Anda di halaman 1dari 26

Nilai :

LAPORAN PRAKTIKUM
KARAKTERISTIK BAHAN HASIL PERTANIAN
(Karakteristik Fisik : Pengukuran Respirasi pada Bahan Hasil Pertanian)

Oleh:
Nama : Jonathan Maynard Keyness
NPM : 240110180059
Hari, Tanggal Praktikum : Jumat, 11 Oktober 2019
Waktu / Shift : 15.30 – 17.00 WIB / B1
Asisten Praktikum : 1. A. Zahra Nursyifa
2. Maya Irmayanti
3. Nunung Nurhaijah Hudairiah
4. Zhaqqu Ilham Alhafidz

LABORATORIUM PASCA PANEN DAN TEKNOLOGI PROSES


DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara agraris yang kaya buah-buahan dan sayuran.
Indonesia bahkan merupakan salah satu produsen buah terbesar didunia. Sayuran
dan buah-buahan merupakan produk holtikultura dan tergolong kedalam bahan
makanan yang sangat mudah rusak. Hal ini disebabkan karena sayur dan buah
memiliki kadar air yang tinggi, proses respirasi yang terus berlangsung pada pasca
panen, dan adanya aktivitas enzim-enzim dan hormon yang mengkatalis terjadinya
kerusakan pada bahan.
Faktor terpenting yang dapat menghambat pada bahan nabati seperti buah-
buahan dan sayuran adalah respirasi, produksi etilen,transpirasi dan faktor lain yang
juga penting untuk diperhatikan adalah menghindari komuditi terhadap suhu atau
cahaya berlebihan dan kerusakan patologis atau kerusakan fisik. Pada umumnya
semua produk hortikultura setelah dipanen masih melakukan proses respirasi.
Adanya respirasi menyebabkan produk tersebut mengalami perubahan seperti
pelayuan dan pembusukan.
Laju respirasi merupakan petunjuk yang baik untuk mengetahui daya
simpan buah dan sayuran sesudah dipanen. Intensitas respirasi dianggap sebagai
ukuran laju jalannya metabolisme, dan oleh karena itu respirasi sering dianggap
sebagai petunjuk mengenai potensi daya simpan buah dan sayuran. Laju respirasi
yang tinggi biasanya disertai oleh umur simpan yang pendek. Untuk menentukan
umur penyimpanan produk segar salahsatu upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan cara mengukur laju respirasi suatu produk segar tersebut. Oleh karena itu,
dilakukan praktikum pengukuran laju respirasi bahan hasil pertanian.

1.2 Tujuan Percobaan


Tujuan praktikum kali ini adalah
1. Mempelajari pengukuran laju respirasi pada bahan hasil pertanian dan
2. Menganalisa dan menerapkan pengukuran laju respirasi terkait dengan
proses pemeraman dan penyimpanan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Respirasi Bahan Hasil Pertanian


Respirasi adalah suatu proses biologis, yaitu oksigen diserap untuk
digunakan pada proses pembakaran (oksidatif) yang menghasilkan energi diikuti
oleh pengeluaran sisa pembakaran berupa gas karbondioksida dan air. Substrat yang
paling banyak diperlukan tanaman untuk proses respirasi dalam jaringan tanaman
adalah karbohidrat dan asam-asam organik bila dibandingkan dengan lemak dan
protein. Laju respirasi pada umumnya digunakan sebagai indikator laju
metabolisme pada komoditi pertanian. Laju respirasi produk hortikultura suhu dan
kelembaban juga dipengaruhi oleh komposisi gas terutama O2 dan CO2 di
sekitar produk (Benyamin, 2002).
Respirasi setelah panen merupakan karbohidrat tersimpan yang dihasilkan
oleh proses fotosintesis tidak lagi dihasilkan (pada kebanyakan produk) setelah
panen. Maka penggunaan karbohidrat ini setelah panen akan menurunkan nilai
produk sebagai sumber karbohidrat dan beberapa perubahan mutu akan terjadi.
Oksigen (O2) dibutuhkan untuk proses respirasi. Suplai O2 harus dijaga untuk tetap
terjadi ke dalam sel produk jika diinginkan produk tersebut masih tetap hidup.
Karbondioksida (CO2) dihasilkan. Gas ini harus dilepaskan, biasanya dengan
pengaturan ventilasi yang baik. Air (H2O) dihasilkan. Air ini berpengaruh terhadap
komposisi dan tekstur dari produk. (Story and Simons, 1989).
Tabel 1. Pengelompokan komoditi hortikultura berdasarkan laju respirasi
Kelompok Laju Respirasi pada Komoditi
5° C (mg/CO2/kg/jam)
Sangat rendah <5 Sayuran, kacang-kacangan, buah kering
Rendah 5-10 Apel, jeruk, anggur, bawang, kentang
Sedang 10-20 Pisang, kubis, wortel, selada, cabe, tomat
Tinggi 20-40 Stroberi, kol kembang, apokat
Sangat tinggi 40-60 Bawang, bunga potong
Sangat-sangat tinggi >60 Asparagus, brokoli, bayam, jagung manis
(Sumber : Phan dkk, 1975)
Atas dasar laju dan pola respirasi dan pola produksi etilen selama
pematangan dan pemasakan, komoditi hortikultura (terutama yang berbentuk buah)
dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu buah klimaterik dan non-
klimaterik. Klimaterik menunjukkan peningkatan yang besar dalam laju produksi
karbondioksida (CO2) dan etilen (C2H4) bersamaan dengan terjadinya pemasakan.
Sedangkan non-klimaterik tidak menunjukkan perubahan, umumnya laju produksi
karbondioksida dan etilen selama pemasakan sangat rendah (Story and Simons,
1989).

