Anda di halaman 1dari 25

BAB II

STATUS PASIEN

A. Identitas Penderita
Nama : Tn. M
Usia : 56 tahun
Nomor CM : 00246217
Alamat : Sumingkir RT 05/02 Jeruklegi
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Kuli Bangunan
Tanggal Masuk : 13 November 2016
Tanggal Periksa : 16 November 2016
Tanggal Keluar : 21 November 2016

A. Anamnesis
1. Keluhan utama
Muntah darah
2. Keluhan tambahan
Badan lemas, nyeri pada bagian ulu hati, mual, BAB kehitaman
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat RSMS pada tanggal 13
November 2016 dengan keluhan muntah darah sudah 2 kali sejak 1 hari
SMRS. Muntah berwarna merah kehitaman dan bercampur dengan
makanan. Selain itu pasien juga mengeluhkan badan terasa lemas, nyeri
pada bagian ulu hati, mual, serta BAB berwarna kehitaman. Pasien
mengaku pernah mengalami keluhan serupa (muntah darah) ± 1 tahun
yang lalu dan sempat dirawat inap di RSUD Cilacap. Sekitar 6 bulan
yang lalu pasien mengatakan bahwa perut sempat membesar.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : diakui
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
6. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien saat ini tinggal di lingkungan yang padat penduduk dan
memiliki hubungan yang baik dengan tetangga sekitar rumah.
b. Home
Pasien saat ini tinggal di rumah bersama istri dan anaknya.
Hubungan pasien dan keluarga baik.
c. Occupational
Pasien bekerja sebagai kuli bangunan.
d. Personal habit
Pasien menyangkal riwayat meminum minuman beralkohol
sebelumnya. Pasien mengaku makan tidak teratur dan tidak senang
berolahraga.
B. Objektif
1. Keadaan umum : sedang
2. Kesadaran : compos mentis
3. Tanda vital
a. Tekanan darah : 80/60 mmHg
b. Nadi : 56 kali/menit
c. Pernafasan : 20 kali/menit
o
d. Suhu : 36.7 C
C. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan kepala
a. Bentuk kepala : mesocephal
b. Rambut : alopesia (-), berwarma hitam
c. Venektasi temporal : (-)
2. Pemeriksaan mata
a. Konjungtiva anemis : (+/+)
b. Sklera ikterik : (-/-)
c. Edem palpebra : (-/-)
d. Reflek cahaya langsung/tidak langsung : (+/+) / (+/+)
3. Pemeriksaan telinga
a. Simetris : (+/+)
b. Kelainan bentuk : (-/-)
c. Serumen : (-/-)
4. Pemeriksaan hidung
a. Nafas cuping hidung : (-/-)
b. Discharge : (-/-)
5. Pemeriksaan mulut
a. Bibir sianosis :-
b. Lidah sianosis :-
c. Lidah kotor :-
6. Pemeriksaan leher
a. Deviasi trakea :-
b. Pembesaran tiroid :-
7. Pemeriksaan thoraks
a. Pulmo
1) Inspeksi : Simetris, retraksi (-), ketinggalan gerak (-)
2) Palpasi : Vokal fremitus apex kanan sama dengan apex kiri
Vokal fremitus basal kanan sama dengan basal kiri
3) Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Batas paru hepar di SIC V linea midclavicular
dextra
4) Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-),
Wheezing (-/-)
b. Jantung
1) Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC VI 2 jari medial LMCS
pulsasi epigastrium (-)
2) Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC VI 2 jari lateral LMCS
dan tidak kuat angkat
3) Perkusi : Batas kanan atas SIC II LPSD
Batas kiri atas SIC II LPSS
Batas kanan bawah SIC IV LPSD
Batas kiri bawah SIC VI 2 jari medial LMCS
4) Auskultasi : A1>A2, P1>P2, T1>T2, M1>M2
Reguler, murmur (-), gallop (-)
8. Pemeriksaan abdomen
a. Inspeksi : Cembung, spider naevi (-)
b. Auskultasi : Bising usus (+) normal
c. Palpasi : Supel-keras, nyeri tekan (-)
d. Perkusi : Timpani-pekak, pekak alih (+), pekak sisi (+)
9. Pemeriksaan hepar
Hepatomegali (-)
10. Pemeriksaan lien
Splenomegali (+)
11. Pemeriksaan ekstremitas
Tabel 2.1. Hasil Pemeriksaan Ekstremitas.
Pemeriksaan Ekstremitas superior Ekstremitas inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema (pitting) - - - -
Sianosis - - - -
Ikterik - - - -
Akral hangat hangat hangat hangat
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah lengkap
Tabel 2.2. Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan 13/11/16 15/11/16 19/11/16

