Anda di halaman 1dari 10

Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan

Vol. 11, No. 2, Hlm. 82-91, Desember 2016


ISSN 1412-5064, e-ISSN 2356-1661
DOI: https://doi.org/10.23955/rkl.v11i2.5407

Sintesis Selulosa Asetat dari Limbah Batang Ubi Kayu

Cellulose Acetate Synthesis from Cassava Stem


Lia Lismeri*1,2, Poppy Meutia Zari1, Tika Novarani1, Yuli Darni1,2
1
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Lampung
2
Pusat studi dan penelitian biomassa tropika, Universitas Lampung
Jalan Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No.1, Bandar Lampung 35145
*E-mail: lismeri@yahoo.co.id

Abstrak

Salah satu hasil pertanian terbesar di Indonesia adalah tanaman ubi kayu. Selama ini batang
ubi kayu tersedia dalam jumlah yang cukup besar namun belum dimanfaatkan secara optimal.
Batang ubi kayu memiliki kandungan lignoselulosa yaitu selulosa 39,29%, hemiselulosa
24,34%, dan lignin 13,42%. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan limbah batang ubi
kayu yang akan dijadikan sebagai bahan baku pembuatan selulosa asetat. Proses pembuatan
selulosa asetat dilakukan dalam 2 tahap yaitu tahap isolasi selulosa (proses pretreatment,
delignifikasi, dan bleaching) dan tahap sintesis selulosa asetat. Pelarut yang digunakan pada
proses pretreatment yaitu asam fosfat, asam asetat, dan asam klorida. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa larutan asam fosfat 3% menghasilkan densitas terkecil yaitu 0,833 g/mL
yang menunjukan bahwa telah terjadinya swelling. Pada proses delignifikasi digunakan variasi
waktu dan rasio bahan terhadap pelarut. Kadar selulosa terbesar yang diperoleh yaitu 56,92%
dengan waktu pemasakan 2 jam dan rasio sampel terhadap pelarut 1:12 (v/v). Identifikasi
gugus fungsi FTIR terhadap selulosa asetat menunjukkan adanya serapan gugus karbonil
(C=O) dan gugus ester (C-O), masing-masing terlihat pada bilangan gelombang 1738,47 cm-1
dan 1224,39 cm-1. Kadar asetil selulosa asetat yang dihasilkan sebesar 41,01% dan termasuk
jenis selulosa diasetat yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut dalam pembuatan membran, film
topografi, dan benang.

Kata kunci: batang ubi kayu, kadar asetil, lignoselulosa, selulosa, selulosa asetat

Abstract

One of the biggest agricultural products in Indonesia is cassava. During this time cassava
stems are available in large enough quantities, but they not have been used optimally. The
cassava stems has lignocellulose content i.e. 39.29% cellulose, 24.34 % of hemicellulosa, and
13.42 % of lignin. This study aims to utilize the cassava stems that will be used as raw
material for cellulose acetate synthesis. The process of making cellulose acetate is done in two
steps, namely the isolation of cellulose (the process of pretreatment, delignification, and
bleaching) and the synthesis of cellulose acetate. The solvent used in the process of
pretreatment is phosphoric acid, acetic acid, and hydrochloric acid. The results of this
research shows that a solution of phosphoric acid 3% produces the smallest density namely
0.833 g/mL which shows the occurrence of swelling. In the process of delignification uses a
variations of time and the ratio of cassava stems to solvent. The biggest contain of cellulose
obtained is 56.92% with delignification time for two hours and the ratio cassava stems to
solvent 1:12 (v/v). Identification of FTIR functional groups to cellulose acetate shows the
absorption of carbonyl group (C=O) and ester group (C-O), seen at wave number 1738.47
cm-1 and 1224,39 cm-1 recpectively. The acetyl content of cellulose acetate produced is
41.01% and includes the type of cellulose diasetat which can be further utilized in
manufacture of membrane, film topography, and thread.

Keywords: acetyl content, cassava stem, cellulose, cellulose acetate, lignocellulose

1. Pendahuluan terbesar di Indonesia dengan jumlah


produksi sebanyak 9.725.345 ton. Jika
Indonesia merupakan negara agraris dimana banyaknya ubi kayu yang dihasilkan maka
sebagian besar penduduknya bekerja di akan banyak juga limbah yang dihasilkan,
bidang pertanian. Salah satu hasil pertanian salah satunya yaitu batang ubi kayu.
terbesar adalah tanaman ubi kayu
(singkong). Berdasarkan data Badan Pusat Pemanfaatan dari limbah batang ubi kayu ini
Statistik (BPS) tahun 2014, Provinsi juga belum optimal karena hanya 10% tinggi
Lampung merupakan produsen singkong batang yang dapat dimanfaatkan untuk

