Anda di halaman 1dari 194

DESAIN PEMANFAATAN SAMPAH BUAH BINTARO

SEBAGAI ARANG AKTIF PENGOLAH LIMBAH CAIR


KROM DAN ASAP CAIR ANTIRAYAP

ROSALINA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Desain Pemanfaatan


Sampah Buah Bintaro sebagai Arang Aktif Pengolah Limbah Cair Krom dan
Asap Cair Antirayap adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2017


Rosalina
Nrp. P062120144

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus berdasarkan perjanjian kerja sama yang terkait
RINGKASAN
ROSALINA. Desain Pemanfaatan Sampah Buah Bintaro sebagai Arang Aktif
Pengolah Limbah Cair Krom dan Asap Cair Antirayap. Dibimbing oleh TUN
TEDJA IRAWADI, ETTY RIANI, dan SRI SUGIARTI.

Jalur hijau Jalan Bogor Ring Road dan Jalan Baru merupakan contoh ruang
terbuka hijau yang cukup luas di Kota Bogor sehingga perlu dilakukan
pengelolaan dan pemeliharaan yang baik agar tetap terjaga kelestariannya. Di sisi
lain, jalur hijau ini juga banyak menghasilkan sampah yang berupa sampah buah,
ranting dan daun. Salah satu sampah yang banyak dihasilkan di jalur hijau Jalan
Bogor Ring Road (Jalan Kol. Achmad Syam) dan Jalan Destrata Kecamatan
Bogor Utara adalah sampah buah bintaro. Permasalahan yang ditimbulkan oleh
sampah bintaro karena buah bintaro dapat masuk ke saluran drainase kota dan
menimbulkan banjir di musim hujan.
Salah satu cara untuk mengelola sampah buah bintaro ini adalah dengan
mendaurulang sampah buah bintaro menjadi arang aktif pengolah limbah logam
berat krom dari limbah laboratorium. Adapun asap hasil pembakaran arang dapat
digunakan sebagai asap cair antirayap sedangkan biji buah bintaro sudah banyak
dimanfaatkan sebagai bahan pembuat biodiesel dan biopestisida. Dengan
demikian penerapan konsep zero waste dapat dilakukan pada sampah ruang
terbuka hijau (RTH) dari buah bintaro
Tujuan dari penelitian ini adalah pertama mendapatkan arang aktif dari buah
bintaro yang berkualitas baik sesuai SNI arang aktif teknis. Kedua, mendapatkan
persentase removal krom terbaik dengan metode adsorpsi arang aktif dari sampah
buah bintaro. Ketiga, mengetahui karakteristik asap cair hasil pirolisis sampah
buah bintaro sebagai antirayap untuk kayu pinus yang menyebabkan mortalitas
rayap. Keempat, mengetahui kelayakan finansial usaha pembuatan arang aktif dan
asap cair sehingga dapat dijadikan strategi pengembangan pemanfaatan buah
bintaro. Terakhir, mendapatkan rencana strategi pengembangan pemanfaatan buah
bintaro sehingga tercipta konsep zero waste dari sampah buah bintaro RTH.
Metode penelitian yang digunakan meliputi beberapa tahap yaitu, tahap
pertama persiapan sampel, tahap kedua pengarangan cangkang buah bintaro pada
suhu 300 oC, 400 oC, 500 oC di kiln. Setelah menjadi arang dilakukan analisis
proksimat arang yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar zat terbang, karbon
terikat dan daya serap iod. Dianalisis topografi dengan SEM, struktur kristal
dengan XRD dan analisis gugus fungsi dengan FTIR. Tahap ketiga adalah
membuat asap cair, dikarakterisasi pH, berat jenis, kadar fenol dan total asiditas
serta kandungan senyawa kimia dianalisis dengan GCMS, lalu diaplikasikan
sebagai antirayap pada kayu pinus. Tahap keempat yaitu aktivasi arang. Pada
tahap ini, percobaan dibagi dalam dua bagian. Percobaan pendahuluan arang
diaktivasi secara fisika dengan uap air dan secara kimia dengan aktivator KOH 5
%; 10 %, dan asam fosfat 5 %; 10 % dengan waktu aktivasi 60 menit dan 90
menit pada suhu 650 oC. Setelah itu juga dianalisis proksimat, XRD, SEM dan
FTIRnya, kemudian arang aktif diaplikasikan ke dalam limbah cair logam berat
krom. Selanjutnya percobaan utama hanya dilakukan dengan cara kimia yaitu
merendam arang dengan asam posfat pada konsentrasi yang bervariasi 20 %,
40 %, 60 % dan 80 % selama 24 jam dan dimasukkan ke retort dengan pemanasan
selama 90 menit pada suhu 650 oC. Selanjutnya arang aktif dianalisis proksimat
dan hasilnya dibandingkan dengan SNI arang aktif teknis serbuk SNI 06-3730-
1995. Tahap terakhir, dilakukan aplikasi arang aktif ke dalam limbah cair krom
dari IPAL (instalasi pengolahan air limbah) laboratorium Terapan politeknik AKA
Bogor pada tiga kondisi pH yaitu asam, netral dan basa.
Analisis kelayakan finansial dihitung berdasarkan analisis net present value,
analisis internal rate of return dan net benefit/cost. Terakhir strategi perencanaan
pemanfaatan buah bintaro dan analisis dampak lingkungan akibat adanya
pembuatan arang aktif dan asap cair dari buah bintaro dengan pendekatan LCA
(life cycle assessment).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sampah cangkang
buah bintaro dapat dibuat arang aktif. Selain itu hasil analisis proksimat arang
aktif hampir memenuhi semua syarat SNI kecuali untuk kadar abu .
Hasil Analisis GC-MS pada asap cair dari kayu pinus menunjukkan bahwa
komponen terbesar dari asap cair adalah piridin -3 karbosamida (pyridine-3-
carboxamide), oksim (oxime), N-2 trifluorometilfinil (N-(2-
trifluoromethylphenyl)); asam asetat (acetic acid); fenol (phenol), 2 metoksi (2-
methoxy), fenol (phenol), 2 metoksi-4 metil (2-methoxy-4 methyl); 4 metoksi
fenol (mequinol), asam 9-oktadenoat (Z), 2.3 dihidroksilpropil ester (9-
octadecenoic acid (Z), 2,3 dihydroxyprophyl ester). yang dapat berperan sebagai
agen termicidal yang dapat membunuh rayap.
Arang aktif buah bintaro yang diaktivasi dengan asam fosfat 20 % pada pH
basa, ternyata mampu menghilangkan kadar logam berat krom sebesar 66.55 %
Hasil perhitungan ekonomi menunjukkan bahwa nilai net B/C asap cair dan arang
aktif cangkang buah yaitu sebesar 1.65. Nilai net B/C >1 menunjukkan aktif
layak untuk dikerjakan. Lama payback period lebih pendek dari pada umur
proyek yang direncanakan sehingga dapat dikatakan proyek ini layak untuk
dilaksanakan. Nilai NPV dari perhitungan finansial usaha pemanfaatan cangkang
buah bintaro sebagai asap cair dan arang aktif bernilai positif karena nilai NPV>0
maka proyek dapat diterima. Nilai IRR asap cair dan arang aktif cangkang buah
bintaro sebesar 35% dengan suku bunga sebesar 12.5 %. Oleh karena nilai IRR >
tingkat suku bunga, maka investasi dapat diterima.
Prioritas Pengembangan tanaman buah bintaro berdasarkan pertimbangan
potensi lahan dan nilai produk, maka prioritas pengembangan sebagai berikut:
(a)Pengembangan produk didasarkan pada kondisi wilayah, (b) Inovasi teknologi,
(c) Kelembagaan dan pembinaan petani (d) Pembinaan dan pelatihan; diberikan
kepada petani dan industri pengolah buah bintaro sehingga mampu memenuhi
tuntutan pasar, (e) Pengembangan pasar (f) Pembiayaan; pola pembiayaan dapat
berupa hibah, bantuan teknis atau pinjaman lunak. Sumber-sumber pembiayaan
berasal dari dana pemerintah alokasi APBN/APBD, pemanfaatan dana pembinaan
dari keuntungan BUMN, kredit komersial, bank, dan lembaga keuangan lainnya
Berdasarkan analisis perhitungan emisi CO2 didapatkan bahwa emisi CO2
dari gas LPG untuk pirolisis arang lebih besar (4.84 x 1013 ton CO2) dibandingkan
emisi CO2 dari faktor bahan bakar dari kendaraan bermotor (156.27 Kg CO2).

Kata kunci : sampah buah bintaro, arang aktif-asam fosfat, asap cair antirayap,
limbah krom dari laboratorium, LCA

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus berdasarkan perjanjian kerja sama yang terkait
SUMMARY

ROSALINA. On Designing the Utilization of Bintaro Fruit Waste as Activated


Charcoal Treatment of Chrome Liquid Waste and Liquid Smoke Anti-termites.
Supervised by TUN TEDJA IRAWADI, ETTY RIANI, and SRI SUGIARTI

The green belt of Bogor Ring Road is an example of a wide green open
space in Bogor that required its own exceptional maintenance procedure to keep
its everlasting current conditions. On the other hand, the green belt also produces
waste fruits, twigs, and leaves. One of the wastes previously mentioned that easily
be found in Kol Achmad Syam Road and Destrata Road of North Bogor
Subdistrict is bintaro fruit. The trouble caused by this waste is that it could
penetrated through the city drainages and plugged the water flow. On rainy season
this plug created flood.
One way to manage bintaro fruit waste is to recycle them into activated
charcoal to adsorb heavy metal chromium from laboratory wastes. The smoke
from the charcoal can be condensed and used as an anti-termites, while the seeds
are for the biodiesel and bio-pesticide. So it applied the zero waste concept.
The purposes of this research are firstly to select high quality activated
charcoal and passed the SNI powder activated charcoal (SNI 06-3730-1995).
Secondly, to have the best removal chrome percentage by activated charcoal
adsorption methods from bintaro fruit waste. Thirdly, to find out the
characteristics of liquid smokes from bintaro fruit waste pyrolysis that causing the
mortality of pine wood termites. Fourthly, to come up with financial feasibility of
activated charcoal and liquid smoke productions as a base for bintaro fruit
utilization development strategy. Lastly, to develop strategic plan of bintaro fruit
utilization with zero waste concept.
Research methods that used on this research were divided into several steps.
First is sample preparation. Second step is bintaro’shell were carbonized at
300 oC, 400 oC, and 500 oC in a kiln. Soon after became charcoal, the proximate
analysis, which included the measurement content of moisture, ash, fly ash, fix
carbon and iodine adsorption are performed. Topography analysis will also be
performed using SEM.While crystal structure will be analysed by XRD, and the
analysis of functional groups will be analysed by FTIR. Third step is to make
liquid smoke, included measurement of pH, density, phenol content, total amount
of acidity, and quantity of chemical compound, which will be analysed by
GCMC, then the liquid smoke is applied as anti-termites on pine trees. The fourth
step will be charcoal activation. On this step, the experiment were divided into
two section. First, on preliminary experiment, charcoal is activated physically by
steam and chemically by KOH 5 %, KOH 10 %, and phosphate acid 5 %, also
phosphate acid 10 % with activation time length of 60 minutes and 90 minutes in
650 oC of temperature. In addition to that, proximate, XRD, SEM, and FTIR
analysis are performed. Then after all that, activated charcoal is implemented in
chrome liquid waste of laboratory. The main experiment is only performed
chemically, which is, submerging charcoal with phosphate acid on concentration
of 20 %, 40 %, 60 %, and 80 % for 24 hours. Then, the charcoal is placed inside
retort for 90 minutes with heat of 650 oC. The next step is activated charcoal will
be analysed by proximate and the result of it will be compared with SNI powder
activated charcoal (SNI 06-3730-1995). Last step, activated charcoal is applied
into the chrome liquid waste with three pH conditions: acid, neutral, alkali.
Financial feasibility analysis is enumerated by net present value, internal
rate of return, and net benefit cost. Last thing to do in this research is to look over
strategic plan of utilizing bintaro fruit and to analyze the environmental’s impact
on producing activated-charcoal and liquid smoke from bintaro fruit using life
cycle assesment (LCA).
Based on the outcome of research, it can be concluded that bintaro fruit
composite shell can be turn into activated charcoal. Other than that, the result of
activated charcoal proximate analysis is almost passing all the SNI standard
requisition except for the content of ash.
Based on GC-MC analysis on liquid smoke, it showed that the largest
component from liquid smoke is pyridine-3-carboxamide, oxime, N-(2-
trifluoromethylphenyl), acetic acid, phenol, 2-methoxy, phenol, 2-methoxy-4-
methyl, mequinol, 9-octadeceonic acid, 2.3 dihydroxyprophyl ester. They all have
role as a termicidal agent, termite killer. Based on termites mortality test result, it
concluded that liquid smokes from pyrolysis temperature 300 oC, 400 oC, and 500
o
C are causing mortality of termites very high, that is in sequences 97.56 %, 96.44
%, and 100 %. This means liquid smokes from all three pyrolysis temperatures
can have function as anti-termites.
Bintaro fruit charcoal activated by 20 % phosphoric acid at alkaline
condition was able to eliminate the heavy metals chromium content of 66.55 %.
The results of financial feasibility show that the value of the Net B/C liquid smoke
and bintaro fruit activated charcoalis equal to 1.65. Value Net B/C> 1 indicates
that utilization bintaro fruit shells as activated charcoal and liquid smoke should
be feasible. Long payback period is shorter than the life of the proposed project so
we can say this project is feasible. Net present value (NPV) of financial
calculation utilization bintaro fruit shells as liquid smoke and activated charcoal is
positive value for NPV> 0 then the project can be accepted. Calculation try to get
the NPV equal to zero, giving the IRR of liquid smoke and bintaro fruit activated
charcoal by 35 % with interest rate 12.5 % . Since the IRR> interest rate, then the
investment is acceptable.
Development priority of utilization bintaro fruit is based on consideration of
the land potential and the product value as follows:(a) Product development based
on the regional condition, (b) Technological innovation, (c) Institutional and
development of farmers, (d) Counseling and training granted to farmers and
related industry, in order to produce the products required by the market, (e)
Institution and market development, (f) Funding; financing is still a constraint in
management of green space in the Bogor City. Therefore, it needs cooperation
among departments of Bogor City.
Based on the analysis of CO2 emission calculations show that CO2
emissions from LPG gas to burn charcoal are larger (4.84 x 1013 tons of CO2) than
CO2 emissions from fuel of motor vehicles (156.27 kg CO2).

Keywords: bintaro fruit waste, phosphoric acid-activated carbon, liquid smoke,


anti-termites, chrome liquid waste of laboratories. LCA

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus berdasarkan perjanjian kerja sama yang terkait
©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
DESAIN PEMANFAATAN SAMPAH BUAH BINTARO
SEBAGAI ARANG AKTIF PENGOLAH LIMBAH CAIR
KROM DAN ASAP CAIR ANTIRAYAP

ROSALINA

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus berdasarkan perjanjian kerja sama yang terkait
Penguji Luar Komisi
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr Zainal Alim Mas’ud, DEA
2. Dr Budi Kurniawan, M.Eng

Penguji pada Promosi Doktor : 1. Dr Zainal Alim Mas’ud, DEA


2. Dr Budi Kurniawan, M.Eng
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian sejak bulan Desember 2014 sampai Juni 2015 ini adalah arang aktif,
dengan judul Desain Pemanfaatan Sampah Buah Bintaro sebagai Arang Aktif
Pengolah Limbah Cair Krom serta Asap Cair Antirayap.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi,
MS selaku ketua komisi pembimbing, Ibu Dr Ir Etty Riani, MS serta Ibu Sri
Sugiarti, PhD selaku pembimbing 2 dan pembimbing 3 yang telah banyak
memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. Di samping itu, ucapan terima
kasih juga penulis sampaikan kepada Kementerian Perindustrian khususnya
Politeknik AKA Bogor yang telah memberikan bantuan beasiswa pendidikan S3,
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada para staf dan teknisi
Labaratorium Uji dan Kompetensi Politeknik AKA Bogor, Laboratorium Kimia
Kayu dan Energy Biomassa Puslitbang Hasil Hutan, KemenLHK Bogor dan
Laboratorium Kimia Hasil Hutan IPB yang telah banyak membantu selama
pengumpulan data. Terakhir ungkapan terima kasih yang tak terhingga kepada
keluarga besar tercinta khususnya kepada ayah, ibu, suami dan anak-anak atas doa
dan kasih sayangnya sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir ini dengan
baik.
Semoga tugas akhir ini bermanfaat

Bogor, Mei 2017


Rosalina
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus berdasarkan perjanjian kerja sama yang terkait
1 PENDAHULUAN
 
Latar Belakang

Perkembangan pembangunan yang semakin meningkat di Kota Bogor


semakin memicu peningkatan jumlah penduduk dan aktivitas perekonomian
akibat urbanisasi. Oleh karena itu kebutuhan masyarakat akan ruang terbuka hijau
atau RTH sangat mendesak, karena adanya dampak langsung dari kegiatan
ekonomi. Di lain pihak dampak dari kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh
penduduk dan oleh kegiatan industri mengakibatkan terjadinya pencemaran udara,
air dan tanah. Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengatasinya
misalnya membuat jalur hijau.
Jalur hijau Jalan Bogor Ring Road dan Jalan Baru merupakan contoh ruang
terbuka hijau yang cukup luas di Kota Bogor, sehingga perlu dilakukan
pengelolaan dan pemeliharaan yang baik agar tetap terjaga kelestariannya. Jalur
hijau jalan Kota Bogor dapat berfungsi untuk keindahan kota yang dapat
dinikmati oleh pengguna jalan yang melewati jalur tersebut, baik yang
menggunakan kendaraan maupun pejalan kaki. Jalur hijau dapat berperan untuk
beberapa hal seperti jalan yang indah dapat digunakan pengguna jalan sebagai
sarana untuk menghilangkan stres, rasa jenuh,dan rasa lelah setelah bekerja, selain
itu secara fungsional, jalur hijau jalan Kota Bogor dapat mengurangi polusi kota,
dari emisi gas-gas rumah kaca, memberikan kenyamanan bagi pengguna jalan,
dan memperbaiki ekosistem lingkungan kota.
Di sisi lain, jalur hijau ini juga banyak menghasilkan sampah berupa
sampah buah, ranting, dan daun. Salah satu sampah yang banyak dihasilkan di
jalur hijau Jalan Bogor Ring Road (Jalan Kol.Achmad Syam) dan Jalan Destrata
Kecamatan Bogor Utara adalah sampah buah bintaro. Menurut pengamatan
penulis di tahun 2014 ada ± 100 buah pohon bintaro di jalur hijau Jalan Kol.
Achmad Syam sampai ke Jalan Destrata Kota Bogor dengan potensi sampah buah
bintaro yang jatuh sebanyak tiga buah/pohon/hari sehingga dari kedua jalur hijau
ini akan menghasilkan sampah bintaro sebanyak 300 buah/hari (Purwanto et. al.
2011). Permasalahan yang dtimbulkan oleh sampah bintaro dikarenakan buah
bintaro dapat diterbangkan oleh angin, sehingga akan masuk ke saluran drainase
kota dan menyebabkan saluran drainase tersumbat dan menimbulkan banjir di
musim hujan.
Penanganan sampah buah bintaro dari jalur hijau ini belum optimal
dikerjakan oleh dinas kebersihan dan pertamanan Kota Bogor. Penanganannya
masih bersifat konvensional yaitu dikumpulkan, diangkut ke tempat pembuangan
akhir (TPA) dan sebagian lagi dibakar. Penanganan sampah dengan paradigma
lama seperti di atas menjadikan sistem pengelolaan sampah menjadi mahal,
karena banyak membutuhkan bahan bakar sebagai alat transportasi, membutuhkan
banyak personil untuk membersihkan, membutuhkan banyak lahan TPA untuk
membuang sampah, dan dari sisi ekonomi tidak mendatangkan manfaat ekonomi
sama sekali.
Salah satu cara untuk mengelola sampah buah bintaro ini adalah dengan
mendaurulang sampah buah bintaro menjadi arang aktif pengolah limbah logam
berat krom dari limbah laboratorium. Adapun sisa asap cair hasil pembakaran
arang dapat diubah menjadi asap cair antirayap sedangkan biji buah bintaro dapat

 

dimanfaatkan sebagai bahan pembuat biodiesel dan biopestisida. Dengan


demikian penerapan konsep zero waste dapat dilakukan pada sampah RTH dari
buah bintaro.
Industri arang aktif di Indonesia mulai berkembang sejak tahun 1980
dengan bahan baku utamanya tempurung kelapa. Beberapa sifat arang aktif dari
tempurung kelapa antara lain adalah strukturnya sebagian besar mikropori,
kekerasannya tinggi, mudah diregenerasi dan daya serap iodinnya tinggi yakni
mencapai 1100 mg/g (Actech, 2002 dalam Pari 2004). Namun, karena jumlah
pohon kelapa yang semakin berkurang, maka kebutuhan arang aktif dalam negeri
belum terpenuhi sehingga menyebabkan impor arang aktif dari luar juga
meningkat.
Banyaknya kebutuhan karbon aktif atau arang aktif yang digunakan sebagai
adsorben dapat dilihat pada tahun 2011, impor sebesar 5.445.933 kg meningkat
menjadi 10.708.718 kg pada tahun 2015 (Tabel 1). Untuk memenuhi kenaikan
permintaan tersebut pembuatan karbon aktif saat ini banyak menggunakan bahan
baku lignoselulosa yang tersedia dalam jumlah besar, dapat diperbaharui dan
ekonomis. Bahan baku karbon aktif komersial berbasis lignoselulosa saat ini
berasal dari tempurung kelapa. Akan tetapi pertumbuhan tanaman kelapa sangat
dipengaruhi oleh cuaca. Selain itu tanaman kelapa juga rentan terkena hama,
seperti ulat pengerat daun (Artona catoxantha). Padahal, pohon kelapa yang
terserang ulat itu baru akan bisa kembali berbuah paling cepat dua tahun
kemudian (Handoko 2010). Oleh karena itu maka perlu dicari tanaman lain
penggantinya seperti tanaman bintaro. 
Tabel 1 Data volume ekspor dan impor arang aktif
Tahun 2011 2012 2013 2014 2015
Kegiatan Kg Kg Kg Kg Kg
Impor 5.445.933 6.651.977 10.229.676 9.800.961 10.708.718
Ekspor 24.772.277 25.228.860 78.840.349 21.723.887 25.712.890
Sumber : Kementerian Perindustrian RI tahun 2015

Pohon bintaro juga disebut Pong-pong tree atau Indian suicide tree,
mempunyai nama latin Cerbera odollam Gaertn atau Cerbera manghas Linn,
termasuk tumbuhan non pangan tidak untuk dimakan. Bintaro termasuk tumbuhan
mangrove yang berasal dari daerah tropis di Asia, Australia, Madagaskar, dan
kepulauan sebelah barat Samudera Pasifik. Buah bintaro merupakan buah drupa
(buah biji) yang terdiri dari tiga lapisan yaitu epikarp atau eksokarp (kulit bagian
terluar buah), mesokarp (lapisan tengah berupa serat seperti sabut kelapa), dan
endokarp (biji yang dilapisi kulit biji atau testa). Walaupun berbentuk indah
namun buah bintaro tidak dapat dikonsumsi, karena mengandung zat yang bersifat
racun terhadap manusia. Bintaro adalah tanaman yang cocok untuk tanaman
penghijauan dan tanaman hias, baik diperkotaan maupun di lingkungan
perumahan penduduk, selain relatif mudah ditanam dan mempunyai toleransi
terhadap berbagai jenis tanah dan iklim, berakar kuat dan berdaun lebat serta
ketika berbuah tanpa mengenal musim (Puslitbang Perkebunan 2011).
Berdasarkan data dari kementerian perindustian tahun 2015, permintaan
arang aktif didalam negeri, belum terpenuhi. Hal ini terbukti kita masih
mengimpor arang aktif. Selain itu arang juga diproduksi untuk memenuhi

 

permintaan luar negeri (ekspor). Volume ekspor arang aktif setiap tahunnya
memang lebih besar dibandingkan volume impor arang aktif, namun nilai
ekspornya berfluktuasi tidak stabil. Sebagai perbandingan ekspor arang aktif
tahun 2011 hanya sebesar 24.772.277 kg, pada tahun yang sama impor arang
aktif adalah sebesar 5.445.933 kg (Tabel 1).  
Oleh karena itu, diperlukan bahan baku alternatif pengganti tempurung
kelapa seperti buah bintaro. Beberapa kelebihan buah bintaro antara lain
kandungan lignin 58.2 % dan selulosa 41.8 % dalam buah bintaro melebihi
kandungan buah kelapa (Handoko dan Iman 2011). Menurut Mahmud dan Ferry
(2005) tempurung kelapa mengandung selulosa 26.6 % dan lignin sebesar
29.40 %. Selain memiliki komposisi selulosa dan lignin yang relatif tinggi, dapat
mengatasi kelangkaan energi, serta menjadi sumber pendapatan. Pengembangan
bintaro juga memberikan manfaat lingkungan dalam penyerapan emisi karbon
dioksida dan mencegah emisi dari lahan gambut. Tanaman bintaro dapat tumbuh
di daerah yang ekstrim dan kurang nutrisi, sehingga mudah untuk dibudidayakan
(Handoko dan Iman 2011). Menurut Penelitian Samsoedin dan Wibowo (2012),
tanaman bintaro dengan diameter 0.12 m, tinggi 3.9 m; densitas 0.4 kg/m3 dan
volume 0.34 m3 mempunyai potensi penyimpanan karbon sebesar 0.3 ton/pohon.
Arang aktif mempunyai spektrum pengguna yang cukup luas dalam
kehidupan manusia, antara lain sebagai adsorben pengolah limbah krom (Gupta et
al. 2013; Muthukumaran dan Beulah 2011; Tang et al. 2009) dan katalis (Gheek
et al. 2007; Zawadzki dan Wisniewski 2007) yang sangat bermanfaat untuk
mengolah limbah cair.
Pada proses pengarangan bahan organik, selain menghasilkan arang, juga
akan dihasilkan asap yang dapat dikondensasi menjadi asap cair dengan cara
didestilasi (Anshari et al. 2012). Kondensasi uap hasil pengarangan bertujuan
untuk mencegah terjadinya pencemaran udara akibat asap yang dihasilkan dalam
proses pirolisis. Beberapa peneliti telah meneliti bahwa di dalam asap cair
mengandung sejumlah senyawa kimia yang berpotensi antara lain sebagai zat
pengawet (Chacha et al. 2005; Nurhayati 2000), flavor (Morales et al. 2004),
antioksidan (Su dan Silva 2006, Davalos et al. 2005), desinfektan dan
pestisida (Nurhayati 2000), fuel oil (Shen dan Zhang 2005), dan antirayap
(Hasyim et al. 2009; Oramahi et al. 2013).
Asap cair pada dasarnya merupakan asam cuka (vinegar) kayu yang
diperoleh dari destilasi kering terhadap kayu. Kayu mengandung selulosa,
hemiselulosa dan lignin yang pada saat dibakar akan menghasilkan asap cair
dengan banyak senyawa di dalamnya. Selain kayu, asap cair juga dapat dihasilkan
dari bahan lain seperti tempurung kelapa, sabut kelapa, merang padi, bambu dan
sampah organik. Asap cair dapat digunakan sebagai bahan pengawet karena
memiliki sifat antibakteri. Sifat sebagai antibakteri ini berkaitan dengan
kandungan senyawa-senyawa dalam asap cair, yaitu fenolik, senyawa karbonil,
dan asam karboksilat (Panangan dan Syarif 2009).
Berdasarkan hasil penelusuran literatur yang telah dilakukan oleh penulis,
belum pernah ada publikasi tentang pembuatan arang aktif dari buah bintaro untuk
mengolah limbah krom serta asap cair antirayap, hasil pengarangan buah bintaro.
Oleh karena itu maka penelitian tentang buah bintaro yang berjudul desain
pemanfaatan sampah buah bintaro sebagai arang aktif pengolah limbah cair krom
dan asap cair antirayap perlu dilakukan.

 
 

 

Perumusan Masalah

Pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk yang meningkat akan


meningkatkan jumlah industri di Indonesia dan juga aktivitas domestik. Di
samping kita memperoleh banyak manfaat ekonomi, pertumbuhan industri juga
akan diiringi dengan jumlah limbah industri yang semakin banyak dan semakin
beragam. Sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, bahwa setiap kota harus menyediakan ruang terbuka hijau (RTH)
minimal 30 % dari luas kota. Hasil realisasi penyediaan RTH menyebabkan
banyak dihasilkan sampah dari jalur hijau. Selama ini sampah dari RTH ditangani
dengan diangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA), atau dimanfaatkan untuk
dibuatkan kompos, namun untuk sampah buah menjadi kendala karena sulit untuk
dikomposkan karena mengandung racun cerberine (Rohimatun dan Sondang
2011). Tanaman bintaro merupakan salah satu tanaman peneduh kota yang
berfungsi sebagai penyerap CO2 yang menyebabkan pemanasan global. Selain
tanaman bintaro berfungsi sebagai penyerap CO2, tanaman bintaro juga
menghasilkan buah yang mengandung kadar lignin dan selulosa yang relatif tinggi
di lapisan epikarp dan mesokarpnya, sehingga dapat dibuat arang aktif (Handoko
dan Iman 2011). Selama ini arang aktif banyak dibuat dari tempurung kelapa
sehingga diharapkan buah bintaro dapat menjadi alternatif bahan baku pengganti
tempurung kelapa. Arang aktif buah bintaro juga dapat mengolah limbah cair
yang mengandung logam berat krom dengan metode adsorpsi. Selain itu asap sisa
pembakaran arang dapat dibuat asap cair yang berfungsi sebagai pengawet kayu
atau antirayap. Adapun biji buah bintaro yang terbuang, menurut penelitan dapat
dimanfatkan untuk dibuat biodisel (Pranowo 2010; Ong et al. 2014) dan
biopestisida (Tarmedi et al. 2014; Utami 2011). Dengan demikian pananganan
sampah RTH tanaman bintaro diharapkan dapat menerapkan konsep zero waste
yang ramah lingkungan. Terkait hal tersebut muncul pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
1. Apakah lapisan epikarp yang berupa kulit dan mesokarp sampah buah bintaro
yang berupa tempurung dan serabut dapat dijadikan arang aktif yang
berkualitas baik sesuai SNI arang aktif?
2. Apakah metode adsorpsi dengan arang aktif sampah buah bintaro dapat
mengolah limbah cair logam berat krom dengan efisiensi tinggi?
3. Apakah asap hasil pirolisis sampah buah bintaro dapat dibuat asap cair yang
efektif membunuh rayap tanah?
4. Apakah pembuatan arang aktif dan asap cair secara finansial
menguntungkan?
5. Strategi pemanfaatan buah bintaro yang bagaimana yang dapat membantu
mengatasi sampah buah bintaro dari RTH sehingga tercipta konsep zero
waste?
Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mendapatkan teknologi


pengolahan sampah buah bintaro menjadi arang aktif pengolah limbah cair logam
berat krom dari laboratorium. Selain itu pemanfaatan asap cair hasil proses

 

pirolisis arang sampah buah bintaro yang diaplikasikan sebagai antirayap pada
kayu. Adapun tujuan akhir dari penelitian ini adalah terciptanya penanganan
sampah RTH tanaman bintaro melalui penerapan konsep zero waste. Selain itu
tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Mendapatkan arang aktif dari buah bintaro yang berkualitas baik sesuai SNI
2. Mendapatkan persentase removal krom terbaik dengan metode adsorpsi arang
aktif dari sampah buah bintaro.
3. Mengetahui karakteristik asap cair hasil pirolisis sampah buah bintaro sebagai
antirayap untuk kayu pinus yang menyebabkan mortalitas rayap.
4. Mengetahui kelayakan finansial usaha pembuatan arang aktif dan asap cair
sehingga dapat dijadikan strategi pengembangan pemanfaatan buah bintaro.
5. Mendapatkan rencana strategi pengembangan pemanfaatan buah bintaro
sehingga tercipta konsep zero waste dari sampah buah bintaro RTH.

Kerangka Pemikiran
Kurikulum setiap institusi pendidikan kimia memuat materi praktikum
dengan menggunakan pereaksi kimia, Salah satu pereaksi kimia yang sering
digunakan di dalam laboratorium adalah kalium dikromat. Banyaknya buangan
limbah krom hasil pengujian di laboratorium yang dibuang di instalasi pengolahan
air limbah (IPAL) menjadikan limbah ini berbahaya jika dibuang ke lingkungan
tanpa pengolahan yang tepat. Di sisi lain, dengan adanya keharusan Kota Bogor
untuk memenuhi ke undang-undang (UU) nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan
ruang, setiap kota harus menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) minimal 30 %
dari luas kota mengakibatkan ada banyak sampah jalur hijau yang dihasilkan.
Salah satu sampah jalur hijau adalah sampah buah bintaro yang terdapat di jalur
hijau Jalan Kol. Achmad Syam dan Jalan Destrata Kota Bogor. Sampah buah
bintaro cukup berbahaya karena getahnya bersifat racun (Prosea 2002) dan
buahnya dapat diterbangkan oleh angin sehingga akan masuk ke saluran drainase
kota dan menyebabkan banjir saat hujan. Tanaman bintaro sejatinya sangat
berguna karena merupakan tanaman peneduh, penyerap emisi gas rumah kaca.
Penanganan sampah RTH tanaman bintaro seperti di Gambar 1 merupakan
implementasi konsep zero waste yang dapat memberikan keuntungan bagi
penduduk setempat.
Tanaman bintaro berbuah sepanjang tahun. Buah bintaro yang dihasilkan
tidak dimanfaatkan sehingga menjadi sampah yang mengganggu estetika. Adapun
biji buah bintaro (lapisan endokarp) sudah banyak diteliti orang untuk dijadikan
bahan bakar biodiesel (Pranowo 2010; Ong et al. 2014) dan pestisida (Tarmedi et
al. 2014; Utami 2011) sedangkan tempurung dan serabut buah bintaro yang
mengandung lignin dan selulosa yang relatif tinggi belum banyak dimanfaatkan
sebagai arang aktif pengolah limbah cair. Pada saat proses pembuatan arang
dihasilkan asap yang dapat menyebabkan pencemaran udara. Asap ini sebenarnya
dapat dimanfaatkan sebagai zat pengawet kayu supaya tidak mudah dihancurkan
rayap. Dengan adanya pemanfaatan seluruh bagian dari tanaman bintaro, serta
pemanfaatan asap hasil pembakaran sehingga bernilai ekonomi, maka akan tercipa
konsep zero waste yang bertujuan untuk melestarikan lingkungan melalui ruang
terbuka hijau dari tanaman bintaro yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca. .

 
 

 

Kelestarian lingkungan

Ruang terbuka hijau

Sampah buah

Daging buah (lapisan


Biji buah bintaro epikarp dan mesokarp)  
(lapisan endokrap)

Pirolisis
Ekstraksi
Arang Asap

Aktivasi Kondensasi
Biodiesel  Pestisida

Arang Asap

Pengolah limbah cair logam berat


Antirayap
krom dari laboratorium

Implementasi konsep zero waste dan nilai ekonomi

Keterangan : kegiatan tidak dikerjakan


Gambar 1 Diagram alir kerangka pikir

Hipotesis

Adanya kandungan selulosa dan lignin dalam buah bintaro yang tinggi dapat
memungkinkan untuk dibuat arang. Girgis et al. 2002 menyatakan bahwa selama
proses karbonisasi atau pirolisis terjadi dekomposisi lignin dan selulosa melalui
reaksi pemutusan ikatan kimia dan depolimerasi yang menghasilkan ikatan baru.
Ikatan tersebut akan menstabilkan atom-atom karbon yang berdekatan yang
kemudian membentuk kerangka karbon non-volatile dan stabil. Arang aktif adalah
arang yang diolah lebih lanjut pada suhu tinggi dengan menggunakan gas CO2,
uap air atau bahan-bahan kimia, sehingga pori-porinya terbuka dan dapat
digunakan sebagai adsorben.
Daya adsorp arang aktif disebabkan adanya pori-pori mikro yang sangat
besar jumlahnya, sehingga menimbulkan gejala kapiler yang mengakibatkan
adanya daya adsorp (Yustinah dan Hartini 2011). Daya serap arang aktif

 

merupakan suatu akumulasi atau terkonsentrasinya komponen di permukaan muka


dalam dua fasa. Bila kedua fasa saling berinteraksi, maka akan terbentuk suatu
fasa baru yang berbeda dengan masing-masing fasa sebelumnya. Hal ini
disebabkan adanya gaya tarik-menarik antar molekul, ion atau atom dalam kedua
fasa tersebut yaitu gaya Van der Walls. Pada kondisi tertentu, atom, ion atau
molekul dalam daerah antar muka mengalami ketidakseimbangan gaya, sehingga
mampu menarik molekul lain sampai keseimbangan gaya tercapai (Manocha
2003). Daya serap inilah yang menyebabkan arang aktif mampu menyerap logam
berat krom di dalam limbah cair (Gupta et al. 2013; Muthukumaran dan Beulah
2011; Tang et al. 2009). Selain itu karena pembakaran selulosa dan lignin akan
menghasilkan senyawa asam-asam organik dan fenol yang bersifat racun bagi
rayap (Mohan et al. 2006) sehingga diduga di dalam asap cair sisa pembakaran
arang sampah buah bintaro dapat dimanfaatkan untuk mengawetkan kayu dari
serangan rayap tanah.
Kebaharuan (Novelty)

Buah bintaro merupakan bahan alam yang terdiri dari beberapa komponen
berupa selulosa, hemiselulosa dan lignin. Kandungan lignin dalam buah bintaro
adalah sebesar 58.2 % dan selulosa 41.8 % melebihi buah kelapa (Handoko dan
Iman 2011). Banyak penemuan yang memanfaatkan biji bintaro sebagai bahan
bakar biodiesel (Pranowo 2010; Ong et al. 2014), kulit dan daun bintaro sebagai
pestisida nabati (Tarmadi 2007 dan Utami 2011) tapi belum ada yang tertarik
untuk mengolah serabut dan tempurung buahnya untuk mengolah limbah krom.
Ada beberapa penelitian yang menggunakan metode adsorpsi untuk
mengolah limbah krom dengan arang aktif seperti arang aktif daun jarak
(Makeswari dan Santhi 2013) dan arang aktif dari sekam padi (Pavan et al. 2015).
Pemilihan limbah logam krom sebagai objek penelitian karena logam krom
banyak dipakai dalam analisa kualitas limbah cair di laboratorium begitu pula di
industri penyamakan kulit, batik dan elektroplating yang tergolong industri kecil
menengah yang belum mampu mengolah limbahnya dengan baik.
Asap cair merupakan hasil kondensasi asap pada proses
pembakaran/pirolisis dari kayu atau bahan-bahan yang banyak mengandung
karbon serta senyawa-senyawa lain seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin
(Paris dan Zikler 2005). Menurut Oramahi dan Yoshimura (2013) asap cair dari
biomas lignoselulosa kayu laban dapat menghambat aktivitas rayap.
Berdasarkan hasil referensi tersebut diatas, penulis menemukan kebaharuan
dalam penelitian ini yaitu :
1. Sampah buah bintaro dari RTH dapat dijadikan alternatif bahan pengganti
tempurung kelapa
2. Sampah buah bintaro dapat dikonversi sebagai arang aktif pengolah limbah cair
krom dari laboratorium.
3. Asap cair hasil samping konversi sampah buah bintaro menjadi arang dapat
dipakai sebagai bahan pengawet kayu dari serangan rayap.

 
 

 
2 TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Umum Bintaro (Cerbera odollam Gaertn)

Deskripsi Botani dan Penyebaran

Dalam taksonomi tumbuhan, klasifikasi tanaman bintaro adalah sebagai


berikut :
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Superdivision : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Division : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Class : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Subclass : Asteridae
Orde : Gentianales
Family : Apocynaceae
Genus : Cerbera
Species : Cerbera odollam Gaertn
Tanaman bintaro dikenal dengan nama mangga laut, babuto, buta badak,
kayu gurita dan dalam bahasa Inggris sea mango (Pranowo 2010), di Manado
dikenal dengan nama bintan (PROSEA 2002). Bintaro merupakan tanaman
berbentuk pohon dengan tinggi kurang lebih 20 m. Chapman (1984) dalam
Kusmana et al. (2005) melaporkan bahwa bintaro termasuk dalam formasi
mangrove pinggiran. Formasi ini secara ekologi berperan dalam formasi
mangrove, tetapi formasi tersebut juga berperan dalam formasi hutan lainnya.
Tanaman bintaro banyak tumbuh di dataran rendah sampai tepi pantai dan sangat
cocok untuk tanah berpasir (Pranowo 2010). Daerah penyebaran tanaman ini
meliputi Tanzania, Madagaskar, India, Myanmar, Indo-China, Taiwan, Jepang
bagian selatan, daerah Melanesia, hingga Australia (PROSEA 2002). Di Vietnam
dan beberapa negara Asean Cerberra spp.berbunga dari bulan Februari sampai
Oktober dan berbuah pada bulan Agustus sampai April. Di Australia, bintaro
umumnya dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun. Bunga bintaro umumnya
diserbuki oleh serangga, sedangkan buahnya dapat tersebar oleh air dan cukup
banyak dijumpai di pantai (Puslitbang Perkebunan 2011).

Daun dan Bunga

Pranowo (2010) melaporkan bahwa daun bintaro berbentuk bulat telur


memanjang, simetris dan menumpul pada bagian ujungnya, berwarna hijau tua
mengkilap dengan ukuran panjang bervariasi rata-rata 27 cm dengan susunan
daun spiral dan terkumpul pada bagian ujung rosetnya (Gambar 2). Bunga
terdapat pada bagian ujung pedikel simosa, putiknya berbau harum terdiri atas
lima petal yang sama (pentamery) dengan mahkota berbentuk terompet/tabung
berwarna kuning pada bagian tengahnya dan pada bagian pangkalnya berwarna
merah muda (Gambar 3).

 

Gambar 2 Daun pohon bintaro

Gambar 3 Bunga pohon bintaro

Buah dan Biji

Buah bintaro berbentuk bulat telur dengan diameter 5–10 cm. Buah yang
masih muda berwarna hijau dan buah yang sudah tua berwarna merah kehitaman
(Gambar 4). Buah bintaro terdiri atas tiga lapisan yaitu lapisan kulit terluar
(epicarp), lapisan serat seperti sabut kelapa (mesocarp) (Gambar 5) dan bagian
biji yang dilapisi oleh kulit biji atau tista (endocarp) (Pranowo 2010). Bijinya
berwarna putih, pipih dengan kulit biji yang berwarna kecoklatan (Gambar 6).

Gambar 4 Buah bintaro

 
 
10 
 

Gambar 5 Lapisan mesokarp buah bintaro

Gambar 6 Biji buah bintaro


Kegunaan

Pohon bintaro biasa dimanfaatkan sebagai tanaman penaung atau pelindung


biasa ditanam di pekarangan rumah atau di taman-taman. Kayunya digunakan
sebagai ornamen, hiasan dalam ruang atau arang (PROSEA 2002). Di Thailand,
biji bintaro dimanfaatkan sebagai antipiretik dan obat dysuria. Adapun di
Vietnam, minyak dari bijinya digunakan sebagai pembunuh kutu rambut
(PROSEA 2002).
Bintaro tumbuh bebas di lahan-lahan di kawasan hutan tanpa dipelihara, bila
diusahakan sebagai tanaman komersial dapat menghasilkan sekitar 2.2 ton minyak
mentah atau sebesar 1.8 ton biodiesel atau senilai sekitar 10 juta rupiah per tahun
(Tabel 2) dengan karakteristik yang sesuai dengan standar biodiesel Indonesia
(Tabel 3).
Bagian mesokarp dapat diperas sebagai bahan biopestisida, sedangkan
bijinya disamping untuk bahan biopestisida juga dapat diperas untuk
menghasilkan minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel (Pranowo 2010).
Seluruh bagian pohon bintaro dapat diekstrak menjadi bioinsektisida hama
Pteroma plagiophleps Hampson dan Spodoptera litura F. (Utami 2011). Salah
satu potensi pestisida dari tanaman bintaro ini adalah sebagai antirayap. Secara
umum, ekstrak kulit batang dan daun bintaro memberikan efek signifikan terhadap
mortalitas Coptotermes Sp. Kulit batang bintaro menyebabkan efek mortalitas
lebih tinggi dari pada daunnya. Tarmadi (2007) melaporkan bahwa ekstrak kulit
dan daun bintaro mempunyai efek mortalitas terhadap rayap Coptotermes sp.
11 
 

Tabel 2 Kajian produksi biodiesel bintaro dan penerimaan per hektar


No Uraian Keterangan
1. Umur tanaman bintaro mulai ber buah (tahun) 4.00
2. Populasi bintaro (pohon/ hektar) 400.00
3. Produksi (buah /pohon /tahun) 800.00
4. Berat per buah (gram) 250.00
5. Produksi buah (ton/ ha/tahun) 80
6. Berat biji kering (Kg/100 kg buah) 500
7. Produksi minyak ( Kg/10 kg biji kering) 5.50
8. Produksi minyak (ton/ ha/tahun) 2.20
9. Produksi biodiesel (ton/ ha/tahun) 1.80
10. Penerimaan dengan asumsi harga Rp 5.500.00/liter 10.00
(juta/ ha/tahun)
11 Pendapatan asumsi biaya produksi 40 % (juta Rp/ha/ 6.00
tahun)
Sumber :(Purwanto et al. 2011).

Tabel 3 Karakteristik biodiesel bintaro


Parameter Nilai Standar biodiesel
Indonesia
o
Viskositas (cSt, 40 C) 3.55 2.3 – 6.0
Densitas (g/cm3, 40 oC) 0.894 0.850 – 0.890
Bilangan asam (mg KOH/g) 0.34 Maks. 0.8
Titik asap (mm) 26 Min. 18
o
Titik tuang ( C) <0 -15–10
Nilai kalor (MJ/kg):-Gross-Nett 39.56-39.47 38.45-41.00

Sumber : (Purwanto et al. 2011).

Arang

Arang dapat dibuat dari bahan-bahan yang mengandung karbon (C) baik
organik, maupun anorganik, baik yang berasal dari tumbuhan, hewan maupun
barang tambang. Menurut Kinoshita (2001), arang adalah suatu elemen (bahan)
padat berpori-pori yang dihasilkan melalui proses pirolisis dari bahan-bahan yang
mengandung karbon. Pirolisis merupakan proses pembakaran tidak sempurna
suatu bahan yang mengandung senyawa karbon kompleks tidak teroksidasi
menjadi karbon dioksida.
Demirbas (2008) menyatakan bahwa pada saat pirolisis, energi panas
mendorong terjadinya oksidasi sehingga senyawa karbon yang kompleks sebagian
besar terurai menjadi karbon atau arang. Pirolisis mulai terjadi pada suhu 150-300
o
C yang berlangsung secara lambat (pirolisis primer lambat) dan pada suhu 300-
400 oC yang berlangsung lebih cepat (pirolisis primer cepat). Hasil proses
pirolisis lambat adalah arang, H2O, CO dan CO2 sedangkan hasil pirolisis primer
cepat adalah arang, gas-gas hidrokarbon H2 dan H2O. Pirolisis pada suhu di atas
600 oC disebut pirolisis sekunder, dan hasilnya adalah gas CO, H2 dan gas-gas
hidrokarbon. Proses pirolisis sekunder umumnya digunakan untuk gasifikasi
(Paris et al. 2005).

 
 
12 
 

Sebagai bahan bakar, arang lebih menguntungkan dibanding kayu bakar.


Arang memberi kalor pembakaran yang lebih tinggi dan asap yang lebih sedikit.
Manocha (2003) mengatakan umumnya struktur arang berupa karbon amorf dan
sebagian besar terdiri atas karbon bebas. Arang tersusun dari atom-atom karbon
bebas yang berikatan secara kovalen membentuk struktur heksagonal datar.
Sebagian besar pori-pori arang masih tertutup oleh hidrokarbon, ter dan
komponen lain, seperti abu, air, nitrogen dan sulfur (Puziy et al. 2003; Concheso
et al. 2005).
Cimò et al. 2014 mengatakan bahwa penguapan, penguraian atau
dekomposisi komponen kimia kayu pada proses pirolisis terdiri atas empat tahap,
yaitu :
1. Pada suhu 100-150 oC terjadi penguapan air.
2. Pada suhu 200-240 oC terjadi penguraian hemiselulosa dan selulosa
menjadi larutan pirolignat (asam organik dengan titik didih rendah, seperti
asam asetat, formiat, dan methanol), gas kayu (CO dan CO2) dan sedikit
ter
3. Pada suhu 240-400 oC terjadi proses depolimerisasi dan pemutusan ikatan
C-O dan C-C. Pada kisaran suhu ini selulosa adalah terdegradasi, lignin
mulai terurai menghasilkan ter, larutan pirolignat dan gas CO, CH4 dan H2
meningkat.
4. Pada suhu lebih dari 400 oC terjadi pembentukan lapisan aromatik dan
lignin masih terurai sampai suhu 500 oC. Di atas suhu 600 oC mulai terjadi
proses pembesar luas permukaan karbon.
Arang Aktif

Arang aktif adalah suatu karbon yang mampu mengadopsi anion, kation dan
molekul dalam bentuk senyawa organik dan anorganik, baik berupa larutan
maupun gas. Arang aktif merupakan suatu bahan yang berupa karbon amorf yang
sebagian besar terdiri atas atom karbon bebas dan mempunyai permukaan dalam
(internal surface) sehingga mempunyai kemampuan daya jerap (adsorption) yang
baik. Arang aktif tergolong bahan yang mempunyai pori-pori yang terbuka dan
luas permukaan besar (Chen dan Zeng 2003; Fagan et al. 2004; Ji et al. 2009; Pan
dan Xing 2008; Wang dan Liu 2014).
Arang aktif mengandung kadar karbon dan keaktifan yang bervariasi
tergantung pada suhu dan lamanya waktu aktivasi yang diberikan pada bahan
baku arang. Arang aktif dapat dibedakan dari arang berdasarkan sifat pada
permukaannya. Permukaan pada arang masih ditutupi oleh deposit hidrokarbon
yang menghambat keaktifannya, sedangkan pada arang aktif permukaannya relatif
telah bebas dari deposit dan mampu mengadsorpsi karena permukaannya luas dan
pori-porinya telah terbuka (Gomez-Serrano et al. 2005).
Pembuatan Arang Aktif

Arang aktif yang biasa beredar di pasaran umumnya dibuat dari tempurung
kelapa, kayu dan batu bara. Beberapa publikasi menyatakan bahwa arang aktif
dapat dibuat dari semua bahan yang mengandung karbon, seperti kayu, atau sebuk
gergajian kayu, bambu, sekam padi, gambut, batu bara, tempurung kelapa, bagas,
13 
 

resin dan serat akrionitril (Concheso et al. 2005). Perbedaan bahan baku dapat
menyebabkan sifat dan mutu arang aktif yang berbeda pula. Sifat-sifat arang aktif
dari beberapa jenis bahan baku ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Sifat arang aktif dari beberapa jenis bahan baku
No. Sifat Tempurung Batubara Lignit Kayu
kelapa
1. Mikropori Tinggi Tinggi Sedang Rendah
2. Makropori Rendah Sedang Tinggi Tinggi
3. Kekerasan Tinggi Tinggi Rendah Sedang
4. Abu(%) 5 10 20 5
5. Debu Rendah Sedang Tinggi Sedang
6. Regenerasi Baik Baik Jelek Cukup
7. Iodin (mg/g) 1100 1000 600 800
8. Kerapatan 0.48 0.48 0.3 0.35
(g/cc)
Sumber : Actech (2002) dalam Pari (2004).

Berdasarkan dari Tabel 4 di atas, terlihat bahwa masing-masing bahan baku


dari arang aktif tersebut mempunyai karakter yang berbeda-beda, dan sifat ini
sangat mempengaruhi proses penerapannya. Mutu suatu arang aktif sangat
bergantung dari bahan baku yang digunakan, bahan pengaktif, suhu dan cara
mengaktifkannya (Jaguaribe et al. 2005).
Arang aktif dapat dibuat melalui proses pirolisis material yang mengandung
karbon, baik bahan tumbuhan seperti kayu, batubara, lumut, biji-bijian, dan
tempurung buah-buahan, serta sampah biji sawit, maupun bahan-bahan polimer
sintentik, seperti rayon, polikrilonitril (PAN), dan polivinil klorida (PVC). Pada
proses pirolisis berbagai material karbon melalui dekomposisi molekul organik
tanpa udara dihasilkan ter, gas-gas ringan dan arang padat berpori (Guo dan Lua
2000, Manocha 2003)
Karakteristik beberapa material kasar yang digunakan pada pembuatan
arang aktif secara pirolisis dapat dilihat pada Tabel 5. Data pada Tabel 5
menunjukkan karakteristik karbon, komponen volatil, abu dan tekstur serta ukuran
pori-pori dari arang yang diproses secara pirolisis sangat beragam. Hasil tersebut
sangat bergantung dari bahan baku yang digunakan, sehingga mutu dari arang
aktif yang dihasilkanpun sangat beragam. Hal ini juga akan berpengaruh pada
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil penelitian Nurhayati et al. (2002) menunjukkan bahwa produksi arang
aktif dari bahan baku akan diperoleh rendemen yang lebih tinggi pada perlakukan
sampel dengan cara dipotong-potong secara manual menggunakan pisau,
dibandingkan dengan yang ditumbuk menggunakan lesung. Rendemen arang aktif
yang paling tinggi yaitu 77.3 %, terdapat pada bakau, tempurung kelapa 72.93 %
diikuti akasia manginium 66.28 % dan tusam 57.89 %. Disamping itu, teknik
produksi arang aktif dengan cara aktivasi udara lebih baik bila dibandingkan
dengan teknik perendaman menggunakan larutan asam fosfat 5 %.
Menurut Manocha (2003) proses pembuatan arang aktif dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu aktivasi secara kimia dan secara fisika. Kedua proses ini
paling sering dipakai dalam proses pembuatan arang aktif.

 
 
14 
 

Tabel 5 Sifat beberapa material kasar pada pembuatan arang aktif secara pirolisis
Material Karbon Volatil Massa Abu Tekstur Aplikasi
(%) (%) jenis (%) karbon karbon
2
(kg/m ) aktif aktif
Kayu 40-45 55-60 0.4–0.5 0.3–1.1 Lunak, Adsorpsi
lunak volume fase
pori besar larutan
Kayu 40-42 55-60 0.55–0.8 0.3–1.2 Lunak, Adsorpsi
keras volume fase
pori besar larutan
Lignin 35-40 58-60 0.3–0.4 - Lunak, Adsorpsi
volume fase
pori besar larutan
Kulit 40-45 55-60 1.4 0.5–6.0 Keras, Adsorpsi
biji-bijan volume fase
pori uap/Asap
beragam
Lignit 55-75 35-40 1.0–1.35 5-6 Keras, Perlakuan
volume limbah
pori kecil cair
Batubara 65-80 25-30 1.25–1.50 2.12 Semi keras Adsorpsi
lunak volume fase cair
mikropori dan uap
Batubara 70-75 1–1.5 1.45 5.1 Keras, Adsorpsi
semi volume gas uap
keras pori besar
Batu 85-95 5-10 1.5–2.0 2.15 Keras, Adsorpsi
bara volume gas uap
keras pori besar
Sumber: Manocha (2003).

