Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN II

PENGARUH ZAT PENGATUR TERHADAP


DAYA BERKECAMBAHAN BENIH (BIJI)

Oleh :
Sayekti PancawatI (B1J010194)
Aruni Hamidah (B1J010202)
Susiatun (B1J010204)
Mila Afriyanti (B1J010226)
Nurika Ciptaningsih (B1J010234)

Kelompok :2
Rombongan :I
Asisten :Sri Malaysianti

LAPORAN FISIOLOGI TUMBUHAN II

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO

2012

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN II

Acara Praktikum : Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Berkecambahan Benih


(Biji).

Tujuan : Untuk mengetahui konsentrasi zat pengatur tumbuh yang mampu


meningkatkan daya perkecambahan (viability) benih.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel Hasil Pengamatan Perkecambahan Biji Padi


B. Pembahasan

Berdasarkan hasil praktikum didapatkan bahwa perkecambahan biji padi


lama lebih banyak yang tumbuh dibandingkan dengan perkecambahan biji baru,
hal ini tidak sesuai dengan pustaka karena pada perkecambahan biji padi yang
baru seharusnya lebih cepat tumbuh dibandingkan dengan perkecambahan biji
padi lama. Penyimpanan benih yang terlampau lama setelah dipanen akan
mengakibatan daya perkecambahan benih menurun karena benih tersebut terus
menerus melakukan aktivitas respirasi. Dalam proses respirasi ini protein
kompleks yang terkandung dalam benih terurai menjadi protein sederhana
sehingga protein sederhana ini terus menerus dikeluarkan selama proses respirasi
benih, sedangkan hormon pertumbuhan dan enzim-enzim yang terkandung dalam
benih merupakan protein sederhana, oleh karena itu pertumbuhan benih menjadi
lambat karena kurangnya hormon pertumbuhan dan enzim-enzim yang
menstimulir pertumbuhan benih (Copeland & Mc. Donald, 2001).
Perkecambahan adalah proses pengaktifan kembali aktivitas pertumbuhan
embryonic axis di dalam benih yang terhenti untuk kemudian membentuk bibit.
Perkecambahan benih merupakan proses berubahnya benih menjadi kecambah
yang diawali proses metabolisme benih dan aktivitas pertumbuhan embrio
menjadi kehidupan baru. Perkecambahan padi merupakan suatu rangkaian
perubahan-perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia. Copeland & Mc.Donald
(2001) menyatakan bahwa perkecambahan benih, secara fisiologi adalah muncul
dan berkembangnya struktur-struktur penting dari embrio benih sampai dengan
akar menembus kulit benih. Proses metabolisme perkecambahan benih
ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik yang berpengaruh
terhadap perkecambahan benih adalah sifat dormansi dan komposisi kimia benih.
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkecambahan benih adalah air,
gas, suhu dan cahaya.
Menurut Villiers (1972), dormansi adalah kemampuan biji untuk
mengundurkan fase perkecambahannya hingga saat dan tempat itu
menguntungkan untuk tumbuh. Menurut Lovelles (1990), dormansi adalah masa
istirahat yang khusus hanya dapat diatasi oleh isyarat-isyarat lingkungan tertentu.
Kemampuan istirahat dengan jalan ini memungkinkan tumbuhan untuk bertahan
hidup pada periode kekurangan air atau pada suhu dingin. Dormansi dapat
dipatahkan dengan memberi zat pengatur tumbuh yaitu IAA, NAA, GA.
IAA (Indole Acetic Acid) adalah auksin endogen yang terbentuk dari
Trytophan yang merupakan suatu senyawa dengan inti indole yang selalu
terdapat dalam jaringan tanaman. Kandungan IAA dalam suatu tanaman
menunjukan adanya hubungan yang berbanding terbalik dengan adanya aktivitas
oksidase. Umumnya di daerah meristematik kadar auksinnya tinggi karena
aktivitas IAA oksidasenya rendah (Prawiranata et al, 1989).
NAA (Naphthyl Acetic Amida) adalah zat pengatur tumbuh yang
dikelompokkan kedalam auksin. Penambahan NAA akan mempengaruhi
pertumbuhan akar, yaitu mengenai banyaknya akar yang dihasilkan. NAA lebih
stabil sifat kimianya dan mobilitasnya dalam tanaman rendah. Sifat kimianya
yang mantap dan pengaruhnya yang lama serta keberadaan hormon ini yang tidak
menyebar sehingga tidak mempengaruhi pertumbuhan bagian lain, hal ini
menyebabkan pemakaian hormon ini berhasil (Kusumo, 1990).
Giberelin merupakan hormon pertumbuhan yang terdapat pada organ-
organ tanaman yaitu pada akar, batang, tunas, daun, tunas bunga, bintil akar, buah
dan jaringan khusus. Respon terhadap giberelin meliputi peningkatan pembelahan
sel. Giberelin juga dapat merangsang pertumbuhan batang, dan dapat juga
meningkatkan besar daun beberapa jenis tumbuhan, besar bunga dan buah.
Giberelin juga dapat menggantikan perlakuan suhu rendah (2-40 C) pada tanaman
(Kusumo, 1990).
Giberelin aktif pada tanaman utuh. Biji biasanya berkecambah dengan
segera bila diberi air dan udara yang cukup, mendapat suhu pada kisaran yang
memadai dan pada keadaan tertentu mendapat periode terang dan gelap yang
sesuai, namun pada sekelompok tumbuhan yang bijinya tidak segera berkecambah
meskipun telah diletakkan pada kondisi kandungan air, suhu, udara, dan cahaya
yang memadai. Perkecambahan tertunda selama beberapa hari, minggu atau
beberapa bulan, tetapi dengan adanya giberelin dormansi dapat dipatahkan
(Prawiranata et al, 1989). Menurut Kusumo (1990), ada beberapa macam
giberelin yaitu GA1, GA2, GA3, GA4.
GA3 merupakan salah satu zat pengatur tumbuh tanaman dari golongan
giberelin yang mempunyai peranan dalam mempercepat perkecambahan benih.
Banyak hasil penelitian yang melaporkan bahwa pemberian GA3 eksogen dapat
meningkatkan daya berkecambah benih. Peningkatan konsentrasi GA3 dapat
meningkatkan daya berkecambah fisiologis pada benih (biji), akan tetapi
pemberian GA3 tidak dapat menggantikan perlakuanstratifikasi dingin pada benih
yang dikecambahkan pada suhu tinggi misalnya 23°C. Giberelin dikenal sebagai
zat pengatur tumbuh yang digunakan untuk memecahkan beberapa tipe dormansi
benih yaitu: (1) benih yang membutuhkan cahaya, (2) benih yang dihambat oleh
cahaya, (3) benih yang membutuhkan stratifikasi, (4) benih yang membutuhkan
after-ripening (penyimpanan pada temperatur ruang dalam kondisi kering) (Devi
Rusmin, 2011).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkecambahan Benih
Perkecambahan benih dapat dipengaruhi oleh faktor dalam yang meliputi: tingkat
kemasakan benih, ukuran benih, dormansi, dan penghambat perkecambahan, serta
faktor luar yang meliputi: air, temperatur, oksigen, dan cahaya.
1. Tingkat kemasakan benih

