autis sering memiliki faktor penyerta
lainnya seperti retardasi mental, epilepsi, sebagian anak autis menyakiti diri sendiri, mudah
tantrum dan histeris. Sifat-sifat autis umumnya menetap hingga dewasa dalam taraf tertentu.
5. Sindroma de la Tourettes
Sejarah Sindroma Tourette
Pertama kali dilaporkan oleh seorang dokter Perancis, Itard, pada tahun 1825. dia menggambarkan
kasus dari Marquise de Dampierre, seorang wanita menderita tik motorik, koprolalia, dan ekolalia
sejak usia 7 tahun. Dia menuliskan :
“Semakin dia sendiri berpikir vulgar nya akan memberontak, semakin ia disiksa oleh rasa takut
bahwa dia akan mengungkapkan mereka, dan justru keasyikan ini, bahwa ketika ia tidak bisa lagi
mengendalikannya, menempatkan kata-kata di ujung nya lidah."
Pada tahun 1885 seorang dokter Perancis yang lain, Tourette, menggambarkan 9 kasus dengan
sindroma yang sekarang membawa namanya. Satu darikasus ini adalah Marquise de Dampierre,
yang pada saat itu berusia 19 tahun.
Pada abad 20th , Tourette’s meyakini gangguan ini mempunyai dasar psikogenik. Riset terbaru,
mengesankan Tourette’s sebagai suatu penyakit nonprogresif, kondisi neurologik yang diturunkan.
Epidemiologi Tourettes
• Ditemukan pada semua kelompok ras dan etnis
• Prevalensi yang tepat tidak diketahui b / c misdiagnosis, tidak dilaporkan, dan beberapa studi
epidemiologi besar
• Dalam satu studi skrining besar lebih dari 28.000 calon tentara Israel (16-17 y / o), tingkat
keseluruhan 4.3/10, 000 (4,9 di M, 3,1 dalam F)
• Dalam sebuah penelitian terhadap 4500 anak usia 9, 11, & 13 di Amerika Serikat tenggara
menemukan prevalensi total 10/10, 000
• DSM-IV melaporkan prevalensi 3-5/10, 000 anak-anak dan 1-2/10, 000 pada orang dewasa

Temuan Fungsional Neuroimaging


• Neuroimaging Umum dan pemeriksaan neuropathological otak TS adalah normal
• Namun, kelainan morfologi telah dilaporkan dalam studi volumetrik MRI:
• Sebuah kerugian atau pembalikan asimetri normal putamen dan lenticular inti telah dicatat
• Corpus callosum morfologi (dan karenanya konektivitas interhemispheric) tampaknya diubah
(setidaknya) laki-laki dengan TS Studi SPET telah mendeteksi hipoperfusi di berbagai struktur otak
bilateral (termasuk BG, korteks orbitofrontal, dan lobus temporal)
• PET scan telah menunjukkan penurunan aktivitas di korteks prefrontal dan striatum studi fMRI
telah menyarankan:
• Peningkatan pemanfaatan tambahan korteks motor
• Sinyal abnormal dengan tic kejadian di motor utama dan daerah Broca, sesuai dengan tics motor
dan vokal, dan aktivitas striatal

