DisusunOleh:
Elizabeth LailyMeylita
Isna Atiana
KhildaArsya
Mia AyuNingsih
DIV KEBIDANAN
POLITEKNIK KESEHATAN JAKARTA III
TAHUN AJARAN 2015/2016
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan pada Tuhan YangMaha Esa, karna atas karunia-Nya lah
kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul KB, Transplantasi Organ, Donor Sperma,
Sewa Rahim, Adopsi, Aborsi Dalam Perspektif Berbagai Agama. Adapun maksud dan
tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah agama.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Drs. Hersani, M.Pd yang telah
memberikan kesempatan kepada kami untuk mengerjakan tugas ini sehingga kami lebih
mengerti dan paham tentang materi tersebut.Dan kami ucapkan kepada keluarga tercinta
kami yang menjadi motivasi terbesar kami untuk menyelesaikan tugas ini. Dan kami berharap
bahwa tugas ini dapat bermanfaat bagi kami serta pembaca.Kami juga memohon maaf
apabila terdapat kecacatan dalam makalah ini. Karena kami masih dalam proses
pembelajaran. Semoga bermanfaat.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Daftar isi....................................................................................................................................3
Bab I : Pendahuluan
Bab II : Pembahasan
3
2.4.4Donor Sperma Dalam Perspektif Kristen .......................................................... 25
2.4.5 Donor Sperma Dalam Perspektif Buddha ........................................................ 25
2.4.6 Donor Sperma Dalam Perspektif Hindu ........................................................... 26
2.5 Sewa Rahim Dalam Perspektif Berbagai Agama
2.5.1 Sewa Rahim Dalam Perspektif Islam ............................................................. 28
2.5.2 Sewa Rahim Dalam Perspektif Kristen........................................................... 32
2.6 Aborsi Dalam Perspektif Berbagai Agama
2.6.1 Klasifikasi Abortus ......................................................................................... 33
2.6.2 Alasan Wanita Melakukan Aborsi ................................................................. 34
2.6.3 Resiko Aborsi.................................................................................................. 35
2.6.4 Pandangan Islam Terhadap Aborsi ................................................................ 36
2.6.5 Pandangan Kristen Terhadap Aborsi .............................................................. 39
2.6.6 Pandangan Buddha terhadap Aborsi ............................................................... 40
2.6.7 Pandangan Hindu Terhadap Aborsi ................................................................ 41
2.7 Adopsi Dalam Perspektif Berbagai Agama
2.7.1 Adopsi Dalam Perspektif Islam ...................................................................... 42
2.7.2 Adopsi Dalam Perspektif Kristen ................................................................... 55
Bab III : Penutup
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 46
Daftar pustaka ........................................................................................................................ 50
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak merupakan anugerah dari Allah SWT. Ia merupakan buah hati antara dua pasangan
suami istri yang sah menurut hukum dan agama. Anaklah yang membuat sebuah keluarga menjadi
bahagia dan sempurna. Ia lahir dari rahim seorang ibu yang mengandungnya. Ia diasuh oleh orang
tuanya dengan penuh kasih sayang dan kebahagiaan. Orang tualah yang mendidiknya menjadi
anak yang lebih baik sejak ia kecil. Pendidikan yang paling utama dan awal merupakan
pendidikan dari orang tua mereka masing-masing.
Namun seiring perkembangan zaman dalam ilmu pengetahuan dan teknolgi, munculah
berbagi pandangan baru dan cara dalam memperoleh anak, seperti pemasangan KB, transplantasi
organ, bayi tabung, donor sperma sewa rahim, aborsi, dan adopsi. Makalah ini akan membahas
tentang pengertian dari tiap tiap bidang tersebut, lalu pandangan berbagai agama dalam
menentukan hukum melakukan tindakan tersebut, serta alasan mengapa agama tersebut
menentukan hukum itu sendiri dalam kasus ini.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah:
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah agama
2.Untuk mengetahui pandanga berbagai agama terhadap KB, tranplantasi organ, bayi
tabung, donor sperma, sewa rahim, aborsi dan adopsi.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
ير ِ ي ْال َم
ُ َص َ ِسانَ ِب َوا ِلدَ ْي ِه َح َملَتْهُ أ ُ ُّمهُ َو ْهنًا َعلَ ٰى َو ْه ٍن َوف
َّ ََصالُهُ فِي َعا َمي ِْن أَ ِن ا ْْش ُُك ْر ِلي َو ِل َوا ِلدَيَْكَ ِِإل ِ ْ ص ْينَا
َ اْل ْن َّ َو َو
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-
bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada
dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”(Qs.Lukman : 14)
سادَ فِي َ ََّللاُ ِِإلَيَْكَ ۖ َو ًَل تَبْغِ ْالف
َّ َسن َ ََْصيبََكَ ِمنَ الدُّ ْنيَا ۖ َوأَحْ س ِْن َك َما أَح َ َّار ْاْل ِخ َرة َ ۖ َو ًَل ت َ ْن
ِ سن َّ ََوا ْبت َغِ فِي َما آتَاك
َ َّللاُ الد
ََّللاَ ًَل ي ُِحبُّ ْال ُم ْف ِسدِين
َّ ض ۖ ِِإ َّن ِ ْاْل َ ْر
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.(Qs.Al-
Qashash: 77)
Ayat-ayat al-quran diatas menunjukan bahwa islam mendukung adanya
keluarga berencana karena dalam QS. An-Nissa ayat 9 dinyatakan bahwa
“hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah”. Anak lemah yang dimaksud adalah
generasi penerus yang lemah agama dan ilmu pengetahuan sehingga KB menjadi
upaya agar mewujudkan keluarga yang sakinah.
Para ulama yang membolehkan KB sepakat bahwa Keluarga Berencana (KB)
yang dibolehkan syari`at adalah suatu usaha pengaturan kelahiran atau usaha
pencegahan kehamilan sementara atas kesepakatan suami-isteri karena situasi dan
kondisi tertentu untuk kepentingan (maslahat) keluarga.
Keluarga Berencana, secara prinsipil dapat diterima oleh Islam, bahkan KB
dengan maksud menciptakan keluarga sejahtera yang berkualitas dan melahirkan
keturunan yang tangguh sangat sejalan dengan tujuan syari`at Islam yaitu
mewujudkan kemaslahatan bagi umatnya. Selain itu, KB juga memiliki sejumlah
manfaat yang dapat mencegah timbulnya kemudlaratan. Bila dilihat dari fungsi dan
manfaat KB yang dapat melahirkan kemaslahatan dan mencegah kemudlaratan
maka tidak diragukan lagi kebolehan KB dalam Islam.