2.2 Laju Respirasi


Laju respirasi merupakan indeks yang baik untuk menentukan
umursimpan buah-buahan setelah dipanen. Intensitas respirasi merupakan
ukurankecepatan metabolisme dan seringkali digunakan sebagai indikasi umur
simpan buah-buahan. Penyimpanan pada suhu dingin merupakan cara yang paling
efektif dan bermanfaat untuk memperlambat perkembangan pembusukan
pascapanen pada buah-buahan dan sayur-sayuran. Tiap-tiap buah dan sayuran
memiliki suhu optimum penyimpanan untuk menghambat penuaan dan
pematangan proses- proses fisiologis (Zulkarnaen, 2009).
Produk dengan laju respirasi tinggi cenderung cepat mengalami
kerusakan. Percepatan respirasi ini juga dipengaruhi oleh keberadaan etilen.
Etilen adalah senyawa organik sederhana yang berfungsi sebagai hormon
pertumbuhan, perkembangan dan kelayuan. Oleh sebab itu keberadaan etilen
perlu ditekan padasaat produk telah mengalami kematangan agar daya simpan
produk lebih lama.Selain etilen yang mempengaruhi laju respirasi buah-buahan
adalah polarespirasinya (Winarno dan Aman, 1979).
Berdasarkan laju respirasinya buah dibedakan menjadi dua yaitu buah
klimaterik (laju meningkat dengan tajam selama periode pematangan dan pada
awal senescene) dan non klimaterik (tidak ada perubahan laju respirasi pada akhir
pematangan buah). Contoh buah klimaterik adalah apokat, pepaya, apel,
pisangdan lain-lain. Buah-buahan dikelompokkan berdasarkan laju pernapasan
merekasaat pertumbuhan sampai fase senescene (Zulkarnaen, 2009).
Laju respirasi menentukan potensi pasar dan masa simpan yang
berkaitanerat dengan: kehilangan air, kehilangan kenampakan yang baik,
kehilangan nilainutrisi dan berkurangnya nilai cita rasa. Masa simpan produk
segar dapatdiperpanjang dengan menempatkannya dalam lingkunngan yang dapat
memperlambat laju respirasi dan transpirasi melalui penurunan suhu produk,
mengurangiketersediaan oksigen (O2) atau meningkatkan konsentrasi CO2, dan
menjagakelembaban nisbi yang mencukupi dari udara sekitar produk tersebut
(Utama,2013).
Semakin tinggi laju respirasi, semakin cepat pula perombakan-
perombakan tersebut yang mengarah pada kemunduran dari produk tersebut.
Airyang dihasilkan ditranspirasikan dan jika tidak dikendalikan produk akan
cepatmenjadi layu. Laju respirasi sering digunakan sebagai indeks yang baik
untukmenentukan masa simpan pascapanen produk segar. Berbagai produk
mempunyailaju respirasi berbeda, umumnya tergantung pada struktur morfologi
dan tingkat perkembangan jaringan bagian tanaman tersebut (Utama,2013).
Perbandingan antara respirasi dan fotosintesis dapat dilihat dari beberapa
perbedaan. Respirasi terjadi pada seluruh sel yang hidup, bahan baku utamaadalah
glukosa dan oksigen, berlangsung setiap waktu (baik siang dan malam),
merupakan proses pelepasan/penggunaan energi, menghasilkan karbondioksida
dan air. Sedangkan fotosintesis terjadi hanya pada organisme yang memiliki
klorofil yang berisi sel-sel, bahan baku utama adalah karbondioksida dan air,
berlangsung hanya jika tersedia cahaya matahari, merupakan proses
menghasilkanenergi, menghasilkan glukosa dan juga oksigen (Phan. L, 1993).

2.3 Faktor Laju Respirasi


Penyimpanan komoditi panenan hortikultura dapat berjalan baik sesuai
dengan yang diharapkan yaitu dapat memperpanjang masa kesegaran komoditi
bersangkutan, maka dalam penyimpanan diperlukan adalah pengetahuan terhadap
beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyimpanan tersebut. Faktor-
faktor yang mempengaruhi terbagi dua, yaitu (Pantastico,1986) :
a. Faktor internal
Semakin tinggi tingkat perkembangan organisme, maka akan semakin
banyak jumlah CO2 yang dihasilkan. Susunan kimiawi jaringan mempengaruhi
laju respirasi, pada buah-buahan yang banyak mengandung karbohidrat, maka laju
respirasi akan semakin cepat. Produk yang lebih kecil ukurannya mengalami laju
respirasi lebih cepat daripada buah yang besar, karena mempunyai permukaan
yang lebih luas yang bersentuhan dengan udara sehingga lebih banyak O2 berdifusi
ke dalam jaringan. Pada produk-produk yang memiliki lapisan kulit yang tebal,
laju respirasinya rendah, dan pada jaringan muda proses metabolisme akan lebih
aktif dari pada jaringan lebih tua.
b. Faktor eksternal
Umumnya laju respirasi meningkat 2-2,5 kali tiap kenaikan 10°C. Pemberian
etilen pada tingkat pra-klimaterik akan meningkatkan respirasi buah klimaterik.
Kandungan oksigen pada ruang penyimpanan perlu diperhatikan karena semakin
tinggi kadar oksigen, maka laju respirasi akan semakin cepat. Konsentrasi CO2
yang sesuai dapat memperpanjang umur simpan buah-buahan dan sayuran karena
terjadi gangguan pada respirasinya. Kerusakan atau luka pada produk juga
sebaiknya dihindari karena dapat memicu terjadinya respirasi sehingga umur
simpan produk semakin pendek.

