Anda di halaman 1dari 4

Infeksi soil-transmitted helminth merupakan masalah global di bidang kesehatan masyarakat terutama di

daerah pedesaan. Tiga jenis infeksi soil-transmitted helminth Ascaris, Trichiuris dan cacing tambang sering
menunjukkan kelainan klinik pada manusia. Kelompok risiko tinggi infeksi soil-transmitted helminth
adalah anak- anak dan wanita usia produktif. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO)
pada tahun 2012 lebih dari 1.5 miliar orang atau 24% dari populasi dunia terinfeksi Soil Transmitted
Helminths (STH). Di Indonesia sendiri infeksi kecacingan masih relatif tinggi pada tahun 2011, yaitu
sebesar 28 %, survei pada anak Sekolah Dasar menunjukkan prevalensi sampai 76.67 %. Salah satu cacing
yang sering menginfeksi diantaranya adalah Ascaris lumbricoides yang menyebabkan ascariasis.

Ascariasis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi cacing Ascariasis lumbricoides.
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides, jika tertelan telur yang infektif
maka didalam usus halus bagian atas telur akan pecah dan melepaskan larva infektif dan menembus
dinding usus masuk kedalam vena porta hati yang kemudian bersama dengan aliran darah menuju jantung
kanan dan selanjutnya melalui arteri pulmonalis ke paru-paru dengan masa migrasi berlangsung selama
sekitar 15 hari. Penularan Ascariasis dapat terjadi melalui bebrapa jalan yaitu masuknya telur yang infektif
kedalammulut bersama makanan atau minuman yang tercemar tertelan telur melalui tangan yang kotor
dan terhirupnya telur infektif bersama debu udara dimana telur infektif tersebut akan menetas pada
saluran pernapasan bagian atas, untuk kemudian menembus pembuluh darah dan memasuki aliran
darah. Cacing dewasa dapat pula menimbulkan berbagai akibat mekanik seperti obstruksi usus, perforasi
ulkus diusus. Oleh karena adanya migrasi cacing ke organ-organ misalnya ke lambung, oesophagus, mulut,
hidung dan bronkus dapat menyumbat pernapasan penderita. Tujuan utama dari pengobatan infeksi STH
adalah mengeluarkan semua cacing dewasa dari saluran gastrointestinal. Obat yang banyak digunakan
untuk mengeluarkan infeksi STH adalah mebendazole dan albendazole. Benzimidazole bekerja
menghambat polimerisasi dari microtubule parasit yang menyebabkan kematian dari cacing dewasa
dalam beberapa hari. Walaupun albendazole dan mebendazole merupakan obat broad- spectrum
terdapat perbedaan penggunaanya dalam klinik Kedua obat sangat efektif terhadap ascariasis dengan
pemberian dosis tunggal. Untuk pengobatan tentunya semua obat dapat digunakan untuk
mengobati Ascariasis, baik untuk pengobatan perseorangan maupun pengobatan massal. Pada
waktu yang lalu obat yang sering dipakai seperti : piperazin, minyak chenopodium, hetrazan
dan tiabendazol. Oleh karena obat tersebut menimbulkan efek samping dan sulitnya pemberian obat
tersebut, maka obat cacing sekarang ini berspektrum luas, lebih aman dan memberikan efek samping
yang lebih kecil dan mudah pemakaiannya misalnya dengan mebendazol dan pirantel pamoat.
Trikomoniasis merupakan infeksi saluran urogenital bagian bawah pada wanita maupum pria, dapat
bersifat akut atau kronik, disebabkan oleh Trichomonas vaginalis dan penularannya biasanya melalui
hubungan seksual. Penyebab trikomoniasis ialah Trichomonas vaginalis yang pertama kali ditemukan oleh
Donne pada tahun 1836. Merupakan falgelata berbentuk filiformis, berukuran 15-18 mikron, mempunyai
empat flagela, dan bergerak seperti gelombang. Trichomonas vaginalis mampu menimbulkan
peradangan pada dinding saluran urogenital dengan cara invasi sampai mencapai jaringan epitel
dan subepitel. Masa tunas rata-rata 4 hari sampai 3 minggu. Pada kasus yang lanjut terdapat bagian-
bagian dengan jaringan granulasi yang jelas. Nekrosis dapat ditemukan dilapisan subepitel yang menjalar
sampai dipermukaan epitel. Di dalam vagina dan urethra parasit hidup dari sisa-sisa sel, kuman-kuman
dan benda lain yang terdapat dalam secret. Pengobatan terkait trikomoniasis pengobatan bisa dilakukan
dengn dua cara yaitu secara topikal dan sistemik. Bahan cairan berupa irigasi, misalnya hydrogen
peroksida 1-2% dan larutan asam laktat 4%, bahan berupa supositoria yang bersifat trikomoniasidal
misalnya metronidazol sediaan 500 mg dan 1 gram, gel dan krim yang berisi zat trikomoniasidal.
Pengobatan secara sistemik bisa dengan pemberian obat secara peroral Metronidazol : dosis tunggal 2
gram atau 3 x 500 mg per hari selama tujuh hari. Kemudian bisa dengan Tinidazol : dosis tunggal 2 gram,
memperlihatkan spektrum antimikroba yang sama dengan metronidazol. Perbedaannya dengan
metronidazol masa paruhnya yang
lebih panjang sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal per hari, dan efek sampingnya lebih ringan
daripada metronidazol. Adapun obat lainnya adalah Nimorazol : dosis tunggal 2 gram dan
Omidazol : dosis tunggal 1,5 gram.

