ROSALINA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus berdasarkan perjanjian kerja sama yang terkait
RINGKASAN
ROSALINA. Desain Pemanfaatan Sampah Buah Bintaro sebagai Arang Aktif
Pengolah Limbah Cair Krom dan Asap Cair Antirayap. Dibimbing oleh TUN
TEDJA IRAWADI, ETTY RIANI, dan SRI SUGIARTI.
Jalur hijau Jalan Bogor Ring Road dan Jalan Baru merupakan contoh ruang
terbuka hijau yang cukup luas di Kota Bogor sehingga perlu dilakukan
pengelolaan dan pemeliharaan yang baik agar tetap terjaga kelestariannya. Di sisi
lain, jalur hijau ini juga banyak menghasilkan sampah yang berupa sampah buah,
ranting dan daun. Salah satu sampah yang banyak dihasilkan di jalur hijau Jalan
Bogor Ring Road (Jalan Kol. Achmad Syam) dan Jalan Destrata Kecamatan
Bogor Utara adalah sampah buah bintaro. Permasalahan yang ditimbulkan oleh
sampah bintaro karena buah bintaro dapat masuk ke saluran drainase kota dan
menimbulkan banjir di musim hujan.
Salah satu cara untuk mengelola sampah buah bintaro ini adalah dengan
mendaurulang sampah buah bintaro menjadi arang aktif pengolah limbah logam
berat krom dari limbah laboratorium. Adapun asap hasil pembakaran arang dapat
digunakan sebagai asap cair antirayap sedangkan biji buah bintaro sudah banyak
dimanfaatkan sebagai bahan pembuat biodiesel dan biopestisida. Dengan
demikian penerapan konsep zero waste dapat dilakukan pada sampah ruang
terbuka hijau (RTH) dari buah bintaro
Tujuan dari penelitian ini adalah pertama mendapatkan arang aktif dari buah
bintaro yang berkualitas baik sesuai SNI arang aktif teknis. Kedua, mendapatkan
persentase removal krom terbaik dengan metode adsorpsi arang aktif dari sampah
buah bintaro. Ketiga, mengetahui karakteristik asap cair hasil pirolisis sampah
buah bintaro sebagai antirayap untuk kayu pinus yang menyebabkan mortalitas
rayap. Keempat, mengetahui kelayakan finansial usaha pembuatan arang aktif dan
asap cair sehingga dapat dijadikan strategi pengembangan pemanfaatan buah
bintaro. Terakhir, mendapatkan rencana strategi pengembangan pemanfaatan buah
bintaro sehingga tercipta konsep zero waste dari sampah buah bintaro RTH.
Metode penelitian yang digunakan meliputi beberapa tahap yaitu, tahap
pertama persiapan sampel, tahap kedua pengarangan cangkang buah bintaro pada
suhu 300 oC, 400 oC, 500 oC di kiln. Setelah menjadi arang dilakukan analisis
proksimat arang yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar zat terbang, karbon
terikat dan daya serap iod. Dianalisis topografi dengan SEM, struktur kristal
dengan XRD dan analisis gugus fungsi dengan FTIR. Tahap ketiga adalah
membuat asap cair, dikarakterisasi pH, berat jenis, kadar fenol dan total asiditas
serta kandungan senyawa kimia dianalisis dengan GCMS, lalu diaplikasikan
sebagai antirayap pada kayu pinus. Tahap keempat yaitu aktivasi arang. Pada
tahap ini, percobaan dibagi dalam dua bagian. Percobaan pendahuluan arang
diaktivasi secara fisika dengan uap air dan secara kimia dengan aktivator KOH 5
%; 10 %, dan asam fosfat 5 %; 10 % dengan waktu aktivasi 60 menit dan 90
menit pada suhu 650 oC. Setelah itu juga dianalisis proksimat, XRD, SEM dan
FTIRnya, kemudian arang aktif diaplikasikan ke dalam limbah cair logam berat
krom. Selanjutnya percobaan utama hanya dilakukan dengan cara kimia yaitu
merendam arang dengan asam posfat pada konsentrasi yang bervariasi 20 %,
40 %, 60 % dan 80 % selama 24 jam dan dimasukkan ke retort dengan pemanasan
selama 90 menit pada suhu 650 oC. Selanjutnya arang aktif dianalisis proksimat
dan hasilnya dibandingkan dengan SNI arang aktif teknis serbuk SNI 06-3730-
1995. Tahap terakhir, dilakukan aplikasi arang aktif ke dalam limbah cair krom
dari IPAL (instalasi pengolahan air limbah) laboratorium Terapan politeknik AKA
Bogor pada tiga kondisi pH yaitu asam, netral dan basa.
Analisis kelayakan finansial dihitung berdasarkan analisis net present value,
analisis internal rate of return dan net benefit/cost. Terakhir strategi perencanaan
pemanfaatan buah bintaro dan analisis dampak lingkungan akibat adanya
pembuatan arang aktif dan asap cair dari buah bintaro dengan pendekatan LCA
(life cycle assessment).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sampah cangkang
buah bintaro dapat dibuat arang aktif. Selain itu hasil analisis proksimat arang
aktif hampir memenuhi semua syarat SNI kecuali untuk kadar abu .
Hasil Analisis GC-MS pada asap cair dari kayu pinus menunjukkan bahwa
komponen terbesar dari asap cair adalah piridin -3 karbosamida (pyridine-3-
carboxamide), oksim (oxime), N-2 trifluorometilfinil (N-(2-
trifluoromethylphenyl)); asam asetat (acetic acid); fenol (phenol), 2 metoksi (2-
methoxy), fenol (phenol), 2 metoksi-4 metil (2-methoxy-4 methyl); 4 metoksi
fenol (mequinol), asam 9-oktadenoat (Z), 2.3 dihidroksilpropil ester (9-
octadecenoic acid (Z), 2,3 dihydroxyprophyl ester). yang dapat berperan sebagai
agen termicidal yang dapat membunuh rayap.
Arang aktif buah bintaro yang diaktivasi dengan asam fosfat 20 % pada pH
basa, ternyata mampu menghilangkan kadar logam berat krom sebesar 66.55 %
Hasil perhitungan ekonomi menunjukkan bahwa nilai net B/C asap cair dan arang
aktif cangkang buah yaitu sebesar 1.65. Nilai net B/C >1 menunjukkan aktif
layak untuk dikerjakan. Lama payback period lebih pendek dari pada umur
proyek yang direncanakan sehingga dapat dikatakan proyek ini layak untuk
dilaksanakan. Nilai NPV dari perhitungan finansial usaha pemanfaatan cangkang
buah bintaro sebagai asap cair dan arang aktif bernilai positif karena nilai NPV>0
maka proyek dapat diterima. Nilai IRR asap cair dan arang aktif cangkang buah
bintaro sebesar 35% dengan suku bunga sebesar 12.5 %. Oleh karena nilai IRR >
tingkat suku bunga, maka investasi dapat diterima.
Prioritas Pengembangan tanaman buah bintaro berdasarkan pertimbangan
potensi lahan dan nilai produk, maka prioritas pengembangan sebagai berikut:
(a)Pengembangan produk didasarkan pada kondisi wilayah, (b) Inovasi teknologi,
(c) Kelembagaan dan pembinaan petani (d) Pembinaan dan pelatihan; diberikan
kepada petani dan industri pengolah buah bintaro sehingga mampu memenuhi
tuntutan pasar, (e) Pengembangan pasar (f) Pembiayaan; pola pembiayaan dapat
berupa hibah, bantuan teknis atau pinjaman lunak. Sumber-sumber pembiayaan
berasal dari dana pemerintah alokasi APBN/APBD, pemanfaatan dana pembinaan
dari keuntungan BUMN, kredit komersial, bank, dan lembaga keuangan lainnya
Berdasarkan analisis perhitungan emisi CO2 didapatkan bahwa emisi CO2
dari gas LPG untuk pirolisis arang lebih besar (4.84 x 1013 ton CO2) dibandingkan
emisi CO2 dari faktor bahan bakar dari kendaraan bermotor (156.27 Kg CO2).
Kata kunci : sampah buah bintaro, arang aktif-asam fosfat, asap cair antirayap,
limbah krom dari laboratorium, LCA
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus berdasarkan perjanjian kerja sama yang terkait
SUMMARY
The green belt of Bogor Ring Road is an example of a wide green open
space in Bogor that required its own exceptional maintenance procedure to keep
its everlasting current conditions. On the other hand, the green belt also produces
waste fruits, twigs, and leaves. One of the wastes previously mentioned that easily
be found in Kol Achmad Syam Road and Destrata Road of North Bogor
Subdistrict is bintaro fruit. The trouble caused by this waste is that it could
penetrated through the city drainages and plugged the water flow. On rainy season
this plug created flood.
One way to manage bintaro fruit waste is to recycle them into activated
charcoal to adsorb heavy metal chromium from laboratory wastes. The smoke
from the charcoal can be condensed and used as an anti-termites, while the seeds
are for the biodiesel and bio-pesticide. So it applied the zero waste concept.
The purposes of this research are firstly to select high quality activated
charcoal and passed the SNI powder activated charcoal (SNI 06-3730-1995).
Secondly, to have the best removal chrome percentage by activated charcoal
adsorption methods from bintaro fruit waste. Thirdly, to find out the
characteristics of liquid smokes from bintaro fruit waste pyrolysis that causing the
mortality of pine wood termites. Fourthly, to come up with financial feasibility of
activated charcoal and liquid smoke productions as a base for bintaro fruit
utilization development strategy. Lastly, to develop strategic plan of bintaro fruit
utilization with zero waste concept.
Research methods that used on this research were divided into several steps.
First is sample preparation. Second step is bintaro’shell were carbonized at
300 oC, 400 oC, and 500 oC in a kiln. Soon after became charcoal, the proximate
analysis, which included the measurement content of moisture, ash, fly ash, fix
carbon and iodine adsorption are performed. Topography analysis will also be
performed using SEM.While crystal structure will be analysed by XRD, and the
analysis of functional groups will be analysed by FTIR. Third step is to make
liquid smoke, included measurement of pH, density, phenol content, total amount
of acidity, and quantity of chemical compound, which will be analysed by
GCMC, then the liquid smoke is applied as anti-termites on pine trees. The fourth
step will be charcoal activation. On this step, the experiment were divided into
two section. First, on preliminary experiment, charcoal is activated physically by
steam and chemically by KOH 5 %, KOH 10 %, and phosphate acid 5 %, also
phosphate acid 10 % with activation time length of 60 minutes and 90 minutes in
650 oC of temperature. In addition to that, proximate, XRD, SEM, and FTIR
analysis are performed. Then after all that, activated charcoal is implemented in
chrome liquid waste of laboratory. The main experiment is only performed
chemically, which is, submerging charcoal with phosphate acid on concentration
of 20 %, 40 %, 60 %, and 80 % for 24 hours. Then, the charcoal is placed inside
retort for 90 minutes with heat of 650 oC. The next step is activated charcoal will
be analysed by proximate and the result of it will be compared with SNI powder
activated charcoal (SNI 06-3730-1995). Last step, activated charcoal is applied
into the chrome liquid waste with three pH conditions: acid, neutral, alkali.
Financial feasibility analysis is enumerated by net present value, internal
rate of return, and net benefit cost. Last thing to do in this research is to look over
strategic plan of utilizing bintaro fruit and to analyze the environmental’s impact
on producing activated-charcoal and liquid smoke from bintaro fruit using life
cycle assesment (LCA).
Based on the outcome of research, it can be concluded that bintaro fruit
composite shell can be turn into activated charcoal. Other than that, the result of
activated charcoal proximate analysis is almost passing all the SNI standard
requisition except for the content of ash.
Based on GC-MC analysis on liquid smoke, it showed that the largest
component from liquid smoke is pyridine-3-carboxamide, oxime, N-(2-
trifluoromethylphenyl), acetic acid, phenol, 2-methoxy, phenol, 2-methoxy-4-
methyl, mequinol, 9-octadeceonic acid, 2.3 dihydroxyprophyl ester. They all have
role as a termicidal agent, termite killer. Based on termites mortality test result, it
concluded that liquid smokes from pyrolysis temperature 300 oC, 400 oC, and 500
o
C are causing mortality of termites very high, that is in sequences 97.56 %, 96.44
%, and 100 %. This means liquid smokes from all three pyrolysis temperatures
can have function as anti-termites.
Bintaro fruit charcoal activated by 20 % phosphoric acid at alkaline
condition was able to eliminate the heavy metals chromium content of 66.55 %.
The results of financial feasibility show that the value of the Net B/C liquid smoke
and bintaro fruit activated charcoalis equal to 1.65. Value Net B/C> 1 indicates
that utilization bintaro fruit shells as activated charcoal and liquid smoke should
be feasible. Long payback period is shorter than the life of the proposed project so
we can say this project is feasible. Net present value (NPV) of financial
calculation utilization bintaro fruit shells as liquid smoke and activated charcoal is
positive value for NPV> 0 then the project can be accepted. Calculation try to get
the NPV equal to zero, giving the IRR of liquid smoke and bintaro fruit activated
charcoal by 35 % with interest rate 12.5 % . Since the IRR> interest rate, then the
investment is acceptable.
Development priority of utilization bintaro fruit is based on consideration of
the land potential and the product value as follows:(a) Product development based
on the regional condition, (b) Technological innovation, (c) Institutional and
development of farmers, (d) Counseling and training granted to farmers and
related industry, in order to produce the products required by the market, (e)
Institution and market development, (f) Funding; financing is still a constraint in
management of green space in the Bogor City. Therefore, it needs cooperation
among departments of Bogor City.
Based on the analysis of CO2 emission calculations show that CO2
emissions from LPG gas to burn charcoal are larger (4.84 x 1013 tons of CO2) than
CO2 emissions from fuel of motor vehicles (156.27 kg CO2).
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus berdasarkan perjanjian kerja sama yang terkait
©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
DESAIN PEMANFAATAN SAMPAH BUAH BINTARO
SEBAGAI ARANG AKTIF PENGOLAH LIMBAH CAIR
KROM DAN ASAP CAIR ANTIRAYAP
ROSALINA
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus berdasarkan perjanjian kerja sama yang terkait
Penguji Luar Komisi
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr Zainal Alim Mas’ud, DEA
2. Dr Budi Kurniawan, M.Eng
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian sejak bulan Desember 2014 sampai Juni 2015 ini adalah arang aktif,
dengan judul Desain Pemanfaatan Sampah Buah Bintaro sebagai Arang Aktif
Pengolah Limbah Cair Krom serta Asap Cair Antirayap.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi,
MS selaku ketua komisi pembimbing, Ibu Dr Ir Etty Riani, MS serta Ibu Sri
Sugiarti, PhD selaku pembimbing 2 dan pembimbing 3 yang telah banyak
memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. Di samping itu, ucapan terima
kasih juga penulis sampaikan kepada Kementerian Perindustrian khususnya
Politeknik AKA Bogor yang telah memberikan bantuan beasiswa pendidikan S3,
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada para staf dan teknisi
Labaratorium Uji dan Kompetensi Politeknik AKA Bogor, Laboratorium Kimia
Kayu dan Energy Biomassa Puslitbang Hasil Hutan, KemenLHK Bogor dan
Laboratorium Kimia Hasil Hutan IPB yang telah banyak membantu selama
pengumpulan data. Terakhir ungkapan terima kasih yang tak terhingga kepada
keluarga besar tercinta khususnya kepada ayah, ibu, suami dan anak-anak atas doa
dan kasih sayangnya sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir ini dengan
baik.
Semoga tugas akhir ini bermanfaat
Pohon bintaro juga disebut Pong-pong tree atau Indian suicide tree,
mempunyai nama latin Cerbera odollam Gaertn atau Cerbera manghas Linn,
termasuk tumbuhan non pangan tidak untuk dimakan. Bintaro termasuk tumbuhan
mangrove yang berasal dari daerah tropis di Asia, Australia, Madagaskar, dan
kepulauan sebelah barat Samudera Pasifik. Buah bintaro merupakan buah drupa
(buah biji) yang terdiri dari tiga lapisan yaitu epikarp atau eksokarp (kulit bagian
terluar buah), mesokarp (lapisan tengah berupa serat seperti sabut kelapa), dan
endokarp (biji yang dilapisi kulit biji atau testa). Walaupun berbentuk indah
namun buah bintaro tidak dapat dikonsumsi, karena mengandung zat yang bersifat
racun terhadap manusia. Bintaro adalah tanaman yang cocok untuk tanaman
penghijauan dan tanaman hias, baik diperkotaan maupun di lingkungan
perumahan penduduk, selain relatif mudah ditanam dan mempunyai toleransi
terhadap berbagai jenis tanah dan iklim, berakar kuat dan berdaun lebat serta
ketika berbuah tanpa mengenal musim (Puslitbang Perkebunan 2011).
Berdasarkan data dari kementerian perindustian tahun 2015, permintaan
arang aktif didalam negeri, belum terpenuhi. Hal ini terbukti kita masih
mengimpor arang aktif. Selain itu arang juga diproduksi untuk memenuhi
3
permintaan luar negeri (ekspor). Volume ekspor arang aktif setiap tahunnya
memang lebih besar dibandingkan volume impor arang aktif, namun nilai
ekspornya berfluktuasi tidak stabil. Sebagai perbandingan ekspor arang aktif
tahun 2011 hanya sebesar 24.772.277 kg, pada tahun yang sama impor arang
aktif adalah sebesar 5.445.933 kg (Tabel 1).
Oleh karena itu, diperlukan bahan baku alternatif pengganti tempurung
kelapa seperti buah bintaro. Beberapa kelebihan buah bintaro antara lain
kandungan lignin 58.2 % dan selulosa 41.8 % dalam buah bintaro melebihi
kandungan buah kelapa (Handoko dan Iman 2011). Menurut Mahmud dan Ferry
(2005) tempurung kelapa mengandung selulosa 26.6 % dan lignin sebesar
29.40 %. Selain memiliki komposisi selulosa dan lignin yang relatif tinggi, dapat
mengatasi kelangkaan energi, serta menjadi sumber pendapatan. Pengembangan
bintaro juga memberikan manfaat lingkungan dalam penyerapan emisi karbon
dioksida dan mencegah emisi dari lahan gambut. Tanaman bintaro dapat tumbuh
di daerah yang ekstrim dan kurang nutrisi, sehingga mudah untuk dibudidayakan
(Handoko dan Iman 2011). Menurut Penelitian Samsoedin dan Wibowo (2012),
tanaman bintaro dengan diameter 0.12 m, tinggi 3.9 m; densitas 0.4 kg/m3 dan
volume 0.34 m3 mempunyai potensi penyimpanan karbon sebesar 0.3 ton/pohon.
Arang aktif mempunyai spektrum pengguna yang cukup luas dalam
kehidupan manusia, antara lain sebagai adsorben pengolah limbah krom (Gupta et
al. 2013; Muthukumaran dan Beulah 2011; Tang et al. 2009) dan katalis (Gheek
et al. 2007; Zawadzki dan Wisniewski 2007) yang sangat bermanfaat untuk
mengolah limbah cair.
Pada proses pengarangan bahan organik, selain menghasilkan arang, juga
akan dihasilkan asap yang dapat dikondensasi menjadi asap cair dengan cara
didestilasi (Anshari et al. 2012). Kondensasi uap hasil pengarangan bertujuan
untuk mencegah terjadinya pencemaran udara akibat asap yang dihasilkan dalam
proses pirolisis. Beberapa peneliti telah meneliti bahwa di dalam asap cair
mengandung sejumlah senyawa kimia yang berpotensi antara lain sebagai zat
pengawet (Chacha et al. 2005; Nurhayati 2000), flavor (Morales et al. 2004),
antioksidan (Su dan Silva 2006, Davalos et al. 2005), desinfektan dan
pestisida (Nurhayati 2000), fuel oil (Shen dan Zhang 2005), dan antirayap
(Hasyim et al. 2009; Oramahi et al. 2013).
Asap cair pada dasarnya merupakan asam cuka (vinegar) kayu yang
diperoleh dari destilasi kering terhadap kayu. Kayu mengandung selulosa,
hemiselulosa dan lignin yang pada saat dibakar akan menghasilkan asap cair
dengan banyak senyawa di dalamnya. Selain kayu, asap cair juga dapat dihasilkan
dari bahan lain seperti tempurung kelapa, sabut kelapa, merang padi, bambu dan
sampah organik. Asap cair dapat digunakan sebagai bahan pengawet karena
memiliki sifat antibakteri. Sifat sebagai antibakteri ini berkaitan dengan
kandungan senyawa-senyawa dalam asap cair, yaitu fenolik, senyawa karbonil,
dan asam karboksilat (Panangan dan Syarif 2009).
Berdasarkan hasil penelusuran literatur yang telah dilakukan oleh penulis,
belum pernah ada publikasi tentang pembuatan arang aktif dari buah bintaro untuk
mengolah limbah krom serta asap cair antirayap, hasil pengarangan buah bintaro.
Oleh karena itu maka penelitian tentang buah bintaro yang berjudul desain
pemanfaatan sampah buah bintaro sebagai arang aktif pengolah limbah cair krom
dan asap cair antirayap perlu dilakukan.
4
Perumusan Masalah
pirolisis arang sampah buah bintaro yang diaplikasikan sebagai antirayap pada
kayu. Adapun tujuan akhir dari penelitian ini adalah terciptanya penanganan
sampah RTH tanaman bintaro melalui penerapan konsep zero waste. Selain itu
tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Mendapatkan arang aktif dari buah bintaro yang berkualitas baik sesuai SNI
2. Mendapatkan persentase removal krom terbaik dengan metode adsorpsi arang
aktif dari sampah buah bintaro.
3. Mengetahui karakteristik asap cair hasil pirolisis sampah buah bintaro sebagai
antirayap untuk kayu pinus yang menyebabkan mortalitas rayap.
4. Mengetahui kelayakan finansial usaha pembuatan arang aktif dan asap cair
sehingga dapat dijadikan strategi pengembangan pemanfaatan buah bintaro.
5. Mendapatkan rencana strategi pengembangan pemanfaatan buah bintaro
sehingga tercipta konsep zero waste dari sampah buah bintaro RTH.
Kerangka Pemikiran
Kurikulum setiap institusi pendidikan kimia memuat materi praktikum
dengan menggunakan pereaksi kimia, Salah satu pereaksi kimia yang sering
digunakan di dalam laboratorium adalah kalium dikromat. Banyaknya buangan
limbah krom hasil pengujian di laboratorium yang dibuang di instalasi pengolahan
air limbah (IPAL) menjadikan limbah ini berbahaya jika dibuang ke lingkungan
tanpa pengolahan yang tepat. Di sisi lain, dengan adanya keharusan Kota Bogor
untuk memenuhi ke undang-undang (UU) nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan
ruang, setiap kota harus menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) minimal 30 %
dari luas kota mengakibatkan ada banyak sampah jalur hijau yang dihasilkan.
Salah satu sampah jalur hijau adalah sampah buah bintaro yang terdapat di jalur
hijau Jalan Kol. Achmad Syam dan Jalan Destrata Kota Bogor. Sampah buah
bintaro cukup berbahaya karena getahnya bersifat racun (Prosea 2002) dan
buahnya dapat diterbangkan oleh angin sehingga akan masuk ke saluran drainase
kota dan menyebabkan banjir saat hujan. Tanaman bintaro sejatinya sangat
berguna karena merupakan tanaman peneduh, penyerap emisi gas rumah kaca.
Penanganan sampah RTH tanaman bintaro seperti di Gambar 1 merupakan
implementasi konsep zero waste yang dapat memberikan keuntungan bagi
penduduk setempat.
Tanaman bintaro berbuah sepanjang tahun. Buah bintaro yang dihasilkan
tidak dimanfaatkan sehingga menjadi sampah yang mengganggu estetika. Adapun
biji buah bintaro (lapisan endokarp) sudah banyak diteliti orang untuk dijadikan
bahan bakar biodiesel (Pranowo 2010; Ong et al. 2014) dan pestisida (Tarmedi et
al. 2014; Utami 2011) sedangkan tempurung dan serabut buah bintaro yang
mengandung lignin dan selulosa yang relatif tinggi belum banyak dimanfaatkan
sebagai arang aktif pengolah limbah cair. Pada saat proses pembuatan arang
dihasilkan asap yang dapat menyebabkan pencemaran udara. Asap ini sebenarnya
dapat dimanfaatkan sebagai zat pengawet kayu supaya tidak mudah dihancurkan
rayap. Dengan adanya pemanfaatan seluruh bagian dari tanaman bintaro, serta
pemanfaatan asap hasil pembakaran sehingga bernilai ekonomi, maka akan tercipa
konsep zero waste yang bertujuan untuk melestarikan lingkungan melalui ruang
terbuka hijau dari tanaman bintaro yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca. .
6
Kelestarian lingkungan
Sampah buah
Pirolisis
Ekstraksi
Arang Asap
Aktivasi Kondensasi
Biodiesel Pestisida
Arang Asap
Hipotesis
Adanya kandungan selulosa dan lignin dalam buah bintaro yang tinggi dapat
memungkinkan untuk dibuat arang. Girgis et al. 2002 menyatakan bahwa selama
proses karbonisasi atau pirolisis terjadi dekomposisi lignin dan selulosa melalui
reaksi pemutusan ikatan kimia dan depolimerasi yang menghasilkan ikatan baru.
