SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*1
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Rekayasa Pengolahan Air
Asam Tambang Secara Pasif Menggunakan Biomassa Serbuk Gergaji, Kotoran
Ayam dan Bakteri Pereduksi Sulfat adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan
pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.
RINGKASAN
Kata kunci: Air asam tambang, bakteri pereduksi sulfat, lahan basah buatan,
kotoran ayam, serbuk gergaji.
SUMMARY
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
REKAYASA PENGOLAHAN AIR ASAM TAMBANG
SECARA PASIF MENGGUNAKAN BIOMASSA
SERBUK GERGAJI, KOTORAN AYAM
DAN BAKTERI PEREDUKSI SULFAT
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Dosen Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr Ir Iskandar
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penulisan tesis dengan judul Rekayasa Pengolahan Air Asam Tambang Secara
Pasif Menggunakan Biomassa Serbuk Gergaji, Kotoran Ayam dan Bakteri
Pereduksi Sulfat. Tesis ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk penyelesaian
pendidikan program Magister (S2) pada Program Studi Bioteknologi Tanah dan
Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada kedua dosen pembimbing yaitu Bapak
Prof Dr Ir Anas Miftah Fauzi, MEng. selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak
Dr Ir Irdika Mansur, MForSc. sebagai anggota komisi pembimbing, Dosen
Penguji Dr Ir Iskandar atas segala bimbingan dan motivasinya. Terima kasih juga
yang sedalam-dalamnya kepada Ibunda Djuliar Ahmad, Ayahanda Zulkarnain
Yazid, istriku tercinta Anesta Lastya, SH, ananda Khalisha Rinjani, Aruna Mekha,
Raiya Fakhira, sahabatku Zahriska Dewani, S.Si. dan Madaniyah, S.Si. sebagai
rekan dalam penelitian yang telah banyak memberikan bantuan, kerjasama dan
dukungan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada PT.
Bukit Asam (Persero) Tbk yang telah memfasilitasi, khususnya kepada Bapak
Suhendi Arensta yang telah membantu penulis selama di lapangan, serta kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini baik secara langsung
maupun tidak langsung
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR GAMBAR
1 Desain matriks lahan basah buatan. 13
2 Kurva Hazen untuk penentuan efektifitas penyisihan yang terjadi pada
settling pond dalam berbagai variasi. Sumber : Hazen (1971) 15
3 Foto kecepatan waktu tumbuh bakteri pereduksi sulfat(a) 4 hari setelah
isolasi, (b) 9 hari setelah isolasi, (c) 16 hari setelah isolasi. 17
4 Kecepatan waktu tumbuh isolat bakteri pereduksi sulfat. 17
5 Pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat pada berbagai variasi nilai pH
pada waktu inokulasi hari ke-12 18
6 Waktu rata-rata indikasi mulai tumbuh ketiga isolat bakteri
pereduksisulfat pada kondisi lingkungan pH yang berbeda. 19
7 Kerapatan optik isolat BPS pada pH 3 setelah inkubasi selama 28 hari. 19
8 Fluktuasi nilai pH pada pengujian konsentrasi isolat BPS ICBB 8818
yang diinokulasikan pada AAT. 20
9 Nisbah C/N pada biomassa serbuk gergaji. 21
10 Perbedaan nilai pH pada biomassa serbuk gergaji. 22
11 Profil nilai pH AAT pada matrik lahan basah. 23
12 Profil nilai A) Fe dan B) Mn AAT pada matrik lahan basah. 24
13 Kadar TSS AAT pada matrik lahan basah. 25
14 Profil pH (A), Fe (B), Mn (C) dan TSS (D) pada perlakuan AAT dengan
serbuk gergaji dan kotoran ayam 26
15 Rancangan matriks lahan basah untuk settling pond. 26
16 Rancangan settling pond. 27
DAFTAR LAMPIRAN
1 Dokumentasi Lapangan 32
2 Perhitungan Rancangan Pembuatan Lahan Basah Buatan 33
3 Perhitungan persentase kemampuan penyisihan zat pencemar pada 6
buah rancangan settling pond 35
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
rendah efek ion logam terlarut dapat berdampak langsung ataupun terakumulasi
dalam rantai makanan (Gautama 2012). Logam terlarut tersebut dapat ditransfer
dengan jangkauan yang sangat jauh di lingkungan, berpotensi mengganggu
kehidupan biota lingkungan dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kesehatan
manusia. Resiko yang dihadapi oleh pertambangan terhadap AAT tidak saja pada
masa operasi tetapi yang lebih penting adalah pada masa pascatambang.
Berdasarkan Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara serta Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pelaku usaha pertambangan
harus bertanggungjawab terhadap berbagai dampak lingkungan yang
ditimbulkannya, apabila pelaku usaha pertambangan diangap lalai dalam
melakukan pengelolaan lingkungan maka dapat dikenakan sangsi berupa denda
maupun pidana (Saria 2012).
Pada masa sekarang seiring dengan menurunnya harga batubara, maka
banyak perusahaan mengakhiri kegiatannya. Hal ini disebabkan karena tidak
ekonomis lagi dilakukan kegiatan penambangan (Dahlius 2014), sehingga banyak
lahan bekas bukaan tambang yang tidak dilakukan pengelolaan lingkungannya
termasuk pengelolaan AAT. Pengelolaan AAT dengan metode konvensional
menggunakan bahan kimia membutuhkan biaya besar serta tenaga manusia yang
secara terus menerus mengelola instalasi pengelolaan AAT untuk menambah
bahan kimia, sementara kegiatan pertambangannya sudah berhenti. Lain halnya
dengan passive treatment atau perlakuan pasif hanya memerlukan dana pada awal
pembangunan serta sedikit perawatan dan tidak memerlukan tenaga manusia yang
sering ke lokasi instalasi pengelolaan air asam tambang. Passive treatment atau
sistem pasif yaitu suatu sistem pengolahan air yang memanfaatkan sumber energi
yang tersedia secara alami seperti gradien topografi, energi metabolisme mikroba,
fotosintesis dan energi kimia dan membutuhkan perawatan secara reguler tetapi
jarang untuk beroperasi sepanjang umur rancangannya (GARD Guide 2009).