Hemoglobin 8.3 (L) 7.6 (L) 11.3


Leukosit 8050 4720 4280
Hematokrit 26 (L) 24 (L) 35 (L)
Eritrosit 3.5 (L) 3.1 (L) 4.4
Trombosit 97.000 (L) 89.000 (L) 64.000 (L)
Hitung Jenis
Basofil 0.1 0.4 0.2
Eosinofil 0.2 (L) 6.8 (H) 7.2 (H)
Batang 0.5 (L) 0.4 (L) 0.2 (L)
Segmen 87.6 (H) 62.9 68.6
Limfosit 8.1 (L) 19.5 (L) 11.9 (L)
Monosit 3.5 10.0 (H) 11.9 (H)

2. Laboratorium lainnya
Tabel 2.3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Lainnya
Pemeriksaan 13/11/2016

SGOT 37
SGPT 49
Ureum darah 59.9 (H)
Kreatinin darah 0.57 (L)
Glukosa sewaktu 156
PT 11.0
APTT 44.6 (H)
Anti HCV Non reaktif
HBSAG Reaktif
Natrium 140
Kalium 4.4
Klorida 110 (H)

3. Elektrokardiografi

Gambar 2.2. Pemeriksaan EKG pada Tanggal 12 November 2016


4. Endoskopi

Gambar 2.3. Pemeriksaan Endoskopi pada 19 November 2016


Kesan:
a. VE F2 2 kolom
b. Gastropati hipertensi portal
c. Anthral gastritis erosiva

E. Diagnosis
Sirosis hepatis
Varices esofagus
Gastropati hipertensi portal
Gastritis erosif
Anemia
F. Terapi
1. Farmakologi
a. IVFD Asering 15 tpm
b. Injeksi Cefotaxim 2x1 gr
c. Injeksi OMZ 2x1 amp
d. Injeksi Vitamin K 3x1 amp
e. Propanolol 1x10 mg
f. Lactulac syr 3xC1
g. Transfusi PRC hingga Hb ≥ 9
Terapi saat pulang:
a. Cefixime 2x100 mg tab
b. OMZ 2x1 tab
c. Propanolol 1x10 mg
d. Vitamin K 3x1 tab
e. Sukralfat syr 3xC1
f. Lactulac syr 3xC1
2. Nonfarmakologi
a. Edukasi pasien dan keluarga mengenai kemungkinan penyebab
penyakit.
b. Edukasi untuk meminum obat secara teratur
c. Edukasi untuk istirahat yang cukup
d. Makan makanan yang bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh,
rendah garam tinggi proteim serta diberikan vitamin tambahan.
e. Edukasi untuk kontrol ke poli jika obat habis
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Sirosis hepatis adalah fase lanjut dari penyakit hati kronik yang
menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatis yang berlangsung secara
progresif, yang ditandai dengan distorsi struktur hepar dan pembentukan
nodul regenerative. Secara anatomis, sirosis hepatis ialah terjadinya fibrosis
yang sudah meluas dengan terbentuknya nodul-nodul pada semua bagian
hati dan terjadinya terjadinya fibrosis tidak hanya pada satu lobulus saja
(Hadi, 2013; Nurdjanah, 2009).
Sirosis hepatis ditandai oleh proses radang difus menahun pada hati,
nekrosis sel hati, usaha regenerasi dan proliferasi jaringan fibrous dimana
seluruh jaringan hati menjadi rusak disertai dengan pembentukan regenerasi
nodul. Sirosis hepatis pada akhirnya dapat menggangu sirkulasi darah
intrahepatik dan pada kasus lanjut dapat menyebabkan kegagalan fungsi hati
secara bertahap (Nurdjanah, 2009; Price , 2006).

