Retensi Urin
Retensi Urin
Epidemiologi
Salah satu komplikasi umum yang terjadi setelah proses persalinan, baik persalinan pervaginam atau sectio caesarea adalah
retensi urin postpartum. Pada tahun 1998, dr. Kartono dkk dari FKUI-RSCM Jakarta melansir data bahwa terdapat 17,1%
kejadian retensi urin pada ibu melahirkan yang telah dipasang kateter selama enam jam dan 7,1% untuk yang dipasang selama 24
jam pasca operasi sectio caesarea.[1] Yip SK (Hongkong, 1997) melaporkan terdapat angka 14,6% untuk kasus retensi urin
postpartum pervaginam.[2]
Dr. Pribakti B. dari FK Universitas Lambung Mangkurat/RSUD Ulin Banjarmasin mencatat, bahwa sepanjang tahun 2002-2003
terdapat sebelas kasus retensi urin post partum dari 2850 kasus (0.38%) yang terdata di RSUD Ulin Banjarmasin, dengan rincian
empat kasus berada di antara kelompok usia 26-30 tahun dan paritas terbanyak adalah paritas satu (enam kasus). Selain itu,
delapan kasus terjadi pada pasien persalinan pervaginam, dua kasus pada vakum ekstraksi, dan satu kasus pada sectio
caesarea.[3],[4] Data lain datang dari Andolf dkk (1.5%) dan Kavin G. dkk (0.7%).[5]
Definisi
Retensi urin menurut Stanton adalah ketidakmampuan berkemih selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter, karena
tidak dapat mengeluarkan urin lebih dari 50% kapasitas kandung kemih.[6] Dr. Basuki Purnomo dari FK Unbraw mengatakan,
bahwa retensi urin adalah ketidakmampuan buli-buli (kandung kencing) untuk mengeluarkan urin yang telah melampaui batas
maksimalnya. Pada ibu melahirkan, aktivitas berkemih seyogyanya telah dapat dilakukan enam jam setelah melahirkan (partus).
Namun apabila setelah enam jam tidak dapat berkemih, maka dikatakan sebagai retensi urin postpartum.
Pendapat dari Psyhyrembel menyatakan, bahwa retensi urin postpartum adalah ketidakmampuan berkemih secara normal 24 jam
setelah melahirkan (ischuria puerperalis). Adapun kepustakaan lain mendefinisikan retensi urin postpartum sebagai tidak adanya
proses berkemih spontan setelah kateter menetap dilepaskan, atau dapat berkemih spontan namun urin sisa lebih dari 150 ml.
Retensi urin postpartum apabila tidak segera ditangani dapat menyebabkan sistitis, uremi, sepsis, bahkan ruptur spontan vesika
urinaria.
Patofisiologi
Pada masa kehamilan terjadi peningkatan elastisitas pada saluran kemih, sebagian disebabkan oleh efek hormon progesteron yang
menurunkan tonus otot detrusor. Pada bulan ketiga kehamilan, otot detrusor kehilangan tonusnya dan kapasitas vesika urinaria
meningkat perlahan-lahan. Akibatnya, wanita hamil biasanya merasa ingin berkemih ketika vesika urinaria berisi 250-400 ml
urin. Ketika wanita hamil berdiri, uterus yang membesar menekan vesika urinaria. Tekanan menjadi dua kali lipat ketika usia
kehamilan memasuki 38 minggu. Penekanan ini semakin membesar ketika bayi akan dilahirkan, memungkinkan terjadinya
trauma intrapartum pada uretra dan vesika urinaria dan menimbulkan obstruksi. Tekanan ini menghilang setelah bayi dilahirkan,
menyebabkan vesika urinaria tidak lagi dibatasi kapasitasnya oleh uterus. Akibatnya vesika urinaria menjadi hipotonik dan
cenderung berlangsung beberapa lama.
Etiologi
Penyebab retensi urin postpartum ada bermacam-macam, antara lain efek dari epidural anasthesia, trauma intrapartum, refleks
kejang sfingter uretra, hipotonia selama hamil dan nifas, peradangan, psikogenik, dan umur yang tua.[7][8]
Diagnosis
Gejala retensi urin postpartum dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan pada pasien, yang dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Pemeriksaan subyektif, yaitu mencermati keluhan yang disampaikan oleh pasien yang digali melalui anamnesis yang
sistematik. Dari pemeriksaan subyektif biasanya didapat keluhan seperti nyeri suprapubik, mengejan karena rasa ingin
kencing, serta kandung kemih berasa penuh.
2. Pemeriksaan obyektif, yaitu melakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien untuk mencari data-data yang objektif
mengenai keadaan pasien. Dari pemeriksaan obyektif dengan metode palpasi atau perkusi, biasanya ditemukan massa
di daerah suprasimfisis karena kandung kemih yang terisi penuh dari suatu retensi urin.
3. Pemeriksaan penunjang, yaitu melakukan pemeriksaan-pemeriksaan laboratorium, radiologi atau imaging (pencitraan),
uroflometri, atau urodinamika, elektromiografi, endourologi, dan laparoskopi. Pada pemeriksaan laboratorium paling
sering digunakan kateter dan uroflowmetri, yaitu untuk mengukur volume dan residu urin pada kandung kemih. Selain
itu juga dapat digunakan cystourethrografi untuk melihat gambaran radiografi kandung kemih dan uretra. Menurut dr.
Basuki Purnomo, volume maksimal kandung kemih dewasa normal berkisar antara 300-450 ml dengan volume residu
sekira 200 ml. Apabila dari hasil kateterisasi didapatkan volume/residu urin telah mendekati/melampaui batas normal,
maka pasien dinyatakan mengalami retensi urin.[9]
Daftar pustaka
[1] Kartono, Santoso BI, Junisaf. Thesis perbandingan penggunaan kateter menetap selama 6 dan 24 jam paska seksio
sesaria dalam pencegahan retensi urin [thesis].Jakarta (ID): Indonesia Univ.; 1998.
[2] Yip SK, Bringer G, Hin L, et al. Urinary retention in the postpartum period. Acta Obstet Gynecol Scand 1997. p. 667-72.
[3] Pribakti B. Tinjauan Kasus Retensi Urin Postpartum di RSUD Ulin Banjarmasin (2002-2003). Dexa Media
2006.19(2):10-3.
[4] Pribakti B. Retensi Urin kronik Postpartum. Medika 2003.11(14):731-3
[5] Andolf E, Losif CS, Jorgenense M, et al. Insidous urinary retention after vaginal delivery, prevalence and symptoms at
follow up in population based study. Gynecol Obstet Invest 1995; 38:51-3.
[6] Stanton SL. Clinical gynecologic urology. St. Louis (UK): Mosby; 1984.
[7] Jack AP, Paul CM, Norman FG. Williams Obstetric. 17th ed. Norwalk (CN): Appleton-Century_Crofts; 1985. p. 739.
[8] Kermit EK, Joseph DB, Morton AS, Howard WJ, William FG, Pamela JM, et al, editors. Lange: Current Obstetri and
Gynecology Diagnose and Treatment 1987. 6th ed. Norwalk (CN): Lange Medical Publications; 1987. p. 218.
[9] Ralph CB, editors. Current Obstetic & Gynecologic Diagnosis & Treatment. 3rd ed. Los Altos (CA): Lange Medical
Publications; 1980. p. 438
http://sectiocadaveris.wordpress.com/artikel-kedokteran/retensi-urin-postpartum/
Pendahuluan
Selama kehamilan, saluran kemih mengalami perubahan morfologi dan fisiologi. Perubahan fisiologis pada kandung kemih yang terjadi
merupakan predisposisi terjadinya retensi urine satu jam pertama sampai beberapa hari post partum. Perubahan ini juga dapat memberikan
gejala dan kondisi patologis yang mungkin memberikan dampak pada ibu.
Epidemiologi
Salah satu komplikasi umum yang terjadi setelah proses persalinan, baik persalinan pervaginam atau sectio caesarea adalah retensi urin post
partum. Pada tahun 1998, dr. Kartono dkk dari FKUI-RSCM Jakarta melansir data bahwa terdapat 17,1% kejadian retensi urin pada ibu
melahirkan yang telah dipasang kateter selama enam jam dan 7,1% untuk yang dipasang selama 24 jam pasca operasi sectio caesarea. Yip
SK (Hongkong, 1997) melaporkan terdapat angka 14,6% untuk kasus retensi urin postpartum pervaginam. Dr. Pribakti B. dari FK Universitas
Lambung Mangkurat/RSUD Ulin Banjarmasin mencatat, bahwa sepanjang tahun 2002-2003 terdapat sebelas kasus retensi urin post partum
dari 2850 kasus (0.38%) yang terdata di RSUD Ulin Banjarmasin, dengan rincian empat kasus berada di antara kelompok usia 26-30 tahun
dan paritas terbanyak adalah paritas satu (enam kasus). Selain itu, delapan kasus terjadi pada pasien persalinan pervaginam, dua kasus
pada vakum ekstraksi, dan satu kasus pada sectio caesarea. Data lain datang dari Andolf dkk (1.5%) dan Kavin G. dkk (0.7%).
Anatomi
a. Traktus Urinarius Bagian Bawah
Kandung kemih merupakan suatu kantung muskulomembranosa tempat penampungan urin yang terbentuk dari empat lapisan; serosa,
muskuler, submukosa dan mukosa. Secara anatomis kandung kemih terbagi menjadi dua bagian besar yaitu detrusor (dasar kandung kemih)
dan trigonum (badan kandung kemih).
Detrusor (lapisan muskuler) terdiri dari tiga lapis otot polos yang secara acak bersilangan satu dengan yang lainnya sehingga merupakan
suatu unit fungsional yang berfungsi dalam peregangan pasif (saat terdapat peningkatan tekanan secara minimal) ataupun dalam kontraksi
kandung kemih. Di leher kandung kemih, otot polos tersusun sirkuler sehingga bertindak sebagai suatu sfingter fungsional. Trigonum
merupakan area segitiga di bagian inferior kandung kemih yang dibatasi di bagian superior dan lateral oleh orificium ureter serta di bagian
inferior oleh orificium uretra internal. Trigonum bagian dalam merupakan kelanjutan dari otot polos detrusor; sementara trigonum superfisial
merupakan kelanjutan dari otot-otot ureter.
Pada wanita, panjang uretra kurang lebih 4 cm. Terdiri dari tiga lapisan; mukosa, submukosa dan lapisan otot. Lapisan otot terdiri dari dua
lapisan otot polos yang berjalan longitudinal pada bagian dalam yang merupakan sambungan dari otot kandung kemih dan membentuk
sfingter uretra involunter. Di luar lapisan ini terdapat lapisan otot lurik (volunter) yang berjalan secara sirkuler pada 1/3 tengah uretra.
b. Sfingter Uretra
Secara tradisional uretra mempunyai dua sfingter yang berbeda, internal dan eksternal atau rhabdosphincter. Sfingter internal bukanlah
sfingter anatomis murni. Istilah tersebut ditujukan untuk paut leher kandung kemih dan uretra proksimal, dibentuk oleh susunan sirkuler
jaringan ikat dan serabut otot polos yang meluas dari kandung kemih. Area ini merupakan suatu sfingter fungsional karena akan terjadi
suatu peningkatan progresif tonus progresif seiring dengan pengisian kandung kemih, sehingga tekanan uretra menjadi lebih besar dari
tekanan intravesikal.
Myers dan rekannya menyatakan bahwa sfingter uretra eksternal dari otot lurik tersebut tidak membentuk suatu pita yang berjalan sirkuler
tetapi mempunyai serabut yang berjalan ke atas menuju dasar kandung kemih. Sfingter ini bekerja di bawah kontrol volunter dengan
proporsi serabut slowtwitch yang cukup besar untuk suatu kompresi tonik yang terus menerus (steady) dalam uretra. c. Anatomi Dasar
Panggul
Dasar panggul merupakan massa otot yang meliputi celah dasar tulang pelvis. DeLancey's membagi dasar panggul menjadi tiga lapisan
utama (dari dalam hingga keluar) :
� endopelvic fascia,
� otot levator ani
� dan sfingter anal eksternal
serta lapisan keempat (otot genital eksternal) yang berhubungan dengan fungsi seksual. Otot-otot pelvis memegang peranan penting dalam
menyokong kandung kemih.Otot-otot ini tidak hanya harus mampu berkontraksi secara volunter (dan cepat pada satu waktu) tetapi juga
harus dapat mempertahankan tonus istirahat secara berkelanjutan. Penyokong organ pelvis yang utama ada pada otot levator ani. Saat otot
levator ani berkontraksi, leher kandung kemih terangkat dan membantu menahan gaya yang timbul dari setiap peningkatan tekanan
intraabdominal atau intrauretra. Fascia,seperti pelvic dan endopelvic fascia, membantu mempertahankan sokongan kandung kemih. Otot
levator ani dapat dibagi menjadi 4 regio sesuai dengan lokasi anatomisnya :
� pubococcygeus (otot pubovisceral),
� iliococcygeus,
� pubovaginalis
� serta puborectalis puboanalis.
Kontinensia dipertahankan terutama oleh serabut medial levator ani. Pada serabut otot ini terdapat kombinasi serabut slow- dan fast-
twitch. Serabut slow-twitch berfungsi dalam respon postural sedangkan fast-twitch diperlukan untuk stimulus yang bersifat mendadak.
Otot lain yang juga terdapat dalam diafragma pelvis adalah obturator internis dan piriformis
d. Struktur dan Fungsi Mekanisme Kontinen pada Wanita
Pada wanita, tiga faktor penting diperlukan dalam mempertahankan kontinen adalah :
1. Sokongan dasar panggul (endopelvic fascia dan vagina bagian anterior) yang adekuat
2. Fungsi sfingter yang baik
3. Dipertahankannya posisi bagian proksimal uretra intra abdominal
Selama peningkatan tekanan intra abdominal, kontinen dipertahankan dengan adanya penekanan organ� organ pelvis ke bawah menuju
endopelvic fascia, serta adanya distribusi peningkatan tekanan intraabdominal ke bagian proksimal uretra intraabdominal. Epitelium uretra
yang sensitif terhadap estrogen dipercayai juga membantu mempertahankan kontinensia wanita dengan membentuk lapisan mukosa yang
tebal.
e. Neuroanatomi Traktur Urinarius Bagian Bawah
Persyarafan traktus urinarius bagian bawah berasal dari tiga sumber :
1) Sistim syaraf parasimpatis (S2-S4) � n pelvikus
2) Sistim syaraf simpatis (T11-L2) � n. hipogastrikus dan rantai simpatis
3) Sistim syaraf somatis atau volunter (S2-S4) � n. pudendus
Sistim syaraf pusat mengintegrasikan kontrol traktus urinarius. Pusat miksi yang berasal dari pontine memperantarai relaksasi spinkter dan
kontraksi detrusor secara sinkron; sementara lobus frontalis, basal ganglia dan cerebellum mengatur efek inhibisi dan fasilitasi. Penyimpanan
urin dimediasi oleh relaksasi detrusor dan penutupan sfingter. Relaksasi detrusor terjadi karena inhibisi sistim syaraf pusat terhadap tonus
parasimpatis, sementara itu penutupan spinkter dimediasi oleh peningkatan refleks aktivitas alfa-adrenergik dan somatis. Pengeluaran urin
terjadi saat detrusor berkontraksi, dimediasi oleh sistem syaraf parasimpatis, yang disertai dengan relaksasi sfingter.
f. Neuroanatomi Kandung Kemih - Sistem Eferen
Suplai syaraf parasimpatis eferen berasal dari nukleus detrusor yang berada di intermediolateral gray matter medulla spinalis S2-S4. Eferen
sakral keluar sebagai suatu serabut preganglionik di ventral roots dan berjalan melalui syaraf pelvikus (nervi erigentes) ke ganglia dekat atau
dalam otot detrusor untuk memberikan input eksitasi kepada kandung kemih. Setelah impuls tiba di ganglia parasimpatis, impuls akan
berjalan melalui postganglionik yang pendek ke reseptor otot polos kolinergik, menyebabkan timbulnya kontraksi kandung kemih. Syaraf
simpatis eferen mempersyarafi kandung kemih dan uretra dimulai dari intermediolateral gray column T11 � L2 dan memberikan input
inhibisi ke kandung kemih. Impuls simpatis ini berjalan dalam rentang pendek ke ganglia simpatis paravertebral lumbal, kemudian ke
sepanjang syaraf postganglionik yang panjang dalam syaraf hipogastrik untuk bersinaps di reseptor alpha dan beta adrenergik dalam
kandung kemih dan uretra. Stimulasi simpatis akan memfasilitasi penyimpanan urin di kandung kemih dalam suatu keadaan yang
terkoordinasi karena lokasi reseptor adrenergik yang strategis. Reseptor beta adrenergik terutama terletak di bagian superior kandung kemih
dan stimulasinya menyebabkan relaksasi otot polos. Reseptor alpha adrenergik mempunyai densitas yang lebih tinggi di dekat dasar
kandung kemih dan uretra prostatik, sehingga stimulasinya akan menyebabkan kontraksi otot polos dan meningkatkan tahanan outlet
kandung kemih dan uretra prostatik.
g. Neuroanatomi Kandung Kemih - Sistem Aferen
Syaraf-syaraf aferen yang penting untuk menstimulasi proses berkemih adalah syaraf-syaraf yang melewati medulla spinalis bagian sakral
melalui syaraf pelvikus. Syaraf aferen ini mencakup dua tipe yaitu serabut kecil bermielin (A-delta) dan serabut tidak bermielin (serabut C).
Serabut A delta berespon secara berjenjang terhadap distensi kandung kemih dan hal ini penting untuk proses berkemih yang normal.
Serabut C (silent fibers) tidak berespon terhadap distensi kandung kemih sehingga tidak penting untuk proses berkemih normal, tetapi akan
menampakkan firing spontan bila diaktivasi melalui rangsangan iritasi kimia atau suhu dingin pada dinding kandung kemih.
h. Persyarafan Sfingter Uretra
Sfingter uretra eksternal mempunyai persyarafan somatik yang menyebabkan sfingter dapat tertutup sesuai keinginan. Syaraf somatik
eferen berasal dari nukleus pudendal di segmen sakral (S2 sampai S4) yang disebut dengan Onufrowicz� s nucleus (Onuf� s). Syaraf
eferen ini lalu berjalan melalui syaraf pudendal ke paut neuromuskuler serabut otot lurik di sfingter uretra eksternal. Sfingter uretra internal
bekerja di bawah kontrol sistem otonom. Area ini mempunyai sejumlah reseptor alfa simpatis, yang jika distimulasi akan menyebabkan
timbulnya kontraksi.
i. Pengaruh Susunan Syaraf Pusat pada Traktus Urinarius Bagian Bawah
Fasilitasi dan inhibisi sistim syaraf otonom dilakukan dibawah kontrol susunan syaraf pusat. Denny-Brown dan Robertson menduga bahwa
proses berkemih terutama dimediasi oleh refleks miksi sakral. Menurut teorinya, jalur sistim syaraf yang menurun (descending) akan
memodulasi refleks miksi ini. Barrington, Bradley dan de Groat menduga bahwa impuls fasilitasi ke kandung kemih berasal dari regio di
anterior pons yang disebut dengan Barrington� s center. Carlsson memberikan bukti bahwa area mesencephalic pontine ini juga
memegang peranan penting dalam mengkoordinasikan aktivitas detrusor dan sfingter. Stimulasi Barrington� s center secara signifikan
akan menurunkan aktivitas EMG di sfingter lurik periuretral dan menimbulkan kontraksi kandung kemih. Dari penelitian transeksi kucing
diduga efek korteks serebral pada proses berkemih adalah inhibisi. Hal ini juga terjadi pada basal ganglia dan berhubungan dengan keadaan
klinis detrusor hyperreflexia pada pasien dengan disfungsi basal ganglia (contohnya penyakit Parkinson). Cerebellum juga diduga
mempertahankan tonus otot-otot dasar panggul dan mempengaruhi koordinasi antara relaksasi otot lurik periuretral dan pengosongan
kandung kemih
http://e-infomu.com/berita-134-retensi-urine-post-partum.html
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehamilan dan persalinan akan menyebabkan dasar panggul melemah atau rusak sehingga tidak
dapat berfungsi dengan baik ( David L. L., 2009). Pada proses persalinan, otot-otot dasar panggul
mengalami tekanan langsung dengan bagian terbawah janin, bersamaan dengan tekanan ke bawah yang
berasal dari tenaga meneran ibu (Santosa, 2009). Banyak wanita mengalami kebocoran urine yang tidak
Kondisi-kondisi pada ibu post partum yang mengganggu pengontrolan urine meliputi inkontinensia
urine stres, inkontinensia urine desakan, trigonitis, sistisis, kondisi patologis pada korda spinalis, dan
abnormalitas traktus urinarius kongenital (Bobak, 2004). Komplikasi lain yang bisa timbul akibat proses
Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya kesulitan buang air
kecil; pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus; ada rasa tidak puas, dan keinginan untuk
mengedan atau memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih. Perubahan fisiologis pada
kandung kemih yang terjadi saat kehamilan berlangsung merupakan predisposisi terjadinya retensi urine
satu jam pertama sampai beberapa hari post partum ( Aulia Rahman, dkk., 2009).