Aktivasi secara Kimia

Aktivasi arang secara kimia dilakukan melalui proses pirolisis pada suhu
tinggi dan tanpa udara. Prinsip aktivasi ini dimulai dengan merendam arang dalam
suatu larutan pengaktif dengan konsentrasi tertentu, selama beberapa jam sebelum
dipanaskan, biasanya antara 12-24 jam. Selanjutnya hasil rendaman tersebut
disaring dan ditiriskan, lalu dipanaskan pada suhu berkisar antara 400–600 oC
selama 1-2 jam. Pada keadaan ini komponen pengaktif akan masuk diantara kisi-
kisi lapisan heksagonal dan akan berperan untuk membuka lapisan pada
permukaan arang yang tertutup, sehingga permukaan menjadi lebih besar dan
arang akan lebih aktif. Setelah selesai pemanasan, retort yang berisi arang
didinginkan di udara terbuka selama ±satu jam. Setelah dingin, hasil tersebut
dikeluarkan, dicuci dengan air sampai filtratnya netral dengan cara mengujinya
menggunakan kertas lakmus, lalu dikeringkan dalam oven sampai suhu 105 oC
dan selanjutnya diperoleh hasil arang aktif,
Bahan kimia yang sudah dilaporkan dapat mengaktivasi arang menjadi
arang aktif antara lain H3PO4, ZnCl2. H2SO4, K2S, atau KOH (Smisek dan Cerny
15 
 

2002). Di samping itu, juga NaOH, CaCO3, MgCO3, Fe2(CO3)3, CaCl2, MgCl2
atau FeCl3 (Derbyshier 1995 dalam Manocha 2003). Beberapa literatur lain
melaporkan NaOH (Figueroa-Torres et al. 2007; Muthukumaran dan Beulah
2011), KOH (Stavropoulos dan Zabaniotou 2005; Robon-Sanchez et al. 2006;
Heyen-Fu et al. 2011; Iqbaldin et al. 2013; Wang dan Liu. 2014), H3PO4 (Gomez-
Serrano et al. 2005; Tsang et al. 2007; Gupta et al. 2013) H2SO4 (Guo et al. 2007;
Maroto-Valet et al. 2005), HCl (Zhang et al.2005), HNO3 (El-Hendawy 2003;
Hazourli et al. 2009), ZnCl2 (Namane et al. 2005), MgCl2 atau CaCl2 (Sudrajat
dan Soleh 1994), Na2CO3 (Hartoyo dan Pari 1993), K2CO3 (Hayashi et al. 2005),
NH4HCO3 (Pari 2004), Pt(NH3)4(NO3)2 (Shih dan Chang 2005), SO2 atau H2S
(Nguyen-Thanh dan Bandoz 2005), asam sitrat (Chen dan Zeng 2003), dan
ammonia (Boudou et al. 2003).
Hasil penelitian Pari (2004) menunjukkan pemakaian bahan kimia sebagai
bahan pengaktif seringkali mengakibatkan pengotoran pada arang aktif yang
dihasilkan. Umumnya aktivator meninggalkan sisa-sisa yang tidak diinginkan,
misalnya oksida yang tidak larut dalam air pada waktu pencucian. Oleh karena itu,
dalam beberapa proses sering dilakukan pelarutan kembali arang dengan HCl
untuk mengikat kembali sisa-sisa bahan kimia yang menempel pada permukaan
arang dan kandungan abu yang terdapat dalam arang aktif.
Aktivasi secara Fisika

Aktivasi arang secara fisika menggunakan oksidator lemah, misalnya gas


CO2, uap air, nitrogen dan lain-lain (Prahas et al. 2008). Oleh karena itu, pada
proses ini tidak terjadi oksidasi terhadap atom-atom karbon penyusun arang, akan
tetapi oksidator tersebut hanya mengoksidasi komponen yang menutupi
permukaan pori arang. Prinsip aktivasi ini berbeda dengan aktivasi kimia, yaitu
dimulai dengan mengaliri gas-gas ringan, seperti uap air, CO2 atau udara ke dalam
retort yang berisi arang dan dipanaskan pada suhu 800-1000 oC. Pada suhu di
bawah 800 oC, proses aktivasi dengan uap air atau gas CO2 berlangsung sangat
lambat, sedangkan pada suhu di atas 1000 oC, akan menyebabkan kerusakan
struktur kisi-kisi heksagonal arang. Oleh karena itu, proses gasifikasi terhadap
material yang diarangkan dengan uap dan CO2 akan berlangsung dengan reaksi
endoterm (Manocha 2003). Reaksi-reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
C(S) + H2O(g) CO(g) + H2 (g) ΔH = + 29 kkal
C(S) + CO(g) 2CO(g) ΔH = + 39 kkal
CO(g) + 2H2O(g) CO2(g)+ 2H2(g) ΔH = + 10 kkal
Adapun mekanisme reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :
Molekul H2O lebih kecil dibandingkan molekul CO2 sehingga ia lebih cepat
berdifusi ke dalam pori karbon. Akibatnya reaksi dengan uap air lebih cepat
dibandingkan dengan CO2. Aktivasi dengan CO2 meningkatkan oksidasi eksternal
dan mengembangkan perluasan pori arang sebanding dengan aktivitas uap air,
sehingga aktivasi yang terjadi menjadi kurang efektif, akibat panas yang terbentuk
menjadi berkurang. Menurut Manocha (2003), salah satu cara menangani kasus
ini adalah dengan cara membakar gas-gas yang terbentuk seperti reaksi di bawah
ini :

 
 
16 
 

CO(g) + ½O2 (g) CO2(g) ΔH = -1192,44 kkal


H2 (g) + ½O2(g) H2O (g) ΔH = -995,79 kkal
Akan tetapi kehadiran gas O2 di dalam retort aktivasi akan menimbulkan masalah
terutama karena sangat sulit dikontrol, sehingga menyebabkan terjadi reaksi
eksoterm terhadap karbon. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

CO (g) + ½O2 (g) CO2(g) ΔH = -92,40 kJ


H2(g) + ½O2(g) H2O(g) ΔH = -53,96 kJ
Beberapa gas pengoksidasi yang dapat digunakan untuk aktivasi arang
secara fisika antara lain uap air (H2O) (Basomatary et al. 2005), gas CO2 atau N2
(Machnikowski et al. 2005), H2 (Takagi et al. 2004), Br2 (Gaiser et al. 2005), O2
(Sanchez-Polo et al. 2005), argon (Nguyen dan Bahtia 2005), atau CH4 (Rangel-
Mendez dan Cannon 2005).
Sifat-sifat Arang Aktif

Sifat-sifat Kimia

Arang aktif tidak hanya mengandung atom karbon saja, tetapi juga
mengandung sejumlah kecil oksigen dan hidrogen yang terikat secara kimia dalam
bentuk gugus-gugus fungsi yang bervariasi, misalnya gugus karbonil (C=O),
karboksil (COO), fenol, keton, dan beberapa gugus eter. Oksigen pada permukaan
arang, kadang-kadang berasal dari bahan baku atau dapat juga terjadi pada proses
aktivasi dengan uap (H2O) atau udara. Keadaan ini biasanya dapat menyebabkan
arang bersifat asam atau basa (Lazio et al. 2001). Gugus-gugus fungsional dari
berbagai komponen yang terikat pada permukaan arang aktif ditunjukkan pada
Gambar 7.

Gambar 7 Beberapa gugus fungsional yang terikat pada permukaan arang aktif
(Lazio et al. 2001)

Pada umumnya bahan baku arang aktif mengandung komponen mineral.


Komponen ini menjadi lebih pekat selama proses aktivasi arang. Di samping itu,
bahan-bahan kimia yang digunakan pada proses aktivasi seringkali menyebabkan
perubahan sifat kimia arang yang dihasilkan.
17 
 

Sifat-sifat Fisika

Berdasarkan sifat fisika, arang aktif mempunyai beberapa karakteristik,


antara lain berupa padatan yang berwarna hitam, tidak berasa, tidak berbau,
bersifat higroskospis, tidak larut dalam air, asam, basa ataupun pelarut-pelarut
organik. Di samping itu, arang aktif juga tidak rusak akibat pengaruh suhu
maupun perubahan pH, selama proses aktivasi.

Struktur Arang Aktif

Arang aktif mempunyai struktur berupa jaringan berpilin dan lapisan-


lapisan kompon yang tidak sempurna, yang dihubungsilangkan oleh suatu
jembatan alifatik. Menurut Kyotoni (2000), luas permukaaan, dimensi dan
distribusi atom-atom karbon penyusun struktur arang aktif sangat tergantung pada
bahan baku, kondisi karbonisasi dan proses aktivasinya. Susunan atom-atom
karbon pada arang aktif mirip susunan atom-atom karbon dalam grafit, yang
terdiri atas pelat-pelat datar. Atom-atom karbon penyusun struktur grafit terikat
secara kovalen di dalam suatu kisi heksagonal dengan susunan paralel (Hirose et
al. 2002). Pelat-pelat yang membentuk suatu kisi heksagonal bertumpuk satu
dengan lain membentuk kristal-kristal dengan susunan tidak beraturan dan jarak
antar platnya acak seperti terlihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Struktur arang aktif heksagonal (Marsh dan Fransisco 2006)

Penelitian dengan sinar X memperlihatkan bahwa cincin enam atom karbon


dengan susunan karbon yang teratur dan membentuk pelat-pelat. Pelat-pelat
karbon heksagonal dalam struktur grafit terorientasi tegak lurus terhadap
sumbunya (Gambar 9). Adapun struktur arang aktif berbeda dengan struktur
grafit, karena pelat-pelat karbon heksagonal dalam struktur arang aktif tidak
terorientasi sempurna terhadap sumbunya (Solovyov et al. 2002). Perbedaan ini
berpengaruh pada besar kecilnya derajat kristalinitas, sehingga pelat-pelat tersebut
bertumpuk satu sama lain secara tidak beraturan membentuk kristaltit (Wigman
1986 dalam Pari 2004).

 
 
18 
 

Gambar 9 Orientasi pelat-pelat karbon heksagonal pada struktur grafit (Wigman


1986 dalam Pari 2004)

Daya Jerap Arang Aktif

Daya jerap arang aktif merupakan suatu akumulasi atau terkonsentrasinya


komponen di permukaaan antar muka dalam dua fasa. Bila ke dua fasa saling
berinteraksi, maka akan terbentuk suatu fasa baru yang berbeda dengan masing-
masing fasa sebelumnya. Hal ini disebabkan karena adanya gaya tarik menarik
antar molekul, ion atau atom-atom dalam kedua fasa tersebut. Gaya tarik menarik
ini dikenal sebagai gaya Van der Walls. Pada kondisi tertentu, atom, ion atau
molekul dalam daerah antar muka mengalami ketidakseimbangan gaya, sehingga
mampu menarik molekul lain sampai keseimbangan gaya tercapai (Manocha,
2003).

Kegunaan Arang Aktif

Arang aktif umumnya dapat digunakan sebagai bahan penjerap, pembersih


atau pemurni, dan juga sebagian kecil digunakan sebagai katalisator (Gheek et al.
2007, Zawadzki dan Wisniewski 2007). Menurut Marsh dan Fransisco (2006),
arang aktif dapat diaplikasikan pada fase gas yaitu sebagai pemurni gas pada
effluent, menghilangkan gas (SO2, H2S, CS2), adsorpsi radionuklir, dan
mengontrol bau. Selain itu juga dapat digunakan untuk mengadsorpsi cairan yang
tercemar yaitu mengadsorpsi iodin, dan asam asetat, mengadsorpsi senyawa
anorganik (kromium, uranium, nikel, kobalt, arsenik dan merkuri). Manocha
(2003) menyatakan arang aktif digunakan untuk pengembangan teknologi,
misalnya sebagai adsorben, katalis, penyerap gas alam, kontrol fasa gas dan cair di
lingkungan, penjernihan air dan sumber energi. Beberapa tujuan penggunaan
arang aktif untuk berbagai keperluan ditunjukkan pada Tabel 6.
Menurut Figueroa-Torres et al. (2007), ada beberapa faktor yang
mempengaruhi daya jerap arang aktif, yaitu: 1) sifat arang aktif; 2) sifat
komponen yang dijerapnya; 3) sifat larutan; 4) sistem kontak. Daya jerap arang
aktif terhadap komponen-komponen yang berada dalam larutan atau gas yang
disebabkan oleh kondisi permukaan dan struktur porinya (Guo et al. 2007).
Beberapa literatur lain melaporkan bahwa pada umumnya penjerapan oleh arang
aktif tergolong penjerapan secara fisik. Hal ini disebabkan oleh pori yang banyak
dan permukaannya luas. Faktor lain yang mempengaruhi daya jerap arang, yaitu
19 
 

sifat polaritas dari permukaan arang. Sifat ini sangat bervariasi untuk setiap jenis
arang aktif karena sangat bergantung pada bahan baku, cara pembuatan arang dan
bahan pengaktif yang digunakan (Lee dan Radovic 2003).

Tabel 6 Penggunaan arang aktif secara umum


No Maksud/tujuan Pemakaian
1 Gas :
Pemurnian gas Desulfurisasi, penghilangkan gas beracun, bau
busuk, asap
Pengolahan LNG Desulfurisasi dan penyaringan berbagai bahan
mentah dan reaksi gas
Katalisator Reaksi katalisator atau pengangkut vinil klorida
dan asetat
Lain-lain Menghilangkan bau dalam kamar pendingin dan
mobil
2 Zat Cair :
Industri obat dan Menyaring dan menghilangkan warna, bau, rasa
makanan yang tidak enak pada makanan.
Minuman ringan, Menghilangkan warna, bau pada arak/minuman
minuman keras keras dan minuman ringan
Kimia perminyakkan Penyulingan bahan mentah, zat perantara
Penjernih air Menyaring/menghilangkan bau, warna, zat
pencemar dalam air, sebagai penukaran resin
dalam alat penyulingan air.
Pembersih air buangan Mengatur dan membersihkan air buangan dan
pencemar, bau, logam berat
Penambakan udang dan Pemurnian, menghilangkan bau dan warna
benur
Pelarut yang digunakan Penarikan kembali berbagai pelarut, sisa
kembali metanol, etil asetat dan lain-lain
3 Lain-lain
Pengolahan pulp Pemurnian dan menghilangkan bau
Pengolahan pupuk Pemurnian
Pengolahan emas Pemurnian
Penyaringan minyak Menghilangkan bau, warna dan rasa tidak enak
makan dan glukosa
Sumber : LIPI (1999).

Arang aktif merupakan adsorben yang cukup potensial dalam mengadsorpsi


ion-ion logam berat, misalnya ion Cu2+ (Sayan 2006), Pb2+ (Machida et al. 2005)
dan Hg2+(Maroto-Valet et al. 2005). Selain itu, arang aktif juga dapat
mengadsorpsi anion surfaktan, seperti alkil benzene sulfonat (ABS), dan deodesil
benzene sulfonat (DBS) yang biasanya mencemari air (Sibelzor 2004), dan kation
dari campuran surfaktan resorsinol formaldehida (Nishiyama et al. 2005). Metode
pengolahan limbah berwarna yang paling efisien adalah dengan adsorpsi (Gupta
dan Suhas 2009). Proses transfer zat warna dari limbah cair ke fase padat dengan
cara mengurangi volume air sampai minimum (Wang dan Zhu 2007).

 
 
20 
 

Adsorpsi (Penjerapan)

Adsorpsi (penjerapan) adalah proses akumulasi zat atau bahan pada


permukaan padatan (Scheidegger dan Spark 1996). Pada proses adsorpsi
terjadinya perpindahan massa adsorbat dari fasa gerak (fluida pembawa adsorbat)
ke permukaan adsorben. Adsorpsi terjadi karena adanya gaya tarik menarik antara
molekul adsorbat dengan tempat-tempat aktif di permukaan adsorben. Adsorpsi
merupakan peristiwa terjadinya perubahan kepekatan dari molekul, ion atau
antara permukaan dua fase.
Walstra (2003) mendefinisikan adsorpsi sebagai proses difusi suatu
komponen pada suatu permukaan atau antar partikel. Komponen yang terserap
disebut adsorbat dan bahan yang dapat menyerap disebut adsorben. Adsorben
dapat berupa padatan atau cairan. Adsorbat terlarut dalam cairan atau berada
dalam gas. Pada proses adsorpsi terjadi proses pengikatan oleh permukaan
adsorben padatan atau cairan terhadap adsorbat atom-atom, ion-ion atau molekul-
molekul gas atau cairan lainnya (Microsoft 2000), yang melibatkan ikatan
intramolekuler diantara keduanya (Osmonics 2000). Melalui proses pengikatan
tersebut, maka proses adsorpsi dapat menghilangkan warna (Kadirvelu et al.
2003) dan logam (Rossi et al. 2003).
Menurut Scheidegger dan Spark (1996) mekanisme adsorpsi dapat
diterangkan sebagai berikut ; molekul adsorbat berdifusi melalui suatu lapisan
batas ke permukaan luar adsorben (disebut difusi eksternal); sebagian ada yang
teradsorpsi di permukaan luar, sebagian besar berdifusi lanjut di dalam pori-pori
adsorben (disebut difusi internal). Proses adsorpsi pada arang aktif terjadi melalui
tiga tahap dasar, yaitu ; zat terjerap pada bagian luar, zat bergerak menuju pori-
pori arang dan zat terjerap ke dinding bagian dalam dari arang.
Suatu zat dapat digunakan sebagai adsorben untuk tujuan pemisahan bila
mempunyai daya adsorpsi selektif, berpori (mempunyai luas permukaan persatuan
massa yang besar) dan mempunyai daya ikat yang kuat terhadap zat yang hendak
dipisahkan secara fisik maupun kimia. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses
adsorpsi adalah sifat fisik dan kimia adsorben, yaitu luas permukaan, pori-pori dan
komposisi kimia; sifat fisik dan kimia adsorbat, yaitu ukuran molekul, polaritas
molekul, dan komposisi kimia; konsentrasi adsorbat dalam fase cair; sifat fase cair
seperti pH dan suhu; serta kondisi adsorpsi, seperti lamanya proses adsorpsi
berlangsung.
Menurut Kadirvelu et al. (2003) mekanisme adsorpsi ion logam oleh arang
aktif adalah pertukaran ion. Alfarra et al. (2004) menambahkan bahwa pada
aplikasi penghilangan satu jenis ion, arang aktif sering disebut mempunyai
perilaku sebagai penukar kation. Pada kasus ini, adsorpsi tergantung pada tekstur
karbon, dan akan meningkat dengan meningkatnya pH, jumlah permukaan dan
konsentrasi larutan.
Asap Cair

Asap cair merupakan hasil kondensasi asap pada proses


pembakaran/pirolisis dari kayu atau bahan-bahan yang banyak mengandung
karbon serta senyawa-senyawa lain seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin. Asap
cair dihasilkan dari proses kondensasi asap baik berasal dari tumbuhan, hewan
21 
 

maupun barang tambang yang menghasilkan arang (karbon) dan asap (Paris and
Zikler 2005).
Asap hasil pengolahan arang akan mencemari lingkungan udara apabila
dibuang ke lingkungan. Dampak negatif dari asap yang dihasilkan dalam
pembuatan arang dapat diminamalisir dengan cara memanfaatkannya sebagai asap
cair, sehingga dalam produksi arang tidak ada limbah yang dihasilkan (zero
waste).
Asap cair pertama kali diproduksi pada tahun 1880 oleh sebuah pabrik
farmasi di Kansas City, yang dikembangkan dengan metode kasar destilasi kering
dari bahan kayu. Asap cair adalah asap yang terbentuk melalui proses pembakaran
yang terkondensasi pada suhu dingin. Menurut Mohan et al. (2006) dan Temiz et
al. (2010), asap merupakan sistem kompleks, yang terdiri dari fase cairan
terdispersi dalam maupun gas sebagai pendispersi. Asap terbentuk karena
pembakaran yang tidak sempurna, yaitu pembakaran dengan jumlah oksigen
terbatas yang melibatkan reaksi dekomposisi bahan polimer menjadi komponen
organik dengan bobot molekul yang lebih rendah, karena pengaruh panas. Jika
oksigen tersedia cukup maka pembakaran menjadi lebih sempurna dengan
menghasilkan gas CO2, uap air, dan abu, sedangkan asap tidak terbentuk.
Perbedaan jumlah rendemen asap cair disebabkan tingginya kandungan air
dalam bahan baku dan panjangnya kondensor yang digunakan. Semakin tinggi
kandungan kadar air dalam bahan baku maka semakin tinggi pula jumlah
rendemen asap cair yang dihasilkan dan semakin panjang kondesor maka
kemungkinan mengkondensasikan asap akan lebih optimal. Hal ini dikarenakan
asap bergerak lebih lama dalam kondensor dan asap cair pembakaran bahan baku
mengalami proses kondensasi yang lama sehingga rendemen asap cair yang
dihasilkan juga semakian banyak.

Karakteristik Asap Cair

Gani (2007) mengidentifikasi komponen asap cair dari asap sampah organik
dengan ekstrak bertahap diperoleh 61 senyawa dengan senyawa dominan yaitu
(1.1-dimethyl hidrazin (8.98 %) dan 2.6-dimethoxyphenol (8.68 %). Diantara 61
senyawa yang teridentifikasi terdapat 17 senyawa (27.9 %) golongan keton, 14
senyawa (23 %) golongan fenolik, delapan senyawa (13 %) golongan asam
karboksilat, tujuh senyawa (11.5 %) golongan alkohol, empat senyawa (6.6 %)
golongan ester, tiga senyawa (4.9 %) golongan aldehid dan senyawa lainnya (1.6
%). Data hasil tersebut memperlihatkan bahwa senyawa asap cair terdiri dari
golongan fenolik dan asam.
Pada asap kayu ditemukan hampir 1000 senyawa kimia. Beberapa senyawa
yang telah berhasil diidentifikasi, yaitu fenolik 85 macam, karbonil 45 macam,
asam 35 macam, furan 11 macam. Komposisi rata-rata asap cair dari bahan kayu
terdiri atas 11–92 % air, 0.2–2.9 % senyawaan fenolik, 2.8-4.5 % asam, 2.6-4.6 %
karbonil dan 1–17 % ter. Menurut Demirbas (2008) proses pirolisis dapat
berlangsung pada suhu di atas 300 oC dalam waktu 4-7 jam. Proses pirolisis
melibatkan berbagai proses reaksi yaitu dekomposisi, oksidasi, polimerisasi, dan
kondensasi.
Asap cair dari akar kayu Erythrina latissima dilaporkan oleh Wanjala et al.
(2002) dalam Chacha et al. (2005) mengandung beberapa senyawa alkaloid,

 
 
22 
 

stilbenoid, lignin, dan flavanoid. Asap cair dari kayu Erythrina latissima
mengandung beberapa flavanoid yang bersifat antimikrobial (Chacha et al. 2005).
Menurut Demirbas (2008) kandungan kimia fraksi cair dari partikel pohon kayu
(0.45 mm) melalui proses pirolisis dengan larutan alkali (30 % Na2CO3) dan non-
alkali tertera pada Tabel 7. Alkohol dan asam-asam yang terdapat pada struktur
kayu berasal dari dekomposisi selulosa, hemilselulosa pada temperatur yang lebih
rendah daripada lignin. Dekomposisi lignin terjadi pada 300 oC sampai suhu
400 oC dan menghasilkan fenolik dan ter ( Jun et al. 2004). Komponen utama
yang terdapat dalam ter adalah fenol dan turunannya seperti guaiacol, 4-propyl
guaiacol; 2.6 xylenol; 3.5-xylenol; creosol; O-creosol; syringol; 4-ethyl- syringol,
4-allylsyringol yang digunakan sebagai insektisida (Temiz et al. 2010).
Tabel 7 Hasil analisis senyawa kimia fraksi cair dari partikel pohon kayu (0.425
mm) melalui pirolisis dalam larutan alkali (30 % Na2CO3) dan non-
alkali
Senyawa Larutan non-alkali Larutan alkali
o
(suhu 735 K) (suhu 800 oK)
Asetaldehida 0.95 1.42
Metanol 0.44 8.65
Aseton 0.71 1.18
Metil asetat 0.46 0.55
Guaiakol 0.42 0.34
4-metil-Guaiakol 0.44 0.32
2-Butanon 0.27 0.68
Asam asetat 14.26 18.37
1-Hidroksil 2-propanon 12.63 13.88
1-Hidroksil-2-butanon 5.72 5.98
Furfural 1.73 1.95
Furfuralik alkohol 1.69 2.06
2,6 Dimetoksifenol 0.74 1.08
3-Metil 2,6-dimetoksifenol 0.62 0.86
Tidak teridentifikasi 52.92 42.28
Sumber : Demirbas (2008).

Menurut Slamet et al. (2007) komponen volatil asap cair tempurung kelapa
dengan menggunakan GCMS tersaji pada Tabel 8. Kualitas dan kuantitas unsur
kimia pada umumnya tergantung pada jenis bahan pengasap yang digunakan.
Bahan pengasap yang digunakan seperti jenis kayu yang dibakar menentukan
komposisi dari asap yang dihasilkan. Kayu keras seperti tempurung kelapa banyak
terbentuk asap karena proses pembakarannya lambat.
Penggunaan beberapa jenis kayu keras pada proses pengawetan dengan
persyaratan memiliki beberapa fungsional, yaitu sifat antimikrobial dan
antioksidan yang berbeda-beda tergantung pada kandungan selulosa, hemiselulosa
dan lignin pada masing-masing kayu (Nakai et al. 2007; Kartal et al. 2004;
Yatagai et al. 2002). Reaksi-reaksi yang terjadi selama pirolisis kayu adalah
hilangnya air dalam kayu pada suhu 120-150 oC, pirolisis hemiselulosa pada suhu
200–250 oC, pirolisis selulosa pada suhu 280–320 oC, pirolisis lignin pada suhu
400 oC dan pada suhu yang lebih tinggi akan terjadi reaksi kondensasi
23 
 

pembentukkan senyawa baru dan oksidasi produk kondensasi diikuti kenaikan


linier senyawa ter dan hidrokarbon polisiklis aromatis (Azeez et al. 2010; Kartal
et al 2004; Mohan et al. 2006).

Tabel 8 Komponen volatil asap cair tempurung kelapa


Komponen kimia asap cair Jumlah (%)
Pyrogallol 1,3-dimethyl ether 15.64
2 Methoxyl p-cresol 11.53
Pyrogallol trimethylether 8.65
p-ethyl guaiacol 6.58
3,4,5 Trimethoxyloluene 5.60
2-propanone, 1-(4-hydroxyl-3 methoxylphenyl) 4.55
Desaspidiol 4.25
3-Methoxy-pyrocatechol 3.86
Methylparaben 3.49
Guaethol 3.34
Acetovanillone 2.66
4-ethoxy-3-methoxytoluene 1.9
Homopyrocatechol 1.60
m-Xylenol 1.50
p-Ethylphenol 1.36
Hydrangine 1.32
2.4 hexadienediocic acid, 3-methyl-4-prophyl- 1.28
dimethyl ester
3-ethyl-2-hydroxyl-2-cyclopentane-1-one 1.27
3.4-dihydroxyl-L-Phenylalanine 1.19
P-anisic acid 1.16
2-ethyl phenol 1,60
Metyl p-hydroxylbenzoate 0.95
p-metoxycinnamic acid 0.90
Propano-3 methoxy-4-hydroxypenone 0.93
O-acethylphenol 0.92
Methoxyleugenol 0.91
4-Methoxyl-3-methylphenol 0.84
Paraben 0.76
2.3-Dymethoxytoluene 0.75
Homovanilic acid 0.70
n-hexatriacetone 0.66
p-Xylenol 0.65
Trans-Isoeugenol 0.62
2.6-dimethoxyphenol 0.58
1.35- Xylenol 0.52
Benzoic Acid 0.35
2-cyclopentene-1 one 0.33
O-Guaiacol 0.24
Sumber : Slamet et al. (2007).

 
 
24 
 

Baimark dan Niamsa (2009) mendapatkan tujuh macam komponen kimia


utama dalam asap cair tempurung kelapa, yaitu senyawaan fenolik, 2-
metoksifenol, 2-metoksi-4 metilfenol, 4-etil-2-metoksifenol, 2.6-dimetoksifenol,
2-5 dimetoksifenol, dan 3 metil 1.2 siklopentadion, yang larut dalam eter.
Menurut Nurhayati (2000), hasil destilasi kering empat jenis kayu menunjukkan
bahwa kadar asap cair tertinggi terdapat pada kayu karet (98.60 %), sedangkan
yang terendah pada kayu bakau (95.93 %). Komponen fenol tertinggi (3.24 %)
terdapat pada asap cair kayu tusan, kadar asam asetat tertinggi (6.33 %), kayu
bakau dan kadar alkohol tertinggi (2.94 %) pada kayu jati.

Kegunaan Asap Cair

Produk asap cair telah lama dikenal dan digunakan untuk mengawetkan
daging babi dan babi asin serta untuk memberi cita rasa pada beberapa bahan
makanan, karena memiliki kelebihan antara lain : 1) flavor yang khas; 2)
kehilangan flavor lebih mudah dideteksi; 3) dapat diaplikasikan pada berbagai
jenis bahan pangan; 4) dapat digunakan oleh konsumen pada level komersial, dan
5) polusi lingkungan dapat diperkecil. Menurut Milly et al. (2008), asap cair dapat
digunakan sebagai antimikroba, antioksidan, pembentuk aroma, flavor, dan warna
pada ikan.
Fungsi asap cair adalah sebagai bahan pengawet yang memiliki kandungan
senyawa fenol dan asam yang berperan sebagai anti bakteri dan antioksidan
(Darmadji 2002). Zat-zat yang ada di dalam asap cair berperan sebagai
antimikrobial adalah senyawa fenol dan asam asetat, yang peranannya semakin
meningkat bila kedua senyawa tersebut bersama-sama. Pszczola (1995)
menyatakan bahwa dua senyawa utama dalam asap cair diketahui mempunyai
efek bakteriostik adalah fenol dan asam-asam organik.
Pszczola (1995) menyatakan asap cair mempunyai beberapa sifat fungsional
antara lain :1) untuk memberikan flavor dan warna yang diinginkan pada produk
asap karena kandungan senyawa fenolik, dan karbonil, dan 2) sebagai pengawet
karena mengandung senyawa fenolik dan asam yang berperan sebagai anti bakteri
dan antioksidan. Lee et al. (2011) menyatakan ada dua jenis asap cair dari biomas
lignoselulosa yaitu asap cair dari pohon bambu dan mangrove dapat menghasilkan
zat antifungi. Menurut Oramahi and Yoshimura (2013) asap cair dari biomas
lignoselulosa kayu laban dapat menghambat aktivitas rayap Reticulitermes
speratus dan Criptoterms formosanus secara invitro. Disamping itu menurut
Narasimhan et al. (2005) senyawa salanobutirolakton aktif sebagai antifeedant,
sedangkan senyawa deasetilsalanobutirolaktan aktif sebagai insektisida sedangkan
senyawa gamma lakton berperan sebagai antifeedant bagi serangga (Frackowiak
et al. 2006).
Asap cair merupakan suatu campuran yang sangat kompleks terdiri dari
senyawa-senyawa hidrokarbon, yaitu senyawa yang mengandung hidrogen dan
karbon, berupa cairan kental berwarna coklat tua sampai hitam dan memiliki berat
jenis lebih besar dari pada air. Adanya senyawa asam-asam kayu dan senyawa
fenol asap cair dapat dimanfaatkan sebagai bahan pelunak (softener), campuran
pembuatan ban, desinfektan, sebagai bahan perekat dan lebih lanjut dapat
digunakan sebagai bahan pengawet kayu. Penggunaan lain asap cair sebagai
bahan pengawet sejak tahun 1980 adalah sebagai bahan pengawet daging babi,
25 
 

industri makanan, industri kesehatan, pupuk tanaman, bioinsektisida, pestisida,


herbisida, dan desinfektan (Toledo 2007).
Setiap industri selalu menghasilkan limbah baik yang berbahaya maupun
yang tidak berbahaya bagi kehidupan makhluk hidup. Industri asap cair adalah
industri yang hampir tidak menghasilkan limbah. Pada proses pirolisis asap cair
dihasilkan tiga macam penggolongan produk, yaitu gas-gas yang dikeluarkan pada
proses karbonisasi (CO2, CO, CH4, H2, C2H6 dan hidrokarbon tak jenuh), destilat
(asap cair dan ter), dan residu berupa arang. Produk pirolisis tersebut yang
merupakan limbah hanya gas-gas yang tidak terkondensasi, sedangkan ter dan
arang tidak dapat dikatakan limbah, karena ter dapat digunakan sebagai bahan
pengawet, insektisida dan obat sedangkan arang dapat langsung digunakan
sebagai bahan bakar dan bila diolah lebih lanjut dapat menjadi produk briket
arang dan arang aktif (Pari 2002).
Pembuatan asap cair menghasilkan arang pada proses pirolisis. Pembuatan
asap cair pada kondisi operasi optimum asap cair (350 oC dengan waktu pirolisis
90 menit) akan menghasilkan arang sebesar 51.56 %. Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa proses pembuatan asap cair akan menghasilkan arang
setengah dari massa bahan baku. Pada pembuatan asap cair skala industri,
ketersediaan arang akan sangat melimpah mengingat perkembangan asap cair kian
pesat di bidang industri. Berdasarkan uraian tersebut, salah satu cara untuk
memanfaatkan arang sisa pembuatan asap cair adalah dengan memprosesnya
menjadi arang aktif. Arang umumnya mempunyai daya adsorpsi yang rendah dan
daya adsorpsi itu dapat diperbesar dengan cara mengaktifkan arang menggunakan
uap air atau bahan kimia (Wahjuni 2008).

Kayu dan Pengawetan Kayu

Kayu Pinus (Pinus merkusii)


Pinus merkusii Jungh et de Vriese merupakan salah satu jenis tanaman yang
diusahakan oleh Perum Perhutani dan merupakan jenis tanaman unggulan, selain
tanaman jati. Dikatakan tanaman unggulan, karena selain dapat dimanfaatkan
kayunya, pinus juga dapat memberikan hasil berupa getah yang dapat diolah
menjadi gondorukem dan terpentin. Setiap getah pinus yang diolah menghasilkan
69 % gondorukem, 23 % terpentin, dan sisanya 8 % merupakan residu (Perum
Perhutani 2006).
Pinus merkusii termasuk family Pinaceae yang bersinonim dengan P.
sylvestri auct. Non.L, P. sumatrana Jung, P. finlaysoniana Blume, P. latteri
Mason, P. merkusii var Tonkinesis, P. merkusiana. Pinus memiliki beragam nama
daerah yaitu damar batu, huyam, kayu sala, sugi, tusam (Sumatra), pinus (Jawa),
sral (Kamboja), thong mu (Vietnam), tingyu (Burma), tapusam (Filipina) dan lain-
lain (Harahap 2000). Plantamor (2008) memaparkan secara rinci taksonomi dari
P. merkusii adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta
Sub divisi : Spermatophyta
Divisi : Coniferophyta

 
 
26 
 

Kelas : Pinopsida
Ordo : Pinales
Famili : Pinaceae
Genus : Pinus
Spesies : Pinus merkusii Jungh et de Vriese
Kayu pinus masih sangat berperan dalam kehidupan manusia karena
memiliki banyak manfaat, yaitu sebagai bahan bangunan untuk rumah, korek api,
pulp dan kertas. Teras kayu dapat dijadikan untuk penyulut kayu bakar yang
banyak digunakan di daerah pengunungan yang berhawa sejuk/dingin. Bagian
kulit kayu dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan abunya digunakan untuk
bahan campuran pupuk, karena mengandung kalium (Prayugo 2015)

Gambar 10 Penampang kayu Pinus merkusii


(sumber : Figueroa-Torres 2004)

Kayu berasal dari hutan rakyat umumnya berdiameter kecil antara 30-40
cm, dan mempunyai sifat kurang menguntungkan karena keawetannya rendah
dibandingkan kayu hutan alam (Martawijaya et al. 1989). Salah satu sifat
pengawetan kayu adalah suatu proses memasukkan bahan pengawet dengan
metode tertentu sampai mencapai retensi dan penetrasi masing-masing kayu.
Umur kayu yang diawetkan umumnya dapat berumur lebih dari 15 tahun,
sedangkan yang tidak diawetkan kurang dari lima tahun.
Kayu berasal dari berbagai jenis pohon memiliki sifat yang berbeda-beda.
Sifat yang dimaksud antara lain sifat-sifat anatomi kayu, sifat-sifat fisik ataupun
sifat-sifat kimianya. Adapun beberapa sifat umum yang terdapat pada semua kayu
yaitu :
a. Kayu tersusun dari sel-sel yang terdiri dari senyawa-senyawa kimia seperti
selulosa, hemiselulosa (unsur karbohidrat) serta lignin (non-karbohidrat).
b. Semua kayu bersifat anisotropik, yaitu memperlihatkan sifat berlainan menurut
tiga arah utamanya (longitudinal, tangensial dan radial). Hal ini disebabkan
oleh struktur selulosa dalam dinding sel, bentuk memanjang sel-sel kayu dan
pengaturan sel terhadap sumber vertikal dan horizontal pada batang pohon.
c. Kayu merupakan bahan yang bersifat higroskopik, yaitu dapat kehilangan atau
bertambah kelembabannya akibat perubahan suhu udara dan sekitarnya.
d. Kayu dapat diserang makhluk hidup perusak kayu, dapat terbakar, terutama
jika kayu dalam keadaan kering.
 
27 
 

Keawetan Kayu

Menurut Martawijaya et al. (1989) yang dimaksud dengan keawetan kayu


adalah daya tahan suatu jenis kayu terhadap berbagai faktor perusak kayu, tetapi
umumnya yang dimaksud adalah daya tahan terhadap faktor perusak biologis
yang disebabkan oleh makhluk hidup perusak kayu seperti jamur, serangga dan
binatang laut. Berdasarkan standar nasional Indonesia SNI 03-5010-01-1999
Revisi SNI 03-3528-1994 kelas awet kayu dibagi menjadi lima tingkatan yaitu
kelas I (paling awet) sampai kelas V (tidak awet) tersaji dalam Tabel 9.

Tabel 9 Penggolongan kelas awet kayu menurut umur pakai kayu


Kelas awet Umur pakai (tahun) Keawetan
I >8 Sangat awet
II 5–8 Awet
III 3–5 Kurang Awet
IV 1.5–3 Tidak Awet
V < 1.5 Sangat tidak Awet
Sumber : Martawijaya et al. (1989).
Keterangan: Hanya berlaku untuk dataran rendah tropik

Keawetan suatu jenis kayu dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, seperti
kandungan zat ekstraktif dalam kayu, berat jenis kayu, umur pohon, bagian dalam
batang (gunal dan teras), kecepatan tumbuh pohon, asal pohon (hutan alam atau
hutan tanaman), tempat dimana kayu itu dipakai. Kayu gubal adalah bagian kayu
antara kulit dan kayu teras, pada umumnya berwarna lebih terang dari kayu teras
serta mudah terserang organisme perusak kayu. Adapun teras adalah bagian kayu
yang terletak antara hati (empulur), umumnya lebih tahan terhadap serangan
organisme perusak kayu dibandingkan dengan kayu gubal (Martawijaya 1996).
Klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah berdasarkan penurunan
berat tersaji pada Tabel 10.

Tabel 10 Klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah berdasarkan


penurunan berat
Kelas Ketahanan Penurunan berat (mg)
I Sangat tahan 0–25
II Tahan 26–50
III Sedang 51–75
IV Buruk 76–100
V Sangat buruk >100
Sumber : Martawijaya et al. (1989).

Pengawetan Kayu

Pengawetan kayu merupakan suatu usaha untuk menambah daya tahan kayu
terhadap faktor perusak dengan tujuan agar unsur pemakaian kayu dapat
bertambah menjadi beberapa kali lipat dan secara ekonomis menguntungkan. Oleh

 
 
28 
 

karena itu untuk meningkatkan ketahanan kayu tindakan pengawetan terhadap


kayu sangat diperlukan. Manfaat pengawetan adalah (a). jenis kayu kurang awet
atau kurang dipakai dapat digunakan dengan baik berarti memanfaatkan
sumberdaya alam secara efisien. (b) memperpanjang umur pakai kayu yang berarti
penghematan. (c) kayu yang telah diawetkan dapat menggantikan jenis kayu yang
bernilai ekspor dan (d) dengan adanya industri pengawetan kayu memungkinkan
kesempatan kerja, sehingga mencegah masalah penggangguran. Kayu karet yang
sangat tidak awet dapat mencapai dengan umur rata-rata 0.8 tahun dapat mencapai
umur rata-rata lebih dari dua puluh kali lipat jika diawetkan, kenyataan kayu jati
sendiri rata-rata hanya berumur tujuh tahun saja. Secara jelas bahwa dengan
pengawetan yang baik, umur pakai kayu yang tidak awet dapat jauh melebihi
umur kayu yang terkenal awet (Supriyana dan Martawijaya 1996).

Rayap Tanah

Rayap memerlukan kayu (selulosa) sebagai makanan pokok, oleh sebab itu
rayap mampu melumatkan kayu karena adanya protozoa flagellata dalam usus
bagian belakang. Bagi yang tidak memiliki protozoa seperti Family Termitidae,
bukan protozoa yang berperan tetapi bakteri dan bahkan pada beberapa jenis
rayap seperti macrotermes, odontotermes dan microtermes memerlukan bantuan
jamur perombak kayu yang dipelihara di “kebun jamur’ dalam sarangnya
(Tarumingkeng 2001).
Penggolongan Menurut Habitat atau Perilaku Bersarang

Berdasarkan lokasi sarang utama atau tempat tinggalnya, rayap perusak


kayu dapat digolongkan dalam tipe-tipe berikut :
1. Rayap pohon, yaitu jenis-jenis rayap yang menyerang pohon yang masih
hidup, bersarang dalam pohon dan tak berhubungan dengan tanah. Contoh
yang khas dari rayap ini adalah Neotermes tectonae (Family Kalotermitidae),
hama pohon jati.
2. Rayap kayu lembab, menyerang kayu mati dan lembab, bersarang dalam
kayu, tak berhubungan dengan tanah. Contoh : Jenis-jenis rayap dari genus
Glyptotermes (Glyptotermes spp, Family Kalotermitidae).
3. Rayap kayu kering, seperti Cryptotermes spp (Family Kalotermitidae),
hidup dalam kayu mati yang telah kering. Hama ini umum terdapat di rumah-
rumah dan perabot-perabot seperti meja, kursi, dan sebagainya. Tanda
serangannya adalah terdapatnya butir-butir eksremen kecil berwarna
kecoklatan yang sering berjatuhan di lantai atau di sekitar kayu yang
diserang. Rayap ini juga tidak berhubungan dengan tanah, karena habitatnya
kering.
4. Rayap subteran, yang umumnya hidup di dalam tanah yang mengandung
banyak bahan kayu yang telah mati atau membusuk, tunggak pohon, baik
yang telah mati maupun masih hidup. Di Indonesia, rayap subteran yang
paling banyak merusak adalah jenis-jenis dari Family Rhinotermitidae.
Terutama dari Genus Coptotermes (Coptotermesspp) dan Schedorhinotermes.
Perilaku rayap ini mirip rayap tanah seperti Macrotermes namun perbedaan
utama adalah kemampuan Coptotermes untuk bersarang di dalam kayu yang
29 
 

diserangnya, walaupun tidak berhubungan dengan tanah, asalkan sarang


tersebut sesekali memperoleh lembab, rayap subteran dapat hidup.
Coptotermes curvignathus Holmgren sering kali diamati menyerang pohon
Pinus merkusi dan banyak menyebabkan kerugian pada bangunan.
5. Rayap tanah, jenis-jenis rayap tanah di Indonesia adalah dari family
Termitidae. Mereka bersarang dalam tanah terutama dekat pada bahan
organik yang mengandung selulosa seperti kayu, serasah dan humus. Contoh-
contoh Termitidae yang paling umum menyerang bangunan adalah
Macrotermes spp. (terutama M. gilvus), Odontotermes spp. dan Microtermes.
Jenis-jenis rayap ini sangat ganas, dapat menyerang obyek-obyek berjarak
sampai 200 meter dari sarangnya. Dalam rangka mencapai kayu sasarannya
mereka bahkan dapat menembus tembok yang tebalnya beberapa cm, dengan
bantuan enzim yang dikeluarkan dari mulutnya. Gambar 11 memperlihatkan
ratu rayap dan rayap prajurit yang mengelilinginya, sedangkan Gambar 12
memperlihatkan jenis rayap prajurit dan rayap pekerja.

Gambar 11 Ratu rayap dikelilingi pekerja dan prajurit (Tarumingkeng 2001)

Gambar 12 Rayap prajurit (kiri) dan pekerja (kanan) (Tarumingkeng 2001)

Dalam koloni setiap jenis rayap, terdapat beberapa kasta individu yang
wujudnya berbeda, yaitu :
1. Kasta reproduktif terdiri atas individu-individu seksual yaitu betina (yang
abdomennya biasanya sangat membesar) yang tugasnya bertelur dan jantan
(raja) yang tugasnya membuahi betina.
2. Kasta prajurit. Kasta ini ditandai dengan tubuh yang kekar karena penebalan
(sklerotisasi) kulitnya agar mampu melawan musuh dalam rangka tugasnya
mempertahankan kelangsungan hidup koloninya.
3. Kasta pekerja. Kasta ini membentuk sebagian besar koloni rayap, dan tidak
kurang dari 80 persen populasi dalam koloni merupakan individu-individu
pekerja.

 
 
30 
 

Nandika et al. (2003) menyatakan bahwa rayap adalah serangga yang


berbadan kecil, bertubuh lunak dan hidup dalam suatu koloni (berkelompok),
sehingga disebut serangga sosial dengan sistem kasta yang berkembang sempurna.
Pada setiap koloni terdapat tiga kasta yang menurut fungsinya masing-masing
diberi nama kasta pekerja, kasta prajurit dan kasta reproduktif (reproduksi primer
dan reproduksi suplementer).
Rayap mempunyai beberapa sifat penting dalam hidupnya yang perlu
diketahui.
1. Trophalaxis, yaitu sifat rayap untuk berkumpul saling menjilat serta
mengadakan pertukaran makanan.
2. Crytobiotic, yaitu sifat rayap untuk menjauhi cahaya. Sifat ini tidak berlaku
pada rayap yang bersayap (calon kasta reproduktif) karena mereka selama
periode yang lebih pendek dalam hidupnya memerlukan cahaya.
3. Necrophagy, yaitu sifat rayap untuk memakan bangkai sesamanya
4. Canibalism, yaitu sifat rayap memangsa sesamanya, terutama yang lemah
dan sakit.
5. Polimorfisme, yaitu bentuk-bentuk rayap yang berbeda antara kasta pekerja,
prajurit dan reproduktif.
Melihat sifat-sifat rayap tersebut di atas, maka pada pengujian aktivitas anti
rayap yang digunakan adalah rayap dari kasta pekerja dan kasta prajurit yang
sehat. Apabila selama percobaan didapati rayap yang mati, bangkai rayap segera
dibuang mengingat rayap memiliki sifat kanibalisme dan necrophagy yang
memakan individu sejenis yang lemah, sakit atau mati dan juga rayap yang mati
akan diserang jamur dan menularkan penyakit kepada rayap lainnya.
Ditambahkan oleh Nandika et al. (2003) bahwa C. curvignathus Holmgren
memiliki daya serang yang paling tinggi dibandingkan dengan rayap lainnya
sehingga dalam penelitian ini digunakan jenis C. curvignathus Holmgren yang
memiliki kelimpahan populasi flagellata yang tinggi. Daya rusaknya yang sangat
hebat nampaknya didukung oleh daya cerna selulosa yang tinggi sehubungan
dengan tingginya populasi flagellata dengan rata-rata 4682 ekor flagelata/rayap
(Nandika dan Adjuwana 1995).
Rayap pekerja dan rayap prajurit berbeda dengan ratu yang berfungsi
sebagai penghasil keturunan, rayap pekerja dan prajurit tidak menghasilkan
keturunan. Keduanya mencapai dewasa dalam kurun waktu setahun dan mampu
hidup selama lebih kurang lima tahun. Secara khusus apabila dibandingkan
dengan rayap prajurit, rayap pekerja lebih membutuhkan kelembaban tertentu
untuk dapat terus survive selama hidupnya (Tarumingkeng 1992 dan Pearce
1997).
Sebanyak kurang lebih 300 spesies rayap dari seluruh spesies rayap yang
tersebar di dunia sebagai hama yang menyebabkan kerusakan pada berbagai
spesies tanaman perkebunan, kehutanan dan pertanian. Di Indonesia sendiri
diduga terdapat 20 spesies rayap yang dikenal sebagai hama penting pada tanaman
perkebunan dan kehutanan. Nandika (1996) menyatakan terjadinya serangan
rayap pada bangunan gedung sangat dipengaruhi oleh kondisi bio-fisik bangunan
itu sendiri. Hal ini jelas terkait dengan keragaman jenis dan kerentanan
(succeptability) bangunan, baik dari segi desain maupun pemeliharaannya.
31 
 

Pencemaran Air

Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009, “pencemaran lingkungan hidup adalah


masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen
lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku
mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan hidup tidak dapat berfungsi sesuai
peruntukannya.” Pergeseran bentuk tatanan dari kondisi asal pada kondisi yang
buruk ini dapat terjadi sebagai akibat masukan dari bahan-bahan pencemar atau
polutan. Bahan polutan tersebut pada umumnya mempunyai sifat racun (toksik)
yang berbahaya pada organisme hidup.
Pencemaran air diakibatkan oleh masuknya bahan pencemar (polutan) yang
dapat berupa gas, bahan-bahan terlarut dan partikulat. Pencemar memasuki badan
air dengan berbagai cara, misalnya melalui atmosfer, tanah, limpasan (run off)
pertanian, limbah domestik dan perkotaan, pembuangan limbah industri dan lain-
lain (Effendi 2003).
Parameter kualitas air dibagi menjadi empat kelompok, yaitu (1) sifat fisik,
(2) sifat kimiawi, (3) sifat mikrobiologis dan (4) sifat radioaktif. Parameter fisik
antara lain warna, bau dan rasa, padatan tersuspensi, daya hantar listrik dan
kecerahan. Parameter kimiawi air dibagi menjadi dua yaitu (a) organik dan (b)
anorganik. Parameter bakteriologis mencakup bakteri koliform total, koliform
tinja, patogen dan virus. Parameter radioaktivitas mencakup zarah beta, 90Sr dan
226Ra (Soemarwoto 2004).

Sumber Pencemar
Sumber pencemar (polutan) dapat berupa suatu lokasi tertentu (point
source) atau tak tentu/tersebar (non-point/diffuse source). Sumber pencemar point
source misalnya knalpot mobil, cerobong asap pabrik dan saluran limbah industri.
Pencemar yang berasal dari point source bersifat lokal. Efek yang ditimbulkan
dapat ditentukan berdasarkan karakteristik spasial kualitas air. Volume pencemar
dari point source biasanya relatif tetap. Adapun sumber pencemar non-point
source dapat berupa point source dalam jumlah yang banyak. misalnya : limpasan
dari daerah pertanian yang mengandung pestisida dan pupuk, limpasan dari daerah
pemukiman (domestik) dan limpasan dari daerah perkotaan (Effendi 2003).

Bahan Pencemar (polutan)


Bahan pencemar (polutan) adalah bahan-bahan yang bersifat asing bagi
alam atau bahan yang berasal dari alam itu sendiri yang memasuki suatu tatanan
ekosistem sehingga mengganggu peruntukan ekosistem tersebut. Berdasarkan cara
masuknya ke dalam ke dalam lingkungan, polutan dikelompokkan menjadi dua,
yaitu polutan alamiah dan polutan antropogenik. Polutan alamiah adalah polutan
yang memasuki suatu lingkungan (misalnya badan air) secara alami, misalnya
akibat letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir dan fenomena alam yang lain.
Polutan yang memasuki suatu ekosistem secara alamiah sukar dikendalikan.
Polutan antropogenik adalah polutan yang masuk ke badan air akibat aktivitas
manusia, misalnya kegiatan domestik (rumah tangga), kegiatan urban (perkotaan),
maupun kegiatan industri. Intensitas polutan antropogenik dapat dikendalikan

 
 
32 
 

dengan cara mengontrol aktivitas yang menyebabkan timbulnya polutan tersebut


(Effendi 2003).
Berdasarkan sifat toksiknya, polutan/pencemar dibedakan menjadi dua
(Jeffries dan Mills 1996) :
1. Polutan tak toksik
Polutan tak toksik biasanya telah berada pada ekosistem secara alami. Sifat
destruktif pencemar ini muncul apabila berada dalam jumlah yang berlebihan
sehingga dapat mengganggu kesetimbangan ekosistem melalui perubahan proses
fisika kimia perairan. Polutan tak toksik terdiri atas bahan-bahan tersuspensi dan
nutrien.
2. Polutan toksik
Polutan toksik dapat mengakibatkan kematian (lethal) maupun bukan
kematian (sub-lethal), misalnya terganggunya pertumbuhan, tingkah laku dan
karakteristik morfologi berbagai organisme akuatik. Polutan toksik ini biasanya
berupa bukan bahan alami, misalnya pestisida, detergen dan bahan artificial
lainnya. Mason (1993) mengelompokkan pencemar toksik menjadi lima yaitu :
a. Logam (metals), meliputi : timbal, nikel, kadmium, zinc, copper dan merkuri
b. Senyawa organik, meliputi pestisida organoklorin, herbisida, PCB, hidrokarbon
alifatik berklor, pelarut, surfaktan, hidrokarbon petroleum, aromatik polinuklir,
dibenzodioksin berklor, senyawa organometalik, fenol dan formaldehida.
c. Gas, misalnya klorin dan amonia
d. Anion, misalnya sianida, fluorida, sulfida dan sulfat
e. Asam dan alkali

Jenis-jenis Pencemar

Polutan yang memasuki perairan terdiri atas campuran berbagai jenis


polutan. Jika di perairan terdapat lebih dari dua jenis polutan maka kombinasi
pengaruh yang ditimbulkan oleh beberapa jenis polutan tersebut dapat
dikelompokkan menjadi tiga (Effendi 2003) :
1. Additive ; pengaruh yang ditimbulkan oleh beberapa jenis polutan merupakan
penjumlahan dari pengaruh masing-masing polutan. Misalnya, pengaruh
kombinasi zinc dan kadmium terhadap ikan.
2. Synergism ; pengaruh yang ditimbulkan oleh beberapa jenis polutan lebih besar
daripada penjumlahan pengaruh dari masing-masing polutan. Misalnya,
pengaruh kombinasi copper dan klorin atau pengaruh kombinasi copper dan
surfaktan.
3. Antagonism ; pengaruh yang ditimbulkan oleh beberapa jenis polutan saling
mengganggu sehingga pengaruh secara kumulatif lebih kecil atau kemungkinan
hilang. Misalnya, pengaruh kombinasi kalsium dan timbal atau zinc atau
aluminium.
Rao (1992) mengelompokkan bahan pencemar di perairan menjadi beberapa
kelompok, yaitu : (1) limbah yang mengakibatkan penurunan kadar oksigen
terlarut (oxygen demanding waste), (2) limbah yang mengakibatkan munculnya
penyakit (disease causing agents), (3) senyawa organik sintetis, (4) nutrient
33 
 

tumbuhan, (5) senyawa anorganik dan mineral, (6) sedimen, (7) radioaktif, (8)
panas (thermal discharge), dan (9) minyak. Bahan pencemar (polutan) yang
masuk ke dalam air biasanya merupakan kombinasi dari beberapa jenis pencemar
yang saling berinteraksi.
Limbah

Limbah atau benda/zat buangan yang kotor adalah benda/zat yang


mengandung berbagai zat yang bersifat membahayakan kehidupan manusia atau
hewan dan umumnya muncul karena hasil perbuatan manusia termasuk dari
industrialisasi (Suyasa 2014). Limbah berasal dari berbagai sumber pencemar
sehingga menghasilkan karakteristik yang berbeda-beda.
Sumber Air Limbah
Suyasa (2014) menyebutkan bahwa biasanya air limbah dapat diperoleh dari
berbagai sumber, antara lain :
(1). Air limbah rumah tangga
Sumber utama air limbah rumah tangga dari masyarakat adalah berasal dari
perumahan dan daerah perdagangan, sumber lainnya yang tidak kalah pentingnya
adalah daerah perkantoran atau lembaga serta fasilitas rekreasi. Air limbah rumah
tangga dapat dibedakan atas air limbah rumah tangga dari :
- Daerah pemukiman penduduk
- Daerah perdagangan/pasar/tempat usaha/hotel dan lain- lain
- Daerah kelembagaan (kantor-kantor pemerintahan dan swasta)
- Daerah rekreasi
(2). Air limbah industri
Jumlah aliran limbah yang berasal dari industri sangat bervariasi tergantung
dari jenis dan besar kecilnya industri. Selain itu pengawasan pada proses industri,
derajat penggunaan air, derajat pengolahan air limbah yang ada juga berperan
dalam menghasilkan air limbah yang berbeda.
(3). Air limbah rembesan dan tambahan
Apabila turun hujan di suatu daerah, maka air yang turun secara cepat akan
mengalir masuk ke dalam saluran pengering atau saluran air hujan. Apabila
saluran ini tidak mampu menampungnya, maka limpahan air hujan akan digabung
dengan saluran air limbah, dengan demikian akan merupakan tambahan beban
yang sangat besar.

Karakteristik Air Limbah

Hindarko (2003) menyatakan bahwa melebihi suatu karakteristik tertentu


buangan air limbah ke sungai, danau, laut dan lain-lain, akan menimbulkan
pencemaran terhadap lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah melalui
Departemen Kesehatan telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) mengenai
baku mutu air limbah yang dibuang ke badan air.
Semula peraturan yang ada hanya berbentuk “Baku Mutu Effluen Standar –
Departemen Kesehatan”, yang sangat umum sifatnya. Selanjutnya disempurnakan
dalam PP No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian

 
 
34 
 

pencemaran air. Berdasarkan PP No.82 tahun 2001, badan air digolongkan atas
empat kelompok utama, kelas 1 diperuntukkan untuk air baku air minum, kelas 2
diperuntukkan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar,
peternakan air, untuk mengairi pertamanan, kelas 3 air yang peruntukkannya
dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk
mengairi pertamanan, kelas 4 air yang diperuntukkan untuk mengairi pertamanan.
Selanjutnya menurut Hindarko (2003), karakteristik fisik air limbah meliputi
jumlah zat padat terlarut, bau, suhu, berat jenis dan warna. Karakteristik kimiawi
air limbah meliputi bahan organik dalam air limbah (protein, karbohidrat, lemak
dan minyak, surfaktan, peptisida), senyawa anorganik dalam air limbah (pH,
alkalinitas, klor, nitrogen, phospor, logam berat dan senyawa beracun). Adapun
karakteristik biologis dari air limbah meliputi jamur, ganggang, organisme
pathogenik.
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun

Limbah berbahaya dan beracun (B3) adalah setiap limbah yang karena sifat
atau konsentrasi, jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan/atau merusakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan
hidup manusia serta mahluk hidup lain (Pasal 1 (21) UU No. 32 (2009). Zat
kimia bahan berbahaya dan beracun (B3) dapat berupa senyawa biologis, logam
(anorganik) atau senyawa organik, sehingga dapat diklasifikasikan sebagai B3
biologis, B3 logam dan B3 organik (Tabel 11).

