Pembahasan Kasus BPJS 2014-2016 PDF
Pembahasan Kasus BPJS 2014-2016 PDF
BUNGA RAMPAI
Pembahasan Kasus Pelayanan Kesehatan oleh Dewan Pertimbangan Medik dan Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya
Tahun 2014-2016
Pembahasan Kasus Pelayanan Kesehatan
oleh Dewan Pertimbangan Medik
dan Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya
Kantor Pusat
Website : www.bpjs-kesehatan.go.id
BUNGA RAMPAI
Tahun 2014-2016
Pembahasan Kasus Pelayanan Kesehatan
oleh Dewan Pertimbangan Medik
dan Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya
B Bunga Rampai 2016
DAFTAR ISI
Redaksi Ahli :
1. Prof. dr. H. Muchlis Ramli, Sp.B.K.Onk
2. Prof. Dr. dr. Armen Mochtar, DAF, DCP, Sp.FK (K)
3. Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, DFM, S.H., M.Si, SpF(K)
Kontributor Ahli :
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan enyelenggara Jaminan Sosial (BPJS),
BPJS Kesehatan sebagai Badan Pelaksana merupakan badan hukum publik yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk melaksanakan kendali mutu dan biaya pelayanan kesehatan bagi peserta JKN KIS, salah satu
upaya yang dilakukan BPJS Kesehatan adalah dengan membentuk Tim Dewan Pertimbangan Medik
(DPM) dan Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB) yang beranggotakan beberapa dokter
ahli penyakit tertentu. Hal tersebut telah diatur dalam Peraturan BPJS Kesehatan nomor 8 Tahun 2016
tentang Penerapan Kendali Mutu dan Kendali Biaya pada Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan
Nasional.
Salah satu tugas dari Tim DPM dan TKMKB adalah membuat berbagai rekomendasi yang berkaitan
dengan mutu dan efektivitas pelayanan kesehatan pada peserta JKN KIS, khususnya di Fasilitas
Kesehatan serta memberikan saran serta pertimbangan terhadap pelayanan medis yang dinilai cukup
kompleks serta membutuhkan biaya yang tinggi.
Selanjutnya sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
Pertimbangan Klinis (Clinical Advisory) yang menyebutkan bahwa Tim Pertimbangan Klinis (di Tingkat
Provinsi) atau Dewan Pertimbangan Klinis (Tingkat Nasional) mempunyai wewenang untuk memanggil
dan meminta keterangan serta memeriksa dokumen/surat-menyurat, data informasi elektronik (digital),
saksi/ahli dari Tim Monitoring dan Evaluasi, Tim Pencegahan Fraud, Tim Kendali Mutu dan Kendali
Biaya, Dewan Pertimbangan Medik, BPRS Provinsi, Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Wilayah
dan BPJS Kesehatan cabang dan/atau divisi regional sebagai upaya mendukung terlaksananya kendali
mutu dan kendali biaya dalam JKN, maka untuk memenuhi kewajiban atas hal tersebut dilakukan
penyusunan bunga rampai rekomendasi kasus dari DPM dan TKMKB dengan mengundang pakar/
tim ahli, yang bertujuan untuk membahas lebih lanjut kasus-kasus pelayanan kesehatan yang sudah
direkomendasi oleh Tim DPM Tingkat Provinsi, Tim DPM Pusat, TKMKB Daerah dan TKMKB Tingkat
Pusat Tahun 2014-2016, yang selanjutnya buku tersebut akan diserahkan kepada Dewan Pertimbangan
Klinis (Clinical Advisory).
Bunga rampai ini diharapkan dapat menjadi acuan atau menjadi rekomendasi bagi kasus-kasus yang
serupa.
Sesuai dengan Pasal 42 Peraturan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2013 disebutkan bahwa pelayanan
kesehatan kepada peserta jaminan kesehatan harus memperhatikan mutu pelayanan, berorientasi pada
aspek keamanan pasien, efektifitas tindakan, kesesuaian dengan kebutuhan pasien, serta efisiensi biaya.
Penerapan sistem kendali mutu pelayanan Jaminan Kesehatan dilakukan secara menyeluruh meliputi
pemenuhan standar mutu Fasilitas Kesehatan, memastikan proses pelayanan kesehatan berjalan sesuai
standar yang ditetapkan, serta pemantauan terhadap luaran kesehatan peserta.
Untuk melaksanakan kendali mutu dan kendali biaya pelayanan kesehatan bagi peserta JKN KIS, salah
satu upaya yang dilakukan BPJS Kesehatan adalah dengan membentuk Tim Dewan Pertimbangan
Medik (DPM) dan Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB) yang beranggotakan beberapa
dokter ahli penyakit tertentu. Hal tersebut telah diatur dalam Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 8 Tahun
2016 tentang Penerapan Kendali Mutu dan Kendali Biaya pada Penyelenggaraan Program Jaminan
Kesehatan Nasional.
Sebagai salah satu bentuk kinerja Tim DPM dan TKMKB, disusunlah buku Bunga Rampai Pembahasan
Kasus Pelayanan Kesehatan oleh Dewan Pertimbangan Medik (DPM) dan Tim Kendali Mutu dan
Kendali Biaya (TKMKB) Tahun 2014-2016. Melalui Buku Bunga Rampai ini kita dapat melihat sebaran
kasus Tahun 2014-2016 yang mewakili permasalahan pelayanan kesehatan, dimana kasus tersebut telah
dibahas oleh Dewan Pertimbangan Medik (DPM) dan Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB)
Daerah dan Tingkat Pusat, sehingga akan meminimalisir friksi/kendala/dispute medis dalam pemberian
pelayanan bagi peserta JKN, maupun pembayaran kepada FKRTL.
Berdasarkan laporan dari Kantor Divisi Regional BPJS Kesehatan I-XIII dari Tahun 2014 sampai dengan
Tahun 2016, Dewan Pertimbangan Medik (DPM) dan Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB)
telah menyelesaikan atau memberikan rekomendasi kasus pelayanan kesehatan sebanyak 998 kasus atau
0,00064% dari total seluruh kasus RJTL dan RITL Tahun 2014-2016. Selanjutnya rekomendasi kasus
DPM dan TKMKB tersebut telah dilakukan validasi kembali oleh Tim Ahli menjadi 41 kasus yang
mewakili setiap CMG atau 4,1 % dari total seluruh kasus yang direkomendasi.
Akhirnya diharapkan agar Buku Bunga Rampai Pembahasan Kasus Pelayanan Kesehatan oleh Dewan
Pertimbangan Medik (DPM dan Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB) Tahun 2014-2016 ini
dapat menjadi acuan atau menjadi rekomendasi bagi kasus-kasus yang serupa.
Fachmi Idris
Contoh: 1/DPM/CMG-A/4/I/VIII/03 15
Keterangan:
1 = Urutan kasus
DPM/TKMKB = Kasus atas Rekomendasi dari DPM/TKMKB
CMG-A = Kelompok CMG
4 = Kode perhimpunan dokter spesialis
I/D = Insentif (I)/Disinsentif (D)
VIII = Divisi Regional
03 = Bulan
15 = Tahun
Case-Mix Main Groups (CMG) adalah klasifikasi tahap pertama yang dilabelkan dengan huruf Alphabet
(A sampai Z) yang di sesuaikan dengan ICD 10 untuk setiap sistem organ tubuh manusia, sesuai Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2016 tentang Pedoman Indonesian Case Base
Groups (INA-CBG) dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional.
160 153
140
120
103
100
89 89
74 77
80
63
60 50
41 44
39
40 34 33
21
20 12 12
4 5
1 1 1
0
A B C D E F G H I J K L M N O P S T U V W Z
I. LATAR BELAKANG
Dalam rangka pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional, BPJS Kesehatan sebagai salah satu
penyelenggara SJSN dituntut untuk memberikan pelayanan secara komprehensif yang mengacu
pada prinsip “managed care” agar terjadi pembiayaan yang efisien dengan mutu yang tetap terjamin
sesuai indikasi medis.
Sesuai dengan pasal 42 Peraturan Presiden RI Nomor 12 tahun 2013 disebutkan bahwa Pelayanan
kesehatan kepada Peserta Jaminan Kesehatan harus memperhatikan mutu pelayanan, berorientasi
pada aspek keamanan pasien, efektifitas tindakan, kesesuaian dengan kebutuhan pasien, serta
efisiensi biaya. Penerapan sistem kendali mutu pelayanan Jaminan Kesehatan dilakukan secara
menyeluruh meliputi pemenuhan standar mutu Fasilitas Kesehatan, memastikan proses pelayanan
kesehatan berjalan sesuai standar yang ditetapkan, serta pemantauan terhadap luaran kesehatan
Peserta.
Untuk melaksanakan kendali mutu dan biaya pelayanan kesehatan bagi peserta, salah satu upaya
yang dilakukan BPJS Kesehatan adalah dengan membentuk Tim Dewan Pertimbangan Medik
(DPM) dan Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya yang beranggotakan beberapa dokter ahli
penyakit tertentu. Struktur, Persyaratan, Tata Cara Pemilihan Penetapan, Fungsi, Tugas, Tanggung
Jawab dan Hasil Kerja Tim Dewan Pertimbangan Medik (DPM) dan Tim Kendali Mutu dan Kendali
Biaya (TKMKB) mengacu pada Peraturan BPJS Kesehatan nomor 8 Tahun 2016 tentang Penerapan
Kendali Mutu dan Kendali Biaya pada Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
Salah satu tugas dari Tim DPM dan TKMKB adalah membuat berbagai rekomendasi yang berkaitan
dengan mutu dan efektivitas pelayanan kesehatan pada peserta BPJS Kesehatan, khususnya di
Rumah Sakit serta memberikan saran serta pertimbangan secara prosfektif maupun retrosfektif
terhadap pelayanan medis yang dinilai cukup kompleks serta membutuhkan biaya yang tinggi.
Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pertimbangan
Klinis (Clinical Advisory) yang menyebutkan bahwa Tim Pertimbangan Klinis (di Tingkat Provinsi)
atau Dewan Pertimbangan Klinis (Tingkat Nasional) mempunyai wewenang untuk memanggil dan
meminta keterangan serta memeriksa dokumen/surat-menyurat, data informasi elektronik (digital),
saksi/ahli dari Tim Monitoring dan Evaluasi, Tim Pencegahan Fraud, Tim Kendali Mutu dan Kendali
Biaya, Dewan Pertimbangan Medik, BPRS Provinsi, Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Wilayah
dan BPJS Kesehatan cabang dan/atau divisi regional sebagai upaya mendukung terlaksananya kendali
mutu dan kendali biaya dalam JKN, maka untuk memenuhi kewajiban atas hal tersebut dilakukan
penyusunan bunga rampai rekomendasi kasus dari DPM dan TKMKB dengan mengundang pakar/
tim ahli, yang bertujuan untuk membahas lebih lanjut kasus-kasus medis yang sudah direkomendasi
oleh Tim DPM Tingkat Provinsi, Tim DPM Pusat, TKMKB Daerah dan TKMKB Tingkat Pusat
Tahun 2014-2016, yang selanjutnya buku tersebut akan diserahkan kepada Dewan Pertimbangan
Klinis (Clinical Advisory).
Melakukan Mengadakan
konsultasi Memberikan Rekapitulasi hasil pertemuan berupa Melakukan validasi kasus
klaim yang rekomendasi rekomendasi Focus Group dan melengkapi teori
memerlukan medis/mutu DPM/TKMKB Discussion (FGD) dibantu oleh Tim Penunjang
rekomendasi klinis seluruh Indonesia yang menghasilkan Teknis Penerbitan
medis/mutu klinis keputusan sbb :
1. Menyusun Bunga
Rampai Rekomendasi
kasus pelayanan
kesehatan
2. Membentuk tim
ahli untuk
Kantor Cabang/ memvalidasi
Divisi Regional rekomendasi kasus
Membuat laporan
hasil rekomendasi
DPM/TKMKB
Daerah Kantor Pusat DPM/TKMKB Pusat
Melakukan
pencetakan Buku Menyetujui Bunga
Bunga Rampai Rampai Rekomendasi
Rekomendasi Kasus Pelayanan
Kasus Pelayanan Kesehatan
Kesehatan
Demam Tifoid
26%
27% Demam Dengue
Malaria
Bronkopneumonia
5%
18% TB Paru
8%
Lain-lain
16%
Jumlah Kasus : 74
1/DPM/CMG-A/4/I/VIII/03 15
Kasus
Pasien perempuan, usia 40 tahun. Pasien datang ke RS kelas B, dengan keluhan panas selama 3 hari
tidak turun-turun, hasil laboratorium trombosit 55.000/µl, widal tes ST O: 1/160 ST AO: 1/160, tidak
dilakukan tes Ig G dan Ig M. Diagnosis utama: A01.0 Typhoid fever; Diagnosis Sekunder: A90 Dengue
fever, Acute tonsilitis, unspecified. Severity level menjadi III.
Permasalahan
• Apakah tes widal tersebut efektif memberikan hasil positif atau justru positif palsu karena tes widal
hanya dilakukan hanya sekali dan panas baru 3 hari?
• Jika hanya mengandalkan tes widal saja, apakah dikatakan positif tifoid setelah dilakukan pemeriksaan
widal hanya sekali saja?
• Apakah memungkinkan yang menangani hanya dokter umum saja dengan tingkat keparahan severity
level III untuk diagnosis demam tifoid dan demam dengue?
- Tes widal tersebut tidak efektif karena panas baru 3 hari dan titer O dan H hanya 1/160. Menurut
WHO, penegakkan diagnosis demam tifoid seharusnya tidak hanya dengan tes Widal saja tapi dengan
tes Ig M Salmonella typhi (+) 4 atau lebih.
- Jika hanya mengandalkan tes Widal saja maka seharusnya tes dilakukan 2 kali dengan demam yang
sudah berlangsung minimal 7 hari dan dengan peningkatan titer O dan H. Menurut WHO, antibodi O
muncul pada hari 6-8 dan antibodi H pada hari 10-12 setelah awitan penyakit.
- Jika dokter umum menegakkan demam tifoid dengan demam dengue sehingga tingkat keparahan
menjadi level III seharusnya perlu dikaji lagi kondisi pasien yang sebenarnya dengan kesesuaian
pemilihan diagnosis oleh ketua komite medik.
Penegakkan diagnosis dengan uji Widal menggunakan agglutinin O dan H baru dapat sudah dapat
dilakukan pada minggu pertama karena mulai terbentuk di minggu pertama. Titer antibody O > 1:320
dan H>1:640 menguatkan diagnosis.
Analisis Kasus
Menurut WHO, penegakkan diagnosis demam tifoid seharusnya tidak hanya dengan tes Widal saja
tapi dengan tes Ig M Salmonella typhi (+) 4 atau lebih. Jika hanya mengandalkan tes Widal saja maka
seharusnya tes dilakukan 2x dengan demam yang sudah berlangsung minimal 7 hari dan dengan
peningkatan titer O dan H. Menurut WHO, antibodi O muncul pada hari 6-8 dan antibodi H pada hari 10-
12 setelah onset penyakit. Jika dokter umum menegakkan demam tifoid dengan demam dengue sehingga
tingkat keparahan menjadi level III seharusnya perlu dikaji lagi kondisi pasien yang sebenarnya dengan
kesesuaian pemilihan diagnosis oleh ketua komite medik. Menurut literatur Pedoman Praktik Klinis
gejala menonjol antara lain demam berkepanjangan (38.8-40.5oC) selama 4 minggu tanpa penanganan.
Gejala sakit kepala, menggigil, batuk, berkeringat, nyeri otot, malaise, nyeri sendi. Dari PF: suhu badan
meningkat perlahan (minggu kedua jelas) terutama sore menjelang malam, bradikardia relatif minggu
kedua, lidah berselaput (tengah putih, pinggir kemerahan), hepatomegali, splenomegali, gangguan
kesadaran. Pemeriksaan penunjang terdapat anemia, trombositopenia, SGOT dan SGPT meningkat, tes
Widal yang mengalami kenaikan 4 kali titer O dan H dalam jarak 2 minggu, kultur, dan Tubex >6 yang
merupakan indikasi kuat infeksi tifoid. Tata laksana Kloramfenikol. Biaya INA-CBG
Analisis Coding
Pasien datang dengan keluhan demam yang tidak menurun disertai trombositopenia perlu diperiksa tes
Widal. Jika hasil positif, dapat diberikan kloramfenikol dan menjadi indikasi rawat inap.
Kasus
Laki-laki 15 th, datang ke RS kelas B, dengan keluhan panas (+), nyeri ulu hati (+), mimisan (+) BB:
30 Kg. Diagnosis: DHF grade II, Tifoid. Terapi yang sudah diberikan: inj ranitidin, inj ceftriaxon,
paracetamol tab. Hasil pemeriksaan diagnostik: Hb 10,1 g/dl; Ht 30,7%; leukosit 5800/µl; trombosit
198.000/µl. Anti dengue IgM(-), IgG(-); Widal O 1/60, H 1/320. Diagnosis DHF tetapi hasil anti dengue
IgM (-), trombosit 198.000,diagnosis tifoid memakai pemeriksaan lab Widal.
Permasalahan
Jawaban DPM
Kriteria klinis DHF menurut WHO: panas naik turun selama 7 hari, hemokonsentrasi, platelet (trombosit)
< 150.000 g/dL. Pemeriksaan terbaru adalah hasil NS1 (+) yang dapat dicek pada hari kedua panas.
Pemeriksaan IgM (+) anti Dengue baru positif pada hari keenam panas, sedangkan untuk demam tifoid
ditegakkan dari pemeriksaan titer Widal serial yang meningkat selang pemeriksaan 7 hari. Pemeriksaan
yang terbaru adalah IgM anti Salmonella typhi (+) pada hari kelima panas. Dapat dilakukan pemeriksaan
kultur darah tetapi sensitivitas hanya 50%.
Analisis Kasus
Kriteria klinis DHF menurut WHO: panas naik turun selama 7 hari, hemokonsentrasi, platelet (trombosit)
< 150.000 gr/dL. Pemeriksaan terbaru adalah hasil NS1 (+) yang dapat dicek pada hari kedua panas.
Pemeriksaan IgM (+) anti Dengue baru positif pada hari keenam panas. Sedangkan untuk tifoid
ditegakkan dari pemeriksaan titer Widal serial yang meningkat selang pemeriksaan 7 hari. Pemeriksaan
yang terbaru adalah igM anti Salmonella typhi (+) pada hari kelima panas. Dapat dilakukan pemeriksaan
kultur darah tetapi sensitivitas hanya 50%. Dari literature PPK, Kriteria WHO untuk DBD demam akut
2-7 hari, bifasi, minimal satu manifestasi perdarahan antara lain rumple leede positif, petekiae, ekimosis,
purpura, perdarahan mukosa (mimisan atau perdarahan gusi), hematemesis dan melena, trombosit <
100.000, minimal satu tanda kebocoran plasma, hematocrit meningkat >20%, hematocrit menurun
> 20% setelah mendapat terapi cairan, terdapat efusi pleura, asites, hipoproteinemia, hiponatremia.
Kriteria diagnosis lain adalah :
Analisis Coding
Analisis Biaya
Tata laksana dengan cairan intravena, transfusi trombosit. Kode ICD 10 adalah A91 diterapi dengan
00.49 dan 99.05. Biaya INA-CBG cairan IV Q-5-17-0: Rp100.700,00
Pasien yang datang dengan keluhan demam disertai nyeri perut perliu dicurigai dua daftar masalah
sebagai diagnosis banding yakni DHF dan demam tifoid.
Kasus
Laki-laki, 27 tahun mengeluh demam sejak 1 minggu, pusing, lemas, mual, muntah lima kali sehari.
Pasien datang ke RS kelas B. Hasil pemeriksaan tekanan darah: 110/70mmHg. Hasil Pemeriksaan
diagnostik: Trombosit: 91000/mm3. Diagnosis Utama: Plasmodiumvivax malaria without complication
B519. Diagnosis Sekunder: Thrombocytopenia,unspecified D696. Terapi yang sudah diberikan: IUFD
D5%, Pantomex injeksi, Doxycycline 100mg tablet, Analsik tablet, Primaquin Tablet, paracetamol
tablet.
Permasalahan
Pasien yang telah ditegakkan malaria dan mengalami keadaan trombositopenia sebagai
perjalanan penyakitnya, tetapi trombositopenia ditagihkan sebagai diagnosis sekunder.
Tidak ada penanganan spesifik juga terhadap keadaan trombositopenianya.
Jawaban DPM
Keadaan trombositopenia pada kasus malaria sudah merupakan satu kesatuan didiagnosis malaria
sehingga tidak boleh ditagihkan secara terpisah. Gejala, manifestasi klinis, atau proses penyakit yang
menyertai kondisi utama tidak bisa ditagihkan sebagai diagnosis sekunder karena sudah merupakan satu
kesatuan pada kondisi utamanya. Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No. 27 tahun 2014 yang dapat
ditagihkan sebagai diagnosis sekunder adalah komorbid atau kompikasi yang memerlukan penanganan.
Seharusnya pasien diperiksakan dahulu apusan darah tepi tebal dan tipis sebelum diagnosis malaria
ditegakkan.
Analisis Kasus
Dari literatur Panduan Praktik Klinis (PPK), kriteria diagnosis WHO untuk daerah risiko rendah terdapat
riwayat demam 3 hari terakhir tanpa ada penyakit akut lain sementara daerah rsiko tinggi terdapat
keluhan demam 24 jam terakhir dan/atau dengan anemia, telapak tangan pucat. Gejala klinis terdapat
demam, menggigil, berkeringat, sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot, penurunan kesadaran.