Retensi urin merupakan fenomana yang biasa terjadi pada ibu postpartum. Hal ini disebabkan
banyak faktor. Salah satunya adalah penekanan kepala janin ke uretra dan kandung kemih yang
menyebabkan edema. Distensi yang disebabkan akan berlangsung selama sekitar 24 jam setelah
melahirkan. Namun kemudian karena penumpukan cairan yang terjadi, secara perlahan akan terjadi
pengeluaran cairan secara besar-besaran yang biasa disebut inkontinensia (Lusa, 2010).
Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefinisikan sebagai keluarnya urin
secara involunter yang menimbulkan masalah sosial dan higiene serta secara objektif tampak nyata
urine menjadi 6, yaitu : Inkontinensia urine desakan, inkontinensia urine stress , inkontinensia urine
campuran, Inkontinensia urine berlebih, Nokturnal Enuresis, Post Micturition Dribbling dan Incontinencia
continua.(Santosa, 2009).
Masalah berkemih yang paling umum dalam kehamilan dan pascapartum adalah inkontinensia urine
stress. The International Continence Society (ICS) mendefinisikan inkontinensia urine stres sebagai
keluhan pelepasan involunter saat melakukan aktivitas, saat bersin dan pada waktu
batuk (ICS, (2002) dalam Eileen, (2007)). Inkontinensia urine stres terjadi akibat peningkatan tekanan
intra abdomen yang tiba-tiba (misalnya, tekanan mendadak yang timbul akibat bersin atau batuk).
Sedangkan inkontinensia urine desakan disebabkan oleh gangguan pada kandung kemih dan uretra
(Bobak, 2004:1024). Kedua jenis inkontinensia ini merupakan tipe yang paling sering terjadi pada ibu
postpartum. Terkadang muncul gejala campuran dari kedua tipe inkontinensia ini, yang disebut juga
dengan inkontinensia urine campuran (Rortveid (2003), Viktrub (1993), Wilson (1996)).
Menurut Brooker (2009), Inkontinensia urine stres biasanya disebabkan saluran kandung kemih
inkompeten akibat kelemahan otot dasar panggul yang menyangga dan insufisiensi sfingter. Bobak
(2004) menyatakan, inkontinensia urine stres dapat terjadi setelah cedera pada struktur leher kandung
kemih. Menurut Eileen (2007), otot dasar panggul berperan penting dalam mempertahankan tekanan
uretra ketika terjadi peningkatan yang tiba-tiba pada tekanan intra abdomen selama kondisi stress. Pada
keadaan normal, tekanan dalam uretra lebih tinggi daripada tekanan intra abdomen yang berfungsi
mempertahankan keutuhan. Namun, bila tidak didukung oleh otot dasar panggul, tekanan uretra tidak
Pada tahun 1998 Asia Pacific Continence Advisory Board (APCAB) menyatakan prevalensi
inkontinensia urin pada wanita Asia adalah sekitar 14,6%. Prevalensi ini bervariasi di setiap negara
karena banyak faktor, diantaranya adalah adanya perbedaan definisi inkontinensia yang dipergunakan,
Prevalensi inkontinensia urin sulit dinilai karena alasan budaya dan sosial. Prevalensi yang rendah
mungkin disebabkan oleh kurangnya pelaporan karena di Asia inkontinensia masih dianggap sebagai
Prevalensi dan berat gangguan meningkat dengan bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15
tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedang pada usia 35-65 tahun mencapai 12%. Prevalansi
meningkat sampai 16% pada wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian 5%,
pada wanita dengan anak satu mencapai 10% dan meningkat sampai 20% pada wanita dengan 5 anak.
Secara medis adanya inkontinensia urin akan mempredisposisi timbulnya ruam perineal, ulkus
dekubitus, infeksi traktus urinarius, urosepsis, jatuh dan fraktur. Secara psikososial akan menyebabkan
pasien merasa malu, terisolasi, depresi dan merasa mengalami regresi (Herzog et al., 1989; Wyman et
al., 1990). Dilihat dari segi ekonomi, biaya yang diperlukan untuk mengatasinya cukup besar, di Amerika
lebih dari 10 miliar dolar dikeluarkan untuk mengatasi masalah inkontinensia ini pada tahun 1987 (Hu
Terapi inkontinensia urin secara dini dan rutin, efektif diperlukan untuk mengembalikan fungsi fisik
dan emosional orang yang menderitanya ( Lapitan CM, 2001 : 1-4 ). Dr. Kegel mengenalkan latihan
dasar panggul atau Kegel Exercise untuk mengontrol inkontinensia urine stress yang bermanfaat selama
masa pasca partum. Menurut Hay-Smith (2006), kegel exercise merupakan saran utama dalam
mengatasi inkontinensia urine stres dan inkontinensia urine campuran namun latihan ini meningkat
fungsinya sebagai latihan yang juga mampu mengatasi inkontinensia urine desakan.
Menurut Purnomo (2003), Kegel Exercise adalah terapi non operatif yang paling populer untuk
mengatasi inkontinensia urine. Latihan ini memperkuat otot-otot di sekitar organ reproduksi dan
memperbaiki tonus otot tersebut (Bobak, 2004). Kegel Exercise dapat dilakukan untuk meningkatkan
mobilitas kandung kemih ( Kane dkk., 1996). Kegel Exercise membantu meningkatkan tonus dan
Kegel Exercise harus dilakukan setelah melahirkan untuk membantu otot otot dasar panggul kembali
ke fungsi normal. Apabila dilakukan secara teratur, latihan ini membantu mencegah prolaps uterus dan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata keberhasilan melatih otot dasar panggul untuk
mencegah inkontinensia urine dilaporkan sebesar 56%-75% (Freeman, 2004). Ibu post partum dengan
inkontinensia urine menetap selama tiga bulan setelah melahirkan dan yang menerima latihan otot dasar
panggul mengalami penurunan kejadian daripada ibu post partum yang tidak mendapatkan perawatan
latihan (menurun sekitar 20%) untuk melaporkan inkontinensia setelah 12 bulan. Terlihat bahwa semakin
sering dalam menjalankan program maka efeknya semakin besar ( Smith J, dkk., 2009). Berdasarkan
penelitian terhadap lansia di panti Wreda Sindang Asih Semarang tahun 2009 Kegel Exercise yang
dilakukan sebanyak 10 kali dalam 3 minggu menyebabkan terjadinya penurunan frekuensi inkontinensia
Dengan melihat adanya keterkaitan antara kegel exercise dengan penurunan kejadian inkontinensia
urine, maka penulis melakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitasKegel exercise terhadap
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalahan pada penelitian ini adalah :
Bagaimana efektifitas Kegel Exercise terhadap Penurunan Kejadian Inkontinensia Urine Stres pada Ibu
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari efektivitas Kegel Exerciseterhadap penurunan
2. Tujuan Khusus
b. Mengidentifikasi kejadian inkontinensia urine pada ibu postpartum sebelum intervensi dengan Kegel
Exercise
c. Mengidentifikasi kejadian inkontinensia pada ibu postpartum setelah intervensi dengan Kegel Exercise
d. Membandingkan perbedaan penurunan kejadian inkontinensia urine antara ibu postpartum yang diberikan
D. Manfaat Penelitian
Memberikan masukan untuk menggunakan Kegel Exercise dalam menurunkan kejadian inkontinensia
Dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan khususnya
keperawatan dalam menghadapi ibu postpartum dengan inkontinensia urine. Hasil penelitian dapat
digunakan sebagai data awal dalam melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan
Dapat memperkenalkan suatu metode latihan postpartum (Kegel Exercise) sehingga lebih dapat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem urinaria bagian bawah terdiri atas buli-buli (kandung kemih) dan uretra yang keduanya harus
bekerja secara sinergis untuk dapat menjalankan fungsinya dalam menyimpan (storage) dan
mengeluarkan (voiding) urine. Kandung kemih merupakan organ berongga yang terdiri atas mukosa, otot
polos detrusor, dan serosa. Pada perbatasan antara kandung kemih dan uretra, berupa sfingter uretra
interna yang terdiri atas otot polos. Sfingter interna ini selalu tertutup pada saat fase pengisian (filling)
atau penyimpanan, dan terbuka pada saat isis kandung kemih penuh dan saat miksi atau pengeluaran
(evecuating). Di sebelah distal dari uretra posterior terdapat sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot
bergaris dari otot dasar panggul. Sfingter ini membuka pada saat miksi sesuai dengan perintah dari
korteks serebri.
Pada saat pengisian, terjadi relaksasi otot detrusor dan pada fase pengeluaran urine terjadi
kontraksi otot detrusor. Selama pengisian urine, kandung kemih mampu untuk melakukan akomodasi
volumenya cukup besar. Sifat kandung kemih seperti ini disebut sebagai komplians kandung kemih
(bladder compliance).
Jika terjadi kerusakan dinding kandung kemih sehingga viskoelastisitas kandung kemih terganggu,
komplians kandung kemih menurun , yang berarti bahwa pengisian urine pada volume tertentu akan
Sistem saluran kemih bagian bawah mendapatkan inervasi dari serabut saraf aferen yang berasal
dari kandung kemih dan uretra serta serabut saraf eferen berupa sistem parasimpatik, simpatik dan
somatik. Serabut aferen dari dinding kandung kemih menerima impuls strech reseptor (reseptor
regangan) dari kandung kemih yang dibawa oleh nervus pelvikus ke korda spinalis S 2-4 dan diteruskan
sampai ke otak melalui traktus spinotalamikus. Sinyal ini akan memberikan informasi kepada otak
tentang volume urine di dalam kandung kemih. Jalur aferen dari sfingter uretra eksterna dan uretra
mengenai sensasi suhu, nyeri, dan adanya aliran urine di dalam uretra. Impuls ini dibawa oleh nervus
Serabut eferen parasimpatik berasal dari korda spinalis S2-4 dibawa oleh nervus pelvikus dan
memberikan inervasi pada otot detrusor. Asetilkolin (Ach)adalah neurotransmitter yang berperan dalam
penghantaran signal saraf kolinergik, yang steelah berikatan dengan reseptor muskarinik menyebabkan
kontraksi otot detrusor. Reseptor muskarinik yang banyak berperan di dalam kontraksi kandung kemih
adalah M2 dan M3. Peranan sistem parasimpatik pada proses miksi berupa kontraksi detrusor, dan
Serabut saraf simpatik berasal dari korda spinalis segmen thorako-lumbal (T10 – L2) yang dibawa
oleh nervus hipogastrikus menuju kandung kemih dan uretra. Teradapat 2 jenis reseptor adrenergik yang
letaknya berada di dalam kandung kemih dan uretra, yaitu reseptor adrenergik yang banyak terdapat
pada leher kandung kemih (sfingter interna) dan uretra posterior, serta reseptor adrenergik yang banyak
terdapat pada fundus kandung kemih. Rangsangan pada reseptor adrenergik menyebabkan kontraksi,
sedangkan pada menyebabkan relaksasi. Sistem simpatis ini berperan pada fase pengisian yaitu
menyebabkan terjadinya : (1) relaksasi otot detrusor karena stimulasi adrenergik dan (2) kontraksi
sfingter interna serta uretra posterior karena stimulasi adrenergik yang betujuan untuk mempertahankan
resistensi uretra agar selama fase pengisian urine tidak bocor (keluar) dari kandung kemih.
Serabut saraf somatik berasal dari nukleus Onuf yang berada di kornu anterior korda spinalis S2-
4 yang dibawa oleh nervus pudendus dan menginervasi otot bergaris sfingter eksterna dan otot-otot dasar
panggul. Perintah dari korteks serebri (secara disadari) menyebabkan terbukanya sfingter eksterna pada
saat miksi.
Pada saar kandung kemih terisi oleh urine dari kedua ureter, volume kandung kemih bertambah
besar karena ototnya mengalami peregangan. Regangan itu menyebabkan stimulasi pada stretch
reseptor yang berada di dinding kandung kemih yang kemudian memberikan signal kepada otak tentang
jumlah urine yang mengisi kandung kemih. Setelah kurang lebih terisi separuh dari kapasitasnya, mulai
Pada saat kandung kemih sedang terisi, tejadi stimulasi pada sistem simpatik yang
mengakibatkan kontraksi sfingter uretra interna (menutupnya leher kandung kemih), dan inhibisi sistem
parasimpatik berupa relaksasi otot detrusor. Kemudian pada saat kandung kemih terisi penuh dna timbul
keinginan untuk miksi, timbul stimulasi sistem parasimpatik dan menyebabkan kontraksi otot detrusor,
serta inhibisi sistem simpatik yang menyebabkan relaksasi sfingter interna (terbukanya leher kandung
kemih). Miksi kemudian terjadi jika relaksasi sfingter uretra eksterna dan tekanan intravesikal melebihi
tekanan intrauterina.
Kelainan pada unit vesiko-uretra dapat terjadi pada fasae pengisian atau pada fase miksi.
Kegagalan kandung kemih dalam memnyimpan urine menyebabkan urine tidak sempat tersimpan di
dalam kandung kemih dan keluar melalui kandung kemih, yaitu pada inkontinensia urine sedangkan
kelainan pada fase miksi menyebabkan urine tertahan di dalam kandung kemih sapai terjadi retensi urine
(Purnomo, 2003).
Dasar panggul membentuk landasan bagi panggul dan terdiri atas otot perineum, fascia dan
levator ani profunda, serta otot koksigeus (Eileen, 2009). Dasar panggul adalah diafragma muskuler yang
memisahkan cavum pelvis di sebelah atas dengan ruang perineum di sebelah bawah. Sekat ini dibentuk
oleh m. Levator ani, serat m. Coccigeus dan seluruhnya ditutupi oleh fascia parietalis (Patrick H, (2002);
Otot-otot dasar panggul memegang peranan penting dalam menyokong kandung kemih. Otot-
otot ini tidak hanya harus mampu berkontraksi secara volunter (dan cepat pada satu waktu) tetapi juga
harus dapat mempertahankan tonus istirahat secara berkelanjutan. Penyokong organ pelvis yang utama
ada pada otot levator ani. Saat otot levator ani berkontraksi, leher kandung kemih terangkat dan
membantu menahan gaya yang timbul dari setiap peningkatan tekanan intraabdominal atau
intrauretra. Fascia, seperti pelvic danendopelvic fascia, membantu mempertahankan sokongan kandung
Otot perineum superfisial terdiri atas serabut tipis kecil otot yang menyebar ke arah luar tulang
pelvis pada setiap sisi dari arah sentral tendinus korpus peritoneum. Korpus peritoneum merupakan
piramida otot dan jaringan fibrosa, letaknya antara vagina dan rektum. Bulbospongiosus melekat pada
korpus peritoneum di sekeliling vagina sampai ke klitoris. Iskiokavernosus melekat pada tuberositas
iskium dan klitoris. Otot perineal transversus superfisial melekat pada tuberositas iskium sampai ke
korpus peritoneum. Sfingter ani eksternal mengelilingi orifisium anal dan tertanam di bagian depan
korpus peritoneum serta melekatkan diri pada bagian belakang tulang koksik (Eileen, 2007)
2. Levator Ani
Lapisan dalam otot ini dapat dikenal pula sebagai satu serabut otot yang terlindungi oleh fascia
pelvis; otot ini membentuk suatu penyangga yang kokoh, yang menyangga viscera abdominal. Otot ini
terbagi dalam iskiokoksigeus (kadang dikenal sebagai koksigeus), iliokoksigeus, pubokoksigeus, dan
puborektalis, serta dilekatkan ke permukaan pelvis dari spina iskia. Serat otot ini dengan beragam derajat
Iskiokoksigeus merupakan otot segitiga yang bentuknya kecil, membentang pada bagian superior
dan posterior, namun pada bidang yang sama, dianggap sebagai bagian levator ani, namun kerap pula
dianggap sebagai bagian yang terpisah. Otot ini muncul dari spina iskia dan ligamen sakrospina serta
membentang ke bagian atas koksik dan bagian bawah sakrum. Iliokoksigeus muncul dari fascia di atas
obturator internus dan spina iskia (Eileen, 2007). Illiococcigeus berasal dari arkus tendendeneus levator
ani (ATLA), penebalan dari fascia yang meliputi obstruktor internus yang berjalan dari spina ischiadika ke
permukaan posterior dari ramus superior ipsilateral, masuk ke garis tengah melalui raphe anococcigeal
(Roger R M, 2003).
Serat puborektalis medialis menjulur pada sisi vagina dan uretra, sebelum masuk ke bagian
korpus peritoneum, dan serat lateralnya pada masing-masing sisi mengitari rektum dan bersatu dengan
sfingter anus eksternal. Serat ini muncul dari bagian spina iskia dan meletakkan dirinya ke tulang koksik
dan sakrum bagian bawah (Eileen, 2007). Puborektalis juga berasal dari tulang pubis, tetapi serabutnya
melewati bagian posterior dan membentuk tali gantungan di sekeliling vagina, rektum dan perineum,
Serat pubokoksigeus muncul dari tulang pubis dan fascia di atas obturator internal dan melekat
ke bagian anterior koksik (Eileen, 2007). Otot pubococcigeus berasal dari posterior inferior ramus pubis
dan masuk ke garis lengan organ visceral dari anococcigeal raphe (Roger R M, 2003).
Ruangan antara muskulus levator ani dimana dilalui oleh uretra, vagna dan rektum disebut
sebagai hiatus urogenital. Fusi dari levator ani dimana mereka bergabung pada garis tengah disebut
sebagai lempeng levator. Otot dasar panggul khususnya muskulus levator ani, mempunyai peranan
penting dalam menyangga organ visera pelvis dan peran integral pada fungsi berkemih, defekasi dan
Kontinensia dipertahankan terutama oleh serabut medial levator ani. Pada serabut otot ini terdapat
kombinasi serabut slow- dan fast-twitch. Serabut slow-twitch berfungsi dalam respon postural
sedangkan fast-twitch diperlukan untuk stimulus yang bersifat mendadak. Otot lain yang juga terdapat
dalam diafragma pelvis adalah obturator internis dan piriformis (Vitriana, 2002).