Salah satu passive treatment dengan pendekatan secara bioteknologi salah satunya
dengan menggunakan bakteri pereduksi sulfat (BPS). Akumulasi sulfat (termasuk
dalam AAT) dapat diturunkan dengan memanfaatkan aktivitas BPS. Bakteri
tersebut mampu menggunakan ion sulfat, sulfit atau thiosulfat sebagai aseptor
elektron untuk mendapatkan energi dalam proses metabolismenya (Yusron 2009).
Ion-ion tersebut setelah menerima elektron akan terreduksi menjadi sulfida. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada tanah bekas tambang batubara yang diberi
perlakuan bahan organik (berupa biomasa kulit kayu) yang dikoloni oleh BPS
dapat menurunkan ketersediaan logam Fe, Mn, Zn dan Cu dalam tanah dengan
efisiensi antara 68 - 97% setelah 15 hari inkubasi (Widyati 2006). Bahan organik
lain seperti campuran serbuk gergaji juga dapat mengurangi kandungan sulfat dan
logam berat sebesar 91,8 - 99,8 % pada skala laboratorium. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa penambahan serbuk gergaji dan kotoran ayam dapat
meningkatkan efisiensi dalam pengurangan sulfat dan kandungan logam berat
pada reaktor AAT (Naculita et al. 2007). Berdasarkan hal tersebut maka
penelitian ini memanfaatkan limbah serbuk gergaji. Serbuk gergaji merupakan
limbah pengolahan kayu yang tersedia melimpah, khususnya di sekitar tambang.
3
Ruang Lingkup
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penelitian ini antara
lain bertujuan untuk:
1. Menganalisis kinerja pengolahan AAT dengan sistem pasif menggunakan
lahan basah yang diperkaya dengan biomassa serbuk gergaji, kotoran ayam
dan bakteri pereduksi sulfat.
2. Merancang sistem pengolahan AAT yang optimal berbasis biologis
menggunakan lahan basah yang diperkaya dengan biomassa serbuk gergaji,
kotoran ayam dan bakteri pereduksi sulfat.
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Air Asam Tambang (AAT) adalah air yang bersifat asam, dengan tingkat
keasaman yang tinggi dan ditandai dengan nilai pH yang rendah (pH< 5) sebagai
4
hasil dari oksidasi mineral sulfida yang terpajan atau terdedah (exposed) di udara
dengan kehadiran air (Gautama 2012). Kegiatan penambangan yang utama adalah
penggalian, sehingga dapat mempercepat proses pembentukan AAT. AAT
menjadi salah satu dampak penting dari kegiatan pertambangan yang harus
dikelola. Hal ini disebabkan karena sekali terbentuk akan sulit untuk
menghentikannya (kecuali salah satu komponennya habis), dapat berdampak
sangat lama melampaui umur tambang. Gautama (2012) menambahkan bahwa
AAT dapat menimbulkan dampak negatif terhadap biota perairan, dapat terjadi
baik secara langsung karena tingkat keasaman yang tinggi maupun karena
peningkatan kandungan logam di dalam air (air yang bersifat asam mudah
melarutkan logam-logam) sehingga dapat mengganggu ekosistem perairan.
Pembentukan AAT terjadi bila teroksidasinya mineral-mineral sulfida yang
terdapat pada batuan hasil galian yang terekspos dengan air dan oksigen yang
membentuk air asam yang tinggi berupa aliran yang kaya akan kandungan sulfat.
AAT tidak hanya dihubungkan dengan penambangan batubara tetapi juga
dikaitkan dengan materi geologi hasil galian lain seperti dalam konstruksi jalan
raya, penambangan logam dan penggalian tambang dalam. Ada beberapa tipe
mineral sulfida yaitu: logam sulfida yang terdapat pada lapisan batubara biasanya
berupa pirit dan markasit (FeS2) dan beberapa logam lain yang dapat bersifat
kompleks sulfida yang menyebabkan AAT. Komposisi dan konsentrasi logam
tergantung pada tipe dari mineral sulfida serta kuantitatif kehadirannya. Oksidasi
logam sulfida dan konversi berikutnya dalam membentuk asam terjadi dalam
beberapa reaksi sebagaimana yang diuraikan dalam 4 persamaan berikut:
Persamaan 1: FeS2 + 7/2O2 + H2O Fe+2 + 2 SO4-2 + 2H+
Persamaan2 : Fe+2 + 1/4O2 + H+ Fe+3 + 1/2H2O
Persamaan3 : Fe+3 + 3H2O Fe(OH)3 + 3H+
Persamaan4 : FeS2 + 14Fe+3 + 8H2O 15Fe+2 + 2SO4-2 + 16H+
pada permukaan wetland yang biasanya ditumbuhi oleh tanaman sejenis cattail
(Typha sp) yang tumbuh di atas tanah atau substrat organik. Pada proses ini logam
akan dihilangkan melalui proses oksidasi dan mengendapkannya. Proses oksidasi
Fe masih menjadi perdebatan, apakah oksidasi tersebut murni oksidasi abiotik,
atau dipercepat dengan adanya aktivitas mikroorganisme (Johnson dan Hallberg
2005). Pengurangan konsentrasi logam sebagian terjadi karena proses
pengendapan logam dengan adanya reduksi sulfat secara biologi, dan sebagian
kecil juga diserap oleh tanaman. Tanaman lahan basah yang ditanam pada sistem
aerob ditanam dengan alasan estetika untuk mengatur aliran air dan menyaring
serta menstabilkan endapan besi yang terakumulasi. Selain itu, adanya tanaman
pada sistem lahan basah aerob memberikan kontribusi meningkatkan kandungan
bahan organik melalui zat-zat hasil sekresi dan dekomposisi sisa tanaman
(Munawar 2007).