Para ulama yang membolehkan KB sepakat bahwa Keluarga Berencan (KB)
yang dibolehkan syari`at adalah suatu usaha pengaturan/penjarangan kelahiran atau
usaha pencegahan kehamilan sementara atas kesepakatan suami-isteri karena situasi
dan kondisi tertentu untuk kepentingan (maslahat) keluarga. Dengan demikian KB
7
disini mempunyai arti sama dengan tanzim al nasl (pengaturan keturunan). Sejauh
pengertiannya adalah tanzim al nasl (pengaturan keturunan), bukan tahdid al nasl
(pembatasan keturunan) dalam arti pemandulan (taqim) dan aborsi (isqot al-haml),
maka KB tidak dilarang.Kebolehan KB dalam batas pengertian diatas sudah banyak
difatwakan , baik oleh individu ulama maupun lembaga-lembaga ke Islaman tingkat
nasional dan internasional, sehingga dapat disimpulkan bahwa kebolehan KB
dengan pengertian batasan ini sudah hampir menjadi Ijma`Ulama. MUI (Majelis
Ulama Indonesia) juga telah mengeluarkan fatwa serupa dalam Musyawarah
Nasional Ulama tentang Kependudukan, Kesehatan dan Pembangunan tahun 1983.
Betapapun secara teoritis sudah banyak fatwa ulama yang membolehkan KB dalam
arti tanzim al-nasl, tetapi kita harus tetap memperhatikan jenis dan cara kerja
alat/metode kontrasepsi yang akan digunakan untuk ber-KB.
Selain hukum islam yang mendukung keluarga berencana , ada para ulama
yang menafsirkan larangan keluarga berencana seperti yang tercantum dalam QS.
Al-An’am : 151 “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.”
Terlepas dari larangan untuk ber-KB , kita harus mengetahui dan
memperhatikan jenis dan kerja alat kontrasepsi yang akan digunakan. Alat
kontrasepsi yang diharamkan adalah yang sifatnya pemandulan.Vasektomi
(sterilisasi bagi lelaki) berbeda dengan khitan lelaki dimana sebagian dari tubuhnya
ada yang dipotong dan dihilangkan, yaitu kulup (qulfah bhs. Arab,praeputium bhs.
Latin) karena jika kulup yang menutupi kepala zakar (hasyafah/glans penis) tidak
dipotong dan dihilangkan justru bisa menjadi sarang penyakit kelamin (veneral
disease). Karena itu, khitan untuk laki-laki justru sangat dianjurkan.Tetapi kalau
kondisi kesehatan isteri atau suami yang terpaksa seperti untuk menghindari
penurunan penyakit dari bapak/ibu terhadap anak keturunannya yang bakal lahir
atau terancamnya jiwa si ibu bila ia mengandung atau melahirkan bayi,maka
sterilisasi dibolehkan oleh Islam karena dianggap dharurat. Hal ini diisyaratkan
dalam kaidah“Keadaan darurat membolehkan melakukan hal-hal yang dilarang
agama.”
Majlis Ulama Indonesia pun telah memfatwakan keharaman penggunaan KB
sterilisasi ini pada tahun 1983 dengan alasan sterilisasi bisa mengakibatkan
kemandulan tetap.Menurut Masjfuk Zuhdi bahwa hukum sterilisasi ini dibolehkan
karena tidak membuat kemandulan selama-lamanya. Karena teknologi kedokteran
8
semakin canggih dapat melakukan operasi penyambungan saluran telur wanita atau
saluran pria yang telah disterilkan. Meskipun demikian, hendaknya dihindari bagi
umat Islam untuk melakukan sterilisasi ini, karena ada banyak cara untuk menjaga
jarak kehamilan.
Cara pencegahan kehamilan yang diperbolehkan oleh syara’ antara lain,
menggunakan pil, suntikan, spiral, kondom, diafragma, tablet vaginal , tisue. Cara
ini diperbolehkan asal tidak membahayakan nyawa sang ibu. Dan cara ini dapat
dikategorikan kepada azl yang tidak dipermasalahkan hukumnya. Sebagaimana
hadits Nabi :
ُكنَّا نَ ْع ِز ُل َعلَى َع ْه ِد: َو ْالقُ ْرآنُ يُن ََّز ُل – َوفِي لَ ْفظٍ آخ ََر، سلَّ َم َّ صلَّى
َ َّللاُ َعلَ ْي ِه َو ُ ُكنَّا َن ْع ِز ُل َعلَى َع ْه ِد َر
َّ سو ِل
َ َِّللا
. َف َل ْم يَ ْن َهنَا-صلى هللا عليه وسلم- َِّللا َّ ىَّ ِ َفبَ َل َغ ذَلَِكَ نَب-صلى هللا عليه وسلم- َِّللا َّ سو ِل
ُ َر
“Kami pernah melakukan ‘azal (coitus interruptus) di masa Rasulullah s.a.w.,
sedangkan al-Quran (ketika itu) masih (selalu) turun. (H.R. Bukhari-Muslim dari
Jabir). Dan pada hadis lain: Kami pernah melakukan ‘azl (yang ketika itu) nabi
mengetahuinya, tetapi ia tidak pernah melarang kami. (H.R. Muslim, yang
bersumber dari ‘Jabir juga).
Hadis ini menerangkan bahwa seseorang diperkenankan untuk
melakukan ‘azl’, sebuah cara penggunaan kontrasepsi yang dalam istilah ilmu
kesehatan disebut dengan istilah coitus interruptus, karena itu meskipun ada ayat
yang melarangnya, padahal ketika itu ada sahabat yang melakukannya, pada saat
ayat-ayat al-Quran masih (selalu) turun, perbuatan tersebut dinilai ‘mubâh’ (boleh).
Dengan alasan, menurut para ulama, seandainya perbuatan tersebut dilarang oleh
Allah, maka pasti ada ayat yang turun untuk mencegah perbuatan itu. Begitu juga
halnya sikap Nabi s.a.w. ketika mengetahui, bahwa banyak di antara sahabat yang
melakukan hal tersebut, maka beliaupun tidak melarangnya; inilah pertanda bahwa
melakukan ‘azl (coitus interruptus) dibolehkan dalam Islam dalam rangka untuk
ber-KB
9
Perkawinan sebagai sebuah proses yang bertanggung jawab, selain itu kristen
juga menyebutkan kesejahteraan keluarga memiliki makna yang sangat penting
dengan apa yang disebut keluarga yang bertanggung jawab. Kepentingan tersebut
terletak pada tanggung jawab membawa bahtera rumah tangga dalam takut akan
Allah. Karena itu, kristen mendukung program KB.
Bagi agama kristen, program KB dapat menunjang terciptanya kebahagian
keluarga, dimana hak dan peran anggotanya dapat diwujudkan secara
memadai. Secara filosofis bertujuan untuk melindungi hidup. Pandangan ini
didasarkaan antara lain baahwa kebahaagiaan suatu keluarga bergantung dari tiap
anggota, bagaimana ia memainkan peranannya dengan tepat terhadap tiap anggota
yang lain.