82
Lia Lismeri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2

ditanam kembali dan 90% sisanya dapat mempercepat reaksi asetilasi dengan
merupakan limbah. Padahal batang ubi kayu asetat anhidrat dan menaikkan reaktivitas
memiliki kandungan lignoselulosa yang selulosa maupun untuk menurunkan derajat
cukup besar, yaitu terdiri dari 56,82% α- polimerisasi hingga tingkat yang sesuai
selulosa, 21,72% lignin, 21,45% Acid untuk diasetilasi. Asam sulfat berfungsi
Detergent Fiber (ADF), dan 0,05 – 0,5 cm sebagai katalis dan asam asetat anhidrat
panjang serat. Selulosa yang terkandung berfungsi sebagai donor asetil (Widyaningsih
dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai dan Radiman, 2007). Reaksi selulosa
bahan baku industri kertas, bahan peledak, menjadi selulosa asetat secara umum dapat
membran, plastik, dan lain-lain (Sumada dilihat pada Gambar 1.
dkk., 2011). H H O CH2OCOCH3
O O
HOH2C CH3COO
Hemiselulosa termasuk dalam kelompok H +3 O H H + 3 CH3COOH
polisakarida heterogen yang dibentuk CH3COO
O OH H3COCO H
melalui jalan biosintetis yang berbeda dari H
OH OCOCH3
selulosa. Hemiselulosa relatif lebih mudah
dihidrolisis oleh asam menjadi komponen-
Gambar 1. Reaksi umum pembentukan selulosa
komponen monomer hemiselulosa. Hemi- asetat (Gaol dkk., 2013)
selulosa mempunyai rantai polimer yang
pendek dan tak berbentuk, oleh karena itu Berdasarkan derajat substitusinya selulosa
sebagian besar dapat larut dalam air. Rantai asetat dapat dibagi menjadi tiga (Gaol dkk.,
utama dari hemiselulosa dapat berupa 2013) yaitu:
homopolimer (umumnya terdiri dari satu 1. Selulosa monoasetat dengan derajat
jenis gula yang berulang) atau juga berupa substitusi (DS) 0 – 2 dengan kandungan
heteropolimer (campurannya beberapa jenis asetil < 36,5%. Selulosa monoasetat
gula) (Octavia, 2008). dapat digunakan pada pembuatan
plastik, cat, dan laker.
Lignin merupakan senyawa yang sangat 2. Selulosa diasetat dengan derajat
kompleks yang terdapat diantara sel-sel dan substitusi (DS) 2,0 – 2,8 dengan
di dalam dinding sel. Fungsi lignin yang kandungan asetil 36,5 – 42,2%. Selulosa
terletak diantara sel-sel adalah sebagai diasetat digunakan pada pembuatan
perekat untuk mengikat/merekatkan antar membran, film topografi, dan benang.
sel, sedangkan dalam dinding sel lignin
3. Selulosa triasetat dengan derajat
berfungsi untuk menyangga sel. Lignin ini
substitusi (DS) 2,8 – 3,9 dengan
merupakan polimer tiga dimensi yang terdiri
kandungan asetil 43,5 – 44,8%. Selulosa
dari unit fenil propana melalui ikatan eter
diasetat digunakan pada pembuatan kain
(C-O-C) dan ikatan karbon (C-C). Bila lignin
dan pembungkus benang.
berdifusi dengan larutan alkali maka akan
terjadi pelepasan gugus metoksil yang
Telah dilakukan penelitian isolasi α-selulosa
membuat lignin larut dalam alkali (Ma dkk.,
dari limbah batang ubi kayu oleh Sumada
2016).
dkk. (2011). Proses delignifikasi dilakukan
dengan menggunakan variasi pelarut NaOH,
Selulosa adalah polimer glukosa yang
Na2SO3, dan Na2SO4 dengan konsentrasi
berbentuk rantai linier dan dihubungkan oleh
5%, 10%, 15%, 20%, dan 25% dengan
ikatan β-1,4 glikosidik. Struktur yang linier
perbandingan berat serat dan volume
menyebabkan selulosa bersifat kristalin dan
larutan 1:8, diproses selama 2 jam pada
tidak mudah larut. Selulosa tidak mudah
suhu 105oC. Hasil penelitian ini didapatkan
didegradasi secara kimia maupun mekanis.
kandungan α–selulosa terbaik 88,90% dari
Di alam, selulosa berasosiasi dengan
proses delignifikasi dengan jenis pelarut
polisakarida lain seperti hemiselulosa atau
Na2SO3 pada konsentrasi 20% (pH = 11).
lignin membentuk kerangka utama dinding
sel tumbuhan (Olievera dkk, 2016). Selulosa
Nurhayati dan Kusumawati (2014)
asetat merupakan hasil reaksi dari selulosa
memanfaatkan selulosa dari limbah
dan asetat anhidrat yang merupakan produk
pengolahan agar sebagai bahan baku
senyawa dari gugus hidroksil dan asam
pembuatan selulosa asetat. Proses asetilasi
berupa ester. Selulosa asetat dihasilkan dari
dilakukan dengan rasio selulosa:asam asetat
tahap sintesis selulosa asetat menggunakan
anhidrida 1:10; 1:20; dan 1:30 (b/v).
asam asetat glasial, asam sulfat, dan asam
Penelitian ini menghasilkan kadar asetil
asetat anhidrat. Asam asetat glasial
sebesar 45,07% pada perlakuan rasio
berfungsi sebagai pretreatment agent yang
selulosa:anhidrida asetat 1:10. Jenis
bertujuan untuk menggembungkan serat-
selulosa asetat yang dihasilkan merupakan
serat selulosa agar lebih terbuka sehingga