Segitiga urogenital atau diafragma urogenital adalah dua lapisan fascia, mengisi ruang segitiga di
bawah simfisis pubis dan ramus pubis.Fascia ini terbelah pada bagian tengahnya untuk memberi ruang
bagi vagina dan uretra. Fascia ini juga membungkus levator ani. Fascia terdiri dari sedikit serabut otot,
disebut kompresor uretra dan peritoneum transversum profunda. Peritoneum transversum profunda
melekat pada korpus peritoneum, berfungsi membungkus dan menjadi perlekatan otot dan dapat sangat
4. Persyarafan
Otot-otot diatas dipersarafi oleh pleksus pudendus, yang merupakan sistem persyarafan yang
berasal dari nervus sakralis ke-2, ke-3, ke-4 dan kadang-kadang ke-5 (S2-5) (Eileen, 2007). Fasilitasi dan
inhibisi syaraf otonom dilakukan dibawah kontrol susunan syaraf pusat. Denny-Brown dan Robertson
menduga bahwa proses berkemih terutama dimediasi oleh refleks miksi sakral. Menurut teorinya, jalur
sistem syaraf yang menurun (descending) akan memodulasi refleks miksi ini. Barrington, Bradley dan de
Groat dalam Vitriana (2002) menduga bahwa impuls fasilitasi ke kandung kemih berasal dari regio di
anterior pons yang disebut dengan “Barrington’s Center”. Carlson memberikan bukti bahwa
area mesenceohalic pontine ini juga memegang peranan penting dalam mengkoordinasikan aktivitas
detrusor dan sfingter. StimulasiBarrington’s center secara signifikan akan menurunkan aktivitas EMG di
Dari penelitian transeksi kucing diduga efek korteks serebral pada proses berkemih dalam
inhibisi. Hal ini juga terjadi pada basal ganglia dan berhubungan dengan keadaan klinis detrusor
hyperflexia pada pasien dengan disfungsi basal ganglia (contohnya penyakit Parkinson). Cerebellum juga
diduga mempertahankan tonus otot-otot dasar panggul dan mempengaruhi koordinasi antara relaksasi
otot lurik periuretral dan pengosongan kandung kemih (Linsenmeyer TA and Stone JM., 1998; Steers WD
d. Kontra-kerja perubahan pada tekanan abdomen yang disebabkan oleh aktivitas seperti batuk dan
mengangkat benda
g. Menghasilkan suatu terowongan yang dapat membantu rotasi kepala janin selama persalinan
Fungsi diatas hanya efisien jika otot tersebut dalam keadaan kuat. Kelemahan otot ini sebaliknya
dapat mengakibatkan inkontinensia urin dan prolaps uterus dan/atau dinding vagina (Eileen, 2007).
Menurut Loetan F (2006) dan Roger R M (2003), fungsi utama panggul adalah supportir, sfingterik dan
fungsi seksual.
B. Inkontinensia Urine
1. Definisi Inkontinensia Urine
Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefinisikan sebagai keluarnya urin
secara involunter yang menimbulkan masalah sosial dan higiene serta secara objektif tampak nyata.
Inkontinensia urin dapat merupakan suatu gejala, tanda ataupun suatu kondisi. Kondisi ini bukan
merupakan bagian yang normal dari proses penuaan, walaupun prevalensinya meningkat sejalan dengan
peningkatan usia (Shelly B., 1999; Sapsford RR & Hodges PW., 2001; Berek JS., 1996 dalam Vitriana
2002).
Diagnosis banding inkontinensia urin cukup luas dengan banyak penyebab. Terkadang lebih dari
satu faktor penyebab terlibat, sehingga penegakkan diagnosis dan terapinya menjadi lebih sulit.
Membedakan etiologi ini merupakan hal yang penting karena setiap kondisi memerlukan pendekatan
Kegagalan sistem vesiko uretra pada fase pengisian menyebabkan inkontinensia urine. Kondisi ini
dapat disebabkan oleh kelainan pada kandung kemih atau kelainan pada sfingter (uretra). Kelainan pada
kandung kemih dapat berupa overaktivitas detrusor dan menurunnya komplians kandung kemih.
Kelainan pada uretra dapat berupa hipermobilitas uretra dan defisiensi sfingter intrinsik. Kelainan yang
berasal dari kandung kemih menyebabkan suatu inkontinensia urge sedangkan kelainan dari jalan keluar
(2001) ; Steers W D, Zorn B H, (1997); Berek J S, (1996), inkontinensia urine terbagi menjadi 2, yaitu
a. Transient Incontinence
Inkontinensia transien sering terjadi pada usila. Jenis inkontinesia ini mencakup sepertiga
kejadian inkontinensia pada masyarakat dan lebih dari setengah pasien inkontinensia yang menjalani
rawat inap (Herzog dan Fultz, 1990). Penyebabnya sering disingkat menjadi DIAPPERS.
Diadaptasi dari After Du Beau, Resnick, N.M : Evaluation of the causes and severity of geriatric
incontinence. Urol Clin Nort Am 1991; 18(2):243-256 didapatkan bahwa DIAPPERS merupakan
1) Delirium
Pada kondisi berkurangnya kesadaran baik karena pengaruh obat, operasi ataupun penyakit
yang bersifat akut (contohnya karena infeksi), kejadian inkontinensia akan dapat dihilangkan dengan
mengidentifikasi dan menterapi penyebab delirium. Pasien lebih memerlukan manajemen medis dalam
Infeksi traktus urinarius yang simptomatik seperti cystitis dan urethritisdapat menyebabkan iritasi
kandung kemih sehingga timbul frekuensi, disuria dan urgensi yang mengakibatkan seorang usila tidak
mampu mencapai toilet untuk berkemih. Bakteriuria tanpa disertai piuria (infeksi asimptomatik) yang
banyak terjadi pada usila, tidak selalu mengindikasikan adanya infeksi dan bisa saja bukan etiologi
inkontinensia, tetapi banyak dokter yang akan menterapi ini dengan antibiotika walaupun hal tersebut
tidak didukung oleh bukti penelitian. (Boscia et al., 1986; Resnick, 1988).
Jaringan yang teriritasi, tipis dan mudah rusak dapat menyebabkan timbulnya gejala rasa terbakar
di uretra, disuria, infeksi traktus urinarius berulang, dispareunia, urgensi, stress atau urge incontinence.
Gejalanya sangat responsif terhadap terapi estrogen dosis rendah, yang diberikan baik oral (0,3 – 0,6 mg
conjugated estrogen/hari) atau topikal. Gejala akan berkurang dalam beberapa hari hingga 6 minggu,
walaupun respon biokimia intraseluler memakan waktu lebih panjang (Semmens et al., 1985).
4) Obat-obatan (Pharmaceutical)
Obat-obatan sering dihubungkan dengan inkontinensia pada usila. Obat-obatan seperti diuretik
akan meningkatkan pembebanan urin di kandung kemih sehingga bila seseorang tidak dapat
menemukan toilet pada waktunya akan timbul urge incontinence. Agen antikolinergik dan sedatif dapat
menyebabkan timbulnya atonia sehingga timbul retensi urin kronis dan overflow incontinence. Sedatif,
seperti benzodiazepin juga dapat berakumulasi dan menyebabkanconfusion dan inkontinensia sekunder,
terutama pada usila. Alkohol, mempunyai efek serupa dengan benzodiazepines, mengganggu mobilitas
dan menimbulkan diuresis. Calcium-channel blockers untuk hipertensi dapat menyebabkan berkurangnya
tonus sfingter uretra eksternal dan gangguan kontraktilitas otot polos kandung kemih sehingga
menstimulasi timbulnya stress incontinence. Obat ini juga dapat menyebabkan edema perifer, yang
menimbulkan nokturia. Agen alpha-adrenergik yang sering ditemukan di obat influenza, akan
meningkatkan tahanan outlet dan menyebabkan kesulitan berkemih; sebaliknya obat-obatan ini sering
bermanfaat dalam mengobati beberapa kasus stress incontinence. Alpha blockers, yang sering
dipergunakan untuk terapi hipertensi dapat menurunkan kemampuan penutupan uretra dan
5) Psikologis (Psychological)
Proses psikologis yang menyebabkan timbulnya inkontinensia belum pernah diteliti, tetapi hal ini
jarang terjadi pada orang usila dibandingkan dengan yang muda. Depresi dan kecemasan dapat
menyebabkan pasien mengalami “kebocoran” urin. Mekanisme ini biasanya merupakan kombinasi
dari bladder overactivity dan relaksasi sfingter uretra yang tidak tepat. Intervensi awal ditujukan pada
gangguan psikologinya. Setelah gangguan tersebut diatasi tetapi masih terdapat inkontinensia maka
Output urin yang berlebihan bisa disebabkan oleh karena intake cairan yang banyak, minuman
berkafein, dan masalah endokrin. Diabetes mellitus melalui efek diuresis osmotiknya dapat menyebabkan
suatu kondisi overactive bladder. Diabetes insipidus juga akan menyebabkan terjadinya peningkatan
produksi urin hingga 10 liter per hari pada kandung kemih sehingga menimbulkan overflow
menimbulkan kondisi urge incontinence. Disamping itu, kondisi hipotiroidism dapat menyebabkan
Umumnya hal ini yang sering menimbulkan inkontinensia pada usila. Keterbatasan mobilitas ini
dapat disebabkan karena kondisi nyeri arthritis, deformitas panggul, deconditioning fisik, stenosis spinal,
gagal jantung, penglihatan yang buruk, hipotensi postural atau post prandial, claudication, perasaan takut
jatuh, stroke, masalah kaki atau ketidakseimbangan karena obat-obatan. Pemeriksaan yang cermat
sering mendapatkan bahwa hal ini sebetulnya merupakan penyebab yang dapat dikoreksi. Jika tidak
dapat dilakukan koreksi, maka pola miksi di samping atau di tempat tidur dapat mengatasi masalah ini.
Diimplikasikan sebagai penyebab inkontinensia urin hampir lebih dari 10% pasien yang dirujuk ke
klinik inkontinensia (Resnick, 1988). Impaksi feses akan mengubah posisi kandung kemih dan menekan
syaraf yang mensuplai uretra serta kandung kemih, sehingga akan dapat menimbulkan kondisi retensi
dipertimbangkan penyebab inkontinensia yang berasal dari traktus urinarius bagian bawah.
True incontinence dapat diklasifikasikan berdasarkan gejalanya menjadi :
1) Stress incontinence
Genuine stress incontinence (GSI) terjadi saat tekanan intravesikal melebihi tekanan maksimum
uretra tanpa disertai aktivitas detrusor yang menyertai peningkatan tekanan intra abdominal. Peningkatan
tekanan intra abdominal biasanya terjadi saat batuk, bersin, tertawa dan aktivitas fisik tertentu (contoh :
mengedan).
GSI dapat terjadi karena penurunan leher kandung kemih dan uretra bagian proksimal, hilangnya
tahanan uretra atau keduanya (paling sering). Tekanan uretra yang rendah didefinisikan sebagai suatu
kondisi dimana tekanan uretra maksimum kurang dari 20cm H2O atau Valsava leak pressure kurang dari
60cm H2O.
2) Overflow incontinence
Terjadi karena kandung kemih mengalami distensi secara berlebihan hingga ke titik dimana
tekanan intravesikal melebihi tahanan uretra (tahananoutlet), tetapi tanpa disertai dengan adanya
aktivitas detrusor atau relaksasioutlet. Kondisi ini bisa terjadi karena dua hal, yaitu :
a) Obstruksi outlet kandung kemih contoh Benign Prostat Hyperplasia pada pria, stenosis uretra pada
wanita, kontraktur leher kandung kemih, pasca operasi anti inkontinen seperti pubovaginal
b) Kandung kemih atoni seperti pada diabetic autoneuropathy, spinal cord trauma, herniated lumbar disc,
peripheral neuropathy.
Sulit untuk membedakan antara 2 etiologi tersebut diatas (terutama pada usila dengan diabetik
yang disertai dengan pembesaran prostat) akan tetapi pemeriksaan Pressure-Flow Study (PFS) akan
menampakkan bentuk high pressure-low flow untuk obstruksi prostatik dan low pressure-low flow untuk
atonia kandung kemih. Riwayat klasik untuk kondisi ini adalah adanya nocturnal enuresis. Terkadang
pasien merasakan hal tersebut sebagai “stress incontinence”. Kecurigaan akan kondisi ini didasarkan
pada penemuan adanya kandung kemih yang berdistensi pada pemeriksaan abdominal dan PVR yang
besar.
3) Urge incontinence
Tipe inkontinensia ini ditandai dengan adanya keinginan berkemih yang kuat secara mendadak
tetapi disertai dengan ketidakmampuan untuk menghambat refleks miksi, sehingga pasien tidak mampu
mencapai toilet pada waktunya. Riwayat kondisi ini khas dengan adanya gejala overactive
bladder(frekuensi, urgensi) serta faktor-faktor presipitasi yang dapat diidentifikasi, seperti cuaca dingin,
situasi yang menekan, suara air mengalir. Urge incontinence dapat disebabkan oleh karena detrusor
myopathy, neuropathy atau kombinasi dari keduanya. Bila penyebabnya tidak diketahui maka disebut
4) Reflex incontinence
Hilangnya inhibisi sentral dari jaras aferen atau eferen antara otak dansacral spinal cord. Kondisi
ini terjadi sebagai akibat kelainan neurologis susunan syaraf pusat. Merupakan suatu bentuk
inkontinensia dengan keluarnya urin (kontraksi detrusor involunter) tanpa suatu bentuk peringatan atau
rasa penuh (sensasi urgensi). Biasanya terjadi pada pasien stroke, Parkinson, tumor otak, SCI atau
multiple sclerosis. Adanya relaksasi uretra yang tidak tepat atau beberapa bentuk abnormalitas sfingter
5) Mixed Incontinence
Merupakan inkontinensia urin kombinasi antara stress dan urge incontinence. Pada kondisi ini
outlet kandung kemih lemah dan detrusor bersifatoveractive. Jadi pasien akan mengeluhkan adanya
keluarnya urin saat terjadi peningkatan tekanan intra abdominal disertai dengan keinginan kuat untuk
berkemih. Penyebab yang paling sering adalah kombinasi hipermobilitas uretra dan intabilitas detrusor.
Salah satu contoh klasik keadaan ini tampak pada pasien meningomyelocele disertai dengan leher
kandung kemih yang inkompeten dan detrusor hyperreflexic. Terapinya sama dengan terapi urge
incontinence.
6) Total incontinence
a) Saat terdapat bnormalitas kongenital traktus urinarius bagian bawah, contoh : insersi ureter ektopik
dibawah sfingter eksternal. Pasien mengeluhkan adanya dribbling urin secara terus menerus.
b) Pasca operasi (lebih sering) contoh vagino-vesical fistula, pasca TURP, pasca prostactetomy radikal.
Terjadi kebocoran terus menerus dan kandung kemih tidak lagi mampu untuk melakukan fungsi
penyimpanan.
Setiap kelahiran dapat menyebabkan kerusakan pada otot dasar panggul. Pada saat kepala bayi
keluar dari vagina, tekanan yang terjadi pada kandung kemih, uretra dan terlebih pada otot dasar panggul
serta penyokongnya dapat merusak struktur ini. Sobekan atau tekanan yang berlebihan pada otot,
ligamentum, jaringan penyambung dan jaringan syaraf akan menyebabkan kelemahan yang progresif
akibat kelahiran bayi.Wanita yang melahirkan dengan forcep, ekstraksi vakum atau melhirkan bayi
dengan berat badan > 4000 gr akan mengalami resiko peningkatan inkontinensia urin. Persalinan seperti
ini memiliki tendensi terjadinya peningkatan kerusakan saraf dasar panggul (Eileen, 2007)
Kelainan struktur atau fungsi otot dasar panggul akan menyebabkan timbulnya prolapsus organ
panggul, disfungsi seksual, sindrom nyeri panggul kronis dan inkontinensia urin serta fekal. Kebanyakan
disfungsi dasar panggul (terutama prolapsus organ panggul inkontinensia urin dan fekal) dihubungkan
Pada 24 jam pertama setelah melahirkan akan terjadi retensi urin yang disebabkan oleh edema
trigonium, diphorosis dan depresi dari sphincter uretra. Bilawanita pasca persalinan tidak dapat berkemih
dalam waktu 4 jam pasca persalinanmungkin ada masalah dan sebaiknya segera dipasang dower kateter
selama 24 jam. Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam waktu 4 jam, lakukan kateterisasi dan
bila jumlah residu > 200 ml maka kemungkinan ada gangguan proses urinasinya. Maka kateter tetap
terpasang dan dibuka 4 jam kemudian , bila volume urine < 200 ml, kateter dibuka dan pasien diharapkan
Setelah retensi teratasi dan plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen akan menurun sehingga
menyebabkan hilangnya peningkatan tekanan vena pada tingkat bawah, dan hilangnya
peningkatan volume darah akibat kehamilan, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mengatasi
kelebihan cairan. Keadaan ini disebut dengandiuresis pasca partum (Lusa, 2010).
Diuresis pada ibu dengan disfungsi dasar panggul akan memudahkan terjadinya inkontinensia urin
pada ibu post partum. Hal ini diperburuk oleh penambahan berat badan yang harus disokongnya. Etiologi
dari Inkontinensia Urin stress tidak begitu dimengerti, namun trauma pada saat kelahiran bayi merupakan
penyebab potensial terhadap kejadian ini ( Handa et al, 1996; Volleys 1988; Morkved & Bo 1996; Chiarelli
& Cockburn, 1999; Persson et al, 2000). Ada pandangan umum bahwa sepertiga dari seluruh ibu yang
telah memiliki anak, menderita gangguan ini, mulai dari seluruh ibu yang telah memiliki anak, menderita
gangguan ini, mulai dari kondisi ringan sampai berat pada masa pascanatal (Wilson et al., 1996; Morkved
Marshal et al., (1996) menyatakan berdasarkan surveinya, sebanyak 59% dari wanita Irlandia
pascapartum mengalami gejala inkontinensia. Dalam sebuah penelitian tahun 1990, ditemukan fakta 80%
ibu primipara yang telah menjalani persalinan per vaginam dari hasil pemeriksaan elektromiografik
memperlihatkan terjadinya reinervasi otot dasar panggul pada minggu ke-8 pascapartum (Allen et al.,
1990).
Inkontinensia yang sering terjadi pada ibu post partum adalah inkontinensia urine stres.
Inkontinensia urine stres (SUI) adalah keluarnya urine dari uretra pada saat terjadi peningkatan tekanan
intaabdominal. Terjadinya inkontinensia ini karena faktor sfingter (uretra) yang tidak mampu
mempertahankan tekanan intrauretra pada saat tekanan intravesika meningkat atau saat kandung kemih
terisi. Peningkatan tekanan intraabdominal dapat dipacu oleh batuk, bersin, tertawa, berjalan, berdiri,
Kebanyakan kasus inkontinensia stress berespons terhadap program latihan dasar panggul
(Kegel Exercise) pada masing-masing individu. Kegel Exercise sudah terbukti mampu mengatasi
masalah inkontinensia urin (Kegel 1948; Bo 1995; Sleep 1987; Sampselle et al. 1996; Morkved & Bo
Seluruh ibu yang mengalami gejala inkontinensia urin yang menetap setelah minggu ke-12 harus
dianjurkan untuk mendapatkan rujukan ahli fisioterapi kesehatan wanita, baik melalui pelayanan harian
umum, atau sebagai seorang konsultan, karena ibu harus dikaji dan diberi saran yang tepat dalam
Beberapa masalah umum yang munkgin menimbulkan gejala pascanatal adalah frekuensi, urgensi
dan prolaps. Setelah pengkajian, kondisi ini dapat berespons terhadap pelaksanaan latihan kandung
kemih, latihan dasar panggul dan elektroterapi serta harus dirujuk ke ahli fisioterapi kesehatan wanita.