B. Epidemiologi
Di Indonesia data prevalensi sirosis hepatis didapat melalui laporan
dari beberapa pusat pendidikan. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta jumlah
pasien sirosis hepatis berkisar 4,1 % dari pasien yang dirawat di bagian
penyakit dalam dalam kurun waktu 1 tahun (2004). Di Medan dalam kurun
waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 pasien dari seluruh
pasien penyakit di bagian penyakit dalam (Nurdjanah, 2009).
Menurut Hadi (2013), jumlah rata-rata penderita sirosis hepatis
sekitar 3,4 % dari total penderita penyakit hati dan berada di peringkat
kedua sebagai faktor penyebab penyakit hati, setelah hepatitis virus akut
Penderita sirosis hepatis lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan
dengan wanita sekitar 1,6:1 dengan usia terbanyak antara golongan 30-59
tahun dengan puncak usia sekitar 40-49 tahun.
C. Etiologi
Etiologi sirosis hepatis dapat diketahui dari riwayat pasien,
dikombinasikan dengan pemeriksaan serologis dan histologis. Etiologi di
Indonesia terutama akibat infeksi hepatitis B dan C. Berdasarkan penelitian,
hepatitis B di Indonesia menyebabkan sirosis sebesar 40 – 50% dan hepatitis
C sebesar 30 – 40%. Alkohol di Indonesia sebagai penyebab sirosis hepatis
memang belum ada data validnya dikarenakan belum ada hasil penelitian,
namun tidak menutup kemungkinan alkohol juga menjadi penyebab di
Indonesia. Selain itu, nonalcoholic fatty liver disease pun menjadi etiologi
penting pada sirosis hepatis (Nurdjanah, 2009; Riley et al., 2009; Starr &
Raines, 2011).
Tabel 3.1. Etiologi tersering sirosis hepatis (Starr & Raines, 2011).
Jenis Etiologi
Inflamasi Viral: hepatitis B, hepatitis C
Parasit: schistosomiasis
Autoimun: tipe 1, 2, 3
Sarcoidosis
Toksik Alkohol
Methotreksat
Genetik/Kongenital Primary biliary cirrhosis
α1-antitrypsin deficiency
Hemakromatosis
Non-alcoholic fatty liver disease
Wilson disease
Sistemik Congestive heart failure (CHF): kongesti pasif
kronik
Venooclusive disease (Budd-Chiari syndrome)
Idiopatik

D. Patogenesis
Tiga mekanisme patologik utama yang berkombinasi untuk menjadi
sirosis adalah kematian sel hati, regenerasi, dan fibrosis progresif. Berbagai
hal dapat menyebabkan kerusakan sel hati, sehingga menimbulkan respon
normal tubuh berupa regenerasi sel; regenerasi adalah respon normal
penjamu. Dalam kaitannya dengan fibrosis, hati normal mengandung
kolagen interstisium (tipe I, III, dan IV) di saluran porta dan sekitar vena
sentralis, dan kadang-kadang di parenkim. Di ruang antara sel endotel
sinusoid dan hepatosit (ruang Disse) terdapat rangka retikulin halus kolagen
tipe IV. Pada sirosis, kolagen tipe I dan III serta komponen lain matriks
ekstrasel mengendap di semua bagian lobulus dan sel-sel endotel sinusoid
kehilangan fenetrasinya. Juga terjadi pirau vena porta-ke-vena hepatika dan
arteri hepatika-ke-vena porta. Proses ini pada dasarnya mengubah sinusoid
dari saluran endotel yang berlubang-lubang dengan pertukaran bebas antara
plasma dan hepatosit, menjadi saluran vaskular tekanan tinggi beraliran
cepat tanpa pertukaran zat terlarut. Secara khusus, perpindahan protein
(misal, albumin, faktor pembekuan, lipoprotein) antara hepatosit dan plasma
sangat terganggu (Kumar, Cotran, & Robbins , 2007).
Sumber utama kelebihan kolagen pada sirosis tampaknya adalah sel
stelata perisinusoid penyimpan lemak, yang terletak di ruang Disse.
Walaupun secara normal berfungsi sebagai penyimpan vitamin A dan
lemak, sel ini mengalami pengaktifan selama terjadinya sirosis, kehilangan
simpanan retinil ester, dan berubah menjadi sel mirip miofibroblas.
Rangsangan untuk sintesis dan pengendapan kolagen dapat berasal dari
beberapa sumber (Kumar, Cotran, & Robbins , 2007):
1. Peradangan kronis, disertai produksi sitokin peradangan seperti faktor
nekrosis tumor (TNF), limfotoksin, dan interleukin 1)
2. Pembentukan sitokin oleh sel endogen yang cedera (sel Kupffer, sel
endotel, hepatosit, dan sel epitel saluran empedu)
3. Gangguan matriks ekstrasel
4. Stimulasi langsung sel stelata oleh toksin
Seiring semakin rusaknya hepatosit dan semakin banyaknya
kematian hepatosit, kemampuan hepar dalam memetabolisme bilirubin dan
menyintesis protein, seperti faktor pembekuan dan transaminase, akan
terganggu. Akibatnya, terjadi peningkatan kadar bilirubin serum dan INR,
serta penurunan/normal kadar transaminase. Fibrosis yang terus berlanjut
menyebabkan peningkatan tekanan pada sistem porta (Starr & Raines,
2011).
Peningkatan tekanan pada sistem porta akan menyebabkan
perubahan pada struktur vaskulatur hepar. Perubahan struktur tersebut, dari
sinusoid endotel yang berlubang-lubang (fenestra), menjadi saluran vaskuler
bertekanan tinggi dan beraliran cepat; sehingga pertukaran zat terlarut antara
plasma pada sinusoid hepar dan sel parenkim hepar menjadi hilang.
Perpindahan protein, seperti albumin, faktor pembekuan, lipoprotein, antara
hepatosit dan plasma menjadi terganggu. Fibrosis pun akan meluas hingga
celah Disse terisi oleh sel-sel fibrosa. Fibrosis hepar yang meluas disertai
perubahan sistem vaskularisasi hepar inilah yang menyebabkan kondisi
sirosis, sehingga disebut sirosis hepatis (Crawford, 2007; Schuppan &
Afdhal, 2008).