Ø Kristen Protestan
Agama kristen protestan memandang kesejahteraan keluarga diletakkan dan
diwujudkan dalam pemahaman yang bersifat real sesuai dengan kehendak
Allah dan tidak melarang umatnya berKB.
Ø Kristen Katolik
Menurut kristen katolik untuk mengatur kelahiran anak suami istri harus
tetap menghormati dan menaati moral katolik dan umat katolik dibolehkan
berKB dengan metode alami yang memanfaatkan masa tidak subur.
12
3. Telah disetujui oleh wali atau keluarga korban dengan niat untuk menolong
bukan
untukmemperjual-belikan.
yangtidak membolehkanalasannya :
Seseorang yang sudah mati tidak dibolehkan menyumbangkan organ
tubuhnya atau mewasiatkan untuk menyumbangkannya. Karena seorang dokter
tidak berhak memanfaatkan salah satu organ tubuh seseorang yang telah
meninggal dunia untuk ditransplantasikan kepada orang yang membutuhkan.
Adapun hukum kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya, maka Allah
SWT telah menetapkan bahwa mayat mempunyai kehormatan yang wajib
dipelihara sebagaimana orang hidup. Dan Allah telah mengharamkan
pelanggaran terhadap pelanggaran kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran
kehormatan orang hidup.Diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin RA
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ت َككَــس ِْر ِه َحــيًّـا
ِ المـَيِــ ْ ــر َع
ْ ظــ ُم َ س َ كَـ
“Memecahkan tulang mayat itu sama saja dengan memecahkan tulang orang
hidup” (HR. Ahmad, Abu dawud, dan Ibnu Hibban)
Tindakan mencongkel mata mayat atau membedah perutnya untuk diambil
jantungnya atau ginjalnya atau hatinya untuk ditransplantasikan kepada orang
lain yang membutuhkan dapat dianggap sebagai mencincang mayat. Padahal
Islam telah melarang perbuatan ini. Imam Bukhari telah meriwayatkan dari
Abdullah bin Zaid Al-Anshasi RA, dia berkata :
ــو ُل هللا َع ِن الـنُّ ْهـ ِبي َوال ُمـثَـلَّــ ِة
ْ س ُ نـ َ َهى َر
“ Rasulullah SAW telah melarang ( mengambil ) harta hasil rampasan dan
mencincang (mayat musuh).”(H.R. Bukhari)
13
mendapatkan keuntungan material. Alasan yang lebih bersifat logis dijumpai dalam
kitab Bhagawadgita II.22 sebagai berikut:
“Wasamsi jirnani yatha wihaya nawani grihnati naro’parani, tatha sarirani wihaya
jirnany anyani samyati nawani dehi”
Artinya: seperti halnya seseorang mengenakan pakaian baru dan membuka pakaian
lama, begitu pula Sang Roh menerima badan-badan jasmani yang baru, dengan
meninggalkan badan-badan lama yang tiada berguna. Kematian adalah berpisahnya
Jiwatman atau roh dengan badan jasmani ini. Badan Jasmani atau sthula sarira
(badan kasar) terbentuk dari Panca Maha Bhuta (apah = unsur cair, prethiwi =
unsur padat, teja= unsur sinar, bayu = unsur udara dan akasa = unsur ether) ibarat
pakaian. Apabila badan jasmani (pakaian) sudah lama dan rusak, kita akan
membuangnya dan menggantikannya dengan pakaian yang baru (Heri, 2008).
Prinsip kesadaran utama yang diajarkan dalam agama Hindu adalah bahwa
badan identitas kita yang sesungguhnya bukanlah badan jasmani ini, melainkan
adalah Jiwatman (roh). Badan jasmani merupakan benda material yang dibangun
dari lima zat (Panca Maha bhuta) dan akan hancur kembali menyatu ke alam
makrokosmos dan tidak lagi mempunyai nilai guna. Sedangkan Jiwatman adalah
kekal, abadi, dia tidak mati pada saat badan jasmani ini mati, senjata tidak dapat
melukaiNya, api tidak bisa membakarNya, angin tidak bisa mengeringkan-Nya dan
air tidak bisa membasahi-Nya.Wejangan Sri Kresna kepada Arjuna dalam
Bhagawadgita: “Engkau tetap kecil karena sepanjang waktu engkau menyamakan
dirimu dengan raga jasmani. Engkau berpikir, “Aham dehasmi”, ‘aku adalah
badan’, pikiran ini menyebabkan engkau tetap kecil. Tetapi majulah dari aham
dehasmi ke aham jiwasmi, dari aku ini raga ke aku ini jiwa, percikan Tuhan.
Berkat kemajuan dan bantuan teknologi canggih di bidang medis
(kedokteran), maka sistem pencangkokan organ tubuh orang yang telah
meninggalpun masih dapat dimanfaatkan kembali bagi kepentingan kemanusiaan.
Dialog spiritual Sri Kresna dengan Arjuna dalam kitab Bhagawadgita dapat ditarik
suatu makna bahwa badan jasmani ini diumpamakan sebagai pakaian sementara
bagi roh (atman) yang tidak kekal, mudah rusak dan hancur, yang kekal adalah
jiwatman. Oleh karena itu, ajaran Hindu tidak melarang umatnya untuk
melaksanakan transplantasi organ tubuh dengan dasar yajna (pengorbankan tulus
iklas dan tanpa pamrih) untuk kesejahteraan dan kebahagiaan sesama umat manusia.
14
Demikian pandangan agama Hindu terhadap transplantasi organ tubuh sebagai salah
satu bentuk pelaksanaan ajaran Panca Yajna terutama Manusa Yajna.
16
1. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah
hukumnya mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah-
kaidah agama.
2. Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain
(misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram
berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah
yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak
yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung
kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
3. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia
hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd a z-zari’ah, sebab hal ini akan
menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan
nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
4. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami
isteri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan
kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan
kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina
sesungguhnya.
Hukum senada juga difatwakan oleh Nahdlatul Ulama (NU) sebagai hasil dari
forum Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta pada 1981. Hanya saja NU
memberikan penekanan bahwa apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-
istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram.
"Mani muhtaram adalah mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak
dilarang oleh syara’.
"Seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan beronani)
dengan tangan istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri memang
tempat atau wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang.
b. Kristen Katolik
Gereja katolik tidak mengijinkan bayi tabung. Sebab bayi tabung merupakan
teknologi fertilisasi atau Konsepsi yang dilakukan oleh para ahli. Jika manusia
18
mengolah bayi tabung, artinya manusia itu sudah melampaui kewajaran atau
melebihi kuasa Allah Bapa yang sudah menciptakan manusia
Menurut gereja katolik pernikahan bukanlah tujuan untuk mendapatkan anak,
tetapi ada tujuan lain, yaitu untuk menyatukan seorang laki-laki dan seorang
wanita yang sudah direncanakan Tuhan. Dengan melihat janji pernikahan
menurut agama katolik, yaitu:
1) Tidak boleh diceraikan, kecuali oleh maut.
2) Suka
3) Duka
4) Miskin dan
5) Kaya
20
2.4.2Jenis-jenis Inseminasi
1) Intravaginal Insemination (IVI)
Yaitu jenis inseminasi yang paling sederhana, dan melibatkan penempatan
sperma ke dalam vagina wanita. Idealnya, sperma harus ditempatkan sedekat
mungkin dengan leher rahim. Metode inseminasi ini dapat digunakan bila
menggunakan sperma donor, dan ketika tidak ada masalah dengan kesuburan
wanita. Namun, tingkat keberhasilan IVI tidak sesukses IUI, dan ini merupakan
proses inseminasi yang tidak umum.
22
Hal senada juga disampaikan oleh Yusuf Al-Qardlawi. Beliau menyatakan bahwa
Islam mengharamkan pencakokan sperma apabila pencakokan itu bukan dari sperma
suami.
Dengan demikian, dapat dikatakan hukum inseminasi buatan dan bayi tabung
pada manusia harus diklasifikasikan persoalannya secara jelas. Bila dilakukan dengan
sperma atau ovum suami isteri sendiri, maka hal ini dibolehkan, asal keadaan suami
isteri tersebut benar-benar memerlukan inseminasi buatan untuk membantu
memperoleh keturunan. Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al-hajaatu tanzilu manzilah al
dharurah’ (hajat atau kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti keadaan
darurat).
Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma
dan ovum, maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Sebagai akibat
hukumnya, anak hasil inseminasi itu tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan
dengan ibu yang melahirkannya. Dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan landasan
menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor ialah,pertama:
Artinya: Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan
kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk
yang Telah kami ciptakan. (QS. Al-Isra’ 70)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai
makhluk yang mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-
makhluk Tuhan lainnya. Dan Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka
sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabatnya sendiri serta menghormati
martabat sesama manusia. Pemuliaan manusia bukan hanya dari sisi fisik, namun sisi
keturunan pun Allah bedakan dengan makhluk lain. Sehingga inseminasi buatan
dengan donor itu pada hakikatnya dapat merendahkan harkat manusia sejajar dengan
tumbuh-tumbuhan dan hewan yang diinseminasi.
Kedua; hadits Nabi Saw yang mengatakan, “tidak halal bagi seseorang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman
orang lain (istri orang lain).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan dipandang Shahih oleh
Ibnu Hibban).
Berdasarkan hadits tersebut para ulama sepakat mengharamkan seseorang
melakukan hubungan seksual dengan wanita hamil dari istri orang lain. Tetapi mereka
berbeda pendapat apakah sah atau tidak mengawini wanita hamil. Menurut Abu
23
Hanifah boleh, asalkan tidak melakukan senggama sebelum kandungannya lahir.
Sedangkan Zufar tidak membolehkan. Pada saat para imam mazhab masih hidup,
masalah inseminasi buatan belum timbul. Karena itu, kita tidak bisa memperoleh
fatwa hukumnya dari mereka.
Hadits ini juga dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan inseminasi buatan pada
manusia dengan donor sperma dan/atau ovum, karena kata maa’ dalam bahasa Arab
bisa berarti air hujan atau air secara umum, seperti dalam Surat Thaha:53. Juga bisa
berarti benda cair atau sperma seperti dalam Surat An-Nur:45 dan Al-Thariq:6.
Dalil lain untuk syarat kehalalan inseminasi buatan bagi manusia harus berasal
dari sperma dan ovum pasangan yang sah menurut syariah adalah kaidah hukum fiqih
yang mengatakan “dar’ul mafsadah muqaddam ‘ala jalbil mashlahah” (menghindari
mafsadah atau mudharat harus didahulukan daripada mencari atau menarik
maslahah/kebaikan).
Sebagaimana kita ketahui bahwa inseminasi buatan pada manusia dengan donor
sperma dan/atau ovum lebih banyak mendatangkan mudharat (dampak negatif)
daripada maslahah (dampak positif). Maslahah yang dibawa inseminasi buatan ialah
membantu suami-isteri yang mandul, baik keduanya maupun salah satunya, untuk
mendapatkan keturunan atau yang mengalami gangguan pembuahan normal. Namun
mudharat dan mafsadahnya jauh lebih besar (jika menggunakan donor), antara lain
berupa:
1. Percampuran nasab, padahal Islam sangat menjaga kesucian/kehormatan kelamin
dan kemurnian nasab, karena nasab itu ada kaitannya dengan kemahraman dan
kewarisan.
2. Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam.
3. Inseminasi pada hakikatnya sama dengan prostitusi, karena terjadi percampuran
sperma pria dengan ovum wanita tanpa perkawinan yang sah.
4. Kehadiran anak hasil inseminasi bisa menjadi sumber konflik dalam rumah
tanggal.
5. Anak hasil inseminasi lebih banyak unsur negatifnya daripada anak adopsi.
6. Bayi tabung lahir tanpa melalui proses kasih sayang yang alami, terutama bagi
bayi tabung lewat ibu titipan yang menyerahkan bayinya kepada pasangan suami-
isteri yang punya benihnya sesuai dengan kontrak, tidak terjalin hubungan
keibuan secara alami. (QS. Luqman:14 dan Al-Ahqaf:14).
24
Adapun mengenai status anak hasil inseminasi buatan dengan donor sperma
dan/atau ovum menurut hukum Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan
anak hasil prostitusi atau hubungan perzinaan. Dan kalau kita bandingkan dengan
bunyi pasal 42 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, “anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” maka tampaknya memberi
pengertian bahwa anak hasil inseminasi buatan dengan donor itu dapat dipandang
sebagai anak yang sah. Namun, kalau kita perhatikan pasal dan ayat lain dalam UU
Perkawinan ini, terlihat bagaimana peranan agama yang cukup dominan dalam
pengesahan sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan. Misalnya pasal 2 ayat 1
(sahnya perkawinan), pasal 8 (f) tentang larangan perkawinan antara dua orang karena
agama melarangnya, dan lain-lain. Lagi pula negara kita tidak mengizinkan
inseminasi buatan dengan donor sperma dan/atau ovum, karena tidak sesuai dengan
konstitusi dan hukum yang berlaku.