Genetika Tourettes
• Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa keluarga TS diwariskan dan bahwa 1 derajat
keluarga proband sebuah beresiko meningkat
• Peningkatan tingkat tics kronis & transien juga ditemukan di antara 1 derajat kerabat,
menunjukkan ekspresi alternatif dari TS
• Twin studi menunjukkan 8% konkordansi di dizygotik dan 53% pada monozygot, jika semua
gangguan tic diperhitungkan, dizygotes adalah 22% sesuai dan monozygotes adalah 77%
• Penetrasi lengkap/ konkordansi menunjukkan faktor-faktor lain yang berperan (misalnya,
pencetakan genomik)
Onset dari Tourette’s.
• Secara tipikal, gangguan dimulai dengan tik motorik sederhana pada wajah (misalnya, eye
blinking).
• Tic’s menetap dan umumnya menjalar ke bagian lain dari tubuh.
• Akhirnya, vokalisasi (e.g., mengendus, mendengus, tenggorokan kliring, menggonggong, cegukan,
atau mengucapkan kata-kata omong kosong atau kata-kata dimengerti) terjadi dan biasanya
"eksplosif."
Gejala-gejala lain dari Tourette’s
Gerakan abnormal lainnya dan pola perilaku juga dapat mengembangkan:
Gagap
Mencuat lidah
benda mencium
Berdebar dada atau tubuh
Meraih di alat kelamin seseorang
menyentuh kompulsif
Sendawa (Bruxism)
Echopraxia
Diagnosis Banding dari Tourettes
Tic Sementara (Transient) masa kanak-kanak
Prenatal / perinatal
Bawaan cacat SSP
Lahir cacat
Infeksi / post-infeksi
Ensefalitis pasca-virus
Infeksi HIV SSP
penyakit Lyme
Trauma kepala
Paparan toksin
Karbon monoksida atau bensin
obat-obatan
Neuroleptik, levodopa, penarikan opiat,
amfetamin, lamotrigin
Kelainan kromosom
XYY
XXY
Fragile X syndrome
Kelainan genetik
Penyakit Hallervorden-Spatz
Penyakit Wilson
Hyperekplexias
Sindrom Rett
Neuroacanthocytosis
Sindrom Autisme / Asperger 's

Komorbiditas: ADHD

Tingkat komorbidita terjadinya ADHD dan TS telah dilaporkan berkisar antara 8 – 80%

Terlepas dari frekuensi yang tepat, jelas bahwa ADHD dan TS sering terjadi bersamaan pada
pasien yang mencari perhatian medis

Fakta-fakta ini menunjukkan kelompok bersama gen.

Komorbiditas: OCD

Gejala obsesif kompulsif dan OCD sangat terkait dengan TS

Sekitar 8% pasien dengan OCD memiliki TS

Sekitar 35% pasien dengan TS memiliki OCD

Sejumlah penelitian telah menunjukkan perbedaan dalam sifat obsesi dan dorongan pada
pasien TS vs pasien OCD murni

Pasien TS cenderung memiliki obsesi berpusat pada simetri dan mendapatkan hal-hal "tepat;"
di samping itu, mereka cenderung memiliki obsesi lebih keras dan seksual, lebih sering laki-laki,
memiliki usia lebih dini onset, dan mungkin kurang responsif terhadap pengobatan dengan SSRI

Juga lebih menyentuh, menghitung, berkedip dan menatap obsesi.

Pasien dengan OCD murni melaporkan lebih obsesi kontaminasi dan perilaku mencuci.

Komorbiditas: Lain-lain

Berbagai perilaku dan kelainan lainnya telah dilaporkan untuk hadir dalam frekuensi yang
lebih tinggi dari yang diharapkan antara pasien TS:

Gangguan kecemasan (fobia)

Depresi

Gagap (stuttering)

Pengobatan:

Psikososial :

Edukasi
Pasien, keluarga, dan sekolah

Konseling bagi keluarga dan pasien

Terapi relaksasi & Terapi suportif

Kebiasaan Terapi Pembalikan

Farmakologi :

Penyakit ringan tidak mungkin memerlukan obat

α-2 agonis

Tenex

Clonidine

Neuroleptik

antipsikotik generasi pertama yang potensi tinggi

Pimozide (Orap) best studied

Haloperidol

Efek samping yang parah telah menyebabkan mencari alternatif antipsikotik generasi ke-2

Agen dopaminergik lainnya

Metaclopramide (D-2 antagonist without antipsychotic properties)

Pergolide (dopamine agonist)

Flunarizine & Naloxone

Opiates

THC

Baclofen

Nicotine

Desipramine

SSRIs
6. Kejang
2.1. Definisi
Kejang adalah perubahan aktivitas motorik abnormal yang tanpa atau disertai dengan
perubahan perilaku yang sifatnya sementara yang disebabkan akibat perubahan aktivitas elektrik di
otak5. Epilepsi adalah kondisi dimana terjadi kejang berulang karena ada proses yang mendasari6.
Sedangkan intractable seizure adalah kejang dimana penggunaan obat - obatan tidak cukup kuat
untuk menangani kejang7.