Tabel 11 Sumber limbah B3 dari sektor rumah tangga


No. Sumber limbah B3 Produk yang berpotensi menjadi limbah B3
1 Dapur Pembersih lantai, pembersih kompor, gas,
pembersih kaca, plastik, racun tikus, bubuk
pembersih, saluran air kotor
2 Tempat cuci Pemutih, deterjen, pewangi, pelembut pakaian,
3 Kamar mandi Desinfektan, kamper, pewangi ruangan,
pembersih lantai, pewarna rambut, shampoo, hair
spray
4 Kamar tidur Kamper, pembersih karpet, pembersih mebel,
pembersih lantai, pembersih kaca, cat kuku,
deodoran, obat anti nyamuk
5 Garasi dan gudang Oli, aki mobil, minyak rem, car wash, pembersih
karburator, cat dan thinner, lem, pembunuh tikus
6 Ruang tamu Pengharum ruangan, pembersih karpet, pembersih
mebel, pembersih kaca
7 Taman Pupuk, insektisida
8 Ruang makan Obat kadaluarsa
Sumber : Setiyono (2005).

Menurut data dari Environmental Protection Agency (EPA) tahun 1997,


yang menyusun ”top-20” B3 antara lain: arsenic, lead, mercury, vinyl chloride,
benzene, polychlorinated biphenyls (PCBs), cadmium, benzo(a)pyrene,
benzo(b)fluoranthene, polycyclic aromatic hydrocarbons, chloroform, aroclor
35 
 

1254, DDT, aroclor 1260, trichloroethylene, chromium (hexavalent), dieldrin,


hexachlorobutadiene, chlordane. Nama dari 20 B3 tersebut, diantaranya adalah
logam berat, antara lain arsenic (As), cobalt (Co), lead (Pb), mercury (Hg),
cadmium (Cd), dan chromium (Cr). Logam berat merupakan salah satu pencemar
yang sangat berbahaya bagi manusia dan lingkungannya, dikarenakan
toksisitasnya dapat mengancam kehidupan mahluk hidup (Diantariani 2010).
Beberapa logam berat yang dapat mencemari lingkungan dan bersifat toksik
adalah krom (Cr), perak (Ag), kadmium (Cd), timbal (Pb), seng (Zn), merkuri
(Hg), tembaga (Cu), besi (Fe), molibdat (Mo), nikel (Ni), timah (Sn), kobalt (Co)
dan unsur-unsur yang termasuk ke dalam logam ringan seperti arsen (As),
alumunium (Al) dan selenium (Se) (Purwaningsih 2009). Senyawa B3 tersebut
seringkali terdapat dalam produk yang ditemui di sektor rumah tangga.

Logam Berat Cr

Ion krom dalam bentuk Cr (III) dan Cr (VI) merupakan bilangan oksidasi
logam Cr yang banyak terdapat di lingkungan. Krom trivalen dalam sistem
biologis termasuk logam esensial bagi manusia. Krom (III) dalam dosis 20-50 μg
per 100 g bobot badan memiliki fungsi yang baik dalam metabolisme karbohidrat,
metabolisme lipid, sintesis protein dan metabolisme asam nukleat. Selain sebagai
logam esensial, krom (VI) juga digolongkan sebagai logam berat dengan sifat
beracun yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan juga bersifat
karsinogenik terhadap manusia. Logam kromium biasanya digunakan untuk
mengeraskan baja, pembuatan baja tahan karat dan membentuk banyak alloy
(logam campuran) yang berguna. Disamping itu digunakan dalam proses
pelapisan logam untuk menghasilkan permukaan logam yang keras dan indah dan
juga dapat mencegah korosi. Krom memberikan warna hijau emerald pada kaca,
krom juga digunakan sebagai katalis. Industri refraktori menggunakan khromit
untuk membentuk batu bata, karena khromit memiliki titik cair tinggi, pemuaian
yang relatif rendah dan kestabilan struktur kristal.

Pengolahan Air Limbah

Pengolahan air limbah dapat dibedakan dalam tiga jenis yaitu secara fisika-
kimia dan biologi. Ketiga jenis proses ini bertujuan mengubah sifat buangan
kedalam bentuk yang lebih mudah diterima seperti sifat racun berkurang,
konsentrasi lebih rendah, volume berkurang dan sebagainya (Suyasa 2014).
Secara lebih spesifik, ketiga cara pengolahan air limbah adalah sebagai
berikut :
1. Pengolahan secara fisika : pengayakan, pengendapan, penjernihan, pengadukan
cepat, penyaringan, evaporasi dan destilasi, stripper dan proses osmosis.
2. Pengolahan secara kimia : netralisasi, presipitasi, koagulasi dan flokulasi,
oksidasi dan reduksi serta desinfeksi. 
3. Pengolahan secara biologi : sistem aerobik (kolam oksidasi, lumpur aktif,
penambahan oksigen, trickling filter, lagoon), sistem anaerobik (septic tank).

 
 
36 
 

Manajemen Limbah

Limbah terdiri dari tiga bentuk yaitu cair, padat dan gas. Ketiga bentuk ini
mempunyai hubungan putaran tertutup dalam konversinya. Limbah cair dan gas
yang dihasilkan dapat berubah menjadi limbah padat, ketika pembakaran padat
dapat mengakibatkan produksi limbah cair dan gas (Murarka 2000)
Limbah cair adalah kombinasi cairan atau limbah terlarut yang timbul dari
penggunaan air tanah, air permukaan dan air sungai baik penggunaan domestik
maupun industri (Snape et al. 2003). Metcalf dan Eddy (2004) juga menambahkan
air limbah dapat didefinisikan sebagai kombinasi cairan atau air limbah yang
dikeluarkan dari tempat tinggal, lembaga atau kawasan komersil dan industri,
bersama dengan air tanah, air permukaan dan sungai.
Limbah dalam bentuk gas adalah sebagai polutan di atmosfer yang
menyebabkan polusi udara. Polusi udara adalah senyawa kimia yang ditambahkan
ke atmosfer melalui kegiatan manusia yang mengakibatkan peningkatan
konsentrasi di atas ambang batas (Nugroho 2011; Krupa et al. 1997).
Limbah padat adalah sampah, lumpur dan bahan-bahan padat buangan yang
dihasilkan dari operasi industri komersial dan dari kegiatan masyarakat. Limbah
padat di sini tidak termasuk material padat atau terlarut pada saluran domestik
atau polutan pada sumber-sumber air seperti endapan, padatan terlarut atau
mengendap pada keluaran air limbah industri, bahan pelarut pada aliran irigasi
atau polutan air lainnya (Parker 2011).
Pengelolaan limbah padat adalah sistematik dari kegiatan yang menyediakan
tempat pengumpul, pemisahan dari sumber, penyimpanan, transportasi,
pemindahan, proses, dan penanganan pembuangan limbah padat. Hal ini perlu
dilakukan dan ditangani oleh semua pihak, baik perorangan maupun kelompok
karena berhubungan dengan estetika, penggunaan lahan, kesehatan, dilusi air,
polusi udara, dan pertimbangan ekonomi (Pitchel 2005)
Menurut sumbernya, limbah padat diklasifikasikan sebagian besar limbah
padat sebagai berikut ; perkotaan, berbahaya, industri, medis, universal,
konstruksi dan pembongkaran, radioaktif, pertambangan, dan pertanian. Hal
senada juga diungkapkan oleh Murarka (2000) yang menyebutkan bahwa rumah
tangga, perdagangan, industri, pertanian, pertambangan, dan aktivitas energi yang
berhubungan dengan semua sumber limbah padat, dan yang paling besar
kontribusinya adalah pengeboran tambang dan pertanian.
Hirarki penanganan limbah padat terdiri mengurangi jumlah limbah dan
tingkat toksisitasnya, menggunakan bahan kembali, mendaur ulang bahan,
mengomposkan, pembakaran dengan pemanfaatkan kembali energinya,
pembakaran tanpa pemanfaatan energi dan penimbunan limbah padat (USEPA
dalam Pitchel 2005).

Pengelolaan Sampah dari Segi Ekonomi


Pengertian sampah yang umum digunakan di Indonesia mengikuti konsep
dari Lembaga Penelitian Universitas Indonesia yakni sampah merupakan limbah
padat atau setengah padat yang berasal dari kegiatan manusia yang terdiri bahan
organik dan anorganik, dapat dibakar dan tidak dapat dibakar, yang tidak
termasuk kotoran manusia. Adapun menurut Ruzi (2001) menyatakan bahwa
37 
 

sampah intinya adalah benda sisa yang tidak dipakai dan harus dibuang. Menurut
sumbernya, sampah digolongkan ke dalam dua kelompok 1) sampah domestik,
yaitu sampah yang dihasilkan oleh kegiatan manusia sehari-hari secara langsung
dari rumah, pasar, sekolah, pemukiman, rumah sakit, pusat keramaian dan
sebagainya ; 2) sampah non domestik, yaitu sampah yang dihasilkan oleh kegiatan
sehari-hari secara tidak langsung seperti pabrik, industri, pertanian, peternakan,
perikanan, perhutanan dan transportasi (Suriawiria 2002).
Pengelolaan sampah menjadi bahan-bahan yang berguna dapat memberikan
keuntungan dalam peningkatan efisiensi produksi dan keuntungan ekonomi bagi
pengolah sampah, pengurangan biaya ke tempat pembuangan akhir (TPA) dan
biaya pembuangan akhir, penghematan sumberdaya alam dan lahan serta
pengurangan energi. Melalui konsep zero waste yang merupakan penerapan
prinsip 3R (reduce, reuse, dan recycle) pada sistem pengolahan dan teknologi
sampah perkotaan dalam skala kawasan terpadu, volume sampah diharapkan
berkurang dan pada akhirnya akan tercipta industri kecil daur ulang yang bisa
dikelola oleh masyarakat atau pemerintah daerah setempat yang disebut abatemen
cost.
Biaya untuk mengurangi jumlah pencemar menggunakan analisis ekonomi
pencemaran akan lebih mudah jika menggunakan pengukuran marjinal yaitu
marginal abatement cost (MAC). Marginal abatement cost menggambarkan
penambahan biaya akibat pengurangan satu unit pencemaran yang bisa dihemat
jika pencemaran diturunkan satu unit (Fauzi 2010).
Gambar 13 menunjukkan tingkat pencemaran yang efisien adalah tingkat
pencemaran dengan MAC sama dengan MD (marginal damage) yaitu pada
kondisi e* (tingkat pencemaran sama dengan tingkat kerusakan) dengan membaca
kurva dari arah kanan ke kiri, tampak bahwa biaya pengurangan marjinal (MAC)
akan meningkat seiring dengan pengurangan pencemaran. Cara untuk mengurangi
tingkat pencemaran dibutuhkan inovasi teknologi serta penggantian teknik
produksi yang relatif mahal (Fauzi 2010).

Gambar 13. Tingkat pencemaran yang efisien (Fauzi 2010)

Benefit atau manfaat yang dinilai dari evaluasi proyek pada umumnya lebih
bersifat social benefit daripada financial benefit dan sebaliknya dalam perhitungan

 
 
38 
 

studi kelayakan bisnis lebih menitikberatkan pada financial benefit daripada social
benefit. Menurut (Ibrahim 2009), manfaat atau benefit adalah sesuatu yang
dihasilkan oleh suatu kegiatan yang menggunakan sejumlah biaya. Manfaat
berdasarkan sifatnya dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1) Manfaat langsung (direct benefit), manfaat yang diterima sebagai akibat
adanya proyek, seperti nilai hasil barang atau jasa, perubahan bentuk,
turunnya biaya dan lain sebagainya.
2) Manfaat tidak langsung (indirect benefit), manfaat yang timbul sebagai
dampak yang bersifat multiplier effects dari proyek yang dibangun terhadap
kegiatan pembangunan lainnya.
3) Manfaat tidak kentara (Intangible benefits), manfaat dari pembangunan
proyek yang sulit diukur dalam bentuk uang, seperti perubahan pola pikir
masyarakat, perbaikan lingkungan, berkurangnya pengangguran, peningkatan
ketahanan nasional, kemantapan tingkat harga dan lain sebagainya.
Analisis biaya manfaat menurut Syamsuddin (2004) adalah suatu analisis
yang ditujukan untuk melihat besarnya biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat
yang akan diterima pada suatu kegiatan ekonomi. Pada dasarnya analisis biaya
manfaat merupakan suatu cara untuk menghitung manfaat-manfaat yang akan
didapatkan dan kerugian-kerugian yang harus ditanggung dari suatu kegiatan
ekonomi.
Suatu perhitungan dikatakan perhitungan privat atau analisis finansial, bila
yang berkepentingan langsung dalam manfaat dan biaya proyek adalah individu
atau pengusaha. Sebaliknya suatu perhitungan dikatakan perhitungan sosial atau
ekonomi. Bila yang berkepentingan langsung dalam manfaat dan biaya proyek
adalah pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini yang
dihitung adalah seluruh manfaat yang terjadi dalam masyarakat sebagai hasil dari
proyek dan semua biaya yang terpakai terlepas dari siapa saja yang menikmati
manfaat dan siapa yang mengorbankan sumber-sumber tersebut.
Menurut Mariyah (2010), perhitungan dalam analisis finansial dan ekonomi
berbeda menurut lima hal, yaitu :
1. Harga
Analisis privat menggunakan harga-harga pasar baik untuk sumber-sumber
yang dipergunakan dalam proses produksi maupun hasil-hasil produksi dari
proyek. Analisis ekonomi menggunakan shadow prices atau accounting prices,
yaitu harga-harga yang disesuaikan sedemikian rupa untuk menggambarkan nilai
ekonomi yang sebenarnya dari barang dan jasa tersebut.
2. Pajak
Pada analisis privat, pajak adalah biaya yang dibayarkan kepada instansi
pemerintah, sehingga pajak harus dikurangkan dari benefit. Sebaliknya, dalam
analisis ekonomi, pajak merupakan transfer, yaitu bagian dari benefit proyek yang
diserahkan kepada pemerintah, jadi tidak dikurangi dari dari benefit. Jadi dalam
analisis ekonomi, pajak tidak termasuk dalam sumber-sumber riil yang
penggunaannya dalam proyek menyebabkan timbulnya social opportunity cost
dari segi masyarakat.
39 
 

3. Subsidi
Pada analisis privat, penerimaan subsidi berarti pengurangan biaya yang
harus ditanggung oleh pemilik proyek. Oleh sebab itu, subsidi mengurangi biaya.
Dalam analisis ekonomi, subsidi dianggap sebagai sumber-sumber yang dialihkan
dari masyarakat untuk digunakan dalam proyek, sehingga subsidi yang diterima
proyek adalah beban masyarakat dan tidak mengurangi biaya proyek.
4. Biaya investasi dan pelunasan pinjaman
Pada analisis privat, yang tergolong biaya investasi pada tahap permulaan
proyek hanyalah yang dibiayai dengan modal saham dan penanam modal sendiri.
Bagian investasi yang dibiayai dengan modal pinjaman, baik dari dalam maupun
luar negeri, tidak dianggap sebagai biaya pada saat dikeluarkan, sebab
pengeluaran modal milik pihak lain tidak merupakan beban dari segi penanaman
modal swasta. Di lain pihak, yang menjadi beban dari segi penanaman modal
swasta adalah arus pelunasan pinjaman tersebut beserta bunga pada tahap
produksi. Pada analisis ekonomi, dengan satu pengecualian, seluruh biaya
investasi, apakah dibiayai dengan modal saham atau pinjaman, dianggap sebagai
biaya proyek pada saat dikeluarkan. Jadi pelunasan pinjaman yang digunakan
untuk membiayai sebagian investasi diabaikan dalam perhitungan biaya ekonomi,
demi menghindari perhitungan ganda (double-counting).
5. Bunga
Pada analisis finansial bunga atas pinjaman, dari dalam atau luar negeri
merupakan biaya proyek. Dalam analisis ekonomi, bunga atas pinjaman dalam
negeri tidak dimasukkan sebagai biaya karena modal tersebut dapat dianggap
sebagai modal masyarakat. Oleh sebab itu, bunganya pun dianggap sebagai bagian
dari benefit ekonomi. Pada analisis ekonomi, biaya yang dihitung adalah biaya
investasi pada waktu investasi itu dilaksanakan. Pembayaran bunga dari
pendapatan yang timbul karena adanya kegiatan operasi hanyalah merupakan
transfer payments dari satu pihak kepada pihak lain.

Analisis Kriteria Investasi

Perhitungan kriteria investasi erat hubungannya dengan studi kelayakan


bisnis yang memiliki tujuan untuk mengetahui sejauh mana gagasan usaha
(proyek) yang direncanakan dapat memberikan manfaat (benefit). Perkiraan
benefit (cash in flow) dan perkiraan cost (cash out flows) yang menggambarkan
tentang posisi keuangan di masa yang akan datang dapat digunakan sebagai alat
kontrol dalam pengendalian biaya untuk memudahkan dalam mencapai tujuan
usaha/proyek. Di lain pihak, dengan adanya hasil perhitungan kriteria investasi,
penanam modal dapat menggunakannya sebagai bahan pertimbangan dalam
mengambil keputusan. Apakah modal yang ditanam lebih baik pada proyek atau
lembaga keuangan seperti bank dan sebagainya.
Penentuan layak tidaknya suatu kegiatan investasi digunakan metode yang
umum dipakai yaitu metode discounted cash flow, suatu metode dengan seluruh
manfaat dan biaya untuk setiap tahun didiskonto dengan discount faktor (DF)
yang mempunyai rumus :
DF = 1/(1+i)i (1)

 
 
40 
 

i adalah discount rate (DR) atau tingkat diskonto yang ditentukan dan t adalah
tahun saat biaya dikeluarkan atau manfaat diterima. Penggunaan discount factor
erat kaitannya dengan preferensi waktu atas uang (time preference of money).
Sejumlah uang sekarang lebih disukai daripada sejumlah uang yang sama Pada
tahun (sekian waktu) mendatang. Jadi agar seluruh manfaat dan biaya dapat
dibandingkan, kedua komponen tersebut harus dinilai dengan nilai kini (present
value). Discount factor merupakan alat bantu untuk memperoleh nilai tersebut.

Net Present Value (NPV)

Net present value suatu proyek adalah selisish PV arus benefit dengan PV
arus biaya. Manfaat sekarang netto dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus
pendapatan yang ditimbulkan oleh penanaman investasi. Dalam analisa keuangan
finansial, nilai itu merupakan nilai sekarang dan arus tambahan pendapatan untuk
individu. Dalam analisa ekonomi, ukuran tersebut merupakan nilai sekarang dari
tambahan pendapatan nasional yang ditimbulkan dari hasil investasi (Ibrahim
2009).

IRR atau Internal Rate of Return

Tingkat pengembalian internal adalah tingkat bunga maksimum yang dapat


dibayar oleh proyek untuk sumber daya yang digunakan karena proyek
membutuhkan dana lagi untuk biaya-biaya operasi, investasi dan proyek baru
sampai pada tingkat pulang modal. Kriteria formal pemulihan ukuran tingkat
pengembalian internal dan manfaat proyek adalah menerima semua proyek yang
bebas dan mempunyai pengembalian internal sama dengan atau lebih besar dari
biaya oportunitas kapital (DR). Besaran yang dihasilkan dari perhitungan ini
adalah satuan persentase (%).

Net Benefit Cost Ratio(Net B/C)

Net benefit cost ratio merupakan angka perbandingan antara jumlah present
value yang positif (sebagai pembilang) dengan jumlah present value yang negatif
(sebagai penyebut). Perhitungan indeks ini terlebih dahulu dihitung (Bi –
Ci)/(1+i)i untuk setiap tahun t. Seperti dalam cara perhitungan IRR. Net B/C akan
terdapat apabila paling sedikit salah satu nilai Bi – Ci adalah negatif.

Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau

Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka (open space) adalah lahan tanpa atau dengan sedikit
bangunan dengan jarak bangunan yang saling berjauhan; ruang terbuka ini dapat
berupa pertamanan, tempat olahraga, tempat bermain anak, perkuburan, dan
daerah hijau pada umumnya. Selain itu Simonds (1983) mengemukakan bahwa
ruang terbuka memiliki kekuatan untuk membentuk karakter kota dan menjaga
keberlangsungan hidupnya.
41 
 

Ruang terbuka hijau, baik RTH publik maupun RTH privat, memiliki
fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis, dan fungsi tambahan (ekstrinsik)
yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi. Dalam suatu wilayah
perkotaan empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan,
kepentingan, dan keberlanjutan kota.
Ruang terbuka hijau berfungsi ekologis, yang menjamin keberlanjutan suatu
wilayah kota secara fisik, harus merupakan satu bentuk ruang terbuka hijau yang
berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti dalam suatu wilayah kota, seperti ruang
terbuka hijau untuk perlindungan sumberdaya penyangga kehidupan manusia dan
untuk membangun jejaring habitat kehidupan liar. Ruang terbuka hijau untuk
fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan ruang terbuka
hijau pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota
tersebut, sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingannya, seperti untuk keindahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur kota.
Permendagri No. 1 Tahun 2007 menyebutkan fungsi dan manfaat ruang
RTH kota yaitu: fungsi RTH kawasan perkotaan adalah:
1) Pengaman keberadaan kawasan lindung perkotaan;
2) Pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air, dan udara;
3) Tempat perlindungan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati;
4) Pengendali tata air; dan
5) Sarana estetika kota
Sementara manfaat RTH kawasan perkotaan adalah:
1) Sarana untuk mencerminkan identitas daerah;
2) Sarana penelitian;
3) Sarana rekreasi aktif dan pasif serta interaksi sosial;
4) Meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan;
5) Menumbuhkan rasa bangga dan meningkatkan prestasi daerah (Permendagri
No. 1 Tahun 2007).
Jalur hijau merupakan daerah hijau sekitar lingkungan pemukiman atau
sekitar kota, yang bertujuan mengendalikan pertumbuhan pembangunannya,
mencegah dua kota atau lebih menyatu, mempertahankan daerah hijau, rekreasi
ataupun daerah resapan hujan, di daerah ini tidak diperbolehkan ada bangunan
apapun
Salah satu bentuk jalur hijau adalah jalur hijau jalan. Beberapa struktur
pada jalur hijau jalan yaitu daerah sisi jalan, median jalan, maupun pulau lalu
lintas (traffic islands). Daerah sisi jalan adalah daerah yang berfungsi untuk
keselamatan dan kenyamanan pemakai jalan, lahan untuk pengembangan jalan,
kawasan penyangga, jalur hijau, tempat pembangunan fasilitas pelayanan dan
melindungi bentukan alam. Median jalan adalah suatu pemisah fisik jalur lalu
lintas yang berfungsi untuk menghilangkan konflik lalu lintas dari arah yang
berlawanan, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan keselamatan lalu lintas.
Pulau lalu lintas adalah bagian jalan yang tidak dapat dilalui oleh kendaraan, dapat
berupa marka jalan atau bagian jalan yang ditinggikan. Pulau lalu lintas berfungsi
untuk meningkatkan keselamatan lalu lintas pada ruas jalan ataupun di
persimpangan jalan melalui pemisahan arus.

 
 
42 
 

Keberadaan RTH diharapkan mampu memberikan citra kota yang asri,


nyaman, ekonomis dan berkelanjutan. Di sisi lain laju pertumbuhan ruang
terbangun di perkotaan cenderung semakin tinggi, sehingga mendorong alih
fungsi RTH menjadi lahan-lahan permukiman, perdagangan, jasa dan industri.
Kebijakan alokasi RTH sebesar 30 % (20 % RTH publik dan 10 % RTH privat)
dari total luas kota, seperti yang diisyaratkan undang-undang Penataan Ruang
(UUPR) Nomor 26 Tahun 2007 merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan
oleh pemerintah kota. Tantangan rencana tata ruang wilayah kota (RT/RW) dalam
tempo tiga tahun sejak diberlakukan UUPR tersebut sekarang sudah terlampaui,
tetapi banyak kota yang belum dapat memenuhi tuntutan UUPR tersebut. Oleh
sebab itu perlu peningkatan peran serta para pemangku kepentingan dan seluruh
elemen masyarakat dalam pengelolaan RTH tersebut.

Life Cycle Assessment (LCA)

Life cycle assessment (LCA) adalah salah satu teknik yang dikembangkan
untuk lebih memahami dan menangani dampak dari produk, baik saat diproduksi
maupun dikonsumsi, termasuk dampak yang mungkin terkait dengannya. ISO-
14040 juga secara jelas menunjukkan empat tahap untuk melakukan LCA. “tujuan
dan definisi ruang lingkup”, “analisis persediaan”, “penilaian dampak” dan
“intrepertasi”

Gambar 14 Tahapan-tahapan LCA

Tahapan dalam Melakukan Pendekatan Life Cycle Assessment (LCA)

Pada metode pendekatan life cycle assessment terdapat beberapa tahapan


yang harus dilakukan meliputi mendefinisikan tujuan dan ruang lingkup, ekstraksi
inventory dan emisi, penentuan dampak dan penentuan perbaikan.

Definisi Tujuan dan Ruang Lingkup

Tahapan ini merupakan petunjuk yang dapat membantu konsistensi dari


penelitian LCA. Tujuan menunjukkan alasan dari dilakukannya penelitian dan
siapa pembaca dari penelitian tersebut. Ruang lingkup yang dideskripsikan
43 
 

meliputi tujuan penelitian yang ingin dicapai, batasan-batasan fungsi dari sistem
yang diamati, penentuan produk, proses atau aktivitas yang diteliti, penentuan
parameter-parameter, pengukuran, pendekatan alokasi, data yang diperlukan dan
tipe pelaporan. Ruang lingkup pelaksanaan LCA harus ditentukan secara
jelas karena akan sangat menentukan bagaimana LCA akan dilaksanakan.
Dalam menentukan ruang lingkup pada life cycle assessment terdapat beberapa
bagian antara lain:
 Cradle to grave, pada bagian ini ruang lingkup dimulai dari raw material
sampai proses operasi produk.
 Cradle to gate, pada bagian ini ruang lingkup dimulai dari raw material
sampai ke gate sebelum proses operasi
 Gate to gate, pada ruang lingkup ini merupakan siklus terpendek karena hanya
meninjau kegiatan yang terdekat
 Gate to grave, pada ruang lingkup ini dimulai dari raw material sampai pada
daur ulang material.

Ekstraksi Inventory dan Emisi (LCI)

Tujuan dari inventory adalah untuk menunjukkan pengaruh lingkungan


per bagian dari life cycle. LCI baik digunakan dalam pencarian area yang
memiliki kesempatan besar untuk melakukan perbaikan kualitas lingkungan
melalui konservasi sumber daya dan pengurangan emisi. Pada tahap ini dibuat
model yang dapat menggambarkan input dan output sistem melalui fase produksi,
transportasi, penggunaan dan disposal. Hasil dari tahapan ini nantinya dapat
digambarkan dalam sebuah flow sheet atau process tree. Pada tahapan ini
merupakan tahapan yang paling intensif dan membutuhkan waktu lebih karena
pengumpulan data. Pengumpulan data dapat memakan waktu yang tidak banyak
jika database yang tersedia baik.

Penentuan Dampak (Life Cycle Impact Assessment)

Pada tahapan ini dilakukan pengelompokan dan penilaian mengenai efek


yang ditimbulkan terhadap lingkungan berdasarkan data-data yang diperoleh pada
tahapan LCI (life cycle impact assessment). Pada tahapan ini terdiri dari tiga
langkah utama yaitu characterization, normalization, wieghting. Karakterisasi
menyediakan cara untuk membandingkan secara langsung hasil LCI dalam tiap
kategori. Faktor karakterisasi sering disebut sebagai faktor kesetaraan.
Normalisasi memiliki tujuan untuk memberikan besaran relatif dari dampak
potensial dan konsumsi/ penggunaan sumber daya, selain itu juga untuk
menyajikan hasil dalam bentuk yang sesuai untuk bobot akhir dan pengambilan
keputusan. Tahapan normalisasi dapat dihitung dengan membagi hasil
karakterisasi dengan nilai normalisasi. Pada tahap perbandingan berbagai potensi
dampak lingkungan, penilaian harus dibuat dengan kategori relatif terhadap satu
sama lain. Hal ini dapat dilakukan dengan weighting/ pembobotan. Pembobotan
dapat dilakukan dengan mengalikan hasil normalisasi atau dampak normalisasi
nilai potensial oleh faktor bobot. Setelah langkah pembobotan, semua potensi
dampak lingkungan dikonversi ke single score/nilai tunggal.

 
 
44 
 

Penentuan Perbaikan

Penentuan perbaikan merupakan tahapan intepretasi dari keseluruhan tahap


sebelumnya. Intepretasi ini nantinya akan mengarah pada perbaikan untuk
menurunkan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari sistem, produk atau
proses yang diamati. Pada tahapan ini hasil dari fase LCA sebelumnya
dibandingkan dengan tujuan penelitian yang disebutkan pada definisi tujuan dan
ruang lingkup.
Didalam melakukan interpretasi untuk menentukan isu-isu penting
lingkungan, metode analisis yang dapat dilakukan adalah dengan metode
pendekatan analisis kontribusi yang bertujuan untuk mengidentifikasi data yang
memiliki kontribusi terbesar terhadap hasil dampak. Disamping itu pula dipakai
metode analisis perbaikan hasil.
3 METODE PENELITIAN

Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian

Lokasi pengambilan sampah buah bintaro dilakukan di Jl. Kol Achmad


Syam dan Jl. Destrata, Kecamatan Bogor Utara. Serangkaian penelitian ini
dilaksanakan sejak bulan Desember 2014 sampai Juni 2015 yang dibagi ke dalam
dua fase. Fase pertama adalah kegiatan yang meliputi proses pengarangan,
pembuatan arang aktif, dan analisis kualitas mutu produk yang dihasilkan serta
karakterisasi asap cair yang diselesaikan dalam waktu tiga bulan. Fase kedua
adalah aplikasi arang aktif dari sampah buah bintaro untuk limbah logam berat
krom dari laboratorium, dan aplikasi asap cair terhadap kayu pinus untuk
pengujian antirayap tanah. Fase kedua dilaksanakan selama 3 bulan.
Kegiatan di laboratorium dilaksanakan di beberapa laboratorium yang terdiri
dari 1) Laboratorium Kimia Kayu dan Energy Biomassa Puslitbang Hasil Hutan,
Bogor dilakukan proses pengarangan, analisis kualitas mutu arang, arang aktif,
dan karakterisasi arang serta arang aktif, 2) Laboratorium Uji dan Kompetensi
Politeknik AKA Bogor untuk dilakukan aplikasi arang aktif dari sampah buah
bintaro dan untuk mengolah limbah logam berat krom dari laboratorium serta
karakterisasi asap cair, terakhir 3) Laboratorium Kimia Hasil Hutan IPB untuk
pengujian antirayap asap cair.
Bahan dan Alat

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dirinci menurut tahapan


percobaan yang terdiri dari bahan untuk pengarangan, arang aktif dan asap cair.
Adapun bahan untuk tahapan percobaan meliputi :

Bahan Pengarangan

Bahan baku arang dan asap cair adalah sampah buah bintaro yang sudah tua
yang terdiri dari 80 % lapisan mesokarp (tempurung dan serabut) dan lapisan
epikarp (5 %) yang diperoleh dari jalur hijau di Jalan Kol. Achmad Syam dan
Destrata, Bogor. Proses kondensasi digunakan air dari PDAM Tirta Pakuan,
Bogor. Bahan untuk karakterisasi asap cair yaitu fenol, aminoantipirin, kalium
ferisianida, buffer fosfat, NaOH 0.1N, aquadest larutan NH4OH 0.5N, dan
indikator PP.

Bahan Pembuatan Arang Aktif

Bahan utama yang digunakan adalah arang hasil pengarangan sampah buah
bintaro. Bahan kimia yang digunakan sebagai aktivator antara lain : uap H2O,
larutan KOH dengan konsentrasi 5 %, 10 %, larutan H3PO4 dengan konsentrasi
5 %; 10 %; 20 %; 40 %; 60 %; dan 80 %, larutan iod 0.1N, serbuk K2Cr2O7,
larutan Na2S2O3 0.1N, larutan kanji 1 %, larutan H2SO4 4N, serta larutan KI 10 %.
46 
 

Bahan Pengujian Antirayap

Bahan utama yang digunakan adalah asap cair, hasil samping proses
pengarangan sampah buah bintaro. Kayu pinus ukuran 2.5 cm x 2.5 cm x 0.5 cm.
Pada uji toksikologi digunakan rayap tanah Coptotermer curvignathus Holmgren
(150 ekor rayap pekerja dan 15 ekor rayap prajurit). Bahan lain yang diperlukan
adalah pelarut alkohol dan aquadest.

Bahan Aplikasi Arang Aktif

Bahan utama adalah arang aktif dari sampah buah bintaro, limbah logam
berat krom dari Laboratorium Terapan Politeknik AKA Bogor. Pereaksi COD,
pereaksi BOD, dan pereaksi krom.

Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, dirinci sesuai dengan


tahapan pelaksanaan. Tahapan alat yang digunakan meliputi:

Peralatan Pengarangan

Proses pengarangan sampah buah bintaro digunakan peralatan seperti yang


ditunjukkan pada Gambar 15. Komponen peralatan tersebut terdiri atas: klin yang
terbuat dari baja tahan karat yang dilengkapi dengan alat pemanas listrik, tiga
kondesor dan dua buah labu penampung destilat.

Gambar 15 Peralatan pengarangan dan pembuatan asap cair

Peralatan untuk Karakterisasi Arang

Peralatan yang digunakan adalah neraca analitik, oven, cawan porselin,


desikator, tanur, perangkat titrasi, dan peralatan gelas yang umum terdapat di
laboratorium kimia. Adapun peralatan utama yang digunakan adalah
spektrofotometer FTIR merk Bruker model alpha platinum ATR XRD merk
Shimadzu model XD-DI dengan sumber radiasi tembaga dan SEM merk JEOL
JSM-6360LA.
47 
 

Peralatan untuk Karakterisasi Asap Cair


Peralatan utama yang digunakan adalah GCMS merk Shimadzu QP2010,
evaporator, neraca analitik dan pH meter merk WTW. Peralatan gelas seperti
erlenmeyer asah, botol piknometer, perangkat titrasi dan peralatan gelas
lainnya.
Peralatan Pengujian Antirayap
Peralatan yang digunakan pada pengujian asap cair terhadap rayap tanah
Coptotermes curvignathus Holmgren antara lain berupa alat-alat gelas yang umum
terdapat di laboratorium kimia, neraca analitik, pipet mikro, gelas ukur, dan gelas
piala. Peralatan lainnya seperti pinset, spidol, gunting, gergaji, penggaris,
alumunium foil, tisu basah, kain warna hitam, kain kasa, jaring plastik, dental
cement, dan wadah uji dari paralon.

Peralatan Pembuatan Arang Aktif


Peralatan utama untuk pembuatan arang aktif digunakan retort listrik seperti
pada Gambar 16. Komponen peralatan tersebut terdiri atas:
1. Retort yang terbuat dari baja antikarat dengan ukuran panjang 100 cm dan
diameter 5 cm, yang dililit dengan elemen kawat nikel sebagai pemanas
2. Termokopel disediakan dua buah untuk mengendalikan suhu aktivasi
3. Ketel yang juga terbuat dari baja antikarat sebagai pemasok uap yang berasal
dari bahan pengaktif yang digunakan
4. Kondensor yang terbuat dari kaca sebagai pendingin, dan
5. Labu boiler yang terbuat dari kaca pyrex untuk menampung destilat

Gambar 16 Retort pembuatan arang aktif


Peralatan yang digunakan dalam karakterisasi arang aktif sama dengan yang
digunakan dalam pembuatan arang. Perbedaannya hanya pada sampel yang
dianalisis.
Peralatan Aplikasi Arang Aktif untuk Menguji Kualitas Limbah Cair
Peralatan yang digunakan terdiri dari peralatan utama seperti
spektrofotometer UV-VIS merk Genesis, reaktor COD, inkubator, pHmeter merk
WTW, Multiparameter merk AGILENT, turbidimeter, neraca analitik, dan
peralatan pendukung. Peralatan pendukung terdiri dari perangkat titrasi, botol

 
 
48 
 

semprot, peralatan gelas seperti gelas piala, gelas ukur, pipet volume, erlenmeyer,
dan pipet mohr.
Metode Analisis

Metode analisis adalah metode yang digunakan untuk menganalisis


komponen sampah buah bintaro menjadi arang aktif pengolah limbah cair krom
dan asap cair antirayap. Penelitian ini dibagi menjadi dua sub penelltian, yaitu
penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Diagram alir penelitian pendahuluan
digambarkan pada Gambar 17.

Lapisan mesokarp dan epikarp buah


bintaro

Pengarangan/Pirolisis suhu 300 oC, 400 oC,


dan 500 oC

Arang Asap

Seleksi arang terbaik (kadar abu, kadar air, Kondensasi (suhu 80


kadar karbon terikat, kadar zat terbang, daya
serap iod, SEM , FTIR dan XRD)
Asap Cair
Aktivasi suhu 650 oC, t = 60
dan 90 menit
Karakterisasi asap cair
karakterisasi arang aktif kadar abu, kadar (kadar fenol, pH, berat
air, kadar karbon terikat, kadar zat terbang, jenis, asiditas, rendemen,
daya serap iod, SEM, FTIR dan XRD dan GCMS)

Aplikasi asap cair sebagai


Aplikasi arang aktif pada limbah antirayap tanah pada kayu

Analisis limbah cair logam berat


krom dari laboratorium (pH,
BOD,COD, DHL, TDS, Krom)

Gambar 17 Diagram alir penelitian pendahuluan


Pengarangan

Buah bintaro sebelum dibuat arang aktif dikarakterisasi terlebih dahulu


dengan analisis yang meliputi kadar air, kadar abu, zat terbang, dan karbon terikat.
Selanjutnya juga dilakukan analisis gugus fungsi cangkang buah bintaro dengan
FTIR, dan struktur kristal serbuk buah bintaro dengan XRD. Sebelum dipirolisis,
buah bintaro dibelah dan dipisahkan bijinya. Adapun kulit, tempurung dan serabut
atau lapisan epikarp dan mesokarp dipotong-potong sampai berukuran kira-kira 5-
49 
 

6 cm dan dikeringkan di bawah sinar matahari. Cangkang buah bintaro


dimasukkan ke dalam reaktor pirolisis. Setiap kali pembakaran dimasukkan
sekitar 700 gr cangkang buah bintaro. Suhu pembakaran yang digunakan adalah 0
o
C, 100 oC, 200 oC, 250 oC, 300 oC, 350 oC 400 oC, 450 oC dan 500 oC. Suhu ini
dinaikkan secara perlahan-lahan dalam waktu lima jam, pengarangan ini bertujuan
untuk mendapatkan suhu pengarangan yang optimum. Tungku pembakaran atau
reaktor pirolisis yang dilengkapi besi penghubung thermostat ke dalam reaktor
dinyalakan dan diamati peningkatan suhu reaktor dan keluarnya asap cair. Jika
asap yang keluar ke udara masih banyak, maka diberi bambu penghubung yang
relatif basah di mulut cerobong agar kondensasi lebih sempurna.
Kondensasi bertujuan mengurangi pencemaran udara oleh asap pembakaran.
Asap cair hasil kondensasi dialirkan melalui bagian bawah reaktor pirolisis ke
alat pendingin, kemudian destilat ditampung dalam dua buah labu destilat dengan
volume dua liter. Proses pirolisis berlangsung selama lima jam. Setelah itu reaktor
pirolisis dimatikan dan dibiarkan dingin selama 24 jam. Destilat dikumpulkan
dalam labu pemisah tadi dikocok dan dibiarkan untuk mengendapkan ter.
Selanjutnya asap cair yang diperoleh dihitung rendemennya dan dikarakterisasi
yang meliputi pengukuran pH, berat jenis, asiditas, total fenol dan diidentifikasi
senyawa kimia didalamnya dengan teknik Gas Chromatography Mass
Spectroscopy (GCMS).
Arang yang dihasilkan ditimbang dengan teliti untuk menghitung
rendemennya dan dikarakterisasi seperti yang dilakukan terhadap bahan bakunya.
Hasil karakterisasi arang yang diperoleh dibandingkan mutunya dengan SNI 01-
1682-1996 tentang syarat mutu arang tempurung kelapa.

Karakterisasi Gugus Fungsi , Topografi dan Pola Struktur Arang

Arang yang dihasilkan diidentifikasi gugus fungsi, topografi permukaan dan


pola struktur arang dengan menggunakan alat-alat sebagai berikut :
(1) Spektrofotometer Inframerah untuk mengetahui perubahan gugus fungsi akibat
kenaikan suhu karbonisasi. Analisis ini dilakukan dengan cara mencampur contoh
dengan KBr menjadi bentuk pelet, yang selanjutnya diukur serapannya pada
bilangan gelombang 600 – 4000 cm-1.
(2) Scanning Electron Microscope (SEM) untuk mengetahui topografi permukaan
arang aktif dan ukuran pori. Pengukuran mengikuti metode Smisek dan Cerny
(1970) dalam Pari (2004) dan Kim et al. (2001) yang dilakukan dengan cara
melapisi sampel dengan platina. Sampel dimasukkan ke alat SEM kemudian
diambil gambar permukaan dari arang tersebut.
(3) XRD untuk mengetahui derajat kristalinitas, tinggi, lebar, jarak dan jumlah
lapisan aromatik dilakukan dengan cara menginterpretasi pola difraksi dari
hamburan sinar X pada sampel. Penetapan derajat kristalinitas, tinggi (Lc), lebar
(La), jarak (d) dan jumlah lapisan (N) aromatik (Gambar 18). Analisis XRD
dilakukan menurut Kercher (2003) dalam Pari (2004) dengan perhitungan sebagai
berikut :
Bagian kristalin
Derajat kristalinitas (X) = x 100 %
Bagian kristalin + bagian amorf

 
 
50 
 

Jarak antar lapisan aromatik (d002) = 2 d sin α


Tinggi lapisan aromatik (Lc) pada ʎ 24-25: Lc(002) = K ʎ / ß cos α
Lebar lapisan aromatik (La) pada ʎ 43: La(100) = K ʎ / ß cos α
Jumlah lapisan aromatik (N): N = Lc / d
ʎ = 0,15406 nm (panjang gelombang dari radiasi sinar Cu)
ß = intensitas ½ tinggi dan lebar intensitas difraksi (radian α)
K = tetapan untuk lembaran graphene (0,89)
α = sudut difraksi
X = derajat kristalinitas

Gambar 18 Skema tinggi lapisan (Lc), jumlah lapisan (N) dan lebar lapisan (La)
aromatik

Persiapan Sampel dan Prosedur Analisis Proksimat Arang


Arang buah bintaro ditumbuk dengan menggunakan lumpang, kemudian
serbuk diayak dengan ayakan berukuran 100 mesh. Selanjutnya dikarakterisasi
yang meliputi rendemen, kadar air, zat terbang, kadar abu, karbon terikat dan daya
serap iod. 

1. Penetapan Rendemen (ASTM D2867-99)


Arang dan arang aktif yang diperoleh terlebih dahulu dibersihkan, kemudian
ditimbang. Perbandingan yang dihitung adalah perbandingan bobot bahan baku
sebelum dan setelah aktivasi. 

Berat arang atau arang aktif


Rendemen ( %) = x 100 %
Berat bahan baku
2. Penetapan Kadar Air (SNI-01-1682-1996. Butir 5.2)
Sampel sebanyak 2 gram (bobot kering udara) dimasukkan ke dalam cawan
porselin yang telah diketahui bobot keringnya, kemudian dimasukkan ke dalam
oven pada suhu 105 °C selama tiga jam. Setelah itu, didinginkan dalam eksikator
dan selanjutnya ditimbang sampai bobotnya tetap.
Berat sampel (sebelum – sesudah) dikeringkan
Kadar air (%) = x 100 %
Berat sampel awal
51 
 

3. Penetapan Zat Terbang (SNI-01-1682-1996. Butir 5.1)


Sampel kering sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam cawan porselin yang
telah diketahui bobot keringnya, kemudian sampel dipanaskan dalam tanur pada
suhu 950 °C selama 10 menit. Selanjutnya cawan didinginkan dalam desikator
selama 1 jam dan ditimbang. Cawan ditutup serapat mungkin (bila perlu diikat
dengan kawat) selama pemanasan dan pembakaran sampel harus dihindari. Jika
sampel terbakar maka pengerjaan diulang.

Berat sampel yang hilang


Kadar Zat Terbang (%) = x 100 %
Berat sampel awal
4. Penetapan Kadar Abu (SNI-01-1682-1996. Butir 5.3)
Sampel sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah
diketahui bobot keringnya, kemudian ditempatkan dalam tanur listrik pada suhu
750 °C selama enam jam. Setelah itu didinginkan dalam desikator selama satu jam
dan selanjutnya ditimbang hingga bobotnya tetap.
Berat sampel setalah pembakaran di tanur
Kadar Abu (%) = x 100 %
Berat sampel awal
5. Penetapan Kadar Karbon Terikat (SNI-01-3730-1995. Butir 5.6)
Karbon dalam arang adalah zat yang terdapat pada fraksi padat hasil
pirolisis selain abu (zat anorganik) dan zat- zat atsiri yang masih terdapat pada
pori-pori arang. Rumus untuk penetapan kadar karbon terikat adalah sebagai
berikut:
Kadar Karbon Terikat (%) = 100 % - (kadar abu + kadar zat terbang)

6. Penetapan Daya Serap terhadap Iod (SNI-01-3730-1995. Butir 5.5)


Sampel kering sebanyak 0.2 gram dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250
mL. Larutan iod 0.1 N ditambahkan ke dalam erlenmeyer dan dikocok selama 25
menit pada suhu kamar, larutan langsung disaring. Selanjutnya 10 mL sampel
diambil dan dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0.1 N sampai didapatkan larutan
berwarna kuning muda lalu ditambahkan beberapa tetes larutan kanji 1 % sebagai
indikator. Titrasi dilakukan kembali sampai warna biru tepat hilang.

[10 – (mL x N Na2S2O3)] x 126.93 x fp


Daya serap iod (mg/g) =
Bobot sampel (dalam gram)

Prosedur Karakterisasi Asap Cair

Asap cair yang telah ditampung dalam labu destilat dimurnikan terlebih
dahulu dengan cara didestilasi. Asap cair dimasukkan sebanyak 200 ml ke dalam

 
 
52 
 

labu destilasi, dipanaskan menggunakan pemanas listrik. Proses distilasi ini


dilakukan untuk mengambil seluruh fraksi asap cair dan diatur pada berbagai suhu
dan dilakukan hingga suhu maksimum yaitu 90 oC. Suhu yang dimaksud adalah
suhu asap cair dalam labu destilasi. Uap yang terbentuk lalu dimasukan ke dalam
pipa pendingin balik (condensor) dan destilat ditampung dalam sebuah wadah
atau labu seperti yang tertera pada Gambar 19. Asap cair yang telah dimurnikan,
selanjutnya dikarakterisasi yang meliputi rendemen, nilai pH, spesific gravity
(spgr) atau berat jenis, total asiditas, dan kadar fenolnya.

Gambar 19 Proses pemurnian asap cair


1. Rendemen (ASTM D7579-09)
Botol berwarna gelap yang bersih ditimbang dengan teliti, lalu diisi asap
cair, kemudian botol yang berisi asap cair ditimbang lagi. Selanjutnya ditentukan
rendemennya dengan rumus sebagai berikut:
Bobot asap cair
Rendemen ( % b/b ) = x 100 %
Bobot bahan baku
2. Nilai Derajat Keasaman (pH) (SNI 06-6989-11-2004)
Derajat keasaman pH) diukur dengan menggunakan pHmeter. Alat pHmeter
harus dikalibrasi terlebih dahulu sebelum digunakan. Pada pH meter dipasang
elektroda gelas kemudian dicelupkan ke dalam larutan penyangga yang mendekati
pH larutan penyangga. Selanjutnya dibersihkan elektroda dengan air suling,
kemudian dicelupkan ke dalam sampel asap cair yang akan diperiksa. Derajat
keasaman (pH) dapat langsung dibaca dari skala atau digital alat pHmeter.
3. Kadar Fenol (SNI 06-6989.21-2004)
Sebanyak 25 mL sampel asap cair yang telah didestilasi dimasukkan ke
dalam gelas piala secara duplo, kemudian ditambahkan 0.25 mL larutan NH4OH
0.5 N. Larutan tersebut diatur pH-nya menjadi 7.9±0.1 dengan larutan penyangga
fosfat. Campuran larutan ditambahkan 0.1 mL larutan 4-aminoantipirin 2 %
sambil diaduk dan ditambahkan 0.1 mL larutan kalium ferisianida 8 % sambil
53 
 

diaduk, kemudian didiamkan selama 15 menit. Dibuat juga blangko yang berisi
air suling dan pereaksi. Campuran larutan tersebut diukur absorbansinya pada
panjang gelombang 510 nm.
4. Spesific Gravity (spgr) atau Berat Jenis (ASTM D445-1997)
Piknometer yang sudah ditimbang, dibersihkan dan dikeringkan dengan
benar dan dicatat bobotnya. Air aquades dimasukkan ke dalam piknometer yang
sudah dikeringkan. Selanjutnya piknometer ditimbang dan dicatat bobotnya.
Piknometer dibersihkan dan dikeringkan kembali, kemudian piknometer
ditimbang dan dicatat bobotnya. Asap cair diisikan ke dalam piknometer,
kemudian ditimbang dan dicatat bobotnya.
Bobot asap cair + bobot kosong piknometer) - Bobot kosong piknometer
Spgr =
(Bobot air + bobot kosong piknometer) – Bobot kosong piknometer
5. Total Asiditas (Y) (SNI 06-6989.1-2004)
Sebanyak 5 ml asap cair dicampurkan dengan aquades 50 ml dan dikocok
sampai homogen, kemudian 3 tetes indikator pp ditambahkan. Selanjutnya larutan
dititrasi dengan NaOH 0.1 N sampai terbentuk warna merah lembayung. Total
asiditas dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Jumlah ml titran x N NaOH x BM Asam asetat x 100
Y=
Volume sampel (ml) x 1000

Prosedur Pengujian Antirayap

Identifikasi Komponen Asap Cair


Asap cair yang dihasilkan selanjutnya diidentifikasi komponen-komponen
kimianya dengan menggunakan GCMS untuk mengetahui senyawa aktif di dalam
asap cair seperti fenol. Senyawa fenol berfungsi sebagai bakterisida sehingga
dapat menghambat aktivitas mikrorganisme (Darmadji 2002). Komponen-
komponen kimia asap cair memiliki senyawa toksik yang didefinisikan sebagai
efek beracun yang ditimbulkan oleh suatu zat pada organisme yang menjadi
sasaran informasi yang dapat dipergunakan untuk mengetahui kemampuan asap
cair dalam menghambat perkembangan hama perusak kayu.
Preparasi Sampel (Analisis GCMS)
Asap cair sebanyak 30 ml dimasukkan dalam labu terpisah, kemudian
ditambahkan 10 ml dichlomethane lalu dikocok sebentar. Sampel didiamkan
selama satu jam dan diambil fraksi bagian bawah ke dalam Erlenmeyer. Sampel
ditambahkan lagi 10 ml dichlomethane, lalu dikocok dan didiamkan selama satu
jam. Selanjutnya diambil fraksi bagian bawah dan ditambahkan dengan yang
pertama. Terakhir sampel yang telah diekstraksi disaring dengan kertas Whatman
42 dan ditambahkan Na2SO4, kemudian hasil saringan siap diinjeksikan.

 
 
54 
 

Kondisi Pengoperasian GCMS (QP2010)

GCMS-QP2010 dioptimalkan pada suhu 100 oC yang dipertahankan selama


dua menit, suhu kemudian ditingkatkan menjadi 200 oC dengan kenaikan 30
o
C/menit dan dipertahankan selama dua menit, suhu ditingkatkan lagi menjadi 300
o
C dengan kenaikan suhu 20 oC/menit dan dipertahankan selama 20 menit. Suhu
pada sumber ion diset pada 230 oC sedangkan suhu injeksi diset pada tekanan gas
75 KPa. Sampel diinjeksikan dalam kromatografi gas sebanyak 1 µL, dianalisis
dari berat molekul 50 sampai 500 dalam waktu tiga sampai 32.33 menit.
(Modifikasi dari Guilen dan Ibargoita 1999).

Pengujian Antirayap Asap Cair

Pengujian antirayap asap cair bertujuan untuk menelusuri aktivitas biologi


asap cair sebagai pengawet kayu pinus dari serangan rayap tanah. Sampel uji kayu
pinus dipilih secara acak masing-masing berukuran 2.5 cm x 2.5 cm x 0.5 cm
dengan ulangan pengujian sebanyak tiga kali. Sampel uji kayu diovenkan selama
48 jam dengan suhu 60±2 oC untuk mendapatkan nilai berat kayu sebelum
pengujian (W1). Wadah uji berupa paralon dengan dasar dental cement dan
disterilisasi dengan alkohol. Sampel uji dimasukkan ke dalam wadah uji, di atas
dudukan dental cement yang telah diberi jaring plastik. Ke dalam wadah sampel
uji paralon dimasukkan 150 ekor rayap tanah dari kasta pekerja dan 15 ekor kasta
prajurit. Selanjutnya wadah uji ditutup dengan menggunakan alumunium foil,
diletakkan dalam bak penyimpanan yang telah diberi tisu basah basah, kemudian
ditutup dengan kain warna hitam dan ditempatkan di tempat gelap pada suhu 28
±2 oC. Setelah tiga minggu, wadah uji paralon dibuka dan dilakukan penghitungan
mortalitas rayap. Selanjutnya sampel uji kayu dicuci, dioven selama 48 jam
dengan suhu 60±2 oC dan ditimbang (W2) untuk mengetahui kehilangan berat
kayu yang diuji (Gambar 20).
Sampel uji antirayap tersebut juga dibuat perlakuan pengawetan kayu
dengan cara dicampur dengan asap cair yang dibuat pada suhu 300 oC; 400 oC dan
500 oC. Selain itu ada kontrol tanpa perlakuan untuk mengetahui respon bahan
pengawet. Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali. Larutan
bahan pengawet (asap cair) yang telah disiapkan digunakan untuk merendam
sampel uji kayu pinus sebanyak 12 buah.

Gambar 20 Pengujian keawetan kayu terhadap serangan rayap tanah berdasarkan


Standar JIS K 1571-2004
55 
 

Uji efikasi bahan pengawet asap cair merupakan salah satu upaya
mengetahui keefektifan bahan pengawet dari serangan rayap tanah. Pengujian
tersebut memberikan gambaran reaksi hama perusak kayu terhadap bahan
pengawet yang diuji. Prinsip kerja bahan pengawet adalah merusak bagian dalam
tubuh serangga setelah masuk melalui mulut, menembus dinding pencernaan,
menghambat kerja enzim dan terganggunya proses metabolisme protozoa yang
hidup pada usus belakang rayap, selanjutnya rayap akan mengalami kematian.
Kematian diduga karena adanya senyawa beracun dalam asap cair tersebut.
Diagram alir pengujian antirayap seperti yang digambarkan pada Gambar 21.

Sampel uji kayu pinus 2.5


cm x 2.5 cm x 0.5 cm

Pengawetan asap cair:


300 oC, 400 oC dan 500 oC

Perendaman sampel

Penirisan suhu ruang

Penimbangan

Uji efikasi Pemasukan


rayap tanah
Pemasukan sampel
uji ke dalam botol
Penutupan
Inkubasi (3 minggu)

Pengukuran dan pengamatan


kematian rayap,kehilangan berat
kayu, dan kelas awet kayu

Gambar 21 Diagram alir tahapan pengujian antirayap

Setiap minggu aktivitas rayap dalam botol diamati dan dicatat kemudian
disimpan ditempat yang gelap dengan temperatur 28±2 oC selama tiga minggu.
Setelah dilakukan pemaparan pada rayap, pengukuran dilakukan dengan cara
menimbang sampel uji untuk melihat kehilangan berat kayu. Pengukuran
kehilangan berat kayu dihitung berdasarkan selisih berat sampel uji sebelum dan
sesudah akhir pengujian. Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap kelas
awet kayu.

 
 
56 
 

Karakterisasi Uji Antirayap (JIS K 1571-2004)

1. Kehilangan Berat Kayu (Wood Weight lost)


Kehilangan berat kayu diukur berdasarkan selisih berat masing-masing
sampel uji sebelum dan sesudah dilakukan pengujian dengan asap cair. Nilai
kehilangan berat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Berat (sebelum – sesudah) pengujian
Wood Weight lost (%) = x 100 %
Berat sebelum pengujian
2. Kematian Rayap (Mortalitas)
Kematian rayap dihitung pada saat akhir pemaparan setelah hari ke-21.
Mortalitas rayap dihitung berdasarkan jumlah rayap yang mati pada masa
pemaparan dibagi dengan jumlah rayap awal dengan menggunakan rumus :
Jumlah rayap mati pada masa pemaparan
Mortalitas (%) = x 100 %
Jumlah rayap awal

3. Kelas Awet Kayu


Penentuan kelas awet setiap sampel uji berdasarkan pada klasifikasi
ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah. Penggolongan kelas didasarkan
pada penurunan berat kayu.