25
2.4.5 Donor Sperma Dalam Perspektif Buddha
Dalam pandangan Agama Buddha, perkawinan adalah suatu pilihan dan bukan
kewajiban. Artinya, seseorang dalam menjalani kehidupan ini boleh memilih hidup
berumah tangga ataupun hidup sendiri. Hidup sendiri dapat menjadi pertapa di
vihara --sebagai Bhikkhu, samanera, anagarini, silacarini-- ataupun tinggal di rumah
sebagai anggota masyarakat biasa.
Sesungguhnya dalam agama Budha, hidup berumah tangga ataupun tidak
adalah sama saja. Masalah terpenting di sini adalah kualitas kehidupannya. Apabila
seseorang berniat berumah tangga, maka hendaknya ia konsekuen dan setia dengan
pilihannya, melaksanakan segala tugas dan kewajibannya dengan sebaik-baiknya.
Orang yang demikian ini sesungguhnya adalah seperti seorang pertapa tetapi hidup
dalam rumah tangga. Sikap ini pula yang dipuji oleh Sang Buddha. Dengan
demikian, inseminasi tidak diperbolehkan dalam agama budha.
2.4.6 Donor Sperma Dalam Perspektif Hindu
Inseminasi atau pembuahan secara suntik bagi umat Hindu dipandang tidak
sesuai dengan tata kehidupan agama Hindu, karena tidak melalui samskara dan
menyulitkan dalam hukum kemasyarakatan.
26
c) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Hal ini berarti bahwa metode atau kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur
dalam pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti (surrogate mother), secara
hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia. Larangan ini juga termuat dalam pasal 16 UU
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (lama), yang menegaskan bahwa kehamilan di
luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri
mendapat keturunan, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 73/Menkes/Per/II/1999
tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan : Pasal 4, juga
menegaskan bahwa pelayanan teknologi reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada
pasangan suami istri yang terikat perkawinan yang sah dan sebagai upaya terakhir untuk
memperoleh keturunan serta berdasarkan suatu indikasi medik. Dari kedua peraturan
perundang-undangan tersebut, terdapat kesamaan yang menegaskan bahwa bayi tabung
yang diperbolehkan hanya kepada pasangan suami isteri yang sah, lalu menggunakan sel
sperma dan sel telur dari pasangan tersebut yang kemudian embrionya ditanam dalam
rahim isteri bukan wanita lain atau menyewa rahim. Bagi masyarakat yang hendak
melakukannya (surrogate mother), diancam sangsi pidana (pasal 82 UU No. 23 Tahun
1992). Hal ini dilakukan untuk menjamin status anak tersebut sebagai anak sah dari
pasangan suami isteri tersebut.
27
ovari dan rahimnya tidak mampu memikul tugas kehamilan, atau isteri telah mencapai
tahap putus haid (menopause).
5. Sperma suami dan ovum isteri disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim
isteri yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini isteri yang lain sanggup
mengandungkan anak suaminya dari isteri yang tidak boleh hamil.
28
malah boleh diupahkan. Maka boleh pulalah memberikan upah kepada wanita
yang meminjamkan rahimnya.
2. H. Salim Dimyati berpendapat : bayi tabung yang menggunakan sel telur dan
sperma dari suami istri yang sah, lalu embrionya dititipkan kepada ibu yang lain
(ibu pengganti), maka apa yang dilahirkannya tidak lebih hanya anak angkat
belaka, tidak ada hak mewarisi dan diwarisi, sebab anak angkat bukanlah anak
sendiri, tidak boleh disamakan dengan anak kandung. Pendapat di atas
menyamakan status anak yang dilahirkan melalui sewa rahim dengan anak angkat,
yang tidak mempunyai hak untuk mewarisi dan diwarisi.
Pendapat pertama :
Termasuk golongan ini antaranya, Dr. Muhammad Na’im Yasin, Dr. Abdul
Hafiz Hilmi, Dr. Mustafa Al-Zarqa, Dr. Zakaria Al-Bari, Dr. Muhammad As-
Surtowi Dekan Fakultas Syariah University Jordan dan lain-lain. Mereka
berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada si ibu pemilik benih, manakala ibu
yang mengandung dan melahirkan itu seumpama ibu susuan yang tidak
dinasabkan anak padanya, sekedar dikuatkan atas hukum penyusuan. Pendapat ini
dibina di atas asas bahwa perseyawaan benih di antara benih suami istri yang
diikat oleh ikatan perkawinan yang sah, maka janin itu dinasabkan kepada
mereka. Manakala ibu tumpang tersebut berfungsi sebagai ibu susuan karena ibu
susuan memberi minum susunya, lebih-lebih lagi ibu tumpang dimana anak
tersebut mendapat makanan dari darahnya sejak awal pembentukan hingga
sempurna kejadian sebagai seorang bayi dan lahir. Oleh karena itu, ibu tumpang
tersebut dihukumkan sebagai ibu susuan.
Di samping itu, ciri-ciri diri manusia dan sifat yang diwarisinya ditentukan oleh
mani dan benih ibu bapaknya, bukan ibu yang mengandung dan melahirkannya,
29
kerena ibu tumpang hanya tempat bergantung dan numpang membesar. Hujah ini
juga merupakan hujah kebanyakan doktor.
Pendapat kedua :
Menurut sebahagian besar para ulama’ dan pengkaji di antaranya Sheikh
Abdullah bin Zaid Ali Mahmud, Dr. Muhammad Yusuf Al-Muhammadi, Sheikh
Muhammad Al-Khudri, Qadi Mahkamah Agung di Riyadh dan lain-lain. Mereka
berpendapat bahwa ibu sebenarnya adalah seseorang yang mengandungkan bayi
dan melahirkannya, manakala ibu pemilik benih itu seumpama ibu susuan.
Mereka berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya
karena nasab anak ditentukan berdasarkan tiga perkara yaitu wanita yang
melahirkannya, pengakuan suami, dan saksi. Tiga hal itu, menjadikan seorang ibu
yang melahirkan anak tersebut akan dapat mewarisi harta, dan anak itu dinasabkan
kepada suaminya, kerana ( للفراش الولدanak adalah untuk suami) berdasarkan
kaedah syara’ yang diambil dari hadis Rasulullah saw.
Pendapat pertama :
Golongan ini berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada suami ibu tumpang
pemilik rahim yang melahirkan anak tersebut, sekalipun beliau tidak memiliki
hubungan apa-apa dilihat dari sudut genetik. Mereka berhujah bersandarkan
hadis Rasulullah saw :
الولد للفرا ش وللعاهر الحجر: عن عا ئشة ان النبي صلى هللا عليه وسلم قال
Artinya : “Anak dinasabkan kepada bapaknya, dan bagi pezina terhalang.”[9]
Hadis ini merupakan dalil nas yang digunakan untuk menentukan hukuman
seorang hakim dan merupakan kaedah umum shara’ dalam menetapkan haramnya
30
pernikahan dan cara untuk menentukan nasab bagi seseorang anak. Oleh karena
itu, apabila ibu tumpang mempunyai suami kemudian melahirkan anak dari
rahimnya, ini berarti anak tersebut dinasabkan kepada suami dari isteri yang
melahirkan anak tersebut, sekalipun tidak memiliki hubungan genetik.
