Anda di halaman 1dari 14

ACARA III

PENGAMATAN POLEN DAN KANTUNG EMBRIO

A. Hasil Pengamatan
1. Viabilitas Polen
a. Polen Bunga Jagung (Zea mays)

Keterangan: Viabel / tidak Persentase viabel = 11/37 X 100% = 29%

b. Polen Bunga Cabai (Capsicum frutescence)

Keterangan: Viabel / tidak Persentase viabel =


c. Polen Bunga Kacang Panjang (Vigna unguiculata ssp. sesquipedalis)

Keterangan: Viabel / tidak Persentase viabel =

d. Polen Bunga Sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.)

Keterangan: Viabel / tidak Persentase viabel = 6/58 X 100% = 10%


e. Polen Stroberi (Fragaria sp.)

Keterangan: Viabel / tidak Persentase viabel =

2. Perkecambahan Polen
a. Perkecambahan Polen Kacang Panjang (Vigna unguilata ssp. sesquipedalis)

Keterangan : Berkecambah
b. Perkecambahan Polen Cabai (Capsicum frutescence)

Keterangan : Berkecambah

c. Perkecambahan Polen Stroberi (Fragaria sp.)

Keterangan : Berkecambah
d. Perkecambahan Polen Bunga Sepatu

Keterangan : Tidak berkecambah

3. Hasil Pengamatan Kantung Embrio Torenia spp.


B. Pembahasan
Polen merupakan alat penyebaran dan perbanyakan generatif dari tumbuhan berbunga.
Secara sitologi, polen merupakan sel dengan tiga nukleus, yang masing-masing dinamakan
inti vegetatif, inti generatif I, dan inti generatif II. Sel dalam polen dilindungi oleh dua
lapisan (disebut intine untuk yang di dalam dan exine yang di bagian luar), untuk
mencegahnya mengalami dehidrasi. Ilmu tentang polen dan spora disebut palinologi yang
umumnya lebih terfokus pada struktur dinding . Daya tahan polen sangat tinggi karena
memiliki eksin yang keras dan secara kimia tidak mudah hancur oleh aktifitas mikroba,
tingkat salinitas, kondisi basah, oksigen rendah, dan kekeringan. Bukti palinologi merupakan
salah satu bukti tradisional yang digunakan dalam penyusunan sistematika tumbuhan. Selain
ukuran dan bentuk, ciri polen adalah tipe, jumlah dan posisi apertur serta arsitektur dinding.
Ciri morfologi polen tersebut semakin meningkat penggunaannya dalam taksonomi, terutama
untuk mengoreksi kembali hubungan kekerabatan antara satu tumbuhan dengan tumbuhan
lainnya dalam kelompok – kelompok (Aprianty dan Kriswiyanti, 2008).
Polen berada dalam antera tepatnya dalam kantung yang disebut teka. Polen merupakan
perkembangan mikrosporosit (sel induk mikrospora) yang mengalami meiosis serta
sitokenesis menghasilkan sel mikrospora haploid tersususn tetrad yang dapat terpisah
menjadi monad. Inti sel mikrospora akan mengalami mitosis menghasilkan inti sel generatif
dan inti sel vegetatif. Polen adalah sel mikrospora yang berisi sel vegetatif dan sel generatif.
Pada umumnya palinologi lebih terfokus pada struktur dinding (Erdtman, 1952).
Kantung embrio merupakan mametofit betina yang berkembang dalam struktur bakal
biji (ovele) yang terbungkus oleh ovarium atau bagian pangkal putik. Tahapan dari
perkembangan kantung embrio atau gametofit betina diawali dengan adanya bakal biji
mengandung sporangium yang terbentuk di dalam ovarium. Satu sel yang ada dalam
sporangium mengalami proses megasporosit yang tumbuh dan mengalami meiosis. Setelah
mengalami meiosis, dihasilkan empat megaspora haploid. Pada angiosperma, hanya satu
diantara megaspora tersebut yang akan bertahan hidup. Megaspora ini akan terus tumbuh dan
nukleusnya membelah melalui mitosis yang berlangsung selama tiga kali dan menghasilkan
satu sel besar dengan delapan nukleus haploid. Struktur membran inilah yang disebut dengan
kantung embrio atau gametofit betina. Pada salah satu ujung kantong embrio terdapat tiga
sel, sel telur dan gamet betina, dan dua sel sinergit yang menggapit telur. Pada ujung yang
berlawanan terdapat tiga sel antipodal. Kedua nukleus lainya disebut dengan nukleus polar
tidak dibagi kedalam sel-sel yang terpisah akan tetapi berbagi sitoplasma sel pusat yang besar
pada kantung embrio tersebut. Bakal biji sekarang terdiri dari kantung embrio dan
intergumen (lapisan pelindung jaringan sporofit yang terletak di sekitar kantung embrio
(Campbell dan Jane 2003).
Pengelompokan tumbuhan pada tingkatan takson yang lebih rendah dari familia seperti
genus dan species umumnya berdasarkan karakter morfologi organ vegetatif serta generatif.
Salah satu karakter yang digunakan untuk melengkapi data pengelompokan tumbuhan
tersebut adalah dengan karakter morfologi polen (serbuk sari) yang menjadi salah satu bukti
