Anda di halaman 1dari 6

Respirasi adalah suatu proses biologis, yaitu oksigen diserap untuk digunakan pada proses

pembakaran (oksidatif) yang menghasilkan energi diikuti oleh pengeluaran sisa pembakaran
berupa gas karbondioksida dan air (Deddy Muctadi, 1992 dalam Octavianti Paramita, 2010).
Substrat yang paling banyak diperlukan tanaman untuk proses respirasi dalam jaringan
tanaman adalah karbohidrat dan asam-asam organik bila dibandingkan dengan lemak dan
protein (Octavianti Paramita, 2010).

Laju respirasi pada umumnya digunakan sebagai indikator laju metabolisme pada komoditi
pertanian (Tito Yassin dkk, 2013). Laju respirasi produk hortikulturasuhu dan kelembaban
juga dipengaruhi oleh komposisi gas terutama O2 dan CO2 di sekitar produk (Rokhani
Hasbullah, 2008).

Pantastico (1975) dalam Octavianti Paramita (2010) menjelaskan bahwa respirasi dapat
dibedakan dalam tiga tingkat: (a) pemecahan polisakarida menjadi gula sederhana, (b)
oksidasi gula menjadi asam piruvat dan (c) transformasi piruvat dan asam-asam organik
secara aerobic menjadi karbondioksida, air dan energi. Protein dan lemak dapat pula berperan
sebagai substrat dalam proses pemecahan ini.

Pada praktikum ini dilakukan pengukuran laju respirasi pada beberapa sampel buah. Prinsip
pengukuran laju respirasi pada praktikum ini adalah mengukur produksi CO2 yang dihasilkan
oleh bahan pangan, karena pada dasarnya ketika respirasi produksi CO2 cukup besar.

Peralatan yang dirancang menggunakan 5 buah erlenmeyer dimana erlenmeyer pertama berisi
larutan CaCl2 dan erlenmeyer kedua dan ketiga berisis larutan KOH 2N dan KOH 1N dengan
tujuan untuk mengikat gas CO2 yang terkandung dalam udara yang dialirkan melalui aerator.
Setelah melewati desikator tempat buah gas CO2 yang diproduksi ketika proses resporasi
buah akan diikat oleh NaOH 0,1N lalu dilakukan titrasi dengan HCl 0,1 menggunakan
indikator PP. Sehingga satuan dari laju respirasi adalah mg CO2/kg/jam.

Sampel yang diamati laju respirasinya pada praktikum ini adalah rambutan, pisang dan tomat.
Pisang dan tomat merupakan salah satu jenis buah klimaterik yang memiliki laju respirasi
yang berbeda dengan buah non klimaterik. Berikut ini adalah kurva perbedaan laju respirasi
pada buah klimaterik dan non klimaterik.

Gambar 1. Kurva hubungan laju respirasi dan peoduksi etilen buah klimaterik dan non
klimaterik

Berdasarkan kurva diatas diketahui bahwa pada buah klimaterik disamping terjadi kenaikan
respirasi juga terjadi kenaikan kadar etilen selama proses pematangan. Sedangkan pada buah
non klimaterik, proses pematangan tidak berkaitan dengan kenaikan respirasi dan kenaikan
kadar etilen. Perbedaan antara buah klimaterik dan nonklimaterik yaitu adanya perlakuan
etilen terhadap buah klimaterik yang akan menstimulir baik pada proses respirasi maupun
pembentukan etilen secara autokatalitik sedangkan pada buah nonklimaterik hanya terdapat
perlakuan yang akan menstimulir proses respirasi saja.

Etilen merupakan senyawa hidrokarbon tidak jenuh (C2H4) pada suhu kamar berbentuk gas.
Etilen dapat memenuhi persyaratan sebagai hormon karena dapat mempengaruhi suatu proses
fisiologi tanaman, dihasilkan oleh tanaman, bersifat mobil dalam tanaman dan merupakan
senyawa organik. (Wills dkk, 1989 dalam Octavianti Paramita, 2010). Etilen mempunyai
pengaruh yang tidak diinginkan pada kualitas dari buah-buahan segar.
Karena produksi etilen distimulasi oleh perlakuan-perlakuan secara fisik yang digunakan
dalam pemprosesan sehingga perlu untuk menghilangkan etilen dalam lingkungan
penyimpanan untuk meningkatkan umur simpan dari buah mangga segar (Eduardo V, et al,
2007 dalam Octavianti Paramita, 2010). Etilen sudah diketahui sejak tahun 1934 sebagai
hormon yang aktif dalam pematangan buah (Gane, 1934; Chocker dkk, 1935 dalam
Kartasaputra, 1989 dalam Octavianti Paramita, 2010).