Ikatan tersebut akan menstabilkan atom-atom karbon yang berdekatan yang
kemudian membentuk kerangka karbon non-volatile dan stabil. Arang aktif adalah
arang yang diolah lebih lanjut pada suhu tinggi dengan menggunakan gas CO2,
uap air atau bahan-bahan kimia, sehingga pori-porinya terbuka dan dapat
digunakan sebagai adsorben.
Daya adsorp arang aktif disebabkan adanya pori-pori mikro yang sangat
besar jumlahnya, sehingga menimbulkan gejala kapiler yang mengakibatkan
adanya daya adsorp (Yustinah dan Hartini 2011). Daya serap arang aktif
7
Buah bintaro merupakan bahan alam yang terdiri dari beberapa komponen
berupa selulosa, hemiselulosa dan lignin. Kandungan lignin dalam buah bintaro
adalah sebesar 58.2 % dan selulosa 41.8 % melebihi buah kelapa (Handoko dan
Iman 2011). Banyak penemuan yang memanfaatkan biji bintaro sebagai bahan
bakar biodiesel (Pranowo 2010; Ong et al. 2014), kulit dan daun bintaro sebagai
pestisida nabati (Tarmadi 2007 dan Utami 2011) tapi belum ada yang tertarik
untuk mengolah serabut dan tempurung buahnya untuk mengolah limbah krom.
Ada beberapa penelitian yang menggunakan metode adsorpsi untuk
mengolah limbah krom dengan arang aktif seperti arang aktif daun jarak
(Makeswari dan Santhi 2013) dan arang aktif dari sekam padi (Pavan et al. 2015).
Pemilihan limbah logam krom sebagai objek penelitian karena logam krom
banyak dipakai dalam analisa kualitas limbah cair di laboratorium begitu pula di
industri penyamakan kulit, batik dan elektroplating yang tergolong industri kecil
menengah yang belum mampu mengolah limbahnya dengan baik.
Asap cair merupakan hasil kondensasi asap pada proses
pembakaran/pirolisis dari kayu atau bahan-bahan yang banyak mengandung
karbon serta senyawa-senyawa lain seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin
(Paris dan Zikler 2005). Menurut Oramahi dan Yoshimura (2013) asap cair dari
biomas lignoselulosa kayu laban dapat menghambat aktivitas rayap.
Berdasarkan hasil referensi tersebut diatas, penulis menemukan kebaharuan
dalam penelitian ini yaitu :
1. Sampah buah bintaro dari RTH dapat dijadikan alternatif bahan pengganti
tempurung kelapa
2. Sampah buah bintaro dapat dikonversi sebagai arang aktif pengolah limbah cair
krom dari laboratorium.
3. Asap cair hasil samping konversi sampah buah bintaro menjadi arang dapat
dipakai sebagai bahan pengawet kayu dari serangan rayap.
8
2 TINJAUAN PUSTAKA
Buah bintaro berbentuk bulat telur dengan diameter 5–10 cm. Buah yang
masih muda berwarna hijau dan buah yang sudah tua berwarna merah kehitaman
(Gambar 4). Buah bintaro terdiri atas tiga lapisan yaitu lapisan kulit terluar
(epicarp), lapisan serat seperti sabut kelapa (mesocarp) (Gambar 5) dan bagian
biji yang dilapisi oleh kulit biji atau tista (endocarp) (Pranowo 2010). Bijinya
berwarna putih, pipih dengan kulit biji yang berwarna kecoklatan (Gambar 6).
10
Arang
Arang dapat dibuat dari bahan-bahan yang mengandung karbon (C) baik
organik, maupun anorganik, baik yang berasal dari tumbuhan, hewan maupun
barang tambang. Menurut Kinoshita (2001), arang adalah suatu elemen (bahan)
padat berpori-pori yang dihasilkan melalui proses pirolisis dari bahan-bahan yang
mengandung karbon. Pirolisis merupakan proses pembakaran tidak sempurna
suatu bahan yang mengandung senyawa karbon kompleks tidak teroksidasi
menjadi karbon dioksida.
Demirbas (2008) menyatakan bahwa pada saat pirolisis, energi panas
mendorong terjadinya oksidasi sehingga senyawa karbon yang kompleks sebagian
besar terurai menjadi karbon atau arang. Pirolisis mulai terjadi pada suhu 150-300
o
C yang berlangsung secara lambat (pirolisis primer lambat) dan pada suhu 300-
400 oC yang berlangsung lebih cepat (pirolisis primer cepat). Hasil proses
pirolisis lambat adalah arang, H2O, CO dan CO2 sedangkan hasil pirolisis primer
cepat adalah arang, gas-gas hidrokarbon H2 dan H2O. Pirolisis pada suhu di atas
600 oC disebut pirolisis sekunder, dan hasilnya adalah gas CO, H2 dan gas-gas
hidrokarbon. Proses pirolisis sekunder umumnya digunakan untuk gasifikasi
(Paris et al. 2005).
12
Arang aktif adalah suatu karbon yang mampu mengadopsi anion, kation dan
molekul dalam bentuk senyawa organik dan anorganik, baik berupa larutan
maupun gas. Arang aktif merupakan suatu bahan yang berupa karbon amorf yang
sebagian besar terdiri atas atom karbon bebas dan mempunyai permukaan dalam
(internal surface) sehingga mempunyai kemampuan daya jerap (adsorption) yang
baik. Arang aktif tergolong bahan yang mempunyai pori-pori yang terbuka dan
luas permukaan besar (Chen dan Zeng 2003; Fagan et al. 2004; Ji et al. 2009; Pan
dan Xing 2008; Wang dan Liu 2014).
Arang aktif mengandung kadar karbon dan keaktifan yang bervariasi
tergantung pada suhu dan lamanya waktu aktivasi yang diberikan pada bahan
baku arang. Arang aktif dapat dibedakan dari arang berdasarkan sifat pada
permukaannya. Permukaan pada arang masih ditutupi oleh deposit hidrokarbon
yang menghambat keaktifannya, sedangkan pada arang aktif permukaannya relatif
telah bebas dari deposit dan mampu mengadsorpsi karena permukaannya luas dan
pori-porinya telah terbuka (Gomez-Serrano et al. 2005).
Pembuatan Arang Aktif
Arang aktif yang biasa beredar di pasaran umumnya dibuat dari tempurung
kelapa, kayu dan batu bara. Beberapa publikasi menyatakan bahwa arang aktif
dapat dibuat dari semua bahan yang mengandung karbon, seperti kayu, atau sebuk
gergajian kayu, bambu, sekam padi, gambut, batu bara, tempurung kelapa, bagas,
13
resin dan serat akrionitril (Concheso et al. 2005). Perbedaan bahan baku dapat
menyebabkan sifat dan mutu arang aktif yang berbeda pula. Sifat-sifat arang aktif
dari beberapa jenis bahan baku ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Sifat arang aktif dari beberapa jenis bahan baku
No. Sifat Tempurung Batubara Lignit Kayu
kelapa
1. Mikropori Tinggi Tinggi Sedang Rendah
2. Makropori Rendah Sedang Tinggi Tinggi
3. Kekerasan Tinggi Tinggi Rendah Sedang
4. Abu(%) 5 10 20 5
5. Debu Rendah Sedang Tinggi Sedang
6. Regenerasi Baik Baik Jelek Cukup
7. Iodin (mg/g) 1100 1000 600 800
8. Kerapatan 0.48 0.48 0.3 0.35
(g/cc)
Sumber : Actech (2002) dalam Pari (2004).
14
Tabel 5 Sifat beberapa material kasar pada pembuatan arang aktif secara pirolisis
Material Karbon Volatil Massa Abu Tekstur Aplikasi
(%) (%) jenis (%) karbon karbon
2
(kg/m ) aktif aktif
Kayu 40-45 55-60 0.4–0.5 0.3–1.1 Lunak, Adsorpsi
lunak volume fase
pori besar larutan
Kayu 40-42 55-60 0.55–0.8 0.3–1.2 Lunak, Adsorpsi
keras volume fase
pori besar larutan
Lignin 35-40 58-60 0.3–0.4 - Lunak, Adsorpsi
volume fase
pori besar larutan
Kulit 40-45 55-60 1.4 0.5–6.0 Keras, Adsorpsi
biji-bijan volume fase
pori uap/Asap
beragam
Lignit 55-75 35-40 1.0–1.35 5-6 Keras, Perlakuan
volume limbah
pori kecil cair
Batubara 65-80 25-30 1.25–1.50 2.12 Semi keras Adsorpsi
lunak volume fase cair
mikropori dan uap
Batubara 70-75 1–1.5 1.45 5.1 Keras, Adsorpsi
semi volume gas uap
keras pori besar
Batu 85-95 5-10 1.5–2.0 2.15 Keras, Adsorpsi
bara volume gas uap
keras pori besar
Sumber: Manocha (2003).
Aktivasi arang secara kimia dilakukan melalui proses pirolisis pada suhu
tinggi dan tanpa udara. Prinsip aktivasi ini dimulai dengan merendam arang dalam
suatu larutan pengaktif dengan konsentrasi tertentu, selama beberapa jam sebelum
dipanaskan, biasanya antara 12-24 jam. Selanjutnya hasil rendaman tersebut
disaring dan ditiriskan, lalu dipanaskan pada suhu berkisar antara 400–600 oC
selama 1-2 jam. Pada keadaan ini komponen pengaktif akan masuk diantara kisi-
kisi lapisan heksagonal dan akan berperan untuk membuka lapisan pada
permukaan arang yang tertutup, sehingga permukaan menjadi lebih besar dan
arang akan lebih aktif. Setelah selesai pemanasan, retort yang berisi arang
didinginkan di udara terbuka selama ±satu jam. Setelah dingin, hasil tersebut
dikeluarkan, dicuci dengan air sampai filtratnya netral dengan cara mengujinya
menggunakan kertas lakmus, lalu dikeringkan dalam oven sampai suhu 105 oC
dan selanjutnya diperoleh hasil arang aktif,
Bahan kimia yang sudah dilaporkan dapat mengaktivasi arang menjadi
arang aktif antara lain H3PO4, ZnCl2. H2SO4, K2S, atau KOH (Smisek dan Cerny
15
2002). Di samping itu, juga NaOH, CaCO3, MgCO3, Fe2(CO3)3, CaCl2, MgCl2
atau FeCl3 (Derbyshier 1995 dalam Manocha 2003). Beberapa literatur lain
melaporkan NaOH (Figueroa-Torres et al. 2007; Muthukumaran dan Beulah
2011), KOH (Stavropoulos dan Zabaniotou 2005; Robon-Sanchez et al. 2006;
Heyen-Fu et al. 2011; Iqbaldin et al. 2013; Wang dan Liu. 2014), H3PO4 (Gomez-
Serrano et al. 2005; Tsang et al. 2007; Gupta et al. 2013) H2SO4 (Guo et al. 2007;
Maroto-Valet et al. 2005), HCl (Zhang et al.2005), HNO3 (El-Hendawy 2003;
Hazourli et al. 2009), ZnCl2 (Namane et al. 2005), MgCl2 atau CaCl2 (Sudrajat
dan Soleh 1994), Na2CO3 (Hartoyo dan Pari 1993), K2CO3 (Hayashi et al. 2005),
NH4HCO3 (Pari 2004), Pt(NH3)4(NO3)2 (Shih dan Chang 2005), SO2 atau H2S
(Nguyen-Thanh dan Bandoz 2005), asam sitrat (Chen dan Zeng 2003), dan
ammonia (Boudou et al. 2003).
Hasil penelitian Pari (2004) menunjukkan pemakaian bahan kimia sebagai
bahan pengaktif seringkali mengakibatkan pengotoran pada arang aktif yang
dihasilkan. Umumnya aktivator meninggalkan sisa-sisa yang tidak diinginkan,
misalnya oksida yang tidak larut dalam air pada waktu pencucian. Oleh karena itu,
dalam beberapa proses sering dilakukan pelarutan kembali arang dengan HCl
untuk mengikat kembali sisa-sisa bahan kimia yang menempel pada permukaan
arang dan kandungan abu yang terdapat dalam arang aktif.
Aktivasi secara Fisika
16
Sifat-sifat Kimia
Arang aktif tidak hanya mengandung atom karbon saja, tetapi juga
mengandung sejumlah kecil oksigen dan hidrogen yang terikat secara kimia dalam
bentuk gugus-gugus fungsi yang bervariasi, misalnya gugus karbonil (C=O),
karboksil (COO), fenol, keton, dan beberapa gugus eter. Oksigen pada permukaan
arang, kadang-kadang berasal dari bahan baku atau dapat juga terjadi pada proses
aktivasi dengan uap (H2O) atau udara. Keadaan ini biasanya dapat menyebabkan
arang bersifat asam atau basa (Lazio et al. 2001). Gugus-gugus fungsional dari
berbagai komponen yang terikat pada permukaan arang aktif ditunjukkan pada
Gambar 7.
Gambar 7 Beberapa gugus fungsional yang terikat pada permukaan arang aktif
(Lazio et al. 2001)
Sifat-sifat Fisika
18
sifat polaritas dari permukaan arang. Sifat ini sangat bervariasi untuk setiap jenis
arang aktif karena sangat bergantung pada bahan baku, cara pembuatan arang dan
bahan pengaktif yang digunakan (Lee dan Radovic 2003).
20
Adsorpsi (Penjerapan)
maupun barang tambang yang menghasilkan arang (karbon) dan asap (Paris and
Zikler 2005).
Asap hasil pengolahan arang akan mencemari lingkungan udara apabila
dibuang ke lingkungan. Dampak negatif dari asap yang dihasilkan dalam
pembuatan arang dapat diminamalisir dengan cara memanfaatkannya sebagai asap
cair, sehingga dalam produksi arang tidak ada limbah yang dihasilkan (zero
waste).
Asap cair pertama kali diproduksi pada tahun 1880 oleh sebuah pabrik
farmasi di Kansas City, yang dikembangkan dengan metode kasar destilasi kering
dari bahan kayu. Asap cair adalah asap yang terbentuk melalui proses pembakaran
yang terkondensasi pada suhu dingin. Menurut Mohan et al. (2006) dan Temiz et
al. (2010), asap merupakan sistem kompleks, yang terdiri dari fase cairan
terdispersi dalam maupun gas sebagai pendispersi. Asap terbentuk karena
pembakaran yang tidak sempurna, yaitu pembakaran dengan jumlah oksigen
terbatas yang melibatkan reaksi dekomposisi bahan polimer menjadi komponen
organik dengan bobot molekul yang lebih rendah, karena pengaruh panas. Jika
oksigen tersedia cukup maka pembakaran menjadi lebih sempurna dengan
menghasilkan gas CO2, uap air, dan abu, sedangkan asap tidak terbentuk.
Perbedaan jumlah rendemen asap cair disebabkan tingginya kandungan air
dalam bahan baku dan panjangnya kondensor yang digunakan. Semakin tinggi
kandungan kadar air dalam bahan baku maka semakin tinggi pula jumlah
rendemen asap cair yang dihasilkan dan semakin panjang kondesor maka
kemungkinan mengkondensasikan asap akan lebih optimal. Hal ini dikarenakan
asap bergerak lebih lama dalam kondensor dan asap cair pembakaran bahan baku
mengalami proses kondensasi yang lama sehingga rendemen asap cair yang
dihasilkan juga semakian banyak.
Gani (2007) mengidentifikasi komponen asap cair dari asap sampah organik
dengan ekstrak bertahap diperoleh 61 senyawa dengan senyawa dominan yaitu
(1.1-dimethyl hidrazin (8.98 %) dan 2.6-dimethoxyphenol (8.68 %). Diantara 61
senyawa yang teridentifikasi terdapat 17 senyawa (27.9 %) golongan keton, 14
senyawa (23 %) golongan fenolik, delapan senyawa (13 %) golongan asam
karboksilat, tujuh senyawa (11.5 %) golongan alkohol, empat senyawa (6.6 %)
golongan ester, tiga senyawa (4.9 %) golongan aldehid dan senyawa lainnya (1.6
%). Data hasil tersebut memperlihatkan bahwa senyawa asap cair terdiri dari
golongan fenolik dan asam.
Pada asap kayu ditemukan hampir 1000 senyawa kimia. Beberapa senyawa
yang telah berhasil diidentifikasi, yaitu fenolik 85 macam, karbonil 45 macam,
asam 35 macam, furan 11 macam. Komposisi rata-rata asap cair dari bahan kayu
terdiri atas 11–92 % air, 0.2–2.9 % senyawaan fenolik, 2.8-4.5 % asam, 2.6-4.6 %
karbonil dan 1–17 % ter. Menurut Demirbas (2008) proses pirolisis dapat
berlangsung pada suhu di atas 300 oC dalam waktu 4-7 jam. Proses pirolisis
melibatkan berbagai proses reaksi yaitu dekomposisi, oksidasi, polimerisasi, dan
kondensasi.
Asap cair dari akar kayu Erythrina latissima dilaporkan oleh Wanjala et al.
(2002) dalam Chacha et al. (2005) mengandung beberapa senyawa alkaloid,
22
stilbenoid, lignin, dan flavanoid. Asap cair dari kayu Erythrina latissima
mengandung beberapa flavanoid yang bersifat antimikrobial (Chacha et al. 2005).
Menurut Demirbas (2008) kandungan kimia fraksi cair dari partikel pohon kayu
(0.45 mm) melalui proses pirolisis dengan larutan alkali (30 % Na2CO3) dan non-
alkali tertera pada Tabel 7. Alkohol dan asam-asam yang terdapat pada struktur
kayu berasal dari dekomposisi selulosa, hemilselulosa pada temperatur yang lebih
rendah daripada lignin. Dekomposisi lignin terjadi pada 300 oC sampai suhu
400 oC dan menghasilkan fenolik dan ter ( Jun et al. 2004). Komponen utama
yang terdapat dalam ter adalah fenol dan turunannya seperti guaiacol, 4-propyl
guaiacol; 2.6 xylenol; 3.5-xylenol; creosol; O-creosol; syringol; 4-ethyl- syringol,
4-allylsyringol yang digunakan sebagai insektisida (Temiz et al. 2010).
Tabel 7 Hasil analisis senyawa kimia fraksi cair dari partikel pohon kayu (0.425
mm) melalui pirolisis dalam larutan alkali (30 % Na2CO3) dan non-
alkali
Senyawa Larutan non-alkali Larutan alkali
o
(suhu 735 K) (suhu 800 oK)
Asetaldehida 0.95 1.42
Metanol 0.44 8.65
Aseton 0.71 1.18
Metil asetat 0.46 0.55
Guaiakol 0.42 0.34
4-metil-Guaiakol 0.44 0.32
2-Butanon 0.27 0.68
Asam asetat 14.26 18.37
1-Hidroksil 2-propanon 12.63 13.88
1-Hidroksil-2-butanon 5.72 5.98
Furfural 1.73 1.95
Furfuralik alkohol 1.69 2.06
2,6 Dimetoksifenol 0.74 1.08
3-Metil 2,6-dimetoksifenol 0.62 0.86
Tidak teridentifikasi 52.92 42.28
Sumber : Demirbas (2008).
Menurut Slamet et al. (2007) komponen volatil asap cair tempurung kelapa
dengan menggunakan GCMS tersaji pada Tabel 8. Kualitas dan kuantitas unsur
kimia pada umumnya tergantung pada jenis bahan pengasap yang digunakan.
Bahan pengasap yang digunakan seperti jenis kayu yang dibakar menentukan
komposisi dari asap yang dihasilkan. Kayu keras seperti tempurung kelapa banyak
terbentuk asap karena proses pembakarannya lambat.
Penggunaan beberapa jenis kayu keras pada proses pengawetan dengan
persyaratan memiliki beberapa fungsional, yaitu sifat antimikrobial dan
antioksidan yang berbeda-beda tergantung pada kandungan selulosa, hemiselulosa
dan lignin pada masing-masing kayu (Nakai et al. 2007; Kartal et al. 2004;
Yatagai et al. 2002). Reaksi-reaksi yang terjadi selama pirolisis kayu adalah
hilangnya air dalam kayu pada suhu 120-150 oC, pirolisis hemiselulosa pada suhu
200–250 oC, pirolisis selulosa pada suhu 280–320 oC, pirolisis lignin pada suhu
400 oC dan pada suhu yang lebih tinggi akan terjadi reaksi kondensasi
23
24
Produk asap cair telah lama dikenal dan digunakan untuk mengawetkan
daging babi dan babi asin serta untuk memberi cita rasa pada beberapa bahan
makanan, karena memiliki kelebihan antara lain : 1) flavor yang khas; 2)
kehilangan flavor lebih mudah dideteksi; 3) dapat diaplikasikan pada berbagai
jenis bahan pangan; 4) dapat digunakan oleh konsumen pada level komersial, dan
5) polusi lingkungan dapat diperkecil. Menurut Milly et al. (2008), asap cair dapat
digunakan sebagai antimikroba, antioksidan, pembentuk aroma, flavor, dan warna
pada ikan.
Fungsi asap cair adalah sebagai bahan pengawet yang memiliki kandungan
senyawa fenol dan asam yang berperan sebagai anti bakteri dan antioksidan
(Darmadji 2002). Zat-zat yang ada di dalam asap cair berperan sebagai
antimikrobial adalah senyawa fenol dan asam asetat, yang peranannya semakin
meningkat bila kedua senyawa tersebut bersama-sama. Pszczola (1995)
menyatakan bahwa dua senyawa utama dalam asap cair diketahui mempunyai
efek bakteriostik adalah fenol dan asam-asam organik.
Pszczola (1995) menyatakan asap cair mempunyai beberapa sifat fungsional
antara lain :1) untuk memberikan flavor dan warna yang diinginkan pada produk
asap karena kandungan senyawa fenolik, dan karbonil, dan 2) sebagai pengawet
karena mengandung senyawa fenolik dan asam yang berperan sebagai anti bakteri
dan antioksidan. Lee et al. (2011) menyatakan ada dua jenis asap cair dari biomas
lignoselulosa yaitu asap cair dari pohon bambu dan mangrove dapat menghasilkan
zat antifungi. Menurut Oramahi and Yoshimura (2013) asap cair dari biomas
lignoselulosa kayu laban dapat menghambat aktivitas rayap Reticulitermes
speratus dan Criptoterms formosanus secara invitro. Disamping itu menurut
Narasimhan et al. (2005) senyawa salanobutirolakton aktif sebagai antifeedant,
sedangkan senyawa deasetilsalanobutirolaktan aktif sebagai insektisida sedangkan
senyawa gamma lakton berperan sebagai antifeedant bagi serangga (Frackowiak
et al. 2006).
Asap cair merupakan suatu campuran yang sangat kompleks terdiri dari
senyawa-senyawa hidrokarbon, yaitu senyawa yang mengandung hidrogen dan
karbon, berupa cairan kental berwarna coklat tua sampai hitam dan memiliki berat
jenis lebih besar dari pada air. Adanya senyawa asam-asam kayu dan senyawa
fenol asap cair dapat dimanfaatkan sebagai bahan pelunak (softener), campuran
pembuatan ban, desinfektan, sebagai bahan perekat dan lebih lanjut dapat
digunakan sebagai bahan pengawet kayu. Penggunaan lain asap cair sebagai
bahan pengawet sejak tahun 1980 adalah sebagai bahan pengawet daging babi,
25
26
Kelas : Pinopsida
Ordo : Pinales
Famili : Pinaceae
Genus : Pinus
Spesies : Pinus merkusii Jungh et de Vriese
Kayu pinus masih sangat berperan dalam kehidupan manusia karena
memiliki banyak manfaat, yaitu sebagai bahan bangunan untuk rumah, korek api,
pulp dan kertas. Teras kayu dapat dijadikan untuk penyulut kayu bakar yang
banyak digunakan di daerah pengunungan yang berhawa sejuk/dingin. Bagian
kulit kayu dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan abunya digunakan untuk
bahan campuran pupuk, karena mengandung kalium (Prayugo 2015)
Kayu berasal dari hutan rakyat umumnya berdiameter kecil antara 30-40
cm, dan mempunyai sifat kurang menguntungkan karena keawetannya rendah
dibandingkan kayu hutan alam (Martawijaya et al. 1989). Salah satu sifat
pengawetan kayu adalah suatu proses memasukkan bahan pengawet dengan
metode tertentu sampai mencapai retensi dan penetrasi masing-masing kayu.
Umur kayu yang diawetkan umumnya dapat berumur lebih dari 15 tahun,
sedangkan yang tidak diawetkan kurang dari lima tahun.
Kayu berasal dari berbagai jenis pohon memiliki sifat yang berbeda-beda.
Sifat yang dimaksud antara lain sifat-sifat anatomi kayu, sifat-sifat fisik ataupun
sifat-sifat kimianya. Adapun beberapa sifat umum yang terdapat pada semua kayu
yaitu :
a. Kayu tersusun dari sel-sel yang terdiri dari senyawa-senyawa kimia seperti
selulosa, hemiselulosa (unsur karbohidrat) serta lignin (non-karbohidrat).
b. Semua kayu bersifat anisotropik, yaitu memperlihatkan sifat berlainan menurut
tiga arah utamanya (longitudinal, tangensial dan radial). Hal ini disebabkan
oleh struktur selulosa dalam dinding sel, bentuk memanjang sel-sel kayu dan
pengaturan sel terhadap sumber vertikal dan horizontal pada batang pohon.
c. Kayu merupakan bahan yang bersifat higroskopik, yaitu dapat kehilangan atau
bertambah kelembabannya akibat perubahan suhu udara dan sekitarnya.
d. Kayu dapat diserang makhluk hidup perusak kayu, dapat terbakar, terutama
jika kayu dalam keadaan kering.
