Anda di halaman 1dari 66

Retensi urin postpartum

Epidemiologi
Salah satu komplikasi umum yang terjadi setelah proses persalinan, baik persalinan pervaginam atau sectio caesarea adalah
retensi urin postpartum. Pada tahun 1998, dr. Kartono dkk dari FKUI-RSCM Jakarta melansir data bahwa terdapat 17,1%
kejadian retensi urin pada ibu melahirkan yang telah dipasang kateter selama enam jam dan 7,1% untuk yang dipasang selama 24
jam pasca operasi sectio caesarea.[1] Yip SK (Hongkong, 1997) melaporkan terdapat angka 14,6% untuk kasus retensi urin
postpartum pervaginam.[2]
Dr. Pribakti B. dari FK Universitas Lambung Mangkurat/RSUD Ulin Banjarmasin mencatat, bahwa sepanjang tahun 2002-2003
terdapat sebelas kasus retensi urin post partum dari 2850 kasus (0.38%) yang terdata di RSUD Ulin Banjarmasin, dengan rincian
empat kasus berada di antara kelompok usia 26-30 tahun dan paritas terbanyak adalah paritas satu (enam kasus). Selain itu,
delapan kasus terjadi pada pasien persalinan pervaginam, dua kasus pada vakum ekstraksi, dan satu kasus pada sectio
caesarea.[3],[4] Data lain datang dari Andolf dkk (1.5%) dan Kavin G. dkk (0.7%).[5]
Definisi
Retensi urin menurut Stanton adalah ketidakmampuan berkemih selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter, karena
tidak dapat mengeluarkan urin lebih dari 50% kapasitas kandung kemih.[6] Dr. Basuki Purnomo dari FK Unbraw mengatakan,
bahwa retensi urin adalah ketidakmampuan buli-buli (kandung kencing) untuk mengeluarkan urin yang telah melampaui batas
maksimalnya. Pada ibu melahirkan, aktivitas berkemih seyogyanya telah dapat dilakukan enam jam setelah melahirkan (partus).
Namun apabila setelah enam jam tidak dapat berkemih, maka dikatakan sebagai retensi urin postpartum.
Pendapat dari Psyhyrembel menyatakan, bahwa retensi urin postpartum adalah ketidakmampuan berkemih secara normal 24 jam
setelah melahirkan (ischuria puerperalis). Adapun kepustakaan lain mendefinisikan retensi urin postpartum sebagai tidak adanya
proses berkemih spontan setelah kateter menetap dilepaskan, atau dapat berkemih spontan namun urin sisa lebih dari 150 ml.

Retensi urin postpartum apabila tidak segera ditangani dapat menyebabkan sistitis, uremi, sepsis, bahkan ruptur spontan vesika
urinaria.

Patofisiologi
Pada masa kehamilan terjadi peningkatan elastisitas pada saluran kemih, sebagian disebabkan oleh efek hormon progesteron yang
menurunkan tonus otot detrusor. Pada bulan ketiga kehamilan, otot detrusor kehilangan tonusnya dan kapasitas vesika urinaria
meningkat perlahan-lahan. Akibatnya, wanita hamil biasanya merasa ingin berkemih ketika vesika urinaria berisi 250-400 ml
urin. Ketika wanita hamil berdiri, uterus yang membesar menekan vesika urinaria. Tekanan menjadi dua kali lipat ketika usia
kehamilan memasuki 38 minggu. Penekanan ini semakin membesar ketika bayi akan dilahirkan, memungkinkan terjadinya
trauma intrapartum pada uretra dan vesika urinaria dan menimbulkan obstruksi. Tekanan ini menghilang setelah bayi dilahirkan,
menyebabkan vesika urinaria tidak lagi dibatasi kapasitasnya oleh uterus. Akibatnya vesika urinaria menjadi hipotonik dan
cenderung berlangsung beberapa lama.

Etiologi
Penyebab retensi urin postpartum ada bermacam-macam, antara lain efek dari epidural anasthesia, trauma intrapartum, refleks
kejang sfingter uretra, hipotonia selama hamil dan nifas, peradangan, psikogenik, dan umur yang tua.[7][8]
Diagnosis
Gejala retensi urin postpartum dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan pada pasien, yang dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Pemeriksaan subyektif, yaitu mencermati keluhan yang disampaikan oleh pasien yang digali melalui anamnesis yang
sistematik. Dari pemeriksaan subyektif biasanya didapat keluhan seperti nyeri suprapubik, mengejan karena rasa ingin
kencing, serta kandung kemih berasa penuh.
2. Pemeriksaan obyektif, yaitu melakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien untuk mencari data-data yang objektif
mengenai keadaan pasien. Dari pemeriksaan obyektif dengan metode palpasi atau perkusi, biasanya ditemukan massa
di daerah suprasimfisis karena kandung kemih yang terisi penuh dari suatu retensi urin.
3. Pemeriksaan penunjang, yaitu melakukan pemeriksaan-pemeriksaan laboratorium, radiologi atau imaging (pencitraan),
uroflometri, atau urodinamika, elektromiografi, endourologi, dan laparoskopi. Pada pemeriksaan laboratorium paling
sering digunakan kateter dan uroflowmetri, yaitu untuk mengukur volume dan residu urin pada kandung kemih. Selain
itu juga dapat digunakan cystourethrografi untuk melihat gambaran radiografi kandung kemih dan uretra. Menurut dr.
Basuki Purnomo, volume maksimal kandung kemih dewasa normal berkisar antara 300-450 ml dengan volume residu
sekira 200 ml. Apabila dari hasil kateterisasi didapatkan volume/residu urin telah mendekati/melampaui batas normal,
maka pasien dinyatakan mengalami retensi urin.[9]
Daftar pustaka

[1] Kartono, Santoso BI, Junisaf. Thesis perbandingan penggunaan kateter menetap selama 6 dan 24 jam paska seksio
sesaria dalam pencegahan retensi urin [thesis].Jakarta (ID): Indonesia Univ.; 1998.
[2] Yip SK, Bringer G, Hin L, et al. Urinary retention in the postpartum period. Acta Obstet Gynecol Scand 1997. p. 667-72.
[3] Pribakti B. Tinjauan Kasus Retensi Urin Postpartum di RSUD Ulin Banjarmasin (2002-2003). Dexa Media
2006.19(2):10-3.
[4] Pribakti B. Retensi Urin kronik Postpartum. Medika 2003.11(14):731-3
[5] Andolf E, Losif CS, Jorgenense M, et al. Insidous urinary retention after vaginal delivery, prevalence and symptoms at
follow up in population based study. Gynecol Obstet Invest 1995; 38:51-3.
[6] Stanton SL. Clinical gynecologic urology. St. Louis (UK): Mosby; 1984.
[7] Jack AP, Paul CM, Norman FG. Williams Obstetric. 17th ed. Norwalk (CN): Appleton-Century_Crofts; 1985. p. 739.
[8] Kermit EK, Joseph DB, Morton AS, Howard WJ, William FG, Pamela JM, et al, editors. Lange: Current Obstetri and
Gynecology Diagnose and Treatment 1987. 6th ed. Norwalk (CN): Lange Medical Publications; 1987. p. 218.
[9] Ralph CB, editors. Current Obstetic & Gynecologic Diagnosis & Treatment. 3rd ed. Los Altos (CA): Lange Medical
Publications; 1980. p. 438

http://sectiocadaveris.wordpress.com/artikel-kedokteran/retensi-urin-postpartum/
Pendahuluan
Selama kehamilan, saluran kemih mengalami perubahan morfologi dan fisiologi. Perubahan fisiologis pada kandung kemih yang terjadi
merupakan predisposisi terjadinya retensi urine satu jam pertama sampai beberapa hari post partum. Perubahan ini juga dapat memberikan
gejala dan kondisi patologis yang mungkin memberikan dampak pada ibu.

Epidemiologi
Salah satu komplikasi umum yang terjadi setelah proses persalinan, baik persalinan pervaginam atau sectio caesarea adalah retensi urin post
partum. Pada tahun 1998, dr. Kartono dkk dari FKUI-RSCM Jakarta melansir data bahwa terdapat 17,1% kejadian retensi urin pada ibu
melahirkan yang telah dipasang kateter selama enam jam dan 7,1% untuk yang dipasang selama 24 jam pasca operasi sectio caesarea. Yip
SK (Hongkong, 1997) melaporkan terdapat angka 14,6% untuk kasus retensi urin postpartum pervaginam. Dr. Pribakti B. dari FK Universitas
Lambung Mangkurat/RSUD Ulin Banjarmasin mencatat, bahwa sepanjang tahun 2002-2003 terdapat sebelas kasus retensi urin post partum
dari 2850 kasus (0.38%) yang terdata di RSUD Ulin Banjarmasin, dengan rincian empat kasus berada di antara kelompok usia 26-30 tahun
dan paritas terbanyak adalah paritas satu (enam kasus). Selain itu, delapan kasus terjadi pada pasien persalinan pervaginam, dua kasus
pada vakum ekstraksi, dan satu kasus pada sectio caesarea. Data lain datang dari Andolf dkk (1.5%) dan Kavin G. dkk (0.7%).

Anatomi
a. Traktus Urinarius Bagian Bawah
Kandung kemih merupakan suatu kantung muskulomembranosa tempat penampungan urin yang terbentuk dari empat lapisan; serosa,
muskuler, submukosa dan mukosa. Secara anatomis kandung kemih terbagi menjadi dua bagian besar yaitu detrusor (dasar kandung kemih)
dan trigonum (badan kandung kemih).
Detrusor (lapisan muskuler) terdiri dari tiga lapis otot polos yang secara acak bersilangan satu dengan yang lainnya sehingga merupakan
suatu unit fungsional yang berfungsi dalam peregangan pasif (saat terdapat peningkatan tekanan secara minimal) ataupun dalam kontraksi
kandung kemih. Di leher kandung kemih, otot polos tersusun sirkuler sehingga bertindak sebagai suatu sfingter fungsional. Trigonum
merupakan area segitiga di bagian inferior kandung kemih yang dibatasi di bagian superior dan lateral oleh orificium ureter serta di bagian
inferior oleh orificium uretra internal. Trigonum bagian dalam merupakan kelanjutan dari otot polos detrusor; sementara trigonum superfisial
merupakan kelanjutan dari otot-otot ureter.
Pada wanita, panjang uretra kurang lebih 4 cm. Terdiri dari tiga lapisan; mukosa, submukosa dan lapisan otot. Lapisan otot terdiri dari dua
lapisan otot polos yang berjalan longitudinal pada bagian dalam yang merupakan sambungan dari otot kandung kemih dan membentuk
sfingter uretra involunter. Di luar lapisan ini terdapat lapisan otot lurik (volunter) yang berjalan secara sirkuler pada 1/3 tengah uretra.
b. Sfingter Uretra
Secara tradisional uretra mempunyai dua sfingter yang berbeda, internal dan eksternal atau rhabdosphincter. Sfingter internal bukanlah
sfingter anatomis murni. Istilah tersebut ditujukan untuk paut leher kandung kemih dan uretra proksimal, dibentuk oleh susunan sirkuler
jaringan ikat dan serabut otot polos yang meluas dari kandung kemih. Area ini merupakan suatu sfingter fungsional karena akan terjadi
suatu peningkatan progresif tonus progresif seiring dengan pengisian kandung kemih, sehingga tekanan uretra menjadi lebih besar dari
tekanan intravesikal.
Myers dan rekannya menyatakan bahwa sfingter uretra eksternal dari otot lurik tersebut tidak membentuk suatu pita yang berjalan sirkuler
tetapi mempunyai serabut yang berjalan ke atas menuju dasar kandung kemih. Sfingter ini bekerja di bawah kontrol volunter dengan
proporsi serabut slowtwitch yang cukup besar untuk suatu kompresi tonik yang terus menerus (steady) dalam uretra. c. Anatomi Dasar
Panggul
Dasar panggul merupakan massa otot yang meliputi celah dasar tulang pelvis. DeLancey's membagi dasar panggul menjadi tiga lapisan
utama (dari dalam hingga keluar) :
� endopelvic fascia,
� otot levator ani
� dan sfingter anal eksternal
serta lapisan keempat (otot genital eksternal) yang berhubungan dengan fungsi seksual. Otot-otot pelvis memegang peranan penting dalam
menyokong kandung kemih.Otot-otot ini tidak hanya harus mampu berkontraksi secara volunter (dan cepat pada satu waktu) tetapi juga
harus dapat mempertahankan tonus istirahat secara berkelanjutan. Penyokong organ pelvis yang utama ada pada otot levator ani. Saat otot
levator ani berkontraksi, leher kandung kemih terangkat dan membantu menahan gaya yang timbul dari setiap peningkatan tekanan
intraabdominal atau intrauretra. Fascia,seperti pelvic dan endopelvic fascia, membantu mempertahankan sokongan kandung kemih. Otot
levator ani dapat dibagi menjadi 4 regio sesuai dengan lokasi anatomisnya :
� pubococcygeus (otot pubovisceral),
� iliococcygeus,
� pubovaginalis
� serta puborectalis puboanalis.
Kontinensia dipertahankan terutama oleh serabut medial levator ani. Pada serabut otot ini terdapat kombinasi serabut slow- dan fast-
twitch. Serabut slow-twitch berfungsi dalam respon postural sedangkan fast-twitch diperlukan untuk stimulus yang bersifat mendadak.
Otot lain yang juga terdapat dalam diafragma pelvis adalah obturator internis dan piriformis
d. Struktur dan Fungsi Mekanisme Kontinen pada Wanita
Pada wanita, tiga faktor penting diperlukan dalam mempertahankan kontinen adalah :

1. Sokongan dasar panggul (endopelvic fascia dan vagina bagian anterior) yang adekuat
2. Fungsi sfingter yang baik
3. Dipertahankannya posisi bagian proksimal uretra intra abdominal

Selama peningkatan tekanan intra abdominal, kontinen dipertahankan dengan adanya penekanan organ� organ pelvis ke bawah menuju
endopelvic fascia, serta adanya distribusi peningkatan tekanan intraabdominal ke bagian proksimal uretra intraabdominal. Epitelium uretra
yang sensitif terhadap estrogen dipercayai juga membantu mempertahankan kontinensia wanita dengan membentuk lapisan mukosa yang
tebal.
e. Neuroanatomi Traktur Urinarius Bagian Bawah
Persyarafan traktus urinarius bagian bawah berasal dari tiga sumber :
1) Sistim syaraf parasimpatis (S2-S4) � n pelvikus
2) Sistim syaraf simpatis (T11-L2) � n. hipogastrikus dan rantai simpatis
3) Sistim syaraf somatis atau volunter (S2-S4) � n. pudendus
Sistim syaraf pusat mengintegrasikan kontrol traktus urinarius. Pusat miksi yang berasal dari pontine memperantarai relaksasi spinkter dan
kontraksi detrusor secara sinkron; sementara lobus frontalis, basal ganglia dan cerebellum mengatur efek inhibisi dan fasilitasi. Penyimpanan
urin dimediasi oleh relaksasi detrusor dan penutupan sfingter. Relaksasi detrusor terjadi karena inhibisi sistim syaraf pusat terhadap tonus
parasimpatis, sementara itu penutupan spinkter dimediasi oleh peningkatan refleks aktivitas alfa-adrenergik dan somatis. Pengeluaran urin
terjadi saat detrusor berkontraksi, dimediasi oleh sistem syaraf parasimpatis, yang disertai dengan relaksasi sfingter.
f. Neuroanatomi Kandung Kemih - Sistem Eferen
Suplai syaraf parasimpatis eferen berasal dari nukleus detrusor yang berada di intermediolateral gray matter medulla spinalis S2-S4. Eferen
sakral keluar sebagai suatu serabut preganglionik di ventral roots dan berjalan melalui syaraf pelvikus (nervi erigentes) ke ganglia dekat atau
dalam otot detrusor untuk memberikan input eksitasi kepada kandung kemih. Setelah impuls tiba di ganglia parasimpatis, impuls akan
berjalan melalui postganglionik yang pendek ke reseptor otot polos kolinergik, menyebabkan timbulnya kontraksi kandung kemih. Syaraf
simpatis eferen mempersyarafi kandung kemih dan uretra dimulai dari intermediolateral gray column T11 � L2 dan memberikan input
inhibisi ke kandung kemih. Impuls simpatis ini berjalan dalam rentang pendek ke ganglia simpatis paravertebral lumbal, kemudian ke
sepanjang syaraf postganglionik yang panjang dalam syaraf hipogastrik untuk bersinaps di reseptor alpha dan beta adrenergik dalam
kandung kemih dan uretra. Stimulasi simpatis akan memfasilitasi penyimpanan urin di kandung kemih dalam suatu keadaan yang
terkoordinasi karena lokasi reseptor adrenergik yang strategis. Reseptor beta adrenergik terutama terletak di bagian superior kandung kemih
dan stimulasinya menyebabkan relaksasi otot polos. Reseptor alpha adrenergik mempunyai densitas yang lebih tinggi di dekat dasar
kandung kemih dan uretra prostatik, sehingga stimulasinya akan menyebabkan kontraksi otot polos dan meningkatkan tahanan outlet
kandung kemih dan uretra prostatik.
g. Neuroanatomi Kandung Kemih - Sistem Aferen
Syaraf-syaraf aferen yang penting untuk menstimulasi proses berkemih adalah syaraf-syaraf yang melewati medulla spinalis bagian sakral
melalui syaraf pelvikus. Syaraf aferen ini mencakup dua tipe yaitu serabut kecil bermielin (A-delta) dan serabut tidak bermielin (serabut C).
Serabut A delta berespon secara berjenjang terhadap distensi kandung kemih dan hal ini penting untuk proses berkemih yang normal.
Serabut C (silent fibers) tidak berespon terhadap distensi kandung kemih sehingga tidak penting untuk proses berkemih normal, tetapi akan
menampakkan firing spontan bila diaktivasi melalui rangsangan iritasi kimia atau suhu dingin pada dinding kandung kemih.
h. Persyarafan Sfingter Uretra
Sfingter uretra eksternal mempunyai persyarafan somatik yang menyebabkan sfingter dapat tertutup sesuai keinginan. Syaraf somatik
eferen berasal dari nukleus pudendal di segmen sakral (S2 sampai S4) yang disebut dengan Onufrowicz� s nucleus (Onuf� s). Syaraf
eferen ini lalu berjalan melalui syaraf pudendal ke paut neuromuskuler serabut otot lurik di sfingter uretra eksternal. Sfingter uretra internal
bekerja di bawah kontrol sistem otonom. Area ini mempunyai sejumlah reseptor alfa simpatis, yang jika distimulasi akan menyebabkan
timbulnya kontraksi.
i. Pengaruh Susunan Syaraf Pusat pada Traktus Urinarius Bagian Bawah
Fasilitasi dan inhibisi sistim syaraf otonom dilakukan dibawah kontrol susunan syaraf pusat. Denny-Brown dan Robertson menduga bahwa
proses berkemih terutama dimediasi oleh refleks miksi sakral. Menurut teorinya, jalur sistim syaraf yang menurun (descending) akan
memodulasi refleks miksi ini. Barrington, Bradley dan de Groat menduga bahwa impuls fasilitasi ke kandung kemih berasal dari regio di
anterior pons yang disebut dengan Barrington� s center. Carlsson memberikan bukti bahwa area mesencephalic pontine ini juga
memegang peranan penting dalam mengkoordinasikan aktivitas detrusor dan sfingter. Stimulasi Barrington� s center secara signifikan
akan menurunkan aktivitas EMG di sfingter lurik periuretral dan menimbulkan kontraksi kandung kemih. Dari penelitian transeksi kucing
diduga efek korteks serebral pada proses berkemih adalah inhibisi. Hal ini juga terjadi pada basal ganglia dan berhubungan dengan keadaan
klinis detrusor hyperreflexia pada pasien dengan disfungsi basal ganglia (contohnya penyakit Parkinson). Cerebellum juga diduga
mempertahankan tonus otot-otot dasar panggul dan mempengaruhi koordinasi antara relaksasi otot lurik periuretral dan pengosongan
kandung kemih

http://e-infomu.com/berita-134-retensi-urine-post-partum.html

Efektifitas Kegel Exercise terhadap Penurunan Kejadian Inkontinensia Urine pada


Ibu Post Partum di Kecamatan Seberang Ulu I Palembang

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehamilan dan persalinan akan menyebabkan dasar panggul melemah atau rusak sehingga tidak

dapat berfungsi dengan baik ( David L. L., 2009). Pada proses persalinan, otot-otot dasar panggul

mengalami tekanan langsung dengan bagian terbawah janin, bersamaan dengan tekanan ke bawah yang

berasal dari tenaga meneran ibu (Santosa, 2009). Banyak wanita mengalami kebocoran urine yang tidak

dapat dikendalikan akibat cedera saat melahirkan (Bobak, 2004:1024).

Kondisi-kondisi pada ibu post partum yang mengganggu pengontrolan urine meliputi inkontinensia

urine stres, inkontinensia urine desakan, trigonitis, sistisis, kondisi patologis pada korda spinalis, dan
abnormalitas traktus urinarius kongenital (Bobak, 2004). Komplikasi lain yang bisa timbul akibat proses

persalinan adalah retensi urine (Rahman, dkk., 2009).

Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya kesulitan buang air

kecil; pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus; ada rasa tidak puas, dan keinginan untuk

mengedan atau memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih. Perubahan fisiologis pada

kandung kemih yang terjadi saat kehamilan berlangsung merupakan predisposisi terjadinya retensi urine

satu jam pertama sampai beberapa hari post partum ( Aulia Rahman, dkk., 2009).

Retensi urin merupakan fenomana yang biasa terjadi pada ibu postpartum. Hal ini disebabkan

banyak faktor. Salah satunya adalah penekanan kepala janin ke uretra dan kandung kemih yang

menyebabkan edema. Distensi yang disebabkan akan berlangsung selama sekitar 24 jam setelah

melahirkan. Namun kemudian karena penumpukan cairan yang terjadi, secara perlahan akan terjadi

pengeluaran cairan secara besar-besaran yang biasa disebut inkontinensia (Lusa, 2010).

Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefinisikan sebagai keluarnya urin

secara involunter yang menimbulkan masalah sosial dan higiene serta secara objektif tampak nyata

(Vitriana, 2002). International Consultation on Incontinence ( 2004 ) membagi klasifikasi inkontinensia

urine menjadi 6, yaitu : Inkontinensia urine desakan, inkontinensia urine stress , inkontinensia urine

campuran, Inkontinensia urine berlebih, Nokturnal Enuresis, Post Micturition Dribbling dan Incontinencia

continua.(Santosa, 2009).

Masalah berkemih yang paling umum dalam kehamilan dan pascapartum adalah inkontinensia urine

stress. The International Continence Society (ICS) mendefinisikan inkontinensia urine stres sebagai

keluhan pelepasan involunter saat melakukan aktivitas, saat bersin dan pada waktu

batuk (ICS, (2002) dalam Eileen, (2007)). Inkontinensia urine stres terjadi akibat peningkatan tekanan

intra abdomen yang tiba-tiba (misalnya, tekanan mendadak yang timbul akibat bersin atau batuk).

Sedangkan inkontinensia urine desakan disebabkan oleh gangguan pada kandung kemih dan uretra

(Bobak, 2004:1024). Kedua jenis inkontinensia ini merupakan tipe yang paling sering terjadi pada ibu

postpartum. Terkadang muncul gejala campuran dari kedua tipe inkontinensia ini, yang disebut juga

dengan inkontinensia urine campuran (Rortveid (2003), Viktrub (1993), Wilson (1996)).

Menurut Brooker (2009), Inkontinensia urine stres biasanya disebabkan saluran kandung kemih

inkompeten akibat kelemahan otot dasar panggul yang menyangga dan insufisiensi sfingter. Bobak
(2004) menyatakan, inkontinensia urine stres dapat terjadi setelah cedera pada struktur leher kandung

kemih. Menurut Eileen (2007), otot dasar panggul berperan penting dalam mempertahankan tekanan

uretra ketika terjadi peningkatan yang tiba-tiba pada tekanan intra abdomen selama kondisi stress. Pada

keadaan normal, tekanan dalam uretra lebih tinggi daripada tekanan intra abdomen yang berfungsi

mempertahankan keutuhan. Namun, bila tidak didukung oleh otot dasar panggul, tekanan uretra tidak

dapat ditahan sehingga terjadilah inkontinensia urine.

Pada tahun 1998 Asia Pacific Continence Advisory Board (APCAB) menyatakan prevalensi

inkontinensia urin pada wanita Asia adalah sekitar 14,6%. Prevalensi ini bervariasi di setiap negara

karena banyak faktor, diantaranya adalah adanya perbedaan definisi inkontinensia yang dipergunakan,

populasi sample penelitian, dan metodologi penelitian (Vitriana, 2002).

Prevalensi inkontinensia urin sulit dinilai karena alasan budaya dan sosial. Prevalensi yang rendah

mungkin disebabkan oleh kurangnya pelaporan karena di Asia inkontinensia masih dianggap sebagai

suatu yang memalukan dan tabu untuk dibicarakan (Vitriana, 2002).

Prevalensi dan berat gangguan meningkat dengan bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15

tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedang pada usia 35-65 tahun mencapai 12%. Prevalansi

meningkat sampai 16% pada wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian 5%,

pada wanita dengan anak satu mencapai 10% dan meningkat sampai 20% pada wanita dengan 5 anak.

(Adrianto P., 1991 : 175).

Secara medis adanya inkontinensia urin akan mempredisposisi timbulnya ruam perineal, ulkus

dekubitus, infeksi traktus urinarius, urosepsis, jatuh dan fraktur. Secara psikososial akan menyebabkan

pasien merasa malu, terisolasi, depresi dan merasa mengalami regresi (Herzog et al., 1989; Wyman et

al., 1990). Dilihat dari segi ekonomi, biaya yang diperlukan untuk mengatasinya cukup besar, di Amerika

lebih dari 10 miliar dolar dikeluarkan untuk mengatasi masalah inkontinensia ini pada tahun 1987 (Hu

(1990) dalam Vitriana (2002))

Terapi inkontinensia urin secara dini dan rutin, efektif diperlukan untuk mengembalikan fungsi fisik

dan emosional orang yang menderitanya ( Lapitan CM, 2001 : 1-4 ). Dr. Kegel mengenalkan latihan

dasar panggul atau Kegel Exercise untuk mengontrol inkontinensia urine stress yang bermanfaat selama

masa pasca partum. Menurut Hay-Smith (2006), kegel exercise merupakan saran utama dalam
mengatasi inkontinensia urine stres dan inkontinensia urine campuran namun latihan ini meningkat

fungsinya sebagai latihan yang juga mampu mengatasi inkontinensia urine desakan.

Menurut Purnomo (2003), Kegel Exercise adalah terapi non operatif yang paling populer untuk

mengatasi inkontinensia urine. Latihan ini memperkuat otot-otot di sekitar organ reproduksi dan

memperbaiki tonus otot tersebut (Bobak, 2004). Kegel Exercise dapat dilakukan untuk meningkatkan

mobilitas kandung kemih ( Kane dkk., 1996). Kegel Exercise membantu meningkatkan tonus dan

kekuatan otot lurik uretra dan periuretra.

Kegel Exercise harus dilakukan setelah melahirkan untuk membantu otot otot dasar panggul kembali

ke fungsi normal. Apabila dilakukan secara teratur, latihan ini membantu mencegah prolaps uterus dan

stres inkontinensia di kemudian hari. (Bobak, 1995).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata keberhasilan melatih otot dasar panggul untuk

mencegah inkontinensia urine dilaporkan sebesar 56%-75% (Freeman, 2004). Ibu post partum dengan

inkontinensia urine menetap selama tiga bulan setelah melahirkan dan yang menerima latihan otot dasar

panggul mengalami penurunan kejadian daripada ibu post partum yang tidak mendapatkan perawatan

latihan (menurun sekitar 20%) untuk melaporkan inkontinensia setelah 12 bulan. Terlihat bahwa semakin

sering dalam menjalankan program maka efeknya semakin besar ( Smith J, dkk., 2009). Berdasarkan

penelitian terhadap lansia di panti Wreda Sindang Asih Semarang tahun 2009 Kegel Exercise yang

dilakukan sebanyak 10 kali dalam 3 minggu menyebabkan terjadinya penurunan frekuensi inkontinensia

urin sebesar 18,3 % dari 9,86 kali menjadi 6,19 kali.

Dengan melihat adanya keterkaitan antara kegel exercise dengan penurunan kejadian inkontinensia

urine, maka penulis melakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitasKegel exercise terhadap

penurunan kejadian inkontinensia urine pada ibu post partum.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalahan pada penelitian ini adalah :

Bagaimana efektifitas Kegel Exercise terhadap Penurunan Kejadian Inkontinensia Urine Stres pada Ibu

Post Partum di kecamatan Seberang Ulu I


C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari efektivitas Kegel Exerciseterhadap penurunan

kejadian Inkontinensia Urin di kecamatan Seberang Ulu I

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

a. Mengetahui karakteristik responden (umur, pendidikan, partus dan paritas)

b. Mengidentifikasi kejadian inkontinensia urine pada ibu postpartum sebelum intervensi dengan Kegel

Exercise

c. Mengidentifikasi kejadian inkontinensia pada ibu postpartum setelah intervensi dengan Kegel Exercise

d. Membandingkan perbedaan penurunan kejadian inkontinensia urine antara ibu postpartum yang diberikan

intervensi Kegel Exercise dengan yang tidak diberikan intervensi

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan

Memberikan masukan untuk menggunakan Kegel Exercise dalam menurunkan kejadian inkontinensia

urine pada ibu postpartum.

2. Manfaat Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan

Dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan khususnya

keperawatan dalam menghadapi ibu postpartum dengan inkontinensia urine. Hasil penelitian dapat
digunakan sebagai data awal dalam melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan

penurunan kejadian inkontinensia urine pada ibu postpartum.

3. Manfaat bagi Masyarakat (Ibu)

Dapat memperkenalkan suatu metode latihan postpartum (Kegel Exercise) sehingga lebih dapat

memberdayakan ibu dalam mengatasi kejadian inkontinensia urine setelah melahirkan.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pada area keperawatan maternitas.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Urinaria Bagian Bawah

Sistem urinaria bagian bawah terdiri atas buli-buli (kandung kemih) dan uretra yang keduanya harus

bekerja secara sinergis untuk dapat menjalankan fungsinya dalam menyimpan (storage) dan
mengeluarkan (voiding) urine. Kandung kemih merupakan organ berongga yang terdiri atas mukosa, otot

polos detrusor, dan serosa. Pada perbatasan antara kandung kemih dan uretra, berupa sfingter uretra

interna yang terdiri atas otot polos. Sfingter interna ini selalu tertutup pada saat fase pengisian (filling)

atau penyimpanan, dan terbuka pada saat isis kandung kemih penuh dan saat miksi atau pengeluaran

(evecuating). Di sebelah distal dari uretra posterior terdapat sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot

bergaris dari otot dasar panggul. Sfingter ini membuka pada saat miksi sesuai dengan perintah dari

korteks serebri.

Pada saat pengisian, terjadi relaksasi otot detrusor dan pada fase pengeluaran urine terjadi

kontraksi otot detrusor. Selama pengisian urine, kandung kemih mampu untuk melakukan akomodasi

yang meningkatkan volumenya dengan mempertahankan tekanannya dibawah 15 cm H 2O sampai

volumenya cukup besar. Sifat kandung kemih seperti ini disebut sebagai komplians kandung kemih

(bladder compliance).

Jika terjadi kerusakan dinding kandung kemih sehingga viskoelastisitas kandung kemih terganggu,

komplians kandung kemih menurun , yang berarti bahwa pengisian urine pada volume tertentu akan

menyebabkan kenaikan tekanan intravesika yang cukup besar (Purnomo, 2003)

B. Neurofisiologi Kandung Kemih dan Uretra

Sistem saluran kemih bagian bawah mendapatkan inervasi dari serabut saraf aferen yang berasal

dari kandung kemih dan uretra serta serabut saraf eferen berupa sistem parasimpatik, simpatik dan

somatik. Serabut aferen dari dinding kandung kemih menerima impuls strech reseptor (reseptor

regangan) dari kandung kemih yang dibawa oleh nervus pelvikus ke korda spinalis S 2-4 dan diteruskan

sampai ke otak melalui traktus spinotalamikus. Sinyal ini akan memberikan informasi kepada otak

tentang volume urine di dalam kandung kemih. Jalur aferen dari sfingter uretra eksterna dan uretra

mengenai sensasi suhu, nyeri, dan adanya aliran urine di dalam uretra. Impuls ini dibawa oleh nervus

pudendus menuju korda spinalis S2-4.

Serabut eferen parasimpatik berasal dari korda spinalis S2-4 dibawa oleh nervus pelvikus dan

memberikan inervasi pada otot detrusor. Asetilkolin (Ach)adalah neurotransmitter yang berperan dalam

penghantaran signal saraf kolinergik, yang steelah berikatan dengan reseptor muskarinik menyebabkan
kontraksi otot detrusor. Reseptor muskarinik yang banyak berperan di dalam kontraksi kandung kemih

adalah M2 dan M3. Peranan sistem parasimpatik pada proses miksi berupa kontraksi detrusor, dan

terbukanya sfingter uretra.

Serabut saraf simpatik berasal dari korda spinalis segmen thorako-lumbal (T10 – L2) yang dibawa

oleh nervus hipogastrikus menuju kandung kemih dan uretra. Teradapat 2 jenis reseptor adrenergik yang

letaknya berada di dalam kandung kemih dan uretra, yaitu reseptor adrenergik yang banyak terdapat

pada leher kandung kemih (sfingter interna) dan uretra posterior, serta reseptor adrenergik yang banyak

terdapat pada fundus kandung kemih. Rangsangan pada reseptor adrenergik menyebabkan kontraksi,

sedangkan pada menyebabkan relaksasi. Sistem simpatis ini berperan pada fase pengisian yaitu

menyebabkan terjadinya : (1) relaksasi otot detrusor karena stimulasi adrenergik dan (2) kontraksi

sfingter interna serta uretra posterior karena stimulasi adrenergik yang betujuan untuk mempertahankan

resistensi uretra agar selama fase pengisian urine tidak bocor (keluar) dari kandung kemih.

Serabut saraf somatik berasal dari nukleus Onuf yang berada di kornu anterior korda spinalis S2-

4 yang dibawa oleh nervus pudendus dan menginervasi otot bergaris sfingter eksterna dan otot-otot dasar

panggul. Perintah dari korteks serebri (secara disadari) menyebabkan terbukanya sfingter eksterna pada

saat miksi.

Pada saar kandung kemih terisi oleh urine dari kedua ureter, volume kandung kemih bertambah

besar karena ototnya mengalami peregangan. Regangan itu menyebabkan stimulasi pada stretch

reseptor yang berada di dinding kandung kemih yang kemudian memberikan signal kepada otak tentang

jumlah urine yang mengisi kandung kemih. Setelah kurang lebih terisi separuh dari kapasitasnya, mulai

dirasakan oleh otak adanya urine yang mengisi kandung kemih.

Pada saat kandung kemih sedang terisi, tejadi stimulasi pada sistem simpatik yang

mengakibatkan kontraksi sfingter uretra interna (menutupnya leher kandung kemih), dan inhibisi sistem

parasimpatik berupa relaksasi otot detrusor. Kemudian pada saat kandung kemih terisi penuh dna timbul

keinginan untuk miksi, timbul stimulasi sistem parasimpatik dan menyebabkan kontraksi otot detrusor,

serta inhibisi sistem simpatik yang menyebabkan relaksasi sfingter interna (terbukanya leher kandung

kemih). Miksi kemudian terjadi jika relaksasi sfingter uretra eksterna dan tekanan intravesikal melebihi

tekanan intrauterina.
Kelainan pada unit vesiko-uretra dapat terjadi pada fasae pengisian atau pada fase miksi.

Kegagalan kandung kemih dalam memnyimpan urine menyebabkan urine tidak sempat tersimpan di

dalam kandung kemih dan keluar melalui kandung kemih, yaitu pada inkontinensia urine sedangkan

kelainan pada fase miksi menyebabkan urine tertahan di dalam kandung kemih sapai terjadi retensi urine

(Purnomo, 2003).

C. Anatomi dan Fisiologi Dasar Panggul

Dasar panggul membentuk landasan bagi panggul dan terdiri atas otot perineum, fascia dan

levator ani profunda, serta otot koksigeus (Eileen, 2009). Dasar panggul adalah diafragma muskuler yang

memisahkan cavum pelvis di sebelah atas dengan ruang perineum di sebelah bawah. Sekat ini dibentuk

oleh m. Levator ani, serat m. Coccigeus dan seluruhnya ditutupi oleh fascia parietalis (Patrick H, (2002);

Loetan F, (2006); Gosling J, (1999); dan Callahan, (2004)).

Otot-otot dasar panggul memegang peranan penting dalam menyokong kandung kemih. Otot-

otot ini tidak hanya harus mampu berkontraksi secara volunter (dan cepat pada satu waktu) tetapi juga

harus dapat mempertahankan tonus istirahat secara berkelanjutan. Penyokong organ pelvis yang utama

ada pada otot levator ani. Saat otot levator ani berkontraksi, leher kandung kemih terangkat dan

membantu menahan gaya yang timbul dari setiap peningkatan tekanan intraabdominal atau

intrauretra. Fascia, seperti pelvic danendopelvic fascia, membantu mempertahankan sokongan kandung

kemih. (Vitriana, 2002).

1. Otot Perineum Superfisial

Otot perineum superfisial terdiri atas serabut tipis kecil otot yang menyebar ke arah luar tulang

pelvis pada setiap sisi dari arah sentral tendinus korpus peritoneum. Korpus peritoneum merupakan

piramida otot dan jaringan fibrosa, letaknya antara vagina dan rektum. Bulbospongiosus melekat pada

korpus peritoneum di sekeliling vagina sampai ke klitoris. Iskiokavernosus melekat pada tuberositas

iskium dan klitoris. Otot perineal transversus superfisial melekat pada tuberositas iskium sampai ke

korpus peritoneum. Sfingter ani eksternal mengelilingi orifisium anal dan tertanam di bagian depan

korpus peritoneum serta melekatkan diri pada bagian belakang tulang koksik (Eileen, 2007)
2. Levator Ani

Lapisan dalam otot ini dapat dikenal pula sebagai satu serabut otot yang terlindungi oleh fascia

pelvis; otot ini membentuk suatu penyangga yang kokoh, yang menyangga viscera abdominal. Otot ini

terbagi dalam iskiokoksigeus (kadang dikenal sebagai koksigeus), iliokoksigeus, pubokoksigeus, dan

puborektalis, serta dilekatkan ke permukaan pelvis dari spina iskia. Serat otot ini dengan beragam derajat

obliknya membentang pada sisi vagina yang bermuara ke korpus peritoneum.

Iskiokoksigeus merupakan otot segitiga yang bentuknya kecil, membentang pada bagian superior

dan posterior, namun pada bidang yang sama, dianggap sebagai bagian levator ani, namun kerap pula

dianggap sebagai bagian yang terpisah. Otot ini muncul dari spina iskia dan ligamen sakrospina serta

membentang ke bagian atas koksik dan bagian bawah sakrum. Iliokoksigeus muncul dari fascia di atas

obturator internus dan spina iskia (Eileen, 2007). Illiococcigeus berasal dari arkus tendendeneus levator

ani (ATLA), penebalan dari fascia yang meliputi obstruktor internus yang berjalan dari spina ischiadika ke

permukaan posterior dari ramus superior ipsilateral, masuk ke garis tengah melalui raphe anococcigeal

(Roger R M, 2003).

Serat puborektalis medialis menjulur pada sisi vagina dan uretra, sebelum masuk ke bagian

korpus peritoneum, dan serat lateralnya pada masing-masing sisi mengitari rektum dan bersatu dengan

sfingter anus eksternal. Serat ini muncul dari bagian spina iskia dan meletakkan dirinya ke tulang koksik

dan sakrum bagian bawah (Eileen, 2007). Puborektalis juga berasal dari tulang pubis, tetapi serabutnya

melewati bagian posterior dan membentuk tali gantungan di sekeliling vagina, rektum dan perineum,

membentuk sudut anorektal dan menutupi urogenital (Roger R M, 2003)

Serat pubokoksigeus muncul dari tulang pubis dan fascia di atas obturator internal dan melekat

ke bagian anterior koksik (Eileen, 2007). Otot pubococcigeus berasal dari posterior inferior ramus pubis

dan masuk ke garis lengan organ visceral dari anococcigeal raphe (Roger R M, 2003).

Ruangan antara muskulus levator ani dimana dilalui oleh uretra, vagna dan rektum disebut

sebagai hiatus urogenital. Fusi dari levator ani dimana mereka bergabung pada garis tengah disebut

sebagai lempeng levator. Otot dasar panggul khususnya muskulus levator ani, mempunyai peranan

penting dalam menyangga organ visera pelvis dan peran integral pada fungsi berkemih, defekasi dan

seksual (Roger R M, 2003).


Otot levator ani dapat dibagi menjadi 4 regio sesuai dengan lokasi anatomisnya

: pubococcygeus (otot pubovisceral), iliococcygeus, pubovaginalis sertapuborectalis dan puboanalis.

Kontinensia dipertahankan terutama oleh serabut medial levator ani. Pada serabut otot ini terdapat

kombinasi serabut slow- dan fast-twitch. Serabut slow-twitch berfungsi dalam respon postural

sedangkan fast-twitch diperlukan untuk stimulus yang bersifat mendadak. Otot lain yang juga terdapat

dalam diafragma pelvis adalah obturator internis dan piriformis (Vitriana, 2002).

3. Fascia Dasar Panggul

Segitiga urogenital atau diafragma urogenital adalah dua lapisan fascia, mengisi ruang segitiga di

bawah simfisis pubis dan ramus pubis.Fascia ini terbelah pada bagian tengahnya untuk memberi ruang

bagi vagina dan uretra. Fascia ini juga membungkus levator ani. Fascia terdiri dari sedikit serabut otot,

disebut kompresor uretra dan peritoneum transversum profunda. Peritoneum transversum profunda

melekat pada korpus peritoneum, berfungsi membungkus dan menjadi perlekatan otot dan dapat sangat

tergang selama proses persalinan (Eileen, 2007)

4. Persyarafan

Otot-otot diatas dipersarafi oleh pleksus pudendus, yang merupakan sistem persyarafan yang

berasal dari nervus sakralis ke-2, ke-3, ke-4 dan kadang-kadang ke-5 (S2-5) (Eileen, 2007). Fasilitasi dan

inhibisi syaraf otonom dilakukan dibawah kontrol susunan syaraf pusat. Denny-Brown dan Robertson

menduga bahwa proses berkemih terutama dimediasi oleh refleks miksi sakral. Menurut teorinya, jalur

sistem syaraf yang menurun (descending) akan memodulasi refleks miksi ini. Barrington, Bradley dan de

Groat dalam Vitriana (2002) menduga bahwa impuls fasilitasi ke kandung kemih berasal dari regio di

anterior pons yang disebut dengan “Barrington’s Center”. Carlson memberikan bukti bahwa

area mesenceohalic pontine ini juga memegang peranan penting dalam mengkoordinasikan aktivitas
detrusor dan sfingter. StimulasiBarrington’s center secara signifikan akan menurunkan aktivitas EMG di

sfingter lurik periuretral dan menimbulkan kontraksi kandung kemih.

Dari penelitian transeksi kucing diduga efek korteks serebral pada proses berkemih dalam

inhibisi. Hal ini juga terjadi pada basal ganglia dan berhubungan dengan keadaan klinis detrusor

hyperflexia pada pasien dengan disfungsi basal ganglia (contohnya penyakit Parkinson). Cerebellum juga

diduga mempertahankan tonus otot-otot dasar panggul dan mempengaruhi koordinasi antara relaksasi

otot lurik periuretral dan pengosongan kandung kemih (Linsenmeyer TA and Stone JM., 1998; Steers WD

& Zorn BH., 1997).