Dari PF ada demam 37,5oC, konjungtiva atau telapak tangan pucat, sklera ikterik, hepatosplenomegali.
Hasil pemeriksaan penunjang terdapat parasir pada sediaan apus darah tebal dan tipis. Tata laksana
dengan dihidroartemisin-primakuin/artesunat-amodiakuin+primakuin.
Analisis Biaya
Biaya INA-CBG untuk rawat inap penyakit infeksi bakteri dan parasite (Ringan) A-4-14-I
• Kelas 3 : Rp2.202.600,00
• Kelas 2 : Rp2.648.200,00
• Kelas 1: Rp3.083.700,00
Simpulan
Dalam penegakkan malaria, diperlukan diagnosis dengan apus darah tepi. Kemudian, barulah pasien
dapat diberikan tata laksana malaria.
Kasus
Anak perempuan, 7 tahun. Anamnesis panas, mual, muntah, dan batuk. Pemeriksaan Fisik: Tekanan
darah: 110/80 mmHg, laju pernapasan 25 x/ menit, Nadi 88 x/ menit, Thoraks Rh +/+, Abdomen supel.
Ekstremitas dalam batas normal. Hasil laboratorium: Hb 12,3 g/dl, hematokrit 35,7%, Leukosit 3.500/
µL, Trombosit 169.000/µL, LED 33 mm/jam, Salmonella Paratyphi BH 1/80, SGOT 25 U/ L, SGPT
13U/L. Terapi yang sudah diberikan antara lain IVFD RL, Cefotaxim injeksi 3x 800 mg, Ranitidin
injeksi 2 x 1 cc, Paracetamol syr dan Ambroxol syr. Kelas RS: RS kelas B.
Permasalahan
Tidak adanya anamnesis yang jelas dan pemeriksaan yang kurang lengkap dalam menegakkan diagnosis.
Jawaban DPM
Untuk bronkopneumonia gejalanya adalah sesak, bukan batuk. Pada interpretasi rontgen toraks jika
anak batuk maka belum tentu terlihat. Diagnosis bronkopneumonia tidak dapat ditegakkan jika hanya
berdasar Rontgen thoraks, rontgen digunakan untuk menggambarkan luasnya lesi di paru. Diagnosis
dapat ditegakkan jika anak panas. Sesak dan batuk belum tentu harus ada. Untuk tifoid, yang merupakan
infeksi saluran cerna sehingga gejalanya adalah konstipasi atau diare. Widalnya harus muncul thyphoid
O 1/320 sehingga untuk kasus ini tidak termasuk ke dalam tifoid.
Analisis Kasus
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak tergantung berat ringannya infeksi Gejala umum:
demam, sakit kepala, gelisah, malaise, nafsu makan menurun, keluhan GI, infeksi ekstrapulmoner.
Gejala respiratori: batuk, sesak napas, retraksi pada dada, takipnea, napas cuping hidung, sianosis.
Pemeriksaan fisik terdapat perkusi pekak, suara napas melemah, ronki. Bayi dan anak hasil PF kurang
jelas dan tidak ditemukan kelainan pada perkusi dan auskultasi paru. Pemeriksaan penunjang antara lain
gram, leukosit, foto toraks, kultur sputum, dan kultur darah. Penegakkan diagnosis dengan gambaran
klinis sistem respirasi dan pemeriksaan radiologi. Gejala lainnya demam dan sianosis disertai satu dari
gejala respirasi takipneu, batuk, napas cuping hidung, ronki, suara napas melemah. Tata laksana dengan
cairan IV, terapi O2, koreksi gangguan asam basa dan simptomatik nyeri dan demam.
Analisis Coding
Biaya INA-CBG
a. Cairan IV Q-5-17-0 : Rp100.700,00
b. Rontgen Q-5-14-0 : Rp121.700,00
c. Rawat inap J-4-16-I : kelas 3 (Rp3.508.000,00), kelas 2 (Rp4.209.600,00), kelas 1 (Rp4.911.200,00)
Simpulan
Penegakkan diagnosis bronkopneumonia tidak hanya dari rontgen toraks, tetapi harus berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang sesuai.
Kasus
Perempuan, usia 56 tahun. Datang dengan keluhan pusing berputar lebih kurang satu minggu.
Terdapat gejala mual, muntah, dan batuk. Terdapat riwayat TB on Treatment. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan: Tekanan darah 120/80 mmHg, laju pernapasan: 24 x/menit, Nadi: 80x/menit,
Suhu: 36oC. Pada pemeriksaan radiologi thoraks didapatkan infiltrat bilateral di kedua apex
paru. Pasien mendapatkan terapi betahistin 3x1, Dramamine 3x1, Domperidone 3x1, Injerksi
Mecobalamin 2x1,Injeksi Cernevit (Vit A, Vit D3, Vit E, Vit C, Vit B1, Vit B2, Vit B3, Vit B5, Vit
B6, Vit B12, asam folat, biotin, asam pantotenat, nikotinamid, glisin, glycocolic acid, lesitin)
1x1. Diagnosis Utama: TB MDR, Diagnosisis Sekunder: Vertigo. Tindakan: EKG, Foto Thoraks
Input INACBGs Diagnosis Utama: H813 Other peripheral vertigo
Diagnosis Sekunder : A161 Tuberculosis of lung, bacteriological and histological examination not
done
Permasalahan
Jawaban DPM
a. TB MDR (Multiple Drug Resistance) merupakan TB Kronis yang telah melewati dua kali pengobatan
TB, tetapi hasil BTA masih tetap positif. Diagnosis pasti adalah dengan kultur resistensi. Untuk dapat
menyusun panduan yang tepat bagi setiap penderita diperlukan beberapa informasi mengenai hasil
tes resistensi kuman tuberculosis, riwayat pengobatan, dan pola resistensi kuman. Bila data resistensi
baru tidak ada maka data resistensi lama dapat dipakai apabila belum ada OAT yang dipakai penderita
setelah tes resistensi dilakukan atau OAT yang dipakai setelah tes resistensi tersebut memang terbukti
terdiri dari paduan obat yang sensitif.
b. Vertigo adalah sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh seperti rotasi (memutar) tanpa sensasi
perputaran yang sebenarnya, dapat sekelilingnya terasa berputar atau badan yang berputar. Vertigo
termasuk ke dalam gangguan keseimbangan yang juga diikuti dengan gejala mual-mual sampai
muntah. Vertigo dapat dibagi menjadi vertigo psikogenik, patologik (sentral dan perifer) dan
fisiologik (ketinggian, mabuk udara).
c. Anamnesis dengan pertama menyatakan bentuk vertigo (melayang, goyang, berputar) dan keadaan
yang memprovokasi timbulnya vertigo (perubahan posisi kepala dan tubuh, keletihan, ketegangan),
apakah terdapat gangguan pendengaran yang biasanya menyertai pada lesi alat vestibuler atau
n.vestibularis. Pemeriksaan neurologis di antaranya adalah uji Romberg, tandem gait, uji Unterberger,
past-pointing test, serta uji Babinsky-Weil. Tujuan pengobatan vertigo selain kausal ialah untuk
memperbaiki ketidakseimbangan vestibuler melalui modulasi transmisi saraf, umumnya digunakan
obat yang bersifat antikolinergik.
TB MDR (Multiple Drug Resistance) merupakan TB Kronis yang telah melewati dua kali pengobatan
TB, tetapi hasil BTA masih tetap positif. Diagnosis pasti adalah dengan kultur resistensi. Untuk dapat
menyusun panduan yang tepat bagi setiap penderita diperlukan beberapa informasi mengenai hasil
tes resistensi kuman tuberculosis, riwayat pengobatan, dan pola resistensi kuman. Bila data resistensi
baru tidak ada maka data resistensi lama dapat dipakai apabila belum ada OAT yang dipakai penderita
setelah tes resistensi dilakukan atau OAT yang dipakai setelah tes resistensi tersebut memang terbukti
terdiri dari paduan obat yang sensitif. Berdasarkan Konsensus TB, MDR TB resistan terhadap isoniazid
dan rifampin dengan atau tanpa OAT lainnya. Hingga saat ini belum ada pengobatan MDR TB yang
terstandar, pemberian obat tergantung dari hasil ui resistensi dengan minimal 2-3 OAT yang sensitive
ditambah fluorokuinolon (ofloksasin dan siprofloksasin), aminoglikosida (amikasin, kanamisin dan
kapreomisin), etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin+ as.klavulanat. Anjuran sekarang adalah
obat lini 1 (2-3 obat anti TB) ditambah obat lini 2 kuinolon yaitu ciprofloksasin dan ofloksasin. Perlu
dipertimbangkan apakah pasien mendapatkan obat streptomisin, karena obat tersebut dapat memicu
terjadinya vertigo.
Analisis Coding
Analisis Biaya
18%
Sirosis
37%
Hepatitis
9%
HCC
Obstruksi bilier
36%
Jumlah Kasus : 12
1/DPM/CMG-B/4/D/IX/05 15
Dari keseluruhan data (12 kasus), kasus terbanyak adalah sirosis hati dan hepatitis. Apabila dirinci lebih
lanjut, setiap kasus memiliki permasalahan yang berbeda dan tidak serupa satu dengan yang lainnya
karena sebagian besar bukan kasus infeksi. Satu kasus yang akan dibahas merupakan kasus yang penting
dan sering dijumpai pada praktik klinik sehari-hari.
Kasus
Pertanyaan
1. Apakah coagulation defects memenuhi kriteria diagnosis sekunder dalam kasus ini?
2. Gejala klinis dan pemeriksaan penunjang apa yang harus diperhatikan dalam mengetahui coagulation
defects?
Jawaban DPM
1. Obstruksi biliar merupakan obstruksi aliran empedu dari hati ke kantung empedu atau dari kantung
empedu ke usus halus. Obstruksi ini dapat terjadi pada setiap level dari sistim biliar yang dibagi
menjadi ekstrahepatik dan intrahepatik. Kolestasis intrahepatik dapat terjadi pada setiap level
hepatosit sehingga dapat mempengaruhi fungsi hati. Fungsi normal sistem hemostasis secara erat
berhubungan dengan fungsi hati, dimana terjadinya gangguan hemostasis juga erat kaitannya dengan
kerusakan hati. Jika terjadi obstruksi biliar yang menyebabkan gangguan fungsi hati maka dapat juga
menyebabkan gangguan koagulasi. Sehingga defek koagulasi dapat dijadikan diagnosis sekunder.
2. Gangguan koagulasi dapat menyebabkan perdarahan IPDl maupun eksternal yang tidak dapat
dikontrol. Apabila perdarahan tidak dalam jumlah besar atau tidak diketahui maka bisa menyebabkan
keluhan lemah, tampak pucat, pandangan kabur, kelemahan otot. Untuk memastikan ada tidaknya
gangguan koagulasi pemeriksaan rutin yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap
(termasuk trombosit), apus darah tepi, PT, APTT, INR dan fibrinogen.
Analisis Kasus
1. Defek koagulasi dapat ditegakkan apabila terdapat kelainan pada parameter PT, APTT, INR, dan
fibrinogen. Pada kasus ini, data tersebut tidak dilampirkan sehingga diagnosis defek koagulasi
tidak dapat ditegakkan. Pada gangguan hepatobilier, defek koagulasi dapat terjadi apabilia ada
kelainan pada hati, sehingga proses hemostasis tidak akan berjalan dengan baik. Defek koagulasi
pada umumnya menyertai kondisi kelainan hati, sehingga perlu dibedakan apakahh defek koagulasi
yang timbul akibat penyakit hati atau penyakit hematologis. Apabila defek koagulasi yang terjadi
karena penyakit hati, dan penyakit hati tersebut reversible (seperti adanya sumbatan pada kasus
ini), diagnosis defek koagulasi tidak perlu ditegakkan karena akan hilang dengan sendirinya seiring
dengan tuntasnya penyakit hati. Apabila defek koagulasi diduga akibat gangguan hematologis, perlu
dilakukan pemeriksaan lainnya. Pada kasus ini, diagnosis coagulation defect kurang tepat. Masih
diperlukan data seperti darah perifer lengkap (terutama Hb), serta hasil pemeriksaan bilirubin direk
dan indirek.
2. Jawaban yang diberikan oleh DPM sudah tepat dan dapat dijadikan acuan.
3. Pada kasus ini, terdapat berbagai diagnosis tambahan yang tidak didukung oleh data yang jelas,
sehingga sulit dinilai ketepatannya.
a. Other iron deficiency anaemias (D508): tidak ada data pendukung berupa hasil pemeriksaan profil
Analisis Coding
Analisis Biaya
Pada kasus ini, tidak ada konflik pembiayaan apabila dilakukan tata laksana berupa pengangkatan batu
empedu. Adanya sumbatan sudah merupakan indikasi dilakukannya pengangkatan batu empedu, apakah
menggunakan ERCP ataupun pembedahan terbuka.
103 E-4-11-I HIPOVOLEMIA & GANGGUAN ELEKTROLIT (RINGAN) 2,214,000 2,656,800 3,099,600
104 E-4-11-II HIPOVOLEMIA & GANGGUAN ELEKTROLIT (SEDANG) 3,375,400 4,050,500 4,725,500
105 B-4-11-III HIPOVOLEMIA & GANGGUAN ELEKTROLIT (BERAT) 4,573,900 5,488,700 6,403,400
85 D-4-13-I GANGGUAN SEL DARAH MERAH SELAIN KRISIS ANEMIA 2,238,000 2,685,000 3,133,300
SEL SICKLE (RINGAN)
86 D-4-13-II GANGGUAN SEL DARAH MERAH SELAIN KRISIS ANEMIA 3,167,600 3,801,100 4,434,600
SEL SICKLE (SEDANG)
87 D-4-13-III GANGGUAN SEL DARAH MERAH SELAIN KRISIS ANEMIA 4,051,400 4,861,700 5,672,000
SEL SICKLE (BERAT)
Pada kasus ini, terdapat potensi penyelewengan dana dengan jumlah minimal Rp12.000.000,00 dan
maksimal Rp29.000.000,00 apabila terdapat diagnosis tambahan yang tidak dapat dibuktikan dengan
data yang ada.
Pengajuan pembiayaan untuk prosedur yang dilakukan sudah sesuai dengan diagnosis utama, sehingga
potensi terjadinya penyelewengan penggunaan dana minimal.
Pada CMG B ini, penyakit seputar hepatopankreatikobilier sangat beragam dan tidak ada 1-2 kasus yang
memiliki jumlah yang sangat banyak. Kasus ini diambil karena memiliki poin penting dalam penegakkan
diagnosis pada kasus yang cukup sederhana dan sering dijumpai di pusat pelayanan kesehatan.
Penyakit yang berkaitan dengan hepatopankreatikobilier pada umumnya memiliki manifestasi yang
sangat kompleks. Namun, setiap diagnosis yang ditegakkan perlu dicari penyebab utama, apakah benar
akibat dari penyakit hati atau telah terjadi gangguan pada sistem organ lainnya. Setiap diagnosis yang
ditegakkan perlu didukung dengan data yang sesuai, mulai dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus penyakit hati, pemeriksaan penunjang berupa pemeriksan
laboratorium dan pemeriksaan radiologis memiliki peran yang vital, sehingga perlu dilakukan dan
dilampirkan hasilnya agar berbagai diagnosis yang ditegakkan dapat dianalisis ketepatannya.
Kanker payudara
19%
Tumor jaringan ikat dan soft tissue
Kanker lidah
17%
Kanker tulang panjang
5% Neoplasma jinak
5% 10%
5% 5% Neoplasma kavitas oral dan faring
Jumlah Kasus : 41
1/DPM/CMG-C/4/D/I/06 16
Kasus
Pasien laki-laki, usia 44 tahun, datang ke RS kelas C dengan keluhan sesak napas yang dialami sejak
1 hari SMRS. Riwayat deman (+). Riwayat batuk (+) berdahak, berdarah (-), nyeri dada/rusuk kekika
bernapas (+). Riwayat BAK dan BAB (+) N. RPT: TB Paru, RPO: OAT sejak 1 bln SMRS. Vital Sign.
Sens CM, TD 110/80 mmHg, RR 30 x/i. Pemeriksaan Fisik Paru: SP ekspirasi memanjang, ST beda (+)
di kedua lap paru. Lain-lain dbn.
Pasien dirawat dengan diagnosis Efusi Pleura + TB Paru. Dengan Terapi Awal: Ceftriaxon, Ranitidin,
Flexotide nebul, OAT.
Hasil pemeriksaan Lab: Hb/L/T : 12,3 / 16.900 / 235.000. Ur/Cr/As.Urat : 14,96 / 0,68 / 5,4. AGDA: pH
: 7,5111; pCO2 : 28.00; HCO3 : 22,6; BE : -0,6; Sat O2 : 98%.
Thorax X-Ray (H-3) : Efusi pleura kiri dan Pneumonia. PA KGB Supraclavilucar (H-3) : C5 (malignant
smear) kesan metastasis adeno.ca (Bagaimana klinis dan radiologis?)
CT Scan Thorax (H-4) : Pleural Efusi kiri disertai kompresi atelectasi kiri + Pneumonia kanan
OS dirujuk ke RS kelas A setelah 10 hr perawatan dengan dx akhir (DARI RESUME MEDIS): Dx
Utama: Efusi Pleura dan Dx Sekunder: Atelectasis + metastasis adeno.ca. Tindakan: FNAB + Lab +
Permasalahan
1. Apakah pengajuan klaim diatas sudah sesuai dengan keadaan pasien? (Pengajuan klaim berbeda
dengan resume medis)
2. Bagaimana penegakkan keganasan untuk hasil yang meragukan dan tidak diterapi kemo/radiasi
(dirujuk ke RS) seperti kasus tersebut?
Jawaban DPM
Jika ditelaah, maka diagnosis pada resume yang ditegakkan dengan pengajuan
memang berbeda. Namun diagnosis yang dirasa lebih sesuai dengan keadan pasien
adalah diagnosis yang diajukan pada pengklaiman. Sehingga perlu dikonfirmasi untuk
perbaikan kepada DPJP terhadap diagnosis yang ditegakkan pada resume medis.
Penatalaksanaan kasus ini sudah sesuai dengan kemampuan RS, dimana sudah dilakukan pemeriksaan
PA sebagai dasar penegakkan awal keganasan pada kasus tersebut. Namun hal tersebut, belum merupakan
penentuan akhir keganasan yang harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan PA dari jaringan biopsi.
Pemeriksaan tersebut beserta penatalaksanaan selanjutnya akan dilakukan di RS rujukan. Sehingga
penangan dan pengajuan klaim untuk kasus tersebut sudah sesuai.
Analisis Kasus
Pleural effusion
Radiological image
Diagnosis
Diagnostic thoracentesis
(thoracic ultrasound) Thoracic CT
Diagnosis
Bronchoscopy
Transudate
Chylothorax Other tests according to
Empyema Transparietal pleural biopsy suspecled diagnosis
Hemothorax and/or thoracoscopic
(thoracic ultrasound)
Diagosis
Thoracotomy Observation
Seharusnya daftar masalah yang diajukan di rekam medis dengan yang diajukan di klaim sama, jika
memang masih ragu boleh ditambahkan pemeriksaan yang dibutuhkan asal sebelumnya ada gejala klinis
atau pemeriksaan fisik yang mendukung.
Analisis Coding
370 J-4-20-I PLEURAL EFUSI DAN PNEUMOTORAK (RINGAN) 3,828,800 4,594,600 5,360,400
371 J-4-20-II PLEURAL EFUSI DAN PNEUMOTORAK (SEDANG) 5,305,300 6,366,300 7,427,400
372 J-4-20-III PLEURAL EFUSI DAN PNEUMOTORAK (BERAT) 6,219,400 7,463,300 8,707,200
9% Hemofilia
Trombositopenia
9%
CML
AML
9%
43% Anemia aplastik
6% Agranulositosis
Thalasemia
6%
ALL
6%
6% 6% Lain-lain
Jumlah Kasus : 34
1/DPM/CMG-D/5/D/VIII/06 15
Kasus
Pasien anak, RITL dengan diagnosis suspek hemofilia dengan perdarahan aktif. Tindakan terapi anti
hemofilia faktor, Transfusi PRC, Transfusi Plasma. Hasil lab: Hb 7,5 g/dl, hematokrit 24%, leukosit
12.100/µl, eritrosit 3,17 juta/µl, trombosit 523.000/µl. Hasil PT 11,2 detik, Hasil APTT 29,0 detik.
Pertanyaan DPM
1. Bagaimana cara menegakkan diagnosis hemofilia selain dengan pemeriksaan faktor VIII?
2. Bagaimana membedakan hemofilia A atau hemofilia B tanpa adanya pemeriksaan faktor VIII?
3. Tanpa adanya pemeriksaan faktor VIII, apakah dapat diberikan anti hemofilia faktor sebagai
terapinya?