27
Keawetan Kayu
Keawetan suatu jenis kayu dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, seperti
kandungan zat ekstraktif dalam kayu, berat jenis kayu, umur pohon, bagian dalam
batang (gunal dan teras), kecepatan tumbuh pohon, asal pohon (hutan alam atau
hutan tanaman), tempat dimana kayu itu dipakai. Kayu gubal adalah bagian kayu
antara kulit dan kayu teras, pada umumnya berwarna lebih terang dari kayu teras
serta mudah terserang organisme perusak kayu. Adapun teras adalah bagian kayu
yang terletak antara hati (empulur), umumnya lebih tahan terhadap serangan
organisme perusak kayu dibandingkan dengan kayu gubal (Martawijaya 1996).
Klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah berdasarkan penurunan
berat tersaji pada Tabel 10.
Pengawetan Kayu
Pengawetan kayu merupakan suatu usaha untuk menambah daya tahan kayu
terhadap faktor perusak dengan tujuan agar unsur pemakaian kayu dapat
bertambah menjadi beberapa kali lipat dan secara ekonomis menguntungkan. Oleh
28
Rayap Tanah
Rayap memerlukan kayu (selulosa) sebagai makanan pokok, oleh sebab itu
rayap mampu melumatkan kayu karena adanya protozoa flagellata dalam usus
bagian belakang. Bagi yang tidak memiliki protozoa seperti Family Termitidae,
bukan protozoa yang berperan tetapi bakteri dan bahkan pada beberapa jenis
rayap seperti macrotermes, odontotermes dan microtermes memerlukan bantuan
jamur perombak kayu yang dipelihara di “kebun jamur’ dalam sarangnya
(Tarumingkeng 2001).
Penggolongan Menurut Habitat atau Perilaku Bersarang
Dalam koloni setiap jenis rayap, terdapat beberapa kasta individu yang
wujudnya berbeda, yaitu :
1. Kasta reproduktif terdiri atas individu-individu seksual yaitu betina (yang
abdomennya biasanya sangat membesar) yang tugasnya bertelur dan jantan
(raja) yang tugasnya membuahi betina.
2. Kasta prajurit. Kasta ini ditandai dengan tubuh yang kekar karena penebalan
(sklerotisasi) kulitnya agar mampu melawan musuh dalam rangka tugasnya
mempertahankan kelangsungan hidup koloninya.
3. Kasta pekerja. Kasta ini membentuk sebagian besar koloni rayap, dan tidak
kurang dari 80 persen populasi dalam koloni merupakan individu-individu
pekerja.
30
Pencemaran Air
Sumber Pencemar
Sumber pencemar (polutan) dapat berupa suatu lokasi tertentu (point
source) atau tak tentu/tersebar (non-point/diffuse source). Sumber pencemar point
source misalnya knalpot mobil, cerobong asap pabrik dan saluran limbah industri.
Pencemar yang berasal dari point source bersifat lokal. Efek yang ditimbulkan
dapat ditentukan berdasarkan karakteristik spasial kualitas air. Volume pencemar
dari point source biasanya relatif tetap. Adapun sumber pencemar non-point
source dapat berupa point source dalam jumlah yang banyak. misalnya : limpasan
dari daerah pertanian yang mengandung pestisida dan pupuk, limpasan dari daerah
pemukiman (domestik) dan limpasan dari daerah perkotaan (Effendi 2003).
32
Jenis-jenis Pencemar
tumbuhan, (5) senyawa anorganik dan mineral, (6) sedimen, (7) radioaktif, (8)
panas (thermal discharge), dan (9) minyak. Bahan pencemar (polutan) yang
masuk ke dalam air biasanya merupakan kombinasi dari beberapa jenis pencemar
yang saling berinteraksi.
Limbah
34
pencemaran air. Berdasarkan PP No.82 tahun 2001, badan air digolongkan atas
empat kelompok utama, kelas 1 diperuntukkan untuk air baku air minum, kelas 2
diperuntukkan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar,
peternakan air, untuk mengairi pertamanan, kelas 3 air yang peruntukkannya
dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk
mengairi pertamanan, kelas 4 air yang diperuntukkan untuk mengairi pertamanan.
Selanjutnya menurut Hindarko (2003), karakteristik fisik air limbah meliputi
jumlah zat padat terlarut, bau, suhu, berat jenis dan warna. Karakteristik kimiawi
air limbah meliputi bahan organik dalam air limbah (protein, karbohidrat, lemak
dan minyak, surfaktan, peptisida), senyawa anorganik dalam air limbah (pH,
alkalinitas, klor, nitrogen, phospor, logam berat dan senyawa beracun). Adapun
karakteristik biologis dari air limbah meliputi jamur, ganggang, organisme
pathogenik.
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Limbah berbahaya dan beracun (B3) adalah setiap limbah yang karena sifat
atau konsentrasi, jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan/atau merusakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan
hidup manusia serta mahluk hidup lain (Pasal 1 (21) UU No. 32 (2009). Zat
kimia bahan berbahaya dan beracun (B3) dapat berupa senyawa biologis, logam
(anorganik) atau senyawa organik, sehingga dapat diklasifikasikan sebagai B3
biologis, B3 logam dan B3 organik (Tabel 11).
Logam Berat Cr
Ion krom dalam bentuk Cr (III) dan Cr (VI) merupakan bilangan oksidasi
logam Cr yang banyak terdapat di lingkungan. Krom trivalen dalam sistem
biologis termasuk logam esensial bagi manusia. Krom (III) dalam dosis 20-50 μg
per 100 g bobot badan memiliki fungsi yang baik dalam metabolisme karbohidrat,
metabolisme lipid, sintesis protein dan metabolisme asam nukleat. Selain sebagai
logam esensial, krom (VI) juga digolongkan sebagai logam berat dengan sifat
beracun yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan juga bersifat
karsinogenik terhadap manusia. Logam kromium biasanya digunakan untuk
mengeraskan baja, pembuatan baja tahan karat dan membentuk banyak alloy
(logam campuran) yang berguna. Disamping itu digunakan dalam proses
pelapisan logam untuk menghasilkan permukaan logam yang keras dan indah dan
juga dapat mencegah korosi. Krom memberikan warna hijau emerald pada kaca,
krom juga digunakan sebagai katalis. Industri refraktori menggunakan khromit
untuk membentuk batu bata, karena khromit memiliki titik cair tinggi, pemuaian
yang relatif rendah dan kestabilan struktur kristal.
Pengolahan air limbah dapat dibedakan dalam tiga jenis yaitu secara fisika-
kimia dan biologi. Ketiga jenis proses ini bertujuan mengubah sifat buangan
kedalam bentuk yang lebih mudah diterima seperti sifat racun berkurang,
konsentrasi lebih rendah, volume berkurang dan sebagainya (Suyasa 2014).
Secara lebih spesifik, ketiga cara pengolahan air limbah adalah sebagai
berikut :
1. Pengolahan secara fisika : pengayakan, pengendapan, penjernihan, pengadukan
cepat, penyaringan, evaporasi dan destilasi, stripper dan proses osmosis.
2. Pengolahan secara kimia : netralisasi, presipitasi, koagulasi dan flokulasi,
oksidasi dan reduksi serta desinfeksi.
3. Pengolahan secara biologi : sistem aerobik (kolam oksidasi, lumpur aktif,
penambahan oksigen, trickling filter, lagoon), sistem anaerobik (septic tank).
36
Manajemen Limbah
Limbah terdiri dari tiga bentuk yaitu cair, padat dan gas. Ketiga bentuk ini
mempunyai hubungan putaran tertutup dalam konversinya. Limbah cair dan gas
yang dihasilkan dapat berubah menjadi limbah padat, ketika pembakaran padat
dapat mengakibatkan produksi limbah cair dan gas (Murarka 2000)
Limbah cair adalah kombinasi cairan atau limbah terlarut yang timbul dari
penggunaan air tanah, air permukaan dan air sungai baik penggunaan domestik
maupun industri (Snape et al. 2003). Metcalf dan Eddy (2004) juga menambahkan
air limbah dapat didefinisikan sebagai kombinasi cairan atau air limbah yang
dikeluarkan dari tempat tinggal, lembaga atau kawasan komersil dan industri,
bersama dengan air tanah, air permukaan dan sungai.
Limbah dalam bentuk gas adalah sebagai polutan di atmosfer yang
menyebabkan polusi udara. Polusi udara adalah senyawa kimia yang ditambahkan
ke atmosfer melalui kegiatan manusia yang mengakibatkan peningkatan
konsentrasi di atas ambang batas (Nugroho 2011; Krupa et al. 1997).
Limbah padat adalah sampah, lumpur dan bahan-bahan padat buangan yang
dihasilkan dari operasi industri komersial dan dari kegiatan masyarakat. Limbah
padat di sini tidak termasuk material padat atau terlarut pada saluran domestik
atau polutan pada sumber-sumber air seperti endapan, padatan terlarut atau
mengendap pada keluaran air limbah industri, bahan pelarut pada aliran irigasi
atau polutan air lainnya (Parker 2011).
Pengelolaan limbah padat adalah sistematik dari kegiatan yang menyediakan
tempat pengumpul, pemisahan dari sumber, penyimpanan, transportasi,
pemindahan, proses, dan penanganan pembuangan limbah padat. Hal ini perlu
dilakukan dan ditangani oleh semua pihak, baik perorangan maupun kelompok
karena berhubungan dengan estetika, penggunaan lahan, kesehatan, dilusi air,
polusi udara, dan pertimbangan ekonomi (Pitchel 2005)
Menurut sumbernya, limbah padat diklasifikasikan sebagian besar limbah
padat sebagai berikut ; perkotaan, berbahaya, industri, medis, universal,
konstruksi dan pembongkaran, radioaktif, pertambangan, dan pertanian. Hal
senada juga diungkapkan oleh Murarka (2000) yang menyebutkan bahwa rumah
tangga, perdagangan, industri, pertanian, pertambangan, dan aktivitas energi yang
berhubungan dengan semua sumber limbah padat, dan yang paling besar
kontribusinya adalah pengeboran tambang dan pertanian.
Hirarki penanganan limbah padat terdiri mengurangi jumlah limbah dan
tingkat toksisitasnya, menggunakan bahan kembali, mendaur ulang bahan,
mengomposkan, pembakaran dengan pemanfaatkan kembali energinya,
pembakaran tanpa pemanfaatan energi dan penimbunan limbah padat (USEPA
dalam Pitchel 2005).
sampah intinya adalah benda sisa yang tidak dipakai dan harus dibuang. Menurut
sumbernya, sampah digolongkan ke dalam dua kelompok 1) sampah domestik,
yaitu sampah yang dihasilkan oleh kegiatan manusia sehari-hari secara langsung
dari rumah, pasar, sekolah, pemukiman, rumah sakit, pusat keramaian dan
sebagainya ; 2) sampah non domestik, yaitu sampah yang dihasilkan oleh kegiatan
sehari-hari secara tidak langsung seperti pabrik, industri, pertanian, peternakan,
perikanan, perhutanan dan transportasi (Suriawiria 2002).
Pengelolaan sampah menjadi bahan-bahan yang berguna dapat memberikan
keuntungan dalam peningkatan efisiensi produksi dan keuntungan ekonomi bagi
pengolah sampah, pengurangan biaya ke tempat pembuangan akhir (TPA) dan
biaya pembuangan akhir, penghematan sumberdaya alam dan lahan serta
pengurangan energi. Melalui konsep zero waste yang merupakan penerapan
prinsip 3R (reduce, reuse, dan recycle) pada sistem pengolahan dan teknologi
sampah perkotaan dalam skala kawasan terpadu, volume sampah diharapkan
berkurang dan pada akhirnya akan tercipta industri kecil daur ulang yang bisa
dikelola oleh masyarakat atau pemerintah daerah setempat yang disebut abatemen
cost.
Biaya untuk mengurangi jumlah pencemar menggunakan analisis ekonomi
pencemaran akan lebih mudah jika menggunakan pengukuran marjinal yaitu
marginal abatement cost (MAC). Marginal abatement cost menggambarkan
penambahan biaya akibat pengurangan satu unit pencemaran yang bisa dihemat
jika pencemaran diturunkan satu unit (Fauzi 2010).
Gambar 13 menunjukkan tingkat pencemaran yang efisien adalah tingkat
pencemaran dengan MAC sama dengan MD (marginal damage) yaitu pada
kondisi e* (tingkat pencemaran sama dengan tingkat kerusakan) dengan membaca
kurva dari arah kanan ke kiri, tampak bahwa biaya pengurangan marjinal (MAC)
akan meningkat seiring dengan pengurangan pencemaran. Cara untuk mengurangi
tingkat pencemaran dibutuhkan inovasi teknologi serta penggantian teknik
produksi yang relatif mahal (Fauzi 2010).
Benefit atau manfaat yang dinilai dari evaluasi proyek pada umumnya lebih
bersifat social benefit daripada financial benefit dan sebaliknya dalam perhitungan
38
studi kelayakan bisnis lebih menitikberatkan pada financial benefit daripada social
benefit. Menurut (Ibrahim 2009), manfaat atau benefit adalah sesuatu yang
dihasilkan oleh suatu kegiatan yang menggunakan sejumlah biaya. Manfaat
berdasarkan sifatnya dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1) Manfaat langsung (direct benefit), manfaat yang diterima sebagai akibat
adanya proyek, seperti nilai hasil barang atau jasa, perubahan bentuk,
turunnya biaya dan lain sebagainya.
2) Manfaat tidak langsung (indirect benefit), manfaat yang timbul sebagai
dampak yang bersifat multiplier effects dari proyek yang dibangun terhadap
kegiatan pembangunan lainnya.
3) Manfaat tidak kentara (Intangible benefits), manfaat dari pembangunan
proyek yang sulit diukur dalam bentuk uang, seperti perubahan pola pikir
masyarakat, perbaikan lingkungan, berkurangnya pengangguran, peningkatan
ketahanan nasional, kemantapan tingkat harga dan lain sebagainya.
Analisis biaya manfaat menurut Syamsuddin (2004) adalah suatu analisis
yang ditujukan untuk melihat besarnya biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat
yang akan diterima pada suatu kegiatan ekonomi. Pada dasarnya analisis biaya
manfaat merupakan suatu cara untuk menghitung manfaat-manfaat yang akan
didapatkan dan kerugian-kerugian yang harus ditanggung dari suatu kegiatan
ekonomi.
Suatu perhitungan dikatakan perhitungan privat atau analisis finansial, bila
yang berkepentingan langsung dalam manfaat dan biaya proyek adalah individu
atau pengusaha. Sebaliknya suatu perhitungan dikatakan perhitungan sosial atau
ekonomi. Bila yang berkepentingan langsung dalam manfaat dan biaya proyek
adalah pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini yang
dihitung adalah seluruh manfaat yang terjadi dalam masyarakat sebagai hasil dari
proyek dan semua biaya yang terpakai terlepas dari siapa saja yang menikmati
manfaat dan siapa yang mengorbankan sumber-sumber tersebut.
Menurut Mariyah (2010), perhitungan dalam analisis finansial dan ekonomi
berbeda menurut lima hal, yaitu :
1. Harga
Analisis privat menggunakan harga-harga pasar baik untuk sumber-sumber
yang dipergunakan dalam proses produksi maupun hasil-hasil produksi dari
proyek. Analisis ekonomi menggunakan shadow prices atau accounting prices,
yaitu harga-harga yang disesuaikan sedemikian rupa untuk menggambarkan nilai
ekonomi yang sebenarnya dari barang dan jasa tersebut.
2. Pajak
Pada analisis privat, pajak adalah biaya yang dibayarkan kepada instansi
pemerintah, sehingga pajak harus dikurangkan dari benefit. Sebaliknya, dalam
analisis ekonomi, pajak merupakan transfer, yaitu bagian dari benefit proyek yang
diserahkan kepada pemerintah, jadi tidak dikurangi dari dari benefit. Jadi dalam
analisis ekonomi, pajak tidak termasuk dalam sumber-sumber riil yang
penggunaannya dalam proyek menyebabkan timbulnya social opportunity cost
dari segi masyarakat.
39
3. Subsidi
Pada analisis privat, penerimaan subsidi berarti pengurangan biaya yang
harus ditanggung oleh pemilik proyek. Oleh sebab itu, subsidi mengurangi biaya.
Dalam analisis ekonomi, subsidi dianggap sebagai sumber-sumber yang dialihkan
dari masyarakat untuk digunakan dalam proyek, sehingga subsidi yang diterima
proyek adalah beban masyarakat dan tidak mengurangi biaya proyek.
4. Biaya investasi dan pelunasan pinjaman
Pada analisis privat, yang tergolong biaya investasi pada tahap permulaan
proyek hanyalah yang dibiayai dengan modal saham dan penanam modal sendiri.
Bagian investasi yang dibiayai dengan modal pinjaman, baik dari dalam maupun
luar negeri, tidak dianggap sebagai biaya pada saat dikeluarkan, sebab
pengeluaran modal milik pihak lain tidak merupakan beban dari segi penanaman
modal swasta. Di lain pihak, yang menjadi beban dari segi penanaman modal
swasta adalah arus pelunasan pinjaman tersebut beserta bunga pada tahap
produksi. Pada analisis ekonomi, dengan satu pengecualian, seluruh biaya
investasi, apakah dibiayai dengan modal saham atau pinjaman, dianggap sebagai
biaya proyek pada saat dikeluarkan. Jadi pelunasan pinjaman yang digunakan
untuk membiayai sebagian investasi diabaikan dalam perhitungan biaya ekonomi,
demi menghindari perhitungan ganda (double-counting).
5. Bunga
Pada analisis finansial bunga atas pinjaman, dari dalam atau luar negeri
merupakan biaya proyek. Dalam analisis ekonomi, bunga atas pinjaman dalam
negeri tidak dimasukkan sebagai biaya karena modal tersebut dapat dianggap
sebagai modal masyarakat. Oleh sebab itu, bunganya pun dianggap sebagai bagian
dari benefit ekonomi. Pada analisis ekonomi, biaya yang dihitung adalah biaya
investasi pada waktu investasi itu dilaksanakan. Pembayaran bunga dari
pendapatan yang timbul karena adanya kegiatan operasi hanyalah merupakan
transfer payments dari satu pihak kepada pihak lain.
40
i adalah discount rate (DR) atau tingkat diskonto yang ditentukan dan t adalah
tahun saat biaya dikeluarkan atau manfaat diterima. Penggunaan discount factor
erat kaitannya dengan preferensi waktu atas uang (time preference of money).
Sejumlah uang sekarang lebih disukai daripada sejumlah uang yang sama Pada
tahun (sekian waktu) mendatang. Jadi agar seluruh manfaat dan biaya dapat
dibandingkan, kedua komponen tersebut harus dinilai dengan nilai kini (present
value). Discount factor merupakan alat bantu untuk memperoleh nilai tersebut.
Net present value suatu proyek adalah selisish PV arus benefit dengan PV
arus biaya. Manfaat sekarang netto dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus
pendapatan yang ditimbulkan oleh penanaman investasi. Dalam analisa keuangan
finansial, nilai itu merupakan nilai sekarang dan arus tambahan pendapatan untuk
individu. Dalam analisa ekonomi, ukuran tersebut merupakan nilai sekarang dari
tambahan pendapatan nasional yang ditimbulkan dari hasil investasi (Ibrahim
2009).
Net benefit cost ratio merupakan angka perbandingan antara jumlah present
value yang positif (sebagai pembilang) dengan jumlah present value yang negatif
(sebagai penyebut). Perhitungan indeks ini terlebih dahulu dihitung (Bi –
Ci)/(1+i)i untuk setiap tahun t. Seperti dalam cara perhitungan IRR. Net B/C akan
terdapat apabila paling sedikit salah satu nilai Bi – Ci adalah negatif.
Ruang terbuka (open space) adalah lahan tanpa atau dengan sedikit
bangunan dengan jarak bangunan yang saling berjauhan; ruang terbuka ini dapat
berupa pertamanan, tempat olahraga, tempat bermain anak, perkuburan, dan
daerah hijau pada umumnya. Selain itu Simonds (1983) mengemukakan bahwa
ruang terbuka memiliki kekuatan untuk membentuk karakter kota dan menjaga
keberlangsungan hidupnya.
41
Ruang terbuka hijau, baik RTH publik maupun RTH privat, memiliki
fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis, dan fungsi tambahan (ekstrinsik)
yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi. Dalam suatu wilayah
perkotaan empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan,
kepentingan, dan keberlanjutan kota.
Ruang terbuka hijau berfungsi ekologis, yang menjamin keberlanjutan suatu
wilayah kota secara fisik, harus merupakan satu bentuk ruang terbuka hijau yang
berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti dalam suatu wilayah kota, seperti ruang
terbuka hijau untuk perlindungan sumberdaya penyangga kehidupan manusia dan
untuk membangun jejaring habitat kehidupan liar. Ruang terbuka hijau untuk
fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan ruang terbuka
hijau pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota
tersebut, sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingannya, seperti untuk keindahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur kota.
Permendagri No. 1 Tahun 2007 menyebutkan fungsi dan manfaat ruang
RTH kota yaitu: fungsi RTH kawasan perkotaan adalah:
1) Pengaman keberadaan kawasan lindung perkotaan;
2) Pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air, dan udara;
3) Tempat perlindungan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati;
4) Pengendali tata air; dan
5) Sarana estetika kota
Sementara manfaat RTH kawasan perkotaan adalah:
1) Sarana untuk mencerminkan identitas daerah;
2) Sarana penelitian;
3) Sarana rekreasi aktif dan pasif serta interaksi sosial;
4) Meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan;
5) Menumbuhkan rasa bangga dan meningkatkan prestasi daerah (Permendagri
No. 1 Tahun 2007).
Jalur hijau merupakan daerah hijau sekitar lingkungan pemukiman atau
sekitar kota, yang bertujuan mengendalikan pertumbuhan pembangunannya,
mencegah dua kota atau lebih menyatu, mempertahankan daerah hijau, rekreasi
ataupun daerah resapan hujan, di daerah ini tidak diperbolehkan ada bangunan
apapun
Salah satu bentuk jalur hijau adalah jalur hijau jalan. Beberapa struktur
pada jalur hijau jalan yaitu daerah sisi jalan, median jalan, maupun pulau lalu
lintas (traffic islands). Daerah sisi jalan adalah daerah yang berfungsi untuk
keselamatan dan kenyamanan pemakai jalan, lahan untuk pengembangan jalan,
kawasan penyangga, jalur hijau, tempat pembangunan fasilitas pelayanan dan
melindungi bentukan alam. Median jalan adalah suatu pemisah fisik jalur lalu
lintas yang berfungsi untuk menghilangkan konflik lalu lintas dari arah yang
berlawanan, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan keselamatan lalu lintas.
Pulau lalu lintas adalah bagian jalan yang tidak dapat dilalui oleh kendaraan, dapat
berupa marka jalan atau bagian jalan yang ditinggikan. Pulau lalu lintas berfungsi
untuk meningkatkan keselamatan lalu lintas pada ruas jalan ataupun di
persimpangan jalan melalui pemisahan arus.
42
Life cycle assessment (LCA) adalah salah satu teknik yang dikembangkan
untuk lebih memahami dan menangani dampak dari produk, baik saat diproduksi
maupun dikonsumsi, termasuk dampak yang mungkin terkait dengannya. ISO-
14040 juga secara jelas menunjukkan empat tahap untuk melakukan LCA. “tujuan
dan definisi ruang lingkup”, “analisis persediaan”, “penilaian dampak” dan
“intrepertasi”
meliputi tujuan penelitian yang ingin dicapai, batasan-batasan fungsi dari sistem
yang diamati, penentuan produk, proses atau aktivitas yang diteliti, penentuan
parameter-parameter, pengukuran, pendekatan alokasi, data yang diperlukan dan
tipe pelaporan. Ruang lingkup pelaksanaan LCA harus ditentukan secara
jelas karena akan sangat menentukan bagaimana LCA akan dilaksanakan.
Dalam menentukan ruang lingkup pada life cycle assessment terdapat beberapa
bagian antara lain:
Cradle to grave, pada bagian ini ruang lingkup dimulai dari raw material
sampai proses operasi produk.
Cradle to gate, pada bagian ini ruang lingkup dimulai dari raw material
sampai ke gate sebelum proses operasi
Gate to gate, pada ruang lingkup ini merupakan siklus terpendek karena hanya
meninjau kegiatan yang terdekat
Gate to grave, pada ruang lingkup ini dimulai dari raw material sampai pada
daur ulang material.
44
Penentuan Perbaikan
Bahan
Bahan Pengarangan
Bahan baku arang dan asap cair adalah sampah buah bintaro yang sudah tua
yang terdiri dari 80 % lapisan mesokarp (tempurung dan serabut) dan lapisan
epikarp (5 %) yang diperoleh dari jalur hijau di Jalan Kol. Achmad Syam dan
Destrata, Bogor. Proses kondensasi digunakan air dari PDAM Tirta Pakuan,
Bogor. Bahan untuk karakterisasi asap cair yaitu fenol, aminoantipirin, kalium
ferisianida, buffer fosfat, NaOH 0.1N, aquadest larutan NH4OH 0.5N, dan
indikator PP.
