Anda di halaman 1dari 7

METABOLIT SEKUNDER POLIAMINA PADA TUMBUHAN

Posted by Muhammad Hatta in Metabolit sekunder, Stress. Tagged: metabolit sekunder, poliamina, stres.Tinggalkan
komentar

Muhammad Hatta

Pendahuluan
Tumbuhan secara alamiah menghasilkan beragam jenis senyawa. Secara umum, senyawa-senyawa
tersebut dapat dibagi tiga, yaitu metabolit primer, polimer, dan metabolit sekunder. Metabolit primer
adalah senyawa-senyawa yang terdapat pada semua sel dan memegang peranan sentral dalam
metabolisme dan reproduksi sel-sel tersebut. Contoh metabolit primer antara lain asam nukleat, asam
amino, dan gula. Polimer adalah senyawa penyusun sel yang terdiri dari senyawa yang memiliki berat
molekul yang tinggi, seperti selulosa, lignin, dan protein. Metabolit sekunder adalah senyawa yang
secara khusus terdapat pada jenis atau spesies tertentu saja (Hanson, 2011).
Berbeda dengan senyawa metabolit primer yang pada umumnya memberi pengaruh biologi terhadap
sel atau organisme tanaman itu sendiri, metabolit sekunder (MS) memberikan pengaruh biologi
terhadap sel atau organisme lain. Menurut Wink (2010) metabolit sekunder bukanlah produk
buangan yang tak berguna, tetapi perangkat yang penting untuk melawan herbivora dan mikroba.
Beberapa metabolit sekunder berfungsi sebagai molekul isyarat untuk menarik arthropoda
penyerbuk, hewan penyebar benih, dan sebagai senyawa isyarat dalam hubungan tanaman-tanaman,
tanaman-binatang, dan tanaman-mikrobia.
Senyawa metabolit sekunder banyak sekali jumlahnya. Menurut Springob dan Kutchan (2009), ada
lebih dari 200000 struktur produk alamiah atau produk metabolit sekunder. Untuk memudahkan,
perlu dibuat klasifikasi.
Ada beberapa cara klasifikasi bisa dibuat, seperti berdasarkan sifat struktur, asal-usul biosintesis, atau
lainnya. Berdasarkan sifat strukturnya, Hanson (2011 membagi MS ke dalam 6 golongan, yaitu 1)
poliketida dan asam lemak, 2) terpenoid dan steroid, 3) fenilpropanoid, 4) alkaloid, 5) asam amino
khusus dan peptida, dan 6) karbohidrat khusus.
Berdasarkan asal-usul biosintesisnya, Springob dan Kutchan (2009) membagi MS menjadi empat
kelompok, yaitu 1) alkaloid, 2) fenilpropanoid, 3) poliketida, dan 4) terpenoid. Berdasarkan
kandungan N, Wink (2010) membagi MS ke dalam dua kelompok besar, yaitu1) MS yang
mengandung N dan 2) MS yang tidak mengandung N. Kelompok pertama dibagi lagi menjadi 7 anak
kelompok, dan kelompok kedua dibagi lagi menjadi 10 anak kelompok. Pembagian dan jumlah MS
dapat dilihat pada Tabel 1.
Table 1. Kelompok metabolit sekunder dan jumlahnya pada tanaman tingkat tinggi
Jenis metabolit sekunder Jumlaha
Mengandung Nitrogen
Alkaloid 21 000
Asam amino bukan protein 700
Amina 100
Glikosida sianogenik 60
Glucosinolat 100
Alkamida 150
Lektin, peptida, polipeptida 2000
Tanpa Nitrogen
Monoterpen (C10)b 2500
Sesquiterpen C15)b 5000
Diterpen (C20)b 2500
Triterpen, steroid, saponin (C30, C27)b 5000
Tetraterpen (C40)b 500
Flavonoid, tannin 5000
Fenilpropanoid, lignin, coumarin, lignan 2000
Poliacetilen, asam lemak, lilin 1500
Poliketida 750
Karbohidrat, asam organik 200
aPerkiraan jumlah dari struktur yang diketahui.
bTotal jumlah terpenoid melebihi 22000 saat ini.