5. Fungsi Gabungan Otot Dasar Panggul

a. Membentuk dasar pintu atas panggul

b. Menjaga kestabilan panggul bersama dengan transversus abdominis

c. Menyangga organ pelvis

d. Kontra-kerja perubahan pada tekanan abdomen yang disebabkan oleh aktivitas seperti batuk dan

mengangkat benda

e. Membantu mempertahankan kontinensia

f. Memfasilitasi berkemih, defekasi dan persalinan

g. Menghasilkan suatu terowongan yang dapat membantu rotasi kepala janin selama persalinan

h. Peran penting dengan berhubungan dengan pasangan

Fungsi diatas hanya efisien jika otot tersebut dalam keadaan kuat. Kelemahan otot ini sebaliknya

dapat mengakibatkan inkontinensia urin dan prolaps uterus dan/atau dinding vagina (Eileen, 2007).

Menurut Loetan F (2006) dan Roger R M (2003), fungsi utama panggul adalah supportir, sfingterik dan

fungsi seksual.

B. Inkontinensia Urine
1. Definisi Inkontinensia Urine

Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefinisikan sebagai keluarnya urin

secara involunter yang menimbulkan masalah sosial dan higiene serta secara objektif tampak nyata.

Inkontinensia urin dapat merupakan suatu gejala, tanda ataupun suatu kondisi. Kondisi ini bukan

merupakan bagian yang normal dari proses penuaan, walaupun prevalensinya meningkat sejalan dengan

peningkatan usia (Shelly B., 1999; Sapsford RR & Hodges PW., 2001; Berek JS., 1996 dalam Vitriana

2002).

Diagnosis banding inkontinensia urin cukup luas dengan banyak penyebab. Terkadang lebih dari

satu faktor penyebab terlibat, sehingga penegakkan diagnosis dan terapinya menjadi lebih sulit.

Membedakan etiologi ini merupakan hal yang penting karena setiap kondisi memerlukan pendekatan

terapi yang berbeda (Choe Jm, dalam Vitriana 2002).

Kegagalan sistem vesiko uretra pada fase pengisian menyebabkan inkontinensia urine. Kondisi ini

dapat disebabkan oleh kelainan pada kandung kemih atau kelainan pada sfingter (uretra). Kelainan pada

kandung kemih dapat berupa overaktivitas detrusor dan menurunnya komplians kandung kemih.

Kelainan pada uretra dapat berupa hipermobilitas uretra dan defisiensi sfingter intrinsik. Kelainan yang

berasal dari kandung kemih menyebabkan suatu inkontinensia urge sedangkan kelainan dari jalan keluar

(outlet) memberikan manfaat manifestasi berupa inkontinensia stress (Purnomo, 2003).

2. Klasifikasi Inkontinensia Urine

Menurut Resnick N M dan Yalla S V (1998); Tannenbaum C, Perrin L, Dubeau C, Kuchel G A

(2001) ; Steers W D, Zorn B H, (1997); Berek J S, (1996), inkontinensia urine terbagi menjadi 2, yaitu

: Transient Incontinence dan True Incontinence.

a. Transient Incontinence

Inkontinensia transien sering terjadi pada usila. Jenis inkontinesia ini mencakup sepertiga

kejadian inkontinensia pada masyarakat dan lebih dari setengah pasien inkontinensia yang menjalani

rawat inap (Herzog dan Fultz, 1990). Penyebabnya sering disingkat menjadi DIAPPERS.
Diadaptasi dari After Du Beau, Resnick, N.M : Evaluation of the causes and severity of geriatric

incontinence. Urol Clin Nort Am 1991; 18(2):243-256 didapatkan bahwa DIAPPERS merupakan

kepanjangan dari Delirium / confusional state,Infection–urinary (symptomatic), Atrophic urethritis /

vaginitis, Pharmaceuticals,Psychological, Excessive urine output (cardiac, DM), Restricted mobility,

dan Stool impaction.

1) Delirium

Pada kondisi berkurangnya kesadaran baik karena pengaruh obat, operasi ataupun penyakit

yang bersifat akut (contohnya karena infeksi), kejadian inkontinensia akan dapat dihilangkan dengan

mengidentifikasi dan menterapi penyebab delirium. Pasien lebih memerlukan manajemen medis dalam

mengatasinya dibandingkan dengan manajemen kandung kemih (Resnick, 1988)

2) Infeksi traktus urinarius (Infection-Urinary)

Infeksi traktus urinarius yang simptomatik seperti cystitis dan urethritisdapat menyebabkan iritasi

kandung kemih sehingga timbul frekuensi, disuria dan urgensi yang mengakibatkan seorang usila tidak

mampu mencapai toilet untuk berkemih. Bakteriuria tanpa disertai piuria (infeksi asimptomatik) yang

banyak terjadi pada usila, tidak selalu mengindikasikan adanya infeksi dan bisa saja bukan etiologi

inkontinensia, tetapi banyak dokter yang akan menterapi ini dengan antibiotika walaupun hal tersebut

tidak didukung oleh bukti penelitian. (Boscia et al., 1986; Resnick, 1988).

3) Atrophic vaginitis (Atrophic Uretritis)

Jaringan yang teriritasi, tipis dan mudah rusak dapat menyebabkan timbulnya gejala rasa terbakar

di uretra, disuria, infeksi traktus urinarius berulang, dispareunia, urgensi, stress atau urge incontinence.

Gejalanya sangat responsif terhadap terapi estrogen dosis rendah, yang diberikan baik oral (0,3 – 0,6 mg
conjugated estrogen/hari) atau topikal. Gejala akan berkurang dalam beberapa hari hingga 6 minggu,

walaupun respon biokimia intraseluler memakan waktu lebih panjang (Semmens et al., 1985).

4) Obat-obatan (Pharmaceutical)

Obat-obatan sering dihubungkan dengan inkontinensia pada usila. Obat-obatan seperti diuretik

akan meningkatkan pembebanan urin di kandung kemih sehingga bila seseorang tidak dapat

menemukan toilet pada waktunya akan timbul urge incontinence. Agen antikolinergik dan sedatif dapat

menyebabkan timbulnya atonia sehingga timbul retensi urin kronis dan overflow incontinence. Sedatif,

seperti benzodiazepin juga dapat berakumulasi dan menyebabkanconfusion dan inkontinensia sekunder,

terutama pada usila. Alkohol, mempunyai efek serupa dengan benzodiazepines, mengganggu mobilitas

dan menimbulkan diuresis. Calcium-channel blockers untuk hipertensi dapat menyebabkan berkurangnya

tonus sfingter uretra eksternal dan gangguan kontraktilitas otot polos kandung kemih sehingga

menstimulasi timbulnya stress incontinence. Obat ini juga dapat menyebabkan edema perifer, yang

menimbulkan nokturia. Agen alpha-adrenergik yang sering ditemukan di obat influenza, akan

meningkatkan tahanan outlet dan menyebabkan kesulitan berkemih; sebaliknya obat-obatan ini sering

bermanfaat dalam mengobati beberapa kasus stress incontinence. Alpha blockers, yang sering

dipergunakan untuk terapi hipertensi dapat menurunkan kemampuan penutupan uretra dan

menyebabkan stress incontinence.

5) Psikologis (Psychological)

Proses psikologis yang menyebabkan timbulnya inkontinensia belum pernah diteliti, tetapi hal ini

jarang terjadi pada orang usila dibandingkan dengan yang muda. Depresi dan kecemasan dapat

menyebabkan pasien mengalami “kebocoran” urin. Mekanisme ini biasanya merupakan kombinasi

dari bladder overactivity dan relaksasi sfingter uretra yang tidak tepat. Intervensi awal ditujukan pada

gangguan psikologinya. Setelah gangguan tersebut diatasi tetapi masih terdapat inkontinensia maka

harus dilakukan evaluasi lebih lanjut.


6) Output Urin yang Berlebihan (Excessive urine output)

Output urin yang berlebihan bisa disebabkan oleh karena intake cairan yang banyak, minuman

berkafein, dan masalah endokrin. Diabetes mellitus melalui efek diuresis osmotiknya dapat menyebabkan

suatu kondisi overactive bladder. Diabetes insipidus juga akan menyebabkan terjadinya peningkatan

produksi urin hingga 10 liter per hari pada kandung kemih sehingga menimbulkan overflow

incontinence. Kondisi hipertiroid dapat menginduksi kandung kemih menjadioveractive, sehingga

menimbulkan kondisi urge incontinence. Disamping itu, kondisi hipotiroidism dapat menyebabkan

kandung kemih hipotoni dan menimbulkan overflow incontinence.

7) Mobilitas yang terbatas (Restricted mobility)

Umumnya hal ini yang sering menimbulkan inkontinensia pada usila. Keterbatasan mobilitas ini

dapat disebabkan karena kondisi nyeri arthritis, deformitas panggul, deconditioning fisik, stenosis spinal,

gagal jantung, penglihatan yang buruk, hipotensi postural atau post prandial, claudication, perasaan takut

jatuh, stroke, masalah kaki atau ketidakseimbangan karena obat-obatan. Pemeriksaan yang cermat

sering mendapatkan bahwa hal ini sebetulnya merupakan penyebab yang dapat dikoreksi. Jika tidak

dapat dilakukan koreksi, maka pola miksi di samping atau di tempat tidur dapat mengatasi masalah ini.

8) Impaksi feses (Stool impaction)

Diimplikasikan sebagai penyebab inkontinensia urin hampir lebih dari 10% pasien yang dirujuk ke

klinik inkontinensia (Resnick, 1988). Impaksi feses akan mengubah posisi kandung kemih dan menekan

syaraf yang mensuplai uretra serta kandung kemih, sehingga akan dapat menimbulkan kondisi retensi

urine dan overflow incontinence.

b. True Incontinence / Established Incontinence

Jika kebocoran menetap setelah penyebab inkontinensia transien dihilangkan, perlu

dipertimbangkan penyebab inkontinensia yang berasal dari traktus urinarius bagian bawah.
True incontinence dapat diklasifikasikan berdasarkan gejalanya menjadi :

1) Stress incontinence

Genuine stress incontinence (GSI) terjadi saat tekanan intravesikal melebihi tekanan maksimum

uretra tanpa disertai aktivitas detrusor yang menyertai peningkatan tekanan intra abdominal. Peningkatan

tekanan intra abdominal biasanya terjadi saat batuk, bersin, tertawa dan aktivitas fisik tertentu (contoh :

mengedan).

GSI dapat terjadi karena penurunan leher kandung kemih dan uretra bagian proksimal, hilangnya

tahanan uretra atau keduanya (paling sering). Tekanan uretra yang rendah didefinisikan sebagai suatu

kondisi dimana tekanan uretra maksimum kurang dari 20cm H2O atau Valsava leak pressure kurang dari

60cm H2O.

2) Overflow incontinence

Terjadi karena kandung kemih mengalami distensi secara berlebihan hingga ke titik dimana

tekanan intravesikal melebihi tahanan uretra (tahananoutlet), tetapi tanpa disertai dengan adanya

aktivitas detrusor atau relaksasioutlet. Kondisi ini bisa terjadi karena dua hal, yaitu :

a) Obstruksi outlet kandung kemih contoh Benign Prostat Hyperplasia pada pria, stenosis uretra pada

wanita, kontraktur leher kandung kemih, pasca operasi anti inkontinen seperti pubovaginal

sling atau bladder neck suspension.

b) Kandung kemih atoni seperti pada diabetic autoneuropathy, spinal cord trauma, herniated lumbar disc,

peripheral neuropathy.

Sulit untuk membedakan antara 2 etiologi tersebut diatas (terutama pada usila dengan diabetik

yang disertai dengan pembesaran prostat) akan tetapi pemeriksaan Pressure-Flow Study (PFS) akan

menampakkan bentuk high pressure-low flow untuk obstruksi prostatik dan low pressure-low flow untuk

atonia kandung kemih. Riwayat klasik untuk kondisi ini adalah adanya nocturnal enuresis. Terkadang

pasien merasakan hal tersebut sebagai “stress incontinence”. Kecurigaan akan kondisi ini didasarkan
pada penemuan adanya kandung kemih yang berdistensi pada pemeriksaan abdominal dan PVR yang

besar.

3) Urge incontinence

Tipe inkontinensia ini ditandai dengan adanya keinginan berkemih yang kuat secara mendadak

tetapi disertai dengan ketidakmampuan untuk menghambat refleks miksi, sehingga pasien tidak mampu

mencapai toilet pada waktunya. Riwayat kondisi ini khas dengan adanya gejala overactive

bladder(frekuensi, urgensi) serta faktor-faktor presipitasi yang dapat diidentifikasi, seperti cuaca dingin,

situasi yang menekan, suara air mengalir. Urge incontinence dapat disebabkan oleh karena detrusor

myopathy, neuropathy atau kombinasi dari keduanya. Bila penyebabnya tidak diketahui maka disebut

dengan idiopathic urge incontinence.

4) Reflex incontinence

Hilangnya inhibisi sentral dari jaras aferen atau eferen antara otak dansacral spinal cord. Kondisi

ini terjadi sebagai akibat kelainan neurologis susunan syaraf pusat. Merupakan suatu bentuk

inkontinensia dengan keluarnya urin (kontraksi detrusor involunter) tanpa suatu bentuk peringatan atau

rasa penuh (sensasi urgensi). Biasanya terjadi pada pasien stroke, Parkinson, tumor otak, SCI atau

multiple sclerosis. Adanya relaksasi uretra yang tidak tepat atau beberapa bentuk abnormalitas sfingter

diduga merupakan penyebab terjadinya hal ini.

5) Mixed Incontinence

Merupakan inkontinensia urin kombinasi antara stress dan urge incontinence. Pada kondisi ini

outlet kandung kemih lemah dan detrusor bersifatoveractive. Jadi pasien akan mengeluhkan adanya

keluarnya urin saat terjadi peningkatan tekanan intra abdominal disertai dengan keinginan kuat untuk

berkemih. Penyebab yang paling sering adalah kombinasi hipermobilitas uretra dan intabilitas detrusor.

Salah satu contoh klasik keadaan ini tampak pada pasien meningomyelocele disertai dengan leher
kandung kemih yang inkompeten dan detrusor hyperreflexic. Terapinya sama dengan terapi urge

incontinence.

6) Total incontinence

Kondisi ini terjadi pada dua situasi :

a) Saat terdapat bnormalitas kongenital traktus urinarius bagian bawah, contoh : insersi ureter ektopik

dibawah sfingter eksternal. Pasien mengeluhkan adanya dribbling urin secara terus menerus.

b) Pasca operasi (lebih sering) contoh vagino-vesical fistula, pasca TURP, pasca prostactetomy radikal.

Terjadi kebocoran terus menerus dan kandung kemih tidak lagi mampu untuk melakukan fungsi

penyimpanan.

3. Inkontinensia Urine pada Ibu Postpartum

Setiap kelahiran dapat menyebabkan kerusakan pada otot dasar panggul. Pada saat kepala bayi

keluar dari vagina, tekanan yang terjadi pada kandung kemih, uretra dan terlebih pada otot dasar panggul

serta penyokongnya dapat merusak struktur ini. Sobekan atau tekanan yang berlebihan pada otot,

ligamentum, jaringan penyambung dan jaringan syaraf akan menyebabkan kelemahan yang progresif

akibat kelahiran bayi.Wanita yang melahirkan dengan forcep, ekstraksi vakum atau melhirkan bayi

dengan berat badan > 4000 gr akan mengalami resiko peningkatan inkontinensia urin. Persalinan seperti

ini memiliki tendensi terjadinya peningkatan kerusakan saraf dasar panggul (Eileen, 2007)

Kelainan struktur atau fungsi otot dasar panggul akan menyebabkan timbulnya prolapsus organ

panggul, disfungsi seksual, sindrom nyeri panggul kronis dan inkontinensia urin serta fekal. Kebanyakan

disfungsi dasar panggul (terutama prolapsus organ panggul inkontinensia urin dan fekal) dihubungkan

dengan kerusakan dasar panggul selama persalinan pervaginam (Eileen, 2007)

Pada 24 jam pertama setelah melahirkan akan terjadi retensi urin yang disebabkan oleh edema

trigonium, diphorosis dan depresi dari sphincter uretra. Bilawanita pasca persalinan tidak dapat berkemih

dalam waktu 4 jam pasca persalinanmungkin ada masalah dan sebaiknya segera dipasang dower kateter
selama 24 jam. Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam waktu 4 jam, lakukan kateterisasi dan

bila jumlah residu > 200 ml maka kemungkinan ada gangguan proses urinasinya. Maka kateter tetap

terpasang dan dibuka 4 jam kemudian , bila volume urine < 200 ml, kateter dibuka dan pasien diharapkan

dapat berkemih seperti biasa. (Lusa, 2010)

Setelah retensi teratasi dan plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen akan menurun sehingga

menyebabkan hilangnya peningkatan tekanan vena pada tingkat bawah, dan hilangnya

peningkatan volume darah akibat kehamilan, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mengatasi

kelebihan cairan. Keadaan ini disebut dengandiuresis pasca partum (Lusa, 2010).

Diuresis pada ibu dengan disfungsi dasar panggul akan memudahkan terjadinya inkontinensia urin

pada ibu post partum. Hal ini diperburuk oleh penambahan berat badan yang harus disokongnya. Etiologi

dari Inkontinensia Urin stress tidak begitu dimengerti, namun trauma pada saat kelahiran bayi merupakan

penyebab potensial terhadap kejadian ini ( Handa et al, 1996; Volleys 1988; Morkved & Bo 1996; Chiarelli

& Cockburn, 1999; Persson et al, 2000). Ada pandangan umum bahwa sepertiga dari seluruh ibu yang

telah memiliki anak, menderita gangguan ini, mulai dari seluruh ibu yang telah memiliki anak, menderita

gangguan ini, mulai dari kondisi ringan sampai berat pada masa pascanatal (Wilson et al., 1996; Morkved

& Bo, 1999).

Marshal et al., (1996) menyatakan berdasarkan surveinya, sebanyak 59% dari wanita Irlandia

pascapartum mengalami gejala inkontinensia. Dalam sebuah penelitian tahun 1990, ditemukan fakta 80%

ibu primipara yang telah menjalani persalinan per vaginam dari hasil pemeriksaan elektromiografik

memperlihatkan terjadinya reinervasi otot dasar panggul pada minggu ke-8 pascapartum (Allen et al.,

1990).

Inkontinensia yang sering terjadi pada ibu post partum adalah inkontinensia urine stres.

Inkontinensia urine stres (SUI) adalah keluarnya urine dari uretra pada saat terjadi peningkatan tekanan

intaabdominal. Terjadinya inkontinensia ini karena faktor sfingter (uretra) yang tidak mampu

mempertahankan tekanan intrauretra pada saat tekanan intravesika meningkat atau saat kandung kemih

terisi. Peningkatan tekanan intraabdominal dapat dipacu oleh batuk, bersin, tertawa, berjalan, berdiri,

atau mengangkat benda berat (Purnomo, 2003).

Kebanyakan kasus inkontinensia stress berespons terhadap program latihan dasar panggul

(Kegel Exercise) pada masing-masing individu. Kegel Exercise sudah terbukti mampu mengatasi
masalah inkontinensia urin (Kegel 1948; Bo 1995; Sleep 1987; Sampselle et al. 1996; Morkved & Bo

1996; Dougherty et al. 1989).

Seluruh ibu yang mengalami gejala inkontinensia urin yang menetap setelah minggu ke-12 harus

dianjurkan untuk mendapatkan rujukan ahli fisioterapi kesehatan wanita, baik melalui pelayanan harian

umum, atau sebagai seorang konsultan, karena ibu harus dikaji dan diberi saran yang tepat dalam

melakukan latihan dasar panggul (Bump et al., 1991).

Beberapa masalah umum yang munkgin menimbulkan gejala pascanatal adalah frekuensi, urgensi

dan prolaps. Setelah pengkajian, kondisi ini dapat berespons terhadap pelaksanaan latihan kandung

kemih, latihan dasar panggul dan elektroterapi serta harus dirujuk ke ahli fisioterapi kesehatan wanita.

C. Kegel Exercise

1. Definisi Kegel Exercise

Kegel Exercise atau biasa disebut latihan otot dasar panggul adalah latihan yang bertujuan untuk

mengembalikan fungsi sepenuhnya sesegera mungkin dan membantu mencegah masalah atau prolaps

urine jangka panjang. Senam dasar panggul harus dimulai sesegera mungkin setelah persalinan untuk

mencegah hilangnya kendali kortikal pada otot-otot karena nyeri perineum dan cemas tentang kerusakan

jahitan (Stepherd, 1980). Ibu yang baru saja menjalani episiotomi setelah terlebih dahulu diberi anestesi

epidural, mungkin akan merasakan nyeri perineum tiba-tiba yang amat sakit, setelah persalinan yang

tidak terasa nyeri. Ibu pada saat ini memerlukan pereda nyeri untuk mencegah inhibisi kontraksi dasar

panggul, sleuruh ibu harus dimotivasi untuk menggerakkan otot dasar panggul sedikit dan sesering

mungkin, perlahan dan cepat, pada masa pascapartum dini. Pada pascalahir, ibu mungkin mengalami

kesulitan melakukan latihan dasar panggul, karena mekanisme peregangan yang ditimbulkannya pada

saat persalinan dan kemungkinan ketidaknyamanan yang berasal dari perineum yang mengalami sutura

atau memar. Penenangan mungkin diperlukan ketika ia mungkin menemukan bahwa ia tidak dapat

mencapai jumlah kontraksi yang mampu dilakukannya pada antenatal.