2.2. Klasifikasi Kejang


Menurut International League against Epilepsy, kejang dapat diklasifikasikan menjadi6 :
1. Kejang parsial
Kejang parsial adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibatan satu hemisfer
serebri. Kejang parsial dapat berkembang menjadi kejang umum pada 30% anak yang
mengalami kejang. Pada umumnya kejang ini ditemukan pada anak berusia 3 hingga 13 tahun8.
Kejang parsial dapat dikelompokkan menjadi :
1. Kejang parsial simpleks
Kejang parsial simpleks adalah bentuk kejang parsial yang tanpa disertai dengan
perubahan status mental. Kejang ini sering ditandai dengan perubahan aktivitas motorik
yang abnormal, sering terlihat pola aktivitas motorik yang tetap pada wajah dan ekstremitas
atas saat episode kejang terjadi. Walaupun kejang parsial simpleks sering ditandai dengan
perubahan abnormal dari aktivitas motorik, perubahan abnormal dari sensorik, autonom,
dan psikis
2. Kejang parsial kompleks
Kejang parsial kompleks ditandai dengan perubahan abnormal dari persepsi dan sensasi,
dan disertai dengan perubahan kesadaran. Pada saat kejang, pandangan mata anak tampak
linglung, mulut anak seperti mengecap – ngecap, jatuhnya air liur keluar dari mulut, dan
seringkali disertai mual dan muntah.
3. Kejang parsial dengan kejang umum sekunder
Kejang parsial dapat melibatkan kedua hemisfer serebri dan menimbulkan gejala seperti
kejang umum. Kejang parsial dengan kejang umum sekunder biasanya menimbulkan gejala
seperti kejang tonik klonik. Hal ini sulit dibedakan dengan kejang tonik – klonik.

2. Kejang Umum
Kejang umum adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibata kedua hemisfer serebri.
Kejang umum disertai dengan perubahan kesadaran. Kejang umum dapat dikelompokkan
menjadi :
1. Kejang tonik klonik (grand mal seizure)
Kejang tonik klonik adalah bentuk kejang umum yang paling sering terjadi pada anak.
Kebanyakan kejang ini memiliki onset yang tiba – tiba, namun pada beberapa anak kejang
ini didahului oleh aura (motorik atau sensorik). Pada awal fase tonik, anak menjadi pucat,
terdapat dilatasi kedua pupil, dan kontraksi otot – otot yang disertai dengan rigiditas otot
yang progresif. Sering juga disertai dengan inkontinensia urin atau inkontinensia tinja.
Kemudian pada fase klonik, terjadi gerakan menghentak secara ritmik dan gerakan fleksi
yang disertai spasme pada ekstremitas. Terjadi perubahan kesadaran pada anak selama
episode kejang berlangsung dan bisa berlanjut hingga beberapa saat setelah kejang
berhenti.
2. Kejang tonik
Bentuk kejang ini sama seperti kejang tonik klonik pada fase tonik. Anak tiba – tiba
terdiam dengan seluruh tubuh menjadi kaku akibat rigiditas otot yang progresif.
3. Kejang mioklonik
Kejang mioklonik ditandai dengan gerakan kepala seperti terjatuh secara tiba – tiba dan
disertai dengan fleksi lengan. Kejang tipe ini dapat terjadi hingga ratusan kali per hari.
4. Kejang atonik
Kejang atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot secara tiba – tiba.
5. Kejang absens
Kejang absens dapat dibagi menjadi kejang absens simpel (tipikal) atau disebut juga
petit mal dan kejang absens kompleks (atipikal). Kejang absens tipikal ditandai dengan
berhentinya aktivitas motorik anak secara tiba – tiba, kehilangan kesadaran sementara
secara singkat, yang disertai dengan tatapan kosong. Sering tampak kedipan mata berulang
saat episode kejang terjadi. Episode kejang terjadi kurang dari 30 detik. Kejang ini jarang
dijumpai pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Kejang absens atipikal ditandai dengan
gerakan seperti hentakan berulang yang bisa ditemukan pada wajah dan ekstremitas, dan
disertai dengan perubahan kesadaran7.
3. Kejang tak terklasifikasi
Kejang ini digunakan untuk mengklasifikasikan bentuk kejang yang tidak dapat
dimasukkan dalam bentuk kejang umum maupun kejang parsial. Kejang ini termasuk kejang
yang terjadi pada neonatus dan anak hingga usia 1 tahun6.