C. Kegel Exercise
Kegel Exercise atau biasa disebut latihan otot dasar panggul adalah latihan yang bertujuan untuk
mengembalikan fungsi sepenuhnya sesegera mungkin dan membantu mencegah masalah atau prolaps
urine jangka panjang. Senam dasar panggul harus dimulai sesegera mungkin setelah persalinan untuk
mencegah hilangnya kendali kortikal pada otot-otot karena nyeri perineum dan cemas tentang kerusakan
jahitan (Stepherd, 1980). Ibu yang baru saja menjalani episiotomi setelah terlebih dahulu diberi anestesi
epidural, mungkin akan merasakan nyeri perineum tiba-tiba yang amat sakit, setelah persalinan yang
tidak terasa nyeri. Ibu pada saat ini memerlukan pereda nyeri untuk mencegah inhibisi kontraksi dasar
panggul, sleuruh ibu harus dimotivasi untuk menggerakkan otot dasar panggul sedikit dan sesering
mungkin, perlahan dan cepat, pada masa pascapartum dini. Pada pascalahir, ibu mungkin mengalami
kesulitan melakukan latihan dasar panggul, karena mekanisme peregangan yang ditimbulkannya pada
saat persalinan dan kemungkinan ketidaknyamanan yang berasal dari perineum yang mengalami sutura
atau memar. Penenangan mungkin diperlukan ketika ia mungkin menemukan bahwa ia tidak dapat
dengan cara :
3. Tahan dengan kuat selama mungkin sampai 10 detik dengan tetap bernapas secara normal.
Setelah melakukan gerakan itu, ulangi senam dengan mengencangkan dan mengendurkan dengan lebih
Untuk merencanakan senam dasar panggul secara mandiri, ingatlah lamanya dalam detik. Anda
dapat menahan kontraksi dan hitung berapa kali Anda dapat mengulang latihan sebelum otot menjadi
lelah. Tujuannya untuk meningkatkan jumlah latihan sampai sebanyak 10 x 10, yang dialkukan dalam
Dengan melatih otot-otot tersebut secara perlahan dan cepat, baik serat ototyang
berkedut perlahan (tipe I) maupun berkedut cepat (tipe II) akan teraktivasi (Gippin et al., 1989). Prosedur
senam dasar panggul dapat diingat dan dilakukan bersama aktifitas yang berkaitan dengan bayi,
misalnya menyusui, memandikan membasuhnya. Aktifitas ini dapat dilakukan sambil ibu duduk di kamar
mandi setiap habis berkemih. Ini adalah posisi relaks untuk mengontraksi otot-otot tersebut. Sebuah
tanda pengingat untuk melakukan aktivitas ini, dapat ditempelkan di balik pintu kamar mandi rumah sakit.
Bila nyeri perineum membuat senam menjadi sulit dilakukan dalam posisi duduk, posisi lain yang dapat
dipakai adalah telungkup, atau berbaring miring dengan bantal diletakkan di antara kaki, atau berdiri
Ibu harus dianjurkan untuk membebat area dasar panggul ketika batuk, tertawa, mengangkat,
atau jongkok. Ibu harus diberi tahu bahwa kondisi ini dapat berlangsung tiga bulan untuk memperoleh
kembali fungsi penuh dasar panggul. Namun, semua ibu dianjurkan untuk melanjutkan senam dasar
panggul secara teratur sepanjang hidup, agar terhindar dari gangguan berkemih di kemudian hari.
Mereka dapat menguji kekuatan fungsi otot-otot dasar panggul pada 8-12 minggu pascalahir, dengan
cara melompat dengan kondisi kandung kemih penuh dan batuk sekuat tenaga dua atau tiga kali saat
melakukan tindakan tersebut. Seharusnya tidak ada lagi urine yang menetes bila otot-otot teah mencapai
kekuatan dan fungsinya seperti semula. Bila saat pengujian terjadi penetesan, ibu sebaiknya dirujuk pada
ahli fisioterapi kesehatan wanita untuk mendapatkan terapi. Di beberapa tempat, ibu dapat merujuk
dirinya dalam 12 minggu persalinan, sebaliknya mereka memerlukan rujukan dari seorang dokter untuk
mendapatkan layanan ahli fisioterapi. Kehamilan berikutnya dianggap dapat membebani otot dasar
panggul karenanya tidak diperkenankan sampai rehabilitasi dasar panggul benar-benar pulih (Eileen,
2007).
a. Frekuensi
Sesering mungkin kapan pun mungkin sehingga menjadi kebiasaan. Gunakan ingatan misalnya
setelah setiap berkemih. Pengujian yang sangat jarang adalah dengan penghentian aliran tengah.
b. Saran
A. Kerangka Konsep
KEGEL EXERCISE
- Berkemih Dini
Terapi Pembedahan :
- Kolposuspensi retropubik
: diteliti
: tidak diteliti
3.9 Hipotesis
Hipotesis merupakan suatu pernyataan yang masih lemah dan membutuhkan pembuktian untuk
menegaskan apakah hipotesis tersebut dapat diterima atau harus ditolak, berdasarkan fakta atau data
empiris yang telah dikumpulkan dalam penelitian (Hidayat, 2007).
Jadi hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan perlakuan antara kelompok yang
mendapat intervensi mengenai Kegel Exercise dengan yang tidak diberikan intervensi dalam penurunan
kejadian inkontinensia Urin.
yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara
cermat terhadap suatu objek atau fenomena. Definisi operasional ditentikan berdasarkan parameter yang
dijadikan ukuran dalam penelitian. Sedangkan cara pengukuran merupakan cara di mana variabel dapat
Definisi Operasional
Variabel
bebas
Kegel
Exercise Suatu latihan Prosedur Lembar 1. Sebelum Nominal
post partum tetapKegel Observasi melakukan Kegel
yang Exercise (dalam bentuk Exercise
bertujuan catatan berkemih
untuk melatih harian) 2. Sesudah
otot dasar melakukan Kegel
panggul Exercise
Variabel
terikat
Penurunan
Kejadian Suatu proses Kuesioner Kuesioner(sesuai Terjadi penurunan Nominal
Inkontinensia untuk dan indikator keluhan inkontinensia
urin pada ibu menurunkan lembar inkontinensia urin, yaitu:
post partum kejadian Observasi urin)
pengeluaran 1. Sulit menahan
urin berlebih kencing saat
dikarenakan berkemih
kerja otot
2. Mengeluarkan urin
involunter.
pada saat tidak ingin
berkemih
3. Kesulitan untuk
memulai berkemih
4. Mengompol pada
malam hari
5. Mengompol saat
batuk dan tertawa
6. Berkemih [ada
malam hari > 4 kali
7. Berkemih yang
keluarnya menetes
Karakteristik
Responden
Umur
Usia Kuesioner Mengisi 1. Tidak resiko Nominal
responden Kuesioner
saat ini 2. Resiko
berdasarkan
ulang tahun
terakhir
Wanita yang
dapat
melahirkan
bayi yang
Paritas Mengisi
lahir hidup
Kuesioner Kuesioner 1. Primigravida Nominal
2. Multigravida
Pendidikan
formal yang
terakhir yang
telah
responden
selesaikan.
Mengisi
Pendidikan kuesioner
Kuesioner Dikelompokkan : Ordinal
1. Pendidikan rendah
(SD, SMP)
Kuesioner Nominal
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
rancangan penelitian yang berupaya untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara
melibatkan kelompok kontrol di samping kelompok eksperimental. Tapi pemilihan kedua kelompok ini
tidak menggunakan teknik acak. Rancangan ini biasanya menggunakan kelompok subjek yang telah
terbentuk secara wajar (teknik rumpun), sehingga sejak awal bisa saja kedua kelompok subjek telah
memiliki karakteristik yang berbeda. Apabila pada pasca-tes ternyata kedua kelompok itu berbeda,
mungkin perbedaannya bukan disebabkan oleh perlakuan tetapi karena sejak awal kelompok awal sudah
berbeda.
Menurut Arikunto (2007), di dalam desain pre test dan post test group ini observasi dilakukan
sebanyak 2 kali yaitu sebelum eksperimen dan sesudah eksperimen. Observasi yang dilakukan sebelum
eksperimen disebut pre test, dan observasi sesudah eksperimen disebut post test. Perbedaan antara pre
test dan post test diasumsikan merupakan efek dari treatment atau eksperimen. Kemudian dibandingkan
hasil post test antara kelompok kontrol dan kelompok yang diberikan intervensi. Bentuk rancangan ini
K-A O I O1-A
K-B O - O1-B
Keterangan:
O1(A+B) : observasi inkontinensia urine sesudah Kegel Exercise (kelompok perlakuan dan kontrol)
1. Populasi
Menurut Sastroasmoro & Ismail (1995), populasi dibedakan menjadi 2, yaitu : (1) Populasi target
dan (2) populasi terjangkau. Populasi target adalah populasi yang memenuhi kriteria sampling dan
menjadi sasaran akhir penelitian. Sedangkan populasi terjangkau adalah populasi yang memenuhi
kriteria penelitian dan biasanya dapat dijangkau oleh peneliti dari kelompoknya.
Populasi target dalam penelitian ini adalah ibu post partum dengan inkontinensia urine di kecamatan
Seberang Ulu 1 yang mencakup wilayah kerja 5 Puskesmas, yaitu: (1) Puskesmas 1 ulu, (2) Puskesmas
4 ulu, (3) Puskesmas 7 ulu, (4) Puskesmas Pembina dan (5) Puskesmas OPI. Populasi terjangkau dalam
penelitian ini adalah ibu post partum dengan inkontinensia urine di daerah Puskesmas OPI dan
Puskesmas Pembina.
Peneliti memilih daerah ini berdasarkan data Dinkes kota Palembang tahun 2009 yang menyatakan
bahwa daerah dengan pelayanan nifas tertinggi di Palembang adalah daerah Seberang Ulu 1, yaitu
2. Sampel
menggunakan teknik purposive sampling ( Nursalam, 2008). Purposive sampling adlaah suatu teknik
penetapan sampel dengan cara memilih sampel di antara populasi sesuai dengan dikehendaki
peneliti (tujuan/masalah penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang
b. Ibu postpartum yang berada di kawasan puskesmas OPI Jakabaring dan puskesmas Pembina Plaju
C. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di kelurahan puskesmas OPI Jakabaring dan Puskesmas Pembina Plaju.
Pemilihan tempat penelitian ini dengan alasan untuk memudahkan peneliti mencari subyek penelitian
karena pada kelurahan puskesmas OPI dan puskesmas Pembina merupakan tempat dengan tingkat
D. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal April – Mei 2011 (selama 4 minggu)
E. Etika Penelitian
Penelitian ini juga memenuhi prinsip etik dan formulir informed consent yang diberikan pada pasien
1. Prinsip etik
Hamid (2008) menyebutkan prinsip etik, meliputi: autonomy, non-maleficence, beneficence, dan
justice. Prinsip etik yang mendasari penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:
a. Autonomy
Autonomy adalah kemampuan untuk menentukan sendiri atau mengatur diri sendiri. Subyek
penelitian diberi kebebasan untuk menentukan apakah bersedia atau tidak untuk mengikuti kegiatan
penelitian secara suka rela dengan memberikan tanda tangan pada lembar informed consent. Tujuan,
manfaat, dan risiko yang mungkin terjadi pada pelaksanaan penelitian dijelaskan, sebelum pasien
memberikan persetujuan. Subyek penelitian juga diberi kebebasan untuk mengundurkan diri pada saat
penelitian. Artinya melalui etika penelitian ini peneliti akan melakukan kontrak terlebih dahulu kepada
b. Non-maleficence
Non-maleficence adalah tidak melukai dan tidak menimbulkan bahaya atau cidera bagi orang
lain. Subyek penelitian diupayakan bebas dari rasa tidak nyaman sebelum, selama, dan sesudah
Sebelum dilakukan Kegel Exercise, peneliti berusaha untuk memberikan penjelasan kepada
responden tentang cara kerja Kegel Exercise dan mempersiapkan ibu pada posisi yang baik agar
sewaktu melakukan Kegel Exercise, ibu merasa nyaman. Selama melakukan Kegel Exercise, peneliti
mengajarkan tindakan sesuai dengan standar prosedur Kegel Exercise dan memperhatikan serta
menanyakan perasaan ibu. Setelah melakukan Kegel Exercise selama 1 minggu, peneliti melakukan
c. Beneficence
Beneficence adalah prinsip untuk melakukan yang terbaik dan tidak merugikan orang lain
(Suhaemi, 2004). Pada penelitian ini saat melakukan tindakanKegel Exercise pada ibu post partum,
peneliti melakukan tindakan penelitian yang sesuai dengan standar prosedur operasional tindakan Kegel
Exercise agar tidak menimbulkan kesalahan selama proses Kegel Exercise sehingga tidak menimbulkan
d. Justice
Justice adalah prinsip moral berlaku adil untuk semua individu (Suhaemi, 2004). Penelitian ini
tidak melakukan diskriminasi pada kriteria yang tidak relevan saat memilih subyek penelitian, namun
berdasarkan alasan yang berhubungan langsung dengan masalah penelitian. Subyek penelitian juga
memiliki peluang yang sama untuk dikelompokkan pada intervensi yang dilakukan dalam penelitian,
artinya setiap responden memiliki hak yang sama untuk mendapatkan tindakan yang sesuai dengan
standar operasional Kegel Exercise tanpa mengabaikan nilai moral yang berlaku di setiap daerah di
Informasi yang diperoleh dari pasien dirahasiakan dan anonymity(membuat data responden
dengan inisial saja tidak menuliskan nama lengkapnya) subyek juga dijaga dengan ketat. Selain itu
proses Kegel Exercise dilakukan dengan menjaga privasi dari setiap responden. Kegel Exercise biasanya
dilakukan ditempat yang membuat responden nyaman dan tidak merasa terganggu dengan adanya
2. Informed consent
Informed consent adalah persetujuan yang diberikan subyek penelitian setelah diberikan
informasi yang lengkap tentang penelitian. Persetujuan telah diberikan saat pasien telah menandatangani
lembar persetujuan (informed consent). Informed consentpada penelitian ini berdasarkan kriteria yang
dibuat Portney dan Watkins (2000) yang memuat hal-hal sebagai berikut:
b. Subyek penelitian mengetahui sepenuhnya informasi tentang penelitian, efek samping maupun
d. Peneliti menjawab semua pertanyaan yang berhubungan dengan penelitian pada saat kapan saja.
e. Persetujuan diberikan dengan sukarela dan tidak ada sanksi apapun jika subyek menolak untuk
g. Subyek penelitian dapat mengundurkan diri dari penelitian pada saat kapan saja dengan alasan apa saja
F. Alat Pengumpulan Data
1. Identitas pasien
Status pasien merupakan deskripsi subyek penelitian dan karakteristik ASI pada ibu menyusui.
Deskripsi subyek meliputi : umur, partus, paritas dan pendidikan. Karakteristik Inkontinensia urin pada ibu
post partum adalah : sulit menahan kencing saat berkemih, mengeluarkan urin pada saaat tidak ingin
berkemih, kesulitan untuk memulai berkemih, mengompol pada malam hari, mengompol pada saat batuk
dan tertawa, berkemih pada malam hari > 4 kali, dan berkemih yang keluarnya menetes (Nursalam,
2008)
2. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian mengunakan lembar observasi yang berisi pertanyaan yang ditanyakan dan
diamati. Lembar observasi yang diajukan berisikan identitas responden dan pertanyaan yang akan diisi
ibu setiap harinya dan akan dipantau pada saat peneliti berkunjung kembali ke rumah ibu. Lembar
observasi ini terdiri dari 3 pertanyaan seputar rutinitas Kegel Exercise yang dilakukan ibu di rumah.
Kuesioner diberikan pada saat sebelum dan sesudah tindakan Kegel Exercise yang diberi
pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Responden diminta memilih jawaban yang dianggap
benar kemudian akan dihitung frekuensinya dengan menggunakan sistem komputerisasi. Kuesioner yang
@ Serviks
Serviks menjadi lunak segera setelah ibu melahirkan. 18 jam pasca partum serviks memendek dan konsistensinya
menjadi lebih padat dan kembali ke bentuk semula.
@ Vagina dan perineum
Estrogen pasca partum yang menurun berperan dalam pengikisan mucosa vagina dan hilangnya rugae. Vagina
yang semula sangat teregang akan kembali secara bertahap ke ukuran sebelum hamil sampai 6-8 minggu setelah
bayi lahir. Rugae akan kembali terlihat pada minggu ke empat. Pada awalnya introitus mengalami eritematosa dan
udematosa terutama pada daerah episiotomi atau jahitan laserasi. Tanda-tanda infeksi (nyeri, merah, panas,
bengkak atau rabas). Atau tepian insisi tidak saling mendekat bisa terjadi. Penyembuhan harus berlangsung dalam
2-3 minggu. Hemoroid (varises anus) sering terjadi. Gejala yang sering dialami adalah seperti rasa gatal, tidak
Nyman dan perdarahan berwarna merah terang pada waktu defecator. Ukuran hemoroid biasanya mengecil
beberapa minggu setelah bayi lahir.
@ Topangan otot panggul
Jaringan penopang dasar panggul yang terobek atau teregang saat ibu melahirkan memerlukan waktu sampai
enam bulan untuk kembali ke tonus semula. Istilah relaksasi panggul berhubungan dengan pemanjangan dan
melemahnya topangan permukaan struktur panggul.
Sistem Endokrin
@ Hormon plasenta
Selama periode pascapartum terjadi perubahan hormone yang besar. Kadar estrogen dan progesterone menurun
secara mencolok setelah plasenta keluar, kadar terndahnya dicapai kira-kira 1 minggu pascapartum. Penuruna
kadar estrogen berkaitan dengan pembengkakan payudara dan diuresis cairan ekstrasellular yang berlebih yang
terakumulasi selama masa hamil. Pada wanita yang tidak menyusui kadar estrogen mulai meniongkat pada minggu
kedua setelah melahirkan dan lebih tinggi daripada wanita yang menyusui pada pascapartum hari ke17 (bowes,
1991).
@ Hormone hipofisis dan fungsi ovarium
Waktu dimulainya ovulasi dan menstruasi pada wanita menyusui dan tidak menyusui berbeda. Kadar prolaktin
serum yang tinggi pada wanita menyusui tampaknya berperan dalam menekan ovulasi. Karena kadar follicle-
stimulating hormone (FSH) terbukti sama pada wanita yang menyusui dan tidak menyusui, disimpulkan
ovarium tidak berespon terhadap stimulasi FSH ketika kadar prolaktin meningkat (Bowes, 1991).
Pada wanita tidak menyusui, ovulasi terjadi dini, yakni da;lam 27 hari setelah melahirkan, dengan waktu rata-rata
70-75 hari. Pada wanita menyusui, waktu rata-rata terjadinya ovulasi sekitar 90 hari (Bowes, 1991). Diantara yang
menyusui, 15% mengalami menstruasi dalam 6 minggu dan 45% dalam 12 minggu. Diantara wanita yang tidak
menyusui, 40% mengalami menstruasi dalam 6 minggu, 65% dalam 12 minggu dan 90% dalam 24 minggu. Pada
wanita menyusui, 80% siklus menstruasi pertama tidak mengandung ovum (anovulatory). Pada wanita tidak
menyusui, 50% siklus pertama menstruasi tidak mengandung ovum (Scott dkk, 1990).
Sistem Urinarius
@ Komponen urin
Glikosuria ginjal yang diinduksi oleh kehamilan menghilang. Laktosuria positif pada ibu menyusui merupakan hal
yang normal. BUN (Blood Urea Nitrogen) yang meningkat selama pascapartum merupakan akibat otolisis uterus
yang berinvolusi. Pemecahan kelebihan protein di dalam sel otot uterus juga menyebabkan proteinurea ringan dan
( +1 ) selam satu atau dua hari setelah wanita melahirkan
@ Diuresis pascapartum
Dalam 12 jam setelah melahirkan, ibu mulai membuang kelebihan cairan yang tertimbun di jaringa selama ia
hamil, salah satu mekanisme untuk mengurangi cairan yang teretensi selama masa hamil ialah diaforesis luas,
terutama pada malam hari selama 2 – 3 hari pertama setelah melahirkan. Diuresi pasca opartu, yang disebabkan
oleh penurunan kadar estrogen hilangnya, peningkatan tekanan vena pada tungkai bawah, dan hilangnya
peningkatan volume darah merupakan mekansime lain tubuh untuk megatasi kelebihan cairan
@ Uretra dan kandung kemih
Trauma bisa terjadi pada uretra dan kandung kemih selama proses malahirkan yakni sewaktu bayi melewati jalan
lahir. Dinding kandung kemih dapat mengalami hiperemi dan edema sering disertai dengan daerah – daerah kecil
hemoragik.kombinasi trauma akibat kelahiran, peningkatan kapasitas kandung kemih setelah bayi lahir dan efek
konduksi anastesi menyebabkan keinginan untuk berkemih menurun selain itu rasa nyeri pada panggul yang
timbul akibat dorongan saat melahirkan , laserasi vagina atau episotomi juga menurunkan refleks bekemih pada
masa pasca partum tahap lanjut distensi berlebihan dapat mengakibatkan kandung kemih lebih peka terhadap
infeksi sehingga menganggu proses berkemih normal.