2.Teknik Kegel Exercise


Kegel Exercise untuk mengatasi kejadian inkontinensia urin pada ibu postpertum dapat dilakukan

dengan cara :

a. Kedutan Perlahan tipe I (Slow Twitch I)

1. Mengencangkan anus seperti menahan defekasi.

2. Mengerutkan uretra dan vagina seperti menahan berkemih.

3. Tahan dengan kuat selama mungkin sampai 10 detik dengan tetap bernapas secara normal.

4. Rileks dan istirahat selama 3 detik.

5. Ulangi dengan perlahan sebanyak mungkin sampai maksimum 10 kali.

b. Kedutan Cepat tipe II (Fast Twitch II)

Setelah melakukan gerakan itu, ulangi senam dengan mengencangkan dan mengendurkan dengan lebih

cepat sampai 10 kali tanpa menahan kontraksi.

Untuk merencanakan senam dasar panggul secara mandiri, ingatlah lamanya dalam detik. Anda

dapat menahan kontraksi dan hitung berapa kali Anda dapat mengulang latihan sebelum otot menjadi

lelah. Tujuannya untuk meningkatkan jumlah latihan sampai sebanyak 10 x 10, yang dialkukan dalam

beberapa minggu (Eileen, 2007)

Dengan melatih otot-otot tersebut secara perlahan dan cepat, baik serat ototyang

berkedut perlahan (tipe I) maupun berkedut cepat (tipe II) akan teraktivasi (Gippin et al., 1989). Prosedur

senam dasar panggul dapat diingat dan dilakukan bersama aktifitas yang berkaitan dengan bayi,

misalnya menyusui, memandikan membasuhnya. Aktifitas ini dapat dilakukan sambil ibu duduk di kamar

mandi setiap habis berkemih. Ini adalah posisi relaks untuk mengontraksi otot-otot tersebut. Sebuah

tanda pengingat untuk melakukan aktivitas ini, dapat ditempelkan di balik pintu kamar mandi rumah sakit.

Bila nyeri perineum membuat senam menjadi sulit dilakukan dalam posisi duduk, posisi lain yang dapat
dipakai adalah telungkup, atau berbaring miring dengan bantal diletakkan di antara kaki, atau berdiri

dengan kedua kaku direntangkan (Eileen, 2007)

Ibu harus dianjurkan untuk membebat area dasar panggul ketika batuk, tertawa, mengangkat,

atau jongkok. Ibu harus diberi tahu bahwa kondisi ini dapat berlangsung tiga bulan untuk memperoleh

kembali fungsi penuh dasar panggul. Namun, semua ibu dianjurkan untuk melanjutkan senam dasar

panggul secara teratur sepanjang hidup, agar terhindar dari gangguan berkemih di kemudian hari.

Mereka dapat menguji kekuatan fungsi otot-otot dasar panggul pada 8-12 minggu pascalahir, dengan

cara melompat dengan kondisi kandung kemih penuh dan batuk sekuat tenaga dua atau tiga kali saat

melakukan tindakan tersebut. Seharusnya tidak ada lagi urine yang menetes bila otot-otot teah mencapai

kekuatan dan fungsinya seperti semula. Bila saat pengujian terjadi penetesan, ibu sebaiknya dirujuk pada

ahli fisioterapi kesehatan wanita untuk mendapatkan terapi. Di beberapa tempat, ibu dapat merujuk

dirinya dalam 12 minggu persalinan, sebaliknya mereka memerlukan rujukan dari seorang dokter untuk

mendapatkan layanan ahli fisioterapi. Kehamilan berikutnya dianggap dapat membebani otot dasar

panggul karenanya tidak diperkenankan sampai rehabilitasi dasar panggul benar-benar pulih (Eileen,

2007).

3. Hal yang perlu diperhatikan :

a. Frekuensi

Sesering mungkin kapan pun mungkin sehingga menjadi kebiasaan. Gunakan ingatan misalnya

setelah setiap berkemih. Pengujian yang sangat jarang adalah dengan penghentian aliran tengah.

b. Saran

Berikut ini adalah saran dalam melakukan latihan ini , yaitu :

1) Biasakan melakukan senam ini dimana saja dan kapan saja

2) Hentikan aliran tengah berkemih hanya kadang-kadang

3) Jangan menahan napas


4) Jangan mengencangkan paha atau bokong

5) Kontraksikan pertama secara perlahan, kemudian secara cepat

6) Rujuk ke penasihat profesional jika perlu.


BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

PENURUNAN KEJADIAN INKONTINENSIA URIN POSTPARTUM

A. Kerangka Konsep

KEGEL EXERCISE

(LATIHAN OTOT DASAR PANGGUL)

Terapi non medikamentosa:

- Latihan Kandung Kemih

- Berkemih Dini

Terapi Pembedahan :

- Kolposuspensi retropubik

- Prosedur Ambin Suburetra


Keterangan :

: diteliti

: tidak diteliti

3.9 Hipotesis

Hipotesis merupakan suatu pernyataan yang masih lemah dan membutuhkan pembuktian untuk
menegaskan apakah hipotesis tersebut dapat diterima atau harus ditolak, berdasarkan fakta atau data
empiris yang telah dikumpulkan dalam penelitian (Hidayat, 2007).

Jadi hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan perlakuan antara kelompok yang
mendapat intervensi mengenai Kegel Exercise dengan yang tidak diberikan intervensi dalam penurunan
kejadian inkontinensia Urin.

3.10 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variable secara operasional berdasarkan karakteristik

yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara

cermat terhadap suatu objek atau fenomena. Definisi operasional ditentikan berdasarkan parameter yang

dijadikan ukuran dalam penelitian. Sedangkan cara pengukuran merupakan cara di mana variabel dapat

diukur dan ditentikan karakteristiknya (Hidayat, 2007).


Tabel 3.1

Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur

Variabel
bebas

Kegel
Exercise Suatu latihan Prosedur Lembar 1. Sebelum Nominal
post partum tetapKegel Observasi melakukan Kegel
yang Exercise (dalam bentuk Exercise
bertujuan catatan berkemih
untuk melatih harian) 2. Sesudah
otot dasar melakukan Kegel
panggul Exercise

Variabel
terikat

Penurunan
Kejadian Suatu proses Kuesioner Kuesioner(sesuai Terjadi penurunan Nominal
Inkontinensia untuk dan indikator keluhan inkontinensia
urin pada ibu menurunkan lembar inkontinensia urin, yaitu:
post partum kejadian Observasi urin)
pengeluaran 1. Sulit menahan
urin berlebih kencing saat
dikarenakan berkemih
kerja otot
2. Mengeluarkan urin
involunter.
pada saat tidak ingin
berkemih

3. Kesulitan untuk
memulai berkemih

4. Mengompol pada
malam hari

5. Mengompol saat
batuk dan tertawa

6. Berkemih [ada
malam hari > 4 kali

7. Berkemih yang
keluarnya menetes

Karakteristik
Responden

Umur
Usia Kuesioner Mengisi 1. Tidak resiko Nominal
responden Kuesioner
saat ini 2. Resiko
berdasarkan
ulang tahun
terakhir

Wanita yang
dapat
melahirkan
bayi yang
Paritas Mengisi
lahir hidup
Kuesioner Kuesioner 1. Primigravida Nominal

2. Multigravida
Pendidikan
formal yang
terakhir yang
telah
responden
selesaikan.
Mengisi
Pendidikan kuesioner
Kuesioner Dikelompokkan : Ordinal
1. Pendidikan rendah
(SD, SMP)

Jenis 2. Pendidikan tinggi


pekerjaan (SMA, Sarjana)
yang ditekuni
responden
untuk
mendapatkan
penghasilan.
1. Tidak bekerja
2. Bekerja (PNS,
Swasta, ABRI, dll.)
Mengisi
kuesioner
Pekerjaan

Kuesioner Nominal

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Menurut Nursalam (2008), rancangan penelitian eksperimen semu (Quasy-experiment) adalah

rancangan penelitian yang berupaya untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara

melibatkan kelompok kontrol di samping kelompok eksperimental. Tapi pemilihan kedua kelompok ini

tidak menggunakan teknik acak. Rancangan ini biasanya menggunakan kelompok subjek yang telah
terbentuk secara wajar (teknik rumpun), sehingga sejak awal bisa saja kedua kelompok subjek telah

memiliki karakteristik yang berbeda. Apabila pada pasca-tes ternyata kedua kelompok itu berbeda,

mungkin perbedaannya bukan disebabkan oleh perlakuan tetapi karena sejak awal kelompok awal sudah

berbeda.

Menurut Arikunto (2007), di dalam desain pre test dan post test group ini observasi dilakukan

sebanyak 2 kali yaitu sebelum eksperimen dan sesudah eksperimen. Observasi yang dilakukan sebelum

eksperimen disebut pre test, dan observasi sesudah eksperimen disebut post test. Perbedaan antara pre

test dan post test diasumsikan merupakan efek dari treatment atau eksperimen. Kemudian dibandingkan

hasil post test antara kelompok kontrol dan kelompok yang diberikan intervensi. Bentuk rancangan ini

dapat digambarkan sebagai berikut :

Subjek Pra Perlakuan Pasca-tes

K-A O I O1-A

K-B O - O1-B

Time 1 Time 2 Time 3

Keterangan:

K-A : Subjek (inkontinensia urine postpartum) perlakuan

K-B : Subjek (inkontinensia urine postpartum) kontrol

- : aktivitas lainnya (selain Kegel Exercise yang telah diprogramkan)

O : observasi involusi uteri sebelum Kegel Exercise (kelompok perlakuan)

I : Intervensi (Kegel Exercise)

O1(A+B) : observasi inkontinensia urine sesudah Kegel Exercise (kelompok perlakuan dan kontrol)

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi
Menurut Sastroasmoro & Ismail (1995), populasi dibedakan menjadi 2, yaitu : (1) Populasi target

dan (2) populasi terjangkau. Populasi target adalah populasi yang memenuhi kriteria sampling dan

menjadi sasaran akhir penelitian. Sedangkan populasi terjangkau adalah populasi yang memenuhi

kriteria penelitian dan biasanya dapat dijangkau oleh peneliti dari kelompoknya.

Populasi target dalam penelitian ini adalah ibu post partum dengan inkontinensia urine di kecamatan

Seberang Ulu 1 yang mencakup wilayah kerja 5 Puskesmas, yaitu: (1) Puskesmas 1 ulu, (2) Puskesmas

4 ulu, (3) Puskesmas 7 ulu, (4) Puskesmas Pembina dan (5) Puskesmas OPI. Populasi terjangkau dalam

penelitian ini adalah ibu post partum dengan inkontinensia urine di daerah Puskesmas OPI dan

Puskesmas Pembina.

Peneliti memilih daerah ini berdasarkan data Dinkes kota Palembang tahun 2009 yang menyatakan

bahwa daerah dengan pelayanan nifas tertinggi di Palembang adalah daerah Seberang Ulu 1, yaitu

sebanyak 4.830 orang (131,9 %).

2. Sampel

Teknik pengambil sampel peneliti adalah non-probability sampling, yaitu dengan

menggunakan teknik purposive sampling ( Nursalam, 2008). Purposive sampling adlaah suatu teknik

penetapan sampel dengan cara memilih sampel di antara populasi sesuai dengan dikehendaki

peneliti (tujuan/masalah penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang

telah dikenal sebelumnya.

Kriteria inklusi dalam penelitian ini :

a. Ibu postpartum yang kooperatif bersedia untuk dijadikan sampel penelitian.

b. Ibu postpartum yang berada di kawasan puskesmas OPI Jakabaring dan puskesmas Pembina Plaju

c. Ibu postpartum yang tidak lebih dari 12 bulan setelah melahirkan.

d. Ibu yang bisa membaca dan menulis.


Kriteria eksklusi:

a. Ibu postpartum yang sakit.

b. Ibu postpartum yang baru melahirkan janin mati.

c. Ibu postpartum yang baru menghadapi kuretase.

C. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di kelurahan puskesmas OPI Jakabaring dan Puskesmas Pembina Plaju.

Pemilihan tempat penelitian ini dengan alasan untuk memudahkan peneliti mencari subyek penelitian

karena pada kelurahan puskesmas OPI dan puskesmas Pembina merupakan tempat dengan tingkat

pelayanan nifas yang tinggi.

D. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal April – Mei 2011 (selama 4 minggu)

Tabel 2. Tabel dari Instansi

E. Etika Penelitian

Penelitian ini juga memenuhi prinsip etik dan formulir informed consent yang diberikan pada pasien

sebelum dilakukan penelitian.

1. Prinsip etik

Hamid (2008) menyebutkan prinsip etik, meliputi: autonomy, non-maleficence, beneficence, dan

justice. Prinsip etik yang mendasari penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:

a. Autonomy
Autonomy adalah kemampuan untuk menentukan sendiri atau mengatur diri sendiri. Subyek

penelitian diberi kebebasan untuk menentukan apakah bersedia atau tidak untuk mengikuti kegiatan

penelitian secara suka rela dengan memberikan tanda tangan pada lembar informed consent. Tujuan,

manfaat, dan risiko yang mungkin terjadi pada pelaksanaan penelitian dijelaskan, sebelum pasien

memberikan persetujuan. Subyek penelitian juga diberi kebebasan untuk mengundurkan diri pada saat

penelitian. Artinya melalui etika penelitian ini peneliti akan melakukan kontrak terlebih dahulu kepada

responden sebelum melakukan perlakuan.

b. Non-maleficence

Non-maleficence adalah tidak melukai dan tidak menimbulkan bahaya atau cidera bagi orang

lain. Subyek penelitian diupayakan bebas dari rasa tidak nyaman sebelum, selama, dan sesudah

prosedur tindakan dilakukan.

Sebelum dilakukan Kegel Exercise, peneliti berusaha untuk memberikan penjelasan kepada

responden tentang cara kerja Kegel Exercise dan mempersiapkan ibu pada posisi yang baik agar

sewaktu melakukan Kegel Exercise, ibu merasa nyaman. Selama melakukan Kegel Exercise, peneliti

mengajarkan tindakan sesuai dengan standar prosedur Kegel Exercise dan memperhatikan serta

menanyakan perasaan ibu. Setelah melakukan Kegel Exercise selama 1 minggu, peneliti melakukan

observasi terhadap keadaan ibu setelah melakukan Kegel Exercise.

c. Beneficence

Beneficence adalah prinsip untuk melakukan yang terbaik dan tidak merugikan orang lain

(Suhaemi, 2004). Pada penelitian ini saat melakukan tindakanKegel Exercise pada ibu post partum,

peneliti melakukan tindakan penelitian yang sesuai dengan standar prosedur operasional tindakan Kegel

Exercise agar tidak menimbulkan kesalahan selama proses Kegel Exercise sehingga tidak menimbulkan

masalah baru pada ibu post partum tersebut.

d. Justice
Justice adalah prinsip moral berlaku adil untuk semua individu (Suhaemi, 2004). Penelitian ini

tidak melakukan diskriminasi pada kriteria yang tidak relevan saat memilih subyek penelitian, namun

berdasarkan alasan yang berhubungan langsung dengan masalah penelitian. Subyek penelitian juga

memiliki peluang yang sama untuk dikelompokkan pada intervensi yang dilakukan dalam penelitian,

artinya setiap responden memiliki hak yang sama untuk mendapatkan tindakan yang sesuai dengan

standar operasional Kegel Exercise tanpa mengabaikan nilai moral yang berlaku di setiap daerah di

mana responden tinggal.

Informasi yang diperoleh dari pasien dirahasiakan dan anonymity(membuat data responden

dengan inisial saja tidak menuliskan nama lengkapnya) subyek juga dijaga dengan ketat. Selain itu

proses Kegel Exercise dilakukan dengan menjaga privasi dari setiap responden. Kegel Exercise biasanya

dilakukan ditempat yang membuat responden nyaman dan tidak merasa terganggu dengan adanya

responden yang lain.

2. Informed consent

Informed consent adalah persetujuan yang diberikan subyek penelitian setelah diberikan

informasi yang lengkap tentang penelitian. Persetujuan telah diberikan saat pasien telah menandatangani

lembar persetujuan (informed consent). Informed consentpada penelitian ini berdasarkan kriteria yang

dibuat Portney dan Watkins (2000) yang memuat hal-hal sebagai berikut:

b. Subyek penelitian mengetahui sepenuhnya informasi tentang penelitian, efek samping maupun

keuntungan yang diperoleh subyek penelitian.

c. Lembar persetujuan (informed consent) menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.

d. Peneliti menjawab semua pertanyaan yang berhubungan dengan penelitian pada saat kapan saja.

e. Persetujuan diberikan dengan sukarela dan tidak ada sanksi apapun jika subyek menolak untuk

berpartisipasi dalam penelitian.

f. Mempertimbangkan kemampuan subyek untuk memberikan persetujuan dengan penuh kesadaran.

g. Subyek penelitian dapat mengundurkan diri dari penelitian pada saat kapan saja dengan alasan apa saja
F. Alat Pengumpulan Data

1. Identitas pasien

Status pasien merupakan deskripsi subyek penelitian dan karakteristik ASI pada ibu menyusui.

Deskripsi subyek meliputi : umur, partus, paritas dan pendidikan. Karakteristik Inkontinensia urin pada ibu

post partum adalah : sulit menahan kencing saat berkemih, mengeluarkan urin pada saaat tidak ingin

berkemih, kesulitan untuk memulai berkemih, mengompol pada malam hari, mengompol pada saat batuk

dan tertawa, berkemih pada malam hari > 4 kali, dan berkemih yang keluarnya menetes (Nursalam,

2008)

2. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian mengunakan lembar observasi yang berisi pertanyaan yang ditanyakan dan

diamati. Lembar observasi yang diajukan berisikan identitas responden dan pertanyaan yang akan diisi

ibu setiap harinya dan akan dipantau pada saat peneliti berkunjung kembali ke rumah ibu. Lembar

observasi ini terdiri dari 3 pertanyaan seputar rutinitas Kegel Exercise yang dilakukan ibu di rumah.

Kuesioner diberikan pada saat sebelum dan sesudah tindakan Kegel Exercise yang diberi

pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Responden diminta memilih jawaban yang dianggap

benar kemudian akan dihitung frekuensinya dengan menggunakan sistem komputerisasi. Kuesioner yang

digunakan adalah jenisdichotomy question

Asuhan Post Natal Care (Nifas)


Ditulis pada 14 March 2011
KAJIAN TEORI
Pengertian
Masa post partum (nifas) adalah masa sejak melahirkan sampai pulihnya alat-alat reproduksi & anggota tubuh
lainnya yg berlangsung sampai sekitar 40 hari (KBBI, 1990).
Masa nifas atau puerperium adalah masa setelah partus selesai sampai pulihnya kembali alat-alat kandungan
seperti sebelum hamil. Lamanya masa nifas ini yaitu kira-kira 6-8 minggu.
Pembagian masa nifas dalam 3 periode:
1.) Puerperium dini yaitu kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan. Dalam Agama
Islam dianggap telah bersih dan boleh bekerja dalan 40 hari.
2.) Peurperium intermedial : yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia eksterna dan interna yang lamanya
kurang lebih 6-8 minggu.
3.) Remote puerperium adalah waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila selama
hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi.
Periode pasca partum ialah masa enam minggu setelah bayi lahir sampai organ reproduksi kembali ke keadaan
normal sebelum hamil . Periode ini kadang disebut puerperium atau trimester keempat kehamilan. Immediate
post partum –> Berlangsung dlm 24 jam pertama, Early post partum–>Berlangsung sampai
minggu pertama, Late post partum –> Berlangsung sampai masa post partum berakhir
Perubahan fisiologis yang terjadi sangat jelas , walaupun dianggap normal dimana proses-proses pada kehamilan
berjalan terbalik. Banyak faktor, termasuk tingkat energi dan tingkat kenyamanan ,kesehatan bayi baru lahir dan
perawatan serta dorongan yang diberikan oleh tenaga kesehatan profesional ikut mementuk respon ibu terhadap
bayinya selama masa ini. Untuk memberi perawatan yang menguntungkan ibu , bayi dan keluarganya, seorang
perawat harus memanfaatkan pengetahuannya tentang anatomi dan fisiologi ibu pada proses pemulihan ,
karakteristik fisik dan prilaku bayi baru lahir dan respon keluarga terhadap kelahiran seorang anak.
PERUBAHAN FISIOLOGIS PADA PERIODE PASCAPARTUM
Sistem Reproduksi
@ Uterus
Proses involusi
Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah melahirkan disebut involusi. Proses ini dimulai segera
setelah plasenta keluar akibat kontraksi otot-otot polos uterus. Sedangkan subinvolusi adalah penggagalan uterus
untuk kembali pada keadaan tidak hamil. Penyebab subinvolusi yang paling sering adalah tertahannya fragmen
plasenta dan infeksi.
Pada akhir tahap ketiga persalinan besar uterus sama dengan sewaktu usia kehamilan 16 minggu yaitu 1000g.
dalam waktu 12 jam, tinggi fundus mencapai kurang lebih 1 cm di atas umbilicus. Fundus turun kira-kira 1-2 cm
tiap 24 jam. Pada hari ke enam pascapartum fundus normal berada di pertengahan umbilicus dan simfisis. Dan
tidak bisa dipalpasi pada abdomen dihari ke sembilan. Setelah 1 minggu melahirkan uterus berada di dalam
panggul sejati dan berinvolusi menjadi kira-kira 500 g dan 350 g dua minggu setelah melahirkan. Pada masa pasca
partum penurunan kadar hormone ekstrogen dan progesterone menyebabkan terjadinya autolisis, perusakan
secara langsung jaringan hipertrofi yang berlebihan.
Kontraksi
Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna segera setelah bayi lahir, diduga terjadi sebagai respon
terhadap penurunan volume intra uteri yang sangat besar. Selama 1-2 jam pertama pasca partum intensitas
kontraksi uterus bisa berkurang dan menjadi tidak teratur. Penting sekali untuk mempertahankan kontraksi uterus
pada masa ini, sehingga biasanya diberikan suntikan oksitosin segera setelah plasenta lahir. Ibu yang
merencanakan menyusui bayinya, dianjurkan membiarkan bayinya di payudara karena isapan bayi pada payudara
merangsang pelepasan oksitosin.
Afterpains
Rasa nyeri menjadi lebih nyata setelah ibu melahirkan, di tempat uterus terlalu teregang. Menyusui dan oksitosin
tambahan biasanya meningkatkan nyeri karena keduanya merangsang kontraksi uterus.
Tempat plasenta
Regenerasi endometrium selesai pada akhir minggu ke 3 pasca partum, kecuali pada bekas tempat plasenta.
Regenerasi pada tempat ini biasanya tidak selesai sampai enam minggu setelah melahirkan.
Lokia
Rabas uterus yang keluar setelah bayi lahir sering kali disebut lokia, mula-mula berwarna merah kemudian
berubah menjadi merah tua atau merah coklat. Lokia rubra pertama mengandung darah dan debrus desidua serta
debris trofob;lastik. Aliran menyembur menjadi merah muda atau coklat setelah 3-4 hari (lokia serosa). Lokia
serosa terdiri darah lama, serum, leukosit, dan debris jaringan. Sekitar 10 hari setelah bayi lahir warna cairan
menjadi kuning sampai putih (lokia alba).lokia alba mengandung leukosit, desidua, sel epitel, mucus, serum, dan
bakteri.lokia alba bisa bertahan selama 2-6 minggu setelah bayi lahir.
Batas waktu
Lochia sejak Pengeluaran normal Pengeluaran tidak normal
melahirkan

Darah dengan bekuan, bau


amis, meningkat dengan Byk bekuan, bau busuk,
Rubra Hari 1-3
bergerak, meneteki dan pembalut penuh darah
peregangan

Pink atau coklat dengan


Bau busuk, pembalut
Serosa Hari 4-9 konsistensi,
penuh darah
serosanguineus, bau amis.