4. Bagaimana waktu yang tepat untuk dilakukan pemeriksaan faktor VIII?
Dengan cara gejala klinis, anak laki-laki dengan klinis perdarahan yang tidak berhenti, dan pemeriksaan
PT APTT memanjang patut dicurigai sebagai penderita hemofilia, ketika mendapatkan tata laksana
faktor koagulasi dan mendapatkan respon baik maka tegaklah diagnosis hemofilia tersebut. Pemeriksaan
laboratorium yang mendukung diagnosis tersebut adalah PT APTT yang memanjang, dan juga
pemeriksaan faktor VIII ataupun faktor IX. Apabila tidak terdapat faktor VIII atau faktor IX maka
dapat dilakukan transfusi plasma sebagai terapinya, karena didalam plasma terdapat kandungan faktor
VIII dan IX walaupun dalam jumlah sedikit. Pemeriksaan faktor VIII/ IX dilakukan ketika seseorang
dicurigai sebagai penderita hemofilia, hanya saja pemeriksaan tersebut tidak semua instansi memiliki
fasilitas tersebut, dan juga dapat terjadi kendala dalam pengiriman sample yang menyebabkan sample
tersebut lisis atau hancur.
Analisis Kasus
Selain perdarahan aktif, dapat dilakukan anamnesis pada pasien apakah sebelumnya sering mengalami
perdarahan aktif maupun memar pada bagian tubuhnya. Selain itu sebaiknya ditanyakan juga apakah
ada riwayat keluarga yang pernah mengidap hemofilia.
Pemeriksaan laboratorium lainnya yang dapat dilakukan sebagai skrining hemofilia adalah pemeriksaan
darah tepi, PT, APTT, dan fibrinogen. Pemeriksaan yang dilakukan sudah tepat. Namun untuk
memastikan, sebaiknya pasien dirujuk ke RS yang memiliki fasilitas untuk melakukan pemeriksaan
faktor VIII.
Penatalaksanaan yang diberikan berupa pemberian plasma sudah tepat, tetapi pemberian faktor VIII
sebaiknya diberikan setelah memiliki hasil pemeriksaan faktor VIII.
Analisis Coding
Analisis Biaya
25%
DM dengan komplikasi
Lain-lain
25%
Jumlah Kasus : 12
1/DPM/CMG-E/4/D/XI/05 15
Kasus
Perempuan 62 tahun mengeluh sesak napas dan terdiagnosis mengalami PJK/OMI, CHF, DM Tipe
II, dan Hipertensi. Pasien sudah mendapatkan terapi berupa cefixime 100 mg (2x200mg), asam asetil
salisilat 100mg, telmisartan 80mg, glimepiride 1mg (1-0-0), cefotaxime inj 1gr (3x1gr), digoksin 0,25mg
(1x0,25mg), furosemide 40mg, furosemide inj 10mg (2x 1 ampul), NaCl 0,9%, spironolacton 50mg (1-
0-0), mikardis 80mg (1x80mg). Hasil pemeriksaan diagnostik yaitu cek lab feses lengkap hasil normal,
cek gula darah 2 jam pp 125 dan sewaktu 115, cek DL hasil leukosit: 11.200/µl , cek elekterolit darah
hasil normal, cek EKG hasil tanpa interpretasi. Pasien menjalani rawat inap selama 5 hari.
Permasalahan
Pada kasus ini, diagnosis utamanya adalah DM dan CHF. PJK tidak bisa dijadikan diagnosis karena PJK
merupakan faktor penyebab dari keluhan.
Dasar Teori
Diabetes Mellitus/DM adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kombinasi keduanya. DM dapat diklasifikasikan
menjadi DM tipe 1 (akibat desktruksi sel beta pankreas), tipe 2 (terjadinya resistensi insulin serta defisiensi
insulin relatif), DM gestasional, dan DM tipe lain yang tidak termasuk pada tipe-tipe tersebut. Menurut
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 terbitan Pengurus Besar Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia (PB Perkeni), kriteria diagnosis DM tipe 2 adalah sebagai berikut:
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam. (B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75
gram. (B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan keluhan klasik
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin
Standarization Program (NGSP). (B)
Bila pasien dengan terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik belum mencapai kadar glukosa darah yang
ditargetkan, maka pasien memerlukan terapi farmakologis berupa antidiabetik oral atau insulin.
Antidiabetik oral dapat digolongkan menjadi pemicu sekresi insulin, peningkat sensitivitas terhadap
insulin, metformin, penghambat absorpsi glukosa, dan DPP-IV inhibitor. Komplikasi dari DM yang
tidak terkontrol adalah gangguan kardiovaskular, nefropati diabetik, neuropati diabetik, retinopati
diabetik, dan komplikasi pada kehamilan.
Gagal jantung kongestif atau Chronic (Congestive) Heart Failure/CHF adalah sindrom klinis yang
ditandai dengan gejala dan abnormalitas struktur dan fungsi jantung, sehingga menyebabkan kegagalan
jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen untuk metabolisme tubuh. Sedangkan penyakit jantung
coroner/PJK adalah kondisi di mana terdapat plak yang terus menebal di arteri jantung dan dapat
menimbulkan serangan jantung.
Data anamnesis yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis CHF antara lain bila pasien cepat lelah
saat beraktivitas ringan; sesak napas saat terlentang, malam hari atau saat beraktivitas; tidur lebih nyaman
bila menggunakan bantal yang tinggi; bengkak pada tungkai bawah dekat mata kaki; serta riwayat
menderita penyakit jantung atau dirawat dengan gejala diatas. Data pemeriksaan fisik yang diperlukan
untuk mendiagnosis adalah adanya sesak napas, frekuensi napas >24x/menit saat istirahat; frekuensi
nadi > 100 x/mnt, nadi kecil dan cepat; iktus kordis bergeser ke lateral pada palpasi; peningkatan tekanan
vena jugularis; hepatomegali / refluks hepatojugular (+); edema tungkai biasanya dekat mata kaki; serta
asites.
Analisis Kasus
Pada kasus ini, data yang diberikan tidak cukup untuk menegakkan diagnosis utama DM, CHF, maupun
PJK adalah DM dan CHF. Namun, perlu diperhatikan bahwa salah satu komplikasi dari DM adalah
gangguan kardiovaskular seperti PJK dan CHF. Untuk mengetahui apakah PJK dan CHF pada pasien
merupakan komplikasi dari DM tipe 2, perlu diketahui kapan pasien didiagnosis dengan DM, PJK, serta
CHF. PJK tersebut dapat terjadi sebagai komplikasi dari DM dan saat ini pasien sudah mengalami CHF
akibat PJK yang selama ini ia derita.
Mikardis dan Telmisartan adalah obat yang sama yaitu golongan angiotensin II reseptor antagonis, tidak
perlu kedua namanya diinput bersamaan. Pasien dengan PJK ataupun infark myokardial akut cenderung
mengalami leukositosis. Hal ini dapat dijadikan sebagai faktor prognosis pasien, dimana pasien dengan
jumlah leukosit yang lebih tinggi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalamai rekurensi dan
memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi. Leukositosis ini bukan disebabkan oleh infeksi bakteri,
sehingga tidak diperlukan adanya pemberian antibiotik, kecuali pasien menunjukkan gejala infeksi
bakterial ataupun disertai pemeriksaan mikrobiologi.
Analisis Coding
Tarif pelayanan kesehatan (tarif RS Umum Kelas A Regional 1) yang bisa ditagihkan adalah penyakit
kencing manis dan gangguan metabolik (rawat inap), serta gagal jantung kongestif dan kondisi jantung
lain-lain (rawat jalan)
100 E-4-10-I PENYAKIT KENCING MANIS & GANGGUAN NUTRISI / 3.690.400 4.428.500 5.166.600
METABOLIK (RINGAN)
101 E-4-10-II PENYAKIT KENCING MANIS & GANGGUAN NUTRISI / 7.147.700 8.577.200 10.006.800
METABOLIK (SEDANG)
102 E-4-10-III PENYAKIT KENCING MANIS & GANGGUAN NUTRISI / 11.976.800 14.372.200 16.767.500
METABOLIK (BERAT)
209 O-5-29-0 GAGAL JANTUNG KONGESTIF DAN KONDISI JANTUNG LAIN-LAIN 799.600
Hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang lengkap sesuai dengan kriteria
diagnosis dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis DM, PJK, dan CHF. Kemungkinan besar bahwa
diagnosis PJK dan CHF merupakan komplikasi dari DM perlu dieksplorasi lebih lanjut. Pemberian
medikasi perlu diteliti agar tidak terjadi pemberian medikasi yang redundan dan meningkatkan biaya
pengobatan yang tidak diperlukan.
25%
Schizofrenia paranoid
Undifferentiated schizofrenia
25%
Jumlah Kasus : 4
1/DPM/CMG-F/16/D/VIII/11 15
Kasus
Perempuan usia 27 tahun datang ke rumah sakit tanggal 25 Mei 2015 dengan keluhan utama sering
keluyuran sendiri dan mudah mengamuk. Pada inspeksi terlihat pasien menujukkan tremor serta
hipersalivasi. Skor ADL (activities of daily living) pada pasien adalah 45. Pasien didiagnosis skizofrenia
tak terdiferensiasi dengan diagnosis sekunder sindrom ekstrapiramidal. Pasien diberikan terapi
Haloperidol, Trihexyphenidil, Clozapine, dan injeksi Diphenhydramin.
Permasalahan
Tata laksana apa yang sesuai Guideline yang berlaku, untuk pasien dengan diagnosis Ekstra Pyramidal
Syndrome?
Obat-obat anti psikotik berisiko terjadinya EPS atau extrapyramidal syndrome. Gejala klinis EPS antara
lain adalah tremor, hipersalivasi, muka topeng, jalan seperti robot, dan lidah kering. Satu atau dua
gejala tersebut muncul sudah dapat disebut EPS. Terapi yang dapat diberikan adalah diganti obat yang
tidak menyebabkan EPS. Dosis obat penyebab diturunkan, maupun pemberian obat anti EPS seperti
diazepam, sulfa atropine, dipenhidramin ataupun THP.
Masalah pada pilihan terapi untuk komplikasi akibat pemakaian obat antipsikotik.
Dasar Teori
Tata laksana pasien dengan EPS menurut pedoman adalah dengan menurunkan dosis obat antipsikotik
atau memberikan obat-obatan antikolinergik seperti:
• Triheksilfenidil, dosis 1-15 mg/hari, waktu paruh 4 jam, dengan target kerja pada akatisia, distonia
dan parkinsonisme.
• Amantadin, dosis 100-300 mg/hari, waktu paruh 10-14 jam, dengan target kerja pada akatisia dan
parkinsonisme.
• Propanolol, dosis 30-90 mg/hari, waktu paruh 3-4 jam, dengan target kerja pada akatisia.
• Lorazepam, dosis 1-6 mg/hari, waktu paruh 12 jam, dengan target kerja pada akatisia.
• Difenhidramin, dosis 25-50 mg/hari, waktu paruh 4-8 jam, dengan target kerja pada akatisia, distonia
dan parkinsonisme.
• Sulfas atropine, dosis 0,5-0,75 mg/hari, waktu paruh 12-24 jam, dengan target kerja pada distonia.
Analisis Kasus
Analisis Coding
Berdasarkan ICD-10, skizofrenia tak terdiferensiasi adalah kondisi psikotik yang memenuhi kriteria
diagnostik umum untuk skizofrenia tapi tidak sesuai pada subtipe manapun dari F20.0-F20.2 atau
menampilkan ciri-ciri dari beberapa subtipe tanpa mengarah ke salah satu set karakteristik diagnostik
yang jelas. Pasien pada kasus masih belum dapat ditegakkan diagnosis skizofrenia karena data dari
anamnesis kurang sehingga diagnosis subtipe tak terdiferensiasi menjadi diragukan.
Analisis Biaya
Biaya tes diagnostik gangguan jiwa (F-5-11-0) pada RS kelas A adalah Rp581.800,00 sedangkan pada
RS kelas B sampai D rentang biayanya sekitar Rp249.200,00 – Rp276.500,00 untuk regional I.
Sebelum memberikan terapi antipsikotika, tes diagnostik kesehatan jiwa perlu dilakukan pada pasien
untuk menegakkan diagnosis penyakitnya agar biaya terapi tidak terbuang dengan percuma. Penyakit
terbanyak adalah skizofrenia subtipe paranoid. Terapi skizofrenia dapat menyebabkan efek samping
yang perlu terapi khusus sehingga dari awal sebaiknya terapi diberikan bersamaan agar mengurangi
kejadian efek samping.
18% Stroke
Infark Cerebri
Intracerebral hemorhage
53% 14%
Low back pain
6% Ensefalopati
4% Lain-lain
5%
Jumlah Kasus : 89
1/DPM/CMG-G/17/I/IX/06 15
Kasus
Pasien laki-laki, umur 53 tahun masuk ke unit gawat darurat dengan keluhan tidak bisa bicara sejak
3 hari yang lalu. Pasien juga mengeluh sakit kepala. Pasien tidak memiliki riwayat jatuh/trauma
dan stroke. Pasien memiliki riwayat opname di RSUD oleh dokter spesialis mata dengan diagnosis
sementara berupa katarak. Pasien juga mengalami gangguan makan berupa tersedak. Pasien di rawat
selama 7 hari. Kesadaran pasien E4VxM4. Kemudian diajukan ke RS dengan diagnosis utama Stroke,
not specified as haemorrhage or infarction (I64) serta diagnosis sekunder berupa Adult respiratory
distress syndrome (J80), Hypertensive encephalopathy (I67.4), Coma, unspecified (R40.2). Prosedur
yang dilakukan adalah nonmechanical resuscitation (93.93) dan Insertion of endotracheal tube (96.04)
Permasalahan
96.04 Insertion of endotracheal tube tidak bisa dimasukan karena itu merupakan pemasangan ETT
diikuti dengan ventilator lebih dari 24 jam (1 paket),bukan berdiri sendiri.Untuk diagnosisnya, Tim
DPM merekomendasikan bahwa untuk diagnosis utama disetujui I63.9 Cerebral infarction, unspecified
yaitu namun untuk diagnosis sekunder berupa R50.9 Fever, unspecified (bagian gejala dari orang
penyakit stroke) kemudian I67.4 Hypertensive encephalopathy (akibat dari stroke) serta J80 Adult
respiratory distress syndrome (ARDS) juga tidak di masukkan karena tidak ada penanganan untuk ini
baik pemeriksaan radiologi maupun pengobatannya.
Dasar Teori
Kasus stroke di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, dan menyebabkan angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Insidensi stroke yaitu 51,6/100.00 penduduk. Menurut AHA/ASA Expert
Consensus Document, stroke adalah episode disfungsi neurologis akut yang kemungkinan disebabkan
oleh iskemia atau perdarahan, bertahan selama ≥24 jam atau hingga kematian. Stroke diklasifikasikan
lebih lanjut sesuai dengan penyababnya, yaitu dapat disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di otak
yang disebut stroke hemoragik, atau disebabkan oleh obstruksi pembuluh darah yang memperdarahi
otak yang disebut stroke iskemik.
Diagnosis klinis dilakukan dengan mengidentifikasi pada bagian sistem saraf pusat (SSP) mana terjadi
gangguan sesuai dengan manifestasi klinis yang terjadi, pembuluh darah mana yang memperdarahi
bagian tersebut, serta penyebabnya (apakah iskemik atau hemoragik). Manifestasi yang terlihat
seringkali adalah hemiparesis, buta mendadak, gangguan sensorik satu sisi tubuh, vertigo, afasia,
disfagia, disatria, ataksia, dan kejang yang terjadi secara mendadak. Anamnesis yang dibutuhkan adalah
riwayat keluarga, riwayat stroke sebelumnya, aktivitas yang dilakukan saat terjadinya stroke, progresi
gejala, dan keluhan penyerta seperti sakit kepala, muntah, dan penurunan kesadaran. Pemeriksaan fisik
yang dapat membantu diagnosis klinis adalah peningkatan tekanan darah, bruit vaskular, perbesaran
jantung, atau murmur.
Terapi umum dalam stroke adalah pemantauan status neurologis, tanda-tanda vital, pemberian oksigen,
perbaikan jalan napas (intubasi ETT jika diperlukan, stabilisasi hemodinamik, serta pengendalian
peningkatan tekanan intrakranial. Kontrol tekanan darah tinggi atau hiperglikemi, jika ada, juga
diberikan pada pasien. Konfirmasi diagnosis dilakukan dengan CT Scan atau MRI.
Analisis Kasus
Tim DPM merekomendasikan diagnosis utama adalah I63.9 Cerebral infarction, unspecified. Namun
untuk diagnosis sekunder berupa R50.9 Fever, unspecified (gejala dari stroke), I67.4 Hypertensive
encephalopathy (akibat dari stroke) serta J80 Adult respiratory distress syndrome (ARDS) tidak dapat
dimasukkan karena tidak ada penatalaksanaannya. Kode 96.04 Insertion of endotracheal tube juga tidak
perlu dimasukkan karena sudah merupakan satu kesatuan dengan tata laksana diagnosis utama. Pada
kasus ini, data medis yang belum diketahui adalah hasil pemeriksaan radiologi. Hasil CT Scan dan
MRI sangat penting dalam diagnosis dan tata laksana definitif kasus ini, dikarenakan stroke iskemik
memerlukan tata laksana untuk menghilangkan sumbatan, sedangkan storke hemoragik memerlukan
tata laksana penghentian perdarahan.
Analisis Coding
Analisis Biaya
Dikarenakan belum adanya hasil CT scan atau MRI untuk diagnosis definitif pada pasien, diagnosis
banding pada pasien massif terlalu luas, sehingga kecocokan tarif yang ditagihkan dengan kebutuhan
seharusnya menjadi tidak pasti. (Traif untuk RS Umum kelas A Pemerintah Regional 1)
172 G-4-13-I PENDARAHAN INTRA KRANIAL BUKAN TRAUMATIK 4,099,900 4,919,900 5,739,800
(RINGAN)
173 G-4-13-II PENDARAHAN INTRA KRANIAL BUKAN TRAUMATIK 7,149,400 8,579,300 10,009,100
(SEDANG)
174 G-4-13-III PENDARAHAN INTRA KRANIAL BUKAN TRAUMATIK 8,479,300 10,175,200 11,871,100
(BERAT)
175 G-4-14-I KECEDERAAN PEMBULUH DARAH OTAK DENGAN 6,955,000 8,346,000 9,737,000
INFARK (RINGAN)
176 G-4-14-II KECEDERAAN PEMBULUH DARAH OTAK DENGAN 9,298,300 11,157,900 13,017,600
INFARK (SEDANG)
177 G-4-14-III KECEDERAAN PEMBULUH DARAH OTAK DENGAN 11,670,400 14,004,500 16,338,600
INFARK (BERAT)
Pada diagnosis stroke, setelah dilakukan tata laksana umum, diperlukan pemeriksaan lanjutan berupa
CT scan atau MRI untuk memastikan diagnosis definitif pada pasien. Diagnosis definitif akan
mempengaruhi tata laksana lanjutan yang dibutuhkan pasien, serta berpengaruh pada kelompok tarif
yang akan ditagihkan.
Katarak
21% Glaukoma
34% PDR
Kalazion/Hordeolum
6% Tumor soft tissue
Tumor konjungtiva
6%
Pterigium
4% 6% Hifema
9% 6%
8% Lain-lain
Jumlah Kasus : 52
1/DPM/CMG-H/8/D/VI/06 15
Kasus
Tn K, 66 tahun, datang dengan keluhan mata buram. PF: TD 120/70 mmHg, BB 55 kg. Diagnosis:
katarak senilis matur (H259). Tata laksana: operasi SICS (H13.11) dengan anestesi umum, rawat inap 3
hari, RS kelas B, diberikan Tobroson dan LFX. Hasil lab diagnostik: Kimia darah : Na = 145 mEq/L, K
= 3,9 mEq/L, GDS = 161 mg/dl, Ur = 22 mg/dl, Cr = 1,5 mg/dl, AL= 8,2, AE=4 ,7, Hb = 14,3 g/dl, Ht
= 39,5%, AT = 225.
Permasalahan
• Pada kasus operasi katarak dengan SICS, kondisi medis pasien seperti apa yang harus dilakukan
rawat inap dan tindakan GA?
• Komplikasi pasca operasi apa yang indikasi rawat inap?
• Apakah bisa dilakukan ODC?
• Berapa lama observasi yang diperlukan pada kasus dengan komplikasi?
Jawaban DPM
Kasus ini ada komplikasi pada saat tindakan operasi sehingga perlu rawat inap untuk observasi.
Penggunaan anestesi umum diduga karean pasien tidak kooperatif. Komplikasi pasca operasi katarak
adalah glaukoma sekunder, tekanan tinggi pada cairan vitreus.
Dasar Teori
Berdasarkan Panduan Penatalaksanaan Katarak oleh American Academy of Ophthalmology tahun 2016,
berikut ini adalah beberapa informasi terkait permasalahan yang sering dijumpai pada kasus yang
dikonultasikan ke DPM:
1. Memperbaiki keluhan gangguan pengelihatan
2. Memperbaiki fungsi pengelihatan (visus)
3. Meningkatkan kualitas fisik, jiwa, dan kualitas hidup
Indikasi dilakukan operasi pada katarak:
Anisometropia karena katarak (perbedaan visus mata kanan dan kiri lebih dari 3 Dioptri)
Kekeruhan lensa menghambat pemeriksaan penting segmenn posterior mata
Lensa telah menyebabkan inflamasi atau glaucoma sekunder
Risiko penutupan sudut bilik mata depan meningkat
Kontraindikasi operasi katarak:
Penurunan fungsi pengelihatan masih dapat ditoleransi oleh pasien (belum mengganggu aktivitas
sehari-hari)
Operasi tidak bertujuan untuk memperbaiki fungsi pengelihatan atau tidak memiliki indikasi medis
Pasien tidak aman untuk menjalani operasi karena penyakit komorbid atau kondisi mata lain
Perawatan pascaoperasi tidak memungkinkan
Persiapan praoperasi:
Penyakit sistemik harus diatasi hingga stabil: Hipertensi tidak terkontrol (>180/110 mmHg), PPOK,
penyakit jantung koroner, diabetes tidak terkontrol.