Pembuatan Arang Aktif

Pada pembuatan arang aktif terbagi menjadi dua percobaan yaitu percobaan
pendahuluan dan pencobaan utama. Rincian dari percobaan tersebut adalah
sebagai berikut :
Percobaan Pendahuluan
Setelah arang keluar dari reaktor pirolisis dilakukan tiga jenis perlakuan
aktivasi seperti yang tertera dalam Tabel 12.
1. Aktivasi dengan Uap H2O
Arang masing-masing ditimbang sebanyak 70 gram lalu masing-masing
dibungkus dengan kawat kasa nikel, kemudian dimasukkan ke dalam retort. Arang
kemudian dialiri uap H2O secara kontinyu sambil dipanaskan. Percobaan ini
diulangi sebanyak dua kali sesuai perlakuan di dalam Tabel 12.
2. Aktivasi dengan Larutan KOH
Arang masing-masing ditimbang 70 gram sebanyak empat kali. Satu bagian
arang direndam dengan larutan KOH 5 %. Satu bagian arang yang lain direndam
dalam larutan KOH 10 %. Perendaman dengan KOH dilakukan selama 24 jam.
57 
 

Setelah itu dicuci dengan air sampai bersih dan dikeringkan di udara terbuka.
Percobaan ini diulang sebanyak dua kali sesuai dengan rancangan di Tabel 12.
Setelah itu dipanaskan di dalam retort selama 60 dan 90 menit pada suhu 650 oC.
Percobaan ini diulang sebanyak dua kali sesuai dengan rancangan di Tabel 12.

Tabel 12 Kombinasi perlakuan arang aktif di percobaan pendahuluan


Perlakuan
Kode Perlakuan
Aktivator
A1W1S1 Uap H2O
A1W2S1 Uap H2O
A2W1S1 KOH 5 %
A2W2S1 KOH 5 %
A3W1S1 KOH 10 %
A3W2S1 KOH 10 %
A4W1S1 H3PO4 5 %
A4W2S1 H3PO4 5 %
A5W1S1 H3PO4 10 %
A5W2S1 H3PO4 10 %
Keterangan: A1 = Aktivasi dengan uap air A2 = Aktivasi dengan KOH 5 %
W1 = Waktu aktivasi 60 menit A3 = Aktivasi dengan KOH 10 %
W2 = Waktu aktivasi 90 menit S1 = Suhu aktivasi 650 oC
A4 = Aktivasi dengan H3PO4 5 % A5 = Aktivasi dengan H3PO4 10 %

3. Aktivasi dengan Larutan H3PO4

Arang masing-masing ditimbang 70 gram sebanyak empat kali. Satu bagian


arang direndam dengan larutan H3PO4 5%, satu bagian arang yang lain direndam
dalam larutan H3PO4 10%, Perendaman dengan H3PO4 selama 24 jam. Setelah itu
dikeringkan di dalam retort selama 60 dan 90 menit pada suhu 650 oC. Percobaan
ini diulang masing-masing sebanyak dua kali sesuai dengan rancangan di Tabel
12.

Percobaan Utama

Setelah diketahui melalui percobaan pendahuluan bahwa aktivator asam


yang paling baik yaitu H3PO4 10 % dengan waktu aktivasi 90 menit. Percobaan
dilanjutkan dengan menaikkan konsentrasi H3PO4 sampai 80 %. Pada percobaan
utama proses aktivasi dengan metode kimia dilanjutkan dengan menaikkan
konsentrasi H3PO4 menjadi 20 %, 40 %, 60 % dan 80 %. Arang masing-masing
direndam terlebih dahulu dengan larutan H3PO4 selama 24 jam. Arang disaring
dan dikeringkan lalu diaktivasi diretort pada suhu 650 oC selama 90 menit.
Percobaan dilakukan masing-masing sebanyak dua kali ulangan dengan komposisi
perlakuan seperti pada Tabel 13 dan Gambar 22.

 
 
58 
 

Tabel 13 Kombinasi perlakuan arang aktif pada percobaan utama


Kode Perlakuan Perlakuan
Aktivator
A6W2S1 H3PO4 20 %
A7W2S1 H3PO4 40 %
A8W2S1 H3PO4 60 %
A9W2S1 H3PO4 80 %
Keterangan: A6 = Aktivasi dengan H3PO4 20 % A7 = Aktivasi dengan H3PO4 40 %
W2 = Waktu aktivasi 90 menit A8 = Aktivasi dengan H3PO4 60 %
S1 = Suhu aktivasi 650 oC A9 = Aktivasi dengan H3PO4 80 %

Prosedur Karakterisasi Arang Aktif


Prosedur karakterisasi arang aktif meliputi analisis rendemen, kadar air,
kadar abu, kadar zat terbang, kadar karbon terikat dan daya serap iod, yang
prosedur analisisnya sama dengan prosedur karakterisasi arang. Hasil karakterisasi
arang aktif dibandingkan dengan SNI 06-3730-1995 tentang syarat mutu arang
aktif teknis. Tahapan percobaan utama dan karakterisasi arang aktif digambarkan
di Gambar 22. Selanjutnya juga dikarakterisasi gugus fungsi arang aktif dengan
FTIR, dan topografi arang aktif dengan SEM.

Arang suhu
pirolisis 500 oC

Aktivasi suhu 650 oC dengan


H3PO4 20 %, 40 %, 60 % dan
80 %; t = 90 menit

Arang aktif

Karakterisasi arang aktif


(kadar abu, kadar air, karbon terikat, kadar zat
terbang dan daya serap iod, FTIR dan SEM)

Aplikasi arang aktif pada limbah cair krom


pada pH asam, pH netral dan pH basa

Analisis limbah cair logam


berat krom (pH, BOD, COD,
DHL, TDS, logam krom)

Gambar 22 Diagram alir tahapan penelitian percobaan utama


59 
 

Aplikasi Arang Aktif untuk Pengolahan Limbah Cair Krom

Arang aktif yang memenuhi standar dari hasil peningkatan mutu selanjutnya
diaplikasikan sebagai adsorben pada pengolahan limbah cair krom dari
laboratorium, dengan cara mencampurkan arang aktif pada limbah cair tersebut
dengan konsentrasi masing- masing 1 % (b/v). Skema tahapan aplikasi arang aktif
untuk pengolahan limbah cair dapat dilihat pada Gambar 23.
Pengolahan terhadap limbah cair krom dilakukan dengan cara
menambahkan arang aktif masing-masing sebanyak 1 gram ke dalam air limbah
dengan volume 100 mL dalam gelas piala. Selanjutnya campuran tersebut diaduk
sampai homogen selama satu jam dengan menggunakan magnetic stirer pada
kecepatan 120 rpm dan disaring dengan kertas whatman 42. Air hasil saringan
tersebut kemudian dianalisis kualitasnya.

Limbah cair logam berat


krom dari laboratorium

Uji pendahuluan limbah cair meliputi pH,


DHL, TDS, Logam Cr, BOD dan COD

Pengolahan limbah cair krom


dengan arang aktif dari buah bintaro

Filtrat

TDS DHL Logam Cr pH COD BOD

Gambar 23 Diagram alir tahapan analisis kualitas limbah cair krom

Nilai pH yang diukur adalah hasil limbah cair krom yang telah dikondisikan
pada pH asam dan telah dilakukan adsorpsi dengan arang aktif buah bintaro. Pada
kondisi awal limbah cair krom dalam kondisi netral yang dibuktikan dengan
pengukuran dengan pH meter mendapatkan nilai 6.44. Selanjutnya limbah cair
krom dikondisikan dalam keadaaan asam dengan menambahkan asam sulfat 4N.
Hal ini dilakukan karena setelah diuji secara kualitatif warna krom akan berkurang
pada kondisi asam. Setelah itu limbah cair yang telah diasamkan diukur dengan
pH meter dan didapatkan nilai 3.07. Penelitian dilanjutkan dengan mengolah
limbah cair krom yang telah diasamkan dengan menambahkan arang aktif buah
bintaro dengan pengadukan 120 rpm dalam waktu satu jam. Penentuan
pengadukan 120 rpm dan waktu satu jam karena berdasarkan uji kualitatif pada
kecepatan 90 rpm, 120 rpm dan 150 rpm dengan variasi waktu 30 menit, 60 menit
dan 90 menit yang menghasilkan warna yang paling jernih adalah dengan
pengadukan 120 rpm dan waktu 60 menit. Selanjutnya limbah cair krom disaring
untuk memisahkan arang aktif dan limbah cair, pH limbah cair krom setelah
diadsorpsi kemudian diukur kembali dengan menggunakan pH meter. Penelitian

 
 
60 
 

untuk pH dilanjutkan dengan pengukuran pH dari arang aktif yang didapat dari
percobaan pendahuluan dalam larutan aquadest pada kondisi asam.
Adapun untuk percobaan utama, hal yang sama dilakukan pada peng
kondisian pada pH basa, Selanjutnya juga diukur pH arang aktif yang dilarutkan
dalam aquadest untuk mengetahui pengaruh pH dari arang aktif itu sendiri.
Pengukuran pH juga dilakukan dalam kondisi aquadest yang dibasakan maupun
diasamkan.

Prosedur Penetapan Kualitas Limbah Cair (Standard Methods for The


Examination of Water and Wastewater/SMEWW, 1998).

Setelah diketahui arang aktif telah memenuhi standar mutu arang aktif.
Selanjutnya dilakukan pengujian kemampuan arang aktif dari sampah buah
bintaro untuk mengolah limbah cair logam berat dari laboratorium.
Pemeriksaan kualitas limbah cair dilakukan berdasarkan metode analisis
yang telah baku pada Standard Methods for The Examination of Water and
Wastewater (1998). Analisis dan pengukuran dilakukan di laboratorium uji dan
kompetensi Politeknik AKA Bogor. Parameter yang dianalisa pada air limbah
Laboratorium mengacu pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.
5/PERMENLH/2014 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi kegiatan industri
meliputi pH, BOD5, COD, kromium total, Total Dissolved Solid (TDS)
(Kementerian Lingkungan Hidup 2015).
Adapun terhadap limbah cair dilakukan pengujian sebelum diolah dengan
arang aktif dan sesudah diolah dengan arang aktif. Parameter pengujian kualitas
air limbah meliputi:
1. Penetapan pH (SNI 06-6989-11-2004)
Derajat keasaman (pH) diukur dengan menggunakan pH meter. Penggunaan
pHmeter harus dikalibrasi terlebih dahulu sebelum digunakan. Pada pH meter
dipasang elektroda gelas kemudian dicelupkan ke dalam larutan penyangga pH= 4
dan pH = 9. Selanjutnya elektroda dibersihkan dengan air suling, kemudian
dicelupkan ke dalam sampel yang akan diperiksa. Derajat keasaman (pH) dapat
langsung dibaca dari skala atau digital alat pH meter.
2. Penetapan Biological Oxygen Demand (BOD) (SNI 06-2503-1991)
Pengukuran BOD dilakukan dengan cara memeriksa oksigen terlarut hari
ke-nol dari botol yang berisi sampel dan blanko yang telah diencerkan beserta
pereaksi. Selanjutnya masukkan botol yang berisi sampel dan blanko ke dalam
lemari pengeram bersuhu 20ºC selama lima hari. Selanjutnya diperiksa kadar
oksigen terlarut pada hari kelima dan nilai BOD dihitung dengan rumus berikut :
(Xo – X5) – (Bo – B5) (1 – P)
BOD =
P
Keterangan :
Xo = oksigen terlarut sampel pada saat t = 0 (mg O2/L)
61 
 

X5 = oksigen terlarut sampel pada saat t = 5 hari (mg O2/L)


Bo = oksigen terlarut blanko pada saat t = 0 (mg O2/L)
B5 = oksigen terlarut blanko pada saat t = 5 hari (mg O2/L)
P = pengenceran

3. Penetapan Chemical Oxygen Demand (COD) (SNI 06.6989-2-2004)

Sebanyak 5 mL larutan campuran kalium dikromat merkuri sulfat dipipet


dan dimasukkan ke dalam sampel. Selanjutnya 10 mL larutan campuran asam
sulfat perak sulfat ditambahkan ke dalam sampel dan campuran diaduk di dalam
tabung, kemudian tabung ditutup. Hal yang sama dilakukan terhadap 5 mL air
suling untuk blanko. Selanjutnya dimasukkan ke dalam COD reaktor pada suhu
150 ºC selama dua jam, lalu dipindahkan campuran dari tabung ke dalam labu
Erlenmeyer 100 mL dan tabung dibilas dengan 5 mL air suling. Tiga tetes
indikator feroin ditambahkan ke dalam sampel lalu dititrasi dengan larutan fero
amonium sulfat 0.01N sampai terjadi perubahan warna oranye menjadi merah
coklat.

{ (A – B) x N x 8000 } x p
COD (mg O2/L) =
Volume sampel

Keterangan :

A = mL larutan fero amonium sulfat untuk titrasi blanko


B = mL larutan fero amonium sulfat untuk titrasi sampel
N = kenormalan larutan fero amonium sulfat
p = pengenceran sampel

4. Penetapan Kromium Total (Cr) (SNI-06-6989.17-2004)

Kromium total ditentukan dengan mengukur 100 mL sampel yang telah


diasamkan di dalam gelas piala 125 mL. Selanjutnya ditambahkan 5 mL HNO3
pada tiap gelas piala. Sampel dipanaskan di atas penangas listrik dalam ruangan
asam sampai isi larutan berkurang 15-20 mL dan menjadi bening. Selanjutnya
sampel didinginkan dan disaring dengan kertas saring whatman 42. Sampel
dipipet sebanyak 10 mL dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, kemudian
ditera. Sampel selanjutnya diukur dengan AAS pada pada panjang gelombang 540
nm.

5. Pengukuran Total Dissolved Solid (TDS) (SNI 06-6989-27-2004)

Total dissolved solid (TDS) diukur dengan menggunakan TDSmeter.


Sebelum digunakan, TDSmeter harus dikalibrasi terlebih dahulu. Selanjutnya
elektroda dibersihkan dengan air suling, kemudian dicelupkan ke dalam benda uji
yang akan diperiksa. Total dissolved solid (TDS) dapat langsung dibaca dari skala
atau digital alat TDSmeter.

 
 
62 
 

6. Pengukuran Daya Hantar Listrik (DHL) (SNI 06-6989-1-2004)

Daya hantar listrik (DHL) diukur dengan menggunakan konduktometer.


Sebelum digunakan, konduktometer harus dikalibrasi terlebih dahulu. Selanjutnya
elektroda dibersihkan dengan air suling, kemudian dicelupkan ke dalam sampel
yang akan diperiksa. Daya hantar listrik dapat langsung dibaca dari skala atau
digital alat konduktometer.

7. Perhitungan Persentase Removal Krom dan Efisiensi

Konsentrasi krom total yang diadsorpsi untuk tiap perlakuan dihitung dari:
Konsentrasi teradsorpsi = konsentrasi awal – konsentrasi akhir

C teradsorpsi = Cawal - Cakhir

Persentase removal krom total dapat dihitung dengan rumus:


C teradsorpsi limbah krom
Removal krom (%) = x 100 %
C awal limbah krom

Adapun efisiensi pengolahan limbah cair dengan adsorpsi dihitung dengan rumus:
Q awal- Qakhir
Efisiensi (%) = x 100 %
Q awal

Keterangan :
Q awal= Nilai parameter awal limbah cair
Q akhir = Nilai parameter akhir limbah cair per perlakuan atau setelah diadsorpsi

Rancangan Percobaan

Rancangan Percobaan Asap cair

Pengaruh perbedaan mortalitas rayap antara tiga suhu pirolisis diketahui


melalui perhitungan statistik dengan menggunakan rancangan acak lengkap
(RAL) satu faktorial dengan tiga kali ulangan. Adapun rumus yang dipakai adalah
sebagai berikut :
Yijk = μ + Ai + εij
Keterangan :
Yijk = Nilai respon yang diamati
μ = Nilai rata-rata
A = Pengaruh suhu asap cair dari taraf ke- i
εij = Pengaruh galat
63 
 

Data yang diperoleh berdasarkan rancangan percobaan di atas dianalisis


secara sidik ragam. Jika hasilnya menunjukkan signifikan pada taraf α = 0.05,
maka dilakukan uji Dunnet dengan kontrol untuk mengetahui pengaruh masing-
masing perlakuan (Mattjik & Sumertajaya 2000; Sudjana 1992).
Rancangan Percobaan Arang Aktif
Pengaruh jenis pengaktivasi dan lama aktivasi terhadap mutu arang aktif
dilakukan melalui perhitungan statistik dengan menggunakan RAL satu faktorial
dengan dua kali ulangan. Model umum yang digunakan adalah (Mattjik &
Sumertajaya 2006; Sudjana 1992).

Yijk = μ + Ai + εijk

Keterangan :
Yijk = Nilai respon yang diamati
μ = Nilai rata-rata
Ai = Pengaruh aktivator dari taraf ke- i
εijk ijk = Pengaruh galat

Data yang diperoleh berdasarkan rancangan percobaan di atas dianalisis


secara sidik ragam. Jika hasilnya menunjukkan signifikan pada taraf α = 0.05,
maka dilakukan uji beda nyata jujur (BNJ) dengan cara Tukey untuk mengetahui
pengaruh masing-masing perlakuan dan interaksinya (Mattjik & Sumertajaya
2006; Sudjana 1992).
Analisis Kelayakan Finansial

Kelayakan finansial usaha pengembangan arang aktif dan asap cair dari
buah bintaro dilakukan dengan menghitung nilai beberapa kriteria investasi
sebagai berikut:

Analisis NPV
Net present value (NPV) merupakan selisih nilai sekarang dari penerimaan
dengan nilai sekarang, pengeluaran pada tingkat bunga tertentu. Rumus yang
digunakan dalam penghitungan NPV (Rangkuti 2010) adalah sebagai berikut:

(1) 

NB adalah net benefit yang telah dikalikan dengan diskon faktor (benefit-
cost), i adalah diskon faktor dan n adalah tahun (waktu).Usaha dikatakan layak
jika NPV lebih besar atau sama dengan nol. Jika NPV sama dengan nol berarti
proyek tersebut mengembalikan persis sebesar social opportunity cost of capital.
Jika NPV lebih kecil dari nol maka proyek dinyatakan tidak layak untuk
dijalankan.

 
 
64 
 

Analisis IRR

Internal rate of return adalah tingkat suku bunga pada saat nilai NPV sama
dengan nol. IRR ini biasa dihitung dengan rumus sebagai berikut (Rangkuti,
2010):

               (2) 

Dengan i1 adalah tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV positif, i2


adalah tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV negatif. NPV1 adalah nilai
net present value yang positif dan NPV2 adalah nilai net present value yang
negatif. Jika ternyata nilai IRR suatu proyek sama dengan nilai i yang berlaku,
maka NPV proyek adalah nol. Jika IRR lebih kecil dari tingkat suku bunga yang
berlaku, berarti NPV lebih kecil dari nol dan berarti pula proyek tersebut tidak
layak untuk dijalankan. Jadi jika IRR yang dihasilkan lebih besar dari tingkat
sukubunga yang berlaku, maka suatu proyek atau usaha dinyatakan layak untuk
dijalankan.
Net B/C

Net B/C merupakan angka perbandingan antara nilai kini (present value)
dari net benefit yang positif dengan present value dari net benefit yang negatif
(Rangkuti 2010). Jumlah present value positif sebagai pembilang dan jumlah
present value negatif sebagai penyebut.

(3) 

Bt adalah manfaat (benefit) pada tahun ke-t, Ct adalah biaya (cost)


padatahun ke-t, i adalah discount faktor dan t adalah umur proyek. Nilai net B/C
yang lebih kecil dari satu, menunjukkan bahwa manfaat yang akan diperoleh dari
suatu proyek lebih kecil dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Proyek
semacam ini tidak layak untuk dilaksanakan. Sebaliknya jika nilai net B/C lebih
besar atau sama dengan satu berarti proyek atau usaha tersebut layak untuk
dijalankan atau menguntungkan untuk diusahakan.
Strategi Pengembangan Pemanfaatan Buah Bintaro sebagai Arang Aktif
Pengolah Limbah Cair Krom dan Asap Cair Antirayap

Berdasarkan tujuan penelitian ini yaitu, rencana dan strategi pengembangan


pemanfaatan buah bintaro dalam pengelolaan ruang terbuka hijau (RTH) di Kota
65 
 

Bogor Utara, maka data yang diperlukan bersifat deskriptif, yaitu dalam bentuk
kata-kata, uraian-uraian dan juga dapat berupa angka-angka disertai penjelasan.
Bog dan and Tailor (dalam Moleong 2000) menyatakan bahwa penelitian
kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, Moleong (2000)
mengemukakan bahwa kualitatif menyajikan secara langsung hakikat antara
peneliti dan responden. Karena itu, penelitian ini tidak berangkat dari satu
kesimpulan sementara untuk diuji keberlakuannya di lapangan, melainkan peneliti
mengamati di lapangan dan menyimpulkan data selengkap mungkin sesuai dengan
fokus penelitian sehingga data yang diperoleh merupakan data deskriptif tentang
apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan orang berkaitan langsung dengan
ruang dan waktu, serta makna yang diangkat dan bukan karena suatu rekayasa
teoritis.
Teknik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah:
Observasi/pengamatan
Observasi atau pengamatan merupakan tehnik pengumpulan data dengan
mengamati secara langsung sasaran atau obyek penelitian dan merekam peristiwa
dan perilaku secara wajar dan rinci. Adapun obyek yang diamati adalah
masyarakat di sekitar wilayah penelitian secara umum.
Telaah Pustaka
Mencari referensi penelitian dari jurnal dan literatur terkait dengan
pemanfaatan ruang terbuka hijau. Referensi yang dirujuk juga termasuk strategi
pengembangan pemanfaatan buah bintaro selain sebagai tanaman peneduh.
Analisis Dampak Lingkungan dengan Pendekatan LCA
Salah satu metode yang tepat untuk menganalisis dampak lingkungan dari
pembuatan arang aktif dan asap cair dari buah bintaro adalah life cycle assessment
(LCA). LCA bertujuan untuk mengidentifikasi dampak lingkungan, sumber polusi
dan emisi gas rumah kaca yang kemudian bisa mengetahui potensi dampak pada
pemanasan global. Analisis dampak lingkungan dilakukan secara manual dengan
pendekatan LCA dengan mengembangkan tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Mendefinisikan batasan dan ruang lingkup LCA
Tahap ini akan ditentukan batasan dan ruang lingkup LCA yang digunakan.
2. Analisis life cycle inventory (LCI)
Tahap ini akan ditunjukkan potensi pengaruh lingkungan dari tiap stage pada
siklus hidup yang diamati.
3. Penilaian life cycle impact assessment (LCIA)
Pada tahap life cycle impact assessment (LCIA) dilakukan perhitungan total
dari dampak lingkungan yang telah dikumpulkan dari tahapan life cycle
inventory (LCI).

 
 
66 
 

4. Interpretasi siklus hidup


Interpretasi siklus hidup dilakukan setelah tahap life cycle impact assessment.
Pada tahap ini, hasil dari LCI atau LCIA dirangkum dan dibahas sebagai dasar
untuk kesimpulan, rekomendasi rencana perbaikan yang didasarkan pada dua
analisis yaitu :
a. Analisis Kontribusi
Analisis kontribusi digunakan dengan tujuan untuk mengetahui proses atau
tahap didalam jejaring proses produksi arang aktif dan asap cair yang memiliki
kontribusi paling dominan, sehingga pengambilan keputusan dan perbaikan
terhadap sistem menjadi tepat dan efektif sesuai dengan tujuan penelitian.
b. Analisis Perbaikan
Dari hasil analisis penakaran dampak dan kontribusi diketahui bahwa
permasalahan utama yang menjadi perhatian untuk direkomendasikan
perbaikan lingkungan adalah penggunaan bahan bakar pada reaktor pirolisis
dan bensin sebagai bahan bakar alat transportasi.
Dokumentasi
Dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk melengkapi data yang
menurut peneliti sangat dibutuhkan untuk mengungkap dan menampilkan
rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian, misalnya ruang terbuka hijau
yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Pengelolaan sampah buah bintaro
yang hanya dikumpulkan dan dibuang, pemanfaatan ruang terbuka dengan
tanaman seadanya tanpa dipelihara, dan masih banyaknya ruang terbuka yang
belum difungsikan sebagaimana mestinya. Selain itu juga dibahas mengenai
kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan pemanfaatan buah bintaro
dan bagaimana mengatasinya melalui pendekatan life cycle assessment (LCA).
4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Buah Bintaro


Buah bintaro menurut Yun et al. (2008) mengandung ± 58.5 % lignin dan
41.8 % selulosa, sehingga berpotensi sebagai bahan baku arang aktif. Selama ini
biji buah bintaro bintaro telah banyak diteliti sebagai minyak biodiesel dan
menyisakan limbah cangkang yang berupa lapisan epikarp dan mesokarp. Limbah
cangkang yang berupa lapisan epikarp dan mesokarp inilah yang diteliti untuk
menjadi bahan baku arang aktif. Setelah dianalisis buah bintaro terbukti
mengandung lignin dan selulosa yang relatif tinggi (Tabel 14).
Tabel 14 Persentase kandungan lignin dan selulosa dalam buah bintaro
No Senyawa Kulit (%) Serabut (%) Tempurung (%)

1 Lignin 39.57 40.17 30.26


2 Selulosa 19.08 50.01 52.59

Berdasarkan hasil penelitian terhadap bahan baku buah bintaro yang


digunakan, satu buah bintaro mempunyai berat ± 111.02 g, tersusun dari ±29.91 g
kulit buah, 55.98 g serabut, 13.75 g tempurung dan 11.38 g biji. Daging buah
bintaro (lapisan mesokarp dan epikarp) mengandung kadar air 5.15-13.90 %,
kadar zat terbang 65.35–76.50 %, kadar abu 1.59-8.83 % dan kadar karbon terikat
21.21–25.82 % (Tabel 15).
Tabel 15 Hasil uji proksimat kulit, serabut dan tempurung buah bintaro
No Jenis sampel Pengujian Kadar (%)
1 Kulit bintaro - Kadar air 8.99
- Zat terbang 65.35
- Kadar abu 8.83
- Kadar karbon terikat 25.82
2 Serabut bintaro - Kadar air 13.90
- Zat terbang 73.06
- Kadar abu 2.84
- Kadar karbon terikat 24.10
3 Tempurung - Kadar air 5.15
- Zat terbang 76.50
- Kadar abu 1.59
- Kadar karbon terikat 1.21

Arang dari Buah Bintaro dan Karakterisasinya


Pada proses pirolisis cangkang buah bintaro, temperatur pirolisis yang
digunakan adalah 300 °C, 400 °C, dan 500 °C. Dasar pemilihan dari variasi
temperatur ini adalah karena suhu aktivasi yang terlalu tinggi beresiko terjadinya
oksidasi lebih lanjut pada karbon, sehingga dapat merusak ikatan C-C karbon
(Nguyen et al. 2010). Selain itu pemilihan temperatur juga didasari oleh penelitian
68 
 

Cimo et al. (2014) yang menyatakan bahwa proses pirolisis terdiri atas empat
tahap berurutan, yakni penguapan air pada suhu 100-120 oC, dekomposisi selulosa
pada suhu 270-310 oC, dekomposisi lignin pada suhu 310-510 oC dan terakhir
pemurnian karbon pada suhu 500-1000 oC. Berdasarkan alasan ini maka dipilih
rentang suhu pirolisis 300-500 oC. Adapun untuk mencari temperatur pirolisis
terbaik dilakukan pengujian proksimat arang dan dibandingkan dengan SNI 01-
1682-1996 tentang arang tempurung kelapa (Lampiran 1, Lampiran 2 dan
Lampiran 3). Kualitas arang cangkang buah bintaro dibandingkan dengan arang
tempurung kelapa karena belum ada standar arang untuk buah bintaro.
Tabel 16 Hasil uji proksimat arang dari buah bintaro
Sampel Kadar Kadar Kadar Kadar Daya Rendemen
arang (oC) air (%) abu (%) zat karbon serap iod (%)
terbang terikat (mg/gr)
(%) (%)
300 7.86 8.44 1.08 90.49 756.95 39.86
400 7.63 7.71 0.82 91.47 843.46 39.71
500 5.97 6.41 0.80 92.80 909.42 39.47
*Standar Maks 6 Maks 5 Maks 20 Min 70 - -
*Standar berdasarkan SNI 01-1682-1996 tentang syarat mutu arang tempurung kelapa

Berdasarkan Tabel 16, terlihat bahwa kadar air yang dihasilkan oleh arang
buah bintaro berkisar antara 5.97 %-7.86 %. Kadar air yang diperoleh dari hasil
analisis proksimat jika dibandingkan dengan SNI 01-1682-1996 tentang syarat
mutu arang tempurung kelapa belum memenuhi syarat, kecuali sampel arang yang
dipirolisis pada temperatur 500 oC. Kadar air tertinggi dimiliki oleh sampel arang
yang dipirolisis pada temperatur 300 °C yakni sebesar 7.86 %. Adapun kadar air
terendah dimiliki oleh sampel arang yang dipirolisis pada suhu 500 °C yakni
sebesar 5.97 %. Kadar air arang mengalami penurunan seiring dengan naiknya
suhu pirolisis yang digunakan. Secara kimia H2O mulai mengalami perubahan
fase menjadi gas pada saat telah mencapai titik didihnya yakni pada suhu 100 °C.
Pada titik itu, H2O yang awalnya terikat pada karbon terlepas dan membentuk fase
gas. Hal serupa juga diungkapkan oleh Uchimiya et al. (2011) yang menyatakan
bahwa semakin tinggi suhu, semakin meningkat pula proses dehidrasi yang terjadi
dalam arang, sehingga air yang terkandung di dalamnya semakin banyak yang
menguap dan kadarnya akan semakin rendah. Kadar air yang semakin tinggi akan
menyebabkan daya serap arang semakin berkurang.
Pada Tabel 16 terlihat bahwa kadar abu sampel arang jika dibandingkan
dengan SNI 01-1682-1996 tentang syarat mutu arang tempurung kelapa diketahui
bahwa kadar abu dari arang buah bintaro tidak memenuhi syarat SNI. Arang yang
dipirolisis pada temperatur 300 °C merupakan arang dengan kadar abu tertinggi
yakni sebesar 8.44 %. Adapun kadar abu terendah dimiliki oleh arang yang
dipirolisis pada temperatur 500 oC yakni sebesar 6.41 %. Hal ini menunjukkan
bahwa nilai kadar abu bertambah seiring dengan turunnya temperatur yang
digunakan dalam proses pirolisis. Fenomena ini terjadi karena sifat dan struktur
bahan baku buah bintaro yang banyak mengandung mineral seperti kalsium,
silika, magnesium dan potassium, sehingga ketika dipirolisis berpotensi menjadi
abu. Uchimiya et al. (2011) menyatakan bahwa sifat dan struktur bahan baku
69 
 

arang dapat menyebabkan tingginya kadar abu. Kadar abu menunjukkan


komponen anorganik yang tertinggal setelah bahan yang telah dipanaskan pada suhu
pembakaran yang tinggi. Abu yang terbentuk dapat juga berasal dari mineral-
mineral golongan alkali dan alkali tanah pada arang seperti kalium, natrium,
magnesium, kalsium dan komponen lain dalam jumlah kecil.
Menurut Sharma et al. (2002), peningkatan kadar abu dapat juga terjadi
akibat terbentuknya garam-garam mineral pada saat proses pengarangan yang bila
dilanjutkan akan membentuk partikel-partikel halus dari garam mineral tersebut.
Kadar abu yang tinggi dalam sampel dapat mengurangi kemampuan arang aktif
untuk mengadsorpsi gas dan larutan karena kandungan mineral yang terdapat
dalam abu seperti kalium, natrium, magnesium, dan kalsium akan menyebar ke
dalam sisi-sisi arang aktif sehingga menutupi pori-pori arang aktif. Besarnya nilai
kadar abu bisa juga disebabkan oleh proses pengarangan yang tidak tertutup rapat
sehingga terjadi kontak udara yang mengakibatkan proses pembentukan arang
menjadi tidak sempurna dan kemungkinan terbentuknya abu juga semakin besar. 
Pada Tabel 16 terlihat bahwa suhu pirolisis yang tinggi akan menghasilkan
arang dengan kadar zat terbang yang rendah. Kadar zat terbang tertinggi dimiliki
oleh sampel yang dipirolisis pada suhu 300 °C yakni sebesar 1.08 %. Kadar zat
terbang terendah dimiliki oleh sampel yang dipirolisis pada suhu 500 °C sebesar
0.80 %. Penurunan kadar zat terbang ini terjadi seiring dengan naiknya temperatur
pirolisis arang yang digunakan. Menurut Uchimiya et al. (2011), besarnya kadar
zat terbang ditentukan oleh waktu dan temperatur pengarangan. Pada saat waktu
proses pirolisis dan temperatur ditingkatkan maka zat terbang yang terbuang
semakin banyak, sehingga kadar zat terbang semakin rendah. Adanya zat terbang
yang masih menempel pada karbon akan mempengaruhi daya serap karbon.
Semakin tinggi temperatur pirolisis maka zat terbang yang menutupi karbon
semakin banyak yang menguap, sehingga permukaan pori karbon yang tadinya
tertutup akan terbuka dan meningkatkan kemampuan menyerap karbon.
Berdasarkan hasil analisis proksimat yang dilakukan, semua arang memenuhi
standar kadar zat terbang yang sesuai ketentuan SNI.
Pada Tabel 16 terlihat bahwa kadar karbon terikat terendah didapat dari
arang yang dipirolisis pada temparatur 300 oC sebesar 90.49 % dan kadar karbon
terikat tertinggi diperoleh dari arang yang dipirolisis pada temperatur 500 oC
sebesar 92.80 %. Secara keseluruhan nilai kadar karbon terikat arang buah bintaro
ini sudah memenuhi standar SNI, hal ini disebabkan karena rendahnya kadar zat
mudah menguap. Nilai karbon terikat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan
suhu pirolisis. Peter (2011) menyatakan bahwa suhu pengarangan yang tinggi
akan menurunkan kadar zat terbang sehingga kadar karbon terikat semakin tinggi.
Pada Tabel 16 terlihat bahwa daya serap iod terendah diperoleh dari arang
yang diprolisis pada temperatur 300 oC dengan nilai sebesar 756.95 mg/g. dan
daya serap iod tertinggi diperoleh dari arang yang dipirolisis pada temperatur 500
o
C sebesar 909.42 mg/g. Semakin tinggi suhu pirolisis akan menyebabkan
semakin besar daya serap iod. Hal ini dikarenakan semakin tinggi suhu pirolisis
menyebabkan ukuran partikel arang akan semakin kecil, sehingga daya serapnya
semakin besar. Daya serap terhadap iod menunjukkan kemampuan arang aktif
menyerap zat dengan ukuran molekul yang lebih kecil dari 10 Aº atau
memberikan indikasi jumlah pori yang berdiameter 10 – 15 Aº. Pada pemanasan
yang tinggi juga terjadi penguapan senyawa hidrokarbon yang semakin banyak,

 
 
70 
 

sehingga pori-pori arang semakin terbuka luas dan mengakibatkan daya serap
arang juga semakin besar. Tahap pirolisis dilakukan pada rentang suhu 300-500
o
C karena pada rentang suhu tersebut telah terjadi penghilangan air, dan zat-zat
volatil lainnya, sehingga menjadi dasar terbentuknya porositas pada karbon atau
terbukanya pori-pori karbon (Marsh and Fransisco 2006). Kadar zat terbang yang
memenuhi persyaratan turut mendukung pernyataan karena dengan sedikitnya
kadar zat terbang menunujukkan bahwa pada permukaan arang terdapat sedikit
sisa deposit hidrokarbon yang menutupi pori-pori arang, sehingga menyebabkan
daya serap iod menjadi tinggi.
Pada Tabel 16 terlihat bahwa semakin tinggi suhu pirolisis menyebabkan
rendemen arang yang dihasilkan relatif menurun pada rentang 39.47 – 39.86 %,
Rendemen yang relatif menurun pada setiap kenaikan suhu pirolisis terjadi karena
reaksi antara karbon dengan uap air semakin meningkat dengan bertambahnya
suhu dan lamanya waktu karbonisasi, sehingga karbon yang bereaksi menjadi CO2
dan H2 menjadi banyak, sebaliknya jumlah karbon yang dihasilkan semakin
sedikit (Lee dan Radovic 2003). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
Tirono dan Ali (2011) yang dilakukan pada tempurung kelapa, yakni semakin
meningkatnya suhu dan waktu karbonisasi, rendemen arang yang dihasilkan
semakin menurun. Oleh karena arang yang dibuat pada suhu pirolisis 500 oC
menunjukkan hasil karakterisasi yang paling banyak sesuai dengan syarat SNI
01-1682-1996, maka selanjutnya diputuskan untuk mengaktivasi arang yang
dibuat pada suhu 500 oC menjadi arang aktif.

Topografi Arang

Topografi arang diidentifikasi untuk mengetahui struktur permukaan arang


terutama rongga atau porositas arang diukur pada skala 20 µm dengan
pembesaran 500x. Berdasarkan hasil analisis SEM ketiga jenis arang mempunyai
topografi dan porositas yang berbeda (Gambar 24 dan Tabel 17). Pada bidang
radial dan tangensial struktur arang yang dipirolisis pada suhu 500 oC lebih porous
dibandingkan dengan arang yang dipirolisis pada suhu 300 oC dan 400 oC.
Rongga arang yang dipirolisis pada suhu 500 oC tampak lebih terbuka dan
memanjang. Hal ini terjadi karena pada suhu pirolisis yang lebih tinggi telah
terjadi reaksi dekomposisi selulosa dan lignin secara lengkap sebagaimana yang
disampaikan oleh Cimo et al. (2014). Selanjutnya Ekebafe et al. 2010
menambahkan bahwa pori-pori arang akan semakin besar pada suhu pirolisis yang
mencapai suhu 600 oC.

1. Suhu pirolisis 300 oC, 2. Suhu pirolisis 400 oC 3. Suhu prolisis 500 oC
Gambar 24 Topografi permukaan arang pada berbagai suhu pirolisis
71 
 

Tabel 17 Diameter permukaan pori arang dari hasil berbagai suhu pirolisis arang
Jenis suhu arang (oC) Diameter pori arang (µm)
300 9.6
400 15.68
500 20.48

Pengamatan topografi arang dengan tiga variasi suhu pirolisis menggunakan


scanning electron microscope terlihat pada Gambar 24 menunjukkan bahwa pada
arang yang dipirolisis pada temperatur 300 oC, pori-pori arang masih banyak
tertutup oleh partikel-partikel halus seperti abu yang melekat pada arang. Pori-
pori mulai terbuka pada arang dengan temperatur pirolisis 400 oC (Gambar 24
(2)). Pada Gambar 24 (3), terlihat bahwa pada arang dengan temperatur pirolisis
500 oC terdapat jumlah pori yang berkembang semakin banyak, semakin besar
dan semakin bersih dari abu daripada pori arang temperatur pirolisis 400 oC.
Banyaknya pengotor pada arang disebabkan komposisi dari bahan baku arang
yang banyak mengandung mineral yang berpotensi menjadi abu. Selain itu
semakin tinggi suhu pirolisis, kadar abu semakin sedikit juga mempengaruhi
terjadinya pembesaran pori. Terbentuknya banyak pori juga disebabkan karena
adanya penguapan zat terbang dari bahan baku akibat proses pirolisis. Hal ini
menyebabkan komponen bahan baku terdegradasi menjadi produk gas (CO, CO2,
H2, CH4), produk cair (asap cair, ter, hidrokarbon dan air) dan produk padat
(arang) (Rahman et al. 2012).

Gugus Fungsi Arang

Spektrum FTIR dari bahan baku arang ditunjukkan pada Gambar 25.
Berdasarkan Gambar 25 tersebut diketahui bahwa terjadi perubahan pola bilangan
gelombang dari bahan baku buah bintaro menjadi arang yang dipirolisis pada suhu
300 oC, 400 oC dan 500 oC. Hal ini terjadi karena selama proses pirolisis terjadi
perubahan struktur kimia akibat adanya perlakuan panas yang mengakibatkan
terputusnya rantai gugus fungsional senyawa tertentu menjadi gugus yang baru
(Pari dan Hendra 2003).
95
Transmittance [%]
90
85
80

3335.93

2918.54

2111.87

1601.35

1508.74

1369.02
1322.96

1232.66

3500 3000 2500 2000 1500 1000 500


Wavenumber cm-1
 
Gambar 25 Spektrum FTIR dari lapisan mesokarp dan epikarp buah bintaro

 
 
72 
 

Bilangan gelombang buah bintaro dan arang buah bintaro dirangkum dalam
Tabel 18. Adanya serapan melebar dengan intensitas lemah pada daerah bilangan
gelombang 3335.93 cm-1 yang diduga adalah serapan uluran dari gugus O-H.
Serapan uluran C-H alifatik yang tajam dan lemah muncul pada daerah bilangan
gelombang 2918.54 cm-1. Serapan pada bilangan gelombang 2900-an cm-1
menunjukkan vibrasi ulur C-H di dalam gugus C-H alifatik. Gugus alkuna
ditemukan pada bilangan gelombang 2111.87 cm-1. Gugus amina juga ditemukan
pada bilangan gelombang 1508.74 cm-1. Senyawa aromatik diindikasikan dari
gugus fungsi C=C yang biasanya muncul pada bilangan gelombang 1650-1550
cm-1 yang diperkuat dengan adanya ikatan C-O pada bilangan gelombang 1232.66
cm-1 yang berasal dari gugus aromatik C=C yang terputus. Adanya gugus fungsi
OH, CH alifatik, NH, C=C aromatik dan C-O mengindikasikan suatu senyawa
flavonoid. Pada buah bintaro tidak ditemukan gugus fungsi C=O, hal ini
dibuktikan adanya gugus OH, CH, alkuna, C=C aromatik dan amina yang
seringkali muncul jika gugus C=O tidak ada (Creswell et al. 2005). 

Tabel 18 Bilangan gelombang buah bintaro dan arang


Keterangan gugus Buah bintaro Arang 300 Arang 400 Arang
-1
fungsi (cm ) (cm-1) (cm-1) 500
(cm-1)
-OH stretching 3335.93 3356.09 3358.13 3407.42
C-H Asym 2918.54 2925.53 2922.39
stretching
-CΞC 2111.87 2100.21 2115.17 2112.59
-C=C aromatic 1601.35 1575.32 1577.54 1613.62
N-H 1508.74
C-H bending 1369.02
C-H Asym and 1322.96 1371.67 1370.96 1389.73
Sym stretching
O-H bending 1369.02
C-O asy stretching 1258.05 1257.61
C-O carboxyclic 1232.66 1218.91 1009.12
acid, alcohol
C-H aromatic 750.39 - 872.92-
540.92 689.84

Pada arang yang dipirolisis dengan suhu 300 oC, spektra IR masih
menunjukkan pola yang sama dengan spektra IR serbuk bintaro dengan adanya
gugus OH pada bilangan gelombang 3300-an cm-1 dan gugus fungsi CH Asym
and Sym streching pada bilangan gelombang 1300-1400 cm-1. Tidak adanya
gugus fungsi N-H dan C-H bending menunjukkan telah hilangnya senyawa
alkaloid dan flavonoid akibat adanya karbonisasi. Gugus fungsi alkuna ditemukan
dengan vibrasi rendah pada bilangan gelombang 2100-an cm-1. Senyawa aromatik
C=C dengan vibrasi rendah diindikasikan pada bilangan gelombang 1570-an cm-1.
Serapan gugus fungsi C-O asy stretching ditemukan pada bilangan gelombang
1250-an cm-1.
Spektra IR pada arang suhu 400 oC, masih menunjukkan spektra yang
hampir mirip dengan arang suhu 300 oC, dengan ditemukan gugus OH, pada
73 
 

bilangan gelombang 3300-an cm-1. Gugus fungsi C-H diindikasikan pada bilangan
gelombang 2900-an cm-1 dan gugus fungsi alkuna ditunjukkan pada bilangan
gelombang 2100-an cm-1. Senyawa aromatik dengan ikatan C=C yang lemah juga
ditemukan pada bilangan gelombang 1570-an cm-1. Sementara itu serapan pada
bilangan gelombang 750.39 - 540.92 cm-1 mengindikasikan adanya gugus C-H
aromatik keluar bidang (Ercin dan Yurum 2003). Selengkapnya perubahan
spektrum serapan IR arang dapat dilihat pada Gambar 26.
78
76
Transmittance [%]
74
72
70

3407.42

2112.59

1613.62

1389.73

1257.61

1009.12

872.92
827.64
751.47
689.84
3500 3000 2500 2000 1500 1000 500
Wavenumber cm-1

Gambar 26 Spektrum FTIR arang


Pada arang yang dipirolisis pada suhu 400 oC, ditemukan juga gugus fungsi
O-H stretching pada bilangan gelombang 3300-an cm-1. Hal ini sesuai dengan
Hidayu et al. (2013) yang menyatakan bahwa puncak serapan yang luas dari arang
kelapa sawit di 3302 cm-1 yang dikaitkan dengan adanya gugus fungsi O-H
stretching dan ini menunjukkan adanya perubahan bahan baku kelapa sawit
menjadi arang. Selain itu sampel arang buah bintaro mirip dengan sampel arang
kelapa sawit juga menunjukkan puncak serapan pada bilangan gelombang 1000-
an cm-1 yang mengacu pada gugus fungsi C-O carboxyclic acid.
Pada arang yang dipirolisis pada suhu 500 oC terdapat gugus aromatik C=C
pada bilangan gelombang 1600-an cm-1 yang menandakan telah terjadi peruraian
lignin menjadi senyawa aromatik. Adanya intensitas serapan pada bilangan
gelombang yang makin tinggi menunjukkan bahwa ikatan C=C yang terbentuk
makin kuat akibat adanya karbonisasi lignin. Pada suhu pirolisis 500 oC juga
terlihat gugus fungsi C-H aromatik pada bilangan gelombang 872.92-689.84 cm-1.
FTIR sampel arang menunjukkan bahwa pada arang buah bintaro terdapat gugus
fungsi O-H, C-H alifatik dan C-O asy stretching yang berasal dari selulosa,
hemiselulosa dan lignin. Adapun gugus fungsi C-O asy stretching, C-H alifatik
dan C=C aromatik berasal dari dekomposisi lignin (Ercin dan Yurum 2003).

Karakterisasi Struktur Kristal Arang dengan XRD

Analisis menggunakan difraksi sinar X bertujuan untuk memberikan


informasi tentang perubahan struktur mikro yang terjadi pada buah bintaro selama

 
 
74 
 

proses karbonisasi. Pola difraksi pada Gambar 27 menunjukkan adanya perubahan


struktur kristal yang terjadi dari arang hasil karbonisasi pada suhu pirolisis 300
o
C, 400 oC, dan 500 oC. Struktur buah bintaro berubah setelah dipirolisis pada
suhu 300 oC, 400oC dan tampak jelas pada 500 oC. Kandungan karbon terikat
arang meningkat dengan naiknya suhu karbonisasi pirolisis (Tabel 19).
Tabel 19 Derajat kristalinitas dan kadar karbon terikat
Sampel Derajat kristalinitas (%) Kadar karbon terikat (%)
Buah bintaro 35.42 24.10
o
300 C 25.87 90.49
o
400 C 16.35 91.47
500 oC 13.31 92.80

Karbonisasi menyebabkan penataan unsur karbon membentuk karbon


aromatik dan semakin intensif dengan naiknya suhu (Pari 2011). Dekomposisi
sebagian komponen kimia kayu mulai terjadi pada produk pirolisis suhu 200 oC
(proses menjadi eksotermik). Hemiselulosa merupakan senyawa yang pertama
kali mengalami perubahan karena struktur hemiselulosa bercabang dan amorf
(John dan Thomas 2008).

A = Buah bintaro
B = Arang suhu 300 oC
C = Arang suhu 400 oC
D = Arang suhu 500 oC

Gambar 27 Difraktogram buah bintaro dan arang


Pada suhu 300 oC, dekomposisi hemiselulosa, lebih intensif (Peters 2011)
dan pada suhu 300 oC dekomposisi selulosa juga mulai berlangsung yang dapat
dilihat dari difraktogram dengan runtuhnya puncak selulosa (Gambar 27). Proses
ini menyebabkan berkurangnya bahan mudah menguap dan terjadi penataan unsur
karbon dengan meningkatnya karbon terikat yang lebih tinggi dibandingkan buah
bintaro. Hal ini menunjukkan arang-pirolisis pada suhu karbonisasi 300 oC telah
mengalami perubahan struktur. Struktur awal berupa selulosa (buah bintaro)
menjadi struktur karbon bersifat amorf yang ditunjukkan dari perubahan puncak
pada sudut 2Ѳ di sekitar 10-30 (Tabel 19 dan Gambar 27). Peningkatan suhu
karbonisasi sampai 500 oC tidak mengubah struktur karbon yang bersifat amorf
lignin. Sifat amorf lignin ini menyulitkan dalam pembuatan struktur arang, karena
75 
 

meskipun dipanaskan sampai suhu 3000 oC strukturnya tetap amorf padahal pola
struktur arang yang ideal pada umumnya mengandung derajat kristalinitas yang
relatif besar (Ota dan Mozammel 2003).
Munculnya puncak lebar di sekitar sudut 2θ 24 o merupakan refleksi dari
bidang 002. Refleksi tersebut mengindikasikan adanya lembaran graphene yang
merupakan penyusun graphite (Hwang dan Nov 2006) sedangkan puncak lebar
yang muncul di sekitar sudut 2θ 72 o merupakan refleksi bidang 100. Puncak-
puncak yang muncul mengindikasikan bahwa arang buah bintaro yang telah
dibuat tidaklah murni akan tetapi terdapat impuritas. Jika dibandingan dengan
pola difraksi arang batok kelapa terlihat bahwa suhu awal karbonisasi yaitu
400 oC dan 600 oC, arang batok kelapa belum mengalami perubahan yang
signifikan, terutama belum adanya refleksi dari bidang 100 yang muncul di
rentang sudut 2θ 42 o, akan tetapi terjadi sedikit pergeseran pada rentang sudut 2θ
24 o. Perubahan pola difraksi yang signifikan terjadi pada suhu 750 oC, dalam pola
tersebut tergambarkan munculnya puncak lebar pada rentang sudut 2θ 24 o dan
pergeseran puncak lebar di rentang sudut 2θ 42 o  telah bergeser jauh mendekati
puncak kristal puncak graphite  (Perkasa dan Darminto 2011).   Pada Tabel 19 dan
Tabel 20 dapat diketahui bahwa derajat kristaltit buah bintaro (35.81%) cenderung
lebih tinggi dari derajat kristaltit arang (16.35-25.87%). Selain itu terjadi
pergeseran intensitas sudut difraksi dari 2Ѳ 21.81 menjadi 2Ѳ 21.23- 28.24. Hal
ini membuktikan bahwa pirolisis dapat mengubah derajat kristalinitas dengan
struktur kristaltit yang berbeda. Penurunan derajat kristalinitas meningkatkan daya
jerap arang selama proses karbonisasi karena bahan karbon mengalami
fragmentasi membentuk struktur aromatik yang termostabil. Struktur ini
menginisiasi pembentukan struktur aromatik berikutnya sehingga membentuk
pelat heksagonal. Menurut Pari (2004) pada bahan baku untuk struktur kristaltit
didominasi oleh struktur kristaltit selulosa sedangkan pada arang, struktur
kristaltit terbentuk dari senyawa karbon yang membentuk lapisan heksagonal.
Tabel 20. Data sudut difraksi 2Ѳ, jarak antar lapisan (d), tinggi lapisan (Lc),
Jumlah lapisan (N) dan lebar lapisan (La) dari bahan baku dan arang
hasil pirolisis
Perlakuan Sudut difraksi (2Ѳ) d1 d2 Lc N La
Buah bintaro 21.81 4.27 0.41 0.12 0.29 0.24
o
Arang 300 C 21.23 4.19 0.42 0.23 0.54 0.10
Arang 400 oC 28.24 7.22 0.12 0.33 2.83 0.69
o
Arang 500 C 23.33 3.81 0.12 0.36 3.07 0.75

Derajat kristalinitas merupakan tingkat keteraturan struktur suatu material


(Manoj dan Kunjomana 2012). Penetapan derajat kristalinitas dapat dilakukan
dengan cara membagi luas daerah kristalin dan luas daerah seluruhnya
(kristalin+amorf). Jadi berkurangnya derajat kristalinitas pada arang 300 oC, 400
o
C dan 500 oC memperlihatkan bahwa struktur kristal karbon pada arang semakin
teratur mendekati struktur grafit (Pari 2004). Grafit merupakan material berbasis
karbon yang berstruktur kristal, bersifat tidak elastis, dan memiliki konduktivitas
termal dan listrik yang baik. Atom-atom karbon dalam grafit tersusun membentuk
heksagonal di sistem cincin planar terkondensasi. Masing-masing atom karbon
berikatan kovalen dengan atom karbon tetangganya, sedangkan antar lapisan

 
 
76 
 

membentuk ikatan van der walls. Lampiran 4 menunjukkan difraktogram pola


struktur kristaltit buah bintaro. Lampiran 5, Lampiran 6 dan Lampiran 7
menunjukan difraktogram pola struktur kristaltit arang yang dipirolisis pada suhu
300 oC, 400 oC dan 500 oC.
Berdasarkan Tabel 20 menunjukkan bahwa jarak antar lapisan aromatik (d)
bahan baku setelah menjadi arang makin sempit. Tabel 20 juga menunjukkan
bahwa tinggi lapisan aromatik (Lc) dan jumlah lapisan aromatik (N) bahan baku
setelah menjadi arang meningkat. Fenomena ini menggambarkan adanya
peningkatan ikatan antar atom karbon sehingga jumlah lapisan aromatik (N)
bertambah. Hal ini terjadi karena kenaikan suhu pada proses karbonisasi
menyebabkan terjadinya penataan unsur karbon yang lebih intensif. Penyusunan
karbon aromatik pada bidang aksial dan berkurangnya alifatik jenuh sebagai
gugus fungsi pada karbon. Namun fenomena ini tidak terjadi pada arang yang
dipirolisis pada suhu 400 oC. Hal ini disebabkan puncak arang suhu pirolisis 400o
C terlalu lebar yang mengindikasikan kristalnya belum sempurna (Pari 2004).