Sumber: Wink (2010)


Biosintesis Metabolit sekunder
Ada 2 lintasan biosintesis MS. Pertama adalah lintasan metabolisme dasar seperti glikolisis dan siklus
Krebs. Kedua adalah lintasan shikimate. Lintasan metabolisme dasar dan shikimate (Wink, 2010)
masing-masing dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Gambar 1. Lintasan metabolisme dasar dari sintesis metabolit sekunder (Wink, 2010)

Gambar 2. Lintasan shikimate sintesis metabolit sekunder (Wink, 2010)


Poliamina
Poliamina adalah senyawa polikation berberat molekul rendah yang ditemukan dalam semua
makhluk hidup (Kaur-Sawhney, 2003; Kusano, 2008), seperti bakteri, jamur, hewan, dan tanaman
tingkat tinggi (Baron dan Stasolla (2008). Dilihat dari strukturnya, poliamina termasuk dalam
golongan amina. Namun, secara fisiologis, poliamina bisa dimasukkan ke dalam golongan alkaloid
(Harbone, 1984; Robert, 2010).
Secara kimiawi, poliamina merupakan senyawa organik yang mempunyai dua atau lebih gugus amino
utama –NH2, dapat berupa senyawa sintetik dan juga alami. Senyawa poliamina sintetik
termasuk etilen diamine H2N–CH2–CH2–NH2, 1,3-diaminopropane H2N–(CH2)3–NH2,
dan hexamethylenediamine H2N–(CH2)6–NH2. Senyawa poliamina alami meliputi putrescine H2N–
(CH2)4–NH2, cadaverine H2N–(CH2)5–NH2, spermidine H2N–(CH2)4–NH–(CH2)3–NH2,
and spermine H2N–(CH2)3–NH–(CH2)4–NH–(CH2)3–NH2n (Wikipedia, 2012). Struktur molekul
poliamina alami dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Molekul Poliamina (sumber: Oryza, 2012)