Pendapat kedua :
Termasuk dalam golongan ini ialah Al-Mujamma’ Al-Fiqhi Al-Islami yang
berpusat di Makkatul Mukarramah, dan lain-lain antaranya Sheikh Mustafa Az-
Zarqa, Dr. Muhammad Na’im Yasin, Dr. Muhammad Al-hafiz Hilmi, dan Dr.
Hashim Jamil. Golongan ini berpendapat bahwa anak yang dilahirkan dinasabkan
kepada suami wanita pemilik benih yang disewakan tadi, dan tidak dinasabkan
kepada suami pemilik rahim. Ini adalah kerana penyewaan rahim dilakukan di
atas dasar persenyawaan benih di antara kedua suami isteri, kemudian benih yang
telah disenyawa tadi dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Oleh karena itu,
janin tersebut terbina dari benih keduanya yang memiliki ikatan perkawinan yang
sah. Justru, anak itu dinasabkan kepada mereka berdua selagi kedudukan mereka
dalam keadaan ini. Walaupun penyewaan rahim ini haram dari segi shara’, tapi
tidak menjadi penghalang bagi dinasabkannya anak itu kepada mereka, karena
pengharaman ini adalah disebabkan mereka menggunakan rahim wanita lain yang
tidak benar secara shar’i. Hal ini dikarenakan dari segi saintifik, janin yang telah
disenyawakan tidak terkesan dari rahim selain tumpang dalam memberikan
makanan untuk tumbuh menjadi besar, sedangkan sifat-sifat genetik berasal dari
pemilik benih asal ovum dan sperma tadi. Hal tersebut diumpamakan seperti
kedua ibu bapak yang memberi makanan anaknya dengan makanan yang haram
sehingga dewasa, kedua-dua ibu bapaknya berdosa, tetapi hal ini tidak sampai
memutuskan hubungan antara mereka.
Pendapat ketiga :
Golongan ini berpendapat bahwa pemilik benih tidak memiliki hak apapun,
dan benihnya dianggap sia-sia. Mereka berhujah dengan kisah anak Zam’ah
karena Rasulullah saw telah meletakkan bahwa anak itu adalah anak Zam’ah
sekalipun jelas bahawa dia bukan anak Zam’ah dari segi zahirnya
berdasarkan للفراش الولد. Dalam hal ini, hakikat penentuan hukum berdasarkan
kepada zahir karena hakikat sebenarnya hanya Allah–lah yang tahu. Pendapat ini
31
mengatakan bahwa tidak ada nilai bagi pemilik benih ataupun mani dalam
beberapa keadaan karena penentuannya mestilah berdasarkan kepada penentuan
shar’i yang sah. Hujah ini dijawab bahwa keadaan penyewaan rahim berbeda
dengan kisah anak Zam’ah karena dalam kisah anak Zam’ah tersebut, janin itu
terhasil dari percampuran air mani antara dua orang lelaki dan perempuan tanpa
ikatan yang sah, oleh sebab itu anak itu tidak dinasabkan kepada lelaki itu
(‘Atabah). Sedangkan dalam penyewaan rahim, persenyawaan benih berlaku
antara dua orang pasangan suami istri yang diikat oleh ikatan yang sah, maka anak
itu dinasabkan kepada mereka.
36
2.6.4 Pandangan Islam Terhadap Aborsi
1. Islam
Tidak ada satupun ayat didalam Al-Quran yang menyatakan bahwa aborsi boleh
dilakukan oleh umat Islam.Sebaliknya, banyak sekali ayat-ayat yang menyatakan
bahwa janin dalam kandungan sangat mulia. Dan banyak ayat-ayat yang
menyatakan bahwa hukuman bagi orang-orang yang membunuh sesama manusia
adalah sangat mengerikan.
a) Pertama: Manusia berapapun kecilnya adalah ciptaan Allah yang mulia.
Agama Islam sangat menjunjung tinggi kesucian kehidupan. Banyak sekali
ayat-ayat dalam Al-Quran yang bersaksi akan hal ini. Salah satunya, Allah
berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan umat manusia.”(QS
17:70)
b) Kedua: Membunuh satu nyawa sama artinya dengan membunuh semua
orang. Menyelamatkan satu nyawa sama artinya dengan menyelamatkan
semua orang.
Didalam agama Islam, setiap tingkah laku kita terhadap nyawa orang
lain, memiliki dampak yang sangat besar. Firman Allah: “Barang siapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena sebab-sebab yang mewajibkan
hukum qishash, atau bukan karena kerusuhan di muka bumi, maka seakan-
akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang
memelihara keselamatan nyawa seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara keselamatan nyawa manusia semuanya.” (QS 5:32)
c) Ketiga: Umat Islam dilarang melakukan aborsi dengan alasan tidak
memiliki uang yang cukup atau takut akan kekurangan uang.
Banyak calon ibu yang masih muda beralasan bahwa karena
penghasilannya masih belum stabil atau tabungannya belum memadai,
kemudian ia merencanakan untuk menggugurkan kandungannya. Alangkah
salah pemikirannya. Ayat Al-Quran mengingatkan akan firman Allah yang
bunyinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
melarat. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu
juga.Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa yang besar.” (QS 17:31)
d) Keempat: Aborsi adalah membunuh. Membunuh berarti melawan
terhadap perintah Allah.
37
Membunuh berarti melakukan tindakan kriminal.Jenis aborsi yang
dilakukan dengan tujuan menghentikan kehidupan bayi dalam kandungan
tanpa alasan medis dikenal dengan istilah “abortus provokatus kriminalis”
yang merupakan tindakan kriminal – tindakan yang melawan Allah. Al-Quran
menyatakan: “Adapun hukuman terhadap orang-orang yang berbuat keonaran
terhadap Allah dan RasulNya dan membuat bencana kerusuhan di muka bumi
ialah: dihukum mati, atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya secara
bersilang, atau diasingkan dari masyarakatnya. Hukuman yang demikian itu
sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka
mendapat siksaan yang pedih.” (QS 5:36)
e) Kelima: Sejak kita masih berupa janin, Allah sudah mengenal kita.