Bahan utama yang digunakan adalah arang hasil pengarangan sampah buah
bintaro. Bahan kimia yang digunakan sebagai aktivator antara lain : uap H2O,
larutan KOH dengan konsentrasi 5 %, 10 %, larutan H3PO4 dengan konsentrasi
5 %; 10 %; 20 %; 40 %; 60 %; dan 80 %, larutan iod 0.1N, serbuk K2Cr2O7,
larutan Na2S2O3 0.1N, larutan kanji 1 %, larutan H2SO4 4N, serta larutan KI 10 %.
46
Bahan utama yang digunakan adalah asap cair, hasil samping proses
pengarangan sampah buah bintaro. Kayu pinus ukuran 2.5 cm x 2.5 cm x 0.5 cm.
Pada uji toksikologi digunakan rayap tanah Coptotermer curvignathus Holmgren
(150 ekor rayap pekerja dan 15 ekor rayap prajurit). Bahan lain yang diperlukan
adalah pelarut alkohol dan aquadest.
Bahan utama adalah arang aktif dari sampah buah bintaro, limbah logam
berat krom dari Laboratorium Terapan Politeknik AKA Bogor. Pereaksi COD,
pereaksi BOD, dan pereaksi krom.
Alat
Peralatan Pengarangan
48
semprot, peralatan gelas seperti gelas piala, gelas ukur, pipet volume, erlenmeyer,
dan pipet mohr.
Metode Analisis
Arang Asap
50
Gambar 18 Skema tinggi lapisan (Lc), jumlah lapisan (N) dan lebar lapisan (La)
aromatik
Asap cair yang telah ditampung dalam labu destilat dimurnikan terlebih
dahulu dengan cara didestilasi. Asap cair dimasukkan sebanyak 200 ml ke dalam
52
diaduk, kemudian didiamkan selama 15 menit. Dibuat juga blangko yang berisi
air suling dan pereaksi. Campuran larutan tersebut diukur absorbansinya pada
panjang gelombang 510 nm.
4. Spesific Gravity (spgr) atau Berat Jenis (ASTM D445-1997)
Piknometer yang sudah ditimbang, dibersihkan dan dikeringkan dengan
benar dan dicatat bobotnya. Air aquades dimasukkan ke dalam piknometer yang
sudah dikeringkan. Selanjutnya piknometer ditimbang dan dicatat bobotnya.
Piknometer dibersihkan dan dikeringkan kembali, kemudian piknometer
ditimbang dan dicatat bobotnya. Asap cair diisikan ke dalam piknometer,
kemudian ditimbang dan dicatat bobotnya.
Bobot asap cair + bobot kosong piknometer) - Bobot kosong piknometer
Spgr =
(Bobot air + bobot kosong piknometer) – Bobot kosong piknometer
5. Total Asiditas (Y) (SNI 06-6989.1-2004)
Sebanyak 5 ml asap cair dicampurkan dengan aquades 50 ml dan dikocok
sampai homogen, kemudian 3 tetes indikator pp ditambahkan. Selanjutnya larutan
dititrasi dengan NaOH 0.1 N sampai terbentuk warna merah lembayung. Total
asiditas dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Jumlah ml titran x N NaOH x BM Asam asetat x 100
Y=
Volume sampel (ml) x 1000
54
Uji efikasi bahan pengawet asap cair merupakan salah satu upaya
mengetahui keefektifan bahan pengawet dari serangan rayap tanah. Pengujian
tersebut memberikan gambaran reaksi hama perusak kayu terhadap bahan
pengawet yang diuji. Prinsip kerja bahan pengawet adalah merusak bagian dalam
tubuh serangga setelah masuk melalui mulut, menembus dinding pencernaan,
menghambat kerja enzim dan terganggunya proses metabolisme protozoa yang
hidup pada usus belakang rayap, selanjutnya rayap akan mengalami kematian.
Kematian diduga karena adanya senyawa beracun dalam asap cair tersebut.
Diagram alir pengujian antirayap seperti yang digambarkan pada Gambar 21.
Perendaman sampel
Penimbangan
Setiap minggu aktivitas rayap dalam botol diamati dan dicatat kemudian
disimpan ditempat yang gelap dengan temperatur 28±2 oC selama tiga minggu.
Setelah dilakukan pemaparan pada rayap, pengukuran dilakukan dengan cara
menimbang sampel uji untuk melihat kehilangan berat kayu. Pengukuran
kehilangan berat kayu dihitung berdasarkan selisih berat sampel uji sebelum dan
sesudah akhir pengujian. Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap kelas
awet kayu.
56
Pada pembuatan arang aktif terbagi menjadi dua percobaan yaitu percobaan
pendahuluan dan pencobaan utama. Rincian dari percobaan tersebut adalah
sebagai berikut :
Percobaan Pendahuluan
Setelah arang keluar dari reaktor pirolisis dilakukan tiga jenis perlakuan
aktivasi seperti yang tertera dalam Tabel 12.
1. Aktivasi dengan Uap H2O
Arang masing-masing ditimbang sebanyak 70 gram lalu masing-masing
dibungkus dengan kawat kasa nikel, kemudian dimasukkan ke dalam retort. Arang
kemudian dialiri uap H2O secara kontinyu sambil dipanaskan. Percobaan ini
diulangi sebanyak dua kali sesuai perlakuan di dalam Tabel 12.
2. Aktivasi dengan Larutan KOH
Arang masing-masing ditimbang 70 gram sebanyak empat kali. Satu bagian
arang direndam dengan larutan KOH 5 %. Satu bagian arang yang lain direndam
dalam larutan KOH 10 %. Perendaman dengan KOH dilakukan selama 24 jam.
57
Setelah itu dicuci dengan air sampai bersih dan dikeringkan di udara terbuka.
Percobaan ini diulang sebanyak dua kali sesuai dengan rancangan di Tabel 12.
Setelah itu dipanaskan di dalam retort selama 60 dan 90 menit pada suhu 650 oC.
Percobaan ini diulang sebanyak dua kali sesuai dengan rancangan di Tabel 12.
Percobaan Utama
58
Arang suhu
pirolisis 500 oC
Arang aktif
Arang aktif yang memenuhi standar dari hasil peningkatan mutu selanjutnya
diaplikasikan sebagai adsorben pada pengolahan limbah cair krom dari
laboratorium, dengan cara mencampurkan arang aktif pada limbah cair tersebut
dengan konsentrasi masing- masing 1 % (b/v). Skema tahapan aplikasi arang aktif
untuk pengolahan limbah cair dapat dilihat pada Gambar 23.
Pengolahan terhadap limbah cair krom dilakukan dengan cara
menambahkan arang aktif masing-masing sebanyak 1 gram ke dalam air limbah
dengan volume 100 mL dalam gelas piala. Selanjutnya campuran tersebut diaduk
sampai homogen selama satu jam dengan menggunakan magnetic stirer pada
kecepatan 120 rpm dan disaring dengan kertas whatman 42. Air hasil saringan
tersebut kemudian dianalisis kualitasnya.
Filtrat
Nilai pH yang diukur adalah hasil limbah cair krom yang telah dikondisikan
pada pH asam dan telah dilakukan adsorpsi dengan arang aktif buah bintaro. Pada
kondisi awal limbah cair krom dalam kondisi netral yang dibuktikan dengan
pengukuran dengan pH meter mendapatkan nilai 6.44. Selanjutnya limbah cair
krom dikondisikan dalam keadaaan asam dengan menambahkan asam sulfat 4N.
Hal ini dilakukan karena setelah diuji secara kualitatif warna krom akan berkurang
pada kondisi asam. Setelah itu limbah cair yang telah diasamkan diukur dengan
pH meter dan didapatkan nilai 3.07. Penelitian dilanjutkan dengan mengolah
limbah cair krom yang telah diasamkan dengan menambahkan arang aktif buah
bintaro dengan pengadukan 120 rpm dalam waktu satu jam. Penentuan
pengadukan 120 rpm dan waktu satu jam karena berdasarkan uji kualitatif pada
kecepatan 90 rpm, 120 rpm dan 150 rpm dengan variasi waktu 30 menit, 60 menit
dan 90 menit yang menghasilkan warna yang paling jernih adalah dengan
pengadukan 120 rpm dan waktu 60 menit. Selanjutnya limbah cair krom disaring
untuk memisahkan arang aktif dan limbah cair, pH limbah cair krom setelah
diadsorpsi kemudian diukur kembali dengan menggunakan pH meter. Penelitian
60
untuk pH dilanjutkan dengan pengukuran pH dari arang aktif yang didapat dari
percobaan pendahuluan dalam larutan aquadest pada kondisi asam.
Adapun untuk percobaan utama, hal yang sama dilakukan pada peng
kondisian pada pH basa, Selanjutnya juga diukur pH arang aktif yang dilarutkan
dalam aquadest untuk mengetahui pengaruh pH dari arang aktif itu sendiri.
Pengukuran pH juga dilakukan dalam kondisi aquadest yang dibasakan maupun
diasamkan.
Setelah diketahui arang aktif telah memenuhi standar mutu arang aktif.
Selanjutnya dilakukan pengujian kemampuan arang aktif dari sampah buah
bintaro untuk mengolah limbah cair logam berat dari laboratorium.
Pemeriksaan kualitas limbah cair dilakukan berdasarkan metode analisis
yang telah baku pada Standard Methods for The Examination of Water and
Wastewater (1998). Analisis dan pengukuran dilakukan di laboratorium uji dan
kompetensi Politeknik AKA Bogor. Parameter yang dianalisa pada air limbah
Laboratorium mengacu pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.
5/PERMENLH/2014 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi kegiatan industri
meliputi pH, BOD5, COD, kromium total, Total Dissolved Solid (TDS)
(Kementerian Lingkungan Hidup 2015).
Adapun terhadap limbah cair dilakukan pengujian sebelum diolah dengan
arang aktif dan sesudah diolah dengan arang aktif. Parameter pengujian kualitas
air limbah meliputi:
1. Penetapan pH (SNI 06-6989-11-2004)
Derajat keasaman (pH) diukur dengan menggunakan pH meter. Penggunaan
pHmeter harus dikalibrasi terlebih dahulu sebelum digunakan. Pada pH meter
dipasang elektroda gelas kemudian dicelupkan ke dalam larutan penyangga pH= 4
dan pH = 9. Selanjutnya elektroda dibersihkan dengan air suling, kemudian
dicelupkan ke dalam sampel yang akan diperiksa. Derajat keasaman (pH) dapat
langsung dibaca dari skala atau digital alat pH meter.
2. Penetapan Biological Oxygen Demand (BOD) (SNI 06-2503-1991)
Pengukuran BOD dilakukan dengan cara memeriksa oksigen terlarut hari
ke-nol dari botol yang berisi sampel dan blanko yang telah diencerkan beserta
pereaksi. Selanjutnya masukkan botol yang berisi sampel dan blanko ke dalam
lemari pengeram bersuhu 20ºC selama lima hari. Selanjutnya diperiksa kadar
oksigen terlarut pada hari kelima dan nilai BOD dihitung dengan rumus berikut :
(Xo – X5) – (Bo – B5) (1 – P)
BOD =
P
Keterangan :
Xo = oksigen terlarut sampel pada saat t = 0 (mg O2/L)
61
{ (A – B) x N x 8000 } x p
COD (mg O2/L) =
Volume sampel
Keterangan :
62
Konsentrasi krom total yang diadsorpsi untuk tiap perlakuan dihitung dari:
Konsentrasi teradsorpsi = konsentrasi awal – konsentrasi akhir
Adapun efisiensi pengolahan limbah cair dengan adsorpsi dihitung dengan rumus:
Q awal- Qakhir
Efisiensi (%) = x 100 %
Q awal
Keterangan :
Q awal= Nilai parameter awal limbah cair
Q akhir = Nilai parameter akhir limbah cair per perlakuan atau setelah diadsorpsi
Rancangan Percobaan
Yijk = μ + Ai + εijk
Keterangan :
Yijk = Nilai respon yang diamati
μ = Nilai rata-rata
Ai = Pengaruh aktivator dari taraf ke- i
εijk ijk = Pengaruh galat
Kelayakan finansial usaha pengembangan arang aktif dan asap cair dari
buah bintaro dilakukan dengan menghitung nilai beberapa kriteria investasi
sebagai berikut:
Analisis NPV
Net present value (NPV) merupakan selisih nilai sekarang dari penerimaan
dengan nilai sekarang, pengeluaran pada tingkat bunga tertentu. Rumus yang
digunakan dalam penghitungan NPV (Rangkuti 2010) adalah sebagai berikut:
(1)
NB adalah net benefit yang telah dikalikan dengan diskon faktor (benefit-
cost), i adalah diskon faktor dan n adalah tahun (waktu).Usaha dikatakan layak
jika NPV lebih besar atau sama dengan nol. Jika NPV sama dengan nol berarti
proyek tersebut mengembalikan persis sebesar social opportunity cost of capital.
Jika NPV lebih kecil dari nol maka proyek dinyatakan tidak layak untuk
dijalankan.
64
Analisis IRR
Internal rate of return adalah tingkat suku bunga pada saat nilai NPV sama
dengan nol. IRR ini biasa dihitung dengan rumus sebagai berikut (Rangkuti,
2010):
(2)
Net B/C merupakan angka perbandingan antara nilai kini (present value)
dari net benefit yang positif dengan present value dari net benefit yang negatif
(Rangkuti 2010). Jumlah present value positif sebagai pembilang dan jumlah
present value negatif sebagai penyebut.
(3)
Bogor Utara, maka data yang diperlukan bersifat deskriptif, yaitu dalam bentuk
kata-kata, uraian-uraian dan juga dapat berupa angka-angka disertai penjelasan.
Bog dan and Tailor (dalam Moleong 2000) menyatakan bahwa penelitian
kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, Moleong (2000)
mengemukakan bahwa kualitatif menyajikan secara langsung hakikat antara
peneliti dan responden. Karena itu, penelitian ini tidak berangkat dari satu
kesimpulan sementara untuk diuji keberlakuannya di lapangan, melainkan peneliti
mengamati di lapangan dan menyimpulkan data selengkap mungkin sesuai dengan
fokus penelitian sehingga data yang diperoleh merupakan data deskriptif tentang
apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan orang berkaitan langsung dengan
ruang dan waktu, serta makna yang diangkat dan bukan karena suatu rekayasa
teoritis.
Teknik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah:
Observasi/pengamatan
Observasi atau pengamatan merupakan tehnik pengumpulan data dengan
mengamati secara langsung sasaran atau obyek penelitian dan merekam peristiwa
dan perilaku secara wajar dan rinci. Adapun obyek yang diamati adalah
masyarakat di sekitar wilayah penelitian secara umum.
Telaah Pustaka
Mencari referensi penelitian dari jurnal dan literatur terkait dengan
pemanfaatan ruang terbuka hijau. Referensi yang dirujuk juga termasuk strategi
pengembangan pemanfaatan buah bintaro selain sebagai tanaman peneduh.
Analisis Dampak Lingkungan dengan Pendekatan LCA
Salah satu metode yang tepat untuk menganalisis dampak lingkungan dari
pembuatan arang aktif dan asap cair dari buah bintaro adalah life cycle assessment
(LCA). LCA bertujuan untuk mengidentifikasi dampak lingkungan, sumber polusi
dan emisi gas rumah kaca yang kemudian bisa mengetahui potensi dampak pada
pemanasan global. Analisis dampak lingkungan dilakukan secara manual dengan
pendekatan LCA dengan mengembangkan tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Mendefinisikan batasan dan ruang lingkup LCA
Tahap ini akan ditentukan batasan dan ruang lingkup LCA yang digunakan.
2. Analisis life cycle inventory (LCI)
Tahap ini akan ditunjukkan potensi pengaruh lingkungan dari tiap stage pada
siklus hidup yang diamati.
3. Penilaian life cycle impact assessment (LCIA)
Pada tahap life cycle impact assessment (LCIA) dilakukan perhitungan total
dari dampak lingkungan yang telah dikumpulkan dari tahapan life cycle
inventory (LCI).
66
Cimo et al. (2014) yang menyatakan bahwa proses pirolisis terdiri atas empat
tahap berurutan, yakni penguapan air pada suhu 100-120 oC, dekomposisi selulosa
pada suhu 270-310 oC, dekomposisi lignin pada suhu 310-510 oC dan terakhir
pemurnian karbon pada suhu 500-1000 oC. Berdasarkan alasan ini maka dipilih
rentang suhu pirolisis 300-500 oC. Adapun untuk mencari temperatur pirolisis
terbaik dilakukan pengujian proksimat arang dan dibandingkan dengan SNI 01-
1682-1996 tentang arang tempurung kelapa (Lampiran 1, Lampiran 2 dan
Lampiran 3). Kualitas arang cangkang buah bintaro dibandingkan dengan arang
tempurung kelapa karena belum ada standar arang untuk buah bintaro.
Tabel 16 Hasil uji proksimat arang dari buah bintaro
Sampel Kadar Kadar Kadar Kadar Daya Rendemen
arang (oC) air (%) abu (%) zat karbon serap iod (%)
terbang terikat (mg/gr)
(%) (%)
300 7.86 8.44 1.08 90.49 756.95 39.86
400 7.63 7.71 0.82 91.47 843.46 39.71
500 5.97 6.41 0.80 92.80 909.42 39.47
*Standar Maks 6 Maks 5 Maks 20 Min 70 - -
*Standar berdasarkan SNI 01-1682-1996 tentang syarat mutu arang tempurung kelapa
Berdasarkan Tabel 16, terlihat bahwa kadar air yang dihasilkan oleh arang
buah bintaro berkisar antara 5.97 %-7.86 %. Kadar air yang diperoleh dari hasil
analisis proksimat jika dibandingkan dengan SNI 01-1682-1996 tentang syarat
mutu arang tempurung kelapa belum memenuhi syarat, kecuali sampel arang yang
dipirolisis pada temperatur 500 oC. Kadar air tertinggi dimiliki oleh sampel arang
yang dipirolisis pada temperatur 300 °C yakni sebesar 7.86 %. Adapun kadar air
terendah dimiliki oleh sampel arang yang dipirolisis pada suhu 500 °C yakni
sebesar 5.97 %. Kadar air arang mengalami penurunan seiring dengan naiknya
suhu pirolisis yang digunakan. Secara kimia H2O mulai mengalami perubahan
fase menjadi gas pada saat telah mencapai titik didihnya yakni pada suhu 100 °C.
Pada titik itu, H2O yang awalnya terikat pada karbon terlepas dan membentuk fase
gas. Hal serupa juga diungkapkan oleh Uchimiya et al. (2011) yang menyatakan
bahwa semakin tinggi suhu, semakin meningkat pula proses dehidrasi yang terjadi
dalam arang, sehingga air yang terkandung di dalamnya semakin banyak yang
menguap dan kadarnya akan semakin rendah. Kadar air yang semakin tinggi akan
menyebabkan daya serap arang semakin berkurang.
Pada Tabel 16 terlihat bahwa kadar abu sampel arang jika dibandingkan
dengan SNI 01-1682-1996 tentang syarat mutu arang tempurung kelapa diketahui
bahwa kadar abu dari arang buah bintaro tidak memenuhi syarat SNI. Arang yang
dipirolisis pada temperatur 300 °C merupakan arang dengan kadar abu tertinggi
yakni sebesar 8.44 %. Adapun kadar abu terendah dimiliki oleh arang yang
dipirolisis pada temperatur 500 oC yakni sebesar 6.41 %. Hal ini menunjukkan
bahwa nilai kadar abu bertambah seiring dengan turunnya temperatur yang
digunakan dalam proses pirolisis. Fenomena ini terjadi karena sifat dan struktur
bahan baku buah bintaro yang banyak mengandung mineral seperti kalsium,
silika, magnesium dan potassium, sehingga ketika dipirolisis berpotensi menjadi
abu. Uchimiya et al. (2011) menyatakan bahwa sifat dan struktur bahan baku
69
70
sehingga pori-pori arang semakin terbuka luas dan mengakibatkan daya serap
arang juga semakin besar. Tahap pirolisis dilakukan pada rentang suhu 300-500
o
C karena pada rentang suhu tersebut telah terjadi penghilangan air, dan zat-zat
volatil lainnya, sehingga menjadi dasar terbentuknya porositas pada karbon atau
terbukanya pori-pori karbon (Marsh and Fransisco 2006). Kadar zat terbang yang
memenuhi persyaratan turut mendukung pernyataan karena dengan sedikitnya
kadar zat terbang menunujukkan bahwa pada permukaan arang terdapat sedikit
sisa deposit hidrokarbon yang menutupi pori-pori arang, sehingga menyebabkan
daya serap iod menjadi tinggi.
Pada Tabel 16 terlihat bahwa semakin tinggi suhu pirolisis menyebabkan
rendemen arang yang dihasilkan relatif menurun pada rentang 39.47 – 39.86 %,
Rendemen yang relatif menurun pada setiap kenaikan suhu pirolisis terjadi karena
reaksi antara karbon dengan uap air semakin meningkat dengan bertambahnya
suhu dan lamanya waktu karbonisasi, sehingga karbon yang bereaksi menjadi CO2
dan H2 menjadi banyak, sebaliknya jumlah karbon yang dihasilkan semakin
sedikit (Lee dan Radovic 2003). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
Tirono dan Ali (2011) yang dilakukan pada tempurung kelapa, yakni semakin
meningkatnya suhu dan waktu karbonisasi, rendemen arang yang dihasilkan
semakin menurun. Oleh karena arang yang dibuat pada suhu pirolisis 500 oC
menunjukkan hasil karakterisasi yang paling banyak sesuai dengan syarat SNI
01-1682-1996, maka selanjutnya diputuskan untuk mengaktivasi arang yang
dibuat pada suhu 500 oC menjadi arang aktif.
Topografi Arang
1. Suhu pirolisis 300 oC, 2. Suhu pirolisis 400 oC 3. Suhu prolisis 500 oC
Gambar 24 Topografi permukaan arang pada berbagai suhu pirolisis
71
Tabel 17 Diameter permukaan pori arang dari hasil berbagai suhu pirolisis arang
Jenis suhu arang (oC) Diameter pori arang (µm)
300 9.6
400 15.68
500 20.48
Spektrum FTIR dari bahan baku arang ditunjukkan pada Gambar 25.
Berdasarkan Gambar 25 tersebut diketahui bahwa terjadi perubahan pola bilangan
gelombang dari bahan baku buah bintaro menjadi arang yang dipirolisis pada suhu
300 oC, 400 oC dan 500 oC. Hal ini terjadi karena selama proses pirolisis terjadi
perubahan struktur kimia akibat adanya perlakuan panas yang mengakibatkan
terputusnya rantai gugus fungsional senyawa tertentu menjadi gugus yang baru
(Pari dan Hendra 2003).
95
Transmittance [%]
90
85
80
3335.93
2918.54
2111.87
1601.35
1508.74
1369.02
1322.96
1232.66
72
Bilangan gelombang buah bintaro dan arang buah bintaro dirangkum dalam
Tabel 18. Adanya serapan melebar dengan intensitas lemah pada daerah bilangan
gelombang 3335.93 cm-1 yang diduga adalah serapan uluran dari gugus O-H.
Serapan uluran C-H alifatik yang tajam dan lemah muncul pada daerah bilangan
gelombang 2918.54 cm-1. Serapan pada bilangan gelombang 2900-an cm-1
menunjukkan vibrasi ulur C-H di dalam gugus C-H alifatik. Gugus alkuna
ditemukan pada bilangan gelombang 2111.87 cm-1. Gugus amina juga ditemukan
pada bilangan gelombang 1508.74 cm-1. Senyawa aromatik diindikasikan dari
gugus fungsi C=C yang biasanya muncul pada bilangan gelombang 1650-1550
cm-1 yang diperkuat dengan adanya ikatan C-O pada bilangan gelombang 1232.66
cm-1 yang berasal dari gugus aromatik C=C yang terputus. Adanya gugus fungsi
OH, CH alifatik, NH, C=C aromatik dan C-O mengindikasikan suatu senyawa
flavonoid. Pada buah bintaro tidak ditemukan gugus fungsi C=O, hal ini
dibuktikan adanya gugus OH, CH, alkuna, C=C aromatik dan amina yang
seringkali muncul jika gugus C=O tidak ada (Creswell et al. 2005).
Pada arang yang dipirolisis dengan suhu 300 oC, spektra IR masih
menunjukkan pola yang sama dengan spektra IR serbuk bintaro dengan adanya
gugus OH pada bilangan gelombang 3300-an cm-1 dan gugus fungsi CH Asym
and Sym streching pada bilangan gelombang 1300-1400 cm-1. Tidak adanya
gugus fungsi N-H dan C-H bending menunjukkan telah hilangnya senyawa
alkaloid dan flavonoid akibat adanya karbonisasi. Gugus fungsi alkuna ditemukan
dengan vibrasi rendah pada bilangan gelombang 2100-an cm-1. Senyawa aromatik
C=C dengan vibrasi rendah diindikasikan pada bilangan gelombang 1570-an cm-1.
Serapan gugus fungsi C-O asy stretching ditemukan pada bilangan gelombang
1250-an cm-1.