Secara garis besar terdapat tiga intervensi untuk mengendalikan infeksi STH, yaitu pemberian obat
antelmintik untuk pencegahan infeksi cacing, sanitasi untuk menghindari infeksi parasite tipe lain dan
pendidikan kesehatan. Pemberian obat antelmintik bertujuan mengurangi kesakitan dengan menurunkan
gangguan akibat infeksi STH. Pemberian kemoterapi berulang kali secara teratur dengan interval tertentu
(periodic deworming) pada kelompok risiko tinggi mampu menurunkan angka kesakitan dan memperbaiki
kesehatan serta pertumbuhan anak. Pemberian obat pada masyarakat dapat dilakukan secara universal
(semua penduduk tidak tergantung usia, jenis kelamin, dan status infeksi diberikan pengobatan), populasi
sasaran (pengobatan diberikan pada kelompok usia dan jenis kelamin tertentu tanpa memperhatikan
status infeksi), dan selektif (pengobatan diberikan pada individu yang dipilih berdasarkan diagnosisnya).
Obat yang direkomendasikan untuk mengendalikan infeksi STH di masyarakat adalah benzimidazole,
albendazole (dosis tunggal 400 mg, dan untuk anak usia 12–24 bulan dikurangi menjadi 200 mg) atau
mebendazole (dosis tunggal 500 mg) dapat juga diberikan levamisole atau pyrantel pamoate.(5) Anak usia
sekolah merupakan kelompok risiko tinggi untuk menderita infeksi STH dengan intensitas yang tinggi.
Pengobatan secara teratur dapat mencegah terjadinya kesakitan yang kemudian mampu memperbaiki
keadaan gizi dan kognitif anak- anak. Perbaikan sanitasi bertujuan untuk mengendalikan penyebaran STH
dengan cara menurunkan kontaminasi air dan tanah. Sanitasi merupakan intervensi utama untuk
menghilangkan infeksi STH, tetapi supaya intervensi ini efektif harus mencakup populasi yang luas. Namun
strategi ini memerlukan biaya yang tidak sedikit dan sulit dilaksanakan bila biaya yang tersedia sangat
terbatas. Lagipula bila digunakan sebagai intervensi primer untuk mengendalikan infeksi STH diperlukan
waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun supaya dapat efektif.

Perbaikan sanitasi bertujuan untuk mengendalikan penyebaran STH dengan cara menurunkan
kontaminasi air dan tanah. Sanitasi merupakan intervensi utama untuk menghilangkan infeksi STH, tetapi
supaya intervensi ini efektif harus mencakup populasi yang luas. Namun strategi ini memerlukan biaya
yang tidak sedikit dan sulit dilaksanakan bila biaya yang tersedia sangat terbatas.(28) Lagipula bila
digunakan sebagai intervensi primer untuk mengendalikan infeksi STH diperlukan waktu bertahun-tahun
bahkan puluhan tahun supaya dapat efektif. Pendidikan kesehatan bertujuan menurunkan penyebaran
dan terjadinya reinfeksi dengan cara memperbaiki perilaku kesehatan. Untuk infeksi STH, tujuannya
adalah mengurangi kontaminasi dengan tanah dan air melalui promosi penggunaan jamban dan perilaku
kebersihan. Tanpa perubahan kebiasaan buang air besar, pengobatan secara teratur ternyata tidak
mampu menurunkan penyebaran infeksi STH. Pendidikan kesehatan dapat menurunkan biaya
pengendalian infeksi STH dan terjadinya reinfeksi.

Daftar pustaka
Andi Tri Rezki Amaliah, Azriful. Distribusi Spasial Kasus Kecacingan (Ascaris lumbricoides) Terhadap
Personal Higiene Anak Balita di Pulau Kodingareng Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar Tahun
2016. Jurnal Kesehatan HIGIENE Vol. 2

Asaolu SO, Ofoezie LE. The role of health education and sanitation in the control of helminth infections.
Acta Tropica 2003; 86: 283-94.
Daili SF. Trikomoniasis. In: Djuanda A, editor. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FK-
UI; 2009. p. 384-385.
Lopez V. Rook's Texbtbook Of Dermatology. In: Burns T, editor. Parasitic Worms And Protozoa. 7 ed.
Australia: Blackwell Publishing; 2004. p. 32.30-32.31
http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2012/04/Tutik

Anda mungkin juga menyukai