Bau busuk, pembalut


penuh darah, lochea serosa
menetap, kembali ke
Alba Hari 10 Kuning – putih, bau amis
pengeluaran pink atau
merah, pengeluaran lebih
dari 2-3 minggu.

@ Serviks
Serviks menjadi lunak segera setelah ibu melahirkan. 18 jam pasca partum serviks memendek dan konsistensinya
menjadi lebih padat dan kembali ke bentuk semula.
@ Vagina dan perineum
Estrogen pasca partum yang menurun berperan dalam pengikisan mucosa vagina dan hilangnya rugae. Vagina
yang semula sangat teregang akan kembali secara bertahap ke ukuran sebelum hamil sampai 6-8 minggu setelah
bayi lahir. Rugae akan kembali terlihat pada minggu ke empat. Pada awalnya introitus mengalami eritematosa dan
udematosa terutama pada daerah episiotomi atau jahitan laserasi. Tanda-tanda infeksi (nyeri, merah, panas,
bengkak atau rabas). Atau tepian insisi tidak saling mendekat bisa terjadi. Penyembuhan harus berlangsung dalam
2-3 minggu. Hemoroid (varises anus) sering terjadi. Gejala yang sering dialami adalah seperti rasa gatal, tidak
Nyman dan perdarahan berwarna merah terang pada waktu defecator. Ukuran hemoroid biasanya mengecil
beberapa minggu setelah bayi lahir.
@ Topangan otot panggul
Jaringan penopang dasar panggul yang terobek atau teregang saat ibu melahirkan memerlukan waktu sampai
enam bulan untuk kembali ke tonus semula. Istilah relaksasi panggul berhubungan dengan pemanjangan dan
melemahnya topangan permukaan struktur panggul.
Sistem Endokrin
@ Hormon plasenta
Selama periode pascapartum terjadi perubahan hormone yang besar. Kadar estrogen dan progesterone menurun
secara mencolok setelah plasenta keluar, kadar terndahnya dicapai kira-kira 1 minggu pascapartum. Penuruna
kadar estrogen berkaitan dengan pembengkakan payudara dan diuresis cairan ekstrasellular yang berlebih yang
terakumulasi selama masa hamil. Pada wanita yang tidak menyusui kadar estrogen mulai meniongkat pada minggu
kedua setelah melahirkan dan lebih tinggi daripada wanita yang menyusui pada pascapartum hari ke17 (bowes,
1991).
@ Hormone hipofisis dan fungsi ovarium
Waktu dimulainya ovulasi dan menstruasi pada wanita menyusui dan tidak menyusui berbeda. Kadar prolaktin
serum yang tinggi pada wanita menyusui tampaknya berperan dalam menekan ovulasi. Karena kadar follicle-
stimulating hormone (FSH) terbukti sama pada wanita yang menyusui dan tidak menyusui, disimpulkan
ovarium tidak berespon terhadap stimulasi FSH ketika kadar prolaktin meningkat (Bowes, 1991).
Pada wanita tidak menyusui, ovulasi terjadi dini, yakni da;lam 27 hari setelah melahirkan, dengan waktu rata-rata
70-75 hari. Pada wanita menyusui, waktu rata-rata terjadinya ovulasi sekitar 90 hari (Bowes, 1991). Diantara yang
menyusui, 15% mengalami menstruasi dalam 6 minggu dan 45% dalam 12 minggu. Diantara wanita yang tidak
menyusui, 40% mengalami menstruasi dalam 6 minggu, 65% dalam 12 minggu dan 90% dalam 24 minggu. Pada
wanita menyusui, 80% siklus menstruasi pertama tidak mengandung ovum (anovulatory). Pada wanita tidak
menyusui, 50% siklus pertama menstruasi tidak mengandung ovum (Scott dkk, 1990).
Sistem Urinarius
@ Komponen urin
Glikosuria ginjal yang diinduksi oleh kehamilan menghilang. Laktosuria positif pada ibu menyusui merupakan hal
yang normal. BUN (Blood Urea Nitrogen) yang meningkat selama pascapartum merupakan akibat otolisis uterus
yang berinvolusi. Pemecahan kelebihan protein di dalam sel otot uterus juga menyebabkan proteinurea ringan dan
( +1 ) selam satu atau dua hari setelah wanita melahirkan
@ Diuresis pascapartum
Dalam 12 jam setelah melahirkan, ibu mulai membuang kelebihan cairan yang tertimbun di jaringa selama ia
hamil, salah satu mekanisme untuk mengurangi cairan yang teretensi selama masa hamil ialah diaforesis luas,
terutama pada malam hari selama 2 – 3 hari pertama setelah melahirkan. Diuresi pasca opartu, yang disebabkan
oleh penurunan kadar estrogen hilangnya, peningkatan tekanan vena pada tungkai bawah, dan hilangnya
peningkatan volume darah merupakan mekansime lain tubuh untuk megatasi kelebihan cairan
@ Uretra dan kandung kemih
Trauma bisa terjadi pada uretra dan kandung kemih selama proses malahirkan yakni sewaktu bayi melewati jalan
lahir. Dinding kandung kemih dapat mengalami hiperemi dan edema sering disertai dengan daerah – daerah kecil
hemoragik.kombinasi trauma akibat kelahiran, peningkatan kapasitas kandung kemih setelah bayi lahir dan efek
konduksi anastesi menyebabkan keinginan untuk berkemih menurun selain itu rasa nyeri pada panggul yang
timbul akibat dorongan saat melahirkan , laserasi vagina atau episotomi juga menurunkan refleks bekemih pada
masa pasca partum tahap lanjut distensi berlebihan dapat mengakibatkan kandung kemih lebih peka terhadap
infeksi sehingga menganggu proses berkemih normal.
Sistem Pencernaan
@ Nafsu makan
Ibu biasanya lapar segera setelah melahirkan.stelah benar- benar pulih dari efek analgesia, anastesi dan keletihan
kebanykan ibu merasakan sangat lapar.
@ Motilitas
Secara khas, penurunan motlitas otot traktus cerna menetap selama waktu yang singkat setelah bayi lahir,
kelebihan anastesi dan anlgesi bisa memperlambat pengembalian tonus dan motilitas ke keadaan normal
@ Defekasi
BAB secara sponta bisa tertunda selama 2 – 3 hari setelah melahirkan. Ibu seringkali sudah mengelukan nyeri saat
defekasi karna nyeri yang dirasakannya di perineum akibat episotomi.
Sistem Kardiovaskuler
@ Volume darah
Pada minggu ketiga dan keempat setelah bayi lahir, volume darah biasanya menurun sampai mencapai volume
sebelum hamil, hipervolemia yang diakibatkan kehamilan ( peningkatan ± 40 % lebih dari volume tidak hamil dan
menyebabkan kebanyakan ibu bisa menoleransi kehilangan darah saat melahirkan, banyk ibu yang kehilangan 300
– 400 ml darah sewaktu melahirkan bayi tunggal pervaginam atau sekitar dua kali lipat pada saat operasi cesarea
@ Curah jantung
Denyut jantung, volume sekuncup dan curah jantung meningkat selama masa hamil, stelah melahirkan keadaan ini
meningkat lebih tinggi selama 30 – 60 menit karena darah biasanya melintasi uteroplasenta tiba – tiba kembali ke
sirkulasi umum.
@ Tanda-tanda vital
Selama 24 jam pertama suhu dapat meningkat sampai 380 C sebagai akibat efek dehidrasi. Setelah 24 jam wanita
harus tidak demam. Denyut nadi tetap tinggi selam jam pertama setelah bayi lahir. Kemudian mulai menurun
dengan frekuensi yang tidak diketahuinya pada minggu kedelapan dan kesepuluh denyut nadi kembali ke frekuens
sebelum hamil.pernapasan harus berada dalam rentang normal sebelum melahirkan , tekanan darah sedikit
berubah atau menetap, hipotensi ortostatik dapat timbul dalam 48 jam pertama akibat pembengkakan limpa yang
terjadi.
@ Komponen darah
Selama 72 jam pertama volume plasma yang hilang lebih besar dari sel darah yang hilang dikaitkan dengan
peningkatan hematokrit pada hari ke-3 sampai hari ke-7 post partum . selama sepuluh sampai 12 hari pertama
setelah bayi lahir nilai leukosit antara 20000 dan 25000 /ml3. . keadaan hiperkoagulasi yang bisa diiringi kerusakan
pembuluh darah dan immobilisasi dan mengakibatkan peningkatan resiko tromboembolisme terutama setalah
wanita melahirkan secar sesar.
@ Varises
Varises Bahkan varises vulva akan mengecil dengan cepat setelah bayi lahir
Sistem Neurologi
Perubahan neurologis selama puerperium merupakan adaptasi neurobiologis yang terjdi saat wanita hamil dan
disebabkan oleh trauma yang dialami wanita saat bersalin dan melahirkan, rasa tidak Nyman neurologist yang
diinduksi kehamilan akan menghilang setalah wanita melahirkan.
Sistem Muskuluskeletal
Adaptasi system musculoskeletal ibu yang terjadi slema masa hamil berlangsung secara terbalik selama masa
pasca partum adaptasi ini mencakup hal –hal yang membantu relaksasii dan hipermobilitas sendi dan perubahan
pusat berat ibu akibat pembesaran rahim .
Sistem Integumen
Hiperpigmentasi di aeorola dan line nigra tidak menghilang seluruhnya setelah bayi lahir, kulit yang meregang
pada payudara , abdomen, paha dan panggul mungkin memudar tapi tidak hilang seluruhnya pada beberapa
wanita spider nevi mentap, rambut halus yang tumbuh dengan lebat pada wanita biasanya menghilang tapi rambut
kasar menetap. Diaforesis ialah perubahan yang paling jelas pada system, integument.
Sistem Kekebalan
Kebutuhan ibu untuk mendapat vaksinasi rubella atau untuk mencegah isoimunisasi Rh ditetapkan.
Waktu sejak melahirkan Posisi fundus uteri

1-2 jam Pertengahan, antara pusat-simfisis


12 jam 1 cm bawah pusat

3 hari 3 cm bawah pusat (terus menurun 1 cm/hari)