83
Lia Lismeri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2

selulosa asetat triasetat, karena memiliki Pretreatment


kadar asetil lebih dari 42%.
Sebanyak 80 g serat limbah batang ubi kayu
Pada penelitian ini akan dilakukan direfluks dengan menggunakan pelarut asam
pemanfaatan limbah batang ubi kayu dan aquades, dengan rasio bahan terhadap
sebagai bahan baku pembuatan selulosa cairan pemasak yaitu 1 : 6 selama 1 jam
asetat dalam upaya pengurangan limbah pada suhu 90°C. Variabel asam dan
pertanian. Pada proses pretreatment konsentrasi yang digunakan adalah asam
digunakan variasi pelarut dan konsentrasi fosfat 0%, 1%, 3%, 5%, asam asetat 0%,
pelarut. Sedangkan pada proses delignifikasi 1%, 3%, 5% dan asam klorida 0%, 1%,
digunakan variasi waktu dan variasi rasio 3%, 5%. Kemudian larutan dipisahkan dari
bahan terhadap pelarut. Tujuan dari cairan pemasak, disaring, dicuci dengan
penelitian ini adalah untuk mendapatkan aquades sampai pH netral, dan dikeringkan
kondisi operasi terbaik pada proses pretreat- menggunakan oven pada suhu 80°C. Lalu
ment dan delignifikasi sehingga menghasil- dilakukan uji densitas, analisis kadar
kan selulosa yang bisa digunakan sebagai selulosa, hemiselulosa, lignin, uji FTIR, dan
bahan baku pembuatan selulosa asetat SEM.
dengan kadar asetil 37 - 42%.
Delignifikasi
2. Metodologi
Tahap selanjutnya pada delignifikasi
2.1. Alat dan Bahan menggunakan Na2SO3 20%, dengan rasio
sampel dan volume Na2SO3 1:8, 1:10, dan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini 1:12 v/v dan variabel waktu selama 2, 2½,
adalah alat penggilingan (hammer mill dan dan 3 jam pada suhu 100°C. Kemudian
disk mill), ayakan 1,18 mm dan 2,36 mm, selulosa yang didapatkan dipisahkan dari
toples penyimpanan, zipbag lock, neraca pelarut asam dan dicuci dengan aquadest
digital, batang pengaduk, labu leher 1, hingga bersih. Setelah pencucian, selulosa
heating mantle, refluks, kertas pH meter, basah selanjutnya dikeringkan pada suhu
oven, hot plate stirrer, corong, kertas saring, 100°C. Kemudian dianalisis kadar selulosa,
gelas ukur, enlemeyer, pipet tetes, magnetic hemiselulosa, lignin, dan uji FTIR.
stirrer, dan termometer. Bahan-bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah serat Bleaching
batang ubi kayu, asam asetat (CH3COOH)
98%, asam klorida (HCl) 37%, asam fosfat Residu yang dihasilkan dari proses deligni-
(H3PO4) 98%, aquades, natrium sulfit fikasi selanjutnya ditambahkan larutan
(Na2SO3), asam asetat anhidrida 99%, asam Hidrogen Peroksida (H2O2) dan dibiarkan
asetat glasial 100%, dan asam sulfat pada suhu kamar selama 3 jam sambil
(H2SO4) 96%. sesekali diaduk. Perbandingan residu dan
larutan H2O2 dengan konsentrasi 6% yang
2.2. Pengeringan dan Preparasi Serat ditambahkan adalah 1:10 (b/v). Selanjutnya
dilakukan penyaringan dan residu yang
Batang ubi kayu yang digunakan pada diperoleh dicuci sampai netral dan
penelitian ini berasal dari kebun percobaan dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC.
di daerah Natar, Lampung Selatan. Batang
ubi kayu awalnya dipotong, dikupas kulitnya, 2.4. Sintesis Selulosa Asetat
dikeringkan dan disimpan pada suhu ruang.
Batang ubi kayu dikeringkan selama kurang Sebanyak 10 g selulosa ditambahkan 250 ml
lebih 5 hari di bawah sinar matahari. Batang asam asetat glasial dan diaduk meng-
ubi kayu yang telah kering kemudian digiling gunakan magnetic stirrer dengan kecepatan
(dikecilkan ukurannya) lalu disaring dengan skala 3 selama 30 menit pada suhu 50°C.
menggunakan ayakan 1,18 mm dan 2,36 Selanjutnya, larutan ditambahkan 1,6 ml
mm. Serat batang ubi kayu yang telah H2SO4 dan 97 ml asam asetat glasial lalu
diayak dikeringkan kembali pada suhu 80 °C diaduk dengan kecepatan skala 3 selama 25
sampai beratnya konstan. menit. Asam asetat anhidrida ditambahkan
pada campuran dengan perbandingan
2.3. Isolasi Selulosa selulosa terhadap asetat anhidrida sebesar
1:10 (b/v), dibantu pengadukan dengan
Proses isolasi selulosa terdiri dari tahapan kecepatan skala 3 selama 30 menit pada
pretreatment material, proses delignifikasi, suhu 50°C. Campuran didiamkan selama 14
dan proses bleaching. jam pada suhu ruang, dilanjutkan dengan
penyaringan. Ke dalam filtrat hasil penya-