Karakterisasi Asap Cair dari Arang Buah Bintaro

Hasil dari asap cair dengan suhu 300 oC pirolisis, 400 oC, dan 500 oC
masing-masing adalah 40.14 %; 40.86 % dan 41.43 %. Hasil ini lebih besar dari
hasil asap cair kulit duren pada suhu pirolisis yang sama yaitu berkisar antara
33.87 % - 39.23 % (Oramahi et al. 2013). Hasil ini menunjukkan bahwa hasil
asap cair yang lebih rendah diperoleh pada suhu pirolisis lebih rendah. Oramahi
et al. (2013) mengatakan bahwa hasil asap cair yang lebih rendah pada suhu yang
lebih rendah karena panas yang dibutuhkan untuk terjadinya proses pirolisis tidak
terpenuhi sehingga selulosa tidak terdekomposisi sempurna menjadi larutan
pirolignat, gas CO, CH4 dan H2. Sebaliknya, pada suhu pirolisis yang lebih tinggi
reaksi dekomposisi sekunder dapat terjadi. Pada suhu pirolisis 500 oC lignin
terurai secara menyeluruh. Lignin pada suhu pirolisis 500 oC terdekomposisi
seluruhnya dan membentuk lapisan aromatik dan ter (Byrne dan Nagle 2007) yang
akan bercampur dengan asap cair sehingga hasil pada suhu 500 oC yang lebih
besar dari pada suhu pirolisis 300 oC dan dari 400 oC.
Cara pembakaran arang juga mempengaruhi hasil. Hal ini terjadi karena
proses pirolisis tidak terjadi sempurna akibat kiln pirolisis tidak dapat optimal
menjaga proses pirolisis sehingga jumlah oksigen masih berlimpah dalam drum
pembakaran yang menyebabkan hasil pada suhu yang lebih rendah lebih kecil
(Sunardi dan Yuliansyah 2006). Menurut Darmadji et al. (2006) penurunan hasil
rendemen asap cair dikarenakan di dalam asap cair ada arang, ter dan senyawa
yang tidak terkondensasikan. Chen et al. (2001) menambahkan bahwa rendahnya
rendemen asap cair disebabkan tingginya kadar selulosa dan hemiselulosa di
dalam bahan baku yang mengakibatkan rendahnya stabilitas thermal asap cair
yang dihasilkan karena pada tahap lanjut pirolisis akan menimbulkan terjadinya
degradasi senyawa asam menjadi karbondioksida dan air. Bila dibandingkan
dengan penelitian sebelumnya, hasil dari asap cair kayu akasia 40.3 % (Nurhayati
et al. 2005) dan tebu raksasa 45 % (Temiz et al. 2013), tidak berbeda secara
signifikan dengan hasil asap cair buah bintaro
Tabel 21 menunjukkan nilai berat jenis atau specific gravity yang diperoleh
dari asap cair buah bintaro berkisar antara 1.016-1.021. Semakin tinggi suhu
77 
 

pirolisis akan menghasilkan nilai berat jenis yang relatif tinggi, nilai berat jenis
yang tertinggi diperoleh pada suhu pirolisis 500 oC sebesar 1.021. Berdasarkan
Tabel 21 terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada nilai berat jenis untuk
setiap suhu pirolisis. Hal ini terjadi karena pada setiap kenaikan suhu akan
banyak dihasilkan rendemen atau hasil yang lebih tinggi, namun rendemen yang
dihasilkan juga tidak berbeda secara siginifikan, sehingga berat jenis setiap
peningkatan suhu pirolisis juga tidak berbeda nyata. Berat jenis menyatakan
banyaknya komponen senyawa kimia yang terkandung dalam asap cair.
Ratanafisit et al. (2009) menyatakan bahwa karena asap cair berasal dari
kondensasi asap dengan air, mengakibatkan komponen utama dari asap cair
adalah air. Meskipun asap cair mengandung banyak bahan kimia, namun
konsentrasi bahan kimia dalam asap cair hanya terdapat dalam jumlah kecil
sehingga perbedaan suhu pirolisis tidak terlalu berperan terhadap perbedaan nilai
berat jenis. Jika dibandingkan dengan asap cair standar Jepang (Yatagai et al.
2002), berat jenis dari asap cair buah bintaro belum memenuhi rentang standar
asap cair Jepang yaitu < 1.005, tapi asap cair ini masih dapat digunakan sebagai
asap cair karena nilai berat jenis pada rentang 1.005 - 1.050 (Burnette 2010).
Tabel 21 Hasil karakterisasi asap cair arang buah bintaro
Asap Cair Hasil (%) Berat jenis pH Asiditas (%) Fenol (ppm)
o
( C)
300 40.14 1.016 2.28 2.35 813.01
400 40.86 1.017 2.47 3.12 1016.26
500 41.43 1.021 2.78 5.06 6833.33

Buah bintaro merupakan gugus fungsi kayu keras yang mengandung tiga
komponen utama: selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selulosa tidak pernah
ditemukan dalam keadaan murni di alam, tetapi selalu berasosiasi dengan
polisakarida lain seperti pektin, hemiselulosa, dan xilan. Kebanyakan selulosa
berasosiasi dengan lignin sehingga sering disebut sebagai lignoselulosa (Alen
2000). Hasil dekomposisi selulosa dengan proses pirolisis menghasilkan
anhidroglukosa, senyawa karbonil dan furan. Dekomposisi hemiselulosa mirip
dengan selulosa, tetapi menghasilkan asam asetat dan karbon dioksida (Wei et al.
2010).
Tabel 21 menunjukkan bahwa nilai pH akan meningkat seiring dengan
meningkatnya suhu walaupun tidak berbeda nyata Nilai pH asap cair berkisar
antara 2.28-2.78. Sung et al. (2007) mengatakan bahwa keasaman asap cair
tergantung pada sumber kayu, langkah-langkah pengolahan dan pemurnian
parameter. Keasaman asap cair juga dipengaruhi oleh suhu pirolisis, karena pada
suhu yang lebih tinggi dari 280 oC, asam asetat banyak diproduksi..
Nilai pH pada asap cair atau cuka kayu buah bintaro sebesar 2.28–2.78
menunjukkan bahwa cuka kayu buah bintaro masih dalam keadaan asam berada
dalam rentang standar cuka kayu Jepang (1.5–3.5) yang bagus untuk dijadikan
antirayap kayu. Nilai pH yang paling rendah dicapai pada asap cair dengan suhu
pirolisis 300 oC karena pada suhu 300 oC terjadi peruraian senyawa selulosa
menjadi asam asetat dan homolognya, hal inilah yang menyebabkan pH pada suhu
300 oC sangat rendah. Demikian pula pada suhu 400 oC, nilai pH juga masih asam
karena pada suhu ini, terjadi peruraian lignin menjadi fenol, homolog dan

 
 
78 
 

turunannya yang bersifat asam sedangkan untuk suhu 500 oC, nilai pH asap cair
masih asam karena pada suhu ini masih terurainya sebagian lignin menjadi fenol
dan turunannya serta senyawa ter. Berbagai senyawa fenolik seperti mequinol, 2,6
dimethoxy ada di dalam asap cair dengan pH rendah (Yatagai et al. 2002)
Berdasarkan hasil analisis, kadar total asiditas dari asap cair buah bintaro
berada pada rentang 2.35–5.06 %. Hasil analisis kadar total asiditas dari buah
bintaro tidak jauh beda dengan hasil penelitian asiditas asap cair dari tempurung
kelapa sebesar 1.86 – 9.6 % (Lombok et al. 2014). Pada Tabel 21 terlihat bahwa
semakin tinggi suhu pirolisis buah bintaro, kadar air asap cair juga berkurang,
sehingga menyebabkan total asiditas juga meningkat (Lombok et al. 2014).
Lampiran 11 memperlihatkan contoh hasil pengulangan pengukuran asiditas.
Tabel 21 menunjukkan bahwa peningkatan suhu pirolisis meningkatkan
kadar fenol. Kandungan fenol dari asap cair dengan suhu 300 oC pirolisis, 400 oC,
dan 500 oC adalah 813.01 mg/L; 1016 mg/L dan 6833.33 mg secara berurutan.
Hasil analisis kadar fenol buah bintaro sangat besar dibandingkan dengan kadar
fenol asap cair tanaman lamtoro sebesar 481.2 ppm dan kadar fenol asap cair
jagung sebesar 335 ppm (Swastawati et al. 2007). Hal ini terjadi karena senyawa
kimia dari asap cair atau cuka kayu dipengaruhi oleh jenis bahan baku, waktu
pirolisis dan suhu pirolisis (Milly et al. 2008). Berdasarkan pendapat Darmadji
(2006) dan Chen et al. (2001), suhu pirolisis merupakan salah satu parameter
penting untuk mencapai kualitas asap cair terbaik. Proses pirolisis melibatkan
berbagai reaksi yaitu dekomposisi, oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi. Reaksi-
reaksi yang terjadi antara lain pada suhu 200-250 oC terjadi peruraian
hemiselulosa membentuk furfural, furan dan turunannya serta asam karboksilat.
Pada suhu 280-320 oC terjadi pirolisis selulosa yang menghasilkan senyawa asam
asetat dan homolognya. Varlet et al. (2010) menyatakan proses degradasi thermal
selulosa tahap pertama menghasilkan glukosa kemudian tahap kedua
menghasilkan asam asetat dan homolognya, air serta sejumlah kecil furan dan
senyawa fenolik. Inilah yang menyebabkan kadar fenol relatif tidak besar pada
suhu pirolisis 300 oC.
Pada suhu 400 oC, terjadi peruraian lignin menjadi fenol, homolognya dan
turunannya (Ohra-aho et al. 2005). Menurut Girard (1992) terjadi degradasi lignin
menjadi fenol pada suhu >350 oC, selanjutnya Chen et al. (2001) menambahkan
bahwa degradasi thermal selulosa dan hemiselulosa menghasilkan kadar fenol
yang lebih sedikit pada suhu 300 oC dibandingkan dengan degradasi lignin karena
itu kadar fenol pada suhu 400 oC lebih tinggi daripada suhu 300 oC. Adapun pada
suhu 500 oC terjadi peruraian lignin sebagian dan pembentukan banyak senyawa
ter serta hidrokarbon polisiklis aromatik (Girard 1992). Selain itu kadar lignin
yang tinggi pada buah bintaro juga memberikan pengaruh yang besar terhadap
tingginya kadar fenol pada temperatur ini. Hal inilah yang menyebabkan kadar
fenol akan meningkat seiring meningkatnya suhu. Lampiran 12 menunjukan
perhitungan kadar fenol dalam asap cair.
Asap pada suhu 500 oC menjadi berwarna putih kebiruan yang menandakan
bahwa asap tersebut mengandung kadar ter ringan tanpa mengandung asap cair
lagi. Oleh karena itu produksi asap cair dihentikan pada suhu ini (Nurhaya et al.
2005). Adanya kandungan senyawa poliaromatik hidrokarbon (PAH) seperti
napthelene pada suhu 500 °C membuat asap cair sudah berbahaya bagi
lingkungan dan manusia (Gallego et al. 2008). Data yang ditampikan dalam Tabel
79 
 

22 menunjukkan senyawa aromatik dan antioksidan (asam asetat, fenol, homolog


dan turunannya) dalam asap cair buah bintaro. Hasil identifikasi senyawa dalam
Tabel 22 hampir mirip dengan penelitian sebelumnya (Kristinson et al. 2007;
Soldera et al. 2008) yang menyatakan bahwa senyawa fenolik yang dominan
dalam asap cair seperti syringol (2.6-dimethoxy phenol) dan guaiacol (2 methoxy
phenol) dan turunannya memerankan kontribusi utama sebagai aktivitas
antibakteri.
Pada Tabel 22, menunjukan bahwa guaiacol (2 methoxy phenol) adalah
senyawa yang paling banyak ditemui dalam asap cair yang didapat ketika kayu
lunak digunakan sebagai sumber kayu. Adapun syringol (2.6-dimethoxy phenol)
ditemukan hanya 0.15 % pada temperatur pirolisis 300 oC. Guillen dan Manzanos
(2002) menyatakan bahwa pada saat kayu lunak digunakan sebagai sumber kayu,
syringol jarang ditemukan ditemukan dalam asap cair. Hal yang sama terjadi pada
asap cair buah bintaro karena buah bintaro yang termasuk kayu lunak
menyebabkan syringol tidak ditemukan dalam asap cair.
Pada Tabel 22 terlihat bahwa pada suhu pirolisis 300 oC, senyawa kimia
banyak diidentifikasi sebagai asam karboksilat (asam asetat (acetic acid), asam
propanoat (propanoic acid) dan asam oleat (oleic acid)), homolognya dan furan.
Hasil Ini sesuai dengan hasil pengukuran pH, yang menghasilkan nilai pH
terendah karena banyak senyawa asam organik seperti asam asetat, asam oleat dan
asam propanoat yang terbentuk pada suhu pirolisis 300 oC.
Pada suhu 400 oC ditemukan senyawa kimia berupa fenol dan homolognya,
furan dan sedikit asam karboksilat sedangkan pada suhu 500 oC terdeteksi
senyawa kimia sebagian besar fenol dan polisiklik aromatik hidrokarbon, hal ini
sesuai dengan yang dikatakan oleh Gilard (1992) dan Varlet et al. (2010). Hasil
dari analisis GCMS disajikan dalam Lampiran 8, Lampiran 9 dan Lampiran 10
menunjukkan bahwa ada sekitar 40 komponen senyawa kimia dalam asap cair
yang diidentifikasi dari luas area senyawa dengan GC-MS.
Secara keseluruhan, komponen asap cair yang dominan adalah piridin -3
karbosamida (pyridine-3-carboxamide), oksim (oxime), N-2 trifluorometilfinil
(N-(2-trifluoromethylphenyl)); asam asetat (acetic acid); fenol (phenol), 2 metoksi
(2-methoxy), fenol (phenol), 2 metoksi-4 metil (2-methoxy-4 methyl); 4 metoksi
fenol (mequinol),asam 9-oktadenoat (Z) (9-octadecenoic acid (Z)), 2.3
dihidroksilpropil ester (2,3 dihydroxyprophyl ester). Hasil ini menunjukkan bahwa
senyawa asap cair didominasi oleh asam organik yang merupakan hasil dari
pirolisis parsial selulosa dan hemiselulosa kayu. Pada Tabel 22 terlihat bahwa
asam organik diwakili oleh asam asetat yang berfungsi sebagai pembunuh rayap,
kemudian dari hasil GC-MS terlihat bahwa kadar asam asetat yang menurun dari
46.09 % (sampel 300 oC) menjadi 3.30 % (sampel 400 oC) dan naik menjadi
13.09 % (sampel 500 oC). Besarnya kadar asam asetat inilah yang menyebabkan
suhu pirolisis 300 oC memiliki nilai pH yang paling rendah.
Di sisi lain, selulosa dan lignin yang terdegradasi menjadi senyawa molekul
rendah yang mudah menguap dan ter pada suhu pirolisis 400 oC dan 500 oC
(Ohra-aho et al. 2005; Fullana et al. 2005). Senyawa organik yang mudah
menguap dalam Tabel 22 seperti asam asetat, asam 9-oktadenoat (Z), senyawa
fenol dan karboksilat dibentuk oleh pirolisis dalam proses karbonisasi. Hal inilah
yang menyebabkan hasil meningkat seiring meningkatnya suhu.

 
 
80 
 

Tabel 22 Senyawa kimia dari asap cair pada suhu pirolisis yang berbeda
No Senyawa Suhu/Area (%)
. 300 C 400 oC 500 oC
o

1 2-Propanone, 1 hidroxyl 4.66 - -


2 Furfural; pyrazole, 1,4- dimethyl 4.71 - -
3 8 – Azabicyclo[3.2.1] octan -3-one 0.16 - -
4 1.6;2,3-Dianhydro-4-O-acetyl 0.72 - -
5 4,4-Dimethyl-2-cyclopenten-1-one 2.32 - -
6 Pyridine-3-carboxamide, Oxime, N-(2- 19.98 - -
trifluoromethylphenyl)
7 Butyrolactone 0.64 - -
8 2-Furan Carboxaldehyde, 5-methyl 0.54 - -
9 2 Cyclopenten-1-one, 3 methyl 0.24 - -
10 2 Cyclopenten-1-one, 2,3 dimethyl 0.96 - -
11 2 Cyclopenten-1-one-2-methyl - 2.17 -
12 2-(1-methyl vinyl) thiophene 0.44 - -
13 Cyclohexan-1,4,5-triol-3-one-1-carboxylic 0.1 - -
acid
14 3-Allyl-6-methoxyphenol 0.28 0.47 -
15 Benzene, 1-methyl-4-(phenylmethyl) 0.1 - -
16 13-Tetradecen-1-ol-acetate 0.51 - -
17 9-Octadecenoic acid 0.56 - -
18 Propanoic acid 1.49 - -
19 Oleic Acid 2.22 - -
20 Acetic Acid 46.09 3.30 13.09
21 Butanedioic acid, 2,3-bis(acetyloxy) - 0.85 -
22 2,4-Hexadien-1-ol; Cyanamide, dimethyl - 0.63 -
23 Furan, 2,4 - dimethyl - 2.17 0.92
24 Phenol 2.65 5.28 4.08
25 Phenol, 2-methoxy; 12.43 15.19 18.18
26 Phenol, 2,6-dimethoxy 0.65 - -
27 Mequinol - 15.19 -
28 Phenol, 3-methyl; Phenol, 4-methyl - 5.06 3.05
29 Phenol, 2-methoxy-4 methyl 2.73 7.28 9.36
30 Phenol, 2-methoxy-4- (1-Propenyl); - 0.47 1.15
31 Phenol, 2,3 dimethyl - 2,47 -
32 Phenol, 4-ethyl-2-methoxy 1.23 4.25 4.30
33 Phenol, 2,4,6-trimethyl - 0.83 0.53
34 3 Fluorobenzaldehyde semicarbazone - 1.6 -
35 5-tert-Butylpyrogallol - 0.45 -
36 9-octadecenoic acid (Z), 2,3 - 42.57 23.76
dihydroxypropyl ester
37 1-H-Imidazole, 1,5-dimethyl; 1-H-imidazole, - - 0.28
1,4 dimethyl
38 1-H-pyrazole, 3,5-dimethyl - - 0.31
39 Hept-3-yn-2-one - - 1.28
40 Napthalene, 1,1-ethylidene bis(decahydro); - - 1.15
2,4-Dihydroxypropiohenone
81 
 

Hasil dari GC-MS sesuai dengan hasil penelitian dari Mohan et al. (2008)
dan Kim et al. (2008) yang menuliskan bahwa asap cair atau cuka kayu dari
bambu dan kayu memiliki lebih dari 200 komponen kimia senyawa organik
seperti alkohol, dan aldehida. Kartal et al. (2004) dan Nakai et al. (2007) juga
menyatakan bahwa cuka kayu dari bambo mengandung senyawa kimia seperti
asam asetat, formaldehid, dan fenol juga menunjukkan aktivitas antirayap.
Senyawa nafthalene pada temperatur 500 oC merupakan grup PAH, yang
berbahaya bagi lingkungan dan manusia (Gallego et al. 2008).
Berdasarkan Tabel 23, kontrol menyebabkan kematian 16.22 % dari rayap,
sementara kematian tertinggi ditemukan pada asap cair pada suhu pirolisis dari
500 oC. Pada suhu 300 oC terjadi kematian rayap karena asap cair pada suhu ini
mengandung asam asetat yang besar (46.09 %), yang berfungsi sebagai agen
termiticidal (Yatagai et al. 2002) sedangkan pada suhu 400 oC yang berperan
sebagai antirayap adalah senyawa fenolik dan turunannya yang menyebabkan
kematian rayap. Komponen fenolik seperti fenol, fenol 2-metoksi, fenol, 4-etil-2-
metoksi yang dianggap bertindak sebagai agen biosidal yang bertanggung jawab
untuk sifat termicidal asap cair (Mohan et al. 2008; Yatagai et al. 2002; Lunchak
2006).
Kehilangan berat kayu dan kematian rayap pada temperatur yang berbeda
dari pirolisis dirangkum pada Tabel 23. Di sisi lain, secara keseluruhan ada
perbedaan yang signifikan dalam perlakuan kayu pinus tanpa dicelupkan ke dalam
asap cair (kontrol) dan kayu pinus dicelupkan ke dalam asap cair. Persentase
kematian rayap akibat asap cair buah bintaro hampir sama jika dibandingkan
dengan persentase kematian rayap akibat asap cair kayu laban yaitu berkisar
antara 95 – 100 % (Oramahi et al. 2013).
Tabel 23 Efisiensi kematian rayap dan kehilangan berat kayu dari asap cair
Perlakuan (oC) Kematian (%) Kehilangan berat kayu(%)
Kontrol 16.22 11.61
300 97.58 2.56
400 96.44 2.22
500 100 2.33

Lampiran 13 memperlihatkan hasil pengujian anti rayap yang menunjukkan


adanya perbedaan temperatur pirolisis mempengaruhi perbedaan nilai kehilangan
berat kayu akibat adanya variasi makan rayap. Pada Tabel 23 terlihat bahwa pada
temperatur 300 oC, kehilangan berat kayu sebesar 2.56 % dan temperatur 400 oC
sebesar 2.22 % , sedangkan pada suhu pirolisis 500 oC adalah sebesar 2.33 %.
Perbedaan kehilangan berat kayu disebabkan oleh adanya perbedaan komposisi
kimia kayu dari setiap temperatur pirolisis. Berdasarkan Tabel 22 juga terlihat
bahwa asap cair pada suhu 300 oC mengandung persentase besar dari asam asetat,
asam organik ini merupakan suatu senyawa yang baunya tidak disukai oleh
serangga (Purnamadjaja et al. 2005; Ayasse dan Paxton 2002) sedangkan pada
suhu 400 oC terlihat persentase fenol yang lebih besar daripada persentase fenol di
suhu pirolisis 500 oC, hal inilah yang menyebabkan kehilangan berat kayu relatif
lebih kecil pada suhu pirolisis 400 oC dibanding suhu pirolisis 500 oC. Persentase
kehilangan berat kayu dari kayu yang diberi perlakuan dengan asap cair buah
bintaro lebih kecil dibandingkan persentase kehilangan berat kayu dari asap cair

 
 
82 
 

kayu laban yang berkisar antara 9.79 – 5.65 % (Oramahi et al. 2013). Hal ini
menunjukkan bahwa asap cair buah bintaro dapat berfungsi sebagai antifeedant
atau penghambat nafsu makan rayap
Penurunan berat kayu pinus pada uji anti rayap adalah 11.61 % untuk
kontrol, hal ini menunjukkan bahwa kontrol memiliki persentase tertinggi
penurunan berat kayu, berarti bahwa kelas ketahanan kayu pinus sangat rendah
(IV) jika tanpa dicelupkan dalam asap cair yang menyebabkan kayu pinus sangat
rentan untuk diserang rayap. Akan tetapi kondisi berbeda ditemukan di kayu pinus
yang dicelupkan ke dalam asap cair, yang memiliki persentase penurunan berat
kayu rendah (2.22-2.56 %). Hasil ini menunjukan bahwa daya tahan kayu dapat
berubah jika kayu pinus dicelupkan ke dalam asap cair. Kelas daya tahan kayu
dirangkum dalam Tabel 24.

Tabel 24 Kelas keawetan kayu berdasarkan Standar Nasional Indonesia


Perlakuan Derajat keawetan kayu Ketahanan
o
300 C I Sangat tahan
400 oC I Sangat tahan
o
500 C I Sangat tahan
Kontrol IV Buruk

Hasil yang tertera pada Tabel 24 sesuai dengan yang disampaikan oleh Kim
et al. (2008) yang menyatakan bahwa keawetan kayu juga sangat dipengaruhi
oleh kandungan senyawa ekstraktif yang memiliki sifat sebagai pestisida atau anti
rayap alami, umumnya semakin tinggi kandungan ekstraktif pada kayu seperti
asam lemak, lilin dan terpentin, maka keawetan kayu alami cenderung meningkat.
Kayu pinus merupakan kayu lunak yang memiliki kandungan senyawa ekstraktif
yang lebih sedikit dan ikatan antar pori-pori yang lebih lunak dibanding kayu
keras seperti kayu jati sehingga mudah dirusak rayap.

Analisis Statistik Asap cair

Perbedaan mortalitas rayap antara tiga suhu pirolisis dianalisis dengan


analisis satu arah varians (ANOVA) dan perbandingan Dunnett dengan kontrol.
Data ANOVA dengan P <0.05 adalah diklasifikasikan secara statistik sebagai
signifikan. Secara statistik (Tabel 25), tidak ada perbedaan suhu asap cair yang
signifikan dalam mortalitas rayap. Di sisi lain, secara keseluruhan ada perbedaan
yang signifikan dalam perlakuan kayu pinus tanpa dicelupkan ke dalam asap cair
(kontrol) dan kayu pinus dicelupkan ke dalam asap cair.

Tabel 25. One-way ANOVA: respon kematian rayap terhadap perlakuan asap cair
pada berbagai suhu pirolisis.
Sumber DF SS MS F P
Perlakuan 3 15066.6 5022.2 299.40 0.00000
Error 8 134.2 16.8
Total 11 15200.8
S = 4.096 R-sq = 99.12% R-sq(adj) 98.79%
83 
 

Karakteristik Arang Aktif dari Buah Bintaro

Aktivasi menyebabkan semakin banyak bahan yang mudah terbang terlepas


dari arang sehingga mengakibatkan terbukanya struktur seluler yang tersisa yang
berakibat pada terbentuknya pori. Aktivasi bertujuan untuk membuka pori-pori
arang agar menjadi lebih luas, sehingga mampu menguapkan pengotor lebih
banyak (Lillo-Rodenas et al. 2003).
Arang dari sampah buah bintaro diaktivasi dengan tiga cara yaitu dengan
metode fisika menggunakan steam atau uap air, dengan metode kimia
menggunakan aktivator basa yaitu NaOH dan aktivator asam yaitu H3PO4 yang
dibuat dengan dua jenis waktu aktivasi yaitu 60 menit dan 90 menit. Berdasarkan
hasil dari analisis proksimat dari arang aktif pendahuluan di Tabel 26 yang
dilampirkan hasil perhitungannya pada Lampiran 14-23, diketahui bahwa arang
yang mempunyai kualitas terbaik adalah arang yang dipirolisis pada suhu 500 oC.
Selanjutnya dilakukan aktivasi pada arang dengan dua cara yaitu fisika
menggunakan panas dan uap air serta dengan cara kimia menggunakan asam
fosfat (5 % dan 10 %) dan KOH (5 % dan 10 %) dengan waktu aktivasi 60 dan 90
menit.
Tabel 26 Karakterisasi uji pendahuluan arang aktif
Perlakuan Kadar Kadar Kadar zat Karbon Daya Rendemen
air (%) abu (%) terbang (%) terikat serap iod (%)
(%) (mg/g)
A1W1S1 12.21 19.25 0.79 79.97 936.99 40.00
A1W2S1 14.78 28.68 0.64 70.69 819.81 24.29
A2W1S1 12.34 30.93 0.96 68.12 918.95 55.71
A2W2S1 12.55 17.53 0.62 81.85 873.27 42.86
A3W1S1 15.71 17.74 1.03 81.23 861.38 40.00
A3W2S1 15.03 42.82 0.88 56.30 897.81 21.43
A4W1S1 12.64 18.54 0.83 80.63 847.87 35.71
A4W2S1 14.81 14.62 0.55 84.83 863.31 32.86
A5W1S1 16.31 67.95 0.55 31.50 806.99 42.85
A5W2S1 16.61 53.59 0.65 45.76 878.27 34.29
Standar* maks 15 maks 10 maks 25 min 65 min 750
Keterangan :*Standar = SNI 06-3730-1995 tentang syarat mutu arang aktif teknis
A1 = Aktivasi dengan H2O W1 = Waktu aktivasi 60 menit
A2 = Aktivasi dengan KOH 5% W2 = Waktu aktivasi 90 menit
A3 = Aktivasi dengan KOH 10% S1 = Suhu aktivasi pada 650 oC
A4 = Aktivasi dengan H3PO4 5% A5 = Aktivasi dengan H3PO410%

Pada uji pendahuluan karakteristik arang aktif, pada Tabel 26 terlihat bahwa
kadar air yang tidak memenuhi syarat didapati pada arang yang diaktivasi dengan
KOH 10 % sebesar 15.71 % dalam waktu 60 menit dan 90 menit sebesar 15.03 %
serta arang yang diaktivasi oleh asam fosfat 10 % dalam waktu 60 menit sebesar
16.31 %. Menurut El-Hendaway (2003), kadar air arang aktif yang tinggi
disebabkan oleh proses pendinginan, penggilingan dan pengayakan arang aktif

 
 
84 
 

pada saat proses pembuatan. Seperti diketahui bahwa preparasi sampel arang aktif
berupa penggilingan dan pengayakannya dilakukan pada ruang terbuka sehingga
uap air di udara dapat terserap masuk ke dalam pori-pori arang aktif.
Adapun untuk kadar abu arang aktif, tidak ada satupun arang aktif yang
kadar abunya memenuhi standar mutu arang aktif teknis bentuk serbuk. Besarnya
kadar abu ini disebabkan terdapatnya senyawa non-karbon yang menempel pada
permukaan arang aktif terutama atom H maupun atom O yang terikat kuat pada
atom C pada permukaan arang aktif dalam bentuk CO2, CO, CH4 dan H2..
Senyawa non karbon tersebut merupakan suatu pengotor yang menutupi pori-pori
dari arang aktif, sehingga akan mengurangi efektifitasnya dalam menyerap
adsorbat. Tingginya kadar abu ini juga karena adanya proses oksidasi yang terjadi
pada suhu tinggi di samping karena banyaknya sisa aktivator yang yang terbakar
menjadi abu.
Uji pendahuluan untuk parameter kadar zat terbang semuanya memenuhi
syarat mutu arang aktif teknis. Kadar zat terbang tertinggi terdapat pada arang
yang diaktivasi dengan KOH 10 % dalam waktu 60 menit dan yang terendah yang
diaktivasi dengan H3PO4 5 % dengan waktu aktivasi 90 menit. Kadar zat terbang
yang tinggi menunjukkan bahwa permukaan arang aktif mengandung zat terbang
yang berasal dari hasil interaksi antara karbon dengan uap air (Pari 2004).
Adapun untuk parameter karbon terikat, diketahui bahwa arang yang
diaktivasi KOH 10 % selama 90 menit dan arang yang diaktivasi dengan asam
fosfat 10 % baik dalam waktu 60 maupun 90 menit tidak memenuhi syarat mutu
arang teknis. Besar kecilnya kadar karbon terikat yang dihasilkan, selain
dipengaruhi oleh tinggi rendahnya kadar zat terbang dan kadar abu juga
dipengaruhi oleh kandungan selulosa dan lignin bahan yang dapat dikonversi
menjadi atom karbon (Pari 2004). Kadar karbon yang cukup tinggi ini
menunjukkan sedikitnya atom karbon yang bereaksi dengan uap air menghasilkan
gas CO sehingga atom karbon tertata kembali membentuk struktur heksagonal
yang cukup banyak. Kondisi ini mengindikasikan arang aktif buah bintaro
mempunyai daya serap yang cukup tinggi.
Daya adsorpsi iod memiliki korelasi dengan luas permukaan arang aktif.
Semakin besar angka iod, semakin besar kemampuan arang aktif dalam
mengadsorpsi adsorbat atau zat terlarut (Subadra et al. 2005). Salah satu metode
yang digunakan dalam analisis daya adsorpsi arang aktif terhadap iod adalah
dengan metode titrasi iodometri. Kereaktifan dari arang aktif dapat dilihat dari
kemampuannya mengadsorpsi adsorbat. Daya adsorpsi tersebut dapat ditunjukkan
dengan besarnya angka iod (iodine number) yaitu angka yang menunjukkan
seberapa besar adsorben dapat mengadsorpsi iod. Semakin besar nilai angka iod
maka semakin besar pula daya adsorpsi dari adsorben.
Menurut Heyen-Fu et al. (2011), besarnya daya jerap arang aktif terhadap
iod berhubungan dengan banyaknya mikropori yang terbentuk, yang hanya
mampu dimasuki oleh molekul dengan diameter pori kurang dari 10 Å. Daya jerap
terhadap iodin yang rendah disebabkan oleh adanya kotoran yang menyumbat
pori-pori arang aktif hingga permukaan arang aktif tidak terbuka. Daya serap iod
arang aktif buah bintaro, semuanya memenuhi syarat mutu arang aktif teknis
berdasarkan SNI 06-3730-1995. Daya serap iod tertinggi diperolah dari arang
yang diaktivasi oleh uap air selama 60 menit dan daya serap iod terendah didapat
85 
 

dari arang yang diaktivasi oleh asam fosfat dengan konsentrasi 10 % selama 60
menit.
Persentase rendemen yang dihasilkan oleh arang aktif menunjukkan bahwa
semakin lama waktu aktivasi, persentase rendemen yang dihasilkan akan semakin
kecil. Penurunan persentase rendemen pada saat aktivasi sangat dipengaruhi oleh
kadar air. Semakin tinggi kadar air, rendemen akan semakin kecil karena air dapat
melarutkan sebagian pengotor pada permukaan arang hasil karbonisasi sehingga
mengurangi bobot arang aktif. Semakin tinggi konsentrasi aktivator juga akan
meningkatkan rendemen arang aktif karena selama aktivasi akan terjadi reaksi
depolimerisasi, dehidrasi dan perubahan senyawa alifatik menjadi aromatik antara
aktivator dan arang sehingga meningkatkan bobot arang aktif. Rendemen arang
aktif tertinggi dicapai dari arang yang diaktivasi KOH 5 % selama 60 menit
(Tabel 26).
Berdasarkan hasil analisis proksimat arang aktif diketahui bahwa tidak ada
arang aktif yang memenuhi keseluruhan persyaratan SNI kualitas arang aktif,
sehingga semua arang aktif dicobakan untuk mengolah limbah cair krom dari
laboratorium.
Topografi Arang Aktif Percobaan Pendahuluan
Berdasarkan Gambar 28 menunjukkan bahwa topografi arang aktif yang
mempunyai ukuran pori yang besar dan banyak yaitu pada arang yang diaktivasi
dengan uap air pada waktu aktivasi 60 menit dan arang yang diaktivasi dengan
KOH dengan konsentrasi 5 % selama 60 menit. Hal ini juga terlihat dari ukuran
diameter pori yang terbesar terdapat pada arang yang aktivasi oleh uap air dengan
waktu aktivasi selama 60 menit dengan diameter pori sebesar 13.84 µm.
Selanjutnya urutan kedua diikuti oleh arang yang diaktivasi oleh KOH dengan
konsentrasi 5 % dengan waktu aktivasi 60 menit dengan diameter pori sebesar
11.52 µm.

a) Arang aktif uap air 60 menit b) Arang.aktif KOH 5% 60 menit

c) Arang. aktif KOH 10% 60 menit d) Arang.aktif H3PO4 5% 90 menit

e) Arang aktif H3PO4 10% 90 menit f) Arang aktif KOH 5% 90 menit


Gambar 28 Topografi arang aktif pada berbagai aktivator dan waktu aktivasi 60
dan 90 menit dengan pembesaran 500x

 
 
86 
 

Gambar 28 (d) dan (f) menunjukkan banyak abu yang menutupi permukaan
pori-pori arang aktif. Hal ini terjadi karena komponen ter dan senyawa aromatik
lainnya yang berasal dari bahan baku yang tidak terkena perlakuan asam fosfat,
menyebabkan komponen tersebut bereaksi dengan permukaan bahan baku selama
pirolisis dan mempengaruhi distribusi pori-pori karbon aktif.
Pada Tabel 27 juga menunjukkan bahwa arang aktif yang diaktivasi dengan
H3PO4 dengan waktu aktivasi yang sama dan konsentrasi yang berbeda
menunjukan bahwa semakin besar konsentrasi zat pengaktivasi, semakin besar
diameter pori dari arang aktif.
Tabel 27 Diameter permukaan pori arang aktif dari hasil berbagai aktivator dan
waktu aktivasi
Jenis aktivator Diameter arang aktif (µm)
A1W1S1 13.84
A2W1S1 11.52
A2W2S1 8.8
A3W2S1 11.2
A4W2S1 8.6
A5W2S1 10.4
Standar makro pori arang aktif > 0.025 µm
Keterangan: A1 = Aktivasi dengan uap air A2 = Aktivasi dengan KOH 5 %
W1 = Waktu aktivasi 60 menit A3 = Aktivasi dengan KOH 10 %
W2 = Waktu aktivasi 90 menit A4 = Aktivasi dengan H3PO4 5 %
S1 = Suhu aktivasi pada 650 oC A5 = Aktivasi dengan H3PO4 10 %

Menurut Rahman et al. (2012), peningkatan konsentrasi aktivator akan


disertai pengembangan pori. Hal ini disebabkan peran aktivator yang
meminimalkan pembentukan ter dan senyawa lainnya seperti aromatik, yang bisa
menyumbat pori-pori dan menghambat perbesaran pori-pori. Pada saat konsentrasi
H3PO4 meningkat, pengembangan pori juga meningkat seperti yang terjadi pada
Gambar 28 (e).

Gugus Fungsi Arang Aktif Percobaan Pendahuluan

Identifikasi bilangan gelombang dari gugus fungsi arang aktif dari


percobaan pendahuluan dengan aktivator uap air dapat dilihat pada Tabel 28
Berdasarkan Tabel 28 diketahui bahwa bilangan gelombang 3407-an cm-1
merupakan daerah serapan gugus OH, yang memiliki intensitas paling tinggi
kemudian menurun setelah melalui proses aktivasi. Menurunnya intensitas
serapan pada bilangan gelombang 2700-3500 cm-1 merupakan petunjuk mulai
menurunnya jumlah gugus fungsi (Kimura dan Kaito 2004). Senyawa tersebut
merupakan penyusun struktur kristalit heksagonal arang aktif.
Spektrum FTIR pada arang yang diaktivasi uap air selama 60 –90 menit
memperlihatkan adanya vibrasi C=O yang ditunjukkan dengan adanya pita
serapan di daerah bilangan gelombang 1809-1874 cm-1, ikatan C-H Asym and
87 
 

bending yang ditunjukkan dengan adanya pita serapan di daerah bilangan


gelombang 1364 cm-1, dan gugus fungsi C-O alkohol yang ditunjukkan dengan
adanya pita serapan di daerah bilangan gelombang 1041an cm-1, tetapi disertai
dengan pergeseran bilangan gelombang (Menendez et al. 1999).
Tabel 28 Bilangan gelombang arang dan arang aktif (KOH dan uap air)
Keterangan gugus Arang KOH KOH H2O H2O
fungsi 500oC 10%- 60 10% -90 60 menit 90 menit
menit menit
-OH stretching 3407.42
C-H asym stretching 2845.16
C-H aliphatic 2666.81
CΞC 2112.59 2291.62 2168,99 2318.51
-CΞC-H 2013.98 2114.07
C=O 1874.96 1809.84
-C=C aromatic 1613.62
C-H asym and 1389.73 1364.94
bending
O-H bending 1367.69
C-O asy stretching 1257.61
C-O carboxylic acid, 1009.12 1041.97
alcohol
C-H aromatic 872.92-
689.84

Gambar 29 menunjukan bahwa adanya aktivasi kimia dengan H2O


mengakibatkan puncak gugus O-H pada bilangan gelombang 3400-an cm-1
menghilang dan membentuk ikatan yang baru di bilangan gelombang 2845-an
cm-1. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan OH mengalami perubahan lingkungan
kimiawi karena adanya interaksi dengan gugus tertentu (dalam hal ini uap air),
dan hal ini didukung oleh menghilangnya puncak C=C pada bilangan gelombang
1613-an. Perubahan kimiawi tersebut menghasilkan penurunan energi/penurunan
nilai bilangan gelombang. Aktivasi H2O mengakibatkan puncak gugus fungsi
C=C pada bilangan gelombang 1613-an juga bergeser ke bilangan gelombang
1364 cm-1. Hal ini menunjukkan bahwa puncak C=C berinteraksi dengan gugus
lain yang melemahkan ikatan C=C sehingga energi/bilangan gelombangnya
menurun.
60
55
ittance[%]

50
Transm

45
40

2845.16

2318.51

2114.07

1909.84

1364.94

1041.97

3500 3000 2500 2000 1500 1000 500


Wavenumber cm-1

Gambar 29 Spektrum serapan IR arang aktif uap air

 
 
88 
 

Tabel 29 menunjukan identifikasi bilangan gelombang FTIR pada


percobaan pendahuluan dengan aktivator asam fosfat. Gambar 30 memperlihatkan
bahwa penambahan asam fosfat mengakibatkan puncak-OH lebih terlihat dan
tidak terlalu melebar, menunjukkan efek dehidrasi oleh asam (meskipun tidak
terlalu besar). Jika asam sulfat pekat yang digunakan maka efek dehidrasi cukup
besar.
Aktivasi H3PO4 mengakibatkan puncak pada 1613-an cm-1 bergeser ke arah
bilangan gelombang yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan gugus fosfat
berinteraksi dengan karbonil dari karboksilat membentuk ikatan baru dan
memperkuat densitas elektron pada ikatan karbonil. Menurut teori, aktivasi
dengan asam fosfat dapat menyebabkan dua hal yaitu dekomposisi pirolitik dan
membentuk struktur ikatan kimia antara dua rantai yang berbeda (crosslink).
Struktur crosslink menyebabkan antar molekul berjarak lebih pendek dan densitas
elektron menjadi lebih rapat. Asam fosfat juga dapat berinteraksi membentuk
gugus baru misalnya ikatan hidrogen P=O, P=O-C, dan P=OOH.
Tabel 29 Bilangan gelombang arang dan arang aktif asam fosfat
Keterangan Arang H3PO4 H3PO4 H3PO4 H3PO4
o
500 C 5 %-60 10 %-60 5 %-90 10 %-90
menit menit menit menit
-OH 3407.42
stretching
C-H asym 1389.73 2915.26
stretching
CΞC 2160.88 2161.89 2162.65
-CΞC-H 2112.59 2047.14 2018.07 2028.59
C=O 1852.50 1874.96 1873.27
-C=C 1613.62 1572.11
P=O 1365.63
C-O asy 1257.61
stretching
C-O 1009.12
carboxyclic
acid, alcohol
C-H 872.92- 975.92-
aromatic 689.84 463.71

Jika puncak pada 1570-an merupakan gugus C=C aromatik, berarti


penambahan fosfat mengakibatkan interaksi dengan gugus yang terikat C=C
sehingga ikatan C=C menjadi lebih kuat/energinya lebih tinggi, atau membentuk
P-O-C aromatik namun P-O-C biasanya muncul pada daerah 1220-1180-an, tapi
dalam spektrum ini tidak ada. Konsentrasi asam fosfat yang kecil (dalam waktu
yang lama maupun singkat) mengakibatkan berbagai puncak menghilang,
mungkin hanya terjadi reaksi dekomposisi pirolitik. Konsentrasi asam fosfat yang
besar (dalam waktu yang lama) mengakibatkan pergeseran puncak yang
signifikan, menandakan terjadinya interaksi dan pembentukkan gugus yang baru.
Puncak pada 1257-an menghilang berarti ikatan C-O alkohol putus karena adanya
interaksi dengan asam fosfat (Gambar 30).
89 
 

100
90
80
Transmittance [%]
70
60
50
40
30

2915.26

1572.11

1365.63

975.92

822.36

463.71
3500 3000 2500 2000 1500 1000 500
Wavenumber cm-1

Gambar 30 Spektrum serapan IR arang aktif asam fosfat


Gambar 31 memperlihatkan aktivasi dengan KOH dengan aktivator 10%
pada waktu aktivasi 90 menit tidak mengubah interaksi gugus –C-C- alkuna.
Puncak gugus –C-C- alkuna tidak berubah seperti yang diperlihatkan oleh puncak
2291-an yang tidak menghilang dan hanya berkurang sedikit intensitasnya.
Spektrum pada bilangan gelombang 2666.81 cm-1 menunjukkan pada gugus
fungsi C-H alifatik dan adanya aktivasi dengan KOH menyebabkan terbentuknya
gugus fungsi OH bending pada bilangan gelombang 1367.69 cm-1.
65
60
Transmittance [%]
55
50
45
40

2291.62

1367.69

3500 3000 2500 2000 1500 1000 500


Wavenumber cm-1

Gambar 31 Spektrum serapan IR arang aktif KOH

Struktur Kristal Arang Aktif dengan XRD

Berdasarkan Tabel 30 menunjukkan bahwa jarak antar lapisan aromatik (d)


arang aktif cenderung semakin membesar baik akibat pengaruh peningkatan suhu
maupun perbedaan jenis aktivasi. Semakin besar konsentrasi aktivator
menyebabkan tinggi dan lebar antar lapisan aromatiknya semakin rendah.
Berkurangnya tinggi lapisan (lc) dan lebar antar lapisan( La) menggambarkan
ikatan antar atom karbon menyempit. Lamanya aktivasi juga turut membentuk
struktur arang aktif yang lebih amorf karena ada kecenderungan memperbesar
jarak antar lapisan aromatik sehingga menyebabkan celah diantara lapisan
aromatik semakin besar. Adapun arang yang diaktivasi dengan asam fosfat 10 %

 
 
90 
 

menyebabkan fenomena yang sebaliknya. Pada arang yang diaktivasi dengan


asam fosfat 10 %, jumlah lapisan aromatik cenderung meningkat daripada arang.
Hal tersebut menggambarkan bahwa terjadi penyusutan struktur kristaltit arang
aktif kearah yang semakin teratur pada aktivasi secara kimia sehingga derajat
kristalinitasnya cenderung meningkat kecuali untuk arang yang diaktivasi dengan
uap air.
Tabel 30 Data sudut difraksi 2Ѳ, jarak antar lapisan (d), tinggi lapisan (Lc),
jumlah lapisan (N) dan lebar lapisan (La) dari bahan baku dan arang
hasil pirolisis
Perlakuan Derajat Sudut d d1 Lc N La
kristalinitas difraksi
(%) (2Ѳ)
Arang 500 13.31 23.33 3.81 0.12 0.36 3.07 0.75
A2W1S1 19. 93 31.19 2.87 0.29 0.31 1.08 0.64
A3W2S1 23.98 29.90 2.98 0.09 0.09 1.03 0.19
A5W2S1 35.74 25.45 3.50 0.33 14.05 42.75 29.15
A1W1S1 18.45 25.46 3.54 0.35 0.12 0.34 0.24
Keterangan: A1 = Aktivasi dengan uap air A2 = Aktivasi dengan KOH 5 %
W1 = Waktu aktivasi 60 menit A3 = Aktivasi dengan KOH 10 %
W2 = Waktu aktivasi 90 menit A5 = Aktivasi dengan H3PO4 10 %
S1 = Suhu aktivasi pada 650 oC

Aktivasi arang pada suhu 650 oC yang diikuti dengan pemberian uap air
menyebabkan derajat kristalinitas arang aktif menjadi lebih rendah atau bersifat
amorf dibandingkan dengan arangnya. Sifat amorf tersebut terjadi karena jarak
antar lapisan aromatik bertambah. Perubahan ini menyebabkan tingkat keteraturan
yang semula tinggi (kristalin) berubah menjadi tidak beraturan (amorf) sehingga
celah diantara kristal semakin lebar. Hal ini didukung dengan adanya pergeseran
pada struktur kristalin arang aktif (Schulkin et al. 2002).  Selama proses aktivasi
dengan suhu yang tinggi, lempeng karbon kristalit atau celah menjadi tidak teratur
dan mengalami pergeseran sehingga permukaan kristalit atau celah menjadi
terbuka. Hal ini disebabkan gas pengaktif mendorong residu hidrokarbon seperti
ter, fenol, metanol, dan senyawa lain yang menempel pada permukaan arang.
Pergeseran lempeng karbon kristalit selain membentuk pori baru, juga
mengembangkan ukuran pori yang sudah ada, sehingga dari mikropori menjadi
makropori (Miura et al. 2000).
Hasil analisis XRD pada Gambar 32 menunjukkan perubahan pola difraksi
arang setelah diaktivasi, di antaranya pergeseran puncak utama ke arah sudut 2 Ѳ
lebih besar dari 22o ke 26o mendekati puncak grafit dan muncul 2 puncak baru di
sekitar 2 Ѳ sudut 29.9-31.19o. Pada karbon aktif, struktur kristal seperti halnya
grafit pada sudut 2 Ѳ di sekitar 26 tidak tampak. Perpaduan dari kedua puncak
dari arang aktif yang diaktivasi dengan KOH (29.90 o dan 31.9 o) mengindikasikan
bahwa karbon aktif bersifat turbostatic  yang merupakan struktur intermediat antara
struktur kristal dan grafit dengan jaringan heksagonal yang masih paralel, tidak memiliki
susunan yang tepat satu sama lain. Penyusunan yang tidak tepat ini mirip dengan
91 
 

tumpukan kartu di mana sisi panjang dan pendek tidak teratur. (Sonibare et al. 2010).
Lampiran 24, 25, 26 dan 27 merupakan difraktogram arang aktif .

A = Buah bintaro
B = Arang aktivasi uap air
C = Arang aktivasi KOH 10%
A D = Arang aktivasi H3PO4 10%
E= Arang aktivasi KOH 5% 

B
C

E D

Gambar 32 Difraktogram buah bintaro dan arang aktif

Adsorpsi Arang Aktif terhadap Limbah Cair Krom dari Laboratorium

Setelah dilakukan karakterisasi arang aktif, selanjutnya arang aktif


diaplikasikan pada limbah cair krom dari laboratorium. Sampel limbah cair krom
diambil dari saluran limbah Laboratorium Terapan yang masuk ke IPAL
Politeknik AKA Bogor. Sebelum dilakukan adsorpsi dengan arang aktif terlebih
dahulu dilaksanakan pengujian kondisi limbah cair yang meliputi parameter pH,
DHL, COD, TDS, BOD dan logam krom.
Hasil analisis limbah cair laboratorium ternyata limbah cair mengandung
krom sebesar 2.81 µg/mL dengan pH awal sebesar 6.44. Selanjutnya dilakukan
pengaturan pH dengan menambahkan H2SO4 4N sehingga pH = 3.07. Hal ini
dilakukan karena setelah diujicobakan secara kualitatif pada pH netral (pH =
6.44), asam (pH = 3.07) dan basa (pH = 9.78), ternyata yang bisa menjernihkan
limbah cair adalah limbah cair yang dikondisikan pada pH asam (Gambar 33).

pH = 3.07 pH = 9.78 pH = 6.44

Gambar 33 Hasil uji kualitatif limbah krom pada kondisi pH asam, basa, dan
netral
Menurut Tang et al. (2009) pengolahan krom sangat tergantung terhadap
pH, waktu kontak konsentrasi awal limbah, temperatur dan dosis adsorben. Oleh
karena itu selanjutnya pengolahan limbah cair krom dari laboratorium dilakukan
pada kondisi pH asam. Proses adsorpsi limbah cair krom dari laboratorium
dilakukan dengan dosis 1 %. Sebanyak satu gram arang aktif yang sudah

 
 
92 
 

dihaluskan, diayak dan lolos saringan 100 mesh dimasukkan dalam 100 mL air
limbah. Selanjutnya diaduk dengan mangnetic stirrer pada kecepatan 120 rpm
selama satu jam pada temperatur kamar dan setelah itu disaring dengan kertas
whatman 42. Adapun hasil analisis limbah cair dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31 Hasil pengujian adsorpsi arang aktif terhadap limbah cair krom
Limbah+ pH pH COD TDS DHL BOD Krom
Aktivator limbah a.aktif + (ppm) (ppm) (µS/cm) (ppm) (ppm)
hasil aquadest
adsorpsi
Limbah
6.44 155.25 1526 3060 25.65 2.81
krom awal
Limbah
krom
3.07 153.9 881.5 1765 60.95 2.58
(kondisi
asam)
A4W1S1 7.18 11.33 71.21 669 1.34 3.88 0.73
A4W2S1 7.78 10.85 39.89 815 1.63 3.60 0.44
A5W1S1 7.03 9.51 40.25 1162 2.32 6.14 1.67
A5W2S1 7.93 9.82 23.68 972 1.94 3.39 0.09
A2W1S1 7.15 11.56 40.24 945 1.89 3.21 0.01
A2W2S1 7.87 11.70 1.62 39.89 1.62 0.89 2.25
A3W1S1 7.28 11.36 55.73 1282 2.56 1.95 0.10
A3W2S1 9.07 11.58 31.01 1618. 3.24 2.63 1.83
5
A1W1S1 8.30 9.54 61.92 1274 2.55 4.05 0.21
A1W2S1 9.04 7.29 56.10 1392 2.79 2.16 1.74
Standar* 6-9 Maks Maks Maks Maks
100 2000 50 0.5
Keterangan: *Standar : PermenLH No 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah
bagi usaha atau kegiatan yang belum memiliki baku mutu air limbah yang
ditetapkan
A1 = Aktivasi dengan uap air A2 = Aktivasi dengan KOH 5 %
W1 = Waktu aktivasi 60 menit A3 = Aktivasi dengan KOH 10 %
W2 = Waktu aktivasi 90 menit A4 = Aktivasi dengan H3PO4 5 %
o
S1 = Suhu aktivasi pada 650 C A5 = Aktivasi dengan H3PO4 10 %

Berdasarkan hasil analisis limbah cair krom yang dilakukan, seperti yang
dilampirkan dalam Lampiran 28, diketahui bahwa untuk parameter pH, TDS,
BOD, COD, memenuhi standar baku mutu lingkungan (BML) sesuai PermenLH
No. 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi usaha atau kegiatan yang
belum memiliki baku mutu air limbah yang ditetapkan. Semakin banyak arang
aktif yang digunakan maka akan semakin banyak pula zat-zat organik yang dapat
93 
 

masuk ke dalam pori-pori arang aktif. Zat-zat organik yang terdapat dalam limbah
cair diadsoprsi oleh pori-pori arang aktif sehingga berkurang jumlahnya dan
menurunkan kadar TDS, COD dan BOD pada limbah tersebut. Menurut Lim dan
Wang (2013) untuk nilai pH akan mengalami kenaikan karena adanya serapan ion
hidrogen (H+) oleh arang aktif. Hal inilah yang menyebabkan nilai pH cenderung
naik, seiring dengan lamanya waktu aktivasi.
Pada Tabel 31 menunjukan bahwa pH awal arang aktif yang dilarutkan
dalam aquadest cenderung bersifat basa walaupun menggunakan aktivator yang
berbeda dan waktu aktivasi yang berbeda. Hal inilah yang menyebabkan pH air
limbah cenderung meningkat setelah diadsorpsi dengan arang aktif buah bintaro.
Adapun untuk pengolahan logam krom yang tidak memenuhi standar BML
(0.5 µg/mL) adalah arang yang diaktivasi dengan KOH 5 % dan 10 % waktu
aktivasi 90 menit sebesar 2.25 µg/mL dan 1.83 µg/mL, aktivasi uap air dengan
waktu aktivasi 90 menit sebesar 1.74 µg/mL, kemudian aktivasi H3PO4 5 %, 10 %
dengan waktu aktivasi 60 menit sebesar 0.73 µg/mL dan 1.67 µg/mL. Arang aktif
yang paling efektif untuk menurunkan kadar krom total adalah adalah arang yang
diaktivasi dengan KOH 5 % selama 60 menit dengan kadar krom sebesar 0.01
µg/mL. Hal ini dapat terjadi karena logam krom (VI) teradsorpsi maksimum pada
kondisi pH asam. Menurut Mohammed et al. (2010) penghilangan logam krom
(VI) oleh karbon aktif dapat ditingkatkan pada kisaran pH asam pH 2.0 dan 4.0.
Efek menguntungkan dari pH rendah dapat dikaitkan dengan netralisasi muatan
negatif pada permukaan adsorpsi dengan ion hidrogen berlebih, sehingga
memfasilitasi difusi ion hidrogen kromat dan adsorpsi kromat berikutnya. Muatan
negatif didapat dari hasil gugus fungsi oksigen seperti lakton atau gugus fungsi
hidroksil. Logam krom (VI) dapat teradsorpsi fisik pada permukaan pori-pori
karbon aktif, apalagi arang aktif yang diaktivasi dengan KOH 5 % selama 60
menit mempunyai luas permukaan yang paling besar dibandingkan dengan arang
aktif lainnya, sehingga adsoprsi maksimum terjadi pada arang aktif yang
diaktivasi dengan KOH 5 % dalam waktu 60 menit. Hasil pengujian kualitas
limbah cair krom dari laboratorium sebelum dan setelah adsorpsi dapat dilihat
selengkapnya di Lampiran 28.