2.3. Etiologi
Penyebab kejang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu intrakranial dan ekstrakranial.
1. Intrakranial
Penyebab intrakranial dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder.
Penyebab intrakranial primer disebut juga idiopatik. Sedangkan sekunder dapat disebabkan
karena neoplasma intrakranial, kelainan kongenital seperti hidrosefalus, infeksi seperti
meningitis dan ensefalitis, dan trauma kepala.
2. Ekstrakranial
Penyebab ekstrakranial biasa disebabkan karena gangguan metabolisme seperti
hipoglikemia, hipokalsemia, hepatik ensefalopati, uremia, hiperproteinemia, hiperlipidemia,
hipotiroid, dan hipoksia. Penyebab ekstrakranial dapat juga disebabkan oleh metastasis
keganasan ke otak9.

2.4. Diagnosis
2.4.1. Anamnesa
1. Kejadian Pre-Iktal
Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai kejadian
sebelum episode kejang terjadi :
 Apakah ada kejadian yang merangsang terjadinya kejang seperti keadaan stres,
rangsangan nyeri, dan sebagainya?
 Apakah sebelum kejang terjadi, terdapat aura seperti mencium bau – bauan,
melihat cahaya yang sangat terang, mendengar suara – suara, mual, merasa
ketakutan dan sebagainya?
 Apa yang dilakukan anak sesaat sebelum kejang terjadi?
 Apakah beberapa jam atau beberapa menit sebelum kejang anak mengkonsumsi
obat – obatan tertentu?
 Apakah anak sedang menderita penyakit tertentu? Apakah anak sedang demam
sebelum kejang terjadi?
 Apakah anak pernah mengalami kejang sebelumnya?
 Jika anak pernah mengalami kejang, apakah bentuk kejang terdahulu sama seperti
bentuk kejang yang baru saja terjadi?
 Jika anak pernah mengalami kejang, apakah anak berobat rutin dan
mengkonsumsi obat anti kejang secara teratur?
 Apakah anak pernah mengalami trauma, terutama di bagian kepala, beberapa jam
atau hari sebelum kejang?
2. Kejadian saat kejang
Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai kejadian saat
episode kejang terjadi :
 Berapa lama kejang berlangsung?
 Seperti apa bentuk kejang yang terjadi?
 Apakah anak kehilangan kesadaran saat kejang?
 Berapa kali kejang terjadi dan berapa lama setiap satu episode kejang terjadi?
 Apabila kejang terjadi lebih dari satu kali, apakah anak tetap sadar atau tidak
sadar, di antara epdisode kejang yang terjadi?
3. Kejadian post – iktal
 Apakah anak langsung sadar setelah kejang berhenti?
 Apakah anak merasa lemas, mual, muntah setelah kejang berhenti atau anak
tampak seperti tidak terjadi apa – apa?
 Apakah anak mengingat kejadian saat kejang berlangsung?

2.4.2. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh. Tanda – tanda vital
meliputi denyut nadi, laju pernapasan, dan terutama suhu tubuh harus diperiksa,
karena demam merupakan penyebab utama kejang pada anak – anak. Periksa kepala
apakah ada kelainan bentuk, tanda – tanda trauma kepala, serta tanda – tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Periksa leher apakah terdapat kaku kuduk.
Pemeriksaan neurologis secara menyeluruh juga penting dilakukan.