Sistem Pencernaan
@ Nafsu makan
Ibu biasanya lapar segera setelah melahirkan.stelah benar- benar pulih dari efek analgesia, anastesi dan keletihan
kebanykan ibu merasakan sangat lapar.
@ Motilitas
Secara khas, penurunan motlitas otot traktus cerna menetap selama waktu yang singkat setelah bayi lahir,
kelebihan anastesi dan anlgesi bisa memperlambat pengembalian tonus dan motilitas ke keadaan normal
@ Defekasi
BAB secara sponta bisa tertunda selama 2 – 3 hari setelah melahirkan. Ibu seringkali sudah mengelukan nyeri saat
defekasi karna nyeri yang dirasakannya di perineum akibat episotomi.
Sistem Kardiovaskuler
@ Volume darah
Pada minggu ketiga dan keempat setelah bayi lahir, volume darah biasanya menurun sampai mencapai volume
sebelum hamil, hipervolemia yang diakibatkan kehamilan ( peningkatan ± 40 % lebih dari volume tidak hamil dan
menyebabkan kebanyakan ibu bisa menoleransi kehilangan darah saat melahirkan, banyk ibu yang kehilangan 300
– 400 ml darah sewaktu melahirkan bayi tunggal pervaginam atau sekitar dua kali lipat pada saat operasi cesarea
@ Curah jantung
Denyut jantung, volume sekuncup dan curah jantung meningkat selama masa hamil, stelah melahirkan keadaan ini
meningkat lebih tinggi selama 30 – 60 menit karena darah biasanya melintasi uteroplasenta tiba – tiba kembali ke
sirkulasi umum.
@ Tanda-tanda vital
Selama 24 jam pertama suhu dapat meningkat sampai 380 C sebagai akibat efek dehidrasi. Setelah 24 jam wanita
harus tidak demam. Denyut nadi tetap tinggi selam jam pertama setelah bayi lahir. Kemudian mulai menurun
dengan frekuensi yang tidak diketahuinya pada minggu kedelapan dan kesepuluh denyut nadi kembali ke frekuens
sebelum hamil.pernapasan harus berada dalam rentang normal sebelum melahirkan , tekanan darah sedikit
berubah atau menetap, hipotensi ortostatik dapat timbul dalam 48 jam pertama akibat pembengkakan limpa yang
terjadi.
@ Komponen darah
Selama 72 jam pertama volume plasma yang hilang lebih besar dari sel darah yang hilang dikaitkan dengan
peningkatan hematokrit pada hari ke-3 sampai hari ke-7 post partum . selama sepuluh sampai 12 hari pertama
setelah bayi lahir nilai leukosit antara 20000 dan 25000 /ml3. . keadaan hiperkoagulasi yang bisa diiringi kerusakan
pembuluh darah dan immobilisasi dan mengakibatkan peningkatan resiko tromboembolisme terutama setalah
wanita melahirkan secar sesar.
@ Varises
Varises Bahkan varises vulva akan mengecil dengan cepat setelah bayi lahir
Sistem Neurologi
Perubahan neurologis selama puerperium merupakan adaptasi neurobiologis yang terjdi saat wanita hamil dan
disebabkan oleh trauma yang dialami wanita saat bersalin dan melahirkan, rasa tidak Nyman neurologist yang
diinduksi kehamilan akan menghilang setalah wanita melahirkan.
Sistem Muskuluskeletal
Adaptasi system musculoskeletal ibu yang terjadi slema masa hamil berlangsung secara terbalik selama masa
pasca partum adaptasi ini mencakup hal –hal yang membantu relaksasii dan hipermobilitas sendi dan perubahan
pusat berat ibu akibat pembesaran rahim .
Sistem Integumen
Hiperpigmentasi di aeorola dan line nigra tidak menghilang seluruhnya setelah bayi lahir, kulit yang meregang
pada payudara , abdomen, paha dan panggul mungkin memudar tapi tidak hilang seluruhnya pada beberapa
wanita spider nevi mentap, rambut halus yang tumbuh dengan lebat pada wanita biasanya menghilang tapi rambut
kasar menetap. Diaforesis ialah perubahan yang paling jelas pada system, integument.
Sistem Kekebalan
Kebutuhan ibu untuk mendapat vaksinasi rubella atau untuk mencegah isoimunisasi Rh ditetapkan.
Waktu sejak melahirkan Posisi fundus uteri
Abdomen
Apabila wanita berdiri di hari pertama setelah melahirkan abdomennya menonjol dan membuat wanita tersebut
tampak masih seperti hamil diperlukan sekitar 6 minggu untuk dinding abdomen kembali ke keadaan semula. Ada
keadan tertentu seperti bayi besar atau hamil kembar otot – otot dinding abdomen memisah suatu keadaan yang
dinamai diatsasis rektiabdominis.
Payudara
@ Ibu menyusui
Sebelum laktasi dimulai payudara teraba lunak dan suatu cairan kekuningan yakni kolostrum dikeluarkan. Stelah
laktasi payudara teraba hangat den keras ketika disentuh rasa nyeri akan menetap selam asekitar 28 jam.
@ Ibu tidak menyusui
Payudara ibu tidak menyusui biasa teraba nodular pada hari ke – 3 dan ke- 4 bisa terjadi pembengkakan (
engorgement ). Distensi payudara terutama disebabkan oleh kongesti vena dan limfatik bukan akibat penimbunan
air susu. Pembengkanan dapat hilang dengan sendirinya dan rasa tidak nyaman berkurang dalam 24 – 36 jam.
PERUBAHAN PSIKOLOGIS PADA PASCAPARTUM
Perkenalan, ikatan dan kasih sayang dalam menjadi orangtua
Walaupun sudah banyak riset dilakukan untuk membuka tabir proses orangtua bisa mengasihi dan menerima
orangtuanya, para ahli masih tidak mengetahui apa motivasi dan komitmen orangtua dan anak-anaknya selama
bertahun-tahun dalam saling mendukung dan merawat satu dan yang lain. Proses ini disebut attachment (kasih
sayang) atau bonding (ikatan),istilah yang sering tertukar pemakaiannya walaupun sebenarnya memiliki definisi
yang berbeda. Bonding, didefinisikan Brazelton (1978) sebagai suatu ketertarikan mutual pertama antara individu,
misalnya antara orang tua dan anak saat pertama kali bertemu. Attachment terjadi pada periode kritis, pada
kelahiran atau adopsi. Hal ini menjelaskan suatu perasaan menyayangi atau loyalitas yang mengikat individu
dengan individu lain.
Menurut stainton (1983), ikatan ialah pertukaran perasaan karna adanya ketertarikan, respons, dan kepuasan dan
intetensitasnya bisa berubah bila keadaan berubah seiring dengan perjalanan waktu. Ikatan berkembnag dan
dipertahankan oleh kedekatan dan interaksi.Seperti halnya setiap proses perkembangan ikatan ditandai oleh
adanya periode kemajuan dan regresi dan bisa juga terhenti sementara atau permanent.
Komunikasi orang tua
Ikatan diperkuat dengan penggunaan respon sensual atau kemampuan oleh kedua pasangan dalam melakukan
interaksi orang tua-anak.Komunikasi antara orang tua anak terdiri dari:
@ Sentuhan
Sentuhan atau indra peraba dipakai secara intensif oleh orang tua dan pengasuh lain sebagai suatu sarana untuk
mengenali bayi baru lahir. Begitu anak dekat dengan ibunya, mereka memulai proses eksplorasi dengan ujung
jarinya,salah satu daerah tubuh yang paling sensitive. Ibu menepuk atau mengusap lembut bayi mereka
dipunggung setelah menyusuinya. Bayi menepuk nepuk dada ibunya sewaktu meyusui.Ibu dan ayah ingin
menyentuh,mengangkat dan memeluk bayi mereka.
@ Kontak mata
Kesenagan untuk melakukan kontak mata diperlakukan berulang-ulang. Beberapa ibu berkata, begitu bayinya bisa
memandang mereka,mereka merasa lebih dekat dengan bayinya (Klaus,kennel,1982). Orang tua mengahbiskan
waktu yang lama untuk membuat bayinya membuka mata dan melihat mereka. ketika bayi baru lahir mampu
secara fungsional mempertahankan kontak mata, orang tua dan bayi akan mengguanakan lebih banyak waktu
untuk saling memandang seringa kali dalam posisi bertatapan.En face ialah suatu posisi dimana kedua wajah
terpisah kira-kira 20 cm pada bidang pandang yang sama.
@ Suara
Saling mendengar dan berespon suara antara orang tua dan bayinya juga penting. Orang tua menunggu tangisan
pertama bayinya dengan tegang. Saat suara yang membuat mereka yakin bayinya dalam keadaan sehat
terdengar, mereka mulai melakukan tindakan utnuk menghibur.Sewaktu orang tua berbicara dengan suara
bernada tinggi, bayi menjadi tenag dan berpaling kearah mereka.
@ Aroma
Prilaku lain yang terjadi antara orang tua dan bayi ialah respon terhadap aroma/bau masing-masing. Ibu
berkomentar terhadap aroma bayi mereka ketika baru lahir dan mengetahui bahwa setiap anak memiliki aroma
yang unik (porter,cernoch,perry,1983). Bayi belajar dengan cepat untuk membedakan aroma susu ibu
nya(stainton,1985).
@ Entrainment
Bayi baru lahit bergerak-gerak sesuai dengan struktur pembicaraan orang dewasa (condon,sander,1974). Mereka
menggoyangkan tangan, mengangkat kepala, menendang-nendangkan kaki, seperti sedang berdangsa mengikuti
nada suara orang tuannya.Hal in berarti bayi telah mengembangkan irama muncul akibat kebiasaan jauh sebelum
ia mampu berkomunikasi dengan kata-kata. Entariment terjadi saat anak mulai berbicara.
@ Bioritme
Anak yang belum lahir dapat dikatakan senada dengan ritme alamiah ibunya, misalnya pada denyut jantung.
Setelah lahir, bayi yang menangis, dapat ditenagkan dengan dipeluk dalam posisi sedemikian sehingga ia dapat
mendengar denyut jantung ibunya atau mendengar sura denyut jantung yang direkam. Salah satu tugas bayi ialah
membentuk ritme personal (bioritme). Orang tua dapat membantu proses ini dengan memberikan kasih saying
dengan konsisten dan dengan memanfaatkan waktu saat bayi mengembangkan prolaku yang responsive.
Penyesuaian maternal, paternal, saudara kandung serta kakek-nenek.
Penyesuaian maternal
@ Fase dependent
Selama 1 sampai 2 hari pertama setelah melahirkan, ketergantunganm ibu menonjol. Pada waktu ini ibu
mengharapkan segala kebutuhanya dapat dipenuhi orang lain. Ibu memindahkan energi psikologisnya kepada
anaknya. Rubbin (1961) menetapkan periode beberapa hari ini sebagai fase menerima,( Taking-in phase) suatu
waktu dimana ibu baru memerlukan perlindungan dan perawatan. Fase dependen ialah suatu waktu yang penuh
kegembiraan dan kebanyakan orang tua sangat suka mengkomunikasikannya. Pemusatan analisis dan sikap yang
menerima pengalaman ini membnatu orang tua untuk berpindah kefase berikutnya. Beberapa oaring tua dapat
menganggap petugas atau ibu yang lain sebagai pendengarnya. Kecemasakan dan keasikan terhadap peran
barunya sering mempersempint lapang persepsi ibu oleh karena itu informasi yang diberikan pada waktu ini
mengkin perlu diulang.
@ Fase dependent mandiri
Dalam fase ini secara bergantian muncul kebutuhan untuk mendapat perawatan dan penerimaan dari orang lain
dan keinginan untuk bisa melakukan segala sesuatu secara mandiri. Ia berespon dengan penuh semangat untuk
memperoleh kesempatan belajar dan berlatih tentang cara perawatan bayi atau jika ia adalah seorang ibu yang
gesit, ia akan memiliki keinginan untuk merawat bayinya secara langsung. Rubbin (1961) menjelaskan keadaan ini
sebagai fase taking-hold yang berlangsung kira-kira 10 hari. Keletihan setelah melahirkan diperburuk oleh tuntutan
bayi yang bayakn sehimngga dengan mudah timbul perasaan depresi. Dikatakan pada masa puerprium ini kadar
glukorkotikoid dalam sirkulasi dapat menjadi rendah atau terjadi hipotiroid subklinis. Keadaan fisiologis ini dapt
menjelaskan depresi pasca partum ringan( Baby blues ).
@ Fase interdependent
Pada fase ini perilaku interdependent muncul ibu dan keluarganya maju sebagai suatu system dengan para
anggota saling berinteraksi. Hubungan antar pasangan, walaupun sudah berubah dengan adanya seorang anak,
kembali menunjukkan karakteristik awal. Fase interdependent ( letting go ) merupakan fase yang penuh stress
bagi orang tuanya. Kesenangean dan kebutuhan sering terbagi dalam amsa ini. Pria danm wanita harus
menyelesaikan efek dari perannya masing-masing dalam hal mengasuh anak, mengatur rumah dan membina
karier. Suatu upaya khusus harus dilakuakn untuk memperkuat hubungan orang dewasa dengan orang dewasa
sebagai dasar kesatuan keluarga.
@ Penyesuaian Paternal
Para ahli melukiskan bebagai karakteristik engrossment.beberapa respon sensual, seperti sentuhan dan kontak
mata. Keinginan ayah untuk menemukan hal-hal yang unik maupun yang sama derngan dirinya merupakan
karakteristik lain yang berkaitan dengan kebutuhan ayah untuk merasakan bahwa bayi ini adalah miliknya. Respon
yang jelas ialah adanya daya tarik yang kuat dari bayi yang baru lahir.Menurut Henderson dan bruse (1991)
tentang pengalaman para ayah baru selama tiga minggu pertama kehidupan bayi menyatakan bahwa para ayah
baru menjalani tiga tahapa proses yaitu Tahap pertama meliputi pengalaman prakonsepsi yakni akan seperti apa
rasanya ketika membawa pulang bayi kerumah . Tahap kedua meliputi Realitas yang tidak menyenangkan
menjadi ayah baru .Beberapa ayah mulai menyadari bahwa harapan mereka sebelumnya tidak didasarkan pada
kenyataan. Perasaan sedih dan ragu sering sekali menyertai realitas. Tahap ketiga meliputi keputusan yang
dilakukan dengan sadar unutk mengontrol dan menjadi lebih aktif terlibat didalam kehidupan bayi mereka.
@ Penyesuaian saudara kandung
Memperkenalkan bayi kepada suatu keluarga dengan satu anak atau lebih bisa menjadi persoalan bagi orang
tua.Orang tua perlu membagi perhatian mereka dengan adil. Anak yang lebih tua harus menyusun posisi baru
didalam hirarki keluarga. Anak yang lebih tua harus tetap berada dalam posisi sebagai pemimpin. Anak berikutnya
dalam urutan tanggal lahir harus berada pada posisi yang lebih superior dari adiknya yang baru. Kelakuan mundur
keusia yang jauh lebih muda bisa terlihat pada beberapa anak. Mereka bisa kembali ngompol, merengek-rengek
dan tidak mau makan sendiri, reaksi kecemburuan dapat muncul ketika suaka cita akan kehadiran bayi dirumah
mulai pudar.Penyesuaian awal anak yang lebih tua terhadap bayi baru lahir membutuhkan waktu.Anak harus
diperbolehkan berinteraksi atas kemauannya sendiri dan jangan dipaksa.
@ Penyesuaian kakek dan nenek
Jumlah keterlibatan kakak dan nenek dalam merawat bayi baru lahir tergantung pada banyak factor misalnya
keinginan kakek-nenek untuk terlibat, kedekatan hubungan kakek-dan nenek dan peran kakek dan nenek dalam
konteks budaya dan etnik yang bersangkutan (grosso,dkk:1981). Nenek dari ibu ialah model yang penting dalam
praktik perawatan bayi (rubin,1975). Ia bertindak sebagai sumber pengetahuan dan sebagai individu pendukung.
Sering kali nenek dan kakek mengatakan bahwa cucu membantu mereka mengatasi rasa sepi dan kebosanan.
Dukungan kakek dan nenek dapat menjadi pengaruh yang menstabilkan keluarga yang sedang mengalami krisis
perkembangan seperti seperti kehamilan dan menjadi orang tua baru .Kakek dan nenek ini dapat membantu anak-
anak mereka mempelajari keterampilan menjadi orangtua dan mempertahankan tradisi budaya.
Faktor yang mempengaruhi respon orang tua
Usia
Masalah dan kekhawatiran ibu yang terkait dengan kelompok ibu yang berusia 35 tahun semakin banyak muncul
pada decade terakhir kali dimana pada usia ini para ibu sudah mengalami keletihan dan lelah merawat bayi .
dalam hal ini para ibu sangat membutuhkan kegiatan yang dapat membnatu ibu untuk memperoleh kembali
kekuatan tonus dan tonus otot (seperti latihan senam prenatal dan pascapartum)
Jaringan social
Primipara dan multipara memiliki kebutuhan yang berbeda.Multipara lebih realistis terhadap terhapat
keterbatasan fisik dan mudah beradaptasi terhadap peran dan interaksi sosialnya. Sedangkan primipara
membutuhkan dukungan dan tindak lanjut yang mencakup rujukan kebadan bantuan dalam masyarakat. Jaringan
social meningkatkan potensi pertumbuhan anak dan mencegah kekeliruan dalam memperlakukan anak.
Budaya
Kepercayaan dan praktek budaya menjadi determinan penting dalam prilaku orang tua. Kedua hal tersebut
mempengaruhi interaksi orang tua dengan bayi , demikian juga dengan orang tua atau keluarga yang mengasuh
bayi karna setiap orang memiliki kepercayaan terhadap budaya berbeda beda.
Kondisi social ekonomi
Kondisi social ekonomi seringkali menjadi jalan untuk mendapatkan bantuan. Keluarga yang mampu membayar
pengeluaran tambahan dengan hadirnya bayi baru ini pengeluaran tambahan dengan hadirnya bayi baru ini
mungkin hamper tidak merasakan beban keuangan tetapi dilain pihak keluarga yang menemukan kalahiran
seorang bayi suatu beban financial dapat mengalami peningkatan stress dan stess ini bisa mengganggu interaksi
orang tua terhapat bayinya
Aspirasi personal
Bagi beberapa wanita, menjadi orang tua mengganggu kebebasan pribadi dan kemajuan berkariernya kekecewaan
yang timbul akibat tidak mencapai kenaikan jabatan,kalo masalah ini tidak diselesaikan hal tersebut akan
berdampak pada cara mereka merawat dan mengasuh bayi dan bahkan mereka bisa menelantarkan bayinya
1. A. PERAWATAN IBU DAN BAYI
2. PERAWATAN PERINEUM
1. Pengertian
Membersihkan dan merawat area genitalia bagian luar setelah melahirkan
1. Tujuan:
? Memberikan rasa nyaman
? Mengurangi resiko infeksi
? Menjaga kebersihan vulva dan perineum
? Memperlancar keluarnya lokhea (darah nifas)
1. c. Alat-alat yg digunakan
- Softex atau pembalut wanita yg bersiAir hangat atau cairan antiseptik (betadine yang diencerkan, sublimat,
detol yang diencerkan, sabun, dll).