Berbeda dengan lahan basah aerobik, pada lahan basah anaerobik
menggunakan instalasi pengolahan AAT dengan sistem tertutup seluruhnya
dibawah permukaan tanah. Sehingga penggunaan tanaman tidak dibutuhkan
dalam sistem anaerobik. Pada sistem ini dibutuhkan bahan organik dalam
pengoperasiannya. Lahan basah anaerob seperti juga lahan basah aerob, sistem ini
juga dibuat oleh manusia, dimana batu kapur diletakkan pada bagian dasar lahan
basah kemudian dilapisi bahan organik atau dicampur dengan bahan organik
(Collins et al. 2004). Batuan kapur akan memberikan kondisi alkalin pada AAT,
sedangkan bahan organik menjadi media tumbuh bagi tanaman lahan basah dan
sumber energi bagi pertumbuhan BPS. Dengan adanya aliran AAT melalui bahan
organik menyebabkan kondisi anoksik. Kondisi ini akan mendorong pertumbuhan
BPS dan menghasilkan sulfida. Pada kondisi tidak ada oksigen bebas, oksidasi
logam akan berjalan lebih lambat sehingga pembentukan logam oksihidroksida
juga lambat dibandingkan dengan kondisi aerob. Adapun dalam lahan basah
perombakan materialsecara langsung menjadi materi yang sangat sederhana dapat
dilakukan oleh komunitas mikrob. Keberadaan tumbuhan dengan sistem
perakarannya mampu menyokong pertumbuhan mikrob dalam sistem yang juga
akan mendegradasi senyawa - senyawa logam berat pada sistem. Penelitian
dengan serbuk gergaji sudah pernah diuji coba di PT. Bukit Asam (Persero), Tbk.
Hasil penelitian menunjukkan perlakuan penambahan serbuk gergaji dan kotoran
ayam dapat meningkatkan air yang semula asam dengan pH 3 menjadi netral
dengan pH 7 (Proper PT BA 2013). Diwilayah Sumatera Selatan banyak terdapat
area pengergajian kayu di sepanjang area sungai musi yang limbahnya apabila
tidak termanfaatkan akan dapat menyebabkan pencemaran atau pendangkalan
sungai dan polusi udara jika dilakukan pembakaran secara langsung. Oleh karena
itu, penelitian dengan penambahan BPS, limbah biomassa serbuk gergaji dan
kotoran ayam dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan AAT dengan metode lahan
basah PT Bukit Asam (Persero) Tbk. Lahan basah anaerobik dalam beberapa
jurnal juga tidak selamanya berupa instalasi yang tertutup seluruhnya, akan tetapi
dapat berupa kolam yang terbuka seperti lahan basah aerobik, tetapi bedanya air
asam tambang yanga akan di kelola dilewatkan pada matrik atau dibawah
permukaan kolam. Sistem lahan basah di mana air mengalir di bawah permukaan
tanah disebut dengan subsurface flow wetland treatment (SSF). SSF terdiri dari:
8
a. Media matriks diantaranya adalah kerikil, pasir, batuan, dan bahan organik.
Bahan organik pada sistem lahan basah meningkatkan pertukaran ion, adsorpsi
logam, dan menstimulasi aktivitas mikroba.
b. Membran impermeabel: dapat berupa tanah liat atau membran plastik (PVC
dan HDPE)
c. Tanaman lahan basah: misalnya Typha angustifolia, Prhagmites sp., Scirpus
sp.
Serbuk Gergaji
Limbah kayu dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu limbah eksploitasi
dan limbah industri pengolahan kayu. Limbah industri pengolahan kayu terbesar
berasal dari limbah industri penggergajian dan industri kayu lapis. Bakri et al.
(2006) mendefinisikan limbah industri penggergajian sebagai bagian kayu yang
dihasilkan dari proses penggergajian yang karena bentuk, ukuran dan cacat yang
dimiliki tidak memungkinkan lagi dibuat sebagai sortimen kayu gergajian.
Limbah industri pengolahan kayu dapat berupa serbuk gergaji (sawdust), sebetan
(slabs), potongan-potongan (trims), dan serutan (skaring). Di Indonesia ada tiga
macam industri kayu yang secara dominan mengkonsumi kayu dalam jumlah
relatif besar, yaitu: penggergajian, vinir/kayu lapis, dan pulp/kertas.
Limbah biomassa dari industri kayu telah dimanfaatkan kembali dalam
proses pengolahannya, yang menimbulkan masalah adalah limbah penggergajian
yang kenyataannya dilapangan masih ada yang di tumpuk dan sebagian dibuang
ke aliran sungai (pencemaran air), atau dibakar secara langsung (ikut menambah
emisi karbon di atmosfir). Produksi total kayu gergajian Indonesia mencapai 2.6
juta m3 per tahun (DepHut 1998). Dengan asumsi bahwa jumlah limbah yang
terbentuk 54.24% dari produksi total, maka dihasilkan limbah penggergajian
sebanyak 1.4 juta m3 per tahun (Martawijaya dan Sutigno 1990), angka ini cukup
besar karena mencapai sekitar separuh dari produksi kayu gergajian.