Pada sel tumbuhan poliamina terdapat terutama dalam bentuk diamine putrescine (Put), triamine
spermidine (Spd), dan tetramine spermine (Spm)( Kaur-Sawhney (2003; Vadim, 2009). Poliamina ini
ada dalam bentuk bebas atau sebagai konjugat yang terikat pada asam fenolik dan pada senyawa
berberat molekul rendah lain atau pada makromolekul seperti protein dan asam nukleat (Kaur-
Sawhney, 2003)
Groppa dan Benavides (2007) menyatakan bahwa Put, SPd, dan Spm merupakan Poliamina utama
yang dijumpai pada semua sel makhluk hidup. Senyawa ini merupakan senyawa nitrogen alifatik yang
bermuatan positif pada pH fisiologis. Sifatnya ini memungkinkan poliamina berinteraksi dengan
makromolekul yang bermuatan negatif, seperti DNA dan RNA, protein dan fosfolipid.
Menurut Kusano (2008) awal penemuan poliamina adalah sekitar tahun 1678 ketika ditemukan
kristal tiga sisi pada semen manusia. Karena banyak terdapat dalam sperma, maka senyawa ini
dinamai dengan spermine. Spermidine pertama ditemukan pada pankreas. Spermine dan spermidine
bertanggung jawab pada bau khas dari semen. Dua senyawa lainnya putrescine dan cadaverine
ditemukan pada bakteri dekomposisi.
Biosintesis Poliamina
Pada tanaman, poliamina terdapat dalam sitoplasma, vakuola, mitokondria dan kloroplas. Sintesis
poliamina dimulai dari dua molekul prekursor asam amino, yaitu L-arginine dan L-methionine
(Kusano, 2008).
Ada dua lintasan alternatif. Lintasan pertama, dimulai dari arginine. Kemudian, diamine putrescine
disintesis melalui ornithine oleh arginase dan ornithine dekarboksilase. Putrescine dapat juga
disintesis melalui agmatine oleh tiga reaksi berantai yang dikatalisir masing-masing oleh enzim
arginine dekarboksilase, agmatine iminohydrolase, dan N-carbamoylputrecine amidohydrolase.
Putrescine dikonversi menjadi spermidine oleh aksi spermidine sintase. Lintasa kedua, dimulai dari
methionin kemudian diubah menjadi S-adenosylmethionine dua reaksi yang berurutan oleh
methionine adenosyltransferase dan S-adenosylmethionine dekarboksilase (Kusano, 2008)
Secara ringkas, poliamina disintesis dari arginine dan ornithine oleh arginine decarboxylase dan
orthinine decarboxylase. Senyawa antara agmatine, yang disintesis dari arginine, diubah menjadi Put,
yang kemudian ditransformasi menjadi Spd dan Spm . Untuk lebih jelasnya, lintasan biosintesis
Poliamina dapat dilihat pada Gambar 4 (Kaur-Sawhney, 2003). Biosisntesis alternative, methionin
diubah menjadi S-adenosylmethionine oleh methionine adenosyltransferase dan S-
adenosylmethionine dekarboksilase kemudian terbentuk spermidine dan berikutnya spermine
(Kusano, 2008). Lintasan biosintesis poliamina dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Lintasan biosintesis poliamina pada tumbuhan (Kaur-Sawhney, 2003).
Peran dan Kegunaan Poliamina
Dari beberapa macam pendekatan dan bukti yang ada, poliamina terlibat dalam banyak proses di
dalam tanaman. Proses tersebut berupa 1) proses fisiologis pertumbuhan dan perkembangan dan 2)
proses pertahanan dan kelangsungan hidup.
Pada proses pertumbuhan dan perkembangan, poliamina terlibat dalam beragam proses seperti
replikasi DNA, transkripsi gen, pembelahan sel, perkembangan organ, perkembangan dan pemasakan
buah, senescence daun (Kaur-Sawhney, 2002; Groppa dan Benavides, 2007; Kusano, 2008; Gilli dan
Tusteja , 2010). Baron dan Stasolla (2008) memberikan daftar yang lebih panjang lagi terhadap
keterlibatan poliamina dalam proses fisiologis tumbuhan. Proses tersebut meliputi pembelahan sel,
embriogenesis, organogenesis, perkembangan bintil akar, perkembangan bunga, buah, dan polen,
senescence, perkecambahan benih, sintesis alkaloid tropane, dinamisasi sitoskeletal, respons stres,
fotosintesis, dan berinteraksi dengan hormon. Kusano (2008) menambah daftar peran poliamina,
termasuk regulasi ekspresi gen, translasi, proliferasi sel, modulasi signaling sel, dan stabilisasi
membran. Poliamina juga memodulasi aktivitas unit tertentu dari saluran ion.
Poliamina juga terlibat dalam proses pertahanan dan kelangsungan hidup. Peran poliamina ini
terlihat pada tumbuhan yang mengalami cekaman, baik cekaman abiotik maupun cekaman biotik
((Kaur-Sawhney, 2002; Groppa dan Benavides, 2007; Kusano, 2008; Gilli dan Tusteja , 2010). Pada
cekaman abiotik, seperti salinitas, kekeringan, suhu ekstrem, hipoksia, dan malnutrisi, tanaman
banyak mengakumulasi poliamina. Pada cekaman biotik, seperti serangan hama dan penyakit,
tanaman juga meresponsnya dengan meningkatkan konsentrasi poliamina dalam sel pada jaringan
yang terserang (Baron dan Stasolla (2008) ); Kusano, 2007).
Dari segi manfaatnya, poliamina dapat digunakan untuk penanda kanker dan penemuan obat anti
kanker. Menurut Vadim (2009) poliamina terlibat dalam sejumlah reaksi biokimia dan digunakan