Karakterisasi Arang Aktif Percobaan Utama

Pada penelitian ini, setelah dilakukan uji pendahuluan pemilihan aktivator


terbaik, selanjutnya dilakukan percobaan utama arang aktif terbaik, yaitu arang
aktif yang diaktivasi dengan asam fosfat selama 90 menit. Arang diaktivasi
dengan asam fosfat dengan variasi konsentrasi 20 %, 40 %, 60 % dan 80 % dan
lama aktivasi di retort selama 90 menit. Setelah arang diaktivasi, kemudian arang
aktif diaplikasikan terhadap limbah cair krom dari laboratorium dengan tiga
variasi pH yaitu asam, basa dan netral. Lampiran 29, Lampiran 30, Lampiran 31
dan Lampiran 32 menunjukkan hasil pengujian karakterisasi arang aktif asam
fosfat. Hasil karakterisasi arang aktif selanjutnya dibandingkan dengan SNI 06-
3730-1995 tentang syarat mutu arang aktif teknis bentuk serbuk.
Pada Tabel 32, terlihat bahwa tidak ada satupun arang aktif yang
mempunyai kadar abu memenuhi standar mutu arang aktif teknis bentuk serbuk.
Tingginya kadar abu ini karena adanya proses oksidasi yang terjadi pada suhu
tinggi, di samping karena struktur bahan baku yang lunak, karena berbentuk

 
 
94 
 

serabut. Selain itu nilai kadar abu juga menunjukkan jumlah sisa senyawa
anorganik dari hasil proses pembakaran berupa zat–zat mineral yang tidak hilang
selama proses pembakaran. Peningkatan kadar abu terjadi karena terbentuknya
garam–garam mineral pada saat proses pengarangan yang bila proses tersebut
berlanjut akan membentuk partikel–partikel halus dari garam–garam mineral
tersebut (Pari et al. 2004). Kadar air pada arang yang diaktivasi dengan asam
fosfat, semuanya memenuhi standar berdasarkan SNI 06-3730-1995 tentang syarat
mutu arang aktif teknis serbuk. Kadar air tertinggi dihasilkan dari arang yang
diaktivasi dengan H3PO4 80 % dan kadar air terendah diperoleh dari arang yang
diaktivasi dengan H3PO4 20 %.
Tabel 32. Hasil karakterisasi arang aktif asam fosfat
Perlakuan Kadar Kadar Kadar Karbon Daya serap Rendemen
air (%) abu (%) zat terikat iod (mg/g) (%)
terbang (%)
(%)
A6W2S1 4.88 29.98 1.03 68.99 812.811 62.85
A7W2S1 5.35 28.16 1 70.83 925.520 58.57
A8W2S1 6.06 31.41 1.11 67.49 950.332 57.14
A9W2S1 7.38 33.19 1.21 65.61 857.61 54.29
Standar* maks 15 maks 10 maks 25 min 65 min 750
Keterangan: *Standar = SNI 06-3730-1995 tentang syarat mutu arang aktif teknis
A6 = Aktivasi dengan H3PO4 20 % A7 = Aktivasi dengan H3PO4 40 %
W2 = Waktu aktivasi 90 menit A8 = Aktivasi dengan H3PO4 60 %
o
S1 = Suhu aktivasi 650 C A9 = Aktivasi dengan H3PO4 80 %

Pada Tabel 32 juga terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi zat


pengaktivasi menyebabkan semakin tingginya kadar air arang aktif. Hal ini terjadi
karena pada proses perendaman dengan bahan pengaktif dilakukan untuk
mengurangi kadar ter, sehingga semakin pekat bahan pengaktif yang digunakan
maka akan semakin berkurang kadar ter pada karbon, akibatnya pori-pori yang
terdapat pada karbon aktif semakin besar dan banyak. Semakin besar dan
banyaknya pori-pori yang terbentuk maka luas permukaan karbon aktif akan
semakin bertambah. Bertambahnya luas permukaan karbon aktif tersebut akan
meningkatkan sifat higroskopis, sehingga penyerapan air dari udara oleh karbon
aktif itu sendiri menjadi semakin meningkat, akibatnya kadar air pada karbon aktif
tersebut juga meningkat (Rahman et al. 2012).
Kadar zat terbang semuanya memenuhi syarat mutu arang aktif teknis.
Kadar zat terbang tertinggi terdapat pada arang yang diaktivasi dengan H3PO4
80 % dan yang terendah yang diaktivasi dengan H3PO4 40 %. Secara umum dapat
dikatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi aktivator arang, maka kadar zat
terbang akan semakin tinggi. Oleh karena konsentrasi aktivator yang tinggi
menyebabkan banyak terbentuknya abu yang berasal dari garam-garam yang tidak
mudah menguap sedangkan sebagian lagi mineral yang mudah menguap menjadi
zat terbang. Terjadinya peningkatan kadar zat terbang yang tinggi dari arang
95 
 

menjadi arang aktif juga menunjukkan bahwa permukaan arang aktif mengandung
zat terbang yang berasal dari hasil interaksi antara karbon dengan aktivator (Pari
et al. 2004).
Adapun untuk parameter karbon terikat, diketahui bahwa arang yang
diaktivasi H3PO4 40 % memiliki kadar karbon terikat yang tinggi dan arang yang
diaktivasi dengan H3PO4 80 % memiliki kadar karbon terikat yang terendah.
Besar kecilnya kadar karbon terikat yang dihasilkan, selain dipengaruhi oleh
tinggi rendahnya kadar zat terbang dan kadar abu. juga dipengaruhi oleh
kandungan selulosa dan lignin bahan yang dapat dikonversi menjadi atom karbon
(Pari et al. 2004). Kondisi ini mengindikasikan arang aktif buah bintaro
mempunyai daya serap yang relatif tinggi. Data hasil kadar zat terbang yang
rendah dan tingginya kadar abu arang aktif mendukung tingginya kadar karbon
terikat. Kadar karbon terikat yang relatif tinggi ini menunjukkan sedikitnya atom
karbon yang bereaksi dengan uap air menghasilkan gas CO, sehingga atom karbon
tertata kembali membentuk struktur heksagonal yang cukup banyak.
Daya serap iod memiliki korelasi dengan luas permukaan arang aktif.
Semakin besar angka iod, semakin besar kemampuan arang aktif dalam
mengadsorpsi adsorbat atau zat terlarut (Subadra et al. 2005). Bila karbon aktif
memiliki luas permukaan besar akan memberikan bidang kontak yang lebih besar
antara adsorben dan adsorbatnya, sehingga adsorbat dapat terserap lebih banyak
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa daya serap iod yang tinggi didapat
pada arang yang diaktivasi oleh H3PO4 60 % dan daya serap iod terendah didapat
pada arang yang diaktivasi oleh H3PO4 20 %. Daya jerap terhadap iod yang
rendah disebabkan oleh adanya kotoran yang menyumbat pori-pori arang aktif
hingga memperkecil luas permukaan pori. Daya serap iod arang aktif cangkang
buah bintaro, semuanya memenuhi syarat mutu arang aktif teknis berdasarkan
SNI 06-3730-1995.
Pada Tabel 32 terlihat bahwa perubahan variasi konsentrasi asam fosfat
akan sangat mempengaruhi rendemen dari arang aktif yang dihasilkan. Rendemen
arang aktif yang terendah dihasilkan dari karbon aktif yang diaktivasi dengan
konsentrasi 80 % H3PO4 sebesar 54.29% sedangkan yang tertinggi dihasilkan
pada konsentrasi 20 % H3PO4 sebesar 62.85 %. Semakin besar konsentrasi bahan
pengaktif yang digunakan maka semakin kecil rendemen karbon aktif yang
dihasilkan. Hal ini disebabkan senyawa-senyawa organik dan zat-zat yang relatif
sulit menguap pada karbon aktif semakin berkurang jumlahnya. Semua produk
yang dihasilkan pada saat aktivasi berbentuk gas, sehingga zat-zat organik dan zat
yang sulit menguap pada karbon aktif akan terbawa keluar oleh gas-gas yang
tersebut. Semakin pekat larutan asam fosfat yang digunakan maka akan semakin
banyak gas-gas yang terbentuk, sehingga akan semakin banyak pula zat-zat
organik pada karbon aktif yang keluar dan jumlahnya akan semakin berkurang.
Hal ini berakibat pada rendemen karbon aktif yang dihasilkannya menjadi
rendah. Semakin kecil rendemennya, maka semakin baik karbon aktif yang
dihasilkan.
Identifikasi Topografi Arang Aktif dengan SEM
Topografi dari arang aktif dengan SEM pada perbesaran 500x dengan skala
20 µm memperlihatkan bahwa arang yang diaktivasi dengan asam fosfat telah
mengalami perbesaran pori-pori, seperti yang dilihat pada Gambar 34. Diameter

 
 
96 
 

pori arang aktif yang diaktivasi dengan H3PO4 20 % (Gambar 34a) mempunyai
diameter pori terkecil sebesar 4.467 µm, dan diameter pori terbesar sebesar 12.51
µm, sedangkan diameter pori arang aktif yang diaktivasi dengan H3PO4 40 %
(Gambar 34b) mempunyai pori-pori dengan diameter terkecil berukuran sebesar
5.807 µm dan diameter pori terbesar berukuran 21.00 µm. Adapun diameter pori
pada arang aktif yang diaktivasi dengan H3PO4 60 % (Gambar 34c) mempunyai
ukuran diameter pori terkecil sebesar 10.72 µm dan diameter pori terbesar
sebesar 7.25 µm, sedangkan arang aktif H3PO4 80 %(Gambar 34d) mempunyai
diameter pori terkecil sebesar 9.828 µm dan diameter pori terbesar sebesar 16.98
µm.

(a)Topografi arang aktif H3PO4 20% (b) Topografi arang aktif H3PO4 20%

(c) Topografi arang aktif H3PO4 60% (d) Topografi arang aktif H3PO4 80%
Gambar 34. Topografi arang aktif percobaan utama
Struktur dan ukuran pori hasil karakterisasi dengan SEM menunjukkan
bahwa selama proses aktivasi pelat-pelat karbon kristalit yang tidak teratur
mengalami pergeseran, sehingga permukaan kristalit menjadi terbuka terhadap gas
pengaktif yang dapat mendorong residu-residu hidrokarbon. Selain itu, larutan
H3PO4 sebagai aktivator juga mempengaruhi besarnya ukuran diameter pori
karena larutan H3PO4 bersifat asam, sehingga mampu mengangkat senyawa
hidrokarbon atau zat pengotor. Hal ini menyebabkan terjadinya pembentukan pori
pada permukaan karbon. Berdasarkan hasil uji SEM, peningkatan konsentrasi
asam fosfat akan memperbesar diameter pori. Akan tetapi ketika konsentrasi
diperbesar sampai 80 %, diameter pori berubah menjadi lebih kecil. Hal ini terjadi
karena aktivator asam fosfat akan langsung bereaksi dengan selulosa ketika
dicampurkan dan akan membentuk ikatan glikosida yang terhidrolisis. Namun
demikian ketika konsentrasi asam fosfat yang dicampurkan terlalu tinggi akan
menyebabkan ter terbentuk lebih banyak dan menyebabkan sumbatan pada pori.
(Timur et al. 2006). Hasil Uji SEM sesuai dengan data hasil daya serap iod, yang
97 
 

menunjukan daya serap iod arang aktif menurun pada konsentrasi aktivator asam
fosfat sebesar 80 %.

Gugus Fungsi Arang Aktif Percobaan Utama

Pada Gambar 35, terlihat serapan di bilangan gelombang 885. 840 cm-1
dan bilangan gelombang 775 cm-1 adalah deformasi gugus C-H dengan
kecenderungan berada di luar bidang (out-of-plane modus) untuk substitusi
berbeda dari cincin benzena. Spektrum di wilayah antara bilangan gelombang
1300 cm-1 dan 900 cm-1 menunjukkan gugus C=O stretching dari asam, alkohol,
fenol, eter, dan ester akibat adanya karbon yang teroksidasi. Namun, apa yang jadi
ciri khas senyawa karbon fosfor karena dalam karbon aktif asam fosfat di wilayah
serapan antara bilangan gelombang 900 cm-1 dan 1300 cm-1. Spektrum di
bilangan gelombang 1300-900 cm-1 dialokasikan khusus untuk spesies fosfor
seperti P=O, O-C stretching di P-O-C dari aromatik dan P=OOH . Spektrum di
bilangan gelombang 696an cm-1 dan 850 cm-1 dialokasikan untuk subsitusi
aromatik oleh gugus fungsi aliphatik dan spektrum di bilangan gelombang 609
cm-1 ditujukan untuk vibrasi lentur O-H di luar bidang (out of plane).

Gambar 35 Spektrum serapan IR arang aktif asam fosfat

Persentase Removal Krom setelah Diadsorpsi

Spesi krom (VI) sangat tergantung terhadap nilai pH dari limbah cair
tersebut, spesi krom (VI) bisa dalam bentuk dikromat (Cr2O72-), hidrokromat
(HCrO4-), kromat (CrO42-) dan kalium kromat (KCrO4-). sebagaimana yang
terlihat dalam Gambar 36. Spesi krom (III) juga dapat dalam bentuk kromium
hydrat trivalen, Cr(H2O)63+, dan senyawa kompleks kromium hidroksida,
Cr(OH)(H2O)5 2+ atau Cr(OH)2(H2O)4 (Silva et al.2009).

Gambar 36 Spesi krom (VI) dalam berbagai nilai pH (Vieira et al. 2014)

 
 
98 
 

Berdasarkan Gambar 37 terlihat bahwa persentase penghilangan krom


(removal krom) suatu adsorben dapat dipengaruhi oleh pH larutan. hal ini
dikarenakan pH dapat mempengaruhi kelarutan ion logam dalam larutan dan
mempengaruhi muatan pada permukaan adsorben selama reaksi berlangsung. Hal
ini berhubungan dengan protonasi atau deprotonasi permukaan sisi aktif dari
adsorben sehingga dapat bermuatan positif atau negatif (Yakout and El-Deen
2011). Menurut Riapanitra dan Andreas (2010) pH akan mempengaruhi muatan
permukaan adsorben, derajat ionisasi dan spesi apa saja yang dapat terserap dalam
adsorpsi tersebut. Nilai pH juga dapat mempengaruhi kesetimbangan kimia, baik
pada adsorbat maupun pada adsorben. Adanya variasi pH ini menyebabkan
kemungkinan ikatan kimia antara adsorben dengan adsorbat dapat terjadi.
Pada Gambar 37 diketahui bahwa persentase removal krom tertinggi dan
terendah pada pH =9.78 sebesar 66.55 % dan terendah terdapat sebesar 24.91 %.
Persentase removal tertinggi diperoleh dari arang yang diaktivasi oleh H3PO4
20 % dan removal krom terendah dari arang yang diaktivasi asam fosfat 40 %. Hal
ini membuktikan bahwa konsentrasi aktivator banyak mempengaruhi persentase
removal krom dalam penyerapan ion logam.

70,00
% 60,00
R
50,00
o
m C 40,00
66,55 pH = 3.07
o r 30,00 54,45
60,14 58,01
54,09 pH = 6.44
49,11
v 20,00 41,28
34,16 32,74 34,52
a 28,11 24,91 pH = 9.78
10,00
l
0,00
H3PO4   20% H3PO4  40% H3PO4  60% H3PO4  80%
Konsentrasi Aktivator H3PO4

Gambar 37 Persentase removal krom pada berbagai kondisi pH

Pada pH rendah (asam) removal krom terbesar (54.45 %) didapat pada


arang yang diaktivasi dengan H3PO4 40 % dan adsorpsi krom menurun sebesar
49.11 % pada arang yang diaktivasi dengan H3PO4 60 %, kemudian naik kembali
sebesar 54.09 % pada arang yang diaktivasi dengan H3PO4 80 %.
Adsorpsi/desorpsi ion kromium dan protonasi/deprotonasi dari dinding sel gugus
fungsi tergantung pada pH larutan. Removal kromium total yang lebih tinggi
terjadi pada nilai pH rendah (pH 1 dan pH 2) karena kuatnya protonasi gugus
fungsi, sehingga membuat biomassa bermuatan lebih positif dan karenanya
menciptakan tarikan elektrostatik dengan spesi Cr (VI). Akan tetapi karena
kondisi pH limbah cair krom lebih besar dari dua menyebabkan removal kromium
tidak berlangsung dengan baik. Selain itu dengan peningkatkan waktu kontak itu
juga dapat melepaskan kromium ke dalam larutan, hal ini terjadi karena adanya
tolakan elektron antara gugus fungsi bermuatan positif dari dinding sel dan spesi
kation Cr (III) yang dihasilkan dari reduksi krom heksavalen. Menurunnya
adsorpsi pada konsentrasi aktivator 60 % karena adanya tolakan antara spesi Cr
99 
 

(III) dan dinding sel arang aktif. Namun dengan meningkatkan konsentrasi
aktivator menyebabkan protonasi gugus fungional menjadi naik kembali sehingga
kemampuan adsorpsi Cr2O7-2- menjadi naik. Berikut ini reaksi krom (VI) dalam
kondisi asam menurut Silva et al. (2014).
Cr2O7-2- + 14H+ + 6e - ↔ 2Cr3+ + 7H2O (1)
CrO42- + 8H+ + 3e- ↔ Cr3+ + 4H2O (2)
HCrO4 - + 7H+ + 3e- ↔ Cr3+ + 4H2O (3)
H2CrO4 + 6H+ + 3e- ↔ Cr3+ + 4H2O (4)
Pada pH asam, untuk arang aktif yang diaktivasi dengan asam fosfat 20 %,
60 % dan 80 % hasil kali konsentrasi ion hidroksida dan logam krom lebih kecil
dari nilai Ksp Cr(OH)3 = 6.1 x 10-31 sehingga sebagian besar ion krom larut.
Adapun pada arang aktif yang diaktivasi dengan asam fosfat 40 %, hasil kali
konsentrasi ion hidroksida dan logam krom (III) melebihi nilai Ksp Cr(OH)3,
sehingga menyebabkan terbentuknya endapan Cr(OH)3 yang menyebabkan
konsentrasi ion krom yang teradsorpsi berkurang dan banyak endapan krom yang
tertahan di kertas saring.
Peningkatan pH larutan meningkatkan muatan negatif pada sel permukaan
karena deprotonasi tempat ikatan logam akan menarik Cr (III) ion yang dihasilkan
dari reduksi Cr (VI). Pada pH netral menunjukkan semakin besar konsentrasi
aktivator efisiensi penyerapan juga naik. Removal krom terbesar (41.28 %) terjadi
pada arang yang diaktivasi dengan H3PO4 80 %. Pada pH netral, spesies dominan
adalah HCrO4-, CrO42- dan Cr2O72-. Semua spesies kromium ini hadir dengan
oksidasi dari +6, Cr (VI). Dalam hal ini, Cr (VI) ion berperilaku sebagai
oxoanions dalam larutan aqua dengan muatan keseluruhan (-1) atau (-2). Muatan
ini mungkin mengikat gugus fungsional bermuatan positif (misal gugus fungsi
amino) saat terprotonasi. Dalam hal ini, daya tarik elektrostatik dapat
berkontribusi signifikan terhadap mekanisme adsorpsi karena, pada pH netral,
beberapa gugus fungsi amino terprotonasi (Vieira et al. 2014)
Adapun pada pH basa, persentase removal krom tertinggi sebesar 66.55 %
terjadi pada arang yang diaktivasi dengan H3PO4 20 %. Kemampuan adsorpsi
arang cenderung menurun pada konsentrasi aktivator yang lebih besar. Di atas pH
6, adsorpsi menurun karena ada kompetisi antara OH- dan ion kromat (CrO42-).
Potensial muatan positif dari permukaan adsorben menurun dengan naiknya pH
larutan sehingga melemahkan gaya elektrosatik muatan yang tolak-menolak
antara adsorbat dan adsorben sehingga menurunkan kemampuan penyerapan
krom. Namun hal ini tidak berlaku untuk konsentrasi aktivator yang kecil karena
terlalu kecilnya konsentrasi menyebabkan masih ada gugus fungsi arang yang
terprotonasi dan bermuatan positif sehingga terjadi tarik-menarik antara adsorbat
dan adsorben menyebabkan kemampuan adsorpsi naik. Perhitungan hasil
persentase removal krom dapat dilihat pada Lampiran 33.
Pada pH > 7.0 arang aktif yang diaktivasi dengan asam fosfat 20 %, 40 %
dan 80 % ion Cr (III) juga terendapkan sebagai Cr(OH)3 dengan terlewatinya
harga Ksp Cr(OH)3 dalam larutan, sehingga jumlah ion teradsorpsi berkurang dan
banyak endapan krom yang tersaring. Pada pH yang tinggi, gugus hidroksida
merupakan ligan yang lebih efektif dibandingkan gugus aktif karboksilat dan
amina amina, sehingga ion logam lebih tertarik untuk berikatan dengan ligan
hidroksida mengakibatkan proses pengendapan lebih dominan daripada proses

 
 
100 
 

adsorpsi dalam larutan. Adapun pada arang aktif yang diaktivasi dengan asam
fosfat 60 %, nilai Ksp Cr(OH)3 lebih besar dari hasil kali konsentrasi ion
hidroksida dan logam krom (III) sehingga menyebabkan banyak krom terlarut
teradsorpsi oleh arang aktif. Hasil perhitungan Ksp dapat dilihat pada Lampiran
34.
Berdasarkan Tabel 33 diketahui bahwa nilai pH limbah cair logam berat
krom yang memenuhi baku mutu air limbah adalah pada limbah yang diadsorpsi
dengan arang aktif asam fosfat 40 % pada kondisi netral sebesar 6.67 dan kondisi
basa sebesar 7.11. Nilai pH limbah cair krom setelah diadsorpsi dengan arang
yang diaktivasi dengan asam fosfat 40 % dapat memenuhi baku mutu lingkungan
(BML) karena pada kondisi limbah yang netral dan basa, konsentrasi aktivator
asam fosfat 40 % tidak cukup kuat untuk menyebabkan terjadinya perubahan
drastis pada nilai pH limbah cair. Pada pH rendah permukaan adsorben dikelilingi
oleh ion H+ (karena gugus fungsi yang terdapat pada adsorben terprotonasi),
sehingga banyak ion H+ yang terbaca di pH meter yang menyebabkan nilai pH
menjadi semakin rendah (Lim dan Wang 2013). Selain itu karena arang aktif
dibuat dengan aktivator asam fosfat menyebabkan semakin tinggi konsentrasi
aktivator akan menyebabkan perubahan yang drastis terhadap kondisi pH limbah
yang terukur setelah adsorpsi.
Berdasarkan data di Tabel 33 pengukuran pH arang aktif yang dilarutkan
dalam aquadest menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi aktivator asam
fosfat, nilai pH cenderung menurun. Nilai pH air limbah yang rendah disebabkan
karena karbon aktif lebih banyak menyerap logam krom dan bahan-bahan organik
yang terkandung pada limbah cair sehingga penyerapan ion H” tidak maksimal
(Notodarmojo 2005).
Parameter TDS limbah cair logam berat krom tidak memenuhi syarat pada
air limbah yang diadsorpsi oleh arang aktif asam fosfat 60 % pada kondisi pH
asam sebesar 2145 ppm dan basa sebesar 2160 ppm. Tingginya nilai TDS pada
limbah cair yang diadsorpsi oleh arang aktif asam fosfat 60 % karena pada kondisi
limbah yang bersifat asam dan basa, dan aktivator asam fosfat dengan konsentrasi
tinggi menyebabkan banyak senyawa anorganik seperti logam krom mengendap
menjadi Cr(OH)3. Data pengukuran pH, DHL, TDS dapat dilihat pada Lampiran
35.
Adapun untuk parameter COD, limbah cair logam krom laboratorium yang
diadsorpsi pada kondisi pH netral belum memenuhi baku mutu air limbah untuk
semua jenis arang aktif. Hal ini disebabkan pada pH yang netral arang aktif tidak
optimum untuk menyerap zat-zat organik karena gugus amina terprotonasi
menjadi bentuk NH4+ sehingga kurang efektif untuk mengadsorpsi zat-zat organik
yang ada pada limbah cair (Baroroh et al. 2007). Kondisi berbeda untuk parameter
BOD, semua kondisi limbah cair pada pH asam, netral dan basa memenuhi baku
mutu air limbah yang dipersyaratkan yaitu maksimal 50 ppm. Hal ini terjadi
karena arang aktif asam fosfat mempunyai gugus amino, sehingga bersifat
polikationik yang dapat mengikat logam, protein, dan zat warna sehingga mampu
merurunkan nilai BOD. Data pengujian BOD secara lengkap dapat dilihat pada
Tabel 33 yang dijabarkan dalam Lampiran 36, Lampiran 37 dan Lampiran 38.
101 
 

Tabel 33. Hasil pengujian lanjutan adsorpsi arang aktif asam fosfat terhadap
limbah cair logam berat krom dari laboratorium
Perlakuan pH hasil pH a.aktif TDS DHL COD BOD Krom
limbah adsorpsi dengan (ppm) (µS/cm) (ppm) (ppm) (ppm)
krom + air
a. aktif aquadest
Asam 3.07 3.05 881.5 1765 153.9 60.95 2.58
A6W2S1 2.88 6.62 936.5 1873.5 26.08 11.20 1.85
A7W2S1 3.72 5.97 760 1520 26.50 1.10 1.28
A8W2S1 2.18 1.96 2145 4285 33.95 0.64 1.43
A9W2S1 2.68 3.81 1140.5 2285 21.94 0.07 1.29
Netral 6.44 6.67 1526 3060 155.25 25.65 2.81
(awal)
A6W2S1 4.13 6.64 1580 1205.5 110.16 2.89 2.02
A7W2S1 6.67 5.89 479.5 957.5 105.84 3.69 1.89
A8W2S1 2.30 2.15 602.5 3165 113.13 26.82 1.84
A9W2S1 3.61 4.87 644 1287 125.82 7.88 1.65
Basa 9.78 9.83 1197.5 2400 62.93 11.25 2.78
A6W2S1 4.06 8.39 1344.5 2695 35.20 0.37 0.94
A7W2S1 7.11 7.71 1235.5 2480 30.53 0.82 2.11
A8W2S1 2.41 3.63 2160 4325 13.75 6.71 1.12
A9W2S1 4.18 5.91 1338 2670 12.01 6.95 1.18
Standar* 6-9 Maks Maks Maks Maks
2000 100 50 0.5
Keterangan: *Standar = PermenLH No 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah
bagi usaha atau kegiatan yang belum memiliki baku mutu air
limbah yang ditetapkan
A6 = Aktivasi dengan H3PO4 20 % A7 = Aktivasi dengan H3PO4 40 %
W2 = Waktu aktivasi 90 menit A8 = Aktivasi dengan H3PO4 60 %
o
S1 = Suhu aktivasi 650 C A9 = Aktivasi dengan H3PO4 80 %

Efektivitas Pengolahan Limbah Cair Krom dengan Adsorpsi

Efektivitas pengolahan limbah cair krom dengan metode adsorpsi dapat


diketahui dengan menghitung nilai efisiensi parameter pengolahan limbah cair
seperti TDS, BOD, COD dan DHL. Pada Tabel 34 terlihat bahwa nilai efisiensi
tertinggi sebesar 68.58 % untuk parameter TDS didapat dari limbah cair logam
berat krom yang diadsorpsi oleh arang aktif asam fosfat 40% pada kondisi netral.
Adapun efisiensi terendah sebesar (- 41.55 %) didapat dari limbah cair logam
berat krom yang diadsorpsi oleh arang aktif asam fosfat 60 % pada kondisi basa.
Nilai TDS yang negatif menunjukkan bahwa limbah cair krom setelah diadsorpsi
dengan arang aktif asam fosfat 60 % mengandung padatan terlarut yang tinggi.
Hal ini terjadi karena pada kondisi basa banyak ion logam krom yang terlarut
karena nilai Ksp Cr(OH)3 lebih besar dari hasil kali konsentrasi ion OH- dan
logam krom (III) sehingga menyebabkan nilai TDS limbah meningkat setelah
diadsorpsi.

 
 
102 
 

Pada Tabel 34 juga menunjukan bahwa untuk parameter DHL, efisiensi


tertinggi sebesar 68.71 % dicapai pada limbah cair logam berat krom yang
diadsorpsi oleh arang aktif asam fosfat 40 % pada kondisi netral. Efisiensi
terendah sebesar (- 41.34 %) untuk parameter DHL didapat dari limbah cair
logam berat krom yang diadsorpsi dengan arang aktif asam fosfat 60 % pada
kondisi basa. Nilai minus (-) menggambarkan bahwa nilai parameter DHL dari
limbah menjadi lebih besar setelah diolah dengan arang aktif. Hal ini
menunjukkan bahwa pengolahan dengan arang aktif tidak efektif untuk
menurunkan parameter DHL limbah tersebut. Nilai DHL yang tinggi juga
menunjukkan bahwa limbah cair yang telah diadsorpsi mengandung senyawa
elektrolit yang lebih banyak akibat kemampuan adsorpsi arang yang menurun
pada arang yang diaktivasi dengan asam fosfat 60 % dalam kondisi basa.
Tingginya nilai daya hantar listrik pada limbah cair krom dalam kondisi basa
menunjukkan juga ada banyak jumlah ion OH- yang terlarut dalam air. Semakin
banyak garam-garam terlarut terionisasi, semakin tinggi pula nilai DHL. Asam, basa
dan garam merupakan penghantar listrik yang baik (Effendi 2003).

Tabel 34 Efektivitas pengolahan limbah krom dengan adsorben arang aktif buah
bintaro
Perlakuan Limbah Efisiensi TDS Efisiensi Efisiensi Efisiensi
Krom dengan arang (%) DHL (%) COD (%)) BOD (%)
aktif
Kondisi Asam
A6W2S1 38.63 38.77 83.20 56.34
A7W2S1 50.20 50.33 82.93 95.73
A8W2S1 -40.56 -40.03 78.13 97.51
A9W2S1 25.26 25.33 85.87 99.73
Kondisi Netral
A6W2S1 -3.54 60.60 29.04 88.72
A7W2S1 68.58 68.71 31.83 85.61
A8W2S1 60.52 -3.43 27.13 -4.56
A9W2S1 57.80 57.94 18.96 69.29
Kondisi Basa
A6W2S1 11.89 11.93 77.33 98.55
A7W2S1 19.04 18.95 80.34 96.81
A8W2S1 -41.55 -41.34 91.14 73.85
A9W2S1 12.32 12.75 92.27 72.90
Keterangan: A6 = Aktivasi dengan H3PO4 20 % A7 = Aktivasi dengan H3PO4 40 %
W2 = Waktu aktivasi 90 menit A8 = Aktivasi dengan H3PO4 60 %
o
S1 = Suhu aktivasi 650 C A9 = Aktivasi dengan H3PO4 80 %

Pada parameter COD, nilai efisiensi tertinggi sebesar 92.27 % diperoleh dari
limbah cair logam berat krom yang diadsorpsi oleh arang aktif asam fosfat 80 %
pada kondisi basa. Adapun untuk efisiensi terendah sebesar 18.96 % diperoleh
dari limbah cair yang diadsorpsi oleh arang aktif asam fosfat 80 % pada kondisi
netral. Hasil penggujian COD secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 39.
Lampiran 40 dan Lampiran 41.
103 
 

Pada parameter BOD, efisiensi tertinggi sebesar 99.73 % didapat dari


limbah cair logam berat krom yang diadsorpsi oleh arang aktif asam fosfat 80 %
pada kondisi asam. Adapun efisiensi terendah sebesar (-4.56 %) didapat dari
limbah cair yang diadsorpsi oleh arang aktif asam fosfat 60 % pada kondisi netral.
Nilai efisiensi (-4.56 %) menunjukkan bahwa limbah cair yang diadsorpsi dengan
arang yang diaktivasi dengan asam fosfat 60 % lebih banyak mengandung
senyawa organik dibandingkan sebelum diolah dengan arang aktif. Hal ini terjadi
karena oksigen yang terkandung dalam limbah cair krom banyak dipakai untuk
oksidasi logam krom sehingga menyebabkan banyak senyawa organik yang tidak
bisa didegradasi oleh mikroba yang mengakibatkan nilai BOD menjadi lebih besar
(Effendi 2003).

Analisis Statistik Arang Aktif

Hasil uji sidik ragam (Lampiran 42) menunjukkan bahwa seluruh aktivator
arang aktif tidak memberikan pengaruh nyata (P>0.05) terhadap kadar air, kadar
abu, kadar zat terbang, dan kadar karbon terikat. Aktivator arang aktif hanya
berpangaruh terhadap daya serap iod arang aktif. Pada uji lanjut Tukey dapat
diketahui bahwa arang aktif yang diaktivasi dengan asam fosfat 20 % sangat
berbeda nyata (P = 0.02) dengan arang aktif yang diaktivasi dengan asam fosfat
40 % dan 60 %. Hal ini sesuai ukuran diameter pori arang aktif yang diaktivasi
dengan asam fosfat 20 % yang lebih kecil dibandingkan ukuran diameter pori dari
arang aktif yang diaktivasi dengan asam fosfat 40 % dan 60 %.

Analisis Kelayakan Finansial Produksi Asap Cair dan Arang Aktif

Penentuan Kapasitas Produksi


Kapasitas produksi asap cair dan arang aktif yang direncanakan berdasarkan
pertimbangan skala usaha rumah tangga yaitu sebesar 60 kg /hari dengan
kapasitas produksi arang aktif per tahunnya sebesar 4.667.52 kg/tahun setara
dengan 10 pak/hari yang akan menghasilkan asap cair sebesar 3.088.8 kg /tahun
atau setara dengan 30 botol/hari. Tungku pirolisis direncanakan digunakan
sebanyak dua tungku dengan kapasitas input @30 kg/hari. Tanaman bintaro
adalah tanaman yang berbuah sepanjang musim dengan RTH tanaman bintaro
yang tersebar di Jabodetabek. Kebutuhan bahan baku buah bintaro dapat terpenuhi
dan yang terpenting masalah sampah buah bintaro yang dapat menyebabkan banjir
dapat teratasi dengan baik. Asumsi, investasi dan biaya produksi yang dibutuhkan
dapat dilihat pada Lampiran 43, Lampiran 44 dan Lampiran 45.
Kebutuhan Bahan Baku dan Bahan Pembantu
Kebutuhan bahan baku cangkang buah bintaro per harinya sebesar 60 kg
atau 18720 kg/tahun dengan asumsi satu tahun 312 hari kerja. Bahan baku
cangkang buah bintaro di dapatkan dari RTH yang ada di Jabodetabek. Setiap
hari hanya dibutuhkan sebesar 60 kg cangkang buah. Satu buah bintaro kering
menghasilkan ±85 gr cangkang kering sehingga dibutuhkan 705 cangkang buah
bintaro kering perharinya. Bahan pembantu yang diperlukan dalam pembuatan
arang aktif yaitu asam fosfat teknis dengan jumlah sebesar 74630.4 kg/tahun.

 
 
104 
 

Pemilihan Jenis Teknologi


Proses produksi, jenis mesin dan peralatan yang digunakan mengacu pada
penelitian Windari dan Suseno (2014) yaitu pengarangan cangkang buah bintaro
dalam tungku pirolisis dengan hasil samping asap cair. Proses pembuatan asap
cair dan arang aktif terdiri tiga tahap yaitu pembuatan arang cangkang buah
bintaro, penampungan asap cair yang merupakan hasil samping arang serta
pengaktifan arang dengan aktivar kimia asam fosfat.
Proses Pembakaran Arang dan Penampungan Asap Cair
Bahan baku yang berupa cangkang buah bintaro dimasukkan ke dalam
tabung pembakaran atau pirolisator sebanyak ± 20-30 kg, setelah itu kompor gas
yang terletak di bawah tabung pembakaran (pirolisator) dinyalakan dan diatur
waktunya selama ± satu jam, maka kompor akan mati dengan sendirinya karena
sudah diatur dengan menggunakan timer analog. Bahan baku yang ada di dalam
tabung pembakaran akan terbakar dan mencapai suhu 125-500 oC, setelah 15-30
menit proses pembakaran berlangsung, asap akan mengalir melalui pipa penyalur
asap, bagian dari asap yang yang mengandung ter akan ditampung alat
penampung ter yang kemudian asapnya akan mengalir ke dalam kondensator lalu
asap yang ringan akan mengalir menuju pipa yang ada di dalam tabung
penampung/kondensator asap.
Pipa yang ada di dalam tabung tersebut dibuat melingkar yang kemudian
didinginkan oleh air di dalam tabung penampung/kondensator asap dengan air
yang mengalir pada tabung penampung asap yang airnya dialirkan oleh pompa air
dari tangki air. Pada awalnya memang asap yang keluar, namun setelah 5-10
menit kemudian akan keluar hasil berupa asap cair yang bisa kita tampung dalam
wadah penampung asap cair. Pengambilan asap cair dihentikan setelah tungku
akan dibongkar. Asap cair yang sudah ditampung dikemas dalam botol kaca
ukuran 330 ml.
Pengaktivasian Arang Cangkang Buah Bintaro Kering
Arang cangkang buah bintaro diaktivasi dengan aktivator kimia dengan
cara direndam dalam larutan asam fosfat selama 24 jam. Setelah 24 jam arang
dicuci sampai pH netral. Setelah itu dilakukan penjemuran selama 48 jam.
Diaktivasi dalam retort pada suhu 650 oC selama 90 menit. Setelah itu arang aktif
didinginkan dihaluskan dan diayak. Selanjutnya dikemas dalam sak plastik.
Penentuan Jumlah Tenaga Kerja
Kapasitas produksi arang sebesar 23.92 kg/hari, maka tenaga kerja yang
dibutuhkan sebanyak tiga orang. Tenaga kerja langsung pada bagian produksi dua
orang, dan di bagian pemasaran merangkap administrasi satu orang pekerja.
Kebutuhan Utilitas
Proses pembuatan asap cair cangkang buah bintaro kering membutuhkan air,
gas yang diperlukan selama proses produksi sebanyak lima kg per hari kerja dan
bensin yang digunakan untuk proses pengilingan sebanyak satu liter perhari.
105 
 

Listrik sebagai bahan pembantu dan oli digunakan sebagai sebagai bahan pelumas
sebesar 0.5 liter per bulan.
Analisis Kelayakan Finansial
Analisis kelayakan finansial dilakukan untuk menilai kelayakan pendirian
unit pengolahan limbah RTH buah bintaro sebagai asap cair dan arang aktif dapat
dilihat pada Lampiran 48. Harga pokok produksi (HPP) dari produk arang aktif
dan asap cair pada tahun I dan ke-2 Rp 74.981.800,00 dengan harga jual arang
aktif adalah Rp14000/kg dan asap cair Rp 22000/botol dengan asumsi keuntungan
sebesar 55 % .
Hasil perhitungan finansial menunjukkan bahwa nilai net B/C asap cair dan
arang aktif cangkang buah yaitu sebesar 1.65. Nilai net B/C >1 menunjukkan
bahwa usaha pemanfaatan cangkang buah bintaro sebagai asap cair dan arang
aktif layak untuk dikerjakan (Umar 2009).
Hasil perhitungan periode pengembalian modal menunjukkan bahwa usaha
asap cair dan arang aktif akan balik modal dalam waktu satu tahun lima bulan 15
hari. Lama payback period lebih pendek dari pada umur proyek yang
direncanakan yaitu lima tahun sehingga dapat dikatakan proyek ini layak untuk
dilaksanakan (Pujawan 2004).
Nilai NPV dari perhitungan finansial usaha pemanfaatan cangkang buah
bintaro sebagai asap cair dan arang aktif bernilai positif sebesar Rp 82.201.395,58
karena nilai NPV>0 maka proyek dapat diterima (Umar 2004). Perhitungan coba-
coba untuk mendapat nilai NPV sama dengan nol maka memberikan nilai IRR
asap cair dan arang aktif cangkang buah bintaro sebesar 22.21 %. Jika nilai IRR >
tingkat suku bunga, maka investasi dapat diterima (Ibrahim 2009).
Produksi arang terpadu dengan asap cair dan arang aktif dari buah bintaro
menunjukkan hasil analisis finansial yang layak untuk dikembangkan secara
komersial. Paramater analisis finansial pada Lampiran 46, Lampiram 47 dan
Lampiran 48 menunjukkan bahwa produksi arang terpadu dengan asap cair dan
arang aktif dari buah bintaro apabila produksi akan dikembangkan secara komersil
harus mempunyai bahan baku cangkang buah bintaro kering dengan kapasitas
input sebesar 60 kg per hari, bahan baku dekat dengan RTH. Pada tahun pertama
produksi asap cair dan arang aktif mendapat keuntungan sebesar Rp 7.701.536.00.
Bintaro tersebar secara alami di daerah tropis Indo Pasifik, mulai dari
Seychelles hingga Polinesia Perancis. Jenis ini memiliki beberapa nama ilmiah
lain selain Cerbera manghas, Cerbera venenifera, Tanghinia venenifera, dan
Odollamia manghas (L.) Raf. Sylva Telluriana.
Di Indonesia, bintaro tersebar di berbagai daerah mulai dari Sumatera, Jawa,
Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku Jenis ini juga dikenal dengan berbagai
nama daerah antara lain kanyeri Putih (Bali), bilutasi (Timor), wabo (Ambon),
goro-goro guwae (Ternate), madangkapo (Minangkabau), bintan (Melayu),
lambuto (Makasar) dan goro-goro (Manado).
Biji bintaro mengandung minyak dengan kadar yang cukup tinggi yaitu
mencapai 54.33 %. Kandungan minyak tersebut merupakan potensi yang cukup
baik untuk dikembangan sebagai bahan biodiesel. Setiap satu kg minyak bintaro
dapat dihasilkan dari 2.9 kg biji bintaro yang didapat dari 36.4 kg buah bintaro
tua. Selain itu, cangkang pada buah bintaro juga dapat dikembangkan sebagai
briket arang dan arang aktif. Cangkang pada buah bintaro dapat dimanfaatkan

 
 
106 
 

sebagai briket arang dan arang aktif dapat berasal dari buah muda maupun tua.
Pada pembuatan briket arang, setelah cangkang dijemur, kemudian dikarbonisasi
serta ditumbuk agar menjadi serbuk. Serbuk arang ini dikompaksi untuk menjadi
briket dengan menambahkan perekat. Adapun pada pembuatan arang aktif,
cangkang buah bintaro yang telah dikarbonisasi diaktivasi dengan cara fisika atau
kimia sehingga bisa dimanfaatkan untuk mengolah limbah yang mengandung
logam berat krom.
Buah bintaro tidak dapat dikonsumsi sebagai makanan karena mengandung
racun. Nama cerberra pada nama latin jenis ini berkaitan dengan kandungan
cerberin pada daun, bunga dan buahnya, yaitu suatu glikosida yang merupakan
racun yang mempengaruhi kinerja jantung dan bahkan menyebabkan kematian.
Oleh karenanya buah bintaro sering digunakan secara tradisional sebagai bahan
racun untuk berburu. Pemanfaatan buah bintaro disarankan untuk dilakukan pada
buah tua untuk mengurangi efek racun dari getahnya (Prosea 2002)
Pohon bintaro yang sudah dewasa dapat menghasilkan 300 kg buah setiap
tahun. Berat biji bintaro sekitar 79.7 gram dari setiap kilogram buah bintaro tua.
Sejauh ini pemanfaatan buah bintaro masih dalam pengembangan dan belum
diketahui potensi produksi buah bintaro di Indonesia hanya terbatas ditanam pada
hutan tanaman rakyat dan sebagai tanaman peneduh di ruang terbuka hijau (RTH).
Saat ini, RTH di Bogor hanya sekitar 10 persen dari total wilayah. Itu pun
sudah termasuk Kebun Raya Bogor yang memiliki luas sekitar 85 hektare, Hutan
Cifor seluas 65 hektare, dan sawah irigasi teknis seluas 650 hektare di tiga
kecamatan di Kota Bogor. Angka tersebut masih jauh dari yang telah ditetapkan
Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang penataan ruang untuk mengadakan RTH
yang mencapai 30 persen dari luasan daerahnya. Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang pedoman penyediaan dan pemanfaatan
ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan terdapat 101 pilihan vegetasi untuk
ditanam. Pedoman tersebut juga merekomendasikan kelompok tanaman yang
ditanam seperti pohon, perdu dan semak. Terdapat berbagai macam kategori,
mulai dari pohon beraroma, pohon berdaun indah dan pohon berbunga indah serta
perdu dan semak memiliki kategori yang sama seperti pohon tersebut.
Bintaro (Cerbera odollam) merupakan jenis pohon yang direkomendasikan
sebagai tanaman RTH sehingga akan selalu kita temui pada jalur hijau setiap kota.
Tumbuhan tersebut memiliki sistem perakaran yang cukup kuat dan tajuknya
berfungsi sebagai peneduh, penyerap polusi serta pemecah angin. Di kota Bogor,
tanaman bintaro dapat kita temui di Jl. Kol. Achmad Syam dan Jl. KH. Soleh
Iskandar.
Pohon-pohon yang ditanam di RTH fungsinya bukan hanya sekedar sebagai
peneduh atau menyerap emisi karbon semata, namun juga akan memberikan
manfaat lain dalam kehidupan sehari-hari, baik dari segi sosial, budaya dan
menjadi sumber ekonomi masyarakat. Ekologi merupakan salah satu faktor yang
sangat penting dalam menunjang tumbuh dan berkembangnya pohon-pohon di
RTH, demi mencapai manfaat yang diharapkan. Jika keadaan ekologinya sesuai
dengan yang dibutuhkan, maka manfaat lain akan muncul dengan sendirinya,
seperti hubungan sosiologi manusia dengan alam. Hubungan inilah yang
diharapkan dari adanya RTH di perkotaan, sehingga akan ada rasa menghargai
alam.
107 
 

Strategi Pengembangan Tanaman Bintaro

Strategi pengembangan tanaman bintaro perlu dirumuskan antara


pemerintah, lembaga penelitian, industri dan masyarakat untuk memenuhi suplai
bahan baku dari buah bintaro secara berkesinambungan dan berkelanjutan.
Adapun isi rumusan strategi pengembangan tanaman buah bintaro adalah sebagai
berikut:
(a) Program pengembangan buah bintaro sebagai salah satu bahan baku arang
aktif pengolah limbah cair dan asap cair antirayap perlu dilengkapi sarana,
prasarana dan investasi penelitian serta aplikasinya di masyarakat supaya
semakin maju dan berjalan efektif serta efisien.
(b) Pengembangan buah bintaro dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu
kelompok pertama seperti di daerah yang memiliki RTH tanaman bintaro
dengan sarana transportasi yang memadai untuk peningkatan nilai tambah
dalam bentuk pengolahan buah bintaro terpadu. Mulai dari mengolah biji
menjadi biodiesel, cangkang menjadi arang aktif dan asap cair, daun dan
ranting menjadi biopestisida.
Kelompok kedua, pada daerah terpencil seperti Riau, Kalimantan dan
Sulawesi yang mempunyai hutan bintaro dapat memanfaatkan produksi buah
bintaro untuk menghasilkan energi, sehingga diperlukan adanya kilang
biodiesel (bintaro diesel plant) untuk menghasilkan bahan bakar bagi
nelayan. Dengan demikian petani dan nelayan saling membantu satu sama
yang lain.
(c) Diperlukan bantuan pemerintah untuk menata satu daerah sebagai sentra
produksi buah bintaro, agar masyarakat di daerah penghasil bintaro bersatu
untuk mengolah buah bintaro sehingga mampu mandiri. Terkait hal tersebut
maka dicari areal yang sesuai untuk pengembangan industri rumah tangga
buah bintaro di pedesaan. Oleh karena itu perlu dilakukan pembinaan yang
efektif dan kontinu, terkait dengan proses adopsi teknologi, dan kemitraan
yang dilaksanakan melalui Kemitraan Simbiosis dengan kontrol pemerintah.
(d) Inovasi teknologi; teknologi tradisional, yang sudah lama dikenal masyarakat
pedesaan, perlu diperbaiki dengan mengoptimalkan operasi dan memperbesar
kapasitas olah. Teknologi inovatif adalah pengembangan teknologi yang
sudah ada untuk penyempurnaan sistem proses, sehingga biaya produksi lebih
murah dan waktu proses lebih singkat. Teknologi inovatif dijumpai pada
pengolahan skala menengah dengan sistem proses sebagian secara mekanis,
yakni pengolahan asap cair, arang aktif dan minyak biodiesel buah bintaro.
Teknologi maju adalah teknologi proses untuk menghantarkan perusahaan
menjadi market leader dan produk yang dihasilkan merupakan produk baru,
seperti pada biopestisida, baik menurut kualitas maupun spesifikasinya dan
dibutuhkan pasar, sehingga memerlukan dukungan riset secara terus menerus
agar posisi market leader tetap terpelihara.
(e) Kelembagaan dan pembinaan petani; peningkatan kelembagaan meliputi
pembentukan dan pemberdayaan organisasi yang selama ini telah ada di
lingkungan petani. Petani diharapkan mampu meningkatkan posisi tawar,
meningkatkan akses terhadap teknologi, informasi dan pembiayaan,

 
 
108 
 

pengelolaan usaha dan meningkatkan pemasaran melalui jalinan kerjasama


antara unit pengolahan dan pemasaran.
(f) Pembinaan dan pelatihan; diberikan kepada petani dan industri pengolah,
untuk dapat menghasilkan produk yang dibutuhkan oleh pasar. Dalam rangka
meningkatkan penguasaan teknologi dan melahirkan inovasi baru, baik dalam
hal teknologi maupun diversifikasi produk, perlu dilakukan kerja sama yang
lebih aktif dengan lembaga-lembaga penelitian.
(g) Pengembangan pasar; perlu identifikasi dan kajian pasar untuk mengetahui
karakteristik pasar dan jenis produk yang disukai atau diperlukan konsumen.
Identifikasi dilakukan untuk melihat peluang pasar menyerap produk-produk
yang dihasilkan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri,
berapa banyak industri atau usaha yang menggunakan atau berpeluang
menggunakan produk buah bintaro, jenis dan volume penggunaan per tahun,
dan ada tidaknya produk substitusi.
(h) Pembiayaan; pembiayaan masih merupakan kendala dalam pengembangan
usaha kecil dan menengah (UKM). Kendala pembiayaan yang dihadapi dapat
berupa kurang percayanya lembaga pembiayaan terhadap usaha yang
dijalankan maupun kendala kemampuan akses dari UKM terhadap lembaga
pembiayaan yang ada, karena faktor kesulitan prosedur ataupun persyaratan
yang harus dipenuhi. Oleh karena itu UKM memerlukan upaya fasilitas ke
sumber-sumber pembiayaan. Fasilitas pembiayaan antara lain pembiayaan
usaha untuk kegiatan budidaya buah bintaro, industri pengolahan, usaha
perdagangan dan ekspor, pembiayaan untuk pembinaan kelembagaan dan
usaha, pembiayaan untuk penelitian dan pengembangan produk. Pola
pembiayaan dapat berupa hibah, bantuan teknis atau pinjaman lunak. Sumber-
sumber pembiayaan berasal dari dana pemerintah alokasi APBN/APBD,
pemanfaatan dana pembinaan dari keuntungan BUMN, kredit komersial,
bank, dan lembaga keuangan lainnya.

Tahap Pengembangan

1) Jangka pendek (1-3 tahun)


(a) Perusahaan/pabrikan melalui CSR perlu mengalokasikan dana sosial dan
pengembangan wilayah kerja yang cukup memadai untuk menunjang usaha
pengembangan buah bintaro dan pengolahan, sehingga secara langsung
bermanfaat bagi petani bintaro.
(b) Pemerintah bersama asosiasi petani bintaro, perlu menetapkan nilai
keekonomisan pengolahan buah bintaro dengan internal rate of return (IRR)
> 12 % dan net present value (NPV 12 %) > 0.
2) Jangka Menengah (4-6 tahun)
(a) Perlu dilakukan peremajaan dan rehabilitasi tanaman bintaro yang sudah
tua/rusak dan kurang produktif. Percepatan program ini dapat dilakukan
bekerja sama dengan asosiasi koperasi pengolah buah bintaro menggunakan
teknologi yang tepat, efektif, dan efisien melalui pendayagunaan potensi
lembaga penelitian.
(b) Pemberdayaan tanaman bintaro secara optimal lahan di RTH.
109 
 

(3) Jangka Panjang (7-10 tahun)

(a) Secara bertahap dan massal pola pikir petani yang awalnya tanaman bintaro
hanya sebagai racun dan obat menjadi tanaman yang bernilai ekonomis.
(b) Pelaksanaan kegiatan jangka panjang membutuhkan keterpaduan tindak dari
semua pihak terkait dan diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.
(c) Pemerintah Pusat (melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan) dan Pemerintah
Daerah harus berkomitmen yang tinggi untuk membantu petani melalui kredit
perbankan dengan bunga murah dan subsidi, dalam bentuk penyediaan sarana
produksi, alat/mesin pengolahan, dan modal kerja usaha tani dan pengolahan
hasil.

Strategi Pemanfaatan Tanaman Bintaro di RTH

Ruang terbuka yang ditanami pohon bintaro berperan dalam mengatasi


pencemaran udara dan menjadi salah satu bahan baku arang aktif yang dapat
digunakan untuk mengolah limbah cair dan asap cair antirayap. Dalam melakukan
pengelolaan RTH buah bintaro tersebut seharusnya bukan hanya dilakukan oleh
pemerintah tapi juga perlu melibatkan masyarakat. Partisipasi masyarakat sangat
penting dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH. Upaya ini dilakukan untuk
memberikan hak masyarakat dan mencegah terjadinya penyimpangan
pemanfaatan ruang. Masyarakat perlu dilibatkan dalam perencanaan,
pemanfaatan, dan pengendalian RTH (Gambar 38).

Gambar 38 Bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang

Peran serta masyarakat da

lam proses pengambilan keputusan dapat dibedakan berdasarkan sifatnya, yaitu


yang bersifat konsultatif dan bersifat kemitraan (Gambar 38). Dalam peran serta
masyarakat dengan pola hubungan konsultatif antara pihak pejabat pengambil
keputusan dengan kelompok masyarakat yang berkepentingan, anggota-anggota
masyarakatnya mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberi
tahu, dan keputusan terakhir tetap berada di tangan pejabat pembuat keputusan

 
 
110 
 

tersebut. Peran serta masyarakat yang bersifat kemitraan, pejabat pembuat


keputusan dan anggota-anggota masyarakat merupakan mitra yang relatif sejajar
kedudukannya. Mereka bersama-sama membahas masalah, mencari alternatif
pemecahan masalah dan membahas keputusan. Karenanya, peran serta masyarakat
tidak saja digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, tetapi juga digunakan
sebagai perencana dan pelaksana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun
2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang
adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat,
korporasi, dan/atau pemangku kepentingan non pemerintah lain dalam penataan
ruang. Peran masyarakat diartikan sebagai partisipasi aktif masyarakat dalam
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Bentuk peran masyarakat adalah kegiatan/aktivitas yang dilakukan masyarakat
dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang.
Dalam mendukung masyarakat untuk mengetahui rencana pengelolaan buah
bintaro pada lahan RTH, pemerintah daerah idealnya harus mengumumkan dan
menyebarluaskan RTRW dan peraturan pelaksanaannya. Pengumuman atau
penyebarluasan tersebut diselenggarakan melalui penempelan/pemasangan peta
rencana pengelolaan tanaman bintaro di lahan RTH pada tempat-tempat umum
dan kantor-kantor pelayanan umum. Selain itu penerbitan booklet atau brosur,
pengunggahan pada situs pemerintah daerah, atau pada media cetak dan elektronik
lainnya yang sah tentang pemanfaaatan buah bintaro juga sangat berguna untuk
penyebaran informasi pemanfaatan tanaman bintaro di RTH.
Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang dilaksanakan
dengan mematuhi dan menerapkan kriteria, kaidah, baku mutu, dan aturan-aturan
penataan ruang yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dipraktekkan
masyarakat secara turun temurun dapat diterapkan sepanjang memperhatikan
faktor-faktor daya dukung lingkungan, estetika lingkungan, lokasi, dan struktur
pemanfaatan ruang serta dapat menjamin pemanfaatan ruang yang serasi, selaras
dan seimbang.
Pasca pelibatan masyarakat, pemerintah memberikan insentif terhadap
masyarakat yang telibat secara aktif dalam menjaga, mengelola dan memelihara
tanaman bintaro di RTH. Apabila semua dilaksanakan dengan baik, maka akan
tercapai keberlanjutan pemanfaatan tanaman bintaro, sehingga sampah buah
bintaro tidak lagi menjadi masalah di RTH. Sampah buah bintaro akan menjadi
suatu peluang berusaha yang menguntungkan apabila diorganisir dan dikelola
dengan baik.

Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Mengembangkan Tanaman


Bintaro di RTH

Bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam kegiatan penataan ruang
sifatnya kontekstual, tergantung pada tingkat dan proses kegiatan penataan ruang
(perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang). Pelibatan
masyarakat dalam kegiatan penataan ruang setidaknya memperhatikan hal berikut:
111 
 

1. Masyarakat yang terlibat dan dilibatkan harus mewakili semua kelompok


kepentingan dengan komposisi yang proporsional termasuk juga kepentingan
kelompok yang terpinggirkan;
2. Penentuan masyarakat yang terlibat dan dilibatkan dilakukan secara acak
dengan melakukan analisis stakeholder berdasarkan jarak tempat tinggal dari
RTH dan tingkat pendapatan masyarakat tersebut.
3. Peran masyarakat dalam pengembangan tanaman bintaro di RTH diantaranya:
A). Menjaga keberadaan tanaman bintaro di RTH dengan cara:
1) Tidak mengubah fungsi tanaman yang ada; dan
2) Tidak menebang pohon bintaro pada jalur hijau sempadan jalan.
3) Melakukan pengumpulan sampah buah bintaro di sepanjang jalur RTH
agar tidak masuk ke selokan dan mengganggu kebersihan lingkungan
B). Turut mengawasi proses pemeliharaan dan keberadaan tanaman bintaro di
RTH dengan memberi masukan kepada instansi pengelola jika terjadi
penyimpangan penggunaan RTH;
Salah satu contoh masyarakat di Kota Bandung ikut berperan serta dalam
pembangunan RTH melalui tiga jenis bentuk partisipasi, sebagai berikut:
1) Komunitas Hijau, yaitu melalui pembentukan kegiatan, panitia, atau kelompok
hijau yang akan mengelola RTH secara swadaya. Kegiatan yang dapat diikuti
antara lain: inventarisasi potensi lahan untuk RTH, konfirmasi kondisi
lapangan; serta pemeliharaan jangka panjang secara swadaya dalam skala
lingkungan.
2) Perusahaan, yaitu melalui pembentukan program peduli lingkungan dan
masyarakat (corporate social responsibility). Kegiatan-kegiatan yang dapat
melibatkan pihak perusahaan antara lain: bantuan pengadaan lahan, melalui
hibah lahan perusahaan untuk RTH; bantuan pengadaan bibit tanaman bintaro;
bantuan dana kegiatan sosialisasi, kampanye, dan pengabdian masyarakat; serta
pemeliharaan dalam jangka panjang.
3) Pribadi/privat, antara lain melalui:
a) Pengadaan tanaman bintaro di RTH pekarangan, pengadaan (atau
mempertahankan) taman makam keluarga;
b) Penghijauan skala bangunan seperti vertical garden.
Pengelolaan RTH di Kota Bogor dapat melibatkan berbagai dinas dalam
pemerintahan kota. Dinas-dinas yang terkait antara lain BAPPEDA Kota Bogor,
Dinas Tata kota dan Pertamanan Kota Bogor, Dinas Kebersihan dan Pertamanan
Kota Bogor, dan Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota.
Menurut Suryonotonegoro (2002) pemberdayaan petani dapat dilakukan
dalam dua tahap, yakni tahap pemulihan dan tahap pengembangan. Tahap
pemulihan dimaksudkan untuk mendidik dan mendorong motivasi petani dalam
meningkatkan produktivitas dan efisiensi pengolahan. Tahap pengembangan
diarahkan untuk mengembangkan usaha tani, dan kelembagaan ekonomi. Pada
tahap ini diharapkan petani mampu mengembangkan kelembagaan ekonomi yang
mandiri. Kelembagaan petani perlu dibangun dengan tujuan untuk memberikan
pelayanan kepada petani-petani anggotanya, serta melobi pemerintah dalam hal

 
 
112 
 

kepentingan pengembangan usaha. Melalui lembaga seperti koperasi diharapkan


dapat tercipta komunikasi, sehingga petani dapat menyalurkan aspirasi dan
kepentingan dengan lebih baik, dan hendaknya lembaga/wadah ini dibangun atas
inisiatif petani, sedangkan pemerintah dan instansi terkait, berperan dalam
memfasilitasinya.
Penyediaan alat-alat pengolahan perlu diupayakan terutama untuk skala
kecil rumah tangga, dengan teknologi inovatif yang diproduksi dalam negeri dan
kinerja yang memadai. Memproduksi alat dan mesin di dalam negeri dapat
menghemat devisa dan juga membuka lapangan kerja di sektor manufaktur.
Teknologi pengolahan dapat dibagi tiga tingkatan yaitu tradisional, inovatif,
dan maju. Teknologi tradisional yang sudah lama dikenal masyarakat, perlu
diperbaiki dengan mengoptimalkan operasi dan memperbesar kapasitas olah.
Teknologi inovatif adalah pengembangan teknologi yang sudah ada untuk
memenangkan persaingan dengan merancang perubahan dan penyempurnaan
sistem proses sehingga biaya produksi lebih murah dan waktu proses lebih
singkat. Teknologi maju adalah teknologi proses untuk menghantarkan
perusahaan menjadi market leader, menghasilkan produk baru, baik menurut
kualitas maupun spesifikasinya dan dibutuhkan pasar sehingga perlu dukungan
riset secara terus menerus agar posisi market leader tetap terpelihara (Irawadi
2000).
Umumnya teknologi pengolahan bintaro tradisional dapat dikembangkan
pada pengolahan skala kecil/penelitian, contoh pembuatan briket arang bintaro,
pembuatan arang buah bintaro dan papan partikel. Teknologi inovatif dijumpai
pada pengolahan skala menengah dengan sistem proses sebagian secara mekanis,
yakni pengolahan minyak biodiesel dari buah bintaro, bio pestisida dan arang aktif
dari buah bintaro.