Di sepanjang aliran sungai musi terdapat banyak pengergajian kayu.Bahan
kayu banyak berasal dari pohon kecapi. Pohon kecapi, sentul atau ketuat
(Sandoricum koetjape) banyak dibudidayakan di Indonesia terutama untuk
dimanfaatkan buahnya. Selain itu, kayu kecapi juga memiliki kualitas yang baik
untuk digunakan sebagai bahan bangunan dan bahan kerajinan. Bagian kayu
kecapi yang merupakan salah satu limbah padat yaitu limbah potongan kayu atau
serbuk hasil penggergajian kayu yang cukup menjadi masalah penting. Di
Sumatera Selatan sendiri limbah kayu ini jarang dimanfaatkan dan biasanya
dibuang begitu saja sehingga menyebabkan pencemaran di lingkungan perairan
sekitar sungai Musi. Selain itu, pemanfaatan serbuk kayu dimasyarakat belum
begitu luas. Penggunaannya baru terbatas pada bahan baku pembuatan pupuk,
bahan bakar, dan bahan baku pada industri pengepresan kayu.
9
Serbuk gergaji berbentuk butiran - butiran halus yang terbuang saat kayu
akan digergaji, maka sangat banyak jumlah serbuk gergaji yang dihasilkan pada
industri pengolahan kayu. Dalam hasil penelitian Widyati (2006) menunjukkan
bahwa bakteri selulolitik dan BPS dapat tumbuh dalam sludge bubur kayu yang
mengandung selulosa pada komposisi kimiawi kayu. Sludge mempunyai struktur
yang halus dan kadar air yang tinggi sehingga mendorong suasana anaerob.
Pada proses pengolahan air telah banyak diteliti mengenai penurunan
kandungan logam berat di air dengan mengunakan serbuk gergaji sebagai
penjerap logam berat dikarenakan struktur serbuk gergaji yang sangat berpori
dapat menjerap kandungan logam berat, akan tetapi dalam penelitian pada sistem
lahan basah anaerobik, komposisi reaktif material yang digunakan seperti
kompos, daunan, serbuk gergaji ditambahkan lumpur dari lahan basah tersebut
berguna untuk menstimulasi pertumbuhan BPS untuk menaikan alkalinitas dan
menyisihkan logam dalam bentuk endapan sulfida (Chang et al. 2000).
Karbon organik dari serbuk gergaji tidak mudah tersedia untuk BPS,
diperlukan periode aklimatisasi panjang untuk dapat mengahasilkan bioreaktor
yang diisi dengan serbuk gergaji sehingga efisien untuk pengolahan AAT.
Namun, setelah periode aklimatisasi, didapatkan hasil yang lebih baik dalam
penurunan kandungan logam berat dan penurunan kandungan sulfat dengan
menggunakan serbuk gergaji (Johnson dan Hallberg 2005) dibandingkan dengan
kompos saja (Gibert et al. 2004; Zagury et al. 2006). Oleh karena itu, serbuk
gergaji dapat digunakan sebagai substrat untuk BPS, dalam operasi bioreaktor
jangka panjang.
Karbon tersebut berperan selain sebagai donor elekton dalam metabolisme juga
merupakan bahan penyusun selnya.
Terdapat beberapa tipe sumber karbon dan energi yang dapat digunakan
oleh BPS. BPS mampu memanfaatkan berbagai macam sumber karbon yang
merupakan sumber energi bagi aktivitas metabolisme dan kehidupan bakteri.
Berikut reaksi persamaan reduksi sulfat oleh BPS: SO42- + 8e- + 4H2O -> S2- +
8OH-. Pada reaksi tersebut, terlihat bahwa elektron yang dibutuhkan didapat dari
aktivitas oksidasi bahan organik, berupa laktat, asetat, propionat, dan lain
sebagainya yang dilakukan oleh BPS. Disamping sebagai donor elektron dan
sumber karbon, bahan organik juga berfungsi sebagai sumber energi (Jhonson dan
Hallberg 2005).
Pada tahap awal, senyawa karbona dioksidasi dan menghasilkan ATP,
kemudian ATP tersebut dimanfaatkan untuk mereduksi sulfat menjadi sulfida.
Pada kondisi dimana hidrogen dipergunakan sebagai donor elektron, maka CO2
akan dimanfaatkan sebagai sumber karbon. Energi yang diperoleh dari oksidasi
laktat ditransfer ke hidrogenase pada sitoplasma dan dihasilkan H2 yang
dioksidasi kembali untuk menghasilkan elektron. Selanjutnya, proton H+
dilepaskan dan dipergunakan untuk mendorong pembentukan ATP dalam reduksi
sulfat menjadi S2-. Mekanisme penting bagi aktivitas BPS adalah proses reduksi
sulfat tersebut berlangsung dalam kondisi anaerob dan kondisi faktor lingkungan
yang optimal bagi pembentukan sulfida yang maksimal. Reduksi sulfat dapat
terjadi pada kisaran pH, tekanan, suhu dan salinitas yang lebar, namun
ketersediaan senyawa karbon sebagai donor elektron dan molekul hidrogen
dapat menjadi pembatas.
BPS adalah bakteri yang memanfaatkan sulfat (SO42-), tiosulfat (S2O32-),
sulfit (SO32-) sebagai penerima elektron di dalam respirasi metabolismenya.
Dalam respirasinya BPS memerlukan substrat organik sebagai donor elektron.