taksonomi. Karakter utama yang bernilai taksonomi dari polen adalah jumlah dan posisi alur,
tipe apertura, bentuk ornamen eksin serta variasi yang ditunjukkan oleh ukuran dan bentuk
polen (Davis & Heywood, 1973).
Viabilitas polen dapat diukur dengan sejumlah cara metode umum untuk menilai baik
polen dan kelangsungan hidup polen adalah dengan pewarnaan dan penghitungan langsung.
Anthers dikumpulkan dan ditangguhkan dalam larutan yang mengandung pewarna seperti
anilin biru. Biji-bijian yang layak atau berpotensi layak menyerap zat warna (viable)
sementara butiran yang tidak berguna (tidak viable) tidak. Larutan polen kemudian
terdispersi ke slide hemacytometer dan jumlah butiran bernoda (bertahan) dan tidak bernoda
dihitung menggunakan mikroskop (Kelly et al, 2002).
Uji pengecambahan menunjukkan daya kecambah (viabilitas) serbuk sari yang menunjukkan
serbuk sari dapat berkecambah jika ditumbuhkan pada media tertentu yang mengandung
substrat pengecambahan. Uji pewarnaan adalah uji viabilitas serbuk sari dengan metode
pendekatan, berdasarkan asumsi kandungan nutrisi yang dikandung serbuk sari, jika
mencukupi maka dianggap viabel. Kandungan nutrisi tertentu tersebut dapat dideteksi
menggunakan reaksi pewarnaan dengan larutan tertentu. Oleh karena itu, pendekatan uji
pewarnaan belum tentu menunjukkan kondisi viabilitas serbuk sari yang sebenarnya. Bisa
saja terjadi pada uji pewarnaan menunjukkan nilai viabilitas yang tinggi, namun saat
dikecambahkan, serbuk sari memiliki daya kecambah yang rendah. Sebaliknya, bisa saja
pada uji pewarnaan menunjukkan nilai viabilitas yang rendah, namun saat uji
pengecambahan serbuk sari dapat berkecambah dengan baik. Oleh karena itu, penggunaan uji
pewarnaan biasanya didahului dengan uji korelasi antara uji pewarnaan dan uji
pengecambahan. Pewarna anilin blue 1% digunakan untuk uji viabilitas serbuk sari
merupakan salah satu pewarna yang cukup banyak digunakan untuk menduga viabilitas
serbuk sari. Komponen yang diuji sebenarnya adalah kandungan kalosa dalam dinding dan
tabung serbuk sari. Kalosa adalah karbohidrat yang memisahkan sel induk mikrospora dari
sel lainnya dan menyelimuti serbuk sari setelah meiosis. Serbuk sari akan terwarnai menjadi
biru tua apabila mengandung kalosa. Kandungan kalosa menunjukkan serbuk sari yang
viabel. Uji viabilitas serbuk sari menggunakan metode pewarnaan dengan I2KI 1%,
mereaksikan I2KI dengan pati yang terkandung di dalam serbuk sari. Kandungan pati yang
tinggi dalam serbuk sari diasumsikan menunjukkan tingkat viabilitas serbuk sari yang tinggi.
Semakin banyak kandungan pati, maka viabilitas serbuk sarinya juga semakin tinggi. Hasil
pengamatan viabilitas serbuk sari yang menggunakan I2KI 1%, terlihat serbuk sari dengan
dua lapisan dinding bagian luar dan dalam. Serbuk sari dikategorikan viabel ditandai dengan
warna biru tua pada perlakuan anilin blue 1%, sedangkan serbuk sari yang tidak viabel
berwarna biru muda hingga bening. Uji pewarnaaan dengan I2KI 1%, serbuk sari viabel
ditandai dengan warna kuning kecoklatan sedangkan yang tidak viabel tetap bening (Ulfah et
al, 2016).
Semakin lama serbuk sari itu disimpan, maka berkurang daya tumbuhnya, sampai pada
suatu saat tidak dapat berkecambah sama sekali. Hal ini tentunya berkaitan dengan kadar air
dan nutrisi yang tersimpan dalam serbuk sari. Semakin lama disimpan, kadar air dan nutrisi
dalam serbuk sari dapat mengalami kerusakan, karena berupa bahan organik. Serbuk sari
yang kering diduga sudah mengalami kematian, sehingga tidak viabel. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh fluktuasi harian suhu dan kelembaban udara di sekitarnya (jika malam suhu
turun kelembaban udara naik, jika siang suhu naik, kelembaban udara turun). Suhu dan
kelembaban merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perilaku dan viabilitas serbuk sari.
Kualitas serbuk sari dapat ditentukan dari tingkat viabilitasnya. Semakin tinggi tingkat
viabilitasnya, maka kualitas serbuk sari semakin baik. Penggunaan metode pengujian
viabilitas serbuk sari yang cepat, mudah, dan murah sangat diperlukan untuk meningkatkan
efisiensi program pemuliaan dan seleksi maupun produksi. Selain pengecambahan secara in
vitro dan pewarnaan, pengujian in vivo melalui pengamatan tabung serbuk sari pada jaringan