2.4 Komoditi Bahan Hasil Pertanian


Buah-buahan dapat dikelompokkan berdasarkan laju pernapasan mereka di
saat pertumbuhan sampai fase senescene menjadi kelompok buah-buahan
klimakterik dan kelompok buah-buahan non klimakterik. Buah klimakterik adalah
buah yang mengalami lonjakan respirasi dan produksi etilen setelah dipanen. Buah
non klimakterik adalah buah yang tidak mengalami lonjakan respirasi maupun
etilen setelah dipanen. Pada buah klimaterik terjadi kenaikan respirasi dan kenaikan
kadar etilen selama proses pematangan, sedangkan pada buah non klimaterik,
proses pematangan tidak berkaitan dengan kenaikan respirasi dan kenaikan kadar
etilen. Perbedaan antara buah klimaterik dan non klimaterik yaitu adanya perlakuan
etilen terhadap buah klimaterik yang akan menstimulir baik pada proses respirasi
maupun pembentukan etilen, sedangkan pada buah nonklimaterik hanya terdapat
perlakuan yang akan menstimulir proses respirasi saja. Aplikasi C2H2 (Etilen)
berpengaruh pada buah-buahan klimakterik, makin besar konsentrasi C2H2 sampai
tingkat kritis makin cepat stimulasi respirasinya. Etilen tersebut bekerja paling
efektif pada waktu tahap klimakerik, sedangkan penggunaan C2H2 pada tahap post
klimakerik tidak merubah laju respirasi. Pada buah-buahan non klimakterik respon
terhadap penambahan etilen baik pada buah pra panen maupun pasca panen rendah,
karena produksi etilen pada buah non klimakterik hanya sedikit.
Berikut pengelompokan buah-buahan klimakterik dan non klimakterik.

Gambar 1. Buah-buahan klimakterik dan non klimakterik


(Sumber: Nurjanah, 2002)

Bahan hasil pertanian juga dapat dikelompokan sebagai dormant dan actively
growing berdasarkan laju respirasinya. Dormant atau tidak aktif mempunyai pola
yang spesifik pada produksi CO2 dan C2H4. Tingkat perkembangan dan tipe
produknya merupakan dua faktor yang dapat mempengaruhi laju dari pola respirasi
serta produksi etilen. Pola produksi etilen dan karbondioksida tidak hanya
tergantung pada jenis produk dan tingkat perkembangan buah/sayuran, tetapi juga
ditentukan oleh struktur tumbuhan seperti akar, batang, bunga cabang dan daun
dimana mereka berasal. Kecambah, sayuran yang berasal dari perpanjangan
batangnya, membuat sayuran ini selalu aktif tumbuh sesudah dipanen, sehingga
menyebabkan tingginya laju respirasi. Keadaan tersebutlah yang disebut actively
growing (Nurjanah, 2002).
2.5 Dormansi
Dormansi diklasifikasikan menjadi bermacam-macam kategori
berdasarkan faktor penyebab, mekanisme dan bentuknya. Berdasarkan faktor
penyebab, dormansi terbagi atas dua adalah (Baskin, 2001):
1. Imposed dormancy (quiscence), yaitu dormansi yang terjadi akibat
terhalangnya pertumbuhan aktif karena keadaan lingkungan yang tidak
menguntungkan.
2. Innate dormancy (rest), yaitu dormansi yang disebabkan oleh keadaan atau
kondisi di dalam organ-organ benih itu sendiri.
Berdasarkan mekanisme di dalam benih, dormansi terdiri atas (Baskin,
2001) :
1. Mekanisme fisik, merupakan dormansi yang mekanisme penghambatannya
disebabkan oleh organ benih itu sendiri. Dormansi kategori ini terbagi
menjadi mekanis, fisik dan kimia. Hambatan mekanis yaitu embrio tidak
berkembang karena dibatasi secara fisik. Hambatan fisik yaitu
terganggunya penyerapan air karena kulit benih yang impermeabel.
Hambatan kimia yaitu bagian benih/buah mengandung zat kimia
penghambat.
2. Mekanisme fisiologis, merupakan dormansi yang disebabkan oleh
terjadinya hambatan dalam proses fisiologis, terbagi menjadi
photodormancy, immature embryo, dan thermodormancy. Photodormancy
terjadi di mana proses fisiologis dalam benih terhambat oleh keberadaan
cahaya. Immature embryo yaitu proses fisiologis dalam benih terhambat
oleh kondisi embrio yang tidak/belum matang. Sedangkan
thermodormancy yaitu proses fisiologis dalam benih terhambat oleh suhu.
Beberapa jenis benih tidak dapat berkecambah karena adanya hambatan
dari kulit benih yang impermeabel terhadap air dan gas, kulit benih yang tebal dan
keras. Sebagian jenis benih yang lain tidak mampu berkecambah ketika baru
dipanen dan baru dapat berkecambah setelah melampaui periode penyimpanan
kering (Baskin, 2001).
2.6 Titrasi Asam Basa
Titrasi adalah suatu metode penentuan kadar (konsentrasi) suatu larutan
dengan larutan lain yang telah diketahui konsentrasinya. Larutan yang akan
ditentukan kadarnya disebut sebagai analit dan biasanya diletakkan didalam
erlenmeyer, sedangkan larutan yang telah diketahui konsentrasinya disebut sebagai
larutan sintesis atau titran dan diletakkan didalam buret. Asidimetri dan alkalimetri
adalah termasuk reaksi netralisasi yakni reaksi antara ion hidrogen yang berasal
dari asam dengan ion hidroksida yang berasal dari basa untuk menghasilkan air
yang bersifat netral. Netralisasi dapat juga dikatakan sebagai reaksi antara pemberi
proton (asam) dengan penerima proton (basa) (Ibnu, 2008).
Untuk dapat dilakukan analisis volumetrik harus dipenuhi syarat- syarat
sebagai berikut (Ibnu, 2008):
1. Reaksinya harus berlangsung sangat cepat. Kebanyakan reaksi ion
memenuhi syarat ini;
2. Reaksinya harus sederhana serta dapat dinyatakan dengan persamaan
reaksi. Bahan yang diselidiki bereaksi sempurna dengan senyawa baku
dengan perbandingan kesetaraan stoikiometris;
3. Harus ada perubahan yang terlihat pada saat titik ekivalen tercapai, baik
secara kimia atau fisika; dan
4. Harus ada indikator jika syarat 3 tidak dipenuhi. Indikator juga dapat
diamati dengan pengukuran daya hantar listrik (titrasi potensiometri/
konduktometri).