Kecepatan respirasi menggambarkan aktivitas metabolik di dalam jaringan bahan hasil


pertanian yang berpengaruh pada umur simpan hasil pertanian Kecepatan respirasi dinyataan
dalam berat CO2 untuk setiap berat bahan hasil pertanian segar dan waktu (mg CO2/kg.jam).
Dan setiap komoditas tentu akan memiliki kecepatan respirasi yang berbeda. Berikut ini
adalah tabel laju repirasi yang terjadi pada suatu komoditas.

Laju respirasi (mg


Komoditas
CO2/kg/jam)
< 35 Nanas, belimbing
35 – 70 pisang hijau, leci,
Mangga, rambutan, jambu
70 – 150
biji
150 – 300 Alpukad, pisang masak,
> 300 sirsak

Gambar 2. Tabel laju respirasi komoditi sayur dan buah

Rambutan

Rambutan merupakan salah satu buah klimaterik yang umumnya memiliki laju respirasi
antara 70-150 mg CO2/kg/jam, sedangkan pisang memiliki laju respirasi antara 35-70 mg
CO2/kg/jam, dan tomat memiliki laju respirasi 35-70 mg CO2/kg/jam. Berikut ini adalah hasil
pengamatan laju respirasi pada rambutan yang disajikan dalam sebuah kurva.

Gambar 3. Laju respirasi rambutan

Berdasarkan hasil pengamatan diatas, dapat diketahui bahwa laju respirasi pisang cenderung
mengalami naik turun yang tidak stabil, hal ini terjadi pada dua sampel pisang yang diuji.
Pada hari keempat penyimpanan kedua sampel pisang ini mengalammi kenaikan laju
respirasi yang sangat tinggi dan kemudian turun kembali pada penyimpanan hari kelima.
Walaupun berada dalam satu komoditi, terdapat perbedaan nilai laju respirasi yang terjadi
pada dua sampel pisang tersebut, hal ini diakibatkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi
respirasi yaitu faktor internal yang mencakup tahap perkembangan komoditas, komposisi
kimia, tipe komoditas dan genotip, dan jenis bahan serta faktor eksternal yang meliputi
keadaan penanganan pasca panen.

Secara kasat mata, ukuran dari kedua sampel pisang ini pun berbeda, ukuran sampel pisang
pertama lebih besar dibandingkan sampel pisang kedua hal ini dibuktikan dengan berat kedua
pisang tersebut. Dan berdasarkan kurva diatas dapat diketahui pula bahwa sampel pisang
kedua dengan ukuran yang lebih kecil memiliki laju respirasi lebih tinggi daripada sampel
pisang pertama yang ukurannya lebih besar. Pujimulyani (2009) dalam Tito Yassin, dkk
(2013), menyatakan bahwa ukuran produk mempengaruhi laju respirasinya, semakin kecil
ukuran produk maka permukaan yang bersentuhan langsung dengan udara akan semakin
besar sehingga penyerapan O2 akan semakin cepat.

Pisang

Pisang merupakan salah satu buah kilamaterik yang memiliki laju respirasi antara 35-70 mg
CO2/kg/jam. Berikut ini adalah hasil pengamatan laju respirasi yang terjadi pada pisang.

Gambar 4. Laju respirasi pisang

Berdasarkan kurva laju respirasi pada pisang diatas terlihat bahwa sama halnya dengan
rambutan, dari hari ke hari laju respirasi mengalami naik turun yang tidak menentu, padahal
seharusnya semakin tinggi tingkat kematangan buah, maka laju respirasi akan semakin
meningkat, tetapi setelah buah mencapai kematangan optimum laju respirasi akan kembali
menurun (Elisa Julianti, 2011). Beberapa penelitian terhadap buah-buahan tropis juga
menunjukkan hasil yang sama, yaitu semakin tinggi tingkat kematangan dan suhu
penyimpanan maka laju respirasi akan semakin meningkat (Riviera-Lopez et al., 2005;
Gayosso-Garcia Sancho, 2010 ; Azzolini et al., 2005 dalam Elisa Julianti, 2011). Namun
kurva yang terbentuk memiliki bentuk naik turun laju respirasi yang hampir sama.

Ada ketidaksesuaian terjadi pada pengukuran laju respirasi ini, namun tidak menutup
kemungkinan bahwa naik turunnya laju respirasi ini diakibatkan oleh beberapa hal seperti
keadaan penyimpanan.