84
Lia Lismeri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2

ringan, ditambahkan air setetes demi kan selama 24 jam untuk memberi kesem-
setetes sampai terbentuk endapan. Endapan patan bagi NaOH berdifusi. Selanjut-nya
yang diperoleh dipisah-kan dari larutan, sampel dititrasi dengan NaOH 0,5 N sampai
kemudian dicuci hingga netral lalu terbentuk warna merah muda. Pengukuran
dikeringkan pada suhu ruang hingga kering. blanko dilakukan sama dengan contoh.
Selulosa asetat yang didapat kemudian Kadar asetil (KA) dihitung dengan rumus:
dilakukan uji FTIR dan analisis kadar asetil
untuk mengetahui jenis selulosa asetat yang KA (%) = [(D-C)Na+(A-B)Nb]  F  (4)
dihasilkan (Nurhayati dan Kusumawati, W 
2014). Keterangan:
A = Volume NaOH untuk titrasi sampel
2.5. Analisis Kadar Lignoselulosa B = Volume NaOH untuk titrasi blanko
C = Volume HCl untuk titrasi sampel
Analisis kadar lignoselulosa dilakukan D = Volume HCl untuk titrasi blanko
dengan metode Chesson-Datta (Dzikro dkk., Na = Normalitas HCl
2013). Satu gram sampel kering (a) Nb = Normalitas NaOH
F = 4,305 untuk kadar asetil dan 6,005
direfluks selama 2 jam dengan 150 ml H2O
untuk kadar asam asetat
pada suhu 100oC. Hasilnya disaring dan W = Bobot Sampel
dicuci. Residu kemudian dikeringkan dengan
oven sampai konstan kemudian ditimbang 3. Hasil dan Pembahasan
(b). Residu sampel yang telah dikeringkan
direfluks selama 2 jam dengan 150 ml 0,5 M Bahan baku batang ubi kayu yang digunakan
H2SO4 pada suhu 100oC. Hasilnya disaring pada penelitian ini memiliki komposisi fisik
sampai netral dan dikeringkan (c). Residu yang terdiri dari kayu 83,83%, kulit 13,04%,
sampel yang telah dikeringkan diperlakukan dan gabus 3,13%. Komposisi kimia yang
10 ml 72% H2SO4 pada suhu kamar selama terkandung didalam serat batang ubi kayu
4 jam, kemudian diencerkan menjadi 0,5 M yaitu selulosa 39,29%, hemiselulosa
H2SO4 dan direfluks pada suhu 100oC selama 24,34%, dan lignin 13,42%.
2 jam. Residu disaring sampai netral dan
dikeringkan (d). Residu sampel yang telah 3.1. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi
dikeringkan kemudian diabukan dengan Pelarut terhadap Densitas Bahan
furnace pada suhu 575 ± 25oC hingga
beratnya konstan. Abu yang didapat Penggunaan variasi pelarut asam dan
kemudian ditimbang (e). Perhitungan konsentrasi pelarut pada proses pretreat-
dilakukan menggunakan rumus: ment bertujuan untuk menentukan nilai
densitas terbaik pada sampel. Uji densitas
bc dilakukan dengan membagi nilai massa
Hemiselulosa (%) =  100 % (1)
a lignoselulosa terhadap nilai volume yang
didapat setelah pretreatment. Grafik
pengaruh variasi dan konsentrasi pelarut
cd
Selulosa (%) =  100 % (2) terhadap densitas serat batang ubi kayu
a ditunjukkan pada Gambar 2.

Dari Gambar 2 dapat dilihat pengaruh variasi


d e jenis asam dan variasi konsentrasi terhadap
Lignin (%) =  100 % (3)
a perubahan densitas bahan lignoselulosa
setelah dilakukan pretreatment. Densitas
2.6. Analisis Kadar Asetil yang terbaik pada penelitian ini adalah
densitas dengan nilai terkecil. Peristiwa
Analisis kadar asetil menggunakan ASTM swelling oleh pelarut dapat menggakibatkan
D871 (Dzikro dkk., 2013). Sampel kering struktur selulosa merenggang dari hemi-
sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam selulosa dan lignin yang masih rapat,
enlemeyer kemudian ditambahkan 40 ml merusak struktur kristal dari selulosa serta
etanol 75% (v/v) dan dipanaskan pada meningkatkan volume bahan (Yuanisa dkk.,
penangas air selama 30 menit pada suhu 2015). Sehingga dengan pretreatment,
60oC. NaOH 0,5 N sebanyak 40 ml volume pori dari serat batang ubi kayu akan
ditambahkan ke dalam sampel dan dipanas- menjadi lebih besar dari volume awal
kan selama 30 menit pada suhu yang sama. sebelum pretreatment. Seiring bertambah-
Sampel didiamkan selama 72 jam dan nya volume maka nilai densitas suatu bahan
kelebihan NaOH dititrasi dengan HCl 0,5 N akan semakin kecil. Pada penelitian ini jenis
menggunakan indikator fenolftalein sampai pelarut dan konsentrasi pelarut yang terbaik
warna merah muda hilang. Sampel didiam- pada proses pretreatment adalah asam

85
Lia Lismeri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2

fosfat dengan konsentrasi 3% yang meng- serat selulosa sudah dipecah dengan cara
hasilkan densitas 0,833 g/ml. pretreatment menggunakan pelarut asam
fosfat 3%. Hasil ini menunjukkan bahwa
pretreatment dengan asam lemah sangat
mendorong perubahan morfologi dinding sel
tanaman dan mengurangi lignin secara
signifikan.