Spektra IR pada arang suhu 400 oC, masih menunjukkan spektra yang
hampir mirip dengan arang suhu 300 oC, dengan ditemukan gugus OH, pada
73
bilangan gelombang 3300-an cm-1. Gugus fungsi C-H diindikasikan pada bilangan
gelombang 2900-an cm-1 dan gugus fungsi alkuna ditunjukkan pada bilangan
gelombang 2100-an cm-1. Senyawa aromatik dengan ikatan C=C yang lemah juga
ditemukan pada bilangan gelombang 1570-an cm-1. Sementara itu serapan pada
bilangan gelombang 750.39 - 540.92 cm-1 mengindikasikan adanya gugus C-H
aromatik keluar bidang (Ercin dan Yurum 2003). Selengkapnya perubahan
spektrum serapan IR arang dapat dilihat pada Gambar 26.
78
76
Transmittance [%]
74
72
70
3407.42
2112.59
1613.62
1389.73
1257.61
1009.12
872.92
827.64
751.47
689.84
3500 3000 2500 2000 1500 1000 500
Wavenumber cm-1
74
A = Buah bintaro
B = Arang suhu 300 oC
C = Arang suhu 400 oC
D = Arang suhu 500 oC
meskipun dipanaskan sampai suhu 3000 oC strukturnya tetap amorf padahal pola
struktur arang yang ideal pada umumnya mengandung derajat kristalinitas yang
relatif besar (Ota dan Mozammel 2003).
Munculnya puncak lebar di sekitar sudut 2θ 24 o merupakan refleksi dari
bidang 002. Refleksi tersebut mengindikasikan adanya lembaran graphene yang
merupakan penyusun graphite (Hwang dan Nov 2006) sedangkan puncak lebar
yang muncul di sekitar sudut 2θ 72 o merupakan refleksi bidang 100. Puncak-
puncak yang muncul mengindikasikan bahwa arang buah bintaro yang telah
dibuat tidaklah murni akan tetapi terdapat impuritas. Jika dibandingan dengan
pola difraksi arang batok kelapa terlihat bahwa suhu awal karbonisasi yaitu
400 oC dan 600 oC, arang batok kelapa belum mengalami perubahan yang
signifikan, terutama belum adanya refleksi dari bidang 100 yang muncul di
rentang sudut 2θ 42 o, akan tetapi terjadi sedikit pergeseran pada rentang sudut 2θ
24 o. Perubahan pola difraksi yang signifikan terjadi pada suhu 750 oC, dalam pola
tersebut tergambarkan munculnya puncak lebar pada rentang sudut 2θ 24 o dan
pergeseran puncak lebar di rentang sudut 2θ 42 o telah bergeser jauh mendekati
puncak kristal puncak graphite (Perkasa dan Darminto 2011). Pada Tabel 19 dan
Tabel 20 dapat diketahui bahwa derajat kristaltit buah bintaro (35.81%) cenderung
lebih tinggi dari derajat kristaltit arang (16.35-25.87%). Selain itu terjadi
pergeseran intensitas sudut difraksi dari 2Ѳ 21.81 menjadi 2Ѳ 21.23- 28.24. Hal
ini membuktikan bahwa pirolisis dapat mengubah derajat kristalinitas dengan
struktur kristaltit yang berbeda. Penurunan derajat kristalinitas meningkatkan daya
jerap arang selama proses karbonisasi karena bahan karbon mengalami
fragmentasi membentuk struktur aromatik yang termostabil. Struktur ini
menginisiasi pembentukan struktur aromatik berikutnya sehingga membentuk
pelat heksagonal. Menurut Pari (2004) pada bahan baku untuk struktur kristaltit
didominasi oleh struktur kristaltit selulosa sedangkan pada arang, struktur
kristaltit terbentuk dari senyawa karbon yang membentuk lapisan heksagonal.
Tabel 20. Data sudut difraksi 2Ѳ, jarak antar lapisan (d), tinggi lapisan (Lc),
Jumlah lapisan (N) dan lebar lapisan (La) dari bahan baku dan arang
hasil pirolisis
Perlakuan Sudut difraksi (2Ѳ) d1 d2 Lc N La
Buah bintaro 21.81 4.27 0.41 0.12 0.29 0.24
o
Arang 300 C 21.23 4.19 0.42 0.23 0.54 0.10
Arang 400 oC 28.24 7.22 0.12 0.33 2.83 0.69
o
Arang 500 C 23.33 3.81 0.12 0.36 3.07 0.75
76
Hasil dari asap cair dengan suhu 300 oC pirolisis, 400 oC, dan 500 oC
masing-masing adalah 40.14 %; 40.86 % dan 41.43 %. Hasil ini lebih besar dari
hasil asap cair kulit duren pada suhu pirolisis yang sama yaitu berkisar antara
33.87 % - 39.23 % (Oramahi et al. 2013). Hasil ini menunjukkan bahwa hasil
asap cair yang lebih rendah diperoleh pada suhu pirolisis lebih rendah. Oramahi
et al. (2013) mengatakan bahwa hasil asap cair yang lebih rendah pada suhu yang
lebih rendah karena panas yang dibutuhkan untuk terjadinya proses pirolisis tidak
terpenuhi sehingga selulosa tidak terdekomposisi sempurna menjadi larutan
pirolignat, gas CO, CH4 dan H2. Sebaliknya, pada suhu pirolisis yang lebih tinggi
reaksi dekomposisi sekunder dapat terjadi. Pada suhu pirolisis 500 oC lignin
terurai secara menyeluruh. Lignin pada suhu pirolisis 500 oC terdekomposisi
seluruhnya dan membentuk lapisan aromatik dan ter (Byrne dan Nagle 2007) yang
akan bercampur dengan asap cair sehingga hasil pada suhu 500 oC yang lebih
besar dari pada suhu pirolisis 300 oC dan dari 400 oC.
Cara pembakaran arang juga mempengaruhi hasil. Hal ini terjadi karena
proses pirolisis tidak terjadi sempurna akibat kiln pirolisis tidak dapat optimal
menjaga proses pirolisis sehingga jumlah oksigen masih berlimpah dalam drum
pembakaran yang menyebabkan hasil pada suhu yang lebih rendah lebih kecil
(Sunardi dan Yuliansyah 2006). Menurut Darmadji et al. (2006) penurunan hasil
rendemen asap cair dikarenakan di dalam asap cair ada arang, ter dan senyawa
yang tidak terkondensasikan. Chen et al. (2001) menambahkan bahwa rendahnya
rendemen asap cair disebabkan tingginya kadar selulosa dan hemiselulosa di
dalam bahan baku yang mengakibatkan rendahnya stabilitas thermal asap cair
yang dihasilkan karena pada tahap lanjut pirolisis akan menimbulkan terjadinya
degradasi senyawa asam menjadi karbondioksida dan air. Bila dibandingkan
dengan penelitian sebelumnya, hasil dari asap cair kayu akasia 40.3 % (Nurhayati
et al. 2005) dan tebu raksasa 45 % (Temiz et al. 2013), tidak berbeda secara
signifikan dengan hasil asap cair buah bintaro
Tabel 21 menunjukkan nilai berat jenis atau specific gravity yang diperoleh
dari asap cair buah bintaro berkisar antara 1.016-1.021. Semakin tinggi suhu
77
pirolisis akan menghasilkan nilai berat jenis yang relatif tinggi, nilai berat jenis
yang tertinggi diperoleh pada suhu pirolisis 500 oC sebesar 1.021. Berdasarkan
Tabel 21 terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada nilai berat jenis untuk
setiap suhu pirolisis. Hal ini terjadi karena pada setiap kenaikan suhu akan
banyak dihasilkan rendemen atau hasil yang lebih tinggi, namun rendemen yang
dihasilkan juga tidak berbeda secara siginifikan, sehingga berat jenis setiap
peningkatan suhu pirolisis juga tidak berbeda nyata. Berat jenis menyatakan
banyaknya komponen senyawa kimia yang terkandung dalam asap cair.
Ratanafisit et al. (2009) menyatakan bahwa karena asap cair berasal dari
kondensasi asap dengan air, mengakibatkan komponen utama dari asap cair
adalah air. Meskipun asap cair mengandung banyak bahan kimia, namun
konsentrasi bahan kimia dalam asap cair hanya terdapat dalam jumlah kecil
sehingga perbedaan suhu pirolisis tidak terlalu berperan terhadap perbedaan nilai
berat jenis. Jika dibandingkan dengan asap cair standar Jepang (Yatagai et al.
2002), berat jenis dari asap cair buah bintaro belum memenuhi rentang standar
asap cair Jepang yaitu < 1.005, tapi asap cair ini masih dapat digunakan sebagai
asap cair karena nilai berat jenis pada rentang 1.005 - 1.050 (Burnette 2010).
Tabel 21 Hasil karakterisasi asap cair arang buah bintaro
Asap Cair Hasil (%) Berat jenis pH Asiditas (%) Fenol (ppm)
o
( C)
300 40.14 1.016 2.28 2.35 813.01
400 40.86 1.017 2.47 3.12 1016.26
500 41.43 1.021 2.78 5.06 6833.33
Buah bintaro merupakan gugus fungsi kayu keras yang mengandung tiga
komponen utama: selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selulosa tidak pernah
ditemukan dalam keadaan murni di alam, tetapi selalu berasosiasi dengan
polisakarida lain seperti pektin, hemiselulosa, dan xilan. Kebanyakan selulosa
berasosiasi dengan lignin sehingga sering disebut sebagai lignoselulosa (Alen
2000). Hasil dekomposisi selulosa dengan proses pirolisis menghasilkan
anhidroglukosa, senyawa karbonil dan furan. Dekomposisi hemiselulosa mirip
dengan selulosa, tetapi menghasilkan asam asetat dan karbon dioksida (Wei et al.
2010).
Tabel 21 menunjukkan bahwa nilai pH akan meningkat seiring dengan
meningkatnya suhu walaupun tidak berbeda nyata Nilai pH asap cair berkisar
antara 2.28-2.78. Sung et al. (2007) mengatakan bahwa keasaman asap cair
tergantung pada sumber kayu, langkah-langkah pengolahan dan pemurnian
parameter. Keasaman asap cair juga dipengaruhi oleh suhu pirolisis, karena pada
suhu yang lebih tinggi dari 280 oC, asam asetat banyak diproduksi..
Nilai pH pada asap cair atau cuka kayu buah bintaro sebesar 2.28–2.78
menunjukkan bahwa cuka kayu buah bintaro masih dalam keadaan asam berada
dalam rentang standar cuka kayu Jepang (1.5–3.5) yang bagus untuk dijadikan
antirayap kayu. Nilai pH yang paling rendah dicapai pada asap cair dengan suhu
pirolisis 300 oC karena pada suhu 300 oC terjadi peruraian senyawa selulosa
menjadi asam asetat dan homolognya, hal inilah yang menyebabkan pH pada suhu
300 oC sangat rendah. Demikian pula pada suhu 400 oC, nilai pH juga masih asam
karena pada suhu ini, terjadi peruraian lignin menjadi fenol, homolog dan
78
turunannya yang bersifat asam sedangkan untuk suhu 500 oC, nilai pH asap cair
masih asam karena pada suhu ini masih terurainya sebagian lignin menjadi fenol
dan turunannya serta senyawa ter. Berbagai senyawa fenolik seperti mequinol, 2,6
dimethoxy ada di dalam asap cair dengan pH rendah (Yatagai et al. 2002)
Berdasarkan hasil analisis, kadar total asiditas dari asap cair buah bintaro
berada pada rentang 2.35–5.06 %. Hasil analisis kadar total asiditas dari buah
bintaro tidak jauh beda dengan hasil penelitian asiditas asap cair dari tempurung
kelapa sebesar 1.86 – 9.6 % (Lombok et al. 2014). Pada Tabel 21 terlihat bahwa
semakin tinggi suhu pirolisis buah bintaro, kadar air asap cair juga berkurang,
sehingga menyebabkan total asiditas juga meningkat (Lombok et al. 2014).
Lampiran 11 memperlihatkan contoh hasil pengulangan pengukuran asiditas.
Tabel 21 menunjukkan bahwa peningkatan suhu pirolisis meningkatkan
kadar fenol. Kandungan fenol dari asap cair dengan suhu 300 oC pirolisis, 400 oC,
dan 500 oC adalah 813.01 mg/L; 1016 mg/L dan 6833.33 mg secara berurutan.
Hasil analisis kadar fenol buah bintaro sangat besar dibandingkan dengan kadar
fenol asap cair tanaman lamtoro sebesar 481.2 ppm dan kadar fenol asap cair
jagung sebesar 335 ppm (Swastawati et al. 2007). Hal ini terjadi karena senyawa
kimia dari asap cair atau cuka kayu dipengaruhi oleh jenis bahan baku, waktu
pirolisis dan suhu pirolisis (Milly et al. 2008). Berdasarkan pendapat Darmadji
(2006) dan Chen et al. (2001), suhu pirolisis merupakan salah satu parameter
penting untuk mencapai kualitas asap cair terbaik. Proses pirolisis melibatkan
berbagai reaksi yaitu dekomposisi, oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi. Reaksi-
reaksi yang terjadi antara lain pada suhu 200-250 oC terjadi peruraian
hemiselulosa membentuk furfural, furan dan turunannya serta asam karboksilat.
Pada suhu 280-320 oC terjadi pirolisis selulosa yang menghasilkan senyawa asam
asetat dan homolognya. Varlet et al. (2010) menyatakan proses degradasi thermal
selulosa tahap pertama menghasilkan glukosa kemudian tahap kedua
menghasilkan asam asetat dan homolognya, air serta sejumlah kecil furan dan
senyawa fenolik. Inilah yang menyebabkan kadar fenol relatif tidak besar pada
suhu pirolisis 300 oC.
Pada suhu 400 oC, terjadi peruraian lignin menjadi fenol, homolognya dan
turunannya (Ohra-aho et al. 2005). Menurut Girard (1992) terjadi degradasi lignin
menjadi fenol pada suhu >350 oC, selanjutnya Chen et al. (2001) menambahkan
bahwa degradasi thermal selulosa dan hemiselulosa menghasilkan kadar fenol
yang lebih sedikit pada suhu 300 oC dibandingkan dengan degradasi lignin karena
itu kadar fenol pada suhu 400 oC lebih tinggi daripada suhu 300 oC. Adapun pada
suhu 500 oC terjadi peruraian lignin sebagian dan pembentukan banyak senyawa
ter serta hidrokarbon polisiklis aromatik (Girard 1992). Selain itu kadar lignin
yang tinggi pada buah bintaro juga memberikan pengaruh yang besar terhadap
tingginya kadar fenol pada temperatur ini. Hal inilah yang menyebabkan kadar
fenol akan meningkat seiring meningkatnya suhu. Lampiran 12 menunjukan
perhitungan kadar fenol dalam asap cair.
Asap pada suhu 500 oC menjadi berwarna putih kebiruan yang menandakan
bahwa asap tersebut mengandung kadar ter ringan tanpa mengandung asap cair
lagi. Oleh karena itu produksi asap cair dihentikan pada suhu ini (Nurhaya et al.
2005). Adanya kandungan senyawa poliaromatik hidrokarbon (PAH) seperti
napthelene pada suhu 500 °C membuat asap cair sudah berbahaya bagi
lingkungan dan manusia (Gallego et al. 2008). Data yang ditampikan dalam Tabel
79
80
Tabel 22 Senyawa kimia dari asap cair pada suhu pirolisis yang berbeda
No Senyawa Suhu/Area (%)
. 300 C 400 oC 500 oC
o
Hasil dari GC-MS sesuai dengan hasil penelitian dari Mohan et al. (2008)
dan Kim et al. (2008) yang menuliskan bahwa asap cair atau cuka kayu dari
bambu dan kayu memiliki lebih dari 200 komponen kimia senyawa organik
seperti alkohol, dan aldehida. Kartal et al. (2004) dan Nakai et al. (2007) juga
menyatakan bahwa cuka kayu dari bambo mengandung senyawa kimia seperti
asam asetat, formaldehid, dan fenol juga menunjukkan aktivitas antirayap.
Senyawa nafthalene pada temperatur 500 oC merupakan grup PAH, yang
berbahaya bagi lingkungan dan manusia (Gallego et al. 2008).
Berdasarkan Tabel 23, kontrol menyebabkan kematian 16.22 % dari rayap,
sementara kematian tertinggi ditemukan pada asap cair pada suhu pirolisis dari
500 oC. Pada suhu 300 oC terjadi kematian rayap karena asap cair pada suhu ini
mengandung asam asetat yang besar (46.09 %), yang berfungsi sebagai agen
termiticidal (Yatagai et al. 2002) sedangkan pada suhu 400 oC yang berperan
sebagai antirayap adalah senyawa fenolik dan turunannya yang menyebabkan
kematian rayap. Komponen fenolik seperti fenol, fenol 2-metoksi, fenol, 4-etil-2-
metoksi yang dianggap bertindak sebagai agen biosidal yang bertanggung jawab
untuk sifat termicidal asap cair (Mohan et al. 2008; Yatagai et al. 2002; Lunchak
2006).
Kehilangan berat kayu dan kematian rayap pada temperatur yang berbeda
dari pirolisis dirangkum pada Tabel 23. Di sisi lain, secara keseluruhan ada
perbedaan yang signifikan dalam perlakuan kayu pinus tanpa dicelupkan ke dalam
asap cair (kontrol) dan kayu pinus dicelupkan ke dalam asap cair. Persentase
kematian rayap akibat asap cair buah bintaro hampir sama jika dibandingkan
dengan persentase kematian rayap akibat asap cair kayu laban yaitu berkisar
antara 95 – 100 % (Oramahi et al. 2013).
Tabel 23 Efisiensi kematian rayap dan kehilangan berat kayu dari asap cair
Perlakuan (oC) Kematian (%) Kehilangan berat kayu(%)
Kontrol 16.22 11.61
300 97.58 2.56
400 96.44 2.22
500 100 2.33
82
kayu laban yang berkisar antara 9.79 – 5.65 % (Oramahi et al. 2013). Hal ini
menunjukkan bahwa asap cair buah bintaro dapat berfungsi sebagai antifeedant
atau penghambat nafsu makan rayap
Penurunan berat kayu pinus pada uji anti rayap adalah 11.61 % untuk
kontrol, hal ini menunjukkan bahwa kontrol memiliki persentase tertinggi
penurunan berat kayu, berarti bahwa kelas ketahanan kayu pinus sangat rendah
(IV) jika tanpa dicelupkan dalam asap cair yang menyebabkan kayu pinus sangat
rentan untuk diserang rayap. Akan tetapi kondisi berbeda ditemukan di kayu pinus
yang dicelupkan ke dalam asap cair, yang memiliki persentase penurunan berat
kayu rendah (2.22-2.56 %). Hasil ini menunjukan bahwa daya tahan kayu dapat
berubah jika kayu pinus dicelupkan ke dalam asap cair. Kelas daya tahan kayu
dirangkum dalam Tabel 24.
Hasil yang tertera pada Tabel 24 sesuai dengan yang disampaikan oleh Kim
et al. (2008) yang menyatakan bahwa keawetan kayu juga sangat dipengaruhi
oleh kandungan senyawa ekstraktif yang memiliki sifat sebagai pestisida atau anti
rayap alami, umumnya semakin tinggi kandungan ekstraktif pada kayu seperti
asam lemak, lilin dan terpentin, maka keawetan kayu alami cenderung meningkat.
Kayu pinus merupakan kayu lunak yang memiliki kandungan senyawa ekstraktif
yang lebih sedikit dan ikatan antar pori-pori yang lebih lunak dibanding kayu
keras seperti kayu jati sehingga mudah dirusak rayap.
Tabel 25. One-way ANOVA: respon kematian rayap terhadap perlakuan asap cair
pada berbagai suhu pirolisis.
Sumber DF SS MS F P
Perlakuan 3 15066.6 5022.2 299.40 0.00000
Error 8 134.2 16.8
Total 11 15200.8
S = 4.096 R-sq = 99.12% R-sq(adj) 98.79%
83
Pada uji pendahuluan karakteristik arang aktif, pada Tabel 26 terlihat bahwa
kadar air yang tidak memenuhi syarat didapati pada arang yang diaktivasi dengan
KOH 10 % sebesar 15.71 % dalam waktu 60 menit dan 90 menit sebesar 15.03 %
serta arang yang diaktivasi oleh asam fosfat 10 % dalam waktu 60 menit sebesar
16.31 %. Menurut El-Hendaway (2003), kadar air arang aktif yang tinggi
disebabkan oleh proses pendinginan, penggilingan dan pengayakan arang aktif
84
pada saat proses pembuatan. Seperti diketahui bahwa preparasi sampel arang aktif
berupa penggilingan dan pengayakannya dilakukan pada ruang terbuka sehingga
uap air di udara dapat terserap masuk ke dalam pori-pori arang aktif.
Adapun untuk kadar abu arang aktif, tidak ada satupun arang aktif yang
kadar abunya memenuhi standar mutu arang aktif teknis bentuk serbuk. Besarnya
kadar abu ini disebabkan terdapatnya senyawa non-karbon yang menempel pada
permukaan arang aktif terutama atom H maupun atom O yang terikat kuat pada
atom C pada permukaan arang aktif dalam bentuk CO2, CO, CH4 dan H2..
Senyawa non karbon tersebut merupakan suatu pengotor yang menutupi pori-pori
dari arang aktif, sehingga akan mengurangi efektifitasnya dalam menyerap
adsorbat. Tingginya kadar abu ini juga karena adanya proses oksidasi yang terjadi
pada suhu tinggi di samping karena banyaknya sisa aktivator yang yang terbakar
menjadi abu.
Uji pendahuluan untuk parameter kadar zat terbang semuanya memenuhi
syarat mutu arang aktif teknis. Kadar zat terbang tertinggi terdapat pada arang
yang diaktivasi dengan KOH 10 % dalam waktu 60 menit dan yang terendah yang
diaktivasi dengan H3PO4 5 % dengan waktu aktivasi 90 menit. Kadar zat terbang
yang tinggi menunjukkan bahwa permukaan arang aktif mengandung zat terbang
yang berasal dari hasil interaksi antara karbon dengan uap air (Pari 2004).
Adapun untuk parameter karbon terikat, diketahui bahwa arang yang
diaktivasi KOH 10 % selama 90 menit dan arang yang diaktivasi dengan asam
fosfat 10 % baik dalam waktu 60 maupun 90 menit tidak memenuhi syarat mutu
arang teknis. Besar kecilnya kadar karbon terikat yang dihasilkan, selain
dipengaruhi oleh tinggi rendahnya kadar zat terbang dan kadar abu juga
dipengaruhi oleh kandungan selulosa dan lignin bahan yang dapat dikonversi
menjadi atom karbon (Pari 2004). Kadar karbon yang cukup tinggi ini
menunjukkan sedikitnya atom karbon yang bereaksi dengan uap air menghasilkan
gas CO sehingga atom karbon tertata kembali membentuk struktur heksagonal
yang cukup banyak. Kondisi ini mengindikasikan arang aktif buah bintaro
mempunyai daya serap yang cukup tinggi.
Daya adsorpsi iod memiliki korelasi dengan luas permukaan arang aktif.
Semakin besar angka iod, semakin besar kemampuan arang aktif dalam
mengadsorpsi adsorbat atau zat terlarut (Subadra et al. 2005). Salah satu metode
yang digunakan dalam analisis daya adsorpsi arang aktif terhadap iod adalah
dengan metode titrasi iodometri. Kereaktifan dari arang aktif dapat dilihat dari
kemampuannya mengadsorpsi adsorbat. Daya adsorpsi tersebut dapat ditunjukkan
dengan besarnya angka iod (iodine number) yaitu angka yang menunjukkan
seberapa besar adsorben dapat mengadsorpsi iod. Semakin besar nilai angka iod
maka semakin besar pula daya adsorpsi dari adsorben.
Menurut Heyen-Fu et al. (2011), besarnya daya jerap arang aktif terhadap
iod berhubungan dengan banyaknya mikropori yang terbentuk, yang hanya
mampu dimasuki oleh molekul dengan diameter pori kurang dari 10 Å. Daya jerap
terhadap iodin yang rendah disebabkan oleh adanya kotoran yang menyumbat
pori-pori arang aktif hingga permukaan arang aktif tidak terbuka. Daya serap iod
arang aktif buah bintaro, semuanya memenuhi syarat mutu arang aktif teknis
berdasarkan SNI 06-3730-1995. Daya serap iod tertinggi diperolah dari arang
yang diaktivasi oleh uap air selama 60 menit dan daya serap iod terendah didapat
85
dari arang yang diaktivasi oleh asam fosfat dengan konsentrasi 10 % selama 60
menit.
Persentase rendemen yang dihasilkan oleh arang aktif menunjukkan bahwa
semakin lama waktu aktivasi, persentase rendemen yang dihasilkan akan semakin
kecil. Penurunan persentase rendemen pada saat aktivasi sangat dipengaruhi oleh
kadar air. Semakin tinggi kadar air, rendemen akan semakin kecil karena air dapat
melarutkan sebagian pengotor pada permukaan arang hasil karbonisasi sehingga
mengurangi bobot arang aktif. Semakin tinggi konsentrasi aktivator juga akan
meningkatkan rendemen arang aktif karena selama aktivasi akan terjadi reaksi
depolimerisasi, dehidrasi dan perubahan senyawa alifatik menjadi aromatik antara
aktivator dan arang sehingga meningkatkan bobot arang aktif. Rendemen arang
aktif tertinggi dicapai dari arang yang diaktivasi KOH 5 % selama 60 menit
(Tabel 26).
Berdasarkan hasil analisis proksimat arang aktif diketahui bahwa tidak ada
arang aktif yang memenuhi keseluruhan persyaratan SNI kualitas arang aktif,
sehingga semua arang aktif dicobakan untuk mengolah limbah cair krom dari
laboratorium.