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak harus dilakukan
Pengukuran biometri dan kekuatan lensa intraocular
Penggunaan anestesi:
Anestesi lokal atau topikal memiliki efikasi yang baik dan menunjukkan kontrol nyeri yang baik
selama tindakan dilakukan. Anestesi lokal atau topical direkomendasikan oleh AAO
Anestesi umum hanya diindikasikan apabila pasien tidak kooperatif serta memiliki permasalahan
medis atau psikologis lain yang tidak memungkinkan dilakukannya anestesi lokal atau topikal (perlu
disebutkan alasan medis pemilihan anestesi umum)
Kriteria pulang pasien adalah:
Tanda vital stabil
Kesadaran telah kembali seperti semula
Tidak ada mual dan muntah
Nyeri tidak ada atau minimal
Penjelasan dan instruksi pascaoperasi telah disampaikan kepada pasien dan keluarga
Jadwal kontrol telah ditentukan
ICD-10 CM
Cortical ARC H25.01-
Anterior subcapsular polar ARC H25.03-
Posterior subcapsular ARC H25.04-
Other age-related incipient cataract, right eye (coronary : punctate ARC, water clefts) H25.09-
Age-related nuclear cataract H25.1-
ARC, morgagnian type, (hypermature cataract) H25.2-
Combined forms of ARC H25.81-
Total or mature cataract H25.89 Other ARC
ARC; pseudoexfoliation of lens capsule H25.89 Other ARC
Analisis Kasus
1. Dari 52 kasus mata, 18 diantaranya terkait dengan katarak. Permasalahan yang muncul seputar
indikasi rawat inap dan jenis operasi yang digunakan.
2. Pada kasus ini, diagnosis harus dituliskan dengan spesifik sesuai ICD-10 sehingga dapat dianalisis
apakah tindakan operasi yang dipilih sudah sesuai atau tidak. Ketepatan sulit dinilai apabila diagnosis
yang dituliskan tidak spesifik.
3. Pasien dirawat inap setelah tindakan operasi karena memiliki komplikasi. Perlu dijelaskan komplikasi
apa yang terjadi dan seharusnya dituliskan pada diagnosis sekunder. Rawat inap sampai 3 hari
seharusnya tidak diperlukan, kecuali kondisi medis yang sangat buruk. Tanda vital pasien pra dan
pascaoperasi perlu dicantumkan.
Analisis Coding
217 H-1-30-I PROSEDUR LENSA DAN INTRA OKULER (RINGAN) 7,521,400 9,025,700 10,530,000
218 H-1-30-II PROSEDUR LENSA DAN INTRA OKULER (SEDANG) 9,344,600 11,213,500 13,082,400
219 H-1-30-III PROSEDUR LENSA DAN INTRA OKULER (BERAT) 13,088,500 15,706,200 18,323,900
Terdapat potensi penyelewengan penggunaan dana sebesar minimal Rp 3.500.000 dan maksimal Rp
14.000.000.
Pada CMG H, sebagian besar permasalahan yang timbul adalah apakah terdapat indikasi rawat inap
serta apa indikasi dilakukannya suatu tindakan pada penyakit mata. Permasalahan terkait diagnostic
sangat minim pada CMG H. Kasus katarak menjadi kasus yang paling banyak pada CMG H, begitu pula
pada keadaan di lapangan, oleh karena itu salah satu kasus operasi katarak diangkat sebagai contoh yang
dapat diaplikasikan di kemudian hari. Potensi penyelewengan dana sangat tinggi pada kasus kesehatan
mata karena biaya rawat inap yang timbul sangat tinggi. Setiap kasus penyakit mata yang membutuhkan
rawat inap perlu dijelaskan indikasi (ataupun komplikasi pascaoperasi) yang timbul sebagai dasar
pengajuan rawat inap pasien tersebut.
CHF/Decomp cordis
18% STEMI
Atrial Fibrilasi
Syok Kardiogenik
37%
9% Atherosclerotic heart disease
UAP
8% Kardiomiopati
Aneurisma aorta
8%
CPC
2% 6% 7%
2% Lain-lain
3%
Jumlah Kasus : 89
1/DPM/CMG-I/12/D/VIII/05 15
Kasus
Pasien perempuan, usia 52 tahun, datang ke RS kelas B untuk berobat. Pada anamnesis didapatkan
keluhan sesak, batuk, nyeri ulu hati, dan mual. Tekanan darah pasien 170/90 mmHg.
Diagnosis Utama: Congestive heart failure (I50.0)
Diagnosis Sekunder : Pulmonary oedema (J81), secondary chronic renal failure, unspecified (N18.9)
Pasien dirawat selama 4 hari. Pasien sudah menjalani pemeriksaan electrocardiogram (89.52), routine
chest X-ray, so described (87.44).
Permasalahan
Pasien dirawat dengan CHF, tetapi ditagihkan juga dengan diagnosis sekunder edema paru, di mana
seharusnya edema paru sudah satu kesatuan dengan kondisi CHF.
Keadaan edema paru pada pasien CHF sudah menjadi satu kesatuan pada CHF sehingga tidak perlu
ditagihkan lagi sebagai diagnosis sekunder. Di ICD 10, Penggunaan Kode J81, di-exclude-kan with
mention heart disease NOS or heart failure.
Dasar Teori
Gagal jantung (Congestive heart failure) adalah kondisi kelemahan otot jantung sehingga jantung tidak
mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan darah dan oksigen dari jaringan. CHF adalah
diagnosis klinis, bukan diagnosis etiologi.
CHF dapat memberikan beberapa gejala dan tanda dari pemeriksaan fisik. Berdasarkan kriteria
Framingham untuk diagnosis gagal jantung, setidaknya ditemukan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor. Kriteria mayor meliputi sesak saat tidur terlentang (orthopnea), sesak malam
hari (paroxysmal nocturnal dyspnea), penurunan berat badan karena respons dengan pengobatan,
peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah halus, edema paru akut, refluks hepatojugular positif,
S3 gallop, waktu sirkulasi memanjang >25 detik, kardiomegali dari pemeriksaan radiologi. Kondisi
edema paru merupakan bagian dari CHF sehingga tidak perlu dijadikan diagnosis sekunder bila
ditemukan pada kasus CHF. Sementara itu, yang termasuk kriteria minor antara lain batuk malam,
sesak dengan aktivitas harian, efusi pleura, takikardia, hepatomegali, dan edema tungkai bawah.
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan pada kasus CHF adalah foto toraks, EKG, Ekokardiografi.
Pemeriksaan darah berupa pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, fungsi ginjal, hati dan tiroid.
Pneumonia dapat memberikan gejala klinis berupa batuk produktif, demam, menggigil, sesak napas,
nyeri dada, keringat berlebih, nafsu makan menurun, dan lemah badan. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan ronki basah pada auskultasi paru, juga dapat ditemukan wheezing. Pemeriksaan penunjang
yang dibutuhkan antara lain pemeriksaan darah lengkap, analisis gas darah, pemeriksaan sputum, dan
foto toraks.
Derajat gagal jantung menurut New York Heart Association (NYHA) Functional Classification adalah:
NYHA I : tidak ada gejala atau keterbatasan dalam aktivitas fisik sehari-hari
NYHA II : gejala ringan (sesak napas ringan dan/atau angina), keterbatasan ringan dalam aktivitas
sehari-hari
NYHA III : keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari, hanya nyaman saat istirahat
NYHA IV : gejala muncul bahkan saat istirahat
Analisis Kasus
Untuk penegakkan diagnosis klinis CHF pada kasus ini dibutuhkan data lebih lengkap terutama terkait
anamnesis, seperti deskripsi sesak (sesak pada malam hari, sesak saat beraktivitas, dll), batuk malam, dan
penurunan BB. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan edema pada tungkai bawah, distensi vena leher,
serta S3 gallop pada auskultasi. Pemeriksaan penunjang seperti foto polos toraks untuk mendapatkan
gambaran kardiomegali. Penegakkan diagnosis sekunder berupa edema paru juga tidak diperlukan
karena sudah termasuk dalam CHF. Sementara untuk chronic renal failure, data yang kurang antara lain
urinalisis untuk melihat adanya albuminuria dan pemeriksaan laboratorium yaitu ureum serta kreatinin
untuk menghitung laju filtrasi glomerulus selama minimal 3 bulan. Apabila pada pasien memang benar
didapatkan chronic renal failure, diagnosis menjadi I13.2 Hypertensive heart and renal disease with
Analisis Coding
Analisis Biaya
• Biaya berdasarkan tarif INA-CBG untuk gagal jantung pada pasien kelas 3 di RS kelas B pemerintah
adalah Rp 3.471.500,00 untuk gagal jantung ringan, Rp 4.024.000,00 untuk gagal jantung sedang,
dan Rp 4.828.800,00 untuk gagal jantung berat.
• Biaya tambahan yang masih belum jelas keperluannya adalah untuk secondary chronic renal failure,
yaitu Rp 3.588.200,00 hingga Rp 5.023.500,00
• Biaya tambahan yang seharusnya tidak diperlukan (pulmonary edema) adalah sebesar Rp 2.717.000,00
hingga Rp 3.803.800,00
• Jelas terlihat adanya upgrading diagnosis yang tidak sesuai alur klinis sehingga biaya yang
dikeluarkan semakin meningkat.
Kasus
Pasien laki-laki, usia 49 tahun, datang ke RS dengan keluhan sesak nafas memberat. Hasil pemeriksaan
EKG menunjukkan gambaran LBBB, hasil pemeriksaan laboratorium ureum 3,5, CKMB 88. Foto polos
toraks memberikan gambaran kardiomegali. Pasien didiagnosis acute transmural myocardial infarction
of other sites, diagnosa sekundernya adalah atrioventricular block, complete left bundle-branch,
unspecified, serta hypertensive heart and renal disease with both (congestive) heart failure and renal
failure. Pasien dirawat selama 6 hari dan mendapat terapi Ramipril, Atrovastatin, CPG, Miniaspilet,
Dopamin injeksi, Arixtra (Fondaparinux), dan Retaphyl (Theophylline).
Permasalahan
1. Apakah standar penegakkan diagnosis atrioventricular block dan left bundle branch block?
2. Apakah sudah tepat penegakkan diagnosis renal failure dan STEMI pada kasus tersebut?
Data pemeriksaan untuk diagnosis renal failure hanya ada hasil lab ureum creatinine?
Jawaban DPM
Dasar Teori
Coronary Artery Disease (CAD) atau PJK merupakan salah satu dari empat penyakit tidak menular
utama menurut WHO. Prevalensi pasien penderita PJK meningkat dari tahun ke tahun. Data dari
Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi penderita PJK berdasarkan diagnosis adalah 0,5%, atau sekitar
883.447 orang. Morbiditas dan mortalitas pasien dengan PJK tinggi sehingga penyakit kardiovaskuler
menempati posisi pertama penyebab kematian pada kelompok penyakit tidak menular.
PJK adalah keadaan dimana terdapat ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai darah akibat
kurangnya suplai darah dan oksigen ke miokardium. PJK ada yang bersifat asimtomatik dan simtomatik,
seperti angina pektoris stabil dan sindrom koroner akut (UAP, NSTEMI, dan STEMI). Penegakkan
diagnosis CAD dilakukan dengan anamnesis (nyeri dada khas, riwayat penyakit pasien, dan riwayat
penyakit keluarga, faktor risiko) serta beberapa pemeriksaan penunjang seperti EKG (terdapat tanda
iskemik atau infark miokardium), stress testing (treadmill test positif), echocardiography, dan kateterisasi
jantung (terdapat penyempitan pada arteri koroner).
Analisis Kasus
Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan gambaran ST elevasi pada EKG. Data EKG pada kasus
ini kurang lengkap, hanya dikatakan ada LBBB sehingga tidak dapat disimpulkan ada atau tidaknya
gambaran segmen ST elevasi. Letak infark juga dapat dilihat dari EKG sehingga coding sesuai ICD 10
dapat dilakukan. Selain itu, pada STEMI akan ditemukan peningkatan enzim penanda jantung seperti
Analisis Coding
Analisis Biaya
Kasus
Pasien laki-laki, usia 56 tahun, dirawat inap selama 7 hari dengan keluhan sesak napas, nyeri dada, lemas,
edema anasarka, kemudian pulang dengan kondisi membaik. Tekanan darah pasien 182/112 mmHg.
Pada pemeriksaan EKG didapatkan ST elevasi di V1-V3, hasil pemeriksaan laboratorium GDS 205 mg/
dL, AL 15,76 u/L, AT 210 u/L, Hb 16,2 g/dL. Diagnosis utama pada pasien adalah Decomp+Hipertensi
(I119), diagnosis sekundernya adalah atrial fibrilasi (I48) dan DM (E149). Pasien mendapat terapi
ISDN 3x1, Aspilet 3x1, Glimepiride 1x1, CPG 1x75, Alprazolam 1x0,5, Spironolacton 1x0,25, Pralax,
dan Digoxin 1x1. Hasil konfirmasi dengan DPJP, diagnosis atrial fibrilasi ditegakkan bisa dilihat dari
pengobatan, yaitu pemberian digoxin.
Permasalahan
Apakah digoxin merupakan lini pertama pengobatan atrial fibrilasi? Apabila dalam pemeriksaan EKG
tidak ditemukan gambaran atrial fibrilasi, apakah bisa ditegakkan diagnosis tersebut? Apa saja kriteria
penegakkan diagnosis AF?
Jawaban DPM
AF suatu kelainan irama dibuktikan dg hasil EKG, dlm kasus ini tdk membaca AF. Kasus ini bisa
dikatakan AF harus ada hasil EKGnya AF. First choice apabila tdk ada kontraindikasi maka beta blocker.
Bila tidak ada Beta blocker baru diberi digitalis. Kasus ini hanya ada hasil ST elevasi. AF tidak bisa
dilihat dari pemberian digoksin. AF NVR berarti dibawah 100 nadinya.
Analisis Kasus
Diagnosis AF ditegakkan melalui pemeriksaan EKG. Pada kasus ini tidak dapat ditegakkan diagnosis AF
karena hasil EKG tidak menunjukkan AF. AF ditandai dengan terlalu cepatnya irama jantung sehingga
tidak adanya gelombang P yang terlihat.
Penatalaksanaan atrial fibrilasi pada pasien dengan kondisi hemodinamik stabil bertujuan untuk
mengendalikan laju ventrikel, konversi irama menjadi irama sinus, dan pemberian antikoagulan
sebagai profilaksis tromboemboli. Kontrol laju ventrikel dapat berupa CCB nondihidroperidin (contoh:
verapamil, diltiazem). Apabila pasien mengalami gagal jantung, pengobatan dilakukan dengan digoksin,
furosemide, dan amiodaron. Selain itu, dapat dilakukan DC Jantung untuk mengembalikan irama jantung
ke irama sinus. Pemberian antikoagulan contohnya adalah heparin intravena sambil persiapan memulai
terapi warfarin oral.
Analisis Coding
Pada kasus ini diajukan diagnosis utama Decomp+Hipertensi, namun kode ICD10 yang tertulis adalah
I11.9 (Hypertensive heart disease without (congestive) heart failure). Pada kasus ini perlu dipastikan
apakah ada tanda-tanda gagal jantung sehingga kode yang sesuai adalah I11.0 (hypertensive heart
Analisis Biaya
Tarif pengobatan gangguan konduksi dan aritmia jantung berdasarkan INA-CBG di RS Kelas B
Pemerintah Regional I adalah sebesar Rp 3.800.800,00 hingga Rp 9.916.000,00 bergantung pada derajat
ringan, sedang, atau berat. Terlihat bahwa biaya yang ditagihkan lebih besar padahal diagnosis AF belum
dapat ditegakkan.
Pada CMG I ini, contoh kasus diambil dari penyakit yang paling sering dijumpai, yakni gagal jantung,
sindrom koroner akut, serta aritmia. Permasalahan diagnostik pada penyakit jantung berkaitan erat
dengan penggunaan EKG sebagai salah satu modalitas penunjang utama. Agar suatu diagnosis dapat
ditegakkan, sebaiknya hasil interpretasi EKG dilampirkan pada tiap kasus sehingga dapat ditelaah
apakah diagnosis dan tindakan yang dilakukan sudah tepat atau belum. Disarankan pula agar kriteria
Framingham (kriteria mayor dan minor) untuk diagnosis gagal jantung kongestif (CHF) disertakan pada
PNPK di kemudian hari sehingga tidak timbul pemahaman yang beragam atas diagnosis gagal jantung.
Diagnosis harus dengan jelas disebutkan beserta alasannya karena banyak penyakit saling tumpeng
tindih di sistem kardiovaskular sehingga membuka peluang terjadinya penyimpangan pengajuan dana
berdasarkan INA-CBGs yang telah ada.
3% 3% TB Paru
Bronkitis
6% 15%
Keganasan
5% 3%
Gangguan Pernapasan
5% 3%
3% COPD
Pneumonia
6%
Sepsis
Gagal napas akut
Efusi Pleura
48%
Pneumothorax
Edema Pulmonal
Jumlah Kasus : 77
1/DPM/CMG-I/12/D/VIII/05 15
Kasus
Laki-laki 22 tahun datang dengan keluhan batuk sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Keluhan
disertai BAB cair dan berat badan menurun. Hasil pemeriksaan penunjang didapatkan SGOT/SGPT
154 U/L dan 624 U/L, leukosit 21.000/µl, HBsAg non reaktif, rontgen toraks didapatkan TB duplex.
Pasien sudah diberikan terapi infus RL, injeksi Cefotaxim 2x1, Salbutamol 3x1, dan Ambroxol. Pasien
didiagnosis utama TB paru (A162) dan diagnosis sekunder sepsis (A419).
Jawaban DPM
a. Penegakan diagnosis TB paru dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pada anamnesis, biasanya pasien mengeluh batuk lama dengan lendir, penurunan berat
badan, atau keringat dingin pada malam hari. Pemeriksaan penunjang yang utama adalah dengan
pemeriksaan sputum BTA. Namun, pada kasus-kasus tertentu, pasien tidak bisa mengeluarkan
sputum sehingga diperlukan pemeriksaan rontgen thoraks. Gambaran yang bisa terlihat adalah
infiltrate homogen pada apeks paru, pembesaran nodus limfatikus hilar dan paratrakeal, dan
atelataksis segmental untuk kasus TB yang lama. Kavitasi dapat terlihat pada tuberculosis primer
yang progresif. Tata laksana pengobatan TB paru tidak dengan antibiotik biasa, tetapi dengan
OAT (Isoniazid, Rifampin, Pyrazinamid, Ethambutol, dan Streptomycin). Gambaran hasil rontgen
dianjurkan untuk ditulis pada resume medis berikut dengan jenis OAT yang dipilih.
b. Diagnosis sepsis ditegakkan dengan kultur darah. Pada kondisi tertentu kultur darah tidak bisa
dilakukan segera, sehingga kriteria sepsis harus dipenuhi dengan gejala klinis maupun pemeriksaan
laboratorium sebagai berikut (dengan ditulis lengkap pada resume medis):
1) Suhu tubuh lebih dari 38oC atau di bawah 36oC
2) HR di atas 90x/menit
3) RR di atas 20x/menit atau PaCO2 di bawah 32 mmHg
4) Jumlah WBC di atas 12.000/µL atau di bawah 4.000/µL
5) Terdapat multiple organ failure
Kriteria-kriteria di atas harus ada dalam penegakkan diagnosis sepsis dan harus disertai dengan bukti
sumber infeksi (misalnya dengan kultur darah). Jika tidak terdapat bukti adanya sumber infeksi maka
diagnosis sepsis tidak dapat ditegakkan.
Analisis Kasus
Pada kasus ini, kecurigaan diagnosis sepsis tidak didukung dengan gejala klinis maupun pemeriksaan
laboratorium yang cukup sehingga tidak tepat bila ditegakkan diagnosis sepsis. DPM menyarankan agar
resume medis ditulis lengkap sehingga didapatkan informasi medis yang cukup. Diharapkan pula agar
DPJP tidak mudah memberikan diagnosis sepsis bila tidak memenuhi kriteria yang telah disebutkan di
atas. DPJP dianjurkan untuk menulis keterangan medis pasien secara lengkap pada resume medis dari
gejala klinis hingga pemeriksaan penunjang dan tata laksana yang diberikan.
Analisis Biaya
Tarif rawat inap kelas 3 untuk pasien dengan penyakit infeksi bakteri dan parasit lainnya di rumah sakit
kelas A pemerintah berkisar di antara Rp 2.318.600,00 sampai Rp 4.681.300,00 bergantung pada derajat
keparahan penyakitnya.