Modal/Investasi
Modal atau investasi merupakan faktor pembatas bagi pengolah dalam
pengembangan usahanya. Pemerintah telah mengambil inisiatif melalui
peluncuran skema kredit pertanian dengan suku bunga 5 % untuk alat dan mesin
dalam bentuk usaha individu atau kelompok/koperasi. Sarana dan prasarana
pertanian, termasuk alat dan mesin pertanian serta pembinanan yang kontinu,
sangat perlu mendapat dukungan yang memadai dari pemerintah.
Pada tahap awal, pengembangan buah bintaro tidak memungkinkan
dilakukan sendiri oleh petani/kelompok tani, melainkan memerlukan dukungan
dari berbagai pihak terkait, terutama pemerintah daerah. Dalam hal ini,
pemerintah daerah/instansi teknis dan lembaga keuangan mempunyai peran yang
sangat menentukan. Sejalan dengan upaya pengembangan ini, pihak pabrikan
perlu melakukan penyesuaian agar mampu menyerap produk primer yang
dihasilkan petani, sehingga pengembangan akan berlangsung secara sinergi,
berkelanjutan, dan menguntungkan semua pihak.
Pengembangan Produk
Pemanfaatan buah bintaro oleh petani kebanyakan hanya sebatas digunakan
sebagai pengusir tikus dan obat luka. Usaha atau industri yang mengembangkan
produk buah bintaro yang bernilai ekonomi cukup tinggi sudah mulai dilakukan,
113 
 

namun masih sangat sedikit dan belum mampu memanfaatkan sumber daya buah
bintaro, sehingga belum dapat meningkatkan pendapatan petani atau usaha kecil.
Potensi dan peluang pengembangan berbagai produk buah bintaro yang
bernilai ekonomi tinggi cukup besar. Potensi buah bintaro yang cukup besar
tersebut hendaknya dapat dimanfaatkan dengan sebesar-besarnya untuk
kesejahteraan rakyat. Petani buah bintaro hendaknya diberi kesempatan untuk
menikmati hasil yang lebih baik. Pengusaha di sektor hilir didorong untuk
berkembang dengan menyediakan berbagai sarana/prasarana, fasilitas
pembiayaan, aturan yang mendukung, serta berbagai upaya untuk membuka
peluang pasar. Alternatif produk yang dapat dikembangkan antara lain asap cair
buah bintaro arang, karbon aktif, biopestisida, papan partikel dari serat buah
bintaro dan minyak biodiesel. Efektifnya pembinaan dan pengendalian kegiatan
pengembangan membutuhkan wadah permanen yakni kelompok tani dengan unit
pengolahannya. Peran petani menyediakan bahan baku, mengolah dan
memasarkan produk yang dihasilkan, dengan bimbingan teknis dan manajemen
usaha dari instansi pemerintah yang terkait, sehingga petani termotivasi
mengembangkan usaha dengan pola pikir bisnis-komersial.
Menurut Ulrich dan Eppinger (2001) bahwa pengembangan dikatakan
sukses apabila produk yang dihasilkan dapat dijual dengan memperoleh laba.
Lima dimensi spesifik yang berhubungan dengan laba dan digunakan untuk
menilai kinerja usaha pengembangan produk, yakni (a) kualitas produk;
menentukan berapa besar harga yang ingin dibayar pelanggan, (b) biaya produk;
menentukan berapa besar laba yang akan dihasilkan oleh unit usaha pada volume
penjualan dan harga penjualan tertentu, (c) waktu pengembangan; akan
menentukan kemampuan dalam berkompetisi, perubahan teknologi, dan kecepatan
menerima pengembalian ekonomis dari usaha yang dilakukan, (d) biaya
pengembangan; merupakan komponen yang penting dari investasi untuk
mencapai profit, dan (e) kapasitas pengembangan; merupakan asset
mengembangkan produk lebih efektif dan ekonomis di masa yang akan datang.
Pengembangan industri pengolahan buah bintaro merupakan prasyarat
dalam meningkatkan nilai tambah tanaman bintaro. Dukungan kebijakan
diperlukan sebagai berikut : (a) penyederhanaan birokrasi perizinan usaha dan
investasi di bidang industri pengolahan produk pada berbagai tingkatan dan skala
usaha, (b) pembukaan akses pembiayaan dengan pemberian skim kredit khusus
untuk pengembangan industri dengan berbagai skala usaha, (c) promosi
pengembangan pengolahan hasil buah bintaro terpadu guna meningkatkan
perolehan nilai tambah dan (d) peningkatan kegiatan penelitian dan
pengembangan buah bintaro dalam pengolahan dan pemasaran.

Implementasi Pengembangan Buah Bintaro

Optimalisasi Lahan RTH


Optimalisasi kegiatan pertanian sebagai tahap awal, pengembangan tanaman
bintaro dimulai dari daerah sebagai sentra produksi buah bintaro. Upaya yang
dilakukan antara lain penyediaan bibit dan pembentukan pusat bibit lokal,
perbaikan budidaya, pengamanan penyediaan sarana produksi pertanian,
penyediaan alat, dan distribusi produk di pedesaan. Pemanfaatan lahan RTH di

 
 
114 
 

kota sebagai lahan tanaman bintaro dengan menekankan pada partisipasi


masyarakat di sekitar lahan RTH untuk merawat, mengumpulkan, dan
mendistribusikan buah bintaro untuk diolah. Adanya pemanfaatan dan
pengelolaan lahan RTH untuk ditanami bintaro diharapkan dapat memberikan
peluang berusaha bagi masyarakat di sekitar RTH.

Analisis Dampak Lingkungan Pembuatan Arang Aktif dan Asap Cair


Antirayap dari Buah Bintaro dengan Pendekatan Life Cycle Assessment

Analisis dampak lingkungan pembuatan arang aktif dan asap cair antirayap
dari buah bintaro dilakukan secara manual dengan pendekatan Life Cycle
Assessment (LCA). Life cycle yang diamati dalam penelitian ini adalah siklus
hidup pembuatan arang aktif dan asap cair antirayap dari buah bintaro. Tahapan
LCA mengikuti kerangka kerja yang diterapkan oleh ISO 14040–14044 (2006)
pada industri manufaktur serta mengembangkan tahapan–tahapan tersebut.
Mendefinisikan Batasan dan Ruang Lingkup LCA
Life cycle yang diamati dimulai dari pengambilan sampah buah bintaro
sampai menjadi arang aktif dan asap cair antirayap.
Analisis Life Cycle Inventory (LCI)
Inventori dilakukan berdasarkan input dan output material didalam sistem.
Data Input terdiri dari: kebutuhan bahan baku, energi dan alat transportasi yang
digunakan. Biaya Input sudah terlampir dalam lampiran biaya produksi di
Lampiran 45.
Penilaian Life Cycle Impact Assessment (LCIA)
Pada tahap Life Cycle Impact Assessment (LCIA) dilakukan perhitungan
total dari dampak lingkungan yang telah dikumpulkan dari tahapan Life Cycle
Inventory (LCI). Pada tahap ini, dampak emisi CO2 dibagi berdasarkan konsumsi
sumber daya atau bahan bakar yang digunakan.
Kategori yang berkaitan dengan input (deplesi sumber daya atau kompetisi):
1. Sumber daya abiotik
Adanya perubahan kandungan mineral dalam tanah akibat sistem
monokultur penanaman tanaman bintaro. Selain itu adanya konsumsi sumber daya
air untuk proses pembuatan arang aktif juga menyebabkan sumber daya alam
menjadi berkurang.
2. Sumber daya biotik
Adanya perubahan jenis hewan, hama, mikroorganisme dan gulma yang
hidup di tanah karena tanaman bintaro adalah tanaman yang mempunyai racun
cerberin. Prosea (2002) melaporkan bahwa adanya kandungan cerberin pada biji
bintaro/kelampan diduga memberikan efek mematikan pada tikus. Cerberin
merupakan golongan alkaloid/glikosida yang diduga berperan terhadap mortalitas
serangga. Saponin dan polifenol dikenal sebagai senyawa yang sangat toksik
terhadap serangga. Sedangkan flavonoid mempunyai efek antimikroba/sebagai
115 
 

pelindung tanaman dari patogen dan antifeedant (Kuddus et al. 2011). Adanya
kandungan bahan kimia yang terdapat pada bagian-bagian tanaman
bintaro/kelampan tersebut maka potensi tanaman bintaro/kelampan sebagai
pengendali serangga hama termasuk rayap kayu kering sangat besar.
3. Lahan
Tanaman bintaro merupakan tanaman mangrove. Menurut Euthalia (2008)
tanaman ini banyak ditemukan tumbuh di lahan pasang surut terutama di dekat
sungai agak ke dalam dan di tepi-tepi sungai. Banyaknya penanaman mangrove
di lahan RTH akan membuat perubahan pada lahan RTH tersebut. Stuktur dan
tekstur lahan RTH akan berubah dari sifat alamiahnya. Umumnya tanah mangrove
di Indonesia merupakan tanah muda. Bahan-bahan pembentuk tanah telah
mengalami berbagai pencucian dan pelumatan sebelum diendapkan, sehingga
partikel-partikel tanah sangat halus. Tanah mangrove mempunyai kandungan
garam dan kadar air yang tinggi, asam sulfida yang melimpah, kandungan oksigen
yang rendah serta bahan kasar lainnya yang berasal dari hancuran organisme laut
(Sukardjo 1984).
Kategori yang berkaitan dengan output
1. Faktor emisi karena adanya pembakaran untuk proses pirolisis
Pada penghitungan emisi CO2 akibat adanya pembakaran buah bintaro
diperlukan beberapa data yang dirangkum dalam Tabel 35 faktor emisi CO2
berdasarkan jenis bahan bakar dan Tabel 36 Energy content. Berdasarkan
perhitungan emisi CO2 di Lampiran 49 menunjukkan bahwa nilai total emisi dari
bahan bakar pirolisis LPG adalah sebesar 4.84 x 1013 Ton.
Tabel 35 Faktor emisi CO2 berdasarkan jenis bahan bakar (Kg/TJ)
Fuel Default Lower Upper
Gasoline 69300 67500 73000
Other Kerosene 71900 70800 73600
Gas/Diesel Oil 74100 72600 74800
Residual Fuel Oil 77400 75500 78800
Liquefied Petroleum Gases 63100 61600 65600
Natural Gas 56100 54300 58300
Other Oil
Refinery Gas 57600 48200 69000
Paraffin Waxes 73300 72200 74400
White Spirit & SBP 73300 72200 74400
Other Petroleum Products 73300 72200 74400
Sumber : IPCC Guidence 2006

2. Emisi akibat adanya transportasi


a. Faktor emisi CO2 dari jenis bahan bakar
Berdasarkan perhitungan emisi CO2 pada Lampiran 49 dengan
menggunakan data di Tabel 36. Pemakaian bahan bakar bensin satu tahun
sebesar 312 liter akan membawa dampak emisi CO2 sebesar 749404656 ton CO2.
Hal ini menunjukan bahwa emisi CO2 dari bahan bakar motor bensin akan
membawa dampak ke lingkungan udara.

 
 
116 
 

Tabel 36 Energy content


Electricity Hydro 3,6 MJ/kWh
Nuclear (typical value) 11,6 MJ/kWh
Steam 2,33 MJ/Kg
Natural Gas 37,23 MJ/m3
Liquefied Petroleum Gases 48.85 MJ/Kg
Ethane (liquid) 18,36 MJ/L
Propane (liquid) 25,53 MJL
Coal Anthracite 27,7 MJ/Kg
Bituminous 27,7 MJ/Kg
Sub-bituminous 18,8 MJ/Kg
Lignite 14,4 MJ/Kg
Average domestic use 22,2 MJ/Kg

Petroleum Products Aviation Gasoline 33,62 MJ/L


Motor Gasoline 34,66 MJ/L
Kerosene 37,68 MJ/L
Diesel 38,68 MJ/L
Light fuel oil 38,68 MJ/L
Heavy fuel oil 41,73 MJ/L
Sumber : Aube 2001 (CANMET Energy Diversification Research Laboratory 2001).

b. Faktor emisi dari kendaraan

Pada penghitungan faktor emisi CO2 dari kendaraan bermotor memerlukan


data pendukung seperti pada Tabel 37 tentang faktor emisi CO2 dari kendaraan
bermotor dan Tabel 38 tentang konversi jenis kendaraan ke satuan penumpang.
Hasil perhitungan emisi CO2 dalam Lampiran 49 menunjukkan emisi CO2 dari
satu kendaraan motor bensin selama setahun adalah sebesar 156.27 Kg.

Tabel 37 Faktor emisi CO2 dari kendaraan bermotor


Kategori CO2
(g/Kg BBM)
Sepeda Motor 3.180
Mobil (bensin) 3.180
Mobil (solar) 3.172
Bis 3.172
Truk 3.172
Sumber : Suhadi (2008).

Tabel 38 Konversi jenis kendaraan ke satuan mobil penumpang


No. Jenis Kendaraan Smp
1 Sepeda Motor 0.25
2 Kendaraan Ringan 1.00
3 Kendaraan Berat 1.20
117 
 

Sumber : Indonesia Highway Capacity Manual Part 1 Urban Road No.


09/T/BNKT/1993

Interpretasi Siklus Hidup

Berdasarkan hasil penilaian life cycle impact assessment (LCIA) didapatkan


data bahwa telah terjadi perubahan sumberdaya abiotik dan biotik akibat adanya
penanaman buah bintaro di area RTH dengan dampak positif karena banyaknya
hama penganggu yang hilang. Adapun berdasarkan analisis perhitungan emisi
CO2 didapatkan bahwa emisi CO2 dari gas LPG untuk pirolisis arang sangat besar
dibandingkan emisi CO2 dari faktor bahan bakar dari kendaraan bermotor. Oleh
karena itu untuk saran perbaikan perlu untuk membuat satu reaktor pirolisis
dengan kapasitas yang lebih besar dengan jumlah gas LPG yang lebih hemat
sehingga emisi CO2 yang ditimbulkan lebih sedikit.

 
 
5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sampah cangkang


buah bintaro dapat dibuat arang aktif yang berkualitas baik karena hasil proksimat
arang aktif hampir memenuhi semua syarat SNI arang aktif teknis serbuk kecuali
untuk kadar abu. Limbah krom dari laboratorium dapat diolah dengan arang buah
bintaro yang diaktivasi dengan asam fosfat 20 % pada pH basa dengan persentase
removal krom terbaik sebesar 66.55 %.
Hasil Analisis GC-MS pada asap cair buah bintaro menunjukkan bahwa
komponen terbesar dari asap cair adalah piridin -3 karbosamida (pyridine-3-
carboxamide), oksim (oxime), N-2 trifluorometilfinil (N-(2-trifluoromethylphenyl));
asam asetat (acetic acid); fenol (phenol), 2 metoksi (2-methoxy), fenol (phenol), 2
metoksi-4 metil (2-methoxy-4 methyl); 4 metoksi fenol (mequinol), asam 9-
oktadenoat (Z), 2.3 dihidroksilpropil ester (9-octadecenoic acid (Z), 2,3
dihydroxyprophyl ester) yang dapat berfungsi sebagai agen termicidal yang dapat
membunuh rayap
Hasil perhitungan finasial menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa usaha
pemanfaatan cangkang buah bintaro sebagai asap cair dan arang aktif layak untuk
dikerjakan karena nilai npv >0, nilai net B/C >1, nilai IRR asap cair dan arang
aktif cangkang buah bintaro sebesar 22.21 % dengan suku bunga 12.5 %. Lama
payback period lebih pendek dari pada umur proyek yang direncanakan yaitu 5
tahun sehingga dapat dikatakan proyek ini layak untuk dilaksanakan
Strategi pengembangan pemanfaatan buah bintaro berdasarkan
pertimbangan potensi lahan dan nilai produk, maka prioritas pengembangan
sebagai berikut: pengembangan produk didasarkan pada kondisi wilayah, inovasi
teknologi, kelembagaan dan pembinaan petani; pembinaan dan pelatihan;
diberikan kepada petani dan industri pengolah, untuk dapat menghasilkan produk
yang dibutuhkan oleh pasar; pengembangan pasar; dan pembiayaan. Oleh karena
pembiayaan masih merupakan kendala dalam pengelolaan RTH di kota Bogor.
untuk itu perlu melibatkan berbagai dinas dalam pemerintahan kota Bogor.
Dinas-dinas yang terkait antara lain BAPPEDA Kota Bogor, Dinas Tata kota dan
Pertamanan Kota Bogor, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, dan
Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Bogor.

Saran

Merujuk hasil analisis, pembahasan, dan kesimpulan penelitian, beberapa


saran dapat disampaikan sebagai berikut : 

1. Arang aktif dari buah bintaro dapat digunakan sebagai alternatif pengganti
arang aktif tempurung kelapa untuk mengolah limbah krom
2. Asap cair dari arang buah bintaro dapat digunakan sebagai bahan pengawet
kayu dari serangan rayap
119 
 

3. Adapun saran penelitian adalah untuk optimalisasi persentase removal krom


perlu adanya optimalisasi preparasi sampel buah bintaro sehingga dapat
mengurangi kadar abu yang dihasilkan.
4. Perlu adanya pengaturan pH yang sama untuk setiap arang aktif sehingga
adsorpsi limbah cair krom menjadi lebih optimal.
5. Perlu adanya sosialisasi kepada Pemda-pemda perkotaan yang tidak memiliki
lahan luas untuk menanam buah bintaro sebagai tanaman peneduh penyerap
emisi dan memanfaatkan buah bintaro untuk pemberdayaan masyarakat
(industri arang aktif dan asap cair).

.
DAFTAR PUSTAKA

Alen R. 2000. Basic Chemistry of Wood Delignification, In: Forest Products


Chemistry. Stenius P (Ed). Finland: Fapet Oy.

Alfarra A, Frackowiak E, Beguin F. 2004. The HSAB Concept as a Means to


Interpret the Adsorption of Metal Ions on to Activated Carbons. 228:84-92.

American Society for Testing and Material. 1997. Annual Book of ASTM Standards D
445, Standard Test Methods for Apparent Porosity, Water Absorption,
Apparent Specific Gravity and Bulk Density of Burned Refractory Brick and
Shapes by Boiling Water. ASTM, USA. 257-259.

American Society for Testing and Material.1994. Annual Book of ASTM Standards
D3173-73 .Standard Test Standard Methods for Moisture in The Analysis
Sample of Coal and Coke, Volume 05.06, Gaseous Fuels, Coal and Coke,
ASTM. USA. 47p.

American Society for Testing and Material. 2013. Annual Book of ASTM Standards D
7579, Standard Test Methods for Pyrolysis Solids Content in Pyrolysis
Liquids. ASTM, USA. 124-127.

Anshari F, Nurhalimah, Muliannisa F, dan Denny S. 2012. Fraksinasi dan


Identifikasi Komponen Volatil Asap Cair dari Cangkang Buah Sawit yang
Berfungsi sebagai Koagulan Lateks Karet yang Ramah Lingkungan.
Prestasi Volume 1. No. 2. ISSN 2089-9122.

Anukthi C, Poori, Sandip D, Maind, Satish A. Bhalerao. 2015. Effective removal


of Cr (VI) from Aqueous Solutions Using Rind of Orange (Citrus sinensis)
L Osbeck. International Journal Of Current Microbiology and Applied
Sciences. Volume 4 No. 4. Pp. 653-671

APHA-AWWA-WPCF.1998. Standard Methods for the Examination of water


and Wastewater. 20th Ed. American Public Health Association.
Washington.

Aube F. 2001. Guide for Computing CO2 Emissions Related to Energy Use.
Research Scientist CANMET. Energy Diversification Research Laboratory.
USA

Ayasse M, Paxton R. 2002. Brood Protection in Social Insect. in Hilker, M


Meinera. T. Chemoecology of Insect Eggs and Egg Deposition. Berlin.
Blackwell pp. 117–48.

Azeez AA, Yonezawa, Yasuhiro. 2010. Macroeconomic Factors and The


Empirical Content of the Arbitrage Pricing Theory in the Japanese stock
Market. Japan and The World Economy. 568-591.
121

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1992. SNI-3233-1992 Tentang Tata Cara


Pengawetan Kayu dengan Cara Pemulasan Pencelupan dan Rendaman.
Jakarta (ID):BSN.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1991. SNI-06-2503-1991. Air dan Air


Limbah- Cara Uji Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD). Jakarta (ID): BSN.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1995a. SNI-01-3730-1995. Butir 5.6:


Pengujian Karbon Aktif Murni. Jakarta (ID) : BSN.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1995b. SNI-01-3730-1995. Butir 5.5:


Pengujian Daya Serap terhadap Iodium. Jakarta (ID) : BSN.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional.1996a. SNI-01-1682-1996. Butir 5.1. Metode


Pengujian Bagian yang Hilang dalam Pemanasan 950 oC. Jakarta(ID):
BSN.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional.1996b. SNI-01-1682-1996. Butir 5.2. Metode


Pengujian Kadar Air. Jakarta(ID) : BSN.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional.1996c. SNI-01-1682-1996. Butir 5.3. Metode


Pengujian Kadar Abu. Jakarta (ID): BSN.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004a. SNI-06-6989.2-2004. Air dan Air


Limbah- Cara Uji Kebutuhan Oksigen kimia (COD) dengan Refluks
Tertutup. Jakarta (ID): BSN.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004b. SNI-06-6989.17-2004. Air dan Air


Limbah- Cara Uji Krom Total(Cr) dengan metode Spektrofotometri
Serapan Atom (SSA)-Nyala. Jakarta(ID) : BSN.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004c. SNI-06-6989.21-2004. Air dan Air


Limbah- Cara Kadar Fenol secara Spektrofotometri. Jakarta (ID) : BSN.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004d. SNI 06-6989.1-2004. Air dan Air
Limbah - Bagian 1: Cara Uji Daya Hantar Listrik (DHL). Jakarta(ID):
BSN.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004e. SNI 06-6989.11-2004. Air dan Air
Limbah - Bagian 11. Cara Uji Derajat Keasaman (pH) dengan
Menggunakan Alat pHmeter. Jakarta (ID): BSN.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004f. SNI 06-6989.1-2004. Air. Metode


pengujian keasaman dengan titrimetrik. Jakarta(ID): BSN.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004g. SNI 06-6989-27-2004. Air dan Air
Limbah. Metode Pengujian Total Dissolved Solid. Jakarta(ID) : BSN
122

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2005. SNI 06-6989-1-2005. Air dan Air
limbah - Bagian 1: Cara Uji Kekeruhan. Jakarta(ID): BSN.

Boudou JP, Chehimi E, Broniek T, Siemieniewska, Bimer J. 2003. Adsorption of


H2S or SO2 on an Activated Carbon Cloth Modified by Ammonia
Treatment. Carbon 41 (10) : 1999–2007.

Basamatory BP, Duta M, Prasad K, Snivasan. 2005. Thermal Modeling of Active


Carbon Based Adsorptive Natural Gas Storage System. Carbon 43 (3):541-
549.

Baimark Y, Niamsa N. 2009. Study on Wood Vinegars for Use as Coagulating


and Antifungal Agents on The Production of Natural Rubber Sheets, J
Biomass Bioenergy. 33: 994-998.

Baroroh U, Utami L, Nurmasari R. 2007. Pengolahan Limbah Cair Sasirangan


secara Filtrasi melalui Pemanfaatan Arang Kayu Ulin sebagai Adsorben. J.
Sains MIPA. Vol.13(3) : 190-196

Budinovaa T, Ekinci E, Yardim F, Grimm A, Björnbom E, Minkova V, et al.


2006 Characterization and Application of Activated Carbon Produced by
H3PO4 and Water Vapor Activation. Fuel Process Technol;87:899–905

Burnette R, 2010. An Introduction to Wood Vinegar. ECHO Asia Notes A


Regional Supplement to ECHO Development. Notes Issue 7, Page 2.

Byrne CE, Nagle D.C. 1997. Carbonization of Wood for Advanced Materials
Applications. Carbon 35(2) : 259 – 266.

Chacha MG, Bojase-Moleta, Majinda. 2005. Antimicrobial and Radical


Scavenging Flavonoid From The Steam Wood of Erythrina latissma.
Phytochemistry. 66 : 99-104.

Chen S, Zeng. 2003. Improvement of the Reduction Capacity of Activated


Carbon Fiber. Carbon . 41 : 1265 – 1271.
Chen RJ, Zhang Y, Wang D, Dai H. 2001. Noncovalent Sidewall
Functionalization of Single-walled Carbon Nanotubes for Protein
Immobilization. J. Am. Chem. Soc. 123:3838–3839. doi:10.1021/ja010172b.

Chyuan Ong H, Silitongan AS, Malia TMI, Masjuki HH, Chong WT. 2014.
Investigation of biodiesel production from Cerbera manghas Biofuel
Sources, J. Energy Procedia.. 61: 436-439

Cimò G, Kucerik J, Anne E, Berns, Gabriele E, Schaumann, Giuseppe A,


Pellegrino C. 2014. Effect of Heating Time and Temperature on the
Chemical Characteristics of Biochar from Poultry
dx.doi.org/10.1021/jf405549z. J. Agric. Food Chem. 62: 1912−1918.
123

Concheso AR, Santamaria M, Granda R, Menendez JM, Jimenez-Mateos R,


Alcantara P, Lavela JL, Tirado. 2005. Influence of Oxidative Stabilization
on the Electrochemical Behavior of Coal Tar Pitch Derived Carbons in
Lithium batteries. Electrochemica Acta 50: 1225 – 1232.

Creswell C. Ruquist O, Campbell M. 2005. Analisis Spektrum Senyawa Organic.


Bandung: ITB

Davalos AB, Bartolome, Gomes-cordoves C. 2005. Antioxidant Properties of


Commercial Grape Juices and Vinegar. Food Chemistry. 93 : 325 -330

Darmaji P, 2002. Optimasi Pembuatan Tepung Asap. Agritech. 22 (4) Hal. 172-
177.

Darmadji P. 2006. Proses Pemurnian Asap Cair dan Simulasi Akumulasi Kadar
Benzopyrene Pada Proses Perendaman Ikan. Majalah Ilmu dan Teknologi
Pertanian 26 (2).

Dermirbas A. 2008. Pyrolysis of Ground Beech Wood in Irregular Heating Rate


Conditions. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis 73: 39-43.
Http://serial.cib.unibo.it.17 Mei 2008.

Diantariani NP. 2010. Peningkatan Potensi Batu Padas Ladgestone


sebagaiAdsorben Ion Logam Berat Cr(III) dalam Air melalui Aktivasi Asam
dan Basa. Jurnal Kimia, 4(1): 91-100

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta.

Ekebafe LO, Imanah JE, Okieimen, FE. 2010. Physico-chemical Properties of


Rubber Seed Shell Carbon-filled Natural Rubber Compounds. Chemical
Engineering .16 (2): 149–156.

El-Hendaway AN. 2003. Influence of HNO3 Oxidation on The Structure and


Adsorptive Properties of Corncob-based Activated Carbon. Carbon 41 (4):
713 – 722.
Environmental Protection Agency. 1997. Interlaboratory Comparison Study:
Methods for Volatile and Semivolatile Compound. USA.

Ercin D, Yurum Y. 2003. Carbonisation of fir (Abies bornmulleriana ) Wood in


an Open Pyrolysis System at 50-300o C. J Anal and Appl Pyrol. 67: 11-22.

Euthalia, Hanggari Sittadewi. 2008. Identifikasi Vegetasi di Koridor Sungai dan


Perannya dalam Penerapan Metode Bioenginering. Peneliti Madya Pada
Pusat Teknologi Sumberdaya Lahan,Wilayah dan Mitigasi Bencana, BPPT.
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 10 No. 2 Agustus 2008 Hlm.
112-118.
124

Fauzi A. 2010. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi.
PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Frackowiak BK. Ochalik A, Bialonska Z, Ciunik C, Wawrzenczyk, Lochynski S.


2006. Stereochemistry of Terpene Derivates. Part 5 : Synthesis of Chiral
Lactones Fused to a Carane System-insect Feeding Deterrents. Tetrahedron
: Asymmetry 17 : 124-129.

Fagan SB, Filho AGS, Lima JOG, Filho JM, Ferreira OP, Mazali IO, Alves OL,
Dresselhaus MS. 2004. 1,2-Dichlorobenzene Interacting with Carbon
Nanotubes. Nano Lett. 4:1285–1288. doi:10.1021/nl0493895.

Figueroa-Torres MZ, Robou-Sanchez A, Torre-Saenz LDI, and Aguilar EA. 2007.


Adsorption by Nanostructured Carbons Synthesized by Chemical
Activation. Microporous and Mesoporous Materials. 98:89-93.

Fierro, V. Torné-Fernández, A. Celzard,. 2007. Methodical Study of the Chemical


Activation of Kraft Lignin with KOH and NaOH, Microporous Mesoporous
Mater. 101 419–431.
.
Fronthea S, Agustini TW, Darmanto YS, Dewi EN. 2007. Liquid Smoke
Performance of Lamtoro Wood and Corn Cob. Journal of Coastal
Development. Vol. 10 (3) : 189-196

Fullana A, Contreras AJ, Striebich CR, Sidhu SS. 2005. Multidimensional


GC/MS Analysis of Pyrolytic Oils, J. Anal. Appl. Pyrolysis. 74: 315–326.

Gani A. 2007. Konversi Sampah Organik Pasar menjadi Komarasca (kompos-


arang aktif–asap cair) dan Aplikasinya pada Tanaman Daun Dewa.
[Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Gallego ED, Roca FJ, Perales JF, Guardino X, Berenguer MJ. 2008. VPC and
PAHs Emission from Creosote-treate Wood in a Field Storage Area.
Sci.Total Environ. 420. 130-138.

Geleel MA, Atwa ST Sakr AK. 2013. Removal of Cr (III) from Aqueous Waste
Using Spent Activared Clay. J. Am. Soc.,2 (2): 256-262

Gheek P, Suppan S, Trawczynski J, Hynaux A, Sayag C, Mariadssou GD.


2007. Carbon black composites-support of HDS Catalysis .Todaya 119 : 19
-22.

Gaiser JR, Ditmars NF, Dillon AR. 2005. Aqous Electrocemical Intercalation of
Bromine into Graphite Fibers. Carbon 43 : 189-193.

Girgis BS, Samya SY, Ashraf MS. 2002. Characteristic Of Activated Carbon
From Peanut Hulls In Relation To Condition Of Preparation, Materials
Letters, pp 57
125

Girrar JP. 1992. Smoking In : Technology of Meat and Meat Products. Ellis
Horwood Limited, New York.
Gomez-Serrano V, Fernandez-Gonzales MC, Rojas-Cervantes ML, Alexandre-
Franco MF, Macias-Garcia A. 2005. Preparation of Activated Carbons from
Chesnut Wood by Phosphoric Acid Chemical Activation. Study of
Microporosity and Fractal Dimension. Material Letters 59(7) : 846 -853.
Guillen MD, Iborgoita ML. 1999. Influence of the Moisture Content on The
Composite of the Liquid Smoke Produced in the Pyrolysis Process of Fagus
sylvatica L. J. Agri food Chem. 47 : 4126 – 4136.
Guillén MD, Manzanos M J. 2002. Study of The Volatile Composition of An
Aaqueous Oak Smoke Preparation. Food Chemistry, 79(3), 283-292.
Guo JY, Luo AC, Lua RA, Chi YL, Chen XT, Bao, Xiang SX. 2007. Adsorption
of Hydrogen Sulphide (H2S) by Activated Carbons Derived from Oil-palm
Shell. Carbon 45 : 330 -336.
Guo JTS, Lua AC. 2000. Preparation and Characterization of Adsorben from Oil
Palm Fruit Solid Wastes. Journal of Oil Palm Research 12 (1): 64-70.
Gupta VK, Ali, Imran, Saleh TA, Siddiqui MN, Agarwal S. 2013. Chromium
Removal fom Water by Activated Carbon Developed from Waste Rubber
Tires. Environ Sci Pollut Res (2013) 20 : 1261-1268.
Gupta VK. Suhas. 2009. Application of Low-cost Adsorbents for Dye Removal–
A Review. Journal of Environmental Management 90.8 : 2313-2342.
Handoko A. 11 April 2010. Artikel: Ketika Ulat Memutus Pendapatan Mereka.
Surat Kabar Harian Kompas. Hal 3.
Handoko T, Iman G. 2011. Pengolahan Buah Bintaro sebagai Sumber Bioetanol
dan Karbon Aktif. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan”.
Yogyakarta. ISSN 1693-43993.
Hartoyo, Pari G. 1993. Peningkatan Rendemen dan Daya Serap Arang Aktif
dengan Cara Kimia Dosis Rendah dan Gasifikasi. Jurnal Penelitian Hasil
Hutan. Vol . 11 (5): 205-208. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.
Hasyim R, Boon JG, Sulaiman O, Kawamura F,Lee CY. 2009. Evaluation of the
Decay Resistance Properties of Cerbera odollam Extracts and Their
Influence on Properties of Particleboard. International Biodeterioration &
Biodegradation 63: 1013-1017.
Hayashi J, Yamamoto N, Horikawa T, Muroyama K, Gomes VG. 2005.
Preparation and Characterization of High-spesific-surface-area Activated
Carbons from K2CO3-treated Waste Polyurethane. Journal of Colloids
Interface Science 281(2) : 437 – 443.

Hazaourli S, Ziati M, Hazaourli A. 2009. Characterization of Activated Carbon


Prepared from Lignocellulosic Natural Residue-example of Date Stone.
Physics Procedia 2(2009) : 1039-1043.
126

Harahap RMS. 2000. Keragaman Sifat dan Data Ekologi Populasi Pinus merkusii
di Aceh, Tapanuli, Kerinci. Di dalam : Hardiyanto EB, editor. Prosiding
Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Yogyakarta (ID): Fakultas
Kehutanan Gadjah Mada. Hlm 216-227.

Heyen Fu, Yang L, Wan Y, Xu Z, Zhu D. 2011. Adsorption of Pharmaceuticals to


Microporous Activated Carbon Treated with Potassium Hyroxide, Carbon
dioxide, and Steam. J. Environ Qual. 40: 1886-1894.

Hidayu AR, Mohamad NF, Matali S, Sharifah ASAK. 2013. Characterization Of


Activated Carbon Prepared From Oil Palm Empty Fruit Bunch Using Bet
And Ft-Ir Techniques. Procedia Engineering 68 : 379 – 384

Hindarko S. 2003. Mengolah Air Limbah supaya - Tidak Mencemari Orang Lain.
Edisi Pertama. Esha, Jakarta.

Hirose T, Fujino T, Fan T, Endo H, Okabe T, Yoshimura M. 2002. Effect of


Carbonization Temperature on Structural Changes of Woodceramics
Impregnated with Liquefied Wood. Carbon 40 (5) : 761 – 765.

Hwang YJ. 2006. High capacity disordered carbons obtained from coconut shells
as anode materials for lithium batteries. Journal of Alloy and Compounds.
448: 141-147.

Irmanto, Suyata. 2009. Penurunan Kadar Amonia, Nitrit, dan Nitrat Limbah Cair
Industri Tahu Menggunakan Arang Aktif dari Ampas Kopi. Molekul, Vol.4.
No.2 November, 2009 : 105 -114.

Irawadi D. 2000. Kontribusi Teknologi Proses dalam Pembangunan Agroindustri


Perkebunan Menuju Otonomi Daerah. Ekspose Hasil Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Perkebunan. Vol.11. No 20 Jakarta.

Iqbaldin MN, Khudzir M, Azlan I, Zaidi MIM, Surani AG Zubri Z. 2013.


Properties of Coconut Shell Activated Carbon. Journal of Tropical Forest
Science 25(4) : 497-503.
Ibrahim. Y. 2009. Studi Kelayakan Bisnis (Edisi Revisi). Rineka Cipta: Jakarta.

IPCC. 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Chapter 3 :


Mobile Combustion,

Jaguaribe EF, Medeiros LL, Barreto MCS, Araujo LP. 2005. The Performance of
Activated Carbons from Sugarcane Bagasse, Babassu, and Coconut Shells
in Removing Residual Chlorine. Brazilian Journal Chemical Engineering
22 (01) : 41–47.

Jeffries M , Mills D. 1996. Freshwater Ecology, Principles and Applications.


John Wiley and Soon. Menchester. UK.285 p.
127

[JIS] Japanese Industrial Standard. 2004. Test methods for determining the
effectiveness of wood preservatives and their performance requirement. JIS
K 1571 : 2004

Ji L, Chen W, Zheng S, Xu Z, Zhu D. 2009. Adsorption of Sulfonamide


Antibiotics to Multiwalled Carbon Nanotubes. Langmuir 25:11608–11613.
doi:10.1021/la9015838.

John MJ , Thomas S. 2008. Biofibres and biocomposites. Carbohydrate Polymers,


343-364.

Kadirvelu K, Namasivayam C. 2003. Actived Carbon from Coconut Coipithas


Metal Adsorben : Adsorption of Cd (II) from Aqueous Solution. Adv-
Environ Reg 7:471-478.

Kadirvelu K, Thamaraiselvi K, Namasivayam C. 2001. Removal of Heavy Metals


from Industrial Waste Waters by Adsorption on to Activated Carbon
Preparad from an Agriculture Solid Waste. Bioresource Tech. 76:63-65.

Kartal SN, Imamura Y, Tsuchiya, F Ohsato K. 2004, Evaluation of Fungicidal


and Termiticidal Activities of Hydrolysates from Biomass Slurry Fuel
Production from Wood, J Bioresource Technol, 95:41-47.

[Kemenperin] Kementerian Perindustrian RI. 2015. Data Ekspor-Impor Arang


Aktif. Jakarta (ID): Kemenperin.

[KemenLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2015. Peraturan Menteri


Lingkungan Hidup No. 5 tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi
usaha atau kegiatan yang belum memiliki baku mutu air limbah yang
ditetapkan. Jakarta (ID): Kemenlh

[Kemendagri] Kementerian Dalam Negeri. 2008. Permendagri No. 1 Tahun 2007


tentang Fungsi dan Manfaat RTH Kota. Jakarta (ID): Kemendagri

Kim YA, Matusita T, Hayashi T, Endo M, Dresselhaus MS. 2001. Topological


Changes of Vapor Grown Carbon Fibers During Heat Treatment. Carbon 39
(11) : 1747-1752.

Kim DH, Seo HE, Lee SC, Lee KY. 2008. Effects Of Wood Vinegar Mixed With
Insecticides On The Mortalities Of Nilaparvata Lugens And Laodelphax
Striatellus (Homoptera: Delphacidae). Animal Cells and Systems. 12:47-52

Kimura Y, Sato C, Kaito. 2004. Production and Structural Characterization of


Carbon Soot with Narrow UV Absorption Feature. Carbon 42: 33-38.

Kinoshita K. 2001. Electrochemical Uses of Carbon. Di dalam Electrochemistry


Encyclopedia. http ://electrochem.cwru.edu/ed/encyl/htm [10 Mei 2005].
128

Kristinsson HG, Danyali N, Ua-Angkoon S. 2007. Effect of filtered wood smoke


treatment on chemical and microbial changes in mahi mahi fillet. Journal of
Food Science, 72: 16–24
Krupa SV, Nosal M, Legge A H. 1997. A numerical analysis of the combined
open-top chamber data from the USA and Europe on ambient ozone and
negative crop responses. Environmental Pollution, 101(1), 157-160.

Kuddus MR, Rumi F, Maus MM.2011. Phytochemical Screening and Antioxidant


Activity Studies of cerbera Odollam Gaertn. Int J. Pharm Bio Sci. 2 (1) :
p413-p418

Kusmana C, Wilarso S, Hilwan I, Wibowo C, Tiryana T, Triswanto A, Yunasfi H.


2005. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Bogor : Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor.

Kyotani T. 2000. Control of Pore Structure in Carbon. Carbon 38 : 269-286.

Laszio K, Josepovits K, Tombacz E. 2001. Analyisis of Active Sites on Synthetic


Carbon Surface by Various Methods. Analytical Science 17 : 41-44.

Lee SH, H’ng PS, Cho W MJ, Sajap AS, Tey BT, Salmiah U, Sun YL. 2011.
Effectiveness Of Pyroligneous Acid From Vapour Released In Charcoal
Industry Against Biodegradable Agent Under Laboratory. J of Applied
Sciences; 11: 3848-3853.

Lee YJ, Radovic LR. 2003. Oxidation Inhibition Effects of Phosphorous and
Boron in Different Carbon Fabrics. Carbon 41 : 1987 – 1997.

Lilis S, Sultan Haji AT, Wirosoedarmo R. 2015. Definisi Ruang Terbuka Hijau
(RTH) di Kota Mojokerto dengan Analisis Spasial. Jurnal Sumberdaya
Alam dan Lingkungan. Volume April No. 3 : Hal 11-15

Lim JW, Wang, JY. 2013. Enhanced Hydrolysis and Methane Yield by Applying
Microaeration Pretreatment to The Anaerobic Co-digestion of Brown Water
and Food Waste. Waste management, 33(4), 813-819.

[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1999. Arang aktif dari Tempurung
Kelapa. http://www. pdii.lipi.go.id/arang _aktif_tempurung_kelapa.htm [10
Mei 2005].

Lillo-Rodenas MA, Cazorla-Atnoros D, Linares-Solano A. 2003. Understanding


Chemical Reactions between Carbons and NaOH and KOH: An insight into
the Chemical Activation Mechanism. Carbon 41(2):267-275.

Lombok JZ, Setiaji B, Trisunaryanti W, Wijaya K. 2014. Effect of Pyrolisis


Temperature and Distilliation on Character of Coconut Shell Liquid Smoke.
Asian Journal of Science and Technology. Vol. 5(6). pp. 320-325
129

Lunchak P. 2006. Effects of Wood Vinegar for Control Egg Larva and Pupa of
House Fly (Musca domestica). Kasetsart University Press, Sakon Nakhon,
pp. 10-11.
Lu W, Chung DD L. 2001. Preparation of Conductive Carbons with High Surface
Area. Carbon 39: 39-44.
Machida M, Aikawa M, Tatsumoto H. 2005. Prediction of Simultaneous
Adsorption of Cu(II) and Pb (II) onto Activated Carbon by Convensional
Langmuir Type Aquations. Journal of Hazardous Material 120 (1-3): 271-
275.
Machnikowski J, Grzyb B, Machikowska H, Weber JV. 2005. Surface Chemistry
of Porous Carbons from N-polymers and Their Blend With Pitch.
Microporous and Meseporous Materials. In press.
Mahmud Z, Ferry Y. 2005. Prospek Pengolahan Hasil Samping Buah Kelapa.
Jurnal Perfektif Volume 4 Nomor 2, Desember : 55 – 63. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Perkebunan. Bogor.
Mamdouh S, Masoud, El-Saraf WM, Abdel-Halim AM, Ali AE, Mohamed EA
Hasan, HMI. 2012. Rice Husk and Activated Carbon for Waste Water
Treatment of El-mex Bay, Alexandria Coast, Egypt. Arabian Journal of
Chemistry. 32 : 23-25. King Saud University.
Manocha SM. 2003. Porous Carbons, India: Journal Sadhana Vol 28, part 1 &2.
Manoj B, Kunjomana A. 2012. Study of Stacking Structure of Aamorphous
Carbon by X-ray Diffraction Technique. Int. J. Electrochem. Sci., 7, 3127-
3134.
Marsh H, Fransisco RR. 2006. Activated Carbon. Belanda : Elsivier Sience &
Technology Books.
Mason CF. 1993. Biology of Freshwater Pollution. Second Edition. Longman
Scientific and Technical, New York. 351 p.
Martawijaya A, Kartasujana I, Kadir K, Prawira.1989. Atlas Kayu Indonesia. Jilid
II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Lembaga Penelitian
Hutan. Bogor
Martawijaya A. 1996. Keawetan Kayu dan Faktor yang mempengaruhinya.
Petunjuk Teknis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan
Sosial Ekonomi Kehutanan. Lembaga Penelitian Hutan. Bogor.
Mattjik AA, Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan. Jilid 1. Edisi ke-2. (ID):
IPB Press Bogor. Hal 64.

Maroto-Valer MM, Zhang Y, Granite EJ, Tang Z, Pennline HW. 2005. Effect of
Porous Structure and Surface Functionality on the Mercury Capacity of a
Fly Ash Carbon and its Activated Sample. Fuel 84 : 105 – 108.
130

Mariyah. 2010. Analisis Finansial Budidaya Ayam Petelur Di Kalimantan Timur


(The Financial Analysis Of Layer Poultry In Kalimantan Timur). Jurnal.Vol
7.No.2: 6 – 13.
Makeswari M, Santhi T. 2013. Adsorption of Cr (VI) from Aqueous by Using
Activated Carbons Prepared from Ricinus comunis leaves: Binary and
ternary systems. Arabian Journal of Chemistry. 11 : 231-235.
Menendez JA, Menendez EM, Iglesias MJ, Garcia A, Pis JJ. 1999. Modification
of the surface chemistry of active carbons by means of microwave induced
treatments. Carbon. 37: 1115-1121.
Metcalf, Eddy. 2004. Wastewater Engineering Treatment, Disposal, Reuse. New
Delhi: McGraw-Hill Book Company.
Microsoft Corporation. 2000. Adsorption. Microsoft
Corporation.http://encarta.msn.com/find/consice.aspti=01AFA000.20 Juni
2001.
Milly PJ, Toledo RT, Chen J. 2008, Evaluation of liquid smoke treated ready-to
eat (RTE) meat products for control of listeria innocua. J. Food Sci. 73:
179-183.
Ministry of Public Works. 1993. Indonesian Highway Capacity Manual Part I
Urban Road No. 09/T/BNKT/1993. Directorate General Of Highway
Ministry of Public Works.
Morales ML, Benitez B, Troncoso AM. 2004. Accelerated Aging of Wine
Vinegars with Oak Chips : Evaluation of Wood Flavor Compounds. Food
Chemistry. 88 : 305–315.
Moleong LJ.2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.Remaja Rosda
Karya.

Mohan D, Pittman CU, Steele PH. 2006. Pyrolysis of Wood/Biomass for Bio-oil:
a Critical Review, Energy Fuel. 20:848-889.
Mohammed A. Al – Anber. 2010. Thermodynamics Approch in the Adsorption of
Heavy Metals. Industrial Inorganic Chemistry, Departement of Chemical
Science, Faculty of Science Mu’tah University, P.O. Jordan .
http://www.intechopen.com
Murarka IP. 2000. Solid Waste Disposal and Reuse in the United States. Volume
II. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. H. 36.

Mu, Jun, Tohru U, Takeshi F. 2004. Effect of Bamboo Vinegar on Regulation of


Germination and Radicle Growth of Seed Plants II: Composition of Moso
Bamboo Vinegar at Different Collection Temperature and its Effects.
Journal of Wood Science 50(5): 470-476.
Muthukumaran K, Sophie B. 2010. Removal of Chromium (VI) from Wastewater
using Chemically Activated Syzygium jambolanum nut Carbon by Batch
Studies. Procedia Environmental Sciences. 4 : 266-280.
131

Nakai T, Kartal SN, Hata T. Imamura Y. 2007. Chemical Characterization of


Pyrolysis Liquids of Wood-based Composites and Evaluation of their Bio-
efficiency. J. Sci. Technol. 430. 33 (4): 425-430.
Namane A, Mekarzia A, Brenrachedi K, Belhaneche-Bensemra N, Hellal A. 2005.
Determination of the Adsorption Capacity of Activated Carbon Made from
Coffee Grounds by Chemical activation with ZnCl2 and H3PO4. Journal of
Hazardous Materials 119 (1-3) : 189 – 194.
Nandika D, Soenaryo, Saragih. 1996. Kayu dan Pengawetan Kayu. Dinas
Kehutanan DKI Jakarta. Jakarta.
Nandika D, Adjuwana H, 1995. Ekstraksi Enzim Selulosa dari Rayap Kayu
Kering Crytotermes cynocephalus Light serta Curvignathus Holmgren dan
Macrotermes glivus Hagen. Teknolog. 8 (1) : 35-40.
Nandika D, Rismayadi Y, Diba F. 2003. Rayap Biologi dan Pengendaliannya.
Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Narasimhan S, Kannan S, Santhanakrishnan VP, Mohankumar R. 2005. Insect
Antifeedant and Growth Regulating Activities of Salannobutyrolactone and
Desacetylsalannobutyrolactone. Fitoterapia, 76: 740-743.
Nguyen_Thanh D, Bandosz TJ. 2005. Activated Carbon with Metal Containing
Bentonite Binders as Adsorbents of Hydrogen Sulfide. Carbon. 43 (2) : 359
-367.
Nguyen TX, Bhatia SK. 2005. Characterization of Activated Carbon Fibers using
Argon Adsorption. Carbon 43(4) : 775 – 785.
Nguyen BT, Johanneslehmann, William CH, Stephenjoseph Carolinea, Masiello.
2010. Temperature Sensitivity of Black Carbon Decomposition and
Oxidation .Environ. Sci. Technol. 44, 3324–3331
Nishiyama N, Zheng T, Yamane Y, Egashira Y, Ueyama K. 2005. Microporous
Carbons Prepared from Cationic Surfactant-resorcinol/formaldehyde
Composites. Carbon 43 (9) : 269 – 274.
Notodarmojo S. 2005. Pencemaran Tanah dan Air Tanah. Bandung (ID) :
Penerbit ITB
Nugroho A. 2011. Pencemaran Udara dan Suara. PT. Tiga Serangkai Pustaka.
Jakarta.
Nurhayati T. 2000. Sifat Destilat Hasil Destilasi Kering 4 Jenis Kayu dan
Kemungkinan Pemanfaatannya sebagai Pestisida. Buletin Penelitian Hasil
Hutan. 17 : 160 – 168.

Nurhayati T, Saepuloh, Sylviani. 2002. Analisis Teknis dan Ekonomis Produksi


Arang Aktif Industri Pedesaan. Buletin Penelitian Hasil Hutan. (20) (5):
353.
132

Nurhayati T, Roliadi H, Bermawie N. 2005, Production Of Mangium (Acacia


mangium) Wood Vinegar and Its Utilization, Journal of Forest Techology
Research. Vol 2. No.1. 13-25.
Oramahi HA. Diba F, Nurhaida. 2013. New Bio Preservatives from
Lignocelluloses Biomass Bio-oil for Anti Termites Captotermes
curvignathus Holmgren. Procedia Environmental Sciences .20 :778 -7b84.
Ohra-aho T, Tenkanen M, Tamminen T. 2005. Direct Analysis of Lignin and
Lignin-like Components from Softwood Kraft Pulp by Py-GC/MS
Techniques. J. Anal. Appl. Pyrolysis. 74: 123–128.
Ota, M. Mozammel HM .2003. Chemical Kinetics of Japanese Cedar, Cypress,
Fir and Spruce and Characterization of Charcoal. J.WoodScience. 49 (1):
248-254.
Oramahi HA, Yoshimura T. 2013. Antifungal and Antitermitic Activities of Wood
Vinegar from Vitex pubescens Vahl. Journal of wood science. 59(4). 344-
350.
Osmoniscs, Inc. 2000. Activated Carbon. Osmonics,
Inc.http://www.osmonics.com/products/page842.htm. 20 Juni 2001

Panagan AT, Syarif N. 2009. Uji Daya Hambat Asap Cair Hasil Pirolisis Kayu
Pelawan (Tristania abavata) terhadap Bakteri Escherichia coli. J. Penel.
Sains. 6:30-32.

Pan B, Xing B. 2008. Adsorption Mechanisms of Organic Chemicals on Carbon


Nanotubes. Environ. Sci. Technol. 42:9005–9013. doi:10.1021/es801777n.

Pari G. 2002. Teknologi Alternatif Pengolahan Limbah Kayu. Makalah falsafah


science IPB Tidak diterbitkan. Bogor: IPB

Pari G. 2004. Kajian Struktur Arang aktif dari Serbuk Gergaji Kayu sebagai
Adsorben Emisi Formaldehida Kayu Lapis. [Disertasi]. Program Studi Ilmu
Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

Pari G, Hendra D.2003. Peningkatan Produksi dan Kualitas Arang Aktif sebagai
Adsorben Emisi Gas Formaldehida Kayu Lapis. Dephut Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan. Puslitbang THH. Bogor.

Paris OCZ, Zikler GA. 2005. Decomposition and Carbonization of Wood


Biopolymer Microstructural Study of Softwood Pyrolisis. Carbon. 53-66.

Parker R. 2011. Seri Selamatkan Bumi Kita : Krisis Pengelolaan Sampah


Penerbit Bhuana Ilmu Populer. ISBN 97907486.

Pavan G, Desmukh, Thorat PV, Nemade SN. 2015. Separation of Heavy Metal
from Waste Water by Using Agricultural Waste as Adsorbent-A Review.
133

Interational Journal Of Emerging Trend in Engineering and Basic Sciences.


Vol, 2. pp 119-123
Pearce MJ. 1997. Termites, Biology and Pest Management. CAB Intern, New
York.
Peters, B. 2011. Prediction of Pyrolysis of Pistacho Shells Based on its
Components: Hemicellulose, Cellulose and Lignin. Fuel Processing
Technolog. 92(10). 1993-1998.
Pitchel J. 2005. Waste Management Practices: Municipal Hazardous and
Industrial. CRC Press. Taylor and Francis Group. USA

Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia No 26


Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta (ID): Sekretariat Negara
Pemerintah Republik Indonesia. 2001. Peraturan Pemerintah (PP) No. 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Jakarta (ID): Sekretariat Negara
Pemerintah Republik Indonesia.2011. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun
2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan
Ruang. Jakarta (ID): Sekretariat Negara
Pemerintah Republik Indonesia 2009. Undang-undang Republik Indonesia Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Jakarta (ID): Sekretariat Negara
Prahas D, Kartiks Y, Indraswati N, Ismadji S. 2008. Activated Carbon from
Jackfruit Peel Waste by H3PO4 Chemical Activation. Pore Structure and
Surface Characterization. Chem.Eng. J.140, 32-42.
Pranowo D. 2010. Bintaro (Cerbera manghas LiNN) Tanaman Penghasil Minyak
Nabati. Tree 1 :91.
Prayugo Y. 2015. Kaya Raya dari Pohon Pinus. Penerbit Lembar Langit. Jakarta
Purwanto YA, Setiawan BI, Sunandar K. 2011. Pengembangan Tanaman bintaro
untuk Pemenuhan Bioenergi sebagai Kegiatan Tanaman Kehidupan HTI.
Makalah pada Seminar dan Lokakarya Nasional HTI sebagai Kegiatan
Ekonomi Hijau Kerjasama Unsri, Sinar Mas Forestry dan BP2HP Wilayah
V Palembang Tanggal 12 April 2011 di Palembang.
Pujawan, I. N. 2004. Ekonomi Teknik., Jilid 1. Cetakan ke 3. Surabaya : Guna
Widya.
Plantamor. 2008. Informasi Spesies Pinus merkusii [internet]. [diunduh 2012 juli
6]. Tersedia pada : http://www. Plantamor.com/index.php?plant=1004.
Purwaningsih, D. 2009. Adsorpsi Multi Logam Ag(I), Pb(II), Cr(III), Cu(II) Dan
Ni(II) pada Hibrida Etilendiamino-Silika dari Abu Sekam Padi. Jurnal
Penelitian Saintek, 14(1): 59-76.
134

Puziy AM, Poddubnaya OI, Martínez-Alonso A, Suárez-García F, Tascón JMD.