2.7 Jenis-jenis Titrasi Asam Basa


2.7.1 Titrasi Asam Kuat–Basa Kuat
Pada proses titrasi asam kuat dengan basa kuat dan sebaliknya, kedua
larutan dapat terionisasi dengan sempurna, hal ini dikarenakan larutan asam kuat
dan basa kuat termasuk kedalam larutan elektrolit kuat yang dapat terionisasi
secara sempurna didalam air. Penambahan basa kuat ke dalam asam kuat (atau
sebaliknya) adalah jenis titrasi yang paling sederhana. Reaksi kimianya adalah
netralisasi (David dkk, 2001):
H3O+ (aq) + OH- (aq) 2 H2 O
Asam dan basa kuat terurai sempurna dalam larutan berair, oleh karena itu,
pH pada berbagai titik selama titrasi dapat dihitung langsung dari jumlah
stoikiometri asam dan basa yang dibiarkan bereaksi.Pada titik ekivalen, pH
ditentukan oleh tingkat terurainya air. Pada 25°C pH air murni adalah 7,00 (David
dkk, 2001).
2.7.2 Titrasi Asam Lemah dengan Basa Kuat
Pada proses titrasi asam lemah dengan basa kuat dan sebaliknya, salah satu
larutan (asam lemah) tidak dapat terionisasi dengan sempurna. Hal ini dikarenakan
asam lemah tergolong kedalam larutan elektrolit lemah. Sehingga garam yang
dihasilkan dalam reaksi memiliki sifat basa. Oleh karena itu, pada proses titrasi
asam lemah dengan basa kuat titik ekivalennya terjadi ketika pH campuran lebih
dari 7. Titrasi asam lemah dengan basa kuat akan mempunyai kurva dan titik
ekivalen yang berbeda dari asam kuat dengan basa kuat (David dkk, 2001).
Contoh dari titrasi asam lemah dengan basa kuat :
Asam lemah : CH3COOH ,
Basa kuat : NaOH
Persamaan Reaksi : CH3COOH(aq)+ NaOH(aq) → NaCH3COO(aq)+H2O(l)
2.7.3 Titrasi Basa Lemah dengan Asam Kuat
Proses titrasi basa lemah dan asam kuat terjadi hampir sama dengan proses
titrasi asam lemah dengan basa kuat. Hal ini dikarenakan salah satu dari larutan
adalah larutan elektrolit lemah yang tidak mampu terionisasi secara sempurna.
Karena dalam reaksi ini larutan basa yang tidak dapat bereaksi secara sempurna,
garam hasil reaksi ini menjadi memiliki sifat asam. Oleh karena itu, pada proses
titrasi basa lemah dengan asam kuat titik ekivalennya terjadi ketika pH campuran
kurang dari 7 (David dkk, 2001).
Contoh dari titrasi basa lemah dengan asam kuat :
Asam kuat : HCl
Basa lemah :NH3
Persamaan Reaksi :HCl(aq)+ NH3(aq) → NH4Cl(aq)
2.7.4 Titrasi Basa Lemah dengan Asam Lemah
Kasus dimana asam dan basa keduanya sebanding lemahnya, sebagai
contoh, asam etanoat dan larutan amonia. Pada kasus yang lain, titik ekivalen akan
terletak pada pH yang lain. Contoh dari titrasi basa lemah dengan asam lemah
adalah CH3COOH(aq) + NH3(aq) CH3COONH4(aq) (David dkk, 2001).