E. Klasifikasi
1. Klasifikasi Morfologi (Nurdjanah, 2009):
a. Sirosis mikronoduler
Nodul yang berbentuk uniform, diameter kurang dari tiga milimeter
dimana penyebabnya antara lain: alkoholisme, hemokromatosis,
obstruksi bilier, obstruksi venahepatika, pintasan jejuno-ileal
sirosis pada anak india. Sirosis mikronoduler sering berkembang
menjadi sirosis makronoduler.
b. Sirosis makronoduler
Nodul bervariasi dengan diameter lebih dari tiga milimeter.
Penyebabnya antara lain: hepatitis kronik B, hepatitis kronik C, dan
defisiensi α-1-antitripsin.
c. Sirosis campuran
Yaitu golongan mikronudular dan makronudular. Nodul terbentuk
dengan ukuran < 3mm dan ada nodul yang berukuran >3.
2. Klasifikasi Fungsional (Nurdjanah, 2009):
a. Sirosis hepatis kompensata
Sering disebut dengan latent cirrosis hepar. Pada stadium ini belum
terlihat gejala- gejala nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada
saat pemeriksaan skrining.
b. Sirosis hepatis dekompensata
Dikenal dengan active cirrocis hepar. Pada stadium ini biasanya
disertai dengan gejala-gejala yang sudah jelas seperti asites, edema,
dan ikterik.

F. Manifestasi Klinis
Pada stadium awal (kompensata), dimana kompensasi tubuh terhadap
kerusakan hati masih baik, sirosis seringkali muncul tanpa gejala sehingga
sering ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin.
Gejala-gejala awal sirosis meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera
makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada
laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil dan dada membesar, serta
hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut, (berkembang menjadi
sirosis dekompensata) gejala-gejala akan menjadi lebih menonjol terutama
bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi
kerontokan rambut badan, gangguan tidur, dan demam yang tidak begitu
tinggi. Selain itu, dapat pula disertai dengan gangguan pembekuan darah,
perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih
berwarna seperti teh pekat, hematemesis, melena, serta perubahan mental,
meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma
(Nurdjanah, 2009).
Akibat dari sirosis hepatis, maka akan terjadi 2 kelainan yang
fundamental yaitu kegagalan fungsi hati dan hipertensi porta. Manifestasi dari
gejala dan tanda-tanda klinis ini pada penderita sirosis hati ditentukan oleh
seberapa berat kelainan fundamental tersebut (Wolf, 2012).

Tabel 3.2. Gejala kegagalan fungsi hati dan hipertensi porta.


