Anda di halaman 1dari 6

Bentuk Butir

Bentuk butir (form atau shape) merupakan keseluruhan kenampakan partikel secara
tiga dimensi yang berkaitan dengan perbandingan antara ukuran panjang sumbu panjang,
menengah dan pendeknya. Ada berbagai cara untuk mendefinisikan bentuk butir. Cara yang
paling sederhana dikenalkan oleh Zingg (1935) dengan cara menggunakan perbandingan b/a
dan c/b untuk mengelaskan butir dalam empat bentuk yaitu oblate, prolate, bladed clan
equant (Gambar II.1, Tabel II.1). Dalam hal ini, a : panjang (sumbu terpanjang), b : lebar
(sumbu menengah) dan c : tebal/tinggi (sumbu terpendek). Sejauh ini penamaan butir dalam
bahasa Indonesia belum dibakukan sehingga seringkali penggunaan istilah asal tersebut
masih dikekalkan. Pengkelasan bentuk butir ini biasanya diperuntukkan pada butiran yang
berukuran kerakal sampai berangkal (pebble) karena kisaran ukuran tersebut memungkinkan
untuk dilakukan pengukuran secara tig dimensi karena keterbatasan alat dan cara yang harus
dilakukan, terutama pads bongkah dengan diameter yang mencapai puluhan sampai ratusan
centimeter. Pada butir pasir yang bisa diamati secara tiga dimensi, pendekatan secara
kualitatif (misalnya dengan metode visual comparison) bisa juga dilakukan untuk
mendefinisikan bentuk butir meskipun tingkat akurasinya rendah.

Gambar I Klasifikasi butiran pebel (kerakal berangkal) berdasarkan perbandingan


antar sumbu (Zingg, 1935, diambil dari Pettijohn, 1975 dengan modifikasi)
Tabel III. Klasifikasi bentuk butir menurut Zingg (1935)

Sphericity
Sphericity () didefinisikan secara sederhana sebagai ukuran bagaimana suatu butiran
mendekati bentuk bola. Dengan demikian, semakin butiran berbentuk menyerupai bola maka
mempunyai nilai sphericity yang semakin tinggi. Wadell (1932) mendefinisikan sphericity
yang sebenarnya (true sphericity) sebagai luas permukaan butir dibagi dengan luas
permukaan sebuah bola yang keduanya mempunyai volume sama. Namun demikian, Lewis
& McConchie (1994) mengatakan bahwa rumusan ini sangat sulit untuk dipraktekkan.

Sebagai pendekatan, perbandingan luas permukaan tersebut dianggap sebanding dengan


perbandingan volume, sehingga rumus sphericity menurut Wadell (1932) adalah :

Dimana Vp: volume butiran yang diukur dan Vcs: volume terkecil suatu bola yang
melingkupi partikel tersebut (circumscribing sphere). Krumbein (1941) kemudian
menyempurnakan persamaan tersebut dengan memberikan nilai volume bola dengan /6D3,
dimana D adalah diameter bola. Dengan menggunakan asumsi bahwa butiran secara tiga
dimensi dapat diukur panjang sumbu-sumbunya, maka diameter butiran dijabarkan dalam
bentuk DL, DI, dan DS, dimana L, I, S menunjukkan sumbu panjang, menengah, dan pendek.
Setelah memasukkan niali pada perhitungan Wadell, maka sphericity dapat dirumuskan
sebagai berikut:

Rumus yang diajukan Krumbein (1941) ini disebut dengan intercept sphericity (1)
yang dapat dihitung dengan mengukur sumbu-sumbu panjang, menengah dan pendek suatu
partikel dan memasukkan pada rumus tersebut. Sneed & Folk (1958) menganggap bahwa
intercept sphericity tidak dapat secara tepat menggambarkan perilaku butiran ketika
diendapkan. Butiran yang dapat diproyeksikan secara maksimum mestinya diendapkan lebih
cepat, misalnya bentuk prolate seharusnya lebih cepat mengendap dibandingkan oblate, tetapi
dengan rumus W, justru didapatkan nilai yang terbalik. Untuk itu mereka mengusulkan
rumusan tersendiri pada sphericity yang dikenal dengan maximum projection sphericity (Vp)
atau sphericity proyeksi maksimum. Secara matematis Wp dirumuskan sebagai perbandingan
antara area proyeksi maksimum bola dengan proyeksi maksimum partikel yang mempunyai
volume sama, atau secara ringkas dapat ditulis dengan:

Dalam hal ini L, I dan S adalah sumbu-sumbu panjang, menengah clan pendek
sebagaimana dalam rumus Krumbein (1941). Menurut Boggs (1987), pada prinsipnya rumus
yang diajukan oleh Sneed & Folk (1958) ini tidak lebih valid dibandingkan dengan intercept
sphericity, terutama kalau diaplikasikan pada sedimen yang diendapkan oleh aliran gravitasi
dan es.
Dengan tanpa mempertimbangkan bagaimana sphericity dihitung, Boggs (1987)
menyatakan bahwa hasil perhitungan sphericity yang sama terkadang dapat diperoleh pada
semua bentuk butir. Partikel dengan bentuk yang berbeda bisa mempunyai nilai sphericity
yang sama. Untuk mendefinisikan sphericity dari hitungan matematis, Folk (1968)
mengelaskan sphericity dalam 7 kelas sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel II.
Bentuk butir ukuran kerakal atau yang lebih besar dipengaruhi oleh bentuk asalnya
dari batuan cumber, namun demikian butiran dengan ukuran ini akan lebih banyak
mengalami perubahan bentuk karena abrasi dan pemecahan selama transportasi dibandingkan
dengan butiran yang berukuran pasir. Untuk butiran sedimen yang berukuran pasir atau lebih
kecil, bentuk butir juga lebih banyak dipengaruhi oleh bentuk asal mineralnya. Pada
prakteknya, analisis bentuk butir pada sedimen yang berukuran pasir biasanya dilakukan pada
mineral kuarsa. Hal ini disebabkan sifat mineral kuarsa yang keras, tahan terhadap pelapukan,
clan jumlahnya yang melimpah pada batuan sedimen. Namun demikian, untuk membuat
perbandingan bentuk butiran setelah mengalami transportasi, pengamatan bentuk butir pada
mineral lain maupun fragmen batuan (lithic) bolehjuga dilakukan

Tabel III. Klasifikasi sphericity menurut Folk (1968)

Bentuk butir akan berpengaruh pads kecepatan pengendapan (settling velocity).


Secara umum batuan yang bentuknya tidak spheris (tidak menyerupai bola) mempunyai
kecepatan pengendapan yang lebih rendah. Dengan demikian bentuk butir akan
mempengaruhi tingkat transportasinya pads sistem suspensi (Boggs, 1987). Butiran yang
tidak spheris cenderung tertahan lebih lama pada media suspensi dibandingkan yang spheris.
Bentuk jugs berpengaruh pada transportasi sedimen secara bedlood (traksi). Secara umum
butiran yang spheris clan prolate lebih mudah tertransport dibandingKan bentuk blade clan
disc (oblate). Lebih jauh analisis sedimen berdasarkan butiran saja sulit untuk dilakukan.
Sebagai contoh, Boggs (1987) menyatakan bahwa dari pengamatan bentuk butir saja tidak
aapat digunakan untuk menafsirkan suatu lingkungan pengendapan.
Roundness
Roundness merupakan morfologi butir yang berkaitan dengan ketajaman pinggir dan
sudut suatu partikel sedimen klastik. Secara matematis, Wadell (1932) mendefinisikan
roundness Sebagai rata-rata aritmetik roundness masing-masing sudut butiran pads bidang
pengukuran. Roundness masing-masing sudut diukur dengan membandingkan jari-jari
iengkungan sudut tersebut dengan jari-jari lingkaran maksimum yang dapat dimasukkan pada
butiran tersebut. Dengan demikian tingkat roundness butiran menurut Wadell (1932) adalah:

Dimana r adalah jari-jari kurva setiap sudut, R adalah jari-jari maksimum bola yang
dapat masuk dalam butir dan N adalah banyaknya sudut yang diukur.

Gambar III. Ilustrasi pengukuran jari-jari lingkaran maksimum pada


butiran (Boggs, 1987 dengan modifikasi)

Menurut Folk (1968) pengukuran sudut-sudut tersebut hampir tidak mungkin bisa
dipraktekkan, sedangkan Boggs (1987) menegaskan banwa cara tersebut memerlukan waktu

yang banyak untuk kerja di laboratorium dengan harus dibantu slat circular protractor atau
electronic particle-size analyzer. Untuk mengatasi hal tersebut, maka penentuan roundness
butiran adalah dengan membandingkan kenampakan (visual comparison) antara kerakal atau
butir pasir dengan tabel visual secara sketsa (Krumbein, 1941) dan/atau tabel visual foto
(Powers, 1953).

Gambar III. Tabel visual roundness secara sketsa. (Krumbein, 1941 dengan
modifikasi)

Gambar III. Tabel visual foto roundness butiran. (Power, 1953)


Tabel III. Hubungan antara roundness Wadell (1932) dan kolerasinya pada visual
roundness Power (1953).

Roundness butiran pada endapan sedimen ditentukan oleh komposisi butiran, ukuran
butir, proses transportasi clan jarak transportnya (Boggs, 1987). Butiran dengan sifat fisik
keras clan resisten seperti kuarsa clan zircon lebih sulit membulat selama proses transport
dibandingkan butiran yang kurang keras seperti feldspar dar piroksen. Butiran dengan ukuran
kerikil sampai berangkal biasanya lebih mudah membulat dibandingkan butiran pasir.

Sementara itu mineral yang resisten dengan ukuran butir lebih kecil 0.05-0.1 mm tidak
menunjukkan perubahan roundness oleh semua jenis transport sedimen (Boggs, 1987).
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu diperhatikan untuk melakukan pengamatan roundness
pada batuan atau mineral yang sama clan kisaran butir yang sama besar.
Alat dan Bahan
Peralatan Individu:
Peralatan Kelompok:
1. Buku panduan praktikum
1.Sampel kerakal masing-masing kelompok ( masingmasing 20 butir
kerakal)
2. Kertas HVS minimal 20lembar
2. Kamera
3. Pensil
3. Tipe-X
4. Penggaris
4. Spidol marker / OHP marker
5. Penghapus
6. Kalkulator

Langkah Kerja

Anda mungkin juga menyukai