Kasus
Laki-laki 63 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan demam sejak 7 hari sebelum masuk rumah
sakit. Pasien juga merasa lemas dan mengalami diare sebanyak 10 kali per hari disertai mual dan muntah.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan akral dingin dan frekuensi napas 22x/menit, pada pemeriksaan darah
ditemukan leukosit meningkat hingga 14100/mm3. Pasien didiagnosis pneumonia komunitas. Pasien
sudah diberikan terapi ISDN, nebulizer, drip pantopump, injeksi ondancentron, injeksi antrain, sirup
antasida, L-Bio, dan GG.
Permasalahan
Jawaban DPM
Analisis Kasus
Diagnosis pnemumonia dapat ditegakkan dengan memperoleh keterangan bahwa pasien mengalami
demam, menggigil, batuk dengan sputum mukopurulen, paparan dengan faktor risiko pneumonia,
dan nyeri dada pleuritik dari hasil anamnesis, menemukan demam, takipnea, takikardia, suara napas
asimetris dan bronkial, fremitus meningkat, dan ronki dari hasil pemeriksaan fisik, serta menemukan
infiltrat, konsolidasi lobar, dan kavitas dari hasil pemeriksaan penunjang. Pada pasien ini diagnosis
pneumonia belum dapat ditegakkan karena tanda dan gejala yang sudah terkonfirmasi hanya demam dan
takipnea.
Analisis Coding
Analisis Biaya
Tarif kelas 3 untuk pasien dengan pneumonia di rumah sakit kelas A pemerintah berkisar di antara
Rp3.692.600,00 sampai Rp12.276.800,00 bergantung pada derajat keparahan penyakitnya.
Kasus
Pasien perempuan 46 tahun terdiagnosis efusi pleura. Terapi yang diberikan adalah pungsi pleura.
Permasalahan
Jawaban DPM
Dalam menentukan diagnosis utama harus diketahui komorbid dan komplikasi penyakitnya. Dalam
kasus ini efusi pleura merupakan komplikasi dari ca mammae dimana tindakan pengeluaran cairan dari
paru merupakan tindakan paliatif dan hal ini dapat berulang kali dilakukan.
Analisis Kasus
Efusi pleura (J-90) adalah kondisi adanya cairan di rongga paru akibat ketidakseimbangan produksi dan
absorpsi cairan. Selain untuk terapi, pungsi pleura juga dapat dilakukan untuk mendiagnosis penyebab
efusi, baik karena transudat atau eksudat.
Pada awalnya dilakukan evaluasi paru sebelah mana yang cairannya lebih banyak dan cairan pada sisi
tersebut dikeluarkan terlebih dahulu, pada kasus ini paru yang lebih banyak cairannya adalah paru kiri.
Setelah proses tersebut, pasien biasanya meminta untuk dipulangkan tanpa mengeluarkan cairan di paru
yang lainnya. Walaupun idealnya tetap dilakukan pungsi pada paru yang lainnya, jika dari hasil evaluasi
hasilnya baik, pasien diizinkan untuk pulang atau rawat jalan. Namun jika keluhan kembali dirasakan,
tindakan perlu dilakukan kembali.
Analisis Coding
Analisis Biaya
Tarif rawat inap efusi pleura di rumah sakit pemerintah kelas A berkisar di antara Rp4.505.300,00 hingga
Rp6.307.500,00 bergantung pada tingkat keparahan penyakitnya
Apendisitis
Dispepsia
23% 20.39% Peritonitis
Hernia inguinalis lateralis
Gastritis
3%
Ileus paralitik
4% 16.67%
Diare
4%
5% Hemoroid
7% 8% Ca rectum
8% Lain-lain
1/DPM/CMG-K/33/D/XII/01 15
Kasus
Pasien perempuan, usia 27 tahun, datang ke RS kelas B dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak
± 3 hari yang lalu. Hasil pemeriksaaan fisik abdomen datar dan tegang, terdapat nyeri tekan daerah
McBurney, dan psoas sign positif. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan Hb: 10,4 g/dL, Ht:
38,6%, leukosit 12.100/mm3, eritrosit: 1,48 juta/mm3, trombosit 428.000/mm3, LED: 42mm/jam, SGOT
31 U/L, SGPT 67 U/L. Pada urine terdapat sedimen leukosit 2-6, eritrosit, epitel 1-11/lapang pandang,
tidak ada kristal maupun silinder. Diagnosis utama yang ditegakkan adalah peritonitis akut (K65.9),
dengan diagnosis sekunder apendisitis perforasi (K35.8). Pasien dilakukan apendektomi dan selanjutnya
dirawat selama 4 hari.
Permasalahan
Pasien masuk RS melalui UGD pada tanggal 7-11-2015 jam 10.45 WIT dengan keluhan nyeri perut
bagian kanan bawah, nyeri tekan daerah Mc burney (+), psoas sign (+). Rencana terapi dokter akan
Jawaban DPM
1. Diagnosis peritonitis akut seharusnya ditegakkan dengan adanya nyeri perut keseluruhan, sehingga
perlu dilakukan drainase. Namun pada kasus ini, nyeri perut hanya terjadi pada bagian kanan bawah
saja. Peritonitis tejadi karena dilakukan apendektomi.
2. Apendisitis seharusnya diberi tindakan apendektomi bukan laparatomi. Insisi dalam tindakan
seharusnya ditulis dengan jelas, berapa cm, apakah terjadi eksplorasi sehingga dikoding sebagai
laparatomi.
3. Laporan operasi sebaiknya ditulis proses demi proses yang dijalankan, sehingga dapat diketahui
secara jelas tindakan apa yg diberikan. Laporan operasi sebaiknya dituliskan berapa cm insisi mid
line, apakah dilakukan drainasi, dan lain-lain.
Dasar Teori
Apendisitis adalah suatu proses penyumbatan yang mengakibatkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan pada apendiks, menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding. Jika aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangren. Apabila dinding yang rapuh tersebut mengalami perforasi, maka dapat
menyebabkan peritonitis. Apendisitis apabila dalam 48 jam dibiarkan maka dapat perforasi sehingga
menjadi peritonitis.
Tanda awal apendisitis adalah nyeri di epigastrium atau region umbilikus disertai mual dan anoreksia.
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 - 38,5o C. Bila suhu lebih tinggi, biasanya sudah
terjadi perforasi. Nyeri akan berpindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum
lokal di titik Mc Burney, ditemukan nyeri tekan, nyeri lepas, dan defans muskular. Pemeriksaan untuk
melihat nyeri peritoneum tidak langsung lainnya adalah:
• Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (Rovsing’s Sign)
• Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg’s Sign)
• Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti bernapas dalam, berjalan, batuk atau mengedan.
Tata laksana definitif untuk apendisitis adalah tindakan bedah, yaitu apendektomi. Jika apendisitis telah
menjadi apendisitis perforasi, maka dibutuhkan laparatomi. Menurut algoritma American Academy of
Family Physicians (AAFP), pasien yang memiliki gejala klasik dari apendisitis dapat segera dilakukan
tindakan bedah, sedangkan pada pasien dengan gejala atipikal, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
terlebih dulu menggunakan pemeriksaan foto polos atau USG, dan jika tidak berhasil dapat dilakukan
CT Scan.
Hospital observation
Surgery Appendicitis
Indeterminate
Analisis Kasus
Pada kasus tersebut terdapat kontradiksi antara diagnosis utama dengan tata laksana yang direncanakan.
Tata laksana apendektomi adalah tata laksana bedah untuk diagnosis apendisitis akut, sedangkan pada
kasus tersebut diagnosis utama yang ditegakkan adalah peritonitis akut.
Oleh karena itu, perlu diperhatikan apakah kesalahan terdapat pada penentuan diagnosis utama atau
tata laksana yang direncanakan. Pada kasus ini, pemeriksaan fisik lebih mengarah kepada apendisitis
akut, yaitu dari temuan nyeri perut kanan bawah, nyeri tekan daerah McBurney, dan tanda psoas positif.
Beberapa gejala dan temuan lain yang sering ditemukan pada apendisitis akut antara lain adalah mual,
muntah, defans muskular pada perut kanan bawah, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Hasil
Analisis Coding
Analisis Biaya
Apabila diagnosis yang ditegakkan adalah apendisitis akut (K35.8), maka melakukan tata laksana
apendektomi (47.0) membutuhkan biaya (standar RS B Pemerintah Regional 3) Rp3,806,700,00
– Rp5,329,400. Pasien ini memiliki gejala klasik apendisitis akut, maka dapat ditegakkan diagnosis
dan dilakukan apendektomi tanpa membutuhkan pemeriksaan penunjang. Namun apabila ditegakkan
diagnosis peritonitis akut (K65,9) atau apendisitis akus dengan peritonitis generalis (K35.2), maka
dibutuhkan laparatomi,incidental apendektomi (47.11) atau laparatomi apendektomi (47.01) yang jika
dianggap prosedur intestinal kompleks, maka dengan standar RS yang sama menjadi Rp11,961,800,00
hingga Rp16,746,500,00. Di sini terlihat gap biaya yang tinggi apabila terjadi ketidakcocokan diagnosis
dan penatalaksanaan.
Kasus
Pasien perempuan, usia 60 tahun, datang ke RS kelas B dengan keluhan mual, muntah, sakit perut,
nafsu makan menurun, dan lemas. Temuan lainnya adalah bising usus positif, NTE positif. Hasil
pemeriksaan laboratorium tanggal 20/10/2015: Hb 10,8 g/dl, Leukosit 13.000/mm3, trombosit 158.000/
mm3, SGOT 146, SGPT 99, Ureum 54, Creatinine 1,4 HBsAg (+) Serum (Ikterik). Pasien didiagnosis
dengan dispepsia (K30), dirawat inap selama tiga hari dengan tata laksana Procur Tab 1, Ranitidin Inj
III, Spironolactone Tab I 1x1, Furosemide Tab I 1x1 Diazepam Inj I Amp.
Pertanyaaan
Apakah standar diagnosis dispepsia untuk di rawat jalan/ rawat inap, dan tanda gejala spesifik untuk
menegakkan diagnosis dispesia yang tidak sama dengan diagnosis serupa?
Jawaban DPM
Dispepsia ditandai dengan nyeri ulu hati, mual, muntah, kembung. Indikasi rawat inap meliputi muntah
parah, dehidrasi, nyeri, kondisi lain (hamil, geriatri), adanya penyakit penyerta dan mengganggu
aktivitas sehari-hari.
Analisis Teori
Hepatitis B adalah infeksi virus pada hepar yang dapat menyebabkan kondisi akut dan kronik. Kondisi
hepatitis B akut (B.16) seringkali tidak menyebabkan gejala, namun pada 30-50% pasien mengalami
gejala jaundice, kencing berwarna gelap, lemas, mual, muntah, dan nyeri perut. Temuan pemeriksaan
fisik meliputi liver tenderness, hepatomegali, dan splenomegali. Kondisi akut ini dapat berkembang
menjadi hepatitis B kronis (B18.1 atau B18.2). Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan adalah tes
fungsi hati SGPT, HbsAg, HbeAg, dan nilai HBV DNA.
TESTS HISTOLOGY
ALANINE
PHASE HEPATITIS B E HEPATITIS B E HBV DNA (IU TREATMENT
TRANSAMINASE INFLAMMATION FIBROSIS
LEVEL ANTIGEN ANTIBODY PER ML)
Menurut konsensus PPHI mengenai hepatitis B, pasien hepatitis B kronik dengan HbeAg postif, dan
kadar SGPT > 2x batas normal dapat diberikan antivirus, sedangkan jika ditambahn dangan HBV-DNA
positif >100.000 kopi/mL maka segera diberikan antivirus. Pasien juga perlu diberikan vaksin hepatitis
B. Antivirus yang digunakna untuk pasien dengan HBV-DNA positif dan SGPT > 5x batas atas normal
adalah analog nukleosida; sedangkan pada pasien HbeAg postif dengan kadar ALT 2-5 x batas atas
normal, pilihan antivirusnya adalah analog nukleosida atau interferon. Terapi diberikan selama 4-6
Algoritma Penatalaksanaan
Infeksi Hepatitis B
HBsAg (+)
ALT < BANN ALT < BANN ALT > BANN ALT < BANN
HBV DNA
Monitor 1-2 bln Dekompensasi hati
Analisis Kasus
Pada kasus ini, penyebab dispepsia perlu ditelusuri lebih lanjut. Terdapat temuan tidak normal dari
hasil pemeriksaan laboratorium, yaitu peningkatan julah leukosit, peningkatan nilai SGPT serta SGOT,
HbsAg (+), dan serum yang ikterik, kecurigaan mengarah pada kondisi aktif infeksi hepar, yaitu Hepatitis
B. Pasien hepatitis B yang membutuhkan rawat inap adalah apabila terdapat hepatic failure, dengan
tanda klinis nyeri perut kanan atas, hepar mengecil, peningkatan TIK, hipotensi, bradikardi, asites,
hematemesis atau melena. Data yang ada tidak cukup memenuhi kriteria tersebut, sehingga pasien ini
belum diindikasikan untuk rawat inap.
Analisis Biaya
Tarif rawat jalan prosedur hati dan pancreas pada RS kelas B regional 1 (B-2-10-0) adalah Rp915.400,00,
sedangkan tarif rawat inap gangguan hati dan lain-lain pada RS kelas B regional 1 (B-4-13-I, B-4-13-II,
dan B-413-III) berkisar antara Rp4.081.900,00-Rp9.171.000,00.
Keluhan dan penyebabnya perlu dieksplorasi sebelum melakukan diagnosis dispepsia. Rawat inap
dilakukan jika terdapat indikasi rawat inap sesuai uraian di atas.
Kasus
Pasien laki-laki, usia 64 tahun, dirawat inap 16 hari dengan keluhan utama sakit perut, mual, batuk,
dan sesak. Riwayat muntah disangkal pasien. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan Hb 15,3,
leukosit 14200, trombosit 201000, hematokrit 43,5, GDS 98, SGOT/SGPT 13/20, alb 4,4, Ur/Cr 23/0,69,
transfusi PRC. Hasil EKG menunjukkan OMI inferior, foto toraks menunjukkan bronkopneumonia,
edema paru, foto BNO 3 posisi menunjukkan pneumoperitoneum suspek perforasi gaster, sedangkan
USG Abdomen menunjukkan suspek perforasi ileum. Pasien didiagnosis dengan peritonitis (K65.9),
dengan diagnosis sekunder gastrojejunal ulcer, chronic or unspecified with perforation, mild protein-
energy malnutrition , disorders of plasma-protein metabolism, not elsewhere classified, hypovolaemic
shock, acute respiratory failure, anaemia unspecified, dan septicaemia unspecified. Pasien diberikan
IVFD RL 20 tpm, inj pragesol 1amp/8j/iv, inj ranitidin 1amp/12j/iv, inj ceftriaxone 1gr/12j/iv dan
dilakukan tata laksana bedah exploratory laparotomy, Other repair of stomach, Transfusion of other
serum , Parenteral infusion of concentrated nutritional substances, Other operations on vessels , Enteral
infusion of concentrated nutritional substances, Central venous pressure monitoring , Continuous
mechanical ventilation for 96 consecutive hours or more, Injection of anesthetic into sympathetic
nerve for analgesia, Other irrigation of (naso-)gastric tube , Routine chest x-ray, so described, Other
microscopic examination of blood , Diagnostic ultrasound of abdomen and retroperitoneum.
Permasalahan
1. Apakah kode diagnosis sekunder Acute respiratory failure sudah sesuai pada kasus tersebut dan
dengan pemakaian ventilator? Serta dengan memperhitungkan belum tersedianya ruang RR bagi
pasien yang post operasi?
2. Diagnosis ini diajukan pengganti diagnosis Dependence on respiratoar dan Dependence on aspiratoar.
3. Apakah kode prosedur 3999 (Other operations on vessels) sudah sesuai dengan pemakaian CVP
monitoring?
4. Apakah diagnosis Septicaemia sudah dapat ditegakkan dengan melihat gejala klinis tanpa pemeriksaan
kultur ataupun analisa gas darah?
5. Apakah kode prosedur 4469 (Other repair of stomach) tidak include pada prosedur 5411 (exploratory
laparatomy)?
6. Apakah diagnosis sekunder gastrojejunal ulcer tdk include pada diagnosis peritonitis,unspecified?
7. Apakah diagnosis disorders of plasma-protein metabolism tdk include pada diagnosis mild protein-
energy malnutrition?
Jawaban DPM
1. Diagnosis Respiratory failure harus disertai analisis gas darah, saturasi, serta didukung oleh klinis.
Adapun yang bisa dinilai melalui klinis saja adalah impending respiratori failure (keadaan sebelum
respirastori failure)
2. Perlu dilakukan audit bahwa pasien tersebut benar benar dalam kondisi dependence of respiratoar
karena jika benar maka tidak rasional jika pasien hanya mendapatkan ventilator dalam waktu
sebentar, karena jika benar biasanya pasien membutuhkan berbulan -bulan penggunaan ventilator.
Analisis Kasus
Perforasi adalah kondisi pecahnya organ tubuh yang memiliki dinidng atau membran. Perforasi
gastrointestinal (K 63.1) dapat disebabkan oleh nontrauma atau trauma. Contoh nontrauma adalah tifoid,
ulkus, obat NSAID. Controh trauma adalah akibat tindakan ERCP atau tertusuk. Jika terjadi perforasi
gaster, asam lambung yang mencapai peritoneum dapat menyebabkan peritonitis. Partikel makanan
dapat mencapai peritoneum dan terjadi infeksi. Pada usus, infeksi akibat perforasi lebih sering terjadi
pada usus bagian distal. Tata laksana yang paling tepat adalah ABC, pemberian cairan kristaloid, dan
operasi emergensi dengan laparotomi dan eksisi tepi lokal.
Analisis Coding
Analisis Biaya
Penyakit terbanyak pada CMG K adalah apendisitis (17,5%) dan dispepsia (16,67%). Kasus-kasus
lain adalah peritonitis, hernia inguinalis lateralis, gastritis, ileus paralitik, diare, hemoroid, karsinoma
rektum, dan lain sebagainya.
[VALUE]%
9.5%
Vitiligo
Xantelasma
9.5% Eksisi lipoma
Soft tissue tumor
62% 9.5%
Lain-lain
Jumlah Kasus : 21
1/DPM/CMG-L/11/I/IV/06 15
Kasus
Perempuan usia 45 tahun, datang ke rumah sakit karena keluhan bercak-bercak putih di wajah. Pasien di
diagnosis vitiligo dan kemudian diberikan fototerapi.
Permasalahan
1. Pasien dengan fototerapi dilakukan seminggu dua kali sehingga kunjungan pasien dalam sebulan
bisa mencapai 8 kali kunjungan.
2. Pasien dengan vitiligo selalu diberi keterangan indikasi medis oleh DPJP
3. Sesuai PMK Nomor 28 Tahun 2014, pelayanan kesehatan dengan tujuan estetika tidak dijamin.
Vitiligo tidak termasuk ke dalam jenis penyakit yang masuk ke dalam kategori kosmetik, saat ini
diklasifikasikan dari patogenesisnya sebagai penyakit autoimun, sifatnya sistemik dan tidak akan bisa
sembuh karena bergantung dari kondisi kekebalan tubuh seseorang. Sebagai terapinya membutuhkan
terapi psikologis dan fototerapi meskipun memang pasien harus kembali terus menerus untuk melakukan
perawatan.
Dasar Teori
Analisis Kasus
Vitiligo (L.80) adalah keadaan hilangnya warna kulit sehingga menjadi lebih terang dari sisi sekitarnya.
Pasien pada kasus diberikan tata laksana fototerapi, sesuai dengan panduan tata laksana namun tidak
dijelaskan apakah diberikan tatalaksan lain seperti pemberian obat topikal. Pemilihan obat yang
dianjurkan untuk kasus vitiligo adalah kortikosteroid sistemik atau oral, imunomodulator topikal, analog
vitamin D.
Analisis Coding
Konflik Verifikator
Masalah pada kasus terletak pada biaya terapi yang besar dan membutuhkan kunjungan berulang.
Indikasi untuk fototerapi sebaiknya diperjelas agar bisa menghemat biaya terapi bila memang seandainya
tak dibutuhkan fototerapi dan bisa dikendalikan dengan edukasi serta obat topikal.
Kasus
Seorang perempuan usia 74 tahun, dirawat di rumah sakit dari tanggal 6 Januari 2015 sampai 8 Januari
2015 dengan keluhan bintik-bintik putih di wajah. Keluhan ini sudah dialami sejak pasien berusia
10 tahun, pasien tidak merasakan gatal atau nyeri dari keluhan ini. Pasien kembali ke rumah sakit
tanggal 21 Januari 2015 dengan keluhan yang sama. Kemudian pasien diberikan tindakan yang sama
dan dipulangkan tanggal 22 Januari 2015. Tindakan yang dilakukan adalah operasi yang melibatkan
kauterisasi dan kuretase dari xantelasma.
Permasalahan
1. Untuk diagnosis dan kasus ini apakah bisa dirawat inapkan karena mengingat tindakan yang dilakukan
menggunakan anastesi lokal?
2. Untuk diagnosis xantelasma apakah pengerjaannya harus dilakukan secara bertahap?
Jawaban DPM
Pada kasus ini Tim DPM belum dapat memutuskan dan diusulkan untuk diekskalasi ke tim DPM Pusat
Dasar Teori
Xanthelasma adalah bagian dari xantoma, endapan lipid atau sel busa yang tidak normal sehingga timbul
sebagai plak. Tujuan tata laksana dari xanthelasma adalah murni karena alasan kosmetik. Belum ada
terapi yang disebut-sebut sebagai baku emas untuk penatalaksanaan xanthelasma. Terapi bedah meliputi
bedah eksisi, listrik, beku, laser dan kimia. Algoritma penentuan terapi dari xanthelasma bergantung
pada konsistensi dan ukuran. Teknik blefaroplasti yang diterapkan Parker dan Walles mengharuskan
eksisi serial dengan interval 2 bulan.