9 hari Tidak teraba

5-6 minggu Tdk teraba, sdkt lbh besar drpd multipara

Abdomen
Apabila wanita berdiri di hari pertama setelah melahirkan abdomennya menonjol dan membuat wanita tersebut
tampak masih seperti hamil diperlukan sekitar 6 minggu untuk dinding abdomen kembali ke keadaan semula. Ada
keadan tertentu seperti bayi besar atau hamil kembar otot – otot dinding abdomen memisah suatu keadaan yang
dinamai diatsasis rektiabdominis.
Payudara
@ Ibu menyusui
Sebelum laktasi dimulai payudara teraba lunak dan suatu cairan kekuningan yakni kolostrum dikeluarkan. Stelah
laktasi payudara teraba hangat den keras ketika disentuh rasa nyeri akan menetap selam asekitar 28 jam.
@ Ibu tidak menyusui
Payudara ibu tidak menyusui biasa teraba nodular pada hari ke – 3 dan ke- 4 bisa terjadi pembengkakan (
engorgement ). Distensi payudara terutama disebabkan oleh kongesti vena dan limfatik bukan akibat penimbunan
air susu. Pembengkanan dapat hilang dengan sendirinya dan rasa tidak nyaman berkurang dalam 24 – 36 jam.
PERUBAHAN PSIKOLOGIS PADA PASCAPARTUM
Perkenalan, ikatan dan kasih sayang dalam menjadi orangtua
Walaupun sudah banyak riset dilakukan untuk membuka tabir proses orangtua bisa mengasihi dan menerima
orangtuanya, para ahli masih tidak mengetahui apa motivasi dan komitmen orangtua dan anak-anaknya selama
bertahun-tahun dalam saling mendukung dan merawat satu dan yang lain. Proses ini disebut attachment (kasih
sayang) atau bonding (ikatan),istilah yang sering tertukar pemakaiannya walaupun sebenarnya memiliki definisi
yang berbeda. Bonding, didefinisikan Brazelton (1978) sebagai suatu ketertarikan mutual pertama antara individu,
misalnya antara orang tua dan anak saat pertama kali bertemu. Attachment terjadi pada periode kritis, pada
kelahiran atau adopsi. Hal ini menjelaskan suatu perasaan menyayangi atau loyalitas yang mengikat individu
dengan individu lain.
Menurut stainton (1983), ikatan ialah pertukaran perasaan karna adanya ketertarikan, respons, dan kepuasan dan
intetensitasnya bisa berubah bila keadaan berubah seiring dengan perjalanan waktu. Ikatan berkembnag dan
dipertahankan oleh kedekatan dan interaksi.Seperti halnya setiap proses perkembangan ikatan ditandai oleh
adanya periode kemajuan dan regresi dan bisa juga terhenti sementara atau permanent.
Komunikasi orang tua
Ikatan diperkuat dengan penggunaan respon sensual atau kemampuan oleh kedua pasangan dalam melakukan
interaksi orang tua-anak.Komunikasi antara orang tua anak terdiri dari:
@ Sentuhan
Sentuhan atau indra peraba dipakai secara intensif oleh orang tua dan pengasuh lain sebagai suatu sarana untuk
mengenali bayi baru lahir. Begitu anak dekat dengan ibunya, mereka memulai proses eksplorasi dengan ujung
jarinya,salah satu daerah tubuh yang paling sensitive. Ibu menepuk atau mengusap lembut bayi mereka
dipunggung setelah menyusuinya. Bayi menepuk nepuk dada ibunya sewaktu meyusui.Ibu dan ayah ingin
menyentuh,mengangkat dan memeluk bayi mereka.
@ Kontak mata
Kesenagan untuk melakukan kontak mata diperlakukan berulang-ulang. Beberapa ibu berkata, begitu bayinya bisa
memandang mereka,mereka merasa lebih dekat dengan bayinya (Klaus,kennel,1982). Orang tua mengahbiskan
waktu yang lama untuk membuat bayinya membuka mata dan melihat mereka. ketika bayi baru lahir mampu
secara fungsional mempertahankan kontak mata, orang tua dan bayi akan mengguanakan lebih banyak waktu
untuk saling memandang seringa kali dalam posisi bertatapan.En face ialah suatu posisi dimana kedua wajah
terpisah kira-kira 20 cm pada bidang pandang yang sama.
@ Suara
Saling mendengar dan berespon suara antara orang tua dan bayinya juga penting. Orang tua menunggu tangisan
pertama bayinya dengan tegang. Saat suara yang membuat mereka yakin bayinya dalam keadaan sehat
terdengar, mereka mulai melakukan tindakan utnuk menghibur.Sewaktu orang tua berbicara dengan suara
bernada tinggi, bayi menjadi tenag dan berpaling kearah mereka.
@ Aroma
Prilaku lain yang terjadi antara orang tua dan bayi ialah respon terhadap aroma/bau masing-masing. Ibu
berkomentar terhadap aroma bayi mereka ketika baru lahir dan mengetahui bahwa setiap anak memiliki aroma
yang unik (porter,cernoch,perry,1983). Bayi belajar dengan cepat untuk membedakan aroma susu ibu
nya(stainton,1985).
@ Entrainment
Bayi baru lahit bergerak-gerak sesuai dengan struktur pembicaraan orang dewasa (condon,sander,1974). Mereka
menggoyangkan tangan, mengangkat kepala, menendang-nendangkan kaki, seperti sedang berdangsa mengikuti
nada suara orang tuannya.Hal in berarti bayi telah mengembangkan irama muncul akibat kebiasaan jauh sebelum
ia mampu berkomunikasi dengan kata-kata. Entariment terjadi saat anak mulai berbicara.
@ Bioritme
Anak yang belum lahir dapat dikatakan senada dengan ritme alamiah ibunya, misalnya pada denyut jantung.
Setelah lahir, bayi yang menangis, dapat ditenagkan dengan dipeluk dalam posisi sedemikian sehingga ia dapat
mendengar denyut jantung ibunya atau mendengar sura denyut jantung yang direkam. Salah satu tugas bayi ialah
membentuk ritme personal (bioritme). Orang tua dapat membantu proses ini dengan memberikan kasih saying
dengan konsisten dan dengan memanfaatkan waktu saat bayi mengembangkan prolaku yang responsive.
Penyesuaian maternal, paternal, saudara kandung serta kakek-nenek.
Penyesuaian maternal
@ Fase dependent
Selama 1 sampai 2 hari pertama setelah melahirkan, ketergantunganm ibu menonjol. Pada waktu ini ibu
mengharapkan segala kebutuhanya dapat dipenuhi orang lain. Ibu memindahkan energi psikologisnya kepada
anaknya. Rubbin (1961) menetapkan periode beberapa hari ini sebagai fase menerima,( Taking-in phase) suatu
waktu dimana ibu baru memerlukan perlindungan dan perawatan. Fase dependen ialah suatu waktu yang penuh
kegembiraan dan kebanyakan orang tua sangat suka mengkomunikasikannya. Pemusatan analisis dan sikap yang
menerima pengalaman ini membnatu orang tua untuk berpindah kefase berikutnya. Beberapa oaring tua dapat
menganggap petugas atau ibu yang lain sebagai pendengarnya. Kecemasakan dan keasikan terhadap peran
barunya sering mempersempint lapang persepsi ibu oleh karena itu informasi yang diberikan pada waktu ini
mengkin perlu diulang.
@ Fase dependent mandiri
Dalam fase ini secara bergantian muncul kebutuhan untuk mendapat perawatan dan penerimaan dari orang lain
dan keinginan untuk bisa melakukan segala sesuatu secara mandiri. Ia berespon dengan penuh semangat untuk
memperoleh kesempatan belajar dan berlatih tentang cara perawatan bayi atau jika ia adalah seorang ibu yang
gesit, ia akan memiliki keinginan untuk merawat bayinya secara langsung. Rubbin (1961) menjelaskan keadaan ini
sebagai fase taking-hold yang berlangsung kira-kira 10 hari. Keletihan setelah melahirkan diperburuk oleh tuntutan
bayi yang bayakn sehimngga dengan mudah timbul perasaan depresi. Dikatakan pada masa puerprium ini kadar
glukorkotikoid dalam sirkulasi dapat menjadi rendah atau terjadi hipotiroid subklinis. Keadaan fisiologis ini dapt
menjelaskan depresi pasca partum ringan( Baby blues ).
@ Fase interdependent
Pada fase ini perilaku interdependent muncul ibu dan keluarganya maju sebagai suatu system dengan para
anggota saling berinteraksi. Hubungan antar pasangan, walaupun sudah berubah dengan adanya seorang anak,
kembali menunjukkan karakteristik awal. Fase interdependent ( letting go ) merupakan fase yang penuh stress
bagi orang tuanya. Kesenangean dan kebutuhan sering terbagi dalam amsa ini. Pria danm wanita harus
menyelesaikan efek dari perannya masing-masing dalam hal mengasuh anak, mengatur rumah dan membina
karier. Suatu upaya khusus harus dilakuakn untuk memperkuat hubungan orang dewasa dengan orang dewasa
sebagai dasar kesatuan keluarga.
@ Penyesuaian Paternal
Para ahli melukiskan bebagai karakteristik engrossment.beberapa respon sensual, seperti sentuhan dan kontak
mata. Keinginan ayah untuk menemukan hal-hal yang unik maupun yang sama derngan dirinya merupakan
karakteristik lain yang berkaitan dengan kebutuhan ayah untuk merasakan bahwa bayi ini adalah miliknya. Respon
yang jelas ialah adanya daya tarik yang kuat dari bayi yang baru lahir.Menurut Henderson dan bruse (1991)
tentang pengalaman para ayah baru selama tiga minggu pertama kehidupan bayi menyatakan bahwa para ayah
baru menjalani tiga tahapa proses yaitu Tahap pertama meliputi pengalaman prakonsepsi yakni akan seperti apa
rasanya ketika membawa pulang bayi kerumah . Tahap kedua meliputi Realitas yang tidak menyenangkan
menjadi ayah baru .Beberapa ayah mulai menyadari bahwa harapan mereka sebelumnya tidak didasarkan pada
kenyataan. Perasaan sedih dan ragu sering sekali menyertai realitas. Tahap ketiga meliputi keputusan yang
dilakukan dengan sadar unutk mengontrol dan menjadi lebih aktif terlibat didalam kehidupan bayi mereka.
@ Penyesuaian saudara kandung
Memperkenalkan bayi kepada suatu keluarga dengan satu anak atau lebih bisa menjadi persoalan bagi orang
tua.Orang tua perlu membagi perhatian mereka dengan adil. Anak yang lebih tua harus menyusun posisi baru
didalam hirarki keluarga. Anak yang lebih tua harus tetap berada dalam posisi sebagai pemimpin. Anak berikutnya
dalam urutan tanggal lahir harus berada pada posisi yang lebih superior dari adiknya yang baru. Kelakuan mundur
keusia yang jauh lebih muda bisa terlihat pada beberapa anak. Mereka bisa kembali ngompol, merengek-rengek
dan tidak mau makan sendiri, reaksi kecemburuan dapat muncul ketika suaka cita akan kehadiran bayi dirumah
mulai pudar.Penyesuaian awal anak yang lebih tua terhadap bayi baru lahir membutuhkan waktu.Anak harus
diperbolehkan berinteraksi atas kemauannya sendiri dan jangan dipaksa.
@ Penyesuaian kakek dan nenek
Jumlah keterlibatan kakak dan nenek dalam merawat bayi baru lahir tergantung pada banyak factor misalnya
keinginan kakek-nenek untuk terlibat, kedekatan hubungan kakek-dan nenek dan peran kakek dan nenek dalam
konteks budaya dan etnik yang bersangkutan (grosso,dkk:1981). Nenek dari ibu ialah model yang penting dalam
praktik perawatan bayi (rubin,1975). Ia bertindak sebagai sumber pengetahuan dan sebagai individu pendukung.
Sering kali nenek dan kakek mengatakan bahwa cucu membantu mereka mengatasi rasa sepi dan kebosanan.
Dukungan kakek dan nenek dapat menjadi pengaruh yang menstabilkan keluarga yang sedang mengalami krisis
perkembangan seperti seperti kehamilan dan menjadi orang tua baru .Kakek dan nenek ini dapat membantu anak-
anak mereka mempelajari keterampilan menjadi orangtua dan mempertahankan tradisi budaya.
Faktor yang mempengaruhi respon orang tua
Usia
Masalah dan kekhawatiran ibu yang terkait dengan kelompok ibu yang berusia 35 tahun semakin banyak muncul
pada decade terakhir kali dimana pada usia ini para ibu sudah mengalami keletihan dan lelah merawat bayi .
dalam hal ini para ibu sangat membutuhkan kegiatan yang dapat membnatu ibu untuk memperoleh kembali
kekuatan tonus dan tonus otot (seperti latihan senam prenatal dan pascapartum)
Jaringan social
Primipara dan multipara memiliki kebutuhan yang berbeda.Multipara lebih realistis terhadap terhapat
keterbatasan fisik dan mudah beradaptasi terhadap peran dan interaksi sosialnya. Sedangkan primipara
membutuhkan dukungan dan tindak lanjut yang mencakup rujukan kebadan bantuan dalam masyarakat. Jaringan
social meningkatkan potensi pertumbuhan anak dan mencegah kekeliruan dalam memperlakukan anak.
Budaya
Kepercayaan dan praktek budaya menjadi determinan penting dalam prilaku orang tua. Kedua hal tersebut
mempengaruhi interaksi orang tua dengan bayi , demikian juga dengan orang tua atau keluarga yang mengasuh
bayi karna setiap orang memiliki kepercayaan terhadap budaya berbeda beda.
Kondisi social ekonomi
Kondisi social ekonomi seringkali menjadi jalan untuk mendapatkan bantuan. Keluarga yang mampu membayar
pengeluaran tambahan dengan hadirnya bayi baru ini pengeluaran tambahan dengan hadirnya bayi baru ini
mungkin hamper tidak merasakan beban keuangan tetapi dilain pihak keluarga yang menemukan kalahiran
seorang bayi suatu beban financial dapat mengalami peningkatan stress dan stess ini bisa mengganggu interaksi
orang tua terhapat bayinya
Aspirasi personal
Bagi beberapa wanita, menjadi orang tua mengganggu kebebasan pribadi dan kemajuan berkariernya kekecewaan
yang timbul akibat tidak mencapai kenaikan jabatan,kalo masalah ini tidak diselesaikan hal tersebut akan
berdampak pada cara mereka merawat dan mengasuh bayi dan bahkan mereka bisa menelantarkan bayinya
1. A. PERAWATAN IBU DAN BAYI
2. PERAWATAN PERINEUM
1. Pengertian
Membersihkan dan merawat area genitalia bagian luar setelah melahirkan
1. Tujuan:
? Memberikan rasa nyaman
? Mengurangi resiko infeksi
? Menjaga kebersihan vulva dan perineum
? Memperlancar keluarnya lokhea (darah nifas)
1. c. Alat-alat yg digunakan
- Softex atau pembalut wanita yg bersiAir hangat atau cairan antiseptik (betadine yang diencerkan, sublimat,
detol yang diencerkan, sabun, dll).
- Tissue atau handuk kecil
- Celana dalam bersih
1. Cara Perawatan Perineum
 Mencuci tangan
 Memindahkan / mengangkat softex yang telah digunakan dari depan ke belakang
 Perhatikan warna, bau dan banyaknya cairan di softek, sesuai dengan keadaan normal
 Bersihkan perineum dengan menyiramnya dengan air hangat / antiseptik di bagian atas vulva
 Keringkan area perineum dengan tissue atau handuk kecil kering dari depan ke belakang (pengusapan berulang –
ulang dihindari untuk mencegah menyebarnya kuman dan menjaga kenyamanan)
 Tempatkan softex mulai dari depan ke belakang (jangan sentuh permukaan softex yang akan menyentuh ke
perineum / genitalia) kemudian pasang celana.
 Cuci tangan kembali dengan menggunakan sabun
II. SENAM NIFAS
1. Pengertian
Senam / gerakan yang dilakukan setelah melahirkan. Dilakukan segera setelah melahirkan sampai 7 minggu dan
dilakukan 2 kali dalam sehari
1. Tujuan
 Memperbaiki sirkulasi darah
 Memperbaiki postur tubuh
 Memperbaiki tonus otot panggul
 Memperbaiki regangan otot tungkai bawah
 Memperbaiki regangan otot perut
 Meningkatkan kesadaran untuk mlakukan relaksasi
otot panggul.
1. Cara Senam Nifas
Latihan Penguatan Otot Perut
Tahap 1: Pernafasan perut
1. Tidur terlentang dgn lutut ditekuk
2. 2. Tarik nafas dalam dari hidung, usahakan rongga dada tetap dan rongga perut mengembang
3. 3. Keluarkan udara perlahan – lahan dengan menggunakan otot – otot perut.
Tahap 2: Kombinasi pernafasan perut dengan pengerutan panggul
1. Tidur terlentang dengan lutut ditekuk
2. Sambil menarik napas dalam kerutkan sekitar anus dengan pinggang mendatar pada tempat tidur
3. Keluarkan udara perlahan – lahan dorong dengan kekuatan perut dan bokong
4. Tahan 3-5 detik, lalu istirahat
5. Lakukan latihan ini sebanyak 10 kali
Tahap 3: Menggapai lutut
1. Tidur terlentang dengan lutut ditekuk
2. Sambil menarik napas dalam tarik dagu ke arah dada
3. Ambil mengeluarkan udara, angkat kepala dan bahu perlahan – lahan. Regangkan tangan sampai
menyentuh lutut. Tubuh boleh diangkat setinggi 15-20 cm.
4. Perlahan – lahan kepala dan bahu diturunkan seperti posisi semula
5. Lakukan latihan ini sebanyak 10 kali.
Latihan Penguatan Pinggang
Tahap 1: Memutar kedua lutut
1. Tidur terlentang dengan kedua lutut ditekuk
2. Pertahankan bahu tetap lurus, telapak kaki tetap dan secara perlahan – lahan putar kedua lutut sehingga
menyentuh sisi kanan tempat tidur
3. Pertahankan gerakan yang halus, putar kedua lutut kembali sampai menyentuh sisi kanan tempat tidur
4. Kembali ke posisi semula dan istirahat
5. Lakukan latihan sebanyak 10 kali.
Tahap 2: Memutar satu kaki
1. Tidur terlentang dengan kedua lutut kiri ditekuk
2. Pertahankan bahu tetap datar, secara perlahan – lahan putar lutut kiri sampai menyentuh sisi kanan tempat
tidur dan kembali ke posisi semula
3. Ganti posisi kaki, sentih sisi kiri tempat tidur dengan menggunakan lutut sebelah kanan lalu kembali ke
posisi semula dan istirahat
4. Lakukan latihan sebanyak 10 kali
Tahap 3: Memutar tungkai
1. Tidur terlentang dengan posisi lurus
2. Pertahankan bahu tetap datar, secara perlahan – lahan tungkai kiri diangkat dalam keadaan lurus dan putar
sampai menyentuh sisi kanan tempat tidur, lalu kembali ke posisi semula.
3. Ulangi gerakan kedua dengan menggunakan kaki kanan sehingga menyentuh sisi kiri.
4. Lakukan latihan sebanyak 10 kali.
Istirahat dgn Posisi Telungkup
Tidur dengan posisi telungkup dengan kaki lurus, posisi ini dapat membantu mengembalikan rahim dalam posisi
normal dan dapat mencegah kekakuan pada punggung dan bokong.
1. B. TEHNIK MENYUSUI
1. 1. Manfaat menyusui dengan benar:
 Nutrisi bayi terpenuhi
 Bayi mendapatkan imunitas yang cukup
 Mencegah bengkak pada payudara
 Mencegah nipple pecah – pecah
 Memperkuat tulang rahang bayi
 Mengurangi penggunaan tenaga yang berlebihan pada bayi
 Memberikan kenyamanan pada ibu dan bayi
1. Cara Menyusui dengan Benar
- Bibir bayi berbentuk huruf C. Otot pipi berkontraksi
- Lidah bayi ke depan memegang nipple dan areola
- Nipple dimasukkan saat lidah mendorong ke belakang dan membawa areola ke mulut.
- Bag bibir menjepit areola dan menghisap susu ke bagian akhir tenggorokan
- Posisi Menghisap dengan Botol
Karet nipple botol masuk ke rahang atas sesuai pergerakan lidah. Lidah bergerak ke depan melawan bibir untuk
mengontrol aliran susu berlebih yang masuk ke esofagus.
1. C. TEKHNIK PERAWATAN TALI PUSAT
Setelah persalinan
 Alat dan bahan
- Plastic disposable clamps atau benang kasa steril
- Aseptic antiseptic ( alkohol dan betadin )
- Kasa steril
- Handscoon
 Cara pelaksanaan:
1. Ikat tali pusat dengan plastic disposable clamps atau benang kasa steril
2. Pengikatan dilakukan dengan kuat yang mana sebelumnya harus memakai handscoon, ikatan pertama 5 cm
dari dinding perut ikatan kedua 2 cm dari pusat
3. Monitor ikatan tali pusat tiap 4 jam selama 48 jam
4. Rawat tali pusat dengan larutan aseptic antiseptic ( alkohol dan betadin )
5. Tutup tai pusat dengan kasa steril dan difiksasi dengan baik
6. Monitor balutan tali pusat, kulit sekitar umbilical diobservasi dari tanda infeksi
Perawatan sehari-hari
 Alat dan bahan
- Kain kasa
- Betadin atau alkohol 70 %
- Kapas lidi
- Hanscoon
 Cara pelaksanaan
o Langkah pertama yang dilakukan adalah memakai handscoon
o Basahi kapas lidi dengan betadin atau alkohol 70 % dan usapkan pada tali pusat bayi
o Balut dengan kain kasa tanpa menggunakan plester.
o Popok tidak boleh menutupi tali pusat. Popok yang basah dan kotor akan memperlambat pengeringan tali pusat
dan mempermudah timbulnya infeksi.
1. D. MEMANDIKAN BAYI
Sebelum memandikan bayi, kita harus memperhatikan :
1. 1. Suhu bayi. Bayi dimandikan setelah dilahirkan pada saat suhu tubuhnya sama dengan suhu ruangan:
36º C atau 36,5º C
2. 2. Memakai Handscoon, untuk bayi yang pertama kali dimandikan
Alat dan bahan :
1. Celemek
2. Washlap 2 buah
3. Sabun
4. Shampo
5. Baby Oil
6. Bedak
7. Cottonbad
8. Baju
9. Baskom 2 buah : 1 untuk air hangat dan 1 untuk pakaian kotor
Cara memandikan Bayi :
- Memakai celemek
- Memakai washlap yang sudah dicelupkan ke dalam air hangat
- Mengusap kepala bayi, membersihkan kotoran-kotoran di kepala bayi
- Memakai washlap yang lain yang diberi sampo
- Usap kepala bayi dengan sampo, bersihkan kemudian keringkan dengan handuk
- Bersihkan mata bayi dengan kapas basah, dari kantus ke luar, kemudian bersihkan wajah, telinga, dan
bagian leher.
- Bersihkan dengan handuk kering
- Lepaskan pakaian bayi, letakkan pada baskom yang telah disediakan. Lepaskan juga balutan tali pusat.
- Bersihkan seluruh badan bayi, pergelangan tangan, sela-sela jari, sela-sela kaki, punggung (balikkan bayi)
- Bersihkan dengan sabun (memakai washlap yang untuk shampo tadi)
- Bersihkan kembali dengan washlap, untuk bayi yang suster terlepas tali pusatnya, dibilas di air hangat di
dalam baskom.
- Diseka dengan handuk halus.
- Letakkan bayi di handuk /selimut yang sudah ada baju dan popok bayi
- Memakaikan bedak/minyak talon
- Memakaikan popok dan baju
- Selimuti bayi
1. E. PERAWATAN PAYUDARA
Tujuan :
1. memperlancar sirkulasi/aliran darah
2. mencegah terjadinya bendungan ASI
3. memperlancar pengeluaran ASI
Perawatan payudara ibu post partum t.d.a :
Membersihkan puting susu
Persiapan alat :
- kapas lembab
- air dalam kom
- handuk bersih
Cara kerja :
1. Kapas direndam dalam air masak
2. putting susu dibersihkan dengan kapas
3. keringkan dgn handuk
4. lakukan sebelum dan sesudah menyusui
5. Untuk puting susu yg cekung dan datar dilakukan
6. Perawatan dgn tiga tahap :
- meregangkan putting susu
- memutar putting susu
- menarik putting susu
Pengurutan/masase payudara :
Persiapan alat :
 minyak kelapa 10 cc dl tempatnya ( hindari penggunaan baby oil, minyak kayu putih atau minyak tawon )
 handuk besar 2 buah
 washlap 2 buah
 breast pump dan gelas atau botol susu
 air dingin dan air hangat dlm Waskom
 tuple hudge
Cara kerja :
- Jelaskan tujuan tindakan
- cuci tangan
- satu tangan diletakkan di punggung dan satu handuk diletakkan di bawah payudara ibu atau daerah paha
- kedua telapak tangan diberi minyak
- payudara kiri diurut dengan tangan kiri dan payudara kanan ( jika ibu melakukan sendiri ).bila dilakukan
oleh perawat àpayudara kiri diurut dengan tangan kanan dan payudara kanan diurut dengan tangan kiri, dgn cara
pengurutan dari tengah berputar ke samping terus ke bawah, secara perlahan dan halus sambil mengobservasi ibu
dan pengeluaran ASI ( ada/tidak ) dilakukan 10 – 15 kali.
- Tangan kiri menopang/menyangga payudara kiri . lakukan pengurutan dgn bagian pinggir telapak tangan
kanan mulai dari pangkal sampai aerola mammae. Selanjutnya tangan kanan menopang/menyangga payudara
kanan dan lakukan pengurutan dgn bag.pinggiran telapak tangan kiri muali pangkal sampai aerola mammae,
dilakukan 10-15 kali.posisi sama, pengurutan menggunakan ruas jari dilakukan 10-15 kali.
- Posisi sama, pengurutan menggunakan ruas jari dilakukan 10 – 15 kali
- Lakukan mandi dgn air hangat dgn menggunakan washlap ( satu washlap dimasukkan dalam air hangat,
peras ). Usap kedua payudara selanjutnya ganti dgn air dingin ( satu washlap masukkan dlm air dingin, peras
).usap kedua payudara, lakukan 6-10 kali secara bergantian dan diakhiri dgn air dingin
- Payudara dikeringkan /lap dgn menggunakan handuk yang berada pada bagian bawah payudara
- Handuk di daerah punggung dan bawah payudara dilipat dan alat lain dibereskan
- Ibu pakai baju sendiri sendiri atau dibantu perawat
KONSEP KEPERAWATAN
1. A. PENGKAJIAN
 Merujuk pada catatan riwayat keperawatan pada masa prenatal dan intrapartal.
 Melakukan pemeriksaan fisik dan pengkajian psikososial terhadap ibu, ayah dan anggota keluarga
 Perawat mendeteksi adanya penyimpangan dari kondisi yang normal
 Dari masa prenatal, kaji masalah kesehatan selama kehamilan yang pernah timbul, seperti: anemia, hipertensi
dalam kehamilan dan diabetes.
 Kaji proses persalinan, lama dan jenis persalinan, kondisi selaput dan cairan ketuban, respon bayi terhadap
persalinan, obat-obatan yang digunakan, respon keluarga khususnya ayah pada persalinan dan kelahiran.
 Dilakukan segera pada masa immediate postpartum, seperti: observasi tanda vital, keseimbangan cairan,
pencegahan kehilangan darah yang abnormal dan eliminai urin.
? Biodata Klien
Biodata klien berisi tentang : Nama, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Suku, Agama, Alamat, No. Medical Record,
Nama Suami, Umur, Pendidikan, Pekerjaan , Suku, Agama, Alamat, Tanggal Pengkajian.
? Keluhan Utama
Hal-hal yang dikeluhkan saat ini dan alasan meminta pertolongan.
? Riwayat haid
Umur Menarche pertama kali, Lama haid, jumlah darah yang keluar, konsistensi, siklus haid, hari pertama haid
terakhir, perkiraan tanggal partus.
? Riwayat Perkawinan
Kehamilan ini merupakan hasil pernikahan ke berapa ? Apakah perkawinan sah atau tidak, atau tidak direstui
orang tua ?
? Riwayat Obstetri
- Riwayat Kehamilan
Berapa kali dilakukan pemeriksaan ANC, Hasil Laboratorium : USG, Darah, Urine, keluhan selama kehamilan
termasuk situasi emosional dan impresi, upaya mengatasi keluhan, tindakan dan pengobatan yang diperoleh
- Riwayat Persalinan
1. 1. Riwayat Persalinan Lalu
Jumlah Gravida, jumlah partal, dan jumlah abortus, umur kehamilan saat bersalin, jenis persalinan, penolong
persalinan, BB bayi, kelainan fisik, kondisi anak saat ini.
1. 2. Riwayat Nifas pada Persalinan Lalu
Pernah mengalami demam, keadaan lochia, kondisi perdarahan selama nifas, tingkat aktifitas setelah melahirkan,
keadaan perineal, abdominal, nyeri pada payudara, kesulitan eliminasi, keberhasilan pemberian ASI, respon dan
support keluarga.
1. 3. Riwayat Persalinan Saat Ini
Kapan mulai timbulnya his, pembukaan, bloody show, kondisi ketuban, lama persalinan, dengan episiotomi atau
tidak, kondisi perineum dan jaringan sekitar vagina, dilakukan anastesi atau tidak, panjang tali pusat, lama
pengeluaran placenta, kelengkapan placenta, jumlah perdarahan.
1. 4. Riwayat New Born
Apakah bayi lahir spontan atau dengan induksi/tindakan khusus, kondisi bayi saat lahir (langsung menangis atau
tidak), apakah membutuhkan resusitasi, nilai APGAR skor, Jenis kelamin Bayi, BB, panjang badan, kelainan
kongnital, apakah dilakukan bonding attatchment secara dini dengan ibunya, apakah langsung diberikan ASI atau
susu formula.
? Riwayat KB dan Perencanaan Keluarga
Kaji pengetahuan klien dan pasangannya tentang kontrasepsi, jenis kontrasepsi yang pernah digunakan,
kebutuhan kontrasepsi yang akan datang atau rencana penambahan anggota keluarga dimasa mendatang.
? Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit yang pernah diderita pada masa lalu, bagaimana cara pengobatan yang dijalani, dimana mendapat
pertolongan. Apakah penyakit tersebut diderita sampai saat ini atau kambuh berulang-ulang ?
? Riwayat Psikososial-Kultural
Adaptasi psikologi ibu setelah melahirkan, pengalaman tentang melahirkan, apakah ibu pasif atau cerewet, atau
sangat kalm. Pola koping, hubungan dengan suami, hubungan dengan bayi, hubungan dengan anggota keluarga
lain, dukungan social dan pola komunikasi termasuk potensi keluarga untuk memberikan perawatan kepada klien.
Adakah masalah perkawinan, ketidak mampuan merawat bayi baru lahir, krisis keluarga.
Blues : Perasaan sedih, kelelahan, kecemasan, bingung dan mudah menangis.
Depresi : Konsentrasi, minat, perasaan kesepian, ketidakamanan, berpikir obsesif, rendahnya emosi yang positif,
perasaan tidak berguna, kecemasan yang berlebihan pada dirinya atau bayinya, sering cemas saat hamil, bayi
rewel, perkawinan yang tidak bahagia, suasana hati yang tidak bahagia, kehilangan kontrol, perasaan bersalah,
merenungkan tentang kematian, kesedihan yang berlebihan, kehilangan nafsu makan, insomnia, sulit
berkonsentrasi.
Kultur yang dianut termasuk kegiatan ritual yang berhubungan dengan budaya pada perawatan post partum,
makanan atau minuman, menyendiri bila menyusui, pola seksual, kepercayaan dan keyakinan, harapan dan cita-
cita.
? Riwayat kesehatan Keluarga
Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit yang diturunkan secara genetic, menular, kelainan congenital
atau gangguan kejiwaan yang pernah diderita oleh keluarga.
? Profil Keluarga
Kebutuhan informasi pada keluarga, dukungan orang terdekat, sibling, type rumah, community seeting,
penghasilan keluarga, hubungan social dan keterlibatan dalam kegiatan masyarakat.
? Kebiasaan Sehari-Hari
1. a. Pola nutrisi : pola menu makanan yang dikonsumsi, jumlah, jenis makanan (Kalori, protein, vitamin,
tinggi serat), freguensi, konsumsi snack (makanan ringan), nafsu makan, pola minum, jumlah, frekuensi,
2. b. Pola istirahat dan tidur : Lamanya, kapan (malam, siang), rasa tidak nyaman yang mengganggu istirahat,
penggunaan selimut, lampu atau remang-remang atau gelap, apakah mudah terganggu dengan suara-
suara, posisi saat tidur (penekanan pada perineum).
3. c. Pola eliminasi : Apakah terjadi diuresis, setelah melahirkan, adakah inkontinensia (hilangnya infolunter
pengeluaran urin), hilangnya kontrol blas, terjadi over distensi blass atau tidak atau retensi urine karena
rasa talut luka episiotomi, apakah perlu bantuan saat BAK. Pola BAB, freguensi, konsistensi, rasa takut BAB
karena luka perineum, kebiasaan penggunaan toilet
4. d. Personal Hygiene : Pola mandi, kebersihan mulut dan gigi, penggunaan pembalut dan kebersihan
genitalia, pola berpakaian, tatarias rambut dan wajah
5. e. Aktifitas : Kemampuan mobilisasi beberapa saat setelah melahirkan, kemampuan merawat diri dan
melakukan eliminasi, kemampuan bekerja dan menyusui.
6. f. Rekreasi dan hiburan : Situasi atau tempat yang menyenangkan, kegiatan yang membuat fresh dan
relaks.
? Seksual
Bagaimana pola interaksi dan hubungan dengan pasangan meliputi freguensi koitus atau hubungan intim,
pengetahuan pasangan tentang seks, keyakinan, kesulitan melakukan seks, continuitas hubungan seksual.
Pengetahuan pasangan kapan dimulai hubungan intercourse pasca partum (dapat dilakukan setelah luka
episiotomy membaik dan lochia terhenti, biasanya pada akhir minggu ke 3). Bagaimana cara memulai hubungan
seksual berdasarkan pengalamannya, nilai yang dianut, fantasi dan emosi, apakah dimulai dengan bercumbu,
berciuman, ketawa, gestures, mannerism, dress, suara. Pada saat hubungan seks apakah menggunakan lubrikasi
untuk kenyamanan. Posisi saat koitus, kedalaman penetrasi penis. Perasaan ibu saat menyusui apakah
memberikan kepuasan seksual. Faktor-faktor pengganggu ekspresi seksual : bayi menangis, perubahan mood ibu,
gangguan tidur, frustasi yang disebabkan penurunan libido.
? Konsep Diri
Sikap penerimaan ibu terhadap tubuhnya, keinginan ibu menyusui, persepsi ibu tentang tubuhnya terutama
perubahan-perubahan selama kehamilan, perasaan klien bila mengalami opresi SC karena CPD atau karena bentuk
tubuh yang pendek.
? Peran
Pengetahuan ibu dan keluarga tentang peran menjadi orangtua dan tugas-tugas perkembangan kesehatan
keluarga, pengetahuan perubahan involusi uterus, perubahan fungsi blass dan bowel. Pengetahan tentang keadaan
umum bayi, tanda vital bayi, perubahan karakteristik faces bayi, kebutuhan emosional dan kenyamanan,
kebutuhan minum, perubahan kulit.
Ketrampilan melakukan perawatan diri sendiri (nutrisi dan personal hyhiene, payu dara) dan kemampuan
melakukan perawatan bayi (perawatan tali pusat, menyusui, memandikan dan mengganti baju/popok bayi,
membina hubungan tali kasih, cara memfasilitasi hubungan bayi dengan ayah, dengan sibling dan kakak/nenek).
Keamanan bayi saat tidur, diperjalanan, mengeluarkan secret dan perawatan saat tersedak atau mengalami
gangguan ringan. Pencegahan infeksi dan jadwal imunisasi.
? Pemeriksaan Fisik
1. 1. Keadaan Umum : Tingkat energi, self esteem, tingkat kesadaran.
2. 2. BB, TB, LLA, Tanda Vital normal (RR konsisten, Nadi cenderung bradi cardy, suhu 36,2-38, Respirasi 16-
24)
3. 3. Kepala : Rambut, Wajah, Mata (conjunctiva), hidung, Mulut, Fungsi pengecapan; pendengaran, dan
leher.
4. 4. Breast : Pembesaran, simetris, pigmentasi, warna kulit, keadaan areola dan puting susu, stimulation
nepple erexi. Kepenuhan atau pembengkakan, benjolan, nyeri, produksi laktasi/kolostrum. Perabaan
pembesaran kelenjar getah bening diketiak.
5. 5. Abdomen : teraba lembut , tekstur Doughy (kenyal), musculus rectus abdominal utuh (intact) atau
terdapat diastasis, distensi, striae. Tinggi fundus uterus, konsistensi (keras, lunak, boggy), lokasi, kontraksi
uterus, nyeri, perabaan distensi blas.
6. 6. Anogenital
Lihat struktur, regangan, udema vagina, keadaan liang vagina (licin, kendur/lemah) adakah hematom,
nyeri, tegang. Perineum : Keadaan luka episiotomy, echimosis, edema, kemerahan, eritema, drainage.
Lochia (warna, jumlah, bau, bekuan darah atau konsistensi , 1-3 hr rubra, 4-10 hr serosa, > 10 hr alba),
Anus : hemoroid dan trombosis pada anus.
7. 7. Muskoloskeletal : Tanda Homan, edema, tekstur kulit, nyeri bila dipalpasi, kekuatan otot.
? Pemeriksaan laboratorium
- Darah : Hemoglobin dan Hematokrit 12-24 jam post partum (jika Hb < 10 g% dibutuhkan suplemen FE),
eritrosit, leukosit, Trombosit
- Klien dengan Dower Kateter diperlukan culture urine.
1. B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan pola eliminasi buang air kecil, retensi urine berhubungan dengan berakhirnya proses
persalinan dan proses kehamilan.
2. Gangguan pola eliminasi buang air besar, berhubungan dengan rasa nyeri pada perineum dan
menurunnya peristaltik usus.
3. Nyeri berhubungan dengan kontraksi uterus dan ruptur perineum.
4. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan perdarahan post partum.
5. Resiko tinggi infeksi perineum dan jalan lahir berhubungan dengan luka perineum yang masih basah
dan post partum.
6. Resiko gangguan pola istirahat/ tidur berhubungan dengan ketidak nyamanan dan jadwal makan
bayi.
7. Kurangnya pengetahuan ibu tentang tindak lanjut keperawatan post partum (nifas) berhubungan
dengan baru pertama kali melahirkan.
1. C. PERENCANAAN
1. Perubahan pola eliminasi buang air kecil, retensi urine berhubungan dengan berakhirnya proses
kehamilan dan persalinan.
1) Tujuan: tidak terjadi gangguan pola eliminasi buang air kecil.
2) Kriteria : - Ibu tidak merasa nyeri pada saat buang air kecil.
- Pengeluaran urine 1000-1500 cc/ hari.
- Frekuensi miksi 4-5 kali/ hari.
- Expresi wajah tenang.
3) Rencana Tindakan:
a) Catat intake dan out put cairan.
b) Berikan rangsangan pada daerah atas symphisis dengan air dingin.
c) Katerisasi bila tidak miksi dalam 8 jam habis melahirkan.
4) Rasional:
a) Untuk mengetahui fungsi ginjal.
b) Rangsangan pada simphisis dengan air dingin dapat meningkatkan tonus otot spincter dan buli-buli.
c) Bila 8 jam tidak miksi dapat menggangu involutio uteri.
1. Gangguan pola eliminasi buang air besar berhubungan dengan rasa nyeri pada luka perineum dan dan
menurunnya peristaltik usus.
1) Tujuan: tidak terjadi gangguan pola eliminasi buang air besar.
2) Kriteria : - Buang air besar lancar.
- Perut tidak tegang.
- Frekuensi 1-2 kali/ hari.
3) Rencana Tindakan:
a) kaji pola buang air besar.
b) Berikan makanan yang banyak mengandung serat.
c) Anjurkan pada ibu untuk banyak minum.
d) Berikan penyuluhan pada ibu untuk tidak takut buang air besar.
e) Kolaborasi pemberian obat laxantia
4) Rasional:
a) Untuk mengetahui pola bab klien.
b) Makanan yang berserat dapat merangsang peristaltik usus.
c) Dengan minum yang banyak akan membantu melunakkan faeces.
d) Rasa takut dapat mempengaruhi syaraf sympatis sehingga otot spincter menjadi lemah.
e) Obat laxantia dapat merangsang peristaltik usus.
1. Nyeri berhubungan dengan kontraksi uterus dan ruptur perineum.
1) Tujuan: nyeri hilang.
2) Kriteria : - Ibu mengatakan nyeri kurang.
- Proses involutio normal.
- Expresi wajah tenang.
3). Rencana Tindakan:
a) kaji intensitas dan karakteristik dari nyeri.
b) berikan posisi yang menyenangkan.
c) ajarkan tehnik relaksasi.
d) kolaborasi pemberian analgesik.
e) berikan penjelasan mengenai timbulnya nyeri.
f) ajarkan tehnik destraksi.
4). Rasional:
a) Untuk mengetahui tingkat dan karakteristik nyeri, agar mempermudah memberikan intervensi yang tepat.
b) Dengan posisi yang menyenangkan membuat klien merasa nyaman dan dapat beradaptasi dengan nyeri.
c) Relaksasi dapat mengendorkan otot-otot sehinnga nyeri dapat berkurang.
d) Menjelaskan kepada ibu tentang nyeri agar ibu dapat beradaptasi dengan nyeri.
e) Untuk mengalihkan perhatian ibu agar tidak terfokus pada bayi.
f) Analgesik dapat menekan rangsangan nyeri sehingga nyeri tidak dipresepsikan.
1. Resiko kekurangan volume cairan berhungan dengan perdarahan post partum.
1) Tujuan: tidak terjadi perdarahan yang berlebihan.
2) Kriteria : - Proses involutio lancar.
- perdarahan tidak lebih dari 400 cc.
- pengeluaran lokhia lancar.
3) Rencana Tindakan:
a) Observasi perdarahan dan monitor pengeluaran lokhia.
b) Observasi kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri setiap hari.
c) Observasi tanda-tanda vital.
d) Observasi keadaan umum.
e) Beri pengetahuan pada ibu tentang ambulasi dini pada ibu nifas.
f) Ajarkan pada ibu untuk mengetahui tanda-tanda perdarahan yang berlebihan.
g) Monitor kadar haemoglobin.
4) Rasional:
a) Untuk mengetahui jumlah perdarahan.
b) Kontraksi uterus yang lemah dapat menyebabkan perdarahan.
c) Perubahan tanda vital indikasi adanya perdarahan.
d) Keadaan umum dapat menggambarkan adanya perdarahan.
e) Ambulasi secara dini dapat memperlancar proses involutio.
f) Kadar haemoglobin yang rendah indikasi terjadi perdarahan.
1. Resiko tinggi infeksi perineum dan jalan lahir berhubungan dengan luka perineum yang masih basah dan
post partum.
1) Tujuan: Tidak terjadi infeksi pada luka perineum dan jalan lahir.
2) Kriteria : - Tanda-tanda infeksi tidak ada.
3) Rencana Tindakan:
a) Observasi tanda-tanda infeksi dan tanda vital.
b) Rawat luka perineum setiap hari dengan teknik septik dan aseptik
c) Anjurkan pada ibu untuk mengganti duk yang basah.
d) Observasi pengeluaran lokhia.
e) Kolaborasi pemberian antibiotik.
4) Rasional:
a) Untuk mendeteksi secara dini adanya infeksi.
b) Luka yang bersih dapat mencegah timbulnya infeksi.
c) Duk yang basah tempat berkembang biak mikroorganisme.
d) Keadaan lokhia yang tidak normal menandakan adanya infeksi jalan lahir.
e) Antibiotik dapat menghambat dan membunuh mikroorganisme.
1. Resiko gangguan pola istirahat/ tidur berhubungan dengan ketidak nyamanan dan jadwal makan bayi.
1) Tujuan: ibu dapat tidur/ kebutuhan istirahat tidur terpenuhi.
2) Kriteria : - Tidur cukup (7-9 jam/hari).
- penampilan menunjukkan istirahat yang
- cukup
- ibu tidak merasa lelah.
3) Rencana tindakan:
a) bayinya. Kaji pola tidur klien.
b) Ciptakan lingkungan yang tenang.
c) Beri penyuluhan kepada ibu agar memenuhi kebutuhan bayinya tepat pada waktunya.
d) Anjurkan kepada ibu agar menidurkan bayinya dalam dalam keadaan kenyang.
e) Bila asi kurang, berikan susu tambahan pengganti asi sebanyak 30 cc/ 3 jam dengan sendok atau dok.
f) Ajarkan ibu untuk mengenali kebiasaan
4) Rasional:
a) Untuk mengenali jumlah tidur klien.
b) Lingkungan yang tenang dapat mendukung untuk beristirahat.
c) Dengan memenuhi kebutuhan bayinya tepat pada waktunya bayi akan tenang.
d) Bila bayi dalam keadaan kenyang, bayi akan tidur nyenyak.
e) Pemberian air susu sebanyak 30 cc dan diperkirakan dalam 3 jam lambung sudah kosong.
f) Dengan mengenali kebiasaan-kebiasaan bayi, ibu dapat mengatur waktu istirahatnya.
1. Kurangnya pengetahuan ibu tentang tindak lanjut keperawatan post partum aterm (nifas) berhubungan
dengan baru pertama kali lahir.
1) Tujuan: pengetahuan ibu tentang perawatan lanjut bertambah.
2) Kriteria : - Pasien dapat menyebutkan saat yang tepat untuk melakukan hubungan suami istri post
partum.
- pasien dapat menyebutkan pentingnya
- pemeriksaan secara dini dan berkala di rumah sakit.
3) Rencana tindakan:
a) Kaji tingkat pengetahuan ibu.
b) Beri HE kepada ibu bahaya melakukan hubungan suami istri selama dalam masa nifas.
c) Beri penyuluhan kepada ibu tentang pentingnya pemeriksaan diri dan bayi secara berkala di rumah sakit/
puskesmas.
4) Rasional:
a) Dapat mengambil tindakan selanjutnya.
b) Dengan melakukan hubungan suami istri selama masa nifas akan menyebabkan perdarahan yang banyak/
berat.
c) Pemeriksaan diri dan bayi secara berkala dapat mengetahui tingkat kesehatan ibu dan bayi.
1. D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah kegiatan atau tindakan yang diberikan kepada pasien. Kkegiatan ini
meliputi pelaksanaan rencana pelayanan keperawatan dan rencana pernyataan medis. Pada tahap perawat
menerapkan pengetahuan dan keterampilan berdasarkan ilmu-ilmu keperawatan dan ilmu-ilmu keperawatan
lainnya yang terkait secara terintegrasi. Pada waktu perawat memberi pelayanan keperawatan, proses
pengumpulan dan analisa data berjalan terus menerus, guna perubahan atau penyesuaian tindakan keperawatan.
Beberapa faktor dapat dapat mempengaruhi pelaksanaan rencana pelayanan. Keperawatan antara lain sumber-
sumber yang ada, pekerjaan perawat serta lingkungan fisik untuk pelayanan keperawatan dilakukan.
Dalam pelaksanaan perawat melakukan fungsinya secara indefenden, defenden, dan interdefenden. Fungsi
indefenden yaitu perawat melakukan tindakan sendiri atas dasar inisiatif sendiri. Fungsi defenden yaitu fungsi
tambahan dilakukan untuk menjalankan program dari tim kesehatan lain. Fungsi interdefenden yaitu perawat
melakukan fungsi kolaborasi dengan pelaksanaan fungsi bersama-sama dengan tim kesehatan lainnya.
1. E. EVALUASI
1. Periode post partum dini.
- Tanda vital, keadaan luka episiotomi jika ada dan mencocokkan dengan parameter yang diharapkan.
- Toleransi klien terhadap intake makanan, intake cairan dan keinginan klien mengenali makanan dan cairan.
- Kemampuan klien untuk pengosongan kandung kemih secara teratur.
- Beri kesempatan kepada klien beristirahat yang cukup.
- Kemampuan klien untuk menggendong dan merawat bayinya.
1. Periode post partum lanjut.
- Tanda vital, berat badan, payudara, proses involutio, penyembuhan luka episiotomi jika ada dengan
parameter yang diharapkan.
- Kemampuan klien untuk merawat payudara, perawatan perineum.
- Kemampuan klien untuk menunjukkan kesanggupan dalam perawatan diri sendiri dan perawatan bayinya.
1. Periode persiapan pulang ke rumah.
- Klien mendemostrasikan kemampuan merawat bayinya.
- Klien memperlihatkan keingintahuan tentang pentingnya perawatan lanjutan bagi ibu serta bayinya.
- Kemampuan klien untuk menentukan waktu untuk konsultasi dengan dokter, bidan/ perawat.
- Respon klien dengan suami terhadap adanya perubahan pola aktifitas seksual serta perlunya menggunakan
alat kontrasepsi untuk memberi rasa aman dan bagi ibu.
1. Periode 6 minggu (saat chek-up).
- Tanda vital, penurunan payudara, proses involutio dan penyembuhan luka episiotomi dibandingkan
parameter yang diharapkan.
- Kembalinya organ reproduksi seperti keadaan sebelum hamil.
- Kemampuan menunjukkan fungsi keluarga dengan baik dan adaptasi positif.
- Keluarga menyepakati penggunaan salah satu jenis kontrasepsi yang cocok bagi ibu.
LAPORAN KASUS
1. a. Pengkajian
 Pengumpulan Data
ü Identitas Klien
Nama : Ny.T
Umur : 39 tahun
ü Riwayat Kesehatan
Riwayat Kesehatan Sekarang
- Post partum hari ke dua. TFU ½ simfisis pusat, berat uterus 500 gram, terjadi after pain pada saat ibu
menyusui bayinya, kondisi payudara bengkak dan terjadinya bendungan ASI.
Riwayat Kesehatan lalu :
Riwayat rupture tingkat 2, nyeri , gatal, dan merah pada daerah vagina. Klien riwayat G11P8A3. Klien pernah
mengalami peradangan panggul dan dispareunia
ü Pemeriksaan Fisik
TTV :
TD = 150/100 mmHg, S= 38,5oC, N= 72 x/menit.
 Validasi Data
ü Data Subyektif :
Klien mengatakan terjadi after pain pada saat ibu menyusui bayinya. Klien pernah mengalami peradangan panggul
dan dispareunia
ü Data Obyektif :
Post partum hari ke dua. TFU ½ simfisis pusat, berat uterus 500 gram, kondisi payudara bengkak dan terjadinya
bendungan ASI.
TD = 150/100 mmHg, S= 38,5oC, N= 72 x/menit.
 Analisa data
NO DATA ETIOLOGI MASALAH