Benih yang dipanen sebelum mencapai tingkat kemasakan fisiologis tidak


mempunyai viabilitas tinggi. Pada beberapa jenis tanaman, benih yang
demikian tidak akan dapat berkecambah. Hal ini diduga benih belum
memiliki cadangan makanan yang cukup dan pembentukan embrio belum
sempurna. Pada tingkat kemasakan yang bagaimanakah sebaiknya panen
dilakukan agar diperoleh benih yang memiliki viabilitas maksimum, daya
kecambah maksimum serta menghasilkan tanaman dewasa yang sehat,
kuat, dan berproduksi tinggi.

2. Ukuran benih

Karbohidrat, protein, lemak, dan mineral ada dalam jaringan


penyimpanan benih. Bahan-bahan tersebut diperlukan sebagai bahan baku
dan energi bagi embrio saat perkecambahan. Berdasarkan hasil
penelitian, ukuran benih mempunyai korelasi yang positip terhadap
kandungan protein pada benih sorgum. Makin besar/berat ukuran benih
maka kandungan protein juga makin meningkat. Dinyatakan juga bahwa
berat benih berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan dan produksi,
karena berat benih menentukan besarnya kecambah pada pada saat
permulaan dan berat tanaman pada saat dipanen.

3. Dormansi
Benih dorman adalah benih yang sebenarnya hidup tetapi tidak mau
berkecambah meskipun diletakkan pada lingkungan yang memenuhi
syarat untuk berkecambah. Penyebab dormansi antara lain adalah:
impermeabilitas kulit biji terhadap air atau gas-gas (sangat umum pada
famili leguminosae), embrio rudimenter, halangan perkembangan embrio
oleh sebab-sebab mekanis, dan adanya bahan-bahan penghambat
perkecambahan. Benih dorman dapat dirangsang untuk berkecambah
dengan perlakuan seperti: pemberian suhu rendah pada keadaan lembab
(stratifikasi), goncangan (impaction), atau direndam dalam larutan asam
sulfat.
4. Penghambat perkecambahan

Banyak zat-zat yang diketahui dapat menghambat perkecambahan benih.


