Anda di halaman 1dari 3

Tujuannya dilakukan analisis kayak gini ya biar kita juga tahu dan ingat, apa-apa aja sih bentuk-

bentuk material sedimen itu, terutama yang berukuran pasir. Terus juga kita bisa tahu
morfologinya itu ada kategorinya, yaitu aspek bentuk (form), derajat kebolaan (sphericity), dan
derajat kebundaran (roundness)

Berdasarkan buku teks sedimentologi seperti yang telah dibahas oleh Pettijohn (1975), Fritz &
Moore (1988), Tucker (1991), Boggs (1987, 1992) dan beberapa sumber lainnya, aspek tekstur
sedimen yang utama adalah morfologi butir yang memiliki keterkaitan dengan sortasi.

Tucker (1991) menyatakan bahwa aspek morfologi butir adalah bentuk (form), derajat kebolaan
(sphericity) dan derajat kebundaran (roundness), namun pernyataan yang berbeda dikemukakan
oleh Pettijohn (1975) dan Boggs (1992), yang menekankan bahwa sphericity merupakan metode
untuk menyatakan suatu bentuk (form), sehingga aspek morfologi butirnya terdiri dari bentuk
(form), kebundaran (roundness), dan tekstur permukaan.

Bentuk Butir

Bentuk butir (form) merupakan keseluruhan kenampakan partikel secara tiga dimensi yang
berkaitan dengan perbandingan antara ukuran panjang sumbu terpanjang (a), sumbu menengah
(b), dan sumbu terpendek (c). Untuk menentukan bentuk butir ini, Zingg memperkenalkan suatu
metode untuk mendefinisikan bentuk butirnya. Caranya adalah dengan menggunakan
perbandingan antara b/a dan c/b. Setelah mendapatkan nilai perbandingannya, klasifikasi bentuk
butir terbagi dalam empat bentuk, yaitu oblate, prolate, bladed, dan equant.

Apabila dilihat dari aspek geometri bentukan dari butiran pasir tersebut, bentuk prolate dan
equant cenderung lebih mudah untuk tertransportasi daripada bentuk oblate dan bladed.
Gambar 1. Klasifikasi butiran kerakal – berangkal berdasarkan perbandingan antar sumbu
(Zingg, 1935, diambil dari Pettijohn, 1975 dengan modifikasi)

Sphericity

Sphericity merupakan ukuran butiran hingga mendekati bentuk bola (Surjono, 2011) <– (dosen
favorit nih). Semakin tinggi nilai sphericity, maka butiran tersebut semakin menyerupai bentuk
bola. Menurut Wadell (1932), rumus untuk mencari nilai sphericity adalah………..ada di
bukunya, gak ada di sini. Rumus tersebut kemudian dikembangkan oleh Krumbein (1941) yang
mengasumsikannya ke dalam bentuk sumbu length (DL, panjang), intermediate (DI, menengah),
dan short (DS, pendek), dengan rumus yang tercantum di dalam buku tersebut. Cek saja sendiri ;)

Rumus yang diajukan Krumbein (1941) ini disebut dengan intercept sphericityyang dapat
dihitung dengan mengukur sumbu-sumbu panjang, menengah dan pendek suatu partikel dan
memasukkan pada rumus tersebut. Sneed & Folk (1958) menganggap bahwa intercept
sphericity tidak dapat secara tepat menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan. Butiran
yang dapat diproyeksikan secara maksimum mestinya diendapkan lebih cepat, misalnya bentuk
prolate seharusnya lebih cepat mengendap dibandingkan oblate, tetapi dengan rumus tersebut,
justru didapatkan nilai yang terbalik. Untuk itu mereka mengusulkan rumusan tersendiri pada
sphericity yang dikenal dengan maximum projection sphericity ( p) atau sphericity proyeksi
maksimum. Secara matematis p dirumuskan sebagai perbandingan antara area proyeksi
maksimum bola dengan proyeksi maksimum partikel yang mempunyai volume sama. (paragraf
ini mohon dipahami dan diedit ulang, karena saya sendiri juga gak paham maksud nya apaan -_-)
Dengan tanpa mempertimbangkan bagaimana sphericity dihitung, Boggs (1987) menyatakan
bahwa hasil perhitungan sphericity yang sama terkadang dapat diperoleh pada semua bentuk
butir

Rumusnya gak ada . . . Rumusnya gak ada… Rumusnya ada….di buku sakti yang covernya ada
gambar batu dan palu :3

Roundness

Roundness merupakan ketajaman pinggir dan sudut suatu material sedimen klastik. Menurut
Wadell (1932), pengukuran roundness suatu butir dilakukan dengan cara mengukur masing-
masing sudut butiran tersebut, kemudian jari-jari kelengkungan butiran tersebut dibandingkan
dengan jari-jari lingkaran maksimum yang dapat dimasukkan pada butiran tersebut.

Menurut Folk (1968) pengukuran sudut-sudut tersebut hampir tidak mungkin bisa dipraktekkan,
sedangkan Boggs (1987) menegaskan bahwa cara tersebut memerlukan waktu yang banyak
untuk kerja di laboratorium dengan harus dibantu alat circular protractor atau electronic
particle-size analyzer. Untuk mengatasi hal tersebut, maka Krumbein (1941) membuat suatu
table visual roundness), agar penentuan roundness butiran dapat dilakukan dengan cara dengan
membandingkan kenampakan (visual comparison).

Ada beberapa hal yang menentukan roundness butiran pada endapan sedimen, yaitu bentuk
batuan asal, komposisi butiran, ukuran butir, proses transportasi, dan jarak transportnya (Boggs,
1987). Apabila sifat fisik suatu butiran sangat resisten (kuarsa dan zircon), maka akan sangat
sulit membulit apabila tertransport dibandingkan dengan butiran yang kurang keras seperti
feldspar dan piroksen. Butiran dengan ukuran kerikil hingga berangkal biasanya lebih mudah
membulat dibandingkan dengan ukuran pasir. Sementara itu mineral yang resisten dengan
ukuran butir lebih kecil dari 0,05 – 0,1 mm tidak menunjukkan perubahan roundness oleh semua
jenis transport sedimen (Boggs, 1987). Berdasarkan hal tersbeut, maka perlu diperhatikan untuk
melakukan pengamatan roundness pada batuan atau mineral yang sama dan kisaran butir yang
sama besar.

Daftar Pustaka (a.k.a Buku-Buku Sakti)

Boggs, S. Jr., 2006, Principles of Sedimentology and Stratigraphy 4th edition. New Jersey:
Pearson Education, Inc.

Boggs, S. Jr., 2009. Petrology of Sedimentary Rocks 2nd edition. New York: Cambridge
University Press

Surjono, S.S.,dkk., 2010 Analisis Sedimentologi, Yogyakarta: Pustaka Geo

Tucker, M.E., 2001, Sedimentary Petrology: An Introduction to the Origin of Sedimentary Rocks
3rd edition. Durham: Blackwell Science

Anda mungkin juga menyukai