1 DS : Proses persalinan Nyeri

- Klien mengeluh nyeri ¯


pada daerah abdomen Terjadi proses involutio
- Klien mengeluh nyeri ¯
bila berjalan/bergerak Kontraksi Uterus
DO : ¯
- Ekspresi wajah meringis Nyeri
- Klien nampak istirahat
ditempat tidur
- Kontraksi uterus baik

2 DS : Robekan jalan lahir Nyeri


- Klien mengeluh nyeri ¯
pada perineum Terputusnya kontinuitas jaringan
- Klien mengeluh nyeri ¯
bila bergerak / berjalan Jaringan melepaskan zat-at
DO : bradikinin dan histamin
- Ekspresi wajah meringis ¯
- Nampak luka hecting Merangsang syaraf perifer
pada perineum ¯
- Klien nampak istirahat Dihantarkan melalui spinal cord
di tempat tidur. menuju thalamus
¯
Korteks cerebri
¯
Nyeri di persepsikan
NO DATA ETIOLOGI MASALAH

Nyeri
3 DS : ¯ Konstipasi
- Klien malas bergerak Takut bergerak / aktifitas kurang
- Klien belum BAB ¯
selama 2 hari Mobilisasi usus dan diafragma
DO : menurun
- Peristalik usus kurang (3 ¯
– 4 x/menit) Faeces bertahan lama diusus besar
- Klien lebih banyak dan tidak bisa dikeluarkan
istirahat. ¯
Konstipasi

Nyeri
¯
Ibu malas menyusui bayinya Penimbunan
4. DS : - ¯ ASI
DO : Bayi jarang menetek
¯
- ASI/colostrum belum Kurangnya rangsangan pada
ada pituitary anterior prolaktin
- Payudara teraba keras / ¯
padat. Penimbunan ASI
- Kondisi payudara
bengkak

Proses persalinan
¯
5. Perlukaan jalan lahir Resiko in-feksi
DS : ¯
- Nyeri pada perineum Merupakan media berkembang-
DO : biaknya kuman phatogen
- Lochia rubra. ¯
- Nampak luka heacting Resiko terjadi infeksi
pada perineum
- Tanda-tanda vital :
TD = 150/100 mmHg, S=
38,5oC, N= 72 x/menit.
Kurangnya informasi tentang KB
¯ Kurang pe-
6 DS : Ketidaktahuan tentang KB ngetahuan
- Ibu mengatakan kalau ¯ tentang KB
bias ini kehamilan yang terakhir Kurang pengetahuan tentang KB
- Klien tidak pernah
menjadi akseptor KB
NO DATA ETIOLOGI MASALAH

DO :
- Umur 39 th G11P8A3

1. b. Diagnosa Keperawatan
- Nyeri berhubungan dengan kontraksi uterus
- Nyeri b/d terputusnya kontinuitas jaringan aki-bat ruptur perineum
- Gangguan eliminasi BAB konstipasi b/d pe-nurunan peristaltic usus
- Penimbunan ASI b/d kurangnya rangsangan pada priutary anterior prolaksin
- Resiko terjadi infeksi puorperalis b/d luka pada perineum
- Kurang pengetahuan ten-tang KB b/d kurang informasi tentang KB
1. c. Perencanaan
NO DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN
KEPERAWATAN
TUJUAN INTERVENSI RASIONAL