- Tissue atau handuk kecil
- Celana dalam bersih
1. Cara Perawatan Perineum
Mencuci tangan
Memindahkan / mengangkat softex yang telah digunakan dari depan ke belakang
Perhatikan warna, bau dan banyaknya cairan di softek, sesuai dengan keadaan normal
Bersihkan perineum dengan menyiramnya dengan air hangat / antiseptik di bagian atas vulva
Keringkan area perineum dengan tissue atau handuk kecil kering dari depan ke belakang (pengusapan berulang –
ulang dihindari untuk mencegah menyebarnya kuman dan menjaga kenyamanan)
Tempatkan softex mulai dari depan ke belakang (jangan sentuh permukaan softex yang akan menyentuh ke
perineum / genitalia) kemudian pasang celana.
Cuci tangan kembali dengan menggunakan sabun
II. SENAM NIFAS
1. Pengertian
Senam / gerakan yang dilakukan setelah melahirkan. Dilakukan segera setelah melahirkan sampai 7 minggu dan
dilakukan 2 kali dalam sehari
1. Tujuan
Memperbaiki sirkulasi darah
Memperbaiki postur tubuh
Memperbaiki tonus otot panggul
Memperbaiki regangan otot tungkai bawah
Memperbaiki regangan otot perut
Meningkatkan kesadaran untuk mlakukan relaksasi
otot panggul.
1. Cara Senam Nifas
Latihan Penguatan Otot Perut
Tahap 1: Pernafasan perut
1. Tidur terlentang dgn lutut ditekuk
2. 2. Tarik nafas dalam dari hidung, usahakan rongga dada tetap dan rongga perut mengembang
3. 3. Keluarkan udara perlahan – lahan dengan menggunakan otot – otot perut.
Tahap 2: Kombinasi pernafasan perut dengan pengerutan panggul
1. Tidur terlentang dengan lutut ditekuk
2. Sambil menarik napas dalam kerutkan sekitar anus dengan pinggang mendatar pada tempat tidur
3. Keluarkan udara perlahan – lahan dorong dengan kekuatan perut dan bokong
4. Tahan 3-5 detik, lalu istirahat
5. Lakukan latihan ini sebanyak 10 kali
Tahap 3: Menggapai lutut
1. Tidur terlentang dengan lutut ditekuk
2. Sambil menarik napas dalam tarik dagu ke arah dada
3. Ambil mengeluarkan udara, angkat kepala dan bahu perlahan – lahan. Regangkan tangan sampai
menyentuh lutut. Tubuh boleh diangkat setinggi 15-20 cm.
4. Perlahan – lahan kepala dan bahu diturunkan seperti posisi semula
5. Lakukan latihan ini sebanyak 10 kali.
Latihan Penguatan Pinggang
Tahap 1: Memutar kedua lutut
1. Tidur terlentang dengan kedua lutut ditekuk
2. Pertahankan bahu tetap lurus, telapak kaki tetap dan secara perlahan – lahan putar kedua lutut sehingga
menyentuh sisi kanan tempat tidur
3. Pertahankan gerakan yang halus, putar kedua lutut kembali sampai menyentuh sisi kanan tempat tidur
4. Kembali ke posisi semula dan istirahat
5. Lakukan latihan sebanyak 10 kali.
Tahap 2: Memutar satu kaki
1. Tidur terlentang dengan kedua lutut kiri ditekuk
2. Pertahankan bahu tetap datar, secara perlahan – lahan putar lutut kiri sampai menyentuh sisi kanan tempat
tidur dan kembali ke posisi semula
3. Ganti posisi kaki, sentih sisi kiri tempat tidur dengan menggunakan lutut sebelah kanan lalu kembali ke
posisi semula dan istirahat
4. Lakukan latihan sebanyak 10 kali
Tahap 3: Memutar tungkai
1. Tidur terlentang dengan posisi lurus
2. Pertahankan bahu tetap datar, secara perlahan – lahan tungkai kiri diangkat dalam keadaan lurus dan putar
sampai menyentuh sisi kanan tempat tidur, lalu kembali ke posisi semula.
3. Ulangi gerakan kedua dengan menggunakan kaki kanan sehingga menyentuh sisi kiri.
4. Lakukan latihan sebanyak 10 kali.
Istirahat dgn Posisi Telungkup
Tidur dengan posisi telungkup dengan kaki lurus, posisi ini dapat membantu mengembalikan rahim dalam posisi
normal dan dapat mencegah kekakuan pada punggung dan bokong.
1. B. TEHNIK MENYUSUI
1. 1. Manfaat menyusui dengan benar:
Nutrisi bayi terpenuhi
Bayi mendapatkan imunitas yang cukup
Mencegah bengkak pada payudara
Mencegah nipple pecah – pecah
Memperkuat tulang rahang bayi
Mengurangi penggunaan tenaga yang berlebihan pada bayi
Memberikan kenyamanan pada ibu dan bayi
1. Cara Menyusui dengan Benar
- Bibir bayi berbentuk huruf C. Otot pipi berkontraksi
- Lidah bayi ke depan memegang nipple dan areola
- Nipple dimasukkan saat lidah mendorong ke belakang dan membawa areola ke mulut.
- Bag bibir menjepit areola dan menghisap susu ke bagian akhir tenggorokan
- Posisi Menghisap dengan Botol
Karet nipple botol masuk ke rahang atas sesuai pergerakan lidah. Lidah bergerak ke depan melawan bibir untuk
mengontrol aliran susu berlebih yang masuk ke esofagus.
1. C. TEKHNIK PERAWATAN TALI PUSAT
Setelah persalinan
Alat dan bahan
- Plastic disposable clamps atau benang kasa steril
- Aseptic antiseptic ( alkohol dan betadin )
- Kasa steril
- Handscoon
Cara pelaksanaan:
1. Ikat tali pusat dengan plastic disposable clamps atau benang kasa steril
2. Pengikatan dilakukan dengan kuat yang mana sebelumnya harus memakai handscoon, ikatan pertama 5 cm
dari dinding perut ikatan kedua 2 cm dari pusat
3. Monitor ikatan tali pusat tiap 4 jam selama 48 jam
4. Rawat tali pusat dengan larutan aseptic antiseptic ( alkohol dan betadin )
5. Tutup tai pusat dengan kasa steril dan difiksasi dengan baik
6. Monitor balutan tali pusat, kulit sekitar umbilical diobservasi dari tanda infeksi
Perawatan sehari-hari
Alat dan bahan
- Kain kasa
- Betadin atau alkohol 70 %
- Kapas lidi
- Hanscoon
Cara pelaksanaan
o Langkah pertama yang dilakukan adalah memakai handscoon
o Basahi kapas lidi dengan betadin atau alkohol 70 % dan usapkan pada tali pusat bayi
o Balut dengan kain kasa tanpa menggunakan plester.
o Popok tidak boleh menutupi tali pusat. Popok yang basah dan kotor akan memperlambat pengeringan tali pusat
dan mempermudah timbulnya infeksi.
1. D. MEMANDIKAN BAYI
Sebelum memandikan bayi, kita harus memperhatikan :
1. 1. Suhu bayi. Bayi dimandikan setelah dilahirkan pada saat suhu tubuhnya sama dengan suhu ruangan:
36º C atau 36,5º C
2. 2. Memakai Handscoon, untuk bayi yang pertama kali dimandikan
Alat dan bahan :
1. Celemek
2. Washlap 2 buah
3. Sabun
4. Shampo
5. Baby Oil
6. Bedak
7. Cottonbad
8. Baju
9. Baskom 2 buah : 1 untuk air hangat dan 1 untuk pakaian kotor
Cara memandikan Bayi :
- Memakai celemek
- Memakai washlap yang sudah dicelupkan ke dalam air hangat
- Mengusap kepala bayi, membersihkan kotoran-kotoran di kepala bayi
- Memakai washlap yang lain yang diberi sampo
- Usap kepala bayi dengan sampo, bersihkan kemudian keringkan dengan handuk
- Bersihkan mata bayi dengan kapas basah, dari kantus ke luar, kemudian bersihkan wajah, telinga, dan
bagian leher.
- Bersihkan dengan handuk kering
- Lepaskan pakaian bayi, letakkan pada baskom yang telah disediakan. Lepaskan juga balutan tali pusat.
- Bersihkan seluruh badan bayi, pergelangan tangan, sela-sela jari, sela-sela kaki, punggung (balikkan bayi)
- Bersihkan dengan sabun (memakai washlap yang untuk shampo tadi)
- Bersihkan kembali dengan washlap, untuk bayi yang suster terlepas tali pusatnya, dibilas di air hangat di
dalam baskom.
- Diseka dengan handuk halus.
- Letakkan bayi di handuk /selimut yang sudah ada baju dan popok bayi
- Memakaikan bedak/minyak talon
- Memakaikan popok dan baju
- Selimuti bayi
1. E. PERAWATAN PAYUDARA
Tujuan :
1. memperlancar sirkulasi/aliran darah
2. mencegah terjadinya bendungan ASI
3. memperlancar pengeluaran ASI
Perawatan payudara ibu post partum t.d.a :
Membersihkan puting susu
Persiapan alat :
- kapas lembab
- air dalam kom
- handuk bersih
Cara kerja :
1. Kapas direndam dalam air masak
2. putting susu dibersihkan dengan kapas
3. keringkan dgn handuk
4. lakukan sebelum dan sesudah menyusui
5. Untuk puting susu yg cekung dan datar dilakukan
6. Perawatan dgn tiga tahap :
- meregangkan putting susu
- memutar putting susu
- menarik putting susu
Pengurutan/masase payudara :
Persiapan alat :
minyak kelapa 10 cc dl tempatnya ( hindari penggunaan baby oil, minyak kayu putih atau minyak tawon )
handuk besar 2 buah
washlap 2 buah
breast pump dan gelas atau botol susu
air dingin dan air hangat dlm Waskom
tuple hudge
Cara kerja :
- Jelaskan tujuan tindakan
- cuci tangan
- satu tangan diletakkan di punggung dan satu handuk diletakkan di bawah payudara ibu atau daerah paha
- kedua telapak tangan diberi minyak
- payudara kiri diurut dengan tangan kiri dan payudara kanan ( jika ibu melakukan sendiri ).bila dilakukan
oleh perawat àpayudara kiri diurut dengan tangan kanan dan payudara kanan diurut dengan tangan kiri, dgn cara
pengurutan dari tengah berputar ke samping terus ke bawah, secara perlahan dan halus sambil mengobservasi ibu
dan pengeluaran ASI ( ada/tidak ) dilakukan 10 – 15 kali.
- Tangan kiri menopang/menyangga payudara kiri . lakukan pengurutan dgn bagian pinggir telapak tangan
kanan mulai dari pangkal sampai aerola mammae. Selanjutnya tangan kanan menopang/menyangga payudara
kanan dan lakukan pengurutan dgn bag.pinggiran telapak tangan kiri muali pangkal sampai aerola mammae,
dilakukan 10-15 kali.posisi sama, pengurutan menggunakan ruas jari dilakukan 10-15 kali.
- Posisi sama, pengurutan menggunakan ruas jari dilakukan 10 – 15 kali
- Lakukan mandi dgn air hangat dgn menggunakan washlap ( satu washlap dimasukkan dalam air hangat,
peras ). Usap kedua payudara selanjutnya ganti dgn air dingin ( satu washlap masukkan dlm air dingin, peras
).usap kedua payudara, lakukan 6-10 kali secara bergantian dan diakhiri dgn air dingin
- Payudara dikeringkan /lap dgn menggunakan handuk yang berada pada bagian bawah payudara
- Handuk di daerah punggung dan bawah payudara dilipat dan alat lain dibereskan
- Ibu pakai baju sendiri sendiri atau dibantu perawat
KONSEP KEPERAWATAN
1. A. PENGKAJIAN
Merujuk pada catatan riwayat keperawatan pada masa prenatal dan intrapartal.
Melakukan pemeriksaan fisik dan pengkajian psikososial terhadap ibu, ayah dan anggota keluarga
Perawat mendeteksi adanya penyimpangan dari kondisi yang normal
Dari masa prenatal, kaji masalah kesehatan selama kehamilan yang pernah timbul, seperti: anemia, hipertensi
dalam kehamilan dan diabetes.
Kaji proses persalinan, lama dan jenis persalinan, kondisi selaput dan cairan ketuban, respon bayi terhadap
persalinan, obat-obatan yang digunakan, respon keluarga khususnya ayah pada persalinan dan kelahiran.
Dilakukan segera pada masa immediate postpartum, seperti: observasi tanda vital, keseimbangan cairan,
pencegahan kehilangan darah yang abnormal dan eliminai urin.
? Biodata Klien
Biodata klien berisi tentang : Nama, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Suku, Agama, Alamat, No. Medical Record,
Nama Suami, Umur, Pendidikan, Pekerjaan , Suku, Agama, Alamat, Tanggal Pengkajian.
? Keluhan Utama
Hal-hal yang dikeluhkan saat ini dan alasan meminta pertolongan.
? Riwayat haid
Umur Menarche pertama kali, Lama haid, jumlah darah yang keluar, konsistensi, siklus haid, hari pertama haid
terakhir, perkiraan tanggal partus.
? Riwayat Perkawinan
Kehamilan ini merupakan hasil pernikahan ke berapa ? Apakah perkawinan sah atau tidak, atau tidak direstui
orang tua ?
? Riwayat Obstetri
- Riwayat Kehamilan
Berapa kali dilakukan pemeriksaan ANC, Hasil Laboratorium : USG, Darah, Urine, keluhan selama kehamilan
termasuk situasi emosional dan impresi, upaya mengatasi keluhan, tindakan dan pengobatan yang diperoleh
- Riwayat Persalinan
1. 1. Riwayat Persalinan Lalu
Jumlah Gravida, jumlah partal, dan jumlah abortus, umur kehamilan saat bersalin, jenis persalinan, penolong
persalinan, BB bayi, kelainan fisik, kondisi anak saat ini.
1. 2. Riwayat Nifas pada Persalinan Lalu
Pernah mengalami demam, keadaan lochia, kondisi perdarahan selama nifas, tingkat aktifitas setelah melahirkan,
keadaan perineal, abdominal, nyeri pada payudara, kesulitan eliminasi, keberhasilan pemberian ASI, respon dan
support keluarga.
1. 3. Riwayat Persalinan Saat Ini
Kapan mulai timbulnya his, pembukaan, bloody show, kondisi ketuban, lama persalinan, dengan episiotomi atau
tidak, kondisi perineum dan jaringan sekitar vagina, dilakukan anastesi atau tidak, panjang tali pusat, lama
pengeluaran placenta, kelengkapan placenta, jumlah perdarahan.
1. 4. Riwayat New Born
Apakah bayi lahir spontan atau dengan induksi/tindakan khusus, kondisi bayi saat lahir (langsung menangis atau
tidak), apakah membutuhkan resusitasi, nilai APGAR skor, Jenis kelamin Bayi, BB, panjang badan, kelainan
kongnital, apakah dilakukan bonding attatchment secara dini dengan ibunya, apakah langsung diberikan ASI atau
susu formula.
? Riwayat KB dan Perencanaan Keluarga
Kaji pengetahuan klien dan pasangannya tentang kontrasepsi, jenis kontrasepsi yang pernah digunakan,
kebutuhan kontrasepsi yang akan datang atau rencana penambahan anggota keluarga dimasa mendatang.
? Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit yang pernah diderita pada masa lalu, bagaimana cara pengobatan yang dijalani, dimana mendapat
pertolongan. Apakah penyakit tersebut diderita sampai saat ini atau kambuh berulang-ulang ?
? Riwayat Psikososial-Kultural
Adaptasi psikologi ibu setelah melahirkan, pengalaman tentang melahirkan, apakah ibu pasif atau cerewet, atau
sangat kalm. Pola koping, hubungan dengan suami, hubungan dengan bayi, hubungan dengan anggota keluarga
lain, dukungan social dan pola komunikasi termasuk potensi keluarga untuk memberikan perawatan kepada klien.
Adakah masalah perkawinan, ketidak mampuan merawat bayi baru lahir, krisis keluarga.
Blues : Perasaan sedih, kelelahan, kecemasan, bingung dan mudah menangis.
Depresi : Konsentrasi, minat, perasaan kesepian, ketidakamanan, berpikir obsesif, rendahnya emosi yang positif,
perasaan tidak berguna, kecemasan yang berlebihan pada dirinya atau bayinya, sering cemas saat hamil, bayi
rewel, perkawinan yang tidak bahagia, suasana hati yang tidak bahagia, kehilangan kontrol, perasaan bersalah,
merenungkan tentang kematian, kesedihan yang berlebihan, kehilangan nafsu makan, insomnia, sulit
berkonsentrasi.
Kultur yang dianut termasuk kegiatan ritual yang berhubungan dengan budaya pada perawatan post partum,
makanan atau minuman, menyendiri bila menyusui, pola seksual, kepercayaan dan keyakinan, harapan dan cita-
cita.
? Riwayat kesehatan Keluarga
Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit yang diturunkan secara genetic, menular, kelainan congenital
atau gangguan kejiwaan yang pernah diderita oleh keluarga.
? Profil Keluarga
Kebutuhan informasi pada keluarga, dukungan orang terdekat, sibling, type rumah, community seeting,
penghasilan keluarga, hubungan social dan keterlibatan dalam kegiatan masyarakat.
? Kebiasaan Sehari-Hari
1. a. Pola nutrisi : pola menu makanan yang dikonsumsi, jumlah, jenis makanan (Kalori, protein, vitamin,
tinggi serat), freguensi, konsumsi snack (makanan ringan), nafsu makan, pola minum, jumlah, frekuensi,
2. b. Pola istirahat dan tidur : Lamanya, kapan (malam, siang), rasa tidak nyaman yang mengganggu istirahat,
penggunaan selimut, lampu atau remang-remang atau gelap, apakah mudah terganggu dengan suara-
suara, posisi saat tidur (penekanan pada perineum).
3. c. Pola eliminasi : Apakah terjadi diuresis, setelah melahirkan, adakah inkontinensia (hilangnya infolunter
pengeluaran urin), hilangnya kontrol blas, terjadi over distensi blass atau tidak atau retensi urine karena
rasa talut luka episiotomi, apakah perlu bantuan saat BAK. Pola BAB, freguensi, konsistensi, rasa takut BAB
karena luka perineum, kebiasaan penggunaan toilet
4. d. Personal Hygiene : Pola mandi, kebersihan mulut dan gigi, penggunaan pembalut dan kebersihan
genitalia, pola berpakaian, tatarias rambut dan wajah
5. e. Aktifitas : Kemampuan mobilisasi beberapa saat setelah melahirkan, kemampuan merawat diri dan
melakukan eliminasi, kemampuan bekerja dan menyusui.
6. f. Rekreasi dan hiburan : Situasi atau tempat yang menyenangkan, kegiatan yang membuat fresh dan
relaks.
? Seksual
Bagaimana pola interaksi dan hubungan dengan pasangan meliputi freguensi koitus atau hubungan intim,
pengetahuan pasangan tentang seks, keyakinan, kesulitan melakukan seks, continuitas hubungan seksual.
Pengetahuan pasangan kapan dimulai hubungan intercourse pasca partum (dapat dilakukan setelah luka
episiotomy membaik dan lochia terhenti, biasanya pada akhir minggu ke 3). Bagaimana cara memulai hubungan
seksual berdasarkan pengalamannya, nilai yang dianut, fantasi dan emosi, apakah dimulai dengan bercumbu,
berciuman, ketawa, gestures, mannerism, dress, suara. Pada saat hubungan seks apakah menggunakan lubrikasi
untuk kenyamanan. Posisi saat koitus, kedalaman penetrasi penis. Perasaan ibu saat menyusui apakah
memberikan kepuasan seksual. Faktor-faktor pengganggu ekspresi seksual : bayi menangis, perubahan mood ibu,
gangguan tidur, frustasi yang disebabkan penurunan libido.