Berikut adalah reaksi terbentuknya sulfida dan proses reduksi sulfat, yang
kemudian bereaksi dengan kation - kation logam membentuk logam sulfida, yang
berlangsung pada kondisi anaerob :
2 (CH2O) + SO42- H2S + 2HCO3
5H + SO42- H2S + 4H2O + 2e
2+ 2-
M + S MS
Substrat organik tersebut umumnya berupa asam-asam organik rantai
pendek seperti asam laktat, piruvat, dan asam organik lainnya. Di alam, substrat
tersebut dihasilkan dari aktivitas fermentasi bakteri anaerob. Berdasarkan
kemampuan metabolisme tersebut, maka BPS mampu hidup dan berperan pada
sedimen perairan AAT (Jhonson dan Hallberg 2005).
Peranan BPS dalam mengolah AAT yaitu dengan menetralisir atau
mengurangi keasaman dan meningkatkan pH yang merupakan refleksi dari
pengurangan sulfat dalam perairan. Asimilasi bahan organik merupakan
metabolisme untuk memperoleh energi yang dilakukan dengan proses fosforilasi
transport elektron yang memungkinkan asimilasi senyawa-senyawa organik
seperti asam - asam organik, asam amino dan senyawa kompleks (Napoleon
2013).
Proses reduksi sulfat sangat dipengaruhi oleh beberapa kondisi, antara lain
waktu tinggal, pH, suhu, oksigen terlarut, dan potensial redoks. BPS adalah
bakteri anaerob obligat yang membutuhkan lingkungan mikro anaerob. Suyasa
11
3 METODE PENELITIAN
Bahan
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah 6 kolam buatan yang
masing – masing berukuran 320x40 cm dengan kedalaman 75 cm, sehingga
volume kolam mencapai 960 l/kolam sebagai bioreaktor bioremediasi, terpal,
AAS (Atomic Absorbtion Spectrometer), labu erlenmeyer, gelas ukur, oven,
desikator, tabung ulir, timbangan analitik, botol sampel 100 ml, Filter paper no 41
WhatmannTm D125 mm (CAT No 1441-125), Cellulose nitrate filter 0,45 µm
(Sartorius stedim biotech), pipet ukur, gunting, corong gelas dan labu semprot.
ProsedurPenelitian
Seleksi Isolat Bakteri Pereduksi Sulfat dan Analisa Biomassa Serbuk Gergaji
Pada tahap ini dilakukan seleksi isolat BPS. BPS yang digunakan berasal
dari Indonesian Center For Biodiversity and Biotechnology (ICBB), Bogor.
Terdapat 6 isolat BPS yang diambil dari koleksi unggul Laboratorium ICBB,
antara lain:
1. ICBB 8813 4. ICBB 8818
2. ICBB 8815 5. ICBB 8819
3. ICBB 8816 6. ICBB 8825
Seleksi isolat BPS dilakukan dengan 3 tahapan yaitu: seleksi berdasarkan
waktu tumbuh, variasi lingkungan pH, dan seleksi berdasarkan berbagai
konsentrasi BPS. Seleksi pertama yaitu berdasarkan waktu tumbuh, bakteri-
bakteri tersebut diremajakan terlebih dahulu pada media Postgate B. Bakteri yang
paling cepat tumbuh selanjutnya akan digunakan dalam seleksi berdasarkan
variasi pH. Seleksi kedua berdasarkan variasi nilai lingkungan pH, nilai pH yang
digunakan yaitu: pH 3, pH 4, pH 6, pH 7, kemudian dilihat absorbansi kepadatan
bakteri melalui spektrofotometer. Seleksi ketiga berdasarkan berbagai konsentrasi
isolat BPS terpilih. Konsentrasi yang digunakan yaitu 1%, 2%, 3%, dan 5% (v/v).
Pengujian BPS dengan berbagai konsentrasi dilakukan dengan menginokulasikan
BPS ke dalam sampel AAT yang berasal dari PT Freeport Indonesia, diukur
berdasarkan peningkatan nilai pH pada AAT.
Bahan organik yang digunakan untuk memperkaya lahan basah adalah serbuk
gergaji. Terdapat 2 perlakuan serbuk gergaji, yaitu Serbuk Gergaji Segar (BSGS) dan
Serbuk Gergaji Segar dicampur dengan kotoran ayam (BSGS+KA). Pada perlakuan
serbuk gergaji segar dicampur dengan kotoran ayam (BSGS+KA) menggunakan
perbandingan serbuk gergaji segar : kotoran ayam (3:1) yaitu 48 kg serbuk gergaji
dan 16 kg kotoran ayam per kolam lahan basah. Fungsi kotoran ayam adalah
menurunkan kadar C/N pada serbuk gergaji. Sebelum digunakan pada kolam lahan
basah, bahan organik tersebut dianalisa terlebih dahulu. Metode Pengukuran
biomassa serbuk gergaji sebelum digunakan pada penelitian ini adalah :
Pengambilan sampel air dilakukan setiap 3 hari sampai hari ke 21. Teknik
pengambilan sampel yang dilakukan adalah Simple Randomized and Composite
pada tiga titik kedalaman yang berbeda pada lahan basah buatan. Sampel air asam
tambang dianalisis berdasarkan nilai pH, kadar Fe, kadar Mn, dan TSS. Berikut
adalah Standard Operasional Prosedur (SOP) dalam pengukuran pH, Fe, Mn, dan
TSS berdasarkan SNI.
Gambar 2 Kurva Hazen untuk penentuan efektifitas penyisihan yang terjadi pada
settling pond dalam berbagai variasi. Sumber : AWWA 1971.