sebagai penanda kanker dan analognya digunakan sebagai obat anti kanker.
Dalam dunia farmasi dan kecantikan, poliamina diklaim dapat memberberikan banyak manfaat.
Oryza (2011) menyebutkan bahwa poliamina dapat mencegah arteriosceloris, merangsang
pertumbuhan rambut dan kuku, merangsang keratinocytes dan keratin serta berperan sebagai anti
aging.
Peran Poliamina terhadap Cekaman Abiotik
Palavan-Ünsal (1995) menyatakan bahwa tanaman tingkat tinggi yang terpapar kondisi lingkungan
yang suboptimal atau tercekam meresponsnya dengan mengakumulasi Putrescin dalam konsentrasi
tinggi. Pengamatan ini awalnya dimulai oleh Richards dan Coleman tahun 1952 pada tanaman barley
yang ditanam pada kultur hidroponik yang kekurangan ion K +. Sejak itu, kondisi cekaman lain juga
menunjukkan akumulasi putrescin, antara lain kekurangan air, konsentrasi osmotik internal dan
eksternal yang tinggi, konsentrasi NH4+ yang tinggi, H+ dan konsentrasi kation monovalen lainnya,
larutan ambien, polutan SO 2, O3, Pb2+, suhu rendah, dan suhu tinggi.
Groppa dan Benavides (2008) mereview peran poliamina terhadap salinitas, kekeringan dan stres
osmotik. Mereka menyatakan bahwa cekaman garam dan kekeringan adalah dua cekaman abiotik
utama di bidang pertanian dan rendahnya potensi air merupakan konsekuensi umum dari keduanya.
Salinitas merupakan kendala lingkungan yang kompleks yang disebabkan oleh dua hal, yakni 1)
komponen osmotik karena penurunan potensi osmotik eksternal dari larutan tanah dan 2) komponen
ionik yang terkait dengan akumulasi ion beracun pada konsentrasi tinggi (terutama Na dan Cl).
Konsentrasi garam yang tinggi mengganggu integritas membran sel, aktivitas berbagai enzim dan
fungsi aparatus fotosintesis.
Tanaman menanggapi perubahan kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan ini dengan
mengakumulasi senyawa osmolit berberat molekul rendah seperti prolin dan poliamina. Sampai saat
ini, masih belum jelas komponen stres garam yang mana yang bertanggung jawab terhadap akumulasi
poliamina, apakah komponen osmotik ataupun komponen ionik, meski banyak laporan telah
mencoba untuk menjelaskan petunjuk penting ini selama bertahun-tahun. Demikian pula, belum jelas
benar poliamina yang mana yang paling berperan pada kondisi stres ? apakah putrescin, spermidin,
atau spermin.
Pengukuran kandungan poliamina pada beberapa kultivar padi menunjukkan bahwa kultivar padi
yang toleran garam mempertahankan taraf poliamina yang tinggi, yaitu spermidin (Spd) dan spermin
(Spm), sedangkan kultivar padi sensitif garam hanya mempertahankan putrescin (Put) yang tinggi.
Kultivar toleran garam AU1, Co43, dan CSC1 efektif dalam mempertahankan konsentrasi Spd dan
Spm yang tinggi, sedangkan kandungan Putrescin tidak signifikan berubah pada analisis
pertumbuhan ketika tanaman terpapar salinitas.
Sensitivitas terhadap garam pada padi dikaitkan dengan tingginya akumulasi putrescin dan
rendahnya Spd dan Spm dalam tunas kultivar sensitif garam Co36 CSC2, GR3, IR20, TKM4, dan
TKM9 pada kondisi salin. Membran plasma akar kultivar padi toleran garam Nonabokra dan Pokkali
kaya akan Spm dan Spd, sedangkan membran plasma akar kultivar sensitif (M-1-48 dan IR8) hanya
kaya akan Put.
Kelihatannya Spd dan Spm berperan terhadap komponen osmotik dan responsnya lebih lama
sedangkan Put lebih berperan terhadap komponen ionik yang beracun dan responsnya lebih cepat
tetapi sementara. Pada penelitian menggunakan NaCl (100 dan 200 mM) dan mannitol (200 dan 400
mM) pada kalus Fraxinus angustifolia, ditemukan bahwa dalam waktu singkat (30 menit) Put dan
Spd meningkat sebagai konsekuensi dari perlakuan garam, dan akumulasi yang terus berlanjut dari
Spd dan Spm akibat mannitol.
Poliamina kemungkinan besar berperan dalam menambah rigiditas permukaan membran
mikrosomal, menstabilkannya terhadap NaCl dan stres osmotik. Lebih lanjut, konsentrasi poliamina
yang lebih tinggi yang terikat pada membran mikrosomal kemungkinan dapat mengurangi pengaruh
buruk dari NaCl dan kekurangan air.
Dalam kaitannya dengan kekeringan, kelihatannya spermidin lebih berperan, diikuti spermin. Ada
penelitian yang melaporkan bahwa Spd merupakan poliamina utama dalam jaringan yang tercekam
kekeringan. Penelitian pada akar kecambah chickpea dan kedelai berumur 7 hari yang diperlakukan
dengan cekaman kekeringan 0,8 MPa, menunjukkan bahwa total dan individu poliamina lebih tinggi
pada chickpea dibanding kedelai. Tanaman chickpea lebih tahan kekeringan dan mengandung lebih
banyak Put dan Spd dibanding tanaman kedelai. Kecambah barley yang diperlakukan dengan Spd
sebelum periode kekurangan air mampu mengembalikan peningkatan aktivitas enzim katalase dan
peroksidase guaiaco, yang mengindikasikan bahwa Spd dapat mempengaruhi aktivitas enzim