Gambar 2. Pengaruh variasi dan konsentrasi


pelarut terhadap densitas serat
batang ubi kayu

Proses pretreatment bertujuan untuk


melemahkan gaya intramolekul dan
intermolekul pada rantai lignoselulosa. Gaya Gambar 3. Morfologi serat batang ubi kayu
intramolekul dan intermolekul tersebut sebelum pretreatment
berupa ikatan hidrogen yang cukup kuat.
Pelemahan ikatan tersebut oleh pelarut
asam didasarkan oleh adanya sifat protik
hidrofilik dari pelarut yang digunakan. Dalam
penelitian ini asam fosfat merupakan asam
anorganik yang bersifat poliprotik, dimana
memiliki kemampuan untuk menghasilkan
jumlah ion H+ paling banyak jika dibanding-
kan dengan pelarut lain yang digunakan
yaitu asam asetat dan asam klorida. Ion H+
bertindak sebagai proton yang akan
menyerang ikatan kimia pada struktur
lignoselulosa sehingga dapat melemahkan
ikatan hidrogen.

3.2. Struktur Morfologi

Struktur morfologi bahan dianalisis dengan


Scanning Electron Microscopy (SEM). Analisis
SEM dilakukan untuk mengetahui pengaruh Gambar 4. Morfologi serat batang ubi kayu
pretreatment dengan pelarut asam terhadap sesudah pretreatment dengan asam
struktur permukaan material. Pada Gambar fosfat 3%
3 terlihat bahwa struktur morfologi
lignoselulosa dari serat batang ubi kayu 3.3. Pengaruh Rasio Bahan dengan
sebelum pretreatment masih rapat dan Pelarut dan Variasi Waktu
padat. Hal ini disebabkan karena struktur terhadap Kadar Selulosa
lignin, hemiselulosa, dan selulosa yang
masih terikat. Sedangkan pada Gambar 4 Pada proses delignifikasi, waktu pemasakan
sesudah adanya pretreatment, struktur dan rasio bahan terhadap pelarut ber-
permukaan serat batang ubi kayu terlihat pengaruh terhadap proses degradasi lignin
renggang atau terbuka karena dinding lignin yang terjadi untuk mendapatkan selulosa
yang menutupi mulai rusak dan dari lignoselulosa serat batang ubi kayu.
hemiselulosa yang mengikat selulosa ter- Pengaruh tersebut dapat dilihat pada
pisah karena ikatan β-1,4 glikosida pada Gambar 5.

86
Lia Lismeri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2

dengan kadar selulosa 56,92%. Pada proses


delignifikasi semakin banyak Na2SO3 20%
yang diberikan maka akan semakin mudah
lignin terdegradasi karena lignin mempunyai
titik pelunakan dan titik leleh yang rendah.
Waktu pemasakan yang semakin lama,
bukan hanya akan mempengaruhi jumlah
kadar lignin tetapi juga mempengaruhi kadar
selulosa dan hemiselulosa.

3.4. Hasil Analisis Kadar Lignoselulosa


pada Tahap Isolasi Selulosa

Dari hasil tahapan isolasi selulosa


didapatkan perubahan kandungan ligno-
selulosa dari bahan baku awal sebelum
pretreatment, sesudah pretreatment, dan
Gambar 5. Hubungan antara rasio bahan/pelarut setelah delignifikasi seperti yang ada pada
terhadap kadar selulosa pada variasi Tabel 1.
waktu pemasakan
Tabel 1. Perubahan kandungan lignoselulosa
Pada Gambar 5 terlihat bahwa masing- pada tahap isolasi selulosa
masing rasio memiliki perubahan kadar
selulosa yang berbeda-beda terhadap waktu. Selulosa Hemiselulosa Lignin
Pada rasio bahan/pelarut 1:12 terjadi (%) (%) (%)
penurunan yang tajam untuk waktu pemasa- Bahan Baku 39,29 24,34 13,42
kan 3 jam, dimana kadar selulosa yang Awal
dihasilkan sekitar 25%. Semestinya dengan Setelah 60,95 19,77 11,26
bertambahnya waktu pemasakan proses Pretreatment
delignifikasi akan membuka jaringan lingo- Setelah 56,92 18,59 15,61
selulosa sehingga akan didapatkan konsen- Delignifikasi
trasi selulosa yang lebih tinggi. Penurunan
kadar selulosa ini disebabkan karena Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa kandungan
semakin lama waktu pemasakan bukan selulosa setelah pretreatment meningkat
hanya lignin yang terdegradasi tetapi juga menjadi 60,95% dari kandungan selulosa
selulosa dan hemiselulosa. bahan baku yang semula 39,29%, hal ini
disebabkan karena sebagian lignin dan
Pada rasio 1:10 terlihat bahwa semakin lama hemiselulosa terlarut saat proses
waktu pemasakan, kadar selulosa semakin pretreatment sehingga kandungan selulosa
meningkat. Namun, kadar selulosa yang meningkat.
diperoleh masih belum optimum yaitu
sekitar 45 - 50%. Jumlah tersebut masih Setelah proses delignifikasi, kandungan
lebih kecil dari kadar selulosa pada rasio selulosa dan hemiselulosa mengalami
1:12 dengan waktu pemasakan 2 jam. Hal penurunan sedangkan kandungan lignin
ini disebabkan masih adanya kandungan mengalami peningkatan. Padahal proses
lignin yang belum terdegradasi karena rasio delignifikasi bertujuan untuk meningkatkan
yang lebih kecil sehingga tidak meng- kandungan selulosa dan menurunkan
akibatkan hilangnya selulosa. Sedangkan kandungan hemiselulosa dan lignin yang
pada rasio 1:8 grafik memperlihatkan bahwa terdapat pada batang ubi kayu. Menurut
terjadi penurunan kadar selulosa pada waktu Widodo dkk (2013) terjadinya penurunan
pemasakan 2½ jam dan kemudian kandungan selulosa ini disebabkan karena
meningkat pada waktu 3 jam. Hal ini terjadi adanya sebagian selulosa yang terdegradasi
karena pada waktu pemasakan 2½ jam saat proses delignifikasi berlangsung.
terjadi peningkatan temperatur pemasakan Adanya penurunan kandungan selulosa ini
sehingga reaktivitas pelarut meningkat menyebabkan peningkatan kandungan lignin
terhadap degradasi lignin, selulosa, dan yang semula berada dalam satu ikatan
hemiselulosa. lignoselulosa. Lignin juga dapat mengalami
perubahan struktur pada suhu tinggi
Dari Gambar 5 dapat diketahui bahwa sehingga dimungkinkan lignin pada
kondisi optimum delignifikasi selulosa penelitian ini belum terdegradasi karena
terbaik yang diperoleh adalah pada rasio temperatur pada proses delignifikasi masih
sampel terhadap Na2SO3 20% 1:12 dengan cukup rendah. Berdasarkan hasil penelitian
waktu pemasakan 2 jam pada suhu 100°C Sukaton (2004), pada proses delignifikasi