? Konsep Diri
Sikap penerimaan ibu terhadap tubuhnya, keinginan ibu menyusui, persepsi ibu tentang tubuhnya terutama
perubahan-perubahan selama kehamilan, perasaan klien bila mengalami opresi SC karena CPD atau karena bentuk
tubuh yang pendek.
? Peran
Pengetahuan ibu dan keluarga tentang peran menjadi orangtua dan tugas-tugas perkembangan kesehatan
keluarga, pengetahuan perubahan involusi uterus, perubahan fungsi blass dan bowel. Pengetahan tentang keadaan
umum bayi, tanda vital bayi, perubahan karakteristik faces bayi, kebutuhan emosional dan kenyamanan,
kebutuhan minum, perubahan kulit.
Ketrampilan melakukan perawatan diri sendiri (nutrisi dan personal hyhiene, payu dara) dan kemampuan
melakukan perawatan bayi (perawatan tali pusat, menyusui, memandikan dan mengganti baju/popok bayi,
membina hubungan tali kasih, cara memfasilitasi hubungan bayi dengan ayah, dengan sibling dan kakak/nenek).
Keamanan bayi saat tidur, diperjalanan, mengeluarkan secret dan perawatan saat tersedak atau mengalami
gangguan ringan. Pencegahan infeksi dan jadwal imunisasi.
? Pemeriksaan Fisik
1. 1. Keadaan Umum : Tingkat energi, self esteem, tingkat kesadaran.
2. 2. BB, TB, LLA, Tanda Vital normal (RR konsisten, Nadi cenderung bradi cardy, suhu 36,2-38, Respirasi 16-
24)
3. 3. Kepala : Rambut, Wajah, Mata (conjunctiva), hidung, Mulut, Fungsi pengecapan; pendengaran, dan
leher.
4. 4. Breast : Pembesaran, simetris, pigmentasi, warna kulit, keadaan areola dan puting susu, stimulation
nepple erexi. Kepenuhan atau pembengkakan, benjolan, nyeri, produksi laktasi/kolostrum. Perabaan
pembesaran kelenjar getah bening diketiak.
5. 5. Abdomen : teraba lembut , tekstur Doughy (kenyal), musculus rectus abdominal utuh (intact) atau
terdapat diastasis, distensi, striae. Tinggi fundus uterus, konsistensi (keras, lunak, boggy), lokasi, kontraksi
uterus, nyeri, perabaan distensi blas.
6. 6. Anogenital
Lihat struktur, regangan, udema vagina, keadaan liang vagina (licin, kendur/lemah) adakah hematom,
nyeri, tegang. Perineum : Keadaan luka episiotomy, echimosis, edema, kemerahan, eritema, drainage.
Lochia (warna, jumlah, bau, bekuan darah atau konsistensi , 1-3 hr rubra, 4-10 hr serosa, > 10 hr alba),
Anus : hemoroid dan trombosis pada anus.
7. 7. Muskoloskeletal : Tanda Homan, edema, tekstur kulit, nyeri bila dipalpasi, kekuatan otot.
? Pemeriksaan laboratorium
- Darah : Hemoglobin dan Hematokrit 12-24 jam post partum (jika Hb < 10 g% dibutuhkan suplemen FE),
eritrosit, leukosit, Trombosit
- Klien dengan Dower Kateter diperlukan culture urine.
1. B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan pola eliminasi buang air kecil, retensi urine berhubungan dengan berakhirnya proses
persalinan dan proses kehamilan.
2. Gangguan pola eliminasi buang air besar, berhubungan dengan rasa nyeri pada perineum dan
menurunnya peristaltik usus.
3. Nyeri berhubungan dengan kontraksi uterus dan ruptur perineum.
4. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan perdarahan post partum.
5. Resiko tinggi infeksi perineum dan jalan lahir berhubungan dengan luka perineum yang masih basah
dan post partum.
6. Resiko gangguan pola istirahat/ tidur berhubungan dengan ketidak nyamanan dan jadwal makan
bayi.
7. Kurangnya pengetahuan ibu tentang tindak lanjut keperawatan post partum (nifas) berhubungan
dengan baru pertama kali melahirkan.
1. C. PERENCANAAN
1. Perubahan pola eliminasi buang air kecil, retensi urine berhubungan dengan berakhirnya proses
kehamilan dan persalinan.
1) Tujuan: tidak terjadi gangguan pola eliminasi buang air kecil.
2) Kriteria : - Ibu tidak merasa nyeri pada saat buang air kecil.
- Pengeluaran urine 1000-1500 cc/ hari.
- Frekuensi miksi 4-5 kali/ hari.
- Expresi wajah tenang.
3) Rencana Tindakan:
a) Catat intake dan out put cairan.
b) Berikan rangsangan pada daerah atas symphisis dengan air dingin.
c) Katerisasi bila tidak miksi dalam 8 jam habis melahirkan.
4) Rasional:
a) Untuk mengetahui fungsi ginjal.
b) Rangsangan pada simphisis dengan air dingin dapat meningkatkan tonus otot spincter dan buli-buli.
c) Bila 8 jam tidak miksi dapat menggangu involutio uteri.
1. Gangguan pola eliminasi buang air besar berhubungan dengan rasa nyeri pada luka perineum dan dan
menurunnya peristaltik usus.
1) Tujuan: tidak terjadi gangguan pola eliminasi buang air besar.
2) Kriteria : - Buang air besar lancar.
- Perut tidak tegang.
- Frekuensi 1-2 kali/ hari.
3) Rencana Tindakan:
a) kaji pola buang air besar.
b) Berikan makanan yang banyak mengandung serat.
c) Anjurkan pada ibu untuk banyak minum.
d) Berikan penyuluhan pada ibu untuk tidak takut buang air besar.
e) Kolaborasi pemberian obat laxantia
4) Rasional:
a) Untuk mengetahui pola bab klien.
b) Makanan yang berserat dapat merangsang peristaltik usus.
c) Dengan minum yang banyak akan membantu melunakkan faeces.
d) Rasa takut dapat mempengaruhi syaraf sympatis sehingga otot spincter menjadi lemah.
e) Obat laxantia dapat merangsang peristaltik usus.
1. Nyeri berhubungan dengan kontraksi uterus dan ruptur perineum.
1) Tujuan: nyeri hilang.
2) Kriteria : - Ibu mengatakan nyeri kurang.
- Proses involutio normal.
- Expresi wajah tenang.
3). Rencana Tindakan:
a) kaji intensitas dan karakteristik dari nyeri.
b) berikan posisi yang menyenangkan.
c) ajarkan tehnik relaksasi.
d) kolaborasi pemberian analgesik.
e) berikan penjelasan mengenai timbulnya nyeri.
f) ajarkan tehnik destraksi.
4). Rasional:
a) Untuk mengetahui tingkat dan karakteristik nyeri, agar mempermudah memberikan intervensi yang tepat.
b) Dengan posisi yang menyenangkan membuat klien merasa nyaman dan dapat beradaptasi dengan nyeri.
c) Relaksasi dapat mengendorkan otot-otot sehinnga nyeri dapat berkurang.
d) Menjelaskan kepada ibu tentang nyeri agar ibu dapat beradaptasi dengan nyeri.
e) Untuk mengalihkan perhatian ibu agar tidak terfokus pada bayi.
f) Analgesik dapat menekan rangsangan nyeri sehingga nyeri tidak dipresepsikan.
1. Resiko kekurangan volume cairan berhungan dengan perdarahan post partum.
1) Tujuan: tidak terjadi perdarahan yang berlebihan.
2) Kriteria : - Proses involutio lancar.
- perdarahan tidak lebih dari 400 cc.
- pengeluaran lokhia lancar.
3) Rencana Tindakan:
a) Observasi perdarahan dan monitor pengeluaran lokhia.
b) Observasi kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri setiap hari.
c) Observasi tanda-tanda vital.
d) Observasi keadaan umum.
e) Beri pengetahuan pada ibu tentang ambulasi dini pada ibu nifas.
f) Ajarkan pada ibu untuk mengetahui tanda-tanda perdarahan yang berlebihan.
g) Monitor kadar haemoglobin.
4) Rasional:
a) Untuk mengetahui jumlah perdarahan.
b) Kontraksi uterus yang lemah dapat menyebabkan perdarahan.
c) Perubahan tanda vital indikasi adanya perdarahan.
d) Keadaan umum dapat menggambarkan adanya perdarahan.
e) Ambulasi secara dini dapat memperlancar proses involutio.
f) Kadar haemoglobin yang rendah indikasi terjadi perdarahan.
1. Resiko tinggi infeksi perineum dan jalan lahir berhubungan dengan luka perineum yang masih basah dan
post partum.
1) Tujuan: Tidak terjadi infeksi pada luka perineum dan jalan lahir.
2) Kriteria : - Tanda-tanda infeksi tidak ada.
3) Rencana Tindakan:
a) Observasi tanda-tanda infeksi dan tanda vital.
b) Rawat luka perineum setiap hari dengan teknik septik dan aseptik
c) Anjurkan pada ibu untuk mengganti duk yang basah.
d) Observasi pengeluaran lokhia.
e) Kolaborasi pemberian antibiotik.
4) Rasional:
a) Untuk mendeteksi secara dini adanya infeksi.
b) Luka yang bersih dapat mencegah timbulnya infeksi.
c) Duk yang basah tempat berkembang biak mikroorganisme.
d) Keadaan lokhia yang tidak normal menandakan adanya infeksi jalan lahir.
e) Antibiotik dapat menghambat dan membunuh mikroorganisme.
1. Resiko gangguan pola istirahat/ tidur berhubungan dengan ketidak nyamanan dan jadwal makan bayi.
1) Tujuan: ibu dapat tidur/ kebutuhan istirahat tidur terpenuhi.
2) Kriteria : - Tidur cukup (7-9 jam/hari).
- penampilan menunjukkan istirahat yang
- cukup
- ibu tidak merasa lelah.
3) Rencana tindakan:
a) bayinya. Kaji pola tidur klien.
b) Ciptakan lingkungan yang tenang.
c) Beri penyuluhan kepada ibu agar memenuhi kebutuhan bayinya tepat pada waktunya.
d) Anjurkan kepada ibu agar menidurkan bayinya dalam dalam keadaan kenyang.
e) Bila asi kurang, berikan susu tambahan pengganti asi sebanyak 30 cc/ 3 jam dengan sendok atau dok.
f) Ajarkan ibu untuk mengenali kebiasaan
4) Rasional:
a) Untuk mengenali jumlah tidur klien.
b) Lingkungan yang tenang dapat mendukung untuk beristirahat.
c) Dengan memenuhi kebutuhan bayinya tepat pada waktunya bayi akan tenang.
d) Bila bayi dalam keadaan kenyang, bayi akan tidur nyenyak.
e) Pemberian air susu sebanyak 30 cc dan diperkirakan dalam 3 jam lambung sudah kosong.
f) Dengan mengenali kebiasaan-kebiasaan bayi, ibu dapat mengatur waktu istirahatnya.
1. Kurangnya pengetahuan ibu tentang tindak lanjut keperawatan post partum aterm (nifas) berhubungan
dengan baru pertama kali lahir.
1) Tujuan: pengetahuan ibu tentang perawatan lanjut bertambah.
2) Kriteria : - Pasien dapat menyebutkan saat yang tepat untuk melakukan hubungan suami istri post
partum.
- pasien dapat menyebutkan pentingnya
- pemeriksaan secara dini dan berkala di rumah sakit.
3) Rencana tindakan:
a) Kaji tingkat pengetahuan ibu.
b) Beri HE kepada ibu bahaya melakukan hubungan suami istri selama dalam masa nifas.
c) Beri penyuluhan kepada ibu tentang pentingnya pemeriksaan diri dan bayi secara berkala di rumah sakit/
puskesmas.
4) Rasional:
a) Dapat mengambil tindakan selanjutnya.
b) Dengan melakukan hubungan suami istri selama masa nifas akan menyebabkan perdarahan yang banyak/
berat.
c) Pemeriksaan diri dan bayi secara berkala dapat mengetahui tingkat kesehatan ibu dan bayi.
1. D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah kegiatan atau tindakan yang diberikan kepada pasien. Kkegiatan ini
meliputi pelaksanaan rencana pelayanan keperawatan dan rencana pernyataan medis. Pada tahap perawat
menerapkan pengetahuan dan keterampilan berdasarkan ilmu-ilmu keperawatan dan ilmu-ilmu keperawatan
lainnya yang terkait secara terintegrasi. Pada waktu perawat memberi pelayanan keperawatan, proses
pengumpulan dan analisa data berjalan terus menerus, guna perubahan atau penyesuaian tindakan keperawatan.
Beberapa faktor dapat dapat mempengaruhi pelaksanaan rencana pelayanan. Keperawatan antara lain sumber-
sumber yang ada, pekerjaan perawat serta lingkungan fisik untuk pelayanan keperawatan dilakukan.
Dalam pelaksanaan perawat melakukan fungsinya secara indefenden, defenden, dan interdefenden. Fungsi
indefenden yaitu perawat melakukan tindakan sendiri atas dasar inisiatif sendiri. Fungsi defenden yaitu fungsi
tambahan dilakukan untuk menjalankan program dari tim kesehatan lain. Fungsi interdefenden yaitu perawat
melakukan fungsi kolaborasi dengan pelaksanaan fungsi bersama-sama dengan tim kesehatan lainnya.
1. E. EVALUASI
1. Periode post partum dini.
- Tanda vital, keadaan luka episiotomi jika ada dan mencocokkan dengan parameter yang diharapkan.
- Toleransi klien terhadap intake makanan, intake cairan dan keinginan klien mengenali makanan dan cairan.
- Kemampuan klien untuk pengosongan kandung kemih secara teratur.
- Beri kesempatan kepada klien beristirahat yang cukup.
- Kemampuan klien untuk menggendong dan merawat bayinya.
1. Periode post partum lanjut.
- Tanda vital, berat badan, payudara, proses involutio, penyembuhan luka episiotomi jika ada dengan
parameter yang diharapkan.
- Kemampuan klien untuk merawat payudara, perawatan perineum.
- Kemampuan klien untuk menunjukkan kesanggupan dalam perawatan diri sendiri dan perawatan bayinya.
1. Periode persiapan pulang ke rumah.
- Klien mendemostrasikan kemampuan merawat bayinya.
- Klien memperlihatkan keingintahuan tentang pentingnya perawatan lanjutan bagi ibu serta bayinya.
- Kemampuan klien untuk menentukan waktu untuk konsultasi dengan dokter, bidan/ perawat.
- Respon klien dengan suami terhadap adanya perubahan pola aktifitas seksual serta perlunya menggunakan
alat kontrasepsi untuk memberi rasa aman dan bagi ibu.
1. Periode 6 minggu (saat chek-up).
- Tanda vital, penurunan payudara, proses involutio dan penyembuhan luka episiotomi dibandingkan
parameter yang diharapkan.
- Kembalinya organ reproduksi seperti keadaan sebelum hamil.
- Kemampuan menunjukkan fungsi keluarga dengan baik dan adaptasi positif.
- Keluarga menyepakati penggunaan salah satu jenis kontrasepsi yang cocok bagi ibu.
LAPORAN KASUS
1. a. Pengkajian
Pengumpulan Data
ü Identitas Klien
Nama : Ny.T
Umur : 39 tahun
ü Riwayat Kesehatan
Riwayat Kesehatan Sekarang
- Post partum hari ke dua. TFU ½ simfisis pusat, berat uterus 500 gram, terjadi after pain pada saat ibu
menyusui bayinya, kondisi payudara bengkak dan terjadinya bendungan ASI.
Riwayat Kesehatan lalu :
Riwayat rupture tingkat 2, nyeri , gatal, dan merah pada daerah vagina. Klien riwayat G11P8A3. Klien pernah
mengalami peradangan panggul dan dispareunia
ü Pemeriksaan Fisik
TTV :
TD = 150/100 mmHg, S= 38,5oC, N= 72 x/menit.
Validasi Data
ü Data Subyektif :
Klien mengatakan terjadi after pain pada saat ibu menyusui bayinya. Klien pernah mengalami peradangan panggul
dan dispareunia
ü Data Obyektif :
Post partum hari ke dua. TFU ½ simfisis pusat, berat uterus 500 gram, kondisi payudara bengkak dan terjadinya
bendungan ASI.
TD = 150/100 mmHg, S= 38,5oC, N= 72 x/menit.
Analisa data
NO DATA ETIOLOGI MASALAH
Nyeri
3 DS : ¯ Konstipasi
- Klien malas bergerak Takut bergerak / aktifitas kurang
- Klien belum BAB ¯
selama 2 hari Mobilisasi usus dan diafragma
DO : menurun
- Peristalik usus kurang (3 ¯
– 4 x/menit) Faeces bertahan lama diusus besar
- Klien lebih banyak dan tidak bisa dikeluarkan
istirahat. ¯
Konstipasi
Nyeri
¯
Ibu malas menyusui bayinya Penimbunan
4. DS : - ¯ ASI
DO : Bayi jarang menetek
¯
- ASI/colostrum belum Kurangnya rangsangan pada
ada pituitary anterior prolaktin
- Payudara teraba keras / ¯
padat. Penimbunan ASI
- Kondisi payudara
bengkak
Proses persalinan
¯
5. Perlukaan jalan lahir Resiko in-feksi
DS : ¯
- Nyeri pada perineum Merupakan media berkembang-
DO : biaknya kuman phatogen
- Lochia rubra. ¯
- Nampak luka heacting Resiko terjadi infeksi
pada perineum
- Tanda-tanda vital :
TD = 150/100 mmHg, S=
38,5oC, N= 72 x/menit.
Kurangnya informasi tentang KB
¯ Kurang pe-
6 DS : Ketidaktahuan tentang KB ngetahuan
- Ibu mengatakan kalau ¯ tentang KB
bias ini kehamilan yang terakhir Kurang pengetahuan tentang KB
- Klien tidak pernah
menjadi akseptor KB
NO DATA ETIOLOGI MASALAH
DO :
- Umur 39 th G11P8A3
1. b. Diagnosa Keperawatan
- Nyeri berhubungan dengan kontraksi uterus
- Nyeri b/d terputusnya kontinuitas jaringan aki-bat ruptur perineum
- Gangguan eliminasi BAB konstipasi b/d pe-nurunan peristaltic usus
- Penimbunan ASI b/d kurangnya rangsangan pada priutary anterior prolaksin
- Resiko terjadi infeksi puorperalis b/d luka pada perineum
- Kurang pengetahuan ten-tang KB b/d kurang informasi tentang KB
1. c. Perencanaan
NO DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN
KEPERAWATAN
TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
1. Nyeri b/d kontraksi Nyeri berkurang/hilang 1.Kaji tingkat loka- 1.Agar dapat meng-inden-
uterus ditandai dengan : dengan criteria si dan sifat nyeri. tifikasi kebutuhan pera-
watan dan pemberian
DS : - Klien tidak askep yang tepat.
- Klien mengeluh menge-luh nyeri
nyeri pada daerah - Ekspresi wajah 2.Observasi 2.Perubahan tanda vital
abdomen cerah tanda-tanda vital menunjukkan terjadinya
- Klien mengeluh - Tanda vital dalam rangsangan nyeri
nyeri bila batas normal. 3.Anjurkan klien 3.Nafas dalam dapat
berjalan/bergerak T : 110-120 / mmHg tehnik relaksasi melan-carkan suplay 02
DO : S : 56 – 37 oC napas dalam. kejari-ngan sehingga
- Ekpresi wajah N : 80 x /menit terjadi relaksasi di
meringis jaringan obat yang dapat
- Kontraksi uterus menyebabkan nyeri
baik 4.Berikan posisi berkurang.
- Klien banyak yang nyaman 4.Posisi nyaman sesuai
istirahat ditempat tidur. sesuai keinginan ke-inginan klien dapat
klien. mem-peringan nyeri.