2.4.3. Pemeriksaan Penunjang


Penentuan ada tidaknya kejang ditentukan oleh kondisi klinis pasien yang tepat
sesuai klinis, tetapi pemeriksaan penunjang juga dapat membantu dalam
mempertajam diagnosis dari kejang tersebut. Pemeriksaan penunjang yang dapat di
lakukan adalah :
1. Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal tidak dianjurkan pada anak-anak dengan hemodinamik yang tidak
stabil. Sangat dipertimbangkan untuk melakukan pungsi lumbal pada anak kurang
dari 12 bulan dan anak kurang dari 18 bulan. Pungsi lumbal dianjurkan pada :
- Anak yang telah menerima antibiotik sebelum kejang dan didiagnosa sebagai
meningitis, dalam kasus ini dilakukan pungsi lumbal tanpa memandang usia.
Bahkan jika pungsi lumbal dilakukan dan hasilnya negatif, dapat
dipertimbangkan untuk pemberian pengobatan meningitis, karena cairan
cerebrospinal (CSF) mungkin normal pada fase awal perjalanan penyakit
meningitis.1
- Iritasi meningens didefinisikan sebagai adanya Brudzinski sign (fleksi leher
menyebabkan fleksi dari pinggul pasien dan lutut), Kernig sign (nyeri muncul
ketika adanya fleksi 90◦ dari fleksi sendi pinggul dan ekstensi sendi lutut),
kaku kuduk yaitu kekakuan leher pada anak yang lebih tua dari usia 1 tahun.
Pada anak-anak berusia kurang dari 1 tahun, tanda-tanda iritasi meningens
adalah tanda-tanda di atas atau rasa gelisah atau rewel selama manipulasi
kepala atau kaki oleh dokter dan atau menggembungnya fontanel. Perlu
ditekankan bahwa tanda-tanda klinis meningitis tidak sensitif dan jika klinisi
curiga bahwa meningitis positif, pungsi lumbal tidak boleh ditunda sampai
tanda-tanda ini muncul.1
2. Pencitraan
Neuroimaging tidak diindikasikan setelah episode kejang demam sederhana,
tapi bisa dipertimbangkan ketika ada fitur klinis dari gangguan neurologis,
misalnya mikrosefali atau makrosefali, defisit neurologis yang sudah ada, defisit
neurologis post-iktal bertahan selama lebih dari beberapa jam, atau ketika ada
kejang demam berulang yang kompleks, atau kejang yang dicurigai bukan kejang
demam Magnetic Resonance Imaging lebih sensitif dibandingkan Computed
Tomography untuk mendeteksi proses intrakranial yang dapat menyebabkan
kejang.1
3. Electroencephalography (EEG)
Kelainan epileptiform relatif umum didapatkan pada anak-anak dengan
kejang demam. EEG sendiri memiliki sensitivitas yang rendah pada anak di
bawah usia tiga tahun dengan kejang dan peran yang terbatas dalam diagnosis
gangguan ensefalopatik akut.1

2.5. Diagnosis Banding


Ketika anak menampakkan gejala klinis seperti kejang, maka pemeriksa harus segera
menentukkan sebab dari kejang tersebut. Penting untuk mengetahui apakah yang dialami seorang
anak benar adalah kejang atau bukan kejang. Berikut adalah beberapa kondisi pediatrik yang dapat
disalahartikan sebagai kejang :
1. Sinkop
Sinkop biasanya didahului oleh dizziness, pandangan yang kabur, penderita tahu jika
sebentar lagi akan kehilangan kesadaran, dan pucat. Sinkop biasanya terjadi pada siang hari dan
posisi penderita sedang berdiri. Sedangkan kejang terjadi secara tiba – tiba, kapan saja, dan
dimana saja.
2. Breath holding spells
Breath holding spells merupakam salah satu episode apnea pada anak – anak, biasanya
berkaitan dengan penurunan kesadaran. Breath holding spells terjadi pada 5% anak – anak
berusia 6 bulan hingga 5 tahun. Ada beberapa tipe dari Breath holding spells yang menyerupai
episode kejang, yaitu cyanotic spell dan pallid spell. Pada cyanotic spell, anak menangis kuat
diikuti dengan menahan napas, sianosis, rigiditas otot dan pincang, serta seringkali disertai
dengan gerakan seperti kejang pada ekstremitas. Pallid spell terjadi dengan rangsangan nyeri,
diikuti dengan penderita tampak pucat dan kehilangan kesadaran yang singkat.
3. Migrain
Pada anak dengan migrain, anak dapat kehilangan kesadaran, yang sering diawali
dengan pandangan kabur, dizziness, dan kehilangan postur tubuh.
4. Paroxysmal movement disorders
Paroxysmal movement disorders melibatkan aktivitas motorik yang abnormal dan dapat
menyerupai kejang dan penurunan kesadaran jarang terjadi. Tics adalah gerakan berulang dan
singkat dan dapat terjadi pada bagian tubuh manapun. Tics muncul terutama pada keadaan
stres dan biasanya dapat ditekan kemunculannya. Shuddering attacks adalah tremor pada
seluruh tubuh yang berlangsung selama beberapa detik dan setelah itu kembali ke aktivitas
normal. Distonia akut ditandai dengan kontraksi wajah dan batang tubuh secara involunter
dengan postur yang abnormal dan wajah yang meringis.
6. Pseudoseizures
Pseudoseizures dapat muncul dengan gerakan seperti pada paroxysmal movement disorders.
Pseudoseizures sulit dibedakan dengan kejang yang sebenarnya dan sering terjadi pada anak –
anak dengan riwayat epilepsi.
7. Gangguan tidur
Gangguan tidur dapat dibedakan dengan kejang dengan melihat karaterisktik perubahan
perilaku yang terjadi. Night terrors terjadi pada anak usia sebelum masuk sekolah. Anak tiba –
tiba terbangun dari tidurnya, diikuti dengan menangis, berteriak dan tidak bisa didiamkan. Lalu
anak kembali ke tidurnya dan tidak dapat mengingat kejadian tersebut. Sleepwalking atau
somnabulisme dapat ditemukan pada anak usia sekolah yang terbangun dari tidurnya dan
berjalan tanpa tujuan dan disertai dengan pandangan kosong lalu anak tersebut kembali ke
tidurnya. Narcolepsy sering ditemukan pada anak usia remaja dengan perubahan kesadaran
disertai rasa kantuk tak tertahan. Narcolepsy sering disertai dengan katapleksi, yaitu kehilangan
tonus otot secara tiba – tiba7.