Kegagalan fungsi hati akan ditemukan dikarenakan terjadinya
perubahan pada jaringan parenkim hati menjadi jaringan fibrotik dan
penurunan perfusi jaringan hati sehingga mengakibatkan nekrosis pada hati.
Hipertensi porta merupakan gabungan hasil peningkatan resistensi vaskular
intra hepatik dan peningkatan aliran darah melalui sistem porta. Resistensi
intra hepatik meningkat melalui 2 cara yaitu secara mekanik dan dinamik.
Secara mekanik resistensi berasal dari fibrosis yang terjadi pada sirosis,
sedangkan secara dinamik berasal dari vasokontriksi vena portal sebagai efek
sekunder dari kontraksi aktif vena portal dan septa myofibroblas, untuk
mengaktifkan sel stelata dan sel-sel otot polos. Tonus vaskular intra hepatik
diatur oleh vasokonstriktor (norepineprin, angiotensin II, leukotrin dan
trombioksan A) dan diperparah oleh penurunan produksi vasodilator (seperti
nitrat oksida). Pada sirosis peningkatan resistensi vaskular intra hepatik
disebabkan juga oleh ketidakseimbangan antara vasokontriktor dan
vasodilator yang merupakan akibat dari keadaan sirkulasi yang hiperdinamik
dengan vasodilatasi arteri splanknik dan arteri sistemik. Hipertensi porta
ditandai dengan peningkatan cardiac output dan penurunan resistensi
vaskular sistemik (Wolf, 2012).
G. Penegakan Diagnosis
Diagnosis sirosis hepatis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
a. Mudah lelah dan lemas
b. Nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan
c. Perut kembung, mual
d. Penurunan berat badan
e. Gangguan tidur (Nurdjanah, 2009)
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kegagalan fungsi hati (spidernavi, alopesia pectoralis ginekomasti,
atrofi testis, gangguan siklus haid, eritema palmaris, white nail)
b. Hipertensi porta (tekanan sistem porta >10mmHg) ditandai dengan
splenomegali, asites, perdarahan saluran pencernaan seperti BAB
hitam dan muntah hitam atau darah.
c. Ikterus dengan air kemih seperti teh
d. Epistaksis, gusi berdarah (Wolf, 2012).
3. Pemeriksaan Penunjang (Nurdjanah, 2009):
a. Tes Fungsi Hati
1) SGOT (serum glutamil oksalo asetat) atau AST (aspartat
aminotransferase) dan SGPT (serum glutamil piruvat
transferase) atau ALT (alanin aminotransferase) meningkat tapi
tidak begitu tinggi. AST lebih meningkat dibanding ALT,
namun bila enzim ini normal, tidak menyingkirkan kecurigaan
adanya sirosis
2) Alkali fosfatase (ALP), meningkat kurang dari 2-3 kali batas
normal atas. Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien
kolangitis sklerosis primer dan sirosis bilier primer.
3) Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), meningkat sama
dengan ALP. Namun, pada penyakit hati alkoholik kronik,
konsentrasinya meninggi karena alkohol dapat menginduksi
mikrosomal hepatik dan menyebabkan bocornya GGT dari
hepatosit.
4) Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis kompensata
dan meningkat pada sirosis yang lebih lanjut (dekompensata)
5) Globulin, konsentrasinya meningkat akibat sekunder dari
pintasan, antigen bakteri dari sistem porta masuk ke jaringan
limfoid yang selanjutnya menginduksi immunoglobulin.
6) Waktu protrombin memanjang karena disfungsi sintesis faktor
koagulan.
7) Na serum menurun, terutama pada sirosis dengan asites,
dikaitkan dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas.
8) Pansitopenia dapat terjadi akibat splenomegali kongestif
berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi
hipersplenisme.
9) Seromarker hepatitis.

b. Pemeriksaan penunjang lain (Nurdjanah, 2009):