16
Setelah waktu tinggal, dimensi bak pengendap dan settling pond diketahui
maka dihitung prosentase penyisihan suatu unit settling pond untuk mengetahui
settling pond yang dibuat termasuk dalam range good performance atau tidak.
maka presentase removal suatu unit pengolahan dalam hal ini bak pengendap
dapat ditentukan dengan melihat grafik Hazen (1971) diatas. Jika nilai waktu
tinggal x dengan good performance, maka jika ditarik garis didapatkan nilai
prosentase removal suatu unit adalah y % sehingga konsentrasi pencemar yang
memasuki unit diharapkan akan tersisih hingga sesuai baku mutu lingkungan
diakhir unit pengolahan
Analisis Data
Analisa data dilakukan secara tabulasi dan grafik melalui plotting sumbu x
dan y dengan tujuan melihat profil parameter berdasarkan hasil perlakuan. Data
yang dibutuhkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data
primer yang diperlukan yaitu data sebelum, pada saat, dan setelah proses
pengolahan AAT. Data primer tersebut diambil pada tiap 3 hingga 4 HSP (hari
setelah perlakuan) selama 20 hari, sedangkan data sekunder yang dibutuhkan
berupa referensi atau data, baku mutu pemerintah, dan studi kepustakaan.
Bakteri Pereduksi Sulfat yang digunakan adalah BPS koleksi ICBB yang
berhasil diisolasi dari ekosistem air asam di kolam penampungan AAT industri
batubara PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. (Yusron 2009). Terdapat 6 sampel BPS
yang diseleksi pada penelitian kali ini. Berikut adalah daftar kode isolat BPS
beserta asal isolat (Tabel 3).
pada tabung reaksi (Gambar 3). Perubahan warna media tersebut disebabkan
karena reaksi reduksi sulfat, SO42- yang direduksi oleh BPS menjadi S2-, dan
bereaksi dengan ion logam membentuk logam sulfida yang berwarna hitam dan
tidak larut. Oleh karena itu, makin banyak logam sulfida yang terbentuk, larutan
dalam tabung akan semakin hitam pekat (Yusron 2009).
Keterangan : Dari kiri kekanan ICBB 8813, ICBB 8815, ICBB 8816, ICBB 8818, ICBB
8819, dan ICBB 8825.
Gambar 3 Foto kecepatan waktu tumbuh BPS (a) 4 hari setelah isolasi, (b) 9 hari
setelah isolasi, (c) 16 hari setelah isolasi.
35
29
30
25
Waktu Tumbuh (hari)
25
20
16 16
15 12
9
10
0
ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818 ICBB 8819 ICBB 8825
Berdasarkan Gambar 3 di atas dapat dilihat bahwa isolat BPS ICBB 8818
memiliki kemampuan waktu tumbuh yang paling cepat dibandingkan dengan
kelima isolat lainnya. Oleh karena itu, pada tahapan seleksi selanjutnya digunakan
18
3 isolat BPS dengan waktu tumbuh yang tercepat, yaitu ICBB 8813, ICBB 8815,
dan ICBB 8818. Hal ini disebabkan karena efektifitas kinerja BPS dapat dilihat
berdasarkan kecepatan waktu tumbuhnya (Widyawati 2011).
Gambar 5 Pertumbuhan BPS pada berbagai variasi nilai pH pada waktu inokulasi
hari ke-12.
Isolat ICBB 8818 membutuhkan waktu 4 hingga 6 hari untuk tumbuh pada
pH 6 dan pH 7, sedangkan pada pH 3 dan pH 4 membutuhkan 8 hingga 10 hari
untuk dapat diindikasikan mulai tumbuh. Isolat ICBB 8813 mulai tumbuh pada
pH 3 dan pH 4 selama 18 hingga 21 hari dan ICBB 8815 mulai tumbuh yaitu pada
15 hingga 19 hari. Pertumbuhan Isolat ICBB 8813 dan ICBB 8815 pada pH 6 dan
pH 7 berturut turut memerlukan waktu 11 hingga 12 hari dan 9 hingga 11 hari
pada ICBB 8815. Berikut adalah pertumbuhan ketiga isolat BPS pada kondisi
lingkungan pH yang berbeda (Gambar 6).
19
25
0.8 0.76
Kerapatan Optik (600nm)
0.7
0.6
0.5
0.38
0.4
0.3 0.25
0.2
0.1 0.015
0
Blanko ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8818
2.9
2.8 2.8
2.78
2.75 2.76
2.73
2.7 2.7
2.69 2.68 Kontrol
2.65
2.64 2.64
Nilai pH
2.62
2.6 2.58 2.59 1%
2.57
2.53 2.54 2%
2.5
2.45 2.46 3%
2.4 2.41
5%
2.3
2.2
0HSI 3HSI 6HSI 12HSI 15HSI
Gambar 8 Fluktuasi nilai pH pada pengujian konsentrasi isolat BPS ICBB 8818
yang diinokulasikan pada AAT.
biomassa serbuk gergaji segar. Terdapat 2 jenis biomassa serbuk gergaji yaitu :
serbuk gergaji segar (BSGS) dan serbuk gergaji segar dengan kotoran ayam
(BSGS+KA). Sebelum digunakan pada penelitian skala pilot project biomassa
serbuk gergaji dianalisa berdasarkan kandungan N, C, rasio C/N, dan pH.