Sejak kita masih sangat kecil dalam kandungan ibu, Allah sudah
mengenal kita. Al-Quran menyatakan:”Dia lebih mengetahui keadaanmu,
sejak mulai diciptakaNya unsur tanah dan sejak kamu masih dalam kandungan
ibumu.”(QS: 53:32) Jadi, setiap janin telah dikenal Allah, dan janin yang
dikenal Allah itulah yang dibunuh dalam proses aborsi.
f) Keenam: Tidak ada kehamilan yang merupakan “kecelakaan” atau
kebetulan. Setiap janin yang terbentuk adalah merupakan rencana Allah.
Allah menciptakan manusia dari tanah, kemudian menjadi segumpal
darah dan menjadi janin.Semua ini tidak terjadi secara kebetulan. Al-Quran
mencatat firman Allah: “Selanjutnya Kami dudukan janin itu dalam rahim
menurut kehendak Kami selama umur kandungan. Kemudian kami keluarkan
kamu dari rahim ibumu sebagai bayi.” (QS 22:5) Dalam ayat ini malah
ditekankan akan pentingnya janin dibiarkan hidup “selama umur kandungan”.
Tidak ada ayat yang mengatakan untuk mengeluarkan janin sebelum umur
kandungan apalagi membunuh janin secara paksa.
g) Ketujuh: Nabi Muhammad SAW tidak pernah menganjurkan aborsi.
Bahkan dalam kasus hamil diluar nikah sekalipun, Nabi sangat
menjunjung tinggi kehidupan.
Hamil diluar nikah berarti hasil perbuatan zinah.Hukum Islam sangat
tegas terhadap para pelaku zinah. Akan tetapi Nabi Muhammad SAW –
seperti dikisahkan dalam Kitab Al-Hudud – tidak memerintahkan seorang
wanita yang hamil diluar nikah untuk menggugurkan kandungannya:
Datanglah kepadanya (Nabi yang suci) seorang wanita dari Ghamid dan
38
berkata,”Utusan Allah, aku telah berzina, sucikanlah aku.”. Dia (Nabi yang
suci) menampiknya.Esok harinya dia berkata,”Utusan Allah, mengapa engkau
menampikku?Mungkin engkau menampikku seperti engkau menampik Ma’is.
Demi Allah, aku telah hamil.” Nabi berkata,”Baiklah jika kamu bersikeras,
maka pergilah sampai anak itu lahir.”Ketika wanita itu melahirkan datang
bersama anaknya (terbungkus) kain buruk dan berkata,”Inilah anak yang
kulahirkan.”Jadi, hadis ini menceritakan bahwa walaupun kehamilan itu
terjadi karena zina (diluar nikah) tetap janin itu harus dipertahankan sampai
waktunya tiba.Bukan dibunuh secara keji.
39
Yoh 9:1-3 ~ Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta
sejak lahirnya. Murid-muridNya bertanya kepadaNya: “Rabi, siapakah
yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia
dilahirkan buta?"” Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang
tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di
dalam dia…”
Kis 17:25-29; Mzm 94:9; Rom 8:28; Im 19:14; Yes 45:9-12
d. Aborsi karena ingin menyembunyikan aib tidak dibenarkan Tuhan.
Kej 19:36-38 ~ Lalu mengandunglah kedua anak Lot itu dari ayah
mereka. Yang lebih tua melahirkan seorang anak laki-laki, dan
menamainya Moab; dialah bapa orang Moab yang sekarang. Yang lebih
mudapun melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Ben-Ami;
dialah bapa bani Amon yang sekarang. Kej 50:20; Rom 8:28
e. Tuhan tidak pernah memperkenankan anak manusia dikorbankan.
Apapun alasannya.
Kel 1:15-17 ~ Raja Mesir juga memerintahkan kepada bidan-bidan yang
menolong perempuan Ibrani, seorang bernama Sifra dan yang lain
bernama Pua, katanya: “Apabila kamu menolong perempuan Ibrani pada
waktu bersalin, kamu harus memperhatikan waktu anak itu lahir: jika
anak laki-laki, kamu harus membunuhnya, tetapi jika anak perempuan,
bolehlah ia hidup.” Tetapi bidan-bidan itu takut akan Allah dan tidak
melakukan seperti yang dikatakan raja Mesir kepada mereka, dan
membiarkan bayi-bayi itu hidup.
Yeh 16:20-21; Yer 32:35; Mzm 106:37-42 ; II Raj 16:3; 17:17 ; 21:6 ;
Ul 12:31; 18:10-13; Im 18:21, 24 dan 30
40
c) Gandhabo paccuppatthito : adanya gandarwa, kesadaran penerusan
dalam siklus kehidupan baru (pantisandhi-citta) kelanjutan dari kesadaran ajal
(cuti citta), yang memiliki energi karma.
Dari penjelasan diatas agama Buddha menentang dan tidak menyetujui
adanya tindakan aborsi karena telah melanggar pancasila Buddhis,
menyangkut sila pertama yaitu panatipata. Suatu pembunuhan telah terjadi
bila terdapat lima faktor sebagai berikut:
a) Ada makhluk hidup (pano)
b) Mengetahui atau menyadari ada makhluk hidup (pannasanita)
c) Ada kehendak (cetana) untuk membunuh (vadhabacittam)
d) Melakukan pembunuhan ( upakkamo)
e) Makhluk itu mati karena tindakan pembunuhan ( tena maranam)
41
2. Mengangkat anak orang lain untuk dijadikan anaknya sendiri dan memberi atatus
sebagai anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan
mewarisiharta peninggalannya, dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dan orang
tua.
Menurut Hilman Kusuma, S. H mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan
bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua
angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat dikarenakan tujuan untuk
kelangsungan keturunan dan pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga. Sedangkan
surojo wingjodipura, S.H. mengatakan bahwa adopsi ( mengangkat anak ) adalah suatu
perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa
sehingga antara orang yag memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu
hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada diantara orang tua dan anak.
Dalam hukum positif Indonesia telah diberi beberapa peraturan yang terdapat dalam
perundang-undangan Indonesia yang memberikan pengertian khusus tentang
pangangkatan anak dan anak angkat, yakni sebagai berikut:
a. Menurut Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak, pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang
mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau
orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan
anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.
b. Sedangkan pada Pasal 1 butir 9 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak menjelaskan bahwa anak abgkat adalah anak yang haknya
dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain
yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan pembesaran anak tersebut, ke
dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
Surat Al-Ahzab ayat 4-5 tersebut dalam garis besarnya dapat dirumuskan sebagai
berikut:
a) Allah tidak menjadikan dua hati dalam dada manusia.
b) Anak angkatmu bukanlah anak kandungmu.
c) Panggillah anak angkatmu menurut nama bapaknya.