1) Barium meal, untuk melihat varises sebagai konfirmasi adanya
hipertensi porta
2) USG, untuk untuk menilai ukuran hati, sudut, permukaan, serta
untuk melihat adanya asites, splenomegali, thrombosis vena
porta, pelebaran vena porta, dan sebagai skrinning untuk adanya
karsinoma hati pada pasien sirosis.
3) Kolesistografi/kolangiografi : Memperlihatkan penyakit duktus
empedu yang mungkin sebagai faktor predisposisi.
4) Esofagoskopi : Dapat melihat adanya varises esophagus
5) Portografi Transhepatik perkutaneus : Memperlihatkan sirkulasi
sistem vena portal,
6) Scan/biopsi hati : Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan
jaringan hati.
H. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan sirosis hepatis dipengaruhi etiologinya. Tujuan
terapi mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa
menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Secara
umum, penatalaksanaan sirosis hepatis sebaga berikut (Hadi, 2013):
1. Bed rest sampai gejala membaik
2. Diet tinggi protein, tinggi karbohidrat (diet hati III: protein 1g/kgBB,
2000-3000 kkal). Jika ada asites diberikan diberikan diet rendah garam II
(600-800 mg) atau III (1000-2000 mg)
Apabila sudah ditemukan ascites, maka penatalaksanaannya sebagai
berikut (Hadi, 2013):
1. Bed rest
2. Diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat dan
diet rendah garam dan penderita dapat berobat jalan.
3. Diuretik
Pemberian diuretik hanya bagi penderita yang telah menjalani diet
rendah garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya
kurang dari 1 kg setelah 4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat
pemberian diuretic adalah hipokalemia dan hal ini dapat mencetuskan
encepalophaty hepatic, maka pilihan utama diuretic adalah spironolacton,
dan dimulai dengan dosis rendah, serta dapat dinaikkan dosisnya
bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis maksimal diuresinya belum
tercapai maka dapat kita kombinasikan dengan furosemid. Bila
pengobatan konservatif tidak berhasil, dapat dilakukan parasintesis cairan
asites, dapat dilakukan 5 10 liter / hari, dengan catatan harus dilakukan
infus albumin sebanyak 6 – 8 gr/l cairan asites yang dikeluarkan.
Selain itu pemberian terapi terhadap penderita sirosis juga perlu ditinjau
apakah sudah ada hipertensi portal dan kegagalan faal hati atau belum (Hadi,
2013).
1. Sirosis tanpa kegagalan faal hati dan hipertensi portal, penatalaksanaannya
sebagai berikut (Hadi, 2013):
a. Diet tinggi protein dan karbohidrat serta lemak tidak perlu dibatasi.
b. Diberikan vitamin: vitmin C, thiamin, riboflavin, asam nikotin, B12,
essensial phosfolipid (EPL), cursil dan obat yang mengandung protein
tinggi seperti superton.
c. Hindari minuman beralkohol, zat hepatotoksik, dan makanan yang
disimpan lama diudara terbuka lebih dari 48 jam.
2. Sirosis dengan kegagalan faal hati dan hipertensi portal,
penatalaksanaannya sebagai berikut (Hadi, 2013):
a. Istirahat
Aktifitas fisik dibatasi, dianjurkan untuk istirahat ditempat tidur
lebih kurang setengah hari setiap harinya terutama bagi yang disertai
asites.
b. Diet
Bila tidak ada tanda-tanda koma hepatikum diberikan diet 1500-
2000 kal dengan protein sekurang-kurangnya 1 gr/kgBB/hari. Perlu
juga diberikan roboransia. Makanan dan minuman yang mengandung
alkohol dihentikan secara mutlak. Hindari makanan yang lebih dari 48
jam di udara bebas. Penderita asites dan edema sedikit dapat hilang
dengan diet kaya protein (1-2 gr/kgBB/hari), rendah Na (200-500 mg
Na/hari) dan pembatasan cairan 1-1,5 liter/hari.
c. Diuretik
Dilakukan jika selama 4 hari diet tidak ada respon, diberikan
spironolakton 100-200 mg/hari. Respon diuretik bisa dimonitor dengan
penurunan BB 0,5 kg/hari (tanpa edem kaki) atau 1,0 kg/hari (dengan
edema kaki). Bila pemberian spironolakton tidak adekuat, dapat
dikombinasi dengan furosemide 20-40 mg/hari (dosis max.160
mg/hari). Sebagai pengganti spironolakton dapat dipakai triamterene
atau amiloride yang mempunyai fungsi sama, yaitu bekerja di tubuli
distal dan tidak mengeluarkan K. Pemberian spironolacton dimulai
dengan dosis rendah misalnya 25 mg/hari, bila selama 3 hari tidak ada
respons baru dosis ditingkatkan sedikit demi sedikit sampai
memperoleh respons yang cukup. Kontraindikasi pemberian diuretik
ialah perdarahan gastrointestinal, penderita dengan muntah-muntah atau
diare, prekoma atau koma hepatikum. Sebagai akibat pemberian
diuretik akan timbul:
1) Hipokalemi: maka pemberian diutretik dihentikan, dan diberikan
penambahan KCl.
2) Hiponatremi: diatasi dengan pemberian cairan yang dibatasi 500
cc/hr atau pemberian 2 L manitol 20% intravena bekerja sebagai
diuretik osmotik.
3) Alkalosis hipokloremik; karena kehilangan Na dan Cl, dan dapat
dibatasi dengan pemberian klorida.
4) Koma hepatikum sekunder; karena hipokalemi, kehilangan cairan.
Bila terlihat tanda-tanda prekoma atau koma sebaiknya pemberian
diuretik dihentikan.
d. Obat-obatan
Prednison hanya diberikan pada penderita yang diduga dengan
posthepatik sirosis, hepatitis aktif kronis dimana masih terdapat ikterus,
gama globulin dan transaminase yang masih meninggi.