Topografi Arang Aktif Percobaan Pendahuluan
Berdasarkan Gambar 28 menunjukkan bahwa topografi arang aktif yang
mempunyai ukuran pori yang besar dan banyak yaitu pada arang yang diaktivasi
dengan uap air pada waktu aktivasi 60 menit dan arang yang diaktivasi dengan
KOH dengan konsentrasi 5 % selama 60 menit. Hal ini juga terlihat dari ukuran
diameter pori yang terbesar terdapat pada arang yang aktivasi oleh uap air dengan
waktu aktivasi selama 60 menit dengan diameter pori sebesar 13.84 µm.
Selanjutnya urutan kedua diikuti oleh arang yang diaktivasi oleh KOH dengan
konsentrasi 5 % dengan waktu aktivasi 60 menit dengan diameter pori sebesar
11.52 µm.
86
Gambar 28 (d) dan (f) menunjukkan banyak abu yang menutupi permukaan
pori-pori arang aktif. Hal ini terjadi karena komponen ter dan senyawa aromatik
lainnya yang berasal dari bahan baku yang tidak terkena perlakuan asam fosfat,
menyebabkan komponen tersebut bereaksi dengan permukaan bahan baku selama
pirolisis dan mempengaruhi distribusi pori-pori karbon aktif.
Pada Tabel 27 juga menunjukkan bahwa arang aktif yang diaktivasi dengan
H3PO4 dengan waktu aktivasi yang sama dan konsentrasi yang berbeda
menunjukan bahwa semakin besar konsentrasi zat pengaktivasi, semakin besar
diameter pori dari arang aktif.
Tabel 27 Diameter permukaan pori arang aktif dari hasil berbagai aktivator dan
waktu aktivasi
Jenis aktivator Diameter arang aktif (µm)
A1W1S1 13.84
A2W1S1 11.52
A2W2S1 8.8
A3W2S1 11.2
A4W2S1 8.6
A5W2S1 10.4
Standar makro pori arang aktif > 0.025 µm
Keterangan: A1 = Aktivasi dengan uap air A2 = Aktivasi dengan KOH 5 %
W1 = Waktu aktivasi 60 menit A3 = Aktivasi dengan KOH 10 %
W2 = Waktu aktivasi 90 menit A4 = Aktivasi dengan H3PO4 5 %
S1 = Suhu aktivasi pada 650 oC A5 = Aktivasi dengan H3PO4 10 %
50
Transm
45
40
2845.16
2318.51
2114.07
1909.84
1364.94
1041.97
88
100
90
80
Transmittance [%]
70
60
50
40
30
2915.26
1572.11
1365.63
975.92
822.36
463.71
3500 3000 2500 2000 1500 1000 500
Wavenumber cm-1
2291.62
1367.69
90
Aktivasi arang pada suhu 650 oC yang diikuti dengan pemberian uap air
menyebabkan derajat kristalinitas arang aktif menjadi lebih rendah atau bersifat
amorf dibandingkan dengan arangnya. Sifat amorf tersebut terjadi karena jarak
antar lapisan aromatik bertambah. Perubahan ini menyebabkan tingkat keteraturan
yang semula tinggi (kristalin) berubah menjadi tidak beraturan (amorf) sehingga
celah diantara kristal semakin lebar. Hal ini didukung dengan adanya pergeseran
pada struktur kristalin arang aktif (Schulkin et al. 2002). Selama proses aktivasi
dengan suhu yang tinggi, lempeng karbon kristalit atau celah menjadi tidak teratur
dan mengalami pergeseran sehingga permukaan kristalit atau celah menjadi
terbuka. Hal ini disebabkan gas pengaktif mendorong residu hidrokarbon seperti
ter, fenol, metanol, dan senyawa lain yang menempel pada permukaan arang.
Pergeseran lempeng karbon kristalit selain membentuk pori baru, juga
mengembangkan ukuran pori yang sudah ada, sehingga dari mikropori menjadi
makropori (Miura et al. 2000).
Hasil analisis XRD pada Gambar 32 menunjukkan perubahan pola difraksi
arang setelah diaktivasi, di antaranya pergeseran puncak utama ke arah sudut 2 Ѳ
lebih besar dari 22o ke 26o mendekati puncak grafit dan muncul 2 puncak baru di
sekitar 2 Ѳ sudut 29.9-31.19o. Pada karbon aktif, struktur kristal seperti halnya
grafit pada sudut 2 Ѳ di sekitar 26 tidak tampak. Perpaduan dari kedua puncak
dari arang aktif yang diaktivasi dengan KOH (29.90 o dan 31.9 o) mengindikasikan
bahwa karbon aktif bersifat turbostatic yang merupakan struktur intermediat antara
struktur kristal dan grafit dengan jaringan heksagonal yang masih paralel, tidak memiliki
susunan yang tepat satu sama lain. Penyusunan yang tidak tepat ini mirip dengan
91
tumpukan kartu di mana sisi panjang dan pendek tidak teratur. (Sonibare et al. 2010).
Lampiran 24, 25, 26 dan 27 merupakan difraktogram arang aktif .
A = Buah bintaro
B = Arang aktivasi uap air
C = Arang aktivasi KOH 10%
A D = Arang aktivasi H3PO4 10%
E= Arang aktivasi KOH 5%
B
C
E D
Gambar 33 Hasil uji kualitatif limbah krom pada kondisi pH asam, basa, dan
netral
Menurut Tang et al. (2009) pengolahan krom sangat tergantung terhadap
pH, waktu kontak konsentrasi awal limbah, temperatur dan dosis adsorben. Oleh
karena itu selanjutnya pengolahan limbah cair krom dari laboratorium dilakukan
pada kondisi pH asam. Proses adsorpsi limbah cair krom dari laboratorium
dilakukan dengan dosis 1 %. Sebanyak satu gram arang aktif yang sudah
92
dihaluskan, diayak dan lolos saringan 100 mesh dimasukkan dalam 100 mL air
limbah. Selanjutnya diaduk dengan mangnetic stirrer pada kecepatan 120 rpm
selama satu jam pada temperatur kamar dan setelah itu disaring dengan kertas
whatman 42. Adapun hasil analisis limbah cair dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31 Hasil pengujian adsorpsi arang aktif terhadap limbah cair krom
Limbah+ pH pH COD TDS DHL BOD Krom
Aktivator limbah a.aktif + (ppm) (ppm) (µS/cm) (ppm) (ppm)
hasil aquadest
adsorpsi
Limbah
6.44 155.25 1526 3060 25.65 2.81
krom awal
Limbah
krom
3.07 153.9 881.5 1765 60.95 2.58
(kondisi
asam)
A4W1S1 7.18 11.33 71.21 669 1.34 3.88 0.73
A4W2S1 7.78 10.85 39.89 815 1.63 3.60 0.44
A5W1S1 7.03 9.51 40.25 1162 2.32 6.14 1.67
A5W2S1 7.93 9.82 23.68 972 1.94 3.39 0.09
A2W1S1 7.15 11.56 40.24 945 1.89 3.21 0.01
A2W2S1 7.87 11.70 1.62 39.89 1.62 0.89 2.25
A3W1S1 7.28 11.36 55.73 1282 2.56 1.95 0.10
A3W2S1 9.07 11.58 31.01 1618. 3.24 2.63 1.83
5
A1W1S1 8.30 9.54 61.92 1274 2.55 4.05 0.21
A1W2S1 9.04 7.29 56.10 1392 2.79 2.16 1.74
Standar* 6-9 Maks Maks Maks Maks
100 2000 50 0.5
Keterangan: *Standar : PermenLH No 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah
bagi usaha atau kegiatan yang belum memiliki baku mutu air limbah yang
ditetapkan
A1 = Aktivasi dengan uap air A2 = Aktivasi dengan KOH 5 %
W1 = Waktu aktivasi 60 menit A3 = Aktivasi dengan KOH 10 %
W2 = Waktu aktivasi 90 menit A4 = Aktivasi dengan H3PO4 5 %
o
S1 = Suhu aktivasi pada 650 C A5 = Aktivasi dengan H3PO4 10 %
Berdasarkan hasil analisis limbah cair krom yang dilakukan, seperti yang
dilampirkan dalam Lampiran 28, diketahui bahwa untuk parameter pH, TDS,
BOD, COD, memenuhi standar baku mutu lingkungan (BML) sesuai PermenLH
No. 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi usaha atau kegiatan yang
belum memiliki baku mutu air limbah yang ditetapkan. Semakin banyak arang
aktif yang digunakan maka akan semakin banyak pula zat-zat organik yang dapat
93
masuk ke dalam pori-pori arang aktif. Zat-zat organik yang terdapat dalam limbah
cair diadsoprsi oleh pori-pori arang aktif sehingga berkurang jumlahnya dan
menurunkan kadar TDS, COD dan BOD pada limbah tersebut. Menurut Lim dan
Wang (2013) untuk nilai pH akan mengalami kenaikan karena adanya serapan ion
hidrogen (H+) oleh arang aktif. Hal inilah yang menyebabkan nilai pH cenderung
naik, seiring dengan lamanya waktu aktivasi.
Pada Tabel 31 menunjukan bahwa pH awal arang aktif yang dilarutkan
dalam aquadest cenderung bersifat basa walaupun menggunakan aktivator yang
berbeda dan waktu aktivasi yang berbeda. Hal inilah yang menyebabkan pH air
limbah cenderung meningkat setelah diadsorpsi dengan arang aktif buah bintaro.
Adapun untuk pengolahan logam krom yang tidak memenuhi standar BML
(0.5 µg/mL) adalah arang yang diaktivasi dengan KOH 5 % dan 10 % waktu
aktivasi 90 menit sebesar 2.25 µg/mL dan 1.83 µg/mL, aktivasi uap air dengan
waktu aktivasi 90 menit sebesar 1.74 µg/mL, kemudian aktivasi H3PO4 5 %, 10 %
dengan waktu aktivasi 60 menit sebesar 0.73 µg/mL dan 1.67 µg/mL. Arang aktif
yang paling efektif untuk menurunkan kadar krom total adalah adalah arang yang
diaktivasi dengan KOH 5 % selama 60 menit dengan kadar krom sebesar 0.01
µg/mL. Hal ini dapat terjadi karena logam krom (VI) teradsorpsi maksimum pada
kondisi pH asam. Menurut Mohammed et al. (2010) penghilangan logam krom
(VI) oleh karbon aktif dapat ditingkatkan pada kisaran pH asam pH 2.0 dan 4.0.
Efek menguntungkan dari pH rendah dapat dikaitkan dengan netralisasi muatan
negatif pada permukaan adsorpsi dengan ion hidrogen berlebih, sehingga
memfasilitasi difusi ion hidrogen kromat dan adsorpsi kromat berikutnya. Muatan
negatif didapat dari hasil gugus fungsi oksigen seperti lakton atau gugus fungsi
hidroksil. Logam krom (VI) dapat teradsorpsi fisik pada permukaan pori-pori
karbon aktif, apalagi arang aktif yang diaktivasi dengan KOH 5 % selama 60
menit mempunyai luas permukaan yang paling besar dibandingkan dengan arang
aktif lainnya, sehingga adsoprsi maksimum terjadi pada arang aktif yang
diaktivasi dengan KOH 5 % dalam waktu 60 menit. Hasil pengujian kualitas
limbah cair krom dari laboratorium sebelum dan setelah adsorpsi dapat dilihat
selengkapnya di Lampiran 28.
94
serabut. Selain itu nilai kadar abu juga menunjukkan jumlah sisa senyawa
anorganik dari hasil proses pembakaran berupa zat–zat mineral yang tidak hilang
selama proses pembakaran. Peningkatan kadar abu terjadi karena terbentuknya
garam–garam mineral pada saat proses pengarangan yang bila proses tersebut
berlanjut akan membentuk partikel–partikel halus dari garam–garam mineral
tersebut (Pari et al. 2004). Kadar air pada arang yang diaktivasi dengan asam
fosfat, semuanya memenuhi standar berdasarkan SNI 06-3730-1995 tentang syarat
mutu arang aktif teknis serbuk. Kadar air tertinggi dihasilkan dari arang yang
diaktivasi dengan H3PO4 80 % dan kadar air terendah diperoleh dari arang yang
diaktivasi dengan H3PO4 20 %.
Tabel 32. Hasil karakterisasi arang aktif asam fosfat
Perlakuan Kadar Kadar Kadar Karbon Daya serap Rendemen
air (%) abu (%) zat terikat iod (mg/g) (%)
terbang (%)
(%)
A6W2S1 4.88 29.98 1.03 68.99 812.811 62.85
A7W2S1 5.35 28.16 1 70.83 925.520 58.57
A8W2S1 6.06 31.41 1.11 67.49 950.332 57.14
A9W2S1 7.38 33.19 1.21 65.61 857.61 54.29
Standar* maks 15 maks 10 maks 25 min 65 min 750
Keterangan: *Standar = SNI 06-3730-1995 tentang syarat mutu arang aktif teknis
A6 = Aktivasi dengan H3PO4 20 % A7 = Aktivasi dengan H3PO4 40 %
W2 = Waktu aktivasi 90 menit A8 = Aktivasi dengan H3PO4 60 %
o
S1 = Suhu aktivasi 650 C A9 = Aktivasi dengan H3PO4 80 %
menjadi arang aktif juga menunjukkan bahwa permukaan arang aktif mengandung
zat terbang yang berasal dari hasil interaksi antara karbon dengan aktivator (Pari
et al. 2004).
Adapun untuk parameter karbon terikat, diketahui bahwa arang yang
diaktivasi H3PO4 40 % memiliki kadar karbon terikat yang tinggi dan arang yang
diaktivasi dengan H3PO4 80 % memiliki kadar karbon terikat yang terendah.
Besar kecilnya kadar karbon terikat yang dihasilkan, selain dipengaruhi oleh
tinggi rendahnya kadar zat terbang dan kadar abu. juga dipengaruhi oleh
kandungan selulosa dan lignin bahan yang dapat dikonversi menjadi atom karbon
(Pari et al. 2004). Kondisi ini mengindikasikan arang aktif buah bintaro
mempunyai daya serap yang relatif tinggi. Data hasil kadar zat terbang yang
rendah dan tingginya kadar abu arang aktif mendukung tingginya kadar karbon
terikat. Kadar karbon terikat yang relatif tinggi ini menunjukkan sedikitnya atom
karbon yang bereaksi dengan uap air menghasilkan gas CO, sehingga atom karbon
tertata kembali membentuk struktur heksagonal yang cukup banyak.
Daya serap iod memiliki korelasi dengan luas permukaan arang aktif.
Semakin besar angka iod, semakin besar kemampuan arang aktif dalam
mengadsorpsi adsorbat atau zat terlarut (Subadra et al. 2005). Bila karbon aktif
memiliki luas permukaan besar akan memberikan bidang kontak yang lebih besar
antara adsorben dan adsorbatnya, sehingga adsorbat dapat terserap lebih banyak
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa daya serap iod yang tinggi didapat
pada arang yang diaktivasi oleh H3PO4 60 % dan daya serap iod terendah didapat
pada arang yang diaktivasi oleh H3PO4 20 %. Daya jerap terhadap iod yang
rendah disebabkan oleh adanya kotoran yang menyumbat pori-pori arang aktif
hingga memperkecil luas permukaan pori. Daya serap iod arang aktif cangkang
buah bintaro, semuanya memenuhi syarat mutu arang aktif teknis berdasarkan
SNI 06-3730-1995.
Pada Tabel 32 terlihat bahwa perubahan variasi konsentrasi asam fosfat
akan sangat mempengaruhi rendemen dari arang aktif yang dihasilkan. Rendemen
arang aktif yang terendah dihasilkan dari karbon aktif yang diaktivasi dengan
konsentrasi 80 % H3PO4 sebesar 54.29% sedangkan yang tertinggi dihasilkan
pada konsentrasi 20 % H3PO4 sebesar 62.85 %. Semakin besar konsentrasi bahan
pengaktif yang digunakan maka semakin kecil rendemen karbon aktif yang
dihasilkan. Hal ini disebabkan senyawa-senyawa organik dan zat-zat yang relatif
sulit menguap pada karbon aktif semakin berkurang jumlahnya. Semua produk
yang dihasilkan pada saat aktivasi berbentuk gas, sehingga zat-zat organik dan zat
yang sulit menguap pada karbon aktif akan terbawa keluar oleh gas-gas yang
tersebut. Semakin pekat larutan asam fosfat yang digunakan maka akan semakin
banyak gas-gas yang terbentuk, sehingga akan semakin banyak pula zat-zat
organik pada karbon aktif yang keluar dan jumlahnya akan semakin berkurang.
Hal ini berakibat pada rendemen karbon aktif yang dihasilkannya menjadi
rendah. Semakin kecil rendemennya, maka semakin baik karbon aktif yang
dihasilkan.
Identifikasi Topografi Arang Aktif dengan SEM
Topografi dari arang aktif dengan SEM pada perbesaran 500x dengan skala
20 µm memperlihatkan bahwa arang yang diaktivasi dengan asam fosfat telah
mengalami perbesaran pori-pori, seperti yang dilihat pada Gambar 34. Diameter
96
pori arang aktif yang diaktivasi dengan H3PO4 20 % (Gambar 34a) mempunyai
diameter pori terkecil sebesar 4.467 µm, dan diameter pori terbesar sebesar 12.51
µm, sedangkan diameter pori arang aktif yang diaktivasi dengan H3PO4 40 %
(Gambar 34b) mempunyai pori-pori dengan diameter terkecil berukuran sebesar
5.807 µm dan diameter pori terbesar berukuran 21.00 µm. Adapun diameter pori
pada arang aktif yang diaktivasi dengan H3PO4 60 % (Gambar 34c) mempunyai
ukuran diameter pori terkecil sebesar 10.72 µm dan diameter pori terbesar
sebesar 7.25 µm, sedangkan arang aktif H3PO4 80 %(Gambar 34d) mempunyai
diameter pori terkecil sebesar 9.828 µm dan diameter pori terbesar sebesar 16.98
µm.
(a)Topografi arang aktif H3PO4 20% (b) Topografi arang aktif H3PO4 20%
(c) Topografi arang aktif H3PO4 60% (d) Topografi arang aktif H3PO4 80%
Gambar 34. Topografi arang aktif percobaan utama
Struktur dan ukuran pori hasil karakterisasi dengan SEM menunjukkan
bahwa selama proses aktivasi pelat-pelat karbon kristalit yang tidak teratur
mengalami pergeseran, sehingga permukaan kristalit menjadi terbuka terhadap gas
pengaktif yang dapat mendorong residu-residu hidrokarbon. Selain itu, larutan
H3PO4 sebagai aktivator juga mempengaruhi besarnya ukuran diameter pori
karena larutan H3PO4 bersifat asam, sehingga mampu mengangkat senyawa
hidrokarbon atau zat pengotor. Hal ini menyebabkan terjadinya pembentukan pori
pada permukaan karbon. Berdasarkan hasil uji SEM, peningkatan konsentrasi
asam fosfat akan memperbesar diameter pori. Akan tetapi ketika konsentrasi
diperbesar sampai 80 %, diameter pori berubah menjadi lebih kecil. Hal ini terjadi
karena aktivator asam fosfat akan langsung bereaksi dengan selulosa ketika
dicampurkan dan akan membentuk ikatan glikosida yang terhidrolisis. Namun
demikian ketika konsentrasi asam fosfat yang dicampurkan terlalu tinggi akan
menyebabkan ter terbentuk lebih banyak dan menyebabkan sumbatan pada pori.
(Timur et al. 2006). Hasil Uji SEM sesuai dengan data hasil daya serap iod, yang
97
menunjukan daya serap iod arang aktif menurun pada konsentrasi aktivator asam
fosfat sebesar 80 %.
Pada Gambar 35, terlihat serapan di bilangan gelombang 885. 840 cm-1
dan bilangan gelombang 775 cm-1 adalah deformasi gugus C-H dengan
kecenderungan berada di luar bidang (out-of-plane modus) untuk substitusi
berbeda dari cincin benzena. Spektrum di wilayah antara bilangan gelombang
1300 cm-1 dan 900 cm-1 menunjukkan gugus C=O stretching dari asam, alkohol,
fenol, eter, dan ester akibat adanya karbon yang teroksidasi. Namun, apa yang jadi
ciri khas senyawa karbon fosfor karena dalam karbon aktif asam fosfat di wilayah
serapan antara bilangan gelombang 900 cm-1 dan 1300 cm-1. Spektrum di
bilangan gelombang 1300-900 cm-1 dialokasikan khusus untuk spesies fosfor
seperti P=O, O-C stretching di P-O-C dari aromatik dan P=OOH . Spektrum di
bilangan gelombang 696an cm-1 dan 850 cm-1 dialokasikan untuk subsitusi
aromatik oleh gugus fungsi aliphatik dan spektrum di bilangan gelombang 609
cm-1 ditujukan untuk vibrasi lentur O-H di luar bidang (out of plane).
Spesi krom (VI) sangat tergantung terhadap nilai pH dari limbah cair
tersebut, spesi krom (VI) bisa dalam bentuk dikromat (Cr2O72-), hidrokromat
(HCrO4-), kromat (CrO42-) dan kalium kromat (KCrO4-). sebagaimana yang
terlihat dalam Gambar 36. Spesi krom (III) juga dapat dalam bentuk kromium
hydrat trivalen, Cr(H2O)63+, dan senyawa kompleks kromium hidroksida,
Cr(OH)(H2O)5 2+ atau Cr(OH)2(H2O)4 (Silva et al.2009).
Gambar 36 Spesi krom (VI) dalam berbagai nilai pH (Vieira et al. 2014)
98
70,00
% 60,00
R
50,00
o
m C 40,00
66,55 pH = 3.07
o r 30,00 54,45
60,14 58,01
54,09 pH = 6.44
49,11
v 20,00 41,28
34,16 32,74 34,52
a 28,11 24,91 pH = 9.78
10,00
l
0,00
H3PO4 20% H3PO4 40% H3PO4 60% H3PO4 80%
Konsentrasi Aktivator H3PO4
(III) dan dinding sel arang aktif. Namun dengan meningkatkan konsentrasi
aktivator menyebabkan protonasi gugus fungional menjadi naik kembali sehingga
kemampuan adsorpsi Cr2O7-2- menjadi naik. Berikut ini reaksi krom (VI) dalam
kondisi asam menurut Silva et al. (2014).
Cr2O7-2- + 14H+ + 6e - ↔ 2Cr3+ + 7H2O (1)
CrO42- + 8H+ + 3e- ↔ Cr3+ + 4H2O (2)
HCrO4 - + 7H+ + 3e- ↔ Cr3+ + 4H2O (3)
H2CrO4 + 6H+ + 3e- ↔ Cr3+ + 4H2O (4)
Pada pH asam, untuk arang aktif yang diaktivasi dengan asam fosfat 20 %,
60 % dan 80 % hasil kali konsentrasi ion hidroksida dan logam krom lebih kecil
dari nilai Ksp Cr(OH)3 = 6.1 x 10-31 sehingga sebagian besar ion krom larut.
Adapun pada arang aktif yang diaktivasi dengan asam fosfat 40 %, hasil kali
konsentrasi ion hidroksida dan logam krom (III) melebihi nilai Ksp Cr(OH)3,
sehingga menyebabkan terbentuknya endapan Cr(OH)3 yang menyebabkan
konsentrasi ion krom yang teradsorpsi berkurang dan banyak endapan krom yang
tertahan di kertas saring.
Peningkatan pH larutan meningkatkan muatan negatif pada sel permukaan
karena deprotonasi tempat ikatan logam akan menarik Cr (III) ion yang dihasilkan
dari reduksi Cr (VI). Pada pH netral menunjukkan semakin besar konsentrasi
aktivator efisiensi penyerapan juga naik. Removal krom terbesar (41.28 %) terjadi
pada arang yang diaktivasi dengan H3PO4 80 %. Pada pH netral, spesies dominan
adalah HCrO4-, CrO42- dan Cr2O72-. Semua spesies kromium ini hadir dengan
oksidasi dari +6, Cr (VI). Dalam hal ini, Cr (VI) ion berperilaku sebagai
oxoanions dalam larutan aqua dengan muatan keseluruhan (-1) atau (-2). Muatan
ini mungkin mengikat gugus fungsional bermuatan positif (misal gugus fungsi
amino) saat terprotonasi. Dalam hal ini, daya tarik elektrostatik dapat
berkontribusi signifikan terhadap mekanisme adsorpsi karena, pada pH netral,
beberapa gugus fungsi amino terprotonasi (Vieira et al. 2014)
Adapun pada pH basa, persentase removal krom tertinggi sebesar 66.55 %
terjadi pada arang yang diaktivasi dengan H3PO4 20 %. Kemampuan adsorpsi
arang cenderung menurun pada konsentrasi aktivator yang lebih besar. Di atas pH
6, adsorpsi menurun karena ada kompetisi antara OH- dan ion kromat (CrO42-).
Potensial muatan positif dari permukaan adsorben menurun dengan naiknya pH
larutan sehingga melemahkan gaya elektrosatik muatan yang tolak-menolak
antara adsorbat dan adsorben sehingga menurunkan kemampuan penyerapan
krom. Namun hal ini tidak berlaku untuk konsentrasi aktivator yang kecil karena
terlalu kecilnya konsentrasi menyebabkan masih ada gugus fungsi arang yang
terprotonasi dan bermuatan positif sehingga terjadi tarik-menarik antara adsorbat
dan adsorben menyebabkan kemampuan adsorpsi naik. Perhitungan hasil
persentase removal krom dapat dilihat pada Lampiran 33.