penangkap H2O2, dan memoderatkan taraf molekul isyarat ini. Tanaman padi merespons kekeringan
dengan meningkatkan Put endogen, tetapi tidak cukup tinggi untuk dikonversi menjadi Spd dan Spm.
Sebaliknya, tanaman padi transgenik (Datura adc) menghasilkan Put yang lebih tinggi pada cekaman
kekeringan sehingga memacu sintesis Spd dan Spm, kemudian melindungi tanaman dari cekaman
kekeringan.
Kusano et al. (2008) lebih jauh mengelaborasi peran poliamina terhadap stres abiotik, khususnya
kekeringan. Pada tanaman Arabidopsis, mutan acl5/spms, yang tak mampu memproduksi spermin,
menunjukkan hipersensitif terhadap stres garam dan kekeringan dibanding tanaman normal.
Fenotipe stres sensitif ini dapat pulih dengan penambahan poliamina eksogen, yaitu putrescin untuk
sensitif garam dan spermin untuk sensitif kekeringan. Tanaman Arabidopsis mutan acl5/spsm ini
juga hipersensitif terhadap KCl dan tanaman ini juga kekurangan Ca2+. Dari fenomena ini, dapat
disimpulkan bahwa kekurangan spermin dapat menyebabkan ketidakteraturan keluar-masuknya ion
Ca2+, yang mengakibatkan berkurangnya daya adaptasi terhadap tingginya NaCl dan stres kekeringan.
Konsisten dengan data yang ada, poliamina, termasuk spermin, juga dilaporkan menghambat
pembukaan stomata dan menginduksi penutupannya. Baru-baru ini juga dilaporkan bahwa poliamina
mencegah aliran K+.
Gill dan Tuteja (2010) mengelaborasi aplikasi poliamina eksogen terhadap cekaman kekeringan.
Banyak bukti mengindikasikan bahwa aplikasi poliamina eksogen dapat menstabilkan membran sel
tanaman dan melindunginya dari kerusakan akibat kondisi stres. Poliamina juga diindikasikan ikut
berperan dalam menjaga integritas membran. Pemberian Putrescin eksogen terbukti dapat
mengurangi kerusakan oksidatif akibat genangan air pada Allium fistulosuma dengan meningkatnya
kapasitas antioksidan. Ditemukan juga bahwa aplikasi Put eksogen menyebabkan berkurangnya
kandungan senyawa radikal superoksida O2 dan H202, sehingga mengurangi stres oksidatif pada sel
tanaman.
Produksi Poliamina
Konsentrasi poliamina dalam sel normal tumbuhan ada pada rentang dari beberapa ratus mikromolar
sampai beberapa milimolar. Konsentrasi ini diatur secara ketat, karena pada taraf yang lebih tinggi,
poliamina bersifat racun terhadap sel dan bisa menyebabkan kematian sel (Kusano, 2008).
Kekecualian ada pada sel kanker. Pada sel kanker, konsentrasi poliamina melebihi konsentrasi pada
sel normal (Yatin, 2002). Pengaturan konsentrasi poliamina dalam sel kelihatannya dilakukan
tanaman pada beberapa tahapan proses produksi poliamina.
Produksi Poliamina dalam tumbuhan ditentukan oleh empat hal, yaitu sintesis, penyerapan, transpor,
dan degradasi (Yatin, 2002;Kusano, 2008). Namun demikian, penyerapan dan transpor poliamina
belum dapat dipertimbangkan dalam proses produksi karena kedua proses tersebut belum diketahui
secara detail. Kusano (2008) menyatakan bahwa transpor poliamina pada tumbuhan masih dalam
bentuk hipotesis. Demikian pula halnya, poliamina degradasi, mekanismenya masih belum cukup
jelas. Untuk poliamina penyerapan, Yatim (2002) menyatakan bahwa poliamina penyerapan dan
poliamina sintesis dapat saling disubstitusi. Oleh karena itu, untuk saat ini, pertimbangan bagi
produksi poliamina hanyalah dari sisi sintesisnya.
Pada tahap sintesis, produksi poliamina kemungkinan dapat dimanipulasi dengan berbagai cara
antara lain dengan memanipulasi bahan baku, produk antara, enzim-enzim yang terlibat, dan faktor
lingkungan yang mempengaruhi produksi poliamina dalam lintasannya, terutama faktor cekaman
biotik dan abiotik. Namun demikian, pemilihan bahan baku dan paparan terhadap cekaman
merupakan pendekatan yang lebih praktis.
Beberapa jenis tanaman secara alamiah mengandung banyak poliamina di dalam sel dan jaringannya.
Menurut Okamoto (1997) dan Oryza (2011) gandum, kedelai dan turunannya, serta teh mengandung
banyak poliamina. Kandungan poliamina pada berbagai jenis bahan pangan yang berasal dari
tumbuhan disajikan pada Gambar 5.
Paparan tumbuhan pada berbagai cekaman juga merupakan pilihan yang rasional. Banyak penelitian
telah membenarkan bahwa cekaman biotik dan abiotik meningkatkan kandungan poliamina dalam
tumbuhan. Bentuk cekaman dapat berupa salinitas, kekeringan, suhu ekstrem, hipoksia, dan
malnutrisi, serta serangan hama dan penyakit (Alcazar, 2006; Kusano, 2007). Namun demikian
Selmar (2007) mengingatkan bahwa peningkatan kandungan metabolit sekunder, termasuk
poliamina lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif. Hal ini dikarenakan umumnya tanaman dalam
keadaan tercekam pertumbuhan dan produksi total biomassanya rendah, sehingga secara
kuantitatif trade off dengan tingginya kandungan metabolit sekunder.