Analisis Kasus
Bintik pada wajah tidak valid untuk dilakukan tindakan. Xantelasma termasuk ke dalam indikasi
kosmetik sehingga tidak dapat dijamin BPJS.
Analisis Coding
Konflik Verifikator
Masalah pada kasus terletak pada indikasi rawat inap dan penegakkan diagnosis xantelasma.
Penggunaan metode bedah menjadi pilihan utama dalam terapi xantelasma namun juga perlu
dikombinasikan dengan terapi medikamentosa untuk menurunkan kadar lipid.
25% Fraktur
Osteomyelitis
Osteoarthritis
54% Ulkus DM
7%
Tumor
6% Lain-lain
4%
4%
1/DPM/CMG-M/36/D/IV/06 14
Kasus
Pasien laki-laki, 66 tahun, dan menjalani rawat inap pada tanggal 17 Juni 2014 hingga 21 Juni 2014
dengan diagnosis penyakit jantung hipertensi (PJH) dan penyakit jantung koroner (PJK). Pada pasien
dilakukan arteriografi koroner. Pasien dirawat inap kembali pada tanggal 1 Juli 2014 hingga 9 Juli 2014
dengan diagnosis yang sama ditambah dengan gagal ginjal akut (GGA) sehingga dilakukan operasi
coronary artery bypass graft (CABG). Pasien dirawat inap untuk ketiga kalinya pada tanggal 31 Juli
2014 hingga 8 Agustus 2014 dengan diagnosis fraktur sternum, PJK, dan gagal ginjal kronis (GGK)
sehingga dilakukan torakotomi eksploratif. Pasien dirawat keempat kalinya pada tanggal 19 November
2014 hingga 21 November 2014 dengan diagnosis fraktur sternum, disrupsi luka pasca-operasi, dan
bronkopneumonia sehingga dilakukan torakotomi eksploratif untuk kedua kalinya.
Dx Dx Dx Dx
• HHD • HHD • Fraktur Sternum • Fraktur Sternum
• PJK • PJK • PJK • Disrupsi Luka
• GGA • GGA Pasca-operasi
Tx • Bronkopneumonia
Tx Tx
Rawat Inap 5 Hari
Permasalahan
Jawaban DPM
Fraktur sternum kemungkinan disebabkan oleh operasi CABG. Kemungkinan fraktur sternum dengan
infeksi, tetapi pada eksplorasi tidak ditemukan eksudat. Kata torakotomi eksplorasi seharusnya disebut
sebagai distraction bone sebagai terapi untuk mengeluarkan luka infeksi.
Perlu untuk diklarifikasi terlebih dahulu apa tujuan dari torakotomi eksplorasi dan apakah memang
memiliki indikasi sekuat itu untuk dilakukan operasi terbuka.
Dasar Teori
Salah satu efek samping dari CABG adalah deteriorasi dari nilai GFR sehingga perlu diperiksa terlebih
dahulu. Nilai GFR yang rendah sebelum melakukan operasi CABG juga menjadi
Analisis Kasus
Operasi jantung terbuka sangat membebani ginjal, terlebih pada pasien GGA maupun GGK dengan
disfungsi regulasi kalsium dan eliminasi obat. Diperlukan data eGFR untuk membantu menstratifikasi
risiko pasca operasi. Hal ini semakin diperparah karena pasien berumur diatas 65 tahun atau geriartri
dan dilakukan operasi berulang. Selain itu, kriteria penegakan diagnosis GGK adalah 3 bulan setelah
Analisis Coding
Analisis Biaya
Analisis biaya yang mungkin dapat dipangkas adalah komponen malfungsi, reaksi dan komplikasi dari
alat atau prosedur kardiovaskuler berat (I-4-23-III) sebanyak dua kali yang total bernilai Rp22.273.200,00
untuk kelas 3, Rp26.727.800,00 untuk kelas 2, dan Rp31.182.600,00 untuk kelas 1.
Perlu dilakukan pelengkapan data dan analisis indikasi dari operasi yang dilakukan setelah CABG pada
pasien sehingga dapat dilakukan justifikasi tindakan.
Kasus
Pasien laki-laki, 27 tahun, dirawat di RSU provinsi kelas B pada tanggal 6-16 Mei 2015 dengan diagnosis
utama stiffness of joint (M2566), anemia post-haemorrhage (D62), dan fracture of bone following
insertion of orthopedic implant, joint prosthesis, or bone plate (M96.6). Pasien kemudian ditata laksana
dengan division of joint capsule, ligament, or cartilage (80.46) dan limb shortening procedures of femur
(78.25).
Pasien dirawat kedua kalinya di RS kelas C dengan diagnosis fracture of bone following insertion of
orthopedic implant, joint prosthesis, or bone plate (M96.6) dengan prosedur application of external
fixator device of femur (78.15). Tiga hari kemudian pasien dirawat kembali di RSU provinsi tanggal
27 Juni – 1 Juli 2015 dengan diagnosis postprocedural musculoskeletal disorder (M96.9) sehingga
dilakukan Limb lengthening procedures of femur (78.35) dan bone graft of femur (78.05).
Pasien dirawat di keempat kalinya pada tanggal 7-14 Agustus 2015 dengan diagnosis Osteomyelitis,
unspecified, pelvic and thigh (M86.95) dengan prosedur sequestrectomy femur (77.05). Pasien dirawat
kelima kalinya pada tanggal 21 - 25 September 2015 dengan diagnosis implant failure.
Pada pasien dilakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium dengan hasil Hb 6.9. Diajukan klaim dengan
diagnosis utama fracture of bone following insertion of orthopedic implant, joint prosthesis, or bone
plate (M96.6) dan sekunder fracture of femur (S72.3) dan anemia post-haemorrhage (D62). Prosedur
yang dilakukan adalah open reduction of fracture with internal fixation of femur (78.35) dan other
transfusion of whole blood (99.03).
Pertanyaan
Rekomendasi DPM
Limb shortening, lengthening, dan bone grafting tidak tersedia di RS kelas C sehingga tidak dapat
diajukan. Pada kasus implant failure, etiologinya adalah non-union dan infeksi sehingga tidak dapat
dilakukan internal fixation of femur. Rekomendasi adalah penggunaan external fixation of femur.
Dibutuhkan foto sebelum dan sesudah pemasangan plat. Infeksi adalah kontraindikasi dari bone grafting
sehingga seharusnya diselesaikan terlebih dahulu.
Terdapat keterangan verifikator bahwa rumah sakit adalah rumah sakit kelas C sedangkan rumah sakit
yang melakukan prosedur adalah kelas B.
RS Provinsi yang melakukan klaim adalah RS kelas B dengan fasilitas poli ortopedi. Klaim oleh RS
adalah M96.6 (Malfungsi, reaksi, atau komplikasi dari prosedur atau pemasangan alat ortopedik; M-4-
19-II) dan S72.3 (Fraktur Femur; M-4-10-II) yang sebenarnya dapat disatukan. Prosedur limb shortening,
lengthening, dan bone grafting keseluruhannya dilakukan di RS kelas B. Infeksi dapat diselesaikan
dengan menggunakan antibiotik.
Analisis Coding
Analisis Biaya
Biaya yang dapat dikurangi melalui penghapusan klaim M-4-10-II sebesar Rp8.812.400,00 untuk kelas
3, Rp10.574.800,00 untuk kelas 2, dan Rp12.337.400,00 untuk kelas 1.
Klaim sekunder fraktur femur dapat dihapuskan karena masuk dalam klaim primer. Prosedur limb
shortening, lengthening, dan bone grafting keseluruhannya dilakukan di RS kelas B sehingga seharusnya
dapat dilakukan klaim.
Kasus
Pertanyaan
Pasien tidak mendapat prosedur sebelum operasi dan observasi pascaoperasi. Operasi dilakukan anestesi
lokal. Apa saja indikasi rawat inap?
Jawaban DPM
Pasien dengan prosedur kecil belum tentu berdampak kecil. Operasi kecil yang dijalankan one day care
ataupun kamar operasi memiliki harga dan risiko yang sama tetapi terdapat kesenjangan tarif yang besar.
Trigger finger adalah ranah ortopedi.
Terdapat keanehan dimana tidak terdapat catatan kasus jelas tetapi terdapat pertanyaan dan jawaban
DPM. Jawaban DPM sendiri berkonflik karena tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan.
Dasar Teori
Trigger finger disebabkan oleh penebalan tendon fleksor atau munculnya nodul pada bagian distal
telapak tangan. Keluhan dari pasien dapat berupa kesulitan atau rasa sakit ketika melakukan fleksi atau
ekstensi pada jari. Penyebab keadaan ini masih belum diketahui. Trigger finger banyak dialami pada
tangan dominan.
Pengobatan untuk trigger finger dapat dilakukan dengan penggunaan splint, injeksi kortikosteroid,
maupun bedah. Prosedur pembedahan pada keadaan ini dapat dilakukan dengan rawat jalan dan tidak
memerlukan rawat inap.
Analisis Kasus
Dibutuhkan seluruh catatan diagnosis dan terapi yang dilakukan karena tidak dituliskan sama sekali.
Paket INA-CBGs tidak memperhitungkan jenis rawat jalan maupun inap.
Analisis Coding
Biaya untuk gangguan jaringan konektif (sedang) M-4-16-II sebesar Rp3.036.200,00 untuk kelas 3,
Rp3.643.500,00 untuk kelas 2, dan Rp 4.250.700,00 untuk kelas 1.
Perlu dilakukan analisis lebih lanjut dan juga justifikasi perlunya rawat inap. Selain itu, pada kasus ini
juga perlu melengkapi kasus dan juga keseluruhan pemeriksaan penunjang yang dilakukan. Trigger
finger tidak memerlukan rawat inap dan dapat dilakukan rawat jalan.
4% Kalkulus Ginjal
16.67%
Penggunaan cimino
12% Lain-lain
18%
Jumlah Kasus : 50
1/DPM/CMG-N/4/I/VIII/06 15
Kasus
Perempuan 76 tahun, datang ke RS dengan keluhan batuk, sesak serta demam. Hasil pemeriksaan
rontgen thorax menunjukkan hipertrofi ventrikel kanan dan efusi pleura kanan. Hasil laboratorium
menunjukkan penurunan Hb (9,9 mg/dl), leukositosis yaitu 21.900, peningkatan serum ureum (81 mg/
dl) dan kreatinin (3,7 mg/dl). Pemeriksaan urinalisis menunjukkan Protein 1+, Keton 1+, dan Eritrosit
2+. Pasien didiagnosis pleuropneumonia dengan AKI, hipertensi dan anemia ringan. Pasien diberikan
terapi erdostein, sistenol, sucralfat, loratadin, arcape, allopurinol, ondansetron, ceftriaxon 1 x 2 g,
cefotaxim 3x1, ciprofloxacin 2 x 400, captopril, sulfa ferosus 2x1. Diagnosis utama pasien ini menurut
ICD-10 adalah J90 (Pleural effusion, not elsewhere classified). Diagnosis sekunder pada pasien ini
adalah N17 (Acute renal failure with tubular necrosis), I10 (Essential hypertension) dan D649 (Anaemia,
unspecified)
Jawaban DPM
• N17.0 pengkodingan kurang tepat karena jika tubular necrosis harus ada hasil PA.
• Kriteria AKI :
• Menurun Serum kreatinin >1,5 kali nilai dasar
• Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus > 25 % nilai dasar
• Kriteria urine output < 0,5 mL/kg/jam, selama > 6 jam
• Efusi pleura tersebut merupakan efusi pleura ringan dengan penatalaksanaan antibiotik.
Dasar Teori
Gangguan ginjal akut atau Acute Kidney Injury merupakan kondisi yang ditandai dengan menurunnya
laju filtrasi glomerulus dalam waktu cepat namun dapat kembali ke kondisi awal bila penyebabnya
ditangai. Dalam menegakkan diagnosis AKI, saat ini digunakan kriteria RIFLE. Setelah itu perlu
dicari tahu apakah benar itu AKI atau fase akut dari Penyakit Ginjal Kronik. Beberapa hal yang dapat
digunakan untuk membedakan keduanya adalah riwayat etiologi penyebab lebih mengarah ke AKI atau
PGK, perjalanan penyakit, dan ukuran ginjal. Bila sudah dikonfirmasi sebagai AKI maka selanjutnya
untuk mencari tahu etiologi dari AKI dapat dicari temuan klinis seperti:
• Prerenal: laju urin yang berkurang, penurunan berat badan, penurunan tekanan vena jugular, turgor
kulit berkurang dan mukosa kering, pada urinalisis dapat ditemukan silinder hialin dan osmolalitas
>500 mmol/kg.H2O
• Renal: penggunaan zat nefrotoksik, pada urinalisis dapat ditemukan berbagai sel cast seperti eritrosit,
granular, atau epitel tubulus serta osomolalitas sekitar 300 mmol/kg.H2O
• Pascarenal: nyeri sudut kostovertebra, nyeri suprapubik, nyer pinggang kolik atau pembesara prostat
yang mengarah pada etiologi pascarenal.
Tata laksana untuk pasien dengan AKI adalah dengan terapi nutrisi dan farmakologi. Terapi farmakologi
yang diberikan adalah furosemide bila terdapat tanda-tanda kelebihan cairan dan dopamin. Furosemide
diberikan secara intravena bolus 40 mg dan dapat ditambah tetesan cepat 100-250 mg dalam 1-6 jam
atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram per hari. Pemberian dopamin
0,5-3 mcg/kgBB/menit dapat dicoba namun bila tidak ada perbaikan setelah 6 jam lebih baik dihentikan
segera untuk menghindari efek samping.
Katabolisme
Variabel
Ringan Sedang Berat
Contoh keadaan klinis Toksis karena obat Pembedahan +/- infeksi Sepsis, ARDS, MODS
Dialisi Jarang Sesuai kebutuhan Sering
Rute pemeberian nutrisi Oral Enteral +/- parental Enteral +/- parental
Rekomendasi energi 20-25 kkal/kg BB/hari 25-30 kkal/kgBB/hari 25-30 kkal/kgBB/hari
Sumber energi Glukosa 3-5 g/kgBB/hari Glukosa 3-5 g/kgBB/hari Glukosa 3-5 g/kgBB/hari
Lemak 0,5-1 g/kgBB/hari Lemak 0,8-1,2 g/kgBB/hari
Kebutuhan protein 0,6-1 g/kgBB/hari 0,8-1,2 g/kgBB/hari 1,0-1,5 g/kgBB/hari
Pemeberian nutrisi Makanan Formula enteral Formula enteral
Glukosa 50-70 % Glukosa 50-70 %
Lemak 10-20% Lemak 10-20%
AA 6,5-10% AA 6,5-10%
Mikronutrien Mikronutrien
Analisis Kasus
Pasien pada kasus menunjukkan kadar kreatinin 3,7 mg/dL namun tidak diketahui berapa nilai dasar
kreatinin pasien ini. Tidak ada yang menggambarkan jumlah urin yang dikeluarkan selama 6 jam
terakhir sehingga sulit untuk mendiagnosis bahwa kasus ini benar AKI atau fase akut PGK. Apabila
berasumsi bahwa nilai dasar kreatinin pasien adalah normal (ambang atas 1,2 mg/dL) maka terjadi
peningkatan 3 kali dari nilai dasar sehingga dapat dikategorikan ke dalam fase failure dari kriteria
RIFLE. Hasil urinalisis menunjukkan terdapat protein dan eritrosit dalam urin sehingga mengarah pada
kemungkinan AKI tipe renal. Anemia bisa menjadi penanda penyakit ginjal kronik maupun penanda
kerusakan glomerulus sehingga tidak bisa menjadi faktor penentu. Tata laksana yang diberikan untuk
efusi pleura sudah tepat yaitu antibiotik dan mukolitik.
Sesuai dengan jawaban DPM, kasus ini tidak bisa diberi kode N17.0 karena belum terbukti AKI dengan
nekrosis tubuler. Hasil urinalisis tidak menemukan epitel tubulus sehingga diperlukan pemeriksaan
histopatologi untuk mengkonfirmasi keadaan tubulus. Kode yang lebih tepat untuk digunakan adalah
N17.9 yaitu acute renal failure, unspecified. Selain itu karena pasien didiagnosis pneumonia maka
seharusnya ditambahkan kode J18.9 yaitu pneumonia, unspecified.
Analisis Biaya
Biaya yang dibebankan pada pasien ini menurut standar tarif JKN adalah Pleural Efusi dan Pneumotorak
Berat dengan kode J-4-20-III. Biaya kelas 3 adalah sebesar Rp14.417.400,00, biaya kelas 2 adalah
sebesar Rp17.299.100,00 dan biaya kelas 1 adalah sebesar Rp20.184.300,00.
Konflik Verifikator
Masalah pada kasus terletak pada penegakkan diagnosis dan kesesuaian terapi.
Pada kasus ini, efusi pleura sebaiknya dimasukkan sebagai bagian dari pneumonia karena penyakit ginjal
pada pasien di diagnosis sebagai AKI. Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk mengkonfirmasi
AKI adalah USG ginjal, kadar ureum dan kreatinin serum.
Kasus
Laki-laki, 51 tahun masuk ke RS untuk keperluan hemodialisis. Melalui anamnesis diketahui bahwa
pasien memiliki jadwal hemodialisis 2 kali dalam seminggu. Pemeriksaan fisik menunjukkan tekanan
darah 140/100, nadi 94 kali per menit, suhu 36oC dan pernapasan 28 kali per menit. Pemeriksaan
laboratorium menunjukkan Hb 6,4 g/dl, Ureum 127 mg/dl, Kreatinin 9,13 mg/dl. Pasien didiagnosis
menderita penyakit hipertensi ginjal dengan gagal ginjal (I12.0) dan anema pada penyakit kronik (D63.8).
Tindakan yang dilakukan pada pasien ini adalah transfusi sel darah terpaket (99.04) dan hemodialisis
(39.95).
Permasalahan
Pada pasien ini mengalami CKD + anemia. Jika anemia pada kasus tersebut merupakan simptom dari
CKD apakah masih perlu diajukan sebagai diagnosis sekunder pada pengajuan klaim?
Jawaban DPM
Anemia dapat diajukan sebagai diagnosis sekunder apabila mendapatkan terapi transfusi darah.
Dasar Teori
Pasien pada kasus memiliki Hb 6,4 g/dl dan berdasarkan panduan tata laksana target Hb adalah 10
sampai 11. Kasus ini membutuhkan transfusi darah karena anemia yang terjadi termasuk anemia berat
sehingga berdasarkan jawaban DPM, diagnosis anemia dapat dijadikan diagnosis sekunder. Anemia pada
penyakit ginjal kronik disebabkan oleh disfungsi ginjal dalam mensintesis hormone EPO (eritropoetin)
sehingga produksi sel darah merah terganggu.
Analisis Coding
Kode yang digunakan untuk diagnosis pasien adalah I12.0 yaitu hipertensi dengan gagal ginjal. Kode
ini sesuai bila memang benar PGK pasien didahului oleh riwayat hipertensi yang menahun. Kode D63.8
sudah tepat untuk anemia pada pasien ini karena memang anemianya disebabkan oleh PGK.
Analisis Biaya
Tata laksana yang diberikan sudah tepat namun sebaiknya ditambahkan obat hipertensi seperti amlodipin
untuk mengendalikan tekanan darahnya. Anemia pada penyakit ginjal kronik membutuhkan transfusi
bila respon dari agen penstimulasi EPO tidak baik. Pemberian ACE-I tidak disarankan karena PGK
pasien sudah tahap 5 sehingga efek protektif renal tidak diperlukan dan agar pasien tidak hiperkalemia.
Konflik Verifikator
16.67% Oligohidramnion
USG
34%
10% SC
Hiperemisis gravidarum
Perdarahan
15%
Anemia
8%
Lain-lain
8% 8%
Jumlah Kasus : 63
1/DPM/CMG-O/10/D/VI/10 15
Kasus
Pasien berusia 38 tahun, hamil 38 minggu. Sebelumnya, pasien telah memiliki 2 anak yang dilahirkan
secara sectio caesaria (SC). Menurut pemeriksaan obstetri, bentuk perut membuncit dengan janin
presentasi kepala tunggal hidup. Tidak diketahui apakah pasien merasa mulas maupun adanya
pembukaan. Pasien tidak memiliki penyakit selama kehamilan yang mengharuskan untuk dilakukan
terminasi.
Pertanyaan
Apakah kasus tersebut indikasi dilakukan SC? Apa saja yg termasuk indikasi SC? Indikasi absolut?
Indikasi SC adalah waktu janin dibawah 6 bulan, panggul sempit, DKP, ukuran janin, PP totllis, ibu
HIV dan/atau menderita Herpes Vaginalis dengan risiko tertular ke bayi, maupun tumor jalan lahir. Ada
indikasi pada kasus ini yakni TF berukuran 39 cm (janin besar). Diperlukan data yang lebih lengkap
mengenai ukuran bayi. Dalam keadaan tidak ada indikasi, boleh dilakukan partus percobaan.