e. Peritoneo-venous shunt
Operasi kecil peritoneous shunt untuk mengurangi cairan asites
secara teratur dan memasukkan melalui suatu pipa yang diberi katub,
sehingga memberikan satu arah kedalam vena jugularis pada penderita
dengan asites yang tidak berhasil diobati dengan diuretik. Hasilnya
76,5% pasien dapat dihilangkan asitesnya, bahkan kadar serum protein
dan ratio albumin-globulin kembali normal, hal ini disebabkan karena
kadar protein yang ada didalam cairan asites dialirkan kembali ke
tubuh penderita. Juga kadar ureum yang tinggi kembali normal.
f. Parasintesis
Tujuan parasintesis adalah (1) Diagnostik : tujuan untuk
mengevaluasi cairan asites, kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap
jumlah sel dan hitung jenis, protein, macam mikroorganisme, (2) Terapi
: untuk mengeluarkan cairan asites yang sangat banyak sehingga dapat
menggangu pernapasan penderita. Bila terlalu sering dilakukan akan
menimbulkan komplikasi yaitu infeksi luka bekas parasintesis,
kebocoran cairan asites pada luka bekas tusukan, hiponatremi, koma
hepatikum karena gangguan keseimbangan elektrolit, kehilangan
protein tubuh, gangguan faal ginjal, perdarahan, perforasi usus.

Pengobatan sirosis hati berdasarkan etiologi juga seringkali dilakukan


seperti pada pasien dengan infeksi virus Hepatitis C penatalaksanaannya
sebagai berikut (Hadi, 2013):
a. Terapi kombinasi IFN 3 juta unit 3 x seminggu dan Ribavirin 1000-2000
mg/hari tergantung berat badan (1000 mg untuk berat badan kurang dari
75 kg) dalam jangka waktu 24-48 minggu.
b. Terapi induksi Interferon dengan dosis yang lebih tinggi dari 3 juta unit
setiap hari untuk 2-4 minggu, dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x
seminggu selama 48 minggu dengan atau tanpa kombinasi dengan
Ribavirin.
c. Terapi dosis interferon setiap hari dengan dosis 3 juta atau 5 juta unit
sampai HCV-RNA negatif di serum dan jaringan hati.

Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati yang diberikan jika telah
terjadi komplikasi lain seperti (Hadi, 2013):
1. Spontaneous bacterial peritonitis
Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III
(Cefotaxime), secara parenteral selama lima hari, atau Qinolon secara oral.
Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk Profilaxis dapat diberikan
Norfloxacin (400mg/hari) selama 2-3 minggu.
2. Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus
Prinsip penanganan yang utama adalah tindakan Resusitasi sampai
keadaan pasien stabil, dalam keadaan ini maka dilakukan :
a. Pasien diistirahatkan dan dipuasakan
b. Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfusi
c. Diberikan obat penyekat beta (propanolol)
d. Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau
oktriotide, antifibrinolitik, vitamin K
e. Pemasangan Naso Gastric Tube, hal ini mempunyai banyak sekali
kegunaannya yaitu : untuk mengetahui perdarahan, cooling dengan es,
pemberian obat-obatan, evaluasi darah
f. Lakukan Pemasangan Ballon Tamponade, tindakan skleroterapi dan
Ligasi atau Oesophageal Transection untuk menghentikan perdarahan
3. Sindroma Hepatorenal
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif. Oleh karena itu,
pencegahannya harus mendapat perhatian utama berupa hindari pemakaian
diuretic agresif, parasentesis asites, dan restriksi cairan yang berlebihan.
4. Ensefalophaty hepatic
a. Pengobatan dengan pemberian laktulosa untuk mengeluarkan amonia.
b. Neomisin, untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia.
c. Diet rendah protein 0,5 gram.kgBB/hari, terutama diberikan yang
kaya asam amino rantai cabang.