87
Lia Lismeri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2

digunakan suhu pemanasan 175oC Puncak dengan intensitas kuat pada panjang
menghasilkan kadar lignin cukup rendah gelombang 3325,54 cm-1 yang terdapat
yaitu 2,23%. pada serat batang ubi kayu sebelum
pretreatment, 3326,69 cm-1 pada serat
Penurunan kandungan selulosa dan batang ubi kayu sesudah pretreatment dan
hemiselulosa disebabkan oleh degradasi 3333,80 cm-1 pada serat batang ubi kayu
melalui alkali atau yang disebut “peeling setelah delignifikasi menunjukkan gugus –
off”. Alkali dan temperatur tinggi OH dengan stretching vibration. Gugus –OH
menyebabkan dekomposisi hidrolitik pada pada kisaran panjang gelombang tersebut
ikatan glukosidik, dimana dekomposisi juga menunjukkan adanya ikatan hidrogen
hidrolitik ini disebabkan oleh asam. Pada intramolekular dan merupakan gugus utama
selulosa terdapat ikatan glukosidik yang pada selulosa, karena selulosa merupakan
dapat terputus oleh suatu reaksi rantai yang rantai panjang dari β glukosa (Lestari dkk.,
melibatkan radikal-radikal bebas. Akibatnya 2014). Terlihat perbedaan puncak serapan
pada pemasakan dengan temperatur tinggi gugus O-H pada serat batang ubi kayu
menggunakan alkali, ikatan glukosidik pada sebelum pretreatment dan serat batang ubi
hemiselulosa juga dapat terputus (Muladi, kayu setelah delignifikasi, dimana intensitas
2013). Peningkatan kandungan lignin yang serapan setelah delignifikasi lebih tajam
terjadi juga disebabkan oleh semakin lama yang menunjukkan adanya peningkatan
waktu pemasakan maka semakin banyak selulosa. Gugus C=C stretching vibration
monomer–monomer baru terbentuk akibat merupakan karakteristik dari kerangka lignin
pemecahan lignin. Monomer–monomer te- yang muncul di sekitar 1500 - 1700 cm-1.
rsebut bereaksi dengan polimer yang masih Puncak gugus ini pada serat batang ubi kayu
terkandung pada bahan selama pemasakan, sebelum pretreatment dan hasil setelah
sehingga menghasilkan suatu polimer baru pretreatment terjadi penurunan yang
atau lignin baru (Surest dan Satriawan, menunjukkan adanya penghilangan lignin
2010). selama proses pretreatment. Tetapi pada
hasil setelah delignifikasi puncak gugus C=C
3.5. Hasil Analisis Fourier Transform menjadi lebih kelihatan, hal ini terjadi
Infra Red (FTIR) pada Tahap karena adanya peningkatan lignin selama
Isolasi Selulosa proses delignifikasi.

Fourier Transform Infra Red (FTIR) sering Puncak pada bilangan gelombang 1740 cm-1
digunakan untuk menyelidiki struktur utama berhubungan dengan gugus C=O stretching
dan perubahan kimia pada lignoselulosa dari vibration yang melambangkan adanya
biomassa selama percobaan. Pada Gambar kehadiran hemiselulosa dan terjadinya
6, terdapat perubahan puncak-puncak yang penurunan puncak ini pada hasil setelah
muncul antara serat batang ubi kayu pretreatment dan setelah delignifikasi adalah
sebelum pretreatment, serat batang ubi hasil dari berkurangnya kadar hemiselulosa.
kayu setelah pretreatment dan serat batang
ubi kayu setelah delignifikasi.