Tidak ada konflik dengan verifikator, pihak DPM menjawab pertanyaan verifikator.
Dasar Teori
Indikasi dari prosedur SC terbagi menjadi dua, yakni faktor ibu dan faktor janin. Faktor ibu yang menjadi
indikasi SC adalah disproporsi kepala panggul, plasenta previa, tumor pelvis, kelainan his, ruptur uteri,
kegagalan persalinan, dan penyakit ibu (eklamsi, penyakit jantung). Adapun indikasi janin seperti janin
besar, kelainan gerak dan posisi, gawat janin, dan penyakit janin (hidrocephalus).
Analisis Kasus
Data medis seperti interpretasi USG ataupun kondisi medis ibu maupun janin belum diketahui sehingga
tidak diketahui apakah pasien ini memiliki indikasi untuk melakukan sectio caesarea. Jika sudah ada
indikasi yang jelas, dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk melakukan operasi seperti pemeriksaan
laboratorium sebelum dilakukan operasi, baik bersifat cito maupun tidak.
Analisis Coding
Dalam ICD-10 hal ini diklasifikasikan dalam O82.9 yakni kelahiran dengan sectio yang tidak spesifik.
Sementara penatalaksanaan yang diberikan adalah sectio transperitoneal 74.0
Analisis Biaya
Dari pendataan tarif INA-CBG di RS Rawat inap kelas A, diketahui bahwa tarif kelas 3 untuk prosedur
sectio berkisar Rp5.257.900,00-Rp7.915.300,00 bergantung pada tingkat kesulitannya. Sementara untuk
persalinan pervaginam kelas 3 berkisar antara Rp2.622.300,00-Rp3.890.700,00. Dari pembiayaan, dapat
dilihat bahwa prosedur sectio memiliki tarif yang lebih tinggi daripada kelahiran pervaginam. Hal ini
disebabkan oleh prosedurnya yang lebih sulit dan lebih membutuhkan keahlian tertentu.
Sebaiknya, ditekankan kembali apa saja yang menjadi indikasi dari sectio caesaria. Rekomendasi
lainnya adalah agar mencantumkan data yang lebih lengkap terutama tentang indikasi dan diagnosis
dari pasien sehingga bisa ditangani dengan lebih sesuai. Adapun untuk pembayaran dari BPJS sebaiknya
hanya diberikan kepada sectio dengan data indikasi yang lengkap sehingga tidak akan ada tindakan yang
kurang sesuai dengan indikasi.
Kasus
Pasien melakukan pemeriksaan kehamilan trimester 3 dengan tanggal kunjungan sebagai berikut:
Kunjungan I : 10/03/2015 (kontrol kehamilan dan USG), Kunjungan II : 14/03/2015 (kontrol kehamilan
dan USG), Kunjungan III : 14/03/2015 (kontrol kehamilan dan USG), Kunjungan IV : 19/03/2015
(kontrol kehamilan dan USG), Kemudian pasien yang sama kontrol post SC 2 kali dan setiap kali pasien
kontrol dilakukan USG juga.
Pertanyaan
1. Berapa kali standar USG normal harus dilakukan selama 1 periode kehamilan?
2. Apabila pasien post partum ataupun post partum kemudian kontrol kembali pasca melahirkan harus
dilakukan USG?
3. Berapa kali sebenanrya USG post partum harus dilakukan?
4. Berapa kali standar USG pada pasien yang memiliki riwayat abortus, pasien yang hamil dengan usia
berisiko, riwayat preeklamsi, ataupun dengan gangguan kehamilan lainnya?
Jawaban DPM
Satu periode kehamilan dilakukan USG minimal 4x (Trimester I, II, III, dan saat mau melahirkan), lebih
boleh. Sebulan sekali dilakukan USG, lebih dari 7 bulan tiap 2 minggu, lebih dari 9 bulan tiap 1 minggu
sampai mau melahirkan. Tujuannya adalah pada trimester I dan II untuk mengetahui ada kelainan atau
tidak seperti cacat (kelainan mayor), Trimester II - III untuk mengetahui pertumbuhan janin sampai saat
mau melahirkan. Post partum atau post SC dilakukan USG untuk melihat apakah ada sisa selaput atau
jaringan atau tidak. Apabila masih ada sisa selaput atau jaringan maka dilakukan tindakan kuret. Untuk
USG post sc minimal dilakukan 2X, kecuali kalau infeksi luka operasi (ILO) yang parah maka harus
dirawat inapkan, namun kalau tidak maka bisa dirawat dirumah dengan catatan 1 minggu kemudian
kontrol kembali.
Tidak ada konflik dengan verifikator, pihak DPM menjawab pertanyaan verifikator.
Dasar Teori
USG merupakan salah satu pelayanan ibu hamil yang seringkali menjadi pertanyaan dalam BPJS.
Adapun pemberian pelayanan kehamilan pada kasus tersebut kurang, karena kemungkinan karena
tidak tersedianya pelayanan USG pada tingkat pelayanan tertentu karena kurangnya pelayanan. USG
pada trimester I cukup penting dalam kehamilan untuk mengetahui pertumbuhan dan sebagai salah
satu indikator untuk menentukan taksiran persalinan yang paling efektif. Adapun perlaksanaan USG
pada pasien dengan indikasi tertentu, seperti adanya kelainan, maupun Post-SC akan diberikan untuk
membantu penegakkan diagnosis atau tata laksana.
Pada pasien ini, dilakukan USG pada pasien sebanyak 3 kali. Tidak diketahui apakah ada indikasi dari
pemeriksaan tersebut, namun pada trimester 3 pemeriksaan tersebut diperbolehkan unutk dilakukan.
Adapun USG post SC yang diberikan sebanyak 1 kali sudah cukup tepat untuk melihat bagaimana
keadaan rahim ibu tersebut.
Analisis Coding
Analisis Biaya
Biaya untuk prosedur ultrasound untuk RS kelas B adalah Rp564.300,00. Biaya tersebut adalah biaya
tambahan setiap kali melakukan prosedur.
Kasus
Pasien usia 27 tahun hamil G1P0A0 39 minggu, berdasarkan keterangan dokter sebelumnya hasil USG
sungsang, HPHT tidak ada, USG tidak ada, hasil lab tidak ada. Tekanan Darah/ Berat Badan: 110/70
mmHg. Diagnosis Utama: oligohidramnion (O41.0). Diagnosis Sekunder: Presentasi bokong. (064.1)
Prosedur: Tindakan SC. Jumlah hari rawat (RI): 3 hari. Terapi yang sudah diberikan: pronalges supp,
cefotaxime, ketorolak, (oxytocin dan metergin diberikan setelah tindakan SC).
Pertanyaan
1. Mohon penjelasan mengenai kriteria untuk menegakkan diagnosis Oligohidramnion dan apakah
dengan diagnosis tersebut harus dilakukan tindakan SC?
2. Mohon penjelasan mengenai kriteria untuk menegakkan diagnosis ketuban pecah dini dan apakah
dengan diagnosis tersebut harus dilakukan tindakan SC?
Jawaban DPM
1. Kriteria Oligohydramnion
- USG pemeriksaan 4 quadran cairan amnion
< 7 cm oligohydramnion sedang
< 5 cm oligohydramnion berat
Oligohydramnion berat + gangguan kesejahteraan janin
Indikasi SC cyto, semi elektif
2. Ketuban Pecah Dini
- Rembes
- Provious (aktif)
- Jernih
- Keruh + meconium
Terjadinya
- Preterm →rawat, tokolitik
- Aterm + inpartu →terminasi
- Posterm → terminasi
Terminasi: tergantung indikasi obstetrinya
1. Pervaginam → induksi
- Kemajuan persalinan tidak ada (persalinan tidak maju) → SC
2. SC → - distosia (DKP, malposisi)
- Kelainan letak / malposition (letak sungsang)
- Penyakit lain (bekas op pada uterus) (bekas SC, myomauteri)
Tidak ada konflik dengan verifikator, pihak DPM menjawab pertanyaan verifikator.
Dasar Teori
Oligohidroamnion adalah keadaan kurangnya cairan amnion yang dapat mengakibatkan perkembangan
yang kurang baik dari jaringan paru dan mungkin mengakibatkan kematian janin. Pada umumnya,
oligohidroamnion terjadi karena adanya ruptur membran.
Analisis Kasus
Pada pasien ini diagnosis utama yang diberikan adalah oligohidramion. Sementara dari anamnesis tidak
ditemukan adanya keluhan keluar air-air. Hasil dari USG pun tidak dicantumkan (tidak diketahui apakah
tidak dilakukan atau tidak dilampirkan) sementara oligohidramnion hanya bisa didiagnosis melalui
USG. Sementara itu, malposisi (presentasi bokong) yang sudah dilakukan USG dan telah dikonfirmasi
sebelumnya hanya menjadi diagnosis sekunder. Terjadi missing link dari kejadian ini yang belum bisa
diuraikan. Adapun keduanya merupakan indikasi dari sectio caesaria.
Selain data USG, Data yang mungkin bisa dilampirkan adalah apabila fetus inpartu/tidak pada bayi
sungsang yang inpartu, dapat dilakukan persalinan pervaginam dengan penyulit. Namun, jika tidak
inpartu, sc tetap menjadi tata laksana utama.
Analisis Coding
Analisis Biaya
Untuk biaya prosedur persalinan dengan sectio caesaria memerlukan biaya Rp1.721.200,00 pada Rumah
Sakit kelas B dengan rawat inap. Biaya terapi lainnya tergantung diagnosis dan keparahan dari penyakit
yang dialami pasien.
21% BBLR
23.3%
Jaundice
Asfiksia
7%
RDS
22%
Jumlah Kasus : 39
1/DPM/CMG-P/5/I/VIII/09 15
Kasus
Bayi lahir tidak langsung menangis dengan skor APGAR 6 secara SC dengan usia kehamilan 32 minggu
karena terjadinya plasenta previa. Berat bayi 2300 gram dan RR 36x / menit. Hasil lab abnormal yang
ditemukan pada pasien antara lain MCV tinggi, trombosit rendah, dan hemoglobin tinggi. Pasien
kemudian didiagnosis BBLR (P07.1) dan Trombositopenia. Pasien dimasukkan dalam inkubator dan
diberikan beberapa obat antara lain ampicilin, cefotaxime, gentamisin, amoxicillin drip, dan vitamin K.
Pertanyaan
Analisis Kasus
Secara umum, penatalaksanaan kasus BBLR adalah dengan mencegah hiponatremia, mencegah infeksi,
dan mencegah gawat napas. Penatalaksanaan berupa termoregulasi dengan penggunaan inkubator
sudah tepat. Namun, terdapat pemberian obat yang tidak sesuai dengan indikasi pada pasien ini. Dalam
cochrane, disebutkan bahwa profilaksis antibiotik tidak terbukti dapat menurunkan risiko infeksi
pernapasan pada bayi dengan BBLR. Apalagi, antibiotik yang diberikan pada pasien sangat beragam
dan saling tumpeng tindih.
Penjelassan penatalaksanaan BBLR seperti yang disampaikan oleh DPM sudah sesuai. Trombositpoenia
didiagnosis bila trombosit <150.000 sel/mm3, namun hanya perlu dilakukan observasi. Apabila terjadi
perdarahan, transfuse dapat dilakukan.
Apabila pasien diduga mengalami sepsis neonatorum, serangkaian pemeriksaan perlu dilakukan yakni
pemeriksaan darah lengkap (leukosit), rasio neutrophil matur:imatur, CRP, dan yang terpenting adalah
kultur bakteri dari fokus infeksi yang ditemukan.
Analisis Coding
Berdasarkan ICD-10:
P07.1 Other low birth weight
Sementara kemungkinan coding apabila pasien didiagnosis sepsis adalah:
P36 Bacterial sepsis of newborn, dan perlu dispesifikan kepada mikroorganisme penyebab sepsis
tersebut.
Analisis Biaya
Adapun pembiayaan untuk neonatal dengan berat badan lahir rendah kategori ringan tanpa prosedur
mayor Rp5.467.600,00 – Rp7.654.600,00.
Pada kasus ini, terdapat permasalahan terkait diagnosis sepsis. Hal ini berpengaruh pada penatalaksanaan
selanjutnya, apakah dibutuhkan perawatan atau tidak. Seluruh pemberian obat perlu dipertimbangkan
lagi.
Kasus
Bayi perempuan, 1 hari, lahir dengan Berat Badan: 3.000 gram. Dari anamnesis ditemukan Sesak,
ketuban bau, bayi vakum. Diagnosis utama yang diberikan adalah asfiksia (. Sementara diagnosis
sekunder berupa neonatal infection, hipotermia, caput
Ia dirawat inap selama 2 Hari dengan terapi yang diberikan dirawat di infant warmer, O2, amoxilin,
Gentamicin. Adapun hasil pemeriksaan diagnostik: Suhu: 35oC, akrosianosis (+), AS: 7/8, merintih (+),
respiration Distress (+), RR 64 x/mnt, Saturasi 78%, retraksi (+), Downe Score: 4
Pertanyaan
Jawaban DPM
Nilai apgar 7/8 adalah normal sehingga tidak dapat didiagnosis dengan asfiksia. Diagnosis yang lebih
tepat adalah suspect sepsis, namun pemeriksaan pendukung tidak ada, seperti adanya kultur dan hasil
lab. Jika dilihat dari jumlah rawat inapnya, makan seharusnya bacterial sepsis of newborn tidak hanya
dirawat 2 hari, kecuali ada kondisi lain seperti keterbatasan ruangan.
Analisis Kasus
Pada kasus ini terjadi kesalahan diagnosis utama. Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan gawat bayi
berupa kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.
Pada asfiksia APGAR menit 1 ≤ 3 dan Saturasi oksigen < 90%. Pada kasus ini, skor APGAR 7 pada
menit ke-1 masih mungkin berupa asfiksia apabila disertai dengan denyut nadi >100x/menit pada awal-
awal kelahiran. Hal ini tidak dicantumkan pada data tersebut, sehingga tidak dapat ditegakkan diagnosis
asfiksia. Sementara itu, karena ketuban yang bersifat hijau keruh, dicurigai terjadi infeksi/sepsis. Adanya
merintih, distress pernapasan, akrosianosis, retraksi, dan saturasi oksigen yang rendah dengan riwayat
ketuban bau memungkinkan terjadinya sindrom aspirasi mekonium. Tampak ada ketidaksesuaian data
antara skor APGAR dengan hasil pemeriksaan fisik lainnya.
Seharusnya dilakukan pemeriksaan CRP. Tentu saja ini menyebabkan kerugian karena tata laksana yang
diberikan menjadi kurang sesuai. Kurangnya tata laksana antibiotik serta pemantauan rawat inap yang
kurang juga menjadi salah satu kekurangan dari misdiagnosis ini.
Analisis Biaya
Pembiayaan untuk neonatus BBL > 2499 gram dengan sinroma aspirasi ringan di RS kelas C pemerintah
adalah Rp1.974.400,00 untuk kelas 3. Sementara neonatus yang sepsis (infeksi berat) dengan BB >2499
gram di RS kelas C kelas 3 adalah Rp7.002.400,00 yang berarti layak untuk mendapatkan tata laksana
yang lebih sesuai dan lebih baik. Hal ini menimbulkan potensi penyelewengan pendanaan pada kasus
ini.
Data yang tidak sesuai pada kasus ini mempersulit diagnosis yang ada. Kemungkinan asfiksia, aspirasi
mekonium, serta sepsis neonatorum masih dapat terjadi. Perlu ketelitian dan ketepatan diagnosis dokter
pada permasalahan ini.
Kasus
Bayi laki-laki, lahir dengan berat badan 3120 gram dan Panjang Badan 52 cm. Bayi lahir 30 Juni 2015
dan datang kerumah sakit pada tanggal 8 Juli 2015. Ibu Bayi L datang kerumah sakit dengan keluhan
badan kuning. Hasil pemeriksaan lab menunjukkan kadar bilirubin total 9,91 mg/dl. Bayi didiagnosis
Neonatal Jaundice, unspecified (P59.9) dan diberikan prosedur Ultraviolet light therapy (99.82). Selain
itu dirawat selama 2 hari.
Pertanyaan
A. Mohon penjelasan tipe-tipe Ikterus serta gejala klinis yang terjadi pada kasus Ikterus?
B. Mohon penjelasan pemeriksaan yang diperlukan untuk untuk menegakkan kasus Ikterus?
C. Mohon penjelasan penatalaksanaan spesifik yang diperlukan pada kasus Ikterus?
Jawaban DPM
Jaundice/Ikterus adalah perubahan warna kulit menjadi kuning pada bayi yang disebabkan oleh
hiperbilirubinemia. Pada bayi Secara umum penyebabnya ada dua
A. Ikterus fisiologis: tampak pada hari ke 2-3, kadar maksimal bilirubin total 12 mg% dan menghilang
pada minggu pertama atau kedua
B. Ikterus patologis: timbul lebih awal < 36 jam, peningkatan > 0,5 mg/dl/jam, kadar maksimal 15-17
pada bayi cukup bulan, dan ikterus menetap lebih dari 2 minggu.
Pemeriksaan yang harus dilakukan adalah darah rutin, kadar bilirubin direk-indirek-total, morfologi
darah tepi, retikulosit, golongan darah bayi-ibu (ABO/rh), Kadar G6PD dan Uji Coombs
Penanganan yang dilakukan secara umum adalah terapi sinar, transfusi tukar, dan koreksi faktor
penyebab. Pada kasus ini, usia bayi 9 hari dengan kadar bilirubin total 9,91mg/dl maka belum perlu ada
indikasi foto terapi
Analisis Kasus
Pada kasus ini, ada kemungkinan bayi L mengalami ikterus fisiologis atau breastmilk jaundice.
Breastmilk jaundice mempunyai karakteristik kadar bilirubin indirek yang masih meningkat setelah
4-7 hari pertama. Kondisi ini berlangsung lebih lama daripada hiperbilirubinemia fisiologis dan dapat
berlangsung 3-12 minggu tanpa ditemukan penyebab hiperbilirubinemia lainnya. Penyebab BMJ
berhubungan dengan pemberian ASI dari seorang ibu tertentu dan biasanya akan timbul pada setiap bayi
yang disusukannya. Semua bergantung pada kemampuan bayi tersebut dalam mengkonjugasi bilirubin
indirek (bayi prematur akan lebih berat ikterusnya). Penyebab BMJ belum jelas, beberapa faktor diduga
telah berperan sebagai penyebab terjadinya BMJ.
Sebagai tata laksananya, (1) pemantauan jumlah ASI yang diberikan apakah sudah mencukupi atau
belum, (2) pemberian ASI sejak lahir dan secara teratur minimal 8 kali sehari, (3) pemberian air putih, air
gula dan formula pengganti tidak diperlukan, (4) pemantauan kenaikan berat badan serta frekuensi BAB
Analisis Coding
Analisis Biaya
Pembiayaan fototerapi pada rumah sakit umum kelas C adalah Rp74.700,00. Terdapat potensi
penyelewengan biaya apabila bayi kemudian dirawat inap di NICU dengan biaya berkisar Rp 3.416.200
– Rp 11.750.700.
Kasus bayi kuning sangat sering dijumpai. Kejelian dokter dalam mendiagnosis ikterus yang muncul
aalah fisiologis atau patologis akan memengaruhi penatalaksanaan. Terdapat potensi penyelewengan
dana apabila sebenarnya bayi tidak membutuhkan fototerapi.
1/DPM/CMG-S/33/D/VII/03 15
Kasus
Pasien laki-laki, usia 23 tahun, dirawat inap selama 3 hari dengan diagnosis utama T54.3 (toxic effect of
corrosive alkalis and alkali-like substances) ODS trauma kimia basa. Pasien mendapat tindakan ganti
verban, terapi ranitidine, dan pemberian ciprofloxacin 500 mg
Permasalahan
Jawaban DPM
Trauma basa akibat larutan alkali diindikasikan rawat inap karena sifat alkali yang dapat mempenetrasi
jauh ke dalam jaringan. Pada kasus ini dilihat dari tindakan hanya dengan ganti verban dan terapi
ranitidine, cipro 500 seharusnya cukup dengan rawat jalan. Dianjurkan untuk verifikator untuk
mengkonfirmasi kesesuaian tindakan yang tertera dengan tindakan yang sudah dilakukan oleh DPJP.
Seharusnya pada kasus ini memerlukan observasi yang intensif untuk mencegah kemungkinan terburuk
yang dapat menyebabkan kebutaan.
Analisis Kasus
Trauma akibat larutan alkali terjadi lebih sering dan berdampak lebih parah dibandingkan dengan trauma
akibat larutan asam. Larutan alkali dapat penetrasi jauh lebih dalam, merusak stroma dan endotel,
serta struktur intraokular lain seperti iris, lensa, dan badan siliar. Kelainan intraokular dapat bersifat
ireversibel bila pH larutan mencapai lebih dari 11,5. Derajat keparahan luka pada mata bergantung pada
jenis zat kimia, konsentrasi, luas permukaan kontak, lama durasi pajanan, dan derajat penetrasi. Menurut
Panduan Praktik Klinis di Fasyankes Primer, pemeriksaan sederhana dapat dilakukan dengan senter dan
lup untuk mencari hiperemia konjungtiva, defek epitel kornea dan konjungtiva, iskemia limbus kornea,
serta kekeruhan kornea dan lensa, serta pemeriksaan visus untuk menilai penurunan tajam penglihatan.