Gambar 5. Kandungan Poliamina dalam jenis pangan dan minuman (Oryza 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Alca´zar, R. F. Marco, J. C. Cuevas, M. Patron, A. Ferrando, P. Carrasco, A. F. Tiburcio, T. Altabella.
2006. Involvement of Polyamines in plant response to abiotic stress. Biotechnol Lett 28:1867–1876.
Baron, K. and C. Stasolla. 2008. The role of Polyamines during in vivo and in vitro Development. In
Vitro Cell.Dev.Biol.-Plant (2008) 44:384–395
Gill, S.S. and N. Tuteja. 2010. Polyamines and abiotic stress tolerance in plants. Plant Signaling &
Behavior 5:1, 26-33. Landes Bioscience.
Groppa, M. D. and M. P. Benavides. 2008. Polyamines and abiotic stress: recent advances. Amino
Acids (2008) 34: 35–45
Hanson, J. R. 2011. Natural Products: The Secondary Metabolites. University of Sussex
Harborne, J. B. 1984. Phytochemical Methods. Chapman and Hill, Hongkong. In Vitro Cell.Dev.Biol.-
Plant 44:384–395.
Kaur-Sawhney, R. , A. F. Tiburcio, T. Altabella, and A. W. Galston. 2003. Polyamines in plants: An
overview. Journal of Cell and Molecular Biology 2: 1-12. Haliç University, Turkey.
Kusano, T., T. Berberich · C. Tateda · Y. Takahashi. 2008. Polyamines: essential factors for growth and
survival. Planta (2008) 228:367–381.
Kusano, T., K. Yamaguchi, T. Berberich, Y. Takahashi. 2007. The Polyamine Spermine Rescues
Arabidopsis from Salinity and Drought Stresses. Plant Signaling & Behavior 2:4, 251-252.
Okamoto A., E. Sugi, Y. Koizumi. F. Yanagida, dan S. Udaka. 1997. Polyamine content of ordinary
foodstuffs and various fermented foods. Bios ci.Biotech.Biochem.61(9):1582 –
1584. www.jstage.jst.go.jp/article/bbb1992/61/9/61_9_1582/_pdf.
Oryza. 2011. Polyamine: Natural Ingredient for Healthy Hair and Nail Treatment with Anti-
ageing. www.oryza.co.jp/html/…/Poliamina_vol.2.pd. Diakses 21 Oktober 2012.
Palavan-Ünsal, N. 1995. Stress and polyamine metabolism. Bulg. J. Plant Physiol., 1995, 21(2-3), 3–14
Roberts, M.F. , D. Strack and M. Wink. 2010. Biosynthesis of alkaloids and betalains. Annual Plant
Reviews 40, 20 – 91. Www.Interscience.Wiley.Com
Royal Society of Chemestry.
Selmar, D. 2007. Potential of salt and drought stress to increase pharmaceutical significant secondary
compounds in plants. Agriculture and Forestry Research 1/2(58):139-144 2007.
Springob and Kutchan (2009). Introduction to the Different Classes of Natural Products. Eds. A. E.
Osbourn • and V. Lanzotti. Plant-derived Natural Products: Synthesis, Function, and Application.
Springer.
Wikipedia. 2012. Polyamine. http://en.wikipedia.org/wiki/Poliamina. Diakses 21 Oktober 2012.
Wink, M. 2010. Introduction: Biochemistry, Physiology and Ecological Functions of Secondary
Metabolites. Annual Plant Reviews 40, 1–19. Www.Interscience.Wiley.Com
Yatin, M. 2002. Polyamines in living organisms. Journal of Cell and Molecular Biology 1: 57-67.
Golden Horn University, Printed in Turkey

Anda mungkin juga menyukai