2.8 Indikator Asam Basa


Titik ekivalen ialah titik pada saat jumlah mol ion OH- yang ditambahkan
kelarutan sama dengan jumlah mol ion H+ yang semula ada. Jadi untuk menentukan
titik ekivalen dalam suatu titrasi, kita harus mengetahui dengan tepat berapa volume
basa yang ditambahkan dari buret ke asam dalam erlenmeyer. Salah satu cara untuk
mencapai tujuan ini ialah dengan menambahkan beberapa tetes indikator asam-basa
ke larutan asam saat awal titrasi (Raymond, 2003).
Indikator adalah zat warna larut yang perubahan warnanya tampak jelas
dalam rentang pH yang sempit. Indikator titrasi asam basa merupakan suatu zat
yang digunakan sebagai penanda terjadinya titik ekivalen pada analisis volumetrik
khususnya metode titrasi asam basa. Suatu zat dapat digunakan sebagai indikator
titrasi asam basa jika dapat merubah warna suatu larutan seiring dengan terjadinya
perubahan konsentrasi ion hidrogen atau perubahan pH. Biasanya indikator titrasi
asam basa merupakan suatu senyawa organik yang bersifat sebagai asam lemah dan
dapat mendonorkan ion hidrogen untuk molekul air membentuk basa konjugasi.
Kondisi inilah yang dapat memberikan warna karakteristik pada setiap penggunaan
indikator titrasi asam basa (Raymond, 2003).
Tabel 2. Beberapa Indikator Asam Basa
Indikator Warna Range Ph
Dalam Asam Dalam Basa
Thymol blue Merah Kuning 1.2-2.8
Bromphenol blue Kuning Ungu 3.0-4.6
Methyl orange Orange Kuning 3.1-4.4
Methyl red Merah Kuning 4.2-6.3
Chlorophenol blue Kuning Merah 4.8-6.4
Bromthymol blue Kuning Biru 6.0-7.6
Phenolftalein Tidak berwara Pink 8.3-10.00
BAB III
METODOLOGI PENGAMATAN DAN PENGUKURAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
Alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah:
1. Botol kaca ukuran 100 ml;
2. Pipet volume 50 ml;
3. Pipet tetes;
4. Pompa aerator;
5. Selang aquarium; dan
6. Toples kapasitas 2 liter.
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah
1. Aquades;
2. Indikator phenolfetalein (pp) 1%;
3. Jeruk;
4. Kentang;
5. Larutan Ca(OH)2 jenuh;
6. Larutan NaOH 0,01 N;
7. Larutan HCl 0,05 N;
8. Larutan NaOH 0,05 N;
9. Pisang; dan
10. Toge.

3.2 Prosedur Praktikum


Prosedur pada praktikum kali ini adalah:
1. Membersihkan bahan kemudian ditimbang sesuai dengan massa yang
diinginkan, kemudian masukkan ke dalam toples gelas (2L) yang dilengkapi
dengan tutup yang dilubangi sebanyak dua lubang berisi selang karet untuk
pemasukan dan pengeluaran udara. Toples ditutup rapat dan selang karet
ditutup menggunakan penjepit;
2. Menempatkan masing-masing toples pada ruangan selama 24 jam x 5 hari;
3. Menyiapkan empat buah erlenmeyer bersih, satu buah erlenmeyer diisi
dengan larutan Ca(OH)2 jenuh sebanyak 100 ml dan tiga erlenmeyer lainnya
diisi dengan larutan NaOH 0,05 N masing-masing sebanyak 50 ml,
kemudian ditutup dengan plastisin yang dilengkapi dengan dua lubang
berisi selang karet untuk pemasukan dan pengeluaran udara;
4. Setelah satu jam, mengambil toples dari ruang penyimpanan, selang udara
pada tutupnya dihubungkan dengan selang pada tutup erlenmeyer.
Mengalirkan udara melalui pompa udara dengan kecepatan alir 1 L/menit
selama 4 menit, kemudian selang udara pada toples ditutup kembali dengan
penjepit;
5. Sebelum udara melewati buah terlebih dahulu dilewatkan dalam larutan
Ca(OH)2 jenuh pada erlemeyer A untuk mengikat CO2 sisa yang mungkin
masih ada. Udara yang keluar dari erlemeyer A dianggap telah bebas dari
CO2 dan kemudian dilewatkan ke dalam toples berisi contoh buah. Udara
yang keluar dari toples ditampung dalam erlemeyer B yang berisi 50 ml
NaOH 0,05 N yang berfungsi untuk mengikat gas CO2 yang diproduksi oleh
buah sebagai hasil respirasi;
6. Melarutkan NaOH 0,05 N yang sudah mengikat CO2, kemudia diambil 10
mL dan ditambahkan indikator fenoftalin 0.1 % sebanyak 3 tetes, kemudian
dititrasi dengan HCl 0,05 N sampai warna merah hilang;
7. Untuk mengkoreksi dilakukan dengan cara yang sama seperti diatas, tetapi
toples tidak diisi contoh buah (blanko);
8. Menghitung laju respirasi dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
1
(𝑉 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜−𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖) 𝑥 𝑁 (𝐻𝐶𝐿)𝑥𝐵𝑀𝐶𝑂2
2
Laju Respirasi = ....………………..(1);
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 (𝑘𝑔) 𝑥 24(𝑗𝑎𝑚)

9. Membandingkan laju respirasi buah yang sama pada suhu penyimpanan


yang berbeda, kemudian menghitung nilai temperature quotient-nya (Q10);
dan
10. Membandingkan pula dengan data dari kelompok lain yang melakukan
pengujian terhadap jenis buah yang berbeda (klimaterik atau non
klimakterik).
BAB IV
HASIL PERCOBAAN

4.1 Tabel Hasil Pengukuran


Tabel 3. Hasil pengukuran NaOH (botol 3 dan botol 4) yang terpakai selama
titrasi shift A1
Volume NaOH yang terpakai
Hari ke-
Botol Ketiga (ml) Botol Keempat (ml)
1 41 43
2 44 30
3 12 10
4 13,4 13
5 22 18

Tabel 4. Hasil pengukuran NaOH (botol 3 dan botol 4) yang terpakai selama
titrasi shift A2
Volume NaOH yang terpakai
Hari ke-
Botol Keempat (ml) Botol Keempat (ml)
1 50 48
2 40,9 40,4
3 52 40
4 54,5 50
5 52 42,2
Tabel 5. Hasil pengukuran NaOH (botol 3 dan botol 4) yang terpakai selama
titrasi shift B1
Volume NaOH yang terpakai
Hari ke-
Botol Ketiga (ml) Botol Keempat (ml)
1 50 50
2 49,5 37
3 6,2 34,5
4 41,5 35
5 29,4 25