Selain itu, jika memungkinkan dapat dilakukan tes lakmus untuk identifikasi zat kimia penyebab (lakmus
terwarnai merah karena zat asam; lakmus terwarnai biru karena zat basa).
Tata laksana segera adalah lakukan irigasi dengan larutan salin atau Ringer laktat selama 30 menit,
jangan menggunakan larutan asam untuk menetralkan basa. Selama irigasi, lakukan eversi kelopak mata
dan singkirkan debris yang mungkin terdapat pada permukaan bola mata atau pada forniks. Pasien juga
Analisis Coding
Berdasarkan ICD10, seharusnya coding pada kasus ini adalah T26 Burn and corrosion confined to the
eye and adnexa. Pada coding ini, terdapat beberapa subcoding lainnya sesuai dengan lokasi trauma basa
yang terjadi pada kasus. Pada kasus ini tidak dijelaskan lokasi trauma yang terjadi.
Kemungkinan diagnosis sekunder akibat komplikasi trauma basa pada kasus ini adalah:
H11.2 Symblepharon
H26.1 Traumatic cataract
H31.0 Macula scars of posterior pole (postinflammatory) (Post-traumatic)
H40.3 Glaucoma secondary to eye trauma
Analisis Biaya
Biaya untuk diagnosis gangguan mata lain-lain untuk rawat inap rumah sakit pemerintah kelas C adalah
Rp2.611.000,00 – Rp7.319.300,00; sementara biaya rawat jalan dengan diagnosis prosedur pada segmen
anterior mata berkisar dari Rp258.000,00 sampai Rp1.990.100,00.
Simpulan dan Saran
Pada kasus ini, indikasi rawat inap tidak dicantumkan dengan jelas. Trauma basa derajat rendah hanya
memerlukan irigasi dan kontrol ke poli mata, sementara trauma derajat berat membutuhkan pengawasan
yang lebih ketat. Rawat inap hanya diperuntukan pada kasus dengan komplikasi yang membutuhkan
pemantauan ketat ataupun penatalaksanaan lanjutan. Apabila benar terjadi komplikasi pada kasus ini,
seharusnya diagnosis sekunder dicantumkan. Kasus ini sulit dinilai, baik dari segi keputusan rawat inap
maupun tata laksana, karena informasi yang diberikan tidak lengkap dan tidak sesuai. Disarankan pada
setiap kasus dengan rawat inap perlu mencantumkan diagnosis yang sesuai sebagai dasar memutuskan
pasien perlu rawat inap. Disarankan pula untuk mencantumkan derajat penyakit (dalam hal ini trauma)
pada setiap kasus yang dapat dinilai derajatnya agar dapat dinilai ketepatan dalam pemberian tata
laksana.
1/DPM/CMG-T/33/D/VII/06 15
Kasus: -
Permasalahan
Apakah Pemberian resep obat kronis yang disertai dengan obat tambahan untuk mengurangi efek obat
utama yang diberikan terus menerus selama 1 (satu) bulan tersebut rasional? Misal obat Parasetamol
diresepkan 1 bulan dll
Jawaban DPM:
- Pada kasus osteoarthritis (OA) tidak perlu diberi obat analgetik seperti paracetamol, tetapi langsung
diberi obat untuk mengobati OA karena di dalam obat itu ada obat antiinflamasi dan obat analgetik.
- Pemberian obat simtomatik misal 1 minggu
- Dual anti platelet harus diberi PPI dan diberikan sebanyak jumlah obat antiplatelet (aspirin dan CPG)
yaitu 6 bulan. Bagaimana pada kasus ini?
- Pasin ini mutlak diberikan supaya tidak terjadi risiko stenosis
- Apakah kasus seperti ini bisa di-klaim?
- Misalnya albumin sudah 3 tidak boleh transfusi, padahal albumin 3,6 baru berhenti transfusi.
Bagaimana dengan kasus seperti ini? Apakah harus bayar sendiri?
- Statin pada kasus lipid, misalnya lipid normal, harus berhenti statin, padahal statin bisa untuk
antioksidan dan maintenance
- Aturan antara klaim pembiayaan dan pengobatan sesuai indikasi medis tidak sinkron akhirnya pasien
sendiri yang bayar
- Apakah ada cost sharing?
- Pembayaran BPJSK mengacu pada Permenkes
- BPJS tidak mengatur jumlah obat yang diberikan
- Bila diagnosis sesuai ICD 10 tidak memandang diberikan obat apapun
- Paket INA CBGs tidak melihat obat apapun yang diberikan
Analisis Kasus
14%
Tonsilitis kronik
14%
Impaksi gigi
Benda asing faring
7% Lain-lain
65%
Jumlah Kasus : 44
1/DPM/CMG-U/3/I/IX/11 15
Kasus
Pasien laki-laki, umur 37 tahun, rawat inap tanggal 10/12/2014 s/d 18/12/2014, nyeri pada saat menelan
dan tidak ada nafsu makan.
Tonsil hipertropi T3/T3
DU : Streptoccocal tonsillitis
Diajukan RS :
DU : Streptoccocal Tonsillitis (J03.0)
DS : Hypertrophy of tonsils (J35.1)
Dysphagia (R13), Malaise and fatigue (R53)
Haemorrhage and haematoma complicating a prosedure not elswhere classified (T81.0)
Permasalahan
Apakah yang menjadi indikasi medis prosedur Pharyngotomy pada kasus ini?
Pharyngotomy adalah insisi faring dengan atau tanpa mengangkat tumor. Untuk kasus ini dengan
diagnosis utama tonsilitis kronis, tindakan yang lebih tepat adalah tonsilektomi bukan pharyngotomy.
Diagnosis utama adalah hypertrophy tonsil. Diagnosis sekunder lainnya tidak
perlu dikoding karena merupakan satu kesatuan dari diagnosis hypertropi tonsil.
Prosedur cukup tonsilektomi.
Analisis Kasus
Data medis yang belum diketahui adalah durasi mengalami tonsilitis, hasil pemeriksaan swab yang
menunjukkan streptococcal tonsilitis, pemeriksaan darah.
Diagnosis utama kasus ini kurang tepat ditegakkan streptococcal tonsilitis jika tidak menampilkan hasil
swab yang menunjukkan bakteri Streptococcus sp. Diagnosis utama yang dapat ditegakkan tonsilitis.
Berdasarkan ICD 10 (J03.90), tonsilitis adalah inflamasi dari tonsil yang disebabkan virus atau bakteri.
Tanda dan gejala meliputi demam, pembesaran tonsil, sulit menelan, dan pembesaran kelenjar getah
bening Faringotomi adalah insisi faring dengan atau tanpa mengangkat tumor. Tindakan yang lebih
tepat adalah tonsilektomi bukan faringotomi. Indikasi absolut tonsilektomi adalah adanya hiperplasia
adenotonsilar dengan OSA; curiga keganasan; perdarahan. Streptococcal adalah indikasi relatif
tonsilektomi.
Diagnosis sekunder hipertrofi tonsil juga kurang tepat jika sudah ditegakkan tonsilitis. Diagnosis
sekunder lainnya tidak perlu dikoding karena merupakan satu kesatuan dari diagnosis hipertrofi tonsil.
Analisis Coding
Analisis Biaya
Biaya operasi faringotomi dan tonsilektomi pada kasus ringan faringotomi lebih 3 kali lipat dibandingkan
tonsilektomi. Selain itu, biaya rawat inap jadi berbeda jauh apabila dilakukan tindakan faringotomi dan
tonsilektomi. Apabila dilakukan tonsilektomi, umumnya lama rawat inap hanya 2-3 hari, tetapi pada
kasus ini pasien dirawat inap hingga 8 hari. Dari sini terlihat gap biaya yang sangat tinggi. Untuk
RS kelas B, biaya yang harus dikeluarkan sekitar Rp3.787.100,00 hingga Rp5.301.900,00 tergantung
derajat keparahan.
7% Hidronefrosis
7% Hiperplasia prostat
29% Batu ginjal
7%
BPH
7% Pasca persalinan
ISK
7% Adenokarsinoma prostat
15%
7% Striktur uretra
14% Lain-lain
Jumlah Kasus : 33
1/DPM/CMG-V/33/D/V/06 16
Kasus
Pasien laki-laki 45 tahun datang dengan keluhan nyeri pinggang kiri. Dari pemeriksaan fisik diapatkan
nyeri ketok CVA sebelah kiri. Pasien didiagnosis hidronefrosis sinistra.
Permasalahan
Jawaban DPM
Melihat kembali ke status operasi pasien untuk memastikan tindakan sebenarnya yang dilakukan. Jika
yang dilakukan hanya melihat tanpa adanya pemotongan/pengangkatan massa atau batu maka yang
dilakukan adalah uretescopy, sedangkan jika disertai pemotongan/pengangkatan maka yang dilakukan
adalah ureterotomy.
Data yang tercantum pada kasus ini kurang lengkap sehingga tidak bisa menggambarkan secara jelas
kasus yang terjadi. Jawaban yang diberikan oleh DPM sudah tepat, hanya tergantung pada prosedur apa
yang sebenarnya dilakukan pada kasus ini.
Kesesuaian antara prosedur dan diagnosis tidak dapat dinilai pada kasus ini karena tidak diketahui
apakah prosedur dilakukan untuk mengatasi hidronefrosis (membuka saluran dari ginjal – nefrostomi)
atau untuk mengangkat sumbatan saluran kemih yang menjadi penyebab hidronefrosis (seperti batu
saluran kemih). Apabila benar terdapat batu, maka tindakan uretrotomi perlu dilakukan. Apabila hanya
evaluasi yang ingin dilakukan, uretroskopi adalah tindakan yang tepat. Pemeriksaan lain seperti USG
atau CT Scan sebaiknya dilakukan untuk menegakkan diagnosis batu saluran kemih. Data klinis pada
kasus ini tidak mencukupi sehingga sulit dinilai ketepatan diagnostic dan prosedurnya.
Analisis Coding
Analisis Biaya
Tarif untuk prosedur yang dilakukan pada ginjal dan ureter di rumah sakit pemerintah kelas A berkisar di
antara Rp564.000,00 hingga Rp1.851.700,00 bergantung pada besar-kecilnya tindakan yang dilakukan.
Kasus
Pasien laki-laki usia 53 tahun didiagnosis batu ginjal dan sudah diterapi dengan cefixime, asam
mefenamat, asan traneksamat, dan cystone. Tindakan yang dilakukan adalah ESWL dengan anestesi
lokal berdurasi 1 jam.
Permasalahan
Jawaban DPM
1. Prosedur ESWL
• Pasien dalam posisi supine diatas meja ESWL
• Pemberian anestesi lokal
• Positioning dengan fluoroscopy general
• focusing - targeting machine
• Shock wave, frekuensi 1 -2 amp power 15 s/d 20 kV
• Total shock wave s/d 3000
• Saving tindakan pre, intra & post tindakan
• Fluoroscopy / USG evaluasi batu
• Evaluasi keadaan umum pasien
2. Indikasi ESWL:
• Batu renal < 20 mm (skin stone berdiameter <10 cm) CT HU < 1000)
• Batu ureter proximal <10 mm
• Residual stone pasca operasi
• Fungsi ginjal masih baik
• Pemeriksaan IUP tidak didapatkan kelainan anatomis dan fungsi pada sisi batu yang di ESWL
• Sudut infundibulum pelvix ≥ 90̊ dengan panjang infundibulum ≤10mm
• Batu dengan ukuran >20 mm dengan kontraindikasi tindakan bedah
3. Tindakan ESWL berulang:
• Batu tidak pecah dalam 1x tindakan ESWL
• Batu pecah tidak kompleks
4. Observasi pasca ESWL
• Tanda vital
• Evaluasi Klinis: hematuria, kolik e.c stin-strasse, hematuria renal, renal shun down, urosepsis
• Lama observasi bergantung pada kondisi klinis pasien dalam evaluasi per hari.
5. Indikasi Rawat Inap
• Kolik renal menetap yang tidak bisa diatasi dengan analgetik oral
• Pasien dalam observasi
Pada kasus ini, permasalahan yang timbul adalah mengenai langkah prosedur ESWL. Langkah tersebut
telah dijelaskan dengan sangat baik oleh DPM. Tidak ada penjelasan mengenai durasi rawat inap serta
pemeriksaan lebih lanjut, sehingga pada kasus ini tidak terdapat konflik dalam hal penanganan pasien.
Coding tindakan sesuai ICD-9CM adalah 59.95 ultrasonic fragmentation of urinary stones.
Analisis Coding
Analisis Biaya
Untuk pembiayaan Extracorporeal Shockwave Lithoiotripsy (ESWL) pada saluran kemih di RS kelas B
dengan rawat jalan adalah Rp4.007.000,00. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah ketepatan diagnosis
dan tata laksana sehingga tidak ada upgrading biaya yang tidak diperlukan.
Pada CMG V, berbagai pertanyaan yang muncul sebagian besar adalah seputar prosedur tindakan yang
dilakukan. Oleh karena itu, disarankan agar laporan tindakan atau laporan operasi turut dilampirkan
dalam laporan kasus sehingga dapat ditelaah lebih lanjut mengenai tindakan apa yang telah dilakukan
dan apakah tindakan tersebut telah tepat atau tidak. Penegakkan diagnosis pada sistem saluran kemih
membutuhkan serangkaian pemeriksaan penunjang, oleh karena itu hasil pemeriksaan laboratorium dan
radiologis perlu dicantumkan.
1/DPM/CMG-W/10/D/VI/11 15
Kasus
Pasien perempuan, 51 tahun, dirujuk dari FKTP dengan hasil pemeriksaan IVA Positif, di RS pasien di
rawat inapkan untuk dilakukan tindakan cauterisasi dengan General Anestesi. Tekanan Darah: 160/100
mmHg. Diagnosis utama: N72 (Lesi Prakanker serviks). Pasien dirawat selama 2 hari (28/8/2015 -
29/8/2015). Dilakukan tindakan : 67.32 Destruction of lesion of cervix by cauterization. Terapi yang
sudah diberikan: Ciprofloxasin 500mg, Antalgin 500mg, Captopril 25mg. Hasil Pemeriksaan diagnostik:
Pemeriksaan IVA di FKTP Positif.
Permasalahan
Jawaban DPM
Bahwa IVA+ artinya yang bersangkutan telah terkena HPV, dimana pada kasus Ca Serviks, 80% telah
terinfeksi HPV, sehingga jika dijumpai kasus IVA+, dilakukan kolposkopi untuk biopsi terarah ada atau
tidak lesi atau tindakan kedua yaitu cauter, dengan harapan lesi hilang sehingga tidak menyebabkan
kanker serviks. Jika bicara prosedur, tidak harus, bahkan tanpa anestesi bisa dilakukan atau jika diperlukan
cukup dengan anestesi lokal. Permasalahannya jika tindakan ini dilakukan di RJ tidak bisa diklaimkan,
sebagaimana biopsi, tarif melebihi tarif RJ sehingga pada beberapa center di Rawat Inap-kan. BPJS; jika
BPJS harusnya sesuai dengan prosedur seperti apa. Contoh lain adalah pasien endometriosis yang cukup
ditegakkan dengan USG, karena tarif obat mahal, sehingga pasien tidak diberikan karena obatnya mahal
dan tarif RJ minim. Jasmed dokter dikurangi sesuai dengan tarif ina cbg.
Analisis Kasus
Inspeksi visual asam (IVA) merupakan salah satu cara untuk mendeteksi dini adanya kanker serviks.
Berdasarkan Program Nasional Gerakan Pencegahan Dan Deteksi Dini Kanker Kanker Leher Rahim
Dan Kanker Payudara dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, apabila ditemukan IVA Positif,
dilakukan krioterapi, elektrokauterisasi atau eksisi LEEP/LLETZ. Krioterapi dilakukan oleh dokter
umum, dokter spesialis obstetri dan ginekologi atau konsultan onkologi ginekologi. Elektrokauterisasi,
LEEP/LLETZ dilakukan oleh dokter spesialis obstetri dan ginekologi atau konsultan onkologi ginekologi.
Apabila ditemukan pasien yang dicurigai kanker serviks dilakukan biopsi. Jika pemeriksaan patologi
anatomi mengkonfirmasi terdapatnya kanker serviks maka dirujuk maka dirujuk ke konsultan onkologi
Analisis Coding
Analisis Biaya
Terkait kasus ini, pembiayaan dapat dihitung sebagai prosedur pada vagina, serviks, dan vulva dengan
derajat sedang sehingga pada RS kelas B pada rawat inap berkisar antara Rp7.311.100,00 hingga
Rp10.235.500,00.
Pada CMG W, diagnosis dan prosedur dapat dianggap sesuai indikasi. Namun, tindakan anestesi umum
perlu dipertanyakan kembali mengingat mempertimbangkan kondisi pasien pada saat itu. Disarankan
agar laporan tindakan atau laporan operasi disertakan dalam kasus sehingga dapat dilakukan analisis
lebih lanjut mengenai ada tidaknya kesalahan dalam kasus ini.
20%
Insomnia
40%
Pemeriksaan CT Scan
kanker tiroid
20% Neopklasma jina
20%
Jumlah Kasus : 5
1/DPM/CMG-Z/9/I/VI/12 15
Kasus
Pasien perempuan memiliki benjolan di leher sejak 3 tahun SMRS. Pada 1 tahun SMRS, ia menjalani
operasi dan kemudian dirujuk ke radionuklir untuk dilakukan ablasi. Pasien mendapatkan tindakan
ablasi I-130 mci per oral dengan los 4 hari dan mendapatkan ondansentron 2 x1 tab, kalmetashon 3x1
tab, lasix 1x1 tab.
Permasalahan
Apakah tindakan ablasi pada kasus kanker tiroid memerlukan rawat inap? Karena ditemukan
beberapa kasus dilakukan pada pelayanan rawat jalan. Apakah ada indikasi khusus pada pasien untuk
dirawatinapkan?
Tidak ada
Dasar Teori
Tindakan ablasi/ Radioactive iodine (RAI) merupakan bentuk radioterapi pada kanker tiroid yang
biasanya dilakukan pasca tindakan bedah. RAI diindikasikan pada tumor diatas ukuran 4cm, adanya
metastatis jauh, serta ekstensi ekstratiroid luas; sedangkan RAI dipertimbangkan jika tumor berukuran
1-4 cm, multifocal, terbukti agresif pada pemeriksaan patologis, dan terdapat risiko tinggi pada
pasien (usia >45 tahun, riwayat radiasi di daerah kepala dan leher, serta riwayat keluarga). RAI tidak
direkomendasikan pada tumor soliter maupun multifokal berukuran <1cm. Efek samping yang paling
sering ditemukan pada pasien adalah gangguan gastrointestinal seperti mual dan muntah. Pemberian
terapi laksatif dan antiemetik dapat diberikan untuk meminimalisasi efek samping pada pasien.
Analisis Kasus
Pasien yang baru menjalani ablasi harus mengikuti prosedur kemananan agar tidak memaparkan radiasi
ke orang lain. Eksposur radiasi dapat terjadi melalui cairan tubuh dan paparan langsung dari radioaktif
yang dipancarkan dari tubuh pasien tersebut. Oleh karena itu, pasien perlu menjalani isolasi selama
kurang lebih 3 hari setelah terapi. Beberapa kriteria agar pasien diperbolehkan rawat jalan yaitu apabila
pasien dapat tinggal di rumah selama masa isolasi, mampu merawat dirinya selama masa isolasi, tidak
ada anak dibawah umur 12 tahun yang tinggal bersamanya, memiliki tempat tidur dan kamar mandi
untuk digunakan sendiri oleh pasien, dan mampu menjaga jarak minimal sejauh 4 meter dari orang lain.
Jika kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka pasien diindikasikan untuk tawat inap.
Analisis Biaya
Biaya radioterapi dengan rawat inap berdasarkan Tarif INA CBGs pada kasus derajat ringan sebesar 4-5
juta rupiah, kasus derajat sedang 8-11 juta rupiah, dan kasus derajat berat 20-28 juta rupiah.
Terdapat kriteria indikasi rawat inap pada pelaksanaan radioterapi. Pada pelaksanaan radioterapi, perlu
dipastikan terlebih dahulu ada tidaknya indikasi rawat inap dalam pelaksanaan radioterapi.
Bunga Rampai Rekomendasi Kasus Pelayanan Kesehatan merupakan bentuk upaya yang dilakukan
Dewan Pertimbangan Medik dan Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya untuk memenuhi kewajibannya
sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pertimbangan
Klinis (Clinical Advisory) yang menyebutkan bahwa Tim Pertimbangan Klinis (di Tingkat Provinsi)
atau Dewan Pertimbangan Klinis (Tingkat Nasional) mempunyai wewenang untuk memanggil dan
meminta keterangan serta memeriksa dokumen/surat-menyurat, data informasi elektronik (digital),
saksi/ahli dari Tim Monitoring dan Evaluasi, Tim Pencegahan Fraud, Tim Kendali Mutu dan Kendali
Biaya, Dewan Pertimbangan Medik, BPRS Provinsi, Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Wilayah
dan BPJS Kesehatan cabang dan/atau divisi regional sebagai upaya mendukung terlaksananya kendali
mutu dan kendali biaya dalam JKN.
Bunga rampai ini diharapkan dapat menjadi acuan atau menjadi rekomendasi bagi kasus-kasus yang
serupa.