2005 Surface Chemistry of Phosphorus-containing Carbons of
Lignocellulosic Origin. Carbon, 43:2857–68.
Puziy AM, Poddubnaya OI, Alonso AM, Garcia FS, Tascon JMD. 2003.
Synthectic Carbons activated with Phosphoric Acid III Carbons Prepared in
Air. Carbon. 41 : 1181-1191.
Perum Perhutani. 2006. Pedoman Penyadapan Getah Pinus Tahun 2005. Surat
Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 792/KPTS/DIR/2005.
Prosea. 2002. Plant Resources of South-east Asia 12 Medicinal and Poisonous
Plants 2. Prosea. Bogor. Indonesia.
Pszczola DE. 1995. Tour Highlight Production and Used of Smoked House Base
Flavors. Food Tech . 49 : 70 -74.
Purnamadjaja, Hannawati A, Russell R, Andrew. 2005. Pheromone
Communication in a Robot Swarm : Necrophoric Bee Behavior and Its
Replication. Robotica. 23 (6): 731-42 doi : 10 1017/S0263574704001225.
Puslitbang Perkebunan. 2011. Bintaro. (Cerbera manghas) sebagai Pestisida
Nabati. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Volume 17. Nomor 1. April 2011.
Bogor.
Rangel-Mendez JR, Cannon FS. 2005. Improved Activated Carbon by Thermal
Treatment in Methane and Steam : Physicochemical Influences on MIB
Sorption Capacity. Carbon. 43 (3) : 467 – 479.
Rahman MM, Awang, Mohosina M, Kamaruzzaman BY.2012. Waste Palm Shell
Converted to High Efficient Activated Carbon by Chemical Activation
Method and its Adsorption Capacity Tested by Water Filtration. ICESD
2012: 5-7 January 2012. Hongkong.
Rangkuti F. 2010. Business Plan : Teknik Membuat Perencanaan Bisnis dan
Analisa Kasus. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Ratanapisit J, Apiraksakul S, Rerngnarong A, Chungsiriporn J, Bunyakarn,
C.2009. Preliminary Evaluation of Production and Characterization of
Wood Vinegar from Rubberwood. Songklanakarin Journal Of Science and
Technology.31:343-349.
Riapanitra, A Andreas, R.2010. Pemanfaatan Arang Batok Kelapa dan Tanah
Humus Baturraden untuk Menurunkan Kadar Logam Krom (Cr). Jurnal
MIPA. 5(2): 66-74.
Rao CS. 1992. Environmental Pollution Control Engineering.Wiley Eastern
Limited, New Delhi.431 p.
Rossi M, Gianazza M, Alamprese C, Stanga F. 2003. The Role of bleaching clays
and synthetic silica in palm oil physical refining. Food Chem . 82 : 291-296.
135

Robon-sanchez A, Aguilar-Elguezabal A, Aguilar-Pliego J. 2006. Chemical


activation of Quercus agrifolia char using KOH: evidence of cyanide
presence. Microporous and Mesoporous Materials. 85 : 331 – 339.
Rohimatun dan Sondang Suriati, Bintaro (Cerbera Manghas) Sebagai Pestisida
Nabati. 2011. Warta Penelitian Dan Pengembangan Tanaman Industri.
Volume 17 Nomor 1, April 2011. ISSN 0853-8204.
Ruzi Jr. 2001. Recycling Overview and Growth. In Lund HF: the Mc.Graw Hill
Inc. New York.
Sanchez-Polo M, Leyva-Ramos R, Rivera-Utrila J. 2005. Kinetics of 1,3,6-
napthalene-trisulphonic Acid Ozonation in Presence of Activated Carbons.
Carbon 43(5) : 962-969.
Samsoedin, Wibowo A, 2012. Analisis Potensi dan Kontribusi Pohon di
Perkotaan dalam Menyerap Gas Rumah Kaca (Studi Kasus: Taman Kota
Monumen Nasional Jakarta). Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi
Kehutanan. Vol. 9 No. 1 Maret 2012, Hal.42 – 53 Pusat Penelitian
Perubahan Iklim dan Kebijakan. Bogor.
Sayan E. 2006. Ultrasound-assited Preparation of Activated Carbon from alkaline
impregnated hazelnut shell : An optimization study on removal of Cu2+
from aqueous solution. Chemical Engineering Journal. 115 : 213 -218.
Saragih, B. 2002. Peranan Tehnologi Tepat Guna dalam PengembanganStandar
Nasional Indonesia. 1995. SNI 06-3730-1995: Arang aktif teknis. Dewan
Standarisasi Nasional Jakarta.
Saito Y, Arima, T. 2007. Fature of Vapor Cone-chaped Graphitic Whiskers
Deposited in the Cavities of Wood Cells. Carbon. 45 : 248-255.
Scheidegger AM, Sparks DL. 1996. a Critical Assessment of Sorption-Desorption
mechanism at the soil mineral/water interface. Soil Sci. 161:813-831.
Sharma RK, Wooten JB, Baliga VL, Martoglio-Smith PA, Hjaligol, M. 2002.
Characterization of Char from the Pyrolysis of Tobacco. J. Agric. Food
Chem. 121: 33-36.
Shen I, Zhang DK. 2005. Low-temperature Pyrolysis of Sewage Sludge and
Putrescible Garbage for Fuel Oil Production. Fuel . 84 : 809 – 815.
Shih CC, Chang JR. 2005. Genesis and Growth of Platinum Subnano-Particles on
Activated Carbon Characterized by X-ray Absorption Spectroscopy : Effect
of Preparation Conditions. Materials chemistry and Physics. 92 (1) : 89 -97.

Schukin LI, Kornnievich MV, Vartapetjan RS and Beznisko SI. 2002. Low
temperature plasma oxidation of activated carbons. Carbon. 40: 2021-2040.
Simonds JO. 1983. Landscap Architecture. Mc Graw-Hill, Inc United States of.
America.
136

Setiyono. 2005. Potensi limbah berbahaya dan beracun di wilayah DKI Jakarta
dan strategi pengelolaannya. JAI. Vol 1. No. 3. 2005. BPPT. Jakarta.

Sibelzor. 2004. Investigation of the Adsorption of Anionic Surfactant Different


pH Values by Means of Activated Carbon and the Kinetics of Adsorption.
Journal of Serbia Chemical Society. 69(1) : 25 – 32.

Silva B, Figueiredo H, Neves IC, Tavares, T. 2009. The Role of pH on Cr(VI)


Reduction and Removal by Arthrobacter Viscosus. International Journal of
Chemical and Biological Engineering. 2:2.

Slamet B, Rokhani H, Setyadjit, Sulusi P. 2007. Pengembangan dan Pemanfaatan


Asap Cair Tempurung Kelapa untuk Pengawetan Produk Buah-buahan.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Smisek M, Cerny S. 2002. Active carbon : Manufacture, properties, and


application. Elsevier Publishing Co. New York. Http//www.
ams.usda.gov/nop/Nationalist/TAPReviews/activecarbon.pdf. [10 Mei
2005].

Snape JR, Maund SJ, Pickford DB, Hutchinson TH. 2003. Ecotoxicogenomics:
the challenge of integrating genomics into aquatic and terrestrial
ecotoxicology. Aquatic toxicology, 67(2), 143-154.

Solovyov LA, Shmakov AN, Zaikovskii VI, Joo SH, Ryoo R. 2002. Detailed
Structur of Hexagonally Packed Mesostructured Carbon Material CMK-3
Carbon. 40 : 2477 – 2481.

Soldera S, Sebastianutto N, Bortolomeazzi R. 2008, Composition of Phenolic


Compounds and Antioxidant Activity of Commercial Aqueous Smoke
Favorings. Journal of Agriculture and Food Chemistry. 56. 2727–2734.

Soemarwoto O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan.


Djambatan . Jakarta.

Sonibare OO, Haegar T, Foley SF. 2010, Structural Characterization of Nigerian


coals by X-ray diffraction, Raman And FTIR Spectroscopy. Energy. 35 (12)
: 5347-5353
Stavropoulos GG,. Zabaniotou AA. 2005. Production and Characterization of
Activated Carbons from Olive-Seed Waste Residue. Microporous and
Mesoporous Materials. 82 : 79 -85

Subadra I, Setiaji B, Tahir I. 2005. Activated Carbon Production from Coconut


Shell with (NH4)HCO3 Activator as an Adsorbent in Virgin Coconut Oil
Purification. Seminar Nasional DIES ke 50 FMIPA UGM. Yogyakarta.
Indonesia.

Sudjana MA. 1992. Metoda Statistika. Tarsito. Edisi kelima.Bandung.


137

Sudrajat R, Soleh S. 1994. Petunjuk Teknis Pembuatan Arang Aktif. Pusat


Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Suhadi, Dollaris Riauaty. (2008) Penyusunan Petunjuk Teknis Perkiraan Beban


Pencemar Udara dari Kendaraan Bermotor di Indonesia. Laporan Akhir.
Naskah Akademis. Disampaikan kepada Asisten Deputi 5/II Urusan
Pengendalian Pencemaran Emisi Sumber Bergerak, Kementerian Negara
Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Volume 2: Uji Coba Perhitungan.
Yayasan Swisscontact Indonesia. December 2008. 109pp manuscript.
Indonesian language.
Su MS, Silva JL. 2006. Antioxidant Activity. Antocyanins and Phenolicc of
Rabbiteye Blueberry (Vaccinium ashei) by Product as Affected by
Fermentation. Food Chemistry. 97 : 447 – 451.
Sunardi, Yuliansyah, W. 2006. Rendemen dan Kandungan Kimia Kayu (wood
Vinegar) serta Rendemen Arang dari Kayu Bakau(Rhizophora mucronata
Lamck). Jurnal Hutan Tropis Borneo.(19) : 109 -121.

Sung WC, Huang CH, Sun FM. 2007. Volatile Components Detected Liquid
Smoke Flavoring Preparations from Smoking Ingredient of Smoked Large
Yellow Croaker. Chia-Nan Annual Bulletin. 33: 21-30.
Sukardjo S. 1984. Ekosistem Mangrove. Oseana Volume IX Nomor 4 : 102-115.
Sulistiowati, Ulfin I.2012. Pemanfaatan Karbon Aktif Biji Asam (Tamarindus
indica L) untuk penurunan kadar Cr(VI) menggunakan metode batch.
Jurnal Teknik Pomits. 1 (1) : 1-4.
Supriyana N, Martawijaya A. 1996. Risalah Pengawetan Kayu. LPHH. Bogor.
Suryonotonegoro OA. 2002. Pemberdayaan Petani Kelapa, Prosiding, Komprensi
Nasional kelapa V. Tembilahan Indragiri Hilir. Riau.
Suriawiria, U. 2002. Mikrobiologi Air. PT. Alumni. Bandung.
Suyasa IWB. 2014. Pencemaran Air dan Pengolahan Air Limbah. Udayana Press.
Bali.
Syamsudin L. 2004. Manajemen Keuangan Perusahaan, Konsep, Aplikasi dalam
Perencanaan, Pengawasan dan Pengambilan Keputusan. Jakarta. PT.Raja
Grafindo. Persada.

Tang C, Zhang R, Wen S, Li K, Zheng X, Zhu M. 2009. Adsorption of hexavalent


Chromium from Aqueous Solution on Raw and Modified Activated Carbon.
Water Environment Federation. 7 (81) :726-34

Takagi HH, Hatori Y, Yamada S, Matsuo, Shiraishi M. 2004. Hydrogen


Adsorption Properties of Activated Carbons with Modified Surfaces.
Journal of Alloy and Compound. 385 (1-2) : 257 -263
138

Takeuchi, Y. 2006. Pengantar Kimia. Iwanami Publishing Company. Tokyo


Tarmadi D, Prianto I, Guswenrivo, Kartika T, Yusuf S. 2007. Pengaruh Ekstrak
Bintaro (Cerberra Odollam Gaertn.) dan Kecubung (Brugmansia candida
Pers) terhadap Rayap Tanah s sp. J. Trop.Wood Scie.&Tech.Vol 5. No:1.
Tarmadi D, Himmni SK, Yusuf S. 2014. The Efiicacy of the oleic acid isolated
from cerbera manghas L. seed against a subterranean termite, Coptotermes
gestroi Wasmann and drywood termite, Cryptotermes cynocephalus Light.
Procedia Environmental Sciences 20:772-777.
Tarumingkeng RC. 1992. Biologi dan perilaku rayap. Makalah Seminar
Pengendalian Hama Berwawasan Lingkungan sebagai Pendukung
Pembangunan Nasional. IPPHAMI-Dirjen PPM dan PLP Depkes. Jakarta.
Tarumingkeng RC. 2001. Biologi dan Pengenalan Rayap Perusak Kayu di
Indonesia. Laporan Lembaga Penelitian Hasil-Hutan No. 133. Bogor.
Temiz AN, Alma MH, Terziev N, Palanti S, Feci E. 2010, Efficiency of Bio-oil
Against Wood Destroying Organism. J. Biobased Matter . Bioenergy ; 4:1-7
Timur S, Kantarli IC, Ikizoglu E, Yanik J. 2006. Preparation of Activated Carbons
from Oreganum Stalks by Chemical Activation. Energ. Fuel. 20. 2636–
2641.

Tirono M, Sabit A, 2011. Efek Suhu Pada Proses Pengarangan Terhadap Nilai
Kalor Arang Tempurung Kelapa, Jurnal Neutrino Vol. 3, No. 2. Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Maulana Malik Ibrahim , Malang

Toledo RT. 2007. Fundamentals of food process engineering. Springer Science &
Business Media. USA
Trenggono, Suhardi, Setiadji B, Darmadji P, Suprananto, Sudarmanto. 1996.
Identifikasi Asap Cair dari berbagai Jenis Kayu dan Tempurung Kelapa.
Ilmu dan Teknologi Pangan. Yogyakarta.1(2): 15-24
Tsang DCW, Jing HU, Liu MY, Zhang W, Lai KCK, Lo IMC. 2007. Activated
carbon produced from Waste Wood Pallets : Adsorption of Three Classes of
Dyes. Water Air Soil Pollut (2007) 184 : 141-155.

Utami S. 2011. Aktivitas Insektisida Bintaro (Cerbera odollam Gaertn) terhadap


hama Eurema spp pada skala laboratorium. Balai Penelitian Kehutanan
Palembang.

Ulrich KT, Eppinger SD. 2001. Perancangan dan Pengembangan Produk.


Salemba Teknika. Jakarta.

Uchimiya M, Lynda H, Wartelle K, Klasson T, Chanel A, Fortier, Isabel M, Lima.


2011. Influence of Pyrolysis Temperature on Biochar Property and Function
as a Heavy Metal Sorbent in Soil USDA-ARS Southern Regional Research
139

Center, 1100 Robert E. Lee Boulevard, New Orleans, Louisiana 70124,


United States dx.doi.org/10.1021/jf104206c. J. Agric. Food Chem. 59.
2501–2510.

Umar H. 2009. Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Varlet V, Serot T, Prost C. 2010. Smoke flavoring technology in seafood. In L.
M.L. Nollet, & F. Toldra (Eds.), Handbook of seafood and seafood products
analysis (pp. 233–254). Boca Raton,FL: CRC Press
Vieira SR, Meneghetti E, Baroni P, Guibal E, González de la Cruz PM, Caballero
A, Rodríguez-Castellón E, Beppu MM. 2014. Chromium Removal on
Chitosan-based Sorbents An EXAFS/XANES Investigation of Mechanism.
Materials Chemistry and Physics 146 : 412e417.
Wahjuni S. 2008. Penurunan Angka Peroksida Minyak Kelapa Tradisional dengan
Adsorben Arang Sekam Padi IR 64 yang Diaktifkan dengan Kalium
Hidroksida. Jurnal Kimia 2(1), ISSN 1907-9850.
Wang XY. Liu W. Qiu, Zhu D. 2007. Immobilization of Tetra-tert-
butylphalocyanines on Carbon Nanotubes: A first Step Towards the
Development of New a Nanomaterials. J. Mater. Chem. 12:1636–1639.
doi:10.1039/b201447e.
Wang R, Liu S. 2014. Activated Carbon from Extrated Sawdust Waste with
Alkaline Activation by Physical Mixing. Forest Products Journal. Vol.60 :
276-281.
Wei Q, Ma XH,. Dong JE. 2010. Preparation Chemical Constituents and
Antimicrobial Activity of Pyroligneous Acid from Walnut Tree Branches. J.
Anal. Appl. Pyrol. 87:24-28.
Walstra P. 2003. Physical Chemistry of food. Marcel Dekker. Inc. New York
Windari S, Suseno S. 2014. Pengaruh Jumlah Katalis Zeolit Alam Asam dalam
Proses Perengkahan Asap Cair Tempurung Kelapa. FMIPA, Jurnal. Kimia
UNSYIAH.
Yang J, Qiu K. 2010 Preparation of Activated Carbons from Walnut Shells Via
Vacuum Chemical Activation and their Application for Methylene Blue
Removal. Chem Eng J;165:209–17.

Yatagai M, Unrinin G, Sugiura G. 2002. By-product of wood carbonization.


Mokuzai Gakkaishi. Japan.
Yakout, SM,Sharaf El-Deen, G. 2012. Characterization of Activated Carbon
Prepared by Phosphoric Acid Activation of Olive Stones. Arabian Journal
of Chemistry doi:10.1016/j.arabjc.
Yulistiani. 1997. Kemampuan Penghambatan Asap Cair terhadap Pertumbuhan
Bakteri Patogen dan Perusak pada Lidah Sapi. BPPS-UGM. 10 (3b): 337-
350.
140

Yustinah, Hartini. 2011. Adsorpsi Minyak Goreng Bekas Menggunakan Arang


Aktif dari Sabut Kelapa. Yogyakarta : Prosiding Seminar Nasional Teknik
Kimia “Kejuangan”

Yun Y, Xia Lou, Hongwei Wu.2008, Some Recent Advances in Hydrolysis of


Biomass in Hot-Compressed Water and its Comparisons with Other
Hydrolysis Methods. Energy Fuels. 22(1): 50.
Zawadzki J, Wisniewski M. 2007. An infrared Study of the Behavior of SO2 dan
NOX Over Carbon and Carbon Supported Catalyst. Catalysis Today 119 :
213-218.
Zhang FS, Nriagu JO, Itoh H. 2005. Mercury Removal from Water Using
Activated Carbons Derived from Organic Sewage Sludge. Water Research
39 (2) 389-395.
144 
 

Lampiran 4 Difraktogram pola struktur kristaltit buah bintaro

 
 

 
145 
 

Lampiran 5 .Difraktogram pola struktur kristaltit arang suhu pirolisis 300 oC


 

 
 

 
146 
 

Lampiran 6. .Difraktogram pola struktur kristaltit arang suhu pirolisis 400 oC 

 
 

 
147 
 

Lampiran 7. Difraktogram pola struktur kristaltit arang suhu pirolisis 500 oC 

 
148 
 

Lampiran 8 Kromatogram GCMS dari asap cair pada suhu pirolisis 300 oC
149 
 

Lampiran 9 Kromatogram GCMS dari asap cair pada suhu pirolisis 400 oC
150 
 

Lampiran 10 Kromatogram GCMS dari asap cair pada suhu pirolisis 500 oC

 
151

Lampiran 11 Data hasil uji spgr dan asiditas total asap cair

Bobot Bobot
Sampel Bobot Kosong
piknometer + Piknometer + Spgr
( oC ) Piknometer (g)
Air(g) contoh (g)
300 10,4205 20,6463 20,8138 1,01638
400 10,4204 20,6453 20,8208 1,01716
500 10,4201 20,6452 20,858 1,02081

Standarisasi NaOH 0.02 N

Bobot Oksalat Volume Nornalitas


Ulangan
(mg) NaoH (ml) NaOH
1 39,8 25,2 0,025069287
2 36,6 23,1 0,025149454
Rata-rata 0,02510937

Volume
Sampel Asiditas
Normalitas Pengenceran Volume sample NaoH
( oC ) total
NaOH (ml) (ml)
300 0,0251094 30 25 13 2,35024
400 0,0251094 20 25 25,9 3,1216
500 0,0251094 30 25 28 5,06206
Rata-rata 3,70615
152

Lampiran 12 Perhitungan kadar fenol asap cair

Konsentrasi (mg/L) 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 1,5


Absorbansi 0 0,01 0,021 0,035 0,04 0,056 0,19

Sampel Absorbansi
Sampel 300 oC = 0,04
o
Sampel 400 C = 0,05
o
Sampel 500 C = 0,117
Slope = 0,123
konsentrasi fenol = Absorbansi /slope x fp
= 0.04/0.123 x 2500
= 813,00813
Slope = 0,045
konsentrasi fenol = Absorbansi /slope x fp
= 0.05/0.123 x 2500
= 1016,2602
Slope = 0,045
konsentrasi fenol = Absorbansi /slope x fp
= 0.117/0.123 x 2500
= 6833,333

Konsentrasi mg/L) Absorbansi


0 0
0,1 0,01
0,2 0,021
0,3 0,035
0,4 0,042
0,5 0,056
1,5 0,19
O
300 C (fp = 2500 x) 0,04
O
400 C (fp = 2500 x) 0,05
O
500 C (fp = 2500 x) 0,117

0,2
0,18 y = 0,1234x
0,16
0,14 R² = 0,9946
Absorbansi

0,12
0,1
0,08
0,06 Absorbansi
0,04
0,02
0
0 1 2
Konsentrasi Standar fenol
153

Lampiran 13 Data hasil pengujian antirayap asap cair

Perlakuan Ulangan Mortality (%) Wood Weight loss (%)

Kontrol 1 19,33 11,63


2 16,67 11,06
3 12,67 12,14
Rerata 16,2233 11,610
o
300 C 1 100 2,37
2 100 2,29
3 92,67 3,03
Rerata 97,5567 2,563
o
400 C 1 100 2,1
2 100 2,67
3 89,33 1,88
Rerata 96,4433 2,217
o
500 C 1 100 2,6
2 100 2,17
3 100 2,21
Rerata 100 2,33
154

Lampiran 14 Data analisis proksimat arang yang diaktivasi dengan uap H20
selama 60 menit
1. Kadar Air
Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 18,7014 18,6998


Bobot Contoh 2,1164 2,016
Bobot Akhir 20,5539 20,4748
Kadar Air (%) 12,4692875 11,95436508 12,2118

2. Kadar Abu

Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 41,25420 41,2532


Bobot Contoh 1,0351 1,0342
Bobot Akhir 41,4527 41,453
Kadar Abu (%) 19,1768911 19,3192806 19,2481

3. Kadar Zat Terbang

Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 39,07360 39,0736


Bobot Contoh 1,0048 1,0046
Bobot Akhir 39,8602 39,8643
Kadar zat terbang (%) 0,78284236 0,787079435 0,78496
kadar Karbon terikat (%) 80,0402665 79,89363996 79,967

4.Daya Serap Iod

Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata


Bobot arang 0,2506 0,2516
Vol. Tio Awal(ml) 26,3 25,4000
Vol. Tio Akhir(ml) 7,200 7,3
Daya serap iod(mg/gr) 964,037 909,933 936,985

Standarisasi Larutan Natrium Tiosulfat 0.1 N


Keterangan Ulangan 1 Ulangan II
Bobot K2Cr2O7 (gr) 0,0495 0,05
Vol Tio (mL) 9,65 10,73
Normalitas Tio 0,098 0,1013
Rata-rata 0,09965
154

Sumber : Standar Kualitas Arang Aktif (SNI 06-3730-95). 1995


Paramater Ambang Batas Kualitas
(Parameters ) (Quality Treshold )
Butiran Serbuk
(Granular ) (Powder )
Kadar zat terbang
(Volatile matter). % Maks. 15 Maks. 25
Kadar air (Moisture
content). % Maks. 4.5 Maks. 15
Kadar abu (Ash content).
% Maks. 2.5 Maks 10
Bagian tak mengarang
(Uncarbonized). % 0 0
Daya serap terhadap I2
(Iodineium ads.). mg/g Min. 750 Min. 750
Karbon aktif murni (Pure
act. carbon). % Min. 80 Min. 65
Daya serap terhadap
benzena (Benzene
adsorpsion). % Min. 25 -

Daya serap terhadap biru


metilena (methylene blue
adsorption). mg/g Min. 60 Min. 120
Bobot jenis curah
(Powder density). g/ ml 0.45-0.55 0.3-0.35
Lolos mesh (Mesh-pass).
% - Min. 90
Jarak mesh (Mesh). % 90 -

Kekerasan (Hardness). % 80 -
155

Lampiran 15 Data analisis proksimat arang yang diaktivasi dengan uap H 2O


selama 90 menit
1 . Kadar Air
Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 18,3684 18,3676


Bobot Contoh 2,0261 2,019
Bobot Akhir 20,0895 20,0936
Kadar Air (%) 15,0535512 14,51213472 14,7828

2 Kadar Abu

Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 38,05740 38,739


Bobot Contoh 1,0126 1,0464
Bobot Akhir 38,3216 39,0661
Kadar Abu (%) 26,0912502 31,25955657 28,6754

3 Kadar Zat Terbang

Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 38,75640 37,9248


Bobot Contoh 1,004 1,0111
Bobot Akhir 39,4776 38,49
Kadar zat terbang (%) 0,71832669 0,558995154 0,63866
Kadar karbon terikat (% 73,1904231 68,18144827 70,6859

4 Daya Serap Iod

Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata


0
Bobot arang 0,2527 0,2504 Bobot ara
Vol. Tio Awal(ml) 23,1 24,1 Vol. Tio Aw
Vol. Tio Akhir(ml) 7,6 7,0000 Vol. Tio Ak
Daya serap iod(mg/gr) 775,833 863,7804471 819,807 Daya sera

Standarisasi Larutan Natrium Tiosulfat 0.1 N Standarisa


Keterangan Ulangan 1 Ulangan II Keteranga
Bobot K2Cr2O7 (gr) 0,0495 0,05 Bobot K2C
Vol Tio (mL) 9,65 10,73 Vol Tio (m
Normalitas Tio 0,098 0,1013 Normalita
Normalitas Tio Rerata 0,09965 Rata‐rata
155

Sumber : Standar Kualitas Arang Aktif (SNI 06-3730-95). 1995

Paramater Ambang Batas Kualitas


(Parameters ) (Quality Treshold )
Butiran Serbuk
(Granular ) (Powder )
Kadar zat terbang
(Volatile matter). % Maks. 15 Maks. 25
Kadar air (Moisture
content). % Maks. 4.5 Maks. 15
Kadar abu (Ash content).
% Maks. 2.5 Maks 10
Bagian tak mengarang
(Uncarbonized). % 0 0
Daya serap terhadap I2
(Iodineium ads.). mg/g Min. 750 Min. 750
Karbon aktif murni (Pure
act. carbon). % Min. 80 Min. 65
Daya serap terhadap
benzena (Benzene
adsorpsion). % Min. 25 -

Daya serap terhadap biru


metilena (methylene blue
adsorption). mg/g Min. 60 Min. 120
Bobot jenis curah
(Powder density). g/ ml 0.45-0.55 0.3-0.35
Lolos mesh (Mesh-pass).
% - Min. 90
Jarak mesh (Mesh). % 90 -

Kekerasan (Hardness). % 80 -
156

Lampiran 16 Data analisis proksimat arang yang diaktivasi dengan KOH 5%


selama 60 menit

1 . Kadar Air
Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 16,7770 16,7757


Bobot Contoh 2,0116 2,0431
Bobot Akhir 18,5346 18,5724
Kadar Air (%) 12,6267648 12,06010474 12,3434

2 Kadar Abu

Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 40,93500 38,5614


Bobot Contoh 1,0111 1,0407
Bobot Akhir 41,2884 38,8414
Kadar Abu (%) 34,9520324 26,90496781 30,9285

3 Kadar Zat Terbang

Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 36,81760 38,8137


Bobot Contoh 1,0095 1,036
Bobot Akhir 37,5128 39,42
K. Zat Terbang(%) 0,83088579 1,078301719 0,95459
K. Karbon Terikat (%) 64,2171 72,0167 68,1169

4 Daya Serap Iod

Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot arang 0,2606 0,2516


Vol. Tio Awal(ml) 26,3 25,4
Vol. Tio Akhir(ml) 7,2 7,3
Daya serap iod(mg/gr) 927,510 910,3897858 918,95

Standarisasi Larutan Natrium Tiosulfat 0.1 N


Keterangan Ulangan 1 Ulangan II
Bobot K2Cr2O7 (gr) 0,0495 0,05
Vol Tio (mL) 9,65 10,73
Normalitas Tio 0,098 0,1013
Normalitas Tio Rerata 0,0997
156

Sumber : Standar Kualitas Arang Aktif (SNI 06-3730-95). 1995


Paramater Ambang Batas Kualitas
(Parameters ) (Quality Treshold )
Butiran Serbuk
(Granular ) (Powder )
Kadar zat terbang (Volatile
matter). % Maks. 15 Maks. 25
Kadar air (Moisture
content). % Maks. 4.5 Maks. 15

Kadar abu (Ash content). % Maks. 2.5 Maks 10


Bagian tak mengarang
(Uncarbonized). % 0 0
Daya serap terhadap I2
(Iodineium ads.). mg/g Min. 750 Min. 750
Karbon aktif murni (Pure
act. carbon). % Min. 80 Min. 65

Daya serap terhadap benzena


(Benzene adsorpsion). % Min. 25 -
Daya serap terhadap biru
metilena (methylene blue
adsorption). mg/g Min. 60 Min. 120
Bobot jenis curah (Powder
density). g/ ml 0.45-0.55 0.3-0.35

Lolos mesh (Mesh-pass). % - Min. 90


Jarak mesh (Mesh). % 90 -
Kekerasan (Hardness). % 80 -
157

Lampiran 17 Data analisis proksimat arang yang diaktivasi dengan KOH 5%


selama 90 menit

1. Kadar Air
Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 18,4717 18,4705


Bobot Contoh 2,0151 2,3048
Bobot Akhir 20,224 20,4975
Kadar Air (%) 13,0415364 12,0531066 12,54732148

2. Kadar Abu

Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 40,53300 40,5325


Bobot Contoh 1,0087 1,0086
Bobot Akhir 40,7102 40,7089
Kadar Abu (%) 17,56716566 17,4895895 17,52837759

3. Kadar Zat Terbang

Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 38,80680 38,8102


Bobot Contoh 1,0561 1,0566
Bobot Akhir 39,6159 39,6222
K. Zat Terbang(%) 0,61962376 0,6135431 0,616583429
K. Karbon terikat (%) 81,81321058 81,8968674 81,85503898

4. Daya Serap Iod

Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot arang 0,2527 0,2504


Vol. Tio Awal(ml) 23,1 24,1
Vol. Tio Akhir(ml) 6,77 6,1
Daya serap iod(mg/gr) 826,8100654 919,735591 873,2728282

Standarisasi Larutan Natrium Tiosulfat 0.1 N


Keterangan Ulangan 1 Ulangan II
Bobot K2Cr2O7 (gr) 0,052 0,0486
Vol Tio (mL) 10,6 9,77
Normalitas Tio 0,1001 0,1015
Normalitas Tio Rerata 0,1008
157

Sumber : Standar Kualitas Arang Aktif (SNI 06-3730-95). 1995


Paramater Ambang Batas Kualitas
(Parameters ) (Quality Treshold )
Butiran Serbuk
(Granular ) (Powder )
Kadar zat terbang
(Volatile matter). % Maks. 15 Maks. 25
Kadar air (Moisture
content). % Maks. 4.5 Maks. 15
Kadar abu (Ash content).
% Maks. 2.5 Maks 10
Bagian tak mengarang
(Uncarbonized). % 0 0
Daya serap terhadap I2
(Iodineium ads.). mg/g Min. 750 Min. 750
Karbon aktif murni (Pure
act. carbon). % Min. 80 Min. 65
Daya serap terhadap
benzena (Benzene
adsorpsion). % Min. 25 -
Daya serap terhadap biru
metilena (methylene blue
adsorption). mg/g Min. 60 Min. 120
Bobot jenis curah (Powder
density). g/ ml 0.45-0.55 0.3-0.35
Lolos mesh (Mesh-pass).
% - Min. 90
Jarak mesh (Mesh). % 90 -

Kekerasan (Hardness). % 80 -
158

Lampiran 18 Data analisis proksimat arang yang diaktivasi dengan KOH 10%
selama 60 menit

1 Kadar Air
Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 18,4796 18,4792


Bobot Contoh 2,0166 2,0631
Bobot Akhir 20,1597 20,2384
Kadar Air (%) 16,686502 14,73026029 15,7084

2 Kadar Abu

Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 40,02520 38,689


Bobot Contoh 1,0477 1,0298
Bobot Akhir 40,1988 38,8837
Kadar Abu (%) 16,5696287 18,9065838 17,7381

3 Kadar Zat Terbang

Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 39,62030 36,6432


Bobot Contoh 1,0262 1,0193
Bobot Akhir 40,3325 37,1753
K. Zat Terbang(%) 0,77251424 1,293594424 1,03305
K. Karbon Terikat (%) 82,6578571 79,79982177 81,2288

4 Daya Serap Iod

Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot arang 0,2506 0,2516


Vol. Tio Awal(ml) 24,3 24,4
Vol. Tio Akhir(ml) 7,2 7,3
Daya serap iod(mg/gr) 863,091077 859,6606675 861,376

Standarisasi Larutan Natrium Tiosulfat 0.1 N


Keterangan Ulangan 1 Ulangan II
Bobot K2Cr2O7 (gr) 0,0495 0,05
Vol Tio (mL) 9,65 10,73
Normalitas Tio 0,098 0,1013
Normalitas Tio Rerata 0,09965
158

Sumber : Standar Kualitas Arang Aktif (SNI 06-3730-95). 1995


Paramater Ambang Batas Kualitas
(Parameters ) (Quality Treshold )
Butiran Serbuk
(Granular ) (Powder )
Kadar zat terbang
(Volatile matter). % Maks. 15 Maks. 25
Kadar air (Moisture
content). % Maks. 4.5 Maks. 15
Kadar abu (Ash content).
% Maks. 2.5 Maks 10
Bagian tak mengarang
(Uncarbonized). % 0 0
Daya serap terhadap I2
(Iodineium ads.). mg/g Min. 750 Min. 750
Karbon aktif murni (Pure
act. carbon). % Min. 80 Min. 65
Daya serap terhadap
benzena (Benzene
adsorpsion). % Min. 25 -

Daya serap terhadap biru


metilena (methylene blue
adsorption). mg/g Min. 60 Min. 120
Bobot jenis curah
(Powder density). g/ ml 0.45-0.55 0.3-0.35
Lolos mesh (Mesh-pass).
% - Min. 90
Jarak mesh (Mesh). % 90 -

Kekerasan (Hardness). % 80 -
164 
 

Lampiran 24 Difraktogram pola struktur kristaltit arang yang diaktivasi dengan


KOH 5%

 
 

 
165 
 

Lampiran 25 Difraktogram pola struktur kristaltit arang yang diaktivasi dengan


KOH 10%
166 
 

Lampiran 26 Difraktogram pola struktur kristaltit arang yang diaktivasi dengan


uap air
167 
 

Lampiran 27 Difraktogram pola struktur kristaltit arang yang diaktivasi asam fosfat
10%
168

Lampiran 28 Data hasil analisis kualitas limbah cair krom dari laboratorium

COD TDS DHL Krom BOD


Sampel Ulangan pH (ppm) (ppm) (µS) (ppm) (ppm)
1 6,49 153,36 1429 2860 2,8326 25,268
Limbah Krom Awal
2 6,38 157,14 1623 3260 2,79 26,028
Limbah Krom yang 1 3,05 151,20 869 1741 2,58 63,66
diasamkan 2 3,09 157,14 894 1789 2,59 58,23
A1W1S1 1 7,05 71,11 668 1,33 0,73 3,87
A1W1S1 2 7,31 71,31 670 1,35 0,73 3,89
A1W2S1 1 7,75 38,98 816 1,62 0,44 3,56
A1W2S1 2 7,81 40,8 814 1,64 0,44 3,64
A2W1S1 1 6,98 39,87 1163 2,30 1,66 6,13
A2W1S1 2 7,08 40,63 1161 2,34 1,68 6,15
A2W2S1 1 7,88 23,67 974 1,92 0,09 3,88
A2W2S1 2 7,98 23,69 970 1,96 0,09 2,9
A3 W1S1 1 7,02 40,21 945 1,88 0,01 3,2
A3 W1S1 2 7,28 40,27 945 1,9 0,01 3,22
A3 W2S1 1 7,56 39,85 811 1,61 0,88 2,23
A3 W2S1 2 8,18 39,93 809 1,63 0,9 2,27
A4 W1S1 1 7,12 56,02 1282 2,47 0,10 1,93
A4 W1S1 2 7,44 55,44 1282 2,65 0,1 1,97
A4 W2S1 1 9,02 30,97 1619 3,21 1,83 2,6
A4 W2S1 2 9,12 31,05 1618 3,27 1,83 2,66
A5W1S1 1 7,89 61,83 1273 2,56 0,20 4,1
A5W1S1 2 8,71 62,01 1275 2,54 0,22 4
A5W2S1 1 8,87 56,00 1392 2,77 1,74 2,14
A5W2S1 2 9,21 56,2 1392 2,81 1,74 2,18
Keterangan :
A1 = Aktivasi dengan H2O ; W1 = Waktu aktivasi 60 menit : A4 = Aktivasi dengan H3PO4 5%
A2 = Aktivasi dengan KOH 5% ; W2 = Waktu aktivasi 90 menit ; A5 = Aktivasi dengan H3PO4 10%
169

Lampiran 29 Data analisis proksimat arang yang diaktivasi dengan H3PO4 20%
selama 90 menit

1 Kadar Air

Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 18,5051 18,5205


Bobot Contoh 2,0131 2,0901
Bobot Akhir 20,4182 20,5106
Kadar Air (%) 4,967463117 4,784460074 4,875961595

2 Kadar Abu
Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 30,40800 24,159


Bobot Contoh 2,0256 2,001
Bobot Akhir 30,988 24,786
Kadar Abu (%) 28,63349131 31,33433283 29,98391207

3 Kadar Zat Terbang

Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 39,7055 39,1946


Bobot Contoh 2,0322 2,0329
Bobot Akhir 41,4221 40,6909
K. Zat Terbang(%) 0,756150914 1,301558426 1,02885467
K. Karbon Terikat (%) 70,61035777 67,36410874 68,98723326

4 Daya Serap Iod

Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2

Bobot arang (g) 0,2172 0,2031


Vol. Tio Awal(ml) 20,4 20,35
Vol. Tio Akhir(ml) 7,05 7,2
Daya serap iod(mg/gr) 791,6727941 833,95018
Rata-rata 812,811

Standarisasi Larutan Natrium Tiosulfat 0.1 N


Keterangan Ulangan 1 Ulangan II
Bobot K2Cr2O7 (gr) 0,1254 0,1242
Vol Tio (mL) 25 25,2
Normalitas Tio 0,102367347 0,10058309
Normalitas Tio Rerata 0,101475219
169

Sumber : Standar Kualitas Arang Aktif (SNI 06-3730-95), 1995

Paramater Ambang Batas Kualitas


(Parameters ) (Quality Treshold )
Butiran Serbuk
(Granular ) (Powder )
Kadar zat terbang
(Volatile matter ), % Maks. 15 Maks. 25
Kadar air (Moisture
content ), % Maks. 4,5 Maks. 15
Kadar abu (Ash content ),
% Maks. 2,5 Maks 10
Bagian tak mengarang
(Uncarbonized ), % 0 0
Daya serap terhadap I2
(Iodineium ads. ), mg/g Min. 750 Min. 750
Karbon aktif murni (Pure
act. carbon ), % Min. 80 Min. 65
Daya serap terhadap
benzena (Benzene
adsorpsion ), % Min. 25 -

Daya serap terhadap biru


metilena (methylene blue
adsorption ), mg/g Min. 60 Min. 120

Bobot jenis curah


(Powder density ), g/ ml 0,45-0,55 0,3-0,35
Lolos mesh (Mesh-pass ),
% - Min. 90
Jarak mesh (Mesh ), % 90 -

Kekerasan (Hardness ), % 80 -
171

Lampiran 31 Data analisis aproksimat arang aktif yang diaktivasi H3PO4 60%
selama 90 menit

1 Kadar Air
Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 16,9554 16,902


Bobot Contoh 2,0156 2,012
Bobot Akhir 18,815 18,826
Kadar Air (%) 7,739630879 4,373757455 6,056694167

2 Kadar Abu
Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 28,82050 29,668


Bobot Contoh 2,0275 2,0092
Bobot Akhir 29,6117 30,146
Kadar Abu (%) 39,02342787 23,79056341 31,40699564

3 Kadar Zat Terbang


Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 32,91870 39,3312


Bobot Contoh 2,0007 2,0334
Bobot Akhir 34,6067 40,8188
K. Zat Terbang(%) 0,895490759 1,319485744 1,107488251
K. Karbon Terikat (%) 60,08108137 74,88995085 67,48551611

4 Daya Serap Iod


Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2

Bobot arang 0,2052 0,2103


Vol. Tio Awal(ml) 20,4 20,35
Vol. Tio Akhir(ml) 5 5,1
Daya serap iod (mg/gr) 966,6464053 934,0171419
Rata-rata 950,3317736

Standarisasi Larutan Natrium Tiosulfat 0.1 N


Keterangan Ulangan 1 Ulangan II
Bobot K2Cr2O7 (gr) 0,1254 0,1242
Vol Tio (mL) 25 25,2
Normalitas Tio 0,102367347 0,10058309
Normalitas Tio Rerata 0,101475219
171

Sumber : Standar Kualitas Arang Aktif (SNI 06-3730-95), 1995


Paramater Ambang Batas Kualitas
(Parameters ) (Quality Treshold )
Butiran Serbuk
(Granular ) (Powder )
Kadar zat terbang
(Volatile matter ), % Maks. 15 Maks. 25
Kadar air (Moisture
content ), % Maks. 4,5 Maks. 15
Kadar abu (Ash content ),
% Maks. 2,5 Maks 10
Bagian tak mengarang
(Uncarbonized ), % 0 0
Daya serap terhadap I2
(Iodineium ads. ), mg/g Min. 750 Min. 750
Karbon aktif murni (Pure
act. carbon ), % Min. 80 Min. 65
Daya serap terhadap
benzena (Benzene
adsorpsion ), % Min. 25 -

Daya serap terhadap biru


metilena (methylene blue
adsorption ), mg/g Min. 60 Min. 120

Bobot jenis curah


(Powder density ), g/ ml 0,45-0,55 0,3-0,35
Lolos mesh (Mesh-pass ),
% - Min. 90
Jarak mesh (Mesh ), % 90 -

Kekerasan (Hardness ), % 80 -
171

Daya serap iodium (mg/g) = (b-a) x N) x 126,93 x fp

g
172

Lampiran 32 Data analisis aproksimat arang aktif yang diaktivasi H3PO4 80%
selama 90 menit

1 Kadar Air
Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 18,4273 16,803


Bobot Contoh 2,0994 2,0478
Bobot Akhir 20,44 18,6333
Kadar Air (%) 4,129751358 10,62115441 7,375452884

2 Kadar Abu
Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 28,97690 26,4545


Bobot Contoh 2,0109 2,0008
Bobot Akhir 29,7219 27,0414
Kadar Abu (%) 37,04808792 29,33326669 33,19067731

3 Kadar Zat Terbang


Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Bobot Kosong 36,53420 39,7787


Bobot Contoh 2,0196 2,0302
Bobot Akhir 38,0402 41,3607
K. Zat Terbang(%) 1,332164404 1,072020551 1,202092477
K. Karbon Terikat (%) 61,61974768 69,59471276 65,60723022

4 Daya Serap Iod


Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2

Bobot arang 0,2050 0,2073


Vol. Tio Awal(ml) 20,4 20,35
Vol. Tio Akhir(ml) 6,55 6,75
Daya serap iod (mg/gr) 870,2022226 845,0139569
Rata-rata 857,6080897

Standarisasi Larutan Natrium Tiosulfat 0.1 N


Keterangan Ulangan 1 Ulangan II
Bobot K2Cr2O7 (gr) 0,1254 0,1242
Vol Tio (mL) 25 25,2
Normalitas Tio 0,102367347 0,10058309
Normalitas Tio Rerata 0,101475219
172

Sumber : Standar Kualitas Arang Aktif (SNI 06-3730-95), 1995

Paramater Ambang Batas Kualitas


(Parameters ) (Quality Treshold )
Butiran Serbuk
(Granular ) (Powder )
Kadar zat terbang
(Volatile matter ), % Maks. 15 Maks. 25
Kadar air (Moisture
content ), % Maks. 4,5 Maks. 15
Kadar abu (Ash content ),
% Maks. 2,5 Maks 10
Bagian tak mengarang
(Uncarbonized ), % 0 0
Daya serap terhadap I2
(Iodineium ads. ), mg/g Min. 750 Min. 750
Karbon aktif murni (Pure
act. carbon ), % Min. 80 Min. 65
Daya serap terhadap
benzena (Benzene
adsorpsion ), % Min. 25 -

Daya serap terhadap biru


metilena (methylene blue
adsorption ), mg/g Min. 60 Min. 120

Bobot jenis curah


(Powder density ), g/ ml 0,45-0,55 0,3-0,35
Lolos mesh (Mesh-pass ),
% - Min. 90
Jarak mesh (Mesh ), % 90 -

Kekerasan (Hardness ), % 80 -
182 
 
Lampiran 42. Hasil analisis statistik arang aktif

One-way ANOVA: Kadar Air versus AKTIVATOR

Source DF SS MS F P
AKTIVATOR 3 7.1 2.4 0.19 0.899
Error 4 49.9 12.5
Total 7 57.0

S = 3.534 R-Sq = 12.44% R-Sq(adj) = 0.00%

Individual 95% CIs For Mean Based on


Pooled StDev
Level N Mean StDev ----+---------+---------+---------+-----
H3PO4 20% 2 4.875 0.134 (-------------*-------------)
H3PO4 40% 2 5.355 4.815 (-------------*-------------)
H3PO4 60% 2 6.055 2.383 (-------------*-------------)
H3PO4 80% 2 7.375 4.589 (-------------*-------------)
----+---------+---------+---------+-----
0.0 5.0 10.0 15.0

Pooled StDev = 3.534

Tukey 95% Simultaneous Confidence Intervals


All Pairwise Comparisons among Levels of AKTIVATOR

Individual confidence level = 98.48%

AKTIVATOR = H3PO4 20% subtracted from:

AKTIVATOR Lower Center Upper ------+---------+---------+---------+---


H3PO4 40% -13.912 0.480 14.872 (-------------*--------------)
H3PO4 60% -13.212 1.180 15.572 (-------------*--------------)
H3PO4 80% -11.892 2.500 16.892 (--------------*-------------)
------+---------+---------+---------+---
-10 0 10 20

AKTIVATOR = H3PO4 40% subtracted from:

AKTIVATOR Lower Center Upper ------+---------+---------+---------+---


H3PO4 60% -13.692 0.700 15.092 (--------------*-------------)
H3PO4 80% -12.372 2.020 16.412 (-------------*-------------)
------+---------+---------+---------+---
-10 0 10 20

AKTIVATOR = H3PO4 60% subtracted from:

AKTIVATOR Lower Center Upper ------+---------+---------+---------+---


H3PO4 80% -13.072 1.320 15.712 (-------------*--------------)
------+---------+---------+---------+---
-10 0 10 20
183 
 
One-way ANOVA: Kadar Abu versus AKTIVATOR

Source DF SS MS F P
AKTIVATOR 3 27.3 9.1 0.14 0.931
Error 4 261.0 65.3
Total 7 288.4

S = 8.078 R-Sq = 9.48% R-Sq(adj) = 0.00%

Individual 95% CIs For Mean Based on


Pooled StDev
Level N Mean StDev --------+---------+---------+---------+-
H3PO4 20% 2 29.980 1.909 (---------------*---------------)
H3PO4 40% 2 28.160 10.564 (---------------*---------------)
H3PO4 60% 2 31.405 10.769 (--------------*---------------)
H3PO4 80% 2 33.190 5.459 (---------------*---------------)
--------+---------+---------+---------+-
20 30 40 50

Pooled StDev = 8.078

Tukey 95% Simultaneous Confidence Intervals


All Pairwise Comparisons among Levels of AKTIVATOR

Individual confidence level = 98.48%

AKTIVATOR = H3PO4 20% subtracted from:

AKTIVATOR Lower Center Upper ---------+---------+---------+---------+


H3PO4 40% -34.722 -1.820 31.082 (---------------*----------------)
H3PO4 60% -31.477 1.425 34.327 (----------------*---------------)
H3PO4 80% -29.692 3.210 36.112 (----------------*---------------)
---------+---------+---------+---------+
-20 0 20 40

AKTIVATOR = H3PO4 40% subtracted from:

AKTIVATOR Lower Center Upper ---------+---------+---------+---------+


H3PO4 60% -29.657 3.245 36.147 (----------------*---------------)
H3PO4 80% -27.872 5.030 37.932 (----------------*---------------)
---------+---------+---------+---------+
-20 0 20 40

AKTIVATOR = H3PO4 60% subtracted from:

AKTIVATOR Lower Center Upper ---------+---------+---------+---------+


H3PO4 80% -31.117 1.785 34.687 (----------------*---------------)
---------+---------+---------+---------+
-20 0 20 40
184 
 
One-way ANOVA: Kadar Fly Ash versus AKTIVATOR

Source DF SS MS F P
AKTIVATOR 3 0.049 0.016 0.12 0.946
Error 4 0.565 0.141
Total 7 0.614

S = 0.3759 R-Sq = 8.00% R-Sq(adj) = 0.00%

Individual 95% CIs For Mean Based on


Pooled StDev
Level N Mean StDev -----+---------+---------+---------+----
H3PO4 20% 2 1.0289 0.3857 (--------------*-------------)
H3PO4 40% 2 1.0001 0.5409 (--------------*--------------)
H3PO4 60% 2 1.1075 0.2998 (--------------*--------------)
H3PO4 80% 2 1.2021 0.1840 (--------------*--------------)
-----+---------+---------+---------+----
0.50 1.00 1.50 2.00

Pooled StDev = 0.3759

Tukey 95% Simultaneous Confidence Intervals


All Pairwise Comparisons among Levels of AKTIVATOR

Individual confidence level = 98.48%

AKTIVATOR = H3PO4 20% subtracted from:

AKTIVATOR Lower Center Upper -------+---------+---------+---------+-


-
H3PO4 40% -1.5597 -0.0288 1.5021 (---------------*--------------)
H3PO4 60% -1.4523 0.0786 1.6095 (---------------*--------------)
H3PO4 80% -1.3577 0.1732 1.7041 (---------------*--------------)
-------+---------+---------+---------+-
-
-1.0 0.0 1.0 2.0

AKTIVATOR = H3PO4 40% subtracted from:

AKTIVATOR Lower Center Upper -------+---------+---------+---------+--


H3PO4 60% -1.4235 0.1074 1.6383 (--------------*--------------)
H3PO4 80% -1.3289 0.2020 1.7329 (--------------*--------------)
-------+---------+---------+---------+--
-1.0 0.0 1.0 2.0

AKTIVATOR = H3PO4 60% subtracted from:

AKTIVATOR Lower Center Upper -------+---------+---------+---------+--


H3PO4 80% -1.4363 0.0946 1.6255 (--------------*--------------)
-------+---------+---------+---------+--
-1.0 0.0 1.0 2.0
185 
 
One-way ANOVA: Fix Carbon versus AKTIVATOR

Source DF SS MS F P
AKTIVATOR 3 29.7 9.9 0.16 0.918
Error 4 247.2 61.8
Total 7 276.9

S = 7.862 R-Sq = 10.71% R-Sq(adj) = 0.00%

Individual 95% CIs For Mean Based on


Pooled StDev
Level N Mean StDev +---------+---------+---------+---------
H3PO4 20% 2 68.985 2.298 (--------------*--------------)
H3PO4 40% 2 70.840 10.027 (---------------*--------------)
H3PO4 60% 2 67.485 10.472 (--------------*---------------)
H3PO4 80% 2 65.605 5.636 (---------------*--------------)
+---------+---------+---------+---------
50 60 70 80

Pooled StDev = 7.862

Tukey 95% Simultaneous Confidence Intervals


All Pairwise Comparisons among Levels of AKTIVATOR

Individual confidence level = 98.48%

AKTIVATOR = H3PO4 20% subtracted from:

AKTIVATOR Lower Center Upper ---------+---------+---------+---------+


H3PO4 40% -30.167 1.855 33.877 (---------------*---------------)
H3PO4 60% -33.522 -1.500 30.522 (---------------*---------------)
H3PO4 80% -35.402 -3.380 28.642 (---------------*---------------)
---------+---------+---------+---------+
-20 0 20 40

AKTIVATOR = H3PO4 40% subtracted from:

AKTIVATOR Lower Center Upper ---------+---------+---------+---------+


H3PO4 60% -35.377 -3.355 28.667 (---------------*---------------)
H3PO4 80% -37.257 -5.235 26.787 (---------------*---------------)
---------+---------+---------+---------+
-20 0 20 40

AKTIVATOR = H3PO4 60% subtracted from:

AKTIVATOR Lower Center Upper ---------+---------+---------+---------+


H3PO4 80% -33.902 -1.880 30.142 (---------------*---------------)
---------+---------+---------+---------+
-20 0 20 40
186 
 
One-way ANOVA: Daya Serap Iod versus AKTIVATOR

Source DF SS MS F P
AKTIVATOR 3 24524 8175 11.38 0.020
Error 4 2873 718
Total 7 27396

S = 26.80 R-Sq = 89.51% R-Sq(adj) = 81.65%

Individual 95% CIs For Mean Based on


Pooled StDev
Level N Mean StDev -+---------+---------+---------+--------
H3PO4 20% 2 812.8 29.9 (------*-------)
H3PO4 40% 2 930.4 33.6 (-------*------)
H3PO4 60% 2 950.3 23.1 (-------*------)
H3PO4 80% 2 857.6 17.8 (-------*------)
-+---------+---------+---------+--------
770 840 910 980

Pooled StDev = 26.8

Tukey 95% Simultaneous Confidence Intervals


All Pairwise Comparisons among Levels of AKTIVATOR

Individual confidence level = 98.48%

AKTIVATOR = H3PO4 20% subtracted from:

AKTIVATOR Lower Center Upper -------+---------+---------+---------+--


H3PO4 40% 8.47 117.61 226.76 (--------*--------)
H3PO4 60% 28.37 137.52 246.67 (--------*---------)
H3PO4 80% -64.35 44.80 153.94 (--------*--------)
-------+---------+---------+---------+--
-120 0 120 240

AKTIVATOR = H3PO4 40% subtracted from:

AKTIVATOR Lower Center Upper -------+---------+---------+---------+--


H3PO4 60% -89.24 19.91 129.05 (--------*--------)
H3PO4 80% -181.96 -72.82 36.33 (--------*--------)
-------+---------+---------+---------+--
-120 0 120 240

AKTIVATOR = H3PO4 60% subtracted from:

AKTIVATOR Lower Center Upper -------+---------+---------+---------+--


H3PO4 80% -201.87 -92.72 16.42 (--------*--------)
-------+---------+---------+---------+--
-120 0 120 240

————— 4/28/2016 10:15:05 AM ————————————————————


193 
 

Lampiran 49. Contoh perhitungan emisi CO2

1. Untuk Mendapatkan emisi CO2 dari konsumsi LPG menggunakan rumus


berikut :

Pey = FCy x EF CO2 x NCV LPG

Keterangan :
Pey = Total emission (g Carbon)
FCy = Amount of LPG consumed (Kg)
FCy = 5 Kg x 312 = 15690 Kg

EF CO2 = Emission factor of LPG 63100 Kg CO2/TJ

NCV LPG = Net Calorific value of LPG 48.85 MJ/ Kg

Pey = 15690 Kg x 63100 Kg CO2 /TJ x 48.85 MJ/kg x 1 TJ/10-6 MJ

= 4.84 x 1016 Kg = 4.84 x 1013 Ton

2. Emisi akibat adanya transportasi

a. faktor emisi CO2 dari jenis bahan bakar

Fuela = jumlah bahan bakar x energy content

Emission =Σ[Fuela x EFa]

Keterangan :

Emission = emisi CO2 total (Kg)


Jumlah bahan bakar 1 tahun = 312 Liter
Energy content bensin(premium) = 34.66 MJ/L
EFa = faktor emisi CO2 untuk tiap jenis bahan bakar (Kg/TJ)
EFa untuk bensin = 69300 Kg/TJ

Emission CO2 = 312 Liter x 34.66 MJ/L x 69300 Kg/TJ x 1 TJ /10-6 MJ


= 749404656000 Kg = 749404656 ton CO2

b. Faktor Emisi dari kendaraan

E = e x Fuel

Jumlah bahan bakar (Liter)


Fuel =
Jumlah kendaraan per bahan bakar (smp)
194 
 

Perhitungan konversi kendaraan dilakukan dengan persamaan sebagai berikut


berikut.
n = m x FK

Keterangan :

Fuel = rata-rata bahan bakar per kendaraan (L/smp)

312 Liter
Fuel =
1 (smp)

E = total emisi kendaraan (Kg)


e = emisi untuk 1 liter kendaraan CO2 (smp.Kg/L)
Keterangan :
n = jumlah kendaraan setelah dikonversi (smp)
m = jumlahkendaraan sebelum dikonversi (kendaraan)
FK = Faktor Konversi (smp/kendaraan)

n = 1 x 0.25 = 0.25 smp

FE spd. motor = 3180 g/Kg BBM x 0,63 Kg/L


= 2003,4 gram/L = 2.0034 Kg/L

e = FE spd. motor x n = 2.0034 Kg/L x 0.25 smp =0.50085 smp Kg/L

E = e x Fuel = 312 L / smp x 0.50085 smp Kg/L = 156.2652 Kg

 
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang, 18 November 1975. Penulis adalah anak


ketiga dari empat bersaudara keluarga Bapak KM. Rozali Zen dan Ibu Siti Saleha.
Saat ini penulis telah menikah dengan Muhammad Hasan dan mempunyai dua
orang anak, bernama M. Ammar Faraz dan Aisyah Ramadhani.
Penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Teknik Kimia Fakultas
Teknik Universitas Sriwijaya Palembang pada tahun 1999. Pada Tahun 2001,
penulis melanjutkan pendidikan S2 dengan mengambil program studi Ilmu
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 2003. Pada tahun 2012 penulis mendapat
beasiswa pendidikan S3 dari Kementerian Perindustrian RI dengan mengambil
Program Studi PSL di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis diterima bekerja sebagai Dosen PNS di Akademi Kimia Analisis
Bogor Kementerian Perindustrian RI pada tahun 2002. Selama bekerja penulis
membantu mengajar pada mata kuliah kimia lingkungan, produksi bersih, sistem
manajemen lingkungan dan sanitasi lingkungan
Karya ilmiah berjudul Pengaruh Aktivasi Fisika dan Kimia Arang Aktif
Buah bintaro terhadap Daya Serap Logam Berat Krom telah diterima dan
diterbitkan dalam BIOPROPAL INDUSTRI jurnal di Lingkungan Kementerian
Perindustrian. Karya Ilmiah yang berjudul An Environmental Friendly Pesticide
from Bintaro (cerbera odollam gaertn) Liquid Smoke for Pine Wood Preservation
against a subterranean Termite Coptotermes curvignathus Holmgren Attack telah
diterima dan diterbitkan dalam jurnal Rasayan J.Chem. Karya-karya tersebut
merupakan bagian dari disertasi penulis.

Anda mungkin juga menyukai