Dan berdasarkan data diatas pula dapat diketahui bahwa terjadi perbedaan nilai laju respirasi
yang sangat tinggi pada pisang yang berada dalam satu komoditas ini. Angka laju respirasi
pada sampel kedua lebih tinggi daripada laju respirasi pisang sampel pertama, hal ini
diakibatkan karena ukuran pisang sampel pertama lebih besar dibandingkan dengan pisang
sampel kedua, dan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa ukuran produk
mempengaruhi laju respirasinya, semakin kecil ukuran produk maka permukaan yang
bersentuhan langsung dengan udara akan semakin besar sehingga penyerapan O2 akan
semakin cepat.

Selama proses penyimpanan, pisang masih melakukan proses metabolisme yang tinggi yang
kemudian akan menyebabkan asam organik didalam buah akan diubah menjadi gula
(Pantastico, 1986 dalam Tito Yassin dkk, 2013). Hal ini yang menyebabkan total asam pada
suhu ruang selama penyimpanan mengalami penuruan.

Tomat

Tomat merupakan salah satu buah klimaterik yang memiliki laju respirasi 35-70 mg
CO2/kg/jam. Berikut ini adalah hasil pengamatan laju respirasi pada tomat.

Gambar 5. Laju respirasi tomat

Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan pada kurva tersebut, terjadi laju respirasi yang
naik turun di setiap harinya, hal tersebut ditunjukan pada kedua sampel tomat tersebut. Pada
hari-hari awal, terjadi ketidaksinkronan data yang diduga karena terjadi kesalahan yang
dilakukan oleh penguji. Namun pada hari-hari berikutnya data keduanya semakin sinkron.

Hanya saja jika didasarkan pada kurva diatas, analis tidak dapat memperkirakan tingkat
kematangan yang terjadi pada tomat sebab Dwiari (2008) dalam Tito Yassin, dkk (2013)
menyatakan bahwa buah klimakterik memiliki pola laju respirasi terus meningkat selama fase
ripenning (pematangan) dan akan menurun pada fase senescene (pelayuan), dan hal ini tidak
dapat tergambarkan pada kurva diatas.

Tomat merupakan salah buah yang digolongkan klimaterik, dan berdasarkan literatur laju
respirasi pada tomat dengan suhu penyimpanan 24oC secara umum adalah 49,6 mg
CO2/Kg.jam.

Selama proses penyimpanan laju respirasi akan terus berjalan dan hal ini beriringan dengan
tingkat kematangan buah. Tranggono et, al (1992) dalam Octavianti Paramita (2010),
menyatakan bahwa umur simpan buah sangat dipengaruhi oleh laju respirasi. Laju respirasi
dapat dikendalikan antara lain dengan memanipulasi kandungan gas O2 atau CO2 dalam
kemasan atau ruang penyimpanan. Dengan menurunkan konsentrasi O2 atau meningkatkan
konsentrasi CO2, maka laju respirasi dapat diperlambat sehingga umur simpan dapat
diperpanjang.

Selama proses pematangan terjadi perubahan-perubahan seperti warna, tekstur, citarasa dan
flavor, yang menunjukkan terjadinya perubahan komposisi. Menurut Nair (2003) dalam
Octavianti Paramita (2010) proses pematangan buah mangga meliputi perubahan biokimia,
diantaranya adalah meningkatnya produksi etilen, pelunakan buah, berkembangnya pigment,
aktivitas metabolisme yang semakin lambat pada karbohidrat, asam organik, lemak, phenolic,
kandungan volatile, struktur polisakarida.

Tekstur buah selama proses penyimpanan mengalami pelunakan. Kekerasan merupakan salah
satu indikator penting dalam menentukan tingkat kematangan sebuah produk pertanian
terutama buah-buahan. Buah-buahan yang mulai mengalami proses kematangan cenderung
memiliki tingkat kekerasan/tekstur yang lebih lunak dibandingkan sebelum proses
pematangan. Tekstur yang melunak disebabkan pemecahan senyawa pektin yang
menyebabkan tekstur buah menjadi lunak (Kartasapoetra, 1994 dalam Tito Yassin dkk,
2013).

Sedangkan warna pada pisang semakin bertambah kuning dan aromanya semakin lama
tercium tajam. Selama proses pematangan, warna hijau pada buah berkurang, hal ini
disebabkan terjadi degradasi klorofil yang dapat disebabkan oleh penurunan pH, oksidasi dan
aktivitas enzim klorofilase. Selain terjadi perubahan warna juga terjadi perubahan aroma,
dimana pada saat pematangan, zat aroma bersifat volatil mulai terbentuk. Sebagian besar
senyawa volatil yang terbentuk adalah etilen. Pada umumnya senyawa volatil pada pisang
lebih aromatis. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Wills et al., (1981);
Heatherbell et al., (1982) dalam Elisa Julianti (2011) bahwa perombakan bahan-bahan
organik kompleks yang terjadi selama proses respirasi akan menghasilkan gula-gula
sederhana dan asam-asam organik yang akan mempengaruhi aroma dari buah (Wills et al.,
1981; Heatherbell et al., 1982 dalam Elisa Julianti, 2011).