Gambar 6. Spektrum FTIR serat batang ubi kayu awal, setelah swelling dan setelah delignifikasi

88
Lia Lismeri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2

3.6. Hasil Analisis Fourier Transform sangat tajam (Widyaningsih dan Radiman,
Infra Red (FTIR) pada Tahap 2007).
Sintesis Selulosa Asetat
Gugus karbonil C=O pada spektrum selulosa
Hasil analisis FTIR terhadap produk selulosa asetat serat batang ubi kayu terletak pada
asetat diperlihatkan pada Gambar 7. Puncak daerah bilangan gelombang 1738,47 cm-1,
serapan khas dari selulosa asetat serat dimana pada selulosa asetat komersial
batang ubi kayu maupun selulosa asetat terletak pada bilangan gelombang 1744,87
komersial dapat dilihat pada Tabel 2. cm-1. Gugus ester C-O pada spektrum
Sebagai perbandingan, ditampilkan juga selulosa asetat serat batang ubi kayu
hasil pembacaan spektrum IR terhadap terletak pada daerah bilangan gelombang
produk selulosa asetat komersial (Gambar 1224,39 cm-1, dimana pada selulosa asetat
8). Dari perbandingan hasil FTIR, dapat komersial terletak pada bilangan gelombang
dilihat bahwa gugus fungsi yang dimiliki oleh 1232,72 cm-1. Serapan gugus lainnya ada
spektrum FTIR selulosa asetat serat batang pada bilangan gelombang 2952,43 cm-1
ubi kayu pada Gambar 7 menyerupai gugus yang menunjukkan vibrasi C-H stretch/ulur
fungsi yang dimiliki oleh spektrum FTIR pada dan bilangan gelombang 1371,31 cm-1 yang
selulosa asetat komersial pada Gambar 8. menunjukkan vibrasi C-H bending/tekuk,
Puncak serapan yang khas untuk selulosa sedangkan untuk selulosa asetat komersial
asetat adalah puncak serapan dari gugus terlihat pada bilangan gelombang 2944,99
karbonil C=O dan gugus ester C-O dari cm-1 dan 1369,59 cm-1.
gugus asetil, dimana puncak serapan ini

Gambar 7. Spektrum FTIR Selulosa asetat serat batang ubi kayu

Gambar 8. Spektrum FTIR selulosa asetat komersial (Widayani, 2013)

89
Lia Lismeri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2

Tabel 2. Analisis gugus fungsi FTIR selulosa 4. Kesimpulan


asetat serat batang ubi kayu dan
selulosa asetat komersial Limbah batang ubi kayu yang digunakan
pada penelitian ini memiliki komposisi yang
Bilangan Gelombang Gugus Range*
terdiri dari kayu 83,83%, kulit 13,04%, dan
(cm-1) Fungsi
gabus 3,13%. Penggunaan larutan asam
SA Batang SA fosfat 3% pada proses pretreatment
Ubi Kayu Komersial
menghasilkan densitas terbaik dengan nilai
3485,71 3479,28 O-H 3200- 0,833 g/ml. Kadar selulosa yang diperoleh
Stretch 3600
pada proses delignifikasi yaitu 56,92%
2952,43 2944,99 C-H 2850-
Stretch 3000 dengan waktu pemasakan 2 jam dan rasio
1738,47 1744,87 C=O 1690- sampel terhadap pelarut 1:12. Identifikasi
Stretch 1760 gugus fungsi FTIR terhadap selulosa asetat
1371,31 1369,59 C-H 1350- menunjukkan adanya serapan gugus
Bending 1480 karbonil (C=O) dan gugus ester (C-O),
1224,39 1232,72 C-O Acetyl 1210- masing-masing terlihat pada bilangan
1320 gelombang 1738,47 cm-1 dan 1224,39 cm-1.
1038,87 1048,62 C-O Stretch 1000-
Kadar asetil selulosa asetat dari serat batang
1300
* (Fessenden dan Fessenden, 2005)
ubi kayu yang dihasilkan yaitu sebesar
41,01%, dan dikategorikan sebagai selulosa
Gugus hidroksil O-H pada selulosa asetat diasetat. Oleh karena itu, hasil selulosa
serat batang ubi kayu yang terlihat pada asetat pada penelitian ini dapat digunakan
bilangan gelombang 3333,80 cm-1 memiliki lebih lanjut sebagai bahan baku pembuatan
serapan yang lebih tinggi dan lebar benang, film topografi, dan membran.
dibandingkan selulosa asetat komersial yang
terlihat pada bilangan gelombang 3479,28 Daftar Pustaka
cm-1. Gugus O-H yang masih ada ini
merupakan gugus hidroksil dari selulosa Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung.
yang tidak tersubstitusi oleh gugus asetil. (2014) Perkembangan Indikator Makro
Hal ini diduga karena adanya kandungan air Ekonomi Sosial Ekonomi Provinsi
pada bahan yang diakibatkan dari proses Lampung Triwulan IV 2014, Badan
pengeringan yang kurang sempurna Pusat Statistik Provinsi Lampung,
(Widayani, 2013). Bandar Lampung.