1. Nyeri b/d kontraksi Nyeri berkurang/hilang 1.Kaji tingkat loka- 1.Agar dapat meng-inden-
uterus ditandai dengan : dengan criteria si dan sifat nyeri. tifikasi kebutuhan pera-
watan dan pemberian
DS : - Klien tidak askep yang tepat.
- Klien mengeluh menge-luh nyeri
nyeri pada daerah - Ekspresi wajah 2.Observasi 2.Perubahan tanda vital
abdomen cerah tanda-tanda vital menunjukkan terjadinya
- Klien mengeluh - Tanda vital dalam rangsangan nyeri
nyeri bila batas normal. 3.Anjurkan klien 3.Nafas dalam dapat
berjalan/bergerak T : 110-120 / mmHg tehnik relaksasi melan-carkan suplay 02
DO : S : 56 – 37 oC napas dalam. kejari-ngan sehingga
- Ekpresi wajah N : 80 x /menit terjadi relaksasi di
meringis jaringan obat yang dapat
- Kontraksi uterus menyebabkan nyeri
baik 4.Berikan posisi berkurang.
- Klien banyak yang nyaman 4.Posisi nyaman sesuai
istirahat ditempat tidur. sesuai keinginan ke-inginan klien dapat
klien. mem-peringan nyeri.
5.Jelaskan penye-
bab terjadinya 5.Dengan mengetahui pe-
nyeri nyebab nyeri klien dapat
6.Penatalaksanaan beradaptasi
obat analgetilc 6.Untuk mengurangi rasa
nyeri dengan memblok
infuls nyeri.
2. Nyeri 1.Kaji tingkat, lo-
berkurang/hilang kasi dan sifat 1. Agar dapat
Nyeri b/d terputusnya dengan kriteria : nyeri mengidenti-fikasikan
kontinuitas jaringan 1. Klien tidak kebutuhan pera-watan
aki-bat ruptur perineum menge-luh nyeri 2.Observasi dan pemberian as-kep
ditandai dengan : 2. Ekspresi wajah tanda-tanda vital. yang tepat.
DS : ce-rah 2. Perubahan tanda vital
- Klien mengeluh 3. Tanda vital dalam 3.Observasi menunjukkan terjadinya
nyeri pada perineum batas normal. keadaan luka rangsangan nyeri.
- Klien menyatakan T: 110-120/80mmHg perineum 3. Dapat menunjukkan
nyeri bila berjalan/ N: 80 x /menit ada-nya trauma
beraktifitas. S : 36 – 37 oC berlebihan/ komplikasi
DO : 1. Luka kering yang me-merlukan
- Ekspresi wajah 4.Anjurkan untuk intervensi lebih lajut.
meri-ngis duduk dengan 4. Dapat mengurangi
- Nampak luka otot gluteal teka-nan langsung pada
heching pada perineum terkon-traksi peri-neum.
- Klien istirahat 5.Beri kompres
ditem-pat tidur. panas lembab 5. Meningkatkan sirkulasi
(rendam duduk pada perineum, mening-
antara 38oC s/d katkan oksigenasi dan
42oC selama 20 nutrisi pada jaringan
menit – setelah 24 menurunkan edema dan
jam pertama. meningkatkan
penyembuhan.
3. 1. Kaji pola elimi-
Eliminasi BAB terpe- nasi BAB klien 1. Dapat mengetahui
Gangguan eliminasi nuhi dengan criteria adanya kelainan pada
BAB konstipasi b/d pe- - Klien telah BAB 1 2. Kaji penyebab proses eliminasi klien
nurunan peristaltic usus x 2 /hari konstipasi klien 2. Dapat mempermudah
ditandai dengan : - Peristaltik usus dalam pemberian inter-
DS : nor-mal 5-35x/i 3. Anjurkan klien vensi
- Klien malas untuk makan 3. Dapat memperlancar
bergerak makanan yang metabolisme dalam usus
- Klien belum BAB berserat sehingga eliminasi lancar
selama 2 hari 4. Anjurkan klien
DO : untuk melaku-kan 4. Dapat merangsang
- Peristaltic usus kreaktifitas ringan peris-taltic usus sehingga
kurang 3-4x/menit dan ber-tahap BAB lancar.
- Klien lebih banyak 5. Pentalaksanaan
istirahat. pemberian
dulcolaks sup 5. Akan merangsang dan
mempercepat proses
1. Kaji tingkat pe- defekasi.
4. ngetahuan dan
ASI dapat diproduksi pengalaman klien 1. Membantu
dengan criteria tentang menyusui mengembang-kan
Penimbunan ASI b/d - ASI/ Colostrum sebelumnya. rencana perawatan
kurangnya rangsangan ada 2. Lakukan selanjutnya
pada priutary anterior - Payudara perawa-tan buah
prolaksin ditandai de- kenyal. dada
ngan : 2. Agar lactasi lanar dan
DS : 3. Anjurkan klien terhindar dari kesulitan
- untuk tetap me- saat menyusui
DO : nyusui bayinya 3. Untuk merangsang
- ASI / colostrum walaupun ASI hor-mon prolaktif untuk
belum ada tidak ada. memproduksi ASI.
- Payudara teraba ke- 4. Ajarkan cara
ras/padat. menyusui yang
- Kondisi payudara benar. 4. Posisi yang tepat dapat
bengkak mencegah luka pada
putting susu dan anak
1. Kaji tanda- dapat menolak dengan
tanda infeksi baik
5.
2. Ukur dan 1. Untuk mengetahui
obser-vasi tanda- tanda/ gejala awal
Resiko terjadi infeksi Infeksi tidak terjadi tanda vital terjadinya infeksi
puorperalis b/d luka dengan kriteria 3. lakukan vulva 2. Perubahan tanda vital
pada perineum ditandai - Luka nampak hygiene dijadikan indicator ada-
de-ngan : kering nya proses peradangan
DS : - Tanda vital dalam 3. Vulva yang kotor dan
- Nyeri pada daerah batas normal 4. Bekerja dengan lembab dapat dijadikan
pe-rineum - Tidak ada tanda- tehnik septik dan tempat berkembang biak-
DO : tanda infeksi anti septik nya kuman.
- Nampak luka - Rubor 5. Kompres luka 4. Bethadine membunuh
heacting pada perineum - Color hecting dengan kuman dan mempercepat
- Dolor bethadine proses penyembuhan
- Fungsilesia 6. HE kepada lien 5. Untuk mencegah
- Vital Sign untuk menjaga terkon-taminasinya
T : 110/70 mmHg personal hygi-ene kuman pada klien
o
S : 36.4 C 7. 6. Untuk mempercepat
N : 80 x /menit Penatalaksanaan pro-ses penyembuhan
D : 20 x /menit pemberian luka atau mencegah
antibiotik. infeksi

7. Dapat menghambat
1. Kaji tingkat pe- pem-bentukan dinding sel
ngetahuan klien bakteri dan membunuh
tentang KB kuman patogen.

2. HE tentang 1.Dapat mengetahui dan


6. man-faat KB memudahkan dalam pem-
berian intervensi selan-
3. HE tentang me- jutnya.
Kurang pengetahuan tode kontrasepsi, 2.Agar klien dapat
ten-tang KB b/d kurang Klien dapat mengerti keuntungan dan mengerti dan bersedia
informasi tentang KB tentang KB dengan kerugiannya. menjadi akseptor KB
ditandai dengan kriteria 3.agar klien dapat
DS : - Ibu bersedia memilih metode
- Klien tidak pernah men-jadi askeptor KB kontrasepsi yang sesuai,
menjadi akseptor KB. setelah lepas masa dan cocok untuk klien.
DO : nifas.
- Umur 39 th,
G11P8A3

KONTRASEPSI “TUBEKTOMI”
Dahulu tubektomi dilakukan dengan jalan laparotomi atau pembedahan vaginal. Sekarang, dengan alat-alat dan
teknik baru, tindakan ini di selenggarakan secaara lebih ringan dan tidak memerlukan perawatan di rumah sakit.
Dalam tahun-tahun terakhir ini tubektomi telah merupakan bagian yang penting dalam program keluarga
berencana di banyak Negara di dunia. Di Indonesia sejak tahun 1947 telah berdiri perkumpulan yang sekarang
bernama Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia (PKMI), yang membina perkembangan metode dengan
operasi (M.O) atau kontrasepsi mantap secara sukarela, tetapi secara resmi tubektomi tidak termasuk ke dalam
program nasional keluarga berencana di Indonesia.
Keuntungan tubektomi ialah:
1. Motivasi hanya dilakukan satu kali saja,sehingga tidak di perlukan motivasi berulang-ulang
2. Efektifitas hamper 100%
3. Tidak mempengaruhi libido seksualis
4. Kegagalan dari pihak pasien (patient’s failure) tidak ada.
Sehubungan dengan waktu melakukan metode dengan operasi, dapat dibedakan antara m.o postpartum dan m.o
dalam interval. Tubektomi postpartum dilakukan satu hari setelah partus.
Tindakan yang di lakukan sebagai tindakan pendahuluan untuk mencapai tuba Fallopii terdiri atas pembedahan
transbdominal seperti laparatomi, mini laparatomi, laparaskopi; serta pembedahan transsevikal (trans-uterin),
seperti penutupan lumen tuba histeroskopik.
Untuk menutup lumen dalam tuba, dapat dilakukan pemotongan tuba dengan bebagai macam tindakan operatif,
seperti cara Pomeroy, cara Irving, cara Uchida, cara Kroener, cara Aldridge. Pada cara Madlener tuba tidak
dipotong. Di samping cara-cara tersebut di atas, penutupan tuba dapat pula dilakukan dengan jalan kauterisasi
tuba, penutupan tuba dengan clips, Falopering, Yoon ring, dan lain-lain.
Indikasi metode dengan operasi (M.O)
Metode dengan operasi dewasa ini di jalankan atas dasar sukarela dalam rangka keluarga berencana. Kerugiannya
ialah bahwa tindakan ini dapat dianggap tidak reversibel, walaupun sekarang ada kemungkinan untuk membuka
tuba kembali pada mereka yang akhirnya masih menginginkan anak lagi dengan operasi rekanalisasi. Oleh karena
itu, penutupan tuba hanya dapat dikerjakan pada mereka yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Seminar Kuldoskopi Indonesia pertama di Jakarta (18-19 Desember 1972) mengambil kesimpulan, sebaikanya
tubektomi sukarela dilakukan pada wanita yang memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Umur termuda 25 tahun dengan 4 anak hidup
2. Umur sekitar 30 tahun dengan 3 anak hidup
3. Umur sekitar 35 tahun dengan 2 anak hidup
Pada umur konperensi khusus Perkumpulan untuk Sterilisasi Sukarela Indonesia di medan (3-5 Juni 1976)
dianjurkan pada umur antara 25-40 tahun, dengan jumlah anak sebagai berikut:
1. Umur antara 25-30 tahun dengan 3 anak atau lebih
2. Umur antara 30-35 tahun dengan 2 anak atau lebih
3. Umur antara 35-40 tahun dengan 1 anak atau lebih
Umur suami hendaknya sekurang-kurangnya 30 tahun, kecuali apabila jumlah anak telah melebihi jumlah yang
diinginkan oleh pasangan itu.
Di bagian Obstetri/Ginekologi Fakultas Kedokteran USU/RSUPP Medan, berhubungan dengan tingginya angka
kematian perinatal dan bayi, serta pentingnya anak lelaki bagi beberapa suku di Sumatra Utara, di gunsksn rumus
120 yang disesuaikan dengan persyaratan sterilisasi sukarela. Dengan ini, syarat untuk sterilisasi ialah umur
wanita x jumlah anak hidup dengan paling sedikit 1 anak laki-laki, harus tidak kurang dari 120, dengan umur
wanita terendah 25 tahun. Rumus 120 tersebut, dewasa ini tidak begitu di pegang teguh lagi sehubungan dengan
beratnya tekanan pertumbuhan penduduk.
v Tindakan pendahuluan guna penutupan tuba
Laparatomi
Tindakan ini tidak dilakukan lagi sebagai tindakan khusus guna tubektomi. Di sini penutupan tuba dijalankan
sebagai tindakan tambahan apabila wanita yang perlu dilakukan seksio sesarea, kadang-kadang tuba kanan dan
kiri ditutup apabila tidak diinginkan bahwa ia hamil lagi.
Laparatomi postpartum
Laparatomi ini dilakukan satu hari postpartum. Keuntungannya ialah bahwa waktu perawatan nifas sekaligus dapat
digunakan untuk perawatan pascaoperasi, dan oleh karena uterus masih besar, cukup dilakukan sayatan kecil
dekat fundus uteri untuk mencapai tuba kanan dan kiri. Sayatan dilakukan dengan sayatan semi lunar (bulan
sabit) di garis tengah distal dari pusat dengan panjang kurang-lebih 3 cm dan penutupan tuba biasanya
diselenggarakan dengan cara Pomeroy.
Minilaporotomiomi
Laporotomi mini dilakukan dalam masa interval. Sayatan yang dibuat di garis tengah di atas simfisis sepanjang 3
cm sampai menembus peritoneum. Untuk mencapai tuba dimasukkan alat khusus (elevator uterus) ke dalam
kavum uteri. Dengan bantuan alat ini uterus bilamana dalam retrofleksi dijadikan letak antarfleksi dahulu dan
kemudian didorong ke arah lubang sayatan. Kemudian, dilakukan penutupan tuba dengan salah satu cara.
Laparaskopi
Mula-mula dipasangcunam serviks pada bibir depan porsio uteri, dengan maksud supaya kelak dapat menggerakan
uterus jika hal itu diperlukan pada waktu laparaskopi. Setelah dilakukan persiapan seperlunya, dibuat sayatan kulit
di bawah pusat sepanjang 1cm. Kemudian, di tempat luka tersebut dilakukan pungssi sampai rongga peritoneum
dengan jarum khusus (jarum Veres), dan melalui jarum itu pneumoperitoneum dengan memasukan CO2 sebanyak
1 sampai 3 liter dengan kecepatan rata-rata 1 liter per menit. Setelah pneumoperitoneum dirasa cukup, jarum
Veres dikeluarkan dan sebagai gantinya dimasukkan troika (dengan tabungnya). Sesudah itu, troikar diangkat dan
dimasukkan laparoskop melalui tabung. Untuk memudahkan penglihatan uterus dan adneks, penderita diletakkan
dalam posisi Trendelenburg dan uterus digerakkan melalui cunam serviks pada porsio uteri. Kemudian, dengan
cuman yang masuk dalam rongga peritoneum besama-sama dengan laparoskop, tuba dijepit dan dilakukan
penutupan tuba dengan kauterisasi, atau dengan memasang pada tuba cincin Yoon atau cincin Falope atau clip
Hulka. Berhubungan pada kemungkinan komplikasi yang lebih besar pada kauterisasi, sekarang lebih banyak
digunakan cara-cara lain.
Kuldoskopi
Wanita ditempatkan pada posisi menungging (posisi genupektoral) dan setelah speculum dimasukkan dan bibir
belakang serviks uteri dijepit dan uterus ditarik ke luar dan agak ke atas, tampak kavum Douglasi mekar di antara
ligamentum sakro-uterinum kanan dan kiri sebagai tanda bahwa tidak ada perlekatan. Dilakukan pungsi dengan
jarum Touhy di belakang uterus, dan melalui jarum tersebut udara masuk dan usus-usus terdorong ke rongga
perut. Setelah jarum diangkat, lubang diperbesar, sehingga dapat dimasukkan kuldoskop. Melalui kuldoskop
dilakukan pengamatan adneksa dan dengan cunam khusus tuba dijepit dan ditarik ke luar untuk dilakukan
penutupannya dengan cara Pomeroy, cara Kroener, kauterisasi, atau pemasangan cincin Falope.
v Cara penutupan tuba
Cara Madlener
Bagian tengah dari tuba diangkat dengan cunam Pean, sehingga terbentuk suatu lipatan terbuka. Kemudian, dasar
dari lipatan tersebut dijepit dengan cunam kuat-kuat, dan selanjutnya dasar itu diikat dengan benang yang tidak
dapat diserap. Pada cara ini tidak dilakukan pemotingan tuba. Sekarang cara Madlener tidak dilakukan lagi oleh
karena angka kegagalannya relatif tinggi, yaitu 1% sampai 3%.
Cara Pomeroy
Cara pomeroy banyak dilakukan. Cara ini dilakukan dengan mengangkat bagian tengah dari tuba sehingga
membentuk lipatan terbuka, kemudian dasarnya diikat dengan benang yang dapat diserap, tuba di atas dasar itu
dipotong. Setelah benang pengikat diserap , maka ujung-ujung tuba akhirnya terpisah satu sama lain. Angka
kegagalan berkisar antara 0-0,4%.
Cara Irving
Pada cara ini tuba dipotong antara dua ikatan benang yang dapat diserap, ujung proksimal dari tuba ditanamkan
ke dalam ligamentum latum.
Cara Aldrige
Peritoneum dari ligamentum latum dibuka dan kemudian tuba bagian distal bersama-sama dengan fimbria ditanam
ke dalam ligamentum latum.
Cara Uchida
Pada cara ini tuba ditarik ke luar abdomen melalui suatu insisi kecil (minilaparotomi) di atas simfisis pubis.
Kemudian di daerah ampulla tuba dilakukan suntikan dengan larutan adrenalin dalam air garam di bawah serosa
tuba. Akibat suntikan ini, mesosalping di daerah tersebut mengembung. Lalu, di buat sayatan kecil di daerah yang
kembung tersebut. Serosa dibebaskan dari tuba sepanjang kira-kira 4-5 cm; tuba dicari dan setelah ditemukan
dijepit, diikat, lalu digunting. Ujung tuba yang proksimal akan tertanam dengan sendirinya di bawah serosa,
sedangkan ujung yang distal dibiarkan berada di luar serosa. Luka sayatan dijahit secara kantong tembakau.
Angka kegagalan cara ini adalah 0.
Cara Kroener
Bagian fimbria dari tuba dikeluarkan dari lubang operasi. Suatu ikatan dengan benang sutera dibuat melalui bagian
mesosalping di bawah fimbria. Jahitan ini diikat dua kali, satu mengelilingi tuba dan yang lain mengelilingi tuba
sebelah proksimal dari jahitan sebelumnya. Seluruh fimbria dipotong. Setelah pasti tidak ada pendarahan, maka
tuba dikembalikan kedalam rongga perut.
Teknik ini banyak digunakan. Keuntungan cara ini antara lain ialah sangat kecilnya kemungkinan kesalahan
mengikat ligamentum rotundum. Angka kegagalan 0,19%.
{ Keuntungan Tubektomi
- Sangat efektif (0,5 kehamilan per 100 perempuan selama tahun pertama penggunaan)
- Tidak mempengaruhi proses menyusui (breastfeeding)
- Tidak bergantung pada faktor senggama
- Baik bagi klien apabila kehamilan akan menjadi risik kesehatan yang serius
- Pembedahan sederhana, dapat dilakukan dengan anestesi local
- Tidak ada efek samping dalam jangka panjang
- Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual (tidak ada efek pada produksi hormon ovarium)
{ Keterbatasan Tubektomi
- Harus dipertimbangkan sifat mantap metode kontrasepsi ini (tidak dapat dipulihkan kembali), kecuali
dengan rekanalisasi
- Klien dapat menyesal di kemudian hari
- Risiko komplikasi kecil (meningkat apabila digunakan anestesi umum)
- Rasa sakit/ketidaknyamanan dalam jangka pendek setelah tindakan
- Dilakukan oleh dokter terlatih (dibutuhkan dokter spesialis ginekologi untuk proses laparoskopi)
- Tidak melindungi diri dari IMS, termasuk HBV dan HIV/AIDS
{ Isu-Isu Klien
- Klien mempunyai hak untuk berubah pikiran setiap waktu sebelum prosedur ini
- Informed consent harus diperoleh dan standard consent form harus ditanda-tangani
oleh klien sebelum prosedur dilakukan
{ Yang Perlu Dilakukan Tubektomi
- Usia > 26 tahun
- Paritas (jumlah anak) minimal 2 dengan umur anak terkecil > 2 thn
- Yakin telah mempunyai besar keluarga yang sesuai dengan kehendaknya
- Pada kehamilannya akan menimbulkan risiko kesehatan yang serius
- Pascapersalinan dan atau pasca keguguran
- Paham dan secara sukarela setuju dengan prosedur ini
{ Yang Tidak Boleh Dilakukan Tubektomi
- Hamil
- Perdarahan vaginal yang belum terjelaskan
- Infeksi sistemik atau pelvik yang akut
- Tidak boleh menjalani proses pembedahan
- Kurang pasti mengenai keinginannya untuk fertilitas di masa depan
- Belum memberikan persetujuan tertulis
{ Waktu dilakukan
- Setiap waktu selama siklus menstruasi apabila diyakini secara rasional klien tidak hamil
- Hari ke-6 hingga ke-13 dari siklus menstruasi (fase proliferasi)
- Pascapersalinan; minilap di dalam waktu 2 hari atau hingga 6 minggu atau 12 minggu, laparoskopi tidak
tepat untuk klien pascapersalinan
- Pascakeguguran; Triwulan pertama (minilap atau laparoskopi), Triwulan kedua (minilap saja)
DAFTAR PUSTAKA
Bobak,dkk. 2004. Keperawatan maternitas. Jakarta : EGC.
Carpenito, Lynda. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.
Doenges, Marilynn E. 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi : Pedoman untuk
Perencanaan dan Dokumentasi Perawatan Klien, Edisi 2. Jakarta : EGC.
Hamilton, C.Mary. 1995. Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC.
Johnson & Taylor, 2005. Buku Ajar Praktik Kebidanan. Jakarta : EGC.
Kumala, Poppy. Et. Al. 2004. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC.
Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Sylvia, dkk. 2006. Patofisiologi edisi 6. Jakarta : EGC

http://www.masbied.com/2011/03/14/asuhan-post-natal-care-nifas/

Anda mungkin juga menyukai