Tabel 6. Hasil pengukuran NaOH (botol 3 dan botol 4) yang terpakai selama
titrasi shift B2
Volume NaOH yang terpakai
Hari ke-
Botol Ketiga (ml) Botol Keempat (ml)
1 49 52
2 18 9
3 40,5 21
4 44,5 39
5 29 19

Tabel 7. Hasil Pengukuran Laju Respirasi Bahan


𝒎𝒈 𝑪𝑶𝟐
Laju Respirasi 𝒌𝒈.𝒋𝒂𝒎
Hari ke-
Pisang Kentang Toge Jeruk
1 1,14 70,835 1,2725 0,435
2 0,945 22,5 3,69 3,86
3 1,515 64,58 15,337 7,268
4 3,32 62,125 6,235 0,5363
5 1,14 48,335 11,86 2,8875
4.2 Perhitungan
4.2.1 Perhitungan Hari Ke-1
Laju Respirasi
1
(53−50) 𝑥 0,05 𝑥 44
botol 3 = 20,09 (𝑘𝑔) 𝑥 24(𝑗𝑎𝑚) = 1,527
1
(48−50) 𝑥 0,05 𝑥 44
botol 4 = 20,09 (𝑘𝑔) 𝑥 24(𝑗𝑎𝑚) = 1,018
1,527+1,018 𝑚𝑔 𝐶𝑂2
laju respirasi = = 1,2725
2 𝑘𝑔.𝑗𝑎𝑚

4.2.2 Perhitungan Hari Ke-2


Laju Respirasi
1
(53−49,5) 𝑥 0,05 𝑥 44
2
botol 3 = = 1,78
0,09 (𝑘𝑔) 𝑥 24(𝑗𝑎𝑚)
1
(48−37) 𝑥 0,05 𝑥 44
2
botol 4 = = 5,6
0,09 (𝑘𝑔) 𝑥 24(𝑗𝑎𝑚)
1,78+5,06 𝑚𝑔 𝐶𝑂2
laju respirasi = = 3,69 𝑘𝑔.𝑗𝑎𝑚
2

4.2.3 Perhitungan Hari Ke-3


Laju Respirasi
1
(53−6,2) 𝑥 0,05 𝑥 44
botol 3 = 20,09 (𝑘𝑔) 𝑥 24(𝑗𝑎𝑚) = 23,8
1
(48−34,5) 𝑥 0,05 𝑥 44
botol 4 = 20,09 (𝑘𝑔) 𝑥 24(𝑗𝑎𝑚) = 6,875
23,8+6,875 𝑚𝑔 𝐶𝑂2
laju respirasi = = 15,337
2 𝑘𝑔.𝑗𝑎𝑚

4.2.4 Perhitungan Hari Ke-4


Laju Respirasi
1
(53−41,5) 𝑥 0,05 𝑥 44
botol 3 = 2 0,09 (𝑘𝑔) 𝑥 24(𝑗𝑎𝑚) = 5,85
1
(48−35) 𝑥 0,05 𝑥 44
2
botol 4 = = 6,62
0,09 (𝑘𝑔) 𝑥 24(𝑗𝑎𝑚)
5,85+6,62 𝑚𝑔 𝐶𝑂2
laju respirasi = = 6,235
2 𝑘𝑔.𝑗𝑎𝑚
4.2.5 Perhitungan Hari Ke-5
Laju Respirasi
1
(53−29,4) 𝑥 0,05 𝑥 44
botol 3 = 2 0,09 (𝑘𝑔) 𝑥 24(𝑗𝑎𝑚) = 12,01
1
(48−25) 𝑥 0,05 𝑥 44
botol 4 = 20,09 (𝑘𝑔) 𝑥 24(𝑗𝑎𝑚) = 11,71
12,01+11,71 𝑚𝑔 𝐶𝑂2
laju respirasi = = 11,86 𝑘𝑔.𝑗𝑎𝑚
2

4.3 Grafik Laju Respirasi

Laju Respirasi Kentang


120

100

80

60

40

20

0
hari ke-1 hari ke-2 hari ke-3 hari ke-4 hari ke-5

Gambar 1. Grafik laju respirasi kentang pada botol 3

Laju Respirasi Kentang


70
60
50
40
30
20
10
0
hari ke-1 hari ke-2 hari ke-3 hari ke-4 hari ke-5

Gambar 2. Grafik laju respirasi kentang pada botol 4


Laju Respirasi Pisang
120
100
80
60
40
20
0
hari ke-1 hari ke-2 hari ke-3 hari ke-4

Gambar 3. Grafik laju respirasi pisang pada botol 3

Laju Respirasi Pisang


80

60

40

20

0
hari ke-1 hari ke-2 hari ke-3 hari ke-4
-20

-40

Gambar 4. Grafik laju respirasi pisang pada botol 4

Laju Respirasi Jeruk


100

80

60

40

20

0
hari ke-1 hari ke-2 hari ke-3 hari ke-4 hari ke-5

Gambar 5. Grafik laju respirasi jeruk pada botol 3


Laju Respirasi
120
100
80
60
40
20
0
hari ke-1 hari ke-2 hari ke-3 hari ke-4 hari ke-5
-20