tangkai putik, dan pengamatan terhadap buah yang terbentuk dari hasil penyerbukan pada
tanaman contoh juga dapat digunakan untuk uji viabilitas serbuk sari (Ulfah et al, 2016).
Pengetahuan tentang viabilitas dan kapasitas perkecambahan polen, selain pertumbuhan
tabung polen, sangat penting untuk penyelidikan biologi reproduksi dan genetik. pembiakan
beberapa tanaman, menunjukkan arah dan hibridisasi terkontrol yang mendasar yang
bertujuan menciptakan hibrida baru dan / atau meningkatkan viabilitas polen. Persentase
perkecambahan yang rendah dan pemanjangan tabung polen yang lambat dapat
mempengaruhi pembentukan benih. Studi tentang perkecambahan polen in vitro dan
pertumbuhan tabung polen penting untuk memahami pemupukan dan pembentukan benih
pada tanaman berbunga dan sangat berguna untuk menjelaskan kurangnya kesuburan
tanaman. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perkecambahan in vitro: jenis botanik,
kultivar, status nutrisi tanaman, media kultur, suhu, waktu pengambilan sampel polen,
fotoperiod, metode pengambilan contoh, penerapan pupuk atau pestisida ke tanaman, polen
kondisi penyimpanan, dll (Georgieva et al, 2017).
Pengetahuan mengenai viabilitas serbuk sari sangat berguna bagi pemulia tanaman, ahli
genetika, dan penanam buah, karena viabilitas merupakan indikator kualitas serbuk sari.
Berbagai variasi polen dapat digunakan untuk mengetahui arah evolusi suatu tumbuhan, sifat
polen yang mudah melekat pada berbagai benda membantu dalam penyelidikan kriminal,
sedangkan kandungan protein, karbohidrat dan zatzat lainnya yang tinggi mempengaruhi
kualitas madu. Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa polen adalah penyebab utama
alergi pernafasan. Oleh karena itu data tentang polen diperlukan untuk menunjang berbagai
disiplin ilmu diantaranya taksonomi, sejarah vegetasi dan evolusi flora. Selain itu juga dapat
menunjang beberapa data antara lain kriminologi, medis dan melittopalinologi yaitu studi
kandungan polen dalam madu (Aprianty dan Kriswiyanti, 2008).
Dalam praktikum acara 3 ini digunakan beberapa macam bunga untuk pengujian
viabilitas polen, perkecambahan polen, dan juga pengamatan kantung embrio atau embrio
sac. Pada pengamatan viabilitas polen digunakan bunga jagung, cabai, tomat, dan kembang
sepatu. Pada pengamatan perkecambahan polen digunakan polen bunga tomat, kembang
sepatu, kacang panjang, srowberry. Terakhir untuk pengamatan embrio sac digunakan polen
bunga Torenia spp.
Polen bisa dikatakan viabel dan tidak viabel. Polen yang viabel adalah polen yang
mampu untuk hidup, berkembang, dan berkecambah jika berada dalam kondisi yang
menguntungkan dan polen tidak viabel mempunyai pengertian sebaliknya. Viabilitas polen
dapat diamati dengan cara pewarnaan, dalam praktikum ini praktikan menggunakan larutan
acetocarmin. Polen yang viabel akan menunjukkan ciri-ciri menyerap warna acetocarmin,
sedangkan yang tidak viabel tidak menyerap warna dari acetocarmin.
Tanaman yang diambil polennya dan digunakan pada saat pengamatan polen adalah
tanaman jagung (Zea mays), cabai (Capsicum annuum), kacang panjang (Vigna unguiculata
sesquipedalis (L.)), strowberry (Fragaria) dan bunga sepatu (Hibiscus rosa-sinensis). Kapp
(1969) mengemukakan perbedaan bentuk polen didasarkan oleh perbandingan panjang aksis
polar (P) dan panjang diameter ekuator (E). Bentuk polen berdasarkan perbandingan panjang
aksis polar dengan diameter ekuator (indeks P/E (mikrometer) menurut Erdtman (1943)
dalam Kremp (1965) adalah: >2,00 = perprolate, 1,33-2,00 = prolate, 1,14-1,33 =
subprolate, 1,00-1,14 = prolate spheroidal, 0,88-1,00 = oblate spheroidal, 0,75-0,88 =
suboblate, 0,50-0,75 = oblate, dan <0,50 = peroblate. Setiap polen mempunyai bentuk ekinat
yang berbeda-beda. Ekinat adalah bentuk dari dinding luar polen. Ekinat bisa berbentuk duri,
polos, dan lain-lain. Dari keempat jenis polen sampel ini, semuanya memiliki bentuk yang
berbeda-beda. Dari hasil pengamatan diperkirakan polen jagung berbentuk lonjong (oblate),
cabai berbentuk bulat menyerupai segitiga (prolatespheroidal sampai subprolate dengan
ornamentasi eksin skabrat (Husnudin et al., tanpa tahun), polen kacang panjang berbentuk
bulat menyerupai segitiga dan polen bunga sepatu berbentuk bola berduri (prolate-
spheiroidal dengan ornamentasi eksinnya adalah ekinat (Aprianty dan Kriswiyanti, 2008)).