Dari ketentuan di atas sudah jelas bahwa yang dilarang adalah pengangkatan anak
sebagai anak kandung dalam segala hal.Dalam ayat lain tentang kisah pernikahan
sahabat Zaid bin Haritsah radhiyallahu’anhu 9yang pernah menjadi anak angkat
Rasulullah SAW, sebelum adanya pelarangan) dengan Zainab binti Jahsy
radhiyallahu’anha, Allah berfirman dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 37:
43
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah
melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya:
"Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu
menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu
takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka
tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami
kawinkan kamu dengan dia[1219] supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin
untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat
itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya[1220]. Dan adalah ketetapan
Allah itu pasti terjadi."[2]
Mengangkat anak orang lain untuk diperlakukan, dijadikan, diakui sebagai anak
sendiri (waladush shulbi au radha’) hukumnya tidak sah. Hal ini sesuai dengan
penjelasan hadist dari beberapa kitab, yaitu:
1. Kitab Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al Tanzila
Sungguh Nabi Saw. bersabda: “Barangsiapa mengaku orang lain sebagai bapaknya,
dan ia tahu bahwa orang tersebut memang bukan bapaknya, maka surge diharamkan
terhadap dirinya.”
2. Kitab Ma’alim al-Tanzil
Qatadah berkata: “Siapa pun tidak boleh berkata tentang Zaid bin Haritsah: “Zaid
bin Muhammad. “Jika seseorang dengan sengaja mengatakan seperti itu, maka ia
telah maksiat, dan barangsiapa bermaksiat kepada Allah Swt. Dan Rasul-Nya, maka
niscaya ia tersesat dengan kesesatan yang sangat jauh.”
Islam tetap membolehkan adopsi dengan ketentuan :
1. Nasab anak angkat tetap dinisbatkan kepada orang tua kandungnya, bukan kepada
orang tua angkatnya.
44
2. Anak angkat itu dibolehkan dalam Islam, tetapi sekedar sebagai anak asuh, tidak
boleh disamakan dengan status anak kandung, baik dari segi pewarisan, hubungan
mahram, maupun 2wali ( dalam perkawinan ).
3. Karena anak angkat itu tidak boleh menerima harta warisan dari orang tua
angkatnya, maka boleh mendapatkan harta benda dari orang tua angkatnya berupa
hibah, yang maksimal sepertiga dari jumlah kekayaan orang tua angkatnya.
45
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
KB Dalam Perspektif Berbagai Agama
Program KB adalah bagian yang terpadu dalam program pembangunan
nasional dan bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan ekonomi, spiritual, dan
social budaya penduduk Indonesia agar dapat dicapai keseimbangan yang baik dengan
kemampuan produksi nasional.
Dalam islam , keluarga berencana menjadi persoalan yang polemik karena
ada beberapa ulama yang menyatakan bahwa keluarga berencana dilarang tetapi ada
juga ayat al-qur’an yang mendukung program keluarga berencana. Keluarga
Berencana, secara prinsipil dapat diterima oleh Islam, bahkan KB dengan maksud
menciptakan keluarga sejahtera yang berkualitas dan melahirkan keturunan yang
tangguh sangat sejalan dengan tujuan syari`at Islam yaitu mewujudkan kemaslahatan
bagi umatnya
Agama kristen protestan memandang kesejahteraan keluarga diletakkan dan
diwujudkan dalam pemahaman yang bersifat real sesuai dengan kehendak Allah dan
tidak melarang umatnya berKB.
Menurut kristen katolik untuk mengatur kelahiran anak suami istri harus tetap
menghormati dan menaati moral katolik dan umat katolik dibolehkan berKB dengan
metode alami yang memanfaatkan masa tidak subur.
Keluarga berencana menurut agama Buddha dibenarkan dan umat budha
dibebaskan memilih cara KB yang cocok. KB menurut Agama Hindu diperbolehkan
karena Kb dapat membatasi jumlah anak dengan tujuan agar sejahtera.
46
Menurut ajaran Hindu transplantasi organ tubuh dapat dibenarkan dengan
alasan, bahwa pengorbanan (yajna) kepada orang yang menderita, agar dia bebas dari
penderitaan dan dapat menikmati kesehatan dan kebahagiaan, jauh lebih penting,
utama, mulia dan luhur, dari keutuhan organ tubuh manusia yang telah meninggal.
Pada umumnya, Gereja Katolik memperkenankan transplantasi organ tubuh.
Dalam ensiklik “Evangelium Vitae” (= Injil Kehidupan), Bapa Suci Yohanes Paulus
II menyatakan, “… ada kepahlawanan harian, yang terdiri dari amal perbuatan
berbagi sesuatu, besar atau kecil, yang menggalang kebudayaan hidup yang otentik.
Pandangan Buddha menyatakan transplantasi tidak dilarang, selama tujuannya
untuk kesehatan dan menyelamatkan nyawa manusia , yang penting tidak
melanggar hukum agama, dan diusahakan apa yang masuk dalam tubuh seseorang itu
berasal dari keturunan yang baik serta bukan barang curian.
Transplantasi menurut konghucu diperbolehkan dengan tujuan menyelamatkan
nyawa manusia dan memenuhi 5 unsur kebajikan.
47
Kesimpulannya, di dalam ajaran Agama Buddha itu sendiri tidak ditolak adanya
bayi tabung. Bahkan kloning pun juga tidak di tolak. Jadi, di lain kata dapat dikatakan
bahwa bayi tabung atau inseminasi buatan di dalam agama ini diperbolehkan
48
Aborsi Dalam Perspektif Berbagai Agama
Tidak ada satupun ayat didalam Al-Quran yang menyatakan bahwa aborsi
boleh dilakukan oleh umat Islam.Sebaliknya, banyak sekali ayat-ayat yang
menyatakan bahwa janin dalam kandungan sangat mulia. Dan banyak ayat-ayat yang
menyatakan bahwa hukuman bagi orang-orang yang membunuh sesama manusia
adalah sangat mengerikan.
Dalam Alkitab dikatakan dengan jelas betapa Tuhan sangat tidak berkenan
atas pembunuhan seperti yang dilakukan dalam tindakan aborsi.
Dalam pandangan agama Buddha aborsi adalah suatu tindakan pengguguran
kandungan atau membunuh makhluk hidup yang sudah ada dalam rahim seorang ibu.
Aborsi dalam Teologi Hinduisme tergolong pada perbuatan yang disebut
"Himsa karma" yakni salah satu perbuatan dosa yang disejajarkan dengan membunuh,
meyakiti, dan menyiksa.
49
DAFTAR PUSTAKA
Ebrahim, Abul Fadl Mohsin.2007.Fikih kesehatan. Jakarta: Penerbit Serambi
Uddin, Dr. H. Jurnalis dkk. 2006. Reintepretasi Hukum Islam Tentang Aborsi. Jakarta:
Universitas Yarsi
http://asma-nadia-hidayat.blogspot.co.id/2012/11/transplantasi-dalam-pandangan-
berbagai.html
50