Contoh zat-zat tersebut adalah: herbisida, auksin, bahan-bahan yang
terkandung dalam buah, larutan mannitol dan NaCl yang mempunyai
tingkat osmotik tinggi, serta bahan yang menghambat respirasi (sianida
dan fluorida). Semua persenyawaan tersebut menghambat perkecambahan
tetapi tak dapat dipandang sebagai penyebab dormansi. Istilah induksi
dormansi digunakan bila benih dapat dibuat berkecambah lagi oleh
beberapa cara yang telah disebutkan.

5. Hormon

Tidak semua hoemon tumbuhan (fitohormon) bersifat mendukung proses


perkecambahan. Ada bebrapa fitohormon yang menghambat proses
perkecambahan. Fitohormon yang berfungsi merangsang perkecambahan
antara lain auksin, giberalin, sitokinin. Fitohormon yang berfungsi
menghambat perkecambahan antara lain etilen, asam absisat (ABA) .

6. Air
Faktor yang mempengaruhi penyerapan air oleh benih ada 2, yaitu: sifat
kulit pelindung benih dan jumlah air yang tersedia pada medium
sekitarnya. Jumlah air yang diperlukan untuk berkecambah bervariasi
tergantung kepada jenis benih, umumnya tidak melampaui dua atau tiga
kali dari berat keringnya.
7. Temperatur
Temperatur optimum adalah temperatur yang paling menguntungkan bagi
berlangsungnya perkecambahan benih. Temperatur minimum/maksimum
adalah temperatur terendah/tertinggi saat perkecambahan akan terjadi. Di
bawah temperatur minimum atau di atas temperatur maksimum akan
terjadi kerusakan benih dan terbentuknya kecambah abnormal.
8. Oksigen
Proses respirasi akan berlangsung selama benih masih hidup. Pada saat
perkecambahan berlangsung, proses respirasi akan meningkat disertai
dengan meningkatnya pengambilan oksigen dan pelepasan karbon
dioksida , air dan energi. Proses perkecambahan dapat terhambat bila
penggunaan oksigen terbatas. Namum demikian beberapa jenis tanaman
seperti padi (Oryza sativa L.) mempunyai kemampuan berkecambah pada
keadaan kurang oksigen.
9. Cahaya
Kebutuhan benih terhadap cahaya untuk berkecambah berbeda-beda
tergantung pada jenis tanaman. Benih yang dikecambahkan pada keadaan
kurang cahaya atau gelap dapat menghasilkan kecambah yang mengalami
etiolasi, yaitu terjadinya pemanjangan yang tidak normal pada hipokotil
atau epikotil, kecambah pucat dan lemah.