Pada penelitian (Aprianty dan Kriswiyanti, 2008) diketahui bahwa ukuran polen dari
Kembang Sepatu dengan warna bunga berbeda terlihat adanya perbandingan ukuran yang
cukup mencolok. Hal ini dibuktikan dengan adanya perbedaan panjang aksis polar dan
diameter bidang ekuatorial pada masingmasing bunga dengan warna berbeda. Dari hasil
pengamatan diperoleh hasil untuk polen Hibiscus rosasinensis warna bunga orange, pangkal
mahkota merah tua (102.31^m X 100.42 jam), polen Hibiscus rosa-sinensis warna bunga
kuning (117,42 (im X 112,92 |im), polen Hibiscus rosa-sinensis warna bunga kuning,
pangkal merah tua (92,43 jam X 90,54 ^m), polen Hibiscus rosa-sinensis warna bunga
orange, pangkal merah muda (104,34um X 101,58 um), polen Hibiscus rosa-sinensis warna
bunga pink, pangkal merah tua (90,68um X 91,26 urn), polen Hibiscus rosa-sinensis warna
bunga merah kuncup (106,09 um X 106,81 um), polen Hibiscus rosa-sinensis warna bunga
pink (109,28 urn X 108,56 um), polen Hibiscus rosa-sinensis warna bunga putih kemerahan,
pangkal merah tua (112,48 um X 111,17 um), polen Hibiscus rosa-sinensis warna bunga
krem, pangkal merah tua (90,10 um X 89,66 um), polen Hibiscus rosa-sinensis.
Polen jagung mempunyai periode viabel yang pendek dan sensitif terhadap desikasi dan
dehidrasi. Desikasi polen jagung menggunakan eksikator (22 ºC, RH <10%) selama 24 jam
menurunkan daya berkecambah dari 85% menjadi 2%. Sementara itu, perkecambahan polen
jagung varietas Anjou yang dihidrasi pada suhu 22 ºC, RH 30-50% selama 24 jam turun dari
85% menjadi 5%. Serbuk sari jagung yang dikeringkan menggunakan silika gel selama 48
jam kemudian disimpan pada suhu -20 ºC menghasilkan perkecambahan yang lebih tinggi
(72%) jika dibandingkan dengan polen yang dikeringkan menggunakan CaC12H2O (57%)
setelah 30 hari simpan (Fariroh et al, 2017)