204.14
57.16
41.92
24.09
0.28 1.74
BSGS BSGS + KA
C-organik 57.16 41.92
N-total 0.28 1.74
Nisbah C/N 204.14 24.09
b. Analisa nilai pH
Analisa nilai pH merupakan faktor yang berperan pada dekomposisi bahan
organik karena pada rentang pH yang tidak sesuai, maka mikrob tidak dapat
tumbuh dengan maksimum bahkan dapat mengakibatkan kematian (Simamora &
Salundik 2006). Hasil pengujian pH menunjukkan terdapat perbedaan pH antara
biomassasebuk gergaji segar (BSGS) dengan biomassa serbuk gergaji segar yang
22
ditambahkan kotoran ayam segar (BSGS+KA) yaitu secara berturut-turut 6.44 dan
7.3 (Gambar 10).
9
8 7.31
7 6.44
Nilai pH 6
5
4
3
2
1
0
BSGS BSGS + KA
Perlakuan Matrik
Keterangan :BSGS: biomassa serbuk gergaji segar, BSGS+KA: biomassa serbuk gergaji
segar yang ditambahkan kotoran ayam segar
Gambar 10 Perbedaan nilai pH pada biomassa serbuk gergaji.
AAT yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Kolam Pengendapan
Lumpur (KPL) Stockpile-1, pertambangan batubara PT. Bukit Asam (persero)
Tbk., Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Karakterisasi AAT dilaksanakan dengan
mengambil sampel dari kolam penampungan tersebut. Karakteristik AAT diuji
melalui analisa kandungan Fe, Mn, TSS, dan nilai pH. Hasil uji karakteristik
kimia AAT disajikan pada Tabel 4.
Tog : Kontrol
Tsg0 : BSGS
Tsk0 : BSGS + KA
Tsg1 : BSGS + BPS
Tsk1 : BSGS + KA + BPS
Keterangan : BSGS: biomassa serbuk gergaji segar, BSGS+KA: biomassa serbuk gergaji
segar + kotoran ayam segar, BSGS+BPS: biomassa serbuk gergaji segar + bakteri
pereduksi sulfat, BSGS+ KA+BPS: biomassa serbuk gergaji segar + kotoran ayam segar
+ bakteri pereduksi sulfat.
Gambar 11 Profil nilai pH AATpada matrik lahan basah.
Keterangan : BSGS: biomassa serbuk gergaji segar, BSGS+KA: biomassa serbuk gergaji
segar + kotoran ayam segar, BSGS+BPS: biomassa serbuk gergaji segar + bakteri
pereduksi sulfat, BSGS+ KA+BPS: biomassa serbuk gergaji segar + kotoran ayam segar
+ bakteri pereduksi sulfat.
Gambar 12 Kadar Fe (A) dan Mn (B) dalam AAT pada matrik lahan basah.
25
Pemberian isolat BPS pada AAT dapat menurunkan konsentrasi TSS pada
air tersebut dengan waktu inkubasi antara 17 hari disajikan pada Gambar 13.
Tog : Kontrol
Tsg0 : BSGS
Tsk0 : BSGS + KA
Tsg1 : BSGS + BPS
Tsk1 : BSGS + KA + BPS
Keterangan : BSGS: biomassa serbuk gergaji segar, BSGS+KA: biomassa serbuk gergaji
segar + kotoran ayam segar, BSGS+BPS: biomassa serbuk gergaji segar + bakteri
pereduksi sulfat, BSGS+ KA+BPS: biomassa serbuk gergaji segar + kotoran ayam segar
+ bakteri pereduksi sulfat.
Gambar 13 Kadar TSS AAT pada matrik lahan basah
A B
C D
Gambar 14 Profil pH (A), Fe (B), Mn (C) dan TSS (D) pada perlakuan AAT dengan
serbuk gergaji dan kotoran ayam
Penelitian diatas dijadikan dasar untuk membuat desain lahan basah untuk
diterapkan dalam skala lapang. Desain lahan basah untuk pengelolaan AAT terdiri dari
dua jenis yakni yang pertama bak penampungan sedimen (sediment trap) dan settling
pond. Rancangan matriklahan basah yang akan digunakan seperti Gambar 15.
Tabel 5 Rekapitulasi prosentase penyisihan yang terjadi pada bak settling pond
Pada unit setting pond terjadi penyisihan kandungan logam berat dan
kenaikan kadar pH AAT. Berdasarkan Tabel 5 pada bak SP1 terjadi penyisihan
sebanyak 77 % dari total kandungan logam dan menaikkan kadar pH, sehingga
kandungan logam dan kadar pH yang masuk ke bak SP2 yaitu untuk Fe, Mn, TSS
dan pH masing-masing sebesar 1,033 mg/L, 2,013 mg/L, 6,440 mg/L dan 6,107.
Pada bak SP2 terjadi penyisihan sebanyak 80 % dari total kandungan logam
yang masuk, sehingga kandungan logam dan kadar pH yang masuk pada bak SP3
yaitu untuk Fe, Mn, dan TSS masing-masing sebesar 0,207 mg/L, 0,403 mg/L,
1,288 mg/L. Kadar pH pada bak ini sudah sesuai baku mutu dan tidak perlu
dilakukan pengolahan AAT karena pada proses SP1 kadar kenaikan pH sudah
memenuhi standar baku mutu yang ada.
Pada bak SP3 terjadi penyisihan sebanyak 81 % dari total kandungan logam
yang masuk, sehingga kandungan logam dan nilai pH yang masuk pada bak SP4
yaitu untuk Fe, Mn, dan TSS masing-masing sebesar 0,039 mg/L, 0,076 mg/L dan
0,245 mg/L. Pada bak SP4 ini terjadi penyisihan sebanyak 82 % dari total
kandungan logam yang masuk, sehingga kandungan logam yang masuk pada bak
SP5 yaitu untuk Fe, Mn, dan TSS masing-masing sebesar 0,007 mg/L, 0,014
mg/L dan 0,044 mg/L. Kadar logam dan kadar pH pada bak ini sudah sesuai baku
mutu sehingga tidak dilakukan lagi perhitungan kemampuan penyisihan pada bak
SP5 dan SP6. Penggunaan 6 kolam settling pond dimaksudkan untuk menampung
debit air dan adanya penambahan air dari curah hujan sehingga AAT tidak
meluber kemana mana.