Mekanisme perkecambahan biji diawali dengan berakhirnya dormansi


dengan adanya imbibisi air yang diperlukan biji untuk melakukan metabolisme
tinggi sel-sel dalam embrio dan organel subseluler berorganisasi yang akhirnya
terjadi pemunculan kecambah. Sel-sel dalam akar, daun, batang membesar, dan
memanjang dengan pengambilan air. Fase perkembangan ini dipacu oleh ZPT
seperti IAA, NAA, dan GA (Rismunandar, 1988). Proses perkecambahan
fisiologis, dalam tahap ini embrio di dalam benih yang semula berada pada
kondisi dorman mengalami sejumlah perubahan fisiologis yang menyebabkan ia
berkembang menjadi tumbuhan muda. Tumbuhan muda ini dikenal sebagai
kecambah. Kecambah adalah tumbuhan (sporofit) muda yang baru saja
berkembang dari tahap embrionik di dalam benih. Tahap perkembangan ini
disebut perkecambahan dan merupakan satu tahap kritis dalam kehidupan
tumbuhan. Proses perkecambahan dalam hal ini melalui 3 tahap, yakni: (i)
Perembesan air ke dalam benih (imbibisi), (ii) pengaktifan proses metabolisme;
dan (iii) perkecambahan (Kozlowski, 1972b).
Fosfor merupakan unsur makro yang sangat penting untuk pertumbuhan
dan produksi tanaman. Fosfor cenderung terkonsentrasi dalam biji dan titik
tumbuh perkembangan akar serabut. Kekurangan unsur ini dalam tumbuhan dapat
berakibat fatal yaitu tanaman umumnya pendek, berbunga lebih lambat, saat
panen lambat, dan benih yang dihasilkan mempunyai status vigor yang rendah
(Agustin et al, 2010).
Dormansi benih didefinisikan sebagai sebuah blok intrinsik untuk
penyelesaian perkecambahan biji yang layak dalam kondisi yang menguntungkan
untuk perkecambahan (suhu, kelembapan cahaya) dari benih nondorminant yang
sesuai. Benih dormansi mengontrol waktu perkecambahan dalam menanggapi
musim dan memainkan peran penting dalam evolusi benih tanaman dan adaptasi
terhadap perubahan iklim. Waktu perkecambahan sangat dapat mempengaruhi
tingkat dimana spesies dapat memperluas jangkuan mereka dan memainkan peran
penting dalam menentukan kelangsungan hidup atau kepunahan selama perubahan
iklim (Ada Linkies et al, 2010).
Penambahan NAA akan mempersingkat masa dormansi, begitu juga
dengan penambahan GA akan memperpendek masa dormansi, namun
penambahan GA lebih efektif dari NAA (Heddy, 1986). Penambahn GA akan
lebih cepat merangsang pertumbuhan koleoptil pada biji. Selain jenis zat pengatur
tumbuh (ZPT) yang digunakan, konsentrasi ZPT juga dapat mempengaruhi
kecepatan perkecambahan biji. Pemberian GA pada konsentrasi yang semakin
tinggi mengakibatkan semakin tinggi pula perkecambahannya, tetapi hal ini
tergantung pula pada jenis dari benih yang ada (Sutopo, 1984).
Villiers dalam Salim (2004), menyatakan bahwa dormansi benih dapat
disebabkan antara lain adanya impermeabilitas kulit benih terhadap air dan gas
(oksigen), embrio yang belum tumbuh secara sempurna, hambatan mekanik kulit
benih terhadap pertumbuhan embrio, belum terbentuknya zat pengatur tumbuh
atau karena ketidakseimbangan antara zat penghambat dengan zat pengatur
tumbuh di dalam embrio. Ekstrasi buah dapat mengurangi senyawa-senyawa
penghambat perkecambahan dan meningkatkan kemampuan benih untuk
mengabsorbsi air. Eksraksi buah dapat mempercepat pembusukkan buah dan
merangsang proses fisiologi perkecambahan.
Air adalah kebutuhan dasar untuk perkecambahan benih yang penting
untuk aktivasi enzim, perombakan cadangan makanan, translokasi dan
penggunaan cadangan makanan. Proses pertama yang terjadi selama
perkecambahan adalah pengambilan air melalui proses imbibisi. Copeland &
Mc.Donald (2001) menyatakan imbibisi tergantung pada komposisi kimia benih,
permeabilitas kulit benih dan ketersediaan air
Bewley & Black (1985) menyatakan bahwa keseluruhan proses
perkecambahan melewati tiga fase, yaitu fase I (fase imbibisi), fase II (lag phase)
dan fase III (fase pertumbuhan). Fase I diawali dengan proses penyerapan air oleh
benih, baik benih dorman dan non-dorman, benih viabel maupun benih non-
viabel. Proses penyerapan air berlangsung karena adanya perbedaan potensial air
di dalam benih dengan air disekitarnya. Potensial air di dalam benih kering dapat
mencapai -1000 bar, sementara pada air disekitarnya 0 bar. Fase II atau lag phase
adalah periode mulai aktifnya metabolisme sebagai persiapan perkecambahan
pada benih non-dorman, sementara pengaktifan metabolisme tidak terjadi pada
benih mati. Fase III atau fase pertumbuhan terjadi hanya pada benih non-dorman
yang viabel, ditandai dengan munculnya akar dan diikuti dengan proses
pembelahan sel yang ekstensif, peningkatan laju penyerapan air dan perombakan
cadangan makanan.
Menurut Sutopo (2002), beberapa zat penghambat tumbuh telah
ditemukan pada biji padi sehubungan dengan dormansi embrio tersebut antara lain
asam absisat (ABA) dan koumarin yang dapat berada pada sekam, aleuron, atau
embrio. Kondisi lingkungan selama pertumbuhan dan pembungaan benih
mempengaruhi lamanya durasi dormansi endogenus. Faktor lingkungan yang
mempengaruhi dormansi endogenus diantaranya adalah panjang hari, naungan,
posisi benih pada buah atau bunga, umur tanaman induk, serta suhu selama
pembungaan (Copeland & Mc.Donald 2001).
Perlakuan perendaman dalam air mengalir berfungsi untuk mencuci zat-zat
yang menghambat perkecambahan dan dapat melunakkan kulit benih.
Perendaman dapat merangsang penyerapan air lebih cepat. Perendaman adalah
prosedur yang sangat lambat untuk mengatasi dormansi fisik, selain itu ada resiko
bahwa benih akan mati jika dibiarkan dalam air sampai seluruh benih menjadi
permeabel (Copeland & Mc.Donald 2001).
Stress yang berdampak pada benih dapat mempengaruhi reproduksi
tanaman dan produktivitas, pertanian dan keanekaragaman hayati. Stres tanaman
didefinisikan sebagai kondisi yang tidak menguntungkan atau zat yang
mempengaruhi metabolisme tanaman, pertumbuhan atau pembangunan dengan
strasser sebagai suatu kondisi yang disebabkan oleh faktor-faktor yang cenderung
untuk mengubah keseimbangan, juga sebagai perubahan fisiologi. Faktor-faktor
yang menyebabkan stress dapat 'biotik', yang dihasilkan dari organisme hidup,
seperti jamur dan serangga, atau 'abiotik', hasil dari faktor tak hidup, seperti
kekeringan, salinitas suhu ekstrim, dan polutan, misalnya logam berat.
Keseimbangan antara toleransi dan sensivitas dapat menentukan apakah faktor
stress memiliki efek positif atau negative(IIse Kranner, 2010).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa


1. Zat pengatur tumbuh jenis IAA (Indole Acetic Acid) dan NAA (Naphthyl
Acetic Amida) berfungsi sebagai pertumbuhan tanaman, pertambahan panjang
batang, jumlah daun serta perpanjangan akar.
DAFTAR REFERENSI

Ada Linkies, et al. 2010. The Evolution of Seeds. Journal compilation _ New
Phytologist Trust.

Agustin, Widi, Satriyas Ilyas, Sri Wilarso Budi, Iswandi Anas, dan Faiza C.
Suwarno. Inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan
Pemupukan P untuk Meningkatkan Hasil dan Mutu Benih Cabai
(Capsicum annuum L.). 2010. J. Agron. Indonesia 38 (3) : 218 -
224 (2010).

Bewley JD, Black M. 1985. Seeds: Physiology of Development and Germination.


New York: Plenum Press.

Copeland LO, McDonald MB. 2001. Principles of Seed Science and Technology,
4th edition. London: Kluwer Academic Publishers.

Devi Rusmin,et al. 2011. Pengaruh Pemberian Ga3 Pada Berbagai Konsentrasi
Dan Lama Imbibisi Terhadap Peningkatan Viabilitas Benih
Purwoceng (Pimpinella Pruatjan Molk.). Jurnal Littri 17(3),
September 2011. Hlm. 89 – 94.

Ellis RH, Hong, TD, Robert EH. 1983. Procedure for the

Heddy, S. 1986. Hormon Tumbuhan. CV Rajawali. Jakarta.

Ilse Kranner, et al. 2010. What is stress? Concepts, definitions and applications in
seed science. Journal compilation _ New Phytologist Trust.

Kusumo, S. 1990. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. CV Yasaguna. Bogor

Lovelles, A. R. 1990. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik. PT


Gramedia. Jakarta.

Prawiranata, W., S. Harran dan P. Tjondronegoro. 1981. Dasar-Dasar Fisiologi


Tumbuhan. Departemen Botani Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

Rismunandar. 1988. Hormon Tanaman dan Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta

Salim, M. S. 2004. Pematahan Dormansi Benih Aren Secara Fisik Pada Berbagai
Lama Ekstraksi Buah. Agrosains, Vol. 6, No. 2 : 79-83.
Soejadi dan U.S. Nugraha. 2002. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi
terhadap daya berkecambah padi, hal 155-162. Dalam E.
Murniati et al. (Eds.): Industri Benih di Indonesia. Laboratorium
Ilmu dan Teknologi Benih IPB. 291 hal

Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih. Rajawali. Jakarta.

Villiers, T.A., 1972. Seed Dormancy. 220 – 282 p. Dalam Seed Biology. Ed. By
T.T. Kozlowski. Vol. II Academic Press. New York and London.

Anda mungkin juga menyukai