2.6. Tatalaksana
2.6.1. Penilaian Awal
Langkah pertama dalam pengelolaan pasien yang mengalami kejang adalah untuk
menilai dan mendukung saluran napas, pernapasan dan sirkulasi. Ini akan memastikan
bahwa kejang tidak membahayakan pasokan darah beroksigen ke otak dan tidak
menyebabkan cedera sekunder terhadap hipoksia dan atau iskemia.2,4 Penilaian awal terdiri
dari :
1. Airway
Saluran napas yang bebas adalah syarat pertama. Lakukan penilaian patensi
jalan napas dengan metode look, listen dan feel. Jika jalan napas tidak bebas, maka kita
harus membuka dan menjaganya dengan cara head tilt- chin lift atau jaw thrust
manuver dan memberikan ventilasi dengan bag-valve-mask jika perlu. Jika jalan napas
terganggu karena kejang, mengendalikan kejang dengan antikonvulsan umumnya akan
mengontrol jalan napas. Bahkan jika jalan napas telah bebas, orofaring mungkin perlu
dibersihkan dari sekret oleh suction. 2,4
2. Breathing
Penilaian kemampuan pernapasan dilihat dari laju pernapasan, suara napas
yang merintih, ekspansi dada, denyut jantung dan warna kulit. Pemantauan saturasi
oksigen dilakukan dengan menggunakan pulse oksimetry. Jika anak menderita
hipoventilasi, respirasi harus didukung dengan oksigen melalui perangkat bag-valve -
mask. 2,4
3. Circulation
Menilai kecukupan sirkulasi dilakukan dengan palpasi denyut nadi. Capillary
refill time yang lebih dari dua detik, pucat, sianosis serta akral yang dingin
menunjukkan sirkulasi perifer yang tidak adekuat. Jika perlu, lakukan pemberian cairan
intravena. Jika akses pembuluh darah tidak dapat diperoleh, pemberian antikonvulsan
harus diberikan melalui rektal, intramuskular atau rute bukal. Intraosseous acces (IO)
dipergunakan pada anak-anak dengan tanda-tanda syok jika akses intravena tidak
dapat diperoleh. Akses IO mungkin dibutuhkan untuk administrasi long acting
antikonvulsan jika tidak ada akses intravena setelah dua dosis benzodiazepin. Berikan
20 mL/kg BB bolus cepat normal saline untuk setiap pasien dengan tanda-tanda syok,
lalu periksa tekanan darah segera setelah pemberian normal saline atau setelah
kejang selesai. Pengambilan tes glukosa darah dan uji laboratorium tetap diperlukan.
Jika terdapat hipoglikemi berikan dextrose 10% sebanyak 5 mL/kg untuk pasien yang
hipoglikemi tersebut. 2,4
4. Disability
Menilai fungsi neurologis dengan skor AVPU (Alert, Voice, Pain, Responsive)
tidak dapat diukur secara bermakna selama kejang yang disertai dengan penurunan
kesadaran. Ukuran dan reaksi pupil harus diperhatikan. Perubahan pupil dapat terjadi
selama kejang tetapi mungkin juga hasil dari keracunan opiat, amfetamin, atropin dan
trisiklik atau peningkatan tekanan intrakranial.2,4 Perhatikan tanda-tanda defisit
neurologis fokal, baik selama atau setelah kejang dan perhatikan postur anak, apakah
terdapat dekortikasi atau deserebrasi sikap dimana sebelumnya postur anak normal.
Hal ini menunjukan bahwa terdapat peningkatan tekanan intrakranial, tetapi postur
ini kadang dapat keliru untuk fase tonik-klonik. Carilah kaku kuduk pada anak dan
fontanelle yang membubung pada bayi, yang dapat menunjukkan tanda – tanda
meningitis. Perlu diingat bahwa penggunaan berkepanjangan atau berulang-ulang dari
obat anti konvulsan dapat menyebabkan depresi kesadaran. 2,4
5. Exposure
Carilah ruam dan memar sebagai tanda-tanda cedera. 2,4
2.6.2. Menilai kembali ABC
Tanda-tanda vital harus dinilai ulang setiap 15 menit sementara kejang berlangsung
atau setiap 30 menit setelah kejang sampai tingkat kesadaran kembali ke normal atau
setelah setiap pemberian dosis obat anti – epilepsi. Jika memungkinkan beri pula
pemantauan dengan ECG dan pulse-oksimetri. 2,4