Pada pH > 7.0 arang aktif yang diaktivasi dengan asam fosfat 20 %, 40 %
dan 80 % ion Cr (III) juga terendapkan sebagai Cr(OH)3 dengan terlewatinya
harga Ksp Cr(OH)3 dalam larutan, sehingga jumlah ion teradsorpsi berkurang dan
banyak endapan krom yang tersaring. Pada pH yang tinggi, gugus hidroksida
merupakan ligan yang lebih efektif dibandingkan gugus aktif karboksilat dan
amina amina, sehingga ion logam lebih tertarik untuk berikatan dengan ligan
hidroksida mengakibatkan proses pengendapan lebih dominan daripada proses
100
adsorpsi dalam larutan. Adapun pada arang aktif yang diaktivasi dengan asam
fosfat 60 %, nilai Ksp Cr(OH)3 lebih besar dari hasil kali konsentrasi ion
hidroksida dan logam krom (III) sehingga menyebabkan banyak krom terlarut
teradsorpsi oleh arang aktif. Hasil perhitungan Ksp dapat dilihat pada Lampiran
34.
Berdasarkan Tabel 33 diketahui bahwa nilai pH limbah cair logam berat
krom yang memenuhi baku mutu air limbah adalah pada limbah yang diadsorpsi
dengan arang aktif asam fosfat 40 % pada kondisi netral sebesar 6.67 dan kondisi
basa sebesar 7.11. Nilai pH limbah cair krom setelah diadsorpsi dengan arang
yang diaktivasi dengan asam fosfat 40 % dapat memenuhi baku mutu lingkungan
(BML) karena pada kondisi limbah yang netral dan basa, konsentrasi aktivator
asam fosfat 40 % tidak cukup kuat untuk menyebabkan terjadinya perubahan
drastis pada nilai pH limbah cair. Pada pH rendah permukaan adsorben dikelilingi
oleh ion H+ (karena gugus fungsi yang terdapat pada adsorben terprotonasi),
sehingga banyak ion H+ yang terbaca di pH meter yang menyebabkan nilai pH
menjadi semakin rendah (Lim dan Wang 2013). Selain itu karena arang aktif
dibuat dengan aktivator asam fosfat menyebabkan semakin tinggi konsentrasi
aktivator akan menyebabkan perubahan yang drastis terhadap kondisi pH limbah
yang terukur setelah adsorpsi.
Berdasarkan data di Tabel 33 pengukuran pH arang aktif yang dilarutkan
dalam aquadest menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi aktivator asam
fosfat, nilai pH cenderung menurun. Nilai pH air limbah yang rendah disebabkan
karena karbon aktif lebih banyak menyerap logam krom dan bahan-bahan organik
yang terkandung pada limbah cair sehingga penyerapan ion H” tidak maksimal
(Notodarmojo 2005).
Parameter TDS limbah cair logam berat krom tidak memenuhi syarat pada
air limbah yang diadsorpsi oleh arang aktif asam fosfat 60 % pada kondisi pH
asam sebesar 2145 ppm dan basa sebesar 2160 ppm. Tingginya nilai TDS pada
limbah cair yang diadsorpsi oleh arang aktif asam fosfat 60 % karena pada kondisi
limbah yang bersifat asam dan basa, dan aktivator asam fosfat dengan konsentrasi
tinggi menyebabkan banyak senyawa anorganik seperti logam krom mengendap
menjadi Cr(OH)3. Data pengukuran pH, DHL, TDS dapat dilihat pada Lampiran
35.
Adapun untuk parameter COD, limbah cair logam krom laboratorium yang
diadsorpsi pada kondisi pH netral belum memenuhi baku mutu air limbah untuk
semua jenis arang aktif. Hal ini disebabkan pada pH yang netral arang aktif tidak
optimum untuk menyerap zat-zat organik karena gugus amina terprotonasi
menjadi bentuk NH4+ sehingga kurang efektif untuk mengadsorpsi zat-zat organik
yang ada pada limbah cair (Baroroh et al. 2007). Kondisi berbeda untuk parameter
BOD, semua kondisi limbah cair pada pH asam, netral dan basa memenuhi baku
mutu air limbah yang dipersyaratkan yaitu maksimal 50 ppm. Hal ini terjadi
karena arang aktif asam fosfat mempunyai gugus amino, sehingga bersifat
polikationik yang dapat mengikat logam, protein, dan zat warna sehingga mampu
merurunkan nilai BOD. Data pengujian BOD secara lengkap dapat dilihat pada
Tabel 33 yang dijabarkan dalam Lampiran 36, Lampiran 37 dan Lampiran 38.
101
Tabel 33. Hasil pengujian lanjutan adsorpsi arang aktif asam fosfat terhadap
limbah cair logam berat krom dari laboratorium
Perlakuan pH hasil pH a.aktif TDS DHL COD BOD Krom
limbah adsorpsi dengan (ppm) (µS/cm) (ppm) (ppm) (ppm)
krom + air
a. aktif aquadest
Asam 3.07 3.05 881.5 1765 153.9 60.95 2.58
A6W2S1 2.88 6.62 936.5 1873.5 26.08 11.20 1.85
A7W2S1 3.72 5.97 760 1520 26.50 1.10 1.28
A8W2S1 2.18 1.96 2145 4285 33.95 0.64 1.43
A9W2S1 2.68 3.81 1140.5 2285 21.94 0.07 1.29
Netral 6.44 6.67 1526 3060 155.25 25.65 2.81
(awal)
A6W2S1 4.13 6.64 1580 1205.5 110.16 2.89 2.02
A7W2S1 6.67 5.89 479.5 957.5 105.84 3.69 1.89
A8W2S1 2.30 2.15 602.5 3165 113.13 26.82 1.84
A9W2S1 3.61 4.87 644 1287 125.82 7.88 1.65
Basa 9.78 9.83 1197.5 2400 62.93 11.25 2.78
A6W2S1 4.06 8.39 1344.5 2695 35.20 0.37 0.94
A7W2S1 7.11 7.71 1235.5 2480 30.53 0.82 2.11
A8W2S1 2.41 3.63 2160 4325 13.75 6.71 1.12
A9W2S1 4.18 5.91 1338 2670 12.01 6.95 1.18
Standar* 6-9 Maks Maks Maks Maks
2000 100 50 0.5
Keterangan: *Standar = PermenLH No 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah
bagi usaha atau kegiatan yang belum memiliki baku mutu air
limbah yang ditetapkan
A6 = Aktivasi dengan H3PO4 20 % A7 = Aktivasi dengan H3PO4 40 %
W2 = Waktu aktivasi 90 menit A8 = Aktivasi dengan H3PO4 60 %
o
S1 = Suhu aktivasi 650 C A9 = Aktivasi dengan H3PO4 80 %
102
Tabel 34 Efektivitas pengolahan limbah krom dengan adsorben arang aktif buah
bintaro
Perlakuan Limbah Efisiensi TDS Efisiensi Efisiensi Efisiensi
Krom dengan arang (%) DHL (%) COD (%)) BOD (%)
aktif
Kondisi Asam
A6W2S1 38.63 38.77 83.20 56.34
A7W2S1 50.20 50.33 82.93 95.73
A8W2S1 -40.56 -40.03 78.13 97.51
A9W2S1 25.26 25.33 85.87 99.73
Kondisi Netral
A6W2S1 -3.54 60.60 29.04 88.72
A7W2S1 68.58 68.71 31.83 85.61
A8W2S1 60.52 -3.43 27.13 -4.56
A9W2S1 57.80 57.94 18.96 69.29
Kondisi Basa
A6W2S1 11.89 11.93 77.33 98.55
A7W2S1 19.04 18.95 80.34 96.81
A8W2S1 -41.55 -41.34 91.14 73.85
A9W2S1 12.32 12.75 92.27 72.90
Keterangan: A6 = Aktivasi dengan H3PO4 20 % A7 = Aktivasi dengan H3PO4 40 %
W2 = Waktu aktivasi 90 menit A8 = Aktivasi dengan H3PO4 60 %
o
S1 = Suhu aktivasi 650 C A9 = Aktivasi dengan H3PO4 80 %
Pada parameter COD, nilai efisiensi tertinggi sebesar 92.27 % diperoleh dari
limbah cair logam berat krom yang diadsorpsi oleh arang aktif asam fosfat 80 %
pada kondisi basa. Adapun untuk efisiensi terendah sebesar 18.96 % diperoleh
dari limbah cair yang diadsorpsi oleh arang aktif asam fosfat 80 % pada kondisi
netral. Hasil penggujian COD secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 39.
Lampiran 40 dan Lampiran 41.
103
Hasil uji sidik ragam (Lampiran 42) menunjukkan bahwa seluruh aktivator
arang aktif tidak memberikan pengaruh nyata (P>0.05) terhadap kadar air, kadar
abu, kadar zat terbang, dan kadar karbon terikat. Aktivator arang aktif hanya
berpangaruh terhadap daya serap iod arang aktif. Pada uji lanjut Tukey dapat
diketahui bahwa arang aktif yang diaktivasi dengan asam fosfat 20 % sangat
berbeda nyata (P = 0.02) dengan arang aktif yang diaktivasi dengan asam fosfat
40 % dan 60 %. Hal ini sesuai ukuran diameter pori arang aktif yang diaktivasi
dengan asam fosfat 20 % yang lebih kecil dibandingkan ukuran diameter pori dari
arang aktif yang diaktivasi dengan asam fosfat 40 % dan 60 %.
104
Listrik sebagai bahan pembantu dan oli digunakan sebagai sebagai bahan pelumas
sebesar 0.5 liter per bulan.
Analisis Kelayakan Finansial
Analisis kelayakan finansial dilakukan untuk menilai kelayakan pendirian
unit pengolahan limbah RTH buah bintaro sebagai asap cair dan arang aktif dapat
dilihat pada Lampiran 48. Harga pokok produksi (HPP) dari produk arang aktif
dan asap cair pada tahun I dan ke-2 Rp 74.981.800,00 dengan harga jual arang
aktif adalah Rp14000/kg dan asap cair Rp 22000/botol dengan asumsi keuntungan
sebesar 55 % .
Hasil perhitungan finansial menunjukkan bahwa nilai net B/C asap cair dan
arang aktif cangkang buah yaitu sebesar 1.65. Nilai net B/C >1 menunjukkan
bahwa usaha pemanfaatan cangkang buah bintaro sebagai asap cair dan arang
aktif layak untuk dikerjakan (Umar 2009).
Hasil perhitungan periode pengembalian modal menunjukkan bahwa usaha
asap cair dan arang aktif akan balik modal dalam waktu satu tahun lima bulan 15
hari. Lama payback period lebih pendek dari pada umur proyek yang
direncanakan yaitu lima tahun sehingga dapat dikatakan proyek ini layak untuk
dilaksanakan (Pujawan 2004).
Nilai NPV dari perhitungan finansial usaha pemanfaatan cangkang buah
bintaro sebagai asap cair dan arang aktif bernilai positif sebesar Rp 82.201.395,58
karena nilai NPV>0 maka proyek dapat diterima (Umar 2004). Perhitungan coba-
coba untuk mendapat nilai NPV sama dengan nol maka memberikan nilai IRR
asap cair dan arang aktif cangkang buah bintaro sebesar 22.21 %. Jika nilai IRR >
tingkat suku bunga, maka investasi dapat diterima (Ibrahim 2009).
Produksi arang terpadu dengan asap cair dan arang aktif dari buah bintaro
menunjukkan hasil analisis finansial yang layak untuk dikembangkan secara
komersial. Paramater analisis finansial pada Lampiran 46, Lampiram 47 dan
Lampiran 48 menunjukkan bahwa produksi arang terpadu dengan asap cair dan
arang aktif dari buah bintaro apabila produksi akan dikembangkan secara komersil
harus mempunyai bahan baku cangkang buah bintaro kering dengan kapasitas
input sebesar 60 kg per hari, bahan baku dekat dengan RTH. Pada tahun pertama
produksi asap cair dan arang aktif mendapat keuntungan sebesar Rp 7.701.536.00.
Bintaro tersebar secara alami di daerah tropis Indo Pasifik, mulai dari
Seychelles hingga Polinesia Perancis. Jenis ini memiliki beberapa nama ilmiah
lain selain Cerbera manghas, Cerbera venenifera, Tanghinia venenifera, dan
Odollamia manghas (L.) Raf. Sylva Telluriana.
Di Indonesia, bintaro tersebar di berbagai daerah mulai dari Sumatera, Jawa,
Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku Jenis ini juga dikenal dengan berbagai
nama daerah antara lain kanyeri Putih (Bali), bilutasi (Timor), wabo (Ambon),
goro-goro guwae (Ternate), madangkapo (Minangkabau), bintan (Melayu),
lambuto (Makasar) dan goro-goro (Manado).
Biji bintaro mengandung minyak dengan kadar yang cukup tinggi yaitu
mencapai 54.33 %. Kandungan minyak tersebut merupakan potensi yang cukup
baik untuk dikembangan sebagai bahan biodiesel. Setiap satu kg minyak bintaro
dapat dihasilkan dari 2.9 kg biji bintaro yang didapat dari 36.4 kg buah bintaro
tua. Selain itu, cangkang pada buah bintaro juga dapat dikembangkan sebagai
briket arang dan arang aktif. Cangkang pada buah bintaro dapat dimanfaatkan
106
sebagai briket arang dan arang aktif dapat berasal dari buah muda maupun tua.
Pada pembuatan briket arang, setelah cangkang dijemur, kemudian dikarbonisasi
serta ditumbuk agar menjadi serbuk. Serbuk arang ini dikompaksi untuk menjadi
briket dengan menambahkan perekat. Adapun pada pembuatan arang aktif,
cangkang buah bintaro yang telah dikarbonisasi diaktivasi dengan cara fisika atau
kimia sehingga bisa dimanfaatkan untuk mengolah limbah yang mengandung
logam berat krom.
Buah bintaro tidak dapat dikonsumsi sebagai makanan karena mengandung
racun. Nama cerberra pada nama latin jenis ini berkaitan dengan kandungan
cerberin pada daun, bunga dan buahnya, yaitu suatu glikosida yang merupakan
racun yang mempengaruhi kinerja jantung dan bahkan menyebabkan kematian.
Oleh karenanya buah bintaro sering digunakan secara tradisional sebagai bahan
racun untuk berburu. Pemanfaatan buah bintaro disarankan untuk dilakukan pada
buah tua untuk mengurangi efek racun dari getahnya (Prosea 2002)
Pohon bintaro yang sudah dewasa dapat menghasilkan 300 kg buah setiap
tahun. Berat biji bintaro sekitar 79.7 gram dari setiap kilogram buah bintaro tua.
Sejauh ini pemanfaatan buah bintaro masih dalam pengembangan dan belum
diketahui potensi produksi buah bintaro di Indonesia hanya terbatas ditanam pada
hutan tanaman rakyat dan sebagai tanaman peneduh di ruang terbuka hijau (RTH).
Saat ini, RTH di Bogor hanya sekitar 10 persen dari total wilayah. Itu pun
sudah termasuk Kebun Raya Bogor yang memiliki luas sekitar 85 hektare, Hutan
Cifor seluas 65 hektare, dan sawah irigasi teknis seluas 650 hektare di tiga
kecamatan di Kota Bogor. Angka tersebut masih jauh dari yang telah ditetapkan
Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang penataan ruang untuk mengadakan RTH
yang mencapai 30 persen dari luasan daerahnya. Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang pedoman penyediaan dan pemanfaatan
ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan terdapat 101 pilihan vegetasi untuk
ditanam. Pedoman tersebut juga merekomendasikan kelompok tanaman yang
ditanam seperti pohon, perdu dan semak. Terdapat berbagai macam kategori,
mulai dari pohon beraroma, pohon berdaun indah dan pohon berbunga indah serta
perdu dan semak memiliki kategori yang sama seperti pohon tersebut.
Bintaro (Cerbera odollam) merupakan jenis pohon yang direkomendasikan
sebagai tanaman RTH sehingga akan selalu kita temui pada jalur hijau setiap kota.
Tumbuhan tersebut memiliki sistem perakaran yang cukup kuat dan tajuknya
berfungsi sebagai peneduh, penyerap polusi serta pemecah angin. Di kota Bogor,
tanaman bintaro dapat kita temui di Jl. Kol. Achmad Syam dan Jl. KH. Soleh
Iskandar.
Pohon-pohon yang ditanam di RTH fungsinya bukan hanya sekedar sebagai
peneduh atau menyerap emisi karbon semata, namun juga akan memberikan
manfaat lain dalam kehidupan sehari-hari, baik dari segi sosial, budaya dan
menjadi sumber ekonomi masyarakat. Ekologi merupakan salah satu faktor yang
sangat penting dalam menunjang tumbuh dan berkembangnya pohon-pohon di
RTH, demi mencapai manfaat yang diharapkan. Jika keadaan ekologinya sesuai
dengan yang dibutuhkan, maka manfaat lain akan muncul dengan sendirinya,
seperti hubungan sosiologi manusia dengan alam. Hubungan inilah yang
diharapkan dari adanya RTH di perkotaan, sehingga akan ada rasa menghargai
alam.
107
108
Tahap Pengembangan
(a) Secara bertahap dan massal pola pikir petani yang awalnya tanaman bintaro
hanya sebagai racun dan obat menjadi tanaman yang bernilai ekonomis.
(b) Pelaksanaan kegiatan jangka panjang membutuhkan keterpaduan tindak dari
semua pihak terkait dan diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.
(c) Pemerintah Pusat (melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan) dan Pemerintah
Daerah harus berkomitmen yang tinggi untuk membantu petani melalui kredit
perbankan dengan bunga murah dan subsidi, dalam bentuk penyediaan sarana
produksi, alat/mesin pengolahan, dan modal kerja usaha tani dan pengolahan
hasil.
Gambar 38 Bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang
110
Bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam kegiatan penataan ruang
sifatnya kontekstual, tergantung pada tingkat dan proses kegiatan penataan ruang
(perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang). Pelibatan
masyarakat dalam kegiatan penataan ruang setidaknya memperhatikan hal berikut:
111
112
Modal/Investasi
Modal atau investasi merupakan faktor pembatas bagi pengolah dalam
pengembangan usahanya. Pemerintah telah mengambil inisiatif melalui
peluncuran skema kredit pertanian dengan suku bunga 5 % untuk alat dan mesin
dalam bentuk usaha individu atau kelompok/koperasi. Sarana dan prasarana
pertanian, termasuk alat dan mesin pertanian serta pembinanan yang kontinu,
sangat perlu mendapat dukungan yang memadai dari pemerintah.
Pada tahap awal, pengembangan buah bintaro tidak memungkinkan
dilakukan sendiri oleh petani/kelompok tani, melainkan memerlukan dukungan
dari berbagai pihak terkait, terutama pemerintah daerah. Dalam hal ini,
pemerintah daerah/instansi teknis dan lembaga keuangan mempunyai peran yang
sangat menentukan. Sejalan dengan upaya pengembangan ini, pihak pabrikan
perlu melakukan penyesuaian agar mampu menyerap produk primer yang
dihasilkan petani, sehingga pengembangan akan berlangsung secara sinergi,
berkelanjutan, dan menguntungkan semua pihak.
Pengembangan Produk
Pemanfaatan buah bintaro oleh petani kebanyakan hanya sebatas digunakan
sebagai pengusir tikus dan obat luka. Usaha atau industri yang mengembangkan
produk buah bintaro yang bernilai ekonomi cukup tinggi sudah mulai dilakukan,
113
namun masih sangat sedikit dan belum mampu memanfaatkan sumber daya buah
bintaro, sehingga belum dapat meningkatkan pendapatan petani atau usaha kecil.
Potensi dan peluang pengembangan berbagai produk buah bintaro yang
bernilai ekonomi tinggi cukup besar. Potensi buah bintaro yang cukup besar
tersebut hendaknya dapat dimanfaatkan dengan sebesar-besarnya untuk
kesejahteraan rakyat. Petani buah bintaro hendaknya diberi kesempatan untuk
menikmati hasil yang lebih baik. Pengusaha di sektor hilir didorong untuk
berkembang dengan menyediakan berbagai sarana/prasarana, fasilitas
pembiayaan, aturan yang mendukung, serta berbagai upaya untuk membuka
peluang pasar. Alternatif produk yang dapat dikembangkan antara lain asap cair
buah bintaro arang, karbon aktif, biopestisida, papan partikel dari serat buah
bintaro dan minyak biodiesel. Efektifnya pembinaan dan pengendalian kegiatan
pengembangan membutuhkan wadah permanen yakni kelompok tani dengan unit
pengolahannya. Peran petani menyediakan bahan baku, mengolah dan
memasarkan produk yang dihasilkan, dengan bimbingan teknis dan manajemen
usaha dari instansi pemerintah yang terkait, sehingga petani termotivasi
mengembangkan usaha dengan pola pikir bisnis-komersial.
Menurut Ulrich dan Eppinger (2001) bahwa pengembangan dikatakan
sukses apabila produk yang dihasilkan dapat dijual dengan memperoleh laba.
Lima dimensi spesifik yang berhubungan dengan laba dan digunakan untuk
menilai kinerja usaha pengembangan produk, yakni (a) kualitas produk;
menentukan berapa besar harga yang ingin dibayar pelanggan, (b) biaya produk;
menentukan berapa besar laba yang akan dihasilkan oleh unit usaha pada volume
penjualan dan harga penjualan tertentu, (c) waktu pengembangan; akan
menentukan kemampuan dalam berkompetisi, perubahan teknologi, dan kecepatan
menerima pengembalian ekonomis dari usaha yang dilakukan, (d) biaya
pengembangan; merupakan komponen yang penting dari investasi untuk
mencapai profit, dan (e) kapasitas pengembangan; merupakan asset
mengembangkan produk lebih efektif dan ekonomis di masa yang akan datang.
Pengembangan industri pengolahan buah bintaro merupakan prasyarat
dalam meningkatkan nilai tambah tanaman bintaro. Dukungan kebijakan
diperlukan sebagai berikut : (a) penyederhanaan birokrasi perizinan usaha dan
investasi di bidang industri pengolahan produk pada berbagai tingkatan dan skala
usaha, (b) pembukaan akses pembiayaan dengan pemberian skim kredit khusus
untuk pengembangan industri dengan berbagai skala usaha, (c) promosi
pengembangan pengolahan hasil buah bintaro terpadu guna meningkatkan
perolehan nilai tambah dan (d) peningkatan kegiatan penelitian dan
pengembangan buah bintaro dalam pengolahan dan pemasaran.
114
Analisis dampak lingkungan pembuatan arang aktif dan asap cair antirayap
dari buah bintaro dilakukan secara manual dengan pendekatan Life Cycle
Assessment (LCA). Life cycle yang diamati dalam penelitian ini adalah siklus
hidup pembuatan arang aktif dan asap cair antirayap dari buah bintaro. Tahapan
LCA mengikuti kerangka kerja yang diterapkan oleh ISO 14040–14044 (2006)
pada industri manufaktur serta mengembangkan tahapan–tahapan tersebut.
Mendefinisikan Batasan dan Ruang Lingkup LCA
Life cycle yang diamati dimulai dari pengambilan sampah buah bintaro
sampai menjadi arang aktif dan asap cair antirayap.
Analisis Life Cycle Inventory (LCI)
Inventori dilakukan berdasarkan input dan output material didalam sistem.
Data Input terdiri dari: kebutuhan bahan baku, energi dan alat transportasi yang
digunakan. Biaya Input sudah terlampir dalam lampiran biaya produksi di
Lampiran 45.
Penilaian Life Cycle Impact Assessment (LCIA)
Pada tahap Life Cycle Impact Assessment (LCIA) dilakukan perhitungan
total dari dampak lingkungan yang telah dikumpulkan dari tahapan Life Cycle
Inventory (LCI). Pada tahap ini, dampak emisi CO2 dibagi berdasarkan konsumsi
sumber daya atau bahan bakar yang digunakan.
Kategori yang berkaitan dengan input (deplesi sumber daya atau kompetisi):
1. Sumber daya abiotik
Adanya perubahan kandungan mineral dalam tanah akibat sistem
monokultur penanaman tanaman bintaro. Selain itu adanya konsumsi sumber daya
air untuk proses pembuatan arang aktif juga menyebabkan sumber daya alam
menjadi berkurang.
2. Sumber daya biotik
Adanya perubahan jenis hewan, hama, mikroorganisme dan gulma yang
hidup di tanah karena tanaman bintaro adalah tanaman yang mempunyai racun
cerberin. Prosea (2002) melaporkan bahwa adanya kandungan cerberin pada biji
bintaro/kelampan diduga memberikan efek mematikan pada tikus. Cerberin
merupakan golongan alkaloid/glikosida yang diduga berperan terhadap mortalitas
serangga. Saponin dan polifenol dikenal sebagai senyawa yang sangat toksik
terhadap serangga. Sedangkan flavonoid mempunyai efek antimikroba/sebagai
115
pelindung tanaman dari patogen dan antifeedant (Kuddus et al. 2011). Adanya
kandungan bahan kimia yang terdapat pada bagian-bagian tanaman
bintaro/kelampan tersebut maka potensi tanaman bintaro/kelampan sebagai
pengendali serangga hama termasuk rayap kayu kering sangat besar.