Kesimpulan
Daftar Pustaka
Campbell, N. A., dan Jane B. R. 2003. Biologi 2 Edisi 5. Erlangga. Jakarta.

Davis, P.H., V.H. Heywood. 1973. Principles of Taxonomy. Robert E. Krieger Publishing
Company. New York.

Erdtman, G. (1952).Pollen Morphology and Plant Taxonomy—Angiosperms. Almqvist and


Wiksell, Stockholm, 539 p.

Fariroh, Indri.,E.R.Palupi.,F.C. Suwarno. 2017. Penyimpanan Serbuk Sari Jagung dan


Potensinya untuk Produksi Benih Hibrida Pollen Storage and Its Possibility for
Hybrid Seed Production of Zea mays. J. Agron. Indonesia 45(2):147-154

Georgieva, Natalia ., Ivelina Nikolova., Valentin Kosev., Yordanka Naydenova. 2017. In vitro
germination and viability of pea pollen grains after application of organic nano-fertilizers.
Pestic. Phytomed. (Belgrade), 32(1) :61–65

Kelly, John K., A. Rasch.,S. Kalisz. A Method To Estimate Pollen Viability From Pollen Size
Variation. American Journal of Botany 89(6): 1021–1023.

Ni MADE DENNI APRIANTY DAN ENIEK KRISWIYANTI. STUDI VARIASI UKURAN


POLEN KEMBANG SEPATU (Hibiscus rosa-sinensis L.) DENGAN WARNA BUNGA
BERBEDA. JURNAL BIOLOGI XII (1):14-18ISSN: 14105292.

Ulfah,Siti Maria., Dorly., Sri Rahayu. 2016. PERKEMBANGAN BUNGA DAN UJI
VIABILITAS SERBUK SARI BUNGA LIPSTIK Aeschynanthus radicans var.
'Monalisa' DI KEBUN RAYA BOGOR. Buletin Kebun Raya Vol. 19 No. 1 : 21–32

Anda mungkin juga menyukai