2.6.3. Medikasi pada kejadian akut (first dan second line anticonvulsant)
Pengobatan dengan obat anti kejang diberikan setelah ABC di stabilisasi. Dahulu di
tahun 1960an obat antiepilepsiyang digunakan dalam pengelolaan kejang telah
berkembang karena ketersediaan obat diazepam intravena. Sekarang obat anti kejang yang
menjadi pilihan pertama adalah benzodiazepin. Hal ini dikarenakan benzodiazepin dapat
dengan cepat mengkontrol kejang dengan efek samping yang minimal. Selain itu
benzodiazepin dapat diberikan dari beberapa rute dan dapat diberikan kembali dalam
waktu singkat.2
Obat anti kejang yang menjadi pilihan kedua, untuk kejang refrakter harus kompatibel
dengan obat pilihan pertama. Idealnya bekerja secara sinergis tanpa efek samping dan
menjadi lebih efektif dalam mencegah berkelanjutan kejang. Pilihan obat lini kedua
tersebut adalah fenitoin dan fenobarbital.2
Dalam pemilihan obat anti konvulsan, hasil yang diinginkan adalah yang paling cepat
menghentikan kejang akut dengan efek samping terkecil dan biaya yang minimal.
Persyaratan obat tersebut belumlah cukup karena harus pula meliputi kemudahan
pemberian dan tersedianya obat tersebut di pasaran. Pengobatan dini sangat
penting,karena setelah kejangditetapkan selama lebih dari 15 menit, penangannanya akan
lebih sulit. Protokol penanganan kejang berbasis lini ini digunakan di tiga rumah sakit anak-
anakdi New South Wales. Protokol inipun telah di akui oleh Advance Paediatric Life Support
(APLS) di Inggris pada tahun 2000.2
2.6.3.1. Terapi lini pertama:
1. Diazepam
Digunakan secara intravena dan rectal sejak 1965. Pemberian intravena
menghasilkan kontrol kejang yang cepat pada sekitar 80% pasien. Setelah
pemberian rektal, kadar serum terapeutik terlihat dalam lima menit dan kontrol
kejang yang cepat terjadi pada hingga 80%. Sementara mungkin ada manfaat dari
diazepam intravena berikutnya di pasien yang tidak responsif terhadap terapi,
kejang menetap terhadapdosis rektal tunggal (kejang resisten) maka pasien
tersebut membutuhkan pengobatan lini kedua 2
2. Midazolam
Midazolam sekarang telah menggantikan diazepam sebagai obat pilihan
pertama sebelum akses vena dapat diperoleh, karena rute pemberian yang lebih
disukai yaitu melalui bukal tidak seperti diazepam yang melalui rektal. Midazolam
sangat efektif sebagai lini pertama antikonvulsan karena menghentikan sebagian
besar kejang dalam satu menit setelah injeksi intravena dari 0,1-0,3 mg/kg dan
secara intramuskular dalam waktu 5-10 menit. Dosis tunggal midazolam bukal
0,5mg /kg telah terbukti meminimalisir risiko depresi pernapasan.2
3. Paraldehyde
Paraldehyde telah digunakan sebagai supposituria untuk pengobatan kejang
sejak awal 1930. Paraldehyde sekarang diberikan secara rektal Administrasi dubur
dapat ditoleransi dengan baik dan menghasilkan onset kontrol kejang yang cepat
dan efek depresi pernafasan yang kurang minimal.2
2.6.3.2. Terapi lini kedua (epilepsi status refraktori) :
1. Fenitoin
Fenitoin dikenal sebagai non sedating anti - convulsant pertama. Dalam dosis
intravena 20 mg/kg untuk anak-anak, kejang terkontrol dengan baik di 60-80%
pasien dalam 20 menit. Fenitoin memiliki efek depresi pernapasan yang lebih kecil
daripada fenobarbital. Fenitoin telah diakui sebagai pilihan pertama anti
konvulsan lini kedua oleh British Working Party.2
2. Fenobarbital
Fenobarbital telah digunakan dalam kontrol kejang sejak tahun 1912 dan digunakan di seluruh
dunia. Jika dibandingkan dengan anti konvulsan yang lainnya, fenobarbital dianggap lebih murah dan
sangat efektif. Setelah pemberian intravena terdapat distribusi bifasik dan sangat menyebar melalui
seluruh pembuluh darah termasuk pembuluih darah otak. Meskipun penetrasi ke otak telah dilaporkan
terjadi 12-60 menit setelah pemberian, penetrasi ini terjadi lebih cepat dalam status epileptikus
karenapeningkatan aliran darah otak. Fenibarbital digunakan sebagai anti konvulsan