I. Komplikasi
1. Ensepalopati Hepatikum
Ensepalopati hepatikum merupakan suatu kelainan neuropsikiatri
yang bersifat reversibel dan umumnya didapat pada pasien dengan sirosis
hati setelah mengeksklusi kelainan neurologis dan metabolik. Derajat
keparahan dari kelainan ini terdiri dari derajat 0 (subklinis) dengan fungsi
kognitif yang masih bagus sampai ke derajat 4 dimana pasien sudah jatuh
ke keadaan koma. Patogenesis terjadinya ensefalopati hepatik diduga
oleh karena adanya gangguan metabolisme energi pada otak dan
peningkatan permeabelitas sawar darah otak. Peningkayan permeabelitas
sawar darah otak ini akan memudahkan masuknya neurotoxin ke dalam
otak. Kelainan laboratoris pada pasien dengan ensefalopati hepatik
adalah berupa peningkatan kadar amonia serum (Wolf, 2012).
2. Varises Esophagus
Varises esophagus merupakan komplikasi yang diakibatkan oleh
hipertensi porta yang biasanya akan ditemukan pada kira-kira 50% pasien
saat diagnosis sirosis dibuat (Wolf, 2012).
3. Peritonitis Bakterial Spontan (PBS)
Peritonitis bakterial spontan merupakan komplikasi yang sering
dijumpai yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa adanya
bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya pasien tanpa gejala,
namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen. PBS sering timbul pada
pasien dengan cairan asites yang kandungan proteinnya rendah (<1 g/dL)
yang juga memiliki kandungan komplemen yang rendah, yang pada
akhirnya menyebabkan rendahnya aktivitas opsonisasi. Diagnosis PBS
berdasarkan pemeriksaan pada cairan asites, dimana ditemukan sel
polimorfonuklear lebih dari 250 sel/mm3 dengan kultur cairan asites
yang positif (Wolf, 2012).
4. Sindrom Hepatorenal
Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut
berupa oligouri, peningkatan ureum, kreatinin, tanpa adanya kelainan
organic ginjal. Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi
ginjal yang berakibat pada penurunan filtrasi glomerulus (Wolf, 2012).
5. Sindrom Hepatopulmonal
Pada sindrom ini dapat timbul hidrotoraks dan hipertensi
portopulmonal (Nurdjanah, 2009).
J. Prognosis
Prognosis sirosis hepatis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah
faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hepar, komplikasi, dan penyakit
lain yang menyertai sirosis. Klasifikasi Child-Turcotte berkaitan dengan
kelangsungan hidup. Angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk
pasien dengan Child A, B, dan C berturut-turut 100%, 80% dan 45%
(Nurdjanah, 2009).

Tabel 3.3 Klasifikasi Child-Pugh-Turcotte (CPT)


Poin 1 2 3
Ensefalopati Tidak ditemukan Terkontrol obat Terkontrol buruk
Asites Tidak ditemukan Terkontrol obat Terkontrol buruk
Bilirubin <2 2–3 >3
(mg/dL)
Albumin (gr/dL) < 3,5 2,8 – 3,5 <2,8
INR < 1,7 < 1,7 – 2,2 >2,2
CPT A (5 – 6 poin) CPT B (7 – 9 poin) CPT C (10 – 15 poin)
Ekspektasi hidup 15 – 20 4 – 14 1–3
(tahun)
Mortalitas 10 30 80
perioperatif (%)
BAB IV
KESIMPULAN

1. Diagnosis pasien Tn S. 56 tahun adalah sirosis hepatis dan ensefalopati


hepatikum.
2. Penegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
3. Penatalaksanaan pada kasus ini adalah terapi suportif berupa antibiotik,
diuresis oral dan injeksi, serta vitamin; terapi simptomatis dan plan
diagnostik/komplikasi berupa foto thorax, MSCT kepala, EKG, dan
pemeriksaan laboratorium darah lengkap; serta nonmedikamentosa berupa
diet restriksi garam dan tinggi protein.
4. Prognosis pasien pada kasus ini adalah:
Ad fungsional : dubia ad malam
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
DAFTAR PUSTAKA

Crawford, James M. 2007. Hati dan Saluran Empedu. Dalam: Robbins: Buku Ajar
Patologi Edisi 7. Jakarta: EGC. 671-672.

Hadi, Sujono. 2013. Gastroenterologi Edisi Pertama. Bandung: PT Alumni.

Mary, Catherine. 2010. The Epidemiology of Cirrhosis and Abnormal Liver


Function in the General Population of the UK. PhD Thesis. University of
Notthingham.

Nurdjanah Siti, 2009. Sirosis hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jakarta : Pusat Penerbitan ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI. hal. 668-673.

Schuppan, Detlef and Afdhal, H. Nezam. 2008. Liver Cirrhosis. Dalam: Lancet.
371 (9615): 838-851.

Starr, S. Paul and Raines, Daniel. 2011. Cirrhosis: Diagnosis, Management, and
Prevention. Dalam: American Family Physician. 84 (12);1353-1359.

Vilstrup, H., Amodio, P., Bajaj, P., et al. 2014. Hepatic Encephalopathy in
Chronic Liver Disease: 2014 Practice Guideline by the American
Association for the Study of Liver Diseases and the European Association
for the Study of the Liver. Official journal of the American association for
study of liver disease. Dalam: American Association for the Study of Liver
Disease. 60 ( 2 ) : 715 - 735.

Wolf, David C. 2012. Cirrhosis. http://emedicine.medscape.com/article/ 185856-


overview#showall. Diakses pada tanggal 26 September 2016.

Anda mungkin juga menyukai