Semakin tinggi tingkat kematangan buah maka kadar air, total padatan terlarut, nilai warna
serta kesukaan terhadap aroma dan tekstur buah akan semakin meningkat, tetapi kandungan
vitamin C, total asam dan nilai kekerasan akan semakin menurun (Elisa Julianti, 2011)
Kerusakan vitamin C berhubungan dengan aktivitas enzim ascorbic acid oxidase yang
terdapat dalam jumlah lebih tinggi pada buah yang masak (Chempakam, 1983 dalam Elisa
Julianti, 2011).

Penurunan kandungan asam dapat terjadi karena terjadinya konversi asam membentuk gula
setelah buah lewat matang (Wills et al., 1981 dalam Elisa Julianti, 2011). Peningkatan
kandungan padatan terlarut disebabkan oleh perubahan polisakarida (pati, pektin dan
hemiselulsoa) menjadi gula terlarut sederhana (Wills et al., 1981 dalam Elisa Julianti, 2011).

Dan berdasarkan hasil pengamatan diatas pula diketahui bahwa pada rambutan, pisang dan
tomat seecara umum semakin lama penyimpanan, bobotnya semakin berkurang. Susut bobot
selama penyimpanan disebabkan oleh proses transpirasi dan respirasi yang menyebabkan
terjadinya kehilangan air (Wills et al., 1981 dalam Elisa Julianti, 2011). Buah yang mentah
memiliki susut bobot yang lebih rendah daripada buah yang masak.
DAFTAR PUSTAKA

Hasbullah, Rohani. 2008. Teknik Pengukuran Laju Respirasi Produk Hortikultura pada
Kondisi Atmosfer Terkendali. Jurnal Keteknikan Pertanian Vol. 22, No. 1, April 2008.

Julianti, Elisa. 2011. Pengaruh Tingkat Kematangan dan Suhu Penyimpanan terhadap Mutu
Buah Terong Belanda (Cyphomandra betacea). J.Hort, Indonesia 2(1):14-20. April 2011.

Paramita, Octavianti. 2010. Pengaruh Memar terhadap Perubahan Pola Respirasi, Produksi
Etilen dan Jaringan Buah Mangga (Mangifera Indica L) Var Gedong Gincu pada Berbagai
Suhu Penyimpanan. Jurnal Kompetensi Teknik Vol.2, No.1, November 2010.

Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan Dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Yassin, Tito dkk. 2013. Pengaruh Komposisi Gas terhadap Laju Respirasi Pisang Janten
pada Penyimpanan Atmosfer Termodifikasi. Jurnal Teknik Pertanian Lampung-Vol 2,
No.3:147-160.

Pada proses pematangan buah dikenall istilah buah klimaterik dan buah non klimaterik.
Klimaterik merupakan fase peralihan dari proses pertumbuhan menjadi layu, meningkatnya
respirasi tergantung pada jumlah etilen yang dihasilkan serta meningkatnya sintesis protein
dan RNA. Klimaterik adalah suatu periode mendadak yang unik bagi buah tertentu dimana
selama proses itu terjadi pembuatan etilen disertai dengan dimulainya proses pematangan
buah, buah menunjukkan peningkatan CO2 yang mendadak selama pematangan buah,
sehingga disebut buah klimaterik. Bila pola respirasi berbeda karena setelah CO2 dihasilkan
tidak meningkat tetapi turun secara perlahan, buah tersebut digolongkan non klimaterik
(Heddy 1989).

Berdasarkan sifat klimakteriknya, proses klimakterik dalam buah dapat dibagi dalam 3 tahap
yaitu klimakterik menaik, puncak klimakterik dan klimakterik menurun. Buah-buah yang
mengalami proses klimakterik diantaranya yaitu tomat, alpokat, mangga, pepaya, peach dan
pear karena buah-buahan tersebut menunjukkan adanya peningkatan CO2 yang mendadak
selama pematangan buah. Buah-buah yang mengalami pola berbeda dengan pola diatas
diantaranya yaitu ketimun, anggur, limau, semangka, jeruk, nenas dan arbei (Kusumo 1990).

Heddy S. 1989. Hormon Tumbuhan. Jakarta : CV Rajawali.

Kusumo S. 1990. Zat Pengatur Tumbuhan Tanaman. Jakarta : Yasaguna.

Anda mungkin juga menyukai