7.KEJANG DEMAM

 PENGERTIAN

 Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal lebih dari 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.

 Kejang demam merupakan kelainan neurologis.

 Sering dijumpai pada anak, terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun.

 Kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu :


a. Kejang demam sederhana

b. Kejang demam kompleks

 ETIOLOGI

 Suhu tubuh lebih dari 38° C

 Kehilangan kesadaran atau pingsan

 Tubuh (kaki dan tangan) kaku

 Kepala menjadi terkulai disertai rasa seperti orang terkejut

 Kulit berubah pucat bahkan menjadi biru

 Bola mata terbalik ke atas

 Bibir terkatup kadang disertai muntah

 TANDA DAN GEJALA

 Infeksi saluran pernapasan atas

 Infeksi telinga bagian tengah

 Infeksi paru-paru

 Infeksi saluran pencernaan

 Infeksi saluran kemih

 PATOFISIOLOGI

 PENATALAKSANAAN

A. Penatalaksanaan Medis

1. Memberantas kejang secepat mungkin.Obat pilihan utama adalah diazepam yang


diberikan secara intravena.

2. Pengobatan penunjang

-Semua pakaian ketat dibuka

-Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung


-Usahakan agar jalan napas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen

3. Pengobatan rumatan

 Profilaksis intermiten

 Profilaksis jangka panjang

4. Mencari dan mengobati penyebab

B. Penatalaksanaan Keperawatan

1. Pengkajian riwayat penyakit

2. Pengkajian fungsional

3. Pengkajian tumbuh kembang anak

 KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada kejang demam adalah :

 Apnea

 Depresi pusat pernapasan

 PENCEGAHAN

1. Pencegahan berkala (intermitten) untuk kejang demam sederhana. Beri diazepam dan
antipiretika pada penyakit-penyakit yang disertai demam.

2. Pencegahan kontinu untuk kejang demam komplikata

Anda mungkin juga menyukai