3. Lahan
Tanaman bintaro merupakan tanaman mangrove. Menurut Euthalia (2008)
tanaman ini banyak ditemukan tumbuh di lahan pasang surut terutama di dekat
sungai agak ke dalam dan di tepi-tepi sungai. Banyaknya penanaman mangrove
di lahan RTH akan membuat perubahan pada lahan RTH tersebut. Stuktur dan
tekstur lahan RTH akan berubah dari sifat alamiahnya. Umumnya tanah mangrove
di Indonesia merupakan tanah muda. Bahan-bahan pembentuk tanah telah
mengalami berbagai pencucian dan pelumatan sebelum diendapkan, sehingga
partikel-partikel tanah sangat halus. Tanah mangrove mempunyai kandungan
garam dan kadar air yang tinggi, asam sulfida yang melimpah, kandungan oksigen
yang rendah serta bahan kasar lainnya yang berasal dari hancuran organisme laut
(Sukardjo 1984).
Kategori yang berkaitan dengan output
1. Faktor emisi karena adanya pembakaran untuk proses pirolisis
Pada penghitungan emisi CO2 akibat adanya pembakaran buah bintaro
diperlukan beberapa data yang dirangkum dalam Tabel 35 faktor emisi CO2
berdasarkan jenis bahan bakar dan Tabel 36 Energy content. Berdasarkan
perhitungan emisi CO2 di Lampiran 49 menunjukkan bahwa nilai total emisi dari
bahan bakar pirolisis LPG adalah sebesar 4.84 x 1013 Ton.
Tabel 35 Faktor emisi CO2 berdasarkan jenis bahan bakar (Kg/TJ)
Fuel Default Lower Upper
Gasoline 69300 67500 73000
Other Kerosene 71900 70800 73600
Gas/Diesel Oil 74100 72600 74800
Residual Fuel Oil 77400 75500 78800
Liquefied Petroleum Gases 63100 61600 65600
Natural Gas 56100 54300 58300
Other Oil
Refinery Gas 57600 48200 69000
Paraffin Waxes 73300 72200 74400
White Spirit & SBP 73300 72200 74400
Other Petroleum Products 73300 72200 74400
Sumber : IPCC Guidence 2006
116
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
1. Arang aktif dari buah bintaro dapat digunakan sebagai alternatif pengganti
arang aktif tempurung kelapa untuk mengolah limbah krom
2. Asap cair dari arang buah bintaro dapat digunakan sebagai bahan pengawet
kayu dari serangan rayap
119
.
DAFTAR PUSTAKA
American Society for Testing and Material. 1997. Annual Book of ASTM Standards D
445, Standard Test Methods for Apparent Porosity, Water Absorption,
Apparent Specific Gravity and Bulk Density of Burned Refractory Brick and
Shapes by Boiling Water. ASTM, USA. 257-259.
American Society for Testing and Material.1994. Annual Book of ASTM Standards
D3173-73 .Standard Test Standard Methods for Moisture in The Analysis
Sample of Coal and Coke, Volume 05.06, Gaseous Fuels, Coal and Coke,
ASTM. USA. 47p.
American Society for Testing and Material. 2013. Annual Book of ASTM Standards D
7579, Standard Test Methods for Pyrolysis Solids Content in Pyrolysis
Liquids. ASTM, USA. 124-127.
Aube F. 2001. Guide for Computing CO2 Emissions Related to Energy Use.
Research Scientist CANMET. Energy Diversification Research Laboratory.
USA
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004d. SNI 06-6989.1-2004. Air dan Air
Limbah - Bagian 1: Cara Uji Daya Hantar Listrik (DHL). Jakarta(ID):
BSN.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004e. SNI 06-6989.11-2004. Air dan Air
Limbah - Bagian 11. Cara Uji Derajat Keasaman (pH) dengan
Menggunakan Alat pHmeter. Jakarta (ID): BSN.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004g. SNI 06-6989-27-2004. Air dan Air
Limbah. Metode Pengujian Total Dissolved Solid. Jakarta(ID) : BSN
122
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2005. SNI 06-6989-1-2005. Air dan Air
limbah - Bagian 1: Cara Uji Kekeruhan. Jakarta(ID): BSN.
Byrne CE, Nagle D.C. 1997. Carbonization of Wood for Advanced Materials
Applications. Carbon 35(2) : 259 – 266.
Chyuan Ong H, Silitongan AS, Malia TMI, Masjuki HH, Chong WT. 2014.
Investigation of biodiesel production from Cerbera manghas Biofuel
Sources, J. Energy Procedia.. 61: 436-439
Darmaji P, 2002. Optimasi Pembuatan Tepung Asap. Agritech. 22 (4) Hal. 172-
177.
Darmadji P. 2006. Proses Pemurnian Asap Cair dan Simulasi Akumulasi Kadar
Benzopyrene Pada Proses Perendaman Ikan. Majalah Ilmu dan Teknologi
Pertanian 26 (2).
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta.
Fauzi A. 2010. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi.
PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Fagan SB, Filho AGS, Lima JOG, Filho JM, Ferreira OP, Mazali IO, Alves OL,
Dresselhaus MS. 2004. 1,2-Dichlorobenzene Interacting with Carbon
Nanotubes. Nano Lett. 4:1285–1288. doi:10.1021/nl0493895.
Gallego ED, Roca FJ, Perales JF, Guardino X, Berenguer MJ. 2008. VPC and
PAHs Emission from Creosote-treate Wood in a Field Storage Area.
Sci.Total Environ. 420. 130-138.
Geleel MA, Atwa ST Sakr AK. 2013. Removal of Cr (III) from Aqueous Waste
Using Spent Activared Clay. J. Am. Soc.,2 (2): 256-262
Gaiser JR, Ditmars NF, Dillon AR. 2005. Aqous Electrocemical Intercalation of
Bromine into Graphite Fibers. Carbon 43 : 189-193.
Girgis BS, Samya SY, Ashraf MS. 2002. Characteristic Of Activated Carbon
From Peanut Hulls In Relation To Condition Of Preparation, Materials
Letters, pp 57
125
Girrar JP. 1992. Smoking In : Technology of Meat and Meat Products. Ellis
Horwood Limited, New York.
Gomez-Serrano V, Fernandez-Gonzales MC, Rojas-Cervantes ML, Alexandre-
Franco MF, Macias-Garcia A. 2005. Preparation of Activated Carbons from
Chesnut Wood by Phosphoric Acid Chemical Activation. Study of
Microporosity and Fractal Dimension. Material Letters 59(7) : 846 -853.
Guillen MD, Iborgoita ML. 1999. Influence of the Moisture Content on The
Composite of the Liquid Smoke Produced in the Pyrolysis Process of Fagus
sylvatica L. J. Agri food Chem. 47 : 4126 – 4136.
Guillén MD, Manzanos M J. 2002. Study of The Volatile Composition of An
Aaqueous Oak Smoke Preparation. Food Chemistry, 79(3), 283-292.
Guo JY, Luo AC, Lua RA, Chi YL, Chen XT, Bao, Xiang SX. 2007. Adsorption
of Hydrogen Sulphide (H2S) by Activated Carbons Derived from Oil-palm
Shell. Carbon 45 : 330 -336.
Guo JTS, Lua AC. 2000. Preparation and Characterization of Adsorben from Oil
Palm Fruit Solid Wastes. Journal of Oil Palm Research 12 (1): 64-70.
Gupta VK, Ali, Imran, Saleh TA, Siddiqui MN, Agarwal S. 2013. Chromium
Removal fom Water by Activated Carbon Developed from Waste Rubber
Tires. Environ Sci Pollut Res (2013) 20 : 1261-1268.
Gupta VK. Suhas. 2009. Application of Low-cost Adsorbents for Dye Removal–
A Review. Journal of Environmental Management 90.8 : 2313-2342.
Handoko A. 11 April 2010. Artikel: Ketika Ulat Memutus Pendapatan Mereka.
Surat Kabar Harian Kompas. Hal 3.
Handoko T, Iman G. 2011. Pengolahan Buah Bintaro sebagai Sumber Bioetanol
dan Karbon Aktif. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan”.
Yogyakarta. ISSN 1693-43993.
Hartoyo, Pari G. 1993. Peningkatan Rendemen dan Daya Serap Arang Aktif
dengan Cara Kimia Dosis Rendah dan Gasifikasi. Jurnal Penelitian Hasil
Hutan. Vol . 11 (5): 205-208. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.
Hasyim R, Boon JG, Sulaiman O, Kawamura F,Lee CY. 2009. Evaluation of the
Decay Resistance Properties of Cerbera odollam Extracts and Their
Influence on Properties of Particleboard. International Biodeterioration &
Biodegradation 63: 1013-1017.
Hayashi J, Yamamoto N, Horikawa T, Muroyama K, Gomes VG. 2005.
Preparation and Characterization of High-spesific-surface-area Activated
Carbons from K2CO3-treated Waste Polyurethane. Journal of Colloids
Interface Science 281(2) : 437 – 443.
Harahap RMS. 2000. Keragaman Sifat dan Data Ekologi Populasi Pinus merkusii
di Aceh, Tapanuli, Kerinci. Di dalam : Hardiyanto EB, editor. Prosiding
Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Yogyakarta (ID): Fakultas
Kehutanan Gadjah Mada. Hlm 216-227.
Hindarko S. 2003. Mengolah Air Limbah supaya - Tidak Mencemari Orang Lain.
Edisi Pertama. Esha, Jakarta.
Hwang YJ. 2006. High capacity disordered carbons obtained from coconut shells
as anode materials for lithium batteries. Journal of Alloy and Compounds.
448: 141-147.
Irmanto, Suyata. 2009. Penurunan Kadar Amonia, Nitrit, dan Nitrat Limbah Cair
Industri Tahu Menggunakan Arang Aktif dari Ampas Kopi. Molekul, Vol.4.
No.2 November, 2009 : 105 -114.
Jaguaribe EF, Medeiros LL, Barreto MCS, Araujo LP. 2005. The Performance of
Activated Carbons from Sugarcane Bagasse, Babassu, and Coconut Shells
in Removing Residual Chlorine. Brazilian Journal Chemical Engineering
22 (01) : 41–47.
[JIS] Japanese Industrial Standard. 2004. Test methods for determining the
effectiveness of wood preservatives and their performance requirement. JIS
K 1571 : 2004
Kim DH, Seo HE, Lee SC, Lee KY. 2008. Effects Of Wood Vinegar Mixed With
Insecticides On The Mortalities Of Nilaparvata Lugens And Laodelphax
Striatellus (Homoptera: Delphacidae). Animal Cells and Systems. 12:47-52
Lee SH, H’ng PS, Cho W MJ, Sajap AS, Tey BT, Salmiah U, Sun YL. 2011.
Effectiveness Of Pyroligneous Acid From Vapour Released In Charcoal
Industry Against Biodegradable Agent Under Laboratory. J of Applied
Sciences; 11: 3848-3853.
Lee YJ, Radovic LR. 2003. Oxidation Inhibition Effects of Phosphorous and
Boron in Different Carbon Fabrics. Carbon 41 : 1987 – 1997.
Lilis S, Sultan Haji AT, Wirosoedarmo R. 2015. Definisi Ruang Terbuka Hijau
(RTH) di Kota Mojokerto dengan Analisis Spasial. Jurnal Sumberdaya
Alam dan Lingkungan. Volume April No. 3 : Hal 11-15
Lim JW, Wang, JY. 2013. Enhanced Hydrolysis and Methane Yield by Applying
Microaeration Pretreatment to The Anaerobic Co-digestion of Brown Water
and Food Waste. Waste management, 33(4), 813-819.
[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1999. Arang aktif dari Tempurung
Kelapa. http://www. pdii.lipi.go.id/arang _aktif_tempurung_kelapa.htm [10
Mei 2005].
Lunchak P. 2006. Effects of Wood Vinegar for Control Egg Larva and Pupa of
House Fly (Musca domestica). Kasetsart University Press, Sakon Nakhon,
pp. 10-11.
Lu W, Chung DD L. 2001. Preparation of Conductive Carbons with High Surface
Area. Carbon 39: 39-44.
Machida M, Aikawa M, Tatsumoto H. 2005. Prediction of Simultaneous
Adsorption of Cu(II) and Pb (II) onto Activated Carbon by Convensional
Langmuir Type Aquations. Journal of Hazardous Material 120 (1-3): 271-
275.
Machnikowski J, Grzyb B, Machikowska H, Weber JV. 2005. Surface Chemistry
of Porous Carbons from N-polymers and Their Blend With Pitch.
Microporous and Meseporous Materials. In press.
Mahmud Z, Ferry Y. 2005. Prospek Pengolahan Hasil Samping Buah Kelapa.
Jurnal Perfektif Volume 4 Nomor 2, Desember : 55 – 63. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Perkebunan. Bogor.
Mamdouh S, Masoud, El-Saraf WM, Abdel-Halim AM, Ali AE, Mohamed EA
Hasan, HMI. 2012. Rice Husk and Activated Carbon for Waste Water
Treatment of El-mex Bay, Alexandria Coast, Egypt. Arabian Journal of
Chemistry. 32 : 23-25. King Saud University.
Manocha SM. 2003. Porous Carbons, India: Journal Sadhana Vol 28, part 1 &2.
Manoj B, Kunjomana A. 2012. Study of Stacking Structure of Aamorphous
Carbon by X-ray Diffraction Technique. Int. J. Electrochem. Sci., 7, 3127-
3134.
Marsh H, Fransisco RR. 2006. Activated Carbon. Belanda : Elsivier Sience &
Technology Books.
Mason CF. 1993. Biology of Freshwater Pollution. Second Edition. Longman
Scientific and Technical, New York. 351 p.
Martawijaya A, Kartasujana I, Kadir K, Prawira.1989. Atlas Kayu Indonesia. Jilid
II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Lembaga Penelitian
Hutan. Bogor
Martawijaya A. 1996. Keawetan Kayu dan Faktor yang mempengaruhinya.
Petunjuk Teknis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan
Sosial Ekonomi Kehutanan. Lembaga Penelitian Hutan. Bogor.
Mattjik AA, Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan. Jilid 1. Edisi ke-2. (ID):
IPB Press Bogor. Hal 64.
Maroto-Valer MM, Zhang Y, Granite EJ, Tang Z, Pennline HW. 2005. Effect of
Porous Structure and Surface Functionality on the Mercury Capacity of a
Fly Ash Carbon and its Activated Sample. Fuel 84 : 105 – 108.
130
Mohan D, Pittman CU, Steele PH. 2006. Pyrolysis of Wood/Biomass for Bio-oil:
a Critical Review, Energy Fuel. 20:848-889.
Mohammed A. Al – Anber. 2010. Thermodynamics Approch in the Adsorption of
Heavy Metals. Industrial Inorganic Chemistry, Departement of Chemical
Science, Faculty of Science Mu’tah University, P.O. Jordan .
http://www.intechopen.com
Murarka IP. 2000. Solid Waste Disposal and Reuse in the United States. Volume
II. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. H. 36.
Panagan AT, Syarif N. 2009. Uji Daya Hambat Asap Cair Hasil Pirolisis Kayu
Pelawan (Tristania abavata) terhadap Bakteri Escherichia coli. J. Penel.
Sains. 6:30-32.
Pari G. 2004. Kajian Struktur Arang aktif dari Serbuk Gergaji Kayu sebagai
Adsorben Emisi Formaldehida Kayu Lapis. [Disertasi]. Program Studi Ilmu
Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Pari G, Hendra D.2003. Peningkatan Produksi dan Kualitas Arang Aktif sebagai
Adsorben Emisi Gas Formaldehida Kayu Lapis. Dephut Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan. Puslitbang THH. Bogor.
Pavan G, Desmukh, Thorat PV, Nemade SN. 2015. Separation of Heavy Metal
from Waste Water by Using Agricultural Waste as Adsorbent-A Review.
133
Schukin LI, Kornnievich MV, Vartapetjan RS and Beznisko SI. 2002. Low
temperature plasma oxidation of activated carbons. Carbon. 40: 2021-2040.
Simonds JO. 1983. Landscap Architecture. Mc Graw-Hill, Inc United States of.
America.
136
Setiyono. 2005. Potensi limbah berbahaya dan beracun di wilayah DKI Jakarta
dan strategi pengelolaannya. JAI. Vol 1. No. 3. 2005. BPPT. Jakarta.
Snape JR, Maund SJ, Pickford DB, Hutchinson TH. 2003. Ecotoxicogenomics:
the challenge of integrating genomics into aquatic and terrestrial
ecotoxicology. Aquatic toxicology, 67(2), 143-154.
Solovyov LA, Shmakov AN, Zaikovskii VI, Joo SH, Ryoo R. 2002. Detailed
Structur of Hexagonally Packed Mesostructured Carbon Material CMK-3
Carbon. 40 : 2477 – 2481.
Sung WC, Huang CH, Sun FM. 2007. Volatile Components Detected Liquid
Smoke Flavoring Preparations from Smoking Ingredient of Smoked Large
Yellow Croaker. Chia-Nan Annual Bulletin. 33: 21-30.
Sukardjo S. 1984. Ekosistem Mangrove. Oseana Volume IX Nomor 4 : 102-115.
Sulistiowati, Ulfin I.2012. Pemanfaatan Karbon Aktif Biji Asam (Tamarindus
indica L) untuk penurunan kadar Cr(VI) menggunakan metode batch.
Jurnal Teknik Pomits. 1 (1) : 1-4.
Supriyana N, Martawijaya A. 1996. Risalah Pengawetan Kayu. LPHH. Bogor.
Suryonotonegoro OA. 2002. Pemberdayaan Petani Kelapa, Prosiding, Komprensi
Nasional kelapa V. Tembilahan Indragiri Hilir. Riau.
Suriawiria, U. 2002. Mikrobiologi Air. PT. Alumni. Bandung.
Suyasa IWB. 2014. Pencemaran Air dan Pengolahan Air Limbah. Udayana Press.
Bali.
Syamsudin L. 2004. Manajemen Keuangan Perusahaan, Konsep, Aplikasi dalam
Perencanaan, Pengawasan dan Pengambilan Keputusan. Jakarta. PT.Raja
Grafindo. Persada.
Tirono M, Sabit A, 2011. Efek Suhu Pada Proses Pengarangan Terhadap Nilai
Kalor Arang Tempurung Kelapa, Jurnal Neutrino Vol. 3, No. 2. Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Maulana Malik Ibrahim , Malang
Toledo RT. 2007. Fundamentals of food process engineering. Springer Science &
Business Media. USA
Trenggono, Suhardi, Setiadji B, Darmadji P, Suprananto, Sudarmanto. 1996.
Identifikasi Asap Cair dari berbagai Jenis Kayu dan Tempurung Kelapa.
Ilmu dan Teknologi Pangan. Yogyakarta.1(2): 15-24
Tsang DCW, Jing HU, Liu MY, Zhang W, Lai KCK, Lo IMC. 2007. Activated
carbon produced from Waste Wood Pallets : Adsorption of Three Classes of
Dyes. Water Air Soil Pollut (2007) 184 : 141-155.
Umar H. 2009. Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Varlet V, Serot T, Prost C. 2010. Smoke flavoring technology in seafood. In L.
M.L. Nollet, & F. Toldra (Eds.), Handbook of seafood and seafood products
analysis (pp. 233–254). Boca Raton,FL: CRC Press
Vieira SR, Meneghetti E, Baroni P, Guibal E, González de la Cruz PM, Caballero
A, Rodríguez-Castellón E, Beppu MM. 2014. Chromium Removal on
Chitosan-based Sorbents An EXAFS/XANES Investigation of Mechanism.
Materials Chemistry and Physics 146 : 412e417.
Wahjuni S. 2008. Penurunan Angka Peroksida Minyak Kelapa Tradisional dengan
Adsorben Arang Sekam Padi IR 64 yang Diaktifkan dengan Kalium
Hidroksida. Jurnal Kimia 2(1), ISSN 1907-9850.
Wang XY. Liu W. Qiu, Zhu D. 2007. Immobilization of Tetra-tert-
butylphalocyanines on Carbon Nanotubes: A first Step Towards the
Development of New a Nanomaterials. J. Mater. Chem. 12:1636–1639.
doi:10.1039/b201447e.
Wang R, Liu S. 2014. Activated Carbon from Extrated Sawdust Waste with
Alkaline Activation by Physical Mixing. Forest Products Journal. Vol.60 :
276-281.
Wei Q, Ma XH,. Dong JE. 2010. Preparation Chemical Constituents and
Antimicrobial Activity of Pyroligneous Acid from Walnut Tree Branches. J.
Anal. Appl. Pyrol. 87:24-28.
Walstra P. 2003. Physical Chemistry of food. Marcel Dekker. Inc. New York
Windari S, Suseno S. 2014. Pengaruh Jumlah Katalis Zeolit Alam Asam dalam
Proses Perengkahan Asap Cair Tempurung Kelapa. FMIPA, Jurnal. Kimia
UNSYIAH.
Yang J, Qiu K. 2010 Preparation of Activated Carbons from Walnut Shells Via
Vacuum Chemical Activation and their Application for Methylene Blue
Removal. Chem Eng J;165:209–17.
145
146
147
148
Lampiran 8 Kromatogram GCMS dari asap cair pada suhu pirolisis 300 oC
149
Lampiran 9 Kromatogram GCMS dari asap cair pada suhu pirolisis 400 oC
150
Lampiran 10 Kromatogram GCMS dari asap cair pada suhu pirolisis 500 oC
151
Lampiran 11 Data hasil uji spgr dan asiditas total asap cair
Bobot Bobot
Sampel Bobot Kosong
piknometer + Piknometer + Spgr
( oC ) Piknometer (g)
Air(g) contoh (g)
300 10,4205 20,6463 20,8138 1,01638
400 10,4204 20,6453 20,8208 1,01716
500 10,4201 20,6452 20,858 1,02081
Volume
Sampel Asiditas
Normalitas Pengenceran Volume sample NaoH
( oC ) total
NaOH (ml) (ml)
300 0,0251094 30 25 13 2,35024
400 0,0251094 20 25 25,9 3,1216
500 0,0251094 30 25 28 5,06206
Rata-rata 3,70615
152
Sampel Absorbansi
Sampel 300 oC = 0,04
o
Sampel 400 C = 0,05
o
Sampel 500 C = 0,117
Slope = 0,123
konsentrasi fenol = Absorbansi /slope x fp
= 0.04/0.123 x 2500
= 813,00813
Slope = 0,045
konsentrasi fenol = Absorbansi /slope x fp
= 0.05/0.123 x 2500
= 1016,2602
Slope = 0,045
konsentrasi fenol = Absorbansi /slope x fp
= 0.117/0.123 x 2500
= 6833,333
0,2
0,18 y = 0,1234x
0,16
0,14 R² = 0,9946
Absorbansi
0,12
0,1
0,08
0,06 Absorbansi
0,04
0,02
0
0 1 2
Konsentrasi Standar fenol
153
Lampiran 14 Data analisis proksimat arang yang diaktivasi dengan uap H20
selama 60 menit
1. Kadar Air
Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
2. Kadar Abu
Kekerasan (Hardness). % 80 -
155
2 Kadar Abu
Kekerasan (Hardness). % 80 -
156
1 . Kadar Air
Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
2 Kadar Abu
1. Kadar Air
Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
2. Kadar Abu
Kekerasan (Hardness). % 80 -
158
Lampiran 18 Data analisis proksimat arang yang diaktivasi dengan KOH 10%
selama 60 menit
1 Kadar Air
Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
2 Kadar Abu
Kekerasan (Hardness). % 80 -
164
165
Lampiran 27 Difraktogram pola struktur kristaltit arang yang diaktivasi asam fosfat
10%
168
Lampiran 28 Data hasil analisis kualitas limbah cair krom dari laboratorium
Lampiran 29 Data analisis proksimat arang yang diaktivasi dengan H3PO4 20%
selama 90 menit
1 Kadar Air
2 Kadar Abu
Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Kekerasan (Hardness ), % 80 -
171
Lampiran 31 Data analisis aproksimat arang aktif yang diaktivasi H3PO4 60%
selama 90 menit
1 Kadar Air
Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
2 Kadar Abu
Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Kekerasan (Hardness ), % 80 -
171
g
172
Lampiran 32 Data analisis aproksimat arang aktif yang diaktivasi H3PO4 80%
selama 90 menit
1 Kadar Air
Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
2 Kadar Abu
Keterangan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Kekerasan (Hardness ), % 80 -
182
Lampiran 42. Hasil analisis statistik arang aktif
Source DF SS MS F P
AKTIVATOR 3 7.1 2.4 0.19 0.899
Error 4 49.9 12.5
Total 7 57.0
Source DF SS MS F P
AKTIVATOR 3 27.3 9.1 0.14 0.931
Error 4 261.0 65.3
Total 7 288.4
Source DF SS MS F P
AKTIVATOR 3 0.049 0.016 0.12 0.946
Error 4 0.565 0.141
Total 7 0.614
Source DF SS MS F P
AKTIVATOR 3 29.7 9.9 0.16 0.918
Error 4 247.2 61.8
Total 7 276.9
Source DF SS MS F P
AKTIVATOR 3 24524 8175 11.38 0.020
Error 4 2873 718
Total 7 27396
Keterangan :
Pey = Total emission (g Carbon)
FCy = Amount of LPG consumed (Kg)
FCy = 5 Kg x 312 = 15690 Kg
Keterangan :
E = e x Fuel
Keterangan :
312 Liter
Fuel =
1 (smp)
RIWAYAT HIDUP