Simpulan
BPS yang digunakan dalam penelitian ini adalah ICBB 8818. Hasil
penelitian skala Pilot project menunjukkan bahwa perlakuan matriks serbuk
gergaji dengan kotoran ayam (tanpa BPS), dapat mempengaruhi penurunan Fe
dan Mn pada air asam tambang, sehingga secara sinergis dapat meningkatkan
nilai pH dalam 3 hari. Matriks tersebut memberikan pengaruh terhadap penurunan
kadar Fe dan Mn, dengan persentase efektifitas sebesar 98.08% pada Fe dan
99.39% pada Mn dalam waktu 13 hari. Pada parameter TSS, perlakuan yang dapat
menurunkan kadar TSS adalah pada perlakuan biomasa serbuk segar dengan BPS.
Hal ini disebabkan kemampuan serbuk gergaji dalam adsorbsi kandungan padatan
yang terlarut.Dari hasil penelitian diatas, didapatkan rancangan lahan basah yaitu
dengan 1 bak pengendap dan 6 settling pond. Dimensi bak pengendap yaitu 49.12
29
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Aube BC, Payant S. 1997. The Geo process: a new high density sludge treatment
for acid mine drainage. Proc. of the Fourth International Conference on
Acid Rock Drainage. Vancouver BC. (1): 165-180.
Bakri, Gunawan E, Sanusi Dj. 2006. Sifat fisik dan mekanik komposit kayu
semen-serbuk gergaji. J.Parennial. 2(1):38-41
Black, J. 2005. Microbiology. Principles & Explorations. 6th Ed. John Wiley &
Sons, Inc. p.150.
Chang IS, Shin PK, Kim BH. 2000. Biological treatment of acid mine drainage
under sulphate-reducing conditions with solid waste materials as substrate.
Wat Res. 34:1269–1277.
Collins B, McArthur JV, Sharitz RR, 2004. Plant effects on microbial
assemblages and remediation of acidic coal pile runoff in mesocosm
treatment wetlands. Ecol. Eng. 23:107–115
Dahlius, A.Z. 2014. Potensi dan Tantangan Pertambangan di Indonesia. [Artikel
Online]. Investor Daily-Berita Satu. [Diakses pada 14 Juli 2014] Tersedia
pada http://www.investor.co.id/home/Potensi-dan-Tantangan-
Pertambangan-di-Indonesia/8499.
[DEPHUT]. Departemen kehutanan. 1998. Laporan statistik kehutanan tahun
1997/1998 indonesia. Jakarta (ID): DepHut.
[DIRJEN MINERBA] Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara. 2013.
Kumpulan Pedoman Teknis Lingkungan Pertambangan. Kementerian
Energi dan Sumberdaya Mineral.
Fahruddin, Abdullah A. 2013. Dinamika Populasi Bakteri pada Sedimen yang
diperlakukan dengan Air Asam Tambang. J Alam dan Lingk. 4(7):39-43
[GARD Guide] Global Acid Rock Drainage Guide. 2009. The Internasional
Network For Acid Prevention. INAP.
Garland PB. 1977. Energy transduction in microbial systems. Symp. Soc. Gen.
Microbiol. 27:1.
30
2 Saluran overflow
Direncanakan:
- Q saluran = 1.027 m3/hari = 42.79 m3/jam
- V rencana = 1.161,2 m/jam
- Lebar saluran (L) = 0.5 m
- Panjang saluran (P) = 1m
Perhitungan:
Q 42 ,79
A = = = 0.037 m2
V 1.161,2
A = L x H
0.037
H = 0.074 m
0,5
34
- Dimensi saluran :
Tinggi (H) = 0.074 m +0,1 m (fb) = 0.174 m
Panjang (P) = 1m
Lebar (L) = 0.5 m
3 Settling pond
Direncanakan settling pond:
Td = 3 hari
Rasio P : L = 2 : 1
Kedalaman (H) = 1 m
Perhitungan:
Q Bak = 374.850 m3/th = 1.027 m3/hari
td total = 3 hari = 72 jam
td tiap kompartemen = 72 jam / 6 kompartemen
= 12 jam
= 0.5 hari
Volume tiap kompartemen (Vol)
td = Vol / Q bak
Vol = Q x td
= 1.206.87 m3/hari x 0.5 hari
= 603.44 m3
Luas permukaan (As)
As = Vol / h
= 603.44 m3/ 0,1 m
= 6.034.4 m2
Maka panjang dan lebar bak
P:L = 2 : 1
As = P x L = 2 L x L = 2 L2
As 6.034 ,4
L = = = 54.93 m
2 2
P = 2 x 54.93
= 109.86 m
Dimensi setting pond
Panjang (P) = 109.86 m
Lebar (L) = 54.93 m
Kedalaman (h) = 0.8 m (biomassa, krakal)+0.1 m (tinggi air) + 0.1m (fb)
= 1 m.
35
V 43,2
Efisiensi bak ( ῃ ) = =
(Q / A) (1.068 ,37 / 54,93)
= 2,22 (plot ke grafik), maka diperoleh
ῃ =80 %
Q lumpur1 = 41,37m3/hari x 80 % = 33,096m3/hari
Q lumpur1 sisa = 41,37m3/hari - 33,096 m3/hari = 8,274m3/hari
RIWAYAT HIDUP