Gambar 5. Grafik laju respirasi jeruk pada botol 4

Laju Respirasi Tauge


700
600
500
400
300
200
100
0
hari ke-1 hari ke-2 hari ke-3 hari ke-4 hari ke-5

Gambar 6. Grafik laju respirasi tauge pada botol 3

Laju Respirasi Tauge


300
250
200
150
100
50
0
-50 hari ke-1 hari ke-2 hari ke-3 hari ke-4 hari ke-5

Gambar 7. Grafik laju respirasi tauge pada botol 4


BAB V
PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini membahas tentang laju respirasi pada bahan hasil
pertanian. Bahan hasil pertanian yang dilakukan pengujian laju respirasinya ada
empat jenis buah yaitu tauge, pisang, jeruk, dan kentang. Bahan hasil pertanian yang
dipakai setiap shift berbeda-beda. Pada shift B1, bahan hasil pertanian yang
digunakan adalah tauge. Phenolfetalein (pp) 1% yang digunakan pada saat
praktikum berguna sebagai indikator asam basa pada saat proses titrasi.
Phenolfetalein (pp) 1% dicampur dengan HCl 0.05 N.
Respirasi bahan hasil pertanian terjadi karena adanya O2 yang diserap oleh
bahan. Selain O2, suhu juga sangat berpengaruh pada saat proses respirasi.
Pengukuran respirasi pada tauge dilakukan selama lima hari yang bahan digunakan
didiamkan di suhu ruangan. Pengukuran menggunakan lima buah wadah yang
dihubungkan dengan selang kecil. Udara di hembuskan kedalam toples
menggunakan pompa aerator yang selalu menyala selama lima hari berturut-turut.
Urutan alat yang digunakan adalah pompa aerator, botol berisi Ca(OH)2, botol berisi
NaOH, toples berisi bahan hasil pertanian, botol NaOH, dan botol yang berisi
NaOH. Udara yang dihembuskan masuk melalui selang yang terhubung antar toples
dan keluar melalui selang yang terdapat pada botol terakhir. Ca(OH)2 yang
digunakan berfungsi untuk menyerap zat-zat atau senyawa lain selain O2. NaOH
yang digunakan pada botol kedua bermanfaat untuk mengikat CO2 yang terdapat
pada udara sehingga udara yang masuk ke toples hanya terkandung O2 sedangkan
NaOH yang terdapat pada botol ketiga dan keempat berfungsi untuk menangkap
CO2 yang berasal dari toples sebelumnya. CO2 yang telah diikat dari toples
digunakan untuk mengukur besarnya laju respirasi per hari yang dilakukan oleh
tauge.
Karbondioksida yang diikat oleh NaOH menunjukan besarnya respirasi
yang dilakukan. Karbondioksida tercampur oleh NaOH sehingga dilakukan proses
titrasi untuk mengetahui besarnya laju respirasi pada tauge. Titrasi dilakukan
selama lima kali dalam lima hari. Pada hari pertama, besarnya volume NaOH pada
botol ketiga dan keempat yang didapatkan setelah titrasi adalah sama yaitu 50 ml.
Hasil yang diperoleh dikonversikan ke persamaan (1) untuk mendapatkan laju
respirasinya. Laju respirasi untuk botol ketiga adalah 1,527 mg CO2/kg.jam dan laju
respirasi untuk botol keempat adalah 1,018 mgCO2/kg.jam. Laju respirasi tersebut
dirata-ratakan untuk mendapatkan besar respirasi pada hari pertama. Besar laju
respirasi pada hari pertama adalah 1,2725 mgCO/kg.jam.
Pada pengukuran volume NaOH hari kedua diperoleh besarnya adalah 49,5
ml untuk botol ketiga dan 37 ml untuk botol keempat. Volume tersebut dimasukkan
kedalam persamaan (1) sehingga diperoleh laju reaksinya adalah 1,78
mgCO2/kg.jam untuk botol ketiga dan 5,6 mgCO2/kg.jam untuk botol keempat.
Laju respirasi rata-rata untuk pengukuran hari kedua adalah 3,69 mgCO2/kg.jam.
Pengukuran selanjutnya dilakukan pada hari ketiga. Volume NaOH yang terpakai
pada hari ketiga untuk botol ketiga dan botol keempat berturut-turut adalah 6,2 ml
dan 34,5 ml. Laju respirasi hari ketiga pada botol ketiga dan botol keempat setelah
dikonversikan ke persamaan (1) adalah 23,8 mgCO2/kg.jam dan 6,875
mgCO2/kg.jam dengan rata-rata laju respirasinya adalah 15,337 mgCO2/kg.jam.
Pengukuran pada hari keempat diporoleh besarnya volume NaOH adalah
41,5 ml untuk botol ketiga dan 35 ml untuk botol keempat. Besarnya laju respirasi
pada botol ketiga adalah 5,85 mgCO2/kg.jam dan besarnya laju reaksi pada botol
keempat adalah 6,62 mgCO2/kg.jam. Laju respirasi rata-rata untuk pengukuran hari
keempat adalah 6,235 mgCO2/kg.jam. Pengukuran terakhir dilakukan pada hari
kelima. Volume NaOH yang diukur adalah 29,4 ml untuk botol ketiga dan 25 ml
untuk botol keempat. Laju reaksi yang diperoleh setelah dikonversikan ke
persamaan (1) adalah 12,01 mgCO2/kg.jam untuk botol ketiga dan 11,71
mgCO2/kg.jam untuk botol keempat. Laju respirasi rerata untuk pengukuran laju
reaksi pada hari kelima adalah 11,86 mgCO2/kg.jam.
Hasil pengukuran yang diperoleh sangat beragam. Laju respirasi sangat
dipengaruhi oleh suhu. Perbedaan hasil laju respirasi yang diperoleh karena adanya
perbedaan suhu ruangan pada tempat penyimpanan toples dan botol. Semakin tinggi
suhu maka respirasi juga akan semakin cepat. Data yang diperoleh dimasukan
kedalam sebuah grafik. Gambar 6 menunjukan bahwa laju reaksi yang terjadi pada
botol ketiga mengalami kenaikan yang signifikan pada hari kedua dan ketiga serta
mengalami penurunan yang signifikan pada hari ketiga dan keempat. Hal ini terjadi
karena beberapa faktor yaitu kurang rapatnya penutupan toples setelah digunakan
pada hari sebelumnya sehingga NaOH tercampur dengan udara dan mengikat CO2
di udara. Faktor selanjutnya adalah kesalahan pembacaan oleh praktikan karena
pengukuran dilakukan oleh praktikan yang berbeda untuk setiap harinya. Grafik
untuk botol keempat diperoleh hasil yang cukup konstan karena sebagian besar
hasil yang diperoleh mengalami kenaikan dan hanya mengalami penurunan sekali
dan selisihnya sangat kecil. Pada literatur yang ada seharusnya hasil laju respirasi
yang diperoleh mengalami kenaikan tanpa mengalami penurunan karena sifat dari
tauge yang actively growth yang artinya laju reaksi tauge terus mengalami
kenaikan.
Pengaplikasian praktikum kali ini ke bidang keteknikan pertanian adalah
kita dapat mengetahui laju respirasi bahan hasil pertanian. Melalui laju respirasi
kita dapat mengetahui cara untuk mempertahankan mutu. Mutu dapat
dipertahankan dengan mengetahui kondisi yang tepat untuk bahan hasil pertanian.
Terdapat beberapa bahan hasil pertanian yang membutuhkan kondisi khusus untuk
mempertahankan mutunya. Semakin bagus mutu dari bahan hasil pertanian maka
akan menaikan ekonomi petani dan mengurangi kerugian atas kerusakan bahan
hasil pertanian akibat pasca panen.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Kesimpulan pada praktikum kali ini adalah
1. Karakteristik fisiologis bahan hasil pertanian memengaruhi respirasi dan
metabolisme bahan hasil pertanian;
2. Komoditi bahan hasil pertanian dapat dibagi menjadi klimaterik, non-
klimakterik,actively growth, dan dormansi;
3. Laju respirasi tauge berdasarkan literatur terus mengalami kenaikan; dan
4. Fungsi HCl adalah sebagai larutan asam agar dapat dijadikan patokan dalam
titrasi.