5.Jelaskan penye-
bab terjadinya 5.Dengan mengetahui pe-
nyeri nyebab nyeri klien dapat
6.Penatalaksanaan beradaptasi
obat analgetilc 6.Untuk mengurangi rasa
nyeri dengan memblok
infuls nyeri.
2. Nyeri 1.Kaji tingkat, lo-
berkurang/hilang kasi dan sifat 1. Agar dapat
Nyeri b/d terputusnya dengan kriteria : nyeri mengidenti-fikasikan
kontinuitas jaringan 1. Klien tidak kebutuhan pera-watan
aki-bat ruptur perineum menge-luh nyeri 2.Observasi dan pemberian as-kep
ditandai dengan : 2. Ekspresi wajah tanda-tanda vital. yang tepat.
DS : ce-rah 2. Perubahan tanda vital
- Klien mengeluh 3. Tanda vital dalam 3.Observasi menunjukkan terjadinya
nyeri pada perineum batas normal. keadaan luka rangsangan nyeri.
- Klien menyatakan T: 110-120/80mmHg perineum 3. Dapat menunjukkan
nyeri bila berjalan/ N: 80 x /menit ada-nya trauma
beraktifitas. S : 36 – 37 oC berlebihan/ komplikasi
DO : 1. Luka kering yang me-merlukan
- Ekspresi wajah 4.Anjurkan untuk intervensi lebih lajut.
meri-ngis duduk dengan 4. Dapat mengurangi
- Nampak luka otot gluteal teka-nan langsung pada
heching pada perineum terkon-traksi peri-neum.
- Klien istirahat 5.Beri kompres
ditem-pat tidur. panas lembab 5. Meningkatkan sirkulasi
(rendam duduk pada perineum, mening-
antara 38oC s/d katkan oksigenasi dan
42oC selama 20 nutrisi pada jaringan
menit – setelah 24 menurunkan edema dan
jam pertama. meningkatkan
penyembuhan.
3. 1. Kaji pola elimi-
Eliminasi BAB terpe- nasi BAB klien 1. Dapat mengetahui
Gangguan eliminasi nuhi dengan criteria adanya kelainan pada
BAB konstipasi b/d pe- - Klien telah BAB 1 2. Kaji penyebab proses eliminasi klien
nurunan peristaltic usus x 2 /hari konstipasi klien 2. Dapat mempermudah
ditandai dengan : - Peristaltik usus dalam pemberian inter-
DS : nor-mal 5-35x/i 3. Anjurkan klien vensi
- Klien malas untuk makan 3. Dapat memperlancar
bergerak makanan yang metabolisme dalam usus
- Klien belum BAB berserat sehingga eliminasi lancar
selama 2 hari 4. Anjurkan klien
DO : untuk melaku-kan 4. Dapat merangsang
- Peristaltic usus kreaktifitas ringan peris-taltic usus sehingga
kurang 3-4x/menit dan ber-tahap BAB lancar.
- Klien lebih banyak 5. Pentalaksanaan
istirahat. pemberian
dulcolaks sup 5. Akan merangsang dan
mempercepat proses
1. Kaji tingkat pe- defekasi.
4. ngetahuan dan
ASI dapat diproduksi pengalaman klien 1. Membantu
dengan criteria tentang menyusui mengembang-kan
Penimbunan ASI b/d - ASI/ Colostrum sebelumnya. rencana perawatan
kurangnya rangsangan ada 2. Lakukan selanjutnya
pada priutary anterior - Payudara perawa-tan buah
prolaksin ditandai de- kenyal. dada
ngan : 2. Agar lactasi lanar dan
DS : 3. Anjurkan klien terhindar dari kesulitan
- untuk tetap me- saat menyusui
DO : nyusui bayinya 3. Untuk merangsang
- ASI / colostrum walaupun ASI hor-mon prolaktif untuk
belum ada tidak ada. memproduksi ASI.
- Payudara teraba ke- 4. Ajarkan cara
ras/padat. menyusui yang
- Kondisi payudara benar. 4. Posisi yang tepat dapat
bengkak mencegah luka pada
putting susu dan anak
1. Kaji tanda- dapat menolak dengan
tanda infeksi baik
5.
2. Ukur dan 1. Untuk mengetahui
obser-vasi tanda- tanda/ gejala awal
Resiko terjadi infeksi Infeksi tidak terjadi tanda vital terjadinya infeksi
puorperalis b/d luka dengan kriteria 3. lakukan vulva 2. Perubahan tanda vital
pada perineum ditandai - Luka nampak hygiene dijadikan indicator ada-
de-ngan : kering nya proses peradangan
DS : - Tanda vital dalam 3. Vulva yang kotor dan
- Nyeri pada daerah batas normal 4. Bekerja dengan lembab dapat dijadikan
pe-rineum - Tidak ada tanda- tehnik septik dan tempat berkembang biak-
DO : tanda infeksi anti septik nya kuman.
- Nampak luka - Rubor 5. Kompres luka 4. Bethadine membunuh
heacting pada perineum - Color hecting dengan kuman dan mempercepat
- Dolor bethadine proses penyembuhan
- Fungsilesia 6. HE kepada lien 5. Untuk mencegah
- Vital Sign untuk menjaga terkon-taminasinya
T : 110/70 mmHg personal hygi-ene kuman pada klien
o
S : 36.4 C 7. 6. Untuk mempercepat
N : 80 x /menit Penatalaksanaan pro-ses penyembuhan
D : 20 x /menit pemberian luka atau mencegah
antibiotik. infeksi
7. Dapat menghambat
1. Kaji tingkat pe- pem-bentukan dinding sel
ngetahuan klien bakteri dan membunuh
tentang KB kuman patogen.
KONTRASEPSI “TUBEKTOMI”
Dahulu tubektomi dilakukan dengan jalan laparotomi atau pembedahan vaginal. Sekarang, dengan alat-alat dan
teknik baru, tindakan ini di selenggarakan secaara lebih ringan dan tidak memerlukan perawatan di rumah sakit.
Dalam tahun-tahun terakhir ini tubektomi telah merupakan bagian yang penting dalam program keluarga
berencana di banyak Negara di dunia. Di Indonesia sejak tahun 1947 telah berdiri perkumpulan yang sekarang
bernama Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia (PKMI), yang membina perkembangan metode dengan
operasi (M.O) atau kontrasepsi mantap secara sukarela, tetapi secara resmi tubektomi tidak termasuk ke dalam
program nasional keluarga berencana di Indonesia.
Keuntungan tubektomi ialah:
1. Motivasi hanya dilakukan satu kali saja,sehingga tidak di perlukan motivasi berulang-ulang
2. Efektifitas hamper 100%
3. Tidak mempengaruhi libido seksualis
4. Kegagalan dari pihak pasien (patient’s failure) tidak ada.
Sehubungan dengan waktu melakukan metode dengan operasi, dapat dibedakan antara m.o postpartum dan m.o
dalam interval. Tubektomi postpartum dilakukan satu hari setelah partus.
Tindakan yang di lakukan sebagai tindakan pendahuluan untuk mencapai tuba Fallopii terdiri atas pembedahan
transbdominal seperti laparatomi, mini laparatomi, laparaskopi; serta pembedahan transsevikal (trans-uterin),
seperti penutupan lumen tuba histeroskopik.
Untuk menutup lumen dalam tuba, dapat dilakukan pemotongan tuba dengan bebagai macam tindakan operatif,
seperti cara Pomeroy, cara Irving, cara Uchida, cara Kroener, cara Aldridge. Pada cara Madlener tuba tidak
dipotong. Di samping cara-cara tersebut di atas, penutupan tuba dapat pula dilakukan dengan jalan kauterisasi
tuba, penutupan tuba dengan clips, Falopering, Yoon ring, dan lain-lain.
Indikasi metode dengan operasi (M.O)
Metode dengan operasi dewasa ini di jalankan atas dasar sukarela dalam rangka keluarga berencana. Kerugiannya
ialah bahwa tindakan ini dapat dianggap tidak reversibel, walaupun sekarang ada kemungkinan untuk membuka
tuba kembali pada mereka yang akhirnya masih menginginkan anak lagi dengan operasi rekanalisasi. Oleh karena
itu, penutupan tuba hanya dapat dikerjakan pada mereka yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Seminar Kuldoskopi Indonesia pertama di Jakarta (18-19 Desember 1972) mengambil kesimpulan, sebaikanya
tubektomi sukarela dilakukan pada wanita yang memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Umur termuda 25 tahun dengan 4 anak hidup
2. Umur sekitar 30 tahun dengan 3 anak hidup
3. Umur sekitar 35 tahun dengan 2 anak hidup
Pada umur konperensi khusus Perkumpulan untuk Sterilisasi Sukarela Indonesia di medan (3-5 Juni 1976)
dianjurkan pada umur antara 25-40 tahun, dengan jumlah anak sebagai berikut:
1. Umur antara 25-30 tahun dengan 3 anak atau lebih
2. Umur antara 30-35 tahun dengan 2 anak atau lebih
3. Umur antara 35-40 tahun dengan 1 anak atau lebih
Umur suami hendaknya sekurang-kurangnya 30 tahun, kecuali apabila jumlah anak telah melebihi jumlah yang
diinginkan oleh pasangan itu.
Di bagian Obstetri/Ginekologi Fakultas Kedokteran USU/RSUPP Medan, berhubungan dengan tingginya angka
kematian perinatal dan bayi, serta pentingnya anak lelaki bagi beberapa suku di Sumatra Utara, di gunsksn rumus
120 yang disesuaikan dengan persyaratan sterilisasi sukarela. Dengan ini, syarat untuk sterilisasi ialah umur
wanita x jumlah anak hidup dengan paling sedikit 1 anak laki-laki, harus tidak kurang dari 120, dengan umur
wanita terendah 25 tahun. Rumus 120 tersebut, dewasa ini tidak begitu di pegang teguh lagi sehubungan dengan
beratnya tekanan pertumbuhan penduduk.
v Tindakan pendahuluan guna penutupan tuba
Laparatomi
Tindakan ini tidak dilakukan lagi sebagai tindakan khusus guna tubektomi. Di sini penutupan tuba dijalankan
sebagai tindakan tambahan apabila wanita yang perlu dilakukan seksio sesarea, kadang-kadang tuba kanan dan
kiri ditutup apabila tidak diinginkan bahwa ia hamil lagi.
Laparatomi postpartum
Laparatomi ini dilakukan satu hari postpartum. Keuntungannya ialah bahwa waktu perawatan nifas sekaligus dapat
digunakan untuk perawatan pascaoperasi, dan oleh karena uterus masih besar, cukup dilakukan sayatan kecil
dekat fundus uteri untuk mencapai tuba kanan dan kiri. Sayatan dilakukan dengan sayatan semi lunar (bulan
sabit) di garis tengah distal dari pusat dengan panjang kurang-lebih 3 cm dan penutupan tuba biasanya
diselenggarakan dengan cara Pomeroy.
Minilaporotomiomi
Laporotomi mini dilakukan dalam masa interval. Sayatan yang dibuat di garis tengah di atas simfisis sepanjang 3
cm sampai menembus peritoneum. Untuk mencapai tuba dimasukkan alat khusus (elevator uterus) ke dalam
kavum uteri. Dengan bantuan alat ini uterus bilamana dalam retrofleksi dijadikan letak antarfleksi dahulu dan
kemudian didorong ke arah lubang sayatan. Kemudian, dilakukan penutupan tuba dengan salah satu cara.
Laparaskopi
Mula-mula dipasangcunam serviks pada bibir depan porsio uteri, dengan maksud supaya kelak dapat menggerakan
uterus jika hal itu diperlukan pada waktu laparaskopi. Setelah dilakukan persiapan seperlunya, dibuat sayatan kulit
di bawah pusat sepanjang 1cm. Kemudian, di tempat luka tersebut dilakukan pungssi sampai rongga peritoneum
dengan jarum khusus (jarum Veres), dan melalui jarum itu pneumoperitoneum dengan memasukan CO2 sebanyak
1 sampai 3 liter dengan kecepatan rata-rata 1 liter per menit. Setelah pneumoperitoneum dirasa cukup, jarum
Veres dikeluarkan dan sebagai gantinya dimasukkan troika (dengan tabungnya). Sesudah itu, troikar diangkat dan
dimasukkan laparoskop melalui tabung. Untuk memudahkan penglihatan uterus dan adneks, penderita diletakkan
dalam posisi Trendelenburg dan uterus digerakkan melalui cunam serviks pada porsio uteri. Kemudian, dengan
cuman yang masuk dalam rongga peritoneum besama-sama dengan laparoskop, tuba dijepit dan dilakukan
penutupan tuba dengan kauterisasi, atau dengan memasang pada tuba cincin Yoon atau cincin Falope atau clip
Hulka. Berhubungan pada kemungkinan komplikasi yang lebih besar pada kauterisasi, sekarang lebih banyak
digunakan cara-cara lain.
Kuldoskopi
Wanita ditempatkan pada posisi menungging (posisi genupektoral) dan setelah speculum dimasukkan dan bibir
belakang serviks uteri dijepit dan uterus ditarik ke luar dan agak ke atas, tampak kavum Douglasi mekar di antara
ligamentum sakro-uterinum kanan dan kiri sebagai tanda bahwa tidak ada perlekatan. Dilakukan pungsi dengan
jarum Touhy di belakang uterus, dan melalui jarum tersebut udara masuk dan usus-usus terdorong ke rongga
perut. Setelah jarum diangkat, lubang diperbesar, sehingga dapat dimasukkan kuldoskop. Melalui kuldoskop
dilakukan pengamatan adneksa dan dengan cunam khusus tuba dijepit dan ditarik ke luar untuk dilakukan
penutupannya dengan cara Pomeroy, cara Kroener, kauterisasi, atau pemasangan cincin Falope.
v Cara penutupan tuba
Cara Madlener
Bagian tengah dari tuba diangkat dengan cunam Pean, sehingga terbentuk suatu lipatan terbuka. Kemudian, dasar
dari lipatan tersebut dijepit dengan cunam kuat-kuat, dan selanjutnya dasar itu diikat dengan benang yang tidak
dapat diserap. Pada cara ini tidak dilakukan pemotingan tuba. Sekarang cara Madlener tidak dilakukan lagi oleh
karena angka kegagalannya relatif tinggi, yaitu 1% sampai 3%.
Cara Pomeroy
Cara pomeroy banyak dilakukan. Cara ini dilakukan dengan mengangkat bagian tengah dari tuba sehingga
membentuk lipatan terbuka, kemudian dasarnya diikat dengan benang yang dapat diserap, tuba di atas dasar itu
dipotong. Setelah benang pengikat diserap , maka ujung-ujung tuba akhirnya terpisah satu sama lain. Angka
kegagalan berkisar antara 0-0,4%.
Cara Irving
Pada cara ini tuba dipotong antara dua ikatan benang yang dapat diserap, ujung proksimal dari tuba ditanamkan
ke dalam ligamentum latum.
Cara Aldrige
Peritoneum dari ligamentum latum dibuka dan kemudian tuba bagian distal bersama-sama dengan fimbria ditanam
ke dalam ligamentum latum.
Cara Uchida
Pada cara ini tuba ditarik ke luar abdomen melalui suatu insisi kecil (minilaparotomi) di atas simfisis pubis.
Kemudian di daerah ampulla tuba dilakukan suntikan dengan larutan adrenalin dalam air garam di bawah serosa
tuba. Akibat suntikan ini, mesosalping di daerah tersebut mengembung. Lalu, di buat sayatan kecil di daerah yang
kembung tersebut. Serosa dibebaskan dari tuba sepanjang kira-kira 4-5 cm; tuba dicari dan setelah ditemukan
dijepit, diikat, lalu digunting. Ujung tuba yang proksimal akan tertanam dengan sendirinya di bawah serosa,
sedangkan ujung yang distal dibiarkan berada di luar serosa. Luka sayatan dijahit secara kantong tembakau.
Angka kegagalan cara ini adalah 0.
Cara Kroener
Bagian fimbria dari tuba dikeluarkan dari lubang operasi. Suatu ikatan dengan benang sutera dibuat melalui bagian
mesosalping di bawah fimbria. Jahitan ini diikat dua kali, satu mengelilingi tuba dan yang lain mengelilingi tuba
sebelah proksimal dari jahitan sebelumnya. Seluruh fimbria dipotong. Setelah pasti tidak ada pendarahan, maka
tuba dikembalikan kedalam rongga perut.
Teknik ini banyak digunakan. Keuntungan cara ini antara lain ialah sangat kecilnya kemungkinan kesalahan
mengikat ligamentum rotundum. Angka kegagalan 0,19%.
{ Keuntungan Tubektomi
- Sangat efektif (0,5 kehamilan per 100 perempuan selama tahun pertama penggunaan)
- Tidak mempengaruhi proses menyusui (breastfeeding)
- Tidak bergantung pada faktor senggama
- Baik bagi klien apabila kehamilan akan menjadi risik kesehatan yang serius
- Pembedahan sederhana, dapat dilakukan dengan anestesi local
- Tidak ada efek samping dalam jangka panjang
- Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual (tidak ada efek pada produksi hormon ovarium)
{ Keterbatasan Tubektomi
- Harus dipertimbangkan sifat mantap metode kontrasepsi ini (tidak dapat dipulihkan kembali), kecuali
dengan rekanalisasi
- Klien dapat menyesal di kemudian hari
- Risiko komplikasi kecil (meningkat apabila digunakan anestesi umum)
- Rasa sakit/ketidaknyamanan dalam jangka pendek setelah tindakan
- Dilakukan oleh dokter terlatih (dibutuhkan dokter spesialis ginekologi untuk proses laparoskopi)
- Tidak melindungi diri dari IMS, termasuk HBV dan HIV/AIDS
{ Isu-Isu Klien
- Klien mempunyai hak untuk berubah pikiran setiap waktu sebelum prosedur ini
- Informed consent harus diperoleh dan standard consent form harus ditanda-tangani
oleh klien sebelum prosedur dilakukan
{ Yang Perlu Dilakukan Tubektomi
- Usia > 26 tahun
- Paritas (jumlah anak) minimal 2 dengan umur anak terkecil > 2 thn
- Yakin telah mempunyai besar keluarga yang sesuai dengan kehendaknya
- Pada kehamilannya akan menimbulkan risiko kesehatan yang serius
- Pascapersalinan dan atau pasca keguguran
- Paham dan secara sukarela setuju dengan prosedur ini
{ Yang Tidak Boleh Dilakukan Tubektomi
- Hamil
- Perdarahan vaginal yang belum terjelaskan
- Infeksi sistemik atau pelvik yang akut
- Tidak boleh menjalani proses pembedahan
- Kurang pasti mengenai keinginannya untuk fertilitas di masa depan
- Belum memberikan persetujuan tertulis
{ Waktu dilakukan
- Setiap waktu selama siklus menstruasi apabila diyakini secara rasional klien tidak hamil
- Hari ke-6 hingga ke-13 dari siklus menstruasi (fase proliferasi)
- Pascapersalinan; minilap di dalam waktu 2 hari atau hingga 6 minggu atau 12 minggu, laparoskopi tidak
tepat untuk klien pascapersalinan
- Pascakeguguran; Triwulan pertama (minilap atau laparoskopi), Triwulan kedua (minilap saja)
DAFTAR PUSTAKA
Bobak,dkk. 2004. Keperawatan maternitas. Jakarta : EGC.
Carpenito, Lynda. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.
Doenges, Marilynn E. 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi : Pedoman untuk
Perencanaan dan Dokumentasi Perawatan Klien, Edisi 2. Jakarta : EGC.
Hamilton, C.Mary. 1995. Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC.
Johnson & Taylor, 2005. Buku Ajar Praktik Kebidanan. Jakarta : EGC.
Kumala, Poppy. Et. Al. 2004. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC.
Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Sylvia, dkk. 2006. Patofisiologi edisi 6. Jakarta : EGC
http://www.masbied.com/2011/03/14/asuhan-post-natal-care-nifas/