Jika hasil spektrum FTIR selulosa serat Dzikro, M., Darni, Y., Lismeri, L., Hanif, M.
batang ubi kayu setelah delignifikasi pada (2013) Cellulose acetate membrane
Gambar 6 dibandingkan dengan hasil synthesis of residual seaweed
selulosa asetat serat batang ubi kayu pada eucheuma spinosum, Seminar Nasional
Gambar 7, terlihat bahwa gugus O-H pada Sains & Teknologi V, Lembaga
bilangan gelombang 3333,80 cm-1 pada Penelitian Universitas Lampung,
selulosa digantikan dengan gugus asetil. Bandar Lampung, 19 – 20.
Intensitas puncak serapan gugus hidroksil
menurun, sedangkan intensitas puncak Fessenden, R. J. dan Fessenden, J. S. (2005)
serapan gugus asetil meningkat. Hal ini Kimia Organik, dalam Pudjaatmaka,
menunjukkan bahwa selulosa telah berubah A.H., Edisi 3, Jilid 1, Erlangga, Jakarta.
menjadi selulosa asetat.
Gaol, M. R. L., Sitorus, R., Yanthi, S., Surya,
3.7. Analisis Kadar Asetil S., Manurung, R. (2013) Pembuatan
selulosa asetat dari α-selulosa tandan
Analisis kadar asetil bertujuan untuk kosong kelapa sawit, Jurnal Teknik
mengetahui jenis selulosa asetat yang Kimia USU, 2, 33 – 39.
dihasilkan, apakah termasuk monoasetat,
diasetat, atau triasetat. Penentuan kadar Lestari, P., Titi, N. H., Siti, H. I. L., Djagal,
asetil ini didasarkan pada reaksi saponifikasi, W. M. (2014) Pengembangan
yaitu reaksi antara basa dengan ester asetat Teknologi Pembuatan Biopolimer
membentuk sabun dan asam asetat Bernilai Ekonomi Tinggi dari Limbah
(Fessenden dan Fessenden, 2005). Pada Tanaman Jagung (Zea Mays) Untuk
penelitian ini, kadar asetil yang dihasilkan Industri Makanan: CMC (Carboxy
sebesar 41,01% dan termasuk jenis selulosa Methyl Cellulose), Universitas Gajah
diasetat. Mada, Yogyakarta.

90
Lia Lismeri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2

Muladi, S. (2013) Teknologi Kimia Kayu Sumada, K., Tamara, P. E., Alqani, F. (2011)
Lanjutan, Diktat Kuliah, Universitas Isolation study of efficient α-cellulose
Mulawarman, Samarinda. from waste plant stem manihot
esculenta crantz, Jurnal Teknik Kimia,
Nurhayati dan Kusumawati, R. (2014) 5, 434 – 438.
Sintesis selulosa asetat dari limbah
pengolahan agar, JPB Perikanan, 9, Surest, A. H. dan Satriawan, D. (2010)
97–107. Pembuatan pulp dari batang rosella
dengan proses soda (konsentrasi
Octavia, S. (2008) Efektivitas kombinasi naoh, temperatur pemasakan dan
proses perendaman dengan amoniak lama pemasakan), Jurnal Teknik Kimia
dan asam pada pengolahan awal Universitas Sriwijaya, 17, 2 – 3.
biomassa sebagai bahan baku
pembuatan bioetanol, Thesis, Institut Widayani, W. (2013) Kajian awal sintesis
Teknologi Bandung, Bandung. selulosa asetat dari residu rumput laut
eucheuma spinosum, Penelitian,
Oliveira, F.B., Bras, J., Pimenta, M.T.B., Universitas Lampung, Bandar
Curvelo, A.A.S., Belgacem, M. N. Lampung.
(2016) Production of cellulose
nanocrystals from sugarcane bagasse Widodo, L. U., Sumada, K., Pujiastuti, C.,
fibers and pith, Industrial Crops and Karaman, N. (2013) Pemisahan alpha-
Products, 93, 48-57 selulosa dari limbah batang ubi kayu
menggunakan larutan natrium hidrok-
Ma, X., Zheng, X., Yang, H., Wu, H., Cao, S., sida, Jurnal Teknik Kimia, 7, 43 – 47.
Huang, L. (2016) A perspective on
lignin effects on hemicelluloses Widyaningsih, S. dan Radiman, C. L. (2007)
dissolution for bamboo pretreatment, Pembuatan selulosa asetat dari pulp
Industrial Crops and Products, 94, kenaf (hibiscus cannabinus), Molekul,
117-121 2, 13 – 16.

Sukaton, E. (2004) Variasi proses pulping Yuanisa, A., Ulum, K., Wardani, A. K. (2015)
kraft dari jenis bambu petung Pretreatment lignoselulosa batang
(Dendrocalamus Asper Backer) kelapa sawit sebagai langkah awal
sebagai bahan baku pulp dan kertas, pembuatan bioetanol generasi kedua:
RIMBA Kalimantan Fakultas Kehutanan Kajian Pustaka, Jurnal Pangan dan
Unmul, 9, 21 – 24. Agroindustri, 3, 1620 - 1626.

91

Anda mungkin juga menyukai