6.2 Saran
Saran pada praktikum kali ini adalah pratikum dilakukan lebih lama
sehingga praktikan dapat lebih memahami laju respirasi.
DAFTAR PUSTAKA

Baskin CC, Milberg P, Anderson L, Baskin JM, 2001. Seed Dormancy-Breaking


and Germination requirements of Drosera anglica, an Insectivorous Species
of The Northern Hemisphere. Acta Oecologica 22 : 1-8

Benyamin, Lakitan. 2002. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. PT GrafindoPersada:


Jakarta.

David W. Oxtoby, Gillis, dan Norman, H. Nachtrieb. 2001. Prinsip-Prinsip Kimia


Modern (Jilid I). Terjemahan Suminar Setiati Achmdi. Erlangga. Jakarta. hlm.
316.

Ibnu, Gandjar. 2008. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. hlm.
136.

Nurjanah, S. 2002. Kajian Laju Respirasi dan Produksi Etilen sebagai Dasar
Penentuan Waktu Simpan Sayuran dan Buah-Buahan. Fakultas Pertanian,
Universitas Padjadjaran.

Pantastico, E. 1986. Post-harvest Physiology, Handling and Utilization of Tropical


and Subtropical Fruits dan Vegetables. The AVI Publ.Co.Inc. Westport,
Connecticut.

Phan, L. dan D.Muchtadi. 1993. Fisiologi Tanaman. Universitas Gadjah Mada.


Yogyakarta.

Phan, C, Er. B. Pantastico, K. Ogata, and K. Chachin, 1975. Respiration and Peak
of Respiration. In Pantastico, Er. B. (Ed). Postharvest Physiology, Handling,
and Utilization of Tropical and Sub-Tropical Fruits and Vegetables. The Avi
Publishing Company. Inc., Connecticut.

Raymond, Chang. 2003. Kimia Dasar (Vol.II). Erlangga. Jakarta. hlm. 142

Story, A. and Simons, D. 1989. Fresh Produce Manual – Handling and Storage
Practices for Fresh Produce. 2nd Ed. Australian United Fresh Fruit and
Vegetable Association Ltd : Fitzroy, Vic.

Utama, I Made S. dan Nyoman S. Antara. 2013. Pasca Panen Tanaman.

Winarno, F dan M. Aman. 1979. Fisiologi Lepas Panen. Sustra Hudaya. Bogor.

Zulkarnaen. 2009. Kultur Jaringan Tanaman Solusi Perbanyakan Tanaman Budi


Daya. Bumi Aksara: Jakarta.
LAMPIRAN

Dokumentasi Pribadi

Gambar 2. Wadah yang digunakan untuk respirasi

Gambar 3. Pengukuran volume aquades


Gambar 4. NaOH yang digunakan saat praktikum

Gambar 5. Proses pembuatan wadah untuk tauge

Anda mungkin juga menyukai